Terjemah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) Imam Ghazali

Terjemah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali Bidang studi: filsafat The Incoherence of the Philosophers

Terjemah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)

Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Terjemah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul terjemah: Terjemah Kerancuan Filsafat (Tahafut al-Falasifah)
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/  19 December 1111-  Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi

  1. Pengantar Penerbit
  2. Pengantar Pen-Tahqiq
  3. Al-Gazali: Biografi dan Pemikirannya
  4. Mukadimah | Pengantar Imam Ghazali
  5. Download Terjemah Tahafutul Falasifah
  6. Download Bahasa Arab Tahafut al-Falasifah
  7. Download Bahasa Inggris The Incoherence of the Philosophers
  8. Masalah Pertama: Sanggahan Atas Pandangan Para Filsuf Tentang Eternitas Alam
  9. Masalah Kedua: Penolakan Terhadap Keyakinan Para Filsuf Atas Keabadian Alam, Ruang, dan Waktu
  10. Masalah Ketiga: Ketidakjujuran Para Filsuf Bahwa Tuhan Adalah Pencipta Alam Dan Penjelasan Bahwa Ungkapan Tersebut Hanya Bersifat Metaforis
  11. Masalah Keempat: Penjelasan Tentang Ketidakmampuan Filsuf Membuktikan Eksistensi Pencipta Alam
  12. Masalah Kelima: Ketakmampuan Para Filsuf Membangun Argumen Keesaan Tuhan Dan Ketakmungkinan Penetapan Dua Wajib Al-Wujud Yang Tanpa Sebab
  13. Masalah Keenam: Sanggahan Atas Pandangan Para Filsuf Tentang Negasi Sifat-Sifat Tuhan
  14. Masalah Ketujuh: Bahwa Mustahil Tuhan Bersama Yang Lain Dalam Genus Dan Berpisah Dari Diferensia, Dan Dia Bukanlah Genus Atau Diferensia
  15. Masalah Kedelapan: Teori Bahwa Wujud-Nya Sederhana; Murni, Tanpa Kuiditas, dan Al-Wujud Al-Wajib Bagi-Nya Seperti Kuiditas Bagi Wujud Lainnya
  16. Masalah Kesembilan: Tentang Ketidakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Melalui Argumen Rasional Bahwa Tuhan Bukan Tubuh (Jisim)
  17. Masalah Kesepuluh: Ketakmampuan Para Filsuf Membuktikan Secara Rasional Bahwa Alam Memiliki Pencipta Dan Sebab
  18. Masalah Kesebelas: Perkataan Sebagian Filsuf Bahwa Tuhan Mengetahui Yang Lainnya Serta Pelbagai Spesies Dan Genus Secara Universal
  19. Masalah Kedua belas: Ketidakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Tuhan Juga Mengetahui Zat-Nya Sendiri
  20. Masalah Ketiga Belas: Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Tiap Partikularia Yang Dapat Dibagi Sesuai Dengan Pembagian Waktu 'Telah', 'Sedang', Dan 'Akan'
  21. Masalah Keempat Belas: Ketakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Langit Adalah Makhluk Hidup Yang Mematuhi Tuhan Melalui Gerak Putarnya 
  22. Masalah Kelima Belas: Sanggahan Atas Apa Yang Para Filsuf Sebut Tujuan Yang Menggerakkan Langit 
  23. Masalah Keenam Belas: Sanggahan Terhadap Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa-jiwa Langit Mengetahui Semua Partikularia Yang Memiliki Awal Temporal (Al-Juz'iyyat Al-Hadisah) Dalam Alam
  24. Masalah Ketujuh Belas: Sanggahan Atas Keyakinan Para Filsuf Terhadap Kemustahilan Independensi Sebab Dan Akibat
  25. Masalah Kedelapan Belas: Kerancuan Argumen Teoretis Bahwa Jiwa Manusia Adalah Substansi Yang Ada Dengan Sendirinya, Tidak Menempati Ruang Dan Tubuh
  26. Masalah Kesembilan Belas: Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa Manusia Abadi Dan Mustahil Tiada Setelah Bereksistensi, Tidak Bisa Dibayangkan Kehancurannya
  27. Masalah Kedua Puluh: Penolakan Para Filsuf Atas Kebangkitan Jasad, Kembalinya Jiwa Ke Jasad, Eksistensi Fisik Surga Dan Neraka, Dan Segala Yang Dijanjikan Allah
  28. Kitab Filsafat lain:
    1. Terjemah Tahafutul Falasifah al-Ghazali
    2. Terjemah Tahafut al-Tahafut Ibnu Rushd  
    3. Terjemah Al-Munqidz minad Dhalal
    4. Terjemah Sullam al-Munawraq
  29. Kembali ke Kitab terbaru

Pengantar Al-Ghazali

Kami memohon pada Allah—dengan keagungan-Nya yang melebihi segala batas akhir dan keperkasaan-Nya yang melintasi segala ukuran—agar melimpahkan cahaya petunjuk kepada kami dan menyelamatkan kami dari gulita kesesatan, agar menjadikan kami termasuk orang yang melihat kebenaran sebagai kebenaran sehingga kami mengikutinya, dan melihat kebatilan sebagai kebatilan sehingga kami menjauhinya. Dan semoga Allah melimpahkan—kepada kita—kebahagiaan yang pernah dijanjikan kepada para nabi dan orangorang terkasih- Nya; mengantar kita kepada kesejahteraan dan kehidupan yang penuh kenikmatan—ketika kita berjalan meninggalkan dunia yang penuh tipuan—yang tidak tergambar dalam pemahaman, tak terlintas dalam khayalan, tak terbersit dalam dugaan; memberikan pada kita—setelah memasuki kenikmatan Surgawi dan keluar dari kekutan Alam Mahsyar—karunia yang tak pernah terlihat mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terlintas dalam pikiran manusia. Kami juga memohon kepada Allah agar mencurahkan segala rahmat dan keselamatan kepada Nabi terpilih, Muhammad Saw., sang manusia terbaik dan kepada keluarga beliau yang tergolong orangorang yang baik, pada sahabat yang termasuk orang-orang suci yang merupakan kunci petunjuk dan lentera dalam kegelapan.

Setelah itu, sungguh saya telah melihat sekelompok orang—yang merasa diri lebih terhormat dari orang lain karena kecerdasannya—tidak mengakui ritus-ritus yang ditetapkan oleh Islam, melecehkan syiar-syiar agama seperti salat dan menjauhi segala larangan serta menghina ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat. Tidak hanya sampai di situ, mereka juga membuang seluruh dasar dasar ajaran agama dan menggantinya dengan pengetahuan-pengetahuan yang berdasarkan atas praduga serta mengikuti orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah, yaitu, “orang-orang yang menghalangi jalan (agama) Allah dan mereka mencari jalan bengkok, sedang mereka itu kair terhadap Akhirat” (QS. al-A’raf: 44). Mereka mendasarkan pengingkaran dan kekafirannya hanya pada taklid dan penerimaan tak kritis atas kebiasaan, seperti sikap taklid yang pernah dilakukan umat Nasrani dan Yahudi. Hal itu karena mereka dan generasinya hidup dalam lingkungan yang tidak diwarnai Islam, seperti juga nenek moyang mereka. Juga disebabkan karena tidak dilakukannya kajian mendalam secara teoretis yang muncul akibat tersesat oleh tipuan kerancuan yang memalingkan mereka dari kebenaran serta tunduk pada beragam imaji yang memesona dari berbagai fatamorgana. Hal itu sesuai dengan kajian teoretis para penyebar bid’ah dan pengikut hawa nafsu tentang masalah akidah dan aneka pemikiran.

Sikap kekafiran mereka bersumber atas kekaguman mereka kepada nama-nama besar seperti Socrates,1 Hippocrates,2 Plato,3 Aristoteles,4 dan lain-lain, berikut penerimaan para penganut pemikiran tokoh-tokoh itu serta kesesatan dalam memberikan penjelasan tentang kapasitas intelektual, rumus-rumus prinsip yang tak perlu dipertanyakan lagi, kedalaman pengetahuan dalam bidang matematika, logika, flsika, dan metafisika, serta kemampuan luar biasa mereka dalam menyingkap hal-hal yang tak diketahui melalui metode deduktif. Itu semua didukung oleh penjelasan tentang tokoh-tokoh tersebut bahwa mereka—dengan bekal ketajaman intelektual dan orisinalitas keutamaannya— tidak memercayai agama dan mengingkari rincian ajaran dari aliran-aliran keagamaan, sekaligus meyakini bahwa semuanya hanyalah hukum-hukum yang menjelma tradisi dan rekayasa yang tidak berdasar.

Setelah anggapan-anggapan itu terus didengungkan ke telinga mereka, dan mereka pun setuju dengan segala yang didengarnya, mereka berhias diri dengan keyakinan kaflr tersebut karena merasa terhormat dengan mengikuti jejak tokoh-tokoh besar di atas, serta merasa lebih mulia daripada masyarakat pada umumnya. Dengan itu pula, mereka merasa tidak butuh terhadap agama warisan para pendahulunya, karena beranggapan bahwa menentang taklid atas kebenaran merupakan sikap terpuji, walaupun hakikatnya mereka terjebak dalam taklid terhadap kekeliruan. Sikap itu diambil karena mereka tak menyadari bahwa pergeseran dari suatu bentuk taklid ke taklid yang lain merupakan satu bentuk dari kebodohan. Tidak ada martabat yang lebih rendah di jagad Allah daripada martabat orang yang meninggalkan kebenaran yang diyakini secara taklid dan beralih pada penerimaan terhadap kebatilan dengan membenarkan tanpa pengujian lebih lanjut. Orang bodoh dari kalangan awam saja akan menghindari tindakan hina semacam ini, sebab mereka memiliki resistensi instingtif dari mengikuti orang-orang sesat. Dengan demikian, orang bodoh rendahan lebih bisa selamat daripada orang pintar yang elit, sebagaimana seorang buta bisa lebih dekat pada keselamaan daripada orang melihat dengan mata juling.

Setelah melihat nadi kebodohan berdenyut dalam diri orang-orang bodoh tersebut, saya merasa terdorong untuk menulis buku ini sebagai sanggahan atas para filsuf terdahulu dan eksplorasi atas kerancuan dalam keyakinan berikut inkonsistensi berbagai teori mereka dalam persoalan yang terkait dengan metaflsika. Buku ini juga akan menyingkap relung-relung terdalam dari elemen pemikiran mereka yang dapat mewujudkan suka cita kaum intelektual dan memberikan pelajaran pada para cendekiawan. Yang saya maksudkan adalah berbagai persoalan akidah dan pendapat yang menjadi medan perdebatan dengan kelompok mayoritas umat Islam.

Buku ini juga akan memotret doktrin-doktrin mazhab para filsuf terdahulu sebagaimana adanya. Dengan ini, diharapkan agar orang-orang yang menjadi ateis atas dasar taklid dapat melihat dengan jelas bahwa semua cabang pengetahuan—klasik atau kontemporer—sepakat meyakini Allah dan Hari Akhir. Mereka juga diharapkan bisa menyadari bahwa perdebatan yang muncul hanya terkait dengan rincian persoalan di luar dua kutub keyakinan dasar tersebut. Di sinilah letak urgensi kehadiran para nabi yang telah dibekali mukjizat. Hanya sekelompok kecil orang yang mengingkari Allah dan Hari Akhir. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akal terbalik dan pemikiran tidak bertanggung jawab, yang tidak diperhitungkan dalam wacana perdebatan para teoretikus. Mereka hanya digolongkan sebagai kelompok Setan jahat dan orang bodoh.

Buku ini juga berkepentingan untuk mengeluarkan mereka dari sikap yang berlebihan, yaitu anggapan bahwa berpegang kepada kekafiran secara taklid adalah menunjukkan tingginya kualitas pemikiran dan kecerdasan mereka. Sebab terbukti bahwa para filsuf yang mereka anggap sebagai kelompok mereka, ternyata steril dari tuduhan mereka sebagai para pengingkar syariat karena para filsuf memercayai adanya Allah dan para rasul, meskipun dalam berbagai persoalan rinci tentang prinsip-prinsip itu, mereka memiliki pendapat yang berbeda dan menyimpang sehingga menyebabkan orang lain tersesat dari jalan yang benar. Kami bermaksud menyingkap aspek-aspek yang membuat mereka tersesat, berupa anggapananggapan yang tak berdasar dan kekeliruan-kekeliruan. Dalam hal ini kami harus menjelaskan bahwa semua penyimpangan tersebut merupakan warna permukaan pemikiran para filsuf yang mengandung capaian-capaian berharga yang harus tetap diapresiasi. Allah adalah pemberi petunjuk untuk mewujudkan apa yang kami maksudkan. Kami akan memulai kajian ini dengan beberapa prawacana untuk mengarahkan kecenderungan umum diskusi dalam buku ini.

PRAWACANA PERTAMA
Mesti diketahui bahwa mengkaji soal silang pendapat para filsuf adalah kerja bertele-tele. Karena pemikiran para filsuf sendiri begitu luas, perdebatannya begitu banyak, pendapat mereka bertebaran di mana-mana, dan metode yang digunakan juga sangat beragam. Karenanya, kami hanya akan membatasi diri pada eksplorasi inkonsistensi dalam tokoh utamanya yang dikenal dengan “sang filsuf ” atau “guru pertama”, yang telah melakukan sistematisasi pemikiran para filsuf, membuang bagian-bagian yang dinilai tidak penting, dan mempertahankan hal-hal yang dekat dengan prinsip-prinsip pemikiran mereka. Dialah Aristoteles yang telah menyuarakan penolakan terhadap semua pemikiran sebelumnya, termasuk gurunya yang dikenal dengan Plato Ilahi (Aflafun al-Ilahi / the Divine Plato). Atas dasar perbedaan pendapat itu, Aristoteles lantas mengklarifikasi dengan mengatakan: “Plato adalah sesuatu yang berharga dan kebenaran juga merupakan sesuatu yang berharga. Tapi kebenaran lebih berharga daripada seorang Plato.”
Kami menukil ulasan di atas, untuk menunjukkan bahwa tak ada yang baku, konstan, dan sempurna dalam pemikiran para filsuf. Mereka menetapkan hukum dan teori berdasarkan hipotesis dan penalaran spekulatif, tanpa didasarkan pada penelitian yang bersifat positif dan dikonfirmasi dengan keyakinan. Mereka coba mencari dasar teori metafisikanya pada kepastian aritmatika dan logika, lalu menyampaikannya kepada masyarakat awam, Kalau saja teori-teori metafisika para filsuf didasarkan pada bukti-bukti valid dan steril dari unsur spekulatif sebagaimana teori-teori eksak aritmatika, tentu tidak akan ada silang pendapat di antara mereka, seperti kesepakatan mereka atas teori aritmatika yang bersifat matematis.
 
Persoalannya menjadi semakin rumit ketika para penerjemah (karya filsafat ke dalam bahasa Arab) melakukan penerjemahan tidak tepat serta penggantian konsep-konsep tertentu yang memerlukan interpretasi lebih lanjut, sehingga turut meramaikan silang pendapat di kalangun para filsuf. Penerjemah dan komentator paling otoritatif di kalangan orang yang terjun ke dunia filsafat dalam Islam adalah al-Farabi dan Ibnu Sina. Karena itu, dalam rangka menolak gagasan gagasan keliru para filsuf, kami hanya akan memerhatikan pemikiranpemikiran yang dipilih oleh kedua tokoh tersebut sebagai ekspresi otentik gagasan para filsuf panutannya. Sedangkan bagian-bagian yang ditolak oleh kedua tokoh tersebut merupakan gagasan yang tidak penting dan tidak perlu elaborasi lebih jauh untuk menolaknya. Perlu diketahui, bahwa kami hanya akan membatasi diri pada transmisi gagasan melalui kedua tokoh tersebut agar kajian ini tak melebar selebar ragam pemikiran para filsuf.


PRAWACANA KEDUA
Silang pendapat antara para filsuf dengan aliran pemikiran lainnya terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, perbedaan yang hanya berakar pada persoalan bahasa semata, seperti menyebutkan Pencipta alam—Mahatinggi Allah dari perkataan mereka—dengan substansi (jauhar) yang disertai penafsiran bahwa substansi yang dimaksud adalah maujud yang tidak menempati suatu subyek, dalam arti zat yang berdiri sendiri tanpa memerlukan unsur eksternal bagi eksistensinya. Di sini, para filsuf tidak memaksudkannya sebagai substansi yang menempati ruang, seperti pengertian lawan-lawan debatnya.

Kami tidak ingin terlibat dalam penolakan terhadap pandangan ini. Karena jika arti berdiri sendiri telah disepakati, maka pembicaraan tentang penetapan istilah substansi dalam pengertian ini akan kembali pada kajian masalah bahasa. Jika para filsuf menetapkan penggunaan istilah tersebut, maka pengakuannya dalam Syariat masih harus merujuk pada kajian fikih. Karena boleh dan tidaknya penetapan suatu istilah harus berpedoman pada makna jelas yang ditunjukkan oleh syariat.
Anda bisa berkata: “Istilah ini hanya digunakan oleh para ahli kalam (mutakallimun) dalam persoalan sifat-sifat Tuhan dan tidak menjadi wacana ahli fikih dalam disiplin ilmu fikih.” Seharusnya Anda tidak mengacaukan hakikat persoalan dengan kebiasaan. Anda tahu bahwa hal itu menyangkut kebolehan berekspresi dengan menggunakan suatu kata yang maknanya cocok dengan yang diberi nama. Sebab hal itu berarti terkait dengan persoalan kebolehan melakukan suatu tindakan.
Kedua, gagasan-gagasan para filsuf yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip agama. Perbedaan pendapat yang muncul tidak terkait dengan keniscayaan membenarkan ajaran yang dibawa para nabi dan rasul—semoga Allah melimpahkan rahmat- Nya kepada mereka. Misalnya, teori para filsuf tentang gerhana bulan sebagai hilangnya cahaya bulan sebab interposisi bumi di antara bulan dan matahari, sementara bulan memantulkan cahaya dari sinar matahari dan bumi berbentuk bulat dalam ruang langit yang melingkupi di sekelilingnya. Jika posisi bulan terhalang oleh bumi, maka sinar matahari akan terpotong dan tidak akan memantul pada bulan. Seperti juga teori mereka tentang gerhana matahari yang terjadi karena bulan berposisi di antara matahari dari pengamatan (di bumi). Hal itu terjadi ketika keduanya berkumpul pada satu titik dalam satu garis.

Karena tidak terkait dengan orientasi kami, kami tidak berkepentingan memperdebatkan persoalan ini. Siapa saja yang berasumsi bahwa kajian untuk mempersoalkan teori ini merupakan bagian dari agama, berarti ia telah melakukan tindak kriminal terhadap agama serta merapuhkan sendi-sendinya. Karena teori tersebut dibangun atas bukti-bukti astronomis yang matematis dan tidak menyisakan keraguan sedikit pun. Orang yang tahu benar teori ini dan memahami bukti-buktinya secara cermat sehingga bisa mengetahui sebab-sebab dan waktu terjadinya berikut kadar dan lamanya sampai kembali seperti sedia kala, lalu berkata bahwa hal ini berseberangan dengan ajaran agama (syariat), tidak akan menggoyahkan kebenaran teori tersebut. Karena, justru sikap ini akan melahirkan keraguan terhadap agama. Dampak negatif pada agama yang ditimbulkan oleh orang yang membelanya dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama akan lebih parah daripada usaha merongrong agama dengan cara yang benar menurut agama. Hal itu sejalan dengan peribahasa: “Musuh yang cerdas lebih baik daripada teman yang bodoh.”
Jika dikatakan: Rasulullah Saw. bersabda. “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda Allah. Keduanya tidak akan mengalami gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian melihat peristiwa tersebut, segeralah berzikir kepada Allah dan bersembahyang.” Bagaimana hadis ini bisa sesuai dengan teori para filsuf?
Kami akan menjawab: “Tak ada satu pun muatan dalam hadis ini yang bertentangan dengan teori para filsuf tentang gerhana. Karena hadis Nabi Saw. di atas hanya penegasan bahwa terjadinya gerhana tidak dilatari oleh kematian atau kehidupan seseorang dan ditambah dengan perintah salat. Apa yang tampak aneh dengan adanya perintah salat pada saat terjadi gerhana dengan tujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah?”
Jika dikatakan: Di akhir hadis tersebut diriwayatkan bahwa: “Tetapi jika Allah menampakkan diri pada sesuatu, maka sesuatu itu akan memberikan hormat kepada-Nya.” Dengan demikian, tambahan riwayat ini menunjukkan bahwa gerhana merupakan wujud penghormatan matahari dan bulan karena adanya penampakan Tuhan.
Kami akan menjawab: “Tambahan riwayat itu tidak benar. Karena itu kita mesti menolak dan menuduh periwayatnya sebagai pendusta. Karena riwayat hadis yang benar adalah seperti yang kami kutip di atas. Jika pun benar riwayat hadis tersebut, maka menafsirkannya secara metaforis lebih mudah daripada menolak teori yang telah menjadi kebenaran tak terbantahkan. Bukankah banyak maknamakna zahir yang diinterpretasikan secara metaforis berdasarkan dalil-dalil rasional yang belum sejelas teori ini. Dan merupakan hal yang sangat menggembirakan para ateis, jika para pembela agama menegaskan bahwa teori ini dan yang sejenisnya bertentangan dengan ajaran agama. Jika hal itu terjadi, akan sangat mudah bagi mereka untuk menolak agama itu sendiri.
Dan berpalingnya kami dari pembahasan ini, karena kajian tentang alam dari sisi keberawalan (hudus) dan ketakberawalan (qidam), lalu jika ditetapkan sebagai sesuatu yang berawal, maka tidak penting apakah alam (dalam hal ini bumi) itu bulat, rata, bersegi enam atau delapan. Juga bukan menjadi persoalan penting apakah langit dan yang ada di bawahnya bertingkat tiga belas—sebagaimana pandangan para filsuf, sedikit atau banyak. Sebab arti penting kajian tentang hal ini berada dalam konteks kajian metafisika, seperti signifikansi kajian tentang lapisan dan jumlah kulit bawang serta jumlah biji delima. Selain itu, yang menjadi fokus kajian di sini adalah eksistensinya sebagai karya Allah sebagaimana adanya.”
Ketiga, pandangan atau teori yang bertentangan dengan prinsipprinsip agama, seperti persoalan keberawalan alam, sifat- sifat Pencipta (Allah) dan kebinasaan jasad. Semua itu ditolak oleh para filsuf. Tema-tema ini—dan sejenisnya—yang seharusnya bisa menunjukkan kesalahan pemikiran para filsuf, tidak dalam persoalan lainnya.


PRAWACANA KETIGA
Mesti diketahui bahwa tujuan kajian ini adalah membuka mata orang-orang yang selama ini begitu yakin dengan pemikiran para filsuf, mengira bahwa jalan yang mereka tempuh terlepas dari inkonsistensi. Kajian ini hendak mengganti padangan itu dengan mengekspos kerancuan pemikiran para filsuf. Untuk itu, kami masuk kedalam gelanggang dengan menyerang, bukan mempertahankan keyakinan sendiri. Keyakinan aksiomatik yang dipegang teguh oleh para filsuf telah ditentang oleh elemen-elemen ajaran yang beragam, misalnya dari Muktazilah, Karramiyyah, dan Waqifiyyah. Kami datang bukan atas nama aliran tertentu, namun kami akan menjadikan elemen-elemen tersebut sebagai satu kesatuan. Karena aliran-aliran tersebut hanya berbeda dengan kami dalam soal rincian, cabang, atau penjelasan lebih lanjutnya. Sementara mereka memiliki kesamaan pandangan dalam prinsip agama. Karena itu, mari kita sisihkan perbedaan tidak prinsip tersebut untuk menghadapi musuh bersama.


PRAWACANA KEEMPAT
Salah satu rekayasa paling licik para filsuf dalam mengelabui masyarakat umum adalah ketika mereka berhadapan dengan kesulitan yang tak terpecahkan dalam suatu diskusi, mereka mengatakan bahwa metafisika memang merupakan bidang yang sangat rumit. Ia merupakan disiplin tersulit bagi pikiran tercerdas sekalipun. Dan dalam rangka mencari jawaban problem yang dihadapi, mereka hanya memanfaatkan aritmatika dan logika. Karena itu, saat orang yang bertaklid kepada para filsuf tersebut berhadapan dengan kesulitan dalam pemikiran metafisika, mereka masih berpandangan positif dengan mengatakan bahwa ilmu para filsuf—yang mereka ikuti—sangat luas dan mencakup segala hal. Mereka telah berbicara tentang semua masalah. Kesulitan mencari jawaban atas suatu persoalan disebabkan oleh ketidakmampuan mereka sendiri dalam mencari keterangan dengan menggunakan logika dan analisis matematika.
Akan kami katakan: “Matematika yang bergelut dengan teori kuantitas diskontinu (al-kamm al-munfasil), yaitu aritmatika, tidak memiliki keterkaitan dengan metafisika. Maka non-sense pendapat orang yang mengatakan bahwa metafisika memerlukannya. Asumsi itu seperti pendapat bahwa kedokteran, gramatika, dan ilmu bahasa memerlukannya, atau pandangan bahwa aritmatika memerlukan kedokteran.
Sementara geometri sebagai bagian matematika yang beroperasi dalam wilayah kuantitas kontinu (al-kamm al- muttasil) melahirkan penjelasan bahwa langit dan lapisan-lapisan di bawahnya hingga ke pusat (bumi) membentuk lingkaran, menerangkan jumlah stratanya, serta memberikan penjelasan tentang jumlah planet yang bergerak memutar dalam ruang universum berikut kuantitas gerakannya. Kita dapat menerima semua itu, baik berdasar keyakinan atau argumentasi. Karena itu, tidak perlu mengeksplorasi bukti-bukti ilmiah lebih jauh. Tidak mengetahui semua persoalan itu tak akan berpengaruh pada pembenaran atau penolakan teori metafisika. Hal itu senada dengan pernyataan: “Untuk mengetahui bahwa rumah ini dibangun oleh ahli yang memiliki kehendak, kemampuan, dan hidup, perlu tahu bahwa rumah itu berbentuk segi enam atau delapan, serta mengetahui jumlah tiang penyangga dan batu batanya.” Tentu saja pernyataan semacam ini adalah omong kosong. Seperti juga pernyataan: “Eksistensi bawang ini sebagai sesuatu yang berawal (hadis) tak akan diketahui sebelum mengetahui jumlah lapisan-lapisannya. Buah delima tidak bisa diketahui sebagai sesuatu yang berawal (hadis) selama belum diketahui jumlah bijinya.” Semua itu merupakan pemborosan bahasa yang tidak menarik bagi orang yang berakal sehat.
Mereka benar bahwa hukum-hukum logika tidak bisa dikesampingkan. Tapi bidang itu bukan monopoli mereka semata. Pada dasarnya, ia sama dengan yang kami sebut Kitab an-Nazar (Buku Kajian Teoretis) dalam fann al-kalam (bidang penalaran skolastik). Lalu mereka mengubah namanya menjadi mantiq (logika) agar tampak lebih bergengsi. Kami juga sering menyebutnya Kitab al-Jadal (Disiplin Tentang Motode Debat) dan Madarik al-Uqul (Data Akal). Para pecandu baru akan tertipu ketika mendengar nama mantiq, sebab mereka akan mengiranya sebagai disiplin asing yang tidak dikenal para ahli kalam dan hanya diketahui oleh para ahli filsafat. Untuk menghapus gambaran seperti ini sekaligus menghindari kesalahpahaman yang menyesatkan, kami akan menyusun buku tersendiri. Di sana kami akan menghindari terma-terma yang digunakan para ahli kalam dan ahli Usul. Kami hanya akan menggunakan terma yang memang bisa digunakan oleh para ahli logika, sehingga segalanya menjadi jelas dan metode-metodenya dapat ditelusuri secara detail, kata demi kata. Dalam buku itu pula akan kami sampaikan—dengan menggunakan bahasa mereka—bahwa, apa yang mereka tetapkan sebagai syarat validitas material silogisme pada bagian demonstrasi dalam logika, atau syarat validitas formalnya serta postulat-postulat yang mereka formulasikan dalam “isagoge” dan “categoria” yang merupakan bagian dari premis-premis logika tidak bisa memenuhi kebutuhan bidang metaisika.
Tapi kami akan menyajikan Madarik al-Uqul di akhir buku tersebut, sebab ia merupakan alat untuk memahami orientasi buku itu. Tapi karena banyak pembaca yang merasa perlu untuk memahaminya, kami meletakkannya di bagian terakhir, sehingga yang tidak membutuhkan, bisa meninggalkannya. Bagi yang tidak mengerti bahasa-bahasa yang kami gunakan pada satuan persoalan dalam penolakan terhadap pemikiran para filsuf, seharusnya membaca buku Miyar al-’Ilm (Standar Ilmu)—yang mereka kenal dengan mantiq—lebih dulu.
Sekarang, setelah menyajikan empat prawacana, kami hadirkan daftar persoalan yang menunjukkan kontradiksi dalam pemikiran para filsuf yang akan kami diskusikan dalam buku ini. Seluruhnya terdiri dari dua puluh persoalan:
1.    Sanggahan atas teori eternitas (azaliyyah) alam.
2.    Sanggahan atas teori ketakberakhiran (abadiyyah) alam.
3.    Penjelasan tentang ketakjujuran para filsuf dalam pernyataan bahwa Allah adalah Pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya.

4.    Tentang ketidakmampuan para filsuf untuk menetapkan Pencipta alam.
5.    Tentang ketidakmampuan para filsuf untuk membangun argumentasi atas kemustahilan adanya dua Tuhan.
6.    Sanggahan atas pandangan para filsuf tentang negasi sifat- sifat Tuhan.
7.    Sanggahan atas pandangan para filsuf bahwa zat pertama tidak bisa dibagi pada genus (jins) dan diferensia (fasl).
8.    Sanggahan atas pandangan para filsuf bahwa Prinsip Pertama adalah maujud sederhana tanpa kualifikasi (bila mahiyyah).
9.    Tentang ketidakmampuan para filsuf untuk menjelaskan bahwa Prinsip Pertama bukan tubuh (jisim).
10.    Penjelasan bahwa teori eternitas alam dan tidak adanya Pencipta adalah pandangan yang niscaya bagi para filsuf.
11.    Ketidakmampuan para filsuf untuk menetapkan bahwa Prinsip Pertama mengetahui yang lain.
12.    Ketidakmampuan para filsuf untuk menetapkan bahwa Prinsip Pertama mengetahui zatnya.
13.    Sanggahan atas pandangan para filsuf bahwa Prinsip Pertama tidak mengetahui hal-hal partikular.
14.    Tentang teori mereka bahwa langit adalah makhluk hidup yang bergerak berdasar kehendak.
15.    Sanggahan atas teori para filsuf tentang tujuan gerakan langit.
16.    Sanggahan pandangan para filsuf bahwa jiwa langit mengetahui semua yang partikular.
17.    Sanggahan atas teori para filsuf tentang kemustahilan sesuatu yang keluar dari kebiasaan.
18.    Tentang teori para filsuf bahwa jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh atau aksiden.
19.    Tentang teori para filsuf bahwa jiwa manusia tidak mungkin binasa.
20.    Sanggahan atas pengingkaran para filsuf tentang kebangkitan jasad serta merasakan kenikmatan jasmaniah di Surga dan kesengsaraan di Neraka.

Dalam dua puluh soal ini akan kami tunjukkan kontradiksi dan inkonsistensi dalam pemikiran para filsuf dalam bidang metafisika dan fisika. Sementara bidang matematika, tidak perlu mengingkarinya atau beroposisi dengannya. Karena matematika mencakup aritmatika dan geometri yang tidak dibantah di sini.
Sedangkan logika semata-mata merupakan instrumen berpikir dalam hal-hal yang dapat dipikirkan. Di sini tidak terdapat perbedaan pendapat yang perlu mendapat perhatian. Kami akan menyajikannya dalam kitab Miyar al-’Ilm menyangkut bagian-bagian yang diperlukan untuk memahami isi buku ini. Insya’ AIIah.
 

Footnote

1    Seorang filsuf Yunani, lahir pada 470 SM.
2    Bapak Kedokteran Kuno, lahir pada 460 SM.
3    Seorang filsuf Yunani yang lahir di Athena antara 428-429 SM.
4    Seorang filsuf Yunani yang lahir di Astajira pada 384 SM.

Download Terjemah Tahafutul Falasifah Bahasa Indonesia

Download Tahafut al-Falasifah versi Arab

Download Tahafut al-Falasifah Bahasa Inggris

LihatTutupKomentar