Pandangan Filsafat tentang Sifat-sifat Tuhan
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Keenam: Sanggahan Atas Pandangan Para Filsuf Tentang Negasi Sifat-Sifat Tuhan
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KEENAM: Sanggahan Atas Pandangan Para Filsuf Tentang Negasi
Sifat-Sifat Tuhan
Sejalan dengan penganut aliran Muktazilah, para filsuf
memustahilkan afirmasi pengetahuan (‘ilm), kekuasaan
(qudrah), dan kehendak (iradah) bagi Prinsip Pertama, sebagai sifat. Mereka
mengatakan bahwa nama-nama itu telah dipergunakan oleh Syara’, dan aplikasinya
secara etimologis diperbolehkan. Namun demikian, semua nama itu menunjuk pada
hal yang sama, yaitu satu esensi (zat),--sebagaimana telah dikemukakan di
atas. Tak benar mengafirmasi sifat-sifat untuk Tuhan, karena hal itu akan
menjadi “tambahan” pada esensi- Nya, sebagaimana pengetahuan dan kekuasaan
kita merupakan suatu sifat tambahan pada esensi kita. Mereka juga mengatakan
bahwa sifat-sifat
tersebut menuntut
terjadinya pluralitas (kasirah). Karena apabila sifat-sifat
tersebut ada pada kita, tentu kita tahu bahwa sifat-sifat itu adalah tambahan
pada esensi kita. Sebab sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang baru dan muncul
belakangan. Karenanya, apabila sifat-sifat itu diandaikan sesuai dengan—dan
tak mengikut pada—wujud kita, koeksistensi sifat- sifat itu tetap takkan
mengubah karakter eksistensinya sebagai tambahan pada esensi. Setiap dua hal,
apabila yang satu datang pada yang lain, dan apabila diketahui bahwa ini (yang
datang) bukanlah itu (esensi yang didatangi), maka—tanpa menegakkan
koeksistensi kedua-duanya—adanya kedua hal itu sebagai dua hal yang berbeda
akan tetap merupakan suatu fakta yang masuk akal. Sifat-sifat tersebut tetap
tidak bisa melepaskan diri—misalnya ia merupakan sifat yang berkoeksistensi
(sifah muqarinah) dengan zat Tuhan—dari keberadaannya sebagai sesuatu yang
lain dari esensi Tuhan. Karena itu, hal itu akan menuntut lahirnya pluralitas
terhadap wajib al-wujud. Tetapi pluralitas itu adalah sesuatu yang mustahil.
Karenanya, para filsuf sepakat meniadakan sifat-sifat.
***
Maka
harus dikatakan kepada mereka:
Bagaimana Anda mengetahui bahwa pluralitas
semacam ini mustahil? Anda telah menentang seluruh umat Muslim, kecuali
Muktazilah. Apa argumen Anda untuk membuktikan bahwa oposisi ini benar?
Sebenarnya, pernyataan orang—bahwa pluralitas adalah sesuatu yang mustahil
pada wajib al-wujud bersamaan dengan adanya esensi yang disifati adalah
tunggal— berakar pada kemustahilan pluralitas sifat-sifat. Di sini terdapat
kontroversi, sementara kemustahilan itu tidak bisa diketahui secara daruri.
Karena itu memerlukan bukti dan argumentasi. Para flisuf membuktikan masalah
ini melalui dua cara.
Pertama, mereka mengatakan:
Berikut
ini sebuah argumen untuk membuktikan pendapat kami. Jika masing dari sifat dan
yang disifati bukan satu hal, yakni esensi sifat bukan esensi yang disifati
dan sebaliknya, maka terdapat tiga alternatif: (a) masing-masing dari keduanya
tidak bergantung pada yang lain (tidak saling membutuhkan), atau (b) masing-
masing membutuhkan yang lainnya (saling membutuhkan), atau
(c) yang satu
akan bergantung pada yang lain, sedangkan yang lainnya tidak (keter gantungan
sebelah pihak). Apabila masing- masing terandaikan tidak saling tergantung,
kedua-duanya akan merupakan sesuatu yang niscaya-ada (wajib al-wujud). Hal ini
merupakan dualitas absolut (attasniyah al-mutlaqah), dan ini mustahil.
Tetapi
apabila masing-masing keduanya membutuhkan yang lain (saling membutuhkan), ia
tidak akan menjadi wajib al-wujud. Sebab wajib al-wujud berarti bahwa suatu
wujud ada dengan sendirinya, tidak bergantung pada wujud-wujud yang lain. Maka
segala yang membutuhkan wujud yang lain berarti wujud yang lain menjadi sebab
keberadaannya. Karena jika yang terakhir ini (sebab) tidak ada, eksistensinya
sendiri akan mustahil. Artinya, eksistensinya tidak berasal dari dirinya
sendiri, tetapi dari wujud yang lain.
Jika dikatakan: apabila hanya satu
di antara keduanya yang tergantung pada yang lain, maka yang bergantung itu
akan merupakan suatu wujud yang disebabkan, dan yang lainnya merupakan wajib
al-wujud. Seperti wujud yang disebabkan, wujud yang eksistensinya tergantung
pada yang lain itu akan mempunyai suatu sebab eksternal. Dan ini akan mengarah
pada kesimpulan bahwa suatu wujud yang bergantung terhubungkan dengan suatu
wujud yang niscaya adanya (wajib al-wujud), karena suatu sebab eksternal.
Sanggahan atas pendapat itu sebagai berikut:
Dari ketiga alternatif ini,
yang terakhir harus dipilih. Tetapi sehubungan dengan alternatif yang
pertama—yaitu dualitas absolut—kami telah menunjukkan (dalam persoalan
sebelumnya) bahwa sanggahan Anda terhadapnya tidak didukung oleh suatu argumen
yang memadai. Karena sanggahan terhadap masalah tersebut hanya dapat
didasarkan atas peniadaan pluralitas, yaitu subyek dari masalah ini dan yang
selanjutnya. Maka segala yang merupakan cabang dari masalah ini tidak dapat
menjadi dasar bagi masalah ini. Bagaimana masalah ini didasarkan pada
persoalan cabangnya?
Namun, alternatif yang akan dipilih di sini ialah
bahwa pada keadaannya jasmaninya esensi tidak butuh terhadap sifat-sifat,
padahal sifat-sifat Tuhan—sebagaimana pada diri kita—butuh pada subyek
sifat-sifat itu (al-mausuf).
Maka mereka hanya harus
mengatakan:
Sesuatu yang tergantung ada membutuhkan kepada yang lain
tidak dapat menjadi wajib al-wujud.
Atas pandangan ini,
jawabannya adalah:
Apabila wajib al-wujud yang Anda maksudkan adalah
suatu wujud yang tidak mempunyai sebab efisien (‘illah fa’ilah), lalu mengapa
Anda berpendapat demikian? Mengapa tidak mungkin untuk mengatakan
bahwa—sebagaimana esensi wajib al-wujud kekal dan tak bergantung pada suatu
sebab efisien— demikian pula sifat-sifat-Nya kekal dan tak bergantung pada
sebab efisien? Apabila dengan wajib al-wujud Anda maksudkan wujud yang tanpa
sebab reseptif (‘illah qabiliyyah), maka sifat- sifat itu bukanlah wajib
al-wujud menurut pengertian ini. Tetapi, sifat-sifat itu adalah kekal (kekal)
dan tidak mempunyai sebab yang efisien. Kontradiksi apa yang terkandung dalam
pandangan ini?
Apabila dikatakan:
Sebuah wajib al-wujud
secara mutlak tidak mempunyai sebab efisien dan reseptif. Apabila Anda
menerima bahwa sifat- sifat mempunyai suatu sebab reseptif, Anda menerima
bahwa sifat-sifat itu adalah “hal-hal yang disebabkan” atau “sesuatu yang
bersebab” (ma’lul).
Kami akan menjawab:
Menyebut esensi
yang menerima sifat-sifat sebagai “sebab reseptif” (‘illah qabiliyyah) adalah
terminologi Anda. Argumen- argumen rasional tidak membuktikan eksistensi wajib
al-wujud yang—kepadanya—istilah-istilah Anda ini diaplikasikan. Apa yang
dibuktikan hanyalah bahwa harus ada sebuah batas; tempat rangkaian sebab dan
akibat berakhir, tak lebih dari itu. Dan rangkaian sebab dan akibat dapat
diakhiri dengan Satu Wujud yang mempunyai sifat kekal serta yang sifat-sifat
dan esensinya sama-sama bebas dari sebab efisien. Meskipun kekal,
sifat-sifat-Nya berada dalam esensi-Nya. Biarlah kata wajib al- wujud dibuang,
karena ia barangkali menimbulkan kerancuan. Argumen-argumen rasional hanya
membuktikan bahwa suatu rangkaian sebab akibat harus memiliki batas akhir.
Lebih dari itu, tiada yang dapat dibuktikan. Karenanya, klaim terhadap sesuatu
yang lebih dari ini merupakan suatu klaim tiranik.
Apabila
dikatakan:
Sebagaimana rangkaian sebab-sebab efisien harus terputus
(berakhir), maka rangkaian sebab-sebab reseptif juga harus terputus. Karena
apabila setiap wujud membutuhkan suatu substratum (mahall) tempat ia berada,
dan apabila substratum itu sendiri membutuhkan substratum yang lain, suatu
kemunduran tak terbatas akan terjadi—sebagaimana kalau setiap maujud
membutuhkan suatu sebab efisien, dan sebab itu sendiri membutuhkan sebab yang
lain.
Kami akan menjawab:
Anda benar dan kami katakan
bahwa sifat-sifat itu terdapat dalam esensi Tuhan, dan esensi-Nya tidak
bergantung pada sesuatu yang lain. Ini bagaikan pengetahuan kita mengenai
sifat- sifat kita sendiri. Misalnya, substratum pengetahuan kita adalah esensi
kita, tetapi esensi kita sendiri tidak berada pada substratum yang lain. Maka
pada esensi Tuhan, rangkaian sebab-sebab efisien sifat-sifat mencapai titik
akhirnya. Karena, baik esensi maupun sifat-sifat tidak mempunyai suatu sebab
yang efisien. Esensi yang tak tersebabkan serta sifat-sifat yang tersebabkan
tidak pernah berhenti mengada. Adapun rangkaian sebab-sebab reseptif, ia
mencapai akhirnya pada esensi. Ketika tidak ada sebab, dari manakah substratum
harus ditiadakan? Argumen-argumen rasional tidak memaksa seseorang untuk
memercayai sesuatu pun kecuali bahwa rangkaian itu harus berakhir. Setiap cara
yang mungkin untuk memotong rangkaian sebab-akibat (tasalsul), maka itu
merupakan pemenuhan atas tuntutan demonstrasi rasional (burhan) yang mengantar
pada keberadaan wajib al- wujud.
Tapi, yang Anda maksud dengan wajib
al-wujud adalah sesuatu yang lain daripada “suatu yang bebas dari sebab
efisien” dan tempat rangkaian sebab-sebab efisien mencapai akhirnya, kami sama
sekali tidak bisa menerima bahwa wujud tersebut merupakan sesuatu yang
“niscaya” (wajib). Selama akal masih memberi ruang untuk menerima maujud qadim
yang tidak memiliki sebab bagi eksistensinya, maka masih terbuka ruang untuk
menerima “yang qadim” yang bersifat dan eksistensinya tak bersebab, baik dalam
esensi atau sifat-sifatnya sekaligus.
Kedua, mereka
mengatakan:
Pengetahuan atau kekuasaan kita tidak masuk ke dalam kuiditas
(mahiyah) esensi kita. Karena ia hanya sebuah aksiden (‘ard). Karena itu,
apabila sifat-sifat diafirmasi untuk Prinsip Pertama, sifat-sifat itu tak akan
masuk ke dalam kuiditas esensi-Nya (mahiyah zatihi), tetapi tetap hanya
merupakan aksiden (‘ard) yang disuplementasikan kepada esensi-Nya, meskipun
baginya ia abadi. Sering kali suatu aksiden tidak dapat terpisah atau menjadi
sesuatu yang niscaya bagi kuiditas. Tetapi itu tidak membuatnya menjadi suatu
unsur pokok esensi kuiditas. Menjadi suatu aksiden, berarti bahwa ia tidak
bisa dilepaskan dari esensi, yang karenanya, esensi menjadi sebab bagi
aksiden. Ini menjadikan suatu aksiden sebagai “yang disebabkan” atau “akibat”
(ma’lul). Lalu, bagaimana Anda menyebut suatu aksiden (‘arid) sebagai wajib
al-wujud? Ini sama seperti argumen yang pertama dengan sedikit perubahan
redaksi.
Kami akan jawab:
Apabila Anda memaksudkan keberadaan
aksiden sebagai pengikut esensi dan keberadaan esensi sebagai sebab atas
aksiden; artinya bahwa esensi merupkan sebab efisien bagi aksiden dan aksiden
merupakan objek esensi, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Hal itu tidak
merupakan keniscayaan dalam pengetahuan kita, jika dihubungkan dengan esensi
kita. Karena esensi kita bukan sebab efisien bagi pengetahuan kita.
Tetapi
apabila Anda maksudkan bahwa esensi adalah suatu substratum dan bahwa
sifat-sifat tidak dapat berdiri sendiri di luar substratum ini, maka
pengertian itu telah diterima, dan tiada alasan mengapa ia harus disebut
mustahil. Apakah sifat itu disebut pengikut (tabi’), aksiden (‘ard), akibat
(ma’lul), atau apa pun sebutannya yang Anda suka, pengertian itu tidak dapat
diubah. Karena tak ada makna dari kata-kata tersebut selain bahwa ia berdiri
pada esensinya seperti berdirinya sifat pada yang disifati. Mengapa harus
memustahilkan bahwa sifat-sifat itu ada pada esensi, dan tetap kekal dan bebas
dari suatu sebab efisien? Semua argumen yang diajukan para filsuf dimaksudkan
untuk menakut- takuti kita dengan mempergunakan (untuk sifat Tuhan) kata-kata
‘mungkin’ (mumkin), ‘boleh jadi’ (ja’iz), ‘pengikut’ (tabi’), ‘yang niscaya’
(lazim), dan ‘akibat’ (ma’lul) serta mengemukakan bahwa istilah-istilah
tersebut tak menyenangkan. Harus dikatakan kepada mereka: apabila yang
dimaksud adalah bahwa sifat-sifat itu mempunyai sebab efisien, maka arti itu
tak bisa diterima. Tetapi apabila yang dimaksud adalah bahwa sifat-sifat itu
tidak mempunyai sebab efisien, tetapi memiliki substratum, tempat sifat-sifat
itu berada, maka—apa pun kata-kata yang dipilih seseorang untuk mengungkapkan
arti ini—tiada kemustahilan yang terkandung di dalamnya.
Sering
kali para filsuf menakut-nakuti kita dengan mempergunakan kata-kata yang
menjelekkan bentuk lain. Mereka mengatakan:
“lni mengarah pada kesimpulan
bahwa Prinsip Pertama membutuhkan sifat-sifat. Konsekuensinya, Ia tidak akan
menjadi zat yang tidak butuh secara mutlak. Karena zat yang tidak- butuh
secara mutlak, tidak membutuhkan sesuatu yang bersifat eksternal dari
diriNya.”
lni merupakan ungkapan literal yang sangat tidak meyakinkan.
Sifat-sifat kesempurnaan tak dapat dipisahkan dari esensi orang yang sempurna,
sehingga sangat biasa orang mengatakan bahwa “yang sempurna” membutuhkan
sesuatu yang bersifat eksternal darinya. Apabila Allah masih tetap dan masih
akan tetap sempurna karena pengetahuan, kekuasaan, dan hidup- Nya, bagaimana
dapat dikatakan bahwa Dia membutuhkan pada sesuatu yang lain? Bagaimana kata
kesempurnaan bisa disandingkan dengan kebutuhan? Pernyataan para filsuf itu
bagaikan ungkapan seseorang:
“Orang yang sempurna adalah orang yang
membutuhkan kesempurnaan. Makan ‘yang membutuhkan’ terhadap sifat-sifat
kesempurnaan adalah ‘yang tidak sempurna’ secara eksistensial.”
Jawabannya:
yang dimaksud keberadaan sesuatu sebagai
yangsempurnataklainhanyaberartieksistensinyatakesempurnaan bagi esensinya.
Karenanya, demikian pula yang dimaksud dengan adanya Tuhan sebagai yang tidak
membutuhkan, yaitu eksistensi nyata sifatsifat-Nya yang menegasikan segala
bentuk kebutuhan bagi esensinya. Bagaimana para filsuf mengingkari sifat-sifat
kesempurnaan itu yang menyempurnakan sifat ketuhanan melalui imaji-imaji
verbal (altakhayyulat al-lafziyyah)?
Apabila dikatakan:
Apabila Anda menegaskan (a) suatu esensi (zat),
(b) suatu sifat, dan (c) subsistensi (hulul) sifat pada esensi, berarti Anda
mengintrodusir komposisi (tarkib). Dan di mana ada komposisi, di sana harus
ada seorang yang menciptakan komposisi (murakkib). Ini adalah alasan mengapa
kami tidak membolehkan menyebut Prinsip Pertama sebagai suatu tubuh. Sebab
berarti Ia merupakan objek pembentukan komposisi (murakkab).
Kami
akan menjawab:
Mengatakan bahwa semua komposisi membutuhkan zat yang
menciptakan komposisi adalah bagaikan pekataan bahwa setiap wujud membutuhkan
penyebab atau pencipta wujud. Terhadap pernyataan itu kami sanggah sebagai
berikut: Prinsip Pertama adalah suatu wujud yang kekal, tak disebabkan dan
bebas dari penyebab wujud. Karenanya, demikian pula, harus dikatakan bahwa
Prinsip Pertama adalah pemilik sifat-sifat (mausuf), yang kekal, tak bersebab,
dan yang (a) esensi-Nya, (b) sifat-sifat-Nya, dan (c) subsistensi sifatsifat
pada esensi-Nya, semuanya tak bersebab, masing-masing merupakan sesuatu yang
kekal.
Adapun tubuh (jisim), ia tidak bisa menjadi Prinsip Pertama.
Karena ia mempunyai suatu karakter temporal, serta tidak pernah bebas dari
segala bentuk perubahan dan kebaruan. Tetapi orang yang tidak memercayai kata
temporalitas tubuh dituntut—sebagaimana akan kami tunjukkan kemudian— untuk
menerima kemungkinan bahwa sebab yang pertama harus merupakan tubuh.
Jelaslah
kini bahwa semua metode demonstrasi (burhan) yang diserap oleh para filsuf
adalah imajinatif.
Di samping itu, mereka gagal untuk mengembalikan semua
pernyataan positif yang mereka buat mengenai Allah kepada esensiNya. Misalnya,
mereka menegasikan bahwa Dia adalah Yang Mengetahui (‘alim). Tetapi mereka
harus menerima bahwa sifat “mengetahui” adalah tambahan pada eksistensi.
Mestinya dipertanyakan, apakah Anda menerima” bahwa Prinsip Pertama mengetahui
sesuatu selain esensi diri-Nya? Atas pertanyaan ini, mereka mengemukakan
jawaban-jawaban yang berbeda. Sebagian menerimanya, sedangkan yang lain
mengatakan Dia hanya mengetahui esensi diri-Nya.
Pendapat bahwa Allah
mengetahui sesuatu selain esensi diri Nya diambil oleh Ibnu Sina. Ibnu Sina
mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan suatu cara universal
yang tidak dibatasi garis waktu. Dia membuktikan bahwa partikularia-
partikularia (juz’iyyat) tidak diketahui oleh Tuhan, karena pengetahuan
tentang hal itu menuntut perubahan-perubahan pada esensi Yang Mengetahui,
sesuai dengan perubahan dan pembaruan yang terjadi pada alam.
Untuk
menyanggah teori ini, kami katakan:
Apakah pengetahuan Tuhan mengenai
semua spesies (nau’) dan genus (jins)—yang jumlahnya tak terbatas—identik
dengan pengetahuan terhadap diri-Nya atau tidak? Apabila Anda katakan bahwa
hal itu tidak identik, Anda akan merusak kaidah itu dengan mengafirmasi
pluralitas. Tetapi apabila Anda mengatakan bahwa hal itu identik, mengapa Anda
tidak menggolongkan diri Anda sendiri ke dalam orang yang mengakui bahwa
pengetahuan manusia terhadap segala yang selain dirinya adalah identik dengan
pengetahuan terhadap dirinya dan terhadap esensinya? Orang yang mengemukakan
pendapat ini pasti orang bodoh. Juga harus dikatakan kepada mereka bahwa
definisi sesuatu yang tunggal ialah bahwa mustahil—bahkan di dalam
imajinasi—untuk mengandaikan kombinasi (al-jam’) afirmasi dan negasi atasnya.
Pengetahuan tetang sesuatu yang tunggal, setelah menjadi sesuatu yang tunggal,
mengantar pada kemustahilan untuk membayangkannya “ada” dan “tidak ada” pada
saat yang sama. Setelah tidak mustahil mengandaikan—di dalam
imajinasi—pengetahuan manusia terhadap dirinya, tanpa mengandaikan
pengetahuannya akan hal-hal yang selain dirinya, maka mesti dikatakan bahwa
pengetahuan terhadap diri tidak identik dengan pengetahuan terhadap hal-hal
yang selainnya. Sebab apabila kedua pengertian itu identik, peniadaan terhadap
salah satunya akan meniadakan yang lain, dan afirmasi terhadap yang satu akan
mengafirmasi yang lain. Mustahil bahwa Zayd ada dan tidak ada pada saat yang
sama. Tetapi hal tersebut tidak mustahil pada pengetahuan terhadap yang lain
beserta pengetahuan terhadap diri. Demikian pula, pengetahuan Tuhan terhadap
esensi diri-Nya dan terhadap yang lain tak dapat identik, karena dimungkinkan
untuk membayangkan eksistensi dari salah satu di antara keduanya, tanpa
membayangkan eksistensi yang lain. Keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Dengan demikian, adalah mustahil untuk membayangkan eksistensi esensi-Nya
tanpa membayangkan eksistensi esensi-Nya. Apabila kesamaan diri esensi-Nya
bagaikan identitas yang dinyatakan mengenai kedua pengertian itu, pembayangan
ini akan mustahil. Karenanya, filsuf yang mengakui bahwa Tuhan mengetahui
sesuatu hal yang selain diri-Nya, berarti tak boleh tidak mengafirmasi
pluralitas.
Jika dikatakan:
Dia tidak
mengetahui yang lain dengan bekal tujuan primer (algard al-awwal). Tetapi Dia
mengetahui diri-Nya sebagai Prinsip segenap alam semesta. Maka pengetahuan
menjadi niscaya melalui tujuan kedua (al-gard al-sani). Sebab Dia tidak
mungkin mengetahui bahwa esensi diri-Nya adalah Prinsip (Mabda’) bagi yang
lain, kecuali yang lain tersebut telah masuk menjadi pengetahuan-Nya, sebagai
implikasi atau konsekuensi seharusnya. Tidak ada yang memustahilkan bahwa
esensi-Nya memiliki konsekuensi-konsekuensi niscaya (lawazim). Hal itu tidak
akan melahirkan pluralitas pada kuiditas esensi (mahiyah az-zat). Yang
mustahil hanyalah adanya pluralitas pada diri zat.
Itu bisa
dijawab dari beberapa sisi:
Pertama, pernyataan Anda bahwa Dia mengetahui
diri-Nya sendiri sebagai Prinsip alam semesta merupakan asumsi sewenang-
wenang. Yang semestinya, Dia hanya mengetahui eksistensi esensi- Nya saja.
Pengetahuan bahwa ia adalah Prinsip akan merupakan “tambahan” pada pengetahuan
terhadap eksistensi. Sebab karakter prinsipialitas merupakan bentuk
suplementasi (idafah) atas esensi. Mengetahui esensi adalah sesuatu yang
mungkin, walaupun tanpa mengetahui sesuatu yang disuplementasikan pada esensi.
Seandainya sifat prinsipialitas (al-mabdaiyyah) bukan merupakan suplemen
(sesuatu yang disandarkan), maka esensi- Nya akan menjadi plural. Ia akan
memiliki eksistensi (wujud) dan prinsipialitas, sementara keduanya adalah dua
hal yang berbeda. (Maka esensinya terdiri dari dua hal yang berbeda).
Sebagaimana
mungkin bagi seorang manusia untuk mengetahui esensi dirinya sendiri, tanpa
mengetahui bahwa ia adalah akibat—hingga akhirnya tahu, karena pengetahuan
bahwa dirinya adalah akibat, baginya, merupakan suplemen atas sebabnya—maka
demikian pula wujud Tuhan sebagai sebab yang disuplementasikan atas
akibatakibatnya. Penetapan keniscayaan hanya terdapat pada mereka bahwa Tuhan
mengetahui dirinya sebagai Prinsip. Karena pada-Nya terdapat pengetahuan atas
esensi dan prinsipialitas. Pengetahuan itu merupakan suplemen yang disandarkan
pada dirinya, sementara suplemen adalah sesuatu yang bukan esensi dan
pengetahuan tentang suplementasi bukan pengetahuan tentang esensi, berdasarkan
dalil yang telah kami sebutkan bahwa “mungkin membayangkan pengetahuan tentang
esensi, tapi tidak bisa terhadap pengetahuan atas prinsipialitas. Dan tidak
mungkin membayangkan pengetahuan terhadap esensi tanpa pengetahuan terhadap
esensi. Karena esensi adalah sesuatu yang tunggal.
Kedua, pernyataan
mereka bahwa alam semesta diketahui olehNya dengan tujuan yang kedua adalah
rasional. Karena apabila pengetahuan-Nya meliputi yang lain, sebagaimana ia
meliputi esensiNya sendiri, maka akan ada dua objek yang berbeda bagi
pengetahuan-Nya. Jumlah dan perbedaan hal-hal yang diketahui akan menuntut
pertambahan jumlah pengetahuan-Nya. Karena dimungkinkan—dalam tataran
imajinatif—untuk membiarkan objek-objek pengetahuan terpisah satu sama lain,
pengetahuan terhadap satu hal tidak dapat identik dengan pengetahuan terhadap
hal yang lain. Jika tidak, akan mustahil untuk mengandaikan eksistensi yang
satu tanpa yang lain. Apabila semua pengertian itu satu, tidak akan ada yang
lain, tidak akan ada variasi ungkapan—dengan memakai kata-kata ‘tujuan yang
kedua’—yang menimbulkan perbedaan.
Saya harap bisa mengerti
bagaimana orang berkata tentang negasi pluralitas.
“Tak satupun—bahkan
yang seukuran partikel terkecil pun, di langit atau di bumi—yang tersembunyi
dari pengetahuan-Nya. Dia mengetahui segalanya dengan jenis pengetahuan
universal (kulli). Universalia-universalia (kulliyyat) yang diketahui tidak
terbatas jumlahnya. Maka pengetahuan yang terkait denganya— beserta pluralitas
dan keragamannya—adalah dari segala segi.”
Tentang persoalan ini, Ibnu
Sina berbeda pendapat dengan filsuffilsuf lain, yang, demi menghindari
pluralitas, berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu pun yang lain
daripada diri-Nya. (Tapi aneh) bagaimana kemudian Ibnu Sina bisa sependapat
dengan para filsuf dalam menolak pluralitas dan tidak sependapat dengan mereka
dalam mengafirmasi pengetahuan Tuhan terhadap yang lain. Dia tidak malu untuk
mengatakan:
‘’Allah tidak mengetahui sesuatu pun di dunia ini atau di
Akhirat. Dia hanya mengetahui diri-Nya sendiri. Tetapi setiap wujud yang lain
mengetahui (a) Tuhan, (b) dirinya sendiri, dan
(c) segala yang lain dari
dirinya. Maka semua wujud yang lain lebih mulia daripada Tuhan dalam hal
pengetahuan.”
Dia meninggalkan ajaran ini, karena dia tidak suka
dengannya. Tetapi kemudian, dia tidak malu untuk gencar menolak pluralitas
dari segala segi. Dia mengatakan bahwa pengetahuan atas diri Tuhan dan
pengetahuan-Nya terhadap sesuatu—bahkan, setiap—yang lain dari diri-Nya justru
sama seperti esensi-Nya. Di sini terdapat kontradiksi—yang dapat ditangkap
pada pandangan pertama—di mana semua filsuf yang lain merasa malu dengannya.
Maka kami pun sampai pada kesimpulan bahwa, baik Ibnu Sina maupun mereka yang
tidak ia tentang pendapatnya, berhenti dengan mengemukakan hal- hal yang
memalukan. Dan demikianlah Allah memperlakukan orangorang yang tersesat dari
jalan-Nya, yang mengira bahwa akal atau imajinasi dapat menolong mereka untuk
menghadapi persoalanpersoalan ketuhanan.
Jika dikatakan:
Apabila
ditegaskan bahwa dia mengetahui dirinya sebagai prinsip melalui hubungan
saling tergantung, pengetahuan tentang dua hal yang saling terkait dan
melengkapi itu haruslah satu. Karena orang yang mengetahui ‘anak’, ia
mengetahuinya dengan ‘satu’ pengetahuan yang juga mengandung—dengan implikasi—
pengetahuan tentang ‘ayah’, pengetahuan ayah dan anak. Maka, meskipun
objek-objek pengetahuan banyak, pengetahuan tetap satu. Demikian juga Tuhan
mengetahui esensi-Nya sebagai prinsip bagi yang lain. Maka pengetahuan tetap
satu walaupun objek pengetahuannya banyak. Jika hal itu dapat dimengerti dalam
hal satu akibat (ma’lul) dan hubungannya dengan Tuhan, dan tidak menuntut
pluralitas, maka tambahan sesuatu yang tidak menuntut pluralitas pada
genusnya, tidak akan menuntut lahirnya pluralitas.
Demikian juga orang
yang tahu sesuatu dan mengetahui pengetahuannya dengan sesuatu, sesungguhnya
ia mengetahuinya dengan pengetahuan itu. Setiap pengetahuan adalah pengetahuan
dengan diri dan dengan objek pengetahuannya. Dengan demikian objek pengetahuan
berjumlah banyak sedang pengetahuan tetap tunggal. Hal itu juga menunjukkan
bahwa kalian berpendapat bahwa objek pengetahuan Allah tidak terhingga sedang
ilmu- Nya tetap satu dan kalian tidak memberi sifat “pengetahuan yang
jumlahnya tak terhingga” kepada Allah. Jika banyaknya jumlah pengetahuan
berakibat pada banyaknya pengetahuan, maka dalam diri Allah akan terdapat
banyak pengetahuan. Padahal ini adalah mustahil.
Kami akan
menjawab:
Meskipun pengetahuan adalah tunggal dalam segala seginya, namun
hubungannya dengan dua objek pengetahuan (ma’lumain) tak bisa dibayangkan.
Hubungan pengetahuan dengan lebih dari satu objek menuntut pluralitas, apabila
postulat-postulat yang ditulis oleh para filsuf dalam teori mereka tentang
pluralitas diikuti. Sebab mereka telah melebih-lebihkan (arti pluralis) dengan
mengatakan bahwa, kalau saja Tuhan mempunyai suatu kuiditas yang disifati
dengan wujud, maka hal itu merupakan pluralitas. Akal mereka tidak menerima
sesuatu yang tunggal yang memiliki hakikat, kemudian diberi sifat wujud.
Mereka telah mengklaim bahwa wujud disuplementasikan atau disandarkan pada
hakikat, sementara wujud merupakan sesuatu yang lain dari hakikat itu sendiri.
Maka hal itu akan melahirkan pluralitas. Berdasar model keyakinan seperti ini,
tidak mungkin mengandaikan pengetahuan yang terkait dengan objekobjek yang
berjumlah banyak, kecuali hanya akan melahirkan jenis pluralitas yang lebih
hebat daripada pluralitas yang niscaya muncul dalam mengandaikan wujud yang
disuplementasikan pada kuiditas.
Mengenai pengetahuan tentang ‘anak’,
atau istilah relatif yang lain, di dalamnya terdapat pluralitas. Sebab
pengetahuan tentang ‘anak ‘dan tentang ‘ayah’ adalah dua pengertian yang
berbeda. Dan ada suatu pengetahuan yang ketiga, yaitu, pengetahuan tentang
hubungan antara keduanya. Pengetahuan
yang ketiga ini terimplikasi
dari kedua pengertian yang pertama. Karena keduanya adalah syarat-syaratnya
dan keharusan keberadaannya. Tanpa mengetahui hal-hal yang dihubungkan, Anda
tak dapat mengetahui hubungan itu. Maka semua pengertian ini berbeda dan
merupakan pengetahuan yang tidak tunggal. Keberadaan salah satunya tergantung
pada keberadaan yang lain.
Karenanya, apabila Tuhan mengetahui esensi
diri-Nya sebagai yang dihubungkan pada semua genus dan spesies berdasarkan
wujudnya sebagai Prinsip genus dan spesies, pengetahuan ini akan mengharuskan
bahwa Dia mengetahui (a) esensi diri-Nya, (b) genus dan spesies, satu demi
satu, dan (c) hubungan dirinya dengan genus dan spesies berdasarkan wujud- Nya
sebagai Prinsip dari genus dan spesies. Tanpa demikian, tentu takkan masuk
akal untuk mengatakan bahwa hubungan itu merupakan objek pengetahuan-Nya.
Mengenai
pernyataan mereka bahwa “yang mengetahui suatu hal”, tahu bahwa dirinya
merupakan zat yang mengetahui sendiri pengetahuan tersebut. Maka objek
pengetahuan berjumlah banyak sementara pengetahuan tetap tunggal. Hal itu
tidak bisa dibenarkan. Tapi, orang yang tahu terhadap pengetahuannya atas
sesuatu, ia mengetahuinya dengan pengetahuan yang lain (dan mengetahui
pengetahuan yang kedua dengan pengetahuan yang ketiga), dan begitu seterusnya,
hingga rangkaian-rangkaian itu berakhir pada suatu pengetahuan yang tidak
teringat lagi yang, karenanya, tidak diketahuinya. Maka dia (pada akhirnya)
lupa pada pengetahuan, tetapi tidak pada objek pengetahuan. Misalnya, ketika
seseorang mengetahui sebuah benda hitam, jiwanya saat mengetahui itu terserap
ke dalam objek tersebut; dan karenanya, dia lupa pada, atau tidak ingat akan,
pengetahuannya tentang objek ini. Sebab apabila dia ingat pada pengetahuannya,
ia akan menuntut pengetahuan lain, yang dengannya ingatannya akan lenyap.
Mengenai
pernyataan mereka bahwa sanggahan kami bisa balik mengarah kepada kami dalam
hal objek-objek pengetahuan Tuhan (yang kami anggap tak terbatas jumlahnya,
meskipun pengetahuan Tuhan tetap satu), kami akan mengatakan bahwa di dalam
buku ini, pandangan kami bukanlah sudut pandang analisis konstruktif, tapi
hanyalah sudut pandang analisis destruktif. Karena alasan inilah, kami
menamakan buku ini Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf ), bukan Tamhid
li al-Haqq (Pengantar kepada Kebenaran). Karenanya, kami tidak merasa harus
menjawab sanggahan Anda tersebut.
Apabila dikatakan:
Kami
tidak memaksudkan bahwa Anda harus menyerap suatu sudut pandang
tertentu—yaitu, pendapat suatu mazhab tertentu. Namun suatu problematika—yang
datang sendiri kepada seluruh manusia, dan yang secara bersama-sama dihadapi
oleh semua—hendaknya tidak Anda lewatkan. Problematika yang telah kami
kemukakan adalah problem tersebut. Karenanya, baik Anda maupun mazhab yang
lain, tak boleh meremehkannya.
Kami akan mengatakan:
Tidak.
Tujuan kami hanyalah untuk menunjukkan ketidak-mampuan Anda untuk
menjustifikasi klaim bahwa Anda mengetahui hakikat realitas wujud berdasar
argumen-argumen rasional yang pasti kebenarannya. Kami hendak membuat Anda
meragukan keyakinan Anda pada klaim Anda sendiri. Jika ketidakmampuan Anda
sudah jelas, kita mesti mengakomodir bahwa di kalangan masyarakat ada yang
berkeyakinan bahwa persoalan-persoalan ketuhanan tidak bisa dijangkau oleh
daya rasional, bahkan berada di luar kemampuan manusia untuk menyingkapnya.
Karena alasan inilah, pembawa ajaran Islam (Muhammad Saw.) telah bersabda:
“Pikirkanlah tentang ciptaan (dari aktivitas kreatif ) Tuhan, dan jangan
pikirkan esensi-Nya.” Bagaimana Anda tidak menyetujui orang: (a) yang
memercayai akan kebenaran rasul-rasul, mengenai mukjizatmukjizat yang mereka
pergunakan sebagai argumen-argumen mereka; (b) yang menahan diri dari
mengemukakan suatu keputusan intelektual tentang Dia yang mengutus
rasul-rasul; (c) yang menahan diri dari mengusahakan penyelidikan-penyelidikan
intelektual tentang sifat-sifat Tuhan; (d) yang menerima segala yang dikatakan
oleh sang pembawa syariat mengenai sifat-sifat Tuhan; (e) yang mengikuti
contoh dari sang pembawa syariat dalam mempergunakan kata-kata seperti Yang
Mahatahu, Yang Maha Berkehendak, Yang Mahakuasa dan sebagainya, mengenai
Tuhan; (f ) yang menolak untuk mempergunakan kata-kata yang tidak diizinkan
untuk digunakan kepada Tuhan; dan (g) yang mengakui bahwa mereka tidak mampu
untuk memahami soal- soal ini dengan menggunakan kemampuan akal?
Anda
tidak sependapat dengan orang-orang tersebut, sebab Anda mengira bahwa mereka
tidak mengerti tentang masalah metode-metode pembuktian rasional dan tidak
dapat merangkai premis-premis dalam bentuk silogisme. Dan Anda mengklaim bahwa
Anda mengetahui realitas persoalan ketuhanan dengan metode metode rasional
Anda. Tetapi ketidakmampuan Anda telah tampak dan klaim Anda pada pengetahuan
yang pasti telah terbukti absurd. Inilah yang kami maksudkan di dalam diskusi
ini. Di manakah orang yang mengklaim bahwa argumen- argumen metafisik pasti
terjamin kebenarannya seperti argumen- argumen matematis?
Apabila
dikatakan:
Kesulitan ini seharusnya dikemukan kepada Ibnu Sina yang
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui apa-apa yang lain dari esensi diri-Nya
sendiri. Para tokoh terkemuka di kalangan para filsuf sepakat bahwa Dia tidak
mengetahui sesuatu pun kecuali diri-Nya sendiri. Maka kesukaran yang Anda
kemukakan telah terhindarkan.
Kami akan menjawab:
Hati-hati
terhadap ajaran negatif ini. Kalaupun ajaran ini tidak terlalu menjijikkan,
para filsuf di masa kemudian tentu tidak akan menolak untuk mendukungnya.
Marilah kita ulas hal- hal yang membuatnya begitu memalukan. Ia
mengimplikasikan bahwa akibatakibat dari Tuhan adalah lebih mulia daripada
Tuhan. Sebab seorang malaikat, manusia atau makhluk berakal apa pun,
mengetahui (a) dirinya sendiri, (b) prinsipnya, dan (c) wujud- wujud yang
lain. Apabila Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun selain diri-Nya, Dia pasti
tidak sempurna—sebanding dengan manusia (apalagi malaikat-malaikat), atau
bahkan binatang- binatang (yang, di samping sadar atas diri, juga mengetahui
banyak hal lainnya). Jelasnya, pengetahuan adalah sebab kemuliaan, dan
ketiadaannya merupakan suatu ketidaksempurnaan. Kini di manakah pernyataan
para filsuf bahwa Dia adalah yang mencinta dan yang dicinta, karena kebesaran
yang paling sempurna dan keindahan yang paling utuh adalah milik-Nya?
Keindahan apakah yang dapat dimiliki oleh suatu wujud sederhana yang tidak
mempunyai kuiditas atau realitas dan yang tidak mengetahui apa- apa yang
terjadi di dunia atau apa-apa yang semestinya berasal darinya?
Ketidaksempurnaan apakah pada diri Tuhan yang lebih tidak sempurna daripada
ini?
Aneh kalau ada orang yang berakal sehat yang masih berpegang teguh
pada pendapat para filsuf tentang hal-hal yang menjadi objek akal dan akhirnya
berujung pada pandangan bahwa zat yang menjadi tuhan semesta alam dan penyebab
segala sesuatu sama sekali tidak tahu terhadap yang terjadi di alam. Lalu apa
yang membedakanNya dengan mayat—selain mengetahui terhadap diri-Nya?
Mahatinggi Allah dari segala yang dikatakan oleh orang-orang yang zalim.
Dengan demikian, bagaimana harus menyebut pengetahuan diri-Nya suatu
kesempurnaan, jika Dia tidak mengetahui segala yang lain dari diriNya? Ajaran
ini—begitu jelasnya—sangat memuakkan sehingga tak diperlukan adanya penjelasan
yang mendetail untuk membuktikan kebenarannya.
Akhirnya, harus dikatakan
pada para filsuf: Meskipun Anda melangkahkan diri Anda ke dalam hal-hal yang
memalukan ini, Anda tetap tidak mampu untuk melepaskan diri dari pluralitas.
Selanjutnya kami harus mempertanyakan, apakah pengetahuan terhadap esensi
diri-Nya identik dengan esensi diri-Nya atau tidak? Apabila Anda mengatakan
bahwa pengetahuan itu tidak identik dengan esensi diriNya, berarti terdapat
pluralitas. Tetapi apabila Anda katakan bahwa ia identik, lantas apa bedanya
antara Anda dan orang yang mengatakan bahwa pengetahuan diri manusia identik
dengan dirinya sendiri? Terhadap pernyataan tersebut, jawaban yang bisa kami
berikan adalah: hal ini non sense. Eksistensi esensi seorang manusia dapat
dimengerti, meskipun pada dia tidak menyadari dirinya sendiri. Ketika
ketaksadarannya lenyap, dia menyadari dirinya. Sekali lagi hal itu menunjukkan
bahwa kesadaran dirinya lain daripada dirinya sendiri.
Apabila
Anda mengatakan:
Kadang-kadang manusia tidak memiliki pengetahuan tentang
dirinya, tapi—meski demikian—pengetahuan itu kemudian muncul. Ini mengharuskan
bahwa pengetahuan tentang diri lain daripada dirinya sendiri.
Kami
akan menjawab:
Karakter sebagai sesuatu yang lain (gairiyyah) tidak
ditentukan oleh kehadiran sesudahnya atau koeksistensi. Identitas (‘ayn) dari
suatu hal entitas tidak boleh muncul kemudian atas sesuatu (yang memiliki
identitas) tersebut. Sedang sesuatu yang lain, jika berkonsistensi (qarana)
dengan sesuatu yang memiliki identitas tersebut, tetap merupakan sesuatu yang
lain (gayr), tak bisa diidentikkan. Karena itu, misalnya Tuhan selalu
merupakan zat Yang Mengetahui diri-Nya, itu tidak mengharuskan bahwa
pengetahuan diri-Nya adalah esensi-Nya. Imajinasi membolehkan pengandaian
esensi, lalu terjadinya kesadaran. Apabila kesadaran identik dengan esensi,
imajinasi ini tidak akan mampu mengandaikannya.
Apabila
dikatakan:
Esensinya bukanlah akal dan pengetahuan. Maka ia tak mempunyai
esensi kemudian pengetahuan yang ada pada esensi.
Kami akan
mengatakan:
Kebodohan tampak jelas dalam pernyataan ini. Pengetahuan
adalah suatu sifat atau aksiden (‘ard) yang menuntut sesuatu yang disifati
(subyek/ mausul). Mengatakan bahwa dalam diri-Nya, Dia adalah akal dan
pengetahuan, tak berbeda dengan mengatakan bahwa Dia adalah kekuasaan atau
kehendak. Pernyataan yang terakhir akan sama dengan mengatakan bahwa kekuasaan
atau kehendak adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Dan apabila ia secara
serius dipertahankan, ia akan seperti mengatakan bahwa kehitaman, keputihan,
kuantitas, kelipatan tiga (taslis), kelipatan empat (tarbi’) sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri. Demikian juga dengan semua aksiden, ia dianggap sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri. Argumen yang membuktikan kemustahilan
sifat-sifat yang berdiri sendiri di luar tubuh (sebagai entitas lain dari
sifat-sifat) juga merupakan argumen untuk membuktikan bahwa sifat-sifat semua
makhluk hidup— seperti pengetahuan, kehidupan, kekuasaan, kehendak, dan
lainnya— tidak berdiri sendiri, tetapi di dalam suatu esensi. Misalnya,
kehidupan ada di dalam suatu esensi yang hidup dengannya. Demikian pula halnya
sifat-sifat yang lain.
Para filsuf menunjukkan ketidakpuasan dengan
menolak semua sifat Tuhan, juga dengan menolak realitas (haqiqah) dan
kuiditasNya (mahiyah). Lebih jauh mereka menolak subsistensi (qiyam) dengan
diri-Nya sendiri—dengan mereduksinya pada watak aksidenaksiden (al-a’rad) dan
kualitas-kualitas yang tak dapat berdiri sendiri. Tetapi kami bermaksud untuk
menunjukkan—di dalam masalah lain di dalam buku ini juga—bahwa mereka tidak
mampu untuk mem buktikan dengan argumen rasional bahwa Dia bahkan mengetahui
diri-Nya atau segala yang selain diri-Nya.[]