Terjemah Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd

Nama kitab: Terjemah Bidayatul Mujtahid Nama penulis: Ibnu Rusyd, Ibn Rushd, Ibnu Rusydi Bidang studi: Fiqih madzhab Maliki, Fikih perbandingan.

Terjemah Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd Rushd

Nama kitab: Terjemah Bidayatul Mujtahid
Judul kitab asal: Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (bahasa Arab: بداية المجتهد و نهاية المقتصد )
Nama penulis: Ibnu Rusyd, Ibn Rushd, Ibnu Rusydi, Averroes
Nama lengkap: Abû al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Hafîd al-Andalûsi al-Qurthubî al-Mâlikî, (أبو الوليد محمَّد بن أحمد بن محمَّد بن أحمد بن أحمد بن رُشْد الأندلسي المعروف بابن رُشْد الحَفِيد)
Lahir, Tempat lahir: 520 H/ 14 April, 1126 di kota Cordoba Spanyol
Wafat: 595 H/ 10 December, 1198 (usia 72 tahun), Marrakesh, Maroko.
Bidang studi: Fiqih madzhab Maliki, Fikih perbandingan.


Daftar isi

  1. Biografi Ibnu Rusyd / Ibn Rushd
  2. Profil Kitab Bidayatul Mujtahid
  3. Download Terjemah Bidayatul Mujtahid
  4. Download Bidayatul Mujtahid versi Arab 
  5. Kitab Fikih lain
    1. Terjemah Matan Taqrib
    2. Terjemah Fathul Qorib
    3. Terjemah Minhajut Talibin
    4. Terjemah Fahul Muin
    5. Terjemah Safinatun Najah
    6. Terjemah Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja
    7. Terjemah Kitab At Tahzhib Dalil Al-Quran dan Sunnah dari Matan Taqrib
    8. Terjemah Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram 
    9. Terjemah Uqudul Lujain 
    10. Terjemah Al-Umm Syafi'i 
    11. Terjemah Al-Majmu' Syarah Muhadzab
  6. Kitab Kaidah Fikih dan Ushul Fikih 
    1. Terjemah Al-Waraqat
    2. Terjemah Mabadi Awaliyah 
    3. Terjemah Kitab Jam'ul Jawamik
    4. Terjemah Lubbul Ushul
  7. Artikel Masalah Fikih  

Biografi Ibnu Rusyd / Ibn Rushd

Ibn Rusyd adalah Abû al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Hafîd al-Andalûsi al-Qurthubî al-Mâlikî. Beliau merupakan filosof muslim barat terbesar di abad pertengahan. Dilahirkan pada tahun 520 H/ 1126 M di kota Cordoba Spanyol, dan wafat pada tahun 595 H/ 1198 M. 8

Ibn Rusyd dididik mulai kecil hingga usia baligh di tengah keluarga terhormat, terdidik dan taat beragama. Beliau mempunyai seorang ayah dan kakek yang terkenal sebagai hakim yang adil dan berwibawa. Kakeknya ( Ibn Rusyd al-Jadd) mempunyai fatwa-fatwa tertulis yang sampai saat ini masih tersimpan di perpustakaan Paris.9 Hal ini mencerminkan ketajaman otak sang kakek yang kemudian diwarisi oleh sang cucu yaitu Ibn Rusyd. Tradisi keagamaan Ibn Rusyd mengikuti didikan dan kebiasaan ayah dan kakeknya. Mengingat kakek dan ayahnya mengikuti dan mendalami fiqh Malikî dan secara teologi mengikuti pola pikir al-Asy’arî, maka secara alami ia mempelajarinya dari sang ayah. Kemudian ia juga meriwayatkan hadits dan menghafal kitab al-Muwatha’. 10 Ibn Rusyd tumbuh dan berkembang di Cordoba, ia belajar fikih, matematika dan kedokteran.11 Ia juga berguru dalam bidang filsafat kepada Ibn Bajah (w. 533 H) yang dalam literatur Barat dikenal dengan nama Avinpace. Filosof terakhir ini merupakan filosof terbesar di Eropa sebelum Ibn Rusyd.12

Ibn Rusyd terlihat sangat akrab dengan raja dan kalangan istana. Hal ini dimulai semenjak pertemuan bersejarah antara Ibn Rusyd, Raja Abû Ya’qub dan Ibn Thufail13, keakraban Ibn Rusyd dengan raja dan kalangan istana bertambah kuat. Langkah simpati dan kepercayaan awal Khalifah kepadanya ditandai dengan pengangkatan dirinya sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169 14 dan kemudian diangkat menjadi Hakim agung yang berkedudukan di Cordoba, ibu kota Andalusia.15

Ibn Rusyd adalah seorang ulama besar dan komentator terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sulit untuk dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai masa tuanya beliau tidak pernah berhenti untuk membaca dan menelaah kitab.

Karangannnya meliputi berbagai ilmu seperti fiqh, ushûl, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, ahlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku- bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, ulasan atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau beliau memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles. Buku-buku yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aprhodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibn Sinâ, al-Ghazâlî dan Ibn Bajah.16 Klasifikasi karya Ibn Rusyd sesuai disiplin ilmu yang sudah populer, sebagai berikut:17

1.    Filsafat/ Hikmah
a.    Tahâfut Tahâfut (Kerancuan dalam Kerancuan), berisi tanggapan terhadap buku al-Ghazâli yang berjudul Tahâfut al- Falâsifah (kerancuan para filosof).
b.    Jawhar al-Ajram al -Samâwiyyah (Struktur Benda-Benda Langit).
c.    Ittishâl al -’Aql al -Mufarriq bi al -Insân, (Komunikasi Akal yang Membedakan dengan Manusia).
d.    Kitab fi al-’Aql al -Huyulani aw fi Imkân al -Ittishâl    (Akal Substantif yang Mungkin Dapat Berkomunikasi).
e.    Syarh Ittishâl al -’Aql bi al -Insân (Komentar terhadap Kaitan Akal dengan Manusia).
f.    Masâil fi Mukhtalif Aqsâm al -Manthiq (Berbagai Masalah tentang Aneka Bagian).
g.    Al-Masâil al -Burhâniyyah (Masalah Masalah Argumentatif).
h.    Khulâshah al-Manthiq (Ringkasan Ilmu Logika).
i.    Muqqadimah al -Falsafah (Pengantar Ilmu Filsafat).
j.    Al-Nâtijah    al -Muthâbaqah    (Mengambil    Kesimpulan    Yang Sesuai)
k.    Jawâmi’ Aflathon (Komunitas Platonisme).
l.    At-Ta’rif bi Jihah Nazhr al -Farabi fi Shinâ’ah al Manthiq wa Nazhr Aristho Fiha (Mengenal Visi Farabi Dan Aristoteles Tentang Kreasi Logika).
m.    Syurûh Kashirah ‘ala Al -Farabi fi Masâil al Manthiqi Aristho (Beberapa Komentar Terhadap Pemikiran Logika Aristoteles).
n.    Maqâlah fi ar -Radd ‘ala Abi Ali ibn Sina (Makalah Jawaban Untuk Ibn Sina)
o.    Syarh al-Ilâhiyyat al -Awsat (Talkhis al-Ilâhiyyat) (Komentar tentang Ketuhanan yang Tidak Rumit).
p.    Risâlah fi anna Allah Ya’lam al -Juz’iyyât (Risalah Bahwa Allâh Mengetahui Yang Teknis/Juz’i).
q.    Maqâlah  fi  al -Wujûd   al-Sarmida  wa  al-Wujûd  al-Zamani
(Makalah tentang Eksistensi Implisit dan Eksistensi Waktu).
r.    Al-Fahsh ‘an Masâil Waqa’at fî al -’Ilm al -Ilâhi (Pemeriksaan Masalah yang Berada dalam Ilmu Ketuhanan).
s.    Masâil fî ‘Ilm al -Nafs (Beberapa Masalah tentang Ilmu Jiwa).

2.    Ilmu Kalam
a.    Fashl al-Maqâl fî mâ Baina al -Hikmah wa al-Syari’ah min al -Ittishâl
(Uraian tentang Kaitan Filsafat dan Syarî’ah ).
b.    I’tiqâd    Masysyain    wa    al -Mutakallimin    (Keyakinan    Kaum Liberalis Dan Pakar Ilmu Kalam).
c.    Al-Manâhij    f î    Ushûl    aم-Din    (Beberapa    Metode    Dalam Membahas Dasar-Dasar Agama).
d.    Syarh Aqidah al -Imâm al-Mahdi (Penjelasan Tentang Akidah Imam Al-Mahdi). Kitab ini menjelaskan keyakinan dan ideologi Abû Abdillah Muhammad ibn Tumart (w.1130) yang mirip dengan teologi Syî’ah.
e.    Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al -Millah (Beberapa Metode Argumentatif dalam Aqidah Agama).
f.    Dhamimah li Masalah ‘Ilm al -Qadim (Inti Masalah Ilmu Kuno).

3.    Fiqh dan Ushûl Fiqh
a.    Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid (Dasar Mujtahid dan Tujuan Orang yang Sederhana)
b.    Mukhtashar al -Mustashfa (Ringkasan Dari Al-Mustashfa, karya al-Gazali).
c.    Al-Tanbih ila al -Khathâ’ fi al -Mutûn (Peringatan Kesalahan Matan).
d.    Risâlah fi al -Dhahâyâ (Risalah tentang Hewan Kurban).
e.    Risâlah fi al-Kharâj (Risalah tentang Pajak Tanah).
f.    Makâsib al-Mulûk wa al -Ruasâ’ al-Muharramah (Penghasilan Para Raja dan Pejabat yang Diharamkan).
g.    Ad-Dâr al-Kamil fi al -Fiqh (Studi Fiqh yang Sempurna).

4.    Nahwu
a.    Kitâb al-Dharuri fi al -Nahw (Yang Penting dalam Ilmu Nahwu).
b.    Kalâm ‘ala al -Kalimah wa al-Ism al-Musytaq (Pendapat tentang Kata dan Isim Musytaq ).

5.    Ilmu Falak/Astronomi
a.    Mukhtashar al -Maqishthi .
b.    Maqâlah fi Harkah al -Jirm al -Samâwiy (makalah tentang gerakan meteor).
c.    Kalâm ‘ala Ru’yah al -Jirm al -Tsâbitah (pendapat tentang melihat meteor yang tetap tak bergerak).

6.    Kedokteran
a.    Al-Kulliyyat (7 jilid), studi lengkap tentang kedokteran. Menjadi buku wajib dan selalu menjadi rujukan dalam berbagai Universitas di Eropa.
b.    Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi al -Thibb. Kitab ini secara kuantitas paling banyak beredar.
c.    Maqâlah fi al -Tiryaq (Makalah tentang Obat Penolak Racun).
d.    Nashâih fi Amr al -Ishâl (Nasehat tentang Penyakit Perut atau Mencret).
e.    Masalah fi Nawâih al -Humma (Masalah tentang Penyakit Panas).
f.    Beberapa Ringkasan Kitab-Kitab Galinus

Akan tetapi buku-bukunya yang sampai pada kita hanya ada empat, yaitu :
a.    Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid dalam bidang ilmu fiqih.
b.    Fasl al-Maqâl fi mâ Baina al Hikmah wa al -Syarî’ah min al -Ittishâl dalam bidang ilmu kalam.
c.    Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al -Millah dalam bidang ilmu kalam.
d.    Tahâfut Tahâfut dalam bidang ilmu filsafat dan ilmu kalam.18

Profil Kitab Bidâyat al-Mujtahid 

Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan yang berlatar berlakang lintas disiplin ilmu, ketika ushûl fiqh yang diintegrasikan dengan fiqh dalam kitab Bidâyat al-Mujtahid, maka mempunyai keistimewaan dibanding karya ushûl fiqh dan fiqh yang ditulis oleh ulama lain. Biasanya para ulama menulis fiqh dan ushûl fiqh secara terpisah. Misalnya Imam al-Syâfi’i menulis ushûl fiqh dalam al-Risalah, dan menulis fiqh dalam al-Umm. Bahkan ada ulama yang menulis ushûl fiqh, tetapi tidak dengan fiqh yang merupakan realisasi ushûl fiqhnya itu. Misalnya al-Gazâlî menulis al-Mushtasfa dalam bidang ushûl fiqh, tetapi karya spesifik fiqhnya tidak ada, justru yang populer adalah karyanya yang memadukan antara fiqh dan tasawuf, yang kering dari ushûl fiqh, seperti Ihya’Ulum Al-Dîn dan Bidâyat al-Hidâyah. Ada juga ulama yang mempunyai karya monumental dalam bidang fiqh, tetapi karya ushûl fiqh -nya tidak ditemukan; seperti al-Nawawi yang menulis kitab Muhadzab dan Majmu’ untuk karya fiqh tanpa ushûl fiqh, dan masih banyak contoh lagi yang dapat dikemukakan.

Tujuan akhir dari beberapa aliran atau madzhab fiqh yang mempunyai tokoh yang menulis fiqh muqarin (fiqh perbandingan) adalah ingin memenangkan madzhab yang didukungnya. Ada karya Ibn Taymiyah (w. 728 H) dari madzhab Hanbali yakni Majmû’ Fatawa i, dan karya al-Nawawi (w.676 H) dari madzhab Syâfi’i yakni Majmu’, dan kitab karya Ibn Rusyd (w. 597 H) dari madzhab Maliki yakni Bidâyah al-Mujtahid , dan kitab karya Muhammad bin al-Hasan  al-Syaybani (w.189 H ), dari madzhab Hanafi yakni al-Hujjah ‘Ala Ahl al - Madinah , dan kitab al-Khilaf fi al -Ahkâm karya Abû Ja’far Muhammad al-Thusi (w.460 H) dari madzhab Syî’ah Imamiyah.19

Penerapan teori ushûl fiqh sekaligus produk hukum (istinbâth ) dari masing-masing madzhab yang dijelaskan secara singkat dan integral hanya dilakukan Ibn Rusyd dalam Bidâyat al- Mujtahid ini. Ibn Rusyd dalam menyampaikan pandangan- pandangan ulama, tak lupa salalu menyisipkan dalil serta wajh dilalah - nya (cara pengambilan dalil), sehingga pembaca dimungkinkan untuk mengetahui proses pembentukan hukum tersebut, bukan sekadar taklid buta.20

Kitab Bidâyah al-Mujtahid merupakan kitab fiqh muqârin yang memuat pendapat-pendapat Imam Madzhab dalam menentukan suatu hukum Islâm. Dalam Bidâyat al-Mujtahid dibahas berbagai persoalan fiqhiyah diantaranya bab thaharah, shalat, zakat, merawat jenazah, haji, jihad, kurban, sumpah, nazar, makanan dan minuman, nikah, talak, li’an , diyat, pesanan, ‘ariyah, barang temuan, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Semua masalah yang diungkapkan oleh Ibn Rusyd di dalamnya terjadi perselisihan di antara ulama karena adanya perbedaan penafsiran ataupun metode dalam memutuskan sebuah masalah hukum.

Ibn Rusyd yang sangat populer di Barat dan Timur itu mengutip pendapat imam madzhab empat secara jeli dengan studi banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab empat. Ia tidak hanya berhenti pada kutipan, tetapi memberi opini terhadap aneka pendapat itu dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat suci al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs, bahkan sampai pada mashâlih al - Mursalah, istihsân dan urf.

Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, kriteria kefaqihan tidak dapat diukur dengan jumlah dan kuantitas al-masâil al -fiqhiyah yang dihapal, tetapi diukur dengan kemampuan meng-istinbâth hukum langsung dari al-Qur’ân, al-Sunnah dan sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut, melalui proses rasionalisasi yang memadai berdasarkan kaidah-kaidah linguistik dan teori ushûl fiqh.21

Metode Ijtihâd Ibn Rusyd dalam Bidâyat al-Mujtahid
Ibn Rusyd menjelaskan dalam mukadimah Bidâyat al-Mujtahid bahwa tujuan dari penulisan kitab ini adalah untuk mengulas problematika hukum Islâm yang disepakati dan yang diperselisihkan, lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Di samping itu dijelaskan pula sebab-sebab terjadinya perselisihan, yang pada umumnya berkisar pada masalah pengertian nash dalam syara’ .22 Pengertian inilah yang dapat menghasilkan kesepakatan di kalangan para pakar hukum Islâm atau justru menjadi bahan perselisihan pendapat di kalangan mereka semenjak masa sahabat sampai masa taklid.

Ibn Rusyd dalam mukadimah Bidâyat al-Mujtahid, menyebutkan bahwa hukum Islâm terbentuk harus bersumber dari al-Qur’ân, al-Sunnah. kedua sumber tersebut biasa dinamakan dengan nash. Dengan berkembangnya Islâm dan persoalan-persoalan baru muncul dengan pesat mengakibatkan para fuqaha merasa kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut hanya dengan bersandar pada nash.
Dan ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat dalam nash maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui metode analogi (qiyâs). Sedangkan menurut Zhahiri dan Syî’ah Imamiyah, qiyâs dalam hukum Islâm itu batal. Madzhab Zhahiri tidak mengakui adanya ‘illat nas h dan tidak berusaha untuk mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat .23 Oleh karena itu, semua problem yang ketentuan hukumnya tidak dibicarakan dalam nash syar’i berarti tidak ada hukumnya.

Dalam   mukadimah   Bidâyat    al-Mujtahid        Ibn   Rusyd mengatakan, kata-kata, perbuatan dan taqrir Nabî, yang kemudian menjadi salah satu sumber hukum Islâm itu, ada empat macam. Tiga di antaranya sudah disepakati dan satu masih diperselisihkan. Tiga yang disepakati itu adalah: (1) kata umum (lafazh ‘âmm) dengan maksud sesuai dengan keumumannya; (2) kata khusus (lafazh khâsh) dengan maksud sesuai dengan kekhususannya; (3) kata-kata yang mempunyai pengertian umum, tetapi menghendaki pengertian yang khusus, atau kata-kata khusus yang menghendaki pengertian umum.24
Tiga macam kata-kata di atas kadang-kadang menggunakan istilah sebagai berikut: (1) al-tanbih bi al -a’lâ ila al -adnâ (penegasan ketentuan yang lebih rendah dengan ketentuan yang lebih tinggi); (2) al-tanbih bi al -adnâ ‘ala al -a’lâ (penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah); (3) al-tanbih ‘alâ al musawi bi al- musawi (penegasan ketentuan yang setara dengan ketentuan yang setara). 

Contoh lafazh pertama adalah surat al-Maidah ayat 3:
 
Para ulama sepakat bahwa kata khinzîr (babi) meliputi segala jenis babi, kecuali hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama, seperti babi laut. Dan contoh lafazh umum dengan maksud khusus adalah surat at-Taubah: 103

Para ulama sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda. Sedangkan contoh lafazh khusus dengan maksud umum adalah surat al-Isra’ : 23
 
Ayat tersebut termasuk dalam lingkup penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah. Sebab firman Allâh itu mengandung suatu pengertian tidak boleh memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras.

Kata yang digunakan untuk suatu “tuntutan” terkadang berbentuk amr (perintah) atau kalimat berita yang dapat dipahami sebagai perintah. Begitu juga perbuatan yang harus ditinggalkan, kadang berbentuk nahy (larangan) atau kalimat berita yang dapat dipahami sebagai larangan.
Penggunaan kalimat perintah seperti itulah yang menjadi pembahasan para ulama, yaitu apakah perintah itu berakibat wajib atau sunat. Atau seseorang tidak bersikap dahulu menunggu ditemukannya dalil yang memperkuat. Sikap dan pendapat seperti itulah yang menjadi lapangan pembahasan ilmu ushûl fiqh .
Masalah yang sama juga terjadi pada bentuk larangan (nahy). Bentuk ini apakah menunjukkan pengertian hukum haram atau makruh, atau malah tidak berakibat hukum apa-apa. Masalah ini juga masih diperselisihkan di kalangan para ulama.
Terkadang, masalah menjadi obyek hukum itu menggunakan suatu kata yang hanya mempunyai satu arti dan satu pengertian, yang di dalam ilmu ushûl fiqh disebut nash. Dalam hal ini, penentuan hukumnya jelas, tanpa ada perdebatan. Kadang menggunakan kata yang mempunyai arti yang banyak, tidak hanya satu pengertian. Lafazh ini terbagi dua: (1) lafazh itu menunjukkan arti dan pengertian yang sama, dalam ushûl fiqh disebut mujmal ; (2) lafazh itu menunjukkan beberapa arti atau lebih dari satu pengertian. Lafazh terakhir inilah yang disebut zhahir. Dan arti yang lebih sedikit, dari satu lafazh, disebut muhtamal (memungkinkan untuk dipahami dengan beberapa arti).
Lafazh muthlaq harus diartikan semestinya. Sampai ada dalil yang menunjukkan arti secara muhtamal. Perbuatan Nabî SAW,
termasuk sebagian dari sumber syara’ menurut kebanyakan fuqahâ’. Af’âl tidak mengandung konsekuensi hukum, jika tidak ada sighat yang dapat berkonsekuensi hukum sesuai dalalah nya. Para ulama berbeda pendapat tentang macam kongkrit hukumnya. Sebagian mengatakan wajib dan yang lain mengatakan sunat.
Menurut penelitian para ahli fiqh, jika af’âl itu menjelaskan hukum wajib yang masih mujmal , maka af’âl tersebut berkonotasi wajib. Dan jika af’âl tersebut menjelaskan hukum sunat yang masih mujmal, maka af’âl tersebut berkonotasi hukum sunat. Jika af’âl tersebut tidak menjelaskan sunat atau wajib hanya mujmal saja, maka hal hal itu hanya berkonotasi qurbah yang dekat dengan hukum sunat. Selanjutnya, jika termasuk mubah, berarti af’âl tersebut menunjukkan hukum mubah. Sedangkan taqrîr Nabî memberikan petunjuk akan kebolehannya (mubah). Demikian sebagian metode penyimpulan hukum (istinbâth al -ahkâm).
Muhammad Abû Zahrah menuturkan bahwa setiap perkataan dan pengakuan Nabî termasuk ajaran dan hujjah dalam agama, tetapi dalam perbuatan Nabî para ulama berbeda pendapat. Para ulama membagi perbuatan Nabî dalam tiga bagian. Pertama, perbuatan yang menyangkut penjelasan syarî’ah seperti salat, puasa dan haji. Kedua, perbuatan Nabî yang berdasar dalil dinyatakan bahwa perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabî. Ketiga, perbuatan Nabî yang itu merupakan adat dan kebiasaan manusia.25
Ijmâ’ ulama (konsensus ulama) sebagai salah satu metode dalam pengambilan hukum Islâm. Jika ijmâ’ terjadi pada salah satu dari empat metode di atas, padahal bukan merupakan dalil qath’i (pasti), maka hukum yang ditetapkan dengan zhan (perkiraan) berubah menjadi hukum qath’i. Ijmâ’ memang bukan merupakan hukum yang berdiri sendiri, jika tidak didasarkan pada salah satu dari empat metode di atas. Sebab jika ijmâ’ mempunyai kedudukan sendiri, berarti sama dengan menetapkan “ hukum baru” setelah Nabî Muhammad SAW. Itu berarti tidak mengacu pada ketetapan syara’ yang sah.26
Ijmâ’ dalam hal-hal teoritis tidak dapat diketahui secara pasti, begitu juga dalam hal-hal yang yang bersifat praktis. Ijmâ’ umat dalam masalah apapun dan pada masa kapanpun juga tidak dapat diketahui, kecuali jika masanya dibatasi dengan tegas. Semua ulama pada masa itu diketahui dengan jelas, dan pendapat mereka tentang persoalan tertentu sampai secara runtun (mutawâtir ). Di samping itu, ada kepastian bahwa semua ulama pada masa tersebut telah sepakat tentang tidak adanya makna lahir dan makna takwil dalam teks syariat tersebut, lalu bersepakat pula bahwa pengetahuan mengenai suatu persoalan tidak boleh dirahasiakan dari orang lain, dan hanya hanya ada satu metode untuk memahami teks syariat tersebut.
Statemen hukum yang bisa diungkap pada seorang mukallaf (orang yang terkena beban hukum), secara garis besar dapat berbentuk amr (perintah), nahy (larangan), dan takhyir memilih salah satu). Amr (perintah) berkonotasi wajib melaksanakan ketetapan hukum dan ada resiko hukuman jika tidak melaksanakan ketetapan hukum tersebut. Jadi Amr menunjukkan hukum wajib. Jika amr dapat dipahami akan mendapatkan imbalan pahala dan tidak ada resiko hukuman, amr tersebut berkonotasi sunat. Demikian juga nahy (larangan), jika pelanggaran ketetapan hukum tersebut disertai dengan hukuman, maka perbuatan itu berkonotasi haram. Tetapi jika nahy itu dapat dipahami hanya sebagai larangan tanpa disertai dengan ancaman hukuman, maka nahy yang berkonotasi makruh.27
Dari uraian di atas, para ulama menyimpulkan ada lima macam hukum syara’ yang disimpulkan melalui kaidah hukum ushûl fiqh. Lima hukum itu adalah wajib, sunat, haram, makruh, dan mubah. Ibn Rusyd menjelaskan juga enam sebab yang menjadi pokok silang pendapat di kalangan fuqahâ’.28
Pertama, adanya berbagai kemungkinan pemahaman terhadap satu kata (lafal) karena adanya perbedaan sudut pandang, yaitu: (1) Zhahir nya suatu kata (lafazh) itu ‘âmm, tetapi yang dimaksud adalah khusus; (2) Lafazh khusus (khâsh) yang dimaksud adalah pengertian umum; (3) Lafazh ‘âmm pengertiannya ‘âmm juga, tetapi belum jelas apakah lafazh itu diperkuat dengan khitab atau tidak; (4) Lafazh khâs dengan pengertian khâsh juga.
Kedua, adanya lafaz yang digunakan secara ganda (isytirak ), yakni: (1) Lafazh mufrad (tunggal), seperti kata qurû’ yang biasa diartikan al-thahâr (suci) atau haid. Amr (perintah) bisa berkonsekuensi wajib dan juga bisa berkonsekuensi sunat atau mubah. Nahy juga bisa berkonsekuensi haram atau makruh; (2) Lafazh murakkab (bersusun), seperti firman Allâh SWT, Surat An-Nur: 4-5.
 
Pada akhir ayat itu, ada kata    ﺫﺍﻟﻚ ﺑﻌﺪ ﻣﻦ , apakah musyar ilayh
kata dzalik itu kembali kepada kefasikan saja atau pada kefasikan dan persaksian secara bersamaan. Artinya, tobat itu bisa menghapus dosa karena fasik, dengan konsekuensi “boleh” menjadi saksi, walaupun sebelumnya menjadi penuduh zina pada orang lain (qâzif)
Ketiga, karena adanya perbedaan i’râb (cara membaca). Keempat, suatu kata (lafazh) dimungkinkan dapat dipahami secara haqiqî, majazî, atau isti’ârah . Kelima, penyebutan kata secara mutlak atau muqayyad, seperti kata ‘itqu bisa berarti mutlak atau dengan taqyid. Keenam, ta’ârudh (bertentangan, antagonistik) antara dua sumber atau metode yang berkaitan dengan hukum syara’, ta’ârudh pada af’âl, iqrâr , dan qiyâs, atau ta’ârudh yang disebabkan tiga hal tersebut, yakni ta’ârudh lafal dengan af’âl, taqrîr , dengan qiyâs dan seterusnya.

Footnote

8 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes) Filsuf Islam Terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 31.

9 Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibn Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter , alih bahasa Khalifurrahman Fath, (Yogyakarta: C.V. Qalam, 2003), hlm. 29.

10 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , alih bahasa Imam Ghazali, dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 19.

11 al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 30.

12 Tetapi kebenaran hubungan guru-murid secara langsung antara Ibn Bajah-Ibn Rusyd sangat diragukan. Mengingat Ibn Rusyd lahir pada tahun 529 H, sedang Ibn Bajah wafat tahun 533 H. Yakni ketika Ibn Rusyd baru berumur 13 tahun. Tetapi kalau dikatakan Ibn Rusyd berguru kepada Ibn Bajah secara tidak langsung, yakni melalui buku karangannya, itu dapat diterima. Hal ini dapat dibuktikan dari komentar Ibn Rusyd terhadap pendapat Ibn Bajah yang ia tuangkan dalam beberapa buku karangannya. Ibid., hlm. 20.

13 Abd al-Wahid al-Murakisy, al-Mujib fi Talkhish Akhbar al -Magrib , (Kairo: Dâr al- Sya’b, 1964), hlm. 1-2.

14 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 24.

15 al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 29.

16 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 178.

17 Ibn Rusyd, Bidayâh al-Mujtahid , hlm. 110-114.

18 A. Hanafi, Pengantar Filsafat , hlm. 179.

19 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 119.

20 Umdah El-Baroroh, Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibnu Rusyd: Antara Konservatisme    dan    Libera lisme,    http://islamlib.com/id/index.php?page =article&id=931, diakses tanggal 24 Oktober 2010.

21 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 316

22 Ibn Rusyd, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid , terj A. Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 8

23 Muhammad Abû Zahrah, Ushul Fiqih , terj. Saefullah Ma’shum et.al, cet. IX, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 340.

24 Ibn Rusyd, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 10.

25 Abû Zahrah, Ushul Fiqi h, hlm. 164-165.

26 Ibn Rusyd, Mukadimah Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 15.

27 Ibid., hlm. 16.

28 Ibid., hlm., 17.

Download Terjemah Bidayatul Mujtahid Ibnu Rushd

  1. Bidayatul Mujtahid 1
  2. Bidayatul Mujtahid 2

Download Bidayatul Mujtahid versi Arab (Tahqiq: Muh. Subhi Hasan Hallaq)

LihatTutupKomentar