Terjemah Al-Muhalla Ibnu Hazm

Nama kitab: Terjemah Al-Muhalla Ibnu Hazm Judul kitab asal: Al-Muhalla bi al-Atsar, Bidang studi: Fiqih madzhab zhahiri (non mazhab empat)

Terjemah Al-Muhalla Ibnu Hazm

Nama kitab: Terjemah Al-Muhalla Ibnu Hazm
Judul kitab asal: Al-Muhalla bi al-Atsar, al-Asar, al-Athar ( كتاب المحلى بالآثار)
Nama penulis: Ibnu Hazm, Ibn Hazm
Nama lengkap: Abu Muhammad, Ali ibn Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi al-Zhahiri / Al-Dhahiri (أبو محمد، علي بن أحمد بن سعيد بن حزم الأندلسي [الظاهري)
Lahir, Tempat lahir: November 7, 994 M, Kordoba, Spanyol
Wafat: August 15, 1064 M (usia 69 tahun), Huelva, Spanyol
Bidang studi: Fiqih madzhab zhahiri (non mazhab empat) . 

 Daftar isi

  1. Biografi Ibnu Hazm Pengarang Al-Muhalla
  2. Profil Kitab Al-Muhalla
  3. Footnote
  4. Download Terjemah Al-Muhalla
  5. Download Al-Muhalla versi Arab
  6. Kitab Fikih lain
    1. Terjemah Matan Taqrib
    2. Terjemah Fathul Qorib
    3. Terjemah Minhajut Talibin
    4. Terjemah Fahul Muin
    5. Terjemah Al-Umm Syafi'i 
    6. Terjemah Al-Majmu' Syarah Muhadzab
    7. Terjemah Minhajut Talibin
    8. Terjemah Raudhatuth Thalibin 
    9. Terjemah Fikih Empat Mazhab 
    10. Terjemah Al-Mughni Ibnu Qudamah
    11. Terjemah Safinatun Najah
    12. Terjemah Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja
    13. Terjemah Kitab At Tahzhib Dalil Al-Quran dan Sunnah dari Matan Taqrib
    14. Terjemah Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram 
    15. Terjemah Uqudul Lujain 
    16. Terjemah Tibyan fi Adab Hamalat al-Quran 
  7. Kitab dan arikel Fikih Terbaru

Biografi Ibnu Hazm Pengarang Al-Muhalla

1.    Latar Belakang Kehidupan Ibnu Hazm

Ibnu Hazm merupakan seseorang yang memiliki kedudukan dan nasab yang mulia. Beliau berasal dari keluarga yang berilmu dan beradab. Beliau juga seorang teolog keturunan Arab-Persia. Ibnu Hazm sangat terkenal sebagai orang yang menentang teologi Asy‟ariyyah.31 Keluarganya berasal dari desa Manta Lisyam, dekat Huelva, kawasan lembah sungai Odiel Spanyol.32 Ayahnya yang berama Ahmad bin Sa‟id termasuk orang yang cerdas dan berwibawa dan pernah menduduki jabatan menteri pada masa pemerintahan al-Hajib al-Manshur.33

Nama lengkap beliau adalah Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Khalaf bin Ma‟dan bin Sufyan bin Yazid. Ibnu Hazm dilahirkan di Cordova tepatnya di Andalusia pada hari Rabu sebelum terbit matahari bulan Ramadhan pada tahun 384 H.34 Beliau memiliki julukan nama yaitu Abu Muhammad yang tercantum dalam kitabnya al-Fashl. Beliau wafat di Padang Lablah pada bulan Sya‟ban tahun 456 H.

Para kalangan penulis klasik maupun kontemporer menggunakan nama singkatnya yaitu Ibnu Hazm dan terkadang juga dihubungkan dengan panggilan al-Andalusi atau al-Qurthubi sebagai penisbatan tempat kelahirannya Cordova dan Andalusia. Sebagaimana juga sering dikaitkan dengan sebutan al-Zahiri yaitu sehubungan dengan aliran fiqih dan pola pemikiran yang beliau anut. Sedangkan Ibnu Hazm memanggil dirinya dengan panggilan Ali atau Abu Muhammad seperti yang telah ditemukan dalam karya-karyanya.35

Keturunan Persia Ibnu Hazm didapatkan dari kakeknya Yazid. Kakek Yazid adalah pemeluk agama Islam setelah menjalin hubungan dan melakukan sumpah setia dengan saudara kandung Mu‟awiyah khalifah pertama Bani Umayyah yaitu Yazid ibnu Abi Sufyan. Dengan adanya hubungan ini keluarga Ibnu Hazm dimasukkan kedalam suku Quraisy. Kemudian kakek bersama Bani Umayyah pindah ke Andalusia dan mendirikan kekuasaan di sana.36

Sejak lahir Ibnu Hazm berada dalam kenikmatan dan kemewahan. Ibnu Hazm tumbuh berkembang dalam asuhan para kaum wanita yang terpelajar, hal itu disebabkan ibunya telah meninggal saat Ibnu Hazm masih kecil. Ibnu Hazm juga memiliki karakter dan budi pekerti yang luhur, akan tetapi tokoh-tokoh yang semasa dengannya sering menghina beliau. Hal ini dikarenkan Ibnu Hazm mengkritik keras pendapat para imam, berpindah-pindah mazhab yang awalnya bermazhab Maliki (mazhab awal penduduk Andalusia) dan berpindah ke mazhab Syafi‟i hinga akhirnya menganut mazhab Zahiri.37 Beliau disebut oleh para ahli fiqih sebagai ulama fiqih yang literalis.

Sebagai seorang teolog dan juga ahli hukum yang menganut mazhab Zahiriyah beliau juga menolak ra‟yu (rasio) dan mengambil makna teks al-Qur‟an dan hadis secara lahiriah. Beliau berpendapat barang siapa berfatwa berdasarkan ra‟yu, maka orang tersebut berfatwa tanpa ilmu dan orang tersebut juga dipandang tidak berilmu dalam islam, kecuali ia mendalami al-Qur‟an dan Sunnah.38

2.    Keilmuan Ibnu Hazm 

Sebagai anak seorang pejabat Ibnu Hazm mendapatkan berbagai fasilitas yang ada. Ibnu Hazm adalah seseorang yang memiliki keilmuan yang mendalam, dan ia memiliki kebudayaan yang luas. Ilmu yang telah didapatkan oleh Ibnu Hazm yaitu melalui perjalanan ke beberapa kota di negeri Andalusia. Perpindahan beliau mencari ilmu dari wilayah satu ke wilayah lainnya disebabkan karena politik di Andalusia tidak menentu. Di Andalusia terdapat Universitas Cordova yang merupakan pusat ilmu pengetahuan, Universitas ini memiliki perpustakaan pribadi. Dalam perjuangan mencari ilmu Ibnu Hazm mengalami pergolakan dan tekanan. Walaupun beliau mendapatkan pergolakan dan tekanan, Ibnu Hazm mendpatkan banyak pujian dari para ulama.39 Pengetahuan Ibnu Hazm yang multidimensi itu diperoleh pertama dari para perempuan. Dari para perempuan itu beliau belajar membaca al-Qur‟an, sekaligus menghafalnya, menulis serta memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar.40

Setelah Ibnu Hazm tumbuh remaja Ibnu Hazm sudah hafal al-Qur‟an dan menguasai maknanya dan banyak menghafal puisi, setelah itu beliau mulai menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di bidang agama maupun umum. Ibnu Hazm mulai belajar kepada gurunya Abu al-Hasan ibn „Ali al-Farisi pada usia 16 tahun dan selalu menyertainya dalam rangka mengahdiri halaqah-halaqah yang diselenggarakan oleh para ulama ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli bahasa Arab. Selain berguru dengan Abu al-Hasan secara bersamaan beliau juga berguru pada Ahmad ibnu al-Jasur yang merupakan ahli hadis, beliau banyak meriwayatkan hadis darinya.41

Imam ad-Dzahabi berkata bahwa Ibnu Hazm adalah seorang yang cerdas, kuat hafalan, serta luas perbendaharan keilmuan. Sementara Abu al-Qasim Sa‟id mengatakan bahwa keilmuwan Ibnu Hazm yang luas memiliki sumbangsih terhadap bidang balaghah, syair, sunah, dan atsar. Sedangkan al-Humaidi berkomentar bahwa Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang hafidz, menguasai istinbath hukum-hukum dari al-Qur‟an dan Sunnah, serta menguasai beragam ilmu. Muhammad Abu Zahrah juga menggambarkan Ibnu Hazm sebagi seorang yang tajam pikiran, ikhlas dalam bekerja, baik budi pekerti, seseorang yang pemaaf dan penuh kasih sayang serta orang yang teguh dalam pendirian dalam mempertahankan pendapatnya.42 Ibnu Taimiyah juga mengungkapkan dalam bukunya Majmu‟il Fatwa bahwa Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang memiliki karya mengenai agama-agama dan aliran-alirannya yang bersumber dari hadis- hadis shahih dan pendapatnya sesuai dengan pendapat ahli sunnah dan hadis.43

3.    Guru dan Murid Ibnu Hazm

a.    Guru-guru Ibnu Hazm

Dalam perjalanan mencari ilmu, Ibnu Hazm belajar dari banyak ulama- ulama untuk dijadikan gurunya. Ibnu Hazm pertam kali berguru kepada Abu Umar Ahmad bin Muhamad bin al-Jaswar. Dalam bidang logika ia berguru dengan Muhammad bin al-Hasan al-Madzhaji. Selain  mempelajari tentang ilmu logika, Ibnu Hazm juga belajar Fiqih dan Hadis dan berguru dengan Ali Abdullah al-Azdi yang dikenal dengan “Ibnu al-Fardhi”. Adapun gurunya di mazhab Zahiri adalah Mas‟ud bin Sulaiman bin Maflat Abu al-Khayyar. Dan guru lainnya adalah Abu Muhamad ar-Rahuni dan Abdullah bin Yusuf bin Nami. 

b.    Murid-Murid Ibnu Hazm

Murid Ibnu Hazm yang terkenal salah satunya adalah Muhammad bin Abu Nashr Futuh al-Azdi al-Humaidi al-Andalusi al-Miwarqi. Adapun murid khusus adalah al-Qadhi Abu al-Qasim Sa‟id bin Ahmad al-Andalusi, serta murid yang lainya ada Abu Muhammad Abdulah bin Muhammad bin al-
„Arabi dan anak Ibnu Hazm yaitu Abu Rafi‟.44

4.    Karya-Karya Ibnu Hazm

Keistimewaan Ibnu Hazm tidak hanya sebatas dalam bidang keilmuwan, dari ilmu yang beliau kuasai beliau menghasilkan karya-karya yang beragam. Abu Fadhl meriwayatkan bahwa Ibnu Hazm memiliki jumlah karya 400 jilid yang mencapapai 8000 lembar, baik di bidang fiqih, hadis, ushul, perbandingan agama, sejarah, sastra, serta bantahan-bantahan terhadap lawannya.
Namun, dari banyaknya karya Ibnu Hazm, terdapat karya yang masih terlacak dan ada juga yang hilang, disebabkan adanya pergolakan dan hujatan, baik dari lawan maupun yang bersimpati.45 Dan banyaknya karya yang hilang juga disebabkan oleh dibakarnya karya-karya Ibnu Hazm oleh dinasti al-Mu‟tadi al-Qadhi Muhammad bin Ismail Ibad.46 

a.    Karya Ibnu Hazm Dalam Bidang Fiqih

1)    Al-Muhalla bil Atsar

2)    Muratib al-Ijma‟

3)    Al-Imla‟ fi Qawa‟id al-Fiqh

4)    Al-Ijma‟ wa Masailuh „ala Abwab al-Fiqh

5)    Al-Tashaffuh fi al-Fiqh

6)    Al Majalla fi al-Fiqh „ala Mazhabih wa Ijtihadih.

b.    Karya Ibnu Hazm Dalam Bidang Ushul Fiqh

1)    Mulakhkhas Ibthal al-Qiyas wa a-Ra‟y wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta‟lil
2)    Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam

3)    Mandzumah fi qawaid Ushul Fiqh al-Dzahiri

4)    Al-Nasaikh wa al-Mansukh

c.    Karya Ibnu Hazm Dalam Bidang Hadis

1)    Al-Jami‟ fi Shahih al-Ahadis bi-Ikhtisharih al-Asanid wa al- Ikhtisar „ala as-Shahiha wa Ijtilab Akmal al-Fashladziha wa as- Shahih Ma‟aniha
2)    Juz fi Auham al-Shahihain
3)    Mukhtashar fi I‟lal al-Hadis.47

D.    Metode Istinbat Hukum Ibnu Hazm

Dalil-dalil hukum yaang digunakan oleh Ibnu Hazm berbeda dengan dalil hukum imam yang empat (Syafi‟i, Maliki, Hanafi, Hanbali).48 Ke empat ulama tersebut dalam mengambil istinbath hukum menggunakan qiyas atas suatu masalah yang terdapat nash hukumnya dalam al-Qur‟an, hadis, serta ijma‟ ulama sehingga mereka tergolong musbit al-Qiyas.49

Keteguhan yang dimiliki oleh Ibnu Hazm pada mazhab Zahiri dengan nash, sehingga dalam membangun teori hukum ia beranjak dari seebuah paradigma bahwa masalah sudah ada aturannya dalam teks-teks al-Qur‟an dan sunnah, ia mengatakan “inna al-din kullahu manshus”. Ibnu Hazm memilih jalur pengkajian hukum Islam dimulai dari awal, dengan kebebasan berijtihad dan menolak taklid. Menurut Ibnu Hazm makna ijtihad adalah kembali kepada al-Qur‟an dan hadis. Dapat disimpulkan bahwa kedhabitan Ibnu Hazm berpengaruh terhadap pemahaman dan penetapan nash syariat. Oleh karenanya aktivitas intelektual yang ia miliki terutama dalam masalah fiqih merupakan suatu usaha untuk mengubah aspek pemikiran yang menjadi dasar penyelewengan hukum yang terjadi agar seterusnya dikembalikan dari sumbernya al-Qur‟an dan hadis.50

Ibnu Hazm yang merupakan penerus Abu Dawud al-Zahiri pendiri mazhab Zahiriyah, dalam mengembangkannya Ibnu Hazm tidak menerima ra‟yu dan mendasarkan pada fatwa yang zahir yaitu menggunakan al-Qur‟an, dan sunnah. dalam hal ini Ibnu Hazm dalam mengistibatkankan hukum mengunakan metode dengan mengambil hukum syara‟ terdiri dari al-Qur‟an, sunnah, Ijma‟ sahabat, dan al-Dalil.

1.    Al-Qur‟an

Al-Qur‟an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan tujuan dijadikan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia sampai kiamat terjadi. Dengan demikian nash-nash al-Qur‟an merupakan dalil atas hukum-hukum Allah SWT, penjelas apa yang diinginkan Allah dari para hamba, serta syariat-syariat Allah SWT yang ia berlakukan kepada mereka.51
Al-Qur‟an juga merupakan sumber pokok yang disepakati oleh para ulama dalam istinbath. Dalam memahami isi al-Qur‟an bisa langsung jelas dari makna ayat itu sendiri dan adakalanya ayat al-Qur‟an dijelaskan dengan atau oleh ayat al-Qur‟an yang lain contohnya perkawinan, waris, idah, dan   perceraian. Ada juga ayat al-Qur‟an yang diperjelas menggunakan sunnah contohnya seperti tata cara sholat, puasa, zakat, dan haji. Sehingga Ibnu Hazm mengatakan tidak ada ayat al-Qur‟an yang mutasyabihat selain Fawatih al-Suwar. Karena semua ayat al-Qur‟an itu jelas dan terang maknanya bagi orang yang mengetahui ilmu bahasa secara mendalam dan mengetahui hadis yang shahih.52 Maka dari itu Ibnu Hazm menyimpulkan bahwa:

a.    Al-Qur‟an jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan bayan baik dari al-Qur‟an maupun hadis

b.    Mujmal53, yang penjelasannya dijelaskan ayat al-Qur‟an sendiri

c.    Mujmal, yang penjelasannya dijelaskan oleh hadis.54

Ayat-ayat yang jelas dan terang dengan sendirinya banyak di dalam al-Qur‟an. Sedangkan al-Qur‟an yang membutuhkan penjelasan lagi, maka ayat tersebut disebut sebagai ayat mujmal pada suatu tempat, dan diberikan penjelasan dari ayat yang lain. Kemudian ayat-ayat mujmal yang diberikan penjelasan oleh sunnah, ayat semacam ini juga banyak di dalam al-Qur‟an. Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayan (penjelasan) berbeda-beda keadaan kejelasannya, sebagian ada yang terang dan sebagian ada yang samar tersembunyi, karena itu manusia berbeda-beda tigkat pemahamannya, sebagian mereka memahaminya sedang dan sebagian lainnya tidak dapat memahaminya, sebagaimana Ali bin Abi Thalib mengatakan terkecuali Allah SWT memberikan kepada seseorang kecerdasan yang kuat tentang agamanya.55

Bayan al-Qur‟an terhadap al-Qur‟an terkadang ada yang masih bersifat umum, senhingga membutuhkan pengkhususan tershadap suatu yang umum. Ayat-ayat yang mengkhususkan dibagi menjadi dua macam :

a.    Ayat yang menjelaskan itu bersamaan masa turunnya dengan ayat yang dijelaskan (hal ini disebut takhsis).

b.    Ada juga ayat yang menjelaskan turunnya tidak bersamaan dengan masa turunnya dengan ayat yang dijelaskan. Hal ini disebut nasakh (menghapus atau membatalkan ayat yang dijelaskan). Nasakh juga merupakan pengecualian terhadap keumuman hukum dari segi masa, dengan artian hukum itu diterapkan sebelum adanya nasakh. 56 

2.    Sunnah

Menurut pandangan Ibnu Hazm sunnah merupakan sumber hukum yang kedua. Sunnah merupakan sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan. Sunnah menempati posisi penting sebagai sumber syariah itu sejalan dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW yang menjadi penjelas dari al-Qur‟an, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur‟an surah al-Nahl ayat 44:

(mereka kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan al-Qur‟an kepadamu, agar engku menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkan

Dari pemahaman ayat al-Qur‟an di atas, al-Qur‟an dengan sunnah memiliki kaitan atau hubungan yang erat. Adapun beberapa hubungan antara al- Qur‟an dengan sunnah sebagai berikut:

a.    Sunnah menyebutkan suatu hukum yang sesuai dangan hukum yang ada pada al-Qur‟an, baik dari segi makna tanpa memahami apapun, baik dari sunnah qauliyah57 maupun fi‟liyah58. Hukum sunnah seperti ini dinamakan dengan bayan taqrir karena ia sebagai penerapan petunjuk al-Qur‟an dan memperkuat petunjuk tersebut.

b.    Perkataan yang secara garis besar disebutkan dalam al-Qur‟an yang tidak diketahui maksud dari pelafalan secara rinci, maka sunnah menjelaskannya secara rinci. Dan adapula dalam lafal secara umum kemudian dikhususkan oleh sunnah.

c.    Perkataan yang disebutkan dalam al-Qur‟an kemudian sunnah datang dengan perkataan yang bersebrangan, maka tidak mungkin menyatukan di antara keduanya. Dengan ini sunnah disebagai bayan nasakh dan merubah perkataan al-Qur‟an. Akan tetapi kebanyakkan ulama mengingkari sunnah ini.

d.    Sunnah datang sebagai suatu hal yang baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur‟an, tetapi sebagai hukum baru yang independen.59

Menurut Ibnu Hazm bahwa hujjah yang nyata adalah perkataan Nabi, karena Nabi adalah seseorang yang menjadi utusan Allah SWT untuk menyampaikan syariat-syariat-Nya. Sedangkan sunnah qauliyah yang terdiri dari zahirnya, sunnah fi‟liyah tidak menunjukkan kepada arti wajib dan lebih ke sunah, dan sunnah taqrir menunjukkan pada ibahah.60

Menurut Ibnu Hazm sunnah qauliyah Nabi SAW merupakan satu-satunya sunnah yang dapat mengakibatkan tuntutan baik dalam hal perintah maupun larangan. Pendapat ini sejalan dengan anutan para ulama, ulama sepakat bahwa sunnah qauliyah mempunyai nilai penuh sebagai dalil. Ibnu Hazm yang merupakan salah satu ulama hadis, beliau membagi hadis dari segi jumlah perawinya kepada dua bagian, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.61 Hadis mutawatir merupakan hadis yang perawinya berjumlah banyak dan mustahil untuk berdusta dalam penyampaiannya. Sedangkan hadis ahad merupakan hadis yang diriwayatkan oleh satu sampe tiga orang perawi.62

Ibnu Hazm menolak hadis mursal dan mauquf sebagai hujjah, kemudian juga hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak tsiqah dan hafidz. Hadis mursal merupakan hadis yang rangkaian sanadnya atau perawinya ada yang tidak diketahui atau dikenal identitasnya baik dari kalangan sahabat (hal ini dikarenakan Ibnu Hazm menganggap bahwa tidak seluruh sahabat itu adil sebab di antara mereka ada yang murtad dan munafiq maupun tabi‟in. Sedangkan hadis mauquf merupakan hadis yang tidak sampai pada Nabi. Hadis mursal ataupun munqathi‟ dapat diterima manakala ada ijma‟ yang sah dari masa ke masa terhadap makna hadis tersebut. Ibnu hazm juga melarang meriwayatkan hadis dengan periwayatan bil makna tetapi mengharuskan meriwayatkan hadis dengan periwayatan bil lafaz. Hal itu disebabkan karena ada kemungkinan bahwa yang dikatakan itu hasil ijtihadnya.63

3.    Ijma'

Ijma dari pandangan Ibnu Hazm diletakkan menjadi sumber hukum yang ketiga. Ijma‟ secara umum adalah suatu kesepakatan para mujtahid dikalangan umat Islam, pada masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat atas suatu hukum syariat. Ijma‟ juga merupakan suatu hukum masalah yang ditetapkan dengan menggunakan dalil-dalil pokok yaitu al-Qur‟an dan hadis sebagai tolok ukurnya.64 Ijma yang dimaksud oleh Ibnu Hazm adalah Ijma‟ yang berasal dari sahabat. Menurutnya ijma‟ sahabat merupakan ijma‟ yang tepat untuk dijadikan sebagai hujjah.65 Untuk mendukung otoritasnya bahwa ijma‟ menjadi salah satu sumber hukum Islam, maka Ibnu Hazm menyandarkan ijma‟ atas dasar nash (al-Qur‟an dan Sunnah). Alasan Ibnu Hazm hanya menerima Ijma‟ yang berasal dari sahabat sebagai berikut :
a.    Para sahabat menerima keterangan langsung dari Nabi Muhammad SAW mengenai masalah-masalah yang terjadi di masa hidupnya.
b.    Para sahabat merupakan orang-orang yang beriman. Mereka adalah orang yang kompeten untuk melakukan sesungguhnya, sehingga ijma‟ mereka itu pasti tidak menentukan.
c.    Orang-orang yang beriman setelah generasi sahabat merupakan sebagian dari ummat, sehingga kesepakatan dari mereka adalah kesepakatan sebagian dari ummat dan tidak bisa dikatakan sebagai ijma‟.
d.    Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, para sahabat terbatas jumlahnya. Dan jumlah sahabat bisa dihitung seehingga mudah dan pendapat mereka pun mudah untuk diketahui.

4.    Dalil

Sumber hukum Islam selanjutnya dari mazhab Zahiri menurut Ibnu Hazm adalah dalil. Ibnu Hazm mengatakan bahwa dalil sama seperti ijma‟ sahabat yaitu tidak keluar dari nash, dan dalil juga merupakan penerapan dari nash. Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa dalil tidak keluar dari ijma. Berbeda dengan qiyas, karena qiyas itu pada dasarnya mengeluarkan illat dari nash dan memberikan hukum pada illat itu. Sedangkan dalil merupakan bagian dari nash itu sendiri.66 Ulama Zahiri membagi dalil itu berasal dari nash dan ijma‟ tersebut sebagai berikut:

a.    Dalil Dari Nash

1)    Suatu nash yang mengandung dua muqaddimah yang menghasilkan satu kesimpulan hukum. Muqaddimah tersebut adalah muqaddimah kubra dan sughra.

2)    Penerapan keumuman fi‟il syarat terhadap seluruh cakupannya.

3)    Lafaz yang mengandung makna tertentu atau suatu lafaz yang mempunyai makna hakiki, namun juga memiliki beberapa makna otomatis yang menempel padanya. Pengembalian makna lain yang tidak terlepas makna tersebut dinamakan dengan dalil.

4)    Ketentuan-ketentuan hukum itu tertolak seluruhnya kecuali satu, maka benarlah yang satu tersebut. Seandainya tidak dinyatakan dengan tegas hukumnya wajib atau haram, maka tetaplah hukumnya mubah, meskipun tidak dinyatakan dengan tegas.

5)    Menempatkan derajat yang tertinggi di atas derajat terendahnya

6)    Jika pemahaman diperoleh dari suatu teks sebagai konsekuensi logis

7)    Lafaz yang di dalamnya mengandung pengertian yang tidak terlepas dari lafaz itu.67
Dari ketujuh dalil yang telah dijelaskan, menurut Ibnu Hazm dalil-dalil tersebut merupakan makna-makna dari nash itu sendiri dan mafhumnya.68 Karena ketujuh dalil tersebut masih dalam ruang lingkup nash dan tidak keluar darinya, maka ketujuh dalil ini tidak akan lepas dari dua kemungkinan, yaitu perincian hal-hal yang bersifat global atau pengungkapan suatu makna dengan menggunakan rangkaian-rangkaian kata lainnya.

b.    Dalil Dari Ijma'

1)    Dalil dari ijma‟ tentang persamaan hukum antara sesama kaum muslimin tidak ada pengkhususan secara eksplisit dalam nash yntuk secara tertentu, maka hukum yang disebutkan dalam nash berlaku umum, meskipun lafazya bersifat khusus.

2)    Dalil dari ijma‟ untuk meninggalkan suau pendapat tertentu, yaitu sahabat berbeda pendapat mengenai suatu masalah dalam beberapa versi, akan tetapi mereka sepakat untuk meninggalkan pendapat tertentu jika tidak ada dalilnya. Kesepakatan ini disebut dalil akan batalnya suatu pendapat yang ditinggalkan itu.

3)    Dalil yang didasarkan kesepakatan atasjumlah yang sedikit atau minimum. Biasanya dalil ini dikaitkan dengan hukum yang mewajibkan pengeluaran harta, atau amalan yang berkaitan dengan kadar, ukuran, jumlah tertentu, sedangkan nash tidak menjelaskannya.

4)    Dalil istishab al-hal, menurut epistimologi yaitu berarti menyerupai keadaannya, yakni tetapnya keadaan sesuatu selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Ibnu hazm membatasi pengertian istishab al-hal dengan keberadan hukum yang asli mesti berdasrkan nash, dan semata-mata bukan bentuk ibahal ashliyyat.69

Para ulama Zahiri secara teoritik berpendapat bahwa setiap hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyas maka itu dianggap batil. Namun secara praktis mereka terpaksa menggunakan qiyas yang dinamakan dengan dalil. Berbeda dengan Ibnu Hazm, beliau menolak dan mengatakan bahwa orang-orang yang mengetahui, menyangka bahwa pendirian kami (mazhab Zahiri) memegang dalil, keluar dan menyimpang dari nash dan ijma‟, serta orang-orang yang menyangka bahwa dalil dengan qiyas itu satu, mereka adalah orang yang sangkannya adalah suatu kesalahan yang amat buruk.
Secara umum konsep Zahiri dalam prespektif Ibnu Hazm jauh lebih luas cakupannya dibandingkan dengan ulama mazhab Zahiri yang lain. Adapun rumusan konsep Zahiri menurut Ibnu Hazm, Yaitu konsep rasionalitas yang digunakan sebagai metode dibandingkan dengan sebagai sumber, konsep kritik yang diajukan Ibnu Hazm mengandung tekanan yang menjadi upaya melahirkan sikap kritis terhadap setiap kajian.70

Profil Kitab Al-Muhalla 

Kitab al-Muhalla bil Atsar merupakan karya terakhir imam Ibnu Hazm dibidang fiqih madzhab Zahiri. Kitab al-Muhalla bil Atsar ini mendapat perhatian dari para ulama dan tokoh-tokoh hadis. Kitab al-Muhalla bil Atsar di-tahqiq dua kali, yang pertama di-tahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir dan Abdurrahman al-Jaziri kemudian disempurnakan oleh Muhammad Munir al-Dimasyqi dan jumlahnya terdiri dari 11 jilid. Pada cetakan kedua kitab al-Muhalla berjumlah 13 jilid, dan pada juz pertama di-tahqiq oleh Syaikh Hasan Zaidan yang membutuhkan kurun waktu 6 tahun dari 1976-1973 M.

Kitab al-Muhalla bi al-Atsar karya Ibnu Hazm ini mendapatkan komentar yang membangun dari para ulama. Syaikh Izzudin dan Abdul Salam al-Dimasyqi mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat karya yang sebanding dengan kitab al-Muhalla bil Atsar karya Ibnu Hazm.71 Kelebihan kitab ini yaitu penjelasannya luas, mengungkapkan argumen Ibnu Hazm yang bertumpu pada nash al-Qur‟an, hadis, maupun ijma‟. Dalam kitab karya Ibnu Hazm ini pembahasan dimulai dari keimanan, muamalah, jinayah, munakahat, ibadah, dan juga hukum.72

Penulisan kitab al-Muhalla bil Atsar ini dilatarbelakangi oleh keinginan Ibnu Hazm tentang membuat sebuah berita yang murni dengan mengambil riwayat-riwayat yang sah dan para perawi yang terpercaya. Hal ini bertujuan agar yang membaca kitab al-Muhalla bil Atsar ini bisa membedakan hal yang salah maupun yang benar daripada suatu kerusakan suatu qiyas.73

Sistematika penulisan kitab al-Muhalla bil Atsar diawali dengan muqoddimah penulis dan objek bahasan. Kitab al-Muhalla bil Atsar terdiri dari 63 bab, bab pertama yaitu kitab tauhid, kemudian dilanjutkan dengan bab fiqih yaitu thaharah, tayamum, haidh, istihadhah, shalat, jenazah, sholat jenazah, hukum-hukum mayit, i‟tikaf, zakat, puasa, haji, dan seterusnya hingga diakhiri dengan kitab perang dan pencurian. Metode penulisan periwayatan dalam kitab    al-Muhalla bi al- Atsar Ibnu Hazm menggunakan lambang dari kata (حدثنا) 

Footnote

31 Ghufron A. Mas‟adi, Enslikopedia Islam Ringkas, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. 3, hal. 150

32 Phili Khuri Hitti, History of The Arabs Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Serambi, 2005, h. 535
33 Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm Imam Fiqih, Filosof & Sastrawan Abad Ke-4 H (Biografi, Karya, dan Kajiannya Tentang Agama-Agama, Mesir, Lentera, 1983, h. 55
34 Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Enslkopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, Terjemah Husein Muhamad, Yogyakarta, Ircisod, 2020, h. 237
35 Rahman Alwi, Fiqih Mazhab Al-Zahiri, Jakarta, Referensi, 2012, h. 29
36 Mahmud, Ibnu Hazm Imam…,h. 57
37 Mazhab Zahiri adalah mazhab yang dinisbatkan kepada tokoh awalnya, yaitu Daud Ibn Ali Abu Sullaiman al-Zahiri. Mazhab ini dalam melakukan istinbat hukum lebih menekankan dan berpegang pada zahir nash al-kitab dan sunnah. Lihat Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2021, h. 41
38 Ahmad Rofi‟ Usmani, Enslikopedia Tokoh Muslim, Jakarta, Penerbit Mizan, 2015, Cet. 1, h. 301
39 Mahmud, Ibnu Hazm Imam…,h.62
40 Husein Muhammad, Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, Jakarta, Diva Press, 2015, h. 45
41 Abd al-Rahman Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Jakarta, Pustaka al-Hidayah, 2000, h. 580
42 Dewan Redaksi Enslkopedia Islam, Enslikopedia Islam, Jakarta, PT Ichtia Baru Van Hoeve, 1993, Cet. 1, Jilid. 2, h. 149
43 Ibnu Taimiyah, Majmu‟il Fatwa, Beirut, Darul Wafa‟, Jilid IV, h.18
44 Mahmud, Ibnu Hazm Imam…h. 59-61
45 Dewan, Enslikopedia Islam…,h. 609

46 Kemenag RI, Enslikopedia Islam, Jakarta, Ichtian Baru Van Hoeve, 1983, h. 148
47 Mahmud, Ibnu Hazm Imam…,h. 83-104

48 Abd Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait, Darul Ilmi, 1398 H, h. 54
49 Musbit al-Qiyas adalah kelompok pendukung qiyas atau kelompok pertama yang mengatakan bahwa qiyas merupakan dalil dan sumber hukum dan menjadi hujjah syar‟iyah. Lihat Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh…, . 130
50 Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, h. 258-259
51 Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Ushul Fikih Tingkat Dasar, Jakarta, Ummul Qura, 2018, h.114
52 Rasyad Hasan Khalil, Sejarah Legilasi Hukum Islam, Jakarta, Amzah, 2009, h. 42
53 Mujmal adalah global atau terperinci, bisa juga disebut sebagai lafal yang belum jelas artinya yang tidak dapat menunjukkan arti yang sesungguhnya jika tida ada keterangan lain yang menentukannya, Lihat Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, Jakarta, Amzah, 2021, h. 194
54 Rahman, Fiqih Mazhab Zahiri…,h. 74
55 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama Semarang, 1994, h. 40

56 Asmawi, Fiqh Zahiriyah Metode Penggalian Hukum Dalam Prespektif Historis Sosiologis, Tulung Agung, STAIN Tulung Agung Press, 2011, h. 56
57 Sunnah qauliyah adalah sunah yang berbentuk perkataan atau tutur kata yang disandarkan pada Rasulullah SAW, sunah ini diterima oleh sahabat dari Rasulullah SAW dalam berbagai forum belajar dengan Rasulullah SAW, Lihat Ikhlas, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Zizi Publisher, 2008, h. 85
 
58 Sunnah fi‟liyah adalah sunah yang mencakup semua perbuatan Rasulullah SAW baik dalam hal ibadah ataupun muamalah, baik yang dilakukan sekali ataupun rutin dilakukan, Lihat Abduh Zulfidar Akaha, 165 Kebiasaan Nabi SAW, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2009, h. 11
59 Muhammad, Ushul Fikih Tingkat Dasar…,h. 135-137
60 Rasyad Hasan, Sejarah Legilasi Hukum Islam…,h. 204
 61 Amri Siregar, Ibnu Hazm Metode Zhiri Dalam Pembentukan Sumber Hukum Islam, Yogyakarta, Belukar, 2009, h. 113
62 Ahmad S Marzuqi, Musthalah Hadis, Yogyakarta, Media Hidayah, 2008, h. 19-21
63 Asmawi, Fiqh Zahiriyah Metode Penggalian…, h. 61-62
64 Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita, Jakarta, Republika, 2013, h. 144
65 Syufa‟at, Pluralisme Agama Tela‟ah Kritis Atas Pemikiran Ibn Hazm 384-46 H/ 994- 1064 M, Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, 2009, h. 222
 66 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 2000, h. 154
 
67 Amri,   Ibnu   Hazm Metode   Zhiri Dalam Pembentukan Sumber Hukum Islam…, h. 130-133
68 Mafhum berarti suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafal yang tidak dapat didasarkan pada bunyi ucapannya atau suatu makna yang ditunjukkan ole lafal pada bukan tempat yang disebutkan, Lihat Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur‟an, Jakarta, shahih, 2016, h. 304  

69 Noer Yasin, Jurnal El-Harkah, Pemikiran Hukum Ibnu Hazm, Vol. 7, No. 1, h.24-26
70 Ibnu Saukani, Rekronstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,2016,h. 87

71 Mahmud, Ibnu Hazm Imam...h. 94
72 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid II, Jakarta, Ictiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. 1, h. 610
73 Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad bin Sa‟id bin Hazm, Al-Muhalla Bil Atsar, Juz. I, Madinah, Darul Fikr, 456 H, h.  2 

Sumber biografi dan profil kitab dinukil dari Siska Sukmawati, (2022) Pandangan Ibnu Hazm Terhadap Validitas Hadis Musik (Studi Kitab Al-Muhalla Bil Atsar). Undergraduate Thesis, UIN Raden Fatah Palembang

Download  Terjemah Al-Muhalla Ibnu Hazm

  1. Al Muhala 1
  2. Al Muhala 2
  3. Al Muhala 3
  4. Al Muhala 4
  5. Al Muhala 5
  6. Al Muhala 6
  7. Al Muhala 7
  8. Al Muhala 8
  9. Al Muhala 9
  10. Al Muhala 10
  11. Al Muhala 11
  12. Al Muhala 12
  13. Al Muhala 13
  14. Al Muhala 14
  15. Al Muhala 15
  16. Al Muhala 16
  17. Al Muhala 17
  18. Al Muhala 18

Download Al-Muhalla Ibnu Hazm versi Arab

  1. masmi1
  2. masmi2
  3. masmi3
  4. masmi4
  5. masmi5
  6. masmi6
  7. masmi7
  8. masmi8
  9. masmi9
  10. masmi10
  11. masmi11
  12. masmi12
  13. masmi13
  14. masmi14
  15. masmi15
  16. masmi16
  17. masmi17
  18. masmi18
  19. masmi19
LihatTutupKomentar