Pencipta dan Penciptaan Alam dalam Perspektif Filsafat

Pencipta Alam dalam Perspektif Filsafat Ketakmampuan Para Filsuf Membuktikan Secara Rasional Bahwa Alam Memiliki Pencipta Dan Sebab Tuhan Mengetahui

Pencipta dan Penciptaan Alam dalam Perspektif Filsafat

 Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/  19 December 1111-  Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi 

  1. Masalah Kesepuluh: Ketakmampuan Para Filsuf Membuktikan Secara Rasional Bahwa Alam Memiliki Pencipta Dan Sebab  
  2. Masalah Kesebelas: Perkataan Sebagian Filsuf Bahwa Tuhan Mengetahui Yang Lainnya Serta Pelbagai Spesies Dan Genus Secara Universal 
  3. Footnote
  4. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah

MASALAH KESEPULUH: Ketakmampuan Para Filsuf Membuktikan Secara Rasional Bahwa Alam Memiliki Pencipta Dan Sebab

Kami katakan:
rang yang berpendapat bahwa seluruh tubuh diciptakan atau memiliki awal temporal (hadis) karena ia tidak pernah lepas dari perubahan-perubahan, maka
pendapatnya dapat diterima akal sehat jika dia mengklaim bahwa tubuh membutuhkan suatu sebab atau pencipta. Tetapi apakah yang mencegah para filsuf dari mengatakan-sebagaimana kaum materialis katakan-bahwa:
“Alam adalah kekal (qadim) dan tidak mempunyai sebab atau pencipta. Suatu sebab hanya diperlukan oleh sesuatu yang bermula di dalam lingkup waktu (hawadis). Tak satupun dari tubuh-tubuh di dunia bermula di dalam waktu dan tidak akan hancur, sebab yang bermula di dalam waktu hanyalah bentuk- bentuk dan aksidenaksiden (as-suwar wa al-a’rad). Tubuh-tubuh yang berada di langit-langit adalah kekal (qadim). Dan unsur- unsur yang empat, yang merupakan isi falak bulan serta tubuh- tubuh dan materinya adalah kekal. Di atasnya, bentuk-bentuk saling berganti dengan melalui kombinasi dan transformasi.

Kemudian jiwa manusia dan binatang serta jiwa tumbuh- tumbuhan bermula dalam waktu. Seluruh rangkaian sebab dari segala sesuatu yang bermula itu berakhir pada gerak putar. Gerak putar itu kekal, sumbernya menjadi jiwa kekal bagi falak. Semua ini menunjukkan bahwa alam tidak mempunyai sebab dan bahwa tubuh-tubuh di dalam alam tidak mempunyai pencipta. Alam tetap seperti adanya, demikian pula tubuh-tubuh di dalam alam akan tetap kekal, dan tidak mempunyai sebab.”
Lalu apa yang dimaksud oleh para filsuf dengan mengatakan bahwa tubuh-tubuh eksistensinya memiliki sebab, padahal ia adalah sesuatu yang kekal?


Apabila dikatakan:
Setiap yang tak bersebab adalah wajib al-wujud. Sehubungan dengan sifat-sifat wajib al-wujud, kami telah mengemukakan alasan mengapa tubuh tidak merupakan wajib al-wujud.

Kami akan menjawab:
Dan kami pun telah menjelaskan kesalahan dari apa yang Anda anggap sebagai sifat-sifat wajib al-wujud, sebab telah kami tunjukkan bahwa demonstrasi rasional (burhan) tidak membuktikan sesuatu apa pun kecuali kemustahilan rangkaian rantai sebab akibat tak berujung, dan kaum materialis memotong- pada awal persoalan-rangkaian itu dengan mengatakan bahwa:
“Tubuh-tubuh tidak bersebab. Adapun bentuk-bentuk dan aksiden-aksiden (al-a’rad), sebagian darinya adalah sebab-sebab bagi yang lainnya sehingga akhirnya rangkaian itu berujung pada gerak putar. Sebagian dari gerak putar merupakan sebab bagi gerak putar lainnya-sebagaimana pemikiran yang dianut para filsuf-tetapi rangkaian kausal itu berakhir pada gerak putar.”
Dengan demikian, orang yang memerhatikan keterangan dan ulasan yang telah kami sebutkan akan melihat ketidakmampuan semua orang yang memercayai eternitas tubuh untuk mengklaim bahwa tubuh itu bersebab. Orang- orang ini secara konsisten terikat untuk menerima materialisme dan ateisme, sebagaimana yang dinyatakan secara lantang oleh beberapa pemikir, yang menyetujui asumsi-asumsi para filsuf.


Apabila dikatakan:
Argumen kami: apabila tubuh-tubuh ini diandaikan merupakan wajib al-wujud, maka ia akan menjadi absurd. Dan apabila tubuhtubuh merupakan sesuatu yang mungkin, maka setiap yang mungkin membutuhkan sebab.


Kami akan menjawab:
Kata wajib al-wujud (sesuatu yang niscaya ada) dan mumkin alwujud (sesuatu yang mungkin ada) di sini tidak bisa dipahami. Semua kerancuan yang ditimbulkan oleh para filsuf terletak pada kedua kata ini. Mari kita lihat kembali pemahaman mereka, yaitu negasi sebab (nafy al-’illah) dan afirmasinya. Seakan-akan mereka mengatakan, tubuh-tubuh ini dapat mempunyai sebab atau tidak? Kaum materialis pun mengatakan bahwa tubuh-tubuh tidak mempunyai sebab. Mengapa para filsuf harus menyalahkan kaum materialis itu? Dan apabila yang dimaksud dengan kemungkinan (imkan) adalah sesuatu yang memiliki sebab, maka kami akan mengatakan bahwa tubuh adalah sesuatu yang wajib, bukan mungkin. Jika mereka mengatakan bahwa mustahil tubuh merupakan wajib, (berarti) mereka telah mengemukakan asumsi yang tidak berdasar sama sekali.

Apabila dikatakan:
Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa tubuh mempunyai bagian-bagian, bahwa keseluruhan (kull) terdiri dari bagian-bagian, dan bahwa bagian-bagian secara esensial mendahului keseluruhan.


Kami akan menjawab:
Biarlah begitu. Biarlah keseluruhan (kull) terbentuk dari bagianbagian dan kombinasi dari bagian-bagian itu. Bahkan, biarlah bagianbagian dan kombinasinya merupakan sesuatu yang kekal dan tanpa sebab efisien. Para filsuf tidak mungkin dapat membuktikan kemustahilan asumsi-asumsi ini, kecuali mereka mempergunakan argumen yang mereka kemukakan untuk membuktikan kemustahilan pluralitas pada maujud pertama. Dan kami telah menyanggah argumen itu (dalam masalah kelima) dan tak ada cara lain untuk membantahnya.
Jelaslah bahwa orang yang tidak memercayai keberawalan tubuh, maka keyakinannya tentang pencipta tidak memiliki dasar sama sekali.

MASALAH KESEBELAS: Perkataan Sebagian Filsuf Bahwa Tuhan Mengetahui Yang Lainnya1 Serta Pelbagai Spesies Dan Genus Secara Universal

Kami katakan:
agi umat Muslimin, pembagian wujud ke dalam wujud yang temporal dan yang kekal merupakan suatu pembagian yang sempurna. Dan menurut mereka,
tiada yang kekal selain Allah dan sifat-sifat-Nya. Karena apa pun selain Dia, eksistensinya memiliki awal temporal (hadis), berada di bawah pengaruh Allah dan kehendakNya. Dari pendapat semacam ini, pengetahuan Tuhan, sebagaimana yang mereka kemukakan, harus merupakan suatu premis yang niscaya (muqaddimah daruriyyah). Sebab objek kehendak mesti diketahui oleh orang yang berkehendak. Dari sini, mereka kemudian menyimpulkan bahwa seluruh alam semesta (kull) diketahui oleh-Nya, karena alam semesta dikehendak-Nya dan menggantungkan asal-mulanya pada kehendak-Nya. Alam semesta berasal dari kehendak-Nya. Dan bila telah terbukti bahwa Dia adalah yang berkehendak dan yang mengetahui apa yang Ia kehendaki, terbuktilah bahwa Dia juga harus disebut Yang Hidup (Hayy). Setiap wujud hidup yang mengetahui yang lainnya, maka pengetahuan tentang dirinya tentu lebih jauh. Maka, alam semesta-menurut pandangan umat Muslim-menjadi objek pengetahuan Tuhan. Mereka juga dapat menerima teori ini setelah jelas bagi mereka bahwa Tuhan berkehendak untuk menciptakan alam.
Tetapi Anda telah menyatakan bahwa alam kekal, dan bahwa alam tak pernah tercipta karena kehendak Tuhan. Karena itu, bagaimana Anda mengetahui bahwa dia mengetahui segala sesuatu selain diri-Nya? Anda harus membangun suatu argumen untuk membuktikannya.
Intisari keterangan terperinci Ibnu Sina tentang masalah ini, sebagaimana dikemukakan di dalam berbagai bagian dari filsafatnya, dapat diringkas dalam dua ulasan berikut:
Pertama: Tuhan adalah suatu maujud yang bukan- dalam-materi. Setiap maujud yang bukan dalam materi adalah akal murni. Semua objek akal dapat diketahui olehnya. Yang menghalangi akal untuk mengetahui segala sesuatu secara keseluruhan adalah keterkaitannya dan kesibukannya dengan materi. Jiwa manusia sibuk dengan pengarahan materi, yaitu tubuh. Apabila kematian telah mengakhiri kesibukannya, dan apabila tubuh tidak terkotori oleh libido badani dan sifat-sifat buruk-yang bisa merasuk ke dalamnya seperti infeksi bagi tubuh-flsik, maka realitas segala objek pemikiran (ma’qulat) akan tersingkap sedemikian rupa. Demikian lah, disepekati pula bahwa semua malaikat mengetahui segala objek pemikiran (ma’qulat) tanpa kecuali, karena semua malaikat juga akal-akal murni yang tidak berada dalam materi.

Kami akan menjawab:
Apabila yang Anda maksudkan dengan perkataan ‘Tuhan adalah suatu maujud yang bukan dalam materi’ adalah bahwa dia bukan tubuh dan tidak terpasang pada tubuh, tetapi berdiri sendiri secara independen, tanpa lokasi atau dimensi tertentu, maka semua ini tak perlu diperdebatkan lagi. Maka tinggal perkataan Anda bahwa sesuatu yang bersifat tersebut ini2 adalah akal murni. Lalu, apa yang Anda maksud dengan akal? Jika yang Anda maksud dengan akal adalah sesuatu yang mengetahui sesuatu, maka itulah masalah yang menjadi perdebatan diantara kita. Bagaimana Anda memasukkannya ke dalam premis-premis silogisme yang akan memberi Anda kesimpulan yang Anda cari? Namun, jika yang Anda maksud dengan akal itu adalah sesuatu yang lainnya, misalnya, bahwa akal adalah sesuatu yang mengetahui diri-Nya sendiri, maka barangkali itulah pendapat yang akan diterima saudara-saudara Anda para filsuf. Tetapi kesimpulan yang (sebenarnya) Anda tuju adalah bahwa zat yang mengetahui dirinya sendiri juga mengetahui yang lain. Maka, pertanyaan untuk Anda: mengapa Anda membuat pernyataan demikian? Pernyataan ini bukan merupakan kebenaran daruri. Diantara semua filsuf, hanya Ibn Sina yang berpandangan demikian. Karenanya, bagaimana Anda mengakui kesimpulan itu sebagai suatu fakta yang terbukti secara daruri’? Namun, jika kesimpulan itu Anda anggap pengetahuan teoretis, apa argumen Anda untuk membuktikannya?

Jika dikatakan:
Akal yang murni mengetahui segala sesuatu. Materi adalah penghalang untuk mengetahui segala sesuatu. Karenanya, begitu materi tak ada, penghalang juga tak ada.

Kami akan menjawab:
Kami setuju bahwa materi adalah penghalang. Tetapi kami tidak setuju kalau dikatakan bahwa materi saja penghalangnya. Silogisme para filsuf, yang merupakan suatu silogisme hipotetis (qiyas syarti), dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.    apabila entitas ini di dalam materi, ia tidak akan mengetahui segala sesuatu.
2.    tetapi ia tidak di dalam materi.
3.    karenanya, ia mengetahui segala sesuatu.

Ini adalah model pengecualian (istisna) naqid muqaddim (kebalikan antiseden), yang—disepakati bahwa—kesimpulannya tidak mengharuskan kemestian. Itu seperti perkataan:
1.    apabila ini adalah manusia, dia adalah hewan.
2.    tetapi ini bukan manusia.
3.    karenanya, dia bukan hewan.

Di sini kesimpulannya bukan merupakan sesuatu yang mesti (lazim). Sebab apabila dia bukan manusia, dia mungkin kuda, dankarenanya-ia adalah hewan. Ya, kebalikan daripada konsekuensinya (naqid at-tali) mengharuskan suatu kesimpulan yang lazim dari pengecualian kebalikan antiseden, apabila suatu syarat tertentu yang disebutkan di dalam logika dipenuhi-yaitu, apabila terbukti bahwa konsekuen (tali) dan antiseden (muqaddim) saling bertentangan. Dan ini dimungkinkan hanya apabila diantara para filsuf, semua alternatif dibicarakan secara tuntas. Misalnya, para filsuf mengatakan:
1.    apabila matahari terbit, hari akan siang.
2.    tetapi matahari tidak terbit.
3.    karenanya, hari tidak siang.

Di sini kesimpulannya valid. Sebab hanya terbitnya matahari saja yang menjadi penyebab adanya siang. Konsekuensi (tali) dan antiseden (muqaddim) saling bertentangan. Lebih lanjut tentang uraian istilah-istilah teknis ini akan dapat dilihat dalam buku Mi’yar al-‘Ilm, yang kami tulis sebagai bagian tak terpisah dari buku ini.


Kedua: tesis Ibn Sina dapat dikemukakan sebagai berikut:
Meskipun kami tidak mengatakan bahwa Tuhan adalah yang berkehendak atas bermulanya alam, dan bahwa alam semesta memiliki awal dalam kalkulasi rangkaian waktu, kami pun mengatakan bahwa alam semesta adalah karya-Nya (i’luh), dan bahwa alam berasal dari-Nya. Hanya, yang ingin kami katakan adalah bahwa Dia masih tetap mempunyai sifat yang dimiliki oleh para pelaku (fa’ilun). Maka dia masih tetap merupakan seorang pelaku (fa’i). Tetapi di luar semuanya ini, kami tidak sepakat dengan yang lain. Dan sejauh pertanyaan fundamental “apakah alam merupakan karya Tuhan” diperhatikan, mutlak tak ada perbedaan pendapat. Apabila telah disepakati bahwa seorang pelaku harus mengetahui pekerjaannya, maka semuanya-menurut keyakinan kami-berasal dari karya-Nya.

Jawabannya dari dua sudut:
Pertama, pebuatan ada dua macam: (a) perbuatan yang disengaja atau memang dikehendaki (il iradi), seperti perbuatan hewan dan manusia; dan (b) perbuatan alami seperti perbuatan matahari di dalam menyinari, perbuatan api di dalam memanaskan, dan perbuatan air di dalam mendinginkan. Pengetahuan tentang perbuatan adalah sesuatu yang niscaya dalam konteks perbuatan yang disengaja saja. Misalnya, di dalam hasil karya seni manusia. Tetapi dalam konteks perbuatan alami, tahu terhadap perbuatan yang dilakukan adalah sesuatu yang tidak mesti (lazim). Sedangkan menurut Anda:
‘’Alam adalah suatu karya Tuhan, yang terjadi sebagai suatu konsekuensi niscaya dari esensi-Nya-secara alami, atau melalui paksaan dan tidak berdasar kehendak serta ikhtiyar (kebebasan memilih untuk berbuat). Maka alam semesta niscaya (lazim) berasal dari esensi-Nya, seperti sinar yang mesti berasal dari matahari. Dan sebagaimana matahari yang tak mampu untuk manahan sinar, atau sebagaimana api yang tak mampu untuk menahan panas (yang keluar darinya), demikian juga Tuhan tidak mampu untuk menahan perbuatanperbuatan- Nya.”
Mahatinggi Allah dari segala yang dikatakan oleh para filsuf di atas. Meskipun hal tersebut boleh disebut sebagai suatu perbuatan, itu sama sekali tidak mengharuskan pengetahuan dari pelakunya.
 


Jika dikatakan:
 
Di antara kedua kasus itu3 (alam semesta mesti berasal dari esensi Tuhan dan sinar mesti berasal dari matahari) terdapat perbedaan. Yaitu, seluruh alam (al-kull) timbul dari esensi-Nya karena pengetahuan-Nya terhadap keseluruhan tersebut. Maka representasi ideal sistem universal (tamassul an-nizam al-kulli) merupakan sebab bagi emanasi seluruh alam, dan tidak ada sebab selain pengetahuan terhadap seluruh alam. Pengtahuan-Nya tentang seluruh alam identik dengan diri-Nya sendiri. Apabila dia tidak mempunyai pengetahuan tentang alam, maka alam tidak tercipta-berbeda dengan emanasi sinar dari matahari.


Kami akan menjawab:
Dalam hal ini, rekan-rekan Anda (para filsuf ) tidak sependapat dengan Anda. Mereka mengatakan bahwa eksistensi alam semesta niscaya berasal dari esensi-Nya sesuai dengan level- level realitasnya sebab karakter dasar (tabi’) dan keterpaksaan (idtirar), tidak karena kapasitasnya sebagai “yang tahu” (al- ’alim) terhadapnya. Selama Anda sependapat dengan para filsuf lain di dalam menolak kehendak, dan sebagaimana Anda tidak berpandangan bahwa pengetahuan matahari terhadap sinar harus merupakan syarat bagi emanasi sinar dari matahari- tetapi sebaliknya, bahwa sinar lazim berasal dari matahari-, maka keterangan serupa harus diterapkan dalam konteks pengetahuan Tuhan. Sebab Anda tidak punya alasan untuk tidak melakukannya.

3    Yakni, pertama bahwa alam semesta lazim berasal dari esensi Tuhan dan kedua sinar lazim berasal dari matahari.

Kedua, para filsuf dapat menerima tesis bahwa prosesi terwujudnya sesuatu dari pencipta (fa’il) mengharuskan pengetahuan pencipta tentang sesuatu tersebut. Maka, menurut mereka, perbuatan Tuhan adalah satu, yaitu akibat pertama yang berupa akal sederhana (‘aql basit). Tuhan tidak mengetahui sesuatu kecuali akal sederhana tersebut (sebagai akibat langsung). Alam semesta tidak diciptakan oleh Allah sekaligus semuanya. Tetapi sebaliknya, melalui perantara dan secara tidak langsung melalui perkembangan dan konsekuensi-konsekuensi. Karenanya, yang berasal dari “sesuatu” yang berasal dari Tuhan tidak harus diketahui-Nya. Dan dari-Nya hanya muncul satu hal (dan hanya itu yang Dia ketahui).
Bahkan pengetahuan bukan kemestian bagi konsekuensi- konsekuensi tak langsung dari perbuatan yang berdasar kehendak. Lalu bagaimana pengetahuan itu merupakan kemestian bagi konsekuensi-konsekuensi tak langsung dari peristiwa alamiah? Misalnya, gerakan sebuah batu dari puncak gunung, yang kadang-kadang disebabkan oleh gerakan yang berdasar kehendak, harus mengetahui asal gerakan, tetapi gerakan itu tidak harus mengetahui efek-efek sesudah gerakan tersebut, yang berupa berbagai perkembangan kejadian yang menjadikan gerakan bertindak sebagai perantara, semisal jatuhnya batu ke atas benda lain dan memecahkannya.
Para filsuf tak bisa memberikan komentar balik atas sanggahan ini.


Jika dikatakan:
Kalau kami menetapkan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun kecuali diri-Nya, tentu hal itu sangat tidak bisa diterima. Sebab yang lain mengetahui dirinya sendiri dan Tuhan serta dan hal-hal selain dirinya. Jika demikian, hal-hal yang lain lebih terhormat daripada Tuhan. Tetapi bagaimana mungkin akibat (hal-hal lain) lebih mulia daripada sebab (Tuhan)?


Kami akan menjawab:
Ketidaksetujuan ini merupakan suatu konsekuensi niscaya dari kecenderungn filsafat untuk menolak kehendak Tuhan ide bermulanya alam. Karena itu, Anda harus melakukannya juga (harus menolak ide kalau Tuhan berkehendak bahwa alam memiliki awal waktu), sebagaimana dilakukan semua filsuf yang lain. Atau, jika tidak, Anda harus meninggalkan filsafat dan mengakui bahwa alam menggantungkan asal-mulanya pada kehendak Tuhan.
Kemudian harus dipertanyakan kepada Ibn Sina, bagaimana Anda bisa tidak sependapat dengan filsuf yang mengatakan bahwa pengetahuan tidak terkait peringkat kemuliaan? Pengetahuan hanya merupakan sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk dimanfaatkan sehingga bisa memperoleh kesempurnaan. Dalam esensinya, ia tidak sempurna. Dan manusia, menurut wataknya, tidak sempurna. Karenanya, dia membutuhkan pengetahuan supaya menjadi sempurna. Dia memuliakan dirinya sendiri dengan pengetahuan tentang objek-objek pemikiran (ma’qulat), baik untuk mengetahui sesuatu yang baik baginya di dunia atau di Akhirat, atau untuk menyempurnakan esensi dirinya yang “gelap” dan tak sempurna.
Demikian pula semua makhluk yang lain. Tetapi zat Allah tidak memerlukan penyempurnaan. Bahkan kalau kita mengandaikan bahwa Allah ingin sempurna dengan pengetahuan, tentu kita menganggap esensi-Nya, sebagai esensi itu sendiri, adalah tidak sempurna.
Ini sama seperti yang Anda katakan mengenai pendengaran, penglihatan dan pengetahuan tentang partikularia- partikularia (aljuz’iyyat) yang berada dalam lingkaran waktu. Anda setuju dengan para filsuf lain dalam mengatakan: (1) bahwa Tuhan bebas dari semuanya ini, (2) bahwa hal-hal yang dapat berubah dan berada dalam lingkaran waktu, serta yang terbagi ke dalam batasan waktu ‘telah’ dan ‘akan’ tidak dapat diketahui oleh-Nya. Karena pengetahuan terhadap hal tersebut akan mengakibatkan perubahan dan pengaruh terhadap esensi- Nya. Negasi terhadap pengetahuan semacam itu bagi Tuhan bukan merupakan bentuk ketidaksempurnaan, namun justru merupakan bentuk kesempurnaan. Sebab ketidaksempurnaan hanya terletak dalam dunia indra serta kebutuhan terhadapnya. Seandainya tidak (karena) ketidaksempurnaan manusia, tentulah dia tidak membutuhkan indra-indra agar dapat menjaga dirinya sendiri dari sesuatu yang membuatnya menerima perubahan- perubahan.
Demikian pula pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa temporal partikular (hawadis juz’iyyah), seperti Anda katakan yang menunjukkan ketidaksempurnaan. Maka apabila kita mengetahui semua peristiwa temporal dan memahami semua hal yang dapat ditangkap indra (al-mahsusat), sedangkan Tuhan tidak mengetahui partikularia partikularia (juz’iyyat) dan tidak memahami hal-hal yang dapat ditangkap indra, dan apabila ketidaktahuan Tuhan pada partikularia-partikularia tidak membuktikan ketidaksempurnaan-Nya, maka pengetahuan tentang universalia-universalia yang dapat dimengerti (al-kulliyyat al-’aqliyyah) mesti hanya boleh diafirmasikan bagi halhal lain dan tidak bagi Tuhan. Dan ketidaktahuan Tuhan pada universalia- universalia yang dapat dimengerti, tidak akan membuktikan ketidaksempurnaan, karena tidak mengetahui partikularia- partikularia. Tak ada jalan keluar dari masalah ini.[]

Footnote

1    Yakni segala sesuatu selain Tuhan.
2    Sesuatu yang dimaksud adalah tubuh dan yang terpateri pada tubuh, dan seterusnya.

LihatTutupKomentar