Mukaddimah Kitab Nuruzh Zhalam

Mukaddimah Kitab Nuruzh Zhalam Buku ini adalah buku syarah yang bagus dan penjelasan yang baik dari nadzom-nadzom yang berjudul Aqidatu al-Awam

Mukaddimah Kitab Nuruzh Zhalam

Nama kitab: Terjemah Nuruzh Zhalam Syarah Aqidatul Awam, Nurudz Dholam, Nur al-Zholam
Nama kitab asal: Nur adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awam
Nama lain kitab kuning: Hasyiyah al-Dasuqi
Ejaan lain:  Noor -ul-Zalaam, Nuuruzh Zhalaam, Nur adz-Dzolam, Nuruzh Zholam, Nuruzh Zhalam, Nurud Dhalam
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Nama yang dikenal di Arab: محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Penerjemah:
Bidang studi:Tauhid, Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy'ariyah, ilmu kalam, ushuluddin.

Daftar Isi 

  1. Mukaddimah Penerjemah
  2. Pendahuluan
    1. Latar Belakang Nuruzh Zhalam
    2. Latar Belakang Aqidatul Awam
  3. Pembahasan
    1. Nadzam Pertama
    2. Nadzam Kedua
  4. Kembali ke Terjemah Nurudz Dholam

1. Mukaddimah Penerjemah   

Latar Belakang Penyusunan Nur adz-Dzolam

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Ini adalah buku yang berjudul Cahaya Kegelapan, yaitu buku terjemahan dari kitab Nur adz-Dzolam karya Syeh Nawawi al-Banteni, sebuah kitab syarah dari kitab Aqidatu al-Awam yang menjelaskan tentang akidah-akidah yang wajib diketahui bagi setiap mukallaf yang beragama Islam, baligh, dan berakal, karya Syeh Ahmad Marzuki. Semoga Allah merahmati mereka dan memberikan manfaat kepada kami dengan keberkahan mereka.

Sebagian santriwati, semoga Allah mengampuninya, yang tengah belajar di Pondok Pesantren takhossus menghafal al-Quran meminta kami  untuk menerjemahkan kitab Aqidatu al-Awam beserta penjelasan-penjelasannya. Akhirnya kami memilih salah satu karya ulama Nusantara, yaitu Syeh Nawawi al- Banteni, yang berjudul Nur ad-Dzolam untuk diterjemahkan sebagai bentuk jawaban permintaan santriwati tersebut, meskipun kami bukanlah ahli dalam bidang penerjemahan ini.

Hanya kepada Allah, saya memohon agar menjadikan buku terjemahan Cahaya Kegelapan ini benar-benar sebagai amalan yang murni ikhlas  karena Dzat-Nya Yang Mulia dengan perantara derajat dan kebenaran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, dan agar menjadikannya bermanfaat bagi santriwati tersebut dan seluruh umat muslim yang mempelajarinya dengan kemanfaatan yang menyeluruh sebagaimana kemanfaatan yang diberikan oleh- Nya pada  kitab  Nur adz-Dzolam dan Aqidatu  al-Awam. Kami menghadiahkan pahala penerjemahan buku ini untuk guru-guru kami, orang tua kami, kakak dan adik kami, santriwati tersebut, para santri Ittihadul Asna, dan seluruh orang- orang muslimin dan muslimat.

Akhirnya, kami memohon kepada Allah semoga Dia mengampuni dan memaafkan kesalahan kami dalam penerjemahan buku ini, baik dari segi pemahaman maupun penyusunan. Tidak ada kesalahan dan kekhilafan kecuali harapannya adalah dimaafkan dan diampuni. Oleh karena itu, kami meminta

siapapun yang membaca buku ini menutupi dan membenarkan kesalahan dan kekhilafan kami yang ditemukan dalam buku ini. Rahimakumullah wa jazaakum ahsanal jazaa.

Salatiga, Selasa 25 April 2017

Penerjemah
Muhammad Ihsan bin Nuruddin Zuhri

PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang Penyusunan Nur adz-Dzolam
 
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Segala pujian adalah milik Allah yang telah memberikan kenikmatan pengetahuan kepada hamba-hamba- Nya dan yang telah memuliakan mereka dengan nikmat melihat-Nya kelak     di     surga     sebagai     bentuk tambahan    anugerah    dari-Nya.    

 

Saya bersaksi   bahwa   sesungguhnya   tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha merajai dan Maha mengetahui,  dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya pemimpin kita, Muhammad, adalah hamba dan rasul-Nya yang memiliki derajat paling tinggi.
Tambahan rahmat dan salaam semoga selalu tercurahkan atas Muhammad yang telah diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Andaikan ia tidak diutus niscaya keadaan mereka akan lebih buruk daripada binatang. Dan rahmat dan salam semoga selalu tercurahkan atas keluarganya, yaitu orang-orang yang baik dan mulia, dan atas para sahabatnya yang bagaikan lampu penerang kegelapan, dan atas orang- orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari dimana seluruh anggota tubuh akan berkata dan lisan akan bisu dengan [memintakan] tambahan rahmat dan salaam yang tetap tercurah selama waktu dan masa berlangsung.
(Amma   Ba’du)   Berkatalah  orang yang  sangat  mengharapkan  ampunan Allah   Yang   Maha   Mulia   dan   Maha Perkasa  karena  banyaknya  dosa  dan kesalahan, yaitu ia adalah Muhammad Nawawi yang bermadzhab Syafi’i:
Buku ini adalah buku syarah yang bagus dan perluasan penjelasan yang baik dari nadzom-nadzom yang berjudul Aqidatu al-Awam yang disusun oleh  Syeh yang alim, Ahmad  al-Marzuki  al-Maliki.  Saya memberi  judul  buku  ini  Nur  adz- Dzolam ‘Ala ‘Aqidah al-Awaam. Tujuan saya menulis buku syarah ini adalah agar memberikan manfaat kepadaku dan orang-orang pemula sepertiku meskipun sebenarnya saya bukanlah orang yang ahli dalam menyusunnya. Semoga Allah menjadkan buku syarah ini bermanfaat bagi mereka yang mempelajarinya.
 
2.    Latar Belakang Aqidatul Awam

Ketahuilah!  Sesungguhnya  asal- usul    penyusunan    nadzom-nadzom Aqidatul Awam adalah bahwa Syeh Ahmad al-Marzuki memimpikan Rasulullah shollallahu  ‘alaihi  wa sallama  saat tidur  pada  malam Jumat bulan  Rojab  tanggal  6  (enam)  tahun 1258 H. Dalam mimpinya, para sahabat
Rasulullah shollallahu  ‘alaihi  wa sallama berdiri di sekitar Rasulullah. Rasulullah berkata  kepada  Syeh Ahmad, “Bacalah nadzom-nadzom ilmu tauhid yang barang siapa menghafalnya maka ia masuk surga dan memperoleh kebaikan yang dijanjikan oleh al-Quran dan al-Hadis!”

Syeh Ahmad bertanya, “Nadzom- nadzom yang bagaimana itu? Wahai Rasulullah!”
Para sahabat berkata, “Dengarkan apa yang Rasulullah akan katakan!” Kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata, “Ucapkan:
Kemudian Syeh  Ahmad  mengatakan, ‘واﻟﺮﺣﻤﻦ ﷲ ﺑﺎﺳﻢ أﺑﺪأ’ (sampai akhir nadzom, ‘ ﻛﻼم ﻓﯿﮭﺎ ** واﻟﻜﻠﯿﻢ اﻟﺨﻠﯿﻞ وﺻﺤﻒ اﻟﻌﻠﯿﻢ اﻟﺤﻜﻢ’ sambil didengarkan oleh Rasulullah shollallahu  ‘alaihi  wa sallama).”

Ketika Syeh Ahmad telah sadar dari tidurnya maka ia membaca nadzom- nadzom yang ia mimpikan. Ia langsung menghafalnya dari awal sampai akhir. Kemudian ketika pada waktu sahur malam Jumat tanggal 28 bulan Dzulqo’dah, ia  memimpikan lagi Rasulullah shollallahu  ‘alaihi  wa sallama.  Rasulullah  shollallahu  ‘alaihi wa    sallama    berkata    kepadanya, “Bacakan  nadzom-nadzom  yang  telah kamu hafal!” Kemudian Syeh Ahmad membacakan nadzom-nadzom tersebut dari awal sampai akhir. Dalam mimpinya ia membacakannya sambil berdiri di depan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dan di depan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum yang berdiri di sekitar Rasulullah sambil mereka mengucapkan ‘Amin’ setiap kali Syeh Ahmad membacakan  satu bait dari nadzom-nadzom. Ketika Syeh Ahmad telah selesai membacakannya maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata kepadanya, “Semoga Allah memberimu taufik dengan perantara nadzom-nadzom yang telah Dia ridhoi. Semoga Dia menerima amalmu. Semoga Dia memberkahimu dan orang-orang mukmin. Semoga Dia memberikan manfaat kepada mereka dengan nadzom-nadzom itu. Aamin.”
 
Setelah itu, Syeh Ahmad memperlihatkan nadzom-nadzom itu kepada orang-orang. Mereka pun memintanya. Kemudian ia memenuhi permintaan    mereka    dan menambahinya dengan nadzom lain dari,

PEMBAHASAN
 
1. Nadzom Pertama
Syeh    Ahmad    al-Marzuki, Radhiyallahu ‘Anhu, berkata:

أَبْـدَأُ بِـاسْمِ اللهِ وَالرَّحْـمَنِ * وَبِالرَّحِـيْـمِ دَائـِمِ اْلإِحْـسَانِ

 
[1] Saya mengawali [menyusun nadzom-nadzom ini] dengan [meminta pertolongan] kepada Allah Yang Maha Pengasih **

dan dengan-Nya Yang Maha Penyayang, yang selalu memberikan nikmat tanpa henti.
 
Arti maksud nadzom di atas adalah “Saya memulai penyusunan nadzom- nadzom ini seraya meminta pertolongan kepada Tuhan yang bernama Allah.” [Demikianlah tafsiran lafadz ‘ﷲ ﺑﺎﺳﻢ’], seperti yang ditafsirkan oleh al-Bajuri. Ia menyatakan bahwa hukum membaca Basmalah dalam bentuk nadzom adalah Khilafu al-Aula.

a.    Perbedaan    maksud    kata ‘    nama’

Ketahuilah! Sesungguhnya nama ‘Allah’ itu adalah hakikat Dzat yang diberi nama dengannya. Pernyataan ini adalah pendapat yang dipedomani oleh para ulama Asya’iroh. Allah berfirman, “Sucikanlah (bertasbilah) nama Tuhanmu …” (QS. Al-A’la: 1) Dikatakan pula, “Tidaklah kalian menyembah selain Allah kecuali hanyalah nama- nama.” Pengertian dzohir  dari keduanya adalah bahwa bertasbih dan menyembah tersebut adalah kepada dzat-dzat.

Ada yang mengatakan, “Nama ‘Allah’ bukanlah hakikat Dzat yang diberi nama dengan-Nya,” karena ada firman-Nya, “Dia memiliki nama-nama yang terbaik.” (QS. Al-Isrok: 110) Mengenai perkataan di atas, perlu adanya pembedaan antara sesuatu dan sesuatu yang dimiliki oleh sesuatu itu, dan nama-nama beserta hakikat dzat nama-nama itu. Andaikan nama adalah hakikat dzat yang dinamai dengannya maka mulut orang yang mengatakan sesuatu yang bernama ‘api’ pastinya akan terbakar karena nama ‘api’ itu adalah dzat api itu sendiri, dan contoh lain-lainnya, yaitu hal-hal yang berbahaya.1
Tahkik atau keputusan ketetapan mengenai perbedaan di atas adalah bahwa apabila yang dikehendaki dari ‘اﻻﺳﻢ’ adalah lafadznya maka sudah pasti ia bukanlah hakikat dzat yang dinamai dan apabila yang dikehendaki dari ‘اﻻﺳﻢ’ adalah apa yang dipahami darinya maka ia adalah hakikat dzat yang dinamai.

b.    Makna   kata   ‘   ’,    ‘    ’   dan ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’

Syeh asy-Syanwani mengatakan, “As-Suyuti mengatakan bahwa makna ‘ﷲ’ adalah Dzat yang awal wujud-Nya, yang agung Dzat dan sifat-sifat-Nya, dan yang merata luas kebaikan-Nya. Makna ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ adalah Dzat yang besar pemberian kebaikan-Nya dan kekal pemberian anugerah-Nya.  Makna “اﻟﺮﺣﯿﻢ” adalah Dzat yang memenuhi kebutuhan dan yang tidak membebani di luar kemampuan.”
 
1 Apabila ‘nama’ adalah hakikat dzat maka orang yang mengatakan sesuatu yang bernama ‘pisau’ pasti akan teriris karena ‘nama pisau’ adalah dzat benda pisau itu.
 
Ahmad as-Showi mengatakan, “Lafadz ‘ﷲ’ adalah nama yang mencakup karena seluruh nama-nama masuk dalam cakupannya. Lafadz ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ berarti yang memberi seluruh kenikmatan, baik kenikmatan duniawi, ukhrowi, dzohiriah, atau batiniah. [Istilah kenikmatan dari Allah ada yang disebut dengan nikmat lembut atau daqoiq dan nikmat besar atau jalaail.]
Kenikmatan    yang    lembut    dari-Nya adalah   kenikmatan   yang   mencabang atau   berasal   dari   kenikmatan   yang besar, seperti nikmat  berupa tambahan dalam iman, ilmu, pengetahuan, taufik, kesehatan, pendengaran, dan penglihatan. [Allah memberi nikmat berupa ilmu disebut dengan nikmat yang besar. Allah memberi tambahan ilmu atau menjadikan ilmu bermanfaat disebut dengan nikmat yang lembut.]”

Syeh    Ahmad    al-Malawi mengatakan, “Lafadz ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ adalah lebih dalam artinya daripada lafadz ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’ karena memberikan tambahan pada bentuk lafadz pada salah satu dua
lafadz  yang  memiliki  akar  kata  dan jenis    yang    sama    menunjukkan tambahan   arti   karena   lafadz   ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ berarti [Allah] yang memberikan nikmat, yang hakiki, dan yang berlebihan dalam membagikan rahmat. Demikian ini tidak dimiliki oleh selain- Nya bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz “اﻟﺮﺣﻤﻦ” adalah sifat alam2 khusus bagi Allah.”

 
2  Pengertian ‘alam adalah isim atau kata benda yang membuat objek yang diberi nama dengannya menjadi khusus dan tertentu. Isim ‘alam dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1.    ‘Alam Ismi, yaitu kata benda nama yang bukan kun-yah dan laqob. Contoh: ‘َﺳﺎن ْﺣ إِ’, yaitu nama orang yang bernama Ihsan.
‘َطﺔ ْﯾ ِﺷ َﻣ ’, yaitu nama orang yang bernama Masyitoh.
 
2.    ‘Alam Kun-yah, yaitu kata benda nama yang diawali dengan ‘ٌب Contoh: ‘ھرﯾرة أﺑو’, ‘ﺑﻛر أﺑو’, ‘ﻛﻠﺛوم أم’, dan lain-lain.
 
أَ’ atau ‘ﱞم أُ’.
 
Ketika    lafadz    ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’
menunjukkan bahwa Allah adalah yang memberikan nikmat-nikmat yang besar dan  nikmat-nikmat  yang  dasar  maka Allah menyebutkan lafadz ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’ dalam
 

Basmalah agar mencakup nikmat- nikmat yang lembut agar lafadz ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’ seolah-olah seperti penyempurnaan dan lebih menunjukkan berlebih- lebihan [dalam memberikan nikmat].

c.    Macam-macam Nikmat

Adapun nikmat-nikmat [yang terkandung dalam lafadz ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ dan ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’] terkadang dimaksudkan pada nikmat-nikmat dari segi hitungan. Oleh karena  itu  ada   yang   mengatakan, ‘اﻟﺪﻧﯿﺎ رﺣﻤﻦ ﯾﺎ’ karena Allah memberikan nikmat kepada orang mukmin dan juga  karena  Allah
 
tidak memberikan nikmat kepada orang kafir. Dan terkadang dimaksudkan pada nikmat-nikmat dari segi sifat. Oleh karena itu ada yang mengatakan,
‘اﻟﺪﻧﯿﺎ ورﺣﯿﻢ واﻵﺧﺮة اﻟﺪﻧﯿﺎ رﺣﻤﻦ ﯾﺎ’ karena nikmat-nikmat akhirat adalah nikmat yang agung. Adapun nikmat dunia maka ada yang agung dan juga remeh.
Al-Baidhowi berkata, “Nikmat- nikmat Allah, meskipun tidak dapat dihitung, dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu nikmat dunia dan nikmat akhirat. Adapun Nikmat Dunia dibagi menjadi dua macam, yaitu nikmat dunia Wahbi dan nikmat dunia Kasbi.
 
3.    ‘Alam Laqob, yaitu kata benda nama yang menunjukkan pengertian memuji atau mencela (nama julukan).
Contoh:
 
Laqob yang memuji ‘ْﯾن ﱢد اﻟ ُب
 
َﮭﺎ ِﺷ ’ yang berarti bintang agama karena orang yang
 
memiliki julukan ini mungkin orang yang sangat alim dalam bidang agama.
 
Laqob  yang  mencela  ‘َﻗﺔ ﱠﻧﺎ اﻟ  ُف
 
ْﻧ أَ’  yang  berarti  hidung  unta  karena  orang  yang
 
memiliki julukan ini mungkin memiliki hidungnya mirip hidung unta.
 
Nikmat dunia Wahbi  dibagi  lagi menjadi dua, yaitu:

1.    Nikmat dunia Wahbi Ruhani, seperti nikmat ditiupnya ruh ke dalam diri hamba, diunggulkannya hamba dengan akal, dan nikmat- nikmat kekuatan akal, seperti nikmat memahami, berfikir, dan berucap.
2.    Nikmat dunia Wahbi Jasmani, seperti nikmat terciptanya badan, kekuatan-kekuatan    yang terkandung dalam badan, keadaan-keadaan ‘Aridhoh3 badan, seperti sehat, dan kesempurnaan anggota-anggota tubuh (tidak ada yang cacatl

Nikmat dunia Kasbi adalah seperti nikmat membersihkan diri dari kotoran-kotoran hati dan menghiasi diri dengan akhlak-akhlak yang diridhoi, dan menghiasi badan dengan keadaan-keadaan tabiat watak dan keadaan-keadaan badaniah yang dianggap baik [menurut akal], dan diperolehnya pangkat dan harta.

Nikmat Akhirat adalah nikmat berupa bahwa hamba diampuni dari kesalahan-kesalahan, diridhoi, dan ditempatkan di surga tertinggi bersama para malaikat yang selalu mendekatkan diri kepada Allah selama-lamanya.

d.    I’rob Nadzom

Perkataan    Syeh    Ahmad    al- Marzuki, “اﻹﺣﺴﺎن داﺋﻢ” yang berarti yang
 
 
3 Keadaan Aridhoh adalah keadaan dimana terkadang muncul dan terkadang  hilang, seperti terkadang muncul keadaan sehat dan terkadang keadaan sehat hilang (sakit), atau terkadang muncul keadaan kenyang dan terkadang keadaan rasa kenyang hilang (lapar).
 
senantiasa memberi nikmat tanpa henti
adalah pelengkap bait nadzom.

2.    Nadzom Kedua

 فَالْحَـمْـدُ ِللهِ الْـقَدِيْمِ اْلأَوَّلِ * اَلآخِـرِ الْبَـاقـِيْ بِلاَ تَحَـوُّلِ

[2] Segala pujian adalah milik Allah Yang Al-Qodim, Al-Awwal. Al-Akhir,    dan    Al-Baqi    tanpa mengalami perubahan.
 
Arti maksud nadzom di atas adalah, “Kemudian saya memuji Allah atas nikmat penyusunan nadzom- nadzom    ini    disertai    rasa pengagunganku kepada-Nya. Dan saya mengakui dan meyakini bahwa segala pujian adalah tetap bagi-Nya.”
Syeh Ahmad al-Marzuki mengawali nadzom-nadzomnya dengan berhamdalah atau memuji Allah karena adanya hak yang wajib ia lakukan, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang mana penyusunan nadzom-nadzom ini juga termasuk salah satu hasil pengaruh dari nikmat-nikmat tersebut.

a.    Pengertian  ‘    ’   atau   Memuji Menurut Bahasa

Lafadz “اﻟﺣﻣد” menurut Bahasa Arab berarti memuji dengan lisan dengan pujian yang baik atas kebaikan ikhtiari4    karena    bertujuan
 
4 Kebaikan ikhtiari adalah kebaikan yang dihasilkan dari usaha, bukan bawaan  lahir, seperti ketika Zaid memberikan uang kepada Umar, kemudian Umar memuji Zaid dengan berkata, “Zaid adalah orang yang dermawan.” Berbeda dengan kebaikan dhoruri, yaitu kebaikan yang sudah dihasilkan karena bawaan lahir [pemberian Allah], seperti ketika Zaid adalah orang yang tampan, kemudian Umar memuji Zaid dengan  berkata,  “Zaid adalah orang yang tampan.” Artinya kebaikan ketampanan adalah kebaikan dhoruri. (Penerjemah)
 
mengagungkan, baik memuji karena sebagai bandingan atau timbal balik atas nikmat, atau bukan.

Contoh pertama, yaitu pujian yang sebagai timbal balik atas nikmat, adalah ketika Zaid mendermakan sesuatu untukmu. Kemudian kamu berkata, “Zaid adalah orang yang dermawan.” Perkataanmu ini adalah pujian atas dasar sebagai timbal balik atas nikmat yang kamu peroleh.

Contoh kedua, yaitu pujian yang bukan sebagai timbal balik atas nikmat, adalah ketika kamu mendapati Zaid sedang sholat dengan baik. Kemudian kamu berkata, “Zaid adalah laki-laki yang sholeh.” Perkataanmu ini adalah pujian atas dasar bukan karena timbal balik dari nikmat yang kamu peroleh.

b.    Rukun-rukun dan Macam-macam Memuji

Memuji memiliki 4 (empat) rukun, yaitu:
1.    Haamid, yaitu pihak yang memuji.
2.    Mahmuud, yaitu pihak yang dipuji.
3.    Mahmuud Bihi, yaitu kandungan arti dari suatu pernyataan pujian, seperti    kandungan    arti ‘menetapkan sifat berilmu’ dari pernyataan pujian, “Zaid adalah orang yang berilmu,” atau kandungan arti ‘menetapkan sifat kesalihan’ dari pernyataan pujian, “Zaid adalah orang yang salih.”
4.    Mahmuud ‘Alaih, yaitu tujuan memuji. Tujuan memuji adalah karena memuliakan. Berbeda dengan memuji atas dasar tujuan menghina/merendahkan    atau bersikap sombong. Oleh karena itu dalam pengertian memuji kami menambahkan pernyataan, karena bertujuan mengagungkan.

Pujian  dibagi  menjadi  4  (empat), yaitu:
1.    Pujian dari Yang qodim kepada Yang qodim. Pujian ini adalah pujian Allah kepada Dzat-Nya sendiri, seperti Firman-Nya, “Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS. Al- Anfaal: 40)
2.    Pujian pihak Yang qodim kepada yang haadis, seperti Firman-Nya yang memuji Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Sesungguhnya kamu menetapi budi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qolam: 4)
3.    Pujian dari pihak yang haadis kepada Yang qodiim, seperti perkataan Nabi Isa ‘alaihi  as- salaam yang memuji Allah, “Engkau mengetahui segala sesuatu yang ada di dalam hatiku sedangkan aku tidak mengetahui apapun    dalam    Dzat-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang mengetahui segala sesuatu yang samar.”
4.    Pujian dari pihak yang haadis kepada yang haadis, seperti sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama yang memuji Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Tidak ada matahari terbit dan terbenam setelahku yang dialami oleh seorang laki-laki yang lebih utama daripada Abu Bakar as- Shiddiq.”

 
c.    Pengertian  ‘    ’   atau   Memuji Menurut Istilah

Adapun ‘اﻟﺣﻣد’ atau memuji menurut istilah berarti perbuatan yang menunjukkan sikap mengagungkan pihak yang memberi  nikmat karena pihak tersebut selaku sebagai pihak yang memberi nikmat kepada pihak yang memuji, atau kepada selainnya, seperti memberi nikmat kepada anaknya, istrinya, baik sikap pengagungan tersebut dilakukan dengan perkataan lisan, atau kecintaan dengan hati, atau perbuatan oleh anggota tubuh.
 

d.    Pengertian ‘    ’ atau bersyukur

Pengertian    ‘ْﻛر ُﺷ اﻟ’        atau    bersyukur menurut  bahasa  adalah  sama  dengan pengertian ‘اﻟﺣﻣد’ atau memuji menurut istilah   tetapi   sedikit   berbeda,   yaitu bahwa    pengertian    syukur    menurut bahasa        adalah        perbuatan        yang menunjukkan        sikap        mengagungkan kepada  pihak  yang  memberi  nikmat karena  pihak  tersebut  selaku  sebagai pihak  yang  memberi  nikmat  kepada pihak   yang   bersyukur.   atau   kepada selainnya,    seperti    kepada    anaknya, istrinya,        baik        sikap        pengagungan  tersebut dilakukan  dengan perkataan lisan,   atau   cinta    dengan   hati,   atau perbuatan        oleh      anggota        tubuh. Sedangkan    ‘اﻟﺷﻛر’        atau     bersyukur menurut  istilah berarti  bahwa hamba menggunakan   seluruh    nikmat   yang telah  Allah  berikan   kepadanya,  baik nikmat    pendengaran      dan        lainnya, sesuai  dengan  tujuan nikmat tersebut diberikan.   Pengertian  ‘bersyukur’  ini dapat    digambarkan   dengan   contoh; orang    menggotong        jenazah    sambil berpikir-pikir tentang kekuasaan- kekuasaan Allah, sambil melihat arah depannya agar tidak menjatuhkan jenazah yang ia gotong, sambil berjalan menuju kuburan, sambil lisannya berdzikir        dan    telinganya mendengarkan suara-suara yang mengandung pahala, seperti suara perkataan yang mengandung arti memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran, demikian ini adalah contoh yang disebutkan oleh Syeh Ahmad al-Malawi. Namun, Syeh al- Barmawi berkata, “Apabila kamu berpendapat bahwa seluruh anggota tubuh tidak mungkin dapat melakukan ketaatan dalam satu waktu maka aku menjawab bahwa seluruh anggota tubuh yang melakukan ketaatan dalam satu waktu adalah hal yang mungkin terjadi dalam ibadah ihsan yang diperintahkan dalam keterangan hadis, yaitu kamu menyembah Allah seolah- olah kamu melihat-Nya serta kamu menghadirkan hati bahwa Dia melihatmu. Kemudian ketika seseorang telah beribadah ihsan seperti itu maka seluruh anggota tubuhnya dan anggota indrawinya melakukan  ketaatan kepada Allah [dalam satu waktu]. Seluruh anggota tubuh yang melakukan ketaatan dalam satu waktu tidak dapat digambarkan dalam ibadah kecuali dalam ibadah ihsan, seperti orang yang salah    memahaminya        [dengan memberikan contoh bahwa ketaatan seluruh anggota tubuh dapat dilakukan dalam satu waktu dalam bentuk ketaatan   yang   selain   dalam   ibadah ihsan].”
Ketahuilah    sesungguhnya penisbatan antara memuji dan bersyukur secara arti bahasa dan istilah ada enam, yaitu:
 
1.    Penisbatan antara memuji yang menurut arti istilah dan bersyukur yang menurut arti bahasa adalah penisbatan persamaan arti.
2.    Penisbatan antara memuji yang menurut arti bahasa dan memuji yang menurut istilah adalah penisbatan arti umum dan khusus dari satu segi, yaitu masing- masing dari keduanya memiliki implikasi yang sama (arti umum), yaitu memuji yang diekspresikan dengan lisan sebagai timbal balik atas perbuatan baik [dari pihak yang memberi nikmat]. Sedangkan di satu segi, masing-masing dari keduanya memiliki  perbedaan (arti khusus), yaitu bahwa memuji yang menurut bahasa hanya diekspresikan dengan pujian lisan yang bukan sebagai timbal balik atas perbuatan baik [dari yang memberi nikmat]5 dan memuji yang menurut istilah memiliki kekhususan dengan pujian yang hanya diekspresikan dengan perbuatan oleh anggota tubuh sebagai timbal balik atas pemberian [nikmat].
3.    Penisbatan memuji yang menurut arti bahasa memiliki keumuman arti, yaitu pujian dengan bahasa sebagai perbandingan atau timbal balik atas pemberian [nikmat] dan memiliki kekhususan pujian dengan kefasihan yang bukan sebagai perbandingan hal yang mubah. Sedangkan arti bersykur yang menurut bahasa memiliki arti     khusus,     yaitu     perbuatan
 
5 Karena memuji yang  menurut arti bahasa juga diucapkan  sebagai timbal balik atas musibah atau cobaan yang diterima oleh haamid atau orang yang memuji. (Syeh Nawawi al-Banteni, Madarijus Su’ud, hal 4)
 
dengan anggota tubuh sebagai perbandingan pemberian nikmat. Dengan demikian arti memuji yang menurut bahasa adalah lebih khusus tempat keluarnya, yaitu hanya lisan, dan lebih umum hubungannya, yaitu berhubungan dengan nikmat dan lainnya, dan arti memuji yang menurut istilah adalah    sebaliknya,        [yaitu berhubungan hanya dengan nikmat dan bisa dilakukan dengan lisan atau yang lainnya]. seperti arti bersyukur menurut bahasa karena    bentuk    pujiannya dilakukan dengan lisan, hati, dan anggota tubuh tetapi hanya sebagai perbandingan nikmat saja.
4.    Penisbatan antara bersyukur yang menurut arti istilah dan memuji yang menurut arti bahasa.
5.    Penisbatan antara bersyukur yang menurut arti istilah dan memuji yang menurut arti istilah.
6.    Penisbatan antara bersyukur yang menurut arti bahasa dan bersyukur yang menurut arti istilah.

Penisbatan yang ada dalam nomer [4], [5], dan [6] adalah penisbatan antara arti umum dan khusus, yaitu    semuanya    memiliki persamaan (arti umum) dalam implikasi, dan masing-masing berbeda (arti  khusus) dalam implikasi        lainnya.        Semua penisbatan nomer [4], [5], dan [6] tercakup dalam bersyukur yang menurut istilah karena yang paling khusus, seperti yang telah kamu ketahui tentang gambaran contohnya. Dengan demikian tempat keluar dari masing-masing
semuanya tidaklah sama dengan tempat keluar bersyukur yang menurut istilah karena dalam bersyukur yang menurut istilah harus ada penggunaan hamba terhadap seluruh nikmat dalam satu waktu. Sedangkan memuji yang menurut bahasa berbeda dari segi ia dilakukan dengan lisan yang bukan sebagai perbandingan atas perbuatan baik nikmat [dari pihak lain]. Memuji yang menurut arti istilah dan bersyukur yang menurut arti bahasa berbeda dari segi masing-masing keduanya dilakukan dengan mencintai melalui hati sebagai perbandingan atas perbuatan baik.

e.    Keutamaan-keutamaan ‘         ’

Termasuk keajaiban dari segi kecocokan adalah bahwa huruf-huruf lafadz  ‘    اﻟﺣﻣد ’ adalah 5 huruf dan lafadz ‘اﻟﺣﻣد’ dijadikan sebagai permulaan 5 Surat dalam al-Quran, yaitu:

1.    Surat al-Fatihah6, yaitu:
اَ ْﳊَ ْﻤ ُﺪ ﷲِ َر ﱢب اﻟَْﻌﺎﻟَِﻤ ْ َﲔ
2.    Surat al-An’am yang berbunyi,
 
6 Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ termasuk Surat al- Fatihah atau tidak? Imam Syafii, Imam Ahmad Hanbali, Abu Tsur, dan Abu Ubaid mengatakan bahwa ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ termasuk salah satu ayat dari Surat al-Fatihah.

Ulama yang berpendapat bahwa ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ termasuk Surat al-Fatihah maka ayat pertama dalam al-Fatihah adalah ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ dan ayat ke tujuh adalah
’.ﺻراط اﻟذﯾن أﻧﻌﻣت ﻋﻠﯾﮭم ﻏﯾر اﻟﻣﻐﺿوب ﻋﻠﯾﮭم وﻻ اﻟﺿﺎﻟﯾن‘
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ tidak termasuk ayat dari Surat al-Fatihah maka ayat pertama adalah ‘اﻟﻌﺎﻟﻣﯾن رب   اﻟﺣﻣد’ dan ayat ke tujuh adalah
‘اﻟﺿﺎﻟﯾن وﻻ ﻋﻠﯾﮭم اﻟﻣﻐﺿوب ﻏﯾر’. (Syeh Nawawi. Tafsir Munir. Hal, 2)


3.    Surat al-Kahfi, yaitu:
 

5.    Surat Malaikat (Fathir), yaitu:
 
Begitu  juga  lafadz  ‘    اﻟﺣﻣد ’  dijadikan sebagai   penutup   5   Surat   dalam   al- Quran, yaitu:
1.    Surat Bani Israil atau al-Isrok, yaitu:
2.    Surat an-Naml, yaitu:

3.    Surat as-Shoofat, yaitu:

4.    Surat az-Zumar, yaitu:
َوﻗِﻴ َﻞ ا ْﳊَ ْﻤ ُﺪ ﻟِﻠﱠِﻪ َر ﱢب اﻟَْﻌﺎﻟَ ِﻤ َﲔ
5.    Surat al-Jatsiah, yaitu:

Syeh Ahmad al-Malawi berkata, “Lafadz  ‘   اﻟﺣﻣد’ terdiri dari 8 huruf. Pintu surga ada 8 pintu. Barang siapa membaca  ‘    اﻟﺣﻣد’ dengan keikhlasan hati maka ia berhak masuk ke  dalam surga dari pintu mana saja yang ia diperkenankan memilihnya [sebgai bentuk memuliakannya]. Adapun ia akan masuk ke dalam surga melewati pintu yang telah diketahui oleh Allah kalau ia akan memasukinya melalui pintu tersebut.”

f.    I’rob Nadzom

Perkataan Syeh Ahmad Marzuki ‘اﻟﺦ  اﻷول  اﻟﻘدﯾم’  diberi  kejelasan  bahwa Syeh  Ahmad  al-Halimi  berkata,  “Arti ‘اﻟﻘدﯾم’ adalah bahwa Allah adalah Dzat yang   wujud   yang   wujud-Nya   tidak melalui permulaan dan Dia adalah Dzat yang  wujud  yang  tidak  akan  pernah sirna.” Lafadz ‘اﻷول’ berarti bahwa tidak ada permulaan bagi wujud Allah. lafadz ‘اﻵﺧر’ berarti bahwa wujud Allah tidak ada akhirnya. Lafadz ‘اﻟﺑﺎﻗﻰ’ berarti bahwa Allah adalah Dzat yang kekal dan tidak akan pernah sirna. Arti lafadz ‘ﺗﺣول ﺑﻼ’ adalah tanpa mengalami perubahan. Lafadz ‘ﺗﺣول’ merupakan tafsiran bagi lafadz ‘اﻟﺑﺎﻗﻰ’ karena arti ‘ﺗﺣول’ adalah perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain.
 
[Faedah] Ketahuilah sesungguhnya segala    sesuatu    dibagi    menjadi    4 (empat) macam, yaitu:
1.    Sesuatu yang tidak memiliki permulaan dan akhiran, yaitu Dzat Allah dan Sifat-sifat-Nya.
2.    Sesuatu yag memiliki permulaan dan akhiran, yaitu dzat-dzat para makhluk dan sifat-sifat mereka.
3.    Sesuatu yang yang tidak memiliki permulaan tetapi memiliki akhiran, yaitu ketiadaan kita dizaman   azali, kemudian wujud kita akan berakhir.
4. Sesuatu yang memiliki permulaan dan dan tidak memiliki akhiran, yaitu akhirat.

LihatTutupKomentar