Tujuh Sifat Ma'ani Allah | Aqidah Asy'ariyah
Nama kitab: Terjemah Nuruzh Zhalam Syarah Aqidatul Awam, Nurudz Dholam, Nur al-Zholam
Nama kitab asal: Nur adz-Dzolam Syarah Aqidatul Awam
Nama lain kitab kuning: Hasyiyah al-Dasuqi
Ejaan lain: Noor -ul-Zalaam, Nuuruzh Zhalaam, Nur adz-Dzolam, Nuruzh Zholam, Nuruzh Zhalam, Nurud Dhalam
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Nama yang dikenal di Arab: محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Penerjemah:
Bidang studi:Tauhid, Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy'ariyah, ilmu kalam, ushuluddin.
Daftar Isi
6. NADZOM KESEMBILAN: SIFAT-SIFAT MA'ANI
Kemudian Syeh Ahmad Marzuki mulai menjelaskan
sifat-sifat ma’aani. Ia berkata;
فَقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سـَمْـعٌ بـَصَرْ * حَـيَـاةٌ الْعِلْـمُ كَلاَمٌ
اسْـتَمَرْ
[9] [Sifat-sifat ma’aani adalah] sifat Qudroh, Irodah, Samak, Bashor,
Hayaat,
Ilmu, dan Kalaam yang kekal [dan tidak akan pernah terputus].
a. Sifat-sifat Ma’aani
Maksudnya ketika kamu ingin mengetahui rincian
sifat-sifat ma’aani yang berjumlah 7 (tujuh)
maka aku berkata kepadamu bahwa
sifat-sifat ma’aani adalah Qudroh dan seterusnya. Masing-masing
dari 7 (tujuh) sifat-sifat ma’aani memiliki 7 (tujuh)
tuntutan kecuali sifat Hayaat karena hanya memiliki 6 (enam) tuntutan.
Sifat Qudroh (kuasa) memiliki 7 tuntutan, yaitu kita bersaksi dan
meyakini bahwa Qudroh Allah adalah
(1) maujudah,
(2) qodimah, (3) baaqiyah (kekal), (4) berbeda dengan qudroh kita yang ada
karena diciptakan, (5) tidak membutuhkan pada yang mewujudkan, (6) wahidah
(satu), dan (7) berhubungan secara menyeluruh kepada seluruh
hal-hal yang mungkin (mumkinaat).
Sifat Irodah (berkehendak) memiliki 7
tuntutan, yaitu kita bersaksi dan meyakini bahwa sifat Irodah Allah adalah (1)
maujudah, (2) qodimah, (3) baaqiyah (kekal), (4) berbeda dengan irodah kita
yang ada karena diciptakan,
(5) tidak membutuhkan pada yang mewujudkan,
(6) wahidah (satu), dan
(7) berhubungan secara menyeluruh kepada
seluruh hal-hal yang mungkin (mumkinaat).
Sifat Samak (mendengar)
memiliki 7 tuntutan, yaitu kita bersaksi dan meyakini bahwa sifat Samak Allah
adalah (1) maujud, (2) qodim, (3) baqi (kekal), (4) berbeda dengan samak kita
yang ada karena diciptakan, (5) tidak membutuhkan pada yang mewujudkan,
(6)
wahid (satu), dan (7) berhubungan secara menyeluruh kepada seluruh hal- hal
yang wujud, baik berupa dzat-dzat atau suara-suara. Dengan demikian dzatmu,
misalnya, adalah hal yang jelas dengan sifat Samak Allah Ta’aala.
Sifat
Bashor (melihat) memiliki 7 tuntutan, yaitu kita bersaksi dan meyakini bahwa
sifat Bashor Allah adalah (1) maujud, (2) qodim, (3) baqi (kekal), (4) berbeda
dengan bashor kita yang ada karena diciptakan, (5) tidak membutuhkan pada yang
mewujudkan,
(6) wahid (satu), dan (7) berhubungan secara menyeluruh
kepada seluruh hal- hal yang wujud.
Sifat Hayaat (hidup) memiliki 6
tuntutan, yaitu kita bersaksi dan meyakini bahwa sifat Hayaat Allah adalah (1)
maujudah, (2) qodimah, (3) baaqiyah (kekal), (4) berbeda dengan hayaat kita
yang ada karena diciptakan,
(5) tidak membutuhkan pada yang mewujudkan,
(6) tidak memiliki hubungan dengan apapun.
Sifat Ilmu (mengetahui)
memiliki
7 tuntutan, yaitu kita bersaksi dan meyakini bahwa sifat ilmu
Allah adalah
(1) maujud, (2) qodim, (3) baqi (kekal),
(4) berbeda
dengan ilmu kita yang ada karena
diciptakan,
(5) tidak membutuhkan pada yang
mewujudkan,
(6) wahid (satu), dan (7) berhubungan secara menyeluruh
kepada seluruh hal- hal yang wajib wujud, boleh wujud dan tidaknya, dan muhal
wujud.
Sifat Kalam (berfirman) memiliki 7 tuntutan, yaitu kita bersaksi
dan meyakini bahwa sifat kalam Allah adalah (1) maujud, (2) qodim, (3) baqi
(kekal), (4) berbeda dengan kalam kita yang ada karena diciptakan, (5) tidak
membutuhkan pada yang mewujudkan,
(6) wahid (satu), dan (7) berhubungan
secara menyeluruh kepada seluruh hal- hal yang wajib wujud, boleh wujud dan
tidaknya, dan muhal wujud.
b. Kebenaran Firman Allah
Yang wajib wujud adalah Dzat Allah, Sifat-sifat-Nya, dan
Nama-nama- Nya. Yang mustahil wujud adalah sekutu bagi-Nya,
anak dari-Nya, dan kekurangan-kekurangan
bagi-Nya. Yang boleh wujud dan tidaknya adalah dzat-dzat,
sifat-sifat, dan nama-nama kita. Dengan
demikian Kalam Allah yang menunjukkan wajib wujud
adalah seperti, “Aku adalah Allah. Tidak ada
tuhan selain Aku.” Kalam-Nya yang menunjukkan mustahil adalah seperti, “Aku
adalah Allah yang ketiga dari tiga tuhan.” Kalam-Nya yang menunjukkan boleh
wujud dan tidaknya adalah seperti, “Allah telah menciptakan kalian semua dan
apa yang kalian ketahui.”
Perkataan Syeh Ahmad Marzuki “اﺳﺘﻤﺮ” berarti
bahwa Kalam (Firman) Allah Ta’aala adalah kekal dan tidak akan pernah
terputus. Adapun makna Firman Allah, “Dan Allah telah berfirman kepada Musa
dengan sebenar-benarnya berfirman,” maka bukan berarti bahwa Allah mengawali
Firman-Nya kepada Musa setelah Dia diam, kemudian setelah Dia
mengfirmankan Firman-Nya kepadanya maka Firman-Nya terputus
dan diam. Maha Suci Allah dari demikian itu. Adapun makna Firman- Nya itu
adalah bahwa sesungguhnya Allah telah menghilangkan penghalang dari Musa
‘alaihi wa as-salam dan telah menciptakan sifat mendengar dan kuat baginya
sehingga ia menemukan Firman-Nya yang qodim, kemudian Dia menjadikan
penghalang lagi setelah Firman-Nya tersampaikan sebelum Musa mendengar
Firman-Nya. Demikian ini adalah makna Kalam atau Firman Allah kepada para
penduduk surga.
Tabrani meriwayatkan dari Ibnu Jubair dari
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama
bahwa beliau berkata,
“Allah
memberikan wahyu kepada Musa ‘alaihi as-salam, ‘Sesungguhnya Aku telah
menjadikan 10.000 pendengaran dalam dirimu sehingga kamu bisa
mendengar Kalam-Ku dan
10.000 lisan sehingga kamu menjawab
Kalam-Ku.”
Al-Qodhoi
meriwayatkan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman kepada Musa dengan
140.000 kalimat. Maksud riwayat al-Qodhoi ini adalah bahwa Musa memahami
arti atau makna yang dinyatakan dengan jumlah kalimat tersebut dengan
sekiranya penghalang dihilangkan dari Musa, bukan jumlah kalimat tersebut
termasuk bagian dari sifat Kalam.
Diriwayatkan bahwa
sesungguhnya ketika Musa ‘alaihi as- salaam datang dari munajat (mendekatkan
diri kepada Allah) maka ia menutup kedua telinganya agar tidak mendengar kalam
atau perkataan makhluk. Tiba-tiba kalam makhluk berubah menjadi suara yang
lebih jelek daripada suara-suara binatang yang liar. Kemudian ia tidak mampu
lagi mendengarkan kalam makhluk karena telah merasakan kenikmatan yang luar
biasa ketika mendengar Kalam Allah. Setelah itu, ia
pun menjadi mampu mendengar
suara rangkaan semut hitam di malam yang
gelap dari jarak yang jauh, yaitu 10 farsakh. Wajahnya mengeluarkan cahaya.
Tidak ada seorang pun yang melihat cahaya di wajahnya itu kecuali ia akan
buta. Kemudian Musa mengusap setiap orang yang melihat wajahnya dan Allah pun
mengembalikan penglihatannya lagi. Kemudian Musa mengenakan cadar untuk
menutupi wajahnya agar orang-orang yang
melihatnya tidak menjadi buta. Cadar itu terus ia pakai di
wajah sampai ia meninggal dunia.
Andaikan
Allah tidak membuat lupa Musa tentang
kenikmatan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata ketika
mendengar Kalam Allah niscaya Musa tidak mungkin akan berinteraksi dengan
makhluk-makhluk lain selamanya dan orang lain pun tidak akan mengambil manfaat
dari Musa. Sungguh luas kemuliaan Allah dan sungguh besar keagungan-Nya.
c. Kesimpulan tentang Sifat-sifat Ma’aani
Kesimpulannya adalah bahwa sifat-sifat ma’aani yang berjumlah 7
(tujuh) terbagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:
1.
Sifat ma’aani yang tidak berhubungan dengan sesuatu apapun.
Sifat ini adalah
sifat
Hayaat (hidup).
2.
Sifat-sifat
ma’aani yang berhubungan dengan
segala sesuatu yang mungkin (mumkinaat).
Sifat-sifat ini adalah sifat Qudroh (kuasa) dan Irodah (berkehendak).
3.
Sifat-sifat ma’aani yang berhubungan
dengan segala sesuatu yang wujud. Sifat-sifat ini adalah sifat Samak
(mendengar) dan Bashor (melihat).
4.
Sifat-sifat ma’aani yang
berhubungan dengan segala sesuatu yang
wajib wujud dan yang boleh wujud dan yang mustahil wujud. Sifat-sifat ini
adalah sifat Ilmu (mengetahui) dan Kalam (berfirman).
Ta’alluq atau hubungan dibagi menjadi 3 (tiga) macam,
yaitu;
1. Ta’alluq Taktsiir atau hubungan
mempengaruhi.
Hubungan mempengaruhi adalah hubungan yang ada dalam sifat Qudroh dan Irodah.
Sifat Qudroh berhubungan dengan sesuatu yang tidak ada,
kemudian sifat
Qudroh menjadikannya ada dan sifat Qudroh berhubungan dengan sesuatu yang
wujud, kemudian sifat Qudroh menjadikannya tidak ada. Sifat Irodah berhubungan
dengan sesuatu yang mungkin.
Kemudian
sifat Irodah mengkhususkan sesuatu
itu dengan apa yang boleh ada pada sesuatu itu, seperti panjang, pendek, dan
lain-lain.
2. Ta’alluq Inkisyaf atau hubungan menjadi
jelas. Hubungan menjadi jelas ini adalah hubungan yang ada dalam sifat Samak,
Bashor, dan Ilmu. Dengan demikian Allah Ta’aala mendengar Dzat-Nya sendiri dan
seluruh sifat-sifat-Nya yang wujudiah, seperti Qudroh, Samak, dan lain-lain.
Sedangkan kita tidak mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari hubungan
tersebut. Begitu juga Allah mendengar dzat-dzat dan sifat-sifat kita. Allah
Ta’aala juga melihat Dzat-Nya sendiri dan seluruh sifat-sifat-Nya yang
wujudiah, seperti Qudroh, Bashor, dan lain-lain. Sedangkan kita tidak
mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari hubungan tersebut. Begitu juga
Allah melihat dzat-dzat dan sifat-sifat kita. Allah Ta’aala juga mengetahui
Dzat-Nya sendiri dan seluruh sifat-sifat-Nya dengan Ilmu-Nya. Dia mengetahui
segala sesuatu yang maujud, yaitu segala sesuatu yang mungkin dan segala
sesuatu yang tidak wujud, dengan Ilmu-Nya. Allah Ta’aala juga mengetahui
segala sesuatu yang mustahil wujud. Artinya Allah mengetahui ketiadaan segala
sesuatu itu, bukan mengetahui keberadaannya karena jika Allah mengetahui
keberadaan segala sesuatu yang mustahil wujud maka Ilmu berbalik menjadi Jahl
(sifat muhal Ilmu). Maha Suci Allah dari sifat Jahl.
3.
Ta’alluq Dilalah atau hubungan penunjukan. Hubungan
penunjukkan adalah hubungan yang ada dalam sifat Kalam. Artinya andaikan tabir
atau penghalang dihilangkan dari kita dan kita mendengar Kalam Qodim maka kita
akan memahami penunjukkan /kandungan maksud dari Kalam Qodim-Nya.
Ketahuilah!
Sesungguhnya segala sesuatu yang mungkin (mumkinaat) dibagi menjadi 4 (empat)
bagian, yaitu (1) mungkin wujud setelah tidak ada, seperti langit-langit dan
bumi, (2) mungkin tidak ada setelah wujud, seperti sesuatu yang telah habis
masa aktifnya, (3) mungkin akan diwujudkan, seperti Kiamat, dan
(4)
mungkin tidak akan diwujudkan sesuai Ilmu Allah, seperti kekufuran para
nabi.
[FAEDAH] Syeh Syarqowi
berkata, “Kesimpulannya adalah bahwa macam-macam tidak ada
atau ‘adam ada 4 (empat), yaitu;
1. Ketiadaan
para makhluk yang azali. Sifat Qudroh dan Irodah tidak berhubungan
dengan ketiadaan azali ini karena ketiadaan azali bukanlah sesuatu yang
mungkin tetapi sesuatu yang wajib.
2. Ketiadaan para
makhluk yang tidak azali, artinya ketiadaan mereka adalah sebelum wujud
kita. Sifat Qudroh dan Irodah berhubungan dengan ketiadaan yang tidak azali
ini. Artinya ketiadaan yang tidak azali tersebut berada dalam cakupan Qudroh
dan Irodah. Apabila mereka berdua menginginkan maka mereka akan menetapkan
ketiadaan yang tidak azali dan apabila
mereka berdua menginginkan maka mereka akan menghilangkan
ketiadaan yang tidak azali dan menjadikan status wujud padanya.
3.
Ketiadaan para makhluk setelah wujudnya. Sifat Qudroh dan Irodah berhubungan
dengan ketiadaan jenis ini.
4. Ketiadaan
segala sesuatu yang mungkin atau mumkinaat yang Allah ketahui bahwa segala
sesuatu mumkinaat itu tidak akan wujud, seperti keimanan Abu Jahal. Sifat
Qudroh dan Irodah berhubungan dengan ketiadaan jenis ini dengan melihat sisi
dzat ketiadaan jenis ini dan kemustahilan wujudnya yang
telah ditetapkan karena ketiadaannya
ketiadaan jenis ini adalah hal yang wajib. Mumkinaat ini hanyalah sesuatu yang
‘aridhoh (baru) sedangkan hal yang aridh tidak menafikan kemungkinan yang
dinisbatkan pada dzat.
Ada yang mengatakan bahwa sifat Qudroh dan Irodah
berhubungan dengan ketiadaan jenis ini dengan melihat pada sisi kemustahilan
wujudnya.
Saya berkata, ‘Perbedaan ini bukanlah perbedaan
secara hakikatnya, tetapi secara lafdzi atau perbedaan dari segi lafadz.
Dengan demikian pendapat ulama yang mengatakan bahwa Qudroh dan Irodah
berhubungan dengan ketiadaan jenis nomer [4] adalah atas dasar bahwa Qudroh
dan Irodah berhubungan dengannya dengan bentuk hubungan sholuhi. Sedangkan
pendapat ulama yang mengatakan bahwa Qudroh dan Irodah tidak berhubungan
dengan ketiadaan jenis nomer [4] adalah atas dasar bahwa Qudroh dan Irodah
tidak berhubungan dengannya dengan bentuk hubungan tanjizi.’”
[CABANG]
Para ulama berselisih pendapat tentang menemukan segala
sesuatu yang dapat
diindera icip, penciuman, dan rabaan. Apakah Allah memiliki
menemukan tersebut atau tidak? Syeh al-Qodhi, Imam Haromain, dan para ulama
yang sependapat dengan mereka berpendapat bahwa sesungguhnya
Allah memiliki menemukan yang di luar Ilmu-Nya, yang
berhubungan dengan setiap yang maujud, seperti dua sifat Samak dan Bashor,
dengan artian bahwa menemukannya Allah pada segala sesuatu yang dapat diindera
icip, penciuman, dan rabaan adalah dengan menemukan yang di luar sifat
Ilmu.
Golongan para imam ulama berpendapat bahwa menemukan tersebut tidak
ada karena cukup dengan sifat Ilmu Allah. Dengan demikian menemukannya Allah
pada segala sesuatu yang dapat diindera icip, penciuman, dan rabaan, adalah
dengan sifat Ilmu-Nya.
Syeh al-Muqtarih, Ibnu at- Talmasani, dan sebagian
ulama mutaakhirin berpendapat dengan hasil pendapat yang mauquf atau
ditangguhkan dan memasrahkannya kepada Allah karena perbedaan- perbedaan
dalil. Dengan demikian mereka tidak menetapkan adanya menemukan dan tidak
menetapkan ketiadaan menemukan. Pendapat mauquf ini adalah pendapat yang lebih
selamat dan ashoh daripada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya.
Adapun Firman Allah, “Dia tidak dapat ditemukan oleh penglihatan mata
sedangkan Dia dapat menemukan segala penglihatan itu ...” (QS. Al-An’am: 103)
maka maksudnya adalah Allah
meliputi penglihatan-penglihatan itu dari segi mengetahui,
mendengar, dan melihat. Selain masalah
menemukan yang diperselisihkan para ulama, mereka juga
berselisih dalam keadaan atau wujud yang ditemukan. Menurut pendapat yang
ashoh adalah mauquf, seperti yang dikatakan oleh Syeh al- Baijuri dan
lainnya.