Bid'ah Wajib Haram Sunnah Makruh Mubah | Tauhid Asy'ariyah
Nama kitab: Terjemah Nurud Dholam Syarah Aqidatul Awam, Nuruzh Zhalam, Nur al-Zholam
Nama kitab asal: Nur adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awam
Nama lain kitab kuning: Hasyiyah al-Dasuqi
Ejaan lain: Noor -ul-Zalaam, Nuuruzh Zhalaam, Nur adz-Dzolam, Nuruzh Zholam, Nuruzh Zhalam, Nurud Dhalam
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Nama yang dikenal di Arab: محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Penerjemah:
Bidang studi:Tauhid, Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy'ariyah, ilmu kalam, ushuluddin.
Daftar Isi
3. NADZOM KETIGA DAN KEEMPAT
ثُمَّ الـصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ سَـرْمَدَا * عَلَى الـنَّـبِيِّ خَيْرِ
مَنْ قَدْ وَحَّدَا
وَآلِهِ وَصَـحْبِهِ وَمَـنْ تَـبِـعْ * سَـبِيْلَ
دِيْنِ الْحَقِّ غَيْرَ مُـبْـتَدِعْ
[3] Kemudian [saya meminta kepada Allah agar memberikan] selamanya rahmat yang
disertai pengagungan dan penghormatan agung ...
...untuk
[Rasulullah] Sang Nabi, yaitu orang yang paling unggul dalam tauhid
dibandingkan yang lain,
[4] dan untuk keluarganya, para sahabatnya,
dan orang-orang yang mengikuti ...
jalan agama yang benar sambil tidak
melakukan kebid’ahan.
Maksud nadzom di atas adalah bahwa
semoga rahmat Allah yang disertai dengan pengagungan dan penghormatan-Nya yang
layak bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama senantiasa tercurahkan
kepada mereka yang telah disebutkan. Artinya Syeh Ahmad Marzuki memintakan
sholat dan salam untuk mereka sehingga seolah-olah ia berkata, “Saya meminta
dari-Mu, Ya Allah! rahmat yang disertai dengan pengagungan dan penghormatan
agung yang mencapai tingkatan tertinggi agar Engkau berikan kepada
mereka yang telah disebutkan, yaitu
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang yang mengikuti jalan agama
Islam yang benar.”
a. I’rob Nadzom dan Hikmahnya
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki “َﺪا َﻣ ْﺮ َﺳ ” berarti
selamanya. Perkataannya “ﱢﻲ اﻟﻨﺒ ﻋﻠﻰ” adalah dengan menggunakan tasydid pada
huruf Yaa dimana kata tersebut adalah berasal dari kata “ﱠﻮة اﻟﻨُﺒُ” yang
berarti tempat yang tinggi. Rasulullah disebut dengan nama “اﻟﻨﺒﻲ”
karena beliau adalah
orang yang ditinggikan derajatnya atau orang yang
mengangkat
derajat orang-orang yang mengikutinya,
atau dengan menggunakan huruf Hamzah yang berasal dari kata
“اﻟﻨﺒَﺄ” dengan memberikan harokat pada huruf Baa dimana artinya adalah berita
karena Rasulullah adalah orang yang memberikan berita atau orang yang
menyampaikan berita dari Allah. Dengan demikian, kata “ّﻲ اﻟﻨﺒ” yang
berdasarkan dari dua asal kata di atas adalah mengikuti wazan “ْﯿﻞ ِﻌ ﻓَ” yang
menggunakan arti wazan “ِﻋﻞ ﻓَﺎ” atau “ْﻮل ُﻌ ْﻔ َﻣ ”.
Syeh
Ahmad Marzuki mengungkapkan nadzomnya dengan menggunakan kata “اﻟﻨﺒﻲ”
dan tidak menggunakan kata “ْﻮل ُﺳ َﺮ اﻟ” karena ingin
menunjukkan isyarat bahwa Rasulullah berhak mendapatkan sholat dan salam
dengan sifat kenabian, sebagaimana beliau juga berhak mendapatkan keduanya
dengan sifat kerasulan, serta menyesuaikan dengan Firman Allah, “Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi ...”
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki “ ْﺪ ﻗَ ْﻦ َﻣ َﺪا ﱠﺣ َو ”
adalah dengan i’rob jer karena menjadi
badal dari kata “اﻟﻨﺒﻲ” atau
menjadi sifat baginya.
Boleh juga
dengan mengi’robi nashob
atas dasar menjadi maf’ul bih
dari fi’il yang terbuang dimana perkiraannya adalah
“ ... ﻣﻦ ُح َﺪ ْﻣ أَ” atau “... ﻣﻦ أﻋﻨﻰ”.
Boleh juga dengan mengi’robi rofak atas dasar menjadi khobar dari mubtadak yang terbuang dimana perkiraannya adalah
Mengi’robi rofak adalah lebih utama dari segi mengagungkan agar nama
yang mulia (Rasulullah
Muhammad yang dimarfu’kan atau
ditinggikan dan menjadi panutan, sebagaimana Rasulullah Muhammad sendiri
adalah orang yang ditinggikan derajatnya dan panutan bagi seluruh makhluk.
Pengertian “وﺣﺪا ﻗﺪ ﻣﻦ” adalah bahwa sesungguhnya Rasulullah adalah orang yang
paling unggul dalam tauhid dibanding seluruh makhluk karena ketika Sayyidina
Jibril dan Mikail membelah dadanya yang mulia di saat beliau masih dalam
asuhan Halimah setelah Halimah menyusuinya maka mereka
berdua menetapkan keutamaan dan kemuliaannya shollallahu
‘alaihi wa sallama dan mereka berdua menyamakannya dengan
keutamaan selainnya, kemudian beliau
menjadi lebih unggul, dan akhirnya beliau bertambah unggul dengan selisih 1000
keutamaan [dibanding yang lain].
Termasuk umat Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah para nabi dan
rasul yang lain. Oleh
karena ini, Syeh Ahmad
al-Bushoiri berkata dalam Burdah dari bahar basiit;
Maksudnya
adalah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama mengungguli seluruh
nabi lain dan mengungguli mereka dari segi wajah, bentuk tubuh, warna kulit,
dan budi pekerti yang mulia, seperti ilmu, rasa malu, rasa
dermawan, kasih sayang, bijaksana, adil, pemaaf,
dan mereka seluruh nabi lain tidak bisa menyamai beliau dalam hal-hal
tersebut. Mereka semua adalah orang-orang yang mengambil dan mendapatkan ilmu
dan kebijaksanaan
dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki dimaksud dengan keluarga Rasulullah dalam hal ini
adalah seluruh orang- orang mukmin. Termasuk mereka adalah para nabi lainnya
dan umat- umat mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan para sahabatnya
shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah mereka yang pernah berkumpul bersama
beliau setelah beliau diangkat sebagai seorang rasul serta mereka adalah
orang-orang yang mempercayai beliau meskipun belum ada perintah bagi beliau
untuk berdakwah dimana perkumpulan yang terjadi adalah disaat beliau masih
hidup di dunia, meskipun dalam suasana yang gelap, atau mereka adalah
orang-orang yang buta, atau mereka tidak menyadari kalau itu adalah beliau,
atau mereka adalah orang-orang yang belum tamyiz, atau yang
bersimpangan jalan, atau yang tidur, atau mereka tidak
berkumpul bersama beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama tetapi mereka melihat
beliau atau beliau melihat mereka meskipun dengan jarah yang jauh, dan
meskipun hanya sekali saja.
Termasuk sebagai sahabat Rasulullah adalah
Ibnu Umi Maktum dan lainnya dari orang-orang buta. Nama ibunya dijadikan
sebagai nama kun-yah untuknya karena matanya tertutup. Nama aslinya
adalah Abdullah, salah seorang muadzin Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallama. Begitu juga masuk sebagai sahabat beliau adalah Isa, Khidr, dan
Ilyas, ‘alaihim as-sholah wa as-salaam. Termasuk sebagai sahabat beliau
adalah para malaikat yang pernah berkumpul bersama beliau shollallahu ‘alaihi
wa sallama di bumi. Adapun Nabi Isa ‘alaihi as-sholatu wa as- salaamu maka ia
adalah sahabat terakhir beliau yang dari golongan manusia. Adapun para
malaikat maka mereka akan tetap masih hidup sampai ditiup Terompet Kiamat.
Sedangkan Khidr akan mati ketika al-Quran telah diangkat ke langit. Ada yang
mengatakan bahwa Khidr saat ini telah mati. Akan tetapi kesimpulan yang ada
adalah bahwa Khidr dan Ilyas masih hidup
berdasarkan pendapat yang
mu’tamad. Akan tetapi
Ilyas telah ditetapkan sebagai
seorang rasul dengan dasar keterangan al-Quran. Allah
berfirman, “Sesungguhnya Ilyas adalah termasuk sebagian para rasul.” (QS.
As-Shooffaat: 123) Adapun Khidr maka ada yang mengatakan bahwa ia adalah wali.
Ada yang mengatakan bahwa ia adalah nabi. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah
rasul. Segala sesuatu yang paling baik adalah yang
tengah-tengah, yaitu ia adalah seorang
nabi.
b. Identitas Nabi Khidr
(TANBEH)
Kata “اﻟﺨﻀﺮ” adalah dengan fathah pada huruf khook dan dengan kasroh pada huruf dhood. Boleh juga dengan sukun pada huruf dhood dan kasroh pada huruf khook atau fathah pada huruf khook. Jadi bisa menyebut dengan Khodir, Khidr, atau Khodr. Alasan kenapa ia dijuluki dengan julukan Khidr adalah karena ketika ia duduk di atas permukaan tanah yang putih maka kemudian ada khodrook atau hehijauan yang bergerak-gerak dari arah belakangnya. Nama kun-yahnya adalah Abu al-Abbas. Nama isminya adalah Balya ibnu Malkan. Didengar dari sebagian ulama ahli makrifat bahwa barang siapa yang mengetahui namanya, nama ayahnya, nama kun-yahnya, dan nama laqobnya maka ia masuk ke dalam surga. Khidr beribadah dengan menggunakan syariat Nabi kita, Rasulullah Muhammad, pada hari ia diutus oleh Allah Ta’aala.
Yang dimaksud dengan Tabi’iin dalam perkataan Syeh Ahmad Marzuki adalah
seluruh orang yang hidup setelah zaman sahabat, yaitu mereka yang tetap
beriman sampai Hari Pembalasan Amal.
Perkataan Syeh Ahmad
Marzuki “اﻟﺤﻖ دﯾﻦ ﺳﺒﯿﻞ” dijelaskan bahwa Syeh al Fayumi berkata dalam kitab
al-Misbah bahwa kata “اﻟﺴﺒﯿﻞ” adalah berarti “اﻟﻄﺮﯾﻖ” atau jalan yang bisa
mudzakar atau muannas. Ibnu
Sukait berkata bahwa bentuk jamak muannas dari kata “ﺳﺒﯿﻞ”
adalah “ْﻮل َﺳﺒُ ” sebagaimana para ulama mengatakan “ْﻮق َﻋﻨُ ” sebagai
bentuk jamak dari mufrod “ﻋﻨﯿﻖ”. Sedangkan bentuk jamak mudzakarnya adalah
“ُﺳﺒُﻞ ”. Yang dimaksud dengan jalan agama
adalah hukum-hukum syariat. Pengertian “ّﻖ
َﺤ اﻟ”
adalah segala
sesuatu yang sesuai dengan al-Quran, al-Hadis,
al-Ijmak, atau al-Qiyas. Kebalikan dari “َﺤﻖ اﻟ” disebut dengan “ِطﻞ
اﻟﺒَﺎ”.
Perkataan Syeh Ahmad
Marzuki adalah haal dari
perkataannya. Pengertian al-mubtadi’ adalah orang yang telah
keluar dari haq [atau orang yang melakukan kebid’ahan]. Orang yang al-
mubtadi’ adalah orang yang tercela.
c. Pengertian Bid’ah
dan Pembagiannya
Para ulama telah berkata bahwa bid’ah menurut bahasa adalah
sesuatu yang diciptakan tidak
sama dengan contoh yang telah
ada. Sedangkan menurut istilah
atau syara’, bid’ah adalah sesuatu yang baru yang
tidak sesuai dengan perintah syari’ (Allah atau Rasulullah). Bid’ah secara
dzatnya dapat dibagi menjadi 5 (lima) macam, yaitu:
1. Bid’ah Wajib.
Pengertiannya adalah bid’ah yang dikenai kaidah- kaidah kewajiban dan dali-dalil kewajiban dari syariat, seperti membukukan al-Quran dan ilmu- ilmu syariat ketika dikuatirkan akan tidak terurus (sia-sia) karena menyampaikan al-Quran dan ilmu-ilmu syariat kepada orang- orang di kurun waktu setelah kita adalah hal yang wajib menurut ijmak. Sedangkan mengosongkan atau meninggalkan penyampaiannya adalah keharaman menurut ijmak. Sebagian ulama mutaakhirin menambahkan bahwa termasuk bid’ah yang wajib kifayah adalah fokus mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab yang hanya dapat digunakan untuk memahami al- Quran dan as-Sunah, seperti ilmu Nahwu, Shorof, Ma’aani, Bayaan, Lughot. Berbeda dengan ilmu Arudh, Qowafi, dan lainnya. Adapun ilmu untuk membedakan manakah hadis yang shohih dan manakah yang tidak shohih, membukukan Fiqih, Usul Fiqih, Dalil-dalil Fiqih, dan bantahan terhadap kaum Qodariah, Jabariah, Murjiah, dan Mujassimah maka ilmu-ilmu ini juga wajib kifayah apabila dibutuhkan karena menjaga syariat adalah fardhu kifayah apabila di luar keadaan wajib ain. Selain itu tidak mudah menjaga syariat kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Sesuatu yang dijadikan sebagai perantara wajib mutlak maka hukum sesuatu itu adalah wajib.
2. Bid’ah Haram.
Pengertiannya adalah setiap bid’ah yang dikenai kaidah-kaidah keharaman dan dalil-dalil keharaman secara syar’i, seperti pemungutan cukai, mendahulukan orang-orang bodoh dan mengakhirkan para ulama, memberikan kewenangan sumber-sumber syariat kepada orang yang tidak layak atau tidak mumpuni menerimanya dengan cara mutawatir dan menjadikan orang yang dijadikan sebagai pedoman dalam sumber-sumber syariat itu adalah orang yang bukan ahli di dalamnya.
3. Bid’ah Disunahkan.
Pengertiannya adalah setiap bid’ah yang dikenai oleh kaidah-kaidah sunah dan dalil-dalilnya, seperti sholat tarawih secara berjamaah, mendirikan batas-batas wilayah bagi para imam, para Qodhi, para pemerintahan. Berbeda dengan apa yang ada pada masa para sahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama karena pada saat itu tidak adanya batas-batas seperti itu karena misi-misi dan tujuan-tujuan syariat tidak dapat dihasilkan kecuali dengan kewibawaan para pemerintah di hati orang-orang. Sedangkan orang-orang di zaman sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menjadi berwibawa dengan agama Islam dan lebih dulu dengan ikut serta dalam hijrah dan lebih dulu memeluk Islam. Kemudian lambat laun kedisiplinan kemiliteran mulai menurun hingga akhirnya mereka menjadi berwibawa dengan adanya batas-batas pemerintahan. Sebagian ulama menambahkan bahwa termasuk sebagian dari bid’ah yang disunahkan adalah mengadakan tradisi membangun pondokan, madrasah-madrasah, setiap perbuatan baik baik yang tidak ditemukan di zaman Rasulullah dan sahabat, dan membahas secara mendalam tentang ilmu Tasawwuf.
4. Bid’ah Makruh.
Pengertiannya adalah setiap bid’ah yang dikenai oleh dalil-dalil kemakruhan
dari syariat dan kaidah-kaidahnya, seperti mengkhususkan
melakukan ibadah di hari-hari
yang utama dibanding dengan hari-hari lain. Sebagian ulama menambahkan bahwa
termasuk bid’ah makruh adalah memperindah
masjid-masjid dan menghiasi atau memperindah mushaf-mushaf.
5. Bid’ah Mubah.
Pengertiannya adalah setiap bid’ah yang dikenai oleh dalil-dalil mubah atau
diperbolehkan dan kaidah- kaidahnya dari syariat, seperti membuat
ayakan-ayakan gandum. Dalam beberapa atsar atau hadis- hadis dari para
sahabat disebutkan bahwa sesuatu yang pertama kali diciptakan sebagai hal yang
baru sepeninggal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah membuat
ayakan- ayakan karena memperbaiki kehidupan ekonomi adalah
termasuk
hal-hal yang
diperbolehkan sehingga
perantara-perantara untuk
memperbaiki ekonomi pun dihukumi boleh. Demikian ini disebutkan oleh Ibrahim
al- Laqooni. Syeh Ibnu Hajar mengatakan bahwa termasuk bid’ah mubah adalah
berusaha mendapati kenikmatan makanan dan minuman, dan memperlebar kerah,
yaitu bagian ujung dari tangan gamis. Terkadang para ulama berselisih pendapat
mengenai perihal memperlebar kerah gamis. Sebagian dari mereka
menjadikannya sebagai termasuk bi’dah makruh dan sebagian lainnya
menjadikannya sebagai hal yang termasuk bid’ah sunah. Termasuk bid’ah mubah
adalah
mushofahah
atau berjabatan tangan setelah sholat Ashar dan Subuh, sesuai dengan
keterangan yang dikatakan oleh Syeh Ibnu Abdissalam, maksudnya adalah ketika
seseorang berjabat tangan dengan orang yang bersamanya sebelumnya. Adapun
berjabat tangan dengan orang yang tidak bersamanya saat sebelum itu maka
hukumnya adalah disunahkan karena berjabat tangan ketika saling bertemu adalah
kesunahan menurut ijmak dan karena ia mengkhususkan berjabat tangan di
sebagian kecil keadaannya dan tidak melakukannya di sebagian besar keadaannya
maka sebagian kecil keadaannya itu tidak dapat mengeluarkan kegiatan berjabat
tangan dari hal yang termasuk disyariatkan.[]