Terjemah Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd
Nama kitab: Terjemah Bidayatul Mujtahid
Judul kitab asal: Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (bahasa Arab: بداية المجتهد و نهاية المقتصد )
Nama penulis: Ibnu Rusyd, Ibn Rushd, Ibnu Rusydi, Averroes
Nama lengkap: Abû al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Hafîd al-Andalûsi al-Qurthubî al-Mâlikî, (أبو الوليد محمَّد بن أحمد بن محمَّد بن أحمد بن أحمد بن رُشْد الأندلسي المعروف بابن رُشْد الحَفِيد)
Lahir, Tempat lahir: 520 H/ 14 April, 1126 di kota Cordoba Spanyol
Wafat: 595 H/ 10 December, 1198 (usia 72 tahun), Marrakesh, Maroko.
Bidang studi: Fiqih madzhab Maliki, Fikih perbandingan.
Daftar isi
- Biografi Ibnu Rusyd / Ibn Rushd
- Profil Kitab Bidayatul Mujtahid
- Download Terjemah Bidayatul Mujtahid
- Download Bidayatul Mujtahid versi Arab
- Kitab Fikih lain
- Terjemah Matan Taqrib
-
Terjemah Fathul Qorib
- Terjemah Minhajut Talibin
- Terjemah Fahul Muin
- Terjemah Safinatun Najah
- Terjemah Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja
- Terjemah Kitab At Tahzhib Dalil Al-Quran dan Sunnah dari Matan Taqrib
- Terjemah Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
- Terjemah Uqudul Lujain
- Terjemah Al-Umm Syafi'i
- Terjemah Al-Majmu' Syarah Muhadzab
- Kitab Kaidah Fikih dan Ushul Fikih
- Artikel Masalah Fikih
Biografi Ibnu Rusyd / Ibn Rushd
Ibn Rusyd adalah Abû al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Hafîd al-Andalûsi al-Qurthubî al-Mâlikî. Beliau merupakan filosof muslim barat terbesar di abad pertengahan. Dilahirkan pada tahun 520 H/ 1126 M di kota Cordoba Spanyol, dan wafat pada tahun 595 H/ 1198 M. 8
Ibn Rusyd
dididik mulai kecil hingga usia baligh di tengah keluarga terhormat, terdidik
dan taat beragama. Beliau mempunyai seorang ayah dan kakek yang terkenal
sebagai hakim yang adil dan berwibawa. Kakeknya ( Ibn Rusyd al-Jadd) mempunyai
fatwa-fatwa tertulis yang sampai saat ini masih tersimpan di perpustakaan
Paris.9 Hal ini mencerminkan ketajaman otak sang kakek yang kemudian diwarisi
oleh sang cucu yaitu Ibn Rusyd. Tradisi keagamaan Ibn Rusyd mengikuti didikan
dan kebiasaan ayah dan kakeknya. Mengingat kakek dan ayahnya mengikuti dan
mendalami fiqh Malikî dan secara teologi mengikuti pola pikir al-Asy’arî, maka
secara alami ia mempelajarinya dari sang ayah. Kemudian ia juga meriwayatkan
hadits dan menghafal kitab al-Muwatha’. 10 Ibn Rusyd tumbuh dan berkembang di
Cordoba, ia belajar fikih, matematika dan kedokteran.11 Ia juga berguru dalam
bidang filsafat kepada Ibn Bajah (w. 533 H) yang dalam literatur Barat dikenal
dengan nama Avinpace. Filosof terakhir ini merupakan filosof terbesar di Eropa
sebelum Ibn Rusyd.12
Ibn Rusyd terlihat sangat akrab dengan raja dan kalangan istana. Hal ini dimulai semenjak pertemuan bersejarah antara Ibn Rusyd, Raja Abû Ya’qub dan Ibn Thufail13, keakraban Ibn Rusyd dengan raja dan kalangan istana bertambah kuat. Langkah simpati dan kepercayaan awal Khalifah kepadanya ditandai dengan pengangkatan dirinya sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169 14 dan kemudian diangkat menjadi Hakim agung yang berkedudukan di Cordoba, ibu kota Andalusia.15
Ibn Rusyd adalah seorang ulama besar dan komentator terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sulit untuk dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai masa tuanya beliau tidak pernah berhenti untuk membaca dan menelaah kitab.
Karangannnya meliputi berbagai ilmu seperti fiqh, ushûl, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, ahlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku- bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, ulasan atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau beliau memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles. Buku-buku yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aprhodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibn Sinâ, al-Ghazâlî dan Ibn Bajah.16 Klasifikasi karya Ibn Rusyd sesuai disiplin ilmu yang sudah populer, sebagai berikut:17
1. Filsafat/ Hikmah
a. Tahâfut Tahâfut (Kerancuan dalam Kerancuan), berisi tanggapan terhadap buku al-Ghazâli
yang berjudul Tahâfut al- Falâsifah (kerancuan para filosof).
b.
Jawhar al-Ajram al -Samâwiyyah (Struktur Benda-Benda Langit).
c.
Ittishâl al -’Aql al -Mufarriq bi al -Insân, (Komunikasi Akal yang Membedakan
dengan Manusia).
d. Kitab fi al-’Aql al -Huyulani aw fi
Imkân al -Ittishâl (Akal Substantif yang Mungkin Dapat
Berkomunikasi).
e. Syarh Ittishâl al -’Aql bi al -Insân
(Komentar terhadap Kaitan Akal dengan Manusia).
f.
Masâil fi Mukhtalif Aqsâm al -Manthiq (Berbagai Masalah tentang Aneka
Bagian).
g. Al-Masâil al -Burhâniyyah (Masalah Masalah
Argumentatif).
h. Khulâshah al-Manthiq (Ringkasan Ilmu
Logika).
i. Muqqadimah al -Falsafah (Pengantar Ilmu
Filsafat).
j. Al-Nâtijah al
-Muthâbaqah (Mengambil
Kesimpulan Yang Sesuai)
k. Jawâmi’
Aflathon (Komunitas Platonisme).
l. At-Ta’rif bi Jihah
Nazhr al -Farabi fi Shinâ’ah al Manthiq wa Nazhr Aristho Fiha (Mengenal Visi
Farabi Dan Aristoteles Tentang Kreasi Logika).
m.
Syurûh Kashirah ‘ala Al -Farabi fi Masâil al Manthiqi Aristho (Beberapa
Komentar Terhadap Pemikiran Logika Aristoteles).
n.
Maqâlah fi ar -Radd ‘ala Abi Ali ibn Sina (Makalah Jawaban Untuk Ibn Sina)
o.
Syarh al-Ilâhiyyat al -Awsat (Talkhis al-Ilâhiyyat) (Komentar tentang
Ketuhanan yang Tidak Rumit).
p. Risâlah fi anna Allah
Ya’lam al -Juz’iyyât (Risalah Bahwa Allâh Mengetahui Yang Teknis/Juz’i).
q.
Maqâlah fi al -Wujûd al-Sarmida wa
al-Wujûd al-Zamani
(Makalah tentang Eksistensi Implisit dan
Eksistensi Waktu).
r. Al-Fahsh ‘an Masâil Waqa’at fî al
-’Ilm al -Ilâhi (Pemeriksaan Masalah yang Berada dalam Ilmu Ketuhanan).
s.
Masâil fî ‘Ilm al -Nafs (Beberapa Masalah tentang Ilmu Jiwa).
2. Ilmu Kalam
a. Fashl
al-Maqâl fî mâ Baina al -Hikmah wa al-Syari’ah min al -Ittishâl
(Uraian
tentang Kaitan Filsafat dan Syarî’ah ).
b.
I’tiqâd Masysyain wa al
-Mutakallimin (Keyakinan Kaum Liberalis
Dan Pakar Ilmu Kalam).
c. Al-Manâhij
f î Ushûl aم-Din
(Beberapa Metode Dalam Membahas
Dasar-Dasar Agama).
d. Syarh Aqidah al -Imâm al-Mahdi
(Penjelasan Tentang Akidah Imam Al-Mahdi). Kitab ini menjelaskan keyakinan dan
ideologi Abû Abdillah Muhammad ibn Tumart (w.1130) yang mirip dengan teologi
Syî’ah.
e. Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al -Millah
(Beberapa Metode Argumentatif dalam Aqidah Agama).
f.
Dhamimah li Masalah ‘Ilm al -Qadim (Inti Masalah Ilmu Kuno).
3. Fiqh dan Ushûl Fiqh
a.
Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid (Dasar Mujtahid dan Tujuan Orang
yang Sederhana)
b. Mukhtashar al -Mustashfa (Ringkasan
Dari Al-Mustashfa, karya al-Gazali).
c. Al-Tanbih ila
al -Khathâ’ fi al -Mutûn (Peringatan Kesalahan Matan).
d.
Risâlah fi al -Dhahâyâ (Risalah tentang Hewan Kurban).
e.
Risâlah fi al-Kharâj (Risalah tentang Pajak Tanah).
f.
Makâsib al-Mulûk wa al -Ruasâ’ al-Muharramah (Penghasilan Para Raja dan
Pejabat yang Diharamkan).
g. Ad-Dâr al-Kamil fi al
-Fiqh (Studi Fiqh yang Sempurna).
4. Nahwu
a. Kitâb al-Dharuri
fi al -Nahw (Yang Penting dalam Ilmu Nahwu).
b. Kalâm
‘ala al -Kalimah wa al-Ism al-Musytaq (Pendapat tentang Kata dan Isim Musytaq
).
5. Ilmu Falak/Astronomi
a.
Mukhtashar al -Maqishthi .
b. Maqâlah fi Harkah al
-Jirm al -Samâwiy (makalah tentang gerakan meteor).
c.
Kalâm ‘ala Ru’yah al -Jirm al -Tsâbitah (pendapat tentang melihat meteor yang
tetap tak bergerak).
6. Kedokteran
a. Al-Kulliyyat
(7 jilid), studi lengkap tentang kedokteran. Menjadi buku wajib dan selalu
menjadi rujukan dalam berbagai Universitas di Eropa.
b.
Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi al -Thibb. Kitab ini secara kuantitas paling
banyak beredar.
c. Maqâlah fi al -Tiryaq (Makalah
tentang Obat Penolak Racun).
d. Nashâih fi Amr al
-Ishâl (Nasehat tentang Penyakit Perut atau Mencret).
e.
Masalah fi Nawâih al -Humma (Masalah tentang Penyakit Panas).
f.
Beberapa Ringkasan Kitab-Kitab Galinus
Akan tetapi buku-bukunya yang sampai pada kita hanya ada empat, yaitu :
a.
Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid dalam bidang ilmu fiqih.
b.
Fasl al-Maqâl fi mâ Baina al Hikmah wa al -Syarî’ah min al -Ittishâl dalam
bidang ilmu kalam.
c. Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al
-Millah dalam bidang ilmu kalam.
d. Tahâfut Tahâfut
dalam bidang ilmu filsafat dan ilmu kalam.18
Profil Kitab Bidâyat al-Mujtahid
Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan yang berlatar berlakang lintas disiplin ilmu, ketika ushûl fiqh yang diintegrasikan dengan fiqh dalam kitab Bidâyat al-Mujtahid, maka mempunyai keistimewaan dibanding karya ushûl fiqh dan fiqh yang ditulis oleh ulama lain. Biasanya para ulama menulis fiqh dan ushûl fiqh secara terpisah. Misalnya Imam al-Syâfi’i menulis ushûl fiqh dalam al-Risalah, dan menulis fiqh dalam al-Umm. Bahkan ada ulama yang menulis ushûl fiqh, tetapi tidak dengan fiqh yang merupakan realisasi ushûl fiqhnya itu. Misalnya al-Gazâlî menulis al-Mushtasfa dalam bidang ushûl fiqh, tetapi karya spesifik fiqhnya tidak ada, justru yang populer adalah karyanya yang memadukan antara fiqh dan tasawuf, yang kering dari ushûl fiqh, seperti Ihya’Ulum Al-Dîn dan Bidâyat al-Hidâyah. Ada juga ulama yang mempunyai karya monumental dalam bidang fiqh, tetapi karya ushûl fiqh -nya tidak ditemukan; seperti al-Nawawi yang menulis kitab Muhadzab dan Majmu’ untuk karya fiqh tanpa ushûl fiqh, dan masih banyak contoh lagi yang dapat dikemukakan.
Tujuan akhir dari beberapa aliran atau madzhab fiqh yang mempunyai tokoh yang menulis fiqh muqarin (fiqh perbandingan) adalah ingin memenangkan madzhab yang didukungnya. Ada karya Ibn Taymiyah (w. 728 H) dari madzhab Hanbali yakni Majmû’ Fatawa i, dan karya al-Nawawi (w.676 H) dari madzhab Syâfi’i yakni Majmu’, dan kitab karya Ibn Rusyd (w. 597 H) dari madzhab Maliki yakni Bidâyah al-Mujtahid , dan kitab karya Muhammad bin al-Hasan al-Syaybani (w.189 H ), dari madzhab Hanafi yakni al-Hujjah ‘Ala Ahl al - Madinah , dan kitab al-Khilaf fi al -Ahkâm karya Abû Ja’far Muhammad al-Thusi (w.460 H) dari madzhab Syî’ah Imamiyah.19
Penerapan teori ushûl fiqh sekaligus produk hukum (istinbâth ) dari masing-masing madzhab yang dijelaskan secara singkat dan integral hanya dilakukan Ibn Rusyd dalam Bidâyat al- Mujtahid ini. Ibn Rusyd dalam menyampaikan pandangan- pandangan ulama, tak lupa salalu menyisipkan dalil serta wajh dilalah - nya (cara pengambilan dalil), sehingga pembaca dimungkinkan untuk mengetahui proses pembentukan hukum tersebut, bukan sekadar taklid buta.20
Kitab Bidâyah al-Mujtahid merupakan kitab fiqh muqârin yang memuat pendapat-pendapat Imam Madzhab dalam menentukan suatu hukum Islâm. Dalam Bidâyat al-Mujtahid dibahas berbagai persoalan fiqhiyah diantaranya bab thaharah, shalat, zakat, merawat jenazah, haji, jihad, kurban, sumpah, nazar, makanan dan minuman, nikah, talak, li’an , diyat, pesanan, ‘ariyah, barang temuan, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Semua masalah yang diungkapkan oleh Ibn Rusyd di dalamnya terjadi perselisihan di antara ulama karena adanya perbedaan penafsiran ataupun metode dalam memutuskan sebuah masalah hukum.
Ibn Rusyd yang sangat populer di Barat dan Timur itu mengutip pendapat imam madzhab empat secara jeli dengan studi banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab empat. Ia tidak hanya berhenti pada kutipan, tetapi memberi opini terhadap aneka pendapat itu dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat suci al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs, bahkan sampai pada mashâlih al - Mursalah, istihsân dan urf.
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, kriteria kefaqihan tidak dapat diukur dengan jumlah dan kuantitas al-masâil al -fiqhiyah yang dihapal, tetapi diukur dengan kemampuan meng-istinbâth hukum langsung dari al-Qur’ân, al-Sunnah dan sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut, melalui proses rasionalisasi yang memadai berdasarkan kaidah-kaidah linguistik dan teori ushûl fiqh.21
Metode Ijtihâd Ibn Rusyd dalam Bidâyat al-Mujtahid
Ibn Rusyd menjelaskan dalam mukadimah Bidâyat al-Mujtahid bahwa tujuan
dari penulisan kitab ini adalah untuk mengulas problematika hukum Islâm yang
disepakati dan yang diperselisihkan, lengkap dengan dalil dan argumentasinya.
Di samping itu dijelaskan pula sebab-sebab terjadinya perselisihan, yang pada
umumnya berkisar pada masalah pengertian nash dalam syara’ .22 Pengertian
inilah yang dapat menghasilkan kesepakatan di kalangan para pakar hukum Islâm
atau justru menjadi bahan perselisihan pendapat di kalangan mereka semenjak
masa sahabat sampai masa taklid.
Ibn Rusyd dalam mukadimah Bidâyat al-Mujtahid, menyebutkan bahwa hukum Islâm
terbentuk harus bersumber dari al-Qur’ân, al-Sunnah. kedua sumber tersebut
biasa dinamakan dengan nash. Dengan berkembangnya Islâm dan
persoalan-persoalan baru muncul dengan pesat mengakibatkan para fuqaha merasa
kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut hanya dengan bersandar
pada nash.
Dan ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat
dalam nash maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui metode analogi
(qiyâs). Sedangkan menurut Zhahiri dan Syî’ah Imamiyah, qiyâs dalam hukum
Islâm itu batal. Madzhab Zhahiri tidak mengakui adanya ‘illat nas h dan tidak
berusaha untuk mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan
‘illat .23 Oleh karena itu, semua problem yang ketentuan hukumnya tidak
dibicarakan dalam nash syar’i berarti tidak ada hukumnya.
Dalam mukadimah Bidâyat
al-Mujtahid Ibn Rusyd
mengatakan, kata-kata, perbuatan dan taqrir Nabî, yang kemudian menjadi salah
satu sumber hukum Islâm itu, ada empat macam. Tiga di antaranya sudah
disepakati dan satu masih diperselisihkan. Tiga yang disepakati itu adalah:
(1) kata umum (lafazh ‘âmm) dengan maksud sesuai dengan keumumannya; (2) kata
khusus (lafazh khâsh) dengan maksud sesuai dengan kekhususannya; (3) kata-kata
yang mempunyai pengertian umum, tetapi menghendaki pengertian yang khusus,
atau kata-kata khusus yang menghendaki pengertian umum.24
Tiga macam
kata-kata di atas kadang-kadang menggunakan istilah sebagai berikut: (1)
al-tanbih bi al -a’lâ ila al -adnâ (penegasan ketentuan yang lebih rendah
dengan ketentuan yang lebih tinggi); (2) al-tanbih bi al -adnâ ‘ala al -a’lâ
(penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah);
(3) al-tanbih ‘alâ al musawi bi al- musawi (penegasan ketentuan yang setara
dengan ketentuan yang setara).
Contoh lafazh pertama adalah surat al-Maidah ayat 3:
Para
ulama sepakat bahwa kata khinzîr (babi) meliputi segala jenis babi, kecuali
hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama, seperti babi laut. Dan contoh
lafazh umum dengan maksud khusus adalah surat at-Taubah: 103
Para ulama sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda.
Sedangkan contoh lafazh khusus dengan maksud umum adalah surat al-Isra’ :
23
Ayat tersebut termasuk dalam lingkup penegasan ketentuan
yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah. Sebab firman Allâh itu
mengandung suatu pengertian tidak boleh memukul, memaki, dan
perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras.
Kata yang digunakan untuk
suatu “tuntutan” terkadang berbentuk amr (perintah) atau kalimat berita yang
dapat dipahami sebagai perintah. Begitu juga perbuatan yang harus
ditinggalkan, kadang berbentuk nahy (larangan) atau kalimat berita yang dapat
dipahami sebagai larangan.
Penggunaan kalimat perintah seperti itulah
yang menjadi pembahasan para ulama, yaitu apakah perintah itu berakibat wajib
atau sunat. Atau seseorang tidak bersikap dahulu menunggu ditemukannya dalil
yang memperkuat. Sikap dan pendapat seperti itulah yang menjadi lapangan
pembahasan ilmu ushûl fiqh .
Masalah yang sama juga terjadi pada bentuk
larangan (nahy). Bentuk ini apakah menunjukkan pengertian hukum haram atau
makruh, atau malah tidak berakibat hukum apa-apa. Masalah ini juga masih
diperselisihkan di kalangan para ulama.
Terkadang, masalah menjadi obyek
hukum itu menggunakan suatu kata yang hanya mempunyai satu arti dan satu
pengertian, yang di dalam ilmu ushûl fiqh disebut nash. Dalam hal ini,
penentuan hukumnya jelas, tanpa ada perdebatan. Kadang menggunakan kata yang
mempunyai arti yang banyak, tidak hanya satu pengertian. Lafazh ini terbagi
dua: (1) lafazh itu menunjukkan arti dan pengertian yang sama, dalam ushûl
fiqh disebut mujmal ; (2) lafazh itu menunjukkan beberapa arti atau lebih dari
satu pengertian. Lafazh terakhir inilah yang disebut zhahir. Dan arti yang
lebih sedikit, dari satu lafazh, disebut muhtamal (memungkinkan untuk dipahami
dengan beberapa arti).
Lafazh muthlaq harus diartikan semestinya. Sampai
ada dalil yang menunjukkan arti secara muhtamal. Perbuatan Nabî SAW,
termasuk
sebagian dari sumber syara’ menurut kebanyakan fuqahâ’. Af’âl tidak mengandung
konsekuensi hukum, jika tidak ada sighat yang dapat berkonsekuensi hukum
sesuai dalalah nya. Para ulama berbeda pendapat tentang macam kongkrit
hukumnya. Sebagian mengatakan wajib dan yang lain mengatakan sunat.
Menurut
penelitian para ahli fiqh, jika af’âl itu menjelaskan hukum wajib yang masih
mujmal , maka af’âl tersebut berkonotasi wajib. Dan jika af’âl tersebut
menjelaskan hukum sunat yang masih mujmal, maka af’âl tersebut berkonotasi
hukum sunat. Jika af’âl tersebut tidak menjelaskan sunat atau wajib hanya
mujmal saja, maka hal hal itu hanya berkonotasi qurbah yang dekat dengan hukum
sunat. Selanjutnya, jika termasuk mubah, berarti af’âl tersebut menunjukkan
hukum mubah. Sedangkan taqrîr Nabî memberikan petunjuk akan kebolehannya
(mubah). Demikian sebagian metode penyimpulan hukum (istinbâth al -ahkâm).
Muhammad
Abû Zahrah menuturkan bahwa setiap perkataan dan pengakuan Nabî termasuk
ajaran dan hujjah dalam agama, tetapi dalam perbuatan Nabî para ulama berbeda
pendapat. Para ulama membagi perbuatan Nabî dalam tiga bagian. Pertama,
perbuatan yang menyangkut penjelasan syarî’ah seperti salat, puasa dan haji.
Kedua, perbuatan Nabî yang berdasar dalil dinyatakan bahwa perbuatan itu
khusus berlaku untuk Nabî. Ketiga, perbuatan Nabî yang itu merupakan adat dan
kebiasaan manusia.25
Ijmâ’ ulama (konsensus ulama) sebagai salah satu
metode dalam pengambilan hukum Islâm. Jika ijmâ’ terjadi pada salah satu dari
empat metode di atas, padahal bukan merupakan dalil qath’i (pasti), maka hukum
yang ditetapkan dengan zhan (perkiraan) berubah menjadi hukum qath’i. Ijmâ’
memang bukan merupakan hukum yang berdiri sendiri, jika tidak didasarkan pada
salah satu dari empat metode di atas. Sebab jika ijmâ’ mempunyai kedudukan
sendiri, berarti sama dengan menetapkan “ hukum baru” setelah Nabî Muhammad
SAW. Itu berarti tidak mengacu pada ketetapan syara’ yang sah.26
Ijmâ’
dalam hal-hal teoritis tidak dapat diketahui secara pasti, begitu juga dalam
hal-hal yang yang bersifat praktis. Ijmâ’ umat dalam masalah apapun dan pada
masa kapanpun juga tidak dapat diketahui, kecuali jika masanya dibatasi dengan
tegas. Semua ulama pada masa itu diketahui dengan jelas, dan pendapat mereka
tentang persoalan tertentu sampai secara runtun (mutawâtir ). Di samping itu,
ada kepastian bahwa semua ulama pada masa tersebut telah sepakat tentang tidak
adanya makna lahir dan makna takwil dalam teks syariat tersebut, lalu
bersepakat pula bahwa pengetahuan mengenai suatu persoalan tidak boleh
dirahasiakan dari orang lain, dan hanya hanya ada satu metode untuk memahami
teks syariat tersebut.
Statemen hukum yang bisa diungkap pada seorang
mukallaf (orang yang terkena beban hukum), secara garis besar dapat berbentuk
amr (perintah), nahy (larangan), dan takhyir memilih salah satu). Amr
(perintah) berkonotasi wajib melaksanakan ketetapan hukum dan ada resiko
hukuman jika tidak melaksanakan ketetapan hukum tersebut. Jadi Amr menunjukkan
hukum wajib. Jika amr dapat dipahami akan mendapatkan imbalan pahala dan tidak
ada resiko hukuman, amr tersebut berkonotasi sunat. Demikian juga nahy
(larangan), jika pelanggaran ketetapan hukum tersebut disertai dengan hukuman,
maka perbuatan itu berkonotasi haram. Tetapi jika nahy itu dapat dipahami
hanya sebagai larangan tanpa disertai dengan ancaman hukuman, maka nahy yang
berkonotasi makruh.27
Dari uraian di atas, para ulama menyimpulkan ada
lima macam hukum syara’ yang disimpulkan melalui kaidah hukum ushûl fiqh. Lima
hukum itu adalah wajib, sunat, haram, makruh, dan mubah. Ibn Rusyd menjelaskan
juga enam sebab yang menjadi pokok silang pendapat di kalangan fuqahâ’.28
Pertama,
adanya berbagai kemungkinan pemahaman terhadap satu kata (lafal) karena adanya
perbedaan sudut pandang, yaitu: (1) Zhahir nya suatu kata (lafazh) itu ‘âmm,
tetapi yang dimaksud adalah khusus; (2) Lafazh khusus (khâsh) yang dimaksud
adalah pengertian umum; (3) Lafazh ‘âmm pengertiannya ‘âmm juga, tetapi belum
jelas apakah lafazh itu diperkuat dengan khitab atau tidak; (4) Lafazh khâs
dengan pengertian khâsh juga.
Kedua, adanya lafaz yang digunakan secara
ganda (isytirak ), yakni: (1) Lafazh mufrad (tunggal), seperti kata qurû’ yang
biasa diartikan al-thahâr (suci) atau haid. Amr (perintah) bisa berkonsekuensi
wajib dan juga bisa berkonsekuensi sunat atau mubah. Nahy juga bisa
berkonsekuensi haram atau makruh; (2) Lafazh murakkab (bersusun), seperti
firman Allâh SWT, Surat An-Nur: 4-5.
Pada akhir ayat itu, ada
kata ﺫﺍﻟﻚ ﺑﻌﺪ ﻣﻦ , apakah musyar ilayh
kata dzalik itu
kembali kepada kefasikan saja atau pada kefasikan dan persaksian secara
bersamaan. Artinya, tobat itu bisa menghapus dosa karena fasik, dengan
konsekuensi “boleh” menjadi saksi, walaupun sebelumnya menjadi penuduh zina
pada orang lain (qâzif)
Ketiga, karena adanya perbedaan i’râb (cara
membaca). Keempat, suatu kata (lafazh) dimungkinkan dapat dipahami secara
haqiqî, majazî, atau isti’ârah . Kelima, penyebutan kata secara mutlak atau
muqayyad, seperti kata ‘itqu bisa berarti mutlak atau dengan taqyid. Keenam,
ta’ârudh (bertentangan, antagonistik) antara dua sumber atau metode yang
berkaitan dengan hukum syara’, ta’ârudh pada af’âl, iqrâr , dan qiyâs, atau
ta’ârudh yang disebabkan tiga hal tersebut, yakni ta’ârudh lafal dengan af’âl,
taqrîr , dengan qiyâs dan seterusnya.
Footnote
8 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes) Filsuf Islam Terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 31.
9 Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibn Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter , alih bahasa Khalifurrahman Fath, (Yogyakarta: C.V. Qalam, 2003), hlm. 29.
10 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , alih bahasa Imam Ghazali, dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 19.
11 al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 30.
12 Tetapi kebenaran hubungan guru-murid secara langsung antara Ibn Bajah-Ibn Rusyd sangat diragukan. Mengingat Ibn Rusyd lahir pada tahun 529 H, sedang Ibn Bajah wafat tahun 533 H. Yakni ketika Ibn Rusyd baru berumur 13 tahun. Tetapi kalau dikatakan Ibn Rusyd berguru kepada Ibn Bajah secara tidak langsung, yakni melalui buku karangannya, itu dapat diterima. Hal ini dapat dibuktikan dari komentar Ibn Rusyd terhadap pendapat Ibn Bajah yang ia tuangkan dalam beberapa buku karangannya. Ibid., hlm. 20.
13 Abd al-Wahid al-Murakisy, al-Mujib fi Talkhish Akhbar al -Magrib , (Kairo: Dâr al- Sya’b, 1964), hlm. 1-2.
14 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 24.
15 al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 29.
16 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 178.
17 Ibn Rusyd, Bidayâh al-Mujtahid , hlm. 110-114.
18 A. Hanafi, Pengantar Filsafat , hlm. 179.
19 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 119.
20 Umdah El-Baroroh,
Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibnu Rusyd: Antara
Konservatisme dan Libera
lisme, http://islamlib.com/id/index.php?page =article&id=931,
diakses tanggal 24 Oktober 2010.
21 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid
, hlm. 316
22 Ibn Rusyd, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid , terj A. Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 8
23 Muhammad Abû Zahrah, Ushul Fiqih , terj. Saefullah Ma’shum et.al, cet. IX, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 340.
24 Ibn Rusyd, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 10.
25 Abû Zahrah, Ushul Fiqi h, hlm. 164-165.
26 Ibn Rusyd,
Mukadimah Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 15.
27 Ibid., hlm. 16.
28 Ibid., hlm., 17.
Download Terjemah Bidayatul Mujtahid Ibnu Rushd
Download Bidayatul Mujtahid versi Arab (Tahqiq: Muh. Subhi Hasan Hallaq)