Akibat Penyimpangan Imad

Penyimpangan yang dilakukan Imaduddin dalam pembatalan nasab Ba'alawi menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak negatif di tengah masyarakat, secara

Akibat Penyimpangan Imad

 Judul buku: Keabsahan Nasab Ba'alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya
Tema: Anti tesis / sanggahan atas buku Terputusnya Nasab Baalawi oleh KH Imaduddin Utsman Al-Bantani

Bidang studi: sejarah, ilmu nasab
Penulis    : Tim Pengawal Persatuan Ummat Rabithah Alawiyah, Muhamad Hanif Alatas Rumail Abbas Ahmad  Quddur Idrus Al Masyhur Maimun Nafis Muhaimin  Bahirudin M. Fuad A. Wafi. Muhammad  Assegaf
Penyunting : Kukuh Achdiat Subiantoro & Dedi Ahimsa
Penyelaras aksara  : Nurjaman SQ
Penata aksara : Mujia P
Perancang sampul: Kertas Lecek (Abdul Hakim)
Diterbitkan oleh: Hilyah.Id
JI. Raya Raci, RT04, RW03, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur 

Daftar isi 

  1. Bab  3: Mafasid Akibat Penyimpangan Imad    
    1. Menyebabkan Segelintir Umat Islam Terjebak dalam Dosa Tha'nfi al-Nasab    
    2. Adu Domba Antara Ulama, Habaib, dan Umat    
    3. Membuka Pintu Istihza (Pelecehan) dan Su-ul Adab terhadap Ulama dan Auliya    
    4. Menyebarkan Kebencian Rasial di Tengah Umat    
    5. Melemahkan Integritas Keilmuan dan Amaliah Ulama NU    
  2. Penutup    
  3. Buku Terkait Nasab oleh KH. Imaduddin:
    1. Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
    2. Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
    3. Buku Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi 
    4. Living Sunnah, Otoritas Keagamaan Dan Konstruksi Nasab Ba’Alwi
  4. Footnote
  5. Daftar Pustaka
  6. Kembali ke buku:  Keabsahan Nasab Ba'alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya

BAB 3 MAFASID AKIBAT PENYIMPANGAN  IMAD

Penyimpangan yang dilakukan Imaduddin dalam pembatalan nasab Ba'alawi menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak negatif di tengah masyarakat,  baik  secara ukhrawi  maupun  duniawi. Buku  ini disusun bukan untuk mengeklaim dan menegaskan keabsahan nasab Sadah Ba'alawi, karena pengakuan itu sudah datang dari para ulama besar dalam ilmu nasab, syariat, dan sejarah selama berabad-abad . Buku ini disusun sebagai bentuk menunaikan kewajiban al-nahyu 'an munkar (mencegah kemungkaran) dan daf'u al-mafasid (mencegah kerusakan) akibat penyimpangan yang dilakukan oleh Imad, di antaranya sebagai berikut.

A.  Menyebabkan Segelintir Umat Islam Terjebak dalam Dosa Tha'nfi al-Nasab
Imaduddin menafikan Ubaidillah sebagai anak Ahmad ibn Isa dan menyatakan nasab Bani Alawi terputus, padahal nasab itu selama berabad-abad diakui keabsahannya oleh ulama ahli nasab dan syariat. Pada hakikatnya Imaduddin telah  terjerumus  dalam  al-Tha'n fi al-nasab  (menyerang  nasab  orang lain), yang jelas-jelas diharamkan dalam Syariat Islam. Rasulullah Saw. dalam hadis riwayat Muslim, menganggap perbuatan menyerang nasab orang lain (al-tha'n fi al-nasab) sebagai perilaku Jahiliah yang sangat tercela:

Bahkan Rasulullah Saw. menyebut al-tha'n fi al-ans<ib sebagai bagian dari kufur majazi , yakni perilaku yang merupakan perbuatan orang kafir, dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw. bersabda:

Dalam kitab al-Taysir, al-Hafiz al-Munawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Tha'n fi al-ans<ib adalah menyerang/membatalkan nasab yang sudah dinyatakan tersambung secara zahir syariat:

Sebagaimana kita ketahui bersama, nasab S<idah Ba'alawi adalah nasab yang telah diakui keabsahannya  secara zh<ihir  Syariat  oleh para ulama ahli syariat dan ahli nasab sebagaimana telah diuraikan pada Bab I. Maka, menyerang dan membatalkan nasab Ba'alawi jelas-jelas masuk dalam kategori al-Tha'nfi al­ ansab yang diancam Rasulullah Saw. Dalam keterangan lain di kitabnya Faydh
al-Qadir , Imam al-Hafiz al-Munawi menjelaskan lebih gamblang lagi sebagai berikut :

"(aL-Tha'n fi al-ansab) yaitu menyerang nasab dengan cara seperti menghina dan mencelanya . Misalnya, menyerang nasab seseorang dan mengatakan bahwa ia bukan keturunan si Fulan. ltu haram karena merupakan serangan terhadap sesuatu yang gaib dan masuk ke dalam sesuatu yang bukan urusannya, dan silsilah yang tidak diketahui kecuali oleh ahlinya. Ibn 'Arabi mengatakan : ini adalah perkara yang timbul dari persaingan, bahwa ada perasaan ia (orang yang menyerang  nasab) tidak ingin melihat ada seorang yang sempurna karena kekurangan pada dirinya sendiri, dan senantiasa manusia masih saling menyerang soal nasab, saling melaknat soal agama, dan berbeda dalam akhlak, pembagian Yang Maha Mengetahui lagi Maha Pencipta . Ibn 'Arabi juga mengatakan :Aku tidak mengetahui ada sebuah nasab yang tidak mendapatkan tha'n (serangan) kecuali nasab al-Musthafa Rasulullah Saw."

Ceramah-ceramah Imaduddin dari panggung ke panggung menunjukkan bahwa ia sangat meremehkan keharaman tersebut . Ia sama sekali tidak mem­ pertimbangkan dampak serius ucapannya terhadap kehormatan dan martabat orang lain. Imaduddin tidak hanya melakukan dosa itu sendirian, tetapi juga mengajak dan membuat banyak orang untuk mengikuti jejaknya . Akibatnya, banyak orang yang tanpa sadar melakukan dosa yang sama. Ini tentu saja memperbesar dampak negatif tindakannya . Bahkan, setiap orang yang terlibat dalam Tha'n fi al-nasab akibat ajarannya akan memperberat beban dosa yang hams ia tanggung.

Sikap seperti ini tidak hanya melanggar etika dan nilai-nilai Islam, tetapi juga mencerminkan  ketidakpedulian  terhadap  konsekuensi  spiritual  dan sosial dari tindakannya . Menyerang nasab orang lain dapat  menimbulkan fitnah, perpecahan, dan kebencian di antara umat Islam. Karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk berhati-hati dalam berbicara tentang nasab dan menjaga kehormatan sesama, sesuai dengan ajaran Nabi  Muhammad  Saw. yang menekankan  pentingnya  menjaga  silaturrahim  dan  saling menghormati di antara sesama Muslim .

B.  Adu Domba Antara Ulama, Habaib, dan Umat
Hubungan erat antara habaib dan kiai telah terbangun sejak sangat lama, karena keduanya merupakan pintu umat menuju Rasulullah Saw. Habaib/ Sadah adalah dzurriyah Nabi Saw. dan para kiaijulama adalah pewaris Rasulullah .

Semenjak dahulu,  antara Ahlul Bait Nabi Saw. dan pewaris Nabi Saw. hidup saling menghormati  satu sama lain. Misalnya, Sayidina Zaid ibn Tsabit r.a. dikenal sebagai seorang alim dari kalangan sahabat Nabi Saw. Ketika ia menunggangi hewan, datang Sayidina Abdullah ibn Abbas r.a., yang merupakan Ahlu Bait Rasulullah Saw., yang kemudian mendekati dan menuntun tali hewan tunggangan itu. Zaid ibn Tsabit merasa sungkan dan malu, lalu berkata, "Jangan lakukan itu, wahai sepupu Rasulullah Saw.!" Ibn Abbas r.a. menjawab, "Beginilah kami diperintahkan untuk memuliakan ulama kami." Mendengar itu, Zaid ibn Tsabit menarik dan mencium tangan Ibn Abbas r.a. seraya berkata, "Beginilah kami diperintahkan untuk memuliakan keluarga Nabi kami."415

Keharmonisan ini terns berlanjut sampai kepada para  ulama  Nusantara dan habaib. Sejak dulu telah muncul  banyak ulama Nusantara yang dikenal karena kewalian dan kesalehannya, seperti K.H . Hasan Genggong, K.H Abdul Hamid Pasuruan, Guru Zaini Sekumpul, K.H Maemoen Zubair, dll. Para ulama
itu sangat memuliakan  habaib sebagai dzurriyah Rasulullah  Saw. Sebaliknya, para habaib yang saleh pun begitu memuliakan para kiai dan ulama.

Terlalu banyak jika kami ingin menguraikan di sini, semua itu telah digambarkan dengan indah dalam beberapa karya, seperti buku berjudul Kiai dan Habib yang ditulis oleh Ponpes Sidogiri, juga buku berjudul Fakta Sejarah Hubungan Ulama Nusantara dan Sadah Ba'alawi, karya Nanal Ainul Fauz. Jika ingin mengetahui lebih banyak, Anda bisa membaca dua buku tersebut.
Ironisnya, dampak dari  penyimpangan  yang  dilakukan  Imaduddin dkk. adalah munculnya sekelempok orang-terlebih di media sosial-yang selalu berusaha merusak keharmonisan ini. Tidak henti-hentinya mereka membenturkan antara habaib dan kiai. Tentunya, implikasi dari pembenturan habaib dan kiai adalah pembenturan antara umat/jamaah/murid/pencinta setiap habib dan kiai itu sendiri. Hal ini sangatlah fatal dan berbahaya terhadap persatuan umat Islam di Indonesia khususnya, dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya .

Kami tidak bisa membayangkan, jika adu domba (namimah) dua  orang Muslim saja diancam tidak masuk surga dalam hadis Nabi Saw., lantas bagaimana dengan mengadu domba antara dzurriyah Nabi Saw. dengan pewaris  Nabi Saw.? Lantas, bagaimana dengan mengadu domba umat?
Nas'aluUah al-'ajiyah.

Kiai dan habaib merupakan unsur yang tidak terpisahkan, mereka semua merupakan penyambung risalah dakwah Rasulullah Saw. yang wajib kita hormati, cintai, dan ikuti selama istikamah dalam rel ajaran Rasulullah Saw. Persatuan, harmoni, dan sinergi di antara ulama dan habaib yang istikamah adalah kemajuan umat. Demikian sebaliknya, perbenturan dan perpecahan antara ulama dan habaib adalah kerugian besar untuk umat. Pertanyaan sederhananya, siapa yang diuntungkan dengan perpecahan kiai dan habaib? Jawabannya adalah pihak-pihak yang menginginkan kehancuran umat Islam, serta kehancuran bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

C.    Membuka Pintu Istihza (Pelecehan) dan Su-ul Adab terhadap Ulama dan Auliya
lmaduddin telah membuka pintu lstihza (pelecehan) dan su-ul adab (sikap tidak sopan) terhadap ulama dan auliya (orang saleh). Ulama dan auliya besar seperti al-Imam al-Sakhawi, al-Imam Murtadha al-Zabidi, al-Imam Yusuf al-Nabhani, dll. menjadi olok-olokan di media sosial hanya kerena mereka mengakui S<idah Ba'alawi sebagai dzurriyah Rasulullah  Saw., dan bertentangan dengan pandangan lmad. Terlebih auliya dari kalangan S<idah Ba'alawi yang sejak dulu diakui kewalian dan keilmuannya oleh ulama Nusantara, seperti al-Habib Umar ibn Abdurrahman Alathas, al-Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad, al-Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi, dll. Mereka semua tidak luput dari hinaan dan celaan yang dilontarkan oleh para pengikut lmad.

Ulama dan auliya adalah pilar spiritual dan intelektual komunitas Muslim . Mereka wajib  dihormati dan diperlakukan dengan sikap yang sopan dan santun. Namun, dengan membuka pintu lstihza  dan su-ul adab terhadap mereka, lmaduddin telah menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya memelihara adab dan hormat dalam berinteraksi dengan sesama. Sikap ini dapat merusak kesejahteraan dan keharmonisan umat, serta melemahkan nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat juga memancing datangnya murka Allah Swt. Dalm Hadis Qudsi Allah Swt. berfirman :
"Siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya."
(HR Bukhari)


D.    Menyebarkan Kebencian Rasial 

di Tengah Umat Penyimpangan  yang  dilakukan  lmaduddin  menyebabkan   timbulnya  ujaran kebencian rasial (rasis) di ruang publik, khususnya di media sosial. Caci maki terhadap Ba'alawi sebagai sebuah suku dan Yaman sebagai negara asal-usulnya ancaman untuk sweeping Ba'alawi dan mengusirnya dari Bumi NKRI. Hal ini bukan hanya melanggar ajaran agama, melainkan juga melanggar perundang-undangan negara. Dalam hadis riwayat lbn Majah, Rasulullah Saw. bersabda :

"Termasuk orang yang paling besar kezalimannya adalah ketika seseorang menghina orang lain lalu dia membalas menghina kabilahnya, dan seseorang yang tidak menisbahkan diri kepada ayahnya dan menuduh ibunya berzina ."

Dalam konteks kehidupan modern internasional, perilaku rasis sangat dikecam . Dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, ujaran kebencian yang bersifat rasis dilarang oleh UUD 1945, dan bahkan ada undang-undang yang khusus mengatur tentang hal tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 disebutkan : "Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun, dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap  perlakuan  yang  bersifat  diskriminatif itu." Dalam Pasal 3 ayat (3) UU HAM disebutkan : "Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi."

Bahkan, ada ancaman pidana yang serius bagi para pelaku  ujaran kebencian terhadap ras dan etnis. Pada Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi  Ras dan Etnis disebutkan : "Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak RpS00 .000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."416

Gerombolan Imaduddin selalu  membuat  narasi  yang  membenturkan antara Ba'alawi dan pribumi. Padahal, narasi itu menyesatkan . Sebab, mayoritas Ba'alawi yang ada saat ini lahir dari rahim pribumi. Dahulu kakek mereka datang dari Hadramaut, baik sebagai pedagang atau juga sebagai ulama, seperti 7 dari Walisongo.417 Ulama yang datang dari Hadramaut di antaranya Habib Husain ibn Abu Bakar Alidrus Luar Batang, Habib Abdullah ibn Muhsin Alathas Kramat Empang Bogor, Habib Saleh ibn Muhsin al-Hamid Tanggul, Habib Muhammad ibn Thahir al-Haddad Tegal, dan masih banyak lagi. Banyak di antara leluhur Ba'alawi di Indonesia atau keturunannya yang menikah dengan wanita asli Indonesia sehingga anak keturunannya saat ini mayoritas adalah keturunan wanita  asli  Indonesia . Itulah  sebabnya,  kenapa  Ba'alawi  menyebut  pribumi non-Ba'alawi di Indonesia dengan sebutan Ak hwat (J l_,;-1"). Dalam bahasa Arab akhwat merupakan bentuk jamak dari khcil (Jl>-), yang berarti paman (saudara ibu). Panggilan itu merupakan panggilan penghormatan, sebab Ba'alawi memandang pribumi non-Ba'alawi di Indonesia sebagai saudara Ibunya.418 Dari sini menjadi jelas,  bahwa leluhur Ba'alawi yang pertama datang ke Indonesia memang datang sebagai ulama, pedagang, dan lain-lain, namun mayoritas Ba'alawi saat ini dilahirkan dari rahim ibu/nenek pribumi. Maka, mereka bukan lagi pendatang, tetapi sudah menjadi darah daging pribumi.

Tidak sampai di situ, sebelum Indonesia merdeka ada peristiwa yang disebut Sumpah Pemuda Keturunan Arab yaitu sumpah yang dilakukan oleh pemuda-pemuda peranakan Arab di Nusantara pada 4 Oktober 1934. Para pemuda keturunan Arab di Nusantara melakukan kongres di Semarang. Dalam kongres ini, mereka bersepakat mengakui  Indonesia sebagai tanah air mereka. Sumpah Pemuda Keturunan Arab itu menyatakan :
1.    Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia .
2.    Karenanya, mereka hams meninggalkan kehidupan sendiri (isolasi).
3.    Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap Tanah-Air dan Bangsa Indonesia.

Sumpah Pemuda Keturunan Arab ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda keturunan Arab. Hasil konferensi itu adalah dibentuknya Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia. Dalam konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua), Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf al-Segaf (Bendahara), Abdurrahim Argubi (Komisaris) . Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali al-Segaf, Ali Basyaib, dll.419 Banyak dari tokoh-tokoh Ba'alawi yang terlibat dalam sumpah pemuda Arab tersebut .
Tidak hanya itu, banyak pula tokoh Ba'alawi yang ikut berkontribusi dalam membangun Indonesia dalam sektor pendidikan, ekonomi, politik, dll. Sebagai contohJamiatKheir, yaitu lembaga swastayangbergerak padabidangpendidikan, dan berperan  penting  dalam  sejarah perjuangan  Indonesia. Berpusat  di jalan K.H. Mas Mansyur 17, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Jamiat Kheir merupakan perkumpulan yang dibentuk pada tahun 1901 oleh para tokoh S<idah Ba'alawi. Almarhum Habib Abu Bakar ibn Ali ibn Abu Bakar ibn Shahabuddin adalah salah seorang pendiri Yayasan Jamiatul Kheir dan ketua pertama Madrasah Jamiatul Kheir. Anggota yang ikut berperan dalam tubuh organisasi Jamiat Kheir saat itu terdiri dari orang pergerakan, baik dari kalangan ulama maupun cendekiawan Muslim  yang  kemudian  ditetapkan  sebagai  pahlawan  nasional,  seperti  Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto,  Husain Jayadiningrat,  l'\hmad  Dahlad dan lain-lain.420

Pada 1759, Sayid Umar, putra Sayid Muhammad al-Segaf, menikam Jenderal Hendrik Hansen yang  bertugas di Siak Riau, sampai  mati,  dengan  sebilah keris yang dikenal dengan nama Jambuan .421 Selain itu, Sultan Syarif Qasim II dari kalangan Ba'alawi adalah Raja Melayu yang pertama sekali menyatakan kerajaannya menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia saat perayaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Bersamaan dengan ikrar penggabungan diri, iajuga menyerahkan 13 juta golden kepada pemerintah Indonesia untuk mendukung perjuangan kemerdekaan,422 dan diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 109/TK/1998, tanggal 6 November 1998 disertai anugerah tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana. Selain itu, bersama Sultan Serdang, dia juga berusaha membujuk raja-raja di  Sumatra untuk bergabung dengan NKRI.
Di Sulawesi ada Guru Tua, Sayid Idrus Salim al-Jufri yang namanya diabadikan menjadi nama bandara di Palu "Mutiara SIS al-Jufri", Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Murid-murid al-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang pendidik yang tak  kenal putus asa ini. Habib Idrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang di sekitar Sulawesi dan Maluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Ia berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi, dan kendaraan lainnya, bahkan dengan berjalan kaki dengan bermacam risiko, tantangan, dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Hingga akhir hayatnya pada 1968, Sayid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh Palu. 

Sejak berdiri tahun 1930, saat ini al-Khairaat menaungi sekitar 1.700 madrasah, 43 pondok pesantren, dan satu perguruan tinggi. Lembaga pendidikan tersebut masih eksis beroperasi yang tersebar di 12 Provinsi dan 84 kabupaten/kota . Selain itu al-Khairaat juga memiliki rumah sakit yang dikelola secara mandiri. Saat ini ratusan ribu guru tersebar di pelosok-pelosok kampung untuk mengabdikan diri mereka mengembangkan al-Khairaat . Yayasan al-Khairaat juga merupakan lembaga sosial keagamaan terbesar di kawasan Timur Indonesia yang berpusat di Kota Palu yang memiliki puluhan cabang di kabupaten/kota dan provinsi.423 Dan, masih banyak lagi kontribusi S<idah Ba'alawi yang ikut bahu-membahu bersama suku lainnya membangun  NKRI. Karenanya, sikap diskriminatif dan rasis yang ditimbulkan akibat penyimpangan Imaduddin ini merupakan sikap yang bertentangan  dengan ajaran agama dan aturan bernegara,  serta menabrak nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi persatuan dan keharmonisan di tengah perbedaan suku dan etnis.

E.    Melemahkan Integritas Keilmuan dan Amaliah Ulama NU 

Dengan mengatakan klan Ba'alawi melakukan skandal ilmiah dalam penyam­ bungan  nasabnya,  berarti  Imaduddin  sedang menghantam  dan  melemahkan keilmuan dan amaliah Nahdhatul Ulama. Mengapa demikian?

Sebagaimana telah kami singgung pada Bab 1 Pasal 4, hubungan keilmuan dan amaliah antara Nahdhatul Ulama dan Ba'alawi tidak bisa dipisahkan.

Sebagai contoh, pendiri Nahdhatul Ulama, K.H Hasyim Asy'ari, saat belajar di Makkah, memiliki dua guru besar, yaitu Habib Husain ibn Muhammad al­ Habsyi saudara dari al-Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi pengarang kitab maulid Simth al-Dur<ir dan al-Habib Alwi ibn Ahmad al-Segaf pengarang Tarsyihu al-Mustafidin Hasyiah Fath_ul Mu'in. Begitu pula, Syaikh Abdul Hamid Kudus dan  Syaikh Mahfuz Termas belajar kepada al-Habib Muhammad ibn Husain al-Habsyi.

Bahkan K.H. Soleh Darat yang merupakan guru K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, juga belajar kepada seorang waliyullah dari kalangan Ba'alawi, yaitu Habib Syaikh ibn Ahmad Bafaqih yang dimakamkan di Botoputih Surabaya. Tidak tanggung-tanggung, K.H. Soleh Darat menyebut gurunya sebagai "Quthbul Wujud".

Syaikh Yasin al-Fadani yang menjadi  satu rantai penyambung  sanad keilmuan ulama Nusantara, mengambil sanad kepada banyak Syaikh Ba'alawi, di antaranya, al-Habib Abdu al-Qadir Bilfaqih Malang, dan al-Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, dan al-Habib Abu Bakar ibn Muhammad al­ Segaf Gresik. Terkhusus Habib Abu Bakar Gresik, disebut oleh Syaikh Yasin al­ Fadani dengan istilah "Quthbu Zamanihi" , yaitu pimpinan wali pada zamannya.

K.H. Syafi'i Hadzami yang merupakan guru besar orang Betawi, juga secara khusus belajar kepada al-Habib Ali ibn Husain Alathas Bungur .Dan masih banyak lagi, sebagaimana juga banyak habib yang belajar kepada para kiai Nusantara.

Jika klan Ba'alawi secara kolektif dituduh oleh Imaduddin telah melakukan pemalsuan nasab maka berarti mereka semua telah melakukan dosa besar, yang berarti meruntuhkan 'ad<ilah, integritas, dan kejujurannya . Padahal, mereka semua adalah guru dari para mahaguru umat Islam di Nusantara . Karena itu, sadar atau tidak sadar, Imaduddin dkk. sedang menghantam sanad keilmuan Nahdhatul Ulama.

Tidak sampai di situ, berapa banyak kitab Ba'alawi yang dikaji dan dijadikan rujukan oleh pesantren dan majelis NU, seperti al-Nash<i'ih al-Diniyyah dan Risalah al-Mu'<iwanah karya al-Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad, al-Risalah al-J<imi 'ah karya al-Habib Ahmad ibn Zein al-Habsyi, Sullam al-Taufiq karya al­ Habib Abdullah ibn Husain ibn Thahir, Safinah al-Shal<ih karya al-Habib Abdullah ibn Umar ibn Yahya, Bughyatul Mustarsyidin karya al-Habib Abdurrrahman al­ Masyhur, Tarsyihul Mustafidin dan al-Faw<i'id al-Mak kiyyah karya  al-Habib Alwi ibn Ahmad al-Segaf, al-Yaqut al-Nafis karya al-Habib Ahmad ibn Umar al-Syathiri, dll. Konsekuensi tuduhan Imaduddin bahwa mereka semua adalah pendusta  dan pemalsu nasab maka berarti semua tokoh itu adalah orang fasik.

Integritas mereka dalam mentransfer ilmu menjadi gugur. Dan akibat akhirnya, kitab-kitab itu tidak layak dipercaya dan dipakai.

Tidak hanya itu, amaliah yang dilakukan di berbagai pesantren dan majelis NU juga tidak lepas dari amiliah Ba'alawi, seperti Wirdu al-Saknin karya Syaikh Ali ibn Abi Bakar al-Sakran, Ratibu al-'Athas yang disusun oleh Habib Umar ibn Abdurrhaman Alathas,  Ratibu al-Haddad dan al-Wirdu al-Lathif yang disusun oleh al-Imam Abdullah ibn Alwi al-Haddad, Khulashatu al-Maghnam yang diijazahkan oleh K.H . Hasyim al-Asy'ari kepada para santrinya yang merupakan karya al-Habib Ali ibn Hasan Alathas, Maulid Simth al-Durar karya al-Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi, dll.

Belum lagi qashidah-qashidah yang sering dibacakan di berbagai acara NU seperti Athfatan Ylijirotal 'Alami-Ya Uhailaljudi wal Karami karya al-Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad, Rabbi Fanfa'na Bima 'Allamtana karya Habib Ahmad ibn Umar ibn Sumaith, Ya Arhamarrahimin,  Salamullah Ya Slidah dan Ya Robbana'tarofna karya al-Habib Abdullah ibn Husain ibn Thahir, Sa'duna Fiddunya karya Habib Ahmad ibn Muhammad al-Mudhhar, qashidah-qashidah Habib Ali al-Habsyi, dll. Jika tuduhan Imaduddin benar maka mereka semua masuk kategori fasik dan berimbas pada karya-karya mereka yang menjadi amaliah berbagai pesantren dan majelis NU khususnya, dan Aswaja umumnya di seluruh Nusantara .

Tidak heran jika K.H . Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999-2010), dalam konteks hubungan habaib dan kiai dengan NU, dalam salah satu pidatonya pada tahun 2000 di Jakarta mengatakan :

"NU ini milik Auliya, milik Habaib, dan milik Ulama, NU sebagai organisasi hanyalah figuranya, fotonya itu sebenarnya adalah Auliya, Ulama, dan para Habaib. Jadi kalau NU berjuang meninggalkan Auliya baik yang masih hidup ataupun yang sudah wafat, meninggalkan habaib baik yang hidup maupun yang sudah wafat, berarti Nahdhatul Ulama kehilangan ruhnya dan akan menuju ke tempat yang salah.

Hadirin hadirat jamaah sekalian yang saya muliakan . Hubungan Ahlus­ Sunnah wal-Jam<i'ah dengan para auliya, dengan para habaib,  bukan hanya sekadar hubungan sia-sia, tapi yang paling utama adalah hubungan diniyah. Orang-orang Ahlu Sunnah sering membaca shalawat  kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw., juga kepada Ahli Baitnya dan juga kepada dzurriyah-nya, wa 'ala 'alihi wa ashh_<ibih. Orang Ahlus-Sunnah wal-Jam<i'ah yang di dalamnya orang Nahdhatul Ulama sering bahkan membiasakan diri dengan hukum mustahab supaya doa-doa menggunakan tawasul, baik tawasul kepada auliya sh<ilih_in maupun kepada para habaib minal kiram. Ini ajaran, oleh karenanya hubungannya dengan auliya  dan habaib bukan hubungan basa-basi, tapi ada kait mengait  dengan tarekat, tata cara pelaksanaan syariat Nabi besar Muhammad Saw." 424

Syaikhu Masyaikh Betawi, Muallim K.H . Syafii Hadzami juga berkata :

"Hormati dan muliakanlah para habaib. Mereka itu adalah dzurriyah-nya Rasulullah, dan sanad keilmuan para ulama-ulama betawi itu, banyak yang bersumber dan berasal dari para habaib, dan saya pun banyak menimba ilmu dan hikmah dari guru mulia al-Habib Ali Bin Husein al-Athos (Habib Ali Bungur)".425

Dan Hadratusysyaikh K.H. Miftahul Akhyar, Rais Aam PBNU dalam salah satu pidatonya juga  mengatakan :

"Kita tanpa Imam Ubaidillah, tanpa Alawiyyah, Bani Alawi, mungkin kita tak tahu apa-apa. Sumber-sumber keilmuan kita banyak karena jasa-jasa para ulama Alawiyyin ."426

Tuduhan-tuduhan  fatal yang dilontarkan Imaduddin ini mengingatkan kita kepada firman Allah Swt.:

"Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-N ya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu  tentang berita bohong itu (ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar." (QS Al-Nur : 14-15)

PENUTUP

Segala sesuatu yang kami sampaikan dalam buku ini insya Allah sudah lebih dari cukup bagi siapa saja yang ingin mencari penjelasan dan kebenaran .
Sementara, bagi mereka yang merasa memiliki kebenaran absolut dan hanya mencari pembenaran maka seandainya para ahli  sedunia memberikan penjelasan dengan sangat ilmiah tidak akan cukup untuk mereka "walaw aftii al­ muftun". Karenanya, pada bagian penutup ini, kami akan mengutip sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ibn al-Jauzi, untuk menjadi renungan bersama .

"Telah sampai informasi kepada kami bahwa beberapa orang Alawi (Keturunan Sayidina Ali ibn Abi Thalib r.a.) berada di Balkh dan memiliki seorang istri Alawiyyah (keturunan perempuan Sayidina Ali r.a.), dan keduanya memiliki beberapa anak perempuan . Mereka menjadi miskin dan laki-laki itu meninggal. Maka, wanita itu pergi bersama anak-anak perempuannya ke Samarkand karena takut akan cemoohan musuh. Dia memasuki kota dalam cuaca dingin yang ekstrem. Maka, ia memasukkan anak-anaknya ke dalam masjid dan keluar mencari makanan . Alawiyyah itu melewati dua kelompok orang, satu kelompok dipimpin laki-laki Muslim yang merupakan tokoh setempat, dan kelompok lainnya dipimpin seorang Majusi. Wanita itu menemui laki-laki Muslim, menjelaskan keadaannya dan berkata, "Kami membutuhkan makanan untuk malam ini."

Tokoh  Muslim  itu berkata,  "Tunjukkan  kepada  saya bukti bahwa  kamu adalah seorang Alawiyah!"
Perempuan itu berkata, "Di kota ini tidak ada yang mengenalku ."
Sang tokoh berpaling darinya. Wanita Alawiyyah itu pun pergi menemui orang Majusi, menceritakan keadaannya dan apa yang terjadi padanya dengan tokoh Muslim tadi. Tidak berpikir panjang, sang Majusi mengirim orang-orang di rumahnya bersama si wanita ke masjid, lalu membawa anak-anaknya ke rumah, dan si Majusi mendandani mereka dengan pakaian mewah. Saat datang malam, Muslim itu melihat dalam mimpinya seolah-olah Hari Kiamat tiba, panji ada pada Nabi Muhammad Saw., dan ternyata ada istana dari zamrud hijau.
Si Muslim bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah! Istana siapakah ini?"
Rasulullah Saw. berkata, "Untuk seorang laki-laki yang beragama Islam dan bertauhid ."
Tokoh Muslim itu berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah seorang Muslim yang bertauhid ."
Rasulullah Saw. berkata, "Berikan bukti kepadaku bahwa kamu adalah seorang Muslim yang bertauhid!"
Lelaki itu kebingungan . Lalu Rasulullah Saw. berkata kepadanya, "Ketika kamu pergi ke wanita Alawiyah, kamu berkata kepadanya, 'Berikan bukti kepadaku.' Karenanya, aku juga berkata kepadamu, 'Berikan bukti kepadaku!"'
Laki-laki itu terbangun dari tidurnya dalam keadaan terpukul dan menangis. Ia berkeliling mencari wanita itu sampai mengetahui keberadaannya, kemudian mendatangi orang Majusi dan berkata, "Aku ingin bertemu wanita Alawiyyah itu.''
Si Majusi berkata, "Tidak ada jalan untuk itu!"
Si Muslim berkata, "Ambil seribu dinar ini dan serahkan wanita itu kepadaku!"
Majusi berkata, "Aku tidak akan melakukannya! Mereka telah menjadi tamuku dan aku mendapatkan keberkahan  mereka.''
"Mereka hams diserahkan kepadaku.''
Akhirnya lelaki Majusi itu berkata, "Apa yang kamu cari? Aku lebih berhak mendapatkannya, dan istana yang kamu lihat di mimpi itu diciptakan untukku. Apakah kau mau menunjukkan keislamanmu? Demi Allah, aku tidak tidur, begitu pula keluargaku, sampai kami masuk Islam di tangan wanita Alawiyyah itu, dan aku bermimpi sesuatu yang mirip dengan mimpimu,  dan Rasulullah Saw. berkata kepadaku, 'Apakah Alawiyyah dan putri-putrinya bersamamu?' Saya katakan, 'Benar.' Rasulullah Saw. berkata, 'Istana itu milikmu dan keluargamu! Engkau dan keluargamu termasuk Ahli Surga, Allah menciptakanmu sebagai Mukmin di alam azal."'
Ulama besar Aswaja abad ke-21 Prof . Dr. al-Syaikh Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi pernah menceritakan ini dalam salah satu program TV sambil menangis  tersedu-sedu . Cerita ini memang bukan dalil, meskipun sumbernya jelas, boleh saja dipercaya atau tidak. Cerita ini kami kutip sebagai renungan, agar sebagai Muslim kita lebih berhati-hati dalam menyikapi segala sesuatu yang berkaitan dengan Rasulullah Saw.
Walllihu a'lam.

FOOTNOTE

411    Muslim ibn Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, S hahih Muslim, hal. 644
412  Ibid., hal. 82.
413  Abdur Rauf ibn Taj al-Arifin ibn Ali ibn Zainal Abidin al-Haddadi, al-Taisir Bisyarh al-Jami' al-S haghir, (Riyadh: Maktabah Imam Syafi'i, 1988), Juz 1, hal. 33.
414  Abdur Rauf ibn Taj al-Arifin ibn Ali ibn Zainal Abidin al-Haddadi, Faydh al-Qadir, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356 H), Juz 1, hal. 462.
415  Badruddin al-'Aini, Umdah al-Qari' Syarh S hahih al-Bukhari, ju z 14, hal. 240.
416        Lihat          https://www.komnasham.go.id/index.php/peraturan/2022/04/1  2/41/undang­ undang-nomor-40-tahun-2008-tentang-penghapusan-diskriminasi-ral-dan-etnis.html.
417  Menurut versi terkuat, Walisongo adalah Ba'alawi darijalur Abdulmalik Aal Adzhomatkhon.
418  Lihat  Shahab, Alwi  (2004),  Saudagar  Baghdad  dari  Betawi,  Penerbit  Republika,  ISBN 9793210303, 9789793210308, hal. 24
419   Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda_Keturunan_Arab.
420   Lihat https://id.wikipedia.org/wikij Jamiat_Kheir.
421  Hikayat Siak, Hikayat Siak, (Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka , 1992), hal. 148-149.
422  Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, hal. 108.
423   Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Idrus_bin_Salim_Al-Jufri.
424   Lihat https://wwW.youtube .com/watch?v=NVFFRdOUCRU.
425   Sumber: wawancara dengan K.H. Lutfi Zawawi (murid dekat Muallim Syafii Hadzami)
426  Sumber: https://youtu.be/v_4pMWNNYPw?si=68XnIC7Fis5KijfL
427  Abdur Rahman ibn Ali ibn Muhammad al-Jauzi, al-Birr wa al-S hilah, (Lebanon: Mu'assasah al-Kutub al-Tsaqafiyah , 1993), hal. 254.

DAFTAR  PUSTAKA

Abdul Ghafur, M ancifi' al-Akhycir 'alci' Natci'ij al-Afkcir.
Abdullah, Muhammad, Tarikh al-Syu'arci' al-.!:!adhramiyyin (Kairo: Matba'ah Hijazi, 1933).
Al-Ahdal, Husain ibn Abdurrahman, Tu!:ifah al-Zaman fi Tarikh Scidah al-Yaman, (Shana'a: Maktabah  al-Irsyad, 2010).
Al-Ahdal, Muhammad ibn Muhammad, Qarar 'Ulamci' Bani al-Ahdal, (tt: Maktab al-Burhan, tt). Al-Aini, Badruddin, 'Umdah al-Qciri Syarah Shahih al-Bukhciri .
Al-Amidi, Abu al-Hasan Ali ibn Abi Ali Muhammad Abkar, al-Afkcir fi Ushul al-Din, (Kairo: Dar
al-Kutub wa al-Watsa'iq al-Qaumiyyah, 2004).
Al-Amir, Ibrahim ibn Manshur al-Hasyimi, al-M adkhal ilci' 'Um al-Nasab wa Qawci'idihi wa 'Inciyah al-'Arab bihi.
Al-Amir, Ibrahim ibn Manshur al-Hasyimi, UshUl wa Qawaid fi Kasyfi Mudda'i al-Syaraf wa M arwiy al-Nasab, (Kairo: Dar Sabi! al-Mu'minin, 2016).
Al-Asqalani,  Ahmad  ibn  'Ali ibn  Muhammad  ibn Ahmad  ibn  Hajar,  Nuzhah  al-Nazhar fi
Taudhihi Nuzhah al-Fikr, (Riyadh: Safir, 1442 H).
Al-'Asqalani, Ibn Hajar, al-Jawcib al-Jalil.
Al-'Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bein.
Al-'Asqalani, Ibn Hajar, Inba' al-Ghumar bi Abnci' al-'Umar.
Al-Baghawi , Abu Muhammad al-Husain ibn Mas'ud ibn Muhammad ibn al-Farra' al-Syafi'i,
al-Tahdzibfi Fiqh al-Imcim al-Sycifi'i, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).
Al-Baghdadi, Ahmad ibn Ali al-Khatib, Tarikh Baghdad , (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah , 2004).
Al-Baghdadi, Muhibuddin ibn al-Najjar, al-M ustafad min Dzayl Tcirikh al-Bag hdad , (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1986).
Al-Bantani , Muhammad ibn Umar ibn Ali Nawawi, Syarah 'Uqud al-Lujjain fi Baycin Huquq al-Jauzain (Beirut: Dar Kutub Islamiyah, 2015).
Al-Buthi, Muhammad Sa'id Ramadhan, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah.
Al-Dalimi, Khalil Ibrahim, Durus fi 'Hm al-Anscib.
Al-Dimasyqi,  Muhammad  Amin ibn Fadhlullah  ibn Muhibbuddin ibn Muhammad  al-Muhibbi al-Hamwi, Khullcisah al-Atsar fi A'ycin al-Qarn al-Heidi 'Asyar , (dokumen pribadi).
Al-Dimyathi , Abu Bakar Syatha al-Syafi'i, Nafhah al-Rahmcin fi Ba'dh M anciqib al-Syaikh al­
Sayyid Ahmad ibn al-Sayyid Zaini Dahlan.
Al-Dzafari, Siraj al-Din Umar, Arba'una lil Musnid aHmcim al-Faqih M uhammad ibn Ali al­
'Alawi, (manuskrip: dokumen pribadi).
Al-Dzahabi, Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman,  Siycir A'lcim al-Nubalci', (Beirut: Muasasah al-Risalah , 1985).
Al-Dzahabi , Muhammad ibn Ahmad, Siycir A'lcim al-Nubalci', (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1996). Al- Dzahabi, Syamsuddin, Mizcin aH'tidciL
Al-Dzahabi , Tarikh Islcim wa Wafaycit al-M asycihir wa al-A'lcim, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996), Juz 39, ha!. 97.
Al-Fadani , Yasin ibn Isa, al-Arba'una !:!aditsan min Arba'ina Kitcibci 'an Arba'ina Syaikhci .
Al-Fasi, Abu Abdillah Muhammad al-Thalib al-Maradisi, aHsyraf 'alci' Ba'dhi M an bi Fas min M asycihir al-Asyrcif
Al-Habsyi, Idrus ibn Umar, Nur al-Futuhcit al-'Arsyiyyah .

Al-Haddad, 'Uqud al-Almcis.

Al-Haddad, Abdullah ibn Alwi, al-Durr al-M anzhum li Dzawi al-'Uqul wa al-M afhum.
Al-Haddad, Abdullah ibn Alwi, al-M anhaj al-Sciwi fi Ushuli Thariqah al-Scidah Ali Ba'alawi .
Al-Haddad, Abdullah ibn Alwi, Tatsbit al-Fu'ad .
Al- Haddadi, Abdur Ra'uf ibn Taj al-Arifin ibn 'Ali ibn Zainal Abidin, al-Taysir bi Syar.h al-Jcimi'
al-Shag hir, (Riyadh: Maktabah Imam Syafi'i, 1988).
Al-Haddadi, Abdur Ra'uf ibn Taj al-Arifin ibn 'Ali ibn Zainal Abidin, Faydh al-Qadir, (Mesir: Maktabah  al-Tijariyah  al-Kubra, 1356 H).
 
Al-Haitami , Ahmad ibn Muhammad ibn Ali ibn Hajar, al-Fatawa al-Jiaditsiyyah li Ibn Hajar al-Haitami, (Kairo: Dar al-Ma'rifah , tt).
Al-Haitami , Ahmad ibn Muhammad  ibn Ali ibn Hajar, Fath al-Jawad bi Syar.h aHrsyad ,
(Lebanon: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2012).

Al-Haitami , Ibn Hajar, al-Shawa'iq al-M uhriqah 'ala' Ahl al-Rafdh wa al-Dhalal wa al-Zindiqah,
(Lebanon: Mu'assasah  al-Risalah, 1997).

Al-Haitami , Ibn Hajar, Tsabat, ditahkik oleh Amjad Rasyid , (Ardan: Dar al-Fath, 1435 H). Al-Halabi, Ali ibn Burhan, al-Sirah al-Jialabiyyah.
Al-Hamawi , Yaqut, Kitab M u)am al-Buldcin.
Al-Hamdani, aH klil min Akhbar al-Yaman wa Ansab al-Jiimyar.
Al-Hamid, Shalih ibn Ali, Tarikh Jiadhramawt, (Shana'a: Maktabah aHrsyad , 2003).
Al-Hamra, Umar ibn Abdurrahman Shahib, Fathullah al-Rahim al-Rahman Ji M anciqib al-Syaikh al-'Arif Billcih al-Quthb al-Ghauts al-'Aydrus 'Abdullah ibn Abu Bakr ibn 'Abd al-Rah.man.
Al-Haramain , Imam, Nihayah al-M athlab.
Al-Hasani, al-Mutawakkil Alallah  Syarafuddin Yahya ibn Syamsuddin, Tsabat, (dokumen pribadi).
Al-Hasyimi, Ibrahim ibn Manshur al-Amir, aHfadhah Ji Adillati Tsubut al-Nasab wa Nafyihi bi
al-Syahrah. wa aH stifadhah, (Beirut:al-Maktabah aHslami, 2019).
Al-Hindi, Muhammad Abdul Hay al-Laknawi, Iqamah al-Hujjah 'ala' Anna aH ktsar Ji al­
Ta'abbud Laisa bi Bid 'ah.
Al-Husaini , Kamal al-Hut, Jami' al-Durar al-Bahiyyah li Ansab al-Qurasyiyyin Ji al-Bilad al-
Syamiyyah.
Ali ibn Jadid, Arba 'un, (dokumen pribadi).
Al-Idrisi, Abu al-Laits Muhammad  Hamzah ibn Ali al-Kattani al-Hasani, al-Summ al-Zi'aj.
Al-Idrisi, Muhammad Hamzah ibn Ali al-Kattani al-Hasani, al-Tha'infi al-Nasab al-Hasyimi
li Bani 'Alawi wa al-Saqqaf.
Al-Ijli, Ahmad ibn Abdillah ibn Shalih, Kitab al-Tiqat, (Saudi: Maktabah al-Dar, 1985).
Al-Iraqi,  Abdurrahim  ibn  Husain  ibn Abdurrahman,  Tharh al-Tatsrib Ji Syar.h al-Taqrib,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Al-Isnawi, Abdurrahim ibn Hasan ibn Ali al-Syafi'i, al-Tamhid Ji Takhrij al-Furn' 'ala' al-UshUl, (Lebanon: al-Risalah,  1440).
 
Al-Janadi, Baha'u al-Din, al-SulU k fi Thabaqcit al-'Ulamci' wa al-Muluk, (Shana'a: Maktabah aHrsyad,  1995).
Al-Jauzi, Abdurrahman  ibn Ali ibn Muhammad , al-Birr wa al-Shilcih, (Lebanon: Mu'assasah al-Kutub  al-Tsaqafiyah,  1993).
Al-Kamlani , Muhammad Hifz al-Rahman, al-Budur al-M adhiyyah Ji Tarcijim al-!::!anafiyah,
(Kairo: Dar al-Shalih, 2018).

Al-Kattani, Abdul Hay, Fahras al-Fahciris.
Al-Khan, Mushthafa, al-Fiqh al-M anhaji 'alci' M adzhab aHmcim al-Sycifi'i .
Al- Khathib, Abdurrahman ibn Muhammad, Al-Jawhar al-Safaf Ji Dzikri Fadhci 'i[ wa M anciqib wa Karamat al-Sadah al-Asyrcif min Al Abi 'Alawi, (dokumen pribadi: makhthuth).
Al-Khathib,  Abdurrahman,  al-Jawhar  al-Syafaf ,  (dokumen  pribadi  Universitas   al-Ahqaf Tarim).
Al-Khazraji , Ali ibn Hasan, al-'Iqd al-Fakhir al-Hasan Ji Thabaqati Akcibiri Ahl al-Yaman,
(Shana'a: Maktabah al-Jail al-Jadid, 1430).

Al-Kutbi , Muhammad ibn Syakir, Fawcit al-Wafiyycit wa al-Dzayl 'Alayhci, (Beirut: Dar al­ Shodir,  tt).
Al-Lubni, Ja'far ibn Abu Bakar, al-!::!adits Syujun Syarb: al-Riscilah al-Jadiyyah li Ibni Zaidun,
(Jeddah: Maktabah  Kunuzul Ma'rifah, 2014).

Al-Madani , Muhammad ibn Husain ibn Abdillah al-Husaini al-Samarqandi, Tubfah al-Thcilib
bi M a'rifah M an Yantasibu ilci' 'Abdillcih wa Abi Thcilib, (dokumen pribadi).
Al-Mahmudi, Muhammad Kazhim, Muqaddimah Tab:qiqi Tahdzib al-Anscib.
Al-Maliki,  Muhammad  ibn 'Alawi, aHjciraj  al-' Ilmiyyah al-'Ammah Ji Ascinid al-Sayyid Muhammad ibn 'Alawi al-M aliki al-Hasani.
Al- Maristani, Muhammad ibn Abdul Baqi', Ahcidits al-Syuyukh al-Tsiqat, (Beirut: Dar al-Kutub aHlmiyah,   2004).
Al-Mawardi, Ali ibn Muhammad ibn Habib, al-Hciwi al-Kabir.
Al-Musawi  al-Husaini, Agil ibn Ali al-Mahdali,  aHmcim  'Ubaidillah ibn  Imam Ahmad  wa
!:!ijratuhu min al-'Irciq ilci' !::!adhramaut al-Yaman li al-Da'wah Ilallcih, 2023.
Al-Nabhani , Yusuf ibn Ismail, Riycidh al-Jannahfi al-Adzkcir al-Kitcib wa al-Sunnah, (Lebanon: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1990).
Al-Nahrawani,  Abu  al-Abbas  Ahmad  ibn  Muhammad ,  Musnad  aHmcim  Ali  ibn  Ja'f ar  al­
Asyqari, (dokumen pribadi: makhthuth).
 

LihatTutupKomentar