Membongkar Penyimpangan Imaduddin
Judul buku: Keabsahan Nasab Ba'alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya
Tema: Anti tesis / sanggahan atas buku Terputusnya Nasab Baalawi oleh KH Imaduddin Utsman Al-Bantani
Bidang studi: sejarah, ilmu nasab
Penulis : Tim
Pengawal Persatuan Ummat Rabithah Alawiyah, Muhamad Hanif Alatas Rumail Abbas
Ahmad Quddur Idrus Al Masyhur Maimun Nafis Muhaimin Bahirudin M.
Fuad A. Wafi. Muhammad Assegaf
Penyunting : Kukuh Achdiat
Subiantoro & Dedi Ahimsa
Penyelaras aksara : Nurjaman SQ
Penata
aksara : Mujia P
Perancang sampul: Kertas Lecek (Abdul Hakim)
Diterbitkan
oleh: Hilyah.Id
JI. Raya Raci, RT04, RW03, Bangil, Pasuruan, Jawa
Timur
Daftar isi
- BAB 2: MEMBONGKAR PENYIMPANGAN IMADUDDIN
- Pertama - Mengkaji Nasab dengan Mengabaikan dan Menabrak Tatanan Ilmu Nasab
- Membuang Keterangan para Ulama yang Tsiqah dengan Alasan Bukan Kitab Sezaman
- Dampak Fatal "Syarat Wajib Kitab Sezaman" dalam Menetapkan Nasab
- Banyak Silsilah Nasab Runtuh
- Silsilah Nabi Muhammad hingga Adnan
- Keturunan al-Bukhari al-Musawi yang Bernama Ahmad bin Abdullah
- Keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani yang Bernama Saleh
- Banyak Klan Sadah Ahli Bait Gugur secara Nasab
- Integritas Ulama Nasab Diragukan
- Ketika "Syarat Kitab Sezaman" Dimentahkan Penulisnya
- Alih-Alih Memberi Dalil "Syarat Kitab Sezaman"
- Malah Memberi Panduan Shalat Istikharah
- Mengabaikan Klasifikasi Nasab menurut Ulama Nasab
- Meremehkan Urgensi Kitab-Kitab di Luar Kitab Nasab
- Menolak Semua Catatan yang Bersumber dari Ba'alawi
- Tidak Mengerti Metode Tarjih dalam Ilmu Nasab
- Memelintir Konsep Syuhrah dan Istifiidhah
- Masih Menagih Sumber Sezaman meskipun Ada Syuhrah dan Istifadhah
- Syuhrah Nasab Ba'Alawi Dituduh Haditsah dan Tidak Sah, Sama dengan Syuhrah Thabariyah
- Menuduh Penetapan Nasab dengan Syuhrah dan Istifadhah Hanya Berlaku untuk Nasab Dekat
- Syuhrah Nasab Ba'Alawi Terbantah (Tsabata Ma Yukhalifuhu)?
- Mengubah Spirit Ilmu Nasab
- Menerapkan Ilmu Filologi secara Keliru dan Tidak Adil
- Kedua - Menentang, Mengabaikan, dan Merendahkan Pengakuan para Ulama Muktabar tentang Nasab Ba'alawi
- A Ulama yang Mengakui versus yang Menolak
- B Pengakuan para Ulama Dijawab dengan Asumsi
- C Hanya Imaduddin yang Benar, yang Lain Salah
- D Jika Nasab Ba'alawi Dibahtsul-masailkan oleh NU
- Ketiga - Kesesatan Logika
- A Tidak Disebutkan Berarti Tidak Ada
- B Hanya Menyebutkan Sebagian Berarti Menafikan
- Sebagian Lainnya (al-Syajarah al-M ubiirakah)
- CATATAN KHUSUS:
- Al-Syajarah al-Mubarakah yang Problematik
- Kejanggalan Penisbahan kepada Fakhru al-Din al-Razi
- Ketidakakuratan Klaim Hashr dengan Jumlah Ismiyah
- Bantahan Muhaqqiq al-Syajarah al-Mubarakah terhadap Imad
- C Gagal Paham terhadap Logika Dalil-M adlul
- D Mengaitkan Akhlak Oknum dengan Keabsahan Nasab
- E Menyebut Nasab Ba'alawi Mustahil Bersambung kepada Rasulullah Saw
- F Dua Belas Pertanyaan Imaduddin Kepada Rabithah Alawiyah
- Keempat - Fitnah Imaduddin kepada para Ulama
- A Fitnah Imaduddin kepada Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran
- B Fitnah Imaduddin kepada Ba'alawi secara Umum
- C Keculasan Imaduddin yang Dipertontonkan
- D Fitnah Imaduddin terhadap Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad
- E Fitnah Imaduddin kepada Sayid Murtadha al-Zabidi
- F Fitnah Imaduddin kepada Sayid Yusuf Jamalullail
- Kelima - Pengkhianatan Ilmiah
- A Standar Ganda Imaduddin
- Imaduddin Sulit Menerima Rujukan yang Mendukung
- Keabsahan Nasab Ba'alawi
- Hanya Menerapkan "Standar" Buatannya untuk Menilai Nasab Ba'alawi
- Imaduddin Kerap Menggunakan Teori dari Seorang Pakar tapi Mengabaikan Isbatnya terhadap Ba'alawi
- Imaduddin Menuntut Sumber Kitab Sezaman padahal Ia Sendiri Tidak Menggunakan Kitab Sezaman
- Imaduddin Kerap Menolak Validitas Kitab yang Mengisbat Nasab Ba'alawi, namun Menerima Begitu Saja Rujukan yang Dianggap Menolak Nasab Ba'alawi
- B Kebohongan Imaduddin dalam Pengutipan
- C Memelintir Dalil Al-Qur'an dan Sunnah
- Gelar Habib Adalah Konsep Yahudi
- Tidak Ada Hadis Sahih tentang Mencintai Keluarga Nabi Saw
- D Pengambilan Kesimpulan yang Serampangan
- Ba'alawi Mencangkok Nasab Bani Ulwi al-Qahthani
- Kakek Ba'alawi Adalah Sepupu Langsung Kakek al-Ahdal, Lalu Nasabnya Dicocokkan!
- Sumber Primer dan Kebenaran Sejarah
- Memanipulasi Data untuk Menguatkan Argumen
- Makam al-Muhajir & Makam Jamaluddin Kubra Versi Gusdur
- Keenam - Melakukan Kebohongan Publik
- A Catatan Nasab Ba'alawi Terputus Tahun
- B Mufti Yaman Membatalkan Nasab Ba'alawi
- C Ba'alawi Tidak Diakui oleh Naqabah Asyraf Internasional
- D Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba'alawi
- E Menyebut Tulisannya tentang Pembatalan Nasab Ba'alawi sebagai Tesis
- Ketujuh - Menjiplak Pemikiran Orientalis dan Tokoh Non-Aswaja
- A Menggunakan Teori Orientalis untuk Membatalkan Nasab Ba'alawi
- B Menyontek Sebagian Tokoh Wahabi
- Murad Syukri
- Audah al-Aqili
- Ulama Wahabi dalam Mata Rantai Pemikiran Imad
- Kedelapan - Tidak Memiliki Kompetensi dalam Ilmu Nasab
- A Apakah Imaduddin Seorang Nassabah?
- B Tidak Pernah Berguru kepada Nassabah
- C Kebodohan yang Mendunia
- D Kampanye Antitaklid
- E Melempar Temuan Prematur Tanpa Tashih para Ahli
- Kesembilan - Membatalkan Nasab Jauh dengan Tes DNA
- Analisis DNA dan Konfirmasi Nasab
- Perkembangan ilmu pengetahuan dan DNA
- DNA dan Teori Migrasi
- Perkembangan Ilmu Genetika Evolusi
- Kejanggalan dan Keragaman Nasab Jauh
- Analisis Pola Genetik Berbagai Kelompok di Komunitas Yahudi
- Keragaman Suku-Suku Arab dan Mitos Haplogroup lbrahimi
- Kerancuan DNA Kelompok Siidah/ Asyraf dan Bani Hasyim
- Sadah/ Asyraf di Haplogroup G
- Heterogenitas Sadah di Haplogroup J
- Etnisitas Ba'alawi Nusantara
- Pandangan Pakar tentang Tes DNA untuk Nasab Jauh
- Pandangan Ulama mengenai Uji DNA untuk Nasab
- Hasil Bahtsul Masai! NU tentang Uji DNA
- Kesimpulan
- Buku Terkait Nasab oleh KH. Imaduddin al-Bantani:
- Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
- Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
- Buku Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi
- Living Sunnah, Otoritas Keagamaan Dan Konstruksi Nasab Ba’Alwi
- Kembali ke buku: Keabsahan Nasab Ba'alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya
BAB 2 MEMBONGKAR PENYIMPANGAN IMADUDDIN
Berdasarkan uraian pada Bab I, nasab Ba‘alawi sebagai asyraf
dzurriyah Nabi Saw. sangat jelas sah tanpa keraguan sedikit pun menurut
perspektif ilmu nasab, ilmu syariat, dan ilmu sejarah. Lantas, mengapa
Imaduddin dengan percaya diri menyatakan nasab Ba‘alawi terputus? Setelah
mencermati dan menelaah secara saksama, dari berbagai buku, artikel, dan video
terkait masalah ini, kami berhasil mengidentifikasi akar masalah dan titik-
titik penyimpangan pemikiran Imaduddin dalam pembatalan nasab Ba‘alawi.
Baca juga:
Rumail Abbas dan Manuskrip Palsu
Secara garis besar, ada sembilan poin penyimpangan Imad.
1.
Mengkaji nasab dengan mengabaikan dan menabrak tatanan ilmu nasab.
2.
Menentang, mengabaikan, dan merendahkan pengakuan para ulama mukta- bar
terhadap keabsahan nasab Ba‘alawi.
3. Kesesatan
logika.
4. Memfitnah para ulama.
5.
Khianat ilmiah.
6. Melakukan kebohongan publik.
7.
Menjiplak pemikiran orientalis dan tokoh non-aswaja.
8.
Tidak punya kompetensi dalam ilmu nasab.
9. Membatalkan
nasab menggunakan hasil tes DNA.
Setiap poin-poin di atas memiliki
perincian. Semuanya akan kami uraikan dalam bab ini, insya Allah.
Pertama, Mengkaji Nasab dengan Mengabaikan dan Menabrak Tatanan Ilmu Nasab
Imaduddin secara
terang-terangan mengabaikan kaidah-kaidah
ilmu nasab yang telah lama dirumuskan para ulama nasab. Ilmu nasab, yang
mempelajari silsilah dan garis keturunan,
memiliki metodologi dan kaidah yang ketat dan telah diakui para
ahli sejak berabad-abad. Sebagaimana dijelaskan al-‘Allamah Hajji Khalifah
dalam Kasyf al-Dzunûn, tujuan dari disiplin ilmu nasab ini untuk menjaga
seseorang dari kekeliruan dalam menilai nasab orang lain.122
Penolakan Imaduddin terhadap kaidah-kaidah ini tidak hanya menunjukkan
kekurangpahaman yang mendalam tentang ilmu tersebut, tetapi juga mengabaikan
konsensus ilmiah yang telah dibangun oleh generasi ulama yang berdedikasi pada
validitas dan keakuratan silsilah keturunan. Meneliti nasab tanpa menggunakan
ilmu nasab ibarat orang yang bicara tentang bahasa Arab namun tidak peduli
dengan kaidah-kaidah nahwu saraf. Menggali nasab tanpa peduli ilmu nasab
ibarat orang yang menggali hukum dari teks-teks Aþ-QĹĨ’aą daą SĹąąah deągaą
Ąeągabaiûaą iþĄĹ ĹĬĹþ Šûih Ŕaąg ĄeĨĹĥaûaą metodologi penggalian hukum
dariAl-Qur’an, Sunnah, dan sumber hukum lainnya. Hasilnya apa? Ngawur!
Mengabaikan ilmu nasab tidak hanya
menyebabkan Imaduddin terjatuh dalam
penyimpangan-penyimpangan saat menilai sebuah
nasab, tapi ia juga yang menghormati dan mengandalkan
keilmuan nasab untuk memahami dan menghargai silsilah mereka. Berikut di
antara berbagai penyimpangan Imaduddin terhadap ilmu nasab.
A.
Membuang Keterangan para Ulama yang Tsiqah
dengan Alasan Bukan Kitab Sezaman
Sesuai dengan apa yang telah kami
jelaskan dalam Bab I Pasal 1, sebuah nasab ditetapkan dengan salah satu dari
beberapa jalan, seperti syuhrah, istifâdhah, atau pengakuan tertulis dari
nassabah yang kredibel.
Keterangan dari para ahli teori ilmu nasab
tentang hal tersebut telah kami kutip pada babnya. Namun, sebagai tambahan,
al-Nassabah Walid al-Husaini al- ‘Uraidhi dalam Ghâyah al-Ikhtishâr fî Ansâbi
al-Sâdah al-Athhar menganggap cara-cara tersebut termasuk cara yang disepakati
(ijmak) oleh para nassabun (ahli nasab) dalam menetapkan nasab. Berikut
redaksinya secara singkat.
Baca juga:
Betulkah al-Sakhawi mengitsbat Nasab Baalwi? Tanggapan Kyai Imaduddin
Dari apa yang telah diuraikan menjadi jelas, dalam
perspektif ilmu nasab, andai ada satu saja kitab ulama nasab yang tsiqah dan
kitab itu sudah populer, yang menyebutkan nasab sebuah kabilah sâdah, berarti
nasab kabilah sâdah tersebut sudah tsubut, apalagi jika disebutkan dan diakui
dalam puluhan kitab nasab, seperti nasab Sâdah Ba‘alawi. Terlebih, data-data
dalam kitab nasab tersebut divalidasi dan didukung dengan sangat banyak
pengakuan tentang status Sâdah Ba‘alawi dan keabsahan nasabnya dalam
kitab-kitab târîkh, tarâjim, tsabat, asânid mulai dari abad ke-5, 6, 7, 8, 9,
dan seterusnya. Semua data tersebut juga memiliki substansi yang sinkron dan
konsisten sesuai apa yang telah kami tuangkan dalam Bab I.
Dalam hal ini,
sebagaimana telah kami uraikan, nasab Ba‘alawi bukan hanya diriwayatkan dan
diakui ulama nasab tsiqah, tapi juga ulama-ulama besar yang menjadi rujukan
umat dari masa ke masa, seperti al-Syarji al-Zabidi (pengarang al-Tajrîd
al-Sharîh), al-Hafidz al-Sakhawi, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al- Imam Ibnu
‘Imaduddin al-Hanbali, al-Hafidz Murtadha al-Zabidi, al-Imam al- Syarqawi, dan
al-Imam Bakri Syatha. Tentu, pengakuan dari para ulama besar tersebut memiliki
bobot tersendiri. Contohnya al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami yang mengakui nasab
Bani Alawi sudah jauh melampaui standar orang tsiqah yang bisa diambil dan
diterima riwayatnya. Dalam hal ini, ada keterangan menarik dari al-Muhaddits
Muhammad Abdul Hay al-Laknawi.
Imaduddin menolak semua kitab
ini karena dia membuat-buat aturan berupa syarat tambahan, yaitu kitab nasab
tersebut harus sezaman. Persyaratan ini tidak punya dasar sama sekali karena
sampai saat ini Imaduddin tidak mampu menghadirkan referensi otoritatif yang
mensyaratkan kitab nasab harus sezaman atau yang paling mendekati. Di sisi
lain, Imaduddin dengan sengaja mengabaikan integritas para ulama yang
menyebutkan nasab Ba‘alawi, seolah-olah mereka semua hanya mengarang tanpa
data. Padahal, haram menetapkan sebuah nasab tanpa dasar data yang benar.
Apakah Imaduddin menganggap semua ulama itu tidak mengerti standar keabsahan
nasab dalam syariat sehingga secara serentak terkecoh lelucon dari kebohongan
Ba‘alawi?
Mengapa keterangan dari para ulama yang tsiqah menjadi salah
satu pijakan dalam penetapan nasab? Hal ini disebabkan pencatatan nasab bukan
sesuatu yang bersifat penalaran akal, melainkan verifikasi kebersambungan
nasab berdasarkan sumber data yang valid dan memenuhi standar ilmu nasab.
Artinya, manakala seorang nassabah yang kredibel dan tsiqah mencantumkan
sebuah nasab, periwayatan jalur nasab tersebut (‘amûdu al-nasab) menjadi
rujukan dalam mengisbat nasab. Hal ini karena nassabah yang tsiqah dan
kredibel dituntut tidak memvalidasi sebuah nasab kecuali berbasis data dan
telah memenuhi standar ilmu nasab. Jadi, jika dicantumkan seorang nassabah
saja menjadi bernilai, bagaimana kalau secara sinkron disepakati dan
divalidasi banyak nassabah dan dikuatkan dengan syuhrah dan istifâdhah serta
data sejarah dan sumber-sumber kredibel lainnya? Inilah pola yang dibangun
dalam ilmu nasab dari masa ke masa. Al-Nassabah Ibrahim bin Manshur, ahli
teori ilmu nasab yang karya-karyanya kerap dikutip Imaduddin, menjelaskan:
Baca juga:
Nasab Ba’Alawi dalam Pandangan Ibnu Hajar al-Haitami
“Oleh karena itu, banyak dari Bani Hasyim dan yang
lain—dari zaman dahulu hingga saat ini—menghubungkan silsilahnya dengan
asal-usulnya pada abad kelima atau kesepuluh dengan riwayat (‘amûdu al-nasab)
yang disepakati dari satu keluarga, atau dengan dokumen. Inilah cara yang
dilakukan para ulama besar Islam yang ahli dalam nasab, sebagaimana yang akan
dijelaskan. Para ulama tidak menerima riwayat ‘amûdu al-nasab atau dokumennya
jika itu milik seseorang yang dicap secara eksplisit oleh para ulama bahwa ia
tidak punya anak, keturunannya punah, hanya punya anak perempuan, atau ada
redaksi yang menunjukkan bahwa dia tidak mempunyai keturunan. Selanjutnya,
periwayatan nasab, apalagi dokumen silsilah, bukan sesuatu yang baru
diciptakan yang tidak mempunyai dasar dalam ilmu nasab melainkan catatan yang
dibangun di atas periwayatan. Seperti yang tertera dalam kitab Silsilah
Quraisy karya Mu’raj bin Amr bin al-Harith al-Sadusi (w. 195 H), Jamhara
al-Nasab karya Ibnul Kalabi Hisyam bin Muhamad bin Sa’ib (w. 204 H), dan
kitab-kitab lain yang semuanya ditulis berdasarkan periwayatan nasab.”
Baca juga: Respons KH Imaduddin Utsman pada Gus Najih Maimun
Dalam UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa MaĨŎiŔ aþ-NaĬab,126
al-Nassabah Ibrahim bin Manshur—yang sering dikutip teori-teorinya oleh
Imad—memberikan contoh bagaimana para ulama menerima banyak nasab masyhur yang
diriwayatkan para ulama tsiqah meskipun ketika dirunut ke
atas ada nama-nama yang tidak ditemukan jejaknya sama sekali dalam kitab-
kitab tarâjim atau sejarah. Sebab, ketika para ulama menemukan indikasi dusta
dalam riwayat nasab menurut standar keilmuan, mereka sendiri yang akan
mengkritisi nasab tersebut. Berikut ini beberapa contohnya.
1.
Ulama sepakat mengakui Imam Ahmad bin Hanbal sebagai Syaibani ‘Adnani karena
ada periwayatan ‘amûd (silsilah) nasab beliau kepada Syaiban lalu ‘Adan, dan
intisâb Imam Ahmad bin Hanbal kepada kabilah tersebut sudah populer (syuhrah).
Padahal, jika dirunut ke atas dari garis silsilahnya, ada dua
kakeknya
yang bernama ‘Auf dan Qasith. Dua nama ini tidak pernah ditemukan dalam
kitab-kitab nasab, sejarah, atau tarâjim. Berikut keterangannya:
2.
Al-Khathib al-Baghdad mengakui nasab Ali bin Muhammad bin Ahmad sebagai
al-Qurasyi (nisbat kepada Quraisy) karena ada periwayatan ‘amûd (silsilah)
nasab beliau kepada Quraisy dan intisâb Ali bin Ahmad kepada kabilah tersebut
sudah populer (syuhrah). Padahal, jika dirunut ke atas dari garis silsilahnya,
ada dua kakeknya yang bernama Abdullah dan Muhammad bin Manshur. Dua nama ini
tidak pernah ditemukan, baik dalam kitab-kitab nasab, sejarah, atau tarâjim.
Padahal, ketika ada pengakuan nasab lain yang bermasalah, seperti nasab
Thalhah bin Muhammad al-Bashri, al-Khathib al-Baghdadi langsung mengkritiknya.
Berikut keterangannya:
3. Al-Hafidz al-Dzahabi,
bersama para ulama lain seperti al-Subki, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Ibnu
Katsir, dan al-Suyuthi, mengakui al-Imam Ibnu Sayyidinnas al-Ya’muri
al-‘Adnani karena ada periwayatan ‘amûd (silsilah) nasab beliau kepada Ya’mur
bin Malik dan ‘Adnan, serta intisâb Ibnu Sayyidinnas kepada kabilah tersebut
sudah populer (syuhrah). Jika dirunut ke atas dari garis silsilahnya, ada tiga
kakeknya yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Abdul ‘Aziz, Mundzi, dan Abdul
Jabbar. Ketiga nama ini tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab nasab,
sejarah, atau tarâjim. Padahal, ketika pengakuan ada nasab lain yang
bermasalah, seperti nasab Ibnu Dihyah al-‘Andalusi yang mengaku sebagai
keturunan sahabat Dihyah al-Kalabi, al- Hafi al-Dzahabi langsung
mengkritiknya. Berikut keterangannya:
4.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengakui nasab al-Imam Ibnu Khalil se- bagai
keturunan Sayiduna Utsman Ibnu Affan r.a. karena ada periwayatan ‘amûd
(silsilah) nasab beliau kepada Sayidina Utsman dan intisâb al-Imam Ibnu Khalil
kepada kabilah tersebut sudah populer (syuhrah). Jika dirunut ke atas dari
garis silsilahnya, ada dua kakeknya yang bernama Sa’ad dan Thalhah. Dua nama
ini tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab nasab, sejarah, atau tarâjim.
Padahal, ketika ada pengakuan nasab lain yang ber- masalah, seperti nasab Abu
Bakar bin Umar al-Qumni, al-Hafidz Ibnu Hajar langsung mengkritiknya.
Kemudian,
Syaikh Ibrahim bin Manshur menegaskan bahwa kaidah se- perti
ini—periwayatan ‘amûdu al-nasab dan penerimaan ulama terhadapnya meskipun
nasab-nasab ke atas sudah terpaut jauh zamannya, sebagaimana telah
dijelaskan—berlaku di kalangan ulama Islam. Tentu para ulama hanya
akan mengesahkan periwayatan nasab tersebut selama nasab itu syuhrah,
istifâdhah, dan tidak ada ulama nasab yang menafikannya. Syaikh Ibrahim bin
Manshur mengatakan:
Dalam konteks nasab Ba‘alawi, diriwayatkannya
‘amûd (silsilah) nasab Ba‘alawi oleh para nassabah serta pengutipan dan
pengakuan dari para ulama terhadap keabsahan nasab tersebut tanpa ada satu pun
dari mereka yang mengingkarinya, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I,
menunjukkan bahwa nasab Ba‘alawi sudah memenuhi standar di mata ulama. Ini
semua tanpa ada keraguan sedikit pun dari mereka.
Dari hadis Rasulullah
Saw. dan istinbat para fukaha ditetapkan suatu metode universal yang teruji
dan masuk akal dalam menetapkan nasab seseorang atau suatu kaum, yaitu dengan
syuhrah, istifâdhah, atau tasamu’. Metode penetapan nasab yang dilakukan ulama
ahli nasab berdasarkan metode sunnah yang dilakukan Rasulullah Saw. dan para
ulama mazhab. Tidak ada metode khusus yang dilakukan ahli nasab yang berlainan
dengan ahli fikih. Hal ini karena metode penetapan ahli nasab dan ahli fikih
berasal dari sumber yang sama, yaitu Rasulullah Saw.
Bagaimana
dengan metode “harus konfirmasi kitab sezaman” untuk nasab-nasab lama? Tidak
ada satu pun teori, kitab ilmu nasab atau ahli nasab yang menyatakan adanya
metode “keharusan konfirmasi kitab sezaman”. Jika metode ini telah berlaku
umum digunakan para ahli nasab, dapat dengan mudah ditemukan teori, sumber
rujukan yang mendukung, ulama ahli fikih dan ahli nasab yang menggunakan, awal
dilakukan metode tersebut, kepada siapa metode tersebut diterapkan, atau
apakah metode tersebut dilandasi dalil-dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, atau
pendapat ulama mazhab. Selanjutnya, Imaduddin dituntut untuk melakukan
pembuktian terbalik dengan memberikan kitab- kitab nasab sezaman yang
menolak Ubaidillah sebagai anak dari Ahmad
bin Isa al-Muhajir. Dipastikan, dia tidak akan bisa menunjukkan kitab
tersebut, seperti ketidakmampuannya menunjukkan dasar teori “keharusan
konfirmasi kitab sezaman”. Jika tidak dapat memenuhi pertanyaan di atas, dapat
dinyatakan bahwa metode itu adalah bid‘ah (yang diada-adakan) demi tujuan
tertentu, seperti memaksakan kehendak untuk menolak keabsahan Imam Ubaidillah
sebagai anak Imam al-Muhajir yang sudah sangat jelas kesahihannya berdasarkan
metode yang dilakukan oleh para ulama nasab.
Dengan demikian, penolakan
Imaduddin terhadap nasab Ba‘alawi—yang menyebutkan bahwa Ubaidillah adalah
anak Ahmad bin Isa—dengan alasan “tidak ada kitab sezaman” adalah
mengada-ngada dan menabrak metodologi yang sudah digariskan para ulama Islam
dalam menilai sebuah nasab.
1. DaĄĥaû FaĴaþ
“SŔaĨaĴ Waøib KiĴab SeŜaĄaą” daþaĄ MeąeĴaĥûaą NaĬab
Dalam menetapkan
kesahihan nasab, ulama nasab menggunakan metode sunnah seperti yang digunakan
Nabi Muhammad Saw. pada peristiwa utusan Abdul Qais dari Bani Rabi’ah yang
datang menemui Nabi Saw. Nabi Saw. mengakui utusan Abdul Qais dari Suku
Rabi’ah karena kaum tersebut telah terkenal dan tersebar luas nasabnya. Nabi
Saw. tidak melihat langsung Rabi’ah yang lahir lima abad (500 tahun) lebih
dahulu dari Nabi Saw., tetapi Nabi Saw. mengakui atau menguatkan nasab mereka
dari Rabi’ah.
Baca juga:
Isbat Baalwi oleh Mahdi Rojai, Tanggapan Kyai Imaduddin
Peristiwa utusan Abdul Qais dari Bani Rabi’ah dijadikan dasar
penetapan kesahihan nasab (syuhrah wa al-istifâdhah) walaupun tidak terdapat
kitab nasab pada zamannya. Jadi, apabila kaum tersebut telah terkenal dan
tersiar luas, nasabnya dapat diterima. Dalam kitab UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ
MĹdda’i al-Syaraf wa Marwiy al-Nasab, Sayid Ibrahim bin Manshur menyatakan:
“Syuhrah
dan istifâdhah berpengaruh untuk diterima atau ditolaknya tokoh- tokoh nasab
jika di dalamnya ada nama yang tidak disebut dalam kitab-kitab nasab atau
biografi atau sejarah.’’127
Sebaliknya, bila dalam penggunaan metode
bid‘ah yang harus ûČąŠĨĄaĬi kitab sezaman atau yang paling dekat dan diakui
sebagai satu-satunya metode penetapan nasab, sebagaimana yang
digembar-gemborkan Imad, hal itu akan mengakibatkan runtuhnya banyak silsilah
nasab yang selama ini sudah diakui, bahkan sebagiannya disepakati keabsahannya
oleh para nassabah dan ulama Islam. Pemaksaan metode ini juga otomatis
meruntuhkan kualitas moral, spiritual, dan keagamaan (‘adalah) dari ulama
nasab. Dengan demikian, pengguna metode selain ûČąŠĨĄaĬi ûiĴab ĬeŜaĄaą aĴaĹ
Ŕaąg ĥaþiąg deûaĴ dapat dituduh sebagai pelaku tadlis (menyembunyikan
kebenaran), bahkan bohong dalam penyambungan nasab, terlebih bohong atas nama
Rasulullah Saw.
a. Banyak Silsilah Nasab
Runtuh
Dampak pertama yang akan dihadapi bila penetapan kesahihan nasab
menggunakan metode bid‘ah “konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat”
adalah keruntuhan banyak silsilah nasab ahli bait yang diakui para ulama
nasab, seperti berikut ini.
1). Silsilah Nabi
Muhammad hingga Adnan
Nabi Muhammad Saw. bin Abdullah bin Abdul Muthalib
bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay
bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhir bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Jika kesahihan
nasab Nabi Muhammad Saw. harus ditetapkan dengan kitab sezaman, runtuhlah
silsilah Nabi Muhammad Saw. hingga Adnan. Adakah kitab nasab sezaman di setiap
generasi yang menetapkan bahwa Ma’ad anak dari Adnan, Nizar anak dari Ma’ad,
Mudhar anak dari Nizar, Ilyas anak dari Mudhar, Mudrikah anak dari Ilyas,
Khuzaimah anak dari Mudrikah, Kinanah anak dari Khuzaimah, dan seterusnya.
Nama-nama tersebut baru tertulis pada kitab-kitab hadis dan sejarah yang mulai
dikodifikasi pada abad ketiga Hijriah.
2).
Keturunan al-Bukhari al-Musawi yang Bernama Ahmad bin Abdullah
Berdasarkan
hasil diskusi, beberapa keturunan Sunan Gunung Jati di Benda Kerep, Cirebon,
mengatakan bahwa Walisongo adalah keturunan al-Bukhari al-Musawi dari jalur
Ja‘far bin Ali al-Hadi bin Muhammad al- Jawwad bin Ali al-Ridha bin Musa
al-Kazhim. Bagaimana kesahihan jalur Walisongo dari al-Bukhari al-Musawi
dengan menggunakan metode bid‘ah konfirmasi kitab sezaman atau yang paling
dekat?
Leluhur Walisongo, berdasarkan klaim forum di Benda Kerep itu
bernama Jamaluddin Husain al-Akbar bin Mahmud Nasirudin bin Husin Jalaluddin
Makhdum bin Ahmad Kabir bin Husin Jalaluddin al-Bukhari bin Ali bin Ja‘far bin
Muhammad bin Mahmud bin Ahmad bin Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Imam Ali
al-Hadi bin Imam Muhammad al-Jawwad bin Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa
al-Kazhim.
Abdullah bin Ali bin Ja‘far128 bin Ali al-Hadi bin Muhammad
al-Jawwad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim memiliki anak yang bernama
Ahmad (w.
388 H), sezaman dengan Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir yang wafat tahun
383 Hijriah. Pada kitab al-Tahdzîb halaman 149 tertulis hanya nama Muhammad
sebagai anak dari Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al- Hadi. Pada kitab
al-Majdî halaman 331 tertulis hanya nama Muhammad sebagai anak dari Abdullah
bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi.
Kitab al-Syajarah al-Mubârakah karya
Imam al-Razi (w. 606 H) halaman
94 menyatakan bahwa Abdullah bin Ali bin
Ja‘far (digelari al-Kadzdzâb atau al-Tawwâb) bin Ali al-Hadi tidak mempunyai
anak bernama Ahmad. Kutipan dari kitab itu sebagai berikut:
“Sementara
itu, anak-anak Abdullah adalah tokoh dan terkenal di Baghdad. Anaknya bernama
Muhammad al-Asyqar al-Naqib di Masyhad Maqabir al-Nazhur, dan semua anak
keturunan (Abdullah) darinya (Muhammad).”
Dari kutipan di atas,
Imam al-Razi tegas menyebutkan bahwa Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali
al-Hadi hanya mempunyai anak Muhammad. Al-Razi menyebutkan jumlah anak
Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi dengan menggunakan jumlah ismiyah
yang menunjukkan ta‘kid (kuat). Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi
tidak punya anak bernama Ahmad dan tidak punya cucu bernama Mahmud.
Dari
sini, kesempatan masuk nama lain sudah tertutup—menurut metode Imad—kecuali
ada kitab sezaman yang menuliskan nama Ahmad. Jarak waktu antara al-Razi yang
wafat tahun 606 Hijriah sampai wafat Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali
al-Hadi selama 218 tahun tidak ada riwayat, tidak ada kisah, tidak ada kabar
bahwa Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al- Hadi memiliki anak yang bernama
Ahmad dan cucu yang bernama Mahmud. dan atau Ja‘far
al-Zaki.
Siapa mereka berdua, yang kemudian
diberitakan oleh anak keturunannya sebagai cucu Nabi Muhammad Saw.?
Pada
halaman 159 kitab al-Ashîlî, Ibnu al-Thaqthaqi (w. 709 H) tidak menuliskan
nama Ahmad bin Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Imam Ali al- Hadi. Muhammad
Kazhim bin Abil Futuh al-Yamani al-Musawi (w. 880 H) dalam al-Nafhah
al-Anbariyah halaman 74 tidak menuliskan nama Ahmad bin Abdullah bin Ali bin
Ja‘far bin Imam Ali al-Hadi. Pada kitab Bahr al- Ansâb halaman 25 karangan
al-Najafi (wafat abad ke-10 H) terdapat catatan yang menuliskan nama Ahmad
sebagai anak dari Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi.
Bila
dihitung dari tahun wafat Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi pada
abad ke-4 Hijriah sampai dengan tertulisnya nama Ahmad pada kitab Bahr
al-Ansâb pada abad ke-10, terdapat riwayat yang terputus selama enam abad atau
600 tahun. Di samping itu, tidak ada satu pun kitab sejarah yang menuliskan
silsilah atau biografi Ahmad ini. Berdasarkan hal ini, calon leluhur Walisongo
dari jalur al-Bukhari al-Musawi dapat dikatakan bukan keturunan Nabi Muhammad
Saw.
Calon leluhur Walisongo—versi Imaduddin dkk.—yang bernama Ahmad (w.
388 H) tidak tercatat dalam kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya sebagai
anak Sayid Abdullah bin Ali bin Ja‘far al-Kadzdzab. Kesimpulannya, kitab-kitab
nasab dan sejarah telah banyak ditulis pada abad ke-4 hingga ke-9 Hijriah,
namun tidak ada satu pun yang menuliskan bahwa Abdullah bin Ali bin Ja‘far
al-Kadzdzab mempunyai anak bernama Ahmad. Tidak ada satu pun kitab yang
ditulis mulai abad ke-4 hingga ke-9 Hijriah yang menuliskan anak dari Ahmad
bin Abdullah bin Ali bin Ja‘far al-Kadzdzab yang bernama Mahmud hijrah ke
Bukhara.
Selain itu, tidak ada satu kitab pun dari abad ke-4 hingga ke-9
Hijriah yang menuliskan nama-nama keluarga al-Bukhari al-Musawi sebagai
keturunan Rasulullah Saw., yang di antaranya Ahmad, Mahmud, Muhammad, Ja‘far,
Ali, Husin Jalaluddin, Ahmad Kabir, dan Husin Jalaluddin. Nama-nama tersebut
tidak dituliskan dalam kitab nasab sezaman yang ditulis pada zamannya
masing-masing sebagai keturunan Rasulullah Saw. Kitab referensi pertama yang
menuliskan nama-nama mereka sebagai keturunan Rasulullah Saw. adalah kitab
Bahr al-Ansâb yang disusun pada abad ke-10 Hijriah. Jika kesahihan nasab Sunan
Gunung Jati harus ditetapkan dengan kitab sezaman, runtuhlah silsilah
Walisongo (Sunan Gunung Jati).
3). Keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani yang Bernama
Saleh
Kasus keruntuhan nasab keluarga Nabi Saw. lainnya adalah silsilah
keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani dari anaknya yang bernama Saleh,
seperti Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati. Contoh silsilah tersebut adalah
Sunan Giri bin Ya‘kub bin Ibrahim bin Junaid bin Abdu al-Qadir bin Syuaib bin
Abdul Jabbar bin Abdu al-Razak bin Abdu al-Aziz bin Saleh bin Syaikh Abdu
al-Qadir al-Jilani. Tidak ada kitab-kitab nasab menyatakan bahwa Syaikh Abdu
al-Qadir al-Jilani memiliki anak yang bernama Saleh.
Kitab al-Mustafâd
karangan Ibnu Najjar (w. 643 H) menuliskan jumlah anak laki dan anak perempuan
Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani sebagai berikut:
“Saya mendengar Abdu al-Razak bin Abdu al-Qadir berkata, ‘Dilahirkan untuk
ayahku empat puluh sembilan anak, dua puluh tujuh anak laki-laki dan sisanya
perempuan’.”129
Dalam Târîkh Islâm dan Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’
karangan al-Zahabi (w. 748 H) serta FaŎâĴ aþ-WaŠŔâĴ karangan al-Kutbi (764 H)
tertulis jumlah anak laki
dan anak perempuan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani sama dengan yang disebutkan
al-Najjar sebagai berikut.
Berkata Ibnu Najjar, “Saya
mendengar Abdu al-Razak bin Abdu al-Qadir berkata, ‘Dilahirkan untuk ayahku
empat puluh sembilan anak, dua puluh tujuh anak laki-laki dan sisanya
perempuan.’” 130
Dalam kitab nasab al-Anwâr fî Nasab Âl Nabî
al-Mukhtâr yang dikarang Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Abdullah al-Jazi al-Kalbi al-Gharnathi (w. 758 H) tertulis pada
halaman 57 nama anak-anak Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani yang berjumlah
sepuluh orang, yaitu:
“Keturunannya dari sepuluh orang, yaitu Abdul Wahab,
Isa, Ibrahim, Abdu al-Aziz, Abdu al-Razak, Yahya, Abdullah, Abdu al-Jabbar,
Muhammad, dan Musa.”
Dalam Nuzhah al-Khâtir al-Fâthir fî Tarjamah
Syaikh Abdu al-Qadir Qaddasa Sirrahu al-Bâthin wa al-Zhâhir karangan
al-‘Allamah al-Kabir Mula Ali al-Qari (w. 1014 H), halaman 176, tertulis:
“Dan dari yang telah disepakati anak-anak
dari Syaikh (Abdu al-Qadir al- Jilani) ialah Abdul Wahab, Abdu al-Aziz, Abdu
al-Jabbar, dan Abdu al-Razak.”
Dalam ‘Umdah al-Thâlib al-Sughra
yang ditahkik Sayid Mahdi Raja’i ditulis bahwa anak-anak Syaikh Abdu al-Qadir
al-Jilani yang memberikan keturunan hanya dua orang, yaitu Abdu al-Razak dan
Abdu al-Aziz.
“Keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani dari dua anak
laki-laki, yaitu Abdu al-Razak dan Abdu al-Aziz.”131
Jika
menggunakan metode konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat, diperoleh
data bahwa Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani tidak memiliki anak yang bernama
Saleh. Hal ini membuktikan bahwa nasab silsilah Walisongo dari jalur Saleh bin
Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani adalah mardûd (tertolak). Jadi, secara otomatis
keturunan Walisongo dari jalur tersebut yang disebut keturunan Nabi Saw.
adalah palsu. Silsilah nasab keturunan Walisongo dari jalur Saleh bin Abdu
al-Qadir al-Jilani dapat dinyatakan sahih bila terdapat kitab nasab sezaman di
setiap generasi yang menetapkan bahwa Sunan Giri anak dari Ya‘qub, Ya‘qub anak
dari Ibrahim, Ibrahim anak dari Junaid, Junaid anak dari Abdu al-Qadir, Abdu
al-Qadir anak dari Syuaib, Syuaib anak dari Abdul Jabbar, Abdul Jabbar anak
dari Abdu al-Razak, Abdu al-Razak anak Abdu al-Aziz, Abdu al-Aziz anak dari
Saleh bin Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani.
Walaupun terdapat pembelaan yang
berkaitan dengan adanya nama Saleh sebagai anak Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani
dengan menunjukkan beberapa kitab yang ditulis setelah tahun kitab di atas dan
penetapan nasab dari Naqabah Internasional, seperti dari Maroko, argumentasi
tersebut tertolak berdasarkan metode batil itu. Sebaliknya, untuk menguatkan
bahwa Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani memiliki anak bernama Saleh, nama
tersebut harus tertulis pada kitab yang dikarang pada abad ke-6 Hijriah.
Artinya, selama tidak ada kitab sezaman, Walisongo dari jalur Syaikh Abdu
al-Qadir al-Jilani terputus silsilah nasabnya dari abad ke-6 sampai
sekarang.
4). Banyak Klan Sâdah Ahli Bait Gugur
secara Nasab
Al-Sayid Sulaim bin Abdu al-Lathif al-Rifa’i, dalam Thabaqât
al-Asyraf at-Thalibîyyîn, menulis klan-klan sâdah ahli bait dan menyebutkan
sumber- sumber yang menyebutkan nasab klan-klan tersebut dan kesayidannya
serta mengurutkan sumber-sumber tersebut berdasarkan tahun wafat muallif-nya,
mulai dari sumber yang tertua sampai terbaru. Ternyata, dalam kitab tersebut
terungkap bahwa sangat banyak klan ahli bait yang nasabnya tidak disebutkan
dalam kitab sezaman atau yang mendekatinya. Al-Jaddu al-Jâmi‘ (kakek di
pangkal nasab yang menjadi titik pertemuan nasab mereka) tidak disebutkan
dalam kitab kecuali ratusan tahun setelah wafatnya. Tapi, itu tidak mengurangi
pengakuan para ulama nasab dan sejarah terhadap kebersambungan nasab mereka.
Jika memaksakan teori Imaduddin yang mewajibkan kitab sezaman, klan-klan besar
yang diakui dunia Islam dan dunia ilmu nasab ini akan rontok semua. Berikut
ini di antaranya.
1. Nasab Sâdah al-Dailami
al-Hasani nisbah kepada Sayid Abi al-Fath al- Nashir (w. 446 H) bin Husein bin
Muhammad bin Isa sampai kepada Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Nasab
ini baru termaktub dalam kitab nasab Ghuraru al-Durar fî Mukhtashari al-Siar
wa Ansâbi al- Basyar karya al-Nasyiri yang wafat 831 H.
2.
Nasab Sâdah al-Kattaani al-Idrisi, nisbah kepada Sayid Yahya al-Kattani bin
Imran bin Abdu al-Jalil bin Yahya bin Yahya bin Muhammad bin Idris al-Ashghar,
wafat tahun 400-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam kitab al-Ansâb
karya Abu Abdirrahman Zaid al-Jabbari yang wafat 738 H.
3.
Nasab Sâdah al-Qudaimi al-Musawi, nisbah kepada Sayid al-Hasan bin Yusuf
al-Qudaimi, wafat tahun 400-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam kitab
Thabaqât al-Khawwash karya al-Syarji al-Zabisi yang wafat 893 H.
4.
Nasab Sâdah Aal Turki al-Idrisi, nisbat kepada Turki bin Qursyalah bin Ahmad
al-Idrisi al-Hasani, wafat tahun 500-an Hijriah. Nasabnya baru termaktub dalam
kitab Risâlah Hafril Murabbi‘ât karya Ibnu Quthlubugha al-Hanafi yang wafat
879 H.
5. Nasab Sâdah al-Hamzawi, nisbat kepada
Hamzah bin Muhammad bin Naashir al-Husaini, wafat tahun 500-an
Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam kitab Târîkh Hawaditsi al-Zamân karya
Ibnul Jazari yang wafat 738 H.
6. Nasab Sâdah
al-Hawaazim nisbah kepada Hazim bin Hamzah bin Ahmad bin Muhammad al-Hasani,
wafat tahun 500-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam Musyajjaru
al-Sayyid Shalah bin al-Jalal al- Rossi yang wafat 805 H.
7.
Nasab Sâdah Aal Sabsabi al-Rifa’i al-Musawi nisbah kepada Muhammad bin
al-Mahsi al-Sabsabi bin Hasan bin Ali al-Rifa’i al-Husaini yang wafat di
awal-awal tahun 700-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam Ta’liqat Syaikh
Muhammad bin Ali bin Hasan ‘Alamuddin al-Haraki al- Husaini yang wafat 950
H.
8. Nasab al-‘Abbasi al-Alawi di Yaman, nisbah kepada
Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Ubaidillah bin al-Hasan bin
Ubaidillah bin al-‘Abbas bin Ali bin Abi Thalib, wafat tahun 296 H. Nasabnya
baru termaktub dalam kitab nasab Thurfatu al-Ashâb fî Ma‘rifati al-Ansâb karya
al-Malik al-Asyraf Umar bin Rasul yang wafat 696 H.
Masih
banyak lagi klan-klan asyraf yang akan runtuh dengan metode mengada-ngada yang
dibuat Imad. Padahal, klan-klan tersebut diakui oleh ulama dan dunia Islam
secara turun-temurun selama berabad-abad. Di sini tampak jelas bahwa yang
bermasalah bukan pengakuan para ulama melainkan metode “karangan” Imaduddin
itu sendiri.
b. Integritas Ulama Nasab
Diragukan
Dampak kedua yang akan dihadapi adalah keruntuhan kualitas
moral, spiritual, dan juga keagamaan (‘adalah) dari ulama nasab, seperti Imam
al- Sakhawi, Imam al-Haitami, Imam al-Zabidi, dan tokoh ulama nasab lain.
Mengapa demikian? Bila penetapan kesahihan nasab yang menggunakan metode
konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat diterima sebagai satu-satunya
metode penetapan kesahihan nasab, secara otomatis penetapan kesahihan nasab
yang telah dilakukan ulama nasab dari abad-abad awal dengan menggunakan metode
syar‘i, seperti syuhrah dan istifâdhah, akan batal semua karena mereka
dianggap berbohong atau menyembunyikan hal sebenarnya (tadlis). Ulama yang
tidak menggunakan metode tersebut dalam menetapkan kesahihan nasab Ba‘alawi
dianggap memiliki cacat, bahkan bisa dituduh berdusta atas nama Rasulullah
Saw., dan menyambungkan nasab seseorang bukan kepada ayahnya yang berarti
perbuatan terlaknat, na‘ûdzubillâh.
Contohnya, Imam Ibnu Hajar
al-Haitami, yang menetapkan nasab Ba‘alawi dalam kitab tsabat-nya, merupakan
pengarang kitab Tuhfah al-Muhtâj dan al-Fathu al-Mubîn bi Syarhi al-‘Arba‘în.
Silsilah sanad keilmuan dalam bidang hadis cacat dari Imam Ibnu Hajar kepada
murid-muridnya karena beliau dianggap melakukan tadlis dengan tidak
menggunakan metode konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat. Begitu
pula dengan Imam Murtadha al-Zabidi, pengarang kitab nasab al-Raudhu al-Jalîy
sekaligus pengarang kitab Ithaf Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn syarah kitab Ihyâ’
‘Ulûmiddîn karangan Imam al-Ghazali. Sanad keilmuan Imam Murtadha al-Zabidi
cacat (majruh) kepada murid-muridnya karena keduanya telah melakukan tadlis
dengan menetapkan kesahihan nasab Ba‘alawi
menggunakan selain metode tersebut. Secara tidak langsung, silsilah sanad
keilmuan orang-orang yang belajar kitab-kitab karangan Imam Ibnu Hajar dan
Imam Murtadha al-Zabidi cacat pula kepada Rasulullah Saw. Hal ini berlaku pula
dengan para ulama yang begitu banyak telah kami sebutkan di Bab I.
Jika
para ulama seperti Imam al-Sakhawi, Imam al-Haitami, Imam al- Zabidi, dan
ulama lainnya dalam menetapkan kesahihan nasab Ba‘alawi tidak menggunakan
metode konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat dituduh melakukan
tadlis dan memiliki cacat periwayatan serta penisbahan ilegal yang tidak
sesuai standar syariah, runtuhlah sanad keilmuan di sebagian besar masyarakat
Islam di dunia, khususnya di Indonesia.
2. Ketika
“Syarat Kitab Sezaman” Dimentahkan Penulisnya132
Akhir-akhir ini beredar
video sikap dan pendapat kiai dari Malang (Kiai Ahmad Fatih Syuhud) terkait
konflik nasab yang masih belum usai ini. Beliau menyebutkan bahwa selama tidak
ada kitab sezaman yang menyebutkan leluhur para habib Ba‘alawi, tesis Kiai
Imaduddin adalah “benar”. Tanpa mengurangi rasa hormat dan takzim, jika memang
mau mengkaji secara kritis, objektif, dan ilmiah, ada satu mata rantai yang
hilang dari kesimpulan beliau. Kesimpulan beliau hanya menjelaskan kembali
algoritma pemikiran Kiai Imaduddin dan para pendukungnya selama ini. Berikut
adalah urutan mata rantai logika mereka.
1. Kiai
Imaduddin meminta syarat kitab sezaman.
2. Para habib
tidak memberikan syarat yang diminta Kiai Imad.
3.
Kiai Imaduddin sangat yakin bahwa nasab
Ba‘alawi gugur dan para pendukungnya bersorak gembira.
Mengapa
saya katakan ada mata rantai logika yang hilang? Seharusnya, sebelum beralih
ke mata rantai kedua untuk kemudian mencari kitab-kitab sezaman yang
disyaratkan Kiai Imad, kita harus kritis dan bertanya, “Dalam ilmu nasab, apakah kitab sezaman
merupakan syarat mutlak dan satu-satunya
untuk mengonfirmasi sebuah
nasab?”
Setelah membaca beberapa kitab nasab, khususnya kitab-kitab yang
men- jadi rujukan utama Kiai Imaduddin dan para jagoannya dalam masalah ini
(Muqaddimât fî ‘Ilm al-Ansâb, Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb, al-Kâfî al-Muntakhab),
saya berani menyimpulkan ada dua kubu terkait hal ini.
1.
Para pakar ilmu nasab dalam kitab-kitab itu sama sekali tidak mensyaratkan
kitab sezaman untuk mengonfirmasi kebenaran suatu nasab. Kitab nasab adalah
salah satu thuruq (cara) untuk mengonfirmasi nasab, tapi bukan satu-satunya.
Masih ada beberapa opsi lain, termasuk al-syuhrah wa al- istifâdhah
(kemasyhuran dan reputasi sebuah nasab).
2. Kiai
Imaduddin dan kolegalah yang mengatakan bahwa kitab sezaman merupakan syarat
mutlak bagi keabsahan suatu nasab. Jika tidak, nasab tersebut dipastikan
palsu, fiktif, dan terputus.
Kiai Imaduddin tentu bukan orang
bodoh. Meski punya pendapat yang berbeda dan “agak lain” dari para ulama pakar
nasab di dunia ini, beliau tidak ingin terlihat tanpa dalil di depan para
pendukungnya. Beliau bahkan pernah mengadakan siaran langsung bersama Gus Aziz
Jazuli untuk membahas syarat kitab sezaman andalannya ini. Cek di
https://www.youtube.com/live/ WyEGpNHyRhc?si=rn5fw-eIxs4jq_P4.
Dalam
siaran itu, Kiai Imaduddin berusaha menguatkan pendapatnya bahwa kitab sezaman
merupakan syarat mutlak. Beliau berdalil dengan kitab Muqaddimât fî ‘Ilm
al-Ansâb karya pakar nasab asal Irak, Syaikh Khalil Ibrahim al-Dailami. Beliau
berusaha meyakinkan bahwa penulis kitab itu sependapat dengannya terkait
syarat kitab sezaman. Sayangnya, setelah menyimak siaran itu dan pernyataan
beliau dalam tulisan berikut ini https://rminubanten.
or.id/kitab-sezaman-adalah-mutlak-untuk-meneliti-kesahihan-nasab/, saya justru
semakin yakin bahwa syarat tersebut diada-adakan tanpa rujukan dari kitab
nasab mana pun!
Setelah mengisi acara seminar di
Ponpes Sidogiri, saya sempatkan mem- baca kitab karya Syaikh Khalil Ibrahim
yang menjadi rujukan itu. Saya juga telah khatam membaca prinsip-prinsip dasar
ilmu nasab yang ditulis beliau dalam kitab nasabnya yang lain, Durus fî ‘Ilm
al-Ansâb. Ada banyak poin dalam kitab itu yang sangat bertentangan dengan
pendapat Kiai Imaduddin selama ini. Salah satunya di poin ke-10 halaman 96. Di
situ beliau mewanti-wanti jangan sampai kita menuduh suatu nasab (tha’n fî
al-nasab) hanya karena sebuah nama yang tidak disebutkan dalam kitab
tertentu.
Akhirnya, datang
sebuah kejutan tak terduga. Allah memberi saya rezeki berupa kontak WA dari
Syaikh Khalil Ibrahim, penulis yang selama ini menjadi andalan Kiai Imad!
Saya pun langsung bertanya tentang “konfl
nasab” ini kepada beliau. Berikut
adalah isi percakapan saya dengan
beliau (ditambah dengan translate-nya):
Ismael
Alkholilie:
“Assalamualaikum wr. wb., Sidi. Saya Muhammad Ismail Alkholilie
pencinta Anda dan pembaca kitab-kitab Anda dari Indonesia.”
Syaikh
Khalil Ibrahim:
Ismael Alkholilie:
“Sidi, saya punya pertanyaan. Di
Indonesia sekarang ini ada beberapa orang yang meragukan dan membatalkan nasab
para Sâdah Ba‘alawi dengan hujah leluhur mereka Ubaidillah bin Ahmad bin Isa
tidak disebutkan dalam kitab-kitab nasab terdahulu. Mereka berdalil dengan
kitab Anda Muqaddimât fî ‘Ilm al-Ansâb. Mohon penjelasan terkait masalah
ini.”
Syaikh Khalil Ibrahim:
“Syuhrah istifâdhah (kemasyhuran reputasi) para
Sâdah Ba‘alawi telah mengungguli banyak nasab yang lain, sedangan
disebutkannya ‘amûd nasab hanya syarat kesempurnaan (bukan syarat sah).”
Ismael
Alkholilie:
“Jadi, menurut
Anda nasab para Sâdah Ba‘alawi valid meskipun ‘amûd nasab
mereka tidak
disebutkan dalam kitab sezaman atau yang mendekati?”
Syaikh
Khalil Ibrahim:
“Iya, mereka adalah pembawa ajaran Islam moderat
yang sesungguhnya.”
“Masya Allah mereka adalah para guru
kami. Terlepas dari komentar para pembenci, apakah Anda mengenal mereka para
Sâdah Ba‘alawi, Sidi?”
Syaikh Khalil Ibrahim:
“Apakah
rembulan terlihat samar? Mereka adalah
para dai yang telah menyebarkan ilmu di barat dan timur
dunia.”
Ismael Alkholilie:
“Baik, jazâkallâh
khair atas jawabannya. Di masyarakat kami sekarang ada
kegaduhan yang disebabkan pembatalan nasab para Sâdah Ba‘alawi oleh
seseorang yang mengaku paham ilmu nasab. Saya meminta izin untuk menyebarkan
jawaban Anda ini untuk para teman dan sahabat.”
Syaikh
Khalil Ibrahim:
“(Menukil hadis) empat kebiasaan Jahiliah yang
masih belum ditinggalkan dalam umatku, salah satunya menuduh suatu nasab tanpa
dasar ilmu.”
Untuk sekian kali, Kiai Imaduddin harus menerima
realitas pahit. Seorang ulama pakar nasab yang kitabnya dijadikan hujah untuk
menguatkan tesisnya justru “mengonfirmasi” keabsahan nasab Ba‘alawi.
Sebelumnya sudah ada Sayid Mahdi Raja’i (ulama pakar nasab asal Iran) dan
Syaikh Ibrahim al-Hasyimi (ulama pakar nasab asal Saudi) yang sama-sama
mengisbat Ba‘alawi dan mementahkan syarat kitab sezaman yang dibuat-buat oleh
Kiai Imad. Syaikh Ibrahim bahkan dengan tegas berkomentar, “Permintaan syarat
seperti itu adalah sebuah kebodohan kuadrat. Andai kita terapkan syarat itu
dalam ilmu nasab, niscaya akan batal semua nasab yang ada di muka bumi
ini.”
Kiai Imaduddin sepertinya sudah kehabisan “jerami” untuk ia gapai
ketika perlahan mulai tenggelam dan tak punya pegangan. Padahal, ekspektasi
dan harapan pendukungnya kepada beliau begitu tinggi. Bahkan, beliau sampai
harus membangun narasi-narasi lain untuk mendukung tesisnya yang—katanya—
ilmiah itu tapi ternyata hanya dibangun di atas asumsi dan ilusi (yang satu
per satu mulai dimentahkan oleh para penulis kitab-kitab rujukan beliau
sendiri).
Tapi, kalian semua para pendukung Kiai Imaduddin tak perlu
khawatir. Kiai idola kalian tak akan berubah pendirian. Bukankah beliau dengan
teguh (atau lebih tepatnya ngeyel) pernah berkata, “Andaikan ulama sedunia
berfatwa, mengisbat karena suatu hal, bahwa Ba‘alawi adalah keturunan Nabi
Saw., saya Imaduddin Utsman tidak akan percaya!”
Terakhir, beliau
mensyarahi sendiri dawuhnya itu, “Saya ‘kan bilang ‘karena suatu hal’, seperti
Syaikh Ali Jum’ah mengisbat Ba‘alawi karena pertemanan beliau dengan Habib
Umar bin Hafidz.”
Ya, intinya, siapa pun, ulama mana pun, sealim apa pun,
yang mengakui nasab Ba‘alawi (termasuk Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Ibrahim
al-Hasyimi, dan terakhir Syaikh Khalil Ibrahim), jangan harap akan diterima
Kiai Imad. Mereka pasti akan dianggap sebagai orang yang berfatwa tidak jujur
karena “suatu hal” yang bertentangan dengan hati nurani mereka (betapa
mulianya hati Kiai Imaduddin sampai berprasangka baik kepada para ulama-ulama
itu).
Sekali lagi, belasungkawa sedalam-dalamnya untuk para pendukung
Kiai Imad. Kalian tidak salah, kalian hanya mengidolakan sosok yang salah,
selamat menikmati tulisan ini.
• Ismael Amin Khalil,
Bangkalan, 9 Agustus 2024
3.
Alih-Alih Memberi Dalil “Syarat Kitab Sezaman” Malah Memberi Pan-
dĹaą
ShaþaĴ IĬĴiûhaĨah133
(Jawaban untuk bantahan tulisan Kiai Imad)
Setelah
sekian purnama, Kiai Imaduddin akhirnya “keluar” juga dari sarangnya untuk
menjawab tulisan saya. Tulisan bantahan itu berjudul:
“Menanggapi Lora
Isma’il: Istikharahlah agar Mengetahui Apakah Ba‘alawi Cucu Nabi Muhammad Saw.
atau Bukan”
(https://www.nahdlatul-ulum.com/menanggapi-lora-ismail.../
)
Namun, tulisan itu malah semakin membuktikan bahwa syarat kitab sezaman
yang digembar-gemborkan selama ini hanya dibangun di atas sebuah asumsi dan
ilusi belaka.
Pertanyaan paling penting justru masih belum bisa dijawab
oleh beliau sampai detik ini, yaitu “Apakah kitab sezaman adalah syarat mutlak
dan satu- satunya untuk mengonfirmasi kebenaran suatu nasab atau adakah ulama
pakar nasab di dunia ini yang mewajibkan syarat seperti itu untuk mengisbat
atau menganulir sebuah nasab?”
Kiai Imaduddin hanya menuliskan, “Ya
jelas, kitab nasab sezaman atau yang mendekatinya adalah syarat mutlak
untuk mengonfirmasi sebuah nasab. Jika tidak, nasab itu adalah nasab
Sangkuriang binti Dewi Sumbi.”
Beliau lalu mengutip dua ibarat dari kitab
nasab seperti berikut ini. Pertama: ibarat dalam kitab al-Muqaddimât fî ‘Ilm
al-Ansâb karya Syaikh
Khalil Ibrahim yang jelas-jelas sudah mementahkan
pemahamannya dan mengisbat nasab Ba‘alawi (Kiai Imaduddin tetap berdalil
dengan ibarat dalam kitabnya seakan-akan menggurui mushonnif terkait cara
memahami kitabnya sendiri).
Hanya potongan ibarat ini saja yang dinukil
Kiai Imad, padahal ibarat lengkapnya seperti berikut:
Kedua: ibarat
dalam kitab Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb karya Sayid Husain Haidar al-Hasyimi.
Kiai Imaduddin menuliskan, “Sayid al-Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitab
Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb mengatakan,
Cara yang kedua
(menetapkan nasab adalah dengan) kitab-kitab para ahli nasab yang abdal.”
(Rasâ’il, hlm. 103).
Siapa yang dimaksud dengan kalimat “al-abdal”?
Perhatikan ibarat Sayid al-Husain di halaman lain:
“Al-abdal adalah
mereka yang saling bergenerasi menggantikan sebagian mereka kepada yang lain”
(Rasâ’il, hlm. 193).”
Di situ saya kembali dibuat tertegun, “Kok Kiai
sekelas anggota LBM PBNU pemahaman ibaratnya cuma sekelas itu?”
Perhatikan,
dalam dua kitab di atas, baik Syaikh Kholil Ibrahim dan Sayid Husain Haidar
sama sekali tidak mengatakan bahwa kitab nasab (plus syarat sezaman ciptaan
Kiai Imad) adalah syarat mutlak dan satu-satunya dalam mengisbat suatu nasab.
Isi kitab-kitab itu hanya menjelaskan bahwa kitab nasab adalah salah satu cara
(thuruq) dalam mengonfirmasi sebuah nasab
(catat:
“thuruq/ ”, bukan
“syurûth”/ ).
Jadi, andaikan satu cara itu tidak
bisa digunakan, masih ada banyak cara
isbat lain yang para ulama pakar nasab sebutkan, termasuk syuhrah wa
al-istifâdhah, syahâdah, pengakuan suatu kabilah, dan cara-cara lainnya.
Dari
sini kita bisa memahami kekeliruan memahami thuruq sebagai syurûth (mutlak dan
satu-satunya) itulah yang membuat Kiai Imaduddin selama ini mempunyai
kesimpulan yang jauh berbeda, bahkan dari para penulis kitab yang beliau
jadikan rujukan sendiri.
Ada lima cara isbat nasab yang disebutkan Sayid
Husain Haidar al-Hasyimi, penulis kitab Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb yang
dijadikan hujah Kiai Imaduddin terkait syarat kitab sezaman itu.
Di
antara lima itu sama sekali tidak ada cara bangun malam untuk shalat
Istikharah seperti yang diperintahkan Kiai Imad. Uniknya, di bab yang sama,
Sayid Husain Haidar juga membahas cara isbat nasab lewat DNA yang selama ini
juga digembar-gemborkan Kiai Imaduddin untuk menganulir nasab Ba‘alawi. Beliau
menuliskan:
“Cara yang diakui ahli biologi adalah menambahkan tes
DNA untuk mengonfirmasi sebuah nasab dan diikuti para ahli nasab. Akan tetapi
cara ini (secara pasti tanpa ada khilaf) hanya bisa mengonfirmasi bahwa
seseorang bernasab kepada ayahnya atau kakek-kakek terdekatnya. Adapun yang
berkaitan dengan nasab-nasab jauh yang lebih dalam dan mengakar, cara ini
tidak bisa memastikan. Riset dalam hal ini masih di permulaan jalan sehingga
tidak ada teori pasti—sampai detik ini—yang bisa dijadikan acuan.” (Rasâ’il fî
‘Ilm al-Ansâb, hlm. 107).
Tentu saja bagian ini tak akan pernah
“dibacakan” Kiai Imaduddin ke publik sampai kapan pun karena tes DNA adalah
“syarat” andalan beliau untuk menganulir nasab Ba‘alawi selain sumber kitab
sezaman.
Syarat kitab sezaman memang “sepenting itu” bagi tesis Kiai
Imad. Yang pernah membaca tesis beliau (baik yang berbahasa Indonesia atau
Arab) pasti akan tahu bahwa hampir 80% isinya terpaku kepada pembahasan ini.
Jadi, jika “syarat” ini runtuh karena jelas tak ada dalil dan dasarnya,
gugurlah semua argumen-argumen yang beliau bangun selama ini. Sementara ini,
saya menyimpulkan bahwa syarat itu sama sekali tidak ada dalam kitab nasab
mana pun. Kiai Imaduddin hanya terinspirasi dari 2 ulama Wahabi rujukannya
(yang bukan pakar nasab), yaitu Murad Syukri dan Muqbil al-Wadi’i. Bahkan,
Abdul Wahab Ahmad juga pernah menyatakan bahwa pola pikir Kiai Imaduddin
persis dengan teori tokoh orientalis Joseph Schacht. “Alasan ketiadaan kitab
sezaman untuk membatalkan nasab Sâdah Ba‘alawi itu sama persis dengan alasan
orientalis seperti Schacht yang menolak seluruh hadis dengan alasan tidak ada
manuskrip sezaman. Kalau Schacht menuduh perawi tsiqah hanya melakukan
projecting back (memproyeksikan ke belakang) agar terkesan sanadnya
bersambung, Imaduddin menuduh para tokoh Ba‘alawi tsiqah hanya melakukan
projecting back hingga terkesan nasabnya bersambung. Nalarnya sama persis dan
pengikut fanatiknya, sama-sama menelannya mentah-mentah.”
Dalam tulisan
bantahannya, Kiai Imaduddin juga tidak berkenan jika pen- dukungnya saya
katakan sebagai “muhibbîn”. Beliau menuliskan, “Kata muhibbîn itu berkonotasi
negatif, yaitu orang yang berkecenderungan terhadap sesuatu bukan karena dalil
melainkan karena suka atau tidak suka. Sementara itu, yang setuju dengan tesis
saya kebanyakan adalah orang-orang yang mengikuti karena dalil, bukan karena
suka atau tidak suka.”
Oleh karena itu, jika memang benar bahwa
pendukungnya adalah para pembaca yang memprioritaskan dalil, bukan karena
benci atau suka, saya sangat berharap para pendukung beliau membaca dengan
cermat kitab-kitab rujukan Kiai Imaduddin terkait syarat kitab sezaman berikut
ini.
Silakan tunjukkan di halaman berapa dan di paragraf mana para ulama
pakar nasab mewajibkan kitab sezaman sebagai syarat mutlak dan satu-satunya
untuk mengisbat nasab. Saya beri waktu mulai sekarang sampai datangnya hari
kiamat
( ).
Di akhir tulisan, Kiai Imaduddin berpesan kepada saya, “Terakhir,
jika memang benar yang berkomunikasi itu Syaikh Khalil Ibrahim,
Lora Ismail bisa mengusulkan kepada RA agar Syaikh Khalil Ibrahim,
Syaikh Ibrahim bin Manshur, dan Syaikh Mahdi Raja’i agar menjadi wakil RA
dalam berdiskusi dengan saya tentang batalnya nasab Ba‘alawi.”
Saya
katakan (dan tolong sampaikan nasihat saya ini kepada beliau(, “Begini Kiai,
andai Njenengan memang benar-benar ‘âlim-‘allâmah’ yang terbukti dan
diakui kredibilitasnya dalam ilmu nasab, sesama orang Indonesia saya ‘mungkin’
akan bangga ketika Njenengan dengan ‘gagah’ menyatakan siap berdebat dengan
tiga ulama pakar nasab internasional itu. Saya tentu juga akan dengan senang
hati merekomendasikan nama Njenengan untuk maju ke ring diskusi nasab tingkat
internasional. Masalahnya, Njenengan tidak seperti itu. Selain karena ilmu dan
pengalaman dalam dunia nasab masih sangat minim, argumen-argumen Njenengan
juga banyak bertentangan dengan qawâ‘id para ulama pakar nasab. Pemahaman
terkait ibarat-ibarat dalam kitab nasab juga masih berantakan. Membedakan
thuruq dengan syurûth saja masih belum bisa. Bagaimana mungkin menantang tiga
ulama pakar nasab internasional sekaligus? Bagi saya, Njenengan tak ubahnya
klub sepak bola kampung yang merasakan euforia sesaat karena baru saja
memenangi turnamen antar-RW lantas dengan percaya diri menantang tanding
klub-klub juara Liga Champions, seperti Liverpool, Real Madrid, dan Manchester
City. Jadi, tolong becermin. Saya tidak mau Njenengan nantinya malah buat malu
nama Kiai Indonesia di kancah nasab internasional. Ada satu pepatah Arab yang
perlu direnungi, ‘qif ‘inda haddak, wa illa takun dhiddak’, jangan melebihi
batas dirimu jika tidak ingin menjadi bumerang bagi dirimu sendiri.
Sehat-sehat
selalu Kiai Imad, selamat bereuforia dan bersenang-senang sejenak. Akan datang
suatu hari ketika semua asumsi dan ilusi Njenengan tak akan berguna lagi,
kecuali bagi mereka yang hatinya sudah terselimuti rasa sakit hati, benci,
iri, dan dengki.
Sekali lagi, untuk seterusnya dan untuk kesekian
kalinya, kita memang tidak harus berpikiran sama, tapi mari kita sama-sama
berpikir.
• Ismael Amin Khalil, Surabaya, 13 Agustus,
2024
B. Meągabaiûaą KþaĬiŠûaĬi NaĬab ĄeąĹĨĹĴ
UþaĄa NaĬab
Imaduddin selalu berteriak lantang bahwa nasab Ba‘alawi
adalah nasab batil dan mardûd. Imaduddin tampaknya tidak memahami makna
“nasab mardûd” dan “nasab batil” dalam terminologi ilmu nasab. Dalam ilmu
nasab, nasab seseorang atau sebuah keluarga terbagi menjadi beberapa
tingkatan. Berikut kami tuangkan klasifikasinya dengan terjemahan secara
global.
“Nasab tidak hanya satu tingkatan, tapi terbagi
menjadi beberapa bagian.
Pertama: nasab tsâbit, disebut juga nasab
shahîh, yaitu nasab yang telah dipastikan melalui rantai yang sah, yang
keasliannya disepakati oleh para ahli nasab yang kredibel.”
Kedua, nasab masyhur, nasab yang terkenal dan tersebar luas di
kalangan masyarakat, terutama di kalangan suku itu sendiri. Namun, pemilik
nasab ini tidak mengetahui bagaimana kebersambungan silsilahnya dengan suku
tersebut. Tidak ada alasan bagi mereka mengingkarinya. Hanya saja, mereka
tidak mempunyai rantai yang menunjukkan silsilahnya dan tidak ada ‘amûd
al-nasab (rangkaian silsilah) yang menunjukkan sebab kebersambungannya.
Ketiga,
nasab yang makbul (diterima), nasab yang diisbat orang-orang dari suku yang
sama yang merupakan ahli nasab, dan diingkari oleh orang-orang lain dari ĬĹûĹ
Ŕaąg ĬaĄa. AąĴaĨa iĬbaĴ daą ąaŠ adaþah ĬaĄa. KedĹaąŔa adaþah dĹa ĥihaû yang
bertolak belakang sehingga menjadi diterima karena ada kesetaraan antara Ŕaąg
ĄeągiĬbaĴ daą ĄeąaŠûaą.
Keempat, nasab mardûd (tertolak).
Nasab yang palsu dan dibuat-buat, silsilah yang tak punya sumber. Itu adalah
nasab yang dibuat oleh pendusta dan ditempelkan kepada sebuah kaum. Hanya
saja, kaum tersebut membatalkannya, mengingkarinya, Ĵidaû ĄeągeĴahĹiąŔa, ĬeĨĴa
ĄeąaŠûaąąŔa daĨi ĥČhČą ąaĬab ĄeĨeûa.”
Berdasarkan klasifikasi di
atas, Nasab Ba‘alawi jelas masuk kategori nasab sahih sebab memiliki silsilah
nasab yang jelas dan disepakati keabsahannya oleh semua nassabah yang membahas
nasab Ba‘alawi. Tidak ada satu pun nassabah yang menafikan. Status Ba‘alawi
sebagai nasab pun sahih dinyatakan oleh banyak ulama, sebagaimana telah kami
uraikan di Bab I.
Andaipun ada sebuah keluarga yang terkenal
(syuhrah dan istifâdhah) dengan sebuah nasab, misalkan Qurasyi (nisbat kepada
Quraisy), namun tidak memiliki data garis silsilah
yang terperinci (‘amûd al-nasab) kepada Quraisy, yang
seperti itu masih disebut masyhuru al-nasab.
Bahkan, andai
ada sebuah nasab yang menjadi pro-kontra
di kalangan para nassabah terdahulu, sehingga ada yang
menafi dan ada yang mengisbat, hal itu masih dikategorikan
nasab makbul. Hanya saja, di sini sebagian ulama memerinci. Jika para ulama
yang mengisbat lebih kuat daripada yang menafi masuk kategori makbul.
Sebaliknya, jika yang menafi lebih kuat daripada yang
mengisbat, masuk kategori dha‘îf.135 Dalam al-Kâfî al-Muntakhab fî ‘Ilmi
al-Nasab, Dr. Abdurrahman bin Majid al-Rifa’i
menjelaskan, baik masyhur atau makbul, bahkan dha‘îf
sekalipun, sama-sama termasuk nasab yang diakui secara syariat.136
Adapun
nasab yang dinisbahkan kepada sebuah kaum tanpa dasar, bahkan ditolak oleh
kaum itu sendiri, inilah yang disebut dengan nasab mardûd (tertolak) alias
palsu. Faktanya, nasab Ba‘alawi diakui keturunan Ahmad bin Isa dari selain
jalur Ubaidillah. Nasab Ba‘alawi juga diakui keturunan al-Imam Ali
al-‘Uraidhi, dzurriyah selain Ba‘alawi. Nasab Ba‘alawi juga diakui para
nassabah keturunan Imam Husein r.a. selain Ba‘alawi. Tidak ada satu pun dari
mereka yang menafikan. Lalu, bagaimana mungkin Imaduddin berani mengategorikan
nasab Ba‘alawi sebagai nasab mardûd (tertolak)? Yang dilakukan Imaduddin ini
menunjukkan ketidakpahaman terhadap klasifikasi nasab. Atau, sebenarnya ia
tahu dan paham tapi dengan sengaja mengabaikan hal tersebut.
Jika
Imaduddin memahami dan mengakui klasifikasi nasab yang dirumuskan oleh para
ulama nasab, ia tidak akan seceroboh itu menolak nasab Bani Alawi. Pembagian
nasab ini telah dikaji dan disusun berdasarkan metodologi yang ketat dan
ilmiah oleh para ahli nasab. Pengakuan terhadap klasifikasi ini adalah
pengakuan terhadap validitas sejarah dan fakta-fakta yang mendasarinya.
Namun, dengan menolak nasab Bani Alawi,
Imaduddin menunjukkan bahwa ia memilih mengabaikan fakta-fakta
ilmiah dan tradisi keilmuan yang telah menjadi sebuah disiplin ilmu.
Sikap
ini bukan hanya meremehkan usaha dan dedikasi para ulama nasab dalam menjaga
keaslian silsilah keturunan. Hal itu juga menimbulkan ketidakpercayaan di
kalangan umat Islam. Pilihan untuk mengabaikan fakta ilmiah ini dapat memicu
kebingungan dan perpecahan, mengingat betapa penting nasab dalam menjaga
kehormatan dan integritas sejarah keturunan Nabi Muhammad Saw.
C.
Meremehkan Urgensi Kitab-Kitab di Luar Kitab Nasab
Imaduddin secara tidak
langsung meremehkan urgensi kitab-kitab sejarah di luar kitab nasab. Jika
melihat buku-buku Imaduddin dari awal, terlihat jelas bahwa Imaduddin hanya
menitikberatkan penelitiannya pada kitab-kitab nasab yang ia sebutkan, tanpa
menelusuri secara utuh kitab-kitab sejarah dan jejak sejarah di lapangan.
Padahal, antara nasab dan sejarah saling berkaitan dan tidak bisa
dipisahkan.
Taju al-Din Ali bin Anjab (593-674 H) dalam Ghuraru
al-Muhadharah wa Duraru al-Mukatsarah mengatakan bahwa silsilah nasab tidak
dapat berdiri sendirian tanpa ilmu lain sebagai penopang. Ia membutuhkan ilmu
lain. Salah satunya ialah sejarah (tarikh):
“Andaikan tidak ada
ilmu sejarah (tarikh), orang akan bodoh tentang nasab, kemuliaan akan
dilupakan, manusia tidak akan tahu bahwa asalnya dari tanah. Begitu pula tanpa
ilmu sejarah (tarikh). Semua dinasti akan punah bersama tokoh-tokoh mereka dan
orang pada masa sekarang akan buta tentang para pendahulunya.”137
Sejarawan
Yaman yang disebut sebagai “Sejarawan Tepercaya” bernama Bahau al-Din
al-Janadi (675-732 H) dalam al-Sulûk fî Thabaqât al-‘Ulamâ’ wa al-Mulûk
menyampaikan postulat:
“Ilmu sejarah adalah ilmu yang berguna dan
berharga. Ia menyambungkan generasi terdahulu dengan generasi penerusnya,
sekaligus membedakan siapa yang mendapat petunjuk dan siapa yang tersesat.
Melalui ilmu sejarah, kita mengetahui leluhur kita Nabi Adam dan setelahnya,
kendatipun jarak dan waktunya jauh dari kita. Andaikan tanpa ilmu sejarah,
nasab tidak akan diketahui, kemuliaan akan tergerus, dan tidak ada yang
membedakan antara orang bodoh dan intelektual.”138
Dalam
al-Madkhal Ilâ’ ‘Ilmi al-Nasab wa Qawâ‘idihi disebutkan:
“Sebuah
nasab akan menjadi sangat kuat jika kepopuleran nasab tersebut sejalan dengan
pandangan para ulama nasab dan ulama sejarah yang tepercaya dalam nasab
ini.”
D. Menolak Semua Catatan yang Bersumber
dari Ba‘alawi
Sepanjang isu pembatalan nasab Sâdah Ba‘alawi, yang selalu
kita dengar, Imaduddin menolak kitab apa pun yang di dalamnya ada peran Sâdah
Ba‘alawi, baik Ba‘alawi sebagai penulis kitab itu atau sebagai penahkiknya.
Kiai Imaduddin selalu mengatakan bahwa kitab yang ditulis atau ditahkik Sâdah
Ba‘alawi penuh dengan interpolasi, bahkan tahrîf, sehingga Kiai Imaduddin
tidak percaya lagi dengan kitab-kitab tersebut.
Hal ini jelas bertabrakan
dengan kaidah ilmu nasab. Sumber paling kuat dalam nasab adalah bila hal itu
bersumber dari para nassabah pemilik nasab itu sendiri, jika terjadi
pertentangan antarulama dalam kesahihan sebuah nasab. Penolakan kepada kitab
dari Sâdah Ba‘alawi merupakan bukti pengingkaran terhadap kaidah ilmu nasab,
sekaligus bukti bahwa penelitian Imaduddin tidak memiliki objektivitas karena
didasari kebencian. Dalam salah satu kaidah nasab disebutkan:
Sebagai
contoh, al-Nassabah Abu ‘Abdillah Muhammad al-Thalib al-Maradisi al-Fasi (w.
1273 H)141 dalam al-Isyraf ‘Alâ’ Ba‘dhi Man Bi Faas min Masyahiri al- Asyrâf,
tatkala mengutip nasab a-Imam Abdullah al-‘Aidrus al-Akbar dari kitab Bahjatu
al-Mafakhir yang ditulis non-Ba‘alawi, beliau mengoreksi data silsilah nasab
al-Idrus yang dikutip dari kitab tersebut dengan data yang ada di kitab
Ghâyah
al-Qashdi wa al-Murâd yang ditulis ulama Ba‘alawi. Beliau kemudian mengatakan
bahwa yang benar dan wajib dijadikan pegangan adalah data yang dimuat ulama
Ba‘alawi sendiri sebab mereka yang lebih mengerti secara detail nasab mereka,
seperti kata peribahasa bahwa penduduk Makkah lebih mengerti seluk-beluk jalan
yang ada di Makkah. Berikut ini redaksinya:
E.
Tidak Mengerti Metode Tarjîh daþaĄ IþĄĹ NaĬab
Imaduddin mengunggulkan
kitab al-Syajaratu al-Mubârakah sebagai rujukan utama meskipun penulisnya
bukan berasal dari Hadramaut. Mengagungkan kitab ini—dengan mengesampingkan
catatan ulama Hadramaut yang lebih akurat dan tepercaya—sangat bisa dianggap
sebagai kekeliruan metodologis. Ulama Hadramaut memiliki kedekatan langsung
dengan objek kajian dan lingkungan sosial yang terkait dengan nasab Bani Alawi
sehingga catatan mereka secara alami lebih detail dan kredibel.
Dalam
ilmu nasab, referensi yang berasal dari penduduk asli memiliki keunggulan
tersendiri karena mereka hidup dan berinteraksi langsung dengan keturunan yang
sedang dikaji. Mengabaikan catatan ulama setempat dan lebih mengandalkan karya
ulama luar yang mungkin tidak memiliki akses langsung ke sumber-sumber primer
dapat menimbulkan kesalahan dalam penilaian dan pengesahan nasab. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam al-Kâfî al-Muntakhab sebagai berikut:
F.
MeĄeþiąĴiĨ KČąĬeĥ Syuhrah dan Istifâdhah
Syuhrah dan istifâdhah sebuah
nasab merupakan salah satu cara terkuat dalam menetapkan sebuah nasab.
Sebagaimana telah kami jelaskan di Bab I, para ulama menyebutkan bahwa nasab
Sâdah Ba‘alawi merupakan nasab yang sudah memenuhi kriteria syuhrah (populer)
dan itsifâdhah (menyebar luas). Sayangnya, Imaduddin tidak terima hal tersebut
dan memelintir konsep syuhrah dan istifâdhah demi menyesuaikan dengan
pemikirannya. Berikut berbagai penyimpangan Imaduddin terkait konsep syuhrah
dan istifâdhah.
1). Masih Menagih Sumber Sezaman
meskipun Ada Syuhrah dan Istifâdhah Semakin terlihat betapa
Imaduddin sangat tidak memahami ilmu nasab.
Selain menolak teori nasab yang sudah
melebihi cukup untuk mengonfirmasi kesahihan nasab Bani Alawi,
termasuk kesalahan yang fatal adalah masih menuntut referensi sezaman pada
nasab yang sudah syuhrah.
Imaduddin menyatakan,144 “Penulis (Imad)
telah sampaikan pendapat para ulama bahwa “syuhrah wa al-istifâdhah”
tidak dapat digunakan jika bertentangan dengan sumber-sumber sezaman.
Sumber sezaman, dengan nama-nama nasab Ba‘alawi dari abad kelima sampai
sembilan tidak menyebut nama-nama itu sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.
Bahkan, nama- ąaĄa iĴĹ Ĭebagiaą haąŔa ŠûĴif beþaûa.”
Pertama, Imaduddin
memelintir seolah sumber-sumber sezaman menunjukkan data yang bertentangan
dengan syuhrah istifâdhah nasab Ba‘alawi, padahal tidak ada satu pun sumber
sezaman dan seterusnya yang menafikan Ba‘alawi. Beberapa kitab yang tidak
menyebutkan Ubaidillah bin Ahmad sama sekali bukan berarti menafikan.
Kedua,
dalam ilmu nasab, syuhrah (kepopuleran) justru membuat satu nasab
diterima sebagai nasab yang valid meskipun ada nama dalam rangkaian silsilah
tersebut yang tidak disebutkan dalam kitab mana pun. Nasab yang seperti itu
disebut masyhûrun al-nasab (nasab yang terkenal), dan itu bersumber dari hadis
Rasulullah Saw. sebagaimana telah kita jelaskan saat menguraikan konsep
syuhrah dan istifâdhah di Bab I dan saat menjelaskan klasifikasi nasab dalam
ilmu nasab. Hal ini karena syuhrah adalah satu metode penetapan nasab yang
mujma‘ ‘alaih, sesuai dengan penjelasan al-Nassabah Ibrahim bin Manshur, ahli
teori nasab yang kitabnya sering dirujuk oleh Imaduddin dalam
berbagai tulisannya:
Penggunaan syuhrah dan istifâdhah
sebagai salah satu mekanisme penetapan nasab didasarkan pada
sebuah hadis yang mengisahkan Rasulullah Saw. mengakui kaum Abdu al-Qais
sebagai keturunan Rabi’ah al-Adnaniyah. Ibn Abbas r.a. berkata, “Pada saat
delegasi Abdu al-Qais sowan menghadap Nabi Muhammad Saw., beliau bertanya,
kaum siapa ini? Mereka menjawab, Rabi’ah. Lantas, Nabi Saw. bersabda, selamat
datang kaum keturunan Rab’iah.” (HR Bukhari-Muslim)
Pakar nasab menilai
hadis ini sebagai dalil paling sharîh bahwa nasab dapat ditetapkan dengan
metode syuhrah dan istifâdhah. Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan
oleh pakar nasab.146
1. Nabi Muhammad Saw. tidak
sezaman dengan Rabi’ah. Jarak kelahiran antarkeduanya 500 tahun lebih.
2.
Arab pada masa Jahiliah dikenal sebagai bangsa yang tidak mencatat nasab
mereka ke dalam catatan tertentu. Mereka menerima silsilah nasabnya dari
informasi, perbincangan, cerita, dan kabar populer yang bersumber dari
orangtua, keluarga, kakek-nenek, masyarakat sekitar, dan internal kaum secara
turun-temurun (tasâmu’). Mereka menjaga nasab tersebut dengan cara menghafal
dan menjelaskan kepada generasi berikutnya.
3. Saat
mengakui Abdu al-Qais sebagai keturunan Rabi’ah, Rasulullah Saw. cukup
berpijak dengan kabar yang sudah tersebar luas di kalangan bangsa Arab jika
Abdu al-Qais adalah keturunan Rabi’ah. Beliau tidak menanyakan atau
memerintahkan untuk mengecek informasi lebih lanjut terkait data terperinci
catatan nasab mereka.
Perhatikan keterangan pakar nasab di atas dan
coba bandingkan de- ngan nalar berpikir Imaduddin Utsman. Logikanya akan
semakin terlihat lemah dan cacat tatkala mewajibkan syuhrah dan istifâdhah
harus didasar-kan pada data fisik sebuah catatan atau kitab sezaman atau yang
mendekati. Jika metodologi Imaduddin ini dipaksakan, tentu Rasulullah
Saw. tidak akan mengakui Abdu al-Qais sebagai klan keturunan Rabi’ah
sebab betapa minim catatan nasab tertulis pada era Jahiliah. Faktanya, Nabi
Muhammad Saw. menetapkan nasab tersebut!
2). Syuhrah Nasab Ba‘Alawi
Dituduh Hadîtsah dan Tidak Sah, Sama dengan Syuhrah Thabariyah
Salah satu
fitnah yang Imaduddin lontarkan dan menjadi dalil mereka menolak keabsahan
nasab Ba‘alawi adalah menganalogikan nasab Ba‘alawi dengan nasab Thabariyah.
Klan Thabariyyin ini dianggap sebagai nasab yang syuhrah-nya hadîtsah (baru
diciptakan) alias bukan nasab yang genuine, hanya klaim dusta dari kalangan
klan mereka belaka. Bagi Imad, nasab Ba‘alawi sama dengan nasab Thabariyah,
tidak bisa dinyatakan tersambung dengan alasan syuhrah dan istifâdhah karena
syuhrah (popularitas) tersebut hadîtsah (hal yang baru). Kesimpulan ini adalah
hasil cocokologi Imaduddin dari telaahnya terhadap kitab al-Ifâdhah karya
Syaikh Ibrahim bin Manshur al-Amir yang menjelaskan bahwa syuhrah keluarga
Thabariyyah hadîtsah.
Penyamaan ini jelas keliru dan merupakan qiyas
ma‘al fariq/analogi yang tidak sebanding yang tidak diterima karena beberapa
alasan berikut.
1. Ada nash dari ulama bahwa
penisbahan keluarga al-Thabariyyah kepada Sayidina Husain r.a. adalah hal yang
baru (hadîts) dan belum ada sebelumnya. Ibrahim bin Manshur mengutip nash-nash
sharîh dari pakar sejarah yang menerangkan hal tersebut, seperti al-Muarrikh
Jarullah bin Fahd al-Qurasyi al-Makki (w. 954 H).
Kemudian,
al-Muarrikh Umar bin Muhammad bin Fahd al-Qurasyi al- Makki (w. 954 H) juga
menegaskan kemasyhuran nasab Thabariyah dari jalur al-Husaini
al-Alawi yang baru muncul di periode akhir. Pasalnya, waktu beliau menulis
nasab sang guru, yakni Syaikh Abdul Hadi al-Thabari, yang dikutip dari
biografi orangtua dan kakek-kakek- nya, nasabnya hanya sampai pada Muhammad
bin Ibrahim. Berikut penjelasannya:
Saat beliau melihat rilis
tulisan al-Radhi Muhammad bin al-Muhib, ada tambahan jalur nasab sampai ke
Sayidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Hal ini berbanding terbalik
dengan Sâdah Ba‘alawi. Sepanjang sejarah, semua ulama yang mengutip nasab
Ba‘alawi, atau yang menyebutkan salah satu tokohnya, tidak ada satu pun yang
mempermasalahkan syuhrah Sâdah Ba‘alawi, apalagi menafikannya. Justru
keterangan yang memverifikasi kepopuleran Ba‘alawi sebagaimana telah diuraikan
pada Bab I sangat banyak.
2. Nasab al-Thabariyyah
yang diklaim sebagai al-Husaini disambungkan melalui jalur Abdu al-Wahid bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib. Padahal, sangat jelas bahwa Sayidina Husein
al-Sibth tidak punya anak yang bernama Abdu al-Wahid. Bukan hanya itu, ulama
juga sepakat (ijmak) bahwa keturunan Sayidina Husein al-Sibth hanya dari jalur
Sayidina Ali (al-Ashghar) Zainal Abidin. Semua keturunan Sayidina Husein
al-Sibth di atas muka bumi pasti dari keturunan Ali Zainal Abidin bin Husein.
Hal ini sebagaimana dijelaskan an-Nassabah Abu Nashr al-Bukhari (hidup tahun
341 H) dan Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H). Pantas kalau Ibrahim bin Manshur
menyatakan bahwa syuhrah Thabariyyah sebagai al-Husaini adalah baru, bahkan
palsu. Berikut uraian dari Ibrahim bin Manshur dalam al-Ifâdhah beserta
kutipannya.
Dari data dan fakta di atas, ‘amûdu al-nasab Thabariyah
sudah ber- masalah dari pangkalnya sehingga tidak salah jika kepopuleran
nasab- nya dinilai hadîtsah. Hal ini jelas berbeda dengan kepopuleran nasab
Ba‘alawi, yang pangkalnya jelas, yaitu Sayidina Ali Zainal Abidin yang
disepakati sebagai anak dari Sayidina Husain r.a. Kebersambungan nasab
Ba‘alawi kepada Ali Zainal Abidin ini pun mendapatkan peng- akuan dari para
ulama.
3. Ibrahim bin Manshur menjelaskan tidak
terdapat tulisan “Sayid Ahmad” atau “Syari Ahmad” pada temuan-temuan nisan dan
prasasti milik tokoh- tokoh klan Thabariyyîn yang berada di Makkah, yang
mengindikasikan mereka berasal dari keturunan Husain.
Hal ini jelas
berbeda dengan nasab Ba‘alawi. Kuburan-kuburan dan nisan-nisan para habib
Ba‘alawi di Hadramaut lengkap dan ada tulisan sayid atau sâdah dan al-Husaini.
Bahkan, lengkap pula dengan pe- nyebutan nasabnya yang menjelaskan mereka
keturunan Sayidina Husain bin Abi Thalib.
4.
Ibrahim bin Manshur menjelaskan bahwa banyak ulama dalam bidang nasab, ketika
menyebut Syaikh atau guru mereka atau tokoh ulama secara umum dari klan
Thabariyyin, tidak menyebutkan mereka se- bagai sâdah atau ahli bait. Imam
al-Dzahabi menulis biografi dari beberapa Syaikh beliau dari kalangan
Thabariyah Makkiyah, namun tidak menyebutkan mereka sebagai Husainiyyun.
Begitu pula ahli nasab bin Fahd al-Makki dan Taqiyuddin al-Fasi. Padahal, yang
terakhir ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan keluarga Thabariyyin di
Makkah karena ibunda dan saudara persusuan beliau berasal dari klan
Thabariyyin. Namun, beliau tidak pernah menyebutkan mereka sebagai keturunan
Rasulullah Saw.:
Hal ini berbeda terbalik dengan nasab Ba‘alawi.
Hampir setiap ulama yang menyebut tokoh dari kalangan mereka selalu
menyebutkan gelar sâdah dan menisbahkan sebagai keturunan Husain, sebagaimana
telah kami uraikan di Bab I.
Yang lebih menggelikan, Imaduddin
menganalogikan nasab Ba‘alawi dengan nasab Thabariyyin berdasarkan kitab
al-Ifâdhah karangan Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi yang dikutip di atas.
Padahal, beliau sendiri mengisbat nasab Ba‘alawi dan mengakui keabsahan
syuhrah Ba‘alawi, serta tidak menyebutkan sebagai syuhrah hadîtsah,
sebagaimana telah kami kutip dalam akhir Pasal 3 dari Bab I. Bahkan, beliau
menegaskan dalam beberapa kitabnya bahwa di antara fungsi metode syuhrah wa
istifâdhah adalah untuk mengonfirmasi nama seseorang yang tidak disebutkan
dalam kitab-kitab sejarah, biografi, atau nasab.
Jika mengikuti
logika Syaikh Ibrahim bin Manshur di atas, meskipun nama Ubaidillah baru
disebutkan dalam kitab-kitab nasab abad ke-7 Hijriah atau 400 tahun setelah
hidupnya (seperti klaim Imaduddin dkk.), karena nasab beliau dan keluarga
beliau sudah dikenal dan diterima secara luas (syuhrah) sejak awal, itu sudah
cukup untuk menetapkan nasab Ba‘alawi tersebut.
Dari
keterangan-keterangan di atas, jelas bahwa klaim Imaduddin yang menyamakan
antara nasab Ba‘alawi dan nasab Thabariyyin adalah analogi yang salah karena
perbedaan yang mencolok antarkeduanya, qiyas ma‘al fariq! Yang dilakukan
Imaduddin tidak lebih sekadar mencocok-cocokkan berdasarkan takalluf (maksa)
dan subjektivitas yang didasari motif “pokoknya nasab Ba‘alawi harus
batal”.
3). Menuduh Penetapan
Nasab dengan Syuhrah dan Istifâdhah Hanya
Berlaku untuk Nasab Dekat
Dalam artikel bantahan kepada Buya Yahya dan
K.H. Najih Maimoen, Imaduddin Utsman menyatakan bahwa mereka keliru dalam
syuhrah dan istifâdhah ini. Imaduddin mengatakan bahwa penetapan nasab dengan
syuhrah dan istifâdhah hanya berlaku khusus untuk nasab anak ke ayahnya secara
langsung atau nasab jarak dekat. Imaduddin meminta Buya Yahya membaca lagi
dengan teliti. Padahal, dalam hal ini Buya Yahya dan K.H. Najih sudah benar.
Justru Imaduddin yang perlu membaca lagi dengan teliti.
Al-Imam
al-Mawardi dalam al-Hâwî dan al-Imam Khathib al-Syarbini dalam Mughnî
al-Muhtâj menegaskan bahwa metode ini bukan hanya berlaku untuk kemasyhuran
penisbahan seorang anak secara langsung ke bapak. Metode ini juga berlaku
untuk penetapan nasab kepada sebuah kabilah dan kakek-kakeknya pada zaman yang
telah lampau, sebagaimana keduanya menjelaskan dalam kitabnya sebagai
berikut.
4). Syuhrah Nasab Ba‘Alawi Terbantah (Tsabata Ma
Yukhalifuhu)?
Imaduddin Utsman sering mengeklaim Ba‘alawi sebagai nasab
yang keabsahannya mengalami hambatan tsubutu al-mukhalif wa al-mu’aridh
(adanya data dan fakta yang membantah). Ia pun menilainya sebagai nasab yang
munqathi‘ (terputus). Imaduddin mendasarkan klaimnya itu pada keterangan
al-Ruyani dalam Bahru al-Madzhab dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam al-Jawâb
al-Jalîl. Di situ tertulis bahwa ketetapan nasab dengan syuhrah wa istifâdhah
dapat dianulir ketika terbukti ada mukhalif atau mu’aridh. Berikut
kutipannya:
“Imam al-Ruyani menyebutkan
dalam Bahru al-Madzhab pendapat Imam Syafi‘i tentang
syarat-syarat syuhrah wa istifâdhah, sebagai berikut.
Ibn
Hajar al-‘Asqalani berkata:.
Demikian yang tertera dalam buku Imaduddin yang berjudul Terputus
nya
Nasab Habib kepada Nabi Muhammad Saw., him. 38-39.
Sekarang, mari kita
uji kebenaran klaim tersebut secara ilmiah.
Pertama, seperti apa nash
lengkap al-Ruyani dalam kitab Bahru al Madzhab?
Kedua, benarkah
pemahamannya sebagaimana tashawwur Imaduddin Utsman?
Setelah dianalisis,
pembahasannya tidak spesifik tentang nasab, tetapi bermula dari permasalahan
syah<ldah. Al-Ruyani sendiri adalah salah satu dari sekian banyak ulama
Syafi'iyah yang mengutip pendapat Imam Syafi'i. Ada pula Ibnu Rif ah dalam
Kif<lyah al-Nabih yang redaksi kutipannya sama dengan al-Ruyani;
Perhatikan
nash Imam Syafi'i yang digarisbawahi. Khabar syaa'i' (kabar menyeluruh)
mendapatkan relevansinya sebagai dasar syah<idah jika memenuhi
beberapa syarat seperti berikut .
1. Tersiar
dalam masa yang lama.
2. Yang mengabarkan adalah orang
tepercaya ('adad al-taw<itur) dengan bilangan banyak yang tidak
dimungkinkan berbohong.
3. Saat kabar tersiar, tidak
ada penolakan atau penyelisihan .
4. Tidak terdapat
indikasi mencurigakan .
Kemudian, Imam Syafi'i menambahkan,
jika khabar syar 'i digunakan sebagai dasar persaksian nasab, atau yang
lebih dikenal dengan istilah syuhrah waistif<idhah,
syarat-syaratnya sebagai berikut .
1.
Tersiar dalam waktu yang lama.
2. Nasab tersebut
ternisbah pada orang atau kabilah tertentu .
3. Orang
lain/masyarakat ikut serta menetapkan nasab tersebut.
4.
Tidak pernah terdengar penolakan atau perselisihan .
5.
Tidak ada indikasi mencurigakan .
Terkait pembawa khabar syaa'i ,
ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Menurut Imam Abu Hamid dan
sekelompok jamaah ulama, cukup dengan dua orang yang adil. Sementara itu,
menurut al-Mawardi dan al Ghazali, yang mengabarkan harus bilangan orang
banyak yang sekira tidak dimungkinkan berbohong.
Kemudian,
untuk penjelasan syarat "tidak ada penolakan atau penye lisihan", Imam
al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin dan juga Imam al Rafi'i dalam al-'Aziz
Syarh_ al-Wajiz menjelaskan bahwa tsubut al-mukhalif wa al-mu'aridh itu
digambarkan pada sebuah kasus yang di sana mansub ilaih (orangyang dinisbahkan
pada nasab tertentu) mengingkari penisbahan nasab yang diarahkan kepadanya,
atau ketika masyarakat membantah khabar syaa'i tersebut. Jika nasab mengalami
hambatan-hambatan seperti ini, fikih Islam menyatakan nasab tersebut batal.
Perhatikan ibarat di bawah ini.
Perhatikan juga ibarat al-Baghawi
dalam al-Tahdzib fi Fiqhi al-Syafi'i :
Adapun contoh adanya
indikasi mencurigakan terhadap nasab itu, seperti tersiar kabar "keluarga ini
nasabnya sahih, akan tetapi ada sebagian cabang keluarga yang bukan berasal
darinya", berikut pernyataan Ibrahim bin Manshur :
Beliau
menambahkan beberapa hal yang dapat membatalkan nasab, seperti tersiar kabar
di khalayak umum bahwa Fulan bukan keturunan Bani Hasyim . Dengan
itu, Fulan tidak bisa menisbahkan nasabnya kepada Bani Hasyim kecuali ia
mendatangkan bayyinah/ saksi. Pendapat ini senada dengan pernyataan
al-Wasyali, pakar nasab dan sejarawan :
Pengakuan nasab seseorang
juga bisa dibatalkan dengan adanya penolakan dari pihak keluarga, kabilah,
atau klan yang diaku-akui. Contoh lain, masyarakat bimbang terhadap nasab
seseorang, apakah dari kabilah A atau kabilah B, atau ketika masyarakat tidak
ada yang tahu asal-usul nasabnya dari mana. Berikut pernyataan Ibrahim bin
Manshur.
Nah, semua kasus yang kami sebutkan itu adalah tafsiran
dan contoh konkret dari mu'aridh, munazi' , muk halif, dalalah raibah, yang
semuanya itu dapat menggagalkan keabsahan sebuah nasab, yang termaktub dalam
kutub al-fuqaha, termasuk Bahru al-M adzhab al-Ruyani dan al-Jawab al Jalil
lbnu Hajar al-'Asqalani. Lantas, apakah nasab Ba'alawi mengalami
tantangan seperti ini? Jelas tidak!
Pemahaman atas ibarat Ibnu
Hajar al-'Asqalani dalam al-Jawab al Jalil tidak jauh beda dari
keterangan al-Rafi'i dan al-Nawawi . Intinya, pembatalan nasab yang
telah ditetapkan dengan syuhrah wa istifad hah itu
bisa dilakukan jika ditemukan nash muk halif yang terbukti secara empiris. Hal
itu karena apa yang diterangkan oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani sebenarnya
hanya sebuah jawaban dari pertanyaan
tentang persaksian sebagian kabilah Tamim terhadap sebagian lainnya,
dapat dibenarkan atau tidak? Beliau menjawab: dapat dibenarkan . Berikut teks
lengkapnya .
Bahkan, kitabyangseringmenjadi rujukan Imaduddin dalam
pembatalan nasab Ba'alawi terkait masalah syuhrah dan istifcidhah, yakni
al-Ifcidhah fi AdiU ati Tsubuti al-Nasab wa Nafyuhu bi al-Syuhrah wa al-I
stifcidhah karya Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, ternyata menerangkan
secara
detail pembahasan tentang hal-hal yang dapat menganulir peran
syuhrah wa aHstifcidhah dalam nasab, serta disebutkan pula contoh-contohnya .
Sayangnya, keterangan-keterangan penting seperti ini tidak ditampilkan oleh
Imaduddin . Kewajiban menjaga amanah ilmiah yang sering digembar gemborkan
olehnya ternyata dilanggar sendiri, inkonsisten! InnciliUcihi wa innci ilaihi
rciji 'un. Mengapa Imaduddin hanya mengutip poin-poin yang sesuai dengan hawa
nafsunya, seperti mengutip kasus Thabariyah yang diklaim sama kasusnya dengan
Ba'alawi, padahal antara keduanya jelas qiyas ma'a al-fariq?
Selanjutnya,
Ibrahim bin Manshur menegaskan bahwa syuhrah wa istifcidhah hanya bisa
dianulir jika dibatalkan dari para ulama pakar nasab yang kredibel dan
berintegritas . Kritik yang sampai pada taraf qadih (membuat cacat) terhadap
nasab itu apabila dilakukan oleh:
1. Ulama (pakar
nasab),
2. Kredibel dan kapabel dalam ilmu nasab,
3.
Keagamaannya baik,
4. Objektif,
5.
Berintegritas,
6. Tidak fanatik terhadap pendapat
pribadi,
7. Tidak bertujuan diskriminasi,
8.
Latar belakang pembatalan nasab murni didasari amanah ilmiah, bukan dorongan
hawa nafsu, kesombongan, apalagi sentimen politik maupun nonpolitik,
9.
Memaparkan alasan dan argumentasi yang
dapat dipertanggung jawabkan secara syariat, dan
10.
Tidak menyelisihi konsensus ulama.
"Tidak ada yang bisa membatalkan
syuhrah wa istifcidhah kecuali kritikan dari pakar nasab kredibel yang
dilengkapi dengan penjelasan sebab dan bukti yang konkret. Kritikan itu
bersih dari tujuan diskriminasi, fanatik pada pendapat pribadi, dorongan hawa
nafsu, dan dilakukan oleh mereka yang benar-benar pakar dalam bidang ilmu
nasab, dan tidak melawan konsensus ulama. Syarat-syarat menjadi penting karena
tidak semua kritikan sampai ke taraf qadih (mencacat)." (Al-Ifcidhah, him.
75)
"Adapun jarh_ (pencacatan) yang tertolak dalam nasab adalah
jarh_ yang muncul tanpa dalil dan tafsir. Bisa pula karena ketidaktahuan atau
karena perselisihan materi, keilmuan, akidah, dan politik. Jarh yang seperti
ini tidak dianggap. Jika semua jarh diambil tanpa penjelasan, tidak ada nasab
yang selamat. Sebagaimana diketahui, orang kerap terburu-buru dalam
membatalkan nasab."
Contoh pertama seperti tindakan pembatalan
nasab yang dilakukan oleh al-Hafidz al-Naqid al-Nassabah Syamsu al-Din
al-Dzahabi (w. 748 H) terhadap penisbahan nasab al-'Allamah ibn Dihyah
al-Andalusi (w. 633 H) kepada sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi r.a. Dalam
pembatalannya, al Dzahabi mengajukan beberapa dalil berikut ini.
1.
Keturunan sahabat Dihyah al-Kalbi sudah inqiradh (habis).
2.
Dalam silsilah nasabnya terdapat nama-nama bangsa Barbar.
3.
Mustahil antara lbnu Dihyah dan sahabat Dihyah al-Kalbi hanya dipisah 10
orang. Padahal jika dihitung, harusnya 16 orang.
4.
Orang yang bertempat tinggal di daerahnya, Kalba/Kalfa (antara memakai ba dan
fa) daerah pesisir Daniyah, boleh menisbahkan dirinya dengan sebutan
al-Kalbi.
5. Tidak terdengar syuhrah wa al-istifcidhah
jika dia bermarga al-Kalbi.
Berikut teks dalam kitab Mbin
aH'tidciL
Contoh kedua seperti pembatalan nasab yang
dilakukan Ibn Hajar al 'Asqalani terhadap Syaikh Abu Bakar al-Qimmani (w. 852
H) yang mengaku sebagai keturunan sahabat Zaid bin Tsabit al-Anshari. Beliau
menjelaskan tiga keganjilan terkait nasab al-Qimmani.
1.
'Amudu al-nasab murak kab muftaro (dibuat-buat).
2.
Zaid bin Tsabit tidak memiliki anak yang bernama Malik.
3.
Memberi lakab kepada Abdurrahman bin salim dengan sebutan Dhiya' al-Din,
padahal waktu itu belum ada alam laqab yang disandarkan pada lafadz al-Din.
Berikut
dawuh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Inba' al-Ghumar bi Abnai al-'Umar:
Ibrahim
bin Manshur mengomentari kalam Ibnu Hajar dengan menambahkan satu alasan lagi,
yaitu tidak ditemukan syuhrah shahihah terkait al-Qimmani masih keturunan
al-Anshari. Oleh karena itu, Ibnu Hajar menegaskan bahwa nasab boleh
ditetapkan lewat jalur istifcidhah dengan catatan tidak ada kritik dari pakar
nasab yang kredibel.
Sekali lagi, mari kita uji kajian ilmiah Imaduddin .
Ia menuduh nasab Ba'alawi terputus sebab Ubaidillah terkonfirmasi bukan anak
Ahmad bin Isa karena namanya barn muncul pada abad ke-9 . Sejak abad ke-5
hingga abad ke-8 nama tersebut tidak ada dalam kitab-kitab nasab (yang ia
tahu). Atas dasar inilah ia menganggap kekosongan nama Ubaidillah selama
ratusan tahun sebagai muk halif , mu'aridh, munazi', dan indikasi mencurigakan
terhadap keabsahan nasab Ba'alawi.
Coba perhatikan dengan saksama
kutipan-kutipan kitab nasab dalam buku Imaduddin, baik yang berjudul Menakar
Kesahihan Nasab Habib di Indonesia maupun yang berjudul Terputusnya Nasab
Habib kepada Nabi Muhammad Saw. (penyempurna dari buku Menakar Kesahihan Nasab
Habib di Indonesia), yang dia anggap sebagai dalil qawiy, burhan jali , atau
bahkan hujjah qathi'ah atas keterputusan nasab Ba'alawi. Apakah keterangan
tersebut sah dijadikan sebagai muk halif-mu'aridh? Adakah redaksi yang secara
sharih. (eksplisit) mengarah pada ibthaljnafiy nasab? Ataukah ada kesamaan
narasi antara keterangan tersebut dan dawuh Imam al-Dzahabi dan al-'Asqalani
ketika membatalkan nasab? Berikut ini kutipan lengkapnya .
1.
Al-'Ubaidili (w. 437 H) dalam Tahdzibu al-Ansab wa Nihayah al-Alqab, him.
176-177;
2. Ali bin Muhammad al-'Umari (w. 490 H)
dalam al-Majdi fi Ansabi al Thalibin, him. 337:
3.
Abu Isma'il Ibrahim bin Nashir bin Thaba Thaba (w. 400 H) dalam
Muntaqilah al-Thalibiyah, him. 160:
4. Al-Fakhru
al-Razi (w. 604 H) dalam kitab al-Syajarah al-Mubarakah,
him . 111:
5.
Isma'il bin Husain al-Marwazi (w. 614 H) dalam al-Fak hri fi Ans<ibi al
Th<ilibin, him. 30:
6. Muhammad bin
al-Thaqthaqi al-Hasani (w. 709 H) dalam al-Ashili fi
Ans<ibi
al-Th<ilibin, him. 212:
7. Ibn 'Anbah
(w. 828 H) dalam 'Umdah al-Th<ilib fi Ans<ibi 'Ali Abi Th<ilib,
him.
225:
8. Pernyataan Ibnu al-A'raj
al-Husaini (w. 787 H) dalam al-Tsabat al Mushan, him. 83-84;
Imaduddin
mengutip referensi dari delapan ulama yang tidak menyebut Ubaidillah
sebagai putra Ahmad bin Isa, yaitu al-'Ubaidili (w. 437 H), al-'Umari (w. 490
H), Ibnu Thaba Thaba (w. 400 H), al-Razi (w. 604 H), al-Marwazi (w. 614 H),
al-Thaqthaqi (w. 709 H), Ibnu 'Anbah (w. 828 H), dan Ibnu A'raj (w. 787 H).
Padahal,
dari redaksi yang digunakan oleh ulama-ulama di atas tidak ada satu pun yang
menafikan. Tidak pula bisa disimpulkan demikian hanya karena mereka tidak
menyebutkan Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa. Selain itu, jika
dibandingkan secara kuantitas, ulama-ulama yang mengakui keabsahan nasab
Ba'alawi dalam kitab-kitab mereka berjumlah puluhan, bahkan ratusan, sehingga
informasi yang berbeda dengan ams utama jelas menjadi lemah dan tidak
representatif .
Menurut Imaduddin, ulama diam terhadap nama Ubaidillah
menunjukkan bahwa mereka menafikannya . Padahal, ini jelas keliru dan tidak
sesuai ilmu nasab.
Orang yang berakal pasti bisa membedakan mana
redaksi yang berkategori nafiy (penafian)/ibthal (pembatalan) dan mana yang
bukan . Dari delapan kutipan di atas tidak ada satu pun yang menafikan
Ubaidillah sebagai Ahmad bin Isa atau membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Dari
sini pembaca akan bisa menyimpulkan bahwa tuduhan Imaduddin terkait tsubut
al-muk halif wa al-mu'aridh dalam nasab Ba'alawi adalah tuduhan ngawur dan
tidak berdasar . WaUahu a'lam.
KESIMPULAN
1.
Tidak ada satu pun ulama yang menafikan dan men-tha'nu nasab Ba'alawi. Adapun
yang tidak menyebutkan sama sekali tidak berarti apa-apa. Tidak menyebutkan
tidak berarti menafikan atau mengisbat . Hal ini menunjukkan tidak adanya
mukhalif (informasi sebaliknya ) atau daft' (penolakan) terhadap syuhrah nasab
Ba'alawi.
2. Sebaliknya, sangat banyak ulama besar yang
mengisbat nasab Ba'alawi dan menjadi saksi atas kepopuleran (syuhrah) atas
keabsahan nasab mereka sebagaimana telah kami uraikan di Bab I. Bahkan, para
ulama Hadramaut dan Yaman tempat Ba'alawi berdomisili secara turun-temurun
selama 1.000 tahun semenjak zaman Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sampai saat
ini, tidak ada yang men-tha'nu dan menafikan nasab Ba'alawi. Sampai-sampai,
ulama besar seperti al-Muhibbi dan al-Nabhani memandang bahwa kesepakatan
ulama yang membahas keabsahan nasab Ba'alawi adalah sebuah ijmak akan
keabsahan nasab tersebut . Hal ini menunjukkan bahwa di mata para ulama besar
syuhrah nasab Ba'alawi dari awal memang sudah ada dan sudah memenuhi kriteria
syariat serta tidak ada muk halif (keterangan sebaliknya) dan daft'
(penolakan) yang otoritatif . Buktinya nasab Ba'alawi sampai kepada para ulama
tersebut, bahkan mereka mencatat dan memverifikasinya . Jika mereka menemukan
muk halif/ daft'jdaliilah raibah, kewajiban mereka mengkritiknya, seperti apa
yang kami contohkan di atas. Dengan demikian, pengakuan dari para ulama besar
tersebut merupakan verifikasi bahwa syuhrah dan istifiid hah nasab Ba'alawi
sebagai dzurriyah Nabi Saw. sudah benar dan nasab mereka sudah sah menurut
standar ilmu syariat.
3. Hanya Imaduddin yang
memaksakan ada muk halif terhadap syuhrah dan
istifiidhah nasab Ba'alawi . Apa yang dipahami Imaduddin ini tidak
pernah menjadi pemahaman satu pun dari ulama sebelumnya . Ini berarti
keberadaan muk halif hanya "diada-adakan" dalam standar Imad, bukan standar
para ulama, alias syiidz. Lucunya, Imaduddin menganggap hanya dirinya yang
benar, selainnya salah. Bahkan, Imaduddin selalu mengatakan bahwa orang yang
menyatakan nasab Ba'alawi memenuhi kriteria syuhrah dan istifcidhah tidak
memahami fikih! Konsekuensinya, hanya Imaduddin yang paham fikih, sementara
semua ulama di atas tidak paham? Luar biasa.
G.
Mengubah Spirit Ilmu Nasab
Tujuan utama mempelajari nasab adalah
mengetahui ketersambungan nasab sehingga menjadi jalan menyambung tali
silaturrahim . Hal itu diutarakan langsung oleh Rasulullah Saw. dalam hadis
riwayat al-Turmudzi.
"Pelajarilah dari nasab kalian sesuatu yang
membuat kalian bisa menyambung tali silaturrahim kalian ."
Bahkan,
dalam konteks fikih Islam, konsep nasab terbangun di atas prinsip keluasan di
dalam mengisbat (menetapkan nasab) selama ada dalil yang dibenarkan syariat
dan kehati-hatian dalam menafikan (membatalkan nasab), sehingga tidak
menafikan kecuali dengan dalil terkuat. Hal ini diungkapkan oleh al-Imam lbnu
Qudamah dalam al-Mughni :
"Sungguh, sebuah nasab sangat ihtiycith
dalam menetapkannya sehingga ia bisa ditetapkan dengan dalil terendah.
Konsekuensi dari itu, (syariat) sangat ketat dalam (membolehkan) penafian
nasab, dan nasab tidak bisa dinafikan (dianggap putus) kecuali dengan dalil
terkuat."
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada
kasus Imad. Ia yang tak pernah dikenal sebagai nassabah yang mencatat dan
menyambungkan nasab tiba-tiba tampil sebagai peneliti nasab dadakan dengan
semangat menggebu gebu untuk membatalkan nasab orang.
Kebalikan dari konsep syariat Islam di atas, dalil selemah
apa pun akan diutak-atik dan digiring Imaduddin untuk membatalkan nasab
Ba'alawi. Sebaliknya, dalil sekuat apa pun yang disebutkan para ulama dalam
mengisbat nasab Ba'alawi akan ditolak mentah-mentah dengan berbagai alasan
yang tidak berbasis ilmu nasab. Bagi Imad, yang penting nasab Ba'alawi batal.
Luar biasa!
Jangankan Sadah Ba'alawi yang keabsahan nasabnya sudah
diyakini, di pastikan, dan diumumkan banyak ulama besar, pembesar Mazhab
Syafi'i, al Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dalam al-Fatawa al-.Haditsiyyah
mengatakan, "Andai ada seorang sayid yang diragukan kebersambungan nasabnya,
selama nasabnya bisa dibenarkan dalam sudut pandang syariat, tetap wajib
dihormati karena kemuliaan nasabnya. Bahkan, jika nasabnya tidak terkonfirmasi
secara syariat, tapi tidak terbukti pula dia berbohong, hendaknya tawaqquf
(tidak mengisbat juga tidak menafikan). Inilah kehati-hatian seorang al-Imam
Ibnu Hajar al Haitami berkaitan dengan nasab keturunan Rasulullah Saw.
Berikut redaksinya :
Sikap ini berbanding terbalik dengan apa yang
ditunjukkan Imad. Nasab Ba'alawi yang diyakini dan diisbat sangat banyak ulama
sesuai standar syariat malah seenaknya ditolak. Para Ba'alawi pun dihina,
dimaki, dan difitnah. La hauLa waL<i quwwata iLL<i' biLL<ih.
Terkait
memperlakukan nasab para asyraf yang dikenal sebagai keturunan Rasulullah
Saw., al-Imam lbnu Hajar al-Haitami memberikan petuah yang patut pembaca
renungkan dengan baik.
"Tidak seyogianya bagi seseorang
meminum racun, padahal dia bisa mencari keselamatan . Jika ada seseorang
disegani dan dimuliakan karena ia keturunan orang saleh, bagaimana dengan
orang yang bernasab kepada Penghulu Semua Makhluk (Nabi Muhammad Saw.). Semoga
Allah bangkitkan kita dalam kelompok pencinta Rasulullah Saw., keluarga, dan
sahabatnya. Amin."
H. Menerapkan Ilmu Filologi
secara Keliru dan Tidak Adil
Seorang filolog yang sempat terlibat dalam
polemik nasab ini menyebutkan bahwa pembuktian keberadaan seorang sosok
sejarah perlu didukung oleh bukti eksternal, selain bukti internal. Ia
memberikan contoh bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad juga disebutkan dalam
kitab-kitab agama lain. Selain itu ia juga menyebutkan nama tokoh yang dikenal
dalam historiografi Nusantara yaitu Aji Saka, tokoh yang dikenal
dalam budaya Jawa maupun Sunda. Bahkan, ada manuskrip yang menyebut orang
Jawa itu dengan sebutan "Bani Jawi" dan dilanjutkan
dengan "wayahipun Nabi Ismangil" yang maksudnya adalah keturunan Nabi
Ismail.
Pendapat seperti di atas ini adalah pendapat yang sangat keliru,
naif, dan fatal. Apalagi datangnya dari seorang filolog. Mengapa?
Jika
kita ingin konsisten dengan metode ini maka berbagai dokumen atau sumber
eksternal yang menyebutkan keberadaan Nabi Ibrahim itu tidak ada yang ditulis
pada zaman Nabi Ibrahim atau zaman yang berdekatan dengan Nabi Ibrahim itu
sendiri. Sumber eksternal, baik manuskrip atau sumber lainnya yang
mengindikasikan keberadaannya tidak bisa dibuktikan kapan ditulisnya dan
otentisitasnya . Semua itu berdasarkan manuskrip yang ditulis belakangan dan
jauh setelah masa Nabi Ibrahim hidup. Keberadaan Nabi Ibrahim semata mata
dikenal oleh keturunan dan masyarakat sekitarnya dari mulut ke mulut selama
berabad-abad . Barulah kemudian dituliskan dalam manuskrip atau disebutkan
dalam kitab suci pada masa selanjutnya . Dokumen eksternal Hindu
yang diklaim menyebutkan nama dan keberadaan Nabi
Ibrahim itu pun tidak diketahui kapan ditulisnya dan sangat spekulatif .
Isinya juga tidak menyebutkan namanya secara jelas sehingga deduksinya pun
semata-mata berdasarkan analisis dan interpretasi. Sumber-sumber
itu sama sekali bukan hal yang qath'i (pasti), terlepas
kemungkinan dikenalnya Nabi Ibrahim dalam agama Hindu atau agama lainnya .
Kita juga mengetahui bahwa kitab-kitab suci selain Al-Qur'an tidak autentik
sehingga informasi yang ada di dalamnya tidak bisa dijadikan sumber primer.
Sang
filolog kemudian membandingkan keberadaan Nabi Muhammad yang didukung dengan
adanya sumber eksternal seorang rahib Yerusalem bernama Sophronius yang hidup
sezaman dengan Rasulullah dan beberapa Khalifah Rasyidin . Perbandingan
seperti ini sungguh tidak adil dan subjektif . Jika logika ini
digunakan maka tidak akan kita temukan
dokumen eksternal sezaman atau berdekatan, bahkan internal
sekalipun yang menyebutkan berbagai nama sahabat Nabi seperti Tsauban, Ammar
bin Yasir atau bahkan Abubakar sekalipun. Semua informasi mengenai sahabat
Nabi ini didapatkan dari riwayat lisan baik melalui hadis atau sumber sejarah
lain yang ditulis belakangan, lebih dari 150 tahun setelah wafatnya Nabi.170
Dalam dunia sejarah dan ilmu modern sekalipun, sumber atau tradisi lisan
(sejarah yang tersebar dari mulut ke mulut) juga bisa diterima sebagai sumber
sejarah jika didukung fakta yang kuat, sebagaimana disebutkan oleh seorang
pakar sejarah Donald Ritchie dalam buku yang berjudul Doing Oral History,171
"Oral history has room for both the academic and the layperson .
Withreasonable training ... anyone can conduct a useable oral history (Sejarah
lisan memiliki ruang bagi akademisi dan orang awam. Dengan pelatihan yang
masuk akal ... siapa pun dapat melakukan sejarah lisan yang bisa
digunakan)."
Sumber sezaman dan primer bukan berarti tidak penting,
tetapi mengira bahwa tanpa keduanya maka sebuah tokoh jadi fiktif
berarti orang tersebut tidak mengerti bagaimana kajian sejarah bekerja.
Filologi itu hanyalah sebuah tool atau alat bantu dalam mengkaji sebuah
sejarah. Bagaimana mungkin alat bantu bisa dipakai untuk memvonis? Bukankah
alat bantu atau wasilah itu tidak lebih tinggi dari sejarah itu sendiri
(ushul)?
Kalau kita mau jujur tidak akan ditemukan sejarawan baik
di Timur maupun Barat yang memiliki kesimpulan bahwa "tanpa sumber sezaman,
maka fiktif ' seperti yang dipahami dan disampaikan sang filolog di berbagai
forum itu. Bahkan sejarawan masa sekarang yang kritis pun tidak ada yang
sepicik itu. Kalau toh ada yang seperti itu mereka termasuk kelompok yang
dianggap outlier.Orang-orang seperti ini bahkan tidak memercayai keberadaan
para nabi, termasuk Nabi Isa dan Nabi Muhammad . Al-Qur'an dan semua Sirah
Nabawi (atau Sirah Maghazi) pun menjadi cerita fiktif semuanya . Apakah
orang-orang seperti ini yang kita jadikan panutan?
Sebagai
bahan renungan, perlu diketahui bahwa manuskrip Al-Qur'an tertua yang bisa
dijumpai saat ini adalah manuskrip Birmingham 172 yang diperkirakan ditulis
antara tahun 568-645 M, yaitu pada periode antara masa hidup Nabi
Muhammad dan Khalifah Utsman. Manuskrip yang ditulis pada kulit hewan ini
hanya menuliskan potongan beberapa surah. Disebut manu skrip Birmingham
karena ditemukan, diteliti, dan disimpan di Universitas Birmingham di Inggris.
Manuskrip Al-Qur'an tertua lainnya yang ditemukan adalah manuskrip Shana'a
(Yaman) yang ditemukan pada 1972 di Masjid Agung Shana'a di Yaman .
Berdasarkan tes radiokarbon, manuskrip ini diperkirakan ditulis sebelum tahun
671 (39 H). Diperkirakan pada zaman Khalifah Utsman atau Ali ibn Abi Thalib.
Manuskrip Al-Qur'an ini pun tidak utuh. Banyak ayat yang hilang dan
tidak terbaca . Manuskrip ini hanya menuliskan kurang dari separuh isi
Al-Qur'an yang kita ketahui. Lalu, apakah karena hanya bersandar pada sumber
yang selamat ini Al-Qur'an yang ada di tangan kita saat ini tidak sempurna,
batal, dan sebagian besar isinya palsu?
Jika kita melangkah ke dunia
hadis maka sumber-sumber asli penulisan hadis yang bisa didapatkan saat ini
juga ditulis jauh setelah masa hidup Nabi Muhammad Saw. Menurut para ahli
Barat manuskrip hadis tertua yang di temukan adalah kitab Ghani'ib al-.Hadits
yang ditulis oleh Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam yang hidup antara abad kedua
dan ketiga Hijriah (770-838). Sementara manuskrip yang ada saat ini adalah
manuskrip yang ditulis kembali tahun 252 Hijriah . Manuskrip yang tidak
lengkap ini sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda
.Jika kita mengikuti pola pikir seperti ini maka sangat beralasan jika
seseorang akan menolak otentisitas sebagian besar Al-Qur'an atau
beranggapan hadis itu sebagai rekaan sejarawan atau
pengarang cerita. Ini adalah cara berpikir orientalis
non-Muslim yang selalu mencoba mencari jalan untuk membatalkan keaslian
Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad . Cara berpikir seperti inilah yang membuat
banyak orang menjadi ateis, khususnya yang menjangkiti masyarakat dan ilmuwan
di dunia Barat. Cara berpikir seperti ini pulalah yang diadopsi para pembatal
nasab dengan menggunakan kedok filologi. Ironisnya, cara berpikir seperti ini
hanya diterapkan secara selektif terhadap klan Ba'alawi tetapi tidak pernah
diterapkan untuk kelompok atau klan lainnya.
Anggaplah
kita memercayai bahwa Rasulullah adalah keturunan Nabi Ismail karena ada
sumber eksternal yang menyebutkannya, walaupun sumber yang pertama kali
menyebutkan hal ini ditulisjauh belakangan . Lalu, bagaimana dengan nasab Nabi
Muhammad sampai kepada Adnan yang tidak tercatat selama lebih dari seribu
tahun? Tidak ada sumber eksternal yang menyebutkan keberadaan Adnan atau
nama-nama leluhur Nabi lainnya seperti Mudhar, Nizar, atau Mudrikah . Semua
nama itu dan nasab kabilah-kabilah Arab lainnya didapatkan semata-mata
berdasarkan riwayat lisan turun-temurun melalui keturunannya . Riwayat lisan
itu diterima oleh masyarakat luas selama berabad abad. Argumen bahwa hadis
itu berdasarkan isnad pun pada dasarnya adalah metode yang diterapkan
belakangan . Itu pun berdasarkan tradisi lisan yang kemudian
didokumentasikan . Ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan konsep Syuhrah dan
Istifcidhah dalam ilmu nasab dan sejarah. Semuanya berdasarkan informasi oral
yang didokumentasikan belakangan .
Membandingkan ketenaran dan keberadaan
Nabi Musa atau Nabi Muhammad dengan sosok Ubaidillah
yang tinggal di daerah pinggiran hanya mengandalkan
dokumen eksternal adalah perbandingan yang tidak masuk akal. Itu
bagaikan membandingkan apel dengan apem. Nabi Musa dan Nabi Muhammad adalah
nabi dan rasul yang tinggal di daerah yang banyak berinteraksi dengan
masyarakat luar, memiliki umat yang banyak, dan ke tenarannya meliputi
berbagai penjuru. Sementara Ubaidillah (Abdullah) dan ayahnya, Ahmad ibn Isa,
hijrah dan hidup di daerah yang relatif terisolasi sehingga sulit
berinteraksi dengan dunia luar sampai berabad-abad
lamanya.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa Ahmad ibn Isa hijrah ke
Hadramaut untuk mencari kedamaian dan ketenangan agar bisa menjalankan dan
mengajarkan agama dengan damai, menjauhi gejolak politik dan hiruk pikuk
yang terjadi di Irak pada masa itu. Ubaidillah juga dikenal sebagai seorang
yang tawadhu dan tidak menyukai ketenaran . Pilihannya untuk memilih nama
Ubaidillah ketimbang Abdullah itu pun menunjukkan sifat tawadhu dan
khumul.173
Hadramaut dengan alamnya yang keras adalah daerah yang relatif
terisolasi dan minim interaksi dengan budaya luar, khususnya sebelum abad ke-7
H. Budaya literasi dan tulis menulis, apalagi pelestariannya tidak banyak
dikenal di sana sampai abad ke-7 H. Maka, di samping minimnya sumber tulisan
atau dokumentasi pada periode ini, sistem pemeliharaan dokumen yang ada saat
itu pun masih sangat terbatas. Sangat wajar jika saat ini kita kesulitan
mendapatkan sumber tulisan mengenai Hadramaut yang ditulis sebelum abad ke-7
H. Hal ini sesuai dengan pendapat para pakar dan sejarawan Hadramaut sendiri
seperti yang dituangkan dalam kesimpulan pembahasan Muktamar mengenai sejarah
dan sejarawan Hadramaut abad ke-6 sampai dengan 9 Hijriah yang diadakan di
Mukalla pada 2016.174 Karenanya sangat wajar jika informasi tertulis dan nama
nama tokoh setempat tidak banyak ditemukan di sumber-sumber sejarah
tertulis pada periode itu, baik karena hilang atau memang tidak dicatat. Jika
sumber setempatnya saja tidak mencatat maka apalagi
sejarawan luar atau ahli nasab luar yang jauh dari daerah ini. Hal
serupa tentunya bisa dijumpai di banyak tempat lainnya. Ini adalah fenomena
yang wajar.
Minimnya pelestarian catatan
sejarah di kalangan Alawiyyin abad abad awal
ini sempat dikeluhkan oleh Sayid Muhamad ibn Ali Khird dalam kitab
al-Ghurar, termasuk sejarah dan kiprah keluarga Basri dan Jadid yang
tidak banyak tercatat, juga catatan
Imam Ahmad ibn Isa yang mencatat hijrahnya ke
Hadramaut dan berbagai peristiwa yang dialaminya
ketika hijrah dan semasa menetap di Hadramaut . Namun, berbagai bukti
arkeologis menegaskan keberadaan jejak mereka pada masa-masa awal tersebut .
Makam mereka masih ada dan dikenal masyarakat setempat, sumur Suha yang digali
Ubaidillah, masjid yang mereka dirikan, termasuk nama Masjid Bani Ahmad yang
menunjukkan masjid keturunan Ahmad (ibn Isa), yang akhirnya dikenal dengan
masjid Ba'alawi . Demikian pula pemberian nama Qasam175 yang berasal dari nama
daerah tempat tinggal Ahmad ibn Isa dan keluarganya di Basrah, juga nama
Alawi176 atau Alwi yang boleh dikatakan hampir eksklusif digunakan oleh
keturunan Ali ibn Abi Thalib sebelum abad ke-5. Tidak ditemukan nama Alwi
sebelum itu di Hadramaut . Bukan hanya berbagai bukti arkeologis, sejarah, dan
kultural yang saling menguatkan satu sama lain. Bahkan tanggal ia tiba di
Hadramaut pun diketahui turun- temurun dan diperingati oleh keturunannya
dan masyarakat Hadramaut sampai sekarang. Seorang ahli filologi yang jujur dan
objektif tentu akan sangat mudah memahami dan menerima semua ini.
Terlepas
dari kurangnya pelestarian manuskrip dan dokumentasi sebelum abad ke-6
Hijriah, sungguh naif bagi seorang filolog mengambil kesimpulan tergesa-gesa
sebelum melakukan penelitian serius terhadap berbagai sumber sejarah dan
manuskrip tentang Ahmad ibn Isa, Ubaidillah dan putra-putranya, yaitu Basri
(nama aslinya Ismail), Alwi.
Membuat kesimpulan tanpa melakukan studi
yang mendalam terhadap subjek yang diteliti adalah tindakan yang sangat tidak
akademis dan tidak sesuai dengan kaidah penelitian ilmu. Apakah sang "filolog"
ini sudah pernah melakukan studi lapangan ke berbagai situs sejarah Ba'alawi
di pusatnya? Sudah sampai mana sang filolog meneliti manuskrip-manuskrip
sejarah di abad-abad itu dan melakukan perbandingan dengan keluarga-keluarga
Asyraf lainnya? Apakah kesimpulan sangfilolog ini semata-mata mengandalkan
search engine di internet dan kitab-kitab yang bisa dibeli di pasar bebas?
Sudahkah sang filolog melakukan eksplorasi dan berkomunikasi dengan para ahli
sejarah, antropolog, dan filolog ahli lainnya yang meneliti hal ini? Apakah ia
tidak menyadari bahwa beberapa isnad hadis yang bersumberkan
manuskrip-manuskrip lama yang diriwayatkan dan dibukukan oleh seorang
muhaddits kelas dunia asal Nusantara yang digelari musnid al-dunya seperti
Syaikh Yasin al-Fadani menyebutkan sanad hadis berantai yang bersambung ke
Alwi dan Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa. Sudah sampai mana ia mencari sehingga
kemudian dengan gegabah menyimpulkan tidak ada rujukan yangjelas, padahal
belum mencari. Di lain pihak para sejarawan Barat dan non-Muslim lain seperti
Engseng Ho, Robert Bertram Serjeant, Kazuhiro Arai, Ulrike Freitag, dan
lainnya yang sudah melakukan studi lapangan malah sampai pada kesimpulan
sebaliknya. Sungguh ironis!
Sekarang coba kita terapkan kaidah nasab dan
filologi yang mengada-ada ini terhadap beberapa nasab S<idah Asyraf lainnya
yang dianggap sah, kuat, dan diterima berbagai kalangan, misalnya S<idah
Jailani, Rifa'i, dan grup Qatadah (Asyraf Hijaz, leluhur raja Yordan saat
ini). Syaikh Abdul Qadir al-Jilani hidup antara abad kelima dan enam Hijriah
sama dengan masa hidup Ali Khali' Qasam. Syaikh Ahmad al-Rifa'i hidup pada
abad keenam Hijriah, sama dengan Muhammad Shahib Mirbath, sementara Qatadah
ibn Idris wafat pada abad ketujuh Hijriah .
Syekh Abdul Qadir al-Jilani
adalah ulama yang sangat tersohor pada zamannya bahkan hingga sekarang. Ia
hidup di Irak yang merupakan pusat kebudayaan Islam. Sangat wajar jika para
sejarawan dan ahli nasab mengetahui dan menyepakati latar belakang serta nasab
sosok besar ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Adakah kitab nasab dan
sejarah pada zaman ia hidup atau yang berdekatan yang menyebutkan nama ayah
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yaitu Abu Shalih Janki Dausat atau kakeknya,
yaitu Abdullah ibn Yahya al-Zahid? Bahkan tentang namanya, ada dua versi yang
berbeda. Sebagian menyebutnya Abdullah ibn Muhammad ibn Yahya al-Zahid dan
sebagian lain menyebutkan nama Abdullah ibn Yahya al-Zahid. Apakah benar
Syaikh Abdul Qadir adalah putra Abu Shalih Musa Janki Dausat dan apakah benar
Janki Dausat adalah anak Abdullah ibn Yahya al-Zahid?
Pendapat yang
kita temukan justru berbeda-beda mengenai penisbahannya kepada Asyraf Hasani
ini. Syajarah Mubarakah yang diklaim karangan Imam Fakh al-Razi yang hidup
tidak lama setelah al-Jilani tidak menyebutkan nasab al-Jilani maupun nama
ayah dan kakeknya . Demikian pula berbagai kitab nasab terkenal yang ditulis
setelah masa hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jilani seperti al-Fakhri dan al-Majdi
. Ibn Funduq al-Baihaqi yang hidup sezaman dengan al Jilani juga tidak
menuliskan figur al-Jilani maupun kakeknya . Bahkan Imam al Dzahabi dan Ibn
Taymiyah yang hidup pada zaman anak keturunan al-Jilani sudah banyak
tersebar dan ketokohan Syaikh Abdul Qadir sudah sangat populer menolak
kesayidan al-Jilani. Dan yang lebih parah lagi, Ibn Inabah, ahli nasab
terkenal abad kedelapan Hijriah yang masih satu leluhur dengan Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani, yaitu pada kakek yang bernama Yahya al-Zahid, menolak nasab
al-Jilani ini. Lalu, apakah dengan tidak disebutkannya beberapa leluhur Syaikh
Abdul Qadir dan beberapa ketidakcocokan nama menjadikan nasab Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani ini batal? Tentu tidak! Kesepakatan akan nasab Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani sudah dikenal para ulama dan ahli tahkik. Mengapa kita bisa
menerima nama ayah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dengan berbagai versinya yaitu
Abu Shalih, Musa, dan Janki Dausat tetapi menolak nama Ubaidillah yang hanya
merupakan nama populernya dan bentuk tashghir dari nama aslinya
yaitu Abdullah? Seberapa banyak orang yang mengenal Pangeran Diponegoro dan
Imam Bonjol hanya dengan gelar mereka, padahal mereka hidup kurang dari 200
tahun lalu.
Hal yang sama kita jumpai untuk nasab Sidi Ahmad
al-Rifa'I, seorang tokoh besar yang hidup di Irak. Amud Hasan Rifa'ah yang
leluhurnya dianggap simpang siur karena ada yang menisbahkan leluhurnya
kepada Hasan ibn Husain ibn Ahmad al-Shaleh (al-Akbar) yang merupakan
salah satu keturunan Imam Musa al-Kazhim, sementara versi lain
menisbahkannya kepada saudara Hasan yang al-Hasan dengan al-Qasim. Nama
ayah, kakek, dan leluhur Ahmad Rifa'i sampai beberapa generasi ke atas sampai
Husain al-Shalih ibn Musa al-Tsani pun tidak tercatat dalam kitab nasab
sezaman ataupun dokumen lainnya . Lalu, apakah karena mereka tidak tercatat di
kitab kitab nasab selama lebih dari dua abad berarti nasabnya batal dan Sidi
Ahmad al-Rifa'i atau leluhurnya mencantolkan nasab mereka menjadi keturunan
Nabi hanya untuk mencari popularitas? Sungguh tidak masuk akal bahwa sosok
wali besar seperti Ahmad al-Rifa'i dan leluhurnya melakukan itu. Semua
kerancuan ini sudah dibahas, ditahkik, dan dijawab oleh para ulama nasab
tepercaya dan semua mengakui nasab al-Rifa'i secara ijmak. Berbagai kitab
menjelaskan hal ini yang tentunya di luar topik pembahasan buku ini.
Demikian
pula dengan nasab Qatadah ibn Idris yang merupakan leluhur Asyraf Hijaz (para
Syarif Makkah dan leluhur Raja Yordan saat ini). Nasab ini bersambung kepada
Abdullah ibn Muhammad ibn Musa al-Tsani yang merupakan keturunan Sayidina
Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Beberapa ahli nasab seperti Ibn Funduq
al-Baihaqi yang hidup pada abad ke-6 menyebutkan bahwa Abdullah ibn Muhammad
tidak berketurunan . Bahkan ia menyebutkannya dengan tegas:
"Abdullah
ibn Muhammad ibn Musa al-Tsani tidak punya keturunan secara mutlak."
lbn
Inabah (w. 828 H) dalam kitab nasabnya yang terkenal yaitu 'Umdah al
Thcilib
menyatakan :
"Muhammad al-Ashghar yang bergelar
al-Arabi dan Husain al-Ashghar, keduanya anak Musa al-Tsani.
Keturunan keduanya terputus ."
Bukan hanya ditolak dua ahli nasab,
nama-nama leluhur Qatadah ibn Idris selama delapan generasi tidak tercatat di
kitab-kitab nasab atau sumber eksternal lain. Lalu, apakah karena ini nasab
mereka batal? Tentu saja pendapat ini ditolak mayoritas sejarawan dan ahli
nasab setelah melakukan penelitian dan tahkik. Banyak lagi contoh lainnya,
tetapi kami cukupkan karena keterbatasan ruang dan bahasan .
Sekarang
marilah kita pergunakan timbangan yang sama dan logika akal sehat. Adakah
sejarawan atau ahli nasab yang muktabar dari abad ke-5 sampai abad ke-14 yang
membatalkan nasab Ba'alawi?
Jawabannya : tidak ada sama sekali!
Kesimpulannya,
jika kaidah nasab dan filologi ini diterapkan kepada nasab Asyraf lainnya atau
bahkan di luar Asyraf maka niscaya hampir semua nasab para sayid yang ada dan
dikenal di dunia ini batal semuanya!
Ada lagi sebuah teori yang diusung
sang filolog yang mencoba mencari solusi nasab Ba'alawi dengan menduga-duga
bahwa Ubaidillah adalah menantu Ahmad ibn Isa. Ia menggunakan tradisi Kristen
yang pernah dikenal di Timur Tengah dan sebuah ungkapan dalam kitab Injil,
yaitu dalam kitab Lukas pasal 3 ayat 23 yang menyebutkan penisbahan nasab
seorang laki-laki bernama Yusuf (suami Siti Maryam ibunda Nabi Isa) kepada
mertuanya yang bernama Elie. Dalam Injiil Lukas pasal 3 ayat 23 tertulis:
(3:23)
Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia
berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia
adalah anak Yusuf, anak Eli .
Dugaan sang filolog ini berdasarkan
sumber sejarah yang menyebutkan bahwa di Yaman dahulu banyak penganut Kristen
sehingga tradisi yang diterima dalam agama Kristen mungkin diadopsi penduduk
Yaman. Teori dan dugaan ini tertolak dan keliru . Mengapa?
1)
Penggunaan Injil yang sudah terdistorsi dan mengalami tahrif sebagai referensi
sejarah, kemudian dijadikan alat untuk mendukung satu teori tidak dapat
diterima karena sarat dengan kesalahan dan bertentangan dengan fakta
yang benar. Kesalahan di sini sangat jelas . Injil menyebutkan ayah Maryam
bernama Eli, sedangkan Al-Qur'an jelas-jelas menyebutkan Siti Maryam adalah
anak Imran (Amran atau Amram dalam bahasa Ibrani), sehingga nama Eli dan
cerita di Injil Lukas tersebut otomatis tertolak.
2)
Pengaruh dan penganut Kristen di Yaman pada zaman Nabi hanya dominan di daerah
utara, khususnya daerah Najran dan tidak sampai ke Hadramaut yang terletak di
Selatan dan jauh di sebelah Timur. Tidak ada sumber se jarah yang menyebutkan
bahwa pernah ada periode di mana banyak penduduk Hadramaut memeluk agama
Kristen .
3) Penisbahan nasab kepada mertua tidak
dikenal dalam budaya Arab, apalagi di Yaman yang budaya kesukuannya masih
sangat kental, khususnya pada masa itu. Ini bisa dilihat di berbagai sumber
dalam literatur sejarah Islam dan Arab.
4) Pada abad
keempat Hijriah, masa Ubaidillah hidup, Yaman secara kese luruhan
adalah kawasan yang hampir semua penduduknya sudah masuk Islam, kecuali
sekelompok minoritas Yahudi yang bertahan . Dalam agama Islam penisbahan nasab
jelas kepada ayah, sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Ahzab ayat 5.
Karena itu, semua tradisi yang berbasiskan Injil, jika memang ada, pasti sudah
punah dari negeri Yaman, apalagi di Hadramaut. Apalagi jika merujuk ke kitab
yang ditulis al-Janadi pada abad kedelapan Hijriah, semua nasab dalam kitab
itu dinisbahkan ke ayah, tidak ada melalui jalur ibu atau mertua. Tentu saja
penisbahan nasab terhadap mertua ini sama sekali tidak dikenal. Tampaknya Sang
Filolog kurang memahami geografi, sejarah, demografi, dan kultur di Yaman dan
Arabia Selatan.
Dari berbagai analisis sejarah, nasab, dan tinjauan
filologi tersebut marilah kita bandingkan dengan legenda Aji Saka dan Bani
Jawi yang disebutkan sang filolog. Bagaimana mungkin kita menggunakan analisis
sejarah, bukti historis, arkeologis, kitab-kitab nasab, sumber internal,
eksternal dan yang lainnya untuk membatalkan Bani Alawi,
keberadaan sosok Ubaidillah dan nasabnya sementara dengan begitu
mudahnya memercayai legenda Aji Saka dan narasi Bani Jawi yang tidak jelas
sumbernya dan bersifat khurafat? Kapan Aji Saka muncul di manuskrip tua serta
sumber eksternal apa yang menunjukkan ke beradaan sosok ini? Jika kita
pelajari lebih lanjut, kita akan menemukan cerita cerita mistis dan dongeng
serta khurafat dalam agama Hindu terkait sosok yang konon berasal dari Bumi
Majeti, satu lokasi mitos di Jambudwipa . Di manakah Jambudwipa yang berasal
dari legenda India kuno itu di peta dunia?
Tidak cukup dengan itu,
legenda yang bertutur tentang "Bani Jawi adalah wayahipun Nabi Ismangil itu"
malah dipercayai dan dijadikan perbandingan . Kapan dan dari mana teori ini
muncul? Kata "Bani" itu sendiri berasal dari bahasa Arab, yang tentunya
digunakan setelah agama Islam tersebar di pulau Jawa. Ini jelas menunjukkan
sesuatu yang barn, apalagi Nabi Ismail itu sendiri tidak pernah dikenal di
Nusantara sebelum Islam masuk. Seperti apakah nasab dan catatan sejarah orang
yang menyambungkan dirinya kepada Nabi Ismail itu? Dari puak manakah mereka
berasal sehingga mereka tersambung kepada Nabi Ismail? Adakah sumber eksternal
yang mendukung cerita ini? Manuskrip apa yang menyebutkannya dan siapakah
penulisnya? Apakah ada titi mangsanya?
Bagaimana kita dengan mudah
memercayai berita yang jelas barn dan sama sekali tidak didukung bukti
historis serta bersumber hanya dari dongeng dan khurafat, sementara di sisi
lain dengan gigihnya menolak fakta sejarah yang didukung berbagai bukti
historis, arkeologis, budaya, dan catatan keluarga yang kebenarannya
disepakati oleh hampir semua sejarawan, ulama, dan ahli nasab di berbagai
penjurn dunia? Ini sama saja dengan memercayai dongeng yang menyebutkan bahwa
Nabi Sulaiman adalah orang yang membangun candi Borobudur. Serendah dan
semurah itukah kita menjual logika akal sehat demi membatalkan nasab
sekelompok besar kaum Muslim yang keabsahannya sudah diakui secara ijmak dari
masa ke masa?
KEDUA Menentang, Mengabaikan, dan Merendahkan
Pengakuan para Ulama Muktabar tentang Nasab Ba'alawi
Keabsahan
nasab Ba'alawi bukan hal barn (naw<izil) yang tidak pernah I(dibahas
para ulama sehingga membutuhkan ijtihad/penggalian hukum yang barn.
Nasab Ba'alawi dan status mereka sebagai
asyraf/sadah sudah sampai ke tangan para ulama yang kompeten dalam ilmu
nasab, ilmu syariah, dan sejarah semenjak berabad-abad lalu, kemudian
disetujui mereka. Di sisi lain, tha'nu yang membatalkan nasab Ba'alawi barn
muncul beberapa tahun belakangan dari beberapa orang yang mengaku dirinya
ulama.
A. Ulama yang Mengakui versus yang
Menolak
Para pendukung Imad-entah sengaja atau tidak-selalu membuat
framing seolah-olah nasab Ba'alawi sangat minim pengakuan dari para ulama.
Mungkin karena mereka tidak mendapatkan penjelasan yang utuh. Padahal, jika
mernjuk kepada apa yang kami muat dalam buku ini baik, di Bab I atau II,
pembaca akan mendapatkan tidak kurang dari 140 nama yang menyatakan keabsahan
nasab Ba'alawi sebagai dzurriyah Nabi Saw. atau mengakui status Ba'alawi
sebagai Husaini atau sebagai sadah/asyraf . Di antara mereka banyak nama ulama
besar dalam bidang syariat, nasab, sejarah, hadis, dan lainnya. Mereka juga
berasal dari berbagai mazhab dan negara yang berbeda, termasuk beberapa
lembaga kompeten dalam hal ini. Tentu, masih banyak nama yang belum kami muat
di buku ini karena keterbatasan waktu dalam mengumpulkan referensi. Kami juga
tidak mengeklaim buku ini hashr (mencakup seluruhnya).
Berikut kami
tuangkan nama-nama tersebut secara ringkas .
1.
Al-Nassabah Syaikh al-Syaraf al-'Ubaidili (w. 435 H)177
2.
Al-Sayid Hasan bin Muhammad al-'Allal al-Husaini (w. 460 H)
3.
Al-Sayid Abul Qasim al-Naffath (w. 490 H) 4. Al- Faqih Hasan
bin Rasyid (w. 638 H)
5. Musnad Syaikh Umar bin Sa'ad
al-Dzhafari (w. 667 H)
6. Muarrikh al-Yaman al-Imam
Bahauddin al-Janadi al-Yamani (w. 732 H)
7. Imam
al-Muarrikh Abu Muhammad Abdullah bin As'ad bin Sulaiman al-Yafi'i al-Yamani
al-Makki (w. 768 H)
8. Al-Malik al-'Abbas bin Ali bin
Dawud al-Rosuli (w. 778)
9. Al-Imam al-Muarrikh Abil
Hasan Ali bin al-Hasan al-Khazraji (w. 812 H)
10.
Imam Taqiu al-Din Muhammad bin Ahmad al-Hasani
al-Fasi al-Maliki (w. 832 H)
11. Imam Husein bin
Abdurrahman al-Ahdal (w. 855 H)
12. Al-Syaikh
Abdurrahman bin Muhammad al-Khathib al-Anshari al-Tarimi
(w. 855 H)
13.
Al-Nassabah Muhammad Kazhim bin Abil Futuh
al-Yamani al-Musawi (w. 880 H)
14. Al-Imam
al-Muhaddits Abil Abbas Ahmad bin Abdul Lathif al-Syarji al-Zabidi al-Hanafi
(w. 893 H)
15. Al-Syaikh Ibnul Mudhajin (w. 895 H)
16.
Al-Imam al-Sakhawi (w. 902 H)
17. Al-Syaikh Muhammad
bin Umar Bahraq al-Hadrami (w. 930 H)
18. Al-Muarrikh
Shihabuddin Ahmad bin Abdul Qadir bin Salim bin Usman (setelah 940 H)
19.
Al-Syaikh Ibn al-Dayba' al-Shaybani (w. 944 H)
20. .
Al-Muarrikh Abu Muhammad al-Thayyib bin Abdullah Bamakhramah al-Hadhrami
(w. 947 H)
21. Al-Imam al-Mutawakkil 'Alallah Yahya bin
Syarafuddin bin al-Mahdi al-Hasani (w. 965 H)
22.
. Al-Imam al-Faqih Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H)
23.
Al-Muarrikh Abu Muhammad al-Tayyib bin Abdullah bin Ahmad Bamakhramah
al-Hijrani al-Hadrami (w.984 H)
24. Al-Nassabah
al-Sayid Muhammad bin al-Husein al-Husaini al-Samarqandi al-Madani (w. 996
H)
25. Sayid Thahir bin Husain al-Ahdal (w. 998 H)
26.
Al-Faqih Ahmad bin Muhammad al-Jabri (w. 999 H)
27.
Al-'Allamah al-Hassan Muhammad al-Burini (963 H-1024 H) 28. Al-Nassabah
al-Sayid Abu 'Alamah al-Muayadi (w. 1044 H)
29. Syarif
Yusuf bin Abid bin Muhammad al-Hassani al-Fassi (w. 1048 H)
30.
Sayid Muhammad Kabrit al-Huseini al-Madani (w. 1070 H)
31.
Sejarawan Al-Mutahhar bin Muhammad al-Jarmouzi (w.1077 H)
32.
Al-Nassabah Muhammad bin Tahir bin Abi al-Qasim al-Bahr (w.1083 H)
33.
Al-Imam Ibnu 'Imaduddin al-Hanbali (w. 1089 H)
34.
Al-'Allamah Abu Salim Abdullah bin Muhammad al-Ayashi (w. 1090 H)
35.
Al-Nassabah al-Sayid Dhamin bin Syadqum (hidup pada tahun 1090 H)
36.
Al-Muarrikh Muhammad Amin bin Fadhlullah
al-Muhibbi ad-Dimasyqi (w. 1111 H)
37. Al-Syaikh
Muhammad Hasan Ibnu al-'Ujaimi al-Makki (w. 1113 H)
38.
Al-Syaikh Mustafa bin Fathallah al-Hamawi (w. 1123 H)
39.
Al-Syaikh Ali bin Tajuddin al-Sinjari (w. 1125 H)
40.
Al-'Allamah Abdul Ghani bin Ismail al-Nabulsi (w. 1143 H)
41.
Al-Wazir al-Shan'ani (w. 1147 H)
42. Al-Syaikh Ibnu
Aqila al-Makki (w. 1150 H)
43. Al-Sayid Ibrahim bin
al-Qasim al-Shahari (w. 1152 H)
44. Sayid Radhi al-Din
al-Musawi al-Amili al-Makki (w. 1163 H)
45. Syaikh
Abdullah bin Husein bin Mar'i al-Suwaidi al-Baghdadi (w. 1174 H) 46.
Sayid Abbas bin Ali al-Musawi al-Husaini (w. 1179 H)
47.
Al-Imam Muhammad bin Ismail al-Amir al-Shan'ani (w. 1182 H)
48.
Sayid Muhammad bin al-Tayyib al-Qadri al-Hasani (w. 1187 H) 49.
Al-Muarrikh Abdul Rahman al-Ansari (w. 1195 H)
50.
Al-Nassabah Muhammad bin Ibrahim al-Rasi al-Shahari (hidup tahun 1188 H)
51.
Syaikh Abdul Khaliq bin Ali bin al-Zain al-Mizjaji (w. 1201 H)
52.
Syaikh Sulaiman Saaduddin, dikenal sebagai Mustaqim Zadah (w. 1202 H)
53.
Al-Nassabah al-Hafidz al-Imam Murtadha al-Zabidi (w. 1205 H)
54.
Al-Syaikh Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Murad al-Husaini
(w. 1206 H)
55. Al-Muarrikh Abdurrahman bin Hasan
al-Jabarti (w. 1237 H)
56. Al-Syaikh Abdurrahman bin
Ahmad al-Bahkali (w. 1248 H)
57. Sayid Abdurrahman bin
Sulaiman al-Ahdal (w. 1250 H)
58. Muhaddits al-Syam,
Abdul Rahman bin Muhammad bin Abdul Rahman al-Kuzbari (w. 1262 H)
59.
Al-Nassabah al-Syarif Muhammad bin Ismail al-Amir (w. 1262 H)
60.
Al-Nassabah al-Sayid Muhammad al-Zaki al-Madaghri al-Alawi (w. 1270 H)
61.
Al-Nassabah Abu 'Abdillah Muhammad al-Thaib al-Maradisi al-Fasi (w. 1273 H)
62. Al-'Allamah Hasan bin Ahmad al-Dhamadi 'Aakish (w. 1290 H)
63.
Ibnu Abi Bakar al-Amri al-Hajjar (hidup tahun 1284 H)
64.
Al-'Allamah al-Sayid Ahmad Zaini Dahlan al-Makki al-Syafi'i (w. 1304 H)
65.
Sayid Muhammad bin Ismail al-Kabsi (w. 1308 H)
66.
Al-'Allamah al-Sayid Bakri Syatha al-Dimyathi (w. 1310 H)
67.
Al-'Allamah Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H)
68.
Al-Muarrikh Muhammad al-Maliki al-Shabbagh (w. 1321 H)
69.
Al-Muarrikh Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
al-Hadrawi al-Maliki (w.1327 H)
70. Al-'Allamah
Syaikh Abdulhamid Kudus (w. 1334 H)
71. Al-Sayid Abdul
Hay Fakhruddin bin Abdul Ali al-Hassani al-Thalibi (w. 1341H)
72.
Al-Qadhi Ja'far bin Abi Bakar al-Lubni al-Hanafi r.a. (w. 1342 H)
73.
Al-Imam al-Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani (w. 1350 H)
74.
Sayid Muhammad bin Haidar al-Qabi (w. 1351H)
75.
Al-Sayid Ismail al-Washli (w. 1356 H)
76. Syaikh Abil
Fayd Abdu al-Sattar bin Abdul Wahhab al-Bakri al-Dahlawi al-Siddiqi al-Hindi
al-Makki al-Hanafi (w. 1355 H)
77. Al-Muarrikh Syaraf
Abdul Muhsin al-Barakati (w. 1358 H)
78. Syaikh
Abdullah bin Muhammad Ghazi (w. 1365 H)
79. Hadratu
al-Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari (w. 1366)
80.
Al-Nassabah Sayid Husein al-Rifai al-Husaini (w. 1376 H)
81.
Sayid Muhammad Zabaroh al-Hasani (w. 1381 H)
82.
Al-'Allamah Abdul Hafiz al-Fassi (w. 1383 H)
83.
Al-Nassabah Abdurrazzaq Kamunah al-Najafi (w. 1390 H)
84.
Al-'Allamah al-Zirikli (w. 1396 H)
85. Al-Qadhi
Abdullah bin Abdul Karim al-Jarafi al-Yamani (w. 1397 H)
86.
Al-Imam al-Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki
87.
Al-Muhaddits al-Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki (w. 1425 H)
88.
K.H . Soleh Darat (w. 1903 M)
89. Al-'Allamah Syaikh
Mahfudz al-Turmusi al-Jawi (w. 1920 M)
90. Syaikh
Mukhtar bin 'Atharid al-Jawi al-Bogori (w. 1930 M)
91.
Prof . Dr. Abdul Malik Karim Amrullah/Buya Hamka (w. 1981 M)
92.
Al-'Allamah K.H . Abdullah bin Nuh (w. 1987 M)
93.
Musniddunya al-Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani (w. 1990 M)
94.
K.H . Muhammad Zaini Abdul Ghani
(Abah Guru Sekumpul Martapura (w. 2005 M)
95.
K.H . Maimoen Zubair dan Ponpes al-Anwar Sarang (w. 2019 M)
96.
Abuya KH Uci al-Turtusi bin K.H. Dimyathi (Cilongok) (w. 2021 M)
97.
Sayid Ahmad bin Umar al-Rifai al-Husaini
98. Sayid
Muhammad bin Mustafa al-Qubar
99. Sayid Yahya bin Abdul
Karim al-Fadil al-Syarafuddin
100. Sayid Ali al-Fadhil
al-Syarafuddin al-Rasi
101. Ibrahim al-Muqahfi
102.
Sayid Usamah Izzuddin al-Rasi
103. Al- Nassabah Sayid
Mahdi Raja'i
104. Al-Sayid Husein Abu Saidah
al-Musawi
105. Al- Nassabah Ibrahim Ibnu Manshur
106.
Al-Nassabah Walid al-'Uraidhi
107. Sejarawan Abdul-Ilah
bin Ali al-Wazir
108. Sejarawan Yahya bin al-Husain bin
al-Qasim
109. Sayid Muhammad Abu al-Huda Afandi bin
Hassan Wadi Afandi al-Rifai
110. Sejarawan Ahmad bin
Shaleh bin Abi al-Rijal
111. Ibrahim Fasih bin al-Sayid
Sibghatallah al-Haidari al-Baghdadi
112. Dr. Said bin
Walid Toulah
113. Sayid Muhammad bin Muhammad bin Yahya
Zubara al-Hasani
114. Hasan Muhammad Qasim
115.
Dr. Abdul Hadi al-Tazi
116. Dr. Muhammad Amin
Farshaukh
117. Dr. Abdul Munim Al-Hafny
118.
Al-Sayid Ali Abdul Karim al-Fadil Sharafuddin
119.
Al-Syaikh Umar Abdul Jabbar
120. Al-Sayid Husain Abu
Saidah al-Musawi
121. Syaikh Abdullah bin Shaleh
al-Farsi
122. Prof . Dr. Ustadz Abdul Somad, Le.,
M.A.
123. Nassabah al-Madinah al-Munawwarah al-Sayid
Anas al-Kutbi
124. Nassabah Qatar al-Syarif Abdullah
Husein al-Sadah
125. Al-Nassabah Ahmad al-Husaini
al-Nashiri al-Falluji
126. Al-Nassabah Abdu al-Aziz
al-Hiaali al-Kailani al-Hasani
127. Al-Nassabah
Ali Thalib al-'Uraidhi al-Husaini
128. Nadzhirul
Ansab al-Syarif Ramadhan Abu Qurthumah al-Husaini
129. Naqabah al-Asyraf
Hijaz
130. Naqabah al-Asyraf Mesir
131.
Al-Hai'ah al-'Arabiyyah Ii Kitabah Tarikhil Ansab Irak 132 . Al-Majma'
al-'Ilmi lis al-Sadah al-Asyraf Irak
133. Al-Majlis
al-A'la Iial-Sadah al-Asyraf Baitul Maqdis
134. Naqabah
al-Sadah al-'Asyraf Baitul Maqdis
135. Jam'iyyah
al-Sadah al-'Asyraf Lebanon
136. Al-Lajnah al-'Ilmiyyah
Ii Tautsiq al-Ansab Suria
137. Ittihad al-Muarrikhin
al-'Arab
138. Al-Daulah al-Qu'aithiyyah Hadramaut
139.
Al-Daulah al-Katsiriyyah Hadramaut
140. Al-Daulah
al-Mutawakkiliyyah al-Yamaniyyah
Sebagai pembanding, berikut ini
nama-nama tokoh yang membatalkan nasab Ba'alawi .
1.
Murad Syukri (Tokoh Wahabi tahun 1995-an)
2. 'Audah
al-'Aqili (seorang antisufi tahun 2009)
3. Imaduddin
bin Sarman (tahun 2023)
4. Mama' Ghufron, dkk.
(pengikut Imaduddin bin Sarman)
Perbandingan ini kami tampilkan agar
pembaca bisa berpikir jernih dan memilih ingin ikut siapa dan berada di
barisan yang mana?
B. Pengakuan para Ulama
Dijawab dengan Asumsi
Pengakuan tentang keabsahan nasab Ba'alawi atau
Aalu Abi Alawi sebagai dzurriyah Rasulullah Saw. atau status mereka sebagai
al-Husaini dari ulama yang begitu banyak di atas merupakan fakta yang tak
terbantahkan . Segiat apa pun Imaduddin menulis dan berceramah
mempropagandakan pembatalan nasab S<idah Ba'alawi, hal itu sama sekali
tidak mengubah fakta adanya pengakuan dari para ulama tersebut. Semua yang
Imaduddin sampaikan hanya menunjukkan pendapatnya pribadi.
Lucunya, fakta
ini selalu dibantah oleh Imaduddin dengan asumsi.
Berikut ini
beberapa contohnya.
1. Yang menyahihkan nasab Ba'alawi
adalah mereka yang punya hubungan perguruan dengan Ba'alawi, seperti al-Imam
Murtadha al-Zabidi yang ber guru kepada ulama Ba'alawi dari marga Alidrus
.
2. Yang menyahihkan nasab Ba'alawi dilatarbelakangi
faktor prasangka baik karena berinteraksi dengan tokoh Ba'alawi yang baik dan
saleh, seperti yang terjadi pada al-Imam al-Nabhani.178
Apa yang
Imaduddin utarakan merupakan asumsi yang tidak mengubah fakta pengakuan dari
para ulama tersebut . Disadari atau tidak, Imaduddin seolah-olah menuduh para
ulama itu berani mengesahkan nasab yang tidak sah hanya karena
hubungan perguruan dan melihat akhlak yang baik. Seolah-olah
ulama-ulama besar itu mengabaikan ancaman Nabi Saw. tentang laknat Allah atas
penisbahan seseorang bukan kepada ayahnya dan ancaman neraka
bagi mereka yang berbohong atas nama Rasulullah Saw. Selain asumsi Imaduddin
tidak terbukti, apa yang diutarakan juga mengandung fitnah yang keji.
3.
Yang menyahihkan nasab Ba'alawi hanya menukil dari orang sebelumnya, seperti
yang dilakukan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami.179
Lagi-lagi, fakta dijawab
dengan asumsi yang dipaksakan . Entah karena tidak tahu atau berpura-pura
tidak tahu bahwa ilmu nasab memang dibangun di atas periwayatan 'amud
al-nasab, sebagaimana yang telah kami jelaskan, sehingga penukilan dalam
meriwayatkan nasab adalah sebuah keniscayaan . Selain itu, dalam dunia
penulisan, ada sebuah kaidah yang maklum dan populer, yaitu kutipan seorang
muallif (pengarang/penulis) atas suatu sumber tanpa memberikan bantahan atau
koreksi adalah bentuk persetujuannya terhadap substansi catatan tersebut . Hal
ini sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama:
Jadi, ulama yang
mengutip dari orang lain dan memuat di bukunya tentang keabsahan nasab
S<idah Ba'alawi merupakan bentuk pengakuan dari ulama tersebut. Jika mereka
menganggap nasab tersebut tidak sah, mereka wajib memberikan catatan seperti
yang dilakukan beberapa ulama terhadap beberapa nasab-nasab bermasalah,
sebagaimana telah kami contohkan saat menjelaskan penyimpangan pertama di bab
ini.
Khusus masalah Imam lbnu Hajar al-Haitami, Imaduddin memang
mengutip secara utuh redaksi beliau . Sayangnya, kebencian Imaduddin kepada
Ba'alawi yang begitu ia tampakkan membuat mata dan hatinya tertutup untuk
melihat pernyataan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami- sebelum mengutip perkataan
Sayidina Abu Bakar bin Abdullah Alidrus-bahwa semua nama yang ada dalam sanad
tersebut adalah min "<ili al-bait" , keluarga Rasulullah Saw. Ibnu Hajar
berkata:
"Dan kami akan tutup (pembahasan ini) dengan thariqah yang
agung dan tinggi kadarnya, karena para masyciyikh thariqah tersebut dari awal
sampai akhir adalah dari cilil bait. Semua mengambil dari ayahnya. Berkata
al-Quthb Abu Bakar Alidrus, 'Aku memakai khirqah tersebut dari al-Quthb
Abdullah Alidrus' (kemudian al-Imam Ibnu Hajar menyebutkan nasab sekaligus
sanad Imam Abu Bakar Alidrus sampai Rasulullah Saw.)."
Jika gentle
, tidak perlu Imaduddin banyak berasumsi untuk menjawab fakta. Dia
semestinya bisa mengakui kenyataan bahwa para ulama besar di atas mengakui
keabsahan nasab Ba'alawi dan memiliki pandangan yang berbeda dengannya
walaupun kenyataan itu pahit baginya . Semua alasan pembatalan yang
dikemukakan tidak bisa mengubah fakta tersebut. Biarkanlah umat memilih :
ingin mengikuti para ulama besar yang mengakui nasab Ba'alawi atau mengikuti
pandangan pribadi Imaduddin bin Sarman yang membatalkannya dan
bertentangan dengan pandangan para ulama besar tersebut!
C.
Hanya Imaduddin yang Benar, yang Lain Salah
Dahulu kala, para ulama besar
dengan segala keluasan ilmunya, ketika memiliki pendapat dalam sebuah masalah
ijtihad dan meyakini pendapatnya benar, mereka tetap tidak menutup celah
kemungkinan pendapatnya salah dan pihak lain yang benar. Para ulama
berkata:
"Jika kami ditanya tentang mazhab (pandangan ijtihad) kami
dan mazhab selain kami, wajib kami mengatakan bahwa mazhab kami benar namun
berpotensi salah, sementara mazhab orang yang berbeda dengan kami salah namun
berpotensi benar."
Hal ini berbanding terbalik dengan sikap yang
ditunjukkan Imad. Meskipun pendapatnya bertentangan dengan ulama-ulama besar
yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi dan pendapatnya sy<idz
(menyelisihi semua ulama), bahkan munharif (menyimpang), Imaduddin dengan
penuh percaya diri menyatakan bahwa pendapatnya tentangpembatalan nasab
Ba'alawi merupakan hal yang qath'i (memiliki kebenaran absolut). Bagi Imad,
pendapat semua ulama yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi sudah pasti
salah. Konsekuensinya, mereka yang menyatakan nasab Ba'alawi secara sahih
seolah-olah tidak paham ilmu nasab, syariat, dan sejarah. Hanya dia sendiri
yang paham .
Tidak sampai di situ, dia juga menegaskan bahwa dirinya
tidak akan percaya pada kesahihan nasab Ba'alawi meskipun ulama dari seluruh
dunia dan semua ahli fatwa telah mengeluarkan fatwa bahwa nasab tersebut
sahih, "walau aftal muftun ".
Jika yang menyatakan dan mengakui
keabsahan nasab S<idah Ba'alawi hanya satu atau dua ulama, mungkin saja
keduanya salah. Namun, dalam hal ini pengakuan itu datang dari sangat banyak
ulama, bahkan tembus angka ratusan . Apakah mereka semua salah berjamaah dan
tidak mengerti ilmu nasab dan syariat secara berjamaah? Dan, apakah hanya dia
yang benar dan mengerti?
Fenomena orang seperti ini mengingatkan kami
kepada perkataan al-Imam Zufar:
"Aku tidak berdebat dengan siapa
pun sampai dia berkata, 'Aku salah.' Akan tetapi, aku akan mendebatnya sampai
dia gila. Ada yang berkata kepada Zufar, 'Apa maksud sampai dia gila?' Zufar
berkata, 'Dia gila ketika memiliki pendapat yang tidak dikatakan oleh satu
orang pun ."'
D. Jika Nasab Ba'alawi
Dibahtsul-masailkan oleh NU
Ada pihak yang gembar-gembor agar masalah
keabsahan nasab Ba'alawi dikajidiskusikan (bah_tsul mas<iil) oleh NU .
Tentunya, jika ingin dilakukan, ia Mas<iiL_
Munas Alim Ulama dan
Konbes Nahdhatul Ulama (NU) yang diselenggarakan Januari 1992 di Bandar
Lampung menggariskan aturan main terkait metodologi pemmusan dan pengambilan
hukum dalam Bahtsul Mas<iil NU sebagai berikut: Pertama, pada bagian
mukadimah dituangkan pokok-pokok pikiran tentang tanggung jawab yang besar
yang dibebankan di pundak NU dalam memajukan kehidupan beragama Islam di
Indonesia, temtama dalam memberikan petunjuk pelaksanaan ajaran Islam
dalam segala aspek kehidupan . Diakui secara jujur bahwa Bahtsul
Mas<iil dengan al-kutub al-mu'tabarah telah mampu memberikan sumbangan yang
tak ternilai bagi NU. Meski demikian, berbagai kelemahan
yang ada di dalamnya mempakan suatu kenyataan yang hams diatasi,
temtama
menyangkut hal teknis.
Kelemahan teknis tersebut
ialah kelemahan dalam hal cara pembahasan ( kaifiyat al-bahts).
Hal ini tecermin pada kesepakatan memilih pola bermazhab yang belum tegas,
antara manhaji dan qauli. Inilah yang menjadi hambatan kejiwaan yang cukup
besar bagi para ulama untuk berkecimpung dalam bidang istinbat. Di
samping itu, kelemahan teknis tecermin pula pada metode pemilihan salah satu
qaul atau wajh dalam menangani kasus-kasus yang masih belum satu pendapat
dalam kitab-kitab mjukan, dan akhirnya belum dapat dilaksanakannya secara
baik.
Kedua, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas, Munas
memutuskan bahwa prosedur pemberian jawaban terhadap permasalahan atau kasus
disusun dalam umtan sebagai berikut .
1. Dalam
kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh "teks kitab" dan di sana terdapat
hanya satu qaul atau wajh, dipakailah qaul atau wajh sebagaimana yang
termaktub dalam teks tersebut.
2. Dalam kasus
ketika jawaban bisa dicukupi oleh "teks kitab" dan di sana terdapat lebih dari
satu qaul atau wajh, dilakukan taqrirjama'i untuk memilih salah satu yang
ashlah atau aqwa (paling sejalan dengan kemaslahatan atau paling kuat dari
segi argumentasi atau dalil).
3. Dalam kasus tidak ada
qaul atau wajh sama sekali yang memberikan penjelasan, dilakukan prosedur
ilhaq al-mas<iil bi nadhairiha secara jama'i .
4.
Dalam kasus tidak ada qaul atau wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan
ilhaq, dilakukan istinbath jama'i dengan prosedur bermazhab secara
manhaji oleh para ahlinya.183
Jika menerapkan metode ini
dalam masalah keabsahan nasab Ba'alawi, statusnya jelas masuk
dalam poin nomor satu dari empat poin di atas yang harus ditempuh secara
berurutan . Hal ini karena keabsahan nasab Ba'alawi adalah masalah manshushah
(yang tertulis secara spesifik) dalam banyak kitab muktabar
sehingga tidak membutuhkan ilhaq al-mas<iil bi nadhairiha, apalagi ijtihad
baru. Selain itu, perkataan ulama dalam kitab-kitab muktabar yang menyatakan
keabsahan nasab Ba'alawi dan mengakuinya sangat banyak, sebagaimana telah kami
tuangkan dalam Bab I. Dalam hal ini tidak ada satu pun ulama muktabar yang
melakukan pembatalan terhadap nasab Ba'alawi. Jadi, jika ingin
dikaji dengan metode yang benar sesuai aturan NU, pandangan Imaduddin sudah
pasti gugur dan nasab Ba'alawi jelas keabsahannya .
KETIGA
Kesesatan Logika
Di antara penyebab penyimpangan Imaduddin
adalah kesimpulan yang diambil dari kesesatan logika berpikir. Logika
sesat itu akhirnya melahirkan kesimpulan yang menyesatkan
. Berikut ini di antara
bentuk kesesatan logika
tersebut .
A. Tidak Disebutkan Berarti Tidak
Ada
Salah satu poin besar syubhat yang disampaikan Imaduddin adalah
keberadaan Abdullah/Ubaidillah sebagai anak dari Ahmad al-Muhajir bin Isa
al-Naqib, yang merupakan kakek dari Habaib Ba'alawi, tidak bisa dibuktikan
secara ilmiah. Menurutnya, kitab-kitab nasab yang dimulai abad ke-5 sampai
permulaan abad ke-9 (selama 543 tahun) tidak menyebutkan anak Ahmad al
Muhajir bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah . Beberapa kitab tersebut
sebagai berikut .
1. Tahdzibu al-Ans<ib karya
al-'Ubaidili (w. 431H)
2. Al-Majdi karya al-'Umari (w.
490 H)
3. Muntaqalat al-Thalibiyyah karya Ibnu
Thabthaba (w. 400-an H)
4. Al-Syajarah al-Mub<irakah
"yang diklaim" sebagai karya Fakhr al-Din al-Razi
(w. 606 H)
5.
Al-Fak hri karya al-Mirwazi (w. 614 H)
6. Al-Ashili
karya Ibnu al-Thaqthaqi (w. 709 H)
7. 'Umdatu
al-Th<ilib karya Ibnu 'Anabah (w. 828 H)
Nama Abdullah sebagai
anak Ahmad al-Muhajir bin Isa barn muncul di akhir abad ke-9 dan di awal abad
ke-10 dari segelintir kitab yang keterangannya lemah tanpa referensi, bagaikan
muncul dari ruang hampa. Nah, karena kitab kitab tersebut tidak menyebutkan
status Ubaidillah/ Abdullah sebagai putra Ahmad bin Isa, berarti tidak ada
anak Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah . Dengan demikian terbukti bahwa
nasab S<idah Ba'alawi terputus dari Rasulullah Saw. karena terhenti pada
Ubaidillah/ Abdullah . Demikianlah syubhat yang di lontarkan Imaduddin .
Mari
kita jawab secara runut.
1. Tujuh kitab yang dikutip Imaduddin memang
tidak menyebutkan Ubaidillah/ Abdullah sebagai anak dari Ahmad bin Isa.Namun,
yang perlu diperhatikan, tidak ada satu pun dari kitab tersebut yang menafikan
Abdullah sebagai putra Ahmad bin Isa. Tidak mendapatkan bukan berarti tidak
ada, atau senada dengan hal tersebut; tidak disebutkan bukan berarti tidak
ada. Mungkin saja ada, hanya saja tidak disebutkan di tempat tersebut, tapi
disebutkan di tempat lain. Ini merupakan logika yang sangat mendasar dalam
sebuah kajian ilmiah.
"Kaidah ilmiah yang populer berbunyi; tidak
menemukan sesuatu tidak mengharuskan sesuatu itu tidak ada. Ketika mencari
sesuatu namun sesuatu itu tidak ditemukan, hal itu tidak mengharuskan sesuatu
itu tidak ada."
Begitu pula dalam kaidah ilmu nasab. Tidak
menyebutkan berarti sukut (diam). Sukut tidak berarti apa-apa, baik isbat
(menetapkan) maupun nafi (menafikan) . Berikut keterangannya :
"Diam
tentang sebuah nasab dan tidak menyebutkannya tidak memiliki arti
menurut ilmu nasab. Orang yang diam tentang nasabnya kemungkinan karena
ketidaktahuan, mengambil dari orang yang tidak tahu, atau karena membatasi
atas apa yang telah disebutkan. Mungkin saja nasab yang tidak disebutkan tadi
disebutkan dalam kitab lain yang belum sampai kepada kita."
2.
Tidak menyebutkan nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa disebab kan
kitab tersebut memang ringkasan (mukhtasharat) sehingga hanya menyebutkan
sebagian. Bisa pula karena muallif menyebutkan berdasarkan informasi yang ada
padanya sehingga tidak menutup adanya informasi tambahan lain. Seluruh penulis
dari tujuh kitab yang disebutkan tidak ada yang mensyaratkan dalam kitabnya
"mencantumkan seluruh nasab yang ada" atau syarthu al-hashri wa al-istiqsha .
Para penulis itu sendiri tidak pernah menutup adanya nama-nama lain yang belum
ia cantumkan. Bahkan, empat kitab (Tahdzibu al-Ansab, al-Fakhri, al-Ashili,
dan 'Umdatu al Thalib) secara eksplisit menyebutkan huruf (1)4) ketika
menyebutkan anak Ahmad bin Isa, yang berarti al-Tab'idh/sebagian/ di antaranya
.
Sebagai contoh, dalam kasus ini, penulis kitab Syajarah M
ubarakah
tidak mensyaratkan ihathah (menyebut
secara keseluruhan). Bahkan, di awal kitabnya beliau menegaskan
bahwa kitab tersebut hanya mukhtashar
(ringkasan). Setelah basmalah,
beliau menuliskan :
"Ini adalah ringkasan dalam ilmu nasab"
(al-Syajarah al-Mubarakah, him. 3). Artinya, yang beliau sebutkan hanya
sebagian saja dari nasab keturunan Nabi Saw.
Al-'Ubaidili (w. 435
H), saat menyebut keturunan Ahmad bin Isa dalam Tahdzibu al-Ans<ib , hanya
menyebutkan satu individu dari keturunannya yang keempat dengan mengatakan,
"Di antara keturunannya adalah ...". Kata di antara keturunannya menunjukkan
bahwa beliau tidak bermaksud menyebut semua. Al-'Umari (abad kelima), ketika
menyebut keturunan Ahmad bin Isa, juga hanya menyebutkan salah satu
keturunannya yang terpaut empat generasi.
Marwazi
al-Azwarqani (wafat abad keenam), ketika menyebutkan keturunan Ahmad
al-Muhajir, hanya menyebut "Ia memiliki banyak ke turunan", kemudian menyebut
satu dari keturunannya yang keempat.
Muayyiduddin (wafat abad ke-8),
ketika menyebutkan keturunan Ahmad bin Isa, hanya menyebutkan salah satu
keturunannya yang ber selang empat generasi. Begitulah pula Ibnu Inabah
(wafat abad ke-9), yang hanya menyebutkan satu keturunan yang berselang empat
generasi tanpa menyebutkan siapa saja anak-anak Ahmad al-Muhajir.
Jadi,
kesimpulan awalnya, tidak disebutkannya Abdullah/Ubaidillah sebagai bagian
dari anak Ahmad bin Isa dalam kitab-kitab di atas sama sekali tidak bisa
diartikan bahwa tidak ada anak Ahmad bin Isa yang ber nama
Abdullah/Ubaidillah . Hal ini karena semuanya hanya menulis ber dasarkan
informasi yang dimiliki atau sesuai dengan karakter kitab sebagai mukhtashar
(ringkasan).
3. Lantas, apa alasan nama
Ubaidillah bin Ahmad tidak disebutkan sebagai anak Ahmad dalam kitab-kitab
tersebut? Hal ini dijawab salah satu pakar nasab internasional, al-Nassabah
Sayid Mahdi Raja'i, yang merupakan muhaqqiq kitab al-Syajarah
al-Mubarakah dalam surat keterangannya sebagai ahli yang telah kami tampilkan
di akhir Pasal 2 Bab I:
"Tidak disebutkan salah satu putra
Ahmad bin Isa, bernama Abdullah atau Ubaidullah, tidak
meniadakan keberadaannya . Ini biasa terjadi pada banyak kitab nasab yang
dikumpulkan dan ditulis pada masa-masa awal. Banyak faktor yang menyebabkan
nama seseorang tidak disebutkan dalam kitab nasab, antara lain karena situasi
sosial dan politik pada zamannya atau tidak tersedianya informasi
tentang nama tersebut bagi para ulama nasab karena jarak atau wilayah yang
jauh tempat mereka berimigrasi. Dalam kasus Abdullah atau Ubaidillah, jelas,
beliau hijrah ke daerah di luar wilayah para penulis kitab-kitab nasab pada
masa-masa permulaan-yang umumnya berada di Irak dan Iran-menyebabkan namanya
tidak sampai dalam buku nasab."
4. Al-'Allamah
Abu Laits al-Kattani mengatakan :
"Ketahuilah bahwa tidak
disebutkan sebuah nasab atau cabang keluarga dalam suatu buku bukan berarti
menunjukkan ketiadaan meskipun penulis buku memastikan hal tersebut.
Dikecualikan jika tidak ada sama sekali keberadaannya dalam kitab-kitab lain
yang dijadikan rujukan dalam fan ini (ilmu nasab). Hal ini dapat diketahui
dari pengalaman menggeluti bab nasab dan mendalaminya . Inilah kaidah yang
disepakati (ijmak) oleh ulama ahli nasab."
Dari penjelasan tersebut
dapat dipahami bahwa sebuah nasab yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab
tertentu bukan berarti nasab tersebut tidak ada, kecuali jika tidak ada sama
sekali dalam kitab-kitab rujukan nasab lainnya.Yang menjadi pertanyaan,
meskipun nasab Ba'alawi tidak disebutkan pada kitab-kitab itu, apakah ia
disebut oleh kitab-kitab nasab yang lain?
Sangat banyak kitab nasab
otoritatif yang menyebutkan Abdullah/ Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa,
yang otomatis menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi, sebagaimana telah diuraikan
panjang lebar pada Pasal 2 Bab I. Bahkan, keterangan dari kitab-kitab nasab
tersebut divalidasi dan dikuatkan informasinya berdasarkan catatan informasi
sejarah yang melimpah ruah dari berbagai kitab sejarah, tanijim, tsabat,
as<inid tentang status Ba'alawi sebagai asyraf keturunan Rasulullah Saw.
Di
sisi lain tidak ada referensi muktabar yang menafikannya se hingga tidak ada
yang bertentangan . Artinya, referensi-referensi yang menyebutkan status
Ubaidillah sebagai salah satu anak Ahmad bin Isa merupakan tambahan data dan
informasi bagi tujuh referensi Imaduddin yang tidak menyebutkannya . Karena
itu, informasi tambahan inilah yang dijadikan pegangan, sesuai kaidah dalam
ilmu periwayatan;
"Yang memiliki informasi adalah hujjah bagi yang tidak
memilikinya"
dan kaidah;
"Tambahaninformasi dari orang yang
terpercaya (tsiqah) itu diterima.
Soal tambahan informasi dari
seorang tsiqah dalam periwayatan, al-Hafidz al-'Iraqi mengatakan :
Al-Imam
Ibnu Hajar al-'Asqalani juga menjelaskan bahwa tambahan dari seseorang yang
tsiqah tanpa menafikan keterangan lain adalah tambahan yang
diterima.189
Jika tambahan seorang yang tsiqah saja diterima,
bagaimana dengan tambahan puluhan orang tsiqah dan kredibel di bidangnya.
Dalam tujuh kitab yang disebutkan di atas memang tidak disebutkan nama
Ubaidillah/
Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa, namun mereka juga
tidak menafikan dan tidak ada nassabah yang menafikan. Selain ketujuh kitab
itu, ditemukan pula kitab-kitab nasab kredibel lain yang mengisbat status
Ubaidillah/ Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa dan S<idah Ba'alawi sebagai
asyraf . Belum lagi ditambah dengan catatan sejarah yang melimpah dalam kitab
kitab tarikh, tarajib, tsabat, dan as<inid, sebagaimana telah kami
uraikan dalam Bab I Pasal 2, 3, dan 4. Kesimpulannya, semua kitab-kitab yang
mengisbat Abdullah/Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa adalah pelengkap
kekurangan informasi yang ada di tujuh kitab yang disebutkan Imad.
5.
Kitab-kitab nasab yang saling melengkapi informasi, dalam ilmu
nasab adalah fenomena yang sangat biasa dan lumrah. Jika pembaca menelaah
dengan jeli apa yang kami jelaskan di Pasal 2 Bab 1, masing-masing ahli nasab
hanya menyebutkan apa yang mereka tahu tanpa menafikan yang lainnya.
Penulis
al-Syajarah al-Mubarakah Qika kita anggap ini adalah karya seorang ahli nasab)
menyebutkan bahwa putra Imam Ahmad al-Muhajir ada tiga: Muhammad, Ali, dan
Husain (tanpa menyebutkan Abdullah/Ubaidillah). Pengarang Tuhfatu
al-Azhar menyebutkan bahwa putra Ahmad al
Muhajir
ada tiga, yaitu Abdullah, Muhammad, dan Ali Zainal Abidin (tanpa
menyebutkan Husain).
Dua keterangan ini tidak bertentangan tapi
saling melengkapi. Oleh sebab itu, dalam Musyajjar Abu Alamah disebutkan bahwa
putra Ahmad al Muhajir ada empat: Muhammad, Ali, Husain, dan Abdullah .
Demikian
pula dalam kitab Bahr al-Ans<ib Musyajjar al-Kasysy<if karya Sayid
Muhammad bin Ahmad bin Amidudin bin Husain al-Najfi (hidup pada abad ke-9 dan
ke-10 H) yang tidak menyebutkan Abdullah sebagai putra dari Ahmad Muhajir.
Dalam kitab asli (yang bertanda panah di sebelah kiri merujuk pada gambar di
halaman 19 ) disebutkan bahwa keturunan Ahmad al-Abah (al-Muhajir) ada lima
orang: al-Ridha, Ahmad, Hasan/Husain, Ali, dan Muhammad (tidak menyebutkan
Abdullah) .
Kemudian, al-Hujjah Murtadha al-Zabidi (seorang ahli
nasab yang hidup pada abad ke-11 dan permulaan abad ke-12) melengkapi catatan
nasab ini dalam ta'liq-nya atas Musyajjar tersebut, sebagaimana dapat dilihat
dalam gambar yang telah kami muat di Pasal 2. Di situ tertulis:
"Kepadanya
kembali nasab s<idah (keturunan Nabi Saw.) Yaman dari jalur Ubaidillah bin
Ahmad ."
Tambahan keterangan dari seorang ahli yang tsiqah adalah
hujah . Informasi dari yang mengetahui didahulukan daripada yang tidak
mengetahui karena yang mengetahui memiliki tambahan informasi.
Contoh
berikutnya, agar lebih jelas bahwa tidak disebutkannya suatu nama dalam suatu
kitab nasab adalah hal yang umum terjadi, mari kita bandingkan kitab
al-Syajarah al-Mubarakah dengan kitab lain berikut ini.
Dalam Tahdzibu
al-Ans<ib, al-Ubadili (w. 435 H) menyebutkan bahwa putra Muhammad bin Isa
al-'Uraidhi yang berketurunan ada lima orang. Berikut redaksinya :
"Keturunan
Muhammad bin Ali al-'Uraidhi berasal dari (1) Abi al-Husain Isa al-Naqib, dan
keturunan beliau ini banyak, (2) Yahya bin Muhammad,
(3) Hasan bin
Muhammad, (4) Husain bin Muhammad, dan (5) Ja'far bin Muhammad ." (Tahdzib
al-Ans<ib, him. 175).
Dalam al-Syajarah al-Mubarakah, yang
dinisbahkan secara janggal kepada Imam Fakhru al-Din al-Razi (w. 606 H),
keturunan Muhammad bin Ali al 'Uraidhi ada tujuh orang.
Adapun
Muhammad al-Akbar bin Ali al-'Uraidhi yang memiliki keturunan darinya ada
tujuh orang: Isa al-Akbar al-Naqib, al-Hasan, Yahya, Muhammad, Musa, Ja'far,
al-Husein, dan yang paling banyak keturunannya adalah Isa. Adapun yang lain
keturunannya sedikit.
Al-Syajarah al-Mub<irakah memberikan tambahan
informasi dua nama anak Muhammad bin Ali al-'Uraidhi yang tidak disebutkan
dalam Tahdzibu al-Ans<ib, yaitu Musa dan Muhammad . Jika pakai logika Imad,
tambahan dua nama ini tidak bisa dibenarkan karena tidak ada referensi yang
lebih dulu. Namun, jika menggunakan kerangka berpikir ilmu nasab, tambahan
tersebut sudah benar dan merupakan pelengkap informasi dari kitab sebelumnya.
Jika pola pikir Imaduddin diterapkan, tatanan ilmu nasab yang dibangun para
ulama selama berabad-abad akan menjadi berantakan . La haula wa ia quwwata ma
bill<ih.
Kesimpulannya, kerangka berpikir Imaduddin yang
menyimpulkan Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa-lantaran tujuh kitab tidak
menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa-merupakan bentuk kecacatan
logika. Kerangka berpikir yang benar, tidak disebutkan Ubaidillah sebagai anak
Ahmad bin Isa bukan berarti Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa. Faktanya, ada
kitab-kitab lain yang menegaskan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa
sehingga kitab-kitab tersebut saling melengkapi informasi.
B.
Hanya Menyebutkan Sebagian Berarti Menafikan Sebagian Lainnya (al-Syajarah
al-Mubarakah)
Imaduddin menjadikan keterangan dari al-Syajarah
al-Mubarakah sebagai titik tumpu dalam membatalkan nasab Ba'alawi . Imaduddin
berargumen al Syajarah al-Mubarakah hanya menyebutkan anak Ahmad bin Isa ada
tiga: Muhammad, Ali, dan Husein .
Hanya menyebutkan tiga berarti
menafikan yang lain, termasuk meniadakan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin
Isa.
Lagi-lagi, kerangka berpikir Imaduddin yang seperti ini merupakan
kesesatan logika. Berikut ini penjelasannya .
Sebagaimana mengisbat butuh
dalil, menafikan juga butuh dalil. Al- Imam al-Zarkasyi mengulas hal tersebut
sebagai berikut :
Dalil otoritatif yang mengisbat nasab S<idah
Ba'alawi melalui jalur Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sangat banyak dan
gamblang, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I.Apakah ada keterangan yang
menafikan Ubaidillah sebagai anak Ahmad? Jawabannya tidak. Selama ratusan
tahun tidak ada satu pun nassabah yang menafikan Ubaidillah sebagai anak Ahmad
. Menurut Imad, yang menafikan ada, yaitu kitab al-Syajarah
al-Mubarakah, karena hanya menyebutkan tiga
orang. Di sinilah letak kekeliruan Imad. Menyebutkan tiga bukan berarti
menafikan yang lain.
Contoh, ketika menyebutkan hadis tentang 10 sahabat
yang mendapatkan kabar gembira jaminan masuk surga dari Rasulullah Saw.,
al-Imam al-Hafidz al Munawi menjelaskan bahwa angka 10 itu tidak berarti
menafikan ada sahabat lain, di luar yang sepuluh, yang mendapat kabar gembira
jaminan surga dari Rasulullah Saw. Berikut penjelasan al-Munawi :
"Pemberian
kabar gembira (dalam suatu hadis) kepada 10 orang sahabat tidak menafikan ada
pemberian kabar gembira Gaminan surga) kepada selain mereka di luar hadis
tersebut . Sebabnya (penyebutan) jumlah tidak menafikan tambahan lainnya."
Dalam
keterangan lain yang menjelaskan tentang penyebutan jumlah, al Munawi juga
menjelaskan :
"Kunci-kunci hal gaib-yaitu khazanah-khazanah hal
gaib atau hal yang menyampaikan kepada hal-hal gaib dalam bentuk isti'arah-ada
lima, yakni hanya menyebutkan lima, walau kunci-kunci hal gaib tak terbatas.
Hal ini karena (penyebutan) jumlah tidak menafikan tambahan lainnya."
Al-Hafidz
al-Munawijuga menjelaskan dalam kesempatan lain bahwa penyebutan jumlah
tertentu tidak menunjukkan hashr (pembatasan). Beliau berkata :
"Tidak
ada pertentangan antara perkataannya (yang menyebutkan) empat dan perkataannya
tadi (yang menyebutkan) enam dan lima karena menyebutkan suatu jumlah tidak
menunjukkan hashr (pembatasan)."
Dari sini menjadi jelas bahwa
kesimpulan Imaduddin soal penyebutan jumlah anak Ahmad bin Isa yang tiga
(Muhammad, Ali, dan Husein) berarti menafikan yang lain (termasuk Ubaidillah/
Abdullah) merupakan kesimpulan yang salah karena penyebutan jumlah tidak
menafikan tambahan lainnya danjuga tidak menunjukkan hashr (pembatasan).
Jika
berkeras mengatakan bahwa menyebutkan tiga
berarti menafikan
lainnya, berarti Imaduddin menggunakan mafhum
al-'adad (.3..lJJ I r). yaitu menafikan keberadaan hal lain di luar jumlah
yang disebutkan secara eksplisit.
Pemahaman sederhananya, jika al-Razi
menyebutkan anak Ahmad bin Isa ada tiga (Muhammad, Ali, dan Husein) apakah
lantas menafikan selain 3 tersebut?
Imaduddin meyakini bahwa al-Syajarah
al-Mubarakah merupakan karya Fakhru al-Din al-Razi sehingga apa yang
disampaikan penulis hams dipahami sesuai dengan apayangbeliau maksudkan .Hal
inikarena adakaidah..J2!'j}I
Jllll I ti.
(maksud dari sebuah ungkapan tergantung tujuan dari orang yang mengucapkan).
Mari kita pahami redaksi al-Razi dengan kerangka berpikir beliau sendiri.
Menariknya, ar-Razi sendiri menolak argumentasi mafhum al-'adad.195 Fakhru
al-Din al-Razi menegaskan bahwa pembatasan sebuah penetapan dengan jumlah
tertentu tidak menunjukkan jumlah tersebut menafikan tambahan lain, kecuali
jika ada dalil terpisah yang menjelaskan penafian tersebut. Berikut penjelasan
al-Razi:
Berdasarkan kaidah yang al-Razi rumuskan dalam memahami
teks, ketika disebutkan anak Ahmad bin Isa ada tiga (Muhammad, Ali, dan
Husein), itu berarti tidak menafikan selain ketiganya, kecuali ada dalil
terpisah lain yang menafikan. Faktanya, tidak ada dalil terpisah lain yang
menafikan Abdullah/Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Yang ada justru
keterangan lain dari berbagai kitab nasab yang mengisbat Abdullah/Ubaidillah
sebagai anak Ahmad bin Isa. Dengan demikian, pemahaman Imaduddin dibantah oleh
kaidah al-Razi sendiri.
Terlepas dari hal itu, dapat dipahami bahwa
penggunaan referensi dalam al-Syajarah al-Mubarakah sebagai dalil untuk
menafikan Ubaidillah tidak hanya gugur secara dalalatan (cara memakai redaksi
al-Syajarah al-Mubarakah), tapi juga gugur secara tsubutan (penisbatan kitab
tersebut kepada Imam al-Razi) karena bertentangan dengan kaidah berpikir
al-Razi itu sendiri.
CATATAN KHUSUS:
Al-S yajarah al-Mubarakah
yang Problematik
Selain terbantah secara dalalatan (pemahaman
terhadap redaksi) dan tsubutan (kebenaran penisbahannya kepada Fakhru al-Din
al-Razi), al-Syajarah al-Mubarakah yang dijadikan tumpuan dalil oleh Imaduddin
juga bermasalah dari segi akurasi substansinya.
1.
Kejanggalan Penisbahan kepada Fakhru al-Din al-Razi
Dari aspek tsubut,
kebenaran penisbahan kitab al-Syajarah al-Mubarakah kepada al-Imam Fakhru
al-Din al-Razi (w. 606 H) diragukan dan dipertanyakan beberapa peneliti,
seperti Dr. Muhamad Abu Bakar Badzeib dan al-Nassabah Ibrahim bin Manshur.
Bahkan, Syaikh Muhammad Shaleh al-Zarkan dalam tesisnya tentang Fakhru al-Din
al-Razi, yang mendapatkan predikat cumlaude,
mengategorikan kitab ini
sebagai bagian dari lJ .!l_,s:..:.il I (kitab-kitab
yang
diragukan penisbahannya kepada Fakhru al-Din al-Razi).197 Mengapa
penisbahan al-Syajarah al-Mubarakah janggal dan diragukan?
a.
Dalam mukadimah tahkik yang ditulis tahun 1409 Hijriah him. 11, al Sayid
Mahdi al-Raja'i menyebutkan bahwa satu nuskhah manuskrip dari al-Syajarah
al-Mubarakah yang dinisbahkan kepada al-Razi ditemukan oleh Ayatullah
al-Mar'asyi (w. 1411 H), seorang pembesar ulama Syiah di perpustakaan Masjid
Sultan Ahmed 3 di Istanbul, Turki. Berdasarkan penelitian atas nomor manuskrip
yang disebutkan muhaqqiq kitab tersebut (nomor manuskrip 2688 dari Maktabah
Ahmad al-Tsalits) teridentifikasi bahwa al-Syajarah al-Mubarakah sejatinya
adalah kitab Bahr al-Ansab . Hal ini menunjukkan adanya kesalahan
identifikasi atau kebingungan terkait dengan kitab tersebut .
b.
Mahdi Raja'i sebagai muhaqqiq menyatakan demikian:
Berikut data
berdasar Fihris al-Makhthuth<it al-Mushawwarah:
Berdasarkan nama
Perpustakaan Sultan Ahmad Tsalis dan berdasar nomor manuskrip 2677 sangat
jelas bahwa kitab al-Syajarah al-Mubarakah adalah kitab Bahru al-Ans<ib .
Status dalam kitab ini pun "yunsabu" (dinisbahkan). Status "ins<ib" ini
mengesankan bahwa belum adanya verifikasi secara valid bahwa kitab ini
benar-benar merupakan buah tangan Imam al-Razi.
c.
Kejanggalan lain terkait dengan fakta bahwa kitab ini ditulis berdasarkan
manuskrip salinan yang barn ditulis 200 tahun setelah Imam al-Razi wafat.
Dalam catatan "Fihris Makhtuth<it" di atas dijelaskan bahwa manuskrip yang
disimpan di Maktabah Sultan Ahmed Tsalits tersebut adalah salinan yang ditulis
pada tahun 820 H, atau dengan kata lain terpaut lebih dari 200 tahun dari
al-Razi. Jika menggunakan teori berpikir Kiai Imad, pencatatan buku ini telah
hilang catatan sejarahnya selama 200 tahun . Fakta ini sangat layak untuk
menguji validitas kitab al-Syajarah al-Mubarakah.
d.
Penulis manuskrip salinan tersebut, yaitu Wahid bin Syamsuddin, merupakan
sosok yang tak terlacak (majhul). Tidak ada yang tahu siapa dirinya dan
kredibilitasnya? Hal ini menimbulkan keraguan terkait keaslian dan validitas
informasi dalam kitab tersebut. Benarkah salinan yang diklaim sebagai tulisan
Imam al-Razi adalah tulisan beliau atau tulisan orang lain yang dinisbahkan
kepada beliau? Pertanyaan-pertanyaan inti ini hams terjawab terlebih dahulu
sebelum menjadikan kitab ini sebagai rujukan, lebih-lebih dengan begitu
meyakinkan disebut sebagai "bayyinah sharihah".
e.
Setelah melacak ke berbagai referensi yang menyebutkan biografi
al Razi dan karya-karyanya, selama hampir 800 tahun (606-1400 H) tidak
ditemukan ulama yang menyebutkan bahwa al-Razi memiliki kitab berjudul
al-Syajarah al-Mubarakah.200 Hal ini pun diakui secara objektif oleh al
Sayid Mahdi al-Raja'i dalam mukadimah tahkiknya .
f. Di
samping itu, tidak ada nusk hah pembanding yang dijadikan pegangan oleh
al-Sayid Mahdi al-Raja'i dalam menahkik kitab ini sehingga kitab ini hanya
nusk hah satu-satunya tanpa muqabalah dan tanpa ada satu pun ulama yang
menyebutkan selama 800 tahun bahwa Fakhru al-Din al-Razi memiliki kitab ini
dalam ilmu nasab.
g. Yang disebutkan para ulama,
seperti Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) yang hidup sezaman dengan Imam al-Razi
dalam Mu)am al-Buld<in, Imam al Razi-pada masa tuanya- meminta kepada
muridnya, Ismail al-Mirwazi (w. 614 H), untuk menuliskan untuknya buku tentang
nasab al-Thalibiyin . Sang murid pun menulis kitab tersebut dan memberi judul
al-Fakhri, mengambil dari julukan gurunya, sebagaimana dicantumkan dalam
mukadimah kitab tersebut. Lalu, Imam al-Razi belajar kitab tersebut dari
muridnya.201 Kitab al-Fak hri karya al-Mirwazi ini ada dan diakui
keberadaannya oleh para ulama. Berbeda dengan penisbahan al-Syajarah
al-Mubarakah kepada al Imam al-Razi.
h. Al-Imam Fakhru
al-Din al-Razi dikenal sebagai seorang ulama besar Sunni Syafi'i. Anehnya,
banyak hal yang mengindikasikan secara kuat bahwa penulis al-Syajarah
al-Mubarakah adalah seorang yang berideologi Syiah. Di antaranya sebagai
berikut .
1) Pada halaman 78 dalam kitab
al-Syajarah al-Mubarakah, tatkala penulis menyebutkan putra dari al-Imam Hasan
al-'Askari, dikatakan :
Penulis kitab al-Syajarah al-Mubarakah
menyebutkan anak al-Imam Hasan al-'Askari adalah sh<ihibu al-zam<in.
Yang dimaksud "sh<ihibu al-zam<in" adalah al-Imam Mahdi, imam ke-12 yang
diyakini kelompok Syiah sebagai putra al-Imam Hasan al-'Askari (imam ke-11)
yang disembunyikan Allah. Karena itu, dalam redaksi al-Syajarah al-Mubarakah
tersebut dilanjutkan dengan doa "semoga Allah mempercepat kemunculannya yang
mulia". Keyakinan ini identik dengan keyakinan Syiah sehingga sangat aneh jika
kata-kata di atas dinisbahkan kepada Imam al-Razi yang notabene adalah ulama
besar Sunni Asy'ari. Ini benar-benar tertulis dalam manuskrip, bukan hanya
tambahan muhaqqiq .
2) Penulis al-Syajarah al-Mubarakah
menjuluki Abu Abdillah Ja'far sebagai
al-Kadzdz<ib. 202 Ini sangat
kontradiktifuntuk sosok intelektual Sunni macam Imam al-Razi, bahkan untuk
orang Sunni bodoh sekalipun.203
3) Dari naskah makthut yang ada,
penulis al-Syajarah al-Mub<irakah tampak sangat fasih memakai kata
'"alaihissal<im" untuk nama-nama ahli bait dan 'itrah, dan doa
"'ajjallallahufarajahu" untuk anak Hasan al-Askari yang diatribusi sebagai
sh<ihib al-zam<in.204 Taruhlah konsep "'alaihissal<im" untuk ahli
bait dan teologi Imam Mahdi bukan sesuatu yang kontroversial
bagi orang
Sunni, atau bahkan untuk Imam al-Razi sekalipun.205 Namun,
pada
kesempatan lain, yakni kala al-Syajarah al-Mubarakah menyebutkan keturunan
Sayidina Umar bin al-Khaththab206 dan Sayidina Abi Bakr al Shiddiq,207
ternyata sepi dari ucapan taradhi (lantunan doa "radhiyall<ihu 'anh") untuk
kedua khalifah tersebut.
Pasalnya, selain memiliki "beban teologis"
selayaknya bagi orang Sunni terhadap khalifah pertama dan kedua dalam sejarah
Islam untuk menyebut taradhi , Imam al-Razi punya "beban biologis" karena
terkonfirmasi berdarah Quraisy dari Kabilah al-Taimi, sekaligus keturunan
biologis dari Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq al-Taimi.
Kejanggalan-kejanggalan teologis di atas bukan soal kredibilitas penulis
sebagai Sunni atau Syiah. Kalangan Syiah pun banyak memiliki nassabah. Tapi,
ini soal penisbahan kitab, yang banyak memuat hal-hal yang identik dengan
Syiah, kepada seorang ulama besar Sunni yang sangat populer, yaitu Fakhr
al-Din al-Razi. Jadi, hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Muhammad
bin Umar bin al-Hasan-yang tertulis dalam naskah Wahid bin Syamsu al-Din
sebagai penulis al-Syajarah al-Mubarakah-adalah Fakhr al-Din al-Razi yang
ulama kenal dan sepakati sebagai Sunni atau Fakhr al-Din al-Razi "Syiah"
yang maj hul namun bernama dan berjulukan sama sebagai "al-Razi"?
Pertanyaan
terakhir ini secara spesifik untuk mengukur sejauh mana kita bisa mengandalkan
kitab nasab yang penulisnya sendiri sangat sulit diidentifikasi. Identifikasi
penulis sangat krusial karena dari sanalah sebuah pendapat dianggap
otoritatif atau tidak.
Tidak heran, jika Syaikh Muhammad Shaleh al-Zarkan
dalam tesisnya
mengategorikan kitab ini sebagai kitab yang diragukan
penisbahannya kepada Fakhru al-Din al-Razi (lJ .!l_µI
l).2os
Jika melihat indikator-indikator di atas, keabsahan penisbahan
kitab al-Syajarah al-Mubarakah kepada Imam al-Razi memang meragukan dan patut
dipertanyakan . Dan, kitab inilah yang dijadikan salah satu rujukan utama oleh
Imaduddin . Diragukannya penisbahan kitab ini kepada Fakhru al-Din al-Razi
membuat pengarang kitab ini majhul secara sosok dan kredibilitas dalam ilmu
nasab. Dengan demikian, menjadikan kitab ini sebagai dalil secara tsubut sudah
gugur.
2. Ketidakakuratan Klaim Hashr dengan
Jumlah Ismiyah
Bukan hanya penisbahan yangbermasalah .Akurasi substansi
dan kebenaran berbagai klaim hashr (pembatasan) yang ada dalam kitab ini juga
bermasalah .
Peneliti sejarah, Rumail Abbas, dalam "Menakar
Kesahihan Pembatalan Ba'alawi"
menjelaskan hal ini secara gamblang
sebagai berikut.
"Penulis mengusulkan untuk menguji manual tersebut
dengan kitab-kitab lain dari sampel acak atau terstruktur dari enam generasi
secara berurutan di dalam al-Syajarah al-Mubarakah . Hal ini untuk membuktikan
apakah inhishar tersebut bersifat faktual-historis atau hanya bersifat manual
prediktif (seperti yang telah disebutkan bahwa al-Syajarah al-Mubarakah hanya
"kitab ringkasan", yang berarti tidak syumul dan ihathah)?"209
Beberapa
uji sampel nama al-Syajarah al-Mubarakah yang dapat penulis sajikan adalah
sebagai berikut .210
Berdasarkan kategori, keturunan Imam Ali al-'Uraidhi
dalam al-Syajarah al-Mubarakah dibagi menjadi tiga. (1) Berketurunan secara
ittifaq.211 (2) Masih diperselisihkan para ulama.212 (3) Tidak
berketurunan secara ittifaq.213
Anak yang tergolong berketurunan
secara ittifaq adalah Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-Uraidhi dan direportase
oleh al-Syajarah al-Mubarakah (berdasarkan jumlah ismiyah) hanya memiliki tiga
anak.214
Jumlah ini bertentangan dengan reportase al-'Ubaidili bahwa anak
Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-'Uraidihi ada empat yang berketurunan .215
Kontradiksi yang sama didapatkan kala dikonfrontasi dengan reportase al-'Umari
yang menyebutkan delapan anak dari Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-'Uraidhi
(hanya dua yang mi'nats,216 dengan di-bold).217
Uji Sampel-1
Al-Syajarah
(606 H) Tahdzib al-Ans<ib (435 H)
Al-Majdi (490 H)
Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-'Uraidhi
Ubaidillah
(a), al-Husain, Muhammad Ubaidillah (a), al-Husain,
Muhammad, Ali (1) Ubaidillah (a), al-Husain, Muhammad, Ali
(1),
Abdullah (2),
Qasim (3),
Ja'far (4),
al-Hasan (5)
3
4 8
Perlu juga ditagih, jika al-Syajarah
al-Mubarakah dipahami Penggugat hanya menulis nama-nama yang berketurunan
sampai pada masa al-Razi, maka pada reportase yang lebih tua terkonfirmasi
bahwa Ali (1), Ja'far, (4), dan al Hasan (5) memiliki keturunan yang tidak
terputus (inqiradh).
Pertanyaan (14): dari mana al-Syajarah al-Mubarakah
mendapatkan riwayat nama-nama yang ia tulis jika dua kitab nasab yang lebih
tua mereportase jumlah yang lebih banyak dan separuh namanya berbeda (bahkan
terkonfirmasi berketurunan )?
Permasalahan tidak selesai hanya dari
Ahmad al-Sya'rani namun diteruskan pada anaknya yang direportase al-Syajarah
al-Mubarakah ....
Dengan jumlah ismiyah yang menurut Penggugat
bersifat inhishar dan final, al-Syajarah al-Mubarakah mereportase Ubaidillah
(a) hanya memiliki satu anak, yaitu Ali .
"Ali bin Ubaidillah (a) tinggal
di Marand (Iran), kemudian menetap di Yazd Ishfahan (Iran). Di sinilah
domisili keturunannya . Keturunan Ali dari dua lelaki: Muhammad Abu Ja'far dan
Ubaidillah (untuk nama ini beserta keturunannya terdapat kontroversi)
."218
Berdasarkan reportase yang lebih tua, al-'Umari mencatat :
"Di
antara keturunan Ubaidillah (a) ialah Abu al-Kata'ib Nuh (tersisipi riwayat
dari ayah al-'Umari) bin al-Muhsin bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah
(a) bin Ahmad bin Ali al-'Uraidhi."219
Melalui metode musyajjar , penulis
dapati Ubaidillah (a) memiliki anak bernama Ali, dan Ali menurunkan anak
lelaki bernama Muhammad . Di sini al Syajarah al-Mubarakah telah lolos uji
kecocokan dengan kitab nasab yang lebih tua berjudul al-Majdi.
Jika
dikonfrontasi dengan kitab ulama nasab sezaman (namun lebih awal terbitnya),
yaitu al-Marwazi , ketidakcocokan barn tampak dari jumlah anak Ubaidillah (a)
yang berjumlah dua (laki-laki), yaitu Ali Abu al-Hasan dan Ahmad, yang wilayah
domisili keturunannya di Maragheh, Iran, sebagaimana reportase berikut ini:
"Dan
bagi Ubaidillah (a) bin Ahmad ialah (keturunan bernama) Ali Abu al Hasan, dan
Ahmad yang berketurunan di Maragheh . Dan bagi Ali bin Ubaidillah
(a)
ialah dua anak lelaki yang berketurunan : Muhammad Abu Ja'far (Abu Ismail
Al-Thabathaba'i sendirian mengisbat silsilahnya) dan Ubaidillah (Abu
Ismail al-Thabathaba'i mengisbatnya dan pendapatnya didukung Abu al-Ghana'im).
Keturunan Ubaidillah (bin Ali bin Ubaidillah) berada di Marand dan
Qazvin."220
Dengan redaksi yang tersusun dari jumlah ismiyah dengan
khabar muqaddam, al-Syajarah al-Mubarakah memastikan Muhammad Abu Ja'far dan
Ubaidillah tinggal di Yazd Ishfahan . Namun, reportase sezaman al-Syajarah al
Mubarakah justru mereportase domisili keturunan Ali bin Ubaidilah tersebut di
Marand dan Qazvin.221
Uji Sampel-2
al-Syajarah (606
H) Al-Majdi (490 H) al-Fakhri (612 H)
Ubaidillah
(a.) bin Ahmad al-Sya'rani
Ali Ali
Ali
Ahmad (di Marageh)
1 1 2
Ali
bin Ubaidillah (a.) bin Ahmad al-Sya'rani
Muhammad,
Ubaidillah Muhammad Muhammad,
Ubaidillah
Yazd Ishfahan - Marand
& Qazvin
Pertanyaan (15):jika jumlah ismiyah yang tersusun
secara khabar muqaddam saja problematik untuk meng-inhishar nama, jumlah, dan
lokasi, lantas bagaimana dengan jumlah ismiyah belaka?
Kemudian,
pada reportase nasab Ali al-'Uraidhi yang berketurunan secara
ittifaq
ialah Muhammad al-Akbar.
Menggunakan redaksi jumlah ismiyah yang
tersusun secara khabar mu qaddam, al-Syajarah al-Mubarakah memastikan anaknya
hanya ada tujuh: Isa, al-Hasan, Yahya, Muhammad, Musa, Ja'far, dan al-Husain
.222 Akan tetapi, al-'Ubaidili mereportase anaknya ada enam223 dan al-'Umari
mereportase anaknya ada sembilan .224
Jika jumlah dalam al-Syajarah
al-Mubarakah lebih banyak daripada al 'Ubaidili, bisa dimengerti jika
penambahannya (yaitu Musa [1]) berdasarkan reportase dari al-'Umari. Masih
bisa ditoleransi pula jika Ishaq (3) tidak disebutkan al-Syajarah al-Mubarakah
karena mi'nats, namun kontradiksi terarah pada Ibrahim (2) dan Ali (4) yang
terkonfirmasi berketurunan namun tidak disebutkan dalam al-Syajarah
al-Mubarakah.
Perhatikan tabel di bawah ini:
Uji
Sampel-3
Al-Syajarah (606 H) Tahdzib al-Ans<ib
(435 H) Al-Majdi (490 H)
Muhammad al-Ak bar bin Ali
al-'Uraidhi
Isa,
Al-Hasan, Yahya, Muhammad Musa (1), Ja'far,
al-Husain
Isa,
al-Hasan, Yahya, Muhammad, Ja'far,
al-Husain
Isa,
al-Hasan, Yahya, Musa (1), Ja'far,
al-Husain, Ibrahim (2),
Ishaq
(3),
Ali (4)
7 6 9
Kontradiksi
al-Syajarah al-Mubarakah pun terjadi kala dikonfrontasi dengan
kitab yang sezaman dengannya (namun diproduksi lebih awal), yaitu karya
al-Marwazi yang mereportase anaknya ada lima (tertulis empat, namun Ja'far
ditambahkan berdasarkan pendapat yang sahih).225
Lihat tabel
berikut ini:
Uji Sampel-4
Al-Syajarah (606
H) Al-Fakhri (614 H)
Muhammad al-Akbar bin Ali
al-'Vraidhi
Isa,
al-Hasan, Yahya, Muhammad Musa,
Ja'far,
al-Husain
Isa,
al-Hasan, Yahya,
al-Husain,
Ja'far (pendapat sahih)
7
5
Pertanyaan (16): dari mana al-Syajarah al-Mubarakah mendapatkan
riwayat tentang angka dan detail nama keturunan Muhammad al-Akbar bin Ali
al-'Uraidhi yang kontradiktif dengan tiga kitab nasab yang lebih tua
darinya?
Hingga pada keturunan Ali bin Muhammad Abu Ja'far yang
direportase beranak tunggal226 , reportase bin Thaba Thaba menyebutkan ada
tiga anaknya.227 Begitu pula anak Ali bin Muhammad Abu Ja'far bin Ahmad
al-Abah direportase al-Syajarah al-Mubarakah beranak tunggal228 , namun
reportase al-'Ubaidili dan al-Marwazi menyebut ada dua anak.229
Secara
singkat, jika diperbolehkan menyusun pola, setiap 100 nama yang direportase
al-Syajarah al-Mubarakah didapatkan 15-25 problem akurasi, baik untuk angka,
nama, dan wilayah ketika dikonfrontasi dengan kitab nasab yang lebih tua dan
sezaman (dalam konteks jumlah ismiyah, inhishar , dan khabar muqaddam yang
diyakini Penggugat berarti spesifik, final, dan ta'kid).
Dalam
perhitungan statistik, memakai persamaan Z-Score untuk mendapatkan konstanta
margin error , kekeliruan pada 100 sampel yang ditoleransi secara ilmiah ialah
sebesar 10%, atau 10 orang. Dan temuan yang penulis dapatkan telah
melewati ambang batas dapat ditoleransi (yaitu 15-25 sampel problematik)."
23
Semua uraian di atas menjelaskan bahwa menjadikan al-Syajarah
a-Mubcirakah sebagai dalil pembatalan Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa
adalah penggunaan dalil (istidalal) yang cacat, baik secara dalalatan (pe
mahaman terhadap redaksi al-Syajarah al-M ubcirakah) atau tsubutan (ke abshan
penisbahan kitab kepada Imam al-Razi) atau dari segi akurasi isi kitab itu
sendiri. Wallcihu a'lam.
3. Bantahan Muhaqqiq
al-Syajarah al-Mubarakah terhadap Imad Imaduddin
menitikberatkan argumennya dalam
membatalkan nasab Ba'alawi kepada
keterangan dari al-Syajarah
al-Mubarakah . Ternyata, pemahaman Imaduddin terhadap redaksi
al-Syajarah al-Mubarakah dibantah dan diluruskan langsung oleh muhaqqiq kitab
tersebut, yaitu al-Sayid Mahdi Raja'i. Gus Zaini mengirimkan
pertanyaan-pertanyaan terkait hal tersebut kepada Mahdi Raja'i. Mahdi
menjawabnya dengan bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh pelajar Indonesia di Iran. Wawancara tersebut secara utuh dimuat pada
channel YouTube Zaini tertanggal 25 Juni 2024.231 Berikut kami tuangkan
transkrip wawancara tersebut:
Penanya:
BismiUahirrahmanirrahim
Kepada
yang mulia Ayatullah Mahdi Raja'i yang saya hormati. Mula-mula saya ucapkan
terima kasih banyak yang telah memberi kami kehormatan dengan pertemuan ini di
tengah kesibukan Antum. Yang kedua, kami ucapkan selamat atas hari kelahiran
cucu Nabi Saw. yang dijuluki Karimah Ahlulbait Sayidah Fatimah binti Imam Musa
al-Kazhim a.s. Karena itu, izinkan saya membacakan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan Ustadz Zaini. Beliau adalah salah satu asatidzah dan pegiat media
sosial yang tinggal di Madura, Indonesia .
Pertanyaan tersebut
sebagai berikut .
Pertama, akhir-akhir ini wacana yang memuat fitnahan
dan bantahan terhadap validitas nasab keluarga Ba'alawi beredar di tengah
masyarakat Indonesia. Argumen mereka ini terdiri atas dua perkara.
1.
Tiadanya sosok Sayid Ubaidullah dalam tokoh sentral nasab Ba'alawi
sebagai salah satu anak Sayid Ahmad al-Muhajir dari kitab-kitab nasab yang
sezaman atau dekat dengan masa Sayid Ubaidullah .
2. Sungguh, Imam
al-Razi dalam al-Syajarah al-Mubarakah yang dinisbah kan
kepadanya dan Antum, sebagai ulama yang melakukan tahkik atasnya, menggunakan
kalimat dalam bentuk jumlah ismiyah ketika menyebutkan anak-anak Sayid Ahmad
al-Muhajir. Penggunaan bentuk tersebut memiliki makna hashr
sebagaimana yang lumrah dalam istilah ahli
nasab untuk memperkuat argumen orang-orang yang mengatakan bahwa
anak-anak Sayid Ahmad al-Muhajir HANYA berjumlah tiga orang dengan Ubaidullah
bukan salah satu dari mereka. Pertanyaannya, apakah argumen yang disampaikan
orang-orang yang menyangsikan kebenaran nasab Ba'alawi ini sesuai
dengan kaidah ilmu nasab atau tidak?
Sayid Mahdi Raja'i:
Bismillahirrahmanirahim
Pertama-tama,
membuktikan kebenaran sebuah nasab atau status sayid sebuah keluarga menurut
prinsip-prinsip Islam, baik fikih Syiah dan Sunni, dilandaskan pada bahwa
mereka memiliki syuhrah atau reputasi di dalam masyarakat sebagai sayid selama
ratusan tahun. Inilah kriteria kami di Iran untuk memvalidasi status siyadah
seseorang adalah syuhrah. Jadi, begitu sebuah keluarga dikenal sebagai sayid
selama seratus, dua ratus, atau tiga ratus tahun, status siyadah mereka
terbukti valid sesuai dengan prinsip-prinsip fikih dan aturan ilmu nasab.
Keluarga Sayid Ba'alawi telah dikenal luas sebagai sayid selama paling tidak
sekitar tujuh atau delapan ratus tahun di seluruh penjuru dunia, baik itu
Indonesia, Malaysia, Iran, Irak, dan Hijaz.
Sadah Ba'alawi merupakan
keluarga sayid yang sangat besar. Saya pernah melihat sebuah yayasan wakaf
besar di Makkah milik keluarga al-Saggaf, yang juga dikenal dengan al-Saggaf .
Plang yang tertulis di sana mengatakan bahwa pewakafnya merupakan seorang
sayid keluarga Ba'alawi . Bagaimanapun, syuhrah dan ketenaran keluarga
Ba'alawi sebagai keturunan Nabi Saw. sudah cukup untuk membuktikan status
siyadah atau kesayidan mereka. Selanjutnya, soal mengapa para ahli nasab dan
ulama mutaqaddimin tidak menyinggung Ubaidullah bin Ahmad Muhajir? Perlu
dikatakan bahwa mereka dapat berpikir demikian karena hidup pada era kemudahan
komunikasi. Pada masa ini, apabila seorang anak lahir di sebuah penjuru dunia
yang paling jauh, orang yang berada di belahan dunia yang lain dapat
mengetahui bahwa anak tersebut lahir.
Pada masa lalu, fasilitas
komunikasi seperti ini masih belum ada. Mereka tidak memiliki
kemudahan komunikasi yang kita miliki saat ini. Kita sering
menemukan kasus serupa dalam penelitian kitab-kitab nasab. Materi dalam kitab
saya, Tuhfahal-Thalibfi Ans<ibi Ali Abi Th<ilib, salah satunya berkaitan
dengan hal ini. Contohnya, ketika kita amati bahwa seseorang dalam kitab
al-Fakhri tercatat memiliki dua anak, dalam kitab al-Syajarah al-Mubarakah
disebutkan punya tiga
anak, sedang dalam 'Umdatu al-Th<ilib punya
empat anak, dan masih banyak lagi. Dalam Tuhfah al-Th<ilib saya menyebutkan
angka yang paling banyak, yakni empat atau lima anak.
Mereka adalah
orang-orang yang hidup secara sembunyi-sembunyi karena berbagai alasan.
Bahkan, kelahiran sebagian dari mereka pun disem bunyikan . Mereka hidup
dalam persembunyian sejak lahir, terutama mereka mereka yang nantinya
diketahui memiliki perselisihan dengan pemerintah . Karena situasi politik
inilah mereka akhirnya melarikan diri. Sering terjadi kasus para ahli nasab
tidak dapat menemukan garis keturunannya sama sekali karena masalah ini.
Mereka tidak dapat menemukan seseorang yang bernama Ubaidullah, misalnya,
bahkan tidak tahu bahwa orang ini ada. Namun, setelah beberapa waktu berlalu,
ternyata Ahmad al-Muhajir memiliki seorang putra bernama Ubaidullah, barulah
orang ini (Ubaidillah) diketahui.
Orangini pergi dari Makkah dan Madinah
ke Basrah, kemudian dari sanapergi ke Hadramaut . Ia tinggal dan beranak
keturunan di Hadramaut . Kasus seperti ini banyak terjadi dalam sejarah, dan
bukan suatu hal yang sangat signifikan atau aneh sehingga menyebabkan keraguan
. Keraguan mereka ini seperti meragukan hal yang sudah jelas, seperti orang
yang meragukan keberadaan matahari. Kasus seperti ini banyak terjadi dalam
sejarah, seperti Isa Mu'tamar al-Asybaar. Silakan dibaca kisah tentang beliau.
Orang-orang yang hidup pada masanya tidak ada yang tahu bahwa dia adalah putra
Zaid bin Ali. Bahkan, istrinya sendiri tidak tahu bahwa suaminya adalah putra
Zaid bin Ali. Ketika putri Isa Mu'tamar al-Asybaar meninggal, dia menangis dan
berkata, "Putriku meninggal dalam keadaan tidak tahu bahwa dia adalah
keturunan Nabi." Dia sendiri meninggal dunia secara diam-diam dan kuburannya
pun tidak diketahui.
Jadi, keadaan ini dalam sejarah tidak hanya terjadi
pada Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir. Orang-orang yang
tidak terdeteksi oleh para ahli nasab pada zaman
itu, nanti setelah bertahun-tahun berlalu, pelan-pelan
terdeteksi dan diketahui kemudian. Bahkan, di antara mereka ada ulama, tokoh,
pembesar, dan orang-orang tersohor yang kami juga sebutkan dalam Tuhfah
al-Th<ilib Ji Ans<ibi Ali Abi Thalib berkaitan dengan orang-orang yang
berasal dari keluarga ini, seperti keluarga Ba'alawi ini dan keluarga-keluarga
sadah yang lain. Oleh karena itu, tidak ada keraguan tentang status sayid
keluarga Ba'alawi dan bahwa mereka adalah keturunan Ubaidullah putra
Ahmad al-Muhajir.
Para ulama dan as<itidz terkemuka, seperti Ayatullah
al-Uzma Sayid Syihabuddin Mar'ahi Najafi, juga telah mengonfirmasi masalah ini
dan mengakui bahwa keluarga Ba'alawi adalah s<idah dan memiliki syuhrah
sebagai keturunan Nabi Saw.
Penanya:
Terima kasih atas jawaban
yang berharga. Sekarang izinkan saya membacakan pertanyaan kedua . Mereka yang
menggugat kebenaran nasab keluarga Ba'alawi mengatakan bahwa syuhrah tersebut
barn ada pada abad ke-9 Hijriah . Syuhrah yang barn muncul di tengah-tengah
ini tidak bisa diterima sebagai dalil untuk memvalidasi kebenaran nasab
mereka, sebagaimana Siyadah al-Tabari yang dibahas dan ditekankan dalam kitab
Sayid Ibrahim bin Mansur al-Hasyimi yang
berjudul al-If<idhah fi
Adillati Tsubuti al-Nasab wa Nafyihi bi Syuhrati wa al
Istifadhah.
Pertanyaannya,
bagaimana Anda menanggapi gugatan mereka berkaitan dengan syuhrah yang diklaim
tidak sah untuk membenarkan nasab Ba'alawi ini?
Sayid Mahdi
Raja'i:
Sebagaimana yang tertera dalam kaidah-kaidah ilmu nasab dan
syariat, saya pernah bertanya kepada guru saya, Ayatullah al-Uzma Sayid
Syihabuddin Mar'ashi Najafi . Beliau berkata, apabila sebuah keluarga memiliki
syuhrah yang jelas dan dikenal sebagai keturunan Nabi Saw. selama dua atau
tiga ratus tahun, itu sudah cukup.
Almarhum guru saya, Ayatullah
Mar'ashi Najafi mengatakan, apabila sebuah keluarga memiliki syuhrah sebagai
sayid selama 200 atau 300 tahun, itu sudah cukup sebagai bukti kebenaran nasab
mereka. Kalian berkata, kalau mereka barn memiliki syuhrah pada abad ke-8 atau
ke-9, itu malah lebih baik lagi. Artinya, syuhrah itu sudah benar-benar cukup
untuk membuktikan kebenaran nasab tersebut.
Di awal tadi saya sudah
katakan, alasan mengapa keluarga ini tidak terkenal sejak abad-abad awal itu
karena para ahli nasab tidak memiliki akses untuk mendeteksi dan mengetahui
mereka. Para ahli nasab tidak mencatat keluarga ini dalam kitab karena mereka
berada di tempat yang jauh dari wilayah yang ditinggali para ulama nasab. Para
ulama ahli yang karyanya ada pada kita saat ini semuanya tinggal di Iran,
Irak, dan daerah-daerah sekitarnya. Sementara itu, banyak dari
kalangan s<idah pindah ke Hadramaut dan tempat-tempat jauh lainnya sehingga
para ahli nasab tidak mampu menggapai mereka.
Barn kemudian, setelah
berlalu beberapa masa, akhirnya para ulama nasab berhasil menemukan mereka .
Tentu mereka yang tinggal di daerah jauh ini sejak awal memiliki syuhrah
sebagai keturunan Nabi Saw. Mungkin juga sudah tercatat dalam kitab para
qudama, tetapi sayang sebagian besar kitab ahli nasab qudama telah lenyap.
Sebenarnya, kita memiliki khazanah kitab nasab yang sangat kaya, bahkan sampai
ratusan, tetapi yang tersisa beberapa saja yang sampai pada kita. Bisa jadi
nasab ini sudah tercatat di sana. Yang ada pada kita saat ini ya kitab al-Fak
hri, 'Umdatu al-Th<ilib, dan al-Syajarah al-Mubarakah. Mungkin nasab ini
tercatat dalam kitab-kitab sebelumnya yang tidak sampai ke tangan kita saat
ini. Kita tidak bisa serta-merta mau menginisiasi gugatan terhadap validitas
nasab keluarga s<idah berdasarkan hal ini. Itu berarti kita juga hams
mempertanyakan kebenaran banyak keluarga s<idah lain yang memiliki kasus
serupa. Banyak dari mereka yang memang sejak awal hidup secara
sembunyi-sembunyi, hidup dalam pelarian, sehingga tidak dapat dideteksi dan
dicatat oleh para ulama. Namun, beberapa waktu kemudian, dua, tiga, atau empat
abad kemudian, para ulama menemukan mereka dan mencatat garis keturunan
mereka.
Penanya:
Pertanyaan ketiga dan terakhir. Mereka yang
berusaha membantah kebenaran nasab S<idah Ba'alawi mengatakan, apabila
kitab-kitab nasab yang sezaman atau yang dekat dengan zaman itu tidak
menyebutkan sosok sentral dan sebuah garis keturunan, garis keturunan tersebut
dinyatakan tidak valid. Mereka juga menambahkan bahwa kitab nasab mana pun
tidak ada yang boleh bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya . Mohon
jawaban dan pencerahannya, terima kasih banyak sebelumnya dan jangan lupa
doakan kami.
Sayid Mahdi Raja'i:
Sebagaimana yang telah
dijelaskan, syuhrah atau ketenaran sebuah keluarga sebagai sayid sudah cukup
untuk membuktikan kebenaran nasab tersebut. Berkaitan dengan mengapa para ahli
nasab dari kalangan qudama tidak mencatatnya, alasannya adalah akses
komunikasi yang ada pada masa itu tidak semudah seperti yang kita miliki saat
ini. Beberapa ahli nasab seperti Baihaqi, penulis Lubab al-Ans<ib, hanya
mampu mencatat nasab s<idah yang berada di jangkauan wilayah mereka dengan
lengkap dan detail. Namun, para ahli nasab besar dan masyhur (seperti Baihaqi)
ini pada saat yang sama tidak mampu mencatat s<idah lain yang tidak berada
di cakupan wilayah mereka, atau berhasil tercatat namun tidak lengkap. Mengapa
hal ini terjadi? Problem komunikasi. Kemudahan transportasi dan
komunikasi, berkat kemajuan teknologi yang kita miliki
sekarang ini, tidak ada pada masa itu. Karena itu, sekali lagi, secara syuhrah
nasab ini tidak memiliki masalah sama sekali. Luputnya mereka dari catatan
para ahli nasab yang sezaman dengan mereka tidak lantas berarti
bahwa mereka itu tidak ada.
Para ulama mengatakan bahwa kita tidak
bisa serta-merta menafikan nasab sebuah keluarga hanya karena para ahli
nasab tidak menyebutkan dalam kitab-kitabnya . Jika metode ini diterima, kita
hams terapkan metode ini dalam keseluruhan subjek ilmu nasab. Para ahli nasab
yang tidak menyebutkan nasab ini, jika tidak disebabkan
ketidaktahuan, disebabkan ketiadaan akses mereka terhadap
kitab-kitab yang sezaman dengan tokoh-tokoh tersebut . Asumsi ini sangat kuat
karena ada banyak sekali kitab yang ditulis sezaman dengan tokoh tokoh
tertentu, seperti pengarang kitab al-Majdi . Beliau memiliki kitab yang sangat
detail, dan al-Majdi ini sejatinya hanya ringkasan dari kitab tersebut . Kitab
tersebut ditulis pada abad ke-5 Hijriah .
Kitab-kitab ini telah lenyap
dalam sejarah. Mungkin nasab tokoh tersebut sudah tertulis dalam kitab-kitab
yang hilang itu. Nanti, setelah beberapa waktu berlalu, perlahan-lahan para
ulama nasab akhimya menemukan tokoh-tokoh dan keluarga-keluarga ini. Mereka
tidak sembarangan menulis tokoh-tokoh ini, wal 'iyadzu billah. Mereka adalah
para ulama dan ahli nasab besar, orang-orang yang menjaga agamanya, menjaga
shalat dan syariatnya, menjadi rujukan masyarakat ketika mengonfirmasi suatu
keluarga sebagai keluarga sayid pada abad ke-8 dan ke-9.
Hal ini
menunjukkan bahwa keluarga ini telah terkenal sebagai keluarga sayid pada abad
ketiga, keempat, dan kelima . Para ulama pun mencatat nasab mereka dalam
kitab-kitabnya . Jika tidak demikian dan kita bersikeras menutup semua
kemungkinan dengan mengatakan bahwa mereka ini tiba-tiba barn muncul pada abad
ketujuh, kedelapan, atau kesembilan, kita hams tahu bahwa yang mencatat mereka
ini adalah para ulama nasab.
Oleh karena itu, isykal seperti ini
sama saja seperti Anda mempertanya kan kredibilitas para ulama dan ahli
nasab, alih-alih menggugat kebenaran nasab sebuah keluarga sadah. Betul, bahwa
Imam al-Razi tidak menyebutkan dalam kitabnya, al-Fakhri juga tidak, tapi
bukan berarti mereka tidak punya akses terhadap seluruh keturunan Nabi Saw.
Perlu diketahui bahwa kitab yang mereka tulis ini sangat terbatas dan tidak
lengkap. Kitab al-Syajarah al-Mubarakah, al Fakhri, dan kitab-kitab yang
ditulis oleh para qudama ini sangat terbatas.
Saya sendiri sudah
meneliti kitab-kitab ini. Karena itu, saya mampu mengatakan hal ini pada
kalian, sangat terbatas dan singkat. Ada kitab-kitab yang lebih dari pada ini,
seperti kitab al-Fakhri yang kalian lihat dan dicetak saat ini. Ada juga kitab
nasab yang berjumlah 60 jilid, tapi ini sudah lenyap.
Penulis
al-Fak hri, Kadi al-Mirwazi, pernah menulis kitab nasab-yang dalam kitab Mu)am
al-Buldan milik Syaikh Hamawi disebutkan-berjumlah 60 jilid, tapi kitab-kitab
ini telah lenyap.
Kitab-kitab yang ada saat ini hanya ringkasan .
Kitab-kitab yang ada saat ini, seperti al-Syajarah al-Mubarakah, hanya
rangkuman singkat yang berisi poin inti. Kitab ini memuat beberapa perkara,
tetapi tidak memuat banyak perkara lain. Bukan berarti, ketika tidak menemukan
tokoh atau keluarga tertentu dalam kitab ini, disimpulkan bahwa mereka tidak
ada. Tidak bisa. Ini penilaian yang sangat tergesa-gesa dan tidak ilmiah.
Hanya
karena Fakhm al-Din al-Razi tidak mencatat mereka atau ahli nasab Fulan tidak
mencatat mereka . Bukankah ada ulama lain yang mencatat mereka? Ada ulama pada
abad selanjutnya yang mencatat mereka, ulama pada dua abad selanjutnya. Mereka
bukan orang-orang yang berada di bawah level Imam al Razi, bahkan bisa jadi
lebih tinggi secara intelektual, lebih luas secara wawasan, karena mereka
mendapatkan referensi kitab yang lebih banyak, lalu menukil dari kitab-kitab
tersebut.
'Ala' kulli !:!_at, menumt saya, syubhah dan gugatan berkaitan
dengan kebenaran nasab keluarga Ba'alawi sebagai ketumnan Nabi Saw.,
yang-masya Allah- garis ketumnan ini memiliki cabang yang sangat banyak di
mana-mana, mempakan syuhbah dan gugatan tidak benar.
Dari sini
menjadi jelas bahwa pemahaman Imaduddin atas al-Syajarah al Mubarakah yang
dia elu-elukan itu ternyata dibantah dan dianggap menyimpang oleh pakar nasab
yang mempakan muhaqqiq kitab itu sendiri.
C.
Gagal Paham terhadap Logika Dalil-Madlul
Imaduddin menyatakan bahwa dalil
dan madlul hams muttharid dan mun'akis. Artinya, jika tidak ada dalil, pasti
tidak ada madlul, sebagaimana jika tidak ada madlul , pasti tidak ada dalil.
Hal ini menabrak kaidah ilmu dasar bahwa dalil dan madlul hanya hams muttharid
(ada dalil pasti ada madlul), tidak hams mun'akis (tidak ada dalil pasti tidak
ada madlul). Memang ada keadaan demikian, tapi hanya sebagai mustasnayat
(pengecualian), yaitu ketika hubungan antara dalil dan madlul itu talazum
(keterkaitan yang bersifat harus dan mengikat). Seperti tidak ada shalat wajib
keenam karena tidak ada dalil keberadaannya . Begitu pula tidak ada surah
tambahan dari surah yang ada dalam Al-Qur'an karena tidak ada dalil tentang
surah tambahan tersebut. Dalam kasus ini memang dalil dan madlul bersifat
muttharid dan mun'akis karena tidak mungkin ada Al-Qur'an dan kewajiban shalat
yang tidak diajarkan Nabi Saw. dan para ulama. Jadi, jika tidak ada ajaran
Nabi Saw. atau ulama tentang hal tersebut (tidak ada dalil), pasti hal
tersebut memang tidak ada (tidak ada madlul).
Adapun selain
pengecualian itu, kaidah logika dasar yang berlaku umum antara dalil dan
madlul bersifat muttharid namun tidak mun'akis, sebagaimana telah dijelaskan .
Nah, ketika Imaduddin tidak menemukan dalil kitab sezaman yang menyebutkan
bahwa Ubadillah adalah anak dari Ahmad bin Isa, hal itu sama sekali tidak
menunjukkan bahwa Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa. Ini masalah logika
sangat mendasar yang gagal dipahaminya. Terkait kaidah logika ini, al-Imam
al-Amidi menjelaskan :
D. Mengaitlcan Akhlak
Oknum dengan Keabsahan Nasab
Imaduddin dan pengikutnya sering sekali
mengaitkan akhlak seseorang dengan nasab. Membangun narasi, jika benar para
habib adalah keturunan Nabi Saw., akhlak mereka tidak akan buruk.
Klaim ini jelas salah besar dan mengandung kekeliruan logika yang mendasar.
Tidak ada korelasi antara ketetapan nasab dengan akhlak seseorang. Nasab
berkaitan dengan hubungan genealogi dan keturunan, sementara moralitas atau
akhlak adalah hasil dari pendidikan, lingkungan, dan pilihan pribadi
seseorang, kecuali jika ada seorang sayid yang kufur atau murtad, barulah
kekufuran itu memutuskan nasabnya .
Al- Imam Ibnu Hajar al-Haitami, salah
satu ulama yangmengisbat nasab Sadah Ba'alawi, sebagaimana telah kami
jelaskan, dalam al-Fatawa' al-Had'itisiyyah menyebutkan:
"Barang
siapa yang diketahui penisbahannya kepada ahli bait Nabi Saw., besarnya
dosa yang dia lakukan dan minimnya ketaatan kepada agama tidak memutuskan dia
dari kebersambungan nasab tersebut."
S<idah Ba'alawi memang
tidak maksum . Mereka juga manusia . Ada yang ke lakuannya baik, ada pula
yang buruk, seperti kaum Muslim lainnya. Hanya saja, merekadiberikan rezeki
olehAllahberupakebersambungan nasabkepadaRasulullah Saw. Namun menyatakan
bahwa akhlak para habib itu buruk karena didasarkan pada perilaku
segelintir individu adalah penilaian yang menggeneralisasi dan tidak adil,
apalagi hal itu tidak mewakili keseluruhan kelompok. Berapa banyak habib baik
di Hadramaut, Hijaz, India, bahkan Nusantara yang menjadi ulama rujukan bahkan
aulia. Jumlahnya pun tak terhitung.
Jika melihat prinsip-prinsip
yang diajarkan dalam Thariqah S<idah Ba'alawi, justru para habib yang
nakal, ahli maksiat, sombong, atau berakhlak buruk adalah mereka yang
menyimpang dari ajaran resmi S<idah Ba'alawi . Dalam se tiap buku nasab
resmi yang diberikan Rabithah Alawiyyah kepada anggotanya, di situ tertera
etika yang wajib dipegang teguh setiap sayid Ba'alawi. Berikut tampilannya
:
Berbagai literatur para habib juga menuliskan begitu banyak
nasihat agar seorang sayid Ba'alawi tidak boleh mengandalkan, apalagi
membanggakan, nasab. Mereka mengategorikan sikap membanggakan dan mengandalkan
nasab sebagai perbuatan tercela. Bagi mereka, nasab mulia justru hams menjadi
motivasi meningkatkan ketakwaan dan akhlak mulia. Itulah yang menjadi salah
satu ajaran mendasar dari al-Thariqah al-'Alawiyyah. Berikut kami kutip
sebagian kecil petuah pembesar S<idah Ba'alawi terkait hal tersebut.
1.
Al- Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengutip dan menjelaskan bahwa seorang
sayid/habib/syarif yang hanya membanggakan kakeknya tapi
tidak bisa meniru pencapaian baik mereka tak ubahnya tong kosong nyaring
bunyinya .
Dalam untaian kasidahnya,
al-Imam al-Haddad menasihati para habib dengan tegas.
Beliau mengatakan:
"Hati-hati, jangan sampai
kamu mengucapkan perkataan orang bodoh, "Aku dan Kamu lebih
rendah dari aku dalam keutamaan dan kemuliaan ."
"Sungguh,
sekelompok orang menjadi terbelakang karena mereka tidak berusaha mendapatkan
kemuliaan, tapi malah merasa cukup dengan mem bangga-banggakan
leluhurnya!"
2. Al-Imam al-Habib Ahmad bin
Umar bin Smith dalam sebuah syairnya menyatakan bahwa orang yang tertipu
dengan nasab dan hanya membangga-banggakan leluhurnya serta sibuk mencari
harta dan popularitas adalah orang yang "ghabi" alias idiot. Berikut syair
beliau.
3. Al-Habib al-Imam Idrus bin Umar
al-Habsyi mengutip dari al-Imam Ahmad bin Alwi Jamalullail Ba'alawi, mufti
Madinah al-Munawwarah pada zamannya, sembilan norma yang WAJIB dipegang teguh
oleh seseorang yang memiliki nasab mulia. Berikut redaksinya dengan terjemahan
yang kami ringkas.
Pertama, mempelajari ilmu syariat dengan ikhlas
karena Allah.
Kedua, menyucikan hati dari segala penyakit hati dan
akidah yang keliru.
Ketiga, menghindari hal-hal yang dicela
syariat Nabi Saw.
Keempat, tidak membanggakan nasab tanpa beramal
saleh.
Kelima, menjauhi diri dari kekuasaan duniawi.
Keenam,
mengikuti jalan leluhurnya semampu mungkin .
Ketujuh,
memperlakukan makhluk Allah dengan akhlak mulia.
Kedelapan,
zuhud terhadap dunia dan hanya mengambil sekadar kebutuhan .
Kesembilan,
tidak tamak dan melirik sama sekali kepada milik orang lain.
Dari
sini menjadi jelas bahwa menggiring opini para habib bukan cucu Nabi Saw.
karena akhlak buruk sebagian dari mereka adalah kesesatan logika. Tidak ada
talazum (hubungan keharusan) antara kebersambungan nasab dan kemuliaan akhlak.
Lagi pula, para habib yang punya akhlak tidak bagus, apalagi bermaksiat,
adalah habib yang melanggar ajaran Thariqah Sadah Ba'alawi. Lucunya, yang
disalahkan adalah klannya.
Oleh karena itu, jika ada sayid Ba'alawi atau
yang lain berakhlak buruk, kewajiban setiap Muslim untuk mengingatkannya
sesuai tuntunan syariat. Jika ada yang melanggar hukum, hukum hams ditegakkan
atasnya dengan adil. Bukan malah menyerang kabilahnya . Selain tak logis, ini
juga tidak adil.
E. Menyebut Nasab
Ba'alawi Mustahil Bersambung kepada Rasulullah Saw.
Dengan
penuh kebencian, Imaduddin kerap menyebut nasab Ba'alawi mustahil bersambung
kepada Rasulullah Saw. Mustahil mana yang ia maksud? Jika yang ia maksud
mustahil secara logika ('aqlan), artinya sesuatu yang tak bisa digambarkan
keberadaannya oleh akal (o.3_j>."J jiiJI <) J"i l..). Contohnya
seperti
sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. Adapun keberadaan Ba'alawi secara
hukum akal adalah jaiz . Allah boleh saja menciptakan Ba'alawi sebagai
dzurriyah, boleh juga tidak. Semuanya bergantung kehendak Allah. Jika yang
dimaksud kebersambungan nasab Ba'alawi kepada Nabi Saw. mustahil secara akal,
Imaduddin sedang berpikir dengan logika yang cacat.
Adapun jika yang
dimaksud mustahil secara syar'an (menurut hukum syariat) dan 'adatan (hukum
kebiasaan), kita serahkan kepada al-Imam Amir al-Shan'ani pengarang Subulu
al-Salam Syarah Bulughu al-Maram untuk menjawab hal itu. Beliau berkata:
"Mereka
Ba'alawi bermazhab Syafi'i. Mereka adalah komunitas yang besar kemudian
beliau mengatakan-dan mereka yang telah kami sebut termasuk ahli bait
Rasulullah Saw., baik secara hukum syariat, hukum akal, dan 'urf (hukum
kebiasaan)."
F. Dua Belas Pertanyaan Imaduddin
Kepada Rabithah Alawiyah Untuk sampai kepada
kesimpulan apakah nasab Ba'alawi
sahih atau tidak, Imaduddin membuat
pertanyaan berikut : "Adakah kitab
sezaman
yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa?" Bagi
Imad, jika jawabannya ada, nasab Ba'alawi sahih. Sebaliknya, jika tidak,
nasabnya tidak sahih. Padahal, ada atau tidak kitab sezaman tersebut tidak
menjadi tolok ukur kebenaran status Ubaidillah sebagai Ahmad bin Isa dan
keabsahan nasab Ba'alawi. Pertanyaan itu hanya mencari jawaban ada atau
tidaknya kitab sezaman, yang tidak secara otomatis melahirkan kesimpulan
bersambung atau tidaknya nasab Ba'alawi. Begitu juga sebelas pertanyaan
lainnya.
Kami berikan analogi sederhana. Jika ingin mengetahui apakah
Madun anak Sarman dan Juminten yang sah secara syariat atau bukan, sangat
keliru jika Anda hanya mencari kesimpulan dengan menanyakan apakah ada buku
nikah Sarman dan Juminten atau ada akta kelahiran Madun . Ketika dijawab
"tidak", langsung disimpulkan bahwa Madun bukan anak Sarman. Dua
pertanyaan di atas hanya untuk mengetahui keberadaan buku nikah
Sarman dan Juminten serta akta kelahiran Madun . Informasi itu tidak
otomatis menjadi vonis bahwa Madun anak sah Sarman atau bukan . Di sini ada
lompatan kerangka berpikir yang fatal.
Pertanyaan yang kelim dalam
menuju sebuah informasi hams dilumskan, bukan dipaksakan jawabannya jika ingin
sampai pada sebuah kesimpulan yang benar . Sebagai contoh dari analogi di
atas, jika ingin mengetahui jawaban apakah Madun anak sah secara syariat
dari Sarman, pertanyaan yang hams diajukan adalah apakah Madun anak yang
sah secara syariat dari Sarman. Jika jawabannya "ya",
ada pertanyaan lanjutan untuk memverifikasi jawaban tersebut, yaitu "Apa
alasan Madun dinyatakan sebagai anak sah secara syariat dari Sarman?"
Jawabannya, "Sarman menikah secara sah menumt syariat dengan Juminten, lalu
dari pernikahan itu melahirkan anak bernama Madun ." Jika jawaban itu pada
faktanya valid dan sesuai standar syariat, sampailah kita pada kesimpulan
bahwa Madun adalah anak Sarman yang sah secara syariat dari Sarman. Pertanyaan
tentang buku nikah dan akta kelahiran boleh saja diajukan, tapi bukan sebagai
jalan tunggal untuk mengetahui Madun anak Sarman atau bukan . Keduanya hanya
sebagai indikator penunjang yang menunjukkan pernikahan itu ada dan sah, serta
statusnya sebagai anak sah. Bukan indikator satu-satunya dan bukan
indikator utama.
Begitu pula dalam masalah nasab Ba'alawi.
Jika ingin sampai pada kesimpulan apakah nasab Ba'alawi sah atau tidak sah
secara syariat dan ilmu nasab, pertanyaan yang hams diajukan adalah apakah
nasab Ba'alawi sah atau tidak dan apa standar pengesahan sebuah nasab dalam
pandangan ilmu syariat dan ilmu nasab. Setelah dijelaskan standarnya,
pertanyaan berikutnya apakah nasab Ba'alawi memenuhi standar tersebut.
Jikajawabannya "terpenuhi", di sini sampailah pada kesimpulan bahwa nasab
Ba'alawi sah menumt ilmu syariat dan nasab. Silakan saja ajukan pertanyaan
apakah ada kitab sezaman atau tidak. Namun, pertanyaan itu tidak bisa
menyampaikan kepada kesimpulan bahwa nasab Ba'alawi terputus . Hal itu karena
pertanyaan tersebut bukan indikator tunggal yang menentukan
bersambung atau terputusnya sebuah nasab.
Lucunya, Imaduddin
berkeras memaksakan pertanyaannya yang tidak memiliki hubungan
kausalitas dengan kesimpulan yang ingin ia tuju. Bagi Imad, jika pertanyaannya
tentang sumber sezaman terjawab, berarti nasab Ba'alawi sah. Sebaliknya, jika
pertanyaan itu tidak terjawab, berarti tidak sah. Ini harga mati! Tidak peduli
dengan standar ilmu nasab dan ilmu syariat dalam penetapan keabsahan sebuah
nasab. Pola yang dilakukan Imaduddin adalah kesesatan logika yang
dipropagandakan kepada orang awam yang tidak mengerti teori berpikir logis,
seolah-olah ini benar, padahal jauh panggang dari api.
Nasab seorang
Muslim sudah diatur dalam ilmu syariat dan ilmu nasab. Kedua ilmu inilah yang
memiliki otoritas dalam menentukan standar ke absahannya. Dalam konteks
Ba'alawi, semua ulama yang membahasnya se pakat, baik secara eksplisit atau
implisit, bahwa nasab Ba'alawi sah menurut perspektif ilmu nasab atau syariat,
sebagaimana telah kami uraikan di Bab I.Jika tetap kukuh menyatakan nasab
Ba'alawi terputus dengan standarnya sendiri, ya silakan saja. Tapi, siapa dia
sehingga standarnya (yang sama sekali tidak ilmiah) hams diikuti untuk
memvonis orang lain?
KEEMPAT Fitnah Imaduddin kepada para
Ulama
Dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi, Imaduddin tidak
segan segan memfitnah para ulama. Semua Muslim, juga Imad, mestinya tahu
bahwa fitnah adalah dosa besar, terlebih lagi
jika sasarannya
adalah para ulama. Al-Hafidz Ibn
Asakir mengatakan bahwa darah ulama itu beracun dan
Allah menyiapkan balasan yang pedih bagi siapa saja yang memfitnah ulama:
A.
Fitnah Imaduddin kepada Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran Salah seorang ulama
yang menjadi korban utama fitnah Imaduddin adalah Sayid Ali ibn Abi Bakar
al-Sakran, seorang ulama besar dari Sadah Ba'alawi . Wirid gubahannya,
yaitu wird al-sakr<in banyak dibaca oleh para kiai dan santri di
berbagai pesantren dan majelis di Nusantara .Imaduddin, dalam
bukuMembongkar
Skandal Ilmiah dan Genealogi dan Sejarah Ba'alawi
terang-terangan menuduh Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran sebagai orang
yang pertama "mengarang" nasab Ba'alawi dan menyambungkannya kepada Rasulullah
Saw. Dengan kata lain, Imaduddin menuduh Sayid Abu Bakar sengaja melakukan
perbuatan yang dilaknat Rasulullah Saw., yaitu berdusta atas nama beliau .
Pernyataan
Imaduddin pada Bab 1 buku itu adalah fitnah. Sebab, nasab Ba'alawi sudah
tercatat jauh sebelum kelahiran Sayid Ali ibn Abu Bakar al Sakran (1. 818
H240). Jauh sebelum Sayid Ali ibn Abi Bakar al-Sakran mencapai usia mumayyiz,
yakni pada 820 H. al-Khatib sudah menulis silsilah Imam Ali Khali Qasam yang
tersambung sampai kepada Imam Ubaidillah ibn Ahmad al Muhajir.
"Syaikh
besar Ahli Makrifat, samudra ilmu Ilahi Ali ibn Alwi Khali Qasam ibn Muhammad
ibn Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far
al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zain al-Abidin ibn al-Husain ibn Ali
ibn Abi Thalib ."241
Lebih jauh, Imaduddin juga mengatakan bahwa
Sayid Ali ibn Abu Bakar al Sakran menyambungkan silsilah dan kesejarahan
mereka dengan silsilah dan kesejarahan Syarif Abu al-Jadid . Dan untuk
menguatkan fitnahnya itu, ia katakan bahwa Jadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn
Isa adalah saudara satu ayah dengan Alwi. Caranya, ia tambahkan satu nama lagi
sebagai saudara, yaitu Bashri.
Dalam kitab al-Jawhar al-Safiif yang
disusun pada 820 H (saat Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran barn berusia dua
tahun) terdapat paparan tentang sejarah dan silsilah keluarga Bani Alawi,
khususnya anak-anak Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn
Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abdidin ibn
al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, sebagai berikut .
1.
Bashri ibn Ubaidillah
"Di antara anak-anak Ubaidillah adalah Syaikh
al-Kabir Bashri, kakek Syaikh al-Kabir al-Arif Billah al-Syaraf al-Imam
al-Muhaqqiq yang unggul, yang menghimpun ilmu lahir dan batin, Salim ibn
Bashri, semoga Allah sucikan ruhnya."242
2. Jadid
ibn Ubaidillah
"Di antara anak -anak Syaikh Ubaidillah adalah
Syaikh al-Kabir Jadid, kakek al-Imam al-Muhaqqiq al-Alim yang unggul, zahid,
warak, hafiz, muhaddits Ali ibn Muhammad Jadid, pengarang kitab al-Arba'in,
kitab kumpulan hadis yang terkenal."243
3. Alwi
ibn Ubaidillah
"Di antara anak -anak Syaikh Abdullah adalah Syaikh
Alwi, dan di antara anak -anak Syaikh Alwi adalah Syaikh al-Kabir Muhammad, di
antara anak Muhammad adalah Syaikh al-Kabir Alwi, di antara anak Alwi adalah
Syaikh besar yang masy hur, sang wali besar pemilik karamah lahir dan
mukasyafah yang luar biasa, Abu Muhammad Ali ibn Alwi ."244
Catatan
dalam kitab al-Jawhar al-Syafiif ini menangkis tuduhan Imad. Dan karena tidak
memiliki argumen untuk membantahnya, Imaduddin melemparkan tuduhan lain bahwa
kitab ini palsu, tidak otoritatif, dan tidak autentik. Ia melontarkan
kebohongan untuk menutupi kebohongannya . Membela fitnah dengan melontarkan
fitnah barn.
Tuduhan Imaduddin bahwa kitab itu palsu dapat
dipatahkan dengan bukti dari sumber rujukan lain. Ada kitab lain yang mengutip
dari kitab al-Jawhar , yaitu Qiliidiit al-Nahr Ji Wafayiit A'yiin al-Dahr
karya Abu Muhammad Thayyib Bamakhramah (870-947 H). Ia menulis kitab itu
berdekatan dengan masa hidup
penulis al-Jawhar al-Syafiif , yakni
al-Khatib (w. 855 H).
Bamakhramah lahir 15 tahun setelah al-Khatib wafat.
Bamakhramah dikenal sebagai intelektual yang banyak mengutip dari kitab
al-Jawhar al-Syafiif . Dan, itu membuktikan keautentikan kitab al-Jawhar yang
dituding palsu oleh Imad. Berikut ini beberapa gambar kitab Qiliidiit yang
mengutip kitab al-Jawhar:
Lebih jauh mengenai masalah ini, peneliti
sejarah Rumail Abbas menulis sebuah buku dengan judul Ali ibn Abu Bakar
al-Sakran, Memopuler kan Ba'alawi. Paparan Rumail Abbas dalam buku tersebut
secara gamblang membantah fitnah yang dilontarkan Imad. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jelas, pembaca bisa merujuk buku tersebut .
B.
Fitnah Imaduddin kepada Ba'alawi secara Umum
Imaduddin melontarkan fitnah
kepada klan Ba'alawi secara umum . Menurutnya, klan Ba'alawi telah melakukan
skandal ilmiah dengan memalsukan nasab dan sejarah mereka.Tentu saja fitnahnya
itu meliputi semua klan Ba'alawi. Sementara, di dalam klan ini ada banyak nama
besar, seperti al-Imam Abdullah ibn Alwi al-Haddad (pengarang R<itib
al-Haddad, al-Nashli'ih al-Diniyyah, dll.), al-Habib Abdullah ibn Husain ibn
Thahir (penulis Sullam al-Taufiq), al-Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi
(penulis Simth al-Durlir ), al-Habib Abdurrahman al-Masyhur (penulis Bughyah
al-Mustarsyidin), serta banyak ulama dan auliya besar lainnya. Mereka semua
termasuk dalam kelompok yang dituduh oleh Imaduddin telah melakukan kebohongan
besar. Entah bagaimana Imaduddin akan mempertanggungjawabkan fitnahnya
ini di hadapan Allah.
Imaduddin juga melontarkan tuduhan lain, yaitu
bahwa sejarah dan silsilah klan Abdurrahman al-Saqaf membonceng sejarah Bani
Ahdal melalui leluhurnya, yaitu Syarif Husaini Muhammad ibn Sulaiman yang
merupakan sepupu (satu kakek) yang pindah dari Irak ke Yaman . Untuk mendukung
pendapatnya, Imaduddin mulai mencocok-cocokkan silsilah Bani Alawi dengan
silsilah Bani Ahdal, dengan memasukkan nasab Ali Khali' Qasam ke dalam
silsilah nasab Bani Ahdal.
Bani Alawi mulai dikenal keberadaannya
di Hadramaut setelah wafatnya Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa
al-Muhajir. Keluarga Bani Alwi tersebar di beberapa kota di Hadramaut seperti
di Sumal, Bait Jubair, dan Tarim. Sayid Ali ibn Alwi Khali' Qasam adalah orang
pertama dari kalangan Alawiyyin yang menetap di Tarim.
Beberapa kali ia pernah mengunjungi kota
itu hingga kemudian memutuskan untuk menetap di sana. Ia menetap di
Tarim sejak 521 Hijriah bersama anak keturunan pamannya dari keluarga Bashri
dan keluarga Jadid. Di kota ini mereka mendirikan masjid yang dikenal dengan
nama Masjid Bani Ahmad dan kelak dikenal dengan nama Masjid Bani Alawi. Dari
tahun ke tahun masjid itu terns diperbarui, di antaranya oleh Syaikh Umar
Muhdhar.
Satu di antara tokoh-tokoh Bani Alawi yang lahir di Tarim adalah
Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Segaf. Ia berguru kepada Syaikh Muhammad
ibn Abu Bakar Abbad (w. 810 H). Ia menegaskan kesahihan nasab Bani Alawi
bersama para ulama lainnya, seperti al-Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Abi al-Hub,
al-Imam Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Salim al-Marwani
al-Tarimi, al-Imam al-Muhaddits Quthbuddin Umar ibn Ali, al Imam Abdullah ibn
As'ad al-Yafi'i, Syaikh Fadhal ibn Abdullah Fadhal, al-Qadhi Abdurrahman ibn
Abi Ali ibn Hissan, al-Faqih Mas'ud ibn Abi Sukail, dan lainnya, sebagaimana
yang dicatat oleh al-Khatib.245
Diriwayatkan dari Syaikh Umar ibn Abi
Abbad bahwa al-Faqih Muhammad ibn Abu Bakar Abbad berkata, "Aku bersaksi bahwa
mereka, yaitu keluarga Ba'alawi adalah keturunan Sayyidatina Fathimah r.a.
Syaikh Fadhal ibn Abdullah Bafadhal telah melahirkan banyak ulama dari
kalangan S<idah Ba'alawi. Lisan nya senantiasa menuturkan kata-kata yang
baik kepada keluarga Ba'alawi. Misalnya, ia memuji keluarga Ba'alawi
dengan mengatakan, 'Siapa saja yang tidak berprasangka baik kepada keluarga
Abi Alawi maka tidak ada kebaikan padanya."246
Sebelum kitab al-SulUk
karangan al-Janadi (w. 732 H), silsilah Ali Abi Alawi telah dicatat pada kitab
al-Arba'un karya Abu al-Hasan Ali (w. 620 H) ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid
ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn
Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abdidin ibn
al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramaU<ihu wajhah.
Artinya, penelusuran silsilah keluarga
Syaikh Abdurrahman al-Segaf tidak dimulai sejak ia masih hidup. Silsilah
Bani Alawi telah tercatat dalam kitab yang berisi sanad hadis yang disusun
jauh sebelum lahirnya Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Segaf .
Silsilah
Bani Alawi barn dituliskan secara formal pada masa Syaikh Ali ibn Abu Bakar
al-Sakran (w. 895 H) tidak lama setelah dibentuknya lembaga Naqabah al-Asyraf
di bawah pimpinan Syaikh Umar Muhdhar. Lembaga itu dibentuk untuk memudahkan
proses pencatatan nasab karena semakin banyaknya keluarga Bani Alawi yang
menyebar ke berbagai kota di Hadramaut bahkan ke luar Hadramaut .
Bani
Alawi memiliki hubungan khusus dengan Bani Ahdal karena kakek mereka sama-sama
hijrah dari Irak ke Hadramaut . Dalam kitab Tuhfah al Zam<in, al-Ahdal (w.
855 H) menuturkan kepindahan mereka sebagai berikut:
"Beberapa
orang menceritakan bahwa Muhammad (ibn Sulaiman) pergi bersama saudara
laki-laki dan saudara sepupunya. Kemudian, saudara laki-laki dan saudara
sepupunya itu pergi menuju timur. Maka, keturunan dari saudara sepupunya itu
adalah keluarga Ba'alawi di Hadramaut."247
Sementara, al-Syarji (w.
893 H) dalam Thabaqah al-Khaww<ish menuliskan sebagai berikut:
"Kakeknya
Muhammad yang disebutkan berasal dari Irak telah datang bersama dua anak
pamannya, di atas jalan tasawuf. Dia pergi ke arah lembah Sahm. Kedua anak
pamannya pun pergi menuju lembah Surdud, dan mereka menjadi leluhur Bani
Qudaimi. Dan yang ketiga pergi menuju Hadramaut, yaitu kakek keluarga
Ba'alawi."
Dalam kitab yang sama al-Ahdal menuliskan silsilah nasab
Muhammad ibn Sulaiman sebagai berikut: "Muhammad ibn Sulaiman ibn Ubaid ibn
Isa ibn Alwi ibn Muhammad ibn Hamham ibn Aun ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far
al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abidin ibn al-Husain ibn
Ali ibn Abi Thalib."
Dalam buku Membongkar Skandal Ilmiah (hal. 35),
Imaduddin berkhayal dan membuat bagan silsilah yang menyebutkan bahwa Bani
Alawi adalah keturnnan Musa al-Kazhim atau Aun . Untuk mendukung khayalannya
itu Imaduddin menyatakan bahwa Bani Ahdal dan Bani Alawi memiliki kakek yang
sama, yaitu Ubaid . Menurntnya, Ubaid ini adalah Abdullah yang bernbah menjadi
Ubaidillah . Lebih jauh ia menyatakan bahwa sebelumnya tidak ada satu sumber
pun yang menyebutkan fakta ini. Menurntnya, silsilah barn yang menyebutkan
kesamaan kakek kedua bani itu barns disusun pada abad ke-9 Hijriah .
Imaduddin
mengkhayalkan sesuatu yang tidak masuk akal dan membuat sendiri susunan
silsilah versi khayalannya itu. Dia mencocok-cocokkan nama nama yang ada agar
sesuai dengan imajinasinya . Memang tidak ada satu pun sumber yang menuliskan
silsilah nasab Bani Alawi seperti yang dibuat Imad, baik sebelum ataupun
sesudah abad kesembilan Hijriah . Sebab, silsilah itu buatannya sendiri yang
sangat bertolak belakang dengan silsilah yang tercatat dalam kitab-kitab nasab
muktabar.
Silsilah nasab Bani Alawi tidak membonceng silsilah Bani Ahdal
yang ditulis oleh Husain al-Ahdal (w. 855 H), apalagi hanya berdasarkan
lembaran yang ditemukan pada abad ke-9 . Sebelum muncul silsilah Bani
al-Ahdal, Bani Alawi sudah memiliki silsilah sendiri yang disebut syuhrah dan
istifad hah yang dikenal luas di masyarakat Hadramaut.
Saat ini syuhrah semacam itu bisa dilihat di
antaranya dalam sanad hadis Hasan ibn Muhammad al-'Allal (w. 490 H),
manuskrip Sunan al-Turmudzi (589 H), kitab Arba'un karya Abu
al-Hasan Ali ibn Jadid (w. 620 H), kitab al-SulUk karya al-Janadi (w. 732 H),
al-Ath<iy<i al-Saniyah karya al-Rasuli (w. 778 H), al-'Iqd al-Fakhir
karya al-Khazraji (w. 812 H), dan kitab al-Jawhar al-Syaf<if karya
al-Khatib (w. 818 H). Kemudian silsilah Bani Alawi disahihkan oleh para ulama,
baik ulama ahli nasab, ulama sejarah, maupun ulama fikih hingga hari ini
sebagaimana telah kami uraikan pada Bab I. Dalam kitab al-Burqah
al-Musyiqah Syaikh Ali ibn Abu Bakar al-Sakran sama sekali tidak
menyambungkan atau memboncengkan sejarah dan silsilah nasab Bani
Alawi kepada silsilah bani yang lain. Catatannya itu semata-mata
merupakan sensus yang pertama kali
dilakukan ketika Naqabah al-Asyraf dipimpin oleh
Syaikh Abdullah Alaydrus ibn Abu Bakar al-Sakran.Iamenyebutkan sekitar sepuluh
ribu orang Sadah Alawiyyin yang kemudian dikumpulkan dalam
kitab
al-Jaw<ihir al-Saniyyah fi Nasab al-Ithrah al-.Husainiyyah .
Pada 1699
M, atas perintah Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad, dilakukan sensus terhadap
keluarga Alawiyyin di Hadramaut dari mulai Kota Hinin sampai Kota
al-Suum. Sensus yang dibiayai oleh raja-raja India ini meliputi seluruh
keluarga Alawiyyin, baik laki-laki dan perempuan, anak-anak maupun orang
dewasa. Jumlah S<idah Alawiyyin yang tercatat dalam sensus tersebut
bertambah menjadi tiga kali lipat.
Sekitar satu abad berikutnya, tepatnya
pada 1780 M, kembali dilakukan sensus keluarga Alawiyyin oleh Sayid Ali ibn
Syaikh ibn Syihabuddin dengan bantuan Sultan Maroko, Muhammad ibn Abdullah ibn
Ismail al-Alawi al Hasani.248 Ia melakukan sensus sampai akhir hayatnya pada
tahun 1784 M. Semua S<idah Ba'alawi itu dicatatnya dalam 18 jilid buku
nasab yang meliputi semua keluarga Ba'alawi, baik laki-laki maupun perempuan,
anak-anak maupun orang dewasa, baik yang
bersambung maupun yang terputus keturunannya
(munqarid).
Buku nasab itu selanjutnya diserahkan kepada Sayid Umar ibn Abdurrahman ibn
Ali ibn Abdullah ibn Husain ibn Syihab di Tarim. Pada 1882 buku nasab itu
disempurnakan oleh Sayid Abdurrahman ibn Muhammad al Masyhur, dan kemudian
dinamai "Syajarah al-'Alawiyah al-Kubni" .
Dengan segala keterbatasan dan
kesulitan yang dihadapi saat itu Syaikh Ali ibn Abu Bakar al-Sakran bekerja
keras secara profesional. Ia menggunakan manajemen modern untuk mengumpulkan
data dan kesaksian yang berkaitan dengan Nasab Ahlu Bait Nabi Saw., khususnya
Bani Alawi . Pada masa itu tidak banyak keluarga Ahlul Bait yang melakukan
upaya sernpa. Perjuangan Syaikh Ali ibn Abu Bakar al-Sakran ini hanyalah satu
dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Bani Alawi untuk menjaga kesahihan
nasab mereka. Di antara upaya lainnya adalah menjaga catatan yang lengkap
melalui lembaga Naqabah, melakukan sensus setiap abad, menjaga situs makam
leluhur Bani Alawi hingga saat ini sebagai salah satu sumber primer
sezaman, dan sebagainya. Maka, sangat masuk akal jika al-Qadhi Syaikh Yusuf
ibn Ismail al-Nabhani dan al-Musnid Sidi Abdul Hafidz ibn Muhammad al-Tahir
al-Fasi mengatakan nasab Bani Alawi adalah nasab paling sahih di kalangan Ahlu
Bait Nabi Muhammad Saw.
Uraian di atas menjawab tuntas segala tuduhan
yang dilontarkan Imaduddin, termasuk tuduhannya tentang hubungan antara Bani
Alawi dan Bani Ahdal. Tegasnya, tidak ada kaitan sama sekali dalam urnsan
nasab antara Bani Alawi dan Bani Ahdal. Silsilah nasab Bani Ahdal barn
disebutkan dalam kitab Tuhfah al-Zaman karya al-Ahdali yang wafat
pada 855 H. Sementara, silsilah nasab Bani Alawi terns diperbarni dari abad ke
abad, mulai abad kelima hingga abad kesembilan . Kesamaan antara Bani Alawi
dan Bani Ahdal hanya dari sisi sejarah kedatangan keduanya di Hadramaut dari
Irak. Leluhur al-Ahdal menetap di lembah Sahm, sementara leluhur Bani Alawi
menetap di Hadramaut. Nasab kedua keluarga itu bertemu pada al-Imam Ja'far
al-Shadiq r.a.
C. Keculasan Imaduddin yang
Dipertontonkan
Disebutkan dalam kitab Tubfah al-Zaman halaman 238 bahwa
kakek Bani Ahdal yang pertama kali hijrah adalah Muhammad ibn Sulaiman yang
wafat pada 540 H. Sementara, kakek Bani Alawi, yaitu Ahmad ibn Isa hijrah ke
Yaman pada 317 H. Keluarga al-Ahdal mengoreksi ketidaksinkronan hijrahnya
kakek Bani Ahdal dan Bani Alawi ini dalam kitab Qarar 'Ulama Bani al-Ahdal
karya Muhammad al-Ahdal. Dalam kitab itu ia menyatakan bahwa kakek
mereka yang pertama hijrah bukanlah Muhammad ibn Sulaiman, melainkan kakek
yang keenam yaitu Muhammad ibn Hamham .
"JeLas bahwa (sosok) yang
keluar (hijrah) ke Yaman bersama Ahmad ibn Isa al Muhajir pada 317 H adalah
kakek yang lebih atas, yaitu Muhammad ibn Hamham ibn Aun ibn Musa al-Kazhim.
Sementara, Muhammad ibn Sulaiman, kakek al Ahdal, baru datang (di Yaman) pada
540 H."249
Imaduddin menuturkan bahwa narasi tersebut aneh yang
tidak didukung bukti kuat agar sinkron dengan narasi Bani Alawi. Tuduhan
Imaduddin itu terbantahkan oleh catatan kaki pen-tahqiq kitab Tubfahal-Zaman,
yaitu Abdullah Muhammad al-Habsyi yang menukil dari kitab Qarar 'Ulama' Bani
al-Ahdal. Namun, Imaduddin justru menuduh al-Habsyi telah melakukan
interpolasi untuk mempertahankan narasi hijrahnya Ahmad ibn Isa pada 317 H.
Imaduddin mengatakan, "Al-Habsyi mengatakan bahwa yang hijrah itu bukan
Muhammad ibn Sulaiman, tetapi Muhammad ibn Himham ." Imaduddin menuduh
al-Habsyi telah menyisipkan pendapatnya sendiri ke dalam kitab yang
ditahkiknya . Padahal, apa yang dillakukan al-Habsyi adalah memberikan catatan
kaki dengan menukil dari kitab Qarar. Jadi, kita bisa melihat bagaimana
Imaduddin mempertonton kan kebodohan dan keculasannya . Ia bodoh karena tidak
dapat membedakan antara penyisipan (interpolasi ) dari catatan kaki
(footnote). Dan, ia culas karena menuduh al-Habsyi melakukan interpolasi
padahal yang dituliskan al-Habsyi adalah footnote yang jelas sumber rujukannya
. Karenanya, siapa saja yang membaca buku karya Imaduddin hams berhati-hati
dan bersikap kritis karena bukunya itu sarat dengan kebohongan, cocoklogi,
kebodohan, dan keculasan .
Penjelasan di atas menegaskan faktabahwa Bani
Ba'alawi tidak membonceng sejarah Bani Ahdal seperti yang dituduhkan oleh
Imad. Bani Ahdal menyatakan dengan jelas bahwa kakek mereka yang pertama
hijrah ke Yaman bersama Ahmad ibn Isa al-Muhajir adalah Muhammad ibn Hamham .
Keduanya hijrah dari Irak ke Hadramaut pada 317 H. Sementara, Muhammad ibn
Sulaiman adalah kakek al-Ahdal yang hijrah pada 540 H. Perubahannya terdapat
pada kakek Bani al-Ahdal, bukan kakek Bani Alawi. Jadi, bagaimana mungkin
dikatakan bahwa sejarah kepindahan Bani Alawi membonceng sejarah Bani
Ahdal?
D. Fitnah Imaduddin terhadap Habib Alwi
ibn Thahir al-Haddad
Sosok ulama lainnya yang menjadi sasaran fitnah
Imaduddin adalah Sayid Alwi ibn Thahir. Ia menuduh Sayid Alwi telah berdusta
dan tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Imaduddin mengatakan, "Al-Haddad
berusaha mempertahankan sekuat tenaga bahwa Ahmad ibn Isa itu bergelar
"al-Muhajir", bukan "al-Abah" dan "al-Naffath". Orang dari klan Ba'alawi yang
pertama kali menyebut Ahmad ibn Isa dengan gelar al-Muh<ijir adalah
Ahmad ibn Zain al Habsyi (w. 1144 H), seorang alim dari abad kedua belas
Hijriah.
Banyak kitab nasab dan sejarah yang memberikan gelar
al-Muh<ijir kepada Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi. Gelar
itu diberikan karena ia hijrah dari Bashrah ke Hadramaut sebagaimana hijrahnya
Nabi Saw. dari Makkah ke Madinah. Menurut Imad, gelar al-Muh<ijir tidak
pernah disematkan
kepada Ahmad ibn Isa karena beliau tidak pernah
hijrah ke Hadramaut. Bahkan, Imaduddin juga mempertanyakan keberadaan Ahmad
ibn Isa di Bashrah . Menurutnya, tidak ada satu pun rujukan yang menyebutkan
tentang keberadaan Ahmad ibn Isa di Bashrah . Sebaliknya, menurut Imad, gelar
yang diberikan dalam kitab-kitab nasab adalah al-Abah dan al-Naffiith, bukan
al-Muhajir .
Dari tulisan Imaduddin kita bisa melihat betapa ia tidak
memiliki adab dan sopan santun kepada Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad . Ia
mengatakan, "Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad telah berdusta dan tidak mampu
memahami bahasa Arab dengan benar." Imaduddin melontarkan tuduhan seperti itu
semata mata karena ia tidak dapat membantah argumen Sayid Alwi ibn Thahir
yang menyatakan Ahmad ibn Isa tidak diberi gelar al-Abah dan al-Naffiith,
seperti yang dilakukan para ulama sebelumnya.
Sayid Alwi ibn Thahir
al-Haddad adalah ulama yang menulis banyak kitab dalam berbagai bidang ilmu,
di antaranya al-Farii'idh al-Lu'Lu'iyah fi al-Qawii'id
al-Nahwiyah
tentang pelajaran bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu . Ia juga menulis kitab
dalam bidang ilmu Al-Qur'an, hadis, sejarah, silsilah, faraid, falak, dan
lainnya . Iajuga dikenal sebagai salah seorang pendiri Rabithah Alawiyah dan
menjadi mufti di Johor Malaysia . Jika melihat karya-karya Sayid Alwi ibn
Thahir al-Haddad, terlihat jelas betapa luas bidang pengetahuannya dan
kemampuan bahasa Arabnya . Kitab-kitabnya ditulis dalam bahasa Arab dengan
susunan kalimat yang indah dan sarat dengan nilai sastra. Kualitas tulisannya
itu tentu sajajauh berbeda dari tulisan Imad. Misalnya, ketika Imaduddin
menulis risalah singkat berbahasa Arab, ditemukan banyak kesalahan gramatikal,
sebagaimana dibongkar oleh Buya Qurtubi Jaelani dalam debatnya di Kesultanan
Banten.250
Dan khususnya dalam kajian ilmu nasab, Sayid Alwi ibn Thahir
berkunjung ke banyak naqabah internasional dan perpustakaan nasab untuk
berburu manuskrip . Ia juga banyak berdiskusi membahas berbagai
masalah nasab dengan para ulama ahli nasab dari berbagai negara . Ia pernah
berkunjung ke banyak negara, termasuk Irak, Iran, Mesir, dan Turki.
Imaduddin
bersikukuh bahwa gelar Ahmad ibn Isa adalah al-Abah dan al-Naffiith
sebagaimana disebutkan dalam kitab Tahdzib al-Ansiib karya Muhammad ibn Abi
Ja'far al-'Ubaidili (w. 435 H). Kitab itu ditahkik oleh Syaikh Muhammad
Kazhimi al-Mahmudi dan dicetak pada 1991. Kitab lainnya yang menyebutkan kedua
gelar itu adalah al-Majdi karangan Ali ibn Abi al-Ghanaim al-'Umari (w. 490 H)
yang ditahkik oleh Ahmad al-Mahdawi al-Damighani dan dicetak pada 2002 .
Muhammad
ibn Abi Ja'far al-'Ubaidili dalam kitab Tahdzib al-Ansiib me nuliskan:
"Ahmadibn
Isaal-Naqib ibnMuhammad ibn 'Alial-'Uraidhi, diberi gelar al-Nafffith ."251
Ali ibn Abi al-Ghanaim al-'Umari dalam kitab al-Majdi menuliskan:
"Ahmad
Abu al-Qasim al-Abah, dikenal dengan gelar al-Naffiith karena ia berdagang
minyak naffiith (sejenis minyak tanah). Ia punya keturunan di Baghdad dari
al-Hasan Abu Muhammad al-Dalla! Ali al-Dauri di Baghdad . Aku melihatnya
(al-Hasan) wafat di Baghdad, (al-Hasan) anak Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn
Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn (Ali) al-'Uraidhi."
Menurut Sayid Alwi ibn
Thahir al-Haddad, ulama nasab muta-ak hirin
tidak menyebutkan
gelar "al-Abah" kecuali empat orang. Pertama, al-Qadhi
al-Nassabah al-Marwazi Abu Thalib Ismail ibn al-Hasan ibn Muhammad ibn
al-Husain ibn Abi Ali al-Azwarqani al-Dibaji al-Husaini keturunan Imam
Muhammad al-Dibaj ibn Ja'far al-Shadiq saudara Imam Ali al-'Uraidhi, yang
wafat di Jurjan pada 203 H. Kedua, al-'Allamah al-Nassabah Sayid Dhaman ibn
Shadqan ibn Zainuddin Ali ibn Hasan al-Naqib dalam bukunya, Zahr al-Riyadh,
dan keturunannya yang bernama Sayid Dhamin dalam kitab Tuhfah al-Azhar .
Ketiga, Shah_ib al-Musyajjar al-Kasysyaf . Keempat, al-'Allamah al-Nassabah
Muhammad Abdullah al-Muayyadi al-Hasani dalam kitab Raudhah al-Albab.
Penulisan gelar al-Abah oleh Shah_ib al-Musyajjar al-Kasysyaf dan al-Muayyadi
mengikuti kitab 'Umdah al-Sughra karangan Ibn Inabah.252
Sayid al-Haddad
menjelaskan bahwa para ulama yang hidup sebelum para ulama
yang disebutkan di atas, yang tidak menyertakan gelar "al-Abah" dalam kitab
nasabnya adalah guru besar ahli nasab, yaitu al-Nassabah Abu al Hasan Ali ibn
al-Nassabah Abi al-Ghanaim Muhammad al-Sufi al-'Umari, yang nasabnya
tersambung kepada Umar al-Athraf ibn Ali ibn Abi Thalib. Ia menulis kitab
al-Majdi, al-Mabsuth, dan al-Musajjar. Ketiga kitab itu masih dalam bentuk
manuskrip tulisan tangan (makhtuthat). Selain al-'Umari, ulama ahli nasab
lainnya yang tidak menyebutkan gelar "al-Abah" dalam kitab nasabnya adalah
al-Nassabah Abu al-Hasan Muhammad ibn Ja'far ibn Muhammad al 'Ubaidili (w.
435 H). Ia adalah gurunya al-'Umari dan al-Radhiyain (al-Radhi dan
al-Murtadha), penulis kitab Tahdzib al-Ansab.253
Ulama ahli nasab lainnya
yang tidak menyebutkan gelar "al-Abah" adalah penulis kitab al-Tsabat
al-Mushan, yakni Ubaidillah ibn Umar ibn Muhammad, yang nasabnya tersambung
kepada Ubaidillah al-A'raj ibn Husain al-Ashgar ibn Zainal Abidin, Jamaluddin
Muhammad al-Istijaradani penulis kitab Ghayah al Ikhtishar , al-Nassabah
Jamaluddin Ahmad ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Muhanna ibn Inabah al-Dawudi
al-Hasani dalam kitab 'Umdah al-Thalib al-Kubra.254
Ulama lainnya
adalah Sayid Jamaluddin Abdullah al-Jurjani al-Husaini dalam Musajjar-nya,
Sayid Abu Fadhal Muhammad al-Kazhimi ibn Abi al-Futuh al-Austah ibn Abi
al-Yaman Sulaiman ibn Taj al-Millah Ahmad yang nasabnya bersambung kepada
Ibrahim al-Murtadha ibn Musa al-Kazhim dalam kitabnya, al-Nafhah al-Anbariyah,
serta ulama ahli nasab dari kalangan Bani Alawi, seperti Ali ibn Abu Bakar
al-Sakran al-Segaf yang mengikuti kitab 'Umdah al-Thlilib al-Kubra. Mereka ini
tidak mengenal dan tidak menggunakan gelar "al-Abah". Bahkan, keturunan Ahmad
ibn Isa di Hadramaut dikenal sebelumnya dengan sebutan Bani Ahmad . Masjid
yang mereka dirikan di Tarim terkenal hingga hari ini dengan sebutan Masjid
Ba'alawi . Pada masa sebelumnya, masjid itu dikenal dengan nama Masjid Bani
Ahmad .255
Menurutal-Haddad, gelar "al-Abah"adalah gelarbarn yangtidak
disematkan kepada Ahmad ibn Isa. Gelar itu barn disematkan untuk keturunannya
dari generasi keempat yang tercampur atau karena salah penyematan . Hal ini
didukung oleh catatan dalam beberapa kitab nasab dalam bentuk tulisan tangan
(makhthuthlit) di Teheran, Qum, Najaf, Baghdad, dan Mesir. Data semacam ini
hanya dapat diperoleh jika seseorang melakukan perjalanan yang luas,256 bukan
hanya duduk di depan komputer seperti yang dilakukan oleh Imad. Berbagai
tuduhan Imaduddin dalam bukunya itu hanya didasarkan atas kitab-kitab yang
telah dicetak (mathbu'), yang rawan interpolasi. Imaduddin tidak melakukan
penelusuran yang lebih luas dan melakukan perbandingan dengan kitab-kitab lain
dalam bentuk manuskrip tulisan tangan (makhthuth).
Kitab-kitab yang masih
dalam bentuk manuskrip (makhthuth) hams menjadi rujukan dan pertimbangan
penting bagi siapa saja yang ingin mendalami kajian nasab. Selain itu, ia juga
hams menempuh perjalanan untuk berdiskusi dengan para ahli nasab dunia,
seperti yang dilakukan oleh Sayid Alwi ibn Thahir al Haddad. Lalu,
pertanyaannya :
Apakah Imaduddin telah melakukan perjalanan ke
berbagai negara seperti yang dilakukan Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad?
Apakah
Imaduddin memiliki kitab Tahdzib al-Ans<ib dan al-Majdi dalam bentuk
tulisan tangan yang didapatkan dari Kota Teheran, Qum, Najaf, Baghdad, dan
Mesir?
Mengenai penyematan gelar al-naff<ith, Sayid Alwi ibn
Thahir al-Haddad mengatakan, "Ulama terdahulu seperti al-'Ubaidili dan al-Umri
dan sebagian ulama yang datang kemudian seperti al-A'raji al-Hamazi dan lbn
Inabah dalam 'Umdah al-Kubr<i, juga al-Fathuni al-Nabathi penyusun kitab
Mukhtashar Hada'iq al-Alb<ib, lbn Muhanna dalam Musajjar-nya, Sayid Ja'far
ibn Muhammad al-A'raji
al-Husaini penyusun kitab al-Dur al-Muntazham fi
Ans<ib al-'Arab wa al-'Ajam,
Sayid Muhammad ibn Abi Ja'far yang
dikenal dengan nama Ibn Ma'iyah, Sayid Jamaluddin al-Jurjani al-Husaini,
semuanya tidak menyebutkan gelar al-Naff<ith untuk Ahmad ibn Isa
al-Muhajir. Para ulama yang datang kemudian menyebutkan gelar ini untuk
keturunan al-Muhajir, yaitu urutan kelima setelah Ahmad ibn Isa. Semua ulama
nasab bersepakat tentang hal ini, termasuk Ibn Inabah dalam 'Umdah
al-Kubr<i ketika menuliskan silsilah Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi.257
"Danmereka
adalah Ahmad al-Abah ibn Abu Muhammad al-Hasan al-Dallal ibn Muhammad ibn Ali
ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa al-Akbar."258
Pada tulisan di atas
tidak ada gelar "al-Abah" dan "al-Naffath" yang di sematkan kepada Ahmad ibn
Isa. Gelar "al-Abah" disematkan kepada Ahmad ibn Hasan al-Dalla! ibn Muhammad
ibn Ali ibn Muhammad, cucu keempat atau urutan kelima setelah Ahmad ibn Isa
al-Akbar.
Ada perbedaan antara kitab 'Umdah al-Th<ilib al-Sughr<i
dan 'Umdah al Th<ilib al-Kubra dalam penulisan gelar al-Naff<ith. Dalam
kitab 'Umdah al-Th<ilib al-Sughr<i disebutkan:
"Di antara
mereka ada Ahmad al-Abah ibn Isa al-Akbar, ia berjualan minyak
naff<ith
sehingga diberi gelar al-Naff<ith."259
Ketika ditanya tentang
perbedaan yang bertolak belakang antara penulisan naskah 'Umdah al-Kubra dan
naskah 'Umdah al-Shugra, seorang ahli nasab berasal dari Irak, Sayid
Abdurrazak ibn Hasan al-Husaini mengatakan, "Saya berkeyakinan, masalah ini
karena kesalahan penulis naskah, dan mereka tidak menyebutkan kelengkapan
perbaikannya, seluruh naskah yang ada semua tidak lengkap [naskah yang ada
pada 'Umdah al-Shugr<i].260 Begitu pula dalam kitab al-Musyajjar
al-Kasysy<if baik yang telah dicetak atau yang masih tulisan tangan . Gelar
al-naff<ith untuk Ahmad ibn Isa bukan pada naskah aslinya, melainkan karena
kesalahan penyalin naskah.
Sebagai perbandingan, kita bisa melihat
redaksi kalimat pemberian gelar "al-Abah" dan "al-Naffath" dalam kitab Tahdzib
al-Ans<ib dan al-Majdi . Dalam kitab yang masih berupa tulisan tangan
(makhtuth), Syaikh Syaraf Abu al-Hasan al-Ubaidilli menulis
"Ahmad
ibn Isa al-Akbar, di antara keturunannya adalah Abu Ja'far Muhammad ibn Ali
ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi. Saya
melihatnya di Baghdad dan mengalami kebutaan pada masa tuanya, sedangkan
saudara-saudaranya berada di Jabal."261
Sementara,
al-'Umari menulis dalam mak htuth-nya:
"Ahmad Abu
al-Qasim al-Abah dikenal dengan gelar
al-Naffiith karena ia berdagang minyak naffiith . Ia punya
keturunan di Baghdad dari al-Hasan Abu Muhammad al-Dalla! Ali al-Dauri. Aku
melihatnya (al-Hasan) wafat pada akhir hidupnya di Baghdad, (al-Hasan) anak
dari Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn (Ali)
al-'Uraidhi. Dan, al-Dalla!memiliki keturunan seorang anak laki-laki
yang dikenal dengan nama Abi al-Ghanaim Muhammad dan seorang perempuan . Dan,
Abu al-Ghanaim Muhammad ibn al Dallal wafat dan meninggalkan dua anak
laki-laki dan seorang anak perempuan ."262
Pada kitab yang masih
berupa tulisan tangan di atas, sangat jelas bahwa yang dimaksud Ahmad
"al-Abah" adalah yang dikenal dengan gelar "al-Naffath" ibn Abi Muhammad
al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa al-Akbar. Pada
kitab itu tidak dituliskan Aba al-Qasim Ahmad "al-Abah" yang dikenal dengan
gelar "al-Naffath", karena ia hidup pada zaman setelahnya, sedangkan kakeknya,
yaitu Abu Ja'far Muhammad hidup sezaman dengannya. Maka, menjadi sesuatu yang
kontradiktif jika "al-Naffath" yang dimaksud di situ adalah Ahmad ibn Isa.263
Sementara, gelar al-Muhlijir telah digunakan pada 511 Hijriah dalam kitab
al-Arba'un karya Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid.
Dalam kitab tersebut disebutkan :
"Dia mengatakan, al-Syarif
al-Musnid Abdullah ibn Bashri ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa menceritakan
kepada kami: ayahku dan pamanku Jadid dan Alwi keduanya anak Ubaidillah ibn
Ahmad al-Muhajir."264
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa para ulama ahli nasab terdahulu tidak menyematkan gelar
"al-Abah" dan "al-Naffath" kepada Imam al-Muhajir (Ahmad ibn Isa) ibn Muhammad
ibn Ali al-'Uraidhi. Awai kerancuan pemberian gelar "al-Abah" dan "al-Naffath"
dimulai dalam kitab nasab 'Umdah al-Thlilib al-Shugra karangan Ibn Inabah yang
kemudian diikuti oleh kitab-kitab setelahnya. Kekeliruan itu tidak terdapat
pada naskah aslinya. Kekeliruan dilakukan oleh penulis naskah setelahnya.
Karena itulah dibutuhkan ketelitian dan kecermatan ketika menelusuri berbagai
rujukan dan kitab-kitab terdahulu . Imaduddin tidak menerapkan kecermatan itu.
Ketika ia tidak mampu membantah secara ilmiah, yang ia lakukan kemudian adalah
melontarkan fitnah barn.
Tidak hanya itu, ketika menuliskan bantahan
terhadap Risalah Habib Hanif Alathas, Imaduddin memfitnah Sayid Alwi ibn
Thahir al-Haddad telah menambahkan kalimat sendiri ke dalam kitab al-Raudhu
al-Jaliy . Imaduddin melontarkan tuduhan itu karena di dalamnya ada
kalimat yang bertentangan dengan pemikirannya . Padahal setelah diteliti dan
diperbandingkan dengan manuskripnya, kita bisa melihat bahwa Sayid Alwi ibn
Thahir al-Haddad adalah sosok ulama yang selalu menjunjung tinggi etika
keilmuan . Ia tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh Imad. Sebaliknya,
justru Imaduddin yang kerap melakukan fitnah mengatasnamakan tradisi ilmiah.
Berikut ini bantahan Habib Hanif kepada Imaduddin yang memperlihatkan
keculasan Imad:
"Dalam Risalah saya mengutip kesaksian Syaikh
Syaraf al-'Ubaidili (w. 435 H) tentang hijrahnya al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn
Isa bersama putranya, Abdullah, menuju Hadramaut . Kesaksian itu dimuat oleh
al-Imam al Nassabah Murtadha al-Zabidi dalam karyanya, al-Raudhu al-Jaliy fi
Nasabi
Bani 'Alawi.
Imaduddin mengatakan, 'Hanif menyebutkan
bahwa Alwi (mungkin yang dimaksud Abdullah/Ubaidillah) sebagai anak Ahmad
telah disebutkan pada abad ke-5. Alhamdulillah . Apa betul? Menurutnya, nasab
itu telah disebut oleh Al-'Ubaidili yang wafat pada 435 H. Hal itu disebutkan
dalam kitab al-Raudhu al-Jaliy , karya al-Zabidi (w. 1205 M). Kalau ini
terbukti, kita akan taslim akui mereka sebagai keturunan Nabi.'
Subhanallah.''
Dan yang lebih miris, lagi-lagi secara sembrono Imaduddin
menuding naskah al-Raudhu al-Jaliy yang saya jadikan rujukan (Cetakan Darul
Fath Yordania 1444 H) adalah palsu, karena telah ditambah-tambahkan oleh
Mu'alliq al-Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad dan Muhaqqiq Dr. Muhammad Abu
Bakar Badzeib. Sebab menurut Imaduddin, pada naskah al-Raudhu al-Jaliy yang ia
miliki (cetakan Maktabah Dar Kanaan tahun 1431 H) tidak
ada kata-kata
<':)I w_r.JI Jli). Maka, menurutnya, naskah al
Raudhu
al-Jaliy yang saya jadikan rujukan adalah palsu . Bahkan setelah itu
Imaduddin dengan penuh percaya diri menyindir ulama sekaliber al
Mu'arrikh al-Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad tentang moral ilmiah dan
kejujuran ilmiah. Benarkah demikian?
Justru bagi saya, moral, kejujuran,
serta logika ilmiah Imaduddin yang perlu dipertanyakan . Bagaimana mungkin ia
bisa memvonis naskah al Raudhu al-Jaliy cetakan Darul Fath yang saya miliki
palsu dan ditambah-tambahkan, cuma karena berbeda dari naskah
miliknya? Kaidah filologi mana yang ia gunakan?
Jika ingin
memastikan kesesuaian cetakan kitab tersebut dengan naskah aslinya maka
seharusnya ia merujuk kepada manuskrip yang dijadikan pegangan dalam penulisan
ulang, tahqiq, dan pencetakan kitab tersebut .
Mengenai naskah al-Raudh
al-Jaliy cetakan Darul Fath 1444 H yang saya jadikan rujukan, muhaqqiq kitab
itu, Dr. Muhammad Abu Bakar Badzeib, menyebutkan bahwa ia bersandar kepada dua
naskah manuskrip dalam tahqiq-nya :265
1. Naskah
manuskrip pertama dan utama (al-ashl), yaitu naskah yang di salin oleh
al-Nassabah Hasan Muhammad Qosim (w. 1394 H), pada tahun 1350 H. Beliau
menyalin dari naskah yang ditulis oleh Abdul Mu'thi al Sayid al-Wafa'i yang
merupakan murid Muallif al-Murtadha al-Zabidi,
dan naskah
tersebut di-ACC oleh Muallif (jll
.h> J)· Naskah
manuskrip ini terjaga rapi di
Maktabah al-S<idah al-Wafa'iyyah di Mesir. Naskah ini dihadiahkan oleh
al-Sayid Abdullah ibn Ahmad ibn Yahya kepada al-Habib Alwi ibn Thahir
al-Haddad pada 25 Sya'ban 1352 H.
2. Naskah manuskrip kedua, yaitu naskah
yang disalin pada 1358 H oleh al-Sayid Thahir ibn Alwi al-Haddad (w. 1394 H),
yang juga menukil
dari naskah yang ditulis oleh Abddul Mu'thi
al-Wafa'i yang merupakan murid Muallif al-Murtadha al-Zabidi, dan di-ACC oleh
Muallif (jll
.h> j)· Naskah tersebut terjaga
rapi di Maktabah al-Ahqaf Ii al
Makhthuthat Tarim dengan No. 2059
tarikh.
Adapun kitab al-Raudhu al-Jaliy cetakan Dar Kanaan 1431 H
yang dijadikan pegangan Imaduddin hanya merujuk kepada naskah manuskrip kedua
yang saya sebutkan di atas, sebagaimana disebutkan oleh Arif Ahmad Abdulghoni
dalam mukadimah tah_qiq-nya. 266
Kemudian, saya menghubungi
Muh_aqqiq Dr. Muhammad Abu Bakar Badzeib untuk meminta salinan dua naskah
manuskrip di atas, khususnya bagian halaman yang menyebutkan pembahasan Imam
al-Muhajir dan putra-putranya . Dan, beliau dengan sukarela mengirimkan gambar
salinan tersebut.
Setelah saya teliti dengan saksama, baik naskah
manuskrip pertama (al-ashl) atau naskah manuskrip kedua (yang juga
dijadikan sandaran oleh Muhaqqiq kitab cetakan Dar Kanaan yang dipegang
oleh Imaduddin) keduanya sama-sama mengutip ungkapan Syaikh al-Syaraf
al-'Ubaidili tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa bersama putranya yang bernama
Abdullah (Ubaidillah) . Kedua manuskrip itujuga mencantumkan bahwa apa yang
telah al-Nassabah al-Zabidi sebutkan dari anak-anak Ahmad ibn Isa merupakan
hal
yang disepakati oleh para ahli nasab; O.k t.. JAjl 0y.W I
,y
..u--i U; I), sebagaimana termaktub dalam kitab
al-Raudhu al-Jaliy
cetakan Dar al-Fath Yordania 1444 H yang di-tahqiq
oleh Dr. Muhammad ibn Abu Bakar Badzeib, yang sayajadikan rujukan dalam
risalah yang saya susun. Berikut ini foto-foto dari salinan naskah manuskrip
pertama dan kedua:
Manuskrip
1(Sampul) Manuskrip 1(Paparan tentang Ahmad ibn Isa dan
putranya, Abdullah)
Manuskrip 1(Penutup)
Manuskrip 2
(Sampul)
Manuskrip 1(Penutup)
Manuskrip 2 (Paparan
tentang Ahmad ibn Isa dan putranya, Abdullah)
Dari
lembaran-lembaran manuskrip di atas, sangatjelas bahwa al-Nassabah al Imam
Murtadha al-Zabidi dalam kitab al-Raudhual- Jaliy memangmengabadikan
pernyataan Syaikh Syaraf al-'Ubaidili (w. 431 H) tentang hijrahnya Ahmad ibn
Isa bersama putranya, Abdullah, ke Hadramaut . Al-Nassabah al-Zabidi juga
menyebutkan status Abdullah (Ubaidillah) sebagai anak Ahmad ibn Isa dari
Mush'ab al-Zubairi yang hidup satu zaman dengan Abdullah ibn Ahmad ibn Isa.
Begitu pula al-'Umari (w. 490 H) menyebutkannya dalam kitab Musyajjaru
al-Ans<ib yang diakhiri dengan pembahasan tentang anak-anak Ahmad ibn
Isa-di antaranya bernama Abdullah . Kemudian, ia menyebutkan ungkapan al
Nassabah al-Zabidi bahwa hal itu telah menjadi kesepakatan para ahli nasab
(0y.L..i.ll
JIJI L. La). Ini semua tercantum baik di naskah manuskrip
pertama
maupun manuskrip kedua .
Manuskrip pertama di atas juga menunjukkan
dengan jelas bahwa catatan (ta'liq) dari al-'Allamah al-Mu'arrikh Alwi ibn
Thahir al-Haddad sama sekali tidak bercampur dengan naskah asli al-Raudhu
al-Jaliy . Beliau hanya memberi catatan di pinggir (hamisy) kitab. Bahkan
dalam mukadimah tahqiq-nya, Dr. Muhammad Badzeib memastikan bahwa setiap
catatan, koreksi, atau faedah tambahan dari Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad
dan Dr. Badzeib sendiri tidak dicampur dengan matan asli kitab al-Raudhu
al-Jaliy . Dan jika catatan itu dituliskan di tengah matan maka akan dibedakan
dengan tanda kurung buka dan tutup "[ ]" atau ditulis dalam catatan
kaki.267
Sebaliknya, berdasarkan foto-foto manuskrip di atas,justru kitab
al-Raudhu al-Jaliy pegangan Imaduddin-lah yang bermasalah . Sebab,
pembahasannya tentang Abna Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa berbeda dengan
pembahasan dalam naskah manuskrip kedua . Bahkan Dr. Badzeib, dalam mukadimah
tahqiq nya, secara khusus mengulas berbagai masalah amanah ilmiah dalam
al-Raudhu al-Jaliy cetakan Dar Kanaan. Misalnya, judulnya saja patut
dipertanyakan dari
sisi keilmuan . Arif Ahmad Abdul Ghoni sebagai
Muhaqqiq memberikan judul al Raudhu al-Jaliy fi Ans<ibi Ali Ba'alawi,
padahal dalam naskah manuskrip kedua yang dijadikan objek tahqiq oleh Arif
Ahmad judul kitab itu adalah al-Raudhu al Jaliy fi Nasabi Bani 'Alawi,
menggunakan kata tunggal (mufrad) "nasab" bukan
kata jamak "ans<ib".
Jika dalam penulisan judulnya saja tidak menjaga amanah ilmiah, bagaimana
dengan isinya? Berbagai masalah amanah ilmiah dalam al Raudhu al-Jaliy
cetakan Dar Kanaan ini diulas secara apik dan objektif oleh Dr. Muhammad
Badzeib dalam mukadimah tahqiq-nya.268
Dengan demikian, tuduhan Imaduddin
bahwa kitab al-Raudhu al-Jaliy cetakan Dar al-Fath 1444 H yang saya jadikan
rujukan adalah palsu-karena sudah ditambah-tambahkan oleh Mu'aUiq-nya Habib
Alwi ibn Thahir al-Haddad dan Muhaqqiq-nya Dr. Muhammad Badzeib- adalah
fitnah. Segala sindiran Imaduddin tentang amanah dan moral ilmiah seharusnya
ditujukan kepada dirinya sendiri yang seenaknya menuduh palsu suatu kitab
hanya karena isinya tidak sesuai dengan pemikirannya tentang terputusnya nasab
Ba'alawi ."
E. Fitnah Imaduddin kepada Sayid
Murtadha al-Zabidi
Imaduddin terns menebarkan jaring fitnahnya menyerang
banyak pihak, bahkan termasuk ulama besar seperti al-Imam al-Hafizh Murtadha
al-Zabidi, penulis Syarah I!:!Y<i' 'Uhlmiddin. Ketika mengulas dialog Habib
Hamid al-Gadri di kanal YouTube Majlis Muwasholah, Imaduddin mengatakan bahwa
al-Imam Murtadha al-Zabidi berusia 20 tahun ketika menulis al-Raudhu al-Jaliy
. Dengan mengatakan seperti itu, ia ingin melakukan framing bahwa dari sisi
keilmuan, usia al-Nassabah al-Zabidi belum cukup matang ketika menulis kitab
tersebut . Komentarnya itu jelas-jelas keliru . Sebab, dalam penutup naskah
manuskrip 1yang saya muat di atas terlihat jelas bahwa al-Nassabah Murtadha
al-Zabidi menulis al-Raudhu al-Jaliy pada pertengahan bulan Dzulqa'dah 1196 H.
Artinya, ketika menulis kitab itu usianya 51tahun, 9 tahun sebelum wafat. Ia
dilahirkan pada 1145 H dan wafat pada 1205 H. Bahkan, seandainya benar ia
menulis kitab itu saat usianya 20 tahun maka sesungguhnya usia tidak menjadi
ukuran kematangan dalam berilmu . Ada banyak ulama yang memiliki keluasan dan
kematangan ilmu meskipun usianya masih sangat muda .
Tidak hanya itu,
dalam buku Terputusnya Nasab Habaib kepada Nabi Saw. hal. 66, Imaduddin
men-framing seolah al-Hafizh Murtadha al-Zabidi menulis ketersambungan
nasab Ba'alawi dalam bukunya al-Raudhu al-Jaliy semata-mata karena "pesanan"
gurunya yang bermarga Alidrus, bukan karena pertimbangan ilmiah.
Imaduddin mengatakan, "Apakah benar
al-Zabidi menulis sesuai keilmuannya pada saat itu,
atau sesuai data yang disiapkan gurunya tersebut?" Sepertinya Imaduddin lupa
atau berpura-pura lupa bahwa haram hukumnya menyambungkan nasab tanpa
dasar ilmu. Haram hukumnya menyambungkan nasab hanya karena faktor kedekatan
atau hubungan murid dan guru. Apakah orang sekaliber al-Imam
al-Hafizh al-Nassabah Murtadha al-Zabidi berani
melakukan perbuatan terlaknat dengan
menyambungkan nasab yang tidak seharusnya
bersambung, hanya karena
kedekatannya dengan gurunya?
Sungguh
Imaduddin telah melakukan dusta yang besar.
F.
Fitnah Imaduddin kepada Sayid Yusuf Jamalullail
Sayid Yusuf Jamalullail
adalah seorang alim yang banyak melahirkan karya di bidang ilmu nasab.
Imaduddin menuduh Sayid Yusuf telah menyisipkan (interpolasi) nama Ubaidillah
dalam kitab Abwi' al-Imam karangan Abu Mu'ammar ibn Thaba Thaba (w. 478 H).
Atau, jika mengikuti pengertian harfiah, Imaduddin menuduh Sayid Yusuf telah
melakukan ekstrapolasi, yakni menambahkan data di luar data yang tersedia
dalam naskah asli.269 Dalam kasus naskah ini, ekstrapolasi tersebut
sesuungguhnya dilakukan oleh ketiga orang mub:_aqqiq yang menelaah naskah asli
lbn Thaba Thaba, sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Yusuf Jamalullail dalam
mukadimahnya :
"Setelah saya (Yusuf Jamalullail) meneliti manuskrip
ini dengan sangat cermat, saya mendapati bahwa Ibn Shadaqah al-Halabi menyalin
ulang dari manuskrip milik Abu al-Mu'ammar Yahya ibn Muhammad al-Hasani yang
dikenal dengan nama Ibn Thaba Thaba. Mencermati jejak-jejak perjalanannya ke
Syam, ketika menyalin ulang naskah asli itu, ternyata ia menambahkan
(ekstrapolasi) tokoh tokoh yang hidup setelah era Ibn Thaba Thaba, pemilik
naskah. Selain itu juga ada penambahan oleh Ibn Shadaqah dari sumber
yang dikaitkan kepada ahli Shadaqah menempuh jalan yang dilalui sejawatnya
yang lain. Ia memperbaiki sekaligus menambahkan redaksi yang berasal dari
berbagai rujukan, sumber yang ia dengar, ia hafal, dan ia catat dari gurunya
selama di Syam."270
Dari mukadimah itu menjadi jelas, justru Sayid
Yusuf Jamalullail yang dengan jujur menyatakan bahwa naskah Abna' al-Imam
karya Ibn Thaba Thaba telah bercampur dengan beberapa penambahan yang
dilakukan para muhaqqiq nya. Jadi, mengapa Imaduddin malah menuduh
Sayid Yusuf Jamalullail telah mengubah naskah itu? Apakah karena Sayid Yusuf
seorang Ba'alawi?
Adapun judul al-'Iqdu al-Masi fi Ansabi Ali Bayti
al-Nabawi yang diberikan oleh Sayid Yusuf untuk kitab Abna' al-Imam, itu tidak
berarti ia mengubah judul kitab tersebut . Judul dari Sayid Yusuf itu
diletakkan di kanan atas buku . Format penulisan itu banyak dipergunakan
oleh penerbit yang mencetak banyak buku dengan tema
tertentu. Itu dimaksudkan untuk keperluan klasifikasi tema
buku sehingga pembaca dapat menemukan kitab-kitab dengan tema tertentu .
Contohnya, Penerbit Dar al-Qalam di Damaskus banyak menerbitkan buku tentang
tokoh-tokoh ulama hadis, fikih, tasawuf, dan lainnya. Untuk mempermudah
pembaca, buku-buku itu dikelompokkan ke dalam judul barn Silsilah A'lam
al-Muslimin. Sementara, judul aslinya tetap menyebutkan nama nama tokoh,
seperti Imam Syafi'i, Imam Bukhari, Imam Ghazali, dan lainnya.
KELIMA Pengkhianatan Ilmiah
A. Standar Ganda Imaduddin
Konsistensi
merupakan unsur yang sangat penting dalam penelitian ilmiah. Tetapi, tampaknya
Imaduddin mengabaikan masalah yang sangat penting ini. Ia kerap menerapkan
standar ganda dalam membangun pemikirannya. Ia seperti orang yang bermain
sepak bola, yang kemudian memindahkan gawangnya saat hampir kebobolan.
Inkonsistensi yang ditunjukkan Imaduddin ini merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap integritas ilmiah bagi seorang peneliti. Berikut ini beberapa bentuk
standar ganda yang dilakukan Imaduddin .
1.
Imaduddin Sulit Menerima Rujukan yang Mendukung Keabsahan Nasab Ba'alawi
Imaduddin
sulit menerima rujukan yang mendukung keabsahan nasab Ba'alawi meskipun
rujukan itu resmi dan jelas sumbernya. Di sisi lain, ia dengan mudah
menerima dan menelan mentah-mentah rujukan
yang menafikan atau membatalkan nasab Ba'alawi. Contohnya, ia langsung
memercayai dan memublikasikan keterangan bahwa Mufti Yaman Syamsyuddin ibn
Syarafuddin membatalkan nasab Ba'alawi. Padahal berita itu dimuat di situs
yang tidak jelas dan akun palsu di kanal Facebook. Bahkan, berita itu
sendiri sudah dibantah melalui klarifikasi resmi kemuftian Yaman sebagaimana
kami uraikan dalam buku ini. Di sisi lain, Imaduddin menolak
mentah-mentah maklumat resmi dari Imamul Yaman tentang keabsahan
nasab Ba'alawi. Padahal, itu merupakan maklumat resmi pimpinan negara Yaman
yang juga dikenal sebagai seorang ulama di Yaman Utara.
Contoh lainnya,
Imaduddin menolak beberapa kitab yang menyebutkan Ba'alawi seperti Tuhfah
al-Zaman yang ditahkik oleh Abdullah al-Habsyi, seorang muhaqqiq ternama di
Yaman . Lebih jauh, Imaduddin menuduh bahwa semua kitab yang ditahkik oleh
kalangan Ba'alawi hams dicurigai kebenarannya . Sebaliknya, Imaduddin begitu
saja mengutip pendapat Abdullah al-Habsyi yang meragukan
integritas Habib Salim ibn Jindan dalam periwayatan nasab dan sejarah.
Semestinya, jika konsisten, ia akan menerima pendapat Abdullah al-Habsyi,
bukan hanya pendapat yang meragukan integritas Habib Salim ibn Jindan.
Semestinya Imaduddin melihat ketegasan dan sikap kritis Abdullah al Habsyi
kepada sesama tokoh Ba'alawi sehingga menyadari bahwa Abdullah al Habsyi
adalah muhaqqiq yang berintegritas dan tidak pandang bulu. Namun, Imaduddin
meragukan integritas Abdullah al-Habsyi ketika pendapatnya dianggap
menguntungkan Ba'alawi. Sebaliknya, ia menerima pendapat al Habsyi yang
mendukung pemikirannya .
ltu barn sedikit contoh. Sikap seperti itu kerap
dipertontonkan oleh Imaduddin .Sikap ini menunjukkan ketidakobjektifan dalam
mempertimbangkan bukti-bukti dan referensi yang ada. Integritas ilmiah
Imaduddin sangat patut dipertanyakan karena ia menolak secara berlebihan
rujukan yang mengisbat nasab Ba'alawi dan lebih memilih rujukan yang menafikan
. Sikap ini dapat memengaruhi keputusan dan penilaiannya .
2.
Hanya Menerapkan "Standar" Buatannya untuk Menilai Nasab Ba'alawi
Imaduddin
hanya menerapkan "standar" buatannya untuk menilai nasab Ba'alawi. Ia tidak
menggunakan standar yang sama untuk menilai nasab selain nasab Ba'alawi .
Misalnya, saat berbicara tentang Nasab Walisongo melalui jalur Musa al-Kazhim
yang dirumuskan oleh Imad, dkk., Imaduddin berkesimpulan bahwa Walisongo
adalah dzurriyah Nabi Saw. melalui jalur Musa al-Kazhim berdasarkan beberapa
manuskrip yang menyebutkan nama secara lompat lompat. Berikut kami sajikan
kutipan dari artikel Imaduddin terkait hal tersebut.271 Imaduddin
mengatakan :
"Pada hari Ahad 3 September 2023 diadakan pertemuan di
rumah K.H. Rohimuddin Nawawi, dihadiri oleh Penulis (Imaduddin Utsman
al-Bantani),
K.H. Rohimuddin Nawawi (Tuan Rumah), K.H. Ahmad Hasan (Benda
Kerep),
K.H. Tobari Sazili (Banten), TB. Mogy Nurfadil (Banten), TB.
Imamuddin (Banten), TB. Imam Ibrahim (Banten), TB. Soleh (Banten), Noval
Saefullah (Benda Kerep), Tengku Muda Qori (Aceh), Lutfi Abdul Gani (Banten),
Kang Gina (Banten), R. Suprio (Banten), Abdurrahman (Bekasi), dan
lain-lain.
Dalam pertemuan itu, penulis memimpin inventarisir
manuskrip per manuskrip, dan masing-masing menunjukkan manuskripnya . Lalu,
terkumpul 7 manuskrip . Satu manuskrip dieliminasi karena hanya menceritakan
tentang Sunan Giri. Enam lainnya menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah
keturunan Nabi Muhammad Saw. melalui jalur Sayid Musa al-Kazhim . Dari salah
satu manuskrip itu ada 6 riwayat yang disebutkan . Jadi, seluruh riwayat Musa
al-Kazhim menjadi sebelas riwayat. Adapun ke-enam manuskrip itu adalah:
1.
Manuskrip Bangkalan (1624 M)
Manuskrip Bangkalan ini selesai ditulis hari
kamis 12 Dzulhijjah 1033 H atau 24 September 1624 M. Di dalamnya ada silsilah
Sunan Bonang sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Sunan Bonang adalah putra Sunan
Ampel. Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati sama-sama keturunan Syaikh Jumadil
Kubra. Dalam manuskrip Bangkalan ini disebutkan silsilah Sunan Bonang sampai
Rasulullah melalui Sayidina Husain . Disebut pula nama-nama yang menunjukkan
bahwa silsilah ini melalui jalur Sayid Musa al-Kazhim seperti nama Ali
al-Naqi, al-Rida. Sama dengan kebiasaan manuskrip Nusantara lainnya,
dalam menulis silsilah, manuskrip Bangkalan ini tidak lengkap secara berurut .
Tetapi, kadangkala di loncat-loncat seperti menyebut anak langsung ke kakek
tanpa menyebut ayah.
2. Manuskrip Tapal Kuda
(1650 M)
Manuskrip Tapal Kuda ini menjelaskan tentang silsilah istri dari
Syaikh Ibrahim Asmoro melalui Syaikh Jumadil Kubro. Dijelaskan bahwa silsilah
Syaikh Jumadil Kubro adalah dari Zainal Abidin, dari Ja'far Shadiq yang
berputra Musa. Terns dilanjut secara tidak tertib sampai kepada Syaikh Jumadil
Kubro dan istri Syaikh Ibrahim Asmoro . Silsilah dalam manuskrip ini tidak
tertib seperti yang dikenal dalam Kitab-Kitab Nasab mu'tabarah. Yang demikian
itu kebiasaan manuskrip-manuskrip Nusantara dalam menulis silsilah.
Kemungkinan besar adanya salah penempatan antara nama dan gelar, terbalik
antara nama ayah dan anak pun sering terjadi. Namun, manuskrip ini telah tegas
menyebut silsilah Jumadil Kubro kepada Sayid Musa al-Kazhim.
3.
Manuskrip Pamekasan (1700 M)
Manuskrip Pamekasan ini tampaknya adalah
salinan dari manuskrip Tapal Kuda tahun 1650 M. (Mansuskrip ini) menjelaskan
tentang silsilah istri dari Syaikh Ibrahim Asmoro melalui Syaikh Jumadil
Kubro. Dijelaskan bahwa silsilah Syaikh Jumadil Kubro adalah dari Zainal
Abidin, dari Ja'far Shadiq yang berputra Musa.
4.
Manuskrip Syaikh Hasan Muhyi (1787 M)
Manuskrip ini menerangkan silsilah
kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Sayid Musa al-Kazhim . Dalam manuskrip
itu terjadi distorsi ketika al Kazhim disebut sebagai anak Musa,
padahal al-Kazhim adalah gelar untuk Musa. Juga terjadi distorsi ketika
menyebut nama Muhammad Mubarak, seharusnya Muhammad al-Baqir. Namun dengan itu
semua, manuskrip ini tegas menyebut silsilah Sunan Gunung Jati. Waiau nama
Sunan Gunung Jati tidak disebut lengkap, hanya ditulis Kanjeng Sunan, tetapi
dapat diketahui bahwa yang dimaksud itu adalah Sunan Gunung Jati karena ada
nama Ratu Bani Israil dan Raja Mesir. Di mana dapat dikonfirmasi dari sumber
lain bahwa silsilah Sunan Gunung Jati ke atas ada dua nama tersebut .
5.
Asal-Usul Kesultanan Cirebon (1809 M)
Dalam manuskrip ini disebutkan
silsilah Sunan Gunung Jati melalui Musa al-Kazhim . Dalam manuskrip ini
disebutkan nama Sunan Gunung Jati sebagai Kanjeng Sinuhun Carbon.
6.
Tinjauan Kritis Sajarah Banten (1913 M)
Tinjauan Kritis Sejarah Banten
adalah buku yang berasal dari disertasi Prof. Husein Djayadiningrat . Dalam
buku ini disebutkan enam versi silsilah Sunan Gunug Jati yang diambil dari
sumber-sumber tua di antaranya: Daftar Raja-Raja Banten dari Priangan, Sejarah
Banten Rante-Rante, Abdulkahar, Sejarah para Wali (Jawa), Sejarah para Wali
(Sunda), dan Wawacan Sunan Gunung Jati. Lima dari enam versi itu menyebut
Jumadil Kubro, dan satu tidak. Menariknya, yang tidak menyebut Jumadil Kubro
justru menyebut nama Musa al-Kazhim . Namun, dari enam versi itu terkonfirmasi
semuanya melalui jalur Musa al-Kazhim, karena dalam manuskrip tertua tahun
1624 yaitu manuskrip Bangkalan, dan manuskrip Tapal Kuda tahun 1650 yang telah
disebutkan di atas, Jumadil Kubro adalah keturunan Musa al-Kazhim.
Enam
manuskrip di atas, sangat kuat menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan
keturunan Nabi Muhammad Saw. dari jalur Musa al-Kazhim"
Demikian
penuturan Imaduddin terkait manuskrip-manuskrip yang menyatakan bahwa
Walisongo merupakan keturunan Musa al-Kazhim. Sikap ini berbanding terbalik,
ketika ia menelaah nasab S<idah Aal Abi Alawi. Dalam buku Membongkar
Skandal Umiah, Imaduddin mempermasalahkan silsilah nasab Abu
al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid
ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad
al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abdidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib
karramall<ihu wajhah, yang dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid sebagai
keturunan al-'Uraidhi al-Quraisy karena adanya perbedaan urutan silsilah nasab
yang terdapat dalam dua manuskrip kitab al-SulUk al-Janadi.
Manuskrip
pertama (terbitan Dar al-Kutub al-Misriyyah) yang selesai ditulis oleh
al-Arabi ibn Ahmad ibn 'Ali ibn Husain al-Halwani pada hari Sabtu, 7
Dzulhijjah 877 H, menuliskan silsilah Abu al-Jadid sebagai berikut :
"Abu
al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid
ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al Shadiq ibn
Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi
Thalib karramall<ihu wajhah."
Manuskrip kedua terdapat di Paris,
ditulis oleh Ahmad ibn Yahya ibn Ismail ibn al-Abbas ibn Daud ibn Yusuf ibn
Umar ibn Ali ibn Rasul (putra Raja Yahya ibn al-Malik al-Asraflsmail) .
Manuskrip yang selesai ditulis hari Senin, 9 Sya'ban 820 H ini menyebutkan :
"Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid ibn Ahmad ibn
Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali
ibn Zainal Abdidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu
wajhah."
Antara manuskrip Mesir dan Paris terdapat perbedaan jumlah nama
sampai ke Ahmad ibn Isa. Pada manuskrip Mesir, urutan silsilah Abu al-Jadid
tertulis lengkap sebanyak delapan orang sampai ke Ahmad ibn Isa. Sementara,
pada manuskrip Paris hanya tertulis empat nama sampai ke Ahmad ibn Isa. Mari
kita lihat silsilah nasab seorang perawi hadis bernama Abu al-Ghanaim
al-Dajjaji al-Baghdadi yang ditulis dalam lima kitab seperti Bughya al-Thalib,
Tankh Baghdad, Siyar A'lami al-Nubata, al-Musyayyak hah al-Kubra dan Tankh
Madinah Damsyik , di bawah ini.
1. Dalam kitab
Bughya al-Thalib karya Jaradah disebutkan :
"Telah memberi tahu
kami Abu al-Ghanaim Muhammad ibn Ali al-Dajjaji."272
2.
Dalam kitab Tankh Baghdad karya al-Baghdadi disebutkan :
"Muhammad
ibn Ali ibn al-Hasan, Abu al-Ghanaim yang dikenal dengan nama Ibn
al-Dajjaji."273
3. Dalam kitab Siyar A'lami
al-Nubata karya al-Dzahabi disebutkan :
"Syaikh al-Amin al-Muammar Abu
al-Ghanaim Muhammad ibn Ali ibn Ali ibn al-Hasan, Ibnu al-Dajjaji
al-Baghdadi."274
4. Dalam kitab al-Musyayyak hah
al-Kubni karya Al-Maristani disebutkan:
"Telah memberi tahu kami
Abu al-Ghanaim Muhammad ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Hasan, yang dikenal dengan
nama Ibn al-Dajjaji."275
5. Dalam kitab
T<irikh Madinah Damsyik karya Hibatullah al-Syafi'i disebutkan :
"Telah
memberi tahu kami Abu Ali al-Hasan ibn al-Muzaffar dan Abu Abdillah al-Husain
ibn Muhammad ibn Abdul Wahab al-Bari', dan ibu ayahnya Fathimah binti Ali ibn
al-Husain, berkata: Sesungguhnya kami Abu al-Ghanaim Muhammad ibn Ali ibn Ali
ibn al-Dajjaji."276
Pada kelima kitab di atas, penulisan urutan
nama pada silsilah Abu al-Ghanaim al-Dajjaji berbeda-beda. Kemungkinan
kesalahan kutip yang dilakukan pengarang atau penyalin kitab-kitab di atas
juga sangat besar. ltu dibuktikan dengan adanya perbedaan urutan nasab
di antara kitab-kitab tersebut. Atau bisa saja penulisnya ingin
menyingkat urutan nama sampai ke nama tertentu . Contoh lainnya, penulisan
perawi hadis dalam kitab al-Mawahib al-Jazilah karya Syaraf Abu
al-Jadid. Di sana hanya dituliskan Abu al-Hasan Ali ibn Jadid
al-Alawi
Walaupun urutan nasabnya berlainan (terdapat beberapa nama
yang hilang), orangnya tetap satu yaitu Abu al-Ghanaim al-Dajjaji. Begitu pula
dengan silsilah nasab Abu al-Jadid yang berbeda dalam dua manuskrip, orangnya
tetap satu, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Jadid yang nasabnya tersambung kepada
Ahmad ibn Isa al-'Uraidhi al-Quraisy al-Adnani, bukan kepada al-Qahtani.
Sebagaimana
diketahui, manuskrip pertama terbitan Dar al-Kutub al Mishriyyah selesai
ditulis pada 877 H dan manuskrip kedua yang terdapat di Paris selesai ditulis
pada 820 H. Jauh sebelum kedua manuskrip itu ditulis, sudah ada kitab yang
menuliskan silsilah nasab lengkap Abu al-Jadid, yaitu kitab al-Athaya
al-Saniyah karya al-Rasuli (w. 778 H) dan kitab 'Iqd al-Fak hir karya
al-Khazraji (w. 812 H), dengan redaksi lengkap sebagai berikut:
1.
Kitab al-Athay al-Saniyah
"Ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
Hadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Hadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn
Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal
Abidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramalllihu wajhah."278
2.
Kitab 'Iqd al-Fakhir
"Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Hadid
ibn Ali ibn Muhammad ibn Hadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn
Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abidin ibn
al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu wajhah."279
Kedua
kitab di atas dapat dijadikan sumber pembanding untuk menvalidasi urutan yang
benar. Berdasarkan kitab al-Ath<iy<i al-Saniyah dan kitab 'Iqd al-Fak
hir , dapat disimpulkan bahwa manuskrip terbitan Dar al-Kutub al
Mishriyyah menyajikan urutan silsilah nasab yang sama
tanpa pengurangan
..1zl..,) jumlah nama dari delapan menjadi empat.
Dan kitab-kitab sete lahnya seperti T<irikh Tsugr<i Aden karya
Bamakhramah al-Hadrami (w. 947 H) konsisten menuliskan silsilah nasab Syarif
Abu al-Jadid secara lengkap.
Arba'un
(620) al-Suh1k (732) al-Athaya
(778) 'Iqd al-
Fakhir (812) Naskah
Mesir (877) Naskah Paris (820) Tarikh Aden
(947)
Isa Isa Isa
Isa Isa Isa Isa
Ahmad
Ahmad Ahmad Ahmad
Ahmad Ahmad Ahmad
Abdullah
Abdullah Abdullah
Abdullah Abdullah l
Abdullah
Jadid Jadid
Jadid Jadid
Jadid Jadid
Muhammad
Muhammad Muhammad
Muhammad Muhammad
Muhammad
Ali Ali
Ali Ali
Ali Ali
Jadid
Jadid Jadid Jadid
Jadid Jadid Jadid
Ahmad
Ahmad Ahmad Ahmad
Ahmad Ahmad Ahmad
Muhammad
Muhammad Muhammad
Muhammad Muhammad
Muhammad Muhammad
Ali
Ali Ali Ali
Ali Ali Ali
Pemikiran
Imaduddin itu tidak didukung oleh rujukan yang lengkap. Ia
hanya membandingkan antara manuskrip Mesir
dan manuskrip Paris tanpa melihat manuskrip lain yang
diproduksi pada era yang sama atau lebih tua. Berdasarkan kitab Arba"un,
al-SulUk , al-Ath<iy<i, dan 'Iqd al-Fak hir (ketiga kitab itu
lebih tua waktunya dari manuskrip Paris) diperoleh informasi yang sangatjelas
bahwa nama Abdullah, Jadid, dan Muhammad bukanlah nama fiktif . Ketiga nama
itu benar-benar tertulis dalam kitab yang dikarang jauh sebelum naskah
Mesir dan naskah Paris. Tidak adanya tiga nama pada naskah Paris bisa
disebabkan kelalaian penulisan atau karena penulis ingin menyingkat
silsilah.
Perlu disampaikan, paparan kami ini tidak bermaksud untuk
meragukan validitas nasab Walisongo . Sebab, kami sendiri meyakini bahwa
mayoritas Walisongo adalah dzurriyah Rasulullah Saw. Paparan ini semata-mata
untuk menunjukkan inkonsistensi Imaduddin yang menerapkan standar ganda dalam
penelaahannya terhadap nasab Ba'alawi .
Sikap Imaduddin itu menyebabkan
bias dalam penelitian dan analisisnya . Pada gilirannya, hal ini menciptakan
ketidakseimbangan Imaduddin dalam menilai nasab. Ia menggunakan standar
tertentu untuk diterapkan pada analisis nasab tertentu dan menggunakan standar
berbeda ketika menganalisis nasab yang lain.
3.
Imaduddin Kerap Menggunakan
Teori dari Seorang Pakar tapi
Mengabaikan Isbatnya terhadap Ba'alawi
Imaduddin kerap menggunakan teori
dari seorang ulama untuk menyerang Ba'alawi, sementara ulama itu sendiri
menerima dan mengakui nasab Ba'alawi. Imaduddin menggunakan teorinya, tetapi
mengabaikan isbat yang dilakukan ulama tersebut . Sikap ini, selain
menunjukkan standar ganda Imad, juga menunjukkan kekeliruannya dalam memahami
teori yang ia pergunakan . Sebagai contoh, dalam tulisannya yang berjudul
"Tujuh Bahaya Bagi Pembela Pencangkok Nasab Nabi Saw." Imaduddin mengatakan
:
"Pembela pencangkok nasab Nabi termasuk orang yang merendahkan
Nabi Muhammad Saw. Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
"Seyogianya
bagi setiap orang mempunyai kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad
Saw. dan men-dhabiti-nya (menjaganya) sehingga seseorang tidak menisbahkan
diri kepada (nasab) Nabi Muhammad Saw., kecuali dengan sebenarnya ."
(Al-Shaw<i'iq al Muhriqah: 2/537)
Tanpa ragu dan tanpa malu
Imaduddin mengutip perkataan Imam Ibn Hajar al-Haitami untuk menyerang
Ba'alawi dan para pendukungnya . Padahal, al Imam Ibnu Hajar dalam
tsabat-nya menegaskan bahwa Ba'alawi adalah Ahlul Bait Rasulullah Saw.:
Entah
disadari atau tidak, Imaduddin sedang mengatakan bahwa Imam Ibn Hajar
al-Haitami merendahkan Rasulullah Saw., na'udzubill<ih. Ungkapan Ibn Hajar
r.a. yang dikutip oleh Imaduddin itu sesungguhnya menguatkan fakta bahwa
Imam Ibn Hajar r.a. memiliki azam yang sangat besar untuk menjaga kemurnian
nasab Rasulullah Saw. Dengan demikian, pengakuan dan penerimaan Imam Ibn Hajar
terhadap nasab Ba'alawi ini bukanlah sikap yang sembarangan .
Sikapnya
itu telah melalui standar kehati-hatian yang luar biasa dalam menjaga nasab
Rasulullah Saw.
Selain mengutip Imam Ibn Hajar, Imaduddin juga sering
mengutip beberapa teori yang disampaikan Syaikh Ibrahim ibn Manshur dalam
beberapa kitabnya (seperti aHfiidhah) untuk menguatkan
pandangannya yang membatalkan nasab Ba'alawi . Tentu saja ini
menggelikan, karena Syaikh Ibrahim ibn Manshur sendiri membenarkan nasab Sadah
Ba'alawi sebagaimana telah kami sampaikan pada Pasal 3 Bab 1.
Imaduddin
juga menggunakan kitab al-Syajarah al-Mubiirakah yang ditahkik oleh Sayid
Mahdi Raja'i untuk mendukung upayanya membatalkan nasab Ba'alawi . Padahal,
Sayid Mahdi Raja'i sendiri menegaskan bahwa nasab Sadah Ba'alawi itu sahih.
Memang dalam kitab itu tidak disebutkan Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa. Namun,
fakta itu tidak menunjukkan bahwa beliau bukan anak Ahmad ibn Isa. Dan yang
lebih lucu, Imaduddin mengambil teori nasabnya Sayid Mahdi Raja'i yang
disampaikan dalam mukadimah kitab al-Mu'qibun untuk membatalkan nasab
Ba'alawi. Padahal, dalam kitab itu al-Nassabah Mahdi Raja'i menetapkan dan
mengakui nasab Sadah Ba'alawi. Ia menguraikan pandangannya secara panjang
lebar sebagaimana telah dibahas pada Pasal 2 Bab 1.
Dengan demikian,
Imaduddin telah menganulir pendapatnya sendiri ketika ia memilih untuk
mengambil teori dari para pakar yang menetapkan nasab Ba'alawi. Ia membatalkan
nasab Ba'alawi dengan teori yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung
nasab Ba'alawi. Di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa Imaduddin keliru
memahami teori-teori yang disampaikan para ulama tersebut sehingga akhirnya
melahirkan kesimpulan yang bertentangan dengan perumus teori itu sendiri.
4.
Imaduddin Menuntut Sumber Kitab Sezaman padahal Ia Sendiri Tidak Menggunakan
Kitab Sezaman
Imaduddin selalu menuntut merujuk kepada kitab-kitab
sezaman untuk mengesahkan Nasab Ba 'alawi. Sementara, ia sendiri dalam
berbagai kesempatan tidak menggunakan sumber sezaman. Misalnya, ketika
menyatakan bahwa nasab Sunan Gunung Jati tersambung kepada Sayidina Musa
al-Kazhim, naskah tertua yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin adalah naskah
terbitan tahun 1033 H, sedangkan Sayidina Musa al-Kazhim wafat pada 183 H. Ia
menggunakan kitab yang jaraknya terentang selama 850 tahun. Berapa banyak nama
yang hams dikonfirmasi dalam masa sepanjang itu? Imaduddin sendiri tidak
pernah mempertanyakan hal ini. Sikapnya itu bertolak belakang dengan sikapnya
ketika membatalkan nasab Ba'alawi . Ia selalu berkomentar keras dan menuntut
lawan-lawan debatnya untuk merujuk kepada kitab-kitab sezaman.
Jadi,
Imaduddin sendirilah yang melanggar persyaratan yang ia buat sendiri.
Misalnya, ketika menyusun dalil bahwa Imam Ali al-'Uraidhi punya anak yang
bernama Imam Muhammad al-Naqib (w. 230 H) dan bahwa Imam Muhammad al-Naqib
punya anak yang bernama Isa (w. 270 H), Imaduddin menggunakan kitab Tahdzib
al-Ansab karya al-Ubaidili (w. 435 H) dan kitab al-Syajarah al Mubarakah
karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H). Faktanya, al-Ubaidili hidup lebih dari
satu abad setelah Muhammad al-Naqib dan Isa al-Rumi. Bahkan, Fakhr
al-Din al-Razi hidup lebih dari dua abad setelah masa keduanya. Mengapa
Imaduddin tidak menggunakan rujukan yang sezaman dengan kedua tokoh
Ahlul Bait itu, misalnya kitab Ansab Quraisy karya al-Zubairi (w. 236 H)?
Inkonsistensi
lainnya ditunjukkan oleh Imaduddin ketika ia menyimpulkan bahwa Ahmad ibn Isa
tidak punya anak yang bernama Abdullah/Ubaidillah . Imaduddin menekankan
argumennya kepada kitab al-Syajarah al-Mubarakah karya Fakhr al-Din al-Razi
(w. 606 H) yang menyebutkan bahwa Ahmad ibn Isa punya tiga orang anak, yaitu
Muhammad, Husain, dan Ali. Argumentasi Imaduddin ini menabrak syarat dan
kaidah yang dibuatnya sendiri. Sebab, al Razi hidupjauh (lebih dari dua abad)
setelah Ahmad ibn Isa (w. 345 H). Karenanya, penelitian yang dilakukan
Imaduddin itu tidak konsisten, kontradiktif, berstandar ganda, dan bertolak
belakang dengan kaidah yang ia tetapkan sendiri.
5.
Imaduddin Kerap Menolak Validitas Kitab yang Mengisbat Nasab Ba'alawi, namun
Menerima Begitu Saja Rujukan yang Dianggap Menolak Nasab Ba'alawi
Imaduddin
dengan mudah menolak validitas kitab al-Jawhar al-Syafiif yang
dikarang oleh al-Khathib pada 820 H. Imaduddin menebarkan keraguan atas
keberadaan kitab ini. Sebab, kitab ini dengan sangat mudah menangkis tuduhan
Imaduddin terhadap Sayid Ali ibn Abi Bakar al-Sakran . Sebagaimana telah
dijelaskan, Imaduddin menuduh Sayid Ali telah mereka-reka nasab Ba'alawi
melalui jalur Ahmad ibn Isa. Padahal hanya beberapa puluh tahun setelah
wafatnya Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran, ada penulis yang mengutip dari
kitab al-Jawhar al-Syafiif , yaitu Bamakhramah dalam kitabnya Qiliidah al
Nahr , sebagaimana telah kami jelaskan di depan.
Beda halnya dengan
al-Syajarah al-Mubiirakah, kitab yang Imaduddin "anggap membatalkan"
status Ubaidillah sebagai Ahmad ibn Isa ini memiliki banyak masalah dalam
penisbahannya . Di antaranya, kitab itu tidak pernah disebutkan atau dikutip
oleh para ulama setelahnya yang menulis biografi al-Razi; substansi kitab itu
yang berbau Syiah sehingga sangat janggal jika dinisbahkan kepada Fakhr al-Din
al-Razi yang dikenal Sunni. Masalah lainnya, kitab itu ditahkik hanya
berdasarkan satu-satunya naskah yang problematik. Naskah tertua yang tersedia
pada masa sekarang dalam cetakan modern hanyalah naskah milik Wahid ibn
Syamsuddin. Ia sendiri mengakui bahwa ia adalah penyalin kedua dan
menyalinnya pada 825 H. Ia mengaku telah menyalin kitab itu dari naskah
penyalin pertama (yang tidak dikenal) yang ditulis pada 597 H.
Artinya,
baik penyalin pertama maupun penyalin kedua tidak hidup sezaman (mu'iishirah)
dan belum pernah bertemu sama sekali (tauaqquq aHiqii') karena rentang hidup
mereka terpaut 228 tahun. Kuat diduga bahwa Wahid ibn
Syamsuddin melakukan ijtihad dengan satu-satunya modal, yaitu nama "Muhammad
ibn Umar ibn al-Hasan" dan kemudian menisbahkannya kepada "al-Razi". Namun,
sebagaimana diketahui sejarawan, "al-Razi" ialah nisbat untuk Kota "Rayy",
sebuah kota lama di sebelah barat daya Teheran, ibu kota Iran sekarang. Banyak
ulama yang dinisbahkan dengan nama "al-Razi". Namun, penisbahan itu belum
tentu menunjukkan kepada sosok ulama tertentu kecuali jika namanya disebutkan
secara lengkap. Permasalahan ini sudah kami jelaskan panjang lebar
ketika membahas kitab al-Syajarah al-Mubarakah.
B.
Kebohongan Imaduddin dalam Pengutipan
Di antara etika ilmiah
lain yang dikenal dan dipraktikkan oleh para peneliti adalah pengutipan yang
jujur dan utuh terhadap segala sesuatu yang bersifat substantif . Sebab,
memotong ungkapan yang berkaitan dengan substansi yang dibahas bisa
menyebabkan kekeliruan dalam pemahaman, bahkan pengaburan fakta. Karenanya,
tindakan seperti itu termasuk pengkhianatan ilmiah. Tindakan seperti inilah
yang dilakukan oleh Imaduddin .
Dalam bukunya, Membongkar Skandal Umiah,
hal.14, Imaduddin mengatakan :
"Murtada al-Zabidi (w. 1205 H) dalam
kitabnya al-Raudhu al-Jaliy (sebuah kitab yang membahas nasab Ba'alawi),
mengutip bahwa al-'Ubaidili (w. 436 H) menyatakan bahwa Ahmad ibn
Isa al-Naqib hijrah dari Madinah ke Bashrah pada abad keempat Hijriah, lalu
keluar bersama anaknya menuju timur. Kutipan itu dikomentari oleh Muhmammad
Abu Bakar Abdullah Badzeib, seorang sejarawan Yaman yang juga muhaqqiq kitab
tersebut, bahwa kutipan itu tidak ditemukan dalam kitab al-'Ubaidili, Tahdzib
al Ans<ib . Badzeib, walau dikenal dekat dengan keluarga Ba'alawi, tetapi
ia kritis mengomentari kejanggalan-kejanggalan kitab al-Raudhu al-Jaliy
tersebut."
Dari kutipan tersebut, kita mendapati tiga bentuk
ketidakjujuran yang dilakukan oleh Imad:
1. Imaduddin
menghapus nama anak Ahmad ibn Isa yang dimaksud, yaitu Abdullah yang
disebutkan secara eksplisit dalam perkataan Syaikh al Syaraf al-'Ubaidili
.
2. Imaduddin tidak melanjutkan kutipan perkataan
al-'Ubaidili, yaitu bahwa kemudian Ahmad ibn Isa menetap di
Hadramaut. Sebab dua hal di atas bertentangan dengan narasi yang sedang
dibangun Imad. Berikut ini kami sampaikan redaksi lengkap kutipan dari kitab
yang sama:
Dalam keterangan di atas Syaikh al-Syaraf al-'Ubaidili
menjelaskan bahwa Ahmad ibn Isa hijrah dari Madinah ke Bashrah pada 10 tahun
kedua, abad ke-4 Hijriah . Kemudian, beliau keluar dari Madinah bersama
putranya, Abdullah, menuju timur dan menetap di Hadramaut, Yaman .
3.
Imaduddin menyebutkan perkataan Badzeib bahwa kutipan itu tidak ditemukan
dalam kitab al-'Ubaidili, Tahdzib al-Ans<ib. Padahal, faktanya tidak
seperti itu. Imaduddin memenggal bagian yang substantif dari kutipan tersebut
. Badzeib mengatakan bahwa kutipan itu tidak ditemukan dalam kitab
Tahdzib al-Ans<ib yang diterbitkan tahun 1411 H dengan perhatian dari
Muhammad Kazhim al-Mahmudi dan Syaraf al-Sayid Mahmud al Mar'asyi . Tentu
saja ada perbedaan besar antara "tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib
al-Ans<ib" dan "tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib al-Ans<ib cetakan
tertentu". Tidak sampai di situ, Badzeib lebih lanjut menyampaikan alasan
kenapa kutipan itu tidak ditemukan pada Tahdzib al-Ans<ib versi cetakan
tersebut . Menurutnya, muhakkik kitab Tahdzib al-Ans<ib dalam mukadimahnya
menyatakan bahwa Syaikh al-Syaraf memiliki sebuah kitab dengan pola penulisan
mabsuth, yang mana kitab tersebut merupakan asal-usul Tahdzib al-Ans<ib,
jumlahnya 10 ribu lembar. Al-'Umari termasuk penulis yang mengutip dari kitab
tersebut dalam kitabnya, al-Majdi. Menurut Badzeib, bisa jadi redaksi
perkataan al-'Ubaidili yang ditampilkan oleh Murtadha al-Zabidi ini diambil
dari naskah lain yang ada tambahannya
atau dari karya lain (selain
Tahdzib al-Ans<ib) karangan al-'Ubaidili, wall<ihu a'lam.282
Keterangan
yang disampaikan Badzeib ini tidak dikutip oleh Imad.
Ia sengaja memotong kutipannya sehingga pembaca tidak mendapatkan kutipan utuh
yang menyebutkan ucapan al-'Ubaidili tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa ke
Hadramaut bersama anaknya, Abdullah . Pemenggalan kutipan seperti ini layak
disebut sebagai pengkhianatan ilmiah, bahkan sebuah kejahatan ilmiah.
Ini
semakin menegaskan ketidakjujuran Imaduddin dalam penelitiannya .
Integritasnya sebagai peneliti sangat bermasalah . Maka, siapa pun yang
membaca tulisan Imaduddin wajib memeriksa validasi dan kelengkapan pengutipan
serta kesesuaiannya dengan konteks serta maksud yang disampaikan penulis asli
kitab yang dirujuknya .
C. Memelintir Dalil
Al-Qur'an dan Sunnah
1. Gelar Habib Adalah Konsep
Yahudi
Dalam sebuah video yang tersebar di media sosial,283 Imaduddin
mengatakan, "Gelar habib itu tidak dikenal dalam ajaran Islam. Menurut Al
Qur'an, dulu orang Yahudi dan orang Nasrani mengatakan bahwa mereka adalah
habib (QS Al-Ma'idah : 18). Orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, 'Kami adalah
anak-anak Allah dan habib-habib Allah'. (Maka, konsep habib) dalam ajaran
Islam tidak ada."
Berdasarkan ayat tersebut Imaduddin menyatakan
bahwa sebutan habib hanya dikenal oleh kalangan Yahudi dan Nasrani.
Padahal, Islam juga mengenal konsep habib. Misalnya, ketika menafsirkan
Surah al-Bun1j ayat 14, Ibn Abbas r.a. menyebutkan al-habib. Imam Ibn
Jarir al-Thabari mengatakan :
Firman Allah (.3J.3_,ll JPI J) Allah
Swt. berf irman: Dia Yang Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang bertobat dan Yang
Maha Kasih baginya . Ahli takwil juga menyampaikan penjelasan yang sama
seperti yang kami sebutkan sebelumnya . Ulama yang mengatakan demikian, di
antaranya:Ali
menceritakan kepadaku, "Abu Shalih menceritakan kepada
kami, Muawiyah menceritakan kepadaku dari Ali dari Ibn Abbas, firman Allah
(.3_,.3_,ll Jpl) lbn Abbas berkata, "Artinya adalah: I(Yang
Mengasihi) .
Di kalangan Bani Alawi ada gelar "habib" yang disematkan
kepada orang yang alim, sepuh, atau dikenal sebagai pemuka di antara mereka.
Bagi Alawi yang memegang jabatan tertentu di pemerintahan, ia diberi
gelar "syarif '. Gelar ini kemudian dipergunakan secara turun-temurun oleh
anak keturunannya . Gelar "habib" mulai digunakan pada pertengahan abad ke-11
sampai abad ke-14. Tahap ini ditandai dengan makin banyaknya kaum Alawi yang
hijrah keluar Hadramaut.285 Sosok pertama yang menggunakan gelar ini adalah
Habib Umar ibn Abdurrahman Alatas (Sh<ihib al-R<itib).
Sayid Ali
ibn Abdurrahman al-Masyhur mendengar ayahnya, al-'Allamah Abdurrahman ibn
Muhammad al-Masyhur (Mufti Hadramaut) berkata, "Saya mendengar para
masy<iyikh berkata: sesungguhnya yang mengawali mencium tangan, menggunakan
imamah, memanggil dengan kata 'habib' sebagai tanda orang itu syarif adalah
para masy<iyik h di Tarim.'286 Dalam kitab Syarah 'Uqudu al-Lujain, Syaikh
Nawawi al-Bantani mengatakan :
"(Berkata Sayiduna) yang paling
mulia (al-Habib) yang dicintai (Abdullah al-Haddad), pemilik tarekat yang
masyhur, dan pemilik asnir. Sebagian penduduk negeri menggunakan sebutan
yang berbeda untuk keturunan Rasulullah Saw.Jika orang itu laki-laki, ia
disebut 'Habib' danjika perempuan disebut 'Hababah'. Sementara, orang
kebanyakan memanggilnya dengan sebutan 'Sayid' dan 'Sayidah'."287
Bila
kita telusuri lebih jauh, kita akan menemukan bahwa penggunaan istilah "habib"
untuk keturunan Nabi Saw. bukanlah sesuatu yang baru . Panggilan "al-Habib"
pernah juga digunakan oleh Abdullah ibn Abbas r.a. untuk memanggil cucu
Rasulullah Saw., yaitu al-Imam Ali Zainal Abidin ibn Husain al-Shibt.
Diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Sakhawi dalam Istijlcib Irtiqci al-Ghuraf bi
Hubbi Aqriba al-Rasul Saw. Wa Dzawi al-Syaraf :
"Razin ibn Ubaid
mengatakan : 'Aku bersama lbn Abbas r.a., lalu datang Zainal Abidin Ali ibn
al-Husain. lbn Abbas berkata kepadanya, "Selamat datang, wahai kekasih
(al-Habib) putra Sang Kekasih (al-Habib)."
Riwayat dari Razin ini
sahih dan beliau termasuk orang yang tsiqah (jJ W;
b J§ ¥1 ¥.) 289.
*
*
2. Tidak Ada Hadis Sahib tentang Mencintai
Keluarga Nabi Saw.
Selain memelintir ayat Al-Qur'an, Imaduddin juga
menyatakan bahwa tidak ada hadis sahih yang memerintahkan umat untuk mencintai
habaib dzurriyah (keturunan) Nabi Saw. Tentu saja pernyataan Imaduddin itu
salah besar. Kita bisa menemukan banyak hadis sahih yang menegaskan pentingnya
mencintai dan menghormati keturunan Nabi Muhammad Saw., dan juga mencintai
habaib dzurriyah Nabi Saw.
Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh
al-Tirmidzi dan Ahmad, yang menyatakan bahwa mencintai keluarga Nabi
adalah salah satu tanda keimanan . Hadis lainnya menyatakan bahwa
mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi Saw.) adalah syarat keimanan yang
sempurna.
D. Pengambilan Kesimpulan yang
Serampangan
1. Ba'alawi Mencangkok Nasab Bani Ulwi
al-Qahthani
Dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi Imaduddin kerap
mengambil kesimpulan yang serampangan. Misalnya, ia menyatakan
bahwa Bani Alawi (Ba'alawi) mencangkok nasab Bani Alawi yang diklaim sebagai
keturunan Qahthan. Benarkah demikian?
Untuk menjawabnya, perlu
dijelaskan bahwa pada abad keempat Hijriah ada sebuah
kabilah yang disebut "Bani Alawi". Mereka sudah
menetap
di Yaman sebelum Imam Ahmad ibn
Isa hijrah ke sana, sebagaimana disebutkan oleh
al-Hamdani (w. 360 H):290
Berikut ini beberapa perbedaan antara
kedua kabilah tersebut yang tidak mungkin mirip, apalagi mencangkok satu sama
lain:
Pertama, Bani Alawi yang kemudian pada abad-abad berikutnya secara
konsisten disebut Ba'alawi, Abu Alawi, atau al-Ba'alawi merupakan wangsa Alu
Abi Alawi yang lempang lelaki ke atas adalah wangsa al-'Uraidhi (Imam Ali
al-'Uraidhi). Sementara, Bani Alwi yang dilaporkan oleh al-Hamdani pada abad
belakangan disebut Bani Alwi, Bani Ulwi, atau Bani Alwa. Mereka adalah wangsa
keturunan al-Arhabi (Murrah ibn Du'am).
Arhab, leluhur Bani Ulwi (yang di
antara keturunannya adalah Bani Ulwi, Ali Rausya, dan Alu Hakim) adalah Marrah
ibn Du'am ibn Malik ibn Muawiyah ibn Sha'b ibn Dauman ibn Bakil ibn Jasym
ibn Khiwan ibn Nauf ibn Hamidan . Dari Murrah inilah wangsa
al-Arhabiyah diturunkan karena ia memiliki julukan Arhab (secara harfiah
berarti luas) sebagaimana disebutkan dalam keterangan berikut :291
Jadi,
Ba'alawi al-'Uraidhi dan Bani Ulwi (Alwa/Alwi) al-Arhabi memiliki rantai
silsilah yang berbeda seperti berikut ini:
Ba'alawi
al-'Uraidhi
Bani Ulwi al-Arhabi
Alwi ibn
Ubaidillah (Abdullah) ibn
Ahmad ibn Isa ibn
Muhammad ibn Ali
al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq ibn
Muhammad al-Baqir ibn Ali Zain
al-Abidin ibn Husain Sibth ibn
Ali karramall<ihu wajhah ibn Abi
Thalib AlwijUlwi/Alwa al-Kabir ibn Ulyan/Alwan ibn
Murrah
al-Arhabiyah ibn Du'am ibn
Malik ibn Muawiyah ibn Sha'b ibn Dauman ibn
Bakil ibn Jasym ibn Khiwan ibn Nauf ibn Hamidan
Kedua, Bani Ulwi
al-Arhabi dianggap punah oleh penulis pada masanya (kecuali wangsa-wangsa
kecil seperti Alu Rausyan dan Alu Hakim), yaitu al-Hamdani (w. 360 H). Dan,
dari situlah kemudian muncul tuduhan bahwa Ba'alawi al-'Uraidhi mencangkok
nasab Bani Ulwi.
Tetapi perlu disampaikan di sini bahwa wangsa al-Arhabi
yang menurunkan Bani Ulwi ini memiliki wangsa turunan lain yang semasa dengan
Abu al-Hajjaj al-Asy'ari (w. 600 H) dari jalur yang lain, yaitu Bani
Sha'b:292
Berikut ini tabel silsilah Bani Sha'b al-Arhabi, Bani
Ulwi al-Arhabi, dan Ba'alawi al-'Uraidhi yang hidup sezaman dengan Abu
al-Hajjaj al-Asy'ari (w. 600 H):
Ba'alawi
Al-'Uraidhi Bani Sha'b Al-Arhabi Bani Ulwi
Al-Arhabi
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali ibn
Alwi
ibn Muhammad ibn Alwi ibn
Ubaidillah (Abdullah) ibn Ahmad ibn
Isa
ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi ibn
Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad
al-Baqir ibn Ali Zain al-Abidin ibn Husain Sibth ibn
Ali k.w. ibn Abi
Thalib Hasan ibn Ahmad ibn Ya'qub ibn Dawud ibn Sulaiman ibn
Amr ibn Harits
bin Hasan ibn
al-Walid al-Azhar ibn Amr ibn
Thariq
ibn Adham ibn Qais ibn Rabiah ibn
Abd al-Ulyan ibn Alu Hakim & Alu
Rausya ibna
Alwi ibn Alwi/UlwijAlwa ibn Ulyan/Alwan ibn
Murrah al-Arhabiyah ibn Du'am ibn
Malik ibn Mu'awiyah ibn Sha'b ibn
Dauman ibn Bakil ibn Jasym ibn Khiwan ibn Nauf ibn Hamidan
Jika
pada periode tahun 600-an Ba'alawi al-'Uraidhi melanjutkan keturunan dan Bani
al-Arhabi juga menurunkan Bani Ulwi al-Arhabi serta Bani Sha'b al-Arhabi,
mengapa tidak ada satu pun interupsi bahwa Ba'alawi al-'Uraidhi mencangkok
nasab mereka dari Bani Ulwi al-Arhabi?
Di sini bisa dijawab bahwa
pencangkokan itu tidak dapat dibuktikan . Kedua wangsa itu (al-'Uraidhi dan
al-Arhabi) tidak saling berketurunan satu sama lain. Keduanya
memiliki garis silsilah yang berbeda. Wangsa keduanya pun berbeda (Adnani dan
Qahthani). Dengan demikian, apa yang dilakukan Imaduddin hanyalah cocoklogi
yang akhirnya berujung pada kesimpulan yang ngaco.
2.
Kakek Ba'alawi Adalah Sepupu Langsung Kakek al-Ahdal, Lalu Nasabnya
Dicocokkan!
Imaduddin melontarkan tuduhan lain yang ia sampaikan ketika
mengomentari video Sayid Mahdi Raja'i. Imaduddin mengatakan :
"Kalau
penulis bisa menjawab pertanyaan : mengapa Ubed tidak ditulis sebagai anak
Ahmad? Jawabannya : karena memang Ubed bukan anak Ahmad. Kalau bukan anak
Ahmad, lalu Ubed anak siapa? Ubed anak Isa. Dari mana penulis mengetahui? Dari
kitab Tubfah al-Zaman karya Husain al-Ahdal (w. 855 H). Lihat kitab tersebut
juz II halaman 238. Kitab itu menerangkan silsilah Bani Ahdal! Betul, tetapi
leluhur Ba'alawi itu bersepupu dengan leluhur Bani Ahdal. Dari mana dalilnya?
Dari kitab Tubfah al-Zaman juga, lihat di Juz II halaman 238. Di sana
dikatakan bahwa leluhur Ba'alawi dan Bani Ahdal itu bersepupu . Kalau
bersepupu berarti satu kakek, kenapa sekarang kakeknya berbeda? Tanyakan
kepada rumput yang bergoyang, kenapa semua ini bisa terjadi?"
Dari
paparan Imaduddin tersebut, kita bisa mengetahui, ternyata Imaduddin yang
disebut "mujaddid" oleh para pengikutnya ini tidak mampu memahami hal
yang sangat sederhana. Bahkan, tampak jelas
ketumpulan nalarnya dalam memahami istilah "Ibnu al-'Am" yang
dikenal di kalangan Arab. Imaduddin mengambil kesimpulan sembrono
dan menganulir semua pohon nasab ('amud al-nasab) S<idah Aal
Abi 'Alawi yang disebutkan oleh para ulama. Kemudian dengan serampangan pula
ia menetapkan bahwa Ubadillah adalah anak Isa ibn Alwi yang ada di pohon nasab
al-Ahdal, bukan anak Ahmad ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib yang ada di pohon
nasab Ba'alawi . Ia melakukan semua itu semata-mata untuk mencocokkan bahwa
Ba'alawi dan al-Ahdal bersepupu langsung.
Dalam konsep
kekerabatan, anak paman dari pihak ayah I)
atau paman dari pihak ibu (JI), dalam bahasa
sehari-hari disebut "sepupu". Sebutan ini
disematkan kepada orang-orang yang
memiliki satu atau lebih kakek/nenek yang
sama. Namun, dalam bahasa umum, "sepupu"
biasanya berarti "sepupu pertama". Di
beberapa negara, "derajat" dan "jarak" antarsepupu
serta keturunan berikutnya digambarkan secara tepat dengan sebutan
tertentu . Misalnya, mereka menggunakan sebutan "sepupu pertama", "sepupu
kedua", dan "sepupu ketiga" menggambarkan "derajat" hubungan
sepupu. Dalam percakapan sehari-hari, kata
"sepupu" sering digunakan untuk arti lain, yang tidak terbatas dengan
tingkatan atau derajat. Pada dasarnya, istilah
"sepupu" diterapkan untuk kerabat tingkat pertama.
Namun, istilah "sepupu" juga digunakan untuk
merujuk pada semua jenis kerabat, seperti
kerabat tingkat pertama, kerabat tingkat kedua,
kerabat tingkat ketiga, dan seterusnya. Misalnya, Ibrahim Asmoro memiliki anak
bernama Sunan Ampel dan Maulana Ishak. Sunan Ampel memiliki anak bernama
Sunan Bonang, dan Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri.
Dengan demikian, Sunan Bonang dan Sunan
Giri adalah saudara sepupu tingkat pertama . Orang yang menggunakan
istilah "sepupu" hanya untuk kerabat tingkat pertama berarti ia tidak memahami
konsep tersebut. Sebab, Sunan Prapen yang merupakan anak Sunan
Giri
dapat juga disebut sepupu Sunan Bonang.
Dalam
Islam, sebutan sepupu telah digunakan pada
zaman Nabi Muhammad Saw. sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab hadis
maupun sirah. Misalnya, penggunaan istilah sepupu tingkat pertama dapat
ditemu kan dalam hadis riwayat Imam Bukhari berikut :
"Rasulullah
Saw. datang ke rumah Fathimah, beliau tidak menemukan Ali di rumah. Maka,
Rasul berkata, 'Di mana anak pamanmu?"' 293
Dalam
kitab sejarah, penggunaan sepupu
tingkat pertama dapat ditemukan dalam kitab Usud
al-Gh<ibah karya Ibn Atsir.
"Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn
Hasyim ibn Abdu Manaf . Abu al-Abbas al-Qurasyi al-Hasyimi, anak paman
(sepupu) Rasulullah Saw., kunyah-nya Ibn Abbas."294
Penggunaan
istilah sepupu pada tingkat kedua dapat ditemukan pada sahabat Nabi Saw. yang
bernama Sa'd ibn Muaz dan anak paman (sepupu) nya bernama Asyid ibn Hudhair,
keduanya bertemu pada kakek yang bernama Amra'i al-Qais ibn Zaid ibn Abdu
al-Asyhal. Mereka masuk Islam di tangan Mush'ab ibn Umair.295
Silsilah
nasab keduanya sebagai berikut.
Tingkat Amro'i
al-Qais ibn Zaid ibn Abdu al-Asyhal
Nu'man Utaik
1 Muaz
Samak
2 Sa'd Hudhair
3
Asid
Pada abad ke-2 Hijriah istilah sepupu tidak saja
digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama tetapi juga digunakan untuk
menyebut kerabat jauh sampai tingkat ke-6 . Ini misalnya ditemukan pada
silsilah Nabi Muhammad Saw. dan silsilah Harun al-Rasyid Khalifah kelima Bani
Abbasiyah . Kedunya memiliki kakek yang sama, yaitu Abdul Muthalib.
Tingkat
Abdul Muthalib
Abdullah Abbas
1
Muhammad Saw. Abdullah
2
Ali
3 Muhammad
4
Abdullah al-Manshur
5 Muhammad
al-Mahdi
6 Harun al-Rasyid
Dalam
kitab al-Umm karya Imam Syafi'i diceritakan dialog antara Imam Syafi'i dan
Khalifah Harun al-Rasyid. Dalam dialog tersebut Khalifah Harun al-Rasyid
menyatakan bahwa ia adalah sepupu Nabi Muhammad Saw.296
Pada
abad ke-3 Hijriah, istilah sepupu digunakan untuk menyebut kerabat tingkat
kesembilan. Ini misalnya ditemukan pada silsilah Nabi Muhammad Saw. dan
silsilah Imam Syafi'i, yang memiliki kakek yang sama, yaitu Abdu Manaf.
Tingkat
Abdi Manaf
Hasyim Muthalib
1
Abdul Muthalib Hasyim
2
Abdullah Abdu Yazid
3 Muhammad
Saw. Ubaid
4
Syaib
5 Syafi'
6
Utsman
7 Abbas
8
Idris
Dalam kitab Siy<ir A'tam al-Nubal<i karangan al-Dzahabi
dituliskan bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. meskipun Abdu
Manaf adalah kakek keempat bagi Rasulullah Saw. dan kakek kesepuluh bagi Imam
Syafi'i.z91
Ahmad Farid dalam kitab Min A'lam al-Salaf
menjelaskan bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. Nasab keduanya
bertemu pada Abdu Manaf . Rasulullah Saw. dari Bani Hasyim ibn Abdu
Manaf dan Imam Syafi'i dari Bani Muthalib ibn Abdi Manaf . Rasulullah Saw.
bersabda, "Bani Muththalib dan Bani Hasyim adalah satu."298
Diceritakan
dalam kitab al-Sayidah Najisah karangan Abu Alam bahwa jika Imam Syafi'i
sakit, dia akan mengutus sahabatnya kepada Sayidah Nafisah . Saat tiba, sang
utusan akan menyampaikan salam dan berkata, "Sungguh sepupumu (j,1), Syafi'i
sedang sakit, dan meminta doa kepadamu ." Kemudian, Sayidah Nafisah
mendoakannya .299
Jadi, bagaimanakah hubungan
antara Bani Alawi dan Bani Ahdal? Apakah
keduanya bersepupu dan memiliki kakek yang sama? Dalam kitab
Tuhfahal-Zaman
dituliskan bahwa Bani Alawi dan Bani Ahdal adalah saudara sepupu.30° Keduanya
memiliki kakek yang sama, yaitu Imam Ja'far al-Shadiq
ibn Muhammad
al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Bani Alawi
memiliki kakek Ahmad ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali al-'Uraidhi ibn
Ja'far al-Shadiq, sedangkan Bani Ahdal memiliki kakek Muhammad ibn Himham ibn
Aun ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far al-Shadiq.301
Tingkat
Imam Ja'far al-Shadiq
Ali
al-'Uraidhi Musa al-Kazhim
1 Muhammad
al-Naqib Aun
2 Isa
al-Rumi Himham
3 Ahmad
al-Muhajir Muhammad
Persoalan ini sudah
dijelaskan oleh al-Imam al-Syarji al-Zabidi dalam kitab Thabaq<it
al-Khaww<ish Ahli al-Shidqi wal Ikhlash. Ia mengatakan :
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa dalam pengertian dan penggunaan istilah umum, kata
"sepupu" digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama. Kemudian, seiring
perjalanan sejarah, kata "sepupu" tidak hanya digunakan untuk menyebut kerabat
tingkat pertama, tetapi meliputi kerabat yang lebihjauh lagi. Sebagai contoh,
pada masa Rasulullah Saw. kita mengenal penggunaan kata "sepupu" untuk
menyebut hubungan antara Rasulullah Saw. dan Imam Ali ibn Abi Thalib, atau
antara Rasulullah Saw. dan Abdullah ibn Abbas, dan lainnya. Kemudian pada abad
pertama, kedua, dan ketiga, kata "sepupu" dipergunakan lebih luas lagi untuk
menyebut kerabat tingkat ketiga. Misalnya, kata "sepupu" digunakan oleh
Khalifah Hamn al-Rasyid dan Imam Syafi'i. Keduanya menyebut diri mereka
sebagai sepupu Rasulullah Saw.
Istilah "saudara sepupu" dapat digunakan
jika kedua orang yang dimaksud memiliki kakek yang sama. Misalnya, Bani Alawi
dan Bani Ahdal adalah saudara sepupu karena keduanya memiliki kakek yang sama,
yaitu Imam Ja'far al-Shadiq . Lucunya, karena gagal memahami makna "Ibn al
'Am" dan tidak mau mencari penjelasan ulama, Imaduddin mengacak ngacak 'amud
al-nasab Ba'alawi yang disebutkan para ulama dan melakukan cocoklogi dengan
'amud al-nasab al-Ahdal. Tujuannya, ia ingin agar orang orang beranggapan
bahwa kakek Ba'alawi dan kakek al-Ahdal adalah saudara sepupu langsung yang
hijrah bersama. Kebencian Imaduddin kepada Ba'alawi membuatnya kehilangan akal
sehat sehingga tak mampu berpikir dan menganalisis dengan baik.
3.
Ahmad ibn Isa Tidak Hijrah ke Hadramaut
Imaduddin menyatakan bahwa tidak
ada satu pun kitab nasab dan sejarah yang ditulis pada masa yang sama atau
yang paling dekat dengan masa hidup Ahmad ibn Isa yang menyatakan atau
mendukung bahwa Ahmad ibn Isa pernah ke Hadramaut, apalagi hijrah untuk
menetap di sana. Menurutnya, kitab yang dijadikan rujukan seperti
al-Jawhar al-Syafiif karya Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H)
adalah kitab yang problematik, karena ditulis oleh orang yang sama sekali
tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Menurutnya, kitab
al-Jawhar al-Syafiif itu ditulis oleh Abdurrahman ibn Muhammad
al-Syaibani (w. 724 H). Kemudian, Imaduddin melontarkan tuduhan bahwa Ali ibn
Abu Bakar al-Sakran adalah orang yang pertama secara formal mengarang bahwa
Ahmad ibn Isa hijrah dari Bashrah ke Hadramaut .
Sejarah asal-usul habaib
bermula dari hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Bashrah ke
Hadramaut. Silsilahnya sebagai berikut: Ahmad al-Muhajir ibn Isa al-Rumi putra
Muhammad al-Naqib putra Al al-'Uraidhi putra Ja'far al-Shadiq putra Muhammad
al-Baqir putra Ali Zainal Abidin putra Husain putra Ali ibn Abi Thalib dan
Fathimah putri Rasulullah Saw. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dilahirkan di
Bashrah pada tahun 260 Hijriah .303
Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir
hijrah pada 317 Hijriah pada masa khalifah Abbasiyah al-Muqtadir Billah
bersama beberapa keluarganya :
1. Istrinya, Zainab
binti Abdullah ibn Hasan ibn Ali al-'Uraidhi;
2.
Anaknya, Abdullah yang dikenal dengan nama Ubaidillah beserta istri- nya,
Ummul Banin binti Muhammad ibn Isa;
3. Cucunya, Ismail
ibn Abdullah yang digelari Basri,
4. Kakek Bani Ahdal
al-Kazhimi;
5. Cucunya, Syarif Ahmad, kakek bani Qudaim
al-Kazhimi, dan;
6. Tujuh puluh orang pengikut serta
pembantunya, termasuk Ja'far ibn Abdullah al-Azadi, Mukhtar ibn Abdullah ibn
Sa'ad dan Suwayyah ibn Faraj al-Asfahani. 304
Imam al-Muhajir
hijrah dari Irak ke Hadramaut dengan tujuan untuk menyelamatkan agama dan
anak-anaknya dari fitnah. Sama halnya, anak keturunan Imam al-Muhajir
hijrah dan menyebar ke berbagai penjuru alam dengan tujuan untuk
menyelamatkan agama mereka dari fitnah, bukan karena alasan ekonomi atau yang
lainnya. Imam al-Muhajir hijrah ke Hadramaut berdasarkan isyarat dari sabda
Rasulullah Saw.: "Sungguh aku melihat, hijrahku ini ke negeri yang memiliki
banyak pohon kurma, yaitu Yatsrib atau Hadramaut." Perjalanan sejarah
menunjukkan bahwa Rasulullah hijrah ke Yatsrib sedangkan Imam al-Muhajir
hijrah ke Hadramaut.
Dalam kitab al-Burqah al-Musyiqah, Habib Ali ibn
Abubakar al-Sakran menjelaskan alasan kepindahan al-Muhajir dari Irak ke
Hadramaut, sebagai berikut:
"Karena kepindahannya (al-Muhajir) anak
cucunya selamat dari ke rusakan akidah, fitnah, dan bid'ah, serta penentangan
terhadap sunnah dan pengikutnya . Karena kepindahan tersebut mereka selamat
dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan syiah yang sangat buruk
yang saat itu melanda sebagian asynif (keturunan Nabi Saw.)."305
Al-Imam
Abdullah ibn Alwi al-Haddad menuturkan :
"Ketika bid'ah dan
kerusakan moral karena mengikuti hawa nafsu merajalela di Irak, muncul
pertentangan pendapat di Irak. Menghadapi situasi tersebut, Sayid Ahmad ibn
Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad
al-Baqir memutuskan untuk hijrah dari negeri itu dan mengembara hingga
akhirnya tiba di Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah
memberkati keturunannya sehingga banyak dari kalangan mereka yang menjadi ahli
ilmu, ahli ibadah, serta ahli wilayah dan makrifat. Golongan Ahlul Bait
diselamatkan dari bid'ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan merupakan
berkah dari Imam yang tepercaya. Ia telah menghindar dan membawa
agama dari jebakan fitnah."
Dalam perjalanan hijrah dari
Bashrah, Imam al-Muhajir menggunakan tiga ekor kuda dan
sepuluh ekor unta untuk membawa barang-barang berharga, termasuk emas dan
perak.306 Di antara anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir yang tidak ikut hijrah ke
Hadramaut adalah Muhammad. Mereka tetap tinggal di Bashrah untuk menjaga dan
memelihara harta serta kebun Imam al-Muhajir. Di antara keturunan Muhammad ibn
Ahmad al-Muhajir ini kemudian ada yang menetap di Mesir dan Syam.
Setibanya
di Hadramaut yang dikenal sebagai negeri Khawarij, Imam Ahmad ibn Isa
al-Muhajir singgah di Jubail yang penduduknya mengikuti paham Syiah,
lalu menetap beberapa lama di Hajrain yang penduduknya berpaham Sunni. Selama
tinggal di Hajrain, Imam al-Muhajir mengerahkan waktu dan hartanya untuk
berkeliling dan berdakwah dengan penyampaian yang lembut dan santun sehingga
banyak pengikut Khawarij yang bertobat dan menjadi pengikutnya .
Selain dengan metode dakwah yang lembut,
Imam al-Muhajir tak takut untuk berperang
melawan kaum Khawarij, seperti yang dilakukan di Bahran, daerah
antara Hajrain dan Desa Sadyah.307 Dalam perjalanan dakwahnya, Imam Ahmad ibn
Isa al-Muhajir mem
beli rumah, membuka desa dan lahan pertanian setiap
kali singgah di suatu daerah hingga tiba di Husaisah . Di kota itulah ia
kemudian menetap dan membeli sebidang tanah. Di Kawasan itu pulalah kelak
cucunya, yaitu Imam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir menggali dan
membuat sumur untuk warga. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada tahun 345
H dan dimakamkan di Husaisah .308
Tidak diperlukan
rujukan berupa kitab-kitab yang ditulis pada
masa Imam Ahmad al-Muhajir hidup untuk membuktikan bahwa ia dan keluarganya
telah hijrah dari Bashrah ke Hadramaut . Sama halnya, tidak diperlukan
kitab-kitab sezaman untuk membuktikan hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah
ke Madinah, atau hijrahnya kakek Walisongo, yaitu Jamaluddin Husain al-Akbar
dari Campa ke Indonesia. Kesahihan informasi tentang hijrahnya Imam Ahmad ibn
Isa al-Muhajir ke Hadramaut telah banyak dituliskan dalam
kitab-kitab sejarah, di antaranya kitab al
Jawhar al-Syafaf
fi Fadha'il wa Manaqib wa Karamat al-Sadah al-Asyraf
min Ali Abi 'Alawi
karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami (w.
855 H).
Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dikenal luas sebagai
ahli sejarah di Hadramaut . Silsilah nasabnya adalah Abu Muhammad Abdurrahman
ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (shiih_ib
al-wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Ia dilahirkan pada 795 Hijriah dan
wafat pada 855 Hijriah . Ia merupakan murid Syaikh Abdurrahman Assegaf ibn
Muhammad Maula Dawilah. Selain al Jawhar al-Syafaf , ia juga menulis
kitab-kitab lain, termasuk 'Iqd al-Barahin
al-Musyaraqah fi Manaqib
al-'Allamah al-Sayyid 'Abdullah 'Alaydrus al
'Alawi. 309
Ada
beberapa perbedaan antara Abdurrahman ibn Muhammad yang disebutkan di atas
dengan Abdurrahman ibn Muhammad yang dibicarakan oleh Imad. Perbedaan pertama
dari sisi silsilah nasab. Urutan nasab orang pertama adalah: Abdurrahman ibn
Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail)
ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Sementara, silsilah nasab orang kedua
urutannya adalah: Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ahmad
al-Syaibani Bahissan al-Hadrami.
Perbedaan kedua adalah bahwa keduanya
tidak hidup sezaman. Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib lahir pada 795
Hijriah, sedangkan Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani wafat pada 724 Hijriah
. Artinya, ketika Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani
wafat, Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib belum lahir. Ada jarak waktu
71 tahun antara wafatnya Abdurrahman al-Syaibani dan lahirnya Abdurrahman
al-Khatib.
Karenanya, siapa saja yang ingin melakukan analisis dan
penelitian dalam bidang apa pun, termasuk dalam kajian nasab, semestinya ia
memiliki kemampuan untuk melakukan kritik atas sumber dan rujukan
yang dipergunakan sehingga ia mendapatkan data yang valid . Misalnya,
kesalahan sumber yang dilakukan Ismail Basya al-Babani dalam kitab Hadiyyat
al-'Arifin ketika mengutip nama Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman
sebagai pengarang kitab al-Jawhar al-Syafaf berdasarkan kitab Qiladah al-Nahr
karangan Bamakhramah . Dalam kitab Qiladah al-Nahr , Bamakhramah mengutip dari
kitab al-Jawhar al-Syafaf yang pengarangnya bernama Abdurrahman ibn
Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail)
ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari, bukan Abdurrahman ibn Muhammad ibn
Abdurrahman ibn Ahmad al-Syaibani Bahissan al-Hadrami. Kesalahan pengutipan
ini terjadi berulang-ulang seperti yang dilakukan oleh Umar Ridha Kahalah
dalam kitabnya, Mu)am al-Mu'aUifin.
Maka, keliru jika
ada yang menyimpulkan bahwa kedua kitab, yaitu
Hadiyy<it al-'Arifin dan Mu)am al-Mu'allifin, sama-sama sepakat mengatakan
bahwa penulis kitab al-Jawhar al-Syaf<if adalah Abdurrahman ibn Muhammad
ibn Abdurrahman yang wafat pada 724 Hijriah, bukan Abdurrahman ibn Muhammad
ibn Abdurrahman yang wafat pada 855 Hijriah . Kesimpulan itu muncul karena
Imaduddin tidak melakukan kritik sumber terhadap kitab-kitab yang ada. Ini
juga menunjukkan, betapa minim dan terbatas sumber rujukan yang
dimiliki oleh Imaduddin serta betapa sempitnya pengetahuan
Imaduddin dalam metodologi penelitian .
Jika fakta-fakta ini
disampaikan kepada Imaduddin, kemungkinan besar ia akan berkomentar, "Yang
salah bukan saya, tetapi kitab-kitab tersebut yang salah mengutip, saya hanya
menyampaikan ." Komentar serupa disampaikan Imaduddin dalam kasus penyebaran
berita hoaks tentang Mufti Yaman yang membatalkan nasab Bani Alawi. Pemecah
belah umat ini membela diri dengan mengatakan, "Yang salah itu situs-situs
yang memuat berita tersebut, saya hanya menyampaikan saja."
Kitab
al-Jawhar al-Syaf<if fi Fadh<i'il wa Man<iqib wa Karamat al-S<idah
al-Asyr<if min Ali Abi 'Alawi karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad
al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami ini merupakan salah satu sumber penting yang
melaporkan keberadaan Bani Alawi di Hadramaut, baik dari sisi nasab maupun
sejarah, termasuk informasi hijrahnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Irak ke
Hadramaut. Imaduddin berusaha keras merendahkan dan meragukan validitas
sumber tersebut dengan mengatakan bahwa kitab
itu sebagai kitab yang bermasalah, karena ditulis oleh orang yang sama sekali
tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Padahal faktanya
menunjukkan sebaliknya, Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H)
adalah penulis sejarah yang dikenal di Hadramaut dan kitabnya dijadikan
rujukan oleh Bamakhramah (w. 947 H) dalam kitab Qil<idah al Nahr yang
ditahkik beberapa kali oleh pakar dari kalangan non-Ba'alawi. Kesalahan
justru dilakukan oleh si pemecah belah umat yang mengambil rujukan dari
kitab yang isinya salah atau keliru, seperti kitab Hadiyy<it al 'Arifin
dan Mu)am al-Mu'allifin. Imaduddin tidak melakukan kritik dan verifikasi
terlebih dahulu terhadap kitab tersebut sehingga melahirkan kesimpulan yang
sesat.
Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran bukan orang pertama yang menulis
tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya,
al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syaf<if telah menulis kepindahan Ahmad
ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut.
"Sesungguhnya kakek mereka,
Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir
ibn Ali Zainal Abidin ibn al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu
wajhah wa radhiyall<ihu 'anhum ajma'in keluar dari Bashrah bersama 5 orang
di luar pembantunya, pindah membawa keluarga, anak-anak dan hartanya sampai
akhirnya tiba di Hadramaut ."310
Al-Khathib rampung menuliskan
kitab itu pada 820 Hijriah . Jika dibandingkan dengan tahun kelahiran
Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran (818 H), saat itu usianya masih dua tahun .
Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran yang masih
berusia dua tahun saat al-Khatib wafat disebut sebagai orang pertama yang
menuliskan hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut?
Selain
kitab al-Jawhar al-Syafiif , sumber lainnya yang dijadikan referensi
seputar Bani Alawi adalah kitab Thabaqiit al-Khawwiish karangan al-Syarji
al-Zubaidi (w. 893 H). Penulis yang bukan berasal dari golongan Bani Alawi ini
menuliskan bahwa kakek bani Alawi hijrah dari Irak ke Hadramaut.
"Disebutkan,
sesungguhnya kakek mereka, Bani Qudaim, sampai dari Irak bersama
kakek Syaikh Ali al-Ahdal dan Syaikh keluarga Ba'alawi yang tinggal di
Hadramaut ."311
Ketika berbicara tentang Abu Hasan Ali ibn Umar ibn
Muhammad al Ahdal, kakek keluarga al-Ahdal, al-Syarji menyatakan :
"Kakeknya
Muhammad, yang disebutkan berasal dari Irak, telah datang bersama dua anak
pamannya di atas jalan tasawuf menuju arah lembah Sahm. Dan kedua anak
pamannya, yaitu kakek Bani Qudaimi, juga pergi menuju lembah Surdud. Dan yang
ketiga, yaitu kakek keluarga Ba'alawi, pergi menuju Hadramaut ."
Sumber
kitab lain yang menuliskan peristiwa hijrahnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir
dari Bashrah ke Hadramaut adalah Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra (w. 889
H). Dalam kitab yang berjudul Fathulliih al-Rahim al-Rahman fi Manaqib
al-Syaik h al-'Arif Billah al-Quthb al-Ghawts al
'Aydrus 'Abdullah
ibn Abubakar ibn 'Abdurrahman, disebutkan:
"Mereka keluar dari Irak
menuju Hadramaut disebabkan oleh terjadinya fitnah, terutama dalam perkara
agama. Karena itu, kakek mereka, Ahmad ibn Isa hijrah (ke Hadramaut)
sebagaimana hijrah kepada Allah dan Rasul Nya, bersama anaknya, Ubaidillah
ibn Ahmad ibn Isa."312
Jadi, bisa disimpulkan bahwa Sayid Ali ibn
Abubakar al-Sakran bukanlah orang pertama yang menulis tentang hijrahnya Ahmad
ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya sudah ada orang yang menuliskan
peristiwa hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut, seperti
Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syafaf . Selain
al-Khatib, ada ulama lain yang menuliskan hijrahnya Ahmad ibn Isa
dari Bashrah ke Hadramaut, di antaranya al-Syarji al-Zabidi dalam kitab
Thabaqat al Khawwash dan Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra dalam kitab
FathuUah al-Rahim al-Rahman. Kitab-kitab inilah yang dijadikan sumber lain
dalam penulisan sejarah hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut .
Selain
berdasarkan rujukan kitab-kitab itu, peristiwa hijrah dan menetapnya Ahmad ibn
Isa al-Muhajir di Hadramaut telah diterima dan diakui secara mutawatir oleh
ulama dan masyarakat Hadramaut sampai saat ini. Tidak ada kalangan yang
mengingkarinya . Jika hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa itu
tidak pernah terjadi maka ulama
non-Ba'alawi di Hadramaut pasti akan menjadi kelompok pertama yang
menentangnya . Faktanya, bahkan para ulama yang akidahnya berseberangan dengan
Ba'alawi sekalipun, seperti golongan Wahabi Hadramaut tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya . Tidak hanya itu, hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut
juga diakui secara serentak oleh keturunan Ahmad ibn Isa dari selain jalur
Ubaidillah, sebagai keturunan Ahmad ibn Isa dari anaknya yang bernama Ali ibn
Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak. Mereka mengakui bahwa kakeknya hijrah ke
Hadramaut sehingga mereka menyebutnya "al Muhajir" dan bahwa kakeknya itu
punya keturunan di Hadramaut yang disebut S<idah Ba'alawi .313 Jika
hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut adalah rekaan atau fiksi maka keturunan
Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak pasti menjadi kelompok yang paling keras
menentang fiksi tersebut. Mereka akan protes jika sejarah
kakek mereka diselewengkan . Kenyataannya, tidak ada perdebatan di antara
mereka bahwa kakek mereka memang hijrah ke Hadramaut dan memiliki keturunan
yang disebut S<idah Ba'alawi .
Sumber Primer dan Kebenaran
Sejarah
Imaduddin mengatakan bahwa suatu peristiwa pada masa lalu bisa
dikatakan benar-benar peristiwa historis jika dikonfirmasi oleh sumber sezaman
atau paling tidak, sumber sejarah dari masa yang paling dekat dengan masa
peristiwa itu. Sumber rujukan yang ditulis atau diterbitkan dari masa sezaman
termasuk di antara sumber primer dalam penulisan sejarah.
Sejarah sebagai
peristiwa mengandung arti bahwa sejarah merupakan realitas atau kenyataan yang
terjadi pada masa lampau. Suatu peristiwa pada masa lalu dianggap benar jika
didukung oleh bukti-bukti atau data-data yang menguatkan, seperti saksi mata,
peninggalan, dan dokumen. Bukti atau data penguat atas suatu peristiwa sejarah
itu dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer, sekunder, dan sumber
tersier.
Menurut Permendikbud tahun 2016, sumber primer adalah
kesaksian seseorang yang menyaksikan peristiwa secara langsung menggunakan
perangkat indranya, alat mekanis, dokumen, naskah perjanjian, arsip, dan surat
kabar. Sumber sejarah primer menjadi hal penting untuk mendukung validitas
suatu peristiwa sejarah. Meski demikian, tidak berarti bahwa satu sumber
primer dapat dipastikan sebagai kebenaran sejarah. Sebuah sumber primer
perlu diteliti, ditelisik latar belakangnya, atau dibandingkan dengan sumber
primer lainnya.
Dari sisi bentuknya, sumber primer sejarah dapat
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sumber dokumenter, artefak, dan
lisan. Bentuk dokumenter seperti laporan, surat kabar, catatan pribadi. Bentuk
artefak seperti prasasti, candi, makam, benteng, kitab, atau dokumen, arsip,
dan foto.314 Salah satu contoh bentuk artefak makam adalah makam Islam
tertua Fatimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur. Sumber primer dalam bentuk
makam merupakan salah satu bukti yang mendukung eksistensi dan kesahihan nasab
keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir di Hadramaut dari zaman ke zaman . Situs
makam anak keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir masih terjaga dan terpelihara
dengan baik sampai saat ini di Hadramaut, seperti makam Ubaidillah ibn Ahmad
ibn Isa di daerah Bor, makam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa di Sumul,
makam Muhammad ibn Ali ibn Alwi Khali' Qasam di Mirbath Oman, makam al-Faqih
al-Muqaddam Muhammad ibn Ali di Zanbal Tarim, dan lainnya.
Lalu yang
menjadi permasalahan, apakah kitab-kitab nasab yang beredar sekarang seperti
Sirru Silsilah al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi, Muntaqilah
al-Thalibiyah, yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin untuk menyatakan bahwa
Ubaidillah bukan anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir adalah kitab primer? Apakah
nama-nama yang ada di kitab itu dicatat oleh penyusunnya berdasarkan pertemuan
langsung dengan orangnya?
Jika kita mencermati kitab-kitab yang ada
saat ini, dapat diketahui bahwa kitab-kitab nasab yang dijadikan rujukan oleh
Imaduddin bukanlah kitab primer, mengapa? Karena para penyusunnya tidak pernah
bertemu langsung kepada orang yang namanya ada dalam kitab nasab tersebut .
Contohnya,
kitab nasab al-Syajarah al-Mubarakah yang disusun pada abad keenam Hijriah,
apakah data yang ditulis oleh al-Razi tentang anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir
diperoleh dari pertemuan al-Razi dengan al-Muhajir atau dari orang yang
bertemu langsung dengan al-Muhajir yang hidup pada abad keempat Hijriah?
Bagaimana
al-Razi yang hidup pada abad keenam Hijriah dapat membatalkan nasab orang yang
hidup pada abad keempat Hijriah?
Jadi, bisa disimpulkan, kitab yang
ditulis pada masa sezaman dengan objek yang diteliti belum tentu dapat
dikatakan sebagai sumber primer, jika sumber tersebut tidak bersentuhan
langsung dengan objek yang diteliti. Contohnya adalah kitab Sirru Silsilah
al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi , Muntaqilah al-Thalibiyah. Walaupun
masa hidup pengarang kitab itu sezaman dengan Ahmad ibn Isa, Ubaidillah, atau
Alwi ibn Ubaidillah, pengarang kitab itu tidak pernah bertemu langsung dengan
Ahmad ibn Isa, Ubaidillah atau Alwi ibn Ubaidillah . Maka, kitab-kitab itu
tidak dapat disebut sebagai sumber primer.
Sumber primer yang dimaksud
dalam penelitian menurut regulasi yang telah disebutkan di atas adalah jika
sumber itu bersentuhan atau bertemu langsung dengan objek yang diteliti.
Sebagai contoh, saya akan meneliti kitab al-Fikrah an-Nahdhiyah karangan
Imaduddin . Dalam kitab itu Imaduddin menyatakan bahwa Bani Hasyim
adalah Sadah Ba'alawi yang dinisbahkan kepada Sayid Alwi ibn Ubaidillah ibn
Ahmad ibn Isa dan itu menjadi alasan ia mengubah pendapatnya sampai tiga kali
tentang status nasab Ba'alawi. Dalam contoh penelitian saya ini, yang menjadi
sumber primer adalah Imad, karena saya hidup sezaman dengannya. Saya bisa
berinteraksi dan mendapatkan penjelasan secara langsung (baik tatap muka atau
secara daring) tentang keputusannya yang berubah-ubah seputar kesahihan nasab
habaib.
Memanipulasi Data untuk Menguatkan Argumen
Imaduddin
tidak segan-segan memanipulasi data untuk mendukung argumennya bahwa Ahmad ibn
Isa tidak hijrah dari Bashrah ke Hadramaut. Untuk menguatkan argumennya,
Imaduddin menggunakan sumber data yang tidak masuk akal. Ia mengambil data
dari kitab al-Ghaybah karangan al-Thusi.
"Ahmad ibn Isa al-Alawi,
dari anak Ali ibn Ja'far, berkata, 'Aku menemui Abu al Hasan a.s. [Ali
al-Hadi], di Suriya. Kami mengucapkan salam kepadanya . [Di sana] Kami bertemu
dengan Abu Ja'far dan Abu Muhammad . Keduanya telah berada di dalam. Kami
berdiri dan mengucapkan salam kepada Abu Ja'far. Abu al-Hasan
a.s.
berkata, 'Bukan dia yang menjadi sh<ihib-mu (pemimpinmu) . Perhatikanlah
pemimpinmu,' sambil mengisyaratkan kepada Abu Muhammad a.s."315
Nama
lengkap Abu al-Hasan adalah Ali al-Hadi ibn Muhammad al Jawwad ibn Ali
al-Ridha ibn Musa al-Kazhim. Ia wafat pada 254 H. Sementara, Ahmad ibn Isa
al-Muhajir dilahirkan pada 260 H di Kota Bashrah, Irak.316 Ada kejanggalan
jika dilihat dari data lahir dan wafat kedua tokoh tersebut, yaitu bahwa Ahmad
ibn Isa al-Muhajir lahir enam tahun setelah Abu al-Hasan Ali al Hadi wafat.
Artinya, Ahmad ibn Isa yang dimaksud dalam redaksi di atas tidak pernah
bertemu, atau tidak sezaman dengan Abu al-Hasan Ali al-Hadi. Begitu pula
dengan al-Hasan yang wafat pada 260 H. Ia tidak pernah bertemu dengan
Ahmad ibn Isa al-Muhajir, karena tahun wafat al-Hasan sama
dengan tahun kelahiran Ahmad ibn Isa al-Muhajir.
Dengan demikian, kita
bisa melihat kegagalan Imaduddin dalam memahami masalah ini. Ahmad ibn Isa
al-Alawi yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah Ahmad ibn Isa ibn Ali
al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, sesuai dengan redaksi dalam kitab itu bahwa
Ahmad ibn Isa ibn Ali ibn Ja'far. Al-Nassabah al-'Umari (wafat abad kelima)
dalam kitab al-Majdi menyatakan bahwa Ali al-'Uraidhi ibn
Ja'far al-Shadiq memiliki 11 anak, di antaranya bernama Isa. Lebih lanjut al
'Umari mengatakan :
"Adapun tentang Isa ibn (Ali) al-'Uraidhi,
hanya ayahku yang meriwayatkannya . Dikatakan bahwa ia punya anak Hasan dan
Ahmad.''317
Jadi jelas, sesuai yang tertulis dalam al-Ghaybah, yang
dimaksud dengan Ahmad ibn Isa min walad Ali ibn Ja'far adalah Ahmad ibn Isa
ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, bukan Ahmad al-Muhajir ibn Isa
al-Rumi ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali 'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq yang
merupakan kakek S<idah Ba'alawi.
Makam al-Muhajir & Makam
Jamaluddin Kubra Versi Gusdur
Berdasarkan keyakinan bahwa Ahmad ibn Isa
al-Naqib tidak hijrah ke Hadramaut, Imaduddin lebih lanjut menegaskan bahwa
makam Ahmad ibn Isa yang berada di Husaisah adalah makam palsu. Untuk
mendukung pendapatnya, ia mengutip perkataan Syaikh Ahmad ibn Hasan
al-Mu'allim : "Dalam sejarah Yaman hingga paruh kedua abad kelima tidak ada
makam yang diagungkan yang di atasnya terdapat masy had dan masjid kecuali
masjid syahidain di Shana'a," dan perkataan al-Janadi, "Dan makam dua anak
masyhur di Shan'a."
Suatu peristiwa, seorang tokoh, atau satu
tempat bersejarah yang dikenal di suatu masyarakat banyak yang dituliskan
dalam bentuk cerita, baik tertulis maupun yang diceritakan secara lisan dari
generasi ke generasi. Begitu pula, keberadaan satu makam atau situs
bersejarah selalu mengungkapkan asal usul keberadaan makam
itu dan asal-usul tempat tersebut yang dikaitkan dengan keberadaan seorang
ulama, cendekiawan, atau tokoh besar lainnya yang kebesaran dan
keagungannya diakui oleh masyarakat setempat. Salah satu daerah
yang dikenal dengan banyaknya makam yang menjadi situs sejarah adalah
Hadramaut .
Di Hadramaut ada tempat yang dimuliakan umat Islam yang
bernama Qabr Hud (makam Nabi Hud). Makam itu ramai dikunjungi peziarah,
khususnya pada setiap pertengahan bulan Sya'ban. Tempat mulia lainnya adalah
makam leluhur kaum sayid di Hadramaut, yaitu Ahmad ibn Isa yang bergelar
al-Muhajir.Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada 345 Hijriah danjenazahnya
disemayamkan di atas bukit di Desa Husaisah . Makam ini merupakan salah satu
tempat sakral yang menjadi sasaran utama para peziarah .
Imaduddin dan
para pendukungnya mengatakan bahwa makam Ahmad ibn Isa di Husaisah adalah
makam palsu, karena beberapa alasan. Pertama, dalam kitab Qiladah
al-Nahr disebutkan dua pendapat mengenai
makam Ahmad ibn Isa: pendapat pertama mengatakan bahwa ia wafat dan
dimakamkan di Husaisah, dan pendapat kedua mengatakan bahwa ia wafat di Qarah
Jasyib.
Kedua, makam al-Muhajir hanya diketahui berdasarkan naskah yang
menyatakan bahwa ia memang dimakamkan di Husaisah . Makam itu sebenarnya barn
dibangun pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah dan ditetapkan sebagai makam Ahmad
ibn Isa berdasarakan ijtihad.
Dalam kitab al-Jawhar al-Syafiif ,
al-Khathib menuliskan :
"Sayidina Ahmad ibn Isa (pendapat pertama)
wafat di Husaisah . Dan terlihat pada lokasi yang ditunjukkan bahwa kubur
al-Syarif [Ahmad ibn Isa] terdapat cahaya yang agung. Dan guru kami, al-Arif
Billah Abdurrahman ibn Syaikh Muhammad ibn Ali Alawi, berziarah ke tempat itu.
Pendapat lain menyatakan bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb."318
Dari
tulisan di atas dapat diperoleh beberapa informasi bahwa pendapat pertama
Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat di Husaisah dan pendapat kedua ia wafat di
Qarah Jusyayb. Antara Husaisah dan Qarah Jusyayb berjarak kira-kira 3
kilometer, bukan 850 kilometer seperti yang disebutkan oleh Imad. Qarah
Jusyayb berdekatan dengan Kota Bor. Dalam kutipan di atas, hanya dikatakan
bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, bukan dimakamkan di sana. Jadi, meskipun
seandainya pendapat kedua benar, yakni bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, Ahmad
ibn Isa tetap dimakamkan di Husaisah . Tidak ada perbedaan pendapat mengenai
hal ini.
Makam Ahmad ibn Isa al-Muhajir bukanlah makam barn yang dibangun
pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Qillidah
al-Nahr, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Ali Alawi adalah seorang 'lirif billlih.
Ia melihat cahaya terpancar dari wilayah makam Ahmad ibn Isa al Muhajir.
Pancaran cahaya itu sebagai isyarat bahwa al-Muhajir adalah seorang yang agung
dan mulia di sisi Allah Swt. Cahaya yang terpancar bukanlah
syarat penemuan lokasi kuburan tetapi isyarat kemuliaan yang
terdapat pada penghuni makam itu. Jadi, bukan karena melihat cahaya itu
kemudian di sana dibangun makam, melainkan cahaya itu memancar dari kawasan
makam yang sudah dikenal masyarakat sejak lama. Itu dua hal yang sangat
berbeda tetapi tidak dapat dipahami oleh Imaduddin dan para pengikutnya .
Pernyataan
Imaduddin bahwa makam al-Muhajir adalah makam palsu hanya didasarkan atas
tulisan Ahmad ibn Hasan al-Muallim dan al-Janadi. Kesimpulan Imaduddin itu
serampangan dan hanya mencocok-cocokkan . Sebab, kedua penulis itu (al-Muallim
dan al-Janadi) tidak mencatat seluruh kuburan di negeri Yaman . Keduanya hanya
bertutur tentang kuburan yang berada di Kota Shana'a, bagian utara Yaman,
sedangkan Husaisah berada di Hadramaut, bagian selatan Yaman. Jarak antara
keduanya kira-kira 600 Km. Dapat dibayangkan, betapa sulit kondisi yang hams
ditempuh pada masa itu jika seseorang mencatat dan menceritakan semua kuburan
yang berada di seluruh Yaman .
Imaduddin menyatakan bahwa makam Ahmad ibn
Isa al-Muhajir itu barn diketahui 602 tahun setelah wafatnya dan, karenanya,
makam itu palsu. Jika pengambilan kesimpulannya seperti itu, lalu bagaimana
dengan makam Siti Aminah ibunda Nabi Saw. yang terletak di atas bukit di Desa
Abwa yang tidak diketahui lokasinya, dan barn diketahui 1.400 tahun kemudian
setelah wafatnya, itu pun hanya perkiraan . Pertanyaannya, apakah makam itu
sudah dikenal sejak Siti Aminah wafat? Sumber sezaman apa yang bisa memberi
kesaksian bahwa benar Siti Aminah ibunda Nabi Saw. dimakamkan di Abwa? Jika
pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah
makam Siti Aminah itu palsu dan bahwa Siti Aminah ibunda Nabi Saw. adalah
tokoh fiktif?
Bagaimana pula dengan makam Jamaluddin Husain al-Akbar atau
Syaikh Jumadil Kubro? Makam yang kemudian diyakini sebagai makam keramat itu
ditetapkan berdasarkan pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), yang meyakini bahwa makam Sayid Jamaluddin Akbar berada di
Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan. Sumber lain menyatakan bahwa satu-satunya
makam yang diyakini umum sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro adalah makam
yang terletak Tralaya di Kabupaten Mojokerto.319 Makam Syaikh
Jumadil Kubro barn diketahui 600 tahun setelah wafatnya . Pertanyaannya,
apakah makam itu sudah dikenal sejak Syaikh Jumadil Kubro wafat? Sumber
sezaman apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Syaikh
Jumadil Kubro dimakamkan di Wajo atau di Mojokerto? Jika
pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah
makam itu palsu dan Syaikh Jumadil Kubro adalah tokoh fiktif? Seperti itulah
kerusakan pola pikir Imaduddin dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi .
Jika metode pengambilan Kesimpulan yang digunakan Imaduddin itu diterapkan
pada fakta-fakta sejarah lain, akan rusaklah berbagai fakta historis yang
selama ini dikenal oleh masyarakat .
KEENAM Melakukan
Kebohongan Publik
Dalam penelitian ilmiah, kejujuran adalah
segala-galanya . Seorang ilmuwan atau peneliti yang terbukti tidak jujur,
pasti akan kehilangan integritasnya . Jika penelitian
dilakukan secara tidak jujur maka
hasilnya
akan menyesatkan orang lain dan juga bisa menyesatkan kesimpulan si peneliti
itu sendiri. Terkait dengan kejujuran ilmiah ini, Imaduddin dan para
pengikutnya banyak melakukan kebohongan publik. Akibatnya, Imaduddin
terperosok dalam penyimpangan hasil penelitiannya . Lebih jauh, ia juga
menyesatkan banyak orang, terutama kalangan awam. Berikut ini beberapa
kebohongan publik yang dilakukan oleh Imaduddin dan para pengikutnya .
A.
Catatan Nasab Ba'alawi Terputus 550 Tahun
Dalam berbagai kesempatan
Imaduddin selalu mendengungkan bahwa catatan nasab Ba'alawi terputus 550 tahun
. Untuk menjawab tuduhan Imaduddin ini sebenarnya tidak dibutuhkan penjelasan
panjang lebar. Dengan membaca Bab I, Pasal 3, yang banyak bertutur tentang
nasab Ba'alawi dari sebelum tahun 900 H, pembaca bisa mengambil kesimpulan
bahwa tuduhan Imaduddin benar-benar merupakan kebohongan publik yang
terus-menerus didengungkan oleh Imaduddin dengan penuh kesadaran dan
kesengajaan.
B. Mufti Yaman Membatalkan Nasab
Ba'alawi
Imaduddin melontarkan tuduhan lain, yaitu bahwa Mufti Yaman,
Syamsyuddin ibn Syarafuddin dari kalangan Zaidiyyah membatalkan nasab
Ba'alawi. Tetapi kemudian terbukti bahwa tuduhan ini juga merupakan
pembohongan publik. Fakta ini menunjukkan bahwa Imaduddin tidak melakukan
proses validasi informasi yang memadai sebelum menyebarkan tuduhan dan
fitnahnya.
Kabar dusta itu didapatkan oleh Imaduddin dari satu situs yang
tidak otoritatif . Pada 1443 H/2021 M situs itu menyuguhkan berita bahwa Mufti
Yaman, Syamsuddin Syarafuddin, membatalkan 21 marga, dan delapan di antaranya
adalah wangsa Ba'alawi . Silakan lihat link https://voicnews .com/
new/374149.
Kenyataannya, sejak tahun 2020 kemuftian Yaman telah merilis
berita di situs resmi yang menyatakan bahwa kemuftian Yaman dan Mufti Yaman
(Syamsuddin Syarafuddin) tidak memiliki akun media sosial apa pun. Seluruh
informasi resmi kemuftian Yaman disampaikan dalam situs resmi https ://
yemenscholars .com/.
Keputusan resmi bahwa kemuftian Yaman dan Mufti
Yaman tidak memiliki akun media sosial dapat diakses di berita berikut:
https://yemenscholars . com/articles/1380 dan https://yemenscholars
.com/articles/1203 . Berikut kami tampilkan qarar (keputusan resminya) :
Akun-akun
yang mengatasnamakan Syamsuddin Syarafuddin dan akun yang berisi informasi
tentang batalnya 21 wangsa Asyraf (termasuk Ba'alawi) dipastikan kepalsuannya
oleh Abdussalam Syarafuddin (anak Mufti Yaman). Pada 16 Mei 2024 Gus Rumail
Abbas menghubunginya langsung dan kemudian Abdussalam mengunggah video
pernyataan ayahnya, Mufti Syamsuddin Syarafuddin. Dalam video tersebut
al-Mufti memastikan bahwa pembatalan nasab kabilah-kabilah Asyraf yang
dinisbahkan kepadanya adalah dusta dan fitnah. Simak videonya dalam link
berikut :
https://wwW.facebook.com/permalink.php?story
_fbid=pfbidOXTCHtX5m
vDzRFDdaQxSygNGgaBJ3PQV8aEKWK3jLHSx9GqMVcVo5SYJ98M6WJCHx
l&id=61556672620640 .
Pernyataan itu
dikuatkan lagi melalui khutbah Jumat yang ia sampaikan di al-Jami'
al-Kabir Shana'a pada 29 Dzulhijjah 1445 H. Mufti Syamsuddin ibn Syarafuddin
menyatakan bahwa informasi yang menyatakan dirinya meragukan keluarga
Hasyimiyyah Hadramiyyah Muhdhariyyah (Ba'alawi) adalah fitnah dan dusta. Ia
juga menegaskan betapa besar dosa al-tha'nufi al-ansab (menyerang nasab orang
lain).
Sebaliknya, mufti dan para imam Yaman dari kalangan
Zaidiyyah, sejak ratusan tahun silam telah mengakui dan mengisbat bahwa
Ubaidillah adalah putra Ahmad ibn Isa. Mufti jauh sebelum Syamsuddin, yaitu
al-Imam al Mutawakkil 'Alallah Yahya ibn Syarafuddin ibn al-Mahdi al-Hasani
(877-965 H) menyatakan dalam tsabat (kumpulan sanadnya):
Dalam
tsabat-nya tersebut al-Mutawakkil 'Alallah lebih dari sepuluh kali menyebutkan
bahwa gurunya, yaitu al-Sayid Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid adalah cucu
Jadid ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa. Bahkan, dalam kutipan di atas ia
dengan jelas menyambungkan nasab Ubaidillah kepada al Muhajir Ahmad ibn Isa,
dst.
Setelah segala fakta yang terang benderang ini, Imaduddin dkk.
tetap ngotot menyebarkan kebohongan publik bahwa Mufti Yaman Syamsuddin ibn
Syarafudin membatalkan nasab Ba'alawi hanya berdasarkan berita dari sebuah
akun palsu di Facebook. Pembaca bisa membayangkan, Imaduddin gagal total
bahkan hanya untuk memeriksa validasi satu informasi di media sosial. Jadi,
bagaimana mungkin ia bisa memeriksa validasi informasi tentang Ubaidillah ibn
Ahmad yang berjarak 1.000 tahun silam?
C.
Ba'alawi Tidak Diakui oleh Naqabah Asyraf Internasional
Imaduddin dan
para pengikutnya selalu mengampanyekan bahwa naqabah
(komunitas resmi yang menaungi para S<idah/ Asyr<if) internasional
membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Itu adalah kebohongan publik yang nyata.
Sebab, kenyataannya, tidak ada satu pun naqabah asyr<if resmi di dunia ini
yang membatalkan nasab S<idah Ba'alawi .
Imaduddin dan kelompoknya
menyatakan bahwa naqabah internasional membatalkan nasab Ba'alawi. Namun,
mereka tidak pernah menyebutkan sekali pun naqabah Asyr<if mana yang
membatalkannya . Mereka sekadar melemparkan isu secara tidak bertanggung jawab
. Rasulullah Saw. bersabda, "Bukti wajib didatangkan oleh penuduh ." (HR
al-Baihaqi) .
Satu-satunya pihak yang disebutkan oleh kelompok Imaduddin
adalah naqabah blogspot yang dikelola oleh seorang pelarian politik asal Irak
bernama Yasin al-Kalidar. Naqabah-naqabah asyr<if internasional yang resmi,
baik di Maroko, Aljazair, Libya, Tunisia, Mesir, Yaman, Hijaz, Yordania, Irak,
Iran, Turki, Pakistan, dan negara-negara lainnya, tidak ada satu pun yang
membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Jangankan membatalkan, bahkan tidak ada satu
pun naqabah yang meragukan nasab Ba'alawi.
Naqabah
Al-Uraidhiyyun yang merupakan lembaga pencatat
nasab ke turunan Imam Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq bahkan
mencatat Sadah Ba'alawi sebagai bagian dari keturunan Imam Ali al-'Uraidhi ibn
Ja'far al-Shadiq. Salah satu bukti pendukung mengenai hal ini kami lampirkan
pada akhir Pasal 1Bab II. Seorang pelajar Indonesia di Mesir, Muhammad Yasin
Rahmatullah, seperti ditulis di laman Facebook
resminya,321 berinisiatif melakukan tabayyun ke
kantor
Naqabah Asyraf Mesir. Dia menulis:
"Hari ini (Kamis) kami
berkunjung kembali ke Naqabah dalam rangka istifadah yang lebih mendetail
tentang Sadah Ba'alawi, seperti sebelumnya kami dipertemukan dengan Muqarrir
Lajnah Tahqiq Ans<ib, Syarif Ahmad Yahya.
Kemudian kami
memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, apakah pada masa-masa dulu pernah
terjadi khilaf tentang status Sadah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait?
Ia
langsung menjawab: "Tidak pernah ."
Setelah itu kami akhiri pembicaraan .
Kami mohon pamit seraya meminta doa kepadanya untuk kami. (Syaikh Syarif Ahmad
Yahya adalah seorang syarif .)
Kami juga mendapatkan kabar dari seorang
teman yang belajar di Iran, yaitu Firmansyah Djibran El'Razy bahwa naqabah
Iran juga berpandangan seperti itu (mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul
Bait). Lebih jauh, naqabah di Iran itu juga mengungkapkan bahwa semua naqabah
di Timur
Tengah sepakat dan mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul
Bait.
Gambar Muhammad Yasin Rahmatullah saat berkunjung ke Naqabah
Asyraf Mesir.
Gambar Kantor Naqabah Asyraf Mesir
Ketika
Muhammad Yasin Rahmatullah berkunjung ke naqabah Asyraf Mesir diperlihatkan
kepadanya kitab rujukan Naqabah Asyraf Mesir, Mausu'ah Ali Bayt al-Nabawi,
yang di dalamnya tercatat nasab S<idah Ba'alawi. Berikut tampilan
halamannya :
Selain itu, tokoh Asyraf Hijaz yaitu Sayid Anas
al-Kutbi juga mengakui
S<idah Ba'alawi. Bahkan ia menulis sebuah
artikel khusus tentang Sadah Ba'alawi yang dijuduli "S<idah Ba'alawi
Laksana Mutiara yang Bertebaran di Lautan Keluarga Rasulullah Saw.''. Dalam
artikel itu itu ia menceritakan keutamaan dan kemasyhuran Sadah Ba'alawi,
serta menyebutkan marga-marga Ba'alawi .322 Keterangan tentang keabsahan nasab
Ba'alawi juga banyak dimuat dalam www. al-Amir .com yang merupakan situs resmi
komunitas Asyraf Hijaz yang konsen dalam bidang nasab. Tidak hanya itu,
sejarah juga mencatat bahwa para tokoh S<idah Ba'alawi banyak yang diangkat
menjadi naqib (kepala suku) para Asyraf di Hijaz (Makkah, Madinah, dan
sekitarnya). Padahal di Hijaz ada banyak sadah dari beberapa jalur keturunan
al-Imam Hasan dan Husain, bahkan banyak di antara mereka yang dikenal sebagai
ahli nasab. Jika keabsahan Nasab Ba'alawi diragukan, mereka tidak mungkin
diangkat menjadi naqib hingga berkali-kali di Hijaz, kawasan yang dihuni oleh
banyak s<idah dari jalur yang beragam. Berikut ini beberapa nama naqib
Asyraf Hijaz dari wangsa Ba'alawi :
Di Makkah:
1.
Sayid Muhammad ibn Muhsin Al-Attas, tahun 1243 H
2.
Sayid Ishaq ibn Aqil
3. Sayid Abdullah ibn Aqil, tahun
1267 H
4. Sayid Alwi ibn Ahmad al-Segaf, Mufti Makkah.
Diangkat menjadi naqib pada 1314 H. Ia juga dikenal sebagai penulis kitab
Tarsyih al-Mustafidin, kitab fikih yang dipakai oleh para ulama Nahdhiyyin di
Indonesia.
Di Madinah :
1. Sayid Muhammad
Jamalullail, tahun 1283 H 2. Sayid Muhammad Ba Faqih, 1286
H
3. Sayid Ali Alhabsyi, tahun 1315 H
4.
Sayid Alwi Bafaqih, 1315 H
5. Sayid Abdullah
Jamalullail 323
Naqabah Asyraf Irak, dan Naqabah Lebanon juga
mengakui S<idah Ba'alawi, sebagaimana tertulis pada laman Facebook resminya
yang menyebutkan nama nama marga S<idah Ba'alawi .324
Pada tahun
2005-an, ada pertemuan sejumlah Naqabah Asyraf dan berbagai lembaga resmi
pencatat nasab internasional di Libya. Dalam kesempatan itu al Rabithah
al-Alawiyyah turut hadir diwakili Alm. Habib Zein ibn Umar ibn Smith (Ketua
Umum al-Rabithah al-Alawiyyah), Alm . Habib Kazhim al-Hiyed, dan Habib
Abdurrahman Bashurrah (Ketua Maktab Daimi). Beberapa saat setelah pertemuan
tersebut ada beberapa sampel nasab yang divalidasi keabsahannya bersama-sama
dan ditandatangani oleh para pimpinan lembaga dan naqabah dari berbagai
negara. Di antaranya adalah nasab salah seorang S<idah Ba'alawi. Berikut
ini pindaian sertifikat yang asli:
Yusuf Jamalullail, dll.
Tidak
hanya itu, pengakuan terhadap S<idah Ba'alawi bukan hanya datang dari
naqabah. Pengakuan resmi juga datang dari negara tempat S<idah Ba'alawi
menetap. Imam Yaman, Syaikh Yahya Hamiduddin dalam surat maklumatnya secara
resmi mengakui nasab S<idah Ba'alawi. Berikut ini salinan dokumennya:
Pengakuan
resmi lainnya disampaikan oleh pemerintah al-Kuwaitiyyah dan al-Katsiriyyah
Hadramaut Yaman Selatan pada 1351 H. Keduanya memberikan penjelasan resmi
tentang keabsahan nasab S<idah Ba'alawi di Hadramaut. Bahkan, keduanya
mengakui peran penting S<idah Ba'alawi dalam lintasan sejarah. Pengakuan
dan penjelasan resmi itu sebagai jawaban atas berkembangnya desas-desus dari
komunitas al-Irsyad-yang berhaluan Salafi Wahabi-di Pulau Jawa yang
mempermasalahkan S<idah Ba'alawi . Namun, pertentangan dan
kesalahpahaman antara S<idah Ba'alawi dan al-Irsyad di Jawa itu tidak
berlangsung lama. Kedua kelompok itu kembali bergandengan resmi tersebut yang
diambil dari Pusat Arsip Nasional Hadramaut di Kota Sewun, beserta transkrip
dan terjemahnya :
(Menampakkan Kebenaran)
[Dokumen ini
diterbitkan] M engingat apa yang terjadi beberapa tahun terak hir di diaspora
(di Jawa), yaitu berkembangnya provokasi yang memalukan terhadap para Sadah
Hadhrami Alawiyyin yang telah tinggal di Hadramaut selama lebih dari seribu
tahun dan memiliki reputasi tertinggi dalam penyebaran ilmu pengetahuan serta
berbagai kemuliaan di negara tercinta ini. Dan mereka ini masih dan akan terus
mengorbankan jiwa serta harta berharga mereka untuk menyebarkan berbagai hal
yang membawa manfaat dan kebaikan bagi negara. M ereka juga senantiasa
menyebarkan nasihat dan ketulusan sebagaimana telah kita lihat kepada
pemerintahan Qu'aithiah dan Kathiriah . Semua itu mendorong kita untuk
mencintai dan mendukung mereka dengan segala kehormatan harga diri mereka dan
keagungan garis keturunan mereka. Dan betapa besar jasa khusus dan umum yang
mereka persembahkan kepada tanah air kita tercinta.
M engingat apa
yang telah kita sak sikan selama beberapa tahun, dengan beberapa
orang yang mencemarkan nama baik
mereka, menyerang garis keturunan mereka yang sahih, dan menuduh
mereka dengan tuduhan yang batil dan fitnah palsu. Sebagai bentuk pembelaan
terhadap kebenaran, dukungan terhadap kenyataan, dan rasa terima kasih, kami
melihat bahwa kami harus mengumumkan secara resmi bahwa mereka adalah
Sadah Alawiyah yang dikenal oleh para pendahulu kami dan kami mengenal mereka
setelah pendahulu kami. Kami dan mereka berjalan bahu-membahu serta
berdampingan bertahun tahun dan pada tempo yang panjang dalam damai, rukun,
ikhlas, dan saling mencintai. M ereka adalah panji putih perdamaian di negara
kita dan pembawa pesan keamanan dan perbaikan di dalamnya. M ereka adalah
satu-satunya yang menyandang gelar "sayid" yang sesung guhnya karena sahnya
nasab mereka kepada Rasulullah . M aka, tidak boleh bagi siapa pun menyandang
gelar "Sayid" di antara orang Hadramaut selama belum sah nasabnya kepada
Rasulullah Saw. Nasab yang didukung oleh pohon- pohon silsilah yang ditulis
dengan pena para ahli nasab yang dapat dipercaya .
Sebagai penutup, kami
mengarahkan surat kami ini kepada semua orang yang mempunyai perkataan yang
efektif atau pengaruh yang efektif , dengan harapan dapat membantu
memadamkanfitnah yang berkobar dan kegaduhan tak berguna yang merugikan
masyarakat, serta berupaya memulihkan ketenangan dan kedamaian. Ditulis pada
tanggal 25 M uharram 1351 H.
(Pusat Arsip Nasional Sewun)
Karenanya,
tidak mengherankan jika salah seorang Mufti Hadramaut dari kalangan
masy<iyik h (bukan S<idah), yaitu Syaikh Ali ibn Salim Sa'id Bukair
Baghaitsan, dalam salah satu wawancaranya dengan televisi mengatakan bahwa
nasab S<idah Ba'alawi adalah salah satu nasab yang paling kuat. Lebih jauh
ia mengatakan, "Siapa saja yang ingin meragukan atau berusaha mendustakan
nasab S<idah Ba'alawi, niscaya ia akan merasa kelelahan dan kesulitan
sendiri."325
Jika Anda membaca uraian kami pada Bab 1 dengan cermat
dan saksama, Anda pasti akan menemukan bahwa pengakuan dan penerimaan terhadap
nasab Ba'alawi telah muncul sejak berabad-abad silam dari para ulama yang
menetap di berbagai belahan dunia, mulai dari Yaman, Hijaz, Mesir, Syam, Irak,
Iran, Maroko sampai di Nusantara .
Dari berbagai data yang kami sajikan
di atas, pembaca dapat menyimpulkan bahwa isu nasab Ba'alawi tidak diakui oleh
naqabah internasional adalah hoaks atau kebohongan yang nyata. Faktanya, nasab
Ba'alawi diakui dunia Islam internasional dari masa ke masa. Semua itu
membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh kelompok Imaduddin adalah
fitnah belaka. Mereka sama sekali tidak memiliki data kecuali cerita-cerita
rekaan atau hoaks yang disebarkan semata-mata untuk mengelabui
masyarakat awam.
D. Al-Turbani Membatalkan
Nasab Ba'alawi
Dusta lain yang dilakukan dan disebarkan Imaduddin adalah
bahwa al Turbani membatalkan nasab Ba'alawi . Imaduddin berulang-ulang
menyebarkan pendapat lama Syaikh al-Turbani, padahal pendapat itu telah
direvisi atau dikoreksi. Salah seorang rekan kami telah berkomunikasi dengan
Syaikh al Turbani melalui laman Facebook resminya . Syaikh al-Turbani
menyatakan bahwa ia meralat dan membatalkan pendapatnya yang lama. Ia meralat
pendapatnya itu karena telah menemukan banyak dalil tentang kesahihan nasab
S<idah Ba'alawi. Pada era digital seperti saat ini, kita bisa dengan sangat
mudah melakukan konfirmasi atau validasi pandangan atau pendapat seseorang
yang aktif di media sosial. Sayangnya, Imaduddin tidak melakukan langkah
konfirmasi ini. Alih-alih, ia justru terns menebarkan kebohongan publik.
Berikut ini kami tampilkan tangkapan layar percakapan rekan kami dengan Syaikh
al-Turbani:
episode kedua: https:/ /youtu.be/w83YNPa3U04
?si=b6uywAKs4GeWuelD.
E. Menyebut Tulisannya
tentang Pembatalan Nasab Ba'alawi sebagai Tesis
Dalam berbagai kesempatan
Imaduddin kerap mengeklaim bahwa tulisannya tentang pembatalan nasab Bani
Alawi merupakan tesis, benarkah klaim tersebut?
Secara bahasa
(etimologi), dalam KBBI disebutkan, arti tesis adalah: (1) n pernyataan atau
teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karangan; untuk
mendapatkan gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. (2)
karangan ilmiah yang ditulis untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada
suatu universitas (perguruan tinggi); disertasi.
Adapun pengertian
secara istilah (terminologi), tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung
oleh argumen yang dikemukakan dalam karya tulis ilmiah, untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. Tesis juga dapat berarti sebuah tugas
akhir seorang mahasiswa berupa karya tulis ilmiah resmi.326
Merujuk pada
pengertian di atas, tulisan Imaduddin tentang pembatalan nasab Ba'alawi tidak
bisa disebut tesis baik secara etimologi ataupun terminologi. Sebab, karya
tulis itu tidak disusun dan diujikan secara akademik di perguruan tinggi. Ia
tidak lebih dari sebuah makalah yang bisa ditulis oleh siapa saja dan dimuat
di mana saja tanpa membutuhkan pertanggungjawaban serta standar ilmiah yang
jelas . Maka, gembar-gembor Imaduddin dan kawan kawannya yang selalu menyebut
makalah Imaduddin sebagai tesis hanyalah pembohongan publik.
KETUJUH
Menjiplak Pemikiran Orientalis dan Tokoh Non-Aswaja
A.
Menggunakan Teori Orientalis untuk Membatalkan Nasab Ba'alawi
Berdasarkan
petunjuk hadis-hadis Rasulullah Saw. dan pendapat para ulama, ditetapkanlah
suatu metode yang universal, telah teruji, dan masuk akal untuk menetapkan
nasab seseorang atau suatu kaum yaitu dengan syuhrah dan istifcidhah atau
tasamu. Inilah metode penetapan nasab yang dilakukan oleh ulama ahli nasab
berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. dan para ulama mazhab. Metode penetapan
nasab yang dilakukan oleh ahli nasab ini tidak bertentangan dengan metode para
ahli fikih. Sebab, penetapan ahli nasab dan ahli fikih berasal dari sumber
yang sama yaitu sunnah Rasulullah Saw.
Lalu, bagaimana dengan metode
konfirmasi melalui kitab sezaman untuk mengonfirmasi nasab-nasab lama? Tidak
ada satu pun teori, kitab ilmu nasab atau pendapat ahli nasab yang mengakui
adanya metode konfirmasi melalui kitab sezaman. Jika metode "konfirmasi kitab
sezaman" ini telah digunakan secara universal oleh para ahli nasab maka tentu
kita bisa dengan mudah menemukan teorinya serta sumber rujukan yang
mendukungnya, atau ulama ahli fikih dan ahli nasab yang menggunakannya . Kita
juga bisa menemukan dengan mudah kapan metode
itu mulai digunakan dan untuk menganalisis nasab
siapa, dan apakah metode itu dilandasi oleh dalil-dalil Al-Qur'an, Sunnah,
atau pendapat ulama mazhab.
Selanjutnya, jika Imaduddin bersikukuh
menggunakan metode konfirmasi melalui kitab sezaman, ia juga hams melakukan
pembuktian terbalik. Ia hams memberikan kitab-kitab sezaman yang menolak
Ubaidillah sebagai anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Dapat dipastikan, ia tidak
akan bisa menunjukkan kitab kitab itu. Sama halnya, iajuga tidak akan
mampu menunjukkan kekokohan teori konfirmasi melalui kitab sezaman.
Penggunaan
metode kehamsan kitab sezaman untuk menetapkan nasab tidak dikenal dalam
sejarah Islam. Sebaliknya, menggunakan kitab sezaman untuk menetapkan
kesahihan suatu nasab dapat dikatakan sebagai usaha keji untuk
memntuhkan sendi-sendi Islam. Cara itu akan memutus sanad keilmuan antara
ulama Bani Alawi dan para ulama Nusantara . Cara seperti inilah yang dilakukan
oleh seorang orientalis dari wangsa Yahudi, Ignaz Goldziher yang
meragukan keaslian atau kebenaran (otentisitas) hadis-hadis dalam
Shah_ih Buk h<iri . Dia adalah orang yang pertama kali menggunakan metode
kitab sezaman untuk memntuhkan sendi-sendi Islam dari sisi hadis. Menumtnya,
hadis-hadis itu mempakan hasil rekaan (fabrikasi) generasi-generasi setelah
Nabi. Ia menguatkan kesimpulannya dengan alasan bahwa kodifikasi hadis
dilakukan jauh setelah Nabi wafat. Tidak ada satu pun dokumen tertulis dari
masa Nabi Muhammad Saw. hidup yang bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad
Saw. Selain itu, menumtnya, hadis lebih mengandalkan tradisi lisan
sehingga otentisitasnya diragukan.327
Lebih jauh, dengan metodenya
itu Goldziher menilai bahwa kekacauan dan inkonsisten teks Al-Qur'an
(perbedaan pola bacaan Al-Qur'an) tidak ditemukan dalam kitab-kitab terdahulu
yang ia teliti. Melalui analisisnya ini ia bemsaha menanamkan keraguan di hati
banyak orang mengenai kemutawatiran dan orisinalitas
Al-Qur'an. Langkah seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Imaduddin si
pemecah belah umat zaman ini. Ia bersikukuh membatalkan nasab Bani
Alawi dan bahwa nasab itu tidak tersambung kepada Rasulullah Saw. hanya karena
tidak ada pada kitab-kitab sezaman yang dibacanya. Maka, ada dua pilihan bagi
umat Islam, apakah akan berpegang teguh kepada metode penetapan nasab
berdasarkan syariat Islam ataukah mengikuti metode bid'ah yang digunakan oleh
orientalis Yahudi dan kemudian diadopsi oleh Imaduddin dari Kresek Banten?
Teori
yang digunakan oleh Imaduddin ini disebut
juga Argumentum Ex Silentio, yaitu menolak sesuatu jika tidak ada
landasan dokumen berupa catatan sezaman pada masa lalu. Pendekatan yang
digunakan Goldziher ini mirip dengan pendekatan yang digunakan oleh
Joseph Schacht ketika menolak validitas hadis riwayat Imam Bukhari karena
hadis itu tidak ditemukan dalam kitab hadis yang lebih tua seperti M ushannaf
Abdur Razzaq . Karenanya, sangat aneh jika Imaduddin justru menerima logika
orientalis untuk membenarkan dan mendukung hipotesisnya serta menolak teori
yang dipergunakan oleh para ulama.
Mengandalkan argumentum ex silentio
sebagai dasar penolakan adalah langkah yang sangat bermasalah, terutama dalam
konteks ilmu nasab dan sejarah Islam. Tidak adanya dokumen bukan berarti tidak
adanya fakta. Banyak informasi sejarah yang mungkin tidak terdokumentasi
tetapi tetap sahih dan diterima melalui tradisi lisan yang kuat. Menerima dan
mengadopsi pendekatan argumentum ex silentio hanya menunjukkan kelemahan
seseorang dalam memahami dan menghargai metodologi syar'i yang telah diakui
oleh para ulama selama berabad-abad .
B.
Menyontek Sebagian Tokoh Wahabi
Imaduddin dan para pengikutnya
terus-menerus berkampanye bahwa pembatalan nasab Ba'alawi adalah temuannya .
Padahal kenyataannya, catatan dan penjelasan Imaduddin itu hanyalah plagiasi
atau sontekan dari beberapa tokoh Wahabi Timur Tengah, yang belasan tahun
silam menulis makalah untuk membatalkan nasab sadah Ba'alawi. Imaduddin hanya
melakukan sedikit perubahan dan pengembangan pada tulisan-tulisan yang disusun
oleh kaum Wahabi. Berikut ini beberapa catatan mereka.
1.
Murad Syukri
Murad Syukri, seorang Wahabi asal Yordania yang juga pernah
nyantri kepada Syaikh al-Albani, dalam situs al-Syibami menulis sebuah
artikel yang dimuat pada 12 Juli 2008 tentang terputusnya nasab Sadah Ba'alawi
kepada Rasulullah Saw. Setelah panjang lebar menguraikan hal tersebut di akhir
tulisannya ia mengatakan, bukan hanya Ba'alawi yang mengaku-ngaku sebagai
keturunan Rasulullah Saw. Banyak kaum sufi yang gemar mengaku-ngaku sebagai
ke turunan Rasulullah Saw., termasuk Sayid Ahmad al-Rifa'i, Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani dan Syaikh al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdadi (Sayyidu
al-Thaifah). Artikel Murad Syukri ini sudah dikuliti dan dipatahkan oleh
al-Muhaddits Hasan ibn Ali al-Segaf (penulis Tanaqudhat al-Albani) dalam
kitabnya al-Radd al-Mufahhim al-Mubayyin 'ala' Murad Syukri Dzanb
al-Mutamassilin dan al 'Allamah al-Sayid Abu Laits al-Kattani dalam kitabnya
al-Samm al-Zur'af .
2. Audah al-Aqili
Seorang
beraliran Salafi Wahabi asal Mesir bernama Audah al-Aqili menulis sebuah esai
berjudul al-Shufiyyah al-Khabitsah (Kaum Sufi yang Keji) dan dimuat pada 13
Desember 2009. Dalam tulisannya itu ia membatalkan nasab beberapa kabilah
Sadah, termasuk sadah Ba'alawi .328 Ia membatalkan nasab sadah Ba'alawi dengan
argumen yang didasarkan atas kitab al-Syajarah al Mubarakah. Pola
argumentasinya itu sangat mirip dengan pola argumentasi Imaduddin . Berikut
ini kami tampilkan sebagian tulisannya :
dalam memahami istilah "Ibnu al-'Am" yang dikenal di
kalangan Arab. Imaduddin mengambil kesimpulan sembrono dan
menganulir semua pohon nasab ('amud al-nasab) S<idah Aal Abi 'Alawi
yang disebutkan oleh para ulama. Kemudian dengan serampangan pula ia
menetapkan bahwa Ubadillah adalah anak Isa ibn Alwi yang ada di pohon nasab
al-Ahdal, bukan anak Ahmad ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib yang ada di pohon
nasab Ba'alawi . Ia melakukan semua itu semata-mata untuk mencocokkan bahwa
Ba'alawi dan al-Ahdal bersepupu langsung.
Dalam konsep
kekerabatan, anak paman dari pihak ayah I)
atau paman dari pihak ibu (JI), dalam bahasa
sehari-hari disebut "sepupu". Sebutan ini
disematkan kepada orang-orang yang
memiliki satu atau lebih kakek/nenek yang
sama. Namun, dalam bahasa umum, "sepupu"
biasanya berarti "sepupu pertama". Di
beberapa negara, "derajat" dan "jarak" antarsepupu
serta keturunan berikutnya digambarkan secara tepat dengan sebutan
tertentu . Misalnya, mereka menggunakan sebutan "sepupu pertama", "sepupu
kedua", dan "sepupu ketiga" menggambarkan "derajat" hubungan
sepupu. Dalam percakapan sehari-hari, kata
"sepupu" sering digunakan untuk arti lain, yang tidak terbatas dengan
tingkatan atau derajat. Pada dasarnya, istilah
"sepupu" diterapkan untuk kerabat tingkat pertama.
Namun, istilah "sepupu" juga digunakan untuk
merujuk pada semua jenis kerabat, seperti
kerabat tingkat pertama, kerabat tingkat kedua,
kerabat tingkat ketiga, dan seterusnya. Misalnya, Ibrahim Asmoro memiliki anak
bernama Sunan Ampel dan Maulana Ishak. Sunan Ampel memiliki anak bernama
Sunan Bonang, dan Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri.
Dengan demikian, Sunan Bonang dan Sunan
Giri adalah saudara sepupu tingkat pertama . Orang yang menggunakan
istilah "sepupu" hanya untuk kerabat tingkat pertama berarti ia tidak memahami
konsep tersebut. Sebab, Sunan Prapen yang merupakan anak Sunan
Giri
dapat juga disebut sepupu Sunan Bonang.
Dalam
Islam, sebutan sepupu telah digunakan pada
zaman Nabi Muhammad Saw. sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab hadis
maupun Bukhari berikut :
"Rasulullah Saw. datang ke rumah Fathimah,
beliau tidak menemukan Ali di rumah. Maka, Rasul berkata, 'Di mana anak
pamanmu?"' 293
Dalam kitab sejarah,
penggunaan sepupu tingkat pertama
dapat ditemukan dalam kitab Usud al-Gh<ibah karya Ibn Atsir.
"Abdullah
ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdu Manaf . Abu al-Abbas
al-Qurasyi al-Hasyimi, anak paman (sepupu) Rasulullah Saw., kunyah-nya
Ibn Abbas."294
Penggunaan istilah sepupu pada tingkat kedua dapat
ditemukan pada sahabat Nabi Saw. yang bernama Sa'd ibn Muaz dan anak paman
(sepupu) nya bernama Asyid ibn Hudhair, keduanya bertemu pada kakek yang
bernama Amra'i al-Qais ibn Zaid ibn Abdu al-Asyhal. Mereka masuk Islam di
tangan Mush'ab ibn Umair.295
Silsilah nasab keduanya sebagai
berikut.
Tingkat Amro'i al-Qais ibn Zaid ibn Abdu
al-Asyhal
Nu'man Utaik
1
Muaz Samak
2 Sa'd
Hudhair
3 Asid
Pada
abad ke-2 Hijriah istilah sepupu tidak saja digunakan untuk menyebut kerabat
tingkat pertama tetapi juga digunakan untuk menyebut kerabat jauh sampai
tingkat ke-6 . Ini misalnya ditemukan pada silsilah Nabi Muhammad Saw. dan
silsilah Harun al-Rasyid Khalifah kelima Bani Abbasiyah . Kedunya memiliki
kakek yang sama, yaitu Abdul Muthalib.
Tingkat
Abdul Muthalib
Abdullah Abbas
1
Muhammad Saw. Abdullah
2
Ali
3 Muhammad
4
Abdullah al-Manshur
5 Muhammad
al-Mahdi
6 Harun al-Rasyid
Dalam
kitab al-Umm karya Imam Syafi'i diceritakan dialog antara Imam Syafi'i dan
Khalifah Harun al-Rasyid. Dalam dialog tersebut Khalifah Harun al-Rasyid
menyatakan bahwa ia adalah sepupu Nabi Muhammad Saw.296
Pada abad
ke-3 Hijriah, istilah sepupu digunakan untuk menyebut kerabat tingkat
kesembilan. Ini misalnya ditemukan pada silsilah Nabi Muhammad Saw. dan
silsilah Imam Syafi'i, yang memiliki kakek yang sama, yaitu Abdu Manaf.
Tingkat
Abdi Manaf
Hasyim Muthalib
1
Abdul Muthalib Hasyim
2
Abdullah Abdu Yazid
3 Muhammad
Saw. Ubaid
4
Syaib
5 Syafi'
6
Utsman
7 Abbas
8
Idris
Dalam kitab Siy<ir A'tam al-Nubal<i karangan al-Dzahabi
dituliskan bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. meskipun Abdu
Manaf adalah kakek keempat bagi Rasulullah Saw. dan kakek kesepuluh bagi Imam
Syafi'i.z91
Ahmad Farid dalam kitab Min A'lam al-Salaf menjelaskan
bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. Nasab keduanya bertemu
pada Abdu Manaf . Rasulullah Saw. dari Bani Hasyim ibn Abdu Manaf dan Imam
Syafi'i dari Bani Muthalib ibn Abdi Manaf . Rasulullah Saw. bersabda, "Bani
Muththalib dan Bani Hasyim adalah satu."298
Diceritakan dalam kitab
al-Sayidah Najisah karangan Abu Alam bahwa jika Imam Syafi'i sakit, dia akan
mengutus sahabatnya kepada Sayidah Nafisah . Saat tiba, sang utusan akan
menyampaikan salam dan berkata, "Sungguh sepupumu (j,1), Syafi'i sedang sakit,
dan meminta doa kepadamu ." Kemudian, Sayidah Nafisah mendoakannya .299
Jadi,
bagaimanakah hubungan antara Bani Alawi
dan Bani Ahdal? Apakah keduanya bersepupu dan memiliki kakek yang
sama? Dalam kitab
Tuhfahal-Zaman dituliskan bahwa Bani Alawi dan Bani
Ahdal adalah saudara sepupu.30° Keduanya memiliki kakek yang sama, yaitu Imam
Ja'far al-Shadiq
ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain
ibn Ali ibn Abi Thalib. Bani Alawi memiliki kakek Ahmad ibn Isa ibn Muhammad
al-Naqib ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, sedangkan Bani Ahdal
memiliki kakek Muhammad ibn Himham ibn Aun ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far
al-Shadiq.301
Tingkat Imam Ja'far al-Shadiq
Ali al-'Uraidhi Musa al-Kazhim
1
Muhammad al-Naqib Aun
2 Isa
al-Rumi Himham
3 Ahmad
al-Muhajir Muhammad
Persoalan ini sudah
dijelaskan oleh al-Imam al-Syarji al-Zabidi dalam kitab Thabaq<it
al-Khaww<ish Ahli al-Shidqi wal Ikhlash. Ia mengatakan :
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa dalam pengertian dan penggunaan istilah umum, kata
"sepupu" digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama. Kemudian, seiring
perjalanan sejarah, kata "sepupu" tidak hanya digunakan untuk menyebut kerabat
tingkat pertama, tetapi meliputi kerabat yang lebihjauh lagi. Sebagai contoh,
pada masa Rasulullah Saw. kita mengenal penggunaan kata "sepupu" untuk
menyebut hubungan antara Rasulullah Saw. dan Imam Ali ibn Abi Thalib, atau
antara Rasulullah Saw. dan Abdullah ibn Abbas, dan lainnya. Kemudian pada abad
pertama, kedua, dan ketiga, kata "sepupu" dipergunakan lebih luas lagi untuk
menyebut kerabat tingkat ketiga. Misalnya, kata "sepupu" digunakan oleh
Khalifah Hamn al-Rasyid dan Imam Syafi'i. Keduanya menyebut diri mereka
sebagai sepupu Rasulullah Saw.
Istilah "saudara sepupu" dapat digunakan
jika kedua orang yang dimaksud memiliki kakek yang sama. Misalnya, Bani Alawi
dan Bani Ahdal adalah saudara sepupu karena keduanya memiliki kakek yang sama,
yaitu Imam Ja'far al-Shadiq . Lucunya, karena gagal memahami makna "Ibn al
'Am" dan tidak mau mencari penjelasan ulama, Imaduddin mengacak ngacak 'amud
al-nasab Ba'alawi yang disebutkan para ulama dan melakukan cocoklogi dengan
'amud al-nasab al-Ahdal. Tujuannya, ia ingin agar orang orang beranggapan
bahwa kakek Ba'alawi dan kakek al-Ahdal adalah saudara sepupu langsung yang
hijrah bersama. Kebencian Imaduddin kepada Ba'alawi membuatnya kehilangan akal
sehat sehingga tak mampu berpikir dan menganalisis dengan baik.
3.
Ahmad ibn Isa Tidak Hijrah ke Hadramaut
Imaduddin menyatakan bahwa tidak
ada satu pun kitab nasab dan sejarah yang ditulis pada masa yang sama atau
yang paling dekat dengan masa hidup Ahmad ibn Isa yang menyatakan atau
mendukung bahwa Ahmad ibn Isa pernah ke Hadramaut, apalagi hijrah untuk
menetap di sana. Menurutnya, kitab yang dijadikan rujukan seperti
al-Jawhar al-Syafiif karya Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H)
adalah kitab yang problematik, karena ditulis oleh orang yang sama sekali
tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Menurutnya, kitab
al-Jawhar al-Syafiif itu ditulis oleh Abdurrahman ibn Muhammad
al-Syaibani (w. 724 H). Kemudian, Imaduddin melontarkan tuduhan bahwa Ali ibn
Abu Bakar al-Sakran adalah orang yang pertama secara formal mengarang bahwa
Ahmad ibn Isa hijrah dari Bashrah ke Hadramaut .
Sejarah asal-usul habaib
bermula dari hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Bashrah ke
Hadramaut. Silsilahnya sebagai berikut: Ahmad al-Muhajir ibn Isa al-Rumi putra
Muhammad al-Naqib putra Al al-'Uraidhi putra Ja'far al-Shadiq putra Muhammad
al-Baqir putra Ali Zainal Abidin putra Husain putra Ali ibn Abi Thalib dan
Fathimah putri Rasulullah Saw. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dilahirkan di
Bashrah pada tahun 260 Hijriah .303
Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir
hijrah pada 317 Hijriah pada masa khalifah Abbasiyah al-Muqtadir Billah
bersama beberapa keluarganya :
1. Istrinya, Zainab
binti Abdullah ibn Hasan ibn Ali al-'Uraidhi;
2.
Anaknya, Abdullah yang dikenal dengan nama Ubaidillah beserta istri- nya,
Ummul Banin binti Muhammad ibn Isa;
3. Cucunya, Ismail
ibn Abdullah yang digelari Basri,
4. Kakek Bani Ahdal
al-Kazhimi;
5. Cucunya, Syarif Ahmad, kakek bani Qudaim
al-Kazhimi, dan;
6. Tujuh puluh orang pengikut serta
pembantunya, termasuk Ja'far ibn Abdullah al-Azadi, Mukhtar ibn Abdullah ibn
Sa'ad dan Suwayyah ibn Faraj al-Asfahani. 304
Imam al-Muhajir
hijrah dari Irak ke Hadramaut dengan tujuan untuk menyelamatkan agama dan
anak-anaknya dari fitnah. Sama halnya, anak keturunan Imam al-Muhajir
hijrah dan menyebar ke berbagai penjuru alam dengan tujuan untuk
menyelamatkan agama mereka dari fitnah, bukan karena alasan ekonomi atau yang
lainnya. Imam al-Muhajir hijrah ke Hadramaut berdasarkan isyarat dari sabda
Rasulullah Saw.: "Sungguh aku melihat, hijrahku ini ke negeri yang memiliki
banyak pohon kurma, yaitu Yatsrib atau Hadramaut." Perjalanan sejarah
menunjukkan bahwa Rasulullah hijrah ke Yatsrib sedangkan Imam al-Muhajir
hijrah ke Hadramaut.
Dalam kitab al-Burqah al-Musyiqah, Habib Ali ibn
Abubakar al-Sakran menjelaskan alasan kepindahan al-Muhajir dari Irak ke
Hadramaut, sebagai berikut:
"Karena kepindahannya (al-Muhajir) anak
cucunya selamat dari ke rusakan akidah, fitnah, dan bid'ah, serta penentangan
terhadap sunnah dan pengikutnya . Karena kepindahan tersebut mereka selamat
dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan syiah yang sangat buruk
yang saat itu melanda sebagian asynif (keturunan Nabi Saw.)."305
Al-Imam
Abdullah ibn Alwi al-Haddad menuturkan :
"Ketika bid'ah dan
kerusakan moral karena mengikuti hawa nafsu merajalela di Irak, muncul
pertentangan pendapat di Irak. Menghadapi situasi tersebut, Sayid Ahmad ibn
Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad
al-Baqir memutuskan untuk hijrah dari negeri itu dan mengembara hingga
akhirnya tiba di Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah
memberkati keturunannya sehingga banyak dari kalangan mereka yang menjadi ahli
ilmu, ahli ibadah, serta ahli wilayah dan makrifat. Golongan Ahlul Bait
diselamatkan dari bid'ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan merupakan
berkah dari Imam yang tepercaya. Ia telah menghindar dan membawa
agama dari jebakan fitnah."
Dalam perjalanan hijrah dari
Bashrah, Imam al-Muhajir menggunakan tiga ekor kuda dan
sepuluh ekor unta untuk membawa barang-barang berharga, termasuk emas dan
perak.306 Di antara anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir yang tidak ikut hijrah ke
Hadramaut adalah Muhammad. Mereka tetap tinggal di Bashrah untuk menjaga dan
memelihara harta serta kebun Imam al-Muhajir. Di antara keturunan Muhammad ibn
Ahmad al-Muhajir ini kemudian ada yang menetap di Mesir dan Syam.
Setibanya
di Hadramaut yang dikenal sebagai negeri Khawarij, Imam Ahmad ibn Isa
al-Muhajir singgah di Jubail yang penduduknya mengikuti paham Syiah,
lalu menetap beberapa lama di Hajrain yang penduduknya berpaham Sunni. Selama
tinggal di Hajrain, Imam al-Muhajir mengerahkan waktu dan hartanya untuk
berkeliling dan berdakwah dengan penyampaian yang lembut dan santun sehingga
banyak pengikut Khawarij yang bertobat dan menjadi pengikutnya .
Selain dengan metode dakwah yang lembut,
Imam al-Muhajir tak takut untuk berperang
melawan kaum Khawarij, seperti yang dilakukan di Bahran, daerah
antara Hajrain dan Desa Sadyah.307 Dalam perjalanan dakwahnya, Imam Ahmad ibn
Isa al-Muhajir mem
beli rumah, membuka desa dan lahan pertanian setiap
kali singgah di suatu daerah hingga tiba di Husaisah . Di kota itulah ia
kemudian menetap dan membeli sebidang tanah. Di Kawasan itu pulalah kelak
cucunya, yaitu Imam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir menggali dan
membuat sumur untuk warga. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada tahun 345
H dan dimakamkan di Husaisah .308
Tidak diperlukan
rujukan berupa kitab-kitab yang ditulis pada
masa Imam Ahmad al-Muhajir hidup untuk membuktikan bahwa ia dan keluarganya
telah hijrah dari Bashrah ke Hadramaut . Sama halnya, tidak diperlukan
kitab-kitab sezaman untuk membuktikan hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah
ke Madinah, atau hijrahnya kakek Walisongo, yaitu Jamaluddin Husain al-Akbar
dari Campa ke Indonesia. Kesahihan informasi tentang hijrahnya Imam Ahmad ibn
Isa al-Muhajir ke Hadramaut telah banyak dituliskan dalam
kitab-kitab sejarah, di antaranya kitab al
Jawhar al-Syafaf
fi Fadha'il wa Manaqib wa Karamat al-Sadah al-Asyraf
min Ali Abi 'Alawi
karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami (w.
855 H).
Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dikenal luas sebagai
ahli sejarah di Hadramaut . Silsilah nasabnya adalah Abu Muhammad Abdurrahman
ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (shiih_ib
al-wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Ia dilahirkan pada 795 Hijriah dan
wafat pada 855 Hijriah . Ia merupakan murid Syaikh Abdurrahman Assegaf ibn
Muhammad Maula Dawilah. Selain al Jawhar al-Syafaf , ia juga menulis
kitab-kitab lain, termasuk 'Iqd al-Barahin
al-Musyaraqah fi Manaqib
al-'Allamah al-Sayyid 'Abdullah 'Alaydrus al'Alawi. 309
Ada
beberapa perbedaan antara Abdurrahman ibn Muhammad yang disebutkan di atas
dengan Abdurrahman ibn Muhammad yang dibicarakan oleh Imad. Perbedaan pertama
dari sisi silsilah nasab. Urutan nasab orang pertama adalah: Abdurrahman ibn
Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail)
ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Sementara, silsilah nasab orang kedua
urutannya adalah: Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ahmad
al-Syaibani Bahissan al-Hadrami.
Perbedaan kedua adalah bahwa keduanya
tidak hidup sezaman. Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib lahir pada 795
Hijriah, sedangkan Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani wafat pada 724 Hijriah
. Artinya, ketika Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani
wafat, Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib belum lahir. Ada jarak waktu
71 tahun antara wafatnya Abdurrahman al-Syaibani dan lahirnya Abdurrahman
al-Khatib.
Karenanya, siapa saja yang ingin melakukan analisis dan
penelitian dalam bidang apa pun, termasuk dalam kajian nasab, semestinya ia
memiliki kemampuan untuk melakukan kritik atas sumber dan rujukan
yang dipergunakan sehingga ia mendapatkan data yang valid . Misalnya,
kesalahan sumber yang dilakukan Ismail Basya al-Babani dalam kitab Hadiyyat
al-'Arifin ketika mengutip nama Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman
sebagai pengarang kitab al-Jawhar al-Syafaf berdasarkan kitab Qiladah al-Nahr
karangan Bamakhramah . Dalam kitab Qiladah al-Nahr , Bamakhramah mengutip dari
kitab al-Jawhar al-Syafaf yang pengarangnya bernama Abdurrahman ibn
Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail)
ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari, bukan Abdurrahman ibn Muhammad ibn
Abdurrahman ibn Ahmad al-Syaibani Bahissan al-Hadrami. Kesalahan pengutipan
ini terjadi berulang-ulang seperti yang dilakukan oleh Umar Ridha Kahalah
dalam kitabnya, Mu)am al-Mu'aUifin.
Maka, keliru jika
ada yang menyimpulkan bahwa kedua kitab, yaitu
Hadiyy<it al-'Arifin dan Mu)am al-Mu'allifin, sama-sama sepakat mengatakan
bahwa penulis kitab al-Jawhar al-Syaf<if adalah Abdurrahman ibn Muhammad
ibn Abdurrahman yang wafat pada 724 Hijriah, bukan Abdurrahman ibn Muhammad
ibn Abdurrahman yang wafat pada 855 Hijriah . Kesimpulan itu muncul karena
Imaduddin tidak melakukan kritik sumber terhadap kitab-kitab yang ada. Ini
juga menunjukkan, betapa minim dan terbatas sumber rujukan yang
dimiliki oleh Imaduddin serta betapa sempitnya pengetahuan
Imaduddin dalam metodologi penelitian .
Jika fakta-fakta ini
disampaikan kepada Imaduddin, kemungkinan besar ia akan berkomentar, "Yang
salah bukan saya, tetapi kitab-kitab tersebut yang salah mengutip, saya hanya
menyampaikan ." Komentar serupa disampaikan Imaduddin dalam kasus penyebaran
berita hoaks tentang Mufti Yaman yang membatalkan nasab Bani Alawi. Pemecah
belah umat ini membela diri dengan mengatakan, "Yang salah itu situs-situs
yang memuat berita tersebut, saya hanya menyampaikan saja."
Kitab
al-Jawhar al-Syaf<if fi Fadh<i'il wa Man<iqib wa Karamat al-S<idah
al-Asyr<if min Ali Abi 'Alawi karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad
al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami ini merupakan salah satu sumber penting yang
melaporkan keberadaan Bani Alawi di Hadramaut, baik dari sisi nasab maupun
sejarah, termasuk informasi hijrahnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Irak ke
Hadramaut. Imaduddin berusaha keras merendahkan dan meragukan validitas
sumber tersebut dengan mengatakan bahwa kitab
itu sebagai kitab yang bermasalah, karena ditulis oleh orang yang sama sekali
tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Padahal faktanya
menunjukkan sebaliknya, Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H)
adalah penulis sejarah yang dikenal di Hadramaut dan kitabnya dijadikan
rujukan oleh Bamakhramah (w. 947 H) dalam kitab Qil<idah al Nahr yang
ditahkik beberapa kali oleh pakar dari kalangan non-Ba'alawi. Kesalahan
justru dilakukan oleh si pemecah belah umat yang mengambil rujukan dari
kitab yang isinya salah atau keliru, seperti kitab Hadiyy<it al 'Arifin
dan Mu)am al-Mu'allifin. Imaduddin tidak melakukan kritik dan verifikasi
terlebih dahulu terhadap kitab tersebut sehingga melahirkan kesimpulan yang
sesat.
Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran bukan orang pertama yang menulis
tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya,
al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syaf<if telah menulis kepindahan Ahmad
ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut.
"Sesungguhnya kakek mereka,
Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir
ibn Ali Zainal Abidin ibn al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu
wajhah wa radhiyall<ihu 'anhum ajma'in keluar dari Bashrah bersama 5 orang
di luar pembantunya, pindah membawa keluarga, anak-anak dan hartanya sampai
akhirnya tiba di Hadramaut ."310
Al-Khathib rampung menuliskan
kitab itu pada 820 Hijriah . Jika dibandingkan dengan tahun kelahiran
Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran (818 H), saat itu usianya masih dua tahun .
Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran yang masih
berusia dua tahun saat al-Khatib wafat disebut sebagai orang pertama yang
menuliskan hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut?
Selain
kitab al-Jawhar al-Syafiif , sumber lainnya yang dijadikan referensi
seputar Bani Alawi adalah kitab Thabaqiit al-Khawwiish karangan al-Syarji
al-Zubaidi (w. 893 H). Penulis yang bukan berasal dari golongan Bani Alawi ini
menuliskan bahwa kakek bani Alawi hijrah dari Irak ke Hadramaut.
"Disebutkan,
sesungguhnya kakek mereka, Bani Qudaim, sampai dari Irak bersama
kakek Syaikh Ali al-Ahdal dan Syaikh keluarga Ba'alawi yang tinggal di
Hadramaut ."311
Ketika berbicara tentang Abu Hasan Ali ibn Umar ibn
Muhammad al Ahdal, kakek keluarga al-Ahdal, al-Syarji menyatakan :
"Kakeknya
Muhammad, yang disebutkan berasal dari Irak, telah datang bersama dua anak
pamannya di atas jalan tasawuf menuju arah lembah Sahm. Dan kedua anak
pamannya, yaitu kakek Bani Qudaimi, juga pergi menuju lembah Surdud. Dan yang
ketiga, yaitu kakek keluarga Ba'alawi, pergi menuju Hadramaut ."
Sumber
kitab lain yang menuliskan peristiwa hijrahnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir
dari Bashrah ke Hadramaut adalah Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra (w. 889
H). Dalam kitab yang berjudul Fathulliih al-Rahim al-Rahman fi Manaqib
al-Syaik h al-'Arif Billah al-Quthb al-Ghawts al
'Aydrus 'Abdullah
ibn Abubakar ibn 'Abdurrahman, disebutkan:
"Mereka keluar dari Irak
menuju Hadramaut disebabkan oleh terjadinya fitnah, terutama dalam perkara
agama. Karena itu, kakek mereka, Ahmad ibn Isa hijrah (ke Hadramaut)
sebagaimana hijrah kepada Allah dan Rasul Nya, bersama anaknya, Ubaidillah
ibn Ahmad ibn Isa."312
Jadi, bisa disimpulkan bahwa Sayid Ali ibn
Abubakar al-Sakran bukanlah orang pertama yang menulis tentang hijrahnya Ahmad
ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya sudah ada orang yang menuliskan
peristiwa hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut, seperti
Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syafaf . Selain
al-Khatib, ada ulama lain yang menuliskan hijrahnya Ahmad ibn Isa
dari Bashrah ke Hadramaut, di antaranya al-Syarji al-Zabidi dalam kitab
Thabaqat al Khawwash dan Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra dalam kitab
FathuUah al-Rahim al-Rahman. Kitab-kitab inilah yang dijadikan sumber lain
dalam penulisan sejarah hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut .
Selain
berdasarkan rujukan kitab-kitab itu, peristiwa hijrah dan menetapnya Ahmad ibn
Isa al-Muhajir di Hadramaut telah diterima dan diakui secara mutawatir oleh
ulama dan masyarakat Hadramaut sampai saat ini. Tidak ada kalangan yang
mengingkarinya . Jika hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa itu
tidak pernah terjadi maka ulama
non-Ba'alawi di Hadramaut pasti akan menjadi kelompok pertama yang
menentangnya . Faktanya, bahkan para ulama yang akidahnya berseberangan dengan
Ba'alawi sekalipun, seperti golongan Wahabi Hadramaut tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya . Tidak hanya itu, hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut
juga diakui secara serentak oleh keturunan Ahmad ibn Isa dari selain jalur
Ubaidillah, sebagai keturunan Ahmad ibn Isa dari anaknya yang bernama Ali ibn
Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak. Mereka mengakui bahwa kakeknya hijrah ke
Hadramaut sehingga mereka menyebutnya "al Muhajir" dan bahwa kakeknya itu
punya keturunan di Hadramaut yang disebut S<idah Ba'alawi .313 Jika
hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut adalah rekaan atau fiksi maka keturunan
Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak pasti menjadi kelompok yang paling keras
menentang fiksi tersebut. Mereka akan protes jika sejarah
kakek mereka diselewengkan . Kenyataannya, tidak ada perdebatan di antara
mereka bahwa kakek mereka memang hijrah ke Hadramaut dan memiliki keturunan
yang disebut S<idah Ba'alawi .
Sumber Primer dan Kebenaran
Sejarah
Imaduddin mengatakan bahwa suatu peristiwa pada masa lalu bisa
dikatakan benar-benar peristiwa historis jika dikonfirmasi oleh sumber sezaman
atau paling tidak, sumber sejarah dari masa yang paling dekat dengan masa
peristiwa itu. Sumber rujukan yang ditulis atau diterbitkan dari masa sezaman
termasuk di antara sumber primer dalam penulisan sejarah.
Sejarah sebagai
peristiwa mengandung arti bahwa sejarah merupakan realitas atau kenyataan yang
terjadi pada masa lampau. Suatu peristiwa pada masa lalu dianggap benar jika
didukung oleh bukti-bukti atau data-data yang menguatkan, seperti saksi mata,
peninggalan, dan dokumen. Bukti atau data penguat atas suatu peristiwa sejarah
itu dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer, sekunder, dan sumber
tersier.
Menurut Permendikbud tahun 2016, sumber primer adalah
kesaksian seseorang yang menyaksikan peristiwa secara langsung menggunakan
perangkat indranya, alat mekanis, dokumen, naskah perjanjian, arsip, dan surat
kabar. Sumber sejarah primer menjadi hal penting untuk mendukung validitas
suatu peristiwa sejarah. Meski demikian, tidak berarti bahwa satu sumber
primer dapat dipastikan sebagai kebenaran sejarah. Sebuah sumber primer
perlu diteliti, ditelisik latar belakangnya, atau dibandingkan dengan sumber
primer lainnya.
Dari sisi bentuknya, sumber primer sejarah dapat
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sumber dokumenter, artefak, dan
lisan. Bentuk dokumenter seperti laporan, surat kabar, catatan pribadi. Bentuk
artefak seperti prasasti, candi, makam, benteng, kitab, atau dokumen, arsip,
dan foto.314 Salah satu contoh bentuk artefak makam adalah makam Islam
tertua Fatimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur. Sumber primer dalam bentuk
makam merupakan salah satu bukti yang mendukung eksistensi dan kesahihan nasab
keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir di Hadramaut dari zaman ke zaman . Situs
makam anak keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir masih terjaga dan terpelihara
dengan baik sampai saat ini di Hadramaut, seperti makam Ubaidillah ibn Ahmad
ibn Isa di daerah Bor, makam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa di Sumul,
makam Muhammad ibn Ali ibn Alwi Khali' Qasam di Mirbath Oman, makam al-Faqih
al-Muqaddam Muhammad ibn Ali di Zanbal Tarim, dan lainnya.
Lalu yang
menjadi permasalahan, apakah kitab-kitab nasab yang beredar sekarang seperti
Sirru Silsilah al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi, Muntaqilah
al-Thalibiyah, yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin untuk menyatakan bahwa
Ubaidillah bukan anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir adalah kitab primer? Apakah
nama-nama yang ada di kitab itu dicatat oleh penyusunnya berdasarkan pertemuan
langsung dengan orangnya?
Jika kita mencermati kitab-kitab yang ada
saat ini, dapat diketahui bahwa kitab-kitab nasab yang dijadikan rujukan oleh
Imaduddin bukanlah kitab primer, mengapa? Karena para penyusunnya tidak pernah
bertemu langsung kepada orang yang namanya ada dalam kitab nasab tersebut .
Contohnya,
kitab nasab al-Syajarah al-Mubarakah yang disusun pada abad keenam Hijriah,
apakah data yang ditulis oleh al-Razi tentang anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir
diperoleh dari pertemuan al-Razi dengan al-Muhajir atau dari orang yang
bertemu langsung dengan al-Muhajir yang hidup pada abad keempat Hijriah?
Bagaimana
al-Razi yang hidup pada abad keenam Hijriah dapat membatalkan nasab orang yang
hidup pada abad keempat Hijriah?
Jadi, bisa disimpulkan, kitab yang
ditulis pada masa sezaman dengan objek yang diteliti belum tentu dapat
dikatakan sebagai sumber primer, jika sumber tersebut tidak bersentuhan
langsung dengan objek yang diteliti. Contohnya adalah kitab Sirru Silsilah
al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi , Muntaqilah al-Thalibiyah. Walaupun
masa hidup pengarang kitab itu sezaman dengan Ahmad ibn Isa, Ubaidillah, atau
Alwi ibn Ubaidillah, pengarang kitab itu tidak pernah bertemu langsung dengan
Ahmad ibn Isa, Ubaidillah atau Alwi ibn Ubaidillah . Maka, kitab-kitab itu
tidak dapat disebut sebagai sumber primer.
Sumber primer yang dimaksud
dalam penelitian menurut regulasi yang telah disebutkan di atas adalah jika
sumber itu bersentuhan atau bertemu langsung dengan objek yang diteliti.
Sebagai contoh, saya akan meneliti kitab al-Fikrah an-Nahdhiyah karangan
Imaduddin . Dalam kitab itu Imaduddin menyatakan bahwa Bani Hasyim
adalah Sadah Ba'alawi yang dinisbahkan kepada Sayid Alwi ibn Ubaidillah ibn
Ahmad ibn Isa dan itu menjadi alasan ia mengubah pendapatnya sampai tiga kali
tentang status nasab Ba'alawi. Dalam contoh penelitian saya ini, yang menjadi
sumber primer adalah Imad, karena saya hidup sezaman dengannya. Saya bisa
berinteraksi dan mendapatkan penjelasan secara langsung (baik tatap muka atau
secara daring) tentang keputusannya yang berubah-ubah seputar kesahihan nasab
habaib.
Memanipulasi Data untuk Menguatkan Argumen
Imaduddin
tidak segan-segan memanipulasi data untuk mendukung argumennya bahwa Ahmad ibn
Isa tidak hijrah dari Bashrah ke Hadramaut. Untuk menguatkan argumennya,
Imaduddin menggunakan sumber data yang tidak masuk akal. Ia mengambil data
dari kitab al-Ghaybah karangan al-Thusi.
"Ahmad ibn Isa al-Alawi,
dari anak Ali ibn Ja'far, berkata, 'Aku menemui Abu al Hasan a.s. [Ali
al-Hadi], di Suriya. Kami mengucapkan salam kepadanya . [Di sana] Kami bertemu
dengan Abu Ja'far dan Abu Muhammad . Keduanya telah berada di dalam. Kami
berdiri dan mengucapkan salam kepada Abu Ja'far. Abu al-Hasan
a.s.
berkata, 'Bukan dia yang menjadi sh<ihib-mu (pemimpinmu) . Perhatikanlah
pemimpinmu,' sambil mengisyaratkan kepada Abu Muhammad a.s."315
Nama
lengkap Abu al-Hasan adalah Ali al-Hadi ibn Muhammad al Jawwad ibn Ali
al-Ridha ibn Musa al-Kazhim. Ia wafat pada 254 H. Sementara, Ahmad ibn Isa
al-Muhajir dilahirkan pada 260 H di Kota Bashrah, Irak.316 Ada kejanggalan
jika dilihat dari data lahir dan wafat kedua tokoh tersebut, yaitu bahwa Ahmad
ibn Isa al-Muhajir lahir enam tahun setelah Abu al-Hasan Ali al Hadi wafat.
Artinya, Ahmad ibn Isa yang dimaksud dalam redaksi di atas tidak pernah
bertemu, atau tidak sezaman dengan Abu al-Hasan Ali al-Hadi. Begitu pula
dengan al-Hasan yang wafat pada 260 H. Ia tidak pernah bertemu dengan293
Lihat Yaqut al-Hamawi, M u)am al-Buldan, Juz 1, hal. 144.
Ahmad
ibn Isa al-Muhajir, karena tahun wafat al-Hasan sama dengan tahun
kelahiran Ahmad ibn Isa al-Muhajir.
Dengan demikian, kita bisa melihat
kegagalan Imaduddin dalam memahami masalah ini. Ahmad ibn Isa al-Alawi yang
dimaksud dalam kutipan di atas adalah Ahmad ibn Isa ibn Ali al-'Uraidhi ibn
Ja'far al-Shadiq, sesuai dengan redaksi dalam kitab itu bahwa Ahmad ibn Isa
ibn Ali ibn Ja'far. Al-Nassabah al-'Umari (wafat abad kelima) dalam kitab
al-Majdi menyatakan bahwa Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far
al-Shadiq memiliki 11 anak, di antaranya bernama Isa. Lebih lanjut al 'Umari
mengatakan :
"Adapun tentang Isa ibn (Ali) al-'Uraidhi, hanya
ayahku yang meriwayatkannya . Dikatakan bahwa ia punya anak Hasan dan
Ahmad.''317
Jadi jelas, sesuai yang tertulis dalam al-Ghaybah, yang
dimaksud dengan Ahmad ibn Isa min walad Ali ibn Ja'far adalah Ahmad ibn Isa
ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, bukan Ahmad al-Muhajir ibn Isa
al-Rumi ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali 'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq yang
merupakan kakek S<idah Ba'alawi.
Makam al-Muhajir & Makam
Jamaluddin Kubra Versi Gusdur
Berdasarkan keyakinan bahwa Ahmad ibn Isa
al-Naqib tidak hijrah ke Hadramaut, Imaduddin lebih lanjut menegaskan bahwa
makam Ahmad ibn Isa yang berada di Husaisah adalah makam palsu. Untuk
mendukung pendapatnya, ia mengutip perkataan Syaikh Ahmad ibn Hasan
al-Mu'allim : "Dalam sejarah Yaman hingga paruh kedua abad kelima tidak ada
makam yang diagungkan yang di atasnya terdapat masy had dan masjid kecuali
masjid syahidain di Shana'a," dan perkataan al-Janadi, "Dan makam dua anak
masyhur di Shan'a."
Suatu peristiwa, seorang tokoh, atau satu
tempat bersejarah yang dikenal di suatu masyarakat banyak yang dituliskan
dalam bentuk cerita, baik tertulis maupun yang diceritakan secara lisan dari
generasi ke generasi. Begitu pula, keberadaan satu makam atau situs
bersejarah selalu mengungkapkan asal usul keberadaan makam
itu dan asal-usul tempat tersebut yang dikaitkan dengan keberadaan seorang
ulama, cendekiawan, atau tokoh besar lainnya yang kebesaran dan
keagungannya diakui oleh masyarakat setempat. Salah satu daerah
yang dikenal dengan banyaknya makam yang menjadi situs sejarah adalah
Hadramaut .
Di Hadramaut ada tempat yang dimuliakan umat Islam yang
bernama Qabr Hud (makam Nabi Hud). Makam itu ramai dikunjungi peziarah,
khususnya pada setiap pertengahan bulan Sya'ban. Tempat mulia lainnya adalah
makam leluhur kaum sayid di Hadramaut, yaitu Ahmad ibn Isa yang bergelar
al-Muhajir.Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada 345 Hijriah danjenazahnya
disemayamkan di atas bukit di Desa Husaisah . Makam ini merupakan salah satu
tempat sakral yang menjadi sasaran utama para peziarah .
Imaduddin dan
para pendukungnya mengatakan bahwa makam Ahmad ibn Isa di Husaisah adalah
makam palsu, karena beberapa alasan. Pertama, dalam kitab Qiladah
al-Nahr disebutkan dua pendapat mengenai
makam Ahmad ibn Isa: pendapat pertama mengatakan bahwa ia wafat dan
dimakamkan di Husaisah, dan pendapat kedua mengatakan bahwa ia wafat di Qarah
Jasyib.
Kedua, makam al-Muhajir hanya diketahui berdasarkan naskah yang
menyatakan bahwa ia memang dimakamkan di Husaisah . Makam itu sebenarnya barn
dibangun pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah dan ditetapkan sebagai makam Ahmad
ibn Isa berdasarakan ijtihad.
Dalam kitab al-Jawhar al-Syafiif ,
al-Khathib menuliskan :
"Sayidina Ahmad ibn Isa (pendapat pertama)
wafat di Husaisah . Dan terlihat pada lokasi yang ditunjukkan bahwa kubur
al-Syarif [Ahmad ibn Isa] terdapat cahaya yang agung. Dan guru kami, al-Arif
Billah Abdurrahman ibn Syaikh Muhammad ibn Ali Alawi, berziarah ke tempat itu.
Pendapat lain menyatakan bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb."318
Dari
tulisan di atas dapat diperoleh beberapa informasi bahwa pendapat pertama
Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat di Husaisah dan pendapat kedua ia wafat di
Qarah Jusyayb. Antara Husaisah dan Qarah Jusyayb berjarak kira-kira 3
kilometer, bukan 850 kilometer seperti yang disebutkan oleh Imad. Qarah
Jusyayb berdekatan dengan Kota Bor. Dalam kutipan di atas, hanya dikatakan
bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, bukan dimakamkan di sana. Jadi, meskipun
seandainya pendapat kedua benar, yakni bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, Ahmad
ibn Isa tetap dimakamkan di Husaisah . Tidak ada perbedaan pendapat mengenai
hal ini.
Makam Ahmad ibn Isa al-Muhajir bukanlah makam barn yang dibangun
pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Qillidah
al-Nahr, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Ali Alawi adalah seorang 'lirif billlih.
Ia melihat cahaya terpancar dari wilayah makam Ahmad ibn Isa al Muhajir.
Pancaran cahaya itu sebagai isyarat bahwa al-Muhajir adalah seorang yang agung
dan mulia di sisi Allah Swt. Cahaya yang terpancar bukanlah
syarat penemuan lokasi kuburan tetapi isyarat kemuliaan yang
terdapat pada penghuni makam itu. Jadi, bukan karena melihat cahaya itu
kemudian di sana dibangun makam, melainkan cahaya itu memancar dari kawasan
makam yang sudah dikenal masyarakat sejak lama. Itu dua hal yang sangat
berbeda tetapi tidak dapat dipahami oleh Imaduddin dan para pengikutnya .
Pernyataan
Imaduddin bahwa makam al-Muhajir adalah makam palsu hanya didasarkan atas
tulisan Ahmad ibn Hasan al-Muallim dan al-Janadi. Kesimpulan Imaduddin itu
serampangan dan hanya mencocok-cocokkan . Sebab, kedua penulis itu (al-Muallim
dan al-Janadi) tidak mencatat seluruh kuburan di negeri Yaman . Keduanya hanya
bertutur tentang kuburan yang berada di Kota Shana'a, bagian utara Yaman,
sedangkan Husaisah berada di Hadramaut, bagian selatan Yaman. Jarak antara
keduanya kira-kira 600 Km. Dapat dibayangkan, betapa sulit kondisi yang hams
ditempuh pada masa itu jika seseorang mencatat dan menceritakan semua kuburan
yang berada di seluruh Yaman .
Imaduddin menyatakan bahwa makam Ahmad ibn
Isa al-Muhajir itu barn diketahui 602 tahun setelah wafatnya dan, karenanya,
makam itu palsu. Jika pengambilan kesimpulannya seperti itu, lalu bagaimana
dengan makam Siti Aminah ibunda Nabi Saw. yang terletak di atas bukit di Desa
Abwa yang tidak diketahui lokasinya, dan barn diketahui 1.400 tahun kemudian
setelah wafatnya, itu pun hanya perkiraan . Pertanyaannya, apakah makam itu
sudah dikenal sejak Siti Aminah wafat? Sumber sezaman apa yang bisa memberi
kesaksian bahwa benar Siti Aminah ibunda Nabi Saw. dimakamkan di Abwa? Jika
pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah
makam Siti Aminah itu palsu dan bahwa Siti Aminah ibunda Nabi Saw. adalah
tokoh fiktif?
Bagaimana pula dengan makam Jamaluddin Husain al-Akbar atau
Syaikh Jumadil Kubro? Makam yang kemudian diyakini sebagai makam keramat itu
ditetapkan berdasarkan pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur), yang meyakini bahwa makam Sayid Jamaluddin Akbar berada di
Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan. Sumber lain menyatakan bahwa satu-satunya
makam yang diyakini umum sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro adalah makam
yang terletak Tralaya di Kabupaten Mojokerto.319 Makam Syaikh
Jumadil Kubro barn diketahui 600 tahun setelah wafatnya . Pertanyaannya,
apakah makam itu sudah dikenal sejak Syaikh Jumadil Kubro wafat? Sumber
sezaman apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Syaikh
Jumadil Kubro dimakamkan di Wajo atau di Mojokerto? Jika
pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah
makam itu palsu dan Syaikh Jumadil Kubro adalah tokoh fiktif? Seperti itulah
kerusakan pola pikir Imaduddin dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi .
Jika metode pengambilan Kesimpulan yang digunakan Imaduddin itu diterapkan
pada fakta-fakta sejarah lain, akan rusaklah berbagai fakta historis yang
selama ini dikenal oleh masyarakat .
KEENAM Melakukan
Kebohongan Publik
Dalam penelitian ilmiah, kejujuran adalah
segala-galanya . Seorang ilmuwan atau peneliti yang terbukti tidak jujur,
pasti akan kehilangan integritasnya . Jika penelitian
dilakukan secara tidak jujur maka
hasilnya
akan menyesatkan orang lain dan juga bisa menyesatkan kesimpulan si peneliti
itu sendiri. Terkait dengan kejujuran ilmiah ini, Imaduddin dan para
pengikutnya banyak melakukan kebohongan publik. Akibatnya, Imaduddin
terperosok dalam penyimpangan hasil penelitiannya . Lebih jauh, ia juga
menyesatkan banyak orang, terutama kalangan awam. Berikut ini beberapa
kebohongan publik yang dilakukan oleh Imaduddin dan para pengikutnya .
A.
Catatan Nasab Ba'alawi Terputus 550 Tahun
Dalam berbagai kesempatan
Imaduddin selalu mendengungkan bahwa catatan nasab Ba'alawi terputus 550 tahun
. Untuk menjawab tuduhan Imaduddin ini sebenarnya tidak dibutuhkan penjelasan
panjang lebar. Dengan membaca Bab I, Pasal 3, yang banyak bertutur tentang
nasab Ba'alawi dari sebelum tahun 900 H, pembaca bisa mengambil kesimpulan
bahwa tuduhan Imaduddin benar-benar merupakan kebohongan publik yang
terus-menerus didengungkan oleh Imaduddin dengan penuh kesadaran dan
kesengajaan.
B. Mufti Yaman Membatalkan Nasab
Ba'alawi
Imaduddin melontarkan tuduhan lain, yaitu bahwa Mufti Yaman,
Syamsyuddin ibn Syarafuddin dari kalangan Zaidiyyah membatalkan nasab
Ba'alawi. Tetapi kemudian terbukti bahwa tuduhan ini juga merupakan
pembohongan publik. Fakta ini menunjukkan bahwa Imaduddin tidak melakukan
proses validasi informasi yang memadai sebelum menyebarkan tuduhan dan
fitnahnya.
Kabar dusta itu didapatkan oleh Imaduddin dari satu situs yang
tidak otoritatif . Pada 1443 H/2021 M situs itu menyuguhkan berita bahwa Mufti
Yaman, Syamsuddin Syarafuddin, membatalkan 21 marga, dan delapan di antaranya
adalah wangsa Ba'alawi . Silakan lihat link https://voicnews .com/
new/374149.
Kenyataannya, sejak tahun 2020 kemuftian Yaman telah merilis
berita di situs resmi yang menyatakan bahwa kemuftian Yaman dan Mufti Yaman
(Syamsuddin Syarafuddin) tidak memiliki akun media sosial apa pun. Seluruh
informasi resmi kemuftian Yaman disampaikan dalam situs resmi https ://
yemenscholars .com/.
Keputusan resmi bahwa kemuftian Yaman dan Mufti
Yaman tidak memiliki akun media sosial dapat diakses di berita berikut:
https://yemenscholars . com/articles/1380 dan https://yemenscholars
.com/articles/1203 . Berikut kami tampilkan qarar (keputusan resminya) :
Akun-akun
yang mengatasnamakan Syamsuddin Syarafuddin dan akun yang berisi informasi
tentang batalnya 21 wangsa Asyraf (termasuk Ba'alawi) dipastikan kepalsuannya
oleh Abdussalam Syarafuddin (anak Mufti Yaman). Pada 16 Mei 2024 Gus Rumail
Abbas menghubunginya langsung dan kemudian Abdussalam mengunggah video
pernyataan ayahnya, Mufti Syamsuddin Syarafuddin. Dalam video tersebut
al-Mufti memastikan bahwa pembatalan nasab kabilah-kabilah Asyraf yang
dinisbahkan kepadanya adalah dusta dan fitnah. Simak videonya dalam link
berikut :
https://wwW.facebook.com/permalink.php?story
_fbid=pfbidOXTCHtX5m
vDzRFDdaQxSygNGgaBJ3PQV8aEKWK3jLHSx9GqMVcVo5SYJ98M6WJCHx
l&id=61556672620640 .
Pernyataan itu dikuatkan lagi
melalui khutbah Jumat yang ia sampaikan di al-Jami' al-Kabir Shana'a
pada 29 Dzulhijjah 1445 H. Mufti Syamsuddin ibn Syarafuddin menyatakan bahwa
informasi yang menyatakan dirinya meragukan keluarga Hasyimiyyah Hadramiyyah
Muhdhariyyah (Ba'alawi) adalah fitnah dan dusta. Ia juga menegaskan betapa
besar dosa al-tha'nufi al-ansab (menyerang nasab orang lain).
Sebaliknya,
mufti dan para imam Yaman dari kalangan Zaidiyyah, sejak ratusan tahun
silam telah mengakui dan mengisbat bahwa Ubaidillah adalah putra Ahmad ibn
Isa. Mufti jauh sebelum Syamsuddin, yaitu al-Imam al Mutawakkil 'Alallah
Yahya ibn Syarafuddin ibn al-Mahdi al-Hasani (877-965 H) menyatakan dalam
tsabat (kumpulan sanadnya):
Dalam tsabat-nya tersebut al-Mutawakkil
'Alallah lebih dari sepuluh kali menyebutkan bahwa gurunya, yaitu al-Sayid Ali
ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid adalah cucu Jadid ibn Ubaidillah ibn Ahmad
ibn Isa. Bahkan, dalam kutipan di atas ia dengan jelas menyambungkan nasab
Ubaidillah kepada al Muhajir Ahmad ibn Isa, dst.
Setelah segala fakta
yang terang benderang ini, Imaduddin dkk. tetap ngotot menyebarkan
kebohongan publik bahwa Mufti Yaman Syamsuddin ibn Syarafudin membatalkan
nasab Ba'alawi hanya berdasarkan berita dari sebuah akun palsu di Facebook.
Pembaca bisa membayangkan, Imaduddin gagal total bahkan hanya untuk memeriksa
validasi satu informasi di media sosial. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa
memeriksa validasi informasi tentang Ubaidillah ibn Ahmad yang berjarak 1.000
tahun silam?
C. Ba'alawi Tidak Diakui oleh
Naqabah Asyraf Internasional
Imaduddin dan para pengikutnya
selalu mengampanyekan bahwa naqabah (komunitas resmi yang menaungi
para S<idah/ Asyr<if) internasional membatalkan nasab Sadah Ba'alawi.
Itu adalah kebohongan publik yang nyata. Sebab, kenyataannya, tidak ada satu
pun naqabah asyr<if resmi di dunia ini yang membatalkan nasab S<idah
Ba'alawi .
Imaduddin dan kelompoknya menyatakan bahwa naqabah
internasional membatalkan nasab Ba'alawi. Namun, mereka tidak pernah
menyebutkan sekali pun naqabah Asyr<if mana yang membatalkannya . Mereka
sekadar melemparkan isu secara tidak bertanggung jawab . Rasulullah Saw.
bersabda, "Bukti wajib didatangkan oleh penuduh ." (HR al-Baihaqi) .
Satu-satunya
pihak yang disebutkan oleh kelompok Imaduddin adalah naqabah blogspot yang
dikelola oleh seorang pelarian politik asal Irak bernama Yasin al-Kalidar.
Naqabah-naqabah asyr<if internasional yang resmi, baik di Maroko, Aljazair,
Libya, Tunisia, Mesir, Yaman, Hijaz, Yordania, Irak, Iran, Turki, Pakistan,
dan negara-negara lainnya, tidak ada satu pun yang membatalkan nasab Sadah
Ba'alawi. Jangankan membatalkan, bahkan tidak ada satu pun naqabah yang
meragukan nasab Ba'alawi.
Naqabah Al-Uraidhiyyun yang
merupakan lembaga pencatat nasab ke turunan Imam Ali
al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq bahkan mencatat Sadah Ba'alawi sebagai bagian
dari keturunan Imam Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq. Salah satu bukti
pendukung mengenai hal ini kami lampirkan pada akhir Pasal 1Bab II. Seorang
pelajar Indonesia di Mesir, Muhammad Yasin Rahmatullah, seperti ditulis
di laman Facebook resminya,321 berinisiatif
melakukan tabayyun ke
kantor Naqabah Asyraf Mesir. Dia
menulis:
"Hari ini (Kamis) kami berkunjung kembali ke Naqabah dalam
rangka istifadah yang lebih mendetail tentang Sadah Ba'alawi, seperti
sebelumnya kami dipertemukan dengan Muqarrir Lajnah Tahqiq Ans<ib, Syarif
Ahmad Yahya.
Kemudian kami memberanikan diri untuk bertanya
kepadanya, apakah pada masa-masa dulu pernah terjadi khilaf tentang status
Sadah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait?
Ia langsung menjawab: "Tidak pernah
."
Setelah itu kami akhiri pembicaraan . Kami mohon pamit seraya meminta
doa kepadanya untuk kami. (Syaikh Syarif Ahmad Yahya adalah seorang syarif
.)
Kami juga mendapatkan kabar dari seorang teman yang belajar di Iran,
yaitu Firmansyah Djibran El'Razy bahwa naqabah Iran juga berpandangan seperti
itu (mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait). Lebih jauh, naqabah di
Iran itu juga mengungkapkan bahwa semua naqabah di Timur
Tengah sepakat
dan mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait.
I .
Gambar Muhammad Yasin Rahmatullah saat berkunjung ke Naqabah Asyraf
Mesir.
Gambar Kantor Naqabah Asyraf Mesir
Ketika
Muhammad Yasin Rahmatullah berkunjung ke naqabah Asyraf Mesir diperlihatkan
kepadanya kitab rujukan Naqabah Asyraf Mesir, Mausu'ah Ali Bayt al-Nabawi,
yang di dalamnya tercatat nasab S<idah Ba'alawi. Berikut tampilan
halamannya :
Selain itu, tokoh Asyraf Hijaz yaitu Sayid Anas
al-Kutbi juga mengakui
S<idah Ba'alawi. Bahkan ia menulis sebuah
artikel khusus tentang Sadah Ba'alawi yang dijuduli "S<idah Ba'alawi
Laksana Mutiara yang Bertebaran di Lautan Keluarga Rasulullah Saw.''. Dalam
artikel itu itu ia menceritakan keutamaan dan kemasyhuran Sadah Ba'alawi,
serta menyebutkan marga-marga Ba'alawi .322 Keterangan tentang keabsahan nasab
Ba'alawi juga banyak dimuat dalam www. al-Amir .com yang merupakan situs resmi
komunitas Asyraf Hijaz yang konsen dalam bidang nasab. Tidak hanya itu,
sejarah juga mencatat bahwa para tokoh S<idah Ba'alawi banyak yang diangkat
menjadi naqib (kepala suku) para Asyraf di Hijaz (Makkah, Madinah, dan
sekitarnya). Padahal di Hijaz ada banyak sadah dari beberapa jalur keturunan
al-Imam Hasan dan Husain, bahkan banyak di antara mereka yang dikenal sebagai
ahli nasab. Jika keabsahan Nasab Ba'alawi diragukan, mereka tidak mungkin
diangkat menjadi naqib hingga berkali-kali di Hijaz, kawasan yang dihuni oleh
banyak s<idah dari jalur yang beragam. Berikut ini beberapa nama naqib
Asyraf Hijaz dari wangsa Ba'alawi :
Di Makkah:
1.
Sayid Muhammad ibn Muhsin Al-Attas, tahun 1243 H
2.
Sayid Ishaq ibn Aqil
3. Sayid Abdullah ibn Aqil, tahun
1267 H
4. Sayid Alwi ibn Ahmad al-Segaf, Mufti Makkah.
Diangkat menjadi naqib pada 1314 H. Ia juga dikenal sebagai penulis kitab
Tarsyih al-Mustafidin, kitab fikih yang dipakai oleh para ulama Nahdhiyyin di
Indonesia.
Di Madinah :
1. Sayid Muhammad
Jamalullail, tahun 1283 H 2. Sayid Muhammad Ba Faqih, 1286
H
3. Sayid Ali Alhabsyi, tahun 1315 H
4.
Sayid Alwi Bafaqih, 1315 H
5. Sayid Abdullah
Jamalullail 323
Naqabah Asyraf Irak, dan Naqabah Lebanon juga
mengakui S<idah Ba'alawi, sebagaimana tertulis pada laman Facebook resminya
yang menyebutkan nama nama marga S<idah Ba'alawi .324
Pada tahun
2005-an, ada pertemuan sejumlah Naqabah Asyraf dan berbagai lembaga resmi
pencatat nasab internasional di Libya. Dalam kesempatan itu al Rabithah
al-Alawiyyah turut hadir diwakili Alm. Habib Zein ibn Umar ibn Smith (Ketua
Umum al-Rabithah al-Alawiyyah), Alm . Habib Kazhim al-Hiyed, dan Habib
Abdurrahman Bashurrah (Ketua Maktab Daimi). Beberapa saat setelah pertemuan
tersebut ada beberapa sampel nasab yang divalidasi keabsahannya bersama-sama
dan ditandatangani oleh para pimpinan lembaga dan naqabah dari berbagai
negara. Di antaranya adalah nasab salah seorang S<idah Ba'alawi. Berikut
ini pindaian sertifikat yang asli:
Yusuf Jamalullail, dll.
Tidak
hanya itu, pengakuan terhadap S<idah Ba'alawi bukan hanya datang dari
naqabah. Pengakuan resmi juga datang dari negara tempat S<idah Ba'alawi
menetap. Imam Yaman, Syaikh Yahya Hamiduddin dalam surat maklumatnya secara
resmi mengakui nasab S<idah Ba'alawi. Berikut ini salinan dokumennya:
Pengakuan
resmi lainnya disampaikan oleh pemerintah al-Kuwaitiyyah dan al-Katsiriyyah
Hadramaut Yaman Selatan pada 1351 H. Keduanya memberikan penjelasan resmi
tentang keabsahan nasab S<idah Ba'alawi di Hadramaut. Bahkan, keduanya
mengakui peran penting S<idah Ba'alawi dalam lintasan sejarah. Pengakuan
dan penjelasan resmi itu sebagai jawaban atas berkembangnya desas-desus dari
komunitas al-Irsyad-yang berhaluan Salafi Wahabi-di Pulau Jawa yang
mempermasalahkan S<idah Ba'alawi . Namun, pertentangan dan
kesalahpahaman antara S<idah Ba'alawi dan al-Irsyad di Jawa itu tidak
berlangsung lama. Kedua kelompok itu kembali bergandengan tangan dalam bingkai
ukhuwwah sampai saat ini. Alhamdulilllih . Berikut kami tampilkan salinan
dokumen resmi tersebut yang diambil dari Pusat Arsip Nasional Hadramaut di
Kota Sewun, beserta transkrip dan terjemahnya :
(Menampakkan
Kebenaran)
[Dokumen ini diterbitkan] M engingat apa yang terjadi
beberapa tahun terak hir di diaspora (di Jawa), yaitu berkembangnya provokasi
yang memalukan terhadap para Sadah Hadhrami Alawiyyin yang telah tinggal di
Hadramaut selama lebih dari seribu tahun dan memiliki reputasi tertinggi dalam
penyebaran ilmu pengetahuan serta berbagai kemuliaan di negara tercinta ini.
Dan mereka ini masih dan akan terus mengorbankan jiwa serta harta berharga
mereka untuk menyebarkan berbagai hal yang membawa manfaat dan kebaikan bagi
negara. M ereka juga senantiasa menyebarkan nasihat dan ketulusan sebagaimana
telah kita lihat kepada pemerintahan Qu'aithiah dan Kathiriah . Semua itu
mendorong kita untuk mencintai dan mendukung mereka dengan segala kehormatan
harga diri mereka dan keagungan garis keturunan mereka. Dan betapa besar jasa
khusus dan umum yang mereka persembahkan kepada tanah air kita tercinta.
M
engingat apa yang telah kita sak sikan selama beberapa tahun, dengan
beberapa orang yang mencemarkan nama
baik mereka, menyerang garis keturunan mereka yang sahih,
dan menuduh mereka dengan tuduhan yang batil dan fitnah palsu. Sebagai bentuk
pembelaan terhadap kebenaran, dukungan terhadap kenyataan, dan rasa terima
kasih, kami melihat bahwa kami harus mengumumkan secara resmi bahwa
mereka adalah Sadah Alawiyah yang dikenal oleh para pendahulu kami dan kami
mengenal mereka setelah pendahulu kami. Kami dan mereka berjalan bahu-membahu
serta berdampingan bertahun tahun dan pada tempo yang panjang dalam damai,
rukun, ikhlas, dan saling mencintai. M ereka adalah panji putih perdamaian di
negara kita dan pembawa pesan keamanan dan perbaikan di dalamnya. M ereka
adalah satu-satunya yang menyandang gelar "sayid" yang sesung guhnya karena
sahnya nasab mereka kepada Rasulullah . M aka, tidak boleh bagi siapa pun
menyandang gelar "Sayid" di antara orang Hadramaut selama belum sah nasabnya
kepada Rasulullah Saw. Nasab yang didukung oleh pohon- pohon silsilah yang
ditulis dengan pena para ahli nasab yang dapat dipercaya .
Sebagai
penutup, kami mengarahkan surat kami ini kepada semua orang yang mempunyai
perkataan yang efektif atau pengaruh yang efektif , dengan harapan dapat
membantu memadamkanfitnah yang berkobar dan kegaduhan tak berguna yang
merugikan masyarakat, serta berupaya memulihkan ketenangan dan kedamaian.
Ditulis pada tanggal 25 M uharram 1351 H.
(Pusat Arsip Nasional
Sewun)
Karenanya, tidak mengherankan jika salah seorang Mufti
Hadramaut dari kalangan masy<iyik h (bukan S<idah), yaitu Syaikh Ali ibn
Salim Sa'id Bukair Baghaitsan, dalam salah satu wawancaranya dengan televisi
mengatakan bahwa nasab S<idah Ba'alawi adalah salah satu nasab yang paling
kuat. Lebih jauh ia mengatakan, "Siapa saja yang ingin meragukan atau berusaha
mendustakan nasab S<idah Ba'alawi, niscaya ia akan merasa kelelahan dan
kesulitan sendiri."325
Jika Anda membaca uraian kami pada Bab 1
dengan cermat dan saksama, Anda pasti akan menemukan bahwa pengakuan dan
penerimaan terhadap nasab Ba'alawi telah muncul sejak berabad-abad silam dari
para ulama yang menetap di berbagai belahan dunia, mulai dari Yaman, Hijaz,
Mesir, Syam, Irak, Iran, Maroko sampai di Nusantara .
Dari berbagai data
yang kami sajikan di atas, pembaca dapat menyimpulkan bahwa isu nasab Ba'alawi
tidak diakui oleh naqabah internasional adalah hoaks atau kebohongan yang
nyata. Faktanya, nasab Ba'alawi diakui dunia Islam internasional dari masa ke
masa. Semua itu membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh kelompok
Imaduddin adalah fitnah belaka. Mereka sama sekali tidak memiliki data kecuali
cerita-cerita rekaan atau hoaks yang disebarkan semata-mata untuk
mengelabui masyarakat awam.
D.
Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba'alawi
Dusta lain yang dilakukan dan
disebarkan Imaduddin adalah bahwa al Turbani membatalkan nasab Ba'alawi .
Imaduddin berulang-ulang menyebarkan pendapat lama Syaikh al-Turbani, padahal
pendapat itu telah direvisi atau dikoreksi. Salah seorang rekan kami telah
berkomunikasi dengan Syaikh al Turbani melalui laman Facebook resminya .
Syaikh al-Turbani menyatakan bahwa ia meralat dan membatalkan pendapatnya yang
lama. Ia meralat pendapatnya itu karena telah menemukan banyak dalil tentang
kesahihan nasab S<idah Ba'alawi. Pada era digital seperti saat ini, kita
bisa dengan sangat mudah melakukan konfirmasi atau validasi pandangan atau
pendapat seseorang yang aktif di media sosial. Sayangnya, Imaduddin tidak
melakukan langkah konfirmasi ini. Alih-alih, ia justru terns menebarkan
kebohongan publik. Berikut ini kami tampilkan tangkapan layar percakapan rekan
kami dengan Syaikh al-Turbani:
episode kedua: https:/
/youtu.be/w83YNPa3U04 ?si=b6uywAKs4GeWuelD.
E.
Menyebut Tulisannya tentang Pembatalan Nasab Ba'alawi sebagai Tesis
Dalam
berbagai kesempatan Imaduddin kerap mengeklaim bahwa tulisannya tentang
pembatalan nasab Bani Alawi merupakan tesis, benarkah klaim tersebut?
Secara
bahasa (etimologi), dalam KBBI disebutkan, arti tesis adalah: (1) n pernyataan
atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karangan; untuk
mendapatkan gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. (2)
karangan ilmiah yang ditulis untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada
suatu universitas (perguruan tinggi); disertasi.
Adapun pengertian
secara istilah (terminologi), tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung
oleh argumen yang dikemukakan dalam karya tulis ilmiah, untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. Tesis juga dapat berarti sebuah tugas
akhir seorang mahasiswa berupa karya tulis ilmiah resmi.326
Merujuk pada
pengertian di atas, tulisan Imaduddin tentang pembatalan nasab Ba'alawi tidak
bisa disebut tesis baik secara etimologi ataupun terminologi. Sebab, karya
tulis itu tidak disusun dan diujikan secara akademik di perguruan tinggi. Ia
tidak lebih dari sebuah makalah yang bisa ditulis oleh siapa saja dan dimuat
di mana saja tanpa membutuhkan pertanggungjawaban serta standar ilmiah yang
jelas . Maka, gembar-gembor Imaduddin dan kawan kawannya yang selalu menyebut
makalah Imaduddin sebagai tesis hanyalah pembohongan publik.
KETUJUH
Menjiplak Pemikiran Orientalis dan Tokoh Non-Aswaja
A.
Menggunakan Teori Orientalis untuk Membatalkan Nasab Ba'alawi
Berdasarkan
petunjuk hadis-hadis Rasulullah Saw. dan pendapat para ulama, ditetapkanlah
suatu metode yang universal, telah teruji, dan masuk akal untuk menetapkan
nasab seseorang atau suatu kaum yaitu dengan syuhrah dan istifcidhah atau
tasamu. Inilah metode penetapan nasab yang dilakukan oleh ulama ahli nasab
berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. dan para ulama mazhab. Metode penetapan
nasab yang dilakukan oleh ahli nasab ini tidak bertentangan dengan metode para
ahli fikih. Sebab, penetapan ahli nasab dan ahli fikih berasal dari sumber
yang sama yaitu sunnah Rasulullah Saw.
Lalu, bagaimana dengan metode
konfirmasi melalui kitab sezaman untuk mengonfirmasi nasab-nasab lama? Tidak
ada satu pun teori, kitab ilmu nasab atau pendapat ahli nasab yang mengakui
adanya metode konfirmasi melalui kitab sezaman. Jika metode "konfirmasi kitab
sezaman" ini telah digunakan secara universal oleh para ahli nasab maka tentu
kita bisa dengan mudah menemukan teorinya serta sumber rujukan yang
mendukungnya, atau ulama ahli fikih dan ahli nasab yang menggunakannya . Kita
juga bisa menemukan dengan mudah kapan metode
itu mulai digunakan dan untuk menganalisis nasab
siapa, dan apakah metode itu dilandasi oleh dalil-dalil Al-Qur'an, Sunnah,
atau pendapat ulama mazhab.
Selanjutnya, jika Imaduddin bersikukuh
menggunakan metode konfirmasi melalui kitab sezaman, ia juga hams melakukan
pembuktian terbalik. Ia hams memberikan kitab-kitab sezaman yang menolak
Ubaidillah sebagai anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Dapat dipastikan, ia tidak
akan bisa menunjukkan kitab kitab itu. Sama halnya, iajuga tidak akan
mampu menunjukkan kekokohan teori konfirmasi melalui kitab sezaman.
Penggunaan
metode kehamsan kitab sezaman untuk menetapkan nasab tidak dikenal dalam
sejarah Islam. Sebaliknya, menggunakan kitab sezaman untuk menetapkan
kesahihan suatu nasab dapat dikatakan sebagai usaha keji untuk
memntuhkan sendi-sendi Islam. Cara itu akan memutus sanad keilmuan antara
ulama Bani Alawi dan para ulama Nusantara . Cara seperti inilah yang dilakukan
oleh seorang orientalis dari wangsa Yahudi, Ignaz Goldziher yang
meragukan keaslian atau kebenaran (otentisitas) hadis-hadis dalam
Shah_ih Buk h<iri . Dia adalah orang yang pertama kali menggunakan metode
kitab sezaman untuk memntuhkan sendi-sendi Islam dari sisi hadis. Menumtnya,
hadis-hadis itu mempakan hasil rekaan (fabrikasi) generasi-generasi setelah
Nabi. Ia menguatkan kesimpulannya dengan alasan bahwa kodifikasi hadis
dilakukan jauh setelah Nabi wafat. Tidak ada satu pun dokumen tertulis dari
masa Nabi Muhammad Saw. hidup yang bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad
Saw. Selain itu, menumtnya, hadis lebih mengandalkan tradisi lisan
sehingga otentisitasnya diragukan.327
Lebih jauh, dengan metodenya
itu Goldziher menilai bahwa kekacauan dan inkonsisten teks Al-Qur'an
(perbedaan pola bacaan Al-Qur'an) tidak ditemukan dalam kitab-kitab terdahulu
yang ia teliti. Melalui analisisnya ini ia bemsaha menanamkan keraguan di hati
banyak orang mengenai kemutawatiran dan orisinalitas
Al-Qur'an. Langkah seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Imaduddin si
pemecah belah umat zaman ini. Ia bersikukuh membatalkan nasab Bani
Alawi dan bahwa nasab itu tidak tersambung kepada Rasulullah Saw. hanya karena
tidak ada pada kitab-kitab sezaman yang dibacanya. Maka, ada dua pilihan bagi
umat Islam, apakah akan berpegang teguh kepada metode penetapan nasab
berdasarkan syariat Islam ataukah mengikuti metode bid'ah yang digunakan oleh
orientalis Yahudi dan kemudian diadopsi oleh Imaduddin dari Kresek Banten?
Teori
yang digunakan oleh Imaduddin ini disebut
juga Argumentum Ex Silentio, yaitu menolak sesuatu jika tidak ada
landasan dokumen berupa catatan sezaman pada masa lalu. Pendekatan yang
digunakan Goldziher ini mirip dengan pendekatan yang digunakan oleh
Joseph Schacht ketika menolak validitas hadis riwayat Imam Bukhari karena
hadis itu tidak ditemukan dalam kitab hadis yang lebih tua seperti M ushannaf
Abdur Razzaq . Karenanya, sangat aneh jika Imaduddin justru menerima logika
orientalis untuk membenarkan dan mendukung hipotesisnya serta menolak teori
yang dipergunakan oleh para ulama.
Mengandalkan argumentum ex silentio
sebagai dasar penolakan adalah langkah yang sangat bermasalah, terutama dalam
konteks ilmu nasab dan sejarah Islam. Tidak adanya dokumen bukan berarti tidak
adanya fakta. Banyak informasi sejarah yang mungkin tidak terdokumentasi
tetapi tetap sahih dan diterima melalui tradisi lisan yang kuat. Menerima dan
mengadopsi pendekatan argumentum ex silentio hanya menunjukkan kelemahan
seseorang dalam memahami dan menghargai metodologi syar'i yang telah diakui
oleh para ulama selama berabad-abad .
B.
Menyontek Sebagian Tokoh Wahabi
Imaduddin dan para pengikutnya
terus-menerus berkampanye bahwa pembatalan nasab Ba'alawi adalah temuannya .
Padahal kenyataannya, catatan dan penjelasan Imaduddin itu hanyalah plagiasi
atau sontekan dari beberapa tokoh Wahabi Timur Tengah, yang belasan tahun
silam menulis makalah untuk membatalkan nasab sadah Ba'alawi. Imaduddin hanya
melakukan sedikit perubahan dan pengembangan pada tulisan-tulisan yang disusun
oleh kaum Wahabi. Berikut ini beberapa catatan mereka.
1.
Murad Syukri
Murad Syukri, seorang Wahabi asal Yordania yang juga pernah
nyantri kepada Syaikh al-Albani, dalam situs al-Syibami menulis sebuah
artikel yang dimuat pada 12 Juli 2008 tentang terputusnya nasab Sadah Ba'alawi
kepada Rasulullah Saw. Setelah panjang lebar menguraikan hal tersebut di akhir
tulisannya ia mengatakan, bukan hanya Ba'alawi yang mengaku-ngaku sebagai
keturunan Rasulullah Saw. Banyak kaum sufi yang gemar mengaku-ngaku sebagai
ke turunan Rasulullah Saw., termasuk Sayid Ahmad al-Rifa'i, Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani dan Syaikh al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdadi (Sayyidu
al-Thaifah). Artikel Murad Syukri ini sudah dikuliti dan dipatahkan oleh
al-Muhaddits Hasan ibn Ali al-Segaf (penulis Tanaqudhat al-Albani) dalam
kitabnya al-Radd al-Mufahhim al-Mubayyin 'ala' Murad Syukri Dzanb
al-Mutamassilin dan al 'Allamah al-Sayid Abu Laits al-Kattani dalam kitabnya
al-Samm al-Zur'af .
2. Audah al-Aqili
Seorang
beraliran Salafi Wahabi asal Mesir bernama Audah al-Aqili menulis sebuah esai
berjudul al-Shufiyyah al-Khabitsah (Kaum Sufi yang Keji) dan dimuat pada 13
Desember 2009. Dalam tulisannya itu ia membatalkan nasab beberapa kabilah
Sadah, termasuk sadah Ba'alawi .328 Ia membatalkan nasab sadah Ba'alawi dengan
argumen yang didasarkan atas kitab al-Syajarah al Mubarakah. Pola
argumentasinya itu sangat mirip dengan pola argumentasi Imaduddin . Berikut
ini kami tampilkan sebagian tulisannya :
Dari kutipan di atas
terlihat jelas bahwa apa yang digembar-gemborkan sebagai temuan ilmiah
Imaduddin itu konsep dasarnya berkiblat kepada teori orientalis dan
substansinya menjiplak tulisan kaum Wahabi. Karenanya, sangat lucu jika
kemudian para pengikut dan pengagum Imaduddin menyebutnya sebagai
"al-Mujaddid" hanya karena karangan yang tidak bermutu itu.
3.
Ulama Wahabi dalam Mata Rantai Pemikiran Imad329
Para pembaca yang selama
ini mengikuti polemik mengenai nasab ini tentu tidak akan asing dengan gagasan
dan pemikiran Imaduddin dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi . Tampaknya
sudah menjadi rahasia umum bahwa Imaduddin dalam berbagai argumennya kerap
mengutip pernyataan dua ulama Wahabi, yaitu Syaikh Murad Syukri, tokoh Wahabi
Yordania dan Syaikh Muqbil a-Wadi'i, pemuka Wahabi Yaman . Namun, saya
mendapati fakta menarik yang muncul dari sebuah pertanyaan : "Apakah Imaduddin
tidak tahu bahwa kedua ulama itu adalah tokoh Wahabi?"
Saya yakin,
Imaduddin tidak selugu dan sepolos itu. Ia dikenal sebagai orang yang berilmu
dan bisa membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Maka, tidak mungkin
rasanya jika ia tidak mengenali kedua ulama itu. Buktinya, ketika menyebut
biografi singkat Syaikh Murad Syukri dalam catatan kaki tesis
versi
kitabnya Mawiihib al-Laduniyyah fi Bay<ini Inqith<i'i Nasabi Ba'alawi
ibn
UbaydiU<ih (hal. 21), Imaduddin menulis:
"Murad Syukri
Suwaidan Abu al-Harits al-Falistini al-Urduni ...". Setelah saya telusuri,
catatan biografi disalin oleh Imaduddin dari situs "Wahabi" berikut :
http://www.al-eman.com/_,Ajjllj.3!_,..%20µ;i2S7&p2 .
Coba
perhatikan, mengapa Imaduddin hanya menyalin sampai di situ?
Jawabannya,
karena baris berikutnya di situs ini menampilkan satu fakta yang terang
benderang yang menunjukkan "kewahabian" Murad Syukri. Pada baris
berikutnya tertulis :
"Murad Syukri mengambil ilmu dari
Albani, Nasib Rifai (tokoh Wahabi Suriah) dll."
Tentu saja
Imaduddin tidak ingin membuat para pengikutnya yang sebagian
besar merupakan Nahdhiyyin merasa kecewa jika mereka mengetahui bahwa selama
ini yang dia jadikan rujukan untuk membatalkan nasab Ba'alawi adalah
ulama-ulama yang sanad keilmuannya tersambung kepada tokoh besar Wahabi, yaitu
Syaikh Albani. Dalam tulisan yang lain Imaduddin masih berusaha menyembunyikan
identitas Wahabi ulama yang menjadi rujukannya, yaitu Murad Syukri. Imaduddin
menulis:
"Ia (Murad Syukri) adalah ulama mazhab Hanbali di
Kementerian Wakaf Negara Yordania . Ia banyak menulis kitab dalam ilmu fikih.
Di antara kitabnya adalah Raf'ul Haraj wa al-Asor An al-M uslimin fi Had zihi
al-A'sor. Ia juga menulis sebuah kitab yang membatalkan nasab Ba'alawi dengan
judul AHth_af fi Ibtal Nasabi al-Hasyimiy Li Bani Alwi wa al-Saqqaf ."330
Lebih
jauh, Imaduddin juga mengakui bahwa Murad Syukri adalah salah satu
"inspirasi" yang berpengaruh dalam tesisnya. Ia mengatakan :
"Tentu
Syaikh Murad Syukri dan lainnya sebagai ulama terdahulu, mempunyai peran
terhadap tesis penulis, tetapi yang penulis suguhkan hari ini jauh lebih
komprehensif dan mendetail dari ulama-ulama sebelumnya yang membatalkan nasab
Ba'alawi." (https://rminubanten .or.id/imam
mahdi-ba-alawi-dan-klasifikasi-ulama-pendukungnya/)
Pada bagian
berikutnya kami akan menyampaikan siapa yang dimaksud dengan ulama
lainnya dalam perkataan Imaduddin tersebut.
Murad Syukri sendiri bukanlah ulama Wahabi kaleng-kaleng. Ia
dikenal sebagai tokoh Wahabi yang terkenal kerap mengucapkan kata-kata kasar,
bahkan pernah mengatakan bahwa para pengikut akidah Imam Asy'ari adalah zindik
yang lebih hina dari sampah dan sudah seharusnya kepala mereka ditebas dengan
pedang. Bukankah Imaduddin dan para pengikutnya masih berakidah Asy'ari?
Berikut
ini tautan videonya :
https://youtu.be/
dUJevUTKLbU?si=T-JblGSSeZaRYlKK.
Perhatikanlah
bagaimana dalam video tersebut Murad Syukri
menyebut Imam Fakhr al-Razi, penulis kitab Syajarah Mubarakah sebagai seorang
zindik. Tokoh Wahabi kedua yang disebutkan oleh Imaduddin sebagai bagian dari
"ulama-ulama sebelumnya yang membatalkan nasab Ba'alawi" adalah
Syaikh
Muqbil al-Wadi'i. Imaduddin menyatakan :
"Para ulama di
Timur Tengah pun ternyata banyak yang berpendapat sama, di antaranya para
ulama asal Yaman . Seorang ahli hadis, Syaikh Muqbil ibn Hadi al-Wada'i dalam
kitabnya Sho'qotuz Zilzal dikatakan bahwa siapa yang bisa mengatakan kepada
saya bahwa nasab leluhur al-Alawi, al-Ahdal, dan al-Qadimi? Mereka adalah tiga
orang yang datang dari Irak ke Yaman . Lalu, mengaku keturunan Nabi Muhammad
atau Alawiyyin . Pendapat beliau bisa dibaca dalam kitabnya Sho'qotuz Zilzal
halaman 45."331
Dalam sebuah video live YouTube bersama Gus Fuad
Plered, Gus Mogi, dan KRT Faqih, Imaduddin masih berupaya mengaburkan
identitas Wahabi Syaikh Muqbil dengan mengatakan :
"Satu lagi
seorang ulama hadis, Syaikh Muqbil ibn Hadi al-Wada'i, orang semua kenal
banyak itu kitab-kitab hadisnya, ia sudah mengatakan Ba'alawi, al-Ahdal,
al-Qudaimi bukan keturunan Baginda Nabi Saw."
(mendengar perkataan Imad, Gus Plered, Gus Mogi, dan KRT Faqih hanya senyum
senyum dan manggut-manggut). 332
Sebagaimana Syaikh Murad Syukri,
Syaikh Muqbil juga bukanlah ulama Wahabi biasa. Ia adalah pemuka ulama Wahabi.
Kedudukannya sebagai ulama penting Wahabi sangat tersohor di seantero Timur
Tengah. Disebutkan bahwa ia punya "tesis" yang mengajak orang-orang untuk
merubuhkan kubah hijau Masjid Nabawi .
Sayid Yusuf al-Rifai, dalam kitab
Nashihah li Ikhw<inirni 'Ulam<i' Najd (Kritik kepada Ulama Wahabi-Nejd)
yang diberi pengantar oleh Syaikh al-Buthi, menjelaskan siapa sebenarnya
Syaikh Muqbil ini:
25. Kalian (ulama Wahabi) mengizinkan Muqbil ibn
Hadi al-Wadi'i yang dikenal dengan caci makinya terhadap para ulama dan orang
saleh umat ini (dalam berbagai tulisan dan kasetnya) untuk mengajukan 'tesis'
di Universitas Madinah dengan judul "[Studi] tentang Kubah yang Dibangun di
Atas Kubur Rasul" di bawah bimbingan Syaikh Hammad al-Anshari. Di dalam tesis
itu secara terang-terangan ia menuntut untuk mengeluarkan makam Baginda Nabi
Saw. dari Masjid Nabawi. Ia menganggap keberadaan makam dan kubah Nabi sebagai
bid'ah yang besar. Ia juga menuntut untuk menghancurkan kubah hijau. Tetapi
kemudian kalian memberi peringkat "lulus" untuk tesis itu!
"Apakah
kalian memberi penghargaan kepada orang yang lancang dan kurang ajar kepada
Baginda Nabi Saw.? Dan laki-laki ini (Muqbil al-Wadi'i) telah mengarahkan
ratusan pengikut fanatiknya dengan membawa senjata untuk menghancurkan dan
membongkar makam-makam orang-orang saleh di Yaman (termasuk makam Habib Abu
Bakar Alaydrus al-Adni) beberapa tahun silam. Mereka membuat kekacauan dan
membongkar makam para wali dengan cangkul dan alat-alat lainnya, bahkan
sebagian mereka menggunakan dinamit untuk melancarkan aksi mereka!"
Entah
bagaimana perasaan para pengikut dan pendukung Imaduddin jika mereka
mengetahui bahwa ulama yang menjadi rujukan idolanya itu ternyata dedengkot
Wahabi, yang nyata-nyata memusuhi kaum Aswaja.
Jadi, diakui atau tidak,
Imaduddin telah "berjasa" mengangkat derajat dan mempromosikan ulama Wahabi
Timur Tengah bahkan dengan sengaja "membungkus" mereka secantik mungkin agar
para pengikutnya percaya bahwa ulama yang ia jadikan rujukan adalah ulama
Aswaja yang kredibel dan kompeten di bidangnya . Sepanjang pengetahuan
penulis, hanya Imaduddin satu-satunya kiai NU yang meng-aswaja-kan ulama
Wahabi.
Meski demikian, saya bisa memaklumi mengapa Imaduddin
bersikap seperti itu. Sebagaimana pernah saya katakan, sejak dulu Imaduddin
dan para pengikutnya menghadapi satu masalah besar yaitu "krisis ulama
pendukung". Karena itulah siapa pun ulamanya, yang penting anti Ba'alawi,
pasti akan didukung dan dijadikan rujukan . Bahkan, seandainya ulama itu
berasal dari negeri antah berantah yang tidak dikenal asal-usulnya, Imaduddin
akan menjadikannya rujukan selama ia menulis sesuatu yang menafikan atau
menyerang Ba'alawi . Sikap Imaduddin ini mengingatkan saya kepada sebuah
pepatah : "Oboreru mono wa wara o mo tsukamu" , sebuah pepatah Jepang yang
berarti "Jerami pun akan digapai saat orang panik dan tenggelam ."
Akhirnya,
saya hanya bisa menyampaikan duka cita mendalam bagi para pendukung dan
pengikut Imaduddin yang selama ini sangat mencintai NU dan istikamah
memerangi penyebaran Salafi Wahabi. Mereka selama ini kencang bersuara
ketika mendengar rumor bahwa tokoh-tokoh Nusantara di-Ba'alawi kan. Namun,
tanpa mereka sadari, berkat upaya dan kegigihan Imaduddin panutan mereka,
tokoh-tokoh Wahabi terkemuka berhasil di-aswaja-kan .Maka, jangan heran jika
kecenderungan dan ajaran Imaduddin ini tidak dihentikan, 50 tahun yang akan
datang anak-cucu mereka akan disuguhi sejarah ulama barn hingga menjadikan
para ulama Wahabi sebagai panutan dan rujukan
KEDELAPAN
Tidak Memiliki Kompetensi dalam llmu Nasab
Tradisi keilmuan Islam
sangat menghargai kepakaran dalam suatubidang. Karenanya, pendapat seseorang
yang bukan pakar dalam suatu bidang tidak dianggap sebagai pandangan yang
muktabar (otoritatif), termasuk
dalam kajian nasab. Hal ini bahkan
dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis sahih
diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan Hassan ibn Tsabit r.a. untuk
bertanya kepada Abu Bakr al-Shiddiq r.a. terkait nasab Quraisy. Beliau
mengakui keahlian Abu Bakr r.a. sebagai pakar yang paling menguasai nasab
Quraisy. Berikut ini redaksi hadis tersebut:
Karena itu, tidak
semua pendapat dalam suatu bidang ilmu bisa langsung diterima begitu saja.
Suatu pandangan berbeda dari seseorang yang bukan pakar tentang sesuatu
masalah maka pandangan itu dianggap tidak ada. Sebab, jika semua pandangan
diterima begitu saja dalam suatu bidang kajian maka tentu bangunan keilmuan
akan hancur. Seorang penyair bertutur:
Contohnya dalam bidang ilmu
fikih. ljtihad seseorang yang tidak punya kapasitas dan tidak memenuhi
kriteria mujtahid yang meliputi beberapa tingkatan maka hasil ijtihadnya itu
tidak dianggap otoritatif . Begitu pula dalam kajian ilmu nasab. Ijtihad
seseorang, terlebih lagi ijtihad yang membatalkan sesuatu yang telah lama
diterima, tidak akan diterima kecuali jika dilakukan oleh
orang yang
telah diakui kepakaran dan integritasnya dalam bidang nasab. Dalam kitab Dun1s
fi 'Ilm al-Nasab, Syaikh Khalil Ibrahim al-Dailami menjelaskan :
Pertanyaannya,
apakah Imaduddin diterima dan diakui
sebagai seorang pakar dalam kajian nasab (al-nass<ib al-tsabat
al-mu'taman)?
Apakah komunitas ilmiah dalam kajian nasab telah mengakui
otoritasnya sebagai ahli nasab, sehingga pandangannya layak dilirik dan
dipertimbangkan?
Apakah ia memiliki otoritas keilmuan
yang memadai untuk menyelisihi puluhan bahkan ratusan ulama dengan
membatalkan nasab Ba'alawi?
A. Apakah Imaduddin
Seorang Nassabah?
Dalam berbagai kesempatan dan juga melalui beberapa
tulisannya, Imaduddin bersikap dan menunjukkan seakan-akan dirinya adalah
orang yang paling paham dan ahli dalam ilmu nasab. Tetapi pertanyaannya,
apakah ia telah memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ahli nasab
(nass<ibah)? Apa sajakah kriterianya?
Sebelum membahas kriteria
seorang al-nass<ibah yang kepakarannya diakui dan hasil ijtihadnya dalam
menetapkan atau membatalkan nasab diterima oleh masyarakat, terlebih dahulu
kita akan mencermati syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh seseorang
yang ingin menekuni ilmu nasab (al-musytaghil bi 'ilm al-nasab) hingga akhimya
ia bisa menekuni dan menjadi ahli nasab (al nass<ibah). Dr. Kamal al-Hut
al-Husaini, dalam kitab J<imi' al-Durar al-Bahiyyah li
al-S<ib
al-Qurasyiyyin fi al-Bilad al-Sy<imiyyah, menjelaskan kriterianya
sebagai
berikut:
"Bagi orang yang menekuni ilmu ini,
disyaratkan agar memenuhi beberapa syarat, di antaranya yang terpenting
..."
"Pertama, bertakwa kepada Allah agar tidak menerima suap dalam
menentukan nasab."
"Kedua, jujur dan tidak berbohong dalam urusan
nasab sehingga menafikan nasab yang sudah ditetapkan dan menetapkan nasab yang
dicantolkan ."
"Ketiga, menghindari maksiat, kebejatan, dan segala
perbuatan yang merusak kehormatan diri (muruah)."
"Keempat,
memiliki ilmu yang luas dalam disiplin ilmu nasab, memilki pemahaman yang
benar, hafalan yang baik, jangkauan pemikiran yang luas, dan memahami hukum
syariat, khususnya yang berkaitan dengan Ahlul Bait."
"Kelima,
teliti dan tidak terburu-buru, jauh dari sifat gegabah dan abai, betul-betul
mencermati dan menganalisis suatu nasab sebelum memberikan pendapatnya ."
"Keenam,
memiliki jiwa yang kuat agar tidak bisa ditakut-takuti oleh orang zalim yang
kemudian menyuruhnya melakukan kebatilan dan mengabaikan kebenaran ."
"Syarat
tambahan, tulisannya hams bagus agar bisa menulis musyajjar dengan
baik."
Jika kita cermati kriteria orang yang layak menekuni ilmu
nasab, yang mungkin tugasnya hanya sebagai pencatat dan penjaga amanat nasab,
maka Imaduddin jelas tidak memenuhi kriteria tersebut. Misalnya untuk syarat
nomor 2, yaitu hams jujur. Imaduddin tidak memenuhi kriteria dan syarat yang
kedua ini karena ia telah banyak melakukan kebohongan publik demi mendukung
pandangannya, sebagaimana telah kami uraikan . Karenanya, Imaduddin bisa
dikategorikan sebagai orang yang majn1h (tidak memiliki integritas).
Sama
halnya, Imaduddin juga tidak memenuhi syarat nomor 4, karena ia tidak pernah
dikenal sebagai orang yang memiliki wawasan yang luas dalam kajian nasab.
Tiba-tiba saja Imaduddin muncul menyebarkan artikel tulisan beberapa tokoh
Wahabi yang membatalkan nasab Ba'alawi sebagaimana telah kami jelaskan. Apa
yang dilakukan Imaduddin hanyalah tems-menems meracau tentang Ba'alawi.
Sebelum ini, Imaduddin tidak pernah diketahui melakukan analisis terhadap
nasab seseorang, tidak pernah dikenal berkecimpung dalam kajian nasab secara
umum . Dengan demikian, Imaduddin tidak memenuhi syarat nomor 4.
Kemudian
berkaitan dengan syarat nomor 5, semua yang menelaah pe nelitian Imaduddin
akan melihat, betapa tidak hati-hatinya Imaduddin dalam upayanya membatalkan
nasab Ba'alawi, mulai dari cacat logika, menyebarkan kebohongan, sampai
pengambilan kesimpulan yang serampangan . Imaduddin melakukan semua itu
sebagaimana telah kami jelaskan . Sepertinya, Imaduddin akan melakukan langkah
apa pun selama bisa menguatkan pendapatnya yang membatalkan nasab Ba'alawi.
"Wain
aftal muftun," ujarnya .
Untuk memenuhi kriteria orang yang menekuni ilmu
nasab saja kapasitas Imaduddin tidak layak. Jadi, bagaimana mungkin ia dapat
memenuhi nassabah,
seseorang yang dianggap pakar dan menjadi rujukan pada
pemerhati kajian nasab? Dalam Rasa'il fi 'Ilm al-Nasab, Sayyid Husain
al-Hasyimi menjelaskan kriteria nassabah sebagai berikut :
"Tingkatan
pertama, inilah salah satu rukun (tiang kokoh) ilmu nasab, yaitu
nassabah (ahli nasab) yang hafal (banyak nasab), yang kokoh dan kuat
hafalannya, seorang muhaqqiq dan muharrir yang cermat, cerdas, dan mantap
kepakarannya, selalu mencari yang benar, sadar, tidak lalai dan tidak
terkecoh oleh waham, mujtahid yang berdiri sendiri, mengetahui rahasia-rahasia
nasab dan hal-hal yang halus, bisa mendeteksi sela-sela dalam nasab yang
munkar, objektif, terlepas dari belenggu nafsu, tepercaya, tidak pernah
bohong, memegang teguh janji setia ahli nasab dan menjaga qanun (segala
aturan) dalam disiplin ilmu nasab."
Dari kriteria di atas, siapa
saja bisa langsung mengambil kesimpulan bahwa kapasitas dan kompetensi
Imaduddin sangatlah jauh . Dengan demikian, dari perspektif ilmu nasab dan
pada pandangan para pengkaji nasab, Imaduddin bukanlah siapa-siapa. Ia
bukan sosok ahli atau ulama nasab yang muktabar
(otoritatif). Pandangannya tentang nasab, apalagi yang menyelisihi
pandangan para ulama terdahulu, tidak dapat dikategorikan sebagai
pandangan yang oto ritatif . Pandangannya itu tidak memiliki bobot apa-apa
dalam disiplin ilmu nasab. Jika melihat klasifikasi tingkatan orang yang
menekuni kajian nasab maka Imaduddin dan para pendukungnya masuk dalam
tingkatan ke-4, yaitu kategori buzzer (pendengung) yang hanya sibuk
berdebat dan membuat kegaduhan di
media sosial. Sayid Husain
al-Hasyimi mengatakan :
"Tingkatan terakhir adalah para perusuh
atau pelaku debat yang tercela. Kebanyakan mereka adalah orang muda.
Pandangan mereka tersebar banyak di internet dan situs-situs tentang
nasab. Mereka bodoh, berakhlak buruk, dan kerap melontarkan ucapan yang kotor
dan buruk. Mereka ini adalah para perusuh yang hobi berdebat serta memiliki
banyak motif atas apa yang mereka lakukan."
B. Tidak Pernah
Bergum kepada Nassabah
Mempelajari suatu disiplin ilmu pengetahuan
menuntut kesungguhan, kegigihan, dan kesabaran . Selain itu, orang yang ingin
belajar dan menguasai suatu bidang ilmu tentu saja ia hams belajar dan berguru
kepada ahlinya, kepada seorang guru yang mumpuni dan memiliki kapasitas
keilmuan yang lebih baik. Dalam Mukadimah Shahih Muslim disebutkan bahwa
al-Imam Muhammad ibn Sirin (seorang ulama pada era tabiin) menegaskan
"Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari agama. Maka,
perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian ."
Dalam
nasihat yang masyhur di kalangan pesantren salaf disebutkan bahwa siapa saja
yang hanya berguru kepada kitab, tanpa bimbingan seorang guru atau syaikh maka
gurunya adalah setan.
Sama seperti disiplin ilmu Islam lainnya, ilmu
nasab juga hams dipelajari dari para masyayikh yang kompeten dan pakar dalam
kajian nasab. Ironisnya, Imaduddin tidak pernah talaqqi (menimba) ilmu nasab
dari seorang Syakh Nassabah. Ia terns mengutak-atik nasab Ba'alawi secara
autodidak. Di sisi lain, ia kerap berbicara tentang pentingnya sanad
(matarantai) periwayatan nasab. Imaduddin sendiri tidak memiliki sanad yang
jelas dalam kajian ilmu nasab. Tiba-tiba ia muncul digelembungkan oleh media
sosial dan ditahbiskan sebagai mujaddid, seorang pakar ilmu nasab yang
menyelisihi serta mengabaikan pandangan para nassabah yang telah bertahan
selama ratusan tahun tentang keabsahan nasab Ba'alawi. Fenomena menyesatkan
sebagai akibat dari tidak belajar kepada guru yang kompeten ini telah
disinggung jauh-jauh hari oleh al-Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam
al-Fatawa' al-Haditsiyah. Ia mengatakan :
"Obat tidak akan bekerja
dengan baik kecuali bagi orang yang diketahui tidak punya alergi dalam dirinya
terhadap obat itu. Pengetahuan tentang hal itu hanya dimiliki oleh seorang
dokter yang belajar langsung dari dokter ahli secara langsung, bukan hanya
melalui tulisan. Masalah ini tidak hanya khusus dalam ilmu kedokteran. Siapa
saja yang belajar suatu ilmu hanya dari buku maka ia menjadi sesat dan
menyesatkan . Karenanya, al-Imam al-Nawawi berkata, 'Ketika seseorang
mendapati satu masalah yang disebutkan dalam sepuluh kitab, ia tidak boleh
berfatwa berdasarkan kitab-kitab itu. Sebab, ada kemungkinan kitab-kitab itu
mengadopsi pendapat yang lemah."
Nasab Ba'alawi telah diterima dan
diakui oleh puluhan bahkan ratusan ulama ahli nasab, ahli fikih, dan
ahli sejarah selama ratusan tahun . Lalu, tiba-tiba muncul seseorang dari
antah berantah yang tidak pernah belajar ilmu nasab dan tidak pernah dikenal
sebagai analis atau pakar nasab yang membatalkan nasab Ba'alawi. Akal sehat
mana yang bisa menerima? Imaduddin muncul ke permukaan begitu saja untuk
membatalkan nasab Ba'alawi dan menyerukan bahwa hanya pendapatnya yang benar,
sedangkan pandangan para ulama sebelumnya keliru. Terkait tiadanya kompetensi
pendapat seorang yang tidak belajar dari guru dalam sebuah bidang,
al-'Allamah Prof . Dr. Muhammad 'Awamah dalam kitabnya yang berisi petunjuk
untuk para penuntut ilmu mengatakan:
"Para ulama terdahulu tidak menoleh
kepada orang yang tidak punya guru dalam sebuah disiplin ilmu. Para
ulama juga tidak menganggap orang seperti itu yang tidak mendapatkan
wewenang apa-apa. Mereka juga memandang orang seperti itu
tidak pantas diajak diskusi karena ia hanyalah tempatnya kesalahan dan
kekeliruan."
Dalam kitab Is'iif al-Mubatha' Imam al-Suyuthi
meriwayatkan bahwa Imam Malik r.a. ditanya, "Apakah sebuah ilmu bisa diambil
dari orang yang tidak pernah menuntutnya dan belajar kepada seorang guru?"
Dengan tegas Imam Malik menjawab, "Tidak!"340
C.
Kebodohan yang Mendunia
Dalam dunia keilmuan Islam, kesaksian seorang
alim yang ahli dalam bidang ilmunya terhadap kapasitas keilmuan seseorang
menjadi nilai tersendiri dalam mengonfirmasi kompetensinya pada suatu disiplin
ilmu. Alih-alih mendapatkan pengakuan tentangkapasitasnya dalam ilmu nasab
dari para ulama internasional, justru kebodohannyalah yang kemudian diakui
oleh para ulama internasinal. Berikut ini beberapa pernyataan ulama dunia
tentang kebodohan Imaduddin .
1. Prof. Dr. Aqil
al-Mahdali al-Musawi al-Husaini, mantan rektor salah satu perguruan tinggi di
Kedah Malaysia, sebagaimana telah kami kutip secara utuh pada Bab 1, ketika
mengomentari pembatalan nasab Ba'alawi yang dilakukan oleh Imad,
mengatakan :
"(Orangyangmembatalkan nasab Ba'alawi) adalah
orangyangbodoh kuadrat. Ia telah kehilangan akal dan ingatannya. Berdasarkan
pandangannya itu, ia layak dibariskan dalam barian orang-orang gila."
2.
Prof. Dr. Syaikh Ali Jumah, ulama besar al-Azhar dan mantan Grand Mufti
Republik Mesir, ketika ditanya tentang
nasab Ba'alawi, ia menegaskan bahwa nasab
Ba'alawi sah secara ijmak serta tidak
ada satu pun yang meragukannya sepanjang sejarah. Lebih
lanjut ia mengatakan :
"Perkataan ini (yang membatalkan nasab
Ba'alawi) membawa kebodohan luar biasa yang kadarnya hanya diketahui oleh
Allah."341
3. Al-Nassabah al-Syarif Ibrahim ibn
Manshur al-Amir, pakar teori ilmu nasab yang beberapa karyanya kerap dijadikan
rujukan oleh Imad, dalam wawancaranya bersama Gus Rumail Abbas menegaskan
bahwa pembatalan nasab Ba'alawi seperti yang dilakukan Imaduddin didasari oleh
kebodohan kuadrat (jahl murakkab) berkaitan dengan ilmu nasab dan
kaidah kaidahnya .342
Kesaksian para ulama ini tentang "kebodohan
Imaduddin " dalam ilmu nasab setidaknya menjadi salah satu indikator kuat
bahwa Imaduddin adalah orang yang awam dalam ilmu nasab sehingga
pendapatnya tidak muktabar (otoritatit) . Terlebih lagi, pandangannya yang
menyelisihi semua ulama tidak layak dipertimbangkan, karena ia bukanlah
seorang ahli dalam bidang nasab.
D.
Kampanye Antitaklid
Dalam konsep Ahlus-Sunnah wal-Jam<i 'ah,
ketika ada hal yang bersifat ma'Wm min al-din bi ak-dhan1rah (hal mendasar
yang umum diketahui) seperti sifat sifat wajib bagi Allah Swt., kewajiban
shalat, keharaman zina, dan lain-lain, maka menjadi kewajiban bagi Muslim
untuk tidak taklid. Setiap Muslim hams meyakini dan memahami dasar-dasarnya
dengan kesadaran penuh . Namun, selain hal-hal yang bersifat ma'h1m min al-din
bi ak-dhan1rah, kewajiban dan kebolehan ijtihad hanya dikhususkan untuk orang
yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid . Bagi orang yang tidak memiliki
kapasitas mujtahid, ia wajib taklid. Jika ia memiliki ilmu tetapi tidak punya
perangkat yang cukup untuk memenuhi kualifikasi mujtahid, ia wajib bertaklid
kepada Mujtahid . Hal ini telah dijelaskan oleh para ahli ushul, di antanya
Imam al-Zarkasyi. Ia mengatakan :
Jika diperhatikan secara saksama,
ungkapan di atas tidak dikhususkan untuk fikih, tetapi untuk segala
bidang keilmuan, termasuk ilmu nasab. Jika seseorang tidak memiliki kapasitas
nass<ibah mujtahid maka ia wajib taklid kepada nass<ibah yang diakui
kepakaran dan kredibilitasnya . Karena itulah dalam kajian ilmu nasab salah
satu cara untuk menetapkan (itsbat) nasab adalah
adanya keterangan
tertulis dari seorang nass<ibah (WI .k.;.) yang kompeten
tentang
keabsahan nasab sebagaimana telah kami jelaskan di buku ini.
Sikap inilah yang ditunjukkan oleh seorang ulama besar ahli fikih dan ushul
fikih dari NU, yaitu Kiai Afifuddin Muhajir, ketika mengomentari polemik nasab
Ba'alawi di media sosial. Dengan segala keluasan ilmunya ia mengatakan :
"Saya
sendiri merasa sebagai orang awam dalam kajian nasab sehingga tidak mau larut
membahas persoalan ini. Saya sama sekali tidak bertanya tentang dalil
yang mengisbat atau menafikan ketersambungan nasab Ba'alawi kepada Nabi Saw.
Saya hanya bertanya tentang pandangan ulama terdahulu dari kalangan Nahdhatul
Ulama dan guru-guru mereka mengenai masalah ini. Jadi, yang bisa saya lakukan
adalah mengikuti dan taklid kepada mereka, apa pun pendapat mereka . Setiap
kebaikan ada di balik mengikuti ulama terdahulu, dan setiap keburukan ada di
balik bid'ahnya orang yang datang kemudian ."
Tentunya kita
sama-sama mengetahui bagaimana para syaikh
Nahdlatul Ulama dan guru mereka mengakui keabsahan nasab
Ba'alawi sebagaimana telah diuraikan dalam Pasal 3 dan 4 Bab 1. Namun,
apa yang disampaikan K.H. Afifuddin Muhajir (Wakil Ketua Rais Am PBNU)
merupakan satir atau sindirian kepada pihak yang memosisikan diri
sebagai mujtahid padahal ilmunya masih taraf muqallid, orang yang awam dalam
kajian ilmu nasab. Inilah yang dilakukan Imad. Bahkan, ia menyuarakan
kewajiban ijtihad dan keharaman taklid kepada para kiai dalam masalah nasab.
Padahal belum tentu seorang kiai yang ahli dalam bidang fikih ia juga ahli
dalam bidang nasab. Bahkan, seorang yang alim dan meneliti sekalipun belum
tentu mencapai tingkatan nass<ibah mujtahid . Konsep antitaklid
yang disuarakan Imaduddin ini persis
dengan apa yang
dikampanyekan golongan ia
madzhabiyah (antimazhab) dari kalangan Salafi Wahabi. Mereka
berkampanye kembali kepada dalil Al-Qur'an dan Sunnah dalam masalah funl'.
Padahal, hanya orang dengan kapasitas mujtahid saja yang memiliki perangkat
lengkap untuk menggali hukum dengan benar dari Al-Qur'an dan Sunnah serta
qiyas, dan lain-lain. Jika orang yang bukan ahli dipaksa menggali hukum
langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah maka yang akan terjadi adalah kerancuan
berpikir dan kekacuan kesimpulan . Sama halnya, jika orang yang bukan
nass<ibah diminta mensahihkan atau menafikan nasab yang sudah berusia
ratusan tahun maka yang akan terjadi adalah menyambung yang terputus dan
memutuskan yang tersambung. Pola ini juga berlaku pada semua
disiplin
ilmu. Jika seorang yang bukan ahli seenaknya berpendapat dalam satu disiplin
ilmu maka rusaklah tatanan disiplin Ilmu. ia h_awla wa ia quwwata ma
bill<ih. Pantas jika Imam Ibn Hajar al-Asqalani berkata:
Imam
Ibn Hazm al-Zhahiri juga mengatakan :
"Penyakit yang paling
berbahaya bagi berbagai disiplin ilmu dan para
ahli ilmu adalah orang yang infiltrasi kedalamannya, sementara ia
bukanlah ahlinya. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui tetapi merasa
mengetahui. Mereka merusak, tetapi mereka merasa memperbaiki."
Imad,
yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ilmu nasab, seharusnya
mengikuti para ulama yang telah diakui keahliannya . Alih-alih, ia membuat
teori-teori tidak jelas yang menyelisihi para ahli nasab terdahulu . Dalam
tradisi keilmuan Islam, mengikuti panduan dan ajaran para
ulama yang tepercaya dan kompeten menjadi keniscayaan, terutama
dalam bidang ilmu yang sensitif seperti nasab.
Para ulama yang
kemudian dikenal sebagai ahli nasab telah melalui proses pendidikan yang
ketat, memiliki sanad yang jelas, dan diakui secara luas oleh komunitas
ilmiah. Mereka memiliki pengetahuan mendalam yang didasarkan atas studi yang
komprehensif dan pembelajaran dari guru-guru yang kompeten. Mengabaikan
otoritas dan keahlian serta membuat teori sendiri yang nyleneh hanya akan
menimbulkan kebingungan, disinformasi, dan penyimpangan di kalangan umat.
E.
Melempar Temuan Prematur Tanpa Tashih para Ahli
Para ulama terdahulu
sangat berhati-hati dalam menerbitkan karya. Mereka tidak menerbitkan karya
kecuali setelah melalui tahapan koreksi yang berlapis sampai benar-benar
matang dan layak terbit. Dalam mukadimah al-Majmu', Imam al-Nawawi r.a.
berkata :
"Hendaknya (seorang penulis) berhati-hati agar tidak
menerbitkan karya kecuali setelah mengoreksi, mematangkannya, dan meninjaunya
secara berulang-ulang ."
Sementara, Imaduddin melakukan tindakan
yang biasa dilakukan oleh para pemalsu nasab, yaitu menulis kitab tentang
nasab lalu melemparkannya kepada masyarakat awam tanpa ditahkik oleh pakar.
Tindakan Imaduddin ini merupakan kecerobohan ilmiah yang nyata.
Tindakannya itu merusak integritas ilmu dan menimbulkan kebingungan di tengah
umat. Proses tahkik oleh pakar sangat penting untuk memastikan keakuratan
informasi, terutama dalam masalah yang sensitif seperti nasab.
Tindakan Imaduddin ini menunjukkan Dengan mengabaikan langkah ini, Imaduddin
menunjukkan kurangnya tanggung jawab ilmiah dan menampakkan karakter sebagai
peneliti gadungan tentang nasab. Terkait hal ini, dalam Ras<i'il fi 'Um
al-Ans<ib disebutkan :
"Karena itu, para pemalsu nasab mesti
ingat bahwa tulisan mereka itu akan dibaca oleh para pakar, tidak seperti
dugaan mereka bahwa tulisan mereka hanya akan dibaca oleh orang
awam yang bukan ahli. Karena dugaan itu, mereka merasa akan aman dan selamat
dari kritik atas kebohongan mereka. Jangan berharap bahwa tulisan mereka akan
beredar di tengah masyarakat tanpa pengawasan. Karena itu,
nass<ibah yang tsiqah dan kompeten hanya akan menulis untuk
(diajukan) kepada pakar terlebih dahulu barulah kemudian disebarkan kepada
umat di luar pakar."
Kesembronoan Imaduddin ini bertolak belakang
dengan akhlak para ulama terdahulu . Ketika menulis kitab al-M ughni 'An Hamli
al-Asfar fi al-Asfar (Takhrij Hadis-Hadis Iby<i' 'Uhlmiddin), al-Hafiz
al-Iraqi mengoreksi draf (taswid) kitab itu sampai 39 tahun . Setelah itu
barulah ia melakukan finalisasi (tabyidh), lalu menerbitkannya . Dalam
kitabnya itu ia mengatakan
"Aku telah menuntaskan penulisan buku
ini pada 751 H dan aku menyem purnakan finalisasi naskahnya pada hari Senin
12 Rabiul Akhir tahun 790 H."
Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami, dalam
kitab Fath_ al-Jawad Syarh aHrsy<id, bercerita tentang gurunya,
al-Imam Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari yang berulang-ulang mengoreksi dan
menerima koreksian dari orang lain atas kitabnya Fath_ al-Wahh<ib Syarh_
Manhaj al-Thull<ib. Bahkan, Syaikh al-Islam memberikan hadiah kepada orang
yang menyampaikan koreksi atas kitabnya itu. Berikut ini ungkapan Imam Ibn
Hajar al-Haitami :348
Berbeda dengan Imaduddin yang serampangan dan
sembrono, para ulama besar terdahulu dengan segala keluasan ilmunya sangat
berhati-hati ketika menuliskan dan menerbitkan karya. Mereka memiliki
kesadaran yang penuh bahwa semua yang tertulis dan dibaca oleh umat akan
dipertanggungjawabkan sepenuhnya di hadapan Allah Swt.
KESEMBILAN
Membatalkan Nasab Jauh dengan Tes DNA
Imaduddin
dan para pengikutnya
menganggap nasab Ba'alawi batal
berdasarkan hasil tes DNA. Menurut mereka, Ba'alawi bukanlah keturunan
Nabi Saw. karena hasil tes DNA menunjukkan bahwa haplogrup mereka
adalah G2, sedangkan keturunan Sayidina
Husain seharusnya berhaplogrup Jl. Pada bagian ini kami akan
menguraikan bahwa pembatalan nasab Ba'alawi melalui hasil tes DNA di atas
merupakan kesalahan baik dari sudut pandang sains maupun syariah.
Analisis
DNA dan Konfirmasi Nasab
1. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan DNA
Dalam pengertian sempit sains dipahami sebagai
ilmu untuk memahami fenomena alam. Fenomena alam itu merupakan bagian dari
ketetapan Allah Swt., termasuk berbagai perubahan yang terjadi di dalamnya.
Semua ciptaan Allah dan semua fenomena alam berjalan sesuai dengan
sunn<itulllih, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Furqan ayat 2:
"Dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu
menetapkan ukuran ukurannya dengan tepat." (QS Al-Furqan : 2)
Pemahaman
manusia mengenai fenomena alam terns berkembang dan ber ubah-ubah dari waktu
ke waktu karena sifat pengetahuan manusia yang terbatas dan berkembang. Dahulu
para ilmuwan percaya adanya medium perambat cahaya yang bemama Ether.349
Seiring dengan perkembangan pengetahuan, teori tentang Ether ini terbukti
salah sehingga tidak diikuti lagi. Dahulu ada ilmu yang disebut frenologi,
yaitu studi yang mempelajari bentuk tengkorak manusia dan kaitannya dengan
kemampuan dan kepribadian . Saat ini ilmu tersebut dianggap sebagai
pseudoscience (kepercayaan atau teori yang salah yang awalnya dianggap
ilmiah). Penelitian ilmiah modern menghapusnya dari khazanah pengetahuan
modern dengan membuktikan bahwa ciri-ciri kepribadian tidak dapat ditelusuri
dengan meneliti bagian otak tertentu.
Demikian pula teori alam semesta
yang dikemukakan oleh Albert Einstein pada 1917 ternyata bertentangan dengan
fakta dan penemuan barn Edwin Hubble yang menunjukkan bahwa alam semesta
(universe) ini berekspansi, walaupun sebagian teori Einstein juga dibuktikan
kebenarannya oleh Hubble. Banyak lagi teori lainnya yang bernbah seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan barn.
Termasuk
juga teori evolusi manusia yang diperkenalkan oleh Darwin . Evolusi yang
terjadi pada makhluk hidup bisa saja terjadi dan pada dasarnya tidak
bertentangan dengan agama (Islam). Namun, khusus untuk evolusi manusia atau
yang kita kenal sebagai "Bani Adam" (keturnnan Nabi Adam) teori evolusi ini
terbukti tidak benar dan dipatahkan oleh teori serta penemuan lainnya,
termasuk DNA di dalamnya. Teknologi DNA membuktikan bahwa manusia saat ini
berasal dari manusia pertama yang dikenal sebagai "Y-chromosomal Adam" atau
Y-Adam . Namun, kebanyakan saintis DNA memercayai bahwa Y-Adam tidak berhenti
sampai di situ saja. Pendapat ini pada dasarnya mernpakan kepanjangan teori
Darwin itu sendiri. Menurnt para saintis, "Y-chromosomal Adam"
atau Y-Adam itu sendiri pada dasamya adalah hasil evolusi "manusia purba" yang
hidup sebelumnya.350 Menurut teori DNA yang sampai saat ini dipercayai para
saintis, di samping merupakan hasil evolusi sebelumnya, sebagian manusia
modem yang ada sekarang ini merupakan hasil percampuran
dengan Neanderthal, yaitu "manusia purba" (primata setengah manusia)
yang hidup ratusan ribu tahun silam dan diperkirakan punah sekitar
40 ribu tahun lalu. Teori ini juga dipopulerkan oleh seorang penulis Yahudi
bemama Yuval Noah Harari dalam buku terkenalnya yang berjudul Sapiens: A Brief
History of Humankind .351 Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Kalau kita konsisten dengan teori DNA
ini dan tidak tebang pilih maka Nabi Adam yang diduga sebagai Homo Sapiens352
(manusia modern) pertama adalah hasil evolusi dan tentunya mempunyai "ayah"
dan "ibu" biologis. Teori Nabi Adam yang merupakan hasil evolusi biologis dan
mempunyai "ayah" dan "ibu" ini tentu saja tidak diterima para ulama karena
bertentangan dengan ajaran Islam. Agama Kristen dan Yahudi pun menolaknya .
Evolusi manusia semacam ini semata-mata berdasarkan praduga (zhanni)
menggunakan fosil yang diduga sebagai Homo Sapiens (manusia) masa lalu dan
analisis DNA yang dibandingkan dengan manusia sekarang, walaupun tidak ada
bukti yang pasti mengenai hal ini. Sementara Al-Qur'an dengan jelas
menyebutkan:
"Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi
Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah,
kemudian Allah berfirman kepadanya, 'Jadilah' (seorang manusia) maka jadilah
dia." (QS Ali 'Imran: 59)
Ayat di atas berkaitan dengan pertanyaan
bagaimana Nabi Isa diciptakan tanpa ibu. Allah menjelaskan bahwa masalah
penciptaan Nabi Isa di sisi Allah seperti penciptaan Nabi Adam. Nabi Adam
diciptakan oleh Allah tanpa ayah dan tanpa ibu dan Allah menciptakannya dari
unsur-unsur tanah, tidak berbeda dengan penciptaan Nabi Isa.
Di samping
Y-Adam sebagai hasil evolusi yang tentunya meniscayakan adanya ibu biologis,
dalam dunia DNA juga dipercayai bahwa leluhur wanita manusia modern yang
disebut "MtDNA Eve" atau theoretical Eve (Siti Hawa) juga bukanlah
satu-satunya wanita pertama yang hidup saat itu. Menurut
teori ini, ada kemungkinan bahwa wanita yang hidup sekarang bukan hanya
keturunan Siti Hawa, melainkan mungkin keturunan wanita lain yang hidup
pada masa lalu.353
Ada sebagian orang yang salah kaprah menyikapi sains,
baik itu ilmu sosial maupun ilmu alam. Mereka selalu menggunakan standar
metodologi fisika yang dianggap berhasil dalam 300 tahun terakhir.
Mereka berasumsi tanpa argumen yang meyakinkan bahwa semua bidang studi, jika
ingin dianggap "ilmiah", hams memiliki kesamaan ciri-ciri dasar fisika. Metode
seperti ini dipopulerkan oleh Lakatos, seorang filsuf matematika dan sains
asal Hungaria . Paul Feyerabend (1976) seorang filsuf sains mengkritik
Lakatos. Metode dan fenomena yang terjadi dan diterapkan dalam ilmu fisika
tidak bisa serta-merta diterapkan sepenuhnya dalam ilmu lain, misalnya
biologi. Ada perbedaan perbedaan penting dalam fenomena biologi. Penjelasan
mengenai hal ini dibahas panjang lebar oleh Alan Charmers, seorang
ilmuwan dari University of Australia di Sydney dalam bukunya yang
terkenal, What Is This Thing Called Science (Apakah yang Disebut Sains).354
Kita
hams menyadari bahwa ilmu dan teknologi DNA muncul dan ber kembang beberapa
dekade terakhir. Teknologi ini relatif barn dan masih terus berkembang .
Karenanya, pemahaman manusia mengenai ilmu dan berbagai penemuan di
dunia inijuga masih terns berkembang dan bernbah-ubah. Banyak hal yang masih
belum diketahui dan belum bisa dijelaskan secara pasti. Berbagai teori ilmiah
dikemukakan tetapi tidak semuanya bernpa kepastian. Semua ini mernpakan bagian
dari usaha manusia untuk memahami dan menjelaskan fenomena alam dan biologis
sehingga pemahaman para pakar dalam hal ini pun berkembang dan berbeda-beda.
355 Berbagai teori dan perbedaan pendapat para pakar di dunia DNA ini banyak
ditemui di sejumlah jurnal ilmiah genetika dan biologi evolusi. Demikian pula
di dunia antrogenika yang khusus mendalami genetika dan antropologi.
Para
ahli membangun berbagai teori berdasarkan analisis DNA dan penemuan arkeologi,
baik teori kesehatan maupun teori migrasi, didukung oleh data-data statistik
dan analisis. Lagi-lagi ini adalah teori yang belum tentu benar sepenuhnya,
apalagi ketika digunakan untuk menelusuri leluhur yang berjarak ribuan tahun
.Teori evolusi itu sendiri masih mendapat tantangan dari para ahli,
sebagaimana disebutkan dalam buku 32 Challenges to Evolutionary
Theory.356
Analisis perkiraan umur berbagai percabangan kelompok dan
Haplogroup berdasarkan mutasi genetik yang umurnya mencapai puluhan ribu tahun
itu masih terns bernbah-ubah dengan metode perhitungan yang berbeda-beda .
Hasilnya pun masih sangat perlu diuji dan dipertanyakan kebenarannya .
Sebagian mencoba menjelajah keturnnan Nabi Ibrahim dan menggunakan kalkulator
genetika untuk menghitung usia mutasi sampel-sampel yang digunakan. Keanehan
perhitungan usia genetika ini bermunculan karena tidak sesuai dengan fakta
sejarah, mengingat zaman Nabi Ibrahim diperkirakan belum sampai tujuh ribu
tahun lalu. Sementara, teori DNA menyebutkan manusia mulai bermigrasi dari
Afrika sekitar 60 ribu tahun lalu. Ada jarak yang sangat jauh antara teori
migrasi manusia dari Afrika sampai ke zaman Nabi Ibrahim, apalagi sampai ke
Y-Adam yang diperkirakan hidup sekitar 200-230 ribu tahun lalu. Belum lagi
perhitungan masa hidup dan keberadaan wanita pertama "Hawa (Eve)" yang tidak
sama dengan masa hidup Nabi Adam.357 Bahkan, perbedaannya mencapai puluhan
ribu tahun dengan berbagai versi perhitungannya! Bukankah semua fakta ini
menunjukkan bahwa analisis DNA masih sangat spekulatif dan rekaan? Bagaimana
kita bisa memastikan kebenarannya?
Teori DNA menyimpulkan bahwa
manusia pertama berasal dari Afrika sekitar 250 ribu tahun lalu dan kemudian
bermigrasi ke berbagai pelosok penjuru dunia sekitar 60 ribu tahun lalu.
Pernyataan ini memunculkan pertanyaan besar! Benarkah manusia
pertama-yang kita yakini adalah Nabi Adam- itu berasal dari Afrika dan hidup
sekitar 230 ribu tahun lalu? Dalam penemuan yang lebih mutakhir ditemukan
fosil tertua "Homo Sapiens" di Maroko.358 Para saintis
berasumsi fosil itu adalah fosil manusia yang keturunannya sama dengan manusia
modern saat ini. Fosil ini diperkirakan hidup sekitar 315 ribu tahun lalu.
Artinya, ia hidup hampir 100 ribu tahun lebih tua dari perkiraan dan asumsi
sebelumnya. Lalu pertanyaan besarnya, apakah benar yang dianggap
"manusia" ini adalah Bani Adam dan apakah valid menggunakan analisis DNA
manusia-manusia purba ini untuk menghubungkan mereka dengan manusia modern
saat ini? Apakah benar "makhluk-makhluk ini'' adalah leluhur atau kerabat Bani
Adam yang hidup saat ini? Jika mereka ini dijadikan referensi tentu
hasilnya juga akan memengaruhi analisis DNA mengenai perhitungan dan leluhur
manusia zaman ini. Kalau "Adam" ini dianggap hidup lebih dari 200 ribu tahun
lalu, mungkinkah jarak antara Nabi Ibrahim sampai Nabi Adam lebih dari
200 ribu tahun sementara tidak ada
sejarah dan data arkeologi atau artefak yang bisa membuktikannya?
Sampai saat ini tidak ada bukti yang mendukung kebenarannya, termasuk
percampuran Homo Sapiens (manusia modern) dengan Neanderthal
yang disebutkan sebelumnya . Lagi-lagi ini adalah misteri dan fenomena yang
masih bersifat spekulatif . Agar lebih mudah dipahami, baiknya kita melihat
seperti apa teori migrasi dan evolusi yang digadang gadang para ahli DNA dan
antrogenika ini. Gelombang migrasi manusia dan periode migrasinya digambarkan
secara sederhana di bagan berikut ini.
Bagan 1-Gelombang Migrasi
Manusia dari Afrika dan Perkiraan Zamannya 359
2.
DNA dan Teori Migrasi
Manusia memiliki 46 kromosom yang terdiri atas 23
pasang pada setiap selnya. Pasangan ke-23 adalah kromosom yang menentukan
jenis kelamin, yaitu kromosom X dan kromosom Y. Perlu diketahui, kromosom Y
hanya dimiliki lak-laki dan hanya diturunkan melalui jalur laki-laki.
Informasi genetik yang terdapat dalam kromosom dapat memberikan
instruksi untuk menentukan sifat-sifat individu, seperti warna rambut, tinggi
badan, dan kecenderungan terhadap penyakit tertentu .
Ada tiga jenis
utama tes DNA terkait penelusuran keturunan atau silsilah, yaitu autosomal
(yang mencakup X-DNA), Y-DNA, dan mtDNA.
• Tes DNA
autosomal. Tes ini melihat pasangan kromosom 1-22 dan bagian X dari kromosom
ke-23. Autosom (pasangan kromosom 1-22) diwarisi dari kedua orang tua dan
beberapa generasi sebelumnya. Semakin jauh generasi leluhurnya, semakin
sedikit genetik yang diwariskan. Perkiraan etnis yang ditawarkan oleh berbagai
perusahaan penyedia jasa uji DNA menggunakan tes DNA autosomal ini. Perkiraan
etnis ini sangat tergantung database yang dimiliki perusahaan dan metode yang
digunakan . Pendefinisian etnis pun berbeda-beda di antara masing-masing
perusahaan . Pendefinisiannya juga berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
data, penemuan, dan teknologi.
• Tes Y-DNA hanya
memfokuskan tes kromosom Y, yang diturunkan dari ayah ke anak. Dengan
demikian, tes Y-DNA hanya bisa dilakukan oleh laki laki untuk mengetahui
garis ayah langsungnya .
• mtDNA melihat mitokondria
yang diturunkan dari ibu ke anak. Dengan demikian, tes mtDNA dapat dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan, serta untuk menelusuri garis keturunan langsung
dari ibu.
Y-DNA dan mtDNA tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
etnis, tetapi dapat digunakan untuk menemukan Haplogroup seseorang,
yangtersebar tidak merata secara geografis. Perusahaan tes DNA komersial yang
jasanya bisa digunakan siapa pun sering kali memberi label Haplogroup
berdasarkan benua atau etnis (misalnya, "Haplogroup Afrika" atau "Haplogroup
Viking"), namun label ini bersifat spekulatif atau menyesatkan . Hal ini
dijelaskan dalam sebuah jurnal ilmiah khusus genetika yang berjudul Inferring
Genetic Ancestry : Opportunities, Challenges, and Implications .36 0
Untuk
membatasi masalah, pembahasan DNA di sini dikonsentrasikan pada
paternal DNA saja, yaitu pola genetik yang secara teori sampai saat ini hanya
diturunkan melalui jalur ayah. Para ilmuwan mengelompokkan pola genetik Y-DNA
dan variasinya dengan nama yang disebut Haplogroup, yaitu kumpulan pola
genetik yang diturunkan oleh orang tua atau leluhur. Untuk lebih mudahnya,
bisa dilihat di Bagan 2-Peta Haplogroup dan Distribusinya. Paparan di bagan
tersebut membagi pola genetik manusia dan distribusi populasi mereka di dunia
ini. Perlu diingat, klasifikasi ini bisa saja berubah seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan barn.
Pada
dasarnya, berbagai teori migrasi ini pun sebenarnya masih bersifat dugaan dan
hipotesis. Tidak ada kepastian sama sekali. Sebab, para pakar sendiri punya
berbagai analisis yang berbeda. Hal ini bisa kita jumpai di berbagai jurnal
ilmiah yang memuat analisis yang berbeda-beda mengenai hal ini. Perbedaan dan
perubahan ini merupakan fenomena yang bisa terjadi di kalangan ilmuwan .
Banyak praduga dan hal-hal yang belum bisa terjawab secara meyakinkan .361
Para ahli pun belum mencapai kesepakatan bagaimana menghitung umur mutasi
perubahan genetik manusia . Hal ini juga bisa menghasilkan kesimpulan yang
berbeda terhadap hasil tes DNA. Belum lagi kemungkinan perubahan genetik pada
masa lampau yang belum diketahui saat ini. ltu bukanlah sesuatu yang mustahil
terjadi! Banyak hal yang dianggap tidak mungkin terjadi akhirnya bisa
dijelaskan secara ilmiah seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta
pemahaman manusia.
36° Charmaine D.
Royal et.al, "Inferring Genetic
Ancestry: Opportunities , Challenges, and
Implications", American Journal of Human Genetics, May 14, 2010 doi:
10.1016/j. ajhg.2010.03.011.
361 David W. Anthony, "Ancient DNA and
migrations :New understandings andmisunderstandings ",
Journal of
Anthropological Archaeology , Volume70, June 2023.
Bagan 2-Peta
Haplogroup dan Distribusinya
Berikut ini salah satu contoh analisis
seorang saintis yang mencoba menjawab kebingungan mereka mengapa ada salah
satu clade362 yang dominan ras Eropa bisa muncul di beberapa suku di Kamerun,
Afrika .
"How is possible that some tribes in North Cameroon are
mostly Rlb, considering that this Haplogroup is of Eurasian populations? The
Rlb that is mostly found in Cameroonian populations, as in other parts of
West Central Africa, is specifically the V88 clade, which was already found
in Mesolithic European DNA sampels from different parts of Europe (Spain,
Sardinia, Serbia and Ukraine, so all the way from the westernmost to the
easternmost parts of the European continent). It may also have been present in
some neighboring areas of West Asia (like Anatolia and Caucasia) at that time,
so it's not impossible that V88 was also present in some of the groups that
came from Neolithic Anatolia and spread to the rest of Europe after moving
into the Balkans. Rlb itself arose many thousands of years before Rlb-V88,
probably somewhere between Eastern Europe and North Central Asia.
During
thousands of years of gradual southward movement, the Rlb-V88 males mixed with
and absorbed other local peoples they met and conquered or allied with, in
such a way that the mating over generations involved mainly the incoming
males, especially those who carried Rlb-V88, with native females, who belonged
to several distinct populations and Mt DNA Haplogroups."
Kutipan
di atas secara ringkas dapat diterjemahkan sebagai berikut :
"Bagaimana
mungkin beberapa suku di Kamerun Utara sebagian besar berada di Haplogroup
Rlb, sedangkan Haplogroup ini umumnya ditemui di penduduk daerah Eurasia?
Sebuah clade yang berada di bawah Haplogroup Rlb yang banyak ditemukan pada
populasi Kamerun, seperti di bagian lain Afrika Barat-Tengah,
adalah clade V88, yang ditemukan pada sampel DNA Eropa Mesolitikum dari
beberapa belahan Eropa (Spanyol, Sardinia, Serbia, dan Ukraina, mulai dari
bagian paling barat hingga paling timur benua Eropa). Mungkin clade ini sudah
ada di beberapa wilayah tetangga Asia Barat (seperti Anatolia dan Kaukasia)
pada masa itu, sehingga bukan tidak mungkin V88 juga sudah ada di beberapa
kelompok yang berasal dari Neolitikum Anatolia dan menyebar ke seluruh Eropa
setelahnya, kemudian pindah ke Balkan . Rlb sendiri muncul ribuan tahun
sebelum Rlb-V88, mungkin antara Eropa Timur dan Asia Utara-Tengah .
Selama
ribuan tahun pergerakan bertahap ke arah selatan, para pria yang mempunyai
Haplogroup Rlb-V88 ini bercampur dengan masyarakat lokal lain yang mereka
temui dan yang mereka taklukkan atau bersekutu . Itu terjadi sedemikian rupa
selama beberapa generasi sehingga akhirnya muncul banyak pria yang punya
Haplogroup Rlb- V88 dengan berbagai percampuran dengan para wanita asli
Afrika."
Sementara itu saintis lain punya analisis yang
berbeda tentang mengapa clade Rlb-V88 ini banyak ditemui di
populasi di Kamerun padahal kebanyakan penduduk Afrika berada di Haplogroup
A.
Lagi-lagi analisis itu semata-mata sebuah analisis dan dugaan yang
bisa jadi benar bisa salah, ketika mencoba menganalisis mengapa Haplotype yang
dominan Eropa itu bisa terdapat di beberapa suku di pedalaman Kamerun . Banyak
lagi kasus lain di berbagai belahan dunia yang belum terjawab secara memuaskan
. Para ilmuwan saat ini hanya bisa mengajukan hipotesis yang tidak menyajikan
kepastian. Semuanya masih bersifat zhanni dan spekulatif. Dalam kajian ushul
fikih, hal ini masuk kategori zhanni al-tsubut wa zhanni al -diliilah.
Analisis dan dalil yang dipergunakan masih bersifat spekulatif (zhanni) .
Metode
kalkulasi yang digunakan pun berkembang dan bernbah-ubah seiring perkembangan
ilmu pengetahuan dan penemuan barn. Berbagai perangkat lunak dan perangkat
keras terns dikembangkan dengan versi dan metode barn untuk menganalisis umur
terbentuknya bermacam mutasi genetik dan kaitannya dengan pohon phy logeny
.363 Contoh sederhana perbedaan perhitungan ini bisa dilihat dalam analisis
umur Haplogroup J menurnt 2 sumber dan metode yang berbeda, seperti
ditunjukkan di bawah ini.
Kalkulasi Umur SNP versi Dmitry Adamov cs
(Yfull)
Kalkulasi Umur SNP Familiy (FTDNA)
Bagan 3
- Perbandingan Usia Haplogroup Berdasarkan Somber dan Metode Kalkulasi yang
Berbeda
Bagan pertama di atas menggunakan kalkulasi SNP364
yang dikembangkan oleh Dmitry Adamov cs yang diadopsi oleh perusahaan
analisis DNA yang bernama Yfull. Di sini Haplogroup J diperkirakan
lahir sekitar 31.600 tahun lalu. Bagan kedua menunjukkan kalkulasi
usia Haplogroup yang diadopsi perusahaan komersial Family Tree DNA (FTDNA).
Hasilnya, usia Haplogroup ini diperkirakan sekitar 27.000 tahun lalu. Ini saja
sudah menunjukkan perbedaan masa ribuan tahun (sekitar 4.000 tahun). Satu
jarak waktu yang sangat lama! Banyak kejadian bersejarah terjadi dalam periode
ini menjadi tidak sesuai jika kedua hasil yang bertentangan
ini diterapkan. Lihat Bagan 3-Perbandingan Usia
Haplogroup Berdasar kan Sumber dan Metode Kalkulasi yang Berbeda.
Perbedaan
tidak hanya terletak pada metode perhitungan SNPyang berbeda. Berbagai hal
lain, termasuk analisis dan hipotesis mengenai asal-usul sebuah clade,
klaster, atau super klaster sebuah Haplogroup juga berbeda-beda .
3.
Perkembangan Ilmu Genetika Evolusi
Setelah sedikit pengenalan mengenai
tes DNA dengan segala fenomenanya, kita akan fokus pada analisis beberapa
Y-DNA Haplogroup yang secara statistik lebih banyak ditemui (bukan berarti di
tempat lain tidak ada) di Timur Tengah dan sekitarnya . Dalam hal ini
Haplogroup E, G, J, dan T adalah Haplogroup yang relatif banyak ditemui di
populasi masyarakat Arab. Haplogroup R juga ditemui di beberapa populasi Arab
dalam frekuensi yang lebih sedikit.365
Para ilmuwan mengumpulkan berbagai
sampel DNA manusia modern dan fosil-fosil purbakala dan menganalisis hasil
temuan mereka. Dari sana para ilmu wan kemudian menganalisis dan "menduga"
berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan . Perlu diingat juga, baik ilmu,
metode, dan alat (berbagai komputer canggih dan software yang
digunakan di dunia bioinformatika saat ini) juga berkembang terns
sehingga melahirkan hasil dan versi yang berbeda seiring perkembangan zaman
dan teknologi. Dalam hal ini lagi-lagi kita hams meng gunakan kata-kata
"menduga" karena semuanya tidak mengandung kepastian . Dugaan ini sama sekali
tidak bisa dibandingkan dengan kepastian aritmetika dasar seperti perkalian 2
x 2 = 4. Di sini kita tidak berbicara hasil tes DNA dengan rentang 5-10
generasi yang memiliki akurasi dan probabilitas kebenaran yang tinggi. Apa
yang dilakukan para ilmuwan itu adalah analisis populasi manusia dengan kurun
waktu puluhan dan ratusan generasi ke belakang yang masih penuh misteri.
Analisis yang dilakukan pun berdasarkan statistik yang belum tentu mewakili
dan mencakup semua kelompok yang ada di daerah itu. Di antara dugaan para
ilmuwan tersebut bisa digambarkan ketika mereka menganalisis
migrasi
sebuah Haplogroup berikut ini.
Sementara ini para ilmuwan berpendapat
bahwa Haplogroup E terpecah menjadi 2 cabang besar, yaitu Elbla (E-V38) dan
Elblb (E-M215, E-M35). Populasi masyarakat yang berada dalam Haplogroup Elbla
ini banyak ditemui di Afrika Barat, Afrika Selatan, dan sebagian di Amerika
(karena hijrah pada zaman perbudakan di benua Amerika yang terjadi beberapa
abad terakhir), sementara Haplogroup Elblb banyak dijumpai di Afrika Utara,
Timur Tengah, dan sedikit di Eropa. Secara umum masih masuk akal. Namun,
ketika kita melihat keanehan Rlb yang dominan di Eropa tetapi banyak ditemukan
di tempat tertentu di Kamerun seperti dijelaskan sebelumnya, ini mulai
memunculkan tanda tanya, memicu lahimya berbagai teori dan analisis serta
dugaan yang kesemuanya tidak ada yang pasti.
Haplogroup J1 yang
digadang-gadang oleh sekelompok pembatal nasab sebagai
Haplogroup Semitik dan lbrahimi itu sendiri asalnya masih diperdebatkan oleh
para ahli. Berdasarkan jumal ilmiah terakhir, Haplogroup itu malah berasal
dari daerah Kaukasus, bukan Timur Tengah, sebagaimana dikutip dalam sebuah
jumal ilmiah sebagai berikut:
Bagan 4-Haplogroup E,
Cabang dan Migrasinya
Tabel 1-Hasil Sequencing J1-M267 Berdasarkan
Fosil Kuno
"We show that this Haplogroup evolved - 20,000 years ago
somewhere in northwestern Iran, the Caucasus, the Armenian Highland, and
northern Mesopotamia ."366
"Kami menunjukkan (dalam paper ini)
bahwa Haplogroup ini berevolusi
- 20.000 tahun yang lalu di suatu
tempat di barat laut Iran, Kaukasus, Dataran Tinggi Armenia, dan Mesopotamia
utara."
Berbagai penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa
Haplogroup J ini berasal dari daerah Kaukasus . Haplogroup J ini bercabang
menjadi dua cabang besar, yaitu J1 atau dikenal juga dengan J1-M267 yang
berasal dari dataran tinggi Armenia dan Asia Tengah, sementara J2 atau J2-M172
yang berasal dari daerah pegunungan Zagros, Iran. Untuk lebih detailnya lihat
data-data fosil di Tabel 1-Hasil Sequencing J1-M267 Berdasarkan Fosil Kuno
berikut ini.
Kalau kita percaya bahwa
bangsa-bangsa Semitik itu adalah keturunan Sam
bin Nuh yang menurut sejarah berasal dari Timur
Tengah, seharusnya Haplogroup ini bukan berasal dari Kaukasus, tetapi
Timur Tengah. Belum lagi tahun-tahun dan perkiraan kemunculannya yang semuanya
masih penuh misteri dan bersifat dugaan para ilmuwan. Lagi-lagi semuanya masih
bersifat spekulatif! Lalu ada yang selalu mempertanyakan Haplogroup lain yang
terkait dengan masalah nasab ini, yaitu Haplogroup G
yang konon dikatakan berasal dari Kaukasus. Analisis
migrasi Haplogroup G ke Eropa dengan menggunakan lini waktu bisa dilihat di
bagan berikut ini. Kalau bagan di bawah ini kita percayai, justru
Haplogroup G berasal dari Timur Tengah,
khususnya daerah bulan sabit di kawasan Levant (Syam),
Irak, dan Turki.367 Secara statistik populasi Haplogroup G
ini juga terlihat di berbagai wilayah, seperti Mediterania, Timur Dekat, Timur
Tengah, Eropa, dan sekitar Kaukasus . Singkat cerita, teori migrasi
menunjukkan bahwa Haplogroup ini berasal dari Timur Tengah sebagaimana
terlihat di bagan berikut ini:
Bagan 6-Teori Penyebaran Haplogroup
G ke Eropa
Bagan 7-Prediksi Migrasi Haplogroup G dengan Lini
Waktu
Lagi-lagi asal-usul berbagai
Haplogroup, termasuk Haplogroup G itu sendiri masih
diperdebatkan, terlepas di mana konsentrasi populasi Haplogroup ini berada .
Sebuah teori menyebutkan Haplogroup ini berasal dari daerah sekitar pegunungan
Zagros di Iran. Beberapa teori lain yang lebih barn dan kuat menyebutkan
Haplogroup G berasal dari daerah bulan sabit (sekitar Suriah, Anatolia, dan
Mesopotamia) . Angka-angka di gambar atas menunjukkan perkiraan migrasi ribuan
tahun yang lalu.368
Perlu diketahui juga bahwa sampai saat ini studi DNA
masih bersifat Eurosentris sehingga analisisnya juga terfokus pada kawasan
Eropa dan sekitarnya. Data-data dan studi untuk kawasan lainnya masih sangat
sedikit dibandingkan dengan kawasan Eropa sehingga studinya juga masih sangat
terbatas. Sama halnya, sampel-sampel penelitian lebih dinominasi oleh ras
kaukasoid, baik dari sisi medis maupun historis sehingga berbagai teori DNA
juga banyak yang bersifat Eurosentris .
Sekali lagi perlu dipahami bahwa
berbagai teori dan analisis para ilmuwan mengenai masalah migrasi dan
kaitannya dengan genetika itu semuanya masih bersifat zhanni,
bukan qath'i sehingga tidak bisa dijadikan rnjukan yang pasti dan mutlak,
apalagi dalam masalah nasab yang berjarak sangat jauh .369 Ketika para ahli
dan saintis masih terns mengumpulkan data, mereka-reka, dan menganalisis
fenomena populasi genetik ini, sekelompok orang yang tidak punya pengetahuan
memadai dengan gegabah dan pongah memastikan asal-usul manusia dan leluhur
masa lalunya. Mereka memastikan silsilah dan keturnnan Nabi Muhammad dengan
suatu perangkat dan cara yang hasilnya masih bersifat spekulatif .Mereka
melakukan sesuatu tanpa pengetahuan yangmemadai semata mata dengan menjiplak
sekelompok aktivis media sosial peminat antrogenika di internet. Sebagian
melakukannya karena dorongan kebencian, kecemburnan sosial, pemahaman
keagamaan yang salah, xenofobia,370 atau alasan lainnya.
4.
Kejanggalan dan Keragaman Nasab Jauh
Nasab jauh yang kita bicarakan di
sini bukanlah nasab yang berjarak sekitar 10 generasi atau sekitar 300 atau
400 tahunan lamanya. Sebab, jarak selama itu masih mungkin dilacak melalui
penelusuran sejarah, arkeologi, atau genealogi. Nasab jauh yang dimaksudkan di
sini adalah nasab kabilah-kabilah atau suku suku yang sudah berjarak puluhan
generasi dan lebih dari 1.000 atau ribuan tahun lalu.
Mungkin analisis
statistik migrasi dan populasi yang telah dibahas sebelum nya sebagiannya
benar, khususnya ketika menganalisis populasi manusia dan "perkiraan"
distribusi pola genetik kelompok manusia di beberapa wilayah di dunia. Namun,
analisis itu sama sekali bukan kebenaran yang bisa dijadikan acuan dan
landasan untuk menganalisis dan membuktikan nasab-nasab jauh yang sudah
berjarak puluhan generasi. Bahkan, analisis itu tidak bisa digunakan untuk
mendefinisikan dan memastikan ras itu sendiri. Hal ini dibahas panjang lebar
oleh Alan Templeton dalam jurnalnya yang berjudul "Biological Races in
Humans".371 Kemiripan klaster atau super klaster di sebuah wilayah atau
kawasan tertentu, atau kelompok tertentu tidak
serta-merta bisa dijadikan alasan untuk memastikan seseorang
itu adalah keturunan orang tertentu yang sudah hidup jauh pada masa lampau.
Data di lapangan banyak sekali menunjukkan ditemukannya outliers (hasil
berbeda) dan berbagai kejanggalan ketika hal ini diterapkan secara spesifik
untuk menganalisis nasab jauh.
Berbagai studi genetika menunjukkan tidak
adanya homogenitas gen paternal (Y-DNA) di berbagai populasi masyarakat dan
suku-suku atau kabilah-kabilah tertentu, bahkan di daerah yang tidak banyak
interaksi dengan masyarakat luar. Belum ada satujurnal ilmiah yang diakui oleh
para ilmuwan yang bisa membuktikan orang yang hidup pada zaman modern ini
adalah keturunan orang tertentu yang hidup ribuan tahun silam
tanpa menggunakan sampel asli atau fosil manusia yang
dianggap leluhurnya itu. Apalagi tanpa penelitian sejarah, arkeologi, dan
genealogi secara mendalam . Ini pun keakuratannya masih bisa dipertanyakan!
Apakah sampel atau fosil yang dibandingkan itu adalah benar-benar milik
manusia yang hidup pada masa lampau itu, atau bukan. Belum lagi kemungkinan
mutasi genetik yang tidak diketahui selama periode tersebut dengan
manusia modern itu.
Studi-studi genetika terhadap fosil-fosil manusia
yang hidup pada masa lampau seperti Fir'aun dan lainnya biasanya terfokus
kepada perbandingan dengan fosil keluarga dekatnya saja yang berada di lokasi
yang sama. ltu pun hanya berupa prediksi karena pada umumnya cakupan
(coverage) tesnya rendah dan sering kali sampel DNA itu sudah sulit terbaca
karena berbagai faktor kontaminasi. Para ilmuwan kemudian mengaitkan
hasil-hasil DNA fosil dengan coverage rendah tersebut dengan sampel masyarakat
modern di kawasan yang sama dengan melakukan analisis yang bisa
jadi melahirkan kesimpulan yang berbeda-beda pula. Ini pun hanyalah analisis
dan dugaan, bukan sebuah kepastian .
Hal paling spektakuler yang pernah
dilakukan dengan menggunakan analisis genetika adalah pelacakan terhadap Raja
Inggris Richard III yang hidup pada abad ke-15 dengan menggunakan tulang
belulang dan tengkorak yang diduga miliknya . Ini dilakukan melalui pelacakan
terhadap kerabatnya yang hidup pada zaman modern dengan melibatkan arkeolog,
ilmuwan, sejarawan, para pakar DNA dan ahli silsilah kerajaan . Penelitian itu
memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa mengonfirmasi bahwa tulang
belulang itu benar milik Raja Richard IIl.372 Lalu, bagaimana
mungkin sekelompok orang dengan mudahnya dan hanya bermodalkan informasi di
dunia maya tiba-tiba menjadi pakar dan mengeklaim bahwa Haplogroup tertentu,
SNP tertentu, atau pola genetik tertentu adalah pola genetik Nabi Ibrahim,
Quraisy, Bani Hasyim, dan Nabi Muhammad yang hidup jauh pada masa lampau?
Apalagi mereka sama sekali tidak melibatkan ilmuwan,
arkeolog, sejarawan, ahli nasab, dan para pakar
dalam bidang terkait . Data yang digunakan pun tidak representatif dan
sangat dipertanyakan kebenarannya .
Apakah kita menentang ilmu
pengetahuan dan ilmu genetika? Tentu saja tidak! Hanya saja ilmu pengetahuan
yang ada saat ini belum bisa dijadikan alat untuk menetapkan atau membatalkan
nasab yangjauh . Sebab, masih ditemukan banyak kejanggalan, kerancuan, dan
berbagai hal lain yang bertentangan dengan fakta sejarah. Beberapa contoh
kejanggalan data lapangan dan heterogenitas itu akan dibahas pada bagian
berikut ini.
5. Analisis Pola Genetik Berbagai
Kelompok di Komunitas Yahudi
Analisis terhadap pola genetik berbagai
komunitas dan etnis Yahudi boleh dikatakan merupakan salah satu acuan
penting dalam analisis nasab ini. Mengapa komunitas Yahudi yang dianalisis dan
dijadikan acuan di sini? Karena berbagai studi ilmiah terhadap kelompok Yahudi
inilah yang paling banyak diteliti oleh para ahli genetika . Perusahaan tes
DNA dan peneliti bidang genetika juga didominasi komunitas Yahudi. Para pakar
dari kelompok Yahudi pulalah yang paling banyak mempublikasikan berbagai
referensi dan jurnal ilmiah yang bisa diakses publik. Hal ini tidak
mengherankan karena memang orang Yahudi punya perhatian khusus terhadap
etnis dan genetika mereka.
Kelompok etnorelijius Yahudi dikenal sebagai
komunitas yang umumnya melakukan perkawinan endogami dan eksklusif . Etnis ini
juga dikenal sebagai komunitas yang relatif menjaga nasab mereka, khususnya
pada masa lampau, sehingga menarik untuk dijadikan objek penelitian . Di
samping etnis Yahudi, kelompok lain yangrelatif kuat menjaga dan mencatatkan
sejarah serta genealogi leluhur mereka adalah kelompok Sayid dan sebagian
keluarga kerajaan atau aristokrat di beberapa belahan dunia. Misalnya,
keluarga kerajaan Inggris dan Eropa lainnya juga punya perhatian khusus dalam
penelusuran silsilah keluarga mereka .
Komunitas selain Yahudi tidak
banyak melakukan studi ilmiah secara serius. Kebanyakan hanya melakukan
studi internal yang tidak dipublikasikan dalam jurnal ilmiah yang bisa diakses
luas. Studi itu biasanya hanya dilakukan oleh beberapa interest group atau
berupa proyek yang dilakukan para citizen scientist (peneliti amatir lokal).
Namun, kita akan gunakan temuan dan fakta beberapa interest group dan para
citizen scientist tersebut sebagai pembanding untuk mengonfirmasi bahwa apa
yang terlihat di kelompok Yahudi juga terlihat di kelompok lainnya.
Secara
garis besar kelompok etnis Yahudi bisa dibagi menjadi dua grup besar, yaitu
Ashkenazi (Yahudi asal Eropa) dan non-Ashkenazi. Karena migrasi penduduk Eropa
beberapa abad terakhir ke Amerika, mayoritas Yahudi Amerika berasal dari
kelompok Yahudi Ashkenazi. Mereka menjadi kelompok terbesar komunitas Yahudi
di dunia saat ini. Yahudi non-Asheknazi terdiri dari berbagai kelompok yang
berasal dari kawasan non- Eropa, di antaranya Sefardim (Yahudi dari Afrika
Utara dan semenanjung Iberia-Spanyol dan Portugal) serta Yahudi Timur Tengah
yang disebut Mizrahi. Yahudi Yaman punya nama sendiri, yaitu Teimanim. Yahudi
Kurdi juga dikelompokkan tersendiri walaupun merupakan bagian dari
Mizrahi. Demikian pula Yahudi Asia Selatan yang dikenal dengan Cochin dan
Yahudi Afrika Timur, khususnya Ethiopia yang dikenal dengan Beta Israel atau
Falasha.
Singkat cerita, berbagai penelitian yang dilakukan para ilmuwan
genetik Yahudi itu mencapai kesimpulan bahwa pola genetika keturunan Yahudi
itu tidak seragam.373 Benar bahwa ditemukan berbagai klaster DNA yang secara
statistik dominan dimiliki kelompok Yahudi. Namun, berbagai klaster itu
berlaku hanya untuk kelompok itu dan tidak bersifat seragam untuk semua
kelompok Yahudi. Bahkan beberapa penelitian terhadap kelompok Cohen, yang
statusnya diturunkan secara paternal Qalur ayah) dan dikenal ketat
menjalankan kehidupan Endogami pada periode yang lama, juga ditemukan Kohanim
(bentuk jamak dari Cohen) dipilih sebagai salah satu objek studi karena secara
tradisi mempunyai kekhususan berupa otoritas keagamaan dan dianggap kelompok
elite para rabi etnis Yahudi yang mengaku dan dianggap sebagai keturunan Nabi
Hamn a.s. Dalam tradisi Yahudi biasanya mereka diberi hak membuka
acara-acara peribadatan di sinagoge atau acara-acara keagamaan lainnya . Salah
satu peraturan bagi suku Yahudi Kohanim adalah mereka tidak boleh menikahi
convert (orang yang masuk agama Yahudi tetapi berasal dari etnis non-Yahudi
Bani Israel). Ini juga bertujuan untuk menjaga kemurnian etnis kelompok
Kohanim pada masa lalu.
Sebuah studi yang melibatkan 1.575 orang Yahudi
menyebutkan hanya sekitar 46% orang yang mengaku Kohanim berada dalam
satu Haplogroup besar yang sama,357 yaitu J-P58. Tidak jelas pada
klaster mana mereka berada, tetapi beberapa data belakangan yang lebih detail
menunjukkan mereka berada di beberapa klaster di bawah J-P58. Bahkan sebagian
clade muncul sebelum Bani Israel itu sendiri ada. Perlu diketahui pula bahwa
sampel para Kohanim itu berdasarkan self proclaim, yaitu semata berdasarkan
pengakuan mereka sendiri dan mereka dikenal sebagai keturunan Yahudi suku
Cohen. Tidak ada verifikasi terhadap keabsahan nasab mereka.
Menariknya,
Haplogroup J-P58 yang diklaim sebagai klaster Semitik itu sendiri meliputi
berbagai bangsa lain yang tidak termasuk Semitik, seperti beberapa fosil yang
ditemukan di Yunani dan Turki berdasarkan penemuan terbaru,374 termasuk
penemuan fosil bayi laki-laki di Oylum Hoyiik, Turki yang diperkirakan hidup
antara 4000-5000 tahun lalu. Begitujuga fosil beberapa laki laki yang
ditemukan di gua Hagios Charalambos, Lasithi, pulau Kreta, Yunani. Mereka
diperkirakan hidup sekitar 4000 tahun lalu. Belum lagi berbagai fosil dari
suku Amorit dan Kan'an yang berada di Haplogroup yang sama, padahal mereka
sama sekali tidak ada hubungan dekat dengan Bani Israil. Data genetic sequence
detail menempatkan mereka berada dalam pohon filogeni yang sangat dekat,
bahkan bagian kelompok yang dimitoskan sebagai Haplogroup Ibrahimi.375 Menurut
sejarah Bani Israil, orang Amorit dan Kan'an ini adalah orang Amalek yang
merupakan musuh bebuyutan Bani Israil pada zaman Nabi Musa sampai zaman Nabi
Daud. Beberapa tafsir tentang Al-Qur'an Surah Al Baqarah ayat 246
mengindikasikan, mereka adalah kaum yang merupakan musuh Bani Israil ini.
"Apakah
kamu tidak memperhatikan pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika
mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: 'Angkatlah untuk kami seorang raja
supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.' Nabi mereka
menjawab: 'Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak
akan berperang.' Mereka menjawab: 'Mengapa kami tidak mau berperang di jalan
Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak -anak
kami?' Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka,
mereka
pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha
Mengetahui siapa orang yang zalim.'' (QS Al-Baqarah: 246).
Bagaimana
mungkin Kan'an ini saudara dekat Bani Israil, sementara Alkitab sendiri
menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Ham ibn Nuh, bukan Sam ibn Nuh .376
Kita tidak mengetahui hakikat sebenarnya.
Mereka mengeklaim,
J-FGC8712-yangberdasarkan pohon filogeni merupa kan keturunan J-P58-adalah
Haplogroup Nabi Ibrahim! Dari perhitungan tahun mutasi SNP,
Haplogroup J-FGC8712 ini diperkirakan muncul 3100 tahun silam, yaitu sekitar
1100 tahun SM. Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim hidup 1100 tahun sebelum Masehi
sedangkan menurut sejarah ia hidup jauh sebelum itu. Masa ini diperkirakan
sekitar zaman Nabi Daud atau Nabi Samuel.377 Menurut sejarah Bani Israil
sendiri, Nabi Ibrahim paling tidak diperkirakan hidup sekitar 2000 tahun
SM.
Sebuah sumber sejarah mencatat bahwa sekitar 1200 tahun lebih Sebelum
Masehi seorang raja Mesir bernama Mernephtah telah menyebut Israel sebagai
sebuah "bangsa". Informasi tersebut bisa didapatkan pada tautan berikut :
https://www
.historyofinformation .com/detail.php?id=1561#:-:text=The%20
line%20referring°/o20to%20Mernephtah's,11%2D29%2D2008).
Pada
prasasti itu disebutkan :
"Mernephtah states that he defeated
AshkelonOffsite Link, GezerOffsite Link, Yanoam and Israel among others. It is
preserved in the Museum of Egyptian Antiquities Offsite Linkin
Cairo."
"Mernephtah menyatakan bahwa dia mengalahkan Ashkelon,
Gezer, Yanoam, dan Israel. (Prasasti sejarah yang menyebutkan ini) Disimpan di
Museum Barang Antik Mesir di Luar Kota Kairo."
Hal ini secara tidak
langsung menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim hidup jauh sebelum zaman Mernephtah,
karena Israel sebagai sebuah bangsa atau "negara" telah disebutkan oleh
Mernephtah yang hidup sekitar 1200 SM. Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim bisa
hidup pada masa setelah Mernephtah menyebutkan nama Israel itu sendiri
sedangkan Bani Israil adalah ketumnan Nabi Ibrahim. Kalau analisis DNA
dijadikan mjukan maka sejarah yang kita pahami selama ini menjadi salah semua
dan hams ditulis ulang termasuk sejarah yang terkait dengan ajaran agama kita
akan menjadi mitos semuanya.
Data statistik tes DNA yang dilakukan
terhadap sejumlah kelompok Yahudi yang dimjuk dalam artikel ilmiah tersebut
bisa dilihat di Bagan 9-Distribusi Frekuensi Kelompok Yahudi secara Umum dan
Cohen secara Khusus. Bagan di atas menunjukkan distribusi Haplogroup Yahudi
secara umum (Non-Kohanim), sedangkan grafik di bawahnya khusus menunjukkan
distribusi kelompok Kohanim yang mengaku sebagai ketumnan Nabi Hamn.
Dari
klaster J1-PSS itu sendiri tidak ada informasi lebih detail yang menunjukkan
masa munculnya para Kohanim . Sangat mungkin sekali mereka berada di berbagai
klaster yang bahkan sama sekali tidak berhubungan pada zaman Nabi Musa dan
Nabi Hamn . Menumt teori DNA J1-P58 muncul
sekitar 9.000 tahun lalu, jauh
sebelum Nabi Ibrahim . Maka, jangankan dengan Nabi Hamn, sangat mungkin
orang-orang ini tidak ada hubungan sama sekali dengan Nabi Ibrahim. Nabi Musa
dan Hamn diperkirakan hidup sekitar 1500-1600 tahun sebelum Masehi atau
sekitar 3600 tahun lalu.
Di situ jelas sekali bahwa Haplogroup kelompok
Yahudi sendiri beragam dan jelas berbagai kelompok Yahudi muncul di berbagai
Haplogroup dan clade yang berbeda. Demikian pula yang terlihat di
kelompok Lawi atau Levi, satu kelompok kasta aristokrat Yahudi yang
Kohanim menjadi salah satu cabang khususnya. Suku Yahudi Levi atau Lawi juga
ditumnkan secara paternalistik. Mereka memiliki tradisi aristokratis dan
keagamaan dalam sejarah Yahudi. Satu hal yang menarik, suku
Yahudi Ashkenazi Levi yang bukan dari kelompok Kohanim kebanyakan
berada di Haplogroup Rla-M198 yang
sampai saat ini dipercayai berasal dari Timur Tengah juga .378
Menurut versi analis DNA, leluhur mereka datang ke Timur Tengah belakangan dan
berasimilasi dengan orang Yahudi. Mayoritas keturunan Yahudi tidak menerima
ini karena mereka meyakini sebagai keturunan Yakub ibn ishak ibn
Ibrahim.Hampir 50% Ashkenazi Lawi berada di Haplogroup ini. Konon jumlah
populasi Yahudi Ashkenaszi suku Levi ini mencapai 200 ribu orang,379 satu
jumlah besar yang tidak mungkin jika semuanya palsu! Di antara mereka adalah
keluarga para rabi marga Horowitz yang mampu menelusuri jejak leluhurnya
sampai ke abad ke-15 M. Jika klaim mereka benar, berarti mereka pun termasuk
golongan Bani Israil dan keturunan Nabi Ibrahim tetapi berada pada Haplogroup
yang berbeda .
Ada lagi kelompok elite Kohanim yang punya sejarah kokoh
seperti keluarga para rabi Kohanim di pulau Jarba, Tunisia. Menurut riwayat
dan sejarah Yahudi, kelompok ini mendiami pulau Jerba sejak 2500 tahun lalu
dan dianggap paling ketat menjaga keyahudian mereka . Konon mereka mengungsi
setelah Nebu kadnezar menghancurkan kerajaan Judah (Yudea) sekitar 587 tahun
SM.380 Para Yahudi Kohanim pulau Jerba ini berada di Haplogroup J2-M318
dan sama sekali tidak berada di kelompok klaster Kohanim J1-P58 yang diklaim
sebagai klaster semitik dan leluhur Nabi Ibrahim itu. Demikian pula kelompok
Kohanim yang berada di Iran, juga berada di J2 dan tidak masuk dalam
Haplogroup J1 di mana mayoritas Kohanim lainnya berada. Banyak lagi contoh
lain yang bisa diberikan tetapi tidak dimasukkan di sini untuk membatasi
pembahasan dan ruang.
Berbagai data dari jurnal-jurnal ilmiah itu
lagi-lagi mengonfirmasi tidak adanya keseragaman kelompok Yahudi. Berbagai
fakta dan kesimpulan ini banyak ditemukan di jurnal ilmiah dan pendapat para
saintis. Salah satu hasil tes DNA interest group Yahudi yang melakukan proyek
sukarela yang difasilitasi oleh Family Tree DNA bisa dilihat di: https://www
.familytreedna.com/publik/
Tabel 2-Distribusi Frekuensi
Kelompok
Yahudi secara Umum dan Cohen secara Khusus
Hebrew?iframe=ycolorized
. Ada lebih dari 500 sampel tes DNA dalam proyek tersebut. Sebagaimana juga
interest group lain, tidak semua anggota interest group tersebut adalah Yahudi
karena siapa pun bebas menjadi anggota proyek ini selama disetujui oleh
administratornya. Meski demikian, sangat wajar diasumsikan jika mayoritas
anggotanya adalah keturunan Yahudi, karena tentu mereka yang lebih
berkepentingan ikut dalam interest group tersebut. Dari sini jelas terlihat
keberagaman kelompok mereka. Data-data lainnya yang serupa bisa juga
dijumpai di situs Jewish DNA: https://jewishdna .net.
Ironisnya,
ada sekelompok orang yang mempertontonkan kebodohannya di publik
dengan nyaring dan tanpa henti. Mereka koar-koar bahwa Haplogroup G adalah
Haplogroup Yahudi Ashkenazi. Jelas-jelas ini pembodohan publik. Yahudi
Ashkenazi itu adalah istilah yang diberikan untuk orang Yahudi yang berasal
dari Eropa. Dari berbagai hasil uji DNA jelas sekali bahwa Yahudi Ashekanazi
tersebar di berbagai Haplogroup, bahkan untuk kasus Kohanim persentase di
beberapa clade di Haplogroup J1 dan J2 relatif lebih banyak dari Haplogroup
lain. Persentase Yahudi Ashkenazi yang berada di Haplogroup G sangat kecil dan
clade-nya sama sekali tidak ada hubungan dengan kelompok Alawiyin Uraydhiyin
(Bani Alawi).
Komunitas Yahudi adalah komunitas tertutup, khususnya pada
masa silam. Secara teori dan logika persentase heterogenitasnya tidak akan
terlihat seperti yang ada sekarang ini tetapi kenyataannya tidak demikian.
Sulit menerima jika mayoritas berasal dari leluhur yang berbeda, khususnya
kelompok Levi dan Kohanim. Sekelompok keluarga Kohanim terkenal menjaga
eksklusivitas mereka, seperti marga Spira381 dan para rabi dari marga
Rappaport .382 Terlihat di kelompok mereka sendiri beragam dan sama sekali
tidak berada dalam klaster besar Kohanim J1-P58 itu. Penelitian terhadap
kelompok Yahudi lainnya, yang secara umum disebut oleh komunitas Yahudi
sebagai Bene Yisrael (Bani Israil) malah menunjukkan heterogenitas yang lebih
besar lagi. Demikian pula DNA kelompok yang mengaku sebagai Davidic line
(keturunan Nabi Daud) yang juga beragam. 383 Terlalu banyak fakta lapangan dan
sejarah yang menolak mitos bahwa keturunan Nabi Ibrahim adalah J1-P58 itu atau
mitos bahwa Ibrahimi itu hams berada di Haplogroup J.
Beberapa ilmuwan Yahudi mencoba menjawab keberagaman ini dalam jurnal ilmiah
yang mereka terbitkan . Di antaranya mereka berteori tentang asumsi keragaman
leluhur. Sebagian agamawan mereka juga ada yang menganggap bahwa sekelompok
Yahudi yang bervariasi itu bukan keturunan Nabi Ibrahim. Jawaban ini tidak
memuaskan dan sangat bersifat dugaan. Memang benar diakui adanya konversi
beberapa kelompok masyarakat pada zaman dahulu tetapi tidak mungkin terjadi
secara masif dan begitu banyaknya masuk ke golongan elite Levi (Lawi), apalagi
kelompok Cohen yang menjalankan praktik endogami dan menetapkan persyaratan
ketat pada masa silam. Tidak mungkin Bani Israelnya sendiri menjadi minoritas
akibat percampuran itu. Analisis-analisis ilmuwan Yahudi yang menyimpulkan
bahwa leluhur mereka sangat beragam juga bertentangan dengan para sejarawan
Yahudi dan ditolak oleh banyak agamawan dan ilmuwan Yahudi. Kenyataannya,
mayoritas orang Yahudi saat ini, apalagi etnis Levi dan Cohen tetap mengaku
sebagai keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi Hamn.
Tidak mungkin muncul
keragaman kelompok yang begitu banyak dan membentuk berbagai klaster
tersendiri jika tidak terjadi suatu perubahan besar pada masa silam dan yang
hingga sekarang tidak diketahui penyebabnya . Kita tidak tahu secara pasti
perubahan apa yang terjadi selama ribuan tahun dan puluhan atau ratusan
generasi itu.
Sekali lagi perlu diingatkan, pengetahuan manusia
tentang hal ini terns berkembang dan berubah! Misalnya, pada awal 2000-an para
ilmuwan menemukan bahwa sel-sel bayi juga lewat dan berinteraksi dengan
sel-sel induk ibu. Dengan kata lain, sesuatu yang disebut microchimerism
terjadi. Konsep microchimerism mengacu pada situasi di mana seseorang atau
makhluk memiliki sel-sel individu lain dalam organismenya, karena dalam
interiornya persentase kecil DNA berbeda dari DNA-nya . Sel-sel ini membangun
hubungan dengan karakteristik genetika dari subjek, mampu menciptakan
hubungan antara kedua jenis sel, yang mengarah pada
konsekuensi positif dan negatif .
Ini bisa terjadi
hanya temporer atau dalam waktu yang lama pada ibunya,384 atau manusia yang
diturunkannya bisa memiliki kelainan, tetapi ini adalah suatu hal yang tidak
diketahui sebelumnya . Karena itu, sangat gegabah jika kita mengambil
kesimpulan tergesa-gesa seperti yang dilakukan kelompok begal nasab itu. Ilmu
ini masih berkembang dan masih banyak hal yang belum diketahui.
Allah
berfirman dalam Al-Qur'an Surah al-Isra' ayat 6-7:
"Kemudian Kami
berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu
dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih
besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri
danjika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri dan
apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua,(Kamidatang kan orang
lain)untuk menyuramkan muka-mukamu dan mereka masuk ke dalam masjid,
sebagaimana musuh musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk
membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai." (QS Al-lsra':
6-7)
Ayat di atas berbicara mengenai Bani Israil ketika mereka
kembali ke Palestina. Banyak ulama menafsirkan ayat 6 itu dengan keadaan dan
kejadian pada zaman sekarangini, ketika kaum Yahudi menguasai tanah Palestina
dan berada di puncak kekuasaan serta menjadi kaum yang sangat kuat. Ayat
7 menjelaskan bahwa kehancuran mereka akan terulang sebagaimana yang
pemah terjadi dahulu.
Lalu, apa kaitan ayat tersebut dengan
pembahasan DNA? Data statistik kaum Yahudi modern yang mengaku sebagai Bani
Israil menunjukkan keberagaman pola genetik mereka . Kelompok genetik yang
diklaim sekelompok orang sebagai keturunan Nabi Ibrahim itu juga hanya
merupakan salah satu bagian kecil dari berbagai klaster genetik etnis Yahudi.
Dengan kata lain, jika kita gunakan klaim orang yang mengusung teori bahwa
Haplogroup Nabi Ibrahim adalah J-FGC8712 maka melihat statistik Bani Israil,
keberadaan kelompok ini sangat kecil di Palestina . Memang benar tidak semua
orang Yahudi di tanah Palestina saat ini adalah Bani Israil karena berbagai
macam faktor, termasuk konversi agama, percampuran, dan lainnya. Namun, jika
kita memercayai ayat Al-Qur'an di atas maka ayat tersebut menyebutkan bahwa
Bani Israil itu akan kembali ke tanah Palestina yang berarti secara logika
mereka adalah Bani Israil dan jumlahnya seharusnya lebih banyak dari Yahudi
non-Bani Israil. Ayat dalam Surat Al-Isra' tersebut menyebutkan "Bani Israil",
frasa yang berarti biologis. Al-Qur'an tidak menyebutkan kata "Yahudi" yang
mengacu pada makna agama atau budaya. Fakta DNA menunjukkan sebaliknya:
kelompok yang dianggap "Ibrahimi" itu bahkan hampir tidak terlihat. Apakah
kita memercayai Al Qur'an yang menceritakan kenyataan tentang kembalinya Bani
Israil saat ini ke Palestina ataukah hasil tes DNA yang sangat spekulatif dan
hanya menunjukkan fraksi kecil saja yang berada di J-FGC8712?
Karenanya,
seseorang tidak bisa begitu saja menyimpulkan jika pola genetikanya bukan
J-FGC8712 atau J1-P58 atau X atau Y misalnya maka dia bukan Ibrahimi. Secara
statistik jumlah yang berada di bawah klaster genetik yang diklaim Ibrahimi
itu sama sekali tidak dominan. Bahkan kalaupun ada, jumlahnya sangat
sedikit dalam populasi genetika orang Yahudi.
6.
Keragaman Suku-Suku Arab dan Mitos Haplogroup Ibrahimi
Tentu kita belum
merasa puas jika contoh yang diberikan sebelumnya hanya dibatasi pada kelompok
suku-suku Yahudi. Wajarjika muncul pertanyaan, apakah heterogenitas ini juga
dijumpai di suku-suku lain yang menjaga nasab dan kesukuannya, khususnya
suku-suku Arab di Timur Tengah. Variasi genetik ini juga terlihat jelas di
banyak populasi suku-suku Arab di Timur Tengah.385 Fakta ini bisa kita lihat
dari berbagai hasil uji DNA yang dipublikasikan berbagai interest group
suku-suku Arab dan populasi berbagai etnis di Timur Tengah di situs Family
Tree DNA yang menyediakan fasilitas dengan kolaborasi publik. Di sana terlihat
jelas berbagai suku Arab dengan Haplogroup besar E, Jl, J2,G, T, dan R dengan
berbagai super klasternya .
Contohnya, marga Al ibn Ali yang merupakan
salah satu suku yang bermuara ke Bani Sulaim, salah satu suku Arab Adnani juga
. Banyak dari mereka berada di Haplogroup G, seperti yang ditunjukkan di Tabel
3-Marga Al ibn Ali Bani Sulaim Adnani di Haplogroup G. Sekelompok suku-suku
Arab yang bermuara ke Anzah dan Bani Tamim yang berada di kawasan Hail, Saudi
Arabia berada di Haplogroup G-216670.386 Sementara kelompok lain berada di
Haplogroup lainnya, seperti J-M267 . Bani Tamim dan kelompok kabilah 'Anzah
adalah suku suku yang termasuk kelompok 'Adnani.
Selanjutnya, ribuan
sampel DNA suku-suku Arab dengan berbagai cabangnya ada juga yang berada di
Haplogroup T. Misalnya, marga Khalifah yang berada di Bahrain . Penguasa
Bahrain saat ini adalah merupakan bagian dari marga Khalifah yang berada di
Haplogroup ini. Secara nasab, marga Khalifah ini adalah salah satu suku cabang
'Anzah387 , bagian dari grup besar Rabi'ah yang secara nasab termasuk suku
'Adnani yang juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim. Mereka berada di
Haplogroup T dan mengklaster di bawah T-Y8853. Lihat Tabel 4-Sampel Marga
Khalifah Berada di Haplogroup T.
Tidak hanya sampai di sini saja,
suku-suku Arab dari kelompok 'Adnani dan Qahthani terlihat berada di berbagai
Haplogroup yang sama atau berbeda. Ini bisa ditunjukkan di salah satu hasil
uji DNA di interest group Haplogroup R-Arabia berikut ini.388 Beberapa marga
di sini jelas berasal dari Suku Qahthani, bukan Adnani, tetapi muncul di
Haplogroup R. Di daftar tersebut bahkan ada beberapa sampel yang berasal dari
kelompok Asyraf (keturunan Nabi melalui cucunya, Hasan dan Husain). Ironisnya,
ada orang yang mengaku ahli filologi dengan yakin dan bodohnya mengatakan
bahwa keturunan Adnan berada di Haplogroup Jl, sedangkan keturunan Qahthan
yang (berdasarkan buku yang dibacanya) dikenal juga sebagai Yamaniyun (orang
yang berasal dari Yaman) berada di Haplogroup G. Jelas ini perkataan orang
yang tidak pernah belajar dan memahami ilmu nasab, apalagi ilmu DNA. Kalau ia
tidak tergesa-gesa dan sedikit mau belajar serta menerima kebenaran, dia akan
melihat bahwa secara statistik Yaman adalah wilayah dengan populasi
Haplogroup J1 terbesar di Timur Tengah, bahkan di dunia. Mengikuti kaidahnya
sendiri, pendapatnya itu berlawanan 180 derajat dengan kenyataan, karena
Yamaniyun yang keturunan Qahthan itu malah kebanyakan berada di Haplogroup J,
sedangkan sampel sampel kelompok Adnani dari Yaman berada di Haplogroup G
atau lainnya. Inilah jika kita semata mencocokkan teori dengan keinginan dan
khayalan kita tanpa menggunakan data dan ilmu yang tepat. Hal ini sesuai
dengan perkataan Ibn Hajar al-'Asqalani yang terkenal:
"Barang
siapa yang berbicara mengenai hal yang bukan bidangnya maka dia
akan menampakkan hal-hal yang aneh."
Orang Arab
biasanya menggunakan nama keluarga dan
marga untuk mengenali asal suku atau kelompok mereka. Kita sama sekali
tidak bisa serta-merta menafikan nasab ribuan atau jutaan orang yang secara
turun-temurun mengetahui dan menjaga marga suku-sukunya tiba-tiba dianggap
bukan dari suku itu dan dianggap mencantolkan nasab. Walaupun faktor
konfederasi suku ( hilf) itu ada, dimana seseorang, sekelompok orang, atau
suku bisa menggunakan nama suku lainnya, secara umum faktor genealogis lebih
dominan daripada faktor hilf , kecuali jika kita mengetahui dengan pasti. Pada
umumnya, masyarakat Arab selalu menjaga nasab mereka, karena itu telah menjadi
tradisi mereka.\
"Orang-orang itu menjaga nasab mereka ."
Dominasi
Haplogroup tertentu di kawasan tertentu, seperti Haplogroup J1 di populasi
Timur Tengah tidak serta-merta berarti bahwa Nabi Ibrahim, Adnan, Quraisy,
atau Bani Hasyim pasti berada di Haplogroup ini.
Kabar yang beredar di
internet dan media sosial adalah kabar yang misleading (menyesatkan).
Ironisnya, kampanye mereka itu sangat nyaring diteriakkan, terns disebarkan,
dan didukung teori semu yang dipersepsikan sedemikian rupa sehingga dipercayai
orang banyak. Padahal semuanya masih bersifat zhanni (dugaan), spekulatif, dan
semu.
Ada baiknya kita melihat latar belakang munculnya analisis
DNA terkait keturunan . Setelah beberapa studi DNA untuk melacak keturunan
dilakukan dan beberapa keberhasilan terbatas dalam
menguak pertalian hubungan dekat, baik patrilineal Qalur ayah)
maupun matrilineal Qalur ibu) sekelompok orang dan para ilmuwan di komunitas
Yahudi melakukan berbagai penelitian genetika, khususnya terhadap komunitas
mereka. Seorang pengusaha kaya keturunan Yahudi bernama Bennet Greenspan pada
tahun 2000-an berinisiatif membuat perusahaan yang menjual jasa pelacakan
keturunan dan etnis kepada publik. Sebagai pengusaha serta peminat
genetika dan ilmu keturunan, Bennet Greeenspan dan kawan-kawannya melihat
peluang bisnis besar di sini. Dia mengajak Dr. Michael
Hammer untuk memimpin tim teknis. Dr. Hammer
dikenal sebagai ilmuwan ahli genetika yang ikut dalam penelitian genetika
kelompok Yahudi yang mempublikasikan pola genetika Yahudi di penghujung
tahun 1990-an dan awal 2000-an.
Sejak saat itu jasa tes DNA dengan
berbagai jenisnya dipasarkan kepada konsumen, baik produk yang bernama fam ily
finder untuk memperkirakan etnis dengan metode autosomal DNA (kombinasi ayah
ibu) dan pelacakan keluarga, Y-DNA yang melihat kromosom Y yang diturunkan
dari jalur bapak saja, atau mtDNA yang melihat mitokondria yang diturunkan
melalui jalur ibu saja. Beberapa varian dan produk tes dikembangkan dan
ditawarkan ke publik dengan berbagai harga, termasuk tes yang berkaitan dengan
kesehatan dan penyakit. Perkembangan ini menarik perhatian masyarakat Barat,
khususnya di Amerika yang mayoritas penduduknya adalah imigran dan masyarakat
majemuk dengan kebutuhan sekunder yang sudah berkembang . Tentunya di samping
keingintahuan masyarakat mengenai hubungan pertalian famili mereka yang
tersebar di Amerika dan negara asalnya, juga "perkiraan etnis" dari populasi
mana mereka berasal. Namun, tidak sedikit yang melakukannya hanya untuk
iseng.
Bisnis ini berkembang pesat dan menarik banyak peminat untuk
ikut bermain sehingga muncul citizen scientists (peneliti amatir) yang
membentuk berbagai interest group dengan fokus untuk meneliti
kelompok-kelompok etnis. Dalam perkembangannya, beberapa orang yang mengaku
sebagai citizen scientist dan difasilitasi oleh
perusahaan Familiy Tree DNA yang berpusat di Houston,
Texas, mengeklaim dan menyimpulkan secara sepihak bahwa Haplogroup tertentu,
yaitu J-FGC8712 yang merupakan bagian dari J-P58 adalah Haplogroup Nabi
Ibrahim .
Klaim ini, walaupun tampak dikemas sebagai klaim ilmiah,
lebih bermotifkan komersial dan konon ada unsur politis juga di belakangnya .
Klaim ini sama sekali tidak didukung oleh penelitian serius dan metodologi
ilmiah yang memadai. Belum pernah dipublikasikan di jurnal ilmiah mana pun dan
tidak ada sama sekali peer review-nya . Anehnya, dari ratusan sampel para
Kohanim yang pernah diteliti secara serius dalam studi genetika Yahudi
tersebut hampir tidak ada yang berada di Haplogroup ini. Hal ini menimbulkan
pertanyaan besar: bagaimana mungkin orang yang mengaku dan dianggap
sebagai keturunan Nabi Hamn yang tentunya juga keturunan Nabi Ibrahim
malah hampir tidak ditemukan pada "Haplogroup Ibrahimi" ini. Sementara, yang
muncul adalah segelintir orang Yahudi Eropa Timur dan sekelompok orang yang
mengaku Asyraf (keturunan Nabi melalui putrinya, Fathimah) . Dan di sisi lain,
mayoritas orang yang dikenal sebagai Quraisy, berbagai suku Arab Adnani dan
Bani Hasyim lainnya hampir tidak ada yang berada di Haplogroup "Ibrahimi"
buatan ini.
Karena sangat menarik perhatian masyarakat dan kalangan
bisnis, klaim genetika Ibrahimi, Quraisy, dan Bani Hasyim inikemudian tersebar
dimedia sosial dan banyak menarik perhatian pelanggan dan para peminat
genetika. Berbagai diskusi dan perdebatan terjadi di media sosial Timur
Tengah. Perusahaan Family Tree DNA sangat diuntungkan dengan publisitas ini
walaupun klaim dan hasil tes yang digembar-gemborkan itu masih penuh dengan
pertanyaan, spekulasi, dugaan, dan kritik para pakar. Lagi-lagi belum ada satu
tulisan ilmiah pun yang membahas dan membuktikan seperti apa Haplogroup Nabi
Ibrahim, Quraisy, Bani Hasyim, dan Asyraf itu. Semuanya hanya berdasarkan
hasil tes yang dipublikasikan di beberapa interest group situs Family Tree DNA
dan analisis para netizen dan peminat antrogenika semata. CEO perusahaan FTDNA
saat ini (2024) dipimpin oleh Lior Rauchberger, seorang Yahudi Australia .
Hasil
yang diberitakan di media sosial itu masih sangat dipertentangkan
(contested), sebagaimana dipublikasikan secara resmi oleh ISOGG, yaitu
organisasi internasional terkait genetika keturunan . Bukan hanya Nabi
Ibrahim, Nabi Muhammad, Bani Hasyim, dan Quraisy yang dipertentangkan, tetapi
berbagai tokoh sejarah lain termasuk Fir'aun, Jengis Khan, dan lainnya.389
Dalam
tautan tersebut disebutukan : "Men claiming Hashemite ancestry belong also to
other Haplogroups in J or other major Haplogroups, so there is no consensus".
Artinya, "Orang yang punya nasab dan mengaku sebagai keturunan Bani Hasyim
juga tersebar di berbagai cabang (Haplogroup J lain yang berbeda) dan
Haplogroup lainnya. Maka, bisa dikatakan bahwa tidak ada kesepakatan (mengenai
hal ini)."
Berbagai heterogenitas yang kita temukan tidak hanya mencakup
perbedaan Haplogroup, tetapi juga berbagai kerancuan dan kejanggalan lain yang
tidak sesuai dengan sejarah dan pohon nasab. Misalnya, bercampur aduknya
suku-suku Adnani dan Qahthani yang tidak bersesuaian dengan jalur nasab mereka
. Berdasarkan sejarah dan silsilah yang dipercayai sejarawan dan ahli nasab
Arab, Suku Adnani dan Qahthani itu berasal dari jalur leluhur yang berbeda
sampai masa jauh sebelum Nabi Ibrahim. Namun kita temui banyak sampel yang
seharusnya Adnani berada di kelompok Qahthani, begitu juga sebaliknya. Contoh
sederhananya adalah beberapa sampel dari Suku Bani Hamdan berikut ini:
Bani
Hamdan adalah Suku Qahthani yang seharusnya tidak bertemu dengan kelompok
Haplogroup J-FGC8712 yang diklaim lbrahimi. Namun, analisis Haplotree sampel
di atas menunjukkan mereka berada sangat dekat dengan kelompok yang diklaim
sebagai "Ibrahimi". Jika ini dipercaya maka ini menunjukkan bahwa mereka
adalah Adnani dan tentu saja hal ini bertentangan dengan nasab yang sudah
masyhur dan disepakati. Lalu ada lagi orang dari Suku Qahthan yang sama sekali
berbeda kelompok dan bervariasi, seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Dan, ada banyak contoh lainnya.
Sementara itu, berbagai
sampel sejumlah orang dari Suku
Quraisy dan Adnani lainnya menunjukkan bahwa hampir semuanya tidak berada di
Haplogroup J-FGC8712 yang diklaim sebagai Haplogroup Ibrahimi. Bahkan secara
perhitungan mutasi SNP, pertemuan SNP mereka jauh di atas Haplogroup
"Ibrahimi". Contohnya beberapa sampel Suku Quraisy dan Bani Tamim di
bawah ini:
Tabel 6-Bani Hamdan Qahthani di Jalur Dekat
Ibrahimi
Bagaimana mungkin Bani Tamim dan Quraisy yang seharusnya
adalah Suku Adnani bisa sama sekali berbeda dan tidak masuk kelompok yang
dianggap Ibrahimi, bahkan sekelompok Bani Tamim di atas berada di Haplogroup
J2 yang sama sekali berbeda . Menurut teori DNA, leluhurnya bertemu belasan
ribu tahun lalu, jauh sebelum masa hidup Nabi Ibrahim.
Kelompok pembatal
nasabjuga mengampanyekan mitos bahwa Haplogroup Quraisy adalah J-L859 .
Menurut perhitungan masa mutasi SNP, tahun kelahiran orang yang dianggap
sebagai leluhur bersama Haplogroup ini juga sangat bermasalah . Perhitungan
masa mutasi SNP menunjukkan bahwa ia lahir sekitar tahun 500 M, yang berarti
barn 1500 tahun lalu. Sementara, Quraisy sendiri sudah ada 11 generasi sebelum
Nabi Muhammad lahir pada 570 M. Berikut ini yang tertulis pada situs Family
Tree DNA mengenai Haplogroup J-L859 ini.
"The man who is the most
recent common ancestor of this line is estimated to have been born around 500
CE. (Orang yang merupakan nenek moyang terbaru dari garis keturunan ini
diperkirakan lahir sekitar tahun 500 Masehi) ."
Di grup itu ada
beberapa orang yang mengaku keturunan Quraisy dan seharusnya leluhur mereka
adalah Quraisy yang hidup 11 generasi sebelum Rasulullah Saw. Anehnya, menurut
perhitungan DNA, leluhur bersama ini lahir sekitar 70 tahun sebelum Rasulullah
Saw. Mungkinkan ini? Sebaiknya kita gunakan akal sehat dan kewarasan berpikir
sebelum menerima kebohongan ini! Dan jika kita gunakan perhitungan Yfull,
didapatkan hasil bahwa leluhur
bersama J-859 yang diklaim
sebagai Quraisy ini lahir sekitar 1400 tahun
lalu, yang sama
dengan masa hidup Rasulullah .39° Kesimpulan ini jauh lebih mustahil lagi!
Belum
lagi berbagai sampel dari orang-orang yang dikenal sebagai Quraisy dengan
berbagai cabangnya, seperti Bani Makhzum, Bani Taim (suku Abu Bakar al-Shiddiq
sahabat Nabi), Banu Adi (suku Umar ibn Khaththtab), atau Banu Umayyah (suku
Utsman ibn Affan) yang sama sekali tidak masuk ke dalam kelompok Ibrahimi atau
Adnani atau Quraisy J-L859 itu. Terlalu banyak contoh lain bisa ditemui.
Namun, demi alasan praktis dan keterbatasan ruang kita batasi
hanya beberapa contoh.
Bukti kejanggalan lain yang sangat penting
diketahui adalah ketidaksesuaian Bani Syaibah dengan kelompok yang diklaim
sebagai Quraisy dan Adnani. Bani Syaibah adalah salah satu cabang
Suku Quraisy yang secara turun-temurun dari zaman pra-lslam
diberikan hak pemeliharaan Ka'bah dan kuncinya.
Pada masa Rasulullah Saw.
yang bertugas merawat Ka'bah dan memegang kuncinya adalah Utsman ibn Thalhah.
Ketika menaklukkan Kota Makkah, Rasulullah Saw. meminta kunci Ka'bah kepada
Utsman ibn Abi Thalhah. Setelah Rasulullah Saw. dan Sayidina Ali ibn Abi
Thalib menghancurkan berhala-berhala di dalamnya, Rasulullah menyerahkan
kembali kunci Ka'bah kepada Utsman ibn Thalhah, seraya berkata:
"Ambillah
ini, wahai Bani Abi Thalhah, selama-lamanya sepanjang masa. Tidak adayang
merebutnya dari kalian kecuali orang zalim atau penganiaya ." (HR Thabrani)
Utsman
ibn Thalhah lalu mewariskan kunci Ka'bah itu kepada saudaranya, Syaibah.
Hingga hari ini, kunci Ka'bah dipegang oleh anak cucu keturunan Bani Syaibah.
Merekalah yang bertanggung jawab merawat Ka'bah, termasuk membuka dan
menutupnya, membersihkan dan mencucinya, serta merawat Kiswah atau kain
penutupnya. Tidak ada seorang pun yang berani mengambil hak ini dari tangan
Bani Syaibah sampai hari ini karena menghormati pesan Nabi tersebut .
Menariknya,
hasil tes DNA beberapa keluarga Bani Syaibah pemegang kunci Ka'bah ini sama
sekali berbeda dengan Haplogroup mitos DNA Quraisy yang digadang-gadang itu,
sebagaimana ditunjukkan di Tabel 9-Hasil Sampel Bani Syaibah Pemelihara
Ka'bah. Alih-alih berada di Haplogroup J1 dan Haplogroup mitos Ibrahimi atau
mitos Quraisy, mereka malah berada di Haplogroup R yang pertemuannya sangat
jauh dengan Haplogroup Quraisy. Pertanyaan penting yang hams kita jawab
sebagai seorang Muslim adalah apakah hadis Nabi Saw. yang benar ataukah kita
lebih memercayai mitos Haplogroup Quraisy J-L859 yang masih bersifat
spekulatif dan zhanni?
Hasil analisis Haplotree beberapa keluarga Bani
Syaibah pemegang kunci Ka'bah terkait beberapa sampel di atas bisa juga
dilihat pada hasil analisis perusahaan yang bernama YFull seperti di bawah
ini.
Bagan 8- Haplotree Sampel Bani Syaibah Pemelihara Ka'bah
Ketiga
sampel di atas berasal dari keluarga yang sama. Diperkirakan mereka bertemu
pada leluhur yang berjarak sekitar 175 tahun atau sekitar
enam generasi.
Demikian pula suku Bani Khalid yang dikenal sebagai
keturunan Bani Makhzum, yang merupakan bagian dari Suku Quraisy.391 Ada juga
yang menye butkan mereka adalah bagian dari kabilah Rabiah Bani Hawazin,
keduanya merupakan kabilah Adnani. Banyak dari mereka berada di Haplogroup T
yang berkumpul pada klaster clade tertentu seperti ditunjukkan pada beberapa
sampel bawah ini. Tidak ada satu pun yang berada di bawah Haplogroup J1 atau
cabangnya J-L859 yang dianggap clade Quraisy.
Hal lain yang lebih
ironis dan lucu adalah munculnya sekelompok orang yang sama sekali tidak
memahami tes DNA dan nasab lalu menggunakan hasil estimasi etnis tes autosomal
DNA untuk membatalkan nasab jalur paternal Qalur ayah). Ini adalah pembodohan
publik yang luar biasa. Uji DNA autosomal itu tidak bisa digunakan untuk
melacak keturunan jalur paternal (ayah), apalagi leluhur masa lampau yang
hidup ratusan atau ribuan tahun lalu. Uji DNA autosomal hanya bisa
memperkirakan kekerabatan sampai sekitar 5-7 generasi.
Perlu dipahami
benar dan sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa tes estimasi etnis yang menguji autosomal DNA sangat bergantung kepada
database dan metode yang digunakan . Estimasi ini berkembang seiring dengan
bertambahnya database yang dimiliki perusahaan sehingga hasilnya pun bisa
berubah-ubah dari waktu ke waktu, begitu juga dengan algoritma dan software
yang digunakan. Di samping itu, pendefinisian dan pemetaan pola-pola genetik
kelompok masyarakat itu bisa berbeda dan berkembang, juga sangat tergantung
kepada kelengkapan dan keakuratan data statistik yang mereka miliki. Karena
itu, biasanya komposisi dan persentase estimasi etnis autosomal tes antara
perusahaan A dan perusahaan B selalu berbeda dan bisa jadi sangat berbeda.
Tidak jarang etnis A muncul pada hasil tes perusahaan X tetapi tidak muncul
pada hasil tes perusahaan Y, begitu juga sebaliknya .
Sangat umum ditemui
hasil estimasi etnis ini sama sekali tidak akurat bahkan sangat janggal, baik
dari sisi komposisi maupun persentase . Ini bisa dengan mudah ditemui di
berbagai perusahaan DNA ternama di dunia seperti Familiy Tree DNA, 23andMe,
AncestryDNA, MyHeritage atau lainnya . Ironisnya, banyak orang awam yang
secara serampangan dan bodoh menggunakan ini sebagai acuan untuk masalah
nasab, padahal tes autosomal itu sama sekali tidak valid untuk pelacakan nasab
patrilineal Qalur ayah semata). Sungguh bodoh mereka yang menggunakan hasil
tes DNA seorang wanita figur publik yang akurasinya sendiri sangat
dipertanyakan sebagai acuan untuk menetapkan atau membatalkan nasab. Apalagi
perusahaan penyedia jasa tes DNA pun tidak memiliki database yang memadai
untuk menguji DNA etnis tertentu .Akibatnya, hasil ujinya pun terlihat
aneh.
Alih-alih digunakan sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan
kesehatan, pelacakan kekerabatan, penegakan hukum, dan lain-lain, tes DNA
malah dijadikan sarana untuk membatalkan nasab-nasab yang sudah masyhur di
kalangan umat selama ratusan tahun . Akibatnya, muncul
kericuhan dan polemik pada berbagai platform media sosial di beberapa
negara berpenduduk Muslim, khususnya di Timur Tengah. Lebih jauh, isu ini
memunculkan fitnah dan gejolak sosial di kalangan umat Islam. Kericuhan dan
polemik tampaknya meluas sampai ke Indonesia . Tentu saja perkembangan ini
sangat menyedihkan dan merugikan umat Islam. Masih banyak hal yangjauh lebih
bermanfaat untuk digali dibandingkan berpolemik dan membatalkan nasab yang
sudah masyhur sepanjang masa . Rasulullah Saw. bersabda :
"Di
antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak
bermanfaat." (HR Tirmidzi No. 2317; Ibn Majah No. 3976)
7.
Kerancuan DNA Kelompok Sadah/ Asyraf dan Bani Hasyim392
Kerancuan dan
heterogenitas jalur genetik Ibrahimi, Adnani, Qahthani, Quraisy yang sudah
dibahas panjang lebar sebelumnya juga muncul pada kelompok Bani Hasyim dan
Siidah-Asyraf . Para pendukung pembatal nasab mengusung mitos bahwa keturunan
Nabi hams berada di bawah Haplogroup mitos J-FGC10500. Mitos itu disandarkan
atas hasil uji sekelompok orang yang mengaku sebagai Sayid atau keturunan Bani
Hasyim . Klaim ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil dan rujukan untuk
menentukan apakah seseorang itu keturunan Nabi, Bani Hasyim, atau Sayid. Klaim
ini juga tidak bisa digunakan untuk membatalkan nasab kabilah yang sudah
sangat dikenal dari zaman dahulu dan sah secara syariat sebagai Bani Hasyim
atau Asynif (keturunan Nabi Saw.). Mengapa klaim tersebut tidak bisa diterima
dan hams ditolak secara ilmu dan syariat? Berikut ini beberapa alasannya:
1)
Metadatanya tidak bisa dipertanggungjawabkan . Tidak ada validasi ke benaran
nasab sampel-sampel yang digunakan dalam tes DNA orang yang mengaku sebagai
Quraisy, Bani Hasyim, atau sayid tersebut . Semua data dan sampel yang
digunakan semata-mata berdasarkan self proclaim atau pengakuan sepihak tanpa
ada verifikasi nasab oleh para ahli nasab atau Naqib al-Asyriif .
2)
Tidak ada satu pun jurnal ilmiah yang mempublikasi seperti apa pola genetik
Quraisy, Bani Hasyim atau Asyriif itu. Bahkan seandainya ada, sebuah jurnal
ilmiah atau catatan analisis barn hams melalui proses peer review 393 dan
menghadapi kritik para pakar di bidang-bidang terkait untuk
dipertanggungjawabkan keilmiahannya .
3) Konon
proyek tes DNA Bani Hasyim itu sampai saat ini memuat lebih dari 1.600 sampel
DNA. Dari jumlah ini hanya sekitar 200 sampel yang bersesuaian dengan kelompok
mitos Asyraf . Dengan kata lain, tidak sampai 15% dari sampel yang ada yang
mengerucut ke beberapa klaster yang dianggap Asyraf . Lalu, ke mana 85%
lainnya? Apakah mereka ini bukan Asyraf? Anggaplah 500 orang darijumlah itu
hanya ingin ikut berpartisipasi dan mereka memang bukan Asyraf . Lalu, yang
800 orang lebih (>50%) yang punya nasab yang jelas dan diketahui sebagai
Asyraf dengan nasab yang benar itu batal semua nasabnya? Masuk akalkah ini?
4)
Tidak ada konsensus seperti apa pola genetik Ibrahimi, Adnani, Qahthani,
Quraisy, Bani Hasyim, dan Siidah-Asyriif .Berbagai data dan fakta di lapangan
menunjukkan mereka tersebar di berbagi klaster dan pola genetik yang berbeda.
Sebuah organisasi internasional komunitas Genetic Genealogy yang disebut
Inemational Society of Genetic Genealogy (ISOGG)
dalam situsnya menyebutkan : "No descendant by classical genealog y
(Hashemite, Sharif , Abbasid) of Abdul Muttalib has published positive testing
for L859.394 (Tidak ada keturunan Abdul Mutthalib berdasarkan silsilah klasik
yang disepakati [Bani Hasyim, Syarif, Bani Abbas] yang menerbitkan tes positif
untuk L859)."
5) Tes DNA yang dilakukan terhadap
kelompok Siidah-Asyriif sama sekali tidak representatif karena banyak sekali
kelompok Siidah-Asyriif yang tidak terwakili. Siidah Uraydhiyah
dengan berbagai cabangnya, Siidah Idrisiyah dengan berbagai cabang besarnya,
Siidah Kattaniyah, Siidah Rifaiyah, Siidah Jailaniyah, Ayyasyi, Alawiyin
Filaliyin, Al-Ahdal, Qudaimi, Musya'syain, Barzanji, Siidah Zahrawiyah,
Ismaili, Siidah Hamzawiyah, dan banyak lagi kelompok lainnya
tidak terwakili dalam proyek amatir yang dilakukan oleh interest group
tersebut . Terlalu banyak kelompok Sayid yang tidak terwakili dalam tes DNA
ini sementara jumlah kelompok Siidah sendiri lebih dari seratus
kelompok. Tidak diketahui seperti apa pola genetik
mereka. Adalah hal yang tidak jujur menggunakan segelintir orang
dari kelompok tertentu-bahkan tanpa
verifikasi-sebagai acuan dan menyimpulkan secara prematur. Di sisi
lain dengan gegabah menegasi berbagai kelompok Siidah lainnya yang sudah
disepakati secara syariat.
6) Hasil-hasil DNA yang
diklaim sebagai Siidah-Asyriif ini banyak yang tidak sesuai dengan
silsilah nasab yang disepakati oleh para ahli nasab, baik musyajjar nasab
Hasani maupun Husaini. Sebagian sampel yang dikelompokkan dalam satu grup
berada di posisi yang tidak sesuai dengan pohon nasab dan terkesan dipaksakan
. Contohnya adalah salah satu sampel berikut ini:
NP J-FGC39790 di atas
diklaim dan ditulis jelas sebagai keturunan Musa al-Kazhim . Namun, menurut
analisis DNA, sampel ini tidak masuk dalam grup Husaini, tetapi Alawi-Abbasi
(keturunan Abbas ibn Ali, bukan jalur Fathimah) . Bagaimana mungkin seorang
keturunan Musa al-Kazhim tetapi tidak termasuk Husaini? Sama halnya, ada
sampel dari kelompok S<idah Qudaimi yang secara nasab bersambung kepada
Musa al-Kazhim malah muncul di kelompok Abbasi-Alawi .
7)
Munculnya orang-orang yang secara silsilah nasab bukan termasuk kelompok Sayid
tetapi muncul di DNA dalam kelompok Sayid. Contohnya adalah Marga al-Gatham
yang secara nasab termasuk kelompok marga Khalifah di Bahrain (bukan Quraisy)
tiba-tiba muncul di kelompok yang diklaim sebagai Bani Hasyim .
Contoh
lain yang lebih aneh adalah munculnya seorang Katolik dari Cantabria, Spanyol
Utara yang tiba-tiba dikelompokkan sebagai Sayid Husaini yang bahkan
diprediksi berasal dari kelompok S<idah A'rajiah.
Apakah masuk akal
jika Mario Reynoso Guemes yang berasal dari Cantabria, Spanyol, dan
punya leluhur bernama Juan Manuel Guemes ini
menurut tes DNA adalah seorang Sayid al-Husaini? Bagaimana mungkin orang yang
sama sekali tidak dikenal dan punya latar belakang dari keturunan Asyraf
tiba-tiba menjadi seorang Sayid Husaini? Apakah tidak kebetulan saja
pola genetikanya mirip dengan beberapa orang yang mengaku Sayid yang tidak
terverifikasi itu?
Ada orang yang mencoba memaksakan diri dengan membuat
cerita khayalan dan merasionalisasi hal ini dengan mengatakan bahwa leluhur
Reynoso Guemes adalah seorang Sayid Husaini yang hijrah ke Andalusia zaman
dahulu dan keturunannya menjadi Katolik pada periode inkuisisi.395 Pernyataan
tersebut sangat spekulatif dan sama sekali tidak berdasar! Tidak pernah ada
pengakuan dari yang bersangkutan bahwa leluhurnya berasal dari Timur Tengah.
Dia dan leluhurnya pun secara historis berasal dari Cantabria, Spanyol
Utara, daerah yang jauh dari Andalusia yang berada di Selatan.
Syariat Islam sama sekali tidak mengajarkan dan membolehkan kita menisbahkan
nasab seseorang dengan suatu hal yang bersifat spekulatif dan zhanni
seperti ini.
Mungkin kita tidak puas hanya dengan satu atau dua contoh.
Berikut ini contoh kejanggalan lain. Seorang yang berasal dari kabilah Syammar
tiba-tiba muncul di satu kelompok Bani Husain kelompok Asyraf Jl.
Orang
yang dites ini berasal dari kabilah
Syammar, bagian dari Qahthan, suku yang sama sekali bukan kelompok
Adnani atau Quraisy, apalagi S<idah. Pertanyaan besarnya, bagaimana bisa
seorang Syammar bisa masuk ke dalam grup Husaini dari Bani Husain yang mengaku
dari kelompok S<idah A'rajiah? 396 Terlalu berbahaya untuk berandai-andai!
Al Qur'an memerintahkan kita untuk menjauhi prasangka buruk dan tajassus :
"Wahai
orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu dosa dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa
jijik . Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat,
Maha Penyayang." (QS Al-Hujurat: 12)
8) Berbagai
kejanggalan dan heterogenitas juga
ditemukan pada banyak
sampel S<idah-Asyr<if sebagaimana
dijelaskan dalam contoh berikut ini:
Di Haplogroup E dengan berbagai
klasternya ditemukan banyak sampel dari kelompok Sadah, khususnya S<idah
Idrisiyah dengan berbagai cabangnya.
Demikian pula Bani Hasyim dan
Quraisy lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel-tabel berikut ini.
Tabel
16 -Syurafa' Adarisah dan lainnya berisikan beberapa sampel Syurafa'
Adarisah
(Idrisi) dan Asyraf lain serta keluarga Bani Hasyim lainnya.
Pada
Haplogroup E di bawah klaster E-CTS106
terdapat Bani Thayib, sebuah grup yang dikenal sebagai salah suku
Bani Hasyim di Yaman Utara.
8. Sadah/
Asyraf di Haplogroup G
Apakah ada kelompok S<idah lain yang
berada di Haplogroup G dan berbagai cabangnya? Jawabnya, banyak! Sebagiannya
ditunjukkan pada beberapa tabel berikut ini.
Di tabel tersebut ada 5 grup
pola genetik Asyraf yang dikelompokkan . Pertama adalah, kelompok S<idah
al-Bayati (salah satu cabang S<idah al Hamail al-Sittah al-Ridhawiyah
al-Musawiyah). Ini adalah salah satu kelompok S<idah Musawi (keturunan Musa
al-Kazhim) melalui jalur Imam al-Ridha yang menetap di Irak. Leluhur mereka
bernama Sayid Mustafa ibn Ali Abu al-'Ilm yang nasabnya bersambung ke Ja'far
ibn Ali al-Hadi ibn Muhammad al-Jawad ibn Imam Ali Ridha. S<idah al-Bayyat
ini pindah dari Syam ke Irak pada zaman Sultan Utsmani yang bernama Murad I.
Mereka adalah kelompok S<idah yang cukup luas dikenal di Irak.
Grup
selanjutnya di tabel itu adalah S<idah Haydari atau yang dikenal Hayadirah
yang berasal dari Ahwaz, Iran Selatan yang berbatasan dengan Irak. Mereka
adalah cabang dari S<idah Musya'sya'in yang sangat terkenal di Ahwaz karena
menjadi penguasa atau amir di wilayah Ahwaz (dikenal juga dengan nama
Arabistan) dalam waktu yang cukup lama. Berikut ini sedikit paparan tentang
S<idah Musya'syain :
Disebutkan dalam kutipan di atas bahwa
datuk Sadah Haydari (Hayadirah) adalah Sayid Haidar al-Mawla al-Musya'sya'.
Demikian pula beberapa cabang S<idah Haidari disebutkan . S<idah
Musya'syaiyah ini adalah keturunan Sayid Muhammad al-Mahdi (pendiri dinasti
Musya'syaiyah) ibn Falah yang nasabnya bersambung ke Ibrahim al-Mujab ibn
Muhammad al-Abid ibn Imam Musa al Kazhim .
S<idah Musya'syaiyah ini
penting untuk diketahui di sini karena mereka dahulunya adalah para Amir di
Ahwaz (daerah antara Irak dan Iran Selatan) dan sejak dulu dikenal sebagai
Asyraf .397 Legitimasi mereka sangat kuat sehingga tidak bisa seorang dengan
begitu saja mengaku sebagai bagian kelompok S<idah Musya'syaiyah . Perlu
dimengerti bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang dikenal kuat
kesukuannya (qabaliyah) dan menjaga nasabnya, apalagi di daerah yang masih
menggunakan 'Asyair (marga) sebagai identifikasi keluarga. Orang yang mengaku
tanpa bukti dan latar belakang yang jelas dengan mudah diketahui dan tertolak
di masyarakat mereka sendiri. Apalagi jika mereka mencantol nasab ke kelompok
terkenal seperti Musya'syain ini.
Kelompok ketiga adalah beberapa sampel
klaster S<idah Alawiyin Filaliyin, yaitu kelompok Asyraf al-Hasani kerajaan
Maroko saat ini. Ini juga merupakan kelompok Asyraf yang kuat karena mereka
menjadi penguasa Maroko selama ratusan tahun sampai sekarang dan legitimasinya
juga diakui oleh mayoritas ahli nasab. Nasab mereka bersambung kepada Hasan
al-Dakhil,398 salah seorang keturunan Sayidina Hasan r.a. yang pindah dari
Yanbu' (salah satu kota di Saudi Arabia) ke Sijilmasah atau Tafilait399 di
Maroko untuk berdakwah dan menjadi Imam atas undangan warga Sijilmasah
(Tafilait) saat itu. Asyraf Sa'diyin yang sebelumnya menjadi penguasa Maroko
dan S<idah 'Ayyasyi ('Ayayishah) yang berada di Saudi Arabia saat ini,
khususnya dari Yanbu' juga berasal dari leluhur yang sama dengan S<idah
Alawiyin Filaliyin ini. Apakah karena hasil tes DNA mereka berbeda dengan
Haplogroup mitos maka puluhan atau ratusan ribu Asyraf kelompok ini batal
semua nasabnya?
Kelompok keempat pada gambar di atas adalah kelompok
klaster dengan beberapa sampel S<idah Ba'alawi yang masuk di FTDNA, yang
berada dalam sub-clade G-Y32613. Perlu diketahui bahwa walaupun banyak sampel
Alawiyin (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebut S<idah Ba'alawi)
berada di SNP G-Y32613 tersebut tidak berarti semua yang ada di grup itu
adalah Ba'alawi, tetapi semata pola genetik mereka sama dengan
beberapa individu Ba'alawi di grup itu. Misalnya di situ ada
seorang dari marga al-Hamam yang tinggal di Makkah dan jelas bukan Ba'alawi .
Ini dikonfirmasi sendiri oleh si pemilik sampel. Kemudian adajuga seorang
Muslim India yang berasal dari Kottapuram (sebuah desa di India) dan saat ini
tinggal di Amerika Serikat. Ia sama sekali tidak berhubungan dengan Ba'alawi.
Orang itu sendiri sudah mengakui dan mengonfirmasinya . Ada pula dari keluarga
Ba Nati' yang secara nasab dikenal sebagai marga yang merupakan bagian dari
Quraisy, tetapi bukan Bani Hasyim dan bukan Ba'alawi. Demikian pula sebuah
sampel dari klan Ba Hurmuz, salah satu marga kelompok Quraisy cabang Bani
Syaibah. Kami juga mendapati Ba Lathif al-Aqili (Bani Hasyim keturunan Aqil
ibn Abi Thalib) di grup yang sama dengan beberapa sampel Ba'alawi ini. Selain
itu, ada pula beberapa Asyraf lain yang berasal dari UAE dan Saudi Arabia di
kelompok tersebut . Hal penting yang perlu diketahui juga bahwa di kelompok
genetik ini juga ada seorang Sayid dari keluarga al-Rifa'i yang tinggal
di Qatar. Dari data yang kami dapatkan, ia berasal dari kelompok S<idah
Rifa'iah di Ru'ais, Qatar.12 Mereka dikenal sebagai keturunan Ahmad ibn Kasib
al-Rifa'i yang berasal dari Irak. Singkat cerita, kelompok Ba'alawi dan
lainnya ternyata berisikan beberapa sampel Ba'alawi, Quraisy, dan Bani Hasyim
lainnya .
Kelompok kelima pada tabel tersebut adalah kelompok S<idah
Bani Husain yang berasal dari Irak. Mereka juga banyak berada di Kuwait. Bani
Husain adalah keturunan Husain al-Asghar ibn Ali Zainal Abidin. Mereka punya
banyak cabang, di antaranya adalah al-Zabari, al-Ja'ib, al-Huzaifat, dan
lain-lain .
Selain kelompok-kelompok yang disebut di atas, berikut
ini beberapa orang S<idah yang berada pada Haplogroup G. Lihat Tabet
21-Scidah Asyraf di Haplogroup G(2). Pada tabel itu terlihat beberapa dari
kelompok S<idah terkenal, seperti Shirazi (kelompok ini dikenal sebagai
bagian dari kelompok Naqvi [Naqawi]), keturunan Ali al-Hadi ibn Muhamamd
al-Jawad melalui jalur Imam Musa al-Kazhim . Grup Naqvi dengan berbagai
cabangnya banyak dijumpai di India, Pakistan, dan Asia Tengah . Selanjutnya di
sini juga terdapat sampel S<idah Qazwini, al-Ghalibi, al-Shafi, al-Nu'aimi,
al-Waisi, Jammaz (termasuk S<idah A'rajiah), al-Mathbaqani, al-Nasur
al-Idrisi al-Hasani (di Jordan), Barzanji (Musawi Husaini), sebagian Sadah
al-Rifa'i (Musawi) dengan beberapa cabangnya seperti al-Qitali (bagian dari
grup al-Rifa'i) dan lainnya . Di antara mereka ada beberapa yang tidak
mengidentifikasi nama dan kelompoknya karena berbagai alasan.
Klan
Qazwini adalah klan S<idah Musawiyah (keturunan Musa al-Kazhim) melalui
Ibrahim al-Mujab. S<idah Qazwini bersambung ke datuk mereka, yaitu
Abdulkarim ibn Ni'matullah sebagaimana disebutkan para ahli nasab
sebagai berikut:'Abdul Karim ibn Ni'matullah ibn Murtadha ibn Radhi al-Din ibn
Ahmad ibn Muhammad ibn Husain ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Musa ibn
Husayn ibn Ibrahim ibn Hasan ibn Muhammad ibn Majid ibn Ma'ad ibn Isma'il ibn
Yahya ibn Muhammad ibn Ahmad al-Zahid ibn Ibrahim al-Mujab ibn Muhammad
al-'Aabid ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn
'Ali al-Sajjad ibn Husayn al-Syahid ibn 'Ali ibn Abi Talib wa Fathimah
al-Zahra binti Muhammad Saw.
S<idah Ba'alawi adalah salah satu
kelompok S<idah keturunan Ali al-Uraydhi, dikenal sebagai S<idah
Uraydhiyah . Kita hanya punya dua sampel dari S<idah Uraydhiyah yang bisa
diakses dan keduanya berada di Haplogroup G. Apakah berarti S<idah
Uraydhiyah dominan atau pasti berada di Haplogroup dan clade yang sama? Apakah
terjadi perubahan genetik di leluhur Uraydhiyin? Semuanya tidak bisa
dipastikan, apa lagi mau membatalkan semua Sadah dari kelompok Uraydhiyin
karena beberapa sampel mereka tidak berada di kelompok mitos J-FGC10500 itu.
Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan dosa besar ini. Beberapa puluh
sampel dari berbagai cabang saja tidak bisa memastikan apalagi hanya
segelintir. Marilah kita kembali ke jalan kebenaran dan kesadaran karena hanya
Allah yang tahu hakikat sebenarnya!
Ada seorang yang mengaku atau
dianggap oleh kalangan awam sebagian ahli DNA menyebutkan bahwa sudah ada
lebih dari 180 sampel DNA kelompok Ba'alawi yang telah melakukan test DNA di
Family Tree dan hasilnya dipublikasikan. Ini adalah pemahaman yang sangat
keliru dan fatal dalam memahami proyek DNA yang dipublikasikan oleh Family
Tree DNA. Yang ditampilkan oleh Family Tree DNA di proyek terkait adalah
semata jumlah anggota yang berada di proyek tersebut . Setiap orang yang sudah
melakukan test DNA di Family Tree DNA bisa mendaftar menjadi anggota di proyek
tersebut selama disetujui oleh administratornya . Yang bersangkutan
tidak hams mempunyai pola genetik yang sama dengan kluster Ba'alawi yang
ada di proyek tersebut . Ini jelas terlihat bahwa ada beberapa kluster di
kelompok tersebut, bahkan sebagian anggota proyek sama sekali berada di
haplogroup yang berbeda.
Bagi orang yang mengerti, maka sampel yang
sementara dikelompokkan sebagai Ba'alawi itu tidak lebih dari belasan orang
saja. ltu pun tidak semuanya diketahui apakah memang benar mereka mempunyai
nasab yang berasal dari kelompok S<idah Ba'alawi . Dari 180 anggota proyek
tersebut hanya segelintir saja yang ditampilkan karena banyak sampel-sampel
lain yang tidak ditampilkan tidak diketahui hasil DNA mereka seperti apa.
Orang yang digadang-gadang sebagai ahli DNA ini pun tidak mempunyai
kredensi sebagai ahli DNA dan sama sekali tidak pernah melakukan penelitan DNA
manusia yang pernah diuji dan dipublikasikan, apalagi DNA evolusi. Bagaimana
mungkin orang yang tidak memahami bagaimana interest group proyek DNA dikelola
oleh Family Tree DNA dianggap oleh awam sebagai ahli DNA. Sementara tidak ada
satu pun pakar DNA yang berani membatalkan atau mengesahkan kelompok tertentu
sebagai keturunan Nabi atau bukan. Sungguh ironis!
Pertanyaan berikutnya,
adakah di antara S<idah Ba'alawi yang
berada di Haplogroup J? Ada! Bahkan ada di kelompok J-FGC10500 yang dijadikan
referensi itu, seperti ditunjukkan berikut ini:
Ada beberapa sampel lagi
yang berada di Haplogroup J lain tetapi tidak bisa ditampilkan karena faktor
kerahasiaan (privacy ) . Di sini kami hanya bisa menampilkan data yang
bersifat publik. Apakah kita akan lancang tanpa bukti menuduh sampel yang ada
pada tabel di atas adalah 'Mudda'iy' atau palsu, sementara yang
bersangkutan mengonfirmasi bahwa beliau berasal dari kelompok S<idah
Ba'alawi .
Lalu, ada pertanyaan selanjutnya. Apakah ada Sadah di
Haplogroup lain?
Ada! Contohnya ada di Haplogroup R berikut ini.
Tentu
masih banyak lagi. Data di atas sekadar contoh tentang apa yang sedang
berlangsung saat ini.
9. Heterogenitas Scidah di
Haplogroup J
Setelah pembahasan panjang lebar mengenai kelompok S<idah
di berbagai Haplogroup, muncul pertanyaan lainnya. Apakah S<idah yang
berada di Haplogroup J juga heterogen? Jawabannya, ya, mereka juga
heterogen!
Tidak semua Sadah yang berada di Haplogroup J1 itu berada di
Haplogroup atau clade yang dianggap sebagai Ibrahimi, Quraisy, dan Asyraf .
Banyak sekali yang tersebar di berbagai clade di Haplogroup J dengan berbagai
cabangnya, bahkan banyak yang berada di Haplogroup J2 yang secara teori
perhitungan mutasi DNA pertemuannya mencapai puluhan ribu tahun lalu, jauh
sebelum Nabi Ibrahim. Bahkan mungkin sebelum Nabi Nuh, ataujangan-jangan
sebelum Nabi Adam hidup di dunia ini. Mungkinkah ini? Semua pertanyaan dan
misteri ini hanya bisa dijawab dengan penggunaan akal sehat dan kewarasan.
Secara
teori Haplogroup J1 dan J2 bertemu lebih dari 30 ribu tahun lalu. Di
Haplogroup J1 pun banyak ditemukan Bani Hasyim dan Asyraf yang secara
perhitungan DNA sama sekali tidak berada di kelompok yang digadang-gadang
sebagai kelompok Sayid itu, bahkan Ibrahimi saja bukan. Contohnya sampel di
bawah ini.
Menurut perhitungan genetika versi Yfull, pertemuan sampel
pertama Haplogroup J1 di atas dengan kelompok yang dianggap Asyraf itu adalah
di leluhur genetik J-L136 yang diperkirakan hidup lebih dari 11000 tahun lalu.
Mungkinkah ini? Sementara untuk sampel
kedua pertemuannya sekitar 5700 tahun lalu. Sebelum Nabi
Ibrahim hidup! Sedangkan Nabi Ibrahim saja diperkirakan hidup sekitar 4000
tahun silam.
Sampel Bani Hasyim di atas juga walaupun berada di
Haplogroup J1 pertemuan genetikanya sekitar 3100 tahun lalu, sementara Hasyim
sendiri adalah kakek ke-4 Nabi Muhammad yang hidup sekitar 1400 tahun lalu.
Mungkinkah Hasyim hidup lebih dari 1500 tahun sebelum Rasulullah Saw.
hidup?
Bahkan, banyak lagi yang lebih jauh . Beberapa contoh sampel
Asyraf yang berada di Haplogroup J2 .
Berikut ini juga menunjukkan bahwa
mereka bertemu di leluhur genetika yang hidup lebih dari 30 ribu tahun lalu.
Apakah leluhur mereka hidup sebelum Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim? Masuk akalkah
ini?
Contoh lainnya adalah beberapa Sadah Jailani dari klan Azzu'bi yang
merupakan kelompok Jailani yang terkenal, khususnya di negeri Syam.400 Mereka
sama sekali tidak berada di kelompok dominan J1 yang dianggap kelompok Sayid.
Di sini malah ada klaster yang berbeda dan kelompok J yang berbeda, ada yang
termasuk di dalam Haplogroup J1-M267 dan ada yang masuk J2-M172. Tentu kalau
kita percaya bahwa Jailani adalah kelompok Sadah al Hasani dan kelompok
al-Zu'bi al-Jailani yang terkenal itu adalah keturunannya
Beberapa
sampel S<idah Jailaniah lainnya ada di Haplogroup R, E dan J2. Kalau
menggunakan teori DNA yang validitasnya dipertanyakan untuk melacak
nasab yang sudah sangat jauh ini mereka
bertemu dengan kelompok yang mengaku dan dianggap Asyraf
J-FGC10500 di leluhur yang jauh ribuan tahun ke belakang. Sadah al-Zu'bi
dan al-Khathib adalah kelompok Sadah Jailani yang cukup masyhur di negeri
Syam. Kalau mengikuti metode kalkulator DNA, mereka bukanlah Quraisy atau Bani
Hasyim. Apakah hal ini mungkin dan bisa diterima? Apakah dengan hasil tes DNA
yang masih zhanni ini nasab mereka menjadi batal? Sebegitu lancang
dan beranikah kita melakukan tuduhan
pemalsuan nasab terhadap kelompok ini? Hanya akal sehat dan keimanan
yang bisa menjawabnya . Ada hal menarik mengenai interest group Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani ini.
Ada sekelompok orang dari Indonesia mengeklaim bahwa
nasabnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jilani, seperti ditunjukkan
pada Tabel 30-"Jilani" Indonesia. Namun anehnya tidak diketahui ada satu
klaster Jilani pun di dunia ini yang sama dengan mereka dan berada di
Haplogroup 0. Secara statistik Haplogroup 0 pada umumnya ditemui di populasi
masyarakat Asia Timur dan Asia tenggara dan tidak ditemukan di Timur Tengah.
Benar faktanya bahwa para S<idah-Asyr<if tersebar di berbagai klaster
dan Haplogroup . Namun jika kita mengikuti logika akal sehat dan jika hasil
tes DNA diterima sebagai alat untuk menelusuri leluhur seperti yang
dikampanyekan Imaduddin dan kelompoknya, paling tidak ada kelompok Jilani lain
di dunia ini yang pola genetiknya sama dengan kelompok yang mengaku
"Jilani" dari Indonesia ini. Kenyataannya, secara perhitungan mutasi SNP
sampel-sampel genetika sekelompok orang yang mengaku dari wangsa
Jilani di Haplogroup 0 itu sendiri bertemu ribuan tahun silam antara satu sama
lain, apalagi dengan keluarga-keluarga Jilani yang dikenal seperti al-Zu'bi,
al-Khatib, al-Qadiri, Kailani, Jilani, Dahlan, dan lainnya. Apakah hal ini
masih bisa diterima akal sehat? Motif apakah yang membuat sekelompok orang ini
menyambungkan diri kepada S<idah Jailaniyah? Apakah ada bukti hubungan
dengan sadah Jailaniyah lainnya dan klaim ini diterima oleh S<idah
Jailaniyah? Silakan pembaca yang menyimpulkan sendiri!
J
PF4'51&1F11!1J'S.1S. • YSCOOOt2S6JCTS722'9/PF4'563
•YSC0001296JPF.tll'516JF1 167 •142 SN Pl tanned 42900 )'bp TMRC.A31600
}'bp Info
II
LiiV?l., sn?li'FL..C:7fi7C •ysrJl(IOD?fl
iPFU:VS:\1 • PF4MCI •l7A stl h1!ftf '1100 1• TMRCA
1&"..100 iii i11r11
LmPr4!U.li'f'"?t1:'\..
Pr.. ,.Pf"4""-".tr"47A'.l
.. P.lP 1.-,,;1
.,fn,
Tabel
25-Percabangan Haplogroup J
+ 267
& + SC65 & +P58
4!40160
·u.J1 -JI .i;-JI United
Arab Emirate-:sJ-Y36276
1
i
1
1
1
Tabel
26-Bani Hasyim dan Asyraf J1 yang Tidak Sesuai
Tabel
27-Sadah di Haplogroup J2
0201O-J2a4h
'291
2310 ..:..,.>''·!_, - .)-'Jh!' •.;-•_;,J!. .
_... Bah ain J-Y100158 02011-J2a4h2a
(+L70)
330866 ·- ·,
- :.:w1 - 9fa-' !.,!_, '
Bahrain J-Y90689
0201-J2a 4h {L25,L24 L70-,DYS445s7,
DYS472=9)
1300031 I -
- '-Y !.__.! SaudiArab i J-Z43047
3431.57
1 - 1 - ..:.. ·
.J........1 SaudiAra iaJ-243047
1330846
.:.,.J""f '' - -1.... , - p1 ;}'1 · i -u1 Bah
ain J-Z43044
0703-E b 1a
342772
··..f,'"-' ' ::!.;:1 ·,
...ll_r!i. 1 - ·1saudiArab iaE-M35
!342773
· - J !.Jol_p!
.Jl_>!i • 1sa1.1diAra i E-A930
071-E
1b1b ( 135 .1)
193001 SaudiArabia E-M35
None
J1 J2 (+M172)}
447904 ...,.b.A! ·,
1_>.11 - '_;:.'i i
Kuwait
- -M172
Tabel
27-Sadah di Haplogroup J2 dan Lainnya
'
w ·';:!-' fl... ·
tJ.,...:...l..l);-"'
M IN
MAX
MOOE
550156
550147
411444
::JJ!JOO
alGlanl
l,,!1".1."il. 1..- t,...:l.
u '-,. ·JJ - - J
(arruniJr:il::m1:;.MJtc::;
I)
P<illl:Gtirnlan Temtory J-t.117.2: P<1J9:E:t:lrnlan
TellltOly J-t.117.2: lraQ J Ml/2
lraQ
J M1rl
l:IP1814
160041
249090
3l1W
J\llCClany
;"'-'
.r-'(Al-I18ssoli AHlashemil
Al-Our;iysh,,,...: .•L6
.:.....
"' Hi:lm:J. syna
,..,,,. . - >"'
{...L..
.:_1,.::..). '- ....Q- J
S)'P.d r. 1!hmnOO
w.. &h™ri noo An
)'n::in Nab HCSMibllCJ
M1rl 1
lraQ J-YSC000015J I
Yemen
J-M 112 I
P;iki!i.tilll
.1-FT1'fJl'".4a 1
Tabel 28-Sadah Jailani di
Haplogroup J2
Nome
Cklster Z 18292•,J1 """'-
.r
Pate ma!
Anceslor Name
,
Ha:plogroup
37B452
alOadirialGilani .;_,,·
..i-_,,_._.lJ ..,, a. Palestimian
Territory J-ZS97 12
508513 a1oaa 1n
all3ilani .;-" ;;._ "' .:.:..,,.-....1
.;,,.,:;.. Paresum1an Territory J-BY37585
550151
alOaa lrt all311anl .;-" .;.. .:r ;jj-- -
-' J-> Palesllmlan Territory J-M267
493353
a1Qaa1rt a1G11an1 .rt" ......_J!>
"""'J! •fa ...... _.L..Pa 1esUmlan Tenitory J BY37535
550145
al0adlrt all3ilani J'"Jl&+
.,.'J'J.:l! PalestimianTerrilory J-M267
550152
alQadlrl alGllanl p.,.J .;.fl'J ,_. p l!> °'''>,;,,
_._J! Palesttnlan Territory J-M267
E
10.
Etnisitas Ba'alawi Nusantara
Kaum Ba'alawi di Asia Tenggara khususnya
Nusantara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bangsa-bangsa di kawasan
ini. Mereka adalah bagian dari sejarah dan tumbuh kembang masyarakat Nusantara
itu sendiri, baik dari sisi etnis maupun budaya. Perlu diketahui bahwa hampir
tidak ada manusia di dunia ini yang murni berasal dari satu etnis, karena
pasti ada percampuran dengan berbagai etnis lain pada masa lalu. Apalagi etnis
Ba'alawi yang berada di Nusantara . Integrasi dengan masyarakat Asia Tenggara
dan Nusantara adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan . Beberapa
kerajaan atau kesultanan di Nusantara dan keterlibatan figur-figur dari
komunitas Ba'alawi dalam berbagai aspek kehidupan merupakan bagian dari
sejarah Nusantara itu sendiri. Ini terlihat dari berbagai fakta sejarah mulai
dari Aceh, kesultanan Palembang, Kesultanan Siak, Kesultanan Deli, Kesultanan
Pontianak, Kesultanan Kubu, beberapa kesultanan di negeri Melayu termasuk
Kesultanan Perlis saat ini, beberapa kesultanan di Jawa sampai wilayah Timur
Indonesia. Terkait penyebaran Islam, Prof. Azyumardi Azra menjelaskan panjang
lebar jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, pada abad 17 dan 18
dalam bukunya yang terkenal, Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII. Keterlibatan kaum Alawiyyin (S<idah Bani
Alawi) dalam proses itu terbaca dengan jelas .401
Integrasi inijuga
ditunjukkan oleh berbagai data uji DNA autosomal mereka sendiri. Bagaimana
tidak, karena pada umumnya leluhur jalur ibu mereka selalu merupakan bagian
dari penduduk setempat. Karena itulah, di komunitas ini dikenal istilah
"akhwal" yang berarti paman dari pihak ibu ketika merujuk ke keluarga yang
berasal dari komunitas jalur ibu mereka. Istilah paman jalur ibu adalah sebuah
penghormatan dan menunjukkan kedekatan biologis S<idah Bani Alawi
(Alawiyyin) dengan keluarga jalur leluhur ibu mereka . Fenomena ini sudah
terjadi dari generasi ke generasi dan berlangsung lama.
Kita tahu ibuadalah sosok yang sangat dihormati dalam Islam.
Adalah sebuah kejahatan bagi yang ingin mencerabut etnis S<idah Ba'alawi
dari akar mereka.
Walaupun komposisi etnisitas dalam
autosomal tes adalah perkiraan dan tergantung database perusahaan
di mana mereka melakukan tes, paling tidak berbagai tes yang
pernah dilakukan memberikan gambaran secara garis besar bahwa
etnis ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari penduduk
Nusantara . Hal yang serupa ditemui di kalangan Ba'alawi di wilayah lainnya
seperti Afrika, Myanmar, India, dan lainnya. Variasi etnis lokal ini terlihat
antara 30-85% dan di daerah-daerah tertentu bahkan
sangat dominan, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa sampel
di Bagan 9-Contoh Komposisi Etnis Ba'alawi Nusantara . Menjadi satu kejahatan
dan ketidakadilan untuk memisahkan mereka dari masyarakat Nusantara, karena
mereka adalah bagian dari masyarakat Nusantara
itu sendiri.
Sungguh
menyedihkan, ada orang yang mengaku beriman tetapi dengan beraninya memastikan
dan menyimpulkan bahwa Nabi Saw. mempunyai Haplogroup J-FGC10500 dan
menafikan jutaan nasab orang lain (tha'n Ji al-nasab) yang sudah diakui
syariat dan mujma' 'alaih. Di lain pihak mereka berisiko
memasukkan orang yang sama sekali tidak
berintisab kepada Nabi
dan ahlulbaitnya semata-mata karena
pola genetiknya kebetulan sama dengan Haplogroup dan SNP mitos tersebut .
Cukuplah sabda Rasulullah Saw. di bawah ini sebagai pengingat bagi kita:
"Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta kepada selainku. Barang
siapa berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat
duduknya di neraka." (HR Bukhari No. 1291 dan Muslim No. 4)
Ancestry
Report
Th<> anresrry l Or'O.
rSigt Ir o tndty and ...tiere )'O'J anc!'Stors
llYed.
Ta e t1me 10 1rart)'Oll" rO<ls 'l:lseev.ooycual"("estorsare
•
IUl Aili.
-[IH
•c.111 1-
• ITC
•
For IOOl'e di!Ll r
EIC. ple.is.150e ,
tfle P
bdc>N
2434343 (Sequencing.com) Is
59.7896 East
Asian.
East Asia 59.7896
31.7
18.3&1fo
9.
1s.ai;w.
10.19'111
outh
Asia 9.7596
5.6
4.06!f.
ETC
1.4496
Ancestry
Report
The a11res1 t Pr.Qr' !Slgnls
kto}WI' and }WI' .n-estors ll\led. Take
timeto track your root:> ard :;ee ywr aocesiors are.
3438297
(Sequendng.com) Is
81.0896 East Asian.
East Asla
81.08%
Awn 59.16""
1426'111
!illeiwi'I
7.65'11
Mid East
10. 96
• Utt Alli
tut
6.41'11>
Mlidlll•
• '°'1111-
• m:
NiarlhomAli1Gan
&N-. 4.23'16
CentralSouth
Asia
5.1696
ETC
3.12%
Middle East &
North Africa 52%
Indones1'ln1
Thai,Khmer &
Myan111a
Indonesia
36.6%
>
Middle East
•
Ana·tolia, Armen ia,& Mesopotamia 27%
Filipino
& Austronesia n 15.2% )
•
Broadly East Asian 1.1% v
• Arab, Egyptian &
Levantine 29.6% v
•
Peninsular Arab 24.8% >
Hadhramaut
Governoliate. Yeomen
• Levantine
1.4% >
Broadly Arab, Egyptian & 3.4%
v
Levantine
• Northern West
A·sian :!I.&% v
Iranian,
Caucasian & :!1.3% >
Mesopotamian
•
Broadly Northern West Asian &.3% v
• Broadly
Western Asian & North
2.1% v
African
Middle
Eas1 & North Africa Middle East
•Ana1011a,Armenia,& Mesopotam
ia
• Northern Lt'Vant
Southern Levant
Arabia
•Arabian
Peninsula
•Yemenite
Aola
lsla11d Southeoa!rt
Asia
•Malaysia & Weslem Indonesia
•Philippine
Lo,vlands
Arabia
•
Arab ian Peninsula 13%
•
Yemenite 11%
Asia 47%
Island
Southeast Asia
Bagan 9- Contoh Komposisi Etnis
Ba'alawi Nusantara
Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda
:
"Ada dua hal yang bisa menyebabkan kekufuran, tha'n dalam nasab
(mem
batalkan nasab orang) dan meratapi mayat." (HR Muslim No. 100)
11.
Pandangan Pakar tentang Tes DNA untuk Nasab Jauh
a.
Tidak dapat dimungkiri ilmu DNA memberikan banyak
manfaat bagi kemanusiaan . Namun, ilmu yang masih berkembang ini
tidak bisa dijadikan acuan atau referensi untuk memastikan leluhur jauh
seseorang sampai ratusan atau ribuan tahun lalu. Berikut ini pendapat para
pakar DNA, di antaranya adalah Prof . Alan R. Templeton 402 dalam bukunya,
Biological races in Humans .403 Ia mengatakan :
"Much of the recent
scientific Literature on human evolution portrays human po pulations as
separate branches on an evolutionary tree. A tree like structure among humans
has been falsified whenever tested, so this practice is scientifically
indefensible. It is also socially irresponsible as these pictorial
representations of human evolution have more impact on the general public than
nuanced phrases in the text of a scientific pa per . Humans have much genetic
diversity, but the vast majority of this diversity reflects individual
uniqueness and not race."
"Banyak literatur ilmiah terkini mengenai
evolusi manusia menggam barkan populasi manusia sebagai cabang terpisah dalam
pohon evolusi. Struktur mirip pohon pada manusia telah menunjukkan kesalahan
dan kepalsuan setiap kali diuji sehingga praktik initidak dapat dipertahankan
secara ilmiah. Hal ini juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
karena representasi gambar evolusi manusia ini memiliki dampak yang lebih
besar terhadap masyarakat umum dibandingkan kalimat-kalimat dengan nuansa
berbeda dalam teks-teks makalah ilmiah. Manusia memiliki banyak keragaman
genetik, namun sebagian besar keragaman ini mencerminkan keunikan individu,
bukan ras."
b. Profesor Anatole
Klyosove, seorang pakar genetika asal Rusia yang tinggal di
Amerika, dalam salah satu korespondensinya menulis:
"Let's move now to
the great Prophets and to the Quraysh tribe. Right now, we cannot
reliably ascribe them to haplogroups Rla or Ila or E, or G.
The thing is that Mitanni Aryans lived nearby bearers of 11 and 12 peo ple,
and in order to figure out who is (and was) who, we need data. For example, we
need as many as possible haplogroups, snips and haploty pes from the Quraysh
tribe. We need to determine how many of them belong to 11, 12, Rla, E, G2 and
other haplogroups, and who is in the majority? However, majority is not
enough, we need to determine when their common ancestors leave, in each
haplogroup and in which subclade ."
"Sekarang mari kita
beralih ke nabi-nabi besar dan Suku Quraisy. Saat ini kita
tidak dapat memastikan dan mengaitkannya dengan Haplogroup Rla atau Jla atau
E, atau G. Masalahnya, Mitanni Arya tinggal berdekatan dengan pembawa
orang-orang J1 dan J2, dan untuk mengetahui siapa (dan dulu) siapa, kita
memerlukan data yang cukup. Misalnya, kita membutuhkan sebanyak-banyaknya
Haplogroup, snips (SNPs) dan Haplotype dari Suku Quraisy. Kita perlu
menentukan berapa banyak dari mereka yang tergabung dalam Jl , 12, Rla, E, G2,
dan Haplogroup lainnya, dan siapa yang mayoritas? Namun, ini masih tidak
cukup. Kita perlu menentukan mayoritas kapan nenek moyang mereka pindah di
setiap Haplogroup dan di sub-clade mana."
Ringkasnya, hingga
saat ini kita masih belum dapat mengetahui dan menentukan dengan pasti,
siapakah yang termasuk Ibrahimi, Quraisy, dan turunannya melalui uji DNA.
c.
Prof. Dr. Zainab al-Muthairi, ahli biologi dengan spesialisasi Genetika
Molekuler di Prince Sattam ibn Abdul Aziz University Saudi Arabia menyatakan
dengan jelas dan gamblang dalam sebuah wawancaranya bahwa uji DNA leluhur jauh
tidak bisa dijadikan acuan untuk mengisbat atau menafikan nasab jauh, baik
ditinjau dari segi ilmu biologi maupun segi sosial. Seseorang tidak bisa
memastikan diaberasal dari suku A atau kabilah B yang sudah berjarak puluhan
generasi dengan melakukan uji DNA. Penjelasan beliau secara detail bisa
didapatkan di berbagai situs dan kanal di dunia maya, di antaranya
https
://www .youtube .com/watch?v=HDBWeeLAGOU .
d.
Perusahaan tes DNA Ancestry .com dalam FAQ-nya menyebutkan :
"If
you have taken these tests, you may see the percentages in your ancestry
report fluctuate over time, or if you 've taken multiple DNA tests with
different companies you may see slight differences in the report numbers. This
could be due to differences in each company's methods, the continued growth
and improvement of the reference datasets, and otherfactors . Keep inmind that
thefield of DNA ancestry is new and still developing , and companies are
working with the best algorithms and data they have at any given time".
"Jika
Anda telah mengikuti tes DNA ini, Anda mungkin melihat persentase dalam
laporan keturunan Anda berubah-ubah dari waktu ke waktu, atau jika Anda
telah melakukan beberapa tes DNA dengan perusahaan yang berbeda, Anda mungkin
melihat sedikit perbedaan dalam jumlah komposisinya . Ini disebabkan karena
perbedaan metode masing-masing perusahaan,
pertumbuhan, dan perbaikan yang
berlangsung terns terkait data referensi dan faktor lainnya .
Ingatlah bahwa bidang ilmu DNA keturunan ini masih barn dan masih berkembang.
Perusahaan tes DNA bekerja dengan algoritma dan data terbaik yang mereka
miliki pada waktu tersebut."
Walaupun yang di atas itu lebih
relevan untuk autosomal DNA tes bukan berarti tidak berlaku untuk Y-DNA. Inti
pernyataan tersebut adalah ilmu ini masih berkembang sehingga berbagai
kemungkinan dan perubahan hasil bisa saja terjadi.
e. Dalam sebuah
artikel404 disebutkan bahwa Professor David Balding dan Mark Thomas dari
University College London memperingatkan bahwa hasil tes DNA tidak bisa dibaca
sederhana seperti sebuah buku atau peta perjalanan tanpa bukti-bukti sejarah
yang mendukung. Ia menyebutkan bahwa DNA itu mengandung informasi genetik yang
sangat banyak namun sebagian besar informasi yang dapat diperoleh darinya
adalah tentang sejarah genetik seluruh populasi, bukan tentang silsilah
keluarga individu.
"Professors David Balding and M ark Thomas of the
University College London warn in a public statement from the Sense About
Science campaign group that "you cannot look at DNA and read it like a book or
a map of a journey" without supporting historical evidence. Your DNA contains
an enormous amount of genetic information, but most of the information that
can be gleaned from it is about the genetic history of whole po pulation - not
of individual fam ily trees."405
Interpretative phylogeography
and
the scientific method
• No study has ever been
published showing that Interpretative phylogeography works!
•
The only systematic (and therefore testable) interpretative phy/ogeographic
analysis method ever developed (Nested Clade Phylogeographic Analysis, NCPA)
has been shown explicitly not to work (Panchal & Beaumont. 2007, Evolution
61-6: 1466- 1480).
• The vast majority of population
geneticists consider Interpretative phy/ogeographic analysis as folly:
-
Story telling, not story tesing.
KEEP
CALM
SCIENTIFIC
METHOD
Fonn an explicit
hypothesis I model
I Ma e
explicit
predictions
Test predictions
against empirica l data
Aa:epl
or reject
hypothesis I model
Bagan 10 - Salah Satu Kesimpulan
Prof. Thomas
f.
Perusahaan DNA terkenal Sequencing.com menyebutkan dalam satu pernyataan :
"Jewishness
is more difficult to identify in genetic testing than other ethnic groups.
This is because there is no specific gene that makes a person Jewish .
Straightforward DNA examination cannot conclusively tell a person whether or
not they're of Jewish descent or part of the Jewish po pulation ."
"Keyahudian
lebih sulit diidentifikasi dalam pengujian genetik dibandingkan kelompok etnis
lainnya . Sebab, tidak ada gen spesifik yang menjadikan seseorang menjadi
Yahudi. Pemeriksaan DNA secara langsung tidak dapat secara eksklusif memberi
tahu seseorang apakah mereka keturunan Yahudi atau bagian dari populasi
Yahudi."
g. Dalam sebuah situs Yahudi TheTorah
.com ketika membahas "DNA and the Origin of the Jews" (Yahudi dan asal orang
Yahudi) menyebutkan :
"The existence of the CMH (Cohen M odal
Haploty pe ) along with its dating range were sug gestive enough to lead the
public to mistake the genetic findings as scientific evidence that cohanim
were descendant from Aaron himself ."
"Keberadaan CMH (Cohen Modal
Haplotype) beserta rentang penanggalannya adalah suatu hal yang bersifat
sugestif sehingga membuat masyarakat salah mengira temuan genetik tersebut
sebagai bukti ilmiah bahwa Cohanim adalah keturunan Hamn sendiri. Kalau yang
menyampaikan pernyataan adalah sebuah organisasi Yahudi yang
berisi para pakar dari kelompok mereka sendiri mengapa kita memaksakan diri
kita menggunakan hasil tes DNA untuk menetapkan dan membatalkan nasabjauh
dengan suatu metode yang masih bersifat zhanni (dugaan)."
h.
Sebuah situs Yahudi lainnya menyebutkan, "Nothing in your DNA can
tell you if you belong to the Jewish, or any other belief system. The only way
to prove Jewish ancestry is by connecting your famil y tree to ancestors who
are historically confirmed to have been Jewish ."
"Tidak ada dalam
DNA Anda yang dapat memberi tahu Anda apakah Anda termasuk orang Yahudi,
atau lainnya . Satu-satunya cara untuk membuktikan keturunan Yahudi adalah
dengan menghubungkan silsilah keluarga Anda dengan leluhur yang secara
historis dikonfirmasi sebagai Yahudi."
i. Dalam
sebuah interest group di Family Tree DNA yang dikelola oleh dua peneliti
genetika Yahudi yang melakukan penelitian terhadap sekelompok orang Yahudi
yang mengaku sebagai keturunan "Nabi Daud" menyimpulkan : "An emphasis on
Davidic Descent, descent from Biblical Aaron, and "Pure Israelit Blood" is
totally contrary to mainstream Rabbinic Judaism (e.g. Tractate Kiddushin).
It's about time we all spoke up, told the truth and stand up and stop those
who profit off of false claims of "Davidic" and "Biblical Aaron" descent."
"Penekanan
pada keturunan (Nabi) Daud, keturunan (Nabi) Harun dalam Alkitab, dan 'Darah
Israel Murni' sepenuhnya bertentangan dengan Yudaisme (misalnya Traktat
Kiddushin). Sudah saatnya kita semua angkat bicara, mengatakan kebenaran
dan berdiri serta menghentikan mereka yang mengambil keuntungan dari klaim
palsu (berdasarkan uji DNA) tentang keturunan 'Daud' dan 'Harun menurut
Alkitab'. Intinya, setelah mengumpulkan sampel dan melakukan penelitian kedua
peneliti itu berkesimpulan bahwa secara tidak langsung uji DNA tidak bisa
menentukan apakah seseorang itu adalah keturunan sosok historis Nabi Daud,
Nabi Harun, atau sebagainya."406
j.
. Profesor Alan Goodman, ahli
antropologi biologi dari Hampshire College dan co-editor
buku terkenal, Genetic Nature/ Culture: Anthro polog y and Science Beyond the
Cultural Divide , menyebutkan :407
"Scientists have actually been
saying for quite a while that race, as biology, doesn't exist - that there's
no biological basis for race. And that is in the facts of biology, the
facts of non-concordance, the facts of continuous variation, the recentness of
our evolution, the way that we all commingle and come together, how genes
flow, and perha ps especiall y in the fact that most variation occurs within
race versus between races or among races, suggesting that there's no
generalizability to race. There is no center there; there is no there there in
the center. It's fluid.
Richard Lewontin did an amazing piece of
work which he published in 1972, inafamous article called "The Apportionment
of Human Variation." Literall y what he tried to do was see how much genetic
variation showed up at three different levels.
One level was the
variation that showed up among or between pur ported races. And the
conventional idea is that quite a bit of variation would show up at that
level. And then he also explored two other levels at the same time. How much
variation occurred within a race, but between or among sub-groups within that
pur ported race.
So, for instance, in Europe, how much variation would
there be between the Germans, the Finns and the Spanish? Or how much variation
could we call local variation, occurring within an ethnicity such as the
Navaho or Hopi or the Chatua.
And the amazing result was that, on
average, about 85% of the variation occurred within any given group. The vast
majority of that variation was found at a local level. In fact, groups like
the Finns are not homogeneous
- they actually contain, I guess one could
literally say, 85% of the genetic diversity of the world .
Secondly, of
that remaining 15%, about half of that, seven and a half percent or so,
wasfound to be still within the continent, but just between local po
pulations; between the Germans and the Finns and the Spanish . So, now we're
over 90%, something like 93% of variation actually occurs within any given
continental group . And only about 6-7% of that variation occurs between
"races," leaving one to say that race actually explains very little of human
variation."
"Para ilmuwan sebenarnya telah lama mengatakan bahwa
ras sebagai fenomena biologis itu sebenarnya tidak ada; bahwa tidak ada dasar
biologis untuk mendefinisikan ras itu. Hal ini terdapat
dalam fakta-fakta biologi, fakta-fakta ketidaksesuaian (pola genetika),
fakta-fakta tentang variasi yang terjadi secara terus-menerus,
kekinian evolusi kita, cara kita semua berbaur dan berkumpul, bagaimana
gen mengalir. Mungkin dalam kenyataannya sebagian besar perubahan dan variasi
genetika itu terjadi dalam 'ras' itu sendiri dibanding antar-ras. Ini
menunjukkan tidak adanya kemampuan untuk menggeneralisasi ras. Tidak ada yang
terpusat di satu titik dan kaku, semuanya cair.
Richard Lewontin
menulis sebuah artikel luar biasa yang dia terbitkan pada 1972 berjudul "The
Apportionment of Human Variation". Secara harfiah apa yang dia coba
lakukan adalah melihat seberapa banyak variasi genetik yang muncul pada tiga
tingkat berbeda .
Satu tingkat adalah variasi yang muncul di antara
atau di antara ras ras yang diklaim sebagai ras tertentu . Dugaan
konvensionalnya adalah bahwa akan ada sedikit variasi yang muncul pada level
tersebut . Kemudian, diajuga menjelajahi dua level berikutnya secara bersamaan
. Berapa banyak variasi yang terjadi dalam suatu ras, tetapi antar atau di
antara sub-kelompok dalam ras tersebut.
Misalnya, di Eropa,
seberapa besar variasi antara Jerman, Finlandia, dan Spanyol? Atau seberapa
besar variasi yang bisa kita sebut sebagai variasi lokal, yang terjadi dalam
suatu etnis seperti Navaho atau Hopi atau Chatua (suku-suku Indian).
Hasil
yang ia dapatkan adalah luar biasa. Rata-rata, sekitar 85% variasi terjadi
pada kelompok itu sendiri. Sebagian besar variasi tersebut ditemukan pada
tingkat lokal. Faktanya, kelompok seperti Finlandia tidaklah homogen . Mereka
sebenarnya memiliki, menurut saya, 85% keragaman genetik di dunia.
Kedua,
dari 15% sisanya, sekitar setengahnya, tujuh setengah persen atau lebih,
ditemukan masih berada di benua tersebut, tetapi hanya berada di antara
populasi lokal; antara Jerman dan Finlandia dan Spanyol. Jadi, sekarang kita
sudah mencapai lebih dari 90%, sekitar 93% variasi benar-benar terjadi dalam
kelompok benua tertentu. Hanya sekitar 6-7% dari variasi tersebut terjadi
antar-'ras' sehingga ada yang mengatakan bahwa ras sebenarnya hanya
menjelaskan sedikit variasi manusia."
Pada prinsipnya, variasi
genetik yang sedemikian rupa dalam sebuah kelompok etnis tertentu atau ras
tertentu tidak bisa dijadikan acuan untuk menetapkan seseorang itu mempunyai
leluhur A atau B.
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa para ahli ilmu
genetika evolusi dan teknik penelusuran leluhur melalui DNA termasuk bagian
dari ilmu ini percaya bahwa manusia modern saat ini berasal dari seorang
manusia yang hidup di Afrika sekitar 200 ribu tahun lalu. Untuk memudahkan,
"manusia pertama" ini mereka sebut Y Adam, yang juga merupakan hasil evolusi
makhluk lain. Mereka juga percaya bahwa Y Adam itu bukan satu-satunya Adam
yang hidup saat itu dan yang mempunyai keturunan sampai saat ini.
Kesimpulannya, ada "Bani Adam" lain. Teori ini juga diadopsi oleh berbagai
perusahaan DNA yang tentunya mempunyai banyak ahli di bidang ini. Kami
serahkan pembaca untuk menilai sendiri kebenaran teori ini. Agar tidak
dianggap mengada-ada, berikut penjelasan perusahaan tes DNA FamilyTree DNA
menyebutkan di dalam situsnya:
"There is one man who is the most recent
common ancestor of all patrilineal lineages. This man has been dubbed Y Adam.
Y Adam lived in Africa over 200,000 years ago. He was not necessarily the only
man alive at the time, or the only one who had descendants, but is the only
one with tested patrilineal descendants still alive today.
This
does not necessarily mean that there are no other potential Y-DNA lineages,
just that if there are, they have not yet been discovered. The same holds true
for the age of Y Adam. Through additional research and testing of modem and
ancient DNA, different and/ or older lineages may be discovered in the future
."
"Ada satu laki-laki yang merupakan nenek moyang terakhir semua
garis keturunan patrilineal. Pria ini dijuluki 'Y Adam'. Y Adam tinggal di
Afrika lebih dari 200.000 tahun yang lalu. Dia belum tentu satu-satunya
manusia yang hidup pada saat itu, atau satu-satunya yang memiliki keturunan,
namun satu-satunya yang memiliki keturunan
patrilineal berdasarkan hasil tes terhadap manusia yang masih hidup
hingga saat ini.
Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan
garis keturunan Y-DNA lain. Hanya saja, jika ada maka garis keturunan itu
belum ditemukan. Hal yang sama juga berlaku pada zaman Y Adam . Melalui
penelitian tambahan dan pengujian DNA modern dan kuno, garis keturunan yang
berbeda dan/ atau lebih tua dapat ditemukan pada masa depan ."
Sekali
lagi, silakan pembaca menyimpulkan sendiri apakah kita akan mengikuti itsbat
dan kesimpulan nasab-nasab manusia masa lampau yang hidup lebih dari 1000
tahun lalu berdasarkan teori yang diyakini para
ahli seperti di atas ataukah mengikuti suatu yang sudah baku, kokoh, dan
diakui syariat. Apakah tidak mungkin terjadi berbagai mutasi Y-DNA pada masa
lampau dalam jarak yang lebih dekat sehingga terjadi heterogenitas
kelompok masyarakat yang sama atau dengan gegabah kita menuduh jutaan
manusia di dunia ini bernasab palsu? Hanya waktu dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang akan membuktikan hal ini. Allah Mengetahui segala yang
tersirat dan tersurat! Allah Maha Mengetahui hakikat yang terjadi di alam dan
di dalam diri manusia ini.
12. Pandangan Ulama mengenai
Uji DNA untuk Nasab
Jika keberagaman Asyraf, Bani Hasyim, dan Quraisy,
Adnani, Qahthani, Ibrahimi, Yahudi, Arab, dan lainnya ini hanya ditemukan di
segelintir sampel maka mungkin saja kita menduga bahwa mereka tidak punya
leluhur yang sama. Tetapi ketika jumlahnya sudah mencapai ratusan maka
keabsahan metode ini untuk menelusuri keturunan jauh perlu dipertanyakan.
Ratusan sampel ini semata yang tersedia dan kita bisa akses secara publik,
sementara yang tidak tersedia secara publik tentu saja lebih banyak, sehingga
perbedaan dan kerancuannya juga pasti lebih banyak. Oleh karena itulah uji DNA
belum bisa dijadikan metode untuk meng-itsbat atau menolak nasab-nasab jauh
yang sudah jelas dan "tsabit" secara syariat.
Lalu, bagaimana syariat
Islam memandang uji DNA dan penggunaannya? Apakah Islam berlawanan dengan ilmu
pengetahuan modern? Tentu saja tidak! Islam sangat mendukung dan sejalan
dengan ilmu pengetahuan, tetapi ada aturan hukum syariat yang menjadi
rujukan dalam aktivitas ilmiah, termasuk uji DNA. Kebenaran dan maqashid
al-syari 'ah diutamakan di atas kepentingan lain. Tentunya keputusan para
ulama tersebut telah mendapat masukan berbagai ahli,
termasuk ahli DNA. Berikut pandangan syariat Islam terhadap uji DNA.
Al-Majma'
al-Fiqh al-Islami (Forum Fiqih Islam Internasional) di bawah naungan Rabithah
al-'Alam al-Islami, pada muktamar ke-16 yang bertempat di Makkah dan
berlangsung pada 21-26 Syawwal 1422 H/5-10 Januari 2002 M, dalam keputusan No.
95 memutuskan fatwa mengenai uji DNA, yaitu:
1. Uji DNA
boleh digunakan untuk menentukan pelaku tindak kriminal. Dalam hal ini uji DNA
hanya digunakan dalam tindak kejahatan kriminal yang tidak ketentuan
syariatnya, juga tidak ada qisas-nya. Ketetapan ini berdasarkan sabda
Rasulullah Saw.
"Tolaklah hukuman had karena masalahnya masih
samar."
Penggunaan uji DNA dalam permasalahan inibertujuan untuk
merealisasikan keadilan dan keamanan dalam masyarakat. Dengan pelaksanaan uji
DNA hukuman dapat dijatuhkan kepada orang yang tepat.
2.
Uji DNA dalam permasalahan yang berhubungan dengan nasab hams dilakukan dengan
kehati-hatian penuh . Uji DNA adalah jalan terakhir. Nash dan kaidah syariat
tetap hams didahulukan atas uji DNA.
3. Secara syariat,
menggunakan uji DNA untuk nafy al-nasab (meniadakan nasab) tidak diperbolehkan
. Uji DNA juga tidak boleh didahulukan sebagai pengganti li'<in.
4.
Penggunaan uji DNA untuk memastikan nasab yang sudah "tsabit" dan ditetapkan
secara syariat tidak diperbolehkan .408 Pihak yang berwenang hams mencegahnya
dan memberikan sanksi yang tegas, karena larangan ini melindungi kehormatan
masyarakat dan menjaga nasabnya (garis ketumnannya) .
5.
Menetapkan nasab menggunakan uji DNA hanya diperbolehkan pada keadaan berikut
:
a. Ketika terjadi persengketaan atas nasab seorang
anak yang tidak diketahui nasabnya . Persengketaan ini dapat muncul karena
tidak adanya bukti yang jelas mengenai nasab anak, ketika bukti yang digunakan
oleh orang yang bersengketa sama kuatnya, ketika terjadi wath'usyubhat4° 9
, atau yang semisalnya.
b. Ketika muncul
kesamaran mengenai nasab anak-anak yang lahir di mmah sakit dan yang
semisalnya serta ketika ada kesamaran nasab pada bayi tabung.
c.
Menentukan nasab anak-anak "hilang" yang terpisah dari keluarganya ketika
terjadi bencana alam atau peperangan .
4.
Dilarang memberikan secara cuma-cuma atau memperjualbelikan genom manusia
kepada etnis tertentu, bangsa, atau individu dengan tujuan apa pun. Juga
tidak diperbolehkan memberikannya kepada pihak mana pun, karena dampak
buruk yang diakibatkan dari penjualan atau pemberiannya .
5.
Al-Majma' al-Fiqhi al-Islami memberikan arahan agar:
a.
Dalam masalah yang terkait dengan hukum negara tidak diperbolehkan
melaksanakan uji DNA kecuali atas permintaan pengadilan . Pelaksana annya
juga hanya untuk perkara tertentu . Pelaksanaan uji DNA demi keuntungan
individu juga dilarang.
b. Setiap negara hendaknya
membentuk dewan khusus pelaksana uji DNA yang terdiri atas ulama, dokter, dan
pengawas yang nantinya akan mengawasi jalannya uji DNA sehingga hasil uji DNA
dapat dijadikan hujjah atau bukti yang valid (dalam masalah yang terkait
dengan hukum).
c. Hams ada pengambilan sumpah atau
peraturan ketat agar tidak terjadi pemalsuan dan kecurangan sehingga hasil uji
DNA yang dilaporkan benar-benar sesuai dengan hasil aslinya. Pengambilan
sampel juga tidak boleh berlebihan agar tidak muncul keragu-raguan.
Kutipan
keputusan resmi di atas dalam bahasa Arab adalah sebagai berikut .
Fatwa
di atas diterbitkan setelah menghadirkan dan mempertimbangkan pandangan para
saintis dan ahli DNA dari berbagai penjuru dunia. Setelah itu para ulama
berdiskusi dan melahirkan kesepakatan dalam forum internasional tersebut. Para
ulama yang hadir dan menandatangani saat itu di antaranya Prof . Dr. Wahbah
Zuhaili, Prof . Dr. Yusuf al-Qardhawi, Prof . Dr. Abdul Karim Zaidan,
al-'Allamah al-Syaikh Muhammad Taqi Utsmani (Mufti Agung Pakistan), Dr.
Muhammad al-Habib Ibn al-Khaujah (Mufti Agung Tunisia), al-Syaikh Muhammad
Rasyid Qubbani (Mufti Agung Lebanon), Dr. Nashr Farid Washil (Grand Mufti
Mesir), al-'Allamah Syaikh Muhammad Salim Walad 'Adud (Ulama Besar
Syingqith/Mauretania), dll.
Fatwa di atasjelas membolehkan uji DNA dalam
hal-hal tertentu, termasuk pembuktian nasab anak kepada orang tuanya (nasab
dekat), tetapi tidak berlaku untuk nasab-nasab jauh atau kabilah atau
suku-suku yang sudah dikenal. Fatwa serupa terkait paternity test juga
diadopsi oleh Lajnah ad-Daimah Darul Ifta' Kerajaan Yordan dalam fatwa No.
2794 . Lagi-lagi ini adalah fatwa terkait nasab yang sangat dekat antara anak
dan ayah, bukan nasab yang sudah masyhur ratusan atau ribuan tahun lalu. Fatwa
yang sama juga diadopsi oleh berbagai negara Islam lainnya.
13.
Basil Bahtsul Masail NU tentang Uji DNA
Para pembatal nasab Ba'alawi,
kerap mengaitkan syubhat yang dilahirkan Imaduddin dengan hasil
keputusan Bahtsul Masai! Muktamar NU ke- 31 di
Solo tentang pengaruh tes DNA dalam urusan nasab. Keputusan ini seakan-akan
menjadi angin segar dan tambahan amunisi bagi mereka untuk membatalkan nasab
Ba'alawi. Mereka tergesa-gesa meyakini bahwa tes DNA dapat mengonfirmasi nasab
secara mutlak, baik dalam penetapan/itsbat atau peniadaan/na.fy, baik dalam
keadaan normal maupun darurat, baik untuk nasab dekat maupun yang jauh .
Sehingga, hasil tes DNA sebagian kecil S<idah Ba'alawi yang Haplogrup-nya
berbeda-beda dijadikan bukti terputusnya nasab mereka dari Rasulullah Saw.
Padahal,
jika mereka mau membaca keputusan Bahtsul Masai! di atas dengan cermat dan
teliti, secara utuh dan tidak sepotong-potong, lalu menelaah dan mengkaji
ulang uraian argumentasi ibarat kitab salaf yang menjadi dasar keputusan,
niscaya mereka akan mendapatkan pencerahan dan berkesimpulan bahwa hasil
Bahtsul Masai! Muktamar Solo sangat bertolak belakang dengan syubhat Imaduddin
dkk.
Berikut ini penjelasan Dr. K.H. Fakhrur Rozi, salah satu Ketua PBNU
saat ini (2024), anggota LBM PWNU sejak 1999, dan juga peserta Muktamar NU
ke-31di Solo, dalam sebuah video klarifikasinya ia menjelaskan :
"Assalamualaikum,
saya ingin memberi satu informasi. Kebetulan saya hadir di Muktamar Solo dan
saya pengurus LBM PWNU Jawa Timur mulai tahun 1999.
Bahwa yang
dimaksud dengan tes DNA untuk nasab di Muktamar Solo itu, kasusnya adalah
sengketa ada pernikahan seorang pejabat inisialnya M, dengan artis
inisialnya MM. Setelah menikah secara siri, punya anak, bapaknya enggak ngakui
anaknya. Tapi, ibunya keukeuh itu adalah anaknya. Bapaknya ini namanya Nafyul
Walad, enggak ngakui anaknya . Ini namanya Nafyul Walad. Ibunya tetap minta
itu diakui sebagai anak. Dia minta di ilhaq-kan .
Konteksnya ilhaq dan
nafyul walad. Jadi, pembahasannya itu dengan siapa? Dengan orang tua. Bukan
dengan nenek moyang. Apakah tes DNA itu bisa menetapkan nasab dalam kasus ini?
Tidak bisa.
Maka, disebut tidak bisa untuk ilhaq.Jadi bapak yang menolak
anaknya, enggak ngakui anak hasil nikah sirinya itu dibenarkan. Itu namanya
dia melakukan nafyul walad. Tapi kalau dalam fikih dia itu harusnya melakukan
li'an, bahwa dia menuduh istrinya berselingkuh, bahwa itu bukan anaknya dan
dia bersumpah. Nah istrinya supaya tidak dituduh berzina karena atas tuduhan
suaminya, dia bisa membalas dengan sumpah li'an. Nah dua duanya ini
bersumpah, maka anaknya itu menjadi anak siapa? Itu menjadi anak ibunya. Tidak
menjadi anak bapaknya . Walaupun ibunya mengajukan tes DNA, dan terbukti itu
memang anak bapaknya, secara fikih tetap tidak diterima . Jadi, karena apa?
Al-walad itu 'kan lilfiriisy .
Jadi anak itu ditentukan oleh pernikahan .
Dalam hal ini bapaknya enggak mengakui itu anaknya, dia enggak punya saksi
tapi dia bisa bersumpah li'an, maka anak itu dinafikan, enggak diakui. Nafyul
walad ini namanya. Bukan menafikan nasab, bukan! Ngaji fikih dulu, ya. Ngaji
bab li'an dulu supaya paham konteks masalah nafyul walad dan ilhaq.
Jadi
(sekali lagi) kasus ini, bapaknya enggak mengakui anaknya, itu namanya nafyul
walad. lbunya ngeyel minta diakui dengan mengajukan sanggahan melalui tes DNA.
Nah ini dia mau minta ilhaq nasab, supaya nasabnya diakui bapaknya . Apakah
bisa tes DNA itu dibuat menyanggah bapaknya yang mengingkari anaknya itu?
Tidak bisa. Tapi kalau (tes DNA) dibuat bapaknya untuk menguatkan dugaan itu
bukan anaknya? Bisa. Tapi kalau untuk ibunya, yang dia itu merasa tidak
selingkuh, bahwa ini memang betul-betul anakmu berdasarkan tes DNA, bisakah
dia di-ilhaq-kan dengan bapaknya? Tidak bisa. Jadi, setidaknya segitu aja.
Jangan salah paham, keputusan Muktamar Solo 2004 itu enggak ada hubungan
dengan nasab habib-habib saat ini, ya. Jangan digoreng. ltu Anda salah paham,
ya. Terima kasih. Assalamualaikum ."410
Seandainya hasil Bahtsul
Masai! Muktamar Solo dibaca dengan benar, tentu pembaca akan memahami alur
pembahasan musyawarahnya . Satu jawaban tidak akan keluar dari konteks
deskripsi masalah, yakni bunyi jawabannya bahwa tes DNA itu hanya bisa untuk
menafikan ilhaq nasab, tetapi belum tentu bisa digunakan untuk ilhaq nasab,
dan kasus ini hanya terjadi pada nasab dekat, bukan yang jauh .
14. Kesimpulan
1. Ilmu DNA, khususnya ilmu yang membahas evolusi
genetika ini masih berkembang terns sehingga pernbahan dan teori-teori
barn sangat mungkin akan bermunculan seiring dengan perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan .
2. Islam tidak
menentang ilmu genetika secara umum dan Islam sejalan dengan ilmu pengetahuan,
termasuk DNA. Namun, teori DNA yang bertentangan dengan pemahaman Islam
seperti Adam bukan manusia pertama dan kemungkinan adanya manusia selain
keturnnan Bani Adam yang hidup pada zaman ini bertentangan dengan nash qath'i
agama Islam sehingga tidak bisa diterima .
3. Islam
tidak menentang dan sejalan dengan ilmu pengetahuan, termasuk DNA. Namun,
syariat Islam menolak menggunakan metode yang masih bersifat sangat spekulatif
dalam masalah penelusuran nasab jauh .
4. Uji DNA dan
penggunaannya diterima oleh Syariat Islam untuk urnsan tertentu dalam ranah
yang sangat terbatas, sesuai dengan arahan dan fatwa Lembaga Fiqih Islam
Internasional.
5. Hasil uji DNA populasi masyarakat di
berbagai belahan dunia menun jukkan heterogenitas pola genetik populasi etnis
atau suku-suku tersebut.
6. Uji DNA tidak bisa
memastikan apakah seseorang itu keturnnan suku Fulan atau kabilah Fulan atau
sosok historis lainnya yang hidup pada masa lampau, yang masanya sudah sangat
jauh .
7. Belum ada penelitian ilmiah dan jurnal
ilmiah apa pun yang meneliti dan menyimpulkan seperti apa pola genetik Nabi
Ibrahim, Adnani, Quraisy, dan Bani Hasyim, apalagi Nabi Muhammad . Semua yang
terkait hal ini mernpakan spekulasi belaka.
8. Uji DNA
tidak bisa memastikan apakah seseorang itu keturnnan Rasulullah atau bukan
.
9. Ba'alawi di Nusantara adalah bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat Nusantara baik secara biologis, historis, maupun
kultural.[]
FOOTNOTE
122 Hajji Khalifah, Kasyf al-Dhunûn ‘an
Asâmî al-Kutub wa al-Funûn, Juz 1, hal. 178.
123 Walid al-Husaini
al-‘Uraidhi, Ghâyah al-Ikhtishâr fî Ansâbi al-Sâdah al-Athhar, hal. 4.
124
Muhammad ‘Abdul Hay al-Laknawi al-Hindi, Iqâmah al-Hujjah ‘alâ’ Anna al-Iktsar
fî al- Ta‘abbud Laisa Bibid‘ah, hal. 101.
125 Ibrahim bin Manshur
al-Hasyimi al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy
al-Nasab, hal. 47.
126 Ibid., hal. 47-50.
127 Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî
KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy al-Nasab, hal. 7.
128 Dikenal juga dengan Ja‘far
al-Kadzdzab oleh kaum Syiah Imamiyah karena permasalahan warisan dan imamah.
Gelar lain yang disematkan kepada beliau adalah Ja‘far al-Tawwab
129 Muhibuddin
bin al-Najjar al-Baghdadi, Al-Mustafâd min Dzail Târîkh al-Baghdad, (Beirut:
Muasasah al-Risalah, 1986), hal. 171.
130
Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Zahabi, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’, (Beirut:
Muasasah al-Risalah, 1985), Juz 20, hal. 447. Târîkh Islâm wa Wafayat
al-Masyâhir wa al-A‘lam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996), Juz 39, hal.
97. Muhammad bin Syakir al-Kutbi, Fawât aþ-WaŠŔâĴ Ŏa aþ-DŜaiþ ‘Aþaiha,
(Beirut: Dar al-Shodir, tt), hal. 374.
131
Ahmad bin Ali al-Hasani al-Dawudi Ibnu Inabah, ‘Umdah al-Thâlib al-Sughra fî
Nasabi ‘Âlî Abî Thâlib, tahkik Sayid Mahdi Raja’i, (Iran: Maktab al-Mar’asyi,
2009), hal. 83.
132
Catatan Lora Ismail Amin Kholili Bangkalan, cucu Syaikhana Khalil
Bangkalan.
133
Catatan Lora Ismail Amin Khalili Bangkalan, cucu Syaikhana Khalil
Bangkalan.
134 Husain bin Haidar al-Hasyimi, Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb,
hal. 98-100.
135 Abdur Rahman bin Majid Alu Qaraja al-Rifa’i
al-Husaini al-Zar’ini, al-Kâfî al-Muntakhib fâ ‘Ilm al-Nasab, hal. 26.
136
Ibid.
137 Muhammad Hifz
al-Rahman al-Kamlani, aþ-BĹdĹĨ aþ-MadhiŔŔah fî
TaĨâøiĄ aþ-HaąaŠŔah, (Kairo: Dar al-Shalih, 2018), Juz 1, hal. 61.
138
Baha al-Din al-Janadi, al-Sulûk fî Thabaqât al-‘Ulamâ’ wa al-Mulûk, hal.
59.
139 Ibrahim bin Manshur, al-Madkhal Ilâ’ ‘Ilmi al-Nasab wa
Qawâ‘idihi wa ‘Inâyah al-‘Arab Bihi, hal. 52.
140 Abdur Rahman bin
Majid Alu Qaraja al-Rifa’i al-Husaini al-Zar’ini, al-Kâfî al-Muntakhib fî ‘Ilm
al-Nasab, hal. 49.
141
142 Abu ‘Abdillah Muhammad
al-Thalib al-Maradisi al-Fasi, al-Isyraf ‘Alâ Ba‘dhi Man Bi Faas min Masyahir
al-Asyrâf, Juz 2, hal. 125-127.
143 Abdur Rahman bin Majid Alu
Qaraja al-Rifa’i al-Husaini al-Zar’ini, al-Kâfî al-Muntakhib fî ‘Ilm al-Nasab,
hal. 48.
144 Lihat
https://cendananewsindonesia.com/kh-imaduddin-polemik-nasab-habib-ba-alawi-
selesai-terbukti-bukan-cucu-nabi-muhammad-saw/.
145 Ibrahim bin
Manshur al-Hasyimi al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy
al-Nasab, hal. 7.
146 Syarif Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi,
al-Ifâdhah fî Adillati Tsubuti al-Nasab wa Nafyuhu bi al-Syuhrah wa
al-Istifâdhah, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 2019), hal. 35.
147
Ibid., hal. 51.
148 Ibid., hal. 52.
149
Mu‘jam al-Syuyûkh, hal. 155.
150 Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi
al-Amir, al-Ifâdhah fî Adillati Tsubut al-Nasab wa Nafyihi bi al-Syahrah wa
al-Istifâdhah, hal. 54.
151 Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi
al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy al-Nasab,
hal. 7.
152 Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hâwî
al-Kabîr, Juz 17, hal. 35.
153 Muhammad
bin Ahmad al-Khatib al-Syarbini, Mughnî
al-Muhtâj ilâ’ Ma‘rifati Ma‘ani Alfadhi al-Minhâj, Juz 6,
hal. 377.
154 Abu al-Mahasin ‘Abdul Wahid bin Isma’il,
Bahru al-Madzhab, (Lebanon: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 2009), Juz 14, hal.
134.
155 Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Jawâb al-Jalîl, hal. 47.
156 Abu al-Mahasin 'Abdul Wahid bin Isma'il, Bahru al-M adzhab,
hal. 133.
157 Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Anshari
Ibn al-Rifah, Kifayah al-Nabih fi Syarh a[
Tanbih, (Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), Juz 19, hal. 217.
158 Abu Muhammad
al-Husain bin Mas'ud bin Muhammad bin al-Farra' al-Baghawi al-Syafi'i,
al-Tahdzibfi
Fiqh al-Imam al-Syafi'i, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), Juz 8,
hal. 223.
159 Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, al-Ifadhah fi
Adillati Tsubut al-Nasab wa Nafyihi
bi al-Syahrah wa al-I stifadhah ,
hal. 76.
160 Al-Wasyali , Nasyr al-Tsana' al-Hasan 'ala' Arbab
al-Fad[ wa al-Kamal min Ahl al-Yaman,
Juz 3, hal. 58.
161
Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir,
al-Ifadhah Ji Adillati Tsubuti al-Nasab wa Nafyuhu bi
al-Syuhrah wa al-I stifadhah, hal. 77.
162 Ibid., hal. 57.
163
Ibrahim bin Manshur, al-M adk hal Ha' 'Ilmi al-Nasab wa Qawa'idihi wa 'Inayah
al-'Arab Bihi, hal. 65.
164 Syams al-Din al-Dzahabi, Mizan al-I
'tidal, Juz 3, hal. 186.
165 Ibnu Hajar al-'Asqalani,
Inba' al-Ghumar bi Abna al-'Umar, Juz 3, hal. 443.
166 Abdur Rahman
bin Majid Alu Qaraja al-Rifa'i al-Husaini al-Zar'ini, al-Kafi al-Muntak hib
fi
'Ilm al-Nasab, hal. 91.
167 Ibnu Qudamah, al-Mughni ,
Juz 6, hal. 127.
168 Ahmad bin Muhammad bin 'Ali bin Hajar al-Haitami,
al-Fatawa al-Haditsiyyah libni Hajar al-Haitami, (Kairo: Dar al-Ma'rifah ,
tt), hal. 120.
169 Ibid.
110 Berg, Herbert, "15.
The Implications of, and Opposition to, the Methods and Theories of John
Wansbrough". The Questfor the Historical Muhammad . New York: Prometheus Book,
2000.
171 Ritchie, Donald , Doing Oral History,
Oxford University Press, 2002.
172
Https://www.birmingham.ac.uk/news-archive/2015/birmingham-quran-manuscript
dated-among-the-oldest-in-the-world.
173 Khumul adalah sifat yang dikenal
dalam dunia tasawuf sebagai sifat tidak ingin dikenal dan menjauhi
ketenaran.
174 Al-Tarikh wa al-mu'arrikhun al-hadharimah, kumpulan
makalah Muktamar Internasional pertama mengenai sejarah dan sejarawan
Hadramaut, 20-21 Desember 2016, Dami Wafaq , cet. 2019.
175 Qasam adalah
daerah perkebunan yang dibangun keturunan Ahmad ibn Isa sebelum
pindah ke Kota Tarim. Nama ini berasal dari nama daerah perkebunan tempat
Ahmad ibn Isa dan keluarganya tinggal di Bashrah. Tokoh Bani Alawi yang
pertama kali pindah ke Tarim adalah Imam Ali Khali Qasam (yang meninggalkan
Qasam).
176 Alawi atau Alwi berarti sesuatu yang tinggi atau yang
dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib atau keturunannya.
177
Berdasarkan informasi dari kutipan al-Imam al-Hujjah Murtadha al-Zabidi.
178
Imaduddin, Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad Saw., hal. 66.
179
Lihat https://www.nahdlatul-ulum
.com/ibnu-hajar-tidak-mengitsbat-nasab-ba-alwi/.
180 Abdullah
bin Husain Balfaqih , Mathlab al-Iqadh fi
al-Kalam 'ala' Syai'in min Ghurar al Alfadh , hal.
35.
181 Al-Dur al-Mukhtar wa Hasyiyatu Ibn 'Abidin, Juz 1, hal.
48.
182 Ak hbaru Abi Hanifah wa Ash-habihi , hal. 110.
184
Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, hal. 157.
185
Abdur Rahman bin Majid Alu Qaraja al-Rifa'i al-Husaini al-Zar'ini, al-Kafi
al-Muntak hib fi
'Ilm al-Nasab, hal. 91.
186 Abil Laits
Muhammad Hamzah bin Ali al-Kattani al-Hasani al-Idrisi, al-Sum al-Zi'af,
hal. 13.
187 Nuruddin al-Molla al-Harawi al-Qari,
Syarh Nukhbah al-Fikr, (Lebanon: Dar al-Arqam, tt)
hal. 327.
188
Abdur Rahim bin Husain bin Abdur Rahman al-'Iraqi, Tharh
a[-Tatsrib fi Syarh a[-Taqrib, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 2, hal.
121.
189 Nuruddin al-Molla al-Harawi al-Qari, Syarh Nukhbah
al-Fikr, hal. 327. Ahmad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar
al-'Asqalani , Nuz hah al-Nadhar fi Taudhihi Nuz hah a[
Fikr, (Riyadh:
Safir, 1442 H), hal. 318.
190 Muhammad bin Umar bin Hasan bin
Husain al-Taimi al-Razi, al-Syajarah al-M ubarakahfi Ansab al-Thalibiyyah,
hal. 111.
191 Muhammad bin 'Abdillah bin Bahadir al-Zarkasyi,
al-Bahr al-M uhith fi UshiU al-Fiqh,
(tt: Dar al-Kutubi, 1999), Juz
8, hal. 32.
192 'Abdur Ra'uf bin Taj al-Arifin bin 'Ali bin
Zainal Abidin al-Haddadi, al-Taisir Bisyarh al-Jami' al-S haghir, (Riyadh:
Maktabah Imam Syafi'i, 1988), Juz 1, hal. 19.
193 Ibid., Juz 2,
hal. 172.
194 Ibid.
195 Muhammad bin 'Umar bin
Hasan bin Husain al-Taimi al-Razi, al-M ahshul, (Lebanon: al Risalah, 1997),
Juz 2, hal. 131.
Abdur Rahim bin Hasan bin 'Ali al-Isnawi al-Syafi'i,
al-Tamhid fi Takhrij al-Furn' 'ala' al UshUl, (Lebanon: al-Risalah,
1440), hal. 253.
Muhammad bin 'Abdillah bin Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahr
al-Muhithfi UshUl al-Fiqh, Juz 5, hal. 171.
196
Muhammad Sholeh al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi
wa Ara'uhu al-Kalamiyyah wa al
Falsafiyyah, hal.
188, 130.
197 Muhammad bin 'Umar bin Hasan bin Husain
al-Taimi al-Razi, al-Syajarah al-Mubarakah fi Ansab al-Thalibiyyah, hal. 9.
198
Ibid., hal. 9.
199 Fihris al-M ak hthuthat al-M ushawwarah, Juz 2,
hal. 238.
202 Gelar al-Kadzd zab untuk Ja'far bin Ali al-Hadi ini tidak
umum digunakan di kalangan Sunni, tetapi cukup sering disematkan kepadanya di
kalangan Syiah Imamiyah.
203 Fakhr al-Din al-Razi, al-Sajarah
al-Mubarakah hal. 92.
204 Fakhr al-Din
al-Razi, Ibid., hal. 92.
205 Banyak hadis dalam Shahih Buk hari
mengisyaratkan bahwa 'alaihissalam untuk ahli bait tidak dimonopoli lidah
Syiah. Muslim Sunni pun kerap melakukan hal yang sama.
206 Dalam menulis
silsilah Ummu Zaid binti Abdillah bin 'Umar al-Khaththab, naskah al
Syajarah al-Mubarakah tidak memakai taradhi selayaknya orang Sunni lantunkan
untuk Khalifah 'Umar bin al-Khaththab (lihat: ibid., hal. 75).
207 Ummu
Farwah adalah cicit dari Sayidina Abu Bakr al-Shiddiq yang menikah
dengan Muhammad al-Baqir dan menurunkan Ja'far dan Abdullah. Ummu Farwah
sendiri adalah anak dari Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Shiddiq, dan
memiliki ibu bernama Asma binti Abd al-Rahman ibn Abu Bakr al-Shiddiq. Dalam
dua kesempatan tersebut, al-Syajarah al-Mubarakah tidak memakai taradhi
selayaknya orang Sunni lantunkan untuk Khulafa ' al Rasyidin (lihat: Ibid.).
208 Muhammad Shaleh al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi
wa Ara'uhu al-Kalamiyyah wa al Falsafiyyah , hal.
188, 130.
209 Bagi penulis, manual dalam kitab adalah satu hal,
sementara penjelasan faktualnya adalah lain hal. Keduanya berbeda
dan tidak terlalu kontroversial jika saling kontradiksi. Penjelasan detailnya
dapat pembaca simak pada paragraf selanjutnya.
210 Penulis sengaja
membatasi sajian uji sampel pada enam generasi dari Sayid Ali al-'Uraidhi
sampai dengan generasi Sayid Alwi bin Ubaidillah (datuk seluruh klan Ba'alawi)
untuk simplifikasi. Uji sampel bisa pembaca lakukan sendiri dengan mengambil
acak nama nama dalam al-Syajarah al-Mubarakah, kemudian dikonfrontasi dengan
kitab nasab yang lebih tua sekaligus sezaman dengannya. Kontradiksi tidak
hanya terjadi pada jumlah belaka, namun pada nama, keturunan, dan wilayah yang
disebutkan dalam al-Syajarah al Mubarakah. Selamat mencoba!
211
Muhammad al-Akbar dan Ahmad al-Sya'rani. Lihat: Fakhr al-Din al-Razi, Ibid.,
hal. 110.
212 Hasan dan Husain. lihat: Ibid.
213
Mereka adalah Ja'far, Ali, Abdullah,
al-Qasim, Muhammad al-Ashghar, dan Ahmad al
Ashghar. Lihat: Ibid., hal. 111.
214 Ibid., hal. 114.
215
Muhammad bin Abi Ja'far al-'Ubaidili, Ibid., hal. 180.
216 Mi'nats adalah
seseorang yang memiliki anak perempuan sehingga genealoginya tidak
dikaitkan lagi dengannya, namun kepada suaminya. Atau diartikan memiliki anak
lelaki namun tidak melanjutkan keturunan. Detailnya bisa lihat Khalil Ibrahim
al-Dalimi, Durus fi 'Jlm al-Ansab, (tanpa penerbit , 2016), hal. 56.
217
Najm al-Din Abi al-Hasan Ali al-'Umari, Ibid., hal. 333-334.
218 Redaksi
wabiha 'aqibuhu (dan di sanalah [Yazd Ishfahan] domisili keturunannya)
tersusun dari jumlah ismiyah yang bermakna inshishar dengan susunan khabar
muqaddam (k habar yang mendahului mubtada'). Jika jumlah ismiyah belaka sudah
bermakna inhishar, alih-alih susunan k habar muqaddam seperti ini harus lebih
dari final. Lihat Fakhr al-Din al-Razi, Ibid., hal. 114.
219
Najm al-Din Abi al-Hasan Ali al-'Umari, Ibid., hal. 334.
220 Ismail bin
Husain al-Marwazi al-Azwarqani , Ibid., hal. 31.
221 Secara geografi,
jarak antara Yazd Ishfahan ke Qazvin sekitar 551 km. (butuh enam jam
perjalanan darat dengan transportasi modern), sedangkan Yazd Ishfahan ke
Marand sekitar 971 km (memakan waktu 11 jam perjalanan darat sekarang).
Bayangkan jika perjalanan tersebut ditempuh oleh orang pada masa lalu.
222
Fakhr Al-Din Al-Razi, Ibid., hal. 111.
223 Muhammad bin Abi Ja'far
Al-'Ubaidili , Ibid., hal. 175.
224 Najm al-Din Abi al-Hasan
Ali al-'Umari, Ibid., hal. 334.
225 Ismail bin Husain
Al-Marwazi al-Azwarqani, Ibid., hal. 29.
226 Fakhr al-Din
al-Razi, Ibid., hal. 113.
227 Ibrahim bin Nashir bin
Thabathaba , Ibid., hal. 160.
22s Fakhr Al-Din Al-Razi, Ibid.
229
Muhammad bin Abi Ja'far al-'Ubaidili , Ibid., hal. 177, bandingkan dengan
Ismail bin Husain aal-Marwazi al-Azwarqani, Ibid., hal. 30.
230 Jika
pembaca (dan Penggugat) menaikkan sampel lebih besar dari yang penulis lakukan
(yaitu 100 nama), seperti menguji 500 sampel dalam al-Syajarah al-M ubarakah
secara acak, konstanta margin error-nya sebesar 4%. Artinya , jika hasil
uji sampel tersebut mendapatkan angka problem lebih dari 20 orang, dipastikan
secara ilmiah reportase a[ Syajarah al-M ubarakah belum bisa ditoleransi.
Sebagai panduan , silakan lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif ,
Kualitatif , dan R&D, (Bandung: Penerbit Alfabeta , 2014).
231 Lihat
https:/ /wwW.youtube.com/watch ?v=ZBjHxEQcZ_A.
232 Abu al-Hasan 'Ali bin
Abi 'Ali Muhammad al-Amidi, Abkar , al-Afkar fi UshUl al-Din, (Kairo: Dar
al-Kutub wa al-Watsa'iq al-Qaumiyyah , 2004), Juz 1, hal. 207.
233 Ahmad
bin Muhammad bin 'Ali bin Hajar al-Haitami, al-Fatawa ' al-Haditsiyyah libni
Hajar al-Haitami, hal. 119.
234 Abdullah bin Alwi al-Haddad,
Tatsbit al-Fu'ad , Juz, 2, hal. 1086.
235 Abdullah bin Alwi
al-Haddad , al-Durr al-M andhum Lid zawi al-'Uqul wa al-M afhum, hal. 57.
236
Abdullah bin Alwi al-Haddad , al-M anhaj at-sawifi UshUli Thariqah al-Sadah
Ali Ba'alawi,
hal. 66.
237 Idrus bin Umar al-Habsyi, Nur
al-Futuhat al-'Arsyiyyah , hal. 37.
238 Muhammad bin Isma'il al-Amir
al-Shan'ani, al-Masa'il al-M ardhiyyahjit Tifaqi Ahlissunnah wa al-Zaidiyyah,
(dokumen pribadi), hal. 4. Naskah ini berada di universitas di Shana'a, Yaman,
pada himpunan Qaf 1-5, al-Fiqh al-islami wa Ushulihi.
239 Abu
al-Qasim Ali ibn Hibbatullah ibn al-Asakir, Tabyin Kad zb al-Muftari fi ma
Nusiba ila
al-Asy 'ari, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Arabi, 1404), hal.
29.
240 .01µ1 _}:.,. '-t,l J. Jf- ..1::-11 '-. fa ':?J)I tfll
241
Abdurrahman al-Khathib, al-Jawhar al-Syafaf , (dokumen pribadi:
Makhthuth), Hikayat Pertama.
242 Al-Khatib, al-Jawhar
al-Syafaf (manuskrip).
243 Al-Khatib, al-Jawhar
al-Syafaf (manuskrip).
244 Al-Khatib , al-Jawhar
al-Syafaf (manuskrip).
245 Bamakhramah , Qiladah
al-Nahr, Juz 2, hal. 619.
246 Al-Khatib, al-Jawhar al-Syafaf
(manuskrip).
247 Al-Ahdal, Husain ibn Abdurrahman , Tuhfah
al-Zamanfi Tarikh Sadah al-Yaman, jilid ke-2, (Shana'a: Maktabah al-Irsyad ,
2010), hal. 238.
248 Amir Syakib Arsalan, Hadhir al-Alam
al-lslami , (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), jilid ke-3, hal. 168.
249
Al-Ahdal, Muhammad ibn Muhammad , Qarar 'Ulama Bani al-Ahdal , (tt: Maktab
al-Burhan,
tt), hal. 36.
250 Lihat
https://www.youtube.com/watch ?v=g_2MDVtt_ NQ.
251 Al-'Ubaidili ,
Muhammad ibn Abi Ja'.far , Tahdzib al-Ansab wa Nihayah al-Alqab (tt) hal.
176.
252 Al-Haddad , 'Uqud al-Almas, hal. 129-131.
253
Al-Haddad , 'Uqud al-Almas, hal.131.
254 Al-Haddad , 'Uqud
al-Almas, hal. 132.
255 Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 133.
256
Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 133.
257 Al-Haddad , 'Uqud
al-Almas, hal. 134.
258 Ibnu Inabah, Ahmad ibn Ali, 'Umdah al-Thalibfi
Ansab Ali Abi Thalib, (Najaf: al-Haidariyah, 1961), hal. 245.
259 Ibnu
Inabah , 'Umdah al-Thalib al-S hugra, hal. 135.
260 Al-Haddad,
'Uqud al-Almas, hal. 134.
261 Al-Haddad, 'Uqud
al-Almas, hal. 138.
262 Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal.
138.
263 Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 138.
264
Dokumen Rumail Abbas.
265 Lihat al-Raudhu al-Jaliy , ditahkik oleh
Muhammad Abu Bakar Badzeib, hal. 60-62.
266 Lihat, Ibid., hal.
11.
267 Lihat, Ibid., hal. 71.
268 Lihat, Ibid., hal.
68.
269 https:/ /kbbi.kemdikbud.go.id/entrij
ekstrapolasi.
270 Abu Muhammar Yahya ibn Muhammad ibn Thaba Thaba,
Abna' al-Imam fi Mishr wa alSyam al-Hasan wa al-Husain, (Riyadh, Maktabah
al-Taubah, 1425 H), hal. 22.
271 Lihat https:/
/rminubanten.or.id/silsilah-sunan-gunung-jati-ke-musa-al-kadzim/.
272 Umar ibn Ahmad ibn Abi Jaradah, Bughyah al-Thalibfi Tarikh
Halab, (Beirut: Dar al-Fikir, tt.), Juz 1, him. 97
273 Ahmad ibn Ali
al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2004), Juz 3, him. 323.
274 Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman
al-Zahabi, Siyar A'lam al-Nubala',(Beirut: Muassasah al-Risalah , 1985), Juz
18, him. 626.
275 Muhammad ibn Abdul Baqi'
al-Maristani, Ahadits al-Syuyukh al-Tsiqat, (Beirut:
Dar al Kutub al-Ilmiyah, 2004), Juz 2 him. 25.
276 Ali
ibn Hasan ibn Hibbatullah al-Syafi'i, Tarikh M adinah
Damsyik , (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Juz 42, him. 351.
277
Abu al-Hasan Ali ibn Jadid, al-M awahib al-Jazilah fi Ahadits
al-Musalsalah (Makhthuth).
278 Al-Rasuli, al-Athaya
al-Saniyah, him. 460.
279 Al-Khazraji, al-Iqd al-Fak hir, hal.
1486.
280 Ibn Hajar al-Haitami, Tsabat, hal. 212-213.
281
Muhammad Murtadha al-Zabidi, al-Raudhu al-Jaliy fi
Nasabi Bani 'Alawi , ditahkik oleh Muhammad Abu Bakar
Badzeib, hal. 121.
282 Lihat, ibid., hal. 121.
283
Https://www.tiktok.com/@semestaqolbu/video
/7219178074317901082?_t=8mk7IF2elx2&_r=l.
284 Lihat,
op.cit., hal. 121.
285 Al-Syathiri , Muhammad ibn Ahmad , Sirah
al-Salaf min Bani 'Alawi al-Husainiyyin, (Tarim: Dar al-Hawi, tt), hal.
17-18.
286 Al-Segaf , Abdurrahman ibn Ubaidillah , Idam al-Qilt fi
Dzikri Buldan Hadhramaut , (Beirut: Dar al-Minhaj, 2005), hal. 613.
287
Al-Bantani , Muhammad ibn Umar ibn Ali Nawawi, Syarah 'Uqudu al-Lujainfi Bayan
Huquq al-Zawjain, (Beirut: Dar Kutub Islamiyah, 2015), hal. 10.
288
Ibid., hal. 10.
289 Al-Sakhawi, Istijlab Irtiqa ' al-Ghuraf bi
Hubbi Aqriba ' al-Rasill S hallallahu 'Alaihi wa Sallam
wa Dzawi
al-Syaraf , hal. 566.
290 Ahmad ibn Abdillah ibn Shalih al-Ijli, Kitab
al-Tiqat, (Saudi: Maktabah al-Dar, 1985), Juz 1, hal. 360.
291 Lihat Yaqut al-Hamawi, Kitab Mujam al-Buldan, Juz I, hal.
144.
292 Al-Hamdani , aHkl'il min Ak hbar
al-Yaman wa Ansab al-Himyar, Juz 10, hal. 153.
293
Lihat Yaqut al-Hamawi, M u)am al-Buldan, Juz 1, hal. 144.
294
Ibnu Atsir, Ali ibn Muhammad , Usud al-Ghabah fi M a'rifah al-S hahabah,
(Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2012), hal. 692.
295 Al-Halabi , Ali ibn
Burhan, al-Sirah al-Halabiyah, Juz 2, hal. 170.
296
Al-Syafi'i, Muhammad ibn Idris, al-Umm, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikir, 1980),
hal. 10.
297 Al- Dzahabi, Muhammad ibn Ahmad , Ibid.,
hal. 5.
298 Farid, Ahmad , Min A'lam al-Salaf , Juz 2, (Mesir:
Dar-al-Iman , 1998), hal. 113.
299 Abu Alam, Taufiq, al-Sayidah Nafisah ,
(Kairo: Wizarah Auqaf , 1992), hal. 108.
300
Al-Ahdal, Husain ibn Abdurrahman , Tuhfah al-Zaman fi Tarikh Sadah al-Yaman ,
jilid 2, (Shan'a: Maktabah al-Irsyad , 2010), hal. 238.
301 Mengenai
hijrahnya kakek Bani Ahdal yang tidak sinkron dengan kakek Bani Alawi telah
dikoreksi oleh keluarga al-Ahdal dalam kitab Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal karya
Muhammad al-Ahdal, yang menyatakan bahwa kakek yang pertama hijrah bukanlah
Muhammad ibn Sulaiman, melainkan kakek yang keenam yaitu Muhammad ibn Hamham,
(Muhammad ibn Muhammad al-Ahdal, Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal, hal. 36).
302 Ahmad ibn Ahmad ibn Abdul Lathif al-Syaraji al-Zubaidi al-Hanafi,
Thabaqat al-Khawwash
li Ahl al-Shidq wa al-Ik hlash, hal. 79-95.
303 Al-Mutawakkil 'Alallah Syarafuddin Yahya
ibn Syamsuddin al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi), hal. 32.
304 Shalih ibn Ali al-Hamid, Tarikh Hadhramaut, jilid 1,
(Shon'a: Maktabah al-Irsyad, 2003), hal. 305.
305 Ali ibn Abubakar
al-Sakran, al-Burqah al-Musyiqah, (Mesir: tp, 1928), hal. 133.
306
Muhammad Dhiya' Syahab dan Abdullah ibn Nuh,
al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa,
(Saudi Arabia: Dar
al-Syuruq, 1980), hal. 61.
307 Ibid., hal. 59.
308 Dalam
beberapa kitab disebutkan perbedaan pendapat tentang tempat wafatnya Imam al
Muhajir. Pada kitab al-Jawhar al-Syafaf karangan al-Khatib disebutkan bahwa
al-Muhajir wafat di Qarah Jusyaib , sebuah desa kecil, berjarak 3 Km. dari
Husaisah dekat dengan Bor.
309 Muhammad , Abdullah , Tarikh al-Syu 'ara'
al-Hadramiyyin, (Kairo: Matba'ah Hijazi, 1933), hal. 76-77.
310
Al-Khatib, Abdurrahman ibn Muhammad, al-Jawhar al-Syafaf fi
Fadha'il wa M anaqib wa Karamat al-Sadah al-Asyraf min Ali Abi 'Alawi
(makhtuth).
311 Al-Syarji, Ahmad ibn Ahmad , Ibid., hal. 53.
312 Al-Hamra, Umar ibn Abdurrahman Shahib, Fathullah al-Rahim al-Rahman
fi M anaqib a[ Syaikh al-'Arif Billah al-Quthb al-Ghawts al-'Aydrus Abdullah
ibnAbu Bakr ibn 'Abdurrahman (makhthuth).
313 Walid
al-'Uraidhi, Ghayah al-I k htishar fi Ansab al-Sadah al-Athhar, hal. 31.
314 Murtadha , Ahmad Ali, Ruang Pandang Sejarah Peminatan,
(Bogor: Guepedia, 2021), hal. 69.
315 Al-Thusi, Abu Ja'far Muhammad ibn
al-Hasan, Kitab al-Ghaybah, (Qum: Muassasah Al Ma'arif al-Islamiyah , 2005
H), hal. 199.
316 Bakutsair , Abdullah ibn Muhammad , Rih_lah
al-Asywaq al-Qawiyyah ila M awathin al-Sadah al-Ulwiyah, (tt:tt, 1985), hal.
34.
317 Al-'Umari, al-M ajdi fi Ansab al-T haibiyyin, hal.
136.
318 Bamakhramah , Abdullah ibn Ahmad , Qiladah al-Nahr fi Wafiyyat
A'yan al-Dahr, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2008), Juz 2, hal. 618.
319
Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo, (Tangerang: Pustaka Ilman, 2017), hal. 80.
320 Al-mutawakkil 'Alallah Syarafuddin
Yahya ibn Syamsuddin al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi),
hal. 32.
321 Lihat
https://wwW.facebook.com/photo/
?fbid=3540529699557890&set=pcb.3540529722891 221.
322
Lihat https://shabwaah-press.info/news/40728.
323 Sumber: Arsip
perpustakaan Syarieflbrahim ibn Mansur al-Amir, arsip kesultanan Utsmani,
beberapa kitab dan arsip sejarah Hijaz serta kitab al-Syajarah al-Zakiyyah
susunan Sayid
324 Lihat
https://wwW.facebook.com/profile
.php?id=100064644371285&locale=ar _AR.
325 Lihat
wawancara tentang kehidupan Syaikh Ali ibn Salim Bukair:
episode pertama:
https://youtu.be/DORWqdWxty8?si=8Mjc_hYhpF3zWxlQ
326 Lihat
https:/ /id.wikipedia.org/wikij Tesis.
327 Siska
Helma Hera. Kritik Ignaz Goldziher dan
Pembelaan Musthofa al-Azami terhadap Hadis dalam Kitab S
hahih Bukhari, Living Hadits , 10.14421, 13 April 2020.
328
Https://asdf.niceboard.com/t13-topic#28.
294 Ibnu Atsir, Ali
ibn Muhammad , Usud al-Ghabah fi M a'rifah al-S hahabah, (Beirut: Dar Ibnu
Hazm, 2012), hal. 692.
295 Al-Halabi , Ali ibn Burhan, al-Sirah
al-Halabiyah, Juz 2, hal. 170.
296 Al-Syafi'i, Muhammad ibn Idris,
al-Umm, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikir, 1980), hal. 10.
297 Al-
Dzahabi, Muhammad ibn Ahmad , Ibid., hal. 5.
298 Farid, Ahmad ,
Min A'lam al-Salaf , Juz 2, (Mesir: Dar-al-Iman , 1998), hal. 113.
299
Abu Alam, Taufiq, al-Sayidah Nafisah , (Kairo: Wizarah Auqaf , 1992), hal.
108.
300 Al-Ahdal, Husain ibn Abdurrahman , Tuhfah al-Zaman fi Tarikh
Sadah al-Yaman , jilid 2, (Shan'a: Maktabah al-Irsyad , 2010), hal. 238.
301
Mengenai hijrahnya kakek Bani Ahdal yang tidak sinkron dengan kakek Bani Alawi
telah dikoreksi oleh keluarga al-Ahdal dalam kitab Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal
karya Muhammad al-Ahdal, yang menyatakan bahwa kakek yang pertama hijrah
bukanlah Muhammad ibn Sulaiman, melainkan kakek yang keenam yaitu Muhammad ibn
Hamham, (Muhammad ibn Muhammad al-Ahdal, Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal, hal.
36).
302 Ahmad ibn Ahmad ibn Abdul Lathif al-Syaraji al-Zubaidi
al-Hanafi, Thabaqat al-Khawwash
li Ahl al-Shidq wa al-Ik hlash, hal.
79-95.
303 Al-Mutawakkil 'Alallah Syarafuddin
Yahya ibn Syamsuddin al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi),
hal. 32.
304 Shalih ibn Ali al-Hamid, Tarikh Hadhramaut,
jilid 1, (Shon'a: Maktabah al-Irsyad, 2003), hal. 305.
305 Ali ibn
Abubakar al-Sakran, al-Burqah al-Musyiqah, (Mesir: tp, 1928), hal. 133.
306 Muhammad Dhiya' Syahab dan Abdullah
ibn Nuh, al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa,
(Saudi
Arabia: Dar al-Syuruq, 1980), hal. 61.
307 Ibid., hal. 59.
308 Dalam beberapa kitab disebutkan perbedaan pendapat tentang tempat
wafatnya Imam al Muhajir. Pada kitab al-Jawhar al-Syafaf karangan al-Khatib
disebutkan bahwa al-Muhajir wafat di Qarah Jusyaib , sebuah desa kecil,
berjarak 3 Km. dari Husaisah dekat dengan Bor.
309 Muhammad , Abdullah ,
Tarikh al-Syu 'ara' al-Hadramiyyin, (Kairo: Matba'ah Hijazi, 1933), hal.
76-77.
310 Al-Khatib, Abdurrahman ibn Muhammad,
al-Jawhar al-Syafaf fi Fadha'il wa M anaqib wa Karamat al-Sadah
al-Asyraf min Ali Abi 'Alawi (makhtuth).
311 Al-Syarji, Ahmad ibn Ahmad , Ibid., hal. 53.
312
Al-Hamra, Umar ibn Abdurrahman Shahib, Fathullah al-Rahim al-Rahman fi M
anaqib a[ Syaikh al-'Arif Billah al-Quthb al-Ghawts al-'Aydrus Abdullah
ibnAbu Bakr ibn 'Abdurrahman (makhthuth).
313 Walid
al-'Uraidhi, Ghayah al-I k htishar fi Ansab al-Sadah al-Athhar, hal. 31.
314 Murtadha , Ahmad Ali, Ruang Pandang Sejarah Peminatan,
(Bogor: Guepedia, 2021), hal. 69.
315 Al-Thusi, Abu Ja'far Muhammad ibn
al-Hasan, Kitab al-Ghaybah, (Qum: Muassasah Al Ma'arif al-Islamiyah , 2005
H), hal. 199.
316 Bakutsair , Abdullah ibn Muhammad , Rih_lah
al-Asywaq al-Qawiyyah ila M awathin al-Sadah al-Ulwiyah, (tt:tt, 1985), hal.
34.
317 Al-'Umari, al-M ajdi fi Ansab al-T haibiyyin, hal.
136.
318 Bamakhramah , Abdullah ibn Ahmad , Qiladah al-Nahr fi Wafiyyat
A'yan al-Dahr, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2008), Juz 2, hal. 618.
319
Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo, (Tangerang: Pustaka Ilman, 2017), hal. 80.
320 Al-mutawakkil 'Alallah Syarafuddin
Yahya ibn Syamsuddin al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi),
hal. 32.
321 Lihat
https://wwW.facebook.com/photo/
?fbid=3540529699557890&set=pcb.3540529722891 221.
322 Lihat https://shabwaah-press.info/news/40728.
323
Sumber: Arsip perpustakaan Syarieflbrahim ibn Mansur al-Amir, arsip kesultanan
Utsmani, beberapa kitab dan arsip sejarah Hijaz serta kitab al-Syajarah
al-Zakiyyah susunan Sayid
324 Lihat
https://wwW.facebook.com/profile
.php?id=100064644371285&locale=ar _AR.
325 Lihat
wawancara tentang kehidupan Syaikh Ali ibn Salim Bukair:
episode pertama:
https://youtu.be/DORWqdWxty8?si=8Mjc_hYhpF3zWxlQ
326
Lihat https:/ /id.wikipedia.org/wikij Tesis.
327 Siska
Helma Hera. Kritik Ignaz Goldziher dan
Pembelaan Musthofa al-Azami terhadap Hadis dalam Kitab S
hahih Bukhari, Living Hadits , 10.14421, 13 April 2020.
329
Catatan Lora Ismail Amin Kholili Bangkalan , Cucu Syaikhana Kholil r.a.
330 Https://rminubanten.or.id/membedah-kitab-rujukan-sang-profesor /.
331
Https://www.konsultasisyariah.in/2023/05/terputusnya-silsilah-habib-indonesia.
html?m=l.
332 Lihat https://www.facebook.com/share/v
/puPHV5mvLHW721M5/?mibextid=KsPBc6.
333 Muslim ibn Hajjaj Abu al-Hasan
al-Qusyairi al-Naisaburi, S hahih Muslim, (Lebanon: Dar Ihya al-Turats
al-Arabi, tt), Juz 4, hal. 1935.
334 Khalil Ibrahim al-Dalimi,
Durus fi 'Ilm aL-Ansab.
335 Kamal al-Hut al-Husaini, Jami' al-Durar
al-Bahiyyah li Ansab al-Qurasyiyyin fi al-Bilad al
Syamiyyah , hal. 15.
336 Husain ibn Haidar al-Hasyimi, Rasa'il fi 'Ilm al-Ansab,
hal. 93.
337 Ibid.
338 Ahmad ibn
Muhammad ibn Ali ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa ' al-Haditsah li Ibni Hajar
al-Haitami, hal. 19.
339 Muhammad Awamah , al-M a'alim
al-Irsyadiyyah li S hana'ati Thalib al-'Ilm, hal. 161.
340
Abdurrahman ibn Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Is'af al-Mubattha',hal. 180.
341 Sumber: https://youtube.com/shorts/TA9u
ZXAchIY?si=iSygOSQxHV35-QSY.
342 Sumber:
https://youtu.be/-FRlqHRKYLO ?si=ABKF-BwdAi ZKZ87v.
343 Muhammad ibn
Abdillah ibn Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhithfi UshUl al-Fiqh, Juz 8,
hal. 332.
344 Ibnu Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari,
Juz 3, hal. 584.
345 Ibnu Hazm al-Zhahiri, Mudawah al-Nufil s ,
hal. 67.
346 Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf
al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzzab, (Mesir:Dar al-Fikr, tt),Juz 1, hal.
30. Al-Taqrib wa al-Tays!, (Lebanon: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1985), hal. 83.
347 Husain ibn Haidar al-Hasyimi, Rasa'il fi 'Ilm al-Ansab, hal.
169-170.
348 Ahmad ibn Muhammad ibn Ali ibn Hajar al-Haitami, Fath_
al-Jawad bi Syarh_ al-Irsyad ,
(Lebanon: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah,
2012), Juz 1, hal. 8.
349 Untuk lebih lanjut mengenai teori Ether
(aether) ini bisa dilihat di sini, Whittaker, E. T. (2012) [1910]. A
History of the Theories of Aether and Electricity:from the Age of Descartes to
the Close of the Nineteenth Century. Whitefish , Montana.
350 Lindell Bromham, "Darwinwould have loved DNA:celebrating Darwin
200", Biology letters, diterbitkan online 15 May 2009 doi:
10.1098/rsbl.2009.0298.
351 Yuval Noah Harari, "Sapiens: A
Brief History of Humankind", Harper Perennial; Reprint edition, (May 15,
2018).
352 Https:/
/www.britannica.com/topic/Homo-sapiens.
353 Https://
science.howstuffworks.com/life /evolution/female-ancestor. htm.
354
Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called Science, Hackett
Publishing Company, Inc.; Fourth edition, 2013.
355
Https://www.ucdavis.edu/food/news/study-challenges-evolutionary-theory-dna
mutations-are-random.
356 D.M. Walsh, Challenges to Evolutionary
Theory, The Oxford Handbook of Philosophy of Science, Published: 06 August
2015.
357 Eva K. F. Chan et. al., Human Origins in A Southern African
Palaeo- Wetland and First Migrations, majalah Nature , 575, pages185-189
(2019). Penulisnya memublikasikan koreksi dan perubahan terhadap
papernya pada 2021. Ini menunjukkan
perubahan pendapat setelah mendapatkan informasi
baru.
358 Chris Tringer and Julia Galway-Witham , "On the Origin of Our
Species", Majalah Sains "Nature" edisi 546, tahun 2017.
359 Arti
notasi "Kya" di peta adalah kilo years ago (ribuan tahun lalu).
362
Clade adalah sekelompok organisme yang monofiletik, yaitu terdiri atas leluhur
yang sama dan semua garis keturunannya.
363 Pohon Filogeni
adalah representasi sejarah evolusi dan hubungan antarkelompok manusia dalam
bentuk pohon yang bercabang-cabang.
364 SNP, biasa dibaca "snip adalah
singkatan dari Single Nucleotide Polymorphism adalah bentuk variasi
materi genetik yang ditunjukkan oleh perbedaan nukleotide dalam susunan
rangkaian genetik. Secara umum bisa dipahami ini penanda variasi genetik
setiap individu.
365 T. Mohammad et. al, "Genetic structure of
nomadic Bedouin from Kuwait ",Heredity (Edinb).
2009 Nov; 103(5):
425-433.
366 Hovhannes Sahakyan, Ashot Margar , et al., "Origin and
diffusion of human Y chromosome haplogroup Jl-M267", Sci Rep. 2021 Mar
23;11(1):6659. doi: 10.1038/s41598-021-85883-2.
367 Rootsi, Siiri; Myres,
Natalie M; Lin, Alice A; Jiirve, Mari; King, Roy J, et.al., "Distinguishing
the co-ancestries of haplogroup G Y-chromosomes in the po pulations of
Europe and the Caucasus". European Journal of Human Genetics. 20 (12):
1275-1282. doi:l0.1038/ ejhg.2012.86. PMC 3499744. PMID 22588667.
368
Op.cit.
369 Op.cit.
37° Kebencian atau ketakutan terhadap
sesuatu yang dianggap "asing" atau berasal dari luar.
371 Alan R.
Templeton, "Biological Races in Humans ", NIH Stud Hist Philos Biol Biomed
Sci. 2013 September.
372 Kennedy, Maev (4 February 2013).
"Richard III: DNA corifirms twisted bones belong to king ".
The Guardian.
London. Retrieved 7 December 2014.
373 Hammer et al. (2009, "Extended Y
chromosome haploty pes resolve multiple and unique lineages of the Jewish
priesthood ", Hum Genet. 2009; 126(5): 707-717. Published online 2009 Aug 8.
doi: 10.1007/s00439-009-0727-5. Lihat dalam tautan ini juga: https://link.
springer.com/article/10.1007 /s00439-009-0727-5.
374
Iosif Lazaridis, Songiil Alpaslan-Roodenberg, Aye Acar, Ayen A<;1kkol et.
al., "The genetic history of the Southern Arc: a bridge between West Asia and
Europe", Science. 2022 Aug 26; 377(6609): eabm4247. Published online
2022 Aug 26. doi: 10.1126/science.abm4247.
375 Marc Haber, et. al.,
"Continuity and Admixture in the Last Five Millennia of Levantine
History from Ancient Canaanite and Present-Day Lebanese Genome Sequences
- PMC (nih. gov)", American Journal of Human Genetics, Published online 2017
July 27.
376
Https://en.wikipedia.org/wikij Canaan_(son_of_Ham).
377
Https://www.britannica.com/biography /Samuel-Hebrew-prophet .
378 Doron
M. Behar, Karl Skorecki, Siiri Rootsi, et.al, "The genetic variation in the
Rla clade among the Ashkenazi Levites ' Y chromosome", Sci Rep. 2017; 7:
14969. Published online 2017 Nov 2.
379 Wexler , J. D. "Levite
DNA", Levite DNA.org (2013).
380
Https://www.britannica.com/biography / Nebuchadne zzar-II.
381
Berbagai sampel kelompok Spira atau Sapphiro yang
mempublikasikan hasil tes DNA mereka bisa dilihat pada tautan:
https:/
/www.familytreedna .com/public/Shapiro/default.aspx ?section=ycolorized.
382
Sebagian hasil yang bisa diakses publik bisa dilihat pada tautan:
https:/
/www.familytreedna .com/public/Rapoport/default.aspx ?section=yresults.
383
Situs ini membahas keberadaan jalur wangsa Daud. Hasil uji DNA sebagian mereka
juga beragam. Lihat https:/
/momentmag.com/king-davids-genes-2/ .
384
https://www.choicedna.com/how-long-does-a-mans-dna-stay-inside-a-woman/#:-:t
ext=Malefetalcellshavebeen,forseveraldecadesfollowingchildbirth.
385
Khaled K Abu-Amero , Ali Hellani, et.al, "Saudi Arabian ¥-C hromosome
diversity and its relationship with nearby regions ", BMC Genet. 2009.
Published online 2009 Sep 22. doi: 10.1186/1471-2156-10-59. Lihat juga ,
Abdelhafidh Hajjejl dan Wassim Y. Almawi, "The genetic heterogeneity of Arab
po pulations as inf erredfrom HLA genes", PLoS ONE 13(3) 2018: e0192269 ,
School of Pharmacy, Lebanese American University , Byblos, Lebanon.
386
Lihat https://www.yfull.com/tree/G-Z16670/.
387
Https://ar.wikipedia.org/wikij %D8%B9%D9%86%D8%B2%D8%A9_(%D9%82%D8%A8
%D9%8A%D9%84%D8%A9).
388
Lihat Tabel 5-Berbagai Marga Adnani dan Qahthani Bercampur dalam Satu
Haplogroup.
389 Lihat https:/
/isogg.org/wikijFamous_DNA:Contested_DNA_Results#Mohammed.2C_
Prophet.2C_Hashemites.
390 Pohon phylogeni J-L859 yang dianggap Quraisy
ini bisa lihat di sini https://www.yfull. com/tree/J-L859/.
391 Bani
Khalid Khalid umumnya dikenal sebagai keturunan Khalid ibn Walid, sebagian
lagi menyebutkan mereka keturunan salah seorang keluarganya yang sama-sama
berasal dari Bani Makhsum, salah satu cabang Suku Quraisy.
392
Sadah adalah bentuk jamak kata Sayid, gelar yang disematkan kepada keturunan
Nabi Saw.
393 Peer review adalah evaluasi karya oleh satu orang atau
lebih yang memiliki kompetensi serupa dengan produsen karya ilmiah
tersebut.
394
Https://isogg.org/wiki/Famous_ DNA:Contested _ DNA_ Results#Mohammed.2C_
Prophet.2C_Hashemites.
395 Inkuisisi adalah institusi pengadilan gereja
yang didirikan oleh monarki Spanyol setelah mereka merebut kembali kekuasaan
dari kaum Muslimin. Inkuisisi ditujukan mempersekusi dan mengadili aliran
agama yang dianggap tidak sejalan dengan agama Katolik. Dalam hal ini agama
Islam dan Yahudi.
396 Sadah A'rajiah adalah kelompok Sadah
keturunan Ubaidillah al-A'raj ibn Husain ibn Imam Ali Zainal Abidin.
397
Https://ar.wikipedia.org/wikij%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%88%D9%84%D8%A9_
%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B4%D8%B9%D8%B4%D8%B9%D9%8A%D8%A9.
398
Https://www.maghress.com/almithaq/124973.
399
Https://en.wikipedia.org/wikij Tafilalt.
400 Umar Ahmad Shahil
Mursyid, Jami' al-Ansab al-Jaylani al-k!asani.
401 Azyumardi Azra ,
Jaringan ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII
:
Akar Pembaruan Islam Indonesia, Prenadamedia Group, Edisi Perenial,
2013.
402 Profesor Alan Templeton adalah pakar genetika dan
statistik di Washington University St Louis Amerika Serikat.
403 Alan R.
Templeton, Biological races in Humans , Studies in History and Philosophy of
Science Part C: Studies in History and Philosophy of Biological and Biomedical
Sciences, 44 (3):262- 271(2013).
404
Https://www.medicaldaily.com/dna-ancestry-tests-are-meaningless-your-historical
genealogy-search-244586.
Presentasi lengkap Prof. Mark Thomas mengenai
masalah ini dapat didengarkan di https://www.youtube
.com/watch?v=8Sr31Ke66tU.
405 Presentasi lengkap Prof. Mark Thomas
mengenai masalah ini dapat dilihat disimak pada kanal berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=8Sr3 1Ke66tU.
406 Hasil uji DNA
sampel Davidic lineage yang bisa diakses di https://www.familytreedna.com/
public/yichus?iframe=ycolorized.
407 Lihat di https:/
/www.pbs.org/race/OOO_About/002_04-background-01-07.htm .
408 Nasab
sadah Ba'alawi adalah nasab yang sudah "tsabit" secara syariat, bahkan hal itu
diakui oleh banyak sekali ulama besar selama berbadab-abad.
409
Hubungan seksual yang tidak jelas kepastiannya.
410 Sumber:
https://vt.tiktok.com/ZS2LvRtYu/.