Pengantar Kerancuan Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
Pengantar Penerbit
Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf ) merupakan karya
terpopuler yang melambungkan sosok Abu Hamid al-Gazali sebagai salah satu
pemikir utama dalam lintasan kesejarahan Islam. Dalam karya ini, sesuai dengan
posisinya sebagai penjaga dan pembela umat, al-Gazali menjelaskan secara rinci
kerancuankerancuan yang ada dan terus didengungkan oleh para filsuf serta coba
dilesakkan kepada umat, yang dipandang al- Gazali sebagai tidak sesuai dengan
“keinginan” agama.
Dalam karya ini, dengan berpijak pada basis keilmuan yang mengakar kuat dari
tradisi teologis (kalam), al-Gazali membedah dan menelanjangi “kekeliruan”
para filsuf. Hal ini sebagaimana pengakuannya, “Dan kami tidak menetapkan
dalam buku ini, kecuali mendustakan mazhab para filsuf. Sedangkan untuk
mengafirmasi mazhab yang benar, kami (akan) menyusun sebuah buku yang kami
beri judul Qawa’id ai-’Aqa’id. Dengan buku tersebut, kami bermaksud melakukan
afirmasi, sebagaimana kami bermaksud melakukan dekonstruksi dengan buku ini
(Tahafut).”
Dengan demikian, dari kandungan yang dapat ditarik pada
nuansa positif-konstruktif, buku Tahafut dapat digolongkan pada karya
al-Gazali dalam bidang kalam yang meneropong kajian ftlsafat. Ia juga dapat
dimasukkan pada apa yang ditetapkan dalam kajian-kajian kalam agar bisa
membantu semua orang untuk menjawab: “Bagaimana seorang skeptis bisa menyusun
sebuah karya dan menyampaikan ajaran-ajaran yang positif-konstruktif?” Selain
itu, di dalamnya ditampilkan pendapat dari kalangan yang berkeyakinan bahwa
materi secara esensial adalah sesuatu yang mungkin (mumkin/ contingent), dalam
arti memerlukan sesuatu yang bisa memberikan wujud serta bisa merusaknya.
Al-Gazali sendiri membagi seluruh karyanya menjadi dua bagian. Pertama,
kelompok karya yang diistilahkan dengan “yang terlarang bagi selain yang
berkompeten” (al-madnun biha ‘ala gayr ahliha). Seluruh kandungan karya-karya
yang tergolong dalam kelompok ini, hanya diperuntukkan untuk al-Gazali sendiri
dan orang lain yang telah memenuhi persyaratan yang teramat sulit. Kedua,
karya-karya yang disajikan untuk konsumsi masyarakat umum (jumhur). Ia adalah
kelompok karya yang diperuntukkan kepada mereka sesuai dengan tingkat
intelektualitasnya.
***
Buku ini juga memotret doktrin mazhab
para filsuf terdahulu sebagaimana adanya. Dengan ini, diharapkan agar
orang-orang yang menjadi ateis atas dasar taklid dapat melihat dengan jelas
bahwa semua cabang pengetahuan—baik klasik maupun kontemporer—sepakat meyakini
Allah dan Hari Akhir. Mereka juga diharapkan bisa menyadari bahwa perdebatan
yang muncul hanya terkait dengan rincian persoalan di luar dua kutub keyakinan
dasar tersebut. Di sinilah letak urgensi kehadiran para nabi yang telah
dibekali mukjizat.
Selain itu, buku ini juga berkepentingan mengeluarkan mereka dari sikap yang
berlebihan, yaitu anggapan bahwa berpegang pada kekafiran secara taklid adalah
menunjukkan tingginya kualitas pemikiran dan kecerdasan mereka. Sebab terbukti
bahwa para filsuf yang mereka anggap sebagai kelompok mereka, ternyata steril
dari tuduhan mereka sebagai para pengingkar syari’at. Karena, para ftlsuf
memercayai adanya Allah dan para rasul, walaupun dalam berbagai persoalan
rinci tentang prinsip-prinsip tersebut, mereka memiliki pendapat yang berbeda
dan menyimpang sehingga menyebabkan orang lain tersesat dari jalan yang benar.
Buku ini bermaksud menyingkap aspek-aspek yang membuat mereka tersesat, berupa
anggapan-anggapan tidak berdasar serta kekeliruan-kekeliruan. Dalam hal ini,
karya ini juga coba menjelaskan bahwa semua penyimpangan tersebut merupakan
warna permukaan pemikiran para filsuf yang mengandung capaian-capaian berharga
yang harus tetap diapresiasi. Sebenarnya, silang pendapat antara para filsuf
dengan aliran pemikiran lainnya terbagi atas tiga bagian. Pertama, perbedaan
yang hanya berakar pada persoalan bahasa semata, seperti menyebutkan Pencipta
alam—Mahatinggi Allah dari perkataan mereka—dengan substansi (jawhar) yang
disertai penafsiran bahwa substansi yang dimaksud adalah maujud yang tidak
menempati suatu subyek, dalam arti zat yang berdiri sendiri tanpa memerlukan
unsur eksternal bagi eksistensinya.
Kedua, gagasan-gagasan para filsuf
yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip agama. Perbedaan pendapat yang
muncul tidak terkait dengan keniscayaan membenarkan ajaran yang dibawa para
nabi dan rasul—semoga Allah melimpahkan rahmat- Nya kepada mereka. Misalnya,
teori para filsuf tentang gerhana bulan sebagai hilangnya cahaya bulan sebab
interposisi bumi di antara bulan dan matahari, sementara bulan memantulkan
cahaya dari sinar matahari dan bumi berbentuk bulat dalam ruang langit yang
melingkupi sekelilingnya. Jika posisi bulan terhalang oleh bumi, maka sinar
matahari akan terpotong dan tidak akan memantul pada bulan. Ketiga, pandangan
atau teori yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, seperti persoalan
keberawalan alam, sifat-sifat Pencipta (Allah) dan kebinasaan jasad.
Detailnya, dalam karya ini, al-Gazali membahas tuntas dua puluh masalah yang
berkaitan dengan metafisika dan fisika yang menjadi pegangan para filsuf, yang
dianggap keliru oleh al-Gazali. Di antaranya masalah eternitas (azaliyyah)
alam, ketakberakhiran (abadiyah) alam, dan pengingkaran para ftlsuf terhadap
kebangkitan jasad, serta kenikmatan Surga dan kesengsaraan Neraka secara
jasmani.
***
Ironis adalah kata yang paling tepat untuk
mewakili persepsi masyarakat sekarang terhadap sosok al-Gazali. Ia adalah
Argumentator Islam (Hujjah al-Islam, the Proof of Islam) yang kontribusinya
telah diakui dunia Barat dan Timur, namun masih saja menyisakan tanda tanya
besar hingga sekarang, mengapa tak bisa mewariskan sikap kritisisme yang
menjadi landasan intelektualitasnya? Atau mengapa masyarakat tidak bisa
menangkap rangka epistimologi yang menjadi bangunan pemikirannya? Sehingga
mereka lebih asyik dengan hasil instan pemikiran al-Gazali dalam menyelesaikan
berbagai problematika sosial, ketimbang harus bersusah payah mencermati,
mengkaji, dan mengembangkan manhaj yang ditapaki sang Argumentator Islam
tersebut.
Kontroversi terhadap al-Gazali bermula dari kritikannya yang cukup menohok kepada para filsuf yang berimplikasi secara signiicant terhadap bangunan peradaban Islam. Akibatnya, kemajuan pemikiran umat Islam seolah menjadi mandeg—kalau tidak bisa dikatakan mati sama sekali—sehingga memunculkan julukan kalau sang imam adalah “si penyembelih ayam bertelur emas”. Sebenarnya, jika dicermati secara jujur, kritikan al-Gazali terhadap para filsuf masih berada dalam batas kewajaran. Artinya, sikap takir yang diambilnya adalah sesuatu yang bisa jadi tepat bila melihat konteks sosialnya, meskipun tidak cukup populer dan relevan bagi situasi umat mutakhir.
Oleh karena itu, untuk memberikan penilaian yang obyektif, tepat sekali bila
mengacu pada karya sang Hujjatul Islam secara langsung. Untuk tujuan itulah
karya ini dihadirkan. Harapan kami, semoga penerbitan karya ini semakin
memperkaya wawasan para pembaca, khususnya yang berkaitan dengan sosok
“kontroversial” al-Gazali.
Selamat membaca ...
Yogyakarta,
Maret 2015
Pengantar Pentahqiq
Wujud (eksistensi), menurut saya, memiliki keterkaitan antara
yang satu dengan lainnya. Artinya, setiap maujud (yang bereksistensi) memiliki
hubungan dengan maujud yang lain. Jika hal ini benar, pengetahuan yang benar
terhadap wujud berarti kalkulasi pikiran-pikiran tentang sejumlah maujud yang
saling terkait, sebagaimana keterkaitan antar-maujud. Berdasarkan ini, para
filsuf Muslim mendefinisikan pengetahuan (ma’rifah) sebagai proyeksi yang
dilakukan jiwa terhadap bentuk alam sehingga terwujud gambaran seperti
aslinya. Tak dapat dimungkiri, pengetahuan yang hanya terbatas pada sebagian
wujud adalah berarti ketidaktahuan. Hal itu tidak hanya menyangkut suatu wujud
yang memang tidak diketahui, tapi juga menyangkut aspekaspek tertentu dari
suatu wujud yang memang diketahui itu sendiri. Karena ketidaktahuan terhadap
relasi-relasi bagian wujud yang diketahui dengan wujud yang tak diketahui
merupakan sejenis ketidaktahuan terhadap wujud yang bagiannya diketahui
tersebut.
Atas dasar ini, tentu terdapat relasi-relasi antara ilmu
alamiah dan ilmu Ilahi, dengan melihat adanya relasi antara alam dengan Tuhan.
Karena alasan ini, kita melihat sementara fllsuf menggabungkan ilmu alamiah
dan ilmu Ilahi seolah-olah merupakan satu jenis disiplin ilmu. Di antara
filsuf tersebut adalah Ibn Sina. Ia mengulas kedua jenis ilmu tersebut dalam
sepuluh kategori, dengan mengambil bagian-bagian yang sama dari masing-masing
keduanya, sehingga para pembaca nyaris tidak menemukan titik perbedaan antar
keduanya. Itulah yang termuat dalam bukunya al-Isyarat wa at-Tanbihat.
***
Dari
semua itu, semoga saja kita tidak sulit menerima kenyataan bahwa dinamika ilmu
alamiah—berupa fluktuasi kemajuan dan kemundurannya—dapat berpengaruh terhadap
maju mundurnya ilmu Ilahi. Ilmu alamiah adalah ilmu tentang rahasia-rahasia
realitas kosmik. Kita tahu, rahasia-rahasia tersebut lebih besar dari seluruh
hal yang diketahui oleh manusia, lebih detail dari semua yang bisa diungkap
dalam rentang waktu yang relatif pendek, lebih rumit dari yang dipahami secara
benar dengan cara mudah. Dari semua itulah kerja kajian ketuhanan berpangkal.
Hal itu bergerak dalam garis rahasia-rahasia yang bisa diungkap dan terungkap,
berupa keluasan dan kesempitannya, kecepatan dan kelambatannya, serta
kemudahan dan kerumitannya.
Dalam konteks ini, terdapat dua persoalan ilmu alamiah yang selalu
menghembuskan pengaruh terhadap ruang ilmu Ilahi: (1) persoalan eternitas
alam, menyangkut ketakberawalan dan ketakberakhiran alam; (2) persoalan apakah
materi memiliki wujud, karena dirinya atau karena yang lain. Dua persoalan
alamiah ini terkait dengan persoalan-persoalan yang bernaung di bawah payung
ilmu Ilahi. Antara lain persoalan jangkauan otoritas Tuhan dan batas batas
kehendaknya, interpretasi Neraka dan Surga serta pahala dan siksa yang
merupakan problem eskatologis.
***
Sejumlah pemikir meyakini
“kemustahilan menciptakan sesuatu dari ketiadaan” dan “kemustahilan membuat
sesuatu menjadi tidak ada” sebagai pernyataan prinsip yang berakar dari
pengetahuan intuitif, sebagai pengetahuan yang tidak memerlukan proses olah
pikir dan penelitian lagi.
***
Perlu saya perjelas kepada para
pembaca bahwa asumsi kualitas intuitif dalam dua persoalan di atas merupakan
sikap apriori dan menghalangi akal untuk melakukan pengujian lebih lanjut.
Asumsi di atas merupakan ajakan untuk diam, tenang, dan tak berbuat apa-apa.
Saya kira akal yang sadar tidak akan begitu saja diam dan menerima asumsi
berbahaya seperti asumsi kualitas intuitif tentang dua persoalan tersebut di
atas.
Lalu, di mana letak kualitas intuitifnya pada saat terdapat dugaan bahwa
sesuatu yang terbakar api menjadi binasa? Apakah pengetahuan intuitif tersebut
muncul dalam benak seseorang sejak diciptakannya media yang menetapkan bahwa
lelehan lilin yang terbakar sama beratnya dengan yang sebelum terbakar?
Selanjutnya, ditetapkan bahwa lalapan api bukan merupakan bentuk pembinasaan
dan sesuatu yang terbakar ternyata tidak binasa. Apakah pengetahuan intuitif
itu lahir dalam pikiran seseorang sejak saat itu dan melalui cara itu saja?
Dan apakah mungkin mendasarkan pengetahuan intuitif pada pengalaman atau
dalil?
***
Lalu jika api tidak melenyapkan sesuatu yang
dilalapnya, apakah cara peniadaan benda-benda memang hanya terbatas pada
pembakaran? Dan jika pengetahuan manusia—sampai saat ini—belum menemukan media
yang lebih dahsyat dari api dalam melenyapkan benda-benda, apakah hal itu
berarti menunjukkan bahwa media tersebut tidak ada dan tidak mungkin ada?
Apakah sesuatu yang tidak diketahui berarti tidak ada? Apakah kekuasaan
Tuhan—bagi yang meyakini adanya Tuhan—tunduk pada pengalaman, lalu ditetapkan
batas-batasnya, dengan itu yang termasuk dan yang tidak termasuk dapat
dipilah-pilah serta berdasar batas-batas itu ditetapkan bahwa suatu hal memang
sama sekali tidak ada, dan keluar dari batas-batas yang mampu dilakukan oleh
Tuhan?
***
Kemudian, jika dengan berdasar pengalaman dan
eksperimentasi, kita menegaskan bahwa apa yang kita duga sebagai pelenyapan
dan pembinasaan, tak lain hanyalah penguraian dan pemecahmecahan, lalu dengan
apa kita akan menegaskan bahwa pengadaan (membuat sesuatu menjadi ada) bukan
penciptaan dari ketiadaan, melainkan rekayasa perubahan dari satu kondisi ke
kondisi yang lain? Apakah kita akan menganalogikan pengadaan dari ketiadaan
dengan peniadaan yang ada (maujud), lalu mengatakan: setelah yang kedua
(meniadakan yang ada) merupakan sesuatu yang mustahil berdasar pada pengalaman
empiris, maka yang pertama (mengadakan sesuatu dari ketiadaan) juga merupakan
hal yang mustahil. Karena keduanya adalah serupa. Maka, ketidakmampuan
mewujudkan sesuatu berarti juga ketakberdayaan mewujudkan sesuatu yang
sejenis? Atau kita menetapkan pengadaan dari ketiadaan berdasar pengalaman
empiris, seperti peniadaan yang ada sehingga jelas bahwa kita tidak bisa
melakukan yang pertama, sebagaimana juga yang kedua?
***
Jika
memilih yang pertama, seolah persoalannya berpijak pada analogi. Apakah yang
dianalogikan dan analognya sama persis? Apakah sama antara peniadaan dengan
pengadaan sehingga ketidakmampuan untuk meniadakan menjadi dalil atas
ketakberdayaan untuk mengadakan?
Terkadang memang benar bahwa merekayasa sesuatu yang ada menjadi tidak ada seperti mengadakan sesuatu dari ketiadaan, dan ketidakmampuan melakukan salah satunya adalah menjadi dalil atas ketakberdayaan mewujudkan yang lain. Tapi apakah pengetahuan atas persamaan keduanya—berdasarkan hipotesis bahwa keduanya sama—merupakan sesuatu yang bersifat intuitif? Jika merupakan pengetahuan intuitif, tentu para filsuf Muslim tertentu tidak akan berpendapat bahwa “jiwa manusia tidak akan binasa”, padahal jiwa merupakan sesuatu yang berawal (hadisah)?
Bersama dengan pernyataan di atas, pengadaan dan peniadaan tidak bisa
dipersamakan. Persoalan ini membuat saya menjadi gelisah, kala dihadapkan akan
pandangan tentang kemustahilan mengadakan sesuatu dari ketiadaan berdasarkan
analogi pada ketidakmungkinan sesuatu yang ada menjadi tidak ada. Ini berarti
persoalannya sama sekali tidak bersifat intuitif, melainkan memerlukan
argumen-argumen rasional dan persuasif sehingga bisa diterima akal.
***
Jika
memilih yang kedua, berarti berpijak pada pengalaman empiris. Kita mencoba
mengadakan sesuatu dari ketiadaan, namun ternyata tidak bisa. Maka, apakah
persoalan kemustahilan mengadakan sesuatu dari ketiadaan dan membuat sesuatu
yang ada menjadi tidak ada merupakan persoalan relatif atau absolut? Artinya,
apakah persoalan kemustahilan mengadakan sesuatu dari ketiadaan dan membuat
sesuatu yang ada menjadi tidak ada merupakan ketidakmungkinan pada esensinya
sendiri atau ketidakmungkinan dalam konteks kemampuan manusiawi saja?
Jika alternatifnya adalah yang kedua, yaitu ketidakmungkinan tersebut dalam
konteks kemampuan manusiawi, berarti persoalannya bergeser dari akar tema
kontroversi. Tapi jika mengambil alternatif pertama, bahwa hal itu berupa
ketidakmungkinan dalam esensinya sendiri, bagaimana bisa menetapkan hukum
universal dengan berdasarkan pada dalil yang tidak universal? Apakah bisa
dibenarkan bergerak dari hukum “ketidakmampuan manusia atas hal tersebut”
menuju “ketidakmampuan Tuhan”? Memang, dua kemampuan (manusia dan Tuhan)
tersebut dalam konteks tertentu memiliki kesamaan. Misalnya dalam
kemustahilan-kemustahilan esensial, seperti menyatukan dua hal yang keduanya
bertentangan atau menghilangkan keduanya sekaligus. Kasus semacam ini tidak
terkait dengan kekuasaan Tuhan dan di luar wilayah kemampuan manusia. Tapi
tidak semua yang tidak mampu diwujudkan oleh kemampuan manusia terlepas dari
kemampuan Tuhan. Karena itu, tidak bisa dibenarkan mengikuti pendapat orang
yang menjadikan ketidakmampuan manusia untuk mengadakan sesuatu dari tidak
ada, sebagai dalil atas kemustahilan sesuatu pada tingkat esensinya.
***
Kemudian,
jika materi (maddah) tidak mungkin dan tidak masuk akal untuk menjadi tiada
dan diciptakan dari ketiadaan, bukankah ia telah memiliki—dengan sempurna—
karakter-karakter spesifik keniscayaan esensial (al-wujub az- zati)? Apakah
orang-orang yang berkata bahwa ‘’materi tidak diciptakan dari ketiadaan dan
tidak akan bisa menjadi tiada” konsisten dengan keniscayaan esensial bagi
materi? Apakah mungkin menggabungkan postulat “materi tidak diciptakan dari
ketiadaan dan tidak bisa menjadi tiada” dengan postulat “materi pada esensinya
adalah sesuatu yang mungkin, tidak bisa diadakan kecuali ada sebab-sebab bagi
keberadaannya, dan tidak bisa tiada kecuali ada sebab-sebab yang bisa
membuatnya tiada”, jika postulat “materi tidak bisa diadakan dari ketiadaan
dan tidak bisa menjadi tiada” meniscayakan adanya teori “keniscayaan
eksistensi materi secara esensial”?
Kemudian, jika materi tidak bisa
diciptakan dari ketiadaan, apa yang bisa memberikan karakter spesifik terhadap
materi dengan massa dan volume yang membentuknya?
Dimensi-dimensi
itu memiliki batas akhir. Maka kesimpulannya, seperti digariskan para filsuf,
materi memiliki massa dan volume terbatas. Apa yang membuatnya memiliki massa
dan volume terbatas? Apakah Allah yang menjadikannya? Dan bagaimana.... Atau
materi sendiri yang menjadikan dirinya dengan volume dan massa tertentu
tersebut? Bagaimana materi menjadikan dirinya demikian? Dan apakah orang yang
menyatakan bahwa “materi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa
ditiadakan” tetap konsisten dengan hal tersebut di atas?
Sebenarnya, sementara orang yang berpendapat demikian adalah orang yang
meyakini adanya Tuhan yang beraktivitas dalam jagad raya. Mampukah mereka
mengkompromikan antara keimanannya pada Tuhan dan pernyataannya bahwa materi
menjadikan dirinya sendiri dengan volume dan massa tertentu?
***
Semua
itu membuat saya berkesimpulan bahwa asumsi kebenaran intuitif atas
“kemustahilan menciptakan sesuatu dari ketiadaan” dan “kemustahilan meniadakan
sesuatu yang ada” adalah simplifikasi atas dua persoalan tersebut serta
manipulasi agar akal malas membuktikan dengan serius untuk bisa menyingkap
hakikat yang sebenarnya. Ini pula yang membuat saya berpendapat bahwa jika
para ahli metafisika, yang hidup dengan rasionalitas an sich, perlu akomodatif
terhadap kajian- kajian ilmu-ilmu alam yang empiris, maka para ahli ilmu alam
juga perlu akomodatif terhadap kajian-kajian metafisika.
Dalam
pandangan al-Gazali, yang berasal dari Galen, terdapat elaborasi atas
kebutuhan sikap akomodatif tersebut. Galen—bersama orang-orang yang
sealiran—berpandangan bahwa alam bersifat kekal. Alasannya: “Sesungguhnya
kerusakan alam terjadi dengan perubahannya dari satu kondisi ke kondisi yang
lain, dan dengan perpindahannya dari satu perihal ke perihal yang lain. Tapi
kita melihat matahari tidak mengalami perubahan sejak ribuan tahun yang silam,
tidak semakin redup dan tidak mengecil. Ini berarti bahwa ia tidak akan
binasa. Karena jika matahari memang dalam proses menuju kehancuran, ia pasti
akan menampakkan keredupan dan semakin kehabisan energi dalam perjalanannya
selama ribuan tahun. Ternyata matahari tidak semakin redup dan kehabisan
energi, dalam rentang waktu yang panjang. Maka kenyataan tersebut hanya
memiliki satu interpretasi: matahari akan tetap ada dan tidak akan binasa,
abadi dan tidak akan lenyap.”1
Demikianlah pandangan Galen tentang teori eternitas alam. Galen mendasarkan
teorinya—bahwa matahari tidak makin redup dalam rentang waktu yang amat
panjang—melalui pengamatan langsung dengan menggunakan teropong yang dikenal
pada masanya. Namun al-Gazali tidak menggunakan itu dan tidak mendasarkan
pandangannya atas pengetahuan-pengetahuan dari ilmu alam, melainkan membangun
pandangannya atas dasar rasionalitas logika an sich. Dari sudut ini, ia
mengarahkan perspektifnya terhadap pandangan para pemerhati kajian-kajian
alamiah dengan menampilkan bukti-bukti penguat sekaligus memperbaiki
kesalahan-kesalahannya.
Al-Gazali menyatakan, terdapat kontradiksi
pada beberapa sisi dalam pandangan tersebut. Pertama, bunyi dalil tersebut
adalah: “Jika matahari akan mengalami kerusakan, maka ia harus makin redup”.
Namun konsekuensinya (ungkapan kedua/ tali) adalah sesuatu yang absurd
(muhal). Karena itu, ungkapan premis (pertama/ muqaddimah), juga absurd. Model
analogi seperti ini disebut dengan “qiyas syarti muttasil” (silogisme
hipotetik langsung) oleh para filsuf. Dengan demikian, kesimpulannya
dipastikan menjadi tidak benar, karena premisnya tidak benar,2 selama tidak
didukung oleh syarat lain. Pernyataan: “Jika matahari akan mengalami
kerusakan, maka cahayanya harus semakin redup,” merupakan pernyataan di mana
konsekuen (yang kedua) tidak bisa meniscayakan kalimat pertama (premis)
kecuali ditambah dengan syarat lain, yaitu: ‘’Jika matahari akan mengalami
kerusakan dengan cara meredup, maka cahayanya harus semakin redup dalam
rentang waktu panjang yang dijalaninya.” Atau dengan memberikan penjelasan
bahwa tidak ada bentuk kerusakan kecuali dengan cara semakin meredup. Sehingga
dengan demikian, pernyataan kedua dapat memberikan keniscayaan terhadap
pernyataan pertama. Tapi kita tidak bisa menerima pernyataan bahwa sesuatu
tidak akan rusak kecuali melalui proses semakin layu, redup, dan semakin tidak
segar. Karena proses semacam itu hanya merupakan salah satu bentuk proses
rusaknya sesuatu. Tidak sedikit sesuatu yang tiba-tiba rusak ketika telah
mencapai klimaks kesempurnaannya.
Kedua, mengapa hal itu bisa diterima, bahwa tidak ada kerusakan kecuali
melalui proses meredup dan semakin layu. Dari mana diketahui bahwa matahari
tidak mengalami proses seperti itu. Menjadikan teropong sebagai dasar adalah
sesuatu yang absurd karena kadar matahari tidak bisa diketahui kecuali dengan
mendekatinya, padahal dikatakan bahwa ukurannya kurang lebih 170 kali ukuran
bumi. Kalau saja matahari semakin mengecil dan berkurang sebesar gunung, tentu
tidak akan terdeteksi oleh indra.3
Barangkali saja matahari mengalami
proses semakin redup, menyusut, dan mengecil, dan sampai saat ini besarnya
telah berkurang sebesar gunung atau lebih, sementara indra manusia tidak mampu
menangkap perubahan tersebut. Karena ukuran- ukuran itu-dalam pengetahuan
tentang obyek penglihatan—tidak bisa diketahui kecuali dengan mendekatinya.
Kasus ini seperti kasus permata dan emas yang—menurut mereka—tersusun atas
unsur-unsur dan bisa mengalami kerusakan. Lalu jika permata itu dibiarkan
selama seratus tahun, maka kadar perubahannya tidak dapat diketahui oleh
indra. Bisa jadi, kadar perubahan—berupa semakin berkurangnya kadar atau
ukuran—pada matahari dalam rentang sejarah teropong seperti perubahan dalam
permata dalam rentang seratus tahun, yang sama-sama tidak terdeteksi. Dengan
demikian, dalil tersebut merupakan puncak absurditas.
***
Dua
hal tersebut merupakan tikaman tokoh metafisika, orang yang hanya mengandalkan
rasionalitas dan penalaran semata, terhadap tokoh fisika, orang yang bergelut
dengan kajian- kajian fisik-material berikut sarana yang digunakan. Inilah dua
tikaman yang membuat terkapar. Pertama, ahli metafisika tersebut melepas akal
dari kepicikan dan stagnasi serta keterjebakan dalam lingkaran kebiasaan,
tanpa bisa bergerak merdeka dan melepaskan diri dari pengaruhnya. Jelas,
seseorang yang memiliki potensi rasional dengan akalnya tidak bisa
terperangkap pada praduga bahwa jika dalam kehidupan kita hanya menemukan
proses kerusakan benda dengan pengerutan, peredupan, dan penyusutan, berarti
proses tersebut merupakan satu-satunya proses kerusakan. Siapakah yang bisa
berasumsi demikian? Tidak seorang pun, kecuali orang yang terkungkung
kebiasaan, bukan orang yang berakal sehat dan mampu berpikir merdeka.
Kedua, padangan di atas menetapkan kemungkinan terjadinya penyusutan yang diingkari oleh Galen sekaligus juga mempertanyakan sarana-sarana yang digunakannya sehingga mengantarnya pada kesimpulan bahwa penyusutan itu tidak terjadi.
Pandangan ini juga didasarkan pada argumen rasional. Ini pula yang digunakan al-Gazali. Ia menegaskan kemungkinan terjadinya penyusutan. Tapi al-Gazali tidak mengklaim bahwa ia sampai pada pengetahuan tentang adanya penyusutan itu dengan perantara kerja penelitian, dengan perangkat dan media yang membantunya mempermudah dan tidak digunakan oleh Galen.
Al-Gazali meragukan Galen dalam sisi proses dan perangkat kerja dalam
menetapkan tidak adanya penyusutan tersebut. Dan kenyataannya, pada saat
tertentu, akal dapat mengalahkan pengalaman empiris. Dan hal itu bisa terjadi
dengan perantaraan pengalaman empiris itu sendiri. ltulah yang ditunjukkan
oleh para astronom dengan bantuan teropongnya dalam kesempatan lain, dengan
mengungkapkan terjadinya ledakan-ledakan pada matahari yang menyebabkan
terjadinya tambal sulam dan berbagai perubahan di permukaannya, yang luasnya
dua puluh kali lipat dari luas permukaan bumi.
Tidak itu saja,
teropong-teropong astronomik juga memperlihatkan lokasi-lokasi ledakan
tersebut, bahkan memperkuatnya dengan menunjukkan dampak yang muncul berupa
radiasi dan gelombang listrik yang memengaruhi kehidupan di bumi. Jika saja
Galen mengetahui adanya ledakan beserta pengaruhnya, tentu ia tidak akan
menolak bahwa matahari memperlihatkan penyusutan.
Ya Allah..! Betapa agung akal yang telah Kau-karuniakan kepada kami. Betapa tinggi potensi pikir yang telah Kau- anugerahkan kepada kami. Akal dan potensi pikir merupakan bagian dari Cahaya dan rentang kekuasaan-Mu. Orang yang mejadikannya sebagai petunjuk tidak akan sesat. Orang yang melindungi diri dengannya tidak akan tertaklukkan.
Di sinilah, al-Gazali menumbangkan Galen dengan satu sebab, yaitu: al-Gazali
memakai akal dan penalaran yang benar, sedangkan Galen berpegang teguh pada
hukum kebiasaan dan tidak mengkaji ulang dengan kritis. Mari kita mengambil
pelajaran dari kasus ini. Para filsuf adalah orang-orang yang berpegang teguh
pada pengalaman empiris, menjadikannya sebagai satu-satunya jalan menuju
pengetahuan, berpandangan bahwa wujud sebatas pada yang dialami secara
empiris, tak ada apa pun selain yang dapat dialami secara empiris. Mestinya
mereka tahu bahwa pengalaman, pada aspek esensi dan cakupannya, dalam
perjalanan waktu akan menampakkan kebenaran hasil potensi pikir yang bergerak
dalam wilayah rasionalitas semata, yang diikat pengalaman empiris yang
terbatas dan merasa asing dengan wilayah yang sempit.
***
Saya
ingin menutup kata pengantar ini dengan mengisyaratkan bahwa pandangan “materi
tidak diadakan dari ketiadaan dan tidak bisa ditiadakan” adalah pandangan yang
berkeyakinan akan ketakberawalan alam. Namun pandangan tentang ketakberawalan
alam tidak selamanya didasarkan pada pandangan bahwa materi tak diadakan dari
ketiadaan dan tak bisa ditiadakan.
Dalam bukunya, Tahafut—yang saya sajikan dengan kata pengantar ini—al-Gazali menampilkan pendapat dari kalangan yang berkeyakinan bahwa materi secara esensial adalah sesuatu yang mungkin (mumkin/ contingent), dalam arti memerlukan sesuatu yang bisa memberikan wujud serta bisa merusaknya. Lebih lanjut, mereka juga memosisikan dasar-dasar pandangan ketakberawalan materi pada persoalan yang keluar dari karakter esensial materi, dikembalikan pada sifat-sifat Tuhan dan sesuatu yang seharusnya berwenang atas karakter tersebut.
Tema ini terurai dalam buku Tahafut dan al-Gazali menyajikannya dalam bentuk
yang mudah dipahami, sebagaimana tentang tema-tema lain dalam buku ini.
Mesir,
9 Rabi’ul Akhir 1377
1 November 1957
Sulayman Dunya
Footnote
1 Pernyataan tersebut bukan merupakan terjemahan literal atas bahasa Galen,
namun sebatas reproduksi berdasar kandungan maknanya (riwayah bi al-ma’na).
Lihat Tahafut al-Falasifah, “Masalah Penolakan atas Pandangan Filsuf tentang
Kekalitas Alam, Waktu, dan Gerak.”
2 Premisnya tidak benar, yaitu pernyataan, “Jika matahari akan mengalami kerusakan.” Menurut al-Gazali, premis tersebut hanya terbatas pada ungkapan: “Jika matahari akan mengalami kerusakan,” tanpa ada kalimat berikutnya: “Maka harus mengalami penyusutan dan peredupan.” Karena premis yang hendak dijelaskan, bahwa kebenarannya memerlukan kalimat berikutnya yang memang dari pernyataan: “Jika matahari akan mengalami kerusakan.”
Sedangkan pernyataan: “Maka harus mengalami penyusutan dan peredupan”,
hanyalah tambahan yang tidak mesti ada. Karena ia adalah konsekuen yang tidak
bisa menjadi sasaran kritik. Kritik al-Gazali dalam hal ini terarah pada: (1)
premis yang harus disertai syarat yang memastikan kebenarannya, (2) hubungan
keniscayaan antara premis dan konsekuen. Sebab ia akan menjadi nihil, bila
tidak sesuai dengan penyandaran syarat.
3 Jika berkurangnya bagian matahari sebesar gunung hampir tidak memberikan pengaruh berarti dan nyaris tidak dapat diketahui, dengan pengandaian bahwa ukuran matahari lebih besar 170 kali dari bumi seperti dikatakan para tokoh terdahulu, maka hakikat berkurangnya, yang seukuran itu menambah penyusutan dan peredupannya, dengan mempertimbangkan massanya yang lebih besar beratus ribu kali dari bumi seperti dikatakan para peneliti.