Masa Penjajahan dan Kemerdekaan: Saksi Mata seorang Kyai Pesantren
Keterangan gambar: Gedung Tahfidz al-Quran Putra, Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
Nama kitab / buku: Guruku Orang-orang dari Pesantren
Penulis: Prof.
KH. Saifuddin Zuhri
Lahir: 1 Oktober 1919, Kawedanan, Sokaraja Tengah,
Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Wafat: 25 Februari 1986 pada
usia 66 tahun
Nama Ayah: Muhammad Zuhri Rasyid
Nama Ibu: Siti
Saudatun
Jabatan tertinggi: Menteri Agama pada era Presiden Sukarno dan
Suharto 6 Maret 1962 – 17 Oktober 1967
Bidang studi: Sejarah , pesantren,
Indonesia, sejarah Islam
Penerbit: Pustaka Sastra
Daftar isi
- Tamatnya Zaman Penjajahan
- Di Bawah Penjajahan Seumur Jagung
- Merdeka Berarti 1000 Perjuangan
- Kembali ke: Buku Guruku Orang-orang dari Pesantren
Tamatnya Zaman Penjajahan
"Kalau diikuti teori W.J.S.
Purwadarminta dalam kamusnya, maka arti
santri atau santeri ialah orang yang menuntut pelajaran Islam (dengan pergi
berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan sebagainya). Tetapi kalau
diikuti pengertian umum, maka santri ialah mereka yang mempelajari agama
Islam, baik yang pergi ke tempat yang jauh maupun dekat dengan niat hendak
mengamalkan llmunya, dan hendak menyebarluaskannya. Hasil dari ilmu yang
dituntut itu dengan sendinnya mempengaruhi perilaku sehari-harinya.
Karena
yakin akan kebenaran gurunya, mereka meniru laku dan perbuatan gurunya. Ilmu
yang diperoleh dari mereka, artinya dari gurunya, dijadikan dasar pola
membentuk sikap mental dan watak mereka dalam hidup. Semua ini lantaran
dilandasi oleh suatu niat suci dalam hatinya bahwa ilmu-ilmunya memang
diyakini kebenarannya serta akandipraktikkan dalam amal sehari-hari. Oleh
sebab itu, barang siapa yang mempelajari Islam sekadar untuk diketahui, baik
karena tidak meyakini kebenaran Islam, maupun untuk tujuan yang merugikan
Islam dan umatnya, maka ia tidak layak untuk disebut santri.
Prof. Dr.
Ch. Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang Kristen yang menjadi penasihat
pemerintah Hindia Belanda mengenai soal-soal agama Islam. Walaupun
pengetahuannya tentang Islam sangat banyak, ia tidak bisa disebut seorang
santri ketika bertahun-tahun sedang mempelajan agama Islam. Ia pernah menjabat
guru besar tentang Islamologi pada Universitas Leiden. Celakanya, ia pernah
menyamar di Makah sebagai dokter mata dan tukang potret dengan memakai nama
samaran Abdul Ghafur, karena tugasnya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam
Indonesia berhubung perlawanan umat ini terhadap kekuasaan Belanda di
mana-mana, dan khususnya ketika Belanda sangat kewalahan menghadapi Perang
Aceh, Diponegoro, Imam Bonjol, maka kita sangat keberatan kalau Profesor
Belanda ini digolongkan seorang santri. Dia sendiri pun tentunya tidak sudi
disebut santri.
Jelaslah bahwa santri adalah mereka yang belajar
ilmu-ilmu agama Islam dengan niat untuk mengamalkan ilmu yang mereka yakini
kebenarannya 100% itu. Bahkan hendak menyebarluaskan ilmunya itu untuk tujuan
membela dan memperkembangkan Islam. Selama mereka belajar, tugas dan perhatian
mereka cumalah belajar dan belajar tentang segala seluk-beluk agama Islam
dengan segala ilmunya. Hal itu sesuai dengan pesan dan nasihat orang tua
mereka, agar mereka cuma belajar tentang ilmu Islam. Bagaimana tentang
penghidupan mereka kelak di kemudian hari? Pada umumnya tidaklah mereka
pikirkan benar. Karena apa? Karena orang tua mereka masing-masing telah
menyiapkan di kampungnya barang sebidang sawah atau ladang, atau perusahaan
orang tuanya yang telah menanti kelak untuk diurus sebagai bekal hidup
manakala mereka telah selesai belajar. Mereka memusatkan cita-citanya untuk
kelak menjadi kiai atau ustadz seperti gurunya, sedang lapangan kerja baginya
telah tersedia. Mereka akan menjadi orang masyarakat yang terjun ke
tengah-tengah umat. Hampir tidak ada yang terlintas dalam angan-angannya agar
kelak menjadi pegawai negeri, pegawai pemerintah jajahan.
Oleh karena
para santri adalah anak-anak rakyat, mereka jadi amat paham tentang arti kata
rakyat. Paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya,
jalan
81
pikirannya, cara hidupnya, semangat, dan
cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya, dan segala liku-liku hidup
rakyat. Sebagai anak-anak dari rakyat, maka para santri lahir dari sana,
demikian mereka hidup dan lalu mati pun di sana pula.
Rakyat adalah kaum
tani, pedagang kecil, tukang-tukang, mereka adalah bapak-bapaknya kaum santri.
Rakyat hidupnya serba susah, mereka terbelenggu oleh rantai penjajahan, dan
bernasib sebagai anak jajahan. Sebab itu, para santri dan kiai sangat paham
tentang arti hidup dalam penjajahan.
Indonesia pada tahun 1940-1942,
bagaikan suatu kancah perjuangan yang sedang naik pasang gejolaknya.
Rakyat
menjadi semakin matang untuk memperjuangkan nasibnya lepas dan belenggu
penjajahan. Tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan di seluruh persada tanah air.
Suatu
hari aku mengunjungi Pesantren Kalijaran, Purbalingga, sebuah pesantren dengan
lebih kurang 700 orang santri yang datang dari segala pelosok di Jawa Tengah
dan sebagian Jawa Timur. Pesantren itu terletak di daerah pegunungan, jauh
dari kota. Tak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren
itu, bersepeda pun amat susahnya, karena harus berkali-kali menyeberangi
sungai yang deras airnya, penuh dengan batu-batu kali pada tebing-tebingnya.
Aku tidak ingat lagi berapa sungai yang aku harus seberangi. Yang aku ingat,
aku sangat letih berjalan kaki sejauh 12 km dari kota distrik Bobotsari,
tempat pemberhentian bis yang terakhir. Jalan di pegunungan itu berkelok
mendaki dan menurun mengikuti liku-liku puntuk dan gunung-gunung kecil dengan
pohon johar dan kayu-kayuan pegunungan pada tepi-tepinya. Pengkolan jalan itu
kadang-kadang terpotong oleh sungai yang melintang, penuh genangan air yang
membuat becek ujung jalan karena kanak-kanak penggembala menghalau kerbaunya
ke sana. Sepatu kulepas karena tak guna berjalan di atas batu-batu yang tajam
dengan sebentar-sebentar melepas kembali karena harus menyeberangi sungai.
Aku
tiba di pesantren itu lepas waktu ashar dengan kaki yang bengkak-bengkak dan
lecet. Aku menuju ke masjid pesantren. Sambil melepaskan lelah aku sembahyang
dzuhur dan ashar jama' ta'hir. Kedatanganku diketahui anak-anak santri yang
tengah mengaji. Rupaku sebagai orang asing di pesantren itu, mudah sekali
dikenali orang. Aku mengenakan uniform "Ansor," kemeja model pandu berwarna
hijau khaki, peci berwarna seperti kemeja, dan sebuah ransel yang kulepaskan
dari pundak. Aku katakan kepada mereka siapa aku dan bermaksud hendak
menghadap kiai.
Kiai Hisyam. pemimpin Pesantren Kalijaran, menerima
kedatanganku di pendapa rumahnya, di samping masjid. Seorang laki-laki
bertubuh kekar dengan sinar matanya yang jernih, aku taksir usianya belum 50
tahun. Dengan mengenakan peci tarbus merah yang sudah lepas koncernya, dihiasi
oleh jenggotnya yang tak begitu tebal, menimbulkan gambaran suatu wajah yang
lucu, tetapi menyenangkan. Beliau sedang menerima seorang tamu, Kiai Raden
Iskandar dari Karangmoncol, yang sudah lama aku kenal. Seperti biasa, kiai ini
mengenakan peci model H.O.S Cokroaminoto, peci hitam yang dilekuk di bagian
depan, menghias wajahnya yang putih bersih dengan jenggotnya yang hitam tebal,
menambah wibawa dan gagahnya kiai yang setengah baya usianya ini.
Wa
'alaikum as-salam wa rahmatu Allahi wa barakatuh, seru kedua kiai ini
berbareng setelah melihat kedatanganku, walaupun aku belum mengucapkan
salam.
82
"Tak ada burung perenjak, jumarojok
tanpo larapan?' seru Kiai Hisyam, maksudnya bahwa kedatanganku amat
sekonyong-konyong tanpa kabar berita sebelumnya.
"Aku sudah dengar bahwa
saudara akan datang di Kertanegara besok malam," Kiai Iskandar menyela,
seolah-olah menjawab sambutan Kiai Hisyam.
"Sendiriankah Saudara? Naik
apa?" Berbareng dua kiai ini berebut menghujai aku dengan
pertanyaan-pertanyaan.
"Dengan Malaikat Jibril, naik burak" jawabku
ketus, seolah-olah kedatanganku bagaikan Rasulullah Saw, ketika disertai
Malaikat Jibril dalam riwayat Isra' Mi'raj. Semua tertawa terbahak-bahak.
Batinku mengatakan, habis dengan siapa lagi kalau tidak sendirian. Memangnya
ada kendaraan yang bisa lewat di daerah ini. Tentu cuma berjalan kaki. Kalau
Rasulullah Saw bisa mengendarai burak dalam perjalanan Isra'-nya mengarungi
padang Sinai yang penuh bukit-bukit batu. Dan aku ini apa? Tentulah berjalan
kaki dan sendirian.
"Santri! Bikinkan kopi tubruk yang kental, pakai
cangkir besar, cangkir tutup!" teriak Kiai Hisyam menyuruh khadamnya
membuatkan aku secangkir kopi istimewa. Aku tahu benar kebiasaan para kiai.
Kopi tubruk yang kental (tentu saja manis), dengan cangkir tutup yang besar,
adalah suatu hidangan kehormatan, dan hanya disuguhkan kepada orang yang
dipandang harus dihormati. Kalau seseorang itu disuguhi kopi, biar siang biar
malam, pertanda kehormatan besar. Apalagi kalau dengan cangkir besar yang
bertutup. Ini suatu kehormatan istimewa. Minuman teh, apalagi memakai gelas,
dianggap bukan suguhan, cuma sekadar pembasah tenggorokan.
Kebiasaan para
kiai menyuguhi tamu tidak cukup hanya minuman kopi saja. Biasanya selalu
diiringi dengan kue-kue beraneka macam memenuhi meja, kadang-kadang meja tidak
muat lagi, walaupun tamunya hanya seorang. Pucuk dicita ulam tiba, dasar aku
sudah haus dan lapar sekali. Sepanjang jalan yang aku tempuh tak ada warung
makanan, kecuali sesekali aku jumpai penjual dawet yang disinggahi para
pejalan kaki.
Kami saling menanyakan tentang kabar keselamatan
masing-masing, dan kabar tentang sahabat-sahabat yang jauh. Suasananya jadi
amat menyenangkan dalam ikatan persaudaraan yang akrab.
"Jadi besok malam
Saudara ada di Kertanegara? Aku pun akan datang juga kesana, Insya Allah,"
Kiai Iskandar menyambung pembicaraan yang terputus karena instruksi Kiai
Hisyam membuatkan untukku kopi kental.
"Memang, Insya Allah aku besok ke
Kertanegara. Aku telah hubungi Sdr. Hudimiharja, ketua "Ansor" di sana. Aku
ingin memberi penjelasan kepada kawan-kawan mengenai maksud pemerintah Hindia
Belanda mengadakan mobilisasi di kalangan pemuda-pemuda kita, dan bagaimana
sikap kita," jawabku.
"Aku membaca di koran bahwa Ratu Wilhelmina, kini
berada di London, bagaimana ceritanya ini?" tanya Kiai Hisyam sambil
menuangkan air putih panas ke dalam kopi kentalku yang tinggal separo cangkir.
Kebiasaan orang Banyumas kalau minum kopi dituangi air putih yang panas, agar
kopi menjadi penuh lagi dalam cangkir. Dijogi,istilahnya.
"Negeri Belanda
telah diduduki oleh Jerman. Hitler telah menunjuk seorang kaki tangannya
membentuk pemerintah Belanda yang pro-Nazi. Karena itu, Ratu Belanda mengungsi
ke Inggris dan meneruskan pemerintahan pelarian Belanda di sana," jawabku
menjelaskan.
83
"Pemerintah Hindia Belanda di sini
ikut Wilhelmina atau ikut Hitler?" Kiai Iskandar menanyakan kepadaku.
"Tentu
ikut Wilhelmina, tetap seria kepada ratu yang mengungsi di London," jawabku,
"tetapi jadi serba susah mereka. Ikut Wilhelmina telah putus hubungan, sedang
Hindia Belanda diancam oleh Jepang, sekutu Hitler. Orang banyak meramalkan
bahwa tak lama lagi Jepang akan memaklumkan perang kepada Hindia Belanda.
Situasinya jadi genting sekali bagi Belanda," demikian kataku.
"Dalam
majalah Berita Nahdhatul Oelama bulan yang lalu aku baca," demikian Kiai
Iskandar, "bahwa Hoofdbestuur' Nahdhatul Ulama mendesak MIAI untuk
bersama-sama GAPPI meningkatkan tuntutan Indonesia berparlemen kepada
pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Belanda di Den Haag. Bagaimana
hasilnya?"
"Lima hari yang lalu aku terima surat dari K.H.A. Wahid
Hasyim, ketua MIAI. Sebagaimana kita tahu, MIAI ini sebuah badan gabungan
federasi dari semua partai politik dan organisasi Islam seluruh Indonesia.
MIAI telah mengadakan kerjasama dengan GAPPI sebagai gabungan dari
partai-partai politik non Islam dalam aksi menuntut Indonesia berparlemen.
Kini telah terbentuk suatu kerjasama antara MIAI dan GAPPI dalam suatu kongres
rakyat yang diberi nama KORINDO, Kongres Rakyat Indonesia. Menuntut kepada
Pemerintah Belanda di Den Haag agar kepada Indonesia diberi hak memerintah
sendiri dengan suatu badan perwakilan rakyat yang bernama Parlemen Indonesia.
Menurut bunyi surat K.H.A.Wahid Hasyim tadi, jawaban pemerintah Belanda sangat
mengecewakan," demikian aku menjelaskan.
"Keterlaluan Belanda!" sela Kiai
Hisyam. "Namanya saja Londo, alon-alon mbondo"
(menelikung dan
mengikat erat dengan pelan-pelan).
Semua kami tertawa. Memang dalam
sejarahnya Belanda selalu menelikung kita bangsa Indonesia dengan mengikat dan
membelenggu kita sambil menjalankan semboyannya alon- alon asal kelakon selama
350 tahun.
"Apa jawaban pemerintah Belanda yang kini tak berdaya dalam
pengungsian di London?" tanya Kiai Iskandar, sambil menyedot rokok
klembaknya.
"Apa yang diceritakan K.H.A.Wahid Hasyim dalam suratnya sama
dengan yang aku baca dalam surat-surat kabar bahwa Belanda tidak bermaksud
mengadakan perubahan politik dan ketatanegaraan apa pun bagi rakyat Indonesia
selama masih dalam suasana peperangan ini. Mereka meminta segalanya
ditangguhkan sampai perang selesai, baru nanti akan dibicarakan," demikian
kataku menjelaskan.
Pembicaraan kami terhenti karena terdengar azan
maghrib. Kiai Hisyam mempersilakan kami berdua bersama-sama menuju masjid
untuk sembahyang maghrib berjama'ah. Aku disediakan tempat khusus untuk
bermalam di kamar tarnu. Kiai mempunyai banyak kamar tamu. Tetapi Kiai
Iskandar meminta aku berkumpul menjadi satu dalam kamarnya, katanya karena
masih kangen, masih rindu.
Seperti halnya dengan Kiai Iskandar, aku pun
mengenakan kain sarung menuju masjid. Sudah penuh santn-santri dalam masjid
yang sedang membaca puji-pujian, bacaan menjelang sembahyang dilakukan, sambil
menunggu Kiai Hisyam selaku imam sembahyang. Berebutlah para santri menyalami
Kiai Raden Iskandar dan aku ganti-berganti. Ada beberapa santri yang mencium
tanganku sehabis mencium tangan Kiai Iskandar.
84
Batinku,
ini ketularan Kiai Iskandar. Beliau seorang kiai besar, sedang aku cuma
seorang pemuda, mana bisa dicium tanganku kalau tidak karena berkah Kiai
Iskandar?
Muazin memperdengarkan iqamat, tanda sembahyang akan dimulai,
setelah Kiai Hisyam memasuki ruangan masjid. Beliau mengenakan jubah dan
sorban. Tetapi beliau tidak langsung menuju mihrab, tempat imam, beliau
menghampiri Kiai Iskandar dan meminta yang belakangan ini menjadi imam. Kiai
Iskandar tidak bersedia, mempersilakan Kiai Hisyamlah yang menjadi Imam.
Tetapi Kiai Hisyam tetap meminta bahkan mendorong Kiai Iskandar memasuki
mihrab menjadi imam. Yang didorong tetap saja tidak bersedia dengan alasan
bahwa sohibul bait adalah seorang yang lebih utama darinya. Sebaliknya, Kiai
Hisyam tetap meminta Kiai Iskandar menjadi imam, beliau lebih utama katanya
dan lagi pula ia hendak meminta berkah dan seorang tamu. Lama kedua kiai ini
saling mempersilakan masing-masing menjadi imam hingga para santri dengan amat
sabarnya menanti dengan perasaan hormat kepada keduanya. Kiai Hisyam lalu
berpaling kepadaku sambil mempersilakan aku menjadi imam disebabkan karena
Kiai Iskandar menolak. Aku mesti tahu diri, siapa aku ini. Dengan hormat aku
katakan kepada beliau "Kalau sudah tidak ada lagi kiai di sini, apa boleh
buat!" Maksudku sekedar basa-basi humor sebagai penolakan. Akhirnya, Kiai
Hisyamlah yang maju menuju mihrab. Sebelum memulai sembahyang, kiai
mengumumkan kepada hadirin, sehabis sembahyang nanti kita semua membaca
bersama- sama Nazham Burdah, untuk memohon kepada Allah SWT agar kita
dilindungi dan memperoleh pertolongan-Nya dalarn situasi yang genting dewasa
itu. Agaknya beliau sangat terpengaruh oleh pembicaraan kami yang baru
berlangsung beberapa menit tadi.
Dalam sembahyang, irnam membaca
ayat-ayat Al-Qur'an Surat At-Thariq, yang mengajak kami para makmum mengikuti
firman-firman Allah yang sangat membekas di dada kami. Bahwa hendaklah manusia
berpikir dari apa ia dijadikan. Dijadikan dari setitik air yang memancar, yang
keluar dari sulbi pria dan wanita. Tetapi Allah berkuasa untuk mengembalikan
hidup setelah mati. Kelak pada hari diperlihatkan nanri segala rahasia,
sekali-kali tak ada kekuatan apa pun yang bisa menolong kecuali yang datang
dari-Nya. Sesungguhnya Al-Qur'anlah Firman Allah yang benar-benar menjadi
pemisah antara yang haq dan yang batil. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
merencanakan tipu daya yang benar-benar jahat. Namun Allah Maha Pembuat
rencana yang sebenar-benarnya. Diberinya mereka bertangguh barang sebentar!
Selesai
sembahyang maghrib berjama'ah, seperti yang dianjurkan oleh Kiai Hisyam, kami
semua beramai-ramai membaca Nazham Burdah. Banyak di antara santri yang hafal
di luar kepala. Nazham Burdah adalah sebuah kitab rangkaian sajak dalam sastra
klasik Arab sepanjang 320 bait svair. Pengarangnya bernama Syeikh Muhammad
Al-Bushiri. Seperti banyak kitab-kitab klasik Arab dan kitab-kitab keislaman
pada umumnya tidak pernah jelas disebut kapan kitab itu dikarang, sedang
pengarangnya hanya cukup disebut namanya tanpa biografi sekalipun hanya
ringkasan saja. Kitab tersebut dikarang sekitar 7 hingga 8 abad yang lampau.
Di dalamnya banyak dilukiskan madah dan pujian terhadap kemuliaan sifat-sifat
Nabi di antara sahabat-sahabatnya dalam menjalin kasih sayang satu terhadap
lainnya, di dalam menggalang persatuan dan kesatuan menyusun kekuatan
menghadapi semua musuh dan lawan-lawannya, di dalam ketabahan mereka
menyelesaikan perjuangan demi perjuangan, dan di dalam meratakan kasih sayang
untuk menegakkan kebenaran serta menghalau kebatilan. Pengarangnya mengajak
semua pembacanya untuk meneliri sejarah nabi besar bersama-sama
sahabat-sahabatnya yang selalu siap melaksanakan pimpinannya. Tanyakan kepada
mereka yang mengalami pertempuran-pertempuran besar di Hunain, di Badar, di
Uhud, dan di semua medan juang, betapa dahsyatnya daya juang
85
mereka
yang tak gentar menghadapi segala aksi-aksi musuh, keras dilawan keras dan
tipu- muslihat dilawan dengan taktik berjuang.
Betapa otak
menyentuh hakikat kebenaran Nabi, Bila hari-bari bergelimang di alam sesat dan
mimpi,
Terkadang mata mencerca seolah redup sinar matahari, Bukan apa,
cuma sang mata sedang gundah lantaran sakit Seteguk air yang segar terasa
hambar,
Sebab badan tak enak mulutpun jadi tawar.
Demikian
antara lain sindiran-sindiran halus disisipkan Al-Bushiri dalam Burdahnya.
Lepas
sembahyang isya, sesudah kami dijamu dengan "potong-ayam", sementara para
santri tekun dengan pelajarannya masing-masing, Kiai Hisyam menjumpai kami di
kamar tidur Kiai Iskandar. Kami meneruskan berbincang-bincang mengenai situasi
yang sedang terjadi dewasa itu.
"Beberapa hari yang lalu regent (bupati
Hindia Belanda) mengumpulkan para kiai. Katanya atas perintah dari atasan
bahwa pemuda-pemuda kita akan diwajibkan menjadi serdadu. Kami para kiai diam
saja tidak memberikan reaksi apa-apa. Anak-anak santri sudah mulai gelisah.
Bagaimana jelasnya mengenai soal ini?" Kiai Hisyam memulai pembicaraan.
"Itu
betul!" sela Kiai Iskandar, "bahkan saya sudah dihubungi salah seorang pejabat
pemerintah menanyakan sikap saya tentang hal itu. Saya cuma katakan, minta
waktu, karena saya akan tanvakan kepada pimpinan atasan saya."
"Jadi
bagaimana sikap kita?" Kiai Iskandar mendesak.
"Inilah yang musykil,‖
jawabku, ―pemerintah Hindia Belanda sudah merasa bahwa pada akhirnya Jepang
memaklumkan perang kepada Belanda dan menduduki kepulauan kita Indonesia.
Kalau ini terjadi, maka dalam tempo yang singkat saja, bala tentara Jepang
dengan mudahnya memukul habis seluruh kekuatan perang Hindia Belanda. Beberapa
pemimpin dan orang-orang yang dianggap pro-Jepang telah ditangkapi."
"Jadi
untuk itu semua, pemuda-pemuda mau dijadikan serdadu?" tanya Kiai Hisyam.
"Itulah
soalnya!" jawabku, "pemuda-pemuda kita mau dipaksa menjadi serdadu, namanya
milisi. Padahal mereka belum terlatih benar sebagai tenaga perang, menghadapi
tentara Jepang yang sudah bertahun-tahun bertempur di daratan Tiongkok,
Manchuria, dan terus ke selatan."
"Itu berarti menjadikan anak-anak kita
umpan peluru Jepang!" sela Kiai Hisyam.
"Bukan itu saja yang penting,"
jawab Kiai Iskandar. "Jika pemuda-pemuda kita harus berperang, apa tujuan
mereka? Berperang untuk siapa dan membela siapa? Bagaimana kalau mati? Apa
hukumnya mati mereka itu?"
86
"Begini." Aku
mencari kata-kata untuk menurunkan temperamen Kiai Iskandar yang sudah mulai
semangat. Sementara Kiai Hisyam menyuruh khadamnya membuat lagi kopi yang
panas. Kopi tubruk.
"Dalam surat K.H.A.Wahid Hasyim yang baru aku terima,
beliau ceritakan bahwa Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari telah memanggil
K.H.A.Wahab Chasbullah, K.H Mahfuzh Shiddiq, K.H.Bisri Syamsuri, K.H.A.Wahid
Hasyim, dan beberapa pimpinan teras Nahdhatul Ulama untuk membicarakan masalah
tersebut, bertempat di Tebuireng."
"Nah, lalu bagaimana?" serentak
berbareng kedua kiai ini seperti tidak sabar menantikan akhir ceritaku.
"Telah
ada keputusan dalam musyawarah tersebut. Kita tidak membahasnya dari segi
politiknya, tetapi semata-mata dari segi hukum Agama Islam. Tentang hukum mati
dalam sesuatu peperangan. Orang bisa dihukumi mati syahid apabila mati karena
membela agama, membela harta-benda, membela kemerdekaan, membela kehormatan,
dan sebagainya. Sekarang kita nilai. Perang sekarang ini perang antara siapa
melawan siapa? Bukankah perang antara Jepang melawan Belanda dan Hindia
Belanda? Kecuali kalau Jepang memaklumkan perang dengan Bangsa Indonesia. Dari
pengamatan politik, Jepang tidak akan memaklumkan perang melawan Bangsa
Indonesia, bahkan Jepang sangat berkepentingan terhadap simpati Bangsa
Indonesia. Sebab itu, tentunya Jepang hanya akan memaklumkan perang melawan
Belanda dan Hindia Belanda," demikian aku menjelaskan.
"Itu bijaksana
sekali ulama-ulama kita," sela Kiai Hisyam. "Kita kan bukan Belanda dan juga
bukan Hindia Belanda."
"Kalau begitu, artinya kita menolak secara halus,"
Kiai Iskandar menyambung.
―Jadi, menurut keputusan Tebuireng, mari dalam
suatu peperangan yang tidak karena membela agama, tidak pula kemerdekaan,
tidak juga harta benda, dan juga tidak untuk membela kehormatan, itu namanya
mati sia-sia, dan jelas bukan mati syahid. Masalah masuknya pemuda-pemuda kita
menjadi milisi Belanda erat sekali dengan masalah mati itu tadi. Jangan lupa,
masuknya pemuda-pemuda kita ke dalam milisi Belanda untuk melawan Jepang itu
artinya menyerahkan nyawa di ujung bayonet Jepang," demikian aku melanjutkan
keteranganku.
"Apakah keputusan musyawarah Tebuireng itu telah
disampaikan kepada MIAI?" Kiai Iskandar bertanya.
"Sudah!" jawabku,
"bahkan telah diterima menjadi pendirian MIAI. Beberapa hari yang lalu, MIAI
telah melangsungkan sidang lengkapnya di Yogya. Hoofdbestuur Nahdhatul Ulama
telah mengutus sebuah delegasi terdiri dari: K.H.A. Wahab Chasbullah, K.H.
Mahfuzh Shiddiq, K.H. Mohammad Dahlan, dan K.H. Mohammad Ilyas untuk membawa
hasil Musyawarah Tebuireng, dan ternyata diterima bulat sebagai pendirian dan
sikap seluruh partai dan organisasi anggota MIAI."
"Alhamdulillah," sela
Kiai Hisyam, "kenapa K.H.A. Wahid Hasyirn tidak masuk delegasi Nahdhatul
Ulama?"
"Beliau ketua MIAI," jawab Kiai Iskandar, "lagi pula beliau ikut
musyawarah Tebuireng, bukan?"
87
"Tentang
pemuda-pemuda kita, nanti harus bagaimana? Mereka tentu tidak mempunyai
keberanian untuk menolak begitu saja terhadap perintah pejabat Hindia
Belanda," demikian Kiai Iskandar bertanya.
"Itu sudah diatur," aku
menjelaskan, "sebuah delegasi di bawah pimpinan K.H.A. Wahab Chasbullah akan
menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menjelaskan semua itu dari segi
hukum Agama Islam. Menurut ketentuan penguasa bahwa milisi itu bertingkat-
tingkat. Ada yang dijadikan milker, ada yang menjadi pasukan pengawal kota,
dan ada tenaga-tenaga keamanan kampung. Kita akan memperjuangkan agar
pemuda-pemuda yang memenuhi syarat-syarat tertentu cukuplah kiranya bilamana
diserahi menjaga keamanan kampung saja. Tentu ada seleksi mengenai kesehatan
tubuh, yang tidak sedang belajar dan yang belum sampai umur. Santri-santri itu
tentunya masuk golongan pelajar hingga tidak dikenakan kewajiban milisi. Kalau
toh cuma menjaga keamanan kampung, biar tidak ada milisi pun kita harus
menjaga keamanan kampung kita, misalnya dari gangguan penjahat, maling, dan
sebagainya."
"Ini ngomong-ngomong sendirian. Bagaimana tentang Jepang?
Kalau mereka datang kemari, apa sikap kita?" tanya Kiai Iskandar.
"Pertanyaan
ini bisa membahayakan kita di mata Belanda. Dan itu masih terlalu pagi. Kita
tentu akan melihat dahulu bagaimana nanti. Yang penting, kita hadapi dulu
Belanda ini dengan cara-cara yang bijaksana. Mereka masih berkuasa, dan kita
harus menyelamatkan umat kita dari perbuatan fitnah mereka," aku
menenangkan.
Hari sudah larut malam, masing-masing kami dipersilakan
masuk tidur. Kedua kiai masih akan mengambil air wudhu untuk melakukan
sembahyang malam. Sedang aku tidak kuat lagi menahan kantukku, lalu merebahkan
diri di atas kasur yang sudah disiapkan.
Lapangan Waqfiyah itu sudah
penuh dibanjiri pemuda-pemuda. Tiap Jum'at petang, pemuda-pemuda anggota Ansor
berkumpul di sana, untuk mengadakan latihan baris berbaris, belajar huruf
morse, yaitu pembicaraan melalui isyarat bendera atau bunyi pluit (sempritan),
dan juga belajar memberi pertolongan pertama dalam kecelakaan. Mereka
tergabung dalam satu barisan yang dipecah menjadi pasukan-pasukan, dan tiap
pasukan dipecah lagi menjadi regu-regu. Mereka anggota Ansor yang telah diubah
statusnya dari organisasi pemuda menjadi "Gerakan Pemuda" yang berpakaian
seragam. Kemeja khaki berwarna hijau, berdasi warna hijau tua dengan lambang
bola dunia diikat tali dikelilingi 9 bintang berwarna putih, dan celana
panjang berwarna putih. Mereka mengenakan peci pandu sewarna dengan
kemejanya.
Di kalangan dunia pemuda, di sekitar tahun 1942-an terdapat
bermacam-macam organisasi. Ada yang bersifat kepanduan, seperti: "Kepanduan
Bangsa Indonesia" (KBI), "Sarekat Islam Afdeeling Pandu" (SIAP), "Hizbul
Wathan" (HW), "Nationale-Padvindery" (Natippy), dan lain- lain. Tetapi juga
ada yang bersifat gerakan pemuda, seperti: "Surya Wirawan", "Pemuda Gerindo"
(Gerakan Rakyat Indonesia), dan "Gerakan Pemuda ANSOR", yang kemudian diubah
menjadi "Barisan Ansor Nahdhatul Ulama" (BANU).
Di kotaku, Sukaraja,
sebuah kota kecil di Banyumas, para pemuda hampir semuanya tergabung dalam
"Barisan Ansor," "Surya Wirawan," "Pemuda Gerindo", "Hizbul Wathan", dan
"Kepanduan Bangsa Indonesia." Akan tetapi, yang paling besar jumlah anggotanya
adalah "Barisan Ansor." Mereka terdiri dari hampir seluruh lapisan pemuda.
Para santri, tukang gambar, tukang gunting rambut, para pedagang kecil, pemuda
tani, buruh pabrik, dan sebagainya.
88
Dengan lahirnya
"Barisan Ansor" maka terjadilah semacam suatu revolusi di kalangan pemuda
desa. Mereka yang selama hidup tidak pernah mengenakan celana panjang,
mendadak sontak tampil mengenakan celana di samping berkain sarung. Banyak
terjadi hal yang lucu-lucu. Mereka masih malu-malu mengenakan celana. Jika
hendak pergi ke tempat latihan, dari rumah sudah mengenakan celana, tetapi di
luarnya tetap memakai kain sarung. Baru setelah tiba di tempat latihan, bila
dilihat sudah mulai banyak teman-temannya yang bercelana, barulah mereka
menanggalkan kain sarungnya dan celana sudah siap dikenakan. Dalam
kursus-kursus maupun latihan dipergunakan bahasa pengantar, bahasa Indonesia.
Namun karena masih banyak di antara mereka yang kurang memahami bahasa
persatuan ini, maka uraian diselang-seling bahasa Indonesia campur Jawa Kromo.
Bahkan tempat duduk pun mengalami suatu revolusi. Mereka masih enggan duduk di
atas kursi, kebiasaan duduk di atas tikar. Suatu ketika kami mengadakan
perayaan Maulid Nabi. Untuk menentukan macam apa tempat duduknya, apakah tetap
di atas lantai ataukah di atas kursi, hampir saja perayaan menjadi urung.
Sebagian menghendaki tetap di atas lantai, sebagian yang lain menghendaki
kemajuan, yaitu di atas kursi. Lalu dipungut suara, sama kuat. Masing-masing
pihak mempertahankan pendiriannya. Hingga sudah mulai banyak yang mengambil
sikap meninggalkan ruangan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Untunglah,
aku selaku pemimpin mereka, menemukan suatu pemikiran. Aku usulkan:
kedua-duanya kami pergunakan. Yaitu, di waktu membaca Al-Qur'an dan Kitab
Barzanji, kami semua duduk di atas tikar atau lantai. Nanti pada saat
mendengarkan pidato-pidato, kami duduk di atas kursi. Usulku diterima, setelah
masing-masing memberikan toleransinya. Menggelikan juga. Tatkala tiba saatnya
pidato-pidato dan semuanya mulai menduduki kursinya masing-masing,
mereka saling memandang dan senyum, ada
juga yang cekikikan merasa ada sesuatu yang terasa lucu. Katanya, tak enak
duduk di atas kursi, malu. Orang sudah dewasa kok seperti ... anak mau
disunat! Ada juga yang diam-diam meninggalkan kursinya, ngeloyor duduk di
lantai kembali. Untung bisa segera ditertibkan.
Jangan ditanya lagi kalau
sedang memasang dasi masing-masing, kelihatannya seperti kursus mengenakan
dasi saja. Maklumlah, selama hidupnya tak pernah mengenakan tali leher.
Kami,
dari kelompok pimpinan, mengawasi mereka dengan terharu.
"Lihatlah,
pemuda-pemuda kita ini anak dari zamannya. Selama hidupnya, barulah kali ini
memakai celana panjang dan dasi," tiba-tiba saja Suhada, ketua cabang membuka
percakapan.
"Benar, anak zamannya!" jawabku, "tiap zaman mempunyai
anak-anaknya. Mereka korban dari keterbelakangan."
"Kita merasakan
keterbelakangan akibat politik kolonial, kita dibikin bodoh," menyela Suhaimi,
sekretaris cabang.
"Tidak dinyana, pemuda-pemuda santri kini baris
berbaris. Akan lenyap nanti cemooh orang seolah-olah santri cuma pandai
menanak nasi," sambung Haji Masruri, bendahara cabang.
"Bisakah kita
menandingi kemajuan KBI dan Surya Wirawan?" sela Muhammad Ridwan, wakil ketua
cabang.
"Sekarang saja kita sudah sejajar!" kataku, "padahal kita
berpangkal tolak dari asal yang berbeda. Mereka pemuda-pemuda yang telah
terdidik dari lingkungannya dan dari sekolahnya, sedang pemuda-pemuda kita
ini, anak-anak rakyat yang buta huruf dan tidak
89
mengenal
bangku sekolah. Selangkah lagi kita sudah berada di depan mereka!" kataku
meyakinkan mereka.
"Begini banyak pemuda-pemuda yang datang berlatih.
Kita tidak bisa lagi berlatih dalam satu tempat," kata Suhada sambil berdiri
memperhatikan anak-anak sedang baris-berbaris.
"Saya sudah usulkan kepada
Ismail, kepala barisan, agar Jum'at depan mulai dipecah sedikitnya menjadi
tiga tempat. Satu di sini, satu lagi di lapangan IWS, dan satu lagi di
lapangan Tallumul-Huda," Muhammad Ridwan menyambut pembicaraan.
"Akhir-akhir
ini semakin membanjir pemuda-pemuda mendaftarkan diri menjadi anggota. Apakah
hal ini disebabkan karena timbulnya kesadaran untuk maju, ataukah karena takut
dijadikan milisi oleh Belanda?" tiba-tiba Suhaimi menanya. la sekretaris
cabang, tahu benar tentang banyaknya pemuda-pemuda yang mendaftarkan diri
menjadi anggota Ansor.
"Karena dua-duanya!" jawabku, "apa yang kita
usahakan selama ini tidaklah sia-sia. Suatu kebangkitan telah timbul bahwa
kita harus bangun dan maju. Tetapi juga karena. pemuda- pemuda ini tidak sudi
menjadi alat kolonial, dijadikan umpan peluru Jepang."
"Apakah sudah ada
kepastian bahwa anggota-anggota Ansor dibebaskan dari dinas milisi Belanda?"
Suhada bertanya kepadaku.
"Sudah! Aku sudah jelaskan kepada pihak
kepolisian Karesidenan beberapa hari yang lalu bahwa pucuk pimpinan telah
memperoleh kesanggupan Gubernur Jenderal, bahwa anggota kepanduan dan
pemuda-pemuda yang sedang belajar dibebaskan dari kewajiban dinas milisi. Aku
jelaskan kepada mereka bahwa Ansor ini ya tergolong kepanduan ya tergolong
pemuda pelajar karena mereka kaum santri," demikian kataku menjelaskan.
"Ya,
tapi kalau kita dipaksa harus masuk milisi, misalnya dijadikan Stadswacht
bagaimana?" Muhammad Ridwan menyela.
"Belanda juga pikir-pikir," jawabku,
"mengadakan milisi itu, artinya menambah anggaran belanja. Kini hubungan
Hindia Belanda dengan Nederland putus, dengan sendirinya subsidi kerajaan tak
bakal datang lagi. Sedang kekuatan ekonomi Hindia Belanda akibat ancaman
perang Jepang bertambah payah. Paling-paling kita cuma dipaksa harus menjadi
anggota Stadswacht, itu pun Belanda masih harus pikir 12 kali."
Haji
Masruri yang sejak tadi diam saja, lalu mengajukan pertanyaan:
"Stadswacht
itu apa tugasnya?"
"Stadswacht itu artinya Pengawal Kota.' Tugasnya
menjaga keamanan kota dan jangan sampai jatuh ke tangan Jepang. Menurut
hematku, Belanda tentu hanya menyerahkan tugas ini kepada golongan yang mereka
percayai. Jelas kita ini tidak termasuk yang dipercayai mereka. Mereka
sebenarnya mencurigai kita sebagai penyokong atau pro-Jepang, cuma mereka
belum menemukan bukti-bukti," aku menerangkan.
"Kita ini kan pro-Jepang?"
Suhaimi ingin tahu pendirianku. Aku paham, ia sedang memancing aku.
"Begini!
Tapi ini sangat rahasia ... !" jawabku sambil aku melihat ke kiri dan ke
kanan, "Waktu aku di Surabaya karena panggilan Pucuk Pimpinan untuk
membicarakan masalah ini, aku juga tanyakan tentang sikap kita terhadap
Jepang. Ketika itu, K.H.A. Wahid Hasyim di muka K.H. Mahfuzh
Shiddiq menerangkan bahwa kita membantu Jepang dalam melepaskan
kita dari belenggu penjajahan Belanda. Menghalang-halangi Jepang dan
90
membantu
Belanda tentu tidak mungkin. Tidak ada gunanya. Tetapi sikap kita seterusnya
terhadap Jepang setelah mereka menguasai negeri ini, tentu lain lagi. Itu akan
ditentukan nanti pada waktunya. Kita sekarang memusatkan perjuangan kita lepas
dari Belanda dulu."
Semua kami diam, terbayang di muka kami bahwa
perjuangan bakal lebih dahsyat di masa mendatang. Kami semua telah berjanji
untuk tidak membocorkan apa yang kami bicarakan karena akibatnya akan berat
sekali. Kami semua juga telah mengikat janji untuk lebih meningkatkan
kewaspadaan.
"Masihkah saudara menerima surat-surat K.H.A. Wahid Hasyim?"
tiba-tiba Suhada mengalihkan kepada pembicaraan lain.
"Masih!" jawabku
"kami selalu berkirim-kiriman surat. Hampir tiap minggu suratnya datang. Aku
mengagumi orang ini. Begitu banyak urusannya selaku Ketua MIAI, ketua
Nahdhatul Ulama bagian pendidikan, di samping mendampingi Hadratus Syaikh
Hasyim Asy'ari memimpin Pesantren Tebuireng, tetapi masih saja mengirim
surat-surat kepada teman- temannya. Semua surat-suratnya bersifat memberikan
bimbingan dan petunjuk-petunjuk. Banyak menceritakan hal-hal penting yang
tidak mungkin ada di surat-surat kabar."
"Apa tidak khawatir disensor?
Padahal sernua surat-surat lewat pos sekarang disensor!" bertanya Suhaimi.
"Beliau
cukup cerdik. Apa yang boleh ditulis lewat pos. Yang kira-kira bisa masuk
ranjau, beliau kirim lewat kurir khusus," jawabku.
"Kalau begitu, beliau
mempunyai banyak kader-kader dan banyak keluarkan biaya buat kurir ke sana ke
mari," sela Haji Masruri.
"Memang benar sekali. Beliau memiliki ketajaman
menilai untuk memilih siapa-siapa yang dijadikan kurir dan siapa-siapa yang
diserahi tugas-tugas menghubungi banyak pemimpin. Untuk pembiayaannya, semua
keluar dari kantong sendiri. Ini konsekuensinya menjadi pemimpin seperti yang
pernah beliau katakan berulang-ulang, bahwa pemimpin juga harus mengeluarkan
duit dari kantongnya untuk perjuangan!" aku menjelaskan.
Kami lalu
beralih membicarakan tokoh K.H.A. Wahid Hasyim, bahwa beliau seorang yang
memiliki kepandaian memilih orang dan menempatkannya pada tempat yang tepat.
Aku katakan kepada mereka, sampai-sampai beliau mempunyai kepandaian
"mens-kennis," yakni ilmu mengenal manusia. Beliau bisa mengenal watak
seseorang dari tanda tangannya, dari caranya berbicara, dari caranya merokok
dan makan, sampai-sampai dari caranya seseorang tertawa pun beliau bisa
menerka tentang wataknya. Belku tidak pernah duduk di bangku sekolah yang mana
pun, pendidikannya boleh dikatakan langsung dari asuhan ayahandanya sendiri,
Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Tetapi beliau banyak membaca buku-buku dan
mempelajari bahasa-bahasa asing. Tidak lupa pula, beliau belajar dari bergaul
dengan sesama manusia, baik kawan maupun lawan.
"K.H.A. Wahid Hasyim
mengeluarkan biaya-biaya untuk perjuangan, menerbitkan majalah, dan pergi ke
sana ke mari, dari mana kekayaannya?" bertanya Haji Masruri. Sebagai bendahara
cabang, rupanya ia tertarik tentang kekayaan seseorang. Dia sendiri pedagang
batik.
"Beliau pernah katakan padaku bahwa beliau berdagang. Aku tidak
tanyakan macam perdagangannya. Cuma beliau pernah katakan kepadaku bahwa
menjadi pedagang banyak faedahnya. Pertama, bisa mencari rezeki dengan halal.
Kedua, dari berdagang akan
91
memiliki sifat-sifat
cermat, rajin, percaya kepada diri sendiri, semangat berjuang, dan banyak
bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Pernah dikatakan kepadaku entah
suatu hadits entah ucapan ulama, bahwa 90% dari rezeki Allah terletak pada
berdagang. Aku lupa menanyakan apakah itu hadits ataukah qaul ulama," demikian
aku menegaskan.
Tiba-tiba terdengar aba-aba dari pemimpin latihan,
Ismail, bahwa barisan supaya berkumpul, latihan akan diakhiri. Suhada sebagai
ketua cabang diminta untuk memberi nasehat dan memimpin upacara penutupan
latihan. Begitu latihan ditutup, salah seorang memperdengarkan azan karena
waktu maghrib telah tiba. Kami semua sembahyang maghrib berjama'ah dengan imam
Muhammad Ridwan. Kecuali wakil ketua cabang, ia adalah salah seorang ustadz
Madrasah Al-Huda.
Kami bersembahyang maghrib berjama'ah di Gedung
Waqfiyah yang terletak di ujung lapangan yang kami pergunakan untuk latihan
Ansor. Sebuah gedung yang resminya digunakan untuk tempat pertemuan (Balai
Pertemuan), akan tetapi sekaligus juga mushala. Sebuah gedung sebesar 25 X 15
M, dindingnya seluruhnya tembok dan lantainya tegel. Didirikan pada tahun 1937
oleh warga Nahdlatul Ulama dengan secara gotong royong. Batu, pasir,
bata-merah, dan kayu, dikumpulkan sendiri dari sungai dan membuat sendiri
bangunan gedung dengan pekerja-pekerja, semuanya secara gotong royong.
Modalnya sebidang tanah yang cukup luas berasal dari wakaf sebuah keluarga,
oleh sebab itu maka gedung tersebut diberi nama "Gedung Waqfiyah," artinya,
sebuah gedung yang berasal dari dan berstatus wakaf.
Malam itu, permulaan
bulan Maret 1942, benar-benar malam kelabu yang rawan. Jalan-jalan tampak sepi
dan lengang, rumah-rumah penduduk gelap tanpa lampu. Sudah beberapa hari
pemerintah Hindia Belanda mengumumkan keadaan dalam bahaya dan perang.
Berlakulah jam malam, dan aksi pemadaman lampu penerangan. Istilahnya ketika
itu LDB, singkatan dari "Lucht Beschermen Dienst" atau dinas penjagaan dari
bahaya serangan udara. Tetapi rakyat menafsirkan lampu pejah Bom Dawah (lampu
mati dan bom pun jatuh). Rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan harus meminta
izin penguasa. Hatta orang mengaji pun harus ada izin.
Malam itu aku
berdinas menjaga gardu listrik. Pemuda-pemuda Ansor dikenakan dinas menjaga
kampung, maksudku menjaga keamanan kampung. Kami masih bisa bergerombol
berbincang-bincang dan mengobrol untuk mengisi malam-malam yang sepi. Karena
aku mendapat tugas menjaga gardu listrik, aku bisa mondar-mandir mendatangi
teman-teman yang sedang bergerombol-gerombol jaga kampung.
"Ini Belanda
maunya apa? Kita disuruh duduk-duduk tidak bersenjata. Kalau nanti Jepang
datang kemari dengan tank dan meriam, kita jadi apa?" temanku Sunarko, guru
IWS menyeletuk mengisi kekosongan.
"Aku baca dalam koran, ketika
balatentara Jepang memasuki Nanking Ibu Kota Tiongkok, jangankan rakyat biasa,
tentara Tiongkok sendiri lari tunggang langgang sambil mernbuang senjatanya,"
jawabku.
"Tapi di sini lain!" sambung Imam Supangat, anggota Ansor yang
sedang jaga kampung. "Di sini tak akan ada tentara Belanda yang lari, sebab di
sini tak ada sepotong pun serdadu Belanda!"
"Makanya saya memakai sarung
saja. Nanti kalau Jepang datang, saya akan sambut mereka dengan ucapan Banzai,
mereka lihat saya memakai sarung 'kan tahu bahwa saya
92
cuma
rakyat biasa!" sambung Sarmidi, anggota Ansor yang lain. Kami semuanya tertawa
panjang.
"Belanda ini bodoh betul," sambung Imam Supangat, "dia mengira
kita akan membantu dia, padahal kita ini anti Belanda. Atau dia sedang
sekarat?"
Pembicaraan terhenti karena sekonyong-konyong berhenti di muka
kami seseorang dari sepedanya. Sarmidi membisiki aku bahwa yang datang ini
mantri polisi, seorang yang terkenal sangat galak. Aku sudah mulai cemas juga
kalau-kalau ia menangkap pembicaraan kami. Malam itu gelap tak ada sinar
lampu, kecuali kami hanya bisa memperhatikan sesuatu hanya dari cahaya bintang
di langit. Tetapi dari bayangan tubuhnya, aku segera mengenali siapa orang
yang turun dari sepeda ini. Segera aku menegur:
"Suhada, ya?" tegurku.
"Masya
Allah, aku cari saudara di rumah, kiranya ada di sini!" benar juga terkaanku,
ia Suhada, ketua cabang Ansor.
"Dari mana saudara tahu aku ada di sini?"
aku membalas bertanya.
"Aku datang ke rumahmu, kata orang di rumah,
saudara ada di sini," jawabnya.
"Saudara 'kan komisaris daerah Ansor Jawa
Tengah, mengapa jaga gardu listrik di sini?" Suhada masih penasaran padaku.
"Aku
'kan guru dan ustadz madrasah. Asisten Wedono menetapkan aku jaga gardu
listrik di sini. Aku pikir baik juga, aku bisa memperoleh kesempatan tiap
malam keliling mengunjungi teman-teman yang jaga kampung," aku menerangkan.
Sarmidi
yang sejak tadi ketakutan, mengira orang yang datang ini mantri polisi,
menjadi lega hatinya. Sambil meninju punggung Suhada ia bertanya: "Dari mana
malam begini datang kemari? Kok naik sepeda segala?"
"Kenalanku, seorang
polisi datang ke rumah cari kopi, karena tak ada warung buka. Saya pinjam
sepedanya sebentar karena ada urusan penting. Lalu aku kemari," jawab Suhada.
la merogoh kantong kemejaku mencari rokok, aku keluarkan sebungkus
"Marikangen" dari kantongku. Masing-masing mengambil sebatang.
"Begini
soalnya." Suhada menyandarkan sepedanya, lalu katanya: "Aku sengaja mencari
saudara karena ada berita penting. Itu polisi yang datang ke rumah, sebenamya
tidak semata-mata mencari kopi. Kedatangannya kelihatan sangat gugup dan
seperti orang ketakutan. Dia bilang bahwa adiknya yang bekerja di kereta api
Cirebon datang ke rumahnya, melarikan diri. Jepang hari kemarin telah mendarat
di Indramayu, sebagian menuju arah Bandung dan sebagian lagi menuju ke
selatan, barangkali kemari. Pegawai kereta api pada bubar, masing-masing
pulang ke kampungnya. Lha, polisi itu juga ikut ketakutan. Kelihatannya dia
hendak lari juga. Dia menawarkan padaku untuk menyimpan uniform polisi di
rumahku. Tentu saja saya tolak!"
"Suruh saja buang di kali!" sela
Sarmidi.
Aku berpikir sejenak mengenangkan alangkah cepatnya peristiwa.
Baru tanggal 1 Maret 1942 Jepang umumkan perang dengan Belanda. Ketika itu
baru tanggal 3 Maret. Alangkah cepatnya Jepang mendarat di Jawa. Dari
berita-berita yang sampai padaku pun mengabarkan bahwa Jepang sudah mendarat
di Tuban dan bahkan dekat Semarang.
93
"Jadi bagaimana
kalau demikian?" Amin Supangat dan Sarmidi berbareng bertanya kepadaku.
"Biar
saja, Jepang toh tidak memaklumkan perang kepada Bangsa Indonesia. Yang
penting bagi kita, harus dicegah terjadinya fitnah-menfitnah dari orang-orang
yang menghendaki keonaran dalam masyarakat. Orang-orang yang mendendam akan
menggunakan kesempatan dalam kesempitan!" aku mencoba meyakinkan
teman-teman.
Setelah aku diam beberapa saat, aku menemukan sebuah
pikiran.
"Begini, aku ada pikiran, sebaiknya kita besok kumpul di kantor
Majlis Konsul. Di sana ada Pak Mukhtar dan beberapa ulama. Kita rundingkan
situasi yang genting di hadapan mereka."
"Apa tidak lebih baik di sekolah
IWS saja, toh sekolah pasti diliburkan. Kita tidak dicurigai siapa pun kalau
kita berkumpul di gedung sekolah, alasan kita sedang bersiap-siap hendak
meliburkan sekolah," tiba-tiba Sunarko mengusulkan.
Kami semua menyetujui
usul Sunarko. Besok pagi, kami semua akan berkumpul di gedung sekolah IWS
tempatku mengajar. Pak Mukhtar dan beberapa ulama akan kami undang ke sana.
Kami
lalu bubar. Masing-masing melanjutkan tugas menjaga kampung. Aku dan Sunarko
melanjutkan tugas menjaga gardu listtik. Aku tak mengerti lagi apa maunya
Asisten Wedono, gardu listrik harus dijaga, padahal sudah beberapa hari
listrik dimatikan di seluruh kota. Barangkali tugas kami agar melawan Jepang,
kalau mereka datang hendak merebut gardu listrik kecil ini dengan tank dan
meriamnya. Apa maunya agar aku melawan tank Jepang dengan lampu senterku,
sebab cuma ini senjataku.
Sudah beberapa hari ini tak ada beras di
pasaran. Daerahku terkenal sebagai gudang padi, tetapi aneh, habis panen itu
beras seperti disapu setan saja. Pedagang beras luntang- lantung dengan
pikulan kosong mencari kulakan beras, artinya mencari beras untuk dijual lagi,
tetapi mereka tidak bisa menemukan beras. Di antaranya sudah mulai banyak yang
mengganti dagangannya, menjual sayur atau apa saja yang bisa dijualbelikan.
Penduduk
sudah sangat gelisah karena tidak ada lagi simpanan beras. Jangankan untuk
disimpan, untuk dimakan sehari itu saja sukarnya bukan main. Ada juga dengan
bisik-bisik orang memperoleh barang satu dua kaleng susu, tetapi Masya Allah,
jangan ditanya lagi harganya.
Selama hidupku, baru kali itu aku mengalami
bagaimana sukarnya mencari beras. Sekolah dan madrasah tempatku mengajar sudah
beberapa hari ini diliburkan karena suasananya tidak memungkinkan lagi untuk
belajar. Orang-orang sibuk dengan membuat lobang perlindungan seperti yang
dianjurkan oleh pemerintah, tiap-tiap rumah harus membuat lobang perlindungan
untuk tempat berlindung bila terdengar bunyi kentongan tanda bahaya serangan
udara. Begitu terdengar kentongan atau bunyi sirene tanda ada serangan udara,
masing-masing orang berlari-lari menuju ke lobang perlindungan dengan
menggigit sepotong karet, maksudnya bila ada suara bom, rahang dan telinga
terlindung dari sentakan suara yang memekakkan telinga. Supaya karet tidak
mudah hilang, maka diikatlah pada tepinya dengan seutas benang atau tali, dan
digantungkan pada leher. Lucu juga jadinya. Semua orang begitu, tak perduli
laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun kakek- kakek. Begitu suara
kentongan atau sirene berhenti tanda serangan udara telah dianggap selesai,
orang baru teringat bahwa perutnya pada keroncongan. Mereka pergi
hilir-mudik
94
dengan panci atau bakul kosong untuk
mencari beras. Yang rnemegang duit pun susah, apalagi yang tidak memegang
barang satu sen pun. Sudah banyak orang yang mengganti menu sehari-hari, bukan
lagi makan nasi, tetapi makan rebusan singkong atau pisang rebus. Tetanggaku
mempunyai banyak piaraan ayam. Sudah dua hari cuma makan ayam goreng saja.
Ketika baru sekali dua, ia merasa seperti raja, cuma makan ayam goreng atau
opor ayam tanpa nasi. Tetapi setelah dua hari terus-menerus, perut tidak kuat
lagi, mencret dia. Pikirnya, barangkali akan mati dia bukan karena kena bom
Jepang, tetapi karena kebanyakan makan ayam goreng. Kasihan dia!
Hari-hari
pada minggu pertama bulan Maret 1942 merupakan hari-hari paling sibuk buat
Hindia Belanda. Banyak truk-truk militer penuh dengan serdadu-serdadu
campuran. Ada serdadu KNIL (Belanda dan Bumiputera), ada juga serdadu
Australi. Mereka bertruk-truk hilir-mudik, ke barat dan ke timur dengan
muka-muka lesu dan murung. Banyak di antaranya tidak lagi memakai baju, bahkan
ada yang mengenakan peci hitam. Mudah sekali diterka bahwa mereka dalam
kebingungan dan ketakutan. Sesekali mereka berhenti di pinggir jalan raya,
tidak jelas apa yang dikerjakan, satu dua opsir mereka tampak berunding, lalu
memerintahkan iring-iringan truk berbalik haluan, lalu pergi begitu saja. Dari
mulut ke mulut orang berbincang-bincang bahwa kota pelabuhan paling penting di
daerah Banyumas, Cilacap, berkali-kali mengalami pemboman oleh pesawat-pesawat
Jepang. Pesawat- pesawat itu membomi kota Cilacap dan sekitarnya dalam formasi
yang besar, berpuluh- puluh jumlahnya.
Kami baru saja mengadakan
pertemuan di salah satu masjid, mendengarkan laporan- laporan, dan mengambil
langkah-langkah yang dipandang perlu. Banyak dikemukakan dalam laporan
teman-teman bahwa di beberapa jalan raya diketemukan pakaian seragam serdadu
KNIL dan Australi dengan beberapa senjata karaben. Tampaknya semua itu dibuang
begitu saja. Dilaporkan juga bahwa kantor-kantor pemerintah terdapat kosong,
tidak berpenghuni. Sementara itu, satu dua toko Cina digedor orang untuk
diambil barang- barangnya.
Para kiai berkumpul untuk membicarakan situasi
yang sangat tidak menentu. Sebagian berpendapat bahwa tidak dibenarkan
terjadinya penggedoran-penggedoran terhadap toko- toko karena hal itu
dipandang sebagai bentuk perampasan hak milik orang dalam situasi yang
genting. Bisa menjurus kepada keonaran yang membahayakan keselamatan umum.
Tetapi juga ada yang berpendapat bahwa hal itu boleh saja karena kita dalam
keadaan perang. Sebagian berpendapat bahwa yang berperang itu bukan kita,
tetapi Belanda melawan Jepang. Ada lagi yang berpendapat lain, bahwa dewasa
itu sebenarnya menjadi tanggung jawab penguasa. Namun karena kekuasaan
penguasa telah sangat goyah dan bahkan tidak ada lagi kekuasaan, maka dalam
situasi kekosongan kekuasaan, menjadi kewajiban para ulama untuk menjaga
ketertiban dan keamanan umum. Tetapi bagaimanapun juga, akhirnya diambil kata
mufakat bahwa dewasa itu tidak ada lagi yang bernama kekuasaan. Dalam keadaan
demikian, maka kewajiban para ulama dan pemimpin masyarakat mengambil tanggung
jawab ketertiban dan keamanan umum. Kita adalah rakyat. Harus dijaga
kesel-matan harta bendanya dan nyawanya. Harus diambil langkah untuk membatasi
sekecil mungkin terjadinya keonaran dan keributan.
Tiba-tiba kami
mendengar suara sangat gemuruh dan teriakan-teriakan. Aku segera keluar dari
tempat pertemuan untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat orang banyak
berbondong-bondong menuju suatu arah. Mereka meneriakkan kata-kata yang tidak
jelas. Mereka menenteng panci-panci dan bakul-bakul kosong. Aku hampiri
mereka.
95
"Saudara-saudara mau kemana?" aku berdiri
menghadapi mereka.
"Mau ke kelurahan! Kita mau bongkar lumbung padi!"
teriak mereka bersahut-sahutan. Sementara itu, teman-temanku pemuda Ansor
mengelilingi aku, mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu mengenai diriku.
"Siapa
pemirnpinnya?" aku bertanya dengan sopan. Aku berusaha untuk menenangkan
suasana.
"Tidak ada! Ini kehendak orang banyak. Kehendak kita sendiri!"
teriakan mereka semakin memekik-mekik. Aku perhatikan sepintas lalu mereka
berbicara dengan emosi, tinju digenggam. Teriakan tak habis-habisnya keluar
dari mulut mereka yang sudah basah oleh buih. Benar-benar suatu barisan orang
lapar. Mereka tak perduli lagi akan bahaya perang. Mereka cuma memuntahkan
emosinya, emosi orang-orang yang sedang lapar! Aku hampiri satu dua orang di
antara mereka yang aku kenal baik. Aku pegang bahunya sambil kataku pelan:
"Saudara
masih mengenai aku bukan? Siapakah aku ini?" demikian kataku bertanya untuk
menenangkan hatiku yang mulai gentar juga menghadapi barisan orang-orang lapar
ini.
"Kenal, siapa saudara!" jawab mereka sambil menyebut namaku. Aku
merasa, sudah mulai turun temperamen mereka. Aku sudah biasa menghadapi
anak-anak yang gaduh dalam kelas, tetapi menghadapi orang-orang ini lain sama
sekali. Karena itu, aku juga membaca- baca doa Selawat.
"Begini, aku ada
usul!" aku mengatur hatiku sendiri yang sudah mulai hilang gentarku. Sudah
tambah mantap kepercayaanku pada diriku.
"Kalau saudara-saudara
memerlukan beras, aku pun juga memerlukannya..." Sampai di sini kata-kataku
dipotong mereka dengan teriakan: "Hidup-Hidup!"
"Dengarkan dulu
kata-kataku!" aku sudah mulai berani berlagak memerintah mereka. Batinku,
separo dari mereka sekurang-kurangnya sudah berada dalam genggamanku.
"Dengarkan,
dengarkan! dengarkan kawan-kawan...!" bentak mereka kepada kawan- kawannya.
Mereka lalu diam menunggu apa yang hendak kukatakan.
"Mari ikuti aku
menemui Pak Lurah! Tapi semuanya tidak boleh ada yang berbicara. Cuma akulah
nanti yang akan bicara kepada Pak Lurah. Dan tidak boleh merusak benda-benda
apa pun. Semuanya harus taat di belakangku. Aku akan meminta secara ikhlas,
agar Pak Lurah memberi kita beras!"
"Sanggup apa tidak?" tanyaku
menantang.
"Sangggguuuuuppp...!" Jawab mereka serentak sambil mengepalkan
rinju mereka.
"Aku nanti akan meminta beras dengan suka rela. Tetapi
tidak akan merampok. Aku tidak setuju kalian membongkar gudang padi, itu
perampokan! Sanggup tidak mentaati ajakanku?" demikian aku bertanya dengan
tegas. Aku merasa aku sudah bisa menguasai mereka. Aku merasa aku menjadi
kuat.
"Sangggguuupppp ...!" mereka berteriak serentak.
"Nah, mari
ikuti aku! Tetapi harus tertib. Jangan ada yang berteriak-teriak. Semua harus
kelihatan sopan," begitu ajakanku.
96
Aku berjalan
di muka. Satu dua orang dari mereka yang aku sudah kenal, aku ajak berjalan di
muka mendampingi aku. Dan mereka mengikuti aku dari belakang. Mereka berjalan
dengan tertib dan sopan.
Kami tiba di kelurahan. Pak Lurah dengan
dikelilingi oleh beberapa orang polisi desa dan pamong desa menjemput
kedatanganku.
"Wonten punopo?" (ada keperluan apa), Pak Lurah menyambut
kedatanganku. Beliau dan stafnya tampak sedikit pucat mukanya melihat begitu
banyak orang-orang membawa panci- panci dan bakul-bakul kosong berada di
belakangku. Aku dipersilakan duduk, dan aku meminta orang-orang di belakangku
supaya tenang dan terrib, jangan ada yang teriak apa pun.
"Begini Pak
Lurah!" aku mulai menata untuk memulai pembicaraan.
'"Orang-orang ini
adalah penduduk desa ini seperti Pak Lurah mengenalnya. Mereka sudah
berhari-hari tidak memperoleh beras. Begitu sulitnya mencari beras. Agar
supaya mereka tidak mengambil tindakan-tindakan sendiri-sendiri, dan agar
tidak berbuat yang melanggar hukum, aku memberanikan diri menjadi juru bicara
mereka menghadap Pak Lurah."
"Terima kasih. Dan silakan bagaimana yang
dimaksud kedatangan ini?" jawab Pak Lurah dengan sopan sekali. Aku sudah
membayangkan bahwa tujuan kami insya Allah akan berhasil.
"Pak Lurah
lebih tahu dari aku. Di desa ini ada lumbung padi, masih banyak padi
tersimpan. Gunanya tentu saja untuk dipergunakan di waktu sangat diperlukan
dalam keadaan mendesak. Orang-orang ini adalah rakyat Pak Lurah. Aku
mengusulkan, apa tidak sudah waktunya bila padi milik desa ini sekarang dibagi
secara adil dengan cara yang baik-baik. Misalnya, dua pertiga dibagikan kepada
segenap penduduk, terutama yang sangat memerlukan. Sedang sisanya, tetap
disimpan rnenjadi milik desa."
"Kulo sepakat sanget Mas!" (Saya setuju
sekali), demikian sambutan Pak Lurah dengan ramahnya. Pak Lurah dengan seluruh
pamong desa lalu merundingkan cara pelaksanaannya.
Aku berpamitan setelah
aku yakin bahwa pelaksanaannya akan dilakukan dalam waktu sesegera mungkin.
Orang banyak menyalami aku dengan ucapan-ucapan terimakasih. Tidak lupa, Pak
Lurah pun menyalami aku dengan ucapan terima kasih.
Dari kejauhan aku
melihat orang berlari-lari sambil membawa barang-barang bawaan. Dari ujung
jalan orang menggelindingkan ban-ban mobil yang masih terbungkus rapat.
Sebagian lagi menggendong benang tenun, tekstil, dan benda-benda lain yang
asing bagiku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sepanjang jalan
bertambah banyak orang berkerumun, ada yang sedang membagi-bagi barang
bawaannya, dan sebagian lagi berlari-lari menuju ujung jalan. Aku hampiri
mereka untuk menanyakan apa yang terjadi. Kiranya mendapat jawaban bahwa
beberapa orang tentara Jepang telah memasuki kota, mereka menyuruh rakyat
menggedor gudang-gudang milik "Jacobson van den Berg," milik "Escomto," dan
lain-lain maskapai perdagangan Belanda.
Bukan main hiruk-pikuknya suasana
sepanjang jalan. Orang berlari-lari kian kemari sambil meneriakkan kata-kata
"Jepang datang, Jepang datang" dan lain-lain kata-kata yang tidak jelas.
97
Aku
menuju ke kantor Majlis Konsul Nahdhatul Ulama. Di sana telah banyak berkumpul
para kiai dan tokoh-tokoh Ansor. Aku menjumpai Pak Mukhtar, Konsul Nahdhatul
Ulama, untuk membicarakan situasi yang sedang terjadi. Kami telah sampai
kepada suatu kesimpulan bahwa keadaan telah berubah. Keadaan sudah tak mungkin
bisa terkendalikan. Kami hanya memelihara keamanan pribadi dan milik penduduk
yang bisa diselamatkan. Situasi telah menjadi suatu yang tak mudah
dikendalikan lagi. Hanya suatu kekuasaanlah yang bisa mengatasinya.
Sebuah
pesawat terbang Dai Nippon menyebarkan surat-surat selebaran yang menyebutkan
bahwa hari iru, 9 Maret 1942, pimpinan angkatan perang Hindia Belanda Mayor
Jenderal Ter Poorten telah menyerah kepada Jepang, dan Gubernur Jenderal
Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyerah dan ditawan Jepang.
Diserukan
supaya rakyat tetap tenang dan bekerja seperti biasa. Suatu pergantian zaman
telah terjadi!
Belanda yang selama ini dengan gagahnya menepuk dada akan
bertempur sampai titik darah yang penghabisan, akan melawan musuh hingga
serdadu yang terakhir, ternyata telah menyerah. Semboyan mereka bahwa: Lebih
baik mati berkalang tanah daripada menyerah kepada musuh, ternyata tidak
dipenuhi. Hanya dalam waktu 8 hari, boleh dikata tanpa ada pertempuran dan
perlawanan sekalipun, Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada balatentara
Jepang.
Sementara itu, disebarkan pamflet-pamflet dari tentara pendudukan
Jepang, yang berisi perintah, agar penduduk yang menyimpan barang-barang
gedoran dari gudang-gudang milik Belanda segera menyerahkan di kantor
Kawedanan setempat. Siapa yang menyerahkan barang-barang itu tidak akan
diambil tindakan apa-apa. Tetapi kepada mereka yang tidak mau menyerahkannya,
akan diambil tindakan militer sesuai dengan hukum perang.
Maka,
berbondong-bondonglah rakyat menyerahkan barang-barang gedorannya ke kantor
Kawedanan. Aku tidak tahu pasti, apakah semuanya diserahkan ataukah ada
sebagian yang tetap mereka simpan.
Entah perintah dari mana, rumah-rumah
sepanjang jalan raya mengibarkan bendera Merah Putih. Bendera kebangsaan kita
yang selama zaman Belanda haram untuk ditabarkan. Tetapi sore itu serentak
saja rakyat mengibarkannya. Bendera kebangsaan ini dikibarkan untuk menyambut
kedatangan bala tentara Jepang yang sebentar lagi akan memasuki kota.
Aku
baru saja menyelesaikan sembahyang maghrib ketika orang-orang berlari-lari
menuju pinggir jalan raya. Terdengarlah buat pertama kali kata-kata Jepang
"Banzai, Banzai!" dari mulut-mulut penduduk, dengan diselingi
teriakan-teriakan Hidup Nipoon! Hidup Nippon!
Tatkala aku tiba di jalan
raya, dari arah timur tampak iring-iringan mobil-mobil berwarna hijau tua
dengan truk-truk militer, semuanya penuh berisi serdadu-serdadu dan
opsir-opsir Jepang berpakaian seragam. Mereka acuh tak acuh menyambut
tepuk-sorak rakyat "Banzai, Banzai!" hanya satu dua saja yang melambaikan
tangannya di balik kaca mobil yang samar-samar kelihatan karena tertutup oleh
kain sutera putih.
Aku perhatikan bentuk tubuh mereka dan pakaian
seragamnya, persis seperti yang pernah aku lihat di gambar-gambar dalam
koran-koran ketika Jepang memasuki Tiongkok. Benar- benar bangsa kate!
Tubuhnya pendek-pendek sambil menyandang bedil-bedilnya dengan bayonet
terhunus. Tampaknya bedil dengan bayonet terhunus masih lebih panjang
98
dibanding
tubuhnya. Topinya terkenal khas Nippon, terbuat dari kain sewarna dengan
bajunya yang hijau kekuning-kuningan, dengan rumbai-rumbai menutupi
tengkuknya. Dibanding dengan seragam serdadu Belanda, maka seragam tentara
Jepang seperti model seenaknya, dengan tanggung di bawah siku, baju dan
celananya tampak kedodoran dengan kedua kakinya dibalut kain dari bawah lutut
hingga pergelangan kaki, yang disambung dengan sepatu dari karet. Mereka
menampakkan wajah yang angker dan keras memegang disiplin. Lebih acuh tak acuh
lagi menjawab lambaian rakyat.
Aku tinggalkan jalan raya setelah
iring-iringan Jepang selesai melintasi kotaku. Mereka menuju Purwokerto, ibu
kota Karesidenan Banyumas.
Semalam itu, aku paksakan untuk tidur,
beberapa malam kekurangan tidur. Di kepalaku penuh berbagai pikiran. Telah
berakhirkah zaman penjajahan? Apa yang harus aku lakukan dengan teman-teman di
hari-hari yang akan datang? Terkenang padaku kejadian di Manchuria dan
Tiongkok. Jepang menduduki negeri-negeri itu, namun bangsa Manchuria dan
Tionghoa tetap saja dijajah Jepang, seperti halnya bangsa-bangsa Formosa dan
Korea yang lebih lama lagi hidup dalam penjajahan Jepang.
Di kepalaku
berisi tanda tanya, apakah suatu pertanda: tamatnya suatu penjajahan untuk
memulai zaman penjajahan baru? Zaman penjajahan Belanda telah tamat. Akan
menyusulkah zaman penjajahan Jepang?
Aku penat sekali dengan
pikiran-pikiran yang tak mau hilang dari benakku. Tetapi aku juga letih
memerlukan tidur. Aku tidak ingat lagi sampai di mana aku sanggup berpikir,
aku tidur juga pada akhirnya. Selama tidur, aku tak berpikir lagi, bermimpi
pun tidak!
Di Bawah Penjajahan Seumur Jagung
Sebelum bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia, berbulan-bulan
lamanya Radio Tokyo menggemakan lagu kebangsaan kita dalam siaran-siarannya
yang ditujukan kepada Bangsa Indonesia. Propaganda Jepang bahwa mereka akan
membebaskan bangsa kita dari belenggu penjajahan sangat menarik sekali. Banyak
orang yang terpengaruh oleh cerita dari mulut ke mulut bahwa bangsa yang
berkulit kuning akan memerdekakan Indonesia dan penjajahan Belanda, demikian
katanya menurut ramalan Joyoboyo. Kini bangsa yang berkulit kuning ini telah
datang.
Begitu bala tentara Jepang yang berkulit kuning menjejakkan
kakinya di bumi persada Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya
mendengung-dengung memenuhi penjuru Tanah Air, ikut mengelu-elukan kedatangan
anak-anak "Matahari-Terbit" sebagai tanda berterima kasih, karena telah
membebaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
Untuk
beberapa hari saja lagu kebangsaan kita bergema melalui Radio Indonesia yang
telah dikuasai Jepang.
Propaganda bahwa Jepang benar-benar membebaskan
bangsa kita dari belenggu penjajahan semakin termakan.
Tetapi hal itu
tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian lagu kebangsaan itu dibungkam
dari siaran-siaran radio Indonesia, bahkan tidak lagi diizinkan untuk
diperdengarkan dalam setiap pertemuan dan upacara apa pun. Sebagai gantinya,
Jepang mewajibkan diperdengarkan lagu kebangsaan mereka Kimigayo sebagai lagu
wajib dalam siaran-siaran radio, dalam pertemuan-pertemuan dan
upacara-upacara. Setiap pagi, siang, petang, dan malam lagu Kimigayo itu
berdengung-dengung memenuhi Nusantara kita.
Nasib serupa menimpa bendera
kebangsaan kita, Merah Putih. Jepang melarang dikibarkan bendera kebangsaan
Indonesia. Di tiap kantor, jawatan, dan rumah-rumah penduduk harus dikibarkan
bendera Jepang Hinomaru, berwarna putih mulus dengan bola merah di
tengahnya.
Mulai timbul kesadaran di kalangan rakyat bahwa kita telah
terkecoh oleh kelicikan propaganda Jepang. Bahwa mereka telah membebaskan kita
dari penjajahan Belanda memanglah benar. Tetapi kita telah tertipu oleh
kelicikannya, bahwa lepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya, lepas dan
penjajahan Belanda dicengkeram di kuku penjajahan Jepang. Rakyat menjadi sadar
bahwa diplomasi propaganda Jepang telah membuat kecele sebagian bangsa kita
yang terpengaruh oleh propaganda mereka. Kalau memang Jepang benar-benar
hendak membebaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, artinya dari
penjajahan siapa pun, buat apa mereka melarang lagu dan bendera kebangsaan
kita? Kiranya, dengan dalih pengakuannya sebagai "saudara tua," mereka akan
menjajah "saudara muda"-nya dengan kedok atas nama melindungi dan memimpin.
Kesadaran
akan datangnya penjajahan baru menjadi semakin kuat setelah Jepang menamakan
dirinya "saudara tua" Bangsa Indonesia. Sebutan Jepang atau japan tidak
100
diperkenankan
lagi, dan sebagai gantinya mereka harus disebut Dai Nippon, artinya: Jepang
Yang Besar!
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di mana-mana orang
dipukuli Jepang. Sedikit saja melakukan perbuatan yang dianggap salah, Jepang
dengan serta-merta menempeleng kepala. Di kalangan pesantren sudah umum
julukan bagi Jepang sebagai setan- gundul artinya, setan yang berkepala gundul
karena gemar akan gundul atau kepala orang Indonesia. Jika saja kita lewat di
muka serdadu Jepang yang sedang berdiri dengan bayonet terhunus, atau
ber-papasan dengan mereka, lalu kita lupa tidak menghormat mereka dengan
membungkukkan badan, kontan saja ia memanggil dengan sungut-sungutnya, lalu
kepala kita ditempelengnya beberapa kali. Tidak perduli siapa kita, rakyat
biasa atau orang yang patut dihormati sekalipun, baik pemuda maupun orang
tua.
Suatu "kebudayaan" baru datang menyertai kedatangan tentara Jepang,
ialah "kebudayaan" Saikere. Semua anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum
pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantten, tiap pagi sekitar jam 7,
harus berbaris menghadap arah Tokyo, lalu membungkukkan badan 90 derajat
selama beberapa derik, maksudnya untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang,
yang pagi itu barangkali sedang sarapan pagi atau sedang mandi di istananya di
Tokyo.
Masalah saikere ini menimbulkan kegemparan di kalangan para ulama
dan dunia pesantren di seluruh tanah air. Membungkukkan badan hingga 90
derajat dengan maksud menghormat sesama manusia biar raja sekalipun, menurut
pandangan para ulama adalah haram, dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu
menyerupai ruku dalam sembahyang orang Islam, yang hanya diperuntukkan
menvembah Allah SWT. Selain Allah, biar raja sekalipun, biar katanya Tenno
Heika adalah tuhan bangsa Jepang keturunan dewa simaterasu, dewa di langit
sekalipun, haramlah diberi hormat dengan membungkukkan badan hingga 90 derajat
bentuknya. Pendirian para ulama dan dunia pesantren disampaikan kepada Saikoo
Sikikan, panglima besar tentara Jepang di Jakarta, namun Jepang tidak
menggubris. Keharusan Saikere berjalan terus!
Sekitar bulan April-Mei
1942, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menggemparkan seluruh dunia
pesantren.
K.H. Hasyim Asy'ari, pemimpin Pesantren Tebuireng dan Rais
Akbar Nahdhatul Ulama ditangkap Jepang. Beliau dimasukkan ke dalam penjara di
Jombang, lalu dipindahkan ke penjara Mojokerto, dan akhirnya di penjara
Bubutan, Surabaya. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama
K.H. Hasyim Asy'ari sebagai tanda setia kawan, sebagai tanda khidmah kepada
guru dan pemimpin mereka yang telah berusia sekitar 70 tahun itu.
Tidak
jelas kesalahan apa yang menyebabkan Hadratus Syaikh ini ditangkap. Tetapi
peristiwa tersebut membakar seluruh dunia pesantren dalam memulai gerakan di
bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang.
Konon kabarnya, Hadratus
Syaikh dituduh mengadakan aksi menentang kekuasaan Jepang di Indonesia.
Padahal yang sebenarnya, Jepang sendirilah yang membuat tindakan- rindakan
yang menyebabkan rakyat menjadi anti Jepang. Mereka di mana-mana merampas padi
rakyat, kekayaan tanah air kita diangkuti ke negeri mereka untuk membiayai
peperangan mereka melawan sekutu. Jepang di mana-mana terkenal dengan
kegemarannya memperkosa kehormatan wanita kita untuk melampiaskan hawa
nafsunya. Propaganda mereka bahwa kedatangannya untuk membebaskan bangsa
Indonesia dari
101
penjajahan Belanda, kiranya cuma
menggantikan kedudukan Belanda selaku penjajah berikutnya. Jikalau hal ini
membuat rakyat menjadi marah dan melakukan gerakan anti Jepang, janganlah
Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari yang disalahkan. Tetapi, jikalau Jepang
menganggap bahwa hal itu disebabkan karena digerakkan oleh beliau, maka secara
langsung dan tidak langsung Jepang mengakui K.H. Hasyim Asy'ari sebagai ulama
paling besar pengaruhnya di kalangan rakyat Indonesia.
Lebih dari empat
bulan Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dipenjarakan Jepang. Baru dibebaskan
setelah usaha yang terus-menerus dilakukan oleh para ulama di bawah pimpinan
K.H.A. Wahab Chasbullah dan K.H.A. Wahid Hasyim untuk menghubungi
pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Entah
karena over-compensatie, memberi secara berlebihan, ataukah karena menyadari
pengaruh dan wibawa Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, setelah terjadinya
penangkapan diri beliau, tidak lama kemudian Saikoo Sikikan sebagai penguasa
tertinggi pemerintah bala tentara Jepang di Jawa, mengangkat K.H. Hasyim
Asy'ari sebagai Shumubucho, kepala jawatan urusan agama pusat, dengan dua
orang wakilnya, masing-masing: K.H. Abdulkahar Muzakir dan K.H.A Wahid Hasvim.
Buat K.H.A. Wahid Hasyim ditambah lagi kedudukan sebagai anggota Chuuoo Sangi
In kira-kira setingkat dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.
Suatu
hari, dalam pertengahan tahun 1942, aku mendapat panggilan dari K.H.A. Wahid
Hasyim agar menemui beliau di Jakarta. Berangkatlah aku ke Jakarta dengan
penuh tanda tanya dalam kepalaku, apa maksud panggilan itu. Tetapi aku telah
membayangkan bahwa akan ada tugas baru diserahkan pada pundakku.
"Aku
ingin memberitahukan kepada saudara bahwa suatu tahap baru dalam perjuangan
kita harus kita mulai sekarang," demikian kata K.H.A. Wahid Hasyim kerika aku
menjumpainya di Hotel Des Indes, sebuah hotel kelas satu di Jakarta. Hotel
yang di zaman kolonial hanya ditempati oleh pembesar-pembesar Belanda.
"Apa
artinya tahap baru dalam perjuangan kita, Gus?" kembali aku bertanya. Aku
selalu memanggil beliau dengan sebutan Gus. Di kalangan pesantren dan dunia
ulama terkenal dengan sebutan Gus Wahid.
"Setan gundul ini, maksudnya
Jepang merasa bahwa peperangan antara mereka dengan sekutu akan memakan waktu
lama dan memerlukan kelengkapan perang yang bukan main hebatnya. Setan gundul
ini tahu bahwa ulama mempunyai pengaruh yang besar sekali di kalangan rakyat
kita. Sebaliknya, mereka juga mengetahui bahwa rakyat sangat membenci
orang-orang yang selama ini menjadi alat yang membantu dengan setia penjajahan
Belanda. Jepang kini sedang memikat hari rakyat. Mereka sangat memerlukan
dukungan rakyat!" K.H.A. Wahid Hasyim memulai menjelaskan buah pikirannya.
"Mereka
telah membebaskan kita dari penjajahan Belanda, mereka telah mengusir Belanda
dari kedudukan penguasa di negeri kita. Ini berarti babakan dalam perjuangan
kita telah berakhir. Nah, kini kita memasuki tahapan baru dalam perjuangan,
yakni menghadapi Jepang sebagai penjajah baru."
Aku mulai paham apa yang
dimaksud dengan tahapan baru dalam perjuangan. "Bagaimana kita menghadapi
Jepang, mereka sangat kuat, mempunyai angkatan perang yang sanggup menaklukkan
seluruh daratan Tiongkok, Manchuria, dan kini menguasai Filipina, Thai, Burma,
Indo-China, Malaya, dan Indonesia," demikian kataku menyela.
102
Dengan
menyibirkan bibirnya, beliau menjawab:
"Saudara ingat dongeng-dongeng
Al-Baidaba tentang cerita dunia binatang. Singa dan harimau sebagai raja hutan
dan gajah yang mempunyai keperkasaan, toh bisa dikalahkan oleh kancil, dan
kancil masih dikalahkan oleh siput-siput yang bersatu!"
"Bagaimana Gus,
aku masih belum mengerti dalam hubungannya dengan teori perjuangan!" aku
menanya karena sudah tak sabar lagi.
"Kita pakai ini!" sambil menunjuk ke
keningnya, ―kita harus memakai otak dan pikiran. Kita bisa menjadi "kancil"
dalam menghadapi segala singa dan serigala. Dan saya akan mengubah teori
Al-Baidaba, janganlah kancil bermusuhan dengan siput, tetapi harus bersahabat.
Ya, kalau saya sendiri tentulah tidak akan bisa menjadi "kancil" yang berhasil
mengelabui singa dan serigala. Akan tetapi kalau kita kaum ulama bersatu,
insya Allah akan jadi "kancil," bahkan lebih dewasa dan lebih dari sekadar
"seekor kancil."
"Dari mana kita harus memulai?" aku bertanya.
"Nah
itu dia suatu pertanyaan yang penting. Begini! Hadratus Syaikh dan saya
diserahi Jepang membentuk Kantor Jawatan Agama Pusat. Saya telah katakan
kepada Saikoo Sikikan bahwa hal itu tidaklah mungkin jika tidak dibentuk
kantor-kantor cabangnya di seluruh Jawa dan Madura. Luar Jawa mempunyai
susunan pemerintahan militer tersendiri yang lepas dari kekuasaan mereka di
Jawa dan Madura. Sebab itu, kita cuma diberi wewenang terbatas hanya di Jawa
dan Madura. Usul saya agar dibentuk kantor-kantor cabang di daerah-daerah
disetujui Jepang. Arti kata "daerah" terbatas pada daerah Karesidenan, karena
susunan pemerintah militer Jepang demikian," K.H.A. Wahid Hasyim
menjelaskan.
"Jadi di tiap-tiap Karesidenan akan dibentuk kantor urusan
agama?" aku meminta penjelasan.
"Benar, di tiap karesidenan akan
dibentuk. Namanya, menurut mereka: Shumuka, kantor urusan agama karesidenan.
Kepalanya bernama Shumukacho, harus seorang ulama. Ketika Jepang bertanya
kepada saya mengapa harus ulama, saya jawab, karena tugasnya mengurus Agama
Islam, tidak ada yang lebih ahli tentang keislaman kecuali kaum ulama. Adapun
pegawainya terdiri dari orang-orang yang berpendidikan ulama dan ada yang
bukan golongan ulama, tetapi harus berjiwa Islam dan mempunyai cita-cita
perjuangan Islam."
"Saya merasa bersyukur bahwa dulu kami mengadakan
pembaruan dalam sistem pesantren", beliau meneruskan keterangannya. "Apa yang
dilakukan oleh K.H. Muhammad Ilyas bersama-sama saya dan teman-teman
mengadakan perubahan dalam pelajaran pesantren, alhamdulillah diikuti oleh
pesantren-pesantren yang lain. Seperri saudara ketahui, bertahun-tahun yang
lalu, kami adakan pelajaran membaca dan menulis huruf latin, bahasa Indonesia,
ilmu bumi, sejarah Indonesia, dan berhitung dalam Pesantren Tebuireng.
Sekarang itu semua diikuti oleh pesantren-pesantren yang lain. Santri-santri
lulusan Tebuireng begitu banyak tersebar di mana-mana. Ini tentu akan
memudahkan usaha kita membentuk kantor-kantor urusan agama daerah," beliau
meyakinkan aku.
"Kalau begitu, prinsip kita membantu Jepang?" aku
bertanya.
"Saudara harus tahu, ini perjuangan. Dalam perjuangan bisa
berlaku tipu-menipu, ini istilahnya secara kasar. Musuh menipu kita, dan kita
memakai akal, sehingga siapa memperalat siapa. Saudara masih ingat, bukankah
dalam Al-Qur'an telah difirmankan:
103
Wa makaru
wa makara Allahu wa Allahu khairu al-makirin,
"Mereka melakukan tipu
muslihat, dan Allah Maha Pengatur daya-upaya!"
"Saya kasih tahu saudara,
ini bangsa menamakan dirinya Nippon. Di kalangan para santri, nippon yang oleh
Jepang harus diucapkan nippong, itu diartikan "nipu wong" (menipu orang).
Mereka katanya akan membebaskan kita dari penjajahan Belanda, memang benar
kita dibebaskan, tidak lagi dijajah Belanda, tetapi apakah setelah bebas dari
Belanda kita jadi merdeka ataukah dijajah mereka, itu tidak mereka katakan.
Inilah bentuk penipuannya. Masa kita tidak bisa membalas mengakali mereka?"
beliau jelaskan.
'Prinsipnya dulu, apakah kita membantu Jepang?" aku
mendesak.
"Prinsipnya, kita membantu kita sendiri!" jawabnya tegas. "Kita
membantu diri kita melalui kesempatan yang mereka berikan. Mungkin, dan ini
pasti, mereka tentu akan memperalat kita. Tetapi kita kan bukan benda mati!
Yang penting kita pergunakan sebaik-baiknya kesempatan yang mereka berikan.
Dengan kesempatan itu, kita mempunyai alat berjuang. Sementara, ibarat orang
main sepak bola, kita mungkin akan kemasukan gol, tetapi jika kita pandai
menyepak bola, tahu akan peraturan permainan dan mengadakan kerjasama di
antara kesebelasan kita, kita juga bisa memasukkan gol-gol di gawang lawan.
Sementara itu, saya akan mengadakan kerjasama dengan lain-lain golongan,
misalnya, dengan golongan Sukarno-Hatta, golongan Chairul Saleh, B.M. Diah,
golongan Tan Malaka, dan sebagainya." Beliau memandang jauh ke depan seolah
sedang melihat jauh ke muka, tentu di dalam pikirannya sedang penuh dengan
perjuangan yang besar.
"Wah, ini suatu perjuangan besar, Gus" aku
menyela.
"Memang perjuangan besar. Tetapi harus kita mulai sekarang. Kita
tidak bisa dikatakan lemah. Al-Muslimuna 'ala khairin innama ad-dhu'fu fi
al-qiyadah, (umat Islam selamanya dalam keadaan baik, cuma kelemahan selamanya
di pihak pimpinan). Umat di mana-mana menantikan pimpinan. Dan kita ini
golongan pimpinan. Kita sudah mulai memperoleh kesempatan. Bodoh sekali kalau
kesempatan ini tidak digunakan. Kita sudah belajar sekian lama, sudah
mempunyai pengalaman betapa pahitnya menjadi anak jajahan. Sekarang tinggal
keberanian berbuat, dan saya merasa saya berani bertindak!" Beliau katakan
dengan tegas dan bersemangat.
Kami masing-masing diam. Lama juga kami
diam, masing-masing dengan pikiran yang memenuhi kepala. Tetapi hariku seperti
tersentak bangun setelah mendengar kata-katanya bahwa sekarang diperlukan
suatu keberanian bertindak. Orang bertindak bisa berakibat salah dan bisa
berakibat benar, tetapi orang yang tak berbuat sudah terang amat salah
sekali.
Setelah masing-masing diam agak lama, seperti tergugah dari alam
pemikiran masing- masing, tiba-tiba berdering bunyi telepon di kamar hotel.
Beliau bangun dari kursi, lalu mengangkat gagang telepon.
―Wong
Tebuireng? Betul, saya sendiri.―
Beliau tertawa terbahak-bahak, keras dan
panjang.
―Kami lagi bicarakan soal dagang... Ya, seperti dagang yang
kemarin.... Ha, bagaimana? Tidak, ini ada kawan datang, seorang pedagang
juga.... Biasa,... dagang zaman sekarang yang sedang dibutuhkan orang banyak!
Tak usah, biar sayalah yang datang!... Tak apa, biar
104
saya
yang datang!... Tak usah, saya ada kendaraan sendiri... Baik, kira-kira
setengah jam lagi... Sampai ketemu,... Wa 'alaikumu as-salam...!'
―Dari
siapa?‖ aku menanya.
―Dari Mr. Muhammad Yamin! Dia kecuali sahabatku,
juga orang penting. Dia mau datang kemari, saya bilang lebih baik sayalah yang
ke sana. Mari kita ke sana. Biar saudara berkenalan dengannya,‖ jawab K.H.A.
Wahid Hasyim dan mengajak aku turut bersama beliau ke rumah Mr. Muhammad
Yamin.
Sementara K.H.A. Wahid Hasyim mengganti sarung dengan mengenakan
celana dan kemejanya, aku duduk sendirian. Masih terkenang dalam ingatanku
nama Mr. Muhammad Yamin. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah mendengarkan
pidatonya di Yogya, ketika itu beliau seorang tokoh dari Partindo, Partai
Indonesia. Masih ingat pidatonya, ketika itu beliau mengupas tentang ―Perang
Pacifik‖ yang bakal meletus, lalu tentang cita-cita Jepang menguasai seluruh
Asia. Beliau katakan di waktu itu akan bahayanya Imperialisme-Kuning, yang
dimaksud tentulah Jepang.
Namaku dipanggil K.H.A. Wahid Hasyim. Aku masuk
ke kamar tidurnya, beliau sedang mengenakan sepatu. Aku duduk di atas kasur
tempat beliau tidur, karena aku disuruhnya duduk dekat beliau.
―Malam ini
tentu akan ada rencana baru. Betulkan, bahwa saya telah mengadakan hubungan
dengan berbagai golongan. Alhasil, kita kaum santri sedang diperlukan oleh
semua golongan. Kita juga memerlukan mereka. Kita saling memerlukan dalam
rangka perjuangan besar memerdekakan bangsa kita dari penjajahan yang mana
pun!‖ beliau katakan sambil mengikat tali sepatunya. Beliau berdiri, bercermin
sebentar membetulkan letak dasinya. Lalu mengambil peci hitamnya, ditentengnya
peci itu, lalu mengajak aku keluar dari kamar hotel. Di luar telah tersedia
sebuah mobil Fiat hitam.
Beliau kemudikan sendiri mobilnya, dan aku duduk
di sampingnya.
―Kemarin saya telah menjumpai Bung Hatta, agaknya Yamin
tahu ini. Dia jangan-jangan akan menanyakan kepadaku apa yang kemarin saya
bicarakan dengan Bung Hatta,‖ K.H. A. Wahid Hasyim memulai pembicaraan setelah
mobil keluar dari halaman Hotel Des Indes.
Malam itu kira-kira baru pukul
9, tetapi jalan-jalan di Jakarta tampak agak sepi. Beberapa delman dan orang
naik sepeda. Mobil-mobil tidak begitu banyak, itu pun cuma dinaiki tuan- tuan
Dai Nippon saja.
―Inikah mobil dinas, Gus?‖ aku mengalihkan pembicaraan
lain.
―Bukan! Mobil dinas cuma di waktu kantor Itu pun jarang aku pakai.
Aku diberi mobil dinas pakai tanda militer Jepang. Aku tak mau pakai. Saya
malu memakai mobil militer Jepang. Sebab itu, saya membeli sendiri mobil Fiat
ini,‖ jawabnya.
―Bagaimana caranya bisa membeli mobil sendiri di zaman
begini?‖ aku bertanya. Pertanyaan ini aku ajukan karena di zaman itu tidak ada
orang sipil yang memiliki mobil. Aku ingat pamanku yang mobilnya diambil
Jepang.
―Ya Allah! Kalau soal mobil saja tidak bisa memecahkannya,
bagaimana bisa memecahkan persoalan rakyat?‖ jawab beliau tegas.
―Mobil
adalah suatu alat bepergian, juga alat berjuang. Banyak di antara kawan-kawan
kita yang sudah tergolong pemimpin, kadang-kadang persoalan rumah tangga saja
tidak bisa
105
memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan
masalah umat yang jauh lebih besar dari sakedar masalah rumah tangga.‖ beliau
meneruskan.
―Begini ya akhirnya, tadi pembicaraan kita di hotel terputus.
Saya belum menceritakan kepada saudara mengenai soal lain. Sebagaimana saudara
tahu, semua partai dan organisasi rakyat telah dibubarkan oleh Jepang. Kini
telah disusun badan yang bernama
―Tiga A‖. Maksudnya untuk menghimpun
seluruh tenaga pemimpin Indonesia untuk mengerahkan rakyat kita membantu
Jepang dalam perang Asia Timur Raya ini. Tetapi seperti saudara ketahui, ―Tiga
A‖ ini tidak jalan, karena baik pemimpinnya maupun idenya tidak memperoleh
dukungan dari rakyat,‖ katanya.
―Bagaimana sikap kita terhadap ―Tiga A‖?‖
aku bertanya.
―Sikap kita, kita tidak menentukan sikap!‖ begitu
jawabannya yang sangat diplomatis tetapi masuk akal.
―Kini para pemimpin
sedang menampung ide Jepang, akan didirikan sebuah badan baru untuk
mendampingi ―Empat-Serangkai‖, Sukarno-Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH. Mas
Mansur,‖ beliau meneruskan.
―Sebenarnya ―Empat-Serangkai‖ ini mau ke
mana?‖ aku minta penjelasan.
―Secara berbaik sangka, saya percaya bahwa
sebagai pemimpin-pemimpin, mereka tentu memperjuangkan aspirasi rakyat Tetapi
mereka kewalahan menghadapi anggapan umum dari rakyat seolah-olah cuma
diperalat oleh Jepang. Sebab itu, di mana-mana dirasakan Jepang bahwa dukungan
rakyat tidak seperti yang diharapkan.‖
―Kalau badan baru itu nanti
diadakan, apakah kita juga ikut di sana?‖ aku ingin mendapat penjelasan
lagi.
―Saya ada rencana, tetapi ini masih saya simpan sendiri. Kalau
badan baru itu terbentuk, kita meminta Jepang, atau lebih tepat lagi, kita
memperjuangkan kepada Jepang untuk membentuk badan khusus di kalangan umat
Islam,‖ demikian beliau menjelaskan.
Percakapan kami terhenti karena
mobil telah memasuki sebuah halaman rumah. Mobil berhenti, klakson dibunyikan.
Keluarlah dari dalam rumah seorang laki-laki masih muda, aku taksir usianya
belum 40 tahun. Badannya tegap, tetapi rambutnya tidak tersisir. Tampaknya
cara berpakaiannya seenaknya saja. Dalam batinku, ini dia Mr Muhammad Yamin,
jago Partindo dulu.
―Wah, tepat juga setengah jam!‖ tegur tuan rumah.
―Kalau
orang tidak menghargai waktu, tandanya tidak mengerti harganya waktu!‖
jawab
K.H.A. Wahid Hasyim. Semua tertawa!
Aku diperkenalkan dengan
Mr. Muhammad Yamin. Ketika kami berjabat-tangan, terasa betapa tebal tapak
tangannya dan sangat erat meremas jari-jari tanganku. Sambil menatap mukaku,
ia senyum menyeringai sambil katanya:
―Inikah yang saudara katakan tadi
di telepon ―pedagang‖ yang baru datang?‖ sambil melirik kepada KH.A. Wahid
Hasyim.
―Datang dari mana? Jawa Timur?‖ tanyanya lebih lanjut
kepadaku.
―Dari Jawa Tengah, Banyumas!‖ jawabku.
106
―Ooo,
dari Tirta-kencana! Dari negerinya Kolopaking!‖ cepat saja ia menyambut
jawabanku.
Tanganku dilepaskan. Ia segera menarik tangan KH. A. Wahid
Hasyim Sambil berjalan memasuki suatu ruangan dalam, ia bercakap-cakap sambil
berjalan pelan, sementara tangannya merangkul pundak K.H A. Wahid Hasyim. Aku
tidak ikut duduk bersama mereka, aku mengambil tempat duduk di ruangan depan
yang terbuka. Dari kejauhan, aku memperhatikan dua sahabat meneruskan
percakapannya sambil bergurau diselingi kadang- kadang oleh tawanya yang
keras.
Aku perhatikan wajah Mr. Muhammad Yamin. Raut mukanya serba tebal
dan kuat di bawah kerangka kepalanya yang besar. Biasanya profil yang demikian
menunjukkan bahwa ia memiliki watak keras dengan otak yang genius. Pantas
cepat saja menyalin nama daerahku Banyumas dengan Tirta-kencana, artinya
Air-emas. Ketika ia menyebut negerinya Kolopaking, teringat padaku akan sebuah
keluarga salah seorang Bupati di daerah Banyumas yang terkenal berani
menghadapi Belanda dan memiliki sifat kerakyatan. Ketika pada umumnya para
Bupati menulis namanya dengan gelar-gelar kebangsawanan di mukanya dengan
Kanjeng Raden Tumenggung atau Kanjeng Raden Haryo, maka seorang Bupati di
daerah Banyumas hanya menulis namanya pada pintu gerbang pendoponya di ujung
alun-alun: Sumitro begitu saja, tanpa Kanjeng Raden Tumenggung dan sebagainya.
Pantas kata orang bahwa Mr. Muhammad Yamin salah seorang ahli sejarah yang
besar.
Ketika kedua orang sahabat itu lebih dari 11/2 jam mengadakan
pembicaraan, tiba-tiba Mr. Muhammad Yamin menghampiri aku dan mengajak aku
memasuki ruangan tempat mereka berbincang-bincang.
―Bagaimana kabar di
Jawa Tengah?‖ Mr. Muhammad Yamin menanya.
―Di mana-mana sudah mulai sulit
memperoleh beras, rakyat mulai gelisah!‖ jawabku untung- untungan. Aku kira
orang ini tentulah anti Jepang.
―Nah, betul nggak kataku!‖ K.H.A. Wahid
Hasyim menyambut jawabanku.
―Dalam keadaan rakyat sulit memperoleh beras,
mana bisa kita harus mengumpulkan padi buat Setan-Gundul! 'Tidak bisa jadi!‖
begitu KH. A. Wahid Hasyim menyambung.
―Karena itu kita harus menyusun
kekuatan untuk melawan Jepang dengan teori perjuangan yang hebat,‖ Mr.
Muhammad Yamin menjawab.
―Kita galang terlebih dahulu kekuatan pemuda,
dan Empat-Serangkai, jangan dibiarkan berjalan sendiri!‖ KH.A. Wahid Hasyim
menyambut. Beliau berdiri dari kursinya, dan aku maklum bahwa pembicaraan
dianggap selesai untuk malam itu. Kami berpamitan, dan kami menuju mobil Fiat
untuk pulang ke hotel.
―Hari-hari yang akan datang, kita akan disibukkan
oleh pekerjaan-pekerjaan besar dan penuh bahaya. Tetapi, wa man yattaqi Allaha
yaj'a lahu makhrajan...‖ K.H.A. Wahid Hasyim memulai pembicaraan di mobil.
―Ada
hal-hal baru dalam pembicaraan dengan Muhammad Yamin?‖ aku bertanya.
―Dia
ini orang penting. Dia kawan baik Mr. Subarjo dan Mr. Iwa Kusumasumantri yang
dekat hubungannya dengan pihak Angkatan Laut Jepang. Tetapi juga kawan baik
dari Sukarno- Hatta yang kini sedang didekati pihak Angkatan Darat Jepang. Aku
dengar bahwa antara kedua angkatan Jepang ini hubungannya tidak serasi, saling
berebut mempengaruhi Tokyo. Kita harus manfaatkan situasi ini,‖ jawab K.H.A.
Wahid Hasyim.
107
―Tetapi kita harus waspada
terhadap kekuatan-kekuatan yang ada di sekitar Saikoo Sikikan‖, K.H.A.Wahid
Hasyim melanjutkan, ―di Jakarta saja sekurang-kurangnya ada 3 orang yang
penting kita perhatikan. Pertama, H. Simizu, ini orang diserahi mendampingi
Sukarno-Hatta. Konon, inilah orangnya yang telah berhasil memecah kelompok
nasionalis Tiongkok menjadi golongan Chiang Kai Sek dan Wang Ching Wei. Kedua,
Abdulhamid Ono, begitulah namanya orang Jepang satu ini, tugasnya mendampingi
saya dalam menghubungi para alim ulama. Dan ketiga, Kolonel Horie, yang
diserahi tugas mengawasi Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang dipimpin oleh
Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari.‖
―Wah, alangkah ketatnya Jepang ini
mengawasi kita!‖ aku menyela.
―Ya, tetapi dengan bersandar kepada
Al-Quran, insya Allah setan ora doyan demit ora ndulit! (Setan tidak doyan dan
hantu tidak mencolek).‖
Hingga di hotel, aku sangat mengantuk, tetapi
K.H.A. Wahid Hasyim masih mengajak berbicara terus. Beliau menggerayangi meja
di sudut kamar untuk mencari sisa-sisa makanan yang tadi sore kami makan
bersama. Masih ada sisa tahu telor dan mie goreng, kami lalap sampai ludes.
Kami
sembahyang isya. K.H.A. Wahid Hasyim seperti ayahandanya selalu menghafal Al-
Qur‘an dalam tiap sembahyangnya. Beliau juga hafal Al-Qur‘an di luar kepala.
Selalu dibacanya di tengah sembahyang, di waktu duduk tidak ada pekerjaan, dan
bahkan sambil berjalan atau mengemudikan mobilnya.
Sementara beliau
meneruskan menghafal Al-Qur‘an, aku pergi tidur.
***
Pagi itu hawa
dan udara Jakarta terasa panas. Sudah beberapa hari tak turun hujan, hingga
pepohonan tampak kering, daun-daun penuh debu. Kami baru saja selesai sarapan
pagi, ketika datang dua orang tamu. Yang satu aku sudah kenal, orangnya
berbadan tegap, berwajah tampan dan gagah. Kulitnya putih kekuning-kuningan,
mengenakan celana dan kemeja berwarna khaki. Ia mengendarai sepeda motor
―Harly Davidson‖ Dia Zainul Arifin, konsul Nahdhatul Ulama di Jakarta. Yang
satunya agak kekurus-kurusan, sedikit jangkung, setelah diperkenalkan, aku
baru tahu, namanya: Anwar Cokroaminoto. Namanya sudah lama aku kenal sebagai
pemimpin redaksi harian ―Pemandangan,‖ tetapi sejak surat kabar ini dihentikan
penerbitannya oleh Jepang, ia memangku jabatan baru sebagai pemimpin redaksi
―Asia-Raya‖ sebuah harian yang terbit sejak Jepang menduduki Indonesia.
―Tentu
ada berita besar kalau bung-bung ini datang pagi-pagi.‖ KH A. Wahid Hasyim
menegur kedua tamunya.
―Malah mau cari berita ke sini, kok!‖ Anwar
Cokroaminoto menjawab.
―Di sini ini gudang berita, ibarat sumur tak ada
kering-keringnya,‖ menyela Zainul Arifin. Ia menoleh kepadaku sambil
bertanya:
"Sudah berapa hari ente di sini?‖
―Sudah 5 hari‖ jawabku
ringkas.
―Apa kabar di Jawa Tengah?‖ Zainul Arifin menanya. ―Kabar di
mana-mana sama saja, keadaan tambah sulit dan penuh tanda tanya,‖ jawabku.
―Rasa-rasanya
kita baru berkenalan!‖ menyela Anwar Cokroaminoto.
108
―Nama
Mas Anwar sudah lama aku kenal Aku pernah menjadi pembantu
harian
―Pemandangan‖ di mana Mas Anwar memimpin.‖
―Barangkali ketika
masih dipimpin Mr. Sumanang?‖ jawabnya.
―Mulai zaman M. Tabrani, lalu
zaman Sumanang!‖ aku menjawab.
―Apakah sekarang masih membantu?‖ ia
bertanya.
―Ya, kadang-kadang. Tetapi sejak sering bepergian dengan Gus
Wahid ini, hampir tak ada waktu lagi buat menulis. Lagi pula, isi koran
sekarang ini sama saja, soal perang Asia Timur Raya dan memuji-muji Dai Nippon
melulu. Rasanya jadi malas saya menulis,‖ jawabku.
―Nah, di situ seninya
jadi wartawan! Bukankah Kiai Wahab Chasbullah sudah katakan: Di zaman kini,
kita harus bisa mengatakan ―Hu‖ dengan dua macam tafsiran. Bisa ―Hu‖culono
(lepaskan) dan bisa ―Hu‖ntalen (telanlah).‖ Semuanya ketawa riuh.
Hingga
siang (tengah hari) tiga orang itu berunding mengenai berbagai masalah yang
sedang hangat dewasa itu. Saling tukar menukar informasi dan saling memberikan
analisa.
Bahwa di mana-mana banyak orang ditempeleng Jepang. Anak-anak
pelajar dan pemuda, dimiliterisasi dan digunduli kepalanya hingga di mana-mana
pemuda kita cuma gundul saja kepalanya seperti Jepang. Banyak orang-orang
disiksa Jepang, dijemur di panas matahari atau dipukuli hanya karena dituduh
melakukan gerakan anti Jepang, padahal bukti tidak ada. Rakyat sudah semakin
sulit memperoleh beras, hingga sudah banyak daerah-daerah yang menderita
kelaparan. Orang-orang yang dulu menjadi hamba sahaya Belanda, kini sudah
banyak dipekerjakan sebagai pegawai Jepang.
Untuk mengatasi situasi
pangan, rakyat diharuskan menanam apa saja di halaman rumahnya, tanaman yang
bisa mendatangkan hasil bahan makanan, misalnya, singkong, ubi rambat, jagung,
dan sebagainya. Bahkan di beberapa kota alun-alun juga ditanami jagung dan
singkong. Sepanjang jalan raya harus ditanami pohon jarak karena Jepang
memerlukan minyak pelumas bahan bakar pesawat terbang dan sebagainya. Bahkan
halaman-halaman rumah rakyat juga harus ditanami pohon jarak untuk kemenangan
Perang Asia Timur Raya, perangnya Jepang melawan Sekutu.
Nama jalan-jalan
di Jakarta telah banyak sekali yang diganti dengan nama-nama Jepang, terutama
jalan-jalan protokol. Mula-mula nama Jepang itu ditulis dalam huruf latin,
sebulan kemudian sudah berganti dalam tulisan Jepang, katakana.
Daerah
kekuasaan Jepang semakin luas, hampir meliputi seluruh Asia Timur dan
Tenggara. Mulai dari Korea, Manchuria, Tiongkok, Indo-China, Thai, Burma,
perbatasan India, Malaya, Indonesia, Filipina, dan kepulauan di Lautan
Pasifik. Darwin, pintu gerbang Australia berkali- kali diserang Hari udara.
Dengan demikian tentu saja serdadu Jepang tidak cukup mampu mengawal daerah
yang seluas itu.
Jepang bermaksud untuk menjadikan pemuda-pemuda kita
serdadu cadangan, sebagian untuk menjaga kepulauan Indonesia dan sebagian lagi
untuk bertempur mendampingi serdadu-serdadu Jepang di Burma, di Indo-China,
dan di lain daerah pertempuran.
Jepang mendekati pemimpin-pemimpin
Indonesia, Ir. Sukarno, Dr. Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewan tara, dan K.H. Mas
Mansur dijadikan ―Empat-Serangkai‖ mendampingi Pemerintahan Pusat Bala tentara
Dai Nippon di Jakarta.
109
Dikandung maksud,
dengan ―Empat-Serangkai‖ ini, Jepang akan mendirikan sebuah badan terdiri dari
peleburan seluruh partai politik dan organisasi masyarakat yang telah
dibubarkan. Badan baru itu akan diberi nama ―PUTERA‖, artinya: Pusat Tenaga
Rakyat Tugasnya untuk membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya
mengalahkan Sekutu.
Pulang dari Jakarta, rasanya aku seperti habis mi'roj
diperlihatkan situasi seluruh tanah air di bawah kekuasaan Jepang. Amat kuat
tertanam di sanubariku bahwa tahap baru dalam perjuangan sudah dimulai.
Aku
diberi tugas oleh K.H.A. Wahid Hasyim untuk meratakan pandangan di kalangan
para ulama dan dunia pesantren tentang tahap baru dalam perjuangan dewasa itu.
Bebas dari penjajahan Belanda, mulai memasuki hidup dalam kekuasaan pemerintah
militer Jepang.
***
Sekolahku, Islamitich Westerse School tempat aku
mengajar, sudah beberapa bulan ditutup karena Jepang menutup semua sekolah
yang memakai bahasa pengantar dan diajarkan bahasa Belanda. Aku cuma mengajar
pada Madrasah Nahdhatul Ulama. Aku meneruskan Madrasah Kulliyatul Mu‘allimin,
akan tetapi telah diubah menjadi semacam Kursus Guru bagi madrasah-madrasah di
daerah Banyumas. Artinya, para guru madrasah di kursus untuk beberapa minggu.
Selesai satu angkatan, diteruskan oleh angkatan yang lain.
Tetapi
pekerjaanku sebagai pimpinan Ansor Jawa Tengah tetap aku lakukan. Bahkan
dengan tugas ini aku memperoleh banyak sekali kesempatan untuk mengunjungi
para ulama dan pesantren-pesantren di mana-mana.
Semua organisasi pemuda
dan kepanduan telah dibubarkan Jepang. Mereka tidak diperbolehkan lagi
mengadakan kegiatan-kegiatan. Anggota-anggotanya dijadikan Kaiboodan dan
Seinendan dua organisasi keamanan dan kepemudaan yang didirikan oleh Jepang.
Partai-partai politik sudah lama dibubarkan, demikian pula menyusul organisasi
sosial dan agama. Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah di beberapa daerah
dibubarkan, tetapi untuk daerahku, Banyumas dan Kedu tetap saja berjalan
seperti biasa. Demikian pula Gerakan Ansor.
Ada gelagat bahwa Jepang
tidak menyukai Ansor. Dengan tetap berjalannya Ansor, seolah- olah hendak
menandingi Kaiboodan dan Seinendan. Banyak pemuda-pemuda yang enggan masuk
kedua organisasi bikinan Jepang ini, mereka membanjiri Ansor. Untuk
menghilangkan syak wasangka Jepang, aku berikan pelajaran taisoo (olah raga
ala Jepang) dan nyanyian-nyanyian ala Jepang dalam Ansor. Bahkan pelajaran
bahasa Jepang. Aku sendiri tak pandai bahasa Jepang, ada temanku pandai bahasa
ini yang aku minta bantuannya untuk mengajar bahasa Jepang. Dengan cara
demikian aku merasa aman dari kecurigaan Jepang.
Pada suatu hari, aku
dipanggil Katisatsu Syoocho, kepala polisi Karesidenan Banyumas. Di waktu itu,
jika seseorang dipanggil pembesar pemerintah, alamat tidak akan dibolehkan
pulang, artinya ditangkap. Semalaman aku tak bisa tidur. Aku datang kepada
beberapa kiai meminta fatwanya dan mohon doanya. Mereka menganjurkan agar aku
tetap saja menghadap pembesar polisi ini. Aku diberi bekal beberapa doa yang
aku baca sepanjang jalan.
Di luar dugaanku, pembesar polisi ini seorang
bangsa Indonesia, namanya Umar Khatab. Dia mempersilakan aku duduk di
ruangnya, sendirian hanya kami berdua. Ketakutanku mulai berkurang. Batinku,
kalau masih bangsa sendiri tentulah masih bisa diajak berunding.
110
Setelah
mencocokkan nama, umur, pekerjaan, dan alamatku, dia memulai membuka
percakapan:
―Betulkah bahwa saudara pemimpin Ansor Jawa Tengah?‖ dia
mulai.
―BetuL Tepatnya, komisaris daerah Ansor untuk Jawa Tengah bagian
selatan, meliputi Karesidenan Banyumas, Kedu, dan Yogya,‖ jawabku. Dia
mencatat dalam buku catatannya.
―Sudah berapa lama saudara menjabat
komisaris daerah Ansor?‖
―Sejak tahun 1938,‖ jawabku ringkas.
―Apakah
Ansor suatu gerakan politik?‖ pertanyaannya menyusul.
―Ansor adalah suatu
gerakan berasas Islam dan bertujuan keislaman,‖ aku menjawab.
―Apakah
semangat Nippon juga dimiliki oleh anggota Ansor?‖
―Dalam Ansor kami
ajarkan taisoo (olah raga ala Jepang) dan nyanyian Jepang,‖ aku merasa
pertanyaan ini yang akan menentukan nasibku selanjutnya.
―Apakah Ansor
menghalang-halangi gerakan Seinendan dan Kaiboodan?‖ pertanyaan ini
mengingatkan padaku agar aku lebih berhati-hati dalam menjawab.
―Bagaimana
kami menghalang-halangi, padahal apa yang diajarkan dalam Seinendan dan
Keiboodan juga kami ajarkan di sana!‖ jawabku tegas.
Kaisatsu Schoocho
diam sejenak, dia menoleh ke arah pintu, agaknya untuk meyakinkan dirinya
bahwa tak ada orang yang akan masuk ruangan. Lalu ditariknya kursi tempat
duduknya mendekati tempat dudukku. Dengan suara lebih pelan dia meneruskan
bicaranya:
―Begini saudara,‖ diam sebentar lalu meneruskan: ―Saya
mendapat instruksi dari pihak Kenpetai (polisi militer) untuk menahan saudara,
berhubung ada laporan bahwa saudara mengadakan gerakan anti Jepang. Saya tidak
ingin saudara dan Ansor mendapat kesulitan. Oleh sebab itu, saya ingin
menganjurkan saudara untuk sementara waktu tidak berdiam di daerah Banyumas.
Saudara bisa memilih daerah mana dalam wilayah saudara, toh saudara adalah
Komisaris Daerah Jawa Tengah. Nanti kalau keadaan sudah mengizinkan, saudara
boleh kembali ke daerah Banyumas,‖ demikian kata-katanya dengan pelan sambil
sebentar- sebentar mengawasi arah pintu.
―Terima kasih atas nasihat tuan.
Nasihat itu menyenangkan hatiku, dan aku akan lakukan,‖ jawabku.
―Saya
mengharap saudara tidak salah paham akan maksud saya. Adapun jawaban-jawaban
saudara telah saya tulis semua, merupakan bahan yang sangat berfaedah untuk
laporan kepada atasan saya,‖ jawabnya meyakinkan hatiku.
Aku mohon diri,
lama aku menjabat tangannya erat-erat sambil kuulangi terimakasihku.
Peristiwa
itu segera aku laporkan dalam rapat Majlis Konsul Nahdhatul Ulama dan kepada
teman-teman.
Pak Mukhtar sebagai Konsul Nahdhatul Ulama mengambil
keputusan agar aku hijrah ke daerah Kedu. Sekaligus akan mengusulkan kepada
Pengurus Besar agar aku diangkat menjadi Konsul Nahdhatul Ulama daerah Kedu.
Satu dan lain mengingat bahwa susunan
111
pemerintah
militer Jepang di daerah-daerah hanya mempunyai wilayah seluas karesidenan.
Dengan demikian untuk daerah Kedu harus ada seorang konsul tersendiri.
Aku
berangkat ke Magelang, ibu kota Karesidenan Kedu. Sebulan kemudian datang
pengangkatanku sebagai Konsul Nahdhatul Ulama daerah Kedu oleh Pengurus Besar
di Surabaya.
Pekerjaanku yang pertama, aku mengelilingi seluruh
karesidenan Kedu untuk menjumpai para ulama dan mengunjungi
pesantren-pesantren. Sekaligus menjalankan tugas yang diserahi dari KH A.
Wahid Hasyim untuk meratakan pikiran dan pandangan beliau di kalangan para
ulama dan pesantren-pesantren.
Surat-surat KH A. Wahid Hasyim selalu
datang, hampir tiap minggu suratnya tiba, melalui pos dan kurir dari
Tebuireng.
***
Hampir tiap sebulan sekali aku mendapat panggilan
dari K.H.A. Wahid Hasyim untuk menjumpai beliau. Kadang-kadang menjumpainya di
Jakarta, kadang di Tebuireng atau Surabaya, kadang di Yogya atau Bandung.
Tetapi surat-suratnya pun selalu datang. Surat- suratnya selalu aku bacakan di
muka para kiai, berisi pandangan beliau tentang situasi dewasa itu, lalu
digariskan petunjuk-petunjuk yang harus kami lakukan bersama para ulama.
Lama-lama para kiai dan teman-teman jadi seperti ketagihan kalau agak lama
tidak ikut membaca surat-surat KH.A. Wahid Hasyim
Awal tahun 1943, aku
mendapat panggilan K.H.A. Wahid Hasyim untuk menjumpainya di Jakarta.
―Kita
disibukkan kini oleh pekerjaan-pekerjaan besar,‖ beliau memulai percakapannya
denganku. ―Sebagai saudara ketahui, kini telah terbentuk suatu badan gabungan
dari semua partai dan organisasi Islam, namanya Majlis Syuro Muslimin
Indonesia, disingkat menjadi
―Masyumi.‖ Nama ini mirip-mirip seperti
bahasa Jepang, biar mereka senang. Tak apalah, apa artinya sebuah nama! Badan
ini gabungan dari 4 organisasi Islam, Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah,
Perserikatan Ummat Islam Indonesia, dan Perhimpunan Ummat Islam Sifatnya
federatif karena itu, masing-masing anggota 4 organisasi Islam itu tetap
berjalan seperti sediakala. Ketuanya telah dipilih, Hadratus Syaikh Hasyim
Asy‘ari dan sebagai pelaksana sehari-hari adalah saya sendiri.‖
―Apa yang
menjadi tujuan dari ―Masyumi‖ ini?‖ aku bertanya.
―Menyusun seluruh
tenaga umat Islam Indonesia membantu Jepang ke arah tercapainya kemenangan
akhir bagi kita,‖ jawabnya.
―Bagi kita‖ selaku ‗‗kita itu siapa?‖
―Sengaja
saya memakai kalimat itu, agar Jepang mengira bahwa kita itu artinya mereka.
Tetapi yang sebenarnya, kita ialah kita-kita ini!‖
―Bukan main
diplomatisnya semboyan ini!‖ kataku.
―Jepang mulai kewalahan dalam perang
ini karena sekutu mulai menyerang kembali ke daerah-daerah yang diduduki
Jepang.‖ Demikian K.H.A. Wahid Hasyim, lalu terusnya: ―Kami para pemimpin
hari-hari mengadakan kontak satu sama lain dan berunding, sampai kepada satu
kesimpulan, kesempatan ini kita jadikan strategi untuk mendesak Jepang agar
112
memberikan
kesempatan kepada Bangsa Indonesia untuk mengatur urusan di dalam negeri, agar
Jepang lebih memusatkan perhatiannya kepada Sekutu.‖
―Apakah Jepang
mempercayai kita?‖ tanyaku kepada beliau.
―Kita selalu membuat
slogan-slogan dan gerakan-gerakan begitu rupa, untuk menimbulkan kesan
seolah-olah kita senasib sepenanggungan dengan mereka. Misalnya, pada
kampanye-kampanye Jepang melawan Sekutu, kita gunakan untuk kampanye anti
Belanda, anggota Sekutu yang ingin kembali hendak menjajah kita lagi. Kita
perhebat kampanye anti Belanda ini. Dengan demikian, Jepang percaya bahwa kita
anti Belanda. Menurut tafsiran Jepang, anti Belanda sama dengan anti Sekutu,
dan anti Sekutu sama dengan pro-Jepang. Itu menurut logika mereka.‖ Beliau
berhenti sebentar, pandangannya menerawang menembus jauh ke depan. Tentu dalam
pikirannya penuh dengan rencana-rencana perjuangan besar.
―Kalau begitu,
kita sudah bisa menipu Jepang!‖ kataku bangga.
―Ente jangan lupa, Nabi
kita pernah mengatakan: Al-Harbu khid'ah, bahwa peperangan selamanya penuh
tipu muslihat. Kita hidup dalam zaman perang, bukan? Dalam suatu peperangan
berlaku suatu ketentuan: Membunuh atau dibunuh, menipu atau ditipu, mengelabui
atau dikelabui. Tinggal pilih, kita mau yang mana? Tentu saja kita mau unggul,
jika bisa dengan risiko paling kecil,‖ jawabnya tegas. K.H.A. Wahid Hasyim ini
kalau berbicara pelan, kata-katanya disusun hati-hati, tetapi kalau sudah
menyinggung hal-hal yang penting sekali, selalu diucapkan dengan sangat tegas
dan bersemangat. Aku ingat Anwar Cokroaminoto memberi julukan kepada beliau
Joyongotot.
―Lantas tugas apa yang diserahkan padaku?‖ aku bertanya.
K.H.A.
Wahid Hasyim mengambil tasnya, dikeluarkan sebuah bungkusan, lalu katanya:
―Ini,
saudara bagi-bagikan kepada teman-teman yang bisa membantu tugas-tugas
perjuangan!‖ katanya sambil menyerahkan bungkusan itu.
Aku buka, ingin
tahu apa isinya.
―Apa ini?‖ sambil aku amat-amati. Isinya setumpuk kartu
ukuran lebih kecil daripada kartupos.
―Karcis cap ceker! Itu vrijkaart;
karcis kereta api cuma-cuma, sebanyak 30 helai. Bisa dibagi- bagikan untuk
teman-teman yang bisa membantu perjuangan kita!‖ jawabnya.
―Kok cap
ceker?‖ aku masih belum mengerti.
―Iya, sebab ada stempel dari pembesar
Jepang dengan huruf-huruf Jepang yang seperti ceker-ayam itu!‖ sambungnya,
―Karcis itu berlaku untuk kereta api ekspres klas I untuk seluruh Jawa
Madura.‖
―Dapat dari mana?‖ aku keheran-heranan.
―Jangan ditanya!
Ingat: Al-Harbu khid‘ah. Saudara ingat dalam dongeng Al-Baidaba bahwa kancil
yang begitu cerdik bisa dikalahkan oleh siput yang kelihatannya lemah tak
berdaya lagi nggremet itu. Jepang yang berlagak sok cerdik, kini berhadapan
dengan kaum santri!‖ berkata demikian sambil menggebrak meja.
113
―Dalam
hubungannya dengan ―Majlis Syuro Muslimin Indonesia‖ bagaimana?‖ kataku
bertanya.
―Saya akan terbitkan sebuah majalah, saya akan beri nama Suara
Muslimin. Saya meminta saudara bersedia menjadi pemimpin redaksinya. Nanti
dibantu oleh Harsono Cokroaminoto,
K.H. Mukhtar, dan A. Barri
al-Bahri.‖
―Wah, berat buatku. Nanti aku jadi terpaku di Jakarta. Tugas
di daerah-daerah bagaimana?‖ aku bertanya.
―Itu ‗kan bisa dibagi
waktunya,‖ jawabnya.
―Ya, tetapi aku Konsul Nahdhatul Ulama di daerah
Kedu!‖ jawabku.
―Sudahlah, terima saja. Kalau perlu untuk sementara saja.
Nanti kalau sudah berjalan bisa diatur lagi.‖
―Bagaimana kalau Harsono
saja, biar aku membantunya,‖ kataku.
―Aku ingin biar saudara sajalah.
Nanti kalau dirasa kurang sreg bisa diatur lagi. Pokoknya asal terbit dulu
beberapa nomor.‖
Pembicaraan berhenti karena banyak tamu-tamu datang
untuk menjumpai K.H.A. Wahid Hasyim. Banyak di antaranya terdiri dari para
ulama datang dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Ada yang aku sudah kenal, ialah
K.H. Dahlan dari Kertosono, orangnya gemuk, mengenakan topi lebar. Orangnya
periang dan pandai melucu. Saban-saban kalau membicarakan hal yang penting, ia
berbicara kepada K.H.A. Wahid Hasyim dengan bahasa Belanda. Tamu yang lainnya
yang aku sudah kenal ialah K.H. Dzofir dari Kediri, orangnya berwajah tampan,
halus tutur katanya, dan ramah sekali. Yang lain-lain aku belum kenal. Mereka
datang untuk melaporkan keadaan di daerahnya masing-masing. Banyak kiai-kiai
ditangkapi Jepang karena dituduh menghalang-halangi usaha Jepang mengumpulkan
padi milik rakyat. Padahal yang sebenarnya, Jepang merampas padi milik rakyat
yang hanya itu- itunya, walaupun dibeli akan tetapi dengan harga yang sangat
jauh perbedaannya dengan harga di pasaran. Lama mereka berunding dengan K.H.A.
Wahid Hasyim mengenai hal-hal yang tidak mengenakkan didengar karena semuanya
menyangkut perkosaan terhadap rakyat. K.H.A. Wahid Hasyim menyanggupi akan
menjumpai bupati di daerahnya guna mencari penyelesaian yang baik.
Menjelang
ashar, para tamu pada pulang. K.H.A. Wahid Hasyim mengajak aku makan siang.
Kebetulan lewat di muka rumah abang penjual gado-gado. Kami makan gado-gado
hingga kenyang.
Lepas sembahyang ashar, datang seorang tamu. Bertubuh
padat dan pendek dengan wajah seperti seorang Cina. Dia mengenakan baju jas
kuning gading dengan kain sarung dan berpeci hitam. Begitu melihat K.HA. Wahid
Hasyim, dia menyeru dengan amat fasihnya As- salamu 'alaikum warahmatuIlahi wa
barakatuh.
―Wilujeng sampeyan, Gus?‖ menyapa tamu ini kepada K.H.A. Wahid
Hasyim dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Yang dijawab oleh yang disapa juga
dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Ketika aku diperkenalkan kepadanya, dia
menyebutkan namanya:
―Kulo Abdulhamid Ono‖ sambil menjabat tanganku.
Aku
segera teringat nama seorang Jepang yang bertugas mendampingi, atau lebih
tepat membayang-bayangi K.H.A. Wahid Hasyim. Batinku mengatakan: O, ini dia
orangnya!
114
―Kulo wau langkung mriki, tasih kathah
tamu‖ katanya, yang artinya, bahwa tadi dia lewat di sini tetapi masih banyak
tamu.
―Konco-konco sami kepengin pinanggih kulo‖ jawab K.H.A. Wahid
Hasyim, bahwa mereka itu teman-teman yang ingin menjumpainya.
Dua orang
itu lalu menuju ke ruang lain, mengadakan pembicaraan empat mata. Sementara
menunggu mereka, dan agar Jepang ini lebih tenteram hatinya bahwa aku tidak
mungkin bisa nguping (pasang telinga), aku mengambil mesin tulis untuk menulis
surat-surat
Lama mereka berunding, menjelang waktu maghrib barulah
Abdulhamid Ono minta diri. Dia pergi begitu saja tanpa menyalami aku.
―Jepang
meminta kepadaku agar pemuda-pemuda Islam memasuki Heiho serdadu cadangan
untuk dikirim ke medan perang.‖ K.H.A. Wahid Hasyim mengungkap hasil
pembicaraannya dengan Abdulhamid Ono. ―Saya memajukan pikiran lain. Tetapi ini
panjang ceritanya. Baiklah kita sembahyang maghrib dulu!‖
―Abdulhamid Ono
datang membawa pesan Saikoo Sikikan, berhubung dengan serangan- serangan
Sekutu, Jepang memerlukan pemuda-pemuda Indonesia untuk menjadi serdadu
pendamping tentara Jepang di medan perang. Kepada pemimpin-pemimpin Jawa
Hookoo Kai, sebuah badan baru yang menggantikan ―Putera‖ telah disampaikan
suatu instruksi. Lalu meminta kepada saya lewat Abdulhamid Ono, agar
pemuda-pemuda santri juga memasuki Heiho.‖ K.H.A. Wahid Hasyim memulai
percakapan sehabis sembahyang maghrib.
―Tentu akan dikirim ke Burma atau
kepulauan Pasifik!‖ aku menyela.
―Ya, tentu demikian. Aku katakan
kepadanya bahwa akan lebih baik kalau pemuda-pemuda santri dilatih kemiliteran
untuk pertahanan di dalam negeri. Mempertahankan sejengkal tanah air di dalam
negeri akan lebih menggugah semangat pemuda-pemuda kita, daripada bertempur di
daerah yang sangat jauh letaknya di luar tanah air,‖ beliau meneruskan.
―Mempertahankan
sejengkal tanah air dari serangan Sekutu?‖ aku bertanya.
―Dari serangan
Sekutu maupun dari musuh-musuh yang lain!' jawabnya, ―Musuh yang sudah berada
di kampung halaman kita, lebih kita dahulukan pengusirannya daripada yang
masih jauh di luar tanah air!‖
―Tetapi kita belum mempunyai kecakapan
mengusir musuh!‖ tanyaku.
―Makanya, aku meminta supaya Jepang melatih
pemuda-pemuda kita di bidang kemiliteran,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim.
‗Tetapi
apakah Jepang mau terima logika kita?‖ aku meneruskan bertanya.
―Saya
katakan kepada Abdulhamid Ono, menghadapi kekuatan Sekutu di medan perang
harus dibebankan kepada tentara yang sudah terlatih baik, yaitu tentara Dai
Nippon. Pemuda-pemuda kita yang baru dilatih kemiliteran mungkin akan
menyulitkan tentara Jepang yang profesionil itu. Lain halnya kalau pertahanan
di dalam negeri diserahkan pemuda-pemuda kita. Dengan demikian, serahkan
pertahanan di dalam negeri kepada putera-putera tanah air sendiri, sedang
serdadu-serdadu Jepang yang ada di sini bisa dikirim ke medan perang
menghadapi serangan Sekutu.‖ jawabnya.
―Pemuda-pemuda kita sekarang
dijadikan Tentara ‗Peta‘, pembela tanah air. Apakah pemuda-pemuda santri juga
memasuki ‗Peta‘?‖ aku menanya.
115
―Saya mempunyai
rencana demikian. Sebagian dari pemuda-pemuda kita memasuki ―Peta.‖ Adik saya
sendiri, Abdul Khaliq Hasyim, memasuki ‗Peta,‖ dilatih menjadi Daidancho,
komandan batalion. Demikian juga saudara Wahib Wahab, putera K.H.A. Wahab
Chasbullah, juga memasuki ‗Peta‖ sebagai Shodancho, komandan peleton.‖ Kecuali
itu disebutnya nama-nama yang lain misalnya: Iskandar Sulaiman, Konsul
Nahdhatul Ulama Malang sebagai Daidancho, Syamsul Islam, Komisaris Daerah
Ansor Jawa Timur sebagai Chudancho, Sultan Syamsun, sebagai Shodancho, dan
lain-lain nama yang aku tak ingat lagi.
―Saya mengusulkan kepada Jepang
lewat Abdulhamid Ono‖ demikian K. H. A. Wahid Hasyim meneruskan keterangannya
―agar untuk pemuda-pemuda santri dibentuk ‗Tentara Hizbullah‖ seperti halnya
dengan ‗Peta.‖ ―Hizbullah‖ ini bertugas membela dan mempertahankan Tanah air
Indonesia.‖
―Apa reaksi Abdulhamid Ono?‖ aku bertanya ingin tahu.
―Pada
prinsipnya dia bisa menerima. Tetapi dia meminta saya membuat rencananya
secara terperinci. Aku sanggupi, beberapa hari ini saya akan menyerahkan
rencana yang dimaksud!‖ jawab beliau.
Semalaman kami berbincang-bincang
mengenai rencana pembentukan ―Hizbullah.‖ Aku mendapat tugas menjemput K.H.A.
Wahab Chasbullah di Surabaya untuk segera datang ke Jakarta. Sementara itu,
K.H.A. Wahid Hasyim dengan didampingi oleh Zainul Arifin mengadakan hubungan
dan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Indonesia terutama ―Empat- Serangkai‖.
***
Agustus
1943.
Sudah 10 hari aku menjelajahi desa-desa sekitar Cilacap, Kebumen,
dan Purworejo. Udara sangat panas dimusim kemarau dengan angin yang
menerbangkan debu-debu, pernafasan ini menjadi tambah sesak saja dengan batuk
yang tidak sembuh-sembuh. Bersepeda dengan memakai ban-buluk, artinya, ban
yang tidak berangin, susahnya bukan main mengayuh ban sepeda dengan melalui
jalan-jalan penuh lobang dan batu karena sudah lama aspalnya ikut menyingkir.
Rasanya badan ini seperti dibanting-banting, sekujur tubuh sakit semua. Pohon
asam dan tanjung yang dijadikan tempat berlindung sepanjang jalan raya, sudah
lama ditebangi karena dipergunakan untuk kayu bakar kereta api sebagai
pengganti arang batu, dan buahnya dimakan orang-orang untuk mengganjel
perut-perut yang lapar. Bahan, makanan terutama beras, kecuali amat susah
diperoleh, harganya hampir menyamai harga emas, sebab itu sudah banyak rakyat
hanya makan bonggol pisang serta dedaunan yang lumayan untuk mengganjal perut.
Sepanjang jalan banyak ditanam pohon jarak atas anjuran Jepang, untuk minyak
pelicin pesawat terbang, katanya. Hampir tiap 1 Km kita bisa menjumpai mayat
yang sudah mulai membusuk, kadang-kadang sampai dua atau tiga, berlindung di
bawah pohon jarak dengan ditutupi daun pisang atau dedaunan lainnya. Mayat
orang-orang yang mati kelaparan!
Alam Indonesia yang terkenal indah
permai, sudah berubah menjadi begitu berantakan, panas, dan kering sekeliling,
begitu resah dan tak bisa bicara kecuali dari mulutnya yang menganga
menghembuskan debu-debu yang beterbangan.
Di mana-mana aku jumpai orang
kelaparan, badan kurus dan pucat dengan kaki yang membengkak, tidak beri-beri
tentulah kaki-gajah. Kulitnya penuh dengan kudis, koreng, dan
116
borok-borok.
Malam-malam berlalu dengan kelam dan menekan, orang tidak memperdulikan
penerangan lampu. Kecuali karena gerakan kusukeiho (memadamkan penerangan
karena bahaya serangan udara), juga hampir tak ada orang menjual minyak tanah.
Satu dua rumah kadang-kadang menggunakan penerangan lampu dlupak, pelita kecil
dengan menggunakan minyak goreng. Dan lagi, buat apa penerangan lampu di rumah
kalau perut keroncongan?
Bayangkan, dalam keadaan begitu, rakyat dipaksa
tiap pagi berbaris dan menghadap ke arah Tokyo untuk memberi hormat kepada
raja Jepang Tennoo Heika yang sedang sarapan pagi dengan roti panggang, selai,
dan air jeruk dingin! Sehabis membungkukkan badan selingkar 90 derajat untuk
Tennoo Heika, masih harus bersabar mendengarkan lagu kebangsaan Jepang
Kimigayo yang menyayat hati, lalu menghormat kepada bendera Jepang Hinomaru,
sementara harus menahan tangannya menggaruk kudis dan koreng yang gatal
sekali!
Aku singgah sebentar di Pesantren Wanayasa, Kebumen. Pesantren
itu lengang saja tidak tampak kegiatan para santri yang jumlahnya tinggal
sepertiga. Banyak santri-santri yang pulang ke kampungnya, karena orang tuanya
tidak mampu memberikan biaya perbekalan di Pesantren. Sementara yang masih
tinggal di pesantren mengambil waktu mengaji untuk ronda kampung membantu
―Kaiboodan,‖ menjaga keamanan kampung kalau-kalau datang serangan dari
Sekutu.
―Amat senang saudara datang ke sini,‖ tegur Kiai Haji Nasuha,
pemimpin Pesantren Wanayasa Kebumen. Seorang tua yang berusia sekitar 70
tahun, ulama sangat terkenal di daerah Kebumen, bertahun-tahun menjadi sahabat
K.H. Hasyim Asy‘ari ketika masih sama- sama muqim dan menuntut ilmu di
Makah.
―Sejak Jepang datang, negeri ini seperti diamuk Ya‘juj wa Ma'juf
saja! Santri-santri banyak yang bubar karena orang tuanya tak bisa membiayai‖
demikian Kiai Nasuha seolah memberi laporan tentang situasi pesantrennya.
―Saya
mendengar bahwa sekarang rakyat dijadikan kuli paksa, namanya apa dalam bahasa
Jepang?‖ pertanyaan dimajukan Kiai Nasuha.
―Namanya Romusha,‖ jawabku.
"‘Ya
betul, romusha. Masya Allah! Di desa-desa sudah banyak penduduk dijadikan
romusha. Saya dengar dari pemuda-pemuda kita bahwa mereka dikirim untuk
membuat jalan kereta api di Sumatera. Betulkah ini?‖
―Bukan di Sumatera,
tetapi di Burma atau Indo-China, sebelah utara lagi dari Malaya,‖ jawabku.
―Kasihan
anak istrinya. Sehingga sawah-sawah tidak digarap karena di desa kekurangan
tenaga. Coba pikirkan! Anak istrinya disuruh makan apa? Sedang pemuda-pemuda
banyak dijadikan Heibo, katanya juga dikirim ke luar negeri buat perang
melawan Inggris-Amerika,‖ Kiai Nasuha diam sebentar lalu sambungnya:
―Kemarin
ada anak santri yang bilang bahwa adiknya perempuan didaftar untuk menjadi
juru rawat. Orang tuanya keberatan tetapi dipaksa saja dengan gadis-gadis lain
didaftar, katanya dikirim ke Jakarta untuk dijadikan juru-rawat. Kalau memang
mau dijadikan juru rawat kok jauh-jauh, di Kebumen ini rumah sakit saja
kekurangan juru rawat,‖ Kiai Nasuha menyambung pembicaraannya
―Inilah
namanya musibah,‖ aku menyela.
117
―Saya kira tidak
dijadikan juru rawat, tetapi tukang merawat Jepang-Jepang yang sudah keliwat
lama pisah dari istri-istri mereka. Ini benar-benar zalim dan keterlaluan. Apa
tidak lebih baik kita berontak saja?‖ pertanyaan Kiai Nasuha dengan
semangat
―Berontak itu kalau cuma sendirian percuma saja, mudah ditumpas
Jepang. Kita jangan lupa ketika Diponegoro berontak melawan Belanda. Yang
berontak cuma sebagian rakyat saja, itu pun cuma terbatas Yogya, Kedu,
Banyumas, dan sebagian daerah lain. Begitu juga ketika Teuku Umar dan Imam
Bonjol berontak, hanya terbatas di daerahnya sendiri, sedang rakyat-rakyat di
daerah lain boleh dibilang tidak ikut memberontak,‖ jawabku.
―Jadi, mau
dibiarkan saja Jepang ini melakukan kezaliman?‖ pertanyaan Kiai dengan nada
mendesak
―Menurut teori perjuangan yang diceritakan oleh K.H.A. Wahib
Hasyim, bahwa para pemimpin harus dibulatkan dulu pikirannya, bahwa
pemberontakan itu harus menyeluruh meliputi seluruh Indonesia. Kita harus
melatih para pemuda di seluruh penjuru tanah air di dalam ilmu kemiliteran.
Siapa yang harus melatih? Tak lain adalah Jepang sendiri. Kalau kita akan
melawan Jepang, kita harus tahu akan ilmu Jepang. Agar supaya Jepang tidak
curiga, kita harus menanamkan kepercayaan kepadanya bahwa maksud latihan
kemiliteran ini untuk bersiap-siap melawan Belanda dan kawan-kawannya. Jepang
menginsyafi bahwa Belanda memang bermaksud untuk kembali menjajah Indonesia
lagi. Nanti, kalau pemuda- pemuda kita sudah mahir ilmu militer, nah, tinggal
tunggu saat yang baik kita serentak seluruh Indonesia mengangkat senjata
melawan Jepang.‖
―Kalau begitu, biar santri-santri ikut belajar militer.
Di mana bisa belajarnya?‖ bertanya Kiai Nasuha.
―Kini telah dibentuk
―Hizbullah,‖ pemuda-pemuda santri dididik kemiliteran selama 6 bulan di
Jakarta. Tiap kabupaten diharuskan mengirim 5 orang pemuda-pemuda dari
pesantren. Selesai menjalani pendidikan kilat kemiliteran, mereka diwajibkan
melatih pemuda-pemuda di daerahnya. Diutamakan pemuda-pemuda pesantren. Kini
di Jakarta telah diatur pelaksanaannya. Kedatanganku menghadap para kiai untuk
memohon doa restunya dan untuk membicarakan dengan para kiai tentang
calon-calon yang akan dikirim ke pendidikan militer di Jakarta,‖ aku
menerangkan.
―Baik sekali!‖ jawab Kiai Nasuha, ―untuk mencari 5 orang
pemuda sangat gampang. Di sini banyak santri-santri pilihan yang menjadi
anggota Ansor!‖
Kiai Nasuha menyebut beberapa nama. Abdullah Al-Haddad,
Marzuki, Basiran, Samirun, Mahfudz, dan lain-lain nama yang aku sudah kenal
semua.
Aku berpamitan hendak meneruskan perjalanan, untuk menjumpai
beberapa kiai lagi. Tetapi Kiai Nasuha menahan aku, agar aku bermalam di
pesantrennya. Beberapa kiai diundang oleh Kiai Nasuha untuk menjumpai aku di
rumahnya. Malam itu, datanglah beberapa ulama yarig terkenal di Kebumen. Yang
aku sudah lama kenal, ialah: KH. Muhsin, K.H. Ishom, Kiai Afandi, dan Haji
Hasyim ketua Nahdhatul Ulama, Kebumen. Sampai jauh malam kami merundingkan
tentang pelaksanaan pengiriman 5 orang pemuda ke latihan militer
―Hizbullah‖
di Jakarta.
Pagi harinya aku melanjutkan perjalanan ke Purworejo, Yogya,
Magelang, Parakan, dan Wonosobo.
118
Ketika tiba
di Kutoarjo, hari sudah senja. Perjalanan dari Kebumen ke Kutoarjo yang
hanya
40 Km, aku tempuh dalam waktu 9 jam. Kereta api penuh sesak dengan
penumpang, hingga memenuhi atap-atap gerbongnya. Tiap 5 hingga 10 menit
berhenti, kehabisan kayu bakar. Para penumpang beramai-ramai mencari kayu
bakar di kanan kiri jalan kereta api, kadang-kadang membantu pegawai kereta
api menebang kayu-kayu sepanjang rel kereta api. Haus dan lapar bukan main!
Aku
menuju ke pesantren Kiai Damanhuri. Pesantrennya kecil saja, dan terasa sepi
dan mencekam. Masjid itu gelap tiada penerangan lampu. Tetapi masih jelas
suara orang membaca-baca wiridan, pertanda sembahyang maghrib sudah selesai.
Aku perhatikan di dalamnya cuma 3 orang dengan Kiai Damanhuri masih berada di
mihrab, tempat imam sedang memimpin pembacaan windan. Aku sembahyang maghrib
sendinan.
Ketika wiridan sudah selesai, dan kiai selesai sembahyang
sunat, aku hadang dia di pintu masjid. Beliau sangat terkejut melihat
kedatanganku.
―Masya Allah, sangking tindak pundi?‖ (datang dari mana?)
tegurnya sambil menyalami tanganku.
―Njajah deso milang kori,‖ (pergi
keliling-keliling), jawabku sambil bergurau. Kiai ini senang bergurau, melucu.
Tetapi di saat serius juga serius.
Aku diajak masuk ke rumahnya, dan
menanyakan kabar keselamatanku. Sambil berjalan beliau cerita, semalam
bermimpi ketemu aku. Segera aku sambut, kini kita saling berjumpa dalam
keadaan nyata, tidak dalam mimpi.
―Bu Nyai! Bikin kopi kental, ini ada
tamu agung!‖ serunya kepada Ibu Nyai yang masih ada di dalam, ―suruh si Busro
menyembelih ayam!‖
―Ah, jangan repot-repot kiai!‖ kataku.
―Tidak
repot kok! Memang saban saya makan selamanya dengan ayam, artinya, kalau saya
makan, ayam saya pun juga makan,‖ jawabnya mulai melucu.
―Di pesantren
ini tak ada lagi santri, mereka pada pulang kampung. Orang tua mereka pada
susah, padinya diambil Jepang. Saya dengar mereka pada dagang keliling, takut
dijadikan romusha atau dijadikan Heiho,‖ mulai Kiai Damanhuri membuka
percakapan.
―Jadi kiai tidak lagi mengajar sekarang?‖ aku bertanya.
―Saya
sekarang mengajar dengan keliling mendatangi desa-desa, biar saya yang
mengalah. Di rumah saja juga susah. Selalu saja saya didatangi pejabat Jepang
untuk membantu mereka membikin propaganda tentang pengumpulan padi dan kerja
suka rela. Orang tani sudah tidak memiliki padi, sudah 3 panenan ini padi tak
menjadi, terserang hama, lagi pula, banyak sawah terbengkalai tidak ada
pekerja yang menggarap sawah karena dijadikan romusha. Saya tidak mau ikut
propaganda pengumpulan padi, ini kerja zalim kepada rakyat, penuh dosa.
Subhanallah!‖ Kiai Damanhuri menerangkan sambil menahan genangan air
matanya.
―Apa rakyat di sini bertambah sengsara?‖ aku menanya, sebenarnya
suatu pertanyaan sia- sia, sebab aku sudah tahu, rakyat di mana-mana
menderita.
―Memang, rakyat bertambah menderita, ya lahir ya batin. Sudah
banyak orang tidak makan nasi. Kalau saudara perhatikan, halaman-halaman rumah
penduduk yang dulu banyak ditanami pohon pisang, sekarang sudah jarang sekali.
Pisang yang masih muda terpaksa
119
dimakan, juga
bonggolnya. Tetapi orang-orang yang jadi alat Jepang bertambah makmur saja
hidupnya,‖ kata Kiai.
―Makmur dari mana?‖ aku menanya ingin tahu.
―Tentu
saja dari main kusukeiho. Dari mana lagi kalau tidak main kusukeiho?‖
jawabnya. Kusukeiho itu bahasa Jepang, artinya serangan bahaya udara. Kalau
ada tanda kusukeiho, lampu-lampu dipadamkan, keadaan menjadi gelap seluruhnya.
Oleh rakyat jadi merupakan istilah populer, bahwa kusukeiho artinya main
gelap-gelapan, korupsilah begitu!
―Astaghfirullah, kasihan rakyat!‖ aku
menyela.
―Ya, ini memang benar-benar zaman edan!‖ Kiai meneruskan
percakapannya. ―Kalau tak ikut edan tidak kebagian. Tetapi orang pada lupa
bahwa: Sabejo-bejane kang lali, isib bejo kang eling lawan waspodo
(Sebahagia-bahagianya yang sedang lupa, masih berbahagialah mereka yang selalu
ingat dan waspada).‖
―Orang tua-tua kita sudah mengajar kepada kita,‖
demikian kiai melanjutkan uraiannya
―bahwa telah difirasatkan kelak akan
datang suatu masa yang digambarkan sebagai demikian:
Keong sak kenong
matane Tikus-tikus pada ngidung Kucing gering kang njageni ...
―Bahwa
artinya: Siput bermata sebesar kenong. Ini suatu tamsil bahwa rakyat yang tak
berdaya dan lemah seperti binatang siput, mendadak bermata sebesar kenong,
artinya, tahu segala-galanya apa yang terjadi. Tikus-tikus berdendang
menyanyi-nyanyi. Ini suatu tamsil bahwa para penjahat dan pencoleng yang
seperti tikus-tikus yang menggerogoti kekayaan rakyat pada hidup senang dan
makmur karena berhasil dengan curian dan perampokannya. Sedangkan
kucing-kucing, artinya pihak penguasa yang harus membasmi tikus-tikus tidak
sanggup menangkap dan mengejar tikus-tikus karena mereka cuma kucing kurus tak
berdaya!‖ Kiai Damanhuri diam sebentar seperti ada yang dipikirkan
dalam-dalam.
―Kalau sudah demikian, lalu apa yang bakal terjadi?‖ tanyaku
mengisi kesunyian.
―Wallahu A‗lam! Cuma Allah Yang Maha Tahu apa yang
bakal terjadi,‖ seperti tersentak dari diamnya Kiai Damanhuri menjawab
pertanyaanku.
―Cuma banyak sekali orang mempercakapkan bahwa Jepang tidak
akan lama lagi berkuasa di sini,‖ beliau meneruskan, ―dan ini termasuk
sunnatullah. Artinya, bahwa Allah selalu menyertai anggapan orang banyak.
Kalau orang banyak menganggap bahwa sesuatu itu baik, maka Allah juga
beranggapan demikian. Sebaliknya kalau orang banyak menganggap bahwa sesuatu
itu tidak baik, Allah juga beranggapan demikian.‖
―Apa kata orang banyak
bahwa Jepang tidak akan lama lagi berkuasa?‖ aku bertanya.
―Ya, kata
orang-orang bahwa Jepang hanya berkuasa selama seumur jagungf‘ jawabnya.
―Apa
maknanya berkuasa seumur jagung?‖ aku menanya. Percakapan dari hati ke hati
ini bertambah menarik.
―Macam-macam orang memberikan tafsiran. Ada yang
menafsirkan bahwa seumur jagung itu artinya seumur raja agung. Lha, kita ini
tidak tahu, siapa yang dianggap sebagai raja agung di waktu sekarang, apakah
Hitler ataukah Tenno Heika yang kini masih merajai dunia dengan menaklukkan
begitu banyak negeri. Ada lagi yang menafsirkan bahwa seumur
120
jagung
itu artinya seumurnya orang jagong. Kalau kita pergi jagong, yaitu datang ke
tempat pesta penganten, itu cuma beberapa saat saja, tidak lama. Jadi kalau
diikuti tafsir ini, bahwa Jepang memang tidak lama berkuasa di sini. Ada lagi
yang menafsirkan bahwa seumur jagung itu benar-benar selama umur jagung. Mulai
menanam biji jagung, hingga tumbuh jadi pohon, lalu dipetik buah jagungnya dan
disimpan, itu paling lama hanya 3½ bulan. Jadi kalau diikuti tafsiran ini,
Jepang menguasai Indonesia Cuma 3½ tahun saja. Tetapi yaitu, Iaya'lamu
al-ghaiba illa Allah, tidak ada yang mengetahui perkara yang gaib kecuali
Allah SWT!‖ demikian Kiai Damanhuri menerangkan.
Aku cuma singgah saja di
Pesantren Kiai Damanhuri, karena itu, sehabis disuguhi makan dengan ayam
goreng, aku berpamitan pulang. Tiba di rumahku, di Purworejo, sudah jam 12
malam. Aku diantarkan oleh Haji Sahlan, seorang murid Kiai Damanhuri yang
menjadi pemimpin Ansor dengan delmannya.
* * *
Pada permulaan tahun
1944 sudah 4 bulan ―Hizbullah‖ terbentuk di seluruh Jawa-Madura. Beberapa
daerah di Sumatera dan Kalimantan juga telah terbentuk, walaupun tidak merata.
Markas Tertinggi ―Hizbullah‖ berada di Jakarta, dengan Zainul Arifin sebagai
panglimanya. Anggota pimpinan yang lain diambilkan dari unsur Nahdhatul Ulama,
Muhammadiyah, PSII, dan lain-lain organisasi umat Islam. Beberapa ulama di
antaranya K.H.A. Wahab Chasbullah dijadikan penasehat dan pelindung.
Jika
pusat latihan ―Peta‖ berkedudukan di Bogor, maka pusat latihan ―Hizbullah‖
berada di Cibarusa, suatu desa di perbatasan antara Bekasi dan Cibinong, dekat
Jakarta Bogor.
Di kedua tempat ini, pemuda-pemuda Indonesia digembleng
jasmani dan rohaninya untuk pertahanan tanah air dari ancaman musuh, baik yang
datang dari luar maupun yang ada di dalam negeri. Kedua-duanya dilatih
kemiliteran oleh perwira-perwira Jepang. Banyak orang mempunyai firasat bahwa
akhirnya bagi Jepang akan terjadi lelakon senjata makan tuannya sendiri.
Aku
diserahi membentuk Barisan ―Hizbullah‖ untuk daerah Kedu di Magelang. Seorang
temanku, KH. Muslich membentuk di daerah Banyumas.
Seorang Shodancho dari
salah satu Daidan ‗Peta‘ di Magelang bernama A. Yani, aku mintai bantuannya
untuk melatih ―Hizbullah‖ seluruh daerah Kedu. Dia telah membantu pembentukan
―Hizbullah‖ sejak dari permulaan. Aku tidak tahu mengapa pilihanku jatuh
kepada pemuda A. Yani ini.
Kian hari situasi baik politik maupun ekonomi
dan militer semakin genting. Perasaan anti Jepang semakin meluas di mana-mana.
Gerakan sabotase untuk melemahkan kedudukan Jepang digerakkan oleh rakyat di
beberapa daerah sampai terjadi pemberontakan- pemberontakan di Indramayu,
Singaparna, Cilacap, dan Blitar.
Sejak Jepang datang, dia tak pernah
memperoleh simpati rakyat Indonesia, kecuali beberapa hari yang pertama karena
propagandanya hendak membebaskan rakyat dari penjajahan. Namun hari demi hari
kebencian kian menumpuk. Badan-badan yang dibentuk Jepang, mulai dari Tiga A,
sampai ―Putera‖ dan ―Jawa Hokokai‖ yang dipimpin oleh ―Empat- Serangkai‖ tak
pernah dapat meraih simpati dan dukungan dari rakyat Indonesia. Rakyat kian
membenci dan bahkan mendendam.
121
Aku sering
meninggalkan Jakarta untuk menyertai K.H.A. Wahid Hasyim mengunjungi
daerah-daerah. Di Jakarta, beliau bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional dan
kalangan pemuda. Di daerah-daerah beliau mempunyai anak buah di kalangan supir
truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk
melakukan tugas-tugas penghubung. Sementara itu, hubungan dengan dunia
pesantren tambah dipererat.
Di Jombang, di bawah pimpinan Hadratus Syaikh
dan K.H.A. Wahab Chasbullah diselenggarakan Riyadhah-Rohani di kalangan para
ulama. Kecuali meningkatkan semangat pembelaan tanah air, juga mengamalkan
beberapa wirid. Hizbur-Rifa‘i, Hizbul-Bahr, Hizbun Nawawi, dan lain-lain doa
dipompakan dalam Riyadhah yang berbentuk Latihan-Rohani itu.
Dalam banyak
kesempatan, K.H.A. Wahid Hasyim menjelaskan isi ramalan Ranggowarsito tentang
Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menguasai Indonesia.
Kepercayaan itu haruslah dijadikan dorongan untuk berjuang. Diinsyafkan kepada
masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan.
Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir batin,
pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.
Berhubung dengan
tertangkapnya K.H. Mahfuzh Shiddiq, ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama oleh
Jepang, maka pimpinan diambil alih K.H.A. Wahab Chasbullah sehari-hari
didampingi oleh Hasyim.
K.H.A. Wahid Hasyim menggerakkan suatu kampanye
ditujukan kepada dunia pesantren dan alim ulama. Kampanye itu bernama Mahadi
Nashrillah terdiri 3 fasal:
1. Tazawuru ba'dhuhum
ba'dha, artinya: Saling kunjung mengunjungi dan mempererat persatuan.
2.
Tawashaw bi al-haqqi wa tawashaw bi as-shabri, artinya: Saling memberi nasehat
tentang kebenaran dan ketabahan berjuang.
3. Riyadhah
Ruhaniyah, artinya: Memperdekatkan diri kepada Allah untuk memohon
pertolongan-Nya sambil memperbanyak wirid, hizb, dan doa.
Sejak permulaan
Mei tahun 1945, aku sering berada di Jakarta. Di markas tertinggi
―Hizbullah‖
selalu berkumpul beberapa ulama dan tokoh-tokoh umat Islam. Di antaranya:
K.H.A.
Wahab Chasbullah, KH.A. Wahid Hasyim, Zainul Arifin, KH. Dahlan, KH. Abdul
Halim Majalengka, K.H. Sanusi Bogor, K.H. Masykur Malang, K.H. Mustofa Kamil
Singaparna, K.H. Abdulkahar Muzakkir, Mr. Muhammad Roem, Prawoto
Mangkusasmito, dan lain-lain.
Mereka selalu membicarakan situasi yang
semakin gawat bagi Jepang, baik dalam segi politik, ekonomi, maupun
militer.
Suatu hari, seorang pemuda Ansor Jakarta, Fatoni, memberitahukan
kepadaku bahwa seorang petani bernama Husin akan minta berjumpa dengan K.H.A.
Wahid Hasyim. Bertemulah dua orang ini, lama mengadakan pembicaraan. Setelah
petani itu pergi, K.H.A. Wahid Hasyim memberitahukan kepadaku bahwa dia adalah
Tan Malaka, orang terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan
Jepang. Guru Adam Malik dan Chairul Saleh, katanya.
Dari berita-berita
radio yang dapat kita sadap mengabarkan bahwa beberapa pulau di lautan Pasifik
sebelah selatan di sekitar Salomon yang diduduki Jepang, satu demi satu jatuh
ke tangan Amerika. Jenderal Mc. Arthur panglima Sekutu telah mendekati
Filipina. Kepulauan Jepang terutama Tokyo sudah mulai dibom oleh Amerika.
Sementara ekonomi dan
122
kekuatan militer Jepang
semakin payah, gerakan anti Jepang bertambah meluas di seluruh Indonesia.
Ada
sementara pemimpin Indonesia yang masih taat kepada Jepang dan percaya atas
janji- janji Jepang bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak bila perang Asia
Timur Rayanya Jepang mencapai kemenangan. Tetapi sebagian pemimpin yang lain
K.H.A. Wahid Hasyim termasuk di dalamnya menganggap bahwa Jepang akan
mengalami kekalahan, dan oleh sebab itu Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut
pada saat yang dipandang paling tepat. Saat yang paling tepat inilah yang
selalu menjadi bahan pembicaraan dan musyawarah di antara pemimpin dan
kalangan pemuda.
Untuk persiapan menjelang Indonesia Merdeka,
daerah-daerah harus disiapkan, baik mental maupun organisasi perjuangannya.
Indonesia Merdeka harus direbut di Jakarta, tetapi harus dibarengi secara
serentak oleh perjuangan di daerah-daerah, agar Jepang tidak sempat memusatkan
kekuatannya, dan agar perhatian Jepang menjadi terpecah-pecah.
Secara
lahiriyah, rakyat Indonesia dalam keadaan sakit dan menderita sangat parah,
akibat penindasan penjajahan Jepang selama 3½ tahun. Akan tetapi secara mental
dan semangat, daya juangnya semakin dahsyat menyala-nyala. Kepala tidak lagi
menunduk, tetapi tegak ke atas dengan mata memandang ke depan melihat suatu
harapan besar, bahwa zaman baru akan segera tiba.
Untuk tugas inilah kami
tinggalkan Jakarta. Kami serombongan petugas disebar ke daerah- daerah, ada
yang ke Jawa Timur dan ada yang ke Jawa Barat. Aku mendapat tugas ke Jawa
Tengah. Aku singgahi Pekalongan dan Purwokerto. Dalam menuju Magelang, aku
singgahi Wonosobo dan Parakan, dua kota di pegunungan yang amat strategis,
siapa tahu perjuangan akan memakan waktu lama dan diperlukan suatu daerah yang
memiliki daya tahan untuk berjuang. Daerah ini kecuali padat penduduknya,
terpencar desa-desa di balik pegunungan yang beratus-ratus jumlahnya, juga
terkenal sebagai gudang makanan.
Baru dua hari aku tiba di Magelang aku
jatuh sakit. Aku pulang ke rumah di Purworejo dalam keadaan sakit. Agaknya
karena bekerja sangat keras dan hampir tidak pernah istirahat
Badanku
sangat lemah seperti tidak mempunyai kekuatan sedikit pun. Aku cuma berbaring
di bawah pengawasan Dokter Sutikno. Tetapi pikiranku jauh menjangkau ke
mana-mana.
Dalam keadaan sakit, aku kedatangan dua orang pembesar Jepang
yang aku sudah kenal. Mereka tidak datang bersamaan tetapi sendiri-sendiri.
Aku sangat heran begitu baik si Jepang ini menengokku sakit. Dan lebih heran
lagi karena ada sesuatu yang sangat aneh buatku. Dia seorang pembesar Jepang
di Magelang, namanya Machuda, aku tidak perdulikan apa nama depannya, aku cuma
tahu namanya Machuda, begitu saja. Yang membuat aku melihatnya aneh karena dia
datang dengan mengenakan kain sarung dan peci hitam. Mimpikah aku? Dia datang
dengan menyerahkan sebuah bungkusan buatku. Aku buka di depannya, ternyata
isinya... bahan baju satu stel. Dia mendoakan aku semoga aku lekas sembuh.
Tidak banyak bicaranya, lalu segera minta diri. Tidak lama kemudian datang
lagi seorang pembesar Jepang, yang aku kenal namanya tuan Oya. Dia biasa saja,
masih berpakaian seragam militer. Dia tidak membawa bungkusan seperti Machuda.
Tetapi dia datang untuk berpamitan bahwa pertemuannya denganku mungkin yang
terakhir kalinya. Karena aku dalam keadaan sakit, aku malas saja berbicara
panjang-panjang, dan dia sendiri pun tampak tergesa-gesa. Ketika berjabatan
tangan denganku menjelang pulang, ia memegang tanganku lama sekali, sambil air
matanya berlinang-linang. Aku jadi bingung dan merasa sangat aneh terhadap
peristiwa itu, apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
123
Baru
setelah satu jam kemudian, melalui siaran radio dari Jakarta, aku mendengar
berita bahwa Bung Karno-Hatta telah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.
Aku
seperti baru siuman dari pingsan atau mendusin dari ngelamun mendengar siaran
radio itu. Antara percaya dan tidak. Aku berusaha untuk mengumpulkan semua
ingatanku tentang apa yang terjadi di Jakarta sebelum aku tinggalkan. Mengapa
secepat itu berlangsung? Apa sebenarnya yang telah terjadi di sana?
Aku
menangis! Iba rasa hatiku, justru dalam detik-detik paling penting dalam
sejarah bangsa kita, saat yang telah lama aku nantikan dengan penuh kesabaran
dan penderitaan, tiba-tiba aku berada di tempat yang jauh dari pusat kejadian
itu, jauh dari Jakarta pusat perjuangan. Lama aku termenung. Berangsur-angsur
datang suara dari batinku, aku tidak boleh menyesali apa yang terjadi. Semua
ini karena suratan takdir. Aku ditakdirkan harus sakit. Berangsur-angsur aku
menata hatiku untuk sabar dan tawakal.
Hari itu memasuki minggu ke-3
bulan Ramadhan. Akan tetapi derita lapar karena berpuasa terasa nikmat sekali.
Rasanya, belum pernah dalam hidupku merasakan lapar tetapi nikmat dan bahagia
seperti ketika itu. Semua ini lantaran pengaruh dan berkahnya kemerdekaan.
Aku
merasa sekonyong-konyong menjadi sehat kembali, kontan merasa sembuh seketika
dari sakitku. Aku mengambil sepeda untuk menemui beberapa teman.
Alam pun
tampak cerah berseri, tidak tampak kelesuan suasana puasa yang biasanya
lunglai. Sepanjang jalan penduduk mengibarkan bendera merah putih, ada yang
terbuat dari kain dan banyak pula yang terbuat dari kertas saja. Gelak tawa
kedengaran di mana-mana, mereka riang gembira dan tampak amat bahagia.
Muka-muka jadi bersinar, amat bebas bicaranya menghalau rasa tertekan selama
3½ tahun. Seenaknya saja keluar dari mulutnya mencaci Jepang dan mengutuknya
dengan amat leluasa. Pada dada mereka tersemat lencana Merah Putih, ada yang
terbuat dari kain, logam, dan juga dari kertas, pokoknya asal ada tanda
Merdeka, Merah Putih. Bila berpapasan satu dengan yang lain meneriakkan
pekik
―Merdeka‖ dengan mengepalkan tinjunya yang disambut dengan kepalan
tinju yang maunya lebih gede lagi dengan mulutnya meneriakkan ―Merdeka‖ lebih
nyaring. Kadang-kadang teriakan pekik itu amat mendadak tersentak, membuat
orang jadi kaget seketika, lalu masing-masing melemparkan tawanya sambil
menyeringai. Pokoknya semuanya senang dan bahagia.
Masjid dan surau penuh
orang melakukan sembahyang Tarawih, malam-malam jadi tampak hidup dengan
lampu-lampu menerangi tiap rumah dan jalan-jalan. Orang berkerumun- kerumun di
mana-mana seperti laron keluar dari sarangnya. Dunia seperti baru lahir dari
kandungan Kemerdekaan setelah penderitaan lahir batin sekian lamanya di bawah
kecemasan yang gelap.
Aku kumpulkan teman-teman yang selama ini
membantuku dan membantu rumah tanggaku tiap kali aku tidak ada di rumah.
Datanglah Kiai Haji Jamil, Solichun, Ustadz Ridwan, dan Mawardi Ichwan.
Menyusul Sayyid Muhammad dan Haji Ashari. Mereka inilah orang-orang yang
selalu aku mintai pertimbangan dan pendapat bila aku menghadapi
kesulitan-kesulitan.
Aku ingatkan kepada mereka bahwa kita jangan menjadi
lengah, tenggelam di saat senang dan bahagia. Perjuangan baru akan mulai.
Hingga jauh malam menjelang sahur kami berbincang-bincang membicarakan hal-hal
yang bersangkut paut dengan segala kemungkinan.
124
Dua
hari kemudian aku menerima kawat K.H.A. Wahid Hasyim untuk datang ke Jakarta.
Beliau adalah Menteri Negara dalam pemerintahan baru yang dibentuk setelah
Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kepada Solichun, pemimpin ―Hizbullah‖ aku
pesankan, agar anak buahnya tetap terhimpun dan selamanya dalam keadaan siap
sedia menghadapi segala kemungkinan.
Aku tinggalkan kotaku menuju
Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia. Allahu Akbar wa lillahi al-hamd!
Allah
Maha Besar, Selamanya Maha Terpuji!!!
Merdeka Berarti 1000 Perjuangan
Minggu-minggu
pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah hari-hari yang penuh dengan
ketegangan. Indonesia yang mula-mula berwajah cerah penuh tawa, mendadak
berubah menjadi Indonesia yang garang meradang menantang, dan berjuang. Jepang
hendak menjadikan Indonesia barang inventaris yang harus diserahterimakan
kepada Sekutu. Jepang sebagai negara yang kalah perang diharuskan menjaga
keamanan dan ketertiban di Indonesia bekas jajahannya.
Tetapi kita tidak
sudi dijadikan barang warisan. Kita sudah merdeka. Sebab itu, kita menentang
perbuatan Jepang. Keamanan dan ketertiban di Indonesia adalah urusan kita
sendiri, kita yang berdaulat di negeri sendin. Sebaliknya, kita memandang
Jepang-Jepang sebagai tawanan perang Sekutu yang harus kita serahkan kepada
Sekutu, dan kita bertanggung jawab atas keamanan di negeri ini. Bila Sekutu
datang ke negeri ini, dia tidak lagi akan menjumpai Indonesia sebagai jajahan
Jepang, tetapi sebagai suatu Negara Merdeka yang berhak memerintah dirinya
sendiri.
Jepang tidak mau menyadari kenyataan bahwa Indonesia telah
merdeka. Dia masih beranggapan bahwa kemerdekaan Indonesia baru akan diberikan
oleh Jepang bila perang selesai dan Jepang di pihak yang menang. Tetapi bangsa
Indonesia telah matang untuk berpikir bahwa Jepang tidak akan menang dalam
peperangan, Jepang akan dikalahkan. Sebelum Jepang menjadi taklukan Sekutu,
kita siap untuk merdeka. Dan, begitu Jepang menyerah kepada Sekutu, begitu
kita menemukan detik-detik yang paling tepat untuk merdeka. Detik-detik di
mana terdapat kekosongan kekuasaan. Jepang sudah menyerah, dan sekutu belum
tiba di Indonesia. Inilah saat paling tepat untuk memproklamasikan
Kemerdekaan, yaitu 17 Agusuts 1945, bertepatan tanggal 17 Ramadhan 1365.
―Peta‖
yang sudah bubar segera menghimpun tenaganya kembali. ―Hizbullah‖ masih dalam
keadaan utuh, mulai di pusatnya di Jakarta hingga daerah-daerah. Serentak
pemuda- pemuda Indonesia menjadikan dirinya ―Laskar Kemerdekaan‖ yang
mewajibkan dirinya membela Kemerdekaan dan mempertahankannya dengan
pengorbanan apa pun.
Serdadu-serdadu Jepang harus kita lucuti senjatanya.
Kita memerlukan senjata. Sebagai tentara yang dalam keadaan kalah perang,
mereka kita hantam dan tangsi-tangsi mereka kita serbu. Senjata di tangan
Jepang harus menjadi milik kita.
Mulai dari Jakarta, pusat perjuangan
kemerdekaan, hingga ke pelosok-pelosok tanah air, suasananya sangat panas,
mendidihlah semangat bertempur melawan Jepang. Kita berada dalam situasi
―siap-siapan‖, di mana-mana kita jumpai pemuda-pemuda dalam keadaan siap.
Komando ―siap‖ menggema di mana-mana.
126
Begitu
cepat slogan-slogan kemerdekaan merata di seluruh tanah air. Sepanjang jalan,
pada tembok-tembok terpancang semboyan-semboyan kemerdekaan dalam bahasa
Inggris, yang mengandung arti bahwa kita telah merdeka, dan sanggup membelanya
dengan pengorbanan apa pun. Di mana-mana terpancang semboyan ―Merdeka atau
Mati!‖ Gerbong-gerbong kereta api juga penuh dengan coreng-moreng semboyan
kemerdekaan dalam bahasa Inggris, hingga dalam waktu beberapa hari di seluruh
tanah air, terutama di kota-kota, penuhlah semboyan-semboyan kemerdekaan
menghiasi dinding-dinding rumah, jembatan, pabrik, dan bahkan pohon-pohon,
pokoknya di mana saja asal bisa terbaca dengan mudah dengan huruf-huruf yang
berwarna menyolok dan dalam kalimat-kalimat yang singkat dengan nada berjuang.
Kepentingannya, bila nanti Sekutu datang kemari, dia akan melihat suatu
kenyataan bahwa Indonesia benar-benar telah merdeka oleh hasratnya hendak
merdeka.
Aku pulang dari Jakarta dengan kereta api yang padat berisi
pemuda-pemuda dengan wajah-wajah garang. Orang-orang tua pun bersemangat
pemuda, mereka berbicara dengan semangat ―mau mati‖ saja kalau kemerdekaan ini
sampai menjadi urung.
Tiba di stasiun Kroya, aku turun. Aku jumpai
temanku seorang ―Hizbullah.‖ Namanya Kiai Mu'awwam.
Kiai ini pernah
dilatih Jepang dalam suatu ―Latihan Ulama‖ di Jakarta. Seperti halnya ulama-
ulama yang lain, selain dilatih tentang ―semangat Jepang‖ (Bushido), beliau
juga dilatih kemiliteran. Sejak tahun 1943, Jepang mengadakan ―Latihan Ulama‖
dan ―Latihan Guru Madrasah‖ seluruh Indonesia yang bertempat di Jakarta.
Mereka dilatih 1 bulan, lalu diikuti oleh latihan berikutnya secara gelombang
demi gelombang.
Ketika diadakan latihan kemiliteran, kira-kira 100 orang
ulama dipecah menjadi 2 pasukan. Yang satu menjadi pasukan yang membela
benteng, sedang satunya, pasukan yang menyerang benteng. Kiai Mu‘awwam menjadi
komandan pasukan yang membela benteng.
Ketika pasukan yang menyerang
masih dalam jarak yang cukup jauh, Kiai Mu‘awwam memberi perintah kepada anak
buahnya agar beristirahat, duduk-duduk sambil merokok, dan mengobrol sesama
kawannya. Alasannya, toh ―musuh‖ masih jauh. Begitu terdengar suara
hiruk-pikuk pasukan penyerang telah mendekati benteng, Kiai Mu‘awwam segera
memberikan aba-aba bersiap. Pasukannya diberi perintah, bila pasukan penyerang
telah mendekati ―benteng‖-nya, segera saja ―menyerah‖ dan angkat tangan.
Maksudnya, agar
―kaum penyerang‖ merasa senang hatinya karena susah payah
dan jauh-jauh menyerang, biarlah mereka ―menang,‖ dan dengan demikian ―latihan
perang‖ segera bubar.
―Buat apa cape-cape! Orang tua-tua disuruh
‗bertempur‘. Ini Jepang harus diakali!‖ katanya.
―Kalau dua pasukan
kiai-kiai yang orang tua-tua ini saling ―bertempur,‖ bisa jadi gotongan
nantinya. Sebab itu saya akali, biarlah pasukan saya menyerah saja, biar lekas
bubar!‖ ,
―Bagaimana halnya dengan pemuda-pemuda ―Hizbullah‖ di
Purwokerto?‖ aku bertanya.
―Pemuda-pemuda kita, sebagian bergabung dengan
pemuda-pemuda ―Peta‖ mendirikan
―Tentara Keamanan Rakyat‖ (TKR),‖ jawab
Kiai Mu‘awwam, ―tetapi Hizbullah tetap utuh. Kemarin dahulu telah merebut
senjata Jepang, hasil serbuan kita ke Butai Jepang. Pemuda- pemuda ―Hizbullah‖
kini sebagian telah memiliki senjata.‖
―Menyerbu dengan bambu runcing di
tangan?‖ aku menanya.
127
―Ya, dengan bambu
runcing!‖ jawabnya. ―Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh
daripada mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam
keadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad
―mati syahid!‖
Aku tiba di Magelang di saat pemuda-pemuda sudah siap
hendak menyerbu Butai Jepang yang menjadi gudang senjata. Ketika menjelang
ashar, pemuda dan rakyat berhasil menurunkan bendera Jepang di atas Gunung
Tidar yang dijaga kuat oleh pasukan Jepang. Tetapi Jepang-Jepang tidak berdaya
menghadapi serbuan rakyat yang gagah berani, bahkan senjata mereka dilucuti.
Mereka melawan, namun peluru-peluru Jepang tidak mampu membendung serbuan
rakyat yang bagaikan air bah tak mau dicegah-cegah. Jepang-Jepang berhasil
menjadi tawanan rakyat dan senjata-senjata berpindah tangan, menjadi milik
pemuda-pemuda.
Semangat pemuda dan rakyat di Jakarta yang bertahan dalam
Rapat Umum di Ikada di hadapan serdadu-serdadu Jepang dengan bayonet terhunus,
mendorong pemuda-pemuda di daerah-daerah untuk lebih berani menghadapi
serdadu-serdadu Jepang. Tidak sekedar bertahan, tetapi menyerang mereka dan
merebut senjata yang masih di tangan. Betul juga ucapan Kiai Mu‘awwam bahwa:
bambu runcing di tangan orang pemberani, lebih ampuh daripada karaben dan
mitraliur di tangan orang yang sedang gemetar ketakutan. Itulah saat paling
tepat untuk memperoleh senjata, merebut dari tangan Jepang sendiri. Seorang
militer di seluruh dunia mempunyai kode dan etik yang sama bahwa senjata di
tangan samalah artinya dengan nyawa. Jika senjata direbut orang, berarti
nyawanya telah direnggut. Pasti akan dibela sampai mati, tetapi kalau jiwa
sudah menjadi kerdil karena kalah perang, segala kode dan etik tidak akan
berlaku bagi orang yang sedang kalah.
Pesantren-pesantren telah berubah
menjadi markas-markas ―Hizbullah.‖ Pengajian telah berubah menjadi latihan
menggunakan senjata, entah karaben, mitraliur, ataupun granat tangan. Seperti
ada yang memberi komando, di mana-mana berdiri barisan pendamping
―Hizbullah,‖
namanya ―Barisan-Sabilillah‖ yang terdiri dari orang-orang yang sudah bukan
pemuda lagi.
Sebagai pemimpin ―Hizbullah‖, aku bingung juga menghadapi
begitu banyak pasukan. Tiap pesantren mendirikan pasukan ―Hizbullah‖, tiap
kiai mempunyai pasukan ―Sabilillah‖. Bagaimana mengatur manusia begini banyak?
Apalagi semuanya minta ―mati syahid‖. Aku katakan, aku tidak memerlukan
orang-orang untuk mati. Yang aku perlukan manusia- manusia yang hidup untuk
berjuang membela kemerdekaan dan mengisinya.
Mulai aku atur pembagian
pekerjaan. Pertama-tama menyusun ―pasukan pengangkut‖, yaitu orang-orang yang
diserahi mengatur transportasi.
Ketika sudah tampak gejala-gejala Jepang
akan kalah, K.H. A. Wahid Hasyim pernah, datang ke Magelang, dilihatnya bahwa
banyak pemuda-pemuda kita bekerja di bengkel- bengkel mobil milik militer
Jepang. Beliau menganjurkan agar pemuda-pemuda kita belajar mengemudikan
kendaraan. Sebab, di zaman perjuangan yang memuncak segera dalam suatu
revolusi, siapa lebih dahulu menguasai alat-alat pengangkutan, dia akan
memperoleh kesempatan pertama untuk menyusun kekuatan.
―Hizbullah‖
Magelang memiliki truk-truk yang dirampas dari Jepang ketika rakyat Magelang
merebut senjata Jepang. Dengan alat pengangkutan ini lebih mudah
memindah-mindahkan pasukan ―Hizbullah‖ serta mengangkut bahan makanan yang
dikumpulkan oleh ibu-ibu Muslimat di mana-mana. Semua laskar rakyat selain
harus mencari senjata, juga masing-
128
masing
harus cari makan sendiri. Ibu-ibu Muslimat menjadikan masjid-masjid sebagai
tempat mengumpulkan bahan makanan serta dapur umum.
Kami menduduki dua
buah gedung besar yang terpisah antara satu dengan lainnya dalam jarak kurang
lebih 700 m. Keduanya bekas kediaman perwira tinggi Jepang. Yang satu kami
gunakan untuk Markas ―Hizbullah‖ dan yang lain untuk Markas ―Sabilillah‖.
Aku
menggunakan sebuah kamar untuk tempat tinggalku, sedang lainnya untuk anggota
staf dan pasukan. Walaupun resminya gedung markas, tetapi pada waktu-waktu
sembahyang berubah menjadi mushala besar.
* * *
Berbondong-bondong
barisan-barisan laskar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di
kaki dua ―gunung penganten‖ Sundoro Sumbing. Kedua gunung ini merupakan
lambang kemakmuran rakyat daerah Karesidenan Kedu karena di sana seluruhnya
sawah dan ladang jagung, kubis, kentang, tembakau, dan sayur-mayur lainnya. Di
sanalah gudang makanan untuk daerah Kedu.
Laskar adalah tentara
partikelir, adapun TKR (Tentara Keamanan Rakyat) adalah tentara resmi Republik
Indonesia.
Serentak saja di mana-mana lahir badan kelaskaran, serentak
bangkitnya semangat merebut senjata di tangan Jepang untuk membela dan
mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Di antaranya yang paling terkenal
adalah: ―Hizbullah‖ di bawah pimpinan Zainul Arifin, ―Barisan Sabilillah‖ di
bawah pimpinan KH. Masykur, ―Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia‖ di bawah
pimpinan Bung Tomo, ―Barisan Banteng‖ di bawah pimpinan Dr. Muwardi, ―Laskar
Rakyat‖ di bawah pimpinan Ir. Sakirman, ―Laskar Pesindo‖ di bawah pimpinan
Krissubanu, dan masih banyak lagi.
Sudah beberapa hari ini baik TKR
maupun badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju ke Parakan. Ada yang
menggunakan truk-truk, dan kereta api.
Tetapi yang berjalan kaki pun
tidak kurang-kurangnya. Kereta api hampir dipenuhi dengan badan-badan
kelaskaran. Sejak dari Surabaya di sebelah Timur, dari Cirebon di sebelah
Barat, dan Yogya di sebelah Selatan. Laskar-laskar yang ribuan itu membanjiri
kota kawedanaan Parakan. Para kepala stasiun sering dibikin pusing oleh
desakan laskar-laskar dan rakyat yang meminta kereta api istimewa untuk menuju
ke Parakan. Jika saja permintaan dan desakan mereka tidak diindahkan, stasiun
bisa diserbu rakyat yang telah sangat berang dengan bambu runcing di
tangannya. Mau tidak mau, kepala-kepala stasiun harus menyusun formasi kereta
api luar biaya untuk memberangkatkan mereka menuju Parakan. Bisa dibayangkan,
betapa kacau balaunya perjalanan kereta api dengan frekuensi yang tak bisa
dihitung setiap harinya.
Di Parakan, berdiam seorang ulama berusia
sekitar 90 tahun. Namanya Kiai Haji Subeki. Aku mengenal beliau dengan baik
karena bila aku datang ke Parakan sebagai Komisaris Daerah Ansor untuk
mengadakan kursus-kursus Ansor di Parakan, beliau selalu turut hadir
mendengarkan ceramah dan kursus yang aku berikan. Pernah beliau katakan padaku
bahwa sekitar tahun 1850 ketika sisa-sisa bekas anak buah Pangeran Diponegoro
menjadi buronan Belanda, beliau masih kecil, yang digendong oleh kakeknya
berlari-lari menyembunyikan diri dari sergapan serdadu-serdadu Belanda.
129
Ketika
Jenderal Mansergh, panglima Sekutu di Surabaya memberi ultimatum kepada rakyat
Surabaya berhubung dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby, pecahlah pertempuran
Surabaya yang dahsyat dan bersejarah hingga lahirlah ―Hari Pahlawan‖ 10
November. Rakyat Surabaya dengan senjata seadanya memberikan perlawanan
terhadap serangan Sekutu (Inggris) yang berpangkalan di kapal-kapal perang
mereka dan menyerbu ke kota Surabaya.
Hampir bersamaan dengan itu, rakyat
Semarang juga mengadakan perlawanan terhadap serdadu Sekutu yang mendarat
memasuki kota Semarang. Lahirlah pertempuran di Jatingaleh, Gombel, dan
Ambarawa antara rakyat dengan serdadu Sekutu (Inggris).
Anak-anak
―Hizbullah‖ dan ―Sabilillah‖ dari Parakan bergabung sesama rekannya dari
seluruh daerah Kedu berangkat ke pertempuran, baik Surabaya maupun Semarang,
dan Ambarawa.
Didorong oleh semangat ―Jihad fi Sabilillah‖ untuk
mempertahankan tiap jengkal Tanah Air, dan didasarkan atas kasih sayang kepada
anak-anak dan cucu-cucunya, Kiai Subeki memberikan bekal berupa doa kepada
anak-anak ―Hizbullah‖ maupun ―Sabilillah‖ Parakan. Sebelum mereka berangkat ke
pertempuran, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, mereka
diberkahi oleh Kiai Subeki dengan doanya:
Bismi Allahi,
Ya Hafidzu,
Allahu Akbar! Dengan Nama Allah,
Ya Tuhan Maha Pelindung, Allah Maha
Besar!
Ternyata, setelah memperoleh doa dari Kiai Subeki, anak-anak ini
mempunyai kebulatan hati yang tak tergoyahkan menuju pertempuran, dan
mempunyai ketabahan untuk bertawakal kepada Allah Saw dengan keberanian serta
keikhlasan. Demikianlah tiap anak- anak Parakan hendak berangkat menuju
pertempuran, mereka meminta doa Kiai Subeki.
Lama-lama datanglah laskar
dan TKR lain daerah yang hendak menuju ke pertempuran, mereka singgah terlebih
dahulu ke Parakan untuk meminta berkah dan doa Kiai Subeki. Pernah Panglima
Besar Sudirman dengan anak buahnya pun singgah dulu ke Parakan untuk meminta
berkah dan doa Kiai Subeki sebelum menuju ke Ambarawa dan lain-lain
pertempuran.
Demikianlah dengan amat cepatnya, orang berduyun-duyun
datang ke Parakan untuk meminta doa Kiai Subeki, hari demi hari jumlah
pengunjung kian banyak dan lalu membanjir.
Aku pernah juga datang kepada
Kiai Subeki untuk mengantarkan Mr. Wongsonagoro ketika itu Gubernur Jawa
Tengah.
Pada suatu hari, aku mengantarkan tiga tokoh yang aku sudah lama
kenal, yakni K.H.A. Wahid Hasyim, Zainul Arifin, dan K.H. Masykur untuk
menjumpai Kiai Subeki. Ketika itu, di rumahnya telah penuh berjejal para
tetamu, dan kota Parakan yang kecil jadi tidak bisa lagi memuat begitu banyak
orang yang membanjir.
Kiai Subeki dengan didampingi oleh KH. Nawawi dan
K.H. Mandur, pemimpin ―Sabilillah‖ daerah Kedu meminta kami masuk ke kamar
tidurnya.
130
―Ya Allah, mengapa begini banyak jadinya
orang pada datang kepada saya?‖ demikian Kiai Subeki membuka percakapan dengan
air mata yang menggenang.
―Mereka memohon doa kepada Bapak!‖ KH. A.Wahid
Hasyim menyambut.
‗Ya, mengapa kepada saya?‖ beliau menangis dengan
isaknya. Lama kami semua diam. Di luar terdengar gemuruh orang berduyun-duyun
membanjiri halaman Kiai Subeki.
―Coba tengok di luar! Mereka terus datang
dan datang. Begini banyak orang membanjir kemari tanpa henti, siang maupun
malam!‖ Kiai Subeki sambil memandang ke luar dari jendela kamar tidurnya.
―Mereka
memerlukan ketabahan hati dan tidak salah niat, karena itu, mereka memohon doa
kepada Bapak sebagai seorang ulama yang patut dimintai berkah dan doanya,‖
KH.A. Wahid Hasyim menenangkan hatinya.
―Tetapi mengapa mesti kepada
saya. Mengapa tidak kepada Kiai Dalhar Watucongol, atau Kiai Siraj di Payaman,
atau Kiai Hasbullah di Wonosobo?‖ Kiai Subeki seperti dalam keadaan
penasaran.
Zainul Arifin yang sejak tadi seperti sedang mengamati Kiai
Subeki dan berusaha untuk membaca wajah ulama tua ini, membisikkan padaku
dengan katanya: ―Alangkah ikhlasnya orang ini!‖ Aku manggut saja.
―Saya
tidak menyuruh mereka datang! Tanyakan kepada Kiai Nawawi dan Kiai Mandur
ini!‖ sambil menunjuk kepada dua kiai yang duduk di sebelahnya.
―Bukan
begitu?‖ tanya Kiai Subeki ditujukan kepadaku.
―Memang mBah tidak
mengundang mereka, tetapi mereka atas kehendak sendiri datang kepada mBah.
Tentu mBah tidak akan keberatan sekedar mendoakan,‖ jawabku sambil melegakan
hatinya. Aku biasa memanggil beliau dengan mBah.
Kiai Subeki lalu diam
agak lama, membetulkan kancing bajunya yang longgar hendak terbuka.
―Jadi
saya harus bagaimana, kiai?‖ tiba-tiba beliau bertanya kepada K.H.A. Wahid
Hasyim.
―Apa yang Bapak lakukan itu sudah benar. Bapak telah memberikan
mereka doa, dan mereka telah memperoleh apa yang mereka inginkan. Mereka jadi
bertambah berani dalam perjuangan. Ini faktor yang sangat penting. Bapak
sebagai orang yang berusia cukup tinggi doanya makbul, apalagi Bapak sebagai
seorang ulama,‖ jawab KH.A. Wahid Hasyim.
―Apakah doa yang saya bacakan
itu sudah betul?‖ Kiai Subeki melanjutkan pertanyaannya.
―Betul sekali!
Bukan begitu Kiai Masykur?‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim sambil berpaling kepada
K.H. Masykur.
―Memang benar, doa itu betul sekali. Lagi pula amat mudah
untuk dihafal bagi rakyat awam,‖ jawab K.H. Masykur.
―Kecuali doa, apa
lagi yang Bapak berikan kepada mereka?‖ Zainul Arifin bertanya.
―Biasanya
saya berikan nasehat ringkas saja. Luruskan niat untuk mempertahankan Agama,
Bangsa, dan Tanah air, ingat selalu kepada Allah SWT. Jangan menyeleweng dari
tujuan, apalagi berbuat maksiat Dan kuatkan persatuan kita. Jika mereka akan
pulang, saya minta
131
beramai-ramai membaca
Kalimah Syahadat,‖ jawab Kiai Subeki dengan tekanan suara yang mantap
sekali.
Kami keluar dari kamar tidur Kiai Subeki. Di luar orang
berdesak-desakan menanti kiai yang amat dikagumi ini, sementara iring-iringan
di belakangnya terus mendesak minta maju untuk lebih dekat dengan Kiai
Subeki.
Ketika KH. A. Wahid Hasyim hendak meninggalkan Parakan untuk
menyinggahi Yogya, beliau berpesan kepadaku agar aku sering-sering ada di
Parakan, agar kewaspadaan lebih dipertinggi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa
spion-spion Belanda tersebar di mana-mana, mereka adalah agen-agen NICA.
Aku
masih berada di Parakan, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Dengan
Kiai Ali, cucu Kiai Subeki, dan Kiai Mandur, ketua Barisan ―Sabilillah‖ aku
musyawarahkan tentang hari-hari mendatang bagi Parakan. Kiai Subeki telah
berusia lanjut,
90 tahun lebih. Sungguhpun badannya masih tegap dengan
kerangka tulang-tulangnya yang masih kuat, namun kalau setiap hari, sejak pagi
hingga jauh malam harus menghadapi puluhan bahkan ratusan ribu manusia yang
semuanya minta berjumpa dengannya, tentu akan sangat mengganggu kesehatannya.
Aku usulkan, agar beliau tidak usah selalu menghadapi secara langsung
orang-orang yang datang meminta berkah dan doa ini. Itu bisa dilakukan oleh
kiai lain, misalnya: Kiai Nawawi dan Kiai Mandur, keduanya masih termasuk
adiknya, atau Kiai Ali. Adapun mBah Subeki cukup berdiri sesekali di
sampingnya. Karena orangnya besar dan tinggi, dari jarak jauh akan mudah
dilihat orang banyak.
Seruan ―Allahu Akbar‖ terus menggema di
lorong-lorong jalan di kota kecil Parakan. Laskar- laskar perjuangan
membanjiri kota di kaki ―gunung penganten‖ Sundoro Sumbing ini. Dataran tinggj
yang udaranya sejuk, di hari akhir-akhir ini menjadi hangat dan bahkan terasa
panasnya karena semangat tinggi yang berkobar-kobar dari orang-orang yang siap
sedia
―mati syahid‖. Mereka datang membanjiri Parakan untuk
men-―Sabilillah‖-kan bambu runcing dan karaben-karaben mereka dengan doa Kiai
Subeki.
Siang maupun malam mereka membanjiri Parakan. Keletihan karena
menempuh perjalanan jarak jauh di zaman ―republik‖ yang penuh dengan 1001
macam kesulitan tidak mereka hiraukan. Mereka menjadi puas, sangat puas
setelah pulang dari Parakan. Hatinya menjadi tenteram dalam semangat tinggi
untuk bertempur melawan musuh yang hendak merobek- robek Republik Indonesia.
Mereka telah mencari sesuatu, dan sesuatu itu telah mereka temukan. Dengan
bambu runcing, karaben, golok-golok, dan mitraliur yang telah di-
‖Sabilillah‖-kan
di Parakan, jiwa mereka menjadi teguh, berangkat ke pertempuran- pertempuran
untuk membela dan mempertahankan tiap jengkal tanah air. Mereka menjadi sadar
untuk apa mereka pergi ke medan pertempuran, dan mereka pun sadar pula untuk
tujuan apa mereka ini mengikhlaskan pengorbanannya, bukan cuma tenaga dan
hartanya, tetapi jika perlu juga nyawanya sekalipun.
***
Bulan
November 1945 telah menaungi persada tanah air dengan mendung perjuangan. Di
Surabaya berkobar pertempuran-pertempuran antara rakyat dengan tentara Sekutu.
Di sekitar Jakarta berkecamuk pertempuran rakyat melawan Sekutu dan NICA yang
membonceng di belakangnya. Bahkan di Bandung, serangan mulai dilancarkan oleh
serdadu Sekutu. Di mana-mana pekik ―Merdeka‖ gegap gempita diselingi gema
suara takbir
―Allahu Akbar‖. Suatu pembangkitan jiwa berjuang yang
memandang semua yang ada harus
132
dikorbankan,
kecuali cuma iman di dada. Dengan iman ini, tanah air akan dibersihkan dari
noda dan bencana penjajahan.
Sejak Sekutu mendarat di Semarang, mereka
menggempur daerah Republik. Kekuatan rakyat yang tak berimbang menyebabkan
Semarang jatuh di pelukan Sekutu (Inggris) dan Jepang sebagai pucuk
penyerangnya. Kemudian mereka menduduki Ambarawa dan Magelang. Suatu malam 20
November 1945.
Kota Magelang diliputi malam yang mencekam, sunyi dan
sangat mencekam. Kami, anak- anak ―Hizbullah‖-―Sabilillah‖ membuat pertahanan
di belakang Masjid-Jamik Kauman Magelang. Jarak antara masjid dengan markas
Sekutu yang menggunakan gedung Seminari-Katolik tidak lebih dari 300 m. Malam
itu sepi sekali, walaupun belum jam 10, radio pemberontakan, antara kedengaran
dan tidak sayup-sayup pidato menggelora dari Bung Tomo memberi instruksi,
membakar semangat, dan sesekali diselingi oleh seruan ―Allahu- Akbar‖
berkali-kali.
Kami sedang menantikan berkumpulnya para kiai. Kira-kira
300 kiai dari seluruh pelosok daerah Kedu aku kumpulkan di rumah Saroso,
pemimpin ―Hizbullah‖ Magelang yang terletak 50 m dari masjid.
Mas Wahab,
pemimpin ―Sabilillah‖ Magelang yang aku tugaskan menjemput Kiai Mandur dari
Temanggung datang dengan mengiringkan beberapa kiai, di antaranya Kiai Mandur
sendiri. Beberapa menit aku berunding dengan M. Sarbini, komandan TKR
Magelang, mengenai penyerbuan terhadap markas Sekutu di kota Magelang. Bung
Tomo, pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia masih berada di
Mertoyudan, 4 km dari selatan Magelang. Ia bersama anak buahnya. Ia kirim
pesan kepadaku bahwa ia akan hadir dalam pertemuan kiai-kiai yang akan
dilangsungkan malam itu. A. Yani, juga salah seorang komandan TKR Magelang
memberitahukan padaku bahwa antara ―Hizbullah-Sabilillah‖ dan TKR harus ada
koordinasi dalam penyerbuan terhadap markas Sekutu. Aku sanggupi itu, bahkan
aku nyatakan bahwa komando pertempuran selamanya di tangan TKR. ―Hizbullah-
Sabilillah‖ siap melaksanakan komando TKR.
300 kiai-kiai, malam itu
berunding mengenai persiapan penyerbuan ke markas Sekutu, setelah aku jelaskan
hasil perundinganku dengan M. Sarbini dan A. Yani. Mereka mendukung gagasan
untuk mentaati komando TKR dalam penyerbuan.
Jam 24.00 wib, pertemuan
selesai. Situasinya sangat gawat dan mencekam. Beberapa ulama terpilih
menyediakan diri untuk mendekati markas Sekutu, mengitari gedung yang sangat
kokoh itu dengan suatu gerakan batin. Aku segera beritahukan kepada pimpinan
TKR. Sementara itu, beratus kiai yang lain malam itu melakukan gerakan
mujahadah dengan diiringi pembacaan Hizbul Bahar, doa Hizbur Rifa‘i. Beberapa
anak ―Hizbullah‖ yang telah terlatih, aku siapkan untuk sewaktu-waktu datang
komando serbu dari TKR.
Kira-kira jam 04.00 menjelang Subuh, dua orang
anak ―Hizbullah‖ yang melakukan tugas penyelidikan melaporkan bahwa markas
Sekutu yang menempati gedung Seminari Katolik, ternyata telah kosong. Ada
terdapat beberapa orang serdadu Gurkha (Sekutu) yang masih tertinggal, mereka
dalam keadaan sakit.
Aku dengan beberapa teman pimpinan ―Hizbullah‖
meyakinkan laporan tersebut. Tiba di depan markas Sekutu, aku jumpai M.
Sarbini dan A. Yani serta beberapa kiai. Ternyata benar laporan itu. Markas
Sekutu telah kosong, ditinggalkan oleh serdadu-serdadu Inggris Gurkha dan
Jepang. Mereka mengundurkan diri menuju Ambarawa.
133
Maka,
pagi harinya dilakukan gerakan pengejaran menuju Ambarawa. Pertempuran
berkobar di sekeliling kota Ambarawa, antara tentara Sekutu dengan rakyat yang
berjuang. Pertempuran itu berkobar lebih dari 5 jam.
Menjelang waktu
ashar, aku bersama Kiai Mandur, pemimpin ―Sabilillah‖ daerah Kedu, Kiai Haji
Jamil, pemimpin ―Sabilillah‖ Purworejo, dan Solichun, salah seorang anggota
stafku, dengan dilindungi oleh satu regu ―Hizbullah‖ memasuki kota Ambarawa.
Kami merupakan orang-orang pertama yang memasuki kota yang dipertahankan oleh
Sekutu.
Dalam keadaan hujan yang lebat sekali, aku memasuki kota Ambarawa
yang telah menjadi reruntuhan puing-puing akibat gempuran kanon TKR.
Jalan-jalan penuh dipasangi barikade, penghalang-penghalang agar anak-anak
Republik tidak mudah mencapai pusat-pusat kota. Kiri kanan tampak
gedung-gedung yang hangus akibat kebakaran. Kota itu sunyi sekali, penduduk
telah lama mengungsi.
Di muka sebuah rumah yang telah menjadi reruntuhan,
aku menjumpai seorang wanita Cina dalam keadaan tidak berpakaian. Ia duduk
sambil berusaha untuk menutupi bagian badannya dengan kedua tangannya. Ia
sedang menangis sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Tetapi
tangisnya diselingi oleh tawanya berbahak-bahak, lalu menangis lagi. Nangis
dan tertawa silih berganti.
―Inilah akibat perang!‖ kataku kepada Kiai
Mandur. Kiai Mandur memberikan baju jas hujannya.
―Bagaimanapun juga, ia
anak manusia. Manusia adalah saudara sesama manusia,‖ sambil katanya
kepadaku.
Aku tinggalkan Ambarawa yang telah kembali ke pangkuan Republik
Indonesia setelah kita rebut dengan derita dan air mata. Beberapa regu
―Hizbullah‖ aku beri instruksi untuk tetap berada di Ambarawa sampai ada
perintah lebih lanjut. Mereka bersama anggota laskar lain bersatu dalam
komando Tentara Keamanan Rakyat.
***
Sejak Januari 1946, Ibu Kota
Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Jakarta yang telah
dikuasai oleh Sekutu dan NICA tidak memberikan kemungkinan pemerintah Republik
menjalankan tugas sehari-hari.
Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945,
pondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas-markas
―Hizbullah-Sabilillah‖. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian
tentang caranya menggunakan karaben, mortir, dan cara bertempur dalam
medan-medan pertempuran.
Sepanjang jalan utama Malioboro, mendadak
menjadi ramai sekali. Begitu banyak pemuda berpakaian seragam beraneka warna
lalu-lalang memenuhi jalan ini, yang ketika itu mendapat julukan Broadway-nya
Yogyakarta. Mereka adalah anggota TKR dan badan- badan kelaskaran 1000 macam.
Kecuali menyandang senapan, juga pedang samurai dan sepatu laras hasil
melucuti seragam opsir Jepang. Ada sebuah lagu hasil ciptaan seniman Indonesia
yang jadi sangat populer menggambarkan ―Sepanjang Malioboro‖.
Simpang-siur
tak pernah berhenti, Ada Don-Kisyot mengaku patriot.
134
Ada
yang berlagak bintang layar-putih, Mondar-mandir cari kekasih...
Begitulah
kurang lebih bait-bait dalam lagu ―Malioboro‖ yang aku ingat-ingat lupa.
Pokoknya, di jalan Malioboro tumplek menjadi satu antara kaum politisi,
pejuang, tukang catut, pemuda iseng bercampur baur menelusuri Malioboro sejak
pagi hingga jauh malam. Yogya merupakan sebuah ibu kota yang tak pernah tidur.
Tetapi satu hal harus dicatat, sebagai Kota Perjuangan, Ibu Kota Republik
Indonesia yang berjuang!
Begitu Kaum Republik mengikuti jejak Pemerintah
memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogya, begitu mereka membanjiri kota
Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat.
Yogya yang terkenal sebelumnya
sebagai ―Kota Andong‖ yang ayem tenteram, yang alon- alon waton klakon,
mendadak sontak menjadi sebuah kota yang penuh ketegangan- ketegangan lagi
dinamis. Suhu politik kadang-kadang mencapai klimaks-klimaks yang berbahaya
ketika dimulai dengan gerakan anti Syahrir.
Berminggu-minggu berada dalam
medan pertempuran tentulah membuat anak-anak menjadi terlampau ganas. Mereka
secara bergilir harus ditarik ke garis belakang untuk diaplus dengan tenaga
lain yang masih segar. Sekitar Surabaya, Bekasi, Jakarta, Ungaran, Semarang,
dan Bandung masih merupakan medan-medan pertempuran antara rakyat melawan
Sekutu dengan Belanda yang membonceng di belakangnya.
Kongres Umat Islam
Indonesia di Yogya persis di hari pecahnya pertempuran di Surabaya (Hari
Pahlawan 10 November) telah melahirkan sebuah Partai ―Masyumi.‖ Jika di zaman
Jepang umat Islam mendirikan ―Masyumi‖ dari singkatan ―Majlis Syuro Muslimin
Indonesia,‖ maka ―Masyumi‖ yang partai politik ini cuma sekedar nama saja,
bukan singkatan dari yang semula. Soalnya sederhana saja. Nama itu sudah
sangat terkenal, terutama di kalangan umat Islam. Dan kumpulannya tokoh-tokoh
Islam di ―Masyumi‖ di zaman Jepang sudah melembaga dan mudah diteruskan dalam
―Masyumi‖ yang partai ini. Partai ini berbentuk gado-gado antara federasi dan
fusi, setengah federasi dan setengah fusi. Nahdhatul Ulama menjadi anggota
istimewa Partai ―Masyumi,‖ demikian juga Muhammadiyah. Tetapi Nahdhatul Ulama
dan Muhammadiyah sebagai organisasi umat Islam masih tetap berjalan sebagai
sedia kala. Dalam pada itu, perorangan juga menjadi anggota langsung dari
partai ini, hingga secara organisatoris, partai ini menyimpan dalam tubuhnya
bahan-bahan yang bisa menimbulkan gara-gara dan ribut-ribut Akan tetapi, orang
tidak terlalu menghiraukan hal-hal yang bertalian dengan pengorganisasian ini.
Yang pokok, kita bersatu menghadapi bahaya dan ancaman terhadap keselamatan
Republik yang masih muda ini.
Maka duduklah tokoh-tokoh ulama dan
politikus dan semua partai dan organisasi umat Islam yang telah ada di dalam
partai baru ini. Ketua Majlis Syuro badan hukum Agama Islam dipercayakan
kepada Hadratus Syaikh Hasyim Ashari dengan KH.A. Wahab Chasbullah sebagai
wakilnya. Lalu duduk pula sebagai anggotanya beberapa kalangan ulama dari
Muhammadiyah, POI, POII, dan lain-lain. Dalam pengurus besar, duduk Dr.
Sukiman dari PII sebagai Ketua Umumnya, dengan beberapa anggota, di antaranya:
K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Masykur, Zainul Arifin, Mr. Syafruddin
Prawiranegara, Mr. Mohammad Roem, Mr. Yusuf Wibisono, Mohammad Natsir, Ki
Bagus Hadikusumo, K.H. Fakih Usman, Anwar Cokroaminoto, dan lain-lain.
135
―Hizbullah‖
dan ―Sabilillah‖ tetap berada dalam kepemimpinan Zainul Arifin dan K.H.
Masykur, tetapi komando politik dipegang oleh K.H.A. Wahid Hasyim, selaku
Ketua Dewan Pertahanan "Masyumi‖.
Kami, orang-orang yang mendapat tugas
lapangan di medan-medan pertempuran sering mendapat panggilan ke Yogya untuk
diberi briejfing mengenai politik pertahanan rakyat berhubung dengan
perkembangan situasi politik. Penjelasan secara ikhtisar itu kadang diberikan
dalam bentuk rapat-rapat Partai ―Masyumi‖, tetapi ada kalanya oleh K.H. A.
Wahid Hasyim maupun Zainul Arifin. Yang belakangan ini, sekalipun kedudukannya
sebagai Ketua Markas Tertinggi ―Hizbullah‖ berada di Malang, akan tetapi
karena ia juga duduk dalam Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (parlemen),
maka waktunya pun sering berada di Yogya.
Wahib Wahab, pemimpin
―Hizbullah‖ Surabaya, Abdullah Shiddiq, pemimpin ―Hizbullah‖ Jember, Amir,
pemimpin ―Hizbullah‖ Malang, Bakrin, pemimpin ―Hizbullah‖ Pekalongan, Munawar
pemimpin ―Hizbullah‖ Solo, aku sendiri sebagai pemimpin ―Hizbullah‖ Magelang,
adalah orang-orang yang sering berkumpul karena panggilan dari Yogya. Kecuali
untuk mengurus segala perlengkapan pasukan dalam pertempuran, juga untuk
mendapat penjelasan ringkas tentang situasi politik.
―Syahrir ini memang
hebat,‖ Wahib Wahab mulai percakapannya pada suatu hari ―ia merombak Kabinet
Sukamo menjadi kabinet parlementer yang ia pimpin sendiri. Ia sudah memegang
kekuasaan dan politik secara langsung di negara ini.‖
―Sebetulnya ia
sudah melanggar Undang-Undang Dasar!‖ jawabku, ―tapi tak ada orang hiraukan
ini. Ia memperoleh kemenangan untuk memperlihatkan kepada dunia internasional
bahwa pemerintah Indonesia bukanlah made in Japan."
―Apa orang-orang
politik ini sudah mulai capai bertempur dan hendak main diplomasi politik?‖
sela Bakrin.
―Menurutku, main diplomasi boleh saja asal perlawanan
bersenjata tetap dikobarkan. Dan kita tidak akan menang dalam diplomasi, kalau
kita kalah dalam perlawanan secara militer,‖ jawabku hendak meyakinkan
teman-teman.
"Tetapi jangan lupa, Pak Dirman, Panglima Besar kita tetap
memberikan komando supaya semangat perlawanan dan daya tempur tambah
dipertinggi,‖ kataku.
―Dengan ditandatanganinya perjanjian Linggarjati,
maka daerah kekuasaan de fakto Republik kita, tinggal Jawa dan Sumatera.
Daerah-daerah lain bagaimana?‖ bertanya Tohir, anggota ―Hizbullah‖ Kediri.
"Sekutu
telah meninggalkan Indonesia, tugasnya sebagai ―polisi‖ PBB digantikan oleh
NICA (Belanda). Van Mook mendirikan ―negara-negara‖ di daerah yang ia kuasai,
seperti Sumatera Timur, Pasundan, Kalimantan, dan di Indonesia bagian Timur.
Maunya, ―negara- negara‖ bikinan van Mook ini bersama Republik Indonesia harus
tergabung dalam apa yang dinamakan ―Republik Indonesia Serikat‖ (RIS). Dan RIS
bersama-sama Negeri Belanda membentuk suatu ―Uni‖ yang dipimpin oleh Ratu
Belanda,‖ aku menerangkan.
‗Pokoknya kita tolak persetujuan Linggarjati
ini,‖ kata Wahib Wahab dengan semangat ―Ini satu kapitulasi, menyerah
bulat-bulat!‖
136
―Kita telah menolak Linggarjati.
Golongan yang menolak kini bertambah banyak dan besar. Sedang yang mendukung
cuma golongan sosialis dan komunis saja!‖ menyela Ashari, pemimpin ―Hizbullah‖
Magelang.
―Kedudukan kita bertambah kuat,‖ sambungku, ―golongan Islam dan
nasionalis bersama kaum pejuang lainnya telah bulat menolak persetujuan
Linggarjati. Lihat saja ketika sidang Komite Nasional Pusat di Malang, 25
Februari 1947 kemarin dulu, bagaimana Chairul Saleh, Sukami, B.M. Diah, dan
lain-lain golongan Pemuda Proklamasi begitu garang menentang persetujuan
Linggarjati.‖
―Ke dalam kita kuat, dan begitu juga ke luar kita pun
kuat," sela Wahib Wahab.
―Ya, apalagi dengan kedatangan Abdul Mun‘im,
Duta Mesir di Bombay yang datang ke Yogya kemarin dengan membawa sikap
pengakuan negara-negara Arab anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia!‖
aku menyambung.
Berbincang-bincang di kantor GPU depan Istana Yogya ini
belum berakhir kalau tidak karena kedatangan jenazah-jenazah macam-macam
kesatuan yang gugur di medan-medan pertempuran. Jenazah para syuhada ini
dimakamkan di daerah asalnya setelah tiba di Yogya.
Hari-hari yang muram
dan mencekam. Begitu banyak anak-anak yang gugur di medan pertempuran
menghadapi serangan Belanda yang melanggar daerah tapal batas. Tetapi hal itu
tidak membikin gentar orang-orang Republik. Yogya diliputi semangat
kepahlawanan yang kian meninggi, tekadnya cuma satu ―Merdeka atau Mati‖ untuk
membela kehormatan Republik, Agama, dan tanah air.
Kesadaran berpolitik
yang tinggi dengan daya juang yang meluap-luap, menghimpun sikap kejantanan
dari rakyat Republik untuk memandang bahwa pemerintah yang dipimpin Sutan
Syahrir amat lemah, terlampau banyak memberikan kelonggaran-kelonggaran kepada
Belanda. Sebab itu, Kabinet Syahrir jatuh.
Pemuda-pemuda santri yang
tadinya berada di pesantren-pesantren, yang sehari-harian menenggelamkan diri
dalam perdebatan Fa'alayafulu dengan segala qila wa qala, dewasa itu
memusatkan kegiatannya di bidang politik dan kelaskaran, baik di Ibu Kota
Yogya maupun di luarnya.
Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan
tiba-tiba terhadap daerah Republik Indonesia. Banyak sekali korban di kalangan
pejuang-pejuang kita.
Berita musibah datang kepadaku pada suatu hari
ketika aku di Yogya, bahwa guruku di Banyumas, Ustadz Mursyid gugur ditembak
Belanda ketika memimpin ―Sabilillah‖ menghadapi serangan Belanda tanggal 21
Juli. Menyusul temanku sepesantren, Suhada, dan sahabatku Kiai Jamhuri,
keduanya angkatan ―Hizbullah‖ pun gugur ditembak Belanda dalam melakukan
perlawanan terhadap serbuan Belanda.
Aku menundukkan kepala, mengenangkan
jasa mereka yang besar. Mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk
Republik yang kita cintai ini. Hampir aku tak kuat menahan emosiku untuk
mengadakan pembalasan terhadap Belanda. Akan tetapi datang kesadaranku bahwa
berjuang memerlukan pemikiran, imbangan kekuatan, di samping emosi perjuangan.
Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Komando selamanya di tangan pimpinan
Pemerintah Republik Indonesia.
137
Tiap hari umat
Islam melakukan gerakan batin, di samping kesiagaan kekuatan militer. Tiap-
tiap sembahyang dilakukan Qunut Nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon
kemenangan dalam perjuangan.
Daerah Republik Indonesia semakin menciut
tinggal selebar godong kelor. Daerah itu cuma meliputi garis Mojokerto di
sebelah Timur, dan Gombong (Kebumen) di sebelah Barat dengan Yogya sebagai
pusatnya.
Kota Malang telah jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947.
Jatuhnya
kota perjuangan pusat markas tertinggi ―Hizbullah-Sabilillah‖ Malang ini,
sangat mengejutkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari. Ketika berita musibah itu
disampaikan oleh Kiai Gufron, pemimpin ―Sabilillah‖ Surabaya, Hadratus Syaikh
Hasyim Asy‘ari sedang mengajar. Begitu berita buruk itu disampaikan, beliau
memegangi kepalanya sambil menyebut Nama Tuhan: ―Masya Allah, Masya Allah!‖
lalu pingsan. Hadratus Syaikh mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang
didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah
parah sekali. Utusan Panglima Besar Sudirman dan Bung Tomo yang khusus datang
untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui. Malam itu
tanggal 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari
berpulang ke Rahmatullah. Innalil AIlahi wa inna ilaihi roji'un!
Kabinet
Syahrir digantikan oleh Kabinet Amir Syarifuddin dari kalangan sosialis kiri
komunis, menambah panasnya suhu politik di seluruh daerah Republik Indonesia.
Ibu kota hari-hari dilanda oleh pertentangan-pertentangan politik dan saling
curiga.
Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang didukung kaum komunis
menamakan dirinya Front Demokrasi Rakyat (FDK), menandatangani persetujuan
―Renville‖ dengan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, di sebuah kapal perang
yang megah. Dengan persetujuan itu maka permusuhan dengan Belanda dihentikan.
TKR yang telah berubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang
berada di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda harus ditarik ke daerah
Republik Indonesia. Dengan sendirinya maka Divisi
―Siliwangi‖ harus
hijrah ke Yogya.
Laskar-laskar perjuangan dilebur ke dalam TNI. Maksudnya
agar rakyat tidak mempunyai kekuatan tempur menghadapi Belanda dan musuh-musuh
Republik. Tak terkecuali
―Hizbullah‖ dan ‗Sabilillah.‖ Hal ini
menimbulkan kemarahan rakyat, dan pertentangan politik bertambah hebat.
Suatu
hari datang kepadaku utusan Menteri Pertahanan, Mr. Amir Syarifuddin.
Kedatangannya memberitahukan kepadaku bahwa aku telah diangkat menjadi opsir
TNI dengan pangkat letnan kolonel. Ia datang dengan menyerahkan tanda pangkat
sekalian dengan bendera kecil yang lazim dipasang di mulut mobil. Aku pikir,
ini suatu cara menina- bobokan saja. Dan lagi, buat apa bendera kecil tanda
kepangkatanku, padahal aku tidak mempunyai mobil. Siapa yang memikirkan mobil
di zaman penuh perjuangan itu? Aku katakan kepada utusan itu bahwa
kedatangannya aku hormati. Tetapi aku tidak bisa menerima pengangkatanku
sebagai letnan kolonel. Lebih baik aku tetap di dalam ―Hizbullah‖ menyertai
rakyat dalam mempertahankan Republik yang amat kucintai ini, dari ancaman
musuh. Kita jangan percaya kepada Belanda dengan persetujuan ―Renville‖-nya
ini. Itu cuma politik melucuti kekuatan Republik saja. Tanda pangkat aku
kembalikan. Tetapi ia menolak, biarlah di tanganku saja, katanya. Begitu ia
pulang, tanda pangkat aku buang ke sungai. Pikirku, di zaman begini, siapa
yang mementingkan pangkat? Perjuangan masih panjang dan situasi belum
menentu.
138
Akhirnya, dalam perundingan tingkat tinggi
antara pimpinan kelaskaran dengan pihak pemerintah dicapai satu keputusan.
Tidak semua anggota kelaskaran dilebur dalam TNI. Untuk ―Hizbullah‖ cukuplah
satu batalion dalam satu divisinya. Saudara Wahib Wahab menyerahkan Batalion
Munawar menjadi TNI dengan Munasir sebagai komandannya dengan pangkat mayor,
dan divisi yang aku pimpin menyerahkan Batalion Saroso menjadi TNI dengan
Saroso sebagai komandannya. Begitu juga divisi-divisi ―Hizbullah‖ yang lain-
lain, masing-masing menyerahkan satu atau paling banyak dua batalionnya.
―Kita
harus tentang kebijaksanaan Amir Syarifuddin ini,‖ kata KH.A. Wahid Hasyim
kepadaku pada suatu hari di hotel ―Merdeka‖ Yogya.
―Amir sedang
menyiapkan kekuatan komunis dalam Republik kita ini. Ia main dengan dua porsi
kekuasaan, dalam pemerintahan dan di dalam masyarakat,‖ sambungnya.
―Insiden
Solo itu sebenarnya bagaimana?‖ aku bertanya.
―Laskar Rakyat‖ dan
―Pesindo‖ yang dua-duanya komunis hendak melucuti barisan Banteng pimpinan Dr.
Muwardi, dan juga anak buah Bung Tomo hendak dilumpuhkan kekuatannya,‖
jawabnya.
―Aku dengar Dr. Muwardi gugur,‖ kataku minta penjelasan.
―Yang
saya dengar ia diculik, tetapi aku khawatir tentang nasibnya,‖ beliau diam
sejenak, lalu sambungnya.
―Makanya saya meminta saudara dan lain-lain
teman terus waspada.‖
‗Apakah kita juga menjadi sasaran mereka untuk
dilucuti?‖ tanyaku.
―Tentu, pada akhirnya kita masuk gilirannya. Mereka
ingin agar kekuatan tempur di kalangan rakyat cuma ―Laskar Rakyat‖ dan
―Pesindo‖ saja. Dengan demikian, akan sangat memudahkan politik Amir
Syarifuddin sebagai Perdana Menteri maupun sebagai Menteri Pertahanan,‖ beliau
diam sementara, lalu sambungnya lagi: ―Ini suatu percobaan kekuatan. Kalau
mereka berhasil melucuti barisan Banteng dan barisan Pemberontakan, tentulah
mereka akan melucuti Hizbullah.‖
―Huru-hara di Delanggu bagaimana?‖ aku
mengalihkan pembicaraan.
―Itu adalah gerakan-gerakan komunis untuk
mengacau alat-alat kekuasaan Negara yang masih setia kepada Republik
Indonesia. Sekaligus untuk menakut-nakuti orang-orang yang setia kepada
prinsip-prinsip Kemerdekaan,‖ jawabnya.
―Tetapi saya sudah bicarakan
dengan Dr. Sukiman, bagaimana kita seharusnya bertindak. Saya juga telah
menghubungi Bung Karno dan Bung Hatta. Telah saya kemukakan kepada Presiden
dan Wakil Presiden ini bahwa keadaan yang penuh pertentangan ini harus segera
diakhiri.‖
K.H.A. Wahid Hasyim menjelaskan tentang hal-hal itu lebih
jauh.
Benar juga, pada pertengahan tahun 1948, Kabinet Amir Syarifuddin
jatuh karena perlawanan partai-partai ―Masyumi‖, PNI, dan badan-badan
kelaskaran yang sejak semula telah menentang persetujuan Linggarjati dan
apalagi ―Renville‖. Wakil Presiden Hatta membentuk kabinet baru.
139
Dalam
suatu rapat ―Masyumi‖ timbul dua pendapat tentang tawaran Bung Hatta agar
―Masyumi‖
bersedia duduk dalam kabinet yang sedang dibentuk olehnya. Sebagian menolak
ajakan Bung Hatta, sebagian menerima. Yang menolak memakai alasan karena dalam
program Kabinet Hatta yang akan terbentuk dicantumkan antara lain:
Melaksanakan persetujuan Renville.
―Kita harus ikut duduk dalam Kabinet
Hatta ini,‖ pendapat KH.A. Wahab Chasbullah.
―Mengapa harus duduk,
padahal kabinet ini akan melaksanakan ―Renville‖ yang kita tentang!‖ pendapat
yang lain.
―Persetujuan Renville itu dipandang dari sudut hukum Islam
merupakan suatu pengkhianatan dan munkarat, hukumnya haram. Sebab itu, kita
jangan duduk dalam suatu kabinet yang hendak melaksanakan Renville.‖
―Justru
untuk melenyapkan munkarat ini, kita harus duduk dalam kabinet Hatta ini!‖
jawab
K.H.A Wahab Chasbullah.
―Logikanya bagaimana?‖ tanya yang
lain.
―Tiap-tiap munkarat adalah suatu penyelewengan yang harus kita
lenyapkan. Tugas kita: melenyapkan. Sikap menolak saja sudah terlambat karena
persetujuan Renville ini sudah ditandatangani oleh negara dengan negara. Kita
bukan lagi berkewajiban menentang, itu sudah lampau. Kini kewajiban kita
melenyapkan. Setuju apa tidak?‖ tanya KH.A. Wahab Chasbullah.
―Setujuuu!‖
jawab serentak
―Kita hanya bisa melenyapkan munkarat jika kita duduk
dalam kabinet ini. Kalau kita cuma berdiri di luar kabinet, kita cuma bisa
teriak-teriak tok. Karena itu, saya usulkan agar kita duduk dalam Kabinet
Hatta yang sedang dibentuk. Tawaran Bung Hatta kita terima!‖ penegasan KH.A.
Wahab Chasbullah.
Gemuruh suara setuju dan tepuk tangan atas pendapat
KH.A. Wahab Chasbullah ini. Golongan yang tidak setuju menjadi ikut setuju.
―Saya
ingin bertanya: Apa niatnya orang yang nanti akan kita dudukkan menjadi
menteri dalam Kabinet Hatta?‖ bertanya KH. Hajid.
―Niatnya: I‘dlat
al-munkar; melenyapkan penyelewengan!‖ jawab K.H.A. Wahab Chasbullah tegas.
―Kalau
begitu saya usulkan, agar saudara-saudara yang akan kita pilih duduk dalam
kabinet yang akan datang ini, ' harus mengucapkan niatnya dengan kata-kata!‖
sambung K.H. Hajid..
―Mengapa harus talaffuzh bi an-niyyat, melafazhkan
niat dengan kata-kata? Mana Qur‘an dan haditsnya?‖ bertanya K.H.A. Wahab
Chasbullah.
Seluruh hadirin riuh tertawa berbahak-bahak. Dua tokoh ini
mewakili dua aliran, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Orang Nahdhatul Ulama
kalau sembahyang melafazhkan niatnya dengan membaca ushalli, sedang orang
Muhammadiyah berpendapat tidak usah melafazhkan niat, cukup di dalam hati.
Keadaan dewasa itu jadi ―terbalik,‖ K.H.A. Wahah Chasbullah seolah-olah tidak
setuju talaffuzh dalam niat, sedang K.H. Hajid mengharuskan talaffuzh dalam
niat.
140
Orang banyak pada paham bahwa ―penolakan‖
KH.A. Wahab Chasbullah tentang melafazhkan niat para calon menteri itu cuma
sekedar bercanda, seolah-olah hendak meyakinkan kepada orang banyak bahwa niat
seharusnya dibarengi dengan ucapan kata- kata. Akhirnya, semua setuju bahwa
kita menerima ajakan Bung Hatta memasuki kabinet yang sedang dibentuk. Tiap
calon menteri harus ikrar dengan niat yang diucapkan sebagai suatu janji bahwa
kita akan melenyapkan munkarat dalam Kabinet Hatta. Mana kita bisa menerima
suatu gagasan bahwa di atas pimpinan Republik Indonesia masih ada Ratu
Belanda, sekalipun cuma simbol saja. Itu adalah suatu munkarat; perbuatan
durhaka, dan penyelewengan.
***
Daerah Republik Indonesia walaupun
secara de fakto cuma selebar daun ―kelor,‖ meliputi
Mojokerto-Gombong-Ambarawa-Yogya, namun di luar daerah itu, pengaruh Republik
tetap bertahan. Rakyat-rakyat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Nusatenggara, bahkan hingga Irian Barat, mereka tidak pernah bersimpati kepada
kekuasaan yang ditegakkan oleh Belanda. ―Negara-negara bikinan Belanda tidak
berdaya karena hati rakyat tetap dikuasai oleh Pemerintah Republik di
Yogya.‖
Yogya dipertengahan tahun 1948 menjadi kancah pertentangan
politik. Kaum Republik tidak hanya mengarahkan perlawanannya kepada Belanda
dan kaki tangannya, tetapi juga kepada aksi-aksi Front Demokrasi Rakyat PKI
yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin dan Alimin. Golongan Islam dan
Nasionalis memandang bahwa FDR/PKI adalah agen-agen Belanda karena mereka
membela mati-matian persetujuan "Linggarjati‖ dan ―Renville‖ yang
menguntungkan Belanda. Membela Belanda melalui kerja samanya dengan Partai
Komunis Belanda. Hari-hari penuh dengan pertentangan-pertentangan yang amat
tajam, bahkan sering terjadi insiden-insiden antara anak-anak ―Laskar
Rakyat/Pesindo‖ dengan ―Hizbullah.‖ Istilah ―kiri‖ yang dalam dunia politik
berarti yang kerakyatan dan progresif jadi tidak populer. Orang-orang FDR/PKI
selalu mengepalkan tinjunya yang kiri jika mereka memekikkan
―Merdeka‖
karena mereka menamakan dirinya golongan kiri. Kepalan tinju tangan kiri itu
dibalas oleh anak-anak ―Hizbullah‖ dengan kepalan tinju tangan kanan, karena
menurut norma Islam, Rasulullah Saw selalu menamakan dirinya golongan kanan
(Ashab al-Yamiri), yaitu golongan yang dijanjikan Allah SWT menjadi ahli
sorga. Sebaliknya orang-orang yang menjadi penghuni neraka disebut golongan
kiri (Ashab asy-Syimdl). Orang Islam dianjurkan oleh Nabinya, agar menyukai
yang serba kanan. Makan dengan tangan kanan, memakai sepatu kaki yang kanan
yang didahulukan, dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak
―Hizbullah‖ yang sebagian terbesar berasal dari pesantren jarang-jarang
menyebut golongan FDR/PKI dengan FDR/PKI, tetapi disebutnya: Ashab asy-Syimdl!
Ini sesuai dengan pengakuan mereka bahwa mereka adalah golongan kiri.
Ada
sesuatu yang baru dan paling menarik anak-anak yang baru tiba dari pertempuran
bila memasuki ibu kota Yogya. Berminggu-minggu mereka berada di medan
pertempuran Gombong atau Mojokerto atau Ungaran (Semarang) karena Belanda
sering melanggar gencatan senjata yang diperintahkan Komisi Tiga Negara (wakil
PBB) hingga terjadi tembak menembak dan pertempuran-pertempuran lalu
berkobar.
Sesuatu yang baru itu ialah: Restoran Padang. Bagi anak-anak
―Hizbullah‖ yang jawa ini tampak sangat aneh tetapi menarik, begitu banyak
lauk pauk dan aneka macam diletakkan pelayan restoran di atas meja. Sepuluh
piring kecil penuh lauk pauk cukup disodorkan satu tangan, hingga kedua
tangannya sekaligus dua puluh piring lauk pauk disodorkan kepada tetamunya.
Kita boleh pilih mana mau kita, kita ambil, kita bayar. Mana yang kita tak
suka
141
tak usah dijamah dan tak membayar. Bagi
anak-anak Jawa, hal itu adalah sangat baru, aneh tetapi menarik.
Yang
kedua adalah banyaknya barang-barang hasil selundupan dari daerah pendudukan
Belanda. Barang-barang itu dijual sepanjang trotoar di Malioboro. Ada sisir
atom, sisir dari plastik, ada kemeja, kaos singlet, kaca mata, handuk besar
maupun kecil. Alhasil, barang- barang mewah di mata kaum Republiken.
Zaman
itu, 1945—1950, orang-orang daerah Republik sangat menderita. Kecuali beras
yang sudah habis dikuras oleh Jepang selama menduduki negeri ini, juga praktis
tidak ada orang bekerja di sawah karena mereka menjadi pejuang memanggul
senjata. Pakaiannya cukup hasil tenunan rakyat. Buat anggota pasukan, apakah
TNI, apakah kelaskaran, tenunan rakyat itu lalu diberi warna menurut
kesatuannya masing-masing dengan dicelup memakai dedaunan. Tidak mengherankan
kalau warna hijau, coklat maupun kuning itu menjadi coreng-moreng jika kena
hujan. Inflasi sangat meraja lela, pemerintah seperti menjalankan politik
moneter tanpa aturan saja. Dan, karena daerah Republik dikenakan blokade
ekonomi oleh Belanda, maka tidak ada barang impor yang masuk, kecuali hasil
selundupan "tukang catut‖ yang memakai baju kaum pejuang. Ban mobil sudah
menjadi
―barang akhirat‖ yang cuma dimiliki oleh golongan ―dewa-dewa.‖
Jangan heran kalau mobil kita menggunakan ban yang diisi dengan rumput-rumput
karena sudah tidak bisa dipompa lagi, tambalannya melebihi bannya sendiri.
Suatu
petang, aku menelusuri Malioboro dengan dua tiga teman yang baru pulang dari
front Gombong Di muka penjual ―barang-barang atom,‖ aku melihat seorang lagi
jongkok, ia sedang memilih sisir atom, memilih warna yang berkenan di hatinya.
Aku seperti sudah kenal orang ini Tetapi mengapa ia berseragam Angkatan Laut
(ALRI)? Dari jarak yang sangat dekat, aku mengenalinya, ia sahabatku. K.H.A.
Fattah Yasin!
―Hee, tentara tidak boleh sisir rambut! Ini zaman perang!‖
tegurku bercanda.
―Ini kan di garis belakang?‖ sahutnya sambil
menyeringai.
―Ente ALRI ni? Fattah Yasin benar-benar?‖ aku memang kaget
betul ketemu dengannya di Malioboro
―Memangnya siapa? Fattah Yasin cuma
ada satu! Mengapa?‖ ia tanya keheran-heranan.
―Aku dengar kabar bahwa
ente sudah jadi almarhum, dibunuh Jepang ketika di penjara Jepang. Tahu-tahu
sedang beli sisir atom di sini,‖ sahutku.
Sambil menyeringai panjang, ia
tidak segera menjawab pertanyaanku. Ia meneliti pakaian seragamku, pakaian
―Hizbullah‖, dari peciku di kepala hingga sepatu larsku.
―Ente tambah
ngganteng dengan seragam begini. Dari mana ini semua?‖ ia bertanya seperti
keheran-heranan. Baju seragamku berwarna hijau lumut dari kain gabardine, dan
sepatu larsku berwarna coklat dari kulit luar negeri. Itu baru aku miliki dua
hari yang lalu, pakaianku yang lusuh dan banyak tambalan telah aku berikan
kepada seorang supir truk sebagai imbalanku karena aku diperkenankan ikut ke
Yogya.
―Dapat dari A. Kholiq Hasyim bekas Daidancho Peta yang kini ada di
staf pertempuran di Malang,‖ jawabku, ―tentunya ia dapat dari rampasan
Jepang.‖
―Mulai kapan ente jadi ALRI?‖ aku bertanya mengalihkan ke lain
percakapan.
142
―Begini ceritanya. Aku
dipenjarakan Jepang hampir dua tahun. Ketika Jepang diserbu rakyat, aku
dilarikan Jepang mau dibunuh dengan beberapa kawanku senasib di penjara.
Untung segera datang pemuda-pemuda membebaskan. Setelah bebas, aku turut
rombongan pemuda-pemuda tadi, mereka mendirikan ALRI di Lawang, dekat Malang.
Maka jadilah aku ALRI sejak itu,‖ ia menjelaskan.
KH.A. Fattah Yasin ini,
dulu aku kenal sebagai santri Tebuireng. Ia bersama Umar Burhan, keduanya
sahabat K.H.A. Wahid Hasyim. Ketika Ansor mula-mula dibentuk, dua-duanya ikut
mendirikan Ansor dan lalu duduk dalam Pengurus Besar Ansor di Surabaya.
Keduanya memang arek Surabaya.
Sejak itu aku berkenalan dengannya, hingga
menjadi sahabat.
―Ente sudah makan? Saya lapar. Di mana kita bisa makan
enak?‖ ia bertanya kepadaku.
―Mari kita ke restoran Padang!‖
Kami
menuju ke restoran Padang. Makan dengan amat lahap sambil masing-masing
menceritakan pengalaman kami.
―Begini, malam ini aku dipanggil Gus Wahid.
Mari kita ke sana!‖ aku ajak dia menemui Gus Wahid.
Selesai makan
kenyang-kenyang, berhari-hari bosan cuma makan nasi dengan sayur kangkung dan
sepotong tempe di front Gombong, kali ini makan besar, kami menuju ke hotel
―Merdeka‖ tempat KH.A. Wahid Hasyim menginap jika kebetulan berada di
Yogya.
Aku jumpai K.H.A. Wahid Hasyim sedang bercakap-cakap dengan
seorang pemuda, memakai kemeja putih dengan celana berwarna gading. Rambutnya
disisir rapi menyibak ke kanan dengan garis pemisah di sebelah kiri. Sepatunya
putih dengan polet-polet coklat muda. Aku jadi ingat, ketika aku masih
―meneer‖ ISW, aku pun pernah punya sepatu macam yang ia pakai, tetapi tinggal
kenangan saja, pada waktu aku melihat pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan
K. HA. Wahid Hasyim ini.
―Kenalkan dulu, ini Saudara Jamaluddin Malik,‖
K.H.A. Wahid Hasyim memperkenalkan pemuda ini dengan kami. ―Ia juga anggota
Ansor Cabang Gambir, Jakarta.‖
Kami segera berkenalan.
―Formalnya
baru berkenalan sekarang, tetapi hati kita sudah lama satu, bukan?‖ Jamaluddin
Malik menatap aku dengan senyumnya.
―Saya sedang merundingkan dengan
Jamaluddin Malik ini sebelum Saudara-Saudara datang,‖ kata K.H.A. Wahid Hasyim
―Ia seorang seniman. Memimpin suatu rombongan sandiwara nomor satu. Ia dan
rombongannya baru tiba di Yogya dari Makasar dan Kalimantan. Ia bermaksud
untuk beberapa waktu ada di daerah Republik ini. Akan menetap terus di daerah
ini dengan rombongan sandiwara. Tetapi saya menganjurkan, baik saja untuk
sementara hari ada di daerah ini, tetapi sebaiknya ia dan rombongannya segera
memasuki Jakarta, agar di daerah yang diduduki Belanda ada orang-orang
Republik juga. Apa lagi dengan menggunakan rombongan sandiwara ini Belanda
tidak gampang mencurigai kita. Rombongan sandiwaranya bisa dijadikan tempat
bertemunya orang-orang Republik yang ada di Jakarta.‖
―Tadinya anak buah
saya bermaksud, bila sudah sampai di daerah Republik, rombongan akan
membubarkan diri, lalu kami menerjunkan diri dalam badan-badan perjuangan.
Ada
143
yang menjadi ―Hizbullah‖, ada yang ―Barisan
Pemberontakan Rakyat‖ dan sebagainya,‖ jawab Jamaluddin Malik.
―Saya
tidak setuju dengan pikiran itu,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim. ―Anggota
kelaskaran sudah amat banyak sekali. Tetapi orang-orang pejuang yang
menggunakan rombongan sandiwara dan seni pada umumnya masih kurang banyak.
Padahal itu amat penting bagi suatu perjuangan besar. Dengan rombongan yang
saudara pimpin, tadi saya sudah katakan, bisa dijadikan tempat bertemunya
orang-orang Republiken. Hingga kita bisa kumpulkan senjata lewat usaha
saudara,‖ ujar K.H.A. Wahid Hasyim meyakinkan.
―Mana lebih baik, kami
mengumpulkan uang dana atau langsung membelikan senjata buat laskar kita?‖
Jamaluddin Malik bertanya.
―Maksud saudara kumpulkan uang dari dana, lalu
diserahkan ke Yogya?‖ K.H.A. Wahid Hasyim minta penjelasan.
―Ya, begitu!‖
jawabnya.
―Keduanya sama baiknya. Tetapi menurut pengalaman saya, lebih
baik lagi kalau sudah terkumpul uang, lalu belikan saja senjata. Di tiap-tiap
garis demarkasi yang merupakan batas antara daerah pendudukan Belanda dan
kekuasaan Republik telah menjadi terbiasa serdadu-serdadu Belanda menjual
senjata-senjata. Mereka biasanya menyerahkan senjatanya untuk memperoleh
beberapa puluh gram emas,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim sambil memberikan
petunjuk.
―Saudara Fattah, saya memang sudah mendengar bahwa ente
memasuki ALRI. Itu baik sekali. Anak-anak kita jangan cuma di dalam
―Hizbullah‖ saja. Mereka juga memasuki kesatuan yang lain,‖ K.H.A. Wahid
Hasyim mengalihkan percakapan dengan Fattah Yasin.
―Tetapi kita di
mana-mana kekurangan senjata. Bagaimana memecahkannya?‖ Fattah Yasin
menanya.
―Dulu kita tidak punya senjata sama sekali. Kita rebut dari
tangan Jepang. Keadaan persenjataan kita sekarang ‗ala kulli hal, lumayan, apa
salahnya kita rebut juga dari serdadu- serdadu NICA?‖ K.H. A. Wahid Hasyim
meyakinkan penanya. Lalu sambungnya: ―Saya memang hendak membicarakannya
dengan Pak Dirman, Panglima Besar!‖
―Sehubungan dengan maksud Jamaluddin
Malik hendak memasuki daerah pendudukan Belanda, sekarang banyak anak-anak
kita di garis tapal batas hendak memasuki daerah musuh. Bagaimana pendapat
kita?‖ aku menanya kepada KH.A. Wahid Hasyim.
―Ada dua macam golongan
hendak memasuki daerah pendudukan Belanda. Pertama: golongan avonturir.; orang
yang tukang foya-foya dalam hidup. Mereka memang tidak betah berada di daerah
Republik yang serba miskin materiil ini, padahal di daerah pendudukan Belanda
orang bisa hidup senang. Orang-orang yang kualitasnya begini tidak berguna
bagi perjuangan. Biarkan saja mereka meninggalkan daerah Republik, satu ketika
mereka akan tahu akibatnya. Yang kedua: memang golongan pejuang benar-benar,
mereka ingin mengacau di daerah musuh. Tentu saja kita sangat tidak keberatan
mereka memasuki daerah pendudukan Belanda. Cuma saja, sebelum memasukinya,
harus kita uji terlebih dahulu kemampuannya berjuang, dan di sana harus
disiapkan jaring-jaring kaum Republiken. Itu mudah saja, sebab pada umumnya
rakyat kita di daerah pendudukan Belanda simpatinya tetap kepada Republik
Yogya ini,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim.
―Bagaimana situasi kita yang
terakhir ini?‖ aku menanya lebih jauh.
144
―Ada dua
faktor penting yang sedang kita hadapi. Pertama: menghebatnya gerakan-gerakan
orang-orang komunis. Hari-hari ini seorang gembong komunis kawakan, Muso,
setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri, akan memasuki Yogya dari negeri
Belanda. Saya dengar ia akan disertai Suripno, orang yang diangkat Amir
Syarifuddin menjadi wakil Republik di Praha. Sepanjang yang saya dengar, Muso
akan melakukan koreksi terhadap kepemimpinan komunis di bawah Amir Syarifuddin
dan Alimin. Tetapi menurut saya, ini cuma sekedar taktik komunis saja,
mengingat bahwa pemimpin-pemimpin komunis sudah sangat merosot pengaruhnya di
mata rakyat, akibat politik Linggarjati dan Renvillenya. Muso akan
menyelamatkan cita-cita komunisnya untuk mencari simpati rakyat Itu biasa di
kalangan komunis, jika perlu kawannya sendiri dikorbankan untuk meneruskan
taktik perjuangannya.‖ K.H.A. Wahid Hasyim diam sebentar, lalu sambungnya:
―Yang
kedua: perundingan antara delegasi Indonesia dengan Belanda di bawah
pengawasan PBB mengalami jalan buntu, perundingan jadi kandas. Baik secara
analisa politik maupun firasat saya, hari-hari yang akan datang akan terjadi
serangan besar- besaran, mungkin Belanda akan menduduki Yogya.‖
―Kalau
sampai terjadi demikian, bagaimana perjuangan ini?‖ bertanya Jamaluddin
Malik.
―Ya, kita jadikan seluruh Indonesia daerah medan pertempuran.
Secara perang total tentu tidak mungkin pada tingkat pertama, tetapi kita bisa
kobarkan perang gerilya. Anak-anak kita akan memasuki daerah-daerah pendudukan
Belanda terutama ―Siliwangi‖ yang hijrah ke Yogya ini akan pulang memasuki
Jawa Barat. Cuma satu penyelesaian dengan Belanda, perang gerilya! Dalam
sejarah yang manapun tak pernah terjadi bahwa perjuangan kemerdekaan mengalami
kekalahan!‖ jawabnya mantap sekali.
Percakapan terhenti di sini, karena
baik Jamaluddin Malik maupun Fattah Yasin berpamitan hendak menyelesaikan
tugasnya masing-masing. Kami berdua dengan KH.A. Wahid Hasyim masih meneruskan
berbincang-bincang di hotel ―Merdeka‖ Yogya hingga jauh malam.
***
Tanggal
18 September 1948, Front Demokrasi Rakyat alias PKI mengadakan pemberontakan
di Madiun. Pemberontakan terhadap kekuasaan Republik Indonesia di bawah
pimpinan Sukarno-Hatta.
Sejak Muso datang ke Indonesia, situasi politik
mendadak menjadi panas sekali. Apa yang beberapa hari kami percakapkan di
hotel ―Merdeka‖ Yogya, tidaklah meleset.
Muso datang dari Praha setelah
bertahun-tahun berada di Moskow. Ia dibawa oleh Suripno, seorang komunis yang
diangkat Amir Syarifuddin menjadi wakil Republik Indonesia untuk Cekoslowakia.
Lewat negeri Belanda, Suripno datang ke Yogya untuk keperluan
―konsultasi‖.
Keadaan yang lazim, seorang diplomat Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah
pusat. Demikian pula, Suripno, datang untuk keperluan ―konsultasi‖. Ia
disertai seorang ―sekretarisnya,‖ ternyata ―sekretaris‖ ini ialah Muso.
Begitu
datang, ia melihat, lalu ia berbuat. Mula-mula ia merebut pimpinan FDR/PKI
dari tangan Alimin-Amir Syarifuddin. Ia menamakan dirinya perlu mengadakan
koreksi terhadap kepemimpinan lama yang dikatakan salah, menjerumuskan
Indonesia ke bawah penjajajahan terselubung dari Belanda.
145
Ia
melakukan kampanye besar-besaran dengan rapat-rapat umum dan pemogokan-
pemogokan, menghasut rakyat agar tidak mentaati Pemerintah, yang katanya telah
menjual tanah air kepada Belanda. Padahal sejarahnya adalah sebaliknya.
Komunis bukanlah komunis kalau tidak memutar-balikkan keadaan, jika perlu
mengadakan pemalsuan sejarah.
Sejarahnya dimulai dari Partai Sosialis
ketika masih dipimpin oleh Syahrir-Amir Syarifuddin membuat persetujuan
Linggarjati pada saat kaum Republik sedang bertempur melawan agressi Belanda.
Dengan persetujuan tersebut, berlakulah gencatan senjata. Tetapi gencatan
senjata ini tidak pernah ditaati kaum Republik karena Belanda selalu melanggar
persetujuan. Akibat perlawanan politik dari ―Masyumi‖ PNI, maka jatuhlah
pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Sosialis ini. Mereka pecah, Syahrir
mendirikan Partai Sosialis Indonesia, dan Amir Syarifuddin meneruskan Partai
Sosialisnya yang bergabung dengan unsur-unsur kiri lainnya. Berdirilah Front
Demokrasi Rakyat dengan pimpinan Amir Syarifuddin yang menciptakan persetujuan
Renville. Akibat perlawanan rakyat yang menentang total kebijaksanaan Amir
Syarifuddin, maka bubarlah Pemerintahan Front Demokrasi Rakyat. Mereka lalu
bergabung dengan PKI melakukan oposisi terhadap Kabinet-Hatta. Di saat itulah
Muso datang mengambil alih pimpinan FDR/PKI dan meneruskan oposisinya terhadap
Pemerintah Republik Indonesia. Lalu memberontak!
―Saudara-saudara boleh
pilih: Ikut Sukarno atau Muso‖ demikian antara lain pidato Bung Kamo, Presiden
Republik Indonesia.
Dengan satu kalimat ini, maka tidaklah sulit bagi
rakyat untuk menentukan pilihannya. Tentu memilih Sukarno sebagai Presiden
yang syah, artinya, ikut di pihak Pemerintah Republik Indonesia. Presiden
memerintahkan kepada seluruh alat-alat kekuasaan Negara dan badan- badan
kelaskaran untuk menghancurkan kaum pemberontak dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya.
―Pasukan saudara kini mengambil kedudukan di mana?‖ bertanya
Zainul Arifin, pemimpin Markas tertinggi ―Hizbullah‖ pada suatu hari di
Yogya.
―Pasukanku berada di tapal batas antara Solo-Madiun dan bergabung
dengan anak-anak Munawir dari Solo,‖ jawabku.
―Bagaimana hubungannya
dengan pasukan-pasukan ―Siliwangi‖?‖ ia meneruskan pertanyaannya.
―Kami
diperintahkan supaya mengambil kedudukan di
belakang pasukan-pasukan
―Siliwangi‖ yang memegang komando menyerbu
Madiun. Batalion Umar dan Kemal mungkin sudah mendekati kota Madiun,‖
jawabku.
―Pasukan Wahib Wahab apa sudah menghubungi saudara? Anak-anak
Jawa Timur sudah saya beri perintah khusus ,‖ tanya Zainul Arifin.
―Wahib
Wahab sudah kirim kurir padaku, ia ingin gerakan kita berbareng, agar kami
nanti memasuki Madiun dalam waktu yang hampir bersamaan. Kami merencanakan
bertemu di Madiun,‖ jawabku.
―Gambarannya bagaimana?‖ ia mendesak.
―Aku
dan anak-anah ―Hizbullah‖ merencanakan masuk lewat Ngawi, sedangkan anak-anak
Wahib Wahab memasuki Madiun dari jurusan Nganjuk. Dengan demikian akan
memudahkan ―Siliwangi‖ melakukan pengejaran dari selatan Madiun,‖ jawabku.
146
Aku
laporkan bahwa menjelang pemberontakan PKI di Madiun, K.H.A. Wahab Chasbullah,
Rais Aam Nahdhatul Ulama mengadakan ―Latihan Ulama‖ di Ngawi. Aku baru pulang
dari Ngawi 3 hari sebelum pecah pemberontakan PKI.
Ketika ―Latihan Ulama‖
dibubarkan karena sudah selesai, tidak ada yang mengerti bahwa PKI mengadakan
pemberontakan di Madiun. Padahal jarak Ngawi—Madiun dekat sekali. Para peserta
latihan pulang ke daerahnya masing-masing.
K.H.A Wahab Chasbullah pulang
ke Jombang dengan naik kereta api. Perjalanan ke Jombang ini harus melewati
Madiun. Ketika telah mendekati Madiun, beliau baru mengerti bahwa di Madiun
ada pemberontakan PKI, tetapi beliau sudah terlanjur berada dekat stasiun
Madiun. Agar orang tidak mudah mengenali siapa beliau, terpikir oleh beliau
untuk menghilangkan identitasnya. Sorban dilipat dimasukkan ke dalam tasnya.
K.H.A. Wahab Chasbullah berhasil "berdiplomasi‖ dengan salah seorang di
stasiun untuk memperoleh peci hitamnya. Peci hitamnya dikenakan. Dengan peci
hitam ini, orang tidak mudah mengenali
K.H.A. Wahab Chasbullah. Maka,
selamatlah beliau tiba di rumahnya, di Jombang. Jika saja PKI mengenali K.H.A.
Wahab Chasbullah, pastilah beliau dijadikan tawanan golongan
―kakap‖ yang
besar, dan entah bagaimana nasib selanjutnya. Tetapi syukur alhamdulillah,
Tuhan tetap melindungi beliau!
Hanya kira-kira 2½ bulan pemberontakan PKI
dapat ditumpas.
Sebuah pesantren di daerah Madiun, kalau tidak salah
Pesantren Takeran, merupakan pesantren pertama yang dijadikan sasaran
pengganyangan oleh PKI. Beberapa santri menjadi korban dan pesantren dibakar.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sasaran utama bagi PKI adalah orang-orang
Republiken, pegawai pemerintah, dan laskar-laskar ―Hizbullah- Sabilillah‖,
―Barisan Banteng‖, ―Barisan Pemberontakan‖, dan lain-lain yang pro pemerintah
Yogya.
Suasana ibu kota Yogya diliputi oleh kemarahan rakyat terhadap PKI
dan Belanda. Yang belakangan ini terus-menerus melanggar gencatan senjata dan
melakukan insiden-insiden di tapal batas. Korban banyak yang jatuh dari kedua
belah pihak. Yogya diliputi oleh awan yang gelap, penuh tanda tanya bagaimana
keluar dari kegentingan yang kian memuncak.
Suatu hari, aku diajak K.H.A.
Wahid Hasyim menengok Pak Dirman, Panglima Besar. Sudah beberapa hari beliau
sakit yang berat.
―Saya sakit, Mas Wahid...‖ Pak Dirman sambil berbaring
mengulurkan tangan kepada K.H.A. Wahid Hasyim.
―Semoga lekas sembuh!‖
sambut K.H.A. Wahid Hasyim.
―Apa kabar Saudara?‖ Pak Dirman memalingkan
pandangannya kepadaku dan tangannya kusalami.
―Apa sakitnya Mas Dirman?‖
tanya K.H.A. Wahid Hasyim.
―Paru-paruku. Kata dokter, tinggal satu yang
berfungsi,‖ Pak Dirman menjawab sambil batuk-batuk. Kami semuanya diam, amat
terharu aku melihat Panglima Besar yang sedang berbaring. Badannya bertambah
kurus saja, dan kelihatan pucat karena kekurangan tidur. Beliau melayangkan
pandangannya kepadaku sambil katanya:
―Sudah lama kita tidak saling
ketemu. Apa masih memimpin ―Hizbullah?‖
147
―Pak
Dirman kelewat sibuk, aku tidak sampai hati mengganggu Pak Dirman. Dan aku
masih bersama anak-anak ―Hizbullah,‖ jawabku.
Aku dan Pak Dirman telah
lama berkenalan, sejak sebelum Jepang datang. Kami berasal dari satu daerah,
Banyumas, dan sama-sama menjadi guru sekolah swasta. Aku biasa memanggilnya
dengan sebutan ―Mas,‖ tetapi sejak beliau menjadi Panglima Besar, rasanya
panggilan ―Mas‖ itu tak begitu sedap lagi. Sejak itu aku memakai panggilan
―Pak‖ kepadanya. Mula-mula beliau keberatan atas perubahan ini, tetapi aku
katakan, biarlah demikian, soalnya wajar saja. Aku berpikir, yang harus
menghormati seorang pemimpin, mula-mula hendaklah kawannya sendiri.
―Mas
Wahid, saya kira Mas baik sekali kalau datang lagi kepada Bung Karno, untuk
menjelaskan situasi yang sebenarnya dewasa ini. Kemarin dahulu saya katakan
kepada beliau tentang persoalan kita dengan Belanda. Janganlah hendaknya
pemerintah meremehkan kemungkinan Belanda melakukan serbuan ke Yogya. Saya
seorang militer, saya menghargai pandangan politik pemerintah, akan tetapi
pandangan secara militer juga hendaknya dipertimbangkan,‖ Pak Dirman memulai
dengan pembicaraan tingkat berat. Karena yang perlu menanggapi masalah berat
ini KH.A. Wahid Hasyim, maka aku ingin menjadi seorang pendengar saja.
―Saya
sudah ketemu Bung Karno, juga Bung Hatta. Saya bisa mengerti politik diplomasi
dari pemerintah, akan tetapi diplomasi tanpa kekuatan militer hampir tak ada
gunanya. Sebab itu, menurut saya, biarkan saja kalau terjadi
pertempuran-pertempuran antara Belanda dan anak-anak kita, agar Belanda
menyadari bahwa kita juga mempunyai kemampuan tempur. Kekuatan militer kita
berangsur-angsur lebih dibanggakan, hal itu perlu bantuan moril dari kaum
diplomat kita,‖ demikian K.H.A. Wahid Hasyim
―Yang sudah lama saya
khawatirkan, kini benar-benar terjadi. Orang-orang komunis menusuk dengan
belati di punggung kita, ketika kita sedang menghadapi Belanda. Yang saya
pikirkan, bila sewaktu-waktu Belanda menyerbu ke Yogya, kekuatan militer kita
jangan tercerai berai. Itu sebabnya saya perintahkan kepada Markas Besar untuk
mempercepat penghancuran terhadap pemberontakan PKI di Madiun. Alhamdulillah,
Tuhan merahmati perjuangan kita,‖ Pak Dirman berhenti bicara, air matanya
mulai menggenang. Kami semua terharu.
Aku sudah cukup lama duduk
menyertai dua orang penting ini. Yang satu Panglima Besar dan satunya
penasihatnya. Barangkali akan ada pembicaraan yang hanya berdua saja boleh
tahu, maka aku permisi akan keluar sebentar dengan alasan akan telepon. Aku
berada di kamar ajudan untuk mengadakan pembicaraan telepon dengan K.H.
Masykur, Menteri Agama. Aku katakan kepada beliau bahwa ada sebuah pesan dari
K.H.A. Wahid Hasyim agar beliau menanti di Hotel ―Merdeka‖.
Aku
kira-kirakan bahwa pembicaraan empat mata sudah selesai. Aku segera masuk ke
ruang tidur Pak Dirman, di mana beliau menerima kami sambil berbaring sejak
tadi. Ternyata pembicaraan empat-mata tinggal ekornya saja. Aku cuma menangkap
pembicaraan K.H.A. Wahid Hasyim, beliau berjanji setelah menjumpai Presiden
akan segera menemui Pak Dirman lagi di rumahnya.
Kami berpamitan. Pak
Dirman memegang tanganku lama ketika kami bersalaman. Beliau minta didoakan
semoga lekas sembuh, dan meminta aku sering-sering datang. Aku sanggupi dengan
ucapan Insya Allah!
148
Tiba di Hotel ―Merdeka‖,
KH. Masykur telah menanti kami di sana.
―Sampeyan ini Menteri Agama atau
Ketua Markas tertinggi ―Sabilillah?‖ tegur K.H.A. Wahid Hasyim setelah melihat
K.H. Masykur, wajahnya sedikit cemberut. Aku sudah sangat paham akan watak
KH.A. Wahid Hasyim ini, tandanya sedang sedikit jengkel terhadap ulah
sementara kaum politisi yang kurang menyadari situasi yang sebenarnya. Salah
satu sifat KH.A. Wahid Hasyim ini sangat mudah bertoleransi kalau masalahnya
mengenai soal yang menyangkut pribadinya, tetapi kalau sudah mengenai prinsip,
apalagi yang erat hubungannya dengan perjuangan Islam, kalau orang hendak
mengurangi Hak Allah, beliau bisa bersikap ―kaku‖ tak mudah ditawar-tawar.
Agaknya beliau sangat terpengaruh oleh sifat Rasulullah Saw:
Wa ya'fu ‗an
adz-dzanbi idza kana fi haqqihi wa sabahihi, wa idza dhuyyi'a haq Allahi lam
yaqum ahadun li ghadhabihi.
―Rasulullah sangat mudah memaafkan seseorang,
jika soalnya menyangkut urusan pribadinya, akan tetapi kalau orang meremehkan
hak Allah, maka tidak seorang pun berani menegakkan kepalanya karena melihat
kemarahan Rasulullah Saw.‖
Melihat gelagat ini KH. Masykur cuma ketawa
saja.
―Sampeyan ini Menteri Agama atau Ketua Markas tertinggi
―Sabilillah?‖ K.H. A. Wahid Hasyim mengulangi pertanyaannya.
―Dua-duanya,
ya Menteri Agama, ya Ketua Markas tertinggi ―Sabilillah,‖ mengapa?‖ jawabnya
sambil masih berkekeh-kekeh dengan tawanya. Rupanya beliau juga sangat paham
akan sifat K.H.A. Wahid Hasyim.
―Kalau sampeyan Menteri, silakan
berunding terus dengan Belanda sampai Belanda memperoleh kesempatan
mempersiapkan dirinya untuk menggempur Republik kita. Tetapi kalau sampeyan
orang ―Sabilillah‖, sampeyan harus melihat gelagat ini sebagai politik
mengulur-ulur waktu dari Belanda untuk akhirnya mereka menyerbu Yogya‖,
jawabnya, sudah mulai reda dengan jengkelnya.
―Kiai Masykur ini aku kira,
menganut aliran selagi masih bisa berunding, kita juga mau berunding. Tetapi
kalau perundingan menemui jalan buntu, siap untuk bertempur!‖ aku menyela.
―Ya,
tetapi orang-orang yang tengah berunding di Kaliurang mengikuti saja pikiran
Belanda dan Komisi Tiga Negara, berunding terus sampai kapan, sedang Belanda
terus mengadakan penumpukan kekuatan militernya untuk menyerang Republik. Aku
yakin, Belanda dalam beberapa hari ini akan menyerbu Yogya!‖ sambut K. H.A.
Wahid Hasyim dengan semangat sekali.
―Jadi baiknya bagaimana menurut
sampeyan?‖ bertanya K.H. Masykur.
―Belanda terus-menerus menuntut
Republik membersihkan daerah yang ia kuasai, agar kaum Republiken tidak satu
orang pun masih ada di daerah pendudukan. Sedang Belanda terus saja menyebar
orang-orangnya menyelusup ke daerah Republik. Belanda berkali-kali melanggar
gencatan senjata, terus saja menembaki anak-anak kita di garis batas kita
sendiri, maka kita harus bersikap tegas. Hentikan perundingan. Kita adakan
mobilisasi kekuatan untuk bertempur. Kalau seluruh daerah Indonesia berkobar
pertempuran, tanggung Belanda akan gulung tikar. Semua kaum militer kita
berpikir demikian!‖ K.H.A.
149
Wahid Hasyim diam
sebentar, pandangannya menembus jauh ke muka, tentu sedang memikirkan masalah
yang besar dan sangat pelik ini.
Sukar untuk dilukiskan betapa
penanggungan yang sedang dialami rakyat Indonesia dewasa itu. Meskipun mereka
menderita lahir batin, namun sebagai pejuang, mereka bersyukur karena Allah
SWT melimpahkan ketabahan dalam menderita. Meskipun mereka sedang berjuang
habis-habisan menghadapi musuh-musuh dari luar dan musuh dari dalam yang
sangat berat, namun mereka ikut merasakan penderitaan saudara-saudaranya
bangsa Arab yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan Palestina,
sebagian tanah airnya, dari kaum pendatang yang merampas tanah tumpah
darahnya, suatu bangsa yang menamakan dirinya Israel.
Sudah hampir
setahun, umat Islam Indonesia melakukan Qunut Nazilah dalam tiap-tiap
sembahyangnya 5 kali sehari. Suatu do‘a yang lazim dilakukan dalam sembahyang
bila sedang menghadapi suatu kegentingan dan bencana. Qunut Nazilah itu
sebagai pernyataan protes dan semangat sependeritaan bangsa Indonesia terhadap
bangsa Arab sejak PBB pada tahun 1947 meresmikan berdirinya suatu negara baru
yang menamakan dirinya Israel dengan dua bidan raksasa yaitu Amerika dan
Soviet Rusia. Rakyat Indonesia mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia
agar memperjuangkan supaya Dewan Keamanan PBB meninjau keputusannya tentang
berdirinya Israel.
Sejak bangsa Arab berjuang untuk kemerdekaan
Palestina, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama pada tanggal 12 November 1938, telah
meminta kepada seluruh partai dan organisasi umat Islam di Indonesia serta
kepada Pucuk Pimpinan ―Warmusi‖ (―Wartawan Muslimin Indonesia‖) di Medan, agar
umat Islam memberikan sokongan materiil dan moril kepada pejuang-pejuang
Palestina dalam memerdekakan tanah air mereka. Juga menganjurkan Qunut Nazilah
untuk dibacakan tiap-tiap sembahyang 5 kali seharinya. Berhubung dengan
anjuran Qunut Nazilah ini, maka pada tanggal 27 Januari 1939, KH. Machfuzh
Shiddiq, Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dipanggil oleh Hoofdparket
Belanda di Jakarta, untuk diberi tahu bahwa Pemerintah Hindia Belanda melarang
digerakkannya Qunut Nazilah untuk pejuang Palestina.
Dalam perang Dunia
I, bangsa Arab telah berjuang melawan Turki karena mencita-citakan kemerdekaan
Palestina. Amatlah tidak masuk di akal, mereka berjuang melawan sesama saudara
seagama (Turki) untuk akhirnya membiarkan tanah airnya dirampas Yahudi yang
sama sekali asing segala-galanya. Amatlah mengherankan bahwa PBB membenarkan
Yahudi merampas Palestina dengan alasan karena di mana-mana Yahudi diusir.
Amatlah zalim suatu bangsa yang diusir dari Jerman, dari Cekoslowakia, dari
Italia, dan dari mana- mana lalu mengusir bangsa Arab Palestina dari tanah
tumpah darahnya sendiri.
Bangsa Arab Palestina yang terusir dari tanah
airnya, hidup terlunta-lunta penuh derita lahir dan batin. Suatu ketika pasti
mereka akan menuntut balas untuk menghapus segala deritanya. Mereka yakin
bahwa simpati akan datang dari seluruh dunia.
Bangsa Indonesia yang
sedang mengalami ancaman musuh yang hendak merobek-robek kemerdekaannya,
mengenangkan tragedi Palestina. Bahwa jikalau Yahudi memperoleh kemenangan
karena bayonet di tangannya, demikian pula halnya dengan Belanda, maka
yakinlah kita, suatu ketika bila bayonet telah menjadi tumpul karena datangnya
keadilan dan pertolongan Tuhan, maka bayonet itu tak akan bisa berbicara lagi,
kemenangan segera berganti dengan kekalahan... Insya Allah.
150
Hari
itu memasuki pertengahan bulan Desember 1948. Yogya Ibu Kota Republik
Indonesia diliputi oleh situasi yang sangat mencekam penuh tanda tanya.
Hari-hari dengan gerakan- gerakan militer baik TNI maupun laskar-laskar
perjuangan melakukan gerakan pemindahan pasukan. Yogya yang sehari-harinya
penuh dengan pemuda-pemuda berpakaian seragam, di hari akhir-akhir menjadi
sangat kurang laskar yang mondar-mandir sepanjang Malioboro. Yogya dalam
situasi politik yang kemelut tetapi tertekan.
Kami, dari pimpinan
―Hizbullah-Sabilillah‖ diperintahkan untuk pulang ke daerah kesatuannya
masing-masing, mempersiapkan serta memindahkan pasukan-pasukan yang
diperlukan.
Aku tinggalkan Yogya seperti dalam keadaan gundah, tetapi aku
tidak tahu apa yang bakal terjadi. Hanya firasatku mengatakan, pertebal iman
dan pertinggi daya juang sambil bertawakal kepada Allah Subhanahu wa
Ta‗ala!
***
19 Desember 1948, hari Minggu.
Jam 9 pagi aku di
rumahku di depan Markas Hizbullah Purworejo, seberang alun-alun. Aku sedang
berkemas-kemas untuk berangkat ke Madiun karena panggilan KH. Dahlan ketua
pengurus besar Nahdhatul Ulama yang ketika itu berkedudukan di Madiun.
Seperempat
jam kemudian aku mendapat laporan yang menyebutkan bahwa Yogya telah dibom
pesawat-pesawat terbang Belanda. Anakku, Fahmi dan Ida, bersorak kegirangan
karena mendengar deru pesawat terbang yang begitu keras. Aku keluar dari
rumah, kiranya dua pesawat terbang rendah sekali. Aku perhatikan ekornya,
ternyata pesawat terbang Belanda. Dua pesawat terbang ini menyebarkan
surat-surat selebaran. Dari pamflet yang dipungut anakku, aku baca isinya:
bahwa pasukan Belanda telah memasuki daerah Republik dan menuju ke Yogya.
Diminta agar penduduk tetap tinggal tenang jangan gelisah, pangreh praja
supaya bekerja terus seperti biasa. Segenap pasukan bersenjata supaya jangan
melawan dan menyerahkan senjatanya kepada Belanda. Siapa yang melawan akan
dihukum berat. Para alim ulama supaya ikut memelihara ketenteraman dan
keamanan. Surat selebaran itu ditandatangani oleh panglima besar Belanda,
Jenderal Spoor.
Sudah beberapa hari listrik seluruh kota mati, dengan
sendirinya penduduk tidak bisa mengikuti keadaan lewat radio. Radio transistor
ketika itu belum ada di daerah Republik. Kereta api tidak selalu jalan, dengan
demikian, surat-surat kabar jarang datang. Tidaklah heran jika penduduk tidak
tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Surat selebaran Belanda diterima
dengan ragu. Hubungan telepon putus hingga tidak bisa berhubungan dengan
Yogya.
Aku memanggil teman-teman dari
Majelis Konsul Nahdhatul Ulama dan pimpinan
―Hizbullah-Sabilillah‖.
Kami bermusyawarah, membicarakan situasi yang sedang terjadi.
Memang
sudah kami rencanakan, jika terjadi serbuan Belanda dan Yogya diduduki musuh,
kami akan mengadakan perang gerilya. Keluarga harus diungsikan. Sudah aku
tentukan tempat-tempat mana harus dijadikan tempat pengungsian sementara
sebelum kami menata dan memperkokoh kekuatan. Banyak orang yang hendak
mengungsi ke daerah Yogya, mereka merasa lebih aman berada di sana. Tetapi aku
berpendirian lain.
―Kami menunggu perintah Saudara, sekarang!‖ kata
Solichun, pemimpin ―Hizbullah‖ Purworejo.
151
―Kita
ungsikan dulu keluarga kita, keluarga dari pimpinan teras ini. Tentu akan
banyak keluarga lain yang akan turut serta. Tidak apa, nanti kita pencar
menjadi kelompok- kelompok kecil. Dalam perang gerilya, kelompok itu tidak
boleh besar, lebih kecil lebih baik. Adapun anak-anak pasukan dipindahkan ke
tempat-tempat yang agak jauh dari kota, juga dalam formasi yang kecil saja!‖
jawabku bersikap perintah. Zaman genting tidak boleh ada musyawarah yang
bertele-tele. Pemimpin mesti tegas dengan perintah-perintahnya.
―Berapa
besar rombongan keluarga kita harus kita ungsikan?‖ bertanya Haji Jamil,
pemimpin ―Sabilillah‖.
―Nantinya paling banyak 5 keluarga, untuk
sementara biar saja orang lain mengikuti kita. Mereka perlu ketenangan hati,
mereka merasa tenang bila bersama kita,‖ jawabku.
―Apakah kita menuju ke
daerah Yogya?‖ bertanya Kiai Muhammad dari Majelis Konsul Nahdhatul Ulama.
―Sementara,
ikuti arus orang banyak menuju daerah Yogya. Kalau kita menuju ke daerah yang
telah kita sepakati, niscaya orang-orang akan mengikuti kita, dan ini tentu
akan menyulitkan sekali. Daerah yang kelak menjadi tujuan kita yang sebenarnya
tentu tidak bisa menampung begitu banyak orang-orang,‖ jawabku, lalu aku
sambung.
―Belanda tentu tahu bahwa orang-orang akan menuju ke daerah
Yogya. Di tengah jalan nanti, kita diam-diam menyimpang mendekati daerah
tujuan kita. Belanda tentu mengira kita juga menuju ke daerah Yogya. Kalau
Belanda mengejar kita, ini pasti karena mereka tahu siapa kita, maka hal itu
akan sangat menyusahkan rakyat biasa yang nanti akan menjadi beban kita juga.
Ini akan menyulitkan siasat perang gerilya,‖ aku memberi ketegasan.
―Apakah
tujuan kita tetap Ngrimun?‖ Solichun menanya.
―Begini, kita ikuti arus
orang banyak sampai di desa Karangjati. Pada saat orang banyak menyimpang
menuju daerah Yogya, kita naik sedikit ke bukit Caok. Kita bisa beberapa hari
di sana sambil melihat situasi kota yang kita tinggalkan. Sementara menunggu
situasi, kalau aman, kita tetap di Caok. Abang kita, Kiai Abu, mempunyai kebon
singkong yang luas, buat kita merupakan gudang makanan sementara. Tetapi kalau
keadaan di sana tidak aman, kita teruskan naik ke gunung Ngrimun, di sana ada
Kiai Idris yang telah berusia 100 tahun. Beliau menantikan kedatangan kita,‖
jawabku.
―Kita akan mengambil kedudukan Majelis Konsul dan pimpinan
―Hizbullah‖ di mana? Tetap di daerah ini atau daerah Magelang?‖ Kiai Muhammad
bertanya.
―Kita akan berkedudukan di suatu daerah antara
Purworejo-Magelang-Wonosobo. Daerah itu baik sekali untuk perang gerilya.
Daerah pegunungan, udaranya sejuk, banyak sungai, dan daerahnya sangat subur
dengan bahan makanan. Lagi pula tidak jauh dari Yogya,‖ jawabku.
Aku
perintahkan agar kita mulai berangkat dengan tugas yang telah ditentukan.
Situasinya tidak memungkinkan untuk berunding panjang-panjang.
Ketika
orang-orang hendak bubar, Solichun bertanya:
―Keluarga Saudara bagaimana.
Berangkat sekarang atau nanti?‖
―Sekarang saja ikut Saudara, aku
belakangan. Nanti aku segera menyusul.‖ jawabku.
152
Istriku
dan 3 anakku: Fahmi 6 tahun, Ida 4 tahun, dan Anis 2, serta seorang pembantu
ikut mereka menuju ke Karangjati. Aku dan adikku Huseini, tetap di rumah,
banyak hal yang harus aku selesaikan.
Pukul 4 sore aku tinggalkan
rumahku. Aku mengenakan jas hujan dan mengantongi sepucuk pistol FN di kantong
jas hujan. Yang menjadi masygul adalah bagaimana buku- buku 2 lemari penuh,
semua buku penting. Dibawa tentu tak mungkin, mana di zaman perang ada orang
membawa buku-buku. Aku tak sanggup berpikir lagi, dengan bantuan adikku,
lemari buku kami putar balikkan menghadap ke dinding. Untuk sementara, jika
Belanda memasuki rumahku tentu tidak pertama kali tertarik oleh pandangannya
melihat dua lemari buku. Aku ajak Huseini adikku menyertai aku keluar rumah.
Tetapi ia menolak. Ia anggota ―Hizbullah,‖ ia sanggup menjaga rumahku
sendirian. Kalau terjadi apa-apa, ia mudah saja berpindah dari satu halaman
rumah ke halaman yang lain, katanya. Soal makanan bagaimana, ia jawab: Akh,
itu soal gampang. Ada siang ada makan! Ia kupesan, jika ada apa-apa menyusul
aku di suatu tempat Aku beritahukan peta perjalananku dalam gerilya. Tidak aku
tulis, tetapi aku suruh ia menghafal di luar kepala. Ini cara militer dalam
perang, kataku.
Aku keluar rumah dengan sepedaku, tidak lupa aku tenteng
mesin tulisku, aku pikir tentu ada gunanya dalam perjalanan.
Aku singgah
sebentar ke Kabupaten untuk menemui Pak Bupati Muritno. Tetapi beliau baru
½
jam meninggalkan Kabupaten. Ada pesan untukku agar aku menyusulnya ke suatu
tempat yang sudah kami sepakati beberapa hari yang lampau.
Baru 150 m aku
naik sepeda, kedengaran suara tembakan mitraliur, gencar sekali. Aku kayuh
sepeda lebih cepat, aku berpikir Belanda tentu sudah semakin dekat di
belakangku. Kota amat sepi, di beberapa tempat asap mengepul karena bumi
hangus. Kedengaran suara menggelegar, pertanda jembatan sudah dihancurkan,
dibumihanguskan juga. Ketika suara mitraliur kian menggencar tambah dekat, aku
turun dari sepeda, aku pikir, naik sepeda tidak ada gunanya. Ada sebuah warung
tukang menjahit yang pintunya masih terbuka. Warung milik anggota Ansor. Aku
titipkan sepedaku kepadanya, aku katakan kalau terjadi apa-apa jangan hiraukan
sepeda itu. Rumahku pun sudah aku ―tawakalkan‖ kepada Allah SWT, apalagi cuma
sepeda.
Baru beberapa langkah, kedengaran tembakan dari jarak dekat
sekali di belakangku. Kanan kiri rumah dan toko-toko Cina. Aku ingat cerita
‗Tao An Tui‖, tentara orang-orang Cina yang membela Belanda di mana-mana,
padahal ketika itu aku di tengah-tengah rumah dan toko- toko Cina. Aku segera
merogoh kantong jas hujanku, pistol FN aku genggam, entah siapa nanti yang
dulu, menembak atau ditembak. Aku masuk ke jalan kampung, dari lorong ke
lorong karena di belakangku dalam jarak beberapa puluh meter saja Belanda
telah berada di pusat kota. Aku menuju rumah orang tuaku di tepi kota untuk
melihat-lihat apakah masih ada anggota keluargaku yang belum mengungsi. Benar
juga, aku dapati pintunya belum terkunci, agaknya mereka sudah lari dengan
terburu-buru karena Belanda sudah memasuki kota. Aku masuk ke dalam rumah,
kiranya abangku Solichun masih ada di dalam.
―Mengapa belum pergi?‖ aku
menanya tergesa-gesa.
―Begini banyak kain batik terceceran, sedang saya
masukkan lemari,‖ jawabnya. Orang tuaku mempunyai perusahaan batik, agaknya
meninggalkan rumah dengan terburu-buru. Aku menemani Solichun dan membantunya
memasukkan beberapa ikat kain batik ke dalam lemari. Yang lain-lain aku
singkirkan di bawah kolong tempat tidur.
153
Kami
tinggalkan rumah, sambil memandang sejenak. Batinku berkata: Begini nasibnya
dunia. Akhirnya harta benda juga ditinggalkan begitu saja. Aku titipkan
keselamatan rumah kepada Allah SWT, aku tawakal kepada-Nya.
Suara
tembakan senapan maupun mitraliur semakin gencar dan dari jarak yang dekat
sekali. Belanda tentu telah di jalan besar yang cuma 100 m dari rumah orang
tuaku. Batinku mengatakan, tentu mereka masih tetap berada di atas mobil
pansernya. Dalam gerakan militer memasuki suatu kota, serdadu selamanya tetap
dalam kendaraan bajanya, belum berani turun dari kendaraannya.
Tembakan-tembakan itu hanya untuk membikin gentar dan takut penduduk. Sebab
itu, aku mengambil jalan dari rumah ke rumah, jalan menuju ke sungai. Belanda
toh belum akan membuntuti aku, dan aku bisa terlindung dari muntahan
peluru.
Aku percepat jalan karena hujan sekonyong-konyong turun membasahi
bumi.
Waktu sudah maghrib ketika aku tiba di Karangjati, tempat
keluargaku diungsikan. Hujan masih turun, bahkan tambah deras.
Sekonyong-konyong adikku Zainuddin memberitahukan bahwa anakku Fahmi terpisah
dari rombongannya. Agaknya ia ikut rombongan orang-orang yang hendak
meneruskan perjalanan ke daerah Yogya. Suasana panik dan begitu banyaknya
gelombang pengungsi menyebabkan Fahmi lepas dari pengawasannya.
Lemas aku
mendengar anakku tercecer. Beruntung aku bisa mengatasi emosiku. Hatiku kutata
dengan tenang. Aku ambil keputusan: sembahyang maghrib dulu. Nanti kami
bicarakan bagaimana mencari Fahmi. Aku sembahyang khusyuk sekali. Rasanya,
ketika itu aku sembahyang dengan sekhusyuk-khusyuknya selama ini. Aku mengadu
kepada Allah, begini banyak orang sengsara dengan tiba-tiba, begini biadabnya
Belanda yang menipu Republik dengan ―perundingan‖ untuk memalingkan perhatian
para pemimpin kita akan persiapan mereka menggempur Republik yang masih amat
muda ini.
Pukul 9 malam, aku berunding dengan teman-teman untuk mengatur
rombongan. Benar juga dugaanku, hampir semua orang ingin menyertai aku dalam
suatu rombongan. Mana bisa dalam siasat perang gerilya dengan rombongan besar?
Lagi pula nantinya tidak akan mengurusi perlawanan terhadap musuh, tetapi
disibukkan oleh urusannya orang-orang mengungsi. Aku tetapkan kerja kilat.
Rombongan besar kita pecah. Keluarga sekian ditempatkan di beberapa rumah
penduduk, sekian keluarga lagi ditempatkan di rumah- rumah penduduk yang lain.
Begitu seterusnya hingga rombongan kami sekitar 5 keluarga menuju ke tempat
tempat yang telah kami rencanakan. Mula-mula ke gunung Caok, lalu ke Ngarimun
bila keadaan mengharuskan.
Tiba-tiba seorang ―Hizbullah‖ datang melapor
dengan menuntun anakku Fahmi. Ia diketemukan dalam arus orang-orang yang malam
itu akan meneruskan ke daerah Yogya. Waktu ditanya mengapa anak itu sendirian,
jawabnya bahwa ia terpental dari rombongannya karena arus orang banyak. Ia
menerangkan identitasnya bahwa ia adalah anakku, segera saja anak ―Hizbullah‖
membawanya ke tempatku karena ia telah tahu di mana aku saat itu berada.
Seketika
itu juga aku sujud syukur untuk menyatakan syukur dan terima kasihku kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala karena pertolongan-Nya.
Aku usap kepalanya
sambil bersyukur. Terkenang dua tahun yang lalu ketika ia masih berumur 4
tahun. Ia ikut ibunya menghadiri Muktamar Nahdhatul Ulama di Purwokerto
naik
154
truk menempuh jarak 120 km sambil
kehujanan, hingga dalam muktamar anak kecil ini menderita influenza. Doaku,
semoga pengorbanannya tidak akan sia-sia.
Aku cuma 3 malam di Karangjati,
ternyata tidak aman. Jarak hanya 2 km dari kota Purworejo sungguh sangatlah
berbahaya. Belanda telah menguasai Gunung Menjangan, sebuah bukit di tepi kota
yang tangguh, dan dari sana Karangjati yang berada di kakinya amat mudah untuk
dimuntahi peluru mortir dan mitraliur. Selain itu, Belanda telah membebaskan
tahanan-tahanan PKI dari penjara, dan begitu banyaknya mata-mata musuh yang
tersebar di tempat pengungsian, dengan sendirinya merupakan ancaman
keselamatan kami. Aku tidak bisa berada di tengah-tengah pengungsi yang begitu
banyaknya.
Datanglah seorang ―Hizbullah‖ bernama Abdulkadir yang aku
sudah lama kenal, ia nyaris ditangkap rakyat karena roman mukanya memang mirip
seorang Belanda Indo. Ia menceritakan bahwa ia ditangkap Belanda dan dipukuli,
karena Belanda tahu ia anggota
―Hizbullah‖. Ditanyai di mana aku berada
serta nama-nama dari teman-temanku 20 orang. Ia menyatakan tidak tahu, ia
dipukuli terus. Ia mendapat akal, bahwa ia sebenarnya tahu di mana aku berada,
karena itu minta diizinkan akan mencariku, dan bila telah menemui di mana
persisnya aku berada, ia akan datang lagi melaporkan kepada Belanda. Ia
dilepaskan, lalu datang mencariku dan menemuiku di Karangjati. Ia menganjurkan
bahwa sebaiknya aku meninggalkan Karangjati mencari tempat yang lebih aman.
Malam
itu aku tak bisa meninggalkan Karangjati. Malam buta dengan 25 orang di
antaranya para wanita dan anak-anak, melalui tebing yang curam karena hujan
dan menyeberangi sungai yang banjir, tentu tidaklah mungkin. Jika berjalan
menggunakan penerangan lampu, kecuali akan membangkitkan keinginan para
pengungsi untuk menyertai aku, juga bisa ketahuan pos Belanda di jalan besar
yang hanya 800 m jauhnya. Aku tangguhkan hingga habis sembahyang subuh esok
harinya.
Semalaman aku tak bisa tidur. Badan amat letih dan kepalaku
penat sekali. Di malam yang dingin dan gelap, aku sembahyang hajat, sembahyang
untuk mohon sesuatu kepada Allah SWT. Entah berapa kali rakaat demi rakaat aku
selesaikan, namun aku tak puas-puasnya. Pikiran ini melayang ke mana-mana.
Pada sujud yang terakhir, aku tak kuat menahan rasa iba di dada penuh haru
dengan peristiwa yang baru aku alami. Tak kuasa aku menahan tangisku, aku
melolong mengadukan halku kepada Tuhan Seru Sekalian Alam. Istriku dan
beberapa orang terbangun dari tidurnya, mereka menanyakan apa yang terjadi.
Abangku, Kiai Abu, menyalakan lampu. Aku masih dalam sujud dan isakku belum
reda.
―Jangan ganggu dia! dia ini sedang munajat kepada Allah!‖ seru Kiai
Abu dan menenangkan orang-orang yang gaduh. Aku habisi sembahyangku, tetapi
aku masih duduk sehabis salam. Aku masih menundukkan kepalaku sambil isakku
mulai reda. Aku adukan kepada Allah SWT begitu banyak orang-orang yang
sengsara, dibuat menderita secara tiba-tiba. Orang- orang ini menyelamatkan
diri dalam keadaan daif sekali, wanita-wanita, orang-orang jompo, dan
anak-anak. Rumah dan harta bendanya yang mereka kumpulkan sekian lama mereka
tinggalkan, mereka tinggalkan begitu saja. Mereka sangat mencintai Republik
yang masih muda ini dan sebab itu, mereka tidak sudi hidup dalam kekuasaan
Belanda. Ya, Tuhan! bukankah ini suatu pengorbanan amat mulia? Tapi kalau
keadaan begini berlarut-larut hingga berjalan lama, apakah orang-orang ini
memiliki ketahanan dan ketabahan? Lalu bagaimana nasib perjuangan yang suci
ini?
Pagi harinya, ketika matahari mulai merekahkan sinar hidup
membentang di cakrawala yang panjang, aku dan rombongan 25 orang telah tiba di
Ngrimun.
155
Suatu gunung penuh hutan dikelilingi
oleh tebing-tebing yang curam. Rumah-rumah penduduk tidak lebih dari 10 buah,
satu dan lain terpisah oleh jarak yang orang hanya sanggup mendengar bila kita
teriak dengan suara nyaring. Tak ada sawah tak ada padang, cuma hutan dan
kayu-kayuan dan pohon aren yang dipetik kolang-kalingnya setahun sekali.
Penduduk bisa menebang pohon aren untuk diambil pati gelangnya, dijual ke
pasar Purworejo atau Loano untuk dibelikan beras. Tetapi sejak 4 hari Belanda
menduduki kota- kota, pasar-pasar mati seketika. Sebab itu, hasil pati
gelangnya menjadi makanan pokok penduduk sejak itu.
Kiai Haji Idris
menerima kedatangan kami dengan amat gembira. Beliau sudah berusia lanjut, 100
tahun kurang lebih, tetapi panca indranya masih berfungsi dengan baik. Kami
ditempatkan di langgarnya yang sudah tua, dan orang-orang perempuan di
rumahnya.
―Beberapa hari yang lalu, saya bermimpi ketemu dengan guru saya
ketika di Makah hampir 70 tahun yang lampau. Dalam mimpi itu, guru saya
memberikan sehelai kain sarung yang baik sekali sambil pesannya agar aku
menerimanya dengan baik-baik,‖ kata Kiai Idris sambil menundukkan
kepalanya.
―Apa arti ta‘bir mimpi itu, Mbah?‖ aku memberanikan diri
bertanya.
―Arti ta‘birnya?... Nah, sekarang ini, kedatangan Tuan-Tuan
kemari...!‖ jawabnya sambil membagi senyumnya kepada kami semua.
Kami
semua merasa sangat bahagia dapat menjumpai seorang ulama yang begitu lanjut
usianya. Orang macam begini tentu tidak bergelimang dengan dosa dalam
hidupnya, sehari- harian hanya mujahadah kepada Allah SWT. Pakaian hanya
selembar sarung dengan baju Jawa dari kain mori yang tak berleher, dan kopiah
putih di atas kepalanya. Makanan? Hanya apa yang ada di sekitarnya.
Sambil
bersantap pagi, sarapan dodol gelang dengan teh panas dan gula Jawa, kami
berbincang-bincang dari hal keselamatan kami sampai kepada suasana diusir
Belanda dari kota.
―Saya senang sekali Tuan-Tuan ada di sini, saya jadi
tidak kesepian. Tapi maaf seribu maaf, di sini di gunung yang sepi, sangat
jauh bedanya dengan di kota, seperti bumi dengan langit,‖ kata Kiai Idris.
―Kami
sangat berterima kasih karena Mbah sudi menerima kedatangan kami yang ngrepoti
ini,‖ sambung Kiai Muhammad, orang yang paling tua dari rombongan kami.
―Ooh,
sama sekali tidak ngrepoti saya. Tuan-Tuan tidak merepoti apa-apa, malah saya
yang sangat berterima kasih bahwa tuan-tuan sudi kemari,‖ jawab Kiai Idris.
―Kami
datang seperti perampok saja, Mbah. Datang-datang minta makan, lagi pula
pakaian kami aneh-aneh begini,‖ kata Kiai Jamil, orangnya berwatak keras
tetapi penuh tanggung jawab. Bekerja serba cekatan.
―Akh tidak! Tuan-Tuan
adalah pemimpin saya, sedang dalam perjuangan yang berat. Teringat saya ketika
masih kecil ikut ayah berlari-lari dikejar dan mengejar Belanda. Ayah termasuk
prajurit Pangeran Diponegoro, murid Kiai Imam Rafi‘i, pemimpin pesantren
Bagelen yang menjadi mertua Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro
dan Kiai Imam Rafi‘i ditangkap Belanda, ayah bersama santri-santri yang lain,
semuanya prajurit Diponegoro meneruskan perjuangannya, ngraman terhadap
Belanda di mana-mana. Ketika itu saya ikut ayah, berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat yang lain. Akhirnya saya
156
menetap di
Ngrimun sini. Ooh Allah, andaikata saya masih muda, saya pasti akan menyertai
Tuan-Tuan meneruskan perjuangan ayah saya yang belum selesai...!‖ Kiai Idris
menundukkan kepalanya, air matanya berlinang-linang. Kami semuanya diam,
diliputi suasana haru.
―Jadi Mbah bukan orang asli sini?‖ Kiai Jamil
membuka percakapan kembali.
―Bukan! Saya berasal dari Bagelen, tapal
batas Purworejo-Yogya,‖ jawabnya, ―Ya, tetapi di mana-mana bumi Allah juga.
Itu rumah-rumah,‖ sambil menunjuk beberapa rumah di kanan kiri dalam jarak
yang cakup jauh antara yang satu dengan lainnya ―adalah rumah anak cucu
saya!‖
―Mbah, kami sekali lagi mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan Mbah. Tetapi maafkan, kami cuma sementara saja di sini, kami masih
akan meneruskan perjalanan. Kami mohon do‘a Mbah, semoga kami dilindungi Allah
dan perjuangan kita diberkahi oleh-Nya,‖ aku mengalihkan percakapan.
―Saya
sebenarnya senang sekali Tuan-Tuan ada di sini. Tetapi saya juga memaklumi,
Tuan- Tuan bukan sekedar orang mengungsi. Tuan-Tuan adalah pemimpin-pemimpin
kami, memimpin perjuangan yang sangat berat ini. Dan di tempat ini memang
tidak cocok untuk medan perjuangan.
Di sini cuma cocok untuk tempat
sembunyi. Sebab itu, walaupun hati saya sangat berat berpisah dengan
tuan-tuan, tetapi saya merasa sangat berbahagia dapat menolong orang- orang
yang sedang melakukan Jihad Sabilillah!‖ jawab Kiai Idris.
―Jangan
lupakan kami, Mbah, mohon doa selalu tiap sembahyang!‖ sela Kiai Muhammad.
―Insya
Allah saya tak akan pernah melupakan Tuan-Tuan. Nama Tuan-Tuan telah lama saya
kenal lewat Kiai Abu, dan hati saya merasa telah menjadi satu dengan
Tuan-Tuan,‖ Kiai Idris berhenti sebentar, lalu sambungnya, ―tidak cuma tiap
sembahyang, tetapi tiap ingat Insya Allah selalu akan mendoakan tuan-tuan.‖
Hingga di sini Kiai Idris berhenti, beliau mengusap air matanya dengan ujung
sarungnya yang mulai membasahi pipinya. Lalu sambungnya:
―Umur saya sudah
terlalu tua, saya sudah kenyang dengan hidup. Rasanya hidup ini cuma menambah
dosa saja. Aku tak bisa berjuang, tak bisa ke mana-mana. Orang lain pada
berjuang, saya cuma duduk-duduk saja di sini, menambah dosa!‖ kata Kiai
Idris.
―Dosa Mbah Insya Allah diampuni Allah,‖ sahut Kiai Muhammad,
―pengakuan seseorang tentang dosanya telah diampuni Allah. Lagi pula, Allah
SWT tidak membebani manusia secara taklif, memaksakan diri. Manusia disuruh
beramal bi qadri al-imkan, sekedar kemampuannya. Apa yang dilakukan Mbah
benar-benar sesuai dengan bi qadri al-imkan."
―Saya minta do‘a Tuan-Tuan.
Jika sewaktu-waktu saya dipundut Allah pulang ke rahmatillah, supaya tetap
dalam iman, Islam, dan husnulkhatimah,‖ kata Kiai Idris. Beliau minta di
antara kami membacakan do‘a, tetapi tak ada seorang pun di antara kami yang
bersedia. Kami meminta beliau yang membaca do‘a. Beliau tidak mau, tetapi
setelah kami desak, akhirnya bersedia membacakan buat kita semua.
Rombongan
kami meninggalkan Ngrimun setelah dua malam berada di sana. Melalui jalan
gunung, hutan belukar, dan menyusuri tebing-tebing, akhirnya kami tiba di desa
Tridadi, di mana TNI menjadikannya markas pertempuran.
157
Tentu
tidak bijaksana kalau kami berada di sana, kami harus mencari tempat lain,
karena siasat berpencar dalam suatu perang gerilya sangatlah perlu.
Rombongan
kami telah dikurangi satu keluarga, tinggal 20 orang saja termasuk wanita-
wanita dan anak-anak. Kami tiba di Cacaban setelah menyeberangi sungai dan
melewati bukit-bukit Daerah ini sangat tandus, tak ada beras. Makanan pokok
penduduk cuma tepung gelang, gula aren, dan kelapa. Hari-hari hanya makan
itu-itu juga. Untuk menambah kalori terutama untuk anak-anak, kami membeli
dari penduduk barang beberapa puluh butir telur ayam. Bukan main susahnya
rokok, sudah 3 hari persediaan rokok kami habis. Kami tentu tak bisa bertahan
lama-lama di daerah ini, kami tinggalkan Cacaban meneruskan perjalanan.
Kami
akan menuju daerah tapal batas Purworejo-Magelang-Wonosobo, tetapi karena
datang dari jurusan sebelah Timur, kami harus membelok ke Barat dan Utara. Ini
harus menyeberangi sebuah jalan raya yang dikuasai Belanda.
Abdulkadir
dan Huseini yang menyusul kemudian, aku perintahkan untuk berjalan di muka
melakukan tugas penyelidikan sampai di mana kemungkinan menyeberangi jalan
raya. Alhamdulillah, jalan sedang sepi, dan ketika rombongan kami melintasi
jalan raya yang angker ini, tak satu pun ―setan‖ yang tampak. Kami selamat
memasuki daerah Republik kembali.
Lepas ashar, kami tiba di desa
Kalijambe. Desa itu seperti dalam keadaan damai saja. Rumah besar-besar;
masjidnya pun bersih, sawah-sawah terbentang di mana-mana sejauh mata
memandang. Dan, Kiai Zayadi sedang menanti kedatangan kami. Kami semua mandi
di sungai yang airnya jernih sekali. Lepas mandi aku memasuki masjid yang
sudah mulai penuh dengan jama‘ah untuk sembahyang maghrib. Aku mengambil
kesempatan untuk memberikan sedikit penerangan tentang situasi dewasa itu dan
petunjuk-petunjuk yang penting. Beberapa pemuda menyanggupi untuk memindahkan
satu regu ―Hizbullah‖ yang semula aku tugaskan untuk mengawal Ngrimun,
dipindahkan ke Kalijambe. Biarlah mereka bisa istirahat dan sekedar makan
kenyang-kenyang. Di Kalijambe banyak sekali pemuda, tetapi juga banyak beras
dan ikan mujahir.
Tujuan kami bukan Kalijambe, karena itu, hanya dua
malam kami berada di daerah yang tenang dan makmur ini. Kami melanjutkan
perjalanan ke arah Utara, memasuki daerah Wonosobo.
Kami masih harus
menempuh jarak 12 km, melalui gunung-gunung dan harus menyeberangi sungai demi
sungai. Kami menghindari jalan umum karena khawatir menemui patroli Belanda.
Dalam pada itu, kami juga harus waspada terhadap pelarian sisa-sisa pasukan
PKI yang dikejar-kejar TNI, mereka menyelusup memasuki daerah-daerah pedalaman
yang jauh.
Waktu dzuhur di tengah jalan, kami menjumpai anak-anak
―Siliwangi‖ dari salah satu batalion yang sedang dalam perjalanan memasuki
Jawa Barat. Dengan salah seorang perwiranya aku mengadakan perundingan
sebentar mengenai situasi dan tugas masing- masing. Ia menyampaikan
pesan-pesan untuk Letkol Sarbini dan Letkol A. Yani, dan aku sanggupi jika aku
telah bersua dengan mereka.
Setelah 11 hari meninggalkan kota, menjelang
maghrib, kami tiba di desa Magersari, suatu pos pertama sebelum kami menuju ke
desa Sigedong, tujuan sementara kami. Tetapi jalan terhalang oleh sungai yang
sedang banjir. Jembatan tidak ada, dan cuaca mulai gelap.
158
Daripada
harus bermalam di suatu lapangan di bukit yang tandus, lebih baik kami
menyeberangi sungai yang sedang banjir. Kami, 7 orang laki-laki merupakan
pagar betis di sungai, lalu orang-orang perempuan dan anak-anak diseberangkan
dengan memegang tangan kami yang telah kami ulurkan menjadi rantai-rantai.
Dengan amat susah payah, akhirnya selamatlah kami tiba di seberang sana.
Alhamdulillah, bukan main rasa lega dan bahagia.
Dengan perantaraan
seorang pemuda, kami diantarkan ke langgar yang dekat. Kami tiba di langgar
yang panggungnya dalam keadaan sunyi dan gelap. Kami merebahkan diri karena
sangat letih. Semua tertidur, kecuali aku dan Abdulkadir yang jaga. Aku
tanyakan kepada pemuda yang mengantarkan kami, siapa nama kiai di situ, dan
minta tolong disampaikan kepadanya bahwa ada tetamu datang. Aku beritahukan
namaku.
― Wa'alaikum as-salam, ahlan, ahlan marhaban... l‘
Kiai
Suhrowardi datang menghampiri kami dengan membawa lampu petromaks.
Setelah
saling menanyakan kabar keselamatan masing-masing, beliau minta permisi
sebentar. Hampir 20 menit kami ditinggalkan sendirian. Aku dan Abdulkadir
menyelesaikan sembahyang maghrib yang sudah akhir, sementara itu mulut ini
terasa kecut sekali karena sejak siang tadi tidak merokok. Rokok sudah ludes
sejak siang. Aku merebahkan badan karena letih sekali, dan Abdulkadir aku
tugaskan tetap berjaga jika terjadi sesuatu.
Tiba-tiba keluarlah dari
rumah Kiai Suhrowardi orang-orang perempuan dan pemuda- pemuda sambil membawa
baki-baki yang terisi penuh, diiringkan oleh Kiai dan Ibu Nyai. Kiranya
singkong rebus yang masih panas, ubi rebus, gula Jawa, dan kopi panas. Orang-
orang yang tertidur aku bangunkan semua. Bukan main girangnya, mereka makan
rebusan singkong dan ubi dengan lahap sekali.
Rupanya segala singkong dan
ubi rebus itu cuma mukadimah saja, tak lama kemudian datanglah hidangan nasi
putih masih panas, gulai kambing, ayam goreng, dan kami dipersilahkan
mencicipi oleh Kiai Suhrowardi.
―Kiai, kami bukannya sekedar mau
mencicipi, tapi akan kami gempur sampai ludes!‖ kata Kiai Jamil. Orangnya
memang lucu. Semua tertawa riuh.
Malam itu kami pesta besar. Bukan main
nikmatnya!
Orang-orang perempuan dan anak-anak dibawa Ibu Nyai ke rumah,
dan kami yang laki-laki semuanya dipersilakan di langgar. Langgar itu kokoh
sekali, terbuat seluruhnya dari kayu jati, dibikin panggung. Lantainya juga
dari kayu dan licin sekali. Lepas sembahyang isya, kami ber-cakap-cakap dengan
Kiai Suhrowardi.
―Saya memang telah menyuruh anak-anak santri yang
menjadi ―Hizbullah‖ di sini, agar mencari dan menjemput Bapak-Bapak kemari.
Sudah 1 minggu ini mereka belum pulang. Memang saya suruh agar mencari sampai
dapat,‖ kata Kiai Suhrowardi.
―Tak usah dijemput kami pasti kemari, insya
Allah. Itu kan sudah kita bicarakan sejak lama!‖ kataku menjawab.
―Saya
minta Bapak-Bapak ini tak usah ke Sigedong. Di sana sekarang dijadikan markas
TNI. Lebih baik di sini saja. Lagi pula, banyak gutekan yang kosong karena
para santri pada pulang setelah Belanda menyerbu ke kota-kota. Bapak-bapak
bisa menempati gutekan-
159
gutekan itu. Besok
saya akan mengerahkan orang-orang desa untuk membersihkannya dan memperbaiki
di mana perlu,‖ Kiai Suhrowardi mengusulkan.
―Kami ini datang bukan untuk
mondok, untuk nyantri. Kami akan menjadikan Sigedong sekedar tempat untuk
menitipkan keluarga. Kami yang laki-kali ini tentu tidak akan tinggal di rumah
terus-terusan, kami tentu harus mobil, jalan dengan gerak cepat. Ini perang
gerilya, Kiai, kita harus mengamankan dulu keluarga kita, lalu kita teruskan
perjuangan!‖ jawabku.
‗Apa salahnya di sini, di sini aman, daripada di
Sigedong?‖ Kiai masih tetap dengan usulnya yang semula.
―Di sini memang
tepat untuk mengumpet, untuk sembunyi. Tempatnya aman, ada makanan, ada Kiai
Suhrowardi, dan tempat ini terpencil di gunung. Tetapi untuk perjuangan dan
untuk hubungan kesana-kemari terlalu jauh, tidak bisa untuk gerak cepat,‖
jawabku meyakinkan.
―Nanti siapa tahu, sesekali kami juga kemari, kami
kan mobil terus!‖ jawab Solichun.
―Ya, sudah kalau begitu!‖ jawab Kiai
Suhrowardi, ―Kami diberi tugas apa?‖
―Nanti akan banyak tugas. Kami akan
kumpulkan dulu para kiai di daerah Kedu ini. Aku akan menetapkan Sigedong
karena letaknya di tengah-tengah dan mudah dicapai dari mana- mana. Dari
Magelang, Purworejo, Temanggung, dan Wonosobo serta Kebumen mudah mencapainya.
Lagi pula, daerah itu aman sekali, dikelilingi oleh bukit-bukit lagi, tanahnya
subur penuh bahan makanan. Itu semua syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu
perang gerilya,‖ jawabku menenteramkan hatinya.
―Jadi apa tugas saya?‖
Kiai Suhrowardi mendesak.
―Besok pagi kita ke Sigedong. Kita kumpulkan
dulu Kiai Sabilan, Kiai Idris Sepuran, Kiai Subandi, kita bicarakan
penyelenggaraan pertemuan ulama. Aku juga akan menemui markas TNI di sana
untuk mencari hubungan dengan Bambang Sugeng, Gubernur Militer!‖ Aku
menerangkan.
―Di Sigedong itu, kalau memang di sana ada markas TNI, aku
akan bisa mencari keterangan di mana Pak Sarbini dan Pak A. Yani berada,‖ aku
menambahkan.
Malam itu, hingga jauh malam kami berbincang-bincang
mengenai macam-macam hal, diselingi oleh gelak tawa karena Kiai Jamil terus
bercanda. Beruntung juga rombongan kami. Ada ulama yang alim, Kiai Muhammad.
Ada pemuda yang ringan kaki, Abdulkadir. Ada pemimpin pasukan ―Hizbullah,‖
Solichun, dan ada orang yang ―radikal‖ tetapi lucu, Kiai Jamil.
Ketika
orang-orang tengah asyik bercanda, aku merebahkan badanku yang amat letih.
Kiai Suhrowardi menawari aku hendak dibikinkan kopi panas lagi, tetapi aku
menolaknya, lebih baik memberikan aku bantal saja. Aku ngantuk sekali.
***
Lepas
sembahyang subuh, aku tugaskan Solichun dan Huseini untuk mencari Saroso dan
Sonwani, keduanya pemimpin pasukan ―Hizbullah‖ Magelang. Bisa dikerahkan
tenaga
―Hizbullah‖ yang aku tinggalkan di Kalijambe untuk membantunya.
Juga pasukan ―Hizbullah‖ Wonosobo. Keadaan sudah memungkinkan untuk menghimpun
kembali pasukan yang terserak-serak. Aku sudah perhitungkan, dalam waktu 1
bulan mereka sudah mulai bisa dihimpun kembali dan mulai mengatur tugas
masing-masing
160
Setelah dua minggu meninggalkan kota,
kami sudah sampai di daerah tujuan. Sebuah daerah di kaki Gunung Sumbing,
daerah pertanian yang subur, dikelilingi oleh bukit-bukit yang hijau dengan
sungai-sungainya yang jernih. Rombongan kami dipecah menjadi dua grup, satu
ditempatkan di desa Sigedong, aku dan tiga orang anggota Majelis Konsul
Nahdhatul Ulama di desa Kapuloga. Dua desa ini terpisah oleh jarak hanya 1 km.
Terletak di perbatasan antara Kecamatan Kepil daerah Wonosobo yang di selatan
dengan Kecamatan Bener masuk daerah Purworejo yang paling utara. Sebenarnya
tidak jauh dari kota Purworejo, sekitar 14 km saja.
Gubernur Militer Jawa
Tengah berkedudukan di sini. Staf Penghubungnya dipimpin oleh Mayor Ashari,
perwira penerangan Divisi Diponegoro, dengan siapa aku mengadakan hubungan dan
tukar-menukar informasi.
Dalam waktu 1 bulan, aku telah dapat menghimpun
kembali pasukan-pasukan ―Hizbullah‖ yang dipimpin oleh Saroso, Sonwani,
Burhani, Solichun, dan menyusul kemudian pasukan yang dipimpin Nuch.
Masing-masing kesatuan ―Hizbullah‖ dari Magelang, Wonosobo, Kebumen,
Purworejo, dan Temanggung. Dengan demikian, pekerjaan sudah bisa dimulai.
Terbentuklah
pimpinan inti Majelis Konsul Nahdhatul Ulama dengan tenaga-tenaga ulama: Kiai
Muhammad, Kiai Jamil, Kiai Idris, Kiai Baidlowi, dan dibantu oleh ulama-ulama
daerah Wonosobo.
Pada suatu hari datanglah seorang pemuda, Yusuf namanya.
Ia berasal dari Lampung, tetapi lama menjadi santri di Tebuireng. Ia datang
dengan membawa sepucuk surat dari KH.A. Wahid Hasyim. Entah dari mana K.H.A.
Wahid Hasyim ini mengetahui bahwa aku berada di kaki gunung Sumbing. Isi
suratnya memberi petunjuk apa yang harus aku lakukan setelah selesai menata
keluarga dalam pengungsian. Disebutkan dalam surat itu bahwa Bung Karno-Hatta,
Syahrir, H. Agus Salim, dan lain-lain pemimpin Republik Indonesia telah
ditawan Belanda dan diasingkan di pulau Bangka. Pimpinan pemerintahan darurat
dipercayakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera. Dan
pimpinan perjuangan bersenjata langsung dipegang oleh Pak Dirman, Panglima
Besar. K.H. A. Wahid Hasyim menyebutkan pula bahwa beliau tidak menetap di
suatu tempat, tetapi berpindah- pindah dari satu daerah ke daerah lain,
merencanakan juga hendak mengunjungi daerah gerilya di Jawa Tengah.
Suatu
malam tanggal 9 Januari 1949, aku menyelenggarakan Pertemuan Ulama di salah
satu tempat di kaki gunung Sumbing. Delapan puluh lima orang ulama hadir.
Setelah aku memberikan penerangan mengenai situasi dewasa itu, para ulama
menetapkan kebulatannya untuk mengadakan gerakan rohani:
1.
Bersama-sama umat Islam melakukan puasa yaumal-baidh, puasa sunat tiap tanggal
13,14, dan 15 bulan Islam.
2. Mengadakan gerakan Salat
Hajat dan Amal Saleh.
3. Melaraskan hidup prihatin
dalam suasana jihad.
4. Membantu pemerintah militer
setempat dalam aksi perang gerilya.
Ketika aku sedang memimpin pertemuan
ulama, datanglah Bukhari dan Yogya. Ia dari pucuk pimpinan Gerakan Pemuda
Islam Indonesia. Kedatangannya membawa pesan dari Kiai Masykur, Menteri Agama,
yang ketika itu berada di luar Yogya. Juga membawa pesan
161
dari
Dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri, agar perjuangan diperhebat. Bukhari hanya
semalam di kaki gunung Sumbing, ia meneruskan perjalanan menuju kota
Jakarta.
Datanglah suatu musibah pada suatu hari. Usman Pujotomo gugur di
salah satu daerah gerilya ketika menyeberangi sungai yang sedang banjir. Ia
ketua ―Masyumi‖ daerah Kedu yang sedang dikejar-kejar Belanda. Karena aku
wakil ketuanya, maka atas persetujuan teman-teman dan dukungan para ulama, aku
mengambil alih pimpinan ―Masyumi‖ daerah Kedu. Satu lagi tambah jabatanku.
Segera aku laporkan kepada Dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri, yang juga ketua
―Masyumi‖ pusat.
Hari-hari tidak bisa menetap dalam suatu tempat. Tugas
membagi-bagi pekerjaan di antara pasukan-pasukan ―Hizbullah‖ dalam daerah
gerilya yang sulit jalan perhubungannya menyebabkan harus pergi berjalan kaki
berpuluh kilometer tiap harinya. Jika malam telah tiba, melakukan tugas
penerangan dan dakwah di masjid-masjid yang aku jumpai, siang hari meneruskan
perjalanan melalui pos-pos yang sudah terbentuk.
Daerah ini menjadi
sangat penting di mata Belanda, mereka tahu bahwa Gubernur Militer Republik
berkedudukan di sini. Hampir tiap 3 hari melayang-layang pesawat-pesawat
pengintai, dan kadang-kadang memuntahkan peluru senapan mesinnya.
Tak
disangka-sangka, Pak M. Sarbini, komandan resimen dan pimpinan komando
pertempuran mengambil desa Kapulogo, di mana keluargaku diam di sana, menjadi
kedudukan markasnya. Dengan itu, kami sering berjumpa dan bertukar pikiran.
Tidak jarang malam-malam saling bergantian menjadi juru dakwah.
Menjelang
pertengahan bulan Januari 1949, datang pengangkatanku dari Menteri Agama,
menjadi Kepala Kantor Agama Jawa Tengah dalam daerah gerilya. Bertambah lagi
jabatan ini, mula-mula aku menolaknya dengan alasan sudah menumpuk macam-macam
jabatan di daerah yang serba sulit ini. Mana buat memikirkan mencari duit
untuk makan anak dan istriku. Istriku dan beberapa wanita melakukan tugas
jualan di pasar-pasar daerah gerilya, tiap subuh menuju ke pasar yang jauhnya
lebih dari 10 km dengan berjalan kaki. Sore mereka baru pulang, kadang-kadang
hingga petang, karena tertahan oleh serangan musuh yang sedang mengadakan
patroli.
Tetapi karena desakan para ulama, jabatan Kepala Kantor Agama
itu akhirnya aku terima.
Suatu hari diawal tahun 1949, aku dan dua orang
teman mencari kediaman Menteri Agama, yang konon berada di desa Brosot di luar
kota Yogya. Ya, tetapi di mana Brosot itu? Untuk lebih mendekati kota, tempat
kediaman kami berpindah ke desa Bener. Aku menumpang di rumah Kiai Mukhlas
yang memimpin sebuah madrasah.
Tiga hari berjalan di daerah gerilya dan
harus melintasi daerah musuh dan jalan-jalan raya yang dikuasai Belanda,
akhirnya ketemu juga dengan Menteri Agama KH. Masykur. Beliau sudah pindah
dari Brosot, di suatu desa yang terpencil di pedalaman Yogya. Beliau ditemani
oleh Mr. Sunaryo, Sekretaris Jenderal. Dua orang temanku kecuali untuk tugas
pengawalan, juga untuk menggendong dua onggokan uang Republik yang entah
berapa juta rupiah nilainya. Uang itu adalah hasil setoran N.T.R. dari
kantor-kantor Agama.
Kedatanganku disambut gembira oleh Menteri Agama,
Sekretaris Jenderal dengan dibantu orang lain menghitung jumlah uang yang aku
setorkan.
―Saudara sudah ambil bagian untuk Saudara?‖ KH. Masykur
menanya.
―Belum! Dan aku tidak tahu kalau mendapat bagian,‖ jawabku.
162
―Mesti
dapat dong!‖ kata KH. Masykur, ―Saudara dan pembantu saudara kan perlu duit!
Kecuali kalau tidak memerlukannya. ..!‖ katanya.
―Ya perlu banget. Kami
kan bukan malaikat, dari mana buat makan anak istri?‖ jawabku berseloroh.
―Saudara
ini wali! Begini banyak uang Saudara bawa semuanya kemari menambah beban dalam
perjalanan jauh. Saudara kan bisa mengambil dulu berapa diperlukan. Dengan
demikian, bawaan jadi bertambah ringan dalam perjalanan!‖ kata KH. Masykur.
―Saudara
bisa ambil saja berapa mau, jadi tak usah dibawa semua kemari. Asal ada surat
bon!‖ Mr. Sunaryo menyela.
―Saya wali?‖ jawabku, ―calon wali, sebab aku
juga mempunyai anak perempuan, kelak jadi wali. Aku tak berani mengambil uang
ini, aku takut kualat, ini uang negara!‖ jawabku ringkas.
Dua malam aku
di kediaman K.H. Masykur. Masing-masing menceritakan pengalaman kami. Dalam
pada itu, Menteri Agama memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana membentuk
kantor-kantor agama di daerah Republik ini.
―Kemarin datang seorang kurir
dari Jawa Timur, menyebutkan bahwa K.H.A. Wahid Hasyim sedang menuju kemari.
Sebab itu, saya tidak bisa meninggalkan daerah ini sampai beliau datang,‖ kata
K.H. Masykur.
―Sebelas bulan yang lalu kurir beliau telah mengunjungi
aku, membawa pesan-pesan perjuangan. Orang ini memang hebat, tahu saja apa
yang harus kita kerjakan. Tahu pula di mana kita berada!‖ jawabku.
―Beliau
ini tepat untuk menjadi kepala intelejen!‖ sambung K.H. Masykur. Kami semua
ketawa.
―Saya mendapat laporan bahwa di seluruh Jawa Timur, Tengah, dan
Barat, para ulama memperhebat gerakan batin. Di mana-mana orang berpuasa sunat
dan mujahadah kepada Allah SWT untuk memohon kemenangan dalam perjuangan ini.
Sejak menghadapi agresi Belanda, lalu pemberontakan PKI di Madiun, lalu
sekarang, para ulama kita tak putus- putusnya melakukan gerakan batin,‖ kata
K.H. Masykur.
―Kalau sudah demikian, insya Allah pastilah Belanda akan
gulung tikar. Apalagi sekarang Dewan Keamanan telah mengutuk serbuan Belanda
ini. Bahkan memerintahkan Belanda mengembalikan daerah Republik kepada kita
kembali,‖ sela Mr. Sunaryo.
―Bagaimana anak-anak ―Hizbullah-Sabilillah?‖
tanya K.H. Masykur.
―Kalau dulu kami cuma bertahan, kini di mana-mana
kita menyerang Belanda. Banyak juga korban mereka, walaupun dari kita juga
cukup banyak!‖ jawabku.
Kami meneruskan percakapan mengenai macam-macam
hal, juga disinggungnya tentang kewaspadaan terhadap orang-orang PKI yang
mengacau di daerah Republik.
Ketika aku akan meninggalkan tempat kediaman
KH. Masykur, Sekretaris Jenderal, Mr. Sunaryo, menyerahkan setumpuk uang
kepadaku untuk honorarium dan biaya jawatan dalam daerah gerilya. Uang
bagianku, sebagian aku belikan beras, lauk pauk, dan pakaian anak-anakku.
Dalam perjalanan kembali ke daerah kaki gunung Sumbing jadi berat juga dengan
barang bawaan ini. Ketika berangkat diberati oleh dengan membawa uang,
pulangnya diberati oleh barang-barang ini. Serba susah saja!
163
Sewaktu
hendak melintasi jalan raya Purworejo-Magelang, aku melihat asap bergulung-
gulung mengepul ke udara arah pinggiran kota Purworejo Aku tanyakan kepada
salah seorang yang sedang berada di pos penjagaan TNI. Diberitahukan bahwa
asap itu adalah api kebakaran rumah-rumah di desa Baledono, kampungku.
Mendengar nama kampungku disebut, aku menanyakan, rumah-rumah siapa yang
dibakar Belanda? Dijawab, rumah salah seorang pemimpin ―Hizbullah,‖ ia
menyebut namaku, karena Belanda tahu bahwa rumah itu sering disinggahi
pemimpin-pemimpin dari Yogya.
Aku pandang lebih lama asap api yang
mengepul hitam itu. Aku kenangkan nasib rumah orang tuaku yang berderet-deret,
beberapa rumah pamanku, kemenakanku, dan abangku. Pastilah semuanya telah
menjadi abu. Yah, beginilah risiko berjuang. Jangankan rumah, Republik kita
ini sudah dibakar dan diobrak-abrik Belanda. Sambil berjalan, aku mendo‘a,
sekiranya masih ada umur panjang, perkenankan ya Tuhan, kelak kami bisa
membangun rumah baru di atas puing-puing reruntuhan. Kami memerlukan
perumahan, ya Tuhan, perumahan kecil tempat kediaman kami dan perumahan besar
ialah Republik Indonesia!
***
Bulan Mei 1949, Jenderal Spoor,
panglima besar Belanda tewas dalam ―kecelakaan‖ pesawat terbang. Kaum Republik
mengatakan bahwa kecelakaan itu karena pesawatnya ditembak kaum gerilya.
Kegiatan
diplomasi di Dewan Keamanan menghasilkan keputusan agar Belanda meninggalkan
seluruh daerah Republik Indonesia. Kemenangan di medan diplomasi ini tak
mungkin tercapai jika tidak karena semakin menghebatnya perlawanan kaum
Republik terhadap aksi militer Belanda. Taktik perang gerilya membawa
kemenangan.
Yang sudah pasti adalah karena pertolongan Allah SWT. Aku
menundukkan kepala, bahwa tidaklah percuma umat Islam melakukan gerakan puasa
sunat terus-menerus, tidaklah sia- sia gerakan batin yang menghebat dilakukan
oleh para alim ulama di mana-mana, baik di daerah gerilya maupun di daerah
pendudukan Belanda sendiri. Apalah artinya perlawanan militer dan diplomasi
jika tidak mendapat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta‗ala? Biasa sifat
sementara manusia, di saat menderita kesulitan yang bertumpuk-tumpuk, mereka
bersujud memohon pertolongan Allah, saat demi saat cuma mengenang Allah.
Tetapi bila penderitaan dan kesulitan telah terhalau karena sifat Rahman dan
Rahim Allah, orang lupa akan hal ini. Mereka menyangka bahwa kemenangannya
cuma karena usahanya sendiri. Tuhan sudah ditinggalkan di belakangnya...!
Sejak
bulan Juni-Juli 1949, mulailah pasukan-pasukan gerilya memasuki Yogya dan
kota- kota lain wilayah Republik Indonesia. Belanda sudah dibersihkan dari
daerah Republik.
Menjelang Agustus, kami memasuki kota kembali. Yogya
dalam suasana bersyukur, bermandikan cahaya kemenangan, dan kegembiraan.
Republik Indonesia tegak berdiri kembali setelah dirobek-robek oleh Belanda.
Perayaan 17 Agustus diliputi oleh suasana kegembiraan dan keharuan yang tak
mudah dilukiskan dengan kata-kata.
Sukamo-Hatta, Sutan Syahrir; HA.
Salim, dan lain-lain pemimpin Republik telah berada kembali di ibu kota. Dan
orang terakhir yang memasuki ibu kota adalah Pak Dirman, Panglima Besar.
Beliau dalam keadaan sakit yang kian parah. Memasuki ibu kota dengan diusung
di atas tandu dan dalam pakaian gerilya dengan ikat kepala berwarna wulung,
hitam pekat.
164
Bung Hatta pada 23 Agustus 1949
memasuki ruangan ―Ridderzaal‖ di Den Haag negeri Belanda, untuk menghadiri
Konferensi Meja Bundar dengan Belanda.
Ketika diadakan peringatan ―Hari
Angkatan Perang‖ pada 5 Oktober di ibu kota, segenap pasukan gerilya
mengadakan parade di muka Panglima Besar Sudirman. Dalam parade, banyak orang
yang tidak kuat menahan rasa harunya, menyaksikan anak-anak TNI dan
laskar-laskar pejuang dengan pakaian macam-macam, sedang Panglima Besar
menerima parade sambil duduk karena kesehatannya tidak mengizinkan berdiri
lama-lama. Sewaktu menerima kehormatan dari parade, beliau berdiri dengan
ditolong oleh tongkatnya di tangan kanan, berdiri yang dipaksakan. Aku
mengawasi dari panggung, betapa seorang santri menjadi panglima besar dari
suatu negara yang habis dikoyak-koyak musuh, tetapi masih tegak berdiri lebih
sentausa dari sedia kala. Alangkah gagahnya kaum pejuang yang mengikhlaskan
pengorbanannya untuk suatu cita-cita mulia! Tak tahan iba hatiku ketika
melihat anak-anak ―Hizbullah‖ dalam parade dengan pakaian yang compang-camping
yang mereka kenakan sejak dari daerah gerilya. Mereka tidak ikut parade karena
terlambat datang dari daerah gerilya, mereka tidak sempat untuk mempersiapkan
diri, dan mereka merasa puas berdiri di luar garis menyaksikan kawan-kawan
mereka seperjuangan memperlihatkan kepahlawanannya membela tanah air dan
negara.
Tanggal 7 Desember 1949, aku memasuki Sidang Komite Nasional
Pusat di Yogya. Aku bersama Wahib Wahab dan lain-lain teman hadir sebagai
anggota Komite Nasional Pusat. Aneh juga jalan sejarah hidup manusia, beberapa
bulan yang lalu masih berada di daerah pertempuran gerilya dengan celana
digulung hingga lutut, tak bersepatu. Tetapi kini anggota KNI Pusat,
menghadiri sidang perwakilan rakyat tertinggi untuk mengesahkan hasil-hasil
KMB yang telah ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai Ketua
Delegasi Republik. Tidak lagi memakai celana yang digulung sampai lutut dan
tak bersepatu, tetapi memakai setelan betul-betul dengan sepatu dan dasi
baru.
Sidang KNI Pusat itu diakhiri dengan upacara pelantikan Bung
Karno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Serikat,
yang beberapa hari kemudian harus meninggalkan Yogya untuk kembali ke Jakarta,
Ibu Kota Republik baru ini.
Dengan kembalinya Yogya sebagai Ibu Kota
Republik dan berdirinya Republik Indonesia Serikat, maka permusuhan dengan
Belanda dinyatakan berakhir. Sekarang keduanya sebagai dua negara yang
sama-sama merdeka dan berdaulat
Laskar-laskar perjuangan tidak
diperbolehkan lagi. Mereka melalui suatu saringan meleburkan diri ke dalam
Tentara Nasional Indonesia. Anak-anak ―Hizbullah‖ di bawah asuhanku sebanyak 1
divisi, hanya 1 batalion saja yang meleburkan diri ke dalam TNI, adapun
sisanya yang terbesar dinyatakan bubar. Dari santri kembali ke santri.
Dari
pesantren mereka kembali memasuki pesantrennya masing-masing. Yang tukang
jahit kembali membuka warungnya, yang tukang gunting rambut kembali memegang
kepala- kepala orang, kalau perlu menggunduli mereka, dan yang ustazd kembali
ke madrasahnya masing-masing. Mereka puas, telah pernah menyumbangkan sesuatu
kepada tanah air ini, kepada negara ini di saat yang paling sulit dan di saat
nyawa menjadi taruhannya. Tetapi bersyukur bahwa Allah SWT melindungi mereka,
dan memberikan bantuan-Nya yang membawa kemenangan kepada mereka. Harapan
mereka cuma satu, semoga amalnya diterima Allah sebagai amal yang saleh.
Tidak
satu sen pun mereka menuntut kepada Republik untuk mengganti hartanya yang
telah hilang, mengganti rumahnya yang telah menjadi abu. Mereka dengan penuh
kesabaran
165
menata kembali hidupnya, mendirikan
kembali rumah kediamannya. Harapan mereka, semoga rezeki yang mereka terima
dari jerih payahnya itu merupakan rezeki yang halal.
***
Sejak tahun
1950 aku diam di Semarang. Memangku jabatan Kepala Kantor Agama Propinsi Jawa
Tengah. Tetapi aku juga dipilih menjadi Ketua Dakwah Pengurus Besar Nahdhatul
Ulama yang berkedudukan di Jakarta. Sebab itu, mengharuskan aku mondar- mandir
Semarang-Jakarta.
Sejak di daerah gerilya, beberapa ulama aku usulkan
untuk diangkat menjadi Kepala Kantor Agama Kabupaten di daerahnya, sebagian
lagi untuk Ketua Pengadilan Agama.
Walaupun kita berada di daerah
gerilya, namun alat-alat perlengkapan pemerintah harus tersusun baik.
Kiai
Raden Iskandar yang memangku Ketua Pengadilan Agama di Purbalingga, suatu hari
datang kepadaku, meminta berhenti.
―Mengapa berhenti? Kita masih harus
menyempurnakan organisasi pemerintahan kita,‖ aku menanyakan.
―Saya lebih
senang menjadi kiai biasa. Biarlah untuk jawatan diserahkan kepada tenaga-
tenaga yang lebih sesuai. Saya merasa, tempat saya di tengah-tengah
masyarakat,‖ jawabnya.
―Dalam lingkungan Departemen Agama juga melakukan
tugas kemasyarakatan!‖ aku menjelaskan.
―Ya, tetapi itu harus dilakukan
secara resmi. Masyarakat kita kadang-kadang tidak bisa dipimpin secara resmi.
Saya akan turut memimpin masyarakat dari dalam, dari lingkungan mereka
sendiri, tidak secara resmi,‖ jawab Kiai Iskandar.
―Tetapi dengan jabatan
yang sekarang pemerintah ingin memberikan penghargaan kepada ulama yang
memimpin rakyat dalam keadaan sulit. Pemerintah ingin menghargai jasa ulama,‖
kataku.
―Tak satu pun ulama mengharapkan imbalan jasanya. Semua yang
dilakukan ibtighd-an li waj hillah, untuk mencari ridho Allah.‖ jawab
beliau.
―Dengan tetap dalam jawatan, kita bisa mengabdi kepada agama,
kepada masyarakat dan sekedar jaminan hidup sudah tersedia,‖ kataku.
―Memang
di situ bisa mengabdi. Tetapi untuk jaminan hidup saya harus cari dari kasab,
ikhtiar saya sendiri, misalnya tani atau dagang. Kalau sudah jadi pegawai
negeri rasanya tidak pantas lalu tetap berdagang. Ini bisa menimbulkan purba
sangka orang banyak,‖ katanya menjelaskan, lalu sambungnya:
―Dulu ketika
saya masih kiai biasa, saya merasa tidak mengalami kesulitan dalam rezeki.
Menerima tamu sampai berapa saja sanggup menjamin mereka dengan layak. Tetapi
setelah menjadi pegawai negeri, kadang-kadang menerima tiga orang tamu saja
sudah kewalahan!‖ beliau ketawa lebar.
166
Begitulah,
selain Kiai Iskandar, banyak juga kiai-kiai yang mengundurkan diri dari
jawatan agama, mereka ingin kembali ke tengah-tengah masyarakat, ingin
―kembali‖ jadi kiai, kata mereka.
Dengan terbentuknya Negara RIS
(Republik Indonesia Serikat), maka di daerah-daerah
―Federal‖ di luar
Republik Yogya timbul pergolakan. Rakyat minta meleburkan diri ke dalam
Republik Indonesia. Orang-orang Republiken yang berada di daerah kekuasaan
―negara- negara‖ ciptaan Belanda, ternyata tidak kerasan, mereka ingin menyatu
kembali seperti ketika Proklamasi 17 Agustus 1945. Negara RIS cuma berusia 9
bulan. Terbentuklah Kabinet Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 6
September 1950.
Aku mendapat panggilan KH.A. Wahid Hasyim di Jakarta.
Beliau Menteri Agama RIS dan juga Republik Indonesia Kesatuan untuk menyertai
beliau ke Kalimantan.
Kiai Imam Zarkasyi dan aku diminta menyertainya ke
Kalimantan untuk kira-kira satu minggu. Kiai Imam Zarkasyi, sejak zaman Jepang
aku sudah berkenalan, beliau pemimpin Pesantren Modern di Gontor, Ponorogo
Lepas
subuh, kami berkemas hendak menuju ke lapangan terbang Kemayoran. Seorang
pemuda datang menanyakan, mana kopor-kopornya, akan dibawa terlebih dahulu
olehnya ke lapangan terbang. Memang begitu peraturannya, barang harus lebih
dahulu tiba di lapangan terbang sebelum pemiliknya datang.
Ketika pemuda
itu pergi dengan membawa kopor-kopor kami, aku menanyakan siapa dia dan apakah
ikut dalam rombongan?
―Saudara belum tahu siapa dia? Dia Idham Chalid!
Nanti akan saya kenalkan dengannya. Ia memang ikut kita bersama-sama ke
Kalimantan. Ia putera Kalimantan!‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim.
Dalam
pesawat terbang model Dakota aku diperkenalkan dengan Idham Chalid oleh K.H.A.
Wahid Hasyim.
―Ketika kita di latihan ―Hizbullah,‖ sebenarnya kita sudah
berkenalan,‖ kata Idham Chalid padaku, ―cuma ketika itu memang tidak banyak
waktu karena kita sedang menghadapi Jepang mendekati saat sekaratnya,‖
tambahnya.
―Ketika zaman Jepang, Saudara di mana?‖ aku menanya.
―Saya
ditugaskan oleh KH A. Wahid Hasyim menjadi juru bahasa Soomubucho, kalau
pembesar Jepang ini harus bicara di muka para alim ulama atau tokoh-tokoh
Islam lainnya,‖ jawab Idham Chalid. Aku perhatikan wajahnya, rasa-rasanya
memang pernah berkenalan di zaman Jepang. Cuma ketika itu ia masih bercelana
pendek dengan seragam Seinendan. Ia memang terampil sekali menyalin pidato
pembesar Jepang itu ke dalam bahasa Indonesia, sampai-sampai Jepang mengira
pidatonya belum disalin semuanya. Ia berbicara dalam bahasa Jepang dengan
cepat dan seperti aksen Jepang juga, manakala harus berdialog dengan pembesar
Jepang itu.
Di pesawat terbang, K.H.A. Wahid Hasyim membisiki aku, agar
selalu dekat dengan Idham Chalid, ceritakan hal-hal yang bertalian dengan
Nahdhatul Ulama, pesannya. K.H.A. Wahid Hasyim ingin menjadikan Idham Chalid
seorang tokoh dalam Nahdhatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama.
167
Idham
Chalid menceritakan padaku, sebenarnya ia telah menjadi Ansor di Amuntai,
Kalimantan. Lama menjadi guru dalam pesantren di sana, karena ia memang
dididik dalam lingkungan pesantren ayahandanya di hulu sungai Kalimantan.
Berita tentang ―Pondok Modern‖ Gontor, sangat menarik perhatiannya, lalu
pergilah ia ke Gontor, belajar beberapa waktu tidak lama, lalu sekaligus
menjadi salah seorang ustazd Gontor. Ketika itu ia menjadi anggota Parlemen
Indonesia (Kesatuan) sebagai unsur yang mewakili Kalimantan
Pemuda-pemuda
lepasan pesantren sering berjumpa denganku di Jakarta. Di antara mereka: KH.
Muhammad Ilyas dari Pesantren Tebuireng, menjadi anggota Parlemen Kesatuan, di
samping Idham Chalid. Sahabatku sejak di Ansor, A. Achsien, santri dan Ansor
Kudus, juga anggota Parlemen Negara Kesatuan. Ditambah lagi dengan A.S.
Bachmid berasal dari Maluku juga anggota Parlemen. Kecuali itu masih dua orang
lagi, masing- masing R. Ali Prataningkusumo dan R.S. Suryaningprojo, keduanya
dari kalangan pamong praja. Dengan Zainul Arifin dan KH.A. Wahab Chasbullah
sebagai anggota Parlemen, maka tugas pesantren diperjuangkan lewat Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pada permulaan tahun 1954, aku ditetapkan menjadi
anggota parlemen menggantikan Zainul Arifin yang menjadi wakil Perdana
Menteri. Maka sehari-hari berada di ibu kota buatku suatu peningkatan dari
tugas-tugas kami sejak dari pesantren, lalu dunia pendidikan pada umumnya,
meningkat lagi dalam perjuangan bersenjata dalam perang kemerdekaan, baik
ketika menghadapi ancaman musuh-musuh Republik yang mendarat kemari dengan
berlindung di bawah bendera Kaum Sekutu, maupun ketika perang gerilya
menghadapi Belanda yang menghancurkan Republik yang amat kita cintai ini.
Jika
kami ―meninggalkan‖ dunia pesantren, soalnya karena panggilan perjuangan,
karena kami amat mencintai tanah air ini, amat mencintai kemerdekaan ini.
Dengan kemerdekaan ini, kami akan memperjuangkan agar rakyat kita senantiasa
memelihara persatuan dan persaudaraan, agar mereka menikmati hasil kemerdekaan
ini, hidup dalam naungan keadilan, mengecap kekayaan tanah air yang melimpah
ruah, dan... senantiasa sujud ke Hadirat Dahi, berterima kasih atas segala
limpahan rahmat-Nya. Tetapi kami menyadari bahwa kami dididik dan dibesarkan
oleh pesantren, sebab itu, cita-cita pesantren agar rakyat penduduk negeri ini
memandang bahwa taqwa merupakan sesuatu yang harus dimiliki sebelum yang
lain-lain, tetap akan kami ratakan dengan cara yang sebaik-baiknya. Sebenarnya
tidak tepat kalau dikatakan ―meninggalkan‖ pesantren, ini cuma tugas tambahan
setelah pesantren.
Kami berdelapan menjadi anggota parlemen. Di antara
kami, A.S. Bachmidlah yang telah memiliki mobil. Mobil ―Peugeout‖ yang tahun
pembikinannya sudah tua, dan sering mogok di jalanan.
―Hayo, mari, siapa
mau ikut?‖ seru KH. Muhammad Ilyas berdiri di sebelah mobil Bachmid pada suatu
hari ketika kami keluar dari gedung parlemen di Jalan Dr. Wahidin.
―Kami
ikut numpang hingga ke Kwitang!‖ jawabku. Aku bersama Idham Chalid keluar dari
gedung parlemen hendak pulang. Kami duduk di dalam mobil Bachmid sudah siap
hendak menghidupkan mesin.
―Nantilah dulu!‖ perintah K.H. Muhammad Ilyas
kepada Bachmid. Sementara itu ia masih berdiri di luar pintu mobil.
―Hayo
lagi, siapa mau ikut?‖ teriak KH. Muhammad Byas. Ia mengajak Hasan Basri dan
Abdul Mu‘iz yang baru keluar dari gedung parlemen.
168
―Sudahlah
kita berangkat! Tunggu siapa lagi? Mobil begini kecil masih akan ditambah lagi
penumpangnya!‖ teriakku kesal. Panas dalam mobil.
―Eee, biar tambah
banyak yang naik tambah baik. Kalau mobil ini mogok di jalanan biar banyak
yang mendorong,‖ jawab Kiai Ilyas seenaknya.
―Insya Allah tak akan mogok,
percayalah!‖ Bachmid meyakinkan kami.
―Ya, siapa tahu! Mobil sudah
nenek-nenek begini!‖ Idham Chalid menyela.
―Jangan kira! Dulu ini mobil
baru,‖ Bachmid membanggakan mobilnya.
―Tentu saja baru. Memangnya pabrik
membuat mobil tua?‖ aku menyela.
Maka berangkatlah kami berempat dalam
mobil Bachmid. Jika suara mesin agak lirih, Kiai Ilyas teriak: ―Dorong...!‖
Bachmid menancap pedal gas pelan-pelan, jalannya mesin kembali stabil.
Alhamdulillah, sampai juga ke tempat tujuan tak kurang suatu apa. Kami lega,
bebas dari ancaman mendorong mobil. Zaman itu, belum banyak orang-orang
Republik memiliki mobil. Beberapa yang telah memiliki mobil, kebanyakan main
dorong karena mobil sudah tua.
Suatu petang, Kiai Ilyas dan aku
mengunjungi rumah Idham Chalid.
―Sudah selesaikah perundingan dengan
PKI?‖ bertanya Kiai Ilyas.
―Baru saja selesai,‖ jawab Idham Chalid sambil
mempersilakan kami duduk.
Ketika itu menjelang kampanye pemilihan umum
tahun 1955. PKI membuat gara-gara. PKI membuat tanda gambar dalam pemilihan
umum palu-arit dengan dibubuhi kalimat PKI dan orang tak berpartai! Hal itu
diprotes keras oleh Partai Nahdhatul Ulama. Karena protes ini, pemerintah
mengadakan pertemuan segi empat: Menteri Dalam Negeri, Panitia Pemilihan
Indonesia, Nahdhatul Ulama, dan PKI. Idham Chalid mewakili Nahdhatul Ulama
dalam perundingan itu.
―Siapa-siapa yang hadir?‖ aku menanya.
―Mr.
Sunaryo sebagai Menteri Dalam Negeri, S. Hadikusumo sebagai ketua panitia
pemilihan Indonesia, dan PKI yang diwakili oleh Aidit, Sudisman, dan Ir.
Sakirman,‖ jawab Idham Chalid, ―lalu saya‖.
―Bagaimana jalannya
perundingan?‖ Kiai Ilyas ganti bertanya.
―Mula-mula Menteri Dalam Negeri
membuka perundingan dengan mengatakan bahwa setiap tanda gambar dalam
pemilihan umum kecuali harus disepakati pemerintah, juga disepakati oleh
seluruh partai. Berhubung Nahdhatul Ulama sangat berkeberatan atas tanda
gambar PKI, maka pemerintah perlu mengadakan perundingan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan,‖ Idham Chalid menjelaskan.
―Saya diberi kesempatan
untuk menjelaskan keberatan Nahdhatul Ulama,‖ Idham Chalid melanjutkan, ―saya
katakan bahwa menurut pengetahuan Nahdhatul Ulama bahwa tanda gambar atau
simbol PKI selama ini cuma palu-arit. Dengan penambahan kalimat ‗PKI dan orang
tak berpartai‖ dipandang bahwa PKI hendak menjadikan begitu saja semua orang
yang tak berpartai ke dalam golongannya tanpa dimintai persetujuan mereka. Ini
merupakan usaha mengelabui mata rakyat!‖
169
―Sampai
di sini, Aidit mengajukan protes berhubung saya menamakan PKI mengelabui mata
rakyat. Tetapi protes Aidit saya tolak! Saya tetap menamakan mereka mengelabui
mata rakyat.‖
―Sudisman bertanya, dari mana saya bisa mengambil
kesimpulan mengelabui mata rakyat?‖ Idham Chalid meneruskan ceritanya, ―Saya
jawab. Coba ambil saja satu misal. Di negeri kita masih banyak orang-orang
yang tak berpartai, mereka anti komunis. Lalu mereka dengan begitu saja
dimasukkan ke dalam golongan PKI. Apakah ini bukan mengelabui mata rakyat.
Bukan saja mengelabui, bahkan memperkosa hak seseorang dengan sangat
merugikan. Misal lain. Ada juga beberapa ulama tidak berpartai. Mereka tidak
menjadi anggota Nahdhatul Ulama, juga tidak Masyumi, PSII, maupun Perti. Lalu
oleh PKI hendak dimasukkan ke dalam golongannya. Padahal mereka haram memilih
PKI, mereka anti komunis dan anti PKI.‖
―Aidit menjelaskan bahwa PKI
tidak mengelabui mata rakyat. Tentang kepada partai mana seseorang akan
memilih, itu tetap menjadi hak mereka. Tetapi saya katakan, ya, dengan
membubuhi kata-kata dalam tanda gambar palu-arit dengan kalimat ―dan orang tak
berpartai‖ itu saja sudah merupakan suatu propaganda untuk mengelabui mata
rakyat,‖ Idham Chalid menerangkan.
―Aidit membujuk saya, katanya: bahwa
ia tak keberatan kalau saja Nahdhatul Ulama juga menambah kata-kata dalam
tanda gambarnya yang berbunyi: ―Nahdhatul Ulama dan semua orang Islam.‖
Bujukan Aidit saya tolak. Saya katakan kepadanya: ―Bagaimana saya harus
melakukan sesuatu yang saya sangat berkeberatan orang lain melakukannya? Kalau
saya mengikuti pikiran Aidit, maka saya termasuk orang yang sangat licik dan
akan terkena oleh kata peribahasa: Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut
dikempiskan. Saya tak mau melakukannya. Pokoknya, Nahdhatul Ulama meminta
keras kepada pemerintah agar kata- kata ‗PKI dan orang tak berpartai‖
dilenyapkan!‖
―Maka selesailah perundingan yang memakan waktu dua kali
pertemuan. Menteri Dalam Negeri memerintahkan PKI harus menghapus kalimat ―PKI
dan orang tak berpartai‖ dari tanda gambarnya untuk pemilihan umum.‖ Demikian
Idham Chalid mengakhiri laporannya. Kami memberi selamat kepadanya atas
kemenangannya menghadapi gembong-gembong PKI.
Hampir setiap malam kami
mengadakan dakwah jika tak ada sidang parlemen. Diam di Ibu Kota Jakarta
dengan macam-macam tugas tanpa memiliki mobil memang susah juga. Harus
mempunyai mobil walau tua sekalipun.
Suatu hari Idham Chalid datang ke
parlemen dengan mobilnya merk ―Hilman‖ berwarna hijau tua. Tentu saja mobil
bekas. Ia membisikkan padaku bahwa ia membawa mobil, sambil menunjuk ke arah
mobil kecil yang diparkir di bawah pohon beringin di depan gedung parlemen.
―Dapat
dari mana?‖ tanyaku.
―Ada kiriman uang dari Kalimantan. Saya beli mobil
seharga Rp18.000,-,‖ jawabnya.
―Kok mahal begitu?‖ tanggapanku.
―Apa
mahal! Lihat dulu barangnya. Mesinnya masih tokcerl‖ jawabnya.
170
Kiai
Ilyas keluar dari sidang pariemen dengan A Achsien. Aku beri tahukan kepadanya
bahwa Idham Chalid membawa mobil ―baru.‖ Ia kepingin juga mencoba hendak
menebeng sampai ke rumahnya. A. Achsien sudah mempunyai mobil sendiri.
Idham
Chalid lalu duduk di kursi kemudi, ia hendak mengemudikan sendiri. Batinku
bertanya, kapan belajar mengemudi? Karena percaya bahwa Idham Chalid sudah
pandai mengemudi mobil, aku diam saja.
Mobil keluar dari halaman parlemen
menuju arah jalan Pejambon. Jalannya mobil tidak lurus, tidak stabil. Pedal
rem sering diinjak tiba-tiba, lalu tancap gas tak kepalang tanggung. Kiai
Ilyas melirik padaku, dalam hatinya barangkali mengatakan: kok begini
nyetimya? Tapi aku tak membalas lirikannya. Aku cuma diam saja. Sejak tadi aku
membaca-baca shalawat. Benar juga, nyaris menyenggol pengendara sepeda di
dekat Stasiun Gambir. Kiai Ilyas teriak keras!
―Ya akhir, kalau ada orang
jual rokok di depan itu, berhenti!‖ seru Kiai Ilyas ditujukan kepada Idham
Chalid.
Di depan penjual rokok, Idham Chalid menghentikan mobilnya, agak
keterusan. Kiai Ilyas turun dari mobil. Aku kira ia akan membeli rokok,
kiranya ia terus berjalan di atas trotoar.
―Mengapa? Hayo naiklah!‖
ajakku kepadanya.
―Terima kasih! Jalan kaki lebih aman...!‖ sambil
mempercepat jalannya menuju arah Prapatan.
―Penakut!‖ teriak Idham
Chalid. Aku pindah tempat di sampingnya. Mesin lalu dihidupkan, mobil mulai
jalan lagi. Sepanjang jalan aku biarkan ia mengemudikan mobilnya sekehendak
hatinyalah. Aku diam saja, memperbanyak membaca shalawat. Alhamdulillah, Tuhan
Mahabesar! Akhirnya, sampai juga ke tempat tujuan dengan selamat, walaupun
tidak begitu sehat. Kepalaku pening!
Demikianlah sekelumit kisah
orang-orang pesantren dalam kehidupan ibu kota. Mereka adalah
sahabat-sahabatku, tetapi juga guru-guruku. Namun mereka juga manusia dengan
segala sifat-sifatnya, dengan segala kekurangannya, di samping
kelebihannya.
Aku kenangkan orang-orang pesantren yang telah mendahului
kami. Mereka telah bekerja dengan caranya untuk memajukan bangsanya, untuk
mengharumkan nama tanah airnya. Mereka adalah guru-guruku dan
sahabat-sahabatku. Mereka telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk
mengabdi dan berkhidmah. Mereka tak tahu apakah pahit getirnya, air matanya
yang tertumpah, dan nyawanya yang melayang itu suatu pengorbanan? Begitu
ikhlas mereka memberikan segala-galanya untuk kemajuan bangsanya dan tanah
airnya, tanpa pamrih apa pun, kecuali atas keinsyafan bahwa semua itu cuma
suatu keharusan hidup, suatu kewajiban semata-mata. Pada saat bangsanya
mengecap kenikmatan kemerdekaan, mereka tak lagi berada di tengah-tengahnya.
Mereka telah dipanggil oleh Allah
Zat Yang Maha Kasih Sayang, untuk
menikmati kebahagiaan yang abadi di sisi-Nya.
Aku renungkan juga
orang-orang pesantren yang kini masih hidup. Mereka adalah sahabat- sahabatku,
tetapi juga guru-guruku. Mereka lahir dari pesantren, dididik, dan dibesarkan
oleh pesantren. Menjadi guru, mubaligh, dan pemimpin atas nama pesantren.
Berjuang memanggul senjata di saat-saat paling sulit, menghadapi musuh-musuh
Republik dan
171
musuh-musuh pesantren. Dan..., lalu
menjadi orang-orang politik pun dengan bernafaskan pesantren pula.
Jabatan-jabatan
yang mereka pangku pada saat-saat yang akhir; apakah menjadi anggota parlemen,
atau menteri, atau duta besar sekalipun tak pernah dibayangkan sebelumnya,
sejak semula bermimpi pun sama sekali tidak. Keinginan dan cita-citanya
hanyalah siang dan malam cuma hendak mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta
‗ala, dan berkhidmah kepada tanah air dan bangsa seusai dengan ajaran
pesantren.
Dari pesantren mereka datang, dan untuk cita-cita pesantren
mereka berjuang. Insya Allah![alkhoirot.org]