Terjemah Shahih Ibnu Khuzaimah
Nama kitab: Terjemah Shahih Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibn Khuzaima (صحيح
ابن خزيمة)
Judul lengkap kitab asal: Mukhtashar al-Mukhtashar min al-Musnad
al-Sahih an an-Nabi bi Naql al-Adl an al-Adl Maushulan ilaih Ghair Qat'in fi
Athna al-Isnad wa La Haraj fi Naqili al-Akhbar (مختصر المختصر من المسند
الصحيح عن النبي بنقل العدل عن العدل موصولا إليه من غير قطع في أثناء الإسناد ولا
جرح في ناقلي الأخبار)
Penulis: Ibnu Khuzaimah (Arab: ابن خزيمة)
Nama
lengkap: ِAbu Bakar Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (Arab: أبو بكر محمد
بن إسحاق بن خزيمة )
Gelar: al-Muhaddits (المحدث)
Lahir: 837 CE/Safar
223 H, Nishapur, Iran
Wafat: 2 Dhu al-Qai'dah 311 H/15 Februari 924 M
Ideologi:
Syafi'iyah, Atsariyah
Bidang studi: Hadits Nabi, al-Sunnah, syarah matan
hadits, hadits sahih
Daftar Isi
- Biografi Ibnu Khuzaimah
- Profil Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah
- Download Terjemah Ibnu Khuzaimah
- Download Ibnu Khuzaimah versi Arab
-
Kitab Hadits lain:
- Terjemah Shahih Bukhari
- Terjemah Shahih Muslim
- Terjemah Sunan Abu Dawud
- Terjemah Sunan Tirmidzi
- Terjemah Sunan Nasa'i
- Terjemah Sunan Ibnu Majah
- Terjemah Sunan Musnad Ad-Darimi
- Terjemah Muwatta Malik
- Terjemah Musnad Ahmad
- Terjemah Sahih Ibnu Khuzaimah
- Terjemah Mustadrak al-Hakim
- Terjemah Arbain Nawawi
- Terjemah Bulughul Maram
- Terjemah Ibanatul Ahkam (Syarah Bulughul Maram)
- Terjemah Riyadhus Shalihin
- Terjemah Fathul Bari Syarah Bukhari
- Terjemah Syarah Muslim oleh al-Nawawi
- Terjemah Al-Adzkar Nawawi
- Terjemah Nailul Authar
- Kitab Hadis terbaru
Biografi Ibnu Khuzaimah (223-311 H= 838-924
M)
Nama lengkap Ibn Khuzaymah adalah ‘Abu Bakr Muhammad bin ‘Ishaq bin
Khuzaymah al-Naisaburi al-Shafi’i. Ia lahir pada bulan Safar 223 H/838 M di
Naisabur (Nisapur), sebuah kota kecil di Khurasan yang sekarang terletak di
bagian Timur laut negara Iran.1
Sejak kecil ia telah mempelajari al-Qur’an. Setelah itu, ia sangat suka
melawat untuk menemui Ibn Qutaybah (w. 240 H = 854 M) guna mencari dan
mempelajari hadith. Ia minta izin kepada bapaknya, namun bapaknya meminta agar
putranya terlebih dahulu mempelajari al-Qur’an sehingga benar-benar
memahaminya. Setelah dianggap mampu memahami al-Qur’an, barulah ia diizinkan
untuk mencari dan mempelajari hadith-hadith Nabi dengan melawat ke Marwan dan
menemui Muhammad bin Hisham dan Ibnu Qutaybah.2
Guru-gurunya
Ibn Khuzaymah memulai lawatannya dalam mengkodifikasi hadith-hadith
Nabi sekitar tahun 240 H= 855 M, yakni ketika ia berusia tujuh belas tahun. Ia
giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam. Di Nisapur ia
belajar kepada Muhammad bin Humayd (w. 230 H= 844 M), ‘Ishaq bin Rahawayh (w.
238 H = 852 M) dan lainnya. Di Marwa ia belajar hadith kepada ‘Alibin
Muhammad. Di Ray ia belajar hadith kepada Muhammad bin Maran dan lainnya. Di
Jazirah ia belajar hadith kepada ‘Abd al-Jabbar bin al-’Aladan lain-lain. Di
Mesir ia belajar hadith kepada Yunus bin ‘Abd al-’Aladan lainnya. Di Wasit ia
belajar hadith kepada Muhammad bin Harb dan lainnya. Di Bagdad ia belajar
hadith kepada Muhammad bin ‘Ishaq al-Sagani dan lainnya. Di Basrah ia belajar
hadith kepada Nasr bin ‘Alial-Azadi al-Jahdimi dan lainnya. Dan di Kufah ia
belajar hadith kepada ‘AbuKuraib Muhammad bin al-’Ala’ al-Hamdani dan lainnya.
Selain itu, ia juga banyak meriwayatkan hadith dari ‘Ahmad bin Mani’, Muhammad
bin Rafi’, Muhammad bin Bashr, Bandar Muhammad bin ‘Isma’ilal-Bukhari,
Muhammad bin Yahya al-Zuhali, ‘Ahmad bin Sayyar al-Mirwazidan lainnya. Ia juga
menerima hadith dari al-Bukhari, Muslim, dan lainnya. Guru-guru Ibn Khuzaymah
memang sangat banyak jumlahnya. Dalam periwayatan hadith ia tidak mau
menyampaikan hadith-hadith Nabi yang telah ia terima dari guru-gurunya sebelum
ia benar-benar memahaminya, dan sering kali ia memperlihatkan catatan- catatan
hadith-nya kepada guruya.3
Murid-muridnya
Murid-murid
yang pernah meriwayatkan hadith dari Ibn Khuzaymah jumlahya sangat banyak.
Bahkan, sejumlah gurunya pun ada yang meriwayatkan hadith darinya, seperti al-
Bukhari, Muslim, Muhammad bin ‘Abd Allah bin Abd al-Hakam.
Di antara murid-murid Ibn Khuzaymah ialah Yahyabin Muhammad bin Sa’id, ‘Abu‘Alial- Naysaburidan lainnya. Yang paling akhir meriwayatkan hadith darinya di Nisapur ialah cucunya sendiri yaitu ‘AbuTahir Muhammad bin al-Fadl.
Hadith-hadithnya pun banyak diriwayatkan oleh ulama terkemuka pada zamannya. Di antara yang meriwayatkan hadith darinya ialah ‘Abual-Qasim Sulayman bin Ahmad bin Ayyub al-Tabra’i, ‘AbuHatim, Muhammad bin Hibban al-Bushti, ‘AbuAhmad ‘Abd Allah bin ‘Abd al- Jurjani, ‘AbuIshaq Ibrahim bin Abd Allah bin al-Albihani, ‘AbuBakr Muhammad bin ‘Isma’il al- Sasi, al-Qafal al-Kabir dan lainnya.
Berkat kecerdasan dan keuletannya dalam mencari ilmu pengatahuan, akhimya Ibn Khuzaymah menjadi imam besar di Khurasan. Ia juga banyak menggeluti hadith dengan mempelajari dan mendiskusikannya. Karena itulah ia tekenal sebagai seorang hafizdan digelari imam al-a’immah (pemimpin para pemimpin). Menurut pengakuannya ia hafal 70.000 hadith.4
Dari segi kepribadiannya Ibn Khuzaymah dikenal sebagai orang yang sangat baik.
Banyak orang yang memberikan kesaksian dan komentar tentang hal ini. Selain
itu, ia juga dikenal memiliki kecerdasan atau daya hafal yang luar biasa.
‘AbuAli al-Husain bin Muhammad al- Hafizal-Naysaburiberkata: “ Saya belum
pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaymah). Ia sangat
mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari hadith-hadith Nabi sebagaimana hafalan
al-Qur’an.” Senada itu juga dikemukakan oleh al-Daraqutniyang menyatakan bahwa
ia adalah seorang pakar hadith yang sangat terpercaya dan sulit dicari
bandingannya. Sementara itu, Ibn AbiHatim memberikan komentar bahwa Ibn
Khuzaymah adalah orang yang sangat mampu. Al-Rabi’, salah seorang guru Ibn
Khuzaymah dalam bidang fiqih, di samping Ibn Rahawayh dan al-Muzanijuga
menuturkan secara tulus bahwa mereka banyak memperoleh manfaat dari Ibn
Khuzaymah. Ketelitiannya dalam menghimpun hadith terungkap dalam
pernyataannya: Sesungguhnya apabila saya hendak memasukkan sebuah hadith dalam
buku ini maka saya lakukan salat istikharah terlebih dahulu.5
Karya-karyanya
Selama masa hayatnya Ibn Khuzaymah banyak menghasilkan karya tulis.
‘AbuAbd Allah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibn Khuzaymah mencapai lebih
dari 140 buah. Sayangnya sebagian besar karya-karyanya tidak sampai kepada
kita, meskipun sekedar nama atau judulnya. Karyanya yang masih bisa dijumpai
saat ini hanya dua. Yaitu Kitab al-Tamhid dan Kitab Sahih Ibn Khuzaymah.
Berdasarkan penelusuran M.M. Azami terhadap kedua kitab tersebut di dalamnya
ia menemukan 35 buah nama “ bab” yang pernah disebutkan oleh Ibn Khuzaymah.
Nama- nama “ bab” yang disebutkan itu ialah: al-Ashribah, al-Imamah, al-Ahwal,
al-Iman, al-Iman wa al-Nuzur, al-Birr wa al-Silah, al-Buyu’, al-Tafsir,
al-Tawbah, al-Tawakkal, al-Jana’iz, al- Jihad, al- Du’a’, al-Da’awat, Dhikr
Na’im al- Jannah, al-Sadaqat, al-Sadaqat min Kitabih al-Kabir, Sifat Nuzul
al-Quran, al-Mukhtasar min Kitab al-Salah, al-Salah al-Kabir, al-Salah,
al-Siyam, al-Tiba’ wa al-Ruqa’, al-Zihar, al-Fitan, Fadl Alibin AbiTalib,
al-Qadr, al-Kibr, al-Libas, Ma’anial-Quran, al-Manasik, al-Wara’,
al-Wasaya, al-Qira‘ah Khalf al-Imam.6
Dari penyebutan 35 nama “
bab” di atas, menurut M.M. Azami, tema-tema “ bab” tersebut dapat memiliki
tiga kemungkinan: Pertama, Merupakan judul atau nama buku tersendiri, Kedua,
hanya merupakan bagian atau bab dari satu buku. Dan ketiga, dapat pula berarti
kedua-duanya, yakni terkadang sebagai judul atau nama buku tersendiri, dan
terkadang sebagai bagian atau bab dari suatu buku. M.M. Azami berpendapat
bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang lebih kuat. Ia mengakui bahwa para
ulama’ hadith seringkali menyusun kitab-bukunya terdiri dari beberapa “ bab”
.7 Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Kitab Sahihal-Bukhariyang terdiri dari
beberapa bab yaitu: al-Iman, al-’Ilm, al-Wudu‘, dan seterusnya.8
Setelah
mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada
malam Sabtu tanggal 2 Dhual-Qa’dah 311 H/ 924 M, Ibn Khuzaymah wafat dalam
usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, disalati dan
dimakamkan di bekas kamarnya
Profil Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah
Patut disayangkan kitab Sahih karya Ibn Khuzaymah tidak sampai kepada kita secara lengkap, karena kitab ini sebelumnya hilang. Sebelum tercetak dalam sebuah buku, karya ini masih berupa manuskrip-manuskrip yang ditemukan pertama kali sekitar abad ke-6 atau awal abad ke-7 H, di toko kitab Ahmad Salis, Istambul. Sharifuddin al-Dimyati(w.705 H) menginformasikan bahwa ia hanya mendapati seperempat dari kitab Ibn Khuzaymah, yaitu seperempat dalam masalah ibadah, sebagaimana juga disebutkan oleh al-Hafiz Ibn Hajar, meskipun Ibnu Hajar juga mendapati dua kitab lainnya yaitu kitab Siyasah dan kitab Tawakkal dari Sahih Ibn Khuzaymah. Sedangkan jumlah hadith dalam bagian yang tersisa hingga sekarang adalah 3079 buah. Jika penemuan itu hanya seperempatnya, maka perkiraan jumlah seluruhnya adalah sekitar 10.000 hadith. Hal ini menunjukkan bahwa kitab tersebut lebih besar dari Sahih al-Bukhari dan Muslim. Sekaligus menunjukkan bahwa kitab tersebut merupakan kitab yang terbesar dalam men-tashhih hadith.
Naskah cetakan yang beredar di pasaran sekarang ini adalah hasil suntingan Dr.
MM. Azami yang diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami, Beirut tahun 1390 H./1970
M. Penamaan kitab ini dengan nama SahihIbn Khuzaymah sebenamya bukanlah
penamaan dari penyusun sendiri, karena Ibn Khuzaymah sendiri menamai karyanya
itu dengan nama: Mukhtasar al-Mukhtasar min al-Musnad al-Sahih.
Hal itu
ditunjukkan oleh pernyataan Ibnu Khuzaymah sendiri dalam kitab tersebut. Selain
itu ulama-ulama sesudahnya (mutaqaddimin) banyak yang mengutip dari kitab
tersebut dan menyebutnya sebagai Mukhtasar al-Mukhtasar, di antaranya adalah
al-Khalili, al-Bayhaqi, dan al-Dzahabi.
Penamaan kitab ini dengan Sahih Ibn Khuzaymah dipakai oleh para ulama muta’akhirin seperti al-Mundiri, al-Dimyati, al-Turkimani, al-Zaylai dan semakin populer sejak Ibn H ajar al- Asqalani, al-Suyuti dan Ibn Fahd dan berlanjut hingga sekarang.
Untuk mengenal kitab ini, bisa dimulai dari judul yang diberikan oleh penyusunnya. Pertama, apa yang dimaksud oleh Ibn Khuzaymah dengan menyebutkan kata Mukhtasar al- Mukhtasar? Pemerhati hadith menyaksikan al-Bukharijuga menamai kitabnya dengan al- Mukhtasar, Imam Muslim menamai kitabnya dengan al-Musnad al-Sahihal-Mukhtasar. Padahal dalam kenyataannya karya Ibn Khuzaymah jauh lebih besar dari Sahihal-Bukharidan Sahih Muslim.
M.M. Azami dalam Muqaddimah SahihIbn Khuzaymah menduga bahwa Ibn Khuzaymah
mempunyai dua kitab hadith, salah satunya adalah al-Musnad al-Kabir, dan ini
merupakan kitab induk, sedangkan kitabnya yang sampai kepada kita sekarang
adalah ringkasan (mukhtasar) dari kitab al-Musnad al-Kabir, atau penyempumaan
darinya yang penyusunannya belum selesai. Dugaan ini disanggah oleh Dr.
al-Sharif Hatim bin ‘Arif al-’Awnimengingat al-Musnad al-Kabir karya Ibn
Khuzaymah tersebut tidak seluruhnya memuat hadith sahihsebagaimana yang
disinggung oleh pernyataan Ibn Khuzaymah sendiri dalam kitab Sahih-nya. Ia
menyimpulkan dari hasil kajiannya bahwa dengan menamai Mukhtasar al-Mukhtasar,
Ibn Khuzaymah tampaknya merasa tidak cukup dengan kata mukhtasar saja dan
ingin lebih mempertegasmakna mukhtasar yang digunakan al-Bukharidan Muslim,
dengan maksud menepis kemungkinan dugaan sebagian orang bahwa kitabnya memuat
seluruh hadith sahih.
Selanjutnya ia menyebutkan “ min musnad al-Sahih“
dengan musnad Ibn Khuzaymah hanya memasukkan hadith-hadith yang sanadnya
bersambung sampai Rasulullah Saw. Dan dengan kata al-sahihdimaksudkan kitab
tersebut tidak dimasukkan di dalamnya hadith-hadith yang da’if. atau dengan
kata lain “ mafih al-kifayah al-sahih‘an nabiyy” .9
Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah jika sebelumnya telah ada Sahihal-Bukhari dan SahihMuslim, maka apa faedahnya menyusun kitab sahihyang lain? Alasannya, karena memang penyusunnya mempunyai satu perhatian lebih terhadap hal-hal yang tidak tercakup dalam kedua kitab sahihsebelumnya, mengingat baik al-Bukharimaupun Muslim sendiri mengakui bahwa kedua kitab Sahihnya itu tidak mencakup seluruh hadith sahih, sehingga masih banyak hadith sahihyang tidak masuk dalam kedua kitab tersebut.
Dengan kitab ini Ibn Khuzaymah tampaknya hendak menambahkan hadith-hadith lain yang tidak atau belum di-sahih-kan oleh al-Bukharidan Muslim. Demikianlah setiap penyusun kitab sahihsetelah al-Bukharidan Muslim didapati mereka mempunyai perhatian untuk menambahkan hadith-hadith sahihyang tidak atau belum dicantumkan oleh keduanya. Hal ini dapat dicermati pada karya Ibn Khuzaymah, Ibn Hibban, al-Hakim, al-Diya’dan penyusun kitab sahihsetelah al-Bukharidan Muslim selain penyusun kitab-kitab al-mustakhraj.10
Penyusunan kitab SahihIbn Khuzaymah, menurut M.M Azami, dilakukan dengan cara imla’ (pendektean guru kepada muridnya). Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya pengulangan kata-katanya qad amlayt (aku telah mendektekan) dalam kitab SahihIbn Khuzaymah yang menunjukkan pengertian tersebut.
Adapun sistematika penyusunannya, naskah cetakan kitab SahihIbn Khuzaymah yang dikaji seluruhnya terdiri dari 4 jilid. Keseluruhannya berisi tujuh kitab (dalam arti bab). Ketujuh kitab yaitu: Kitab al-Wudu’, kitab al-Salah, kitab al-Imamah fial-Salah, kitab al- Jama’ah, kitab al-Siyam, kitab al-Zakah dan kitab al-Manasik.
Setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab (dalam arti sub bab) dengan jumlah yang berbeda-beda. Untuk empat kitab paruh pertama, yakni: Kitab al-Wudu’, kitab al-Salah, kitab al-Imamah fial-Salah, dan kitab al- Jum’ah. Setiap babnya diberi nomor urut dari mulai awal sampai akhir. Dengan kata lain, penomoran hadith selalu dimulai dari setiap bab. Sedangkan pada ketiga kitab berikutnya yaitu: Kitab al-Siyam, kitab al-Zakah dan kitab al-Manasik, penomoran bab-nya digabungkan mulai bab ke-1 sampai dengan bab: 887.
Bab-bab yang dianggap masuk dalam satu topik digabungkan atau dimasukan ke
dalam satu kelompok bab yang disebut dengan jumma’al-abwab. Setiap jumma’
al-abwab diberi nama tertentu, seperti pada kitab dan bab. Pemberian nama
jumma’ al-abwab sangat membantu para pembaca dalam menemukan topik yang lebih
umum yang dapat mencakup banyak bab, namun cakupannya lebih sempit ketimbang
kitab.
Untuk mengetahui keseluruhan sistematika penyusunan SahihIbn
Khuzaymah mulai dari nama-nama kitab-nya, jumma’ al-abwab, serta bab-bab-nya
secara lengkap dapat dilakukan dengan mencermati daftar isi kitab yang ada
pada bagian akhir tulisan ini.
Perlu diketahui juga bahwa dalam setiap bab memuat hadith-hadith Nabi Saw.
(sanad dan matannya secara lengkap), dalam jumlah yang berbeda-beda untuk
setiap bab-nya, kendatipun ada sejumlah kecil bab yang sama sekali tidak
memuat sebuah hadith pun. Setiap bab diberi nama dan nomor. Penomoran hadith
diberikan secara unit dari awal juz I sampai akhir juzIV. Dengan melihat nomor
unit terakhir hadith, maka dapat diketahui jumlah keseluruhan hadith dalam
karya Ibn Khuzaymah adalah sebanyak 3.079 buah. Jumlah tersebut termasuk yang
diulang-ulang. Tampaknya pengulangan hadith-hadith dalam kitab ini jumlahnya
relatif sedikit.
Berikut ini rekapitulasi kandungan Sahih Ibn
Khuzaymah:
No. Kitab Nama Kitab
Jumlah hadith
1. Wudu’ 300
2.
Salah 486
3. Imamah
al-Salah 350
4.
Jum’ah 59
5. Siyam
365
6. Zakah 260
7.
Manasik 576
Jumlah hadith seluruhnya
3.079
Dari paparan di atas dapat dicermati bahwa penyusunan kitab
ini adalah secara tertib permasalahan fiqih, dimana penyusunnya merinci dan
memilah masalah-masalah fiqih yang diambilkan hukumnya dari hadith dengan
perincian yang jelas. Ini merupakan nilai tambah pada SahihIbn Khuzaymah jika
dibandingkan dengan Sahihal-Bukhariyang membagi kitab dalam bab-bab tetapi
tidak menunjukkan hubungan antara bab-bab itu. Sebaliknya Ibn Khuzaymah
menjelaskan sisi istimbathukum dalam bentuk yang jelasdan terinci dalam
beberapa tempat. Demikian juga pembagian bab-bab-nya sangat jelas dan rinci,
bahkan dari sisi ini pemerhati dapat mengetahui pemikiran fiqih Ibn Khuzaymah.
Karya seperti ini menunjukkan bahwa penyusunnya sangat mengusai fiqih dan cara
beristimbathukum dari sumbernya. Pantasia disebut sebagai tokoh ulama fiqih
pada zamannya dan salah seorang yang mendapat sebutan shaykh al-Islam bahkan
menurut ‘Abual-Abbas bin Surayj ia adalah tokoh ulama.11
Dalam hal ini
‘AbuAli al-Husain bin ‘Alibin Yazid al-Naysaburimenegaskan:” Saya tidak pernah
melihat orang yang sepadan dengannya, dan ia menghafal persoalan-persoalan
fiqih dan hadith sebagaimana ia menghafal surah al-Qur’an.12
Setelah memperhatikan nama-nama kitab dalam tabel di atas, dan rincian sistematikanya diketahui bahwa hampir seluruh hadith yang terkandung di dalam kitab ini berkaitan dengan masalah-masalah hukum.13 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Kitab SahihIbn Khuzaymah (sebagaimana yang tercetak saat ini) merupakan kitab koleksi khusus hadith-hadith hukum. Hal ini dapat dimaklumi karena pada saat kitab ini disusun diskursus hukum atau fiqih Islam sedang menjadi model atau trend yang sedang dominan. Selain itu tampaknya di antara yang memotivasi kehadiran kitab ini adalah untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan masyarakat pada zamannya. Adapun koleksi hadith-hadith selain masalah hukum yang dihimpun oleh Ibn Khuzaimaah tampaknya dibuat secara terpisah. Misalnya dalam kitab al-Tawhid yang merupakan “ induk” dari kitab koleksi ini.14
Ibn Khuzaymah dikenal sangat teliti dalam menilai hadith. Hal itu tampak dari apa yang ditulis al-Suyutiyang menukil perkataan ‘AbuBakr (Ibn Khuzaymah), ia berkata: “ Saya mengecualikan ke-sahih-an hadith ini, karena saya khawatir Muhammad bin Ishaq tidak mendengar (langsung hadith ini) dari Muhammad bin Muslim. Saya khawatir ia hanya men- tadlisdengan mengatakan bahwa ia mendengarnya dari Muhammad bin Ishaq, padahal tidak.15 ‘AbuBakr berkata “Ada sesuatu yang mengganjal di hati saya dari ucapan yang dituturkan Muhammad bin Ja’far ini” .16 Pada sekempatan lain ‘AbuBakr atau Ibn Khuzaymah berkata: “ Saya tidak menghalalkan seorang pun meriwayatkan hadith ini dariku kecuali persis dengan redaksi seperti ini. Karena meriwayatkan dengan redaksi lain merupakan penuturan sanad secara maqlub” .17 Ia juga pernah berkata: “Ada sesuatu yang mengganjal di hati saya menanggapi sanad ini.18
Dari berbagai nukilan pernyataan Ibn Khuzaymah di atas dapat disimpulkan bahwa
ia sangat berhati-hati dan teliti dalam periwayatan sebuah hadith.
Sampai-sampai al-Dhahabi berkomentar: “ Tokoh ini (maksudnya Ibn Khuzaymah)
adalah seorang kritikusyang amat teliti terhadap para perawi.
Tentang
hadith yang diriwayatkan oleh ‘AbuBakr Muhammad Ibn Ja’far, guru al-H akim, ia
berkata: “ Saya dapat menjadikan Shahr bin Hawshab sebagai hujjah. Begitu juga
H arith bin Uthman. Ia tidak dapat saya jadikan hujjah untuk mazhabnya. (Di
samping itu) saya dapat menjadikan Abdullah bin ‘Umar, Baqiyyah, Muqatil bin
Hibban, Ash’ath bin Sawar, ‘Alibin Jad’an (karena daya ingatnya yang lemah)
sebagai hujjah. Begitu juga dengan ‘Asim bin Ubayd Allah, Ibn Aqil, Yazid bin
AbiZiyad, Mujalid dan H ajjaj bin Arthah. Ibn Khuzaymah juga menyebut beberapa
orang yang statuskeadilannya di bawah mereka. Padahal tidak sedikit para pakar
hadith yang menjadikan para perawi yang disebutkan di atas sebagai hujjah.19
Penilaian Ulama’ terhadap Sahih Ibn Khuzaymah
Kitab
SahihIbn Khuzaymah mendapat respon ulama, ada yang menilai positif ada juga
yang menilai negatif20. Di antara mereka yang menilai positif adalah sebagai
berikut.
Pertama, Ibn H ibban (w. 354 H= 965 H) menilai: Saya tidak melihat orang di muka bumi ini yang bagusdalam penyusunan kitab al-Sunan, kecuali Muhammad bin ‘Ishaq bin Khuzaymah. Ia meriwayatkan berbagai hadith sahihsesuai dengan redaksinya, ia menjelaskan sisi al-idraj (sisipan) redaksi yang terjadi dengan penuh kejelian. Kedua, al-Khatib al-Baghdadi(w. 463H= 1072 M) yang memberi komentar bahwa kitab SahihIbn Khuzaymah telah memenuhi kriteria sebagai koleksi hadith sahih. Ketiga, Ibn Salah (w. 643H= 1245 M), ia menuturkan seperti pernyataan al-Khatib al-Baghdadi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kitab ini sangat bermanfaat bagi para pencari ilmu untuk melengkapi koleksi hadith Sahihal-Bukharidan Muslim.
Keempat, Ibn Kathir (w. 774 H= 1373 M) menilai bahwa SahihIbn Khuzaymah dan Musnad Ibn Hibban lebih baik dari pada al-Mustadrak karya al-Hakim, mengingat sanad-sanad dan matan-matan hadith-nya ditempatkan secara tepat. Dan Ibn Kathir juga mengakui bahwa di dalam kedua kitab tersebut terdapat hadith-hadith da’if. Kelima, al-Iraqi(w. 806 H= 1404 M) menyatakan bahwa hadith-hadith sahihdapat ditemukan pada karya-karya yang khusus memuat hadith- hadith sahih, seperti Sahih‘AbuBakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaymah. Keenam, al-Suyuti (w. 911 H= 1505 M) memberikan komentar bahwa SahihIbn Khuzaymah statusnya lebih tinggi dari pada SahihIbn Hibban karena lebih penyusunnya lebih selektif, ia memilih hadith sahih dan sedikit membicarakan al-isnad. Ia juga mengatakan: “
Sebagaimana telah dimaklumi dari pembahasan sebelumnya bahwa orang yang paling baik dalam menyusun hadith-hadith sahih adalah Ibn Khuzaymah, kemudian disusul Ibn H ibban, kemudian al-H akim. Maka sepatutnya dikatakan hadith yang paling sahihsetelah SahihMuslim adalah hadith yang disepakati oleh ketiganya, kemudian yang disepakati oleh Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban, atau Ibn Khuzaymah dan al-Hakim, kemudian yang disepakati oleh Ibn H ibban dan al-H akim, kemudian Ibn Khuzaymah saja, kemudian Ibn Hibban saja, kemudian al-H akim saja. Jika hadith tersebut tidak sesuai syarat-syarat al-Bukharidan Muslim dan saya tidak melihat ada orang yang mengingkari hal ini.21 Ketujuh, Ahm ad Shakir, salah seorang pakar hadith abad ke-20 yang berasal dari Mesir, ia adalah bapak Ahmad Muhammad Shakir (w. 1958) menyatakan bahwa SahihIbn Khuzaymah, Musnad al-Sahih‘alaal-Taqasim wa al-Anwa’ karya Ibn Hibban, dan al-Mustadrak ‘alaal-Sahihayn karya al-Hakim, ketiganya merupakan kitab referensi hadith yang sangat penting setelah Sahihal-Bukharidan SahihMuslim, karena pada kitab-kitab tersebut memuat hadith sahih.22
Ia menambahkan: “ Para ulama dan pengkritik bidang ini telah mengurutkan tiga
buku, dimana para penyusunnya berkomitmen hanya meriwayatkan hadith sahih,
maksudnya adalah hanya murni hadith sahihsetelah dua buku Sahihal-Bukharidan
SahihMuslim. Sehingga urutan yang dimaksud adalah SahihIbn Khuzaymah, SahihIbn
Hibban, al-Mustadrak karya al- Hakim. Pengurutan ini didasarkan pada penilaian
dibanding yang lainnya dalam komitmen terhadap periwayatan hadith-hadith yang
murni sahih. Meskipun ternyata hal ini bertepatan dengan urutan zaman
kemunculan mereka.23 Kedelapan, Ibn Salah mengatakan: “ Cukup hanya dengan
melihat keberadaan hadith tersebut ada dalam buku-buku yang penyusunnya
mempersyaratkan sahihdalam hadith-hadith yang disusunnya, seperti buku Ibn
Khuzaymah.24 Adapun di antara ulama yang menilai negatif terhadap SahihIbn
Khuzaymah adalah Ibn
Hajar al-Asqalani.Ia menilai bahwa Ibn Khuzaymah
sama dengan Ibn Hibban dalam mentashih hadith yang tidak memenuhi
syarat-syarat ke-sahih-an hadith sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
mayoritasulama hadith.
Menurutnya Ibn Khuzaymah dalam kitab sahih-nya, sama halnya dengan Ibn H ibban. Ia hanya mempersyaratkan nilai al-’ adalah dan al-ittisal, ia tidak mempersyaratkan al-dabt, tidak adanya al-’illah dan shadh. Hal itu menurut Ibn H ajar karena keduanya tidak membedakan antara hadith sahihdan hadith hasan. Hadith hasan baginya adalah bagian dari sahih. Al-Sharif H atim bin ‘Arif al-’Awni, membantah tuduhan Ibn H ajar ini dan menegaskan bahwa syarat Ibn Khuzaymah dalam Sahih-nya sama dengan syarat yang umum dipakai oleh para ulama hadith. Dan bahwa tidak adanya pembedaan antara sahihdan hasan bukan hanya terjadi pada Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban tetapi juga pada muhaddith sebelum al-Turmudhi. Dan pembedaan ini juga terjadi pada muhaddith sesudah al-Turmudhitermasuk ibn Hibban. Pembedaan itu istilah yang terbatas pada kitab al-Turmudhisedangkan mereka yang tidak membedakan keduanya mengatakan sahihbagi yang hasan dan hasan bagi yang sahihdan tidak membedakan keduanya.25
Pernyataan Ibn Kathirbahwa “ Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban amat berkomitmen terhadap ke-sahih-an hadith dan karya kedua tokoh ini lebih dari sekedar amat baik dari pada al- Mustadrak, sanad dan matan-nya juga lebih bersih masih perlu dianalisa lebih lanjut. Banyak hadith yang dinilai sahih, ternyata masih dalam peringkat hadith hasan” .26
MM. Azami mengatakan: SahihIbn Khuzaymah tentu tidak seperti dengan Sahihal-Bukhari dan Muslim, sehingga dapat dikatakan bahwa semua hadith yang ada di dalamnya adalah sahih, sebaliknya bahwa dalam SahihIbn Khuzaymah terdapat juga hadith yang nilainya di bawah sahih, bahkan bukunya tidak hanya berisi hadith-hadith sahihdan hasan, melainkan juga berisi hadith-hadith da‘if meskipun dalam jumlah kecil sekali bila dibandingkan dengan hadith sahih dan hasan. Hampir tidak ditemukan hadith-hadīth wahiyah atau hadīth sangat lemah kecuali sedikit sekali.
Sebagian peneliti mengemukakan bahwa di dalam SahīhIbn Khuzaymah terdapat hadīth- hadīth yang cacat, misalnya shaykh Muhammad Nasir a-Din al-Albanidan para pentahqiq-nya (al-A’dami) menilai hadīth da‘if yang terkandung di dalamnya mencapai 238 hadīth, 15 di antaranya dinilai sangat lemah dan sisanya dinilai da‘if ringan.27
Sekedar gambaran, MM. Azami menyebutkan kualitashadīth dalam kitab al-wudu’ (kitab ke -1) dari 300 buah hadīth yang terdapat dalam tersebut, ada 67 hadīth isnaduh sahīh, 14 hadīth isnaduh hasan, 20 hadīth isnaduh da’if, 3 hadīth isnaduh sahīh‘alashartMuslim, 7 hadīth dinyatakan rijal isnadih thiqah, 1 hadīth masing-masing dinilai sebagai isnaduh jayyid, isnaduh da’if mudtarib, isnaduh ‘alashartshaykhayn, rijaluh thiqah, da’if, dan isnaduh da’if jidda. Jumlah hadīth dalam kategori penilaian yang berbeda-beda tersebut ada 131 buah hadīth. Sedangkan selebihnya, yakni 169 hadīth M.M. Azami tidak menjelaskan status atau kualitas hadīth-nya. Hanya saja pada hadīth-hadīth yang tidak dijelaskan kualitasnya secara eksplisit, yang biasanya menyangkut kualitas isnad-nya, M.M.Azami umumnya mencantumkan takhrij hadīth-nya secara singkat. Ia merujuk atau menisbatkannya kepada Sahīhal-Bukharidan SahīhMuslim, atau salah satu dari keduanya, dan jika tidak terdapat pada kedua koleksi itu barulah ia merujuk kepada kitab-kitab Sunan dan Musnad.
Dengan mencermati bahwa hadīth-hadīth yang tidak dijelaskan kualitasnya oleh M.M. Azami kebanyakan terdapat dalam kitab Sahīhal-Bukharidan SahīhM uslim, berarti mengindikasikan bahwa seakan-akan kualitas hadīth-hadīth-nya sahīh, paling tidak keberadaannya didukung oleh kedua kitab koleksi hadīth yang sering dianggap memilki akurasi tinggi. Walaupun demikian, hadīth-hadīth yang dinilai cacat tersebut menurut Dr .al-Sharif Hatim bin ‘Arif al-’Awni, disadari sepenuhnya oleh Ibn Khuzaymah dan ia memberikan indikasi kecacatannya itu dalam kitab sahīh-nya dengan beberapa cara.28
Pertama, dengan memberikan pernyataan sebelum atau sesudah hadith atau di tengah sanad mengenai sikapnya baik menilai hadīth itu da‘if atau menunjukkan sikap tawaqquf (sikap tidak mengambil keputusan/penilaian)-nya. Kedua, dengan tidak menjadikan bab tersendiri bagi hadīth yang dinilai cacat tersebut meskipun hadīth tersebut mengandung pengertian fiqih tertentu. Ketiga, dengan menyebutkan hadīth secara mu’allaq terlebih dahulu kemudian memberikan sanadnya (menyebutkan matannya dulu kemudian sanadnya). Keemapat, dengan mengecualikan beberapa hadīth dari syarat yang ia tetapkan pada kitab sahīh-nya.
Di antara alasan mengapa Ibn Khuzaymah memasukkan hadīth-hadīth yang cacat tersebut dalam kitabnya adalah:
Pertama, ia menyebutkannya karena ia mengambil sikap tawaqquf (tidak menilai da‘if atau sahīh).
Kedua, untuk menunjukkan keda‘ifannya. Ketiga, karena ia telah mendengar hadīth da‘if itu setelah mendengar hadīth secara muttashil (sahīh). Dengan kata lain sanad hadīth da‘if tersebut hanya tabi’ bagi sanad lain (yang sahīh). Ia tidak berpegang pada yang da‘if ini tetapi pada sanad yang tidak da‘if.
Keempat, ia menyebutkan hadīth da‘if sebagai mutabi’ atau shahid atau karena adanya hadīth sahīhyang menunjukkan pada maknanya (sama maknanya). Sekedar untuk mengokohkan hadīth sahīhtersebut.
Kelima, ia menyebutkan hadīth da‘if dan memberi peringatan akan keda‘ifannya
karena hadīth tersebut tidak terkait dengan hukum. Keenam, ia menyebutkan
hadīth da‘if yang ia menjelaskan keda‘ifannya kerena hukum yang terkandung
dalam hadīth tersebut telah disepakati oleh para ulama’ (terdapat ijma’
menganainya). Ketujuh, menyebutkan hadīth yang pada saat mengeluarkannya ia
meyakini ke-sahīh-annya, tetapi setelah itu nyata baginya keda‘ifan hadīth
tersebut.
Footnote
1 Sebagaian besar informasi tentang biografi Ibn Khuzaimah dalam tulisan ini
merujuk pada karya M.M. Azami, Muqaddimah SahihIbn Khuzaymah (Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1412 H), iv.
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Shamsuddin al-Dzahabi, Siyar al-A‘lam al-Nubala.’, CD al-Maktabah al-Shamilah.
5 Ibid., 369.
6 M.M. Azami, Muqaddimah. juz I, 12-14.
7 Dalam konteks bahasa Indonesia, tema Kitab yang pertama berarti buku, sedangkan tema Kitab yang kedua dapat berarti bab atau bagian dari suatu buku.
8 Untuk memperoleh informasi tentang letak penyebutan atau terdapatnya semua kitab tersebut dapat dilihat pada catatan kaki, M.M.Azami, Muqaddimah.juz I, 12-14.
9al-SharifHatim bin Arif al- Awni,Masadir al-Sunnah wa Manahij Musannifin(Mesir: Maktabah Halab, tp.th.),157.
10M.M. Azami, Muqaddimah, 158.
11al-Sharif Hatim bin ‘Arif al-’Awni, Masadir , Juz I, 159.
12 Ibid., Juz I, 159.
13 Dengan memperhatikan sistematika Ibn Khuzaymah tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa penyusunannya memiliki penguasaan yang luasdalam bidang hadith dan hukum Islam. Selain itu sangat rinci dan sistematis dalam pengklasifikasianya.
14 Dadi Nur Haidi, dalam M. Al-Fatih Surya dilaga, (ed), Studi Kitab Hadith (Yogyakarta: Teras, 2003), cet. I
15 Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Juz: I (CD Maktabah Syamilah), 71.
16 M.M. Azami, Muqaddimah, 75.
17 Ibid., 229.
18Ibid., 238.
19 Shamsuddin al- Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, CD. Maktabah
al-Shamilah versi 04.
20 Panjang lebar M.M. Azami memaparkan penilaian ulama terkait dengan kehadiran SahîhIbn Khuzaymah dalam kata pengantar terbitan buku ini.
21 Abdurrahman bin AbiBakr Jalaluddin al-Suyuti,Tadrib al-Rawi, Juz I, (CD Maktabah Shamilah), 77.
22 Ahmad Shakir, Muqaddimah SahîhIbn Hibban, 6-7.
23 al-Suyuti, Tadribal-Rawi,11.
24 Ibid., 64.
25al-Sharif Hatim bin’Arif al-’Awni,Masadir al-Sunnah wa Manahij Mushannifiha, 162-169.
26 Ibid., 170.
27 Ibid.
Download Terjemah Shahih Ibnu Khuzaimah
Download Shahih Ibnu Khuzaimah versi Arab