Patuhnya Langit pada Tuhan dalam Filsafat

Masalah Keempat Belas: Ketakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Langit Adalah Makhluk Hidup Yang Mematuhi Tuhan Melalui Gerak Putarnya Masala

Patuhnya Langit pada Tuhan dalam Filsafat

Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/  19 December 1111-  Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi 

  1. Masalah Keempat Belas: Ketakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Langit Adalah Makhluk Hidup Yang Mematuhi Tuhan Melalui Gerak Putarnya 
  2. Masalah Kelima Belas: Sanggahan Atas Apa Yang Para Filsuf Sebut Tujuan Yang Menggerakkan Langit 
  3. Masalah Keenam Belas: Sanggahan Terhadap Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa-jiwa Langit Mengetahui Semua Partikularia Yang Memiliki Awal Temporal (Al-Juz'iyyat Al-Hadisah) Dalam Alam
  4. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah

MASALAH KEEMPAT BELAS: Ketakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Langit Adalah Makhluk Hidup Yang Mematuhi Tuhan Melalui Gerak Putarnya

MEREKA mengatakan bahwa langit adalah makhluk hidup dan mempunyai jiwa yang berhubungan dengan tubuh langit sebagaimana hubungan jiwa dengan tubuh kita. Sebagaimana tubuh kita bergerak melalui kehendak menuju tujuan-tujuan kita di bawah pengaruh motivasi jiwa kita, demikian pula langit. Tujuan dari gerak putarnya adalah beribadah kepada Tuhan Alam Semesta dengan cara yang akan kami sebutkan kemudian.
Pandangan mereka mengenai persoalan ini termasuk pandangan yang kemungkinannya tidak dapat dipungkiri. Karena Allah berkuasa untuk menciptakan kehidupan di dalam suatu tubuh. Ukuran tubuh maupun bentuknya yang bundar tidak akan menghalangi adanya kehidupan. Sebab bentuk tertentu bukanlah syarat bagi kemungkinan kehidupan. Meskipun bentuknya berbeda-beda, namun semua binatang sama saja di dalam menerima kehidupan.
Tapi yang ingin kami katakan adalah bahwa para filsuf tidak mampu mengetahui hal ini melalui penalaran demonstratif-rasional. Jika ini benar, hanya para nabi yang dapat mengetahuinya melalui ilham dari Allah atau dengan wahyu. Sedangkan argumen- argumen rasional tidak bisa membuktikan hal tersebut.
Meski demikian, persoalan semacam itu tidak mustahil bisa diketahui melalui argumen rasional, jika saja argumen rasional itu dibangun. Namun sayang, argumen yang dipergunakan para filsuf kurang meyakinkan, bahkan hanya melahirkan keragu- raguan dan tidak bisa menyajikan kebenaran yang jelas.
Di dalam teori yang tidak meyakinkan, para filsuf menyatakan bahwa langit bergerak. Ini adalah suatu premis empiris. Setiap tubuh yang bergerak mempunyai penggerak. Ini adalah suatu premis rasional. Apabila sebuah tubuh bergerak karena kapasitasnya sebagai tubuh, maka setiap tubuh tentu bergerak. Setiap penggerak baik: (a) berada di dalam tubuh yang tergerak, misalnya alam yang menyebabkan gerak sebuah batu ke bawah atau kehendak yang menyebabkan gerakan seekor binatang; atau (b) berada di luar tubuh yang tergerak, tetapi menggerakkannya secara paksa, seperti gerakan ke atas dari sebuah batu. Apabila sebuah tubuh digerakkan oleh sesuatu yang berada di dalam dirinya, maka mungkin: (a) ia tidak menyadari gerakan itu. Kami menyebutnya gerak ‘alamiah’ (tabi’ah), seperti gerak ke bawah sebuah batu; atau (b) ia menyadari gerakan itu. Kami menyebut gerakan tersebut gerakan volisional dan psikis (iradi wa nafsani).
Dari pembagian yang lengkap ini, yang berkisar di antara afirmasi dan negasi, kami mendapatkan tiga bentuk gerakan: yang bersifat paksaan (qasriyyah), alami (tabi’iyyah), dan volisional (irad!Jyah/ berdasar kehendak dan kesadaran). Apabila yang dua yang pertama tidak bisa, maka yang ketiga harus dapat diaplikasikan.

Tidak mungkin untuk mengatakan bahwa gerakan langit bersifat terpaksa. Sebab pemaksa (qasir) yang menyebabkan gerakan, harus merupakan tubuh lain yang menggerakkan, baik dengan kehendak ataupun paksaan, dan mau tidak mau harus berujung pada suatu kehendak. Apabila terbukti bahwa pada sebagian dari gerakangerakan langit terdapat gerakan dengan kehendak, berarti langit tidak bergerak dengan terpaksa. Lalu apa gunanya meletakkan gerakangerakan paksaan, sementara pada akhirnya ia pun pasti mustahil untuk bergerak tanpa kehendak?
Karena itu, mustahil mengatakan bahwa langit bergerak melalui paksaan dan bahwa Tuhan adalah penggeraknya tanpa melalui perantara. Sebab apabila ia bergerak karena eksistensinya sebagai tubuh, tidak boleh tidak bahwa setiap tubuh yang lain harus digerakkan oleh pencipta dengan cara yang sama. Konsekuensinya, untuk membuktikan perbedaannya dari tubuh- tubuh yang lain, tidak boleh tidak gerakan itu mesti punya ciri khusus berupa suatu sifat yang membedakannya dari yang lain. Dan sifat inilah yang merupakan sebab terdekat bagi gerakan, baik karena kehendak atau watak dasar alaminya. Mustahil juga untuk mengatakan bahwa Tuhan mengerakkan langit dengan kehendak-Nya. Sebab kehendak-Nya berhubungan dengan semua tubuh melalui relasi tunggal (nisbah wahidah) secara bersama. Bagaimanakah tubuh langit ini-secara khusus-siap untuk mempunyai gerakan-gerakan yang dikehendaki, sedangkan yang lainnya tidak, padahal suatu karakter khusus tidak mungkin merupakan sesuatu yang tidak berdasarkan aturan. Oleh karena itu, hal demikan mustahil terjadi sebagaimana yang ditunjukkan dalam masalah penciptaan alam.

Juga apabila terbukti bahwa tubuh ini seharusnya mempunyai suatu sifat yang akan merupakan prinsip bagi geraknya, maka bentuk pertama dari gerakan, yaitu gerakan yang terpaksa-tidak bisa diterima.
Yang tersisa kini adalah bahwa gerakan merupakan karakter dasar yang alami (tabii), namun ini tidaklah mungkin. Sebab alam dengan sendirinya sama sekali bukanlah sebab bagi gerak. Karena gerak berarti pindah dari satu tempat dan mencari tempat lain. Jika tempat di mana sebuah tubuh berada adalah cocok untuknya, maka tubuh itu tidak akan bergerak. Inilah alasan mengapa kulit anggur yang dipenuhi udara dan diletakkan di permukan air tidak bergerak. Apabila ia dimasukkan ke dalam air, ia akan bergerak ke atas permukaan, tidak ke bawah dan tidak tenggelam. Sebab apabila ia mendapatkan tempat yang cocok, ia akan diam. Apabila ia dipindahkan ke tempat yang tidak cocok, ia akan pindah dari tempat itu ke tempat yang cocok, seperti dari dalam air ke ruang berudara.
Tidak bisa dibayangkan bahwa gerak berputar bisa menjadi gerak alami. Karena setiap tempat dan posisi-dari mana sebuah tubuh pada gerak putar dapat diandaikan berpindah-akan kembali kepadanya. Dan sesuatu yang pindah darinya secara alami tidak mungkin merupakan objek yang dituntut secara alami. Oleh sebab itulah, maka kulit anggur yang penuh udara tidak kembali ke dalam air dan batu yang telah sampai ke tanah tidak kembali ke udara.
Karenanya, alternatif yang dapat dipilih hanyalah bentuk ketiga dari gerakan, yaitu gerakan volisional (al-harakah al- iradiyyah).

***

Sanggahan terhadap hal-hal di atas sebagai berikut:
Selain teori Anda, kami dapat mencatat tiga hipotesa yang tidak akan ditemukan argumen untuk menolaknya.
Pertama, gerakan langit dapat diandaikan merupakan hasil dari paksaan yang dilakukan oleh tubuh lain yang menghendaki gerakannya dan menyebabkannya berputar terus-menerus. Tubuh penggerak ini bukanlah tubuh yang bulat, juga tidak bundar. Karena itu, tentu ia bukan langit. Hal ini membatalkan diktum para filsuf bahwa gerakan langit adalah gerakan volisional, dan bahwa langit adalah makhluk hidup. Inilah yang kami sebut mumkin al-wujud (eksistensi yang mungkin adanya) dan hanya asumsi kemustahilan saja yang dapat dipertentangkan terhadapnya.
Kedua, dapat dikatakan bahwa gerakan langit adalah terpaksa dan prinsip geraknya adalah kehendak Tuhan. Kami katakan bahwa gerak ke bawah sebuah batu juga terpaksa, yang bermula ketika Tuhan menciptakan gerak pada batu itu. Dan demikian pula gerakan-gerakan semua tubuh lainnya yang bukan dari spesies binatang (hayawani).
Yang tinggal kini adalah asumsi kemustahilan mengenai hubungan khusus kehendak dengan tubuh langit, sedangkan semua tubuh yang lain berserikat secara umum di dalam korporealitas (al-jismiyyah). Kami telah menjelaskan bahwa kehendak kekal berfungsi membedakan suatu hal dari hal lain yang sejenis. Para filsuf sendiri terpaksa menetapkan suatu sifat dengan fungsi tersebut, ketika mereka menentukan arah gerak putar dan posisi kutub. Hal itu tidak ingin kami ulang di sini.

Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa asumsi mereka- tentang kemustahilan mengenai determinasi khusus (ikhtisas) terhadap suatu tubuh dengan mengaitkan kehendak dengannya tanpa membedabedakan dengan menggunakan sifat-berbalik kepada mereka dalam membedakannya melalui sifat tersebut. Untuk lebih jelasnya, kami pertanyakan, mengapa tubuh langit berbeda-beda dengan sifat tersebut yang karenanya, ia berbeda dari tubuh-tubuh yang lain? Semua tubuh yang lain adalah juga tubuh. Mengapa tubuh yang satu ini memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh tubuh-tubuh yang lain? Jika sebabnya terdapat pada sifat yang lain, pencarian akan diarahkan kepada sifat yang lain tersebut dan seterusnya tanpa akhir, sehingga akhirnya para filsuf akan terpaksa menerima kehendak sebagai ketetapan dan menerima bahwa di dalam prinsip-prinsip terdapat sesuatu yang dapat membedakan yang satu dengan lainnya yang sejenis dan mengistimewakannya-melalui suatu sifat-daripada yang lain yang sejenis.
Ketiga, kami bisa menerima pendapat bahwa langit memiliki sifat khusus yang merupakan prinsip gerak, sebagaimana yang mereka percayai sehubungan dengan jatuhnya batu ke bawah. Akan tetapi langit, seperti juga batu, tidak menyadari gerakan itu.
Pernyataan para filsuf bahwa sesuatu yang dituntut secara alamiah tidak akan bisa menjadi sesuatu yang dihindari karena alasan yang serupa, merupakan suatu representasi keliru yang disengaja (talbis). Karena-menurut mereka-tidak ada tempat- tempat yang berbeda secara nomerikal. Sebaliknya, tubuh adalah satu dan gerak putarnya juga satu. Baik tubuh maupun gerakan- gerakannya secara aktual tidak mempunyai bagian-bagian. Ia hanya dapat dibagi-bagi (ke dalam bagian-bagiannya) secara imajiner. Gerakan itu bukan untuk mencari suatu tempat dan. tidak pula untuk pindah dari suatu tempat. Oleh karena itu, mungkin saja suatu tubuh diciptakan yang pada dirinya sendiri terdapat suatu makna yang menuntut suatu gerak putar. Demikian pula gerakan itu sendiri akan memenuhi makna tersebut, bukan bahwa makna itu menuntut pencarian tempat, yang kemudian menjadi suatu gerakan untuk sampai kepadanya.
Ketika Anda katakan bahwa setiap gerakan diciptakan, baik untuk mencari suatu tempat atau untuk pindah darinya, dan apabila Anda berpendapat bahwa hubungan ini merupakan keharusan, maka seakan-akan Anda menjadikan ‘pencarian tempat’ akhir dari alam, dan menjadikan gerakan sendiri sebagai suatu faktor sekunder yang dimaksudkan bukan pada dirinya, tetapi sebagai perantara (wasilah) untuk sampai kepadanya. Kami katakan bahwa mustahil bagi gerakan itu sendiri untuk menjadi yang dituju, dan bukan hanya perantara menuju tempat yang dicari. Apa yang tidak mendukung asumsi tersebut?
Maka jelas bahwa pendapat yang diutarakan para filsuf bahkan apabila hal itu diduga lebih mungkin daripada hipotesa yang lain-tidak menghasilkan hipotesa-hipotesa alternatif secara pasti. Maka pernyataan mereka bahwa langit adalah makhluk hidup merupakan suatu asumsi sewenang-wenang dan tanpa dasar.

MASALAH KELIMA BELAS: Sanggahan Atas Apa Yang Para Filsuf Sebut Tujuan Yang Menggerakkan Langit


Mereka menyatakan:
SESUNGGUHNYA langit tunduk kepada Allah dengan gerakannya dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab setiap gerakan volisional terarah menuju ke suatu tujuan. Tak dapat dibayangkan bahwa suatu perbuatan atau gerakan terjadi dari makhluk hidup, kecuali memang sudah diketahui bahwa melakukannya lebih baik daripada tidak. Apabila melakukan sesuatu sama dengan tidak melakukannya,
maka suatu perbuatan tersebut tidak terbayangkan adanya.
Mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, tidak berarti mencari kerelaan-Nya atau menghindari kebencian-Nya. Allah Swt. Mahasuci dari kerelaan dan kebencian. Apabila kata-kata tersebut dipergunakan, tentu kata-kata itu bermakna metaforis, yang menunjuk pada kehendak untuk menimpakan siksa, atau kehendak untuk memberikan pahala.
Taqarrub tidak boleh berarti suatu usaha untuk mendekat dalam konteks ruang. Itu jelas mustahil.

Karena itu, yang tertinggal hanyalah bahwa taqarrub berarti usaha untuk mendekatkan diri dari-Nya dalam konteks sifat-sifat. Sebab adanya-Nya sebagai wujud sempurna, jika disandarkan dengan seluruh wujud yang tidak sempurna, akan melahirkan ketidaksempurnaan yang terdiri atas perbedaan atau tingkat derajat. Para malaikat lebih dekat pada-Nya dalam hal sifat, bukan konteks ruang. Maka istilah ‘malaikat-malaikat yang dekat (al- muqarrabun) kepada Allah berarti substansi-substansi intelektual (al jawahir al-aqliyyah) yang tidak mengalami perubahan, tidak hancur, kekal, mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. Setiap kali manusia bertambah dekat dalam hal sifat-sifat dengan para malaikat, maka dia akan semakin dekat kepada Allah Swt. Dan batas akhir tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia adalah keserupaannya (tasyabbuh) dengan para malaikat.
Sudah jelas apa yang dimaksud dengan ‘mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub). Juga telah dikemukakan bahwa istilah itu menggambarkan suatu hubungan yang dekat hanya dalam hal sifat-sifat, dan bahwa hal itu mungkin bagi manusia, apabila dia mengetahui realitas-realitas sesuatu hal, dan tetap kekal, setelah kematiannya, dalam keadaan yang sangat sempurna yang mungkin baginya. Tapi, kekekalan di dalam kesempurnaan yang paling tinggi hanya milik Allah. Sedangkan para malaikat yang dekat, semua kesempurnaan yang mungkin benar-benar datang bersama mereka dalam eksistensi. Sebab pada diri mereka tidak ada sesuatu yang bersifat potensial sehingga bisa keluar menjadi aktual. Dengan demikian, di antara makhluk, selain Allah, para malaikat mempunyai kesempurnaan yang paling tinggi.
Yang dimaksud dengan malaikat-malaikat langit (al- malaikah as-samawiyyah) adalah jiwa-jiwa yang menggerakkan langit. Di langit itu pula terdapat sesuatu yang bersifat potensial (bi al-quwwah). Kesempurnaan jiwa-jiwa langit terbagi ke dalam:
(1)    kesempurnaan aktual, misalnya bentuk bulat dan penampakan wujud, (2) kesempurnaan potensial, seperti kemunculan di suatu tempat atau posisi. Dan tidak ada posisi tertentu kecuali bahwa posisi itu mungkin bagi langit. Tapi ternyata, tidak semua posisi ditempatinya sekaligus. Sebab penempatan simultan dari begitu banyak posisi adalah tidak mungkin. Namun ketika penempatan- yang sempurna dan berkesinambungan-posisi-posisi individual tidak mungkin, langit berusaha menempatinya melalui spesies. Karena itu, ia pun tetap mencari satu posisi setelah posisi yang lain, satu tempat setelah tempat yang lain. Kemungkinan ini- sama sekali-tidak akan pernah berakhir. Karena itu, gerakan- gerakan langit tidak akan pernah berhenti. Yang dituju oleh langit adalah penyerupaan dirinya (tasyabbuh) dengan Prinsip Pertama dalam memperoleh kesempurnaan tertinggi sebisa mungkin. Itulah makna kepatuhan malaikat-malaikat langit kepada Allah. Penyerupaan itu dicapai melalui dua cara. Pertama, melalui penempatan spesies secara sempurna atas semua posisi yang mungkin baginya. Itulah objek dari maksudnya yang utama.
Kedua, efek kumulatif gerakan-gerakan langit, yang meliputi perbedaan hubungan-hubungan dalam formasi bersisi tiga, bersisi empat, perbandingan (muqaranah), pertentangan (muqabalah), perbedaan aspek-aspek selestial yang berkaitan dengan bumi adalah melimpahnya kebaikan terhadap hal- hal yang berada di bawah falak bulan, yang semuanya berasal dari peristiwa temporal. Inilah cara jiwa langit memperoleh kesempurnaan. Sebab setiap jiwa yang berakal (nafs ‘aqilah) rindu untuk mendapatkan kesempurnaan pada zatnya.
 
Sanggahan

Meskipun di dalam premis-premis dari teori ini ada yang bisa kami tolak, tetapi kami tidak akan membicarakannya lebih jauh. Mari kita kembali ke tujuan yang Anda jadikan referensi untuk semuanya. Kami dapat menyanggahnya dengan dua cara:
Pertama, keinginan untuk memperoleh kesempurnaan dengan berada di segala tempat, bisa jadi merupakan suatu indikasi kebodohan, bukan kepatuhan. Dan ini tak ubahnya seperti tingkah laku seseorang yang, karena tak ada yang perlu dilakukan dan segala kebutuhannya terpenuhi, berdiri dan mulai berputar di rumahnya atau di kota dengan beranggapan bahwa hal itu akan mendekatkannya kepada Tuhan. Akankah dia berada di atas jalan menuju kesempurnaan, begitu dia mencoba untuk menempati segala tempat yang mungkin baginya? Ketika dia mengatakan: “mewujud di segala tempat adalah mungkin bagiku, tetapi aku tak dapat menjumlah tempat itu dengan angka. Maka aku mengambil semuanya dengan spesies. Sebab pada setiap peristiwa itu ada jalan menuju kesempurnaan dan pendekatan diri kepada Allah”, maka pernyataan seperti itu akan dianggap kebodohan. Hal itu bisa dijawab: Gerakan dari satu tempat ke tempat lain bukan kesempurnaan yang diharapkan. Tidak ada bedanya antara ini dan situasi yang dikemukakan oleh para filsuf.
Kedua, kami akan mengatakan: tujuan yang telah Anda sebutkan dapat dicapai oleh suatu gerakan ke arah barat. Lalu, mengapa gerakan yang pertama adalah gerakan ke arah timur? Bukankah gerakan-gerakan seluruh semesta menuju ke satu arah? Apabila ada suatu tujuan di samping perbedaan gerakan-gerakan itu pada dirinya, bukankah tujuan yang sama akan dicapai dengan membalik jalan yang diambil oleh perbedaan itu? Maka apabila gerakan ke arah timur adalah gerakan ke arah barat, dan sebaliknya, kebalikan itu akan tetap melahirkan semua akibat yang telah Anda sebutkan, yaitu fenomena yang dihasilkan dari perbedaan gerakan-gerakan, seperti formasi segi tiga atau formasi segi enam, dan lainnya. Demikian pula halnya penempatan sempurna dari semua tempat dan posisi. Bagaimana hal itu terjadi, padahal yang mungkin bagi langit adalah harus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Lalu apa yang terjadi pada yang menyebabkannya tidak bergerak dari satu sisi pada suatu saat dan dari sisi yang lain pada saat yang lain, sehingga ia dapat memanfaatkan semua yang mungkin, apabila pemanfaatan semua yang mungkin itu merupakan suatu indikasi kesempurnaan?
Semua ini menunjukkan pada suatu kesimpulan bahwa teoriteori tersebut tidak lebih dari sekadar spekulasi-spekulasi yang tidak ada hasilnya. Rahasia-rahasia kerajaan langit tidak dapat disingkap melalui spekulasi-spekulasi semacam itu. Hanya para nabi dan para wali yang dapat menyingkap rahasia-rahasia itu melalui ilham, bukan dengan metode-metode rasional. Karena itulah mengapa para filsuf yang tidak mendiskusikan apa yang ditinggalkan oleh para nabi, tidak mampu menerangkan arah- arah gerakan, dan untuk menunjukkan sebab pemilihan arah- arah tertentu bagi gerakan itu.

Sebagian filsuf berpendapat:
Setelah kesempurnaan langit dapat diperoleh dengan gerak dari arah mana pun dan karakter sistematis fenomena terestial (intizam al-hawadis al-ardiyyah) mendorong perbedaan gerak dan ketertentuan arah, maka yang mendorong langit pada prinsip gerak adalah keinginan untuk mendekat kepada Allah, sedangkan yang mendorong gerakannya menuju pada arah tertentu adalah keinginannya akan melimpahkan kebaikan pada alam yang paling bawah (al-alam as-sufla)


Akan tetapi hal ini keliru jika dilihat dari dua sisi:
Pertama, apabila hal tersebut dapat diimajinasikan, maka taruhlah bahwa menurut wataknya langit dapat berhenti dan menghindari gerak dan perubahan. Karena pada kenyataannya watak tersebut merupakan sebab keserupaannya dengan Allah, yang suci dari perubahan, sedang gerak adalah perubahan. Namun Dia memilih gerak bagi langit untuk melimpahkan kebaikan dan keberkahan. Hal ini akan bermanfaat bagi semua makhluk yang lain, sedangkan gerak tidak akan memberatkan ataupun meletihkan-Nya. Apa yang mencegah Anda untuk membayangkan hal ini?
Kedua, fenomena terestial atau temporal berasal dari perbedaan hubungan-hubungan yang timbul dari perbedaan arah gerakan. Karena itu, gerakan yang pertama menuju ke arah barat dan gerakan sisanya menuju ke arah timur. Hal itu juga menimbulkan perbedaan yang dengannya hubungan-hubungan yang berbeda akan dapat muncul. Mengapa satu arah tertentu dikhususkan? Dan hubunganhubungan yang berbeda hanya menuntut asal atau prinsip perbedaan arah. Namun sejauh tujuannya diperhatikan, arah-dengan sendirinya-tidak dapat lebih baik daripada arah sebaliknya.

MASALAH KEENAM BELAS: Sanggahan Terhadap Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa-jiwa Langit Mengetahui Semua Partikularia Yang Memiliki Awal Temporal (Al-Juz'iyyat Al-Hadisah) Dalam Alam

Mereka juga mengatakan:
YANG dimaksud dengan “lembar terpelihara” (lawh al mahfuz) adalah jiwa-jiwa langit. Pengaruh partikularia- partikularia alam terhadap jiwa-jiwa langit bagaikan pengaruh hal-hal yang dihafal terhadap kekuatan ingatan yang terletak di dalam otak manusia. Kedua hal tersebut tidak seperti suatu benda yang menerima pengaruh, seperti benda keras dan luas yang di atasnya tulisan digoreskan, sebagaimana anak-anak kecil menulis di atas sebuah batu tulis. Karena multiplisitas dari tulisan ini menuntut tempat tulisan yang luas untuk menulis di atasnya. Jika tulisan itu tidak terbatas, bahan yang ditulis di atasnya juga tidak terbatas. Tetapi eksistensi suatu tubuh yang tak terbatas tidak dapat kita bayangkan, garis-garis yang tak terbatas di atas sebuah tubuh adalah tidak mungkin dan mendefinisikan sesuatu yang tak terbatas tidak mungkin dilakukan dengan garis-
garis dan tulisan yang terbatas di atas suatu tubuh.

Mereka beranggapan bahwa:
Malaikat-malaikat langit adalah jiwa-jiwa langit. Dan malaikatmalaikat Karubin yang dekat (al-Mala’ikah al-Karubin al-Muqarrabin) adalah akal-akal yang immaterial, yaitu substansi- substansi yang berdiri sendiri, tidak menempati suatu ruang dan tidak bertindak di dalam tubuh-tubuh. Dari akal-akal ini, bentuk-bentuk partikular itu turun pada jiwa-jiwa langit, yaitu malaikat Karubin yang merupakan malaikat langit yang paling agung. Sebab yang pertama memberi manfaat, sedangkan yang terakhir menerima manfaat. Karena itu, yang paling mulia di antara keduanya secara simbolis disebut Pena (qalam). Allah berfirman: “Dia mengajar dengan pena (‘allama bi alqalam)”. Sebab Pena itu seperti tukang ukir yang memberi manfaat. Guru yang mengajar diumpamakan dengan pena dan yang mendapat manfaat diumpamakan dengan lembaran. Inilah tesis mereka.
Kritik kami terhadap tesis mereka akan berbeda dari kritik kami terhadap tesis mereka dalam masalah yang telah disebutkan sebelum ini yang mereka katakan bukan merupakan sesuatu yang mustahil. Karena tujuan akhirnya hanya untuk menyatakan bahwa langit adalah suatu makhluk hidup yang bergerak karena suatu tujuan. Hal itu adalah sesuatu yang mungkin. Tetapi tesis yang ini mengacu kepada penegasan bahwa suatu makhluk dapat mempunyai pengetahuan tentang partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas. Hal tersebut secara aktual telah dikatakan mustahil. Karenanya, kami minta agar mereka membuktikannya, sebab hal itu merupakan suatu klaim.

***

Mereka mencoba membuktikannya dengan mengatakan:
Telah terbukti bahwa gerak putar langit adalah gerak volisional (berdasar kehendak yang disengaja/iradiyyah). Sedang kehendak (iradah) mengikuti sesuatu yang dikehendaki. Suatu kehendak universal dapat diarahkan menuju suatu objek kehendak yang juga universal. Kehendak universal tidak melahirkan apa pun. Karena setiap mawjud aktual adalah tertentu dan partikular, sedangkan kehendak universal mengungkapkan hubungan yang sama dengan segala sesuatu yang partikular dan individual. Karenanya, tidak ada satu pun dari sesuatu yang partikular dapat timbul darinya. Tapi mau tidak mau, mesti ada suatu kehendak pertikular bagi suatu gerakan tertentu.
Maka, langit-dalam gerakan yang tertentu dan partikular dari satu titik ke titik tertentu lainnya-mempunyai suatu kehendak    partikular bagi gerakan itu. Itu mengharuskan bahwa ia mempunyai suatu representasi imajinatif dari gerakan- gerakan partikular dengan daya jasmaniah. Sebab hal-hal partikular hanya dapat dimengerti oleh daya jasmani. Setiap kehendak tidak harus bergantung pada suatu representasi imajinatif, yaitu pengetahuan tentang hal yang dikehendaki, baik partikular maupun universal.
Demikianlah, falak mempunyai suatu representasi imajinatif (tasawwur) atau pengetahuan akan gerakan- gerakan partikular. Karenanya, bisa dimengerti bahwa ia harus mengetahui semua yang seharusnya muncul dari gerakan-gerakan itu, berupa keragaman hubungannya dengan bumi yang berasal dari fakta bahwa beberapa bagiannya terbit, sedangkan yang lainnya tenggelam, beberapa bagiannya ada di tengah-tengah langit di atas suatu masyarakat (qawm), dan ada di bawah suatu masyarakat yang lain. Demikian pula, falak dapat diketahui konsekuensi-konsekuensi perbedaan hubungan yang membaru dengan perantara gerak, seperti formasi-formasi segi enam atau segi tiga, formasi pertentangan dan perbandingan. Dan demikian seterusnya semua fenomena selestial yang lain.
Dan semua fenomena terestial bersandar kepada fenomena selestial, baik tanpa suatu perantara, atau dengan satu perantara atau lebih.
Singkatnya, setiap sesuatu yang temporal mempunyai sebab temporal, dan seterusnya sampai rangkaian-rangkaiannya terputus dengan kenaikan ke gerakan-gerakan selestial abadi, yang sebagiannya merupakan sebab bagi sebagian yang lain.
Dengan demikian, dalam rangkaiannya, sebab dan akibat akan berakhir pada gerakan partikular yang berputar dan selestial. Maka yang mempunyai suatu representasi imajinatif bagi gerakan- gerakan juga harus mempunyai representasi imajinatif bagi hal-hal yang niscaya bagi gerakan itu, yang hal-hal yang niscaya itu juga harus mempunyai hal-hal yang niscaya baginya, dan seterusnya hingga akhir rangkaian-rangkaian sebab dan akibat.
Dengan ini, falak mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang. Karena terjadinya segala yang akan terjadi menjadi wajib berdasarkan sebabnya, ketika sebab itu terealisasi.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Karena kita tidak mengetahui semua sebab-sebab dari kejadian- kejadian tersebut. Kita akan mengetahui akibat-akibat, apabila kita mengetahui sebab-sebabnya. Misalnya, apabila kita mengetahui bahwa api akan bertemu dengan selembar kapas pada suatu waktu tertentu, kita tentu mengetahui bahwa kapas itu akan terbakar. Jika kita tahu bahwa seseorang akan makan, kita tentu akan tahu bahwa laparnya akan hilang dan ia akan kenyang. Atau apabila kita mengetahui bahwa seseorang akan menginjak suatu tempat tertentu yang menjadi tempat penyimpanan harta simpanan sembunyian-di bawah suatu barang yang lembut sehingga begitu orang menginjaknya, dia akan tersandung pada harta simpanan itu-kita akan tahu bahwa orang itu akan kaya dengan menemukan harta simpanan itu.
Tetapi kita tidak mengetahui sebab-sebab ini. Kadang- kadang, sebagian sebab-sebab itu kita ketahui. Konsekuensinya, kita mempunyai suatu antisipasi intuitif mengenai terjadinya akibat. Apabila kita mengetahui sebagian besar dari sebab-sebab itu, atau yang paling kuat di antaranya, kita dapat mempunyai suatu praduga yang jelas mengenai terjadinya akibat-akibat. Dan apabila kita mengetahui semua sebab, kita pasti mengetahui semua akibat. Tetapi hal-hal selestial itu banyak. Dan mereka mempunyai cara bergaul dengan fenomena terestial. Karenanya, kemampuan manusia tidak bisa mengetahuinya. Sebaliknya, jiwa- jiwa langit mengetahuinya, karena jiwa-jiwa itu mengetahui sebab primer (sabab awwal), akibat-akibatnya, akibat-akibat niscaya dari akibat-akibat itu, dan seterusnya hingga akhir rangkaian- rangkaian tersebut.


Karena alasan ini, para filsuf menyatakan:
Dalam tidurnya, seseorang melihat apa yang akan terjadi di masa mendatang. Hal itu terjadi, karena kontaknya dengan al-lawh-al-mahfuz dan yang mengetahui isinya. Kadang-kadang, apa yang diketahuinya di saat itu, tetap melekat dalam hapalannya dalam bentuknya yang asli. Tetapi kadang-kadang, daya imajinatif (quwwah mukhayyilah) dengan cepat mentransformasikannya ke dalam bentuk suatu simbol. Sebab watak daya atau fakultas itu memang mentransformasikan segala sesuatu ke dalam simbol- simbol yang dapat mempunyai hubungan yang sama dengan yang asli, atau berubah kepada kebalikan-kebalikannya. Maka objek penglihatan yang hakiki (al-mudrak alhaqiqi) lenyap dari ingatan, meninggalkan suatu bentuk imajiner. Konsekuensinya, dibutuhkanlah interpretasi tentang apa yang digambarkan oleh imaji melalui suatu simbol. Misalnya, seorang laki-laki secara simbolis digambarkan dengan sebuah pohon, seorang wanita dengan sepatu (khuf), seorang pelayan dengan alat-alat rumah tangga, dan seorang penjaga (petugas) harta sedekah dengan minyak zaytun. Minyak zaytun adalah sebab bagi menyalanya lampu, yang merupakan sebab bagi munculnya cahaya. Dari prinsip ini, ilmu , takwil mimpi (‘ilm at-ta’bir) berkembang dan bercabang-cabang.
Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa kontak dengan jiwajiwa langit-langit dapat terwujud, apabila tidak ada tirai (hijab) yang menghalanginya. Dalam kehidupan alam sadar, kita sibuk dengan apa yang ditampakkan oleh indra-indra dan nafsu- nafsu kita. Minat kita pada hal-hal indriawi ini mencegah kita dari memperoleh kontak tersebut. Tetapi pada saat tidur sebagian kesibukan indra secara parsial berkurang, sehingga kemungkinan untuk kontak dengan jiwajiwa langit-langit tersedia.
Mereka juga mengatakan bahwa, dengan cara ini pula, Nabi Muhammad Saw. menyaksikan alam gaib. Kekuatan psikis Nabi Saw. begitu tinggi sehingga indra fisik tidak menenggelamkannya. Karena alasan inilah beliau melihat dalam kehidupan sadarnya apa yang hanya dilihat oleh orang lain di dalam mimpi. Daya imajinasi Nabi Saw juga mampu menggambarkan, melalui simbol- simbol, apa apa yang terlihat. Kadang-kadang, hal yang aktual tetap berada pada ingatannya, dan kadang-kadang, simbolnya yang tetap dan tidak hilang. Karenanya, bentuk wahyu ini perlu diinterpretasikan (ta’wil), sebagaimana mimpi memerlukan interpretasi (ta’bir). Apabila semuanya itu tidak ada di dalam lawh al mahfuz para nabi tentu tidak akan mengetahui hal-hal gaib di dalam mimpi atau pada saat sadar. Tetapi pena telah “kering” atas segala yang terjadi hingga hari Kiamat. Maknanya adalah yang telah kami sebutkan ini.
Inilah yang hendak kami kemukakan agar teori mereka dapat dipahami.


***
Jawaban:

Akan kami katakan, bagaimana Anda menolak pendapat orang bahwa Allah memberi kemampuan kepada Nabi Saw. untuk mengetahui hal-hal gaib, dan bahwa, karenanya, beliau mengetahui hal-hal gaib itu tanpa sesuatu persiapan yang dirancang sendiri? Demikian pula dapat dikatakan, orang yang bermimpi mengetahui hal-hal gaib, itu karena Allah-atau salah seorang dari para malaikat-memberikan kemampuan padanya untuk mengetahui hal-hal gaib itu. Karenanya, semua yang telah Anda kemukakan itu tidak ada gunanya, tidak ada argumen untuk membuktikannya. Anda juga tidak dapat mengemukakan suatu argumen untuk membuktikan hal-hal seperti lawh al-mahfuz dan qalam yang telah disebutkan di dalam Syara’. Pengertian yang telah Anda berikan atas dua hal ini tidak dapat dipahami oleh para pengikut Syara’ karena sudah tidak terbuka bagi Anda untuk mendekati hal-hal tersebut dari sudut pandang hukum itu.
Maka yang tertinggal bagi Anda hanya berpegang pada proses rasional. Tetapi kalau pun kemungkinan dari semua yang telah Anda kemukakan diakui-meskipun tidak disyaratkan negasi terhadap batas akhir dari segala hal yang diketahui ini-namun eksistensinya tetapi tidak bisa diketahui dan kebohongannya tak dapat diverifikasi. Sumber pengetahuan tentang hal-hal itu hanyalah Syara’, bukan akal.
Argumen rasional yang telah Anda kemukakan pertama kali didasarkan atas banyak premis. Kami tidak akan panjang lebar menyanggah semuanya. Namun demikian, kami akan mengkritik tiga dari premis-premis itu.
Premis yang pertama, adalah pernyataan Anda bahwa gerakan langit adalah volisional. Kami telah selesai membicarakan persoalan ini sekaligus menunjukkan bagaimana klaim Anda bisa disanggah.
Premis yang kedua, jika pendapat Anda diterima-hanya karena sikap toleran terhadap Anda-maka pernyataan Anda, bahwa gerakan volisional langit ini membutuhkan gambaran partikular (tasawwur juz’i) bagi gerakan-gerakan partikular, akan dapat ditolak. Karena Anda tidak menerima pandangan tentang adanya bagian-bagian pada tubuh selestial. Karena tubuh ini tunggal dan pembagiannya hanya dimungkinkan di dalam imajinasi (khayal). Yang tak dapat dibagibagi adalah gerakannya, sebab ia merupakan suatu kesatuan yang tak terpisah. Karena itu, cukup bagi falak untuk merindukan pemanfaatan sempurna atas semua tempat yang mungkin baginya, sebagaimana telah mereka terangkan sendiri. Untuk tujuan itu, kehendak universal dan gambaran universal akan bisa memadai.
Mari kita hadirkan sebuah contoh tentang kehendak universal dan kehendak partikular, untuk memperjelas apa yang dimaksudkan oleh para filsuf. Jika seorang mempunyai tujuan umum untuk pergi ke Bayt Allah, maksud itu merupakan kehendak universal yang tidak akan melahirkan gerakan. Karena gerakan terjadi sebagai sesuatu yang partikular dari sisi tertentu dan dengan ukuran tertentu. Bahkan dalam gerak volisional, mesti berawal dari kehendak parti kular. Jika orang menghadapkan dirinya ke Bayt Allah, maka ia akan selalu mempunyai representasi yang membaru, seperti kehadiran di tempat yang dia injak, kehadiran ke arah yang diambilnya, dan sebagainya. Setiap gambaran atau representasi partikular (tasawwur juz’i) mengikuti kehendak partikular bagi gerakan dari tempat yang dapat mengantarnya ke sana dengan suatu gerak.
Inilah yang mereka maksudkan dengan suatu kehendak partikular yang mengikuti representasi partikular. Pengertian ini dapat diterima secara argumentatif. Karena ada banyak arah menuju Makkah dan jaraknya tidak dapat ditentukan. Maka orang yang berhaji memerlukan spesifikasi, dari satu tempat tertentu dari sekian banyak tempat, dan satu arah tertentu dari sekian banyak arah, dengan berangkat dari satu kehendak tertentu dari sekian banyak macam kehendak.
Adapun gerakan selestial hanya ada satu arah. Karena suatu tubuh berbentuk bola hanya akan berkeliling pada dirinya dan bergerak di dalam ruang yang ukurannya tak bisa dilampaui. Gerakan itulah yang dikehendaki dalam hal ini. Hanya ada satu arah, satu bentuk, dan satu pola gerakan. Hal itu seperti jatuhnya batu ke bawah. Batu mendekati bumi dengan cara yang terdekat, yaitu garis yang lurus. Selama determinasi garis yang lurus ditetapkan, batu itu tidak membutuhkan representasi baru selain watak alamiah yang universal yang menuntut titik pusat beserta munculnya jarak yang dekat, jarak yang jauh dan sampai pada batas serta kemunculan darinya. Demikian pula, karenanya, dalam hal gerakan selestial, suatu kehendak universal bagi gerakan akan cukup dan tidak perlu faktor tambahan lainnya. Inilah premis yang mereka klaim.
Ketiga, asumsi mereka yang paling kacau adalah pernyataan mereka bahwa apabila falak mempunyai representasi gerakan- gerakan partikular, ia juga mempunyai representasi subordinat- subordinat (tawabi) dan konsekuensi-konsekuensi (lawazim) dari gerakan itu. Ini adalah sesuatu yang murni sia-sia. Ini seperti perkataan seseorang:
“Karena manusia bergerak dan mengetahui gerakannya, dia juga mengetahui apa yang seharusnya muncul dari gerakannya, seperti posisi-posisi paralel dan tidak paralel, yang merupakan hubungan dengan tubuh-tubuh yang berada di atas, di bawah, atau di sisi-sisinya. Apabila dia berjalan-jalan di matahari, dia mesti tahu tempat-tempat kejatuhan bayang-bayangnya dan tempat yang bayang-bayangnya tidak jatuh, akibat-akibat berupa suasana sejuk karena ia menaunginya, kontraksi dari bagian- bagian bumi di bawah kakinya, jarak dari beberapa bagian yang lain, transformasi bagian tubuhnya ke dalam keringat, dan seterusnya hingga semua peristiwa yang lain di dalam tubuhnya, atau di luarnya, yang menjadikan gerakan sebagai sebab, atau kondisi, atau penyiap, atau prinsip yang merangsang.”

Ini adalah sesuatu yang tak bermakna, yang tak dapat terjadi pada seorang yang berakal sehat serta hanya diikuti oleh orang bodoh. Inilah yang menjadi acuan asumsi kacau para filsuf.
Di samping itu, kami akan mempertanyakan, apakah hal- hal partikular yang dapat dianalisis dan yang diketahui oleh jiwa falak, ada saat ini? Ataukah Anda juga memasang ke dalamnya hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang? Apabila Anda membatasinya kepada yang ada saat kini, ia akan bertentangan dengan kemampuan falak untuk mengetahui hal-hal gaib serta kemampuan mengetahui para nabi dalam keadaan sadar mereka serta bagi semua umat manusia dalam alam mimpi tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang melalui perantaraan jalak. Dalam hal ini, maksud dari argumen Anda tidak bisa diterima. Karena argumennya didasarkan pada asumsi-yang kacau-bahwa dia mengetahui suatu hal yang mengetahui subordinat-subordinat dan konsekuensi-konsekuensinya yang banyak sehingga apabila kita mengetahui semua sebab segala hal, kita akan mengetahui semua peristiwa yang akan datang. Karena sebab dari semua peristiwa bisa ada saat ini. Artinya ia bisa terkandung di dalam gerakan selestial, tetapi gerak ini mengarah pada akibatnya (musabbab) hanya melalui satu perantara atau lebih.
Jika hal-hal pertikular yang dapat dianalisis yang diketahui oleh jiwa falak juga meliputi masa mendatang yang tidak terbatas, bagaimana jiwa falak dapat mengetahui secara detail hal-hal pertikular masa mendatang yang tak terbatas? Bagaimana bisa terhimpun di dalam jiwa makhluk-pada satu waktu, tanpa adanya keadaan-keadaan suksesif-pengetahuan-pengetahuan partikular yang terbagi-bagi, dan terbatas serta tak dapat dihitung banyaknya? Orang yang akalnya tidak dapat menguji kemustahilan pengetahuan-pengetahuan biarlah merasakan keputusasaan karena keterbatasan akalnya.
Jika mereka berbalik arah dan mencoba untuk mengambil sikap yang sama terhadap doktrin kami mengenai pengetahuan Tuhan, maka ia harus menerima bahwa telah disepakati bahwa hubungan pengetahuan Tuhan dengan objeknya tak dapat dibandingkan dengan hubungan antara pengetahuan makhluk dengan obyeknya. Apabila jiwa falak berfungsi sama seperti jiwa manusia, tentu kedua jiwa itu harus sama. Karena eksistensinya sebagai “yang mengetahui” hal-hal partikular-melalui berbagai sarana dan perantara-adalah karakteristiknya yang sudah umum. Validitas dari perbandingan ini secara konklusif tidak dapat dibuktikan, tetapi ada kemungkinan yang kuat untuk itu. Meskipun kemungkinan ini tak ada, perbandingan itu pada akhirnya menjadi mungkin. Dan kemungkinan saja dapat menyangkal klaim mereka bahwa bukti akan kebalikan itu adalah konklusif.


Jika dikatakan:
Dengan substansinya jiwa manusia juga berhak untuk mengetahui segala hal. Tetapi kesibukan jiwa dengan hasil- hasil nafsu, kemarahan, ketamakan, dengki, kelaparan, dan rasa sakit, dan pendeknya, peristiwa-peristiwa tubuh, dan hasil-hasil dari fungsi-fungsi indriawi memalingkan perhatiannya. Sebab apabila jiwa manusia menginginkan satu hal, ia lupa pada yang lain. Tetapi jiwa-jiwa selestial bebas dari sifat-sifat ini. Tidak ada apa pun yang dapat mengganggu mereka. Tidak ada kesusahan atau imajinasi yang dapat menenggelamkan mereka. Karena itu, mereka mengetahui segala sesuatu.

Kami akan menjawab:
Bagaimana Anda mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang mengganggu mereka? Bukankah peribadatan mereka kepada Prinsip Pertama, dan kerinduan mereka pada-Nya suatu jenis gangguan atau kesibukan yang dapat menghalangi mereka dari memiliki representasi atau abstraksi mengenai ‘hal-hal partikular yang dapat dianalisis? Sekali lagi, apa yang mencegah seseorang untuk mengandaikan bahwa di sana ada beberapa penghalang lain di samping kemarahan, keinginan, atau penghalang- penghalang indriawi pada umumnya? Bagaimana Anda tahu bahwa penghalang-penghalang hanya terbatas pada apa yang kita saksikan sendiri? Di dalam diri manusia yang berakal terdapat kesibukan-kesibukan berupa keinginan yang tinggi dan keinginan akan jabatan, yang, meskipun demikian, tak dapat dipikirkan oleh anak-anak dan tak dapat mereka diyakini sebagai suatu kesibukan atau penghalang. Lalu bagaimana seseorang dapat mengetahui kemustahilan suatu hal yang, dalam pengertian ini, merupakan suatu kesibukan atau penghalang bagi jiwa-jiwa falak?
Inilah yang ingin kami ajukan sebagai tema diskusi mengenai ilmu-ilmu pengetahuan yang disebut oleh para flisuf ‘ilmu-ilmu metafisik ‘. Semuanya enam belas masalah. Segala puji hanya bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw.

ILMU-ILMU FISIKA
Ilmu-ilmu yang mereka sebut ‘fisika ‘jumlahnya banyak. Kami hanya akan menyebutkan sebagiannya saja, sehingga akan terlihat bahwa syara’ tidak perlu menolaknya, kecuali beberapa segi yang telah kami sebutkan.

Ilmu-ilmu ini dibagi ke dalam ilmu-ilmu yang pokok (usul) dan ilmu-ilmu cabang (furu). Ilmu-ilmu yang pokok ada delapan:
Wacana tentang semua hal yang berhubungan dengan tubuh sebagai tubuh yaitu, pembagian, gerakan, perubahan, dan semua yang menurut gerakan dan mengikutinya, yaitu waktu, ruang dan kekosongan. Inilah masalah yang dikandung dalam buku yang disebut Physics (Sam’ al-Kiyan).
Pembicaraan mengenai berbagai macam bagian komponen alam (seperti langit dan semua yang berada di lembah falak bulan- berupa elemen-elemen yang empat-watak-watak alamiahnya dan sebab lokasi masing-masing di suatu tempat tertentu. Hal ini didiskusikan di dalam buku yang berjudul De coelo (as-Sama’ wa al-Alam as-Sufla).
Pembicaraan mengenai hukum penciptaan dan kerusakan, perkembangan dan reproduksi serta pertumbuhan dan kelenyapan, transformasi-transformasi, dan cara preservasi spesies, meskipun kerusakan yang terjadi pada hal-hal individual disebabkan oleh dua gerakan selestial-ke arah timur dan ke arah barat. Hal ini didiskusikan di dalam buku yang berjudul De generatione et corruptione (al-Kawn wa al-Fasad).
Pembicaraan tentang kondisi-kondisi aksidental dari keempat elemen yang percampurannya terjadi pada fenomena meterologis -seperti, awan, hujan, halilintar, kilat, lingkaran cahaya (halo), pelangi, petir, angin, dan gempa bumi.
Studi tentang substansi-substansi mineral.
•    Ilmu tentang tumbuh-tumbuhan (botani).
•    Studi tentang binatang-binatang, dan ini dibicarakan dalam buku Historia Animalium (Tabai al-Hayawan).

Studi tentang jiwa binatang dan fakultas-fakultas persepsi, dengan menunjukkan bahwa jiwa manusia tidak mati karena kematian tubuh, tetapi bahwa ia adalah substansi spiritual yang mustahil lenyap.
•    Ilmu-ilmu cabang ada tujuh.
•    Kedokteran. Maksudnya, ilmu yang bertujuan untuk mengetahui prinsip-prinsip tentang tubuh manusia, kondisi-kondisi, seperti kesehatan dan sakit, sebab-sebab dari kondisi-kondisi ini, dan simptom- simptomnya, sehingga penyakit dapat dicegah, dan kesehatan tetap terjaga.
•    Astrologi (ahkam an-nujum), yaitu jenis estimasi yang didasarkan pada figur-figur dan konstelasi-konstelasi bintang-bintang, seperti ramalan tentang apa yang akan terjadi pada alam dan penduduk, bagaimana watak jadinya anak-anak bayi yang baru lahir, dan bagaimana tahun-tahun akan berjalan.
•    Fisiognomi (ilm al-irasah), ilmu yang menyimpulkan karakter moral dari penampilan fisik.
•    Takwil mimpi (ta’bir), yang berisi uraian yang ditarik dari imajiimaji mimpi, mengenai apa yang disaksikan jiwa tentang alam gaib, dan fakultas imajinatif pun menggambarkannya melalui suatu simbol yang berbeda.
•    Ilmu jimat (‘ilm at-talsamat), pengetahuan tentang pemaduan kekuatan-kekuatan selestial dengan kekuatan-kekuatan beberapa tubuh terestial supaya muncul-dari perpaduan itu-kekuatan lain yang akan melakukan pekerjaan yang aneh-aneh di bumi.

•    Ilmu sihir atau sulap (‘ilm al-niranjat), pengetahuan tentang pemaduan substansi-substansi bumi untuk melahirkan hal-hal yang aneh.
•    Ilmu kimia (‘ilm al-kimiya’), pengetahuan yang bertujuan untuk mengubah ciri-ciri khas substansi- substansi mineral, sehingga pada akhirnya emas dan perak dapat diciptakan melalui rekayasa.


Syara’ tidak harus menentang satu pun dari ilmu-ilmu ini. Namun kami menentang para pemegang ilmu-ilmu ini dalam empat masalah.
Pertama, postulat mereka bahwa hubungan yang eksistensinya kasat mata antara sebab-sebab dan akibat-akibat, merupakan suatu hubungan yang lazim, dan bahwa mustahil atau tidak mungkin untuk menciptakan suatu sebab yang tidak diikuti oleh akibatnya, atau mustahil untuk mewujudkan suatu akibat yang terlepas dari sebab (yang lumrah).
Kedua, pernyataan mereka bahwa jiwa manusia merupakan substansi-substansi yang berdiri sendiri dan tidak terpatri pada tubuh, dan bahwa kematian berarti terputusnya hubungan jiwa manusia dengan tubuh, ketika fungsi pengaturnya terputus. Sebab mereka mendasarkan pada argumen bahwa jiwa ada dengan sendirinya pada saat kematian. Dan mereka katakan, ini diketahui melalui argumen rasional.
Ketiga, pernyataan mereka bahwa kepunahan jiwa ini adalah mustahil, dan bahwa sekali dicipta, jiwa-jiwa itu kekal abadi yang kelenyapannya mustahil.
Keempat, pernyataan mereka bahwa kembalinya jiwa ke tubuh adalah mustahil.

Yang pantas dikritik dari pendapat-pendapat para filsuf itu adalah masalah yang pertama. Sebab berdasar atas kritik itu akan dibangun penegasan tentang mukjizat-mukjizat yang luar biasa, seperti berubahnya tongkat menjadi seekor ular, menghidupkan kembali orang mati, dan pecahnya bulan. Orang yang mengatakan bahwa, perjalanan alami peristiwa-peristiwa biasa adalah niscaya dan tak dapat diubah, menganggap semua mukjizat adalah sesuatu yang mustahil. Maka para filsuf memberikan interpretasi metaforis terhadap referensi-referensi Alquran berupa penghidupan kembali orang mati, dengan mengatakan bahwa itu berarti peniadaan kematian yang timbul dari kebodohan, dengan kehidupan yang timbul dari pengetahuan. Atau mereka menakwilkan ditelannya sihir tukang tukang sihir oleh tongkat, dengan mengatakan bahwa itu berarti pembatalan keragu- raguan orang-orang yang tidak percaya dengan bukti Ilahi yang dimanifestasikan di tangan Musa As. Adapun pecahnya bulan, mereka sering kali menyangkal fakta itu dan mengatakan bahwa transmisi hadisnya tidak mutawatir.
Dan hanya tiga perkara dari mukjizat-mukjizat luar biasa yang ditegaskan oleh para filsuf.
Pertama, mengenai fakultas khayalan mereka mengatakan: Apabila fakultas ini menjadi matang dan tangguh, dan apabila kesibukan-kesibukan indriawi tidak menenggelamkannya, ia tentu bisa menyaksikan lawh al-mahfuz.. Karena itu, maka bentuk dari halhal partikular yang akan terjadi di masa mendatang terpatri padanya. Hal ini terjadi dalam keadaan sadar bagi para nabi, dan hanya dalam tidur, bagi semua orang biasa. Inilah keistimewaan nabawi yang terdapat dalam fakultas imajinasi.

Kedua, mengenai fakultas pemikiran teoretis-rasional. Para filsuf mengatakan:
Fakultas ini secara aktual mengacu kepada kekuatan intuitif, yaitu cepatnya perpindahan dari satu objek pengetahuan kepada objek yang lain. Seorang yang cerdas menyadari dari bukti, hanya dengan menyebutkan hal yang dibuktikan, dan ketika disebutkan dalilnya, ia langsung bisa menangkap yang ditunjuk oleh dalil itu dengan kemampuan dirinya. Ringkasnya, apabila terma tengah (alhadd al-awsat) terjadi padanya, dia akan bisa menangkap kesimpulan. Atau jika dua terma yang terjadi dalam kesimpulan dihadirkan kepada pikirannya, terma tengah yang memadu term-term kesimpulan muncul di dalam pikirannya.
Manusia dalam hal kekuatan ini terbagi ke dalam berbagai kelas. Ada yang sadar dengan sendirinya. Lalu ada orang yang membutuhkan beberapa rangsangan, betapa pun kecilnya, supaya sadar. Dan akhirnya, ada orang yang tidak bisa sadar, sampai dia bersusah payah dan berusaha sekuat tenaga. Apabila diperbolehkan bahwa sisi kekurangan (tarf an-nuqsan) berakhir secara ekstrem pada orang yang sama sekali tidak mempunyai intuisi-sehingga sekalipun terdapat semua stimulus, dia tidak mampu untuk memahami objek-objek pemikiran (al-ma’qulat)- juga diperbolehkan bagi sisi potensi dan pertambahan untuk berakhir secara ekstrem pada orang yang menyadari semua objek pemikiran (al-ma’qulat), atau pada sebagian besar darinya, dalam waktu yang paling singkat dan paling cepat.
Hal itu berbeda secara kuantitatif dalam seluruh tuntutan atau sebagiannya, atau berbeda dalam caranya sehingga terdapat ketidaksamaan dalam kedekatan dan kejauhannya. Karena itu, suatu jiwa yang suci dan murni mempunyai pemahaman intuitif mengenai semua hal yang dapat dipahami dalam waktu sangat singkat. Dialah seorang nabi, yang fakultas teoretisnya adalah mukjizat. Dalam hal objek pikiran, dia tidak membutuhkan seorang guru, bahkan seakanakan dia mengetahui dari dirinya. Dia adalah figur yang disifati bahwa minyaknya (saja) hampir berkilau sendiri, walau tiada api menyentuhnya! Cahaya di atas cahaya!’
Ketiga, mengenai fakultas praktis jiwa. Para filsuf mengatakan:
Fakultas ini berkembang sedemikian jauh sehingga hal- hal yang bersifat fisik dapat dipengaruhi dan dikontrol olehnya. Misalnya, apabila jiwa kita mengkhayalkan suatu hal, anggota- anggota tubuh dan fakultas-fakultasnya melayaninya dengan bergerak menuju ke arah yang dikhayalkan dan yang diinginkan. Maka apabila seseorang mengkhayalkan sesuatu yang manis, air ludahnya dan fakultas kelenjar ludahnya yang menyebabkan air ludah mengalir dari sumbernya, terjadi. Demikian pula, apabila seseorang mengkhayalkan suatu hubungan seksual, suatu fakultas tertentu dan organ (genital) terangsang. Atau apabila seseorang berjalan di atas sebuah papan yang dijulurkan dan kedua ujungnya disangkutkan pada dua tembok, khayalan-khayalannya untuk jatuh bertambah. Akibatnya, tubuhnya menjadi pasif pada khayalannya dan dia pun terjatuh. Apabila papan itu diletakkan di atas tanah, dia berjalan di atasnya dan tidak jatuh.
Ini terjadi, karena tubuh-tubuh dan fakultas-fakultas tubuh diciptakan untuk menjadi pelayan dan subordinat bagi jiwa. Pelayanan berbeda-beda sesuai besar atau kecilnya kebersihan dan kekuatan jiwa. Karenanya, tidak diragukan lagi bahwa kekuatan jiwa begitu besarnya sehingga kekuatan-kekuatan fisik yang berada di luar tubuhnya tunduk dan melayaninya. Karena jiwa tidak ditanamkan pada tubuh, ia hanya memiliki suatu kecenderungan tertentu ke arah, dan senang pada kecenderungan atau keinginan yang telah diciptakan menjadi bagian dari wataknya. Karenanya, apabila bagian-bagian luar tubuh itu tunduk terhadapnya, maka tak ada alasan bagi selain tubuhnya untuk tunduk kepadanya.
Inilah alasan mengapa bila jiwa seseorang merenungkan berhembusnya angin, jatuhnya hujan, berkumpulnya halilintar, atau bergetarnya bumi untuk menggulung suatu masyarakat, yang kesemuanya merupakan fenomena alam yang kejadiannya tegantung pada munculnya panas, dingin, atau gerak di udara, maka panas atau dingin tersebut muncul di dalam jiwa, dan fenomena ini muncul darinya, meskipun tak ada sebab fisik yang tampak. Inilah mukjizat Nabi. Tetapi hal tersebut hanya terjadi di ruang yang siap menerimanya. Sebab mustahil bagi mukjizat untuk sebegitu jauh mengubah selembar kayu bakar menjadi binatang, atau pecahnya bulan yang tidak menerima kondisi pecah.
Inilah pendapat mereka tentang mukjizat-mukjizat. Kami tidak ingin menyanggah sesuatu pun dari yang mereka sebutkan di sini. Karena hal-hal tersebut termasuk bagian para nabi. Tetapi kami harus mengkritik mereka karena mereka berhenti di tempat mereka berhenti dan karena mereka menyangkal perubahan tongkat menjadi ular, atau penghidupan kembali orang mati dan sebagainya. Maka dari itu, persoalan ini menuntut suatu pendalaman karena dua alasan. Pertama, untuk membuktikan mukjizat. Kedua, untuk memenangkan suatu doktrin yang disepakati oleh umat Islam, seperti bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Karenanya, marilah kita teruskan pada pembahasan mendalam yang dimaksud.[]

LihatTutupKomentar