Habib Ba’alwi Seharusnya Diabaikan Ketika Mengaku Keturunan Nabi
Judul Makalah / essay: Migrasi Klan Ba’alwi Dan Pengakuan Sebagai Keturunan Nabi
Penulis/pengarang: K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Rencana disampaikan: 10 September 2024, di UIN Walisongo, Semarang
Panitia Pelaksana: Lembaga Penelitian dan Pengabian Kepada Masyarakat (LP2M) UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah
Sebab gagal terlaksana: Himbauan kepolisian dengan alasan keamanan
Berita dan analisa tentang pembatalan lihat di sini.
Daftar isi
- Klan Ba’alwi Mengklaim Keturunan Nabi Muhammad SAW Sejak di Hadramaut
- Klan Ba’alwi Seharusnya Diabaikan Ketika Mengaku Keturunan Nabi Muhammad SAW
- Klaim-Klaim Sejarah dan Nasab Ba’alwi di Abad Sembilan Hijriah
- Ahmad bin Isa Bergelar “Al-Muhajir”?
- Ahmad bin Isa Di Makamkan Di Hadramaut
- Historiografi Tokoh Ba’alwi Yang Tidak Terkonfirmasi Kitab Sezaman Atau Yang Mendekati
- Interpolasi dan Moral Ilmiyah Ba’alwi
- Kesimpulan
- Footnote
- Buku Terkait oleh KH. Imaduddin:
- Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
- Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
- Buku Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi
- Living Sunnah, Otoritas Keagamaan Dan Konstruksi Nasab Ba’Alwi
- Kembali ke: Kitab dan Buku Terbaru
Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabian Kepada
Masyarakat (LP2M) UIN Walisongo ini bertema: “Migrasi, Agama, dan Peran Sosial
Keagamaan Klan Ba’alwi di Indonesia”. Sepertinya, penulis diundang lebih untuk
membahas kaitan antara migrasi mereka dengan klaim mereka sebagai keturunan
Nabi Muhammad SAW. disengaja ataupun tidak, klaim sebagai keturunan Nabi itu,
tentu sedikit banyak menjadi salah satu instrumen kemudahan mereka ketika
melakukan migrasi ke kawasan-kawasan berpenduduk muslim. Tesis penulis yang
mengatakan bahwa Klan Ba’alwi terbukti bukan keturunan Nabi Muhammad SAW,
rupanya membuat LP2M melihat masalah ini laik untuk didiskusikan guna melihat
adanya korelasi antara migrasi mereka ke berbagai kawasan dan penerimaan
masyarakat lokal kepada mereka, dengan klaim mereka sebagai keturunan Nabi.
Dalam diskusi publik ini, rupanya Professor Sumanto al-Kurtubi lah
yang akan membawakan materi dinamika migrasi Ba’alwi dan peran
sosial-keagamaannya, sedangkan penulis lebih khusus akan membahas tentang
postulat penulis yang telah diketahui public bahwa Klan Ba’alwi bukanlah
keturunan Nabi Muhamad SAW.
Klan Ba’alwi Mengklaim Keturunan Nabi Muhammad SAW Sejak di
Hadramaut
Identitas individu yang memiliki ketersambungan genealogi dengan
Nabi Muhammad SAW, menjadi daya tarik tersendiri dalam kehidupan keagamaan
umat Islam. Ia terkait dengan sebagian tafsir keagamaan yang muncul khususnya
dari sekte Syi’ah tentang “orang-orang suci” (para imam) dari keturunan Nabi
yang disebut sebagai pewaris kekhalifahan yang sah sepeninggal Nabi. Proposisi
yang mirip dengan tafsir keagamaan di atas namun dilatarbelakangi reason
teologis yang berbeda terdapat dalam faham keagamaan mayoritas madzhab sufi
dalam tradisi Ahlusunnah Wal jama’ah yaitu: kewajiban mencintai Ahlu bait al
Nabiy (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) dan anjuran menghormati keturunannya.
Sebagai imigran, Ba’alwi menghadapi kompetisi ketat untuk merebut
otoritas keagamaan di Hadramaut yang sejak ratusan tahun silam memiliki
prestasi melahirkan ulama-ulama besar dengan otoritas persuasif yang kuat.
Untuk interest itu, Ba’alwi memerlukan substitusi dari identitas lama, yaitu
mereka bukan hanya ulama tetapi juga sebagai klan yang memiliki konektifitas
genealogi dengan Nabi Muhammad SAW. Klaim itu tidak berjalan mulus,
ulama-ulama yang mengetahui latar belakang mereka menolak klaim itu. Dalam
kitabnya Al Burqat al Musyiqah, Ali al Sakran menggambarkan: adanya
orang-orang hasud kepada keluarga mereka yang tidak mempercayai mereka sebagai
keturunan Nabi.[1]
Nampaknya, penolakan dari ulama-ulama di abad
ke-9 H itu tidak diprasastikan dalam bentuk tulisan. Sementara usaha-usaha
pemasaran dan peyakinan dari klan Ba’alwi bahwa mereka keturunan Nabi ditulis
dalam berbagai kitab mulai abad ke-9 H sampai hari ini. Yang demikian itu,
kemudian membuat kesan sekilas bahwa pada abad ke-9 H itu mereka sudah
“Syuhrah Wa al-Istifadloh” sebagai keturunan Nabi. Kendati demikian,
tersisanya ulama di Yaman hari ini yang tidak mempercayai Ba’alwi sebagai
keturunan Nabi, adalah sebuah ciri bahwa tradisi ketidakpercayaan itu tetap
dirawat oleh komunitas keulamaan tertentu di sana.
Pemasaran dan
publikasi terhadap penduduk di sana tentang produk bahwa mereka adalah
keturunan Nabi, dilakukan klan Ba’alwi bukan hanya dengan relasi konvensional
antara murid dan guru, tetapi juga dengan doktrinasi transcendental- metafisik
yang sulit ditagih scientific evidence (bukti ilmyah)-nya. Kita ambil sebuah
contoh, Ali bin Abu Bakar al-Sakran dalam Al-Burqat menyatakan bahwa ia
mendengar sebuah cerita bahwa ada sebagian orang pilihan telah bermimpi
bertemu Nabi Muhammad SAW di atas sebuah bukit di Tarim, lalu Nabi berkata:
“Wahai penduduk negeri ini, aku mempunyai titipan untukmu (Ba’alwi) barang
siapa membenci mereka maka mereka membenci aku, barang siapa membuat rida
mereka maka ia membuat aku rida”.[2]
Klan Ba’alwi Seharusnya Diabaikan Ketika Mengaku Keturunan Nabi Muhammad
SAW
Bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan DNA, hari ini kita dapat
mengetahui hubungan biologis antara seorang individu dengan individu lainnya.
Apabila pola kromosom Y tidak sama (tidak cocok) maka akan memberikan akurasi
100% kedua laki-laki tersebut bukanlah saudara dari garis ayah.[3]
Jika hari ini ada dua laki-laki yang sama-sama mengaku keturunan garis ayah
dari Nabi Muhammad SAW, maka ia harus bertemu di kakek bersama sekitar 1500
tahun yang lalu. Jika dua laki-laki hari ini mengaku sebagai keturunan garis
ayah dari Nabi Ibrahim AS, maka ia harus bertemu di kakek bersama sekitar 5000
tahun yang lalu. Laki-laki yang hari ini berhaplogroup G dengan laki-laki
berhaplogroup J1 baru bertemu di kakek bersama di sekitar 45.000 tahun yang
lalu. Jika dua laki-laki tersebut sama-sama mengaku keturunan Nabi Muhammad
SAW, maka keduanya pasti ada yang palsu karena Nabi Muhammad SAW terverifikasi
sebagai sosok historis pada 1500 tahun yang lalu. Lalu menurut para pakar DNA,
Nabi Muhammad SAW itu tergolong berhaplogroup apa?
Professor Ubaidillah, seorang pakar DNA dari Timur Tengah, sebagaimana termuat
dalam buku Muqaddimat ‘Ilm al-Ansab, mengatakan:
“Setelah meneliti
dan melakukan banyak tes dan analisis laboratorium terhadap DNA untuk
mengetahui keragaman ras manusia, para peneliti menemukan bahwa warisan
genetik Arab termasuk dalam ras tersebut (J1). Peneliti Profesor Ali bin
Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat memberi nama pada jenis J1 dengan
DNA suku Arab…Para peneliti juga menemukan bahwa gen Ismail bin Ibrahim,
dengan dua cabangnya: Adnani dan Qahtani, terkelompokan ke dalam J1c3d.” [4]
Berikut ini daftar haplogroup Y DNA yang dimuat kitab Muqaddimat
Fi ‘Ilm Al-Ansab[5]:
1. Haplogroup A: adalah haplogroup untuk
keturunan bangsa Etiopia, Sudan,
2. Haplogroup B: Afrika
3. Haplogroup C: India, Srilangka, Asia Tenggara,
4.
Haplogroup D: Asia tengah, Mongoloia, Selatan Asia.
5. Haplogroup
E: Afrika.
6. Haplogroup G: Utara Asia Tengah, Pakistan,
Afganistan. Haplogroup G Disebut Haplogruop Kaukasus kerena ke luar dari haplo
ini 2 % dari penduduk barat laut Eropa, 8-10 % dari penduduk Asbania, Italia,
Yunan, Turki, 30% dari penduduk Georgia dan Azerbaijan, 50% dari penduduk
Ositia Utara, 18% dari orang Druze, 10% dari Yahudi Askenazi, dan 20% dari
Yahudi Maroko.
7. Haplogroup R: Utara laut hitam dari Orasia,
Eropa Timur, India, Irlandia.
8. Haplogroup I: Eropa, Viking.
9. Haplogroup H: India Dravida, Pastun, Iran.
10.
Haplogroup L: India
11. Haplogroup M: Guinea
12.
Haplogroup N: Utara Asia, Cina, Mongolia,
13. Haplogroup O: Asia
Timur, Cina, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Korea, Jepang.
14.
Haplogroup K: Iran, Mesir, Papuanugini.
15. Haplogruop Q: Amerika
16. Haplogroup S: Papuanugini, Indonesia, Melanesia
17. Haplogroup T: Iran, Mesir, Afrika.
18. Haplogroup
J: Timur Tengah, Arab Syamiyah.
19. Haplogroup J2: Asia Tengah,
Iran, India, Kurdi.
Prof Ubaidillah juga mengatakan[6]:
“DNA adalah stempel yang dijadikan pegangan di masa depan. Ia
adalah hukum pasti bagi pengakuan nasab perorangan atau kelompok. Dan akan
membawa keengganan untuk meneliti surat-surat dan manuskrip-manuskrip sejarah
masa lalu yang berkaitan dengan nasab. DNA pula akan menggantikan stempel para
syekh dan ahli nasab karena ilmu nasab adalah ilmu riwayat yang bersifat
dzanni…ilmu DNA akan merubah ilmu nasab dari ilmu dzanni yang bersifat tarjih
yang terkadang terjadi pemalsuan menjadi ilmu yang rasional yang terhormat
yang berdasar hasil-hasil tes yang presisi yang tidak akan salah dengan
kekuasaan, hikmah, dan pengaturan Allah Azza wajalla”.
Dari sini penulis mengatakan bahwa pengakuan Klan Ba’alwi sebagai keturunan
Nabi Muhammad SAW seharusnya diabaikan. Karena berdasarkan tes DNA para
individu dari Klan Ba’alwi diperoleh hasil bahwa mereka terkelompokkan dalam
Haplogroup G, bukan J1. Berdebat tentang keabsahan surat dari sebuah kalung
emas tidak ada gunanya, jika setelah diperiksa bahwa kalung itu ternyata bukan
terbuat dari emas tetapi hanya tembaga biasa. Individu atau komunitas tertentu
yang mengaku memiliki konektivitas genealogi kepada Nabi, ketika terjadi
khilafiyah secara ilmu nasab dan sejarah, baru dianggap laik untuk ditelusuri
setelah lulus uji DNA. Jika DNA-nya saja sudah melenceng, maka penulusuran
ilmu nasab dan sejarah itu menjadi kontraproduktif, tidak signifikan dan
absurd.
Tetapi tidak salah juga jika setelah kita mengetahui bahwa
kalung emas itu adalah palsu, kita tetap menelusuri sebenarnya siapa yang
telah mengeluarkan surat kalung itu, agar diketahui siapa yang memalsukan.
Klaim-Klaim Sejarah dan Nasab Ba’alwi di Abad Sembilan Hijriah
Klan Ba’alwi, di abad sembilan mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi
Muhammad SAW melalui jalur Ahmad bin Isa yang hidup di abad 3-4 Hijriah. Untuk
menyambungkan historiografi dan genealogi mereka dengan Ahmad bin Isa, mereka
mengklaim bahwa Ahmad bin Isa Hijrah dari Bashrah ke Hadramaut; mereka
menyambungkan silsilah mereka dari abad sembilan Hijriah sampai abad ke-4
Hijriah sebagai berikut: Ali (w. 895 H.) bin Abubakar al Sakran bin
Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi al-Gayyur bin
Muhammad (Faqih Muqoddam) bin Ali bin Muhammad (Sahib Mirbat) bin Ali
Khaliqosam bin ‘Alwi (w.400 H>.) bin Ubaid/‘Ubaidillah/Abdullah (w.383 H.)
“bin” Ahmad (w.345 H.) bin ‘Isa al-Naqib (w.300 H.) bin Muhammad al-Naqib
(w.250 H.) bin ‘Ali al-‘Uraidi (w.210 H.) bin Ja’far al-Sadiq (w.148 H.) bin
Muhammad al-Baqir (w.114 H.) bin ‘Ali Zaenal Abidin (w.97 H.) bin Sayidina
Husain (w.64 H.) bin Siti Fatimah al-Zahra (w.11 H.) binti Nabi Muhammad Saw.
(w.11 H.).[7]
Klaim nasab tersebut batal berdasar kesaksian kitab-kitab nasab abad ke-5
sampai ke-9 Hijriyah bahwa Ahmad tidak punya anak bernama
Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Diantara kitab-kitab nasab yang ditulis di abad
ke-5-9 Hijriah adalah: Tahdzib al-Ansab karya Imam Al Ubaidili (w.437 H.),
Al-Majdi karya Al-Umari (w. 490 H.), Muntaqilat al-Tahalibiyah karya Ibnu
Thabathaba (w. 400-an H.), Al-Syajarah al-Mubarakah karya Imam Al-Fakhrurazi
(w.606 H.), Al-Fakhri fi Ansab al-Thalibin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail
bin Husain al-Marwazi (w.614 H.), Al-Ashili fi Ansab al-Thalibiyyin karya
Shofiyuddin Muhammad ibnu al-Thaqthaqi al-Hasani (w.709 H.), Al-Tsabat
al-Mushan karya Ibn al- A’raj al-Husaini (w.787 H.), Umdat al-Talib karya Ibnu
Inabah (w.828 H.) .
Nama Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa secara
formal baru muncul dalam kitab keluarga Ba’alwi, Al-Burqat al-Musyiqat karya
Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.), setelah 550 tahun wafatnya Ahmad bin
Isa. Kitab nasab dan sejarah setelah abad ke-9 yang menulis Ubed sebagai anak
Ahmad bin Isa kesemuanya akan bermuara merujuk kepada kitab Al-Burqat
tersebut.
Urutan silsilah seperti itu diokulasi Ali bin Abubakar al-Sakran dari kitab
Al-Suluk karya Al-Janadi (w.732 H.) ketika menyebut seorang ulama bernama Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin jadid bin Abdullah
bin Ahmad bin Isa.[8] Menurut Ali al-Sakran, Jadid bin Abdullah yang terdapat
dalam silsilah itu adalah saudara laki-laki dari Alwi bin Ubaid. Lalu Ubaid
itu adalah nama lain dari Abdullah. Klaim Ali al-Sakran ini tanpa dalil. Tidak
ada kitab-kitab nasab atau sejarah yang mengkonfirmasi bahwa Jadid adalah
saudara dari Alwi. Terlepas dari bahwa informasi Al-Suluk tentang nasab
Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa itu tertolak kitab-kitab nasab, bahwa
klaim adanya ikatan persaudaraan antara Jadid dan Alwi itupun tertolak juga
karena diambil dari ruang hampa tanpa ada bukti dan dalil. Jadi, usaha Ba’alwi
untuk melakukan okulasi silsilah kepada Nabi ternyata mengambil batang yang
salah.
Ahmad bin Isa Bergelar “Al-Muhajir”?
Ahmad bin Isa, dalam historiografi internal Ba’alwi bergelar “Al-Muhajir”.
Gelar ini sebagai alibi bahwa narasi Ahmad bin Isa mempunyai keturunan di
Hadramaut itu reliabel, karena ia berpindah dari Bashrah ke Hadramaut dan
kemudian menetap di sana, buktinya ia bergelar “Al-Muhajir”. Padahal, tidak
ada kitab sezaman atau yang mendekati Ahmad bin Isa yang menyatakan ia
berhijrah ke Hadramaut, seperti tidak juga ada dalil bahwa ia bergelar
“Al-Muhajir”. Kitab-kitab nasab dari mulai abad ke-5 sampai abad ke-9 tidak
ada yang menginformasikan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah dari Bashrah ke
Hadramaut; tidak ada pula dari kitab-kitab tersebut yang menyatakan bahwa
Ahmad bin Isa bergelar “Al-Muhajir”.
Ahmad bin Isa Di Makamkan Di Hadramaut
Ba’alwi ber-hujjah (alasan) hijrahnya Ahmad bin ‘Isa ke Hadramaut
itu valid dan relaibel dengan dalil adanya bukti arkeologis berupa makam Ahmad
bin ‘Isa di Husaysah, Hadramaut. Pertanyaannya, apakah benar makam yang
diklaim sebagai makam Ahmad bin ‘Isa itu asli? Apakah makam itu sudah dikenal
sejak wafatnya Ahmad bin ‘Isa tahun 345 H.? Sumber sezaman atau yang mendekati
apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Ahmad bin ‘Isa dimakamkan di
Husaysah?
Al-Janadi (w.732 H.), sebagai sejarawan yang gemar merekam adanya makam tokoh
yang diziarahi orang, tidak mencatat di Husaysah ada makam Ahmad bin ‘Isa. Ia
merekam keberadaan makam dua orang anak yang popular di Shan’a di sebuah
masjid yang dikenal dengan Masjid Al-Syahidain;[9] ia juga merekam makam
seorang dokter Irak yang dianggap pahlawan di Qinan dan ia berziarah di
sana.[10] Tetapi ia tidak merekam adanya makam Ahmad bin ‘Isa. Artinya pada
tahun 732 H>. itu, makam Ahmad bin ‘Isa belum dikenal (dibaca ‘tidak ada’)
seperti saat ini. Telah berjarak 387 tahun sejak wafatnya, makam Ahmad bin
‘Isa belum dikenal orang.
Lalu kapan mulai adanya cerita bahwa Ahmad bin ‘Isa dimakamkan di Husaysah?
Berita awal yang didapatkan adalah berita dari Bamakhramah (w.947 H.) dalam
kitabnya Qaladat al-Nahr Fi Wafiyyat A’yan al-Dahr. Dalam kitab tersebut
disebutkan, ada dua pendapat mengenai makam Ahmad bin ‘Isa: Pendapat pertama
mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Husaysah; pendapat kedua mengatakan ia
wafat di Qarah Jasyib.[11] Lalu berdasar apa makam Ahmad bin ‘Isa ini
dipastikan ada di Husaisah seperti yang sekarang masyhur sebagai makamnya?
Bamakhromah menyebutkan bahwa makam itu diyakini sebagai makam Ahmad bin ‘Isa
karena ada Syekh Abdurrahman menziarahinya, dan ada cahaya yang dapat dilihat
dari tempat yang diyakini sebagai makam Ahmad bin ‘Isa itu.[12]
Seperti itulah makam Ahmad bin ‘Isa ditemukan, yaitu bukan berdasarkan naskah
yang menyatakan bahwa ia memang dimakmkan di Husaysah, dan bukan karena memang
makam itu telah ada sejak hari wafatnya yaitu tahun 345 H., tetapi diitsbat
berdasarkan ijtihad. Berarti makam Ahmad bin ‘Isa baru ditemukan, bahkan
dibangun, di abad sembilan atau sepuluh Hijriah, yaitu sekitar 602 tahun
setelah hari wafatnya. Dari sana, keberadaan makam Ahmad bin ‘Isa di Husaysah
ini, berdasar kesimpulan tidak adanya peristiwa hijrah-nya ke Hadramaut,
sangat meyakinkan untuk dikatakan bahwa makam itu adalah makam palsu.
Historiografi Tokoh Ba’alwi Yang Tidak Terkonfirmasi Kitab Sezaman Atau
Yang Mendekati
Cerita tentang Ahmad bin ‘Isa, bahwa ia seorang “imam” dan ulama tidak
terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, demikian pula
ketokohan Ubaid atau Ubaidillah. Dalam literatur ulama Ba’alwi, Ubaid ditulis
wafat tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang
“rasikh” (mendalam ilmunya); guru para ”Syaikul Islam”; pembuka kunci-kunci
ilmu yang dirahasiakan; Tiada ditemukan yang menyamainya (dizamannya).
Demikian sebagian yang ditulis ulama Ba’alwi tentang Ubaidillah hari ini.[13]
Anehnya, seorang “Imam Besar”, yang hidup di abad empat Hijriah, sejarahnya
gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Jika ia
imam, tidak ada seorang pengikutnya-pun mencatatnya. Jika ia guru para
“Syaikhul Islam”, tidak ada seorang ”Syaikhul Islam”-pun menyebut namanya,
mengutip pendapat gurunya, bahkan walau hanya menulis namanya dalam silsilah
sanad keguruannya. Ia benar-benar “orang besar” yang mastur dan misterius.
“Imam Besar” ini hidup di Abad empat hijriah, katanya, ia lahir dan tumbuh
besar di Basrah, lalu umur duapuluh tahun hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut,
Yaman. Di Abad itu, di Basrah dan di Yaman, puluhan kitab ditulis, ratusan
ulama hidup bergaul satu dengan lainnya, namun, diantara mereka, seorangpun
tidak mencatat interaksinya dengan Ubaidillah. Kemanakah Ubaidillah sang “Imam
Besar” ini bersembunyi? Nama Ubaidillah dan biografi hidupnya, baru muncul 512
tahun setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali di munculkan oleh ‘Ali
al-Sakran (w. 895 H). Bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah,
Al-Sakran, bahkan, telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu
yang tidak diketahui oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan
Ubaidillah, dapat diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung
apapun. Al-Sakran adalah pioneer dalam meruntut “sejarah” Ubaidillah, dan
sukses menjadikannya sebagai sosok “menyejarah”. Demikian pula tokoh lain
dalam silsilah Ba’alwi seperti Alwi pertama, Muhammad dan Alwi kedua, sosoknya
yang begitu punya peran penting dalam redaksi kitab-kitab Ba’alwi, tidak
terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, semuanya kembali
kepada kitab Al-Burqat al-Musyiqat di abad ke-9 Hijriah.
Muhammad bin ‘Ali (w.556 H.) yang diberi gelar “Sohib Mirbat” oleh penulis
Ba’alwi. Sosoknya ditulis oleh Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi sebagai
“imaman mutqinan” (imam yang menguasai ilmu dengan dalam); “wahidu asrihi fi
al-ilmi wa al-‘amal” (paling berilmu dan beramal di masanya).[14] Tetapi
sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama, baik ulama nasab
maupun ulama sejarah dan tabaqat (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab
Uqud al-Almas mengatakan bahwa Muhammad “Sahib Mirbat” adalah penyebar Madzhab
Syafi’I di Hadramaut, Difar dan Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah
murid-murid Muhammad “Sahib Mirbat.[15] Berita semacam itu pun tidak bisa
dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Berbeda dengan
ulama di Mirbat lainnya yang terkonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang
mendekatinya, seperti Muhammad bin ‘Ali al-Qol’iy (w.577 H.), dari tahun
wafatnya kita melihat bahwa ia hidup sezaman dengan Muhammad “Sahib Mirbat”.
Al-Janadi dalam Al-Suluk menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid
Imam al-Qol’iy.[16] Al-Janadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat,
tetapi ia tidak menyebut ada seorang ulama di Mirbat bernama Muhammad “Sahib
Mirbat”. Begitu pula Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat
Fuqaha al-Yaman ia menyebut nama Imam al-Qol’iy sebagai ulama di Mirbat,
tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad “Sahib Mirbat”.[17] Bahkan, gelar Sohib
Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin ‘Ali, tetapi ia adalah
gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang bernama Muhammad bin
Ahmad al-Ak’hal al-Manjawi. Ia yang disebut terakhir, adalah sosok historis
yang hidup satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin ‘Ali “Sahib Mirbat”
Ba’alwi. Al-Ak’hal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti
al-Manjawi. Muhammad al-Ak’hal Sohib Mirbat disebut al-Ak’hal karena memakai
celak dimatanya atau karena matanya ada tanda hitam sejak lahir. Ibnul Atsir,
pakar sejarah abad ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al-Tarikh menyebutkan bahwa
di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Ak’hal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan
menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari.[18] Sementara Muhamad
bin ‘Ali Ba’alwi, namanya tidak tercatat sebagai apapun, dengan gelar ataupun
tanpa gelar; dengan disebut ulama ataupun bukan. Jika ia benar-benar sosok
historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama pengarang kitab
sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah Mirbat?
Keberadaan makam Muhammad bin ‘Ali “Sohib Mirbat” hari ini pun patut kita
telusuri keasliannya. Benarkah makam itu ada di Mirbat sejak abad ke-6
Hijriah? Makam Muhammad “Sohib Mirbat” hari ini mempunyai batu nisan dengan
ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah.
Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H? Di Yaman abad ke enam belum
dikenal seni pahat batu. Hal tersebut difahami dari bahwa para raja yang
berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih dan
dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan
kaligrafi. Bagaimana “orang biasa” nisannya berpahat indah dengan harga yang
mahal, jika rajanya saja tidak?
Sejarah Muhammad bin ‘Ali (w.652 H.) yang kemudian diberi gelar “Al-Faqih
al-Muqoddam” oleh penulis-penulis Ba’alwi, kesejarahannya juga tidak
tereportase para ulama sezaman. Muhammad Diya’ Sahab dalam Hamisy Syams
al-Dahirat menyebutkan tentang Faqih Muqoddam: Ia adalah salah seorang yang
paling popular; ia seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan
amal; ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat
ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar “Al-Faqih al-Muqoddam”
(Rajanya ahli fikih) dan “Al-Ustad al-A’dzam” (guru besar). Tidak ada ulama
sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang “Al-Muhaddits” (ahli
hadits), “Al-Mudarris” (dosen), mursyid tarekat, dan juga seorang “mufti”
(ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain.[19] Lalu, apakah
ulama-ulama pada zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok kesejarahan yang
luar biasa seperti disebutkan itu? Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama
sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama sezaman sebagaimana fenomena
kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan keluarbiasaan.
Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis di masa itu.
Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja, namanya di masa
itu tidak terkonfirmasi. Kitab Al-Suluk (732 H.) dan kitab Tabaqat Fuqaha
al-Yaman (586 H.) pun tidak menulis namanya. Namanya muncul, berbarengan
dengan kemunculan nasab Ba’alwi dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqat.
Interpolasi dan Moral Ilmiyah Ba’alwi
Kajian literasi nasab Ba’alwi yang penulis lakukan mengarah
kepada kesimpulan adanya pola dan algoritma dari sebuah kontruksi sejarah yang
sengaja diciptakan bukan berdasar fakta sejarah sesungguhnya. Historiografi
dari sebuah hipotesa dari sebuah komunitas tertentu yang memiliki irisan
dengan kepentingan tertentu, patut dicurigai validitasnya. Yusuf jamalulail
men-tahqiq kitab Abna’ al-Imam fi Mishra wa Syam al-Hasan wa al-Husain. Kitab
tersebut karya Ibnu Tabataba. Mengenai hari wafatnya pengarang ini, pen-tahqiq
atau penerbit memuat dua angka tahun wafat pengarang. Dalam halaman ketujuh
disebut wafat tahun 199 H. dalam halaman lain disebut 478 H. Dan dalam cover
ditulis tahun 478 Hijriah. Kitab ini bisa disebut palsu karena kitab ini
tertulis dengan judul Abna’ al-Imam, namun isinya bukan semata kitab tersebut,
namun telah diinterpolasi (tambah) kalimat para penyalin dan pen-tahqiq. Kitab
ini isinya telah diinterpolasi oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w.
1180 H.), Abul Aun As-Sifarini (1188 H.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w.
1350 H.) dan Yusuf jamalullail (1938 M). Tambahan itu tidak diberikan pembeda,
jadi seakan seluruh isi kitab itu karya pengarang yang asli yaitu Ibnu
Thabathaba. Dalam kitab itu, nama Ubaidillah/Abdullah disebut anak Ahmad.
Namun kalimat itu jelas bukan dari kalimat pengarang kitab.
Kitab
Tarikh Hadramaut, atau disebut juga kitab Tarikh Sanbal, karena, katanya, ia
karya Syekh Syanbal Ba’alwi (w. 920 H), didalamnya, diantaranya, menerangkan
tentang bahwa Al-Fakih al-Muqoddam adalah seorang “Al-’Alim al-Robbani” (ulama
yang menguasai seluruh ilmu), “‘umdat al-muhaqiqin” (tumpuan para ahli
tahqiq), dan salah seorang “Wali Kutub”. Kitab ini dicetak oleh Maktabah San’a
al-Atsariyah tahun 1994 M/1414 H, di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi.
kitab ini dicurigai menjiplak dari kitab Tarikh Ibnu Hisan, terlebih Syekh
Sanbal adalah orang yang tidak dikenal para ulama, sepertinya naskah tersebut
baru saja disalin dan penulisnya tidak hidup pada abad kesepuluh Hijriah,
sebagaimana disebutkan oleh pen-tahqiq, Abdullah Al -Habsyi.
Kitab
Al-Baha fi Tarikh Hadramaut, karya Abdurahman bin ‘Ali bin Hisan (w. 818 H),
di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi, diterbitkan oleh Darul Fatah tahun
2019. Kitab ini merupakan kronik sejarah Hadramut dari tahun 424 -926 Hijrah,
menurut pengakuan pen-tahqiq-nya, dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap.
Ada beberapa tahun yang hilang, lalu pen-tahqiq melengkapinya dari kitab
Tarikh Sanbal yang terindikasi palsu di atas.. Kendati ada pengakuan bahwa
kitab yang di-tahqiq-nya itu ada tambahan, tetapi Al-Habsyi tidak memberi
pembeda mana redaksi asli dari manuskrip kitab Al-Baha, dan mana redaksi yang
merupakan tambahan dari pentahqiq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Fakih
Muqoddam wafat tahun 652 H.,[20] seakan benar sosok Faqih Muqoddam itu telah
dicatat penulis sejarah, tetapi ketika dilihat dalam footnote-nya, Abdullah
Al-Habsyi menyatakan bahwa informasi tentang wafatnya Faqih Muqoddam itu tidak
disebut dalam manuskrip “hamzah” (أ) karena kertasnya rusak, seakan ia ingin
mengatakan bahwa yang berada dalam versi cetak itu berasal dari manuskrip “ba”
(ب), padahal manuskrip kitab Ibnu Hisan itu hanya ada satu dan itupun tidak
lengkap. Apabila ia pen-tahqiq yang jujur, maka seharusnya ia biarkan tempat
itu tanpa keterangan, tidak kemudian ia isi sendiri sesuai dengan kemauan dan
kepentingannya. Oleh karena itu, kitab ini tidak bisa menjadi rujukan
sebagaimana kitab Abna’ al-Imam.
Kitab Al-Imam al-Muhajir, ditulis
oleh Muhamad Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh. Kitab ini terdiri dari sekitar
244 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Dar al-Syarq tahun 1400 H/1980 M. kitab
ini merupakan biografi dari Ahmad bin ‘Isa yang oleh kalangan Ba’alwi kemudian
di berikan gelar “Al-Muhajir”. Kitab ini di awali dengan mengutarakan keadaan
Kota Basrah abad ke-4 Hijriyah yang gemilang dengan ilmu pengetahuan dan
peradaban. Latar belakang sejarah ini dipetik dari referensi sejarah yang
kredibel seperti kitab-kitab karya Ibnu Khalikan, Ibnul Atsir, Al-Mas’udi,
Ibnu Jarir, Al-Sayuti dan sebagainya. Tetapi, ketika menjelaskan tentang
biografi dari Ahmad bin ‘Isa sendiri, penulisnya tidak mencantumkan refernsi
dari mana ia mendapatkan berita itu. Seperti ketika ia menyebutkan bahwa Ahmad
bin ‘Isa mulai belajar dari kedua orangtuanya. Tentu semua anak akan belajar
dari kedua orangtuanya. Ini masih bisa difahami walau tanpa referensi.
Kemudian dilanjutkan, bahwa Ahmad bin ‘Isa gemar menuntut ilmu dari para
ulama, baik di Basrah maupun di kota-kota lainnya di Irak. Penjelasan ini
seharusnya sudah menyebutkan siapa ulama-ulama yang didatangi oleh Ahmad bin
‘Isa, dan dari mana penulis kitab ini mengetahui berita itu, namun paragraph
ini tanpa referensi, agaknya ia keluar dari imajinasi penulis tentang
banyaknya ulama di Irak waktu itu, dan asumsi bahwa kemungkinan besar itulah
yang dilakukan remaja seusia Ahmad bin ‘Isa ketika berada di lingkungan para
ulama. Referensi kemudian disebutkan pada paragraph yang lain, diambil dari
kitab Saurah al-Zanji, yaitu ketika menerangkan bahwa Basrah ketika itu
merupakan pusat pemikiran yang besar. Kota tempat bersinggungannya berbagai
macam ‘Aliran filsafat, keyakinan dan pemikiran.
Rupanya, penulis
kitab ini sangat bersusah payah mencari sosok Ahmad bin ‘Isa dalam kitab-kitab
sejarah atau kitab lainnya. Ketika menemukan nama Ahmad bin ‘Isa, lalu tanpa
diteliti lebih lanjut, langsung saja diambil. kesalahan fatal-pun terjadi,
ketika mengutip sosok Ahmad bin ‘Isa yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad,
disebutkan dalam kitab itu: Ibnu Jarir al-Tabari menerima surat dari Ahmad bin
‘Isa al-Alwi dari Kota Bashrah, lalu Ibnu Jarir membalasnya dengan kalimat
“wahai amirku”. Penulis kitab ini kemudian menyatakan: cukuplah untuk
mengetahui betapa agung kedudukan Ahmad bin ‘Isa, dari penyebutan Ibnu jarir
terhadapnya “wahai amirku”. Penulis tidak teliti, atau pura-pura tidak
mengerti, bahwa Ahmad bin ‘Isa al-Alwi yang dimaksud dalam kitab Tarikh Bagdad
itu, bukanlah Ahmad bin ‘Isa al-Naqib, tetapi sosok lain, yaitu Ahmad bin ‘Isa
bin Zaid. Lalu tentang hijrahnya Ahmad bin ‘Isa ke Hadramaut, penulis kitab
ini sama sekali tidak menyebutkan sumber, kecuali dari Majalah Al-Rabitah
tulisan ‘Ali bin Ahmad al-Athas. Kejadian tahun 317 Hijriah diceritakan oleh
orang yang hidup seribu tahun lebih setelah wafatnya, dengan tanpa sumber dari
mana ia mengetahui berita itu. Pola penulisan seperti itu, kita jumpai dalam
kitab tersebut pada halaman-halaman selanjutnya sampai akhir kitab.
Kitab Gurar al-Baha al-Dhau’I wa Durar al-Jamal al-Bahiy, yang
lebih dikenal dengan nama kitab Al-Gurar, karya Muhammad bin ‘Ali Khirid
Ba’alwi (w. 960 H), diterbitkan oleh Maktabah al-Azhariyah, tahun 2022, tanpa
pen-tahqiq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Ahmad bin ‘Isa hijrah dari Irak
ke Hadramaut tahun 317 H. penyebutan itu tidak bersumber referensi apapun.
Cerita tentang orang di masa lalu tanpa adanya sumber disebut dengan
“dongeng”. Disebutkan pula, bahwa Ahmad bin ‘Isa mengungguli teman-temanya
dalam kebaikan, untuk kisah ini dan sebab hijrahnya Ahmad bin ‘Isa, Al-Gurar
mengutip dari kitab Al-Jauhar al-Syafaf, kitab karya al-Khatib yang telah
penulis sebut dalam berbagai tulisan sebagai kitab yang tidak laik dijadikan
rujukan karena penulisnya tidak jelas. Dilihat dari segi isi pun, kitab itu
penuh dengan cerita-cerita dusta. Dapat dikatakan, kitab Al-Gurar ini,
mengenai nasab dan sejarah Ba’alwi, bersumber pokok kepada satu kitab abad
Sembilan, yaitu: Al-Burqat al-Musyiqat karya al-Sakran (895 H), ditambah kitab
Al-Jauhar al-Syafaf (855 H) yang problematis itu.
Kitab Uqud
al-Almas, karya Alwi bin Tahir bin Abdullah al-Haddad, diterbitkan oleh
Matba’ah al-Madani tahun 1388 H/1968 M. kitab ini merupakan biografi dari
Ahmad bin Hasan al-Athas. Ketika menjelaskan tentang nasab Ba’alwi, kitab
inipun mentok kepada kitab Al-Jauhar al-Syafaf . Tidak bisa mencari yang lebih
tua agar ketersambungan itu masuk akal. Dalam kitab inipula, disebutkan bahwa
nasab Ba’alwi telah di itsbat oleh Raja Yaman pada tahun 1351 H, sekitar 90
tahun yang lalu. Peng-itsbat-an itu, menurut kitab ini, setelah timbulnya
celaan dari orang-orang khawarij akan nasab mereka. Dari sini diketahui,
setidaknya telah beberapa kejadian keraguan dan gugatan kaum muslimin terhadap
nasab Ba’alwi yang dapat dibaca dari kitab-kitab Ba’alwi sendiri. Bersamaan
dengan itu, Ba’alwi selalu dapat melewatinya dengan meminta secarik kertas
itsbat dari orang atau lembaga yang mau membantunya. Zaman dahulu itu, untuk
keraguan nasab akan berakhir dengan itsbat demikian, karena ilmu genetika
belum mapan. Hari ini, setiap persengketaan nasab akan dapat dikonfirmasi
dengan melakukan tes DNA yang akan dapat menelusuri sambungan darah seseorang
sampai ribuan tahun ke atas. Maka ketika hari ini Ba’alwi telah terbukti putus
nasabnya kepada Nabi Muhammad SAW secara kajian Ilmu Nasab, sejarah dan DNA
berdesar sampel anggota Ba’alwi yang telah melakukan tes DNA, jika mereka
bergeming bahwa nasab mereka tersambung, untuk membuktikannya tidak ada jalan
lain kecuali tes DNA satu persatu. Siapa tahu ada di antara mereka yang
terkonfirmasi secara DNA.
Kesimpulan
Nasab Ba’alwi tidak laik lagi untuk diperdebatkan secara Studi
Sejarah dan Ilmu Nasab karena hasil tes DNA mereka terbukti behaplogroup G,
tidak tersambung kepada Nabi Muhammad SAW secara garis ayah. Sedangkan para
ahli DNA telah memitigasi haplogroup Nabi Muhammad SAW adalah Haplogroup J1.
Secara Ilmu Nasab, nasab mereka batal dan mardud (tertolak) karena tidak
terkonfirmasi oleh kitab-kitab nasab yang banyak ditulis dari abad ke-4-9
Hijriyah; Ubaid tidak terkonfirmasi sebagai anak Ahmad bin Isa. Kitab-kitab
sejarah yang ada di masa Ubaid sampai Faqih Muqoddam tidak mencatat ketokohan
mereka sama sekali, bahkan, dari Faqih Muqoddam sampai Ubaid terindikasi
sebagai sosok-sosok yang fiktif dan ahistoris. Tulisan ini sebagain besar
disarikan dari buku penulis “Membongkar Skandal Ilmiyah Genealogi dan Sejarah
Ba’alwi”
FOOTNOTE
[1] Lihat Ali bin Abu Bakar al Sakran, Al Burqat al Musyiqah
(Nafaqah Sayyid Ali bin Abdurrahman bin Sahal Jamalullail, Mesir, 1347 H.) h.
122-123
[2] Ali al Sakran…h. 131
[3]
https://genoslaboratory.com/kekerabatan-garis-ayah/
[4] Khalil bin
Ibrahim , Muqaddimat fi ‘Ilmi al Ansab, , hal. 189-191 (diringkas)
[5] Muqaddimat…hal. 181-185 (diringkas)
[6]
Muqaddimat…h.179
[7] Ali al Sakran… hal.148-149, Tahun wafat yang
penulis sebutkan tersebut penulis ambil dari sebuah artikel yang berjudul
“Inilah Silsilah Habib Rizieq Shihab. Keturunan Ke-38 Nabi Muhammad?”
(https://artikel.rumah123.com/inilah-silsilah-habib-rizieq-shihab-keturunan-ke-38-nabi-muhammad-124800).
Angka tahun versi Ba’lawi penting ditampilkan untuk mengukur konsistensi dan
keakuratan data mereka untuk dikomparasi data dari sumber lainnya.
[9] Al-Janadi…Juz 2 h. 135.
[10]Al-janadi, juz 1 hal.
212
[11] Abu Muhammad al-Tayyib Abdullah bin Ahmad Ba Makhramah,
Qaladat al-Nahr Fi Wafayyat A’yan al-Dahr (Dar al-Minhaj, Jeddah, 1428 H.) juz
2 h. 618.
[12] Abu Muhammad… Ba Makhramah… juz 2 h.618.
[13]lihat ‘Ali al-Sakran…h.136 dan Al-Masyra’ al-Rawi juz 1 h.75
[14] Muhammad bin ‘Ali Khirid… h. 131
[15] Alwi bin
tahir, Uqud al-Almas (Matba’ah al-Madani, Syari’ al-‘Abasiyah, 1388 H.) juz 2
h.104
[16] Al-janadi…juz 2 h. 170
[17] Umar bin ‘Ali
bin Samrah al-Ja’diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman (Dar al-Qalam, Beirut, T.t.) h.
220
[18] Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh (]Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, 1407 H.) juz 10 h. 203
[19] lihat Muhammad
Diya’ Sahab dalam Abdurrahman Al-Mashur, Shmsu al-Dahirat, (‘Alam al-Ma’rifat,
Jeddah, 1404 H.) h. 77.
[20] Ibnu H’Isan, Al-Baha’ fi Tarikh
Hadramaut (Dar al-Fatah, Oman, 1441 H.) h. 125