Keesaan Tuhan dalam Pandangan Ahli Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Kelima: Ketakmampuan Para Filsuf Membangun Argumen Keesaan Tuhan Dan Ketakmungkinan Penetapan Dua Wajib Al-Wujud Yang Tanpa Sebab
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KELIMA: Ketakmampuan Para Filsuf Membangun Argumen Keesaan Tuhan
Dan Ketakmungkinan Penetapan Dua Wajib Al-Wujud Yang
Tanpa Sebab
UNTUK PERSOALAN INI, PARA FILSUF MENDASARKAN PADA DUA ALASAN:
Pertama:
mereka mereka mengatakan bahwa apabila ada dua Tuhan, mengatakan bahwa apabila
ada dua Tuhan, maka masing-maisng dari keduanya harus disebut “wajib al-wujud”
(niscaya ada). Sesuatu yang disebut wajib al-wujud tak lepas dari dua
pengertian berikut: (a) keniscayaan eksistensinya (wajib wujudihi) karena
esensinya sendiri (li zatih/ per se), sehingga tak dapat dibayangkan bahwa
eksistensinya dimiliki oleh yang lain; atau (b) keniscayaan eksistensinya
karena suatu sebab (li illah), sehingga esensi wajib al-wujud tersebut
merupakan akibat (ma’lul) dari suatu sebab (‘illah), yang menuntut keniscayaan
eksistensinya. Tetapi yang kami maksud dengan wajib al-wujud di sini hanyalah
sesuatu yang tidak memiliki ikatan dengan suatu sebab apa pun, dengan cara apa
pun dan bagaimana pun.
Mereka berasumsi bahwa spesies (nau’) ‘manusia’
dikatakan kepada Zayd dan ‘Amr (misalnya). Zayd tidak menjadi manusia karena
esensinya sendiri (li zatih). Sebab jika
Zayd adalah manusia karena esensinya, tentu ‘Amr (sebagai orang
lain di samping Zayd) tidak termasuk spesies manusia. Tetapi sebaliknya, Zayd
adalah seorang manusia karena suatu sebab (li ‘illah) yang menjadikannya
sebagai manusia, yang juga menjadikan ‘Amr sebagai seorang manusia. Maka
perihal kemanusiaan (insaniyah) menjadi beragam dengan banyaknya materi yang
melahirkannya. Dan hubungannya dengan materi itu merupakan akibat, bukan
karena esensi kemanusiaan itu sendiri.
Demikian pula penetapan wujub
al-wujud (keniscayaan eksistensi) bagi wajib al-wujud. Karena pabila wajib
al-wujud merupakan sesuatu yang esensial bagi wajib al-wujud, tentu hanya
wajib al-wujud itu saja yang dapat memilikinya (wujub al-wujud). Tetapi
apabila ia merupakan akibat dari suatu sebab, wajib al- wujud dengan
sendirinya merupakan sesuatu yang disebabkan, dan karenanya eksistensinya
menjadi tidak niscaya. Dari sini jelas bahwa wajib al-wujud harus tunggal.
Kami
akan menjawab:
Pernyataan Anda—bahwa spesies wujub al-wujud bagi wajib
al-wujud karena esensinya (li zatih) atau karena suatu sebab (li
‘illah)—merupakan model klasifikasi yang salah pada prinsipnya. Kami telah
menunjukkan bahwa kata wujub (niscaya) mempunyai arti yang tidak tunggal,
kecuali jika kata tersebut dipergunakan untuk menunjukkan negasi sebab (nafy
al-illah). Jika kami menggunakannya menurut pengertian tersebut, maka kami
katakan, mengapa mesti mustahil adanya dua wujud yang tak disebabkan dan tidak
menyebabkan satu sama lainnya? Pernyataan Anda—bahwa sesuatu yang tidak
mempunyai sebab adalah tak bersebab dengan sendirinya (li zatih/per se) atau
karena sebab (li ‘illah/ per
causum)—merupakan model pembagian salah. Karena negasi terhadap sebab dan
ketidakbutuhan suatu wujud terhadap sebab tidak memerlukan suatu sebab. Lalu
apa maksudnya kata-kata “sesuatu yang tak disebabkan adalah tak disebabkan per
se atau per causum?” karena perkataan kita bahwa “sesuatu tidak mempunyai
sebab” merupakan suatu negasi murni (salb mahd), dan negasi murni itu sendiri
tidak mempunyai sebab. Seseorang tidak dapat bertanya apakah ia per se atau
per causum.
Namun, apabila yang Anda maksudkan dengan wujub al-wujud
adalah suatu sifat positif bagi wajib al-wujud—selain bahwa ia merupakan suatu
wujud yang tidak bersebab—maka pengertian itu tidak akan bisa dimengerti
dengan sendirinya. Pengertian yang timbul dari kata wajib al-wujud tersebut
adalah negasi bagi sebab wujud. Dan hal itu merupakan suatu negasi murni, tak
dapat dikatakan “karena dirinya sendiri” atau “karena suatu sebab”. Dan
karenanya, pembagian wajib al-wujud itu tak bertujuan apa-apa. Tentu saja,
kita pun menyimpulkan bahwa pembagian semacam itu merupakan cara
berargumentasi yang konyol dan tak beralasan.
Apa yang kami maksudkan
dengan wajib al-wujud adalah bahwa eksistensinya tidak bersebab, dan bahwa
adanya sebagai sesuatu yang “tak bersebab” juga “tidak karena suatu sebab”.
Artinya adanya sebagai sesuatu tanpa sebab, bukan akibat dari suatu sebab.
Seseorang hanya dapat mengatakan bahwa wujudnya tanpa sebab, dan bahwa adanya
sebagai sesuatu yang tanpa sebab adalah tidak disebabkan oleh suatu sebab.
Pembagian
semacam ini (pembagian sifat ke dalam sifat yang berasal dari sebab dan sifat
yang bersifat esensial) tak dapat diaplikasikan pada sebagian sifat yang
positif-afirmatif (isbat), apalagi yang negatif (salb). Seseorang tak dapat
mempertanyakan “apakah ‘kehitaman’ suatu warna adalah per se (li zatih)
ataukah per causum (li ‘illah)?” Apabila per se, maka kemerahan tidak bisa
disebut suatu warna. Sebba spesies (kewarnaan) ini, harus eksklusif dalam
lingkaran esensi kehitaman. Tetapi apabila kehitaman merupaka suatu warna
karena suatu sebab yang menjadikannya sebagai warna, maka harus dapat
dipikirkan dalam akal, keberadaan suatu kehitaman yang bukan warna— artinya
sebab yang tidak (belum) menjadikannya sebagai suatu warna. Sebab sesuatu yang
ditetapkan pada suatu esensi, karena ditambahkan pada esensi oleh suatu sebba
eksternal, pengandaian tentang ketiadaan tambahan tersebut dimungkinkan di
dalam imajiner (wahm), sekalipun tidak terwujud dalam alam nyata. Tapi
pembagian ini salah pada dataran dasarnya. Apabila dikatakan bahwa kehitaman
adalah suatu warna per se, pernyataan itu tidak mengimplikasikan bahwa tiada
sesuatu pun yang dapat memiliki sifat ini. Demikian pula, apabila dikatakan
bahwa suatu wujud tertentu adalah niscaya (wajib) yakni, tanpa sebab pada
dirinya sendiri, pernyataan itu takkan mengimplikasikan bahwa tiada sesuatu
pun juga mungkin dapat memiliki sifat niscaya.
Kedua: Mereka mengatakan
bahwa apabila kami mengandaikan dua wajib al-wujud, maka kedua-duanya bisa
sama pada semua seginya atau berbeda satu dengan lainnya. Apabila keduanya
sama dalam segala segi, maka kebergandaan atau adanya dualitas-numerikal
(iisnayniyah) tidak bisa diterima akal. Sebab dua benda hitam dianggap sebagai
dua benda, hanya apabila ia ada di dua tempat yang berbeda, atau di tempat
yang sama tetapi pada saat yang berbeda. Atau, kehitaman dan gerak, di tempat
yang sama dan di saat yang sama, adalh dua hal— karena kedua zat (esensi)
keduanya berbeda. Tetapi apabila kedua zat
itu berbeda—misalnya, dua benda hitam—dan apabila saat dan tempatnya sama,
ketidaksamaan numerikal tidak masuk akal. Apabila dimungkinkan untuk
mengatakan bahwa setiap orang adalah dua orang, dan antara keduanya tidak
tampak perbedaan yang prinsip.
Ketika kesamaan (dua wajib al-wujud) pada
segala seginya menadi mustahil, dan ternyata mesti ada perbedaan, dan
perbedaan ini tidak pada aspek masa atau tempat, maka yang tersisa adalah
perbedaan pada zat itu sendiri.
Selama dua wajib al-wujud memiliki
perbedaan, maka tidak bisa lepas dari dua hal: (a) kedua-duanya bersekutu
(isytirak) dalam satu hal, atau (b) tidak. Alternatif kedua mustahil terjadi,
sebab dalam hal ini keduanya mesti tidak berserikat dalam wujud, seperti juga
dalam keniscayaan wujud dan eksistensi masing-masing sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri, bukan pada obyeknya.
Tetapi apabila keduanya bersekutu
(isytirak) dalam suatu hal dan berbeda dalam hal yang lain, maka keduanya akan
bersekutu di luar hal-hal yang berbeda. Ini berarti bahwa pada wajib al-wujud
ada komposisi (tarakkub) dan format tegas dari kedua-duanya yang dapat
dianalisis ke dalam berbagai bagian. Tetapi pada wajib al-wujud tidak boleh
ada komposisi. Sebagaimana ia tidak dapat dibagi-bagi dengan kuantitas, ia pun
tidak dapat dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian dengan formula kata (qawl) yang
tegas. Esensi wajib al-wujud tidak terkomposisi dari hal-hal yang terindikasi
oleh formula kata yang tegas itu. Misalnya: ‘binatang’ dan ‘rasional’
mengekspresikan hal-hal yang merupakan esensi (mahiyah) dan kuiditas manusia.
Manusia adalah seekor binatang dan ia juga rasional. Apa yang ada pada seorang manusia yang
sesuai dengan kata ‘binatang’ adalah berbeda dari apa-apa yang ada padanya
yang ada padanya yang sesuai dengan kata ‘rasional’. Karenanya, manusia
tersusun dari bagian-bagian yang semuanya tercakup di dalam definisi manusia
dengan kata-kata yang berarti bagian-bagian itu. Dan nama ‘manusia’ berlaku
pada keseluruhan bagian- bagian itu. Tetapi ini tidak dapat dibayangkan dalam
perihal wajib al-wujud, dan tanpa ini dualitas numerikal tidak dapat
dibayangkan. Padahal, tanpa hal ini, dualitas tersebut tidak pernah
terbayangkan.
Jawaban:
Kami dapat membenarkan bahwa
dualitas tidak dapat dibayangkan kecuali ada perbedaan antara dua entitas pada
suatu hal. Dan juga dapat diterima bahwa tidak ada perbedaan di antara dua hal
yang sama dalam semua aspeknya. Tetapi pernyataan Anda—bahwa bentuk komposisi
ini mustahil dalam Prinsip Pertama (al-Mabda’ al-Awwal)—merupakan asumsi yang
sewenang-wenang. Apa argumen yang bisa digunakan untuk membuktikannya?
Mari
kita eksplorasi masalah ini secara detail. Sebenarnya di antara pemikiran para
filsuf terkenal ada pendapat yang mengatakan bahwa Prinsip Pertama tidak dapat
dianalisis melalui formula yang tegas, sebagaimana pembagian kuantitatif tidak
dapat diaplikasikan kepada-Nya. Dan berdasar pernyataan inilah mereka
membangun ajaran mereka sendiri mengenai keesaan Allah Swt.
Bahkan mereka mengemukakan bahwa kepercayaan pada keesaan
Tuhan (tauhid) tidak sempurna kecuali menegaskan bahwa zat Allah Satu dalam
segala seginya. Kesatuan (wihdah) dalam segala segi ditegaskan dengan
melenyapkan pluralitas dari segala segi. Pluralitas ini terintroduksi ke dalam
esensi-esensi (zawat) melalui lima cara:
Pertama, zat itu dapat menerima
pembagian secara langsung atau melalui imajinasi. Dengan itu, sebuah tubuh
tidak tunggal secara mutlak. Sebuah tubuh adalah satu berdasarkan kontinuitas
(ittisal) yang terdapat di dalam tubuh itu, yang dapat lenyap. Karenanya,
sebuah tubuh dapat dibagi-bagi di dalam imaji dengan kuantitasnya. Tapi
pembagian tersebut mustahil dalam Prinsip Pertama.
Kedua, sesuatu itu
dapat dibagi ke dalam dua pengertian yang berbeda-dengan pembagian
non-kuantitatif—di dalam Akal. Hal itu seperti pembagian tubuh ke dalam
“bentuk” dan “materi”. Karena, meskipun bentuk dan materi tidak dapat
dibayangkan ada tanpa yang lainnya, kedua-duanya tetap merupakan dua hal yang
berbeda, berdasar definisi dan menurut kenyataan. Ini juga mesti ditiadakan
sehubungan dengan Allah Swt. Maka Allah Swt. tidak bisa berupa suatu bentuk
atau materi di dalam suatu tubuh atau merupakan kombinasi dari kedua-duanya.
Ada dua alasan mengapa Ia tidak bisa merupakan sebuah kombinasi dari bentuk
dan materi. Yaitu (1) kombinasi semacam itu dapat dibagi- bagi—secara langsung
atau melalui imaji—sebagaimana ia dapat dianalisis ke dalam bagianbagian yang
berbeda, (2) kombinasi ini juga dapat dibagi-bagi secara konseptual ke dalam
“bentuk” dan “materi”. Kemudian Allah Swt. tidak dapat merupakan materi,
karena materi tergantung pada bentuk. Dan wajib al-wujud tidak membutuhkan segala segi dari
bentuk, dan mustahil untuk menghubungkan eksistensinya dengan suatu sebab
selain dirinya sendiri. Akhirnya, Allah Swt. tidak dapat menciptakan bentuk,
karena bentuk tergantung pada materi.
Ketiga, adanya pluralitas melalui
sifat-sifat, seperti ketika pengetahuan, kekuasaan, dan kehendak diandaikan
merupakan sifatsifat Tuhan. Apabila sifat-sifat ini diandaikan merupakan
sesuatu yang niscaya ada (wajib al-wujud), maka keniscayaan adanya (wajib
al-wujud) akan ada pada masing-masing sifat-sifat itu dan pada esensi (Allah).
Dengan cara demikian, pluralitas akan ada di dalam wajib al-wujud
dan—konsekuensinya—keesaan mesti tidak ada.
Keempat, adanya pluralitas
rasional (kasirah ‘aqliyyah) yang timbul dari komposisi genus (jins) dan
spesies (nau’). Misalnya, sebuah benda hitam adalah (terdiri dari) ‘hitam’ dan
‘warna ‘. Dan bagi akal, kehitaman tidak identik dengan kewarnaan. Karenanya,
sebuah benda hitam tersusun dari sebuah genus dan spesies. Demikian pula,
kebinatangan tidak identik dengan kemanusiaan—dari sudut pandang akal. Karena
itu, manusia adalah binatang dan wujud rasional (natiq). ‘Binatang menjadi
genus dan ‘rasional’ menjadi spesies manusia. Manusia tersusun dari sebuah
genus dan sebuah spesies. Ini merupakan pluralitas dari bentuk yang lain. Dan
ini juga—menurut para filsuf—mesti dibuang jauh-jauh dari Prinsip Pertama.
Kelima,
adanya pluralitas yang muncul dari pengandaian kuiditas, lalu pengandaian
eksistensi bagi kuiditas tersebut. Misalnya, manusia mempunyai suatu kuiditas
sebelum eksistensinya. Dan eksistensinya disandarkan pada kuiditasnya
sekaligus diterangkan berdasarkan kuiditas tersebut. Demikian pula, sebuah segitiga mempunyai kuiditas. Artinya ia
merupakan bentuk yang dibatasi oleh tiga sisi. Dan eksistensi sebuah segitiga
ini tidak terpisah dari kuiditasnya. Yakni eksistensinya bukan merupakan
bagian dari esensi kuiditas itu. Karena alasan ini, mustahil bagi seseorang
untuk mengetahui kuiditas seorang manusia atau sebuah segitiga tanpa
mengetahui apakah ia ada atau tidak ada secara nyata. Apabila eksistensi
merupakan kuiditas sebuah segitiga, eksistensi kuiditas di dalam akal, sebelum
aktualisasinya, tidak akan bisa dibayangkan. Karena itu, eksistensi
dihubungkan dengan kuiditas, tanpa memerhatikan fakta apakah kuiditas itu
selalu ada di dalam eksistensi—seperti dalam hal langit—atau bereksistensi
setelah tidak ada sebelumnya—seperti kuiditas kemanusiaan pada Zayd dan ‘Amr,
atau kuiditas pada aksiden-aksiden dan bentuk-bentuk temporal.
Bentuk
pluralits ini sekali lagi—menurut mereka—harus ditiadakan dari Prinsip
Pertama. Harus dikatakan bahwa Ia tidak punya kuiditas tempat bagi eksistensi
untuk disandarkan. Bahkan wujud-niscaya (wajib al-wujud) bagi-Nya seperti
kuiditas bagi yang lain-Nya. Karena itu, wujud niscaya adalah suatu kuiditas,
suatu realitas universal, atau alam yang nyata, sebagaimana ke- manusia-an,
kepohon-an, atau ke-langit-an adalah suatu kuiditas. Apabila kita mengafirmasi
kuiditas-Nya sebagai yang terpisah dari eksistensi-Nya, maka wujud-niscaya
akan dianggap sebagai suatu konsekuensi atau, bukan sebagai suatu prinsip
konstitutif, daripada kuiditas itu. Sebuah konsekuensi adalah “pengikut” atau
akibat. Karenanya, wujud niscaya dalam hal ini menjadi akibat dan itu bertolak
belakang dengan eksistensinya sebagai yang niscaya (wajib).
Di samping
keterangan ini, para filsuf menyatakan bahwa Allah adalah Sang Prinsip, Sang
Pertama, sebuah Maujud, sebuah Substansi, Yang Satu, Yang Kekal (al-Qadim), Yang
Abadi (al-Baqi), Yang Mengetahui, Sebuah Akal (‘Aql), Yang berakal (‘Aqil),
Objek Akal (Ma’qul), Sang Pelaku, Sang Pencipta, Yang Berkehendak, Yang
Berkuasa, Yang Hidup, (Mutalazzaz),Yang Dermawan, dan Kebajikan Murni. Dan
mereka mengatakan bahwa semua kata ini berarti satu, tidak mengandung
pluralitas. Tentu saja ini merupakan pernyataan yang aneh.
Sebelum kami
menyanggahnya, kami perlu menguraikan terlebih dahulu pandangan ini sehingga
dapat dipahami. Karena melontarkan tanggapan sebelum memperoleh pemahaman yang
utuh bagaikan melepas anak panah dalam kegelapan.
Cara yang terbaik untuk
memahami ajaran mereka adalah dengan mengemukakan penjelasan mereka bahwa
esensi Prinsip Pertama adalah satu. Tetapi pluralitas nama-nama bagi esensi
yang satu ini timbul dari penyandaran suatu hal terhadap-Nya, dari
hubungan-Nya dengan suatu hal, atau dari negasi sesuatu hal dari-Nya.
Sementara negasi tidak meniscayakan pluralitas pada esensi yang dinegasikan,
seperti juga relasi penyandaran yang tidak meniscayakan pluralitas. Karena itu
mereka tidak menolak pluralitas negasi dan berbagai relasi penyandaran
(idafah). Tapi kontribusi pada masalah ini membuat mereka konsisten dalam
upaya untuk menerangkan semua sifat itu, dipandang dari segi negasi (salb) dan
relasi penyandaran (idafah).
Mereka mengatakan:
Jika
Tuhan disebut Yang Pertama (al-Awwal), berarti menunjukkan adanya relasi
antara Dia dengan semua maujudat (makhlukmakhluk yang diadakan) setelah
Dia.
Jika disebut sebagai Prinsip
(Mabda’), berarti menunjukkan bahwa semua eksistensi lain berasal dari-Nya,
dan bahwa Dia adalah sebab bagi eksistensi semua entitas lain tersebut. Maka
ini merupakan suatu hubungan dengan akibat-akibat-Nya.
Jika disebut
Maujud, maka artinya diketahui. Jika disebut sebagai jauhar (substansi),
artinya adalah eksistensi (wujud) yang subsistensinya pada sebuah subyek tidak
dapat diterima. Dan ini juga merupakan suatu negasi.
Jika disebut Kekal
(Qadim) berarti negasi dalam bentuk ketiadaan (‘adam) awal temporal
bagi-Nya.
Jika disebut Abadi (Baqi) maksudnya adalah negasi dalam bentuk
peniadaan akhir dari-Nya. Yang Kekal dan Yang Abadi— ditegaskan oleh
mereka—menetapkan bahwa suatu eksistensi tidak didahului oleh ketiadaan
(non-eksistensi/ ‘adam) dan tidak diikuti olehnya.
Jika disebut sesuatu
yang niscaya-ada (wajib al-wujud) berarti bahwa eksistensi-Nya tidak memiliki
sebab, tetapi merupakan sebab bagi eksistensi entitas yang lain. Karena itu,
ia menjadi sesuatu yang memadukan antara negasi (salb) dan hubungan (idafah),
yaitu wujud yang terlebih dahulu diwakili oleh ketanpa-sebaban, dan yang
kemudian oleh karakter wujudnya dikatakan sebagai sebab bagi yang lain.
Jika
disebut Akal (‘Aql) berarti bahwa Dia merupakan suatu maujud non-material. Dan
setiap maujud adalah sebuah akal. Artinya ia mempunyai pengetahuan-diri dan
kesadaran-diri serta mengetahui segala yang selain dirinya. Maka hal ini
(menjadi bebas dari materi) merupakan sifat zat Allah. Karenanya, Dia adalah
sebuah akal. Menjadi sebuah akal dan menjadi bebas dari materi
(non-material)—kedua-duanya—berarti sama.
Jika disebut Yang Memiliki Akal (al-’Aqil)
berarti bahwa esensiNya, yaitu akal, mempunyai objek atau sesuatu yang
dipikirkan (ma’qul), yaitu esensi-Nya sendiri. Sebab Dia mengetahui sendiri
dan mengetahui diri-Nya sendiri, maka esensi- Nya adalah dapat dipikirkan
(ma’qul), yang Berakal (‘aqil) dan akal (‘aql) sekaligus. Ketiganya sebenarnya
adalah satu. Karena Dia juga disebut “yang dapat dipikirkan” (ma’qul), sebab
Dia adalah kuiditas (mahiyah) yang bebas dari materi. Segala hal juga tidak
tertutup dari esensi-Nya yang berupa akal, dalam arti bahwa Ia adalah kuiditas
non-material yang tidak ada satu pun yang tersembunyi dan tertutup bagi-Nya.
Karena Dia mengetahui diri- Nya sendiri, maka Dia adalah entitas berakal
(‘aqil). Dan karena diri-Nya sendiri diketahui oleh-Nya sendiri, maka Dia
dapat diketahui (ma’qul). Dan karena pengetahuan diri-Nya bukan tambahan pada
esensi-Nya, maka ia adalah akal (‘aql). Tidak mustahil bahwa yang berakal
(‘aqil) dan objek akalnya (ma’qul) menjadi satu. Sebab apabila yang berakal
(‘aqil) mengetahui dirinya sendiri sebagai yang berakal, dia mengetahuinya
dengan kapasitasnya sebagai yang berakal. Maka yang berakal (‘aqil) dan yang
menjadi objek akal (ma’qul) adalah satu, bagaimana pun keadaannya. Tentu saja
kesatuan ini berbeda dengan Tuhan. Karena objek akal Tuhan secara
terus-menerus aktual (bi al- i’l), sedangkan objek
akal kita kadang-kadang potensial (bi al-
quwwah) dan terkadang aktual.
Jika Ia disebut Pencipta (Khaliq), Pelaku
(Fa’il), Perintis (Bari’), atau lainnya yang bersifat pekerjaan, berarti bahwa
eksistensi-Nya merupakan eksistensi terhormat yang merupakan asal
emanasiniscaya bagi semua yang ada, dan bahwa eksistensi semua wujud yang lain
berasal dari dan mengikuti eksistensi-Nya, seperti hubungan cahaya dengan
matahari atau hubungan panas dengan
api. Tetapi perbandingan antara “hubungan alam dengan- Nya” dengan “hubungan
cahaya dengan matahari” sebatas pada fakta bahwa alam serta cahaya merupakan
suatu akibat (ma’lul).
Terlepas dari fakta ini, perbandingan itu tidak
relevan. Karena matahari tidak tahu bahwa cahaya memanasi dari dirinya sendiri
dan api pun tidak tahu bahwa panas beremanasi darinya. Karena emanasi, dalam
hal apa pun, merupakan karakter bawaan (tabi’ah) murni. Namun sebaliknya,
Allah mengetahui diri-Nya sendiri dan mengetahui bahwa wujud-Nya merupakan
Prinsip bagi eksistensi wujudwujud yang lain. Maka Dia mengetahui emanasi
segala yang beremanasi dari-Nya dan Dia tidak lupa terhadap segala yang
berasal dari-Nya. Selanjutnya, Dia tidak seperti seseorang di antara kita,
yang berdiri di antara seorang yang sakit dan matahari, sehingga menyebabkan
panas matahari terhalang dari orang yang sakit itu, sebab orang itu bukan
sebab yang lahir dari usaha bebas (ikhtiyar) matahari sendiri. Sebaliknya
Allah mengetahui akibat-akibat-Nya dan tidak membencinya. Adapun orang yang
membuat bayang-bayang, pelaku (fa’il) yang melahirkan bayang-bayang itu ialah
tubuhnya. Padahal seharusnya jiwanya—bukan tubuhnya—yang mengetahui jatuhnya
bayang- bayang dan menyukai atau merestuinya. Tidak demikian halnya dengan
Allah, sebab “pelaku” berada di dalamNya sekaligus juga “yang menyukai”,
artinya “yang tidak membenci”. Dia tahu bahwa kesempurnaan-Nya ada pada fakta
bahwa wujud- wujud yang lain beremanasi dari-Nya. Bahkan jika mungkin untuk
mengandaikan bahwa tubuhlah “yang membuat bayang- bayang” dan “yang
menyukainya”, kasus ini juga akan tetap tak sama dengan perbuatan Tuhan.
Karena Tuhan tidak hanya “Yang Mengetahui” dan “Yang Berbuat”, tetapi
pengetahuan-Nya adalah Prinsip dari perbuatan-Nya. Karena pengetahuan
diri-Nya, yaitu pengetahuan
bahwa diri-Nya adalah Prinsip alam semesta, adalah sebab bagi emanasi alam
semesta. Maka, sistem yang terwujud ini mengikuti sistem yang dapat
dipikirkan, dalam arti bahwa ia terjadi karena sistern yang terakhir ini. Maka
adanya Tuhan sebagai “Pelaku” bukanlah tambahan pada adanya sebagai “Yang
Mengetahui” alam semesta. Pengetahuan-Nya mengenai alam semesta adalah sebagai
bagian emanasi alam semesta dari-Nya. Dan wujud-Nya sebagai yang mengetahui
diri-Nya sendiri tanpa mengetahui bahwa Dia adalah Prinsip bagi alam semesta.
Dengan maksud-Nya yang pertama (qasduhu alawwal), esensi-Nya sendiri adalah
objek pengetahuan-Nya. Dengan maksudnya yang kedua, alam semesta diketahui
oleh-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ada-Nya sebagai pelaku (kaunuhu
fa’il).
Menyebut-Nya Mahakuasa berarti wujudnya sebagai pelaku sesuai
dengan makna yang telah kami tetapkan. Yaitu bahwa, wujudNya adalah wujud
tempat semua wujud beremanasi yang dari situ semua yang berada di bawah
kekuasaan-Nya (maqdurat) meluas, dan yang dengan emanasinya tata alam semesta
tersusun rapi sedemikian rupa sehingga kemungkinan kesempurnaan dan keindahan
terealisasi pada tingkat yang paling tinggi.
Menyebut-Nya Yang
Berkehendak berarti tidak ada satu pun kecuali bahwa Dia tidak melupakan, atau
membenci, apa pun yang berasal dari-Nya. Dia mengetahui bahwa kesempurnaan-
Nya terdapat di dalam emanasi alam semesta dari-Nya. Karenanya, menurut
pengertian ini, dibenarkan mengatakan bahwa Dia menyukai segala yang
beremanasi dari-Nya. Dia, yang menyukai akibat yang muncul dari-Nya dapat juga
disebut zat ‘’Yang Berkehendak”. Maka kehendak Tuhan identik dengan
kemahakuasaan. Kemahakuasaan identik dengan pengetahuan Tuhan. Pengetahuan Tuhan adalah esensi Tuhan. Karenanya,
semua sifat-sifat Tuhan akhirnya diidentifikasi sebagai esensi Tuhan. Demikian
juga dalam konteks ini, karena pengetahuan- Nya mengenai sesuatu hal tidak
berasal dari sesuatu yang diketahui itu. Sebab jika demikian, Tuhan telah
dianggap sebagai penerima suatu manfaat, suatu sifat, atau suatu kesempurnaan
dari wujud- wujud yang lain. Itu jelas mustahil bagi sebuah wajib al-wujud.
Sedangkan
pengetahuan kita ada dua macam. Pertama, pengetahuan tentang sesuatu yang
(pengetahuannya) diperoleh dari bentuk sesuatu itu, seperti pengetahuan kita
tentang bentuk langit dan bumi. Kedua, pengetahuan yang secara spontan kita
peroleh, seperti pengetahuan tentang sesuatu yang bentuknya tak pernah kita
saksikan, tetapi kita bisa mengkonstruksi suatu bentuk terhadapnya dalam jiwa
kita sehingga pengetahuan itu sebenarnya berasal dari kita. Dalam hal ini,
eksistensi bentuk itu diperoleh dari pengetahuan, bukan pengetahuan diperoleh
dari eksistensi bentuk. Pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan jenis yang
terakhir (kedua) ini. Karena gambaran ideal sistem di dalam esensi-Nya adalah
sebab dari emanasi sistem itu dari esensi-Nya.
Tak diragukan lagi,
apabila tampilan semata dari bentuk sebuah garis atau sebuah huruf di dalam
jiwa kita telah cukup bagi penciptaan bentuk itu, pengetahuan kita juga akan
identik dengan kekuasaan, dan karenanya ia juga identik dengan kehendak.
Tetapi karena ketidaksempurnaan kita, pemberian suatu bentuk kepada suatu
entitas di dalam jiwa kita tidak cukup bagi penciptaan bentuk sesuatu itu.
Jadi, bersama dengan pengetahuan, kita membutuhkan suatu tindakan kehendak
yang muncul sebagai suatu faktor baru. Hal ini bersumber dari kekuatan
hasrat. Sebagai hasilnya, terwujudlah kekuatan yang menyebabkan gerakan otot-otot
dan urat urat sehingga tangan atau lengan bergerak. Dengan gerakan tangan
muncul gerakan pena atau perangkat eksternal lainnya. Dengan gerakan pena
muncul gerakan materi, seperti tinta atau lainnya. Lalu terwujudlah bentuk
sesuatu yang telah kita konstruksikan bentuknya di dalam jiwa kita. Inilah
alasan mengapa eksistensi semata dari suatu bentuk dalam jiwa kita bukan
merupakan kekuatan dan bukan pula kehendak. Sebaliknya, kekuasaan kita adalah
karena prinsip yang menggerakkan otot-otot. Bentuk juga menggerakkan penggerak
yang lain, yaitu prinsip kekuasaan kita. Hal ini tidak ada pada wajib
al-wujud. Sebab Dia tidak terdiri dari tubuh-tubuh yang pada bagianbagiannya
terdapat kekuatan dan kemampuan. Kekuasan, kehendak, dan pengetahuan-Nya
adalah satu dan sama seperti esensi-Nya.
Menyebut-Nya Yang Hidup (Hayy)
berarti bahwa Dia adalah “Yang Mengetahui” sebagaimana adanya, yang dari
pengetahuanNya beremanasi wujud yang disebut perbuatan- Nya. Yang Hidup (hayy)
adalah zat pelaku dan yang paling mengetahui. Karenanya, yang dimaksud dengan
mengatakan- Nya ‘’yang Hidup” adalah esensi-Nya yang terkait dengan
perbuatan-perbuatan-Nya, sebagai hubungan seperti yang telah kami kemukakan.
Hidup-Nya tidak seperti hidup kita yang memerlukan pelengkap berupa dua
kekuatan berbeda, yang dari keduanya termanifestasi pengetahuan dan perbuatan
kita. Hidup- Nya juga identik dengan esensi-Nya.
Menyebut-Nya Dermawan
(jawwad) berarti bahwa alam semesta beremanasi dari-Nya, tidak karena maksud
tertentu yang telah dilihat menguntungkan-Nya. Kedermawanan mencakup dua hal.
Pertama, tidak boleh tidak bahwa orang yang menerima pemberian harus bisa memanfaatkannya. Memberikan sesuatu
kepada orang yang tidak memerlukannya tidak dapat disebut kedermawanan. Kedua,
orang yang dermawan harus tidak mempunyai kepentingan tersembunyi yang dapat
terpenuhi dengan kedermawanannya. Karena jika demikian, yang melakukan
tindakan kedermawanan, seakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja. Orang
dermawan karena ingin dipuji dan disanjung, atau karena ingin terhindar dari
kehinaan, adalah orang yang berpamrih, bukan orang dermawan. Kedermawanan
Tuhan ialah kedermawanan sebenarnya. Karena Dia tidak berusaha—melalui
kedermawanan-Nya—untuk membersihkan diri dari kehinaan atau memperoleh
kesempurnaan diri karena pujian. Maka kata ‘dermawan ‘merupakan suatu ungkapan
bagi wujud-Nya yang terkait dengan perbuatan (kedermawanan) dan dengan tak
adanya kepentingan tertentu. Maka, Ia pun tidak berarti suatu pluralitas pada
esensi-Nya.
Menyebut-Nya Kebaikan Murni
dapat berarti bahwa wujudNya bebas dari segala ketidaksempurnaan
dan kemungkinan tiadanya kesempurnaan. Kejahatan—yang tidak mempunyai
esensi—bisa berarti: (a) ketiadaan sesuatu substansi, atau (b) ketiadaan
kecocokan kondisi suatu substansi. Eksistensi, dari segi bahwa ia adalah
eksistensi, merupakan kebaikan. Karenanya, jika kata ‘kebaikan’ dipergunakan,
ia berarti tidak adanya kemungkinan ketaksempurnaan dan kejahatan.
Sebagai
alternatif, kebaikan dapat digunakan sebagai nama bagi sesuatu yang merupakan
sebab sistem benda-benda. Prinsip Pertama adalah Prinsip sistem setiap
sesuatu. Karenanya, dia adalah kebaikan. Dan nama itu menunjukkan wujud Tuhan,
karena mengandung hubungan spesifik ini.
Mengatakan-Nya Yang Mencintai (‘Asyiq) dan
Yang Dicintai (Ma’syuq), dan Yang Senang (Laziz) dan Yang Disenangi (Multazz)
berarti bahwa semua keindahan, keagungan, dan kesempurnaan disenangi dan
dicintai oleh Yang Sempurna, Yang Indah, dan Yang Agung. Dan kenikmatan
(ni’mah) hanya berarti pengetahuan yang pantas mengenai kesempurnaan. Orang
yang menyadari kesempurnaannya—kesempurnaan yang mengalir dari penguasaannya
terhadap semua yang dapat diketahui (ma’lumat) dan keindahan bentuknya, dari
kebesaran kekuasannya, kesempurnaan kekuatannya, ketangguhan fisiknya;
pendeknya dari kesadaran terhadap kapasitasnya sebagai pemilik setiap sebab
yang mungkin bagi kebesaran—akan benar-benar mencintai kesempurnaannya dan
mendapatkan kesenangan darinya.
Tetapi kesenangan manusia tidak sempurna.
Sebab, hilang kesempurnaan merupakan realitas yang tidak bisa dielakkan dan
sebab-sebab kesenangan tidak meliputi hal- hal yang dapat lenyap, sekaligus
yang hilang tidak selalu bisa diramalkan. Akan tetapi Prinsip Pertama
mempunyai keagungan yang paling sempurna dan keindahan yang paling lengkap.
Karena, setiap kesempurnaan yang mungkin bagi- Nya benar-benar didapatkan-Nya.
Dan pengetahuan-Nya atas kesempurnaan ini bebas dari kemungkinan rusak dan
lenyap. Kesempurnaan yang selalu benar-benar Dia ketahui berada di atas segala
kesempurnaan yang lain. Itu mengharuskan bahwa kecintaan dan kesenangan-Nya
pada kesempurnaan ini berada di atas semua sebab yang lain, di mana cinta
dirasakan dengan kesempurnaan atau kesenangan terjadi padanya. Perasaan suka
yang Dia peroleh darinya lebih besar daripada perasaan suka yang diperoleh
seseorang dari kesempurnaan. Bahkan, perasaan suka-Nya tidak akan bisa diperbandingkan dengan kesukaan
yang lain.
Kata-kata seperti ‘senang’, ‘gembira ‘dan ‘bahagia ‘terlalu
kasar untuk menyatakan perasaan suka dan senang-Nya. Tetapi, memang tidak ada
kata yang paling pantas yang bisa kita pergunakan untuk makna dan konsep yang
terkait dengan Tuhan. Karena itu, kita mesti menjauhkan diri dari menggunakan
metafor, sebagaimana secara metaforis kita mempergunakan kata- kata murid
(yang berkehendak), mukhtar (yang berkehendak bebas) dan fa’il (pelaku) untuk
Allah, sehingga tanpa alasan memotong pendek jarak antara kehendak, kekuasaan,
dan pengetahuan-Nya dengan kehendak, kekuasaan dan pengetahuan kita.
Karenanya, barangkali kata ‘kesenangan ‘(lazzaz) tidak harus kita pergunakan,
tetapi kita pergunakan kata lain sebagai gantinya. Tapi yang dimaksud di sini
adalah untuk menunjukkan bahwa keadaan Tuhan lebih mulia—karenanya jauh lebih
menyenangkan—daripada keadaan para malaikat, dan keadaan para malaikat lebih
mulia daripada kita. Apabila hanya kepuasan nafsu fisik dan seksual yang
merupakan bagian kesenangan, maka keadaan seekor keledai atau seekor babi akan
lebih mulia daripada keadaan para malaikat. Karena para malaikat—yaitu,
Prinsip- Prinsip wujud yang dasar dari materi—tidak punya kesenangan lain
kecuali kesenangan merasakan kesempurnaan dan keindahan yang secara khusus
dimilikinya dan yang tidak dapat lenyap.
Segala yang dimiliki Prinsip
Pertama berada di atas segala yang dimiliki para malaikat. Karena eksistensi
para malaikat, yang merupakan akal-akal murni, adalah mungkin pada dirinya
sendiri dan harus tergantung pada sesuatu yang lain daripada dirinya.
Kemungkinan ketiadaan adalah satu bentuk keburukan atau ketidaksempurnaan. Tak satu
pun kecuali Prinsip Pertama yang secara mutlak bebas dari semua keburukan. Dia
satu- satu-Nya adalah kebijak sanaan murni dan Dia satu-satu-Nya adalah
keindahan dan keagungan yang paripurna. Kemudian Dia adalah yang dicinta,
tanpa memperhatikan apakah seorang yang mencintai-Nya atau tidak. Semua
pengertian ini tercakup ke dalam esensi-Nya dan termasuk ke dalam kesadaran
diri- Nya serta pengetahuan diri-Nya. Karena pengetahuan diri- Nya identik
dengan esensi-Nya. Dia adalah akal murni. Maka seluruh nama—yang telah kita
berikan kepada-Nya—berarti satu dan sama.
Begitulah cara untuk memahami
ajaran mereka. Kini, hal- hal ini dapat dibagi ke dalam:
1.
Segala yang boleh diyakini. Kami jelaskan bahwa hal ini tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar para filsuf.
2. Segala
yang tak dapat diyakini. Mengenai hal ini kami akan mengkritik para filsuf.
Selanjutnya
kami akan kembali kepada kelima kategori pluralitas. Dengan mengkritik
sanggahan para filsuf terhadap setiap kategori—sebagaimana yang dilakukan pada
Tuhan—kami akan menunjukkan bagaimana mereka gagal untuk membangun
argumen-argumen rasional dalam mengukuhkan pendapat mereka. Karena itu, mari
kita kemukakan masing-masing kategori secara menyeluruh.[]