Tuhan dan Zat Tuhan dalam Pandangan Filsafat

Tuhan dan Zat Tuhan dalam Pandangan Filsafat Ketidakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Tuhan Juga Mengetahui Zat-Nya Sendiri Tuhan Tidak Meng

Tuhan dan Zat Tuhan dalam Pandangan Filsafat

 Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/  19 December 1111-  Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi 

  1. Masalah Kedua belas: Ketidakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Tuhan Juga Mengetahui Zat-Nya Sendiri 
  2. Masalah Ketiga Belas: Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Tiap Partikularia Yang Dapat Dibagi Sesuai Dengan Pembagian Waktu 'Telah', 'Sedang', Dan 'Akan' 
  3. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah

MASALAH KEDUA BELAS: Ketidakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Bahwa Tuhan Juga Mengetahui Zat-Nya Sendiri

Kami katakan:
Setelah umat Muslim mengetahui bahwa alam bermula karena kehendak Allah, mereka juga membuktikan adanya pengetahuan dengan adanya kehendak, lalu membuktikan kehidupan dengan adanya pengetahuan dan kehendak. Lantas dengan kehidupan mereka membuktikan bahwa Tuhan yang hidup tentu juga mengetahui diri-Nya, karena semua makhluk hidup menyadari dirinya. Inilah pendapat yang masuk akal dan tidak tergoyahkan.
Tetapi Anda menyangkal kehendak dan kreasi, dan mengatakan bahwa sesuatu yang beremanasi dari-Nya beremanasi secara pasti (daruri) dan dengan sendirinya. Karenanya, apakah kesulitan Anda untuk memercayai bahwa zat-Nya adalah suatu zat yang berfungsi menyebabkan adanya akibat pertama saja? Kemudian dari akibat pertama-secara niscaya-lahir akibat kedua dan demikian seterusnya ke bawah hingga akhir semua yang ada (al-maujudat). Di samping itu, sebab pertama tidak mengetahui dirinya-sebagaimana api (sumber niscaya panas) dan matahari (sumber niscaya sinar) tidak mengetahui dirinya sendiri sebagaimana juga tidak mengetahui hal yang lain. Tapi entitas yang mengetahui dirinya sendiri tentu mengetahui sesuatu yang beremanasi darinya. Maka dia juga mengetahui sesuatu yang selain dirinya. Kami telah menunjukkan bahwa menurut tesis- tesis dasar para filsuf-Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang selain diri-Nya. Terhadap orang-orang yang tidak menerima pendapat yang secara umum telah dikemukakan, kami telah mengatakan pendapat yang mutlak mengikat, sesuai dengan postulatpostulat dasar mereka. Dan apabila Tuhan tidak mengetahui yang lain, tidak sulit untuk memercayai bahwa Dia pun tidak mengetahui dirinya sendiri.

Jika dikatakan:
Setiap orang yang tidak mengetahui dirinya sendiri adalah orang mati. Bagaimana Tuhan bisa merupakan entitas yang mati?


Kami akan menjawab:
Inilah yang Anda niscayakan timbulnya dari pemikiran dasar Anda. Tiada bedanya antara Anda dan orang yang mengatakan:
(a)    bahwa setiap orang yang tidak bertindak berdasar kehendak, usaha bebas, tidak mendengar dan melihat adalah orang mati; dan (b) bahwa orang yang tidak mengetahui selain dirinya adalah orang mati. Jika mungkin untuk menyatakan bahwa Tuhan bebas dari semua sifat ini, mengapa perlu diandaikan bahwa Dia mengetahui diri-Nya? Jika mereka kembali kepada pendapat bahwa semua yang bebas dari materi secara esensial adalah akal dan dapat mengetahui dirinya. Telah kami jelaskan bahwa pendapat itu merupakan suatu asumsi yang tidak berdasarkan argumen.
 


Jika dikatakan:

Argumennya adalah sebagai berikut: Maujud terbagi dua, yaitu: yang hidup dan yang mati. Yang hidup lebih berharga dan lebih mulia daripada yang mati. Tuhan lebih berharga dan lebih mulia. Karena itu, ia harus merupakan sesuatu Yang Hidup (Hayy), dan setiap yang hidup pasti menyadari dirinya sendiri. Bila Dia Sendiri tidak hidup, akibat-akibat-Nya juga mustahil hidup.


Kami akan menjawab:
Ini juga merupakan asumsi yang rancu. Perlu kami pertanyakan, mengapa dari zat yang tidak mengetahui dirinya harus mustahil muncul zat lain yang bisa mengetahui dirinya, baik melalui perantara atau tidak? Apabila kemustahilan itu timbul dari fakta bahwa (atas pandangan ini) akibat akan lebih mulia daripada Sebab, mengapa mustahil bagi akibat untuk lebih mulia daripada Sebab? Kemustahilan semacam itu tidak aksiomatik.
Lalu, mengapa Anda menolak pendapat bahwa kemuliaan Tuhan tidak terletak pada pengetahuan-Nya, tetapi pada fakta bahwa maujud yang universal tergantung pada zat-Nya? Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: Yang lain mengetahui hal- hal selain dirinya, juga melihat dan mendengarnya. Sedangkan Tuhan tidak melihat atau mendengar. Apabila ada yang mengatakan: “Yang maujud terbagi dua: yang melihat dan yang buta, yang tahu dan yang bodoh, sementara yang melihat atau mengetahui lebih mulia, maka Tuhan juga harus dapat melihat, sebagaimana Dia mengetahui segala sesuatu,” tentu Anda akan menolak kesimpulan tersebut dengan mengatakan bahwa nilai tinggi dan kemuliaan tidak terdapat pada sesuatu yang melihat atau mengetahui, tetapi pada maujud yang dapat berbuat tanpa penglihatan dan pengetahuan, dan pada maujud yang dapat melahirkan seluruh maujud dalam jagad raya, yang menjadi tempat entitas-entitas yang dapat mengetahui dan melihat.
Demikian pula, tidak ada kemuliaan dalam pengetahuan terhadap esensi diri. Tetapi ia terletak pada eksistensinya sebagai prinsip bagi maujud-maujud lain yang mempunyai pengetahuan. Dan kemuliaan ini merupakan kemuliaan khusus bagi-Nya.
Tak bisa dihindari, para filsuf tergiring untuk menolak pengetahuan Tuhan terhadap diri-Nya. Karena pengetahuan tentang diri atau esensi hanya bisa disimpulkan dari kehendak (iradah), dan kehendak hanya dapat disimpulkan dari asal temporal alam (hudus al-‘alam). Dengan salahnya kesimpulan tentang asal temporal alam, semua persoalan sisanya ini tentu juga salah-bagi sebagian orang yang memahami persoalan-persoalan tersebut melalui penalaran rasional. Maka semua yang dikatakan para filsuf tentang sifat-sifat Tuhan atau negasi terhadapnya tidak mempunyai argumen yang kokoh sebagai dasar pijakannya, kecuali sebatas hipotesis-hipotesis dan dugaan-dugaan semata, yang tidak bisa diterima oleh para ahli fikih.
Tidak aneh jika seorang yang berakal sehat masih kebingungan untuk memahami sifat-sifat Tuhan. Yang mengherankan dari para filsuf ialah bahwa mereka begitu bangga dan memuji-muji argumenargumen mereka dengan klaim bahwa mereka mengetahui semua persoalan ini berdasarkan pengetahuan yang sangat meyakinkanpadahal, pada kenyataanya, pengetahuan mereka mengidap arogansi kekurangcermatan.
 
MASALAH KETIGA BELAS: Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Tiap Partikularia Yang Dapat Dibagi Sesuai Dengan Pembagian Waktu 'Telah', 'Sedang', Dan 'Akan'

PARA filsuf sepakat mengenai pendapat ini (bahwa Tuhan tidak mengetahui partikularia-partikularia yang dibagi- bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam kategori
‘telah’, ‘sedang’, dan ‘akan’). Yang percaya bahwa Tuhan tidak mengetahui apa pun kecuali diriNya termasuk ke dalam jajaran para filsuf. Tetapi orang yang berpendapat bahwa Dia mengetahui Yang Lain-yang diterima oleh Ibn Sina-menyatakan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu dengan suatu pengetahuan universal yang tidak termasuk ke dalam pembagian waktu dan tidak berubah-ubah sejak masa lampau, kini, hingga masa mendatang. Selain itu, dinyatakan-oleh Ibn Sina yang mewakili pendapat terakhir-bahwa “tak ada sesuatu pun-bahkan satu partikel atom di langit atau di bumi-yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Hanya saja, Tuhan mengetahui tiap partikularia secara universal.”
Pertama kali kita harus memahami pendapat mereka, lalu memberikan sanggahan dan kritik tajam.
Kami akan mengulas pendapat ini dengan sebuah ilustrasi. Ketika matahari gerhana, setelah sebelumnya tidak terjadi gerhana, dan ketika kemudian terang kembali, matahari telah melalui tiga keadaan: (a) keadaan pertama, ketika gerhana belum terjadi, tetapi eksistensinya dalam proses penantian, yang tergambar dalam ungkapan: ‘gerhana akan terjadi’; (b) keadaan kedua, gerhana benar-benar terjadi, yang tergambar dalam ungkapan: ‘gerhana sedang terjadi’; (c) keadaan ketiga, gerhana sudah tidak terjadi lagi, tetapi beberapa saat sebelumnya ia terjadi, yang tergambar dalam ungkapan: ‘gerhana telah terjadi’. Mengenai ketiga hal ini, kita mempunyai tiga pengertian yang berbeda. Karena pertama, kita mengetahui bahwa gerhana tidak ada atau tidak terjadi, tetapi akan terjadi. Lalu, kedua, kita tahu bahwa gerhana ada dan terjadi. Dan, akhirnya ketiga, kita tahu bahwa gerhana telah pernah ada, meskipun kini sudah berlalu dan tiada. Pergantian beruntun- di tempat yang sama-dari ketiga pengertian yang berbeda itu menuntut suatu perubahan pada zat yang mengetahuinya. Karena setelah timbulnya kembali matahari, seseorang lalu mengatakan bahwa gerhana sedang terjadi sekarang, sebagaimana gerhana telah terjadi sebelumnya, tentu bukan merupakan pernyataan orang yang tahu, tetapi merupakan suatu bentuk ketidaktahuan. Demikian pula pada saat gerhana terjadi, lalu seseorang mengatakan bahwa gerhana tidak terjadi, tentu pernyataan itu adalah suatu kebodohan. Ini menunjukkan bahwa tak satu pun dari pengertian pengertian ini dapat digunakan secara bergantian, yang satu dengan yang lainnya.
Mereka beranggapan Tuhan tidak mempunyai keadaan- keadaan yang berbeda-beda sehubungan dengan ketiga keadaan di atas. Sebab hal itu akan menyebabkan terjadinya perubahan. Sesuatu yang keadaannya tidak berbeda-beda tak dapat tidak bisa dibayangkan untuk bisa mengetahui ketiga kategori di atas. Pengetahuan (‘ilm) mengikuti objek pengetahuan (ma’lum). Jika objek pengetahuan berubah, pengetahuan pun berubah. Dan jika pengetahuan berubah, maka mau tidak mau “yang mengetahui” (‘alim) juga berubah. Tetapi perubahan pada diri Tuhan adalah sesuatu yang mustahil.
Walaupun demikian, mereka menganggap bahwa Tuhan mengetahui gerhana dan semua sifat-sifat-Nya sejak dari awal tanpa batas (azali) sampai ke akhir tanpa ujung (abadi), tanpa ada perbedaan. Misalnya, (1) Dia tahu bahwa matahari dan bulan ada. Keduanya ada karena beremanasi dari-Nya melalui intermediasi malaikat-malaikat yang diistilahkan para filsuf dengan “akal-akal murni” (‘aql mujarrad bentuk pluralnya: ‘uqul mujarradah). (2) Dia tahu bahwa matahari dan bulan melakukan revolusi-revolusi atau gerak memutar. (3) Dia tahu bahwa falak matahari dan bulan saling memotong pada dua titik, yaitu titik kepala dan titik ekor. (4) Dia tahu bahwa kadang- kadang keduanya secara simultan berkumpul pada titik garis yang sama sehingga melahirkan gerhana. Artinya, bulan berada di antara matahari dan pengamat sehingga menghalangi matahari dari mata pengamat. Jika matahari telah melewati titik tersebut dalam rentang waktu tertentu, setahun misalnya, matahari akan gerhana lagi. Gerhana dapat menutupi keseluruhan tubuh matahari separuh, atau sepertiganya. Durasi waktu gerhana akan berakhir satu atau dua jam dan seterusnya. Demikian seterusnya sampai ke seluruh kondisi dan aksiden (al-a’rad) suatu gerhana. Tidak ada satu hal pun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Tetapi pengetahuan-Nya tentang hal-hal tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya gerhana, ketika sedang terjadi, atau setelah terjadinya. Dan karena ia tidak berbeda, ia tidak menuntut perubahan pada esensi-Nya.


Demikian pula halnya pengetahuan Tuhan tentang semua hal yang bersifat temporal (hawadis). Dia mengetahui bahwa hawadis merupakan akibat-akibat dari sebab-sebab tertentu, dan bahwa sebab-sebab mempunyai beberapa sebab-sebab yang lain, dan begitu seterusnya, sehingga rangkaian-rangkaian itu berhenti pada gerak putar selestial. Dia mengetahui bahwa sebab-sebab gerakan-putarselestial (al-harakah ad-dawriyah as-samawiyyah) adalah jiwa langit (nafs as-sama’), dan sebab dari gerakan jiwa adalah kerinduan pada perjumpaan harmonis dengan Tuhan dan dengan malaikat-malaikat yang dekat kepada Allah (al-mala’ikah al-muqarrabun). Semua dapat diketahui oleh Tuhan. Artinya, tersingkap bagi-Nya dengan penyingkapan tunggal dan homogen (inkisyaf wahid mutanasib) serta tidak dipengaruhi oleh waktu. Tapi, pada waktu terjadi gerhana, tidak bisa dikatakan, “Dia mengetahui bahwa gerhana terjadi sekarang”. Setelah gerhana pun tidak dapat dikatakan, “Dia mengetahui bahwa sekarang gerhana telah berakhir”. Segala hal yang harus diketahui manusia jika diletakkan dalam konteks waktu tidak bisa dibayangkan bahwa Allah juga mengetahuinya. Sebab pengetahuan tersebut menuntut perubahan pada yang mengetahui.
Semuanya ini menyangkut sesuatu yang dapat dibagi-bagi ke dalam periode-periode waktu. Demikian pula pendapat (para filsuf ) mengenai sesuatu yang dapat dibagi-bagi ke dalam materi dan ruang, seperti pribadi manusia atau binatang-binatang. Para filsuf mengatakan bahwa Dia tidak mengetahui aksiden- aksiden (a’rad). Zayd, ‘Amr atau Khalid secara personal. Tetapi Dia mengetahui manusia secara umum, aksiden-aksiden, serta sifat-sifatnya, dengan suatu pengetahuan universal (‘ilm al-kulli). Maka Dia juga tahu bahwa manusia memiliki suatu tubuh yang terdiri dari berbagai organ yang dipergunakan untuk menangkap, berjalan-jalan, memahami, dan lain sebagainya. Di antaranya ada yang tunggal sedangkan lainnya berpasangan. Dia juga tahu bahwa kekuatan-kekuatannya harus didistribusikan ke seluruh bagian-bagian fisiknya, dan seterusnya hingga seluruh sifat luar dan dalam manusia, setiap hal yang termasuk perlengkapan- perlengkapannya, sifat-sifatnya, dan keniscayaan-keniscayaannya, sehingga tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan- Nya dan Dia mengetahui setiap sesuatu secara universal.
Sedang diri pribadi Zayd secara personal, ia hanya dapat dibedakan dari diri ‘Amr karena indra saja, bukan karena akal. Sebab dasar pembedaan atas pribadi secara personal adalah penunjukan terhadap dimensi tertentu, sementara akal hanya memahami dimensi absolut universal atau ruang universal. Adapun kata-kata kita: “ini” dan “ini” (dengan menunjuk pada benda tertentu), itu menunjukkan suatu hubungan yang dimiliki oleh objek indra vis-a-vis orang yang menggunakan indra, karena berada dekat padanya atau jauh darinya, atau berada pada suatu arah tertentu. Ini mustahil bagi Tuhan.
Inilah prinsip dasar yang dipegang teguh oleh para filsuf dan digunakan untuk merancang kehancuran total syariat-syariat agama. Itu memberikan implikasi pada keyakinan bahwa misalnya, apakah Zayd menaati Tuhan atau mendurhakai-Nya, Tuhan tidak mengetahui keadaan-keadaannya yang temporal, karena Dia tidak mengetahui Zayd sebagai pribadi secara personal, artinya bahwa dia sebagai pribadi dan tindakan-tindakannya terjadi setelah sebelumnya tidak ada. Maka apabila Dia tidak mengetahui diri seseorang secara personal, Dia tidak bisa mengetahui keadaan- keadaan dan perbuatan-perbuatannya. Dia pun tidak mengetahui kekufuran atau keislaman Zayd, karena Dia hanya mengetahui kekufuran atau keislaman manusia secara umum, mutlak dan universal, tidak terspesifikasi pada pribadi-pribadi secara personal.
Dengan pendapat itu, mereka tidak bisa mengelak untuk mengatakan bahwa Muhammad Saw. memproklamasikan kenabiannya, sedangkan Tuhan tidak tahu bahwa dia melakukan hal itu. Demikian pula setiap nabi yang lain. Sebab Tuhan hanya mengetahui bahwa di antara manusia terdapat beberapa orang yang memproklamasikan kenabian, dan bahwa yang demikian dan demikian adalah sifat-sifat mereka. Tetapi Dia tidak mengetahui seorang nabi tertentu sebagai seorang individu. Karena hal itu diketahui oleh indra semata. Dia pun tidak mengetahui keadaan- keadaan yang timbul dari suatu yang bersifat partikular individual. Sebab keadaan-keadaan tersebut terbagi-bagi di dalam waktu dan pada diri tertentu. Pengetahuan terhadap keadaan-keadaan tersebut pada semua perbedaannya mengharuskan perubahan wujud yang mengetahuinya.
Maka inilah yang hendak kami sebutkan, pertama, mengenai doktrin mereka, kedua, memahaminya, ketiga, menjelaskan konsekuensi-konsekuensi negatifnya. Kami akan mengemukakan kekeliruan kekeliruan yang dikandungnya dan menunjukkan bagaimana mereka dapat disanggah.

Kekeliruan mereka terletak pada pernyataan bahwa:
“Ketiga keadaan ini berbeda-beda. Apabila sesuatu yang berbeda-beda muncul berurutan pada sesuatu yang sama, maka perubahan pada sesuatu tersebut merupakan konsekuensi yang niscaya (lazim). Apabila pada waktu terjadinya gerhana dikatakan bahwa gerhana ‘akan terjadi’-sebagaimana biasa dikatakan sebelum gerhana, maka orang yang mengatakannya mesti seorang yang bodoh (jahil), bukan seorang yang tahu (‘alim). Tetapi apabila dia mengetahui bahwa gerhana ‘terjadi ‘, sedangkan sebelumnya dia tahu bahwa gerhana ‘tidak terjadi’ tetapi ‘akan terjadi ‘, maka pengetahuan dan keadaan orang itu tentu berbeda, dan perubahan menjadi niscaya. Karena perubahan tak berarti lain kecuali perbedaan pada orang yang mengetahui. Orang yang tidak mengetahui sesuatu, lalu mengetahuinya, maka dia telah berubah. Orang yang tidak mengetahui bahwa gerhana ‘terjadi ‘, lalu-pada waktu gerhana-mengetahuinya, maka ia juga telah berubah.”
Mereka menegaskan kembali tesis mereka dengan mengatakan bahwa:
“Keadaan-keadaan (ahwal bentuk plural dari hal) ada tiga macam: Pertama, suatu keadaan yang merupakan relasi murni (idafah mahdah), sebagaimana keberadaan Anda di sebelah kanan atau sebelah kiri. Dan ini-keadaan yang murni merupakan relasi murni-tidak dapat dikembalikan pada suatu sifat esensial. Apabila sebuah benda yang berada di sebelah kanan Anda dipindahkan ke sebelah kiri, hanya relasi Anda yang berubah karenanya, bukan esensi Anda. Perpindahan suatu seperti di atas hanyalah penggantian relasi atas zat, bukan penggantian esensi.
Kedua, keadaan yang pertama dapat diperbandingkan dengan keadaan yang kedua. Apabila Anda mampu untuk memindahkan benda fisikal tertentu yang berada di tangan, maka ketiadaan semua atau sebagian dari benda-benda itu tidak akan mengubah kekuatan vital Anda dan kemampuan Anda. Karena kemampuan primer Anda adalah kemampuan untuk memindah benda secara umum, dan kemampuan sekundernya adalah untuk memindahkan suatu benda tertentu, selama itu merupakan benda. Maka relasi kemampuan pada suatu benda atau tubuh (jisim) tertentu bukanlah suatu sifat esensial (wasf zati), tetapi suatu relasi murni (idafah mahdah). Karenanya, perubahan tubuh pasti menyebabkan hilangnya relasi, bukan menyebabkan perubahan pada keadaan yang memiliki kemampuan (qadir).
Ketiga, keadaan di mana esensi mengalami perubahan. Hal ini terjadi, misalnya, ketika seseorang yang (mulanya) tidak mengetahui berubah menjadi orang yang mengetahui, atau orang yang tidak berkemampuan menjadi orang yang berkemampuan. Inilah yang disebut perubahan.
Perubahan pada objek pengetahuan menuntut adanya perubahan pada pengetahuan itu sendiri. Karena hakikat esensi pengetahuan terdapat di dalam relasinya dengan suatu objek tertentu dari pengetahuan sebagaimana adanya. Hubungan dengan objek yang melalui cara lain, pasti melahirkan pengetahuan yang lain sehingga jelas akan terjadi perubahan. Perubahan itulah yang melahirkan perbedaan pada kondisi yang mengetahui.
Tidak mungkin untuk mengatakan bahwa esensi mempunyai pengetahuan tunggal, yang kemudian menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang ‘sedang terjadi’ setelah mengetahui bahwa ia ‘akan terjadi ‘, dan akan menjadi pengetahuan tentang hal yang ‘telah terjadi’ setelah menjadi pengetahuan tentang hal yang ‘sedang terjadi’. Pengetahuan adalah tunggal dan semua keadaannya sama. Apabila relasi- relasinya berganti, maka-karena dalam hal pengetahuan, relasi- relasi membentuk hakikat esensinya-penggantian relasi-relasi menuntut penggantian pada esensi pengetahuan itu, dan dengan demikian perubahan merupakan keniscayaan. Hal ini mustahil bagi Allah.

Sanggahan dari dua sudut:
Pertama, bagaimana Anda menyanggah pendapat orang yang mengatakan:
“Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana pada suatu waktu tertentu. Sebelum gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang ‘akan terjadi’. Pada waktu gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang ‘sedang terjadi’. Dan setelah terang, pengetahuan ini merupakan pengetahuan tentang berakhirnya gerhana. Semua perbedaan ini dapat dianggap sebagai relasi-relasi yang tidak menggantikan esensi pengetahuan. Ia tidak menuntut suatu perubahan pada entitas yang mengetahuinya. Karena perbedaan-perbedaan tersebut harus diposisikan sebagai relasi-relasi murni. Apabila seseorang yang berada di sebelah kanan Anda datang ke depan Anda, lalu ke sebelah kiri, maka akan terjadi relasi-relasi yang berurutan dengan diri Anda. Orang yang berpindah tempat itulah yang berubah, bukan Anda. Mestinya demikian kita memahami perihal pengetahuan Tuhan.”
Kami menerima pendapat bahwa Dia mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan tunggal (ilm wahid) dari zaman tak berawal sampai (azali) zaman tak berakhir (abadi). Kami juga setuju dengan pendapat bahwa keadaan-Nya tidak berubah.
Sebenarnya tujuan para filsuf hanya menegasikan perubahan. Dan itu dapat diterima oleh semua orang. Tetapi pernyataan mereka bahwa perubahan harus disimpulkan dari afirmasi pengetahuan tentang ‘sedang terjadi ‘saat ini, dan tentang berakhirnya (gerhana), (maka pernyataan itu) tidak dapat diterima. Dari manakah mereka mengetahui ide ini? Andaikan Allah menciptakan pengetahuan untuk kita tentang kedatangan Zayd di sini besok ketika matahari terbit, lalu pengetahuan ini didiamkan (sehingga Dia tidak menciptakan pengetahuan yang lain bagi kita dan kita pun tidak lupa terhadap pengetahuan ini), pasti kita, ketika matahari terbit, mengetahui dengan pengetahuan yang lalu-tentang kedatangan Zayd ‘saat ini ‘, dan setelah itu mengetahui tentang (fakta bahwa) dia telah datang baru saja. Pengetahuan-yang satu dan yang terus ada ini-akan cukup untuk menguasai ‘ketiga keadaan’ itu.


Maka yang tersisa dari perkataan mereka adalah bahwa:
“Relasi dengan suatu objek pengetahuan tertentu masuk ke dalam hakikat pengetahuan. Dengan perbedaan-perbedaan relasi, hal-hal yang kepadanya suatu relasi bersifat esensial, juga menjadi berbeda. Setiap terjadi perbedaan dan pergantian kejadian, maka perubahan pun terjadi.”
Maka kami akan mengatakan: apabila ini benar, Anda harus mengikuti langkah-langkah rekan-rekan Anda (para filsuf ) yang mengatakan bahwa:
“Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun selain diri-Nya. Pengetahuan diri-Nya identik dengan esensi-Nya. Sebab apabila dia mengetahui manusia secara umum, binatang secara umum, atau materi absolut (tak berorgan/jamad mutlaq) secara umum- yang jelas merupakan hal-hal yang berbeda-maka hubungan dengan hal-hal ini akan merupakan relasi-relasi yang berbeda. Karenanya, satu pengetahuan tidak bisa menjadi pengetahuan tentang hal-hal yang berbeda. Karena yang dihubungkan berbeda, maka relasi itu harus juga berbeda. Relasi dengan objek pengetahuan menjadi esensial bagi pengetahuan, maka itu mengharuskan multiplisitas (ta’addud) dan diferensi (ikhtilaf ), tidak hanya multiplisitas dengan kesamaan Kualitatif (tamassul). Karena hal hal yang secara kualitatif sama adalah sesuatu yang dapat saling dipertukarkan. Tetapi pengetahuan tentang binatang tidak dapat diganti dengan pengetahuan tentang materi (yang inorganik/jamad). Demikian pula pengetahuan tentang putih tak dapat digantikan dengan pengetahuan tentang hitam. Karena kedua pengertian itu berbeda.
Kemudian, spesies, genus, dan aksiden-aksiden universal (‘awarid kulliyyah) ini jumlahnya tak terhingga. Tapi semuanya merupakan hal yang berbeda. Bagaimanakah pengertian- pengertian yang berbeda mengenai hal-hal yang berbeda dapat berada di bawah naungan satu pengetahuan? Dan bagaimanakah satu pengetahuan itu identik dengan esensi orang yang mengetahui, tanpa ada sesuatu yang ditambahkan padanya?
Saya berharap bisa memahami bagaimana orang berakal dapat membolehkan dirinya untuk tidak memercayai kesatuan pengetahuan tentang suatu hal yang keadaan-keadaannya dapat dibagi-bagi ke dalam waktu lampau, mendatang, dan kini, sedang dia tidak memercayai kesatuan pengetahuan yang berhubungan dengan semua spesies dan genus yang berbeda. Sering kali perbedaan dan disparitas di antara genus dan spesies yang bermacam-macam lebih penting daripada perbedaan yang benar- benar ada pada kondisi sesuatu yang dapat berbeda-beda sesuai dengan pembagian waktu. Apabila perbedaan itu tidak menuntut multiplisitas dan perbedaan, bagaimana ini dapat menuntut multiplisitas dan perbedaan?
Selama bisa dibuktikan secara rasional bahwa perbedaan waktu tidak sama dengan perbedaan genus dan spesies, dan bahwa ia tidak akan mengantar pada multiplisitas dan diferensi, maka ia juga tidak mengharuskan perbedaan. Jika demikian, maka keseluruhannya bisa dicakup dengan pengetahuan tunggal, yang kekal dan abadi serta tidak mengharuskan adanya perubahan yang mengetahui.


Sanggahan kedua dapat dikemukakan sebagai berikut:
Berdasar prinsip Anda, apa yang mencegah Anda untuk memercayai bahwa Tuhan mengetahui partikularia-partikularia, meski pun itu berubah-ubah? Adalah Anda tidak memercayai bahwa bentuk perubahan semacam ini tidak mustahil bagi Tuhan? Jahm Ibn Safwan dari kelompok Muktazilah percaya bahwa pengetahuanNya tentang hal yang temporal berada di dalam lingkaran waktu dan termasuk yang temporal juga. Demikian juga beberapa tokoh dari kalangan Karramiyyah akhir memercayai bahwa Dia adalah subjek bagi peristiwa- peristiwa temporal (hawadis). Maka, alasan satu satunya mengapa kebanyakan ahli kebenaran (ahl al-haqq) menolak pandangan ini ialah bahwa, begitu perubahan terjadi, subjek itu tak pernah bebas dari perubahan-perubahan. Dan sesuatu yang tidak pernah bebas dari perubahan-perubahan tidaklah kekal (qadim).
Tetapi Anda percaya bahwa alam itu kekal, dan bahwa pada saat yang sama, alam tidak pernah steril dari perubahan. Jika Anda dapat memercayai perubahan sesuatu yang kekal, maka tak alasan yang dapat mencegah Anda untuk memercayai bahwa pengetahuan Tuhan (yang tidak steril dari perubahan) menimbulkan perubahan pada Tuhan.
 


Apabila dikatakan:
Kami menganggap hal itu mustahil. Sebab pengetahuan yang temporal dalam esensinya, tidak bisa lepas dari apakah ia temporal dan lahir dari dirinya sendiri atau dari yang lain.
Adalah salah untuk mengatakan bahwa ia dapat berasal dari Nya. Karena kami telah menunjukkan bahwa dari Yang Kekal (alQadim) tak bisa timbul sesuatu yang temporal, dan bahwa Dia tidak merupakan seorang pelaku (fa’il) setelah tidak menjadi pelaku sebelumnya (karena hal itu menuntut perubahan). Hal telah kami kemukakan di dalam masalah penciptaan alam.
Jika pengetahuan yang ada dalam esensi diri-Nya berasal dari yang lain, lalu bagaimana “entitas yang lain” itu bisa memengaruhi dan mengubah-Nya-sehingga keadaannya menjadi berubah secara terpaksa dan tunduk-dan proses itu datang dari entitas lain?


Kami akan menjawab:
Tak satu pun dari kedua pendapat ini yang mustahil, menurut prinsip-prinsip Anda.
Mengenai pendapat bahwa sesuatu yang berpermulaan (hadis) mustahil berasal dari yang kekal, telah kami sanggah dalam masalah penciptaan alam. Mengapa Anda mengatakan demikian? Padahal menurut pendapat Anda, sesuatu yang temporal (hadis) mustahil beremanasi dari yang kekal (qadim). Sementara ia adalah hal-hal temporal yang pertama. Dasar kemustahilan itu adalah adanya yang hadis sebagai yang pertama. Jika tidak, peristiwa-peristiwa temporal tidak mempunyai sebab-sebab temporal pada suatu rangkaian tanpa akhir. Tetapi rangkaian itu berakhir-melalui perantaraan gerak putar-pada sesuatu yang kekal, yaitu jiwa falak dan kehidupannya. Maka jiwa falak (an- nafs al-falakiyyah) adalah kekal, dan gerak putar berasal darinya. Masing-masing dari bagian gerakan itu berpermulaan dan lenyap, dan karenanya jelas membaru setelah itu. Demikian menurut pandangan Anda, peristiwa-peristiwa temporal berasal dari yang kekal. Tetapi, jika keadaan-keadaan yang kekal menjadi sama, emanasi hal-hal yang temporal darinya menjadi sama pula. Demikian juga keadaan-keadaan gerak akan menjadi serupa karena lahir dari yang kekal yang memiliki keadaan-keadaan yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila prosesi itu dianggap homogen (tanasub) dan kekal, maka setiap orang dari kalangan filsuf dapat menerima kemungkinan prosesi hal-hal yang temporal dari Yang Kekal. Dari sinilah pengetahuan temporal Tuhan dapat dipahami.
Yang kedua, mengenai prosesi pengetahuan Tuhan dari yang lain, kami katakan, “Mengapa Anda menganggapnya mustahil?” Dalam hal ini hanya ada tiga hal yang penting dilihat:
Pertama, perubahan. Kami telah menunjukkan (dalam sanggahan kedua sebelum ini) itu berasal dari prinsip-prinsip Anda.
Kedua, adanya yang lain sebagai sebab bagi perubahan pada yang lain. Hal ini, juga, tidak mustahil, menurut pendapat Anda. Maka kebiruan (hudus) sesuatu benda dapat merupakan sebab bagi kebaruan pengetahuan Tuhan tentang sesuatu itu. Sebagaimana Anda menyatakan bahwa penampakan bentuk suatu objek berwarna dalam pandangan merupakan sebab lahirnya kesan bentuk tersebut dalam bola mata melalui udara yang memberi jarak antara yang melihat dan sesuatu yang dilihat.
Apabila materi yang tak berorgan mungkin untuk menjadi sebab bagi munculnya kesan bentuk-bentuk pada mata-inilah yang dimaksud melihat-mengapa mustahil.bagi munculnya fenomena temporal untuk menjadi sebab pengetahuan Tuhan tentangnya? Demikian, sesungguhnya daya melihat dipersiapkan untuk melihat dan munculnya suatu objek berwarna serta terbukanya kelopak mata adalah sebab bagi persepsi aktual. Juga bisa dikatakan bahwa prinsip pertama dipersiapkan untuk menerima pengetahuan, dan ada perpindahan dari potensialitas ke dalam aktualitas ketika objek temporal pengetahuan terwujud. Apabila ini menimbulkan suatu perubahan yang kekal, maka entitas kekal yang berubah itu bagi Anda tidak mustahil. Jika Anda menganggap hal itu mustahil pada wajib al-wujud, maka Anda tidak akan mempunyai argumen untuk membuktikan wajib al-wujud tersebut. Sebagaimana telah kami kemukakan (dalam masalah keempat) yang dapat Anda buktikan hanyalah bahwa rangkaian-rangkaian sebab dan akibat harus berujung, di mana pun. Rangkaian tersebut dapat berujung pada suatu entitas kekal yang berubah-ubah.
Ketiga, implikasi-dari pengetahuan zat Allah yang baru dan berasal dari yang lain-itu ialah bahwa perubahan Yang Kekal dipengaruhi oleh Yang Lain, dan itu menyerupai paksaan dan penguasaan dari yang lain terhadap-Nya. Sekali lagi kami pertanyakan, mengapa Anda memustahilkannya? Anda boleh percaya bahwa Tuhan, melalui perantara-perantara, adalah sebab bagi munculnya peristiwa-peristiwa temporal, bahwa munculnya peristiwa-peristiwa temporal adalah sebab bagi pengetahuan-Nya tentang peristiwaperistiwa tersebut-atau, singkatnya, bahwa Dia adalah sebab bagi pencarian pengetahuan bagi diri-Nya, tetapi melalui perantaraperantara.
Apabila Anda menganggap bahwa ini menyerupai penundukan (taskhir) atau pengaruh eksternal, maka biarlah begitu. Karena itu pantas menurut kerangka teori Anda. Sebab Anda telah mengatakan bahwa apa pun yang timbul dari Tuhan hanyalah timbul melalui keniscayaan dan berdasar karakter dasarnya, dan bahwa Dia tidak kuasa untuk tidak melakukannya. Hal ini juga menyerupai penundukan atau pengaruh eksternal, dan menunjuk pada kesimpulan bahwa mengenai apa yang timbul dari-Nya, Dia seperti orang yang dipaksa.


Apabila dikatakan:
Ini bukan paksaan. Karena kesempurnaan terdapat pada kapasitas-Nya sebagai sumber prosesi atau munculnya segala sesuatu.


Kami akan menjawab:
Kalau demikian, di sini tidak ada paksaan. Karena kesempurnaan-Nya terdapat pada (fakta) bahwa dia mengetahui segala sesuatu. Seandainya kita mempunyai sesuatu pengetahuan tentang segala fenomena temporal, tentu pengetahuan itu akan merupakan suatu tanda kesempurnaan, bukan kekurangan atau penundukan, bagi kita. Demikian pula halnya dengan Tuhan.[]

 

LihatTutupKomentar