Kitab Metode Amtsilati Cara Mudah Membaca Kitab Kuning
Nama kitab/buku: Kitab Amtsilati
Judul lengkap: Kitab Amtsilati: Metode Praktis Mendalami al-Quran dan Membaca Kitab Kuning
Penulis: H. Taufiqul Hakim
Nama lengkap: H. Taufiqul "Gus Taufiq" Hakim ( توفيق الحكيم )
Lahir, : 14 Juni 1975 di desa Sidorejo kecamatan Bangsri kabupaten Jepara Jawa Tengah
Wafat:
Bahasa pengantar asal: Bahasa Indonesia (Indonesian, اللغة الإندونيسية)
Bidang studi:Ilmu Nahwu dan Sharaf / Shorof (Gramatika Bahasa Arab)
Daftar isi
- Biografi Pengarang Amtsilati
- Profil Kitab Amsilati
- Footnote
- Download Kitab Amtsilati (pdf)
- Kitab Nahwu (Gramatika Bahasa Arab)
- Terjemah Matan Ajurumiyah
- Terjemah Matan Imrithi
- Terjemah Alfiyah ibnu Malik
- Terjemah Nahwu Wadhih Juz 1
- Terjemah Nahwu Wadhih Juz 2
- Al-Ajurumiyah English Translation of Arabic Grammar
- Kitab Sharaf / Shorof yang lain:
- Terjemah Qowaidul I’lal
- Terjemah Nazham Maqsud
- Terjemah Amtsilah Tashrifiyah
- Terjemah Matan Kailani / Tashrif Izzi
- Terjemah Alfiyah ibnu Malik
- Kitab Ilmu Balaghah/Sastra Arab (Ma'ani, Bayan, Badi'):
- Kitab Terjemah Terbaru
Biografi KH Taufiqul Hakim, Pengarang Metode Amtsilati
H. Taufiqul Hakim atau yang lebih dikenal dengan Gus Taufiq lahir pada tanggal 14 Juni 1975 di desa Sidorejo kecamatan Bangsri kabupaten Jepara yang masih termasuk wilayah Jawa Tengah. Bapaknya bernama Supar dan Ibunya bernama Hj. Aminah, keduanya adalah seorang petani yang mempunyai ghirah keagamaan yang sangat tinggi sehingga sangat memperhatikan pendidikan agama kepada anak-anaknya termasuk kepada Gus Taufiq.5
Perhatian yang besar dari kedua orangtuanya tersebut dapat dilihat ketika Gus Taufiq selesai menamatkan sekolah TK (tahun 1981), dilanjutkan ke SD (1987), kemudian ke MTs Wahid Hasyim Bangsri (1990), ia diarahkan untuk melanjutkan pendidikannya sambil nyantri di pondok pesantren Maslakul Huda Kajen, Margoyoso, Pati. Di samping ia nyantri di PP. Maslakul Huda, ia juga bersekolah di Diniyah Wustha Mathali’ul Falah (Perguruan Islam Mathali’ul Falah / PIM) selama dua tahun (1992). Kemudian ia meneruskan pendidikannya ke Madrasah Aliyah (MA) PIM selama tiga tahun (1995) di bawah asuhan K.H. Sahal Mahfudh dan K.H. Abdullah Salam.
Gus Taufiq merasa betapa berat dan sulitnya membaca kitab kuning (kitab yang berbahasa Arab tanpa tanda baca) selama belajar di pesantren. Hal ini berangkat dari background pendidikannya, yakni TK, SD, MTs, yang notabene memiliki kurikulum pendidikan agama yang sangat minim. Belum lagi ditambah dengan persyaratan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan merupakan harga mati yaitu harus hapal Alfiyah secara keseluruhan.6 Akhirnya dengan sekuat tenaga ia menghapalkannya walaupun belum tahu untuk apa Alfiyah dihapalkan, yang penting mantap dan yakin.
Setelah Gus Taufiq memasuki jenjang sekolah MA dan duduk di kelas dua, saat itulah, ia baru sadar dan sedikit demi sedikit mengetahui bahwa Alfiyah adalah pedoman dasar untuk membaca kitab. Kesadaran itu muncul ketika para guru sering menanyakan dasar atau dalil Alfiyah ketika sedang mengajar kitab dan akhirnya membangkitkan motivasinya (ghirah) untuk mendalami kembali Alfiyah. Selanjutnya, ia dapat menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua nadham Alfiyah yang dihapalkan itu digunakan dalam praktik membaca kitab, seperti bab tentang Imalah. Ia berpendapat bahwa cukup dengan nadham 100 sampai 200 bait saja yang sangat penting, yang menduduki skala prioritas, sedangkan yang lainnya hanyalah sebagai penyempurna.
Setelah selesai dari pesantren, Gus Taufiq mulai mengaplikasikan ilmunya dengan mengajar beberapa anak di desanya dengan menggunakan sistem tradisional. Sampai akhirnya ia mengetahui ada sistem belajar cepat baca al-Qur’an yaitu “Qira’ati” yang muncul dari Semarang. Terdorong metode tersebut yang merupakan cara cepat membaca aksara Arab yang ada harakatnya, ia berinisiatif membuat satu metode cara cepat membaca aksara Arab yang tidak ada harakatnya. Hal ini didasari satu realitas bahwa orang yang mendengar ilmu nahwu akan menjadi pening. Sementara, orang yang mendengar ilmu sharaf akan menjadi tegang sarafnya. Akhirnya terbersitlah nama “Amtsilati” yang berarti beberapa contoh dari “saya” sesuai dengan akhiran “ti” untuk dijadikan nama bagi metodenya. Perenungan dan penulisan Amtsilati dimulai tanggal 27 Rajab tahun 2001, dan selesai tanggal 27 Ramadhan 2001 dalam bentuk tulisan tangan yang kemudian diketik komputer serta dicetak dalam bentuk buku sejumlah 5 jilid Amtsilati.
Untuk menambah kekhusukan dan kemantapan hati, Gus Taufiq juga mondok di PP
al-Manshur Popongan Klaten di bawah asuhan K.H. Salman Dahlawi selama 100 hari
untuk berguru thariqah an- Naqsyabandiyah. Setelah selesai ia pun kembali lagi
ke desanya menjadi pengasuh pondok pesantren “Darul Falah” Sidorejo, Bangsri,
Jepara sekaligus menjadi Mursyid Thariqah an-Naqsyabandiyah sampai saat
ini.
Profil Kitab Amsilati, Metode Praktis Membaca Kitab Kuning
Metode Amtsilati: Sebuah Tawaran
Gagasan munculnya Amtsilati -sebagaimana
diketahui dalam biografi Gus Taufiq- adalah keresahannya tentang betapa
sulitnya membaca18 kitab kuning, kitab dengan tulisan Arab yang tidak
berharakat (kitab gundul). Hal ini dikarenakan apabila seseorang ingin dapat
membaca kitab kuning, maka minimal ia harus hapal 1000 bait nadham Alfiyah
yang ditempuh dengan waktu minimal 1 tahun bahkan sampai 2 atau 3 tahun.
Setelah hapal Alfiyah pun seseorang tidak serta-merta dapat membaca kitab
kuning karena yang dihapalkan barulah rumus-rumus sehingga ia harus belajar
mengaplikasikan rumus-rumus tersebut dalam kitab-kitab kuning yang ada. Gus
Taufiq mengatakan bahwa banyak orang yang hapal Alfiyah, tetapi tidak tahu
untuk apa Alfiyah tersebut dihapalkan.19
Di samping itu, dalam kitab-kitab nahwu yang ada selama ini di pesantren, menurut Gus Taufiq pembahasannya kurang terfokus pada materi-materi yang seharusnya menjadi skala prioritas bagi tingkat pemula baik pemula kanak-kanak maupun pemula dewasa.20 Sebagai contoh pembahasan tentang “kalam”. Setelah menjelaskan bahwa kalam adalah lafadz yang tersusun yang berfaidah, kemudian menjumpai kata “lafadh”, pembahasan langsung beralih pada topik lafadz yang didefinisikan sebagai suara yang mengandung huruf hijaiyah. Pembahasan selanjutnya bukan terkait tentang detail penjelasan makna lafadz, tetapi langsung beralih lagi pada pembahasan topik-topik lain. Model pembahasan yang tidak fokus dan bertele-tele seperti ini, menyulitkan seorang pemula yang sedang belajar membaca kitab kuning karena hilangnya keutuhan pemahaman dan perhatiannya. Akibatnya, keinginan untuk dapat membaca kitab kuning mungkin dapat tercapai, tetapi dalam waktu yang lama atau bahkan tidak dapat tercapai karena banyaknya persoalan yang mengikutinya seperti ungkapan pepatah Jawa yang mengatakan “nguber buceng kelangan deleg” (mengejar hal-hal kecil kehilangan tujuan yang besar).21
Berbagai problem tersebut membawa Gus Taufiq pada satu sikap untuk membuat skala prioritas, materi mana yang diperlukan dan yang tidak bagi tingkat pemula untuk dapat membaca kitab kuning. Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa hanya sekitar 100 sampai 200 bait nadham saja dari 1000 bait dalam Alfiyah yang dipilih sebagai materi pembelajaran yang masuk dalam skala prioritas, dan sisanya merupakan sarana penyempurna untuk mengembangkan lebih luas. Gus Taufiq juga membuat target waktu minimal yang dapat ditempuh seorang pemula untuk dapat membaca kitab kuning, yaitu 3 bulan sampai 6 bulan. Sementara waktu yang biasanya ditempuh di pesantren-pesantren pada umumnya dengan metode yang lama adalah 2 sampai 3 tahun.
Skala prioritas baik materi maupun waktu yang telah ditentukan oleh Gus Taufiq memberikan pengaruh pada penyusunan kitab Amtsilati.22 Ia membagi dalam 5 jilid, jilid 1-3 merupakan pembahasan tentang isim, jilid 4-5 adalah pembahasan tentang fi’il, kemudian kelima jilid tersebut diramu dengan praktik Tatimmah. Masing-masing jilid diusahakan bisa diselesaikan dalam waktu 10 hari, dengan rincian sehari 3-4 kali pertemuan. Masing-masing 45 menit, 10 menit pertama mengulangi rumus qaidah pelajaran yang telah diberikan sebelumnya, 25 menit penambahan materi, 10 menit terakhir menghapalkan rumus qaidah dari pelajaran yang baru diajarkan, kemudian bisa mengikuti tes tulis dan lisan. Nilai kelulusan siswa (santri) adalah 9 koma, apabila kurang dari 9 koma, maka siswa (santri) harus mengulang lagi pada jilid tersebut.
Amtsilati jilid 1 terdiri dari empat bab. Bab I tentang huruf Jar, bab II
tentang Dlamir (Kata Ganti), bab III tentang Isim Isyarah (kata penunjuk) dan
bab IV tentang Isim Maushul (kata penghubung).
Amtsilati Jilid II terdiri
dari lima bab. Bab I tentang ‘Alamat Isim (tanda-tanda isim), bab 2 tentang
anwa’ al-Ism (macam-macam isim), bab III tentang Auzan ism al-fa’il
(wazan-wazan isim fa’il), bab IV tentang Auzan Ism al-Maf’ul (wazan-wazan isim
maf’ul), dan bab V tentang Auzan al-Mashdar (wazan-wazan mashdar).
Amtsilati jilid 3 terdiri dari VI bab. Bab I tentang Mubtada, bab II tentang al-Nawasikh (yang mempengaruhi mubtada), bab III tentang Isim Ghairu Munsharif (isim tanpa tanwin), bab IV tentang isim al-Musytaq (isim yang dibentuk dari kata lain), bab V tentang isim mu’tal (isim cacat) dan bab VI tentang al-Tawabi’ (isim yang mengikuti I’rab sebelumnya (na’at / sifat, taukid, athaf dan badal / pengganti).
Amtsilati jilid 4 terdiri dari IV bab. Bab I tentang Fi’il Madli (kata kerja lampau), bab II tentang al- fa’il (pelaku), bab III tentang Auzan al-Madli al-Mazin (wazan-wazan fi’il madli yang tambahan) dan bab IV adalah tentang Pelengkap Kalimat.
Amtsilati jilid 5 terdiri dari VI bab. Bab I tentang Fi’il Mudlari’ (kata kerja yang menunjukkan masa sekarang atau masa yang akan datang), bab II tentang Auzan al-Mudlari’ al-Mazid (wazan-wazan mudlari mazid), bab III tentang ‘Awamil al-Nawashib (yang menasabkan mudlari’), bab IV tentang ‘Awamil al-Jawazim (yang menjazamkan mudlari’), bab V tentang fi’il amar (kata perintah) dan bab VI tentang Muhimmat (kaidah-kaidah penting).
Kitab Amtsilati didukung dengan kitab Khulashah al-Fiyah Ibn Malik23 sebagai
pijakan kaidah yang berisikan 183 bait nadham ringkasan dari Alfiyah. Dalam
kitab tersebut masing-masing bait nadham disajikan dalam bentuk nadham yang
diberi makna dengan aksara pegon (Arab melayu), terjemah bahasa Jawa serta
terjemah bahasa Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman
bagi santri pemula, khususnya mereka yang belum memahami bahasa Jawa (berasal
dari luar Jawa). Contohnya sebagai berikut.
Kabeh huruf iku hukume
mabni Sukun dadi tondo asline mabni (Dan semua huruf hukumnya mabni Sukun jadi
tanda aslinya mabni)
Kitab yang lain sebagai pendamping sekaligus
pendukung Amtsilati adalah Qaidati (Rumus dan Kaidah)24 dan Sharfiyah (Metode
Praktis Memahami Sharaf dan I’lal). Qaidati adalah intisari Amtsilati dari juz
satu sampai juz lima dan dilengkapi petunjuk nadhaman yang ada pada kitab
Khulashati. Kitab ini bertujuan agar para siswa (santri) itu lebih mudah untuk
mengingat seluruh materi Amtsilati yang ada dalam 5 jilid itu tanpa harus
membuka kembali satu per satu kitabnya. Sharfiyyah digunakan sebagai
pendamping Amtsilati mulai juz 4, yang dijadikan sebagai tabel apabila siswa
(santri) menemui kata yang sulit dengan jalan meng-qiyas-kan kata-kata
sejenis. Target utama kitab ini adalah mengetahui perubahan kata, baik lughawi
maupun ishtilahi. Lughawi untuk mengetahui jumlah dan jenis pelakunya,
sedangkan ishtilahi untuk mengetahui bentuk-bentuk lain yang sering
digunakan.25
Kitab terakhir dari rangkaian belajar Amtsilati adalah kitab Tatimmah / Muhimmah (Perumusan / penerapan rumus).26 Kitab Tatimmah / Muhimmah ini terdiri dari dua jilid dan ia merupakan kitab yang penting karena berisi tentang bagaimana menerapkan rumus-rumus yang telah dipelajari dalam Amtsilati itu pada setiap kata yang dijumpai.
Secara garis besar dapat dijelaskan beberapa perbedaan kitab Amtsilati dengan kitab nahwu lainnya, adalah sebagai berikut.
1. Kitab Amtsilati:
- Ada
skala prioritas materi bagi tingkatan pelajar pemula;
-
Penyajian materi dimulai dari huruf-huruf sehingga akan mempermudah orang yang
baru belajar;
- Contoh-contoh yang diberikan bervariasi
dan merupakan ayat-ayat al-Qur’an;
- Adanya pengulangan
(tikrar) dalam memberikan contoh untuk satu masalah;
-
Contoh yang diberikan bermula dari berharakat kemudian sedikit demi sedikit
kata (kalimat) yang pernah dijumpai dihilangkan harakatnya dan pada akhirnya
hanya satu dua kata yang berharakat;
- Sedikit teori
tetapi banyak praktik sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi (kemampuan)
dan kompetisi (perlombaan);
- Setiap selesai satu
pembahasan, ada latihan memberi makna sebagai evaluasi materi sekaligus
latihan mengartikan kalimat berbahasa Arab.
2. Kitab-kitab Nahwu lain:
-
Materi terlalu luas bagi tingkatan pelajar pemula;
-
Penyajian materi dimulai dari kalam (seperti dalam kitab al-Jurumiyah) yang
dibahas secara rinci sehingga pemula akan merasa pening untuk
mempelajarinya;27
- Contoh yang diberikan kurang
variatif. Kitab nahwu yang satu dengan kitab nahwu yang lain contohnya relatif
sama, seperti: ;
- Banyak teori sedikit praktik;
-
Tidak ada evaluasi (latihan untuk membaca dan menerjemah).
Berbagai
perbedaan antara kitab nahwu Amtsilati dengan kitab-kitab nahwu salafi yang
lain tersebut, bukan berarti kitab-kitab nahwu salafi itu tidak baik untuk
dipelajari ataupun ketinggalan jaman. Akan tetapi, kitab-kitab tersebut
materinya terlalu luas bagi pebelajar pemula. Dengan demikian, kitab-kitab
salafi tersebut dapat berfungsi sebagai kitab penyempurna pengetahuan apabila
sudah mengetahui dasar-dasarnya. Secara operasional, langkah-langkah
pelaksanaan metode Amtsilati dalam kitab Amtsilati, adalah sebagai berikut.
-
Guru membacakan topik yang akan dibahas, kemudian diikuti oleh semua siswa
(santri);
- Guru membacakan subtopik yang akan dibahas
serta memberikan keterangan secukupnya termasuk arti dari subtopik yang
dimaksud (kalau ada). Pemberian keterangan tentang titik-titik dan ayat yang
tidak berharakat hendaklah diisi dengan lisan, tidak dengan tulisan;
-
Siswa (santri) membaca contoh yang ada sebanyak 2 kali (bacaan yang pertama
lengkap tanpa waqaf sesuai bacaan nahwu, bacaan yang kedua diwaqafkan sesuai
tajwid);
- Siswa (santri) mengulangi keterangan yang
ada di bawahnya dan membaca dasar bait (nadzam) nya dengan melihat pada kitab
Khulashati;
- Baca ayat (contoh) dengan urut ke bawah
dan setiap selesai baca ayat (contoh), kata-kata yang bergaris bawah langsung
dibaca sesuai dengan petunjuk yang ada (pengulangan keterangan dilakukan);
-
Setelah selesai membaca semua contoh, maka dilanjutkan dengan latihan memberi
makna;
- Di akhir pertemuan, pembacaan dan penghapalan
rumus serta kaidah sesuai dengan materi pertemuan (begitu juga di awal
pertemuan berikutnya pembacaan rumus dan kaidah materi pada pertemuan yang
sebelumnya).
Di bawah ini contoh pembelajaran Nahwu-Sharaf dengan metode Amtsilati yang
diambil dari buku Amtsilati jilid 1, dengan harapan dapat diaplikasikan pada
pembelajaran Nahwu yang lain sehingga target dapat membaca buku-buku berbahasa
Arab (termasuk kitab kuning) dapat tercapai.
Keterangan
-
Topik pembahasan () dibaca oleh pengajar secara keseluruhan kemudian diikuti
oleh siswa (santri) dengan suara yang keras, dilanjutkan dengan pembacaan
subtopik pembahasan () oleh pengajar.
- No. 1 dibaca
oleh pengajar dengan keterangan secukupnya, termasuk menerangkan maksud no.
2.
-
No. 3 dibaca oleh siswa (santri), masing-masing kalimat dibaca sebanyak 2 kali
(bacaan yang pertama lengkap tanpa waqaf sesuai dengan nahwu, bacaan yang
kedua dibaca dengan waqaf sesuai tajwid). Untuk huruf ( ) tidak diberi
harakat.
- No. 4 adalah keterangan yang harus
dibaca oleh siswa (santri) secara berulang-ulang ketika menjumpai huruf
dimaksud () dengan mengacu dasarnya pada kitab Khulashati (Fi Khulashah
Alfiyah Ibn Malik).
- No. 5 adalah keterangan yang
harus dibaca oleh pengajar kemudian diikuti secara bersama-sama oleh siswa
(santri) yang merupakan penekanan perhatian dari bacaan No. 3.
-
No. 6 adalah keterangan.
- No. 7 dan 8 adalah latihan
memberi makna oleh para siswa (santri).
- No. 9 adalah
keterangan cara baca no. 8.
- No. 10 adalah keterangan
tentang min () apabila bertemu dengan huruf lain.
Dari contoh pengajaran/pembelajaran Nahwu-Sharaf dengan metode Amtsilati tersebut dapat diketahui bahwa peran (keaktifan) siswa (santri) dalam proses pembelajaran itu sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, di mana siswa (santri) diharapkan aktif dalam proses pembelajaran. Pemberian contoh yang variatif untuk satu subtopik pembahasan dengan diikuti pembacaan dasar kaidahnya secara berulang-ulang itu membawa siswa (santri) ke arah yang familiar tentang hal tersebut dengan mudah. Demikian pula penghilangan atau tidak ditampilkannya harakat sebuah huruf (kalimat) sedikit demi sedikit akan mengantarkan siswa (santri) untuk dapat membaca kalimat dengan berbahasa Arab yang tidak berharakat.
Footnote
5 H. Taufiqul Hakim, Tawaran Rekonstruksi Sistem Pendidikan Nasional (Jepara:
al-Falah Offset, 2004), hal. 1-10.
6 Kitab al-Fiyah ini merupakan kitab
nahwu karangan Imam Ibnu Malik yang berarti 1000 bait nadham.
7 Ulih
Bukit Karo-Karo, dkk., Metodologi Pengajaran Suatu Pengantar (Salatiga: CV.
Saudara, 1982), hal. 4. 8 Roestiyah N.K., Masalah Pengajaran sebagai Suatu
Sistem (Jakarta: PT. Bina Aksara 1986), hal. 41-43. 9 Ibid.
10 Nana
Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar-mengajar (Bandung: CV. Sinar Baru, 1989),
hal. 28.
11 Winarno Surakhmad, Metodologi, Ibid.
12 A. Akrom
Malibari, Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah Aliyah (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), hal. 19-20.
13 Mamduh Nuruddin “Abdu Rabbin Nabi, Tariqatu Ta’lim
al-lughah al-‘Arabiyah fi al-Muassasat al-Rasmiyyah wa ghaeru Rasmiyyah
(Makalah yang diajukan oleh Panitia Musyawarah Nasional Bagi Bahasa Arab, UGM
Yogyakarta, tanggal 15-16 Oktober 1988), hal. 5.
14 H. Mukhtar Yahya,
Fann at-Tarbiyyah, Jilid 2 (Yogyakarta: Sumbangsih Offset, tt.), hal. 44.
15
H. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Bahasa Arab (Bahasa al-Qur’an) (Jakarta: PT.
Hindakarya Agung, 1983), hal. 82-
83.
16 Abdul Muhsin Aba Nami dan
Mani’ al-Mani’, Mudzakirah fi Turuq Tadris al-lughah Ligairi al-Natiqin Biha
(Jakarta:
Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyyah, Lembaga
Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia, 1404H), hal. 56-57.
17 Ibid., hal.
61.
18 Membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa
yang terdiri dari kemahiran menyimak (), kemahiran berbicara (), kemahiran
menulis () dan kemahiran membaca (). Lihat dalam Depag RI., Kurikulum Madrasah
Aliyah (Jakarta: 1993), hal. 1.
19 H. Taufiqul Hakim, Tawaran.
20
Dewasa yang dimaksud adalah mereka yang sudah berjengot ataupun sudah tua yang
belum bisa membaca kitab kuning. Di sini Amtsilati berusaha untuk
menghilangkan jenggot yang ada dalam kitab sedikit demi sedikit.
21 H.
Taufiqul Hakim, Tawaran, hal. 41.
22 Amtsilati di samping sebagai nama
bagi metode Gus Taufiq juga sebagai nama bagi kitab yang telah ia susun.
23
H. Taufiqul Hakim, Pedoman Praktis Belajar Kitab Kuning, Fi Khulashah Alfiyah
Ibn Malik (Jepara: al-Falah Offset, 2003). Kitab ini merupakan kitab yang
harus dibawa ke manapun santri pergi karena sebagai pengingat (sumber) ketika
lupa tentang dasar kaidah suatu masalah yang dijumpai. Oleh karena itu, kitab
ini didesain kecil persis seperti buku saku agar mudah dibawa ke manapun.
24
H. Taufiqul Hakim, Qoidati, Program Pemula Membaca Kitab Kuning (Jepara:
al-Falah Offset, 2004).
25 H. Taufiqul Hakim, Sharfiyyah, Metode Praktis
Memahami Sharaf dan I’lal (Jepara: al-Falah Offset, 2004).
26 H. Taufiqul
Hakim, Muhimmah (Perumusan) (Jepara: al-Falah Offset, 2004).
27 Hal ini
ibarat anak yang baru bisa belajar bicara maka berikanlah kata-kata yang
simpel dan mudah jangan diberikan pengertian bicara adalah…… makan adalah…..
dan lain-lain.
Biografi pengarang dan profil kitab dinukil dari karya M. Misbah dalam jurnal INSANIA (Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006) berjudul Taufiqul Hakim “Amtsilati” dan Pengajaran Nahwu-sharaf
Download Kitab Amtsilati