Di Ambang Pintu Pesantren

Di Ambang Pintu Pesantren Kalau saja di depan kelas bertengger jam dinding, pastilah jalan menit-menit itu akan kuhitung satu demi satu dalam tarikan

Di Ambang Pintu Pesantren

Keterangan gambar: Gedung MTS dan Madin Al-Khoirot Putri, PP Al-Khoirot Putri Malang

Nama kitab / buku: Guruku Orang-orang dari Pesantren
Penulis: Prof. KH. Saifuddin Zuhri
Lahir: 1 Oktober 1919, Kawedanan, Sokaraja Tengah, Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Wafat: 25 Februari 1986 pada usia 66 tahun
Nama Ayah: Muhammad Zuhri Rasyid
Nama Ibu: Siti Saudatun
Jabatan tertinggi: Menteri Agama pada era Presiden Sukarno dan Suharto 6 Maret 1962 – 17 Oktober 1967
Bidang studi: Sejarah , pesantren, Indonesia, sejarah Islam
Penerbit: LKIS dan Pustaka Sastra

Daftar isi

  1. Di Ambang Pintu Pesantren
  2. Madrasahku cuma Langgar
  3. Tokoh-tokoh Pengabdi tanpa Pamrih
  4. Kembali ke: Buku  Guruku Orang-orang dari Pesantren

Di Ambang Pintu Pesantren

Kalau saja di depan kelas bertengger jam dinding, pastilah jalan menit-menit itu akan kuhitung satu demi satu dalam tarikan nafas panjang. Lama benar rasanya menanti waktu pulang. Tetapi jam dinding itu tak pernah ada. Biar jam tua sekalipun. Tak ada seorang pun anak-anak memiliki jam. Itu bukan zamannya anak-anak memiliki jam. Itu satu kemustahilan. Tak terjangkau dalam angan-angan kami memiliki jam, melebihi tak terjangkaunya berpikir memiliki sepasang sepatu. Jam itu cuma dimiliki ndoro Guru yang disimpan baik-baik di kantong baju jasnya di sebelah kiri atas diikat dengan rantai peraknya yang mengkilap melintang pada lobang baju. Tapi yang paling keramat tentulah arloji milik ndoro Mantri. Begitu jarum arloji keramat ini menunjuk angka 12, otomatis saja ndoro Mantri membunyikan bel panjang, pertanda bahwa waktu pulang sekolah tiba. Serentak seluruh kelas gemuruh memecah telinga, anak-anak jadi liar, hiruk-pikuk saling berdahulu hendak pulang, saling mendesak, saling berteriak.
Terlepaslah rasanya dari siksaan menanti. Aku terus lari menuju pulang, ingin segera tiba di rumah.
Sebenarnya, sejak pagi aku malas benar pergi sekolah, sejak Ibu memberi tahu bahwa lepas dzuhur, sepulang dari sekolah, Ayah akan mengantarkan aku rnasuk madrasah atau "sekolah Arab" istilahnya waktu itu. Makanya penat benar aku menghitung waktu, menit- menit itu berjalan seperti merangkak, lambat sekali. Lekaslah hari menjadi siang, lekaslah datang waktu dzuhur, supaya lekas aku diantar Ayah rnasuk madrasah.
Sudah berminggu-minggu aku memohon Ayah, agar dimasukkan madrasah yang baru saja dibuka di kampungku, Sukaraja. Madrasah baru itu diasuh Ustadz Mursyid.
Nama madrasah itu bagiku sangat mentereng. "Madrasah Al-Huda Nahdhatul Ulama." Bukan saja mentereng, tapi sangat aneh. Di kampungku biar telah ada 3 - 4 buah madrasah
- atau tepatnya "sekolah Arab" - tapi satu pun tidak ada yang diberi nama. Cukup disebut saja "sekolah Arab" Karangbangkang atau "sekolah Arab" Kebonkapol. Artinya, "sekolah Arab" yang terletak di kampung Karangbangkang ataupun di kampung Kebonkapol. Tapi satu ini bukan main kampiunnya, punya nama yang mentereng, "Madrasah Al-Huda Nahdhatul Ulama." Bukan main!
Selalu saja Ayah dan Ibu berbincang-bincang mengenai permohonanku memasuki madrasah yang jempolan ini. Bukan lantaran Ayah tak setuju, apa lagi anti. Beliau sendiri orang pesantren dan fanatik "sekolah Arab." Soalnya menyangkut uang pembayaran Madrasah Al-Huda yang 25 sen sebulannya, padahal umumnya "sekolah Arab" cuma 3 sen sebulan. Itu bukan uang pembayaran, sekedar grabagan. Yang menyebabkan Ayah jadi musykil, di mana lagi dicari uang 25 sen tiap bulan, belum lagi yang 10 sen uang bayaran sekolahku di waktu pagi, Sekolah ongko loro. Aku dengarkan ketika Ayah menjelaskan kepada Ibu, jadi kalau anak ini pagi sekolah ongko loro dan siang sekolah Madrasah Al- Huda, kita harus sediakan tiap bulan uang pembayaran 35 sen. Dari mana lagi uang mesti dicari? Hingga di sini pembicaraan terhenti, Ibu cuma bisa melongo.
Memang benar, sudah berminggu-minggu aku memohon Ayah masuk Madrasah Al-Huda. Permohonan ini sudah meningkat menjadi tuntutan dan desakan. Kalau perlu, biarlah aku
2
 
keluar saja dari sekolah ongko loro untuk meringankan beban Ayah. Tapi Ibu selalu menasihati, kau baru di kelas 3, tak baik kalau keluar, biarlah teruskan hingga tamat kelas 5. Aku setuju kau masuk madrasah, bagaimana caranya biarlah Ibu bicarakan dengan Ayah kalau nanti ia lagi cerah.
Pernah aku lakukan mogok makan di rumah (meski diam-diam aku makan juga di rumah bibi), agar tuntutanku masuk madrasah dikabulkan Ayah. Walaupun aku tahu juga bahwa uang madrasah 25 sen tiap bulan itu bagi Ayah merupakan masalah besar. Tapi, teman- temanku sebaya sudah banyak yang masuk Madrasah Al-Huda. Pukul 12 pulang dari sekolah ongko loro, pukul 2.30 pergi ke Madrasah Nahdhatul Ulama Al-Huda. Aku tak mau ketinggalan dengan teman-teman yang lain. Biarlah risiko aku tanggung. Biasanya, sepulangku dari sekolah, sehabis makan siang dan shalat dzuhur, ada sedikit waktu bermain dengan teman-teman. Kalau tidak main sepak bola, main layang-layang atau cari ikan di sungai. Jika waktu ashar tiba, aku pergi membawa dua ekor kuda peliharaan Ayah untuk dimandikan di sungai. Habis ini memotong-motong rumput dan rendeng buat makanan kuda. Ayah memiliki dua ekor kuda penarik delman mencari muatan penumpang. Kadang-kadang delman disewa penumpang ke Banyumas atau Purwokerto. Hasilnya, tiap hari rata-rata sekitar 50 sen kotor, dari keringat dua ekor kuda. Itu aku tahu dari laporan Ayah kepada Ibu tiap kali memberikan penghasilan delman. Jika aku jadi masuk Madrasah Al-Huda, biarlah aku korbankan waktuku bermain-main, akan kupergunakan untuk tugas rutin memandikan kuda dan memberi mereka makan sebelum aku berangkat ke madrasah. Jarak kurang lebih 1 1/2 km dari rumah ke Madrasah Al-Huda, kalau perlu biarlah aku tempuh dengan berlari-lari.
Betapa asyiknya kalau aku lagi melamun menjadi murid Madrasah Al-Huda. Nyatanya, Ayah dan Ibu masih saja berbincang-bincang jadi tidaknya aku dimasukkan Madrasah Al-Huda. Dongkolku bukan main kalau si Muslim, temanku mengaji petang di Langgar Kiai Khudori menghiburku dengan katanya, enakan kita tak usah masuk Madrasah Al-Huda, biar kita bisa puas bermain-main.
Lama kucium tangan Ibu, keduanya, berganti-ganti tatkala di suatu pagi beliau memberi tahu, semalam Ayah sudah mengambil keputusan, hari ini, Rabu siang lepas dzuhur, aku akan diantar Ayah menghadap Ustadz Mursyid memasuki Madrasah Nahdhatul Ulama Al- Huda. Aku ingat betul hari itu hari Rabu, karena Ayah pernah katakan, belajar mengaji sebaiknya dimulai pada hari Rabu. Biasanva, menjelang berangkat sekolah dekat pukul 7, Ibu memberi aku uang saku satu sen sebagai pengganti sarapan pagi. Pagi itu aku katakan dengan amat sopan, biarlah Ibu tak usah memberi aku uang jajan. Seolah-olah merupakan imbalan kelembutan hati Ibu yang berhasil menaklukkan hati Ayah. Mau aku tak usah masuk sekolah sehari saja untuk membantu-bantu Ibu di rumah, atau disuruh apa saja sebagai imbalan jasa Ibu yang telah berhasil melunakkan hati Ayah. Tapi Ibu menyuruhku berangkat saja ke sekolah, toh waktu ke Madrasah Al-Huda masih cukup lama. Lepas pulang dari sekolah.
Nama Madrasah Al-Huda dan permmpinnya Ustadz Mursyid amadah kuat berkesan di hatiku. Al-Huda, artinya petunjuk Allah, siapa tidak menggandrungi ini? Semua orang memerlukan petunjuk jalan, siapa saja. Dari tukang becak sampai antariksawan. Dari wong cilik sampai Bapak-Bapak Pemimpin. Dan kalau memperoleh petunjuk Allah, mana bisa sesat jalan? Dalam fantasiku, angan-angan masa kanak-kanak, dari Al-Huda aku akan memperoleh suatu petunjuk bagaimana naik jenjang menjadi orang. Aku tak pernah berkhayal menjadi orang besar, hanya Ibu sering menanamkan pengertian padaku, "Jangan
3
 
mau jadi orang yang sengsara, padahal orang bodoh paling sengsara hidupnya," demikian kata-kata Ibu yang paling membekas.
Sejak lama, secara diam-diam aku jatuh simpati kepada Ustadz Mursyid. Hati ini sudah jadi satu dengan beliau, walaupun aku belum menjadi rnuridnya. Kenal pun padaku beliau sama sekali tidak. Aku mencintainya bahkan mengaguminya. Belum pernah rasanya aku melihat seorang lelaki segagah beliau. Beliau mempunyai kegemaran sport jalan kaki. Langkah kakinya pasti, kuat, dan tegap menambah kejelasan tubuhnya yang atletis. Kulitnya kuning langsat menambah pancaran wajahnya yang cerah dan segar. Suatu kombinasi yang harmonis dari profil seorang pria yang ganteng dan gagah. Sesekali beliau lewat di muka rumahku dengan mengayuh sepeda balap "Hima," sambil menganggukkan kepala membalas orang-orang yang menabik kepada beliau. Alangkah laki-lakinya orang ini!
Aku memperoleh banyak informasi tentang tokoh yang aku kagumi ini. Begini ceritanya:
Di sebelah rumahku ada warung tukang gunting rambut namanya Abdulbasir. Seperti lazimnya kota-kota kecil di mana-mana, tempat tukang gunting rambut selamanya menjadi markas tukang-tukang ngobrol dari segala macam lapisan. Orang senang parkir di sana berjam-jam mengobrol dan mendengarkan obrolan. Saling tukar-menukar informasi. Banyak juga berserakan koran-koran basi dan majalah-majalah. Ada di sana harian 'Pemandangan" pimpinan M. Tabrani. Ada pula koran Melayu-Tionghoa "Sin Po" dan "Matahari". Jangan kaget, ada juga harian politik yang radikal (tentu membacanya sembunyi-sembunyi) namanya "Indonesia Berjoang" entah siapa pengasuhnya tak ingat lagi. Majalah tua pun tak kurang-kurangnya berserakan cli bangku bambu panjang. Ada majalah Islam populer "Panji- Islam" pimpinan Z. A. Achmad dan Medan. Ada juga majalah politik "Mustika" seingatku asuhan H.O.S. Cokroaminoto. Tapi ada juga sebuah majalah yang sudah kumal dan tak karuan lagi lembarannya yang paling digemari tukang-tukang parkir itu, namanya "Fikiran Rakyat" dari Bandung. Seingatku, majalah yang belakangan ini asuhan Ir. Sukarno dan Gatot Mangkupradja. Aku masih ingat betul, tiap orang yang akan menyentuhnya lebih dulu menjenguk keluar jendela sambil menanyakan "Ada polisi lewat apa tidak?" Pemandangan di sekeliling tukang gunting rambut itu masih kuingat betul, karena saban kali aku suka menyelinap di sana sebagai bocah yang turut parkir. Aku senang sekali berjam-jam menyelinap di sana. Tentu saja kalau pekerjaanku memberi makan kuda Ayah dan membersihkan kandangnya telah aku rampungkan.
Suasana di sekeliling tukang gunung rambut sekitar tahun 1929-an itu masih segar dalam ingatanku. Bahkan orang-orang yang jadi langgananku parkir di sana masih kuingat betul. Abdul Fattah, guru "sekolah Arab" yang pandai menggesek biola, pemegang peran utama kalau lagi main gambus. Abu Suja'i, pemain rodad dan tukang penatu yang paling banyak "omong politik." Achmad Syuhada, pemain sepak bola "back dalam" pengagum Kiai Abdul Wahab Chasbullah. Muhammad Akhsan, tukang gunting rambut keliling yang juga suka parkir di sana, ia pendebat yang kritis dan jenaka. Kalau kelompok tukang-tukang ngobrol ini sudah berkumpul, biasanya Abdulbasir (sahibul bait), menjadi moderatornya. la bijak dan banyak senyum, pantas pandai mengemong.
Dari orang-orang ini aku banyak belajar, dan dari mereka pula aku memperoleh informasi tentang Ustadz Mursyid.
Mula pertama orang di kampungku cuma mengenal namanya Mas Mursyid, pemuda tampan dari Solo yang diambil menantu seorang hartawan (saudagar batik) di kampungku. Orang cuma mengenalnya sebagai pemain sepak bola yang hebat. Dalam tiap pertandingan, klub

4
 
mana saja Mas Mursyid berada, hampir bisa dipastikan mesti menang. Permainannya sportif, tenang, dan tangguh. Tempatnya hampir selamanya dipasang sebagai gelandang tengah, menjaga benteng di belakang dan membagi bola kepada penyerang. Jika gawang bisa diselamatkan dari serangan musuh adalah berkat ketangguhan Mas Mursyid, si palang pintu. Sebaliknya kalau saja bisa mencetak gol ini disebabkan karena operan yang diberikan Mas ini. Alhasil orang Solo satu ini merupakan favorit, kesayangan orang Sukaraja, kampungku.
Adapun pekerjaannya sehari-hari rnendampingi istrinya berjualan batik di pasar, melayani pembeli. Tukang jual batik di pasar terkenal orang-orang yang paling pandai memikat pembeli. Orang yang lalu-lalang begitu banyak di pasar bisa diketahui siapa-siapa di antara mereka bakal jadi pembeli. Naluri pedagang batik terkenal tajam, seperti radar. Lirikan mata orang yang lewat di muka kiosnya bisa dibedakan yang mana lirikan pembeli dan yang mana cuma lirikan lewat saja. Kalau sudah menemukan lirikan yang bermakna, mereka tidak membiarkan pembeli ini berlalu. Macam-macamlah daya tariknya. Pura-pura pinjam geretanlah, tanya keselamatan anak-istrinyalah, pendek kata, macam-macam pertanyaan yang akrab. Pembeli yang telah hinggap di kiosnya, dipeluknya dengan mesra, diperlihatkan betapa halus kualitas batiknya, biar bukan tulis dia katakan tulis halus. Cuma tidak dijelaskan saja bahwa batik cap juga tulis, cuma tulisannya pakai canting selebar 20 cm. Memang tulis, masak batik dibordir? Dirayunya calon pembeli, bahwa batik ini hasil babaran Raden Ayu Anu. Lihat saja betapa kuat soganya, betapa halus morinya, betapa lebarnya kain ini seperti sawah dan panjangnya seperti jalan raya...!
Aneh dan mengherankan, Mas Mursyid sebagai pedagang batik tidak banyak tingkahnya. Dia orang lugu, melayani calon pembeli secara wajar. Dia tak pandai mengobral omong. Apa adanya. Batik cap dikatakan cap dan batik tulis dikatakan tulis. Bahkan kalau terdapat cacat, misalnya di sebelah pinggir tidak rata gambar dan motifnya disebabkan karena kemungkinan terlipat lilinnya hingga pecah, dia katakan terus terang pada calon pembelinya.
Karena Mas Mursyid tak pandai memikat calon pembeli dengan mengobral omongan, tidak heran kalau kiosnya selalu sepi. Waktu yang lengang ini dipergunakan Mas Mursyid untuk membaca kitab. Bukan kitab sembarang kitab, apalagi buku roman, tetapi kitab Agama Islam. Istilahnya muthala 'ah Kitab. Bayangkan, alangkah ganjilnya orang Solo ini. Pemain sepak bola yang jempolan, tetapi kok muthala'ah kitab...! Betul-betul orang ajaib, misterius!
Muthala'ah kitab kok di tengah pasar. Begitu ujar banyak orang.
Tiap bulan sekali di Sukaraja diadakan Pengajian Khusus. Itu terjadi pada tahun 1928-an. Pengajian untuk para kiai. Orang awam yang bukan golongan kiai boleh saja hadir sebagai pendengar. Dari hampir seluruh daerah Banyumas, para alim-ulama datang menghadiri Pengajian Khusus ini. Mereka masing-masing membawa kitab yang sudah disepakati. Kitab Tafsir Al-Baidlawi, kitab Hadits Al-Bukhari, kitab Ikya al-‘Ulum ad-din,dan kitab tasawuf Al-Hikam, adalah serangkaian kitab-kitab besar yang punya daya hidup. Apalagi kalau dibaca di hadapan berpuluh-puluh kiai, semuanya membuka halaman-halaman kitab yang lagi dibaca, semua menyimak dengan amat seksama. Sedikit saja salah membacanya, misalnya "Al-hamdu" (akhiran"u") dibaca "Al-hamda" (akhiran "a"), hoo,... hoo bisa pecah suara koor menyalahkan, serentak memberikan koreksi. Sebab salah baca akhiran ini bisa menimbulkan kesalahan tentang makna, akhiran itu menentukan fungsi kata yang dibaca, bisa berfungsi pelaku, bisa penderita, bisa pula kata sifat dan sebagainya. Salah arti ini bisa menimbulkan konklusi yang fatal tentu saja. Makanya, kalau cuma "setengah kiai", jangan coba-coba memberanikan diri membaca di muka kiai-kiai, keringat dingin bisa mengucur!
5
 
Di antara kiai yang hadir dan ikut menyimak, adalah Kiai Raden Iskandar. Jenggotnya yang lebat hitam mengkilat dipeliharanya dengan baik, dengan baju jas tutup berwarna purih bersih menambah jernih wajahnya yang dihiasi goresan hitam di keningnya, pertanda orang ini mempunyai bekas banyak bersembahyang, atsar as-sujud.
Pecinya yang hitam selalu dilekuk bagian depan sedikit ke bawah, model peci H.O.S Cokroammoto, menambah wibawa. Ini kiai paling teliti menyimak, kalau saja terdengar salah baca, kontan beliau koreksi. Tidak cukup hanya menunjukkan di mana letak kesalahan bacanya, tetapi beliau akan jelaskan sedikit panjang letak kesalahan tadi. Ada kiai lain, namanya Kiai Ahmad Bunyamin. Orangnya tenang sekali, wajahnya kehitam-hitaman tetapi sangat bersih dengan tanda atsar as-sujud di keningnya pula. Kegemarannya memakai jas tutup warna putih dengan leher tinggi, berkain batik halus. Beliau menyimak tiap kitab suci yang sedang dibaca sambil menunduk seolah-olah menelusuri huruf demi huruf. Selalu menunduk dalam menyimak. Tapi jika saja beliau menegakkan kepala, orang menjadi paham bahwa ada sesuatu kesalahan telah terjadi. Seperti otomatis saja, tiap kali Kiai Ahmad Bunyamin menegakkan kepalanya, suasana hening menjadi terganggu dengan timbulnya sedikit berisik, dengan demikian kiai yang sedang membaca kitab jadi sadar bahwa terjadi sesuatu kesalahan. Satu lagi kiai yang bertubuh kecil, duduknya paling depan. Namanya Kiai Zuhdi. Ini orang terkenal sebagai kiai paling radikal. Kalau saja terjadi ke- salahan baca, kontan saja beliau teriak nyaring "Huuuuuuuut, stop, stop!" Kalau mental tidak kuat-kuat benar, orang bisa jadi kelabakan dibuatnya.
Dengan demikian, tidaklah mudah mencari seorang kiai yang dipandang paling jempolan di antara mereka. Harus yang paling alim, benar-benar telah teruji kedalaman serta keluasan ilmunya, dan tentu saja dengan sendirinya yang paling berwibawa. Terpilihlah pada suatu hari dari antara 70-an orang kiai pengunjung Pengajian Khusus ini, seorang ulama yang tua segala-galanya, yakm Kiai Haji Akhmad Syatibi. Beliaulah sesepuh ulama. Beliau terpilih sebagai Guru dalam Pengajian Khusus itu yang dibebani membaca Tafsir Al-Baidlawi, Hadits Al-Bukhari, dan al-Hikam. Bukan sembarang kitab bacaan biasa, itu tergolong kitab- kitab referensi.
Mula-mula Kiai Akhmad Syatibi menolak dengan gigih, alasannya cuma: "La, la, kula mboten saged, Laaa" (saya tidak bisa kok). Lama sekali tawar-menawar, tetapi karena didaulat secara aklamasi, beliau lalu terima. Hanya dengan syarat. Syaratnya ialah: minta didampingi oleh 4 orang kiai, masing-masing Kiai Raden Iskandar, Kiai Akhmad Bunyamin, Kiai Zuhdi, dan... Kiai Mursyid, alias Ustadz Mursyid, alias Mas Mursyid!
Orang heran Mas Mursyid menjadi pendamping Kiai Akhmad Syatibi!
Kehadirannya dalam Pengajian Khusus ini saja sudah menimbulkan keheranan. Hadir bukan sebagai "tukang nguping," tetapi hadir sebagai kiai yang ikut mengaji. Datang dengan membawa kitab-kitab besar yang menjadi balagh dalam pengajian kiai itu. Duduk dalam deretan kiai-kiai terkemuka di depan. Baru belakangan diketahui, bahwa kehadirannya memang diminta oleh Kiai Akhmad Syatibi. Agaknya di seluruh daerah Banyumas hanya Kiai Akhmad Syatibi yang mengetahui bahwa Mas Mursyid adalah sebenarnya seorang ulama. La ya'rif al- 'ulama illa al- 'ulama, tak ada yang mengerti ulama kecuali hanya ulama.
Jadi tidak mengherankan kalau banyak orang bertanya-tanya kehadiran Mas Mursyid, apalagi dengan ditunjuknya sebagai pendamping Kiai Akhmad Syatibi. Yang paling heran tentulah klub tukang gunting rambut Abdulbasir. Suatu ketika yang tak mudah dilupakan pada saat Kiai Akhmad Syatibi membaca dalam Pengajian Khusus sebulan sekali. Seperti

6
 
biasanya, kampungku jadi kebanjiran alim-ulama dari hampir seluruh daerah Banyumas. Tiap ulama yang hadir sedikitnya membawa pengiring 3-5 orang. Bayangkan kalau yang hadir 70-an ulama.
Belum lagi masyarakat Sukaraja yang berduyun-duyun ikut membanjiri pengajian ini sebagai peninjau. Suasananya jadi seperti ada kongres. Masyarakat bertambah hidup, dan syiar Islam lebih dinamis dibuatnya.
Dengan beberapa teman aku menyelinap di sana. Kehadiran anak-anak tentu saja bukan bermaksud hendak ikut mengaji Tafsir At-Batdlawi, itu kan kajian para kiai. Kami datang sekedar mau menonton kiai-kiai pada ngaji. Daya tangkapku terhadap pengajian sekadar daya tangkap anak-anak seusia 9 tahun. Tetapi setelah aku menginjak dewasa, pengalamanku ketika anak-anak ini lalu diperlengkapi dengan hasil pertumbuhan usia dan informasi kiri kanan tentang dunia ulama, hingga akhirnya aku bisa membuat kesimpulan tentang tokoh-tokoh yang aku kagumi, khususnya tentang Ustadz Mursyid.
Kadang-kadang dalam Pengajian Khusus itu, Kiai Akhmad Syatibi menjumpai kemusykilan tentang isi kitab yang sedang dibaca. Saat-saat demikian beliau lalu tertegun sejenak. Pandangannya ditaburkan kepada 4 orang kiai pendampingnya. Tapi pandangan pertama tak jarang ditujukan kepada Ustadz Mursyid sambil menanyakan "Bagaimana yang ini, Kiai?" Atau kalau saja kebetulan terjadi sedikit keraguan dalam mengartikan isi kitab yang dibacanya, Kiai Akhmad Syatibi memalingkan pandangannya kepada Ustadz Mursyid sambil katanya: "Bukan begitu, Kiai?" Yang ditanya tegas saja jawabannya: Inggih leres mekaten, memang benar demikian! Saat demikian sering membuat orang yang cuma mengenal Ustadz Mursyid sebagai pemain bola jadi melongo, saling memandang satu sama lain, apa-apaan ini?
Pukul 12 waktu dzuhur pengajian selesai. Minuman dihidangkan. Masing-masing kiai cepat- cepat mengeluarkan slepen dari kantong bajunya. Slepen itu sejenis kantong penyimpan tembakau yang dibuat dari anyaman daun pandan halus dengan ukuran rata-rata 15x10 cm. Di dalamnya disimpan kecuali tembakau, daun jagung kering dan lain-lain perlengkapan merokok komplit. Jangan lupa, rokok orang Banyumas, tentu pakai kemenyan dan klembak. Buat rata-rata orang Banyumas, tanpa kemenyan dan klembak, bukan rokok. Kiai Raden Iskandar dan Kiai Akhmad Bunyamin masing-masing mengeluarkan slepennya komplit dengan klembaknya sebesar tinju, maklum bonggol klembak. Kiai Akhmad Syatibi biasanya melinting rokoknya ukuran cabe rawit saja, tapi Kiai Zuhdi ukuran rokoknya sebesar ibu jari. Kalau ditegur orang, rokoknya kok gede amat kiai, maka kiai yang satu ini (orangnya kecil tapi suaranya menggeledek) kontan menjawab: "Buat pukul setan!"
Ustadz Mursyid juga keluarkan slepennya dari kantong bajunya. Orang mengira tentu beliau akan keluarkan tlekem, yaitu sejenis tempat tembakau berupa kotak kecil biasanya terbuat dari logam putih, suatu kebiasaan golongan priyayi jika menyimpan perlengkapan rokoknya. Tetapi tidak! Ustadz Mursyid tidak menggunakan tlekem. Padahal orang Sukaraja dan Banyumas pada umumnya memandang Ustadz ini golongan priyayi, habis beliau kan orang Solo! Ustadz Mursyid tidak mengeluarkan tlekem. Beliau keluarkan juga slepennya seperti orang-orang lain. Biasanya, golongan priyayi atau cabang atas, merokok tembakau "shag warning," atau kalau tembakau biasa tidak pakai kemenyan dan klembak, tetapi cengkeh. Di dalam tlekem itu tersimpan juga gunting kecil mungil alat untuk memotong cengkeh kecil- kecil. Ustadz Mursyid tidak merokok tembakau "warning," tapi tembakau biasa, tembakau Kendal atau Kedu. Tidak juga cengkeh, tetapi kemenyan dan klembak komplit. Salah seorang memberanikan diri menanyakan: Kerso klembak menyan? (Doyan juga klembak
7
 
dan kemenyan?) Dengan senyum beliau menjawab: Kulo rak tiyang Banyumas (Saya 'kan orang Banyumas juga!) Beliau tidak lagi merasa dirinya orang Solo. Beliau bukan orang asing di Banyumas. Beliau telah jadi orang Banyumas, telah manunggal sebagai orang Banyumas. Orang Banyumas merokok klembak, beliau juga merokok klembak. Padahal orang-orang yang mengenalnya dari dekat, ketika mula-mula beliau datang dari Solo kebiasaannya merokok cengkeh dan sesekali merokok putih atau tembakau "shag warning." Setelah tinggal di Banyumas, beliau berbaur ke dalam kebudayaan Banyumas, hidup dengan tradisi Banyumasan. Kadang-kadang agak berlebihan kalau beliau bicara juga memakai dialek Banyumasan. Padahal orang Solo bahasa Jawanya bandek, halus, dan mempesonakan. Sebaliknya dialek Jawa-Banyumas pego dan kasar pating mbleketuk.
Kalau orang Solo bilang: kowe arep nyang ngendi Mas? Maka orang Banyumas akan mengatakan: Lha rika sih arep nang 'ndi lhah. Makanya kalau Ustadz Mursyid berusaha untuk berbicara dengan dialek Banyumasan, orang jadi melihatnya sangat memelas, sudah halus kok mau jadi orang kasar. Saking kepinginnya manunggal jadi orang Banyumas.
Sejak peristiwa-peristiwa yang sering dijumpai dalam Pengajian Khusus itu, orang di kampungku tidak lagi memandang Mas Mursyid cuma pemain sepak bola. Semacam promosi jabatan atau peningkatan fungsi yang amat cepat sekali. Pengajian Khusus ini sebenarnya lebih mirip dengan diskusi besar untuk memecahkan berbagai masalah sehari- hari dalam masyarakat. Di sana kiai-kiai kelihatan bobot dan pamornya masing-masing. Kini beliau terpandang sebagai ulama, sebagai kiai. Orang tidak lagi memanggilnya dengan Mas Mursyid, tetapi Kiai Mursyid. Kadang-kadang Kiai Mas Mursyid. Tapi di kalangan anak-anak muda terutama para muridnya, lebih senang memanggilnya Ustad Mursyid. Beliau kan Ustadz, guru madrasah. Kalau kiai kan cuma guru mengaji di surau. Begitu alam pikiran anak-anak muda. Setelah dipromosikan jadi kiai, Ustadz Mursyid tidak lagi main sepak bola. Beliau merasa dunianya telah berganti. Demikian pula teman-teman bermain sepak bola menjadi kikuk juga bermain bola dengan kiai.
Aku ingin cepat sampai di Madrasah Al-Huda ketika diantar Ayah menghadap Ustadz Mursyid. Untuk diserahkan menjadi muridnya. Macam-macam pikiran di benakku membuat takut menghampiri madrasah ini. Macam-macamlah pertanyaan di kepala. Bagaimana kalau aku berhadapan dengan orang yang selama ini amat kukagumi, amat kucintai. Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaannya? Konon tutur katanya halus, padahal aku anak Banyumas, bukan anak Solo. Yang paling memenuhi pikiranku, bagaimana kalau aku diuji oleh Ustadz Mursyid? Semua anak yang masuk Madrasah Al-Huda dites dulu kepandaiannya, maksudnya tentu saja untuk memudahkan guru, di mana atau di tingkat mana anak tersebut ditempatkan. Aku memang sedikit-sedikit telah mempunyai kepandaian mengaji, tetapi sekedar pelajaran yang diberikan oleh Ayah dan pengajian di surau di malam hari. Kitab Al-Qur'an dan Barzanji sudah aku khatamkan, ditambah Kitab Sajznah setengah jalan. Kalau diingat-ingat, mengaji dengan Ayah paling susah. Sedikit saja Ayah membelalak, kontan saja aku gragapan, jadi serba salah. Kian dibenarkan Ayah kian tak bisa jalan. Rasanya jadi buntu. Sesekali Ayah menghardik dan katanya: "Matamu di mana?" mulutku tidak lagi bisa mengeluarkan suara, cuma air mataku yang membanjiri kedua pipiku. Ayah biasanya lalu menasehati lembut, lain kali pikiranmu pusatkan pada pengajian, jangan yang lain. Sudah cukup hari ini sekian. Aku malah tidak bisa beringsut dari tempat duduk. Baru aku meninggalkan tempat duduk setelah Ayah menanyakan: "Mau apa duduk di sisiku terus di situ? Sana bantu Ibumu!‖
Aku diterima menjadi murid Madrasah Al-Huda! Itu tahun 1929-an.
8
 
Selama Ustadz Mursyid bercakap-cakap dengan Ayah, aku pusatkan perhatianku pada ustadz ini. Wajahnya cemerlang, bahasanya sopan dan banyak senyum. Jelas benar keningnya sangat bersih dengan atsar as-sujud yang agak kehitam-hitaman, menandakan orang ini banyak melakukan sembahyang. Aku seperti terpukau oleh suatu kemusykilan. Apakah aku sedang berhadapan dengan seorang ulama ataukah seorang ndoro Mantri Guru? Beliau mengenakan blangkon dan baju beskap lurik. Teringat aku cerita anggota klub tukang gunting rambut Abdulbasir, bahwa kerika itu kaum pergerakan sedang melancarkan suatu gerakan swadesi. Semua orang yang mencintai tanah air dianjurkan memakai pakaian tenunan hasil kerajinan rakyat. Baju lurik dan peci lurik. Orang yang sedang asyik berbicara dengan Ayah ini menimbulkan pertanyaan di kepalaku., ini orang apa. Blangkonnya mengingatkan aku kepada ndoro Mantri, bajunya mengingatkan aku kepada kaum Pergerakan National, tetapi yang sudah jelas orang ini pemimpin Madrasah Al-Huda, bahkan seorang ulama terkenal.
Aku tak sanggup lagi berpikir mengenai teka-teki yang rumit ini. Aku bulatkan seluruh perhatianku bahwa aku diterima menjadi murid Ustadz Mursyid. Aku menjadi tilmidz Madrasah Al-Huda Nahdhatul Ulama. Habis perkara. Aku harus jadi murid yang baik, rajin dan senang belajar. Apalagi kalau diingat uang pembayarannya tiap bulan 25 sen. Uang sebanyak ini buatku adalah perkara besar yang hampir saja aku urung masuk Madrasah Al- Huda kalau saja tak ada peranan penting dari diplomat Ibu terhadap Ayah.
 
Madrasahku Cuma Langgar

Madrasah Al-Huda terletak di kampung Sukaraja Wetan, tak jauh dari pendopo kawedanan (rumah kediaman Wedana). Dia tidak berbentuk gedung yang lazim disebut gedung sekolah. Tidak seperti gedung Madrasah Mamba'ul 'Ulum yang terkenal megah yang terletak di belakang Masjid Jami' Purwokerto. Madrasah Mamba'ul 'Ulum ini didirikan atas prakarsa beberapa alumni Mamba'ul 'Ulum Solo, yang masyhur itu, dengan pihak Kepengalon (kalangan pegawai penghulu Masjid) yang berada di belakangnya. Aku memang sudah lama mendengar kemajuan madrasah ini, ingin rasanya masuk menjadi murid di sana. Tapi bagaimana, kecuali jauh letaknya, 10 km dari rumahku, konon uang sekolahnya mahal, 50 sen sebulan. Salah seorang ustadznya - beberapa waktu kemudian - bernama Muhammad Bakhrun, yang ketika sekitar tahun 1950-an menjadi Panglima Divisi Diponegoro di Semarang.
Tetapi madrasahku ini, Madrasah Al-Huda cuma menempati sebuah langgar milik Mbah Haji Abdul Fattah.
Langgar ukuran luasnya sekitar 9x12 m, agak jauh masuk ke dalam dari jalan raya. Sebagai langgar tentu saja berfungsi mushala untuk tempat sembahyang, sesekali untuk tempat mengaji anak-anak belajar turutan dan al-Qur'an.
Setelah diketahui orang banyak bahwa Mas Mursyid ternyata seorang kiai atau ustadz, banyak orang membuatkan sebuah madrasah baginya, dan langgar Mbah Haji Abdul Fatah ini mendapat kehormatan menjadi gedungnya. Langgar itu sudah agak tua, dindingnya setengah tembok dengan lantai mester (semen putih) bukan tegel. Zaman itu rasanya belum ada tegel masuk langgar. Atapnya dari seng, hingga kalau hujan datang, curahan air hujan dari langit membuat bising anak-anak yang sedang belajar. Di dalamnya dibuat petak-petak dengan pemisah ruangan satu dengan yang lainnya menjadi tiga ruangan atau tiga kelas begitu. Tak ada bangku tempat kami duduk, kami para murid cuma duduk di atas lantai dengan menghadapi meja panjang ukuran pendek dan masing-masing meja dihadapi 3 orang anak. Karena harus duduk di atas lantai, tanpa alas tentu saja, kami harus cuci kaki lebih  dulu  sebelum  memasuki  gedung  madrasah.  Maklumlah  cuma  ada 3 padasan (pancuran air dari tanah liat) maka tidak heran anak-anak saling berebut duluan. Menurut peraturan, masing-masing anak harus menimba air dua timba dari sebuah sumur yang tak jauh letaknya dari padasan-padasan itu, tapi anak-anak seenak saja cuci kaki sebelum menimba dua ember.
Kami duduk di bawah, artinya di atas lantai langgar. Ustadz duduk di atas kursi untuk memudahkan tugasnya mengawasi anak-anak. Maklumlah, tiga kelas itu seluruhnya cuma beliau sendiri yang mengajar. Bayangkan, satu sekolah dengan tiga kelas dengan murid lebih dari 100 anak, tetapi gurunya cuma satu, yakni Ustadz Mursyid sendiri.
Belakangan aku baru mengerti teknik mengajar Ustadz Mursyid. Tiga kelas itu diberikan pelajaran yang berbeda sifatnya. Kalau kelas 1 sedang diberikan pelajaran uraian lisan, maka kelas 2 diberikan pelajaran menulis, dan kelas 3 diberi pelajaran menyalin. Dengan demikian beliau dapat menguasai dan memimpin pelajaran seluruh sekolah dalam waktu yang bersamaan, dan anak-anak tidak bisa liar karena langsung diawasi guru. Jangan coba-

10
 
coba anak bisa lolos dari pengawasan ustadz, karena dari tempat beliau duduk, pandangannya bisa meliputi seluruh sekolah, maksudku seluruh kelas. Apalagi beliau sesekali berdiri dan berjalan di muka kelas mondar-mandir.
Madrasah ini, sekalipun cuma langgar biasa, benar-benar amat menyenangkan. Aku merasa telah menjadi bagian dari padanya. Aku merasa satu dengannya karena ada perasaan bahwa dia adalah milikku. Banyak hal-hal yang bagiku merupakan masalah baru. Ustadz Mursyid memberikan disiplin yang aku rasakan bukan sesuatu yang dipaksakan. Disiplin itu ditanamkan berangsur-angsur dalam bentuk kisah dan dongeng, cerita dan nasehat, terutama dalam bentuk perbuatan sehari-hari. Dikisahkan bagaimana Nabi Sulaiman alaihis salam dipersilakan memilih oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, salah satu dari 3 perkara. Ilmu, kerajaan, dan kekayaan harta benda. Nabi Sulaiman memilih ilmu pengetahuan. Apa sebab, karena dengan ilmu pengetahuan maka akhirnya Nabi Sulaiman memperoleh kerajaan (kekuasaan) dan kekayaan harta benda. Dikisahkan pula bahwa suatu ketika Nabi Besar Muhammad Saw memasuki pintu masjid dan didapatinya setan sedang bertengger di sana. Nabi Muhammad Saw menegurnya: "Hai iblis!, apa kerjamu di sini?"
Dijawab: "Aku hendak masuk masjid untuk menggoda laki-laki itu yang tengah sembahyang, agar sembahyangnya jadi rusak. Tapi aku takut kepada itu lelaki yang sedang tidur." Nabi lalu mendesak bertanya lagi: "Hai iblis! Mengapa kau tak takut kepada lelaki yang sedang sembahyang padahal ia sedang dalam ibadah dan munajat kepada Tuhan. Tapi kau bahkan takut kepada lelaki yang sedang tidur itu, padahal ia sedang dalam lalai?"
Jawab setan: "Laki-laki yang tengah sembahyang itu orang bodoh tak berilmu, aku mudah sekali menggodanya serta merusak sembahyangnya. Tapi lelaki yang sedang tidur itu, ia seorang alim berilmu. Kalau saja aku menggoda lelaki yang sedang sembahyang serta merusak sembahyangnya, aku khawatir lelaki yang sedang tidur itu jadi bangun lalu tiba-tiba membetulkan sembahyang orang itu," demikian jawab setan. Makanya, Nabi Besar Muhammad Saw pernah mengatakan: "Tidur orang alim lebih baik dibanding ibadahnya orang bodoh." Aku berpikir, tidur orang alim yang berilmu adalah diperlukan bagi kesehatannya dan untuk memulihkan kembali tenaganya. Kisah-kisah yang diceritakan Ustadz Mursyid demikian mengesankan, dan itu merupakan suatu kesadaran berdisiplin. Itu aku rasakan benar, aku tak pernah merasa malas pergi ke madrasah. Aku ingin memperoleh ilmu, aku ingin pandai. Teringat kembali nasehat-nasehat Ibu, bahwa orang bodoh paling sengsara.
Disiplin belajar di madrasah tentu tidak datang sekaligus. Ustadz Mursyid menanamkan di dada kami para muridnya secara rileks tapi pasti dan meyakinkan. Ditanamkan dalam bentuk cerita, atau semboyan-semboyan yang dihapalkan tiap murid.
Suatu hari seorang kiai di kampungku meninggal dunia. Ustadz Mursyid mengumpulkan kami murid-murid untuk bersembahyang gaib serta menghadiahkan Surat Al-Fatihah dan doa. Beliau menyebut-nyebut kebaikan almarhum. Dikatakan kepada kami agar kami prihatin atas meninggalnya orang-orang alim. Kata Nabi Besar Muhammad Saw:Maut al- 'alim maut al-'alam, artinya: kematian orang alim atau ulama merupakan kematian sebagian alam, kematian masyarakat. Sebab itu anak-anak harus jadi orang alim, jadi orang yang berilmu, jadilah ulama. Kalau dalam masyarakat ini banyak orang beribadat, sebabnya karena hasil kerja ulama. Kalau banyak pemimpin yang baik juga karena hasil kerja ulama. Orang hartawan yang dermawan juga disebabkan karena anjuran ulama. Bahkan para pahlawan mau mengorbankan nyawanya untuk cita-cita mulia juga disebabkan karena anjuran dan hasil kerja ulama. Ketika aku telah duduk di kelas tertinggi di madrasah, ustadz
11
 
menanamkan pandangan kemasyarakatan yang jauh jangkauannya. Ditanamkan kepada kami yang sudah jadi kadernya akan pentingnya kedudukan orang pandai, orang berilmu atau ulama. Ditanamkan suatu pengertian bahwa soko guru unsur kehidupan tegaknya suatu negara ada 4 perkara, pertama: 'ilmu al-'ulama (ilmunya alim ulama), kedua: 'adl al- umara (adilnya penguasa), ketiga: sakhawat al-aghniya' (kedermawanannya orang-orang kaya), dan keempat: do'a al-fuqara (do'a restunya orang-orang melarat). Tetapi sebaliknya, Ustadz Mursyid menekankan salah satu sabda Nabi Besar Muhammad Saw yang artinya: "Kelak akan datang suatu masa di mana sebagian umatku akan menjauhi ulama. Jika ini terjadi, maka Allah SWT akan menurunkan tiga macam percobaan, pertama: hasil usaha penghidupannya tidak ada berkah, kedua: rimbulnya kekuasaan yang zalim, dan ketiga: meninggal dunia tanpa iman." Terasa benar bahwa Ustadz Mursyid memberikan bekal kepada murid-muridnya yang dianggap sudah cukup dewasa untuk membawa suatu tugas dalam hidupnya di masyarakat. Dengan demikian anak-anak murid menemukan suatu kesadaran untuk secara berdisiplin mempelajari agama secara tekun dan bertanggung jawab, dengan mengamalkan ilmunya untuk disumbangkan kepada masyarakat.
Di mata kami para murid, Ustadz Mursyid bukan cuma sekadar Guru. Beliau juga pemimpin dan seorang bapak.
Sebagai guru atau ustadz, beliau adalah pengajar dan sekaligus pendidik. Sistem pengajarannya bagiku adalah hal yang sama sekali baru. Waktu belajar dari pukul 2.30 hingga pukul 5 sore dengan waktu istirahat di tengah-tengahnya yang sekaligus juga dipergunakan untuk sembahyang ashar berjama'ah, ustadz jadi imamnya. Setiap hari ada 3 macam pelajaran yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam satu minggu. Dan seluruh mata pelajaran itu, Ustadz Mursyid sendirilah yang mengajar. Sekaligus diajarkan pula tentang tata krama atau sopan santun dalam pergaulan. Beliau ingin memperlihatkan bahwa anak-anak santri juga tahu aturan. Ketika jumlah kelas telah meningkat dari 3 menjadi 5 kelas (kelas tertinggi), maka kami murid-murid kelas yang lebih tinggi dipilih untuk membantu mengajar, musa'id, bagi kelas yang lebih rendah. Dengan demikian Ustadz Mursyid tidak lagi sendirian mengajar 5 kelas. Tentu saja bagi musa'id-musa'id ini diberikan pelajaran tambahan, kursus guru. Kami diberikan kursus tentang dasar-dasar ilmu mendidik dan mengajar. Pelajaran pedagogi dan metode ini diberikan sehabis pelajaran usai atau kadang-kadang di waktu malam di rumahnya. Dengan demikian secara bertahap Madrasah Al-Huda menghasilkan "ustadz-ustadz" baru dari kalangan pelajar sendiri. Ibarat menggoreng daging dengan minyak yang melekat pada lemak atau gajihnya sendiri. Inilah yang membuat kami para murid merasa betah belajar di madrasah ini, karena suatu perasaan bahwa kami telah menjadi bagiannya. Tujuan kami belajar hanyalah agar kami kelak bisa menjadi pengajar. Tujuan kami dididik agar kelak bisa mendidik orang lain, di samping mendidik diri sendiri. Tiap santri bercita-cita ingin jadi kiai. Tiap tilmidz atau murid bercita-cita ingin jadi ustadz. Jadilah guru terlebih dahulu sebelum kau jadi pemimpin, demikian Ustadz Mursyid menekankan kepada kami. Seorang pemimpin hakekatnya adalah seorang guru juga!
Suatu ketika madrasah kami pindah tempat dari sebuah surau atau langgar menempati gedungnya yang baru dibangun. Gedung ini dibangun secara gotong royong di kalangan orang-orang tua murid, setelah dirasakan langgar Kiai Abdul Fatah tidak lagi bisa menampung mund-murid. Setelah dirasakan pula oleh wali-wali murid bahwa anak-anak mereka perlu memperoleh tempat belajar yang lebih layak. Aku masih ingat bagaimana Ayah longgar hatinya mengeluarkan uang sumbangan Rp2,50, tidak sesusah ketika harus menyediakan 25 sen bakal uang pembayaran bulananku. Bukan karena ekonomi Ayah
12
 
sudah mantap, dari dulu sama saja, tetapi beliau menyadari bahwa tak ada jalan lain kecuali harus menyediakan uang seringgit kalau ingin anaknya sekolah terus di Madrasah Al-Huda. Agaknya beliau telah merasakan bahwa amatlah besar hasil dari ilmu yang aku peroleh dari madrasah ini. Padahal aku baru duduk di kelas 3 belum kelas 5, kelas yang tertinggi dalam Madrasah Al-Huda.
Satu kenyataan bahwa Ustadz Mursyid telah berhasil menjadikan masyarakat merasakan bahwa madrasahnya adalah milik seluruh masyarakat. Bahwa masyarakat melekat menjadi satu dengan pesantrennya. Dengan demikian maka masyarakat mempunyai keberanian serta kemampuan untuk memikul segala keperluan madrasah ini, termasuk mendirikan gedungnya yang baru dengan 5 lokal. Sebetulnya kalau di sini dikatakan masyarakat adalah kurang tepat Gedung itu cuma dipikul sendiri oleh para wali murid secara gotong royong. Gedung ini adalah kebutuhan kami sebab itu kami sendirilah yang harus memikulnya, demikian kesadaran para wali murid. Orang tidak mengandalkan siapa-siapa. Jangan harap orang lain mau memikulnya. Harus kami sendin. Tak ada sedikitpun mengharapkan bantuan pemerintah, sebab pemerintah ketika itu adalah pemerintah jajahan, alat kekuasaan kolonial. Semangat dan kesadaran bergotong-royong ini tidak datang begitu saja, jika tidak karena para wali murid merasa satu dengan Madrasah Al-Huda, lebih tegasnya dengan Ustadz Mursyid. Bagaimana tidak merasa satu, karena Ustadz Mursyid secara tetap selalu mengadakan pertemuan dengan wali murid, bahkan tiap sebulan sekali diadakan kursus wali murid. Para wali murid merasa benar bahwa bukan cuma anak-anaknya yang dididik tetapi juga bapak-bapaknya. Mereka menyadari, kepentingannya diperhatikan oleh Ustadz Mursyid, maka kepentingan Ustadz Mursyid juga diperhatikan. Sebenarnya tidaklah tepat kalau pendirian gedung ini dikatakan kepentingan Ustadz Mursyid. Gedung dengan seluruh perlengkapan belajarnya bukanlah menjadi milik Ustadz Mursyid. Itu milik masyarakat termasuk para wali murid. Ustadz Mursyid sendiri membentuk Badan Pengurus Madrasah yang terdiri dari para wali murid, dengan demikian jelas bahwa gedung dengan seluruh alat perlengkapan madrasah adalah milik wali murid sendiri, milik masyarakat. Ustadz Mursyid tidak menguasai gedung tersebut dan tidak akan mewariskan kepada anak-anaknya sebagai barang warisan.
Belajar dalam suatu gedung yang baru tentu lebih menyenangkan. Betapa megahnya gedung ini, seluruhnya tembok yang dikapur putih, sejuk dan bersih. Betapa licin lantai ubinnya, betapa enak duduk di atas bangku dengan meja tulisnya yang dipelitur halus. Tentu yang menimbulkan rasa senang belajar dalam gedung baru ini lantaran rasa bangga bahwa gedung madrasah ini milik kami sendiri, bukan milik siapa-siapa. Bagaimana tidak milik kami, bukankah kami sendiri yang berhari-hari mengambil sendiri batu-batu dan pasirnya dari Kali Pelus, sebuah sungai tempat kami mandi dan berenang terletak kira-kira 150 m dari madrasah kami.
Ketika pendirian gedung akan dimulai, kami anak-anak murid melakukan kerja bakti mengambil batu-batu dan pasir dari Kali Pelus. Anak-anak berdiri berderet-deret laksana seekor naga yang melingkar-lingkar mengikuti jalur turun naik ke sungai, menggotong batu dan pasir, diangkat dan diangkut dari tangan ke tangan hingga sampai ke tempat bangunan gedung. Kerja gotong royong ini menyenangkan, kami lakukan pada hari Jum'at, yaitu hari kami tidak masuk madrasah. Jum'at adalah hari Minggunya madrasah. Kerja bakti selama kita-kira dua jam tiap Jum'at ini menimbulkan perasaan mengabdi, bangga, dan senang. Betapa tidak? Bukankah ini termasuk amal jariah yang pahalanya akan kami terima hingga setelah mati pun masih memperoleh devisa-akhirat? Pahala yang tak putus.

13
 
Apalagi hari Jum'at, suatu hari yang amal baik seseorang diberi pahala 10 kali lipat. Lagi pula yang membuat kami senang kerja bakti ini, Ustadz Mursyid pun ada di tengah kami, tidak cuma menjadi mandor atau tukang mengawasi, tapi beliau pun ikut mengangkat batu dan pasir. Kami memberanikan diri agar ustadz tidak usah ikut mengangkat batu dan pasir, biarlah kami saja anak-anak. Tapi beliau tak mau, jawabnya: "Memangnya cuma kamu saja yang mau pahala?" Masih segar dalam ingatan kami, Ustadz pernah katakan bahwa batu dan pasir yang kami letakkan untuk amal saleh kelak akan menjadi saksi kami di akhirat. Batu dan pasir itu akan menjaga di depan pintu neraka jahanam untuk mencegah penyumbangnya yang akan dimasukkan neraka oleh malaikat Malik, direktur neraka! Lagi pula, kami merasa berdosa kepada Ayah kami masing-masing. Mereka telah memberikan uang gotong royong masing-masing Rp2,50,- bahkan ada yang Rp5,- padahal nantinya kamilah yang akan menikmatinya. Benar-benar suatu pencerminan dari suatu solidaritas antara mund, guru dan wali murid. Sedikit pun tak ada bantuan dari luar, apalagi yang namanya bantuan pemerintah.
Ketika kami telah menempati gedung madrasah yang baru, ada semacam perasaan aneh menyelinap dalam hari kami murid-murid. Yaitu rasa kasihan pada langgar yang selama dua tahun kami tempati sebagai gedung madrasah. Selama dua tahun langgar itu selalu cerah dan berkumandang. Anak-anak berkerumun di sekitarnya, menghafal pelajaran, bermain- main, bercanda, dan tentu saja berkerumun di sekeliling tukang jual soto dan es. Tapi kini dia senyap, lengang, dan sangat memelas. Beberapa anak mengambil prakarsa untuk menjadikan langgar itu rendevous tempat berkumpul manakala kami menghapal pelajaran atau sekedar ngobrol saja. Tapi fungsinya sebagai mushala tetap terpelihara baik. Kecuali penduduk sekitarnya yang melakukan sembahyang 5 waktu, Ustadz Mursyid pun tetap menjadikannya tempat sembahyang ashar berjama'ah bersama anak-anak pada waktu jam istirahat.
Ada suatu ajaran Nabi Besar Muhammad Saw yang berbunyi: Man lam yasykur an-nasa lam yasykur Allaha, siapa tidak berterima kasih kepada sesama manusia berarti tak berterimakasih kepada Allah. Ajaran ini dipraktikkan Ustadz Mursyid dalam memperlihatkan prestasi anak-anak murid setelah menempati gedung baru, sebagai tanda terima kasih kepada para wali murid.
Tiap menjelang penutupan akhir tahun pelajaran, diselenggarakanlah malam perayaan. Kami namakan Lailatul Haflah atau Imtihan. Karena sifatnya perayaan, dengan sendirinya menjadi malam suka ria. Gedung dihias, lampu terang benderang dengan menyalakan petromaks beberapa buah. Seluruh wali murid diundang hadir, demikian juga tamu-tamu undangan lainnya, beberapa kiai dan ustadz dari macam-macam pesantren dan madrasah. Anak-anak yang hasil nilainya pada kuartal terakhir tergolong baik, malam itu tampil memperlihatkan kepandaiannya. Ada yang berdiskusi di muka umum, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan ada pula yang memperlihatkan kemahirannya berpidato dalam bahasa Arab atau Indonesia. Tentu saja pada saat-saat demikian dipergunakan juga oleh anak-anak untuk jual-tampang atau bergaya. Dengan sendirinya dipakailah baju dan sarung sebagus-bagus yang dirnilikinya, kalau perlu biarlah meminjam teman. Dengan persetujuan pengurus madrasah, pada malam demikian disediakan sekadar hadiah-hadiah bagi anak- anak yang nilainya bagus. Penampilan demikian dengan sendirinya merupakan dorongan yang menimbulkan fantasi di kalangan anak-anak, hingga lahirlah daya cita kelak ingin menjadi orang yang mempunyai arti hidupnya dalam masyarakat. Tentu saja terbatas dalam bentuk pemikiran anak-anak yang sedang berkembang angan-angannya. Para wali murid kelihatan sangat bangga menyaksikan hasil anak-anaknya. Aku masih ingat betul
14
 
lamunanku ketika itu, kapankah aku jadi orang seperti Ustadz Mursyid ini. Jadi orang yang mempunyai prestasi dan dihormati.
Ketika aku telah duduk di kelas yang terakhir, ustadz selalu menanamkan kesadaran, bahwa janganlah merasa sudah cukup apalagi puas dengan pendidikan yang diperoleh dari Madrasah Al-Huda. Ilmu itu sangat luas, maha luas. Apalagi ilmu Allah. andaikata seluruh batang pohon di seluruh daratan ini dijadikan pena dan seluruh samudera dan lautan dijadikan tinta untuk menulis ilmu Allah, tidaklah nanti akan mampu menulisnya sekalipun ditambah lagi pena dan tinta sebanyak itu lagi. Imam Syafi'i, pencipta Madzhab Syafi'i, pernah merenung, sebanyak itu beliau menelusuri ilmu dari satu negeri ke negeri yang lain dan dari satu guru ke guru yang lain, beliau telah mempelajari ratusan buku karya-karya gurunya, namun beliau mengambil keputusan bahwa beliau semakin tak tahu apa-apa, ingin mencari dan mencari, menambah dan menambah.
Lihat saja sejarah orang-orang besar, orang-orang yang sukses, mereka tak pernah mandek, terus maju dan maju, terus menggali dan mencari. Di bidang apa pun. Demikianlah, semua orang alim selamanya merasa dirinya masih belum apa-apa, ilmunya masih sak lugut kolang-kaling, belum apa-apa. Orang yang berilmu selamanya merasa dirinya masih bodoh, hanya orang bodohlah yang merasa dirinya sudah pintar. Yang membuat kesadaran demikian karena peranan ilmu. Orang pintar mengetahui bahwa ilmu itu maha luas, sebab itu ia menyadari bahwa yang ia miliki belum apa-apa. Sebaliknya orang bodoh, karena tak ada ilmu ia menyangka bahwa ilmu sudah habis, sebab itu merasa dirinya sudah jempolan. Orang berilmu tak pernah merasa kenyang dengan ilmunya, ia akan terus mencari dan menambah. Dua perkara orang tak pernah merasa kenyang, mau tambah terus. Dua perkara itu ialah ilmu dan harta. Orang yang benar-benar berilmu tak pernah merasa cukup dengan ilmu yang ia miliki. Demikian pula orang kaya, la tak akan pernah puas dengan kekayaannya, akan mencari dan menambah terus uangnya hingga menemui ajalnya dalam gelimang harta laksana semut mati dalam genangan air gula.
Carilah ilmu dan hikmat di mana saja dia berada, demikian nasihat Ustadz Mursyid kepadaku. Nasihat ini tidak hanya ditujukan kepadaku, tetapi juga kepada murid-muridnya yang lain, dan bahkan kepada dinnya sendiri.
Selang beberapa tahun, kira-kira pada tahun 1940-an, aku diserahi memimpin lembaga pendidikan, namanya Kulliyat al-Mubalighin wa al-Mu'alimin, semacam kursus penataran mubaligh dan guru. Di antara pengikut kursus terdapat juga Ustadz Mursyid. Demikian pula dalam kursus-kursus Pemuda Ansor yang aku diserahi memimpinnya, Ustadz Mursyid ikut menjadi peserta yang jarang absen. Ini aku yakin bahwa kehadirannya bukan karena apa, beliau ingin memperlihatkan cara menghargai orang lain sekalipun orang lain itu anak didiknya sendiri. Ketika pada suatu kesempatan aku memohon agar beliau yang memberi pelajaran atau fatwa-fatwa dalam kursus tersebut, dengan rendah hati beliau menolak "Dahulu memang saudara murid saya, apa salahnya kini aku jadi murid Saudara?" Demikian jawabnya tawadhu. Suatu sikap kejujuran, kepemimpinan, dan kebapakan yang jarang kita jumpai. Dengan sikap ini martabat beliau ridak menjadi rendah, bahkan semakin tinggi dalam pandangan masyarakat.
Hampir 7 tahun, aku meninggalkan kampung halaman karena aku diserahi memimpin pasukan Hizbullah di daerah Kedu (Magelang), setelah proklamasi kemerdekaan. Suatu hari dalam suasana perang kernerdekaan melawan Belanda, aku mendapat berita bahwa Ustadz Mursyid gugur ditembak Belanda dalam agresi kolonialnya di Banyumas pada tahun

15
 
1947. Beliau gugur sebagai pahlawan-syuhada. Gugur dalam tugasnya memimpin Barisan Sabilillah melawan kaum penjajah.
Tiada upacara dalam pemakaman kepahlawanan ini, situasinya sedang dalam kancah revolusi. Tiada bintang jasa disematkan di dada Ustadz Mursyid, juga tidak di dada keluarganya. Tetapi yang sudah pasti, Insya Allah segala bintang kebesaran serta kemuliaan kini diterima beliau di Sorga jannatan Na'im, di sisi Allah Yang Maha Kekal. Beliau telah memulai rintisan dengan baik, menjalankan proses perkembangannya dengan baik, dan mengakhiri khidmah baktinya dengan baik pula, dengan husnul khatimah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!.
 
Tokoh-tokoh Pengabdi tanpa Pamrih

Malam itu tak ada latihan kuntao, pencak, atau silat.
Kiai Khudlori guru mengaji kami biasa tiap malam Jum'at memberikan pelajaran kuntao kepada  kami,  yaitu  sehabis  kami  para  murid-murid  bersama mengadakan perjanjen.Perjanjen ialah beramai-ramai membaca Kitab Barzanji, sebuah buku prosa dalam sastra Arab yang indah karangan Ja'far Al-Barzanji, yang memuat kisah Nabi Besar Muhammad Saw yang amat mengasyikkan. Secara berganti-ganti kami masing- masing mendapat giliran membacanya hingga satu 'ath-thiril, satu bab. Perjanjen ini merupakan barometer sampai di mana mahirnya seorang santri. Di kampung kami setiap pemuda yang sok kampiun bisa diukur hingga di mana bagus bacaannya ketika perjanjen. Anak yang jempolan memang memperoleh kesempatan memperlihatkan kebolehannya membaca sastra Arab dengan suaranya yang merdu dan iramanya yang asyik. Tapi sebaliknya, anak-anak yang sok alim bisa keluar keringat dinginnya kalau saja mendapat giliran membaca. Anak yang nakal suka membuat mati kutu pemuda yang sok ini dengan cara menyodorkan Kitab Barzanji untuk menerima giliran membaca. Tapi anak yang suka sok ini pintar juga menutupi malunya dengan minta permisi karena tenggorokannya katanya lagi sakit. Orang juga pada senyum kecut, tahu bahwa ini cuma sekadar hilah saja.
Malam Jum'at itu tidak diadakan latihan pencak silat, tapi Kiai Khudlori minta agar perjanjen tetap diadakan walaupun cuma awwal-akhir, diambil bagian awal dan akhirnya saja dengan asyrakal1 di tengah-tengah. Tak baik malam Jum'at tidak perjanjen, kata beliau.
Hari-hari biasa tiap malam, kecuali malam Jum'at, Kiai Khudlori memberi pelajaran kepada murid-murid mengaji kitab. Istilah mengaji kitab diartikan mempelajari kitab-kitab Agama Islam dari macam-macam vak, misalnya fiqh, aqidah, akhlak, dan kadang-kadang nahwu- sharaf. Mengaji kitab lazimnya dilakukan oleh anak-anak yang sudah tamat belajar membaca Al-Qur'an dengan baik, kadang-kadang hingga 3 kali menamatkan. Tamat membaca Al-Qur'an merupakan peristiwa yang sangat penring bagi tiap anak, biasanya lalu diadakan upacara dengan hidangan slametan, namanya khataman. Dalam khataman ini, si anak didandani pakaian bagus-bagus, ia membaca Al-Qur'an bagian yang akhir dimulai dari Surat Wa ad-dhuha. Membaca demikian memerlukan mental yang kuat karena di hadapannya hadir para guru-gurunya, tamu-tamu undangan, dan teman-teman sepengajian. Aku masih ingat betul bagaimana gembiraku ketika Ayah memberi aku hadiah uang satu rupiah (logam perak) sehabis upacara khataman. Temanku si Ikhsan pernah diberi hadiah dari ayahnya uang seringgit (Rp2,50). Maklumlah ia anak orang kaya.
Jika sembahyang maghrib berjamaah telah selesai, Kiai Khudlori memberi pelajaran sorogan, semacam privat-les, masing-masing anak mempunyai balagh sendiri. Jadi tidak sama kitab bacaannya. Kiai Khudlori dibantu oleh murid-muridnya yang sudah senior untuk mengajar sorogan bagi kami yang masih junior ini. Ada yang mengaji vak fiqh misalnya kitab-kitab Safinah, Riyadh al-'Badi'ah, Taqrib. Ada yang vak aqaid seperti Qathr al-Ghaits, 'Aqidat al-'awwam, Jauharah at-Tauhid. Ada juga vak  lain misalnya Sullam at- taufiq dan Bidayah. Semua dalam bahasa Arab. Bayangkan, kalau yang datang mengaji 20 anak yang masing-masing kebagian waktu 15 menit. Padahal lepas waktu isya biasanya kiai masih memberikan pelajaran pada pengajian orang-orang tua. Tidaklah heran kalau anak-
17
 
anak yang belum dapat giliran, diberi tugas memijat-mijat kiai secara berganti-ganti. Yang lain mendapat tugas menyediakan secangkir kopi panas dengan jadah goreng.
Malam Jum'at yang aku ceritakan ini tidak ada latihan pencak silat, disebabkan karena Kiai Akhmad Syatibi akan membaca Manaqib Syekh Abdul Qadiral-jailaini di langgarnya di kampung Karangbangkang, 300 m sebelah selatan langgar Kiai Khudlori yang terletak di kampung Kauman. Kiai Khudlori akan hadir di sana bersama santri-santrinya. Membaca kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini lazimnya disebut manakiban.
Dalam manakiban ini dibacalah kitab kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seorang waliullah yang paling kenamaan, Sulthan al-Aulia, lahir pada tahun 471 Hijriah dekat Baghdad. Sejarah orang besar ini dibaca orang untuk membangkitkan jiwa agar menjadi lebih dekat dengan Allah SWT, karena sejarah kebesaran ini akan menanamkan kebesaran himmah dan karakter pada orang yang membacanya. Dalam saat-saat duka dan suka, orang gemar membaca manakiban, agar dijauhkan dari sikap putus asa di saat sulit dan tidak menjadi lupa daratan manakala ada dalam suasana suka dan senang.
Biasanya, dipilihlah di antara para kiai yang paling disegani dan terpandang, paling tua segala-galanya, tua usianya dan tua pula ilmu dan akhlaknya. Malam itu Kiai Akhmad Syatibi yang diminta untuk membaca manakiban. Dipilihnya kiai ini untuk membaca manakiban sangatlah tepat. Selain disegani, cara membaca dan menguraikan artinya selalu amat mengesankan. Bahasanya mudah diterima, tekanan suaranya enak didengar, konon sejak beliau masih belajar dan mukim di Makah terkenal amat fasih lisannya. Maka itu, beliau pulalah yang dipilih membaca kitab-kitab raksasa dalam Pengajian Khusus para kiai sebulan sekali.
Kalau ada jenasah dimakamkan, maka para keluarga si mayit merasa sangat berbahagia jikalau yang membaca talqin di samping pusara adalah Kiai Syaribi. Talqin dibaca dalam nada sangat rendah, seolah beliau sedang menasihati anak didik yang paling disayangi dalam menghadapi perjalanan sangat jauh. Suasana sekeliling kuburan menjadi sangat hening, penuh kesyahduan. Terbayanglah pada fantasi kami seolah si jenasah sedang duduk bersimpuh mendengarkan nasihat Kiai Akhmad Syatibi kata demi kata. Bagian- bagian talqin yang dibacanya paling mengesankan ketika Kiai Akhmad Syatibi sampai pada bagian ini: "Duhai saudara tercinta Fulan bin Fulan! Kini telah saudara tinggalkan kehidupan dunia yang fana, saudara telah memasuki kehidupan akhirat yang kekal. Jangan lupakan bekal yang saudara punyai sejak di dunia, yaitu Dua Kalimah Syahadat. Saudara kini mengalami sendiri, bahwa mati adalah suatu kenyataan, bahwa kehidupan alam kubur memang benar ada. Nanti saudara juga akan saksikan sendiri bahwa masing-masing orang akan memperoleh balasan amalnya, yang baik memperoleh pahala dan yang buruk akan memperoleh siksanya. Saudara, sebentar lagi saudara akan kedatangan dua malaikat yang sangat perkasa, sangat dahsyat sikapnya dengan bentakan-bentakan suaranya yang menakutkan. Tetapi ingat saudara, mereka itu cuma makhluk Allah seperti kita. Dari itu pesanku, hadapilah mereka dengan ketabahan dan ketenangan, jangan gemetar dan takut. Jawablah pertanyaan-pertanyaan mereka dengan pasti tanpa ragu-ragu. Katakan, bahwa Tuhan saudara cumalah Allah, bahwa Nabi saudara cumalah Muhammad Saw, bahwa Agama saudara cumalah Islam, bahwa kiblat saudara hanyalah Ka'bah, bahwa pemimpin saudara hanyalah Al-Qur'an, bahwa semua orang Islam, baik prianya maupun wanitanya adalah saudara kita...!"
Semuanya yang hadir mengelilingi kuburan serentak jongkok sambil menengadahkan dua tangannya tatkala Kiai Akhmad Syadbi sampai pada doanya Tsabbataka Allah bi al-qaul ats-
18
 
sabit Semoga Allah tetapkan saudara dengan ucapan yang pasti! Doa itu diakhiri dengan ucapan selamat jalan: "Hai roh yang tenang, pulanglah kau menghadap Allah, Tuhanmu, dengan memperoleh keridhaan, masuklah dalam golongan hamba Allah yang baik-baik dan masuklah ke dalam sorga-Nya yang kekal kenikmatannya...!"
Begitu mempesonakan, begitu mengesankan!
Kami yang hadir di sekeliling kuburan terasa ikut bahagia, memberikan ucapan selamat jalan kepada jenasah yang kami cintai ini dengan hati ikhlas dan air mata berlinang!
Ketika aku datang di malam manakiban pada malam Jum'at itu, aku datang untuk mengantar Ibu menghadiri manakiban Kiai Akhmad Syatibi. Ketika aku tiba di sana, gemuruhlah suasana hadirin-hadirat membacakan kalimat-kalimat Allahumma unsyur nafahati ar-ridhuwan 'alaihi..., Manakiban sudah dimulai.
Kiai Akhmad Syatibi duduk di tengah-tengah hadinn di atas alas kulit domba yang berbulu untuk menghangatkan badannya yang sudah tua. Walaupun hadirin sangat meluap memenuhi ruangan langgar hingga di halamannya, namun mereka sangat tertib dan hening. Bacaan kiai diikuti kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Walaupun berbahasa Arab namun rasanya hadirin seperti dapat mengikutinya, walaupun tidak paham sama sekali bahasa ini. Jika bacaannya sudah sampai satu fasal, Kiai Akhmad Syatibi menyalinnya dalam bahasa daerah dan diartikan maknanya, dengan demikian hadirin lebih terpesona dan sangat tertarik dibuatnya. Zaman itu belum ada pengeras suara, tapi aneh suara Kiai Akhmad Syatibi sangat jelas kedengarannya.
Diceritakan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat mencintai ilmu, sebab itu beliau pergi ke berbagai pelosok negeri untuk berguru kepada puluhan ulama di zamannya, di bidang Fiqh, 'Aqaid, Tafsir, Adab, Ilmu Thanqat, dan sebagainya. Pelajaran yang diselami puluhan tahun diperoleh dari guru-guru besar yang terkenal di zamannya dan mempunyai urutan yang bersambung dan misalnya Al-Qadli Abi Sa'id al-Mubarak bersambung pada Syekh Abi Hasan 'All bin Abi Yusuf al-Quraisyi hingga Abil Qasim Junaidi al-Baghdadi hingga Abu al-Hasan 'Ali Ar-Ridla, Musa al-Kazim, Ja'far as-Shadiq sampai kepada Muhammad al-Baqir dan Zainal 'Abidin yang langsung dari Sayyidina AH, di mana yang belakangan ini memperolehnya dari Rasulullah Saw. Ucapan Syekh Abdul Qadk al-Jailani yang sangat terkenal di antaranya: "Tidak layak bagi seorang guru yang hendak mengajarkan ilmunya kepada orang banyak sebelum menguasai kebijaksanaan 3 perkara, pertama: 'ilmu  al-'ulama (pengetahuan  ukuran  ulama),  kedua: siyasat  al- muluk (pengetahuan politik raja-raja), dan ketiga: hikmat al-hukama (hikmat kebijaksanaan para hukama)."
Pada suatu ketika Syekh Abdul Qadk al-Jailani sedang bermunajat kepada Allah SWT. Tiba- riba tempat sekelilingnya memancar suatu cahaya amat menyilaukan. Datanglah suara memanggil namanya: Hai Abdul Qadir, akulah Tuhanmu, aku datang kepadamu untuk menyatakan bahwa kini aku telah menghalalkan segala yang tadinya aku haramkan! Mendengar itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani berteriak dan membentak dengan suaranya lantang: Ikhsa' Ya La'iten! Keparat kau setan, enyah kau dari mukaku! Seketika itu padamlah cahaya yang menyilaukan. Datanglah suara merintih, katanya: Ampuni aku ya Syekh, Tuan telah terhindar dari godaanku. Aku sengaja menggoda orang-orang yang mengaku ahli tarikat tetapi bodoh tak berilmu. Tetapi Tuan telah lulus dari godaanku karena Tuan memiliki ilmu. Kerika ditanyakan mengapa Syekh Abdul Qadir al-Jailani tahu bahwa suara itu suara setan, dijawab: Ucapannya sendiri "aku telah menghalalkan segala yang

19
 
tadinya ku-haramkan". Itu terang ucapan setan, sebab hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah tak mungkin jadi dihalalkan! Allah tak mungkin menyuruh hamba-Nya mengerjakan hal-hal yang diharamkan.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani begitu mendekatkan dirinya kepada Allah, baik di waktu sendirian maupun di hadapan orang banyak. Tingkat mendekatkan diri sedemikian tingginya hingga mencapai 20 tingkatan. Muraqabah Ahadiyah, Muraqabah Ma'iyyah, Muraqabah Aqrabiyyah, Muraqabah Wilayatul"Ulya, Muraqabah Mahabbah, Muraqabah Kamalatin Nubuwwah, dan seterusnya. Di kala sembahyang, lama sekali bersujud. Sujud adalah meletakkan dahi, lambang kehormatan seseorang untuk diletakkan di tempat yang serendah-rendahnya. Waktu sujudlah saat sedekat-dekatnya seorang manusia kepada Allah SWT.
Tidak lupa Kiai Akhmad Syatibi menceriterakan dalam manakiban, bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat senang bergaul dengan rakyat jelata golongan fakir miskin. Orang- orang miskinlah sahabatnya. Dihiburnya orang-orang ini bahwa orang miskin yang sabar lebih utama daripada orang kaya yang syukur. Kesabarannya inilah yang akan membentengi iman di dadanya. Sebab, tanpa kesabaran, akan mudah tergelincir imannya, sesuai dengan sabda Nabi Besar Muhammad Saw: Hampir saja kemiskinan menjerumus pada kekafiran! Dianjurkan agar di saat susah dan duka, orang harus mempertinggi harapan atau optimisme agar ia tetap sabar. Sebaliknya di kala menjumpai kesenangan supaya membayangkan datangnya kesusahan agar dengan demikian ia selalu bersyukur.
Dianjurkan agar orang selalu membersihkan dirinya dengan sifat-sifat yang mulia dan melakukan ibadah seperti yang diperintahkan oleh Allah. Sebab orang yang batinnya kotor, makan yang haram, omongannya rusuh, ditambah lagi tak pernah melakukan sembahyang, tak mungkin ia bisa dekat dengan Allah. Tak patut bagi seseorang hendak mendekatkan dirinya kepada Allah, padahal ia belum membersihkan dirinya dan dosa-dosa.
Dikisahkan, ketika Syekh Abdul Qadir al-Jailani berada dalam perjalanan, datang seorang menyerahkan sekantong pundi-pundi berisi uang penuh, karena sangat kasihan melihat Syekh yang sedang dalam kesulitan perjalanan. Tetapi beliau hanya mau mengambil 1/2 dirham (satuan uang logam paling kecil) sekedar untuk membeli sepotong roti kering. Sisanya dikembalikan kepada pemiliknya. Begitu roti yang dibeli dari uang pemberian itu hendak dimakan, beliau mendengar suara, mengapa seorang yang selalu muraqabah kepada Allah masih juga memiliki syahwat, pamrih atas pemberian orang. Beliau merasa malu pada dirinya sendiri dan kepada Allah SWT. Seketika roti tak jadi disantapnya.
Salah satu watak Syekh Abdul Qadir al-Jailani, beliau tidak pernah silau memandang orang kaya karena kekayaannya. Semua orang dalam pandangannya harus dihargai bukan karena uangnya. Barang siapa merendahkan diri dihadapan orang kaya karena uangnya, ia akan kehilangan dua pertiga kehormatan agamanya. Beliau mengkritik orang-orang alim yang gemar mengunjungi pembesar untuk kepentingan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, Syekh Abdul Qadir al-Jailani semakin tinggi martabatnya dalam pandangan orang banyak Itulah sebabnya mengapa khalifah di Baghdad senang mengunjungi beliau di kediamannya untuk memperoleh nasihat dan petunjuk-petunjuk. Penguasa yang baik akan tahu segala yang baik.
Alhasil, Syekh Abdul Qadir al-Jailani seorang Waliullah (Wali Allah), bahkan Sulthan al- A.ulia? Seorang yang benar-benar telah menduduki maqam 'abdiyyah (mendudukkan dirinya hamba Allah yang sebenar-benarnya), jauh dan sifat-sifat hamba harta, hamba

20
 
kedudukan, hamba kehormatan, hamba kemewahan hidup, dan hamba-hamba nafsu. Memiliki sifat-sifat ketuhanan dan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul, para sahabat dan ulama-ulama.
Ajaran-ajarannya hanyalah memurnikan Tauhid dengan meresapi rahasia-rahasia yang lembut tanpa meninggalkan ilmu syari'at sebagai yang digariskan oleh Rasulullah Saw.


Allahuma unsyur nafahati ar-ridhwan 'alaihi
Wa amiddana hi al-ashrari allati auda'taha ladaihi!


Ya Tuhan, bentangkan harum semerbak keridhoan-Mu pada Syekh ini, tolong bantulah kami dengan rahasia-rahasia yang Kau titipkan padanya...!
Dari napas ajaran orang arif besar yang mewarisi syari'at Nabi Muhammad ini, tolong dekatkan kami pada buah hasil tanamannya yang suci untuk bekal kami berbakti kepada- Mu.
Tolonglah kami tentang permohonan-permohonan kami, mudahkan keinginan dan cita-cita kami, tanamkan di dada kami kemauan-kemauan yang luhur, amankan kami dari segala yang kami takutkan, tutupi rapat-rapat cacat kami, lunasi segala hutang kami kepada-Mu. Ya Tuhan, mohon segala sangkaan kami yang baik menjadi kenyataan, hilangkan segala penghalang yang menghambat kami, singkirkan segala kesedihan dan kesusahan kami. Mohon ampuni segala dosa kami, tolong Ya Tuhan, berilah kami segala kesudahan yang baik. Amin!
'Ihadallah Rijalallah, Aghitsuna li ajlillah, Kunu 'aunana lillah, 'Asa nabzha bi fadh lillah...!


Dengan beramai-ramai membacakan doa ini, manakiban diakhiri pada jam 1 tengah malam. Tentu aku tak bisa ceritakan semua isi kitab yang dibaca oleh Kiai Ahmad Syatibi. Pokoknya sangat mengasyikkan, amat berkesan. Berhari-hari tak kunjung habis orang membicarakan kisah-kisah yang ada dalam manakiban, di serambi masjid, di langgar-langgar, di madrasah, dan tentu saja di kalangan klub tukang gunting rambut Abdulbasir! Masing-masing dengan daya tangkapnya, dan masing-masing dengan komentarnya.
Tak keringgalan orang memuji-muji Kiai Akhmad Syatibi. Tidak cuma lantaran cara membacanya begitu fasih, jelas, dan sangat mengesankan, tetapi tokoh ini dipandang sangat tepat membawakan pribadi Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Orangnya begitu andap- asor, rendah hati dan tawadhu sekalipun beliau orang yang terpandang paling banyak dan dalam ilmunya. Wajahnya selalu sumeh, hingga di kalangan masyarakat kami sekampung terkenal suatu pomeo bahwa: orang yang tak bisa marah adalah Kiai Akhmad Syatibi. Bukan saja demikian, orang yang belum mengenalnya akan menyangka beliau adalah tipe orang bodoh. Jika saja menerima pertanyaan yang berhubungan dengan ilmu, beliau lebih banyak memperlihatkan "kebodohannya" dengan selalu saja jawabannya yang paling ter- kenal: Lha niku tah kula mboten ngertos! (Tentang itu saya tak tahu). Tapi kalau sudah didesak dan didesak, barulah keluar mutiara-mutiara yang tersimpan dari kepalanya yang mulia, Semua orang amat senang dan sangat menghormati beliau, demikian pula semua orang merasa dihormati oleh beliau.

21
 
Tiap-tiap habis sembahyang subuh berjama'ah, beliau mengajar murid atau santri-santrinya hingga kurang lebih selesai pukul 8 pagi. Seperti sudah rutin saja, sekitar pukul 9 beliau pergi ke pasar untuk jualan. Dagangan yang dijual ialah perabot dapur, ada tampah, kipas, sapu, kukusan, dan segala benda perlengkapan dapur. Beliau berjalan mengenakan caping (topi terbuat dari anyaman bambu seperti lazim dipakai petani di sawah), baju piama, dan sarung yang diangkat lebih ringgi. Di belakang beliau, puteranya yang laki-laki bernama Kiai Hisyam Zaini memikul barang-barang dagangannya. Kiai Hisyam Zaim ini merupakan asisten beliau kalau sedang mengajar santri-santri. Sekira pukul 12 begitu, sepasang bapak dan anak ini pulang dari pasar karena pukul 2 siang mengajar lagi hingga petang. Malam disambung lagi mengajar santri-santri hingga jauh malam. Demikianlah kerja rutin Kiai Akhmad Syaribi. Waktunya hampir habis untuk diabdikan kepada agama dan ilmu.
Orang yang menyaksikan Kiai Akhmad Syaribi pergi dan pulang pasar selalu saja mengelus dada, ada rasa kasihan melihat cara beliau mencari rezeki untuk nafkah anak istri. Berkali- kali masyarakat rnemohon supaya beliau menghentikan pekerjaannya jualan di pasar, biarlah masyarakat bergotong-royong menanggung kebutuhan nafkahnya sehari-hari. Tapi apa jawab beliau? Mengapa aku harus menghentikan usaha yang mulia ini? Bukankah kerja yang paling mulia segala yang keluar dari jerih tangannya sendiri? Apa salahnya jualan benda-benda ini, bukankah ini cara yang halal? Aku malu kepada Allah jika menjadi beban orang lain.
Kiai Akhmad Syatibi adalah profil seorang ulama yang sangat tawadhu, rendah hari. Beliau terkenal 'allamah, orang paling berilmu. Tapi selalu saja menampilkan kiai-kiai lain kalau orang datang hendak belajar. Orang yang mau belajar Ushul fiqh dan Hadits, dipersilakan supaya belajar pada Kiai Akhmad Bunyamin. Kalau mau belajar Tafsir dan Tasawuf dipersilahkan datang kepada Kiai Raden Iskandar. Mau memperdalam bahasa Arab dipersilahkan datang kepada Kiai atau Ustadz Mursyid. Adapun kalau hendak belajar Nahwu dan Sharaf, pergilah kepada Kiai Khalimi. Begitu seterusnya.
Mau tak mau mestilah belajar Nahwu-Sharaf kalau mau bisa baca kitab gundul .Berbeda dengan Al-Qur'an semua orang bisa baca, asal sudah menguasai alfabet atau abjad Arab dengan segala karakternya. Itu pun masih harus belajar Tajwid dan Qiraat. Lain halnya untuk bisa membaca kitab gundul, mestilah belajar nahwu-sharaf agar tahu fungsi akhiran dan permulaan kalimat, dan bagaimana mesti dibaca. Ini baru pasal bisa membaca, belum pasal mengertinya, artinya, mengerti apa yang dibaca, maknanya dan artinya. Harus belajar bahasa Arab. Belajar bahasa asing memang susah, memerlukan ketekunan. Selain otak harus dicuci, mulut pun harus diajar bagaimana mengucapkannya.
Kiai Khalimi terkenal sebagai kiai spesialis nahwu-sharaf. Di pesantrennya, belajar bukan hanya anak-anak sekampungku, tetapi juga dari lain-lain daerah. Belajar di sini menyenangkan. Anak-anak dari luar daerah sering terima paket kiriman dari kampungnya, ada jadah dan dodol, wajik atau tape, dan lain-lain makanan yang bisa tahan beberapa hari. Tentulah tidak dinikmati sendirian, kami ramai-ramai mengganyangnya hingga ludes. Tentu Kiai Khalimi tidak dilupakan, beliau menerima lebih dulu. Kiai pun tak menikmati sendirian, kami dipanggilnya untuk ikut mengganyangnya. Jadi kami beruntung sekali, bisa mengganyang dua kali.
Kami senang belajar di Pesantren Kiai Khalimi ini. Waktu malam hari setelah pulang dari madrasah. Ilmu nahwu dan sharaf memang menjemukan, memerlukan pemikiran yang serius. Tapi menarik hati. Banyak hal-hal yang baru dari kajian ini. Anak-anak tingkat
22
 
permulaan memakai pedoman Kitab Al jurumiyah, lalu bersambung 'Imrithi danlebih tinggi lagi Alfiyah, ini dia sudah golongan jempolan, membaca kitab gundul sudah ndlendeng saja, meluncur seperti sepeda tanpa rem.
Ada yang lebih menarik belajar di pesantren Kiai Khalimi ini. Orang bilang Kiai Khalimi ini orangnya blater, banyak kreasi dan dinamis. Pandangannya jauh menembus ke depan. Santri-santri yang belajar di sana dibiasakan berbahasa "Melayu" dalam percakapan sehari- hari. Santri-santri harus jadi orang pergerakan, katanya. Sebab itu dalam pesantren diadakan Taman Bacaan. Kecuali buku-buku keluaran Balai Pustaka, terdapat juga majalah dan surat-surat kabar. Buku Tiga Orang Panglima Perang, cerita petualangan D'Arstagnan- Portos-Athos, begitu juga buku Si Midun, Sengsara Membawa Nikmat, aku pertama kali baca di sana. Macam-macam majalah dalam negeri terdapat juga di sana, bahkan Al- Hilal dan Al-Mushawwar dari Kairo pun ada juga.
Bukan cuma itu saja. Kiai Khalimi memberikan pelajaran keterampilan kepada santri- santrinya di samping pelajaran pencak silat. Beliau terkenal pendekar Cikalong, artinya, pencak aliran Jawa Barat. Di kampung kami masalah pencak-memencak ini cuma terkenal aliran Banjarnegara dan aliran Josremo, setelah datangnya santri baru berasal dari Surabaya, namanya Mas Muhajir putera Kiai Josremo. Jika saja anak-anak sedang latihan pencak, Kiai Khalimi suka mengejek dengan memegang batu di tangannya sambil katanya: "Bisa nggak tangkis batu ini kalau aku lemparkan?" Maksudnya mendidik anak-anak biar jangan sok jagoan. Belajar pencak bukan untuk berlagak sok jago, cari musuh, tapi sekadar persiapan untuk membela diri jika perlu, katanya.
Dalam pelajaran keterampilan, anak-anak diberi tuntutan macam-macam. Belajar jahit- menjahit, bengkel sepeda, gunting rambut, mengetik, membuat leter (Kaligrafi), melukis, membuat kecap dan sirup. Itu waktu memang aneh sekali dan bahkan janggal, mengapa diadakan pelajaran keterampilan. Kadang-kadang kami berpikir di tengah pelajaran ini, kita ini sedang berada di pondok pesantren atau di tempat perusahaan? Tapi Kiai Khalimi selalu tandas jawabnya: He, ini penting. Supaya kaum santri jangan cuma berkeinginan mengambil menantu orang kaya! Maksudnya tentu saja agar kelak kami tidak menggantungkan hidup kami kepada orang lain. Aku memang tidak begitu tertarik pada pelajaran buat-membuat kecap dan sirup atau lainnya. Barangkali saja kalau ketika itu aku tertarik, siapa tahu sekarang sudah jadi direktur pabrik kecap!
Kiai Khalimi, biar sudah kiai, belau rajin mengunjungi tukang gunting rambut Abdulbasir. Beliau salah satu anggota klub ngobrol di sana. Gemar berkumpul dengan para pemuda. Beliaulah yang mula-mula menganjurkan agar kami para pemuda membiasakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, kami dianjurkan membiasakan memakai pantalon kalau menghadiri pertemuan-pertemuan. Tapi mengherankan, beliau sendiri tak pernah memakai pantalon, celana panjang. Selalu saja pakai sarung plekat dengan sorbannya. Kalau ditegur, maka jawabnya: "Aku menyadari, aku ini tak punya pantat, kalau berjalan ngiplik (langkahnya pendek-pendek). Sebab itu, kata beliau, aku merasa tak pantas pakai pantalon. Biarlah aku tetap bersarung agar tak jadi tertawaan!" Konon kabarnya, selama hidup beliau tak pernah memakai pantalon. Tapi beliau selalu menganjurkan para pemuda berpantalon. Santri harus kelihatan rapi!
Lain lagi yang menarik dari kiai ini. Beliau dikenal sebagai ahli falak. Kami harus membuat Ruhu, lingkaran 90 derajat terbuat dari kayu dengan garis-garis rumus. Untuk mengetahui hari dan tanggal, diceritakanlah jalannya planet-planet serta jarak antara satu dengan lainnya. Di mana letak bumi kita, ardh, matahari (syams),rembulan (qamar), bintang
23
 
mars (marikh), venus (zuhrah), saturnus (zuhal) dan sebagainya. Amatlah menarik kalau sedang menerangkan betapa besar dan dahsyat matahari, begitu jauh jaraknya, dan begitu hebat energinya. Satu ketika seorang santri memberanikan bertanya, dari mana kiai belajar falak ini? Dijawab: Tentu dari guru-guru saya. Tapi yang jelas semua ini dari Al-Qur'an. Ketika orang-orang Eropa masih bodoh dan tidur, orang-orang Islam sudah mahir ilmu falak. Orang Islam berkepentingan belajar falak karena orang Islam berkewajiban menjalankan sembahyang dan puasa Ramadhan. Untuk sembahyang harus mengetahui letak Ka'bah, dan untuk berpuasa Ramadhan harus mengetahui kapan kira-kira memulai dan mengakhiri puasa.
Sekadar untuk menggunakan rukyat sebagai yang diajarkan Nabi Besar Muhammad Saw.
Kami tergabung dalam ikatan mubaligh, namanya Nashihin, yaitu setelah di kampungku berdiri Nahdhatul Ulama. Tiap malam Selasa para mubaligh dibagi untuk mengunjungi beberapa desa. Kiai Khalimi tidak ketinggalan. Kami membuat kelompok, masing-masing 2 atau 3 orang mubaligh. Tentu saja umumnya berkendaraan sepeda. Kelompok paling "celaka" kalau di dalamnya termasuk kiai ini. Sebabnya, pertama: beliau tak pandai naik sepeda, dan kedua: beliau tak pernah mau membonceng sepeda, saru atau tidak pantas katanya. Lebih baik jalan kaki. Mau tak mau yang lain-lain solider jalan kaki. Berapa kali dianjurkan agar belajar naik sepeda, namun beliau tak mau. Mengapa? Biar saudara mengerti bahwa semua orang mempunyai kekurangan dan cacat. Cuma Nabi saja yang tak punya cacat, begitulah jawabnya. Yang menarik perhatian lagi adalah rokoknya. Beliau selalu mengisap rokok cengkeh, yang menurut anggapan masyarakat di kampungku rokok priyayi. Kadang-kadang rokok putih. Bukan rokok klembak-menyan. Anak-anak kadang- kadang nyeletuk: "Priyayi kok tidak bisa naik sepeda...!‖[]

LihatTutupKomentar