Siang Mengaji di Pondok, Malam Nonton Wayang
Keterangan gambar: Gedung Penerbitan dan Penelitian PP Al-Khoirot Malang
Nama kitab / buku: Guruku Orang-orang dari Pesantren
Penulis: Prof.
KH. Saifuddin Zuhri
Lahir: 1 Oktober 1919, Kawedanan, Sokaraja Tengah,
Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Wafat: 25 Februari 1986 pada
usia 66 tahun
Nama Ayah: Muhammad Zuhri Rasyid
Nama Ibu: Siti
Saudatun
Jabatan tertinggi: Menteri Agama pada era Presiden Sukarno dan
Suharto 6 Maret 1962 – 17 Oktober 1967
Bidang studi: Sejarah , pesantren,
Indonesia, sejarah Islam
Penerbit: Pustaka Sastra
Daftar isi
- Apresiasi terhadap Rasa Seni
- Memasuki Persiapan Pengabdian
- Masih Belajar Lagi sebelum Terjun ke Medan Pengabdian
- Menjadi Guru
- Kembali ke: Buku Guruku Orang-orang dari Pesantren
Apresiasi terhadap Rasa Seni
Maunya tak usah saja mengaji kalau pada suatu malam ada pertunjukan wayang
kulit. Apalagi kalau Dalang Suki yang ditanggap. Ayah tahu juga gelagat ini.
Kalau misalnya aku memaksakan tidur siang biar malamnya bisa leklekan, biar
malam bisa melek terus supaya tidak ngantuk kalau nonton wayang kulit. Juga
kalau aku pergi ke toko Baba Kim Ling beli tembakau dan klembak-menyan buat
mengisi slepenku. Mesti ada persiapan merokok di siang hari agar malam nonton
wayang sudah lengkap perlengkapan rokokku. Mengikuti cerita dalang wayang
sambil merokok terasa nikmat sekali, sekaligus buat cagak melek. Kalau uang
tidak cukup untuk beli perlengkapan rokok, ada yang urun beli tembakaunya, ada
yang kemenyan, dan ada yang beli klembaknya. Tidak lazim orang beli rokok yang
sudah jadi, itu cuma golongan ndoro-ndoro. Kami, golongan rakyat, biasa
mengelinting sendiri rokok kami. Kalau kebetulan Hari Raya Idul Fitri bolehlah
sesekali merokok "Mascot" atau "Davros" atau rokok Belanda lainnya.
Tapi
Ayah menyuruhku mengaji dulu kalau mau nonton wayang kulit. Beliau khawatir
kalau saja aku pergi nonton tanpa mengaji dulu di surau. Sebab itu, beliau
perlukan kontrol sendiri ke surau, kalau-kalau aku tidak mengaji. Kalau aku
melihat beliau datang ke surau untuk kontrol begitu, aku mengerti bahwa beliau
khawatir aku tidak mengaji. Karena itu, dari kejauhan aku berikan tabik seolah
aku hendak katakan, "hei ini aku ada!" Beliau lalu pergi tentu dengan hati
puas dan lega.
Nonton wayang, maksudku wayang kulit, karena aku ingin
mengikuti jalan cerita dalam suatu lakon. Kalau dalang sedang suluk apa lagi
gamelan kelewat lama, tak senanglah hariku. Zaman itu belum ada pesinden yang
mengiringi gamelan. Kalau harus ada iringan tembang, maka yang menyanyikan
hanya orang laki-laki, salah seorang niaga yang merangkap jadi waranggana.
Kecuali jalan cerita, aku sangat tertarik pada cara ki dalang ber-ontowacono
melakukan dialog di antara wayang-wayangnya. Di sana terlihat betapa kayanya
dalang menguasai jalan cerita dan kemahiran retorika. Belum lagi caranya
mempertontonkan gerak perbuatan masing-masing wayang, gerak-geriknya,
jalannya, dan tekanan suaranya. Gatot Kaca serba tangkas dan gagah, tegas dan
pasti. Setiaki serba cekatan dan terampil. Ongkowijoyo selalu tenang, rendah
hati, tetapi apa yang ditugaskan selalu beres. Lain halnya dengan Dursosono,
seorang patih Hastina yang serba kasar, gembuyan, dan cekakaan, tugas apa pun
yang diserahkan selalu kandas, tak pernah selesai. Hidupnya mewah dan gemar
foya-foya. Sengkuni, perdana menteri Hastina, klemak-klemek, pembujuk serta
pemutar balik persoalan, tokoh munafik yang paling berbahaya.
Di kalangan
pesantren, nonton wayang kulit hampir tidak pernah dipertentangkan apa
hukumnya, haram atau boleh. Ada pihak yang mengambil sikap tidak boleh, tidak
dijelaskan sampai tingkat apa ketidakbolehannya, apakah haram ataukah makruh,
dengan dalil karena mendengarkan bunyi-bunyian yang mengasyikkan hingga
terlengah dari ingat kepada Allah (dzikrullah), padahal tak ingat kepada Allah
haram hukumnya. Lagi pula bercampur baurnya antara penonton pria dan wanita di
waktu malam, bisa menjurus kepada perbuatan maksiat. Ada juga yang mengambil
pendirian boleh, karena konon wayang adalah ciptaan para Wali (Wali Songo)
dalam mengasimilasi ajaran Hindu ke dalam Islam. Lagi pula orang
25
bisa
mengambil intisari pelajaran yang ada dalam lakon-lakon wayang. Dalam cerita
Pandawa membangun sebuah candi, dikisahkan bahwa bangunan candi selalu
mengalami kehancuran, pagi dibangun sore harinya roboh, sore dibangun pagi
harinya juga roboh. Setelah diteliti, ternyata ada sesuatu sarana paling
fundamental yang terlupakan, yaitu tidak diikutsertakannya Jimat Katimasodo
(Kalimah Syahadat). Tetapi baiklah, pasal nonton wayang kulit hampir tak
pernah dipertentangkan bagaimana mengenai hukumnya. Siapa yang suka,
nontonlah, siapa yang tak suka, tak usahlah pergi nonton. Sebab itu, di antara
kiai dan santri terdapat saling toleransi, saling mengambil sikap nafsi-nafsi,
yang suka silakan nonton, dan yang tak suka silakan tidur di rumah.
Yang
sudah terang, siapa-siapa yang mengambil sikap boleh menonton wayang, mereka
nonton sekedar mengambil yang perlunya, hendak mengikuti jalan cerita sesuatu
lakon, itu pun pandai-pandai menyaring konklusinya. Dalam pada itu, hal-hal
yang menyebabkan dipandang sebagai 'illat at-tahrim (sebab yang menjadikan
haram), misalnya bercampur- baurnya penonton laki-laki dan wanita, dijauhi,
demikian pula sikap asyiknya mengikuti jalan cerita dijaga, agar tidak sedetik
pun lupa kepada Allah SWT. Tetapi biar bagaimanapun, tak ada kiai yang nanggap
wayang, meski ia senang wayang sekalipun. Tak pernah terjadi dalam suatu
pesantren orang mengadakan pagelaran wayang kulit, walaupun santrinya banyak
yang suka wayang.
Kami anak-anak, tentulah tidak sampai sejauh itu
membenamkan diri memecahkan masalah yang rurnit tentang nonton wayang. Aku dan
teman-teman termasuk gemar nonton wayang kulit. Tetapi pagi hari tentu Ayah
menyuruhku mendaras Al-Qur'an bila malam harinya aku mau nonton wayang.
Agaknya untuk kafarat, menebus utang pahala.
Salah seorang kiai yang
senang wayang kulit pernah menceritakan bahwa beliau sangat mengagumi cara
Wali Songo menggubah wayang kulit untuk media dakwah. Diceritakan misalnya
tentang Pandawa Lima. Urutan mereka ialah: Yudistira, Werkudoro, Arjuna,
Nakula, dan Sadewa. Ini mengandung arti tentang Rukun Islam yang lima.
Yudistira adalah lambang Syahadat,
orang yang memegang
teguh kalimah Thayyibah dan risalabira mempunyai sifat-sifat
seperti yang dimiliki Yudistira, yakni kejujuran dalam segala ucapan dan
perbuatan. Werkudoro adalah lambang rukun Islam yang kedua, yaitu sembahyang 5
waktu. Sembahyang 5 waktu ini tidak bisa ditawar, berlaku bagi siapa pun,
dalam keadaan apa pun, dan di mana pun. Caranya bisa berbeda, seperti cara
sembahyangnya orang dalam perjalanan, dalam keadaan sakit, dan sebagainya,
tetapi tetap menjalankan sembahyang. Cocok dengan sifat Werkudoro yang
memperlakukan semua orang sama tak dibeda-bedakan. Arjuna merupakan lambang
rukun Islam ketiga, yakni zakat. Berzakat dengan sendirinya mempunyai syarat
orang harus mempunyai harta kekayaan. Semua orang mendambakan kekayaan, sama
dengan tokoh pewayangan Arjuna yang disenangi oleh semua orang, bahkan dia
dipandang sebagai lanang ing jagad. Nakula danSadewa merupakan lambang dari
rukun Islam keempat dan kelima. Tokoh pewayangan ini merupakan saudara kembar,
demikian pun rukun Islam yang keempat dan kelima. Tokoh pewayangan ini
merupakan saudara kembar, karena tidak dikerjakan setiap hari, tetapi tiap
setahun sekali. Karena itu tokoh Nakula dan Sadewa juga tidak sembarang waktu
ditampilkan dalam lakon wayang.
Yang menambah pikiranku bahwa wayang
kulit adalah hasil ciptaan Wali Songo, jika kebetulan aku menonton lakon Bima
Ngaji, artinya Bima atau Werkudoro berguru. Judul ini saja menimbulkan
asosiasi bahwa hal ini menggambarkan dunia santri. Mengapa dipakai istilah
"mengaji" misalnya? Mengapa tidak dipakai judul "Bima Kursus" atau "Bima
26
Sekolah"?
Mengapa mesti Bima ngaji. Bukankah istilah "ngaji" erat hubungannya dengan
dunia santri. Dalam lakon "Bima Ngaji" aku menarik suatu kesimpulan betapa
seharusnya seorang murid menaati gurunya. Kalau sang guru tidak jujur,
misalnya Durna dalam cerita tersebut, maka ia sendiri yang rugi. Tetapi bagi
sang murid yang taat, seperti Bima, tidak memperoleh sesuatu kerugian apa pun,
bahkan mendapat keuntungan-keuntungan. Bima yang dengan setia menaati ajaran
gurunya yang tak jujur (Durna), akhirnya memperoleh kesaktian-kesaktian dan
menemukan gurunya yang sejati (Dewa Ruci). Pelajaran ini mengandung makna
bahwa seorang murid atau santri mestilah setia kepada gurunya. Di satu segi
yang lain memberi pelajaran bahwa percumalah guru yang hendak menyesatkan
muridnya karena sang murid pada akhirnya akan menemukan jalan yang benar.
Kadang-kadang
aku tirukan cerita-cerita dalang wayang pada saat kami menjelang tidur di
langgar Kiai Khudlori. Kami sesekali tidur beramai-ramai di langgar atau
masjid. Jika malam telah sepi, lampu telah dipadamkan, buat periang waktu
menjelang tidur, berceritalah salah seorang teman menirukan dalang ketika
sedang melakonkan sebuah cerita. Macam- macamlah cerita yang ditirukan, cerita
Lahirnya GatotKaca, atau Srikandi Meguru Manah, atau Petruk Dadi Ratu. Jika
seorang teman berpura-pura jadi dalang, kami yang lain-lain berpura-pura jadi
niaga tukang pukul gamelan. Tentu saja suara gamelan cukup dengan mulut. Aku
pernah ditunjuk jadi dalang pura-pura. Aku bercerita terus-menerus, tahu-tahu
teman-teman sudah tidur semua...!
Paling senang kalau ngaji tiba-tiba
diliburkan. Misalnya, sekonyong-konyong kiai kedatangan tamu dari jauh,
apalagi tamu bekas teman kiai di pesantren. Ngaji diliburkan. Mau pulang
rumah, hari masih sore, maka berkerumunlah anak-anak. Kebetulan di kampung
kami telah beberapa hari kedatangan rombongan "Komedi Stambul" namanya "Miss
Tutih Opera of Jayalelana."
Rombongan opera ini menggemparkan seluruh
kampung, setidak-tidaknya di kalangan kami anak-anak. Miss Tutih ini konon
yang jadi bintang panggungnya atau primadona. Jika sandiwara telah selesai
main kira-kira pukul 12 malam, anak-anak suka berkerumun di samping pintu
panggung, menunggu keluarnya sripanggung. Tapi sialnya, tak seorang pun pernah
menjumpai sripanggung ini, biar ditunggu hingga keluarnya anak wayang yang
penghabisan. Karena penasaran, kami sering mengunjungi pondokan sripanggung di
waktu siang hari. Kami ingin sekali melihat dari dekat pemegang peran Nyai
Dasima atau Puteri Ginoviva atau si Jula-Juli Bintang Tiga. Seperti apa sih
orangnya? Tentang pemain laki-laki yang biasa jadi anak raja agak mudah
dijumpai, karena tiap hari Jum'at ia bisa dipastikan datang ke masjid untuk
sembahyang Jum'at. Namanya Sjafiuddin, konon ia berasal dari Madura, walaupun
"Miss Tutih Opera of Jayalena" ini rombongan dari Jawa Barat. Kami senang
kepada Syafiuddin, selain kalau main mempesonakan, juga karena ia
bersembahyang. Alangkah gantengnya kalau ia
sedang memerankan Prince Hamlet, alangkah mengharukannya ketika
memerankan "Merchant of Baghdad." Dalam lakon apa saja selamanya Miss Tutih
berpasangan dengan Syafiuddin. Dua-duanya merupakan favorit di kampungku,
apalagi Syafiuddin orangnya santri. Lain benar kalau sedang berada di masjid,
ia mengenakan kain sarung plekat dengan baju koko putih, pecinya mengkilap
hitam, peci padang kata orang. Kami tentu tidak bisa menonton tiap malam,
kecuali karena waktu-waktu mengaji cukup padat, juga aku sendiri mana bisa
terus- menerus keluarkan 5 sen untuk harga karcis sekali nonton.
Satu
ketika datanglah rombongan Ketoprak Mataram di kampungku. Biasanya kami para
santri kurang tertarik kepadanya. Lebih tertarik pada wayang kulit atau
stambul bangsa
27
lain. Tetapi kalau hati lagi iseng dan
di kantong ada uang 3 sen, tak apalah sesekali nonton ketoprak.
Sekali
waktu aku beramai-ramai nonton ketoprak ini.
Ceritanya mengambil lakon
Yakub-Ibrahim, dua kakak-beradik anak raja Mesir. Yakub seorang pangeran yang
baik hati, cakap, dan suka menolong sesama manusia. Sebaliknya Ibrahim,
abangnya, berwatak kasar dan jahat. Yakub difitnah abangnya karena adiknya ini
menjadi kekasih ayahnya, raja Mesir. Ibrahim ingin satu ketika tahta kerajaan
jatuh pada dirinya, sebab itu, bulat tekadnya untuk membinasakan adiknya.
Beruntung sekali, atas bantuan bujang istana, Yakub bisa lolos dari lubang
jarum, pergi meninggalkan istana, hidup mengembara menjelajahi seluruh
negeri.
Tentu saja para penonton jatuh hati kepada Yakub ini dan membenci
Ibrahim. Di suatu kampung jauh dari kota, Yakub menjumpai sebuah pesantren. Di
sana ia berguru kepada seorang arif, yang kira-kira merupakan kiailah.
Nama
kampung inilah yang membuat aku geli, namanya kampung Karangnongko. Tidak
masuk akal, mana mungkin di Mesir ada kampung namanya "Karangnongko?"
Maklumlah
cerita ketoprak. Alhasil akhir cerita, Yakub kembali ke negerinya dan
menggantikan singgasana ayahnya yang sudah tua. Adapun abangnya yang jahat,
untuk menyenangkan hati para penonton, dihukum berat, naik tiang gantungan.
Tetapi untuk lebih menyenangkan para penonton, Yakub si raja Mesir ini memberi
ampunan hingga abangnya bertaubat menjadi orang baik-baik.
Di beberapa
pesantren, para santri tidak hanya menyibukkan diri dalam mengaji dan belajar.
Ada juga saat-saat untuk rekreasi. Waktu rekreasi ini kadang-kadang diisi
dengan main gambus, yaitu semacam tarian anak-anak laki-laki menirukan
langkah-langkah dalam pencak silat, tangan menjurus ke muka, menangkis ke
samping, langkah kuda-kuda, duduk bersimpuh menantikan datangnya serangan lalu
siap untuk menyepak, dan sebagainya, dan sebagainya. Tentu saja diiringi
bunyi-bunyian gendang dan ketipung mengikuti irama suara biola digesek.
Lagunya tentu saja lagu-lagu padang pasir atau irama Melayu. Adapun pengiring
suara, menyanyikan syair-syair shalawat nabi, atau lagu-lagu pantun Melayu.
Yang aku masih hafal hingga kini ialah sebuah pantun Melayu:
Main
layangan, main layangan di Surabaya, Putus talinya, putus talinya jatuh di
Garut, Jadilah orang, jadilah orang taat beragama, Kepada Allah, kepada Allah
selalu menurut.
Main gambus ini agak jarang-jarang karena
memerlukan latihan, sedang waktu buat mengaji amatlah padat. Para kiai kami
tidak begitu melarangnya asal tidak terlalu sering dan tidak mengganggu
pengajian. Paling malam pukul 12 harus sudah selesai. Kecuali main gambus,
hampir tiap-tiap surau ada klub genjringan, yaitu main rebana. Sekumpulan
pemain kira-kira
5 atau 6 orang memukul genjring atau rebana yang garis
tengahnya sekitar 30 cm. Bingkainya dibuat dari kayu yang dicat dengan warna
warni menyolok. Alasnya dari kulit domba yang dicukur halus serta dikeringkan,
disentak, oleh irisan rotan kuat-kuat
28
menelusuri
seluruh lingkarannya agar menjadi nyaring bila dipukul. Pada kedua tepinya
diberi kuping-kuping terbuat dari logam tipis agar memberikan bunyi
kemrincing, menambah harmonis suara rebana. Di belakang penabuh genjring ini
duduk beberapa deretan penyanyi yang melagukan syair-syair mengiringi suara
rebana. Syair-syair itu semuanya dalam bahasa Arab dan umumnya diambil dari
bagian-bagian tertentu dalam Kitab Barzanji. Dengan sendirinya mendatangkan
suasana memuji-muji kebesaran Nabi Besar Muhammad Saw. Dalam irama-irama
tertentu, para pemukul rebana ini ikut juga menyanyikan syair-syair menambah
meriahnya suasana. Sudah tentu semua anggota klub genjringan ini laki-laki.
Genjringan ini juga disebut trebangan atau terbangan, penabuh atau pemukulnya
dengan sendirinya disebut "penerbang." Jadi dengan demikian di beberapa
pesantren ada penerbang-penerbang, tapi bukan pilot pesawat terbang! Puncak
dari permainan rebana ini, biasanya menjelang penutup, tampillah jago-jago
pencak memperlihatkan kebolehannya main silat atau kuntao. Pertama-tama main
kembang, yaitu pemain tunggal mendemonstrasikan metode pencak yang mutakhir,
kemudian sebagai klimaksnya, tampillah sepasang juara silat bertanding
mengalahkan lawannya. Bukan main dahsyatnya, bagaikan pendekar-pendekar
mencari mangsanya, dan bukan main gemuruh tempik sorak mengelu-elukan
pemenangnya.
Demikianlah rekreasi-rekreasi dalam lingkungan pesantren.
Sekedar mencari suasana santai, tetapi tidak mengganggu pengajian, dan
pelajaran para santri. Paling-paling 3 bulan sekali pada waktu perayaan
hari-hari besar Islam.
Banyak sebenarnya suasana santai itu dalam
pesantren. Kalau saja datang santri atau calon santri baru yang hendak belajar
mengaji, walaupun tidak ada keharusan tertulis, berlakulah semacam
perpeloncoan. Begitu datang orang baru (calon santri) ke pesantren,
kedengaranlah suara teriakan nyaring "Tamuuuuu"! Serentak santri-santri keluar
dari gutekan. Yang sedang menanak nasi ditinggalkan tanakannya, yang sedang
mengaji meninggalkan pengajiannya, semuanya beramai-ramai melihat sang tamu.
Sang tamu ini (tentu yang calon santri) lalu dikepung rapat, ia dipencilkan
dalam lingkaran santri-santri. Macam-macamlah ejekan dan poyokan keluar dari
seribu mulut yang haus menggoda itu. Kalau sang tamu kebetulan pakai blangkon,
maka terdengarlah teriakan-teriakan "Blangkonooo, blangkonooo," atau salah
seorang yang sedikit mblubut atau sedikit tegaan menghampiri sang tamu sambil
berkata: "nyambut blangkone, mas!" (pinjam blangkonmu, Saudara). Kadang-kadang
seorang lain pura-pura dengan ramahnya membawa sang tamu, dikiranya hendak
dibawa ke kantor pesantren, kiranya diantar ke... WC sambil berkata: "Di sini
kalau mau setooooor!" Karuan saja meledaklah tawa orang banyak. Jika sang tamu
kebetulan diantarkan oleh orang tuanya atau keluarganya, kontan saja satu
teriakan melengking sangat nyaring:"Uauuuuttt, nggowo bolo1" (hei, dia membawa
bala tentara!). Pendeknya macam-macamlah cara untuk "memelonco" santri baru.
Hal-hal demikian dianggap biasa dalam dunia pesantren. Oleh sebab itu, kiai
tak pernah ikut campur. Perpeloncoan ini lazim disebut Surakan, sama sekali
tak pernah dilakukan hal-hal yang bersifat menyakiti atau membuat letih badan.
Itu sekedar perkenalan pertama dalam menguji mental calon santri, dengan
demikian ia mulai dikenalkan dengan calon teman- teman senasib
sepenanggungan.
Pernah satu ketika datanglah seorang calon santri ke
pesantrenku. la seorang pemuda yang berbadan tegap, besar, dan tinggi,
perawakannya gagah. Datang dengan memikul bungkusan besar berisi pakaian dan
buku-bukunya. Seperti biasa, ia disambut dengan teriakan pertama
"Tamuuuuuuuuuu!". Seluruh anak keluar dari gutekannya atau tempat belajarnya.
Santri-santri menyerbu sang tamu dengan suatu lingkaran besar dan padat.
29
Karena
melihat badan sang tamu tegap dan gagah, dari mulut 1000, serentak keluar
suara menirukan bunyi gamelan sangat ramainya. Tetamu ini tidak seperti tamu
biasa. Sama sekali tidak tampak goncang hatinya. Dengan tenangnya ia
menurunkan pikulannya di atas tanah, perlahan-lahan ia singsingkan lengan
bajunya dan sarungnya. Tiba-tiba ia berjoged menirukan tarian Werkudoro,
hingga anak-anak lambat laun jadi capek sendiri, akhirnya terhentilah suara
gamelan dari mulut 1000 itu. Melihat gelagat demikian, sang tamu berseru- seru
menantang: "Hayo keluarkan siapa pendekarmu!" Kontan anak-anak pada diam
saling memandang yang satu kepada yang lainnya sambil gerutunya: "Waaaah ini
memang genthol" Anak-anak jadi sadar bahwa tamu satu ini memang jago dan sudah
banyak pengalamannya dalam pesantren-pesantren. Benar juga, tak lama kemudian
ia diangkat menjadi Lurah Pondok (semacam Ketua Dewan Mahasiswa di kalangan
universitas).
Surakan ini biasanya cuma berlangsung sebentar saja, tak
lebih dari 1 jam dan dalam batas- batas tidak merusak badan atau benda, lagi
pula tak pernah dikeluarkan biaya biar satu sen pun.
Semua ini sekedar
menginsyafi perlunya suatu kehidupan rileks, sebagai apresiasi atau
penginsyafan penghargaan terhadap rasa seni di kalangan santri. Kiai sering
menginsyafkan kami semua, bahwa rasa seni amat penting, agar kita terdidik
oleh perasaan halus, satu faktor penting bila kita telah berada di
tengah-tengah masyarakat. Orang yang tak menghargai rasa seni akan menjadi
orang yang serba kaku, bahkan bisa menimbulkan sikap kasar dalam
tindak-tanduknya.
Temanku Mahmud, 6 tahun lebih tua dariku. la sudah lama
tamat sekolah, dan mengajinya hampir menyelesaikan kitab Alfiyah, 1000 bait
sajak dalam bahasa Arab tentang ilmu Nahwu dan Sharaf. Di kalangan kami, ia
pemuda paling ganteng dan jempolan. Kecuali jago pencak, ia mempunyai
kemahiran kaligrafi, seni melukis huruf. Menulis kalimat-kalimat dalam bahasa
Arab dalam lukisan indah, yang nilai seninya dikagumi banyak orang. Teman-
temanku banyak yang memesan lukisan lafal-lafal untuk digantungkan di rumahnya
sebagai penghias dinding. Tak pernah memungut bayaran, cukup bila pemesannya
menyediakan kertas dan alat tulis secukupnya.
Ayahnya mempunyai pesantren
khusus untuk anak-anak perempuan. Sebanyak 200 anak perempuan, fatayat, tiap
sore mengaji di pesantrennya. Kadang-kadang Ibu si Mahmud memberikan pelajaran
bila ayahnya berhalangan.
Aku senang mengunjungi Mahmud bila ia sedang
melukis lafal-lafal.
Suatu hari aku mengunjunginya ketika ia sedang
melukis sebuah lafal. Aku terpesona oleh caranya melukis huruf demi huruf
membentuk kalimat sangat indah dan resik. Rangkaian huruf itu akhirnya
menciptakan sebuah lafal yang bagus dan indah dipandang mata. la bilang, itu
lukisan seni huruf gaya al-Farisi, berasal dari negeri Parsi. Ada gaya lain
dalarn seni lukis huruf Arab, ada gaya as-Tsuluts, Nasakh, Rig'ah,dan
lain-lain.
Aku tertarik oleh lukisan yang sedang ia kerjakan. Aku ingin
memesannya untuk digantungkan di rumahku. Aku ingin memilikinya.
"O...,
tidak bisa! Ini sudah ada yang punya," kata Mahmud sambil membuang senyum
lebar dan matanya melirik tajam kepadaku.
"Milik siapa?" aku ingin
tahu.
30
"Maaf saja, ini rahasia...!" sambil
meyeringai, matanya terus menatapku tajam-tajam.
"Kalau begitu, tolonglah
Mud, bikinkan lukisan persis macam ini!" aku mendesak. Benar- benar aku ingin
memiliki lukisan macam itu.
"Itu pun tidak bisa! Lukisan macam ini cuma
satu-satunya. Orang lain tak mungkin bisa memilikinya!" jawabnya. Jarinya
terus menelusuri lekuk-lekuk huruf Arab membuat bentuk tertentu.
"Lukisan
indah, untuk kenang-kenangan indah!" gumamnya sendirian. "Untuk siapa?" aku
masih penasaran dan mendesak ingin tahu.
Mahmud tidak menggubris
pertanyaanku. la melukis terus sambil bersiul kecil mengikuti irama yang
sedang dinyanyikan fatayat-fatayat yang tengah mengaji di ruang depan
rumahnya, tak jauh dari tempat kerja Mahmud.
Santri-santri perempuan itu
sedang menyanyikan sebuah lagu dari syair-syair dalam maulid Diba di bawah
asuhan Ibu si Mahmud. Syair-syair itu sebuah panembrama mengelu-elukan
kehadiran Nabi Besar Muhammad Saw. Sebelum perang membaca bagian-bagian yang
mengisahkan sejarah perjuangannya.
Ya Rasulallah salamun
'alaik, Ya Rofi'as sya'ni wad daraji, 'Athfatan ya jiratal 'alami,
Ya
uhailal judi wal karami... /
Salam sejahtera bagi Tuan, wahai
Rasulallah! Nabi nan bermartabat tinggi amat berbunyi, Santun, lembut nian
hati Tuan, oh Penata alam,
Duhai Nabi yang dermawan, pemurah hati lagi
mulia!
Suara itu mengalun dalam irama syahdu, naik dan turun
gelombang demi gelombang bersahut-sahutan. Bila gelombang yang satu
mengalunkan nada lirih dan lembut sampai pada titik akhir bait, sekonyong
disambut alunan gelombang dalam nada gemuruh, silih berganti susul-menyusul.
Dua irama dalam satu lagu, antara yang lembut menyerah dengan yang datang
menerjang!
Sembilan bait itu selesai dinyanyikan ganti-berganti. Memang
enak sekali, begitu nikmat didengarkan dari tempat kerja Mahmud. Pantas ia
bersiul lirih mengikuri irama nyanyian fatayat-fatayat itu.
Menjelang
setengah enam sore, pengajian itu usai sudah. Sengaja bubar pada jam itu untuk
memberi kesempatan anak-anak perempuan tiba di rumahnya masing-masing sebelum
waktu maghrib.
31
Sekonyong-konyong masuklah ke tempat
kerja Mahmud dua orang perempuan. Yang satu seumur Ibuku, aku sudah kenal.
Namanya Bibi Rodiah. Aku mengenalnya, karena ia sering membantu Ibu di rumah
membatik kain, kadang-kadang menemani Ibu pergi mengaji. Yang satunya masih
muda, lebih muda sedikit dari kakakku. Kulitnya keputih-putihan seperti nona
Cina tetanggaku. la mengenakan kerudung di kepalanya berwarna merah jambu yang
diberi sulaman benang putih.
"Mud, ini si Sum mau ketemu sebentar!" kata
Bibi Rodiah. Mahmud kelihatan gugup ketika menatap wajah Sum, hampir saja
sarungku dipakai lap untuk membersihkan jari-jarinya yang masih berlumuran
tinta.
"Ada apa Sum?" bertanya Mahmud. Kok seperti gemetar suaranya! "Apa
lukisannya sudah jadi, Mud?" tanya Sum, kepalanya menunduk.
"Oh...
anu...belum! Insya Allah besok selesai," jawabnya sambil melirik padaku.
"Melukisnya
sangat hati-hati. Mahmud tak mau terburu-buru, takut ada yang salah. Bukan
begitu, Mud?" Bibi Rodiah menyela.
"Memang begitu," jawab Mahmud pendek
saja.
"Habis yang memesan siapa!" Bibi Rodiah bilang, "Pemesannya kan
bukan orang sembarangan!" Bibi Rodiah menyeringai sambil melirik tajam kepada
Sum.
"Ah, ya tak apa!" jawab Sum, lalu sambungnya, "Mud, ini benda tak
berharga buat Mahmud, barangkali ada gunanya!" sambil menyerahkan bungkusan
kecil kepada Mahmud.
"Apa ini? Kok ada-ada saja Sum ini!" Mahmud
menyambut bungkusan dari tangan Sum. "Permisi, sudah hampir maghrib, mau
pulang," kata Sum berpamitan.
"Nantilah dulu, Sum, maghrib masih lama.
Biar saya mengantarkan kau sampai ke rumahmu!" menyela Bibi Rodiah, maksudnya
menahan Sum biar agak lama bertemu Mahmud.
"Maghrib sudah hampir tiba.
Takut dimarahi ayah kalau terlambat Permisi, Mud!" Sum tetap hendak pulang
segera. Akhirnya Bibi Rodiah menyertainya pulang.
"Alhamdulillah! Tuhan
Maha Kasih Sayang!" berkata Mahmud kegirangan sambil jegigisan. Bungkusan
segera dibuka, ternyata sebuah peci hitam. Kontan saja ia pakai, ternyata pas
betul di kepalanya.
"Akan saya pakai terus-terusan, biar sedang tidur
sekalipun...!" katanya. Peci dilepas, diamati sambil bersiul-siul, lalu
dikenakan di kepalanya lagi sambil senyum lebar tak henti- henti.
"Hai,
kau tahu? Sum itu bunga mawarnya kampung ini" berkata Mahmud sambil
menyodorkan ibu jarinya dekat hidungku.
"Bunga mawar? Jual bunga dia?"
aku bertanya, tak mengerti.
"Ah, kau anak kecil, tahu apa kau tentang
bunga mawar!" bentaknya padaku. Aku pun berpamitan pulang. Tak berhasil
memesan lafal dari Mahmud.
Memasuki Persiapan Pengabdian
Seperti proses produksi dan marketing dalam dunia usaha, kira-kira begitulah
salah satu peranan dari kehidupan pesantren. Santri-santri baru pada datang
bermunculan, diproses jadi anak-anak terdidik, dipompa otaknya dengan ilmu,
dibentuk karakternya dengan membiasakan latihan diri, lalu memasuki alam
marketing untuk meninggalkan pesantren, memasuki kehidupan masyarakat guna
mengabdi kepadanya. Tak ada batas berapa lama waktu menghabiskan dalam
pesantren. Itu tergantung kemampuan serta kematangan mental santri-santri. Ada
yang dalam waktu singkat telah jadi orang, meninggalkan pesan- tren, lalu
jadilah ia kiai atau ustadz di kampungnya, bahkan tidak sedikit yang pada
akhirnya tampil menjadi pemimpin terkemuka dalam masyarakat. Tetapi juga
ada—mungkin banyak—santri-santri yang menghabiskan waktu sangat lama dalam
suatu pesantren, namun "belum juga jadi-jadi." Ada seorang teman bekas kawanku
di pesantren dulu, pada satu ketika aku jumpai ia menjadi pelayan hotel, gugup
juga ia ketemu aku, entah ada perasaan malu barangkali, sambil seolah-olah
seperti menyesali diri ia katakan padaku: Kalau aku tahu cuma bakal jadi
pelayan hotel, mengapa aku dulu besar di pesantren! Aku memaklumi perasaannya,
namun aku besarkan hatinya: "Mengapa begitu? Pelayan hotel pun pekerjaan
penting. Dan kau tentu bukan sembarang pelayan. Kau toh bisa jadi "kiai"-nya
para pelayan hotel," demikian kataku menghiburnya. la lalu ceritakan padaku,
bahwa memang benar, ia diserahi tugas pemeliharaan rohani di kalangan karyawan
hotel oleh direksi, ia jadi kiai juga di kalangan mereka. Tak ada ruginya
belajar di pesantren. Kalau ia kelak jadi tukang sayur, biarlah ia jadi
kiainya tukang-tukang sayur. Kalau ia kelak jadi sopir, biarlah ia jadi
kiainya sopir-sopir. Jika ia kelak jadi direktur atau jenderal sekalipun, ia
toh akan menyesuaikan dirinya sebagai kiainya para direktur dan kiainya
jenderal-jenderal. Jelas, tak ada ruginya mengecap pendidikan dalam
pesantren.
Proses kemajuan zaman serta perkembangannya berangsur-angsur
memasuki dunia pesantren. Semangat dan kebangkitan nasional serta politik juga
memasuki kehidupan pesantren. Surat-surat kabar dan majalah mengalir juga ke
sana dengan segala kumandangnya. Sebagai suatu segi kebudayaan, tentu
pesantren memiliki daya tahan dalam menyaring segala arus yang masuk ke
dalamnya.
Alam pesantren terkenal bebas dan demokratis. Tetapi di sana,
usaha pembinaan mental dan spirit, ketahanan dan kemauan berdiri sendiri
amatlah kuat. Sebab itu, benar juga kalau dikatakan bahwa pesantren adalah
suatu subkultur dalam kehidupan masyarakat kita sebagai suatu bangsa.
Ketahanannya
membuat pesantren tidak mudah menerima sesuatu perubahan yang datang dari
luar, karena pesantren memiliki suatu benteng tradisi tersendiri. Tradisi
kerakyatan dalam mengabdi kepada Allah SWT, dan menyebar kebaikan di
tengah-tengah masyarakat.
Setiap orang yang baru datang ke dalam
pesantren diterima dengan baik sebagai anggota keluarga pesantren, tanpa purba
sangka apapun. Biarpun ada intel-intel untuk menyelidiki kehidupan
santri-santri. Dunianya sangat terbuka, siapa saja boleh masuk tanpa
kecurigaan. Inilah agaknya yang dinamakan semangat lillahi Ta'ala.
33
Suatu
peristiwa, terjadilah suatu hal yang menyangkut pesantren kami. Kiai kami
dipanggil Tuan Wedono. Tentu seluruh pesantren diliputi suasana prihatin.
Kiranya menyangkut masalah tuntutan umat Islam tentang biaya pemotongan korban
ternak. Pada hari-hari raya Idul Adha, umumnya orang memotong binatang ternak
sebagai korban. Pemerintah kolonial menetapkan suatu peraturan bahwa untuk
pemotongan korban ini dikenakan biaya sejumlah uang. Umat Islam keberatan
karena ini menyangkut urusan ibadah. Masa untuk beribadah dipungut biaya, lain
halnya kalau pemotongan hewan itu untuk dijual sebagai mata pencaharian. Umat
Islam menuntut pembebasan biaya. Dalam pada itu, tersiar benta bahwa
Perhimpunan Nahdhatul Ulama menolak maksud pemerintah Hindia Belanda hendak
memberi subsidi kepada pondok-pondok pesantren dan madrasah-madrasah.
Alasannya bahwa pesantren dan madrasah adalah media pendidikan untuk beribadah
kepada Allah SWT. Maka layak jika untuk beribadah orang mesti menerima
subsidi, dibayar. Kedua masalah di atas ini dianggap oleh kekuasaan Hindia
Belanda sebagai aksi politik terselubung, anti pemerintah kolonial. Ini
merupakan masalah politik. Dan pesantren dipandang oleh pemerintah Hindia
Belanda sebagai laboratorium kegiatan politik menentang kekuasaan kolonial.
Itu sebabnya mengapa kiai kami dipanggil Tuan Wedono.
Sejak peristiwa
itu, di kalangan para santri timbul keheran-heranan, karena ketika kiai kami
dipanggil tuan Wedono untuk diverhoor, di sana ada seorang pejabat yang
mendampingi Wedono itu, yaitu orang yang selama ini kami kenal sebagai salah
seorang "santri" yang berbulan-bulan mondok di pesantren kami. Baru kami
menyadari bahwa "santri" tersebut salah seorang alat P.I.D. Pantaslah ia
tiba-tiba kabur meninggalkan pesantren. Agaknya, si
P.I.D. ini dikirim
majikannya untuk menyelidiki dunia pesantren, dan sampai di mana hubungannya
dengan Nahdhatul Ulama.
Sudah berhari-hari kami dibuat surprise dengan
datangnya H.O.S. Cokroaminoto di kampung kami. Pemimpin yang sedang
tenar-tenarnya ini menetap di kampungku, Sukaraja, kira-kira dua tahun
begitulah (tahun 1930-an). Baru aku memaklumi bahwa beliau mendirikan
kader-voorming menggembleng pemuda-pemuda. Puluhan pemuda datang dari Sumatra
Barat, Jawa Barat, bahkan ada yang datang dan Gorontalo. Mula-mula aku heran
mengapa tak seorang pun pemuda dari kampungku memasuki kelompok mereka. Baru
kemudian kami menyadari bahwa mereka khusus pemuda-pemuda dari kalangan
Syarikat Islam. Padahal sebagian terbesar pemuda-pemuda dan santri-santri di
kampungku berada dalam naungan Nahdhatul Ulama. Ada juga yang Muhammadiyah,
tetapi cuma sedikit sekali, hampir terbatas dalam lingkungan salah satu
keluarga.
Pengaruh gerakan nasional ketika itu ditandai oleh kampanye
serta aktivitas "Partai Indonesia" (Partindo) dan "Pendidikan Nasional
Indonesia." Pengaruhnva merembes juga ke kampung kami, dan kumandangnya juga
memasuki pesantren-pesantren kami. Nama- nama Ir. Sukarno, Drs. Muhammad
Hatta, Mr. Sartono, Gatot Mangkupraja sangat terkenal. Gambar-gambar mereka
menghiasi kamar santri-santri, demikian pula brosur-brosur mereka mengalir ke
pesantren. Santri-santri sering mendiskusikan masalah-masalah imperialisme-
kapitalisme, non-kooperasi, selfhelp, di samping masalah-masalah fa'il-naibul
fa’il anwa'uz- zakat, mad wajib muttashil, dan kajian di pesantren.
Pada
kami para santri, terutama yang sudah dewasa, timbul suatu kesadaran, alangkah
masih banyaknya ilmu dan pengalaman yang harus kami peroleh. Bukankah kami
tidak akan menjadi santri buat selama-lamanya? Satu saat kami harus terjun ke
tengah-tengah masyarakat mengembangkan kesantrian kami ke dalam kehidupan
bangsa kita pada umumnya.
34
Salah seorang guru kami
yang tak akan kami lupakan selama-lamanya adalah Raden Haji Mukhtar. Beliau
lain dari yang lain. Dalam pesantren-pesantren atau madrasah-madrasah, atau
dalam kesempatan pengajian umum dan perayaan-perayaan han-hari besar Islam,
kiai yang satu ini tidak pernah menguraikan hal-hal yang langsung bersifat
'ilmiah-agamis. Kalau kiai-kiai yang lain selalu saja membentangkan
masalah-masalah puasa Ramadhan, tentang berapa macam ilmu yang wajib
dipelajari, tentang Sunnah Rasulullah dan sebagainya, tidak demikian dengan
Raden Haji Mukhtar ini. Beliau menguraikan tentang hal-hal yang "duniawi,"
selalu cuma itu saja. Tentang pengumpulan beras tiap-tiap keluarga satu sendok
makan tiap hari, dikumpulkan seminggu sekali dan dipool di salah satu
pengurus. Hak orang yang memberikan dana beras satu sendok makan ini
sewaktu-waktu meninggal dunia atau salah seorang keluarganya, ia akan
memperoleh kain kafan, dan jenasahnya akan dihormati beramai-ramai sesama
warga, dan seterusnya akan dibacakan qulhu sekian ratus kali oleh sekian
anggota. Timbul pikiran di kepalaku, bagaimana ngurusnya? Atau diuraikan
pentingnya wali murid menyerahkan tiap-tiap orang satu pohon kelapa, yang
penghasilannya diperuntukkan guna menjamin penghidupan guru-guru madrasah yang
mendidik anak-anak rnereka. Dianjurkan tentang pentingnya persatuan agar kita
kuat. Pekerjaan berat akan terasa lebih ringan jika dikerjakan secara
persatuan. Dianjurkan pula agar kita hidup bergotong-royong. Selagi masih ada
warung milik orang kita seharusnyalah kita membeli keperluan sehari-hari ke
sana. Selagi masih ada pedagang dari orang kita, kita jual hasil bumi kita
kepadanya. Selagi masih ada penatu orang kita, kita cucikan pakaian kita
kepadanya. Kalau kita membutuhkan seorang tukang, misalnya untuk memperbaiki
rumah kita yang rusak, selagi masih ada tukang orang kita, serahkan pekerjaan
itu kepadanya. Tetapi ingat, kedua belah pihak harus saling jujur, boleh
dipercaya, dan tidak menyalahi janji.
Baru kemudian aku tahu bahwa Raden
Haji Mukhtar ini adalah seorang konsul Nahdhatul Ulama yang giat melaksanakan
instruksi-instruksi dari pusat, dari Hoofd Bestuur Nahdhatul Ulama. Baru aku
mengetahui bahwa semua itu dalam rangka kampanye suatu gerakan Mabadi Khaira
Ummah, langkah pertama pembinaan umat yang berkarakter baik. Penggalangan
kekuatan umat! Konsul adalah koordinator cabang-cabang, tiap cabang pada
umumnya terletak di tiap kabupaten. Raden Haji Mukhtar mengkoordinir 13 cabang
yang tersebar di Karesidenan Banyumas, Kedu, dan Yogya. Jadi boleh dibilang
kegiatan Nahdhatul Ulama seluruh daerah Jawa Tengah bagian Selatan ini,
dikoordinir dari kampungku, Sukaraja, kota kewedanan.
Raden Haji Mukhtar
lebih terkenal dengan sebutan Pak Mukhtar, sekalipun di waktu itu tahun-tahun
1930-an belum lazim seorang pemimpin dipanggil atau disebut dengan panggilan
"Bapak." Kecuali Raden Haji Mukhtar. Orang memanggilnya sehari-hari dengan Pak
Mukhtar, begitu saja. Bahkan kadang-kadang cuma disebut saja "Bapak," tetapi
semua orang paham bahwa yang dimaksud adalah Raden Haji Mukhtar, Konsul
Nahdhatul Ulama.
Seorang Kiai di kampungku, Guru Tharikat
"Naqsyabandiyah" bernama Kiai Raden Haji Rifa'i. Dalam tugas sehari-hari
memimpin para muridnya yang ribuan jumlahnya tersebar di pelosok-pelosok,
beliau didampingi oleh Pak Mukhtar. Urutan nasabnya Pak Mukhtar masih paman
dari Kiai Raden Haji Rifa'i. Satu lagi yang penting dicatat di sini, Pak
Mukhtar ini juga salah seorang anggota Regentschaap-Raad, dewan perwakilan
rakyat kabupaten di zaman itu. Tetapi beliau juga pendamping Guru Tharikat
"Naqsyabandiyah"!
Aku sangat beruntung menjadi seorang anak yang dekat
dengan Pak Mukhtar ini. Biasa, aku disuruh-suruh membantu beliau. Mencarikan
delman jika beliau akan berangkat
35
turne mengunjungi
daerah-daerah yang dekat. Atau disuruh mengirimkan uang dengan wesel ke kantor
pos. Beliau langganan surat kabar "Pemandangan" dan karena itu, tiap bulan
harus mengirimkan uang langganannya ke Jakarta lewat pos. Kadang-kadang aku
disuruhnya membantu mengetik surat-suratnya. Aku bisa mengetik, jangan lupa
aku kan juga murid Kiai Khalimi yang mengajar keterampilan. Dari Pak Mukhtar
ini aku belajar membuat instruksi-instruksi stensilan. Zaman itu belum ada
kita-kita ini memiliki mesin stensilan atau roneo. Pak Mukhtar mengajarkan
stensilan dengan agar-agar. Ya, agar-agar yang biasa kita makan sebagai kue
lezat. Dibuatlah agar-agar (tanpa guk) di atas talam. Aku menulis surat,
apakah namanya maklumat ataukah instruksi, di atas kertas dengan memakai tinta
cina atau tinta stempel (stempel ink).Tulisan ini namanya copy. Copy aku
letakkan di atas agar-agar dalam talam. Tulisan akan tertinggal di atas
agar-agar. Ambil kertas kosong, letakkan pelan-pelan di atasnya, lalu
angkatlah dia, maka jadilah sebuah stensilan. Kalau mau baik 40 lembar.
Praktis, murah dan sangat modern di zaman itu. Semua ini aku peroleh dari
bimbingan Pak Mukhtar.
Umurku sekitar 14 tahun ketika pada suatu hari aku
diajak Pak Mukhtar ke Mandiraja dekat Banjarnegara. Ada rapat Nahdhatul Ulama
di sana. Aku tak tahu jelas apa sifat rapatnya. Yang aku ingat betul, banyak
sekali pengunjungnya, para kiai dan santri-santri. Senang benar aku nderek Pak
Mukhtar naik kereta api ke Mandiraja itu. Aku mendapat tugas membaca Al-Qur'an
dalam rapat itu, diam-diam aku jadi qari' juga. Maklumlah aku masih anak-anak,
tak begitu paham pidato-pidato, nasihat-nasihat cuma aku tangkap sepotong-
sepotong. Tertidurlah aku di tengah-tengah pidato-pidato itu. Aku dibangunkan
dari tidurku oleh Pak Mukhtar karena makanan dan minuman dihidangkan.
Pertemuan bubar sudah jauh malam. Pak Mukhtar dan beberapa kiai masih
bercakap-cakap dengan seorang berpakaian perlente, pakai blangkon dan baju
putih bersih. Orang ini banyak mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang dijawab
oleh Pak Mukhtar. Jawaban-jawaban Pak Mukhtar ditulis dalam buku besarnya.
Lama orang ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Ketika kami pulang ke
pondokan, aku memberanikan diri bertanya kepada Pak Mukhtar, siapakah orang
tadi. Beliau menjawab: "Dia P.I.D."! Aku tanya lagi, P.I.D. itu apa? Dijawab:
"Utusan Kanjeng Gupermen"! Aku masih belum mengerti.
Hubungan Pak Mukhtar
dengan para kiai sangatlah erat. Terjalin suatu ikatan saling harga-
menghargai, saling memerlukan. Dalam pandangan ulama, Pak Mukhtar adalah
tameng, alat pelindung jika dirasakan datangnya suatu ancaman, terutama dari
kalangan penguasa kolonial. Pak Mukhtar adalah "juru bicara" para kiai untuk
menjelaskan keinginan- keinginan serta keberatan-keberatan ulama terhadap
berbagai masalah yang datang dari pihak penguasa. Beliau pandai berbicara
tentang isi hati para kiai dengan memakai "bahasa" kaum penguasa. Begitu
sebaliknya, bicara tentang keinginan-keinginan penguasa yang memang objektif
dan positif dengan memakai "bahasa" kiai dan santri.
Beliau adalah
seorang pengayom serta pribumi yang baik, yang berdiri atas suatu prinsip
unluk kemajuan dari Islam serta umatnya.
Ketika beberapa kiai di
Kebarongan (Banyumas) dan Wonosobo dimajukan ke muka pengadilan kolonial fasis
Jepang, karena dituduh melakukan gerakan di bawah tanah melawan Jepang, Pak
Mukhtar tampil di pengadilan mendampingi K.H.A. Wahab Chasbullah selaku
pembela. Dengan memakai jas lurik kotak-kotak lembut dengan sarung plekat
berwarna sama dengan sorbannya, beliau membacakan pidato pembelaan di muka
ketua pengadilan. Suaranya besar sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Pidatonya jelas, pasti, dan meyakinkan. Puluhan kiai yang diseret ke muka
pengadilan fasis Jepang
36
akhirnya dapat diselamatkan,
kecuali dua orang kiai yang tak berhasil diselamatkan karena hakim ketua
menjatuhkan vonis hukum mati.
Di rumahnya, tiap hari tak pernah sunyi
dari tamu-tamu, jauh maupun dekat. Buat tamu yang jauh disediakan tempat
menginap, jika "kamar tamu"-nya sudah penuh, maka surau yang terletak di
samping rumah dijadikan "hotel Muslimin," tempat tamu-tamunya menginap. Banyak
aku peroleh pelajaran dan pengalaman kalau di rumah Pak Mukhtar penuh dengan
tamu- tamu para ulama. Tak jarang di sana berkumpul dedengkot ulama Banyumas.
Kiai Raden Iskandar dari Purbalingga yang terkenal wingit berwibawa, Kiai
Akhmad Bunyamin Purwokerto yang terkenal lembut dan teliti, Kiai Akhmad
Syatibi sesepuh ulama Banyumas, Kiai Adzkiya Kroya terkenal sebagai jago debat
yang menjadi langganan datang ke kongres Muhammadiyah untuk mengajak diskusi
tentang berbagai masalah khilafiyah. Ketika itu sedang tajam-tajamnya
pertentangan antara kaum Nahdhatul Ulama dengan kaum Muhammadiyah mengenai
masalah khilafiyah. Orang Nahdhatul Ulama berpendapat bahwa sembahyang harus
membaca ushalli tetapi orang Muhammadiyah tidak. Orang Nahdhatul Ulama
mengharuskan tiap jenasah dibacakan azan serta doa talqin pada saat
dimakamkan, tetapi orang Muhammadiyah tidak. Orang Nahdhatul Ulama
mengharuskan tiap orang harus berwudhu lebih dahulu sebelum memegang
Al-Qur'an, tetapi orang Muhammadiyah tidak usah dengan wudhu. Bacaan tahlil,
menurut orang Nahdhatul Ulama, bisa sampai kepada orang yang telah meninggal
jika kita kirimkan pahalanya, tetapi orang Muhammadiyah tidak demikian. Dan
masih banyak lagi masalah khilafiyah yang timbul di kalangan masyarakat ketika
itu. Kiai Adzkiya ini rajin berdiskusi dengan ulama Muhammadiyah untuk mencari
titik pengertian akan duduk masalahnya menurut hukum Islam. Demikianlah
tamu-tamu Pak Mukhtar. Tidak jarang beliau menyuruhku untuk menjemput Ustadz
Mursyid atau Kiai Khalimi pada saat di rumah beliau penuh tamu.
Kedatangan
tamu-tamu ini kecuali biasa bertamu karena rasa rindu, juga tak jarang untuk
meminta advis atau petunjuk Pak Mukhtar mengenai berbagai masalah yang sedang
dihadapi para kiai. Masalah perbaikan pesantren, masalah di mana bisa dibeli
kitab-kitab bacaan para santri, masalah dakwah, dan kadang-kadang juga masalah
timbulnya rasa tidak aman berhubung dengan sikap penguasa kolonial. Dari
pertemuan-pertemuan ini, aku banyak sekali memperoleh pelajaran serta
pengalaman mengenai dunia alim ulama. Suatu dunia yang banyak disangka orang
luar sebagai dunia tertutup," tetapi sebenarnya adalah dunia kita yang bebas
terbuka, dunia yang menanamkan keamanan batin serta kesejahteraan hidup. Orang
yang menganggap dunia ini sebagai dunia tertutup hanya disebabkan karena orang
tidak tahu di mana letak pintunya, dan terutama karena tidak bisa berbicara
memakai "bahasa Santri". Pak Mukhtar ini, aku rasa, seorang yang amat paham
akan dunia kiai dan amat pandai berbicara memakai bahasa kiai.
Hampir
bisa dipastikan bahwa dalam 1 minggu, Pak Mukhtar hanya satu dua hari berada
di rumahnya, sisanya dipergunakan untuk turne ke cabang-cabang Nahdhatul Ulama
dan mengunjungi para kiai di tempatnya masing-masing. Aku sangat beruntung
bahwa aku termasuk sering diajak beliau berturne ini.
Suatu hari pada
tahun 1935 aku mengikuti Pak Mukhtar mengunjungi salah satu daerah. Turun dari
kereta api lalu naik dokar (delman), disambung dengan naik gerobak (pedati)
yang ditarik sapi karena tak ada kendaraan lain kecuali itu. Di suatu desa,
kami terpaksa harus bermalam. Di mana? Tak ada seorang kenalan pun dalam desa
itu. Dicarinya sebuah langgar, kecuali untuk kami bersembahyang, juga akan
dijadikan "hotel" tempat kami akan menginap. Tibalah waktu sembahyang, tetapi
jamaah hanya 3 orang saja. Lepas
37
sembahyang beliau
berkenalan dengan kiai yang jadi imam tadi. Omong punya omong, pembicaraan
bertambah asyik. Diceritakan oleh kiai itu bahwa di desanya tergolong "minus"
orang beribadah, bahkan terkenal sebagai tempat rnaling. Penduduk takut keluar
rumah untuk ke langgar, khawatir kalau-kalau rumahnya kemasukan pencuri.
Ditanyakan kepada kiai itu, di mana rumah lurah desa. Seketika itu juga Pak
Mukhtar berangkat menemui lurah. Sebenarnya aku sudah sangat letih karena
perjalanan, ingin rasanya tidur saja dalam langgar. Tetapi karena mendengar di
desa itu banyak maling, takut juga kalau tidur di langgar. Mau tak mau ikut
juga menemui lurah. Beruntunglah, kami bisa menjumpai lurah. Dari pembicaraan
yang panjang itu, Pak Mukhtar menegaskan kepada lurah, bahwa salah satu jalan
paling penting agar desanya menjadi aman, anjurkanlah penduduk untuk rajin
beribadah. Tanggung, desa akan aman. Pengaruh serta wibawa lurah sangatlah
penting, maka tiap anjuran kepada rakyat akan mudah diterima apalagi anjuran
baik seperti ibadah. Sang pencuri yang menjadi penduduk desa itu akan menjadi
malu sendiri kalau menyaksikan bahwa seluruh penduduk rajin ibadah. Dia akan
menghentikan pekerjaannya sebagai maling, atau pindah ke tempat lain. Inilah
jalan menuju keamanan desa. Pak Lurah sangat setuju pada pikiran Pak Mukhtar
ini. Kami diminta untuk bermalam di rumahnya, dan tak lupa keluarlah hidangan
besar, maklum suguhan Pak Lurah. Bukan main girang hariku, apalagi perut sudah
keroncongan sejak tadi!
Kami tiba di suatu tempat, menuju ke rumah
seorang kiai yang menjadi pengurus Nahdhatul Ulama, setelah kami berjalan kaki
hampir 5 jam dan menyeberangi sebuah sungai yang sedang banjir. Tiba di rumah
orang yang dituju, sahibulbait tidak ada di tempat. Rumah itu kosong. Kami
menunggu hingga yang punya rumah datang. Lama juga hingga menghabiskan dua
kali melinting rokok. Rasanya mulut ini sudah cemplang saja, haus ini tak
hilang-hilang biar dipenuhi asap rokok.
Tiba-tiba sahibul bait datang,
kaget juga melihat kedatangan kami yang tak disangka-sangka itu. Sebenarnya
kami lagi enak-enak slonjor di atas risban (rijst bank) bambu untuk melemaskan
otot-otot kaki yang kecapekan. Kalau tidak sahibul bait datang barangkali
perut yang mulai lapar itu bisa dijinakkan oleh silir angin yang
membelai-belai mengajak tidur.
"Kiai, jangan tanya yang lain-lain dulu!
Ada nasi, nggak? Sudah lapar, nih!" kata Pak Mukhtar kepada sahibul bait. Yang
ditanya tertegun dengan menyebar senyumnya, katanya: "Masya Allah, begini Pak.
Saya ini kemari untuk singgah sebentar menengak-nengok rumah. Sudah 5 hari
isteriku andon-babaran di rumah mertua karena melahirkan anak. Semua kami
pindah ke sana. Jadi rumah ini cuma ada kendil dan cangkir kosong saja. Alaaa,
melas temen! (alangkah kasihan Pak Mukhtar!) Dewa sekang kayangan kok kapiran,
alaa menjorang banget aku! (Tamu agung kok sampai tidak diurus, keterlaluan
saya ini!)‖ Pak Mukhtar cepat-cepat merogoh sakunya, dikeluarkan uang setalen
(f. 0,25) katanya: "Lekas suruhan anak santri membeli beras dan lauk-pauk,"
lalu keluarkan lagi uang f. 1, katanya: "Ini buat tambahan biaya nyai
babaran.”
Sambil menantikan selesainya masakan, sahibul bait mengundang
sendiri 4 atau 5 orang pengurus lain untuk menerima kedatangan Pak Konsul ini.
Kami 7 atau 8 orang bersantap bersama-sama dengan lahapnya sekalipun hanya
dengan sayur, sarnbal, dan ikan asin. Tengah bersantap, Pak Mukhtar
menjelaskan maksud kedatangannya agar di desa itu didirikan madrasah. Kita
tidak memerlukan uang kata Pak Mukhtar. Kita cuma memerlukan kayu, bambu,
pasir, dan batu. Di desa ini banyak kayu, bambu, dan batu, serta pasir,
tinggal diambil saja. Orang kita cukup banyak, ini merupakan tenaga-tenaga
untuk mengambilnya. Buat apa uang? Orang-orang kita di sini sedikit banyak
mempunyai pohon kelapa, singkong,
38
dan buah-buahan
lainnya. Itu semua kita kumpulkan dengan gotong-royong, kita jual, dan
hasilnya bisa kita belikan genteng dan tegel. Tidak perlu kumpulkan uang, buat
apa kalau semua ini bisa kita kerahkan? Salah seorang yang hadir berkata:
"Pak, sebaiknya sehabis makan ini kita adakan rapat untuk bicarakan ini
semua!" ―Buat apa lagi rapat?‖ Jawab Pak Mukhtar. "Kita omong-omong ini sambil
makan sudah selesai persoalan. Tinggal kerja saja. Kapan dimulai?" Akhirnya
semua setuju dan semua puas. Perut kenyang dan persoalan sudah terpecahkan
dengan baik. ―Mari kita sembahyang,‖ ajak Pak Mukhtar. Kepada sahibul bait
dikatakan: "Kiai yang membaca doa semoga usaha kita mendirikan madrasah
terkabul!"
Habis sembahyang Pak Mukhtar berpamitan. Semuanya menahan
beliau agar bermalam. Beliau tetap berpamitan, walaupun orang-orang tetap
menahannya. Sambil berjalan meninggalkan tempat itu beliau katakan: "Enaknya
sendiri, saya kan harus mengunjungi tempat lain juga!"
Terasa kesepian
juga ditinggal beberapa teman. Ya, teman mengaji, ya, teman bermain- main.
Benar juga kata Kyai, teman sepengajian merupakan kawan yang muballit, sangat
intim pergaulannya. Mereka sesaudara tunggal guru, dan biasanya lebih erat
perhubungannya melebihi sesaudara seibu-seayah.
Suatu ketika kiai
bercerita. Ada seorang kiai tengah mengajar, tiba-tiba kedatangan seorang tamu
bekas teman sepesantren, yang kemudian menjadi seorang kiai seperti dia di
salah satu tempat yang jauh. Kedatangan sang tamu yang tiba-tiba ini tentu
saja merupakan suatu surprise baginya yang amat menyenangkan hatinya.
Pengajian diliburkan seketika, habis, namanya orang lagi senang dan karena
ingin menghormat sang tamu. Disuruhnyalah seorang santrinya, sebut saja
namanya Zaid, untuk pergi ke pasar membeli kepala kambing, serta disuruhnya
pula Zaid memasak gulai kepala kambing. Sementara itu, kiai mempersilakan
tamunya mendiami kamar tamu yang khusus disediakan. Sementara kedua sahabat
yang muhallit ini ngobrol kesana kemari dengan amat asyiknya, tentu saja
saling mengisahkan pengalaman dirinya masing-masing, Zaid menghidangkan suatu
jamuan istimewa, tentu saja tidak ketinggalan gulai kepala kambingnya. Amat
lahaplah kedua insan ini bersantap sambil meneruskan kisahnya masing-masing,
Zaid menunggui dari kejauhan kalau-kalau ada hal-hal yang harus dikerjakan,
mengambil sendok atau menambah nasi dari dapur dan sebagainya. Lama sekali
kedua teman muhallit ini bersantap sambil berbincang- bincang, ada-ada saja
yang dikisahkan. Tak kering-keringnya ingatan keluar dari kepala masing-masing
untuk diceritakan. Namanya teman muhallit yang sudah puluhan tahun tidak
saling berjumpa. Zaid merasa betapa lamanya mereka bersantap, tetapi hatinya
disabar- sabarkan menanti, biarpun perutnya sudah merasa lapar sekali. la
berharap akan bisa menikmati sisa hidangan. Namanya saja santri yang taat
kepada guru, dan ia merasa berbahagia bisa menjadi khadam melayani kebutuhan
kiai. Tetapi yang membuat Zaid menjadi cemas, gulai kambing itu hampir ludes
disantap kedua kiai ini.
Buat menghibur diri, ia melirik mengawasi gulai,
katanya dalam hati, syukurlah lidah kambing itu masih ada, mungkin bagian
dialah. Baru saja berkata demikian dalam hatinya, tiba-tiba kiai bertanya
kepada tetamunya "Oooh, jadi sudah 200 orang juga santrimu?‖ sambil mencomot
lidah kambing.
Zaid kaget juga, tetapi dihiburlah batinnya, ah, kupingnya
masih ada satu, mungkin itulah bagianku. Sang tetamu mengajukan pertanyaan
kepada sahibul bait: "Ente sudah punya menantu juga? Dan menantumu pun
membantu mengajar di pesantren?" sambil mbetot kuping kambing dan dikunyahnya
cepat-cepat. Zaid tambah panik juga dibuatnya, tetapi ia tenangkan hatinya
sambil menghibur diri: "Ya, tapi cungur kambing itu masih ada
39
sebagian,
itulah bagianku." Kiai melanjutkan kisahnya: "Begini, aku ingin istriku
membuka pesantren khusus buat anak-anak perempuan.
Ente setuju itu?‖ sambil tangannya menyomot bagian hidung
kambing idaman Zaid. Bukan main kecewa hati Zaid bahwa idaman hatinya,
potongan hidung kambing itu sudah wassalam. Ia harus lebih sabarkan hatinya,
dan ia melihat bahwa masih ada sisa dari gulai kepala kambingitu yang belum
dijamah, yaitu mata kambing yang tinggal satu-satunya. Inilah, Insya Allah
bagian ana, demikianlah ia menghibur diri. Dikira selesailah kedua kiai ini
bersantap, sudah kedengaran dahak masing-masing menandakan keduanya makan
dengan lahap dan nikmat. Kiai masih mengajukan pertanyaan kepada tamunya:
"Jadi sudah bulat ente pergi naik haji tahun ini?" tiba-tiba tangan kiai
hinggap di tulang-tulang kepala kambing sambil menggerayangi mata yang tinggal
sebiji, dicolek-colek lalu dikirimnya ke mulut. Bukan main paniknya Zaid, ia
tak sabar lagi, melompatlah ia memasuki ruangan hidangan.
Tak bisa
menahan diri lagi, ia maju menghampiri kiai sambil menyibakkan matanya, lalu
katanya: "Kiai, kalau masih kurang, ini mata saya...!"
Tak tahulah aku,
apakah kisah ini benar-benar terjadi ataukah fiktif karangan kiai guruku.
Tetapi, ya begitulah kalau teman sudah muhallit, orang bisa lupa
segala-galanya!
Beberapa orang teman karibku saru-satu meninggalkan
pesantren di kampungku, untuk melanjutkan pelajaran ke pesantren lain. Ada
yang meneruskan ke Tebuireng, ada yang ke Lirboyo (Kediri), ke Krapyak
(Yogya), buat spesialisasi Al-Qur'an serta menghafalkannya. Ada pula yang
meneruskan ke Pesantren Lirap (Kebumen), untuk memperdalam ilmu alat
(nahwu-sharaf). Pesantren yang belakangan ini terkenal sebagai "gudangnya"
ahli nahwu. Santri-santri di sana mengikuti jejak Imam Sibawaih, penggali
suatu aliran dalam ilmu Nahwu. Terus terang saja, aku sejak dulu memang paling
terbelakang dalam bidang nahwu, sekedar yang pokok-pokok saja cukuplah sudah
buatku, tak usah ndakik-ndakik— terlampau mendalami—. Jika kebetulan datang
pelajaran nahwu ini, mau rasanya lompat jendela saja. Kecuali menjemukan, otak
ini rasanya jadi seperti buntu. Misalnya tentang nama "Zaid,"
menurut ilmu nahwu bisa dibaca 3 macam.
Zaidun, Zaidan, dan Zaidin. Perubahan dari "dun" menjadi "dan" dan "din" ini
berhubung dengan posisinya dalam rangkaian kalimat. Contohnya: "Si Zaid
datang" dalam bahasa Arabnya berbunyi: Ja'a Zaidun (di sini "dun"). "Aku
melihat si Zaid" -menjadi Ra'aitu Zaidan (di sini dibaca "dan"). "Aku lewati
si Zaid" – menjadi Marartu bi Zaidin (di sini dibaca "din"). Nah begitu
seterusnya. Bagaimana tidak kopyor otakku kalau harus menghafal 'Imrithi,
pelajaran nahwu berbentuk syair dan pantun dalam bahasa Arab, lebih lagi
Alfiyah Ibnu Malik? Yang juga berbentuk pantun setebal seribu bait tentang
segala serba-serbi nahwu-sharaf dalam bahasa Arab, yang dibaca sambil
berdendang menurut irama tertentu. Sedang menghafal bait-baitnya saja sudah
setengah mati, apalagi arti dan maknanya. Ilmunya itu sendiri sukarnya bukan
alang kepalang. Makanya aku sangat takjub dan kagum ketika di kemudian hari
aku dengar kabar bahwa Almarhum K.H.A. Wahid Hasyim dan K.H. Mohammad llyas
ketika masih sama-sama jadi santri di Tebuireng dahulu, bukan saja hafal
seluruh bait- bait Alfiyah yang 1000 dengan arti maknanya, tetapi juga mahir
menghafalnya dari belakang ke muka. Dari muka terus ke belakang saja
subhanallah sulitnya, bagaimana lagi kalau dari belakang ke muka?
Sebab
itu, sejak dulu aku sudah menyerah kalau saja mengaji nahwu-sharaf. Tetapi
kalau pelajaran 'Aqaid aku senang dan merasa otakku mudah terbuka. Apalagi
pelajaranTarikh Islam (sejarah Islam) aku bisa memperoleh angka 9!
40
Begitulah.
Beberapa teman karibku meninggalkan kampung halaman, pergi melanjutkan
pelajaran ke berbagai pesantren yang terkenal.
Aku sudah hampir
menyelesaikan pelajaranku di Madrasah Al-Huda dan pesantren lain di kampungku.
Bukan saja aku sudah mulai jadi "ustadz" kecil yang mengajar di kelas yang
lebih rendah tingkatannya, bahkan aku sudah mulai mengajar di berbagai kursus
pemuda pada hari-hari tertentu. Aku mulai banyak membaca buku-buku. Aku bisa
mengetik sekalipun cuma dengan "sistem dua jari" dan aku gemar membaca majalah
dan surat kabar. Oleh sebab itu, aku memberanikan diri menjadi koresponden
harian "Pemandangan" dan "Hong Po" keduanya terbit di Jakarta. Berita-berita
yang aku kirim dimuat juga, dan dari hasil coba-coba ini, aku menerima tiap
bulan sekitar f 2,50 sebagai honorariumku.
Aku mengalami kemasygulan juga
dalam hari. Soalnya, anggapan di kampungku, seorang pemuda biar sudah
tergolong moncor sekalipun, jika belum pergi belajar ke daerah lain, dia masih
dianggap "kampungan." Karena itu, aku ingin keluar daerah, biar tidak
dikatakan "kampungan." Pikir punya pikir, aku mengambil ketetapan hati untuk
pergi ke Solo. Pertimbanganku macam-macam. Solo, selain kota besar, di sana,
ketika itu merupakan pusat kegiatan Islam, juga kegiatan pergerakan nasional
dan pusat... jurnalis (Yournalist- wartawan). Di sana berkedudukan "Perdi,"
Persatuan Jurnalis Indonesia. Aku memang tertarik akan tugas-tugas
kewartawanan, di samping hasratku untuk memperdalam pengetahuan Islam secara
menyeluruh. Nama-nama Sudaryo Cokrosisworo, M. Tabrani, Mr. Sumanang, Parada
Harahap, dan gembong wartawan lainnya sangat besar bagiku.
Gampangnya
cerita, dengan diplomasi sangat panjang, akhirnya Ayah dan Ibu merestui. Itu
waktu tahun 1937 ketika usiaku 18 tahun.
Tiba di Solo, gambaranku hampir
menjadi kenyataan. Aku merasa bahwa di sana aku akan banyak memperoleh
kesempatan untuk meneruskan cita-cita. Aku melihat pemuda-pemuda santri sama
gagahnya dengan pemuda-pemuda yang bukan santri. Mereka ganteng- ganteng,
apalagi kalau lagi "nyolek" (berdandan). Padahal aku cuma pemuda desa! Aku
masuki Madrasah "Mamba'ul 'Ulum" yang sangat terkenal itu, aku diterima di
kelas 8, kelas yang tertinggi. Maklumlah, "Mamba'ul 'Ulum" yang aku masuki ini
bagian yang sorenya, bagian paginya kelas sebelaslah yang tertinggi. Karena
aku datang bukan pada tahun permulaan pelajaran, aku tak bisa diterima di
bagian paginya, tak ada kelas yang kosong. Aku hanya 2 bulan saja memasuki
"Mamba'ul-Ulum" ini. Aku keluar dari sana karena aku merasa bahwa pelajaran
yang aku hadapi sudah pernah aku pelajari di kampungku. Aku masuki Madrasah
"Salafiyah" bagian yang sorenya karena bagian paginya sudah penuh tak ada
kelas yang kosong. Aku diterima di "Salafiyah" bagian sore ini di kelas yang
tertinggi, kelas 3.
Aku cuma satu bulan di sana, lalu keluar, juga
alasanku, pelajaran yang kuhadapi sudah pernah aku pelajari di kampung. Aku
masuki saja berbagai kursus. Kursus Yournalist aku masuki, kursus-verkooper
juga aku masuki. Pertimbanganku, pengetahuan verkooper penting bagi seorang
mubaligh untuk bisa mencari "pemasaran" buat menghidangkan Islam kepada
masyarakat. Harus mengerti kondisi masyarakat, jiwa masyarakat, organisasi,
approach, dan sopan santun. Itu sebabnya aku masuki kursus vcrkooper.
Aku
menghadiri ceramah pastur dan pendeta Kristen, karena aku ingin tahu apa itu
agama Kristen. Aku datangi ceramah-ceramah "kebatinan" dan "klenik" karena aku
juga ingin tahu apa dan mau ke mana mereka itu. Aku kunjungi juga
tabligh-tabligh Muhammadiyah, karena aku ingin melihat bagaimana cara mereka
bertabligh. Aku kunjungi juga ceramah-ceramah
41
"Pemuda
Muslimin Indonesia" (PSII) karena aku teringat di kampungku, Pemimpin Utama
H.O.S
Cokroaminoto membina kader-kader PSII, aku ingin tahu gambaran kira-kira
bagaimana kader PSII ini. Tetapi aku hampir tak pernah mengunjungi
tabligh-tabligh Nahdhatul Ulama.
Aku melihat bahwa Nahdhatul Ulama di
Solo ketika itu tergolong paling lemah di antara organisasi-organisasi Islam,
maksudku di kota Solo. Aku merasa bahwa yang aku akan bisa temukan dalam tubuh
Nahdhatul Ulama Solo ini tak jauh dari yang ada di kampungku, bahkan di
kampungku lebih maju dan semarak kegiatan-kegiatannya.
Dalam pada itu,
aku diterima memasuki Madrasah "Al-Islam" Solo di kelas yang tertinggi, yaitu
kelas IV. Hanya 4 bulan aku belajar di sana karena ketika itu menghadapi ujian
terakhir (akhir tahun pelajaran), dan aku lulus ujian dengan memperoleh ijasah
tanda lulus dan tamat belajar. Aku segera pulang ke kampung. Aku pikir, buat
apa lama-lama di Solo, toh kunci- kunci yang aku perlukan sudah aku peroleh.
Orang belajar kalau diikuti kemauan hati, kapan saja tak ada habisnya (bisa
lama sekali). Yang penting asal kunci-kuncinya sudah tergenggam. Lagi pula
bagi Ayah memang terasa berat sekali membiayai aku setiap bulan f 2,50. Dengan
kiriman pos wesel setiap bulan sejumlah itu, hidup di kota Solo terasa berat
sekali. Menurut kalkulasi, belajar di Solo ketika itu baru bisa agak bernapas
kalau kirimannya setiap bulan f 5,-. Tetapi bagaimanapun juga, aku telah bisa
menyelesaikan cita- citaku belajar di Solo. Dan... yang paling penting bagiku,
aku telah menggondol ijasah. Aku akan bisa katakan kepada orang sekampungku:
"Nih, 13 bulan aku di Solo, pulang dengan mengantongi ijasah"
Terasa
adanya suatu perubahan sangat besar pada sikap orang sekampungku sejak aku
pulang dari Solo. Bukan hanya di lingkungan teman-teman, tetapi juga
guru-guruku para kiai dan juga Pak Mukhtar, Konsul Nahdhatul Ulama. Usiaku
ketika itu menginjak 19 tahun, tetapi rasanya aku sanggup dan mampu berbuat
apa saja.
Dengan restu Ustadz Mursyid dan Pak Mukhtar, aku rnendirikan
sebuah sekolah (bukan madrasah), namanya: "Islamirisch Westerse School" dalam
lingkungan Nahdhatul Ulama. Di kampungku, Muhammadiyah mempunyai sebuah
sekolah "H.I.S. m/d Qur'an," dan di Purwokerto orang Kristen sudah lama
memiliki "H.I.S. m/d Bijbel." Karena itu, apa salahnya kami mendirikan "I.WS."
tadi. Salah seorang teman R. Sunarko menjadi direktur dan aku salah seorang
gurunya. Aku dirikan "Kulliyatul-Mubalighin" dan "Kulliyatul-Mu'alimin" di
mana pemuda-pemuda dididik menjadi mubaligh dan guru (ustadz). Aku menjadi
direkturnya dan guruku Kiai Akhmad Syatibi menjadi Guru Agamanya.
Aku
kembangkan kegemaranku menulis. Aku suka merenung jika aku lihat ratusan
bahkan ribuan kitab-kitab dalam dalam bahasa Arab. Aku pikir bahwa Islam tetap
terpelihara sejak 14 abad yang lain disebabkan antara lain karena hasil karya
pengarang-pengarang besar. Aku ingin juga menjadi pengarang. Tapi bagaimana?
Tak banyak kesempatan yang terluang bagiku. Pekerjaan menjadi guru macam-macam
madrasah dan sekolah serta kursus-kursus banyak sekali meminta ketekunan dan
waktu. Membuat rencana pelajaran, mengisi rencana jalannya pelajaran
sehari-hari, menyusun metode, membaca buku pedoman pelajaran, memeriksa
pekerjaan murid, memperhatikan watak anak-anak mund, menghubungi wali- wali
murid, menghadiri kursus-kursus guru, dan masih banyak lagi. Kadang-kadang
guru juga merangkap pengurus madrasah, mengurus kesejahteraan guru, mengurus
keuangan, ruangan belajar, dan lain-lain.
42
Tetapi
aku ingin menjadi pengarang. Ya, tetapi bagaimana? Untuk menjadi pengarang,
seseorang harus memiliki ilmu segudang, harus banyak sekali ilmu yang
dimilikinya. Biar ada bakat, kalau stock ilmu tidak banyak, kalau kesempatan
waktu tidak ada, lalu mau apa? Untuk sekedar menyalurkan keinginan ini, aku
sering juga menulis, sekedar artikel-artikel untuk disiarkan. Ini bukan lagi
zamannya stensilan agar-agar seperti yang beberapa tahun aku kerjakan membantu
Pak Mukhtar. Sebab itu, aku teruskan membantu harian-harian. Aku teruskan
menjadi koresponden surat kabar "Pemandangan" dan "Hong Po," bahkan akhirnya
aku menjadi pembantu "Antara." Kantor berita nasional milik kita satu-satunya
ini, di zaman itu, masih merangkak-rangkak, setengah mati kalau harus bersaing
dengan kantor berita kolonial Belanda "Aneta."
Sesekali aku menulis untuk
suatu Majalah Nasional Populer "Pesat," pimpinan suami-istri Sayuti Melik dan
Trimurti. Dan aku menjadi pembantu tetap Majalah "Berita Nahdhatul Ulama" dan
"Suara Ansor" keduanya dari Surabaya. Dan dalam pada itu, aku dipilih menjadi
"Komisaris Daerah Pemuda Ansor" Jawa Tengah Selatan, mewilayahi Karesidenan
Banyumas, Kedu, dan Yogya.
Guru-guruku seperti Ustadz Mursyid, Kiai
Akhmad Syatibi, Kiai Khudori, Kiai Akhmad Bunyamin, Kiai Khalirni, dan
lain-lain amat besar sekali jasa mereka dalam mengantarkan aku ke pintu
persiapan pengabdian kepada masyarakat. Bahkan beliau-beliaulah yang membinaku
sejak dari jenjang paling permulaan.
Teringat pada masa lampau,
kadang-kadang di antara guru-guruku mengajar begitu rupa, seperti ridak
menempuh suatu sistem mengajar. Caranya menguraikan kadang-kadang tidak
mengertikan, hingga sering keluarlah kekurang-ajaranku menyangka,
jangan-jangan sang guru sendiri tidak paham isi kitab yang sedang dibacanya.
Sering kali kiai membaca kitab dengan bersandar pada tiang masjid dan
menghadap ke Barat, sedang kami para santri duduk seenaknya di belakang kiai.
Jadi kiai membelakangi kami. Di antara kami banyak juga yang menyimak kitab
sambil berbaring-baring. Suara kiai lambat-lambat kedengarannya, putus-putus,
udara dingin waktu subuh menyelimuti kami yang sudah kekurangan tidur, maka
sambil menyimak kitab seperti dibuai-buai suara kiai yang kadang tak jelas
antara kedengaran dan tidak. Kadang-kadang kami terbangun dan ketiduran oleh
silau cahaya matahari yang menjilat ruangan masjid, sedangkan kiai sudah tidak
ada, sudah pulang ke rumahnya!
Di belakang hari. aku baru menemukan arti
dari ayat-ayat atau fasal-fasal dalam kitab, sambil kataku dalam hati: Oo,
jadi begini artinya yang dahulu dimaksud oleh kiai dalam bacaannya! Barulah
kami para santri menyadan bahwa inilah faktor keikhlasan yang murni dari kiai.
Begitu ikhlas kiai mengajar, begitu rela hati kiai mendidik kami para santri,
sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, ya, sampai kapan saja kami
maui, waktu belajar tak mengenal batas berapa puluh tahun kami maui, kiai
tetap rnelayani dengan ikhlas hati, tanpa dibayar sepeser pun.
Guruku,
Kiai Marodi dari Purworejo, pernah berpesan kepada para santri agar memiliki
kesabaran di samping keikhlasan kalau kelak kami menjadi kiai. Beliau
ceritakan pengalamannya sehari-hari. Ketika hendak memasuki masjidnya
dilihatnya air dalam bak untuk cuci kaki bagi siapa yang akan masuk masjid,
ternyata kosong. Tentu akibat seorang yang mempunyai giliran tugas mengisi air
lalai, beliau sendiri mengambil timba lalu menimba air dari sumur untuk
mengisi bak ini. Dilihatnya tikar dalam masjid tak ada di tempat, mungkin
dipinjam santri dan belum dikembalikan ke tempatnya.
43
Beliau
pulang ke rumah untuk mengambil tikar lain sebagai gantinya. Dinantikannya
saat untuk azan sembahyang. belum juga tampak jama'ah datang. Beliau sendiri
yang azan, lalu puji-pujian melagukan kalimat-kalimat suci sambil menantikan
sembahyang dimulai : Karena tak ada yang datang, beliau sembahyang
sendirian.
Selesai sembahyang, sambil wiridan (membaca serangkaian
bacaan-bacaan tertentu lazim dibaca sehabis sembahyang), kedengaran suara
orang mandi. Dilihatnya, ternyata ada orang mandi dari bak air yang baru saja
beliau isi. Seenaknya saja mandi dari bak air yang sudah penuh. Suatu malam
yang sudah larut, pintu rumahnya diketuk orang, seorang tetangga memberi tahu
bahwa anaknya sakit keras, oleh sebab iru dimintakan air (yang sudah dibacakan
doa-doa oleh kiai). Sang tamu tidak membawa gelas, maka kiai sendiri yang
meminjami gelasnya. Ini semua pengalaman beliau ketika baru saja membuka
pesantrennya yang terletak jauh di pedalaman desa, dan penduduk masih sangat
asing dengan agama. Sebab itu memerlukan kesabaran dan keikhlasan. Tanpa ini
semua, orang akan "kapok" jadi kiai, apalagi tidak menerima bayaran. Memang,
tidak seorang kiai pun mengharapkan bayaran uang dari manusia. Tugasnya yang
memerlukan kesabaran dan keikhlasan iru dikerjakan karena dorongan rasa
tanggung jawab memikul kewajiban. Satu- satunva harapan "bayaran" adalah
keridaan dari Allah Subhanahu wa Ta’alla.
Seorang kiai membuka
pesantrennya di suatu desa jauh di pedalaman, jauh dari kota, jauh dari
keramaian, masyarakat sekelilingnya asing pada agama, bahkan cenderung
memusuhinya, Berjudi, bersenang-senang, gembayakan merupakan kegemaran
sebagian besar penduduknya. Bahkan kadang-kadang menjadi sarang pencuri,
rakyat hidup tidak aman.
Alat-alat kekuasaan (kolonial) tidak
menjangkaunya. Ini merupakan suatu keberanian luar biasa. Kekuatan mental
bahkan fisik dan jiwa, juga ketabahan. Ibarat seorang polisi, la datang
memasuki sarang buaya, sendirian tanpa senjata di tangan. Senjatanya cumalah
keikhlasan, kesabaran, dan keberanian, di samping tawakal kepada Allah SWT.
Tetapi
hampir tak pernah terjadi dalam sejarah, seorang kiai membuka pesantrennya,
lalu mengalami kegagalan, lalu menutup pesantrennya dan ditinggalkannya desa
tempat beliau menetap. Bahkan sebaliknya, ibarat pohon, pesantrennya tumbuh
dengan subur, berangsur- angsur menjadi pohon yang rindang tempat orang banyak
berteduh dari kepanasan dan kehujanan. Pohon itu lambat laun berbuah, dan
buahnya dinikmati bersama seisi desa. Ini memakan proses yang lama. Di samping
memerlukan ketekunan dan kesabaran, juga memakan waktu. Tidaklah mengherankan,
mengapa umumnya para kiai juga orang-orang yang sangat mengenal watak manusia
dan bagaimana bergaul dengannya.
Apakah dia seorang kiai "besar" ataukah
"kecil," baik tentang kadar bobotnya maupun pesantrennya yang dia pimpin,
mereka memiliki karakter yang sama. Hidupnya hanyalah untuk mengabdi, mengabdi
kepada Allah SWT dan kepada sesama manusia. Seorang santri bercita-citakan
ingin menjadi kiai seperti gurunya. Jika ia berhasil menjadi kiai, ia
menggunakan pola hidup gurunya, mengabdi kepada Allah SWT dan kepada
masyarakat. Mereka ingin semua orang menjadi sahabatnya, syukur mengikuti
jejaknya, tetapi sekurang- kurangnya janganlah memandang menjadi musuhnya.
Hidup bermusuhan adalah tidak enak, merisaukan dan mengganggu ketenangan
batin. Jika datang suatu masalah baru yang dipandang merugikan agama, mereka
ukur dulu "kekuatan"-nya. Jika dapat, ditolaknya dengan cara yang baik. Tetapi
kalau merasa tidak mempunyai kekuatan, mereka akan ambil sikap diam untuk
menjaga kemungkinan datangnya fitnah. Ibarat seorang tabib, jika dapat ia
44
akan
mengobati si sakit, tetapi kalau tak dapat, mengusahakan agar orang lain tidak
ketularan penyakitnya.
Seorang kiai pekerjaannya sehari-hari seperti
rutin saja. Mengimami sembahyang lima kali sehari. Mengajar para santri dari
subuh hingga jauh malam, dengan istirahat untuk waktu makan dan muthala'ah.
Beliau sendiri harus membaca kitab-kitab untuk menambah pengetahuannya
sendiri, di samping untuk persiapan pelajaran bagi santri-santrinya. Dalam
pada itu, menerima tamu-tamu. Seorang kiai sehari-harinya dikunjungi tetamu,
datang dari dekat maupun dari jauh, kadang-kadang bermalam beberapa hari.
Segala lapisan tamu datang. Ada orang tua santri yang hendak menengok anaknya
sambil bil-barkah menghadap kiai. Ada kawannya sesama kiai yang datang membawa
kemusykilan hatinya untuk meminta petunjuk. Ada petani yang meminta petunjuk
berhubung panennya gagal. Ada pedagang yang minta nasehat karena sedang
menderita kemalangan.
Ada suami istri yang sedang goncang rumah
tangganya. Ada pamong praja yang meminta nasehat berhubung dengan masalah
keamanan. Ada calon lurah yang mengharapkan do'anya agar ia terpilih menjadi
lurah. Ada santri yang menghadap berhubung kehabisan biaya. Dan masih banyak
lagi tetamu yang harus diterima setiap saat, pagi, siang maupun malam.
Umumnya,
tetamu ini datang dalam waktu yang ia bisa dan berkesempatan untuk datang,
tidak dipertimbangkan apakah kiai yang hendak didatangi itu dalam keadaan siap
menerimanya atau tidak. Tetapi para kiai akan menerima tetamunya dengan tangan
dan hati terbuka, kapan saja. Walaupun tak ada janji sebelumnya, kiai
mengambil sendiri minuman dan makanan untuk sang tamu, beliau melayani tamunya
dengan senang hati. Membuat suasana demikian rupa agar tamunya merasa kerasan
berada di dekatnya dan puas dengan hasil kunjungannya.
Padahal kalau
dipikir-pikir, begitu banyaknya tetamu yang datang, sedikit sekali yang datang
dengan membawa kabar gembira. Sebagian besar datang dengan
kemusykilan-kemusykilan yang membikin penat kepala. Bukankah ini memerlukan
suatu kekuatan mental dan karakter yang luar biasa? Di saat-saat sunyi sepi,
jauh malam hari, pada saat orang sedang nyenyak- nyenyaknya tidur, kiai tengah
melakukan sembahyang malam, meletakkan dahinya sujud ke Hadirat Ilahi, lama
sekali sujudnya, mengadukan kepada Allah SWT tentang kehinaan dirinya serta
kedaifannya, mengagumi Keagungan Ilahi, mengharapkan ampunan-Nya dan memohon
pertolongan-Nya...!
Buatku, semua ini merupakan sumber studi bagi melatih
diri memiliki sifat-sifat kepemimpinan, jika orang hendak memasuki persiapan
untuk mengabdi kepada masyarakat.
Tak sangguplah rasanya aku untuk
menjadi kiai, walau kiai format kecil sekalipun. Paling- paling barangkali
kalau cuma jadi khadam kiai!
Banyak di antara teman-temanku bercita-cita,
kelihatannya cuma sederhana saja. Kelak ia akan menjadi ustadz, memimpin suatu
madrasah kecil-kecilan saja tingkat Ibtidaiyah, setingkat SD. Syukur bisa
Tsanawiyah, tingkat menengah. la mengingini seorang istri yang bisa menjadi
guru, ustadzah, untuk mendampinginya di madrasah. Jika dapat istrinya
berpendidikan guru, Mu'allimat. Zaman itu belum lazim main pacar-pacaran,
sebab itu, cuma menyerahkan saja keinginannya kepada orang tua. Orang
tuanyalah yang memantas-mantas, gadis mana kira-kira yang layak menjadi calon
menantunya. Bahkan kadang-kadang untuk mengutarakan
isi hatinya, ingin mempersunnting calon istri
45
idamannya,
tak ada keberanian baginya. Maka orang tua dengan sesama orang tualah, calon
besan, yang saling mengambil inisiatif memperjodohkan anaknya masing-
masing.
Cita-citanya, jika sudah menjadi ustadz dan didampingi istrinya,
cukuplah andaikata dapat membuka sebuah toko buku untuk nafkah sehari-hari.
Bila anaknya atau anak-anaknya lahir, akan dimasukkan sekolah merangkap
madrasah di siang hari, dan malam, biarlah dididik sendiri di rumah. Akan
dilatihlah anak-anaknya bersembahyang dengan baik, mengerti dari bacaan-bacaan
sembahyang, dapat meresapi arti sembahyang serta taat mengerjakannya. Akan
dilatihlah anak-anaknya dengan didikan akhlak sesuai dengan ajaran Islam. la
akan tanamkan di dada anak-anaknya bahwa kelak mereka akan mengarungi suatu
kehidupan dalam masyarakat. Hanya orang pandailah yang mengetahui kunci
rahasia hidup, kunci kebahagiaan hidup. Tetapi kepandaian saja, artinya cuma
pintar saja tidak menjamin seseorang mencapai kebahagiaan hidup. Faktor akhlak
sangatlah penung. Banyak contoh-contoh, biar orang pengetahuannya sundul
langit, tetapi karena tidak memiliki akhlak yang mulia, hidupnya tak bahagia.
Tetapi itu saja belumlah cukup. Ada lagi faktor lain di luar kemampuan dan
kekuasaan manusia, yaitu yang dinamakan keberuntungan nasib.Faktor ini cuma
berada dalam kekuasaan Allah SWT. Sebab itu, orang mestilah memperdekatkan
diri kepada Allah, untuk memperoleh keridhaan- Nya, untuk memperoleh taufik
dan hidayah-Nya.
Cita-cita di atas kelihatannya amat sederhana. Tetapi
berapa banyak orang yang berhasil mencapainya? Jangankan cita-cita yang lebih
rnuluk dari itu.
Dalam mempersiapkan diri memasuki pintu pengabdian,
masihlah banyak ilmu dan pengalaman harus dikumpulkan di tangan. Mestilah
lebih banyak lagi belajar kepada masyarakat, belajar dari orang-orang baik
yang sukses maupun yang gagal. Masyarakat memang pusat pengabdian. Tetapi
masyarakat juga tempat belajar. Bahkan masyarakat adalah universitas paling
sempurna. Kapan saja, dan untuk siapa saja!
Masih Belajar Lagi sebelum Terjun ke Medan Pengabdian
Zaman beredar, banyak perubahan terjadi, membawa akibat positif dan negarif.
Tidak selamanya arus modernisasi membawa kebaikan, Kalau saja dunia ini
didiami orang-orang yang sepaham dengan kita, alangkah enaknya hidup ini.
Tetapi tidak demikian. Jauh-jauh dari pesantren dikumandangkan Firman Allah
SWT dalam Al-Qur'an:
"Sekiranya Allah menghendaki, niscaya dijadikanlah
kamu cuma satu ummat saja. Tetapi Dia hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya
kepadamu. Sebab itu, berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allahlah kamu akan kembali, lalu diberitahukan kepadamu tentang apa-apa yang
kamu perselisihkan." (Al-Maidah 48).
Benar, bahwa pesantren mempunyai
daya tahan menghadapi segala arus yang masuk. Ada semacam pembendung terhadap
anasir yang merusak, suatu kekuatan pembendung yang terjadi dengan sendirinya
dan unsur-unsur yang dimiliki pesantren. Semacam jaringan refinery atau filter
yang menyaring apa yang boleh masuk dan apa yang harus berhenti di gerbang
pesantren. "Adapun buih yang kotor itu akan lenyap sebagai sesuatu yang tak
berharga, tetapi unsur yang bermanfaat bagi manusia akan tetap mengendap di
bumi...," demikianlah Allah memberikan perumpamaan dalam Al-Qur'an (Ar-Ra'd
17).
Benar, bahwa di dalam pesantren para santri dibentengi dan diberi
daya kekuatan. Dilatih untuk menjalani cara hidup dengan segala tradisinya
yang baik. Akan tetapi pada saat para santri meninggalkan pesantrennya untuk
mengurangi kehidupan yang sebenarnya di luar tembok pesantren, mereka sendiri
harus tahu bagaimana terjun di tengah-tengah pergolakan masyarakat, harus
pandai menimbang mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Mereka memang harus
membawa mission pesantren, tetapi mereka harus pula menyadari bahwa masyarakat
bukanlah seluruhnya pesantren.
Di tahun itu, menjelang 1939-an, dalam
masyarakat Indonesia sedang bergejolak berbagai aspirasi golongan, ada yang
bergelombang naik, ada yang riak-riaknya cuma datar saja. Ada yang tujuannya
sama, cuma lain iramanya, tetapi juga ada yang saling bertentangan satu dengan
lainnya.
Dunia pesantren tidak lagi hanya mementingkan denyut aspirasi
orang-orang dalam lingkungan dindingnya, tetapi turut melangkah ke luar
menyertai saudara-saudara yang senasib dan sepenanggungan. Pesantren bukan
hanya berfungsi semacam benteng yang diam di tempat, akan tetapi juga
berfungsi semacam "benteng stelsel"-nya de Kock ketika menghadapi Perang
Diponegoro. la ikut mengambil peranan sebagai benteng yang bergerak.
Pesantren
Tebuireng dengan tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama yang berkerumun di sana menempati
kedudukan sebagai "kiblat"-nya pesantren-pesantren di seluruh Indonesia,
setidak-tidaknya di seluruh Jawa. Nama-nama K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Abdul
Wahab Chasbullah, K.H. Mahfuzh Shiddiq, dan lain-lain, merupakan tokoh-tokoh
yang mempunyai nilai sejarah yang besar.
47
Pesantren
satu dengan lainnya lebih erat memperkokoh persatuan, kerjasama, dan mengikat
solidaritas lebih kuat. Sebagai seorang pemuda yang mulai menginjak alam
dewasa, aku bersama pemuda-pemuda santri menyediakan diri selaku pelaksana-
pelaksana cita-cita, sambil membuka lebar-lebar mata dan telinga terhadap
pergolakan zaman.
Pengaruh Hitler menganeksasi dan mencaplok Eropa,
negeri Belanda, serta hijrahnya pemerintah Belanda ke Inggns, tak terkecuali
lebih mengobarkan semangat nasionalisme bangsa kita pada umumnya. Gema
Pergerakan dan semangat nasionalisme berkumandang lebih luas. Kaum pesantren
memandang bahwa semangat kebangsaan ini merupakan mukadimah dari perjuangan
kemerdekaan Tanah Air, yang oleh dunia pesantren dipandang sebagai conditio
sine qua syarat mudak mencapai Izzul Islam wal Muslimin (kebahagiaan dan
kejayaan Islam serta umatnya). Hanya bedanya, jikalau kaum nasionalis memakai
"bahasa" politik, maka Pesantren memakai "bahasa" Islam. Berbeda bahasa tetapi
maksud dan tujuan sama.
Mahfuzh Shiddiq, A. Wahid Hasyim, dan Muhammad
Ilyas sebagai kiai-kiai muda, tidaklah asing namanya di kalangan pesantren.
Mereka ini merupakan kurir-kurir K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H.A. Wahab
Chasbullah membawa pesan-pesan untuk dunia pesantren. Aku masih ingat ketika
seorang kiai muda bernama Abdullah Ubaid datang di kampungku sebagai utusan
K.H. Hasyim Asy'ari, Rais Akbar Nahdhatul Ulama. Begitu melihat kiai muda ini
mengenakan sarung palekat berwarna hijau garis-garis putih, kontan semua
pemuda santri di kampungku menyerbu toko-toko dan pasar mencari sarung plekat
hijau bergaris-garis putih. Sarung model Abdullah Ubaid, begitu disebut orang.
Demikian pula ketika pada suatu hari K.H. Mahfuzh Shiddiq datang dengan
mengenakan peci putih ala Nehru, kontan saja santri-santri menyerbu
tukang-tukang jahit minta dibuatkan peci ala Mahfuzh Shiddiq. Orang tak akan
sekeranjingan ini jika tidak karena tersentuh jiwanya untuk mendukung ide-ide
yang dikampanyekan.
Pesan-pesan yang disampaikan kepada dunia pesantren
ditanggapi dengan positif dan antusias. Pesan Tebuireng itu pada umumnya
berisi anjuran agar pesantren tidak mengambil sikap pasif terhadap kebangkitan
masyarakat, tetap merupakan mata rantai dari kebangkitan seluruh alim
ulama.
"Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh
persatuan mereka, kadang- kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan
disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang
benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan saling
bersengketa."
Demikianlah antara lain kata Rais Akbar dari Pesantren
Tebuireng.
"Didik dan bimbinglah pemuda-pemuda kita karena mereka pewaris
masa depan kita. Islam memang selamanya akan tegak berdiri tak terkalahkan.
Namun tidak mustahil akan sirna dari lingkungan kita kalau kita tidak
memeliharanya. Sirna dari lingkungan kita untuk timbul di tempat lain.
Pemeliharaan tidak hanya pada waktu kini, tetapi juga untuk masa yang akan
datang. Jangan dilupakan bahwa tidak semua orang menyukai Islam. Yang senang
melihat kita tetap tegak berdiri hanyalah kita. Di sini letak arti dari suatu
perjuangan. Dan, untuk perjuangan ini, kedudukan pemuda sangatlah penting.
Mereka akan mengarungi hidup di masa yang akan datang, saat mana kita yang
tua-tua ini sudah tak ada lagi."
Demikianlah antara lain pesan-pesan Rais
Akbar Hasyim Asy'ari yang disampaikan dalam Bahasa Arab, bahasa yang lebih
mudah diresapi dan dinikmati oleh dunia pesantren. Baik
48
yang
memberi pesan, maupun yang menyampaikan dan yang menerimanya, mereka adalah
bukan orang asing, mereka mempunyai aqidah dan khittah yang sama, ibarat radio
memiliki gelombang yang cuma satu. Suatu pesan dari hari nuraninya sendiri,
untuk kepentingan dunianya sendiri.
Van der Plas' juga mengirimkan
pesan-pesan. Akan tetapi pesan-pesannya merupakan pesan untuk kepentingan
dunia luar pesantren, dan asing bagi aspirasi pesantren. Oleh sebab itu,
pesan-pesan Van der Plas paling-paling cuma "didengar" tetapi tak pernah bisa
diterima. Misalnya, mengenai kejahatan fasis-nazi Hider dan sekutunya yang
menduduki negeri Belanda. Buat telinga pesantren, pesan ini tidak menyentuh
harinya. Bagi pesantren, Belanda yang katanya salah satu blok "demokrasi,"
selama ini tidak pernah memperlihatkan kedemokrasiannya, sebab itu, tak
terdapat apa-apanya yang bisa dibela. Pesan Van der Plas hanya menimbulkan
tertawaan dunia pesantren, karena pesan yang "iba-hati" dan memelas ini datang
pada saat Belanda sedang dirundung kesedihan, pada saat memerlukan bantuan
pesantren. Padahal selama ini pesantren tak lepas-lepas dari kerugian serta
kebencian.
Kebencian penjajah sebagai yang dimanifestasikan oleh Belanda
kolonial dan kaki tangannya ditanggapi oleh sikap kebencian pesantren kepada
Belanda. Benci dilawan benci dan kecurigaan ditanggapi dengan kecurigaan pula.
Sebagai contoh bisa dikemukakan tentang sikap ulama-ulama tua mengharamkan
dasi dan pantalon. Ada suatu kaidah dalam ilmu hukum Fiqh yang mengatakan:
'Al-Hukmu yaduru ma'al 'illah, wujudan wa 'adaman," artinya, kepastian hukum
sesuatu tergantung faktor penyebabnya, bila ternyata ada sebab, maka tetaplah
hukum, sebaliknya jika tak terjumpai sebab, maka tidak jatuhlah hukum.
Sebagai
misal tentang hukum memakai dasi yang diharamkan ulama. Sebabnya haram
lantaran menyerupai Belanda. Sedangkan Belanda dipandang sebagai kolonial yang
kafir. Dan, menyerupai si kafir teranglah haram. Maka untuk tidak menyerupai
si kafir, datanglah sebuah fatwa ulama, pakailah peci bilamana memakai dasi
karena pada umumnya tidak ada Belanda memakai peci. Itu sebabnya, mengapa dulu
para kiai mengharamkan juga berbahasa Belanda karena akan menyerupai dan
bermental Belanda. Tetapi kemudian, bilamana belajar bahasa Belanda untuk
kewaspadaan terhadap tipu muslihat Belanda, maka hukumnya menjadi boleh,
dengan berdalil:"Man 'arafa lughati qaumin amina min syarrihim," siapa yang
paham bahasa-bahasa asing akan terhindar dari tipu muslihat mereka.
Kadang-kadang
sikap radikal ini membawa kerugian bagi dunia pesantren. Mereka tidak ikut
"menikmati" kultur yang didatangkan kaum penjajah. Orang lain mahir berbahasa
Belanda sedang sebagian besar kaum santri tidak. Orang bisa mengambil manfaat
dari peradaban yang datang menyertai penjajahan, kaum santri apriori
menolaknya. Berhubung dengan itu, banyak di kalangan bangsa kita sendiri yang
mencemoohkan sikap pesantren ini. Padahal sikap yang diambil dunia pesantren
mempunyai latar belakang untuk keselamatan kebudayaan santri kita, dan untuk
membendung pengaruh kolonial Belanda yang tujuannya bukan saja mencapai
keuntungan kultur mereka, tetapi juga politik dan ekonomi mereka. Apa boleh
buat, dunia pesantren menjadikan dirinya laksana sebatang lilin yang memberi
terang alam sekeliling, walaupun dirinya sendiri hancur luluh menjadi
korban.
Tetapi tidak semua kaum pergerakan mencemooh sikap "kolot" ulama
dan dunia pesantren pada umumnya. Mereka menyadan bahwa sikap itu mempunyai
latar belakang yang aspeknya sangat luas. Maka tidaklah heran jikalau seorang
tokoh pergerakan nasional kita,
49
Dr. Setia Budi
(Douwes Dekker) pernah mengatakan yang kurang lebih demikian: "Jika tidak
karena sikap kaum pesantren ini, maka gerakan patriotisme kita tidak sehebat
seperti sekarang." Kata-kata itu diucapkan ketika meletusnya Revolusi 17
Agustus 1945.
"Kami ingatkan saudara-saudara akan kata-kata Sayyidina
'Ali karramallahu wajhahu:"Inna Allaha lam yu'ti ahadan bil firqati khairan la
min al-akbirin," Allah tak akan pernah memberikan keuntungan dan kemuliaan
kepada siapa pun melalui perpecahan, tidak kepada umat terdahulu tidak pula
kepada generasi yang terakhir." Demikian pesan Rais Akbar Hasyim Asy'ari.
Pesan itu diakhiri dengan sebuah seruan:
"Faya, ayyuba
al-ulama wa as-sadatu al-atqiya min abli as-sunnati wa al-jama 'ati ahli
madzahibi al-aimmati al-arba ati! Antum qad akhadztumu al-'uluma min man
qablakum wa man qablakum min man qablahu hi at-tishali as-sanadi ilaikum, wa
tandburunan man ta'khudzuna dinakum. Fa antum khazanatuha wa abwabuha. Wa la
tu'tu al-buyuta ilia min abwabiha. Fa man ataha min ghairi abwabiha summiya
sariqan!
Artinya dalam bahasa kita demikian:
"Wahai saudaraku para
ulama, para orang-orang ahli taqwa, saudara-saudaraku dari kalangan
Ahlussunnah wal Jama'ah, yang memegang teguh imam-imam dari Empat Madzhab!
Saudara-saudara telah menuntut ilmu dari guru-guru sebelum kita, dan mereka
menuntutnya dari guru-guru sebelumnya, dan sebelumnya, sambung-menyambung
merupakan mata rantai hingga sampai pada saudara-saudara. Saudara-saudara
telah menuntut ilmu secara hati-hati dan guru-guru yang jelas dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu, saudara-saudara laksana pengawal hawnah
ilmu dan bahkan pintunya. Saudara-saudaralah khazanah Islam dan pintu
memasukinya. Seharusnyalah orang jangan memasuki perumahan Islam, kecuali
melalui pintu-pintunya. Sebab, siapa saja yang memasuki rumah tidak melalui
pintu, biasanya disebut pencuri!"
Pada suatu hari, dalam tahun 1939, aku
menerirna sepucuk surat. Benar-benar sepucuk surat buatku. Kalau saja itu cuma
surat biasa, buat apa dijadikan suatu peristiwa penting? Bukankah biasa
seseorang menerirna sepucuk surat? Ya, buat apa diceritakan di sini kalau saja
tak mengandung hal luar biasa karena dan disebabkan oleh sepucuk surat itu?
Memang benar, menerirna sepucuk surat adalah hal yang lumrah, tetapi jangan
lupa surat macam apa dan dari siapa? Sepucuk surat bisa merupakan sesuatu yang
bagiku benar- benar luar biasa dalam sejarah hidupku, disebabkan nama
pengirimnya dan isinya. Coba bayangkan, andaikata, ya, ini misal saja,
andaikata pada suatu hari tanpa disangka-sangka saudara menerirna sepucuk
surat dari Presiden, disebutkan dalam surat itu bahwa saudara dipanggil
menghadap beliau pada hari anu, tanggal sekian, untuk dilantik menjadi
menteri. Nah, apakah saudara tidak akan menganggap bahwa peristiwa menerima
sepucuk surat itu hal yang penting, bahkan sangat penting dalam sejarah hidup
saudara, dan oleh sebab itu, tentu pada suatu ketika akan diceritakan sebagai
kejadian penting. Kalau aku jadi saudara, pastilah kejadian itu akan
kuceritakan pada kesempatan yang baik kepada siapa pun, mungkin tidak Cuma
sekali.
Begitulah, surat yang aku terima itu tertulis di bagian si
pengirimnya, nama A. Wahid Hasyim, Tebuireng Jombang.
Sejenak aku
tertegun, beberapa lama aku terdiam, kuamati sekali lagi nama si pengirim
dalam sampul surat itu. Tak salah alamatkah ini? Baru yakin setelah
berulang-ulang aku
50
baca alamatnya. Benar,
dialamatkan kepadaku, namaku ditulis di sana dengan jelas, ejaannya pun
tepat.
Nama A. Wahid Hasyim, atau lebih tepatnya Kiai Haji Abdul Wahid
Hasyim, sudah sering aku dengar dan aku baca dalam surat-surat kabar atau
majalah-majalah.
Bahkan sesekali gambarnya ikut menghias di sana. Di
kalangan kami, pesantren, beliau dikenal sebagai putera dari seorang ulama
besar yang amat harum namanya, K.H. Hasyim Asy'ari, pengasuh Pesantren
Tebuireng, Jombang. "Putera Tebuireng" ini dikenal pula sebagai seorang kiai
muda, usianya ketika itu sekitar 25 tahun.
Mula-mula hanya dikenal
sebagai Ketua Bagian Pendidikan & Pengajaran pada pucuk pimpinan Nahdhatul
Ulama di Surabaya. Dalam pertemuan-pertemuan yang kami adakan di lingkungan
pesantren kami, tokoh muda ini dikenal pula sebagai seorang yang amat cerdas
dan bijaksana, mempunyai pandangan jauh ke depan dan mempunyai cita-cita
mengadakan pembaruan-pembaruan dalam lingkungan pesantren. Suatu pembaruan
tetapi tidak menghilangkan esensi atau wujud pesantren dengan
karakteristiknya.
Pembaruan itu cuma terbatas pada atribut yang
menyangkut metode efisiensi atau kerapian menggunakan waktu belajar, atau yang
menyangkut sistem organisasi pesantren, tanpa melenyapkan kepribadian
pesantren itu sendiri. Sebab pesantren adalah pesantren. Dia bukan sekedar
sekolah atau madrasah, bukan sekedar asrama pelajar, dan bukan pula sekedar
kampus. Di sana diajarkan norma-norma yang tidak mungkin dijumpai di tempat
pendidikan lain. Di sana bukan sekedar dipelajari berbagai ilmu, dan bukan
sekedar melakukan berbagai ibadah, tetapi di sana diajarkan nilai-nilai yang
paling mutlak harus dimiliki seseorang dalam mengarungi hidup dan kehidupan.
Jadi apa sebenarnya pesantren itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, aku ingin
menganjurkan dan mempersilakan sebaiknya saudara masuk saja ke pesantren untuk
"nyantri," untuk benar-benar menjadi santri, bukan untuk keperluan yang
lain-lain. Insya Allah saudara akan menemukan jawabannya.
Orang yang
mengirim surat kepadaku ini belum pernah aku lihat wajahnya, belum pernah
berhadap-hadapan. Aku belum pernah berjumpa dengannya dan dengan sendirinya
belum pernah berkenalan. Tetapi namanya telah lama menimbulkan kekaguman di
hatiku, yaitu setelah sering aku mendengar tentang kepribadiannya, tentang
buah pikirannya, tentang tugasnya mendampingi ayahandanya dalam mengasuh
sebuah pesantren besar dan terkenal, yaitu Pesantren Tebuireng. Sesekali aku
membaca karangan-karangannya dalam majalah "Berita Nahdhatul Ulama" yang
dipimpin oleh K.H. Mahfuzh Shiddiq. Tulisan- tulisannya itu melukiskan betapa
jauh pandangannya kedepan serta betapa luas pengetahuannya. Ditulis dengan
gaya populer, ilmiah, dan dalam susunan bahasa yang bagus sekali. Dibentangkan
misalnya tentang bagaimana kedudukan kita di tengah-tengah kancah perjuangan,
ke mana jalan yang hendak kita tuju, manfaat apa yang bakal kita capai, tetapi
juga risiko apa yang akan kita hadapi. Diuraikan secara jelas, mantap, dan
sangat mengesankan.
Namanya kian harum dan dengan sendirinya menambah
kekagumanku. Sekitar tahun 1939, orang yang mengirimkan surat kepadaku ini
dipilih menjadi Ketua Dewan Majlis Islam A'la Indonesia, sebuah badan federasi
pucuk-pucuk pimpinan partai politik dan organisasi Islam seluruh Indonesia. Di
dalamnya duduk tokoh-tokoh pergerakan Islam yang sangat terkenal di waktu itu,
misalnya: Abikusno Cokrosuyoso dan Wondoamiseno mewakili PSII, Dr. Sukiman dan
K.H. Abdul Kahar Muzakkir mewakili Partai Islam Indonesia, K.H. Mas Mansur dan
K.H. Hajid mewakili Muhammadiyah, Umar Hubeis mewakili Al-Irsyad, Muhammad
51
Natsir
mewakili Persis, K.H. Mahfuzh Shiddiq dan K.H.M. Dahlan mewakili Nahdhatul
Ulama dan lain-lain sebagai anggota. Dewan dipimpin oleh A. Wahid Hasyim
sebagai ketuanya.
Orang yang begini besar dalam pandanganku ini
mengirimkan surat kepadaku, bukan
menjawab suratku. Aku tak pernah
mengirim surat kepadanya.
Surat segera aku buka, setelah aku yakin bahwa
surat itu ditujukan kepadaku. Dua tiga kali aku ulang membacanya. Terbayang
padaku kepribadian penulisnya kalau aku perhatikan bentuk suratnya. Kertasnya
putih bersih, baris huruf-huruf ketikkannya rata, begitu rapi
ketikan-ketikannya tanpa ada salah ketik satu huruf pun, begitu jelas dan
bagus letak rangkaian kata-kata pada tempatnya seolah memanggil untuk dibaca,
itu semua menimbulkan kesan padaku bahwa penulisnya seorang yang mengerti
keindahan seni menulis, cermat tetapi pasti dan tanpa ragu-ragu, senang
berkawan dan pandai bergaul, dan lagi—inilah yang tak kurang-kurang
pentingnya—pandai merawat mesin tulisnya dengan baik.
Dimulai dengan
hal-hal yang biasa dalam sesuatu surat, menyampaikan salam dan mendo'akan
kesehatan serta keselamatanku. Lalu meningkat kepada hal yang lebih menarik.
Dikatakan bahwa beliau belum pernah melihat rupaku dan dengan sendirinya belum
pernah berkenalan. Sebab itu, beliau mengajak berkenalan, dan suratnya itu
sebagai perkenalan pertama. Seterusnya aku membaca bagian yang lebih menarik
lagi bahkan membikin aku mongkok yaitu bahwa beliau sering membaca
karangan-karanganku di majalah "Suara Ansor" dan "Berita Nahdlatul Uama,"
beliau merasa tertarik. Hingga di sini aku berhenti membaca, aku hampir tak
bisa menahan emosiku lantaran bangga atau "mongkok," karena mendapat pujian
dari seorang besar yang aku kagumi selama ini. Aku baca terus. Dikatakan bahwa
beliau telah mengusahakan terbitnya sebuah majalah pendidikan bernama Suluh
Nahdhatul Ulama yang diasuhnya sendiri dan dibantu oleh beberapa ternan.
Nomor-nomor pertamanya telah terbit dan bersamaan dengan surat yang dikirimkan
kepadaku itu, turut dikirimkan juga contohnya. Lalu dinyatakan bahwa alangkah
senang beliau andaikata aku mau membantunya dengan mengirimkan
karangan-karangan tetap, satu dan lain pertimbangan karena -kata beliau dalam
surat itu—telah mendengar bahwa aku juga berkecimpung dalam dunia
pendidikan.
Pada akhir suratnya ditanyakan kepadaku, benarkah aku dalam
waktu dekat akan pergi ke Surabaya? Jika memang benar, beliau mengusulkan
bagaimana kalau aku singgah dulu di rumahnya barang sehari dua untuk nantinya
pergi bersama-sama ke Surabaya. Jika aku setuju akan usulnya, dimintakan agar
aku beri tahukan kepada beliau kapan aku akan berangkat, karena beliau akan
menjemputku di stasiun Jombang.
Kontan aku jawab suratnya. Aku sanggupi
akan mengirim karangan-karangan untuk majalahnya. Juga aku katakan bahwa
memang benar aku akan pergi ke Surabaya untuk menghadiri mubarazah atau
jambore Gerakan Pemuda Ansor sebagai pemimpin perutusan Jawa Tengah. Usulnya
agar aku singgah dulu ke rumahnya, aku terima. Aku beri tahukan kepada beliau
hari anu, tanggal sekian, aku akan tiba di stasiun Jombang.
Ketika kereta
api tiba di stasiun Jombang, aku melongok dari jendela mencari orang yang
menjemputku. Dalam suratnya dikatakan beliau sendiri akan menjemputku. Aku
melihat seorang pemuda kulitnya keputih-putihan, tubuhnya padat berisi agak
pendek, mengenakan jas berwarna gading dengan sarung putih bergaris-garis
hijau lumut, memakai peci purih ala Nehru, tampak sedang mencari aku dari satu
jendela ke jendela yang lain. Aku segera turun. Ketika kakiku menginjak lantai
peron stasiun, orang ini menatapku sambil menyebut namaku
52
dalam
nada betulkah aku orang yang beliau jemput. Buat pertama kali aku melihat
wajahnya!
Kami berjabatan tangan. Saling menyebut nama kami masing-masmg.
Lama, dan erat sekali tanganku digenggamnya sambil menatap terus mukaku dengan
senyumnya yang lebar. Tak putus-putusnya keluar ucapannya: Ahlan wa sahlan
marhaban. . . , ahlan, . . . ahlan. . . !2
Aku dibimbingnya keluar dari
peron stasiun. Tanganku dipegang terus seolah-olah khawatir aku akan melarikan
diri. Tangannya yang lain menjinjing koporku karena aku tak diizinkan
menjinjing sendiri.
Sebuah delman miliknya yang sengaja disediakan untuk
menjemputku telah menanti. Kami menuju ke rumah kediamannya di Tebuireng.
Sepanjang jalan beliau bercerita macam- macam hal diselingi kisah-kisah lucu,
membuat aku tidak merasakan letihnya perjalanan jauh. Suasananya jadi akrab
sekali seakan-akan kami dua orang sahabat yang telah lama berkenalan. Tetapi
tidak semua yang diceritakan masuk ke kepalaku. Otakku terganggu oleh
perhatianku untuk mencoba "membaca" pribadi orang ini. Wajahnya yang cerah dan
segar, senyumnya yang ditujukan hanya buatku, nada suaranya yang mantap dan
enak didengar, semua itu aku coba untuk mem"baca"-nya. Dalam fantasiku, orang
besar mestilah memperlihatkan mahal senyum, kalau bicara dihemat, perhatiannya
dipusatkan kepada dirinya bukan kepada yang diajak bicara, bahkan yang diajak
bicara harus memperhatikannya. Tapi dalam suasana akrab dan hangat orang yang
satu ini tidak demikian. Pusat perhatiannya ditujukan kepadaku, orang kecil.
Tambah jelas bagiku tentang kepribadian orang yang selama ini aku kagumi.
Kesimpulanku, tidaklah sia-sia kekagumanku kepada seorang yang memang besar.
Dan orang besar itu kini berada dalam jarak yang dekat sekali denganku, bahkan
dalam satu delman.
Mendekati Tebuireng khayalanku memenuhi kepala.
Tergambar dalam angan-anganku tentang sebuah pesantren besar dengan para
pengasuhnya yang bercita-cita besar di bawah pimpinan seorang ulama besar. Aku
merasa bersyukur bahwa dalam hidupku, kuperoleh kesempatan mengunjungi
Pesantren Tebuireng yang termasyhur. Walaupun tidak lama, tetapi waktu dan
kesempatan yang terbatas itu akan kumanfaadtan untuk belajar dari Tebuireng
sekalipun hanya dalam sehari dua.
K.H.A. Wahid Hasyim menganjurkan
kepadaku, biarlah kami istirahat sejenak di rumahnya sambil membasahi
kerongkongan yang sudah cukup kering. Aku akan diantarkan menghadap Hadratus
Syaikh. Yang dimaksud ialah K.H. Hasyim Asy'ari. Sebutan ini lazim
dipergunakan di kalangan Nahdhatul Ulama dan Pesantren Tebuireng untuk
panggilan sehari-hari K.H. Hasyim Asy'ari.
Buat pertama kali aku
menghadap Hadratus Syaikh. Seperti terpukau oleh sinar wajahnya yang
bercahaya, memancar dari wajah orang yang sangat berwibawa. Ketika aku
memberikan salam, beliau sedang duduk di atas permadani yang memenuhi ruangan
tamu yang luas. Mengenakan baju "Jawa" seperri piama tak berleher, berwarna
putih terbuat dari kain katun, bersarung plekat dan mengenakan serban. Beliau
sedang membaca sepucuk surat. Aku heran sekali, melihat seorang tua yang
usianya lebih dari 70 tahun masih dapat membaca tanpa kaca mata. Aku
diperkenalkan oleh K.H.A. Wahid Hasyim. Kedua ayah dan putera ini berbicara
dalam bahasa Arab, sesekali K.H.A. Wahid Hasyim menjawab pertanyaan-pertanyaan
ayahandanya dalam bahasa Jawa yang halus. Tetapi setelah K.H.A. Wahid Hasyim
memberitahukan bahwa aku dari kalangan Pemuda Ansor, maka Hadratus Syaikh
kontan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapannya denganku, walaupun
53
telah
diberitahukan bahwa aku dari Jawa Tengah. Diucapkan dengan lambat-lambat,
kalimat demi kalimat, seolah-olah sambil berpikir apa yang harus dikatakan.
Sejenak aku menyadari bahwa bukan karena beliau tidak paham bahasa Indonesia,
melainkan karena kepribadiannya serta sifatnya yang serba hati-hati. Aku
teringat sebuah kalimat hikmat dalam pelajaran di madrasah: Orang bijaksana
berpikir dulu, baru berkata, tetapi orang sembrono berkata dulu, baru
berpikir. Hadratus Syaikh jelas memperlihatkan termasuk orang yang bijaksana.
Tidak tergesa-gesa dalam mengutarakan buah pikirannya, jelas dalam menggunakan
kata-katanya hingga sebodoh-bodoh orang akan bisa menangkap apa yang dimaksud.
Bukan kalau berbicara dalam bahasa Indonesia saja beliau ucapkan dengan
lambat-lambat, tetapi juga dalam bahasa Jawa dan Arab. Sesekali beliau
mengajak aku berbicara dalam bahasa Arab, akan tetapi aku jawab dalam bahasa
Indonesia, mengikuti jejak K.H.A. Wahid Hasyim yang sesekali menjawab
pertanyaan-pertanyaan Ayahandanya dalam bahasa Jawa, sekalipun Hadratus Syaikh
menanyakan sesuatu dalam bahasa Arab.
Percakapan menjadi panjang.
Hadratus Syaikh memberitahukan kepadaku bahwa surat yang tadi sedang dibacanya
datang dari seorang ulama terkenal di Jawa Tengah, yang beliau telah anggap
sebagai gurunya. Aku tahu sifat Hadratus Syaikh yang selalu memandang ulama
seangkatannya sebagai gurunya. Ini adalah sifat tawadhu, rendah hari.
Dikatakan bahwa beliau sangat sedih mengapa harus berbeda pendapat antara
beliau dengan pengirim surat. Ketika itu memang sedang terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama tentang hukum terompet dan genderang yang dipakai
oleh Gerakan Ansor manakala sedang baris-berbaris atau sedang pawai. Sebagian
ulama mengharamkan, tetapi sebagian besar termasuk di dalamnya Hadratus Syaikh
membolehkan. Yang mengambil hukum membolehkan ini memakai alasan dan
pertimbangan untuk mendemonstrasikan syi'ar Islam dalam rangka mempersiapkan
kekuatan, agar musuh tidak memandang rendah kekuatan kita. Jangan dilupakan,
ketika itu seluruh bangsa kita sedang menghadapi aksi mobilisasi yang diadakan
oleh kaum penjajah. Hadratus Syaikh memperlihatkan kepada kami isi surat yang
dibacanya, datang dari seorang ulama terkenal yang dipandangnya sebagai
gurunya, dengan nada keras mengharamkan. Beliau baca suratnya dalam bahasa
Arab. Beliau katakan berulang-ulang, sangat sedih, mengapa gurunya itu
"memarahinya." Maksudnya berbeda pendapat. Tetapi akhirnya dengan nada yang
pasti dan mantap, beliau katakan bahwa beliau akan berusaha sekeras-kerasnya
untuk menginsyafkan "gurunya" itu. K.H.A. Wahid Hasyim maupun aku hanya diam
menunduk, tak akan mencampuri urusan tersebut.
Biarlah diselesaikan di
antara para ulama. Tetapi kuat keyakinanku, bahwa wibawa Hadratus Syaikh akan
dapat menginsyafkan pihak-pihak yang mengharamkan terompet dan genderang itu.
Dan ternyata memang benar. Dalam Muktamar Nahdhatul Ulama yang diadakan
kemudiannya, telah diputuskan dalam sidang Syariyah yang terdiri dan hanya
para alim ulama, terompet dan genderang yang dipersoalkan itu dibolehkan.
Suatu sidang yang khusus dihadiri oleh ratusan alim ulama dari seluruh
Indonesia, dalam mana Hadratus Syaikh mempertahankan pendiriannya. Dalam
sidang tersebut pendirian beliau diuji kebenarannya dan ternyata memperoleh
dukungan seluruh muktamar.
Dua hari berada di tengah-tengah Pesantren
Tebuireng, aku memperoleh pelajaran yang banyak sekali.
Jikalau Hadratus
Syaikh sehari-hari banyak berbicara dalam bahasa Arab—hal itu banyak juga
terjadi di kalangan kiai-kiai pengasuh pesantren di mana-mana—aku telah
mendapat jawabannya. Sepanjang hari pekerjaannya mengajar para santri sejak
pagi buta, sehabis
54
sembahyang subuh hingga jauh
malam. Gelombang demi gelombang rombongan santri datang dan pergi mengerumuni
Hadratus Syaikh untuk menerima pelajaran. Cara belajarnya, masing-masing
santri menyimak kitab yang dibaca beliau, dan hampir tak ada sebuah kitab pun
dalam bahasa lain kecuali bahasa Arab. Saat-saat senggang tidak mengajar,
peluang waktu itu dipergunakan untuk membaca sendiri (muthala'ah) kitab-kitab
yang juga berbahasa Arab. Hampir seriap hari ada saja tamu yang datang dari
kalangan ulama juga. Mereka datang dengan membawa permasalahan hukum Islam
untuk dimusyawarahkan, sehingga dengan sendirinya memerlukan membuka-buka
kitab untuk mencari qa'idah-qa'idah atau dalil-dalilnya. Belum lagi menerima
pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu hukum Islam, baik yang datang secara
lisan maupun tertulis. Dalam pada itu, sekali tempo harus menulis
risalah-risalah atau maklumat-maklumat mengenai masalah yang sedang hangat
dibicarakan oleh masyarakat yang sumbernya harus dicari dari kitab- kitab yang
berbahasa Arab. Aku sampai kepada kesimpulan bahwa tidaklah mengherankan
mengapa bahasa Arab itu seperti bahasa ibunya sendiri. Maka itu, aku sering
menjumpai di mana-mana bahwa para kiai—dan tentu juga termasuk K.H. Hasyim
Asy'ari—merasa jadi lebih mampu dan lancar mengutarakan buah pikirannya dalam
bahasa Arab. Bahasa ini telah dipandang bukan lagi bahasa asing, melainkan
bahasa Islam. Aku bandingkan juga dengan sebagian para sarjana kita, terutama
sarjana hukum angkatan lama yang lebih mahir berbahasa Belanda dibanding
dengan bahasa ibunya.
Tetapi bahasa apa pun yang digunakan Hadratus
Syaikh, beliau selalu mengucapkannya dengan perlahan-lahan, mencari rangkaian
kata-kata yang mudah dimengerti oleh orang banyak. Jika masalahnya cukup berat
dan memerlukan pemikiran lebih mendalam, maka kata-katanya selalu
diulang-ulang supaya mudah dipahami oleh orang yang diajak bicara.
Selama
dua malam aku berada di Pesantren Tebuireng, aku dapati pesantren ini seperti
tak pernah tidur. Hampir 24 jam suasananya penuh dengan kegiatan-kegiatan dari
1500 orang lebih penghuninya, para santri dan guru-gurunya. Berjajar ratusan
bilik yang didiami para santri, di emper-empernya selalu kelihatan
kelompok-kelompok santri yang sedang menghafal pelajaran atau sedang
mendiskusikan pelajarannya di antara mereka. Kelompok- kelompok lain sedang
mengerumuni gurunya untuk menerima pelajaran. Kelompok Fiqh berada di sudut
sana, kelompok Hadits di ruang lain, kelompok Tafsir menggerombol di tempat
lainnya, begitu seterusnya. Tak terhitung jumlah kelompok-kelompok kecil yang
sedang mengulang-ulang sendiri pelajaran yang baru diterima dari gurunya. Di
serambi masjid terdapat kelompok yang tengah membaca Al-Qur'an. Membaca
Al-Qur'an adalah suatu keutamaan, memperoleh bahagian pahala bagi siapa yang
membacanya, sekalipun tidak mengerti maksudnya. Tentu saja, yang mengerti
maknanya lebih banyak lagi pahalanya. Dan berlipat ganda lagi pahalanya bagi
siapa yang mengamalkannya, secara semestinya.
Masjidnya terletak di
tengah kompleks pesantren yang luasnya sekitar 8 ha. Mesjid itu tidak
terlampau besar, kira-kira berukuran 15 X 25 m. Pada waktu sembahyang jama'ah
(sembahyang bersama) bisa meluap jamaahnya hingga ke halaman seputarnya,
bahkan memenuhi lorong-lorong sekeliling pesantren. Pada waktu sembahyang
subuh sama banyaknya yang berjamaah itu dengan waktu-waktu yang lain. Jika
tidak karena sesuatu halangan, Hadratus Syaikh sendiri yang mengimami.
Dibacanya Al-Qur'an sambung- menyambung dari satu sembahyang ke sembahyang
yang lain hingga tamat seluruh Al- Qur'an, dan diulang lagi dari permulaan
Al-Qur'an pada sembahyang berikutnya, dan berikutnya, hingga berkali-kali
Al-Qur'an ditamatkan dalam waktu sembahyang. Demikian itu berlangsung beberapa
tahun.
55
Saat-saat bukan sembahyang jama'ah, masjid pun
tak pernah sunyi dari orang-orang yang bersembahyang sunnah, sembahyang untuk
keutamaan beramal. Sebagian lain mengerjakan wiridan, yaitu membaca rangkaian
kalimat-kalimat suci secara tetap waktu- waktunya, dan bilangannya pun
tertentu pula, sesuai dengan ijasah yang diberikan guru. Wiridan pun termasuk
ingat kepada Allah SWT, (dzikir) untuk memohon arnpunan-Nya, rahmat-Nya dan
ridho-Nya.
Di sana sini ada juga yang tengah membaca surat-kabar atau
majalah. Ada yang berbahasa Indonesia, Arab maupun Belanda ("Java
Bode"-"Locomotief"). Di salah satu sudut ada sebuah cafetaria tempat
santri-santri jajan, makan, dan minum (disebut "ngopi"). Tentu saja namanya
bukan cafetaria, cukup dengan "warung pondok" saja. Biasa di mana-mana, tempat
"ngopi" juga tempat pertemuan, sekedar kumpul-kumpul di antara kawan sambil
mengobrol dan bergurau. Adakalanya warung itu kepunyaan koperasi pesantren,
ada pula yang milik "Bu Nyai" yang dipercayakan pengurusannya kepada beberapa
orang santri.
Aku mencoba untuk menemukan di mana faktor kebesaran dan
kemasyhuran Pesantren Tebuireng.
Terasa adanya proses pembaruan berjalan
dengan bijaksana. Tidak secara mutlak, tetapi terbatas pada atribut yang
bertalian dengan metode efisiensi penggunaan waktu dalam hubungannya dengan
sistem belajar. Metode lama yang memang lebih produkrtf dan baik
dipertahankan, sebaliknya metode baru yang ternyata tidak menghasilkan lebih
baik, tidak dipakai, sekalipun namanya "modern " Sesuai dengan perkembangan
pesantren, maka faktor organisasi pesantren menjadi sangat penting. Para
santri diberi kesempatan dan melatih diri untuk turut memikul tanggung jawab,
karena pesantren adalah dunia mereka sendiri. Karena itu, di antara
santri-santri dibentuk dewan pengurus yang membawahi kelompok-kelompok kecil
menurut susunan lingkungan vertikal dan horisontal. Urusan mereka diurus
sendiri di antara mereka secara musyawarah. Dalam pada itu, masalah kebersihan
dan kerapian terus diusahakan peningkatannya. Proses pembaruan itu memang
tidak bisa dilaksanakan secara kilat, memerlukan waktu. Soalnya menyangkut
kondisi para santri sebagai anak-anak rakyat yang terdiri dari macam-macam
tingkatan atau berbeda tingkat sosial ekonomisnya. Pembaruan itu tidak
menyangkut hal yang asasi, misalnya tanpa melenyapkan wujud pesantren itu
sendiri sebagai lembaga yang mempunyai corak dan kultur sendin. Tempat
menuntut ilmu, mempraktikkan ibadah, mempraktikkan cara bergaul sebagai anak
rakyat warga masyarakat, mempersiapkan masa depan di tengah- tengah rakyat,
dan menyaring seriap yang datang baru yang belum jelas manfaatnya bagi
keselamatan masyarakat.
Di pesantren ini, para santri diperkenalkan
kepada kegiatan masyarakat di luar pesantren, dilatih, dan diberi kesempatan
untuk terjun ke dalamnya. Tidaklah mengherankan mengapa santri-santri
Tebuireng turut aktif dalam kegiatan dakwah, pendidikan, dan sosial yang
sedang berjalan di dalam masyarakat. Tidaklah mengherankan bila
aktivis-aktivis Nahdhatul Ulama di sekitar Jombang dan Jawa Timur pada umumnya
sebagian besar terdiri dari para lulusan Tebuireng.
Dan faktor kebesaran
Tebuireng memang tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran pengasuhnya, khususnya
tokoh K.H. Hasyim Asy'ari. Tidak diragukan lagi bahwa ulama ini mempunyai
wibawa atau haibah serta pengaruh yang besar sekali di kalangan alim ulama di
Jawa Timur khususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya sebagai Rais Akbar
Nahdhatul Ulama. Bukan saja di kalangan Nahdhatul Ulama, tetapi juga di
kalangan golongan Islam yang lainnya.
56
Ada satu lagi
faktor Tebuireng sebagai "kiblat"-nya para ulama di seluruh Jawa pada
khususnya, dan di Indonesia, pada umumnya. Tebuireng memiliki daya tarik yang
kuat sekali. Ada kecenderungan di kalangan para santri dan bahkan kiai-kiai
pesantren yang lain untuk bisa merasa "dekat" dengan Tebuireng. Perasaan ada
sesuatu yang hanya di Tebuireng orang bisa menernukannya. Bukan sekedar
pribadi Hadratus Syaikh, tetapi terutama karena tokoh besar ini dirasakan
tepat sekali untuk menduduki tempat sebagai "Bapak Ulama" Indonesia. Pernah
pada suatu ketika di sekitar tahun 1935-an, pemerintah kolonial Belanda hendak
menganugerahkan sebuah bintang kepada beliau. Akan tetapi dengan halus
ditolaknya. Untuk jangan mendatangkan fitnah dari kaki tangan kolonial, beliau
cukup menjawab dengan rendah hati:
Aku takut pada diriku sendiri akan
datangnya rasa ujub dan takabur. Aku malu kepada Allah karena aku cuma
hamba-Nya yang hina dina!
Di pesantren yang mana pun dan kiai siapa pun
bisa membaca Kitab Bukbari, sebuah kitab kumpulan Hadits Nabi yang paling
terkenal sekali. Kumpulan itu berisi 7275 buah hadits yang shahih. Penyusunnya
bernama Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, lahir pada 13 Syawal 194 atau 21
Juli 810 di Bukhara. Neneknya seorang pujangga yang terkenal, Bardizbah. Sejak
anak-anak ia telah yatim, menghafal Al-Qur'an dan berpuluh ribu hadits sebelum
ia menginjak usia dewasa. la mengunjungi kota-kota Khurasan, Baghdad, dan
Naisabur, terus ke Irak, Hijaz, dan Mesir untuk mempelajari hadits. Kitab yang
terkenal dengan nama Al-Jami' As-Shahih, atau lebih dikenal dengan Kitab
Al-Bukhari, ditulisnya sejak ia berusia 16 tahun. Sebanyak 7275 buah hadits
yang dihimpunnya itu merupakan pilihan dari hasil pengecekannya terhadap 1800
orang yang dianggap guru-guru ilmu hadits. Tiap selesai menulis satu hadits,
ia tetap dalam keadaan suci badan dan masih berwudhu, lalu sembahyang sunnah
dua rakaat untuk memohon hidayah dan ridha Allah, demikian pernah ia katakan
sendiri. Dalam bulan Ramadhan, setelah sembahyang Tarawih, ia menjalankan
sembahyang sunnah untuk menghafalkan sepertiga isi Al-Qur'an setiap malamnya.
Seluruh dunia Islam, sejak dulu hingga sekarang, memandang Kitab Al-Bukhari
sebagai kitab hadits paling otentik di antara kitab-kitab hadits lain yang
termasyhur di ka- langan dunia Islam. Dikisahkan bahwa Imam Muslim (pengarang
kitab hadits Shahih Muslim) yang dinilai sama, dwi tunggal dengannya oleh
dunia Islam, pernah mengatakan: Ketika aku mengunjungi Imam 'Bukhari
dikediamannya, aku katakan kepadanya, biarkan aku mencium kaki tuan Hai Raja
sekalian ahli hadits!
Ya, di pesantren yang mana pun dan kiai siapa pun
bisa saja membaca kitab ini. Akan tetapi, apabila K.H. Hasyim Asy'ari membaca
kitab Al-Bukhari-—biasanya ditamatkan selama bulan Ramadhan—,maka
berduyun-duyunlah kiai-kiai dan santri-santri dari luar daerah untuk "mondok"
di Tebuireng, karena hendak mendengarkan Hadratus Syaikh membaca kitab
Al-Bukhari. Memang, dari banyak sekali ilmu yang dimiliki Hadratus Syaikh,
beliau paling menonjol sebagai seorang ulama ahli hadits. Orang yang pernah
melihat sendiri cara Hadratus Syaikh membaca Al-Bukhari mengatakan bahwa
beliau sebenarnya telah hafal seluruh isi kitab yang terkenal ini. Seolah-olah
sedang membaca kitab karangannya sendiri! Orang-orang yang belajar kitab
al-Bukhari di hadapan Hadratus Syaikh merasa sangat puas, selain belajar dari
guru yang terpandang, juga karena paling tidak dapat
menikmati suasana bulan Ramadhan bersama K.H.
Hasyim Asy'ari di pesantrennya.
Keterangan lain yang dapat aku
kumpulkan tentang Hadratus Syaikh adalah mengenai tamu-tamunya dan caranya
menerima tamu. Setiap hari tak pernah sepi dari kunjungan
57
tamu-tamu
yang puluhan banyaknya, bahkan kadang-kadang hingga ratusan. Bermacam- macam
tingkatannya, ada kiai, santri, wali murid, pamongpraja, saudagar, petani,
pemuda, dan sebagainya. Tamu-tamu ini semuanya dilayani dengan baik, sekalipun
tidak pernah berjanji sebelumnya, sekalipun datang pada waktu yang umumnya
orang sedang istirahat. Sekalipun ada "khadam" yang menyuguhkan minuman dan
makanan, tetapi beliau sendiri yang meletakkan di muka sang tamu, bahkan
kadang-kadang beliau sendiri yang mengambilnya dari "ndalem" (ruangan tengah
di rumahnya), jika kebetulan "khadam" sedang mengaso. Bahkan jika kedatangan
tamu tepat di waktu makan (siang maupun malam), maka keluarlah hidangan makan.
Dengan amat ramahnya tamu "diladeni" dengan kata-katanya yang menyenangkan,
hingga kalau tamu itu terdiri dan banyak orang, maka masing-masing orang
merasa bahwa dialah paling disayang Hadratus Syaikh. Siapa saja yang pulang
dari bertamu akan merasa bahwa dirinya orang yang paling dekat di hati
Hadratus Syaikh. Mereka puas, menjadi kenangan yang membahagiakan sepanjang
hidupnya. Ada kalanya sang tetamu datang dengan membawa sekedar oleh-oleh,
misalnya buah pepaya. Hadratus Syaikh memperlihatkan suka citanya atas
oleh-oleh itu sambil berkata: "Alhamdulillah, alhamdulilah, pucuk dicita, ulam
tiba! Saya sudah lama ingin buah pepaya. Alangkah bagusnya pepaya ini,
alangkah nikmatnya...!" Berulang-ulang diucapkan terima kasihnya serta
mendo'akan kepada si pemberinya. Padahal di kebunnya, di belakang rumah
Hadratus Syaikh, ada juga pohon-pohon pepaya. Tidak semua orang bersedia
menerima tetamu, tidak semua orang gembira menerima tamu, apalagi yang tak ada
janji sebelumnya, dan tidak semua orang dapat menyenangkan hati tetamu. Tetapi
Hadratus Syaikh tidak masuk golongan ini. Hadratus Syaikh dalam pandanganku
adalah orang besar. Andaikata beliau bukan orang alim, ini misal saja, tetapi
dengan caranya menyenangkan tetamu, sedap waktu, sepanjang hari, sepanjang
bulan dan tahun, tetamu selalu diterima dengan amat baiknya, maka dari ini
saja beliau adalah seorang besar, seorang yang sangat layak untuk dipandang
sebagai Bapak dan pengayom! Tugas sehari-harinya yang telah cukup berat dan
memakan waktu, dalam usianya yang sudah 70-an tahun, padahal beliau juga
merupakan pimpinan puncak dari sebuah organisasi Islam bernama Nahdhatul Ulama
selaku Rais Akbarnya, bagiku tak ada lagi tara bandingannya. Sangat
mengagumkan.
Menurut cerita K.H.A. Wahid Hasyim, puteranya, jika pada
satu saat Hadratus Syaikh menghadapi masalah yang cukup berat sehingga tak
bisa diatasi sendiri, maka orang pertama yang dimintai pendapatnya adalah K.H.
Abdul Wahab Chasbullah dan K.H. Bisri Syamsuri, dua ulama besar yang
masing-masing memimpin Pesantren Tambak beras dan Denanyar—tidak jauh dari
Jombang. Tiga tokoh ulama besar ini merupakan tri tunggal yang masing masing
mempunyai ma’iyah atau nilai kelebihan, tetapi saling memerlukan antara yang
satu kepada lainnya.
Aku merasa sangat kecil sekali jika berhadapan
dengan Hadratus Syaikh. Tetapi aku ingin bisa mewarisi salah satu sifatnya,
walaupun sekedar yang kecil saja. Padahal aku belum pernah secara langsung
menjadi muridnya. Aku belum mendapat kesempatan mondok di Tebuireng. Namun
sejak itu aku lebih mantap untuk menganggap bahwa beliau adalah guruku. Aku
pelajari kepribadiannya, aku renungkan buah pikirannya, dan aku hendak
mengikuti garis kepemimpinannya. Sekalipun berada dalam jarak yang jauh, aku
di Jawa Tengah dan beliau di Jawa Timur, namun di hatiku beliau sangatlah
dekat, biarpun andaikata di hati beliau aku tidaklah dekat. Waktu yang hanya
dua hari di Tebuireng, aku berusaha untuk merekam segala yang aku lihat dan
aku dengar, pada saatnya akan kuulang penyimakannya tahap demi tahap, aku
jadikan pedoman yang amat berharga pada saat aku memulai ikut terjun ke tengah
medan pengabdian. Bukankah semua orang wajib mengabdikan diri? Ya, tentu saja
disesuaikan dengan kadar kemampuannya dan
58
kesempatannya
yang tersedia. Bismillah hi haulillah,dengan Nama Allah dan dengan
mengharapkan pertolongan-Nya!
Menjadi Guru
Pada tahun 1936, ketika usiaku 17 tahun, aku sudah mulai menjadi guru. Ketika
itu aku duduk di kelas terakhir di Madrasah Al-Huda. Sebenarnya belumlah guru
betul. Murid-murid tidak seluruhnya memanggilku ustad, banyak juga yang
memanggilku dengan namaku. Maklumlah, aku cuma sekedar musa'id, yaitu pembantu
guru yang sebenarnya, Ustazd Mursyid guru yang sebenarnya dari Madrasah
Al-Huda. Sudah kuceritakan di muka bahwa Ustazd Mursyid mendidik murid-murid
kelas teratas menjadi guru, berhubung tiap tahun kelas bertambah. Murid kelas
yang terakhir, kelas 5, baru diberi pelajaran bila kelas-kelas di bawahnya
telah bubar sekolah. Tentu tidak semua murid kelas 5 dijadikan musa'id, hanya
beberapa saja, 4 hingga 5 orang yang dipandang memenuhi persyaratan, dan aku
termasuk di antara 5 anak ini.
Akan tetapi ketika pada permulaan tahun
1938 aku pulang dari Solo dengan menggondol ijasah, aku benar-benar telah
menjadi seorang guru. Aku mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama, di Islamitisch
Westerse School, dan di Kulliyat al-Muallimin wa al-Muballighin. Dua macam
sekolah yang belakangan ini juga bernaung di bawah asuhan Nahdlatul Ulama.
Lucu juga kedengarannya kalau dipikir-pikir. Di madarasah aku dipanggil ustad,
tetapi di sekolah yang berbau Belanda ini aku dipanggil meneer oleh anak-anak
murid. Panggilan memang bisa mempengaruhi seseorang. Dengan panggilan ustads
aku memantas-mantas diri seolah-olah betul-betul ustadz. Mengenakan kain
sarung, memakai baju jas dengan leher kemeja yang dikeluarkan, dan memakai
peci. Akan tetapi dengan panggilan meneer aku jadi sedikit kikuk juga.
Memantas-mantas sebagai seorang meneer, aku mengenakan celana panjang berwama
putih, kemeja kadang warna putih kadang biru muda dengan garis-garis kecil
putih, pokoknya warna yang tidak menyolok. Tetapi celana selamanya mesti
putih. Dan sepatu selamanya mesti hitam. Sudah barang tentu memakai dasi.
Warna dasi pun kalau tidak hitam rnulus, setidaknya ada garis-garis yang tidak
keliwat menentang mata. Meneer-meneer yang lain tidak memakai peci, tetapi aku
tidak bisa tanpa peci. Di kampungku sangatlah janggal bila seorang santri
tidak memakai peci. Ya, aku toh seorang meneer? Benar! Tapi aku cuma
meneer-meneeran, bukan meneer 100%.
Aku bukan guru Bahasa Belanda, bahasa
Belandaku cuma sepotong-sepotong, karena itu aku belajar bahasa Belanda
sedikit-sedikit kepada rekan guru bahasa ini. Aku adalah guru Agama Islam pada
Islamitisch Western School. Karena itu, aku mesti memakai peci. Ada juga
temanku sesama guru yang menganjurkan aku untuk tak usah memakai peci, tetapi
ah..., perduli amat. Biar aku dipandang janggal oleh satu dua orang, asal
masyarakatku tidak memandang demikian.
Lihat saja guru-guru "Taman
Siswa", sekalipun mengajar bahasa Belanda juga banyak yang memakai peci.
Apalagi di zaman itu, berpantalon (bercelana panjang) dan berpeci merupakan
ciri orang pergerakan, "golongan nasionalis", untuk membedakan dengan
ambtenaar Hindia-Belanda. Ada lagi pengaruhnya bagi kebiasaanku setelah aku
dipanggil ustadz atau meneer. Aku gemar merokok biar sedang berjalan pun.
Tetapi setelah menjadi guru, aku berpikir, tidak pantas seorang guru merokok
sambil berjalan. Sejak itu, aku tidak lagi merokok sambil berjalan. Merokok
hanya pada waktu duduk. Jika hendak
60
berjalan,
rokok kumatikan. Kecuali untuk lebih memenuhi sopan-santun, pun pernapasan
bisa lebih bebas.
Seorang guru lazimnya keluaran sekolah guru atau kursus
guru. Tetapi aku tak pernah memasuki sekolah guru, kursus guru pun tidak.
Pernah sesekali aku menghadiri guru-guru sedang dikursus, sebagai peninjau.
Kalau itu, berarti aku pernah kursus guru, terserah.
Bekalku hanyalah
hasratku yang besar ingin menjadi guru. Pekerjaan menjadi guru adalah sangat
mulia. Mendidik dan mengajar orang lain, walaupun tak ada sangkut-pautnya
dengan hubungan famili, tujuannya ingin membentuk manusia agar menjadi orang
yang baik, berbadan sehat, berilmu, dan berakhlak mulia. Dengan jalan mendidik
dan mengajar orang lain, dirinya sendiri ikut terdidik dan terajar juga.
Aku
perhatikan dengan seksama cara guru-guruku mendidik anak-anak didiknya. Begitu
telaten (cermat dan sabar), begitu rajin, begitu mulia cita-citanya hingga
kesenangannya sendiri sering dikorbankan. Kalau aku perhatikan, anak yang
tadinya berwatak kurang ajar, lambat laun menjadi anak yang tahu sopan santun.
Anak yang mula-mula dungu dan bebal, lambat laun menjadi pandai dan cerdas.
Semua itu lantaran hasil kesabaran dan keuletan guru yang melakukan tugasnya
dengan penuh kasih sayang. Begitu ikhlas para guru mendidik dan mengajar
anak-anak didiknya, mereka tidak mengharapkan apa-apa kecuali anak didiknya
kelak menjadi orang yang berguna hidupnya. Mereka tak ingat lagi berapa jumlah
anak-anak yang diasuhnya yang telah berhasil menjadi orang baik. Berbeda
dengan orang yang menabung, sekalipun ia mengikhlaskan sebagian uangnya, namun
ia ingat-ingat betul berapa jumlah yang di-"ikhlas"-kan itu. Juga berbeda
dengan kaum tani yang menabur bibit, sekalipun mereka meng-"ikhlas"-kan
sejumlah bibit, namun mereka mengharapkan bahwa kelak akan memetik buahnya.
Tidak
demikian seorang guru, ia tak pernah mengharapkan bahwa kelak akan memperoleh
imbalan jasa dari anak didiknya. Begitu ikhlas ia memberikan didikan dan
ilmunya tanpa mengharapkan imbalan jasa. Bahkan ia kaget kalau satu ketika
bekas anak didiknya memberikan apa-apa kepadanya. Apa ini? Kok pakai beginian
segala?
Tentu tidak semua yang datang dari guru-guruku dapat aku petik
sebagai bekalku memperoleh ilmu guru. Yang baik dan sesuai aku ambil, sedang
menurutku tidak sesuai, aku tinggalkan. Tapi aku tak bisa menyalahkan
mereka.
Memang kemampuannya cuma sampai di situ. Misalnya, pernah aku
mengalami guru yang "baik" tetapi dengan "kebaikan"-nya itu, bagiku malah
mbubrah aturan (merusak aturan). Ini pengalamanku ketika aku mula-mula masuk
"Sekolah Arab" (istilah madrasah ketika itu). Itu terjadi sekitar tahun 1925
ketika umurku masih 6 tahun. Anak-anak sudah masuk semua ke dalam kelas,
tetapi guruku tidak lekas memulai mengajar. Beliau menenangkan kelas dengan
dengusnya yang keras dan panjang. Kalau anak-anak sudah agak tenang, beliau
tiba-tiba menatap muka anak-anak sambil senyum lebar. Cukup lama senyum ini
mengguyur kami semua.
Guruku yang baik ini lalu bertanya: "Anak-anak,
nah... pelajaran apa hari ini...?" Seluruh kelas mulai gaduh. Sebagian
menjawab dengan berbareng: "Dongeeengngng..., dongeeeng...!" Sebagian yang
lain menjerit: "Nyanyiii!"
Pada waktu itu, mestinya pelajaran pertama
bukan mendongeng atau menyanyi. Semakin gemuruhlah seluruh kelas. Guruku yang
baik ini masih dengan senyumnya yang lebar menjawab: "Lho, kemarin sudah
dongeng kok sekarang dongeng lagi!" Seorang teman
61
dekatku
melengking usul: "Dongeng lagi cerita kemarin!" Bukan main riuh gemuruhnya
kelas. Beliau yang baik ini cepat-cepat memegang tongkatnya, dipukul-pukulkan
di atas papan tulis. Beliau walaupun ke mana-mana membawa tongkat, namun
seingatku belum pernah melayang ke kepala murid. Tongkat itu cuma
dipukul-pukul di atas bangku atau papan tulis. Anak-anak diam semua, seluruh
perhanan anak-anak ditujukan kepada guruku yang manis ini.
Beliau lalu
katakan: "Lebih baik nyanyi saja!" Kedengaran suara koor: "Hoooooo..." Aku
jadi ikut penasaran, gerutuku: "Suaranya nggak enak!" Tetapi guruku yang baik
ini tidak menghiraukan reaksi anak-anak. Beliau terus saja menyanyi. Llahana
Ya dzal ghina...,' lagu kegemarannya. Anehnya, semua anak-anak ikut menyanyi
lagu yang sudah mereka hafal itu. Jadi ramailah seluruh kelas, ada juga
beberapa anak kelas sebelah yang tiba-tiba pada datang dan ikut menyanyi
...!
Demikianlah caranya menguasai kelas, begitulah caranya memikat
perhatian anak-anak. Cara yang model begini tentu tidak aku tiru. Aku bisa
meniru cara lain yang ditempuh oleh salah seorang ustadzku.
Anak-anak
yang baru masuk kelas pada umumnya masih membawa suasana di luar.
Untuk
menenangkan mereka, diberikan waktu-antara sekadar untuk melupakan suasana di
luar kelas, anak-anak perlu ditata persiapan mentalnya lebih dulu. Itu bisa
dilakukan dengan memberikan aba-aba agar mereka berdiri untuk mengucapkan
salam kepada guru. Kemudian disusul dengan membaca doa bersama dan dipimpin
oleh guru.
Bisa berupa pembacaan Surat Al-Fatihah misalnya, atau janji
murid. Biasanya, jika upacara ini telah selesai, maka pelajaran sudah bisa
dimulai. Adakalanya kelas belum tenang betul, tetapi tidak apa, biarkan dulu
anak-anak menghabiskan sisa suasana luar yang masih tertinggal. Pelajaran yang
dimulai dengan mukadimah yang menarik dengan sendirinya akan memikat anak-anak
hingga mereka mulai memusatkan perhatian kepada pelajaran.
Aku mendidik
diri sendin dengan jalan membaca buku-buku pendidikan, buku-buku ilmu
mendidik, dan ilrnu mengajar. Lebih dari separo pendapatanku sebagai guru aku
belikan buku-buku tersebut. Apa yang aku pelajari dari buku-buku tersebut aku
praktikkan dalam tugasku sehari-hari. Tentu tidak semuanya bisa diterapkan,
akan tetapi aku bisa belajar dari pengalaman.
Cerita tentang guruku yang
baik di muka itu, tidak bisa disalahkan apalagi dicemoohkan. Beliau adalah
anak zamannya. Beliau bukan keluaran sekolah guru. Sedangkan yang memperoleh
pendidikan guru saja, ada juga yang memperlihatkan keanehannya dalam mendidik
anak-anak didiknya. Salah seorang muridku bercerita bahwa salah seorang
gurunya di "Sekolah Desa" (Sekolah Dasar 3 tahun) mempunyai kebiasaan yang
aneh. Jikalau anak-anak dalam kelasnya begitu bandel sedang ia tak bisa
menguasainya, maka ia jadi gregetan, blangkonnya dibanting, ia lalu
berguling-guling di lantai. Karuan saja seluruh kelas meledak tertawa, jadi
buah ejekan. Guru yang memelas ini tentu tidak mendapat kursus demikian ketika
ia menjadi calon guru.
Cara yang dilakukan oleh kedua orang guru yang
kuceritakan di muka itu, tentulah bukan sistem yang benar. Aku tak bisa meniru
cara yang dilakukan oleh guru yang begitu baik yang melakukan tawar-menawar
dengan muridnya, hanya karena ia hendak menjinakkan anak-anak.
62
Sudah
menjadi kelaziman bahwa sebelum anak-anak memasuki ruangan kelasnya masing-
masing untuk menerima pelajaran, mereka akan menggunakan waktu di luar kelas
itu untuk menikmati suasana bebas. Hal itu sangat baik bagi pertumbuhan rohani
dan jasmani anak- anak. Mereka akan mempergunakannya untuk bermain-main,
berkejar-kejaran atau bercanda. Aku bahkan senang melihat anak-anak
menggunakan waktu bebasnya dengan sebaik mungkin. Bahkan tiap guru sebaiknya
ikut mendorong agar waktu bebas itu dipergunakan sebaik-baiknya.
Guru
tinggal mengawasi agar sifat permainan anak-anak itu tidak melampaui batas,
artinya, disesuaikan dengan waktu dan tempat yang umumnya terbatas. Main
layang-layang misalnya, tidaklah tepat dilakukan pada jam-jam istirahat,
selain karena waktunya tidak mengizinkan, juga karena tempatnya akan
mengganggu anak-anak yang melakukan jenis permainan lain.
Sudah menjadi
kebiasaan bahwa anak-anak masih dipengaruhi oleh suasana di luar kelas,
apalagi jika baru masuk kelas pada jam pelajaran yang pertama. Mereka masih
dipengaruhi oleh suasana di rumahnya, atau di perjalanan ketika menuju ke
sekolah.
Suasana bebas itu biasanya masih akan dibawa ke ruang kelas bila
pelajaran akan dimulai. Guru yang bijaksana tentu menyadari bahwa itulah waktu
peralihan antara suasana bebas dengan suasana resmi untuk siap menerima
pelajaran. Menghadapi saat demikian, aku bisa menempuh dua cara. Kedua-duanya
bersifat untuk menurunkan suhu atau temperatur kebebasan untuk bersiap-siap
memasuki suasana belajar. Cara pertama, aku lakukan dengan jalan menyiapkan
anak-anak menjadi dua barisan sejajar di muka pintu masuk. Aku perhatikan
tiap-tiap anak, barangkali terdapat hal-hal yang kurang senonoh. Misalnya,
apakah mereka mengenakan pakaiannya dengan sopan, atau tentang kebersihan
badan mereka, kuku, rambut, muka, dan sebagainya. Jika segalanya telah cukup
tertib, barulah anak-anak dipersilakan masuk kelas, ini baru merupakan tahap
pertama yang akan disambung dengan tahap kedua bila mereka telah memasuki
kelas.
Cara demikian bisa mengatasi suasana peralihan antara alam bebas
di luar kelas dengan alam belajar di dalam kelas. Cara kedua ialah
mempersiapkan kondisi anak-anak siap menerima pelajaran. Aku tidak segera
duduk di kursi, tetapi menghampiri barang dua atau tiga anak yang kurang
tertib duduknya dengan diberi nasihat seperlunya. Dengan demikian, suasana
peralihan sudah dapat dijembatani, dan mulailah pelajaran. Guru yang bijaksana
akan pandai mencari kata pendahuluan yang memikat perhatian anak-anak.
Menguraikan pendahuluan dengan berdiri, atau berjalan sedikit mondar-mandir
dan diselingi dengan duduk di atas meja terdepan, bukan duduk di atas kursi
guru, akan lebih menolong daya tarik anak-anak untuk segera terpikat
perhatiannya kepada guru. Seterusnya pelajaran sudah bisa dimulai.
Menghadapi
anak yang bandel, banyak cakap, dan banyak ringkah, tentulah tidak usah dengan
membanting blangkon atau pecinya sendiri, apalagi dengan cara berguling-guling
di atas lantai. Hal ini akan menjatuhkan martabat seorang guru di mata
murid-mundnya. Anak yang bandel tidak akan menjadi baik. Bahkan ia ingin agar
guru yang gregetan itu menjadi permainannya. la telah mempunyai kartu untuk
sesekali memaksa sang guru membanting blangkonnya dan berguling-guling di atas
lantai.
Aku pernah juga mempunyai satu dua orang murid yang bandel,
senang menggoda kawannya, membuat onar dalam kelas, dan senang bicara tak
sopan atau kotor. Ada beberapa cara kutempuh. Anak yang bersangkutan dipanggil
ke muka kelas, diberi nasihat
63
dan peringatan
seperlunya. Atau menahan dia pada jam mengaso untuk sekali lagi diberi nasihat
dan peringatan. Atau dengan jalan aku panggil ke rumah. Aku tanyakan
kepadanya, apakah cukup aku sendiri yang menasihati ataukah biar aku serahkan
kepada orang tuanya untuk dinasihati? Ada lagi dengan cara lain.
Anak itu
aku dekatkan di hatiku. Aku panggil ke rumah untuk membantu pekerjaanku yang
tidak ada hubungannya dengan sekolah. Misalnya, aku ajak menyertai aku ke
pasar membeli bibit tanaman dan dia kusuruh menemani aku menanam bibit itu di
halaman rumahku. Menyertai aku membersihkan halaman rumahku. Pokoknya aku
dekatkan dengan hatiku dan kuinsyafkan bahwa aku sangat sayang kepadanya.
Maka, dengan jalan demikian, pada umumnva aku berhasil menjadikan dia anak
yang tidak membandel lagi. Memang tidak bisa sekaligus, itu memerlukan sedikit
waktu dan kesabaran.
Ada sementara guru yang memanjakan murid yang pandai
dengan jalan mendekatkan di hatinya secajra menyolok. Guru ini memperlihatkan
sayangnya kepada murid tersebut. Itu memang seharusnya sebagai penghargaan
atas kepandaiannya. Memuji kepadanya di muka kelas agar disaksikan oleh
murid-murid yang lain sudahlah cukup sebagai tanda menghargai kepandaiannya.
Asal jangan berlebihan. Juga terhadap murid yang baik, yang tertib, dan
berdisiplin. Akan tetapi, terhadap murid yang membandel pun bisa diperlakukan
serupa. Msalnya, perlihatkan bahwa guru menyukai anak tersebut. Yang tidak
disukai adalah perangainya yang membandel itu. Maka aku suruh anak yang
membandel ini untuk membantuku, mengumpulkan buku pekerjaan anak-anak,
membantu membersihkan papan tulis, dan lain-lain pekerjaan yang mempunyai
kesan bahwa aku dekat kepadanya. Dengan demikian, dia akan merasa malu sendiri
kalau terus-menerus mernbikin jengkel hatiku lantaran kebandelannya.
Pokoknya,
keberhasilan tugas seorang guru terletak pada dirinya sendiri. la seharusnya
mendidik dirinya sendiri sebelum mendidik orang lain (murid). Di Jawa Tengah,
guru diartikan: digugu lan ditiru. Artinya: digugu, dipercaya omongannya.
Ditiru, diambil contoh segala perbuatannya. Memang demikian. Seorang guru yang
baik ialah jika omongannya didengar dan dipercayai, demikian pula segala
tindak lakunya dijadikan panutan oleh murid- muridnya. Kewibawaan seorang guru
terletak pada tutur katanya dan perbuatannya sendiri.
Buku-buku yang
pernah aku pelajari menerangkan bahwa kewajiban seorang guru adalah mendidik
murid-muridnya. Arti mendidik mencakup pengertian tiga perkara. Mendidik
jasmani mund-murid, agar mereka memiliki tubuh yang sehat, ringan kaki,
cekatan, dan riang gembira. Mendidik otak murid-murid, agar mereka memiliki
kecerdasan berpikir dan mempunyai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkat
usianya.Dan pendidikan rohani murid- murid, agar mereka memiliki perangai atau
akhlak yang mulia, benar kata-katanya, jujur perbuatannya, mengabdi kepada
Allah SWT, dan berbakti kepada orang tuanya dan bangsanya.
Kalau dikaji
lebih mendalam, maka tujuan pendidikan, sekalipun dirumuskan dengan
kalimat-kalimat yang panjang, namun dapat diringkaskan menjadi: membentuk
manusia! Ini mengandung makna yang luas sekali. Manusia tidaklah sekadar
orang. Ada ucapan seorang ahli pikir yang mengatakan: sebegini banyak orang di
dunia, tetapi sedikit saja yang bernama manusia. Ucapan ini bisa kita perkecil
terbatas pada sekeliling kita sehari-hari bahwa sebegitu banyak orang-orang
sekeliling kita, tetapi tidak semuanya pantas disebut manusia!
64
Selalu
saja menjadi semboyan kuat dalam benakku bahwa tugasku sebagai guru, cumalah:
menjadikan murid-muridku bertubuh sehat, pandai dan berakhlak. Tetapi untuk
melaksanakan satu baris kalimat ini tidaklah mudah dalam praktik
sehari-hari.
Boleh dibilang hampir 100% murid-muridku terdiri dari
anak-anak rakyat. Jangan dilupakan artinya: Rakyat jajahan! Kita masih hidup
di bawah kekuasaan politik maupun ekonomi dan sosial penjajah "Hindia
Belanda." Mereka adalah anak-anak petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil,
dan segala yang serba kecil. Kecil ukurannya tetapi besar jumlahnya.
Sebagai
anak-anak rakyat yang kecil, mereka miskin, kekurangan makan, dengan
sendirinya kekurangan kalori. Mereka selain berbadan lemah, juga umumnya
berpenyakitan. Malaria, sakit mata, kudis, cacingan, hampir menjadi penyakit
umum di kalangan murid- muridku. Di sinilah musykilnya tugas seorang guru
dalam mendidik jasmani anak didiknya. Seorang guru secara resminya bukanlah
pejabat departemen sosial atau kesehatan. Masalah tersebut di atas pada
umumnya dan dengan sendirinya adalah bidang urusan kepamongprajaan. Tidaklah
mungkin seorang guru menggantikan tugas orang tua murid memberikan kadar
makanan yang mencukupi syarat-syarat gizi yang baik, sekalipun pada tingkat
serendah-rendahnya. Guru tidak mungkin menyediakan hidangan sehari-hari empat
sehat lima sempurna bagi murid-muridnya. Akan tetapi, seorang guru wajib
memberikan didikan jasmani kepada mund-muridnya agar mereka bertubuh sehat dan
kuat. Pelajaran gerak badan mesti harus diadakan. Jadi bagaimana? Di sinilah
letak kebijaksanaan seorang guru. Pelajaran olah raga atau gerak badan mesti
dilaksanakan karena hal itu termasuk bidang pendidikan. Tentu saja, anak-anak
yang lemah jasmaniah atau berpenyakitan tidak diikutsertakan.
Anak-anak
golongan ini dipecahkan masalahnya dengan wali murid atau dengan pamong praja
setempat. Gerak badan atau olah raga diberikan kepada anak-anak yang secara
minimal memenuhi syarat-syarat kekuatan tubuh.
Untuk sekadar menambah
gizi anak-anak, aku adakan pembagian sepiring bubur kacang ijo bagi seluruh
kelas, yang diambilkan dari salah satu warung yang dekat dari madrasah dengan
biaya dari kas madrasah.
Janganlah dilupakan, seorang guru di zaman itu
harus bisa memegang seluruh mata pelajaran. Jika dalam suatu kelas terdapat 12
mata pelajaran, di anta-anya pelajaran olah raga dan menyanyi, maka seorang
guru dalam kelas itu harus bisa memegang seluruh mata pelajaran tersebut,
termasuk olah raga dan menyanyi. Dalam pada itu, seorang guru kadang-kadang
mewakili rekannya sesama guru jika yang belakangan ini berhalangan masuk.
Oleh
sebab itu, seorang guru praktis harus bisa mengajar seluruh kelas. Pokoknya,
guru di zaman tempo doeloe harus bisa menjadi manusia serba bisa!
Kewajiban
guru meminta ketekunan dan kesabaran. Tiap malam, kadang-kadang hingga jauh
malam, masih membolak balik buku-buku hasil pekerjaan anak-anak. Kalau murid
dalam kelasnya berjumlah 40 anak, maka 40 buku pekerjaan anak-anak itu harus
diteliti semuanya, diperiksa benar salahnya untuk kemudian diberikan nilai.
Pekerjaan yang memenatkan ini harus dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab
pedoman guru untuk membuat rencana jalannya seluruh mata pelajaran buat hari
esoknya. Hingga jauh malam ia masih membuat rencana kasar jalannya pelajaran
keesokan harinya, buku apa yang dijadikan pedoman, dari bab apa hingga apa,
mencarikan perumpamaan-perumpamaan untuk memudahkan pengertian anak-anak
murid. Kadang-kadang hingga larut malam
65
seorang guru
baru bisa tidur. Padahal tiap hari, sejak pagi hingga petang ia harus mengajar
tidak hanya satu sekolah, tetapi merangkap hingga dua sekolah. Aku bahkan
merangkap 3 sekolah, satu di waktu pagi, satu di waktu siang, dan satu lagi di
waktu petang. Dua kali dalam seminggu masih memberikan pelajaran pada kursus
pemuda di waktu malam. Hari libur (hari Jum'at bukan Ahad) umumnya
dipergunakan untuk kursus guru atau rapat guru. Sebulan sekali menghadiri
"Kursus Wali Murid" untuk menjalin kerjasama antara guru dan orang tua murid
di dalam memajukan pendidikan anak-anaknya.
Oleh karena guru itu harus
digugu lan ditiru (jadi cermin tauladan) terutama di mata murid- muridnya,
maka guru seharusnya tidak boleh berpenyakitan, tak boleh kekurangan makan,
harus cekatan, dan bersih, pokoknya mestilah kelihatan gagah, jempolan! Ia
harus menjadi ikutan. Untuk itu, memerlukan tingkat hidup yang layak. Untuk
itu, harus berpenghasilan cukup. Padahal rata-rata guru madrasah di zaman itu
hanyalah memperoleh penghasilan 5 hingga 6 rupiah sebulan, itu pun kalau
murid-murid membayar uang sekolah dengan baik. Dari hasil uang pembayaran
sekolah murid-murid, 70% dibagi untuk seluruh guru-guru, 10% untuk
pemeliharaan gedung sekolah, 15% untuk alat-alat belajar, dan 5% untuk dana
sosial (kas pengurus).
Maka dengan penghasilan yang ala kadarnya, aku
harus bisa memelihara kesehatan tubuhku, berusaha untuk bisa makan sehari-hari
dengan pedoman: empat sehat lima sempurna.
Tentu tidak bisa dilakukan
sehari-hari makan empat sehat lima sempurna itu. Aku juga mengambil olah raga
untuk memelihara kesehatan jasmani. Tentulah olah raga yang tidak keluar
biaya. Misalnya, main sepak bola atau berenang di sungai. Untuk membeli
pakaian? Pakaian itu termasuk jenis yang mahal harganya. Di zaman penjajahan,
berpakaian yang agak layak itu sudah merupakan suatu kemewahan hidup. Tidak
pernah aku mempunyai sepatu lebih dari satu pasang. Celana tidak lebih dari
dua, dan mempunyai dua helai dasi itu sudah termasuk "royal" dan mewah. Tetapi
guru harus tampak necis dan berpakaian layak dan sopan. Di sinilah "seni"-nya
hidup sebagai guru. Kurang, tetapi harus bisa cukup! Memiliki sepeda termasuk
suatu kemewahan.
Tetapi mana bisa tanpa sepeda kalau harus
merangkap-rangkap mengajar di berbagai sekolah? Tak usah yang baru, sepeda
bekas pun jadi. Ya, sepeda bekas pun harganya paling murah sepuluh rupiah.
Bukan yang merk Releigh atau Fongers tentu, cukup sepeda kampungan bikinan
tukang bengkel sepeda.
Melalui pengurus madrasah, kami para ustadz
mengadakan "Kursus Wali Murid" sebulan sekali. Maksud dari pada kursus itu tak
lain dan tak bukan untuk mempererat hubungan antara guru dan wali murid serta
mengadakan pembagian tugas dalam mendidik anak-anak mereka. Kami para guru
hanya mernpunyai waktu sangat terbatas dalam mendidik anak- anak mereka. Dalam
sehari cuma sekedar 3 hingga 5 jam. Sisa waktu yang lebih panjang adalah saat
anak-anak tidak berada di madrasah, yaitu di rumah mereka masing-masing. Di
situlah tugas orang tua murid.
Cara pendidikan yang diberikan oleh orang
tua murid kepada anak-anak mereka haruslah sejalan dengan yang kami berikan di
madrasah. Artinya, sebagai upaya memelihara tujuan pendidikan. Memang, kami
para ustadz juga menyadari bahwa tidak semua wali murid mampu memberikan
pendidikan sepanjang artinya menurut ilmu pendidikan. Misalnya, pada umumnya
para wali murid kurang mampu memberikan pendidikan otak, mengajar berbagai
ilmu pengetahuan. Namun dalam segi lain, misalnya menjaga kesehatan tubuh,
dan
66
terutama pendidikan rohani atau akhlak,
maka orang tua murid mernpunyai peranan yang sangat penting, bahkan
kadang-kadang menentukan.
Sebagai contoh, orang tua murid harus memberi
perhatian terhadap hasil pendidikan anak- anaknya yang mereka peroleh dari
madrasah. Tiap hari, misalnya pada waktu makan bersama perlu ditanyakan
bagaimana pelajaran anak-anak hari itu. Anak sehabis makan dipersilakan
menceritakan salah satu pelajaran. Walaupun tidak usah mendalam dan tak usah
mengarnbil waktu banyak, cukup memberi kesan pada anak bahwa ia harus lebih
bertanggung-jawab terhadap pelajarannya di madrasah.
Tugas lain dari wali
murid ialah mengatur keseimbangan waktu bagi anak anaknya. Pada garis besarnya
waktu itu dibagi menjadi 4 macam. Pertama: waktu bermain-main, kedua: waktu
membantu pekerjaan orang tua, ketiga: waktu untuk belajar, dan keempat: waktu
istirahat (tidur).
Bermain-main
Bermain-main secara seenaknya atau
rileks adalah penting bagi dunia anak-anak dalam pertumbuhan rohani, jasmani,
dan pikiran. Tidak baik jika anak-anak terus menerus berada dalam suasana
terikat oleh ketegangan belajar dan di hadapan orang tua. Mereka memerlukan
pelemas saraf. Itulah bermain-main. Di sana mereka juga menjalani fitrah atau
naluri manusiawi hidup secara berkawan karena manusia memanglah makhluk
berkawan. Anak-anak diberi kebebasan waktu untuk bermain-main, tetapi terbatas
waktunya serta diawasi bentuk permainannya agar tidak menjurus kepada
perbuatan yang tak senonoh. Dalam bermain-main, anak-anak akan memperoleh
pengalaman bagaimana menghadapi sifat tiap-tiap orang (kawannya) sebab di
antara kawan-kawannya terdapat anak yang baik, kurang baik, tidak baik, yang
pintar, yang pandai, dan yang bodoh.
Dari kawan-kawannya yang memiliki
sifat-sifat baik (jujur, berani, dan pandai), anak-anak akan memperoleh
pelajaran yang baik dan mungkin akan menirunya. Menghadapi kawannya yang
pintar (tetapi jahat), ia akan mencari akal bagaimana mengalahkannya. Dalam
bermain itulah anak-anak bisa memperoleh pengalaman sangat berharga unruk
hidupnya di masa depan. Tetapi juga sebaliknya, dari bermain, anak-anak akan
memperoleh pengaruh yang tidak baik. Di sinilah pentingnya pengawasan orang
tua terhadap permainan anak-anaknya. Yang sudah jelas, dari bermain-main,
anak-anak akan memperoleh perkembangan rohani dan jasmani, dan bahkan
kecerdasan, jikalau mereka memperoleh jenis permainan yang baik dan kawan yang
baik pula. Maka, sekali lagi, para orang tua seyogyanya memberikan kesempatan
bagi anak-anak untuk bermain-main, dalam jangka waktu yang tertentu, dan tetap
di dalam pengawasan orang tua.
Adakalanya orang tua amat sayang kepada
anaknya. Tak diizinkan anaknya bermain-main sesama kawan-kawannya. Macam-macam
timbul kekhawatiran di hatinya. "Jangan ikut-ikut mandi di sungai, nanti kau
tenggelam!" katanya.
"Buat apa memanjat pohon, nanti kau jatuh" begitu
jawabnya ketika anaknya hendak memetik buah mangga di depan rumahnya. "Aduh
Nak, nanti kau sakit kalau hujan- hujanan!" ketika dilihatnya sang anak main
hujan-hujanan dengan kawan-kawannya. Orang tua yang demikian ini bukan
memperkembang pendidikan anaknya, dia bukanlah memberikan kasih sayang secara
tepat. Dia sebenarnya telah mematikan inisiatif dan kreasi anaknya. Akibatnya,
sang anak menjadi orang yang serba takut. Takut hidup, dan takut menempuh
risiko. Tidak mempunyai semangat juang. Sang anak akan menjadi orang yang
manja hidupnya hingga tidak memiliki daya ketahanan menghadapi kesulitan
hidup. Biarkan
67
anak mandi di sungai, asal belajar
dulu berenang, waspada terhadap datangnya bahaya banjir, dan sebagainya.
Biarkan anak memanjat pohon, asalkan berhati-hati, injaklah dahan yang
kuat, pegang erat-erat dahan di
sampingnya. Ingatkan bahwa banyak semut rangrang (serangga)
yang sengatannya gatal, dan sebagainya. Biarkan sesekali anak-anak main
hujan-hujanan agar dia mempunyai daya tahan, asal jangan terlampau lama.
Kita
selalu mengharapkan anak-anak kita akan hidup bahagia di kemudian han. Untuk
itu, kita bersedia berbuat apa saja (dalam arti yang baik tentu). Akan tetapi
kita tidak tahu qadla dan takdir Illahi. Manusia hanya bisa merencana, Tuhan
yang menentukan. Untuk menjalani hidup bahagia dan enak, semua orang akan bisa
menjalaninya tanpa belajar dan tanpa latihan (sungguhpun untuk ini diperlukan
juga persiapan mental dan latihan). Akan tetapi yang sudah terang, untuk
menjalani hidup serba susah dan serba kekurangan, benar-benar diperlukan
persiapan mental dan latihan-latihan. Untuk itu, anak- anak kita latih hidup
menderita, kita biasakan percaya kepada diri sendiri. Kelak jika mereka
(na'udzubillahi) hidup susah, mereka telah terlatih dan telah mempunyai
persiapan kesabaran, dan tak akan berputus-asa. Akan tetapi jika di kemudian
hari mereka mengalarm nasib baik hidup serba enak, mereka tidak akan lupa
daratan dan akan menjadi orang yang dermawan karena telah tahu benar, alangkah
tidak nyamannya hidup susah itu.
Salah seorang guruku, K.H.A. Wahid
Hasyim, pernah menceritakan:
Pada suatu hari datanglah bertamu salah
seorang sahabatnya bernama Kiai Abdullah Ubad dengan membawa seorang puteranya
berusia kira-kira 3 tahun. Dihidangkanlah minuman teh 3 cangkir, satu untuk
Kiai Abdullah Ubaid, satu untuk puteranya, dan satu lagi untuk sabibul bait,
tuan rumah. Terjadilah pembicaraan antara ayah dan anak. Sang anak meminta
agar ayahnya mengambilkan minuman. Dijawab, agar ia mengambil sendiri karena
minuman berada di dekatnya. Sang anak tetap meminta ayahnya yang mengambilkan
karena takut kalau-kalau cangkir terjatuh lalu pecah.
Ayahnya tetap
menyuruh ia mengambil sendiri sambil membesarkan hatinya bahwa kalau
memegangnya hari-hari Insya Allah tidak akan jatuh. Sang anak masih menawar
lagi agar diambilkan ayahnya karena tehnya panas. Kiai Abdullah Ubaid
menenangkan hatinya agar bersabar beberapa saat karena teh akan dingin dengan
sendirinya. Selama pembicaraan antara Kiai Abdullah Ubaid dengan puteranya,
K.H.A. Wahid Hasyim hanya berdiam diri, tidak ikut campur tangan.
Dari
sekelumit peristiwa sederhana ini, K.H. A. Wahid Hasyim mengatakan kepadaku
bahwa Kiai Abdullah Ubaid merupakan sebuah contoh dari seorang ayah yang
pandai mendidik puteranya. Sejak usia kira-kira 3-4 tahun puteranya sudah
ditanamkan rasa percaya kepada diri sendiri dan mulai diajarkan tentang arti
bersabar. Bersabar dalam arti tetap menjaga etiket seorang tamu yang kurang
pantas menuangkan air teh di atas piring hanya karena ingin agar teh yang
masih panas itu segera menjadi dingin. K.H.A. Wahid Hasyim tidak saja
memandang Kiai Abdullah Ubaid sebagai seorang pendidik, tetapi sekaligus
seorang pemimpin yang memberikan jalan keluar kepada puteranya dengan
menyuruhnya sedikit bersabar karena teh dengan sendirinya akan menjadi dingin
dan mudah untuk diminum oleh anak-anak. K.H.A. Wahid Hasyim dan tamunya saling
melepaskan senyumnya setelah dilihat bahwa akhirnya sang anak bisa minum
sendin tanpa bantuan orang lain. Kedua- duanya puas dengan hasil pendidikan
kilat ini, dan tak kurang-kurang puasnya adalah sang anak sendiri yang
ternyata dengan amat mudahnya bisa menghilangkan rasa hausnya dengan kemampuan
sendiri.
68
Kisah sederhana ini amat penting artinya
bagi seorang guru maupun bagi seorang ayah atau ibu. Kepada anak harus
ditanamkan kepercayaan pada dirinya sendiri, dimulai dari pekerjaan-pekerjaan
yang kecil dan mudah. Guru maupun orang tualah yang harus membangkitkan
semangat berani berbuat sambil diberikan petunjuk agar dapat dikerjakan dengan
baik. Suatu ketika anak kita jatuh dari sepeda. Kita cepat-cepat memberikan
reaksi sambil berteriak: "Aku sudah bilang, jangan naik sepeda, nanti jatuh!"
Cara demikian tentu amat salah. Naik sepeda tidak merupakan larangan, bahkan
seharusnya tiap-tiap anak bisa naik sepeda. Yang penting harus kita
peringatkan kepada anak, kalau berhati-hati, misalnya jangan ditambah
kecepatannya kalau hendak membelok, niscaya tidak jatuh. Kadang- kadang kita
lihat seorang ayah atau ibu melarang anaknya berlari-lari sambil katanya:
"Jangan lari-lari nanti jatuh!" Ini tentu tidak baik pengaruhnya bagi
anak-anak. Kepandaian lari adalah sangat penting. Bagaimana kalau pada suatu
hari orang harus cepat-cepat lari untuk menghindarkan suatu bencana yang
sekonyong-konyong datang, padahal ia tak pandai lari, hanya karena waktu kecil
dilarang lari oleh orang tuanya. Ucapan orang tuanya: "Jangan lari-lari nanti
jatuh" akan menanamkan pengertian pada jiwa anak bahwa berlari sama dengan
jatuh. Sebab itu, ia tak akan lari untuk selama-lamanya. la tak ingin belajar
lari karena dalam bayangannya, lari sama dengan jatuh, sedangkan jatuh sama
dengan sakit. Selama hidupnya akan menjadi orang yang lembek, tidak mempunyai
semangat juang, tidak memiliki keberanian memasuki perlombaan dalam hidup,
tidak akan berani menghadapi suatu perjuangan apa pun yang bersemboyankan:
Siapa cepat, ia dapat! (dalam arti yang baik).
Pendidikan membina watak
dalam tingkat pendahuluan seperti yang dikemukakan di muka, lalu
diperkembangkan dengan jalan bermain-main di antara sesama kawan-kawannya,
akan menyebabkan pertumbuhan rohani dan jasmani bahkan pikiran yang sangat
berguna.
Ketika aku masih kanak-kanak, aku biasa memanjat pohon sawo yang
cukup tinggi di sebelah rumah ayah, untuk memetik buah sawo yang sudah tua.
Sebelum naik ke pohon, ayah menasehati agar aku berhati-hati dan menganjurkan
tidak usah memanjat hingga puncaknya. Naikilah dahannya yang kuat-kuat saja
yang mampu menahan berat badanmu. Yang ada di puncak biarlah ayah yang
memetiknya, katanya. Aku jadi bersemangat memanjat pohon ini. Pekerjaan ini
sekaligus menimbulkan rasa bangga di hatiku karena aku telah bisa
menyelesaikan pekerjaan yang "besar" sekaligus merasa bangga pula karena aku
bisa membantu pekerjaan ayah. Dan akhirnya, setelah buah sawo selesai dipetik
dan dicuci, lalu dijual ke warung sebelah rumahku. Dari hasilnya, ayah memberi
hadiah 5 sen. Sebenarnya tanpa hadiah pun aku telah merasa berbahagia. Tentu
bertambah kebahagiaanku karena dengan 5 sen hadiah dan ayah itu, aku bisa
menyimpan uang jajan buat 3 hari.
Pengalamanku bermain-main dengan
teman-temanku di waktu kanak-kanak amat besar sekali manfaatnya untuk hari
kemudian. Aku biasa memandikan dua ekor kuda milik ayah di sungai. Jika kuda
telah kumandikan dan sudah bersih, aku mengambil kesempatan untuk
berkejar-kejaran sambil berenang-renang di sungai. Hal ini bukan saja mendidik
semangat bertarung, tetapi juga rasa tanggung jawab atas keselamatan sendiri.
Aku harus bisa menang dalam pertarungan kejar mengejar ini, tetapi aku juga
harus menjaga keselamatanku sendiri, karena aku tengah berada di permukaan
air, salah-salah aku bisa tenggelam sendiri. Setelah aku menjadi dewasa, aku
mengalami sendiri bahwa hidup dalam masyarakat memanglah bertanding semangat
berkejar-kejaran, tetapi tetap harus menjaga keselamatan din sendiri. Aku
senang pergi ke kebun tebu pada musim menebang batang tebu
tiba (magas istilah di
kampungku). Aku dan
teman-teman
69
memungut bonggol/batang tebu yang sengaja
dibiarkan oleh para pekerja ondernemeng tebu. Sebagaimana diketahui, batang
tebu itu diangkut dengan lori untuk dibawa ke pabrik gula. Kami anak-anak
memungut bonggol-bonggol tebu itu, kami bakar dengan daun-daun tebu yang
kering, dan kalau sudah cukup matang, masya Allah bukan main manisnya air tebu
yang hangat-hangat itu. Biasa, di tengah kebun tebu itu berdiri satu dua orang
sinder Belanda yang mengawasi pekerja-pekerja melakukan tugasnya.
Sinder-sinder
itu didampingi oleh mandor-mandor bangsa kita. Aku melihat perbedaan yang
menyolok antara sinder dan mandor di satu pihak dengan para pekerja di lain
pihak. Mandor-mandor itu, apalagi sinder, pekerjaannya cuma mengawasi,
berjalan hilir-mudik sambil memegang tongkatnya, sedang pakaiannya tetap
bersih walaupun di tengah sawah. Tetapi para pekerja itu pekerjaannya menebang
batang-batang tebu, mengikatnya dengan tali, mengangkatnya ke atas pundaknya,
dibawanya ke atas lori atau gerobak, bekerja sambil setengah lari keringatnya
membasahi seluruh tubuhnya dan pakaiannya compang- camping.
Aku dengar
bahwa upah mereka hanya 4 sen sehari. Padahal para mandor gajinya sekitar
15
rupiah sebulan atau 50 sen sehari. Dari apa yang aku lihat itu, aku memperoleh
kesimpulan bahwa yang membuat perbedaan penghasilan antara dua makhluk ini
hanya terletak pada kepandaian atau ilmu. Yang satu berpendidikan, sedang yang
lain tidak. Aku tidak berhasil mengetahui berapa gaji tuan-tuan sinder Belanda
itu karena tak seorang pun yang tahu. Yang terang, pastilah jauh lebih besar!
Seperti langit dengan dasar sumur (tidak cukup cuma dengan bumi, tetapi masih
masuk lagi ke dalam sumur.)
Maka dalam kursus wali murid itu, aku
tegaskan bahwa sangatlah penting memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk
bermain-main sesama kawannya. Tugas orang tua hanyalah mengawasi agar sifat
bermain-mainnya itu tidak membahayakan keselamatan mereka serta pertumbuhan
pendidikannya.
Membantu pekerjaan orang tua
Kecuali
bermain-main, anak-anak penting sekali dibiasakan bekerja membantu orang
tuanya di rumah. Membantu pekerjaan orang tuanya di sawah jika ia seorang
petani, membantu pekerjaan di toko jika ia bertoko, membantu pekerjaan bengkel
jika orang tuanya mempunyai perusahaan bengkel. Alhasil, pekerjaan apa saja
dari usaha orang tuanya di rumah.
Tentu harus diingat bahwa tujuannya
sekedar mendidik anak-anak agar mencintai pekerjaan, bukan memperlakukannya
sebagai pekerja atau buruhnya. Maka haruslah diingat pula waktu buat belajar,
waktu bermain-main, dan waktu istirahat (tidur). Dengan membantu pekerjaan
orang tua, dimasukkan juga sikap mental bahwa: usaha paling mulia adalah hasil
usaha atau buah tangannya sendiri. Kelak anak-anak akan mempunyai pandangan
bahwa bekerja adalah perbuatan mulia. Sebaliknya menganggur bukan saja tidak
baik akan tetapi merupakan benalu atau parasit dalam masyarakat. Kelak mereka
akan mempunyai pendirian bahwa semua pekerjaan (asal halal) adalah perbuatan
utama dan akan menghargai setiap pekerja. Pekerjaan mencangkul di sawah
walaupun bergelimang dengan lumpur, atau tukang di bengkel sekalipun bajunya
berlumuran minyak, adalah pekerjaan mulia. Sebaliknya, pekerjaan menipu atau
korupsi, sekalipun dikerjakan di atas meja tulis yang mengkilap, adalah
hina.
70
Ketika aku masih kanak-kanak, aku biasa
membantu pekerjaan Ayah memelihara dua ekor kuda. Aku biasa memotong rumput
untuk dicampur dengan jenangan dedak (katul) buat makanan kuda. Aku juga
membersihkan kandang kuda, membuang kotoran kuda, serta melicinkan lantai
kandangnya. Hidungku sampai kebal terhadap bau yang tak sedap dari kotoran
kuda. Tak pernah kuanggap hina pekerjaan ini, karena aku telah bisa membantu
pekerjaan ayah. Dan kawan-kawanku pun tak ada yang mengolok-olok aku dengan
pekerjaanku itu.
Ibu biasa membatik kain dengan tangannya sendiri (bukan
dengan cap tetapi dengan tulisannya sendiri). Kadang-kadang Ibu membatik
miliknya sendiri untuk kemudian dibabar (diproses menjadi kain batik jadi),
kadang-kadang atas pesanan orang sekedar membatik saja (tidak diproses menjadi
kain batik jadi) dengan memperoleh upah.
Aku biasa membantu Ibu membuat
garis-garis di atas mori dengan pensil agar batikan tulis Ibu menjadi
lurus-lurus menelusuri garis-garis pensil, atau aku mengantarkan hasil
batiknya kepada pemesan untuk menerima pula pembayaran harganya. Pernah suatu
ketika aku minta maaf kepada Ibu agar aku jangan disuruh demiklan. Alasanku
karena aku malu harus menunggu menerima uang dari pembayaran pihak pemesan.
Kalau sekedar mengantarkan saja aku mau. Tetapi Ibu menasehati aku agar aku
mau melakukannya. Ibu katakan, kalau nanti aku menerima uang pembayarannya,
maka Ibu bisa membeli beras buat makan kami semua seisi rumah, dan bahkan bisa
membayar uang sekolah. Lagi pula, demikian kata Ibu, itu uang kita sendiri,
hak kita, kita bukannya meminta-minta!
Maka, membiasakan membantu
pekerjaan orang tua akan menimbulkan keinsyafan member! imbalan jasa kepada
orang lain yang telah berbuat baik kepada dirinya. Tidak ada orang tua yang
mengharapkan imbalan jasa dari anak-anaknya. Tetapi kewajiban orang tua
mendidik anak-anaknya agar mereka mempunyai rasa berkewajiban memberi imbalan
jasa kepada orang lain, karena hal demikian merupakan suatu keharusan dalam
pergaulan hidup. Jikalau kepada orang yang paling berjasa dan paling dekat
hubungannya (yaitu orang tua) tidak merasa berkewajiban untuk menghargai dan
memberi imbalan jasa sebagai tanda berterimakasih, betapa pula terhadap orang
lain yang tidak sedekat orang tuanya? Hal itu sangat berbahaya, karena bisa
menumbuhkan sifat ananiyah atau ego sentris, yang hanya menonjolkan rasa
akunya.
Waktu untuk belajar
Waktu dan tempat belajar,
resminya memang di sekolah atau di madrasah. Akan tetapi, pelajaran di
madrasah atau di sekolah akan mudah terlupa jika tidak diungkap kembali di
rumah. Tidak cukup sekali dua, tetapi berulang-ulang. Ilmu ibarat permata,
semakin digosok akan semakin bercahaya. Ilmu berbeda jauh dengan harta. Ilmu
akan menjadi bertambah- tambah bila dipergunakan, tetapi tidak demikian halnya
dengan harta akan menjadi kurang, dan bahkan habis bila dipergunakan atau
dibelanjakan.
Ada seorang anak yang merasa telah pandai di madrasahnya
hingga ia merasa tidak perlu belajar di rumah. Ini harus dicegah, karena bisa
menimbulkan sifat gemar meremehkan sesuatu dan akhirnya menjadi orang yang
takabur. Jikalau anak yang merasa pandai sekalipun, masih harus belajar di
rumah, apalagi untuk anak yang tidak begitu maju di madrasahnya.
71
Orang
tua hendaklah mengawasi benar apakah anaknya cuma menghabiskan waktunya di
rumah untuk bermain-main, tanpa menyediakan waktu unfuk belajar. Bagaimanapun
juga, waktu untuk belajar di rumah harus diindahkan anaknya. Carikan waktu
sehabis ia bermain- main. la akan mempunyai rasa seolah-olah merupakan suatu
imbalan sehabis bermain- main. Tidak perlu terlampau lama waktu untuk belajar
di rumah. Dalam seharinya, cukuplah menyediakan waktunya barang 1 jam.
Timbulkan semangat di hati anak untuk mau bertanya mengenai hal yang ia tidak
mengerti. Bertanya adalah kunci pengetahuan. Malu bertanya sesat dijalan,
demikian kata peribahasa. Memang tidak semua orang tua bisa dijadikan tempat
bertanya mengenai pelajaran madrasah atau sekolah. Jika ia mempunyai saudara
yang lebih tinggi tingkatannya, anjurkan agar ia menjadikan saudaranya tempat
bertanya. Atau kalau tidak, anjurkan agar anaknya mencatat mana-mana yang
dimusykilkan, untuk esok harinya ditanyakan kepada gurunya.
Belajar di
rumah akan menumbuhkan ikatan batin antara suasana rumah dengan sekolah atau
madrasahnya, antara orang tuanya dengan gurunya.
Waktu
istirahat (tidur)
Mengapa soal istirahat dan tidur aku mintakan perhatian
dari para wali murid? Bukankah soal itu perkara paling mudah? Sepintas lalu
memang benar. Semua orang bisa istirahat, maksudku: bahwa istirahat suatu
perkara yang bisa dilakukan semua orang. Begitu pula soal tidur. Tetapi
soalnya tidak hanya demikian. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan berhubungan
dengan istirahat dan tidur.
Pengalamanku, ketika aku masih kanak-kanak
boleh dibilang aku tak pernah tidur di waktu siang. Pagi hingga pukul 12
sekolah "Ongko-Loro" (sekolah dasar negen), pukul 2.30 hingga pukul 5 sore
sekolah madrasah. Pukul 6 hingga 9 petang mengaji di surau. Waktu yang kosong
dari itu semua, aku pergunakan untuk bekerja membantu orang tua, untuk
bermain- main dengan teman-teman, dan untuk istirahat (tidur). Karena tak
pernah tidur siang, maka sesekali aku ketiduran karena sangat mengantuk (habis
begadang malam hari, misalnya, salah seorang teman disunat). Jika melihat aku
ketiduran di waktu siang, maka ayah atau ibu mengira aku sakit.
Istirahat
bukan sekedar berdiam diri, tak membuat gerakan-gerakan. Kadang-kadang aku
merasa penat setelah berjam-jam belajar di rumah, misalnya membaca dan
menghafal. Karena rasa penat ini, aku berhenti belajar, buku ditutup. Aku
hampiri sepedaku, aku bersihkan dia. Penat membersihkan sepeda, aku mengambil
sapu membersihkan lantai di rumah. Aku rasakan bahwa berpindah dari satu
pekerjaan ke pekerjaan yang lain, merupakan istirahat
juga. Atau aku
berbincang-bincang dengan ibu atau simbok (pembantu),
itu pun merupakan suatu istirahat. Atau aku mengambil air, menimba di sumur
untuk mengisi kamar mandi. Pengalaman masa kanak-kanak ini, aku terangkan
kepada wali murid, agar meletakkan arti istirahat dalam makna yang berfaedah
bagi kesehatan dan pertumbuhan jiwa anak-anaknya.
Salah satu kegemaranku
ketika masih kanak-kanak ialah tidur di surau atau di masjid. Di sana banyak
teman-teman, terasa adanya kehidupan yang bebas. Bercanda, membual, dan
berdebat hingga jauh malam. Jika perut merasa lapar dan di kantong tak ada
uang, maka pergi beramai-ramai mencari mangsa. Pohon mangga atau jambu milik
tetangga menjadi sasaran utama. Pernah, suatu malam karni berlima menghampiri
sebatang pohon jambu milik seorang Arab, yang tak jauh letaknya dari masjid
tempat kami tidur. Dua orang
72
temanku memanjat pohon
jambu, kami bertiga menunggui di bawah. Kami bersekutu menggasak jambu tuan
Arab ini. Malang bagi kami, pemilik jambu keluar dari rumahnya langsung
menghampiri kami sambil setengah teriak:
"Begini malam curi jambu. Hayo
turun!"
"Jambu yang matang sudah aku petik semua tadi siang. Kalau mau
jambu jangan petik yang di pohon, itu masih mentah. Nanti aku ambilkan di
rumah," demikian katanya.
Karuan saja, kami semua jadi merasa malu. Tuan
Saleh Bauzir (pemilik pohon jambu), kenal betul kepada kami semua. Kami
tinggalkan pohon itu, dan tentu saja kami malu menerima tawarannya yang murah
had itu.
Memang, tidur di masjid terasa bebas sekali. Kami bisa pergi ke
mana saja, pergi iseng untuk periang-riang. Sekali waktu kami mencari
sasaran... anjing milik Babah Cu Kao. Kami, anak-anak Kauman, terkenal sebagai
tukang mengganyang anjing. Kalau satu ketika seekor anjing masuk kampungku,
Kauman, jangan harap dia bisa selamat. Berpuluh-puluh anak- anak siap dengan
batu di tangannya, mengepung anjing yang sial itu dari muka dan dari belakang,
dari kanan dan dari kiri. Dalam waktu tidak lama, anjing dibikin wassalam.
Kami semua merasa puas seperti habis mayoran, pesta-pora. Itu kalau siang
hari, anjing masuk Kauman mencari algojo-algojo. Tapi kalau malam hari,
anak-anak yang mencari anjing untuk diganyang sampai mampus.
Demikianlah
akibatnya jika anak-anak tidur di masjid, anak-anak tidak terkontrol apa yang
diperbuat. Masjid dijadikan markas untuk acara ngelayap.
Oleh sebab itu,
Ayahku paling keras melarang aku tidur di masjid. Ayah paling tahu apa yang
diperbuat oleh anak-anak kalau tidur di masjid. Sesekali aku tidur di masjid
tanpa izinnya, aku bisa diguyur air satu ember hingga basah kuyup.
Kadang-kadang memang, Ayah memberi izin aku tidur di masjid kalau misalnya
kebetulan ada perayaan Mauludan (peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad
Saw) atau malam Idul Fitri. Itu pun dengan nasihatnya, wanti-wanti agar aku
tidak ngelayap. Ayah melarang sangat, aku ikut- ikutan membunuh anjing. Apa
salahnya anjing hingga dibunuh?
"Kena jilatan anjing memang najis
mughalladhah. Tetapi anjing itu sendiri tidak berdosa," kata Ayah.
"Kan
mengandung najis, Ayah?" kataku. "Kalau karena mengandung najis, nah, dalam
perut ayah ini ada kotoran yang juga najis. Apakah ayah harus dilempari dengan
batu?" balas Ayah dengan pertanyaan yang mematikan alasanku. Aku diam mengaku
salah.
Oleh sebab itu, dalam pertemuan wali murid aku tekankan, sebaiknya
anak-anak dibiasakan tidur di rumahnya sendiri. Sesekali boleh saja tidur di
rumah teman, tetapi harus dititipkan kepada tuan rumah, dan anak-anak
dinasihati agar memelihara kesopanan dan sebagainya. Itu pun tidaklah
sering-sering. Dan sebagai imbalannya, teman-temannya sesekali tidur juga di
rumahnya. Dengan demikian, akan terjalin juga persahabatan antara sesama orang
tua.
Agama hendaklah dilaksanakan secara menyeluruh. Artinya, dikerjakan
dalam gabungan antara keyakinan, pengertian, dan praktek sehari-hari.
Tiap-tiap rumah tangga harus menjadi tempat untuk menghayati praktik beragama,
dengan diresapi dalam suasana yang terus-menerus.
Sebenarnya tidaklah
terlampau sukar, asal ada kemauan dan ketekunan dari kalangan orang tua. Kita
sekarang, setelah anak-beranak, merasa sangat beruntung bahwa dahulu
73
orang
tua kita membiasakan kita semua mempraktikkan beragama dalam kehidupan sehari-
hari di rumah kita masing-masing. Bahkan, kadang-kadang kita juga merasa
sangat beruntung bahwa orang tua kita seperti memaksakan sesuatu kepada kita.
Kita sering merenungkan sekarang, andai kata orang tua kita tidak memaksakan
kita berpuasa atau sembahyang, apa jadinya kita sekarang ini?
Tetapi
kita, para orang tua, bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk anak-anak kita,
tanpa adanya paksaan. Kita membiasakan. Menjadikannya perbuatan yang
berulang-ulang. Melatih diri dan membiasakan itu bukanlah perbuatan paksaan.
Kita menyadari bahwa kita telah beragama. Kita telah yakin tentang kebenaran
agama yang kita peluk. Kita juga mempunyai pengertian bahwa beragama artinya
begini dan begitu. Lalu kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari, dan
dalam lingkungan rumah tangga, kita biasakan untuk menjalankannya
berulang-ulang. Apalagi praktik beragama itu harus dimulai sejak masih
kanak-kanak. Anak-anak kita akan mengikuti apa yang menjadi kebiasaan kita
sehari-hari.
Kalau kita hidup secara sederhana dalam praktik sehari-hari,
anak-anak kita akan menjalankan pola hidup sederhana itu. Sebaliknya, kalau
kita hidup dengan pola bermewah- mewah, tak mau tahu tetangga kiri kanan, maka
anak-anak kita pun akan meniru pola demikian, mungkin akan lebih maju lagi.
Ambillah
contoh tentang waktu makan dan caranya.
Makan bersama seisi rumah itu
lebih baik. Lebih hemat dan berkah (ada perasaan bahagia). Jika anak telah
banyak, tidaklah mudah untuk melakukan makan bersama. Ada yang masih sekolah,
ada yang sedang pergi ke rumah temannya, ada yang lagi mengikuti kursus, dan
sebagainya. Tetapi kita bisa mengambil salah satu waktu makan yang paling
mungkin, bisa berkumpul semuanya. Mungkin pada waktu makan siang, atau makan
malam.
Ambil saja misalnya waktu makan malam. Di saat itu, seisi rumah
bisa berkumpul. Kita makan bersama. Sudah tertentu di mana tempat duduk
masing-masing. Biasanya anak paling kecil duduk dekat ayah atau ibunya, lalu
kakaknya dan seterusnya hingga yang paling besar mengambil tempat paling jauh
dari tempat duduk ayah dan ibunya.
Sekaligus kita pergunakan waktu makan
itu untuk membiasakan sopan santun dalam makan. Ayah dan ibu paling dulu
mengambil tempat duduk, dan paling dulu pula meninggalkan meja makan. Tidak
memulai mengambil makanan sebelum ayah dan ibu mengambilnya terlebih dahulu.
Mengambil jenis lauk pauk mendahulukan yang paling dekat di depannya.
Masing-masing saling mengedarkan ganti-berganti. Selama makan berlangsung,
hendaklah dijaga agar suasana menyenangkan, rileks. Bicara hal-hal yang
menyenangkan, ringan tetapi berfaedah. Orang tua harus segera membetulkan bila
terdapat sesuatu yang tidak layak, misalnya kegaduhan, dahulu-mendahului, dan
sebagainya.
Dalam kursus-kursus wall murid, selalu aku terangkan bahwa
makan bersama termasuk yang dianjurkan oleh Islam. Hidangan untuk dua orang
cukup dipergunakan untuk tiga orang, hidangan untuk tiga orang cukup pula
untuk empat orang, dan seterusnya. Di situ letaknya arti berkah atau berkat.
Dalam makan bersama, sekaligus mendidik anak-anak dan diri kita juga untuk
mengenal dan membiasakan ketertiban, memperhatikan kepentingan orang lain,
menikmati serta mensyukuri rezeki karunia Allah SWT, dan mempererat hubungan
lahir batin sebagai satu keluarga.
Ketika usiaku 13 tahun, untuk beberapa
bulan aku tinggal di rumah kakek di Cilacap. Salah satu kebiasaan yang baik
dari kakek ialah membiasakan makan bersama. Beliau duduk
74
bersanding
dengan nenek di tengah-tengah dengan dikelilingi oleh paman-pamanku dan
bibi-bibiku. Akulah satu-satunya cucu yang turut makan bersama. Kadang-kadang
kami makan dengan tangan dan kadang-kadang memakai sendok dan garpu. Dengan
demikian, terbiasakanlah kami bagaimana cara makan yang baik, apakah memakai
tangan ataukah memakai sendok dan garpu. Aku masih ingat betul bahwa
paman-pamanku dan bibi-bibiku belum berani mengambil tempat duduknya
masing-masing sebelum kakek dan nenek mengambil tempat duduknya. Jika saja
kakek dan nenek telah mengambil tempat duduk, tetapi masih ada pamanku atau
bibiku yang belum memasuki ruangan makan, maka beliau belum memulai makan.
Apabila semuanya telah siap untuk memulai makan, kakek memberi nasihat secara
umum, agar semuanya tepat datang di meja makan, tidak baik orang yang lebih
muda usianya datang terlambat. Dan sesekali kakek atau nenek terlambat datang,
maka semuanya menantikan dengan sabar. Salah seorang pamanku datang ke meja
makan dengan hanya memakai singlet saja. Kakek menasihati agar ia memakai
baju, kemeja, atau piama. Kami harus membiasakan berpakaian sopan di hadapan
orang banyak, agar kita belajar menghargai orang lain. Tak perlu yang
sebagus-bagusnya, tetapi cukuplah bila memakai pakaian yang pantas dan bersih.
Lauk pauk yang berada di muka kami tidak boleh dibiarkan tetap dihadapi
sendiri, tetapi haruslah diedarkan, karena orang lain juga memerlukannya. Ini
merupakan pendidikan agar kita semua senantiasa mengindahkan kepentingan orang
lain. Nenek tahu kegemaran kakek kalau bersantap.
Beliau membuatkan sayur
opor dari kol atau kubis untuk kakek. Opor kol itu hanya dibikin sepinggan
untuk kakek sendin. Karena harga kol atau kubis cukup mahal, maka nenek tidak
membuatkan untuk kami semua. Tetapi kakek tahu perasaan kami. Beliau mengambil
sekedar dua sendok, sisanya dibagikan untuk kami semua. Walaupun tidak banyak,
tetapi kami merasa puas karena kami masing-masing dapat merasakan opor kol
yang lezat itu. Kejadian ini menimbulkan pelajaran padaku bahwa sifat orang
tua selamanya ingin merasakan enak bersama-sama, tidak ingin merasakannya
sendian. Sikap kakek yang demikian itu menimbulkan rasa hormat pada kami
terhadap beliau. Kami juga menyadari mengapa saban-saban nenek hanya
membuatkan sepinggan opor kol, pertama karena sikap hormat kepada kakek
sebagai suaminya, itu kegemaran kakek, dan kedua karena menyangkut anggaran
rumah tangga.
Tidak cukup biaya untuk saban-saban membuat opor kol
kegemaran kakek untuk kami semua. Kol atau kubis termasuk jenis sayuran yang
mahal harganya, termasuk barang lux waktu itu. Ada hal lain lagi yang aku
masih ingat betul. Aku mengharapkan memperoleh kepala ayam yang terletak jauh
dari hadapanku, tetapi kedahuluan diambil oleh paman. Tentu saja aku
mendongkol. Caranya paman ngeletak kepala ayam aku awasi dari jauh. Hal ini
diketahui oleh kakek. Beliau memberi nasehat secara umum bahwa tidaklah sopan
jika seseorang mengawasi mulut orang lain yang sedang mengunyah makanan.
Melirik ke piring orang lain saja tidaklah sopan, apalagi mengawasi
gerakan-gerakan mulutnya yang sedang melakukan tugasnya.
Tengah makan
bersama, kadang-kadang hanya kakek dan nenek saja yang berbicara, sesekali
paman yang tertua ikut berbicara. Tetapi kami yang lain diam saja
mendengarkan. Diceritakan bahwa tetangga sebelah, tadi malam rumahnya
kemasukan pencuri, beberapa barang miliknya yang berharga dibawa kabur.
Ternyata, hal itu disebabkan karena suatu kelalaian, tidak meneliri pintu dan
jendela, apakah telah terkunci sebelum masuk ridur. Cerita ini tentulah
berkesan di hati kami agar kami lebih teliti lagi mengawasi serta memeriksa
pintu-pintu dan jendela sebelum masuk tidur. Juga teringatlah aku akan
pelajaran kiai di surau, sebelum tidur membaca-bacalah doa terutama Ayat
Kursi, memohon
75
kepada Allah SWT agar terlindunglah
dari segala bahaya selama kami tidur. Karena Allah Maha Pelindung tak pernah
lengah sedetik pun!
Kami tak berani meninggalkan meja makan, sebelum
kakek lebih dahulu meninggalkannya. Ini malah kebetulan. Kami bisa sedikit
meneruskan ronde kedua, atau menyomot lagi sisa tempe goreng yang tadi sudah
kuincar dari kejauhan, dibiarkan tetap bertengger di atas piring cuma karena
aku malu dan segan kepada kakek. Tetapi nenek menasihati, ingat si Anu belum
makan, sisihkan buat dia, jangan dihabiskan! Sambil meninggalkan ruang makan,
nenek berjalan sambil menggerutu: "Tadi kelihatannya sudah pada kenyang,
kiranya pada tak bisa rnenggantung gigi..." Kami saling berpandang-pandangan
sambil menghabiskan tempe goreng.
Ada lagi hikmat yang penting dalam
makan bersama. Kadang-kadang aku mau makan banyak-banyak. Rasanya tak ada
kenyang-kenyangnya. Kalau sedang makan sendirian, pastilah selera itu dituruti
sejauh-jauhnya. Karena tak ada orang lain, maka tak ada yang disegani.
Akibatnya, sifat serakah dan rakus itu dileluasakan dengan bebasnya. Tetapi
tidaklah demikian kalau kita makan bersama. Mau tak mau aku harus membatasi
diri, mesti tahu diri, dalam istilah akhlak disebut muruah. Artinya, orang
harus mempunyai sikap perwira, tahu malu. Orang tak akan menjunjung sopan
santun kalau tidak karena mempunyai malu. Siapa tidak mempunyai sifat malu,
maka ia akan berbuat apa saja yang dimaui hawa nafsunya. Jika anda tidak
mempunyai sifat malu, silakan berbuat sesuka hati anda! demikian tantangan
Nabi kita kepada orang-orang yang tak punya malu. Lagi pula, orang makan
sekedar menghilangkan rasa lapar, bukan mengumbar nafsu. Makanlah yang halal,
dan yang baik (sesuai dengan kadar gizi yang diperlukan), tetapi jangan
berlebih- lebihan. Imam Ghazali memperingatkan orang bahwa orang mukmin makan
dengan satu perut, tetapi orang munafik makan dengan tujuh perut!
Dengan
makan bersama, maka dibiasakanlah kita bersikap ksatria, tahu diri, dan tahu
malu. Orang yang tak tahu malu, tak tahu diri, dan tak sadar dalam mengumbar
kehendak nafsunya, biasanya dinamai orang mabuk atau gila!
* * *
Seorang
wali murid mengajukan pertanyaan mengenai kelakukan anaknya tentang
sembahyang. la ingin anaknya menjalankan sembahyang dengan baik. Ya, orang tua
mana yang tak ingin melihat anaknya rajin sembahyang, tepat pada waktunya, dan
tertib. Tetapi kenyataannya tidaklah selalu demikian. Mereka sering membolos,
sembahyang hanya kalau diperintah, itu pun harus beberapa kali.
Aku
katakan kepadanya dalam kursus wali murid, bahwa inilah salah satu tugas
penting orang tua dalam mendidik watak dan rohani anak-anaknya.
Menjalankan
sembahyang adalah penting sekali. Itu merupakan salah satu pelaksanaan
beragama dalam kehidupan sehari-hari. Sembahyang itu adalah tiang agama, jika
tiang tidak kuat, akan terancam dan bahkan robohlah seluruh bangunan.
Hubungan
manusia dengan Al-Khaliq dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan oleh Al-
Khaliq, bukan oleh cara yang dikehendaki oleh manusia. Demikian pula
waktu-waktunya, ditetapkan oleh Al-Khaliq, bukan oleh kapan manusia sempat
melakukannya.
Ada yang memberikan perumpamaan bahwa sembahyang laksana
sedang menghadap, bertandang, atau sowan kepada Allah SWT. Bertandang tanda
kesetiaan, untuk melaporkan diri, untuk berdialog, dan juga untuk menerima
perintah. Bacaan-bacaan dalam sembahyang
76
merupakan
do'a-do'a dan pernyataan prasetia seorang hamba di hadapan Al-Khaliqnya.
Kalimat-kalimatnya, kapan diucapkan, dan berapa jumlah bilangannya, semuanya
telah ditentukan.
Kalau kita menghadap seorang pembesar, misalnya kepala
negara, apalagi kalau yang wajib, maka waktunya ditetapkan oleh kepala negara,
dan bukan oleh kapan kita sempat melakukannya. Kepala negaralah yang
menetapkan hari-hari kapan kita bisa diterima, bukan kapan sempat kita dan
kepala negara mesti harus menerima kita. Demikian pula soal waktu, pihak
istanalah yang menetapkan berapa lama itu dilangsungkan, pakaian apa yang
harus dikenakan, dan bagaimana gerakan-gerakan yang harus kita lakukan,
berdiri sekian meter, melangkah berapa kali langkah, ucapan-ucapan apa yang
boleh disampaikan, dan sebagainya. Semua itu, pihak istanalah yang menetapkan,
dan bukan semau kita. Segalanya telah ditetapkan secara protokoler sesuai
dengan tata cara istana.
Itu kalau kita menghadap pembesar.
Bagi
kita, sembahyang lebih dari cuma sekedar bertandang.
Bagi kita, Allah SWT
lebih dari pembesar Dia Al-Khaliq. Dia Rabb al-'Alamin, Tuhan Seru Sekalian
Alam.
Tugas orang tua mendidik anak-anaknya agar menjalankan sembahyang
karena kesadaran merasa berkewajiban. Menjalankan kewajiban memang berat. Oleh
sebab itu, memerlukan pendidikan dan latihan sejak kecil, sejak masa
kanak-kanak. Latihan itu menjadi kebiasaan yang terus menerus. Ada suatu
peribahasa kita: Alah bisa karena biasa! Peribahasa klasik ini ternyata sangat
ampuh, mempunyai bekas yang amat kuat.
Seorang ibu menghampiri anaknya
yang kecil ketika bangun pagi. Disongsongnya dengan secercah senyum di pagi
yang cerah, dielukan dengan ucapan selamat pagi: "Kau sudah bangun, manis?"
sambutnya ramah.
"Mari kutolong mandi!" ibu menghampiri pelan sambil
hendak menanggalkan baju anaknya.
―Tak mau mandi, tak
mau. " katanya manja dan masih tetap berbaring dengan
malasnya.
"Udin mesti mandi, biar lekas besar, lekas pandai!" ibu
membujuk.
"Tak mau ah! Emoh mandi, masih mengantuk!" jawab Udin sambil
membalikkan punggung seenaknya.
"Biar Ibu memandikan Udin. Kalau sudah
mandi, badan terasa segar dan tidak ngantuk lagi." Ibu membangunkannya sambil
mulai melepas pakaiannya.
"Udin mau pipis dulu, dong!" sambil mulai
bangun lalu berdiri. Ibu menolong membuka seluruh pakaian anaknya, dituntunnya
pergi ke kamar mandi.
Udin mulai mandi, ditolong ibunya.
Hari demi
hari peristiwa semacam itu akan terulang, dan orang tua dengan amat rajin
membimbing dengan kata-kata yang menyenangkan, menginsyafkan arti penting
mandi, dan membancu menyelesaikan bagaimana cara mandi yang baik. Menggosok
gigi, mengguyur seluruh badan dengan air hingga rata, digosoknya sekujur badan
dengan sabun, dibersihkan dan lalu dikeringkan dengan handuk. Maka selesailah
mandi. Peristiwa demikian berlangsung tiap pagi dan sore, tiap hari, tiap
minggu, berbulan-bulan lalu menjadi kebiasaan sehari-hari, pagi dan sore. Kini
telah timbul suatu kesadaran di hari anak
77
bahwa mandi
adalah suatu keharusan hidup secara wajar. Kita tidak lagi merengek dengan
manja dan harus dibujuk untuk mandi, tetapi begitu ia bangun dari tidur ia
akan teriak "Ibu, mandi!" Manakala usia telah bertambah dan kesadaran sudah
dimiliki, ia tidak lagi berteriak memanggil ibunya, tetapi ia terus saja pergi
ke kamar mandi.
Semua ini, hasil dari kebiasaan lantaran bimbingan dan
penginsyafan. Mengenai menyisir rambut, mengenakan pakaian, pergi sekolah,
melakukan pekerjaan, membantu orang tua di rumah, dan
sebagainya, berjalan dengan tertib pada
waktunya,tanpa dipaksa lagi, segalanya dikerjakan dengan keikhlasan,
kesadaran, dan rasa tanggungjawab.
Demikian pulalah halnya dengan
sembahyang.
Dengan melalui pendidikan membiasakan diri bersembahyang,
maka anak-anak akan menjalankan sembahyang dengan baik, terrib, dan tepat pada
waktunya. Dan yang tak kurang-kurang pentingnya adalah contoh dari orang tua.
Artinya, orang tua sendiri mestilah menjalankan sembahyang dengan tertib dan
tepat pada waktunya.
Sejak usia 3 tahun anak mulai dibiasakan
bersembahyang. Dimulai dengan perkenalan tentang gerakan-gerakan sembahyang:
Takbir, sujud, ruku. Begitu juga tentang kalimat- kalimatnya yang pendek:
Allahu Akbar, Bismi Allahi ar-rahmani ar-rahim, Ushalli fardha al- maghribi,
dan sebagainya.
Paling tidak, dalam sehari sekali anak-anak dibiasakan
sembahyang bersama, misalnya waktu maghrib. Waktu itu dimungkinkan anak-anak
sudah berkumpul semua di rumah, demikian pula ayah dan ibunya. Waktu maghrib
diambil untuk memberikan kesan di hati sanubari anak-anak bahwa waktu petang
adalah waktu yang tidak pantas bila anak-anak masih berkeliaran di luar rumah
tak menentu, maka patut sekali mereka sudah berada di dalam rumah. Teringat
padaku, di kalangan supir-supir ada sebuah pomeo bahwa waktu maghrib saatnya
setan-setan pada gentayangan di jalan raya,karena itu, mereka lebih
berhati-hati mengemudikan mobilnya. Orang tua-tua kita dahulu (biar mereka
tidak menjalankan sembahyang) selalu memanggil-manggil anaknya yang masih
bermain-main di luar, bila waktu maghrib telah riba. Orang tua-tua menamakan
waktu tersebut: sande kola, waktu peralihan dari siang ke malam hari. Bagi
mereka yang menjalankan sembahyang adalah sudah jelas, memanggil anak-anaknya
untuk bersembahyang bersama. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak sembahyang,
baik karena tidak memeluk agama Islam maupun karena sebab lain, adalah untuk
mendidik anak-anaknya agar menghormati waktu orang yang sedang sembahyang.
Bagi seorang muslim, dengan sendirinya merasa berkewajiban untuk menciptakan
suasana agama dalam lingkungan rumah tangganya. Dan sembahyang adalah tiang
agama. Menjalankan sembahyang bersama di antara anggota keluarga mempunyai
kesan sangat mendalam di lingkungan keluarga, kesan ini akan mempunyai
pengaruh dalam perjalanan hidup. Orang yang menjalankan sembahyang akan merasa
terikat moril, bahwa ia akan memperlihatkan sikap hidup yang terhormat, layak,
dan berkepribadian. Semakin sering bersembahyang, kian mendarah daginglah
ikatan moral itu, hingga dengan sendirinya akan merasa malu memperlihatkan
sikap hidup yang tidak senonoh. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa
sembahyang akan membentuk watak pribadi yang luhur dan mulia, tanpa paksaan
dan tanpa larangan orang lain. Imlah yang dinamai menanamkan disiplin pribadi.
Sembahyang bersama, di mana ada ayah, ibu, kakak, dan adik berkumpul
bersama-sama, akan menimbulkan sikap solider sebagai satu keluarga yang
seia-sekata, suatu unsur amat penting dalam pembinaan keluarga yang
bahagia.
78
Jika waktu maghrib telah tiba, salah
seorang anak diserahi azan. Mendengar seruan azan ini seluruh keluarga
berkumpul dalam suatu ruangan khusus untuk sembahyang, mushala di rumah.
Kita
ini kadang-kadang berbuat hal-hal yang aneh. Jika kita membikin rumah
kediaman, kita sediakan ruangan khusus untuk tidur, untuk makan, untuk mandi,
untuk tamu, untuk duduk- duduk, untuk masak-memasak, dan untuk menunaikan
hajat. Kita beri nama: kamar tidur, kamar makan, kamar mandi, kamar tamu,
ruangan duduk, dapur, dan wc. Tetapi untuk sembahyang? Tidak disediakan
ruangan khusus untuk sembahyang, padahal ini paling mutlak, tempat kita
bersujud kepada Allah SWT. Tidak mengherankan kalau kita sembahyang di
sembarang tempat, asal saja. Dan bila kebetulan ada tamu dan tiba waktunya
untuk sembahyang, kita jadi kelabakan setengah mari mencari tempat yang pantas
menurut pandangan tamu. Bukan pantas menurut pandangan Allah.
Coba, kalau
kita mempunyai ruangan khusus buat sembahyang di rumah, alangkah nikmatnya
ibadah ini. Bila waktu maghrib telah tiba, salah seorang anak kita melakukan
azan. Kita semua kumpul di mushala kita. Ayah menjadi imam sembahyang, ibu,
kakak, dan adik menjadi makmum. Dengan khusyuknya, sembahyang kita tunaikan.
Kita dengarkan dengan seksama bacaan imam yang merdu suaranya dalam irama
sorgawi. Kita ikuti gerakan-gerakan imam dengan patuh karena kita ingin
memperoleh sembahyang dengan nilai yang baik. Selesailah sembahyang maghrib.
Kita merasakan sesuatu yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kita merasa
bahagia. Padahal itu semua tidak memakan waktu lebih dari 6 menit saja. Tidak
lama, cuma 6 menit! Sayangkah kita dengan waktu hanya 6 menit? Padahal itu
untuk menghadap Tuhan Seru Sekalian Alam, untuk menyatakan rasa terima kasih
karena kita diberi hidup dan penghidupan!
Selesai sembahyang, kita masih
duduk barang sejenak. Kita lakukan wiridan, membaca rangkaian kalimat-kalimat
suci untuk ditanamkan dalam had sanubari kita.
Astaghfiru Alllaha
al-'azhim, "aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung!" (Dalam sehari, kita
tentu pernah berbuat dosa kepada-Nya).
Alladzi la ilaha illa huwa
al-hayyu al-qayyum wa atubu ilaihi, "Dialah Tuhan yang tiada Tuhan kecuali
Dia. Allah Yang Mahahidup dan Mahategak Berdiri untuk selama-lamanya. Sebab
itu, aku hanya memohon tobat kepada-Nya".
Allahumma anta as-salam wa
minka as-salam wa ilaika ya'udu as-salam, fa hayyina rabbana bi as-salam wa
adkhilna jarmata daraka dara as-salam tabarakta rabbana wa ta 'alaita ya dza
al-jalali wa al-jamali wa al-kamali wa al-qahhari wa al-ikram.
"Ya Allah,
Engkaulah sumber keselamatan, dan dari-Mulah datangnya selamat sejahtera, dan
kepada-Mu pula tempat kembali segala kesejahteraan. Sebab itu, Ya Tuhan kami,
mohon diberi kami hidup dengan selamat sejahtera.
Dan bila tiba saatnya
kami Engkau panggil, mohon ditempatkan di sorga-Mu, tempat yang penuh segala
kesejahteraan. Mahasuci Engkau Tuhan kami, Dzat Yang Maha-luhur. Ya Tuhan kami
yang memiliki segala Keagungan, Keindahan, dan Mahasempurna. Engkau Maha Tak
Terkalahkan, lagi Mahamulia!"
Membaca Subhana Allah (Mahasuci Allah) 33
kali. 'Diikuti Al-hamdu li Allah (Segala puji bagi Allah, Hanya Allah Yang
Maha Terpuji) 33 kali. Diakhiri AllahuAkbar (Allah Maha Besar)
33 kali.
Sebagai penutup wiridan ini, baca doa sekehendak kita, apa yang akan kita
mohonkan.
79
Semua ini tidak memakan waktu lebih dari 5
menit.
Tentu akan lebih utama lagi jikalau wiridan itu lebih panjang dari
sekedar di atas. Dan dengan dibaca bersama-sama akan menimbulkan pengaruh
batin yang berfaedah sekali dalam suasana yang khidmat. Sejenak kita
melepaskan ingatan duniawi karena kita sedang menghubungkan rohani kita dengan
ikatan ukhrawi.
Dengan membiasakan sembahyang bersama ini, anak-anak akan
selalu terlatih untuk menanamkan suatu kesadaran bahwa arti hidup tidak
sekedar makan dan minum. Ada suatu tugas suci bagi yang bernama manusia dalam
menjalani hidup. Maka anak-anak telah dibentuk wataknya untuk memiliki
cita-cita luhur, dan mereka akan sadar apa sebenarnya rahasia hidup ini, dan
apa tujuannya.
Dengan didikan watak ini, pastilah mereka akan menjadi
manusia yang mengkhidmahkan (mengabdikan) hidupnya untuk cita-cita luhur bagi
bangsanya. Insya Allah!
Di antara anak-anak kita, tidaklah semuanya patuh
menjalankan sembahyang. Ada yang taat dan patuh menjalankan tepat pada
waktu-waktu sembahyang, tetapi ada pula yang selalu minta disuruh dulu, itu
pun berkali-kali diperintah. Pada umumnya anak-anak perempuan lebih patuh
daripada anak laki-laki. Tetapi bagaimanapun juga,kunci selamanya di tangan
orang tua, terutama ayah.
"Sudah sembahyang belum?" dengan pertanyaan dan
teguran ini, anak akan sadar bahwa dirinya diperhatikan ayahnya mengenai
sembahyangnya. Adakalanya masih saja belum melakukan sembahyang karena
macam-macam alasan. Bisa juga karena masih capek, adakalanya memang malas.
"Jika
sudah mengaso, pergilah sembahyang!" ini merupakan suatu kelonggaran yang
diberikan orang tua kepada anaknya, tetapi tetap dengan anjurannya untuk
bersembahyang.
"Kalau mau main sepak bola, sembahyanglah dulu!" dengan
anjuran ini anak akan merasa, sungguhpun main sepak bola itu penting, tetapi
sembahyang jauh lebih penting lagi. Bisa juga diartikan sebagai perangsang
sebelum pergi main sepak bola atau pergi dengan temannya.
Alhasil,
bagaimanapun juga, membiasakan sembahyang ini sangatlah penting artinya dalam
menumbuhkan kesadaran anak-anak tentang keharusan sembahyang sebagai seorang
pemeluk agama. Dengan membiasakan, maka akan menjadi terbiasa, dan kelak akan
menjadi watak sebagai seorang yang taat bersembahyang disebabkan karena
kesadaran sendiri. la akan merasa tidak enak sendiri kalau tidak sembahyang.
la tidak mau berbuat dosa. Dan, dimulai dari kesadaran tentang sembahyang,
pada akhirnya ia akan menjaga kelakuannya sendiri dalam pergaulan umum,
apa-apa yang boleh dikerjakan dan apa-apa yang tak boleh dilakukan. Di sini,
ia akan mempraktikkan sendiri bagaimana melakukan agama dalam kehidupan
sehari-hari. la ingin menjadi manusia yang baik segala-galanya atas
keinsyafannya sendiri.[]