Biografi Imam Ghazali

Al Ghazali memiliki corak pemikiran sebagaimana gurunya yaitu al Juwaini yang bermadzhab Asy’ariyah (bidang aqidah, tauhid), dan Syafi’iyah (fikih)

Biografi Imam Ghazali

Al Ghazali memiliki corak pemikiran sebagaimana gurunya yaitu al Juwaini yang bermadzhab Asy’ari (dalam bidang aqidah, tauhid), dan Syafi’i (dalam bidang fikih dan ushul fiqh). Pada masa itu pemikiran Asy’ari sangat menonjol dan menguasai dunia pemikiran

Daftar isi

  1. Biografi 
    1. Keluarga
    2. Pendidikan dan Pemikiran
  2. Karya Tulis 
    1. Ilmu Fikih
    2. Aqidah, Teologi
    3. Filsafat
    4. Tasawuf, Sufisme
  3. Kembali ke:  Tasawuf
Biografi Imam Ghazali

Keluarga

Ayah dari al-Ghazali bekerja sebagai pemintal dan penjual wol. Ayahnya dikenal sebagai orang yang memiliki pengabdian dalam menuntu ilmu agama. Ketika memiliki waktu luang sehabis bekerja, ia selalu mendatangai para tokoh agama dan para ahli fikih untuk mendengarkan nasihat-nasihat. Sifat dan kepribadian ayahnya kurang diketahui. Ketika masih dalam usia anak-anak, ayahnya wafat. Ia meninggalkan al-Ghazali bersama saudara kandung laki-lakinya yang bernama Ahmad.

Pendidikan dan Karir 

Pendidikan dari al-Ghazali sangat diperhatikan oleh ayahnya. Ayahnya sendiri tidak dapat membaca dan keluarganya hidup dalam kemiskinan. Sebelum kematian ayahnya, al-Ghazali dititipkan kepada salah seorang sahabatnya agar mengurus persoalan pendidikan dari al-Ghazali dan saudaranya

Bernama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali) (Adz Dzahabi, t,th).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji. Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya. Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Adz Dzahabi, t,th).

Al Ghazali memiliki corak pemikiran sebagaimana gurunya yaitu al Juwaini yang bermadzhab Asy’ari Syafi’i. Pada masa itu pemikiran Asy’ari sangat menonjol dan menguasai dunia pemikiran, sehingga memiliki daya Tarik tersendiri bagi al Ghazali muda untuk mengikuti pemikiran yang mendominasi pada masa itu. Belum lagi karena kecerdasan dan hausnya ilmu pengetahuan al Ghazali untuk memenuhi kepuasan akalnya pada masa itu. Sehingga al Ghazali sangat menonjol dikalangan pemikir Asy’ari pada masa itu.

Menteri Nizam al Mulk sebagai penguasa saat itu memanggil al Ghazali untuk diberikan kedudukan sebagai guru di Madrasah Nizhamiyyah pada tahun 484 H dan memberikan gelar Zainuddin Syaraf al A’immah. Atas kecerdasannya banyak para pelajar dan ulama’ dari berbagai madzhab dan aliran yang berguru padanya. Sehingga banyak kalam-kalam al Ghazali dinukil dan dirujuk untuk dimasukkan dalam karangan- karangan mereka (Ibnu Katsir, t,th).

Pandangan-pandangan al Ghazali menjadi rujukan pada masa itu. Termasuk perhatian al Ghazali terhadap pemerintah dengan memberikan kritik terhadap fenomena yang terjadi. Misalkan pada saat pengangkatan sultan setelah meninggalnya Sultan Maliksyah, yang rencana pengganti adalah putranya yang masih kecil yaitu al Malik Mahmud bin Sultan Maliksyah. Para ulama’ sepakat bahwa pengganti sultan adalah putranya yang masih kecil, namun al Ghazali satu-satunya orang yang tidak setuju dengan pengangkatan tersebut. Pendapat al Ghazali sangat berpengaruh dikalangan para ulama’. Kemudian Barkiyaruq sebagai pengganti dari Sultan Maliksyah (B. Lewis, C.H. Pellat, & J. Scacht, 1983).

Al Ghazali sebagai pemikir yang kritis terhadap fenomena masyarakat dan pemerintah saat itu menilai bahwa tujuan dan perilaku pemerintah dan beberapa ulama’ dibawah naungan pemerintah menjadikan aqidah hanya sekedar symbol kosong yang digunakan mengejar dan mendapatkan kedudukan terhormat, sedangkan afiliasi kepada madzhab sekedar alat untuk memperoleh jabatan dan keuntungan.

Al Ghazali memutuskan untuk keluar dari lingkaran pemerintahan dan kekuasaan baik dari jabatannya maupun keluar dari institusi pendidikan milik pemerintah. Sejalan dengan hadits Rasululloh “jika kamu melihat keegoan ditaati, nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang yang berilmu membanggakan pendapatnya, maka kamu harus sibuk membenahi diri sendiri dan hindarkan dirimu dari urusan orang banyak (HR. Tirmidzi) (Sunan at tirmidzi, t,th).

Pemahaman itulah yang menjadikan al Gahzali memilih jalan islah dengan jalan menarik diri dari kesibukan urusan-urusan public dan menggantinya dengan kesibukan membenahi diri sendiri untuk menjalani kehidupan dengan dua proses yang dilakukan yaitu pertama melakukan evaluasi pemikiran, keyakinan dan persepsi masyarakat terhadap berbagai madzhab dan aliran yang bertentangan.
Kedua, mengevaluasi kecenderungan jiwa dan tujuan selama dalam aktivitas madzhab, dimana tokoh-tokoh madzhab sebagai pemegang otoritas pengambilan hokum, sehingga seringkali menjerumuskan pada sifat keakuan, yang menjadikan seseorang dari penyembahan kepada Alloh menjadi penyembahan kepada diri sendiri. Sehingga para ulama’ jatuh pada kenistaan karena dijadikan mainan para penguasa.

Berbagai permasalahan yang dihadapi dikalangan masyarakat dan pemerintah pada masa itu, al Ghazali memilih jalan zuhud dan tasawuf untuk menyelamatkan diri dari keterkungkungan dunia. Sehingga ia berguru kepada Syeikh al Fadhl bin Muhammad al Farmadzi, murid Abu Qasim al Qusyairi yang sangat tersohor pada masa itu dan menjadi rujukan dalam berzuhud dan bertasawuf.

Selama 10 tahun al Ghazali tinggal di Syam dan berpindah-pindah tempat antara Damaskus, Baitul Maqdis dan Hijaz. Dengan proses panjang untuk mengevaluasi pemikiran, keyakinan dan meluruskan jiwanya, maka setelah dianggap menemukan kebenaran apa yang dicarinya, al Ghazali menghasilkan sebuah karya buku berjudul al Munqidz min adh Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan). Selama melakukan petualangan pemikiran, keyakinan dan jiwa di Syam al Ghazali juga menghasilkan sebuah karya monumental yaitu Kitab Ihya’ Ulumuddin yang kemudian diajarkan di Baghdad.

Setelah lama di Baghdad, al Ghazali kembali ke kota kelahirannya Thus, yang seterusnya mengajar dan membimbing masyarakat disana dengan membangun majelis ilmu dengan aktivitas tasawuf yang menfokuskan pada dua hal, yaitu Pertama, melahirkan generasi baru ulama’ dan elit pemimpin yang mau berbuat dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah-pecah, saling melengkapi dan tidak saling menjegal, memiliki tujuan tulus untuk Alloh Swt, serta sesuai dengan tuntunan risalah Islam.
Kedua, menfokuskan perhatian untuk mengatasi penyakit-penyakit krusial menggerogoti umat dari dalam, bukan sibuk dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oelh penyakit-penyakit tersebut, yang diantaranya adalah ancaman para agresor yang datang dari luar (Asep Sobari, 2019). Muhammad al Ghazali teramasuk ulama’ yang konsisten, zuhud dan ikhlas dalam mengajar, menulis dan beribadah hingga akhir hidupnya (Senin, 14 Jumadal Akhir 505 H/1111 M).

Karya-karya Imam Al-Ghazali

Ilmu Fikih dan Ushul Fiqh

  1. Al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushul (The Clarified in Legal Theory, Ilmu Ushul Fikih)
  2. Al-Wasit fi al-Madhab (The medium [digest] in the Jurisprudential School, Ringkasan dalam mazhab Syafi'i)
  3. Asas al-Qiyas (Foundation of Analogical reasoning, Dasar dalam Qiyas/analogi)
  4. Fatawa al-Ghazali (Verdicts of al-Ghazali, Fatwa-fatwa Imam Ghazali)
  5. Kitab Tahzib al-Usul (Pruning on Legal Theory, Ilmu Ushul Fikih)

Aqidah, Tafsir:

  1. Al-Munqidh min al-Dalal (Rescuer from Error, Penyelamat dari kesesatan)
  2. Al-Iqtisad fil-I`tiqad (Median in Belief, Median dalam keyakinan)
  3. Al-Maqsad al-Asna fi Sharah Asma' Allahu al-Husna (The Best Means in Explaining Allah's Beautiful Names)
  4. Faysal al-Tafriqa bayn al-Islam Wal-Zandaqa (The Criterion of Distinction between Islam and Clandestine Unbelief)
  5. Hujjat al-Haq (Proof of the Truth)
  6. Jawahir al-Qur'an wa Duraruh (Jewels of the Qur'an and its Pearls)
  7. Mishkat al-Anwar (The Niche of Lights)
  8. Tafsir al-Yaqut al-Ta'wil

Filsafat, Teologi, Mantiq:

  1. Al-Qistas al-Mustaqim (The Correct Balance)
  2. Maqasid al Falasifa (Aims of Philosophers)
  3. Mihak al-Nazar fi al-Mantiq (Touchstone of Reasoning in Logic)
  4. Mi'yar al-Ilm fi fan al-Mantiq (Criterion of Knowledge in the Art of Logic)
Sufisme, Tasawuf:
  1. Al-Munqidh min al-Dalal (Rescuer from Error)
  2. Bidayat al-Hidayah (Beginning of Guidance)
  3. Ihya' Ulum al-Din
  4. Kimiya-ye Sa'adat (The Alchemy of Happiness)
  5. Minhaj al-'Abidin (Methodology for the Worshipers)
  6. Mizan al-'Amal (Criterion of Action)
  7. Nasihat al-Muluk (Counseling Kings)
LihatTutupKomentar