Mukaddimah Kitab Nuruzh Zhalam
Nama kitab: Terjemah Nuruzh Zhalam Syarah Aqidatul Awam, Nurudz Dholam, Nur al-Zholam
Nama kitab asal: Nur adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awam
Nama lain kitab kuning: Hasyiyah al-Dasuqi
Ejaan lain: Noor -ul-Zalaam, Nuuruzh Zhalaam, Nur adz-Dzolam, Nuruzh Zholam, Nuruzh Zhalam, Nurud Dhalam
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Nama yang dikenal di Arab: محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Penerjemah:
Bidang studi:Tauhid, Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy'ariyah, ilmu kalam, ushuluddin.
Daftar Isi
1. Mukaddimah Penerjemah
Latar Belakang Penyusunan Nur adz-Dzolam
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ini adalah buku yang berjudul Cahaya Kegelapan, yaitu buku terjemahan dari
kitab Nur adz-Dzolam karya Syeh Nawawi al-Banteni, sebuah kitab syarah dari
kitab Aqidatu al-Awam yang menjelaskan tentang akidah-akidah yang wajib
diketahui bagi setiap mukallaf yang beragama Islam, baligh, dan berakal, karya
Syeh Ahmad Marzuki. Semoga Allah merahmati mereka dan memberikan manfaat
kepada kami dengan keberkahan mereka.
Sebagian santriwati, semoga
Allah mengampuninya, yang tengah belajar di Pondok Pesantren takhossus
menghafal al-Quran meminta kami untuk menerjemahkan kitab Aqidatu
al-Awam beserta penjelasan-penjelasannya. Akhirnya kami memilih salah satu
karya ulama Nusantara, yaitu Syeh Nawawi al- Banteni, yang berjudul Nur
ad-Dzolam untuk diterjemahkan sebagai bentuk jawaban permintaan santriwati
tersebut, meskipun kami bukanlah ahli dalam bidang penerjemahan ini.
Hanya
kepada Allah, saya memohon agar menjadikan buku terjemahan Cahaya Kegelapan
ini benar-benar sebagai amalan yang murni ikhlas karena Dzat-Nya Yang
Mulia dengan perantara derajat dan kebenaran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallama, dan agar menjadikannya bermanfaat bagi santriwati tersebut dan
seluruh umat muslim yang mempelajarinya dengan kemanfaatan yang menyeluruh
sebagaimana kemanfaatan yang diberikan oleh- Nya pada kitab Nur
adz-Dzolam dan Aqidatu al-Awam. Kami menghadiahkan pahala penerjemahan
buku ini untuk guru-guru kami, orang tua kami, kakak dan adik kami, santriwati
tersebut, para santri Ittihadul Asna, dan seluruh orang- orang muslimin dan
muslimat.
Akhirnya, kami memohon kepada Allah semoga Dia mengampuni
dan memaafkan kesalahan kami dalam penerjemahan buku ini, baik dari segi
pemahaman maupun penyusunan. Tidak ada kesalahan dan kekhilafan kecuali
harapannya adalah dimaafkan dan diampuni. Oleh karena itu, kami meminta
siapapun
yang membaca buku ini menutupi dan membenarkan kesalahan dan kekhilafan kami
yang ditemukan dalam buku ini. Rahimakumullah wa jazaakum ahsanal jazaa.
Salatiga,
Selasa 25 April 2017
Penerjemah
Muhammad Ihsan bin Nuruddin
Zuhri
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penyusunan Nur adz-Dzolam
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang
Segala pujian adalah milik Allah yang telah memberikan
kenikmatan pengetahuan kepada hamba-hamba- Nya dan yang telah memuliakan
mereka dengan nikmat melihat-Nya kelak
di surga
sebagai bentuk tambahan
anugerah dari-Nya.
Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada
tuhan selain Allah Yang Maha merajai dan Maha mengetahui, dan saya
bersaksi bahwa sesungguhnya pemimpin kita, Muhammad, adalah hamba dan
rasul-Nya yang memiliki derajat paling tinggi.
Tambahan rahmat dan salaam
semoga selalu tercurahkan atas Muhammad yang telah diutus oleh Allah sebagai
rahmat bagi seluruh manusia. Andaikan ia tidak diutus niscaya keadaan mereka
akan lebih buruk daripada binatang. Dan rahmat dan salam semoga selalu
tercurahkan atas keluarganya, yaitu orang-orang yang baik dan mulia, dan atas
para sahabatnya yang bagaikan lampu penerang kegelapan, dan atas orang- orang
yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari dimana seluruh anggota tubuh
akan berkata dan lisan akan bisu dengan [memintakan] tambahan rahmat dan
salaam yang tetap tercurah selama waktu dan masa berlangsung.
(Amma
Ba’du) Berkatalah orang yang sangat
mengharapkan ampunan Allah Yang Maha
Mulia dan Maha Perkasa karena
banyaknya dosa dan kesalahan, yaitu ia adalah Muhammad Nawawi yang
bermadzhab Syafi’i:
Buku ini adalah buku syarah yang bagus dan perluasan
penjelasan yang baik dari nadzom-nadzom yang berjudul Aqidatu al-Awam yang
disusun oleh Syeh yang alim, Ahmad al-Marzuki
al-Maliki. Saya memberi judul buku ini Nur
adz- Dzolam ‘Ala ‘Aqidah al-Awaam. Tujuan saya menulis buku syarah ini adalah
agar memberikan manfaat kepadaku dan orang-orang pemula sepertiku meskipun
sebenarnya saya bukanlah orang yang ahli dalam menyusunnya. Semoga Allah
menjadkan buku syarah ini bermanfaat bagi mereka yang mempelajarinya.
2. Latar Belakang Aqidatul Awam
Ketahuilah! Sesungguhnya asal- usul
penyusunan nadzom-nadzom Aqidatul Awam adalah bahwa Syeh
Ahmad al-Marzuki memimpikan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallama saat tidur pada malam Jumat bulan Rojab
tanggal 6 (enam) tahun 1258 H. Dalam mimpinya, para
sahabat
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berdiri di
sekitar Rasulullah. Rasulullah berkata kepada Syeh Ahmad, “Bacalah
nadzom-nadzom ilmu tauhid yang barang siapa menghafalnya maka ia masuk surga
dan memperoleh kebaikan yang dijanjikan oleh al-Quran dan al-Hadis!”
Syeh
Ahmad bertanya, “Nadzom- nadzom yang bagaimana itu? Wahai Rasulullah!”
Para
sahabat berkata, “Dengarkan apa yang Rasulullah akan katakan!” Kemudian
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata, “Ucapkan:
Kemudian
Syeh Ahmad mengatakan, ‘واﻟﺮﺣﻤﻦ ﷲ ﺑﺎﺳﻢ أﺑﺪأ’ (sampai akhir nadzom,
‘ ﻛﻼم ﻓﯿﮭﺎ ** واﻟﻜﻠﯿﻢ اﻟﺨﻠﯿﻞ وﺻﺤﻒ اﻟﻌﻠﯿﻢ اﻟﺤﻜﻢ’ sambil didengarkan oleh
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama).”
Ketika
Syeh Ahmad telah sadar dari tidurnya maka ia membaca nadzom- nadzom yang ia
mimpikan. Ia langsung menghafalnya dari awal sampai akhir. Kemudian ketika
pada waktu sahur malam Jumat tanggal 28 bulan Dzulqo’dah, ia memimpikan
lagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallama berkata kepadanya, “Bacakan
nadzom-nadzom yang telah kamu hafal!” Kemudian Syeh Ahmad
membacakan nadzom-nadzom tersebut dari awal sampai akhir. Dalam mimpinya ia
membacakannya sambil berdiri di depan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallama dan di depan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum yang berdiri di
sekitar Rasulullah sambil mereka mengucapkan ‘Amin’ setiap kali Syeh Ahmad
membacakan satu bait dari nadzom-nadzom. Ketika Syeh Ahmad telah selesai
membacakannya maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata
kepadanya, “Semoga Allah memberimu taufik dengan perantara nadzom-nadzom yang
telah Dia ridhoi. Semoga Dia menerima amalmu. Semoga Dia memberkahimu dan
orang-orang mukmin. Semoga Dia memberikan manfaat kepada mereka dengan
nadzom-nadzom itu. Aamin.”
Setelah itu, Syeh Ahmad
memperlihatkan nadzom-nadzom itu kepada orang-orang. Mereka pun memintanya.
Kemudian ia memenuhi permintaan mereka dan
menambahinya dengan nadzom lain dari,
PEMBAHASAN
1. Nadzom Pertama
Syeh
Ahmad al-Marzuki, Radhiyallahu ‘Anhu, berkata:
أَبْـدَأُ بِـاسْمِ اللهِ وَالرَّحْـمَنِ * وَبِالرَّحِـيْـمِ دَائـِمِ اْلإِحْـسَانِ
[1]
Saya mengawali [menyusun nadzom-nadzom ini] dengan [meminta pertolongan]
kepada Allah Yang Maha Pengasih **
dan dengan-Nya Yang Maha
Penyayang, yang selalu memberikan nikmat tanpa henti.
Arti
maksud nadzom di atas adalah “Saya memulai penyusunan nadzom- nadzom ini
seraya meminta pertolongan kepada Tuhan yang bernama Allah.” [Demikianlah
tafsiran lafadz ‘ﷲ ﺑﺎﺳﻢ’], seperti yang ditafsirkan oleh al-Bajuri. Ia
menyatakan bahwa hukum membaca Basmalah dalam bentuk nadzom adalah Khilafu
al-Aula.
a. Perbedaan maksud
kata ‘ nama’
Ketahuilah! Sesungguhnya nama ‘Allah’ itu adalah hakikat Dzat
yang diberi nama dengannya. Pernyataan ini adalah pendapat yang dipedomani
oleh para ulama Asya’iroh. Allah berfirman, “Sucikanlah (bertasbilah) nama
Tuhanmu …” (QS. Al-A’la: 1) Dikatakan pula, “Tidaklah kalian menyembah selain
Allah kecuali hanyalah nama- nama.” Pengertian dzohir dari keduanya
adalah bahwa bertasbih dan menyembah tersebut adalah kepada dzat-dzat.
Ada yang mengatakan, “Nama ‘Allah’ bukanlah hakikat Dzat yang diberi nama
dengan-Nya,” karena ada firman-Nya, “Dia memiliki nama-nama yang terbaik.”
(QS. Al-Isrok: 110) Mengenai perkataan di atas, perlu adanya pembedaan antara
sesuatu dan sesuatu yang dimiliki oleh sesuatu itu, dan nama-nama beserta
hakikat dzat nama-nama itu. Andaikan nama adalah hakikat dzat yang dinamai
dengannya maka mulut orang yang mengatakan sesuatu yang bernama ‘api’ pastinya
akan terbakar karena nama ‘api’ itu adalah dzat api itu sendiri, dan contoh
lain-lainnya, yaitu hal-hal yang berbahaya.1
Tahkik atau keputusan
ketetapan mengenai perbedaan di atas adalah bahwa apabila yang dikehendaki
dari ‘اﻻﺳﻢ’ adalah lafadznya maka sudah pasti ia bukanlah hakikat dzat yang
dinamai dan apabila yang dikehendaki dari ‘اﻻﺳﻢ’ adalah apa yang dipahami
darinya maka ia adalah hakikat dzat yang dinamai.
b. Makna kata ‘
’, ‘ ’ dan ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’
Syeh asy-Syanwani mengatakan, “As-Suyuti mengatakan bahwa makna
‘ﷲ’ adalah Dzat yang awal wujud-Nya, yang agung Dzat dan sifat-sifat-Nya, dan
yang merata luas kebaikan-Nya. Makna ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ adalah Dzat yang besar pemberian
kebaikan-Nya dan kekal pemberian anugerah-Nya. Makna “اﻟﺮﺣﯿﻢ” adalah
Dzat yang memenuhi kebutuhan dan yang tidak membebani di luar kemampuan.”
1
Apabila ‘nama’ adalah hakikat dzat maka orang yang mengatakan sesuatu yang
bernama ‘pisau’ pasti akan teriris karena ‘nama pisau’ adalah dzat benda pisau
itu.
Ahmad as-Showi mengatakan, “Lafadz ‘ﷲ’ adalah nama yang
mencakup karena seluruh nama-nama masuk dalam cakupannya. Lafadz ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’
berarti yang memberi seluruh kenikmatan, baik kenikmatan duniawi, ukhrowi,
dzohiriah, atau batiniah. [Istilah kenikmatan dari Allah ada yang disebut
dengan nikmat lembut atau daqoiq dan nikmat besar atau jalaail.]
Kenikmatan
yang lembut dari-Nya adalah
kenikmatan yang mencabang atau
berasal dari kenikmatan yang besar,
seperti nikmat berupa tambahan dalam iman, ilmu, pengetahuan, taufik,
kesehatan, pendengaran, dan penglihatan. [Allah memberi nikmat berupa ilmu
disebut dengan nikmat yang besar. Allah memberi tambahan ilmu atau menjadikan
ilmu bermanfaat disebut dengan nikmat yang lembut.]”
Syeh Ahmad al-Malawi mengatakan, “Lafadz
‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ adalah lebih dalam artinya daripada lafadz ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’ karena memberikan
tambahan pada bentuk lafadz pada salah satu dua
lafadz yang
memiliki akar kata dan jenis
yang sama menunjukkan tambahan
arti karena lafadz ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ berarti
[Allah] yang memberikan nikmat, yang hakiki, dan yang berlebihan dalam
membagikan rahmat. Demikian ini tidak dimiliki oleh selain- Nya bahkan
sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz “اﻟﺮﺣﻤﻦ” adalah sifat alam2 khusus bagi
Allah.”
2 Pengertian ‘alam adalah isim atau kata
benda yang membuat objek yang diberi nama dengannya menjadi khusus dan
tertentu. Isim ‘alam dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1.
‘Alam Ismi, yaitu kata benda nama yang bukan kun-yah dan laqob. Contoh: ‘َﺳﺎن
ْﺣ إِ’, yaitu nama orang yang bernama Ihsan.
‘َطﺔ ْﯾ ِﺷ َﻣ ’, yaitu nama
orang yang bernama Masyitoh.
2. ‘Alam
Kun-yah, yaitu kata benda nama yang diawali dengan ‘ٌب Contoh: ‘ھرﯾرة أﺑو’,
‘ﺑﻛر أﺑو’, ‘ﻛﻠﺛوم أم’, dan lain-lain.
أَ’ atau ‘ﱞم أُ’.
Ketika
lafadz ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’
menunjukkan bahwa Allah adalah yang
memberikan nikmat-nikmat yang besar dan nikmat-nikmat yang
dasar maka Allah menyebutkan lafadz ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’ dalam
Basmalah agar mencakup nikmat- nikmat yang lembut agar lafadz ‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’
seolah-olah seperti penyempurnaan dan lebih menunjukkan berlebih- lebihan
[dalam memberikan nikmat].
c. Macam-macam Nikmat
Adapun nikmat-nikmat [yang terkandung dalam lafadz ‘اﻟﺮﺣﻤﻦ’ dan
‘اﻟﺮﺣﯿﻢ’] terkadang dimaksudkan pada nikmat-nikmat dari segi hitungan. Oleh
karena itu ada yang mengatakan, ‘اﻟﺪﻧﯿﺎ
رﺣﻤﻦ ﯾﺎ’ karena Allah memberikan nikmat kepada orang mukmin dan juga
karena Allah
tidak memberikan nikmat kepada orang
kafir. Dan terkadang dimaksudkan pada nikmat-nikmat dari segi sifat. Oleh
karena itu ada yang mengatakan,
‘اﻟﺪﻧﯿﺎ ورﺣﯿﻢ واﻵﺧﺮة اﻟﺪﻧﯿﺎ رﺣﻤﻦ ﯾﺎ’
karena nikmat-nikmat akhirat adalah nikmat yang agung. Adapun nikmat dunia
maka ada yang agung dan juga remeh.
Al-Baidhowi berkata, “Nikmat- nikmat
Allah, meskipun tidak dapat dihitung, dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
nikmat dunia dan nikmat akhirat. Adapun Nikmat Dunia dibagi menjadi dua macam,
yaitu nikmat dunia Wahbi dan nikmat dunia Kasbi.
3.
‘Alam Laqob, yaitu kata benda nama yang menunjukkan pengertian memuji atau
mencela (nama julukan).
Contoh:
Laqob yang memuji ‘ْﯾن
ﱢد اﻟ ُب
َﮭﺎ ِﺷ ’ yang berarti bintang agama karena orang
yang
memiliki julukan ini mungkin orang yang sangat alim
dalam bidang agama.
Laqob yang mencela ‘َﻗﺔ
ﱠﻧﺎ اﻟ ُف
ْﻧ أَ’ yang berarti
hidung unta karena orang yang
memiliki
julukan ini mungkin memiliki hidungnya mirip hidung unta.
Nikmat
dunia Wahbi dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
1.
Nikmat dunia Wahbi Ruhani, seperti nikmat ditiupnya ruh ke dalam diri hamba,
diunggulkannya hamba dengan akal, dan nikmat- nikmat kekuatan akal, seperti
nikmat memahami, berfikir, dan berucap.
2. Nikmat dunia
Wahbi Jasmani, seperti nikmat terciptanya badan,
kekuatan-kekuatan yang terkandung dalam badan,
keadaan-keadaan ‘Aridhoh3 badan, seperti sehat, dan kesempurnaan
anggota-anggota tubuh (tidak ada yang cacatl
Nikmat dunia Kasbi
adalah seperti nikmat membersihkan diri dari kotoran-kotoran hati dan
menghiasi diri dengan akhlak-akhlak yang diridhoi, dan menghiasi badan dengan
keadaan-keadaan tabiat watak dan keadaan-keadaan badaniah yang dianggap baik
[menurut akal], dan diperolehnya pangkat dan harta.
Nikmat Akhirat
adalah nikmat berupa bahwa hamba diampuni dari kesalahan-kesalahan, diridhoi,
dan ditempatkan di surga tertinggi bersama para malaikat yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah selama-lamanya.
d. I’rob Nadzom
Perkataan Syeh
Ahmad al- Marzuki, “اﻹﺣﺴﺎن داﺋﻢ” yang berarti yang
3
Keadaan Aridhoh adalah keadaan dimana terkadang muncul dan terkadang
hilang, seperti terkadang muncul keadaan sehat dan terkadang keadaan sehat
hilang (sakit), atau terkadang muncul keadaan kenyang dan terkadang keadaan
rasa kenyang hilang (lapar).
senantiasa memberi nikmat tanpa
henti
adalah pelengkap bait nadzom.
2. Nadzom Kedua
فَالْحَـمْـدُ ِللهِ الْـقَدِيْمِ اْلأَوَّلِ * اَلآخِـرِ الْبَـاقـِيْ بِلاَ تَحَـوُّلِ
[2] Segala pujian adalah milik Allah Yang Al-Qodim,
Al-Awwal. Al-Akhir, dan
Al-Baqi tanpa mengalami perubahan.
Arti
maksud nadzom di atas adalah, “Kemudian saya memuji Allah atas nikmat
penyusunan nadzom- nadzom ini
disertai rasa pengagunganku kepada-Nya. Dan saya mengakui
dan meyakini bahwa segala pujian adalah tetap bagi-Nya.”
Syeh Ahmad
al-Marzuki mengawali nadzom-nadzomnya dengan berhamdalah atau memuji Allah
karena adanya hak yang wajib ia lakukan, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah
yang mana penyusunan nadzom-nadzom ini juga termasuk salah satu hasil pengaruh
dari nikmat-nikmat tersebut.
a. Pengertian ‘ ’
atau Memuji Menurut Bahasa
Lafadz “اﻟﺣﻣد” menurut Bahasa Arab berarti memuji dengan lisan
dengan pujian yang baik atas kebaikan ikhtiari4
karena bertujuan
4 Kebaikan ikhtiari adalah
kebaikan yang dihasilkan dari usaha, bukan bawaan lahir, seperti ketika
Zaid memberikan uang kepada Umar, kemudian Umar memuji Zaid dengan berkata,
“Zaid adalah orang yang dermawan.” Berbeda dengan kebaikan dhoruri, yaitu
kebaikan yang sudah dihasilkan karena bawaan lahir [pemberian Allah], seperti
ketika Zaid adalah orang yang tampan, kemudian Umar memuji Zaid dengan
berkata, “Zaid adalah orang yang tampan.” Artinya kebaikan ketampanan
adalah kebaikan dhoruri. (Penerjemah)
mengagungkan, baik
memuji karena sebagai bandingan atau timbal balik atas nikmat, atau bukan.
Contoh
pertama, yaitu pujian yang sebagai timbal balik atas nikmat, adalah ketika
Zaid mendermakan sesuatu untukmu. Kemudian kamu berkata, “Zaid adalah orang
yang dermawan.” Perkataanmu ini adalah pujian atas dasar sebagai timbal balik
atas nikmat yang kamu peroleh.
Contoh kedua, yaitu pujian yang
bukan sebagai timbal balik atas nikmat, adalah ketika kamu mendapati Zaid
sedang sholat dengan baik. Kemudian kamu berkata, “Zaid adalah laki-laki yang
sholeh.” Perkataanmu ini adalah pujian atas dasar bukan karena timbal balik
dari nikmat yang kamu peroleh.
b. Rukun-rukun dan
Macam-macam Memuji
Memuji memiliki 4 (empat) rukun, yaitu:
1.
Haamid, yaitu pihak yang memuji.
2. Mahmuud, yaitu
pihak yang dipuji.
3. Mahmuud Bihi, yaitu kandungan
arti dari suatu pernyataan pujian, seperti
kandungan arti ‘menetapkan sifat berilmu’ dari pernyataan
pujian, “Zaid adalah orang yang berilmu,” atau kandungan arti ‘menetapkan
sifat kesalihan’ dari pernyataan pujian, “Zaid adalah orang yang salih.”
4.
Mahmuud ‘Alaih, yaitu tujuan memuji. Tujuan memuji adalah karena memuliakan.
Berbeda dengan memuji atas dasar tujuan menghina/merendahkan
atau bersikap sombong. Oleh karena itu dalam pengertian memuji kami
menambahkan pernyataan, karena bertujuan mengagungkan.
Pujian
dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
1.
Pujian dari Yang qodim kepada Yang qodim. Pujian ini adalah pujian Allah
kepada Dzat-Nya sendiri, seperti Firman-Nya, “Dia adalah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.” (QS. Al- Anfaal: 40)
2.
Pujian pihak Yang qodim kepada yang haadis, seperti Firman-Nya yang memuji
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Sesungguhnya kamu menetapi budi
pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qolam: 4)
3. Pujian dari
pihak yang haadis kepada Yang qodiim, seperti perkataan Nabi Isa ‘alaihi
as- salaam yang memuji Allah, “Engkau mengetahui segala sesuatu yang ada di
dalam hatiku sedangkan aku tidak mengetahui apapun
dalam Dzat-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang
mengetahui segala sesuatu yang samar.”
4. Pujian dari
pihak yang haadis kepada yang haadis, seperti sabda Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallama yang memuji Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Tidak
ada matahari terbit dan terbenam setelahku yang dialami oleh seorang laki-laki
yang lebih utama daripada Abu Bakar as- Shiddiq.”
c. Pengertian ‘ ’
atau Memuji Menurut Istilah
Adapun ‘اﻟﺣﻣد’ atau memuji menurut istilah berarti perbuatan yang
menunjukkan sikap mengagungkan pihak yang memberi nikmat karena pihak
tersebut selaku sebagai pihak yang memberi nikmat kepada pihak yang memuji,
atau kepada selainnya, seperti memberi nikmat kepada anaknya, istrinya, baik
sikap pengagungan tersebut dilakukan dengan perkataan lisan, atau kecintaan
dengan hati, atau perbuatan oleh anggota tubuh.
d. Pengertian ‘ ’ atau bersyukur
Pengertian ‘ْﻛر ُﺷ
اﻟ’ atau bersyukur
menurut bahasa adalah sama dengan pengertian ‘اﻟﺣﻣد’
atau memuji menurut istilah tetapi sedikit
berbeda, yaitu bahwa
pengertian syukur menurut
bahasa
adalah
perbuatan yang
menunjukkan
sikap mengagungkan kepada
pihak yang memberi nikmat karena pihak
tersebut selaku sebagai pihak yang memberi
nikmat kepada pihak yang bersyukur.
atau kepada selainnya, seperti
kepada anaknya,
istrinya,
baik
sikap pengagungan tersebut
dilakukan dengan perkataan lisan, atau
cinta dengan hati, atau
perbuatan
oleh
anggota tubuh.
Sedangkan ‘اﻟﺷﻛر’
atau bersyukur menurut istilah berarti
bahwa hamba menggunakan seluruh
nikmat yang telah Allah berikan
kepadanya, baik nikmat
pendengaran
dan lainnya, sesuai
dengan tujuan nikmat tersebut diberikan. Pengertian
‘bersyukur’ ini dapat digambarkan
dengan contoh; orang
menggotong jenazah
sambil berpikir-pikir tentang kekuasaan- kekuasaan Allah, sambil melihat arah
depannya agar tidak menjatuhkan jenazah yang ia gotong, sambil berjalan menuju
kuburan, sambil lisannya berdzikir
dan telinganya mendengarkan suara-suara yang mengandung
pahala, seperti suara perkataan yang mengandung arti memerintah kebaikan dan
mencegah kemunkaran, demikian ini adalah contoh yang disebutkan oleh Syeh
Ahmad al-Malawi. Namun, Syeh al- Barmawi berkata, “Apabila kamu berpendapat
bahwa seluruh anggota tubuh tidak mungkin dapat melakukan ketaatan dalam satu
waktu maka aku menjawab bahwa seluruh anggota tubuh yang melakukan ketaatan
dalam satu waktu adalah hal yang mungkin terjadi dalam ibadah ihsan yang
diperintahkan dalam keterangan hadis, yaitu kamu menyembah Allah seolah- olah
kamu melihat-Nya serta kamu menghadirkan hati bahwa Dia melihatmu. Kemudian
ketika seseorang telah beribadah ihsan seperti itu maka seluruh anggota
tubuhnya dan anggota indrawinya melakukan ketaatan kepada Allah [dalam
satu waktu]. Seluruh anggota tubuh yang melakukan ketaatan dalam satu waktu
tidak dapat digambarkan dalam ibadah kecuali dalam ibadah ihsan, seperti orang
yang salah
memahaminya [dengan memberikan
contoh bahwa ketaatan seluruh anggota tubuh dapat dilakukan dalam satu waktu
dalam bentuk ketaatan yang selain
dalam ibadah ihsan].”
Ketahuilah
sesungguhnya penisbatan antara memuji dan bersyukur secara arti bahasa dan
istilah ada enam, yaitu:
1. Penisbatan
antara memuji yang menurut arti istilah dan bersyukur yang menurut arti bahasa
adalah penisbatan persamaan arti.
2. Penisbatan antara
memuji yang menurut arti bahasa dan memuji yang menurut istilah adalah
penisbatan arti umum dan khusus dari satu segi, yaitu masing- masing dari
keduanya memiliki implikasi yang sama (arti umum), yaitu memuji yang
diekspresikan dengan lisan sebagai timbal balik atas perbuatan baik [dari
pihak yang memberi nikmat]. Sedangkan di satu segi, masing-masing dari
keduanya memiliki perbedaan (arti khusus), yaitu bahwa memuji yang
menurut bahasa hanya diekspresikan dengan pujian lisan yang bukan sebagai
timbal balik atas perbuatan baik [dari yang memberi nikmat]5 dan memuji yang
menurut istilah memiliki kekhususan dengan pujian yang hanya diekspresikan
dengan perbuatan oleh anggota tubuh sebagai timbal balik atas pemberian
[nikmat].
3. Penisbatan memuji yang menurut arti bahasa
memiliki keumuman arti, yaitu pujian dengan bahasa sebagai perbandingan atau
timbal balik atas pemberian [nikmat] dan memiliki kekhususan pujian dengan
kefasihan yang bukan sebagai perbandingan hal yang mubah. Sedangkan arti
bersykur yang menurut bahasa memiliki arti
khusus, yaitu perbuatan
5
Karena memuji yang menurut arti bahasa juga diucapkan sebagai
timbal balik atas musibah atau cobaan yang diterima oleh haamid atau orang
yang memuji. (Syeh Nawawi al-Banteni, Madarijus Su’ud, hal 4)
dengan
anggota tubuh sebagai perbandingan pemberian nikmat. Dengan demikian arti
memuji yang menurut bahasa adalah lebih khusus tempat keluarnya, yaitu hanya
lisan, dan lebih umum hubungannya, yaitu berhubungan dengan nikmat dan
lainnya, dan arti memuji yang menurut istilah adalah
sebaliknya, [yaitu berhubungan hanya
dengan nikmat dan bisa dilakukan dengan lisan atau yang lainnya]. seperti arti
bersyukur menurut bahasa karena bentuk
pujiannya dilakukan dengan lisan, hati, dan anggota tubuh tetapi hanya sebagai
perbandingan nikmat saja.
4. Penisbatan antara
bersyukur yang menurut arti istilah dan memuji yang menurut arti bahasa.
5.
Penisbatan antara bersyukur yang menurut arti istilah dan memuji yang menurut
arti istilah.
6. Penisbatan antara bersyukur yang
menurut arti bahasa dan bersyukur yang menurut arti istilah.
Penisbatan
yang ada dalam nomer [4], [5], dan [6] adalah penisbatan antara arti umum dan
khusus, yaitu semuanya memiliki persamaan
(arti umum) dalam implikasi, dan masing-masing berbeda (arti khusus)
dalam implikasi
lainnya. Semua penisbatan nomer [4],
[5], dan [6] tercakup dalam bersyukur yang menurut istilah karena yang paling
khusus, seperti yang telah kamu ketahui tentang gambaran contohnya. Dengan
demikian tempat keluar dari masing-masing
semuanya tidaklah sama dengan
tempat keluar bersyukur yang menurut istilah karena dalam bersyukur yang
menurut istilah harus ada penggunaan hamba terhadap seluruh nikmat dalam satu
waktu. Sedangkan memuji yang menurut bahasa berbeda dari segi ia dilakukan
dengan lisan yang bukan sebagai perbandingan atas perbuatan baik nikmat [dari
pihak lain]. Memuji yang menurut arti istilah dan bersyukur yang menurut arti
bahasa berbeda dari segi masing-masing keduanya dilakukan dengan mencintai
melalui hati sebagai perbandingan atas perbuatan baik.
e. Keutamaan-keutamaan ‘ ’
Termasuk keajaiban dari
segi kecocokan adalah bahwa huruf-huruf lafadz ‘ اﻟﺣﻣد
’ adalah 5 huruf dan lafadz ‘اﻟﺣﻣد’ dijadikan sebagai permulaan 5 Surat dalam
al-Quran, yaitu:
1. Surat al-Fatihah6, yaitu:
اَ
ْﳊَ ْﻤ ُﺪ ﷲِ َر ﱢب اﻟَْﻌﺎﻟَِﻤ ْ َﲔ
2. Surat al-An’am
yang berbunyi,
6 Para ulama berbeda pendapat
mengenai apakah ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ termasuk Surat al- Fatihah atau tidak?
Imam Syafii, Imam Ahmad Hanbali, Abu Tsur, dan Abu Ubaid mengatakan bahwa
‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ termasuk salah satu ayat dari Surat al-Fatihah.
Ulama
yang berpendapat bahwa ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ termasuk Surat al-Fatihah maka
ayat pertama dalam al-Fatihah adalah ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ dan ayat ke tujuh
adalah
’.ﺻراط اﻟذﯾن أﻧﻌﻣت ﻋﻠﯾﮭم ﻏﯾر اﻟﻣﻐﺿوب ﻋﻠﯾﮭم وﻻ اﻟﺿﺎﻟﯾن‘
Sedangkan
ulama yang berpendapat bahwa ‘اﻟرﺣﯾم اﻟرﺣﻣن ﷲ ﺑﺳم’ tidak termasuk ayat dari
Surat al-Fatihah maka ayat pertama adalah ‘اﻟﻌﺎﻟﻣﯾن رب اﻟﺣﻣد’ dan
ayat ke tujuh adalah
‘اﻟﺿﺎﻟﯾن وﻻ ﻋﻠﯾﮭم اﻟﻣﻐﺿوب ﻏﯾر’. (Syeh Nawawi. Tafsir
Munir. Hal, 2)
3. Surat al-Kahfi, yaitu:
5. Surat Malaikat (Fathir), yaitu:
Begitu juga lafadz
‘ اﻟﺣﻣد ’ dijadikan sebagai
penutup 5 Surat dalam al-
Quran, yaitu:
1. Surat Bani Israil atau al-Isrok,
yaitu:
2. Surat an-Naml, yaitu:
3. Surat as-Shoofat, yaitu:
4. Surat az-Zumar, yaitu:
َوﻗِﻴ َﻞ ا ْﳊَ ْﻤ ُﺪ ﻟِﻠﱠِﻪ
َر ﱢب اﻟَْﻌﺎﻟَ ِﻤ َﲔ
5. Surat al-Jatsiah, yaitu:
Syeh Ahmad al-Malawi berkata, “Lafadz ‘ اﻟﺣﻣد’ terdiri
dari 8 huruf. Pintu surga ada 8 pintu. Barang siapa membaca
‘ اﻟﺣﻣد’ dengan keikhlasan hati maka ia berhak masuk
ke dalam surga dari pintu mana saja yang ia diperkenankan memilihnya
[sebgai bentuk memuliakannya]. Adapun ia akan masuk ke dalam surga melewati
pintu yang telah diketahui oleh Allah kalau ia akan memasukinya melalui pintu
tersebut.”
f. I’rob Nadzom
Perkataan
Syeh Ahmad Marzuki ‘اﻟﺦ اﻷول اﻟﻘدﯾم’ diberi
kejelasan bahwa Syeh Ahmad al-Halimi
berkata, “Arti ‘اﻟﻘدﯾم’ adalah bahwa Allah adalah Dzat yang
wujud yang wujud-Nya tidak melalui
permulaan dan Dia adalah Dzat yang wujud
yang tidak akan pernah sirna.” Lafadz ‘اﻷول’ berarti bahwa
tidak ada permulaan bagi wujud Allah. lafadz ‘اﻵﺧر’ berarti
bahwa wujud Allah tidak ada akhirnya. Lafadz ‘اﻟﺑﺎﻗﻰ’ berarti
bahwa Allah adalah Dzat yang kekal dan tidak akan pernah sirna. Arti lafadz
‘ﺗﺣول ﺑﻼ’ adalah tanpa mengalami perubahan. Lafadz ‘ﺗﺣول’ merupakan tafsiran
bagi lafadz ‘اﻟﺑﺎﻗﻰ’ karena arti ‘ﺗﺣول’ adalah perpindahan dari satu keadaan
ke keadaan lain.
[Faedah] Ketahuilah sesungguhnya
segala sesuatu dibagi
menjadi 4 (empat) macam, yaitu:
1.
Sesuatu yang tidak memiliki permulaan dan akhiran, yaitu Dzat Allah dan
Sifat-sifat-Nya.
2. Sesuatu yag memiliki permulaan dan
akhiran, yaitu dzat-dzat para makhluk dan sifat-sifat mereka.
3.
Sesuatu yang yang tidak memiliki permulaan tetapi memiliki akhiran, yaitu ketiadaan kita dizaman azali, kemudian wujud kita akan berakhir.
4. Sesuatu yang memiliki permulaan dan dan tidak memiliki akhiran, yaitu akhirat.