Hukum Taqlid dalam Keimanan | Aqidah Asy'ariyah
Nama kitab: Terjemah Nuruzh Zhalam Syarah Aqidatul Awam, Nurudz Dholam, Nur
al-Zholam
Nama kitab asal: Nur adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awam
Nama
lain kitab kuning: Hasyiyah al-Dasuqi
Ejaan lain: Noor -ul-Zalaam,
Nuuruzh Zhalaam, Nur adz-Dzolam, Nuruzh Zholam, Nuruzh Zhalam, Nurud Dhalam
Pengarang:
Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Nama yang dikenal di Arab: محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Penerjemah:
Bidang studi:Tauhid, Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy'ariyah, ilmu kalam, ushuluddin.
Daftar Isi
4. NADZOM KELIMA
وَبَعْدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَـهْ * مِنْ وَاجِـبٍ ِللهِ عِشْـرِيْنَ
صِفَهْ
[5] Setelah [menyebutkan basmalah, hamdalah, sholawat, dan salam]
maka ketahuilah dengan keyakinan mengatahui ... bahwa Allah memiliki 20
sifat-sifat wajib bagi-Nya.
Maksudnya, setelah saya
menyebutkan Basmalah, Hamdalah, Sholawat, dan Salam maka saya berkata
kepadamu, “Ketahuilah!” maksudnya ketahuilah! dan yakinilah! Wahai setiap
mukallaf! 20 sifat yang wajib bagi Allah secara rinci (tafsil) karena
mengetahuinya adalah hal yang wajib bagi setiap mukallaf. Jauhilah mengambil
sikap taqlid (ikut-ikutan) karena apabila kamu
bertaqlid maka
keimananmu masih diperselisihkan tentang keabsahan
dan ketidak- absahannya.
a. I’rob Nadzom dan
Hikmahnya
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki “اﻋﻠﻢ” adalah berarti “اﻋﺮف”
yang berarti
ketahuilah!,
seperti Firman Allah, Syeh
Ahmad Marzuki mengikutkan perkataannya “اﻋﻠﻢ” dengan pernyataan “اﻟﻤﻌﺮﻓﺔ
ﺑﻮﺟﻮب”. Dengan demikian kata “اﻋﻠﻢ” hanya muta’adi pada satu maf’ul. Syeh
Fayumi berkata dalam kitab al- Misbah bahwa ketika kata “ﻋﻠﻢ” berarti “اﻟﯿﻘﯿﻦ”
maka ia muta’adi pada dua maf’ul. Sedangkan ketika “ﻋﻠﻢ” berarti “ﻋﺮف” maka ia
muta’adi pada satu maf’ul.
Adapun Syeh Ahmad Marzuki
mengibaratkan pernyataan dengan kata “Ketahuilah!” karena bertujuan
mengingatkan para pendengar tentang ucapan yang seharusnya dihafal yang
disampaikan kepadanya karena ucapan itu merupakan asal atau sumber dari
seluruh kebaikan, dan karena bertujuan memberikan isyarat bahwa pekerjaan
mencari ilmu adalah pekerjaan yang paling utama. Ia tidak mengibaratkan
pernyataan dengan kata “Pahamilah!” karena perintah
memahami akan melibatkan pembahasan
sebelumnya sedangkan disini tidak ada pembahasan yang sebelumnya telah
dijelaskan. Ia juga tidak mengibaratkan pernyataannya dengan kata
“Temukanlah!” karena perintah menemukan akan melatar belakangi menghasilkan
ilmu secara lamban karena yang namanya menemukan akan
dihasilkan setelah berfikir dalam. Ia juga tidak mengibaratkan
pernyataannya dengan kata “Bacalah!” karena perintah membaca akan melatar
belakangi perintah menghasilkan kata-katanya saja [sedangkan kandungan
maknanya tidak]. Ia juga tidak mengibaratkan pernyataannya dengan
“Hafalkanlah!” karena yang namanya menghafal adalah menjaga sesuatu agar tidak
hilang meskipun hanya kata-katanya saja. Ia juga tidak mengibaratkan
pernyataannya dengan “Dengarkanlah” karena perintah mendengarkan akan
melatar belakangi perintah menghasilkan
kata padahal disini tujuannya adalah menghasilkan kandungan arti-arti atas
dasar kemantapan yang cepat.
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki “اﻟﻤﻌﺮﻓﺔ
ﺑﻮﺟﻮب” adalah berhubungan dengan kata “اﻋﻠﻢ”. Oleh karena itu,
huruf baa berarti mulabasah atau menempati, maksudnya menempati kewajiban
mengetahui.
Perkataannya “واﺟﺐ ﻣﻦ” adalah menjelaskan kata “ﻋﺸﺮﯾﻦ” yang
menjadi maf’ul bih dari kata “اﻋﻠﻢ”.
Perkataannya “ﺻﻔﺔ” adalah tamyiz
bagi maksud yang terkandung dalam kata “ﻋﺸﺮون”. Ia dibaca i’rob nashob yang
dipengaruhi oleh amil berupa kata “ﻋﺸﺮﯾﻦ”, seperti yang dikatakan oleh Syeh
as-Syarbini.
b. Hukum Taqlid dalam Keimanan
Maksud
nadzom di atas adalah bahwa wajib bagi setiap mukallaf menurut syariat
(Islam, baligh, dan berakal) mengetahui 20 sifat secara rinci disertai
keyakinan bahwa Allah memiliki sifat-sifat wajib dan kesempurnaan yang tidak
ada batas.
Hakikat “mengetahui” adalah kemantapan yang sesuai
dengan kenyataan atau kebenaran yang berlandaskan dari sebuah dalil (bukti).
Adapun pengertian taqlid atau “ikut- ikutan” adalah meyakini kandungan ucapan
orang lain, perbuatannya, dan ketetapannya tanpa mengetahui dalil.
Mengecualikan dengan pengertian taqlid ini adalah mereka para murid yang
dibimbing atau ditunjukkan oleh para syeh (thoriqoh) pada dalil-dalil. Maka
mereka disebut dengan orang- orang yang mengetahui, bukan orang- orang yang
taqlid.
Orang yang melakukan taqlid dalam urusan akidah-akidah
masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai hukumnya menjadi 6 pendapat,
yaitu:
1. Merasa cukup dengan taqlid dan ia
berdosa apabila ia memiliki kemampuan berfikir atau berangan-angan [mencari
dalil]. Jika ia tidak memilikinya maka ia tidak berdosa. Ini adalah pendapat
yang dipedomani oleh para ulama. Syeh Iwadh al-Ghomrowi berkata;
Apabila
kamu mencari ilmu ushul
maka jadilah seorang mujtahid!
Janganlah
kamu bertaqlid karena perselisihan tentang hukum taqlid telah jelas.
Pendapat
yang shohih yang masyhur adalah ...orang yang
bertaqlid adalah berdosa apabila ia memiliki kemampuan untuk
berfikir mencari dalil.
Perkataan Syeh Iwadh “رﻣﺖ إن” berarti
“طﻠﺒﺖ” yang berarti apabila kamu mencari. Oleh karena itu ia masuk dalam bab
tasrif “ﻗﺎل”. Perkataannya “ﺑﺼﯿﺮة ذا” berarti yang memiliki ilmu. Kata “ﺑﺼﯿﺮة”
memiliki bentuk jamak “ﺑﺼﺎﺋﺮ”. Berbeda dengan kata “اﻟﺒﺼﺮ” yang berarti
penglihatan maka ia dijamakkan menjadi “اﻷﺑﺼﺎر”.
2.
Merasa cukup dengan taqlid. Orang yang bertaqlid dianggap kafir. Pendapat ini
dipedomani oleh Syeh as-Sanusi. Syeh Abdurrahman al-Munili berkata, “Pendapat
ini berdasarkan pada larangan bertaqlid
dan berdasarkan pada pernyataan bahwa mengetahui adalah syarat keabsahan
iman.” Yang benar adalah kebalikan dari pendapat ini, yaitu orang yang
merasa cukup dengan bertaqlid tidak dianggap kafir.
3.
Merasa cukup dengan bertaqlid dan ia berdosa secara mutlak, baik ia memiliki
kemampuan mencari dalil atau tidak. Syeh Abdurrahman al-Munili berkata,
“Pendapat ini tertolak atau terbantah.” Ia melanjutkan,
“Benang
merah dalam perselisihan perihal
taqlid adalah tentang orang yang bertaqlid yang mana ia memiliki ketenangan
atau kemantapan hati sekiranya apabila orang yang ia taqlidi menarik
pernyataannya maka orang yang bertaqlid tidak akan menarik ketetapannya. Jika
orang yang bertaqlid menarik pernyataannya
maka ia dianggap kafir secara pasti.
4.
Orang yang bertaqlid pada al- Quran dan Sunah yang merupakan
dalil pasti maka
keimanannya adalah sah karena
ia bertaqld pada pedoman
yang pasti.
Sedangkan orang yang bertaqlid
pada selain keduanya maka keimanannya tidak sah karena ia tidak bisa selamat
dari kesalahan jika ia tidak ma’shum atau terjaga.
5.
Merasa cukup dengan bertaqlid dan ia tidak berdosa sama
sekali karena berfikir atau mencari dalil
adalah syarat penyempurna
keimanan. Oleh karena itu orang yang memiliki kemampuan berfikir
mencari dalil tetapi ia tidak berfikir
mencarinya maka ia hanya sebatas
meninggalkan
perihal yang lebih utama. Demikian ini difaedahkan
oleh Syeh al-Bajuri. Syeh Abdurrahman al-Munili berkata, “Berdasarkan pendapat
ini maka berfikir mencari dalil agar bisa sampai tingkat mengetahui adalah hal
yang disunahkan.”
6. Iman orang yang bertaqlid
adalah sah dan ia diharamkan untuk berfikir mencari dalil. Pendapat ini
dimaksudkan pada masalah apabila pola pikir mencari dalilnya telah tercampur
dengan pola pikir filsafat.[]