Masa Penjajahan dan Kemerdekaan: Saksi Mata seorang Kyai Pesantren

Masa Penjajahan dan Kemerdekaan Saksi Mata Kyai Pesantren Sebelum bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan

Masa Penjajahan dan Kemerdekaan Saksi Mata seorang Kyai Pesantren

Keterangan gambar: Gedung Tahfidz al-Quran Putra, Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

Nama kitab / buku: Guruku Orang-orang dari Pesantren
Penulis: Prof. KH. Saifuddin Zuhri
Lahir: 1 Oktober 1919, Kawedanan, Sokaraja Tengah, Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Wafat: 25 Februari 1986 pada usia 66 tahun
Nama Ayah: Muhammad Zuhri Rasyid
Nama Ibu: Siti Saudatun
Jabatan tertinggi: Menteri Agama pada era Presiden Sukarno dan Suharto 6 Maret 1962 – 17 Oktober 1967
Bidang studi: Sejarah , pesantren, Indonesia, sejarah Islam
Penerbit: Pustaka Sastra

Daftar isi

  1. Tamatnya Zaman Penjajahan
  2. Di Bawah Penjajahan Seumur Jagung
  3. Merdeka Berarti 1000 Perjuangan
  4. Kembali ke: Buku  Guruku Orang-orang dari Pesantren

Tamatnya Zaman Penjajahan 

"Kalau   diikuti   teori   W.J.S.   Purwadarminta   dalam   kamusnya,   maka arti santri atau santeri ialah orang yang menuntut pelajaran Islam (dengan pergi berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan sebagainya). Tetapi kalau diikuti pengertian umum, maka santri ialah mereka yang mempelajari agama Islam, baik yang pergi ke tempat yang jauh maupun dekat dengan niat hendak mengamalkan llmunya, dan hendak menyebarluaskannya. Hasil dari ilmu yang dituntut itu dengan sendinnya mempengaruhi perilaku sehari-harinya.
Karena yakin akan kebenaran gurunya, mereka meniru laku dan perbuatan gurunya. Ilmu yang diperoleh dari mereka, artinya dari gurunya, dijadikan dasar pola membentuk sikap mental dan watak mereka dalam hidup. Semua ini lantaran dilandasi oleh suatu niat suci dalam hatinya bahwa ilmu-ilmunya memang diyakini kebenarannya serta akandipraktikkan dalam amal sehari-hari. Oleh sebab itu, barang siapa yang mempelajari Islam sekadar untuk diketahui, baik karena tidak meyakini kebenaran Islam, maupun untuk tujuan yang merugikan Islam dan umatnya, maka ia tidak layak untuk disebut santri.
Prof. Dr. Ch. Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang Kristen yang menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda mengenai soal-soal agama Islam. Walaupun pengetahuannya tentang Islam sangat banyak, ia tidak bisa disebut seorang santri ketika bertahun-tahun sedang mempelajan agama Islam. Ia pernah menjabat guru besar tentang Islamologi pada Universitas Leiden. Celakanya, ia pernah menyamar di Makah sebagai dokter mata dan tukang potret dengan memakai nama samaran Abdul Ghafur, karena tugasnya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam Indonesia berhubung perlawanan umat ini terhadap kekuasaan Belanda di mana-mana, dan khususnya ketika Belanda sangat kewalahan menghadapi Perang Aceh, Diponegoro, Imam Bonjol, maka kita sangat keberatan kalau Profesor Belanda ini digolongkan seorang santri. Dia sendiri pun tentunya tidak sudi disebut santri.
Jelaslah bahwa santri adalah mereka yang belajar ilmu-ilmu agama Islam dengan niat untuk mengamalkan ilmu yang mereka yakini kebenarannya 100% itu. Bahkan hendak menyebarluaskan ilmunya itu untuk tujuan membela dan memperkembangkan Islam. Selama mereka belajar, tugas dan perhatian mereka cumalah belajar dan belajar tentang segala seluk-beluk agama Islam dengan segala ilmunya. Hal itu sesuai dengan pesan dan nasihat orang tua mereka, agar mereka cuma belajar tentang ilmu Islam. Bagaimana tentang penghidupan mereka kelak di kemudian hari? Pada umumnya tidaklah mereka pikirkan benar. Karena apa? Karena orang tua mereka masing-masing telah menyiapkan di kampungnya barang sebidang sawah atau ladang, atau perusahaan orang tuanya yang telah menanti kelak untuk diurus sebagai bekal hidup manakala mereka telah selesai belajar. Mereka memusatkan cita-citanya untuk kelak menjadi kiai atau ustadz seperti gurunya, sedang lapangan kerja baginya telah tersedia. Mereka akan menjadi orang masyarakat yang terjun ke tengah-tengah umat. Hampir tidak ada yang terlintas dalam angan-angannya agar kelak menjadi pegawai negeri, pegawai pemerintah jajahan.
Oleh karena para santri adalah anak-anak rakyat, mereka jadi amat paham tentang arti kata rakyat. Paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan
81
 
pikirannya, cara hidupnya, semangat, dan cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya, dan segala liku-liku hidup rakyat. Sebagai anak-anak dari rakyat, maka para santri lahir dari sana, demikian mereka hidup dan lalu mati pun di sana pula.
Rakyat adalah kaum tani, pedagang kecil, tukang-tukang, mereka adalah bapak-bapaknya kaum santri. Rakyat hidupnya serba susah, mereka terbelenggu oleh rantai penjajahan, dan bernasib sebagai anak jajahan. Sebab itu, para santri dan kiai sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan.
Indonesia pada tahun 1940-1942, bagaikan suatu kancah perjuangan yang sedang naik pasang gejolaknya.
Rakyat menjadi semakin matang untuk memperjuangkan nasibnya lepas dan belenggu penjajahan. Tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan di seluruh persada tanah air.
Suatu hari aku mengunjungi Pesantren Kalijaran, Purbalingga, sebuah pesantren dengan lebih kurang 700 orang santri yang datang dari segala pelosok di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Pesantren itu terletak di daerah pegunungan, jauh dari kota. Tak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren itu, bersepeda pun amat susahnya, karena harus berkali-kali menyeberangi sungai yang deras airnya, penuh dengan batu-batu kali pada tebing-tebingnya. Aku tidak ingat lagi berapa sungai yang aku harus seberangi. Yang aku ingat, aku sangat letih berjalan kaki sejauh 12 km dari kota distrik Bobotsari, tempat pemberhentian bis yang terakhir. Jalan di pegunungan itu berkelok mendaki dan menurun mengikuti liku-liku puntuk dan gunung-gunung kecil dengan pohon johar dan kayu-kayuan pegunungan pada tepi-tepinya. Pengkolan jalan itu kadang-kadang terpotong oleh sungai yang melintang, penuh genangan air yang membuat becek ujung jalan karena kanak-kanak penggembala menghalau kerbaunya ke sana. Sepatu kulepas karena tak guna berjalan di atas batu-batu yang tajam dengan sebentar-sebentar melepas kembali karena harus menyeberangi sungai.
Aku tiba di pesantren itu lepas waktu ashar dengan kaki yang bengkak-bengkak dan lecet. Aku menuju ke masjid pesantren. Sambil melepaskan lelah aku sembahyang dzuhur dan ashar jama' ta'hir. Kedatanganku diketahui anak-anak santri yang tengah mengaji. Rupaku sebagai orang asing di pesantren itu, mudah sekali dikenali orang. Aku mengenakan uniform "Ansor," kemeja model pandu berwarna hijau khaki, peci berwarna seperti kemeja, dan sebuah ransel yang kulepaskan dari pundak. Aku katakan kepada mereka siapa aku dan bermaksud hendak menghadap kiai.
Kiai Hisyam. pemimpin Pesantren Kalijaran, menerima kedatanganku di pendapa rumahnya, di samping masjid. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan sinar matanya yang jernih, aku taksir usianya belum 50 tahun. Dengan mengenakan peci tarbus merah yang sudah lepas koncernya, dihiasi oleh jenggotnya yang tak begitu tebal, menimbulkan gambaran suatu wajah yang lucu, tetapi menyenangkan. Beliau sedang menerima seorang tamu, Kiai Raden Iskandar dari Karangmoncol, yang sudah lama aku kenal. Seperti biasa, kiai ini mengenakan peci model H.O.S Cokroaminoto, peci hitam yang dilekuk di bagian depan, menghias wajahnya yang putih bersih dengan jenggotnya yang hitam tebal, menambah wibawa dan gagahnya kiai yang setengah baya usianya ini.
Wa 'alaikum as-salam wa rahmatu Allahi wa barakatuh, seru kedua kiai ini berbareng setelah melihat kedatanganku, walaupun aku belum mengucapkan salam.

82
 
"Tak ada burung perenjak, jumarojok tanpo larapan?' seru Kiai Hisyam, maksudnya bahwa kedatanganku amat sekonyong-konyong tanpa kabar berita sebelumnya.
"Aku sudah dengar bahwa saudara akan datang di Kertanegara besok malam," Kiai Iskandar menyela, seolah-olah menjawab sambutan Kiai Hisyam.
"Sendiriankah Saudara? Naik apa?" Berbareng dua kiai ini berebut menghujai aku dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Dengan Malaikat Jibril, naik burak" jawabku ketus, seolah-olah kedatanganku bagaikan Rasulullah Saw, ketika disertai Malaikat Jibril dalam riwayat Isra' Mi'raj. Semua tertawa terbahak-bahak. Batinku mengatakan, habis dengan siapa lagi kalau tidak sendirian. Memangnya ada kendaraan yang bisa lewat di daerah ini. Tentu cuma berjalan kaki. Kalau Rasulullah Saw bisa mengendarai burak dalam perjalanan Isra'-nya mengarungi padang Sinai yang penuh bukit-bukit batu. Dan aku ini apa? Tentulah berjalan kaki dan sendirian.
"Santri! Bikinkan kopi tubruk yang kental, pakai cangkir besar, cangkir tutup!" teriak Kiai Hisyam menyuruh khadamnya membuatkan aku secangkir kopi istimewa. Aku tahu benar kebiasaan para kiai. Kopi tubruk yang kental (tentu saja manis), dengan cangkir tutup yang besar, adalah suatu hidangan kehormatan, dan hanya disuguhkan kepada orang yang dipandang harus dihormati. Kalau seseorang itu disuguhi kopi, biar siang biar malam, pertanda kehormatan besar. Apalagi kalau dengan cangkir besar yang bertutup. Ini suatu kehormatan istimewa. Minuman teh, apalagi memakai gelas, dianggap bukan suguhan, cuma sekadar pembasah tenggorokan.
Kebiasaan para kiai menyuguhi tamu tidak cukup hanya minuman kopi saja. Biasanya selalu diiringi dengan kue-kue beraneka macam memenuhi meja, kadang-kadang meja tidak muat lagi, walaupun tamunya hanya seorang. Pucuk dicita ulam tiba, dasar aku sudah haus dan lapar sekali. Sepanjang jalan yang aku tempuh tak ada warung makanan, kecuali sesekali aku jumpai penjual dawet yang disinggahi para pejalan kaki.
Kami saling menanyakan tentang kabar keselamatan masing-masing, dan kabar tentang sahabat-sahabat yang jauh. Suasananya jadi amat menyenangkan dalam ikatan persaudaraan yang akrab.
"Jadi besok malam Saudara ada di Kertanegara? Aku pun akan datang juga kesana, Insya Allah," Kiai Iskandar menyambung pembicaraan yang terputus karena instruksi Kiai Hisyam membuatkan untukku kopi kental.
"Memang, Insya Allah aku besok ke Kertanegara. Aku telah hubungi Sdr. Hudimiharja, ketua "Ansor" di sana. Aku ingin memberi penjelasan kepada kawan-kawan mengenai maksud pemerintah Hindia Belanda mengadakan mobilisasi di kalangan pemuda-pemuda kita, dan bagaimana sikap kita," jawabku.
"Aku membaca di koran bahwa Ratu Wilhelmina, kini berada di London, bagaimana ceritanya ini?" tanya Kiai Hisyam sambil menuangkan air putih panas ke dalam kopi kentalku yang tinggal separo cangkir. Kebiasaan orang Banyumas kalau minum kopi dituangi air putih yang panas, agar kopi menjadi penuh lagi dalam cangkir. Dijogi,istilahnya.
"Negeri Belanda telah diduduki oleh Jerman. Hitler telah menunjuk seorang kaki tangannya membentuk pemerintah Belanda yang pro-Nazi. Karena itu, Ratu Belanda mengungsi ke Inggris dan meneruskan pemerintahan pelarian Belanda di sana," jawabku menjelaskan.

83
 
"Pemerintah Hindia Belanda di sini ikut Wilhelmina atau ikut Hitler?" Kiai Iskandar menanyakan kepadaku.
"Tentu ikut Wilhelmina, tetap seria kepada ratu yang mengungsi di London," jawabku, "tetapi jadi serba susah mereka. Ikut Wilhelmina telah putus hubungan, sedang Hindia Belanda diancam oleh Jepang, sekutu Hitler. Orang banyak meramalkan bahwa tak lama lagi Jepang akan memaklumkan perang kepada Hindia Belanda. Situasinya jadi genting sekali bagi Belanda," demikian kataku.
"Dalam majalah Berita Nahdhatul Oelama bulan yang lalu aku baca," demikian Kiai Iskandar, "bahwa Hoofdbestuur' Nahdhatul Ulama mendesak MIAI untuk bersama-sama GAPPI meningkatkan tuntutan Indonesia berparlemen kepada pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Belanda di Den Haag. Bagaimana hasilnya?"
"Lima hari yang lalu aku terima surat dari K.H.A. Wahid Hasyim, ketua MIAI. Sebagaimana kita tahu, MIAI ini sebuah badan gabungan federasi dari semua partai politik dan organisasi Islam seluruh Indonesia. MIAI telah mengadakan kerjasama dengan GAPPI sebagai gabungan dari partai-partai politik non Islam dalam aksi menuntut Indonesia berparlemen. Kini telah terbentuk suatu kerjasama antara MIAI dan GAPPI dalam suatu kongres rakyat yang diberi nama KORINDO, Kongres Rakyat Indonesia. Menuntut kepada Pemerintah Belanda di Den Haag agar kepada Indonesia diberi hak memerintah sendiri dengan suatu badan perwakilan rakyat yang bernama Parlemen Indonesia. Menurut bunyi surat K.H.A.Wahid Hasyim tadi, jawaban pemerintah Belanda sangat mengecewakan," demikian aku menjelaskan.
"Keterlaluan Belanda!" sela Kiai Hisyam. "Namanya saja  Londo, alon-alon mbondo"
(menelikung dan mengikat erat dengan pelan-pelan).
Semua kami tertawa. Memang dalam sejarahnya Belanda selalu menelikung kita bangsa Indonesia dengan mengikat dan membelenggu kita sambil menjalankan semboyannya alon- alon asal kelakon selama 350 tahun.
"Apa jawaban pemerintah Belanda yang kini tak berdaya dalam pengungsian di London?" tanya Kiai Iskandar, sambil menyedot rokok klembaknya.
"Apa yang diceritakan K.H.A.Wahid Hasyim dalam suratnya sama dengan yang aku baca dalam surat-surat kabar bahwa Belanda tidak bermaksud mengadakan perubahan politik dan ketatanegaraan apa pun bagi rakyat Indonesia selama masih dalam suasana peperangan ini. Mereka meminta segalanya ditangguhkan sampai perang selesai, baru nanti akan dibicarakan," demikian kataku menjelaskan.
Pembicaraan kami terhenti karena terdengar azan maghrib. Kiai Hisyam mempersilakan kami berdua bersama-sama menuju masjid untuk sembahyang maghrib berjama'ah. Aku disediakan tempat khusus untuk bermalam di kamar tarnu. Kiai mempunyai banyak kamar tamu. Tetapi Kiai Iskandar meminta aku berkumpul menjadi satu dalam kamarnya, katanya karena masih kangen, masih rindu.
Seperti halnya dengan Kiai Iskandar, aku pun mengenakan kain sarung menuju masjid. Sudah penuh santn-santri dalam masjid yang sedang membaca puji-pujian, bacaan menjelang sembahyang dilakukan, sambil menunggu Kiai Hisyam selaku imam sembahyang. Berebutlah para santri menyalami Kiai Raden Iskandar dan aku ganti-berganti. Ada beberapa santri yang mencium tanganku sehabis mencium tangan Kiai Iskandar.
84
 
Batinku, ini ketularan Kiai Iskandar. Beliau seorang kiai besar, sedang aku cuma seorang pemuda, mana bisa dicium tanganku kalau tidak karena berkah Kiai Iskandar?
Muazin memperdengarkan iqamat, tanda sembahyang akan dimulai, setelah Kiai Hisyam memasuki ruangan masjid. Beliau mengenakan jubah dan sorban. Tetapi beliau tidak langsung menuju mihrab, tempat imam, beliau menghampiri Kiai Iskandar dan meminta yang belakangan ini menjadi imam. Kiai Iskandar tidak bersedia, mempersilakan Kiai Hisyamlah yang menjadi Imam. Tetapi Kiai Hisyam tetap meminta bahkan mendorong Kiai Iskandar memasuki mihrab menjadi imam. Yang didorong tetap saja tidak bersedia dengan alasan bahwa sohibul bait adalah seorang yang lebih utama darinya. Sebaliknya, Kiai Hisyam tetap meminta Kiai Iskandar menjadi imam, beliau lebih utama katanya dan lagi pula ia hendak meminta berkah dan seorang tamu. Lama kedua kiai ini saling mempersilakan masing-masing menjadi imam hingga para santri dengan amat sabarnya menanti dengan perasaan hormat kepada keduanya. Kiai Hisyam lalu berpaling kepadaku sambil mempersilakan aku menjadi imam disebabkan karena Kiai Iskandar menolak. Aku mesti tahu diri, siapa aku ini. Dengan hormat aku katakan kepada beliau "Kalau sudah tidak ada lagi kiai di sini, apa boleh buat!" Maksudku sekedar basa-basi humor sebagai penolakan. Akhirnya, Kiai Hisyamlah yang maju menuju mihrab. Sebelum memulai sembahyang, kiai mengumumkan kepada hadirin, sehabis sembahyang nanti kita semua membaca bersama- sama Nazham Burdah, untuk memohon kepada Allah SWT agar kita dilindungi dan memperoleh pertolongan-Nya dalarn situasi yang genting dewasa itu. Agaknya beliau sangat terpengaruh oleh pembicaraan kami yang baru berlangsung beberapa menit tadi.
Dalam sembahyang, irnam membaca ayat-ayat Al-Qur'an Surat At-Thariq, yang mengajak kami para makmum mengikuti firman-firman Allah yang sangat membekas di dada kami. Bahwa hendaklah manusia berpikir dari apa ia dijadikan. Dijadikan dari setitik air yang memancar, yang keluar dari sulbi pria dan wanita. Tetapi Allah berkuasa untuk mengembalikan hidup setelah mati. Kelak pada hari diperlihatkan nanri segala rahasia, sekali-kali tak ada kekuatan apa pun yang bisa menolong kecuali yang datang dari-Nya. Sesungguhnya Al-Qur'anlah Firman Allah yang benar-benar menjadi pemisah antara yang haq dan yang batil. Sesungguhnya orang-orang kafir itu merencanakan tipu daya yang benar-benar jahat. Namun Allah Maha Pembuat rencana yang sebenar-benarnya. Diberinya mereka bertangguh barang sebentar!
Selesai sembahyang maghrib berjama'ah, seperti yang dianjurkan oleh Kiai Hisyam, kami semua beramai-ramai membaca Nazham Burdah. Banyak di antara santri yang hafal di luar kepala. Nazham Burdah adalah sebuah kitab rangkaian sajak dalam sastra klasik Arab sepanjang 320 bait svair. Pengarangnya bernama Syeikh Muhammad Al-Bushiri. Seperti banyak kitab-kitab klasik Arab dan kitab-kitab keislaman pada umumnya tidak pernah jelas disebut kapan kitab itu dikarang, sedang pengarangnya hanya cukup disebut namanya tanpa biografi sekalipun hanya ringkasan saja. Kitab tersebut dikarang sekitar 7 hingga 8 abad yang lampau. Di dalamnya banyak dilukiskan madah dan pujian terhadap kemuliaan sifat-sifat Nabi di antara sahabat-sahabatnya dalam menjalin kasih sayang satu terhadap lainnya, di dalam menggalang persatuan dan kesatuan menyusun kekuatan menghadapi semua musuh dan lawan-lawannya, di dalam ketabahan mereka menyelesaikan perjuangan demi perjuangan, dan di dalam meratakan kasih sayang untuk menegakkan kebenaran serta menghalau kebatilan. Pengarangnya mengajak semua pembacanya untuk meneliri sejarah nabi besar bersama-sama sahabat-sahabatnya yang selalu siap melaksanakan pimpinannya. Tanyakan kepada mereka yang mengalami pertempuran-pertempuran besar di Hunain, di Badar, di Uhud, dan di semua medan juang, betapa dahsyatnya daya juang
85
 
mereka yang tak gentar menghadapi segala aksi-aksi musuh, keras dilawan keras dan tipu- muslihat dilawan dengan taktik berjuang.


Betapa otak menyentuh hakikat kebenaran Nabi, Bila hari-bari bergelimang di alam sesat dan mimpi,
Terkadang mata mencerca seolah redup sinar matahari, Bukan apa, cuma sang mata sedang gundah lantaran sakit Seteguk air yang segar terasa hambar,
Sebab badan tak enak mulutpun jadi tawar.


Demikian antara lain sindiran-sindiran halus disisipkan Al-Bushiri dalam Burdahnya.
Lepas sembahyang isya, sesudah kami dijamu dengan "potong-ayam", sementara para santri tekun dengan pelajarannya masing-masing, Kiai Hisyam menjumpai kami di kamar tidur Kiai Iskandar. Kami meneruskan berbincang-bincang mengenai situasi yang sedang terjadi dewasa itu.
"Beberapa hari yang lalu regent (bupati Hindia Belanda) mengumpulkan para kiai. Katanya atas perintah dari atasan bahwa pemuda-pemuda kita akan diwajibkan menjadi serdadu. Kami para kiai diam saja tidak memberikan reaksi apa-apa. Anak-anak santri sudah mulai gelisah. Bagaimana jelasnya mengenai soal ini?" Kiai Hisyam memulai pembicaraan.
"Itu betul!" sela Kiai Iskandar, "bahkan saya sudah dihubungi salah seorang pejabat pemerintah menanyakan sikap saya tentang hal itu. Saya cuma katakan, minta waktu, karena saya akan tanvakan kepada pimpinan atasan saya."
"Jadi bagaimana sikap kita?" Kiai Iskandar mendesak.
"Inilah yang musykil,‖ jawabku, ―pemerintah Hindia Belanda sudah merasa bahwa pada akhirnya Jepang memaklumkan perang kepada Belanda dan menduduki kepulauan kita Indonesia. Kalau ini terjadi, maka dalam tempo yang singkat saja, bala tentara Jepang dengan mudahnya memukul habis seluruh kekuatan perang Hindia Belanda. Beberapa pemimpin dan orang-orang yang dianggap pro-Jepang telah ditangkapi."
"Jadi untuk itu semua, pemuda-pemuda mau dijadikan serdadu?" tanya Kiai Hisyam.
"Itulah soalnya!" jawabku, "pemuda-pemuda kita mau dipaksa menjadi serdadu, namanya milisi. Padahal mereka belum terlatih benar sebagai tenaga perang, menghadapi tentara Jepang yang sudah bertahun-tahun bertempur di daratan Tiongkok, Manchuria, dan terus ke selatan."
"Itu berarti menjadikan anak-anak kita umpan peluru Jepang!" sela Kiai Hisyam.
"Bukan itu saja yang penting," jawab Kiai Iskandar. "Jika pemuda-pemuda kita harus berperang, apa tujuan mereka? Berperang untuk siapa dan membela siapa? Bagaimana kalau mati? Apa hukumnya mati mereka itu?"

86
 
"Begini." Aku mencari kata-kata untuk menurunkan temperamen Kiai Iskandar yang sudah mulai semangat. Sementara Kiai Hisyam menyuruh khadamnya membuat lagi kopi yang panas. Kopi tubruk.
"Dalam surat K.H.A.Wahid Hasyim yang baru aku terima, beliau ceritakan bahwa Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari telah memanggil K.H.A.Wahab Chasbullah, K.H Mahfuzh Shiddiq, K.H.Bisri Syamsuri, K.H.A.Wahid Hasyim, dan beberapa pimpinan teras Nahdhatul Ulama untuk membicarakan masalah tersebut, bertempat di Tebuireng."
"Nah, lalu bagaimana?" serentak berbareng kedua kiai ini seperti tidak sabar menantikan akhir ceritaku.
"Telah ada keputusan dalam musyawarah tersebut. Kita tidak membahasnya dari segi politiknya, tetapi semata-mata dari segi hukum Agama Islam. Tentang hukum mati dalam sesuatu peperangan. Orang bisa dihukumi mati syahid apabila mati karena membela agama, membela harta-benda, membela kemerdekaan, membela kehormatan, dan sebagainya. Sekarang kita nilai. Perang sekarang ini perang antara siapa melawan siapa? Bukankah perang antara Jepang melawan Belanda dan Hindia Belanda? Kecuali kalau Jepang memaklumkan perang dengan Bangsa Indonesia. Dari pengamatan politik, Jepang tidak akan memaklumkan perang melawan Bangsa Indonesia, bahkan Jepang sangat berkepentingan terhadap simpati Bangsa Indonesia. Sebab itu, tentunya Jepang hanya akan memaklumkan perang melawan Belanda dan Hindia Belanda," demikian aku menjelaskan.
"Itu bijaksana sekali ulama-ulama kita," sela Kiai Hisyam. "Kita kan bukan Belanda dan juga bukan Hindia Belanda."
"Kalau begitu, artinya kita menolak secara halus," Kiai Iskandar menyambung.
―Jadi, menurut keputusan Tebuireng, mari dalam suatu peperangan yang tidak karena membela agama, tidak pula kemerdekaan, tidak juga harta benda, dan juga tidak untuk membela kehormatan, itu namanya mati sia-sia, dan jelas bukan mati syahid. Masalah masuknya pemuda-pemuda kita menjadi milisi Belanda erat sekali dengan masalah mati itu tadi. Jangan lupa, masuknya pemuda-pemuda kita ke dalam milisi Belanda untuk melawan Jepang itu artinya menyerahkan nyawa di ujung bayonet Jepang," demikian aku melanjutkan keteranganku.
"Apakah keputusan musyawarah Tebuireng itu telah disampaikan kepada MIAI?" Kiai Iskandar bertanya.
"Sudah!" jawabku, "bahkan telah diterima menjadi pendirian MIAI. Beberapa hari yang lalu, MIAI telah melangsungkan sidang lengkapnya di Yogya. Hoofdbestuur Nahdhatul Ulama telah mengutus sebuah delegasi terdiri dari: K.H.A. Wahab Chasbullah, K.H. Mahfuzh Shiddiq, K.H. Mohammad Dahlan, dan K.H. Mohammad Ilyas untuk membawa hasil Musyawarah Tebuireng, dan ternyata diterima bulat sebagai pendirian dan sikap seluruh partai dan organisasi anggota MIAI."
"Alhamdulillah," sela Kiai Hisyam, "kenapa K.H.A. Wahid Hasyirn tidak masuk delegasi Nahdhatul Ulama?"
"Beliau ketua MIAI," jawab Kiai Iskandar, "lagi pula beliau ikut musyawarah Tebuireng, bukan?"

87
 
"Tentang pemuda-pemuda kita, nanti harus bagaimana? Mereka tentu tidak mempunyai keberanian untuk menolak begitu saja terhadap perintah pejabat Hindia Belanda," demikian Kiai Iskandar bertanya.
"Itu sudah diatur," aku menjelaskan, "sebuah delegasi di bawah pimpinan K.H.A. Wahab Chasbullah akan menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menjelaskan semua itu dari segi hukum Agama Islam. Menurut ketentuan penguasa bahwa milisi itu bertingkat- tingkat. Ada yang dijadikan milker, ada yang menjadi pasukan pengawal kota, dan ada tenaga-tenaga keamanan kampung. Kita akan memperjuangkan agar pemuda-pemuda yang memenuhi syarat-syarat tertentu cukuplah kiranya bilamana diserahi menjaga keamanan kampung saja. Tentu ada seleksi mengenai kesehatan tubuh, yang tidak sedang belajar dan yang belum sampai umur. Santri-santri itu tentunya masuk golongan pelajar hingga tidak dikenakan kewajiban milisi. Kalau toh cuma menjaga keamanan kampung, biar tidak ada milisi pun kita harus menjaga keamanan kampung kita, misalnya dari gangguan penjahat, maling, dan sebagainya."
"Ini ngomong-ngomong sendirian. Bagaimana tentang Jepang? Kalau mereka datang kemari, apa sikap kita?" tanya Kiai Iskandar.
"Pertanyaan ini bisa membahayakan kita di mata Belanda. Dan itu masih terlalu pagi. Kita tentu akan melihat dahulu bagaimana nanti. Yang penting, kita hadapi dulu Belanda ini dengan cara-cara yang bijaksana. Mereka masih berkuasa, dan kita harus menyelamatkan umat kita dari perbuatan fitnah mereka," aku menenangkan.
Hari sudah larut malam, masing-masing kami dipersilakan masuk tidur. Kedua kiai masih akan mengambil air wudhu untuk melakukan sembahyang malam. Sedang aku tidak kuat lagi menahan kantukku, lalu merebahkan diri di atas kasur yang sudah disiapkan.
Lapangan Waqfiyah itu sudah penuh dibanjiri pemuda-pemuda. Tiap Jum'at petang, pemuda-pemuda anggota Ansor berkumpul di sana, untuk mengadakan latihan baris berbaris, belajar huruf morse, yaitu pembicaraan melalui isyarat bendera atau bunyi pluit (sempritan), dan juga belajar memberi pertolongan pertama dalam kecelakaan. Mereka tergabung dalam satu barisan yang dipecah menjadi pasukan-pasukan, dan tiap pasukan dipecah lagi menjadi regu-regu. Mereka anggota Ansor yang telah diubah statusnya dari organisasi pemuda menjadi "Gerakan Pemuda" yang berpakaian seragam. Kemeja khaki berwarna hijau, berdasi warna hijau tua dengan lambang bola dunia diikat tali dikelilingi 9 bintang berwarna putih, dan celana panjang berwarna putih. Mereka mengenakan peci pandu sewarna dengan kemejanya.
Di kalangan dunia pemuda, di sekitar tahun 1942-an terdapat bermacam-macam organisasi. Ada yang bersifat kepanduan, seperti: "Kepanduan Bangsa Indonesia" (KBI), "Sarekat Islam Afdeeling Pandu" (SIAP), "Hizbul Wathan" (HW), "Nationale-Padvindery" (Natippy), dan lain- lain. Tetapi juga ada yang bersifat gerakan pemuda, seperti: "Surya Wirawan", "Pemuda Gerindo" (Gerakan Rakyat Indonesia), dan "Gerakan Pemuda ANSOR", yang kemudian diubah menjadi "Barisan Ansor Nahdhatul Ulama" (BANU).
Di kotaku, Sukaraja, sebuah kota kecil di Banyumas, para pemuda hampir semuanya tergabung dalam "Barisan Ansor," "Surya Wirawan," "Pemuda Gerindo", "Hizbul Wathan", dan "Kepanduan Bangsa Indonesia." Akan tetapi, yang paling besar jumlah anggotanya adalah "Barisan Ansor." Mereka terdiri dari hampir seluruh lapisan pemuda. Para santri, tukang gambar, tukang gunting rambut, para pedagang kecil, pemuda tani, buruh pabrik, dan sebagainya.
88
 
Dengan lahirnya "Barisan Ansor" maka terjadilah semacam suatu revolusi di kalangan pemuda desa. Mereka yang selama hidup tidak pernah mengenakan celana panjang, mendadak sontak tampil mengenakan celana di samping berkain sarung. Banyak terjadi hal yang lucu-lucu. Mereka masih malu-malu mengenakan celana. Jika hendak pergi ke tempat latihan, dari rumah sudah mengenakan celana, tetapi di luarnya tetap memakai kain sarung. Baru setelah tiba di tempat latihan, bila dilihat sudah mulai banyak teman-temannya yang bercelana, barulah mereka menanggalkan kain sarungnya dan celana sudah siap dikenakan. Dalam kursus-kursus maupun latihan dipergunakan bahasa pengantar, bahasa Indonesia. Namun karena masih banyak di antara mereka yang kurang memahami bahasa persatuan ini, maka uraian diselang-seling bahasa Indonesia campur Jawa Kromo. Bahkan tempat duduk pun mengalami suatu revolusi. Mereka masih enggan duduk di atas kursi, kebiasaan duduk di atas tikar. Suatu ketika kami mengadakan perayaan Maulid Nabi. Untuk menentukan macam apa tempat duduknya, apakah tetap di atas lantai ataukah di atas kursi, hampir saja perayaan menjadi urung. Sebagian menghendaki tetap di atas lantai, sebagian yang lain menghendaki kemajuan, yaitu di atas kursi. Lalu dipungut suara, sama kuat. Masing-masing pihak mempertahankan pendiriannya. Hingga sudah mulai banyak yang mengambil sikap meninggalkan ruangan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Untunglah, aku selaku pemimpin mereka, menemukan suatu pemikiran. Aku usulkan: kedua-duanya kami pergunakan. Yaitu, di waktu membaca Al-Qur'an dan Kitab Barzanji, kami semua duduk di atas tikar atau lantai. Nanti pada saat mendengarkan pidato-pidato, kami duduk di atas kursi. Usulku diterima, setelah masing-masing memberikan toleransinya. Menggelikan juga. Tatkala tiba saatnya pidato-pidato dan semuanya mulai menduduki kursinya  masing-masing,  mereka  saling  memandang  dan  senyum,  ada  juga yang cekikikan merasa ada sesuatu yang terasa lucu. Katanya, tak enak duduk di atas kursi, malu. Orang sudah dewasa kok seperti ... anak mau disunat! Ada juga yang diam-diam meninggalkan kursinya, ngeloyor duduk di lantai kembali. Untung bisa segera ditertibkan.
Jangan ditanya lagi kalau sedang memasang dasi masing-masing, kelihatannya seperti kursus mengenakan dasi saja. Maklumlah, selama hidupnya tak pernah mengenakan tali leher.
Kami, dari kelompok pimpinan, mengawasi mereka dengan terharu.
"Lihatlah, pemuda-pemuda kita ini anak dari zamannya. Selama hidupnya, barulah kali ini memakai celana panjang dan dasi," tiba-tiba saja Suhada, ketua cabang membuka percakapan.
"Benar, anak zamannya!" jawabku, "tiap zaman mempunyai anak-anaknya. Mereka korban dari keterbelakangan."
"Kita merasakan keterbelakangan akibat politik kolonial, kita dibikin bodoh," menyela Suhaimi, sekretaris cabang.
"Tidak dinyana, pemuda-pemuda santri kini baris berbaris. Akan lenyap nanti cemooh orang seolah-olah santri cuma pandai menanak nasi," sambung Haji Masruri, bendahara cabang.
"Bisakah kita menandingi kemajuan KBI dan Surya Wirawan?" sela Muhammad Ridwan, wakil ketua cabang.
"Sekarang saja kita sudah sejajar!" kataku, "padahal kita berpangkal tolak dari asal yang berbeda. Mereka pemuda-pemuda yang telah terdidik dari lingkungannya dan dari sekolahnya, sedang pemuda-pemuda kita ini, anak-anak rakyat yang buta huruf dan tidak

89
 
mengenal bangku sekolah. Selangkah lagi kita sudah berada di depan mereka!" kataku meyakinkan mereka.
"Begini banyak pemuda-pemuda yang datang berlatih. Kita tidak bisa lagi berlatih dalam satu tempat," kata Suhada sambil berdiri memperhatikan anak-anak sedang baris-berbaris.
"Saya sudah usulkan kepada Ismail, kepala barisan, agar Jum'at depan mulai dipecah sedikitnya menjadi tiga tempat. Satu di sini, satu lagi di lapangan IWS, dan satu lagi di lapangan Tallumul-Huda," Muhammad Ridwan menyambut pembicaraan.
"Akhir-akhir ini semakin membanjir pemuda-pemuda mendaftarkan diri menjadi anggota. Apakah hal ini disebabkan karena timbulnya kesadaran untuk maju, ataukah karena takut dijadikan milisi oleh Belanda?" tiba-tiba Suhaimi menanya. la sekretaris cabang, tahu benar tentang banyaknya pemuda-pemuda yang mendaftarkan diri menjadi anggota Ansor.
"Karena dua-duanya!" jawabku, "apa yang kita usahakan selama ini tidaklah sia-sia. Suatu kebangkitan telah timbul bahwa kita harus bangun dan maju. Tetapi juga karena. pemuda- pemuda ini tidak sudi menjadi alat kolonial, dijadikan umpan peluru Jepang."
"Apakah sudah ada kepastian bahwa anggota-anggota Ansor dibebaskan dari dinas milisi Belanda?" Suhada bertanya kepadaku.
"Sudah! Aku sudah jelaskan kepada pihak kepolisian Karesidenan beberapa hari yang lalu bahwa pucuk pimpinan telah memperoleh kesanggupan Gubernur Jenderal, bahwa anggota kepanduan dan pemuda-pemuda yang sedang belajar dibebaskan dari kewajiban dinas milisi. Aku jelaskan kepada mereka bahwa Ansor ini ya tergolong kepanduan ya tergolong pemuda pelajar karena mereka kaum santri," demikian kataku menjelaskan.
"Ya, tapi kalau kita dipaksa harus masuk milisi, misalnya dijadikan Stadswacht bagaimana?" Muhammad Ridwan menyela.
"Belanda juga pikir-pikir," jawabku, "mengadakan milisi itu, artinya menambah anggaran belanja. Kini hubungan Hindia Belanda dengan Nederland putus, dengan sendirinya subsidi kerajaan tak bakal datang lagi. Sedang kekuatan ekonomi Hindia Belanda akibat ancaman perang Jepang bertambah payah. Paling-paling kita cuma dipaksa harus menjadi anggota Stadswacht, itu pun Belanda masih harus pikir 12 kali."
Haji Masruri yang sejak tadi diam saja, lalu mengajukan pertanyaan:
"Stadswacht itu apa tugasnya?"
"Stadswacht itu artinya Pengawal Kota.' Tugasnya menjaga keamanan kota dan jangan sampai jatuh ke tangan Jepang. Menurut hematku, Belanda tentu hanya menyerahkan tugas ini kepada golongan yang mereka percayai. Jelas kita ini tidak termasuk yang dipercayai mereka. Mereka sebenarnya mencurigai kita sebagai penyokong atau pro-Jepang, cuma mereka belum menemukan bukti-bukti," aku menerangkan.
"Kita ini kan pro-Jepang?" Suhaimi ingin tahu pendirianku. Aku paham, ia sedang memancing aku.
"Begini! Tapi ini sangat rahasia ... !" jawabku sambil aku melihat ke kiri dan ke kanan, "Waktu aku di Surabaya karena panggilan Pucuk Pimpinan untuk membicarakan masalah ini, aku juga tanyakan tentang sikap kita terhadap Jepang. Ketika itu, K.H.A. Wahid Hasyim di muka  K.H.  Mahfuzh  Shiddiq  menerangkan bahwa  kita membantu Jepang dalam melepaskan kita dari belenggu penjajahan Belanda. Menghalang-halangi Jepang dan
90
 
membantu Belanda tentu tidak mungkin. Tidak ada gunanya. Tetapi sikap kita seterusnya terhadap Jepang setelah mereka menguasai negeri ini, tentu lain lagi. Itu akan ditentukan nanti pada waktunya. Kita sekarang memusatkan perjuangan kita lepas dari Belanda dulu."
Semua kami diam, terbayang di muka kami bahwa perjuangan bakal lebih dahsyat di masa mendatang. Kami semua telah berjanji untuk tidak membocorkan apa yang kami bicarakan karena akibatnya akan berat sekali. Kami semua juga telah mengikat janji untuk lebih meningkatkan kewaspadaan.
"Masihkah saudara menerima surat-surat K.H.A. Wahid Hasyim?" tiba-tiba Suhada mengalihkan kepada pembicaraan lain.
"Masih!" jawabku "kami selalu berkirim-kiriman surat. Hampir tiap minggu suratnya datang. Aku mengagumi orang ini. Begitu banyak urusannya selaku Ketua MIAI, ketua Nahdhatul Ulama bagian pendidikan, di samping mendampingi Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari memimpin Pesantren Tebuireng, tetapi masih saja mengirim surat-surat kepada teman- temannya. Semua surat-suratnya bersifat memberikan bimbingan dan petunjuk-petunjuk. Banyak menceritakan hal-hal penting yang tidak mungkin ada di surat-surat kabar."
"Apa tidak khawatir disensor? Padahal sernua surat-surat lewat pos sekarang disensor!" bertanya Suhaimi.
"Beliau cukup cerdik. Apa yang boleh ditulis lewat pos. Yang kira-kira bisa masuk ranjau, beliau kirim lewat kurir khusus," jawabku.
"Kalau begitu, beliau mempunyai banyak kader-kader dan banyak keluarkan biaya buat kurir ke sana ke mari," sela Haji Masruri.
"Memang benar sekali. Beliau memiliki ketajaman menilai untuk memilih siapa-siapa yang dijadikan kurir dan siapa-siapa yang diserahi tugas-tugas menghubungi banyak pemimpin. Untuk pembiayaannya, semua keluar dari kantong sendiri. Ini konsekuensinya menjadi pemimpin seperti yang pernah beliau katakan berulang-ulang, bahwa pemimpin juga harus mengeluarkan duit dari kantongnya untuk perjuangan!" aku menjelaskan.
Kami lalu beralih membicarakan tokoh K.H.A. Wahid Hasyim, bahwa beliau seorang yang memiliki kepandaian memilih orang dan menempatkannya pada tempat yang tepat. Aku katakan kepada mereka, sampai-sampai beliau mempunyai kepandaian "mens-kennis," yakni ilmu mengenal manusia. Beliau bisa mengenal watak seseorang dari tanda tangannya, dari caranya berbicara, dari caranya merokok dan makan, sampai-sampai dari caranya seseorang tertawa pun beliau bisa menerka tentang wataknya. Belku tidak pernah duduk di bangku sekolah yang mana pun, pendidikannya boleh dikatakan langsung dari asuhan ayahandanya sendiri, Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Tetapi beliau banyak membaca buku-buku dan mempelajari bahasa-bahasa asing. Tidak lupa pula, beliau belajar dari bergaul dengan sesama manusia, baik kawan maupun lawan.
"K.H.A. Wahid Hasyim mengeluarkan biaya-biaya untuk perjuangan, menerbitkan majalah, dan pergi ke sana ke mari, dari mana kekayaannya?" bertanya Haji Masruri. Sebagai bendahara cabang, rupanya ia tertarik tentang kekayaan seseorang. Dia sendiri pedagang batik.
"Beliau pernah katakan padaku bahwa beliau berdagang. Aku tidak tanyakan macam perdagangannya. Cuma beliau pernah katakan kepadaku bahwa menjadi pedagang banyak faedahnya. Pertama, bisa mencari rezeki dengan halal. Kedua, dari berdagang akan

91
 
memiliki sifat-sifat cermat, rajin, percaya kepada diri sendiri, semangat berjuang, dan banyak bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Pernah dikatakan kepadaku entah suatu hadits entah ucapan ulama, bahwa 90% dari rezeki Allah terletak pada berdagang. Aku lupa menanyakan apakah itu hadits ataukah qaul ulama," demikian aku menegaskan.
Tiba-tiba terdengar aba-aba dari pemimpin latihan, Ismail, bahwa barisan supaya berkumpul, latihan akan diakhiri. Suhada sebagai ketua cabang diminta untuk memberi nasehat dan memimpin upacara penutupan latihan. Begitu latihan ditutup, salah seorang memperdengarkan azan karena waktu maghrib telah tiba. Kami semua sembahyang maghrib berjama'ah dengan imam Muhammad Ridwan. Kecuali wakil ketua cabang, ia adalah salah seorang ustadz Madrasah Al-Huda.
Kami bersembahyang maghrib berjama'ah di Gedung Waqfiyah yang terletak di ujung lapangan yang kami pergunakan untuk latihan Ansor. Sebuah gedung yang resminya digunakan untuk tempat pertemuan (Balai Pertemuan), akan tetapi sekaligus juga mushala. Sebuah gedung sebesar 25 X 15 M, dindingnya seluruhnya tembok dan lantainya tegel. Didirikan pada tahun 1937 oleh warga Nahdlatul Ulama dengan secara gotong royong. Batu, pasir, bata-merah, dan kayu, dikumpulkan sendiri dari sungai dan membuat sendiri bangunan gedung dengan pekerja-pekerja, semuanya secara gotong royong. Modalnya sebidang tanah yang cukup luas berasal dari wakaf sebuah keluarga, oleh sebab itu maka gedung tersebut diberi nama "Gedung Waqfiyah," artinya, sebuah gedung yang berasal dari dan berstatus wakaf.
Malam itu, permulaan bulan Maret 1942, benar-benar malam kelabu yang rawan. Jalan-jalan tampak sepi dan lengang, rumah-rumah penduduk gelap tanpa lampu. Sudah beberapa hari pemerintah Hindia Belanda mengumumkan keadaan dalam bahaya dan perang. Berlakulah jam malam, dan aksi pemadaman lampu penerangan. Istilahnya ketika itu LDB, singkatan dari "Lucht Beschermen Dienst" atau dinas penjagaan dari bahaya serangan udara. Tetapi rakyat menafsirkan lampu pejah Bom Dawah (lampu mati dan bom pun jatuh). Rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan harus meminta izin penguasa. Hatta orang mengaji pun harus ada izin.
Malam itu aku berdinas menjaga gardu listrik. Pemuda-pemuda Ansor dikenakan dinas menjaga kampung, maksudku menjaga keamanan kampung. Kami masih bisa bergerombol berbincang-bincang dan mengobrol untuk mengisi malam-malam yang sepi. Karena aku mendapat tugas menjaga gardu listrik, aku bisa mondar-mandir mendatangi teman-teman yang sedang bergerombol-gerombol jaga kampung.
"Ini Belanda maunya apa? Kita disuruh duduk-duduk tidak bersenjata. Kalau nanti Jepang datang kemari dengan tank dan meriam, kita jadi apa?" temanku Sunarko, guru IWS menyeletuk mengisi kekosongan.
"Aku baca dalam koran, ketika balatentara Jepang memasuki Nanking Ibu Kota Tiongkok, jangankan rakyat biasa, tentara Tiongkok sendiri lari tunggang langgang sambil mernbuang senjatanya," jawabku.
"Tapi di sini lain!" sambung Imam Supangat, anggota Ansor yang sedang jaga kampung. "Di sini tak akan ada tentara Belanda yang lari, sebab di sini tak ada sepotong pun serdadu Belanda!"
"Makanya saya memakai sarung saja. Nanti kalau Jepang datang, saya akan sambut mereka dengan ucapan Banzai, mereka lihat saya memakai sarung 'kan tahu bahwa saya

92
 
cuma rakyat biasa!" sambung Sarmidi, anggota Ansor yang lain. Kami semuanya tertawa panjang.
"Belanda ini bodoh betul," sambung Imam Supangat, "dia mengira kita akan membantu dia, padahal kita ini anti Belanda. Atau dia sedang sekarat?"
Pembicaraan terhenti karena sekonyong-konyong berhenti di muka kami seseorang dari sepedanya. Sarmidi membisiki aku bahwa yang datang ini mantri polisi, seorang yang terkenal sangat galak. Aku sudah mulai cemas juga kalau-kalau ia menangkap pembicaraan kami. Malam itu gelap tak ada sinar lampu, kecuali kami hanya bisa memperhatikan sesuatu hanya dari cahaya bintang di langit. Tetapi dari bayangan tubuhnya, aku segera mengenali siapa orang yang turun dari sepeda ini. Segera aku menegur:
"Suhada, ya?" tegurku.
"Masya Allah, aku cari saudara di rumah, kiranya ada di sini!" benar juga terkaanku, ia Suhada, ketua cabang Ansor.
"Dari mana saudara tahu aku ada di sini?" aku membalas bertanya.
"Aku datang ke rumahmu, kata orang di rumah, saudara ada di sini," jawabnya.
"Saudara 'kan komisaris daerah Ansor Jawa Tengah, mengapa jaga gardu listrik di sini?" Suhada masih penasaran padaku.
"Aku 'kan guru dan ustadz madrasah. Asisten Wedono menetapkan aku jaga gardu listrik di sini. Aku pikir baik juga, aku bisa memperoleh kesempatan tiap malam keliling mengunjungi teman-teman yang jaga kampung," aku menerangkan.
Sarmidi yang sejak tadi ketakutan, mengira orang yang datang ini mantri polisi, menjadi lega hatinya. Sambil meninju punggung Suhada ia bertanya: "Dari mana malam begini datang kemari? Kok naik sepeda segala?"
"Kenalanku, seorang polisi datang ke rumah cari kopi, karena tak ada warung buka. Saya pinjam sepedanya sebentar karena ada urusan penting. Lalu aku kemari," jawab Suhada. la merogoh kantong kemejaku mencari rokok, aku keluarkan sebungkus "Marikangen" dari kantongku. Masing-masing mengambil sebatang.
"Begini soalnya." Suhada menyandarkan sepedanya, lalu katanya: "Aku sengaja mencari saudara karena ada berita penting. Itu polisi yang datang ke rumah, sebenamya tidak semata-mata mencari kopi. Kedatangannya kelihatan sangat gugup dan seperti orang ketakutan. Dia bilang bahwa adiknya yang bekerja di kereta api Cirebon datang ke rumahnya, melarikan diri. Jepang hari kemarin telah mendarat di Indramayu, sebagian menuju arah Bandung dan sebagian lagi menuju ke selatan, barangkali kemari. Pegawai kereta api pada bubar, masing-masing pulang ke kampungnya. Lha, polisi itu juga ikut ketakutan. Kelihatannya dia hendak lari juga. Dia menawarkan padaku untuk menyimpan uniform polisi di rumahku. Tentu saja saya tolak!"
"Suruh saja buang di kali!" sela Sarmidi.
Aku berpikir sejenak mengenangkan alangkah cepatnya peristiwa. Baru tanggal 1 Maret 1942 Jepang umumkan perang dengan Belanda. Ketika itu baru tanggal 3 Maret. Alangkah cepatnya Jepang mendarat di Jawa. Dari berita-berita yang sampai padaku pun mengabarkan bahwa Jepang sudah mendarat di Tuban dan bahkan dekat Semarang.
93
 
"Jadi bagaimana kalau demikian?" Amin Supangat dan Sarmidi berbareng bertanya kepadaku.
"Biar saja, Jepang toh tidak memaklumkan perang kepada Bangsa Indonesia. Yang penting bagi kita, harus dicegah terjadinya fitnah-menfitnah dari orang-orang yang menghendaki keonaran dalam masyarakat. Orang-orang yang mendendam akan menggunakan kesempatan dalam kesempitan!" aku mencoba meyakinkan teman-teman.
Setelah aku diam beberapa saat, aku menemukan sebuah pikiran.
"Begini, aku ada pikiran, sebaiknya kita besok kumpul di kantor Majlis Konsul. Di sana ada Pak Mukhtar dan beberapa ulama. Kita rundingkan situasi yang genting di hadapan mereka."
"Apa tidak lebih baik di sekolah IWS saja, toh sekolah pasti diliburkan. Kita tidak dicurigai siapa pun kalau kita berkumpul di gedung sekolah, alasan kita sedang bersiap-siap hendak meliburkan sekolah," tiba-tiba Sunarko mengusulkan.
Kami semua menyetujui usul Sunarko. Besok pagi, kami semua akan berkumpul di gedung sekolah IWS tempatku mengajar. Pak Mukhtar dan beberapa ulama akan kami undang ke sana.
Kami lalu bubar. Masing-masing melanjutkan tugas menjaga kampung. Aku dan Sunarko melanjutkan tugas menjaga gardu listtik. Aku tak mengerti lagi apa maunya Asisten Wedono, gardu listrik harus dijaga, padahal sudah beberapa hari listrik dimatikan di seluruh kota. Barangkali tugas kami agar melawan Jepang, kalau mereka datang hendak merebut gardu listrik kecil ini dengan tank dan meriamnya. Apa maunya agar aku melawan tank Jepang dengan lampu senterku, sebab cuma ini senjataku.
Sudah beberapa hari ini tak ada beras di pasaran. Daerahku terkenal sebagai gudang padi, tetapi aneh, habis panen itu beras seperti disapu setan saja. Pedagang beras luntang- lantung dengan pikulan kosong mencari kulakan beras, artinya mencari beras untuk dijual lagi, tetapi mereka tidak bisa menemukan beras. Di antaranya sudah mulai banyak yang mengganti dagangannya, menjual sayur atau apa saja yang bisa dijualbelikan.
Penduduk sudah sangat gelisah karena tidak ada lagi simpanan beras. Jangankan untuk disimpan, untuk dimakan sehari itu saja sukarnya bukan main. Ada juga dengan bisik-bisik orang memperoleh barang satu dua kaleng susu, tetapi Masya Allah, jangan ditanya lagi harganya.
Selama hidupku, baru kali itu aku mengalami bagaimana sukarnya mencari beras. Sekolah dan madrasah tempatku mengajar sudah beberapa hari ini diliburkan karena suasananya tidak memungkinkan lagi untuk belajar. Orang-orang sibuk dengan membuat lobang perlindungan seperti yang dianjurkan oleh pemerintah, tiap-tiap rumah harus membuat lobang perlindungan untuk tempat berlindung bila terdengar bunyi kentongan tanda bahaya serangan udara. Begitu terdengar kentongan atau bunyi sirene tanda ada serangan udara, masing-masing orang berlari-lari menuju ke lobang perlindungan dengan menggigit sepotong karet, maksudnya bila ada suara bom, rahang dan telinga terlindung dari sentakan suara yang memekakkan telinga. Supaya karet tidak mudah hilang, maka diikatlah pada tepinya dengan seutas benang atau tali, dan digantungkan pada leher. Lucu juga jadinya. Semua orang begitu, tak perduli laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun kakek- kakek. Begitu suara kentongan atau sirene berhenti tanda serangan udara telah dianggap selesai, orang baru teringat bahwa perutnya pada keroncongan. Mereka pergi hilir-mudik
94
 
dengan panci atau bakul kosong untuk mencari beras. Yang rnemegang duit pun susah, apalagi yang tidak memegang barang satu sen pun. Sudah banyak orang yang mengganti menu sehari-hari, bukan lagi makan nasi, tetapi makan rebusan singkong atau pisang rebus. Tetanggaku mempunyai banyak piaraan ayam. Sudah dua hari cuma makan ayam goreng saja. Ketika baru sekali dua, ia merasa seperti raja, cuma makan ayam goreng atau opor ayam tanpa nasi. Tetapi setelah dua hari terus-menerus, perut tidak kuat lagi, mencret dia. Pikirnya, barangkali akan mati dia bukan karena kena bom Jepang, tetapi karena kebanyakan makan ayam goreng. Kasihan dia!
Hari-hari pada minggu pertama bulan Maret 1942 merupakan hari-hari paling sibuk buat Hindia Belanda. Banyak truk-truk militer penuh dengan serdadu-serdadu campuran. Ada serdadu KNIL (Belanda dan Bumiputera), ada juga serdadu Australi. Mereka bertruk-truk hilir-mudik, ke barat dan ke timur dengan muka-muka lesu dan murung. Banyak di antaranya tidak lagi memakai baju, bahkan ada yang mengenakan peci hitam. Mudah sekali diterka bahwa mereka dalam kebingungan dan ketakutan. Sesekali mereka berhenti di pinggir jalan raya, tidak jelas apa yang dikerjakan, satu dua opsir mereka tampak berunding, lalu memerintahkan iring-iringan truk berbalik haluan, lalu pergi begitu saja. Dari mulut ke mulut orang berbincang-bincang bahwa kota pelabuhan paling penting di daerah Banyumas, Cilacap, berkali-kali mengalami pemboman oleh pesawat-pesawat Jepang. Pesawat- pesawat itu membomi kota Cilacap dan sekitarnya dalam formasi yang besar, berpuluh- puluh jumlahnya.
Kami baru saja mengadakan pertemuan di salah satu masjid, mendengarkan laporan- laporan, dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu. Banyak dikemukakan dalam laporan teman-teman bahwa di beberapa jalan raya diketemukan pakaian seragam serdadu KNIL dan Australi dengan beberapa senjata karaben. Tampaknya semua itu dibuang begitu saja. Dilaporkan juga bahwa kantor-kantor pemerintah terdapat kosong, tidak berpenghuni. Sementara itu, satu dua toko Cina digedor orang untuk diambil barang- barangnya.
Para kiai berkumpul untuk membicarakan situasi yang sangat tidak menentu. Sebagian berpendapat bahwa tidak dibenarkan terjadinya penggedoran-penggedoran terhadap toko- toko karena hal itu dipandang sebagai bentuk perampasan hak milik orang dalam situasi yang genting. Bisa menjurus kepada keonaran yang membahayakan keselamatan umum. Tetapi juga ada yang berpendapat bahwa hal itu boleh saja karena kita dalam keadaan perang. Sebagian berpendapat bahwa yang berperang itu bukan kita, tetapi Belanda melawan Jepang. Ada lagi yang berpendapat lain, bahwa dewasa itu sebenarnya menjadi tanggung jawab penguasa. Namun karena kekuasaan penguasa telah sangat goyah dan bahkan tidak ada lagi kekuasaan, maka dalam situasi kekosongan kekuasaan, menjadi kewajiban para ulama untuk menjaga ketertiban dan keamanan umum. Tetapi bagaimanapun juga, akhirnya diambil kata mufakat bahwa dewasa itu tidak ada lagi yang bernama kekuasaan. Dalam keadaan demikian, maka kewajiban para ulama dan pemimpin masyarakat mengambil tanggung jawab ketertiban dan keamanan umum. Kita adalah rakyat. Harus dijaga kesel-matan harta bendanya dan nyawanya. Harus diambil langkah untuk membatasi sekecil mungkin terjadinya keonaran dan keributan.
Tiba-tiba kami mendengar suara sangat gemuruh dan teriakan-teriakan. Aku segera keluar dari tempat pertemuan untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat orang banyak berbondong-bondong menuju suatu arah. Mereka meneriakkan kata-kata yang tidak jelas. Mereka menenteng panci-panci dan bakul-bakul kosong. Aku hampiri mereka.
95
 
"Saudara-saudara mau kemana?" aku berdiri menghadapi mereka.
"Mau ke kelurahan! Kita mau bongkar lumbung padi!" teriak mereka bersahut-sahutan. Sementara itu, teman-temanku pemuda Ansor mengelilingi aku, mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu mengenai diriku.
"Siapa pemirnpinnya?" aku bertanya dengan sopan. Aku berusaha untuk menenangkan suasana.
"Tidak ada! Ini kehendak orang banyak. Kehendak kita sendiri!" teriakan mereka semakin memekik-mekik. Aku perhatikan sepintas lalu mereka berbicara dengan emosi, tinju digenggam. Teriakan tak habis-habisnya keluar dari mulut mereka yang sudah basah oleh buih. Benar-benar suatu barisan orang lapar. Mereka tak perduli lagi akan bahaya perang. Mereka cuma memuntahkan emosinya, emosi orang-orang yang sedang lapar! Aku hampiri satu dua orang di antara mereka yang aku kenal baik. Aku pegang bahunya sambil kataku pelan:
"Saudara masih mengenai aku bukan? Siapakah aku ini?" demikian kataku bertanya untuk menenangkan hatiku yang mulai gentar juga menghadapi barisan orang-orang lapar ini.
"Kenal, siapa saudara!" jawab mereka sambil menyebut namaku. Aku merasa, sudah mulai turun temperamen mereka. Aku sudah biasa menghadapi anak-anak yang gaduh dalam kelas, tetapi menghadapi orang-orang ini lain sama sekali. Karena itu, aku juga membaca- baca doa Selawat.
"Begini, aku ada usul!" aku mengatur hatiku sendiri yang sudah mulai hilang gentarku. Sudah tambah mantap kepercayaanku pada diriku.
"Kalau saudara-saudara memerlukan beras, aku pun juga memerlukannya..." Sampai di sini kata-kataku dipotong mereka dengan teriakan: "Hidup-Hidup!"
"Dengarkan dulu kata-kataku!" aku sudah mulai berani berlagak memerintah mereka. Batinku, separo dari mereka sekurang-kurangnya sudah berada dalam genggamanku.
"Dengarkan, dengarkan! dengarkan kawan-kawan...!" bentak mereka kepada kawan- kawannya. Mereka lalu diam menunggu apa yang hendak kukatakan.
"Mari ikuti aku menemui Pak Lurah! Tapi semuanya tidak boleh ada yang berbicara. Cuma akulah nanti yang akan bicara kepada Pak Lurah. Dan tidak boleh merusak benda-benda apa pun. Semuanya harus taat di belakangku. Aku akan meminta secara ikhlas, agar Pak Lurah memberi kita beras!"
"Sanggup apa tidak?" tanyaku menantang.
"Sangggguuuuuppp...!" Jawab mereka serentak sambil mengepalkan rinju mereka.
"Aku nanti akan meminta beras dengan suka rela. Tetapi tidak akan merampok. Aku tidak setuju kalian membongkar gudang padi, itu perampokan! Sanggup tidak mentaati ajakanku?" demikian aku bertanya dengan tegas. Aku merasa aku sudah bisa menguasai mereka. Aku merasa aku menjadi kuat.
"Sangggguuupppp ...!" mereka berteriak serentak.
"Nah, mari ikuti aku! Tetapi harus tertib. Jangan ada yang berteriak-teriak. Semua harus kelihatan sopan," begitu ajakanku.

96
 
Aku berjalan di muka. Satu dua orang dari mereka yang aku sudah kenal, aku ajak berjalan di muka mendampingi aku. Dan mereka mengikuti aku dari belakang. Mereka berjalan dengan tertib dan sopan.
Kami tiba di kelurahan. Pak Lurah dengan dikelilingi oleh beberapa orang polisi desa dan pamong desa menjemput kedatanganku.
"Wonten punopo?" (ada keperluan apa), Pak Lurah menyambut kedatanganku. Beliau dan stafnya tampak sedikit pucat mukanya melihat begitu banyak orang-orang membawa panci- panci dan bakul-bakul kosong berada di belakangku. Aku dipersilakan duduk, dan aku meminta orang-orang di belakangku supaya tenang dan terrib, jangan ada yang teriak apa pun.
"Begini Pak Lurah!" aku mulai menata untuk memulai pembicaraan.
'"Orang-orang ini adalah penduduk desa ini seperti Pak Lurah mengenalnya. Mereka sudah berhari-hari tidak memperoleh beras. Begitu sulitnya mencari beras. Agar supaya mereka tidak mengambil tindakan-tindakan sendiri-sendiri, dan agar tidak berbuat yang melanggar hukum, aku memberanikan diri menjadi juru bicara mereka menghadap Pak Lurah."
"Terima kasih. Dan silakan bagaimana yang dimaksud kedatangan ini?" jawab Pak Lurah dengan sopan sekali. Aku sudah membayangkan bahwa tujuan kami insya Allah akan berhasil.
"Pak Lurah lebih tahu dari aku. Di desa ini ada lumbung padi, masih banyak padi tersimpan. Gunanya tentu saja untuk dipergunakan di waktu sangat diperlukan dalam keadaan mendesak. Orang-orang ini adalah rakyat Pak Lurah. Aku mengusulkan, apa tidak sudah waktunya bila padi milik desa ini sekarang dibagi secara adil dengan cara yang baik-baik. Misalnya, dua pertiga dibagikan kepada segenap penduduk, terutama yang sangat memerlukan. Sedang sisanya, tetap disimpan rnenjadi milik desa."
"Kulo sepakat sanget Mas!" (Saya setuju sekali), demikian sambutan Pak Lurah dengan ramahnya. Pak Lurah dengan seluruh pamong desa lalu merundingkan cara pelaksanaannya.
Aku berpamitan setelah aku yakin bahwa pelaksanaannya akan dilakukan dalam waktu sesegera mungkin. Orang banyak menyalami aku dengan ucapan-ucapan terimakasih. Tidak lupa, Pak Lurah pun menyalami aku dengan ucapan terima kasih.
Dari kejauhan aku melihat orang berlari-lari sambil membawa barang-barang bawaan. Dari ujung jalan orang menggelindingkan ban-ban mobil yang masih terbungkus rapat. Sebagian lagi menggendong benang tenun, tekstil, dan benda-benda lain yang asing bagiku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sepanjang jalan bertambah banyak orang berkerumun, ada yang sedang membagi-bagi barang bawaannya, dan sebagian lagi berlari-lari menuju ujung jalan. Aku hampiri mereka untuk menanyakan apa yang terjadi. Kiranya mendapat jawaban bahwa beberapa orang tentara Jepang telah memasuki kota, mereka menyuruh rakyat menggedor gudang-gudang milik "Jacobson van den Berg," milik "Escomto," dan lain-lain maskapai perdagangan Belanda.
Bukan main hiruk-pikuknya suasana sepanjang jalan. Orang berlari-lari kian kemari sambil meneriakkan kata-kata "Jepang datang, Jepang datang" dan lain-lain kata-kata yang tidak jelas.

97
 
Aku menuju ke kantor Majlis Konsul Nahdhatul Ulama. Di sana telah banyak berkumpul para kiai dan tokoh-tokoh Ansor. Aku menjumpai Pak Mukhtar, Konsul Nahdhatul Ulama, untuk membicarakan situasi yang sedang terjadi. Kami telah sampai kepada suatu kesimpulan bahwa keadaan telah berubah. Keadaan sudah tak mungkin bisa terkendalikan. Kami hanya memelihara keamanan pribadi dan milik penduduk yang bisa diselamatkan. Situasi telah menjadi suatu yang tak mudah dikendalikan lagi. Hanya suatu kekuasaanlah yang bisa mengatasinya.
Sebuah pesawat terbang Dai Nippon menyebarkan surat-surat selebaran yang menyebutkan bahwa hari iru, 9 Maret 1942, pimpinan angkatan perang Hindia Belanda Mayor Jenderal Ter Poorten telah menyerah kepada Jepang, dan Gubernur Jenderal Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyerah dan ditawan Jepang.
Diserukan supaya rakyat tetap tenang dan bekerja seperti biasa. Suatu pergantian zaman telah terjadi!
Belanda yang selama ini dengan gagahnya menepuk dada akan bertempur sampai titik darah yang penghabisan, akan melawan musuh hingga serdadu yang terakhir, ternyata telah menyerah. Semboyan mereka bahwa: Lebih baik mati berkalang tanah daripada menyerah kepada musuh, ternyata tidak dipenuhi. Hanya dalam waktu 8 hari, boleh dikata tanpa ada pertempuran dan perlawanan sekalipun, Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang.
Sementara itu, disebarkan pamflet-pamflet dari tentara pendudukan Jepang, yang berisi perintah, agar penduduk yang menyimpan barang-barang gedoran dari gudang-gudang milik Belanda segera menyerahkan di kantor Kawedanan setempat. Siapa yang menyerahkan barang-barang itu tidak akan diambil tindakan apa-apa. Tetapi kepada mereka yang tidak mau menyerahkannya, akan diambil tindakan militer sesuai dengan hukum perang.
Maka, berbondong-bondonglah rakyat menyerahkan barang-barang gedorannya ke kantor Kawedanan. Aku tidak tahu pasti, apakah semuanya diserahkan ataukah ada sebagian yang tetap mereka simpan.
Entah perintah dari mana, rumah-rumah sepanjang jalan raya mengibarkan bendera Merah Putih. Bendera kebangsaan kita yang selama zaman Belanda haram untuk ditabarkan. Tetapi sore itu serentak saja rakyat mengibarkannya. Bendera kebangsaan ini dikibarkan untuk menyambut kedatangan bala tentara Jepang yang sebentar lagi akan memasuki kota.
Aku baru saja menyelesaikan sembahyang maghrib ketika orang-orang berlari-lari menuju pinggir jalan raya. Terdengarlah buat pertama kali kata-kata Jepang "Banzai, Banzai!" dari mulut-mulut penduduk, dengan diselingi teriakan-teriakan Hidup Nipoon! Hidup Nippon!
Tatkala aku tiba di jalan raya, dari arah timur tampak iring-iringan mobil-mobil berwarna hijau tua dengan truk-truk militer, semuanya penuh berisi serdadu-serdadu dan opsir-opsir Jepang berpakaian seragam. Mereka acuh tak acuh menyambut tepuk-sorak rakyat "Banzai, Banzai!" hanya satu dua saja yang melambaikan tangannya di balik kaca mobil yang samar-samar kelihatan karena tertutup oleh kain sutera putih.
Aku perhatikan bentuk tubuh mereka dan pakaian seragamnya, persis seperti yang pernah aku lihat di gambar-gambar dalam koran-koran ketika Jepang memasuki Tiongkok. Benar- benar bangsa kate! Tubuhnya pendek-pendek sambil menyandang bedil-bedilnya dengan bayonet terhunus. Tampaknya bedil dengan bayonet terhunus masih lebih panjang

98
 
dibanding tubuhnya. Topinya terkenal khas Nippon, terbuat dari kain sewarna dengan bajunya yang hijau kekuning-kuningan, dengan rumbai-rumbai menutupi tengkuknya. Dibanding dengan seragam serdadu Belanda, maka seragam tentara Jepang seperti model seenaknya, dengan tanggung di bawah siku, baju dan celananya tampak kedodoran dengan kedua kakinya dibalut kain dari bawah lutut hingga pergelangan kaki, yang disambung dengan sepatu dari karet. Mereka menampakkan wajah yang angker dan keras memegang disiplin. Lebih acuh tak acuh lagi menjawab lambaian rakyat.
Aku tinggalkan jalan raya setelah iring-iringan Jepang selesai melintasi kotaku. Mereka menuju Purwokerto, ibu kota Karesidenan Banyumas.
Semalam itu, aku paksakan untuk tidur, beberapa malam kekurangan tidur. Di kepalaku penuh berbagai pikiran. Telah berakhirkah zaman penjajahan? Apa yang harus aku lakukan dengan teman-teman di hari-hari yang akan datang? Terkenang padaku kejadian di Manchuria dan Tiongkok. Jepang menduduki negeri-negeri itu, namun bangsa Manchuria dan Tionghoa tetap saja dijajah Jepang, seperti halnya bangsa-bangsa Formosa dan Korea yang lebih lama lagi hidup dalam penjajahan Jepang.
Di kepalaku berisi tanda tanya, apakah suatu pertanda: tamatnya suatu penjajahan untuk memulai zaman penjajahan baru? Zaman penjajahan Belanda telah tamat. Akan menyusulkah zaman penjajahan Jepang?
Aku penat sekali dengan pikiran-pikiran yang tak mau hilang dari benakku. Tetapi aku juga letih memerlukan tidur. Aku tidak ingat lagi sampai di mana aku sanggup berpikir, aku tidur juga pada akhirnya. Selama tidur, aku tak berpikir lagi, bermimpi pun tidak!

 Di Bawah Penjajahan Seumur Jagung

Sebelum bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia, berbulan-bulan lamanya Radio Tokyo menggemakan lagu kebangsaan kita dalam siaran-siarannya yang ditujukan kepada Bangsa Indonesia. Propaganda Jepang bahwa mereka akan membebaskan bangsa kita dari belenggu penjajahan sangat menarik sekali. Banyak orang yang terpengaruh oleh cerita dari mulut ke mulut bahwa bangsa yang berkulit kuning akan memerdekakan Indonesia dan penjajahan Belanda, demikian katanya menurut ramalan Joyoboyo. Kini bangsa yang berkulit kuning ini telah datang.
Begitu bala tentara Jepang yang berkulit kuning menjejakkan kakinya di bumi persada Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya mendengung-dengung memenuhi penjuru Tanah Air, ikut mengelu-elukan kedatangan anak-anak "Matahari-Terbit" sebagai tanda berterima kasih, karena telah membebaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
Untuk beberapa hari saja lagu kebangsaan kita bergema melalui Radio Indonesia yang telah dikuasai Jepang.
Propaganda bahwa Jepang benar-benar membebaskan bangsa kita dari belenggu penjajahan semakin termakan.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian lagu kebangsaan itu dibungkam dari siaran-siaran radio Indonesia, bahkan tidak lagi diizinkan untuk diperdengarkan dalam setiap pertemuan dan upacara apa pun. Sebagai gantinya, Jepang mewajibkan diperdengarkan lagu kebangsaan mereka Kimigayo sebagai lagu wajib dalam siaran-siaran radio, dalam pertemuan-pertemuan dan upacara-upacara. Setiap pagi, siang, petang, dan malam lagu Kimigayo itu berdengung-dengung memenuhi Nusantara kita.
Nasib serupa menimpa bendera kebangsaan kita, Merah Putih. Jepang melarang dikibarkan bendera kebangsaan Indonesia. Di tiap kantor, jawatan, dan rumah-rumah penduduk harus dikibarkan bendera Jepang Hinomaru, berwarna putih mulus dengan bola merah di tengahnya.
Mulai timbul kesadaran di kalangan rakyat bahwa kita telah terkecoh oleh kelicikan propaganda Jepang. Bahwa mereka telah membebaskan kita dari penjajahan Belanda memanglah benar. Tetapi kita telah tertipu oleh kelicikannya, bahwa lepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya, lepas dan penjajahan Belanda dicengkeram di kuku penjajahan Jepang. Rakyat menjadi sadar bahwa diplomasi propaganda Jepang telah membuat kecele sebagian bangsa kita yang terpengaruh oleh propaganda mereka. Kalau memang Jepang benar-benar hendak membebaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, artinya dari penjajahan siapa pun, buat apa mereka melarang lagu dan bendera kebangsaan kita? Kiranya, dengan dalih pengakuannya sebagai "saudara tua," mereka akan menjajah "saudara muda"-nya dengan kedok atas nama melindungi dan memimpin.
Kesadaran akan datangnya penjajahan baru menjadi semakin kuat setelah Jepang menamakan dirinya "saudara tua" Bangsa Indonesia. Sebutan Jepang atau japan tidak

100
 
diperkenankan lagi, dan sebagai gantinya mereka harus disebut Dai Nippon, artinya: Jepang Yang Besar!
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di mana-mana orang dipukuli Jepang. Sedikit saja melakukan perbuatan yang dianggap salah, Jepang dengan serta-merta menempeleng kepala. Di kalangan pesantren sudah umum julukan bagi Jepang sebagai setan- gundul artinya, setan yang berkepala gundul karena gemar akan gundul atau kepala orang Indonesia. Jika saja kita lewat di muka serdadu Jepang yang sedang berdiri dengan bayonet terhunus, atau ber-papasan dengan mereka, lalu kita lupa tidak menghormat mereka dengan membungkukkan badan, kontan saja ia memanggil dengan sungut-sungutnya, lalu kepala kita ditempelengnya beberapa kali. Tidak perduli siapa kita, rakyat biasa atau orang yang patut dihormati sekalipun, baik pemuda maupun orang tua.
Suatu "kebudayaan" baru datang menyertai kedatangan tentara Jepang, ialah "kebudayaan" Saikere. Semua anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantten, tiap pagi sekitar jam 7, harus berbaris menghadap arah Tokyo, lalu membungkukkan badan 90 derajat selama beberapa derik, maksudnya untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang, yang pagi itu barangkali sedang sarapan pagi atau sedang mandi di istananya di Tokyo.
Masalah saikere ini menimbulkan kegemparan di kalangan para ulama dan dunia pesantren di seluruh tanah air. Membungkukkan badan hingga 90 derajat dengan maksud menghormat sesama manusia biar raja sekalipun, menurut pandangan para ulama adalah haram, dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ruku dalam sembahyang orang Islam, yang hanya diperuntukkan menvembah Allah SWT. Selain Allah, biar raja sekalipun, biar katanya Tenno Heika adalah tuhan bangsa Jepang keturunan dewa simaterasu, dewa di langit sekalipun, haramlah diberi hormat dengan membungkukkan badan hingga 90 derajat bentuknya. Pendirian para ulama dan dunia pesantren disampaikan kepada Saikoo Sikikan, panglima besar tentara Jepang di Jakarta, namun Jepang tidak menggubris. Keharusan Saikere berjalan terus!
Sekitar bulan April-Mei 1942, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menggemparkan seluruh dunia pesantren.
K.H. Hasyim Asy'ari, pemimpin Pesantren Tebuireng dan Rais Akbar Nahdhatul Ulama ditangkap Jepang. Beliau dimasukkan ke dalam penjara di Jombang, lalu dipindahkan ke penjara Mojokerto, dan akhirnya di penjara Bubutan, Surabaya. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama K.H. Hasyim Asy'ari sebagai tanda setia kawan, sebagai tanda khidmah kepada guru dan pemimpin mereka yang telah berusia sekitar 70 tahun itu.
Tidak jelas kesalahan apa yang menyebabkan Hadratus Syaikh ini ditangkap. Tetapi peristiwa tersebut membakar seluruh dunia pesantren dalam memulai gerakan di bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang.
Konon kabarnya, Hadratus Syaikh dituduh mengadakan aksi menentang kekuasaan Jepang di Indonesia. Padahal yang sebenarnya, Jepang sendirilah yang membuat tindakan- rindakan yang menyebabkan rakyat menjadi anti Jepang. Mereka di mana-mana merampas padi rakyat, kekayaan tanah air kita diangkuti ke negeri mereka untuk membiayai peperangan mereka melawan sekutu. Jepang di mana-mana terkenal dengan kegemarannya memperkosa kehormatan wanita kita untuk melampiaskan hawa nafsunya. Propaganda mereka bahwa kedatangannya untuk membebaskan bangsa Indonesia dari
101
 
penjajahan Belanda, kiranya cuma menggantikan kedudukan Belanda selaku penjajah berikutnya. Jikalau hal ini membuat rakyat menjadi marah dan melakukan gerakan anti Jepang, janganlah Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari yang disalahkan. Tetapi, jikalau Jepang menganggap bahwa hal itu disebabkan karena digerakkan oleh beliau, maka secara langsung dan tidak langsung Jepang mengakui K.H. Hasyim Asy'ari sebagai ulama paling besar pengaruhnya di kalangan rakyat Indonesia.
Lebih dari empat bulan Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dipenjarakan Jepang. Baru dibebaskan setelah usaha yang terus-menerus dilakukan oleh para ulama di bawah pimpinan K.H.A. Wahab Chasbullah dan K.H.A. Wahid Hasyim untuk menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Entah karena over-compensatie, memberi secara berlebihan, ataukah karena menyadari pengaruh dan wibawa Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, setelah terjadinya penangkapan diri beliau, tidak lama kemudian Saikoo Sikikan sebagai penguasa tertinggi pemerintah bala tentara Jepang di Jawa, mengangkat K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Shumubucho, kepala jawatan urusan agama pusat, dengan dua orang wakilnya, masing-masing: K.H. Abdulkahar Muzakir dan K.H.A Wahid Hasvim. Buat K.H.A. Wahid Hasyim ditambah lagi kedudukan sebagai anggota Chuuoo Sangi In kira-kira setingkat dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.
Suatu hari, dalam pertengahan tahun 1942, aku mendapat panggilan dari K.H.A. Wahid Hasyim agar menemui beliau di Jakarta. Berangkatlah aku ke Jakarta dengan penuh tanda tanya dalam kepalaku, apa maksud panggilan itu. Tetapi aku telah membayangkan bahwa akan ada tugas baru diserahkan pada pundakku.
"Aku ingin memberitahukan kepada saudara bahwa suatu tahap baru dalam perjuangan kita harus kita mulai sekarang," demikian kata K.H.A. Wahid Hasyim kerika aku menjumpainya di Hotel Des Indes, sebuah hotel kelas satu di Jakarta. Hotel yang di zaman kolonial hanya ditempati oleh pembesar-pembesar Belanda.
"Apa artinya tahap baru dalam perjuangan kita, Gus?" kembali aku bertanya. Aku selalu memanggil beliau dengan sebutan Gus. Di kalangan pesantren dan dunia ulama terkenal dengan sebutan Gus Wahid.
"Setan gundul ini, maksudnya Jepang merasa bahwa peperangan antara mereka dengan sekutu akan memakan waktu lama dan memerlukan kelengkapan perang yang bukan main hebatnya. Setan gundul ini tahu bahwa ulama mempunyai pengaruh yang besar sekali di kalangan rakyat kita. Sebaliknya, mereka juga mengetahui bahwa rakyat sangat membenci orang-orang yang selama ini menjadi alat yang membantu dengan setia penjajahan Belanda. Jepang kini sedang memikat hari rakyat. Mereka sangat memerlukan dukungan rakyat!" K.H.A. Wahid Hasyim memulai menjelaskan buah pikirannya.
"Mereka telah membebaskan kita dari penjajahan Belanda, mereka telah mengusir Belanda dari kedudukan penguasa di negeri kita. Ini berarti babakan dalam perjuangan kita telah berakhir. Nah, kini kita memasuki tahapan baru dalam perjuangan, yakni menghadapi Jepang sebagai penjajah baru."
Aku mulai paham apa yang dimaksud dengan tahapan baru dalam perjuangan. "Bagaimana kita menghadapi Jepang, mereka sangat kuat, mempunyai angkatan perang yang sanggup menaklukkan seluruh daratan Tiongkok, Manchuria, dan kini menguasai Filipina, Thai, Burma, Indo-China, Malaya, dan Indonesia," demikian kataku menyela.

102
 
Dengan menyibirkan bibirnya, beliau menjawab:
"Saudara ingat dongeng-dongeng Al-Baidaba tentang cerita dunia binatang. Singa dan harimau sebagai raja hutan dan gajah yang mempunyai keperkasaan, toh bisa dikalahkan oleh kancil, dan kancil masih dikalahkan oleh siput-siput yang bersatu!"
"Bagaimana Gus, aku masih belum mengerti dalam hubungannya dengan teori perjuangan!" aku menanya karena sudah tak sabar lagi.
"Kita pakai ini!" sambil menunjuk ke keningnya, ―kita harus memakai otak dan pikiran. Kita bisa menjadi "kancil" dalam menghadapi segala singa dan serigala. Dan saya akan mengubah teori Al-Baidaba, janganlah kancil bermusuhan dengan siput, tetapi harus bersahabat. Ya, kalau saya sendiri tentulah tidak akan bisa menjadi "kancil" yang berhasil mengelabui singa dan serigala. Akan tetapi kalau kita kaum ulama bersatu, insya Allah akan jadi "kancil," bahkan lebih dewasa dan lebih dari sekadar "seekor kancil."
"Dari mana kita harus memulai?" aku bertanya.
"Nah itu dia suatu pertanyaan yang penting. Begini! Hadratus Syaikh dan saya diserahi Jepang membentuk Kantor Jawatan Agama Pusat. Saya telah katakan kepada Saikoo Sikikan bahwa hal itu tidaklah mungkin jika tidak dibentuk kantor-kantor cabangnya di seluruh Jawa dan Madura. Luar Jawa mempunyai susunan pemerintahan militer tersendiri yang lepas dari kekuasaan mereka di Jawa dan Madura. Sebab itu, kita cuma diberi wewenang terbatas hanya di Jawa dan Madura. Usul saya agar dibentuk kantor-kantor cabang di daerah-daerah disetujui Jepang. Arti kata "daerah" terbatas pada daerah Karesidenan, karena susunan pemerintah militer Jepang demikian," K.H.A. Wahid Hasyim menjelaskan.
"Jadi di tiap-tiap Karesidenan akan dibentuk kantor urusan agama?" aku meminta penjelasan.
"Benar, di tiap karesidenan akan dibentuk. Namanya, menurut mereka: Shumuka, kantor urusan agama karesidenan. Kepalanya bernama Shumukacho, harus seorang ulama. Ketika Jepang bertanya kepada saya mengapa harus ulama, saya jawab, karena tugasnya mengurus Agama Islam, tidak ada yang lebih ahli tentang keislaman kecuali kaum ulama. Adapun pegawainya terdiri dari orang-orang yang berpendidikan ulama dan ada yang bukan golongan ulama, tetapi harus berjiwa Islam dan mempunyai cita-cita perjuangan Islam."
"Saya merasa bersyukur bahwa dulu kami mengadakan pembaruan dalam sistem pesantren", beliau meneruskan keterangannya. "Apa yang dilakukan oleh K.H. Muhammad Ilyas bersama-sama saya dan teman-teman mengadakan perubahan dalam pelajaran pesantren, alhamdulillah diikuti oleh pesantren-pesantren yang lain. Seperri saudara ketahui, bertahun-tahun yang lalu, kami adakan pelajaran membaca dan menulis huruf latin, bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah Indonesia, dan berhitung dalam Pesantren Tebuireng. Sekarang itu semua diikuti oleh pesantren-pesantren yang lain. Santri-santri lulusan Tebuireng begitu banyak tersebar di mana-mana. Ini tentu akan memudahkan usaha kita membentuk kantor-kantor urusan agama daerah," beliau meyakinkan aku.
"Kalau begitu, prinsip kita membantu Jepang?" aku bertanya.
"Saudara harus tahu, ini perjuangan. Dalam perjuangan bisa berlaku tipu-menipu, ini istilahnya secara kasar. Musuh menipu kita, dan kita memakai akal, sehingga siapa memperalat siapa. Saudara masih ingat, bukankah dalam Al-Qur'an telah difirmankan:

103
 
Wa makaru wa makara Allahu wa Allahu khairu al-makirin,
"Mereka melakukan tipu muslihat, dan Allah Maha Pengatur daya-upaya!"
"Saya kasih tahu saudara, ini bangsa menamakan dirinya Nippon. Di kalangan para santri, nippon yang oleh Jepang harus diucapkan nippong, itu diartikan "nipu wong" (menipu orang). Mereka katanya akan membebaskan kita dari penjajahan Belanda, memang benar kita dibebaskan, tidak lagi dijajah Belanda, tetapi apakah setelah bebas dari Belanda kita jadi merdeka ataukah dijajah mereka, itu tidak mereka katakan. Inilah bentuk penipuannya. Masa kita tidak bisa membalas mengakali mereka?" beliau jelaskan.
'Prinsipnya dulu, apakah kita membantu Jepang?" aku mendesak.
"Prinsipnya, kita membantu kita sendiri!" jawabnya tegas. "Kita membantu diri kita melalui kesempatan yang mereka berikan. Mungkin, dan ini pasti, mereka tentu akan memperalat kita. Tetapi kita kan bukan benda mati! Yang penting kita pergunakan sebaik-baiknya kesempatan yang mereka berikan. Dengan kesempatan itu, kita mempunyai alat berjuang. Sementara, ibarat orang main sepak bola, kita mungkin akan kemasukan gol, tetapi jika kita pandai menyepak bola, tahu akan peraturan permainan dan mengadakan kerjasama di antara kesebelasan kita, kita juga bisa memasukkan gol-gol di gawang lawan. Sementara itu, saya akan mengadakan kerjasama dengan lain-lain golongan, misalnya, dengan golongan Sukarno-Hatta, golongan Chairul Saleh, B.M. Diah, golongan Tan Malaka, dan sebagainya." Beliau memandang jauh ke depan seolah sedang melihat jauh ke muka, tentu di dalam pikirannya sedang penuh dengan perjuangan yang besar.
"Wah, ini suatu perjuangan besar, Gus" aku menyela.
"Memang perjuangan besar. Tetapi harus kita mulai sekarang. Kita tidak bisa dikatakan lemah. Al-Muslimuna 'ala khairin innama ad-dhu'fu fi al-qiyadah, (umat Islam selamanya dalam keadaan baik, cuma kelemahan selamanya di pihak pimpinan). Umat di mana-mana menantikan pimpinan. Dan kita ini golongan pimpinan. Kita sudah mulai memperoleh kesempatan. Bodoh sekali kalau kesempatan ini tidak digunakan. Kita sudah belajar sekian lama, sudah mempunyai pengalaman betapa pahitnya menjadi anak jajahan. Sekarang tinggal keberanian berbuat, dan saya merasa saya berani bertindak!" Beliau katakan dengan tegas dan bersemangat.
Kami masing-masing diam. Lama juga kami diam, masing-masing dengan pikiran yang memenuhi kepala. Tetapi hariku seperti tersentak bangun setelah mendengar kata-katanya bahwa sekarang diperlukan suatu keberanian bertindak. Orang bertindak bisa berakibat salah dan bisa berakibat benar, tetapi orang yang tak berbuat sudah terang amat salah sekali.
Setelah masing-masing diam agak lama, seperti tergugah dari alam pemikiran masing- masing, tiba-tiba berdering bunyi telepon di kamar hotel. Beliau bangun dari kursi, lalu mengangkat gagang telepon.
―Wong Tebuireng? Betul, saya sendiri.―
Beliau tertawa terbahak-bahak, keras dan panjang.
―Kami lagi bicarakan soal dagang... Ya, seperti dagang yang kemarin.... Ha, bagaimana? Tidak, ini ada kawan datang, seorang pedagang juga.... Biasa,... dagang zaman sekarang yang sedang dibutuhkan orang banyak! Tak usah, biar sayalah yang datang!... Tak apa, biar
104
 
saya yang datang!... Tak usah, saya ada kendaraan sendiri... Baik, kira-kira setengah jam lagi... Sampai ketemu,... Wa 'alaikumu as-salam...!'
―Dari siapa?‖ aku menanya.
―Dari Mr. Muhammad Yamin! Dia kecuali sahabatku, juga orang penting. Dia mau datang kemari, saya bilang lebih baik sayalah yang ke sana. Mari kita ke sana. Biar saudara berkenalan dengannya,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim dan mengajak aku turut bersama beliau ke rumah Mr. Muhammad Yamin.
Sementara K.H.A. Wahid Hasyim mengganti sarung dengan mengenakan celana dan kemejanya, aku duduk sendirian. Masih terkenang dalam ingatanku nama Mr. Muhammad Yamin. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah mendengarkan pidatonya di Yogya, ketika itu beliau seorang tokoh dari Partindo, Partai Indonesia. Masih ingat pidatonya, ketika itu beliau mengupas tentang ―Perang Pacifik‖ yang bakal meletus, lalu tentang cita-cita Jepang menguasai seluruh Asia. Beliau katakan di waktu itu akan bahayanya Imperialisme-Kuning, yang dimaksud tentulah Jepang.
Namaku dipanggil K.H.A. Wahid Hasyim. Aku masuk ke kamar tidurnya, beliau sedang mengenakan sepatu. Aku duduk di atas kasur tempat beliau tidur, karena aku disuruhnya duduk dekat beliau.
―Malam ini tentu akan ada rencana baru. Betulkan, bahwa saya telah mengadakan hubungan dengan berbagai golongan. Alhasil, kita kaum santri sedang diperlukan oleh semua golongan. Kita juga memerlukan mereka. Kita saling memerlukan dalam rangka perjuangan besar memerdekakan bangsa kita dari penjajahan yang mana pun!‖ beliau katakan sambil mengikat tali sepatunya. Beliau berdiri, bercermin sebentar membetulkan letak dasinya. Lalu mengambil peci hitamnya, ditentengnya peci itu, lalu mengajak aku keluar dari kamar hotel. Di luar telah tersedia sebuah mobil Fiat hitam.
Beliau kemudikan sendiri mobilnya, dan aku duduk di sampingnya.
―Kemarin saya telah menjumpai Bung Hatta, agaknya Yamin tahu ini. Dia jangan-jangan akan menanyakan kepadaku apa yang kemarin saya bicarakan dengan Bung Hatta,‖ K.H. A. Wahid Hasyim memulai pembicaraan setelah mobil keluar dari halaman Hotel Des Indes.
Malam itu kira-kira baru pukul 9, tetapi jalan-jalan di Jakarta tampak agak sepi. Beberapa delman dan orang naik sepeda. Mobil-mobil tidak begitu banyak, itu pun cuma dinaiki tuan- tuan Dai Nippon saja.
―Inikah mobil dinas, Gus?‖ aku mengalihkan pembicaraan lain.
―Bukan! Mobil dinas cuma di waktu kantor Itu pun jarang aku pakai. Aku diberi mobil dinas pakai tanda militer Jepang. Aku tak mau pakai. Saya malu memakai mobil militer Jepang. Sebab itu, saya membeli sendiri mobil Fiat ini,‖ jawabnya.
―Bagaimana caranya bisa membeli mobil sendiri di zaman begini?‖ aku bertanya. Pertanyaan ini aku ajukan karena di zaman itu tidak ada orang sipil yang memiliki mobil. Aku ingat pamanku yang mobilnya diambil Jepang.
―Ya Allah! Kalau soal mobil saja tidak bisa memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan persoalan rakyat?‖ jawab beliau tegas.
―Mobil adalah suatu alat bepergian, juga alat berjuang. Banyak di antara kawan-kawan kita yang sudah tergolong pemimpin, kadang-kadang persoalan rumah tangga saja tidak bisa
105
 
memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan masalah umat yang jauh lebih besar dari sakedar masalah rumah tangga.‖ beliau meneruskan.
―Begini ya akhirnya, tadi pembicaraan kita di hotel terputus. Saya belum menceritakan kepada saudara mengenai soal lain. Sebagaimana saudara tahu, semua partai dan organisasi rakyat telah dibubarkan oleh Jepang. Kini telah disusun badan yang bernama
―Tiga A‖. Maksudnya untuk menghimpun seluruh tenaga pemimpin Indonesia untuk mengerahkan rakyat kita membantu Jepang dalam perang Asia Timur Raya ini. Tetapi seperti saudara ketahui, ―Tiga A‖ ini tidak jalan, karena baik pemimpinnya maupun idenya tidak memperoleh dukungan dari rakyat,‖ katanya.
―Bagaimana sikap kita terhadap ―Tiga A‖?‖ aku bertanya.
―Sikap kita, kita tidak menentukan sikap!‖ begitu jawabannya yang sangat diplomatis tetapi masuk akal.
―Kini para pemimpin sedang menampung ide Jepang, akan didirikan sebuah badan baru untuk mendampingi ―Empat-Serangkai‖, Sukarno-Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH. Mas Mansur,‖ beliau meneruskan.
―Sebenarnya ―Empat-Serangkai‖ ini mau ke mana?‖ aku minta penjelasan.
―Secara berbaik sangka, saya percaya bahwa sebagai pemimpin-pemimpin, mereka tentu memperjuangkan aspirasi rakyat Tetapi mereka kewalahan menghadapi anggapan umum dari rakyat seolah-olah cuma diperalat oleh Jepang. Sebab itu, di mana-mana dirasakan Jepang bahwa dukungan rakyat tidak seperti yang diharapkan.‖
―Kalau badan baru itu nanti diadakan, apakah kita juga ikut di sana?‖ aku ingin mendapat penjelasan lagi.
―Saya ada rencana, tetapi ini masih saya simpan sendiri. Kalau badan baru itu terbentuk, kita meminta Jepang, atau lebih tepat lagi, kita memperjuangkan kepada Jepang untuk membentuk badan khusus di kalangan umat Islam,‖ demikian beliau menjelaskan.
Percakapan kami terhenti karena mobil telah memasuki sebuah halaman rumah. Mobil berhenti, klakson dibunyikan. Keluarlah dari dalam rumah seorang laki-laki masih muda, aku taksir usianya belum 40 tahun. Badannya tegap, tetapi rambutnya tidak tersisir. Tampaknya cara berpakaiannya seenaknya saja. Dalam batinku, ini dia Mr Muhammad Yamin, jago Partindo dulu.
―Wah, tepat juga setengah jam!‖ tegur tuan rumah.
―Kalau orang tidak menghargai waktu, tandanya tidak mengerti harganya waktu!‖ jawab
K.H.A. Wahid Hasyim. Semua tertawa!
Aku diperkenalkan dengan Mr. Muhammad Yamin. Ketika kami berjabat-tangan, terasa betapa tebal tapak tangannya dan sangat erat meremas jari-jari tanganku. Sambil menatap mukaku, ia senyum menyeringai sambil katanya:
―Inikah yang saudara katakan tadi di telepon ―pedagang‖ yang baru datang?‖ sambil melirik kepada KH.A. Wahid Hasyim.
―Datang dari mana? Jawa Timur?‖ tanyanya lebih lanjut kepadaku.
―Dari Jawa Tengah, Banyumas!‖ jawabku.

106
 
―Ooo, dari Tirta-kencana! Dari negerinya Kolopaking!‖ cepat saja ia menyambut jawabanku.
Tanganku dilepaskan. Ia segera menarik tangan KH. A. Wahid Hasyim Sambil berjalan memasuki suatu ruangan dalam, ia bercakap-cakap sambil berjalan pelan, sementara tangannya merangkul pundak K.H A. Wahid Hasyim. Aku tidak ikut duduk bersama mereka, aku mengambil tempat duduk di ruangan depan yang terbuka. Dari kejauhan, aku memperhatikan dua sahabat meneruskan percakapannya sambil bergurau diselingi kadang- kadang oleh tawanya yang keras.
Aku perhatikan wajah Mr. Muhammad Yamin. Raut mukanya serba tebal dan kuat di bawah kerangka kepalanya yang besar. Biasanya profil yang demikian menunjukkan bahwa ia memiliki watak keras dengan otak yang genius. Pantas cepat saja menyalin nama daerahku Banyumas dengan Tirta-kencana, artinya Air-emas. Ketika ia menyebut negerinya Kolopaking, teringat padaku akan sebuah keluarga salah seorang Bupati di daerah Banyumas yang terkenal berani menghadapi Belanda dan memiliki sifat kerakyatan. Ketika pada umumnya para Bupati menulis namanya dengan gelar-gelar kebangsawanan di mukanya dengan Kanjeng Raden Tumenggung atau Kanjeng Raden Haryo, maka seorang Bupati di daerah Banyumas hanya menulis namanya pada pintu gerbang pendoponya di ujung alun-alun: Sumitro begitu saja, tanpa Kanjeng Raden Tumenggung dan sebagainya. Pantas kata orang bahwa Mr. Muhammad Yamin salah seorang ahli sejarah yang besar.
Ketika kedua orang sahabat itu lebih dari 11/2 jam mengadakan pembicaraan, tiba-tiba Mr. Muhammad Yamin menghampiri aku dan mengajak aku memasuki ruangan tempat mereka berbincang-bincang.
―Bagaimana kabar di Jawa Tengah?‖ Mr. Muhammad Yamin menanya.
―Di mana-mana sudah mulai sulit memperoleh beras, rakyat mulai gelisah!‖ jawabku untung- untungan. Aku kira orang ini tentulah anti Jepang.
―Nah, betul nggak kataku!‖ K.H.A. Wahid Hasyim menyambut jawabanku.
―Dalam keadaan rakyat sulit memperoleh beras, mana bisa kita harus mengumpulkan padi buat Setan-Gundul! 'Tidak bisa jadi!‖ begitu KH. A. Wahid Hasyim menyambung.
―Karena itu kita harus menyusun kekuatan untuk melawan Jepang dengan teori perjuangan yang hebat,‖ Mr. Muhammad Yamin menjawab.
―Kita galang terlebih dahulu kekuatan pemuda, dan Empat-Serangkai, jangan dibiarkan berjalan sendiri!‖ KH.A. Wahid Hasyim menyambut. Beliau berdiri dari kursinya, dan aku maklum bahwa pembicaraan dianggap selesai untuk malam itu. Kami berpamitan, dan kami menuju mobil Fiat untuk pulang ke hotel.
―Hari-hari yang akan datang, kita akan disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan besar dan penuh bahaya. Tetapi, wa man yattaqi Allaha yaj'a lahu makhrajan...‖ K.H.A. Wahid Hasyim memulai pembicaraan di mobil.
―Ada hal-hal baru dalam pembicaraan dengan Muhammad Yamin?‖ aku bertanya.
―Dia ini orang penting. Dia kawan baik Mr. Subarjo dan Mr. Iwa Kusumasumantri yang dekat hubungannya dengan pihak Angkatan Laut Jepang. Tetapi juga kawan baik dari Sukarno- Hatta yang kini sedang didekati pihak Angkatan Darat Jepang. Aku dengar bahwa antara kedua angkatan Jepang ini hubungannya tidak serasi, saling berebut mempengaruhi Tokyo. Kita harus manfaatkan situasi ini,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim.

107
 
―Tetapi kita harus waspada terhadap kekuatan-kekuatan yang ada di sekitar Saikoo Sikikan‖, K.H.A.Wahid Hasyim melanjutkan, ―di Jakarta saja sekurang-kurangnya ada 3 orang yang penting kita perhatikan. Pertama, H. Simizu, ini orang diserahi mendampingi Sukarno-Hatta. Konon, inilah orangnya yang telah berhasil memecah kelompok nasionalis Tiongkok menjadi golongan Chiang Kai Sek dan Wang Ching Wei. Kedua, Abdulhamid Ono, begitulah namanya orang Jepang satu ini, tugasnya mendampingi saya dalam menghubungi para alim ulama. Dan ketiga, Kolonel Horie, yang diserahi tugas mengawasi Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang dipimpin oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari.‖
―Wah, alangkah ketatnya Jepang ini mengawasi kita!‖ aku menyela.
―Ya, tetapi dengan bersandar kepada Al-Quran, insya Allah setan ora doyan demit ora ndulit! (Setan tidak doyan dan hantu tidak mencolek).‖
Hingga di hotel, aku sangat mengantuk, tetapi K.H.A. Wahid Hasyim masih mengajak berbicara terus. Beliau menggerayangi meja di sudut kamar untuk mencari sisa-sisa makanan yang tadi sore kami makan bersama. Masih ada sisa tahu telor dan mie goreng, kami lalap sampai ludes.
Kami sembahyang isya. K.H.A. Wahid Hasyim seperti ayahandanya selalu menghafal Al- Qur‘an dalam tiap sembahyangnya. Beliau juga hafal Al-Qur‘an di luar kepala. Selalu dibacanya di tengah sembahyang, di waktu duduk tidak ada pekerjaan, dan bahkan sambil berjalan atau mengemudikan mobilnya.
Sementara beliau meneruskan menghafal Al-Qur‘an, aku pergi tidur.
***
Pagi itu hawa dan udara Jakarta terasa panas. Sudah beberapa hari tak turun hujan, hingga pepohonan tampak kering, daun-daun penuh debu. Kami baru saja selesai sarapan pagi, ketika datang dua orang tamu. Yang satu aku sudah kenal, orangnya berbadan tegap, berwajah tampan dan gagah. Kulitnya putih kekuning-kuningan, mengenakan celana dan kemeja berwarna khaki. Ia mengendarai sepeda motor ―Harly Davidson‖ Dia Zainul Arifin, konsul Nahdhatul Ulama di Jakarta. Yang satunya agak kekurus-kurusan, sedikit jangkung, setelah diperkenalkan, aku baru tahu, namanya: Anwar Cokroaminoto. Namanya sudah lama aku kenal sebagai pemimpin redaksi harian ―Pemandangan,‖ tetapi sejak surat kabar ini dihentikan penerbitannya oleh Jepang, ia memangku jabatan baru sebagai pemimpin redaksi ―Asia-Raya‖ sebuah harian yang terbit sejak Jepang menduduki Indonesia.
―Tentu ada berita besar kalau bung-bung ini datang pagi-pagi.‖ KH A. Wahid Hasyim menegur kedua tamunya.
―Malah mau cari berita ke sini, kok!‖ Anwar Cokroaminoto menjawab.
―Di sini ini gudang berita, ibarat sumur tak ada kering-keringnya,‖ menyela Zainul Arifin. Ia menoleh kepadaku sambil bertanya:
"Sudah berapa hari ente di sini?‖
―Sudah 5 hari‖ jawabku ringkas.
―Apa kabar di Jawa Tengah?‖ Zainul Arifin menanya. ―Kabar di mana-mana sama saja, keadaan tambah sulit dan penuh tanda tanya,‖ jawabku.
―Rasa-rasanya kita baru berkenalan!‖ menyela Anwar Cokroaminoto.

108
 
―Nama Mas Anwar  sudah  lama  aku kenal Aku pernah menjadi pembantu harian
―Pemandangan‖ di mana Mas Anwar memimpin.‖
―Barangkali ketika masih dipimpin Mr. Sumanang?‖ jawabnya.
―Mulai zaman M. Tabrani, lalu zaman Sumanang!‖ aku menjawab.
―Apakah sekarang masih membantu?‖ ia bertanya.
―Ya, kadang-kadang. Tetapi sejak sering bepergian dengan Gus Wahid ini, hampir tak ada waktu lagi buat menulis. Lagi pula, isi koran sekarang ini sama saja, soal perang Asia Timur Raya dan memuji-muji Dai Nippon melulu. Rasanya jadi malas saya menulis,‖ jawabku.
―Nah, di situ seninya jadi wartawan! Bukankah Kiai Wahab Chasbullah sudah katakan: Di zaman kini, kita harus bisa mengatakan ―Hu‖ dengan dua macam tafsiran. Bisa ―Hu‖culono (lepaskan) dan bisa ―Hu‖ntalen (telanlah).‖ Semuanya ketawa riuh.
Hingga siang (tengah hari) tiga orang itu berunding mengenai berbagai masalah yang sedang hangat dewasa itu. Saling tukar menukar informasi dan saling memberikan analisa.
Bahwa di mana-mana banyak orang ditempeleng Jepang. Anak-anak pelajar dan pemuda, dimiliterisasi dan digunduli kepalanya hingga di mana-mana pemuda kita cuma gundul saja kepalanya seperti Jepang. Banyak orang-orang disiksa Jepang, dijemur di panas matahari atau dipukuli hanya karena dituduh melakukan gerakan anti Jepang, padahal bukti tidak ada. Rakyat sudah semakin sulit memperoleh beras, hingga sudah banyak daerah-daerah yang menderita kelaparan. Orang-orang yang dulu menjadi hamba sahaya Belanda, kini sudah banyak dipekerjakan sebagai pegawai Jepang.
Untuk mengatasi situasi pangan, rakyat diharuskan menanam apa saja di halaman rumahnya, tanaman yang bisa mendatangkan hasil bahan makanan, misalnya, singkong, ubi rambat, jagung, dan sebagainya. Bahkan di beberapa kota alun-alun juga ditanami jagung dan singkong. Sepanjang jalan raya harus ditanami pohon jarak karena Jepang memerlukan minyak pelumas bahan bakar pesawat terbang dan sebagainya. Bahkan halaman-halaman rumah rakyat juga harus ditanami pohon jarak untuk kemenangan Perang Asia Timur Raya, perangnya Jepang melawan Sekutu.
Nama jalan-jalan di Jakarta telah banyak sekali yang diganti dengan nama-nama Jepang, terutama jalan-jalan protokol. Mula-mula nama Jepang itu ditulis dalam huruf latin, sebulan kemudian sudah berganti dalam tulisan Jepang, katakana.
Daerah kekuasaan Jepang semakin luas, hampir meliputi seluruh Asia Timur dan Tenggara. Mulai dari Korea, Manchuria, Tiongkok, Indo-China, Thai, Burma, perbatasan India, Malaya, Indonesia, Filipina, dan kepulauan di Lautan Pasifik. Darwin, pintu gerbang Australia berkali- kali diserang Hari udara. Dengan demikian tentu saja serdadu Jepang tidak cukup mampu mengawal daerah yang seluas itu.
Jepang bermaksud untuk menjadikan pemuda-pemuda kita serdadu cadangan, sebagian untuk menjaga kepulauan Indonesia dan sebagian lagi untuk bertempur mendampingi serdadu-serdadu Jepang di Burma, di Indo-China, dan di lain daerah pertempuran.
Jepang mendekati pemimpin-pemimpin Indonesia, Ir. Sukarno, Dr. Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewan tara, dan K.H. Mas Mansur dijadikan ―Empat-Serangkai‖ mendampingi Pemerintahan Pusat Bala tentara Dai Nippon di Jakarta.

109
 
Dikandung maksud, dengan ―Empat-Serangkai‖ ini, Jepang akan mendirikan sebuah badan terdiri dari peleburan seluruh partai politik dan organisasi masyarakat yang telah dibubarkan. Badan baru itu akan diberi nama ―PUTERA‖, artinya: Pusat Tenaga Rakyat Tugasnya untuk membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya mengalahkan Sekutu.
Pulang dari Jakarta, rasanya aku seperti habis mi'roj diperlihatkan situasi seluruh tanah air di bawah kekuasaan Jepang. Amat kuat tertanam di sanubariku bahwa tahap baru dalam perjuangan sudah dimulai.
Aku diberi tugas oleh K.H.A. Wahid Hasyim untuk meratakan pandangan di kalangan para ulama dan dunia pesantren tentang tahap baru dalam perjuangan dewasa itu. Bebas dari penjajahan Belanda, mulai memasuki hidup dalam kekuasaan pemerintah militer Jepang.
***
Sekolahku, Islamitich Westerse School tempat aku mengajar, sudah beberapa bulan ditutup karena Jepang menutup semua sekolah yang memakai bahasa pengantar dan diajarkan bahasa Belanda. Aku cuma mengajar pada Madrasah Nahdhatul Ulama. Aku meneruskan Madrasah Kulliyatul Mu‘allimin, akan tetapi telah diubah menjadi semacam Kursus Guru bagi madrasah-madrasah di daerah Banyumas. Artinya, para guru madrasah di kursus untuk beberapa minggu. Selesai satu angkatan, diteruskan oleh angkatan yang lain.
Tetapi pekerjaanku sebagai pimpinan Ansor Jawa Tengah tetap aku lakukan. Bahkan dengan tugas ini aku memperoleh banyak sekali kesempatan untuk mengunjungi para ulama dan pesantren-pesantren di mana-mana.
Semua organisasi pemuda dan kepanduan telah dibubarkan Jepang. Mereka tidak diperbolehkan lagi mengadakan kegiatan-kegiatan. Anggota-anggotanya dijadikan Kaiboodan dan Seinendan dua organisasi keamanan dan kepemudaan yang didirikan oleh Jepang. Partai-partai politik sudah lama dibubarkan, demikian pula menyusul organisasi sosial dan agama. Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah di beberapa daerah dibubarkan, tetapi untuk daerahku, Banyumas dan Kedu tetap saja berjalan seperti biasa. Demikian pula Gerakan Ansor.
Ada gelagat bahwa Jepang tidak menyukai Ansor. Dengan tetap berjalannya Ansor, seolah- olah hendak menandingi Kaiboodan dan Seinendan. Banyak pemuda-pemuda yang enggan masuk kedua organisasi bikinan Jepang ini, mereka membanjiri Ansor. Untuk menghilangkan syak wasangka Jepang, aku berikan pelajaran taisoo (olah raga ala Jepang) dan nyanyian-nyanyian ala Jepang dalam Ansor. Bahkan pelajaran bahasa Jepang. Aku sendiri tak pandai bahasa Jepang, ada temanku pandai bahasa ini yang aku minta bantuannya untuk mengajar bahasa Jepang. Dengan cara demikian aku merasa aman dari kecurigaan Jepang.
Pada suatu hari, aku dipanggil Katisatsu Syoocho, kepala polisi Karesidenan Banyumas. Di waktu itu, jika seseorang dipanggil pembesar pemerintah, alamat tidak akan dibolehkan pulang, artinya ditangkap. Semalaman aku tak bisa tidur. Aku datang kepada beberapa kiai meminta fatwanya dan mohon doanya. Mereka menganjurkan agar aku tetap saja menghadap pembesar polisi ini. Aku diberi bekal beberapa doa yang aku baca sepanjang jalan.
Di luar dugaanku, pembesar polisi ini seorang bangsa Indonesia, namanya Umar Khatab. Dia mempersilakan aku duduk di ruangnya, sendirian hanya kami berdua. Ketakutanku mulai berkurang. Batinku, kalau masih bangsa sendiri tentulah masih bisa diajak berunding.
110
 
Setelah mencocokkan nama, umur, pekerjaan, dan alamatku, dia memulai membuka percakapan:
―Betulkah bahwa saudara pemimpin Ansor Jawa Tengah?‖ dia mulai.
―BetuL Tepatnya, komisaris daerah Ansor untuk Jawa Tengah bagian selatan, meliputi Karesidenan Banyumas, Kedu, dan Yogya,‖ jawabku. Dia mencatat dalam buku catatannya.
―Sudah berapa lama saudara menjabat komisaris daerah Ansor?‖
―Sejak tahun 1938,‖ jawabku ringkas.
―Apakah Ansor suatu gerakan politik?‖ pertanyaannya menyusul.
―Ansor adalah suatu gerakan berasas Islam dan bertujuan keislaman,‖ aku menjawab.
―Apakah semangat Nippon juga dimiliki oleh anggota Ansor?‖
―Dalam Ansor kami ajarkan taisoo (olah raga ala Jepang) dan nyanyian Jepang,‖ aku merasa pertanyaan ini yang akan menentukan nasibku selanjutnya.
―Apakah Ansor menghalang-halangi gerakan Seinendan dan Kaiboodan?‖ pertanyaan ini mengingatkan padaku agar aku lebih berhati-hati dalam menjawab.
―Bagaimana kami menghalang-halangi, padahal apa yang diajarkan dalam Seinendan dan Keiboodan juga kami ajarkan di sana!‖ jawabku tegas.
Kaisatsu Schoocho diam sejenak, dia menoleh ke arah pintu, agaknya untuk meyakinkan dirinya bahwa tak ada orang yang akan masuk ruangan. Lalu ditariknya kursi tempat duduknya mendekati tempat dudukku. Dengan suara lebih pelan dia meneruskan bicaranya:
―Begini saudara,‖ diam sebentar lalu meneruskan: ―Saya mendapat instruksi dari pihak Kenpetai (polisi militer) untuk menahan saudara, berhubung ada laporan bahwa saudara mengadakan gerakan anti Jepang. Saya tidak ingin saudara dan Ansor mendapat kesulitan. Oleh sebab itu, saya ingin menganjurkan saudara untuk sementara waktu tidak berdiam di daerah Banyumas. Saudara bisa memilih daerah mana dalam wilayah saudara, toh saudara adalah Komisaris Daerah Jawa Tengah. Nanti kalau keadaan sudah mengizinkan, saudara boleh kembali ke daerah Banyumas,‖ demikian kata-katanya dengan pelan sambil sebentar- sebentar mengawasi arah pintu.
―Terima kasih atas nasihat tuan. Nasihat itu menyenangkan hatiku, dan aku akan lakukan,‖ jawabku.
―Saya mengharap saudara tidak salah paham akan maksud saya. Adapun jawaban-jawaban saudara telah saya tulis semua, merupakan bahan yang sangat berfaedah untuk laporan kepada atasan saya,‖ jawabnya meyakinkan hatiku.
Aku mohon diri, lama aku menjabat tangannya erat-erat sambil kuulangi terimakasihku.
Peristiwa itu segera aku laporkan dalam rapat Majlis Konsul Nahdhatul Ulama dan kepada teman-teman.
Pak Mukhtar sebagai Konsul Nahdhatul Ulama mengambil keputusan agar aku hijrah ke daerah Kedu. Sekaligus akan mengusulkan kepada Pengurus Besar agar aku diangkat menjadi Konsul Nahdhatul Ulama daerah Kedu. Satu dan lain mengingat bahwa susunan

111
 
pemerintah militer Jepang di daerah-daerah hanya mempunyai wilayah seluas karesidenan. Dengan demikian untuk daerah Kedu harus ada seorang konsul tersendiri.
Aku berangkat ke Magelang, ibu kota Karesidenan Kedu. Sebulan kemudian datang pengangkatanku sebagai Konsul Nahdhatul Ulama daerah Kedu oleh Pengurus Besar di Surabaya.
Pekerjaanku yang pertama, aku mengelilingi seluruh karesidenan Kedu untuk menjumpai para ulama dan mengunjungi pesantren-pesantren. Sekaligus menjalankan tugas yang diserahi dari KH A. Wahid Hasyim untuk meratakan pikiran dan pandangan beliau di kalangan para ulama dan pesantren-pesantren.
Surat-surat KH A. Wahid Hasyim selalu datang, hampir tiap minggu suratnya tiba, melalui pos dan kurir dari Tebuireng.
***
Hampir tiap sebulan sekali aku mendapat panggilan dari K.H.A. Wahid Hasyim untuk menjumpai beliau. Kadang-kadang menjumpainya di Jakarta, kadang di Tebuireng atau Surabaya, kadang di Yogya atau Bandung. Tetapi surat-suratnya pun selalu datang. Surat- suratnya selalu aku bacakan di muka para kiai, berisi pandangan beliau tentang situasi dewasa itu, lalu digariskan petunjuk-petunjuk yang harus kami lakukan bersama para ulama. Lama-lama para kiai dan teman-teman jadi seperti ketagihan kalau agak lama tidak ikut membaca surat-surat KH.A. Wahid Hasyim
Awal tahun 1943, aku mendapat panggilan K.H.A. Wahid Hasyim untuk menjumpainya di Jakarta.
―Kita disibukkan kini oleh pekerjaan-pekerjaan besar,‖ beliau memulai percakapannya denganku. ―Sebagai saudara ketahui, kini telah terbentuk suatu badan gabungan dari semua partai dan organisasi Islam, namanya Majlis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat menjadi
―Masyumi.‖ Nama ini mirip-mirip seperti bahasa Jepang, biar mereka senang. Tak apalah, apa artinya sebuah nama! Badan ini gabungan dari 4 organisasi Islam, Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Perserikatan Ummat Islam Indonesia, dan Perhimpunan Ummat Islam Sifatnya federatif karena itu, masing-masing anggota 4 organisasi Islam itu tetap berjalan seperti sediakala. Ketuanya telah dipilih, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari dan sebagai pelaksana sehari-hari adalah saya sendiri.‖
―Apa yang menjadi tujuan dari ―Masyumi‖ ini?‖ aku bertanya.
―Menyusun seluruh tenaga umat Islam Indonesia membantu Jepang ke arah tercapainya kemenangan akhir bagi kita,‖ jawabnya.
―Bagi kita‖ selaku ‗‗kita itu siapa?‖
―Sengaja saya memakai kalimat itu, agar Jepang mengira bahwa kita itu artinya mereka. Tetapi yang sebenarnya, kita ialah kita-kita ini!‖
―Bukan main diplomatisnya semboyan ini!‖ kataku.
―Jepang mulai kewalahan dalam perang ini karena sekutu mulai menyerang kembali ke daerah-daerah yang diduduki Jepang.‖ Demikian K.H.A. Wahid Hasyim, lalu terusnya: ―Kami para pemimpin hari-hari mengadakan kontak satu sama lain dan berunding, sampai kepada satu kesimpulan, kesempatan ini kita jadikan strategi untuk mendesak Jepang agar
112
 
memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia untuk mengatur urusan di dalam negeri, agar Jepang lebih memusatkan perhatiannya kepada Sekutu.‖
―Apakah Jepang mempercayai kita?‖ tanyaku kepada beliau.
―Kita selalu membuat slogan-slogan dan gerakan-gerakan begitu rupa, untuk menimbulkan kesan seolah-olah kita senasib sepenanggungan dengan mereka. Misalnya, pada kampanye-kampanye Jepang melawan Sekutu, kita gunakan untuk kampanye anti Belanda, anggota Sekutu yang ingin kembali hendak menjajah kita lagi. Kita perhebat kampanye anti Belanda ini. Dengan demikian, Jepang percaya bahwa kita anti Belanda. Menurut tafsiran Jepang, anti Belanda sama dengan anti Sekutu, dan anti Sekutu sama dengan pro-Jepang. Itu menurut logika mereka.‖ Beliau berhenti sebentar, pandangannya menerawang menembus jauh ke depan. Tentu dalam pikirannya penuh dengan rencana-rencana perjuangan besar.
―Kalau begitu, kita sudah bisa menipu Jepang!‖ kataku bangga.
―Ente jangan lupa, Nabi kita pernah mengatakan: Al-Harbu khid'ah, bahwa peperangan selamanya penuh tipu muslihat. Kita hidup dalam zaman perang, bukan? Dalam suatu peperangan berlaku suatu ketentuan: Membunuh atau dibunuh, menipu atau ditipu, mengelabui atau dikelabui. Tinggal pilih, kita mau yang mana? Tentu saja kita mau unggul, jika bisa dengan risiko paling kecil,‖ jawabnya tegas. K.H.A. Wahid Hasyim ini kalau berbicara pelan, kata-katanya disusun hati-hati, tetapi kalau sudah menyinggung hal-hal yang penting sekali, selalu diucapkan dengan sangat tegas dan bersemangat. Aku ingat Anwar Cokroaminoto memberi julukan kepada beliau Joyongotot.
―Lantas tugas apa yang diserahkan padaku?‖ aku bertanya.
K.H.A. Wahid Hasyim mengambil tasnya, dikeluarkan sebuah bungkusan, lalu katanya:
―Ini, saudara bagi-bagikan kepada teman-teman yang bisa membantu tugas-tugas perjuangan!‖ katanya sambil menyerahkan bungkusan itu.
Aku buka, ingin tahu apa isinya.
―Apa ini?‖ sambil aku amat-amati. Isinya setumpuk kartu ukuran lebih kecil daripada kartupos.
―Karcis cap ceker! Itu vrijkaart; karcis kereta api cuma-cuma, sebanyak 30 helai. Bisa dibagi- bagikan untuk teman-teman yang bisa membantu perjuangan kita!‖ jawabnya.
―Kok cap ceker?‖ aku masih belum mengerti.
―Iya, sebab ada stempel dari pembesar Jepang dengan huruf-huruf Jepang yang seperti ceker-ayam itu!‖ sambungnya, ―Karcis itu berlaku untuk kereta api ekspres klas I untuk seluruh Jawa Madura.‖
―Dapat dari mana?‖ aku keheran-heranan.
―Jangan ditanya! Ingat: Al-Harbu khid‘ah. Saudara ingat dalam dongeng Al-Baidaba bahwa kancil yang begitu cerdik bisa dikalahkan oleh siput yang kelihatannya lemah tak berdaya lagi nggremet itu. Jepang yang berlagak sok cerdik, kini berhadapan dengan kaum santri!‖ berkata demikian sambil menggebrak meja.

113
 
―Dalam hubungannya dengan ―Majlis Syuro Muslimin Indonesia‖ bagaimana?‖ kataku bertanya.
―Saya akan terbitkan sebuah majalah, saya akan beri nama Suara Muslimin. Saya meminta saudara bersedia menjadi pemimpin redaksinya. Nanti dibantu oleh Harsono Cokroaminoto,
K.H. Mukhtar, dan A. Barri al-Bahri.‖
―Wah, berat buatku. Nanti aku jadi terpaku di Jakarta. Tugas di daerah-daerah bagaimana?‖ aku bertanya.
―Itu ‗kan bisa dibagi waktunya,‖ jawabnya.
―Ya, tetapi aku Konsul Nahdhatul Ulama di daerah Kedu!‖ jawabku.
―Sudahlah, terima saja. Kalau perlu untuk sementara saja. Nanti kalau sudah berjalan bisa diatur lagi.‖
―Bagaimana kalau Harsono saja, biar aku membantunya,‖ kataku.
―Aku ingin biar saudara sajalah. Nanti kalau dirasa kurang sreg bisa diatur lagi. Pokoknya asal terbit dulu beberapa nomor.‖
Pembicaraan berhenti karena banyak tamu-tamu datang untuk menjumpai K.H.A. Wahid Hasyim. Banyak di antaranya terdiri dari para ulama datang dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Ada yang aku sudah kenal, ialah K.H. Dahlan dari Kertosono, orangnya gemuk, mengenakan topi lebar. Orangnya periang dan pandai melucu. Saban-saban kalau membicarakan hal yang penting, ia berbicara kepada K.H.A. Wahid Hasyim dengan bahasa Belanda. Tamu yang lainnya yang aku sudah kenal ialah K.H. Dzofir dari Kediri, orangnya berwajah tampan, halus tutur katanya, dan ramah sekali. Yang lain-lain aku belum kenal. Mereka datang untuk melaporkan keadaan di daerahnya masing-masing. Banyak kiai-kiai ditangkapi Jepang karena dituduh menghalang-halangi usaha Jepang mengumpulkan padi milik rakyat. Padahal yang sebenarnya, Jepang merampas padi milik rakyat yang hanya itu- itunya, walaupun dibeli akan tetapi dengan harga yang sangat jauh perbedaannya dengan harga di pasaran. Lama mereka berunding dengan K.H.A. Wahid Hasyim mengenai hal-hal yang tidak mengenakkan didengar karena semuanya menyangkut perkosaan terhadap rakyat. K.H.A. Wahid Hasyim menyanggupi akan menjumpai bupati di daerahnya guna mencari penyelesaian yang baik.
Menjelang ashar, para tamu pada pulang. K.H.A. Wahid Hasyim mengajak aku makan siang. Kebetulan lewat di muka rumah abang penjual gado-gado. Kami makan gado-gado hingga kenyang.
Lepas sembahyang ashar, datang seorang tamu. Bertubuh padat dan pendek dengan wajah seperti seorang Cina. Dia mengenakan baju jas kuning gading dengan kain sarung dan berpeci hitam. Begitu melihat K.HA. Wahid Hasyim, dia menyeru dengan amat fasihnya As- salamu 'alaikum warahmatuIlahi wa barakatuh.
―Wilujeng sampeyan, Gus?‖ menyapa tamu ini kepada K.H.A. Wahid Hasyim dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Yang dijawab oleh yang disapa juga dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Ketika aku diperkenalkan kepadanya, dia menyebutkan namanya:
―Kulo Abdulhamid Ono‖ sambil menjabat tanganku.
Aku segera teringat nama seorang Jepang yang bertugas mendampingi, atau lebih tepat membayang-bayangi K.H.A. Wahid Hasyim. Batinku mengatakan: O, ini dia orangnya!
114
 
―Kulo wau langkung mriki, tasih kathah tamu‖ katanya, yang artinya, bahwa tadi dia lewat di sini tetapi masih banyak tamu.
―Konco-konco sami kepengin pinanggih kulo‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim, bahwa mereka itu teman-teman yang ingin menjumpainya.
Dua orang itu lalu menuju ke ruang lain, mengadakan pembicaraan empat mata. Sementara menunggu mereka, dan agar Jepang ini lebih tenteram hatinya bahwa aku tidak mungkin bisa nguping (pasang telinga), aku mengambil mesin tulis untuk menulis surat-surat
Lama mereka berunding, menjelang waktu maghrib barulah Abdulhamid Ono minta diri. Dia pergi begitu saja tanpa menyalami aku.
―Jepang meminta kepadaku agar pemuda-pemuda Islam memasuki Heiho serdadu cadangan untuk dikirim ke medan perang.‖ K.H.A. Wahid Hasyim mengungkap hasil pembicaraannya dengan Abdulhamid Ono. ―Saya memajukan pikiran lain. Tetapi ini panjang ceritanya. Baiklah kita sembahyang maghrib dulu!‖
―Abdulhamid Ono datang membawa pesan Saikoo Sikikan, berhubung dengan serangan- serangan Sekutu, Jepang memerlukan pemuda-pemuda Indonesia untuk menjadi serdadu pendamping tentara Jepang di medan perang. Kepada pemimpin-pemimpin Jawa Hookoo Kai, sebuah badan baru yang menggantikan ―Putera‖ telah disampaikan suatu instruksi. Lalu meminta kepada saya lewat Abdulhamid Ono, agar pemuda-pemuda santri juga memasuki Heiho.‖ K.H.A. Wahid Hasyim memulai percakapan sehabis sembahyang maghrib.
―Tentu akan dikirim ke Burma atau kepulauan Pasifik!‖ aku menyela.
―Ya, tentu demikian. Aku katakan kepadanya bahwa akan lebih baik kalau pemuda-pemuda santri dilatih kemiliteran untuk pertahanan di dalam negeri. Mempertahankan sejengkal tanah air di dalam negeri akan lebih menggugah semangat pemuda-pemuda kita, daripada bertempur di daerah yang sangat jauh letaknya di luar tanah air,‖ beliau meneruskan.
―Mempertahankan sejengkal tanah air dari serangan Sekutu?‖ aku bertanya.
―Dari serangan Sekutu maupun dari musuh-musuh yang lain!' jawabnya, ―Musuh yang sudah berada di kampung halaman kita, lebih kita dahulukan pengusirannya daripada yang masih jauh di luar tanah air!‖
―Tetapi kita belum mempunyai kecakapan mengusir musuh!‖ tanyaku.
―Makanya, aku meminta supaya Jepang melatih pemuda-pemuda kita di bidang kemiliteran,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim.
‗Tetapi apakah Jepang mau terima logika kita?‖ aku meneruskan bertanya.
―Saya katakan kepada Abdulhamid Ono, menghadapi kekuatan Sekutu di medan perang harus dibebankan kepada tentara yang sudah terlatih baik, yaitu tentara Dai Nippon. Pemuda-pemuda kita yang baru dilatih kemiliteran mungkin akan menyulitkan tentara Jepang yang profesionil itu. Lain halnya kalau pertahanan di dalam negeri diserahkan pemuda-pemuda kita. Dengan demikian, serahkan pertahanan di dalam negeri kepada putera-putera tanah air sendiri, sedang serdadu-serdadu Jepang yang ada di sini bisa dikirim ke medan perang menghadapi serangan Sekutu.‖ jawabnya.
―Pemuda-pemuda kita sekarang dijadikan Tentara ‗Peta‘, pembela tanah air. Apakah pemuda-pemuda santri juga memasuki ‗Peta‘?‖ aku menanya.
115
 
―Saya mempunyai rencana demikian. Sebagian dari pemuda-pemuda kita memasuki ―Peta.‖ Adik saya sendiri, Abdul Khaliq Hasyim, memasuki ‗Peta,‖ dilatih menjadi Daidancho, komandan batalion. Demikian juga saudara Wahib Wahab, putera K.H.A. Wahab Chasbullah, juga memasuki ‗Peta‖ sebagai Shodancho, komandan peleton.‖ Kecuali itu disebutnya nama-nama yang lain misalnya: Iskandar Sulaiman, Konsul Nahdhatul Ulama Malang sebagai Daidancho, Syamsul Islam, Komisaris Daerah Ansor Jawa Timur sebagai Chudancho, Sultan Syamsun, sebagai Shodancho, dan lain-lain nama yang aku tak ingat lagi.
―Saya mengusulkan kepada Jepang lewat Abdulhamid Ono‖ demikian K. H. A. Wahid Hasyim meneruskan keterangannya ―agar untuk pemuda-pemuda santri dibentuk ‗Tentara Hizbullah‖ seperti halnya dengan ‗Peta.‖ ―Hizbullah‖ ini bertugas membela dan mempertahankan Tanah air Indonesia.‖
―Apa reaksi Abdulhamid Ono?‖ aku bertanya ingin tahu.
―Pada prinsipnya dia bisa menerima. Tetapi dia meminta saya membuat rencananya secara terperinci. Aku sanggupi, beberapa hari ini saya akan menyerahkan rencana yang dimaksud!‖ jawab beliau.
Semalaman kami berbincang-bincang mengenai rencana pembentukan ―Hizbullah.‖ Aku mendapat tugas menjemput K.H.A. Wahab Chasbullah di Surabaya untuk segera datang ke Jakarta. Sementara itu, K.H.A. Wahid Hasyim dengan didampingi oleh Zainul Arifin mengadakan hubungan dan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Indonesia terutama ―Empat- Serangkai‖.
***
Agustus 1943.
Sudah 10 hari aku menjelajahi desa-desa sekitar Cilacap, Kebumen, dan Purworejo. Udara sangat panas dimusim kemarau dengan angin yang menerbangkan debu-debu, pernafasan ini menjadi tambah sesak saja dengan batuk yang tidak sembuh-sembuh. Bersepeda dengan memakai ban-buluk, artinya, ban yang tidak berangin, susahnya bukan main mengayuh ban sepeda dengan melalui jalan-jalan penuh lobang dan batu karena sudah lama aspalnya ikut menyingkir. Rasanya badan ini seperti dibanting-banting, sekujur tubuh sakit semua. Pohon asam dan tanjung yang dijadikan tempat berlindung sepanjang jalan raya, sudah lama ditebangi karena dipergunakan untuk kayu bakar kereta api sebagai pengganti arang batu, dan buahnya dimakan orang-orang untuk mengganjel perut-perut yang lapar. Bahan, makanan terutama beras, kecuali amat susah diperoleh, harganya hampir menyamai harga emas, sebab itu sudah banyak rakyat hanya makan bonggol pisang serta dedaunan yang lumayan untuk mengganjal perut. Sepanjang jalan banyak ditanam pohon jarak atas anjuran Jepang, untuk minyak pelicin pesawat terbang, katanya. Hampir tiap 1 Km kita bisa menjumpai mayat yang sudah mulai membusuk, kadang-kadang sampai dua atau tiga, berlindung di bawah pohon jarak dengan ditutupi daun pisang atau dedaunan lainnya. Mayat orang-orang yang mati kelaparan!
Alam Indonesia yang terkenal indah permai, sudah berubah menjadi begitu berantakan, panas, dan kering sekeliling, begitu resah dan tak bisa bicara kecuali dari mulutnya yang menganga menghembuskan debu-debu yang beterbangan.
Di mana-mana aku jumpai orang kelaparan, badan kurus dan pucat dengan kaki yang membengkak, tidak beri-beri tentulah kaki-gajah. Kulitnya penuh dengan kudis, koreng, dan
116
 
borok-borok. Malam-malam berlalu dengan kelam dan menekan, orang tidak memperdulikan penerangan lampu. Kecuali karena gerakan kusukeiho (memadamkan penerangan karena bahaya serangan udara), juga hampir tak ada orang menjual minyak tanah. Satu dua rumah kadang-kadang menggunakan penerangan lampu dlupak, pelita kecil dengan menggunakan minyak goreng. Dan lagi, buat apa penerangan lampu di rumah kalau perut keroncongan?
Bayangkan, dalam keadaan begitu, rakyat dipaksa tiap pagi berbaris dan menghadap ke arah Tokyo untuk memberi hormat kepada raja Jepang Tennoo Heika yang sedang sarapan pagi dengan roti panggang, selai, dan air jeruk dingin! Sehabis membungkukkan badan selingkar 90 derajat untuk Tennoo Heika, masih harus bersabar mendengarkan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo yang menyayat hati, lalu menghormat kepada bendera Jepang Hinomaru, sementara harus menahan tangannya menggaruk kudis dan koreng yang gatal sekali!
Aku singgah sebentar di Pesantren Wanayasa, Kebumen. Pesantren itu lengang saja tidak tampak kegiatan para santri yang jumlahnya tinggal sepertiga. Banyak santri-santri yang pulang ke kampungnya, karena orang tuanya tidak mampu memberikan biaya perbekalan di Pesantren. Sementara yang masih tinggal di pesantren mengambil waktu mengaji untuk ronda kampung membantu ―Kaiboodan,‖ menjaga keamanan kampung kalau-kalau datang serangan dari Sekutu.
―Amat senang saudara datang ke sini,‖ tegur Kiai Haji Nasuha, pemimpin Pesantren Wanayasa Kebumen. Seorang tua yang berusia sekitar 70 tahun, ulama sangat terkenal di daerah Kebumen, bertahun-tahun menjadi sahabat K.H. Hasyim Asy‘ari ketika masih sama- sama muqim dan menuntut ilmu di Makah.
―Sejak Jepang datang, negeri ini seperti diamuk Ya‘juj wa Ma'juf saja! Santri-santri banyak yang bubar karena orang tuanya tak bisa membiayai‖ demikian Kiai Nasuha seolah memberi laporan tentang situasi pesantrennya.
―Saya mendengar bahwa sekarang rakyat dijadikan kuli paksa, namanya apa dalam bahasa Jepang?‖ pertanyaan dimajukan Kiai Nasuha.
―Namanya Romusha,‖ jawabku.
"‘Ya betul, romusha. Masya Allah! Di desa-desa sudah banyak penduduk dijadikan romusha. Saya dengar dari pemuda-pemuda kita bahwa mereka dikirim untuk membuat jalan kereta api di Sumatera. Betulkah ini?‖
―Bukan di Sumatera, tetapi di Burma atau Indo-China, sebelah utara lagi dari Malaya,‖ jawabku.
―Kasihan anak istrinya. Sehingga sawah-sawah tidak digarap karena di desa kekurangan tenaga. Coba pikirkan! Anak istrinya disuruh makan apa? Sedang pemuda-pemuda banyak dijadikan Heibo, katanya juga dikirim ke luar negeri buat perang melawan Inggris-Amerika,‖ Kiai Nasuha diam sebentar lalu sambungnya:
―Kemarin ada anak santri yang bilang bahwa adiknya perempuan didaftar untuk menjadi juru rawat. Orang tuanya keberatan tetapi dipaksa saja dengan gadis-gadis lain didaftar, katanya dikirim ke Jakarta untuk dijadikan juru-rawat. Kalau memang mau dijadikan juru rawat kok jauh-jauh, di Kebumen ini rumah sakit saja kekurangan juru rawat,‖ Kiai Nasuha menyambung pembicaraannya
―Inilah namanya musibah,‖ aku menyela.
117
 
―Saya kira tidak dijadikan juru rawat, tetapi tukang merawat Jepang-Jepang yang sudah keliwat lama pisah dari istri-istri mereka. Ini benar-benar zalim dan keterlaluan. Apa tidak lebih baik kita berontak saja?‖ pertanyaan Kiai Nasuha dengan semangat
―Berontak itu kalau cuma sendirian percuma saja, mudah ditumpas Jepang. Kita jangan lupa ketika Diponegoro berontak melawan Belanda. Yang berontak cuma sebagian rakyat saja, itu pun cuma terbatas Yogya, Kedu, Banyumas, dan sebagian daerah lain. Begitu juga ketika Teuku Umar dan Imam Bonjol berontak, hanya terbatas di daerahnya sendiri, sedang rakyat-rakyat di daerah lain boleh dibilang tidak ikut memberontak,‖ jawabku.
―Jadi, mau dibiarkan saja Jepang ini melakukan kezaliman?‖ pertanyaan Kiai dengan nada mendesak
―Menurut teori perjuangan yang diceritakan oleh K.H.A. Wahib Hasyim, bahwa para pemimpin harus dibulatkan dulu pikirannya, bahwa pemberontakan itu harus menyeluruh meliputi seluruh Indonesia. Kita harus melatih para pemuda di seluruh penjuru tanah air di dalam ilmu kemiliteran. Siapa yang harus melatih? Tak lain adalah Jepang sendiri. Kalau kita akan melawan Jepang, kita harus tahu akan ilmu Jepang. Agar supaya Jepang tidak curiga, kita harus menanamkan kepercayaan kepadanya bahwa maksud latihan kemiliteran ini untuk bersiap-siap melawan Belanda dan kawan-kawannya. Jepang menginsyafi bahwa Belanda memang bermaksud untuk kembali menjajah Indonesia lagi. Nanti, kalau pemuda- pemuda kita sudah mahir ilmu militer, nah, tinggal tunggu saat yang baik kita serentak seluruh Indonesia mengangkat senjata melawan Jepang.‖
―Kalau begitu, biar santri-santri ikut belajar militer. Di mana bisa belajarnya?‖ bertanya Kiai Nasuha.
―Kini telah dibentuk ―Hizbullah,‖ pemuda-pemuda santri dididik kemiliteran selama 6 bulan di Jakarta. Tiap kabupaten diharuskan mengirim 5 orang pemuda-pemuda dari pesantren. Selesai menjalani pendidikan kilat kemiliteran, mereka diwajibkan melatih pemuda-pemuda di daerahnya. Diutamakan pemuda-pemuda pesantren. Kini di Jakarta telah diatur pelaksanaannya. Kedatanganku menghadap para kiai untuk memohon doa restunya dan untuk membicarakan dengan para kiai tentang calon-calon yang akan dikirim ke pendidikan militer di Jakarta,‖ aku menerangkan.
―Baik sekali!‖ jawab Kiai Nasuha, ―untuk mencari 5 orang pemuda sangat gampang. Di sini banyak santri-santri pilihan yang menjadi anggota Ansor!‖
Kiai Nasuha menyebut beberapa nama. Abdullah Al-Haddad, Marzuki, Basiran, Samirun, Mahfudz, dan lain-lain nama yang aku sudah kenal semua.
Aku berpamitan hendak meneruskan perjalanan, untuk menjumpai beberapa kiai lagi. Tetapi Kiai Nasuha menahan aku, agar aku bermalam di pesantrennya. Beberapa kiai diundang oleh Kiai Nasuha untuk menjumpai aku di rumahnya. Malam itu, datanglah beberapa ulama yarig terkenal di Kebumen. Yang aku sudah lama kenal, ialah: KH. Muhsin, K.H. Ishom, Kiai Afandi, dan Haji Hasyim ketua Nahdhatul Ulama, Kebumen. Sampai jauh malam kami merundingkan tentang pelaksanaan pengiriman 5 orang pemuda ke latihan militer
―Hizbullah‖ di Jakarta.
Pagi harinya aku melanjutkan perjalanan ke Purworejo, Yogya, Magelang, Parakan, dan Wonosobo.

118
 
Ketika tiba di Kutoarjo, hari sudah senja. Perjalanan dari Kebumen ke Kutoarjo yang hanya
40 Km, aku tempuh dalam waktu 9 jam. Kereta api penuh sesak dengan penumpang, hingga memenuhi atap-atap gerbongnya. Tiap 5 hingga 10 menit berhenti, kehabisan kayu bakar. Para penumpang beramai-ramai mencari kayu bakar di kanan kiri jalan kereta api, kadang-kadang membantu pegawai kereta api menebang kayu-kayu sepanjang rel kereta api. Haus dan lapar bukan main!
Aku menuju ke pesantren Kiai Damanhuri. Pesantrennya kecil saja, dan terasa sepi dan mencekam. Masjid itu gelap tiada penerangan lampu. Tetapi masih jelas suara orang membaca-baca wiridan, pertanda sembahyang maghrib sudah selesai. Aku perhatikan di dalamnya cuma 3 orang dengan Kiai Damanhuri masih berada di mihrab, tempat imam sedang memimpin pembacaan windan. Aku sembahyang maghrib sendinan.
Ketika wiridan sudah selesai, dan kiai selesai sembahyang sunat, aku hadang dia di pintu masjid. Beliau sangat terkejut melihat kedatanganku.
―Masya Allah, sangking tindak pundi?‖ (datang dari mana?) tegurnya sambil menyalami tanganku.
―Njajah deso milang kori,‖ (pergi keliling-keliling), jawabku sambil bergurau. Kiai ini senang bergurau, melucu. Tetapi di saat serius juga serius.
Aku diajak masuk ke rumahnya, dan menanyakan kabar keselamatanku. Sambil berjalan beliau cerita, semalam bermimpi ketemu aku. Segera aku sambut, kini kita saling berjumpa dalam keadaan nyata, tidak dalam mimpi.
―Bu Nyai! Bikin kopi kental, ini ada tamu agung!‖ serunya kepada Ibu Nyai yang masih ada di dalam, ―suruh si Busro menyembelih ayam!‖
―Ah, jangan repot-repot kiai!‖ kataku.
―Tidak repot kok! Memang saban saya makan selamanya dengan ayam, artinya, kalau saya makan, ayam saya pun juga makan,‖ jawabnya mulai melucu.
―Di pesantren ini tak ada lagi santri, mereka pada pulang kampung. Orang tua mereka pada susah, padinya diambil Jepang. Saya dengar mereka pada dagang keliling, takut dijadikan romusha atau dijadikan Heiho,‖ mulai Kiai Damanhuri membuka percakapan.
―Jadi kiai tidak lagi mengajar sekarang?‖ aku bertanya.
―Saya sekarang mengajar dengan keliling mendatangi desa-desa, biar saya yang mengalah. Di rumah saja juga susah. Selalu saja saya didatangi pejabat Jepang untuk membantu mereka membikin propaganda tentang pengumpulan padi dan kerja suka rela. Orang tani sudah tidak memiliki padi, sudah 3 panenan ini padi tak menjadi, terserang hama, lagi pula, banyak sawah terbengkalai tidak ada pekerja yang menggarap sawah karena dijadikan romusha. Saya tidak mau ikut propaganda pengumpulan padi, ini kerja zalim kepada rakyat, penuh dosa. Subhanallah!‖ Kiai Damanhuri menerangkan sambil menahan genangan air matanya.
―Apa rakyat di sini bertambah sengsara?‖ aku menanya, sebenarnya suatu pertanyaan sia- sia, sebab aku sudah tahu, rakyat di mana-mana menderita.
―Memang, rakyat bertambah menderita, ya lahir ya batin. Sudah banyak orang tidak makan nasi. Kalau saudara perhatikan, halaman-halaman rumah penduduk yang dulu banyak ditanami pohon pisang, sekarang sudah jarang sekali. Pisang yang masih muda terpaksa
119
 
dimakan, juga bonggolnya. Tetapi orang-orang yang jadi alat Jepang bertambah makmur saja hidupnya,‖ kata Kiai.
―Makmur dari mana?‖ aku menanya ingin tahu.
―Tentu saja dari main kusukeiho. Dari mana lagi kalau tidak main kusukeiho?‖ jawabnya. Kusukeiho itu bahasa Jepang, artinya serangan bahaya udara. Kalau ada tanda kusukeiho, lampu-lampu dipadamkan, keadaan menjadi gelap seluruhnya. Oleh rakyat jadi merupakan istilah populer, bahwa kusukeiho artinya main gelap-gelapan, korupsilah begitu!
―Astaghfirullah, kasihan rakyat!‖ aku menyela.
―Ya, ini memang benar-benar zaman edan!‖ Kiai meneruskan percakapannya. ―Kalau tak ikut edan tidak kebagian. Tetapi orang pada lupa bahwa: Sabejo-bejane kang lali, isib bejo kang eling lawan waspodo (Sebahagia-bahagianya yang sedang lupa, masih berbahagialah mereka yang selalu ingat dan waspada).‖
―Orang tua-tua kita sudah mengajar kepada kita,‖ demikian kiai melanjutkan uraiannya
―bahwa telah difirasatkan kelak akan datang suatu masa yang digambarkan sebagai demikian:
Keong sak kenong matane Tikus-tikus pada ngidung Kucing gering kang njageni ...
―Bahwa artinya: Siput bermata sebesar kenong. Ini suatu tamsil bahwa rakyat yang tak berdaya dan lemah seperti binatang siput, mendadak bermata sebesar kenong, artinya, tahu segala-galanya apa yang terjadi. Tikus-tikus berdendang menyanyi-nyanyi. Ini suatu tamsil bahwa para penjahat dan pencoleng yang seperti tikus-tikus yang menggerogoti kekayaan rakyat pada hidup senang dan makmur karena berhasil dengan curian dan perampokannya. Sedangkan kucing-kucing, artinya pihak penguasa yang harus membasmi tikus-tikus tidak sanggup menangkap dan mengejar tikus-tikus karena mereka cuma kucing kurus tak berdaya!‖ Kiai Damanhuri diam sebentar seperti ada yang dipikirkan dalam-dalam.
―Kalau sudah demikian, lalu apa yang bakal terjadi?‖ tanyaku mengisi kesunyian.
―Wallahu A‗lam! Cuma Allah Yang Maha Tahu apa yang bakal terjadi,‖ seperti tersentak dari diamnya Kiai Damanhuri menjawab pertanyaanku.
―Cuma banyak sekali orang mempercakapkan bahwa Jepang tidak akan lama lagi berkuasa di sini,‖ beliau meneruskan, ―dan ini termasuk sunnatullah. Artinya, bahwa Allah selalu menyertai anggapan orang banyak. Kalau orang banyak menganggap bahwa sesuatu itu baik, maka Allah juga beranggapan demikian. Sebaliknya kalau orang banyak menganggap bahwa sesuatu itu tidak baik, Allah juga beranggapan demikian.‖
―Apa kata orang banyak bahwa Jepang tidak akan lama lagi berkuasa?‖ aku bertanya.
―Ya, kata orang-orang bahwa Jepang hanya berkuasa selama seumur jagungf‘ jawabnya.
―Apa maknanya berkuasa seumur jagung?‖ aku menanya. Percakapan dari hati ke hati ini bertambah menarik.
―Macam-macam orang memberikan tafsiran. Ada yang menafsirkan bahwa seumur jagung itu artinya seumur raja agung. Lha, kita ini tidak tahu, siapa yang dianggap sebagai raja agung di waktu sekarang, apakah Hitler ataukah Tenno Heika yang kini masih merajai dunia dengan menaklukkan begitu banyak negeri. Ada lagi yang menafsirkan bahwa seumur

120
 
jagung itu artinya seumurnya orang jagong. Kalau kita pergi jagong, yaitu datang ke tempat pesta penganten, itu cuma beberapa saat saja, tidak lama. Jadi kalau diikuti tafsir ini, bahwa Jepang memang tidak lama berkuasa di sini. Ada lagi yang menafsirkan bahwa seumur jagung itu benar-benar selama umur jagung. Mulai menanam biji jagung, hingga tumbuh jadi pohon, lalu dipetik buah jagungnya dan disimpan, itu paling lama hanya 3½ bulan. Jadi kalau diikuti tafsiran ini, Jepang menguasai Indonesia Cuma 3½ tahun saja. Tetapi yaitu, Iaya'lamu al-ghaiba illa Allah, tidak ada yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah SWT!‖ demikian Kiai Damanhuri menerangkan.
Aku cuma singgah saja di Pesantren Kiai Damanhuri, karena itu, sehabis disuguhi makan dengan ayam goreng, aku berpamitan pulang. Tiba di rumahku, di Purworejo, sudah jam 12 malam. Aku diantarkan oleh Haji Sahlan, seorang murid Kiai Damanhuri yang menjadi pemimpin Ansor dengan delmannya.
* * *
Pada permulaan tahun 1944 sudah 4 bulan ―Hizbullah‖ terbentuk di seluruh Jawa-Madura. Beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan juga telah terbentuk, walaupun tidak merata. Markas Tertinggi ―Hizbullah‖ berada di Jakarta, dengan Zainul Arifin sebagai panglimanya. Anggota pimpinan yang lain diambilkan dari unsur Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, PSII, dan lain-lain organisasi umat Islam. Beberapa ulama di antaranya K.H.A. Wahab Chasbullah dijadikan penasehat dan pelindung.
Jika pusat latihan ―Peta‖ berkedudukan di Bogor, maka pusat latihan ―Hizbullah‖ berada di Cibarusa, suatu desa di perbatasan antara Bekasi dan Cibinong, dekat Jakarta Bogor.
Di kedua tempat ini, pemuda-pemuda Indonesia digembleng jasmani dan rohaninya untuk pertahanan tanah air dari ancaman musuh, baik yang datang dari luar maupun yang ada di dalam negeri. Kedua-duanya dilatih kemiliteran oleh perwira-perwira Jepang. Banyak orang mempunyai firasat bahwa akhirnya bagi Jepang akan terjadi lelakon senjata makan tuannya sendiri.
Aku diserahi membentuk Barisan ―Hizbullah‖ untuk daerah Kedu di Magelang. Seorang temanku, KH. Muslich membentuk di daerah Banyumas.
Seorang Shodancho dari salah satu Daidan ‗Peta‘ di Magelang bernama A. Yani, aku mintai bantuannya untuk melatih ―Hizbullah‖ seluruh daerah Kedu. Dia telah membantu pembentukan ―Hizbullah‖ sejak dari permulaan. Aku tidak tahu mengapa pilihanku jatuh kepada pemuda A. Yani ini.
Kian hari situasi baik politik maupun ekonomi dan militer semakin genting. Perasaan anti Jepang semakin meluas di mana-mana. Gerakan sabotase untuk melemahkan kedudukan Jepang digerakkan oleh rakyat di beberapa daerah sampai terjadi pemberontakan- pemberontakan di Indramayu, Singaparna, Cilacap, dan Blitar.
Sejak Jepang datang, dia tak pernah memperoleh simpati rakyat Indonesia, kecuali beberapa hari yang pertama karena propagandanya hendak membebaskan rakyat dari penjajahan. Namun hari demi hari kebencian kian menumpuk. Badan-badan yang dibentuk Jepang, mulai dari Tiga A, sampai ―Putera‖ dan ―Jawa Hokokai‖ yang dipimpin oleh ―Empat- Serangkai‖ tak pernah dapat meraih simpati dan dukungan dari rakyat Indonesia. Rakyat kian membenci dan bahkan mendendam.

121
 
Aku sering meninggalkan Jakarta untuk menyertai K.H.A. Wahid Hasyim mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta, beliau bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional dan kalangan pemuda. Di daerah-daerah beliau mempunyai anak buah di kalangan supir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Sementara itu, hubungan dengan dunia pesantren tambah dipererat.
Di Jombang, di bawah pimpinan Hadratus Syaikh dan K.H.A. Wahab Chasbullah diselenggarakan Riyadhah-Rohani di kalangan para ulama. Kecuali meningkatkan semangat pembelaan tanah air, juga mengamalkan beberapa wirid. Hizbur-Rifa‘i, Hizbul-Bahr, Hizbun Nawawi, dan lain-lain doa dipompakan dalam Riyadhah yang berbentuk Latihan-Rohani itu.
Dalam banyak kesempatan, K.H.A. Wahid Hasyim menjelaskan isi ramalan Ranggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menguasai Indonesia. Kepercayaan itu haruslah dijadikan dorongan untuk berjuang. Diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.
Berhubung dengan tertangkapnya K.H. Mahfuzh Shiddiq, ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama oleh Jepang, maka pimpinan diambil alih K.H.A. Wahab Chasbullah sehari-hari didampingi oleh Hasyim.
K.H.A. Wahid Hasyim menggerakkan suatu kampanye ditujukan kepada dunia pesantren dan alim ulama. Kampanye itu bernama Mahadi Nashrillah terdiri 3 fasal:
1.    Tazawuru ba'dhuhum ba'dha, artinya: Saling kunjung mengunjungi dan mempererat persatuan.
2.    Tawashaw bi al-haqqi wa tawashaw bi as-shabri, artinya: Saling memberi nasehat tentang kebenaran dan ketabahan berjuang.
3.    Riyadhah Ruhaniyah, artinya: Memperdekatkan diri kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya sambil memperbanyak wirid, hizb, dan doa.
Sejak permulaan Mei tahun 1945, aku sering berada di Jakarta. Di markas tertinggi
―Hizbullah‖ selalu berkumpul beberapa ulama dan tokoh-tokoh umat Islam. Di antaranya:
K.H.A. Wahab Chasbullah, KH.A. Wahid Hasyim, Zainul Arifin, KH. Dahlan, KH. Abdul Halim Majalengka, K.H. Sanusi Bogor, K.H. Masykur Malang, K.H. Mustofa Kamil Singaparna, K.H. Abdulkahar Muzakkir, Mr. Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan lain-lain.
Mereka selalu membicarakan situasi yang semakin gawat bagi Jepang, baik dalam segi politik, ekonomi, maupun militer.
Suatu hari, seorang pemuda Ansor Jakarta, Fatoni, memberitahukan kepadaku bahwa seorang petani bernama Husin akan minta berjumpa dengan K.H.A. Wahid Hasyim. Bertemulah dua orang ini, lama mengadakan pembicaraan. Setelah petani itu pergi, K.H.A. Wahid Hasyim memberitahukan kepadaku bahwa dia adalah Tan Malaka, orang terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang. Guru Adam Malik dan Chairul Saleh, katanya.
Dari berita-berita radio yang dapat kita sadap mengabarkan bahwa beberapa pulau di lautan Pasifik sebelah selatan di sekitar Salomon yang diduduki Jepang, satu demi satu jatuh ke tangan Amerika. Jenderal Mc. Arthur panglima Sekutu telah mendekati Filipina. Kepulauan Jepang terutama Tokyo sudah mulai dibom oleh Amerika. Sementara ekonomi dan
122
 
kekuatan militer Jepang semakin payah, gerakan anti Jepang bertambah meluas di seluruh Indonesia.
Ada sementara pemimpin Indonesia yang masih taat kepada Jepang dan percaya atas janji- janji Jepang bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak bila perang Asia Timur Rayanya Jepang mencapai kemenangan. Tetapi sebagian pemimpin yang lain K.H.A. Wahid Hasyim termasuk di dalamnya menganggap bahwa Jepang akan mengalami kekalahan, dan oleh sebab itu Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut pada saat yang dipandang paling tepat. Saat yang paling tepat inilah yang selalu menjadi bahan pembicaraan dan musyawarah di antara pemimpin dan kalangan pemuda.
Untuk persiapan menjelang Indonesia Merdeka, daerah-daerah harus disiapkan, baik mental maupun organisasi perjuangannya. Indonesia Merdeka harus direbut di Jakarta, tetapi harus dibarengi secara serentak oleh perjuangan di daerah-daerah, agar Jepang tidak sempat memusatkan kekuatannya, dan agar perhatian Jepang menjadi terpecah-pecah.
Secara lahiriyah, rakyat Indonesia dalam keadaan sakit dan menderita sangat parah, akibat penindasan penjajahan Jepang selama 3½ tahun. Akan tetapi secara mental dan semangat, daya juangnya semakin dahsyat menyala-nyala. Kepala tidak lagi menunduk, tetapi tegak ke atas dengan mata memandang ke depan melihat suatu harapan besar, bahwa zaman baru akan segera tiba.
Untuk tugas inilah kami tinggalkan Jakarta. Kami serombongan petugas disebar ke daerah- daerah, ada yang ke Jawa Timur dan ada yang ke Jawa Barat. Aku mendapat tugas ke Jawa Tengah. Aku singgahi Pekalongan dan Purwokerto. Dalam menuju Magelang, aku singgahi Wonosobo dan Parakan, dua kota di pegunungan yang amat strategis, siapa tahu perjuangan akan memakan waktu lama dan diperlukan suatu daerah yang memiliki daya tahan untuk berjuang. Daerah ini kecuali padat penduduknya, terpencar desa-desa di balik pegunungan yang beratus-ratus jumlahnya, juga terkenal sebagai gudang makanan.
Baru dua hari aku tiba di Magelang aku jatuh sakit. Aku pulang ke rumah di Purworejo dalam keadaan sakit. Agaknya karena bekerja sangat keras dan hampir tidak pernah istirahat
Badanku sangat lemah seperti tidak mempunyai kekuatan sedikit pun. Aku cuma berbaring di bawah pengawasan Dokter Sutikno. Tetapi pikiranku jauh menjangkau ke mana-mana.
Dalam keadaan sakit, aku kedatangan dua orang pembesar Jepang yang aku sudah kenal. Mereka tidak datang bersamaan tetapi sendiri-sendiri. Aku sangat heran begitu baik si Jepang ini menengokku sakit. Dan lebih heran lagi karena ada sesuatu yang sangat aneh buatku. Dia seorang pembesar Jepang di Magelang, namanya Machuda, aku tidak perdulikan apa nama depannya, aku cuma tahu namanya Machuda, begitu saja. Yang membuat aku melihatnya aneh karena dia datang dengan mengenakan kain sarung dan peci hitam. Mimpikah aku? Dia datang dengan menyerahkan sebuah bungkusan buatku. Aku buka di depannya, ternyata isinya... bahan baju satu stel. Dia mendoakan aku semoga aku lekas sembuh. Tidak banyak bicaranya, lalu segera minta diri. Tidak lama kemudian datang lagi seorang pembesar Jepang, yang aku kenal namanya tuan Oya. Dia biasa saja, masih berpakaian seragam militer. Dia tidak membawa bungkusan seperti Machuda. Tetapi dia datang untuk berpamitan bahwa pertemuannya denganku mungkin yang terakhir kalinya. Karena aku dalam keadaan sakit, aku malas saja berbicara panjang-panjang, dan dia sendiri pun tampak tergesa-gesa. Ketika berjabatan tangan denganku menjelang pulang, ia memegang tanganku lama sekali, sambil air matanya berlinang-linang. Aku jadi bingung dan merasa sangat aneh terhadap peristiwa itu, apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
123
 
Baru setelah satu jam kemudian, melalui siaran radio dari Jakarta, aku mendengar berita bahwa Bung Karno-Hatta telah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.
Aku seperti baru siuman dari pingsan atau mendusin dari ngelamun mendengar siaran radio itu. Antara percaya dan tidak. Aku berusaha untuk mengumpulkan semua ingatanku tentang apa yang terjadi di Jakarta sebelum aku tinggalkan. Mengapa secepat itu berlangsung? Apa sebenarnya yang telah terjadi di sana?
Aku menangis! Iba rasa hatiku, justru dalam detik-detik paling penting dalam sejarah bangsa kita, saat yang telah lama aku nantikan dengan penuh kesabaran dan penderitaan, tiba-tiba aku berada di tempat yang jauh dari pusat kejadian itu, jauh dari Jakarta pusat perjuangan. Lama aku termenung. Berangsur-angsur datang suara dari batinku, aku tidak boleh menyesali apa yang terjadi. Semua ini karena suratan takdir. Aku ditakdirkan harus sakit. Berangsur-angsur aku menata hatiku untuk sabar dan tawakal.
Hari itu memasuki minggu ke-3 bulan Ramadhan. Akan tetapi derita lapar karena berpuasa terasa nikmat sekali. Rasanya, belum pernah dalam hidupku merasakan lapar tetapi nikmat dan bahagia seperti ketika itu. Semua ini lantaran pengaruh dan berkahnya kemerdekaan.
Aku merasa sekonyong-konyong menjadi sehat kembali, kontan merasa sembuh seketika dari sakitku. Aku mengambil sepeda untuk menemui beberapa teman.
Alam pun tampak cerah berseri, tidak tampak kelesuan suasana puasa yang biasanya lunglai. Sepanjang jalan penduduk mengibarkan bendera merah putih, ada yang terbuat dari kain dan banyak pula yang terbuat dari kertas saja. Gelak tawa kedengaran di mana-mana, mereka riang gembira dan tampak amat bahagia. Muka-muka jadi bersinar, amat bebas bicaranya menghalau rasa tertekan selama 3½ tahun. Seenaknya saja keluar dari mulutnya mencaci Jepang dan mengutuknya dengan amat leluasa. Pada dada mereka tersemat lencana Merah Putih, ada yang terbuat dari kain, logam, dan juga dari kertas, pokoknya asal ada tanda Merdeka, Merah Putih. Bila berpapasan satu dengan yang lain meneriakkan pekik
―Merdeka‖ dengan mengepalkan tinjunya yang disambut dengan kepalan tinju yang maunya lebih gede lagi dengan mulutnya meneriakkan ―Merdeka‖ lebih nyaring. Kadang-kadang teriakan pekik itu amat mendadak tersentak, membuat orang jadi kaget seketika, lalu masing-masing melemparkan tawanya sambil menyeringai. Pokoknya semuanya senang dan bahagia.
Masjid dan surau penuh orang melakukan sembahyang Tarawih, malam-malam jadi tampak hidup dengan lampu-lampu menerangi tiap rumah dan jalan-jalan. Orang berkerumun- kerumun di mana-mana seperti laron keluar dari sarangnya. Dunia seperti baru lahir dari kandungan Kemerdekaan setelah penderitaan lahir batin sekian lamanya di bawah kecemasan yang gelap.
Aku kumpulkan teman-teman yang selama ini membantuku dan membantu rumah tanggaku tiap kali aku tidak ada di rumah. Datanglah Kiai Haji Jamil, Solichun, Ustadz Ridwan, dan Mawardi Ichwan. Menyusul Sayyid Muhammad dan Haji Ashari. Mereka inilah orang-orang yang selalu aku mintai pertimbangan dan pendapat bila aku menghadapi kesulitan-kesulitan.
Aku ingatkan kepada mereka bahwa kita jangan menjadi lengah, tenggelam di saat senang dan bahagia. Perjuangan baru akan mulai. Hingga jauh malam menjelang sahur kami berbincang-bincang membicarakan hal-hal yang bersangkut paut dengan segala kemungkinan.

124
 
Dua hari kemudian aku menerima kawat K.H.A. Wahid Hasyim untuk datang ke Jakarta. Beliau adalah Menteri Negara dalam pemerintahan baru yang dibentuk setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kepada Solichun, pemimpin ―Hizbullah‖ aku pesankan, agar anak buahnya tetap terhimpun dan selamanya dalam keadaan siap sedia menghadapi segala kemungkinan.
Aku tinggalkan kotaku menuju Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia. Allahu Akbar wa lillahi al-hamd!
Allah Maha Besar, Selamanya Maha Terpuji!!!

Merdeka Berarti 1000 Perjuangan

Minggu-minggu pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah hari-hari yang penuh dengan ketegangan. Indonesia yang mula-mula berwajah cerah penuh tawa, mendadak berubah menjadi Indonesia yang garang meradang menantang, dan berjuang. Jepang hendak menjadikan Indonesia barang inventaris yang harus diserahterimakan kepada Sekutu. Jepang sebagai negara yang kalah perang diharuskan menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia bekas jajahannya.
Tetapi kita tidak sudi dijadikan barang warisan. Kita sudah merdeka. Sebab itu, kita menentang perbuatan Jepang. Keamanan dan ketertiban di Indonesia adalah urusan kita sendiri, kita yang berdaulat di negeri sendin. Sebaliknya, kita memandang Jepang-Jepang sebagai tawanan perang Sekutu yang harus kita serahkan kepada Sekutu, dan kita bertanggung jawab atas keamanan di negeri ini. Bila Sekutu datang ke negeri ini, dia tidak lagi akan menjumpai Indonesia sebagai jajahan Jepang, tetapi sebagai suatu Negara Merdeka yang berhak memerintah dirinya sendiri.
Jepang tidak mau menyadari kenyataan bahwa Indonesia telah merdeka. Dia masih beranggapan bahwa kemerdekaan Indonesia baru akan diberikan oleh Jepang bila perang selesai dan Jepang di pihak yang menang. Tetapi bangsa Indonesia telah matang untuk berpikir bahwa Jepang tidak akan menang dalam peperangan, Jepang akan dikalahkan. Sebelum Jepang menjadi taklukan Sekutu, kita siap untuk merdeka. Dan, begitu Jepang menyerah kepada Sekutu, begitu kita menemukan detik-detik yang paling tepat untuk merdeka. Detik-detik di mana terdapat kekosongan kekuasaan. Jepang sudah menyerah, dan sekutu belum tiba di Indonesia. Inilah saat paling tepat untuk memproklamasikan Kemerdekaan, yaitu 17 Agusuts 1945, bertepatan tanggal 17 Ramadhan 1365.
―Peta‖ yang sudah bubar segera menghimpun tenaganya kembali. ―Hizbullah‖ masih dalam keadaan utuh, mulai di pusatnya di Jakarta hingga daerah-daerah. Serentak pemuda- pemuda Indonesia menjadikan dirinya ―Laskar Kemerdekaan‖ yang mewajibkan dirinya membela Kemerdekaan dan mempertahankannya dengan pengorbanan apa pun.
Serdadu-serdadu Jepang harus kita lucuti senjatanya. Kita memerlukan senjata. Sebagai tentara yang dalam keadaan kalah perang, mereka kita hantam dan tangsi-tangsi mereka kita serbu. Senjata di tangan Jepang harus menjadi milik kita.
Mulai dari Jakarta, pusat perjuangan kemerdekaan, hingga ke pelosok-pelosok tanah air, suasananya sangat panas, mendidihlah semangat bertempur melawan Jepang. Kita berada dalam situasi ―siap-siapan‖, di mana-mana kita jumpai pemuda-pemuda dalam keadaan siap. Komando ―siap‖ menggema di mana-mana.

126
 
Begitu cepat slogan-slogan kemerdekaan merata di seluruh tanah air. Sepanjang jalan, pada tembok-tembok terpancang semboyan-semboyan kemerdekaan dalam bahasa Inggris, yang mengandung arti bahwa kita telah merdeka, dan sanggup membelanya dengan pengorbanan apa pun. Di mana-mana terpancang semboyan ―Merdeka atau Mati!‖ Gerbong-gerbong kereta api juga penuh dengan coreng-moreng semboyan kemerdekaan dalam bahasa Inggris, hingga dalam waktu beberapa hari di seluruh tanah air, terutama di kota-kota, penuhlah semboyan-semboyan kemerdekaan menghiasi dinding-dinding rumah, jembatan, pabrik, dan bahkan pohon-pohon, pokoknya di mana saja asal bisa terbaca dengan mudah dengan huruf-huruf yang berwarna menyolok dan dalam kalimat-kalimat yang singkat dengan nada berjuang. Kepentingannya, bila nanti Sekutu datang kemari, dia akan melihat suatu kenyataan bahwa Indonesia benar-benar telah merdeka oleh hasratnya hendak merdeka.
Aku pulang dari Jakarta dengan kereta api yang padat berisi pemuda-pemuda dengan wajah-wajah garang. Orang-orang tua pun bersemangat pemuda, mereka berbicara dengan semangat ―mau mati‖ saja kalau kemerdekaan ini sampai menjadi urung.
Tiba di stasiun Kroya, aku turun. Aku jumpai temanku seorang ―Hizbullah.‖ Namanya Kiai Mu'awwam.
Kiai ini pernah dilatih Jepang dalam suatu ―Latihan Ulama‖ di Jakarta. Seperti halnya ulama- ulama yang lain, selain dilatih tentang ―semangat Jepang‖ (Bushido), beliau juga dilatih kemiliteran. Sejak tahun 1943, Jepang mengadakan ―Latihan Ulama‖ dan ―Latihan Guru Madrasah‖ seluruh Indonesia yang bertempat di Jakarta. Mereka dilatih 1 bulan, lalu diikuti oleh latihan berikutnya secara gelombang demi gelombang.
Ketika diadakan latihan kemiliteran, kira-kira 100 orang ulama dipecah menjadi 2 pasukan. Yang satu menjadi pasukan yang membela benteng, sedang satunya, pasukan yang menyerang benteng. Kiai Mu‘awwam menjadi komandan pasukan yang membela benteng.
Ketika pasukan yang menyerang masih dalam jarak yang cukup jauh, Kiai Mu‘awwam memberi perintah kepada anak buahnya agar beristirahat, duduk-duduk sambil merokok, dan mengobrol sesama kawannya. Alasannya, toh ―musuh‖ masih jauh. Begitu terdengar suara hiruk-pikuk pasukan penyerang telah mendekati benteng, Kiai Mu‘awwam segera memberikan aba-aba bersiap. Pasukannya diberi perintah, bila pasukan penyerang telah mendekati ―benteng‖-nya, segera saja ―menyerah‖ dan angkat tangan. Maksudnya, agar
―kaum penyerang‖ merasa senang hatinya karena susah payah dan jauh-jauh menyerang, biarlah mereka ―menang,‖ dan dengan demikian ―latihan perang‖ segera bubar.
―Buat apa cape-cape! Orang tua-tua disuruh ‗bertempur‘. Ini Jepang harus diakali!‖ katanya.
―Kalau dua pasukan kiai-kiai yang orang tua-tua ini saling ―bertempur,‖ bisa jadi gotongan nantinya. Sebab itu saya akali, biarlah pasukan saya menyerah saja, biar lekas bubar!‖  ,
―Bagaimana halnya dengan pemuda-pemuda ―Hizbullah‖ di Purwokerto?‖ aku bertanya.
―Pemuda-pemuda kita, sebagian bergabung dengan pemuda-pemuda ―Peta‖ mendirikan
―Tentara Keamanan Rakyat‖ (TKR),‖ jawab Kiai Mu‘awwam, ―tetapi Hizbullah tetap utuh. Kemarin dahulu telah merebut senjata Jepang, hasil serbuan kita ke Butai Jepang. Pemuda- pemuda ―Hizbullah‖ kini sebagian telah memiliki senjata.‖
―Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?‖ aku menanya.

127
 
―Ya, dengan bambu runcing!‖ jawabnya. ―Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh daripada mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam keadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad ―mati syahid!‖
Aku tiba di Magelang di saat pemuda-pemuda sudah siap hendak menyerbu Butai Jepang yang menjadi gudang senjata. Ketika menjelang ashar, pemuda dan rakyat berhasil menurunkan bendera Jepang di atas Gunung Tidar yang dijaga kuat oleh pasukan Jepang. Tetapi Jepang-Jepang tidak berdaya menghadapi serbuan rakyat yang gagah berani, bahkan senjata mereka dilucuti. Mereka melawan, namun peluru-peluru Jepang tidak mampu membendung serbuan rakyat yang bagaikan air bah tak mau dicegah-cegah. Jepang-Jepang berhasil menjadi tawanan rakyat dan senjata-senjata berpindah tangan, menjadi milik pemuda-pemuda.
Semangat pemuda dan rakyat di Jakarta yang bertahan dalam Rapat Umum di Ikada di hadapan serdadu-serdadu Jepang dengan bayonet terhunus, mendorong pemuda-pemuda di daerah-daerah untuk lebih berani menghadapi serdadu-serdadu Jepang. Tidak sekedar bertahan, tetapi menyerang mereka dan merebut senjata yang masih di tangan. Betul juga ucapan Kiai Mu‘awwam bahwa: bambu runcing di tangan orang pemberani, lebih ampuh daripada karaben dan mitraliur di tangan orang yang sedang gemetar ketakutan. Itulah saat paling tepat untuk memperoleh senjata, merebut dari tangan Jepang sendiri. Seorang militer di seluruh dunia mempunyai kode dan etik yang sama bahwa senjata di tangan samalah artinya dengan nyawa. Jika senjata direbut orang, berarti nyawanya telah direnggut. Pasti akan dibela sampai mati, tetapi kalau jiwa sudah menjadi kerdil karena kalah perang, segala kode dan etik tidak akan berlaku bagi orang yang sedang kalah.
Pesantren-pesantren telah berubah menjadi markas-markas ―Hizbullah.‖ Pengajian telah berubah menjadi latihan menggunakan senjata, entah karaben, mitraliur, ataupun granat tangan. Seperti ada yang memberi komando, di mana-mana berdiri barisan pendamping
―Hizbullah,‖ namanya ―Barisan-Sabilillah‖ yang terdiri dari orang-orang yang sudah bukan pemuda lagi.
Sebagai pemimpin ―Hizbullah‖, aku bingung juga menghadapi begitu banyak pasukan. Tiap pesantren mendirikan pasukan ―Hizbullah‖, tiap kiai mempunyai pasukan ―Sabilillah‖. Bagaimana mengatur manusia begini banyak? Apalagi semuanya minta ―mati syahid‖. Aku katakan, aku tidak memerlukan orang-orang untuk mati. Yang aku perlukan manusia- manusia yang hidup untuk berjuang membela kemerdekaan dan mengisinya.
Mulai aku atur pembagian pekerjaan. Pertama-tama menyusun ―pasukan pengangkut‖, yaitu orang-orang yang diserahi mengatur transportasi.
Ketika sudah tampak gejala-gejala Jepang akan kalah, K.H. A. Wahid Hasyim pernah, datang ke Magelang, dilihatnya bahwa banyak pemuda-pemuda kita bekerja di bengkel- bengkel mobil milik militer Jepang. Beliau menganjurkan agar pemuda-pemuda kita belajar mengemudikan kendaraan. Sebab, di zaman perjuangan yang memuncak segera dalam suatu revolusi, siapa lebih dahulu menguasai alat-alat pengangkutan, dia akan memperoleh kesempatan pertama untuk menyusun kekuatan.
―Hizbullah‖ Magelang memiliki truk-truk yang dirampas dari Jepang ketika rakyat Magelang merebut senjata Jepang. Dengan alat pengangkutan ini lebih mudah memindah-mindahkan pasukan ―Hizbullah‖ serta mengangkut bahan makanan yang dikumpulkan oleh ibu-ibu Muslimat di mana-mana. Semua laskar rakyat selain harus mencari senjata, juga masing-

128
 
masing harus cari makan sendiri. Ibu-ibu Muslimat menjadikan masjid-masjid sebagai tempat mengumpulkan bahan makanan serta dapur umum.
Kami menduduki dua buah gedung besar yang terpisah antara satu dengan lainnya dalam jarak kurang lebih 700 m. Keduanya bekas kediaman perwira tinggi Jepang. Yang satu kami gunakan untuk Markas ―Hizbullah‖ dan yang lain untuk Markas ―Sabilillah‖.
Aku menggunakan sebuah kamar untuk tempat tinggalku, sedang lainnya untuk anggota staf dan pasukan. Walaupun resminya gedung markas, tetapi pada waktu-waktu sembahyang berubah menjadi mushala besar.
* * *
Berbondong-bondong barisan-barisan laskar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua ―gunung penganten‖ Sundoro Sumbing. Kedua gunung ini merupakan lambang kemakmuran rakyat daerah Karesidenan Kedu karena di sana seluruhnya sawah dan ladang jagung, kubis, kentang, tembakau, dan sayur-mayur lainnya. Di sanalah gudang makanan untuk daerah Kedu.
Laskar adalah tentara partikelir, adapun TKR (Tentara Keamanan Rakyat) adalah tentara resmi Republik Indonesia.
Serentak saja di mana-mana lahir badan kelaskaran, serentak bangkitnya semangat merebut senjata di tangan Jepang untuk membela dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Di antaranya yang paling terkenal adalah: ―Hizbullah‖ di bawah pimpinan Zainul Arifin, ―Barisan Sabilillah‖ di bawah pimpinan KH. Masykur, ―Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia‖ di bawah pimpinan Bung Tomo, ―Barisan Banteng‖ di bawah pimpinan Dr. Muwardi, ―Laskar Rakyat‖ di bawah pimpinan Ir. Sakirman, ―Laskar Pesindo‖ di bawah pimpinan Krissubanu, dan masih banyak lagi.
Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju ke Parakan. Ada yang menggunakan truk-truk, dan kereta api.
Tetapi yang berjalan kaki pun tidak kurang-kurangnya. Kereta api hampir dipenuhi dengan badan-badan kelaskaran. Sejak dari Surabaya di sebelah Timur, dari Cirebon di sebelah Barat, dan Yogya di sebelah Selatan. Laskar-laskar yang ribuan itu membanjiri kota kawedanaan Parakan. Para kepala stasiun sering dibikin pusing oleh desakan laskar-laskar dan rakyat yang meminta kereta api istimewa untuk menuju ke Parakan. Jika saja permintaan dan desakan mereka tidak diindahkan, stasiun bisa diserbu rakyat yang telah sangat berang dengan bambu runcing di tangannya. Mau tidak mau, kepala-kepala stasiun harus menyusun formasi kereta api luar biaya untuk memberangkatkan mereka menuju Parakan. Bisa dibayangkan, betapa kacau balaunya perjalanan kereta api dengan frekuensi yang tak bisa dihitung setiap harinya.
Di Parakan, berdiam seorang ulama berusia sekitar 90 tahun. Namanya Kiai Haji Subeki. Aku mengenal beliau dengan baik karena bila aku datang ke Parakan sebagai Komisaris Daerah Ansor untuk mengadakan kursus-kursus Ansor di Parakan, beliau selalu turut hadir mendengarkan ceramah dan kursus yang aku berikan. Pernah beliau katakan padaku bahwa sekitar tahun 1850 ketika sisa-sisa bekas anak buah Pangeran Diponegoro menjadi buronan Belanda, beliau masih kecil, yang digendong oleh kakeknya berlari-lari menyembunyikan diri dari sergapan serdadu-serdadu Belanda.

129
 
Ketika Jenderal Mansergh, panglima Sekutu di Surabaya memberi ultimatum kepada rakyat Surabaya berhubung dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby, pecahlah pertempuran Surabaya yang dahsyat dan bersejarah hingga lahirlah ―Hari Pahlawan‖ 10 November. Rakyat Surabaya dengan senjata seadanya memberikan perlawanan terhadap serangan Sekutu (Inggris) yang berpangkalan di kapal-kapal perang mereka dan menyerbu ke kota Surabaya.
Hampir bersamaan dengan itu, rakyat Semarang juga mengadakan perlawanan terhadap serdadu Sekutu yang mendarat memasuki kota Semarang. Lahirlah pertempuran di Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat dengan serdadu Sekutu (Inggris).
Anak-anak ―Hizbullah‖ dan ―Sabilillah‖ dari Parakan bergabung sesama rekannya dari seluruh daerah Kedu berangkat ke pertempuran, baik Surabaya maupun Semarang, dan Ambarawa.
Didorong oleh semangat ―Jihad fi Sabilillah‖ untuk mempertahankan tiap jengkal Tanah Air, dan didasarkan atas kasih sayang kepada anak-anak dan cucu-cucunya, Kiai Subeki memberikan bekal berupa doa kepada anak-anak ―Hizbullah‖ maupun ―Sabilillah‖ Parakan. Sebelum mereka berangkat ke pertempuran, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, mereka diberkahi oleh Kiai Subeki dengan doanya:
Bismi Allahi,
Ya Hafidzu, Allahu Akbar! Dengan Nama Allah,
Ya Tuhan Maha Pelindung, Allah Maha Besar!
Ternyata, setelah memperoleh doa dari Kiai Subeki, anak-anak ini mempunyai kebulatan hati yang tak tergoyahkan menuju pertempuran, dan mempunyai ketabahan untuk bertawakal kepada Allah Saw dengan keberanian serta keikhlasan. Demikianlah tiap anak- anak Parakan hendak berangkat menuju pertempuran, mereka meminta doa Kiai Subeki.
Lama-lama datanglah laskar dan TKR lain daerah yang hendak menuju ke pertempuran, mereka singgah terlebih dahulu ke Parakan untuk meminta berkah dan doa Kiai Subeki. Pernah Panglima Besar Sudirman dengan anak buahnya pun singgah dulu ke Parakan untuk meminta berkah dan doa Kiai Subeki sebelum menuju ke Ambarawa dan lain-lain pertempuran.
Demikianlah dengan amat cepatnya, orang berduyun-duyun datang ke Parakan untuk meminta doa Kiai Subeki, hari demi hari jumlah pengunjung kian banyak dan lalu membanjir.
Aku pernah juga datang kepada Kiai Subeki untuk mengantarkan Mr. Wongsonagoro ketika itu Gubernur Jawa Tengah.
Pada suatu hari, aku mengantarkan tiga tokoh yang aku sudah lama kenal, yakni K.H.A. Wahid Hasyim, Zainul Arifin, dan K.H. Masykur untuk menjumpai Kiai Subeki. Ketika itu, di rumahnya telah penuh berjejal para tetamu, dan kota Parakan yang kecil jadi tidak bisa lagi memuat begitu banyak orang yang membanjir.
Kiai Subeki dengan didampingi oleh KH. Nawawi dan K.H. Mandur, pemimpin ―Sabilillah‖ daerah Kedu meminta kami masuk ke kamar tidurnya.
130
 
―Ya Allah, mengapa begini banyak jadinya orang pada datang kepada saya?‖ demikian Kiai Subeki membuka percakapan dengan air mata yang menggenang.
―Mereka memohon doa kepada Bapak!‖ KH. A.Wahid Hasyim menyambut.
‗Ya, mengapa kepada saya?‖ beliau menangis dengan isaknya. Lama kami semua diam. Di luar terdengar gemuruh orang berduyun-duyun membanjiri halaman Kiai Subeki.
―Coba tengok di luar! Mereka terus datang dan datang. Begini banyak orang membanjir kemari tanpa henti, siang maupun malam!‖ Kiai Subeki sambil memandang ke luar dari jendela kamar tidurnya.
―Mereka memerlukan ketabahan hati dan tidak salah niat, karena itu, mereka memohon doa kepada Bapak sebagai seorang ulama yang patut dimintai berkah dan doanya,‖ KH.A. Wahid Hasyim menenangkan hatinya.
―Tetapi mengapa mesti kepada saya. Mengapa tidak kepada Kiai Dalhar Watucongol, atau Kiai Siraj di Payaman, atau Kiai Hasbullah di Wonosobo?‖ Kiai Subeki seperti dalam keadaan penasaran.
Zainul Arifin yang sejak tadi seperti sedang mengamati Kiai Subeki dan berusaha untuk membaca wajah ulama tua ini, membisikkan padaku dengan katanya: ―Alangkah ikhlasnya orang ini!‖ Aku manggut saja.
―Saya tidak menyuruh mereka datang! Tanyakan kepada Kiai Nawawi dan Kiai Mandur ini!‖ sambil menunjuk kepada dua kiai yang duduk di sebelahnya.
―Bukan begitu?‖ tanya Kiai Subeki ditujukan kepadaku.
―Memang mBah tidak mengundang mereka, tetapi mereka atas kehendak sendiri datang kepada mBah. Tentu mBah tidak akan keberatan sekedar mendoakan,‖ jawabku sambil melegakan hatinya. Aku biasa memanggil beliau dengan mBah.
Kiai Subeki lalu diam agak lama, membetulkan kancing bajunya yang longgar hendak terbuka.
―Jadi saya harus bagaimana, kiai?‖ tiba-tiba beliau bertanya kepada K.H.A. Wahid Hasyim.
―Apa yang Bapak lakukan itu sudah benar. Bapak telah memberikan mereka doa, dan mereka telah memperoleh apa yang mereka inginkan. Mereka jadi bertambah berani dalam perjuangan. Ini faktor yang sangat penting. Bapak sebagai orang yang berusia cukup tinggi doanya makbul, apalagi Bapak sebagai seorang ulama,‖ jawab KH.A. Wahid Hasyim.
―Apakah doa yang saya bacakan itu sudah betul?‖ Kiai Subeki melanjutkan pertanyaannya.
―Betul sekali! Bukan begitu Kiai Masykur?‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim sambil berpaling kepada K.H. Masykur.
―Memang benar, doa itu betul sekali. Lagi pula amat mudah untuk dihafal bagi rakyat awam,‖ jawab K.H. Masykur.
―Kecuali doa, apa lagi yang Bapak berikan kepada mereka?‖ Zainul Arifin bertanya.
―Biasanya saya berikan nasehat ringkas saja. Luruskan niat untuk mempertahankan Agama, Bangsa, dan Tanah air, ingat selalu kepada Allah SWT. Jangan menyeleweng dari tujuan, apalagi berbuat maksiat Dan kuatkan persatuan kita. Jika mereka akan pulang, saya minta

131
 
beramai-ramai membaca Kalimah Syahadat,‖ jawab Kiai Subeki dengan tekanan suara yang mantap sekali.
Kami keluar dari kamar tidur Kiai Subeki. Di luar orang berdesak-desakan menanti kiai yang amat dikagumi ini, sementara iring-iringan di belakangnya terus mendesak minta maju untuk lebih dekat dengan Kiai Subeki.
Ketika KH. A. Wahid Hasyim hendak meninggalkan Parakan untuk menyinggahi Yogya, beliau berpesan kepadaku agar aku sering-sering ada di Parakan, agar kewaspadaan lebih dipertinggi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa spion-spion Belanda tersebar di mana-mana, mereka adalah agen-agen NICA.
Aku masih berada di Parakan, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Dengan Kiai Ali, cucu Kiai Subeki, dan Kiai Mandur, ketua Barisan ―Sabilillah‖ aku musyawarahkan tentang hari-hari mendatang bagi Parakan. Kiai Subeki telah berusia lanjut,
90 tahun lebih. Sungguhpun badannya masih tegap dengan kerangka tulang-tulangnya yang masih kuat, namun kalau setiap hari, sejak pagi hingga jauh malam harus menghadapi puluhan bahkan ratusan ribu manusia yang semuanya minta berjumpa dengannya, tentu akan sangat mengganggu kesehatannya. Aku usulkan, agar beliau tidak usah selalu menghadapi secara langsung orang-orang yang datang meminta berkah dan doa ini. Itu bisa dilakukan oleh kiai lain, misalnya: Kiai Nawawi dan Kiai Mandur, keduanya masih termasuk adiknya, atau Kiai Ali. Adapun mBah Subeki cukup berdiri sesekali di sampingnya. Karena orangnya besar dan tinggi, dari jarak jauh akan mudah dilihat orang banyak.
Seruan ―Allahu Akbar‖ terus menggema di lorong-lorong jalan di kota kecil Parakan. Laskar- laskar perjuangan membanjiri kota di kaki ―gunung penganten‖ Sundoro Sumbing ini. Dataran tinggj yang udaranya sejuk, di hari akhir-akhir ini menjadi hangat dan bahkan terasa panasnya karena semangat tinggi yang berkobar-kobar dari orang-orang yang siap sedia
―mati syahid‖. Mereka datang membanjiri Parakan untuk men-―Sabilillah‖-kan bambu runcing dan karaben-karaben mereka dengan doa Kiai Subeki.
Siang maupun malam mereka membanjiri Parakan. Keletihan karena menempuh perjalanan jarak jauh di zaman ―republik‖ yang penuh dengan 1001 macam kesulitan tidak mereka hiraukan. Mereka menjadi puas, sangat puas setelah pulang dari Parakan. Hatinya menjadi tenteram dalam semangat tinggi untuk bertempur melawan musuh yang hendak merobek- robek Republik Indonesia. Mereka telah mencari sesuatu, dan sesuatu itu telah mereka temukan. Dengan bambu runcing, karaben, golok-golok, dan mitraliur yang telah di-
‖Sabilillah‖-kan di Parakan, jiwa mereka menjadi teguh, berangkat ke pertempuran- pertempuran untuk membela dan mempertahankan tiap jengkal tanah air. Mereka menjadi sadar untuk apa mereka pergi ke medan pertempuran, dan mereka pun sadar pula untuk tujuan apa mereka ini mengikhlaskan pengorbanannya, bukan cuma tenaga dan hartanya, tetapi jika perlu juga nyawanya sekalipun.
***
Bulan November 1945 telah menaungi persada tanah air dengan mendung perjuangan. Di Surabaya berkobar pertempuran-pertempuran antara rakyat dengan tentara Sekutu. Di sekitar Jakarta berkecamuk pertempuran rakyat melawan Sekutu dan NICA yang membonceng di belakangnya. Bahkan di Bandung, serangan mulai dilancarkan oleh serdadu Sekutu. Di mana-mana pekik ―Merdeka‖ gegap gempita diselingi gema suara takbir
―Allahu Akbar‖. Suatu pembangkitan jiwa berjuang yang memandang semua yang ada harus

132
 
dikorbankan, kecuali cuma iman di dada. Dengan iman ini, tanah air akan dibersihkan dari noda dan bencana penjajahan.
Sejak Sekutu mendarat di Semarang, mereka menggempur daerah Republik. Kekuatan rakyat yang tak berimbang menyebabkan Semarang jatuh di pelukan Sekutu (Inggris) dan Jepang sebagai pucuk penyerangnya. Kemudian mereka menduduki Ambarawa dan Magelang. Suatu malam 20 November 1945.
Kota Magelang diliputi malam yang mencekam, sunyi dan sangat mencekam. Kami, anak- anak ―Hizbullah‖-―Sabilillah‖ membuat pertahanan di belakang Masjid-Jamik Kauman Magelang. Jarak antara masjid dengan markas Sekutu yang menggunakan gedung Seminari-Katolik tidak lebih dari 300 m. Malam itu sepi sekali, walaupun belum jam 10, radio pemberontakan, antara kedengaran dan tidak sayup-sayup pidato menggelora dari Bung Tomo memberi instruksi, membakar semangat, dan sesekali diselingi oleh seruan ―Allahu- Akbar‖ berkali-kali.
Kami sedang menantikan berkumpulnya para kiai. Kira-kira 300 kiai dari seluruh pelosok daerah Kedu aku kumpulkan di rumah Saroso, pemimpin ―Hizbullah‖ Magelang yang terletak 50 m dari masjid.
Mas Wahab, pemimpin ―Sabilillah‖ Magelang yang aku tugaskan menjemput Kiai Mandur dari Temanggung datang dengan mengiringkan beberapa kiai, di antaranya Kiai Mandur sendiri. Beberapa menit aku berunding dengan M. Sarbini, komandan TKR Magelang, mengenai penyerbuan terhadap markas Sekutu di kota Magelang. Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia masih berada di Mertoyudan, 4 km dari selatan Magelang. Ia bersama anak buahnya. Ia kirim pesan kepadaku bahwa ia akan hadir dalam pertemuan kiai-kiai yang akan dilangsungkan malam itu. A. Yani, juga salah seorang komandan TKR Magelang memberitahukan padaku bahwa antara ―Hizbullah-Sabilillah‖ dan TKR harus ada koordinasi dalam penyerbuan terhadap markas Sekutu. Aku sanggupi itu, bahkan aku nyatakan bahwa komando pertempuran selamanya di tangan TKR. ―Hizbullah- Sabilillah‖ siap melaksanakan komando TKR.
300 kiai-kiai, malam itu berunding mengenai persiapan penyerbuan ke markas Sekutu, setelah aku jelaskan hasil perundinganku dengan M. Sarbini dan A. Yani. Mereka mendukung gagasan untuk mentaati komando TKR dalam penyerbuan.
Jam 24.00 wib, pertemuan selesai. Situasinya sangat gawat dan mencekam. Beberapa ulama terpilih menyediakan diri untuk mendekati markas Sekutu, mengitari gedung yang sangat kokoh itu dengan suatu gerakan batin. Aku segera beritahukan kepada pimpinan TKR. Sementara itu, beratus kiai yang lain malam itu melakukan gerakan mujahadah dengan diiringi pembacaan Hizbul Bahar, doa Hizbur Rifa‘i. Beberapa anak ―Hizbullah‖ yang telah terlatih, aku siapkan untuk sewaktu-waktu datang komando serbu dari TKR.
Kira-kira jam 04.00 menjelang Subuh, dua orang anak ―Hizbullah‖ yang melakukan tugas penyelidikan melaporkan bahwa markas Sekutu yang menempati gedung Seminari Katolik, ternyata telah kosong. Ada terdapat beberapa orang serdadu Gurkha (Sekutu) yang masih tertinggal, mereka dalam keadaan sakit.
Aku dengan beberapa teman pimpinan ―Hizbullah‖ meyakinkan laporan tersebut. Tiba di depan markas Sekutu, aku jumpai M. Sarbini dan A. Yani serta beberapa kiai. Ternyata benar laporan itu. Markas Sekutu telah kosong, ditinggalkan oleh serdadu-serdadu Inggris Gurkha dan Jepang. Mereka mengundurkan diri menuju Ambarawa.

133
 
Maka, pagi harinya dilakukan gerakan pengejaran menuju Ambarawa. Pertempuran berkobar di sekeliling kota Ambarawa, antara tentara Sekutu dengan rakyat yang berjuang. Pertempuran itu berkobar lebih dari 5 jam.
Menjelang waktu ashar, aku bersama Kiai Mandur, pemimpin ―Sabilillah‖ daerah Kedu, Kiai Haji Jamil, pemimpin ―Sabilillah‖ Purworejo, dan Solichun, salah seorang anggota stafku, dengan dilindungi oleh satu regu ―Hizbullah‖ memasuki kota Ambarawa. Kami merupakan orang-orang pertama yang memasuki kota yang dipertahankan oleh Sekutu.
Dalam keadaan hujan yang lebat sekali, aku memasuki kota Ambarawa yang telah menjadi reruntuhan puing-puing akibat gempuran kanon TKR. Jalan-jalan penuh dipasangi barikade, penghalang-penghalang agar anak-anak Republik tidak mudah mencapai pusat-pusat kota. Kiri kanan tampak gedung-gedung yang hangus akibat kebakaran. Kota itu sunyi sekali, penduduk telah lama mengungsi.
Di muka sebuah rumah yang telah menjadi reruntuhan, aku menjumpai seorang wanita Cina dalam keadaan tidak berpakaian. Ia duduk sambil berusaha untuk menutupi bagian badannya dengan kedua tangannya. Ia sedang menangis sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Tetapi tangisnya diselingi oleh tawanya berbahak-bahak, lalu menangis lagi. Nangis dan tertawa silih berganti.
―Inilah akibat perang!‖ kataku kepada Kiai Mandur. Kiai Mandur memberikan baju jas hujannya.
―Bagaimanapun juga, ia anak manusia. Manusia adalah saudara sesama manusia,‖ sambil katanya kepadaku.
Aku tinggalkan Ambarawa yang telah kembali ke pangkuan Republik Indonesia setelah kita rebut dengan derita dan air mata. Beberapa regu ―Hizbullah‖ aku beri instruksi untuk tetap berada di Ambarawa sampai ada perintah lebih lanjut. Mereka bersama anggota laskar lain bersatu dalam komando Tentara Keamanan Rakyat.
***
Sejak Januari 1946, Ibu Kota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Jakarta yang telah dikuasai oleh Sekutu dan NICA tidak memberikan kemungkinan pemerintah Republik menjalankan tugas sehari-hari.
Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas-markas ―Hizbullah-Sabilillah‖. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian tentang caranya menggunakan karaben, mortir, dan cara bertempur dalam medan-medan pertempuran.
Sepanjang jalan utama Malioboro, mendadak menjadi ramai sekali. Begitu banyak pemuda berpakaian seragam beraneka warna lalu-lalang memenuhi jalan ini, yang ketika itu mendapat julukan Broadway-nya Yogyakarta. Mereka adalah anggota TKR dan badan- badan kelaskaran 1000 macam. Kecuali menyandang senapan, juga pedang samurai dan sepatu laras hasil melucuti seragam opsir Jepang. Ada sebuah lagu hasil ciptaan seniman Indonesia yang jadi sangat populer menggambarkan ―Sepanjang Malioboro‖.
Simpang-siur tak pernah berhenti, Ada Don-Kisyot mengaku patriot.
134
 
Ada yang berlagak bintang layar-putih, Mondar-mandir cari kekasih...
Begitulah kurang lebih bait-bait dalam lagu ―Malioboro‖ yang aku ingat-ingat lupa. Pokoknya, di jalan Malioboro tumplek menjadi satu antara kaum politisi, pejuang, tukang catut, pemuda iseng bercampur baur menelusuri Malioboro sejak pagi hingga jauh malam. Yogya merupakan sebuah ibu kota yang tak pernah tidur. Tetapi satu hal harus dicatat, sebagai Kota Perjuangan, Ibu Kota Republik Indonesia yang berjuang!
Begitu Kaum Republik mengikuti jejak Pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogya, begitu mereka membanjiri kota Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat.
Yogya yang terkenal sebelumnya sebagai ―Kota Andong‖ yang ayem tenteram, yang alon- alon waton klakon, mendadak sontak menjadi sebuah kota yang penuh ketegangan- ketegangan lagi dinamis. Suhu politik kadang-kadang mencapai klimaks-klimaks yang berbahaya ketika dimulai dengan gerakan anti Syahrir.
Berminggu-minggu berada dalam medan pertempuran tentulah membuat anak-anak menjadi terlampau ganas. Mereka secara bergilir harus ditarik ke garis belakang untuk diaplus dengan tenaga lain yang masih segar. Sekitar Surabaya, Bekasi, Jakarta, Ungaran, Semarang, dan Bandung masih merupakan medan-medan pertempuran antara rakyat melawan Sekutu dengan Belanda yang membonceng di belakangnya.
Kongres Umat Islam Indonesia di Yogya persis di hari pecahnya pertempuran di Surabaya (Hari Pahlawan 10 November) telah melahirkan sebuah Partai ―Masyumi.‖ Jika di zaman Jepang umat Islam mendirikan ―Masyumi‖ dari singkatan ―Majlis Syuro Muslimin Indonesia,‖ maka ―Masyumi‖ yang partai politik ini cuma sekedar nama saja, bukan singkatan dari yang semula. Soalnya sederhana saja. Nama itu sudah sangat terkenal, terutama di kalangan umat Islam. Dan kumpulannya tokoh-tokoh Islam di ―Masyumi‖ di zaman Jepang sudah melembaga dan mudah diteruskan dalam ―Masyumi‖ yang partai ini. Partai ini berbentuk gado-gado antara federasi dan fusi, setengah federasi dan setengah fusi. Nahdhatul Ulama menjadi anggota istimewa Partai ―Masyumi,‖ demikian juga Muhammadiyah. Tetapi Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi umat Islam masih tetap berjalan sebagai sedia kala. Dalam pada itu, perorangan juga menjadi anggota langsung dari partai ini, hingga secara organisatoris, partai ini menyimpan dalam tubuhnya bahan-bahan yang bisa menimbulkan gara-gara dan ribut-ribut Akan tetapi, orang tidak terlalu menghiraukan hal-hal yang bertalian dengan pengorganisasian ini. Yang pokok, kita bersatu menghadapi bahaya dan ancaman terhadap keselamatan Republik yang masih muda ini.
Maka duduklah tokoh-tokoh ulama dan politikus dan semua partai dan organisasi umat Islam yang telah ada di dalam partai baru ini. Ketua Majlis Syuro badan hukum Agama Islam dipercayakan kepada Hadratus Syaikh Hasyim Ashari dengan KH.A. Wahab Chasbullah sebagai wakilnya. Lalu duduk pula sebagai anggotanya beberapa kalangan ulama dari Muhammadiyah, POI, POII, dan lain-lain. Dalam pengurus besar, duduk Dr. Sukiman dari PII sebagai Ketua Umumnya, dengan beberapa anggota, di antaranya: K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Masykur, Zainul Arifin, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Mohammad Roem, Mr. Yusuf Wibisono, Mohammad Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Fakih Usman, Anwar Cokroaminoto, dan lain-lain.


135
 
―Hizbullah‖ dan ―Sabilillah‖ tetap berada dalam kepemimpinan Zainul Arifin dan K.H. Masykur, tetapi komando politik dipegang oleh K.H.A. Wahid Hasyim, selaku Ketua Dewan Pertahanan "Masyumi‖.
Kami, orang-orang yang mendapat tugas lapangan di medan-medan pertempuran sering mendapat panggilan ke Yogya untuk diberi briejfing mengenai politik pertahanan rakyat berhubung dengan perkembangan situasi politik. Penjelasan secara ikhtisar itu kadang diberikan dalam bentuk rapat-rapat Partai ―Masyumi‖, tetapi ada kalanya oleh K.H. A. Wahid Hasyim maupun Zainul Arifin. Yang belakangan ini, sekalipun kedudukannya sebagai Ketua Markas Tertinggi ―Hizbullah‖ berada di Malang, akan tetapi karena ia juga duduk dalam Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (parlemen), maka waktunya pun sering berada di Yogya.
Wahib Wahab, pemimpin ―Hizbullah‖ Surabaya, Abdullah Shiddiq, pemimpin ―Hizbullah‖ Jember, Amir, pemimpin ―Hizbullah‖ Malang, Bakrin, pemimpin ―Hizbullah‖ Pekalongan, Munawar pemimpin ―Hizbullah‖ Solo, aku sendiri sebagai pemimpin ―Hizbullah‖ Magelang, adalah orang-orang yang sering berkumpul karena panggilan dari Yogya. Kecuali untuk mengurus segala perlengkapan pasukan dalam pertempuran, juga untuk mendapat penjelasan ringkas tentang situasi politik.
―Syahrir ini memang hebat,‖ Wahib Wahab mulai percakapannya pada suatu hari ―ia merombak Kabinet Sukamo menjadi kabinet parlementer yang ia pimpin sendiri. Ia sudah memegang kekuasaan dan politik secara langsung di negara ini.‖
―Sebetulnya ia sudah melanggar Undang-Undang Dasar!‖ jawabku, ―tapi tak ada orang hiraukan ini. Ia memperoleh kemenangan untuk memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa pemerintah Indonesia bukanlah made in Japan."
―Apa orang-orang politik ini sudah mulai capai bertempur dan hendak main diplomasi politik?‖ sela Bakrin.
―Menurutku, main diplomasi boleh saja asal perlawanan bersenjata tetap dikobarkan. Dan kita tidak akan menang dalam diplomasi, kalau kita kalah dalam perlawanan secara militer,‖ jawabku hendak meyakinkan teman-teman.
"Tetapi jangan lupa, Pak Dirman, Panglima Besar kita tetap memberikan komando supaya semangat perlawanan dan daya tempur tambah dipertinggi,‖ kataku.
―Dengan ditandatanganinya perjanjian Linggarjati, maka daerah kekuasaan de fakto Republik kita, tinggal Jawa dan Sumatera. Daerah-daerah lain bagaimana?‖ bertanya Tohir, anggota ―Hizbullah‖ Kediri.
"Sekutu telah meninggalkan Indonesia, tugasnya sebagai ―polisi‖ PBB digantikan oleh NICA (Belanda). Van Mook mendirikan ―negara-negara‖ di daerah yang ia kuasai, seperti Sumatera Timur, Pasundan, Kalimantan, dan di Indonesia bagian Timur. Maunya, ―negara- negara‖ bikinan van Mook ini bersama Republik Indonesia harus tergabung dalam apa yang dinamakan ―Republik Indonesia Serikat‖ (RIS). Dan RIS bersama-sama Negeri Belanda membentuk suatu ―Uni‖ yang dipimpin oleh Ratu Belanda,‖ aku menerangkan.
‗Pokoknya kita tolak persetujuan Linggarjati ini,‖ kata Wahib Wahab dengan semangat ―Ini satu kapitulasi, menyerah bulat-bulat!‖

136
 
―Kita telah menolak Linggarjati. Golongan yang menolak kini bertambah banyak dan besar. Sedang yang mendukung cuma golongan sosialis dan komunis saja!‖ menyela Ashari, pemimpin ―Hizbullah‖ Magelang.
―Kedudukan kita bertambah kuat,‖ sambungku, ―golongan Islam dan nasionalis bersama kaum pejuang lainnya telah bulat menolak persetujuan Linggarjati. Lihat saja ketika sidang Komite Nasional Pusat di Malang, 25 Februari 1947 kemarin dulu, bagaimana Chairul Saleh, Sukami, B.M. Diah, dan lain-lain golongan Pemuda Proklamasi begitu garang menentang persetujuan Linggarjati.‖
―Ke dalam kita kuat, dan begitu juga ke luar kita pun kuat," sela Wahib Wahab.
―Ya, apalagi dengan kedatangan Abdul Mun‘im, Duta Mesir di Bombay yang datang ke Yogya kemarin dengan membawa sikap pengakuan negara-negara Arab anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia!‖ aku menyambung.
Berbincang-bincang di kantor GPU depan Istana Yogya ini belum berakhir kalau tidak karena kedatangan jenazah-jenazah macam-macam kesatuan yang gugur di medan-medan pertempuran. Jenazah para syuhada ini dimakamkan di daerah asalnya setelah tiba di Yogya.
Hari-hari yang muram dan mencekam. Begitu banyak anak-anak yang gugur di medan pertempuran menghadapi serangan Belanda yang melanggar daerah tapal batas. Tetapi hal itu tidak membikin gentar orang-orang Republik. Yogya diliputi semangat kepahlawanan yang kian meninggi, tekadnya cuma satu ―Merdeka atau Mati‖ untuk membela kehormatan Republik, Agama, dan tanah air.
Kesadaran berpolitik yang tinggi dengan daya juang yang meluap-luap, menghimpun sikap kejantanan dari rakyat Republik untuk memandang bahwa pemerintah yang dipimpin Sutan Syahrir amat lemah, terlampau banyak memberikan kelonggaran-kelonggaran kepada Belanda. Sebab itu, Kabinet Syahrir jatuh.
Pemuda-pemuda santri yang tadinya berada di pesantren-pesantren, yang sehari-harian menenggelamkan diri dalam perdebatan Fa'alayafulu dengan segala qila wa qala, dewasa itu memusatkan kegiatannya di bidang politik dan kelaskaran, baik di Ibu Kota Yogya maupun di luarnya.
Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan tiba-tiba terhadap daerah Republik Indonesia. Banyak sekali korban di kalangan pejuang-pejuang kita.
Berita musibah datang kepadaku pada suatu hari ketika aku di Yogya, bahwa guruku di Banyumas, Ustadz Mursyid gugur ditembak Belanda ketika memimpin ―Sabilillah‖ menghadapi serangan Belanda tanggal 21 Juli. Menyusul temanku sepesantren, Suhada, dan sahabatku Kiai Jamhuri, keduanya angkatan ―Hizbullah‖ pun gugur ditembak Belanda dalam melakukan perlawanan terhadap serbuan Belanda.
Aku menundukkan kepala, mengenangkan jasa mereka yang besar. Mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk Republik yang kita cintai ini. Hampir aku tak kuat menahan emosiku untuk mengadakan pembalasan terhadap Belanda. Akan tetapi datang kesadaranku bahwa berjuang memerlukan pemikiran, imbangan kekuatan, di samping emosi perjuangan. Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Komando selamanya di tangan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia.

137
 
Tiap hari umat Islam melakukan gerakan batin, di samping kesiagaan kekuatan militer. Tiap- tiap sembahyang dilakukan Qunut Nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon kemenangan dalam perjuangan.
Daerah Republik Indonesia semakin menciut tinggal selebar godong kelor. Daerah itu cuma meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur, dan Gombong (Kebumen) di sebelah Barat dengan Yogya sebagai pusatnya.
Kota Malang telah jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947.
Jatuhnya kota perjuangan pusat markas tertinggi ―Hizbullah-Sabilillah‖ Malang ini, sangat mengejutkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron, pemimpin ―Sabilillah‖ Surabaya, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari sedang mengajar. Begitu berita buruk itu disampaikan, beliau memegangi kepalanya sambil menyebut Nama Tuhan: ―Masya Allah, Masya Allah!‖ lalu pingsan. Hadratus Syaikh mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah sekali. Utusan Panglima Besar Sudirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari berpulang ke Rahmatullah. Innalil AIlahi wa inna ilaihi roji'un!
Kabinet Syahrir digantikan oleh Kabinet Amir Syarifuddin dari kalangan sosialis kiri komunis, menambah panasnya suhu politik di seluruh daerah Republik Indonesia. Ibu kota hari-hari dilanda oleh pertentangan-pertentangan politik dan saling curiga.
Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang didukung kaum komunis menamakan dirinya Front Demokrasi Rakyat (FDK), menandatangani persetujuan ―Renville‖ dengan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, di sebuah kapal perang yang megah. Dengan persetujuan itu maka permusuhan dengan Belanda dihentikan. TKR yang telah berubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang berada di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda harus ditarik ke daerah Republik Indonesia. Dengan sendirinya maka Divisi
―Siliwangi‖ harus hijrah ke Yogya.
Laskar-laskar perjuangan dilebur ke dalam TNI. Maksudnya agar rakyat tidak mempunyai kekuatan tempur menghadapi Belanda dan musuh-musuh Republik. Tak terkecuali
―Hizbullah‖ dan ‗Sabilillah.‖ Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat, dan pertentangan politik bertambah hebat.
Suatu hari datang kepadaku utusan Menteri Pertahanan, Mr. Amir Syarifuddin. Kedatangannya memberitahukan kepadaku bahwa aku telah diangkat menjadi opsir TNI dengan pangkat letnan kolonel. Ia datang dengan menyerahkan tanda pangkat sekalian dengan bendera kecil yang lazim dipasang di mulut mobil. Aku pikir, ini suatu cara menina- bobokan saja. Dan lagi, buat apa bendera kecil tanda kepangkatanku, padahal aku tidak mempunyai mobil. Siapa yang memikirkan mobil di zaman penuh perjuangan itu? Aku katakan kepada utusan itu bahwa kedatangannya aku hormati. Tetapi aku tidak bisa menerima pengangkatanku sebagai letnan kolonel. Lebih baik aku tetap di dalam ―Hizbullah‖ menyertai rakyat dalam mempertahankan Republik yang amat kucintai ini, dari ancaman musuh. Kita jangan percaya kepada Belanda dengan persetujuan ―Renville‖-nya ini. Itu cuma politik melucuti kekuatan Republik saja. Tanda pangkat aku kembalikan. Tetapi ia menolak, biarlah di tanganku saja, katanya. Begitu ia pulang, tanda pangkat aku buang ke sungai. Pikirku, di zaman begini, siapa yang mementingkan pangkat? Perjuangan masih panjang dan situasi belum menentu.
138
 
Akhirnya, dalam perundingan tingkat tinggi antara pimpinan kelaskaran dengan pihak pemerintah dicapai satu keputusan. Tidak semua anggota kelaskaran dilebur dalam TNI. Untuk ―Hizbullah‖ cukuplah satu batalion dalam satu divisinya. Saudara Wahib Wahab menyerahkan Batalion Munawar menjadi TNI dengan Munasir sebagai komandannya dengan pangkat mayor, dan divisi yang aku pimpin menyerahkan Batalion Saroso menjadi TNI dengan Saroso sebagai komandannya. Begitu juga divisi-divisi ―Hizbullah‖ yang lain- lain, masing-masing menyerahkan satu atau paling banyak dua batalionnya.
―Kita harus tentang kebijaksanaan Amir Syarifuddin ini,‖ kata KH.A. Wahid Hasyim kepadaku pada suatu hari di hotel ―Merdeka‖ Yogya.
―Amir sedang menyiapkan kekuatan komunis dalam Republik kita ini. Ia main dengan dua porsi kekuasaan, dalam pemerintahan dan di dalam masyarakat,‖ sambungnya.
―Insiden Solo itu sebenarnya bagaimana?‖ aku bertanya.
―Laskar Rakyat‖ dan ―Pesindo‖ yang dua-duanya komunis hendak melucuti barisan Banteng pimpinan Dr. Muwardi, dan juga anak buah Bung Tomo hendak dilumpuhkan kekuatannya,‖ jawabnya.
―Aku dengar Dr. Muwardi gugur,‖ kataku minta penjelasan.
―Yang saya dengar ia diculik, tetapi aku khawatir tentang nasibnya,‖ beliau diam sejenak, lalu sambungnya.
―Makanya saya meminta saudara dan lain-lain teman terus waspada.‖
‗Apakah kita juga menjadi sasaran mereka untuk dilucuti?‖ tanyaku.
―Tentu, pada akhirnya kita masuk gilirannya. Mereka ingin agar kekuatan tempur di kalangan rakyat cuma ―Laskar Rakyat‖ dan ―Pesindo‖ saja. Dengan demikian, akan sangat memudahkan politik Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menteri maupun sebagai Menteri Pertahanan,‖ beliau diam sementara, lalu sambungnya lagi: ―Ini suatu percobaan kekuatan. Kalau mereka berhasil melucuti barisan Banteng dan barisan Pemberontakan, tentulah mereka akan melucuti Hizbullah.‖
―Huru-hara di Delanggu bagaimana?‖ aku mengalihkan pembicaraan.
―Itu adalah gerakan-gerakan komunis untuk mengacau alat-alat kekuasaan Negara yang masih setia kepada Republik Indonesia. Sekaligus untuk menakut-nakuti orang-orang yang setia kepada prinsip-prinsip Kemerdekaan,‖ jawabnya.
―Tetapi saya sudah bicarakan dengan Dr. Sukiman, bagaimana kita seharusnya bertindak. Saya juga telah menghubungi Bung Karno dan Bung Hatta. Telah saya kemukakan kepada Presiden dan Wakil Presiden ini bahwa keadaan yang penuh pertentangan ini harus segera diakhiri.‖
K.H.A. Wahid Hasyim menjelaskan tentang hal-hal itu lebih jauh.
Benar juga, pada pertengahan tahun 1948, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena perlawanan partai-partai ―Masyumi‖, PNI, dan badan-badan kelaskaran yang sejak semula telah menentang persetujuan Linggarjati dan apalagi ―Renville‖. Wakil Presiden Hatta membentuk kabinet baru.

139
 
Dalam suatu rapat ―Masyumi‖ timbul dua pendapat tentang tawaran Bung Hatta agar
―Masyumi‖ bersedia duduk dalam kabinet yang sedang dibentuk olehnya. Sebagian menolak ajakan Bung Hatta, sebagian menerima. Yang menolak memakai alasan karena dalam program Kabinet Hatta yang akan terbentuk dicantumkan antara lain: Melaksanakan persetujuan Renville.
―Kita harus ikut duduk dalam Kabinet Hatta ini,‖ pendapat KH.A. Wahab Chasbullah.
―Mengapa harus duduk, padahal kabinet ini akan melaksanakan ―Renville‖ yang kita tentang!‖ pendapat yang lain.
―Persetujuan Renville itu dipandang dari sudut hukum Islam merupakan suatu pengkhianatan dan munkarat, hukumnya haram. Sebab itu, kita jangan duduk dalam suatu kabinet yang hendak melaksanakan Renville.‖
―Justru untuk melenyapkan munkarat ini, kita harus duduk dalam kabinet Hatta ini!‖ jawab
K.H.A Wahab Chasbullah.
―Logikanya bagaimana?‖ tanya yang lain.
―Tiap-tiap munkarat adalah suatu penyelewengan yang harus kita lenyapkan. Tugas kita: melenyapkan. Sikap menolak saja sudah terlambat karena persetujuan Renville ini sudah ditandatangani oleh negara dengan negara. Kita bukan lagi berkewajiban menentang, itu sudah lampau. Kini kewajiban kita melenyapkan. Setuju apa tidak?‖ tanya KH.A. Wahab Chasbullah.
―Setujuuu!‖ jawab serentak
―Kita hanya bisa melenyapkan munkarat jika kita duduk dalam kabinet ini. Kalau kita cuma berdiri di luar kabinet, kita cuma bisa teriak-teriak tok. Karena itu, saya usulkan agar kita duduk dalam Kabinet Hatta yang sedang dibentuk. Tawaran Bung Hatta kita terima!‖ penegasan KH.A. Wahab Chasbullah.
Gemuruh suara setuju dan tepuk tangan atas pendapat KH.A. Wahab Chasbullah ini. Golongan yang tidak setuju menjadi ikut setuju.
―Saya ingin bertanya: Apa niatnya orang yang nanti akan kita dudukkan menjadi menteri dalam Kabinet Hatta?‖ bertanya KH. Hajid.
―Niatnya: I‘dlat al-munkar; melenyapkan penyelewengan!‖ jawab K.H.A. Wahab Chasbullah tegas.
―Kalau begitu saya usulkan, agar saudara-saudara yang akan kita pilih duduk dalam kabinet yang akan datang ini, ' harus mengucapkan niatnya dengan kata-kata!‖ sambung K.H. Hajid..
―Mengapa harus talaffuzh bi an-niyyat, melafazhkan niat dengan kata-kata? Mana Qur‘an dan haditsnya?‖ bertanya K.H.A. Wahab Chasbullah.
Seluruh hadirin riuh tertawa berbahak-bahak. Dua tokoh ini mewakili dua aliran, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Orang Nahdhatul Ulama kalau sembahyang melafazhkan niatnya dengan membaca ushalli, sedang orang Muhammadiyah berpendapat tidak usah melafazhkan niat, cukup di dalam hati. Keadaan dewasa itu jadi ―terbalik,‖ K.H.A. Wahah Chasbullah seolah-olah tidak setuju talaffuzh dalam niat, sedang K.H. Hajid mengharuskan talaffuzh dalam niat.
140
 
Orang banyak pada paham bahwa ―penolakan‖ KH.A. Wahab Chasbullah tentang melafazhkan niat para calon menteri itu cuma sekedar bercanda, seolah-olah hendak meyakinkan kepada orang banyak bahwa niat seharusnya dibarengi dengan ucapan kata- kata. Akhirnya, semua setuju bahwa kita menerima ajakan Bung Hatta memasuki kabinet yang sedang dibentuk. Tiap calon menteri harus ikrar dengan niat yang diucapkan sebagai suatu janji bahwa kita akan melenyapkan munkarat dalam Kabinet Hatta. Mana kita bisa menerima suatu gagasan bahwa di atas pimpinan Republik Indonesia masih ada Ratu Belanda, sekalipun cuma simbol saja. Itu adalah suatu munkarat; perbuatan durhaka, dan penyelewengan.
***
Daerah Republik Indonesia walaupun secara de fakto cuma selebar daun ―kelor,‖ meliputi Mojokerto-Gombong-Ambarawa-Yogya, namun di luar daerah itu, pengaruh Republik tetap bertahan. Rakyat-rakyat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusatenggara, bahkan hingga Irian Barat, mereka tidak pernah bersimpati kepada kekuasaan yang ditegakkan oleh Belanda. ―Negara-negara bikinan Belanda tidak berdaya karena hati rakyat tetap dikuasai oleh Pemerintah Republik di Yogya.‖
Yogya dipertengahan tahun 1948 menjadi kancah pertentangan politik. Kaum Republik tidak hanya mengarahkan perlawanannya kepada Belanda dan kaki tangannya, tetapi juga kepada aksi-aksi Front Demokrasi Rakyat PKI yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin dan Alimin. Golongan Islam dan Nasionalis memandang bahwa FDR/PKI adalah agen-agen Belanda karena mereka membela mati-matian persetujuan "Linggarjati‖ dan ―Renville‖ yang menguntungkan Belanda. Membela Belanda melalui kerja samanya dengan Partai Komunis Belanda. Hari-hari penuh dengan pertentangan-pertentangan yang amat tajam, bahkan sering terjadi insiden-insiden antara anak-anak ―Laskar Rakyat/Pesindo‖ dengan ―Hizbullah.‖ Istilah ―kiri‖ yang dalam dunia politik berarti yang kerakyatan dan progresif jadi tidak populer. Orang-orang FDR/PKI selalu mengepalkan tinjunya yang kiri jika mereka memekikkan
―Merdeka‖ karena mereka menamakan dirinya golongan kiri. Kepalan tinju tangan kiri itu dibalas oleh anak-anak ―Hizbullah‖ dengan kepalan tinju tangan kanan, karena menurut norma Islam, Rasulullah Saw selalu menamakan dirinya golongan kanan (Ashab al-Yamiri), yaitu golongan yang dijanjikan Allah SWT menjadi ahli sorga. Sebaliknya orang-orang yang menjadi penghuni neraka disebut golongan kiri (Ashab asy-Syimdl). Orang Islam dianjurkan oleh Nabinya, agar menyukai yang serba kanan. Makan dengan tangan kanan, memakai sepatu kaki yang kanan yang didahulukan, dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak ―Hizbullah‖ yang sebagian terbesar berasal dari pesantren jarang-jarang menyebut golongan FDR/PKI dengan FDR/PKI, tetapi disebutnya: Ashab asy-Syimdl! Ini sesuai dengan pengakuan mereka bahwa mereka adalah golongan kiri.
Ada sesuatu yang baru dan paling menarik anak-anak yang baru tiba dari pertempuran bila memasuki ibu kota Yogya. Berminggu-minggu mereka berada di medan pertempuran Gombong atau Mojokerto atau Ungaran (Semarang) karena Belanda sering melanggar gencatan senjata yang diperintahkan Komisi Tiga Negara (wakil PBB) hingga terjadi tembak menembak dan pertempuran-pertempuran lalu berkobar.
Sesuatu yang baru itu ialah: Restoran Padang. Bagi anak-anak ―Hizbullah‖ yang jawa ini tampak sangat aneh tetapi menarik, begitu banyak lauk pauk dan aneka macam diletakkan pelayan restoran di atas meja. Sepuluh piring kecil penuh lauk pauk cukup disodorkan satu tangan, hingga kedua tangannya sekaligus dua puluh piring lauk pauk disodorkan kepada tetamunya. Kita boleh pilih mana mau kita, kita ambil, kita bayar. Mana yang kita tak suka
141
 
tak usah dijamah dan tak membayar. Bagi anak-anak Jawa, hal itu adalah sangat baru, aneh tetapi menarik.
Yang kedua adalah banyaknya barang-barang hasil selundupan dari daerah pendudukan Belanda. Barang-barang itu dijual sepanjang trotoar di Malioboro. Ada sisir atom, sisir dari plastik, ada kemeja, kaos singlet, kaca mata, handuk besar maupun kecil. Alhasil, barang- barang mewah di mata kaum Republiken.
Zaman itu, 1945—1950, orang-orang daerah Republik sangat menderita. Kecuali beras yang sudah habis dikuras oleh Jepang selama menduduki negeri ini, juga praktis tidak ada orang bekerja di sawah karena mereka menjadi pejuang memanggul senjata. Pakaiannya cukup hasil tenunan rakyat. Buat anggota pasukan, apakah TNI, apakah kelaskaran, tenunan rakyat itu lalu diberi warna menurut kesatuannya masing-masing dengan dicelup memakai dedaunan. Tidak mengherankan kalau warna hijau, coklat maupun kuning itu menjadi coreng-moreng jika kena hujan. Inflasi sangat meraja lela, pemerintah seperti menjalankan politik moneter tanpa aturan saja. Dan, karena daerah Republik dikenakan blokade ekonomi oleh Belanda, maka tidak ada barang impor yang masuk, kecuali hasil selundupan "tukang catut‖ yang memakai baju kaum pejuang. Ban mobil sudah menjadi
―barang akhirat‖ yang cuma dimiliki oleh golongan ―dewa-dewa.‖ Jangan heran kalau mobil kita menggunakan ban yang diisi dengan rumput-rumput karena sudah tidak bisa dipompa lagi, tambalannya melebihi bannya sendiri.
Suatu petang, aku menelusuri Malioboro dengan dua tiga teman yang baru pulang dari front Gombong Di muka penjual ―barang-barang atom,‖ aku melihat seorang lagi jongkok, ia sedang memilih sisir atom, memilih warna yang berkenan di hatinya. Aku seperti sudah kenal orang ini Tetapi mengapa ia berseragam Angkatan Laut (ALRI)? Dari jarak yang sangat dekat, aku mengenalinya, ia sahabatku. K.H.A. Fattah Yasin!
―Hee, tentara tidak boleh sisir rambut! Ini zaman perang!‖ tegurku bercanda.
―Ini kan di garis belakang?‖ sahutnya sambil menyeringai.
―Ente ALRI ni? Fattah Yasin benar-benar?‖ aku memang kaget betul ketemu dengannya di Malioboro
―Memangnya siapa? Fattah Yasin cuma ada satu! Mengapa?‖ ia tanya keheran-heranan.
―Aku dengar kabar bahwa ente sudah jadi almarhum, dibunuh Jepang ketika di penjara Jepang. Tahu-tahu sedang beli sisir atom di sini,‖ sahutku.
Sambil menyeringai panjang, ia tidak segera menjawab pertanyaanku. Ia meneliti pakaian seragamku, pakaian ―Hizbullah‖, dari peciku di kepala hingga sepatu larsku.
―Ente tambah ngganteng dengan seragam begini. Dari mana ini semua?‖ ia bertanya seperti keheran-heranan. Baju seragamku berwarna hijau lumut dari kain gabardine, dan sepatu larsku berwarna coklat dari kulit luar negeri. Itu baru aku miliki dua hari yang lalu, pakaianku yang lusuh dan banyak tambalan telah aku berikan kepada seorang supir truk sebagai imbalanku karena aku diperkenankan ikut ke Yogya.
―Dapat dari A. Kholiq Hasyim bekas Daidancho Peta yang kini ada di staf pertempuran di Malang,‖ jawabku, ―tentunya ia dapat dari rampasan Jepang.‖
―Mulai kapan ente jadi ALRI?‖ aku bertanya mengalihkan ke lain percakapan.

142
 
―Begini ceritanya. Aku dipenjarakan Jepang hampir dua tahun. Ketika Jepang diserbu rakyat, aku dilarikan Jepang mau dibunuh dengan beberapa kawanku senasib di penjara. Untung segera datang pemuda-pemuda membebaskan. Setelah bebas, aku turut rombongan pemuda-pemuda tadi, mereka mendirikan ALRI di Lawang, dekat Malang. Maka jadilah aku ALRI sejak itu,‖ ia menjelaskan.
KH.A. Fattah Yasin ini, dulu aku kenal sebagai santri Tebuireng. Ia bersama Umar Burhan, keduanya sahabat K.H.A. Wahid Hasyim. Ketika Ansor mula-mula dibentuk, dua-duanya ikut mendirikan Ansor dan lalu duduk dalam Pengurus Besar Ansor di Surabaya. Keduanya memang arek Surabaya.
Sejak itu aku berkenalan dengannya, hingga menjadi sahabat.
―Ente sudah makan? Saya lapar. Di mana kita bisa makan enak?‖ ia bertanya kepadaku.
―Mari kita ke restoran Padang!‖
Kami menuju ke restoran Padang. Makan dengan amat lahap sambil masing-masing menceritakan pengalaman kami.
―Begini, malam ini aku dipanggil Gus Wahid. Mari kita ke sana!‖ aku ajak dia menemui Gus Wahid.
Selesai makan kenyang-kenyang, berhari-hari bosan cuma makan nasi dengan sayur kangkung dan sepotong tempe di front Gombong, kali ini makan besar, kami menuju ke hotel ―Merdeka‖ tempat KH.A. Wahid Hasyim menginap jika kebetulan berada di Yogya.
Aku jumpai K.H.A. Wahid Hasyim sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda, memakai kemeja putih dengan celana berwarna gading. Rambutnya disisir rapi menyibak ke kanan dengan garis pemisah di sebelah kiri. Sepatunya putih dengan polet-polet coklat muda. Aku jadi ingat, ketika aku masih ―meneer‖ ISW, aku pun pernah punya sepatu macam yang ia pakai, tetapi tinggal kenangan saja, pada waktu aku melihat pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan K. HA. Wahid Hasyim ini.
―Kenalkan dulu, ini Saudara Jamaluddin Malik,‖ K.H.A. Wahid Hasyim memperkenalkan pemuda ini dengan kami. ―Ia juga anggota Ansor Cabang Gambir, Jakarta.‖
Kami segera berkenalan.
―Formalnya baru berkenalan sekarang, tetapi hati kita sudah lama satu, bukan?‖ Jamaluddin Malik menatap aku dengan senyumnya.
―Saya sedang merundingkan dengan Jamaluddin Malik ini sebelum Saudara-Saudara datang,‖ kata K.H.A. Wahid Hasyim ―Ia seorang seniman. Memimpin suatu rombongan sandiwara nomor satu. Ia dan rombongannya baru tiba di Yogya dari Makasar dan Kalimantan. Ia bermaksud untuk beberapa waktu ada di daerah Republik ini. Akan menetap terus di daerah ini dengan rombongan sandiwara. Tetapi saya menganjurkan, baik saja untuk sementara hari ada di daerah ini, tetapi sebaiknya ia dan rombongannya segera memasuki Jakarta, agar di daerah yang diduduki Belanda ada orang-orang Republik juga. Apa lagi dengan menggunakan rombongan sandiwara ini Belanda tidak gampang mencurigai kita. Rombongan sandiwaranya bisa dijadikan tempat bertemunya orang-orang Republik yang ada di Jakarta.‖
―Tadinya anak buah saya bermaksud, bila sudah sampai di daerah Republik, rombongan akan membubarkan diri, lalu kami menerjunkan diri dalam badan-badan perjuangan. Ada
143
 
yang menjadi ―Hizbullah‖, ada yang ―Barisan Pemberontakan Rakyat‖ dan sebagainya,‖ jawab Jamaluddin Malik.
―Saya tidak setuju dengan pikiran itu,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim. ―Anggota kelaskaran sudah amat banyak sekali. Tetapi orang-orang pejuang yang menggunakan rombongan sandiwara dan seni pada umumnya masih kurang banyak. Padahal itu amat penting bagi suatu perjuangan besar. Dengan rombongan yang saudara pimpin, tadi saya sudah katakan, bisa dijadikan tempat bertemunya orang-orang Republiken. Hingga kita bisa kumpulkan senjata lewat usaha saudara,‖ ujar K.H.A. Wahid Hasyim meyakinkan.
―Mana lebih baik, kami mengumpulkan uang dana atau langsung membelikan senjata buat laskar kita?‖ Jamaluddin Malik bertanya.
―Maksud saudara kumpulkan uang dari dana, lalu diserahkan ke Yogya?‖ K.H.A. Wahid Hasyim minta penjelasan.
―Ya, begitu!‖ jawabnya.
―Keduanya sama baiknya. Tetapi menurut pengalaman saya, lebih baik lagi kalau sudah terkumpul uang, lalu belikan saja senjata. Di tiap-tiap garis demarkasi yang merupakan batas antara daerah pendudukan Belanda dan kekuasaan Republik telah menjadi terbiasa serdadu-serdadu Belanda menjual senjata-senjata. Mereka biasanya menyerahkan senjatanya untuk memperoleh beberapa puluh gram emas,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim sambil memberikan petunjuk.
―Saudara Fattah, saya memang sudah mendengar bahwa ente memasuki ALRI. Itu baik sekali. Anak-anak kita jangan cuma di dalam ―Hizbullah‖ saja. Mereka juga memasuki kesatuan yang lain,‖ K.H.A. Wahid Hasyim mengalihkan percakapan dengan Fattah Yasin.
―Tetapi kita di mana-mana kekurangan senjata. Bagaimana memecahkannya?‖ Fattah Yasin menanya.
―Dulu kita tidak punya senjata sama sekali. Kita rebut dari tangan Jepang. Keadaan persenjataan kita sekarang ‗ala kulli hal, lumayan, apa salahnya kita rebut juga dari serdadu- serdadu NICA?‖ K.H. A. Wahid Hasyim meyakinkan penanya. Lalu sambungnya: ―Saya memang hendak membicarakannya dengan Pak Dirman, Panglima Besar!‖
―Sehubungan dengan maksud Jamaluddin Malik hendak memasuki daerah pendudukan Belanda, sekarang banyak anak-anak kita di garis tapal batas hendak memasuki daerah musuh. Bagaimana pendapat kita?‖ aku menanya kepada KH.A. Wahid Hasyim.
―Ada dua macam golongan hendak memasuki daerah pendudukan Belanda. Pertama: golongan avonturir.; orang yang tukang foya-foya dalam hidup. Mereka memang tidak betah berada di daerah Republik yang serba miskin materiil ini, padahal di daerah pendudukan Belanda orang bisa hidup senang. Orang-orang yang kualitasnya begini tidak berguna bagi perjuangan. Biarkan saja mereka meninggalkan daerah Republik, satu ketika mereka akan tahu akibatnya. Yang kedua: memang golongan pejuang benar-benar, mereka ingin mengacau di daerah musuh. Tentu saja kita sangat tidak keberatan mereka memasuki daerah pendudukan Belanda. Cuma saja, sebelum memasukinya, harus kita uji terlebih dahulu kemampuannya berjuang, dan di sana harus disiapkan jaring-jaring kaum Republiken. Itu mudah saja, sebab pada umumnya rakyat kita di daerah pendudukan Belanda simpatinya tetap kepada Republik Yogya ini,‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim.
―Bagaimana situasi kita yang terakhir ini?‖ aku menanya lebih jauh.
144
 
―Ada dua faktor penting yang sedang kita hadapi. Pertama: menghebatnya gerakan-gerakan orang-orang komunis. Hari-hari ini seorang gembong komunis kawakan, Muso, setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri, akan memasuki Yogya dari negeri Belanda. Saya dengar ia akan disertai Suripno, orang yang diangkat Amir Syarifuddin menjadi wakil Republik di Praha. Sepanjang yang saya dengar, Muso akan melakukan koreksi terhadap kepemimpinan komunis di bawah Amir Syarifuddin dan Alimin. Tetapi menurut saya, ini cuma sekedar taktik komunis saja, mengingat bahwa pemimpin-pemimpin komunis sudah sangat merosot pengaruhnya di mata rakyat, akibat politik Linggarjati dan Renvillenya. Muso akan menyelamatkan cita-cita komunisnya untuk mencari simpati rakyat Itu biasa di kalangan komunis, jika perlu kawannya sendiri dikorbankan untuk meneruskan taktik perjuangannya.‖ K.H.A. Wahid Hasyim diam sebentar, lalu sambungnya:
―Yang kedua: perundingan antara delegasi Indonesia dengan Belanda di bawah pengawasan PBB mengalami jalan buntu, perundingan jadi kandas. Baik secara analisa politik maupun firasat saya, hari-hari yang akan datang akan terjadi serangan besar- besaran, mungkin Belanda akan menduduki Yogya.‖
―Kalau sampai terjadi demikian, bagaimana perjuangan ini?‖ bertanya Jamaluddin Malik.
―Ya, kita jadikan seluruh Indonesia daerah medan pertempuran. Secara perang total tentu tidak mungkin pada tingkat pertama, tetapi kita bisa kobarkan perang gerilya. Anak-anak kita akan memasuki daerah-daerah pendudukan Belanda terutama ―Siliwangi‖ yang hijrah ke Yogya ini akan pulang memasuki Jawa Barat. Cuma satu penyelesaian dengan Belanda, perang gerilya! Dalam sejarah yang manapun tak pernah terjadi bahwa perjuangan kemerdekaan mengalami kekalahan!‖ jawabnya mantap sekali.
Percakapan terhenti di sini, karena baik Jamaluddin Malik maupun Fattah Yasin berpamitan hendak menyelesaikan tugasnya masing-masing. Kami berdua dengan KH.A. Wahid Hasyim masih meneruskan berbincang-bincang di hotel ―Merdeka‖ Yogya hingga jauh malam.
***
Tanggal 18 September 1948, Front Demokrasi Rakyat alias PKI mengadakan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan terhadap kekuasaan Republik Indonesia di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.
Sejak Muso datang ke Indonesia, situasi politik mendadak menjadi panas sekali. Apa yang beberapa hari kami percakapkan di hotel ―Merdeka‖ Yogya, tidaklah meleset.
Muso datang dari Praha setelah bertahun-tahun berada di Moskow. Ia dibawa oleh Suripno, seorang komunis yang diangkat Amir Syarifuddin menjadi wakil Republik Indonesia untuk Cekoslowakia. Lewat negeri Belanda, Suripno datang ke Yogya untuk keperluan
―konsultasi‖. Keadaan yang lazim, seorang diplomat Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah pusat. Demikian pula, Suripno, datang untuk keperluan ―konsultasi‖. Ia disertai seorang ―sekretarisnya,‖ ternyata ―sekretaris‖ ini ialah Muso.
Begitu datang, ia melihat, lalu ia berbuat. Mula-mula ia merebut pimpinan FDR/PKI dari tangan Alimin-Amir Syarifuddin. Ia menamakan dirinya perlu mengadakan koreksi terhadap kepemimpinan lama yang dikatakan salah, menjerumuskan Indonesia ke bawah penjajajahan terselubung dari Belanda.

145
 
Ia melakukan kampanye besar-besaran dengan rapat-rapat umum dan pemogokan- pemogokan, menghasut rakyat agar tidak mentaati Pemerintah, yang katanya telah menjual tanah air kepada Belanda. Padahal sejarahnya adalah sebaliknya. Komunis bukanlah komunis kalau tidak memutar-balikkan keadaan, jika perlu mengadakan pemalsuan sejarah.
Sejarahnya dimulai dari Partai Sosialis ketika masih dipimpin oleh Syahrir-Amir Syarifuddin membuat persetujuan Linggarjati pada saat kaum Republik sedang bertempur melawan agressi Belanda. Dengan persetujuan tersebut, berlakulah gencatan senjata. Tetapi gencatan senjata ini tidak pernah ditaati kaum Republik karena Belanda selalu melanggar persetujuan. Akibat perlawanan politik dari ―Masyumi‖ PNI, maka jatuhlah pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Sosialis ini. Mereka pecah, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia, dan Amir Syarifuddin meneruskan Partai Sosialisnya yang bergabung dengan unsur-unsur kiri lainnya. Berdirilah Front Demokrasi Rakyat dengan pimpinan Amir Syarifuddin yang menciptakan persetujuan Renville. Akibat perlawanan rakyat yang menentang total kebijaksanaan Amir Syarifuddin, maka bubarlah Pemerintahan Front Demokrasi Rakyat. Mereka lalu bergabung dengan PKI melakukan oposisi terhadap Kabinet-Hatta. Di saat itulah Muso datang mengambil alih pimpinan FDR/PKI dan meneruskan oposisinya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Lalu memberontak!
―Saudara-saudara boleh pilih: Ikut Sukarno atau Muso‖ demikian antara lain pidato Bung Kamo, Presiden Republik Indonesia.
Dengan satu kalimat ini, maka tidaklah sulit bagi rakyat untuk menentukan pilihannya. Tentu memilih Sukarno sebagai Presiden yang syah, artinya, ikut di pihak Pemerintah Republik Indonesia. Presiden memerintahkan kepada seluruh alat-alat kekuasaan Negara dan badan- badan kelaskaran untuk menghancurkan kaum pemberontak dalam waktu yang sesingkat- singkatnya.
―Pasukan saudara kini mengambil kedudukan di mana?‖ bertanya Zainul Arifin, pemimpin Markas tertinggi ―Hizbullah‖ pada suatu hari di Yogya.
―Pasukanku berada di tapal batas antara Solo-Madiun dan bergabung dengan anak-anak Munawir dari Solo,‖ jawabku.
―Bagaimana hubungannya dengan pasukan-pasukan ―Siliwangi‖?‖ ia meneruskan pertanyaannya.
―Kami  diperintahkan  supaya  mengambil  kedudukan  di  belakang  pasukan-pasukan
―Siliwangi‖ yang memegang komando menyerbu Madiun. Batalion Umar dan Kemal mungkin sudah mendekati kota Madiun,‖ jawabku.
―Pasukan Wahib Wahab apa sudah menghubungi saudara? Anak-anak Jawa Timur sudah saya beri perintah khusus ,‖ tanya Zainul Arifin.
―Wahib Wahab sudah kirim kurir padaku, ia ingin gerakan kita berbareng, agar kami nanti memasuki Madiun dalam waktu yang hampir bersamaan. Kami merencanakan bertemu di Madiun,‖ jawabku.
―Gambarannya bagaimana?‖ ia mendesak.
―Aku dan anak-anah ―Hizbullah‖ merencanakan masuk lewat Ngawi, sedangkan anak-anak Wahib Wahab memasuki Madiun dari jurusan Nganjuk. Dengan demikian akan memudahkan ―Siliwangi‖ melakukan pengejaran dari selatan Madiun,‖ jawabku.
146
 
Aku laporkan bahwa menjelang pemberontakan PKI di Madiun, K.H.A. Wahab Chasbullah, Rais Aam Nahdhatul Ulama mengadakan ―Latihan Ulama‖ di Ngawi. Aku baru pulang dari Ngawi 3 hari sebelum pecah pemberontakan PKI.
Ketika ―Latihan Ulama‖ dibubarkan karena sudah selesai, tidak ada yang mengerti bahwa PKI mengadakan pemberontakan di Madiun. Padahal jarak Ngawi—Madiun dekat sekali. Para peserta latihan pulang ke daerahnya masing-masing.
K.H.A Wahab Chasbullah pulang ke Jombang dengan naik kereta api. Perjalanan ke Jombang ini harus melewati Madiun. Ketika telah mendekati Madiun, beliau baru mengerti bahwa di Madiun ada pemberontakan PKI, tetapi beliau sudah terlanjur berada dekat stasiun Madiun. Agar orang tidak mudah mengenali siapa beliau, terpikir oleh beliau untuk menghilangkan identitasnya. Sorban dilipat dimasukkan ke dalam tasnya. K.H.A. Wahab Chasbullah berhasil "berdiplomasi‖ dengan salah seorang di stasiun untuk memperoleh peci hitamnya. Peci hitamnya dikenakan. Dengan peci hitam ini, orang tidak mudah mengenali
K.H.A. Wahab Chasbullah. Maka, selamatlah beliau tiba di rumahnya, di Jombang. Jika saja PKI mengenali K.H.A. Wahab Chasbullah, pastilah beliau dijadikan tawanan golongan
―kakap‖ yang besar, dan entah bagaimana nasib selanjutnya. Tetapi syukur alhamdulillah, Tuhan tetap melindungi beliau!
Hanya kira-kira 2½ bulan pemberontakan PKI dapat ditumpas.
Sebuah pesantren di daerah Madiun, kalau tidak salah Pesantren Takeran, merupakan pesantren pertama yang dijadikan sasaran pengganyangan oleh PKI. Beberapa santri menjadi korban dan pesantren dibakar. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sasaran utama bagi PKI adalah orang-orang Republiken, pegawai pemerintah, dan laskar-laskar ―Hizbullah- Sabilillah‖, ―Barisan Banteng‖, ―Barisan Pemberontakan‖, dan lain-lain yang pro pemerintah Yogya.
Suasana ibu kota Yogya diliputi oleh kemarahan rakyat terhadap PKI dan Belanda. Yang belakangan ini terus-menerus melanggar gencatan senjata dan melakukan insiden-insiden di tapal batas. Korban banyak yang jatuh dari kedua belah pihak. Yogya diliputi oleh awan yang gelap, penuh tanda tanya bagaimana keluar dari kegentingan yang kian memuncak.
Suatu hari, aku diajak K.H.A. Wahid Hasyim menengok Pak Dirman, Panglima Besar. Sudah beberapa hari beliau sakit yang berat.
―Saya sakit, Mas Wahid...‖ Pak Dirman sambil berbaring mengulurkan tangan kepada K.H.A. Wahid Hasyim.
―Semoga lekas sembuh!‖ sambut K.H.A. Wahid Hasyim.
―Apa kabar Saudara?‖ Pak Dirman memalingkan pandangannya kepadaku dan tangannya kusalami.
―Apa sakitnya Mas Dirman?‖ tanya K.H.A. Wahid Hasyim.
―Paru-paruku. Kata dokter, tinggal satu yang berfungsi,‖ Pak Dirman menjawab sambil batuk-batuk. Kami semuanya diam, amat terharu aku melihat Panglima Besar yang sedang berbaring. Badannya bertambah kurus saja, dan kelihatan pucat karena kekurangan tidur. Beliau melayangkan pandangannya kepadaku sambil katanya:
―Sudah lama kita tidak saling ketemu. Apa masih memimpin ―Hizbullah?‖

147
 
―Pak Dirman kelewat sibuk, aku tidak sampai hati mengganggu Pak Dirman. Dan aku masih bersama anak-anak ―Hizbullah,‖ jawabku.
Aku dan Pak Dirman telah lama berkenalan, sejak sebelum Jepang datang. Kami berasal dari satu daerah, Banyumas, dan sama-sama menjadi guru sekolah swasta. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan ―Mas,‖ tetapi sejak beliau menjadi Panglima Besar, rasanya panggilan ―Mas‖ itu tak begitu sedap lagi. Sejak itu aku memakai panggilan ―Pak‖ kepadanya. Mula-mula beliau keberatan atas perubahan ini, tetapi aku katakan, biarlah demikian, soalnya wajar saja. Aku berpikir, yang harus menghormati seorang pemimpin, mula-mula hendaklah kawannya sendiri.
―Mas Wahid, saya kira Mas baik sekali kalau datang lagi kepada Bung Karno, untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya dewasa ini. Kemarin dahulu saya katakan kepada beliau tentang persoalan kita dengan Belanda. Janganlah hendaknya pemerintah meremehkan kemungkinan Belanda melakukan serbuan ke Yogya. Saya seorang militer, saya menghargai pandangan politik pemerintah, akan tetapi pandangan secara militer juga hendaknya dipertimbangkan,‖ Pak Dirman memulai dengan pembicaraan tingkat berat. Karena yang perlu menanggapi masalah berat ini KH.A. Wahid Hasyim, maka aku ingin menjadi seorang pendengar saja.
―Saya sudah ketemu Bung Karno, juga Bung Hatta. Saya bisa mengerti politik diplomasi dari pemerintah, akan tetapi diplomasi tanpa kekuatan militer hampir tak ada gunanya. Sebab itu, menurut saya, biarkan saja kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara Belanda dan anak-anak kita, agar Belanda menyadari bahwa kita juga mempunyai kemampuan tempur. Kekuatan militer kita berangsur-angsur lebih dibanggakan, hal itu perlu bantuan moril dari kaum diplomat kita,‖ demikian K.H.A. Wahid Hasyim
―Yang sudah lama saya khawatirkan, kini benar-benar terjadi. Orang-orang komunis menusuk dengan belati di punggung kita, ketika kita sedang menghadapi Belanda. Yang saya pikirkan, bila sewaktu-waktu Belanda menyerbu ke Yogya, kekuatan militer kita jangan tercerai berai. Itu sebabnya saya perintahkan kepada Markas Besar untuk mempercepat penghancuran terhadap pemberontakan PKI di Madiun. Alhamdulillah, Tuhan merahmati perjuangan kita,‖ Pak Dirman berhenti bicara, air matanya mulai menggenang. Kami semua terharu.
Aku sudah cukup lama duduk menyertai dua orang penting ini. Yang satu Panglima Besar dan satunya penasihatnya. Barangkali akan ada pembicaraan yang hanya berdua saja boleh tahu, maka aku permisi akan keluar sebentar dengan alasan akan telepon. Aku berada di kamar ajudan untuk mengadakan pembicaraan telepon dengan K.H. Masykur, Menteri Agama. Aku katakan kepada beliau bahwa ada sebuah pesan dari K.H.A. Wahid Hasyim agar beliau menanti di Hotel ―Merdeka‖.
Aku kira-kirakan bahwa pembicaraan empat mata sudah selesai. Aku segera masuk ke ruang tidur Pak Dirman, di mana beliau menerima kami sambil berbaring sejak tadi. Ternyata pembicaraan empat-mata tinggal ekornya saja. Aku cuma menangkap pembicaraan K.H.A. Wahid Hasyim, beliau berjanji setelah menjumpai Presiden akan segera menemui Pak Dirman lagi di rumahnya.
Kami berpamitan. Pak Dirman memegang tanganku lama ketika kami bersalaman. Beliau minta didoakan semoga lekas sembuh, dan meminta aku sering-sering datang. Aku sanggupi dengan ucapan Insya Allah!

148
 
Tiba di Hotel ―Merdeka‖, KH. Masykur telah menanti kami di sana.
―Sampeyan ini Menteri Agama atau Ketua Markas tertinggi ―Sabilillah?‖ tegur K.H.A. Wahid Hasyim setelah melihat K.H. Masykur, wajahnya sedikit cemberut. Aku sudah sangat paham akan watak KH.A. Wahid Hasyim ini, tandanya sedang sedikit jengkel terhadap ulah sementara kaum politisi yang kurang menyadari situasi yang sebenarnya. Salah satu sifat KH.A. Wahid Hasyim ini sangat mudah bertoleransi kalau masalahnya mengenai soal yang menyangkut pribadinya, tetapi kalau sudah mengenai prinsip, apalagi yang erat hubungannya dengan perjuangan Islam, kalau orang hendak mengurangi Hak Allah, beliau bisa bersikap ―kaku‖ tak mudah ditawar-tawar. Agaknya beliau sangat terpengaruh oleh sifat Rasulullah Saw:
Wa ya'fu ‗an adz-dzanbi idza kana fi haqqihi wa sabahihi, wa idza dhuyyi'a haq Allahi lam yaqum ahadun li ghadhabihi.
―Rasulullah sangat mudah memaafkan seseorang, jika soalnya menyangkut urusan pribadinya, akan tetapi kalau orang meremehkan hak Allah, maka tidak seorang pun berani menegakkan kepalanya karena melihat kemarahan Rasulullah Saw.‖
Melihat gelagat ini KH. Masykur cuma ketawa saja.
―Sampeyan ini Menteri Agama atau Ketua Markas tertinggi ―Sabilillah?‖ K.H. A. Wahid Hasyim mengulangi pertanyaannya.
―Dua-duanya, ya Menteri Agama, ya Ketua Markas tertinggi ―Sabilillah,‖ mengapa?‖ jawabnya sambil masih berkekeh-kekeh dengan tawanya. Rupanya beliau juga sangat paham akan sifat K.H.A. Wahid Hasyim.
―Kalau sampeyan Menteri, silakan berunding terus dengan Belanda sampai Belanda memperoleh kesempatan mempersiapkan dirinya untuk menggempur Republik kita. Tetapi kalau sampeyan orang ―Sabilillah‖, sampeyan harus melihat gelagat ini sebagai politik mengulur-ulur waktu dari Belanda untuk akhirnya mereka menyerbu Yogya‖, jawabnya, sudah mulai reda dengan jengkelnya.
―Kiai Masykur ini aku kira, menganut aliran selagi masih bisa berunding, kita juga mau berunding. Tetapi kalau perundingan menemui jalan buntu, siap untuk bertempur!‖ aku menyela.
―Ya, tetapi orang-orang yang tengah berunding di Kaliurang mengikuti saja pikiran Belanda dan Komisi Tiga Negara, berunding terus sampai kapan, sedang Belanda terus mengadakan penumpukan kekuatan militernya untuk menyerang Republik. Aku yakin, Belanda dalam beberapa hari ini akan menyerbu Yogya!‖ sambut K. H.A. Wahid Hasyim dengan semangat sekali.
―Jadi baiknya bagaimana menurut sampeyan?‖ bertanya K.H. Masykur.
―Belanda terus-menerus menuntut Republik membersihkan daerah yang ia kuasai, agar kaum Republiken tidak satu orang pun masih ada di daerah pendudukan. Sedang Belanda terus saja menyebar orang-orangnya menyelusup ke daerah Republik. Belanda berkali-kali melanggar gencatan senjata, terus saja menembaki anak-anak kita di garis batas kita sendiri, maka kita harus bersikap tegas. Hentikan perundingan. Kita adakan mobilisasi kekuatan untuk bertempur. Kalau seluruh daerah Indonesia berkobar pertempuran, tanggung Belanda akan gulung tikar. Semua kaum militer kita berpikir demikian!‖ K.H.A.
149
 
Wahid Hasyim diam sebentar, pandangannya menembus jauh ke muka, tentu sedang memikirkan masalah yang besar dan sangat pelik ini.
Sukar untuk dilukiskan betapa penanggungan yang sedang dialami rakyat Indonesia dewasa itu. Meskipun mereka menderita lahir batin, namun sebagai pejuang, mereka bersyukur karena Allah SWT melimpahkan ketabahan dalam menderita. Meskipun mereka sedang berjuang habis-habisan menghadapi musuh-musuh dari luar dan musuh dari dalam yang sangat berat, namun mereka ikut merasakan penderitaan saudara-saudaranya bangsa Arab yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan Palestina, sebagian tanah airnya, dari kaum pendatang yang merampas tanah tumpah darahnya, suatu bangsa yang menamakan dirinya Israel.
Sudah hampir setahun, umat Islam Indonesia melakukan Qunut Nazilah dalam tiap-tiap sembahyangnya 5 kali sehari. Suatu do‘a yang lazim dilakukan dalam sembahyang bila sedang menghadapi suatu kegentingan dan bencana. Qunut Nazilah itu sebagai pernyataan protes dan semangat sependeritaan bangsa Indonesia terhadap bangsa Arab sejak PBB pada tahun 1947 meresmikan berdirinya suatu negara baru yang menamakan dirinya Israel dengan dua bidan raksasa yaitu Amerika dan Soviet Rusia. Rakyat Indonesia mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia agar memperjuangkan supaya Dewan Keamanan PBB meninjau keputusannya tentang berdirinya Israel.
Sejak bangsa Arab berjuang untuk kemerdekaan Palestina, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama pada tanggal 12 November 1938, telah meminta kepada seluruh partai dan organisasi umat Islam di Indonesia serta kepada Pucuk Pimpinan ―Warmusi‖ (―Wartawan Muslimin Indonesia‖) di Medan, agar umat Islam memberikan sokongan materiil dan moril kepada pejuang-pejuang Palestina dalam memerdekakan tanah air mereka. Juga menganjurkan Qunut Nazilah untuk dibacakan tiap-tiap sembahyang 5 kali seharinya. Berhubung dengan anjuran Qunut Nazilah ini, maka pada tanggal 27 Januari 1939, KH. Machfuzh Shiddiq, Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dipanggil oleh Hoofdparket Belanda di Jakarta, untuk diberi tahu bahwa Pemerintah Hindia Belanda melarang digerakkannya Qunut Nazilah untuk pejuang Palestina.
Dalam perang Dunia I, bangsa Arab telah berjuang melawan Turki karena mencita-citakan kemerdekaan Palestina. Amatlah tidak masuk di akal, mereka berjuang melawan sesama saudara seagama (Turki) untuk akhirnya membiarkan tanah airnya dirampas Yahudi yang sama sekali asing segala-galanya. Amatlah mengherankan bahwa PBB membenarkan Yahudi merampas Palestina dengan alasan karena di mana-mana Yahudi diusir. Amatlah zalim suatu bangsa yang diusir dari Jerman, dari Cekoslowakia, dari Italia, dan dari mana- mana lalu mengusir bangsa Arab Palestina dari tanah tumpah darahnya sendiri.
Bangsa Arab Palestina yang terusir dari tanah airnya, hidup terlunta-lunta penuh derita lahir dan batin. Suatu ketika pasti mereka akan menuntut balas untuk menghapus segala deritanya. Mereka yakin bahwa simpati akan datang dari seluruh dunia.
Bangsa Indonesia yang sedang mengalami ancaman musuh yang hendak merobek-robek kemerdekaannya, mengenangkan tragedi Palestina. Bahwa jikalau Yahudi memperoleh kemenangan karena bayonet di tangannya, demikian pula halnya dengan Belanda, maka yakinlah kita, suatu ketika bila bayonet telah menjadi tumpul karena datangnya keadilan dan pertolongan Tuhan, maka bayonet itu tak akan bisa berbicara lagi, kemenangan segera berganti dengan kekalahan... Insya Allah.

150
 
Hari itu memasuki pertengahan bulan Desember 1948. Yogya Ibu Kota Republik Indonesia diliputi oleh situasi yang sangat mencekam penuh tanda tanya. Hari-hari dengan gerakan- gerakan militer baik TNI maupun laskar-laskar perjuangan melakukan gerakan pemindahan pasukan. Yogya yang sehari-harinya penuh dengan pemuda-pemuda berpakaian seragam, di hari akhir-akhir menjadi sangat kurang laskar yang mondar-mandir sepanjang Malioboro. Yogya dalam situasi politik yang kemelut tetapi tertekan.
Kami, dari pimpinan ―Hizbullah-Sabilillah‖ diperintahkan untuk pulang ke daerah kesatuannya masing-masing, mempersiapkan serta memindahkan pasukan-pasukan yang diperlukan.
Aku tinggalkan Yogya seperti dalam keadaan gundah, tetapi aku tidak tahu apa yang bakal terjadi. Hanya firasatku mengatakan, pertebal iman dan pertinggi daya juang sambil bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta‗ala!
***
19 Desember 1948, hari Minggu.
Jam 9 pagi aku di rumahku di depan Markas Hizbullah Purworejo, seberang alun-alun. Aku sedang berkemas-kemas untuk berangkat ke Madiun karena panggilan KH. Dahlan ketua pengurus besar Nahdhatul Ulama yang ketika itu berkedudukan di Madiun.
Seperempat jam kemudian aku mendapat laporan yang menyebutkan bahwa Yogya telah dibom pesawat-pesawat terbang Belanda. Anakku, Fahmi dan Ida, bersorak kegirangan karena mendengar deru pesawat terbang yang begitu keras. Aku keluar dari rumah, kiranya dua pesawat terbang rendah sekali. Aku perhatikan ekornya, ternyata pesawat terbang Belanda. Dua pesawat terbang ini menyebarkan surat-surat selebaran. Dari pamflet yang dipungut anakku, aku baca isinya: bahwa pasukan Belanda telah memasuki daerah Republik dan menuju ke Yogya. Diminta agar penduduk tetap tinggal tenang jangan gelisah, pangreh praja supaya bekerja terus seperti biasa. Segenap pasukan bersenjata supaya jangan melawan dan menyerahkan senjatanya kepada Belanda. Siapa yang melawan akan dihukum berat. Para alim ulama supaya ikut memelihara ketenteraman dan keamanan. Surat selebaran itu ditandatangani oleh panglima besar Belanda, Jenderal Spoor.
Sudah beberapa hari listrik seluruh kota mati, dengan sendirinya penduduk tidak bisa mengikuti keadaan lewat radio. Radio transistor ketika itu belum ada di daerah Republik. Kereta api tidak selalu jalan, dengan demikian, surat-surat kabar jarang datang. Tidaklah heran jika penduduk tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Surat selebaran Belanda diterima dengan ragu. Hubungan telepon putus hingga tidak bisa berhubungan dengan Yogya.
Aku  memanggil  teman-teman  dari  Majelis  Konsul  Nahdhatul  Ulama  dan  pimpinan
―Hizbullah-Sabilillah‖. Kami bermusyawarah, membicarakan situasi yang sedang terjadi.
Memang sudah kami rencanakan, jika terjadi serbuan Belanda dan Yogya diduduki musuh, kami akan mengadakan perang gerilya. Keluarga harus diungsikan. Sudah aku tentukan tempat-tempat mana harus dijadikan tempat pengungsian sementara sebelum kami menata dan memperkokoh kekuatan. Banyak orang yang hendak mengungsi ke daerah Yogya, mereka merasa lebih aman berada di sana. Tetapi aku berpendirian lain.
―Kami menunggu perintah Saudara, sekarang!‖ kata Solichun, pemimpin ―Hizbullah‖ Purworejo.

151
 
―Kita ungsikan dulu keluarga kita, keluarga dari pimpinan teras ini. Tentu akan banyak keluarga lain yang akan turut serta. Tidak apa, nanti kita pencar menjadi kelompok- kelompok kecil. Dalam perang gerilya, kelompok itu tidak boleh besar, lebih kecil lebih baik. Adapun anak-anak pasukan dipindahkan ke tempat-tempat yang agak jauh dari kota, juga dalam formasi yang kecil saja!‖ jawabku bersikap perintah. Zaman genting tidak boleh ada musyawarah yang bertele-tele. Pemimpin mesti tegas dengan perintah-perintahnya.
―Berapa besar rombongan keluarga kita harus kita ungsikan?‖ bertanya Haji Jamil, pemimpin ―Sabilillah‖.
―Nantinya paling banyak 5 keluarga, untuk sementara biar saja orang lain mengikuti kita. Mereka perlu ketenangan hati, mereka merasa tenang bila bersama kita,‖ jawabku.
―Apakah kita menuju ke daerah Yogya?‖ bertanya Kiai Muhammad dari Majelis Konsul Nahdhatul Ulama.
―Sementara, ikuti arus orang banyak menuju daerah Yogya. Kalau kita menuju ke daerah yang telah kita sepakati, niscaya orang-orang akan mengikuti kita, dan ini tentu akan menyulitkan sekali. Daerah yang kelak menjadi tujuan kita yang sebenarnya tentu tidak bisa menampung begitu banyak orang-orang,‖ jawabku, lalu aku sambung.
―Belanda tentu tahu bahwa orang-orang akan menuju ke daerah Yogya. Di tengah jalan nanti, kita diam-diam menyimpang mendekati daerah tujuan kita. Belanda tentu mengira kita juga menuju ke daerah Yogya. Kalau Belanda mengejar kita, ini pasti karena mereka tahu siapa kita, maka hal itu akan sangat menyusahkan rakyat biasa yang nanti akan menjadi beban kita juga. Ini akan menyulitkan siasat perang gerilya,‖ aku memberi ketegasan.
―Apakah tujuan kita tetap Ngrimun?‖ Solichun menanya.
―Begini, kita ikuti arus orang banyak sampai di desa Karangjati. Pada saat orang banyak menyimpang menuju daerah Yogya, kita naik sedikit ke bukit Caok. Kita bisa beberapa hari di sana sambil melihat situasi kota yang kita tinggalkan. Sementara menunggu situasi, kalau aman, kita tetap di Caok. Abang kita, Kiai Abu, mempunyai kebon singkong yang luas, buat kita merupakan gudang makanan sementara. Tetapi kalau keadaan di sana tidak aman, kita teruskan naik ke gunung Ngrimun, di sana ada Kiai Idris yang telah berusia 100 tahun. Beliau menantikan kedatangan kita,‖ jawabku.
―Kita akan mengambil kedudukan Majelis Konsul dan pimpinan ―Hizbullah‖ di mana? Tetap di daerah ini atau daerah Magelang?‖ Kiai Muhammad bertanya.
―Kita akan berkedudukan di suatu daerah antara Purworejo-Magelang-Wonosobo. Daerah itu baik sekali untuk perang gerilya. Daerah pegunungan, udaranya sejuk, banyak sungai, dan daerahnya sangat subur dengan bahan makanan. Lagi pula tidak jauh dari Yogya,‖ jawabku.
Aku perintahkan agar kita mulai berangkat dengan tugas yang telah ditentukan. Situasinya tidak memungkinkan untuk berunding panjang-panjang.
Ketika orang-orang hendak bubar, Solichun bertanya:
―Keluarga Saudara bagaimana. Berangkat sekarang atau nanti?‖
―Sekarang saja ikut Saudara, aku belakangan. Nanti aku segera menyusul.‖ jawabku.

152
 
Istriku dan 3 anakku: Fahmi 6 tahun, Ida 4 tahun, dan Anis 2, serta seorang pembantu ikut mereka menuju ke Karangjati. Aku dan adikku Huseini, tetap di rumah, banyak hal yang harus aku selesaikan.
Pukul 4 sore aku tinggalkan rumahku. Aku mengenakan jas hujan dan mengantongi sepucuk pistol FN di kantong jas hujan. Yang menjadi masygul adalah bagaimana buku- buku 2 lemari penuh, semua buku penting. Dibawa tentu tak mungkin, mana di zaman perang ada orang membawa buku-buku. Aku tak sanggup berpikir lagi, dengan bantuan adikku, lemari buku kami putar balikkan menghadap ke dinding. Untuk sementara, jika Belanda memasuki rumahku tentu tidak pertama kali tertarik oleh pandangannya melihat dua lemari buku. Aku ajak Huseini adikku menyertai aku keluar rumah. Tetapi ia menolak. Ia anggota ―Hizbullah,‖ ia sanggup menjaga rumahku sendirian. Kalau terjadi apa-apa, ia mudah saja berpindah dari satu halaman rumah ke halaman yang lain, katanya. Soal makanan bagaimana, ia jawab: Akh, itu soal gampang. Ada siang ada makan! Ia kupesan, jika ada apa-apa menyusul aku di suatu tempat Aku beritahukan peta perjalananku dalam gerilya. Tidak aku tulis, tetapi aku suruh ia menghafal di luar kepala. Ini cara militer dalam perang, kataku.
Aku keluar rumah dengan sepedaku, tidak lupa aku tenteng mesin tulisku, aku pikir tentu ada gunanya dalam perjalanan.
Aku singgah sebentar ke Kabupaten untuk menemui Pak Bupati Muritno. Tetapi beliau baru
½ jam meninggalkan Kabupaten. Ada pesan untukku agar aku menyusulnya ke suatu tempat yang sudah kami sepakati beberapa hari yang lampau.
Baru 150 m aku naik sepeda, kedengaran suara tembakan mitraliur, gencar sekali. Aku kayuh sepeda lebih cepat, aku berpikir Belanda tentu sudah semakin dekat di belakangku. Kota amat sepi, di beberapa tempat asap mengepul karena bumi hangus. Kedengaran suara menggelegar, pertanda jembatan sudah dihancurkan, dibumihanguskan juga. Ketika suara mitraliur kian menggencar tambah dekat, aku turun dari sepeda, aku pikir, naik sepeda tidak ada gunanya. Ada sebuah warung tukang menjahit yang pintunya masih terbuka. Warung milik anggota Ansor. Aku titipkan sepedaku kepadanya, aku katakan kalau terjadi apa-apa jangan hiraukan sepeda itu. Rumahku pun sudah aku ―tawakalkan‖ kepada Allah SWT, apalagi cuma sepeda.
Baru beberapa langkah, kedengaran tembakan dari jarak dekat sekali di belakangku. Kanan kiri rumah dan toko-toko Cina. Aku ingat cerita ‗Tao An Tui‖, tentara orang-orang Cina yang membela Belanda di mana-mana, padahal ketika itu aku di tengah-tengah rumah dan toko- toko Cina. Aku segera merogoh kantong jas hujanku, pistol FN aku genggam, entah siapa nanti yang dulu, menembak atau ditembak. Aku masuk ke jalan kampung, dari lorong ke lorong karena di belakangku dalam jarak beberapa puluh meter saja Belanda telah berada di pusat kota. Aku menuju rumah orang tuaku di tepi kota untuk melihat-lihat apakah masih ada anggota keluargaku yang belum mengungsi. Benar juga, aku dapati pintunya belum terkunci, agaknya mereka sudah lari dengan terburu-buru karena Belanda sudah memasuki kota. Aku masuk ke dalam rumah, kiranya abangku Solichun masih ada di dalam.
―Mengapa belum pergi?‖ aku menanya tergesa-gesa.
―Begini banyak kain batik terceceran, sedang saya masukkan lemari,‖ jawabnya. Orang tuaku mempunyai perusahaan batik, agaknya meninggalkan rumah dengan terburu-buru. Aku menemani Solichun dan membantunya memasukkan beberapa ikat kain batik ke dalam lemari. Yang lain-lain aku singkirkan di bawah kolong tempat tidur.
153
 
Kami tinggalkan rumah, sambil memandang sejenak. Batinku berkata: Begini nasibnya dunia. Akhirnya harta benda juga ditinggalkan begitu saja. Aku titipkan keselamatan rumah kepada Allah SWT, aku tawakal kepada-Nya.
Suara tembakan senapan maupun mitraliur semakin gencar dan dari jarak yang dekat sekali. Belanda tentu telah di jalan besar yang cuma 100 m dari rumah orang tuaku. Batinku mengatakan, tentu mereka masih tetap berada di atas mobil pansernya. Dalam gerakan militer memasuki suatu kota, serdadu selamanya tetap dalam kendaraan bajanya, belum berani turun dari kendaraannya. Tembakan-tembakan itu hanya untuk membikin gentar dan takut penduduk. Sebab itu, aku mengambil jalan dari rumah ke rumah, jalan menuju ke sungai. Belanda toh belum akan membuntuti aku, dan aku bisa terlindung dari muntahan peluru.
Aku percepat jalan karena hujan sekonyong-konyong turun membasahi bumi.
Waktu sudah maghrib ketika aku tiba di Karangjati, tempat keluargaku diungsikan. Hujan masih turun, bahkan tambah deras. Sekonyong-konyong adikku Zainuddin memberitahukan bahwa anakku Fahmi terpisah dari rombongannya. Agaknya ia ikut rombongan orang-orang yang hendak meneruskan perjalanan ke daerah Yogya. Suasana panik dan begitu banyaknya gelombang pengungsi menyebabkan Fahmi lepas dari pengawasannya.
Lemas aku mendengar anakku tercecer. Beruntung aku bisa mengatasi emosiku. Hatiku kutata dengan tenang. Aku ambil keputusan: sembahyang maghrib dulu. Nanti kami bicarakan bagaimana mencari Fahmi. Aku sembahyang khusyuk sekali. Rasanya, ketika itu aku sembahyang dengan sekhusyuk-khusyuknya selama ini. Aku mengadu kepada Allah, begini banyak orang sengsara dengan tiba-tiba, begini biadabnya Belanda yang menipu Republik dengan ―perundingan‖ untuk memalingkan perhatian para pemimpin kita akan persiapan mereka menggempur Republik yang masih amat muda ini.
Pukul 9 malam, aku berunding dengan teman-teman untuk mengatur rombongan. Benar juga dugaanku, hampir semua orang ingin menyertai aku dalam suatu rombongan. Mana bisa dalam siasat perang gerilya dengan rombongan besar? Lagi pula nantinya tidak akan mengurusi perlawanan terhadap musuh, tetapi disibukkan oleh urusannya orang-orang mengungsi. Aku tetapkan kerja kilat. Rombongan besar kita pecah. Keluarga sekian ditempatkan di beberapa rumah penduduk, sekian keluarga lagi ditempatkan di rumah- rumah penduduk yang lain. Begitu seterusnya hingga rombongan kami sekitar 5 keluarga menuju ke tempat tempat yang telah kami rencanakan. Mula-mula ke gunung Caok, lalu ke Ngarimun bila keadaan mengharuskan.
Tiba-tiba seorang ―Hizbullah‖ datang melapor dengan menuntun anakku Fahmi. Ia diketemukan dalam arus orang-orang yang malam itu akan meneruskan ke daerah Yogya. Waktu ditanya mengapa anak itu sendirian, jawabnya bahwa ia terpental dari rombongannya karena arus orang banyak. Ia menerangkan identitasnya bahwa ia adalah anakku, segera saja anak ―Hizbullah‖ membawanya ke tempatku karena ia telah tahu di mana aku saat itu berada.
Seketika itu juga aku sujud syukur untuk menyatakan syukur dan terima kasihku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala karena pertolongan-Nya.
Aku usap kepalanya sambil bersyukur. Terkenang dua tahun yang lalu ketika ia masih berumur 4 tahun. Ia ikut ibunya menghadiri Muktamar Nahdhatul Ulama di Purwokerto naik

154
 
truk menempuh jarak 120 km sambil kehujanan, hingga dalam muktamar anak kecil ini menderita influenza. Doaku, semoga pengorbanannya tidak akan sia-sia.
Aku cuma 3 malam di Karangjati, ternyata tidak aman. Jarak hanya 2 km dari kota Purworejo sungguh sangatlah berbahaya. Belanda telah menguasai Gunung Menjangan, sebuah bukit di tepi kota yang tangguh, dan dari sana Karangjati yang berada di kakinya amat mudah untuk dimuntahi peluru mortir dan mitraliur. Selain itu, Belanda telah membebaskan tahanan-tahanan PKI dari penjara, dan begitu banyaknya mata-mata musuh yang tersebar di tempat pengungsian, dengan sendirinya merupakan ancaman keselamatan kami. Aku tidak bisa berada di tengah-tengah pengungsi yang begitu banyaknya.
Datanglah seorang ―Hizbullah‖ bernama Abdulkadir yang aku sudah lama kenal, ia nyaris ditangkap rakyat karena roman mukanya memang mirip seorang Belanda Indo. Ia menceritakan bahwa ia ditangkap Belanda dan dipukuli, karena Belanda tahu ia anggota
―Hizbullah‖. Ditanyai di mana aku berada serta nama-nama dari teman-temanku 20 orang. Ia menyatakan tidak tahu, ia dipukuli terus. Ia mendapat akal, bahwa ia sebenarnya tahu di mana aku berada, karena itu minta diizinkan akan mencariku, dan bila telah menemui di mana persisnya aku berada, ia akan datang lagi melaporkan kepada Belanda. Ia dilepaskan, lalu datang mencariku dan menemuiku di Karangjati. Ia menganjurkan bahwa sebaiknya aku meninggalkan Karangjati mencari tempat yang lebih aman.
Malam itu aku tak bisa meninggalkan Karangjati. Malam buta dengan 25 orang di antaranya para wanita dan anak-anak, melalui tebing yang curam karena hujan dan menyeberangi sungai yang banjir, tentu tidaklah mungkin. Jika berjalan menggunakan penerangan lampu, kecuali akan membangkitkan keinginan para pengungsi untuk menyertai aku, juga bisa ketahuan pos Belanda di jalan besar yang hanya 800 m jauhnya. Aku tangguhkan hingga habis sembahyang subuh esok harinya.
Semalaman aku tak bisa tidur. Badan amat letih dan kepalaku penat sekali. Di malam yang dingin dan gelap, aku sembahyang hajat, sembahyang untuk mohon sesuatu kepada Allah SWT. Entah berapa kali rakaat demi rakaat aku selesaikan, namun aku tak puas-puasnya. Pikiran ini melayang ke mana-mana. Pada sujud yang terakhir, aku tak kuat menahan rasa iba di dada penuh haru dengan peristiwa yang baru aku alami. Tak kuasa aku menahan tangisku, aku melolong mengadukan halku kepada Tuhan Seru Sekalian Alam. Istriku dan beberapa orang terbangun dari tidurnya, mereka menanyakan apa yang terjadi. Abangku, Kiai Abu, menyalakan lampu. Aku masih dalam sujud dan isakku belum reda.
―Jangan ganggu dia! dia ini sedang munajat kepada Allah!‖ seru Kiai Abu dan menenangkan orang-orang yang gaduh. Aku habisi sembahyangku, tetapi aku masih duduk sehabis salam. Aku masih menundukkan kepalaku sambil isakku mulai reda. Aku adukan kepada Allah SWT begitu banyak orang-orang yang sengsara, dibuat menderita secara tiba-tiba. Orang- orang ini menyelamatkan diri dalam keadaan daif sekali, wanita-wanita, orang-orang jompo, dan anak-anak. Rumah dan harta bendanya yang mereka kumpulkan sekian lama mereka tinggalkan, mereka tinggalkan begitu saja. Mereka sangat mencintai Republik yang masih muda ini dan sebab itu, mereka tidak sudi hidup dalam kekuasaan Belanda. Ya, Tuhan! bukankah ini suatu pengorbanan amat mulia? Tapi kalau keadaan begini berlarut-larut hingga berjalan lama, apakah orang-orang ini memiliki ketahanan dan ketabahan? Lalu bagaimana nasib perjuangan yang suci ini?
Pagi harinya, ketika matahari mulai merekahkan sinar hidup membentang di cakrawala yang panjang, aku dan rombongan 25 orang telah tiba di Ngrimun.

155
 
Suatu gunung penuh hutan dikelilingi oleh tebing-tebing yang curam. Rumah-rumah penduduk tidak lebih dari 10 buah, satu dan lain terpisah oleh jarak yang orang hanya sanggup mendengar bila kita teriak dengan suara nyaring. Tak ada sawah tak ada padang, cuma hutan dan kayu-kayuan dan pohon aren yang dipetik kolang-kalingnya setahun sekali. Penduduk bisa menebang pohon aren untuk diambil pati gelangnya, dijual ke pasar Purworejo atau Loano untuk dibelikan beras. Tetapi sejak 4 hari Belanda menduduki kota- kota, pasar-pasar mati seketika. Sebab itu, hasil pati gelangnya menjadi makanan pokok penduduk sejak itu.
Kiai Haji Idris menerima kedatangan kami dengan amat gembira. Beliau sudah berusia lanjut, 100 tahun kurang lebih, tetapi panca indranya masih berfungsi dengan baik. Kami ditempatkan di langgarnya yang sudah tua, dan orang-orang perempuan di rumahnya.
―Beberapa hari yang lalu, saya bermimpi ketemu dengan guru saya ketika di Makah hampir 70 tahun yang lampau. Dalam mimpi itu, guru saya memberikan sehelai kain sarung yang baik sekali sambil pesannya agar aku menerimanya dengan baik-baik,‖ kata Kiai Idris sambil menundukkan kepalanya.
―Apa arti ta‘bir mimpi itu, Mbah?‖ aku memberanikan diri bertanya.
―Arti ta‘birnya?... Nah, sekarang ini, kedatangan Tuan-Tuan kemari...!‖ jawabnya sambil membagi senyumnya kepada kami semua.
Kami semua merasa sangat bahagia dapat menjumpai seorang ulama yang begitu lanjut usianya. Orang macam begini tentu tidak bergelimang dengan dosa dalam hidupnya, sehari- harian hanya mujahadah kepada Allah SWT. Pakaian hanya selembar sarung dengan baju Jawa dari kain mori yang tak berleher, dan kopiah putih di atas kepalanya. Makanan? Hanya apa yang ada di sekitarnya.
Sambil bersantap pagi, sarapan dodol gelang dengan teh panas dan gula Jawa, kami berbincang-bincang dari hal keselamatan kami sampai kepada suasana diusir Belanda dari kota.
―Saya senang sekali Tuan-Tuan ada di sini, saya jadi tidak kesepian. Tapi maaf seribu maaf, di sini di gunung yang sepi, sangat jauh bedanya dengan di kota, seperti bumi dengan langit,‖ kata Kiai Idris.
―Kami sangat berterima kasih karena Mbah sudi menerima kedatangan kami yang ngrepoti ini,‖ sambung Kiai Muhammad, orang yang paling tua dari rombongan kami.
―Ooh, sama sekali tidak ngrepoti saya. Tuan-Tuan tidak merepoti apa-apa, malah saya yang sangat berterima kasih bahwa tuan-tuan sudi kemari,‖ jawab Kiai Idris.
―Kami datang seperti perampok saja, Mbah. Datang-datang minta makan, lagi pula pakaian kami aneh-aneh begini,‖ kata Kiai Jamil, orangnya berwatak keras tetapi penuh tanggung jawab. Bekerja serba cekatan.
―Akh tidak! Tuan-Tuan adalah pemimpin saya, sedang dalam perjuangan yang berat. Teringat saya ketika masih kecil ikut ayah berlari-lari dikejar dan mengejar Belanda. Ayah termasuk prajurit Pangeran Diponegoro, murid Kiai Imam Rafi‘i, pemimpin pesantren Bagelen yang menjadi mertua Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro dan Kiai Imam Rafi‘i ditangkap Belanda, ayah bersama santri-santri yang lain, semuanya prajurit Diponegoro meneruskan perjuangannya, ngraman terhadap Belanda di mana-mana. Ketika itu saya ikut ayah, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Akhirnya saya
156
 
menetap di Ngrimun sini. Ooh Allah, andaikata saya masih muda, saya pasti akan menyertai Tuan-Tuan meneruskan perjuangan ayah saya yang belum selesai...!‖ Kiai Idris menundukkan kepalanya, air matanya berlinang-linang. Kami semuanya diam, diliputi suasana haru.
―Jadi Mbah bukan orang asli sini?‖ Kiai Jamil membuka percakapan kembali.
―Bukan! Saya berasal dari Bagelen, tapal batas Purworejo-Yogya,‖ jawabnya, ―Ya, tetapi di mana-mana bumi Allah juga. Itu rumah-rumah,‖ sambil menunjuk beberapa rumah di kanan kiri dalam jarak yang cakup jauh antara yang satu dengan lainnya ―adalah rumah anak cucu saya!‖
―Mbah, kami sekali lagi mengucapkan terima kasih atas segala bantuan Mbah. Tetapi maafkan, kami cuma sementara saja di sini, kami masih akan meneruskan perjalanan. Kami mohon do‘a Mbah, semoga kami dilindungi Allah dan perjuangan kita diberkahi oleh-Nya,‖ aku mengalihkan percakapan.
―Saya sebenarnya senang sekali Tuan-Tuan ada di sini. Tetapi saya juga memaklumi, Tuan- Tuan bukan sekedar orang mengungsi. Tuan-Tuan adalah pemimpin-pemimpin kami, memimpin perjuangan yang sangat berat ini. Dan di tempat ini memang tidak cocok untuk medan perjuangan.
Di sini cuma cocok untuk tempat sembunyi. Sebab itu, walaupun hati saya sangat berat berpisah dengan tuan-tuan, tetapi saya merasa sangat berbahagia dapat menolong orang- orang yang sedang melakukan Jihad Sabilillah!‖ jawab Kiai Idris.
―Jangan lupakan kami, Mbah, mohon doa selalu tiap sembahyang!‖ sela Kiai Muhammad.
―Insya Allah saya tak akan pernah melupakan Tuan-Tuan. Nama Tuan-Tuan telah lama saya kenal lewat Kiai Abu, dan hati saya merasa telah menjadi satu dengan Tuan-Tuan,‖ Kiai Idris berhenti sebentar, lalu sambungnya, ―tidak cuma tiap sembahyang, tetapi tiap ingat Insya Allah selalu akan mendoakan tuan-tuan.‖ Hingga di sini Kiai Idris berhenti, beliau mengusap air matanya dengan ujung sarungnya yang mulai membasahi pipinya. Lalu sambungnya:
―Umur saya sudah terlalu tua, saya sudah kenyang dengan hidup. Rasanya hidup ini cuma menambah dosa saja. Aku tak bisa berjuang, tak bisa ke mana-mana. Orang lain pada berjuang, saya cuma duduk-duduk saja di sini, menambah dosa!‖ kata Kiai Idris.
―Dosa Mbah Insya Allah diampuni Allah,‖ sahut Kiai Muhammad, ―pengakuan seseorang tentang dosanya telah diampuni Allah. Lagi pula, Allah SWT tidak membebani manusia secara taklif, memaksakan diri. Manusia disuruh beramal bi qadri al-imkan, sekedar kemampuannya. Apa yang dilakukan Mbah benar-benar sesuai dengan bi qadri al-imkan."
―Saya minta do‘a Tuan-Tuan. Jika sewaktu-waktu saya dipundut Allah pulang ke rahmatillah, supaya tetap dalam iman, Islam, dan husnulkhatimah,‖ kata Kiai Idris. Beliau minta di antara kami membacakan do‘a, tetapi tak ada seorang pun di antara kami yang bersedia. Kami meminta beliau yang membaca do‘a. Beliau tidak mau, tetapi setelah kami desak, akhirnya bersedia membacakan buat kita semua.
Rombongan kami meninggalkan Ngrimun setelah dua malam berada di sana. Melalui jalan gunung, hutan belukar, dan menyusuri tebing-tebing, akhirnya kami tiba di desa Tridadi, di mana TNI menjadikannya markas pertempuran.
157
 
Tentu tidak bijaksana kalau kami berada di sana, kami harus mencari tempat lain, karena siasat berpencar dalam suatu perang gerilya sangatlah perlu.
Rombongan kami telah dikurangi satu keluarga, tinggal 20 orang saja termasuk wanita- wanita dan anak-anak. Kami tiba di Cacaban setelah menyeberangi sungai dan melewati bukit-bukit Daerah ini sangat tandus, tak ada beras. Makanan pokok penduduk cuma tepung gelang, gula aren, dan kelapa. Hari-hari hanya makan itu-itu juga. Untuk menambah kalori terutama untuk anak-anak, kami membeli dari penduduk barang beberapa puluh butir telur ayam. Bukan main susahnya rokok, sudah 3 hari persediaan rokok kami habis. Kami tentu tak bisa bertahan lama-lama di daerah ini, kami tinggalkan Cacaban meneruskan perjalanan.
Kami akan menuju daerah tapal batas Purworejo-Magelang-Wonosobo, tetapi karena datang dari jurusan sebelah Timur, kami harus membelok ke Barat dan Utara. Ini harus menyeberangi sebuah jalan raya yang dikuasai Belanda.
Abdulkadir dan Huseini yang menyusul kemudian, aku perintahkan untuk berjalan di muka melakukan tugas penyelidikan sampai di mana kemungkinan menyeberangi jalan raya. Alhamdulillah, jalan sedang sepi, dan ketika rombongan kami melintasi jalan raya yang angker ini, tak satu pun ―setan‖ yang tampak. Kami selamat memasuki daerah Republik kembali.
Lepas ashar, kami tiba di desa Kalijambe. Desa itu seperti dalam keadaan damai saja. Rumah besar-besar; masjidnya pun bersih, sawah-sawah terbentang di mana-mana sejauh mata memandang. Dan, Kiai Zayadi sedang menanti kedatangan kami. Kami semua mandi di sungai yang airnya jernih sekali. Lepas mandi aku memasuki masjid yang sudah mulai penuh dengan jama‘ah untuk sembahyang maghrib. Aku mengambil kesempatan untuk memberikan sedikit penerangan tentang situasi dewasa itu dan petunjuk-petunjuk yang penting. Beberapa pemuda menyanggupi untuk memindahkan satu regu ―Hizbullah‖ yang semula aku tugaskan untuk mengawal Ngrimun, dipindahkan ke Kalijambe. Biarlah mereka bisa istirahat dan sekedar makan kenyang-kenyang. Di Kalijambe banyak sekali pemuda, tetapi juga banyak beras dan ikan mujahir.
Tujuan kami bukan Kalijambe, karena itu, hanya dua malam kami berada di daerah yang tenang dan makmur ini. Kami melanjutkan perjalanan ke arah Utara, memasuki daerah Wonosobo.
Kami masih harus menempuh jarak 12 km, melalui gunung-gunung dan harus menyeberangi sungai demi sungai. Kami menghindari jalan umum karena khawatir menemui patroli Belanda. Dalam pada itu, kami juga harus waspada terhadap pelarian sisa-sisa pasukan PKI yang dikejar-kejar TNI, mereka menyelusup memasuki daerah-daerah pedalaman yang jauh.
Waktu dzuhur di tengah jalan, kami menjumpai anak-anak ―Siliwangi‖ dari salah satu batalion yang sedang dalam perjalanan memasuki Jawa Barat. Dengan salah seorang perwiranya aku mengadakan perundingan sebentar mengenai situasi dan tugas masing- masing. Ia menyampaikan pesan-pesan untuk Letkol Sarbini dan Letkol A. Yani, dan aku sanggupi jika aku telah bersua dengan mereka.
Setelah 11 hari meninggalkan kota, menjelang maghrib, kami tiba di desa Magersari, suatu pos pertama sebelum kami menuju ke desa Sigedong, tujuan sementara kami. Tetapi jalan terhalang oleh sungai yang sedang banjir. Jembatan tidak ada, dan cuaca mulai gelap.

158
 
Daripada harus bermalam di suatu lapangan di bukit yang tandus, lebih baik kami menyeberangi sungai yang sedang banjir. Kami, 7 orang laki-laki merupakan pagar betis di sungai, lalu orang-orang perempuan dan anak-anak diseberangkan dengan memegang tangan kami yang telah kami ulurkan menjadi rantai-rantai. Dengan amat susah payah, akhirnya selamatlah kami tiba di seberang sana. Alhamdulillah, bukan main rasa lega dan bahagia.
Dengan perantaraan seorang pemuda, kami diantarkan ke langgar yang dekat. Kami tiba di langgar yang panggungnya dalam keadaan sunyi dan gelap. Kami merebahkan diri karena sangat letih. Semua tertidur, kecuali aku dan Abdulkadir yang jaga. Aku tanyakan kepada pemuda yang mengantarkan kami, siapa nama kiai di situ, dan minta tolong disampaikan kepadanya bahwa ada tetamu datang. Aku beritahukan namaku.
― Wa'alaikum as-salam, ahlan, ahlan marhaban... l‘
Kiai Suhrowardi datang menghampiri kami dengan membawa lampu petromaks.
Setelah saling menanyakan kabar keselamatan masing-masing, beliau minta permisi sebentar. Hampir 20 menit kami ditinggalkan sendirian. Aku dan Abdulkadir menyelesaikan sembahyang maghrib yang sudah akhir, sementara itu mulut ini terasa kecut sekali karena sejak siang tadi tidak merokok. Rokok sudah ludes sejak siang. Aku merebahkan badan karena letih sekali, dan Abdulkadir aku tugaskan tetap berjaga jika terjadi sesuatu.
Tiba-tiba keluarlah dari rumah Kiai Suhrowardi orang-orang perempuan dan pemuda- pemuda sambil membawa baki-baki yang terisi penuh, diiringkan oleh Kiai dan Ibu Nyai. Kiranya singkong rebus yang masih panas, ubi rebus, gula Jawa, dan kopi panas. Orang- orang yang tertidur aku bangunkan semua. Bukan main girangnya, mereka makan rebusan singkong dan ubi dengan lahap sekali.
Rupanya segala singkong dan ubi rebus itu cuma mukadimah saja, tak lama kemudian datanglah hidangan nasi putih masih panas, gulai kambing, ayam goreng, dan kami dipersilahkan mencicipi oleh Kiai Suhrowardi.
―Kiai, kami bukannya sekedar mau mencicipi, tapi akan kami gempur sampai ludes!‖ kata Kiai Jamil. Orangnya memang lucu. Semua tertawa riuh.
Malam itu kami pesta besar. Bukan main nikmatnya!
Orang-orang perempuan dan anak-anak dibawa Ibu Nyai ke rumah, dan kami yang laki-laki semuanya dipersilakan di langgar. Langgar itu kokoh sekali, terbuat seluruhnya dari kayu jati, dibikin panggung. Lantainya juga dari kayu dan licin sekali. Lepas sembahyang isya, kami ber-cakap-cakap dengan Kiai Suhrowardi.
―Saya memang telah menyuruh anak-anak santri yang menjadi ―Hizbullah‖ di sini, agar mencari dan menjemput Bapak-Bapak kemari. Sudah 1 minggu ini mereka belum pulang. Memang saya suruh agar mencari sampai dapat,‖ kata Kiai Suhrowardi.
―Tak usah dijemput kami pasti kemari, insya Allah. Itu kan sudah kita bicarakan sejak lama!‖ kataku menjawab.
―Saya minta Bapak-Bapak ini tak usah ke Sigedong. Di sana sekarang dijadikan markas TNI. Lebih baik di sini saja. Lagi pula, banyak gutekan yang kosong karena para santri pada pulang setelah Belanda menyerbu ke kota-kota. Bapak-bapak bisa menempati gutekan-

159
 
gutekan itu. Besok saya akan mengerahkan orang-orang desa untuk membersihkannya dan memperbaiki di mana perlu,‖ Kiai Suhrowardi mengusulkan.
―Kami ini datang bukan untuk mondok, untuk nyantri. Kami akan menjadikan Sigedong sekedar tempat untuk menitipkan keluarga. Kami yang laki-kali ini tentu tidak akan tinggal di rumah terus-terusan, kami tentu harus mobil, jalan dengan gerak cepat. Ini perang gerilya, Kiai, kita harus mengamankan dulu keluarga kita, lalu kita teruskan perjuangan!‖ jawabku.
‗Apa salahnya di sini, di sini aman, daripada di Sigedong?‖ Kiai masih tetap dengan usulnya yang semula.
―Di sini memang tepat untuk mengumpet, untuk sembunyi. Tempatnya aman, ada makanan, ada Kiai Suhrowardi, dan tempat ini terpencil di gunung. Tetapi untuk perjuangan dan untuk hubungan kesana-kemari terlalu jauh, tidak bisa untuk gerak cepat,‖ jawabku meyakinkan.
―Nanti siapa tahu, sesekali kami juga kemari, kami kan mobil terus!‖ jawab Solichun.
―Ya, sudah kalau begitu!‖ jawab Kiai Suhrowardi, ―Kami diberi tugas apa?‖
―Nanti akan banyak tugas. Kami akan kumpulkan dulu para kiai di daerah Kedu ini. Aku akan menetapkan Sigedong karena letaknya di tengah-tengah dan mudah dicapai dari mana- mana. Dari Magelang, Purworejo, Temanggung, dan Wonosobo serta Kebumen mudah mencapainya. Lagi pula, daerah itu aman sekali, dikelilingi oleh bukit-bukit lagi, tanahnya subur penuh bahan makanan. Itu semua syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu perang gerilya,‖ jawabku menenteramkan hatinya.
―Jadi apa tugas saya?‖ Kiai Suhrowardi mendesak.
―Besok pagi kita ke Sigedong. Kita kumpulkan dulu Kiai Sabilan, Kiai Idris Sepuran, Kiai Subandi, kita bicarakan penyelenggaraan pertemuan ulama. Aku juga akan menemui markas TNI di sana untuk mencari hubungan dengan Bambang Sugeng, Gubernur Militer!‖ Aku menerangkan.
―Di Sigedong itu, kalau memang di sana ada markas TNI, aku akan bisa mencari keterangan di mana Pak Sarbini dan Pak A. Yani berada,‖ aku menambahkan.
Malam itu, hingga jauh malam kami berbincang-bincang mengenai macam-macam hal, diselingi oleh gelak tawa karena Kiai Jamil terus bercanda. Beruntung juga rombongan kami. Ada ulama yang alim, Kiai Muhammad. Ada pemuda yang ringan kaki, Abdulkadir. Ada pemimpin pasukan ―Hizbullah,‖ Solichun, dan ada orang yang ―radikal‖ tetapi lucu, Kiai Jamil.
Ketika orang-orang tengah asyik bercanda, aku merebahkan badanku yang amat letih. Kiai Suhrowardi menawari aku hendak dibikinkan kopi panas lagi, tetapi aku menolaknya, lebih baik memberikan aku bantal saja. Aku ngantuk sekali.
***
Lepas sembahyang subuh, aku tugaskan Solichun dan Huseini untuk mencari Saroso dan Sonwani, keduanya pemimpin pasukan ―Hizbullah‖ Magelang. Bisa dikerahkan tenaga
―Hizbullah‖ yang aku tinggalkan di Kalijambe untuk membantunya. Juga pasukan ―Hizbullah‖ Wonosobo. Keadaan sudah memungkinkan untuk menghimpun kembali pasukan yang terserak-serak. Aku sudah perhitungkan, dalam waktu 1 bulan mereka sudah mulai bisa dihimpun kembali dan mulai mengatur tugas masing-masing
160
 
Setelah dua minggu meninggalkan kota, kami sudah sampai di daerah tujuan. Sebuah daerah di kaki Gunung Sumbing, daerah pertanian yang subur, dikelilingi oleh bukit-bukit yang hijau dengan sungai-sungainya yang jernih. Rombongan kami dipecah menjadi dua grup, satu ditempatkan di desa Sigedong, aku dan tiga orang anggota Majelis Konsul Nahdhatul Ulama di desa Kapuloga. Dua desa ini terpisah oleh jarak hanya 1 km. Terletak di perbatasan antara Kecamatan Kepil daerah Wonosobo yang di selatan dengan Kecamatan Bener masuk daerah Purworejo yang paling utara. Sebenarnya tidak jauh dari kota Purworejo, sekitar 14 km saja.
Gubernur Militer Jawa Tengah berkedudukan di sini. Staf Penghubungnya dipimpin oleh Mayor Ashari, perwira penerangan Divisi Diponegoro, dengan siapa aku mengadakan hubungan dan tukar-menukar informasi.
Dalam waktu 1 bulan, aku telah dapat menghimpun kembali pasukan-pasukan ―Hizbullah‖ yang dipimpin oleh Saroso, Sonwani, Burhani, Solichun, dan menyusul kemudian pasukan yang dipimpin Nuch. Masing-masing kesatuan ―Hizbullah‖ dari Magelang, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, dan Temanggung. Dengan demikian, pekerjaan sudah bisa dimulai.
Terbentuklah pimpinan inti Majelis Konsul Nahdhatul Ulama dengan tenaga-tenaga ulama: Kiai Muhammad, Kiai Jamil, Kiai Idris, Kiai Baidlowi, dan dibantu oleh ulama-ulama daerah Wonosobo.
Pada suatu hari datanglah seorang pemuda, Yusuf namanya. Ia berasal dari Lampung, tetapi lama menjadi santri di Tebuireng. Ia datang dengan membawa sepucuk surat dari KH.A. Wahid Hasyim. Entah dari mana K.H.A. Wahid Hasyim ini mengetahui bahwa aku berada di kaki gunung Sumbing. Isi suratnya memberi petunjuk apa yang harus aku lakukan setelah selesai menata keluarga dalam pengungsian. Disebutkan dalam surat itu bahwa Bung Karno-Hatta, Syahrir, H. Agus Salim, dan lain-lain pemimpin Republik Indonesia telah ditawan Belanda dan diasingkan di pulau Bangka. Pimpinan pemerintahan darurat dipercayakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera. Dan pimpinan perjuangan bersenjata langsung dipegang oleh Pak Dirman, Panglima Besar. K.H. A. Wahid Hasyim menyebutkan pula bahwa beliau tidak menetap di suatu tempat, tetapi berpindah- pindah dari satu daerah ke daerah lain, merencanakan juga hendak mengunjungi daerah gerilya di Jawa Tengah.
Suatu malam tanggal 9 Januari 1949, aku menyelenggarakan Pertemuan Ulama di salah satu tempat di kaki gunung Sumbing. Delapan puluh lima orang ulama hadir. Setelah aku memberikan penerangan mengenai situasi dewasa itu, para ulama menetapkan kebulatannya untuk mengadakan gerakan rohani:
1.    Bersama-sama umat Islam melakukan puasa yaumal-baidh, puasa sunat tiap tanggal 13,14, dan 15 bulan Islam.
2.    Mengadakan gerakan Salat Hajat dan Amal Saleh.
3.    Melaraskan hidup prihatin dalam suasana jihad.
4.    Membantu pemerintah militer setempat dalam aksi perang gerilya.
Ketika aku sedang memimpin pertemuan ulama, datanglah Bukhari dan Yogya. Ia dari pucuk pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Kedatangannya membawa pesan dari Kiai Masykur, Menteri Agama, yang ketika itu berada di luar Yogya. Juga membawa pesan

161
 
dari Dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri, agar perjuangan diperhebat. Bukhari hanya semalam di kaki gunung Sumbing, ia meneruskan perjalanan menuju kota Jakarta.
Datanglah suatu musibah pada suatu hari. Usman Pujotomo gugur di salah satu daerah gerilya ketika menyeberangi sungai yang sedang banjir. Ia ketua ―Masyumi‖ daerah Kedu yang sedang dikejar-kejar Belanda. Karena aku wakil ketuanya, maka atas persetujuan teman-teman dan dukungan para ulama, aku mengambil alih pimpinan ―Masyumi‖ daerah Kedu. Satu lagi tambah jabatanku. Segera aku laporkan kepada Dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri, yang juga ketua ―Masyumi‖ pusat.
Hari-hari tidak bisa menetap dalam suatu tempat. Tugas membagi-bagi pekerjaan di antara pasukan-pasukan ―Hizbullah‖ dalam daerah gerilya yang sulit jalan perhubungannya menyebabkan harus pergi berjalan kaki berpuluh kilometer tiap harinya. Jika malam telah tiba, melakukan tugas penerangan dan dakwah di masjid-masjid yang aku jumpai, siang hari meneruskan perjalanan melalui pos-pos yang sudah terbentuk.
Daerah ini menjadi sangat penting di mata Belanda, mereka tahu bahwa Gubernur Militer Republik berkedudukan di sini. Hampir tiap 3 hari melayang-layang pesawat-pesawat pengintai, dan kadang-kadang memuntahkan peluru senapan mesinnya.
Tak disangka-sangka, Pak M. Sarbini, komandan resimen dan pimpinan komando pertempuran mengambil desa Kapulogo, di mana keluargaku diam di sana, menjadi kedudukan markasnya. Dengan itu, kami sering berjumpa dan bertukar pikiran. Tidak jarang malam-malam saling bergantian menjadi juru dakwah.
Menjelang pertengahan bulan Januari 1949, datang pengangkatanku dari Menteri Agama, menjadi Kepala Kantor Agama Jawa Tengah dalam daerah gerilya. Bertambah lagi jabatan ini, mula-mula aku menolaknya dengan alasan sudah menumpuk macam-macam jabatan di daerah yang serba sulit ini. Mana buat memikirkan mencari duit untuk makan anak dan istriku. Istriku dan beberapa wanita melakukan tugas jualan di pasar-pasar daerah gerilya, tiap subuh menuju ke pasar yang jauhnya lebih dari 10 km dengan berjalan kaki. Sore mereka baru pulang, kadang-kadang hingga petang, karena tertahan oleh serangan musuh yang sedang mengadakan patroli.
Tetapi karena desakan para ulama, jabatan Kepala Kantor Agama itu akhirnya aku terima.
Suatu hari diawal tahun 1949, aku dan dua orang teman mencari kediaman Menteri Agama, yang konon berada di desa Brosot di luar kota Yogya. Ya, tetapi di mana Brosot itu? Untuk lebih mendekati kota, tempat kediaman kami berpindah ke desa Bener. Aku menumpang di rumah Kiai Mukhlas yang memimpin sebuah madrasah.
Tiga hari berjalan di daerah gerilya dan harus melintasi daerah musuh dan jalan-jalan raya yang dikuasai Belanda, akhirnya ketemu juga dengan Menteri Agama KH. Masykur. Beliau sudah pindah dari Brosot, di suatu desa yang terpencil di pedalaman Yogya. Beliau ditemani oleh Mr. Sunaryo, Sekretaris Jenderal. Dua orang temanku kecuali untuk tugas pengawalan, juga untuk menggendong dua onggokan uang Republik yang entah berapa juta rupiah nilainya. Uang itu adalah hasil setoran N.T.R. dari kantor-kantor Agama.
Kedatanganku disambut gembira oleh Menteri Agama, Sekretaris Jenderal dengan dibantu orang lain menghitung jumlah uang yang aku setorkan.
―Saudara sudah ambil bagian untuk Saudara?‖ KH. Masykur menanya.
―Belum! Dan aku tidak tahu kalau mendapat bagian,‖ jawabku.
162
 
―Mesti dapat dong!‖ kata KH. Masykur, ―Saudara dan pembantu saudara kan perlu duit! Kecuali kalau tidak memerlukannya. ..!‖ katanya.
―Ya perlu banget. Kami kan bukan malaikat, dari mana buat makan anak istri?‖ jawabku berseloroh.
―Saudara ini wali! Begini banyak uang Saudara bawa semuanya kemari menambah beban dalam perjalanan jauh. Saudara kan bisa mengambil dulu berapa diperlukan. Dengan demikian, bawaan jadi bertambah ringan dalam perjalanan!‖ kata KH. Masykur.
―Saudara bisa ambil saja berapa mau, jadi tak usah dibawa semua kemari. Asal ada surat bon!‖ Mr. Sunaryo menyela.
―Saya wali?‖ jawabku, ―calon wali, sebab aku juga mempunyai anak perempuan, kelak jadi wali. Aku tak berani mengambil uang ini, aku takut kualat, ini uang negara!‖ jawabku ringkas.
Dua malam aku di kediaman K.H. Masykur. Masing-masing menceritakan pengalaman kami. Dalam pada itu, Menteri Agama memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana membentuk kantor-kantor agama di daerah Republik ini.
―Kemarin datang seorang kurir dari Jawa Timur, menyebutkan bahwa K.H.A. Wahid Hasyim sedang menuju kemari. Sebab itu, saya tidak bisa meninggalkan daerah ini sampai beliau datang,‖ kata K.H. Masykur.
―Sebelas bulan yang lalu kurir beliau telah mengunjungi aku, membawa pesan-pesan perjuangan. Orang ini memang hebat, tahu saja apa yang harus kita kerjakan. Tahu pula di mana kita berada!‖ jawabku.
―Beliau ini tepat untuk menjadi kepala intelejen!‖ sambung K.H. Masykur. Kami semua ketawa.
―Saya mendapat laporan bahwa di seluruh Jawa Timur, Tengah, dan Barat, para ulama memperhebat gerakan batin. Di mana-mana orang berpuasa sunat dan mujahadah kepada Allah SWT untuk memohon kemenangan dalam perjuangan ini. Sejak menghadapi agresi Belanda, lalu pemberontakan PKI di Madiun, lalu sekarang, para ulama kita tak putus- putusnya melakukan gerakan batin,‖ kata K.H. Masykur.
―Kalau sudah demikian, insya Allah pastilah Belanda akan gulung tikar. Apalagi sekarang Dewan Keamanan telah mengutuk serbuan Belanda ini. Bahkan memerintahkan Belanda mengembalikan daerah Republik kepada kita kembali,‖ sela Mr. Sunaryo.
―Bagaimana anak-anak ―Hizbullah-Sabilillah?‖ tanya K.H. Masykur.
―Kalau dulu kami cuma bertahan, kini di mana-mana kita menyerang Belanda. Banyak juga korban mereka, walaupun dari kita juga cukup banyak!‖ jawabku.
Kami meneruskan percakapan mengenai macam-macam hal, juga disinggungnya tentang kewaspadaan terhadap orang-orang PKI yang mengacau di daerah Republik.
Ketika aku akan meninggalkan tempat kediaman KH. Masykur, Sekretaris Jenderal, Mr. Sunaryo, menyerahkan setumpuk uang kepadaku untuk honorarium dan biaya jawatan dalam daerah gerilya. Uang bagianku, sebagian aku belikan beras, lauk pauk, dan pakaian anak-anakku. Dalam perjalanan kembali ke daerah kaki gunung Sumbing jadi berat juga dengan barang bawaan ini. Ketika berangkat diberati oleh dengan membawa uang, pulangnya diberati oleh barang-barang ini. Serba susah saja!
163
 
Sewaktu hendak melintasi jalan raya Purworejo-Magelang, aku melihat asap bergulung- gulung mengepul ke udara arah pinggiran kota Purworejo Aku tanyakan kepada salah seorang yang sedang berada di pos penjagaan TNI. Diberitahukan bahwa asap itu adalah api kebakaran rumah-rumah di desa Baledono, kampungku. Mendengar nama kampungku disebut, aku menanyakan, rumah-rumah siapa yang dibakar Belanda? Dijawab, rumah salah seorang pemimpin ―Hizbullah,‖ ia menyebut namaku, karena Belanda tahu bahwa rumah itu sering disinggahi pemimpin-pemimpin dari Yogya.
Aku pandang lebih lama asap api yang mengepul hitam itu. Aku kenangkan nasib rumah orang tuaku yang berderet-deret, beberapa rumah pamanku, kemenakanku, dan abangku. Pastilah semuanya telah menjadi abu. Yah, beginilah risiko berjuang. Jangankan rumah, Republik kita ini sudah dibakar dan diobrak-abrik Belanda. Sambil berjalan, aku mendo‘a, sekiranya masih ada umur panjang, perkenankan ya Tuhan, kelak kami bisa membangun rumah baru di atas puing-puing reruntuhan. Kami memerlukan perumahan, ya Tuhan, perumahan kecil tempat kediaman kami dan perumahan besar ialah Republik Indonesia!
***
Bulan Mei 1949, Jenderal Spoor, panglima besar Belanda tewas dalam ―kecelakaan‖ pesawat terbang. Kaum Republik mengatakan bahwa kecelakaan itu karena pesawatnya ditembak kaum gerilya.
Kegiatan diplomasi di Dewan Keamanan menghasilkan keputusan agar Belanda meninggalkan seluruh daerah Republik Indonesia. Kemenangan di medan diplomasi ini tak mungkin tercapai jika tidak karena semakin menghebatnya perlawanan kaum Republik terhadap aksi militer Belanda. Taktik perang gerilya membawa kemenangan.
Yang sudah pasti adalah karena pertolongan Allah SWT. Aku menundukkan kepala, bahwa tidaklah percuma umat Islam melakukan gerakan puasa sunat terus-menerus, tidaklah sia- sia gerakan batin yang menghebat dilakukan oleh para alim ulama di mana-mana, baik di daerah gerilya maupun di daerah pendudukan Belanda sendiri. Apalah artinya perlawanan militer dan diplomasi jika tidak mendapat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta‗ala? Biasa sifat sementara manusia, di saat menderita kesulitan yang bertumpuk-tumpuk, mereka bersujud memohon pertolongan Allah, saat demi saat cuma mengenang Allah. Tetapi bila penderitaan dan kesulitan telah terhalau karena sifat Rahman dan Rahim Allah, orang lupa akan hal ini. Mereka menyangka bahwa kemenangannya cuma karena usahanya sendiri. Tuhan sudah ditinggalkan di belakangnya...!
Sejak bulan Juni-Juli 1949, mulailah pasukan-pasukan gerilya memasuki Yogya dan kota- kota lain wilayah Republik Indonesia. Belanda sudah dibersihkan dari daerah Republik.
Menjelang Agustus, kami memasuki kota kembali. Yogya dalam suasana bersyukur, bermandikan cahaya kemenangan, dan kegembiraan. Republik Indonesia tegak berdiri kembali setelah dirobek-robek oleh Belanda. Perayaan 17 Agustus diliputi oleh suasana kegembiraan dan keharuan yang tak mudah dilukiskan dengan kata-kata.
Sukamo-Hatta, Sutan Syahrir; HA. Salim, dan lain-lain pemimpin Republik telah berada kembali di ibu kota. Dan orang terakhir yang memasuki ibu kota adalah Pak Dirman, Panglima Besar. Beliau dalam keadaan sakit yang kian parah. Memasuki ibu kota dengan diusung di atas tandu dan dalam pakaian gerilya dengan ikat kepala berwarna wulung, hitam pekat.

164
 
Bung Hatta pada 23 Agustus 1949 memasuki ruangan ―Ridderzaal‖ di Den Haag negeri Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar dengan Belanda.
Ketika diadakan peringatan ―Hari Angkatan Perang‖ pada 5 Oktober di ibu kota, segenap pasukan gerilya mengadakan parade di muka Panglima Besar Sudirman. Dalam parade, banyak orang yang tidak kuat menahan rasa harunya, menyaksikan anak-anak TNI dan laskar-laskar pejuang dengan pakaian macam-macam, sedang Panglima Besar menerima parade sambil duduk karena kesehatannya tidak mengizinkan berdiri lama-lama. Sewaktu menerima kehormatan dari parade, beliau berdiri dengan ditolong oleh tongkatnya di tangan kanan, berdiri yang dipaksakan. Aku mengawasi dari panggung, betapa seorang santri menjadi panglima besar dari suatu negara yang habis dikoyak-koyak musuh, tetapi masih tegak berdiri lebih sentausa dari sedia kala. Alangkah gagahnya kaum pejuang yang mengikhlaskan pengorbanannya untuk suatu cita-cita mulia! Tak tahan iba hatiku ketika melihat anak-anak ―Hizbullah‖ dalam parade dengan pakaian yang compang-camping yang mereka kenakan sejak dari daerah gerilya. Mereka tidak ikut parade karena terlambat datang dari daerah gerilya, mereka tidak sempat untuk mempersiapkan diri, dan mereka merasa puas berdiri di luar garis menyaksikan kawan-kawan mereka seperjuangan memperlihatkan kepahlawanannya membela tanah air dan negara.
Tanggal 7 Desember 1949, aku memasuki Sidang Komite Nasional Pusat di Yogya. Aku bersama Wahib Wahab dan lain-lain teman hadir sebagai anggota Komite Nasional Pusat. Aneh juga jalan sejarah hidup manusia, beberapa bulan yang lalu masih berada di daerah pertempuran gerilya dengan celana digulung hingga lutut, tak bersepatu. Tetapi kini anggota KNI Pusat, menghadiri sidang perwakilan rakyat tertinggi untuk mengesahkan hasil-hasil KMB yang telah ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai Ketua Delegasi Republik. Tidak lagi memakai celana yang digulung sampai lutut dan tak bersepatu, tetapi memakai setelan betul-betul dengan sepatu dan dasi baru.
Sidang KNI Pusat itu diakhiri dengan upacara pelantikan Bung Karno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Serikat, yang beberapa hari kemudian harus meninggalkan Yogya untuk kembali ke Jakarta, Ibu Kota Republik baru ini.
Dengan kembalinya Yogya sebagai Ibu Kota Republik dan berdirinya Republik Indonesia Serikat, maka permusuhan dengan Belanda dinyatakan berakhir. Sekarang keduanya sebagai dua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat
Laskar-laskar perjuangan tidak diperbolehkan lagi. Mereka melalui suatu saringan meleburkan diri ke dalam Tentara Nasional Indonesia. Anak-anak ―Hizbullah‖ di bawah asuhanku sebanyak 1 divisi, hanya 1 batalion saja yang meleburkan diri ke dalam TNI, adapun sisanya yang terbesar dinyatakan bubar. Dari santri kembali ke santri.
Dari pesantren mereka kembali memasuki pesantrennya masing-masing. Yang tukang jahit kembali membuka warungnya, yang tukang gunting rambut kembali memegang kepala- kepala orang, kalau perlu menggunduli mereka, dan yang ustazd kembali ke madrasahnya masing-masing. Mereka puas, telah pernah menyumbangkan sesuatu kepada tanah air ini, kepada negara ini di saat yang paling sulit dan di saat nyawa menjadi taruhannya. Tetapi bersyukur bahwa Allah SWT melindungi mereka, dan memberikan bantuan-Nya yang membawa kemenangan kepada mereka. Harapan mereka cuma satu, semoga amalnya diterima Allah sebagai amal yang saleh.
Tidak satu sen pun mereka menuntut kepada Republik untuk mengganti hartanya yang telah hilang, mengganti rumahnya yang telah menjadi abu. Mereka dengan penuh kesabaran
165
 
menata kembali hidupnya, mendirikan kembali rumah kediamannya. Harapan mereka, semoga rezeki yang mereka terima dari jerih payahnya itu merupakan rezeki yang halal.
***
Sejak tahun 1950 aku diam di Semarang. Memangku jabatan Kepala Kantor Agama Propinsi Jawa Tengah. Tetapi aku juga dipilih menjadi Ketua Dakwah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama yang berkedudukan di Jakarta. Sebab itu, mengharuskan aku mondar- mandir Semarang-Jakarta.
Sejak di daerah gerilya, beberapa ulama aku usulkan untuk diangkat menjadi Kepala Kantor Agama Kabupaten di daerahnya, sebagian lagi untuk Ketua Pengadilan Agama.
Walaupun kita berada di daerah gerilya, namun alat-alat perlengkapan pemerintah harus tersusun baik.
Kiai Raden Iskandar yang memangku Ketua Pengadilan Agama di Purbalingga, suatu hari datang kepadaku, meminta berhenti.
―Mengapa berhenti? Kita masih harus menyempurnakan organisasi pemerintahan kita,‖ aku menanyakan.
―Saya lebih senang menjadi kiai biasa. Biarlah untuk jawatan diserahkan kepada tenaga- tenaga yang lebih sesuai. Saya merasa, tempat saya di tengah-tengah masyarakat,‖ jawabnya.
―Dalam lingkungan Departemen Agama juga melakukan tugas kemasyarakatan!‖ aku menjelaskan.
―Ya, tetapi itu harus dilakukan secara resmi. Masyarakat kita kadang-kadang tidak bisa dipimpin secara resmi. Saya akan turut memimpin masyarakat dari dalam, dari lingkungan mereka sendiri, tidak secara resmi,‖ jawab Kiai Iskandar.
―Tetapi dengan jabatan yang sekarang pemerintah ingin memberikan penghargaan kepada ulama yang memimpin rakyat dalam keadaan sulit. Pemerintah ingin menghargai jasa ulama,‖ kataku.
―Tak satu pun ulama mengharapkan imbalan jasanya. Semua yang dilakukan ibtighd-an li waj hillah, untuk mencari ridho Allah.‖ jawab beliau.
―Dengan tetap dalam jawatan, kita bisa mengabdi kepada agama, kepada masyarakat dan sekedar jaminan hidup sudah tersedia,‖ kataku.
―Memang di situ bisa mengabdi. Tetapi untuk jaminan hidup saya harus cari dari kasab, ikhtiar saya sendiri, misalnya tani atau dagang. Kalau sudah jadi pegawai negeri rasanya tidak pantas lalu tetap berdagang. Ini bisa menimbulkan purba sangka orang banyak,‖ katanya menjelaskan, lalu sambungnya:
―Dulu ketika saya masih kiai biasa, saya merasa tidak mengalami kesulitan dalam rezeki. Menerima tamu sampai berapa saja sanggup menjamin mereka dengan layak. Tetapi setelah menjadi pegawai negeri, kadang-kadang menerima tiga orang tamu saja sudah kewalahan!‖ beliau ketawa lebar.


166
 
Begitulah, selain Kiai Iskandar, banyak juga kiai-kiai yang mengundurkan diri dari jawatan agama, mereka ingin kembali ke tengah-tengah masyarakat, ingin ―kembali‖ jadi kiai, kata mereka.
Dengan terbentuknya Negara RIS (Republik Indonesia Serikat), maka di daerah-daerah
―Federal‖ di luar Republik Yogya timbul pergolakan. Rakyat minta meleburkan diri ke dalam Republik Indonesia. Orang-orang Republiken yang berada di daerah kekuasaan ―negara- negara‖ ciptaan Belanda, ternyata tidak kerasan, mereka ingin menyatu kembali seperti ketika Proklamasi 17 Agustus 1945. Negara RIS cuma berusia 9 bulan. Terbentuklah Kabinet Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 6 September 1950.
Aku mendapat panggilan KH.A. Wahid Hasyim di Jakarta. Beliau Menteri Agama RIS dan juga Republik Indonesia Kesatuan untuk menyertai beliau ke Kalimantan.
Kiai Imam Zarkasyi dan aku diminta menyertainya ke Kalimantan untuk kira-kira satu minggu. Kiai Imam Zarkasyi, sejak zaman Jepang aku sudah berkenalan, beliau pemimpin Pesantren Modern di Gontor, Ponorogo
Lepas subuh, kami berkemas hendak menuju ke lapangan terbang Kemayoran. Seorang pemuda datang menanyakan, mana kopor-kopornya, akan dibawa terlebih dahulu olehnya ke lapangan terbang. Memang begitu peraturannya, barang harus lebih dahulu tiba di lapangan terbang sebelum pemiliknya datang.
Ketika pemuda itu pergi dengan membawa kopor-kopor kami, aku menanyakan siapa dia dan apakah ikut dalam rombongan?
―Saudara belum tahu siapa dia? Dia Idham Chalid! Nanti akan saya kenalkan dengannya. Ia memang ikut kita bersama-sama ke Kalimantan. Ia putera Kalimantan!‖ jawab K.H.A. Wahid Hasyim.
Dalam pesawat terbang model Dakota aku diperkenalkan dengan Idham Chalid oleh K.H.A. Wahid Hasyim.
―Ketika kita di latihan ―Hizbullah,‖ sebenarnya kita sudah berkenalan,‖ kata Idham Chalid padaku, ―cuma ketika itu memang tidak banyak waktu karena kita sedang menghadapi Jepang mendekati saat sekaratnya,‖ tambahnya.
―Ketika zaman Jepang, Saudara di mana?‖ aku menanya.
―Saya ditugaskan oleh KH A. Wahid Hasyim menjadi juru bahasa Soomubucho, kalau pembesar Jepang ini harus bicara di muka para alim ulama atau tokoh-tokoh Islam lainnya,‖ jawab Idham Chalid. Aku perhatikan wajahnya, rasa-rasanya memang pernah berkenalan di zaman Jepang. Cuma ketika itu ia masih bercelana pendek dengan seragam Seinendan. Ia memang terampil sekali menyalin pidato pembesar Jepang itu ke dalam bahasa Indonesia, sampai-sampai Jepang mengira pidatonya belum disalin semuanya. Ia berbicara dalam bahasa Jepang dengan cepat dan seperti aksen Jepang juga, manakala harus berdialog dengan pembesar Jepang itu.
Di pesawat terbang, K.H.A. Wahid Hasyim membisiki aku, agar selalu dekat dengan Idham Chalid, ceritakan hal-hal yang bertalian dengan Nahdhatul Ulama, pesannya. K.H.A. Wahid Hasyim ingin menjadikan Idham Chalid seorang tokoh dalam Nahdhatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama.

167
 
Idham Chalid menceritakan padaku, sebenarnya ia telah menjadi Ansor di Amuntai, Kalimantan. Lama menjadi guru dalam pesantren di sana, karena ia memang dididik dalam lingkungan pesantren ayahandanya di hulu sungai Kalimantan. Berita tentang ―Pondok Modern‖ Gontor, sangat menarik perhatiannya, lalu pergilah ia ke Gontor, belajar beberapa waktu tidak lama, lalu sekaligus menjadi salah seorang ustazd Gontor. Ketika itu ia menjadi anggota Parlemen Indonesia (Kesatuan) sebagai unsur yang mewakili Kalimantan
Pemuda-pemuda lepasan pesantren sering berjumpa denganku di Jakarta. Di antara mereka: KH. Muhammad Ilyas dari Pesantren Tebuireng, menjadi anggota Parlemen Kesatuan, di samping Idham Chalid. Sahabatku sejak di Ansor, A. Achsien, santri dan Ansor Kudus, juga anggota Parlemen Negara Kesatuan. Ditambah lagi dengan A.S. Bachmid berasal dari Maluku juga anggota Parlemen. Kecuali itu masih dua orang lagi, masing- masing R. Ali Prataningkusumo dan R.S. Suryaningprojo, keduanya dari kalangan pamong praja. Dengan Zainul Arifin dan KH.A. Wahab Chasbullah sebagai anggota Parlemen, maka tugas pesantren diperjuangkan lewat Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada permulaan tahun 1954, aku ditetapkan menjadi anggota parlemen menggantikan Zainul Arifin yang menjadi wakil Perdana Menteri. Maka sehari-hari berada di ibu kota buatku suatu peningkatan dari tugas-tugas kami sejak dari pesantren, lalu dunia pendidikan pada umumnya, meningkat lagi dalam perjuangan bersenjata dalam perang kemerdekaan, baik ketika menghadapi ancaman musuh-musuh Republik yang mendarat kemari dengan berlindung di bawah bendera Kaum Sekutu, maupun ketika perang gerilya menghadapi Belanda yang menghancurkan Republik yang amat kita cintai ini.
Jika kami ―meninggalkan‖ dunia pesantren, soalnya karena panggilan perjuangan, karena kami amat mencintai tanah air ini, amat mencintai kemerdekaan ini. Dengan kemerdekaan ini, kami akan memperjuangkan agar rakyat kita senantiasa memelihara persatuan dan persaudaraan, agar mereka menikmati hasil kemerdekaan ini, hidup dalam naungan keadilan, mengecap kekayaan tanah air yang melimpah ruah, dan... senantiasa sujud ke Hadirat Dahi, berterima kasih atas segala limpahan rahmat-Nya. Tetapi kami menyadari bahwa kami dididik dan dibesarkan oleh pesantren, sebab itu, cita-cita pesantren agar rakyat penduduk negeri ini memandang bahwa taqwa merupakan sesuatu yang harus dimiliki sebelum yang lain-lain, tetap akan kami ratakan dengan cara yang sebaik-baiknya. Sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan ―meninggalkan‖ pesantren, ini cuma tugas tambahan setelah pesantren.
Kami berdelapan menjadi anggota parlemen. Di antara kami, A.S. Bachmidlah yang telah memiliki mobil. Mobil ―Peugeout‖ yang tahun pembikinannya sudah tua, dan sering mogok di jalanan.
―Hayo, mari, siapa mau ikut?‖ seru KH. Muhammad Ilyas berdiri di sebelah mobil Bachmid pada suatu hari ketika kami keluar dari gedung parlemen di Jalan Dr. Wahidin.
―Kami ikut numpang hingga ke Kwitang!‖ jawabku. Aku bersama Idham Chalid keluar dari gedung parlemen hendak pulang. Kami duduk di dalam mobil Bachmid sudah siap hendak menghidupkan mesin.
―Nantilah dulu!‖ perintah K.H. Muhammad Ilyas kepada Bachmid. Sementara itu ia masih berdiri di luar pintu mobil.
―Hayo lagi, siapa mau ikut?‖ teriak KH. Muhammad Byas. Ia mengajak Hasan Basri dan Abdul Mu‘iz yang baru keluar dari gedung parlemen.

168
 
―Sudahlah kita berangkat! Tunggu siapa lagi? Mobil begini kecil masih akan ditambah lagi penumpangnya!‖ teriakku kesal. Panas dalam mobil.
―Eee, biar tambah banyak yang naik tambah baik. Kalau mobil ini mogok di jalanan biar banyak yang mendorong,‖ jawab Kiai Ilyas seenaknya.
―Insya Allah tak akan mogok, percayalah!‖ Bachmid meyakinkan kami.
―Ya, siapa tahu! Mobil sudah nenek-nenek begini!‖ Idham Chalid menyela.
―Jangan kira! Dulu ini mobil baru,‖ Bachmid membanggakan mobilnya.
―Tentu saja baru. Memangnya pabrik membuat mobil tua?‖ aku menyela.
Maka berangkatlah kami berempat dalam mobil Bachmid. Jika suara mesin agak lirih, Kiai Ilyas teriak: ―Dorong...!‖ Bachmid menancap pedal gas pelan-pelan, jalannya mesin kembali stabil. Alhamdulillah, sampai juga ke tempat tujuan tak kurang suatu apa. Kami lega, bebas dari ancaman mendorong mobil. Zaman itu, belum banyak orang-orang Republik memiliki mobil. Beberapa yang telah memiliki mobil, kebanyakan main dorong karena mobil sudah tua.
Suatu petang, Kiai Ilyas dan aku mengunjungi rumah Idham Chalid.
―Sudah selesaikah perundingan dengan PKI?‖ bertanya Kiai Ilyas.
―Baru saja selesai,‖ jawab Idham Chalid sambil mempersilakan kami duduk.
Ketika itu menjelang kampanye pemilihan umum tahun 1955. PKI membuat gara-gara. PKI membuat tanda gambar dalam pemilihan umum palu-arit dengan dibubuhi kalimat PKI dan orang tak berpartai! Hal itu diprotes keras oleh Partai Nahdhatul Ulama. Karena protes ini, pemerintah mengadakan pertemuan segi empat: Menteri Dalam Negeri, Panitia Pemilihan Indonesia, Nahdhatul Ulama, dan PKI. Idham Chalid mewakili Nahdhatul Ulama dalam perundingan itu.
―Siapa-siapa yang hadir?‖ aku menanya.
―Mr. Sunaryo sebagai Menteri Dalam Negeri, S. Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan Indonesia, dan PKI yang diwakili oleh Aidit, Sudisman, dan Ir. Sakirman,‖ jawab Idham Chalid, ―lalu saya‖.
―Bagaimana jalannya perundingan?‖ Kiai Ilyas ganti bertanya.
―Mula-mula Menteri Dalam Negeri membuka perundingan dengan mengatakan bahwa setiap tanda gambar dalam pemilihan umum kecuali harus disepakati pemerintah, juga disepakati oleh seluruh partai. Berhubung Nahdhatul Ulama sangat berkeberatan atas tanda gambar PKI, maka pemerintah perlu mengadakan perundingan di antara pihak-pihak yang bersangkutan,‖ Idham Chalid menjelaskan.
―Saya diberi kesempatan untuk menjelaskan keberatan Nahdhatul Ulama,‖ Idham Chalid melanjutkan, ―saya katakan bahwa menurut pengetahuan Nahdhatul Ulama bahwa tanda gambar atau simbol PKI selama ini cuma palu-arit. Dengan penambahan kalimat ‗PKI dan orang tak berpartai‖ dipandang bahwa PKI hendak menjadikan begitu saja semua orang yang tak berpartai ke dalam golongannya tanpa dimintai persetujuan mereka. Ini merupakan usaha mengelabui mata rakyat!‖

169
 
―Sampai di sini, Aidit mengajukan protes berhubung saya menamakan PKI mengelabui mata rakyat. Tetapi protes Aidit saya tolak! Saya tetap menamakan mereka mengelabui mata rakyat.‖
―Sudisman bertanya, dari mana saya bisa mengambil kesimpulan mengelabui mata rakyat?‖ Idham Chalid meneruskan ceritanya, ―Saya jawab. Coba ambil saja satu misal. Di negeri kita masih banyak orang-orang yang tak berpartai, mereka anti komunis. Lalu mereka dengan begitu saja dimasukkan ke dalam golongan PKI. Apakah ini bukan mengelabui mata rakyat. Bukan saja mengelabui, bahkan memperkosa hak seseorang dengan sangat merugikan. Misal lain. Ada juga beberapa ulama tidak berpartai. Mereka tidak menjadi anggota Nahdhatul Ulama, juga tidak Masyumi, PSII, maupun Perti. Lalu oleh PKI hendak dimasukkan ke dalam golongannya. Padahal mereka haram memilih PKI, mereka anti komunis dan anti PKI.‖
―Aidit menjelaskan bahwa PKI tidak mengelabui mata rakyat. Tentang kepada partai mana seseorang akan memilih, itu tetap menjadi hak mereka. Tetapi saya katakan, ya, dengan membubuhi kata-kata dalam tanda gambar palu-arit dengan kalimat ―dan orang tak berpartai‖ itu saja sudah merupakan suatu propaganda untuk mengelabui mata rakyat,‖ Idham Chalid menerangkan.
―Aidit membujuk saya, katanya: bahwa ia tak keberatan kalau saja Nahdhatul Ulama juga menambah kata-kata dalam tanda gambarnya yang berbunyi: ―Nahdhatul Ulama dan semua orang Islam.‖ Bujukan Aidit saya tolak. Saya katakan kepadanya: ―Bagaimana saya harus melakukan sesuatu yang saya sangat berkeberatan orang lain melakukannya? Kalau saya mengikuti pikiran Aidit, maka saya termasuk orang yang sangat licik dan akan terkena oleh kata peribahasa: Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Saya tak mau melakukannya. Pokoknya, Nahdhatul Ulama meminta keras kepada pemerintah agar kata- kata ‗PKI dan orang tak berpartai‖ dilenyapkan!‖
―Maka selesailah perundingan yang memakan waktu dua kali pertemuan. Menteri Dalam Negeri memerintahkan PKI harus menghapus kalimat ―PKI dan orang tak berpartai‖ dari tanda gambarnya untuk pemilihan umum.‖ Demikian Idham Chalid mengakhiri laporannya. Kami memberi selamat kepadanya atas kemenangannya menghadapi gembong-gembong PKI.
Hampir setiap malam kami mengadakan dakwah jika tak ada sidang parlemen. Diam di Ibu Kota Jakarta dengan macam-macam tugas tanpa memiliki mobil memang susah juga. Harus mempunyai mobil walau tua sekalipun.
Suatu hari Idham Chalid datang ke parlemen dengan mobilnya merk ―Hilman‖ berwarna hijau tua. Tentu saja mobil bekas. Ia membisikkan padaku bahwa ia membawa mobil, sambil menunjuk ke arah mobil kecil yang diparkir di bawah pohon beringin di depan gedung parlemen.
―Dapat dari mana?‖ tanyaku.
―Ada kiriman uang dari Kalimantan. Saya beli mobil seharga Rp18.000,-,‖ jawabnya.
―Kok mahal begitu?‖ tanggapanku.
―Apa mahal! Lihat dulu barangnya. Mesinnya masih tokcerl‖ jawabnya.


170
 
Kiai Ilyas keluar dari sidang pariemen dengan A Achsien. Aku beri tahukan kepadanya bahwa Idham Chalid membawa mobil ―baru.‖ Ia kepingin juga mencoba hendak menebeng sampai ke rumahnya. A. Achsien sudah mempunyai mobil sendiri.
Idham Chalid lalu duduk di kursi kemudi, ia hendak mengemudikan sendiri. Batinku bertanya, kapan belajar mengemudi? Karena percaya bahwa Idham Chalid sudah pandai mengemudi mobil, aku diam saja.
Mobil keluar dari halaman parlemen menuju arah jalan Pejambon. Jalannya mobil tidak lurus, tidak stabil. Pedal rem sering diinjak tiba-tiba, lalu tancap gas tak kepalang tanggung. Kiai Ilyas melirik padaku, dalam hatinya barangkali mengatakan: kok begini nyetimya? Tapi aku tak membalas lirikannya. Aku cuma diam saja. Sejak tadi aku membaca-baca shalawat. Benar juga, nyaris menyenggol pengendara sepeda di dekat Stasiun Gambir. Kiai Ilyas teriak keras!
―Ya akhir, kalau ada orang jual rokok di depan itu, berhenti!‖ seru Kiai Ilyas ditujukan kepada Idham Chalid.
Di depan penjual rokok, Idham Chalid menghentikan mobilnya, agak keterusan. Kiai Ilyas turun dari mobil. Aku kira ia akan membeli rokok, kiranya ia terus berjalan di atas trotoar.
―Mengapa? Hayo naiklah!‖ ajakku kepadanya.
―Terima kasih! Jalan kaki lebih aman...!‖ sambil mempercepat jalannya menuju arah Prapatan.
―Penakut!‖ teriak Idham Chalid. Aku pindah tempat di sampingnya. Mesin lalu dihidupkan, mobil mulai jalan lagi. Sepanjang jalan aku biarkan ia mengemudikan mobilnya sekehendak hatinyalah. Aku diam saja, memperbanyak membaca shalawat. Alhamdulillah, Tuhan Mahabesar! Akhirnya, sampai juga ke tempat tujuan dengan selamat, walaupun tidak begitu sehat. Kepalaku pening!
Demikianlah sekelumit kisah orang-orang pesantren dalam kehidupan ibu kota. Mereka adalah sahabat-sahabatku, tetapi juga guru-guruku. Namun mereka juga manusia dengan segala sifat-sifatnya, dengan segala kekurangannya, di samping kelebihannya.
Aku kenangkan orang-orang pesantren yang telah mendahului kami. Mereka telah bekerja dengan caranya untuk memajukan bangsanya, untuk mengharumkan nama tanah airnya. Mereka adalah guru-guruku dan sahabat-sahabatku. Mereka telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengabdi dan berkhidmah. Mereka tak tahu apakah pahit getirnya, air matanya yang tertumpah, dan nyawanya yang melayang itu suatu pengorbanan? Begitu ikhlas mereka memberikan segala-galanya untuk kemajuan bangsanya dan tanah airnya, tanpa pamrih apa pun, kecuali atas keinsyafan bahwa semua itu cuma suatu keharusan hidup, suatu kewajiban semata-mata. Pada saat bangsanya mengecap kenikmatan kemerdekaan, mereka tak lagi berada di tengah-tengahnya. Mereka telah dipanggil oleh Allah
Zat Yang Maha Kasih Sayang, untuk menikmati kebahagiaan yang abadi di sisi-Nya.
Aku renungkan juga orang-orang pesantren yang kini masih hidup. Mereka adalah sahabat- sahabatku, tetapi juga guru-guruku. Mereka lahir dari pesantren, dididik, dan dibesarkan oleh pesantren. Menjadi guru, mubaligh, dan pemimpin atas nama pesantren. Berjuang memanggul senjata di saat-saat paling sulit, menghadapi musuh-musuh Republik dan
171
 
musuh-musuh pesantren. Dan..., lalu menjadi orang-orang politik pun dengan bernafaskan pesantren pula.
Jabatan-jabatan yang mereka pangku pada saat-saat yang akhir; apakah menjadi anggota parlemen, atau menteri, atau duta besar sekalipun tak pernah dibayangkan sebelumnya, sejak semula bermimpi pun sama sekali tidak. Keinginan dan cita-citanya hanyalah siang dan malam cuma hendak mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta ‗ala, dan berkhidmah kepada tanah air dan bangsa seusai dengan ajaran pesantren.
Dari pesantren mereka datang, dan untuk cita-cita pesantren mereka berjuang. Insya Allah![alkhoirot.org]

LihatTutupKomentar