Penciptaan Alam dalam Perspektif Filsafat

Ketidakjujuran Para Filsuf Bahwa Tuhan Adalah Pencipta Alam Dan Penjelasan Bahwa Ungkapan Tersebut Hanya Bersifat Metaforis dalam Perspektif Filsafat

Penciptaan Alam dalam Perspektif Filsafat

 Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir:  Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi

  1. Masalah Ketiga: Ketidakjujuran Para Filsuf Bahwa Tuhan Adalah Pencipta Alam Dan Penjelasan Bahwa Ungkapan Tersebut Hanya Bersifat Metaforis
  2. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah

MASALAH KETIGA: Ketidakjujuran Para Filsuf Bahwa Tuhan Adalah Pencipta Alam Dan Penjelasan Bahwa Ungkapan Tersebut Hanya Bersifat Metaforis 

Semua filsuf (kecuali kaum ateis-materialis [ad-dahriyyah]) sepakat dengan pendapat bahwa alam mempunyai seorang pencipta dan bahwa Tuhan adalah Pencipta (Sani’) atau pelaku dalam proses terjadinya (fa’il) alam, dan bahwa alam adalah buatan atau hasil perbuatan-Nya. Tetapi muncul suatu distorsi tak jujur atas prinsip prinsip mereka sendiri. Ada beberapa alasan mengapa, menurut prinsip-prinsip para filsuf, adanya alam sebagai hasil perbuatan atau ciptaan Tuhan menjadi sesuatu yang mustahil. Pertama,—dari alasan alasan ini-dapat dilihat pada watak  pelaku  (fa’il).  Kedua,  pada  watak  perbuatan  (i’l).  Ketiga, pada hubungan antara perbuatan (i’l) dan pelaku (fa’il).
Pertama, alasan yang terdapat pada pelaku ialah bahwa pelaku (fa’il) harus merupakan zat yang memiliki kehendak berbuat (murid), bebas memilih (mukhtar) dan mengetahui (‘alim) atas apa yang dikehendakinya. Tetapi, menurut para filsuf, Tuhan bukan Zat yang berkehendak. Bahkan, Dia sama sekali tak bersifat, dan yang berasal dari-Nya adalah suatu konsekuensi yang niscaya (luzum wa daruri).

Kedua, alasan yang terdapat pada watak perbuatan adalah bahwa suatu perbuatan harus bepermulaan. Tetapi para filsuf mengatakan bahwa alam adalah kekal (qadim).
Ketiga, alasan yang terdapt pada hubungan antara perbuatan dan pelaku adalah bahwa Tuhan tunggal, dari segala aspeknya. Dari yang tunggal hanya akan muncul yang tunggal atau satu hal. Tetapi alam adalah terbentuk dari beragam unsur yang berbeda-beda. Bagaimana ia dapat berasal dari Tuhan yang tunggal?
Mari kita coba analisis masing-masing dari ketiga alasan di atas dan kita lihat betapa rancunya pemikiran mereka kala berusaha keras mempertahankan pendirian mereka.


PERTAMA:
Kami katakan:

Seorang pelaku (fa’il) adalah istilah bagi orang yang menjadi sumber perbuatan yang disertai kehendak (iradah) untuk berbuat: melalui kebebasan untuk memilih—antara berbuat dan tidak serta antara berbagai alternatif perbuatan—(ikhtiyar) dan diikuti pula dengan pengetahuan (‘ilm) tentang apa yang dimaksudkan. Tetapi pandangan Anda menyatakan bahwa alam dalam hubungan Tuhan seperti relasi antara akibat (ma’lul) dan sebab (‘illah)-nya, yang terikat olehh hukum keniscayaan. Karena itu, tak dapat dibayangkan bahwa Tuhan seharusnya menolak keberadaan alam, sebagaimana bayangbayang tak dapat dihindarkan dari seseorang atau melepaskan sinar dari matahari. Ini sama sekali tidak bisa dimasukkan pada tindakan atau perbuatan (i’l). Lebih jauh, orang yang mengatakan “lampu membuat cahaya”, atau “seseorang menciptakan bayang-bayang”, telah menggunakan istilah melebihi batas-batas pengertiannya. Dia meminjam suata kata untuk digunakan di luar konteksnya karena merasa pas dengan “kebersamaan” antara konteks kata yang dipinjam dan yang dipinjami dalam satu sifat, yaitu bahwa suatu pelaku (fa’il) ialah sebab bagi segalanya, lampu adalah sebab bagi cahaya dan matahari adalah sebab bagi sinar. Tetapi pelaku itu tidak disebut pelaku hanya karena. wujudnya sebagai suatu sebab, melainkan karena ia adalah suatu sebab karena aspek tertentu, yakni terwujudnya perbuatan atau tindakan berdasar iradah (kehendak) dan ikhtiyar (kebebasan memilih). Bahkan kalaupun seseorang mengatakan bahwa dinding, batu, benda- benda bukanlah pelaku (fa’il) bagi suatu tindakan—yang secara eksklusif hanya dimiliki spesies binatang—, maka pernyataan ini tidak akan ditolak dan kata-katanya dinilai tidak benar. Tetapi dalam pandangan para filsuf sendiri, batu mempunyai suatu tindakan—yaitu inklinasi, atau gravitasi, atau kemiringan ke arah pusat—dan demikian pula api—yaitu, produksi panas. Mereka percaya bahwa semua yang berasal dari Tuhan adalah seperti semua kasus di atas. Tetapi hal ini absurd.

Apabila dikatakan:
Setiap maujud yang tidak menjadi niscaya ada (wajib al-wujud) karena dirinya sendirinya (li zatih), tetapi menjadi wujud karena lainnya (bi ghairih). Kami menyebutnya sebagai maf’ul (objek tindakan) dan menyebut “sebab” sebagai fa’il (pelaku). Kami tidak mempermasalahkan apakah sebab tersebut merupakan pelaku karena tabi’ah (watak dasar) atau karena kehendak, sebagaimana Anda tidak memerhatikan apakah pelakumelaksanakan tindakan dengan suatu alat ataukah tanpa alat. Suatu perbuatan adalah suatu genus (jins) yang dapat dibagi ke dalam: (a) perbuatan-perbuatan yang terjadi dengan bantuan suatu alat dan (b) perbuatan-perbuatan yang terjadi tanpa bantuan suatu alat. Demikian pula, perbuatan adalah suatu genus yang dapat dibagi ke dalam: (a) perbuatan-perbuatan yang terjadi menurut tabi’ah (watak dasar) dan (b) perbuatan- perbuatan ikhtiyar (terjadi menurut pilihan bebas). Argumen untuk persoalan ini adalah jika kami katakan “berbuat menurut tabi’ah”. Kata-kata “menurut tabiat” bukan merupakan lawan dari “berbuat” atau bertentangan satu sama lain, tetapi hanya merupakan suatu deskripsi atau suatu spesifikasi, sebagaimana jika kami mengatakan berbuat “secara langsung tanpa bantuan alat”. Ungkapan “secara langsung tanpa bantuan alat” bukan merupakan kalimat kontradiktif, tapi merupakan penjelasan dan rincian jenis. Hal itu juga seperti perkataan “berbuat menurut ikhtiyar’’, yang bukan merupakan pengulangan, sebagaimana kata “binatang manusia”. Tapi ia merupakan penjelasan tentang macam perbuatan, seperti terlihat dalam pernyataan “perbuatan dengan alat”. Jika kata “perbuatan” mengandung kehendak, dan apabila kehendak adalah esensial bagi perbuatan, qua perbuatan, maka kata “berbuat menurut tabi’ah” tentu bertentangan, sebagaimana kata “melakukan (fa’ala) perbuatan” dan “tak berbuat” (ma fa’ala).

Kami akan jawab:
Terminologi ini absurd. Tidak tepat untuk menyebut setiap sebab—dengan berbagai bentuknya—sebagai pelaku (fa’il), dan setiap akibat sebagai agendum (maf’ul). Jika tetap menyebut demikian, tidak benar mengatakan bahwa benda mati sama sekali tidak memiliki perbuatan, dan bahwa suatu perbuatan dimiliki oleh binatang (makhluk hidup) saja. Tetapi proposisi ini merupakan salah satu pernyataan universal yang secara luas diterima, dan karenanya merupakan dicta yang benar. Jika— kadang-kadang—benda mati disebut sebagai pelaku, maka itu adalah ungkapan yang bersifat metaforis (isti’arah). Misalnya, benda mati disebut penuntut (talib) yang berkehendak (murid) dalam makna metaforis (majaz), saat mengatakan: batu runtuh, sebab ia menghendaki pusat dan menuntutnya. Tetapi kehendak dan tuntutan adalah hakikat yang tidak dapat dibayangkan, jika tanpa disertai pengetahuan tentang objek yang dikehendaki atau yang diminta. Dan karenanya, ia hanya dapat diaplikasikan pada binatang (makhluk hidup).
Pernyataan Anda—bahwa perbuatan adalah sesuatu yang umum dan terbagi ke dalam: (1) perbuatan-perbuatan yang menurut watak dasarnya (bi al-tabi’ah) dan (2) perbuatan- perbuatan yang menurut kehendak (bi al-iradah)—tak dapat diterima. Ini seperti perkataan seseorang bahwa kehendak adalah sesuatu yang umum yang dapat dibagi dalam: (1) kehendak yang disertai pengetahuan terhadap objek yang dikehendaki, dan (2) kehendak tanpa disertai pengetahuan terhadap objek yang dikehendaki. Pembagian ini tidak bisa dibenarkan. Karena kehendak mesti mengandung pengetahuan tentang objek yang dikehendaki. Demikian pula, perbuatan mesti meogandung kehendak.
Adapun pernyatan Anda bahwa kata “berbuat menurut watak dasar (tabi’ah)” tidak bertentangan dengan terma yang pertama, yaitu “berbuat menurut kehendak”, maka tidak demikian adanya.

Pernyataan ini bertentangan dari sisi hakikatnya. Tetapi pertentangan itu tidak merusak pemahaman dan watak dasarnya juga tidak menyimpang jauh. Sebab pernyataan itu tetap bersifat metaforis. Hal ini terjadi, karena suatu sebab—bagaimana pun sifatnya—pada akhirnya secara metaforis disebut pelaku, karena pelaku adalah juga suatu sebab.
Sedang kata “berbuat berdasar pilihan bebas” benar-benar merupakan ungkapan pengulangan. Seperti perkataan: “Dia berkehendak dan telah mengetahui sesuatu yang dikehendakinya.” Namun karena kita tidak biasa mengatakan bahwa “berbuat” secara metaforis dan “berbuat” dalam pengertian hakiki. Pikiran juga tidak menolak untuk mendengarkan suatu pernyataan “berbuat berdasar pemilihan yang bebas.” Tapi yang dimaksudkan adalah dalam pengertian hakikinya, bukan dalam pengertian metaforis. Seseorang bisa mengatakan: “Dia berbicara dengan mulutnya, dan melihat dengan matanya.” Tapi seseorang juga dibenarkan untuk mengatakan bahwa kita melihat melalui hati dan berbicara dengan gerakan kepala dan tangan secara metaforis. Maka dikatakan: “Dia berkata-kata dengan kepalanya,” yang berarti menyetujui. Dan itulah alasan mengapa orang yang mengatakan: “Dia berbicara dengan mulutnya, dan melihat dengan matanya” tidak dicemooh, dan arti dari ungkapan ini merupakan nagasi terhadap makna metaforis dari kata-kata itu. Hal ini dapat menyesatkan. Maka seharusnya masalah ini diungkap dan diperlihatkan, karena di sinilah orang-orang bodoh tertipu.

Jika dikatakan:
Untuk menyebut pelaku adalah pelaku hanya dapat diketahui dari bahasa. Jika tidak, sudah jelas di dalam akal bahwa suatu sebab dapat merupakan sebab yang berkehendak atau sebab yang tak berkehendak. Perdebatan terjadi dalam persoalan apakah perbuatan dari dua bagian di atas merupakan pengertian hakiki atau tidak? Tidak ada alasan untuk menolak penggunaan kata kerja bagi selain makhluk hidup. Karena orang- orang Arab mengatakan: ‘’Api membakar”; “Pedang memotong”, “Es membeku”, “Skamonia melancarkan buang air besar”; “Roti mengenyangkan”, ‘’Air menghilangkan dahaga”, dan sebagainya. Jika kami mengatakan: “memukul”, kami maksudkan “melakukan pemukulan”, dan dengan “membakar”, kami maksudkan “melakukan pembakaran”; dengan “memotong”, kami maksudkan “melakukan pemotongan”, dan sebagainya. Jika Anda katakan bahwa semua perbuatan ini bersifat metaforis, Anda telah membuat suatu kerancuan dan asumsi yang tak berdasar.

Jawaban:
Semua perbuatan benda mati tersebut bersifat metaforis. Karena perbuatan dalam pengertian sebenarnya (haqiqi) tergantung pada kehendak. Argumen atas pendapat ini adalah bahwa jika kita mengandaikan terjadinya suatu peristiwa, maka terwujudnya kejadian itu tergantung pada dua hal: (1) sesuatu yang bersifat kehendak (iradi) dan (2) bersifat non-kehendak (gayr iradi). Di sini akal akan menyandarkan perbuatan pada faktor yang bersifat kemauan/ volisional (iradi). Demikian pula halnya dengan bahasa. Karena orang yang melemparkan seseorang ke dalam api lalu ia mati terbakar, maka ia disebut pembunuh. Tapi api sendiri yang membakarnya tidak disebut pembunuh. Bahkan sepenuhnya dibenarkan jika ada orang yang mengatakan bahwa: “tidak seorang pun kecuali orang yang melemparkan inilah pembunuhnya.” Apabila kata “pelaku” (fa’il) diaplikasikan pada sebab yang berkehendak dan yang tidak berkehendak tanpa perbedaan, tidak dengan membedakan bahwa yang satu dalam pengertian sebenarnya dan yang lain dalam pengertian metaforis, maka mengapa tindakan pembunuhan disandarkan kepada orang yang berkehendak secara bahasa, berdasar adat dan akal? Padahal ternyata api-lah sebab yang paling dekat di dalam terjadinya peristiwa pembunuhan itu. Bahkan orang yang melemparkan korban ke dalam api tidak melakukan apa-apa kecuali sekadar mengumpulkan korban dan api bersama-sama. Melihat bahwa tindakan berdasar kehendak yang meliputi penyatuan orang dan pengaruh tidak sengaja dari api, disebut pembunuh, sedangkan api itu tidak disebut pembunuh, kecuali secara metaforis, maka hal itu menunjukkan bahwa pelaku itu adalah dia, yang merupakan tempat munculnya kehendak atas suatu perbuatan. Dan karena, menurut pandangan para filsuf, Allah tidak punya kehendak dan tidak punya kebebasan memilih untuk berbuat, mereka menyebut-Nya sebagai pelaku atau pencipta hanya dalam dataran pengertian metaforis.

Apabila dikatakan:
Yang kami maksud dengan Allah sebagai pelaku ialah bahwa Dia adalah sebab bagi eksistensi (wujud) setiap yang bereksistensi (maujud) selain-Nya, bahwa Dia memelihara alam, bahwa apabila ketiadaan-Nya dapat diandaikan, pasti alam juga tidak ada, seperti pengandaian tidak adanya matahari, sinar pasti juga tidak ada. Inilah yang kami maksud dengan ‘’Allah sebagai pelaku”. Jika lawan polemik menolak untuk memakai kata “perbuatan” (i’l) dalam konteks ini, maka sebenarnya tidak ada alasan untuk memperdebatkan persoalan kata ketika makna yang dimaksud sudah jelas.

Kami akan menjawab:
Kami bermaksud hendak menerangkan bahwa pengertian ini tidak dapat disebut “perbuatan” atau “ciptaan”. Yang dimaksud dengan perbuatan dan ciptaan adalah sesuatu yang benar-benar berasal dari kehendak secara hakiki. Anda telah menolak pengertian hakiki “perbuatan”, dengan mempergunakan kata-kata itu sendiri supaya sesuai dengan kepercayaan umat Islam. Tetapi kewajibankewajiban agama tak dapat dipenuhi hanya dengan mengaplikasikan kata-kata yang tanpa pengertian. Karena itu, katakanlah terus terang bahwa Allah Swt. tidak mempunyai perbuatan, sehingga jelas bahwa kepercayaan Anda berbeda dengan kepercayaan umat Islam. Jangan katakan secara tidak jujur bahwa Allah adalah pencipta alam, dan bahwa alam adalah ciptaan-Nya. Karena Anda telah membuang kata-kata ini dan menolak pengertian hakikinya. Dan tulisan ini dimaksud untuk menyingkap ketidakjujuran ini saja.

KEDUA:
Alasan kedua—tentang penolakan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, berdasar prinsip-prinsip para filsuf, karena tidak terpenuhinya syarat dalam perbuatan—yaitu, suatu perbuatan harus mempunyai permulaan waktu. Tetapi menurut para fisuf, alam adalah kekal (qadim), bukan temporal (hadis). Suatu perbuatan  (i’l)  berarti  mengeluarkan  sesuatu  dari  dari  tiada  ke ada atau dari non-eksistensi (‘adam) ke eksistensi (wujud), dengan memberinya suatu asal temporal. Hal ini tak dapat dibayangkan dalam hal yang kekal (qadim). Karena, sesuatu yang bereksistensi secara kekal tidak dapat dicipta dengan memberinya suatu asal temporal. Maka asal temporal (hadis) adalah syarat yang tidak dapat dibuang bagi perbuatan. Mereka juga menganggap bahwa alam adalah kekal. Karenanya, bagaimana ia merupakan perbuatan Tuhan? Mahatinggi Allah dari perkataan mereka.

Apabila dikatakan:
Kata hadis (eksistensi temporal) berarti maujud setelah ‘adam (bereksistensi setelah tidak bereksistensi). Maka, marilah kita bertanya, jika pelaku menyebabkan terwujudnya suatu menurut waktu, apakah sesuatu yang berasal darinya—dan yang berhubungan dengannya—adalah wujud murni, atau ketiadaan murni, atau keduaduanya? Dan salah mengatakan bahwa yang terkait dengannya adalah ketiadaan yang terdahulu. Karena pelaku tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap ketiadaan, ‘adam. Juga tidak benar mengatakan bahwa keduanya dapat dihubungkan dengan pelaku. Karena sudah jelas bahwa ketiadaan tidak pernah berhubungan dengannya dan ketiadaan, qua ketiadaan, sama sekali tidak memerlukan pelaku. Karenanya, yang bisa dikatakan tinggal pernyataan bahwa sesuatu yang berasal dari pelaku berhubungan dengannya berdasarkan kapasitasnya sebagai sesuatu yang bereksistensi (maujud), bahwa wujud yang murni berasal darinya (pelaku), bahwa hanya wujud yang dapat berhubungan dengannya. Apabila wujud diandaikan tanpa akhir (abadi), hubungannya dengan pelaku juga harus tanpa akhir. Dan jika hubungan ini tanpa akhir, maka—karena ketiadaan tak pernah dihubungkan dengan pelaku—entitas yang menjadi tempat segala yang lain dihubungkan tentu lebih utama, lebih abadi dan lebih memengaruhi.
Yang bisa dikatakan tinggal pandangan bahwa sesuatu itu dihubungkan dengan pelaku/ pencipta dari sisi kapasitasnya sebagai sesuatu yang berawal temporal (hadis). Tetapi kapasitasnya sebagai yang berawal temporal hanya berarti jika ia ada setelah tidak ada. Sedang ketiadaan tak pernah berhubungan dengan pelaku. Jika kondisinya yang didahului ketiadaan dijadikan suatu sifat bagi wujud, dan dikatakan bahwa sesuatu yang dihubungkan dengan pelaku adalah suatu wujud yang khusus—yaitu wujud yang didahului oleh ketiadaan—bukan semua wujud, maka jawabannya adalah bahwa “didahului oleh ketiadaan” bukan bagian dari perbuatan pelaku dan ciptaan Pencipta. Jika wujud ini tidak bisa berasal dari pelaku kecuali didahului oleh ketiadaan, dan melihat bahwa didahului ketiadaan bukanlah perbuatan seorang pelaku, itu menunjukkan bahwa wujud yang didahului oleh ketiadaan bukanlah perbuatan pelaku, dan karenanya, tidak berhubungan dengan pelaku itu. Apabila didahului ketiadaan dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi agar wujud bisa teraktualisasikan, maka ini berarti pemberian suatu syarat yang tidak memberikan pengaruh apa-apa.
Pernyataan Anda bahwa penciptaan sesuatu yang bereksistensi tidak mungkin, adalah benar jika yang Anda maksudkan adalah tidak ada wujud yang didahului oleh ketiadaan. Tetapi apabila yang Anda maksudkan adalah bahwa di dalam keadaan kapasitasnya sebagai maujud (kaunuhu maujudan), sesuatu itu tak bisa merupakan objek penciptaan, maka ia harus dimunculkan dalam pikiran, sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa sesuatu itu adalah diciptakan di dalam keadaan kapasitasnya sebagai yang tak bereksistensi (ma’dum). Karena sesuatu tercipta, jika pelaku dapat mencipta. Dan pencipta dapat menciptakan dalam keadaan adanya sesuatu darinya. Penciptaan sejalan antara adanya pelaku untuk mengadakan dan adanya objek ciptaan untuk diadakan. Karena penciptaan hanyalah kesaling-
hubungan antara pencipta dan objek penciptaan. Semua ini menyatu bersama-sama dengan wujud, bukan sebelumnya. Maka jelas bahwa hanya sesuatu yang bereksistensi (maujud) yang dapat menjadi objek penciptaan, apabila penciptaan berarti hubungan di mana pelaku dapat mencipta, dan objek dapat diciptakan. Karenanya, para filsuf menambahkan, kami menyimpulkan bahwa alam adalah suatu perbuatan Tuhan yang azali dan abadi (tak berawal dan tak berakhir), dan bahwa tidak ada suatu keadaan di mana Dia bukan pelaku alam. Karena sesuatu yang dihubungkan dengan pelaku adalah eksistensi (wujud). Apabila hubungan ini abadi, wujud itu juga abadi, dan jika hubungan itu terputus, wujud juga akan terputus dan hancur. Hal ini tidak sama dengan yang Anda bayangkan—yaitu bahwa alam bisa tetap abadi meski pencipta diandaikan tidak ada. Bagi Anda, hal itu seperti pembuat bangunan dalam kaitannya dengan bangunan. Bangunan itu tetap ada meskipun yang membangunnya telah mati. Kesinambungan adanya bangunan tidak bergantung kepada yang membangun, tetapi merupakan akibat dari konstruksi yang me ngukuhkan seluruh komponen bangunan. Apabila kekuatan kohesi tersebut—seperti air, umpamanya—tak ada, perbuatan pelaku semata tidak akan dapat menjaga keutuhan bangunan besar itu.

Jawaban:
Perbuatan berhubungan dengan pelaku berdasarkan kapasitasnya sebagai peristiwa temporal, bukan berdasarkan ketiadaan yang mendahuluinya, bukan pula berdasarkan kapasitasnya sebagai sesuatu yang bereksistensi saja. Maka menurut kita, perbuatan tidak berhubungan dengan pelaku dalam apa yang kami sebut sebagai keadaan kedua dari eksistensinya, yaitu ketika ia telah menjadi maujud (sesuatu yang bereksistensi). Sebaliknya, perbuatan berhubungan dengan pelaku di dalam keadaan temporalnya, dari sisi bahwa ia merupakan fenomena temporal dan perpindahan dari tiada (‘adam) menuju ada (wujud). Jika karakter temporalnya ditiadakan atau ditolak, maka kapasitasnya sebagai perbuatan (i’l) tidak bisa diterima akal dan hubungannya dengan pelaku tidak bisa dibayangkan. Terkait pernyataan Anda bahwa adanya—sebagai peristiwa temporal (hadis) pada akhirnya berarti keadaannya yang didahului ketiadaan, bahwa keadaannya yang didahului oleh ketiadaan bukanlah perbuatan seorang pelaku dan perbuatan seorang pencipta, tidak diragukan lagi bahwa hal ini pun demikian pula. Tetapi keadaan ini, yang didahului oleh ketiadaan—yang dengan sendirinya bukanlah perbuatan seorang pelaku—adalah syarat bagi suatu perbuatan untuk menjadi perbuatan seorang pelaku. Karena eksistensi yang tidak didahului oleh ketiadaan tidak tepat untuk menjadi perbuatan seorang pelaku. Tidak setiap hal yang merupakan syarat bagi suatu perbuatan untuk menjadi perbuatan, harus menuruti efisiensi seorang pelaku. Misalnya, esensi, pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan seorang pelaku, masing-masing merupakan syarat baginya untuk menjadi pelaku, tetapi tak satu pun dari semua syarat ini yang merupakan pengaruh dari pelaku itu sendiri. Meskipun demikian, suatu perbuatan dapat masuk akal hanya apabila perbuatan itu dilakukan oleh sesuatu yang bereksistensi. Karenanya, pengetahuan, kehendak, kekuasan, dan eksistensi seorang pelaku juga merupakan syarat bagi efisiensinya, tanpa memerhatikan apakah dia merupakan akibat dari efisiensinya atau bukan.

Jika dikatakan:
Jika Anda mengakui bahwa perbuatan boleh bersama-sama dengan pelaku tanpa salah satunya diakhirkan, maka jelas bahwa perbuatan harus bersifat temporal apabila pelaku itu temporal, dan kekal apabila pelaku itu kekal. Jika Anda menetapkan syarat bahwa perbuatan harus diakhirkan dari pelaku, maka ini merupakan syarat yang mustahil. Jika Anda menggerakkan tangan Anda di dalam sebuah gelas yang penuh air, air itu akan bergerak bersama-sama dengan gerakan tangan Anda, tidak sebelum atau sesudahnya. Jika air itu bergerak setelah tangan, maka tangan yang bergerak dan air yang belum bergerak akan ada bersama-sama di tempat yang sama. Apabila air bergerak sebelum gerakan tangan, maka gerakan air akan sekali lagi terpisah dari gerakan tangan. Tetapi ini tidak sesuai dengan “adanya sesuatu” sebagai akibat dari yang lain, suatu perbuatan yang berakibat dari yang lain. Maka apabila tangan yang bergerak di dalam air kita andaikan kekal (qadim), gerakan air itu juga kekal. Dan di dalam kekekalannya, gerakan air itu akan tetap menjadi suatu akibat. Karena menjadi akibat tidak sama dengan pengandaian keabadian itu sendiri. Demikian pula hubungan alam dengan Allah Swt.

Kami akan jawab:
Kami tidak menganggap mustahil bahwa perbuatan menyatu bersama dengan pelaku—setelah perbuatan itu adalah sesuatu yang berawal temporal. Misalnya, gerakan air adalah suatu peristiwa temporal yang timbul dari ketiadaan. Gerakan dapat merupakan suatu perbuatan dan bersifat immaterial baik tertunda dari zat pelaku, atau ada bersama-sama dengannya. Tetapi kami tak dapat mengakui kemungkinan suatu tindakan yang kekal. Karena sesuatu yang tidak timbul dari ketiadaan hanya disebut perbuatan dalam pengertian metaforis dan sama sekali tak memiliki makna hakiki. Mengenai hubungan antara sebab dan akibat, keduanya mungkin bersifat kekal (qadim), atau keduanya bersifat temporal (hadis). Misalnya, dikatakan bahwa pengetahuan yang kekal adalah akibat dari adanya Tuhan yang Qadim (Kekal) sebagai yang mengetahui. Hal ini tak diperdebatkan. Yang diperdebatkan hanya berkisar tentang apa yang disebut perbuatan. Akibat dari suatu sebab tak disebut perbuatan dari sebab itu—kecuali dalam pengertian metaforisnya. Karena sudah merupakan syarat bagi suatu perbuatan untuk timbul dari ketiadaan (‘adam). Apabila seseorang membolehkan kita untuk menyebut sesuatu yang kekal, yang abadi wujudnya, sebagai suatu perbuatan dari wujud lain, orang itu akan mempergunakan bahasa metaforis yang tak beralasan. Pernyataan Anda bahwa apabila gerakan sebuah jari bersama-sama dengan gerakan air diandaikan bersifat kekal (qadim), sedangkan gerakan air tidak keluar dari adanya—sebagai suatu perbuatan, adalah suatu usaha sengaja untuk mencipta kerancuan. Karena, jari-jari tidak mempunyai perbuatan. Perbuatan dimiliki oleh orang yang mempunyai jari-jari. Dan dia adalah pelaku yang berkehendak. Apabila pelaku itu diandaikan kekal (qadim), gerakan jari-jarinya tetap akan merupakan perbuatannya—karena setiap unit dari gerakan adalah suatu peristiwa temporal yang timbul dari ketiadaan. Maka dengan demikian, gerakan akan merupakan suatu perbuatan. Mengenai gerakan air, kami tidak akan mengatakan bahwa gerakan itu adalah perbuatan seorang yang menggerakkan tangan di dalam air. Sebaliknya, gerakan itu adalah perbuatan Tuhan—bagaimana pun ia dideskripsikan. Adanya sebagai perbuatan ditentukan oleh adanya sebagai sesuatu yang memiliki awal temporal, bukan oleh kesinambungan proses lahirnya bagian-bagian yang membentuknya. Ia adalah perbuatan hanya karena ia memiliki awal temporal dalam rentang waktu.

Jika dikatakan:
Jika Anda mengakui bahwa hubungan antara perbuatan dan pelaku atas dasar bahwa pelaku dan perbuatan bereksistensi bersamasama—sebagaimana hubungan antara akibat dan sebabnya—kemudian menerima proyeksi keabadian hubungan kausal (nisbah al-’iliah), maka yang kami maksud dengan adanya alam sebagai perbuatan, tak lain hanyalah adanya alam sebagai akibat yang memiliki hubungan permanen dengan Allah Swt. Jika Anda tidak menyebutnya sebagai perbuatan, tentu kami tidak akan memperdebatkan penggunaan nama-nama yang sudah jelas artinya.

Kami akan menjawab:
Tujuan dari masalah ini hanya untuk menunjukkan bahwa Anda berpura-pura dan bersolek dengan nama-nama ini tanpa menetapkannya dalam pengertian hakiki. Bagi Anda, Allah tetap bukan pelaku menurut makna hakikinya dan alam bukan perbuatan-Nya menurut makna hakikinya juga. Penggunaan kata-kata  “perbuatan”  (i’l)  di  dalam  tesis-tesis  hanya  sebentuk bahasa metaforis, yang pada hakikatnya tak berdasar. Dengan ini maksud kami telah tercapai karena dalil ini telah dipaparkan dengan jelas.

KETIGA:
Tentang hubungan antara pelaku dan perbuatannya diperoleh alasan ketiga bahwa adanya alam sebagai perbuatan Tuhan adalah mustahil, menurut prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh para filsuf. Mereka mengatakan bahwa yang tunggal hanya akan melahirkan yang tunggal. Prinsip Pertama (Tuhan) adalah tunggal dari segala seginya. Sedang alam terdiri dari berbagai bagian. Karenanya, menurut prinsip dasar para filsuf, alam tidak dapat dibayangkan sebagai perbuatan/ ciptaan Tuhan.

Jika dikatakan:
Alam seluruhnya tak berasal dari Tuhan tanpa perantara. Apa yang berasal dari-Nya adalah satu, yaitu ciptaan pertama yang merupakan akal murni (‘aql mujarrad/ pure intelligence), substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat; mengetahui dirinya sendiri, mengetahui Prinsipnya dan dalam bahasa teologis disebut malaikat. Darinya timbul akal kedua. Dari yang kedua lahir yang ketiga. Dari yang ketiga muncul yang keempat, begitu seterusnya—melalui perantara—sesuatu yang bereksistensi menjadi semakin banyak. Maka perbedaan dan banyaknya perbuatan dapat berasal dari:
1.    Perbedaan daya-daya yang digunakan untuk berbuat (quwwah fa’ilah). Misalnya, dengan “daya hasrat” kita melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang kita lakukan dengan “daya marah”.
2.    Perbedaan materi-materi. Misalnya, matahari memutihkan pakaian yang dicuci, tetapi menghitamkan wajah seseorang; dan mencairkan sebagian substansi, tapi memadatkan lainnya.
3.    Perbedaan alat-alat. Misalnya, seorang tukang kayu menggergaji dengan gergaji, menebang dengan kapak, dan melubangi dengan pisau.
4.    Perbuatan yang timbul dari banyaknya perantara. Misalnya, satu perbuatan dikerjakan, kemudian perbuatan itu melahirkan perbuatan lain, sehingga akhirnya perbuatan itu menjadi banyak.

Semua bagian ini tidak dapat diaplikasikan pada Prinsip Pertama. Sebagaimana kita lihat di dalam argumen-argumen mengenai keesaan Tuhan (tauhid), bahwa zat Tuhan tidak memiliki keragaman, tidak mengandung dualitas, bahkan pluralitas, tidak sebagaimana materi. Kami telah mendiskusikan asal temporal akibat yang pertama, sebutlah “Materi Pertama” (al-Maddah al-Ula). Dan alat pun tak berbeda. Karena tidak ada maujud yang bersama-sama dengan Tuhan dan yang posisinya sama seperti eksistensi-Nya. Kami juga telah mendiskusikan asal-temporal “alat pertama” (al-alah al-ula). Karenanya, yang tersisa dari wacana ini hanyalah bahwa, pluralitas diri alam itu berasal dari Tuhan melalui perantara, sebagaimana telah kami kemukakan sebelumnya.

Kami akan menjawab:
Dari sini, mesti tidak ada wujud tunggal yang terdiri dari individu-individu, di dalam alam. Tetapi semua yang bereksistensi harus merupakan satuan-satuan atau unit-unit, yang masing-masing merupakan akibat dari satuan-satuan diatasnya, sebagaimana ia juga merupakan sebab bagi satuan lain yang berada di bawahnya, dan demikian seterusnya, hingga rangkaian-rangkaian itu berakhir dengan suatu akibat yang pada dasarnya tak berakibat, dan suatu sebab yang pada akhirnya tak bersebab. Padahal kenyataannya tidak demikian. Sebab para filsuf mengatakan bahwa tubuh terdiri dari bentuk dan materi, dua hal yang menyatu untuk membentuk suatu entitas. Demikian pula, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, yang eksistensi masing- masing keduanya saling membutuhkan. Karena keduaduanya menggantungkan eksistensi mereka pada sebab lain. Demikian halnya dengan falak. Menurut para filsuf, falak juga terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa tidak berasal dari tubuh, demikian pula tubuh tidak berasal dari jiwa. Tetapi kedua-duanya muncul dari sebab-sebab eksternal. Maka, bagaimana semua hal yang tersusun ini (murakkabat) bisa bereksistensi? Bukankah masing-masing hanya mempunyai sebab tunggal? Jika demikian, maka itu akan membatalkan pendapat mereka bahwa yang tunggal hanya melahirkan yang tunggal. Atau, apakah sesuatu yang tersusun (murakkab) berasal dari sebab yang tersusun pula? Dalam hal ini, pertanyaan tentang karakter sebab yang tersusun secara pasti mengarah dan menuju pada komposisi yang sederhana (murakkab basit). Sesungguhnya Prinsip itu sederhana dan entitas lainnya berkomposisi. Keduanya (wujud basit dan wujud murakkab) merupakan sebab-akibat yang dapat dipersepsikan keniscayaan bertemunya. Jika pertemuan tersebut terjadi, maka pernyataan para filsuf bahwa dari yang tunggal hanya melahirkan yang tunggal tidak bisa diterima kebenarannya secara rasional.

Apabila dikatakan:
Kesulitan ini akan terhindarkan jika teori kami bisa dipahami. Semua yang bereksistensi dapat dibagi ke dalam: (a) yang berada pada substrata (mahall/ tempat-tempat)—seperti aksiden-aksiden (al a’rad) dan bentuk-bentuk (suwar)—dan (b) yang tidak berada pada substrata. Yang terakhir ini dapat dibagi ke dalam: (c) yang merupakan substrata/ tempat bagi lainnya seperti tubuh dan
(d)    yang bukan. Yang terakhir ini meliputi segala maujud semisal substansi-substansi yang berdiri sendiri. Substansi-substansi ini dapat dibagi ke dalam: (e) yang memengaruhi tubuh, sebut saja substansi-substansi tersebut dengan “jiwa” dan (f ) yang tidak memengaruhi tubuh, tapi memengaruhi jiwa, sebut saja “akal murni” (‘aql mujarrad).
Adapun maujud yang terdapat pada substrata—seperti aksiden-aksiden (al-a’rad)—memiliki asal temporal dan sebab- sebabnya juga temporal. Rangkaian dari sebab-sebabnya dan sebab dari sebab sebabnya berakhir pada satu prinsip yang temporal di satu segi dan abadi pada segi yang lain. Prinsip ini adalah gerak putar (al-harakah ad-dauriyyah). Tapi pembicaraan kita bukan tentang hal ini. Yang akan dibicarakan adalah tentang persoalan prinsip-prinsip yang berdiri sendiri dan tidak berada dalam substrata, yaitu:
1.    Tubuh-tubuh, sebagai entitas yang paling bawah.
2.    Akal-akal murni, yang sama sekali tidak berhubungan dengan tubuh-tubuh—baik dengan hubungan kausalitas yang efisien (‘alaqah i’iyyah) dan tidak pula terpasang pada tubuh-tubuh. Ia merupakan entitas yang berada pada tingkat tertinggi.
3.    Jiwa-jiwa, yang berada di tengah-tengah, antara tubuh- tubuh dan akal-akal murni. Jiwa-jiwa berhubungan dengan tubuhtubuh karena ia memengaruhi dan mengaktifkan tubuh-tubuh. Jiwa-jiwa berada di tingkat tengah, menerima pengaruh dari akal-akal dan memberikan pengaruh pada tubuh tubuh.

Tubuh-tubuh yang dimaksud berjumlah sepuluh: sembilan langit, dan satu materi yang merupakan bahan lembah falak bulan. Kesembilan langit itu adalah makhluk-makhluk yang hidup, yang terdiri dari tubuh-tubuh dan jiwa-jiwa. Ia juga memiliki struktur hierarkis dalam eksistensinya, sebagaimana yang akan kami sebutkan.
Dari eksistensi Prinsip Pertama, akal yang pertama mengalir (beremanasi). Akal pertama adalah eksistensi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan tidak terpasang pada tubuh-tubuh. Ia mengetahui dirinya sendiri serta mengetahui Prinsipnya. Kami menyebutnya “akal pertama” (al-’aql al-awwal). Tetapi orang boleh saja menyebutnya “malaikat”, “akal”, atau apa saja yang disukai. Dari eksistensi akal ini muncul tiga hal: akal, jiwa falak yang paling jauh, yaitu langit yang kesembilan, dan tubuh falak- nya. Dari akal kedua ini muncul akal ketiga, jiwa falak bintang dan tubuh ruang angkasa. Dari akal ketiga muncul akal keempat, jiwa falak Saturnus dan tubuh falaknya. Dari akal yang keempat muncul akal yang kelima, jiwa falak Yupiter, dan tubuh falak-nya. Dan seterusnya hingga sampai pada suatu akal yang melahirkan akal yang terakhir, jiwa falak bulan dan tubuh falak-nya.
Akal yang terakhir ini disebut “akal aktif” (al-’aql al- awwal). Darinya muncul bahan falak Bulan—yaitu materi yang menerima penciptaan (kaun) dan kerusakan (fasad)—dan karakter-karakter dasar falak tersebut.
Kemudian, materi-materi berbaur dan bercampur—karena gerakan bintang-bintang—dengan pola percampuran beragam yang melahirkan tambang, tumbuh-tumbuhan, dan binatang.
Dari setiap akal tidak harus muncul akal yang lain, dan rangkaian-rangkaian itu tidak harus berakhir. Karena akal-akal mempunyai perbedaan jenis, yang bisa cocok bagi yang satu tidak harus ada pada yang lainnya.
Lebih dari itu, setelah Prinsip yang pertama, akal-akal yang ada berjumlah sepuluh, dan falak-falak berjumlah sembilan. Maka prinsip-prinsip agung ini—setelah Prinsip Pertama—berjumlah sembilan belas. Dari situ diketahui bahwa di bawah masing- masing akal, terdapat tiga entitas: akal, jiwa falak, dan tubuh falak tersebut. Maka pada “prinsip”-nya itu, tidak boleh tidak harus ada pelipatan tiga (taslis). Kini, pluralitas pada “akibat pertama” tidak dapat dibayangkan, kecuali dari satu dimensi, yaitu bahwa “akibat pertama” mengetahui Prinsipnya, mengetahui dirinya sendiri, dan menjadi eksistensi yang mungkin (mumkin al-wujud) dengan sendirinya. Sebab keniscayaan eksistensinya (wujub al- wujud) berasal dari yang selain dirinya, bukan dari dirinya. Inilah tiga makna yang berbeda-beda. Makna paling mulia di antara ketiga pengetahuan (ma’lumat) itu harus dinisbatkan kepada yang paling mulia di antara ketiga aspek akibat yang pertama. Maka, sebuah akal muncul darinya, karena ia mengetahui prinsipnya. Dari situ juga muncul jiwa falak, karena ia mengetahui dirinya sendiri. Dan juga muncul tubuh falak karena ia merupakan eksistensi yang mungkin karena dirinya sendiri.
Maka kita harus mempertanyakan, dari mana pelipatan tiga ini diperoleh dalam akibat pertama, sementara prinsipnya tunggal? Jawabnya: dari Prinsip yang pertama hanya muncul satu entitas, yaitu esensi akal pertama yang dengannya akal pertama mengetahui dirinya sendiri. Maka pengetahuannya terhadap prinsipnya terbukti merupakan keharusan, meski keharusan itu tidak berasal dari prinsip itu. Sekali lagi, dengan menjadi eksistensi yang mungkin ada dengan sendirinya, akal pertama menggantungkan sifat mungkinnya pada dirinya sendiri, tidak pada Prinsip Pertama. Kita tidak meragukan bahwa, apabila hanya satu yang harus muncul, akibat yang pertama masih tetap dapat memperoleh—tidak dari Prinsip yang pertama—beberapa hal penting (umur daruriyyah), baik merupakan sesuatu yang suplementatif (idaiyyah) atau tidak. Maka dengan itu pluralitas akan terwujud. Maka akibat pertama menjadi prinsip bagi pluralitas eksistensi. Dengan cara demikian, bertemunya yang sederhana (albasit) dengan yang tersusun (al-murakkab) dapat dimungkinkan. Sebab rangkaian hubungan demikian tidak dapat dihindari, dan hanya dengan cara demikian hubungan itu bisa terjadi. Pandangan inilah yang mesti dijadikan ketetapan. Dan keterangan ini diperlukan untuk memahami teori para filsuf.

Kami akan mengatakan:
Pandangan yang telah Anda kemukakan semuanya rancu dan kacau. Secara lebih tegas, pikiran-pikiran Anda merupakan kegelapan yang ditimbulkan di atas kegelapan. Apabila seseorang mengatakan bahwa dia melihat hal-hal semacam itu di dalam mimpinya, akan terbukti bahwa dia menderita suatu penyakit. Atau jika hal tersebut dikemukakan dalam diskusi tentang persoalan-persoalan fikih sebagai tempat untuk mengakhiri praduga dengan singkat, pasti akan dikatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan khayal besar, yang tidak ada gunanya mengemukakan asumsi tentang validitasnya.
Sudut-sudut tempat penolakan terhadap hal-hal tersebut dapat dilakukan, tidak terhitung jumlahnya. Walaupun demikian, mari kita kemukakan beberapa alasan saja yang cukup membuktikan bahwa teori ini tak dapat diterima.

Pertama, kami akan mengatakan, Anda telah mengemukakan bahwa salah satu makna pluralitas pada akibat pertama adalah bahwa ia adalah sesuatu yang eksistensinya mungkin (mumkin al-wujud). Maka kami akan mempertanyakan, apakah kapasitasnya sebagai mumkin al-wujud identik dengan hakikat eksistensinya itu sendiri atau identik dengan yang lain darinya? Jika identik, pluralitas tidak akan muncul darinya. Tetapi jika lain daripada wujudnya, maka bagaimana Anda mengatakan bahwa pada Prinsip Pertama terdapat pluralitas? Ia adalah satu entitas yang bereksistensi, dan bersama dengan itu ia niscaya adanya (wajib al-wujud). Keniscayaan eksistensinya lain daripada wujud itu sendiri. Karenanya, pluralitas ini pada Prinsip Pertama memungkinkan hal-hal yang berbeda (mukhtalifat) untuk muncul dari-Nya. Apabila dikatakan bahwa yang niscaya- ada (wajib al-wujud) berarti tak lain daripada wujud itu sendiri, maka demikian pula kami akan mengatakan bahwa mumkin al-wujud tidak berarti lain kecuali wujud itu sendiri. Jika Anda katakan bahwa mungkin untuk mengetahui eksistensinya, sedang adanya sebagai sesuatu yang mungkin tidak diketahui, kecuali setelah adanya dalil lain. Karena itu, adanya sebagai sesuatu yang mungkin lain dari eksistensinya. Maka demikian pula pada yang niscaya-ada (wajib al-wujud), yaitu mungkin mengetahui eksistensinya, namun keniscayaannya tidak bisa diketahui kecuali setelah ada dalil lain. Maka keniscayaannya adalah sesuatu yang lain dari eksistensinya. Ringkasnya, eksistensi adalah sesuatu yang umum, yang terbagi pada “yang mungkin” (mumkin) dan “yang niscaya” (wajib). Jika perbedaan salah satu dari kedua pembagian itu merupakan tambahan pada sifat yang umum (‘am) tersebut, maka demikian pula perbedaan yang lainnya. Dalam hal ini, keduanya tidak dapat dibedakan.

Apabila dikatakan:

Kemungkinan eksistensi bagi suatu entitas datang dari esensinya sendiri, sedangkan eksistensinya dari yang lain. Lalu bagaimana bisa, sesuatu yang datang dari dirinya dan dari yang lain menjadi sesuatu yang tunggal?

Kami akan menjawab:
Bagaimana keniscayaan eksistensi (wajib al-wujud) akan identik dengan eksistensi itu sendiri? Kita mungkin untuk menegasikan keniscayaan eksistensi dan—pada saat yang sama— mengafirmasi eksistensi. Satu-satunya yang benar dari segala sisi adalah tidak menerima afirmasi dan negasi sesuatu yang sama pada saat yang sama. Mustahil seseorang mengatakan bahwa ini adalah maujud dan bukan maujud, atau bahwa ini adalah wajib adanya dan bukan wajib. Tetapi seseorang harus mengatakan bahwa ini adalah suatu maujud dan ini bukan wajib al-wujud, sebagaimana juga mungkin dikatakan bahwa ini adalah suatu maujud dan bukan mumkin al-wujud. Dengan inilah kesatuan bisa diketahui. Dan pengandaian hal tersebut dalam hal Prinsip Pertama adalah tidak benar, jika benar—sebagaimana telah mereka sebutkan— bahwa kemungkinan wujud (mumkin al-wujud) tidak identik dengan eksistensi (wujud) dari yang mungkin itu sendiri.
Kedua: kami akan mempertanyakan, apakah pengetahuan akibat pertama tentang prinsipnya identik dengan eksistensinya dan dengan pengetahuannya tentang dirinya sendiri, atau lain dari keduanya? Jika pengetahuan itu identik, maka pada karakter dasarnya tak akan ada pluralitas, kecuali karakter dasarnya sendid ditafsirkan menurut istilah-istilah pluralitas. Tetapi apabila pengetahuan itu lain daripada keduanya, maka pluralitas semacam itu juga ada pada Prinsip Per tama. Sebab dia juga mengetahui dirinya sendiri serta sesuatu yang lain dari dirinya sendiri. Jika mereka beranggapan bahwa, pengetahuan tentang esensi dirinya identik dengan esensinya, dan dia tidak dapat mengetahui dirinya sendiri selama ia tidak tahu bahwa dia adalah prinsip bagi eksistensi-eksistensi yang lain, maka pengetahuannya sesuai dengan objek pengetahuan. Maka semua wujud berasal dari esensinya.
Dalam hal ini akan dijawab: demikian pula, pengetahuan tentang diri bagi akibat pertama identik dengan esensinya. Jika ia mengetahui dengan substansinya, maka ia mengetahui dirinya. Demikian juga, yang mengetahui (‘aqil), pengetahuan (‘aql), dan objek pengetahuan (ma’qul) merupakan satu kesatuan. Pengetahuan tentang dirinya identik dengan esensinya. Pengetahuan mengetahui dirinya sendiri sebagai akibat dari sebabnya. Karena pengetahuan menjadi sama dengan objek pengetahuan, sehingga segala sesuatu dapat dikembalikan kepada esensinya. Jadi, sama sekali tidak ada pluralitas dalam hal ini, atau jika pluralitas itu ada, ia akan ada pada Prinsip Pertama. Maka darinya akan muncul keragaman dan pluralitas akan terus muncul. Mari kita tinggalkan klaim ketunggalannya dari segala segi, jika ketunggalan secara berlawanan dipengaruhi oleh bentuk pluralitas.

Apabila dikatakan:
Prinsip Pertama tidak mengetahui apa pun kecuali esensi dirinya. Pengetahuan tentang dirinya sama seperti esensinya. Maka pengetahuan, orang yang tahu dan objek pengetahuan, semuanya adalah satu. Dan dia tidak mengetahui sesuatu pun yang lain daripada dirinya sendiri.

Jawabannya dari dua segi:
Pertama, ajaran—yang mana Ibnu Sina dan banyak pemikir lainnya telah meninggalkannya—ini sangat rancu. Mereka berkata bahwa Prinsip Pertama mengetahui dirinya sebagai Prinsip Emanasi dari semua yang beremanasi darinya. Dia mengetahui seluruh maujud—dengan segala macamnya—bukan dengan pengetahuan khusus dan partikular, tapi dengan pengetahuan universal. Mereka terbawa kepada sikap merendahkan teori bahwa dari Prinsip Pertama hanya akan muncul satu akal. Dia tidak mengetahui segala yang keluar darinya. Karena, “akibat” (ma’Iul) yang muncul darinya adalah akal, dan ia melahirkan: akal lain, jiwa falak, dan tubuh falak tersebut. “Akibat” mengetahui dirinya sendiri, mengetahui ketiga akibat yang muncul darinya serta mengetahui sebab atau prinsipnya. Maka akibat lebih mulia daripada sebab. Karena sebab hanya melahirkan satu hal, sedangkan akibat melahirkan tiga hal. Selain itu sebab tidak mengetahui sesuatu pun yang lain dari dirinya, sedangkan akibat mengetahui dirinya sendiri, sebabnya, dan ketiga akibatnya.
Orang yang merasa puas dengan menjadikan konsepsinya mengenai Tuhan hanya merujuk pada strata ini, benar-benar telah menjadikan-Nya lebih rendah daripada wujud lain, yang mengetahui dirinya sendiri serta sesuatu yang lain daripada dirinya. Karena, sesuatu yang mengetahui lainnya serta dirinya sendiri akan lebih mulia daripada yang hanya mengetahui dirinya sendiri dan tidak mengetahui lainnya.
Akhir dari semua penjelajahan mereka mengenai keagungan Tuhan adalah bahwa mereka telah menghancurkan semua pengertian tentang keagungan. Mereka telah menyamakan kondisi-Nya dengan kondisi seorang yang telah mati yang tidak menyadari segala yang terjadi di dunia. Hanya saja ia berbeda dengan orang yang telah mati, karena ia masih mengetahui dan menyadari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya Allah Yang Mahasuci mengutuk orang-orang yang menyimpang dari jalan- Nya, yang berusaha menumbangkan jalanjalan petunjuk, yang menolak kebenaran flrman-Nya: “Aku tidak menyeru mereka supaya mempersaksikan penciptaan langit-langit dan Bumi, atau penciptaan diri mereka sendiri’’, yang mempunyai pikiran-pikiran hina tentang Tuhan, yang memercayai bahwa manusia kuasa untuk memahami hal ihwal ketuhanan, yang di dalam akal mereka bercokol kepercayaan yang tak berdasar petunjuk, dan yang mengaku bahwa di dalam masalah penjelajahan intelektual mereka tak wajib mengikuti para nabi dan rasul. Tetapi merupakan sesuatu yang alamiah bahwa mereka mendapatkan diri mereka terpaksa mengakui—sebagai kesimpulan dan substansi penjelajahan intelektual mereka—sesuatu yang dapat membuat seseorang heran jika mendengarnya walau hanya melalui mimpi.
Kedua: orang yang berpendapat bahwa Prinsip Pertama tidak mengetahui apa pun kecuali dirinya sendiri, hanya berhasil menolak pendapat orang yang meniscayakan pluralitas. Sebab kalau dia memercayai pengetahuannya tentang berbagai wujud yang lain, maka pengetahuan tentang diri itu mesti tidak identik dengan pengetahuan ten tang berbagai wujud yang lain. Ini merupakan sesuatu yang niscaya bagi akibat pertama. Maka semestinya ia tidak mengetahui kecuali dirinya. Karena jika akibat pertama telah mengetahui Prinsip Pertama atau sesuatu yang selain dirinya, maka pengetahuan tersebut tidak identik dengan esensinya sendiri, dan akan memerlukan suatu sebab selain sebab bagi wujudnya sendiri. Padahal tidak ada sebab kecuali sebab dirinya sendiri, yaitu Prinsip Pertama. Maka semestinya ia tidak mengetahui kecuali pada esensi dirinya sendiri. Dengan demikian pluralitas yang muncul dari sudut pandang ini tertolak.

Apabila dikatakan:
Setelah akibat pertama bereksistensi dan mengetahui esensi dirinya, maka tidak boleh tidak ia mesti mengetahui Prinsip Pertama

Kami akan menjawab:
Apakah hal tersebut mesti terjadi dengan sebab atau tanpa sebab? Jika ia memerlukan sebab, tidak ada sebab lain kecuali prinsip pertama, sementara ia adalah tunggal. Maka tidak dapat dibayangkan bahwa dari yang tunggal harus muncul sesuatu yang lebih dari satu. Karena wujud akibat pertama adalah sesuatu yang telah muncul, bagaimana sesuatu yang lain dapat muncul juga?
Namun jika pengetahuan atas prinsip itu tidak memerlukan sebab untuk sama dengan wujud akibat pertama dan pengetahuan atas diri, maka kami harus menyimpulkan bahwa dari wujud pertama mesti lahir wujud yang banyak dengan tanpa sebab, dan bahwa pluralitas tidak mesti lahir dari wujud yang banyak itu. Jika keterangan mengenai pluralitas semacam ini ditolak— berdasarkan asumsi bahwa wajib al-wujud adalah satu dan bahwa tambahan terhadap yang tunggal merupakan kemungkinan yang memerlukan sebab—maka demikian pula akibat yang pertama. Karena apabila pengetahuan yang dimiliki oleh akibat pertama itu merupakan kemestian per se, maka itu akan menolak diktum para filsuf bahwa wajib al-wujud itu hanya satu. Namun, jika pengetahuan itu merupakan sesuatu yang mungkin, maka pengetahuan itu harus mempunyai sebab. Karena tidak ada sebab baginya, maka ia tidak dapat mengetahui eksistensinya. Jelas bahwa pengetahuan tersebut bukan suatu kemestian bagi watak kemungkinan akibat pertama, karena kapasitasnya sebagai sesuatu yang mungkin ada (mumkin al-wujud). Sesungguhnya, kemungkinan eksistensi adalah suatu kemestian bagi setiap akibat. Tetapi kapasitasnya sebagai yang mengetahui melalui sebab bukan merupakan kemestian dalam eksistensi dirinya. Tentu demikian pula, bahwa adanya sebab sebagai yang mengetahui terhadap akibat, yang bukan merupakan kemestian dalam eksistensi dirinya. Bahkan, kemestian pengetahuan terhadap akibat lebih jelas dari keharusan pengetahuan terhadap sebab.
Maka kini sudah jelas bahwa pluralitas yang diperoleh dari pengetahuan akibat pertama terhadap prinsipnya adalah mustahil. Karena ia tidak memiliki prinsip dan ia juga bukan merupakan bagian dari kemestian dalam eksistensi dirinya. Dan ini adalah kesimpulan yang tidak dapat dihindarkan.
Ketiga: apakah pengetahuan terhadap diri yang dimiliki oleh akibat pertama identik dengan esensinya, atau tidak? Mustahil mengatakan bahwa itu identik. Karena pengetahuan tidak dapat disamakan dengan sesuatu yang diketahui. Tetapi, jika itu lain dari esensinya, perbedaan yang sama juga mesti ada dalam hal Prinsip Pertama. Maka, darinya pluralitas mesti muncul. Lebih dari itu, di sana tidak hanya terdapat pelipatan tiga (taslis)—seperti anggapan para filsuf—tapi justru pelipatan empat (tarbi’) karakter, yaitu (1) esensinya, (2) pengetahuan terhadap dirinya sendiri, (3) pengetahuan terhadap prinsipnya, dan (4) kapasitasnya sebagai mumkin al-wujud dengan dirinya sendiri. Bahkan dapat ditambahkan satu aspek lagi, yaitu bahwa ia merupakan wajib al-wujud karena sebab eksternal. Maka yang akan muncul adalah pelipatan lima (takhmis) sebagai prinsip keterangan tentang pluralitas. Dan dari sini akan jelas betapa spekulasi-spekulasi para filsuf ini hanyalah omong-kosong.
Keempat: karakter pelipatan tiga pada akibat pertama tidak cukup untuk menerangkan pluralitas. Sebagai contoh kita lihat tubuh langit pertama. Para filsuf akan menganggap bahwa dalam pengertian tunggal, ia mesti berasal dari esensi prinsip. Tetapi di dalamnya terdapat tiga komposisi. Pertama, tubuh langit pertama terkomposisi dari bentuk dan materi, sebagaimana, menurut mereka, semua tubuh lain. Maka bentuk dan materi harus memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, karena masing- masing tidak sama. Para filsuf menolak bahwa, baik bentuk ataupun materi dapat merupakan sebab independen bagi yang lain sehingga salah satunya menjadi sebab dengan perantara satunya, tanpa perlu sebab lain yang ditambahkan atasnya.
Kedua, tubuh falak tertinggi mempunyai ukuran tertentu. Spesifikasi ukuran ini, sebagaimana dibedakan dari semua ukuran dan kuantitas yang lain, merupakan tambahan kepada wujudnya sendiri. Karena itu, wujudnya mungkin lebih besar atau lebih kecil daripada ukuran yang sebenarnya. Maka, mesti ada sebab bagi spesifikasi ukuran ini, dan sebab itu harus merupakan tambahan pada sesuatu yang sederhana yang mengharuskan eksistensi tubuh langit pertama. Eksistensi tubuh langit pertama tidak boleh serupa dengan eksistensi akal. Karena akal adalah eksistensi murni yang tidak memiliki kuantitas khusus yang bertentangan dengan seluruh kuantitas lain. Maka boleh dikatakan bahwa akal hanya bersandar kepada suatu sebab sederhana (‘ilah basitah).

Jika dikatakan:
Sebab penentuan suatu ukuran tertentu ialah bahwa kalau tubuh langit pertama lebih besar daripada yang semestinya, maka ia akan melebihi syarat-syarat sistem universal. Dan apabila ukurannya lebih kecil, maka ia tidak akan pas untuk sistem yang dikehendaki.

Kami akan menjawab:
Untuk menentukan arah sistem itu, apakah memadai dengan eksistensi sistem yang ada di dalamnya, atau memerlukan sebab untuk mengadakannya? Apabila Anda menganggap hal itu cukup, maka Anda tidak perlu harus menetapkan semua sebab. Lalu Anda harus mengatakan bahwa adanya sistem yang imanen di dalam maujudat universal memerlukan—dengan sendirinya dan bebas dari sebab tambahan—eksistensi maujudat universal itu. Tetapi jika Anda mengatakan bahwa karakter tertentu dari sistem itu tidak cukup beralasan bagi eksistensi sesuatu yang merupakan sistem itu, maka Anda harus juga menerima bahwa karakter itu tak akan cukup pula bagi penentuan satu di antara beberapa kuantitas serupa, dan bahwa kami akan memerlukan, tidak hanya suatu sebab penentuan salah satu dari beberapa kuantitas, tetapi juga suatu sebab komposisi bentuk dan materi di dalam tubuh langit yang pertama.
Ketiga, falak tertinggi memiliki dua sudut yang merupakan dua kutub. Dua kutub ini tetap tempatnya dan tidak pernah pindah dari tempatnya. Tetapi bagian-bagian lain dari zona (mantiqah) itu mempunyai posisi-posisi yang berbeda. Maka hanya satu dari kedua hipotesis ini yang dapat dimungkinkan. Pertama, dapat dikatakan bahwa semua bagian falak yang pertama adalah sama. Tetapi kemudian bagaimana hanya dua yang dipilih, di antara semua bagian-bagiannya untuk dijadikan dua kutub?
Atau, sebagai alternatif kedua, dapat dikatakan bahwa falak tertinggi memiliki bagian-bagian yang beragam. Sebagiannya memiliki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh sebagian lainnya. Lalu apa prinsip berbagai bagian yang beragam ini? Sementara falak pertama (tertinggi) tidak akan lahir kecuali dari sesuatu yang tunggal dan sederhana. Dan yang sederhana (basit) ini hanya memunculkan sesuatu yang bentuknya sederhana dan homogen, yaitu sebuah bentuk bola. Bentuk itu bebas dari ciri- ciri istimewa yang beragam. Karenanya, ini suatu dilema yang tak dapat dipecahkan.

Apabila dikatakan:
Bisa saja, akibat pertama, sebagai prinsip bagi akibat- akibat yang lain, pada dirinya sendiri memiliki bentuk pluralitas tertentu yang, meskipun demikian, tidak timbul dari Prinsip Pertama. Kami hanya dapat mengetahui tiga atau empat bentuk pluralitas dan sebagian lainnya masih tetap tidak kita ketahui. Tetapi ketidaktahuan kami tentang bentuk-bentuk itu tidak menggoyahkan keyakinan kami bahwa harus ada pluralitas pada prinsip itu sendiri, karena yang tunggal (wahid) tidak bisa melahirkan pluralitas (kasirah).

Kami akan menjawab:
Apabila Anda menerima ini, maka Anda harus mengatakan bahwa semua maujud pada semua pluralitasnya—yang sampai ribuan—muncul dari akibat pertama. Anda tidak perlu membatasi prosesi dari akibat pertama itu atas tubuh dan jiwa falak pertama. Mungkin harus dikatakan bahwa darinya harus beremanasi semua jiwa-jiwa falak dan jiwa-jiwa manusia serta semua benda bumi dan benda langit, dengan berbagai jenis pluralitas yang mesti ada padanya yang belum sepenuhnya diketahui. Dengan begitu, ia akan tidak perlu terhadap akibat pertama.
Kemudian, sebagai suatu konsekuensi yang semestinya, sebab yang pertama dapat saja tidak dibutuhkan lagi. Karena apabila Anda membolehkan munculnya pluralitas—yang dikatakan muncul tanpa suatu sebab padahal ia bukan merupakan kemestian pada akibat pertama—Anda juga dapat membolehkan bahwa pluralitas semacam itu bisa ada bersama- sama dengan sebab pertama dan eksistensinya sendiri menjadi tidak bersebab. Juga akan dikatakan bahwa seharusnya sebab pertama terjadi dan jumlahnya tidak dapat diketahui. Setiap kali eksistensinya dibayangkan tanpa sebab bersama yang pertama, demikian pula hal tersebut akan mungkin dibayangkan tanpa sebab bersama yang kedua. Bahkan, kata “pertama” dan “kedua” tidak mempunyai arti. Karena keduanya tidak terpisah menurut batasan ruang dan waktu. Maka sesuatu yang tidak menyebabkan sebab pertama dan akibat pertama terpisah menurut ruang dan waktu, dan yang dapat ada tanpa sebab, maka salah satunya tidak dikhususkan untuk disandarkan kepada yang salah satu lainnya.

Jika dikatakan:
Pluralitas benda-benda melebihi jumlah ribuan. Tetapi diragukan bahwa pluralitas akibat pertama akan mencapai jumlah sebanyak itu. Karenanya, kami telah memperbanyak jutnlah perantaraperantara.

Kami akan menjawab:
Mengatakan bahwa hal itu “diragukan” adalah omong kosong belaka yang tidak dapat dijadikan dasar bagi keputusan intelektual. Anda telah mengatakan bahwa hal itu mustahil. Tetapi kemudian kami kami bertanya, mengapa mesti mustahil? Jika ketunggalan telah terlampaui, dan kita telah memercayai bahwa dua atau tiga hal dapat dimungkinkan untuk menjadi aksiden-aksiden terpisah dari akibat pertama—yang tidak berasal dari sebab pertama—maka bagaimana kami dapat menolak itu dan apa yang akan menjadi kriteria kami? Apa yang menghalangi kami dari melampaui jumlah sampai empat, atau lima, atau bahkan sampai seribu? Orang yang melampaui suatu jumlah dan menentukan satu jumlah tertentu sebagai batas, kami sadar bahwa kemungkinan kembali ke jumlah yang lebih rendah telah tertutup. Dan ini mempakan sesuatu yang pasti.
Kemudian kami akan mengatakan bahwa keterangan ini absurd dalam hal akibat kedua. Karena akibat kedua adalah falak bintangbintang (falak al-kawakib) yang dikatakan berasal dari akibat ini. Falak itu memiliki sekitar seribu dua ratus bintang yang berbeda-beda ukuran, bentuk, posisi, warna, pengaruh, serta kebahagiaan dan kesengsaraannya. Sebagian berbentuk sapi betina, sapi jantan, dan serigala, sedangkan sebagian yang lainnya berbentuk manusia. Pengaruhnya di satu tempat pada alam terendah berbeda-beda: memberikan pendinginan, pemanasan, nasib baik, dan nasib buruk. Dan kuantitas kuantitasnya secara mendasar berbeda-beda satu sama lain. Maka tidak mungkin untuk mengatakan bahwa semua bintang ini merupakan jenis tunggal bersamaan dengan perbedaan-perbedaannya. Jika itu mungkin, maka juga akan mungkin untuk mengatakan bahwa semua tubuh alam adalah satu jenis di dalam “ketubuhannya” (jismiyyah) dan diatur oleh satu sebab. Perbedaan sifat, substansi, dan konstitusi di antara tubuh-tubuh itu membuktikan bahwa tubuh-tubuh itu berbeda satu sama lain. Demikian pula bintang- bintang berbeda satu sama lainnya. Masing-masing memerlukan satu sebab yang terpisah—karena bentuknya, materinya, adaptasinya yang spesifik—dan berbeda-beda terhadap panas atau dingin, serta adaptasinya yang tertentu terhadap bentuk-bentuk bintang yang berbeda-beda. Apabila pluralitas semacam itu dapat dibayangkan pada akibat kedua, maka juga dapat dibayangkan pada akibat pertama. Dengan demikian, nilai hipotesis keduanya tidak diperlukan lagi.
Kelima, kami akan mengatakan: meskipun kami menerima postulat-postulat yang dingin dan asumsi-asumsi yang rusak ini, tetapi mengapa Anda tidak malu-malu mengatakan bahwa sifat mumkin al-wujud pada akibat pertama menuntut eksistensi benda falak yang tertinggi darinya, bahwa pengetahuan dirinya menuntut eksistensi jiwa falak darinya dan bahwa pengetahuannya mengenai Prinsip Pertama menuntut eksistensi akal falak darinya? Apa bedanya pernyataan ini dengan pernyataan seseorang bahwa, karena dia mengetahui wujud manusia yang gaib, bahwa wujud-nya adalah sesuatu mungkin dan bahwa dia mengetahui dirinya dan penciptanya, maka hanya disimpulkan bahwa dari kemungkinan wujudnya harus timbul eksistensi suatu falak? Terhadap asumsi tersebut, juga perlu dipertanyakan: apa hubungan antara kemungkinan wujud dan tubuh falaknya? Demikian juga dari pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang penciptanya harus timbul dua hal lain. Dan jika hal ini akan ditertawakan kala dibicarakan dalam konteks manusia, asumsi itu pun harus juga ditertawakan saat dibicarakan dalam konteks maujud lain. Karena kemungkinan wujud adalah satu kesimpulan yang tidak bisa berbeda karena perbedaan zat yang mungkin, baik wujud yang murigkin itu berupa manusia, malaikat atau falak. Saya tidak tahu bagaimana orang yang gila itu puas dengan postulat-postulat tersebut, apalagi pemikir- pemikir intelek yang “membelah rambut” (teori yang tidak jelas maksudnya) dengan hipotesis-hipotesisnya tentang hal-hal yang rasional.

Jika seseorang mengatakan:
Jika Anda sudah menolak teori-teori para filsuf itu, lalu apa yang akan Anda katakan? Apakah Anda berpandangan bahwa dari yang tunggal—dalam berbagai sisinya—dapat muncul dua hal yang berbeda? Jika memang demikian tentu mengaburkan tatanan rasionalitas sehingga membingungkan akal. Atau Anda mengatakan bahwa pada Prinsip Pertama terdapat pluralitas? Ini pun akan berarti Anda meninggalkan ajaran tauhid. Atau Anda juga mengatakan bahwa di dalam alam tak terdapat pluralitas? Ini pun akan memaksa Anda untuk rnengakui pendapat yang telah dikernukakan oleh para filsuf.

Kami akan menjawab:
Dengan buku ini kami tidak hadir sebagai pembangun sistem. Kami hanya bermaksud untuk rnengacak-acak berbagai teori para filsuf. Tujuan itu telah kami capai. Walaupun demikian, kami akan mengatakan, orang yang berpendapat bahwa memercayai prosesi kemunculan “dua” dari “satu” bertentangan dengan realitas indrawi, atau bahwa pengandaian beberapa sifat kekal dan abadi dari Prinsip Pertama bertentangan dengan ajaran tauhid. Jelas bahwa kedua pernyataan itu tidak beralasan. Para filsuf tidak mampu rnembuktikan proposisi ini. Kemustahilan prosesi munculnya “dua” dari “satu” tidak dapat terbukti sebagairnana terbuktinya kemustahilan keberadaan seseorang di dua tempat dalam waktu bersamaan. Secara umum, kernustahilan itu tidak diketahui secara daruri dan secara penyelidikan. Maka apa yang mencegah seseorang dari memercayai bahwa prinsip pertama merupakan pelaku yang mengetahui, berkehendak dan berkuasa, bahwa ia melakukan apa yang ia kehendaki, menghukum sebagaimana yang dia sukai dan bahwa dia menciptakan makhluk-makhluk yang sama dan yang tidak sama, kapan pun dan dengan cara bagaimana pun yang ia kehendaki. Kernustahilan kepercayaan sernacam itu tidak diketahui dengan kemestian akal dan penelitian rasional. Sebaliknya, nabi-nabi yang didukung dengan mukjizat-mukjizat telah menjelaskannya. Karena itu, kita wajib memercayai mereka.
Pembahasan tentang cara bagaimana perbuatan muncul dari Tuhan berdasar kehendak merupakan kerja tak berguna dan ambisi tak bertujuan. Orang-orang yang berusaha menyingkap hubungan antara yang muncul dan prinsipnya hanya mampu menyimpulkan pengernbaraan intelektual mereka dengan mengatakan bahwa dari sifat mungkinnya “akibat pertarna” muncul tubuh falak, dan dari pengetahuan dirinya muncul jiwa falak itu. Tetapi kesimpulan ini adalah suatu kebodohan, bukan penjelasan yang mencerahkan tentang hubungan tersebut.

Karenanya, marilah kita terima keterangan para nabi mengenai dasar-dasar masalah ini dan mari mematuhinya. Sebab akal tidak akan mampu untuk menentangnya. Mari kita tinggalkan pembahasan tentang “mengapa”, “berapa”, dan “apa”. Karena hal-hal ini berada di luar kemampuan manusia. Inilah alasan mengapa pembawa syariat (Nabi Muhammad Saw.) bersabda: “Berpikirlah kalian tentang ciptaan dan aktivitas kreatif Tuhan, dan jangan berpikir tentang esensi-Nya (zat Allah).”[]
 

LihatTutupKomentar