Sifat–sifat Wajib Bagi Allah | Tauhid Asy'ariyah

Sifat–sifat Wajib Bagi Allah Allah adalah Yang Wujud, Qodim, Baqi, Mukholif Lil Kholqi Qiyam Bin Nafsi, Ghoni, Wahid, Hayyi, Qodir, Muriid, Alim

Sifat–sifat Wajib Bagi Allah

Nama kitab: Terjemah Nuruzh Zhalam Syarah Aqidatul Awam, Nurudz Dholam, Nur al-Zholam
Nama kitab asal: Nur adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awam
Nama lain kitab kuning: Hasyiyah al-Dasuqi
Ejaan lain:  Noor -ul-Zalaam, Nuuruzh Zhalaam, Nur adz-Dzolam, Nuruzh Zholam, Nuruzh Zhalam, Nurud Dhalam
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Nama yang dikenal di Arab: محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Penerjemah:
Bidang studi:Tauhid, Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy'ariyah, ilmu kalam, ushuluddin.

Daftar Isi 

  1. Nadzom Keenam, Ketujuh, dan Kedelapan: Sifat Wajib bagi Allah
  2. Kembali ke Terjemah Nurudz Dholam 

4. NADZOM    KEENAM,    KETUJUH, DAN KEDELAPAN

 فَاللهُ مَوْجُـوْدٌ قَـدِيْمٌ بَاقِـي * مُخَالـِفٌ لِلْـخَـلْقِ بِاْلإِطْلاَقِ

[6] Allah adalah Yang Wujud, Qodim, Baqi, Mukholif Lil Kholqi secara mutlak,


وَقَـائِمٌ غَـنِيْ وَوَاحِـدٌ وَحَيّ * قَـادِرْ مُـرِيْـدٌ عَـالِمٌ بِكُلِّ شَيْ

[7] yang memiliki Qiyam Bin Nafsi, Ghoni, Wahid, Hayyi, Qodir, Muriid, Alim


سَـمِـيْعٌ اْلبَصِـيْرُ وَالْمُتَكَلِّـمُ * لَهُ صِـفَاتٌ سَـبْعَـةٌ تَـنْـتَظِمُ

[8] Saami', Bashir, Mutakallim


Allah    memiliki    sifat-sifat    yang berjumlah 7 (tujuh) yang terurutkan.
 
Syeh    Ahmad    Marzuki menjelaskan bahwa ketika kamu ingin mengetahui 20 sifat yang wajib bagi Allah maka aku berkata kepadamu bahwa Allah adalah Dzat Yang Wujud dan seterusnya.

a.    Sifat –sifat Wajib Bagi Allah

Wujud adalah sesuatu yang bersifat anggapan yang dikira-kirakan oleh orang di dalam hatinya. Misalnya; ketika ada pakaian yang ada dalam suatu wadah, kemudian pakaian itu dikeluarkan dari sana maka pakaian itu bersifatan dengan sifat jelas. Sifat jelas tersebut bukanlah sifat yang di luar dzat pakaian hanya saja akal mengira- ngirakan kalau sifat jelas tersebut berada di luar dzat pakaian. Paham ini adalah  paham  yang  dinyatakan  oleh para  ulama  dari  keterangan  Syeh  al-Asy’ari  radhiyallahu  ‘anhu.  Dalil  sifat wujud Allah adalah Firman-Nya, “Tidak ada tuhan selain Aku,” (QS. Thoha: 14) dan    juga    dalil,    “Andaikan    Allah Subhaana-Hu wa Ta’aala itu tidak wujud maka tidak ada satu pun makhluk yang wujud.”
Qidam adalah tidak ada permulaan bagi wujud Allah Ta’aala. Dengan demikian Allah tidak menciptakan Dzat-Nya sendiri dan Dia tidak diciptakan oleh yang lain-Nya. Allah berfirman, “Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.” (QS. Al-Ikhlas: 3)
Baqook adalah tidak ada akhir bagi wujud Allah Ta’aala. Allah berfirman,    “Dan    akan    kekal    Dzat Tuhanmu    Yang    Maha    Agung    dan Mulia.” (QS. Ar-Rahman: 27)
Mukholafatu    al-Hawaadits adalah tidak adanya persamaan makhluk dengan Allah. Oleh karena itu Allah bukanlah Dzat yang memiliki daging, tulang, tinggi, pendek, dan sedang. Allah adalah Dzat yang tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat makhluk. Segala sesuatu yang berbisik di hatimu yang berupa sifat-sifat makhluk tidak ada pada Dzat Allah. Dia tidak memiliki tempat tertentu, tidak masuk ke dalam dunia, dan juga tidak keluar dari sana. Allah berfirman, “Tidak ada satupun yang menyamai Allah.” (QS. Al-Ikhlas:
3)   dan   Dia   berfirman,   “Tidak   ada sesuatupun yang menyamai-Nya.”
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki “ﺑﺎﻹطﻼق”  berarti  bahwa  sesungguhnya Allah    berbeda    dari    makhluk    dari seluruh segi. Oleh karena itu Allah tidak berbeda dari makhluk dalam satu sisi dan sama dengan mereka dalam sisi lain. Maha Suci Allah dari yang demikian itu.
 
Al-Qiyam Bin Nafsi berarti tidak membutuhkan dzat lain yang dapat memperdirikan, seperti berdirinya jasad dengan perantara dzat-dzat lain, dan tidak membutuhkan pada yang mewujudkan. Oleh karenanya Allah itu ada tanpa membutuhkan yang lain sebagaimana adanya makhluk adalah membutuhkan Allah karena wujud-Nya adalah bersifat Dzat.
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki “ﻏﻨﻰ” adalah menafsirkan perkataannya “ﻗﺎﺋﻢ”. Maksudnya Allah berdiri sendiri itu adalah bahwa Dia tidak membutuhkan        yang    lain-Nya sedangkan    yang    lain-Nya membutuhkan-Nya. Oleh karena inilah Qiyamu-Hu Bin Nafsi sering diibaratkan    dengan        tidak membutuhkan yang lain sama sekali. Dia berfirman, “Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Maha Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya).” (QS. Thaha: 111)
Wahdaniah berarti  tidak berbilang dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan. Dengan demikan Dzat Allah  tidak tersusun dari bagian-bagian dan dzat makhluk tidak sama dengan Dzat-Nya karena makhluk adalah jisim atau benda yang tersusun sedangkan Dzat Allah tidak sama sekali mengandung tersusun. Sifat-sifat Allah tidak berbilang dari satu jenis, seperti dua sifat qudroh (kuasa), dua sifat irodah (berkehendak), tetapi Allah hanya memiliki satu sifat qudroh yang untuk mewujudkan dan meniadakan. Tidak ada satupun yang memiliki sifat seperti Sifat-sifat Allah Ta’aala dan tidak ada satupun yang memiliki pengaruh bersama-Nya dalam berbuat tetapi Dia adalah    yang    mewujudkan    seluruh perbuatan-perbuatan.    Dengan demikian Allah lah yang menciptakan ketaatan, kemaksiatan, manfaat, bahaya, kekayaan, dan kefakiran. Api tidak      memiliki      pengaruh      dalam membakar.    Pisau    tidak    memiliki pengaruh  dalam  memotong.  Makanan tidak memiliki pengaruh dalam memberikan rasa kenyang. Akan tetapi Allah adalah yang menciptakan semua itu hanya saja Allah menjadikan, misal, makanan sebagai sebab bagi rasa kenyang sesuai dengan apa yang Allah kehendaki dan boleh saja kalau Allah tidak menjadikan kemampuan membakar pada api. Allah Ta’aala berfirman; “Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Satu. Tidak ada tuhan selain Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Hayaat adalah sifat yang membuat nyata dzat yang ditempatinya untuk mengetahui dan kuasa. Allah Ta’aala berfirman, “Bertawakkallah kepada [Allah] Yang Hidup yang tidak akan pernah mati.”
Qudroh adalah sifat yang membuat nyata dzat untuk berbuat dan meninggalkan [perbuatan]. Allah berfirman, “Allah atas segala sesuatu adalah Dzat Yang Maha Kuasa.”
Irodah adalah sifat yang menjadikan salah satu dari dua hal yang boleh (wujud dan tidak wujud) unggul daripada yang satunya lagi. Allah    Ta’aala    berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu adalah Dzat Yang Berbuat apa yang Dia kehendaki.”
Ilmu adalah sifat  yang dengannya segala sesuatu  akan menjadi jelas ketika sifat itu berhubungan dengannya. Allah Ta’aala berfirman, “Sesungguhnya  Allah dengan   segala   sesuatu   adalah   Dzat
Yang Maha Mengetahui.” Sesungguhnya Allah meliputi mengetahui segala sesuatu. Dengan demikian perkataan Syeh Ahmad Marzuki “ﺷﯿﺊ  ﺑﻜﻞ ﻋﺎﻟﻢ” (yang mengetahui segala sesuatu) berarti baik sesuatu itu yang global atau yang rinci, yang mungkin wujud, tidak boleh wujud, atau yang wajib wujud.
Sama’ dan Bashor adalah dua sifat yang dengan mereka [segala sesuatu] menambahi kejelasan pada kejelasan yang dengan sifat Ilmu. Allah Ta’aala berfirman, “Dia [Allah] adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat.”
Kalaam (berfirman) adalah sifat azaliah yang melekat pada Dzat Allah. Sifat tersebut DIIBARATKAN dengan susunan tertentu yang disebut dengan al-Quran dan Kalamullah. Allah berfirman, “Allah telah berfirman kepada Musa dengan sebenar- benarnya berfirman.” Firman Allah tidak dengan huruf, suara, tetapi dengan Firman yang qodim dengan artian tidak ada permulaan dan tidak ada akhir bagi Firman itu. Adapun pengertian   Firman-Nya;   Allah   telah membuat Musa mendengar Firman- Nya yang Qodim dengan seluruh anggota tubuhnya dari seluruh penjuru. Malaikat Jibril yang bersama Musa saat itu tidak mendengar Firman yang difirmankan oleh Allah kepada Musa. Pemimpin kita, Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallama juga mendengar Firman Allah yang qodim pada saat malam atau lailatul Isrok. Allah tidak bertempat dan tidak berada di suatu arah tempat dari makhluk yang mendengar Firman-Nya.  Kita  kelak  di Hari Kiamat dan surga dapat mendengar Firman Allah yang qodim tanpa suara, huruf, dekat, atau jauh, sebagaimana kita kelak di akhirat juga akan dapat melihat Dzat-Nya yang tanpa serupa, persamaan, tanpa di dalam surga ataupun di luar surga.

b.    Cara Mengajari Sifat-sifat Allah kepada Orang Awam
Semua yang telah disebutkan adalah 13 sifat. Adapun Syeh Ahmad Marzuki  menyebutkan  sifat-sifat  yang disandarkan    kepada    Allah    Ta’aala tersebut dengan masing-masing nama mereka adalah karena mengikuti al- Quran dan Sunah karena memang ada keterangan tentang  nama-nama mereka yang tercantum dalam al- Quran dan Sunah, dan karena tujuan dalam i’tiqod atau keyakinan mukallaf adalah  mensifati  Allah  dengan  sifat- sifat    tersebut,    dan    karena mempermudah orang-orang awam, seperti yang telah disebutkan oleh Syeh Muhammad al-Fadholi, “Ketika kamu ingin mengajarkan sifat-sifat Allah kepada orang-orang awam maka ajarkanlah dengan menggunakan nama-nama sifat-sifat itu [bukan artinya]. Dengan demikian dikatakan; Allah adalah Maujud, Qodim, Baqi, Mukholif Lil Hawaadits, Mustaghni ‘an Kullil Syaik, Wahid, Qoodir, Muriid, Aalim, Hayyi, Saamik, Bashiir, Mutakallim.” Syeh al-Baijuri berkata, “Perkataan Fadholi ‘ajarkanlah dengan menggunakan’ berarti dengan lafadz- lafadz yang menunjukkan sifat-sifat itu.

Perkataannya   ‘nama-nama   sifat-sifat itu’  berarti  bahwa  lafadz-lafadz  yang menunjukkan sifat-sifat itu adalah nama-nama. Adapun nama-nama itu menunjukkan sifat-sifat karena nama- nama itu menunjukkan Dzat yang bersifatan dengan sifat-sifat itu. Bahkan telah dikutip dari Syeh  al-Asy’ari bahwa objek yang ditunjukkan oleh nama اﻟﻘﺎدر, misalnya, adalah hakikat sifat itu sendiri yang mana sifat itu adalah اﻟﻘﺪرة dari segi persifatan dzat dengannya. Tetapi yang masyhur di kalangan ulama pengikut madzhab Asy’ari adalah bahwa objek yang ditunjukkan oleh اﻟﻘَﺎدر adalah dzat yang bersifatan dengan sifat َرة ْﺪ اﻟﻘُ. Kesimpulannya    adalah    bahwa pembagian-pembagiannya ada 3, yaitu
(1)    bagian yang menunjukkan dzat dan ditunjukkan dengan sifat, seperti اﻟﻘﺎدر,
(2)    bagian yang menunjukkan dzat dan tidak ditunjukkan dengan sifat, seperti kata Jalalah (ﷲ), dan (3) bagian yang menunjukkan sifat saja, seperti “ْﺪر اﻟﻘَ”. Demikian ini kesimpulan yang disebutkan oleh Syeh al-Yuusa.”
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki
“ﻏﻨﻰ” adalah dengan sukun pada huruf
yaa. Demikian juga perkataannya “ﺣﻲ” adalah dengan sukun pada huruf yaa. Perkataannya “ﻗﺎدر” adalah dengan sukun pada huruf roo. Perkataannya “ﺷﻲ” adalah dengan membuang huruf hamzah. Perkataannya “واﻟﻤﺘﻜﻠﻢ” adalah dengan sukun pada huruf taa. Semua perkataannya tersebut adalah karena mengikuti pola wazan.

c.    Pengertian Sifat Ma’ani

Maksud perkataan Syeh Ahmad Marzuki “ﺗﻨﺘﻈﻢ ﺳﺒﻌﺔ ﺻﻔﺎت ﻟﮫ” adalah bahwa Allah memiliki 7 (tujuh) sifat yang secara urut disebutkan dalam satu bait tanpa ada pemisahan di antara mereka, seperti yang telah dinadzomkan oleh al-Khirzu dalam satu khoith.   7   (tujuh)   sifat   ini   disebut dengan Ma’aani. Pengertian sifat-sifat Ma’aani adalah setiap sifat wujudiah yang melekat pada dzat, yang menetapkan sifat-sifat dzat tersebut secara hukum sekiranya andaikan tabir dibukakan untuk kita maka kita dapat melihat sifat-sifat itu, sebagaimana keadaan dzat-dzat yang maujud.
Hukum tersebut disebut dengan sifat-sifat    maknawiah    karena dinisbatkan pada sifat-sifat ma’aani. Sifat-sifat maknawiah adalah adanya Allah Ta’aala sebagai yang “ﻗﺎدرا”, “ﻣﺮﯾﺪا”, “ﻋﺎﻟﻤﺎ”, “ﺣﯿﺎ”, “ﺳﻤﯿﻌﺎ”, “ﺑﺼﯿﺮا”,  dan “ﻣﺘﻜﻠﻤﺎ”. Dengan demikian sifat-sifat ma’aani adalah seperti dasar dan sifat-sifat maknawiah adalah seperti cabang karena sifat-sifat ma’aani adalah bersifat wujudiah yang dapat diakal sedangkan sifat-sifat  maknawiah adalah keadaan-keadaan yang tidak dapat diakal kecuali dengan dinisbatkan pada sifat-sifat ma’aani mereka dimana sifat-sifat ma’aani mereka adalah yang menetapkan mereka sendiri.
Apabila kamu bertanya, “Mengapa Syeh Ahmad Marzuki berkata dengan perkataan ‘ ﺳﺒﻌﺔ ﺻﻔﺎت ﻟﮫ ﺗﻨﺘﻈﻢ’ (Allah memiliki 7 sifat) padahal sebelumnya ia berkata, ‘ﺻﻔﺔ ﻋﺸﺮﯾﻦ’ (20 sifat)  dan  belum  lengkap  penyebutan
20 sifat. Apa faedah menyebutkan 7 sifat ini padahal 7 sifat ini masuk dalam nama-nama yang telah disebutkan sebelumnya. Jadi, kalau demikian tidak perlu menyebutkan 7 sifat ini?” Aku menjawab, “Adapun Syeh Ahmad Marzuki menyebutkan 7 sifat di atas maka karena tujuan suatu hikmah, yaitu menganggap penting lebih tentang 7 sifat-sifat ini. Adapun alasan mengapa ia menyebut 7  sifat-sifat ini padahal  mereka  masuk  dalam  nama-nama yang telah disebutkan maka karena tujuan dari kajian ilmu ini adalah menyebutkan akidah-akidah secara rinci atas dasar alasan karena bahaya tidak tahu rincian tersebut adalah besar, dan karena membantah kaum Mu’tazilah karena mereka mengingkari adanya 7 sifat-sifat ini. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya Allah Ta’aala adalah “ﻗﺎدر” dengan Dzat-Nya dan “ﻣﺮﯾﺪ” dengan Dzat-Nya tanpa ada sifat “ﻗﺪرة” dan “إرادة”, dan seterusnya.’ Adapun Jumhur ulama mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Ta’aala adalah  “ﻗﺎدر”  dan  “ﻣﺮﯾﺪ”  dengan  sifat-sifat wujudiah yang melekat pada Dzat dimana sifat-sifat tersebut sah untuk dilihat [apabila tabir dihilangkan]. Secara umumnya, kami menyatakan pernyataan seperti yang ulama katakan;
 
Pedoman para makhluk adalah ampunan-Mu. ** Orang-orang yang mensifati tidak mampu mensifati-Mu.
 
Terimalah taubat kami karena sesungguhnya kami adalah manusia. ** Kami tidak mengetahui-Mu dengan sebenar-benarnya mengetahui-Mu.

Ketahuilah! Sesungguhnya kaum Mu’tazilah tidak mengatakan tentang tetapnya sifat-sifat maknawiah pada Allah seperti kesalah pahaman yang ditunjukkan oleh sebagian keterangan. Maksudnya mereka tidak mengatakan kalau Allah adalah “ﻗﺎدر” (Yang Kuasa) dengan sifat-sifat maknawiah tetapi mereka hanya mengatakan kalau Allah adalah “ﻗﺎدر” (Yang Kuasa) dengan Dzat- Nya tanpa dengan sifat “ﻗﺪرة” (Kuasa), seperti yang telah disebutkan sebelumnya.        Dengan        perkataan demikian, mereka tidak dihukumi kufur karena mereka menetapkan adanya nisbat kuasa pada Dzat Allah.

LihatTutupKomentar