Siang Mengaji di Pondok, Malam Nonton Wayang

Siang Mengaji di Pondok, Malam Nonton Wayang Maunya tak usah saja mengaji kalau pada suatu malam ada pertunjukan wayang kulit. Apalagi kalau Dalang

Siang Mengaji di Pondok, Malam Nonton Wayang

Keterangan gambar: Gedung Penerbitan dan Penelitian PP Al-Khoirot Malang

Nama kitab / buku: Guruku Orang-orang dari Pesantren
Penulis: Prof. KH. Saifuddin Zuhri
Lahir: 1 Oktober 1919, Kawedanan, Sokaraja Tengah, Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Wafat: 25 Februari 1986 pada usia 66 tahun
Nama Ayah: Muhammad Zuhri Rasyid
Nama Ibu: Siti Saudatun
Jabatan tertinggi: Menteri Agama pada era Presiden Sukarno dan Suharto 6 Maret 1962 – 17 Oktober 1967
Bidang studi: Sejarah , pesantren, Indonesia, sejarah Islam
Penerbit: Pustaka Sastra

Daftar isi

  1. Apresiasi terhadap Rasa Seni
  2. Memasuki Persiapan Pengabdian
  3. Masih Belajar Lagi sebelum Terjun ke Medan Pengabdian
  4. Menjadi Guru
  5. Kembali ke: Buku  Guruku Orang-orang dari Pesantren

Apresiasi terhadap Rasa Seni

Maunya tak usah saja mengaji kalau pada suatu malam ada pertunjukan wayang kulit. Apalagi kalau Dalang Suki yang ditanggap. Ayah tahu juga gelagat ini. Kalau misalnya aku memaksakan tidur siang biar malamnya bisa leklekan, biar malam bisa melek terus supaya tidak ngantuk kalau nonton wayang kulit. Juga kalau aku pergi ke toko Baba Kim Ling beli tembakau dan klembak-menyan buat mengisi slepenku. Mesti ada persiapan merokok di siang hari agar malam nonton wayang sudah lengkap perlengkapan rokokku. Mengikuti cerita dalang wayang sambil merokok terasa nikmat sekali, sekaligus buat cagak melek. Kalau uang tidak cukup untuk beli perlengkapan rokok, ada yang urun beli tembakaunya, ada yang kemenyan, dan ada yang beli klembaknya. Tidak lazim orang beli rokok yang sudah jadi, itu cuma golongan ndoro-ndoro. Kami, golongan rakyat, biasa mengelinting sendiri rokok kami. Kalau kebetulan Hari Raya Idul Fitri bolehlah sesekali merokok "Mascot" atau "Davros" atau rokok Belanda lainnya.
Tapi Ayah menyuruhku mengaji dulu kalau mau nonton wayang kulit. Beliau khawatir kalau saja aku pergi nonton tanpa mengaji dulu di surau. Sebab itu, beliau perlukan kontrol sendiri ke surau, kalau-kalau aku tidak mengaji. Kalau aku melihat beliau datang ke surau untuk kontrol begitu, aku mengerti bahwa beliau khawatir aku tidak mengaji. Karena itu, dari kejauhan aku berikan tabik seolah aku hendak katakan, "hei ini aku ada!" Beliau lalu pergi tentu dengan hati puas dan lega.
Nonton wayang, maksudku wayang kulit, karena aku ingin mengikuti jalan cerita dalam suatu lakon. Kalau dalang sedang suluk apa lagi gamelan kelewat lama, tak senanglah hariku. Zaman itu belum ada pesinden yang mengiringi gamelan. Kalau harus ada iringan tembang, maka yang menyanyikan hanya orang laki-laki, salah seorang niaga yang merangkap jadi waranggana. Kecuali jalan cerita, aku sangat tertarik pada cara ki dalang ber-ontowacono melakukan dialog di antara wayang-wayangnya. Di sana terlihat betapa kayanya dalang menguasai jalan cerita dan kemahiran retorika. Belum lagi caranya mempertontonkan gerak perbuatan masing-masing wayang, gerak-geriknya, jalannya, dan tekanan suaranya. Gatot Kaca serba tangkas dan gagah, tegas dan pasti. Setiaki serba cekatan dan terampil. Ongkowijoyo selalu tenang, rendah hati, tetapi apa yang ditugaskan selalu beres. Lain halnya dengan Dursosono, seorang patih Hastina yang serba kasar, gembuyan, dan cekakaan, tugas apa pun yang diserahkan selalu kandas, tak pernah selesai. Hidupnya mewah dan gemar foya-foya. Sengkuni, perdana menteri Hastina, klemak-klemek, pembujuk serta pemutar balik persoalan, tokoh munafik yang paling berbahaya.
Di kalangan pesantren, nonton wayang kulit hampir tidak pernah dipertentangkan apa hukumnya, haram atau boleh. Ada pihak yang mengambil sikap tidak boleh, tidak dijelaskan sampai tingkat apa ketidakbolehannya, apakah haram ataukah makruh, dengan dalil karena mendengarkan bunyi-bunyian yang mengasyikkan hingga terlengah dari ingat kepada Allah (dzikrullah), padahal tak ingat kepada Allah haram hukumnya. Lagi pula bercampur baurnya antara penonton pria dan wanita di waktu malam, bisa menjurus kepada perbuatan maksiat. Ada juga yang mengambil pendirian boleh, karena konon wayang adalah ciptaan para Wali (Wali Songo) dalam mengasimilasi ajaran Hindu ke dalam Islam. Lagi pula orang
25
 
bisa mengambil intisari pelajaran yang ada dalam lakon-lakon wayang. Dalam cerita Pandawa membangun sebuah candi, dikisahkan bahwa bangunan candi selalu mengalami kehancuran, pagi dibangun sore harinya roboh, sore dibangun pagi harinya juga roboh. Setelah diteliti, ternyata ada sesuatu sarana paling fundamental yang terlupakan, yaitu tidak diikutsertakannya Jimat Katimasodo (Kalimah Syahadat). Tetapi baiklah, pasal nonton wayang kulit hampir tak pernah dipertentangkan bagaimana mengenai hukumnya. Siapa yang suka, nontonlah, siapa yang tak suka, tak usahlah pergi nonton. Sebab itu, di antara kiai dan santri terdapat saling toleransi, saling mengambil sikap nafsi-nafsi, yang suka silakan nonton, dan yang tak suka silakan tidur di rumah.
Yang sudah terang, siapa-siapa yang mengambil sikap boleh menonton wayang, mereka nonton sekedar mengambil yang perlunya, hendak mengikuti jalan cerita sesuatu lakon, itu pun pandai-pandai menyaring konklusinya. Dalam pada itu, hal-hal yang menyebabkan dipandang sebagai 'illat at-tahrim (sebab yang menjadikan haram), misalnya bercampur- baurnya penonton laki-laki dan wanita, dijauhi, demikian pula sikap asyiknya mengikuti jalan cerita dijaga, agar tidak sedetik pun lupa kepada Allah SWT. Tetapi biar bagaimanapun, tak ada kiai yang nanggap wayang, meski ia senang wayang sekalipun. Tak pernah terjadi dalam suatu pesantren orang mengadakan pagelaran wayang kulit, walaupun santrinya banyak yang suka wayang.
Kami anak-anak, tentulah tidak sampai sejauh itu membenamkan diri memecahkan masalah yang rurnit tentang nonton wayang. Aku dan teman-teman termasuk gemar nonton wayang kulit. Tetapi pagi hari tentu Ayah menyuruhku mendaras Al-Qur'an bila malam harinya aku mau nonton wayang. Agaknya untuk kafarat, menebus utang pahala.
Salah seorang kiai yang senang wayang kulit pernah menceritakan bahwa beliau sangat mengagumi cara Wali Songo menggubah wayang kulit untuk media dakwah. Diceritakan misalnya tentang Pandawa Lima. Urutan mereka ialah: Yudistira, Werkudoro, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ini mengandung arti tentang Rukun Islam yang lima. Yudistira adalah lambang   Syahadat,    orang    yang    memegang    teguh    kalimah Thayyibah dan risalabira mempunyai sifat-sifat seperti yang dimiliki Yudistira, yakni kejujuran dalam segala ucapan dan perbuatan. Werkudoro adalah lambang rukun Islam yang kedua, yaitu sembahyang 5 waktu. Sembahyang 5 waktu ini tidak bisa ditawar, berlaku bagi siapa pun, dalam keadaan apa pun, dan di mana pun. Caranya bisa berbeda, seperti cara sembahyangnya orang dalam perjalanan, dalam keadaan sakit, dan sebagainya, tetapi tetap menjalankan sembahyang. Cocok dengan sifat Werkudoro yang memperlakukan semua orang sama tak dibeda-bedakan. Arjuna merupakan lambang rukun Islam ketiga, yakni zakat. Berzakat dengan sendirinya mempunyai syarat orang harus mempunyai harta kekayaan. Semua orang mendambakan kekayaan, sama dengan tokoh pewayangan Arjuna yang disenangi oleh semua orang, bahkan dia dipandang sebagai lanang ing jagad. Nakula danSadewa merupakan lambang dari rukun Islam keempat dan kelima. Tokoh pewayangan ini merupakan saudara kembar, demikian pun rukun Islam yang keempat dan kelima. Tokoh pewayangan ini merupakan saudara kembar, karena tidak dikerjakan setiap hari, tetapi tiap setahun sekali. Karena itu tokoh Nakula dan Sadewa juga tidak sembarang waktu ditampilkan dalam lakon wayang.
Yang menambah pikiranku bahwa wayang kulit adalah hasil ciptaan Wali Songo, jika kebetulan aku menonton lakon Bima Ngaji, artinya Bima atau Werkudoro berguru. Judul ini saja menimbulkan asosiasi bahwa hal ini menggambarkan dunia santri. Mengapa dipakai istilah "mengaji" misalnya? Mengapa tidak dipakai judul "Bima Kursus" atau "Bima
26
 
Sekolah"? Mengapa mesti Bima ngaji. Bukankah istilah "ngaji" erat hubungannya dengan dunia santri. Dalam lakon "Bima Ngaji" aku menarik suatu kesimpulan betapa seharusnya seorang murid menaati gurunya. Kalau sang guru tidak jujur, misalnya Durna dalam cerita tersebut, maka ia sendiri yang rugi. Tetapi bagi sang murid yang taat, seperti Bima, tidak memperoleh sesuatu kerugian apa pun, bahkan mendapat keuntungan-keuntungan. Bima yang dengan setia menaati ajaran gurunya yang tak jujur (Durna), akhirnya memperoleh kesaktian-kesaktian dan menemukan gurunya yang sejati (Dewa Ruci). Pelajaran ini mengandung makna bahwa seorang murid atau santri mestilah setia kepada gurunya. Di satu segi yang lain memberi pelajaran bahwa percumalah guru yang hendak menyesatkan muridnya karena sang murid pada akhirnya akan menemukan jalan yang benar.
Kadang-kadang aku tirukan cerita-cerita dalang wayang pada saat kami menjelang tidur di langgar Kiai Khudlori. Kami sesekali tidur beramai-ramai di langgar atau masjid. Jika malam telah sepi, lampu telah dipadamkan, buat periang waktu menjelang tidur, berceritalah salah seorang teman menirukan dalang ketika sedang melakonkan sebuah cerita. Macam- macamlah cerita yang ditirukan, cerita Lahirnya GatotKaca, atau Srikandi Meguru Manah, atau Petruk Dadi Ratu. Jika seorang teman berpura-pura jadi dalang, kami yang lain-lain berpura-pura jadi niaga tukang pukul gamelan. Tentu saja suara gamelan cukup dengan mulut. Aku pernah ditunjuk jadi dalang pura-pura. Aku bercerita terus-menerus, tahu-tahu teman-teman sudah tidur semua...!
Paling senang kalau ngaji tiba-tiba diliburkan. Misalnya, sekonyong-konyong kiai kedatangan tamu dari jauh, apalagi tamu bekas teman kiai di pesantren. Ngaji diliburkan. Mau pulang rumah, hari masih sore, maka berkerumunlah anak-anak. Kebetulan di kampung kami telah beberapa hari kedatangan rombongan "Komedi Stambul" namanya "Miss Tutih Opera of Jayalelana."
Rombongan opera ini menggemparkan seluruh kampung, setidak-tidaknya di kalangan kami anak-anak. Miss Tutih ini konon yang jadi bintang panggungnya atau primadona. Jika sandiwara telah selesai main kira-kira pukul 12 malam, anak-anak suka berkerumun di samping pintu panggung, menunggu keluarnya sripanggung. Tapi sialnya, tak seorang pun pernah menjumpai sripanggung ini, biar ditunggu hingga keluarnya anak wayang yang penghabisan. Karena penasaran, kami sering mengunjungi pondokan sripanggung di waktu siang hari. Kami ingin sekali melihat dari dekat pemegang peran Nyai Dasima atau Puteri Ginoviva atau si Jula-Juli Bintang Tiga. Seperti apa sih orangnya? Tentang pemain laki-laki yang biasa jadi anak raja agak mudah dijumpai, karena tiap hari Jum'at ia bisa dipastikan datang ke masjid untuk sembahyang Jum'at. Namanya Sjafiuddin, konon ia berasal dari Madura, walaupun "Miss Tutih Opera of Jayalena" ini rombongan dari Jawa Barat. Kami senang kepada Syafiuddin, selain kalau main mempesonakan, juga karena ia bersembahyang.  Alangkah  gantengnya  kalau  ia  sedang  memerankan Prince Hamlet, alangkah mengharukannya ketika memerankan "Merchant of Baghdad." Dalam lakon apa saja selamanya Miss Tutih berpasangan dengan Syafiuddin. Dua-duanya merupakan favorit di kampungku, apalagi Syafiuddin orangnya santri. Lain benar kalau sedang berada di masjid, ia mengenakan kain sarung plekat dengan baju koko putih, pecinya mengkilap hitam, peci padang kata orang. Kami tentu tidak bisa menonton tiap malam, kecuali karena waktu-waktu mengaji cukup padat, juga aku sendiri mana bisa terus- menerus keluarkan 5 sen untuk harga karcis sekali nonton.
Satu ketika datanglah rombongan Ketoprak Mataram di kampungku. Biasanya kami para santri kurang tertarik kepadanya. Lebih tertarik pada wayang kulit atau stambul bangsa
27
 
lain. Tetapi kalau hati lagi iseng dan di kantong ada uang 3 sen, tak apalah sesekali nonton ketoprak.
Sekali waktu aku beramai-ramai nonton ketoprak ini.
Ceritanya mengambil lakon Yakub-Ibrahim, dua kakak-beradik anak raja Mesir. Yakub seorang pangeran yang baik hati, cakap, dan suka menolong sesama manusia. Sebaliknya Ibrahim, abangnya, berwatak kasar dan jahat. Yakub difitnah abangnya karena adiknya ini menjadi kekasih ayahnya, raja Mesir. Ibrahim ingin satu ketika tahta kerajaan jatuh pada dirinya, sebab itu, bulat tekadnya untuk membinasakan adiknya. Beruntung sekali, atas bantuan bujang istana, Yakub bisa lolos dari lubang jarum, pergi meninggalkan istana, hidup mengembara menjelajahi seluruh negeri.
Tentu saja para penonton jatuh hati kepada Yakub ini dan membenci Ibrahim. Di suatu kampung jauh dari kota, Yakub menjumpai sebuah pesantren. Di sana ia berguru kepada seorang arif, yang kira-kira merupakan kiailah.
Nama kampung inilah yang membuat aku geli, namanya kampung Karangnongko. Tidak masuk akal, mana mungkin di Mesir ada kampung namanya "Karangnongko?"
Maklumlah cerita ketoprak. Alhasil akhir cerita, Yakub kembali ke negerinya dan menggantikan singgasana ayahnya yang sudah tua. Adapun abangnya yang jahat, untuk menyenangkan hati para penonton, dihukum berat, naik tiang gantungan. Tetapi untuk lebih menyenangkan para penonton, Yakub si raja Mesir ini memberi ampunan hingga abangnya bertaubat menjadi orang baik-baik.
Di beberapa pesantren, para santri tidak hanya menyibukkan diri dalam mengaji dan belajar. Ada juga saat-saat untuk rekreasi. Waktu rekreasi ini kadang-kadang diisi dengan main gambus, yaitu semacam tarian anak-anak laki-laki menirukan langkah-langkah dalam pencak silat, tangan menjurus ke muka, menangkis ke samping, langkah kuda-kuda, duduk bersimpuh menantikan datangnya serangan lalu siap untuk menyepak, dan sebagainya, dan sebagainya. Tentu saja diiringi bunyi-bunyian gendang dan ketipung mengikuti irama suara biola digesek. Lagunya tentu saja lagu-lagu padang pasir atau irama Melayu. Adapun pengiring suara, menyanyikan syair-syair shalawat nabi, atau lagu-lagu pantun Melayu. Yang aku masih hafal hingga kini ialah sebuah pantun Melayu:


Main layangan, main layangan di Surabaya, Putus talinya, putus talinya jatuh di Garut, Jadilah orang, jadilah orang taat beragama, Kepada Allah, kepada Allah selalu menurut.

Main gambus ini agak jarang-jarang karena memerlukan latihan, sedang waktu buat mengaji amatlah padat. Para kiai kami tidak begitu melarangnya asal tidak terlalu sering dan tidak mengganggu pengajian. Paling malam pukul 12 harus sudah selesai. Kecuali main gambus, hampir tiap-tiap surau ada klub genjringan, yaitu main rebana. Sekumpulan pemain kira-kira
5 atau 6 orang memukul genjring atau rebana yang garis tengahnya sekitar 30 cm. Bingkainya dibuat dari kayu yang dicat dengan warna warni menyolok. Alasnya dari kulit domba yang dicukur halus serta dikeringkan, disentak, oleh irisan rotan kuat-kuat
28
 
menelusuri seluruh lingkarannya agar menjadi nyaring bila dipukul. Pada kedua tepinya diberi kuping-kuping terbuat dari logam tipis agar memberikan bunyi kemrincing, menambah harmonis suara rebana. Di belakang penabuh genjring ini duduk beberapa deretan penyanyi yang melagukan syair-syair mengiringi suara rebana. Syair-syair itu semuanya dalam bahasa Arab dan umumnya diambil dari bagian-bagian tertentu dalam Kitab Barzanji. Dengan sendirinya mendatangkan suasana memuji-muji kebesaran Nabi Besar Muhammad Saw. Dalam irama-irama tertentu, para pemukul rebana ini ikut juga menyanyikan syair-syair menambah meriahnya suasana. Sudah tentu semua anggota klub genjringan ini laki-laki. Genjringan ini juga disebut trebangan atau terbangan, penabuh atau pemukulnya dengan sendirinya disebut "penerbang." Jadi dengan demikian di beberapa pesantren ada penerbang-penerbang, tapi bukan pilot pesawat terbang! Puncak dari permainan rebana ini, biasanya menjelang penutup, tampillah jago-jago pencak memperlihatkan kebolehannya main silat atau kuntao. Pertama-tama main kembang, yaitu pemain tunggal mendemonstrasikan metode pencak yang mutakhir, kemudian sebagai klimaksnya, tampillah sepasang juara silat bertanding mengalahkan lawannya. Bukan main dahsyatnya, bagaikan pendekar-pendekar mencari mangsanya, dan bukan main gemuruh tempik sorak mengelu-elukan pemenangnya.
Demikianlah rekreasi-rekreasi dalam lingkungan pesantren. Sekedar mencari suasana santai, tetapi tidak mengganggu pengajian, dan pelajaran para santri. Paling-paling 3 bulan sekali pada waktu perayaan hari-hari besar Islam.
Banyak sebenarnya suasana santai itu dalam pesantren. Kalau saja datang santri atau calon santri baru yang hendak belajar mengaji, walaupun tidak ada keharusan tertulis, berlakulah semacam perpeloncoan. Begitu datang orang baru (calon santri) ke pesantren, kedengaranlah suara teriakan nyaring "Tamuuuuu"! Serentak santri-santri keluar dari gutekan. Yang sedang menanak nasi ditinggalkan tanakannya, yang sedang mengaji meninggalkan pengajiannya, semuanya beramai-ramai melihat sang tamu. Sang tamu ini (tentu yang calon santri) lalu dikepung rapat, ia dipencilkan dalam lingkaran santri-santri. Macam-macamlah ejekan dan poyokan keluar dari seribu mulut yang haus menggoda itu. Kalau sang tamu kebetulan pakai blangkon, maka terdengarlah teriakan-teriakan "Blangkonooo, blangkonooo," atau salah seorang yang sedikit mblubut atau sedikit tegaan menghampiri sang tamu sambil berkata: "nyambut blangkone, mas!" (pinjam blangkonmu, Saudara). Kadang-kadang seorang lain pura-pura dengan ramahnya membawa sang tamu, dikiranya hendak dibawa ke kantor pesantren, kiranya diantar ke... WC sambil berkata: "Di sini kalau mau setooooor!" Karuan saja meledaklah tawa orang banyak. Jika sang tamu kebetulan diantarkan oleh orang tuanya atau keluarganya, kontan saja satu teriakan melengking sangat nyaring:"Uauuuuttt, nggowo bolo1" (hei, dia membawa bala tentara!). Pendeknya macam-macamlah cara untuk "memelonco" santri baru. Hal-hal demikian dianggap biasa dalam dunia pesantren. Oleh sebab itu, kiai tak pernah ikut campur. Perpeloncoan ini lazim disebut Surakan, sama sekali tak pernah dilakukan hal-hal yang bersifat menyakiti atau membuat letih badan. Itu sekedar perkenalan pertama dalam menguji mental calon santri, dengan demikian ia mulai dikenalkan dengan calon teman- teman senasib sepenanggungan.
Pernah satu ketika datanglah seorang calon santri ke pesantrenku. la seorang pemuda yang berbadan tegap, besar, dan tinggi, perawakannya gagah. Datang dengan memikul bungkusan besar berisi pakaian dan buku-bukunya. Seperti biasa, ia disambut dengan teriakan pertama "Tamuuuuuuuuuu!". Seluruh anak keluar dari gutekannya atau tempat belajarnya. Santri-santri menyerbu sang tamu dengan suatu lingkaran besar dan padat.
29
 
Karena melihat badan sang tamu tegap dan gagah, dari mulut 1000, serentak keluar suara menirukan bunyi gamelan sangat ramainya. Tetamu ini tidak seperti tamu biasa. Sama sekali tidak tampak goncang hatinya. Dengan tenangnya ia menurunkan pikulannya di atas tanah, perlahan-lahan ia singsingkan lengan bajunya dan sarungnya. Tiba-tiba ia berjoged menirukan tarian Werkudoro, hingga anak-anak lambat laun jadi capek sendiri, akhirnya terhentilah suara gamelan dari mulut 1000 itu. Melihat gelagat demikian, sang tamu berseru- seru menantang: "Hayo keluarkan siapa pendekarmu!" Kontan anak-anak pada diam saling memandang yang satu kepada yang lainnya sambil gerutunya: "Waaaah ini memang genthol" Anak-anak jadi sadar bahwa tamu satu ini memang jago dan sudah banyak pengalamannya dalam pesantren-pesantren. Benar juga, tak lama kemudian ia diangkat menjadi Lurah Pondok (semacam Ketua Dewan Mahasiswa di kalangan universitas).
Surakan ini biasanya cuma berlangsung sebentar saja, tak lebih dari 1 jam dan dalam batas- batas tidak merusak badan atau benda, lagi pula tak pernah dikeluarkan biaya biar satu sen pun.
Semua ini sekedar menginsyafi perlunya suatu kehidupan rileks, sebagai apresiasi atau penginsyafan penghargaan terhadap rasa seni di kalangan santri. Kiai sering menginsyafkan kami semua, bahwa rasa seni amat penting, agar kita terdidik oleh perasaan halus, satu faktor penting bila kita telah berada di tengah-tengah masyarakat. Orang yang tak menghargai rasa seni akan menjadi orang yang serba kaku, bahkan bisa menimbulkan sikap kasar dalam tindak-tanduknya.
Temanku Mahmud, 6 tahun lebih tua dariku. la sudah lama tamat sekolah, dan mengajinya hampir menyelesaikan kitab Alfiyah, 1000 bait sajak dalam bahasa Arab tentang ilmu Nahwu dan Sharaf. Di kalangan kami, ia pemuda paling ganteng dan jempolan. Kecuali jago pencak, ia mempunyai kemahiran kaligrafi, seni melukis huruf. Menulis kalimat-kalimat dalam bahasa Arab dalam lukisan indah, yang nilai seninya dikagumi banyak orang. Teman- temanku banyak yang memesan lukisan lafal-lafal untuk digantungkan di rumahnya sebagai penghias dinding. Tak pernah memungut bayaran, cukup bila pemesannya menyediakan kertas dan alat tulis secukupnya.
Ayahnya mempunyai pesantren khusus untuk anak-anak perempuan. Sebanyak 200 anak perempuan, fatayat, tiap sore mengaji di pesantrennya. Kadang-kadang Ibu si Mahmud memberikan pelajaran bila ayahnya berhalangan.
Aku senang mengunjungi Mahmud bila ia sedang melukis lafal-lafal.
Suatu hari aku mengunjunginya ketika ia sedang melukis sebuah lafal. Aku terpesona oleh caranya melukis huruf demi huruf membentuk kalimat sangat indah dan resik. Rangkaian huruf itu akhirnya menciptakan sebuah lafal yang bagus dan indah dipandang mata. la bilang, itu lukisan seni huruf gaya al-Farisi, berasal dari negeri Parsi. Ada gaya lain dalarn seni lukis huruf Arab, ada gaya as-Tsuluts, Nasakh, Rig'ah,dan lain-lain.
Aku tertarik oleh lukisan yang sedang ia kerjakan. Aku ingin memesannya untuk digantungkan di rumahku. Aku ingin memilikinya.
"O..., tidak bisa! Ini sudah ada yang punya," kata Mahmud sambil membuang senyum lebar dan matanya melirik tajam kepadaku.
"Milik siapa?" aku ingin tahu.

30
 
"Maaf saja, ini rahasia...!" sambil meyeringai, matanya terus menatapku tajam-tajam.
"Kalau begitu, tolonglah Mud, bikinkan lukisan persis macam ini!" aku mendesak. Benar- benar aku ingin memiliki lukisan macam itu.
"Itu pun tidak bisa! Lukisan macam ini cuma satu-satunya. Orang lain tak mungkin bisa memilikinya!" jawabnya. Jarinya terus menelusuri lekuk-lekuk huruf Arab membuat bentuk tertentu.
"Lukisan indah, untuk kenang-kenangan indah!" gumamnya sendirian. "Untuk siapa?" aku masih penasaran dan mendesak ingin tahu.
Mahmud tidak menggubris pertanyaanku. la melukis terus sambil bersiul kecil mengikuti irama yang sedang dinyanyikan fatayat-fatayat yang tengah mengaji di ruang depan rumahnya, tak jauh dari tempat kerja Mahmud.
Santri-santri perempuan itu sedang menyanyikan sebuah lagu dari syair-syair dalam maulid Diba di bawah asuhan Ibu si Mahmud. Syair-syair itu sebuah panembrama mengelu-elukan kehadiran Nabi Besar Muhammad Saw. Sebelum perang membaca bagian-bagian yang mengisahkan sejarah perjuangannya.


Ya Rasulallah salamun 'alaik, Ya Rofi'as sya'ni wad daraji, 'Athfatan ya jiratal 'alami,
Ya uhailal judi wal karami... /


Salam sejahtera bagi Tuan, wahai Rasulallah! Nabi nan bermartabat tinggi amat berbunyi, Santun, lembut nian hati Tuan, oh Penata alam,
Duhai Nabi yang dermawan, pemurah hati lagi mulia!


Suara itu mengalun dalam irama syahdu, naik dan turun gelombang demi gelombang bersahut-sahutan. Bila gelombang yang satu mengalunkan nada lirih dan lembut sampai pada titik akhir bait, sekonyong disambut alunan gelombang dalam nada gemuruh, silih berganti susul-menyusul. Dua irama dalam satu lagu, antara yang lembut menyerah dengan yang datang menerjang!
Sembilan bait itu selesai dinyanyikan ganti-berganti. Memang enak sekali, begitu nikmat didengarkan dari tempat kerja Mahmud. Pantas ia bersiul lirih mengikuri irama nyanyian fatayat-fatayat itu.
Menjelang setengah enam sore, pengajian itu usai sudah. Sengaja bubar pada jam itu untuk memberi kesempatan anak-anak perempuan tiba di rumahnya masing-masing sebelum waktu maghrib.
31
 
Sekonyong-konyong masuklah ke tempat kerja Mahmud dua orang perempuan. Yang satu seumur Ibuku, aku sudah kenal. Namanya Bibi Rodiah. Aku mengenalnya, karena ia sering membantu Ibu di rumah membatik kain, kadang-kadang menemani Ibu pergi mengaji. Yang satunya masih muda, lebih muda sedikit dari kakakku. Kulitnya keputih-putihan seperti nona Cina tetanggaku. la mengenakan kerudung di kepalanya berwarna merah jambu yang diberi sulaman benang putih.
"Mud, ini si Sum mau ketemu sebentar!" kata Bibi Rodiah. Mahmud kelihatan gugup ketika menatap wajah Sum, hampir saja sarungku dipakai lap untuk membersihkan jari-jarinya yang masih berlumuran tinta.
"Ada apa Sum?" bertanya Mahmud. Kok seperti gemetar suaranya! "Apa lukisannya sudah jadi, Mud?" tanya Sum, kepalanya menunduk.
"Oh... anu...belum! Insya Allah besok selesai," jawabnya sambil melirik padaku.
"Melukisnya sangat hati-hati. Mahmud tak mau terburu-buru, takut ada yang salah. Bukan begitu, Mud?" Bibi Rodiah menyela.
"Memang begitu," jawab Mahmud pendek saja.
"Habis yang memesan siapa!" Bibi Rodiah bilang, "Pemesannya kan bukan orang sembarangan!" Bibi Rodiah menyeringai sambil melirik tajam kepada Sum.
"Ah, ya tak apa!" jawab Sum, lalu sambungnya, "Mud, ini benda tak berharga buat Mahmud, barangkali ada gunanya!" sambil menyerahkan bungkusan kecil kepada Mahmud.
"Apa ini? Kok ada-ada saja Sum ini!" Mahmud menyambut bungkusan dari tangan Sum. "Permisi, sudah hampir maghrib, mau pulang," kata Sum berpamitan.
"Nantilah dulu, Sum, maghrib masih lama. Biar saya mengantarkan kau sampai ke rumahmu!" menyela Bibi Rodiah, maksudnya menahan Sum biar agak lama bertemu Mahmud.
"Maghrib sudah hampir tiba. Takut dimarahi ayah kalau terlambat Permisi, Mud!" Sum tetap hendak pulang segera. Akhirnya Bibi Rodiah menyertainya pulang.
"Alhamdulillah! Tuhan Maha Kasih Sayang!" berkata Mahmud kegirangan sambil jegigisan. Bungkusan segera dibuka, ternyata sebuah peci hitam. Kontan saja ia pakai, ternyata pas betul di kepalanya.
"Akan saya pakai terus-terusan, biar sedang tidur sekalipun...!" katanya. Peci dilepas, diamati sambil bersiul-siul, lalu dikenakan di kepalanya lagi sambil senyum lebar tak henti- henti.
"Hai, kau tahu? Sum itu bunga mawarnya kampung ini" berkata Mahmud sambil menyodorkan ibu jarinya dekat hidungku.
"Bunga mawar? Jual bunga dia?" aku bertanya, tak mengerti.
"Ah, kau anak kecil, tahu apa kau tentang bunga mawar!" bentaknya padaku. Aku pun berpamitan pulang. Tak berhasil memesan lafal dari Mahmud.

Memasuki Persiapan Pengabdian

Seperti proses produksi dan marketing dalam dunia usaha, kira-kira begitulah salah satu peranan dari kehidupan pesantren. Santri-santri baru pada datang bermunculan, diproses jadi anak-anak terdidik, dipompa otaknya dengan ilmu, dibentuk karakternya dengan membiasakan latihan diri, lalu memasuki alam marketing untuk meninggalkan pesantren, memasuki kehidupan masyarakat guna mengabdi kepadanya. Tak ada batas berapa lama waktu menghabiskan dalam pesantren. Itu tergantung kemampuan serta kematangan mental santri-santri. Ada yang dalam waktu singkat telah jadi orang, meninggalkan pesan- tren, lalu jadilah ia kiai atau ustadz di kampungnya, bahkan tidak sedikit yang pada akhirnya tampil menjadi pemimpin terkemuka dalam masyarakat. Tetapi juga ada—mungkin banyak—santri-santri yang menghabiskan waktu sangat lama dalam suatu pesantren, namun "belum juga jadi-jadi." Ada seorang teman bekas kawanku di pesantren dulu, pada satu ketika aku jumpai ia menjadi pelayan hotel, gugup juga ia ketemu aku, entah ada perasaan malu barangkali, sambil seolah-olah seperti menyesali diri ia katakan padaku: Kalau aku tahu cuma bakal jadi pelayan hotel, mengapa aku dulu besar di pesantren! Aku memaklumi perasaannya, namun aku besarkan hatinya: "Mengapa begitu? Pelayan hotel pun pekerjaan penting. Dan kau tentu bukan sembarang pelayan. Kau toh bisa jadi "kiai"-nya para pelayan hotel," demikian kataku menghiburnya. la lalu ceritakan padaku, bahwa memang benar, ia diserahi tugas pemeliharaan rohani di kalangan karyawan hotel oleh direksi, ia jadi kiai juga di kalangan mereka. Tak ada ruginya belajar di pesantren. Kalau ia kelak jadi tukang sayur, biarlah ia jadi kiainya tukang-tukang sayur. Kalau ia kelak jadi sopir, biarlah ia jadi kiainya sopir-sopir. Jika ia kelak jadi direktur atau jenderal sekalipun, ia toh akan menyesuaikan dirinya sebagai kiainya para direktur dan kiainya jenderal-jenderal. Jelas, tak ada ruginya mengecap pendidikan dalam pesantren.
Proses kemajuan zaman serta perkembangannya berangsur-angsur memasuki dunia pesantren. Semangat dan kebangkitan nasional serta politik juga memasuki kehidupan pesantren. Surat-surat kabar dan majalah mengalir juga ke sana dengan segala kumandangnya. Sebagai suatu segi kebudayaan, tentu pesantren memiliki daya tahan dalam menyaring segala arus yang masuk ke dalamnya.
Alam pesantren terkenal bebas dan demokratis. Tetapi di sana, usaha pembinaan mental dan spirit, ketahanan dan kemauan berdiri sendiri amatlah kuat. Sebab itu, benar juga kalau dikatakan bahwa pesantren adalah suatu subkultur dalam kehidupan masyarakat kita sebagai suatu bangsa.
Ketahanannya membuat pesantren tidak mudah menerima sesuatu perubahan yang datang dari luar, karena pesantren memiliki suatu benteng tradisi tersendiri. Tradisi kerakyatan dalam mengabdi kepada Allah SWT, dan menyebar kebaikan di tengah-tengah masyarakat.
Setiap orang yang baru datang ke dalam pesantren diterima dengan baik sebagai anggota keluarga pesantren, tanpa purba sangka apapun. Biarpun ada intel-intel untuk menyelidiki kehidupan santri-santri. Dunianya sangat terbuka, siapa saja boleh masuk tanpa kecurigaan. Inilah agaknya yang dinamakan semangat lillahi Ta'ala.

33
 
Suatu peristiwa, terjadilah suatu hal yang menyangkut pesantren kami. Kiai kami dipanggil Tuan Wedono. Tentu seluruh pesantren diliputi suasana prihatin. Kiranya menyangkut masalah tuntutan umat Islam tentang biaya pemotongan korban ternak. Pada hari-hari raya Idul Adha, umumnya orang memotong binatang ternak sebagai korban. Pemerintah kolonial menetapkan suatu peraturan bahwa untuk pemotongan korban ini dikenakan biaya sejumlah uang. Umat Islam keberatan karena ini menyangkut urusan ibadah. Masa untuk beribadah dipungut biaya, lain halnya kalau pemotongan hewan itu untuk dijual sebagai mata pencaharian. Umat Islam menuntut pembebasan biaya. Dalam pada itu, tersiar benta bahwa Perhimpunan Nahdhatul Ulama menolak maksud pemerintah Hindia Belanda hendak memberi subsidi kepada pondok-pondok pesantren dan madrasah-madrasah. Alasannya bahwa pesantren dan madrasah adalah media pendidikan untuk beribadah kepada Allah SWT. Maka layak jika untuk beribadah orang mesti menerima subsidi, dibayar. Kedua masalah di atas ini dianggap oleh kekuasaan Hindia Belanda sebagai aksi politik terselubung, anti pemerintah kolonial. Ini merupakan masalah politik. Dan pesantren dipandang oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai laboratorium kegiatan politik menentang kekuasaan kolonial. Itu sebabnya mengapa kiai kami dipanggil Tuan Wedono.
Sejak peristiwa itu, di kalangan para santri timbul keheran-heranan, karena ketika kiai kami dipanggil tuan Wedono untuk diverhoor, di sana ada seorang pejabat yang mendampingi Wedono itu, yaitu orang yang selama ini kami kenal sebagai salah seorang "santri" yang berbulan-bulan mondok di pesantren kami. Baru kami menyadari bahwa "santri" tersebut salah seorang alat P.I.D. Pantaslah ia tiba-tiba kabur meninggalkan pesantren. Agaknya, si
P.I.D. ini dikirim majikannya untuk menyelidiki dunia pesantren, dan sampai di mana hubungannya dengan Nahdhatul Ulama.
Sudah berhari-hari kami dibuat surprise dengan datangnya H.O.S. Cokroaminoto di kampung kami. Pemimpin yang sedang tenar-tenarnya ini menetap di kampungku, Sukaraja, kira-kira dua tahun begitulah (tahun 1930-an). Baru aku memaklumi bahwa beliau mendirikan kader-voorming menggembleng pemuda-pemuda. Puluhan pemuda datang dari Sumatra Barat, Jawa Barat, bahkan ada yang datang dan Gorontalo. Mula-mula aku heran mengapa tak seorang pun pemuda dari kampungku memasuki kelompok mereka. Baru kemudian kami menyadari bahwa mereka khusus pemuda-pemuda dari kalangan Syarikat Islam. Padahal sebagian terbesar pemuda-pemuda dan santri-santri di kampungku berada dalam naungan Nahdhatul Ulama. Ada juga yang Muhammadiyah, tetapi cuma sedikit sekali, hampir terbatas dalam lingkungan salah satu keluarga.
Pengaruh gerakan nasional ketika itu ditandai oleh kampanye serta aktivitas "Partai Indonesia" (Partindo) dan "Pendidikan Nasional Indonesia." Pengaruhnva merembes juga ke kampung kami, dan kumandangnya juga memasuki pesantren-pesantren kami. Nama- nama Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Sartono, Gatot Mangkupraja sangat terkenal. Gambar-gambar mereka menghiasi kamar santri-santri, demikian pula brosur-brosur mereka mengalir ke pesantren. Santri-santri sering mendiskusikan masalah-masalah imperialisme- kapitalisme, non-kooperasi, selfhelp, di samping masalah-masalah fa'il-naibul fa’il anwa'uz- zakat, mad wajib muttashil, dan kajian di pesantren.
Pada kami para santri, terutama yang sudah dewasa, timbul suatu kesadaran, alangkah masih banyaknya ilmu dan pengalaman yang harus kami peroleh. Bukankah kami tidak akan menjadi santri buat selama-lamanya? Satu saat kami harus terjun ke tengah-tengah masyarakat mengembangkan kesantrian kami ke dalam kehidupan bangsa kita pada umumnya.
34
 
Salah seorang guru kami yang tak akan kami lupakan selama-lamanya adalah Raden Haji Mukhtar. Beliau lain dari yang lain. Dalam pesantren-pesantren atau madrasah-madrasah, atau dalam kesempatan pengajian umum dan perayaan-perayaan han-hari besar Islam, kiai yang satu ini tidak pernah menguraikan hal-hal yang langsung bersifat 'ilmiah-agamis. Kalau kiai-kiai yang lain selalu saja membentangkan masalah-masalah puasa Ramadhan, tentang berapa macam ilmu yang wajib dipelajari, tentang Sunnah Rasulullah dan sebagainya, tidak demikian dengan Raden Haji Mukhtar ini. Beliau menguraikan tentang hal-hal yang "duniawi," selalu cuma itu saja. Tentang pengumpulan beras tiap-tiap keluarga satu sendok makan tiap hari, dikumpulkan seminggu sekali dan dipool di salah satu pengurus. Hak orang yang memberikan dana beras satu sendok makan ini sewaktu-waktu meninggal dunia atau salah seorang keluarganya, ia akan memperoleh kain kafan, dan jenasahnya akan dihormati beramai-ramai sesama warga, dan seterusnya akan dibacakan qulhu sekian ratus kali oleh sekian anggota. Timbul pikiran di kepalaku, bagaimana ngurusnya? Atau diuraikan pentingnya wali murid menyerahkan tiap-tiap orang satu pohon kelapa, yang penghasilannya diperuntukkan guna menjamin penghidupan guru-guru madrasah yang mendidik anak-anak rnereka. Dianjurkan tentang pentingnya persatuan agar kita kuat. Pekerjaan berat akan terasa lebih ringan jika dikerjakan secara persatuan. Dianjurkan pula agar kita hidup bergotong-royong. Selagi masih ada warung milik orang kita seharusnyalah kita membeli keperluan sehari-hari ke sana. Selagi masih ada pedagang dari orang kita, kita jual hasil bumi kita kepadanya. Selagi masih ada penatu orang kita, kita cucikan pakaian kita kepadanya. Kalau kita membutuhkan seorang tukang, misalnya untuk memperbaiki rumah kita yang rusak, selagi masih ada tukang orang kita, serahkan pekerjaan itu kepadanya. Tetapi ingat, kedua belah pihak harus saling jujur, boleh dipercaya, dan tidak menyalahi janji.
Baru kemudian aku tahu bahwa Raden Haji Mukhtar ini adalah seorang konsul Nahdhatul Ulama yang giat melaksanakan instruksi-instruksi dari pusat, dari Hoofd Bestuur Nahdhatul Ulama. Baru aku mengetahui bahwa semua itu dalam rangka kampanye suatu gerakan Mabadi Khaira Ummah, langkah pertama pembinaan umat yang berkarakter baik. Penggalangan kekuatan umat! Konsul adalah koordinator cabang-cabang, tiap cabang pada umumnya terletak di tiap kabupaten. Raden Haji Mukhtar mengkoordinir 13 cabang yang tersebar di Karesidenan Banyumas, Kedu, dan Yogya. Jadi boleh dibilang kegiatan Nahdhatul Ulama seluruh daerah Jawa Tengah bagian Selatan ini, dikoordinir dari kampungku, Sukaraja, kota kewedanan.
Raden Haji Mukhtar lebih terkenal dengan sebutan Pak Mukhtar, sekalipun di waktu itu tahun-tahun 1930-an belum lazim seorang pemimpin dipanggil atau disebut dengan panggilan "Bapak." Kecuali Raden Haji Mukhtar. Orang memanggilnya sehari-hari dengan Pak Mukhtar, begitu saja. Bahkan kadang-kadang cuma disebut saja "Bapak," tetapi semua orang paham bahwa yang dimaksud adalah Raden Haji Mukhtar, Konsul Nahdhatul Ulama.
Seorang Kiai di kampungku, Guru Tharikat "Naqsyabandiyah" bernama Kiai Raden Haji Rifa'i. Dalam tugas sehari-hari memimpin para muridnya yang ribuan jumlahnya tersebar di pelosok-pelosok, beliau didampingi oleh Pak Mukhtar. Urutan nasabnya Pak Mukhtar masih paman dari Kiai Raden Haji Rifa'i. Satu lagi yang penting dicatat di sini, Pak Mukhtar ini juga salah seorang anggota Regentschaap-Raad, dewan perwakilan rakyat kabupaten di zaman itu. Tetapi beliau juga pendamping Guru Tharikat "Naqsyabandiyah"!
Aku sangat beruntung menjadi seorang anak yang dekat dengan Pak Mukhtar ini. Biasa, aku disuruh-suruh membantu beliau. Mencarikan delman jika beliau akan berangkat
35
 
turne mengunjungi daerah-daerah yang dekat. Atau disuruh mengirimkan uang dengan wesel ke kantor pos. Beliau langganan surat kabar "Pemandangan" dan karena itu, tiap bulan harus mengirimkan uang langganannya ke Jakarta lewat pos. Kadang-kadang aku disuruhnya membantu mengetik surat-suratnya. Aku bisa mengetik, jangan lupa aku kan juga murid Kiai Khalimi yang mengajar keterampilan. Dari Pak Mukhtar ini aku belajar membuat instruksi-instruksi stensilan. Zaman itu belum ada kita-kita ini memiliki mesin stensilan atau roneo. Pak Mukhtar mengajarkan stensilan dengan agar-agar. Ya, agar-agar yang biasa kita makan sebagai kue lezat. Dibuatlah agar-agar (tanpa guk) di atas talam. Aku menulis surat, apakah namanya maklumat ataukah instruksi, di atas kertas dengan memakai tinta cina atau tinta stempel (stempel ink).Tulisan ini namanya copy. Copy aku letakkan di atas agar-agar dalam talam. Tulisan akan tertinggal di atas agar-agar. Ambil kertas kosong, letakkan pelan-pelan di atasnya, lalu angkatlah dia, maka jadilah sebuah stensilan. Kalau mau baik 40 lembar. Praktis, murah dan sangat modern di zaman itu. Semua ini aku peroleh dari bimbingan Pak Mukhtar.
Umurku sekitar 14 tahun ketika pada suatu hari aku diajak Pak Mukhtar ke Mandiraja dekat Banjarnegara. Ada rapat Nahdhatul Ulama di sana. Aku tak tahu jelas apa sifat rapatnya. Yang aku ingat betul, banyak sekali pengunjungnya, para kiai dan santri-santri. Senang benar aku nderek Pak Mukhtar naik kereta api ke Mandiraja itu. Aku mendapat tugas membaca Al-Qur'an dalam rapat itu, diam-diam aku jadi qari' juga. Maklumlah aku masih anak-anak, tak begitu paham pidato-pidato, nasihat-nasihat cuma aku tangkap sepotong- sepotong. Tertidurlah aku di tengah-tengah pidato-pidato itu. Aku dibangunkan dari tidurku oleh Pak Mukhtar karena makanan dan minuman dihidangkan. Pertemuan bubar sudah jauh malam. Pak Mukhtar dan beberapa kiai masih bercakap-cakap dengan seorang berpakaian perlente, pakai blangkon dan baju putih bersih. Orang ini banyak mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang dijawab oleh Pak Mukhtar. Jawaban-jawaban Pak Mukhtar ditulis dalam buku besarnya. Lama orang ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Ketika kami pulang ke pondokan, aku memberanikan diri bertanya kepada Pak Mukhtar, siapakah orang tadi. Beliau menjawab: "Dia P.I.D."! Aku tanya lagi, P.I.D. itu apa? Dijawab: "Utusan Kanjeng Gupermen"! Aku masih belum mengerti.
Hubungan Pak Mukhtar dengan para kiai sangatlah erat. Terjalin suatu ikatan saling harga- menghargai, saling memerlukan. Dalam pandangan ulama, Pak Mukhtar adalah tameng, alat pelindung jika dirasakan datangnya suatu ancaman, terutama dari kalangan penguasa kolonial. Pak Mukhtar adalah "juru bicara" para kiai untuk menjelaskan keinginan- keinginan serta keberatan-keberatan ulama terhadap berbagai masalah yang datang dari pihak penguasa. Beliau pandai berbicara tentang isi hati para kiai dengan memakai "bahasa" kaum penguasa. Begitu sebaliknya, bicara tentang keinginan-keinginan penguasa yang memang objektif dan positif dengan memakai "bahasa" kiai dan santri.
Beliau adalah seorang pengayom serta pribumi yang baik, yang berdiri atas suatu prinsip unluk kemajuan dari Islam serta umatnya.
Ketika beberapa kiai di Kebarongan (Banyumas) dan Wonosobo dimajukan ke muka pengadilan kolonial fasis Jepang, karena dituduh melakukan gerakan di bawah tanah melawan Jepang, Pak Mukhtar tampil di pengadilan mendampingi K.H.A. Wahab Chasbullah selaku pembela. Dengan memakai jas lurik kotak-kotak lembut dengan sarung plekat berwarna sama dengan sorbannya, beliau membacakan pidato pembelaan di muka ketua pengadilan. Suaranya besar sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Pidatonya jelas, pasti, dan meyakinkan. Puluhan kiai yang diseret ke muka pengadilan fasis Jepang
36
 
akhirnya dapat diselamatkan, kecuali dua orang kiai yang tak berhasil diselamatkan karena hakim ketua menjatuhkan vonis hukum mati.
Di rumahnya, tiap hari tak pernah sunyi dari tamu-tamu, jauh maupun dekat. Buat tamu yang jauh disediakan tempat menginap, jika "kamar tamu"-nya sudah penuh, maka surau yang terletak di samping rumah dijadikan "hotel Muslimin," tempat tamu-tamunya menginap. Banyak aku peroleh pelajaran dan pengalaman kalau di rumah Pak Mukhtar penuh dengan tamu- tamu para ulama. Tak jarang di sana berkumpul dedengkot ulama Banyumas. Kiai Raden Iskandar dari Purbalingga yang terkenal wingit berwibawa, Kiai Akhmad Bunyamin Purwokerto yang terkenal lembut dan teliti, Kiai Akhmad Syatibi sesepuh ulama Banyumas, Kiai Adzkiya Kroya terkenal sebagai jago debat yang menjadi langganan datang ke kongres Muhammadiyah untuk mengajak diskusi tentang berbagai masalah khilafiyah. Ketika itu sedang tajam-tajamnya pertentangan antara kaum Nahdhatul Ulama dengan kaum Muhammadiyah mengenai masalah khilafiyah. Orang Nahdhatul Ulama berpendapat bahwa sembahyang harus membaca ushalli tetapi orang Muhammadiyah tidak. Orang Nahdhatul Ulama mengharuskan tiap jenasah dibacakan azan serta doa talqin pada saat dimakamkan, tetapi orang Muhammadiyah tidak. Orang Nahdhatul Ulama mengharuskan tiap orang harus berwudhu lebih dahulu sebelum memegang Al-Qur'an, tetapi orang Muhammadiyah tidak usah dengan wudhu. Bacaan tahlil, menurut orang Nahdhatul Ulama, bisa sampai kepada orang yang telah meninggal jika kita kirimkan pahalanya, tetapi orang Muhammadiyah tidak demikian. Dan masih banyak lagi masalah khilafiyah yang timbul di kalangan masyarakat ketika itu. Kiai Adzkiya ini rajin berdiskusi dengan ulama Muhammadiyah untuk mencari titik pengertian akan duduk masalahnya menurut hukum Islam. Demikianlah tamu-tamu Pak Mukhtar. Tidak jarang beliau menyuruhku untuk menjemput Ustadz Mursyid atau Kiai Khalimi pada saat di rumah beliau penuh tamu.
Kedatangan tamu-tamu ini kecuali biasa bertamu karena rasa rindu, juga tak jarang untuk meminta advis atau petunjuk Pak Mukhtar mengenai berbagai masalah yang sedang dihadapi para kiai. Masalah perbaikan pesantren, masalah di mana bisa dibeli kitab-kitab bacaan para santri, masalah dakwah, dan kadang-kadang juga masalah timbulnya rasa tidak aman berhubung dengan sikap penguasa kolonial. Dari pertemuan-pertemuan ini, aku banyak sekali memperoleh pelajaran serta pengalaman mengenai dunia alim ulama. Suatu dunia yang banyak disangka orang luar sebagai dunia tertutup," tetapi sebenarnya adalah dunia kita yang bebas terbuka, dunia yang menanamkan keamanan batin serta kesejahteraan hidup. Orang yang menganggap dunia ini sebagai dunia tertutup hanya disebabkan karena orang tidak tahu di mana letak pintunya, dan terutama karena tidak bisa berbicara memakai "bahasa Santri". Pak Mukhtar ini, aku rasa, seorang yang amat paham akan dunia kiai dan amat pandai berbicara memakai bahasa kiai.
Hampir bisa dipastikan bahwa dalam 1 minggu, Pak Mukhtar hanya satu dua hari berada di rumahnya, sisanya dipergunakan untuk turne ke cabang-cabang Nahdhatul Ulama dan mengunjungi para kiai di tempatnya masing-masing. Aku sangat beruntung bahwa aku termasuk sering diajak beliau berturne ini.
Suatu hari pada tahun 1935 aku mengikuti Pak Mukhtar mengunjungi salah satu daerah. Turun dari kereta api lalu naik dokar (delman), disambung dengan naik gerobak (pedati) yang ditarik sapi karena tak ada kendaraan lain kecuali itu. Di suatu desa, kami terpaksa harus bermalam. Di mana? Tak ada seorang kenalan pun dalam desa itu. Dicarinya sebuah langgar, kecuali untuk kami bersembahyang, juga akan dijadikan "hotel" tempat kami akan menginap. Tibalah waktu sembahyang, tetapi jamaah hanya 3 orang saja. Lepas
37
 
sembahyang beliau berkenalan dengan kiai yang jadi imam tadi. Omong punya omong, pembicaraan bertambah asyik. Diceritakan oleh kiai itu bahwa di desanya tergolong "minus" orang beribadah, bahkan terkenal sebagai tempat rnaling. Penduduk takut keluar rumah untuk ke langgar, khawatir kalau-kalau rumahnya kemasukan pencuri. Ditanyakan kepada kiai itu, di mana rumah lurah desa. Seketika itu juga Pak Mukhtar berangkat menemui lurah. Sebenarnya aku sudah sangat letih karena perjalanan, ingin rasanya tidur saja dalam langgar. Tetapi karena mendengar di desa itu banyak maling, takut juga kalau tidur di langgar. Mau tak mau ikut juga menemui lurah. Beruntunglah, kami bisa menjumpai lurah. Dari pembicaraan yang panjang itu, Pak Mukhtar menegaskan kepada lurah, bahwa salah satu jalan paling penting agar desanya menjadi aman, anjurkanlah penduduk untuk rajin beribadah. Tanggung, desa akan aman. Pengaruh serta wibawa lurah sangatlah penting, maka tiap anjuran kepada rakyat akan mudah diterima apalagi anjuran baik seperti ibadah. Sang pencuri yang menjadi penduduk desa itu akan menjadi malu sendiri kalau menyaksikan bahwa seluruh penduduk rajin ibadah. Dia akan menghentikan pekerjaannya sebagai maling, atau pindah ke tempat lain. Inilah jalan menuju keamanan desa. Pak Lurah sangat setuju pada pikiran Pak Mukhtar ini. Kami diminta untuk bermalam di rumahnya, dan tak lupa keluarlah hidangan besar, maklum suguhan Pak Lurah. Bukan main girang hariku, apalagi perut sudah keroncongan sejak tadi!
Kami tiba di suatu tempat, menuju ke rumah seorang kiai yang menjadi pengurus Nahdhatul Ulama, setelah kami berjalan kaki hampir 5 jam dan menyeberangi sebuah sungai yang sedang banjir. Tiba di rumah orang yang dituju, sahibulbait tidak ada di tempat. Rumah itu kosong. Kami menunggu hingga yang punya rumah datang. Lama juga hingga menghabiskan dua kali melinting rokok. Rasanya mulut ini sudah cemplang saja, haus ini tak hilang-hilang biar dipenuhi asap rokok.
Tiba-tiba sahibul bait datang, kaget juga melihat kedatangan kami yang tak disangka-sangka itu. Sebenarnya kami lagi enak-enak slonjor di atas risban (rijst bank) bambu untuk melemaskan otot-otot kaki yang kecapekan. Kalau tidak sahibul bait datang barangkali perut yang mulai lapar itu bisa dijinakkan oleh silir angin yang membelai-belai mengajak tidur.
"Kiai, jangan tanya yang lain-lain dulu! Ada nasi, nggak? Sudah lapar, nih!" kata Pak Mukhtar kepada sahibul bait. Yang ditanya tertegun dengan menyebar senyumnya, katanya: "Masya Allah, begini Pak. Saya ini kemari untuk singgah sebentar menengak-nengok rumah. Sudah 5 hari isteriku andon-babaran di rumah mertua karena melahirkan anak. Semua kami pindah ke sana. Jadi rumah ini cuma ada kendil dan cangkir kosong saja. Alaaa, melas temen! (alangkah kasihan Pak Mukhtar!) Dewa sekang kayangan kok kapiran, alaa menjorang banget aku! (Tamu agung kok sampai tidak diurus, keterlaluan saya ini!)‖ Pak Mukhtar cepat-cepat merogoh sakunya, dikeluarkan uang setalen (f. 0,25) katanya: "Lekas suruhan anak santri membeli beras dan lauk-pauk," lalu keluarkan lagi uang f. 1, katanya: "Ini buat tambahan biaya nyai babaran.”
Sambil menantikan selesainya masakan, sahibul bait mengundang sendiri 4 atau 5 orang pengurus lain untuk menerima kedatangan Pak Konsul ini. Kami 7 atau 8 orang bersantap bersama-sama dengan lahapnya sekalipun hanya dengan sayur, sarnbal, dan ikan asin. Tengah bersantap, Pak Mukhtar menjelaskan maksud kedatangannya agar di desa itu didirikan madrasah. Kita tidak memerlukan uang kata Pak Mukhtar. Kita cuma memerlukan kayu, bambu, pasir, dan batu. Di desa ini banyak kayu, bambu, dan batu, serta pasir, tinggal diambil saja. Orang kita cukup banyak, ini merupakan tenaga-tenaga untuk mengambilnya. Buat apa uang? Orang-orang kita di sini sedikit banyak mempunyai pohon kelapa, singkong,
38
 
dan buah-buahan lainnya. Itu semua kita kumpulkan dengan gotong-royong, kita jual, dan hasilnya bisa kita belikan genteng dan tegel. Tidak perlu kumpulkan uang, buat apa kalau semua ini bisa kita kerahkan? Salah seorang yang hadir berkata: "Pak, sebaiknya sehabis makan ini kita adakan rapat untuk bicarakan ini semua!" ―Buat apa lagi rapat?‖ Jawab Pak Mukhtar. "Kita omong-omong ini sambil makan sudah selesai persoalan. Tinggal kerja saja. Kapan dimulai?" Akhirnya semua setuju dan semua puas. Perut kenyang dan persoalan sudah terpecahkan dengan baik. ―Mari kita sembahyang,‖ ajak Pak Mukhtar. Kepada sahibul bait dikatakan: "Kiai yang membaca doa semoga usaha kita mendirikan madrasah terkabul!"
Habis sembahyang Pak Mukhtar berpamitan. Semuanya menahan beliau agar bermalam. Beliau tetap berpamitan, walaupun orang-orang tetap menahannya. Sambil berjalan meninggalkan tempat itu beliau katakan: "Enaknya sendiri, saya kan harus mengunjungi tempat lain juga!"
Terasa kesepian juga ditinggal beberapa teman. Ya, teman mengaji, ya, teman bermain- main. Benar juga kata Kyai, teman sepengajian merupakan kawan yang muballit, sangat intim pergaulannya. Mereka sesaudara tunggal guru, dan biasanya lebih erat perhubungannya melebihi sesaudara seibu-seayah.
Suatu ketika kiai bercerita. Ada seorang kiai tengah mengajar, tiba-tiba kedatangan seorang tamu bekas teman sepesantren, yang kemudian menjadi seorang kiai seperti dia di salah satu tempat yang jauh. Kedatangan sang tamu yang tiba-tiba ini tentu saja merupakan suatu surprise baginya yang amat menyenangkan hatinya. Pengajian diliburkan seketika, habis, namanya orang lagi senang dan karena ingin menghormat sang tamu. Disuruhnyalah seorang santrinya, sebut saja namanya Zaid, untuk pergi ke pasar membeli kepala kambing, serta disuruhnya pula Zaid memasak gulai kepala kambing. Sementara itu, kiai mempersilakan tamunya mendiami kamar tamu yang khusus disediakan. Sementara kedua sahabat yang muhallit ini ngobrol kesana kemari dengan amat asyiknya, tentu saja saling mengisahkan pengalaman dirinya masing-masing, Zaid menghidangkan suatu jamuan istimewa, tentu saja tidak ketinggalan gulai kepala kambingnya. Amat lahaplah kedua insan ini bersantap sambil meneruskan kisahnya masing-masing, Zaid menunggui dari kejauhan kalau-kalau ada hal-hal yang harus dikerjakan, mengambil sendok atau menambah nasi dari dapur dan sebagainya. Lama sekali kedua teman muhallit ini bersantap sambil berbincang- bincang, ada-ada saja yang dikisahkan. Tak kering-keringnya ingatan keluar dari kepala masing-masing untuk diceritakan. Namanya teman muhallit yang sudah puluhan tahun tidak saling berjumpa. Zaid merasa betapa lamanya mereka bersantap, tetapi hatinya disabar- sabarkan menanti, biarpun perutnya sudah merasa lapar sekali. la berharap akan bisa menikmati sisa hidangan. Namanya saja santri yang taat kepada guru, dan ia merasa berbahagia bisa menjadi khadam melayani kebutuhan kiai. Tetapi yang membuat Zaid menjadi cemas, gulai kambing itu hampir ludes disantap kedua kiai ini.
Buat menghibur diri, ia melirik mengawasi gulai, katanya dalam hati, syukurlah lidah kambing itu masih ada, mungkin bagian dialah. Baru saja berkata demikian dalam hatinya, tiba-tiba kiai bertanya kepada tetamunya "Oooh, jadi sudah 200 orang juga santrimu?‖ sambil mencomot lidah kambing.
Zaid kaget juga, tetapi dihiburlah batinnya, ah, kupingnya masih ada satu, mungkin itulah bagianku. Sang tetamu mengajukan pertanyaan kepada sahibul bait: "Ente sudah punya menantu juga? Dan menantumu pun membantu mengajar di pesantren?" sambil mbetot kuping kambing dan dikunyahnya cepat-cepat. Zaid tambah panik juga dibuatnya, tetapi ia tenangkan hatinya sambil menghibur diri: "Ya, tapi cungur kambing itu masih ada
39
 
sebagian, itulah bagianku." Kiai melanjutkan kisahnya: "Begini, aku ingin istriku membuka pesantren  khusus  buat  anak-anak perempuan.  Ente  setuju  itu?‖  sambil tangannya menyomot bagian hidung kambing idaman Zaid. Bukan main kecewa hati Zaid bahwa idaman hatinya, potongan hidung kambing itu sudah wassalam. Ia harus lebih sabarkan hatinya, dan ia melihat bahwa masih ada sisa dari gulai kepala kambingitu yang belum dijamah, yaitu mata kambing yang tinggal satu-satunya. Inilah, Insya Allah bagian ana, demikianlah ia menghibur diri. Dikira selesailah kedua kiai ini bersantap, sudah kedengaran dahak masing-masing menandakan keduanya makan dengan lahap dan nikmat. Kiai masih mengajukan pertanyaan kepada tamunya: "Jadi sudah bulat ente pergi naik haji tahun ini?" tiba-tiba tangan kiai hinggap di tulang-tulang kepala kambing sambil menggerayangi mata yang tinggal sebiji, dicolek-colek lalu dikirimnya ke mulut. Bukan main paniknya Zaid, ia tak sabar lagi, melompatlah ia memasuki ruangan hidangan.
Tak bisa menahan diri lagi, ia maju menghampiri kiai sambil menyibakkan matanya, lalu katanya: "Kiai, kalau masih kurang, ini mata saya...!"
Tak tahulah aku, apakah kisah ini benar-benar terjadi ataukah fiktif karangan kiai guruku. Tetapi, ya begitulah kalau teman sudah muhallit, orang bisa lupa segala-galanya!
Beberapa orang teman karibku saru-satu meninggalkan pesantren di kampungku, untuk melanjutkan pelajaran ke pesantren lain. Ada yang meneruskan ke Tebuireng, ada yang ke Lirboyo (Kediri), ke Krapyak (Yogya), buat spesialisasi Al-Qur'an serta menghafalkannya. Ada pula yang meneruskan ke Pesantren Lirap (Kebumen), untuk memperdalam ilmu alat (nahwu-sharaf). Pesantren yang belakangan ini terkenal sebagai "gudangnya" ahli nahwu. Santri-santri di sana mengikuti jejak Imam Sibawaih, penggali suatu aliran dalam ilmu Nahwu. Terus terang saja, aku sejak dulu memang paling terbelakang dalam bidang nahwu, sekedar yang pokok-pokok saja cukuplah sudah buatku, tak usah ndakik-ndakik— terlampau mendalami—. Jika kebetulan datang pelajaran nahwu ini, mau rasanya lompat jendela saja. Kecuali menjemukan, otak ini rasanya jadi seperti buntu. Misalnya tentang nama  "Zaid,"  menurut  ilmu  nahwu  bisa  dibaca  3  macam. Zaidun, Zaidan, dan Zaidin. Perubahan dari "dun" menjadi "dan" dan "din" ini berhubung dengan posisinya dalam rangkaian kalimat. Contohnya: "Si Zaid datang" dalam bahasa Arabnya berbunyi: Ja'a Zaidun (di sini "dun"). "Aku melihat si Zaid" -menjadi Ra'aitu Zaidan (di sini dibaca "dan"). "Aku lewati si Zaid" – menjadi Marartu bi Zaidin (di sini dibaca "din"). Nah begitu seterusnya. Bagaimana tidak kopyor otakku kalau harus menghafal 'Imrithi, pelajaran nahwu berbentuk syair dan pantun dalam bahasa Arab, lebih lagi Alfiyah Ibnu Malik? Yang juga berbentuk pantun setebal seribu bait tentang segala serba-serbi nahwu-sharaf dalam bahasa Arab, yang dibaca sambil berdendang menurut irama tertentu. Sedang menghafal bait-baitnya saja sudah setengah mati, apalagi arti dan maknanya. Ilmunya itu sendiri sukarnya bukan alang kepalang. Makanya aku sangat takjub dan kagum ketika di kemudian hari aku dengar kabar bahwa Almarhum K.H.A. Wahid Hasyim dan K.H. Mohammad llyas ketika masih sama-sama jadi santri di Tebuireng dahulu, bukan saja hafal seluruh bait- bait Alfiyah yang 1000 dengan arti maknanya, tetapi juga mahir menghafalnya dari belakang ke muka. Dari muka terus ke belakang saja subhanallah sulitnya, bagaimana lagi kalau dari belakang ke muka?
Sebab itu, sejak dulu aku sudah menyerah kalau saja mengaji nahwu-sharaf. Tetapi kalau pelajaran 'Aqaid aku senang dan merasa otakku mudah terbuka. Apalagi pelajaranTarikh Islam (sejarah Islam) aku bisa memperoleh angka 9!
40
 
Begitulah. Beberapa teman karibku meninggalkan kampung halaman, pergi melanjutkan pelajaran ke berbagai pesantren yang terkenal.
Aku sudah hampir menyelesaikan pelajaranku di Madrasah Al-Huda dan pesantren lain di kampungku. Bukan saja aku sudah mulai jadi "ustadz" kecil yang mengajar di kelas yang lebih rendah tingkatannya, bahkan aku sudah mulai mengajar di berbagai kursus pemuda pada hari-hari tertentu. Aku mulai banyak membaca buku-buku. Aku bisa mengetik sekalipun cuma dengan "sistem dua jari" dan aku gemar membaca majalah dan surat kabar. Oleh sebab itu, aku memberanikan diri menjadi koresponden harian "Pemandangan" dan "Hong Po" keduanya terbit di Jakarta. Berita-berita yang aku kirim dimuat juga, dan dari hasil coba-coba ini, aku menerima tiap bulan sekitar f 2,50 sebagai honorariumku.
Aku mengalami kemasygulan juga dalam hari. Soalnya, anggapan di kampungku, seorang pemuda biar sudah tergolong moncor sekalipun, jika belum pergi belajar ke daerah lain, dia masih dianggap "kampungan." Karena itu, aku ingin keluar daerah, biar tidak dikatakan "kampungan." Pikir punya pikir, aku mengambil ketetapan hati untuk pergi ke Solo. Pertimbanganku macam-macam. Solo, selain kota besar, di sana, ketika itu merupakan pusat kegiatan Islam, juga kegiatan pergerakan nasional dan pusat... jurnalis (Yournalist- wartawan). Di sana berkedudukan "Perdi," Persatuan Jurnalis Indonesia. Aku memang tertarik akan tugas-tugas kewartawanan, di samping hasratku untuk memperdalam pengetahuan Islam secara menyeluruh. Nama-nama Sudaryo Cokrosisworo, M. Tabrani, Mr. Sumanang, Parada Harahap, dan gembong wartawan lainnya sangat besar bagiku.
Gampangnya cerita, dengan diplomasi sangat panjang, akhirnya Ayah dan Ibu merestui. Itu waktu tahun 1937 ketika usiaku 18 tahun.
Tiba di Solo, gambaranku hampir menjadi kenyataan. Aku merasa bahwa di sana aku akan banyak memperoleh kesempatan untuk meneruskan cita-cita. Aku melihat pemuda-pemuda santri sama gagahnya dengan pemuda-pemuda yang bukan santri. Mereka ganteng- ganteng, apalagi kalau lagi "nyolek" (berdandan). Padahal aku cuma pemuda desa! Aku masuki Madrasah "Mamba'ul 'Ulum" yang sangat terkenal itu, aku diterima di kelas 8, kelas yang tertinggi. Maklumlah, "Mamba'ul 'Ulum" yang aku masuki ini bagian yang sorenya, bagian paginya kelas sebelaslah yang tertinggi. Karena aku datang bukan pada tahun permulaan pelajaran, aku tak bisa diterima di bagian paginya, tak ada kelas yang kosong. Aku hanya 2 bulan saja memasuki "Mamba'ul-Ulum" ini. Aku keluar dari sana karena aku merasa bahwa pelajaran yang aku hadapi sudah pernah aku pelajari di kampungku. Aku masuki Madrasah "Salafiyah" bagian yang sorenya karena bagian paginya sudah penuh tak ada kelas yang kosong. Aku diterima di "Salafiyah" bagian sore ini di kelas yang tertinggi, kelas 3.
Aku cuma satu bulan di sana, lalu keluar, juga alasanku, pelajaran yang kuhadapi sudah pernah aku pelajari di kampung. Aku masuki saja berbagai kursus. Kursus Yournalist aku masuki, kursus-verkooper juga aku masuki. Pertimbanganku, pengetahuan verkooper penting bagi seorang mubaligh untuk bisa mencari "pemasaran" buat menghidangkan Islam kepada masyarakat. Harus mengerti kondisi masyarakat, jiwa masyarakat, organisasi, approach, dan sopan santun. Itu sebabnya aku masuki kursus vcrkooper.
Aku menghadiri ceramah pastur dan pendeta Kristen, karena aku ingin tahu apa itu agama Kristen. Aku datangi ceramah-ceramah "kebatinan" dan "klenik" karena aku juga ingin tahu apa dan mau ke mana mereka itu. Aku kunjungi juga tabligh-tabligh Muhammadiyah, karena aku ingin melihat bagaimana cara mereka bertabligh. Aku kunjungi juga ceramah-ceramah

41
 
"Pemuda Muslimin Indonesia" (PSII) karena aku teringat di kampungku, Pemimpin Utama
H.O.S Cokroaminoto membina kader-kader PSII, aku ingin tahu gambaran kira-kira bagaimana kader PSII ini. Tetapi aku hampir tak pernah mengunjungi tabligh-tabligh Nahdhatul Ulama.
Aku melihat bahwa Nahdhatul Ulama di Solo ketika itu tergolong paling lemah di antara organisasi-organisasi Islam, maksudku di kota Solo. Aku merasa bahwa yang aku akan bisa temukan dalam tubuh Nahdhatul Ulama Solo ini tak jauh dari yang ada di kampungku, bahkan di kampungku lebih maju dan semarak kegiatan-kegiatannya.
Dalam pada itu, aku diterima memasuki Madrasah "Al-Islam" Solo di kelas yang tertinggi, yaitu kelas IV. Hanya 4 bulan aku belajar di sana karena ketika itu menghadapi ujian terakhir (akhir tahun pelajaran), dan aku lulus ujian dengan memperoleh ijasah tanda lulus dan tamat belajar. Aku segera pulang ke kampung. Aku pikir, buat apa lama-lama di Solo, toh kunci- kunci yang aku perlukan sudah aku peroleh. Orang belajar kalau diikuti kemauan hati, kapan saja tak ada habisnya (bisa lama sekali). Yang penting asal kunci-kuncinya sudah tergenggam. Lagi pula bagi Ayah memang terasa berat sekali membiayai aku setiap bulan f 2,50. Dengan kiriman pos wesel setiap bulan sejumlah itu, hidup di kota Solo terasa berat sekali. Menurut kalkulasi, belajar di Solo ketika itu baru bisa agak bernapas kalau kirimannya setiap bulan f 5,-. Tetapi bagaimanapun juga, aku telah bisa menyelesaikan cita- citaku belajar di Solo. Dan... yang paling penting bagiku, aku telah menggondol ijasah. Aku akan bisa katakan kepada orang sekampungku: "Nih, 13 bulan aku di Solo, pulang dengan mengantongi ijasah"
Terasa adanya suatu perubahan sangat besar pada sikap orang sekampungku sejak aku pulang dari Solo. Bukan hanya di lingkungan teman-teman, tetapi juga guru-guruku para kiai dan juga Pak Mukhtar, Konsul Nahdhatul Ulama. Usiaku ketika itu menginjak 19 tahun, tetapi rasanya aku sanggup dan mampu berbuat apa saja.
Dengan restu Ustadz Mursyid dan Pak Mukhtar, aku rnendirikan sebuah sekolah (bukan madrasah), namanya: "Islamirisch Westerse School" dalam lingkungan Nahdhatul Ulama. Di kampungku, Muhammadiyah mempunyai sebuah sekolah "H.I.S. m/d Qur'an," dan di Purwokerto orang Kristen sudah lama memiliki "H.I.S. m/d Bijbel." Karena itu, apa salahnya kami mendirikan "I.WS." tadi. Salah seorang teman R. Sunarko menjadi direktur dan aku salah seorang gurunya. Aku dirikan "Kulliyatul-Mubalighin" dan "Kulliyatul-Mu'alimin" di mana pemuda-pemuda dididik menjadi mubaligh dan guru (ustadz). Aku menjadi direkturnya dan guruku Kiai Akhmad Syatibi menjadi Guru Agamanya.
Aku kembangkan kegemaranku menulis. Aku suka merenung jika aku lihat ratusan bahkan ribuan kitab-kitab dalam dalam bahasa Arab. Aku pikir bahwa Islam tetap terpelihara sejak 14 abad yang lain disebabkan antara lain karena hasil karya pengarang-pengarang besar. Aku ingin juga menjadi pengarang. Tapi bagaimana? Tak banyak kesempatan yang terluang bagiku. Pekerjaan menjadi guru macam-macam madrasah dan sekolah serta kursus-kursus banyak sekali meminta ketekunan dan waktu. Membuat rencana pelajaran, mengisi rencana jalannya pelajaran sehari-hari, menyusun metode, membaca buku pedoman pelajaran, memeriksa pekerjaan murid, memperhatikan watak anak-anak mund, menghubungi wali- wali murid, menghadiri kursus-kursus guru, dan masih banyak lagi. Kadang-kadang guru juga merangkap pengurus madrasah, mengurus kesejahteraan guru, mengurus keuangan, ruangan belajar, dan lain-lain.

42
 
Tetapi aku ingin menjadi pengarang. Ya, tetapi bagaimana? Untuk menjadi pengarang, seseorang harus memiliki ilmu segudang, harus banyak sekali ilmu yang dimilikinya. Biar ada bakat, kalau stock ilmu tidak banyak, kalau kesempatan waktu tidak ada, lalu mau apa? Untuk sekedar menyalurkan keinginan ini, aku sering juga menulis, sekedar artikel-artikel untuk disiarkan. Ini bukan lagi zamannya stensilan agar-agar seperti yang beberapa tahun aku kerjakan membantu Pak Mukhtar. Sebab itu, aku teruskan membantu harian-harian. Aku teruskan menjadi koresponden surat kabar "Pemandangan" dan "Hong Po," bahkan akhirnya aku menjadi pembantu "Antara." Kantor berita nasional milik kita satu-satunya ini, di zaman itu, masih merangkak-rangkak, setengah mati kalau harus bersaing dengan kantor berita kolonial Belanda "Aneta."
Sesekali aku menulis untuk suatu Majalah Nasional Populer "Pesat," pimpinan suami-istri Sayuti Melik dan Trimurti. Dan aku menjadi pembantu tetap Majalah "Berita Nahdhatul Ulama" dan "Suara Ansor" keduanya dari Surabaya. Dan dalam pada itu, aku dipilih menjadi "Komisaris Daerah Pemuda Ansor" Jawa Tengah Selatan, mewilayahi Karesidenan Banyumas, Kedu, dan Yogya.
Guru-guruku seperti Ustadz Mursyid, Kiai Akhmad Syatibi, Kiai Khudori, Kiai Akhmad Bunyamin, Kiai Khalirni, dan lain-lain amat besar sekali jasa mereka dalam mengantarkan aku ke pintu persiapan pengabdian kepada masyarakat. Bahkan beliau-beliaulah yang membinaku sejak dari jenjang paling permulaan.
Teringat pada masa lampau, kadang-kadang di antara guru-guruku mengajar begitu rupa, seperti ridak menempuh suatu sistem mengajar. Caranya menguraikan kadang-kadang tidak mengertikan, hingga sering keluarlah kekurang-ajaranku menyangka, jangan-jangan sang guru sendiri tidak paham isi kitab yang sedang dibacanya. Sering kali kiai membaca kitab dengan bersandar pada tiang masjid dan menghadap ke Barat, sedang kami para santri duduk seenaknya di belakang kiai. Jadi kiai membelakangi kami. Di antara kami banyak juga yang menyimak kitab sambil berbaring-baring. Suara kiai lambat-lambat kedengarannya, putus-putus, udara dingin waktu subuh menyelimuti kami yang sudah kekurangan tidur, maka sambil menyimak kitab seperti dibuai-buai suara kiai yang kadang tak jelas antara kedengaran dan tidak. Kadang-kadang kami terbangun dan ketiduran oleh silau cahaya matahari yang menjilat ruangan masjid, sedangkan kiai sudah tidak ada, sudah pulang ke rumahnya!
Di belakang hari. aku baru menemukan arti dari ayat-ayat atau fasal-fasal dalam kitab, sambil kataku dalam hati: Oo, jadi begini artinya yang dahulu dimaksud oleh kiai dalam bacaannya! Barulah kami para santri menyadan bahwa inilah faktor keikhlasan yang murni dari kiai. Begitu ikhlas kiai mengajar, begitu rela hati kiai mendidik kami para santri, sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, ya, sampai kapan saja kami maui, waktu belajar tak mengenal batas berapa puluh tahun kami maui, kiai tetap rnelayani dengan ikhlas hati, tanpa dibayar sepeser pun.
Guruku, Kiai Marodi dari Purworejo, pernah berpesan kepada para santri agar memiliki kesabaran di samping keikhlasan kalau kelak kami menjadi kiai. Beliau ceritakan pengalamannya sehari-hari. Ketika hendak memasuki masjidnya dilihatnya air dalam bak untuk cuci kaki bagi siapa yang akan masuk masjid, ternyata kosong. Tentu akibat seorang yang mempunyai giliran tugas mengisi air lalai, beliau sendiri mengambil timba lalu menimba air dari sumur untuk mengisi bak ini. Dilihatnya tikar dalam masjid tak ada di tempat, mungkin dipinjam santri dan belum dikembalikan ke tempatnya.

43
 
Beliau pulang ke rumah untuk mengambil tikar lain sebagai gantinya. Dinantikannya saat untuk azan sembahyang. belum juga tampak jama'ah datang. Beliau sendiri yang azan, lalu puji-pujian melagukan kalimat-kalimat suci sambil menantikan sembahyang dimulai : Karena tak ada yang datang, beliau sembahyang sendirian.
Selesai sembahyang, sambil wiridan (membaca serangkaian bacaan-bacaan tertentu lazim dibaca sehabis sembahyang), kedengaran suara orang mandi. Dilihatnya, ternyata ada orang mandi dari bak air yang baru saja beliau isi. Seenaknya saja mandi dari bak air yang sudah penuh. Suatu malam yang sudah larut, pintu rumahnya diketuk orang, seorang tetangga memberi tahu bahwa anaknya sakit keras, oleh sebab iru dimintakan air (yang sudah dibacakan doa-doa oleh kiai). Sang tamu tidak membawa gelas, maka kiai sendiri yang meminjami gelasnya. Ini semua pengalaman beliau ketika baru saja membuka pesantrennya yang terletak jauh di pedalaman desa, dan penduduk masih sangat asing dengan agama. Sebab itu memerlukan kesabaran dan keikhlasan. Tanpa ini semua, orang akan "kapok" jadi kiai, apalagi tidak menerima bayaran. Memang, tidak seorang kiai pun mengharapkan bayaran uang dari manusia. Tugasnya yang memerlukan kesabaran dan keikhlasan iru dikerjakan karena dorongan rasa tanggung jawab memikul kewajiban. Satu- satunva harapan "bayaran" adalah keridaan dari Allah Subhanahu wa Ta’alla.
Seorang kiai membuka pesantrennya di suatu desa jauh di pedalaman, jauh dari kota, jauh dari keramaian, masyarakat sekelilingnya asing pada agama, bahkan cenderung memusuhinya, Berjudi, bersenang-senang, gembayakan merupakan kegemaran sebagian besar penduduknya. Bahkan kadang-kadang menjadi sarang pencuri, rakyat hidup tidak aman.
Alat-alat kekuasaan (kolonial) tidak menjangkaunya. Ini merupakan suatu keberanian luar biasa. Kekuatan mental bahkan fisik dan jiwa, juga ketabahan. Ibarat seorang polisi, la datang memasuki sarang buaya, sendirian tanpa senjata di tangan. Senjatanya cumalah keikhlasan, kesabaran, dan keberanian, di samping tawakal kepada Allah SWT.
Tetapi hampir tak pernah terjadi dalam sejarah, seorang kiai membuka pesantrennya, lalu mengalami kegagalan, lalu menutup pesantrennya dan ditinggalkannya desa tempat beliau menetap. Bahkan sebaliknya, ibarat pohon, pesantrennya tumbuh dengan subur, berangsur- angsur menjadi pohon yang rindang tempat orang banyak berteduh dari kepanasan dan kehujanan. Pohon itu lambat laun berbuah, dan buahnya dinikmati bersama seisi desa. Ini memakan proses yang lama. Di samping memerlukan ketekunan dan kesabaran, juga memakan waktu. Tidaklah mengherankan, mengapa umumnya para kiai juga orang-orang yang sangat mengenal watak manusia dan bagaimana bergaul dengannya.
Apakah dia seorang kiai "besar" ataukah "kecil," baik tentang kadar bobotnya maupun pesantrennya yang dia pimpin, mereka memiliki karakter yang sama. Hidupnya hanyalah untuk mengabdi, mengabdi kepada Allah SWT dan kepada sesama manusia. Seorang santri bercita-citakan ingin menjadi kiai seperti gurunya. Jika ia berhasil menjadi kiai, ia menggunakan pola hidup gurunya, mengabdi kepada Allah SWT dan kepada masyarakat. Mereka ingin semua orang menjadi sahabatnya, syukur mengikuti jejaknya, tetapi sekurang- kurangnya janganlah memandang menjadi musuhnya. Hidup bermusuhan adalah tidak enak, merisaukan dan mengganggu ketenangan batin. Jika datang suatu masalah baru yang dipandang merugikan agama, mereka ukur dulu "kekuatan"-nya. Jika dapat, ditolaknya dengan cara yang baik. Tetapi kalau merasa tidak mempunyai kekuatan, mereka akan ambil sikap diam untuk menjaga kemungkinan datangnya fitnah. Ibarat seorang tabib, jika dapat ia

44
 
akan mengobati si sakit, tetapi kalau tak dapat, mengusahakan agar orang lain tidak ketularan penyakitnya.
Seorang kiai pekerjaannya sehari-hari seperti rutin saja. Mengimami sembahyang lima kali sehari. Mengajar para santri dari subuh hingga jauh malam, dengan istirahat untuk waktu makan dan muthala'ah. Beliau sendiri harus membaca kitab-kitab untuk menambah pengetahuannya sendiri, di samping untuk persiapan pelajaran bagi santri-santrinya. Dalam pada itu, menerima tamu-tamu. Seorang kiai sehari-harinya dikunjungi tetamu, datang dari dekat maupun dari jauh, kadang-kadang bermalam beberapa hari. Segala lapisan tamu datang. Ada orang tua santri yang hendak menengok anaknya sambil bil-barkah menghadap kiai. Ada kawannya sesama kiai yang datang membawa kemusykilan hatinya untuk meminta petunjuk. Ada petani yang meminta petunjuk berhubung panennya gagal. Ada pedagang yang minta nasehat karena sedang menderita kemalangan.
Ada suami istri yang sedang goncang rumah tangganya. Ada pamong praja yang meminta nasehat berhubung dengan masalah keamanan. Ada calon lurah yang mengharapkan do'anya agar ia terpilih menjadi lurah. Ada santri yang menghadap berhubung kehabisan biaya. Dan masih banyak lagi tetamu yang harus diterima setiap saat, pagi, siang maupun malam.
Umumnya, tetamu ini datang dalam waktu yang ia bisa dan berkesempatan untuk datang, tidak dipertimbangkan apakah kiai yang hendak didatangi itu dalam keadaan siap menerimanya atau tidak. Tetapi para kiai akan menerima tetamunya dengan tangan dan hati terbuka, kapan saja. Walaupun tak ada janji sebelumnya, kiai mengambil sendiri minuman dan makanan untuk sang tamu, beliau melayani tamunya dengan senang hati. Membuat suasana demikian rupa agar tamunya merasa kerasan berada di dekatnya dan puas dengan hasil kunjungannya.
Padahal kalau dipikir-pikir, begitu banyaknya tetamu yang datang, sedikit sekali yang datang dengan membawa kabar gembira. Sebagian besar datang dengan kemusykilan-kemusykilan yang membikin penat kepala. Bukankah ini memerlukan suatu kekuatan mental dan karakter yang luar biasa? Di saat-saat sunyi sepi, jauh malam hari, pada saat orang sedang nyenyak- nyenyaknya tidur, kiai tengah melakukan sembahyang malam, meletakkan dahinya sujud ke Hadirat Ilahi, lama sekali sujudnya, mengadukan kepada Allah SWT tentang kehinaan dirinya serta kedaifannya, mengagumi Keagungan Ilahi, mengharapkan ampunan-Nya dan memohon pertolongan-Nya...!
Buatku, semua ini merupakan sumber studi bagi melatih diri memiliki sifat-sifat kepemimpinan, jika orang hendak memasuki persiapan untuk mengabdi kepada masyarakat.
Tak sangguplah rasanya aku untuk menjadi kiai, walau kiai format kecil sekalipun. Paling- paling barangkali kalau cuma jadi khadam kiai!
Banyak di antara teman-temanku bercita-cita, kelihatannya cuma sederhana saja. Kelak ia akan menjadi ustadz, memimpin suatu madrasah kecil-kecilan saja tingkat Ibtidaiyah, setingkat SD. Syukur bisa Tsanawiyah, tingkat menengah. la mengingini seorang istri yang bisa menjadi guru, ustadzah, untuk mendampinginya di madrasah. Jika dapat istrinya berpendidikan guru, Mu'allimat. Zaman itu belum lazim main pacar-pacaran, sebab itu, cuma menyerahkan saja keinginannya kepada orang tua. Orang tuanyalah yang memantas-mantas, gadis mana kira-kira yang layak menjadi calon menantunya. Bahkan kadang-kadang  untuk  mengutarakan  isi  hatinya,  ingin  mempersunnting  calon  istri
45
 
idamannya, tak ada keberanian baginya. Maka orang tua dengan sesama orang tualah, calon besan, yang saling mengambil inisiatif memperjodohkan anaknya masing- masing.
Cita-citanya, jika sudah menjadi ustadz dan didampingi istrinya, cukuplah andaikata dapat membuka sebuah toko buku untuk nafkah sehari-hari. Bila anaknya atau anak-anaknya lahir, akan dimasukkan sekolah merangkap madrasah di siang hari, dan malam, biarlah dididik sendiri di rumah. Akan dilatihlah anak-anaknya bersembahyang dengan baik, mengerti dari bacaan-bacaan sembahyang, dapat meresapi arti sembahyang serta taat mengerjakannya. Akan dilatihlah anak-anaknya dengan didikan akhlak sesuai dengan ajaran Islam. la akan tanamkan di dada anak-anaknya bahwa kelak mereka akan mengarungi suatu kehidupan dalam masyarakat. Hanya orang pandailah yang mengetahui kunci rahasia hidup, kunci kebahagiaan hidup. Tetapi kepandaian saja, artinya cuma pintar saja tidak menjamin seseorang mencapai kebahagiaan hidup. Faktor akhlak sangatlah penung. Banyak contoh-contoh, biar orang pengetahuannya sundul langit, tetapi karena tidak memiliki akhlak yang mulia, hidupnya tak bahagia. Tetapi itu saja belumlah cukup. Ada lagi faktor lain di luar kemampuan dan kekuasaan manusia, yaitu yang dinamakan keberuntungan nasib.Faktor ini cuma berada dalam kekuasaan Allah SWT. Sebab itu, orang mestilah memperdekatkan diri kepada Allah, untuk memperoleh keridhaan- Nya, untuk memperoleh taufik dan hidayah-Nya.
Cita-cita di atas kelihatannya amat sederhana. Tetapi berapa banyak orang yang berhasil mencapainya? Jangankan cita-cita yang lebih rnuluk dari itu.
Dalam mempersiapkan diri memasuki pintu pengabdian, masihlah banyak ilmu dan pengalaman harus dikumpulkan di tangan. Mestilah lebih banyak lagi belajar kepada masyarakat, belajar dari orang-orang baik yang sukses maupun yang gagal. Masyarakat memang pusat pengabdian. Tetapi masyarakat juga tempat belajar. Bahkan masyarakat adalah universitas paling sempurna. Kapan saja, dan untuk siapa saja!
 

Masih Belajar Lagi sebelum Terjun ke Medan Pengabdian

Zaman beredar, banyak perubahan terjadi, membawa akibat positif dan negarif. Tidak selamanya arus modernisasi membawa kebaikan, Kalau saja dunia ini didiami orang-orang yang sepaham dengan kita, alangkah enaknya hidup ini. Tetapi tidak demikian. Jauh-jauh dari pesantren dikumandangkan Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an:
"Sekiranya Allah menghendaki, niscaya dijadikanlah kamu cuma satu ummat saja. Tetapi Dia hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Sebab itu, berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kamu akan kembali, lalu diberitahukan kepadamu tentang apa-apa yang kamu perselisihkan." (Al-Maidah 48).
Benar, bahwa pesantren mempunyai daya tahan menghadapi segala arus yang masuk. Ada semacam pembendung terhadap anasir yang merusak, suatu kekuatan pembendung yang terjadi dengan sendirinya dan unsur-unsur yang dimiliki pesantren. Semacam jaringan refinery atau filter yang menyaring apa yang boleh masuk dan apa yang harus berhenti di gerbang pesantren. "Adapun buih yang kotor itu akan lenyap sebagai sesuatu yang tak berharga, tetapi unsur yang bermanfaat bagi manusia akan tetap mengendap di bumi...," demikianlah Allah memberikan perumpamaan dalam Al-Qur'an (Ar-Ra'd 17).
Benar, bahwa di dalam pesantren para santri dibentengi dan diberi daya kekuatan. Dilatih untuk menjalani cara hidup dengan segala tradisinya yang baik. Akan tetapi pada saat para santri meninggalkan pesantrennya untuk mengurangi kehidupan yang sebenarnya di luar tembok pesantren, mereka sendiri harus tahu bagaimana terjun di tengah-tengah pergolakan masyarakat, harus pandai menimbang mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Mereka memang harus membawa mission pesantren, tetapi mereka harus pula menyadari bahwa masyarakat bukanlah seluruhnya pesantren.
Di tahun itu, menjelang 1939-an, dalam masyarakat Indonesia sedang bergejolak berbagai aspirasi golongan, ada yang bergelombang naik, ada yang riak-riaknya cuma datar saja. Ada yang tujuannya sama, cuma lain iramanya, tetapi juga ada yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
Dunia pesantren tidak lagi hanya mementingkan denyut aspirasi orang-orang dalam lingkungan dindingnya, tetapi turut melangkah ke luar menyertai saudara-saudara yang senasib dan sepenanggungan. Pesantren bukan hanya berfungsi semacam benteng yang diam di tempat, akan tetapi juga berfungsi semacam "benteng stelsel"-nya de Kock ketika menghadapi Perang Diponegoro. la ikut mengambil peranan sebagai benteng yang bergerak.
Pesantren Tebuireng dengan tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama yang berkerumun di sana menempati kedudukan sebagai "kiblat"-nya pesantren-pesantren di seluruh Indonesia, setidak-tidaknya di seluruh Jawa. Nama-nama K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Mahfuzh Shiddiq, dan lain-lain, merupakan tokoh-tokoh yang mempunyai nilai sejarah yang besar.

47
 
Pesantren satu dengan lainnya lebih erat memperkokoh persatuan, kerjasama, dan mengikat solidaritas lebih kuat. Sebagai seorang pemuda yang mulai menginjak alam dewasa, aku bersama pemuda-pemuda santri menyediakan diri selaku pelaksana- pelaksana cita-cita, sambil membuka lebar-lebar mata dan telinga terhadap pergolakan zaman.
Pengaruh Hitler menganeksasi dan mencaplok Eropa, negeri Belanda, serta hijrahnya pemerintah Belanda ke Inggns, tak terkecuali lebih mengobarkan semangat nasionalisme bangsa kita pada umumnya. Gema Pergerakan dan semangat nasionalisme berkumandang lebih luas. Kaum pesantren memandang bahwa semangat kebangsaan ini merupakan mukadimah dari perjuangan kemerdekaan Tanah Air, yang oleh dunia pesantren dipandang sebagai conditio sine qua syarat mudak mencapai Izzul Islam wal Muslimin (kebahagiaan dan kejayaan Islam serta umatnya). Hanya bedanya, jikalau kaum nasionalis memakai "bahasa" politik, maka Pesantren memakai "bahasa" Islam. Berbeda bahasa tetapi maksud dan tujuan sama.
Mahfuzh Shiddiq, A. Wahid Hasyim, dan Muhammad Ilyas sebagai kiai-kiai muda, tidaklah asing namanya di kalangan pesantren. Mereka ini merupakan kurir-kurir K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H.A. Wahab Chasbullah membawa pesan-pesan untuk dunia pesantren. Aku masih ingat ketika seorang kiai muda bernama Abdullah Ubaid datang di kampungku sebagai utusan K.H. Hasyim Asy'ari, Rais Akbar Nahdhatul Ulama. Begitu melihat kiai muda ini mengenakan sarung palekat berwarna hijau garis-garis putih, kontan semua pemuda santri di kampungku menyerbu toko-toko dan pasar mencari sarung plekat hijau bergaris-garis putih. Sarung model Abdullah Ubaid, begitu disebut orang. Demikian pula ketika pada suatu hari K.H. Mahfuzh Shiddiq datang dengan mengenakan peci putih ala Nehru, kontan saja santri-santri menyerbu tukang-tukang jahit minta dibuatkan peci ala Mahfuzh Shiddiq. Orang tak akan sekeranjingan ini jika tidak karena tersentuh jiwanya untuk mendukung ide-ide yang dikampanyekan.
Pesan-pesan yang disampaikan kepada dunia pesantren ditanggapi dengan positif dan antusias. Pesan Tebuireng itu pada umumnya berisi anjuran agar pesantren tidak mengambil sikap pasif terhadap kebangkitan masyarakat, tetap merupakan mata rantai dari kebangkitan seluruh alim ulama.
"Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka, kadang- kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan saling bersengketa."
Demikianlah antara lain kata Rais Akbar dari Pesantren Tebuireng.
"Didik dan bimbinglah pemuda-pemuda kita karena mereka pewaris masa depan kita. Islam memang selamanya akan tegak berdiri tak terkalahkan. Namun tidak mustahil akan sirna dari lingkungan kita kalau kita tidak memeliharanya. Sirna dari lingkungan kita untuk timbul di tempat lain. Pemeliharaan tidak hanya pada waktu kini, tetapi juga untuk masa yang akan datang. Jangan dilupakan bahwa tidak semua orang menyukai Islam. Yang senang melihat kita tetap tegak berdiri hanyalah kita. Di sini letak arti dari suatu perjuangan. Dan, untuk perjuangan ini, kedudukan pemuda sangatlah penting. Mereka akan mengarungi hidup di masa yang akan datang, saat mana kita yang tua-tua ini sudah tak ada lagi."
Demikianlah antara lain pesan-pesan Rais Akbar Hasyim Asy'ari yang disampaikan dalam Bahasa Arab, bahasa yang lebih mudah diresapi dan dinikmati oleh dunia pesantren. Baik
48
 
yang memberi pesan, maupun yang menyampaikan dan yang menerimanya, mereka adalah bukan orang asing, mereka mempunyai aqidah dan khittah yang sama, ibarat radio memiliki gelombang yang cuma satu. Suatu pesan dari hari nuraninya sendiri, untuk kepentingan dunianya sendiri.
Van der Plas' juga mengirimkan pesan-pesan. Akan tetapi pesan-pesannya merupakan pesan untuk kepentingan dunia luar pesantren, dan asing bagi aspirasi pesantren. Oleh sebab itu, pesan-pesan Van der Plas paling-paling cuma "didengar" tetapi tak pernah bisa diterima. Misalnya, mengenai kejahatan fasis-nazi Hider dan sekutunya yang menduduki negeri Belanda. Buat telinga pesantren, pesan ini tidak menyentuh harinya. Bagi pesantren, Belanda yang katanya salah satu blok "demokrasi," selama ini tidak pernah memperlihatkan kedemokrasiannya, sebab itu, tak terdapat apa-apanya yang bisa dibela. Pesan Van der Plas hanya menimbulkan tertawaan dunia pesantren, karena pesan yang "iba-hati" dan memelas ini datang pada saat Belanda sedang dirundung kesedihan, pada saat memerlukan bantuan pesantren. Padahal selama ini pesantren tak lepas-lepas dari kerugian serta kebencian.
Kebencian penjajah sebagai yang dimanifestasikan oleh Belanda kolonial dan kaki tangannya ditanggapi oleh sikap kebencian pesantren kepada Belanda. Benci dilawan benci dan kecurigaan ditanggapi dengan kecurigaan pula. Sebagai contoh bisa dikemukakan tentang sikap ulama-ulama tua mengharamkan dasi dan pantalon. Ada suatu kaidah dalam ilmu hukum Fiqh yang mengatakan: 'Al-Hukmu yaduru ma'al 'illah, wujudan wa 'adaman," artinya, kepastian hukum sesuatu tergantung faktor penyebabnya, bila ternyata ada sebab, maka tetaplah hukum, sebaliknya jika tak terjumpai sebab, maka tidak jatuhlah hukum.
Sebagai misal tentang hukum memakai dasi yang diharamkan ulama. Sebabnya haram lantaran menyerupai Belanda. Sedangkan Belanda dipandang sebagai kolonial yang kafir. Dan, menyerupai si kafir teranglah haram. Maka untuk tidak menyerupai si kafir, datanglah sebuah fatwa ulama, pakailah peci bilamana memakai dasi karena pada umumnya tidak ada Belanda memakai peci. Itu sebabnya, mengapa dulu para kiai mengharamkan juga berbahasa Belanda karena akan menyerupai dan bermental Belanda. Tetapi kemudian, bilamana belajar bahasa Belanda untuk kewaspadaan terhadap tipu muslihat Belanda, maka hukumnya menjadi boleh, dengan berdalil:"Man 'arafa lughati qaumin amina min syarrihim," siapa yang paham bahasa-bahasa asing akan terhindar dari tipu muslihat mereka.
Kadang-kadang sikap radikal ini membawa kerugian bagi dunia pesantren. Mereka tidak ikut "menikmati" kultur yang didatangkan kaum penjajah. Orang lain mahir berbahasa Belanda sedang sebagian besar kaum santri tidak. Orang bisa mengambil manfaat dari peradaban yang datang menyertai penjajahan, kaum santri apriori menolaknya. Berhubung dengan itu, banyak di kalangan bangsa kita sendiri yang mencemoohkan sikap pesantren ini. Padahal sikap yang diambil dunia pesantren mempunyai latar belakang untuk keselamatan kebudayaan santri kita, dan untuk membendung pengaruh kolonial Belanda yang tujuannya bukan saja mencapai keuntungan kultur mereka, tetapi juga politik dan ekonomi mereka. Apa boleh buat, dunia pesantren menjadikan dirinya laksana sebatang lilin yang memberi terang alam sekeliling, walaupun dirinya sendiri hancur luluh menjadi korban.
Tetapi tidak semua kaum pergerakan mencemooh sikap "kolot" ulama dan dunia pesantren pada umumnya. Mereka menyadan bahwa sikap itu mempunyai latar belakang yang aspeknya sangat luas. Maka tidaklah heran jikalau seorang tokoh pergerakan nasional kita,
49
 
Dr. Setia Budi (Douwes Dekker) pernah mengatakan yang kurang lebih demikian: "Jika tidak karena sikap kaum pesantren ini, maka gerakan patriotisme kita tidak sehebat seperti sekarang." Kata-kata itu diucapkan ketika meletusnya Revolusi 17 Agustus 1945.
"Kami ingatkan saudara-saudara akan kata-kata Sayyidina 'Ali karramallahu wajhahu:"Inna Allaha lam yu'ti ahadan bil firqati khairan la min al-akbirin," Allah tak akan pernah memberikan keuntungan dan kemuliaan kepada siapa pun melalui perpecahan, tidak kepada umat terdahulu tidak pula kepada generasi yang terakhir." Demikian pesan Rais Akbar Hasyim Asy'ari. Pesan itu diakhiri dengan sebuah seruan:


"Faya, ayyuba al-ulama wa as-sadatu al-atqiya min abli as-sunnati wa al-jama 'ati ahli madzahibi al-aimmati al-arba ati! Antum qad akhadztumu al-'uluma min man qablakum wa man qablakum min man qablahu hi at-tishali as-sanadi ilaikum, wa tandburunan man ta'khudzuna dinakum. Fa antum khazanatuha wa abwabuha. Wa la tu'tu al-buyuta ilia min abwabiha. Fa man ataha min ghairi abwabiha summiya sariqan!
Artinya dalam bahasa kita demikian:
"Wahai saudaraku para ulama, para orang-orang ahli taqwa, saudara-saudaraku dari kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah, yang memegang teguh imam-imam dari Empat Madzhab! Saudara-saudara telah menuntut ilmu dari guru-guru sebelum kita, dan mereka menuntutnya dari guru-guru sebelumnya, dan sebelumnya, sambung-menyambung merupakan mata rantai hingga sampai pada saudara-saudara. Saudara-saudara telah menuntut ilmu secara hati-hati dan guru-guru yang jelas dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, saudara-saudara laksana pengawal hawnah ilmu dan bahkan pintunya. Saudara-saudaralah khazanah Islam dan pintu memasukinya. Seharusnyalah orang jangan memasuki perumahan Islam, kecuali melalui pintu-pintunya. Sebab, siapa saja yang memasuki rumah tidak melalui pintu, biasanya disebut pencuri!"
Pada suatu hari, dalam tahun 1939, aku menerirna sepucuk surat. Benar-benar sepucuk surat buatku. Kalau saja itu cuma surat biasa, buat apa dijadikan suatu peristiwa penting? Bukankah biasa seseorang menerirna sepucuk surat? Ya, buat apa diceritakan di sini kalau saja tak mengandung hal luar biasa karena dan disebabkan oleh sepucuk surat itu? Memang benar, menerirna sepucuk surat adalah hal yang lumrah, tetapi jangan lupa surat macam apa dan dari siapa? Sepucuk surat bisa merupakan sesuatu yang bagiku benar- benar luar biasa dalam sejarah hidupku, disebabkan nama pengirimnya dan isinya. Coba bayangkan, andaikata, ya, ini misal saja, andaikata pada suatu hari tanpa disangka-sangka saudara menerirna sepucuk surat dari Presiden, disebutkan dalam surat itu bahwa saudara dipanggil menghadap beliau pada hari anu, tanggal sekian, untuk dilantik menjadi menteri. Nah, apakah saudara tidak akan menganggap bahwa peristiwa menerima sepucuk surat itu hal yang penting, bahkan sangat penting dalam sejarah hidup saudara, dan oleh sebab itu, tentu pada suatu ketika akan diceritakan sebagai kejadian penting. Kalau aku jadi saudara, pastilah kejadian itu akan kuceritakan pada kesempatan yang baik kepada siapa pun, mungkin tidak Cuma sekali.
Begitulah, surat yang aku terima itu tertulis di bagian si pengirimnya, nama A. Wahid Hasyim, Tebuireng Jombang.
Sejenak aku tertegun, beberapa lama aku terdiam, kuamati sekali lagi nama si pengirim dalam sampul surat itu. Tak salah alamatkah ini? Baru yakin setelah berulang-ulang aku

50
 
baca alamatnya. Benar, dialamatkan kepadaku, namaku ditulis di sana dengan jelas, ejaannya pun tepat.
Nama A. Wahid Hasyim, atau lebih tepatnya Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim, sudah sering aku dengar dan aku baca dalam surat-surat kabar atau majalah-majalah.
Bahkan sesekali gambarnya ikut menghias di sana. Di kalangan kami, pesantren, beliau dikenal sebagai putera dari seorang ulama besar yang amat harum namanya, K.H. Hasyim Asy'ari, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. "Putera Tebuireng" ini dikenal pula sebagai seorang kiai muda, usianya ketika itu sekitar 25 tahun.
Mula-mula hanya dikenal sebagai Ketua Bagian Pendidikan & Pengajaran pada pucuk pimpinan Nahdhatul Ulama di Surabaya. Dalam pertemuan-pertemuan yang kami adakan di lingkungan pesantren kami, tokoh muda ini dikenal pula sebagai seorang yang amat cerdas dan bijaksana, mempunyai pandangan jauh ke depan dan mempunyai cita-cita mengadakan pembaruan-pembaruan dalam lingkungan pesantren. Suatu pembaruan tetapi tidak menghilangkan esensi atau wujud pesantren dengan karakteristiknya.
Pembaruan itu cuma terbatas pada atribut yang menyangkut metode efisiensi atau kerapian menggunakan waktu belajar, atau yang menyangkut sistem organisasi pesantren, tanpa melenyapkan kepribadian pesantren itu sendiri. Sebab pesantren adalah pesantren. Dia bukan sekedar sekolah atau madrasah, bukan sekedar asrama pelajar, dan bukan pula sekedar kampus. Di sana diajarkan norma-norma yang tidak mungkin dijumpai di tempat pendidikan lain. Di sana bukan sekedar dipelajari berbagai ilmu, dan bukan sekedar melakukan berbagai ibadah, tetapi di sana diajarkan nilai-nilai yang paling mutlak harus dimiliki seseorang dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Jadi apa sebenarnya pesantren itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, aku ingin menganjurkan dan mempersilakan sebaiknya saudara masuk saja ke pesantren untuk "nyantri," untuk benar-benar menjadi santri, bukan untuk keperluan yang lain-lain. Insya Allah saudara akan menemukan jawabannya.
Orang yang mengirim surat kepadaku ini belum pernah aku lihat wajahnya, belum pernah berhadap-hadapan. Aku belum pernah berjumpa dengannya dan dengan sendirinya belum pernah berkenalan. Tetapi namanya telah lama menimbulkan kekaguman di hatiku, yaitu setelah sering aku mendengar tentang kepribadiannya, tentang buah pikirannya, tentang tugasnya mendampingi ayahandanya dalam mengasuh sebuah pesantren besar dan terkenal, yaitu Pesantren Tebuireng. Sesekali aku membaca karangan-karangannya dalam majalah "Berita Nahdhatul Ulama" yang dipimpin oleh K.H. Mahfuzh Shiddiq. Tulisan- tulisannya itu melukiskan betapa jauh pandangannya kedepan serta betapa luas pengetahuannya. Ditulis dengan gaya populer, ilmiah, dan dalam susunan bahasa yang bagus sekali. Dibentangkan misalnya tentang bagaimana kedudukan kita di tengah-tengah kancah perjuangan, ke mana jalan yang hendak kita tuju, manfaat apa yang bakal kita capai, tetapi juga risiko apa yang akan kita hadapi. Diuraikan secara jelas, mantap, dan sangat mengesankan.
Namanya kian harum dan dengan sendirinya menambah kekagumanku. Sekitar tahun 1939, orang yang mengirimkan surat kepadaku ini dipilih menjadi Ketua Dewan Majlis Islam A'la Indonesia, sebuah badan federasi pucuk-pucuk pimpinan partai politik dan organisasi Islam seluruh Indonesia. Di dalamnya duduk tokoh-tokoh pergerakan Islam yang sangat terkenal di waktu itu, misalnya: Abikusno Cokrosuyoso dan Wondoamiseno mewakili PSII, Dr. Sukiman dan K.H. Abdul Kahar Muzakkir mewakili Partai Islam Indonesia, K.H. Mas Mansur dan K.H. Hajid mewakili Muhammadiyah, Umar Hubeis mewakili Al-Irsyad, Muhammad

51
 
Natsir mewakili Persis, K.H. Mahfuzh Shiddiq dan K.H.M. Dahlan mewakili Nahdhatul Ulama dan lain-lain sebagai anggota. Dewan dipimpin oleh A. Wahid Hasyim sebagai ketuanya.
Orang yang begini besar dalam pandanganku ini mengirimkan surat kepadaku, bukan
menjawab suratku. Aku tak pernah mengirim surat kepadanya.
Surat segera aku buka, setelah aku yakin bahwa surat itu ditujukan kepadaku. Dua tiga kali aku ulang membacanya. Terbayang padaku kepribadian penulisnya kalau aku perhatikan bentuk suratnya. Kertasnya putih bersih, baris huruf-huruf ketikkannya rata, begitu rapi ketikan-ketikannya tanpa ada salah ketik satu huruf pun, begitu jelas dan bagus letak rangkaian kata-kata pada tempatnya seolah memanggil untuk dibaca, itu semua menimbulkan kesan padaku bahwa penulisnya seorang yang mengerti keindahan seni menulis, cermat tetapi pasti dan tanpa ragu-ragu, senang berkawan dan pandai bergaul, dan lagi—inilah yang tak kurang-kurang pentingnya—pandai merawat mesin tulisnya dengan baik.
Dimulai dengan hal-hal yang biasa dalam sesuatu surat, menyampaikan salam dan mendo'akan kesehatan serta keselamatanku. Lalu meningkat kepada hal yang lebih menarik. Dikatakan bahwa beliau belum pernah melihat rupaku dan dengan sendirinya belum pernah berkenalan. Sebab itu, beliau mengajak berkenalan, dan suratnya itu sebagai perkenalan pertama. Seterusnya aku membaca bagian yang lebih menarik lagi bahkan membikin aku mongkok yaitu bahwa beliau sering membaca karangan-karanganku di majalah "Suara Ansor" dan "Berita Nahdlatul Uama," beliau merasa tertarik. Hingga di sini aku berhenti membaca, aku hampir tak bisa menahan emosiku lantaran bangga atau "mongkok," karena mendapat pujian dari seorang besar yang aku kagumi selama ini. Aku baca terus. Dikatakan bahwa beliau telah mengusahakan terbitnya sebuah majalah pendidikan bernama Suluh Nahdhatul Ulama yang diasuhnya sendiri dan dibantu oleh beberapa ternan. Nomor-nomor pertamanya telah terbit dan bersamaan dengan surat yang dikirimkan kepadaku itu, turut dikirimkan juga contohnya. Lalu dinyatakan bahwa alangkah senang beliau andaikata aku mau membantunya dengan mengirimkan karangan-karangan tetap, satu dan lain pertimbangan karena -kata beliau dalam surat itu—telah mendengar bahwa aku juga berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Pada akhir suratnya ditanyakan kepadaku, benarkah aku dalam waktu dekat akan pergi ke Surabaya? Jika memang benar, beliau mengusulkan bagaimana kalau aku singgah dulu di rumahnya barang sehari dua untuk nantinya pergi bersama-sama ke Surabaya. Jika aku setuju akan usulnya, dimintakan agar aku beri tahukan kepada beliau kapan aku akan berangkat, karena beliau akan menjemputku di stasiun Jombang.
Kontan aku jawab suratnya. Aku sanggupi akan mengirim karangan-karangan untuk majalahnya. Juga aku katakan bahwa memang benar aku akan pergi ke Surabaya untuk menghadiri mubarazah atau jambore Gerakan Pemuda Ansor sebagai pemimpin perutusan Jawa Tengah. Usulnya agar aku singgah dulu ke rumahnya, aku terima. Aku beri tahukan kepada beliau hari anu, tanggal sekian, aku akan tiba di stasiun Jombang.
Ketika kereta api tiba di stasiun Jombang, aku melongok dari jendela mencari orang yang menjemputku. Dalam suratnya dikatakan beliau sendiri akan menjemputku. Aku melihat seorang pemuda kulitnya keputih-putihan, tubuhnya padat berisi agak pendek, mengenakan jas berwarna gading dengan sarung putih bergaris-garis hijau lumut, memakai peci purih ala Nehru, tampak sedang mencari aku dari satu jendela ke jendela yang lain. Aku segera turun. Ketika kakiku menginjak lantai peron stasiun, orang ini menatapku sambil menyebut namaku

52
 
dalam nada betulkah aku orang yang beliau jemput. Buat pertama kali aku melihat wajahnya!
Kami berjabatan tangan. Saling menyebut nama kami masing-masmg. Lama, dan erat sekali tanganku digenggamnya sambil menatap terus mukaku dengan senyumnya yang lebar. Tak putus-putusnya keluar ucapannya: Ahlan wa sahlan marhaban. . . , ahlan, . . . ahlan. . . !2
Aku dibimbingnya keluar dari peron stasiun. Tanganku dipegang terus seolah-olah khawatir aku akan melarikan diri. Tangannya yang lain menjinjing koporku karena aku tak diizinkan menjinjing sendiri.
Sebuah delman miliknya yang sengaja disediakan untuk menjemputku telah menanti. Kami menuju ke rumah kediamannya di Tebuireng. Sepanjang jalan beliau bercerita macam- macam hal diselingi kisah-kisah lucu, membuat aku tidak merasakan letihnya perjalanan jauh. Suasananya jadi akrab sekali seakan-akan kami dua orang sahabat yang telah lama berkenalan. Tetapi tidak semua yang diceritakan masuk ke kepalaku. Otakku terganggu oleh perhatianku untuk mencoba "membaca" pribadi orang ini. Wajahnya yang cerah dan segar, senyumnya yang ditujukan hanya buatku, nada suaranya yang mantap dan enak didengar, semua itu aku coba untuk mem"baca"-nya. Dalam fantasiku, orang besar mestilah memperlihatkan mahal senyum, kalau bicara dihemat, perhatiannya dipusatkan kepada dirinya bukan kepada yang diajak bicara, bahkan yang diajak bicara harus memperhatikannya. Tapi dalam suasana akrab dan hangat orang yang satu ini tidak demikian. Pusat perhatiannya ditujukan kepadaku, orang kecil. Tambah jelas bagiku tentang kepribadian orang yang selama ini aku kagumi. Kesimpulanku, tidaklah sia-sia kekagumanku kepada seorang yang memang besar. Dan orang besar itu kini berada dalam jarak yang dekat sekali denganku, bahkan dalam satu delman.
Mendekati Tebuireng khayalanku memenuhi kepala. Tergambar dalam angan-anganku tentang sebuah pesantren besar dengan para pengasuhnya yang bercita-cita besar di bawah pimpinan seorang ulama besar. Aku merasa bersyukur bahwa dalam hidupku, kuperoleh kesempatan mengunjungi Pesantren Tebuireng yang termasyhur. Walaupun tidak lama, tetapi waktu dan kesempatan yang terbatas itu akan kumanfaadtan untuk belajar dari Tebuireng sekalipun hanya dalam sehari dua.
K.H.A. Wahid Hasyim menganjurkan kepadaku, biarlah kami istirahat sejenak di rumahnya sambil membasahi kerongkongan yang sudah cukup kering. Aku akan diantarkan menghadap Hadratus Syaikh. Yang dimaksud ialah K.H. Hasyim Asy'ari. Sebutan ini lazim dipergunakan di kalangan Nahdhatul Ulama dan Pesantren Tebuireng untuk panggilan sehari-hari K.H. Hasyim Asy'ari.
Buat pertama kali aku menghadap Hadratus Syaikh. Seperti terpukau oleh sinar wajahnya yang bercahaya, memancar dari wajah orang yang sangat berwibawa. Ketika aku memberikan salam, beliau sedang duduk di atas permadani yang memenuhi ruangan tamu yang luas. Mengenakan baju "Jawa" seperri piama tak berleher, berwarna putih terbuat dari kain katun, bersarung plekat dan mengenakan serban. Beliau sedang membaca sepucuk surat. Aku heran sekali, melihat seorang tua yang usianya lebih dari 70 tahun masih dapat membaca tanpa kaca mata. Aku diperkenalkan oleh K.H.A. Wahid Hasyim. Kedua ayah dan putera ini berbicara dalam bahasa Arab, sesekali K.H.A. Wahid Hasyim menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahandanya dalam bahasa Jawa yang halus. Tetapi setelah K.H.A. Wahid Hasyim memberitahukan bahwa aku dari kalangan Pemuda Ansor, maka Hadratus Syaikh kontan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapannya denganku, walaupun

53
 
telah diberitahukan bahwa aku dari Jawa Tengah. Diucapkan dengan lambat-lambat, kalimat demi kalimat, seolah-olah sambil berpikir apa yang harus dikatakan. Sejenak aku menyadari bahwa bukan karena beliau tidak paham bahasa Indonesia, melainkan karena kepribadiannya serta sifatnya yang serba hati-hati. Aku teringat sebuah kalimat hikmat dalam pelajaran di madrasah: Orang bijaksana berpikir dulu, baru berkata, tetapi orang sembrono berkata dulu, baru berpikir. Hadratus Syaikh jelas memperlihatkan termasuk orang yang bijaksana. Tidak tergesa-gesa dalam mengutarakan buah pikirannya, jelas dalam menggunakan kata-katanya hingga sebodoh-bodoh orang akan bisa menangkap apa yang dimaksud. Bukan kalau berbicara dalam bahasa Indonesia saja beliau ucapkan dengan lambat-lambat, tetapi juga dalam bahasa Jawa dan Arab. Sesekali beliau mengajak aku berbicara dalam bahasa Arab, akan tetapi aku jawab dalam bahasa Indonesia, mengikuti jejak K.H.A. Wahid Hasyim yang sesekali menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayahandanya dalam bahasa Jawa, sekalipun Hadratus Syaikh menanyakan sesuatu dalam bahasa Arab.
Percakapan menjadi panjang. Hadratus Syaikh memberitahukan kepadaku bahwa surat yang tadi sedang dibacanya datang dari seorang ulama terkenal di Jawa Tengah, yang beliau telah anggap sebagai gurunya. Aku tahu sifat Hadratus Syaikh yang selalu memandang ulama seangkatannya sebagai gurunya. Ini adalah sifat tawadhu, rendah hari. Dikatakan bahwa beliau sangat sedih mengapa harus berbeda pendapat antara beliau dengan pengirim surat. Ketika itu memang sedang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum terompet dan genderang yang dipakai oleh Gerakan Ansor manakala sedang baris-berbaris atau sedang pawai. Sebagian ulama mengharamkan, tetapi sebagian besar termasuk di dalamnya Hadratus Syaikh membolehkan. Yang mengambil hukum membolehkan ini memakai alasan dan pertimbangan untuk mendemonstrasikan syi'ar Islam dalam rangka mempersiapkan kekuatan, agar musuh tidak memandang rendah kekuatan kita. Jangan dilupakan, ketika itu seluruh bangsa kita sedang menghadapi aksi mobilisasi yang diadakan oleh kaum penjajah. Hadratus Syaikh memperlihatkan kepada kami isi surat yang dibacanya, datang dari seorang ulama terkenal yang dipandangnya sebagai gurunya, dengan nada keras mengharamkan. Beliau baca suratnya dalam bahasa Arab. Beliau katakan berulang-ulang, sangat sedih, mengapa gurunya itu "memarahinya." Maksudnya berbeda pendapat. Tetapi akhirnya dengan nada yang pasti dan mantap, beliau katakan bahwa beliau akan berusaha sekeras-kerasnya untuk menginsyafkan "gurunya" itu. K.H.A. Wahid Hasyim maupun aku hanya diam menunduk, tak akan mencampuri urusan tersebut.
Biarlah diselesaikan di antara para ulama. Tetapi kuat keyakinanku, bahwa wibawa Hadratus Syaikh akan dapat menginsyafkan pihak-pihak yang mengharamkan terompet dan genderang itu. Dan ternyata memang benar. Dalam Muktamar Nahdhatul Ulama yang diadakan kemudiannya, telah diputuskan dalam sidang Syariyah yang terdiri dan hanya para alim ulama, terompet dan genderang yang dipersoalkan itu dibolehkan. Suatu sidang yang khusus dihadiri oleh ratusan alim ulama dari seluruh Indonesia, dalam mana Hadratus Syaikh mempertahankan pendiriannya. Dalam sidang tersebut pendirian beliau diuji kebenarannya dan ternyata memperoleh dukungan seluruh muktamar.
Dua hari berada di tengah-tengah Pesantren Tebuireng, aku memperoleh pelajaran yang banyak sekali.
Jikalau Hadratus Syaikh sehari-hari banyak berbicara dalam bahasa Arab—hal itu banyak juga terjadi di kalangan kiai-kiai pengasuh pesantren di mana-mana—aku telah mendapat jawabannya. Sepanjang hari pekerjaannya mengajar para santri sejak pagi buta, sehabis
54
 
sembahyang subuh hingga jauh malam. Gelombang demi gelombang rombongan santri datang dan pergi mengerumuni Hadratus Syaikh untuk menerima pelajaran. Cara belajarnya, masing-masing santri menyimak kitab yang dibaca beliau, dan hampir tak ada sebuah kitab pun dalam bahasa lain kecuali bahasa Arab. Saat-saat senggang tidak mengajar, peluang waktu itu dipergunakan untuk membaca sendiri (muthala'ah) kitab-kitab yang juga berbahasa Arab. Hampir seriap hari ada saja tamu yang datang dari kalangan ulama juga. Mereka datang dengan membawa permasalahan hukum Islam untuk dimusyawarahkan, sehingga dengan sendirinya memerlukan membuka-buka kitab untuk mencari qa'idah-qa'idah atau dalil-dalilnya. Belum lagi menerima pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu hukum Islam, baik yang datang secara lisan maupun tertulis. Dalam pada itu, sekali tempo harus menulis risalah-risalah atau maklumat-maklumat mengenai masalah yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat yang sumbernya harus dicari dari kitab- kitab yang berbahasa Arab. Aku sampai kepada kesimpulan bahwa tidaklah mengherankan mengapa bahasa Arab itu seperti bahasa ibunya sendiri. Maka itu, aku sering menjumpai di mana-mana bahwa para kiai—dan tentu juga termasuk K.H. Hasyim Asy'ari—merasa jadi lebih mampu dan lancar mengutarakan buah pikirannya dalam bahasa Arab. Bahasa ini telah dipandang bukan lagi bahasa asing, melainkan bahasa Islam. Aku bandingkan juga dengan sebagian para sarjana kita, terutama sarjana hukum angkatan lama yang lebih mahir berbahasa Belanda dibanding dengan bahasa ibunya.
Tetapi bahasa apa pun yang digunakan Hadratus Syaikh, beliau selalu mengucapkannya dengan perlahan-lahan, mencari rangkaian kata-kata yang mudah dimengerti oleh orang banyak. Jika masalahnya cukup berat dan memerlukan pemikiran lebih mendalam, maka kata-katanya selalu diulang-ulang supaya mudah dipahami oleh orang yang diajak bicara.
Selama dua malam aku berada di Pesantren Tebuireng, aku dapati pesantren ini seperti tak pernah tidur. Hampir 24 jam suasananya penuh dengan kegiatan-kegiatan dari 1500 orang lebih penghuninya, para santri dan guru-gurunya. Berjajar ratusan bilik yang didiami para santri, di emper-empernya selalu kelihatan kelompok-kelompok santri yang sedang menghafal pelajaran atau sedang mendiskusikan pelajarannya di antara mereka. Kelompok- kelompok lain sedang mengerumuni gurunya untuk menerima pelajaran. Kelompok Fiqh berada di sudut sana, kelompok Hadits di ruang lain, kelompok Tafsir menggerombol di tempat lainnya, begitu seterusnya. Tak terhitung jumlah kelompok-kelompok kecil yang sedang mengulang-ulang sendiri pelajaran yang baru diterima dari gurunya. Di serambi masjid terdapat kelompok yang tengah membaca Al-Qur'an. Membaca Al-Qur'an adalah suatu keutamaan, memperoleh bahagian pahala bagi siapa yang membacanya, sekalipun tidak mengerti maksudnya. Tentu saja, yang mengerti maknanya lebih banyak lagi pahalanya. Dan berlipat ganda lagi pahalanya bagi siapa yang mengamalkannya, secara semestinya.
Masjidnya terletak di tengah kompleks pesantren yang luasnya sekitar 8 ha. Mesjid itu tidak terlampau besar, kira-kira berukuran 15 X 25 m. Pada waktu sembahyang jama'ah (sembahyang bersama) bisa meluap jamaahnya hingga ke halaman seputarnya, bahkan memenuhi lorong-lorong sekeliling pesantren. Pada waktu sembahyang subuh sama banyaknya yang berjamaah itu dengan waktu-waktu yang lain. Jika tidak karena sesuatu halangan, Hadratus Syaikh sendiri yang mengimami. Dibacanya Al-Qur'an sambung- menyambung dari satu sembahyang ke sembahyang yang lain hingga tamat seluruh Al- Qur'an, dan diulang lagi dari permulaan Al-Qur'an pada sembahyang berikutnya, dan berikutnya, hingga berkali-kali Al-Qur'an ditamatkan dalam waktu sembahyang. Demikian itu berlangsung beberapa tahun.
55
 
Saat-saat bukan sembahyang jama'ah, masjid pun tak pernah sunyi dari orang-orang yang bersembahyang sunnah, sembahyang untuk keutamaan beramal. Sebagian lain mengerjakan wiridan, yaitu membaca rangkaian kalimat-kalimat suci secara tetap waktu- waktunya, dan bilangannya pun tertentu pula, sesuai dengan ijasah yang diberikan guru. Wiridan pun termasuk ingat kepada Allah SWT, (dzikir) untuk memohon arnpunan-Nya, rahmat-Nya dan ridho-Nya.
Di sana sini ada juga yang tengah membaca surat-kabar atau majalah. Ada yang berbahasa Indonesia, Arab maupun Belanda ("Java Bode"-"Locomotief"). Di salah satu sudut ada sebuah cafetaria tempat santri-santri jajan, makan, dan minum (disebut "ngopi"). Tentu saja namanya bukan cafetaria, cukup dengan "warung pondok" saja. Biasa di mana-mana, tempat "ngopi" juga tempat pertemuan, sekedar kumpul-kumpul di antara kawan sambil mengobrol dan bergurau. Adakalanya warung itu kepunyaan koperasi pesantren, ada pula yang milik "Bu Nyai" yang dipercayakan pengurusannya kepada beberapa orang santri.
Aku mencoba untuk menemukan di mana faktor kebesaran dan kemasyhuran Pesantren Tebuireng.
Terasa adanya proses pembaruan berjalan dengan bijaksana. Tidak secara mutlak, tetapi terbatas pada atribut yang bertalian dengan metode efisiensi penggunaan waktu dalam hubungannya dengan sistem belajar. Metode lama yang memang lebih produkrtf dan baik dipertahankan, sebaliknya metode baru yang ternyata tidak menghasilkan lebih baik, tidak dipakai, sekalipun namanya "modern " Sesuai dengan perkembangan pesantren, maka faktor organisasi pesantren menjadi sangat penting. Para santri diberi kesempatan dan melatih diri untuk turut memikul tanggung jawab, karena pesantren adalah dunia mereka sendiri. Karena itu, di antara santri-santri dibentuk dewan pengurus yang membawahi kelompok-kelompok kecil menurut susunan lingkungan vertikal dan horisontal. Urusan mereka diurus sendiri di antara mereka secara musyawarah. Dalam pada itu, masalah kebersihan dan kerapian terus diusahakan peningkatannya. Proses pembaruan itu memang tidak bisa dilaksanakan secara kilat, memerlukan waktu. Soalnya menyangkut kondisi para santri sebagai anak-anak rakyat yang terdiri dari macam-macam tingkatan atau berbeda tingkat sosial ekonomisnya. Pembaruan itu tidak menyangkut hal yang asasi, misalnya tanpa melenyapkan wujud pesantren itu sendiri sebagai lembaga yang mempunyai corak dan kultur sendin. Tempat menuntut ilmu, mempraktikkan ibadah, mempraktikkan cara bergaul sebagai anak rakyat warga masyarakat, mempersiapkan masa depan di tengah- tengah rakyat, dan menyaring seriap yang datang baru yang belum jelas manfaatnya bagi keselamatan masyarakat.
Di pesantren ini, para santri diperkenalkan kepada kegiatan masyarakat di luar pesantren, dilatih, dan diberi kesempatan untuk terjun ke dalamnya. Tidaklah mengherankan mengapa santri-santri Tebuireng turut aktif dalam kegiatan dakwah, pendidikan, dan sosial yang sedang berjalan di dalam masyarakat. Tidaklah mengherankan bila aktivis-aktivis Nahdhatul Ulama di sekitar Jombang dan Jawa Timur pada umumnya sebagian besar terdiri dari para lulusan Tebuireng.
Dan faktor kebesaran Tebuireng memang tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran pengasuhnya, khususnya tokoh K.H. Hasyim Asy'ari. Tidak diragukan lagi bahwa ulama ini mempunyai wibawa atau haibah serta pengaruh yang besar sekali di kalangan alim ulama di Jawa Timur khususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya sebagai Rais Akbar Nahdhatul Ulama. Bukan saja di kalangan Nahdhatul Ulama, tetapi juga di kalangan golongan Islam yang lainnya.
56
 
Ada satu lagi faktor Tebuireng sebagai "kiblat"-nya para ulama di seluruh Jawa pada khususnya, dan di Indonesia, pada umumnya. Tebuireng memiliki daya tarik yang kuat sekali. Ada kecenderungan di kalangan para santri dan bahkan kiai-kiai pesantren yang lain untuk bisa merasa "dekat" dengan Tebuireng. Perasaan ada sesuatu yang hanya di Tebuireng orang bisa menernukannya. Bukan sekedar pribadi Hadratus Syaikh, tetapi terutama karena tokoh besar ini dirasakan tepat sekali untuk menduduki tempat sebagai "Bapak Ulama" Indonesia. Pernah pada suatu ketika di sekitar tahun 1935-an, pemerintah kolonial Belanda hendak menganugerahkan sebuah bintang kepada beliau. Akan tetapi dengan halus ditolaknya. Untuk jangan mendatangkan fitnah dari kaki tangan kolonial, beliau cukup menjawab dengan rendah hati:
Aku takut pada diriku sendiri akan datangnya rasa ujub dan takabur. Aku malu kepada Allah karena aku cuma hamba-Nya yang hina dina!
Di pesantren yang mana pun dan kiai siapa pun bisa membaca Kitab Bukbari, sebuah kitab kumpulan Hadits Nabi yang paling terkenal sekali. Kumpulan itu berisi 7275 buah hadits yang shahih. Penyusunnya bernama Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, lahir pada 13 Syawal 194 atau 21 Juli 810 di Bukhara. Neneknya seorang pujangga yang terkenal, Bardizbah. Sejak anak-anak ia telah yatim, menghafal Al-Qur'an dan berpuluh ribu hadits sebelum ia menginjak usia dewasa. la mengunjungi kota-kota Khurasan, Baghdad, dan Naisabur, terus ke Irak, Hijaz, dan Mesir untuk mempelajari hadits. Kitab yang terkenal dengan nama Al-Jami' As-Shahih, atau lebih dikenal dengan Kitab Al-Bukhari, ditulisnya sejak ia berusia 16 tahun. Sebanyak 7275 buah hadits yang dihimpunnya itu merupakan pilihan dari hasil pengecekannya terhadap 1800 orang yang dianggap guru-guru ilmu hadits. Tiap selesai menulis satu hadits, ia tetap dalam keadaan suci badan dan masih berwudhu, lalu sembahyang sunnah dua rakaat untuk memohon hidayah dan ridha Allah, demikian pernah ia katakan sendiri. Dalam bulan Ramadhan, setelah sembahyang Tarawih, ia menjalankan sembahyang sunnah untuk menghafalkan sepertiga isi Al-Qur'an setiap malamnya. Seluruh dunia Islam, sejak dulu hingga sekarang, memandang Kitab Al-Bukhari sebagai kitab hadits paling otentik di antara kitab-kitab hadits lain yang termasyhur di ka- langan dunia Islam. Dikisahkan bahwa Imam Muslim (pengarang kitab hadits Shahih Muslim) yang dinilai sama, dwi tunggal dengannya oleh dunia Islam, pernah mengatakan: Ketika aku mengunjungi Imam 'Bukhari dikediamannya, aku katakan kepadanya, biarkan aku mencium kaki tuan Hai Raja sekalian ahli hadits!
Ya, di pesantren yang mana pun dan kiai siapa pun bisa saja membaca kitab ini. Akan tetapi, apabila K.H. Hasyim Asy'ari membaca kitab Al-Bukhari-—biasanya ditamatkan selama bulan Ramadhan—,maka berduyun-duyunlah kiai-kiai dan santri-santri dari luar daerah untuk "mondok" di Tebuireng, karena hendak mendengarkan Hadratus Syaikh membaca kitab Al-Bukhari. Memang, dari banyak sekali ilmu yang dimiliki Hadratus Syaikh, beliau paling menonjol sebagai seorang ulama ahli hadits. Orang yang pernah melihat sendiri cara Hadratus Syaikh membaca Al-Bukhari mengatakan bahwa beliau sebenarnya telah hafal seluruh isi kitab yang terkenal ini. Seolah-olah sedang membaca kitab karangannya sendiri! Orang-orang yang belajar kitab al-Bukhari di hadapan Hadratus Syaikh merasa sangat puas, selain belajar dari guru yang terpandang, juga karena paling tidak  dapat  menikmati  suasana bulan  Ramadhan  bersama  K.H.  Hasyim  Asy'ari di pesantrennya.
Keterangan lain yang dapat aku kumpulkan tentang Hadratus Syaikh adalah mengenai tamu-tamunya dan caranya menerima tamu. Setiap hari tak pernah sepi dari kunjungan
57
 
tamu-tamu yang puluhan banyaknya, bahkan kadang-kadang hingga ratusan. Bermacam- macam tingkatannya, ada kiai, santri, wali murid, pamongpraja, saudagar, petani, pemuda, dan sebagainya. Tamu-tamu ini semuanya dilayani dengan baik, sekalipun tidak pernah berjanji sebelumnya, sekalipun datang pada waktu yang umumnya orang sedang istirahat. Sekalipun ada "khadam" yang menyuguhkan minuman dan makanan, tetapi beliau sendiri yang meletakkan di muka sang tamu, bahkan kadang-kadang beliau sendiri yang mengambilnya dari "ndalem" (ruangan tengah di rumahnya), jika kebetulan "khadam" sedang mengaso. Bahkan jika kedatangan tamu tepat di waktu makan (siang maupun malam), maka keluarlah hidangan makan. Dengan amat ramahnya tamu "diladeni" dengan kata-katanya yang menyenangkan, hingga kalau tamu itu terdiri dan banyak orang, maka masing-masing orang merasa bahwa dialah paling disayang Hadratus Syaikh. Siapa saja yang pulang dari bertamu akan merasa bahwa dirinya orang yang paling dekat di hati Hadratus Syaikh. Mereka puas, menjadi kenangan yang membahagiakan sepanjang hidupnya. Ada kalanya sang tetamu datang dengan membawa sekedar oleh-oleh, misalnya buah pepaya. Hadratus Syaikh memperlihatkan suka citanya atas oleh-oleh itu sambil berkata: "Alhamdulillah, alhamdulilah, pucuk dicita, ulam tiba! Saya sudah lama ingin buah pepaya. Alangkah bagusnya pepaya ini, alangkah nikmatnya...!" Berulang-ulang diucapkan terima kasihnya serta mendo'akan kepada si pemberinya. Padahal di kebunnya, di belakang rumah Hadratus Syaikh, ada juga pohon-pohon pepaya. Tidak semua orang bersedia menerima tetamu, tidak semua orang gembira menerima tamu, apalagi yang tak ada janji sebelumnya, dan tidak semua orang dapat menyenangkan hati tetamu. Tetapi Hadratus Syaikh tidak masuk golongan ini. Hadratus Syaikh dalam pandanganku adalah orang besar. Andaikata beliau bukan orang alim, ini misal saja, tetapi dengan caranya menyenangkan tetamu, sedap waktu, sepanjang hari, sepanjang bulan dan tahun, tetamu selalu diterima dengan amat baiknya, maka dari ini saja beliau adalah seorang besar, seorang yang sangat layak untuk dipandang sebagai Bapak dan pengayom! Tugas sehari-harinya yang telah cukup berat dan memakan waktu, dalam usianya yang sudah 70-an tahun, padahal beliau juga merupakan pimpinan puncak dari sebuah organisasi Islam bernama Nahdhatul Ulama selaku Rais Akbarnya, bagiku tak ada lagi tara bandingannya. Sangat mengagumkan.
Menurut cerita K.H.A. Wahid Hasyim, puteranya, jika pada satu saat Hadratus Syaikh menghadapi masalah yang cukup berat sehingga tak bisa diatasi sendiri, maka orang pertama yang dimintai pendapatnya adalah K.H. Abdul Wahab Chasbullah dan K.H. Bisri Syamsuri, dua ulama besar yang masing-masing memimpin Pesantren Tambak beras dan Denanyar—tidak jauh dari Jombang. Tiga tokoh ulama besar ini merupakan tri tunggal yang masing masing mempunyai ma’iyah atau nilai kelebihan, tetapi saling memerlukan antara yang satu kepada lainnya.
Aku merasa sangat kecil sekali jika berhadapan dengan Hadratus Syaikh. Tetapi aku ingin bisa mewarisi salah satu sifatnya, walaupun sekedar yang kecil saja. Padahal aku belum pernah secara langsung menjadi muridnya. Aku belum mendapat kesempatan mondok di Tebuireng. Namun sejak itu aku lebih mantap untuk menganggap bahwa beliau adalah guruku. Aku pelajari kepribadiannya, aku renungkan buah pikirannya, dan aku hendak mengikuti garis kepemimpinannya. Sekalipun berada dalam jarak yang jauh, aku di Jawa Tengah dan beliau di Jawa Timur, namun di hatiku beliau sangatlah dekat, biarpun andaikata di hati beliau aku tidaklah dekat. Waktu yang hanya dua hari di Tebuireng, aku berusaha untuk merekam segala yang aku lihat dan aku dengar, pada saatnya akan kuulang penyimakannya tahap demi tahap, aku jadikan pedoman yang amat berharga pada saat aku memulai ikut terjun ke tengah medan pengabdian. Bukankah semua orang wajib mengabdikan diri? Ya, tentu saja disesuaikan dengan kadar kemampuannya dan
58
 
kesempatannya yang tersedia. Bismillah hi haulillah,dengan Nama Allah dan dengan mengharapkan pertolongan-Nya!

Menjadi Guru

Pada tahun 1936, ketika usiaku 17 tahun, aku sudah mulai menjadi guru. Ketika itu aku duduk di kelas terakhir di Madrasah Al-Huda. Sebenarnya belumlah guru betul. Murid-murid tidak seluruhnya memanggilku ustad, banyak juga yang memanggilku dengan namaku. Maklumlah, aku cuma sekedar musa'id, yaitu pembantu guru yang sebenarnya, Ustazd Mursyid guru yang sebenarnya dari Madrasah Al-Huda. Sudah kuceritakan di muka bahwa Ustazd Mursyid mendidik murid-murid kelas teratas menjadi guru, berhubung tiap tahun kelas bertambah. Murid kelas yang terakhir, kelas 5, baru diberi pelajaran bila kelas-kelas di bawahnya telah bubar sekolah. Tentu tidak semua murid kelas 5 dijadikan musa'id, hanya beberapa saja, 4 hingga 5 orang yang dipandang memenuhi persyaratan, dan aku termasuk di antara 5 anak ini.
Akan tetapi ketika pada permulaan tahun 1938 aku pulang dari Solo dengan menggondol ijasah, aku benar-benar telah menjadi seorang guru. Aku mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama, di Islamitisch Westerse School, dan di Kulliyat al-Muallimin wa al-Muballighin. Dua macam sekolah yang belakangan ini juga bernaung di bawah asuhan Nahdlatul Ulama. Lucu juga kedengarannya kalau dipikir-pikir. Di madarasah aku dipanggil ustad, tetapi di sekolah yang berbau Belanda ini aku dipanggil meneer oleh anak-anak murid. Panggilan memang bisa mempengaruhi seseorang. Dengan panggilan ustads aku memantas-mantas diri seolah-olah betul-betul ustadz. Mengenakan kain sarung, memakai baju jas dengan leher kemeja yang dikeluarkan, dan memakai peci. Akan tetapi dengan panggilan meneer aku jadi sedikit kikuk juga. Memantas-mantas sebagai seorang meneer, aku mengenakan celana panjang berwama putih, kemeja kadang warna putih kadang biru muda dengan garis-garis kecil putih, pokoknya warna yang tidak menyolok. Tetapi celana selamanya mesti putih. Dan sepatu selamanya mesti hitam. Sudah barang tentu memakai dasi. Warna dasi pun kalau tidak hitam rnulus, setidaknya ada garis-garis yang tidak keliwat menentang mata. Meneer-meneer yang lain tidak memakai peci, tetapi aku tidak bisa tanpa peci. Di kampungku sangatlah janggal bila seorang santri tidak memakai peci. Ya, aku toh seorang meneer? Benar! Tapi aku cuma meneer-meneeran, bukan meneer 100%.
Aku bukan guru Bahasa Belanda, bahasa Belandaku cuma sepotong-sepotong, karena itu aku belajar bahasa Belanda sedikit-sedikit kepada rekan guru bahasa ini. Aku adalah guru Agama Islam pada Islamitisch Western School. Karena itu, aku mesti memakai peci. Ada juga temanku sesama guru yang menganjurkan aku untuk tak usah memakai peci, tetapi ah..., perduli amat. Biar aku dipandang janggal oleh satu dua orang, asal masyarakatku tidak memandang demikian.
Lihat saja guru-guru "Taman Siswa", sekalipun mengajar bahasa Belanda juga banyak yang memakai peci. Apalagi di zaman itu, berpantalon (bercelana panjang) dan berpeci merupakan ciri orang pergerakan, "golongan nasionalis", untuk membedakan dengan ambtenaar Hindia-Belanda. Ada lagi pengaruhnya bagi kebiasaanku setelah aku dipanggil ustadz atau meneer. Aku gemar merokok biar sedang berjalan pun. Tetapi setelah menjadi guru, aku berpikir, tidak pantas seorang guru merokok sambil berjalan. Sejak itu, aku tidak lagi merokok sambil berjalan. Merokok hanya pada waktu duduk. Jika hendak

60
 
berjalan, rokok kumatikan. Kecuali untuk lebih memenuhi sopan-santun, pun pernapasan bisa lebih bebas.
Seorang guru lazimnya keluaran sekolah guru atau kursus guru. Tetapi aku tak pernah memasuki sekolah guru, kursus guru pun tidak. Pernah sesekali aku menghadiri guru-guru sedang dikursus, sebagai peninjau. Kalau itu, berarti aku pernah kursus guru, terserah.
Bekalku hanyalah hasratku yang besar ingin menjadi guru. Pekerjaan menjadi guru adalah sangat mulia. Mendidik dan mengajar orang lain, walaupun tak ada sangkut-pautnya dengan hubungan famili, tujuannya ingin membentuk manusia agar menjadi orang yang baik, berbadan sehat, berilmu, dan berakhlak mulia. Dengan jalan mendidik dan mengajar orang lain, dirinya sendiri ikut terdidik dan terajar juga.
Aku perhatikan dengan seksama cara guru-guruku mendidik anak-anak didiknya. Begitu telaten (cermat dan sabar), begitu rajin, begitu mulia cita-citanya hingga kesenangannya sendiri sering dikorbankan. Kalau aku perhatikan, anak yang tadinya berwatak kurang ajar, lambat laun menjadi anak yang tahu sopan santun. Anak yang mula-mula dungu dan bebal, lambat laun menjadi pandai dan cerdas. Semua itu lantaran hasil kesabaran dan keuletan guru yang melakukan tugasnya dengan penuh kasih sayang. Begitu ikhlas para guru mendidik dan mengajar anak-anak didiknya, mereka tidak mengharapkan apa-apa kecuali anak didiknya kelak menjadi orang yang berguna hidupnya. Mereka tak ingat lagi berapa jumlah anak-anak yang diasuhnya yang telah berhasil menjadi orang baik. Berbeda dengan orang yang menabung, sekalipun ia mengikhlaskan sebagian uangnya, namun ia ingat-ingat betul berapa jumlah yang di-"ikhlas"-kan itu. Juga berbeda dengan kaum tani yang menabur bibit, sekalipun mereka meng-"ikhlas"-kan sejumlah bibit, namun mereka mengharapkan bahwa kelak akan memetik buahnya.
Tidak demikian seorang guru, ia tak pernah mengharapkan bahwa kelak akan memperoleh imbalan jasa dari anak didiknya. Begitu ikhlas ia memberikan didikan dan ilmunya tanpa mengharapkan imbalan jasa. Bahkan ia kaget kalau satu ketika bekas anak didiknya memberikan apa-apa kepadanya. Apa ini? Kok pakai beginian segala?
Tentu tidak semua yang datang dari guru-guruku dapat aku petik sebagai bekalku memperoleh ilmu guru. Yang baik dan sesuai aku ambil, sedang menurutku tidak sesuai, aku tinggalkan. Tapi aku tak bisa menyalahkan mereka.
Memang kemampuannya cuma sampai di situ. Misalnya, pernah aku mengalami guru yang "baik" tetapi dengan "kebaikan"-nya itu, bagiku malah mbubrah aturan (merusak aturan). Ini pengalamanku ketika aku mula-mula masuk "Sekolah Arab" (istilah madrasah ketika itu). Itu terjadi sekitar tahun 1925 ketika umurku masih 6 tahun. Anak-anak sudah masuk semua ke dalam kelas, tetapi guruku tidak lekas memulai mengajar. Beliau menenangkan kelas dengan dengusnya yang keras dan panjang. Kalau anak-anak sudah agak tenang, beliau tiba-tiba menatap muka anak-anak sambil senyum lebar. Cukup lama senyum ini mengguyur kami semua.
Guruku yang baik ini lalu bertanya: "Anak-anak, nah... pelajaran apa hari ini...?" Seluruh kelas mulai gaduh. Sebagian menjawab dengan berbareng: "Dongeeengngng..., dongeeeng...!" Sebagian yang lain menjerit: "Nyanyiii!"
Pada waktu itu, mestinya pelajaran pertama bukan mendongeng atau menyanyi. Semakin gemuruhlah seluruh kelas. Guruku yang baik ini masih dengan senyumnya yang lebar menjawab: "Lho, kemarin sudah dongeng kok sekarang dongeng lagi!" Seorang teman

61
 
dekatku melengking usul: "Dongeng lagi cerita kemarin!" Bukan main riuh gemuruhnya kelas. Beliau yang baik ini cepat-cepat memegang tongkatnya, dipukul-pukulkan di atas papan tulis. Beliau walaupun ke mana-mana membawa tongkat, namun seingatku belum pernah melayang ke kepala murid. Tongkat itu cuma dipukul-pukul di atas bangku atau papan tulis. Anak-anak diam semua, seluruh perhanan anak-anak ditujukan kepada guruku yang manis ini.
Beliau lalu katakan: "Lebih baik nyanyi saja!" Kedengaran suara koor: "Hoooooo..." Aku jadi ikut penasaran, gerutuku: "Suaranya nggak enak!" Tetapi guruku yang baik ini tidak menghiraukan reaksi anak-anak. Beliau terus saja menyanyi. Llahana Ya dzal ghina...,' lagu kegemarannya. Anehnya, semua anak-anak ikut menyanyi lagu yang sudah mereka hafal itu. Jadi ramailah seluruh kelas, ada juga beberapa anak kelas sebelah yang tiba-tiba pada datang dan ikut menyanyi ...!
Demikianlah caranya menguasai kelas, begitulah caranya memikat perhatian anak-anak. Cara yang model begini tentu tidak aku tiru. Aku bisa meniru cara lain yang ditempuh oleh salah seorang ustadzku.
Anak-anak yang baru masuk kelas pada umumnya masih membawa suasana di luar.
Untuk menenangkan mereka, diberikan waktu-antara sekadar untuk melupakan suasana di luar kelas, anak-anak perlu ditata persiapan mentalnya lebih dulu. Itu bisa dilakukan dengan memberikan aba-aba agar mereka berdiri untuk mengucapkan salam kepada guru. Kemudian disusul dengan membaca doa bersama dan dipimpin oleh guru.
Bisa berupa pembacaan Surat Al-Fatihah misalnya, atau janji murid. Biasanya, jika upacara ini telah selesai, maka pelajaran sudah bisa dimulai. Adakalanya kelas belum tenang betul, tetapi tidak apa, biarkan dulu anak-anak menghabiskan sisa suasana luar yang masih tertinggal. Pelajaran yang dimulai dengan mukadimah yang menarik dengan sendirinya akan memikat anak-anak hingga mereka mulai memusatkan perhatian kepada pelajaran.
Aku mendidik diri sendin dengan jalan membaca buku-buku pendidikan, buku-buku ilmu mendidik, dan ilrnu mengajar. Lebih dari separo pendapatanku sebagai guru aku belikan buku-buku tersebut. Apa yang aku pelajari dari buku-buku tersebut aku praktikkan dalam tugasku sehari-hari. Tentu tidak semuanya bisa diterapkan, akan tetapi aku bisa belajar dari pengalaman.
Cerita tentang guruku yang baik di muka itu, tidak bisa disalahkan apalagi dicemoohkan. Beliau adalah anak zamannya. Beliau bukan keluaran sekolah guru. Sedangkan yang memperoleh pendidikan guru saja, ada juga yang memperlihatkan keanehannya dalam mendidik anak-anak didiknya. Salah seorang muridku bercerita bahwa salah seorang gurunya di "Sekolah Desa" (Sekolah Dasar 3 tahun) mempunyai kebiasaan yang aneh. Jikalau anak-anak dalam kelasnya begitu bandel sedang ia tak bisa menguasainya, maka ia jadi gregetan, blangkonnya dibanting, ia lalu berguling-guling di lantai. Karuan saja seluruh kelas meledak tertawa, jadi buah ejekan. Guru yang memelas ini tentu tidak mendapat kursus demikian ketika ia menjadi calon guru.
Cara yang dilakukan oleh kedua orang guru yang kuceritakan di muka itu, tentulah bukan sistem yang benar. Aku tak bisa meniru cara yang dilakukan oleh guru yang begitu baik yang melakukan tawar-menawar dengan muridnya, hanya karena ia hendak menjinakkan anak-anak.

62
 
Sudah menjadi kelaziman bahwa sebelum anak-anak memasuki ruangan kelasnya masing- masing untuk menerima pelajaran, mereka akan menggunakan waktu di luar kelas itu untuk menikmati suasana bebas. Hal itu sangat baik bagi pertumbuhan rohani dan jasmani anak- anak. Mereka akan mempergunakannya untuk bermain-main, berkejar-kejaran atau bercanda. Aku bahkan senang melihat anak-anak menggunakan waktu bebasnya dengan sebaik mungkin. Bahkan tiap guru sebaiknya ikut mendorong agar waktu bebas itu dipergunakan sebaik-baiknya.
Guru tinggal mengawasi agar sifat permainan anak-anak itu tidak melampaui batas, artinya, disesuaikan dengan waktu dan tempat yang umumnya terbatas. Main layang-layang misalnya, tidaklah tepat dilakukan pada jam-jam istirahat, selain karena waktunya tidak mengizinkan, juga karena tempatnya akan mengganggu anak-anak yang melakukan jenis permainan lain.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak masih dipengaruhi oleh suasana di luar kelas, apalagi jika baru masuk kelas pada jam pelajaran yang pertama. Mereka masih dipengaruhi oleh suasana di rumahnya, atau di perjalanan ketika menuju ke sekolah.
Suasana bebas itu biasanya masih akan dibawa ke ruang kelas bila pelajaran akan dimulai. Guru yang bijaksana tentu menyadari bahwa itulah waktu peralihan antara suasana bebas dengan suasana resmi untuk siap menerima pelajaran. Menghadapi saat demikian, aku bisa menempuh dua cara. Kedua-duanya bersifat untuk menurunkan suhu atau temperatur kebebasan untuk bersiap-siap memasuki suasana belajar. Cara pertama, aku lakukan dengan jalan menyiapkan anak-anak menjadi dua barisan sejajar di muka pintu masuk. Aku perhatikan tiap-tiap anak, barangkali terdapat hal-hal yang kurang senonoh. Misalnya, apakah mereka mengenakan pakaiannya dengan sopan, atau tentang kebersihan badan mereka, kuku, rambut, muka, dan sebagainya. Jika segalanya telah cukup tertib, barulah anak-anak dipersilakan masuk kelas, ini baru merupakan tahap pertama yang akan disambung dengan tahap kedua bila mereka telah memasuki kelas.
Cara demikian bisa mengatasi suasana peralihan antara alam bebas di luar kelas dengan alam belajar di dalam kelas. Cara kedua ialah mempersiapkan kondisi anak-anak siap menerima pelajaran. Aku tidak segera duduk di kursi, tetapi menghampiri barang dua atau tiga anak yang kurang tertib duduknya dengan diberi nasihat seperlunya. Dengan demikian, suasana peralihan sudah dapat dijembatani, dan mulailah pelajaran. Guru yang bijaksana akan pandai mencari kata pendahuluan yang memikat perhatian anak-anak. Menguraikan pendahuluan dengan berdiri, atau berjalan sedikit mondar-mandir dan diselingi dengan duduk di atas meja terdepan, bukan duduk di atas kursi guru, akan lebih menolong daya tarik anak-anak untuk segera terpikat perhatiannya kepada guru. Seterusnya pelajaran sudah bisa dimulai.
Menghadapi anak yang bandel, banyak cakap, dan banyak ringkah, tentulah tidak usah dengan membanting blangkon atau pecinya sendiri, apalagi dengan cara berguling-guling di atas lantai. Hal ini akan menjatuhkan martabat seorang guru di mata murid-mundnya. Anak yang bandel tidak akan menjadi baik. Bahkan ia ingin agar guru yang gregetan itu menjadi permainannya. la telah mempunyai kartu untuk sesekali memaksa sang guru membanting blangkonnya dan berguling-guling di atas lantai.
Aku pernah juga mempunyai satu dua orang murid yang bandel, senang menggoda kawannya, membuat onar dalam kelas, dan senang bicara tak sopan atau kotor. Ada beberapa cara kutempuh. Anak yang bersangkutan dipanggil ke muka kelas, diberi nasihat

63
 
dan peringatan seperlunya. Atau menahan dia pada jam mengaso untuk sekali lagi diberi nasihat dan peringatan. Atau dengan jalan aku panggil ke rumah. Aku tanyakan kepadanya, apakah cukup aku sendiri yang menasihati ataukah biar aku serahkan kepada orang tuanya untuk dinasihati? Ada lagi dengan cara lain.
Anak itu aku dekatkan di hatiku. Aku panggil ke rumah untuk membantu pekerjaanku yang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Misalnya, aku ajak menyertai aku ke pasar membeli bibit tanaman dan dia kusuruh menemani aku menanam bibit itu di halaman rumahku. Menyertai aku membersihkan halaman rumahku. Pokoknya aku dekatkan dengan hatiku dan kuinsyafkan bahwa aku sangat sayang kepadanya. Maka, dengan jalan demikian, pada umumnva aku berhasil menjadikan dia anak yang tidak membandel lagi. Memang tidak bisa sekaligus, itu memerlukan sedikit waktu dan kesabaran.
Ada sementara guru yang memanjakan murid yang pandai dengan jalan mendekatkan di hatinya secajra menyolok. Guru ini memperlihatkan sayangnya kepada murid tersebut. Itu memang seharusnya sebagai penghargaan atas kepandaiannya. Memuji kepadanya di muka kelas agar disaksikan oleh murid-murid yang lain sudahlah cukup sebagai tanda menghargai kepandaiannya. Asal jangan berlebihan. Juga terhadap murid yang baik, yang tertib, dan berdisiplin. Akan tetapi, terhadap murid yang membandel pun bisa diperlakukan serupa. Msalnya, perlihatkan bahwa guru menyukai anak tersebut. Yang tidak disukai adalah perangainya yang membandel itu. Maka aku suruh anak yang membandel ini untuk membantuku, mengumpulkan buku pekerjaan anak-anak, membantu membersihkan papan tulis, dan lain-lain pekerjaan yang mempunyai kesan bahwa aku dekat kepadanya. Dengan demikian, dia akan merasa malu sendiri kalau terus-menerus mernbikin jengkel hatiku lantaran kebandelannya.
Pokoknya, keberhasilan tugas seorang guru terletak pada dirinya sendiri. la seharusnya mendidik dirinya sendiri sebelum mendidik orang lain (murid). Di Jawa Tengah, guru diartikan: digugu lan ditiru. Artinya: digugu, dipercaya omongannya. Ditiru, diambil contoh segala perbuatannya. Memang demikian. Seorang guru yang baik ialah jika omongannya didengar dan dipercayai, demikian pula segala tindak lakunya dijadikan panutan oleh murid- muridnya. Kewibawaan seorang guru terletak pada tutur katanya dan perbuatannya sendiri.
Buku-buku yang pernah aku pelajari menerangkan bahwa kewajiban seorang guru adalah mendidik murid-muridnya. Arti mendidik mencakup pengertian tiga perkara. Mendidik jasmani mund-murid, agar mereka memiliki tubuh yang sehat, ringan kaki, cekatan, dan riang gembira. Mendidik otak murid-murid, agar mereka memiliki kecerdasan berpikir dan mempunyai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkat usianya.Dan pendidikan rohani murid- murid, agar mereka memiliki perangai atau akhlak yang mulia, benar kata-katanya, jujur perbuatannya, mengabdi kepada Allah SWT, dan berbakti kepada orang tuanya dan bangsanya.
Kalau dikaji lebih mendalam, maka tujuan pendidikan, sekalipun dirumuskan dengan kalimat-kalimat yang panjang, namun dapat diringkaskan menjadi: membentuk manusia! Ini mengandung makna yang luas sekali. Manusia tidaklah sekadar orang. Ada ucapan seorang ahli pikir yang mengatakan: sebegini banyak orang di dunia, tetapi sedikit saja yang bernama manusia. Ucapan ini bisa kita perkecil terbatas pada sekeliling kita sehari-hari bahwa sebegitu banyak orang-orang sekeliling kita, tetapi tidak semuanya pantas disebut manusia!

64
 
Selalu saja menjadi semboyan kuat dalam benakku bahwa tugasku sebagai guru, cumalah: menjadikan murid-muridku bertubuh sehat, pandai dan berakhlak. Tetapi untuk melaksanakan satu baris kalimat ini tidaklah mudah dalam praktik sehari-hari.
Boleh dibilang hampir 100% murid-muridku terdiri dari anak-anak rakyat. Jangan dilupakan artinya: Rakyat jajahan! Kita masih hidup di bawah kekuasaan politik maupun ekonomi dan sosial penjajah "Hindia Belanda." Mereka adalah anak-anak petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, dan segala yang serba kecil. Kecil ukurannya tetapi besar jumlahnya.
Sebagai anak-anak rakyat yang kecil, mereka miskin, kekurangan makan, dengan sendirinya kekurangan kalori. Mereka selain berbadan lemah, juga umumnya berpenyakitan. Malaria, sakit mata, kudis, cacingan, hampir menjadi penyakit umum di kalangan murid- muridku. Di sinilah musykilnya tugas seorang guru dalam mendidik jasmani anak didiknya. Seorang guru secara resminya bukanlah pejabat departemen sosial atau kesehatan. Masalah tersebut di atas pada umumnya dan dengan sendirinya adalah bidang urusan kepamongprajaan. Tidaklah mungkin seorang guru menggantikan tugas orang tua murid memberikan kadar makanan yang mencukupi syarat-syarat gizi yang baik, sekalipun pada tingkat serendah-rendahnya. Guru tidak mungkin menyediakan hidangan sehari-hari empat sehat lima sempurna bagi murid-muridnya. Akan tetapi, seorang guru wajib memberikan didikan jasmani kepada mund-muridnya agar mereka bertubuh sehat dan kuat. Pelajaran gerak badan mesti harus diadakan. Jadi bagaimana? Di sinilah letak kebijaksanaan seorang guru. Pelajaran olah raga atau gerak badan mesti dilaksanakan karena hal itu termasuk bidang pendidikan. Tentu saja, anak-anak yang lemah jasmaniah atau berpenyakitan tidak diikutsertakan.
Anak-anak golongan ini dipecahkan masalahnya dengan wali murid atau dengan pamong praja setempat. Gerak badan atau olah raga diberikan kepada anak-anak yang secara minimal memenuhi syarat-syarat kekuatan tubuh.
Untuk sekadar menambah gizi anak-anak, aku adakan pembagian sepiring bubur kacang ijo bagi seluruh kelas, yang diambilkan dari salah satu warung yang dekat dari madrasah dengan biaya dari kas madrasah.
Janganlah dilupakan, seorang guru di zaman itu harus bisa memegang seluruh mata pelajaran. Jika dalam suatu kelas terdapat 12 mata pelajaran, di anta-anya pelajaran olah raga dan menyanyi, maka seorang guru dalam kelas itu harus bisa memegang seluruh mata pelajaran tersebut, termasuk olah raga dan menyanyi. Dalam pada itu, seorang guru kadang-kadang mewakili rekannya sesama guru jika yang belakangan ini berhalangan masuk.
Oleh sebab itu, seorang guru praktis harus bisa mengajar seluruh kelas. Pokoknya, guru di zaman tempo doeloe harus bisa menjadi manusia serba bisa!
Kewajiban guru meminta ketekunan dan kesabaran. Tiap malam, kadang-kadang hingga jauh malam, masih membolak balik buku-buku hasil pekerjaan anak-anak. Kalau murid dalam kelasnya berjumlah 40 anak, maka 40 buku pekerjaan anak-anak itu harus diteliti semuanya, diperiksa benar salahnya untuk kemudian diberikan nilai. Pekerjaan yang memenatkan ini harus dilanjutkan dengan mempelajari kitab-kitab pedoman guru untuk membuat rencana jalannya seluruh mata pelajaran buat hari esoknya. Hingga jauh malam ia masih membuat rencana kasar jalannya pelajaran keesokan harinya, buku apa yang dijadikan pedoman, dari bab apa hingga apa, mencarikan perumpamaan-perumpamaan untuk memudahkan pengertian anak-anak murid. Kadang-kadang hingga larut malam
65
 
seorang guru baru bisa tidur. Padahal tiap hari, sejak pagi hingga petang ia harus mengajar tidak hanya satu sekolah, tetapi merangkap hingga dua sekolah. Aku bahkan merangkap 3 sekolah, satu di waktu pagi, satu di waktu siang, dan satu lagi di waktu petang. Dua kali dalam seminggu masih memberikan pelajaran pada kursus pemuda di waktu malam. Hari libur (hari Jum'at bukan Ahad) umumnya dipergunakan untuk kursus guru atau rapat guru. Sebulan sekali menghadiri "Kursus Wali Murid" untuk menjalin kerjasama antara guru dan orang tua murid di dalam memajukan pendidikan anak-anaknya.
Oleh karena guru itu harus digugu lan ditiru (jadi cermin tauladan) terutama di mata murid- muridnya, maka guru seharusnya tidak boleh berpenyakitan, tak boleh kekurangan makan, harus cekatan, dan bersih, pokoknya mestilah kelihatan gagah, jempolan! Ia harus menjadi ikutan. Untuk itu, memerlukan tingkat hidup yang layak. Untuk itu, harus berpenghasilan cukup. Padahal rata-rata guru madrasah di zaman itu hanyalah memperoleh penghasilan 5 hingga 6 rupiah sebulan, itu pun kalau murid-murid membayar uang sekolah dengan baik. Dari hasil uang pembayaran sekolah murid-murid, 70% dibagi untuk seluruh guru-guru, 10% untuk pemeliharaan gedung sekolah, 15% untuk alat-alat belajar, dan 5% untuk dana sosial (kas pengurus).
Maka dengan penghasilan yang ala kadarnya, aku harus bisa memelihara kesehatan tubuhku, berusaha untuk bisa makan sehari-hari dengan pedoman: empat sehat lima sempurna.
Tentu tidak bisa dilakukan sehari-hari makan empat sehat lima sempurna itu. Aku juga mengambil olah raga untuk memelihara kesehatan jasmani. Tentulah olah raga yang tidak keluar biaya. Misalnya, main sepak bola atau berenang di sungai. Untuk membeli pakaian? Pakaian itu termasuk jenis yang mahal harganya. Di zaman penjajahan, berpakaian yang agak layak itu sudah merupakan suatu kemewahan hidup. Tidak pernah aku mempunyai sepatu lebih dari satu pasang. Celana tidak lebih dari dua, dan mempunyai dua helai dasi itu sudah termasuk "royal" dan mewah. Tetapi guru harus tampak necis dan berpakaian layak dan sopan. Di sinilah "seni"-nya hidup sebagai guru. Kurang, tetapi harus bisa cukup! Memiliki sepeda termasuk suatu kemewahan.
Tetapi mana bisa tanpa sepeda kalau harus merangkap-rangkap mengajar di berbagai sekolah? Tak usah yang baru, sepeda bekas pun jadi. Ya, sepeda bekas pun harganya paling murah sepuluh rupiah. Bukan yang merk Releigh atau Fongers tentu, cukup sepeda kampungan bikinan tukang bengkel sepeda.
Melalui pengurus madrasah, kami para ustadz mengadakan "Kursus Wali Murid" sebulan sekali. Maksud dari pada kursus itu tak lain dan tak bukan untuk mempererat hubungan antara guru dan wali murid serta mengadakan pembagian tugas dalam mendidik anak-anak mereka. Kami para guru hanya mernpunyai waktu sangat terbatas dalam mendidik anak- anak mereka. Dalam sehari cuma sekedar 3 hingga 5 jam. Sisa waktu yang lebih panjang adalah saat anak-anak tidak berada di madrasah, yaitu di rumah mereka masing-masing. Di situlah tugas orang tua murid.
Cara pendidikan yang diberikan oleh orang tua murid kepada anak-anak mereka haruslah sejalan dengan yang kami berikan di madrasah. Artinya, sebagai upaya memelihara tujuan pendidikan. Memang, kami para ustadz juga menyadari bahwa tidak semua wali murid mampu memberikan pendidikan sepanjang artinya menurut ilmu pendidikan. Misalnya, pada umumnya para wali murid kurang mampu memberikan pendidikan otak, mengajar berbagai ilmu pengetahuan. Namun dalam segi lain, misalnya menjaga kesehatan tubuh, dan

66
 
terutama pendidikan rohani atau akhlak, maka orang tua murid mernpunyai peranan yang sangat penting, bahkan kadang-kadang menentukan.
Sebagai contoh, orang tua murid harus memberi perhatian terhadap hasil pendidikan anak- anaknya yang mereka peroleh dari madrasah. Tiap hari, misalnya pada waktu makan bersama perlu ditanyakan bagaimana pelajaran anak-anak hari itu. Anak sehabis makan dipersilakan menceritakan salah satu pelajaran. Walaupun tidak usah mendalam dan tak usah mengarnbil waktu banyak, cukup memberi kesan pada anak bahwa ia harus lebih bertanggung-jawab terhadap pelajarannya di madrasah.
Tugas lain dari wali murid ialah mengatur keseimbangan waktu bagi anak anaknya. Pada garis besarnya waktu itu dibagi menjadi 4 macam. Pertama: waktu bermain-main, kedua: waktu membantu pekerjaan orang tua, ketiga: waktu untuk belajar, dan keempat: waktu istirahat (tidur).
Bermain-main
Bermain-main secara seenaknya atau rileks adalah penting bagi dunia anak-anak dalam pertumbuhan rohani, jasmani, dan pikiran. Tidak baik jika anak-anak terus menerus berada dalam suasana terikat oleh ketegangan belajar dan di hadapan orang tua. Mereka memerlukan pelemas saraf. Itulah bermain-main. Di sana mereka juga menjalani fitrah atau naluri manusiawi hidup secara berkawan karena manusia memanglah makhluk berkawan. Anak-anak diberi kebebasan waktu untuk bermain-main, tetapi terbatas waktunya serta diawasi bentuk permainannya agar tidak menjurus kepada perbuatan yang tak senonoh. Dalam bermain-main, anak-anak akan memperoleh pengalaman bagaimana menghadapi sifat tiap-tiap orang (kawannya) sebab di antara kawan-kawannya terdapat anak yang baik, kurang baik, tidak baik, yang pintar, yang pandai, dan yang bodoh.
Dari kawan-kawannya yang memiliki sifat-sifat baik (jujur, berani, dan pandai), anak-anak akan memperoleh pelajaran yang baik dan mungkin akan menirunya. Menghadapi kawannya yang pintar (tetapi jahat), ia akan mencari akal bagaimana mengalahkannya. Dalam bermain itulah anak-anak bisa memperoleh pengalaman sangat berharga unruk hidupnya di masa depan. Tetapi juga sebaliknya, dari bermain, anak-anak akan memperoleh pengaruh yang tidak baik. Di sinilah pentingnya pengawasan orang tua terhadap permainan anak-anaknya. Yang sudah jelas, dari bermain-main, anak-anak akan memperoleh perkembangan rohani dan jasmani, dan bahkan kecerdasan, jikalau mereka memperoleh jenis permainan yang baik dan kawan yang baik pula. Maka, sekali lagi, para orang tua seyogyanya memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk bermain-main, dalam jangka waktu yang tertentu, dan tetap di dalam pengawasan orang tua.
Adakalanya orang tua amat sayang kepada anaknya. Tak diizinkan anaknya bermain-main sesama kawan-kawannya. Macam-macam timbul kekhawatiran di hatinya. "Jangan ikut-ikut mandi di sungai, nanti kau tenggelam!" katanya.
"Buat apa memanjat pohon, nanti kau jatuh" begitu jawabnya ketika anaknya hendak memetik buah mangga di depan rumahnya. "Aduh Nak, nanti kau sakit kalau hujan- hujanan!" ketika dilihatnya sang anak main hujan-hujanan dengan kawan-kawannya. Orang tua yang demikian ini bukan memperkembang pendidikan anaknya, dia bukanlah memberikan kasih sayang secara tepat. Dia sebenarnya telah mematikan inisiatif dan kreasi anaknya. Akibatnya, sang anak menjadi orang yang serba takut. Takut hidup, dan takut menempuh risiko. Tidak mempunyai semangat juang. Sang anak akan menjadi orang yang manja hidupnya hingga tidak memiliki daya ketahanan menghadapi kesulitan hidup. Biarkan
67
 
anak mandi di sungai, asal belajar dulu berenang, waspada terhadap datangnya bahaya banjir, dan sebagainya. Biarkan anak memanjat pohon, asalkan berhati-hati, injaklah dahan yang  kuat,  pegang  erat-erat  dahan  di  sampingnya.  Ingatkan  bahwa  banyak semut rangrang (serangga) yang sengatannya gatal, dan sebagainya. Biarkan sesekali anak-anak main hujan-hujanan agar dia mempunyai daya tahan, asal jangan terlampau lama.
Kita selalu mengharapkan anak-anak kita akan hidup bahagia di kemudian han. Untuk itu, kita bersedia berbuat apa saja (dalam arti yang baik tentu). Akan tetapi kita tidak tahu qadla dan takdir Illahi. Manusia hanya bisa merencana, Tuhan yang menentukan. Untuk menjalani hidup bahagia dan enak, semua orang akan bisa menjalaninya tanpa belajar dan tanpa latihan (sungguhpun untuk ini diperlukan juga persiapan mental dan latihan). Akan tetapi yang sudah terang, untuk menjalani hidup serba susah dan serba kekurangan, benar-benar diperlukan persiapan mental dan latihan-latihan. Untuk itu, anak- anak kita latih hidup menderita, kita biasakan percaya kepada diri sendiri. Kelak jika mereka (na'udzubillahi) hidup susah, mereka telah terlatih dan telah mempunyai persiapan kesabaran, dan tak akan berputus-asa. Akan tetapi jika di kemudian hari mereka mengalarm nasib baik hidup serba enak, mereka tidak akan lupa daratan dan akan menjadi orang yang dermawan karena telah tahu benar, alangkah tidak nyamannya hidup susah itu.
Salah seorang guruku, K.H.A. Wahid Hasyim, pernah menceritakan:
Pada suatu hari datanglah bertamu salah seorang sahabatnya bernama Kiai Abdullah Ubad dengan membawa seorang puteranya berusia kira-kira 3 tahun. Dihidangkanlah minuman teh 3 cangkir, satu untuk Kiai Abdullah Ubaid, satu untuk puteranya, dan satu lagi untuk sabibul bait, tuan rumah. Terjadilah pembicaraan antara ayah dan anak. Sang anak meminta agar ayahnya mengambilkan minuman. Dijawab, agar ia mengambil sendiri karena minuman berada di dekatnya. Sang anak tetap meminta ayahnya yang mengambilkan karena takut kalau-kalau cangkir terjatuh lalu pecah.
Ayahnya tetap menyuruh ia mengambil sendiri sambil membesarkan hatinya bahwa kalau memegangnya hari-hari Insya Allah tidak akan jatuh. Sang anak masih menawar lagi agar diambilkan ayahnya karena tehnya panas. Kiai Abdullah Ubaid menenangkan hatinya agar bersabar beberapa saat karena teh akan dingin dengan sendirinya. Selama pembicaraan antara Kiai Abdullah Ubaid dengan puteranya, K.H.A. Wahid Hasyim hanya berdiam diri, tidak ikut campur tangan.
Dari sekelumit peristiwa sederhana ini, K.H. A. Wahid Hasyim mengatakan kepadaku bahwa Kiai Abdullah Ubaid merupakan sebuah contoh dari seorang ayah yang pandai mendidik puteranya. Sejak usia kira-kira 3-4 tahun puteranya sudah ditanamkan rasa percaya kepada diri sendiri dan mulai diajarkan tentang arti bersabar. Bersabar dalam arti tetap menjaga etiket seorang tamu yang kurang pantas menuangkan air teh di atas piring hanya karena ingin agar teh yang masih panas itu segera menjadi dingin. K.H.A. Wahid Hasyim tidak saja memandang Kiai Abdullah Ubaid sebagai seorang pendidik, tetapi sekaligus seorang pemimpin yang memberikan jalan keluar kepada puteranya dengan menyuruhnya sedikit bersabar karena teh dengan sendirinya akan menjadi dingin dan mudah untuk diminum oleh anak-anak. K.H.A. Wahid Hasyim dan tamunya saling melepaskan senyumnya setelah dilihat bahwa akhirnya sang anak bisa minum sendin tanpa bantuan orang lain. Kedua- duanya puas dengan hasil pendidikan kilat ini, dan tak kurang-kurang puasnya adalah sang anak sendiri yang ternyata dengan amat mudahnya bisa menghilangkan rasa hausnya dengan kemampuan sendiri.
68
 
Kisah sederhana ini amat penting artinya bagi seorang guru maupun bagi seorang ayah atau ibu. Kepada anak harus ditanamkan kepercayaan pada dirinya sendiri, dimulai dari pekerjaan-pekerjaan yang kecil dan mudah. Guru maupun orang tualah yang harus membangkitkan semangat berani berbuat sambil diberikan petunjuk agar dapat dikerjakan dengan baik. Suatu ketika anak kita jatuh dari sepeda. Kita cepat-cepat memberikan reaksi sambil berteriak: "Aku sudah bilang, jangan naik sepeda, nanti jatuh!" Cara demikian tentu amat salah. Naik sepeda tidak merupakan larangan, bahkan seharusnya tiap-tiap anak bisa naik sepeda. Yang penting harus kita peringatkan kepada anak, kalau berhati-hati, misalnya jangan ditambah kecepatannya kalau hendak membelok, niscaya tidak jatuh. Kadang- kadang kita lihat seorang ayah atau ibu melarang anaknya berlari-lari sambil katanya: "Jangan lari-lari nanti jatuh!" Ini tentu tidak baik pengaruhnya bagi anak-anak. Kepandaian lari adalah sangat penting. Bagaimana kalau pada suatu hari orang harus cepat-cepat lari untuk menghindarkan suatu bencana yang sekonyong-konyong datang, padahal ia tak pandai lari, hanya karena waktu kecil dilarang lari oleh orang tuanya. Ucapan orang tuanya: "Jangan lari-lari nanti jatuh" akan menanamkan pengertian pada jiwa anak bahwa berlari sama dengan jatuh. Sebab itu, ia tak akan lari untuk selama-lamanya. la tak ingin belajar lari karena dalam bayangannya, lari sama dengan jatuh, sedangkan jatuh sama dengan sakit. Selama hidupnya akan menjadi orang yang lembek, tidak mempunyai semangat juang, tidak memiliki keberanian memasuki perlombaan dalam hidup, tidak akan berani menghadapi suatu perjuangan apa pun yang bersemboyankan: Siapa cepat, ia dapat! (dalam arti yang baik).
Pendidikan membina watak dalam tingkat pendahuluan seperti yang dikemukakan di muka, lalu diperkembangkan dengan jalan bermain-main di antara sesama kawan-kawannya, akan menyebabkan pertumbuhan rohani dan jasmani bahkan pikiran yang sangat berguna.
Ketika aku masih kanak-kanak, aku biasa memanjat pohon sawo yang cukup tinggi di sebelah rumah ayah, untuk memetik buah sawo yang sudah tua. Sebelum naik ke pohon, ayah menasehati agar aku berhati-hati dan menganjurkan tidak usah memanjat hingga puncaknya. Naikilah dahannya yang kuat-kuat saja yang mampu menahan berat badanmu. Yang ada di puncak biarlah ayah yang memetiknya, katanya. Aku jadi bersemangat memanjat pohon ini. Pekerjaan ini sekaligus menimbulkan rasa bangga di hatiku karena aku telah bisa menyelesaikan pekerjaan yang "besar" sekaligus merasa bangga pula karena aku bisa membantu pekerjaan ayah. Dan akhirnya, setelah buah sawo selesai dipetik dan dicuci, lalu dijual ke warung sebelah rumahku. Dari hasilnya, ayah memberi hadiah 5 sen. Sebenarnya tanpa hadiah pun aku telah merasa berbahagia. Tentu bertambah kebahagiaanku karena dengan 5 sen hadiah dan ayah itu, aku bisa menyimpan uang jajan buat 3 hari.
Pengalamanku bermain-main dengan teman-temanku di waktu kanak-kanak amat besar sekali manfaatnya untuk hari kemudian. Aku biasa memandikan dua ekor kuda milik ayah di sungai. Jika kuda telah kumandikan dan sudah bersih, aku mengambil kesempatan untuk berkejar-kejaran sambil berenang-renang di sungai. Hal ini bukan saja mendidik semangat bertarung, tetapi juga rasa tanggung jawab atas keselamatan sendiri. Aku harus bisa menang dalam pertarungan kejar mengejar ini, tetapi aku juga harus menjaga keselamatanku sendiri, karena aku tengah berada di permukaan air, salah-salah aku bisa tenggelam sendiri. Setelah aku menjadi dewasa, aku mengalami sendiri bahwa hidup dalam masyarakat memanglah bertanding semangat berkejar-kejaran, tetapi tetap harus menjaga keselamatan din sendiri. Aku senang pergi ke kebun tebu pada musim menebang batang tebu    tiba (magas    istilah di    kampungku).    Aku    dan    teman-teman
69
 
memungut bonggol/batang tebu yang sengaja dibiarkan oleh para pekerja ondernemeng tebu. Sebagaimana diketahui, batang tebu itu diangkut dengan lori untuk dibawa ke pabrik gula. Kami anak-anak memungut bonggol-bonggol tebu itu, kami bakar dengan daun-daun tebu yang kering, dan kalau sudah cukup matang, masya Allah bukan main manisnya air tebu yang hangat-hangat itu. Biasa, di tengah kebun tebu itu berdiri satu dua orang sinder Belanda yang mengawasi pekerja-pekerja melakukan tugasnya.
Sinder-sinder itu didampingi oleh mandor-mandor bangsa kita. Aku melihat perbedaan yang menyolok antara sinder dan mandor di satu pihak dengan para pekerja di lain pihak. Mandor-mandor itu, apalagi sinder, pekerjaannya cuma mengawasi, berjalan hilir-mudik sambil memegang tongkatnya, sedang pakaiannya tetap bersih walaupun di tengah sawah. Tetapi para pekerja itu pekerjaannya menebang batang-batang tebu, mengikatnya dengan tali, mengangkatnya ke atas pundaknya, dibawanya ke atas lori atau gerobak, bekerja sambil setengah lari keringatnya membasahi seluruh tubuhnya dan pakaiannya compang- camping.
Aku dengar bahwa upah mereka hanya 4 sen sehari. Padahal para mandor gajinya sekitar
15 rupiah sebulan atau 50 sen sehari. Dari apa yang aku lihat itu, aku memperoleh kesimpulan bahwa yang membuat perbedaan penghasilan antara dua makhluk ini hanya terletak pada kepandaian atau ilmu. Yang satu berpendidikan, sedang yang lain tidak. Aku tidak berhasil mengetahui berapa gaji tuan-tuan sinder Belanda itu karena tak seorang pun yang tahu. Yang terang, pastilah jauh lebih besar! Seperti langit dengan dasar sumur (tidak cukup cuma dengan bumi, tetapi masih masuk lagi ke dalam sumur.)
Maka dalam kursus wali murid itu, aku tegaskan bahwa sangatlah penting memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk bermain-main sesama kawannya. Tugas orang tua hanyalah mengawasi agar sifat bermain-mainnya itu tidak membahayakan keselamatan mereka serta pertumbuhan pendidikannya.


Membantu pekerjaan orang tua
Kecuali bermain-main, anak-anak penting sekali dibiasakan bekerja membantu orang tuanya di rumah. Membantu pekerjaan orang tuanya di sawah jika ia seorang petani, membantu pekerjaan di toko jika ia bertoko, membantu pekerjaan bengkel jika orang tuanya mempunyai perusahaan bengkel. Alhasil, pekerjaan apa saja dari usaha orang tuanya di rumah.
Tentu harus diingat bahwa tujuannya sekedar mendidik anak-anak agar mencintai pekerjaan, bukan memperlakukannya sebagai pekerja atau buruhnya. Maka haruslah diingat pula waktu buat belajar, waktu bermain-main, dan waktu istirahat (tidur). Dengan membantu pekerjaan orang tua, dimasukkan juga sikap mental bahwa: usaha paling mulia adalah hasil usaha atau buah tangannya sendiri. Kelak anak-anak akan mempunyai pandangan bahwa bekerja adalah perbuatan mulia. Sebaliknya menganggur bukan saja tidak baik akan tetapi merupakan benalu atau parasit dalam masyarakat. Kelak mereka akan mempunyai pendirian bahwa semua pekerjaan (asal halal) adalah perbuatan utama dan akan menghargai setiap pekerja. Pekerjaan mencangkul di sawah walaupun bergelimang dengan lumpur, atau tukang di bengkel sekalipun bajunya berlumuran minyak, adalah pekerjaan mulia. Sebaliknya, pekerjaan menipu atau korupsi, sekalipun dikerjakan di atas meja tulis yang mengkilap, adalah hina.

70
 
Ketika aku masih kanak-kanak, aku biasa membantu pekerjaan Ayah memelihara dua ekor kuda. Aku biasa memotong rumput untuk dicampur dengan jenangan dedak (katul) buat makanan kuda. Aku juga membersihkan kandang kuda, membuang kotoran kuda, serta melicinkan lantai kandangnya. Hidungku sampai kebal terhadap bau yang tak sedap dari kotoran kuda. Tak pernah kuanggap hina pekerjaan ini, karena aku telah bisa membantu pekerjaan ayah. Dan kawan-kawanku pun tak ada yang mengolok-olok aku dengan pekerjaanku itu.
Ibu biasa membatik kain dengan tangannya sendiri (bukan dengan cap tetapi dengan tulisannya sendiri). Kadang-kadang Ibu membatik miliknya sendiri untuk kemudian dibabar (diproses menjadi kain batik jadi), kadang-kadang atas pesanan orang sekedar membatik saja (tidak diproses menjadi kain batik jadi) dengan memperoleh upah.
Aku biasa membantu Ibu membuat garis-garis di atas mori dengan pensil agar batikan tulis Ibu menjadi lurus-lurus menelusuri garis-garis pensil, atau aku mengantarkan hasil batiknya kepada pemesan untuk menerima pula pembayaran harganya. Pernah suatu ketika aku minta maaf kepada Ibu agar aku jangan disuruh demiklan. Alasanku karena aku malu harus menunggu menerima uang dari pembayaran pihak pemesan. Kalau sekedar mengantarkan saja aku mau. Tetapi Ibu menasehati aku agar aku mau melakukannya. Ibu katakan, kalau nanti aku menerima uang pembayarannya, maka Ibu bisa membeli beras buat makan kami semua seisi rumah, dan bahkan bisa membayar uang sekolah. Lagi pula, demikian kata Ibu, itu uang kita sendiri, hak kita, kita bukannya meminta-minta!
Maka, membiasakan membantu pekerjaan orang tua akan menimbulkan keinsyafan member! imbalan jasa kepada orang lain yang telah berbuat baik kepada dirinya. Tidak ada orang tua yang mengharapkan imbalan jasa dari anak-anaknya. Tetapi kewajiban orang tua mendidik anak-anaknya agar mereka mempunyai rasa berkewajiban memberi imbalan jasa kepada orang lain, karena hal demikian merupakan suatu keharusan dalam pergaulan hidup. Jikalau kepada orang yang paling berjasa dan paling dekat hubungannya (yaitu orang tua) tidak merasa berkewajiban untuk menghargai dan memberi imbalan jasa sebagai tanda berterimakasih, betapa pula terhadap orang lain yang tidak sedekat orang tuanya? Hal itu sangat berbahaya, karena bisa menumbuhkan sifat ananiyah atau ego sentris, yang hanya menonjolkan rasa akunya.


Waktu untuk belajar
Waktu dan tempat belajar, resminya memang di sekolah atau di madrasah. Akan tetapi, pelajaran di madrasah atau di sekolah akan mudah terlupa jika tidak diungkap kembali di rumah. Tidak cukup sekali dua, tetapi berulang-ulang. Ilmu ibarat permata, semakin digosok akan semakin bercahaya. Ilmu berbeda jauh dengan harta. Ilmu akan menjadi bertambah- tambah bila dipergunakan, tetapi tidak demikian halnya dengan harta akan menjadi kurang, dan bahkan habis bila dipergunakan atau dibelanjakan.
Ada seorang anak yang merasa telah pandai di madrasahnya hingga ia merasa tidak perlu belajar di rumah. Ini harus dicegah, karena bisa menimbulkan sifat gemar meremehkan sesuatu dan akhirnya menjadi orang yang takabur. Jikalau anak yang merasa pandai sekalipun, masih harus belajar di rumah, apalagi untuk anak yang tidak begitu maju di madrasahnya.

71
 
Orang tua hendaklah mengawasi benar apakah anaknya cuma menghabiskan waktunya di rumah untuk bermain-main, tanpa menyediakan waktu unfuk belajar. Bagaimanapun juga, waktu untuk belajar di rumah harus diindahkan anaknya. Carikan waktu sehabis ia bermain- main. la akan mempunyai rasa seolah-olah merupakan suatu imbalan sehabis bermain- main. Tidak perlu terlampau lama waktu untuk belajar di rumah. Dalam seharinya, cukuplah menyediakan waktunya barang 1 jam. Timbulkan semangat di hati anak untuk mau bertanya mengenai hal yang ia tidak mengerti. Bertanya adalah kunci pengetahuan. Malu bertanya sesat dijalan, demikian kata peribahasa. Memang tidak semua orang tua bisa dijadikan tempat bertanya mengenai pelajaran madrasah atau sekolah. Jika ia mempunyai saudara yang lebih tinggi tingkatannya, anjurkan agar ia menjadikan saudaranya tempat bertanya. Atau kalau tidak, anjurkan agar anaknya mencatat mana-mana yang dimusykilkan, untuk esok harinya ditanyakan kepada gurunya.
Belajar di rumah akan menumbuhkan ikatan batin antara suasana rumah dengan sekolah atau madrasahnya, antara orang tuanya dengan gurunya.


Waktu istirahat (tidur)
Mengapa soal istirahat dan tidur aku mintakan perhatian dari para wali murid? Bukankah soal itu perkara paling mudah? Sepintas lalu memang benar. Semua orang bisa istirahat, maksudku: bahwa istirahat suatu perkara yang bisa dilakukan semua orang. Begitu pula soal tidur. Tetapi soalnya tidak hanya demikian. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan istirahat dan tidur.
Pengalamanku, ketika aku masih kanak-kanak boleh dibilang aku tak pernah tidur di waktu siang. Pagi hingga pukul 12 sekolah "Ongko-Loro" (sekolah dasar negen), pukul 2.30 hingga pukul 5 sore sekolah madrasah. Pukul 6 hingga 9 petang mengaji di surau. Waktu yang kosong dari itu semua, aku pergunakan untuk bekerja membantu orang tua, untuk bermain- main dengan teman-teman, dan untuk istirahat (tidur). Karena tak pernah tidur siang, maka sesekali aku ketiduran karena sangat mengantuk (habis begadang malam hari, misalnya, salah seorang teman disunat). Jika melihat aku ketiduran di waktu siang, maka ayah atau ibu mengira aku sakit.
Istirahat bukan sekedar berdiam diri, tak membuat gerakan-gerakan. Kadang-kadang aku merasa penat setelah berjam-jam belajar di rumah, misalnya membaca dan menghafal. Karena rasa penat ini, aku berhenti belajar, buku ditutup. Aku hampiri sepedaku, aku bersihkan dia. Penat membersihkan sepeda, aku mengambil sapu membersihkan lantai di rumah. Aku rasakan bahwa berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, merupakan   istirahat   juga.   Atau   aku   berbincang-bincang   dengan   ibu atau simbok (pembantu), itu pun merupakan suatu istirahat. Atau aku mengambil air, menimba di sumur untuk mengisi kamar mandi. Pengalaman masa kanak-kanak ini, aku terangkan kepada wali murid, agar meletakkan arti istirahat dalam makna yang berfaedah bagi kesehatan dan pertumbuhan jiwa anak-anaknya.
Salah satu kegemaranku ketika masih kanak-kanak ialah tidur di surau atau di masjid. Di sana banyak teman-teman, terasa adanya kehidupan yang bebas. Bercanda, membual, dan berdebat hingga jauh malam. Jika perut merasa lapar dan di kantong tak ada uang, maka pergi beramai-ramai mencari mangsa. Pohon mangga atau jambu milik tetangga menjadi sasaran utama. Pernah, suatu malam karni berlima menghampiri sebatang pohon jambu milik seorang Arab, yang tak jauh letaknya dari masjid tempat kami tidur. Dua orang
72
 
temanku memanjat pohon jambu, kami bertiga menunggui di bawah. Kami bersekutu menggasak jambu tuan Arab ini. Malang bagi kami, pemilik jambu keluar dari rumahnya langsung menghampiri kami sambil setengah teriak:
"Begini malam curi jambu. Hayo turun!"
"Jambu yang matang sudah aku petik semua tadi siang. Kalau mau jambu jangan petik yang di pohon, itu masih mentah. Nanti aku ambilkan di rumah," demikian katanya.
Karuan saja, kami semua jadi merasa malu. Tuan Saleh Bauzir (pemilik pohon jambu), kenal betul kepada kami semua. Kami tinggalkan pohon itu, dan tentu saja kami malu menerima tawarannya yang murah had itu.
Memang, tidur di masjid terasa bebas sekali. Kami bisa pergi ke mana saja, pergi iseng untuk periang-riang. Sekali waktu kami mencari sasaran... anjing milik Babah Cu Kao. Kami, anak-anak Kauman, terkenal sebagai tukang mengganyang anjing. Kalau satu ketika seekor anjing masuk kampungku, Kauman, jangan harap dia bisa selamat. Berpuluh-puluh anak- anak siap dengan batu di tangannya, mengepung anjing yang sial itu dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri. Dalam waktu tidak lama, anjing dibikin wassalam. Kami semua merasa puas seperti habis mayoran, pesta-pora. Itu kalau siang hari, anjing masuk Kauman mencari algojo-algojo. Tapi kalau malam hari, anak-anak yang mencari anjing untuk diganyang sampai mampus.
Demikianlah akibatnya jika anak-anak tidur di masjid, anak-anak tidak terkontrol apa yang diperbuat. Masjid dijadikan markas untuk acara ngelayap.
Oleh sebab itu, Ayahku paling keras melarang aku tidur di masjid. Ayah paling tahu apa yang diperbuat oleh anak-anak kalau tidur di masjid. Sesekali aku tidur di masjid tanpa izinnya, aku bisa diguyur air satu ember hingga basah kuyup. Kadang-kadang memang, Ayah memberi izin aku tidur di masjid kalau misalnya kebetulan ada perayaan Mauludan (peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad Saw) atau malam Idul Fitri. Itu pun dengan nasihatnya, wanti-wanti agar aku tidak ngelayap. Ayah melarang sangat, aku ikut- ikutan membunuh anjing. Apa salahnya anjing hingga dibunuh?
"Kena jilatan anjing memang najis mughalladhah. Tetapi anjing itu sendiri tidak berdosa," kata Ayah.
"Kan mengandung najis, Ayah?" kataku. "Kalau karena mengandung najis, nah, dalam perut ayah ini ada kotoran yang juga najis. Apakah ayah harus dilempari dengan batu?" balas Ayah dengan pertanyaan yang mematikan alasanku. Aku diam mengaku salah.
Oleh sebab itu, dalam pertemuan wali murid aku tekankan, sebaiknya anak-anak dibiasakan tidur di rumahnya sendiri. Sesekali boleh saja tidur di rumah teman, tetapi harus dititipkan kepada tuan rumah, dan anak-anak dinasihati agar memelihara kesopanan dan sebagainya. Itu pun tidaklah sering-sering. Dan sebagai imbalannya, teman-temannya sesekali tidur juga di rumahnya. Dengan demikian, akan terjalin juga persahabatan antara sesama orang tua.
Agama hendaklah dilaksanakan secara menyeluruh. Artinya, dikerjakan dalam gabungan antara keyakinan, pengertian, dan praktek sehari-hari. Tiap-tiap rumah tangga harus menjadi tempat untuk menghayati praktik beragama, dengan diresapi dalam suasana yang terus-menerus.
Sebenarnya tidaklah terlampau sukar, asal ada kemauan dan ketekunan dari kalangan orang tua. Kita sekarang, setelah anak-beranak, merasa sangat beruntung bahwa dahulu
73
 
orang tua kita membiasakan kita semua mempraktikkan beragama dalam kehidupan sehari- hari di rumah kita masing-masing. Bahkan, kadang-kadang kita juga merasa sangat beruntung bahwa orang tua kita seperti memaksakan sesuatu kepada kita. Kita sering merenungkan sekarang, andai kata orang tua kita tidak memaksakan kita berpuasa atau sembahyang, apa jadinya kita sekarang ini?
Tetapi kita, para orang tua, bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk anak-anak kita, tanpa adanya paksaan. Kita membiasakan. Menjadikannya perbuatan yang berulang-ulang. Melatih diri dan membiasakan itu bukanlah perbuatan paksaan. Kita menyadari bahwa kita telah beragama. Kita telah yakin tentang kebenaran agama yang kita peluk. Kita juga mempunyai pengertian bahwa beragama artinya begini dan begitu. Lalu kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari, dan dalam lingkungan rumah tangga, kita biasakan untuk menjalankannya berulang-ulang. Apalagi praktik beragama itu harus dimulai sejak masih kanak-kanak. Anak-anak kita akan mengikuti apa yang menjadi kebiasaan kita sehari-hari.
Kalau kita hidup secara sederhana dalam praktik sehari-hari, anak-anak kita akan menjalankan pola hidup sederhana itu. Sebaliknya, kalau kita hidup dengan pola bermewah- mewah, tak mau tahu tetangga kiri kanan, maka anak-anak kita pun akan meniru pola demikian, mungkin akan lebih maju lagi.
Ambillah contoh tentang waktu makan dan caranya.
Makan bersama seisi rumah itu lebih baik. Lebih hemat dan berkah (ada perasaan bahagia). Jika anak telah banyak, tidaklah mudah untuk melakukan makan bersama. Ada yang masih sekolah, ada yang sedang pergi ke rumah temannya, ada yang lagi mengikuti kursus, dan sebagainya. Tetapi kita bisa mengambil salah satu waktu makan yang paling mungkin, bisa berkumpul semuanya. Mungkin pada waktu makan siang, atau makan malam.
Ambil saja misalnya waktu makan malam. Di saat itu, seisi rumah bisa berkumpul. Kita makan bersama. Sudah tertentu di mana tempat duduk masing-masing. Biasanya anak paling kecil duduk dekat ayah atau ibunya, lalu kakaknya dan seterusnya hingga yang paling besar mengambil tempat paling jauh dari tempat duduk ayah dan ibunya.
Sekaligus kita pergunakan waktu makan itu untuk membiasakan sopan santun dalam makan. Ayah dan ibu paling dulu mengambil tempat duduk, dan paling dulu pula meninggalkan meja makan. Tidak memulai mengambil makanan sebelum ayah dan ibu mengambilnya terlebih dahulu. Mengambil jenis lauk pauk mendahulukan yang paling dekat di depannya. Masing-masing saling mengedarkan ganti-berganti. Selama makan berlangsung, hendaklah dijaga agar suasana menyenangkan, rileks. Bicara hal-hal yang menyenangkan, ringan tetapi berfaedah. Orang tua harus segera membetulkan bila terdapat sesuatu yang tidak layak, misalnya kegaduhan, dahulu-mendahului, dan sebagainya.
Dalam kursus-kursus wall murid, selalu aku terangkan bahwa makan bersama termasuk yang dianjurkan oleh Islam. Hidangan untuk dua orang cukup dipergunakan untuk tiga orang, hidangan untuk tiga orang cukup pula untuk empat orang, dan seterusnya. Di situ letaknya arti berkah atau berkat. Dalam makan bersama, sekaligus mendidik anak-anak dan diri kita juga untuk mengenal dan membiasakan ketertiban, memperhatikan kepentingan orang lain, menikmati serta mensyukuri rezeki karunia Allah SWT, dan mempererat hubungan lahir batin sebagai satu keluarga.
Ketika usiaku 13 tahun, untuk beberapa bulan aku tinggal di rumah kakek di Cilacap. Salah satu kebiasaan yang baik dari kakek ialah membiasakan makan bersama. Beliau duduk

74
 
bersanding dengan nenek di tengah-tengah dengan dikelilingi oleh paman-pamanku dan bibi-bibiku. Akulah satu-satunya cucu yang turut makan bersama. Kadang-kadang kami makan dengan tangan dan kadang-kadang memakai sendok dan garpu. Dengan demikian, terbiasakanlah kami bagaimana cara makan yang baik, apakah memakai tangan ataukah memakai sendok dan garpu. Aku masih ingat betul bahwa paman-pamanku dan bibi-bibiku belum berani mengambil tempat duduknya masing-masing sebelum kakek dan nenek mengambil tempat duduknya. Jika saja kakek dan nenek telah mengambil tempat duduk, tetapi masih ada pamanku atau bibiku yang belum memasuki ruangan makan, maka beliau belum memulai makan. Apabila semuanya telah siap untuk memulai makan, kakek memberi nasihat secara umum, agar semuanya tepat datang di meja makan, tidak baik orang yang lebih muda usianya datang terlambat. Dan sesekali kakek atau nenek terlambat datang, maka semuanya menantikan dengan sabar. Salah seorang pamanku datang ke meja makan dengan hanya memakai singlet saja. Kakek menasihati agar ia memakai baju, kemeja, atau piama. Kami harus membiasakan berpakaian sopan di hadapan orang banyak, agar kita belajar menghargai orang lain. Tak perlu yang sebagus-bagusnya, tetapi cukuplah bila memakai pakaian yang pantas dan bersih. Lauk pauk yang berada di muka kami tidak boleh dibiarkan tetap dihadapi sendiri, tetapi haruslah diedarkan, karena orang lain juga memerlukannya. Ini merupakan pendidikan agar kita semua senantiasa mengindahkan kepentingan orang lain. Nenek tahu kegemaran kakek kalau bersantap.
Beliau membuatkan sayur opor dari kol atau kubis untuk kakek. Opor kol itu hanya dibikin sepinggan untuk kakek sendin. Karena harga kol atau kubis cukup mahal, maka nenek tidak membuatkan untuk kami semua. Tetapi kakek tahu perasaan kami. Beliau mengambil sekedar dua sendok, sisanya dibagikan untuk kami semua. Walaupun tidak banyak, tetapi kami merasa puas karena kami masing-masing dapat merasakan opor kol yang lezat itu. Kejadian ini menimbulkan pelajaran padaku bahwa sifat orang tua selamanya ingin merasakan enak bersama-sama, tidak ingin merasakannya sendian. Sikap kakek yang demikian itu menimbulkan rasa hormat pada kami terhadap beliau. Kami juga menyadari mengapa saban-saban nenek hanya membuatkan sepinggan opor kol, pertama karena sikap hormat kepada kakek sebagai suaminya, itu kegemaran kakek, dan kedua karena menyangkut anggaran rumah tangga.
Tidak cukup biaya untuk saban-saban membuat opor kol kegemaran kakek untuk kami semua. Kol atau kubis termasuk jenis sayuran yang mahal harganya, termasuk barang lux waktu itu. Ada hal lain lagi yang aku masih ingat betul. Aku mengharapkan memperoleh kepala ayam yang terletak jauh dari hadapanku, tetapi kedahuluan diambil oleh paman. Tentu saja aku mendongkol. Caranya paman ngeletak kepala ayam aku awasi dari jauh. Hal ini diketahui oleh kakek. Beliau memberi nasehat secara umum bahwa tidaklah sopan jika seseorang mengawasi mulut orang lain yang sedang mengunyah makanan. Melirik ke piring orang lain saja tidaklah sopan, apalagi mengawasi gerakan-gerakan mulutnya yang sedang melakukan tugasnya.
Tengah makan bersama, kadang-kadang hanya kakek dan nenek saja yang berbicara, sesekali paman yang tertua ikut berbicara. Tetapi kami yang lain diam saja mendengarkan. Diceritakan bahwa tetangga sebelah, tadi malam rumahnya kemasukan pencuri, beberapa barang miliknya yang berharga dibawa kabur. Ternyata, hal itu disebabkan karena suatu kelalaian, tidak meneliri pintu dan jendela, apakah telah terkunci sebelum masuk ridur. Cerita ini tentulah berkesan di hati kami agar kami lebih teliti lagi mengawasi serta memeriksa pintu-pintu dan jendela sebelum masuk tidur. Juga teringatlah aku akan pelajaran kiai di surau, sebelum tidur membaca-bacalah doa terutama Ayat Kursi, memohon
75
 
kepada Allah SWT agar terlindunglah dari segala bahaya selama kami tidur. Karena Allah Maha Pelindung tak pernah lengah sedetik pun!
Kami tak berani meninggalkan meja makan, sebelum kakek lebih dahulu meninggalkannya. Ini malah kebetulan. Kami bisa sedikit meneruskan ronde kedua, atau menyomot lagi sisa tempe goreng yang tadi sudah kuincar dari kejauhan, dibiarkan tetap bertengger di atas piring cuma karena aku malu dan segan kepada kakek. Tetapi nenek menasihati, ingat si Anu belum makan, sisihkan buat dia, jangan dihabiskan! Sambil meninggalkan ruang makan, nenek berjalan sambil menggerutu: "Tadi kelihatannya sudah pada kenyang, kiranya pada tak bisa rnenggantung gigi..." Kami saling berpandang-pandangan sambil menghabiskan tempe goreng.
Ada lagi hikmat yang penting dalam makan bersama. Kadang-kadang aku mau makan banyak-banyak. Rasanya tak ada kenyang-kenyangnya. Kalau sedang makan sendirian, pastilah selera itu dituruti sejauh-jauhnya. Karena tak ada orang lain, maka tak ada yang disegani. Akibatnya, sifat serakah dan rakus itu dileluasakan dengan bebasnya. Tetapi tidaklah demikian kalau kita makan bersama. Mau tak mau aku harus membatasi diri, mesti tahu diri, dalam istilah akhlak disebut muruah. Artinya, orang harus mempunyai sikap perwira, tahu malu. Orang tak akan menjunjung sopan santun kalau tidak karena mempunyai malu. Siapa tidak mempunyai sifat malu, maka ia akan berbuat apa saja yang dimaui hawa nafsunya. Jika anda tidak mempunyai sifat malu, silakan berbuat sesuka hati anda! demikian tantangan Nabi kita kepada orang-orang yang tak punya malu. Lagi pula, orang makan sekedar menghilangkan rasa lapar, bukan mengumbar nafsu. Makanlah yang halal, dan yang baik (sesuai dengan kadar gizi yang diperlukan), tetapi jangan berlebih- lebihan. Imam Ghazali memperingatkan orang bahwa orang mukmin makan dengan satu perut, tetapi orang munafik makan dengan tujuh perut!
Dengan makan bersama, maka dibiasakanlah kita bersikap ksatria, tahu diri, dan tahu malu. Orang yang tak tahu malu, tak tahu diri, dan tak sadar dalam mengumbar kehendak nafsunya, biasanya dinamai orang mabuk atau gila!
* * *
Seorang wali murid mengajukan pertanyaan mengenai kelakukan anaknya tentang sembahyang. la ingin anaknya menjalankan sembahyang dengan baik. Ya, orang tua mana yang tak ingin melihat anaknya rajin sembahyang, tepat pada waktunya, dan tertib. Tetapi kenyataannya tidaklah selalu demikian. Mereka sering membolos, sembahyang hanya kalau diperintah, itu pun harus beberapa kali.
Aku katakan kepadanya dalam kursus wali murid, bahwa inilah salah satu tugas penting orang tua dalam mendidik watak dan rohani anak-anaknya.
Menjalankan sembahyang adalah penting sekali. Itu merupakan salah satu pelaksanaan beragama dalam kehidupan sehari-hari. Sembahyang itu adalah tiang agama, jika tiang tidak kuat, akan terancam dan bahkan robohlah seluruh bangunan.
Hubungan manusia dengan Al-Khaliq dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan oleh Al- Khaliq, bukan oleh cara yang dikehendaki oleh manusia. Demikian pula waktu-waktunya, ditetapkan oleh Al-Khaliq, bukan oleh kapan manusia sempat melakukannya.
Ada yang memberikan perumpamaan bahwa sembahyang laksana sedang menghadap, bertandang, atau sowan kepada Allah SWT. Bertandang tanda kesetiaan, untuk melaporkan diri, untuk berdialog, dan juga untuk menerima perintah. Bacaan-bacaan dalam sembahyang
76
 
merupakan do'a-do'a dan pernyataan prasetia seorang hamba di hadapan Al-Khaliqnya. Kalimat-kalimatnya, kapan diucapkan, dan berapa jumlah bilangannya, semuanya telah ditentukan.
Kalau kita menghadap seorang pembesar, misalnya kepala negara, apalagi kalau yang wajib, maka waktunya ditetapkan oleh kepala negara, dan bukan oleh kapan kita sempat melakukannya. Kepala negaralah yang menetapkan hari-hari kapan kita bisa diterima, bukan kapan sempat kita dan kepala negara mesti harus menerima kita. Demikian pula soal waktu, pihak istanalah yang menetapkan berapa lama itu dilangsungkan, pakaian apa yang harus dikenakan, dan bagaimana gerakan-gerakan yang harus kita lakukan, berdiri sekian meter, melangkah berapa kali langkah, ucapan-ucapan apa yang boleh disampaikan, dan sebagainya. Semua itu, pihak istanalah yang menetapkan, dan bukan semau kita. Segalanya telah ditetapkan secara protokoler sesuai dengan tata cara istana.
Itu kalau kita menghadap pembesar.
Bagi kita, sembahyang lebih dari cuma sekedar bertandang.
Bagi kita, Allah SWT lebih dari pembesar Dia Al-Khaliq. Dia Rabb al-'Alamin, Tuhan Seru Sekalian Alam.
Tugas orang tua mendidik anak-anaknya agar menjalankan sembahyang karena kesadaran merasa berkewajiban. Menjalankan kewajiban memang berat. Oleh sebab itu, memerlukan pendidikan dan latihan sejak kecil, sejak masa kanak-kanak. Latihan itu menjadi kebiasaan yang terus menerus. Ada suatu peribahasa kita: Alah bisa karena biasa! Peribahasa klasik ini ternyata sangat ampuh, mempunyai bekas yang amat kuat.
Seorang ibu menghampiri anaknya yang kecil ketika bangun pagi. Disongsongnya dengan secercah senyum di pagi yang cerah, dielukan dengan ucapan selamat pagi: "Kau sudah bangun, manis?" sambutnya ramah.
"Mari kutolong mandi!" ibu menghampiri pelan sambil hendak menanggalkan baju anaknya.
―Tak mau mandi, tak mau.    " katanya manja dan masih tetap berbaring dengan malasnya.
"Udin mesti mandi, biar lekas besar, lekas pandai!" ibu membujuk.
"Tak mau ah! Emoh mandi, masih mengantuk!" jawab Udin sambil membalikkan punggung seenaknya.
"Biar Ibu memandikan Udin. Kalau sudah mandi, badan terasa segar dan tidak ngantuk lagi." Ibu membangunkannya sambil mulai melepas pakaiannya.
"Udin mau pipis dulu, dong!" sambil mulai bangun lalu berdiri. Ibu menolong membuka seluruh pakaian anaknya, dituntunnya pergi ke kamar mandi.
Udin mulai mandi, ditolong ibunya.
Hari demi hari peristiwa semacam itu akan terulang, dan orang tua dengan amat rajin membimbing dengan kata-kata yang menyenangkan, menginsyafkan arti penting mandi, dan membancu menyelesaikan bagaimana cara mandi yang baik. Menggosok gigi, mengguyur seluruh badan dengan air hingga rata, digosoknya sekujur badan dengan sabun, dibersihkan dan lalu dikeringkan dengan handuk. Maka selesailah mandi. Peristiwa demikian berlangsung tiap pagi dan sore, tiap hari, tiap minggu, berbulan-bulan lalu menjadi kebiasaan sehari-hari, pagi dan sore. Kini telah timbul suatu kesadaran di hari anak
77
 
bahwa mandi adalah suatu keharusan hidup secara wajar. Kita tidak lagi merengek dengan manja dan harus dibujuk untuk mandi, tetapi begitu ia bangun dari tidur ia akan teriak "Ibu, mandi!" Manakala usia telah bertambah dan kesadaran sudah dimiliki, ia tidak lagi berteriak memanggil ibunya, tetapi ia terus saja pergi ke kamar mandi.
Semua ini, hasil dari kebiasaan lantaran bimbingan dan penginsyafan. Mengenai menyisir rambut, mengenakan pakaian, pergi sekolah, melakukan pekerjaan, membantu orang tua di rumah,  dan  sebagainya,  berjalan  dengan  tertib  pada  waktunya,tanpa  dipaksa lagi, segalanya dikerjakan dengan keikhlasan, kesadaran, dan rasa tanggungjawab.
Demikian pulalah halnya dengan sembahyang.
Dengan melalui pendidikan membiasakan diri bersembahyang, maka anak-anak akan menjalankan sembahyang dengan baik, terrib, dan tepat pada waktunya. Dan yang tak kurang-kurang pentingnya adalah contoh dari orang tua. Artinya, orang tua sendiri mestilah menjalankan sembahyang dengan tertib dan tepat pada waktunya.
Sejak usia 3 tahun anak mulai dibiasakan bersembahyang. Dimulai dengan perkenalan tentang gerakan-gerakan sembahyang: Takbir, sujud, ruku. Begitu juga tentang kalimat- kalimatnya yang pendek: Allahu Akbar, Bismi Allahi ar-rahmani ar-rahim, Ushalli fardha al- maghribi, dan sebagainya.
Paling tidak, dalam sehari sekali anak-anak dibiasakan sembahyang bersama, misalnya waktu maghrib. Waktu itu dimungkinkan anak-anak sudah berkumpul semua di rumah, demikian pula ayah dan ibunya. Waktu maghrib diambil untuk memberikan kesan di hati sanubari anak-anak bahwa waktu petang adalah waktu yang tidak pantas bila anak-anak masih berkeliaran di luar rumah tak menentu, maka patut sekali mereka sudah berada di dalam rumah. Teringat padaku, di kalangan supir-supir ada sebuah pomeo bahwa waktu maghrib saatnya setan-setan pada gentayangan di jalan raya,karena itu, mereka lebih berhati-hati mengemudikan mobilnya. Orang tua-tua kita dahulu (biar mereka tidak menjalankan sembahyang) selalu memanggil-manggil anaknya yang masih bermain-main di luar, bila waktu maghrib telah riba. Orang tua-tua menamakan waktu tersebut: sande kola, waktu peralihan dari siang ke malam hari. Bagi mereka yang menjalankan sembahyang adalah sudah jelas, memanggil anak-anaknya untuk bersembahyang bersama. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak sembahyang, baik karena tidak memeluk agama Islam maupun karena sebab lain, adalah untuk mendidik anak-anaknya agar menghormati waktu orang yang sedang sembahyang. Bagi seorang muslim, dengan sendirinya merasa berkewajiban untuk menciptakan suasana agama dalam lingkungan rumah tangganya. Dan sembahyang adalah tiang agama. Menjalankan sembahyang bersama di antara anggota keluarga mempunyai kesan sangat mendalam di lingkungan keluarga, kesan ini akan mempunyai pengaruh dalam perjalanan hidup. Orang yang menjalankan sembahyang akan merasa terikat moril, bahwa ia akan memperlihatkan sikap hidup yang terhormat, layak, dan berkepribadian. Semakin sering bersembahyang, kian mendarah daginglah ikatan moral itu, hingga dengan sendirinya akan merasa malu memperlihatkan sikap hidup yang tidak senonoh. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa sembahyang akan membentuk watak pribadi yang luhur dan mulia, tanpa paksaan dan tanpa larangan orang lain. Imlah yang dinamai menanamkan disiplin pribadi. Sembahyang bersama, di mana ada ayah, ibu, kakak, dan adik berkumpul bersama-sama, akan menimbulkan sikap solider sebagai satu keluarga yang seia-sekata, suatu unsur amat penting dalam pembinaan keluarga yang bahagia.

78
 
Jika waktu maghrib telah tiba, salah seorang anak diserahi azan. Mendengar seruan azan ini seluruh keluarga berkumpul dalam suatu ruangan khusus untuk sembahyang, mushala di rumah.
Kita ini kadang-kadang berbuat hal-hal yang aneh. Jika kita membikin rumah kediaman, kita sediakan ruangan khusus untuk tidur, untuk makan, untuk mandi, untuk tamu, untuk duduk- duduk, untuk masak-memasak, dan untuk menunaikan hajat. Kita beri nama: kamar tidur, kamar makan, kamar mandi, kamar tamu, ruangan duduk, dapur, dan wc. Tetapi untuk sembahyang? Tidak disediakan ruangan khusus untuk sembahyang, padahal ini paling mutlak, tempat kita bersujud kepada Allah SWT. Tidak mengherankan kalau kita sembahyang di sembarang tempat, asal saja. Dan bila kebetulan ada tamu dan tiba waktunya untuk sembahyang, kita jadi kelabakan setengah mari mencari tempat yang pantas menurut pandangan tamu. Bukan pantas menurut pandangan Allah.
Coba, kalau kita mempunyai ruangan khusus buat sembahyang di rumah, alangkah nikmatnya ibadah ini. Bila waktu maghrib telah tiba, salah seorang anak kita melakukan azan. Kita semua kumpul di mushala kita. Ayah menjadi imam sembahyang, ibu, kakak, dan adik menjadi makmum. Dengan khusyuknya, sembahyang kita tunaikan. Kita dengarkan dengan seksama bacaan imam yang merdu suaranya dalam irama sorgawi. Kita ikuti gerakan-gerakan imam dengan patuh karena kita ingin memperoleh sembahyang dengan nilai yang baik. Selesailah sembahyang maghrib. Kita merasakan sesuatu yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kita merasa bahagia. Padahal itu semua tidak memakan waktu lebih dari 6 menit saja. Tidak lama, cuma 6 menit! Sayangkah kita dengan waktu hanya 6 menit? Padahal itu untuk menghadap Tuhan Seru Sekalian Alam, untuk menyatakan rasa terima kasih karena kita diberi hidup dan penghidupan!
Selesai sembahyang, kita masih duduk barang sejenak. Kita lakukan wiridan, membaca rangkaian kalimat-kalimat suci untuk ditanamkan dalam had sanubari kita.
Astaghfiru Alllaha al-'azhim, "aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung!" (Dalam sehari, kita tentu pernah berbuat dosa kepada-Nya).
Alladzi la ilaha illa huwa al-hayyu al-qayyum wa atubu ilaihi, "Dialah Tuhan yang tiada Tuhan kecuali Dia. Allah Yang Mahahidup dan Mahategak Berdiri untuk selama-lamanya. Sebab itu, aku hanya memohon tobat kepada-Nya".
Allahumma anta as-salam wa minka as-salam wa ilaika ya'udu as-salam, fa hayyina rabbana bi as-salam wa adkhilna jarmata daraka dara as-salam tabarakta rabbana wa ta 'alaita ya dza al-jalali wa al-jamali wa al-kamali wa al-qahhari wa al-ikram.
"Ya Allah, Engkaulah sumber keselamatan, dan dari-Mulah datangnya selamat sejahtera, dan kepada-Mu pula tempat kembali segala kesejahteraan. Sebab itu, Ya Tuhan kami, mohon diberi kami hidup dengan selamat sejahtera.
Dan bila tiba saatnya kami Engkau panggil, mohon ditempatkan di sorga-Mu, tempat yang penuh segala kesejahteraan. Mahasuci Engkau Tuhan kami, Dzat Yang Maha-luhur. Ya Tuhan kami yang memiliki segala Keagungan, Keindahan, dan Mahasempurna. Engkau Maha Tak Terkalahkan, lagi Mahamulia!"
Membaca Subhana Allah (Mahasuci Allah) 33 kali. 'Diikuti Al-hamdu li Allah (Segala puji bagi Allah, Hanya Allah Yang Maha Terpuji) 33 kali. Diakhiri AllahuAkbar (Allah Maha Besar)
33 kali. Sebagai penutup wiridan ini, baca doa sekehendak kita, apa yang akan kita mohonkan.
79
 
Semua ini tidak memakan waktu lebih dari 5 menit.
Tentu akan lebih utama lagi jikalau wiridan itu lebih panjang dari sekedar di atas. Dan dengan dibaca bersama-sama akan menimbulkan pengaruh batin yang berfaedah sekali dalam suasana yang khidmat. Sejenak kita melepaskan ingatan duniawi karena kita sedang menghubungkan rohani kita dengan ikatan ukhrawi.
Dengan membiasakan sembahyang bersama ini, anak-anak akan selalu terlatih untuk menanamkan suatu kesadaran bahwa arti hidup tidak sekedar makan dan minum. Ada suatu tugas suci bagi yang bernama manusia dalam menjalani hidup. Maka anak-anak telah dibentuk wataknya untuk memiliki cita-cita luhur, dan mereka akan sadar apa sebenarnya rahasia hidup ini, dan apa tujuannya.
Dengan didikan watak ini, pastilah mereka akan menjadi manusia yang mengkhidmahkan (mengabdikan) hidupnya untuk cita-cita luhur bagi bangsanya. Insya Allah!
Di antara anak-anak kita, tidaklah semuanya patuh menjalankan sembahyang. Ada yang taat dan patuh menjalankan tepat pada waktu-waktu sembahyang, tetapi ada pula yang selalu minta disuruh dulu, itu pun berkali-kali diperintah. Pada umumnya anak-anak perempuan lebih patuh daripada anak laki-laki. Tetapi bagaimanapun juga,kunci selamanya di tangan orang tua, terutama ayah.
"Sudah sembahyang belum?" dengan pertanyaan dan teguran ini, anak akan sadar bahwa dirinya diperhatikan ayahnya mengenai sembahyangnya. Adakalanya masih saja belum melakukan sembahyang karena macam-macam alasan. Bisa juga karena masih capek, adakalanya memang malas.
"Jika sudah mengaso, pergilah sembahyang!" ini merupakan suatu kelonggaran yang diberikan orang tua kepada anaknya, tetapi tetap dengan anjurannya untuk bersembahyang.
"Kalau mau main sepak bola, sembahyanglah dulu!" dengan anjuran ini anak akan merasa, sungguhpun main sepak bola itu penting, tetapi sembahyang jauh lebih penting lagi. Bisa juga diartikan sebagai perangsang sebelum pergi main sepak bola atau pergi dengan temannya.
Alhasil, bagaimanapun juga, membiasakan sembahyang ini sangatlah penting artinya dalam menumbuhkan kesadaran anak-anak tentang keharusan sembahyang sebagai seorang pemeluk agama. Dengan membiasakan, maka akan menjadi terbiasa, dan kelak akan menjadi watak sebagai seorang yang taat bersembahyang disebabkan karena kesadaran sendiri. la akan merasa tidak enak sendiri kalau tidak sembahyang. la tidak mau berbuat dosa. Dan, dimulai dari kesadaran tentang sembahyang, pada akhirnya ia akan menjaga kelakuannya sendiri dalam pergaulan umum, apa-apa yang boleh dikerjakan dan apa-apa yang tak boleh dilakukan. Di sini, ia akan mempraktikkan sendiri bagaimana melakukan agama dalam kehidupan sehari-hari. la ingin menjadi manusia yang baik segala-galanya atas keinsyafannya sendiri.[]

 

LihatTutupKomentar