Membongkar Penyimpangan Imaduddin

Membongkar Penyimpangan Kyai Imaduddin nasab Ba‘alawi sebagai asyraf dzurriyah Nabi Saw. sangat jelas sah tanpa keraguan sedikit pun menurut perspekti
Membongkar Penyimpangan Kyai Imaduddin

Judul buku: Keabsahan Nasab Ba'alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya
Tema: Anti tesis / sanggahan atas buku Terputusnya Nasab Baalawi oleh KH Imaduddin Utsman Al-Bantani

Bidang studi: sejarah, ilmu nasab
Penulis    : Tim Pengawal Persatuan Ummat Rabithah Alawiyah, Muhamad Hanif Alatas Rumail Abbas Ahmad  Quddur Idrus Al Masyhur Maimun Nafis Muhaimin  Bahirudin M. Fuad A. Wafi. Muhammad  Assegaf
Penyunting : Kukuh Achdiat Subiantoro & Dedi Ahimsa
Penyelaras aksara  : Nurjaman SQ
Penata aksara : Mujia P
Perancang sampul: Kertas Lecek (Abdul Hakim)
Diterbitkan oleh: Hilyah.Id
JI. Raya Raci, RT04, RW03, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur 

Daftar isi 

  1. BAB 2: MEMBONGKAR PENYIMPANGAN IMADUDDIN
  2. Pertama - Mengkaji Nasab dengan Mengabaikan dan Menabrak Tatanan Ilmu Nasab
    1. Membuang Keterangan para Ulama yang Tsiqah dengan Alasan Bukan Kitab Sezaman
    2. Dampak Fatal "Syarat Wajib Kitab Sezaman" dalam Menetapkan Nasab
    3. Banyak Silsilah Nasab Runtuh
    4. Silsilah Nabi Muhammad hingga Adnan
    5. Keturunan al-Bukhari al-Musawi yang Bernama Ahmad bin Abdullah
    6. Keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani yang Bernama Saleh
    7. Banyak Klan Sadah Ahli Bait Gugur secara Nasab
    8. Integritas Ulama Nasab Diragukan
    9. Ketika "Syarat Kitab Sezaman" Dimentahkan Penulisnya
    10. Alih-Alih Memberi Dalil "Syarat Kitab Sezaman"
    11. Malah Memberi Panduan Shalat Istikharah
    12. Mengabaikan Klasifikasi Nasab menurut Ulama Nasab
    13. Meremehkan Urgensi Kitab-Kitab di Luar Kitab Nasab
    14. Menolak Semua Catatan yang Bersumber dari Ba'alawi
    15. Tidak Mengerti Metode Tarjih dalam Ilmu Nasab
    16. Memelintir Konsep Syuhrah dan Istifiidhah
    17. Masih Menagih Sumber Sezaman meskipun Ada Syuhrah dan Istifadhah
    18. Syuhrah Nasab Ba'Alawi Dituduh Haditsah dan Tidak Sah, Sama dengan Syuhrah Thabariyah
    19. Menuduh Penetapan Nasab dengan Syuhrah dan Istifadhah Hanya Berlaku untuk Nasab Dekat
    20. Syuhrah Nasab Ba'Alawi Terbantah (Tsabata Ma Yukhalifuhu)?
    21. Mengubah Spirit Ilmu Nasab
    22. Menerapkan Ilmu Filologi secara Keliru dan Tidak Adil
  3. Kedua - Menentang, Mengabaikan, dan Merendahkan Pengakuan para Ulama Muktabar tentang Nasab Ba'alawi
    1. A Ulama yang Mengakui versus yang Menolak
    2. B Pengakuan para Ulama Dijawab dengan Asumsi
    3. C Hanya Imaduddin yang Benar, yang Lain Salah
    4. D Jika Nasab Ba'alawi Dibahtsul-masailkan oleh NU
  4. Ketiga - Kesesatan Logika
    1. A Tidak Disebutkan Berarti Tidak Ada
    2. B Hanya Menyebutkan Sebagian Berarti Menafikan
    3. Sebagian Lainnya (al-Syajarah al-M ubiirakah)
    4. CATATAN KHUSUS:
    5. Al-Syajarah al-Mubarakah yang Problematik
    6. Kejanggalan Penisbahan kepada Fakhru al-Din al-Razi
    7. Ketidakakuratan Klaim Hashr dengan Jumlah Ismiyah
    8. Bantahan Muhaqqiq al-Syajarah al-Mubarakah terhadap Imad
    9. C Gagal Paham terhadap Logika Dalil-M adlul
    10. D Mengaitkan Akhlak Oknum dengan Keabsahan Nasab
    11. E Menyebut Nasab Ba'alawi Mustahil Bersambung kepada Rasulullah Saw
    12. F Dua Belas Pertanyaan Imaduddin Kepada Rabithah Alawiyah
  5. Keempat - Fitnah Imaduddin kepada para Ulama
    1. A Fitnah Imaduddin kepada Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran
    2. B Fitnah Imaduddin kepada Ba'alawi secara Umum
    3. C Keculasan Imaduddin yang Dipertontonkan
    4. D Fitnah Imaduddin terhadap Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad
    5. E Fitnah Imaduddin kepada Sayid Murtadha al-Zabidi
    6. F Fitnah Imaduddin kepada Sayid Yusuf Jamalullail
  6. Kelima - Pengkhianatan Ilmiah
    1. A Standar Ganda Imaduddin
    2. Imaduddin Sulit Menerima Rujukan yang Mendukung
    3. Keabsahan Nasab Ba'alawi
    4. Hanya Menerapkan "Standar" Buatannya untuk Menilai Nasab Ba'alawi
    5. Imaduddin Kerap Menggunakan Teori dari Seorang Pakar tapi Mengabaikan Isbatnya terhadap Ba'alawi
    6. Imaduddin Menuntut Sumber Kitab Sezaman padahal Ia Sendiri Tidak Menggunakan Kitab Sezaman
    7. Imaduddin Kerap Menolak Validitas Kitab yang Mengisbat Nasab Ba'alawi, namun Menerima Begitu Saja Rujukan yang Dianggap Menolak Nasab Ba'alawi
    8. B Kebohongan Imaduddin dalam Pengutipan
    9. C Memelintir Dalil Al-Qur'an dan Sunnah
    10. Gelar Habib Adalah Konsep Yahudi
    11. Tidak Ada Hadis Sahih tentang Mencintai Keluarga Nabi Saw
    12. D Pengambilan Kesimpulan yang Serampangan
    13. Ba'alawi Mencangkok Nasab Bani Ulwi al-Qahthani
    14. Kakek Ba'alawi Adalah Sepupu Langsung Kakek al-Ahdal, Lalu Nasabnya Dicocokkan!
    15. Sumber Primer dan Kebenaran Sejarah
    16. Memanipulasi Data untuk Menguatkan Argumen
    17. Makam al-Muhajir & Makam Jamaluddin Kubra Versi Gusdur
  7. Keenam - Melakukan Kebohongan Publik
    1. A Catatan Nasab Ba'alawi Terputus Tahun
    2. B Mufti Yaman Membatalkan Nasab Ba'alawi
    3. C Ba'alawi Tidak Diakui oleh Naqabah Asyraf Internasional
    4. D Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba'alawi
    5. E Menyebut Tulisannya tentang Pembatalan Nasab Ba'alawi sebagai Tesis
  8. Ketujuh - Menjiplak Pemikiran Orientalis dan Tokoh Non-Aswaja
    1. A Menggunakan Teori Orientalis untuk Membatalkan Nasab Ba'alawi
    2. B Menyontek Sebagian Tokoh Wahabi
    3. Murad Syukri
    4. Audah al-Aqili
    5. Ulama Wahabi dalam Mata Rantai Pemikiran Imad
  9. Kedelapan - Tidak Memiliki Kompetensi dalam Ilmu Nasab
    1. A Apakah Imaduddin Seorang Nassabah?
    2. B Tidak Pernah Berguru kepada Nassabah
    3. C Kebodohan yang Mendunia
    4. D Kampanye Antitaklid
    5. E Melempar Temuan Prematur Tanpa Tashih para Ahli
  10. Kesembilan - Membatalkan Nasab Jauh dengan Tes DNA
    1. Analisis DNA dan Konfirmasi Nasab
    2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan DNA
    3. DNA dan Teori Migrasi
    4. Perkembangan Ilmu Genetika Evolusi
    5. Kejanggalan dan Keragaman Nasab Jauh
    6. Analisis Pola Genetik Berbagai Kelompok di Komunitas Yahudi
    7. Keragaman Suku-Suku Arab dan Mitos Haplogroup lbrahimi
    8. Kerancuan DNA Kelompok Siidah/ Asyraf dan Bani Hasyim
    9. Sadah/ Asyraf di Haplogroup G
    10. Heterogenitas Sadah di Haplogroup J
    11. Etnisitas Ba'alawi Nusantara
    12. Pandangan Pakar tentang Tes DNA untuk Nasab Jauh
    13. Pandangan Ulama mengenai Uji DNA untuk Nasab
    14. Hasil Bahtsul Masai! NU tentang Uji DNA
    15. Kesimpulan  
  11. Buku Terkait Nasab oleh KH. Imaduddin al-Bantani:
    1. Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
    2. Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
    3. Buku Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi 
    4. Living Sunnah, Otoritas Keagamaan Dan Konstruksi Nasab Ba’Alwi
  12. Kembali ke buku:  Keabsahan Nasab Ba'alawi Membongkar Penyimpangan Pembatalnya

BAB 2 MEMBONGKAR PENYIMPANGAN IMADUDDIN

Berdasarkan uraian pada Bab I, nasab Ba‘alawi sebagai asyraf dzurriyah Nabi Saw. sangat jelas sah tanpa keraguan sedikit pun menurut perspektif ilmu nasab, ilmu syariat, dan ilmu sejarah. Lantas, mengapa Imaduddin dengan percaya diri menyatakan nasab Ba‘alawi terputus? Setelah mencermati dan menelaah secara saksama, dari berbagai buku, artikel, dan video terkait masalah ini, kami berhasil mengidentifikasi akar masalah dan titik- titik penyimpangan pemikiran Imaduddin dalam pembatalan nasab Ba‘alawi.

Baca juga: Rumail Abbas dan Manuskrip Palsu


Secara garis besar, ada sembilan poin penyimpangan Imad.
1.    Mengkaji nasab dengan mengabaikan dan menabrak tatanan ilmu nasab.
2.    Menentang, mengabaikan, dan merendahkan pengakuan para ulama mukta- bar terhadap keabsahan nasab Ba‘alawi.
3.    Kesesatan logika.
4.    Memfitnah para ulama.
5.    Khianat ilmiah.
6.    Melakukan kebohongan publik.
7.    Menjiplak pemikiran orientalis dan tokoh non-aswaja.
8.    Tidak punya kompetensi dalam ilmu nasab.
9.    Membatalkan nasab menggunakan hasil tes DNA.
Setiap poin-poin di atas memiliki perincian. Semuanya akan kami uraikan dalam bab ini, insya Allah.

Pertama, Mengkaji Nasab dengan Mengabaikan dan Menabrak Tatanan Ilmu Nasab

Imaduddin   secara   terang-terangan   mengabaikan   kaidah-kaidah   ilmu nasab yang telah lama dirumuskan para ulama nasab. Ilmu nasab, yang mempelajari  silsilah  dan  garis  keturunan,  memiliki  metodologi  dan kaidah yang ketat dan telah diakui para ahli sejak berabad-abad. Sebagaimana dijelaskan al-‘Allamah Hajji Khalifah dalam Kasyf al-Dzunûn, tujuan dari disiplin ilmu nasab ini untuk menjaga seseorang dari kekeliruan dalam menilai nasab orang lain.122   Penolakan Imaduddin terhadap kaidah-kaidah ini tidak hanya menunjukkan kekurangpahaman yang mendalam tentang ilmu tersebut, tetapi juga mengabaikan konsensus ilmiah yang telah dibangun oleh generasi ulama yang berdedikasi pada validitas dan keakuratan silsilah keturunan. Meneliti nasab tanpa menggunakan ilmu nasab ibarat orang yang bicara tentang bahasa Arab namun tidak peduli dengan kaidah-kaidah nahwu saraf. Menggali nasab tanpa peduli ilmu nasab ibarat orang yang menggali hukum dari teks-teks Aþ-QĹĨ’aą daą SĹąąah deągaą Ąeągabaiûaą iþĄĹ ĹĬĹþ Šûih Ŕaąg ĄeĨĹĥaûaą metodologi penggalian hukum dariAl-Qur’an, Sunnah, dan sumber hukum lainnya. Hasilnya apa? Ngawur!

Mengabaikan  ilmu  nasab  tidak  hanya  menyebabkan  Imaduddin  terjatuh dalam  penyimpangan-penyimpangan  saat  menilai  sebuah  nasab,  tapi  ia  juga yang menghormati dan mengandalkan keilmuan nasab untuk memahami dan menghargai silsilah mereka. Berikut di antara berbagai penyimpangan Imaduddin terhadap ilmu nasab.

A.    Membuang  Keterangan  para  Ulama  yang  Tsiqah  dengan Alasan Bukan Kitab Sezaman
Sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan dalam Bab I Pasal 1, sebuah nasab ditetapkan dengan salah satu dari beberapa jalan, seperti syuhrah, istifâdhah, atau pengakuan tertulis dari nassabah yang kredibel.
Keterangan dari para ahli teori ilmu nasab tentang hal tersebut telah kami kutip pada babnya. Namun, sebagai tambahan, al-Nassabah Walid al-Husaini al- ‘Uraidhi dalam Ghâyah al-Ikhtishâr fî Ansâbi al-Sâdah al-Athhar menganggap cara-cara tersebut termasuk cara yang disepakati (ijmak) oleh para nassabun (ahli nasab) dalam menetapkan nasab. Berikut redaksinya secara singkat.

Baca juga: Betulkah al-Sakhawi mengitsbat Nasab Baalwi? Tanggapan Kyai Imaduddin
 
Dari apa yang telah diuraikan menjadi jelas, dalam perspektif ilmu nasab, andai ada satu saja kitab ulama nasab yang tsiqah dan kitab itu sudah populer, yang menyebutkan nasab sebuah kabilah sâdah, berarti nasab kabilah sâdah tersebut sudah tsubut, apalagi jika disebutkan dan diakui dalam puluhan kitab nasab, seperti nasab Sâdah Ba‘alawi. Terlebih, data-data dalam kitab nasab tersebut divalidasi dan didukung dengan sangat banyak pengakuan tentang status Sâdah Ba‘alawi dan keabsahan nasabnya dalam kitab-kitab târîkh, tarâjim, tsabat, asânid mulai dari abad ke-5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya. Semua data tersebut juga memiliki substansi yang sinkron dan konsisten sesuai apa yang telah kami tuangkan dalam Bab I.
Dalam hal ini, sebagaimana telah kami uraikan, nasab Ba‘alawi bukan hanya diriwayatkan dan diakui ulama nasab tsiqah, tapi juga ulama-ulama besar yang menjadi rujukan umat dari masa ke masa, seperti al-Syarji al-Zabidi (pengarang al-Tajrîd al-Sharîh), al-Hafidz al-Sakhawi, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al- Imam Ibnu ‘Imaduddin al-Hanbali, al-Hafidz Murtadha al-Zabidi, al-Imam al- Syarqawi, dan al-Imam Bakri Syatha. Tentu, pengakuan dari para ulama besar tersebut memiliki bobot tersendiri. Contohnya al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami yang mengakui nasab Bani Alawi sudah jauh melampaui standar orang tsiqah yang bisa diambil dan diterima riwayatnya. Dalam hal ini, ada keterangan menarik dari al-Muhaddits Muhammad Abdul Hay al-Laknawi.
 
Imaduddin menolak semua kitab ini karena dia membuat-buat aturan berupa syarat tambahan, yaitu kitab nasab tersebut harus sezaman. Persyaratan ini tidak punya dasar sama sekali karena sampai saat ini Imaduddin tidak mampu menghadirkan referensi otoritatif yang mensyaratkan kitab nasab harus sezaman atau yang paling mendekati. Di sisi lain, Imaduddin dengan sengaja mengabaikan integritas para ulama yang menyebutkan nasab Ba‘alawi, seolah-olah mereka semua hanya mengarang tanpa data. Padahal, haram menetapkan sebuah nasab tanpa dasar data yang benar. Apakah Imaduddin menganggap semua ulama itu tidak mengerti standar keabsahan nasab dalam syariat sehingga secara serentak terkecoh lelucon dari kebohongan Ba‘alawi?
Mengapa keterangan dari para ulama yang tsiqah menjadi salah satu pijakan dalam penetapan nasab? Hal ini disebabkan pencatatan nasab bukan sesuatu yang bersifat penalaran akal, melainkan verifikasi kebersambungan nasab berdasarkan sumber data yang valid dan memenuhi standar ilmu nasab. Artinya, manakala seorang nassabah yang kredibel dan tsiqah mencantumkan sebuah nasab, periwayatan jalur nasab tersebut (‘amûdu al-nasab) menjadi rujukan dalam mengisbat nasab. Hal ini karena nassabah yang tsiqah dan kredibel dituntut tidak memvalidasi sebuah nasab kecuali berbasis data dan telah memenuhi standar ilmu nasab. Jadi, jika dicantumkan seorang nassabah saja menjadi bernilai, bagaimana kalau secara sinkron disepakati dan divalidasi banyak nassabah dan dikuatkan dengan syuhrah dan istifâdhah serta data sejarah dan sumber-sumber kredibel lainnya? Inilah pola yang dibangun dalam ilmu nasab dari masa ke masa. Al-Nassabah Ibrahim bin Manshur, ahli teori ilmu nasab yang karya-karyanya kerap dikutip Imaduddin, menjelaskan:

Baca juga: Nasab Ba’Alawi dalam Pandangan Ibnu Hajar al-Haitami
 
“Oleh karena itu, banyak dari Bani Hasyim dan yang lain—dari zaman dahulu hingga saat ini—menghubungkan silsilahnya dengan asal-usulnya pada abad kelima atau kesepuluh dengan riwayat (‘amûdu al-nasab) yang disepakati dari satu keluarga, atau dengan dokumen. Inilah cara yang dilakukan para ulama besar Islam yang ahli dalam nasab, sebagaimana yang akan dijelaskan. Para ulama tidak menerima riwayat ‘amûdu al-nasab atau dokumennya jika itu milik seseorang yang dicap secara eksplisit oleh para ulama bahwa ia tidak punya anak, keturunannya punah, hanya punya anak perempuan, atau ada redaksi yang menunjukkan bahwa dia tidak mempunyai keturunan. Selanjutnya, periwayatan nasab, apalagi dokumen silsilah, bukan sesuatu yang baru diciptakan yang tidak mempunyai dasar dalam ilmu nasab melainkan catatan yang dibangun di atas periwayatan. Seperti yang tertera dalam kitab Silsilah Quraisy karya Mu’raj bin Amr bin al-Harith al-Sadusi (w. 195 H), Jamhara al-Nasab karya Ibnul Kalabi Hisyam bin Muhamad bin Sa’ib (w. 204 H), dan kitab-kitab lain yang semuanya ditulis berdasarkan periwayatan nasab.”

Baca juga: Respons KH Imaduddin Utsman pada Gus Najih Maimun


Dalam UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa MaĨŎiŔ aþ-NaĬab,126 al-Nassabah Ibrahim bin Manshur—yang sering dikutip teori-teorinya oleh Imad—memberikan contoh bagaimana para ulama menerima banyak nasab masyhur yang diriwayatkan para ulama tsiqah meskipun  ketika  dirunut  ke atas ada nama-nama yang tidak ditemukan jejaknya sama sekali dalam kitab- kitab tarâjim atau sejarah. Sebab, ketika para ulama menemukan indikasi dusta dalam riwayat nasab menurut standar keilmuan, mereka sendiri yang akan mengkritisi nasab tersebut. Berikut ini beberapa contohnya.

1.    Ulama sepakat mengakui Imam Ahmad bin Hanbal sebagai Syaibani ‘Adnani karena ada periwayatan ‘amûd (silsilah) nasab beliau kepada Syaiban lalu ‘Adan, dan intisâb Imam Ahmad bin Hanbal kepada kabilah tersebut sudah populer (syuhrah). Padahal, jika dirunut ke atas dari garis silsilahnya, ada dua
kakeknya yang bernama ‘Auf dan Qasith. Dua nama ini tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab nasab, sejarah, atau tarâjim. Berikut keterangannya:

2.    Al-Khathib al-Baghdad mengakui nasab Ali bin Muhammad bin Ahmad sebagai al-Qurasyi (nisbat kepada Quraisy) karena ada periwayatan ‘amûd (silsilah) nasab beliau kepada Quraisy dan intisâb Ali bin Ahmad kepada kabilah tersebut sudah populer (syuhrah). Padahal, jika dirunut ke atas dari garis silsilahnya, ada dua kakeknya yang bernama Abdullah dan Muhammad bin Manshur. Dua nama ini tidak pernah ditemukan, baik dalam kitab-kitab nasab, sejarah, atau tarâjim. Padahal, ketika ada pengakuan nasab lain yang bermasalah, seperti nasab Thalhah bin Muhammad al-Bashri, al-Khathib al-Baghdadi langsung mengkritiknya. Berikut keterangannya:

3.    Al-Hafidz al-Dzahabi, bersama para ulama lain seperti al-Subki, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Ibnu Katsir, dan al-Suyuthi, mengakui al-Imam Ibnu Sayyidinnas al-Ya’muri al-‘Adnani karena ada periwayatan ‘amûd (silsilah) nasab beliau kepada Ya’mur bin Malik dan ‘Adnan, serta intisâb Ibnu Sayyidinnas kepada kabilah tersebut sudah populer (syuhrah). Jika dirunut ke atas dari garis silsilahnya, ada tiga kakeknya yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Abdul ‘Aziz, Mundzi, dan Abdul Jabbar. Ketiga nama ini tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab nasab, sejarah, atau tarâjim. Padahal, ketika pengakuan ada nasab lain yang bermasalah, seperti nasab Ibnu Dihyah al-‘Andalusi yang mengaku sebagai keturunan sahabat Dihyah al-Kalabi, al- Hafi   al-Dzahabi langsung mengkritiknya. Berikut keterangannya:

4.    Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengakui nasab al-Imam Ibnu Khalil se- bagai keturunan Sayiduna Utsman Ibnu Affan r.a. karena ada periwayatan ‘amûd (silsilah) nasab beliau kepada Sayidina Utsman dan intisâb al-Imam Ibnu Khalil kepada kabilah tersebut sudah populer (syuhrah). Jika dirunut ke atas dari garis silsilahnya, ada dua kakeknya yang bernama Sa’ad dan Thalhah. Dua nama ini tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab nasab, sejarah, atau tarâjim. Padahal, ketika ada pengakuan nasab lain yang ber- masalah, seperti nasab Abu Bakar bin Umar al-Qumni, al-Hafidz Ibnu Hajar langsung  mengkritiknya.

Kemudian, Syaikh Ibrahim bin Manshur menegaskan bahwa kaidah  se- perti ini—periwayatan ‘amûdu al-nasab dan penerimaan ulama terhadapnya meskipun nasab-nasab ke atas sudah terpaut jauh zamannya, sebagaimana telah dijelaskan—berlaku di kalangan ulama Islam. Tentu para  ulama  hanya akan mengesahkan periwayatan nasab tersebut selama nasab itu syuhrah, istifâdhah, dan tidak ada ulama nasab yang menafikannya. Syaikh Ibrahim bin Manshur mengatakan:

Dalam konteks nasab Ba‘alawi, diriwayatkannya ‘amûd (silsilah) nasab Ba‘alawi oleh para nassabah serta pengutipan dan pengakuan dari para ulama terhadap keabsahan nasab tersebut tanpa ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I, menunjukkan bahwa nasab Ba‘alawi sudah memenuhi standar di mata ulama. Ini semua tanpa ada keraguan sedikit pun dari mereka.
Dari hadis Rasulullah Saw. dan istinbat para fukaha ditetapkan suatu metode universal yang teruji dan masuk akal dalam menetapkan nasab seseorang atau suatu kaum, yaitu dengan syuhrah, istifâdhah, atau tasamu’. Metode penetapan nasab yang dilakukan ulama ahli nasab berdasarkan metode sunnah yang dilakukan Rasulullah Saw. dan para ulama mazhab. Tidak ada metode khusus yang dilakukan ahli nasab yang berlainan dengan ahli fikih. Hal ini karena metode penetapan ahli nasab dan ahli fikih berasal dari sumber yang sama, yaitu Rasulullah Saw.

Bagaimana dengan metode “harus konfirmasi kitab sezaman” untuk nasab-nasab lama? Tidak ada satu pun teori, kitab ilmu nasab atau ahli nasab yang menyatakan adanya metode “keharusan konfirmasi kitab sezaman”. Jika metode ini telah berlaku umum digunakan para ahli nasab, dapat dengan mudah ditemukan teori, sumber rujukan yang mendukung, ulama ahli fikih dan ahli nasab yang menggunakan, awal dilakukan metode tersebut, kepada siapa metode tersebut diterapkan, atau apakah metode tersebut dilandasi dalil-dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, atau pendapat ulama mazhab. Selanjutnya, Imaduddin dituntut untuk melakukan pembuktian terbalik dengan memberikan kitab- kitab nasab sezaman yang menolak  Ubaidillah  sebagai  anak  dari  Ahmad  bin Isa al-Muhajir. Dipastikan, dia tidak akan bisa menunjukkan kitab tersebut, seperti ketidakmampuannya menunjukkan dasar teori “keharusan konfirmasi kitab sezaman”. Jika tidak dapat memenuhi pertanyaan di atas, dapat dinyatakan bahwa metode itu adalah bid‘ah (yang diada-adakan) demi tujuan tertentu, seperti memaksakan kehendak untuk menolak keabsahan Imam Ubaidillah sebagai anak Imam al-Muhajir yang sudah sangat jelas kesahihannya berdasarkan metode yang dilakukan oleh para ulama nasab.
Dengan demikian, penolakan Imaduddin terhadap nasab Ba‘alawi—yang menyebutkan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa—dengan alasan “tidak ada kitab sezaman” adalah mengada-ngada dan menabrak metodologi yang sudah digariskan para ulama Islam dalam menilai sebuah nasab.

1.    DaĄĥaû FaĴaþ “SŔaĨaĴ Waøib KiĴab SeŜaĄaą” daþaĄ MeąeĴaĥûaą NaĬab
Dalam menetapkan kesahihan nasab, ulama nasab menggunakan metode sunnah seperti yang digunakan Nabi Muhammad Saw. pada peristiwa utusan Abdul Qais dari Bani Rabi’ah yang datang menemui Nabi Saw. Nabi Saw. mengakui utusan Abdul Qais dari Suku Rabi’ah karena kaum tersebut telah terkenal dan tersebar luas nasabnya. Nabi Saw. tidak melihat langsung Rabi’ah yang lahir lima abad (500 tahun) lebih dahulu dari Nabi Saw., tetapi Nabi Saw. mengakui atau menguatkan nasab mereka dari Rabi’ah.
 
Baca juga: Isbat Baalwi oleh Mahdi Rojai, Tanggapan Kyai Imaduddin

Peristiwa utusan Abdul Qais dari Bani Rabi’ah dijadikan dasar penetapan kesahihan nasab (syuhrah wa al-istifâdhah) walaupun tidak terdapat kitab nasab pada zamannya. Jadi, apabila kaum tersebut telah terkenal dan tersiar luas, nasabnya dapat diterima. Dalam kitab UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i al-Syaraf wa Marwiy al-Nasab, Sayid Ibrahim bin Manshur menyatakan:

“Syuhrah dan istifâdhah berpengaruh untuk diterima atau ditolaknya tokoh- tokoh nasab jika di dalamnya ada nama yang tidak disebut dalam kitab-kitab nasab atau biografi atau sejarah.’’127
Sebaliknya, bila dalam penggunaan metode bid‘ah yang harus ûČąŠĨĄaĬi kitab sezaman atau yang paling dekat dan diakui sebagai satu-satunya metode penetapan nasab, sebagaimana yang digembar-gemborkan Imad, hal itu akan mengakibatkan runtuhnya banyak silsilah nasab yang selama ini sudah diakui, bahkan sebagiannya disepakati keabsahannya oleh para nassabah dan ulama Islam. Pemaksaan metode ini juga otomatis meruntuhkan kualitas moral, spiritual, dan keagamaan (‘adalah) dari ulama nasab. Dengan demikian, pengguna metode selain ûČąŠĨĄaĬi ûiĴab ĬeŜaĄaą aĴaĹ Ŕaąg ĥaþiąg deûaĴ dapat dituduh sebagai pelaku tadlis (menyembunyikan kebenaran), bahkan bohong dalam penyambungan nasab, terlebih bohong atas nama Rasulullah Saw.

a.    Banyak Silsilah Nasab Runtuh
Dampak pertama yang akan dihadapi bila penetapan kesahihan nasab menggunakan metode bid‘ah “konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat” adalah keruntuhan banyak silsilah nasab ahli bait yang diakui para ulama nasab, seperti berikut ini.

1).    Silsilah Nabi Muhammad hingga Adnan
Nabi Muhammad Saw. bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhir bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Jika kesahihan nasab Nabi Muhammad Saw. harus ditetapkan dengan kitab sezaman, runtuhlah silsilah Nabi Muhammad Saw. hingga Adnan. Adakah kitab nasab sezaman di setiap generasi yang menetapkan bahwa Ma’ad anak dari Adnan, Nizar anak dari Ma’ad, Mudhar anak dari Nizar, Ilyas anak dari Mudhar, Mudrikah anak dari Ilyas, Khuzaimah anak dari Mudrikah, Kinanah anak dari Khuzaimah, dan seterusnya. Nama-nama tersebut baru tertulis pada kitab-kitab hadis dan sejarah yang mulai dikodifikasi pada abad ketiga Hijriah.

2).     Keturunan al-Bukhari al-Musawi yang Bernama Ahmad bin Abdullah
Berdasarkan hasil diskusi, beberapa keturunan Sunan Gunung Jati di Benda Kerep, Cirebon, mengatakan bahwa Walisongo adalah keturunan al-Bukhari al-Musawi dari jalur Ja‘far bin Ali al-Hadi bin Muhammad al- Jawwad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim. Bagaimana kesahihan jalur Walisongo dari al-Bukhari al-Musawi dengan menggunakan metode bid‘ah konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat?
Leluhur Walisongo, berdasarkan klaim forum di Benda Kerep itu bernama Jamaluddin Husain al-Akbar bin Mahmud Nasirudin bin Husin Jalaluddin Makhdum bin Ahmad Kabir bin Husin Jalaluddin al-Bukhari bin Ali bin Ja‘far bin Muhammad bin Mahmud bin Ahmad bin Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Imam Ali al-Hadi bin Imam Muhammad al-Jawwad bin Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa al-Kazhim.
Abdullah bin Ali bin Ja‘far128 bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim memiliki anak yang bernama Ahmad (w. 388 H), sezaman dengan Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir yang wafat tahun 383 Hijriah. Pada kitab al-Tahdzîb halaman 149 tertulis hanya nama Muhammad sebagai anak dari Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al- Hadi. Pada kitab al-Majdî halaman 331 tertulis hanya nama Muhammad sebagai anak dari Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi.
Kitab al-Syajarah al-Mubârakah karya Imam al-Razi (w. 606 H) halaman
94 menyatakan bahwa Abdullah bin Ali bin Ja‘far (digelari al-Kadzdzâb atau al-Tawwâb) bin Ali al-Hadi tidak mempunyai anak bernama Ahmad. Kutipan dari kitab itu sebagai berikut:
 
“Sementara itu, anak-anak Abdullah adalah tokoh dan terkenal di Baghdad. Anaknya bernama Muhammad al-Asyqar al-Naqib di Masyhad Maqabir al-Nazhur, dan semua anak keturunan (Abdullah) darinya (Muhammad).”

Dari kutipan di atas, Imam al-Razi tegas menyebutkan bahwa Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi hanya mempunyai anak Muhammad. Al-Razi menyebutkan jumlah anak Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi dengan menggunakan jumlah ismiyah yang menunjukkan ta‘kid (kuat). Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi tidak punya anak bernama Ahmad dan tidak punya cucu bernama Mahmud.
Dari sini, kesempatan masuk nama lain sudah tertutup—menurut metode Imad—kecuali ada kitab sezaman yang menuliskan nama Ahmad. Jarak waktu antara al-Razi yang wafat tahun 606 Hijriah sampai wafat Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi selama 218 tahun tidak ada riwayat, tidak ada kisah, tidak ada kabar bahwa Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al- Hadi memiliki anak yang bernama Ahmad dan cucu yang bernama Mahmud. dan atau Ja‘far al-Zaki.

Siapa mereka berdua, yang kemudian diberitakan oleh anak keturunannya sebagai cucu Nabi Muhammad Saw.?
Pada halaman 159 kitab al-Ashîlî, Ibnu al-Thaqthaqi (w. 709 H) tidak menuliskan nama Ahmad bin Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Imam Ali al- Hadi. Muhammad Kazhim bin Abil Futuh al-Yamani al-Musawi (w. 880 H) dalam al-Nafhah al-Anbariyah halaman 74 tidak menuliskan nama Ahmad bin Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Imam Ali al-Hadi. Pada kitab Bahr al- Ansâb halaman 25 karangan al-Najafi (wafat abad ke-10 H) terdapat catatan yang menuliskan nama Ahmad sebagai anak dari Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi.
Bila dihitung dari tahun wafat Abdullah bin Ali bin Ja‘far bin Ali al-Hadi pada abad ke-4 Hijriah sampai dengan tertulisnya nama Ahmad pada kitab Bahr al-Ansâb pada abad ke-10, terdapat riwayat yang terputus selama enam abad atau 600 tahun. Di samping itu, tidak ada satu pun kitab sejarah yang menuliskan silsilah atau biografi Ahmad ini. Berdasarkan hal ini, calon leluhur Walisongo dari jalur al-Bukhari al-Musawi dapat dikatakan bukan keturunan Nabi Muhammad Saw.
Calon leluhur Walisongo—versi Imaduddin dkk.—yang bernama Ahmad (w. 388 H) tidak tercatat dalam kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya sebagai anak Sayid Abdullah bin Ali bin Ja‘far al-Kadzdzab. Kesimpulannya, kitab-kitab nasab dan sejarah telah banyak ditulis pada abad ke-4 hingga ke-9 Hijriah, namun tidak ada satu pun yang menuliskan bahwa Abdullah bin Ali bin Ja‘far al-Kadzdzab mempunyai anak bernama Ahmad. Tidak ada satu pun kitab yang ditulis mulai abad ke-4 hingga ke-9 Hijriah yang menuliskan anak dari Ahmad bin Abdullah bin Ali bin Ja‘far al-Kadzdzab yang bernama Mahmud hijrah ke Bukhara.
Selain itu, tidak ada satu kitab pun dari abad ke-4 hingga ke-9 Hijriah yang menuliskan nama-nama keluarga al-Bukhari al-Musawi sebagai keturunan Rasulullah Saw., yang di antaranya Ahmad, Mahmud, Muhammad, Ja‘far, Ali, Husin Jalaluddin, Ahmad Kabir, dan Husin Jalaluddin. Nama-nama tersebut tidak dituliskan dalam kitab nasab sezaman yang ditulis pada zamannya masing-masing sebagai keturunan Rasulullah Saw. Kitab referensi pertama yang menuliskan nama-nama mereka sebagai keturunan Rasulullah Saw. adalah kitab Bahr al-Ansâb yang disusun pada abad ke-10 Hijriah. Jika kesahihan nasab Sunan Gunung Jati harus ditetapkan dengan kitab sezaman, runtuhlah silsilah Walisongo (Sunan Gunung Jati).

3).   Keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani yang Bernama Saleh
Kasus keruntuhan nasab keluarga Nabi Saw. lainnya adalah silsilah keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani dari anaknya yang bernama Saleh, seperti Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati. Contoh silsilah tersebut adalah Sunan Giri bin Ya‘kub bin Ibrahim bin Junaid bin Abdu al-Qadir bin Syuaib bin Abdul Jabbar bin Abdu al-Razak bin Abdu al-Aziz bin Saleh bin Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani. Tidak ada kitab-kitab nasab menyatakan bahwa Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani memiliki anak yang bernama Saleh.
Kitab al-Mustafâd karangan Ibnu Najjar (w. 643 H) menuliskan jumlah anak laki dan anak perempuan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani sebagai berikut:

“Saya mendengar Abdu al-Razak bin Abdu al-Qadir berkata, ‘Dilahirkan untuk ayahku empat puluh sembilan anak, dua puluh tujuh anak laki-laki dan sisanya perempuan’.”129

Dalam Târîkh Islâm dan Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’ karangan al-Zahabi (w. 748 H) serta FaŎâĴ aþ-WaŠŔâĴ karangan al-Kutbi (764 H) tertulis jumlah anak laki dan anak perempuan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani sama dengan yang disebutkan al-Najjar sebagai berikut.

Berkata Ibnu Najjar, “Saya mendengar Abdu al-Razak bin Abdu al-Qadir berkata, ‘Dilahirkan untuk ayahku empat puluh sembilan anak, dua puluh tujuh anak laki-laki dan sisanya perempuan.’” 130

Dalam kitab nasab al-Anwâr fî Nasab Âl Nabî al-Mukhtâr yang dikarang Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah al-Jazi al-Kalbi al-Gharnathi (w. 758 H) tertulis pada halaman 57 nama anak-anak Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani yang berjumlah sepuluh orang, yaitu:

“Keturunannya dari sepuluh orang, yaitu Abdul Wahab, Isa, Ibrahim, Abdu al-Aziz, Abdu al-Razak, Yahya, Abdullah, Abdu al-Jabbar, Muhammad, dan Musa.”

Dalam Nuzhah al-Khâtir al-Fâthir fî Tarjamah Syaikh Abdu al-Qadir Qaddasa Sirrahu al-Bâthin wa al-Zhâhir karangan al-‘Allamah al-Kabir Mula Ali al-Qari (w. 1014 H), halaman 176, tertulis:


“Dan dari yang telah disepakati anak-anak dari Syaikh (Abdu al-Qadir al- Jilani) ialah Abdul Wahab, Abdu al-Aziz, Abdu al-Jabbar, dan Abdu al-Razak.”

Dalam ‘Umdah al-Thâlib al-Sughra yang ditahkik Sayid Mahdi Raja’i ditulis bahwa anak-anak Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani yang memberikan keturunan hanya dua orang, yaitu Abdu al-Razak dan Abdu al-Aziz.
“Keturunan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani dari dua anak laki-laki, yaitu Abdu al-Razak dan Abdu al-Aziz.”131

Jika menggunakan metode konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat, diperoleh data bahwa Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani tidak memiliki anak yang bernama Saleh. Hal ini membuktikan bahwa nasab silsilah Walisongo dari jalur Saleh bin Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani adalah mardûd (tertolak). Jadi, secara otomatis keturunan Walisongo dari jalur tersebut yang disebut keturunan Nabi Saw. adalah palsu. Silsilah nasab keturunan Walisongo dari jalur Saleh bin Abdu al-Qadir al-Jilani dapat dinyatakan sahih bila terdapat kitab nasab sezaman di setiap generasi yang menetapkan bahwa Sunan Giri anak dari Ya‘qub, Ya‘qub anak dari Ibrahim, Ibrahim anak dari Junaid, Junaid anak dari Abdu al-Qadir, Abdu al-Qadir anak dari Syuaib, Syuaib anak dari Abdul Jabbar, Abdul Jabbar anak dari Abdu al-Razak, Abdu al-Razak anak Abdu al-Aziz, Abdu al-Aziz anak dari Saleh bin Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani.

Walaupun terdapat pembelaan yang berkaitan dengan adanya nama Saleh sebagai anak Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani dengan menunjukkan beberapa kitab yang ditulis setelah tahun kitab di atas dan penetapan nasab dari Naqabah Internasional, seperti dari Maroko, argumentasi tersebut tertolak berdasarkan metode batil itu. Sebaliknya, untuk menguatkan bahwa Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani memiliki anak bernama Saleh, nama tersebut harus tertulis pada kitab yang dikarang pada abad ke-6 Hijriah. Artinya, selama tidak ada kitab sezaman, Walisongo dari jalur Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani terputus silsilah nasabnya dari abad ke-6 sampai sekarang.

4).    Banyak Klan Sâdah Ahli Bait Gugur secara Nasab
Al-Sayid Sulaim bin Abdu al-Lathif al-Rifa’i, dalam Thabaqât al-Asyraf at-Thalibîyyîn, menulis klan-klan sâdah ahli bait dan menyebutkan sumber- sumber yang menyebutkan nasab klan-klan tersebut dan kesayidannya serta mengurutkan sumber-sumber tersebut berdasarkan tahun wafat muallif-nya, mulai dari sumber yang tertua sampai terbaru. Ternyata, dalam kitab tersebut terungkap bahwa sangat banyak klan ahli bait yang nasabnya tidak disebutkan dalam kitab sezaman atau yang mendekatinya. Al-Jaddu al-Jâmi‘ (kakek di pangkal nasab yang menjadi titik pertemuan nasab mereka) tidak disebutkan dalam kitab kecuali ratusan tahun setelah wafatnya. Tapi, itu tidak mengurangi pengakuan para ulama nasab dan sejarah terhadap kebersambungan nasab mereka. Jika memaksakan teori Imaduddin yang mewajibkan kitab sezaman, klan-klan besar yang diakui dunia Islam dan dunia ilmu nasab ini akan rontok semua. Berikut ini di antaranya.

1.    Nasab Sâdah al-Dailami al-Hasani nisbah kepada Sayid Abi al-Fath al- Nashir (w. 446 H) bin Husein bin Muhammad bin Isa sampai kepada Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Nasab ini baru termaktub dalam kitab nasab Ghuraru al-Durar fî Mukhtashari al-Siar wa Ansâbi al- Basyar karya al-Nasyiri yang wafat 831 H.

2.    Nasab Sâdah al-Kattaani al-Idrisi, nisbah kepada Sayid Yahya al-Kattani bin Imran bin Abdu al-Jalil bin Yahya bin Yahya bin Muhammad bin Idris al-Ashghar, wafat tahun 400-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam kitab al-Ansâb karya Abu Abdirrahman Zaid al-Jabbari yang wafat 738 H.
3.    Nasab Sâdah al-Qudaimi al-Musawi, nisbah kepada Sayid al-Hasan bin Yusuf al-Qudaimi, wafat tahun 400-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam kitab Thabaqât al-Khawwash karya al-Syarji al-Zabisi yang wafat 893 H.
4.    Nasab Sâdah Aal Turki al-Idrisi, nisbat kepada Turki bin Qursyalah bin Ahmad al-Idrisi al-Hasani, wafat tahun 500-an Hijriah. Nasabnya baru termaktub dalam kitab Risâlah Hafril Murabbi‘ât karya Ibnu Quthlubugha al-Hanafi yang wafat 879 H.
5.    Nasab Sâdah al-Hamzawi, nisbat kepada  Hamzah  bin  Muhammad bin Naashir al-Husaini, wafat tahun 500-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam kitab Târîkh Hawaditsi al-Zamân karya Ibnul Jazari yang wafat 738 H.
6.    Nasab Sâdah al-Hawaazim nisbah kepada Hazim bin Hamzah bin Ahmad bin Muhammad al-Hasani, wafat tahun 500-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam Musyajjaru al-Sayyid Shalah bin al-Jalal al- Rossi yang wafat 805 H.
7.    Nasab Sâdah Aal Sabsabi al-Rifa’i al-Musawi nisbah kepada Muhammad bin al-Mahsi al-Sabsabi bin Hasan bin Ali al-Rifa’i al-Husaini yang wafat di awal-awal tahun 700-an Hijriah. Nasab ini baru termaktub dalam Ta’liqat Syaikh Muhammad bin Ali bin Hasan ‘Alamuddin al-Haraki al- Husaini yang wafat 950 H.
8.    Nasab al-‘Abbasi al-Alawi di Yaman, nisbah kepada Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Ubaidillah bin al-Hasan bin Ubaidillah bin al-‘Abbas bin Ali bin Abi Thalib, wafat tahun 296 H. Nasabnya baru termaktub dalam kitab nasab Thurfatu al-Ashâb fî Ma‘rifati al-Ansâb karya al-Malik al-Asyraf Umar bin Rasul yang wafat 696 H.
 


Masih banyak lagi klan-klan asyraf yang akan runtuh dengan metode mengada-ngada yang dibuat Imad. Padahal, klan-klan tersebut diakui oleh ulama dan dunia Islam secara turun-temurun selama berabad-abad. Di sini tampak jelas bahwa yang bermasalah bukan pengakuan para ulama melainkan metode “karangan” Imaduddin itu sendiri.

b.    Integritas Ulama Nasab Diragukan
Dampak kedua yang akan dihadapi adalah keruntuhan kualitas moral, spiritual, dan juga keagamaan (‘adalah) dari ulama nasab, seperti Imam al- Sakhawi, Imam al-Haitami, Imam al-Zabidi, dan tokoh ulama nasab lain. Mengapa demikian? Bila penetapan kesahihan nasab yang menggunakan metode konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat diterima sebagai satu-satunya metode penetapan kesahihan nasab, secara otomatis penetapan kesahihan nasab yang telah dilakukan ulama nasab dari abad-abad awal dengan menggunakan metode syar‘i, seperti syuhrah dan istifâdhah, akan batal semua karena mereka dianggap berbohong atau menyembunyikan hal sebenarnya (tadlis). Ulama yang tidak menggunakan metode tersebut dalam menetapkan kesahihan nasab Ba‘alawi dianggap memiliki cacat, bahkan bisa dituduh berdusta atas nama Rasulullah Saw., dan menyambungkan nasab seseorang bukan kepada ayahnya yang berarti perbuatan terlaknat, na‘ûdzubillâh.
Contohnya, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, yang menetapkan nasab Ba‘alawi dalam kitab tsabat-nya, merupakan pengarang kitab Tuhfah al-Muhtâj dan al-Fathu al-Mubîn bi Syarhi al-‘Arba‘în. Silsilah sanad keilmuan dalam bidang hadis cacat dari Imam Ibnu Hajar kepada murid-muridnya karena beliau dianggap melakukan tadlis dengan tidak menggunakan metode konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat. Begitu pula dengan Imam Murtadha al-Zabidi, pengarang kitab nasab al-Raudhu al-Jalîy sekaligus pengarang kitab Ithaf Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn syarah kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn karangan Imam al-Ghazali. Sanad keilmuan Imam Murtadha al-Zabidi cacat (majruh) kepada murid-muridnya karena keduanya telah melakukan tadlis dengan menetapkan kesahihan nasab Ba‘alawi menggunakan selain metode tersebut. Secara tidak langsung, silsilah sanad keilmuan orang-orang yang belajar kitab-kitab karangan Imam Ibnu Hajar dan Imam Murtadha al-Zabidi cacat pula kepada Rasulullah Saw. Hal ini berlaku pula dengan para ulama yang begitu banyak telah kami sebutkan di Bab I.
Jika para ulama seperti Imam al-Sakhawi, Imam al-Haitami, Imam al- Zabidi, dan ulama lainnya dalam menetapkan kesahihan nasab Ba‘alawi tidak menggunakan metode konfirmasi kitab sezaman atau yang paling dekat dituduh melakukan tadlis dan memiliki cacat periwayatan serta penisbahan ilegal yang tidak sesuai standar syariah, runtuhlah sanad keilmuan di sebagian besar masyarakat Islam di dunia, khususnya di Indonesia.

2.    Ketika “Syarat Kitab Sezaman” Dimentahkan Penulisnya132
Akhir-akhir ini beredar video sikap dan pendapat kiai dari Malang (Kiai Ahmad Fatih Syuhud) terkait konflik nasab yang masih belum usai ini. Beliau menyebutkan bahwa selama tidak ada kitab sezaman yang menyebutkan leluhur para habib Ba‘alawi, tesis Kiai Imaduddin adalah “benar”. Tanpa mengurangi rasa hormat dan takzim, jika memang mau mengkaji secara kritis, objektif, dan ilmiah, ada satu mata rantai yang hilang dari kesimpulan beliau. Kesimpulan beliau hanya menjelaskan kembali algoritma pemikiran Kiai Imaduddin dan para pendukungnya selama ini. Berikut adalah urutan mata rantai logika mereka.
1.    Kiai Imaduddin meminta syarat kitab sezaman.
2.    Para habib tidak memberikan syarat yang diminta Kiai Imad.
3.    Kiai  Imaduddin  sangat  yakin  bahwa  nasab  Ba‘alawi  gugur  dan  para pendukungnya bersorak gembira.

Mengapa saya katakan ada mata rantai logika yang hilang? Seharusnya, sebelum beralih ke mata rantai kedua untuk kemudian mencari kitab-kitab sezaman yang disyaratkan Kiai Imad, kita harus kritis dan bertanya, “Dalam ilmu nasab, apakah kitab sezaman merupakan syarat mutlak dan satu-satunya
untuk mengonfirmasi sebuah nasab?”
Setelah membaca beberapa kitab nasab, khususnya kitab-kitab yang men- jadi rujukan utama Kiai Imaduddin dan para jagoannya dalam masalah ini (Muqaddimât fî ‘Ilm al-Ansâb, Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb, al-Kâfî al-Muntakhab), saya berani menyimpulkan ada dua kubu terkait hal ini.
1.    Para pakar ilmu nasab dalam kitab-kitab itu sama sekali tidak mensyaratkan kitab sezaman untuk mengonfirmasi kebenaran suatu nasab. Kitab nasab adalah salah satu thuruq (cara) untuk mengonfirmasi nasab, tapi bukan satu-satunya. Masih ada beberapa opsi lain, termasuk al-syuhrah wa al- istifâdhah (kemasyhuran dan reputasi sebuah nasab).
2.    Kiai Imaduddin dan kolegalah yang mengatakan bahwa kitab sezaman merupakan syarat mutlak bagi keabsahan suatu nasab. Jika tidak, nasab tersebut dipastikan palsu, fiktif, dan terputus.

Kiai Imaduddin tentu bukan orang bodoh. Meski punya pendapat yang berbeda dan “agak lain” dari para ulama pakar nasab di dunia ini, beliau tidak ingin terlihat tanpa dalil di depan para pendukungnya. Beliau bahkan pernah mengadakan siaran langsung bersama Gus Aziz Jazuli untuk membahas syarat kitab sezaman andalannya ini. Cek di https://www.youtube.com/live/ WyEGpNHyRhc?si=rn5fw-eIxs4jq_P4.
Dalam siaran itu, Kiai Imaduddin berusaha menguatkan pendapatnya bahwa kitab sezaman merupakan syarat mutlak. Beliau berdalil dengan kitab Muqaddimât fî ‘Ilm al-Ansâb karya pakar nasab asal Irak, Syaikh Khalil Ibrahim al-Dailami. Beliau berusaha meyakinkan bahwa penulis kitab itu sependapat dengannya terkait syarat kitab sezaman. Sayangnya, setelah menyimak siaran itu dan pernyataan beliau dalam tulisan berikut ini https://rminubanten. or.id/kitab-sezaman-adalah-mutlak-untuk-meneliti-kesahihan-nasab/, saya justru semakin yakin bahwa syarat tersebut diada-adakan tanpa rujukan dari kitab nasab mana pun!
Setelah mengisi acara seminar di Ponpes Sidogiri, saya sempatkan mem- baca kitab karya Syaikh Khalil Ibrahim yang menjadi rujukan itu. Saya juga telah khatam membaca prinsip-prinsip dasar ilmu nasab yang ditulis beliau dalam kitab nasabnya yang lain, Durus fî ‘Ilm al-Ansâb. Ada banyak poin dalam kitab itu yang sangat bertentangan dengan pendapat Kiai Imaduddin selama ini. Salah satunya di poin ke-10 halaman 96. Di situ beliau mewanti-wanti jangan sampai kita menuduh suatu nasab (tha’n fî al-nasab) hanya karena sebuah nama yang tidak disebutkan dalam kitab tertentu.
 
Akhirnya, datang sebuah kejutan tak terduga. Allah memberi saya rezeki berupa kontak WA dari Syaikh Khalil Ibrahim, penulis yang selama ini menjadi andalan Kiai Imad!
Saya pun langsung bertanya tentang “konfl    nasab” ini kepada beliau. Berikut
adalah isi percakapan saya dengan beliau (ditambah dengan translate-nya):

 
Ismael Alkholilie:
 “Assalamualaikum wr. wb., Sidi. Saya Muhammad Ismail Alkholilie pencinta Anda dan pembaca kitab-kitab Anda dari Indonesia.”

 
Syaikh Khalil Ibrahim:
  
Ismael Alkholilie:
 
“Sidi, saya punya pertanyaan. Di Indonesia sekarang ini ada beberapa orang yang meragukan dan membatalkan nasab para Sâdah Ba‘alawi dengan hujah leluhur mereka Ubaidillah bin Ahmad bin Isa tidak disebutkan dalam kitab-kitab nasab terdahulu. Mereka berdalil dengan kitab Anda Muqaddimât fî ‘Ilm al-Ansâb. Mohon penjelasan terkait masalah ini.”

Syaikh Khalil Ibrahim:
 
“Syuhrah istifâdhah (kemasyhuran reputasi) para Sâdah Ba‘alawi telah mengungguli banyak nasab yang lain, sedangan disebutkannya ‘amûd nasab hanya syarat kesempurnaan (bukan syarat sah).”

Ismael Alkholilie:
“Jadi, menurut Anda nasab para Sâdah Ba‘alawi valid meskipun ‘amûd nasab
mereka tidak disebutkan dalam kitab sezaman atau yang mendekati?”

 
Syaikh Khalil Ibrahim:

“Iya, mereka adalah pembawa ajaran Islam moderat yang sesungguhnya.”
 
“Masya Allah mereka adalah para guru kami. Terlepas dari komentar para pembenci, apakah Anda mengenal mereka para Sâdah Ba‘alawi, Sidi?”

 
Syaikh Khalil Ibrahim:

“Apakah  rembulan  terlihat  samar?  Mereka  adalah  para  dai  yang  telah menyebarkan ilmu di barat dan timur dunia.”

 
Ismael Alkholilie:

“Baik, jazâkallâh khair atas jawabannya. Di  masyarakat  kami  sekarang ada kegaduhan yang disebabkan pembatalan nasab para Sâdah  Ba‘alawi oleh seseorang yang mengaku paham ilmu nasab. Saya meminta izin untuk menyebarkan jawaban Anda ini untuk para teman dan sahabat.”

 
Syaikh Khalil Ibrahim:

“(Menukil hadis) empat kebiasaan Jahiliah yang masih belum ditinggalkan dalam umatku, salah satunya menuduh suatu nasab tanpa dasar ilmu.”

Untuk sekian kali, Kiai Imaduddin harus menerima realitas pahit. Seorang ulama pakar nasab yang kitabnya dijadikan hujah untuk menguatkan tesisnya justru “mengonfirmasi” keabsahan nasab Ba‘alawi. Sebelumnya sudah ada Sayid Mahdi Raja’i (ulama pakar nasab asal Iran) dan Syaikh Ibrahim al-Hasyimi (ulama pakar nasab asal Saudi) yang sama-sama mengisbat Ba‘alawi dan mementahkan syarat kitab sezaman yang dibuat-buat oleh Kiai Imad. Syaikh Ibrahim bahkan dengan tegas berkomentar, “Permintaan syarat seperti itu adalah sebuah kebodohan kuadrat. Andai kita terapkan syarat itu dalam ilmu nasab, niscaya akan batal semua nasab yang ada di muka bumi ini.”
Kiai Imaduddin sepertinya sudah kehabisan “jerami” untuk ia gapai ketika perlahan mulai tenggelam dan tak punya pegangan. Padahal, ekspektasi dan harapan pendukungnya kepada beliau begitu tinggi. Bahkan, beliau sampai harus membangun narasi-narasi lain untuk mendukung tesisnya yang—katanya— ilmiah itu tapi ternyata hanya dibangun di atas asumsi dan ilusi (yang satu per satu mulai dimentahkan oleh para penulis kitab-kitab rujukan beliau sendiri).
Tapi, kalian semua para pendukung Kiai Imaduddin tak perlu khawatir. Kiai idola kalian tak akan berubah pendirian. Bukankah beliau dengan teguh (atau lebih tepatnya ngeyel) pernah berkata, “Andaikan ulama sedunia berfatwa, mengisbat karena suatu hal, bahwa Ba‘alawi adalah keturunan Nabi Saw., saya Imaduddin Utsman tidak akan percaya!”
Terakhir, beliau mensyarahi sendiri dawuhnya itu, “Saya ‘kan bilang ‘karena suatu hal’, seperti Syaikh Ali Jum’ah mengisbat Ba‘alawi karena pertemanan beliau dengan Habib Umar bin Hafidz.”
Ya, intinya, siapa pun, ulama mana pun, sealim apa pun, yang mengakui nasab Ba‘alawi (termasuk Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Ibrahim al-Hasyimi, dan terakhir Syaikh Khalil Ibrahim), jangan harap akan diterima Kiai Imad. Mereka pasti akan dianggap sebagai orang yang berfatwa tidak jujur karena “suatu hal” yang bertentangan dengan hati nurani mereka (betapa mulianya hati Kiai Imaduddin sampai berprasangka baik kepada para ulama-ulama itu).
Sekali lagi, belasungkawa sedalam-dalamnya untuk para pendukung Kiai Imad. Kalian tidak salah, kalian hanya mengidolakan sosok yang salah, selamat menikmati tulisan ini.
•    Ismael Amin Khalil, Bangkalan, 9 Agustus 2024

3.    Alih-Alih Memberi Dalil “Syarat Kitab Sezaman” Malah Memberi Pan-
dĹaą ShaþaĴ IĬĴiûhaĨah133
(Jawaban untuk bantahan tulisan Kiai Imad)
Setelah sekian purnama, Kiai Imaduddin akhirnya “keluar” juga dari sarangnya untuk menjawab tulisan saya. Tulisan bantahan itu berjudul:
“Menanggapi Lora Isma’il: Istikharahlah agar Mengetahui Apakah Ba‘alawi Cucu Nabi Muhammad Saw. atau Bukan”
(https://www.nahdlatul-ulum.com/menanggapi-lora-ismail.../   )
Namun, tulisan itu malah semakin membuktikan bahwa syarat kitab sezaman yang digembar-gemborkan selama ini hanya dibangun di atas sebuah asumsi dan ilusi belaka.
Pertanyaan paling penting justru masih belum bisa dijawab oleh beliau sampai detik ini, yaitu “Apakah kitab sezaman adalah syarat mutlak dan satu- satunya untuk mengonfirmasi kebenaran suatu nasab atau adakah ulama pakar nasab di dunia ini yang mewajibkan syarat seperti itu untuk mengisbat atau menganulir sebuah nasab?”
Kiai Imaduddin hanya menuliskan, “Ya jelas, kitab nasab sezaman  atau yang mendekatinya adalah syarat mutlak untuk mengonfirmasi sebuah nasab. Jika tidak, nasab itu adalah nasab Sangkuriang binti Dewi Sumbi.”
Beliau lalu mengutip dua ibarat dari kitab nasab seperti berikut ini. Pertama: ibarat dalam kitab al-Muqaddimât fî ‘Ilm al-Ansâb karya Syaikh
Khalil Ibrahim yang jelas-jelas sudah mementahkan pemahamannya dan mengisbat nasab Ba‘alawi (Kiai Imaduddin tetap berdalil dengan ibarat dalam kitabnya seakan-akan menggurui mushonnif terkait cara memahami kitabnya sendiri).
Hanya potongan ibarat ini saja yang dinukil Kiai Imad, padahal ibarat lengkapnya seperti berikut:

Kedua: ibarat dalam kitab Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb karya Sayid Husain Haidar al-Hasyimi. Kiai Imaduddin menuliskan, “Sayid al-Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitab Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb mengatakan,
 
Cara yang kedua (menetapkan nasab adalah dengan) kitab-kitab para ahli nasab yang abdal.” (Rasâ’il, hlm. 103).
Siapa yang dimaksud dengan kalimat “al-abdal”? Perhatikan ibarat Sayid al-Husain di halaman lain:

“Al-abdal adalah mereka yang saling bergenerasi menggantikan sebagian mereka kepada yang lain” (Rasâ’il, hlm. 193).”
Di situ saya kembali dibuat tertegun, “Kok Kiai sekelas anggota LBM PBNU pemahaman ibaratnya cuma sekelas itu?”
Perhatikan, dalam dua kitab di atas, baik Syaikh Kholil Ibrahim dan Sayid Husain Haidar sama sekali tidak mengatakan bahwa kitab nasab (plus syarat sezaman ciptaan Kiai Imad) adalah syarat mutlak dan satu-satunya dalam mengisbat suatu nasab. Isi kitab-kitab itu hanya menjelaskan bahwa kitab nasab adalah salah satu cara (thuruq) dalam mengonfirmasi sebuah nasab
(catat: “thuruq/        ”, bukan “syurûth”/           ). Jadi, andaikan satu cara itu tidak
bisa digunakan, masih ada banyak cara isbat lain yang para ulama pakar nasab sebutkan, termasuk syuhrah wa al-istifâdhah, syahâdah, pengakuan suatu kabilah, dan cara-cara lainnya.
Dari sini kita bisa memahami kekeliruan memahami thuruq sebagai syurûth (mutlak dan satu-satunya) itulah yang membuat Kiai Imaduddin selama ini mempunyai kesimpulan yang jauh berbeda, bahkan dari para penulis kitab yang beliau jadikan rujukan sendiri.
Ada lima cara isbat nasab yang disebutkan Sayid Husain Haidar al-Hasyimi, penulis kitab Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb yang dijadikan hujah Kiai Imaduddin terkait syarat kitab sezaman itu.

Di antara lima itu sama sekali tidak ada cara bangun malam untuk shalat Istikharah seperti yang diperintahkan Kiai Imad. Uniknya, di bab yang sama, Sayid Husain Haidar juga membahas cara isbat nasab lewat DNA yang selama ini juga digembar-gemborkan Kiai Imaduddin untuk menganulir nasab Ba‘alawi. Beliau menuliskan:

“Cara yang diakui ahli biologi adalah menambahkan tes DNA untuk mengonfirmasi sebuah nasab dan diikuti para ahli nasab. Akan tetapi cara ini (secara pasti tanpa ada khilaf) hanya bisa mengonfirmasi bahwa seseorang bernasab kepada ayahnya atau kakek-kakek terdekatnya. Adapun yang berkaitan dengan nasab-nasab jauh yang lebih dalam dan mengakar, cara ini tidak bisa memastikan. Riset dalam hal ini masih di permulaan jalan sehingga tidak ada teori pasti—sampai detik ini—yang bisa dijadikan acuan.” (Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb, hlm. 107).
Tentu saja bagian ini tak akan pernah “dibacakan” Kiai Imaduddin ke publik sampai kapan pun karena tes DNA adalah “syarat” andalan beliau untuk menganulir nasab Ba‘alawi selain sumber kitab sezaman.
Syarat kitab sezaman memang “sepenting itu” bagi tesis Kiai Imad. Yang pernah membaca tesis beliau (baik yang berbahasa Indonesia atau Arab) pasti akan tahu bahwa hampir 80% isinya terpaku kepada pembahasan ini. Jadi, jika “syarat” ini runtuh karena jelas tak ada dalil dan dasarnya, gugurlah semua argumen-argumen yang beliau bangun selama ini. Sementara ini, saya menyimpulkan bahwa syarat itu sama sekali tidak ada dalam kitab nasab mana pun. Kiai Imaduddin hanya terinspirasi dari 2 ulama Wahabi rujukannya (yang bukan pakar nasab), yaitu Murad Syukri dan Muqbil al-Wadi’i. Bahkan, Abdul Wahab Ahmad juga pernah menyatakan bahwa pola pikir Kiai Imaduddin persis dengan teori tokoh orientalis Joseph Schacht. “Alasan ketiadaan kitab sezaman untuk membatalkan nasab Sâdah Ba‘alawi itu sama persis dengan alasan orientalis seperti Schacht yang menolak seluruh hadis dengan alasan tidak ada manuskrip sezaman. Kalau Schacht menuduh perawi tsiqah hanya melakukan projecting back (memproyeksikan ke belakang) agar terkesan sanadnya bersambung, Imaduddin menuduh para tokoh Ba‘alawi tsiqah hanya melakukan projecting back hingga terkesan nasabnya bersambung. Nalarnya sama persis dan pengikut fanatiknya, sama-sama menelannya mentah-mentah.”
Dalam tulisan bantahannya, Kiai Imaduddin juga tidak berkenan jika pen- dukungnya saya katakan sebagai “muhibbîn”. Beliau menuliskan, “Kata muhibbîn itu berkonotasi negatif, yaitu orang yang berkecenderungan terhadap sesuatu bukan karena dalil melainkan karena suka atau tidak suka. Sementara itu, yang setuju dengan tesis saya kebanyakan adalah orang-orang yang mengikuti karena dalil, bukan karena suka atau tidak suka.”
Oleh karena itu, jika memang benar bahwa pendukungnya adalah para pembaca yang memprioritaskan dalil, bukan karena benci atau suka, saya sangat berharap para pendukung beliau membaca dengan cermat kitab-kitab rujukan Kiai Imaduddin terkait syarat kitab sezaman berikut ini.
Silakan tunjukkan di halaman berapa dan di paragraf mana para ulama pakar nasab mewajibkan kitab sezaman sebagai syarat mutlak dan satu-satunya untuk mengisbat nasab. Saya beri waktu mulai sekarang sampai datangnya hari
kiamat ( ).
Di akhir tulisan, Kiai Imaduddin berpesan kepada saya, “Terakhir, jika memang benar yang berkomunikasi itu Syaikh Khalil  Ibrahim,  Lora  Ismail bisa mengusulkan kepada RA agar Syaikh Khalil Ibrahim, Syaikh Ibrahim bin Manshur, dan Syaikh Mahdi Raja’i agar menjadi wakil RA dalam berdiskusi dengan saya tentang batalnya nasab Ba‘alawi.”
Saya katakan (dan tolong sampaikan nasihat saya ini kepada beliau(, “Begini Kiai, andai Njenengan memang benar-benar ‘âlim-‘allâmah’ yang  terbukti dan diakui kredibilitasnya dalam ilmu nasab, sesama orang Indonesia saya ‘mungkin’ akan bangga ketika Njenengan dengan ‘gagah’ menyatakan siap berdebat dengan tiga ulama pakar nasab internasional itu. Saya tentu juga akan dengan senang hati merekomendasikan nama Njenengan untuk maju ke ring diskusi nasab tingkat internasional. Masalahnya, Njenengan tidak seperti itu. Selain karena ilmu dan pengalaman dalam dunia nasab masih sangat minim, argumen-argumen Njenengan juga banyak bertentangan dengan qawâ‘id para ulama pakar nasab. Pemahaman terkait ibarat-ibarat dalam kitab nasab juga masih berantakan. Membedakan thuruq dengan syurûth saja masih belum bisa. Bagaimana mungkin menantang tiga ulama pakar nasab internasional sekaligus? Bagi saya, Njenengan tak ubahnya klub sepak bola kampung yang merasakan euforia sesaat karena baru saja memenangi turnamen antar-RW lantas dengan percaya diri menantang tanding klub-klub juara Liga Champions, seperti Liverpool, Real Madrid, dan Manchester City. Jadi, tolong becermin. Saya tidak mau Njenengan nantinya malah buat malu nama Kiai Indonesia di kancah nasab internasional. Ada satu pepatah Arab yang perlu direnungi, ‘qif ‘inda haddak, wa illa takun dhiddak’, jangan melebihi batas dirimu jika tidak ingin menjadi bumerang bagi dirimu sendiri.
Sehat-sehat selalu Kiai Imad, selamat bereuforia dan bersenang-senang sejenak. Akan datang suatu hari ketika semua asumsi dan ilusi Njenengan tak akan berguna lagi, kecuali bagi mereka yang hatinya sudah terselimuti rasa sakit hati, benci, iri, dan dengki.
Sekali lagi, untuk seterusnya dan untuk kesekian kalinya, kita memang tidak harus berpikiran sama, tapi mari kita sama-sama berpikir.
•    Ismael Amin Khalil, Surabaya, 13 Agustus, 2024


B.   Meągabaiûaą KþaĬiŠûaĬi NaĬab ĄeąĹĨĹĴ UþaĄa NaĬab
Imaduddin selalu berteriak lantang bahwa nasab Ba‘alawi adalah  nasab batil dan mardûd. Imaduddin tampaknya tidak memahami makna “nasab mardûd” dan “nasab batil” dalam terminologi ilmu nasab. Dalam ilmu nasab, nasab seseorang atau sebuah keluarga terbagi menjadi beberapa tingkatan. Berikut kami tuangkan klasifikasinya dengan terjemahan secara global.
 
“Nasab tidak hanya satu tingkatan, tapi terbagi menjadi beberapa bagian.

Pertama: nasab tsâbit, disebut juga nasab shahîh, yaitu nasab yang telah dipastikan melalui rantai yang sah, yang keasliannya disepakati oleh para ahli nasab yang kredibel.”
    
Kedua, nasab masyhur, nasab yang terkenal dan tersebar luas di kalangan masyarakat, terutama di kalangan suku itu sendiri. Namun, pemilik nasab ini tidak mengetahui bagaimana kebersambungan silsilahnya dengan suku tersebut. Tidak ada alasan bagi mereka mengingkarinya. Hanya saja, mereka tidak mempunyai rantai yang menunjukkan silsilahnya dan tidak ada ‘amûd al-nasab (rangkaian silsilah) yang menunjukkan sebab kebersambungannya.

Ketiga, nasab yang makbul (diterima), nasab yang diisbat orang-orang dari suku yang sama yang merupakan ahli nasab, dan diingkari oleh orang-orang lain dari ĬĹûĹ Ŕaąg ĬaĄa. AąĴaĨa iĬbaĴ daą ąaŠ adaþah ĬaĄa. KedĹaąŔa adaþah dĹa ĥihaû yang bertolak belakang sehingga menjadi diterima karena ada kesetaraan antara Ŕaąg ĄeągiĬbaĴ daą ĄeąaŠûaą.
 
Keempat, nasab mardûd (tertolak). Nasab yang palsu dan dibuat-buat, silsilah yang tak punya sumber. Itu adalah nasab yang dibuat oleh pendusta dan ditempelkan kepada sebuah kaum. Hanya saja, kaum tersebut membatalkannya, mengingkarinya, Ĵidaû ĄeągeĴahĹiąŔa, ĬeĨĴa ĄeąaŠûaąąŔa daĨi ĥČhČą ąaĬab ĄeĨeûa.”

Berdasarkan klasifikasi di atas, Nasab Ba‘alawi jelas masuk kategori nasab sahih sebab memiliki silsilah nasab yang jelas dan disepakati keabsahannya oleh semua nassabah yang membahas nasab Ba‘alawi. Tidak ada satu pun nassabah yang menafikan. Status Ba‘alawi sebagai nasab pun sahih dinyatakan oleh banyak ulama, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I.

Andaipun ada sebuah keluarga yang terkenal (syuhrah dan istifâdhah) dengan sebuah nasab, misalkan Qurasyi (nisbat kepada Quraisy), namun tidak memiliki data  garis  silsilah  yang  terperinci  (‘amûd al-nasab)  kepada  Quraisy, yang seperti itu masih disebut masyhuru al-nasab.
Bahkan,  andai  ada  sebuah  nasab  yang  menjadi  pro-kontra  di  kalangan para nassabah terdahulu, sehingga ada yang menafi    dan ada yang mengisbat, hal itu masih dikategorikan nasab makbul. Hanya saja, di sini sebagian ulama memerinci. Jika para ulama yang mengisbat lebih kuat daripada yang menafi masuk kategori makbul. Sebaliknya, jika yang menafi    lebih kuat daripada yang mengisbat, masuk kategori dha‘îf.135  Dalam al-Kâfî al-Muntakhab fî ‘Ilmi al-Nasab, Dr.  Abdurrahman  bin  Majid  al-Rifa’i  menjelaskan,  baik  masyhur  atau  makbul, bahkan dha‘îf sekalipun, sama-sama termasuk nasab yang diakui secara syariat.136
Adapun nasab yang dinisbahkan kepada sebuah kaum tanpa dasar, bahkan ditolak oleh kaum itu sendiri, inilah yang disebut dengan nasab mardûd (tertolak) alias palsu. Faktanya, nasab Ba‘alawi diakui keturunan Ahmad bin Isa dari selain jalur Ubaidillah. Nasab Ba‘alawi juga diakui keturunan al-Imam Ali al-‘Uraidhi, dzurriyah selain Ba‘alawi. Nasab Ba‘alawi juga diakui para nassabah keturunan Imam Husein r.a. selain Ba‘alawi. Tidak ada satu pun dari mereka yang menafikan. Lalu, bagaimana mungkin Imaduddin berani mengategorikan nasab Ba‘alawi sebagai nasab mardûd (tertolak)? Yang dilakukan Imaduddin ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap klasifikasi nasab. Atau, sebenarnya ia tahu dan paham tapi dengan sengaja mengabaikan hal tersebut.
Jika Imaduddin memahami dan mengakui klasifikasi nasab yang dirumuskan oleh para ulama nasab, ia tidak akan seceroboh itu menolak nasab Bani Alawi. Pembagian nasab ini telah dikaji dan disusun berdasarkan metodologi  yang ketat dan ilmiah oleh para ahli nasab. Pengakuan terhadap klasifikasi ini adalah pengakuan terhadap validitas sejarah dan fakta-fakta yang mendasarinya. Namun,  dengan  menolak  nasab  Bani  Alawi,  Imaduddin  menunjukkan  bahwa ia memilih mengabaikan fakta-fakta ilmiah dan tradisi keilmuan yang telah menjadi sebuah disiplin ilmu.
Sikap ini bukan hanya meremehkan usaha dan dedikasi para ulama nasab dalam menjaga keaslian silsilah keturunan. Hal itu juga menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan umat Islam. Pilihan untuk mengabaikan fakta ilmiah ini dapat memicu kebingungan dan perpecahan, mengingat betapa penting nasab dalam menjaga kehormatan dan integritas sejarah keturunan Nabi Muhammad Saw.

C.    Meremehkan Urgensi Kitab-Kitab di Luar Kitab Nasab
Imaduddin secara tidak langsung meremehkan urgensi kitab-kitab sejarah di luar kitab nasab. Jika melihat buku-buku Imaduddin dari awal, terlihat jelas bahwa Imaduddin hanya menitikberatkan penelitiannya pada kitab-kitab nasab yang ia sebutkan, tanpa menelusuri secara utuh kitab-kitab sejarah dan jejak sejarah di lapangan. Padahal, antara nasab dan sejarah saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
Taju al-Din Ali bin Anjab (593-674 H) dalam Ghuraru al-Muhadharah wa Duraru al-Mukatsarah mengatakan bahwa silsilah nasab tidak dapat berdiri sendirian tanpa ilmu lain sebagai penopang. Ia membutuhkan ilmu lain. Salah satunya ialah sejarah (tarikh):

“Andaikan tidak ada ilmu sejarah (tarikh), orang akan bodoh tentang nasab, kemuliaan akan dilupakan, manusia tidak akan tahu bahwa asalnya dari tanah. Begitu pula tanpa ilmu sejarah (tarikh). Semua dinasti akan punah bersama tokoh-tokoh mereka dan orang pada masa sekarang akan buta tentang para pendahulunya.”137

Sejarawan Yaman yang disebut sebagai “Sejarawan Tepercaya” bernama Bahau al-Din al-Janadi (675-732 H) dalam al-Sulûk fî Thabaqât al-‘Ulamâ’ wa al-Mulûk menyampaikan postulat:

“Ilmu sejarah adalah ilmu yang berguna dan berharga. Ia menyambungkan generasi terdahulu dengan generasi penerusnya, sekaligus membedakan siapa yang mendapat petunjuk dan siapa yang tersesat. Melalui ilmu sejarah, kita mengetahui leluhur kita Nabi Adam dan setelahnya, kendatipun jarak dan waktunya jauh dari kita. Andaikan tanpa ilmu sejarah, nasab tidak akan diketahui, kemuliaan akan tergerus, dan tidak ada yang membedakan antara orang bodoh dan intelektual.”138

 
Dalam al-Madkhal Ilâ’ ‘Ilmi al-Nasab wa Qawâ‘idihi disebutkan:

“Sebuah nasab akan menjadi sangat kuat jika kepopuleran nasab tersebut sejalan dengan pandangan para ulama nasab dan ulama sejarah yang tepercaya dalam nasab ini.”

D.    Menolak Semua Catatan yang Bersumber dari Ba‘alawi
Sepanjang isu pembatalan nasab Sâdah Ba‘alawi, yang selalu kita dengar, Imaduddin menolak kitab apa pun yang di dalamnya ada peran Sâdah Ba‘alawi, baik Ba‘alawi sebagai penulis kitab itu atau sebagai penahkiknya. Kiai Imaduddin selalu mengatakan bahwa kitab yang ditulis atau ditahkik Sâdah Ba‘alawi penuh dengan interpolasi, bahkan tahrîf, sehingga Kiai Imaduddin tidak percaya lagi dengan kitab-kitab tersebut.
Hal ini jelas bertabrakan dengan kaidah ilmu nasab. Sumber paling kuat dalam nasab adalah bila hal itu bersumber dari para nassabah pemilik nasab itu sendiri, jika terjadi pertentangan antarulama dalam kesahihan sebuah nasab. Penolakan kepada kitab dari Sâdah Ba‘alawi merupakan bukti pengingkaran terhadap kaidah ilmu nasab, sekaligus bukti bahwa penelitian Imaduddin tidak memiliki objektivitas karena didasari kebencian. Dalam salah satu kaidah nasab disebutkan:

Sebagai contoh, al-Nassabah Abu ‘Abdillah Muhammad al-Thalib al-Maradisi al-Fasi (w. 1273 H)141 dalam al-Isyraf ‘Alâ’ Ba‘dhi Man Bi Faas min Masyahiri al- Asyrâf, tatkala mengutip nasab a-Imam Abdullah al-‘Aidrus al-Akbar dari kitab Bahjatu al-Mafakhir yang ditulis non-Ba‘alawi, beliau mengoreksi data silsilah nasab al-Idrus yang dikutip dari kitab tersebut dengan data yang ada di kitab

Ghâyah al-Qashdi wa al-Murâd yang ditulis ulama Ba‘alawi. Beliau kemudian mengatakan bahwa yang benar dan wajib dijadikan pegangan adalah data yang dimuat ulama Ba‘alawi sendiri sebab mereka yang lebih mengerti secara detail nasab mereka, seperti kata peribahasa bahwa penduduk Makkah lebih mengerti seluk-beluk jalan yang ada di Makkah. Berikut ini redaksinya:   

E.    Tidak Mengerti Metode Tarjîh daþaĄ IþĄĹ NaĬab
Imaduddin mengunggulkan kitab al-Syajaratu al-Mubârakah sebagai rujukan utama meskipun penulisnya bukan berasal dari Hadramaut. Mengagungkan kitab ini—dengan mengesampingkan catatan ulama Hadramaut yang lebih akurat dan tepercaya—sangat bisa dianggap sebagai kekeliruan metodologis. Ulama Hadramaut memiliki kedekatan langsung dengan objek kajian dan lingkungan sosial yang terkait dengan nasab Bani Alawi sehingga catatan mereka secara alami lebih detail dan kredibel.

Dalam ilmu nasab, referensi yang berasal dari penduduk asli memiliki keunggulan tersendiri karena mereka hidup dan berinteraksi langsung dengan keturunan yang sedang dikaji. Mengabaikan catatan ulama setempat dan lebih mengandalkan karya ulama luar yang mungkin tidak memiliki akses langsung ke sumber-sumber primer dapat menimbulkan kesalahan dalam penilaian dan pengesahan nasab. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Kâfî al-Muntakhab sebagai berikut:

F.    MeĄeþiąĴiĨ KČąĬeĥ Syuhrah dan Istifâdhah
Syuhrah dan istifâdhah sebuah nasab merupakan salah satu cara terkuat dalam menetapkan sebuah nasab. Sebagaimana telah kami jelaskan di Bab I, para ulama menyebutkan bahwa nasab Sâdah Ba‘alawi merupakan nasab yang sudah memenuhi kriteria syuhrah (populer) dan itsifâdhah (menyebar luas). Sayangnya, Imaduddin tidak terima hal tersebut dan memelintir konsep syuhrah dan istifâdhah demi menyesuaikan dengan pemikirannya. Berikut berbagai penyimpangan Imaduddin terkait konsep syuhrah dan istifâdhah.

1).    Masih Menagih Sumber Sezaman meskipun Ada Syuhrah dan Istifâdhah Semakin  terlihat  betapa  Imaduddin  sangat  tidak  memahami  ilmu nasab.  Selain  menolak  teori  nasab  yang  sudah  melebihi  cukup  untuk mengonfirmasi kesahihan nasab Bani Alawi, termasuk kesalahan yang fatal adalah masih menuntut referensi sezaman pada nasab yang sudah syuhrah.

Imaduddin menyatakan,144 “Penulis (Imad) telah sampaikan pendapat  para ulama bahwa “syuhrah wa al-istifâdhah” tidak dapat digunakan jika  bertentangan dengan sumber-sumber sezaman. Sumber sezaman, dengan nama-nama nasab Ba‘alawi dari abad kelima sampai sembilan tidak menyebut nama-nama itu sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. Bahkan, nama- ąaĄa iĴĹ Ĭebagiaą haąŔa ŠûĴif beþaûa.”
Pertama, Imaduddin memelintir seolah sumber-sumber sezaman menunjukkan data yang bertentangan dengan syuhrah istifâdhah nasab Ba‘alawi, padahal tidak ada satu pun sumber sezaman dan seterusnya yang menafikan Ba‘alawi. Beberapa kitab yang tidak menyebutkan Ubaidillah bin Ahmad sama sekali bukan berarti menafikan.
Kedua, dalam ilmu nasab, syuhrah (kepopuleran) justru  membuat satu nasab diterima sebagai nasab yang valid meskipun ada nama dalam rangkaian silsilah tersebut yang tidak disebutkan dalam kitab mana pun. Nasab yang seperti itu disebut masyhûrun al-nasab (nasab yang terkenal), dan itu bersumber dari hadis Rasulullah Saw. sebagaimana telah kita jelaskan saat menguraikan konsep syuhrah dan istifâdhah di Bab I dan saat menjelaskan klasifikasi nasab dalam ilmu nasab. Hal ini karena syuhrah adalah satu metode penetapan nasab yang mujma‘ ‘alaih, sesuai dengan penjelasan al-Nassabah Ibrahim bin Manshur, ahli teori  nasab  yang kitabnya sering dirujuk oleh Imaduddin dalam berbagai tulisannya:

Penggunaan syuhrah  dan  istifâdhah sebagai  salah  satu  mekanisme penetapan nasab didasarkan pada sebuah hadis yang mengisahkan Rasulullah Saw. mengakui kaum Abdu al-Qais sebagai keturunan Rabi’ah al-Adnaniyah. Ibn Abbas r.a. berkata, “Pada saat delegasi Abdu al-Qais sowan menghadap Nabi Muhammad Saw., beliau bertanya, kaum siapa ini? Mereka menjawab, Rabi’ah. Lantas, Nabi Saw. bersabda, selamat datang kaum keturunan Rab’iah.” (HR Bukhari-Muslim)
Pakar nasab menilai hadis ini sebagai dalil paling sharîh bahwa nasab dapat ditetapkan dengan metode syuhrah dan istifâdhah. Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan oleh pakar nasab.146
1.    Nabi Muhammad Saw. tidak sezaman dengan Rabi’ah. Jarak kelahiran antarkeduanya 500 tahun lebih.
2.    Arab pada masa Jahiliah dikenal sebagai bangsa yang tidak mencatat nasab mereka ke dalam catatan tertentu. Mereka menerima silsilah nasabnya dari informasi, perbincangan, cerita, dan kabar populer yang bersumber dari orangtua, keluarga, kakek-nenek, masyarakat sekitar, dan internal kaum secara turun-temurun (tasâmu’). Mereka menjaga nasab tersebut dengan cara menghafal dan menjelaskan kepada generasi berikutnya.
3.    Saat mengakui Abdu al-Qais sebagai keturunan Rabi’ah, Rasulullah Saw. cukup berpijak dengan kabar yang sudah tersebar luas di kalangan bangsa Arab jika Abdu al-Qais adalah keturunan Rabi’ah. Beliau tidak menanyakan atau memerintahkan untuk mengecek informasi lebih lanjut terkait data terperinci catatan nasab mereka.

Perhatikan keterangan pakar nasab di atas dan coba bandingkan de- ngan nalar berpikir Imaduddin Utsman. Logikanya akan semakin terlihat lemah dan cacat tatkala mewajibkan syuhrah dan istifâdhah harus didasar-kan pada data fisik sebuah catatan atau kitab sezaman atau yang mendekati. Jika metodologi Imaduddin ini dipaksakan, tentu Rasulullah Saw.  tidak akan mengakui Abdu al-Qais sebagai klan keturunan Rabi’ah sebab betapa minim catatan nasab tertulis pada era Jahiliah. Faktanya, Nabi Muhammad Saw. menetapkan nasab tersebut!

2). Syuhrah Nasab Ba‘Alawi Dituduh Hadîtsah dan Tidak Sah, Sama dengan Syuhrah Thabariyah
Salah satu fitnah yang Imaduddin lontarkan dan menjadi dalil mereka menolak keabsahan nasab Ba‘alawi adalah menganalogikan nasab Ba‘alawi dengan nasab Thabariyah. Klan Thabariyyin ini dianggap sebagai nasab yang syuhrah-nya hadîtsah (baru diciptakan) alias bukan nasab yang genuine, hanya klaim dusta dari kalangan klan mereka belaka. Bagi Imad, nasab Ba‘alawi sama dengan nasab Thabariyah, tidak bisa dinyatakan tersambung dengan alasan syuhrah dan istifâdhah karena syuhrah (popularitas) tersebut hadîtsah (hal yang baru). Kesimpulan ini adalah hasil cocokologi Imaduddin dari telaahnya terhadap kitab al-Ifâdhah karya Syaikh Ibrahim bin Manshur al-Amir yang menjelaskan bahwa syuhrah keluarga Thabariyyah hadîtsah.
Penyamaan ini jelas keliru dan merupakan qiyas ma‘al fariq/analogi yang tidak sebanding yang tidak diterima karena beberapa alasan berikut.

1.    Ada nash dari ulama bahwa penisbahan keluarga al-Thabariyyah kepada Sayidina Husain r.a. adalah hal yang baru (hadîts) dan belum ada sebelumnya. Ibrahim bin Manshur mengutip nash-nash sharîh dari pakar sejarah yang menerangkan hal tersebut, seperti al-Muarrikh Jarullah bin Fahd al-Qurasyi al-Makki (w. 954 H).

Kemudian, al-Muarrikh Umar bin Muhammad bin Fahd al-Qurasyi al- Makki (w. 954 H) juga menegaskan kemasyhuran  nasab  Thabariyah dari jalur al-Husaini al-Alawi yang baru muncul di periode akhir. Pasalnya, waktu beliau menulis nasab sang guru, yakni Syaikh Abdul Hadi al-Thabari, yang dikutip dari biografi orangtua dan kakek-kakek- nya, nasabnya hanya sampai pada Muhammad bin Ibrahim. Berikut penjelasannya:

Saat beliau melihat rilis tulisan al-Radhi Muhammad bin al-Muhib, ada tambahan jalur nasab sampai ke Sayidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Hal ini berbanding terbalik dengan Sâdah Ba‘alawi. Sepanjang sejarah, semua ulama yang mengutip nasab Ba‘alawi, atau yang menyebutkan salah satu tokohnya, tidak ada satu pun yang mempermasalahkan syuhrah Sâdah Ba‘alawi, apalagi menafikannya. Justru keterangan yang memverifikasi kepopuleran Ba‘alawi sebagaimana telah diuraikan pada Bab I sangat banyak.

2.    Nasab al-Thabariyyah yang diklaim sebagai al-Husaini disambungkan melalui jalur Abdu al-Wahid bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Padahal, sangat jelas bahwa Sayidina Husein al-Sibth tidak punya anak yang bernama Abdu al-Wahid. Bukan hanya itu, ulama juga sepakat (ijmak) bahwa keturunan Sayidina Husein al-Sibth hanya dari jalur Sayidina Ali (al-Ashghar) Zainal Abidin. Semua keturunan Sayidina Husein al-Sibth di atas muka bumi pasti dari keturunan Ali Zainal Abidin bin Husein. Hal ini sebagaimana dijelaskan an-Nassabah Abu Nashr al-Bukhari (hidup tahun 341 H) dan Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H). Pantas kalau Ibrahim bin Manshur menyatakan bahwa syuhrah Thabariyyah sebagai al-Husaini adalah baru, bahkan palsu. Berikut uraian dari Ibrahim bin Manshur dalam al-Ifâdhah beserta kutipannya.

Dari data dan fakta di atas, ‘amûdu al-nasab Thabariyah sudah ber- masalah dari pangkalnya sehingga tidak salah jika kepopuleran nasab- nya dinilai hadîtsah. Hal ini jelas berbeda dengan kepopuleran nasab Ba‘alawi, yang pangkalnya jelas, yaitu Sayidina Ali Zainal Abidin yang disepakati sebagai anak dari Sayidina Husain r.a. Kebersambungan nasab Ba‘alawi kepada Ali Zainal Abidin ini pun mendapatkan peng- akuan dari para ulama.

3.    Ibrahim bin Manshur menjelaskan tidak terdapat tulisan “Sayid Ahmad” atau “Syari Ahmad” pada temuan-temuan nisan dan prasasti milik tokoh- tokoh klan Thabariyyîn yang berada di Makkah, yang mengindikasikan mereka berasal dari keturunan Husain.

Hal ini jelas berbeda dengan nasab Ba‘alawi. Kuburan-kuburan dan nisan-nisan para habib Ba‘alawi di Hadramaut lengkap dan ada tulisan sayid atau sâdah dan al-Husaini. Bahkan, lengkap pula dengan pe- nyebutan nasabnya yang menjelaskan mereka keturunan Sayidina Husain bin Abi Thalib.

4.    Ibrahim bin Manshur menjelaskan bahwa banyak ulama dalam bidang nasab, ketika menyebut Syaikh atau guru mereka atau tokoh ulama secara umum dari klan Thabariyyin, tidak menyebutkan mereka se- bagai sâdah atau ahli bait. Imam al-Dzahabi menulis biografi dari beberapa Syaikh beliau dari kalangan Thabariyah Makkiyah, namun tidak menyebutkan mereka sebagai Husainiyyun. Begitu pula ahli nasab bin Fahd al-Makki dan Taqiyuddin al-Fasi. Padahal, yang terakhir ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan keluarga Thabariyyin di Makkah karena ibunda dan saudara persusuan beliau berasal dari klan Thabariyyin. Namun, beliau tidak pernah menyebutkan mereka sebagai keturunan Rasulullah Saw.:

Hal ini berbeda terbalik dengan nasab Ba‘alawi. Hampir setiap ulama yang menyebut tokoh dari kalangan mereka selalu menyebutkan gelar sâdah dan menisbahkan sebagai keturunan Husain, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I.

Yang lebih menggelikan, Imaduddin menganalogikan nasab Ba‘alawi dengan nasab Thabariyyin berdasarkan kitab al-Ifâdhah karangan Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi yang dikutip di atas. Padahal, beliau sendiri mengisbat nasab Ba‘alawi dan mengakui keabsahan syuhrah Ba‘alawi, serta tidak menyebutkan sebagai syuhrah hadîtsah, sebagaimana telah kami kutip dalam akhir Pasal 3 dari Bab I. Bahkan, beliau menegaskan dalam beberapa kitabnya bahwa di antara fungsi metode syuhrah wa istifâdhah adalah untuk mengonfirmasi nama seseorang yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab sejarah, biografi, atau nasab.

Jika mengikuti logika Syaikh Ibrahim bin Manshur di atas, meskipun nama Ubaidillah baru disebutkan dalam kitab-kitab nasab abad ke-7 Hijriah atau 400 tahun setelah hidupnya (seperti klaim Imaduddin dkk.), karena nasab beliau dan keluarga beliau sudah dikenal dan diterima secara luas (syuhrah) sejak awal, itu sudah cukup untuk menetapkan nasab Ba‘alawi tersebut.

Dari keterangan-keterangan di atas, jelas bahwa klaim Imaduddin yang menyamakan antara nasab Ba‘alawi dan nasab Thabariyyin adalah analogi yang salah karena perbedaan yang mencolok antarkeduanya, qiyas ma‘al fariq! Yang dilakukan Imaduddin tidak lebih sekadar mencocok-cocokkan berdasarkan takalluf (maksa) dan subjektivitas yang didasari motif “pokoknya nasab Ba‘alawi harus batal”.

3).    Menuduh  Penetapan  Nasab  dengan  Syuhrah  dan  Istifâdhah  Hanya Berlaku untuk Nasab Dekat
Dalam artikel bantahan kepada Buya Yahya dan K.H. Najih Maimoen, Imaduddin Utsman menyatakan bahwa mereka keliru dalam syuhrah dan istifâdhah ini. Imaduddin mengatakan bahwa penetapan nasab dengan syuhrah dan istifâdhah hanya berlaku khusus untuk nasab anak ke ayahnya secara langsung atau nasab jarak dekat. Imaduddin meminta Buya Yahya membaca lagi dengan teliti. Padahal, dalam hal ini Buya Yahya dan K.H. Najih sudah benar. Justru Imaduddin yang perlu membaca lagi dengan teliti.
Al-Imam al-Mawardi dalam al-Hâwî dan al-Imam Khathib al-Syarbini dalam Mughnî al-Muhtâj menegaskan bahwa metode ini bukan hanya berlaku untuk kemasyhuran penisbahan seorang anak secara langsung ke bapak. Metode ini juga berlaku untuk penetapan nasab kepada sebuah kabilah dan kakek-kakeknya pada zaman yang telah lampau, sebagaimana keduanya menjelaskan dalam kitabnya sebagai berikut.

4).  Syuhrah Nasab Ba‘Alawi Terbantah (Tsabata Ma Yukhalifuhu)?
Imaduddin Utsman sering mengeklaim Ba‘alawi sebagai nasab yang keabsahannya mengalami hambatan tsubutu al-mukhalif wa al-mu’aridh (adanya data dan fakta yang membantah). Ia pun menilainya sebagai nasab yang munqathi‘ (terputus). Imaduddin mendasarkan klaimnya itu pada keterangan al-Ruyani dalam Bahru al-Madzhab dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam al-Jawâb al-Jalîl. Di situ tertulis bahwa ketetapan nasab dengan syuhrah wa istifâdhah dapat dianulir ketika terbukti ada mukhalif atau mu’aridh. Berikut kutipannya:

“Imam  al-Ruyani  menyebutkan  dalam  Bahru  al-Madzhab  pendapat Imam Syafi‘i tentang syarat-syarat syuhrah wa istifâdhah, sebagai berikut.
 
Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata:.

Demikian yang tertera dalam buku Imaduddin yang berjudul Terputus­
nya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad Saw., him. 38-39.
Sekarang, mari kita uji kebenaran klaim tersebut secara ilmiah.
Pertama, seperti apa nash lengkap al-Ruyani dalam kitab Bahru al­ Madzhab?
Kedua, benarkah pemahamannya sebagaimana tashawwur Imaduddin Utsman?
Setelah dianalisis, pembahasannya tidak spesifik tentang nasab, tetapi bermula dari permasalahan syah<ldah. Al-Ruyani sendiri adalah salah satu dari sekian banyak ulama Syafi'iyah yang mengutip pendapat Imam Syafi'i. Ada pula Ibnu Rif ah dalam Kif<lyah al-Nabih yang redaksi kutipannya sama dengan al-Ruyani;

Perhatikan nash Imam Syafi'i yang digarisbawahi. Khabar syaa'i' (kabar menyeluruh) mendapatkan relevansinya sebagai dasar syah<idah jika memenuhi  beberapa  syarat seperti berikut .
1.    Tersiar dalam masa yang lama.
2.    Yang mengabarkan adalah orang tepercaya ('adad al-taw<itur) dengan bilangan banyak yang tidak dimungkinkan berbohong.
3.    Saat kabar tersiar, tidak ada penolakan atau penyelisihan .
4.    Tidak terdapat indikasi mencurigakan .

Kemudian, Imam Syafi'i menambahkan, jika  khabar syar 'i digunakan sebagai dasar persaksian nasab, atau yang lebih dikenal dengan istilah syuhrah  waistif<idhah,  syarat-syaratnya  sebagai  berikut .
1.    Tersiar dalam waktu yang lama.
2.    Nasab tersebut ternisbah pada orang atau kabilah tertentu .
3.    Orang lain/masyarakat ikut serta menetapkan nasab tersebut.
4.    Tidak pernah terdengar penolakan  atau perselisihan .
5.    Tidak ada indikasi mencurigakan .

Terkait pembawa khabar syaa'i , ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Menurut Imam Abu Hamid dan sekelompok jamaah ulama, cukup dengan dua orang yang adil. Sementara itu, menurut al-Mawardi dan al­ Ghazali, yang mengabarkan harus bilangan orang banyak yang sekira tidak dimungkinkan  berbohong.

Kemudian, untuk penjelasan syarat "tidak ada penolakan atau penye­ lisihan", Imam al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin dan juga Imam al­ Rafi'i dalam al-'Aziz Syarh_ al-Wajiz menjelaskan bahwa tsubut al-mukhalif wa al-mu'aridh itu digambarkan pada sebuah kasus yang di sana mansub ilaih (orangyang dinisbahkan pada nasab tertentu) mengingkari penisbahan nasab yang diarahkan kepadanya, atau ketika masyarakat membantah khabar syaa'i tersebut. Jika nasab mengalami hambatan-hambatan seperti ini, fikih Islam menyatakan nasab tersebut batal. Perhatikan ibarat di bawah ini.

Perhatikan juga ibarat al-Baghawi dalam al-Tahdzib fi Fiqhi al-Syafi'i :

Adapun contoh adanya indikasi mencurigakan terhadap nasab itu, seperti tersiar kabar "keluarga ini nasabnya sahih, akan tetapi ada sebagian cabang keluarga yang bukan berasal darinya", berikut pernyataan Ibrahim bin Manshur :

Beliau menambahkan beberapa hal yang dapat membatalkan nasab, seperti tersiar kabar di khalayak umum bahwa Fulan  bukan  keturunan Bani Hasyim . Dengan itu, Fulan tidak bisa menisbahkan nasabnya kepada Bani Hasyim kecuali ia mendatangkan bayyinah/ saksi. Pendapat ini senada dengan pernyataan al-Wasyali, pakar nasab dan sejarawan :

Pengakuan nasab seseorang juga bisa dibatalkan dengan adanya penolakan dari pihak keluarga, kabilah, atau klan yang diaku-akui. Contoh lain, masyarakat bimbang terhadap nasab seseorang, apakah dari kabilah A atau kabilah B, atau ketika masyarakat tidak ada yang tahu asal-usul nasabnya dari mana. Berikut pernyataan Ibrahim bin Manshur.

Nah, semua kasus yang kami sebutkan itu adalah tafsiran dan contoh konkret dari mu'aridh, munazi' , muk halif, dalalah raibah, yang semuanya itu dapat menggagalkan keabsahan sebuah nasab, yang termaktub dalam kutub al-fuqaha, termasuk Bahru al-M adzhab al-Ruyani dan al-Jawab al­ Jalil lbnu Hajar al-'Asqalani. Lantas, apakah nasab Ba'alawi mengalami tantangan  seperti ini? Jelas tidak!
Pemahaman atas ibarat Ibnu Hajar al-'Asqalani dalam al-Jawab  al­ Jalil tidak jauh beda dari keterangan al-Rafi'i dan al-Nawawi . Intinya, pembatalan nasab  yang telah  ditetapkan  dengan  syuhrah  wa istifad hah itu bisa dilakukan jika ditemukan nash muk halif yang terbukti secara empiris. Hal itu karena apa yang diterangkan oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani sebenarnya  hanya  sebuah  jawaban   dari  pertanyaan   tentang  persaksian sebagian kabilah Tamim terhadap sebagian lainnya, dapat dibenarkan atau tidak? Beliau menjawab: dapat dibenarkan . Berikut teks lengkapnya .

Bahkan, kitabyangseringmenjadi rujukan Imaduddin dalam pembatalan nasab Ba'alawi terkait masalah syuhrah dan istifcidhah, yakni al-Ifcidhah fi AdiU ati Tsubuti al-Nasab wa Nafyuhu bi al-Syuhrah wa al-I stifcidhah karya Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, ternyata menerangkan secara
detail pembahasan tentang hal-hal yang dapat menganulir peran syuhrah wa aHstifcidhah dalam nasab, serta disebutkan pula contoh-contohnya . Sayangnya, keterangan-keterangan penting seperti ini tidak ditampilkan oleh Imaduddin . Kewajiban menjaga amanah ilmiah yang sering digembar­ gemborkan olehnya ternyata dilanggar sendiri, inkonsisten! InnciliUcihi wa innci ilaihi rciji 'un. Mengapa Imaduddin hanya mengutip poin-poin yang sesuai dengan hawa nafsunya, seperti mengutip kasus Thabariyah yang diklaim sama kasusnya dengan Ba'alawi, padahal antara keduanya jelas qiyas ma'a al-fariq?
Selanjutnya, Ibrahim bin Manshur menegaskan bahwa syuhrah wa istifcidhah hanya bisa dianulir jika dibatalkan dari para ulama pakar nasab yang kredibel dan berintegritas . Kritik yang sampai pada taraf qadih (membuat cacat) terhadap nasab itu apabila dilakukan oleh:

1.    Ulama (pakar nasab),
2.    Kredibel dan kapabel dalam ilmu nasab,
3.    Keagamaannya baik,
4.    Objektif,
5.    Berintegritas,
6.    Tidak fanatik terhadap pendapat pribadi,
7.    Tidak bertujuan diskriminasi,
8.    Latar belakang pembatalan nasab murni didasari amanah ilmiah, bukan dorongan hawa nafsu, kesombongan, apalagi sentimen politik maupun nonpolitik,
9.    Memaparkan  alasan  dan  argumentasi  yang  dapat  dipertanggung­ jawabkan secara syariat, dan
10.    Tidak menyelisihi konsensus ulama.

"Tidak ada yang bisa membatalkan syuhrah wa istifcidhah kecuali kritikan dari pakar nasab kredibel yang dilengkapi dengan  penjelasan sebab dan bukti yang konkret. Kritikan itu bersih dari tujuan diskriminasi, fanatik pada pendapat pribadi, dorongan hawa nafsu, dan dilakukan oleh mereka yang benar-benar pakar dalam bidang ilmu nasab, dan tidak melawan konsensus ulama. Syarat-syarat menjadi penting karena tidak semua kritikan sampai ke taraf qadih (mencacat)." (Al-Ifcidhah, him. 75)

"Adapun jarh_ (pencacatan) yang tertolak dalam nasab adalah jarh_ yang muncul tanpa dalil dan tafsir. Bisa pula karena ketidaktahuan atau karena perselisihan materi, keilmuan, akidah, dan politik. Jarh yang seperti ini tidak dianggap. Jika semua jarh diambil tanpa penjelasan, tidak ada nasab yang selamat. Sebagaimana diketahui, orang kerap terburu-buru dalam membatalkan nasab."

Contoh pertama seperti tindakan pembatalan nasab yang  dilakukan oleh al-Hafidz al-Naqid al-Nassabah Syamsu al-Din al-Dzahabi (w. 748 H) terhadap penisbahan nasab al-'Allamah ibn Dihyah al-Andalusi (w. 633 H) kepada sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi r.a. Dalam pembatalannya, al­ Dzahabi mengajukan beberapa dalil berikut ini.
1.    Keturunan sahabat Dihyah al-Kalbi sudah inqiradh (habis).
2.    Dalam silsilah nasabnya terdapat nama-nama bangsa Barbar.
3.    Mustahil antara lbnu Dihyah dan sahabat Dihyah al-Kalbi hanya dipisah 10 orang. Padahal jika dihitung, harusnya 16 orang.
4.    Orang yang bertempat tinggal di daerahnya, Kalba/Kalfa (antara memakai ba dan fa) daerah pesisir Daniyah, boleh menisbahkan dirinya dengan sebutan al-Kalbi.
5.    Tidak terdengar syuhrah wa al-istifcidhah jika dia bermarga al-Kalbi.

Berikut teks dalam kitab Mbin aH'tidciL

Contoh kedua seperti pembatalan  nasab yang dilakukan Ibn Hajar al­ 'Asqalani terhadap Syaikh Abu Bakar al-Qimmani (w. 852 H) yang mengaku sebagai keturunan sahabat Zaid bin Tsabit al-Anshari. Beliau menjelaskan tiga keganjilan terkait nasab al-Qimmani.
1.    'Amudu  al-nasab  murak kab  muftaro  (dibuat-buat).
2.    Zaid bin Tsabit tidak memiliki anak yang bernama Malik.
3.    Memberi lakab kepada Abdurrahman bin salim dengan sebutan Dhiya' al-Din, padahal waktu itu belum ada alam laqab yang disandarkan pada lafadz al-Din.


Berikut dawuh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Inba' al-Ghumar bi Abnai al-'Umar:

Ibrahim bin Manshur mengomentari kalam Ibnu Hajar dengan menambahkan satu alasan lagi, yaitu tidak ditemukan syuhrah shahihah terkait al-Qimmani masih keturunan al-Anshari. Oleh karena itu,  Ibnu Hajar menegaskan bahwa nasab boleh ditetapkan lewat jalur istifcidhah dengan catatan tidak ada kritik dari pakar nasab yang kredibel.
Sekali lagi, mari kita uji kajian ilmiah Imaduddin . Ia menuduh nasab Ba'alawi terputus sebab Ubaidillah terkonfirmasi bukan anak Ahmad bin Isa karena namanya barn muncul pada abad ke-9 . Sejak abad ke-5 hingga abad ke-8 nama tersebut tidak ada dalam kitab-kitab nasab (yang ia tahu). Atas dasar inilah ia menganggap kekosongan nama Ubaidillah selama ratusan tahun sebagai muk halif , mu'aridh, munazi', dan indikasi mencurigakan terhadap keabsahan nasab Ba'alawi.
Coba perhatikan dengan saksama kutipan-kutipan kitab nasab dalam buku Imaduddin, baik yang berjudul Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia maupun yang berjudul Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad Saw. (penyempurna dari buku Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia), yang dia anggap sebagai dalil qawiy, burhan jali , atau bahkan hujjah qathi'ah atas keterputusan nasab Ba'alawi. Apakah keterangan tersebut sah dijadikan sebagai muk halif-mu'aridh? Adakah redaksi yang secara sharih. (eksplisit) mengarah pada ibthaljnafiy nasab? Ataukah ada kesamaan narasi antara keterangan tersebut dan dawuh Imam al-Dzahabi dan al-'Asqalani ketika membatalkan nasab? Berikut ini kutipan lengkapnya .

1.    Al-'Ubaidili (w. 437 H) dalam Tahdzibu al-Ansab wa Nihayah al-Alqab, him. 176-177;

2.    Ali bin Muhammad al-'Umari (w. 490 H) dalam al-Majdi fi Ansabi al­ Thalibin, him. 337:

3.    Abu Isma'il  Ibrahim bin Nashir bin Thaba Thaba (w. 400 H) dalam Muntaqilah al-Thalibiyah, him. 160:

4.    Al-Fakhru al-Razi (w. 604 H) dalam kitab al-Syajarah al-Mubarakah,
him . 111:

5.    Isma'il bin Husain al-Marwazi (w. 614 H) dalam al-Fak hri fi Ans<ibi al­ Th<ilibin, him. 30:

6.    Muhammad bin al-Thaqthaqi al-Hasani (w. 709 H) dalam al-Ashili fi
Ans<ibi al-Th<ilibin, him. 212:


7.    Ibn 'Anbah (w. 828 H) dalam 'Umdah al-Th<ilib fi Ans<ibi 'Ali Abi Th<ilib,
him. 225:

8.    Pernyataan  Ibnu  al-A'raj al-Husaini  (w. 787 H) dalam al-Tsabat al­ Mushan, him. 83-84;

Imaduddin mengutip referensi dari delapan ulama yang  tidak menyebut Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa, yaitu al-'Ubaidili (w. 437 H), al-'Umari (w. 490 H), Ibnu Thaba Thaba (w. 400 H), al-Razi (w. 604 H), al-Marwazi (w. 614 H), al-Thaqthaqi (w. 709 H), Ibnu 'Anbah (w. 828 H), dan Ibnu A'raj (w. 787 H).
Padahal, dari redaksi yang digunakan oleh ulama-ulama di atas tidak ada satu pun yang menafikan. Tidak pula bisa disimpulkan demikian hanya karena mereka tidak menyebutkan Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa. Selain itu, jika dibandingkan secara kuantitas, ulama-ulama yang mengakui keabsahan nasab Ba'alawi dalam kitab-kitab mereka berjumlah puluhan, bahkan ratusan, sehingga informasi yang berbeda dengan ams utama jelas menjadi lemah dan tidak representatif .
Menurut Imaduddin, ulama diam terhadap nama Ubaidillah menunjukkan bahwa mereka menafikannya . Padahal, ini jelas keliru dan tidak sesuai ilmu nasab.

Orang yang berakal pasti bisa membedakan mana redaksi yang berkategori nafiy (penafian)/ibthal (pembatalan) dan mana yang bukan . Dari delapan kutipan di atas tidak ada satu pun yang menafikan Ubaidillah sebagai Ahmad bin Isa atau membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Dari sini pembaca akan bisa menyimpulkan bahwa tuduhan Imaduddin terkait tsubut al-muk halif wa al-mu'aridh dalam nasab Ba'alawi adalah tuduhan ngawur dan tidak berdasar . WaUahu a'lam.

KESIMPULAN

1.    Tidak ada satu pun ulama yang menafikan dan men-tha'nu nasab Ba'alawi. Adapun yang tidak menyebutkan sama sekali tidak berarti apa-apa. Tidak menyebutkan tidak berarti menafikan atau mengisbat . Hal ini menunjukkan tidak adanya mukhalif (informasi sebaliknya ) atau daft' (penolakan) terhadap syuhrah nasab Ba'alawi.
2.    Sebaliknya, sangat banyak ulama besar yang mengisbat nasab Ba'alawi dan menjadi saksi atas kepopuleran (syuhrah) atas keabsahan nasab mereka sebagaimana telah kami uraikan di Bab I. Bahkan, para ulama Hadramaut dan Yaman tempat Ba'alawi berdomisili secara turun-temurun selama 1.000 tahun semenjak zaman Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sampai saat ini, tidak ada yang men-tha'nu dan menafikan nasab Ba'alawi. Sampai-sampai, ulama besar seperti al-Muhibbi dan al-Nabhani memandang bahwa kesepakatan ulama yang membahas keabsahan nasab Ba'alawi adalah sebuah ijmak akan keabsahan nasab tersebut . Hal ini menunjukkan bahwa di mata para ulama besar syuhrah nasab Ba'alawi dari awal memang sudah ada dan sudah memenuhi kriteria syariat serta tidak ada muk halif (keterangan sebaliknya) dan daft' (penolakan) yang otoritatif . Buktinya nasab Ba'alawi sampai kepada para ulama tersebut, bahkan mereka mencatat dan memverifikasinya . Jika mereka menemukan muk halif/ daft'jdaliilah raibah, kewajiban mereka mengkritiknya, seperti apa yang kami contohkan di atas. Dengan demikian, pengakuan dari para ulama besar tersebut merupakan verifikasi bahwa syuhrah dan istifiid hah nasab Ba'alawi sebagai dzurriyah Nabi Saw. sudah benar dan nasab mereka sudah sah menurut standar ilmu syariat.
3.    Hanya Imaduddin yang  memaksakan  ada  muk halif  terhadap  syuhrah dan istifiidhah nasab Ba'alawi . Apa yang dipahami Imaduddin ini  tidak pernah menjadi pemahaman satu pun dari ulama sebelumnya . Ini berarti keberadaan muk halif hanya "diada-adakan" dalam standar Imad, bukan standar para ulama, alias syiidz. Lucunya, Imaduddin menganggap hanya dirinya yang benar, selainnya salah. Bahkan, Imaduddin selalu mengatakan bahwa orang yang menyatakan nasab Ba'alawi memenuhi kriteria syuhrah dan istifcidhah tidak memahami fikih! Konsekuensinya, hanya Imaduddin yang paham fikih, sementara semua ulama di atas tidak paham? Luar biasa.

G.    Mengubah  Spirit Ilmu Nasab
Tujuan utama mempelajari nasab adalah mengetahui ketersambungan nasab sehingga menjadi jalan menyambung tali silaturrahim . Hal itu diutarakan langsung oleh Rasulullah Saw. dalam hadis riwayat al-Turmudzi.

"Pelajarilah dari nasab kalian sesuatu yang membuat kalian bisa menyambung tali silaturrahim kalian ."

Bahkan, dalam konteks fikih Islam, konsep nasab terbangun di atas prinsip keluasan di dalam mengisbat (menetapkan nasab) selama ada dalil yang dibenarkan syariat dan kehati-hatian dalam menafikan (membatalkan nasab), sehingga tidak menafikan kecuali dengan dalil terkuat. Hal ini diungkapkan oleh al-Imam lbnu Qudamah dalam al-Mughni :

"Sungguh, sebuah nasab sangat ihtiycith dalam menetapkannya  sehingga ia bisa ditetapkan dengan dalil terendah. Konsekuensi dari itu, (syariat) sangat ketat dalam (membolehkan) penafian nasab, dan nasab tidak bisa dinafikan (dianggap putus) kecuali dengan dalil terkuat."

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada kasus Imad. Ia yang tak pernah dikenal sebagai nassabah yang mencatat dan menyambungkan nasab tiba-tiba tampil sebagai peneliti nasab dadakan dengan semangat menggebu­ gebu untuk  membatalkan  nasab  orang. Kebalikan  dari konsep  syariat  Islam di atas, dalil selemah apa pun akan diutak-atik dan digiring Imaduddin untuk membatalkan nasab Ba'alawi. Sebaliknya, dalil sekuat apa pun yang disebutkan para ulama dalam mengisbat nasab Ba'alawi akan ditolak mentah-mentah dengan berbagai alasan yang tidak berbasis ilmu nasab. Bagi Imad, yang penting nasab Ba'alawi batal. Luar biasa!
Jangankan Sadah Ba'alawi yang keabsahan nasabnya sudah diyakini, di­ pastikan, dan diumumkan banyak ulama besar, pembesar Mazhab Syafi'i, al­ Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dalam al-Fatawa al-.Haditsiyyah mengatakan, "Andai ada seorang sayid yang diragukan kebersambungan nasabnya, selama nasabnya bisa dibenarkan dalam sudut pandang syariat, tetap wajib dihormati karena kemuliaan nasabnya. Bahkan, jika nasabnya tidak terkonfirmasi secara syariat, tapi tidak terbukti pula dia berbohong, hendaknya tawaqquf (tidak mengisbat juga tidak menafikan). Inilah kehati-hatian seorang al-Imam Ibnu Hajar al­ Haitami berkaitan dengan nasab keturunan Rasulullah Saw. Berikut redaksinya :

Sikap ini berbanding terbalik dengan apa yang ditunjukkan Imad. Nasab Ba'alawi yang diyakini dan diisbat sangat banyak ulama sesuai standar syariat malah seenaknya ditolak. Para Ba'alawi pun dihina, dimaki, dan difitnah. La hauLa waL<i quwwata iLL<i' biLL<ih.
Terkait memperlakukan nasab para asyraf yang dikenal sebagai keturunan Rasulullah Saw., al-Imam lbnu Hajar al-Haitami memberikan petuah yang patut pembaca renungkan  dengan baik.

"Tidak seyogianya bagi seseorang meminum racun, padahal dia bisa mencari keselamatan . Jika ada seseorang disegani dan dimuliakan karena ia keturunan orang saleh, bagaimana dengan orang yang bernasab kepada Penghulu Semua Makhluk (Nabi Muhammad Saw.). Semoga Allah bangkitkan kita dalam kelompok pencinta Rasulullah Saw., keluarga, dan sahabatnya. Amin."

H.    Menerapkan Ilmu Filologi secara Keliru dan Tidak Adil
Seorang filolog yang sempat terlibat dalam polemik nasab ini menyebutkan bahwa pembuktian keberadaan seorang sosok sejarah perlu didukung oleh bukti eksternal, selain bukti internal. Ia memberikan contoh bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad juga disebutkan dalam kitab-kitab agama lain. Selain itu ia juga menyebutkan nama tokoh yang dikenal dalam  historiografi  Nusantara yaitu Aji Saka, tokoh yang dikenal dalam budaya Jawa maupun Sunda. Bahkan, ada manuskrip yang menyebut orang Jawa  itu  dengan  sebutan  "Bani Jawi" dan dilanjutkan dengan "wayahipun Nabi Ismangil" yang maksudnya adalah keturunan Nabi Ismail.
Pendapat seperti di atas ini adalah pendapat yang sangat keliru, naif, dan fatal. Apalagi datangnya dari seorang filolog. Mengapa?
Jika kita ingin konsisten dengan metode ini maka berbagai dokumen atau sumber eksternal yang menyebutkan keberadaan Nabi Ibrahim itu tidak ada yang ditulis pada zaman Nabi Ibrahim atau zaman yang berdekatan dengan Nabi Ibrahim itu sendiri. Sumber eksternal, baik manuskrip atau sumber lainnya yang mengindikasikan keberadaannya tidak bisa dibuktikan kapan  ditulisnya dan otentisitasnya . Semua itu berdasarkan manuskrip yang ditulis belakangan dan jauh setelah masa Nabi Ibrahim hidup. Keberadaan Nabi Ibrahim semata­ mata dikenal oleh keturunan dan masyarakat sekitarnya dari mulut ke mulut selama berabad-abad . Barulah kemudian dituliskan dalam manuskrip atau disebutkan dalam kitab suci pada masa selanjutnya .  Dokumen  eksternal Hindu yang diklaim menyebutkan nama  dan  keberadaan  Nabi  Ibrahim  itu pun tidak diketahui kapan ditulisnya dan sangat spekulatif . Isinya juga tidak menyebutkan namanya secara jelas sehingga deduksinya pun semata-mata berdasarkan analisis dan interpretasi.  Sumber-sumber  itu  sama  sekali bukan hal yang qath'i (pasti), terlepas kemungkinan dikenalnya Nabi Ibrahim dalam agama Hindu atau agama lainnya . Kita juga mengetahui bahwa kitab-kitab suci selain Al-Qur'an tidak autentik sehingga informasi yang ada di dalamnya tidak bisa dijadikan sumber primer.
Sang filolog kemudian membandingkan keberadaan Nabi Muhammad yang didukung dengan adanya sumber eksternal seorang rahib Yerusalem bernama Sophronius yang hidup sezaman dengan Rasulullah dan beberapa Khalifah Rasyidin . Perbandingan seperti ini sungguh tidak adil dan subjektif . Jika logika ini  digunakan  maka  tidak  akan  kita  temukan  dokumen  eksternal  sezaman atau berdekatan, bahkan internal sekalipun yang menyebutkan berbagai nama sahabat Nabi seperti Tsauban, Ammar bin Yasir atau bahkan Abubakar sekalipun. Semua informasi mengenai sahabat Nabi ini didapatkan dari riwayat lisan baik melalui hadis atau sumber sejarah lain yang ditulis belakangan, lebih dari 150 tahun setelah wafatnya Nabi.170 Dalam dunia sejarah dan ilmu modern sekalipun, sumber atau tradisi lisan (sejarah yang tersebar dari mulut ke mulut) juga bisa diterima sebagai sumber sejarah jika didukung fakta yang kuat, sebagaimana disebutkan oleh seorang pakar sejarah Donald Ritchie dalam buku yang berjudul Doing Oral History,171 "Oral history has room for both the academic and the layperson . Withreasonable training ... anyone can conduct a useable oral history (Sejarah lisan memiliki ruang bagi akademisi dan orang awam. Dengan pelatihan yang masuk akal ... siapa pun dapat melakukan sejarah lisan yang bisa digunakan)."

Sumber sezaman dan primer bukan berarti tidak penting, tetapi mengira bahwa tanpa keduanya maka sebuah tokoh jadi fiktif berarti  orang tersebut tidak mengerti bagaimana kajian sejarah bekerja. Filologi itu hanyalah sebuah tool atau alat bantu dalam mengkaji sebuah sejarah. Bagaimana mungkin alat bantu bisa dipakai untuk memvonis? Bukankah alat bantu atau wasilah itu tidak lebih tinggi dari sejarah itu sendiri (ushul)?

Kalau kita mau jujur tidak akan ditemukan sejarawan baik di Timur maupun Barat yang memiliki kesimpulan bahwa "tanpa sumber sezaman, maka fiktif ' seperti yang dipahami dan disampaikan sang filolog di berbagai forum itu. Bahkan sejarawan masa sekarang yang kritis pun tidak ada yang sepicik itu. Kalau toh ada yang seperti itu mereka termasuk kelompok yang dianggap outlier.Orang-orang seperti ini bahkan tidak memercayai keberadaan para nabi, termasuk Nabi Isa dan Nabi Muhammad . Al-Qur'an dan semua Sirah Nabawi (atau Sirah Maghazi) pun menjadi cerita fiktif semuanya . Apakah orang-orang seperti ini yang kita jadikan  panutan?

Sebagai bahan renungan, perlu diketahui bahwa manuskrip Al-Qur'an tertua yang bisa dijumpai saat ini adalah manuskrip Birmingham 172 yang diperkirakan ditulis antara tahun  568-645 M, yaitu pada periode antara masa hidup Nabi Muhammad dan Khalifah Utsman. Manuskrip yang ditulis pada kulit hewan ini hanya menuliskan potongan beberapa surah. Disebut  manu­ skrip Birmingham karena ditemukan, diteliti, dan disimpan di Universitas Birmingham di Inggris. Manuskrip Al-Qur'an tertua lainnya yang ditemukan adalah manuskrip Shana'a (Yaman) yang ditemukan pada 1972 di Masjid Agung Shana'a di Yaman . Berdasarkan tes radiokarbon, manuskrip ini diperkirakan ditulis sebelum tahun 671 (39 H). Diperkirakan pada zaman Khalifah Utsman atau Ali ibn Abi Thalib. Manuskrip Al-Qur'an ini pun tidak utuh. Banyak ayat yang hilang dan tidak  terbaca . Manuskrip ini hanya menuliskan kurang dari separuh isi Al-Qur'an yang kita ketahui. Lalu, apakah karena hanya bersandar pada sumber yang selamat ini Al-Qur'an yang ada di tangan kita saat ini tidak sempurna, batal, dan sebagian besar isinya palsu?
Jika kita melangkah ke dunia hadis maka sumber-sumber asli penulisan hadis yang bisa didapatkan saat ini juga ditulis jauh setelah masa hidup Nabi Muhammad Saw. Menurut para ahli Barat manuskrip hadis tertua yang di­ temukan adalah kitab Ghani'ib al-.Hadits yang ditulis oleh Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam yang hidup antara abad kedua dan ketiga Hijriah (770-838). Sementara manuskrip yang ada saat ini adalah manuskrip yang ditulis kembali tahun 252 Hijriah . Manuskrip yang tidak lengkap ini sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda .Jika kita mengikuti pola pikir seperti ini maka sangat beralasan jika seseorang akan menolak otentisitas sebagian besar  Al-Qur'an atau beranggapan hadis itu sebagai rekaan  sejarawan  atau pengarang  cerita. Ini adalah  cara berpikir  orientalis non-Muslim yang selalu mencoba  mencari jalan untuk membatalkan keaslian Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad . Cara berpikir seperti inilah yang membuat banyak orang menjadi ateis, khususnya yang menjangkiti masyarakat dan ilmuwan di dunia Barat. Cara berpikir seperti ini pulalah yang diadopsi para pembatal nasab dengan menggunakan kedok filologi. Ironisnya, cara berpikir seperti ini hanya diterapkan secara selektif terhadap klan Ba'alawi tetapi tidak pernah diterapkan  untuk  kelompok  atau klan lainnya.
Anggaplah kita memercayai bahwa Rasulullah adalah keturunan Nabi Ismail karena ada sumber eksternal yang menyebutkannya, walaupun sumber yang pertama kali menyebutkan hal ini ditulisjauh belakangan . Lalu, bagaimana dengan nasab Nabi Muhammad sampai kepada Adnan yang tidak tercatat selama lebih dari seribu tahun? Tidak ada sumber eksternal yang menyebutkan keberadaan Adnan atau nama-nama leluhur Nabi lainnya seperti Mudhar, Nizar, atau Mudrikah . Semua nama itu dan nasab kabilah-kabilah Arab lainnya didapatkan semata-mata berdasarkan riwayat lisan turun-temurun melalui keturunannya . Riwayat lisan itu diterima oleh masyarakat luas selama berabad­ abad. Argumen bahwa hadis itu berdasarkan  isnad pun pada dasarnya adalah metode yang diterapkan belakangan . Itu pun berdasarkan tradisi lisan  yang kemudian didokumentasikan . Ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan konsep Syuhrah dan Istifcidhah dalam ilmu nasab dan sejarah. Semuanya berdasarkan informasi oral yang didokumentasikan belakangan .
Membandingkan ketenaran dan keberadaan Nabi Musa atau Nabi Muhammad  dengan  sosok  Ubaidillah  yang  tinggal  di  daerah  pinggiran hanya mengandalkan dokumen eksternal adalah perbandingan yang  tidak masuk akal. Itu bagaikan membandingkan apel dengan apem. Nabi Musa dan Nabi Muhammad adalah nabi  dan rasul yang tinggal di daerah yang banyak berinteraksi dengan masyarakat luar, memiliki umat yang banyak, dan ke­ tenarannya meliputi berbagai penjuru. Sementara Ubaidillah (Abdullah) dan ayahnya, Ahmad ibn Isa, hijrah dan hidup di daerah yang relatif terisolasi sehingga  sulit berinteraksi  dengan  dunia  luar sampai berabad-abad  lamanya.

Telah disampaikan sebelumnya bahwa Ahmad ibn Isa hijrah ke Hadramaut untuk mencari kedamaian dan ketenangan agar bisa menjalankan dan mengajarkan agama dengan damai, menjauhi gejolak politik  dan hiruk pikuk yang terjadi di Irak pada masa itu. Ubaidillah juga dikenal sebagai seorang yang tawadhu dan tidak menyukai ketenaran . Pilihannya untuk memilih nama Ubaidillah ketimbang Abdullah itu pun menunjukkan sifat tawadhu dan khumul.173
Hadramaut dengan alamnya yang keras adalah daerah yang relatif terisolasi dan minim interaksi dengan budaya luar, khususnya sebelum abad ke-7 H. Budaya literasi dan tulis menulis, apalagi pelestariannya tidak banyak dikenal di sana sampai abad ke-7 H. Maka, di samping minimnya sumber tulisan atau dokumentasi pada periode ini, sistem pemeliharaan dokumen yang ada saat itu pun masih sangat terbatas. Sangat wajar jika saat ini kita kesulitan mendapatkan sumber tulisan mengenai Hadramaut yang ditulis sebelum abad ke-7 H. Hal ini sesuai dengan pendapat para pakar dan sejarawan Hadramaut sendiri seperti yang dituangkan dalam kesimpulan pembahasan Muktamar mengenai sejarah dan sejarawan Hadramaut abad ke-6 sampai dengan 9 Hijriah yang diadakan di Mukalla pada 2016.174 Karenanya sangat wajar jika informasi tertulis dan nama­ nama tokoh setempat tidak banyak ditemukan  di sumber-sumber sejarah tertulis pada periode itu, baik karena hilang atau memang tidak dicatat. Jika sumber setempatnya saja tidak mencatat  maka  apalagi  sejarawan  luar  atau ahli nasab luar yang jauh dari daerah ini. Hal serupa tentunya bisa dijumpai di banyak tempat lainnya. Ini adalah fenomena yang wajar.

Minimnya  pelestarian  catatan  sejarah  di  kalangan  Alawiyyin   abad­ abad awal ini sempat dikeluhkan oleh Sayid Muhamad ibn Ali Khird  dalam kitab al-Ghurar, termasuk sejarah dan kiprah keluarga Basri dan Jadid yang tidak  banyak  tercatat,  juga   catatan  Imam  Ahmad  ibn  Isa  yang  mencatat hijrahnya ke Hadramaut dan  berbagai  peristiwa  yang  dialaminya  ketika hijrah dan semasa menetap di Hadramaut . Namun, berbagai bukti arkeologis menegaskan keberadaan jejak mereka pada masa-masa awal tersebut . Makam mereka masih ada dan dikenal masyarakat setempat, sumur Suha yang digali Ubaidillah, masjid yang mereka dirikan, termasuk nama Masjid Bani Ahmad yang menunjukkan masjid keturunan Ahmad (ibn Isa), yang akhirnya dikenal dengan masjid Ba'alawi . Demikian pula pemberian nama Qasam175 yang berasal dari nama daerah tempat tinggal Ahmad ibn Isa dan keluarganya di Basrah, juga nama Alawi176  atau Alwi yang boleh dikatakan hampir eksklusif digunakan oleh keturunan Ali ibn Abi Thalib sebelum abad ke-5. Tidak ditemukan nama Alwi sebelum itu di Hadramaut . Bukan hanya berbagai bukti arkeologis, sejarah, dan kultural yang saling menguatkan satu sama lain. Bahkan tanggal ia tiba di Hadramaut pun diketahui turun- temurun dan diperingati  oleh keturunannya dan masyarakat Hadramaut sampai sekarang. Seorang ahli filologi yang jujur dan objektif tentu akan sangat mudah memahami dan menerima semua ini.
Terlepas dari kurangnya pelestarian manuskrip dan dokumentasi sebelum abad ke-6 Hijriah, sungguh naif bagi seorang filolog mengambil kesimpulan tergesa-gesa sebelum melakukan penelitian serius terhadap berbagai sumber sejarah dan manuskrip tentang Ahmad ibn Isa, Ubaidillah dan putra-putranya, yaitu Basri (nama aslinya Ismail), Alwi.
Membuat kesimpulan tanpa melakukan studi yang mendalam terhadap subjek yang diteliti adalah tindakan yang sangat tidak akademis dan tidak sesuai dengan kaidah penelitian ilmu. Apakah sang "filolog" ini sudah pernah melakukan studi lapangan ke berbagai situs sejarah Ba'alawi di pusatnya? Sudah sampai mana sang filolog meneliti manuskrip-manuskrip sejarah di abad-abad itu dan melakukan perbandingan dengan keluarga-keluarga Asyraf lainnya? Apakah kesimpulan sangfilolog ini semata-mata mengandalkan search engine di internet dan kitab-kitab yang bisa dibeli di pasar bebas? Sudahkah sang filolog melakukan eksplorasi dan berkomunikasi dengan para ahli sejarah, antropolog, dan filolog ahli lainnya yang meneliti hal ini? Apakah ia tidak menyadari bahwa beberapa isnad hadis yang bersumberkan manuskrip-manuskrip lama yang diriwayatkan dan dibukukan oleh seorang muhaddits kelas dunia asal Nusantara yang digelari musnid al-dunya seperti Syaikh Yasin al-Fadani menyebutkan sanad hadis berantai yang bersambung ke Alwi dan Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa. Sudah sampai mana ia mencari sehingga kemudian dengan gegabah menyimpulkan tidak ada rujukan yangjelas, padahal belum mencari. Di lain pihak para sejarawan Barat dan non-Muslim lain seperti Engseng Ho, Robert Bertram Serjeant, Kazuhiro Arai, Ulrike Freitag, dan lainnya yang sudah melakukan studi lapangan malah sampai pada kesimpulan sebaliknya. Sungguh ironis!
Sekarang coba kita terapkan kaidah nasab dan filologi yang mengada-ada ini terhadap beberapa nasab S<idah Asyraf lainnya yang dianggap sah, kuat, dan diterima berbagai kalangan, misalnya S<idah Jailani, Rifa'i, dan grup Qatadah (Asyraf Hijaz, leluhur raja Yordan saat ini). Syaikh Abdul Qadir al-Jilani hidup antara abad kelima dan enam Hijriah sama dengan masa hidup Ali Khali' Qasam. Syaikh Ahmad al-Rifa'i hidup pada abad keenam Hijriah, sama dengan Muhammad Shahib Mirbath, sementara Qatadah ibn Idris wafat pada abad ketujuh Hijriah .
Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah ulama yang sangat tersohor pada zamannya bahkan hingga sekarang. Ia hidup di Irak yang merupakan pusat kebudayaan Islam. Sangat wajar jika para sejarawan dan ahli nasab mengetahui dan menyepakati latar belakang serta nasab sosok besar ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Adakah kitab nasab dan sejarah pada zaman ia hidup atau yang berdekatan yang menyebutkan nama ayah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yaitu Abu Shalih Janki Dausat atau kakeknya, yaitu Abdullah ibn Yahya al-Zahid? Bahkan tentang namanya, ada dua versi yang berbeda. Sebagian menyebutnya Abdullah ibn Muhammad ibn Yahya al-Zahid dan sebagian lain menyebutkan nama Abdullah ibn Yahya al-Zahid. Apakah benar Syaikh Abdul Qadir adalah putra Abu Shalih Musa Janki Dausat dan apakah benar Janki Dausat adalah anak Abdullah ibn Yahya al-Zahid?

Pendapat yang kita temukan justru berbeda-beda mengenai penisbahannya kepada Asyraf Hasani ini. Syajarah Mubarakah yang diklaim karangan Imam Fakh al-Razi yang hidup tidak lama setelah al-Jilani tidak menyebutkan nasab al-Jilani maupun nama ayah dan kakeknya . Demikian pula berbagai kitab nasab terkenal yang ditulis setelah masa hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jilani seperti al-Fakhri dan al-Majdi . Ibn Funduq al-Baihaqi yang hidup sezaman dengan al­ Jilani juga tidak menuliskan figur al-Jilani maupun kakeknya . Bahkan Imam al­ Dzahabi dan Ibn Taymiyah yang hidup pada  zaman anak keturunan al-Jilani sudah banyak tersebar dan ketokohan Syaikh Abdul Qadir sudah sangat populer menolak kesayidan al-Jilani. Dan yang lebih parah lagi, Ibn Inabah, ahli nasab terkenal abad kedelapan Hijriah yang masih satu leluhur dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yaitu pada kakek yang bernama Yahya al-Zahid, menolak nasab al-Jilani ini. Lalu, apakah dengan tidak disebutkannya beberapa leluhur Syaikh Abdul Qadir dan beberapa ketidakcocokan nama menjadikan nasab Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ini batal? Tentu tidak! Kesepakatan akan nasab Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sudah dikenal para ulama dan ahli tahkik. Mengapa kita bisa menerima nama ayah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dengan berbagai versinya yaitu Abu Shalih, Musa, dan Janki Dausat tetapi menolak nama Ubaidillah yang hanya merupakan nama populernya dan bentuk tashghir dari  nama  aslinya yaitu Abdullah? Seberapa banyak orang yang mengenal Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol hanya dengan gelar mereka, padahal mereka hidup kurang dari 200 tahun lalu.

Hal yang sama kita jumpai untuk nasab Sidi Ahmad al-Rifa'I, seorang tokoh besar yang hidup di Irak. Amud Hasan Rifa'ah yang leluhurnya dianggap simpang siur karena ada yang menisbahkan leluhurnya  kepada Hasan ibn Husain  ibn Ahmad al-Shaleh (al-Akbar) yang merupakan salah satu keturunan Imam Musa al-Kazhim, sementara versi lain menisbahkannya  kepada saudara Hasan yang al-Hasan dengan al-Qasim. Nama ayah, kakek, dan leluhur Ahmad Rifa'i sampai beberapa generasi ke atas sampai Husain al-Shalih ibn Musa al-Tsani pun tidak tercatat dalam kitab nasab sezaman ataupun dokumen lainnya . Lalu, apakah karena mereka tidak tercatat di kitab­ kitab nasab selama lebih dari dua abad berarti nasabnya batal dan Sidi Ahmad al-Rifa'i atau leluhurnya mencantolkan nasab mereka menjadi keturunan Nabi hanya untuk mencari popularitas? Sungguh tidak masuk akal bahwa sosok wali besar seperti Ahmad al-Rifa'i dan leluhurnya melakukan itu. Semua kerancuan ini sudah dibahas, ditahkik, dan dijawab oleh para ulama nasab tepercaya dan semua mengakui nasab al-Rifa'i secara ijmak. Berbagai kitab menjelaskan hal ini yang tentunya di luar topik pembahasan buku ini.
Demikian pula dengan nasab Qatadah ibn Idris yang merupakan leluhur Asyraf Hijaz (para Syarif Makkah dan leluhur Raja Yordan saat ini). Nasab ini bersambung kepada Abdullah ibn Muhammad ibn Musa al-Tsani yang merupakan keturunan Sayidina Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Beberapa ahli nasab seperti Ibn Funduq al-Baihaqi yang hidup pada abad ke-6 menyebutkan bahwa Abdullah ibn Muhammad tidak berketurunan . Bahkan ia menyebutkannya dengan tegas:

"Abdullah ibn Muhammad ibn Musa al-Tsani tidak punya keturunan secara mutlak."

lbn Inabah (w. 828 H) dalam kitab nasabnya yang terkenal yaitu  'Umdah al­
Thcilib menyatakan :

"Muhammad al-Ashghar yang bergelar  al-Arabi  dan  Husain  al-Ashghar, keduanya anak Musa al-Tsani. Keturunan keduanya terputus ."

Bukan hanya ditolak dua ahli nasab, nama-nama leluhur Qatadah ibn Idris selama delapan generasi tidak tercatat di kitab-kitab nasab atau sumber eksternal lain. Lalu, apakah karena ini nasab mereka batal? Tentu saja pendapat ini ditolak mayoritas sejarawan dan ahli nasab setelah melakukan penelitian dan tahkik. Banyak lagi contoh lainnya, tetapi kami cukupkan karena keterbatasan ruang dan bahasan .
Sekarang marilah kita pergunakan timbangan yang sama dan logika akal sehat. Adakah sejarawan atau ahli nasab yang muktabar dari abad ke-5 sampai abad ke-14 yang membatalkan nasab Ba'alawi?
Jawabannya : tidak ada sama sekali!
Kesimpulannya, jika kaidah nasab dan filologi ini diterapkan kepada nasab Asyraf lainnya atau bahkan di luar Asyraf maka niscaya hampir semua nasab para sayid yang ada dan dikenal di dunia ini batal semuanya!
Ada lagi sebuah teori yang diusung sang filolog yang mencoba mencari solusi nasab Ba'alawi dengan menduga-duga bahwa Ubaidillah adalah menantu Ahmad ibn Isa. Ia menggunakan tradisi Kristen yang pernah dikenal di Timur Tengah dan sebuah ungkapan dalam kitab Injil, yaitu dalam kitab Lukas pasal 3 ayat 23 yang menyebutkan penisbahan nasab seorang laki-laki bernama Yusuf (suami Siti Maryam ibunda Nabi Isa) kepada mertuanya yang bernama Elie. Dalam Injiil Lukas pasal 3 ayat 23 tertulis:

(3:23)  Ketika  Yesus  memulai  pekerjaan-Nya,  Ia  berumur  kira-kira  tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf, anak Eli .

Dugaan sang filolog ini berdasarkan sumber sejarah yang menyebutkan bahwa di Yaman dahulu banyak penganut Kristen sehingga tradisi yang diterima dalam agama Kristen mungkin diadopsi penduduk Yaman. Teori dan dugaan ini tertolak dan keliru . Mengapa?
1)    Penggunaan Injil yang sudah terdistorsi dan mengalami tahrif sebagai referensi sejarah, kemudian dijadikan alat untuk mendukung satu teori tidak dapat diterima karena sarat dengan kesalahan  dan bertentangan dengan fakta yang benar. Kesalahan di sini sangat jelas . Injil menyebutkan ayah Maryam bernama Eli, sedangkan Al-Qur'an jelas-jelas menyebutkan Siti Maryam adalah anak Imran (Amran atau Amram dalam bahasa Ibrani), sehingga nama Eli dan cerita di Injil Lukas tersebut otomatis tertolak.
2)    Pengaruh dan penganut Kristen di Yaman pada zaman Nabi hanya dominan di daerah utara, khususnya daerah Najran dan tidak sampai ke Hadramaut yang terletak di Selatan dan jauh di sebelah Timur. Tidak ada sumber se­ jarah yang menyebutkan bahwa pernah ada periode di mana banyak penduduk Hadramaut memeluk agama Kristen .
3)    Penisbahan nasab kepada mertua tidak dikenal dalam budaya Arab, apalagi di Yaman yang budaya kesukuannya masih sangat kental, khususnya pada masa itu. Ini bisa dilihat di berbagai sumber dalam literatur sejarah Islam dan Arab.
4)    Pada abad keempat Hijriah, masa Ubaidillah  hidup, Yaman secara kese­ luruhan adalah kawasan yang hampir semua penduduknya sudah masuk Islam, kecuali sekelompok minoritas Yahudi yang bertahan . Dalam agama Islam penisbahan nasab jelas kepada ayah, sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Ahzab ayat 5. Karena itu, semua tradisi yang berbasiskan Injil, jika memang ada, pasti sudah punah dari negeri Yaman, apalagi di Hadramaut. Apalagi jika merujuk ke kitab yang ditulis al-Janadi pada abad kedelapan Hijriah, semua nasab dalam kitab itu dinisbahkan ke ayah, tidak ada melalui jalur ibu atau mertua. Tentu saja penisbahan nasab terhadap mertua ini sama sekali tidak dikenal. Tampaknya Sang Filolog kurang memahami geografi, sejarah, demografi, dan kultur di Yaman dan Arabia Selatan.

Dari berbagai analisis sejarah, nasab, dan tinjauan filologi tersebut marilah kita bandingkan dengan legenda Aji Saka dan Bani Jawi yang disebutkan sang filolog. Bagaimana mungkin kita menggunakan analisis sejarah, bukti historis, arkeologis, kitab-kitab nasab, sumber internal, eksternal dan yang  lainnya untuk membatalkan  Bani Alawi,  keberadaan  sosok Ubaidillah  dan nasabnya sementara dengan begitu mudahnya memercayai legenda Aji Saka dan narasi Bani Jawi yang tidak jelas sumbernya dan bersifat khurafat? Kapan Aji Saka muncul di manuskrip tua serta sumber eksternal apa yang menunjukkan ke­ beradaan sosok ini? Jika kita pelajari lebih lanjut, kita akan menemukan cerita­ cerita mistis dan dongeng serta khurafat dalam agama Hindu terkait sosok yang konon berasal dari Bumi Majeti, satu lokasi mitos di Jambudwipa . Di manakah Jambudwipa yang berasal dari legenda India kuno itu di peta dunia?
Tidak cukup dengan itu, legenda yang bertutur tentang "Bani Jawi adalah wayahipun Nabi Ismangil itu" malah dipercayai dan dijadikan perbandingan . Kapan dan dari mana teori ini muncul? Kata "Bani" itu sendiri berasal dari bahasa Arab, yang tentunya digunakan setelah agama Islam tersebar di pulau Jawa. Ini jelas menunjukkan sesuatu yang barn, apalagi Nabi Ismail itu sendiri tidak pernah dikenal di Nusantara sebelum Islam masuk. Seperti apakah nasab dan catatan sejarah orang yang menyambungkan dirinya kepada Nabi Ismail itu? Dari puak manakah mereka berasal sehingga mereka tersambung kepada Nabi Ismail? Adakah sumber eksternal yang mendukung cerita ini? Manuskrip apa yang menyebutkannya dan siapakah penulisnya? Apakah ada titi mangsanya?
Bagaimana kita dengan mudah memercayai berita yang jelas barn dan sama sekali tidak didukung bukti historis serta bersumber hanya dari dongeng dan khurafat, sementara di sisi lain dengan gigihnya menolak fakta sejarah yang didukung berbagai bukti historis, arkeologis, budaya, dan catatan keluarga yang kebenarannya disepakati oleh hampir semua sejarawan, ulama, dan ahli nasab di berbagai penjurn dunia? Ini sama saja dengan memercayai dongeng yang menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman adalah orang yang membangun candi Borobudur. Serendah dan semurah itukah kita menjual logika akal sehat demi membatalkan nasab sekelompok besar kaum Muslim yang keabsahannya sudah diakui secara ijmak dari masa ke masa?
 
KEDUA Menentang, Mengabaikan, dan Merendahkan Pengakuan para Ulama Muktabar tentang Nasab Ba'alawi

Keabsahan nasab Ba'alawi bukan hal barn (naw<izil) yang tidak pernah I(dibahas para ulama sehingga membutuhkan ijtihad/penggalian hukum yang  barn. Nasab  Ba'alawi  dan  status  mereka  sebagai  asyraf/sadah sudah sampai ke tangan para ulama yang kompeten dalam ilmu nasab, ilmu syariah, dan sejarah semenjak berabad-abad lalu, kemudian disetujui mereka. Di sisi lain, tha'nu yang membatalkan nasab Ba'alawi barn muncul beberapa tahun belakangan dari beberapa orang yang mengaku dirinya ulama.

A.    Ulama yang Mengakui versus yang Menolak
Para pendukung Imad-entah sengaja atau tidak-selalu membuat framing seolah-olah nasab Ba'alawi sangat minim pengakuan dari para ulama. Mungkin karena mereka tidak mendapatkan penjelasan yang utuh. Padahal, jika mernjuk kepada apa yang kami muat dalam buku ini baik, di Bab I atau II, pembaca akan mendapatkan tidak kurang dari 140 nama yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi sebagai dzurriyah Nabi Saw. atau mengakui status Ba'alawi sebagai Husaini atau sebagai sadah/asyraf . Di antara mereka banyak nama ulama besar dalam bidang syariat, nasab, sejarah, hadis, dan lainnya. Mereka juga berasal dari berbagai mazhab dan negara yang berbeda, termasuk beberapa  lembaga kompeten dalam hal ini. Tentu, masih banyak nama yang belum kami muat di buku ini karena keterbatasan waktu dalam mengumpulkan referensi. Kami juga tidak mengeklaim buku ini hashr (mencakup seluruhnya).

Berikut kami tuangkan nama-nama tersebut secara ringkas .
1.    Al-Nassabah Syaikh al-Syaraf al-'Ubaidili (w. 435 H)177
2.    Al-Sayid Hasan bin Muhammad al-'Allal al-Husaini (w. 460 H)
3.    Al-Sayid Abul Qasim al-Naffath (w. 490 H) 4.    Al- Faqih Hasan bin Rasyid (w. 638 H)
5.    Musnad Syaikh Umar bin Sa'ad al-Dzhafari (w. 667 H)
6.    Muarrikh al-Yaman al-Imam Bahauddin al-Janadi al-Yamani (w. 732 H)
7.    Imam al-Muarrikh Abu Muhammad Abdullah bin As'ad bin Sulaiman al-Yafi'i al-Yamani al-Makki (w. 768 H)
8.    Al-Malik al-'Abbas bin Ali bin Dawud al-Rosuli (w. 778)
9.    Al-Imam al-Muarrikh Abil Hasan Ali bin al-Hasan al-Khazraji (w. 812 H)
10.    Imam  Taqiu al-Din  Muhammad  bin Ahmad  al-Hasani  al-Fasi  al-Maliki (w. 832 H)
11.    Imam Husein bin Abdurrahman al-Ahdal (w. 855 H)
12.    Al-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Khathib al-Anshari al-Tarimi
(w. 855 H)
13.    Al-Nassabah  Muhammad  Kazhim bin Abil  Futuh  al-Yamani  al-Musawi (w. 880 H)
14.    Al-Imam al-Muhaddits Abil Abbas Ahmad bin Abdul Lathif al-Syarji al-Zabidi al-Hanafi (w. 893 H)
15.    Al-Syaikh Ibnul Mudhajin (w. 895 H)
16.    Al-Imam al-Sakhawi (w. 902 H)
17.    Al-Syaikh Muhammad bin Umar Bahraq al-Hadrami (w. 930 H)
18.    Al-Muarrikh Shihabuddin Ahmad bin Abdul Qadir bin Salim bin Usman (setelah 940 H)
19.    Al-Syaikh Ibn al-Dayba' al-Shaybani (w. 944 H)
20.    . Al-Muarrikh Abu Muhammad al-Thayyib bin Abdullah  Bamakhramah al-Hadhrami (w. 947 H)
21.    Al-Imam al-Mutawakkil 'Alallah Yahya bin Syarafuddin bin al-Mahdi al-Hasani (w. 965 H)
22.    .  Al-Imam al-Faqih Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H)
23.    Al-Muarrikh Abu Muhammad al-Tayyib bin Abdullah bin Ahmad Bamakhramah al-Hijrani al-Hadrami (w.984 H)
24.    Al-Nassabah al-Sayid Muhammad bin al-Husein al-Husaini al-Samarqandi al-Madani (w. 996 H)
25.    Sayid Thahir bin Husain al-Ahdal (w. 998 H)
26.    Al-Faqih Ahmad bin Muhammad al-Jabri (w. 999 H)
27.    Al-'Allamah al-Hassan Muhammad al-Burini (963 H-1024 H) 28. Al-Nassabah al-Sayid Abu 'Alamah al-Muayadi (w. 1044 H)
29.    Syarif Yusuf bin Abid bin Muhammad al-Hassani al-Fassi (w. 1048 H)
30.    Sayid Muhammad Kabrit al-Huseini al-Madani (w. 1070 H)
31.    Sejarawan Al-Mutahhar bin Muhammad al-Jarmouzi (w.1077 H)
32.    Al-Nassabah Muhammad bin Tahir bin Abi al-Qasim al-Bahr (w.1083 H)
33.    Al-Imam Ibnu 'Imaduddin al-Hanbali (w. 1089 H)
34.    Al-'Allamah Abu Salim Abdullah bin Muhammad al-Ayashi (w. 1090 H)
35.    Al-Nassabah al-Sayid Dhamin bin Syadqum (hidup pada tahun 1090 H)
36.    Al-Muarrikh  Muhammad  Amin bin  Fadhlullah  al-Muhibbi  ad-Dimasyqi (w. 1111 H)
37.    Al-Syaikh Muhammad Hasan Ibnu al-'Ujaimi al-Makki (w. 1113 H)
38.    Al-Syaikh Mustafa bin Fathallah al-Hamawi (w. 1123 H)
39.    Al-Syaikh Ali bin Tajuddin al-Sinjari (w. 1125 H)
40.    Al-'Allamah Abdul Ghani bin Ismail al-Nabulsi (w. 1143 H)
41.    Al-Wazir al-Shan'ani (w. 1147 H)
42.    Al-Syaikh Ibnu Aqila al-Makki (w. 1150 H)
43.    Al-Sayid Ibrahim bin al-Qasim al-Shahari (w. 1152 H)
44.    Sayid Radhi al-Din al-Musawi al-Amili al-Makki (w. 1163 H)
45.    Syaikh Abdullah bin Husein bin Mar'i al-Suwaidi al-Baghdadi (w. 1174 H) 46.  Sayid Abbas bin Ali al-Musawi al-Husaini (w. 1179 H)
47.    Al-Imam Muhammad bin Ismail al-Amir al-Shan'ani (w. 1182 H)
48.    Sayid Muhammad bin al-Tayyib al-Qadri al-Hasani (w. 1187 H) 49.  Al-Muarrikh Abdul Rahman al-Ansari (w. 1195 H)
50.    Al-Nassabah Muhammad bin Ibrahim al-Rasi al-Shahari (hidup tahun 1188 H)
51.    Syaikh Abdul Khaliq bin Ali bin al-Zain al-Mizjaji (w. 1201 H)
52.    Syaikh Sulaiman Saaduddin, dikenal sebagai Mustaqim Zadah (w. 1202 H)
53.    Al-Nassabah al-Hafidz al-Imam Murtadha al-Zabidi (w. 1205 H)
54.    Al-Syaikh Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Murad al-Husaini (w. 1206 H)
55.    Al-Muarrikh Abdurrahman  bin Hasan al-Jabarti (w. 1237 H)
56.    Al-Syaikh Abdurrahman bin Ahmad al-Bahkali (w. 1248 H)
57.    Sayid Abdurrahman bin Sulaiman al-Ahdal (w. 1250 H)
58.    Muhaddits al-Syam, Abdul Rahman bin Muhammad bin Abdul Rahman al-Kuzbari (w. 1262 H)
59.    Al-Nassabah al-Syarif Muhammad bin Ismail al-Amir (w. 1262 H)
60.    Al-Nassabah al-Sayid Muhammad al-Zaki al-Madaghri al-Alawi (w. 1270 H)
61.    Al-Nassabah Abu 'Abdillah Muhammad al-Thaib al-Maradisi al-Fasi (w. 1273 H) 62.  Al-'Allamah Hasan bin Ahmad al-Dhamadi 'Aakish (w. 1290 H)
63.    Ibnu Abi Bakar al-Amri al-Hajjar (hidup tahun 1284 H)
64.    Al-'Allamah al-Sayid Ahmad Zaini Dahlan al-Makki al-Syafi'i (w. 1304 H)
65.    Sayid Muhammad bin Ismail al-Kabsi (w. 1308 H)
66.    Al-'Allamah al-Sayid Bakri Syatha al-Dimyathi (w. 1310 H)
67.    Al-'Allamah Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H)
68.    Al-Muarrikh  Muhammad  al-Maliki al-Shabbagh (w. 1321 H)
69.    Al-Muarrikh  Ahmad  bin  Muhammad  bin  Ahmad  al-Hadrawi  al-Maliki (w.1327 H)
70.    Al-'Allamah Syaikh Abdulhamid Kudus (w. 1334 H)
71.    Al-Sayid Abdul Hay Fakhruddin bin Abdul Ali al-Hassani al-Thalibi (w. 1341H)
72.    Al-Qadhi Ja'far bin Abi Bakar al-Lubni al-Hanafi r.a. (w. 1342 H)
73.    Al-Imam al-Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani (w. 1350 H)
74.    Sayid Muhammad bin Haidar al-Qabi (w. 1351H)
75.    Al-Sayid Ismail al-Washli (w. 1356 H)
76.    Syaikh Abil Fayd Abdu al-Sattar bin Abdul Wahhab al-Bakri al-Dahlawi al-Siddiqi al-Hindi al-Makki al-Hanafi (w. 1355 H)
77.    Al-Muarrikh Syaraf Abdul Muhsin al-Barakati (w. 1358 H)
78.    Syaikh Abdullah bin Muhammad Ghazi (w. 1365 H)
79.    Hadratu al-Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari (w. 1366)
80.    Al-Nassabah  Sayid Husein al-Rifai al-Husaini (w. 1376 H)
81.    Sayid Muhammad  Zabaroh al-Hasani (w. 1381 H)
82.    Al-'Allamah Abdul Hafiz al-Fassi (w. 1383 H)
83.    Al-Nassabah Abdurrazzaq Kamunah al-Najafi (w. 1390 H)
84.    Al-'Allamah al-Zirikli (w. 1396 H)
85.    Al-Qadhi Abdullah bin Abdul Karim al-Jarafi al-Yamani (w. 1397 H)
86.    Al-Imam al-Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki
87.    Al-Muhaddits al-Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki (w. 1425 H)
88.    K.H . Soleh Darat (w. 1903 M)
89.    Al-'Allamah Syaikh Mahfudz al-Turmusi al-Jawi (w. 1920 M)
90.    Syaikh Mukhtar bin 'Atharid al-Jawi al-Bogori (w. 1930 M)
91.    Prof . Dr. Abdul Malik Karim Amrullah/Buya Hamka (w. 1981 M)
92.    Al-'Allamah K.H . Abdullah bin Nuh (w. 1987 M)
93.    Musniddunya al-Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani (w. 1990 M)
94.    K.H .  Muhammad   Zaini  Abdul   Ghani  (Abah  Guru  Sekumpul  Martapura (w. 2005 M)
95.    K.H . Maimoen Zubair dan Ponpes al-Anwar Sarang (w. 2019 M)
96.    Abuya KH Uci al-Turtusi bin K.H. Dimyathi (Cilongok) (w. 2021 M)
97.    Sayid Ahmad bin Umar al-Rifai al-Husaini
98.    Sayid Muhammad bin Mustafa al-Qubar
99.    Sayid Yahya bin Abdul Karim al-Fadil al-Syarafuddin
100.    Sayid Ali al-Fadhil al-Syarafuddin  al-Rasi
101.    Ibrahim al-Muqahfi
102.    Sayid Usamah Izzuddin al-Rasi
103.    Al- Nassabah Sayid Mahdi Raja'i
104.    Al-Sayid Husein Abu Saidah al-Musawi
105.    Al- Nassabah Ibrahim Ibnu Manshur
106.    Al-Nassabah Walid al-'Uraidhi
107.    Sejarawan Abdul-Ilah bin Ali al-Wazir
108.    Sejarawan Yahya bin al-Husain bin al-Qasim
109.    Sayid Muhammad Abu al-Huda Afandi bin Hassan Wadi Afandi al-Rifai
110.    Sejarawan Ahmad bin Shaleh bin Abi al-Rijal
111.    Ibrahim Fasih bin al-Sayid Sibghatallah al-Haidari al-Baghdadi
112.    Dr. Said bin Walid Toulah
113.    Sayid Muhammad bin Muhammad bin Yahya Zubara al-Hasani
114.    Hasan Muhammad Qasim
115.    Dr. Abdul Hadi al-Tazi
116.    Dr. Muhammad Amin Farshaukh
117.    Dr. Abdul Munim Al-Hafny
118.    Al-Sayid Ali Abdul Karim al-Fadil Sharafuddin
119.    Al-Syaikh Umar Abdul Jabbar
120.    Al-Sayid Husain Abu Saidah al-Musawi
121.    Syaikh Abdullah bin Shaleh al-Farsi
122.    Prof . Dr. Ustadz Abdul Somad, Le., M.A.
123.    Nassabah al-Madinah al-Munawwarah al-Sayid Anas al-Kutbi
124.    Nassabah Qatar al-Syarif Abdullah Husein al-Sadah
125.    Al-Nassabah Ahmad al-Husaini al-Nashiri al-Falluji
126.    Al-Nassabah Abdu al-Aziz al-Hiaali al-Kailani al-Hasani
127.    Al-Nassabah  Ali Thalib al-'Uraidhi  al-Husaini
128.    Nadzhirul Ansab al-Syarif Ramadhan Abu Qurthumah al-Husaini
129. Naqabah al-Asyraf Hijaz
130.    Naqabah al-Asyraf Mesir
131.    Al-Hai'ah al-'Arabiyyah Ii Kitabah Tarikhil Ansab Irak 132 . Al-Majma' al-'Ilmi lis al-Sadah al-Asyraf Irak
133.    Al-Majlis al-A'la Iial-Sadah al-Asyraf Baitul Maqdis
134.    Naqabah al-Sadah al-'Asyraf Baitul Maqdis
135.    Jam'iyyah al-Sadah al-'Asyraf Lebanon
136.    Al-Lajnah al-'Ilmiyyah Ii Tautsiq al-Ansab Suria
137.    Ittihad al-Muarrikhin al-'Arab
138.    Al-Daulah al-Qu'aithiyyah Hadramaut
139.    Al-Daulah al-Katsiriyyah Hadramaut
140.    Al-Daulah al-Mutawakkiliyyah al-Yamaniyyah

Sebagai pembanding, berikut ini nama-nama tokoh yang membatalkan nasab Ba'alawi .
1.    Murad Syukri (Tokoh Wahabi tahun 1995-an)
2.    'Audah al-'Aqili (seorang antisufi tahun 2009)
3.    Imaduddin bin Sarman (tahun 2023)
4.    Mama' Ghufron, dkk. (pengikut Imaduddin bin Sarman)
Perbandingan ini kami tampilkan agar pembaca bisa berpikir jernih dan memilih ingin ikut siapa dan berada di barisan yang mana?

B.    Pengakuan para Ulama Dijawab dengan Asumsi
Pengakuan tentang keabsahan nasab Ba'alawi atau Aalu Abi Alawi sebagai dzurriyah Rasulullah Saw. atau status mereka sebagai al-Husaini dari ulama yang begitu banyak di atas merupakan fakta yang tak terbantahkan . Segiat apa pun Imaduddin menulis dan berceramah mempropagandakan pembatalan nasab S<idah Ba'alawi, hal itu sama sekali tidak mengubah fakta adanya pengakuan dari para ulama tersebut. Semua yang Imaduddin sampaikan hanya menunjukkan pendapatnya pribadi.
Lucunya, fakta ini selalu dibantah oleh Imaduddin dengan asumsi.

Berikut ini beberapa contohnya.
1.    Yang menyahihkan nasab Ba'alawi adalah mereka yang punya hubungan perguruan dengan Ba'alawi, seperti al-Imam Murtadha al-Zabidi yang ber­ guru kepada ulama Ba'alawi dari marga Alidrus .
2.    Yang menyahihkan nasab Ba'alawi dilatarbelakangi faktor prasangka baik karena berinteraksi dengan tokoh Ba'alawi yang baik dan saleh, seperti yang terjadi pada al-Imam al-Nabhani.178
Apa yang Imaduddin utarakan merupakan asumsi yang tidak mengubah fakta pengakuan dari para ulama tersebut . Disadari atau tidak, Imaduddin seolah-olah menuduh para ulama itu berani mengesahkan  nasab  yang tidak sah hanya karena hubungan perguruan dan  melihat  akhlak  yang baik. Seolah-olah ulama-ulama besar itu mengabaikan ancaman Nabi Saw. tentang laknat Allah atas penisbahan  seseorang bukan  kepada  ayahnya dan ancaman neraka bagi mereka yang berbohong atas nama Rasulullah Saw. Selain asumsi Imaduddin tidak terbukti, apa yang diutarakan juga mengandung fitnah yang keji.
3.    Yang menyahihkan nasab Ba'alawi hanya menukil dari orang sebelumnya, seperti yang dilakukan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami.179
Lagi-lagi, fakta dijawab dengan asumsi yang dipaksakan . Entah karena tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu bahwa ilmu nasab memang dibangun di atas periwayatan 'amud al-nasab, sebagaimana yang telah kami jelaskan, sehingga penukilan dalam meriwayatkan nasab adalah sebuah keniscayaan . Selain itu, dalam dunia penulisan, ada sebuah kaidah yang maklum dan populer, yaitu kutipan seorang muallif (pengarang/penulis) atas suatu sumber tanpa memberikan bantahan atau koreksi adalah bentuk persetujuannya terhadap substansi catatan tersebut . Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama:

Jadi, ulama yang mengutip dari orang lain dan memuat di bukunya tentang keabsahan nasab S<idah Ba'alawi merupakan bentuk pengakuan dari ulama tersebut. Jika mereka menganggap nasab tersebut tidak sah, mereka wajib memberikan catatan seperti yang dilakukan beberapa ulama terhadap beberapa nasab-nasab bermasalah, sebagaimana telah kami contohkan saat menjelaskan penyimpangan pertama di bab ini.

Khusus masalah Imam lbnu Hajar al-Haitami, Imaduddin memang mengutip secara utuh redaksi beliau . Sayangnya, kebencian Imaduddin kepada Ba'alawi yang begitu ia tampakkan membuat mata dan hatinya tertutup untuk melihat pernyataan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami- sebelum mengutip perkataan Sayidina Abu Bakar bin Abdullah Alidrus-bahwa semua nama yang ada dalam sanad tersebut adalah min "<ili al-bait" , keluarga Rasulullah Saw. Ibnu Hajar berkata:

"Dan kami akan tutup (pembahasan ini) dengan thariqah yang agung dan tinggi kadarnya, karena para masyciyikh thariqah tersebut dari awal sampai akhir adalah dari cilil bait. Semua mengambil dari ayahnya. Berkata al-Quthb Abu Bakar Alidrus, 'Aku memakai khirqah tersebut dari al-Quthb Abdullah Alidrus' (kemudian al-Imam Ibnu Hajar menyebutkan nasab sekaligus sanad Imam Abu Bakar Alidrus sampai Rasulullah Saw.)."

Jika gentle , tidak perlu  Imaduddin banyak berasumsi untuk menjawab fakta. Dia semestinya bisa mengakui kenyataan bahwa para ulama besar di atas mengakui keabsahan nasab Ba'alawi dan memiliki pandangan yang berbeda dengannya walaupun kenyataan itu pahit baginya . Semua alasan pembatalan yang dikemukakan tidak bisa mengubah fakta tersebut. Biarkanlah umat memilih : ingin mengikuti para ulama besar yang mengakui nasab Ba'alawi atau mengikuti pandangan pribadi Imaduddin  bin  Sarman yang membatalkannya dan bertentangan  dengan pandangan  para ulama besar tersebut!

C.    Hanya Imaduddin yang Benar, yang Lain Salah
Dahulu kala, para ulama besar dengan segala keluasan ilmunya, ketika memiliki pendapat dalam sebuah masalah ijtihad dan meyakini pendapatnya benar, mereka tetap tidak menutup celah kemungkinan pendapatnya salah dan pihak lain yang benar. Para ulama berkata:

"Jika kami ditanya tentang mazhab (pandangan ijtihad) kami dan mazhab selain kami, wajib kami mengatakan bahwa mazhab kami benar namun berpotensi salah, sementara mazhab orang yang berbeda dengan kami salah namun berpotensi benar."

Hal ini berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukkan Imad. Meskipun pendapatnya bertentangan dengan ulama-ulama besar yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi dan pendapatnya sy<idz (menyelisihi semua ulama), bahkan munharif (menyimpang), Imaduddin dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa pendapatnya tentangpembatalan nasab Ba'alawi merupakan hal yang qath'i (memiliki kebenaran absolut). Bagi Imad, pendapat semua ulama yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi sudah pasti salah. Konsekuensinya, mereka yang menyatakan nasab Ba'alawi secara sahih seolah-olah tidak paham ilmu nasab, syariat, dan sejarah. Hanya dia sendiri yang paham .
Tidak sampai di situ, dia juga menegaskan bahwa dirinya tidak akan percaya pada kesahihan nasab Ba'alawi meskipun ulama dari seluruh dunia dan semua ahli fatwa telah mengeluarkan fatwa bahwa nasab tersebut sahih, "walau aftal muftun ".
Jika yang menyatakan dan  mengakui keabsahan nasab S<idah Ba'alawi hanya satu atau dua ulama, mungkin saja keduanya salah. Namun, dalam hal ini pengakuan itu datang dari sangat banyak ulama, bahkan tembus angka ratusan . Apakah mereka semua salah berjamaah dan tidak mengerti ilmu nasab dan syariat secara berjamaah? Dan, apakah hanya dia yang benar dan mengerti?
Fenomena orang seperti ini mengingatkan kami kepada perkataan al-Imam Zufar:

"Aku tidak berdebat dengan siapa pun sampai dia berkata, 'Aku salah.' Akan tetapi, aku akan mendebatnya sampai dia gila. Ada yang berkata kepada Zufar, 'Apa maksud sampai dia gila?' Zufar berkata, 'Dia gila ketika memiliki pendapat yang tidak dikatakan oleh satu orang pun ."'

D.    Jika Nasab Ba'alawi Dibahtsul-masailkan oleh NU
Ada pihak yang gembar-gembor agar masalah keabsahan nasab Ba'alawi dikajidiskusikan (bah_tsul mas<iil) oleh NU . Tentunya, jika ingin dilakukan, ia Mas<iiL_
Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdhatul Ulama (NU) yang diselenggarakan Januari 1992 di Bandar Lampung menggariskan aturan main terkait metodologi pemmusan dan pengambilan hukum dalam Bahtsul Mas<iil NU sebagai berikut: Pertama, pada bagian mukadimah dituangkan pokok-pokok pikiran tentang tanggung jawab yang besar yang dibebankan di pundak NU dalam memajukan kehidupan beragama Islam di Indonesia, temtama dalam memberikan petunjuk pelaksanaan  ajaran Islam dalam  segala aspek kehidupan . Diakui secara jujur bahwa Bahtsul Mas<iil dengan al-kutub al-mu'tabarah telah mampu memberikan sumbangan yang tak ternilai bagi  NU. Meski  demikian, berbagai  kelemahan yang ada di dalamnya mempakan  suatu kenyataan yang hams diatasi, temtama
menyangkut hal teknis.
Kelemahan  teknis tersebut  ialah kelemahan  dalam  hal cara pembahasan ( kaifiyat al-bahts). Hal ini tecermin pada kesepakatan memilih pola bermazhab yang belum tegas, antara manhaji dan qauli. Inilah yang menjadi hambatan kejiwaan yang cukup besar bagi para ulama untuk berkecimpung  dalam bidang istinbat. Di samping itu, kelemahan teknis tecermin pula pada metode pemilihan salah satu qaul atau wajh dalam menangani kasus-kasus yang masih belum satu pendapat dalam kitab-kitab mjukan, dan akhirnya belum dapat dilaksanakannya secara baik.
Kedua, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas, Munas memutuskan bahwa prosedur pemberian jawaban terhadap permasalahan atau kasus disusun dalam umtan sebagai berikut .

1.    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh "teks kitab" dan di sana terdapat hanya satu qaul atau wajh, dipakailah qaul atau wajh sebagaimana yang termaktub  dalam teks tersebut.
2.    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh "teks kitab" dan di sana terdapat lebih dari satu qaul atau wajh, dilakukan taqrirjama'i untuk memilih salah satu yang ashlah atau aqwa (paling sejalan dengan kemaslahatan atau paling kuat dari segi argumentasi atau dalil).
3.    Dalam kasus tidak ada qaul atau wajh sama sekali yang memberikan penjelasan, dilakukan prosedur ilhaq al-mas<iil bi nadhairiha secara jama'i .
4.    Dalam kasus tidak ada qaul atau wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, dilakukan istinbath jama'i dengan prosedur bermazhab secara manhaji  oleh para ahlinya.183

Jika menerapkan metode ini dalam masalah keabsahan  nasab  Ba'alawi, statusnya jelas masuk dalam poin nomor satu dari empat poin di atas yang harus ditempuh secara berurutan . Hal ini karena keabsahan nasab Ba'alawi adalah masalah manshushah (yang tertulis secara spesifik)  dalam  banyak kitab muktabar sehingga tidak membutuhkan ilhaq al-mas<iil bi nadhairiha, apalagi ijtihad baru. Selain itu, perkataan ulama dalam kitab-kitab muktabar yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi dan mengakuinya sangat banyak, sebagaimana telah kami tuangkan dalam Bab I. Dalam hal ini tidak ada satu pun ulama muktabar yang melakukan pembatalan terhadap  nasab  Ba'alawi. Jadi, jika ingin dikaji dengan metode yang benar sesuai aturan NU, pandangan Imaduddin sudah pasti gugur dan nasab Ba'alawi jelas keabsahannya .
 
KETIGA Kesesatan Logika

Di antara penyebab penyimpangan Imaduddin adalah  kesimpulan yang diambil dari kesesatan logika berpikir. Logika sesat itu akhirnya melahirkan  kesimpulan  yang  menyesatkan .  Berikut  ini  di  antara
bentuk kesesatan logika tersebut .

A.    Tidak Disebutkan Berarti Tidak Ada
Salah satu poin  besar syubhat yang disampaikan Imaduddin adalah keberadaan Abdullah/Ubaidillah sebagai anak dari Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Naqib, yang merupakan kakek dari Habaib Ba'alawi, tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Menurutnya, kitab-kitab nasab yang dimulai abad ke-5 sampai permulaan abad ke-9 (selama 543 tahun) tidak menyebutkan anak Ahmad al­ Muhajir bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah . Beberapa kitab tersebut sebagai berikut .
1.    Tahdzibu al-Ans<ib karya al-'Ubaidili (w. 431H)
2.    Al-Majdi karya al-'Umari (w. 490 H)
3.    Muntaqalat al-Thalibiyyah karya Ibnu Thabthaba (w. 400-an H)
4.    Al-Syajarah al-Mub<irakah "yang diklaim" sebagai karya Fakhr al-Din al-Razi
(w. 606 H)
5.    Al-Fak hri karya al-Mirwazi (w. 614 H)
6.    Al-Ashili karya Ibnu al-Thaqthaqi (w. 709 H)
7.    'Umdatu al-Th<ilib karya Ibnu 'Anabah (w. 828 H)

Nama Abdullah sebagai anak Ahmad al-Muhajir bin Isa barn muncul di akhir abad ke-9 dan di awal abad ke-10 dari segelintir kitab yang keterangannya lemah tanpa referensi, bagaikan muncul dari ruang hampa. Nah, karena kitab­ kitab tersebut tidak menyebutkan status Ubaidillah/ Abdullah sebagai putra Ahmad bin Isa, berarti tidak ada anak Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah . Dengan demikian terbukti bahwa nasab S<idah Ba'alawi terputus dari Rasulullah Saw. karena terhenti pada Ubaidillah/ Abdullah . Demikianlah syubhat yang di­ lontarkan Imaduddin .
Mari kita jawab secara runut.
1. Tujuh kitab yang dikutip Imaduddin memang tidak menyebutkan Ubaidillah/ Abdullah sebagai anak dari Ahmad bin Isa.Namun, yang perlu diperhatikan, tidak ada satu pun dari kitab tersebut yang menafikan Abdullah sebagai putra Ahmad bin Isa. Tidak mendapatkan bukan berarti tidak ada, atau senada dengan hal tersebut; tidak disebutkan bukan berarti tidak ada. Mungkin saja ada, hanya saja tidak disebutkan di tempat tersebut, tapi disebutkan di tempat lain. Ini merupakan logika yang sangat mendasar dalam sebuah kajian ilmiah.

"Kaidah ilmiah yang populer berbunyi; tidak menemukan sesuatu tidak mengharuskan sesuatu itu tidak ada. Ketika mencari sesuatu namun sesuatu itu tidak ditemukan, hal itu tidak mengharuskan sesuatu itu tidak ada."

Begitu pula dalam kaidah ilmu nasab. Tidak menyebutkan berarti sukut (diam). Sukut tidak berarti apa-apa, baik isbat (menetapkan) maupun nafi (menafikan) . Berikut keterangannya :

"Diam tentang sebuah nasab dan tidak menyebutkannya  tidak  memiliki arti menurut ilmu nasab. Orang yang diam tentang nasabnya kemungkinan karena ketidaktahuan, mengambil dari orang yang tidak tahu, atau karena membatasi atas apa yang telah disebutkan. Mungkin saja nasab yang tidak disebutkan tadi disebutkan dalam kitab lain yang belum sampai kepada kita."

2.    Tidak menyebutkan nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa disebab­ kan kitab tersebut memang ringkasan (mukhtasharat) sehingga hanya menyebutkan sebagian. Bisa pula karena muallif menyebutkan berdasarkan informasi yang ada padanya sehingga tidak menutup adanya informasi tambahan lain. Seluruh penulis dari tujuh kitab yang disebutkan tidak ada yang mensyaratkan dalam kitabnya "mencantumkan seluruh nasab yang ada" atau syarthu al-hashri wa al-istiqsha . Para penulis itu sendiri tidak pernah menutup adanya nama-nama lain yang belum ia cantumkan. Bahkan, empat kitab (Tahdzibu al-Ansab, al-Fakhri, al-Ashili, dan 'Umdatu al­ Thalib) secara eksplisit menyebutkan huruf (1)4) ketika menyebutkan anak Ahmad bin Isa, yang berarti al-Tab'idh/sebagian/ di antaranya .
Sebagai contoh, dalam kasus ini, penulis kitab Syajarah  M ubarakah
tidak  mensyaratkan  ihathah  (menyebut  secara  keseluruhan). Bahkan,  di awal kitabnya beliau menegaskan bahwa kitab tersebut hanya mukhtashar
(ringkasan). Setelah basmalah, beliau menuliskan :

"Ini adalah ringkasan dalam ilmu nasab" (al-Syajarah al-Mubarakah, him. 3). Artinya, yang beliau sebutkan hanya sebagian saja dari nasab keturunan Nabi Saw.

Al-'Ubaidili (w. 435 H), saat menyebut keturunan Ahmad bin Isa dalam Tahdzibu al-Ans<ib , hanya menyebutkan satu individu dari keturunannya yang keempat dengan mengatakan, "Di antara keturunannya adalah ...". Kata di antara keturunannya menunjukkan bahwa beliau tidak bermaksud menyebut semua. Al-'Umari (abad kelima), ketika menyebut keturunan Ahmad bin Isa, juga hanya menyebutkan salah satu keturunannya yang terpaut  empat  generasi.
Marwazi al-Azwarqani (wafat abad keenam), ketika menyebutkan keturunan Ahmad al-Muhajir, hanya menyebut "Ia memiliki banyak ke­ turunan", kemudian menyebut satu dari keturunannya yang keempat.
Muayyiduddin (wafat abad ke-8), ketika menyebutkan keturunan Ahmad bin Isa, hanya menyebutkan salah satu keturunannya yang ber­ selang empat generasi. Begitulah pula Ibnu Inabah (wafat abad ke-9), yang hanya menyebutkan satu keturunan yang berselang empat generasi tanpa menyebutkan siapa saja anak-anak Ahmad al-Muhajir.
Jadi, kesimpulan awalnya, tidak disebutkannya Abdullah/Ubaidillah sebagai bagian dari anak Ahmad bin Isa dalam kitab-kitab di atas sama sekali tidak bisa diartikan bahwa tidak ada anak Ahmad bin Isa yang ber­ nama Abdullah/Ubaidillah . Hal ini karena semuanya hanya menulis ber­ dasarkan informasi yang dimiliki atau sesuai dengan karakter kitab sebagai mukhtashar (ringkasan).

3.    Lantas, apa alasan nama Ubaidillah bin Ahmad tidak disebutkan sebagai anak Ahmad dalam kitab-kitab tersebut? Hal ini dijawab salah satu pakar nasab internasional, al-Nassabah Sayid Mahdi Raja'i, yang merupakan muhaqqiq kitab al-Syajarah  al-Mubarakah dalam surat keterangannya sebagai ahli yang telah kami tampilkan di akhir Pasal 2 Bab I:

"Tidak disebutkan salah satu putra Ahmad  bin  Isa,  bernama  Abdullah atau Ubaidullah, tidak meniadakan keberadaannya . Ini biasa terjadi pada banyak kitab nasab yang dikumpulkan dan ditulis pada masa-masa awal. Banyak faktor yang menyebabkan nama seseorang tidak disebutkan dalam kitab nasab, antara lain karena situasi sosial dan politik pada zamannya atau tidak  tersedianya informasi tentang nama tersebut bagi para ulama nasab karena jarak atau wilayah yang jauh tempat mereka berimigrasi. Dalam kasus Abdullah atau Ubaidillah, jelas, beliau hijrah ke daerah di luar wilayah para penulis kitab-kitab nasab pada masa-masa permulaan-yang umumnya berada di Irak dan Iran-menyebabkan namanya tidak sampai dalam buku nasab."

4.    Al-'Allamah Abu Laits al-Kattani mengatakan :

"Ketahuilah bahwa tidak disebutkan sebuah nasab atau cabang keluarga dalam suatu buku bukan berarti menunjukkan ketiadaan meskipun penulis buku memastikan hal tersebut. Dikecualikan jika tidak ada sama sekali keberadaannya dalam kitab-kitab lain yang dijadikan rujukan dalam fan ini (ilmu nasab). Hal ini dapat diketahui dari pengalaman menggeluti bab nasab dan mendalaminya . Inilah kaidah yang disepakati (ijmak) oleh ulama ahli nasab."

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa sebuah nasab yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab tertentu bukan berarti nasab tersebut tidak ada, kecuali jika tidak ada sama sekali dalam  kitab-kitab rujukan nasab lainnya.Yang menjadi pertanyaan, meskipun nasab Ba'alawi tidak disebutkan pada kitab-kitab itu, apakah ia disebut oleh kitab-kitab nasab yang lain?
Sangat banyak kitab nasab otoritatif yang menyebutkan Abdullah/ Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, yang otomatis menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi, sebagaimana telah diuraikan panjang lebar pada Pasal 2 Bab I. Bahkan, keterangan dari kitab-kitab nasab tersebut divalidasi dan dikuatkan informasinya berdasarkan catatan informasi sejarah yang melimpah ruah dari berbagai kitab sejarah, tanijim, tsabat, as<inid tentang status Ba'alawi sebagai asyraf keturunan Rasulullah Saw.
Di sisi lain tidak ada referensi muktabar yang menafikannya se­ hingga tidak ada yang bertentangan . Artinya, referensi-referensi  yang menyebutkan status Ubaidillah sebagai salah satu anak Ahmad bin Isa merupakan tambahan data dan informasi bagi tujuh referensi Imaduddin yang tidak menyebutkannya . Karena itu, informasi tambahan inilah yang dijadikan pegangan, sesuai kaidah dalam ilmu periwayatan;
"Yang memiliki informasi adalah hujjah bagi yang tidak memilikinya"
dan kaidah;

"Tambahaninformasi dari orang yang terpercaya (tsiqah) itu diterima.

Soal tambahan informasi dari seorang tsiqah dalam periwayatan, al-Hafidz al-'Iraqi mengatakan :

Al-Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani juga menjelaskan bahwa tambahan dari seseorang yang tsiqah tanpa menafikan keterangan  lain adalah tambahan yang diterima.189

Jika tambahan seorang yang tsiqah saja diterima, bagaimana dengan tambahan puluhan orang tsiqah dan kredibel di bidangnya. Dalam tujuh kitab yang disebutkan  di atas memang tidak disebutkan nama Ubaidillah/

Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa, namun mereka juga tidak menafikan dan tidak ada nassabah yang menafikan. Selain ketujuh kitab itu, ditemukan pula kitab-kitab nasab kredibel lain yang mengisbat status Ubaidillah/ Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa dan S<idah Ba'alawi sebagai asyraf . Belum lagi ditambah dengan catatan sejarah yang melimpah dalam kitab­ kitab tarikh, tarajib, tsabat, dan as<inid, sebagaimana  telah kami uraikan dalam Bab I Pasal 2, 3, dan 4. Kesimpulannya, semua kitab-kitab yang mengisbat Abdullah/Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa adalah pelengkap kekurangan informasi yang ada di tujuh kitab yang disebutkan Imad.

5.    Kitab-kitab nasab  yang  saling melengkapi informasi, dalam ilmu nasab adalah fenomena yang sangat biasa dan lumrah. Jika pembaca menelaah dengan jeli apa yang kami jelaskan di Pasal 2 Bab 1, masing-masing ahli nasab hanya menyebutkan apa yang mereka tahu tanpa menafikan yang lainnya.
Penulis al-Syajarah al-Mubarakah Qika kita anggap ini adalah karya seorang ahli nasab) menyebutkan bahwa putra Imam Ahmad al-Muhajir ada tiga: Muhammad, Ali, dan Husain (tanpa menyebutkan Abdullah/Ubaidillah). Pengarang  Tuhfatu  al-Azhar  menyebutkan  bahwa  putra  Ahmad  al­
Muhajir ada tiga, yaitu Abdullah, Muhammad, dan Ali Zainal Abidin (tanpa menyebutkan  Husain).
Dua keterangan ini tidak bertentangan tapi saling melengkapi. Oleh sebab itu, dalam Musyajjar Abu Alamah disebutkan bahwa putra Ahmad al­ Muhajir ada empat: Muhammad, Ali, Husain, dan Abdullah .
Demikian pula dalam kitab Bahr al-Ans<ib Musyajjar al-Kasysy<if karya Sayid Muhammad bin Ahmad bin Amidudin bin Husain al-Najfi (hidup pada abad ke-9 dan ke-10 H) yang tidak menyebutkan Abdullah sebagai putra dari Ahmad Muhajir. Dalam kitab asli (yang bertanda panah di sebelah kiri merujuk pada gambar di halaman 19 ) disebutkan bahwa keturunan Ahmad al-Abah (al-Muhajir) ada lima orang: al-Ridha, Ahmad, Hasan/Husain, Ali, dan Muhammad (tidak menyebutkan Abdullah) .

Kemudian, al-Hujjah Murtadha al-Zabidi (seorang ahli nasab yang hidup pada abad ke-11 dan permulaan abad ke-12) melengkapi catatan nasab ini dalam ta'liq-nya atas Musyajjar tersebut, sebagaimana dapat dilihat dalam gambar yang telah kami muat di Pasal 2. Di situ tertulis:

"Kepadanya kembali nasab s<idah (keturunan Nabi Saw.) Yaman dari jalur Ubaidillah bin Ahmad ."

Tambahan keterangan dari seorang ahli yang tsiqah adalah hujah . Informasi dari yang mengetahui didahulukan daripada yang tidak mengetahui karena yang mengetahui memiliki tambahan informasi.
Contoh berikutnya, agar lebih jelas bahwa tidak disebutkannya suatu nama dalam suatu kitab nasab adalah hal yang umum terjadi, mari kita bandingkan kitab al-Syajarah al-Mubarakah dengan kitab lain berikut ini.
Dalam Tahdzibu al-Ans<ib, al-Ubadili (w. 435 H) menyebutkan bahwa putra Muhammad bin Isa al-'Uraidhi yang berketurunan ada lima orang. Berikut redaksinya :
"Keturunan Muhammad bin Ali al-'Uraidhi berasal dari (1) Abi al-Husain Isa al-Naqib, dan keturunan beliau ini banyak, (2) Yahya bin Muhammad,
(3) Hasan bin Muhammad, (4) Husain bin Muhammad, dan (5) Ja'far bin Muhammad ." (Tahdzib al-Ans<ib, him. 175).

Dalam al-Syajarah al-Mubarakah, yang dinisbahkan secara janggal kepada Imam Fakhru al-Din al-Razi (w. 606 H), keturunan Muhammad bin Ali al­ 'Uraidhi ada tujuh orang.

Adapun Muhammad al-Akbar bin Ali al-'Uraidhi yang memiliki keturunan darinya ada tujuh orang: Isa al-Akbar al-Naqib, al-Hasan, Yahya, Muhammad, Musa, Ja'far, al-Husein, dan yang paling banyak keturunannya adalah Isa. Adapun yang lain keturunannya sedikit.
Al-Syajarah al-Mub<irakah memberikan tambahan informasi dua nama anak Muhammad bin Ali al-'Uraidhi yang tidak disebutkan dalam Tahdzibu al-Ans<ib, yaitu Musa dan Muhammad . Jika pakai logika Imad, tambahan dua nama ini tidak bisa dibenarkan karena tidak ada referensi yang lebih dulu. Namun, jika menggunakan kerangka berpikir ilmu nasab, tambahan tersebut sudah benar dan merupakan pelengkap informasi dari kitab sebelumnya. Jika pola pikir Imaduddin diterapkan, tatanan ilmu nasab yang dibangun para ulama selama berabad-abad akan menjadi berantakan . La haula wa ia quwwata ma bill<ih.

Kesimpulannya, kerangka berpikir Imaduddin yang menyimpulkan Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa-lantaran tujuh kitab tidak menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa-merupakan bentuk kecacatan logika. Kerangka berpikir yang benar, tidak disebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bukan berarti Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa. Faktanya, ada kitab-kitab lain yang menegaskan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa sehingga kitab-kitab tersebut saling melengkapi informasi.

B.    Hanya Menyebutkan Sebagian Berarti Menafikan Sebagian Lainnya (al-Syajarah al-Mubarakah)
Imaduddin menjadikan keterangan dari al-Syajarah al-Mubarakah sebagai titik tumpu dalam membatalkan nasab Ba'alawi . Imaduddin berargumen al­ Syajarah al-Mubarakah hanya menyebutkan anak Ahmad bin Isa ada tiga: Muhammad, Ali, dan Husein .

Hanya menyebutkan tiga berarti menafikan yang lain, termasuk meniadakan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa.
Lagi-lagi, kerangka berpikir Imaduddin yang seperti ini merupakan kesesatan logika. Berikut ini penjelasannya .
Sebagaimana mengisbat butuh dalil, menafikan juga butuh dalil. Al- Imam al-Zarkasyi mengulas hal tersebut sebagai berikut :

Dalil otoritatif yang mengisbat nasab S<idah Ba'alawi melalui jalur Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sangat banyak dan gamblang, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I.Apakah ada keterangan yang menafikan Ubaidillah sebagai anak Ahmad? Jawabannya tidak. Selama ratusan tahun tidak ada satu pun nassabah yang menafikan Ubaidillah sebagai anak Ahmad . Menurut Imad, yang menafikan ada, yaitu kitab al-Syajarah al-Mubarakah,  karena  hanya  menyebutkan  tiga  orang. Di sinilah letak kekeliruan Imad. Menyebutkan tiga bukan berarti menafikan yang lain.
Contoh, ketika menyebutkan hadis tentang 10 sahabat yang mendapatkan kabar gembira jaminan masuk surga dari Rasulullah Saw., al-Imam al-Hafidz al­ Munawi menjelaskan bahwa angka 10 itu tidak berarti menafikan ada sahabat lain, di luar yang sepuluh, yang mendapat kabar gembira jaminan surga dari Rasulullah Saw. Berikut penjelasan al-Munawi :
"Pemberian kabar gembira (dalam suatu hadis) kepada 10 orang sahabat tidak menafikan ada pemberian kabar gembira Gaminan surga) kepada selain mereka di luar hadis tersebut . Sebabnya (penyebutan) jumlah tidak menafikan tambahan lainnya."

Dalam keterangan lain yang menjelaskan tentang penyebutan jumlah, al­ Munawi juga menjelaskan :

"Kunci-kunci hal gaib-yaitu khazanah-khazanah hal gaib atau hal yang menyampaikan kepada hal-hal gaib dalam bentuk isti'arah-ada lima, yakni hanya menyebutkan lima, walau kunci-kunci hal gaib tak terbatas. Hal ini karena (penyebutan) jumlah tidak menafikan tambahan lainnya."

Al-Hafidz al-Munawijuga menjelaskan dalam kesempatan lain bahwa penyebutan jumlah tertentu tidak menunjukkan hashr (pembatasan). Beliau berkata :

"Tidak ada pertentangan antara perkataannya (yang menyebutkan) empat dan perkataannya tadi (yang menyebutkan) enam dan lima karena menyebutkan suatu jumlah tidak menunjukkan hashr (pembatasan)."

Dari sini menjadi jelas bahwa kesimpulan Imaduddin soal penyebutan jumlah anak Ahmad bin Isa yang tiga (Muhammad, Ali, dan Husein) berarti menafikan yang lain (termasuk Ubaidillah/ Abdullah) merupakan kesimpulan yang salah karena penyebutan jumlah tidak menafikan tambahan lainnya danjuga tidak menunjukkan hashr (pembatasan).
Jika  berkeras  mengatakan  bahwa  menyebutkan  tiga  berarti  menafikan
lainnya, berarti Imaduddin menggunakan mafhum al-'adad (.3..lJJ I r). yaitu menafikan keberadaan hal lain di luar jumlah yang disebutkan secara eksplisit.
Pemahaman sederhananya, jika al-Razi menyebutkan anak Ahmad bin Isa ada tiga (Muhammad, Ali, dan Husein) apakah lantas menafikan selain 3 tersebut?
Imaduddin meyakini bahwa al-Syajarah al-Mubarakah merupakan karya Fakhru al-Din al-Razi sehingga apa yang disampaikan penulis hams dipahami sesuai dengan apayangbeliau maksudkan .Hal inikarena adakaidah..J2!'j}I
Jllll I      ti. (maksud dari sebuah ungkapan tergantung tujuan dari orang yang mengucapkan). Mari kita pahami redaksi al-Razi dengan kerangka berpikir beliau sendiri. Menariknya, ar-Razi sendiri menolak argumentasi mafhum al-'adad.195 Fakhru al-Din al-Razi menegaskan bahwa pembatasan sebuah penetapan dengan jumlah tertentu tidak menunjukkan jumlah tersebut menafikan tambahan lain, kecuali jika ada dalil terpisah yang menjelaskan penafian tersebut. Berikut penjelasan al-Razi:

Berdasarkan kaidah yang al-Razi rumuskan dalam memahami teks, ketika disebutkan anak Ahmad bin Isa ada tiga (Muhammad, Ali, dan Husein), itu berarti tidak menafikan selain ketiganya, kecuali ada dalil terpisah lain yang menafikan. Faktanya, tidak ada dalil terpisah lain yang menafikan Abdullah/Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Yang ada justru keterangan lain dari berbagai kitab nasab yang mengisbat Abdullah/Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Dengan demikian, pemahaman Imaduddin dibantah oleh kaidah al-Razi sendiri.
Terlepas dari hal itu, dapat dipahami bahwa penggunaan referensi dalam al-Syajarah al-Mubarakah sebagai dalil untuk menafikan Ubaidillah tidak hanya gugur secara dalalatan (cara memakai redaksi al-Syajarah al-Mubarakah), tapi juga gugur secara tsubutan (penisbatan kitab tersebut kepada Imam al-Razi) karena bertentangan dengan kaidah berpikir al-Razi itu sendiri.

CATATAN KHUSUS:
Al-S yajarah al-Mubarakah yang Problematik

Selain terbantah secara dalalatan (pemahaman terhadap redaksi) dan tsubutan (kebenaran penisbahannya kepada Fakhru al-Din al-Razi), al-Syajarah al-Mubarakah yang dijadikan tumpuan dalil oleh Imaduddin juga bermasalah dari segi akurasi substansinya.

1.    Kejanggalan Penisbahan kepada Fakhru al-Din al-Razi
Dari aspek tsubut, kebenaran penisbahan kitab al-Syajarah al-Mubarakah kepada al-Imam Fakhru al-Din al-Razi (w. 606 H) diragukan dan dipertanyakan beberapa peneliti, seperti Dr. Muhamad Abu Bakar Badzeib dan al-Nassabah Ibrahim bin Manshur. Bahkan, Syaikh Muhammad Shaleh al-Zarkan dalam tesisnya tentang Fakhru al-Din al-Razi, yang mendapatkan predikat cumlaude,
mengategorikan kitab ini sebagai bagian dari lJ .!l_,s:..:.il    I (kitab-kitab
yang diragukan penisbahannya  kepada Fakhru al-Din al-Razi).197 Mengapa penisbahan  al-Syajarah al-Mubarakah janggal  dan diragukan?
a.    Dalam mukadimah tahkik yang ditulis tahun 1409 Hijriah him. 11, al­ Sayid Mahdi al-Raja'i menyebutkan bahwa satu nuskhah manuskrip dari al-Syajarah al-Mubarakah yang dinisbahkan kepada al-Razi  ditemukan oleh Ayatullah al-Mar'asyi (w. 1411 H), seorang pembesar ulama Syiah di perpustakaan Masjid Sultan Ahmed 3 di Istanbul, Turki. Berdasarkan penelitian atas nomor manuskrip yang disebutkan muhaqqiq kitab tersebut (nomor manuskrip 2688 dari Maktabah Ahmad al-Tsalits) teridentifikasi bahwa al-Syajarah al-Mubarakah sejatinya adalah kitab Bahr al-Ansab . Hal ini menunjukkan adanya  kesalahan identifikasi atau kebingungan terkait dengan kitab tersebut .

b.    Mahdi Raja'i sebagai muhaqqiq menyatakan demikian:

Berikut data berdasar Fihris al-Makhthuth<it al-Mushawwarah:

Berdasarkan nama Perpustakaan Sultan Ahmad Tsalis dan berdasar nomor manuskrip 2677 sangat jelas bahwa kitab al-Syajarah al-Mubarakah adalah kitab Bahru al-Ans<ib . Status dalam kitab ini pun "yunsabu" (dinisbahkan). Status "ins<ib" ini mengesankan bahwa belum adanya verifikasi secara valid bahwa kitab ini benar-benar merupakan buah tangan Imam al-Razi.
c.    Kejanggalan lain terkait dengan fakta bahwa kitab ini ditulis berdasarkan manuskrip salinan yang barn ditulis 200 tahun setelah Imam al-Razi wafat. Dalam catatan "Fihris Makhtuth<it" di atas dijelaskan bahwa manuskrip yang disimpan di Maktabah Sultan Ahmed Tsalits tersebut adalah salinan yang ditulis pada tahun 820 H, atau dengan kata lain terpaut lebih dari 200 tahun dari al-Razi. Jika menggunakan teori berpikir Kiai Imad, pencatatan buku ini telah hilang catatan sejarahnya selama 200 tahun . Fakta ini sangat layak untuk menguji validitas kitab al-Syajarah al-Mubarakah.

d.    Penulis manuskrip salinan tersebut, yaitu Wahid bin Syamsuddin, merupakan sosok yang tak terlacak (majhul). Tidak ada yang tahu siapa dirinya dan kredibilitasnya? Hal ini menimbulkan keraguan terkait keaslian dan validitas informasi dalam kitab tersebut. Benarkah salinan yang diklaim sebagai tulisan Imam al-Razi adalah tulisan beliau atau tulisan orang lain yang dinisbahkan kepada beliau? Pertanyaan-pertanyaan inti ini hams terjawab terlebih dahulu sebelum menjadikan kitab ini sebagai rujukan, lebih-lebih dengan begitu meyakinkan disebut sebagai "bayyinah sharihah".
e.    Setelah melacak ke berbagai referensi yang menyebutkan  biografi  al­ Razi dan karya-karyanya, selama hampir 800 tahun (606-1400 H) tidak ditemukan ulama yang menyebutkan bahwa al-Razi memiliki kitab berjudul al-Syajarah al-Mubarakah.200 Hal ini pun diakui secara  objektif oleh al­ Sayid Mahdi al-Raja'i dalam mukadimah tahkiknya .
f.    Di samping itu, tidak ada nusk hah pembanding yang dijadikan pegangan oleh al-Sayid Mahdi al-Raja'i dalam menahkik kitab ini sehingga kitab ini hanya nusk hah satu-satunya tanpa muqabalah dan tanpa ada satu  pun ulama yang menyebutkan selama 800 tahun bahwa Fakhru al-Din al-Razi memiliki kitab ini dalam ilmu nasab.
g.    Yang disebutkan para ulama, seperti Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) yang hidup sezaman dengan Imam al-Razi dalam Mu)am al-Buld<in, Imam al­ Razi-pada masa tuanya- meminta kepada muridnya, Ismail al-Mirwazi (w. 614 H), untuk menuliskan untuknya buku tentang nasab al-Thalibiyin . Sang murid pun menulis kitab tersebut dan memberi judul al-Fakhri, mengambil dari julukan gurunya, sebagaimana dicantumkan dalam mukadimah kitab tersebut. Lalu, Imam al-Razi belajar kitab tersebut dari muridnya.201 Kitab al-Fak hri karya al-Mirwazi ini ada dan diakui keberadaannya oleh para ulama. Berbeda dengan penisbahan al-Syajarah al-Mubarakah kepada al­ Imam al-Razi.
h.    Al-Imam Fakhru al-Din al-Razi dikenal sebagai seorang ulama besar Sunni Syafi'i. Anehnya, banyak hal yang mengindikasikan secara kuat bahwa penulis al-Syajarah al-Mubarakah adalah seorang yang berideologi Syiah. Di antaranya sebagai berikut .

1)    Pada halaman 78 dalam kitab al-Syajarah al-Mubarakah, tatkala penulis menyebutkan putra dari al-Imam Hasan al-'Askari, dikatakan :

Penulis kitab al-Syajarah al-Mubarakah menyebutkan anak al-Imam Hasan al-'Askari adalah sh<ihibu al-zam<in. Yang dimaksud "sh<ihibu al-zam<in" adalah al-Imam Mahdi, imam ke-12 yang diyakini kelompok Syiah sebagai putra al-Imam Hasan al-'Askari (imam ke-11) yang disembunyikan Allah. Karena itu, dalam redaksi al-Syajarah al-Mubarakah tersebut dilanjutkan dengan doa "semoga Allah mempercepat kemunculannya yang mulia". Keyakinan ini identik dengan keyakinan Syiah sehingga sangat aneh jika kata-kata di atas dinisbahkan kepada Imam al-Razi yang notabene adalah ulama besar Sunni Asy'ari. Ini benar-benar tertulis dalam manuskrip, bukan hanya tambahan muhaqqiq .

2)   Penulis al-Syajarah al-Mubarakah menjuluki Abu Abdillah Ja'far sebagai
al-Kadzdz<ib. 202 Ini sangat kontradiktifuntuk sosok intelektual Sunni macam Imam al-Razi, bahkan untuk orang Sunni bodoh sekalipun.203

3) Dari naskah makthut yang ada, penulis al-Syajarah al-Mub<irakah tampak sangat fasih memakai kata '"alaihissal<im" untuk nama-nama ahli bait dan 'itrah, dan doa "'ajjallallahufarajahu" untuk anak Hasan al-Askari yang diatribusi sebagai sh<ihib al-zam<in.204 Taruhlah konsep "'alaihissal<im" untuk ahli bait dan teologi Imam Mahdi bukan sesuatu yang kontroversial
bagi orang Sunni, atau bahkan untuk Imam al-Razi sekalipun.205 Namun,
pada kesempatan lain, yakni kala al-Syajarah al-Mubarakah menyebutkan keturunan Sayidina Umar bin al-Khaththab206 dan Sayidina Abi Bakr al­ Shiddiq,207 ternyata sepi dari ucapan taradhi (lantunan doa "radhiyall<ihu 'anh") untuk kedua khalifah tersebut.
Pasalnya, selain memiliki "beban teologis" selayaknya bagi orang Sunni terhadap khalifah pertama dan kedua dalam sejarah Islam untuk menyebut taradhi , Imam al-Razi punya "beban biologis" karena terkonfirmasi berdarah Quraisy dari Kabilah al-Taimi, sekaligus keturunan biologis dari Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq al-Taimi.  

Kejanggalan-kejanggalan teologis di atas bukan soal kredibilitas penulis sebagai Sunni atau Syiah. Kalangan Syiah pun banyak memiliki nassabah. Tapi, ini soal penisbahan kitab, yang banyak memuat hal-hal yang identik dengan Syiah, kepada seorang ulama besar Sunni yang sangat populer, yaitu Fakhr al-Din al-Razi. Jadi, hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Muhammad bin Umar bin al-Hasan-yang tertulis dalam naskah Wahid bin Syamsu al-Din sebagai penulis al-Syajarah al-Mubarakah-adalah Fakhr al-Din al-Razi yang ulama  kenal dan sepakati sebagai Sunni atau Fakhr al-Din al-Razi "Syiah" yang maj hul namun bernama dan berjulukan sama sebagai "al-Razi"?
Pertanyaan terakhir ini secara spesifik untuk mengukur sejauh mana kita bisa mengandalkan kitab nasab yang penulisnya sendiri sangat sulit diidentifikasi. Identifikasi penulis sangat krusial karena dari sanalah sebuah pendapat  dianggap otoritatif atau tidak.
Tidak heran, jika Syaikh Muhammad Shaleh al-Zarkan dalam tesisnya
mengategorikan kitab ini sebagai kitab yang diragukan penisbahannya kepada Fakhru al-Din al-Razi (lJ .!l_µI    l).2os
Jika melihat indikator-indikator di atas, keabsahan penisbahan kitab al-Syajarah al-Mubarakah kepada Imam al-Razi memang meragukan dan patut dipertanyakan . Dan, kitab inilah yang dijadikan salah satu rujukan utama oleh Imaduddin . Diragukannya penisbahan kitab ini kepada Fakhru al-Din al-Razi membuat pengarang kitab ini majhul secara sosok dan kredibilitas dalam ilmu nasab. Dengan demikian, menjadikan kitab ini sebagai dalil secara tsubut sudah gugur.

2.    Ketidakakuratan Klaim Hashr dengan Jumlah Ismiyah
Bukan hanya penisbahan yangbermasalah .Akurasi substansi dan kebenaran berbagai klaim hashr (pembatasan) yang ada dalam kitab ini juga bermasalah .

Peneliti sejarah, Rumail Abbas, dalam "Menakar Kesahihan Pembatalan Ba'alawi"
menjelaskan hal ini secara gamblang sebagai berikut.
"Penulis mengusulkan untuk menguji manual tersebut dengan kitab-kitab lain dari sampel acak atau terstruktur dari enam generasi secara berurutan di dalam al-Syajarah al-Mubarakah . Hal ini untuk membuktikan apakah inhishar tersebut bersifat faktual-historis atau hanya bersifat manual prediktif (seperti yang telah disebutkan bahwa al-Syajarah al-Mubarakah hanya "kitab ringkasan", yang berarti tidak syumul dan ihathah)?"209
Beberapa uji sampel nama al-Syajarah al-Mubarakah yang dapat penulis sajikan adalah sebagai berikut .210
Berdasarkan kategori, keturunan Imam Ali al-'Uraidhi dalam al-Syajarah al-Mubarakah dibagi menjadi tiga. (1) Berketurunan secara ittifaq.211 (2) Masih diperselisihkan para ulama.212  (3) Tidak berketurunan  secara ittifaq.213
Anak yang tergolong berketurunan secara ittifaq adalah Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-Uraidhi dan direportase oleh al-Syajarah al-Mubarakah (berdasarkan jumlah ismiyah) hanya memiliki tiga anak.214
Jumlah ini bertentangan dengan reportase al-'Ubaidili bahwa anak Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-'Uraidihi ada empat yang berketurunan .215 Kontradiksi yang sama didapatkan kala dikonfrontasi dengan reportase al-'Umari yang menyebutkan delapan anak dari Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-'Uraidhi (hanya dua yang mi'nats,216 dengan di-bold).217
Uji Sampel-1

Al-Syajarah (606 H)    Tahdzib al-Ans<ib (435 H)    Al-Majdi (490 H)

Ahmad al-Sya'rani bin Ali al-'Uraidhi
Ubaidillah (a), al-Husain, Muhammad    Ubaidillah (a), al-Husain, Muhammad, Ali (1)    Ubaidillah (a), al-Husain, Muhammad, Ali (1),
Abdullah (2),
Qasim (3),
Ja'far (4),
al-Hasan (5)
3    4    8

Perlu juga ditagih, jika al-Syajarah al-Mubarakah dipahami Penggugat hanya menulis nama-nama yang berketurunan sampai pada masa al-Razi, maka pada reportase yang lebih tua terkonfirmasi bahwa Ali (1), Ja'far, (4), dan al­ Hasan (5) memiliki keturunan yang tidak terputus (inqiradh).
Pertanyaan (14): dari mana al-Syajarah al-Mubarakah mendapatkan riwayat nama-nama yang ia tulis jika dua kitab nasab yang lebih tua mereportase jumlah yang lebih banyak dan separuh namanya berbeda (bahkan terkonfirmasi berketurunan )?

Permasalahan tidak selesai hanya dari Ahmad al-Sya'rani namun diteruskan pada anaknya yang direportase al-Syajarah al-Mubarakah  ....
Dengan jumlah ismiyah yang menurut Penggugat bersifat inhishar dan final, al-Syajarah al-Mubarakah mereportase Ubaidillah (a) hanya memiliki satu anak, yaitu Ali .
"Ali bin Ubaidillah (a) tinggal di Marand (Iran), kemudian menetap di Yazd Ishfahan (Iran). Di sinilah domisili keturunannya . Keturunan Ali dari dua lelaki: Muhammad Abu Ja'far dan Ubaidillah (untuk nama ini beserta keturunannya terdapat  kontroversi) ."218
Berdasarkan reportase yang lebih tua, al-'Umari mencatat :
"Di antara keturunan Ubaidillah (a) ialah Abu al-Kata'ib Nuh (tersisipi riwayat dari ayah al-'Umari) bin al-Muhsin bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah (a) bin Ahmad bin Ali al-'Uraidhi."219
Melalui metode musyajjar , penulis dapati Ubaidillah (a) memiliki anak bernama Ali, dan Ali menurunkan anak lelaki bernama Muhammad . Di sini al­ Syajarah al-Mubarakah telah lolos uji kecocokan dengan kitab nasab yang lebih tua berjudul  al-Majdi.
Jika dikonfrontasi dengan kitab ulama nasab sezaman (namun lebih awal terbitnya), yaitu al-Marwazi , ketidakcocokan barn tampak dari jumlah anak Ubaidillah (a) yang berjumlah dua (laki-laki), yaitu Ali Abu al-Hasan dan Ahmad, yang wilayah domisili keturunannya di Maragheh, Iran, sebagaimana reportase berikut ini:
"Dan bagi Ubaidillah (a) bin Ahmad ialah (keturunan bernama) Ali Abu al­ Hasan, dan Ahmad yang berketurunan di Maragheh . Dan bagi Ali bin Ubaidillah
(a) ialah dua anak lelaki yang berketurunan : Muhammad Abu Ja'far (Abu Ismail Al-Thabathaba'i sendirian mengisbat silsilahnya) dan Ubaidillah (Abu  Ismail al-Thabathaba'i mengisbatnya dan pendapatnya didukung Abu al-Ghana'im). Keturunan Ubaidillah (bin Ali bin Ubaidillah) berada di Marand dan Qazvin."220
Dengan redaksi yang tersusun dari jumlah ismiyah dengan khabar muqaddam, al-Syajarah al-Mubarakah memastikan Muhammad Abu Ja'far dan Ubaidillah tinggal di Yazd Ishfahan . Namun, reportase sezaman al-Syajarah al­ Mubarakah justru mereportase domisili keturunan Ali bin Ubaidilah tersebut di Marand dan Qazvin.221
Uji Sampel-2

al-Syajarah (606 H)    Al-Majdi (490 H)    al-Fakhri (612 H)
Ubaidillah (a.) bin Ahmad al-Sya'rani
Ali    Ali    Ali
Ahmad (di Marageh)
1    1    2
Ali bin Ubaidillah (a.) bin Ahmad al-Sya'rani
Muhammad, Ubaidillah    Muhammad    Muhammad, Ubaidillah
Yazd Ishfahan    -    Marand & Qazvin

Pertanyaan (15):jika jumlah ismiyah yang tersusun secara khabar muqaddam saja problematik untuk meng-inhishar nama, jumlah, dan lokasi, lantas bagaimana  dengan jumlah ismiyah belaka?
Kemudian, pada reportase nasab Ali al-'Uraidhi yang berketurunan  secara
ittifaq ialah Muhammad al-Akbar.

Menggunakan redaksi jumlah ismiyah yang tersusun secara khabar mu­ qaddam, al-Syajarah al-Mubarakah memastikan anaknya hanya ada tujuh: Isa, al-Hasan, Yahya, Muhammad, Musa, Ja'far, dan al-Husain .222 Akan tetapi, al-'Ubaidili mereportase anaknya ada enam223 dan al-'Umari mereportase anaknya ada sembilan .224
Jika jumlah dalam al-Syajarah al-Mubarakah lebih banyak daripada al­ 'Ubaidili, bisa dimengerti jika penambahannya (yaitu Musa [1]) berdasarkan reportase dari al-'Umari. Masih bisa ditoleransi pula jika Ishaq (3) tidak disebutkan al-Syajarah al-Mubarakah karena mi'nats, namun kontradiksi terarah pada Ibrahim (2) dan Ali (4) yang terkonfirmasi berketurunan namun tidak disebutkan dalam al-Syajarah al-Mubarakah.

Perhatikan tabel di bawah ini:

Uji Sampel-3

Al-Syajarah (606 H)    Tahdzib al-Ans<ib (435 H)    Al-Majdi (490 H)
Muhammad al-Ak bar bin Ali al-'Uraidhi
Isa,
Al-Hasan, Yahya, Muhammad Musa (1), Ja'far,
al-Husain    Isa,
al-Hasan, Yahya, Muhammad, Ja'far,
al-Husain    Isa,
al-Hasan, Yahya, Musa (1), Ja'far,
al-Husain, Ibrahim (2),
Ishaq (3),
Ali (4)
7    6    9

Kontradiksi al-Syajarah al-Mubarakah pun terjadi  kala  dikonfrontasi dengan kitab yang sezaman dengannya (namun diproduksi lebih awal), yaitu karya al-Marwazi yang mereportase anaknya ada lima (tertulis empat, namun Ja'far ditambahkan berdasarkan  pendapat yang sahih).225

Lihat tabel berikut ini:

Uji Sampel-4

 
Al-Syajarah (606 H)    Al-Fakhri (614 H)
Muhammad al-Akbar bin Ali al-'Vraidhi
Isa,
al-Hasan, Yahya, Muhammad Musa,
Ja'far,
al-Husain    Isa,
al-Hasan, Yahya,
al-Husain,
Ja'far (pendapat sahih)
7    5

Pertanyaan (16): dari mana al-Syajarah al-Mubarakah mendapatkan riwayat tentang angka dan detail nama keturunan Muhammad al-Akbar bin Ali al-'Uraidhi yang kontradiktif dengan tiga kitab nasab yang lebih tua darinya?
Hingga pada keturunan  Ali bin Muhammad Abu Ja'far yang direportase beranak tunggal226 , reportase bin Thaba Thaba menyebutkan ada tiga anaknya.227 Begitu pula anak Ali bin Muhammad Abu Ja'far bin Ahmad al-Abah direportase al-Syajarah al-Mubarakah beranak tunggal228 , namun reportase al-'Ubaidili dan al-Marwazi menyebut ada dua anak.229

Secara singkat, jika diperbolehkan menyusun pola, setiap 100 nama yang direportase al-Syajarah al-Mubarakah didapatkan 15-25 problem akurasi, baik untuk angka, nama, dan wilayah ketika dikonfrontasi dengan kitab nasab yang lebih tua dan sezaman (dalam konteks jumlah ismiyah, inhishar , dan khabar muqaddam yang diyakini Penggugat berarti spesifik, final, dan ta'kid).
Dalam perhitungan statistik, memakai persamaan Z-Score untuk mendapatkan konstanta margin error , kekeliruan pada 100 sampel yang ditoleransi secara ilmiah ialah sebesar 10%, atau 10 orang. Dan temuan yang penulis dapatkan telah  melewati ambang batas dapat ditoleransi (yaitu 15-25 sampel problematik)." 23
Semua uraian di atas menjelaskan bahwa menjadikan al-Syajarah a-Mubcirakah sebagai dalil pembatalan Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa adalah penggunaan dalil (istidalal) yang cacat, baik secara dalalatan (pe­ mahaman terhadap redaksi al-Syajarah al-M ubcirakah) atau tsubutan (ke­ abshan penisbahan kitab kepada Imam al-Razi) atau dari segi akurasi isi kitab itu sendiri. Wallcihu a'lam.

3.    Bantahan Muhaqqiq al-Syajarah al-Mubarakah terhadap Imad Imaduddin  menitikberatkan    argumennya  dalam  membatalkan  nasab Ba'alawi    kepada    keterangan    dari   al-Syajarah   al-Mubarakah .  Ternyata, pemahaman Imaduddin terhadap redaksi al-Syajarah al-Mubarakah dibantah dan diluruskan langsung oleh muhaqqiq kitab tersebut, yaitu al-Sayid Mahdi Raja'i. Gus Zaini mengirimkan pertanyaan-pertanyaan terkait hal tersebut kepada Mahdi Raja'i. Mahdi menjawabnya dengan bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh pelajar Indonesia di Iran. Wawancara tersebut secara utuh dimuat pada channel YouTube Zaini tertanggal 25 Juni 2024.231 Berikut kami tuangkan transkrip wawancara tersebut:

Penanya:
BismiUahirrahmanirrahim
Kepada yang mulia Ayatullah Mahdi Raja'i yang saya hormati. Mula-mula saya ucapkan terima kasih banyak yang telah memberi kami kehormatan dengan pertemuan ini di tengah kesibukan Antum. Yang kedua, kami ucapkan selamat atas hari kelahiran cucu Nabi Saw. yang dijuluki Karimah Ahlulbait Sayidah Fatimah binti Imam Musa al-Kazhim a.s. Karena itu, izinkan saya membacakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Ustadz Zaini. Beliau adalah salah satu asatidzah dan pegiat media sosial yang tinggal di Madura, Indonesia .

Pertanyaan tersebut sebagai berikut .
Pertama, akhir-akhir ini wacana yang memuat fitnahan dan bantahan terhadap validitas nasab keluarga Ba'alawi beredar di tengah masyarakat Indonesia. Argumen mereka ini terdiri atas dua perkara.
1. Tiadanya sosok Sayid Ubaidullah dalam tokoh sentral nasab  Ba'alawi sebagai salah satu anak Sayid Ahmad al-Muhajir dari kitab-kitab nasab yang sezaman atau dekat dengan masa Sayid Ubaidullah .
2. Sungguh, Imam al-Razi dalam  al-Syajarah  al-Mubarakah yang dinisbah­ kan kepadanya dan Antum, sebagai ulama yang melakukan tahkik atasnya, menggunakan kalimat dalam bentuk jumlah ismiyah ketika menyebutkan anak-anak Sayid Ahmad al-Muhajir. Penggunaan bentuk tersebut memiliki makna  hashr  sebagaimana  yang  lumrah  dalam  istilah  ahli  nasab  untuk memperkuat argumen orang-orang yang mengatakan bahwa anak-anak Sayid Ahmad al-Muhajir HANYA berjumlah tiga orang dengan Ubaidullah bukan salah satu dari mereka. Pertanyaannya, apakah argumen yang disampaikan orang-orang yang menyangsikan kebenaran  nasab  Ba'alawi ini sesuai dengan kaidah ilmu nasab atau tidak?

Sayid Mahdi Raja'i:
Bismillahirrahmanirahim
Pertama-tama, membuktikan kebenaran sebuah nasab atau status sayid sebuah keluarga menurut prinsip-prinsip Islam, baik fikih Syiah dan Sunni, dilandaskan pada bahwa mereka memiliki syuhrah atau reputasi di dalam masyarakat sebagai sayid selama ratusan tahun. Inilah kriteria kami di Iran untuk memvalidasi status siyadah seseorang adalah syuhrah. Jadi, begitu sebuah keluarga dikenal sebagai sayid selama seratus, dua ratus, atau tiga ratus tahun, status siyadah mereka terbukti valid sesuai dengan prinsip-prinsip fikih dan aturan ilmu nasab. Keluarga Sayid Ba'alawi telah dikenal luas sebagai sayid selama paling tidak sekitar tujuh atau delapan ratus tahun di seluruh penjuru dunia, baik itu Indonesia, Malaysia, Iran, Irak, dan Hijaz.
Sadah Ba'alawi merupakan keluarga sayid yang sangat besar. Saya pernah melihat sebuah yayasan wakaf besar di Makkah milik keluarga al-Saggaf, yang juga dikenal dengan al-Saggaf . Plang yang tertulis di sana mengatakan bahwa pewakafnya merupakan seorang sayid keluarga Ba'alawi . Bagaimanapun, syuhrah dan ketenaran keluarga Ba'alawi sebagai keturunan Nabi Saw. sudah cukup untuk membuktikan status siyadah atau kesayidan mereka. Selanjutnya, soal mengapa para ahli nasab dan ulama mutaqaddimin tidak menyinggung Ubaidullah bin Ahmad Muhajir? Perlu dikatakan bahwa mereka dapat berpikir demikian karena hidup pada era kemudahan komunikasi. Pada masa ini, apabila seorang anak lahir di sebuah penjuru dunia yang paling jauh, orang yang berada di belahan dunia yang lain dapat mengetahui bahwa anak tersebut lahir.
Pada masa lalu, fasilitas komunikasi seperti ini masih belum ada. Mereka tidak memiliki  kemudahan  komunikasi  yang kita miliki  saat ini. Kita sering menemukan kasus serupa dalam penelitian kitab-kitab nasab. Materi dalam kitab saya, Tuhfahal-Thalibfi Ans<ibi Ali Abi Th<ilib, salah satunya berkaitan dengan hal ini. Contohnya, ketika kita amati bahwa seseorang dalam kitab al-Fakhri tercatat memiliki dua anak, dalam kitab al-Syajarah al-Mubarakah disebutkan punya tiga
anak, sedang dalam 'Umdatu al-Th<ilib punya empat anak, dan masih banyak lagi. Dalam Tuhfah al-Th<ilib saya menyebutkan angka yang paling banyak, yakni empat atau lima anak.
Mereka adalah orang-orang yang hidup secara sembunyi-sembunyi karena berbagai alasan. Bahkan, kelahiran sebagian dari mereka pun disem­ bunyikan . Mereka hidup dalam persembunyian sejak lahir, terutama mereka­ mereka yang nantinya diketahui memiliki perselisihan dengan pemerintah . Karena situasi politik inilah mereka akhirnya melarikan diri. Sering terjadi kasus para ahli nasab tidak dapat menemukan garis keturunannya sama sekali karena masalah ini. Mereka tidak dapat menemukan seseorang yang bernama Ubaidullah, misalnya, bahkan tidak tahu bahwa orang ini ada. Namun, setelah beberapa waktu berlalu, ternyata Ahmad al-Muhajir memiliki seorang putra bernama Ubaidullah, barulah orang ini (Ubaidillah) diketahui.
Orangini pergi dari Makkah dan Madinah ke Basrah, kemudian dari sanapergi ke Hadramaut . Ia tinggal dan beranak keturunan di Hadramaut . Kasus seperti ini banyak terjadi dalam sejarah, dan bukan suatu hal yang sangat signifikan atau aneh sehingga menyebabkan keraguan . Keraguan mereka ini seperti meragukan hal yang sudah jelas, seperti orang yang meragukan keberadaan matahari. Kasus seperti ini banyak terjadi dalam sejarah, seperti Isa Mu'tamar al-Asybaar. Silakan dibaca kisah tentang beliau. Orang-orang yang hidup pada masanya tidak ada yang tahu bahwa dia adalah putra Zaid bin Ali. Bahkan, istrinya sendiri tidak tahu bahwa suaminya adalah putra Zaid bin Ali. Ketika putri Isa Mu'tamar al-Asybaar meninggal, dia menangis dan berkata, "Putriku meninggal dalam keadaan tidak tahu bahwa dia adalah keturunan Nabi." Dia sendiri meninggal dunia secara diam-diam dan kuburannya pun tidak diketahui.
Jadi, keadaan ini dalam sejarah tidak hanya terjadi pada Ubaidullah bin Ahmad  al-Muhajir.  Orang-orang  yang  tidak  terdeteksi  oleh  para  ahli  nasab pada zaman itu, nanti setelah bertahun-tahun  berlalu,  pelan-pelan  terdeteksi dan diketahui kemudian. Bahkan, di antara mereka ada ulama, tokoh, pembesar, dan orang-orang tersohor yang kami juga sebutkan dalam  Tuhfah al-Th<ilib Ji Ans<ibi Ali Abi Thalib berkaitan dengan orang-orang yang berasal dari keluarga ini, seperti keluarga Ba'alawi ini dan keluarga-keluarga sadah yang lain. Oleh karena itu, tidak ada keraguan tentang status sayid keluarga Ba'alawi  dan bahwa mereka adalah keturunan Ubaidullah putra Ahmad al-Muhajir.
Para ulama dan as<itidz terkemuka, seperti Ayatullah al-Uzma Sayid Syihabuddin Mar'ahi Najafi, juga telah mengonfirmasi masalah ini dan mengakui bahwa keluarga Ba'alawi adalah s<idah dan memiliki syuhrah sebagai keturunan Nabi Saw.

Penanya:
Terima kasih atas jawaban yang berharga. Sekarang izinkan saya membacakan pertanyaan kedua . Mereka yang menggugat kebenaran nasab keluarga Ba'alawi mengatakan bahwa syuhrah tersebut barn ada pada abad ke-9 Hijriah . Syuhrah yang barn muncul di tengah-tengah ini tidak bisa diterima sebagai dalil untuk memvalidasi kebenaran nasab mereka, sebagaimana Siyadah al-Tabari yang dibahas dan ditekankan dalam kitab Sayid Ibrahim bin Mansur al-Hasyimi yang
berjudul al-If<idhah fi Adillati Tsubuti al-Nasab wa Nafyihi bi Syuhrati wa al­
Istifadhah.
Pertanyaannya, bagaimana Anda menanggapi gugatan mereka berkaitan dengan syuhrah yang diklaim tidak sah untuk membenarkan nasab Ba'alawi ini?

Sayid Mahdi Raja'i:
Sebagaimana yang tertera dalam kaidah-kaidah ilmu nasab dan syariat, saya pernah bertanya kepada guru saya, Ayatullah al-Uzma Sayid Syihabuddin Mar'ashi Najafi . Beliau berkata, apabila sebuah keluarga memiliki syuhrah yang jelas dan dikenal sebagai keturunan Nabi Saw. selama dua atau tiga ratus tahun, itu sudah cukup.

Almarhum guru saya, Ayatullah Mar'ashi Najafi mengatakan, apabila sebuah keluarga memiliki syuhrah sebagai sayid selama 200 atau 300 tahun, itu sudah cukup sebagai bukti kebenaran nasab mereka. Kalian berkata, kalau mereka barn memiliki syuhrah pada abad ke-8 atau ke-9, itu malah lebih baik lagi. Artinya, syuhrah itu sudah benar-benar cukup untuk membuktikan kebenaran nasab tersebut.
Di awal tadi saya sudah katakan, alasan mengapa keluarga ini tidak terkenal sejak abad-abad awal itu karena para ahli nasab tidak memiliki akses untuk mendeteksi dan mengetahui mereka. Para ahli nasab tidak mencatat keluarga ini dalam kitab karena mereka berada di tempat yang jauh dari wilayah yang ditinggali para ulama nasab. Para ulama ahli yang karyanya ada pada kita saat ini semuanya tinggal di Iran, Irak, dan  daerah-daerah  sekitarnya. Sementara itu, banyak dari kalangan s<idah pindah ke Hadramaut dan tempat-tempat jauh lainnya sehingga para ahli nasab tidak mampu menggapai mereka.
Barn kemudian, setelah berlalu beberapa masa, akhirnya para ulama nasab berhasil menemukan mereka . Tentu mereka yang tinggal di daerah jauh ini sejak awal memiliki syuhrah sebagai keturunan Nabi Saw. Mungkin juga sudah tercatat dalam kitab para qudama, tetapi sayang sebagian besar kitab ahli nasab qudama telah lenyap. Sebenarnya, kita memiliki khazanah kitab nasab yang sangat kaya, bahkan sampai ratusan, tetapi yang tersisa beberapa saja yang sampai pada kita. Bisa jadi nasab ini sudah tercatat di sana. Yang ada pada kita saat ini ya kitab al-Fak hri, 'Umdatu al-Th<ilib, dan al-Syajarah al-Mubarakah. Mungkin nasab ini tercatat dalam kitab-kitab sebelumnya yang tidak sampai ke tangan kita saat ini. Kita tidak bisa serta-merta mau menginisiasi gugatan terhadap validitas nasab keluarga s<idah berdasarkan hal ini. Itu berarti kita juga hams mempertanyakan kebenaran banyak keluarga s<idah lain yang memiliki kasus serupa. Banyak dari mereka yang memang sejak awal hidup secara sembunyi-sembunyi, hidup dalam pelarian, sehingga tidak dapat dideteksi dan dicatat oleh para ulama. Namun, beberapa waktu kemudian, dua, tiga, atau empat abad kemudian, para ulama menemukan mereka dan mencatat garis keturunan mereka.

Penanya:
Pertanyaan ketiga dan terakhir. Mereka yang berusaha membantah kebenaran nasab S<idah Ba'alawi mengatakan, apabila kitab-kitab nasab yang sezaman atau yang dekat dengan zaman itu tidak menyebutkan sosok sentral dan sebuah garis keturunan, garis keturunan tersebut dinyatakan tidak valid. Mereka juga menambahkan bahwa kitab nasab mana pun tidak ada yang boleh bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya . Mohon jawaban dan pencerahannya, terima kasih banyak sebelumnya dan jangan lupa doakan kami.

Sayid Mahdi Raja'i:
Sebagaimana yang telah dijelaskan, syuhrah atau ketenaran sebuah keluarga sebagai sayid sudah cukup untuk membuktikan kebenaran nasab tersebut. Berkaitan dengan mengapa para ahli nasab dari kalangan qudama tidak mencatatnya, alasannya adalah akses komunikasi yang ada pada masa itu tidak semudah seperti yang kita miliki saat ini. Beberapa ahli nasab seperti Baihaqi, penulis Lubab al-Ans<ib, hanya mampu mencatat nasab s<idah yang berada di jangkauan wilayah mereka dengan lengkap dan detail. Namun, para ahli nasab besar dan masyhur (seperti Baihaqi) ini pada saat yang sama tidak mampu mencatat s<idah lain yang tidak berada di cakupan wilayah mereka, atau berhasil tercatat namun tidak lengkap. Mengapa hal ini terjadi? Problem komunikasi. Kemudahan transportasi  dan komunikasi, berkat  kemajuan  teknologi  yang kita miliki sekarang ini, tidak ada pada masa itu. Karena itu, sekali lagi, secara syuhrah nasab ini tidak memiliki masalah sama sekali. Luputnya mereka dari catatan para ahli nasab yang sezaman dengan mereka tidak  lantas  berarti bahwa mereka itu tidak ada.

Para ulama mengatakan bahwa kita tidak bisa serta-merta  menafikan nasab sebuah keluarga hanya karena para ahli nasab tidak menyebutkan dalam kitab-kitabnya . Jika metode ini diterima, kita hams terapkan metode ini dalam keseluruhan subjek ilmu nasab. Para ahli nasab yang tidak menyebutkan nasab ini, jika  tidak  disebabkan  ketidaktahuan,  disebabkan ketiadaan  akses mereka terhadap kitab-kitab yang sezaman dengan tokoh-tokoh tersebut . Asumsi ini sangat kuat karena ada banyak sekali kitab yang ditulis sezaman dengan tokoh­ tokoh tertentu, seperti pengarang kitab al-Majdi . Beliau memiliki kitab yang sangat detail, dan al-Majdi ini sejatinya hanya ringkasan dari kitab tersebut . Kitab tersebut ditulis pada abad ke-5 Hijriah .
Kitab-kitab ini telah lenyap dalam sejarah. Mungkin nasab tokoh tersebut sudah tertulis dalam kitab-kitab yang hilang itu. Nanti, setelah beberapa waktu berlalu, perlahan-lahan para ulama nasab akhimya menemukan tokoh-tokoh dan keluarga-keluarga ini. Mereka tidak sembarangan menulis tokoh-tokoh ini, wal 'iyadzu billah. Mereka adalah para ulama dan ahli nasab besar, orang-orang yang menjaga agamanya, menjaga shalat dan syariatnya, menjadi rujukan masyarakat ketika mengonfirmasi suatu keluarga sebagai keluarga sayid pada abad ke-8 dan ke-9.
Hal ini menunjukkan bahwa keluarga ini telah terkenal sebagai keluarga sayid pada abad ketiga, keempat, dan kelima . Para ulama pun mencatat nasab mereka dalam kitab-kitabnya . Jika tidak demikian dan kita bersikeras menutup semua kemungkinan dengan mengatakan bahwa mereka ini tiba-tiba barn muncul pada abad ketujuh, kedelapan, atau kesembilan, kita hams tahu bahwa yang mencatat mereka ini adalah para ulama nasab.

Oleh karena itu, isykal seperti ini sama saja seperti Anda mempertanya­ kan kredibilitas para ulama dan ahli nasab, alih-alih menggugat kebenaran nasab sebuah keluarga sadah. Betul, bahwa Imam al-Razi tidak menyebutkan dalam kitabnya, al-Fakhri juga tidak, tapi bukan berarti mereka tidak punya akses terhadap seluruh keturunan Nabi Saw. Perlu diketahui bahwa kitab yang mereka tulis ini sangat terbatas dan tidak lengkap. Kitab al-Syajarah al-Mubarakah, al­ Fakhri, dan kitab-kitab yang ditulis oleh para qudama ini sangat terbatas.

Saya sendiri sudah meneliti kitab-kitab ini. Karena itu, saya mampu mengatakan hal ini pada kalian, sangat terbatas dan singkat. Ada kitab-kitab yang lebih dari pada ini, seperti kitab al-Fakhri yang kalian lihat dan dicetak saat ini. Ada juga kitab nasab yang berjumlah 60 jilid, tapi ini sudah lenyap.

Penulis al-Fak hri, Kadi al-Mirwazi, pernah menulis kitab nasab-yang dalam kitab Mu)am al-Buldan milik Syaikh Hamawi disebutkan-berjumlah 60 jilid, tapi kitab-kitab ini telah lenyap.
Kitab-kitab yang ada saat ini hanya ringkasan . Kitab-kitab yang ada saat ini, seperti al-Syajarah al-Mubarakah, hanya rangkuman singkat yang berisi poin inti. Kitab ini memuat beberapa perkara, tetapi tidak memuat banyak perkara lain. Bukan berarti, ketika tidak menemukan tokoh atau keluarga tertentu dalam kitab ini, disimpulkan bahwa mereka tidak ada. Tidak bisa. Ini penilaian yang sangat tergesa-gesa dan tidak ilmiah.

Hanya karena Fakhm al-Din al-Razi tidak mencatat mereka atau ahli nasab Fulan tidak mencatat mereka . Bukankah ada ulama lain yang mencatat mereka? Ada ulama pada abad selanjutnya yang mencatat mereka, ulama pada dua abad selanjutnya. Mereka bukan orang-orang yang berada di bawah level Imam al­ Razi, bahkan bisa jadi lebih tinggi secara intelektual, lebih luas secara wawasan, karena mereka mendapatkan referensi kitab yang lebih banyak, lalu menukil dari kitab-kitab tersebut.
'Ala' kulli !:!_at, menumt saya, syubhah dan gugatan berkaitan dengan kebenaran nasab keluarga Ba'alawi sebagai ketumnan Nabi Saw., yang-masya Allah- garis ketumnan ini memiliki cabang yang sangat banyak di mana-mana, mempakan syuhbah dan gugatan tidak benar.

Dari sini menjadi jelas bahwa pemahaman Imaduddin atas al-Syajarah al­ Mubarakah yang dia elu-elukan itu ternyata dibantah dan dianggap menyimpang oleh pakar nasab yang mempakan muhaqqiq kitab itu sendiri.

C.    Gagal Paham terhadap Logika Dalil-Madlul
Imaduddin menyatakan bahwa dalil dan madlul hams muttharid dan mun'akis. Artinya, jika tidak ada dalil, pasti tidak ada madlul, sebagaimana jika tidak ada madlul , pasti tidak ada dalil. Hal ini menabrak kaidah ilmu dasar bahwa dalil dan madlul hanya hams muttharid (ada dalil pasti ada madlul), tidak hams mun'akis (tidak ada dalil pasti tidak ada madlul). Memang ada keadaan demikian, tapi hanya sebagai mustasnayat (pengecualian), yaitu ketika hubungan antara dalil dan madlul itu talazum (keterkaitan yang bersifat harus dan mengikat). Seperti tidak ada shalat wajib keenam karena tidak ada dalil keberadaannya . Begitu pula tidak ada surah tambahan dari surah yang ada dalam Al-Qur'an karena tidak ada dalil tentang surah tambahan tersebut. Dalam kasus ini memang dalil dan madlul bersifat muttharid dan mun'akis karena tidak mungkin ada Al-Qur'an dan kewajiban shalat yang tidak diajarkan Nabi Saw. dan para ulama. Jadi, jika tidak ada ajaran Nabi Saw. atau ulama tentang hal tersebut (tidak ada dalil), pasti hal tersebut memang tidak ada (tidak ada madlul).

Adapun selain pengecualian itu, kaidah logika dasar yang berlaku umum antara dalil dan madlul bersifat muttharid namun tidak mun'akis, sebagaimana telah dijelaskan . Nah, ketika Imaduddin tidak menemukan dalil kitab sezaman yang menyebutkan bahwa Ubadillah adalah anak dari Ahmad bin Isa, hal itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa. Ini masalah logika sangat mendasar yang gagal dipahaminya. Terkait kaidah logika ini, al-Imam al-Amidi menjelaskan :

D.    Mengaitlcan Akhlak Oknum dengan Keabsahan Nasab
Imaduddin dan pengikutnya sering sekali mengaitkan akhlak seseorang dengan nasab. Membangun narasi, jika benar para habib  adalah  keturunan Nabi Saw., akhlak mereka tidak akan buruk. Klaim ini jelas salah besar dan mengandung kekeliruan logika yang mendasar. Tidak ada korelasi antara ketetapan nasab dengan akhlak seseorang. Nasab berkaitan dengan hubungan genealogi dan keturunan, sementara moralitas atau akhlak adalah hasil dari pendidikan, lingkungan, dan pilihan pribadi seseorang, kecuali jika ada seorang sayid yang kufur atau murtad, barulah kekufuran itu memutuskan nasabnya .
Al- Imam Ibnu Hajar al-Haitami, salah satu ulama yangmengisbat nasab Sadah Ba'alawi, sebagaimana telah kami jelaskan, dalam al-Fatawa' al-Had'itisiyyah menyebutkan:

"Barang siapa yang diketahui penisbahannya kepada ahli bait Nabi  Saw., besarnya dosa yang dia lakukan dan minimnya ketaatan kepada agama tidak memutuskan dia dari kebersambungan nasab tersebut."

S<idah Ba'alawi memang tidak maksum . Mereka juga manusia . Ada yang ke­ lakuannya baik, ada pula yang buruk, seperti kaum Muslim lainnya. Hanya saja, merekadiberikan rezeki olehAllahberupakebersambungan nasabkepadaRasulullah Saw. Namun menyatakan bahwa akhlak para habib itu buruk karena didasarkan pada perilaku  segelintir individu adalah penilaian yang menggeneralisasi dan tidak adil, apalagi hal itu tidak mewakili keseluruhan kelompok. Berapa banyak habib baik di Hadramaut, Hijaz, India, bahkan Nusantara yang menjadi ulama rujukan bahkan aulia. Jumlahnya pun tak terhitung.

Jika melihat prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Thariqah S<idah Ba'alawi, justru para habib yang nakal, ahli maksiat, sombong, atau berakhlak buruk adalah mereka yang menyimpang dari ajaran resmi S<idah Ba'alawi . Dalam se­ tiap buku nasab resmi yang diberikan Rabithah Alawiyyah kepada anggotanya, di situ tertera etika yang wajib dipegang teguh setiap sayid Ba'alawi. Berikut tampilannya :

Berbagai literatur para habib juga menuliskan begitu banyak nasihat agar seorang sayid Ba'alawi tidak boleh mengandalkan, apalagi membanggakan, nasab. Mereka mengategorikan sikap membanggakan dan mengandalkan nasab sebagai perbuatan tercela. Bagi mereka, nasab mulia justru hams menjadi motivasi meningkatkan ketakwaan dan akhlak mulia. Itulah yang menjadi salah satu ajaran mendasar dari al-Thariqah al-'Alawiyyah. Berikut kami kutip sebagian kecil petuah pembesar S<idah Ba'alawi terkait hal tersebut.

1.    Al- Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengutip dan menjelaskan bahwa seorang sayid/habib/syarif yang hanya  membanggakan  kakeknya  tapi tidak bisa meniru pencapaian baik mereka tak ubahnya tong kosong nyaring bunyinya .

Dalam  untaian  kasidahnya,  al-Imam  al-Haddad  menasihati  para  habib dengan tegas. Beliau mengatakan:

"Hati-hati, jangan   sampai  kamu  mengucapkan  perkataan  orang bodoh, "Aku dan Kamu lebih rendah dari aku dalam keutamaan dan kemuliaan ."

"Sungguh, sekelompok orang menjadi terbelakang karena mereka tidak berusaha mendapatkan kemuliaan, tapi malah merasa cukup dengan mem­ bangga-banggakan  leluhurnya!"

2.    Al-Imam al-Habib  Ahmad bin Umar bin Smith dalam sebuah syairnya menyatakan bahwa orang yang tertipu dengan nasab dan hanya membangga-banggakan leluhurnya serta sibuk mencari harta dan popularitas adalah orang yang "ghabi" alias idiot. Berikut syair beliau.

3.    Al-Habib al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengutip dari al-Imam Ahmad bin Alwi Jamalullail Ba'alawi, mufti Madinah al-Munawwarah pada zamannya, sembilan norma yang WAJIB dipegang teguh oleh seseorang yang memiliki nasab mulia. Berikut redaksinya dengan terjemahan yang kami ringkas.

Pertama, mempelajari ilmu syariat dengan ikhlas karena Allah.

Kedua, menyucikan hati dari segala penyakit hati dan akidah yang keliru.
 
Ketiga, menghindari hal-hal yang dicela syariat Nabi Saw.

Keempat, tidak membanggakan nasab tanpa beramal saleh.
 
Kelima, menjauhi diri dari kekuasaan duniawi.
 
Keenam, mengikuti jalan leluhurnya semampu mungkin .
 
Ketujuh, memperlakukan makhluk Allah dengan akhlak mulia.
 
Kedelapan, zuhud terhadap dunia dan hanya mengambil sekadar kebutuhan .
 
Kesembilan, tidak tamak dan melirik sama sekali kepada milik orang lain.

Dari sini menjadi jelas bahwa menggiring opini para habib bukan cucu Nabi Saw. karena akhlak buruk sebagian dari mereka adalah kesesatan logika. Tidak ada talazum (hubungan keharusan) antara kebersambungan nasab dan kemuliaan akhlak. Lagi pula, para habib yang punya akhlak tidak bagus, apalagi bermaksiat, adalah habib yang melanggar ajaran Thariqah Sadah Ba'alawi. Lucunya, yang disalahkan adalah klannya.
Oleh karena itu, jika ada sayid Ba'alawi atau yang lain berakhlak buruk, kewajiban setiap Muslim untuk mengingatkannya sesuai tuntunan syariat. Jika ada yang melanggar hukum, hukum hams ditegakkan atasnya dengan adil. Bukan malah menyerang kabilahnya . Selain tak logis, ini juga tidak adil.

E.    Menyebut  Nasab  Ba'alawi  Mustahil  Bersambung  kepada Rasulullah Saw.
Dengan penuh kebencian, Imaduddin kerap menyebut nasab Ba'alawi mustahil bersambung kepada Rasulullah Saw. Mustahil mana yang ia maksud? Jika yang ia maksud mustahil secara logika ('aqlan), artinya sesuatu yang tak bisa digambarkan keberadaannya oleh akal (o.3_j>."J jiiJI <) J"i l..). Contohnya
seperti sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. Adapun keberadaan  Ba'alawi secara hukum akal adalah jaiz . Allah boleh saja menciptakan Ba'alawi sebagai dzurriyah, boleh juga tidak. Semuanya bergantung kehendak Allah. Jika yang dimaksud kebersambungan nasab Ba'alawi kepada Nabi Saw. mustahil secara akal, Imaduddin sedang berpikir dengan logika yang cacat.
Adapun jika yang dimaksud mustahil secara syar'an (menurut hukum syariat) dan 'adatan (hukum kebiasaan), kita serahkan kepada al-Imam Amir al-Shan'ani pengarang Subulu al-Salam Syarah Bulughu al-Maram untuk menjawab hal itu. Beliau berkata:

"Mereka Ba'alawi bermazhab Syafi'i. Mereka adalah komunitas yang besar­ kemudian beliau mengatakan-dan mereka yang telah kami sebut termasuk ahli bait Rasulullah Saw., baik secara hukum syariat, hukum akal, dan 'urf (hukum kebiasaan)."

F.    Dua Belas Pertanyaan Imaduddin Kepada Rabithah Alawiyah Untuk  sampai  kepada  kesimpulan   apakah  nasab  Ba'alawi   sahih  atau tidak,   Imaduddin   membuat   pertanyaan   berikut :  "Adakah   kitab   sezaman
yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa?" Bagi Imad, jika jawabannya ada, nasab Ba'alawi sahih. Sebaliknya, jika tidak, nasabnya tidak sahih. Padahal, ada atau tidak kitab sezaman tersebut tidak menjadi tolok ukur kebenaran status Ubaidillah sebagai Ahmad bin Isa dan keabsahan nasab Ba'alawi. Pertanyaan itu hanya mencari jawaban ada atau tidaknya kitab sezaman, yang tidak secara otomatis melahirkan kesimpulan bersambung atau tidaknya nasab Ba'alawi. Begitu juga sebelas pertanyaan lainnya.
Kami berikan analogi sederhana. Jika ingin mengetahui apakah Madun anak Sarman dan Juminten yang sah secara syariat atau bukan, sangat keliru jika Anda hanya mencari kesimpulan dengan menanyakan apakah ada buku nikah Sarman dan Juminten atau ada akta kelahiran Madun . Ketika dijawab "tidak", langsung disimpulkan bahwa  Madun bukan anak Sarman. Dua pertanyaan di atas hanya untuk mengetahui keberadaan buku nikah  Sarman  dan Juminten serta akta kelahiran Madun . Informasi itu tidak otomatis menjadi vonis bahwa Madun anak sah Sarman atau bukan . Di sini ada lompatan kerangka berpikir yang fatal.

Pertanyaan yang kelim dalam menuju sebuah informasi hams dilumskan, bukan dipaksakan jawabannya jika ingin sampai pada sebuah kesimpulan yang benar . Sebagai contoh dari analogi di atas, jika ingin mengetahui jawaban apakah Madun anak sah  secara syariat dari Sarman, pertanyaan yang hams diajukan adalah apakah Madun anak yang  sah  secara  syariat  dari  Sarman. Jika jawabannya "ya", ada pertanyaan lanjutan untuk memverifikasi jawaban tersebut, yaitu "Apa alasan Madun dinyatakan sebagai anak sah secara syariat dari Sarman?" Jawabannya, "Sarman menikah secara sah menumt syariat dengan Juminten, lalu dari pernikahan itu melahirkan anak bernama Madun ." Jika jawaban itu pada faktanya valid dan sesuai standar syariat, sampailah kita pada kesimpulan bahwa Madun adalah anak Sarman yang sah secara syariat dari Sarman. Pertanyaan tentang buku nikah dan akta kelahiran boleh saja diajukan, tapi bukan sebagai jalan tunggal untuk mengetahui Madun anak Sarman atau bukan . Keduanya hanya sebagai indikator penunjang yang menunjukkan pernikahan itu ada dan sah, serta statusnya sebagai anak sah. Bukan indikator satu-satunya  dan bukan  indikator  utama.

Begitu pula dalam masalah nasab Ba'alawi. Jika ingin sampai pada kesimpulan apakah nasab Ba'alawi sah atau tidak sah secara syariat dan ilmu nasab, pertanyaan yang hams diajukan adalah apakah nasab Ba'alawi sah atau tidak dan apa standar pengesahan sebuah nasab dalam pandangan ilmu syariat dan ilmu nasab. Setelah dijelaskan standarnya, pertanyaan berikutnya apakah nasab Ba'alawi memenuhi standar tersebut. Jikajawabannya "terpenuhi", di sini sampailah pada kesimpulan bahwa nasab Ba'alawi sah menumt ilmu syariat dan nasab. Silakan saja ajukan pertanyaan apakah ada kitab sezaman atau tidak. Namun, pertanyaan itu tidak bisa menyampaikan kepada kesimpulan bahwa nasab Ba'alawi terputus . Hal itu karena pertanyaan tersebut  bukan indikator tunggal yang menentukan  bersambung  atau terputusnya  sebuah nasab.
Lucunya, Imaduddin berkeras  memaksakan pertanyaannya yang tidak memiliki hubungan kausalitas dengan kesimpulan yang ingin ia tuju. Bagi Imad, jika pertanyaannya tentang sumber sezaman terjawab, berarti nasab Ba'alawi sah. Sebaliknya, jika pertanyaan itu tidak terjawab, berarti tidak sah. Ini harga mati! Tidak peduli dengan standar ilmu nasab dan ilmu syariat dalam penetapan keabsahan sebuah nasab. Pola yang dilakukan Imaduddin adalah kesesatan logika yang dipropagandakan kepada orang awam yang tidak mengerti teori berpikir logis, seolah-olah ini benar, padahal jauh panggang dari api.
Nasab seorang Muslim sudah diatur dalam ilmu syariat dan ilmu nasab. Kedua ilmu inilah yang memiliki otoritas dalam menentukan standar ke­ absahannya. Dalam konteks Ba'alawi, semua ulama yang membahasnya se­ pakat, baik secara eksplisit atau implisit, bahwa nasab Ba'alawi sah menurut perspektif ilmu nasab atau syariat, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I.Jika tetap kukuh menyatakan nasab Ba'alawi terputus dengan standarnya sendiri, ya silakan saja. Tapi, siapa dia sehingga standarnya (yang sama sekali tidak ilmiah) hams diikuti untuk memvonis orang lain?
 
KEEMPAT Fitnah Imaduddin kepada para Ulama

Dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi, Imaduddin tidak segan­ segan memfitnah para ulama. Semua Muslim, juga Imad, mestinya tahu bahwa  fitnah adalah  dosa besar,  terlebih  lagi jika  sasarannya
adalah para ulama. Al-Hafidz  Ibn  Asakir  mengatakan  bahwa  darah  ulama itu beracun dan Allah menyiapkan balasan yang pedih bagi siapa saja yang memfitnah ulama:

A.    Fitnah Imaduddin kepada Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran Salah seorang ulama yang menjadi korban utama fitnah Imaduddin adalah Sayid Ali ibn Abi Bakar al-Sakran, seorang ulama besar dari Sadah Ba'alawi . Wirid gubahannya, yaitu wird al-sakr<in banyak  dibaca oleh para kiai dan santri di berbagai pesantren dan majelis di Nusantara .Imaduddin, dalam bukuMembongkar
Skandal Ilmiah dan Genealogi dan Sejarah Ba'alawi terang-terangan menuduh Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran  sebagai orang yang pertama "mengarang" nasab Ba'alawi dan menyambungkannya kepada Rasulullah Saw. Dengan kata lain, Imaduddin menuduh Sayid Abu Bakar sengaja melakukan perbuatan yang dilaknat Rasulullah Saw., yaitu berdusta atas nama beliau .
Pernyataan Imaduddin pada Bab 1 buku itu adalah fitnah. Sebab, nasab Ba'alawi sudah tercatat jauh sebelum kelahiran Sayid Ali ibn Abu Bakar al­ Sakran (1. 818 H240). Jauh sebelum Sayid Ali ibn Abi Bakar al-Sakran mencapai usia mumayyiz, yakni pada 820 H. al-Khatib sudah menulis silsilah Imam Ali Khali Qasam yang tersambung sampai kepada Imam Ubaidillah ibn Ahmad al­ Muhajir.

"Syaikh besar Ahli Makrifat, samudra ilmu Ilahi Ali ibn Alwi Khali Qasam ibn Muhammad ibn Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zain al-Abidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib ."241

Lebih jauh, Imaduddin juga mengatakan bahwa Sayid Ali ibn Abu Bakar al­ Sakran menyambungkan silsilah dan kesejarahan mereka dengan silsilah dan kesejarahan Syarif Abu al-Jadid . Dan untuk menguatkan fitnahnya itu, ia katakan bahwa Jadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa adalah saudara satu ayah dengan Alwi. Caranya, ia tambahkan satu nama lagi sebagai saudara, yaitu Bashri.
Dalam kitab al-Jawhar al-Safiif yang disusun pada 820 H (saat Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran barn berusia dua tahun) terdapat paparan tentang sejarah dan silsilah keluarga Bani Alawi, khususnya anak-anak Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abdidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, sebagai berikut .
1.    Bashri ibn Ubaidillah

"Di antara anak-anak Ubaidillah adalah Syaikh al-Kabir Bashri, kakek Syaikh al-Kabir al-Arif Billah al-Syaraf al-Imam al-Muhaqqiq yang unggul, yang menghimpun ilmu lahir dan batin, Salim ibn Bashri, semoga Allah sucikan ruhnya."242

2.    Jadid ibn Ubaidillah

"Di antara anak -anak Syaikh Ubaidillah adalah Syaikh al-Kabir Jadid, kakek al-Imam al-Muhaqqiq al-Alim yang unggul, zahid, warak, hafiz, muhaddits Ali ibn Muhammad Jadid, pengarang kitab al-Arba'in, kitab kumpulan hadis yang terkenal."243

3.    Alwi ibn Ubaidillah

"Di antara anak -anak Syaikh Abdullah adalah Syaikh Alwi, dan di antara anak -anak Syaikh Alwi adalah Syaikh al-Kabir Muhammad, di antara anak Muhammad adalah Syaikh al-Kabir Alwi, di antara anak Alwi adalah Syaikh besar yang masy hur, sang wali besar pemilik karamah lahir dan mukasyafah yang luar biasa, Abu Muhammad Ali ibn Alwi ."244

Catatan dalam kitab al-Jawhar al-Syafiif ini menangkis tuduhan Imad. Dan karena tidak memiliki argumen untuk membantahnya, Imaduddin melemparkan tuduhan lain bahwa kitab ini palsu, tidak otoritatif, dan tidak autentik. Ia melontarkan kebohongan untuk menutupi kebohongannya . Membela fitnah dengan melontarkan fitnah barn.

Tuduhan Imaduddin bahwa kitab itu palsu dapat dipatahkan dengan bukti dari sumber rujukan lain. Ada kitab lain yang mengutip dari kitab al-Jawhar , yaitu Qiliidiit al-Nahr Ji Wafayiit A'yiin al-Dahr karya Abu Muhammad Thayyib Bamakhramah (870-947 H). Ia menulis kitab itu berdekatan dengan masa hidup
penulis al-Jawhar al-Syafiif , yakni al-Khatib (w. 855 H).
Bamakhramah lahir 15 tahun setelah al-Khatib wafat. Bamakhramah dikenal sebagai intelektual yang banyak mengutip dari kitab al-Jawhar al-Syafiif . Dan, itu membuktikan keautentikan kitab al-Jawhar yang dituding palsu oleh Imad. Berikut ini beberapa gambar kitab Qiliidiit yang mengutip kitab al-Jawhar:

Lebih jauh mengenai masalah ini, peneliti sejarah Rumail Abbas menulis sebuah buku dengan judul Ali ibn Abu Bakar al-Sakran, Memopuler kan Ba'alawi. Paparan Rumail Abbas dalam buku tersebut secara gamblang membantah fitnah yang dilontarkan Imad. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, pembaca bisa merujuk buku tersebut .

B.    Fitnah Imaduddin kepada Ba'alawi secara Umum
Imaduddin melontarkan fitnah kepada klan Ba'alawi secara umum . Menurutnya, klan Ba'alawi telah melakukan skandal ilmiah dengan memalsukan nasab dan sejarah mereka.Tentu saja fitnahnya itu meliputi semua klan Ba'alawi. Sementara, di dalam klan ini ada banyak nama besar, seperti al-Imam Abdullah ibn Alwi al-Haddad (pengarang R<itib al-Haddad, al-Nashli'ih al-Diniyyah, dll.), al-Habib Abdullah ibn Husain ibn Thahir (penulis Sullam al-Taufiq), al-Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi (penulis Simth al-Durlir ), al-Habib Abdurrahman al-Masyhur (penulis Bughyah al-Mustarsyidin), serta banyak ulama dan auliya besar lainnya. Mereka semua termasuk dalam kelompok yang dituduh oleh Imaduddin telah melakukan kebohongan besar. Entah bagaimana Imaduddin akan mempertanggungjawabkan  fitnahnya ini di hadapan Allah.
Imaduddin juga melontarkan tuduhan lain, yaitu bahwa sejarah dan silsilah klan Abdurrahman al-Saqaf membonceng sejarah Bani Ahdal melalui leluhurnya, yaitu Syarif Husaini Muhammad ibn Sulaiman yang merupakan sepupu (satu kakek) yang pindah dari Irak ke Yaman . Untuk mendukung pendapatnya, Imaduddin mulai mencocok-cocokkan silsilah Bani Alawi dengan silsilah Bani Ahdal, dengan memasukkan nasab Ali Khali' Qasam ke dalam silsilah nasab Bani Ahdal.

Bani Alawi mulai dikenal keberadaannya di Hadramaut setelah wafatnya Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Keluarga Bani Alwi tersebar di beberapa kota di Hadramaut seperti di Sumal, Bait Jubair, dan Tarim. Sayid Ali ibn Alwi Khali' Qasam adalah orang pertama dari kalangan Alawiyyin yang menetap  di  Tarim. Beberapa  kali  ia  pernah  mengunjungi  kota  itu  hingga kemudian memutuskan untuk menetap di sana. Ia menetap di Tarim sejak 521 Hijriah bersama anak keturunan pamannya dari keluarga Bashri dan keluarga Jadid. Di kota ini mereka mendirikan masjid yang dikenal dengan nama Masjid Bani Ahmad dan kelak dikenal dengan nama Masjid Bani Alawi. Dari tahun ke tahun masjid itu terns diperbarui, di antaranya oleh Syaikh Umar Muhdhar.
Satu di antara tokoh-tokoh Bani Alawi yang lahir di Tarim adalah Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Segaf. Ia berguru kepada Syaikh Muhammad ibn Abu Bakar Abbad (w. 810 H). Ia menegaskan kesahihan nasab Bani Alawi bersama para ulama lainnya, seperti al-Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Abi al-Hub, al-Imam Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Salim al-Marwani al-Tarimi, al-Imam al-Muhaddits Quthbuddin Umar ibn Ali, al­ Imam Abdullah ibn As'ad al-Yafi'i, Syaikh Fadhal ibn Abdullah Fadhal, al-Qadhi Abdurrahman ibn Abi Ali ibn Hissan, al-Faqih Mas'ud ibn Abi Sukail, dan lainnya, sebagaimana yang dicatat oleh al-Khatib.245
Diriwayatkan dari Syaikh Umar ibn Abi Abbad bahwa al-Faqih Muhammad ibn Abu Bakar Abbad berkata, "Aku bersaksi bahwa mereka, yaitu keluarga Ba'alawi adalah keturunan Sayyidatina Fathimah r.a. Syaikh Fadhal ibn Abdullah Bafadhal telah melahirkan banyak ulama dari kalangan S<idah Ba'alawi. Lisan­ nya senantiasa menuturkan kata-kata yang baik kepada keluarga Ba'alawi. Misalnya, ia memuji keluarga Ba'alawi  dengan mengatakan, 'Siapa saja yang tidak berprasangka baik kepada keluarga Abi Alawi maka tidak ada kebaikan padanya."246
Sebelum kitab al-SulUk karangan al-Janadi (w. 732 H), silsilah Ali Abi Alawi telah dicatat pada kitab al-Arba'un karya Abu al-Hasan Ali (w. 620 H) ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abdidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib  karramaU<ihu  wajhah.  Artinya,  penelusuran   silsilah  keluarga  Syaikh  Abdurrahman al-Segaf tidak dimulai sejak ia masih hidup. Silsilah Bani Alawi telah tercatat dalam kitab yang berisi sanad hadis yang disusun jauh sebelum lahirnya Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Segaf .
Silsilah Bani Alawi barn dituliskan secara formal pada masa Syaikh Ali ibn Abu Bakar al-Sakran (w. 895 H) tidak lama setelah dibentuknya lembaga Naqabah al-Asyraf di bawah pimpinan Syaikh Umar Muhdhar. Lembaga itu dibentuk untuk memudahkan proses pencatatan nasab karena semakin banyaknya keluarga Bani Alawi yang menyebar ke berbagai kota di Hadramaut bahkan ke luar Hadramaut .
Bani Alawi memiliki hubungan khusus dengan Bani Ahdal karena kakek mereka sama-sama hijrah dari Irak ke Hadramaut . Dalam kitab Tuhfah al­ Zam<in, al-Ahdal (w. 855 H) menuturkan kepindahan mereka sebagai berikut:

"Beberapa orang menceritakan bahwa Muhammad (ibn Sulaiman) pergi bersama saudara laki-laki dan saudara sepupunya. Kemudian, saudara laki-laki dan saudara sepupunya itu pergi menuju timur. Maka, keturunan dari saudara sepupunya itu adalah keluarga Ba'alawi di Hadramaut."247

Sementara, al-Syarji (w. 893 H) dalam Thabaqah al-Khaww<ish menuliskan sebagai berikut:

"Kakeknya Muhammad yang disebutkan berasal dari Irak telah datang bersama dua anak pamannya, di atas jalan tasawuf. Dia pergi ke arah lembah Sahm. Kedua anak pamannya pun pergi menuju lembah Surdud, dan mereka menjadi leluhur Bani Qudaimi. Dan yang ketiga pergi menuju Hadramaut, yaitu kakek keluarga Ba'alawi."

Dalam kitab yang sama al-Ahdal menuliskan silsilah nasab Muhammad ibn Sulaiman sebagai berikut: "Muhammad ibn Sulaiman ibn Ubaid ibn Isa ibn Alwi ibn Muhammad ibn Hamham ibn Aun ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib."
Dalam buku Membongkar Skandal Ilmiah (hal. 35), Imaduddin berkhayal dan membuat bagan silsilah yang menyebutkan bahwa Bani Alawi adalah keturnnan Musa al-Kazhim atau Aun . Untuk mendukung khayalannya itu Imaduddin menyatakan bahwa Bani Ahdal dan Bani Alawi memiliki kakek yang sama, yaitu Ubaid . Menurntnya, Ubaid ini adalah Abdullah yang bernbah menjadi Ubaidillah . Lebih jauh ia menyatakan bahwa sebelumnya tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan fakta ini. Menurntnya, silsilah barn yang menyebutkan kesamaan kakek kedua bani itu barns disusun pada abad ke-9 Hijriah .

Imaduddin mengkhayalkan sesuatu yang tidak masuk akal dan membuat sendiri susunan silsilah versi khayalannya itu. Dia mencocok-cocokkan nama­ nama yang ada agar sesuai dengan imajinasinya . Memang tidak ada satu pun sumber yang menuliskan silsilah nasab Bani Alawi seperti yang dibuat Imad, baik sebelum ataupun sesudah abad kesembilan Hijriah . Sebab, silsilah itu buatannya sendiri yang sangat bertolak belakang dengan silsilah yang tercatat dalam kitab-kitab nasab muktabar.
Silsilah nasab Bani Alawi tidak membonceng silsilah Bani Ahdal yang ditulis oleh Husain al-Ahdal (w. 855 H), apalagi hanya berdasarkan lembaran yang ditemukan pada abad ke-9 . Sebelum muncul silsilah Bani al-Ahdal, Bani Alawi sudah memiliki silsilah sendiri yang disebut syuhrah dan istifad hah yang dikenal  luas  di  masyarakat  Hadramaut. Saat  ini  syuhrah  semacam  itu  bisa dilihat di antaranya dalam sanad hadis Hasan ibn Muhammad al-'Allal (w. 490 H), manuskrip  Sunan al-Turmudzi (589 H), kitab Arba'un  karya Abu  al-Hasan Ali ibn Jadid (w. 620 H), kitab al-SulUk karya al-Janadi (w. 732 H), al-Ath<iy<i al-Saniyah karya al-Rasuli (w. 778 H), al-'Iqd al-Fakhir karya al-Khazraji (w. 812 H), dan kitab al-Jawhar al-Syaf<if karya al-Khatib (w. 818 H). Kemudian silsilah Bani Alawi disahihkan oleh para ulama, baik ulama ahli nasab, ulama sejarah, maupun ulama fikih hingga hari ini sebagaimana telah kami uraikan pada Bab I. Dalam  kitab al-Burqah  al-Musyiqah  Syaikh Ali ibn Abu  Bakar al-Sakran sama sekali tidak menyambungkan  atau memboncengkan  sejarah dan silsilah nasab Bani Alawi kepada silsilah bani yang lain. Catatannya itu semata-mata merupakan   sensus  yang  pertama   kali  dilakukan   ketika  Naqabah  al-Asyraf dipimpin oleh Syaikh Abdullah Alaydrus ibn Abu Bakar al-Sakran.Iamenyebutkan sekitar sepuluh ribu orang Sadah Alawiyyin yang kemudian dikumpulkan dalam
kitab al-Jaw<ihir al-Saniyyah fi Nasab al-Ithrah al-.Husainiyyah .
Pada 1699 M, atas perintah Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad, dilakukan sensus terhadap keluarga  Alawiyyin di Hadramaut dari mulai Kota Hinin sampai Kota al-Suum. Sensus yang dibiayai oleh raja-raja India ini meliputi seluruh keluarga Alawiyyin, baik laki-laki dan perempuan, anak-anak maupun orang dewasa. Jumlah S<idah Alawiyyin yang tercatat dalam sensus tersebut bertambah menjadi tiga kali lipat.
Sekitar satu abad berikutnya, tepatnya pada 1780 M, kembali dilakukan sensus keluarga Alawiyyin oleh Sayid Ali ibn Syaikh ibn Syihabuddin dengan bantuan Sultan Maroko, Muhammad ibn Abdullah ibn Ismail al-Alawi al­ Hasani.248 Ia melakukan sensus sampai akhir hayatnya pada tahun 1784 M. Semua S<idah Ba'alawi itu dicatatnya dalam 18 jilid buku nasab yang meliputi semua keluarga Ba'alawi, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang  dewasa,  baik  yang  bersambung  maupun  yang  terputus  keturunannya
 (munqarid). Buku nasab itu selanjutnya diserahkan kepada Sayid Umar ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Abdullah ibn Husain ibn Syihab di Tarim. Pada 1882 buku nasab itu disempurnakan oleh Sayid Abdurrahman ibn Muhammad al­ Masyhur, dan kemudian dinamai "Syajarah al-'Alawiyah al-Kubni" .
Dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang dihadapi saat itu Syaikh Ali ibn Abu Bakar al-Sakran bekerja keras secara profesional. Ia menggunakan manajemen modern untuk mengumpulkan data dan kesaksian yang berkaitan dengan Nasab Ahlu Bait Nabi Saw., khususnya Bani Alawi . Pada masa itu tidak banyak keluarga Ahlul Bait yang melakukan upaya sernpa. Perjuangan Syaikh Ali ibn Abu Bakar al-Sakran ini hanyalah satu dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Bani Alawi untuk menjaga kesahihan nasab mereka. Di antara upaya lainnya adalah menjaga catatan yang lengkap melalui lembaga Naqabah, melakukan sensus setiap abad, menjaga situs makam leluhur Bani Alawi hingga  saat ini sebagai salah satu sumber primer sezaman, dan sebagainya. Maka, sangat masuk akal jika al-Qadhi Syaikh Yusuf ibn Ismail al-Nabhani dan al-Musnid Sidi Abdul Hafidz ibn Muhammad al-Tahir al-Fasi mengatakan nasab Bani Alawi adalah nasab paling sahih di kalangan Ahlu Bait Nabi Muhammad Saw.
Uraian di atas menjawab tuntas segala tuduhan yang dilontarkan Imaduddin, termasuk tuduhannya tentang hubungan antara Bani Alawi dan Bani Ahdal. Tegasnya, tidak ada kaitan sama sekali dalam urnsan nasab antara Bani Alawi dan Bani Ahdal. Silsilah nasab Bani Ahdal barn disebutkan dalam kitab Tuhfah al-Zaman karya  al-Ahdali yang wafat  pada 855 H. Sementara, silsilah nasab Bani Alawi terns diperbarni dari abad ke abad, mulai abad kelima hingga abad kesembilan . Kesamaan antara Bani Alawi dan Bani Ahdal hanya dari sisi sejarah kedatangan keduanya di Hadramaut dari Irak. Leluhur al-Ahdal menetap di lembah Sahm, sementara leluhur Bani Alawi menetap di Hadramaut. Nasab kedua keluarga itu bertemu pada al-Imam Ja'far al-Shadiq r.a.

C.    Keculasan Imaduddin yang Dipertontonkan
Disebutkan dalam kitab Tubfah al-Zaman halaman 238 bahwa kakek Bani Ahdal yang pertama kali hijrah adalah Muhammad ibn Sulaiman yang wafat pada 540 H. Sementara, kakek Bani Alawi, yaitu Ahmad ibn Isa hijrah ke Yaman pada 317 H. Keluarga al-Ahdal mengoreksi ketidaksinkronan hijrahnya kakek Bani Ahdal dan Bani Alawi ini dalam kitab Qarar 'Ulama Bani al-Ahdal karya Muhammad al-Ahdal. Dalam kitab itu ia menyatakan bahwa kakek  mereka yang pertama hijrah bukanlah Muhammad ibn Sulaiman, melainkan kakek yang keenam yaitu Muhammad ibn Hamham .

"JeLas bahwa (sosok) yang keluar (hijrah) ke Yaman bersama Ahmad ibn Isa al­ Muhajir pada 317 H adalah kakek yang lebih atas, yaitu Muhammad ibn Hamham ibn Aun ibn Musa al-Kazhim. Sementara, Muhammad ibn Sulaiman, kakek al­ Ahdal, baru datang (di Yaman) pada 540 H."249

Imaduddin menuturkan bahwa narasi tersebut aneh yang tidak didukung bukti kuat agar sinkron dengan narasi Bani Alawi. Tuduhan Imaduddin itu terbantahkan oleh catatan kaki pen-tahqiq kitab Tubfahal-Zaman, yaitu Abdullah Muhammad al-Habsyi yang menukil dari kitab Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal. Namun, Imaduddin justru menuduh al-Habsyi telah melakukan interpolasi untuk mempertahankan narasi hijrahnya Ahmad ibn Isa pada 317 H. Imaduddin mengatakan, "Al-Habsyi mengatakan bahwa yang hijrah itu bukan Muhammad ibn Sulaiman, tetapi Muhammad ibn Himham ." Imaduddin menuduh al-Habsyi telah menyisipkan pendapatnya sendiri ke dalam kitab yang ditahkiknya . Padahal, apa yang dillakukan al-Habsyi adalah memberikan catatan kaki dengan menukil dari kitab Qarar. Jadi, kita bisa melihat bagaimana Imaduddin mempertonton­ kan kebodohan dan keculasannya . Ia bodoh karena tidak dapat membedakan antara penyisipan (interpolasi ) dari catatan kaki (footnote). Dan, ia culas karena menuduh al-Habsyi melakukan interpolasi padahal yang dituliskan al-Habsyi adalah footnote yang jelas sumber rujukannya . Karenanya, siapa saja yang membaca buku karya Imaduddin hams berhati-hati dan bersikap kritis karena bukunya itu sarat dengan kebohongan, cocoklogi, kebodohan, dan keculasan .
Penjelasan di atas menegaskan faktabahwa Bani Ba'alawi tidak membonceng sejarah Bani Ahdal seperti yang dituduhkan oleh Imad. Bani Ahdal menyatakan dengan jelas bahwa kakek mereka yang pertama hijrah ke Yaman bersama Ahmad ibn Isa al-Muhajir adalah Muhammad ibn Hamham . Keduanya hijrah dari Irak ke Hadramaut pada 317 H. Sementara, Muhammad ibn Sulaiman adalah kakek al-Ahdal yang hijrah pada 540 H. Perubahannya terdapat pada kakek Bani al-Ahdal, bukan kakek Bani Alawi. Jadi, bagaimana mungkin dikatakan bahwa sejarah kepindahan Bani Alawi membonceng sejarah Bani Ahdal?

D.    Fitnah Imaduddin terhadap Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad
Sosok ulama lainnya yang menjadi sasaran fitnah Imaduddin adalah Sayid Alwi ibn Thahir. Ia menuduh Sayid Alwi telah berdusta dan tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Imaduddin mengatakan, "Al-Haddad berusaha mempertahankan sekuat tenaga bahwa Ahmad ibn Isa itu bergelar "al-Muhajir", bukan "al-Abah" dan "al-Naffath". Orang dari klan Ba'alawi yang pertama kali menyebut Ahmad ibn Isa dengan gelar al-Muh<ijir  adalah Ahmad ibn Zain al­ Habsyi (w. 1144 H), seorang alim dari abad kedua belas Hijriah.
Banyak kitab nasab dan sejarah yang memberikan gelar al-Muh<ijir kepada Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi. Gelar itu diberikan karena ia hijrah dari Bashrah ke Hadramaut sebagaimana hijrahnya Nabi Saw. dari Makkah ke Madinah. Menurut Imad, gelar al-Muh<ijir tidak pernah disematkan

kepada Ahmad ibn Isa karena beliau tidak pernah hijrah ke Hadramaut. Bahkan, Imaduddin juga mempertanyakan keberadaan Ahmad ibn Isa di Bashrah . Menurutnya, tidak ada satu pun rujukan yang menyebutkan tentang keberadaan Ahmad ibn Isa di Bashrah . Sebaliknya, menurut Imad, gelar yang diberikan dalam kitab-kitab nasab adalah al-Abah dan al-Naffiith, bukan al-Muhajir .
Dari tulisan Imaduddin kita bisa melihat betapa ia tidak memiliki adab dan sopan santun kepada Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad . Ia mengatakan, "Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad telah berdusta dan tidak mampu memahami bahasa Arab dengan benar." Imaduddin melontarkan tuduhan seperti itu semata­ mata karena ia tidak dapat membantah argumen Sayid Alwi ibn Thahir yang menyatakan Ahmad ibn Isa tidak diberi gelar al-Abah dan al-Naffiith, seperti yang dilakukan para ulama sebelumnya.
Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad adalah ulama yang menulis banyak kitab dalam berbagai bidang ilmu, di antaranya al-Farii'idh al-Lu'Lu'iyah fi al-Qawii'id
al-Nahwiyah tentang pelajaran bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu . Ia juga menulis kitab dalam bidang ilmu Al-Qur'an, hadis, sejarah, silsilah, faraid, falak, dan lainnya . Iajuga dikenal sebagai salah seorang pendiri Rabithah Alawiyah dan menjadi mufti di Johor Malaysia . Jika melihat karya-karya Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad, terlihat jelas betapa luas bidang pengetahuannya dan kemampuan bahasa Arabnya . Kitab-kitabnya ditulis dalam bahasa Arab dengan susunan kalimat yang indah dan sarat dengan nilai sastra. Kualitas tulisannya itu tentu sajajauh berbeda dari tulisan Imad. Misalnya, ketika Imaduddin menulis risalah singkat berbahasa Arab, ditemukan banyak kesalahan gramatikal, sebagaimana dibongkar oleh Buya Qurtubi Jaelani dalam debatnya di Kesultanan Banten.250
Dan khususnya dalam kajian ilmu nasab, Sayid Alwi ibn Thahir berkunjung ke banyak naqabah internasional dan perpustakaan nasab  untuk berburu manuskrip . Ia juga  banyak berdiskusi  membahas berbagai masalah nasab dengan para ulama ahli nasab dari berbagai negara . Ia pernah berkunjung ke banyak negara, termasuk Irak, Iran, Mesir, dan Turki.
Imaduddin bersikukuh bahwa gelar Ahmad ibn Isa adalah al-Abah dan al-Naffiith sebagaimana disebutkan dalam kitab Tahdzib al-Ansiib karya Muhammad ibn Abi Ja'far al-'Ubaidili (w. 435 H). Kitab itu ditahkik oleh Syaikh Muhammad Kazhimi al-Mahmudi dan dicetak pada 1991. Kitab lainnya yang menyebutkan kedua gelar itu adalah al-Majdi karangan Ali ibn Abi al-Ghanaim al-'Umari (w. 490 H) yang ditahkik oleh Ahmad al-Mahdawi al-Damighani dan dicetak pada 2002 .
Muhammad ibn Abi Ja'far al-'Ubaidili dalam kitab Tahdzib al-Ansiib me­ nuliskan:

"Ahmadibn Isaal-Naqib ibnMuhammad ibn 'Alial-'Uraidhi, diberi gelar al-Nafffith ."251 Ali ibn Abi al-Ghanaim al-'Umari dalam kitab al-Majdi menuliskan:

"Ahmad Abu al-Qasim al-Abah, dikenal dengan gelar al-Naffiith karena ia berdagang minyak naffiith (sejenis minyak tanah). Ia punya keturunan di Baghdad dari al-Hasan Abu Muhammad al-Dalla! Ali al-Dauri di Baghdad . Aku melihatnya (al-Hasan) wafat di Baghdad, (al-Hasan) anak Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn (Ali) al-'Uraidhi."
Menurut Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad, ulama nasab muta-ak hirin
tidak  menyebutkan  gelar  "al-Abah" kecuali  empat  orang.  Pertama, al-Qadhi al-Nassabah al-Marwazi Abu Thalib Ismail ibn al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Husain ibn Abi Ali al-Azwarqani al-Dibaji al-Husaini keturunan Imam Muhammad al-Dibaj ibn Ja'far al-Shadiq saudara Imam Ali al-'Uraidhi, yang wafat di Jurjan pada 203 H. Kedua, al-'Allamah al-Nassabah Sayid Dhaman ibn Shadqan ibn Zainuddin Ali ibn Hasan al-Naqib dalam bukunya, Zahr al-Riyadh, dan keturunannya  yang bernama Sayid Dhamin dalam kitab Tuhfah al-Azhar . Ketiga, Shah_ib al-Musyajjar al-Kasysyaf . Keempat, al-'Allamah al-Nassabah Muhammad Abdullah al-Muayyadi al-Hasani  dalam kitab Raudhah al-Albab. Penulisan gelar al-Abah oleh Shah_ib al-Musyajjar al-Kasysyaf dan al-Muayyadi mengikuti kitab 'Umdah al-Sughra karangan Ibn Inabah.252
Sayid al-Haddad menjelaskan bahwa para ulama  yang  hidup  sebelum para ulama yang disebutkan di atas, yang tidak menyertakan gelar "al-Abah" dalam kitab nasabnya adalah guru besar ahli nasab, yaitu al-Nassabah Abu al­ Hasan Ali ibn al-Nassabah Abi al-Ghanaim Muhammad al-Sufi al-'Umari, yang nasabnya tersambung kepada Umar al-Athraf ibn Ali ibn Abi Thalib. Ia menulis kitab al-Majdi, al-Mabsuth, dan al-Musajjar. Ketiga kitab itu masih dalam bentuk manuskrip tulisan tangan (makhtuthat). Selain al-'Umari, ulama ahli nasab lainnya yang tidak menyebutkan gelar "al-Abah" dalam kitab nasabnya adalah al-Nassabah Abu al-Hasan Muhammad ibn Ja'far ibn Muhammad al­ 'Ubaidili (w. 435 H). Ia adalah gurunya al-'Umari dan al-Radhiyain (al-Radhi dan al-Murtadha), penulis kitab Tahdzib al-Ansab.253
Ulama ahli nasab lainnya yang tidak menyebutkan gelar "al-Abah" adalah penulis kitab al-Tsabat al-Mushan, yakni Ubaidillah ibn Umar ibn Muhammad, yang nasabnya tersambung kepada Ubaidillah al-A'raj ibn Husain al-Ashgar ibn Zainal Abidin, Jamaluddin Muhammad al-Istijaradani penulis kitab Ghayah al­ Ikhtishar , al-Nassabah Jamaluddin Ahmad ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Muhanna ibn Inabah al-Dawudi al-Hasani dalam kitab 'Umdah al-Thalib al-Kubra.254

Ulama lainnya adalah Sayid Jamaluddin Abdullah al-Jurjani al-Husaini dalam Musajjar-nya, Sayid Abu Fadhal Muhammad al-Kazhimi ibn Abi al-Futuh al-Austah ibn Abi al-Yaman Sulaiman ibn Taj al-Millah Ahmad yang nasabnya bersambung kepada Ibrahim al-Murtadha ibn Musa al-Kazhim dalam kitabnya, al-Nafhah al-Anbariyah, serta ulama ahli nasab dari kalangan Bani Alawi, seperti Ali ibn Abu Bakar al-Sakran al-Segaf yang mengikuti kitab 'Umdah al-Thlilib al-Kubra. Mereka ini tidak mengenal dan tidak menggunakan gelar "al-Abah". Bahkan, keturunan Ahmad ibn Isa di Hadramaut dikenal sebelumnya dengan sebutan Bani Ahmad . Masjid yang mereka dirikan di Tarim terkenal hingga hari ini dengan sebutan Masjid Ba'alawi . Pada masa sebelumnya, masjid itu dikenal dengan nama Masjid Bani Ahmad .255
Menurutal-Haddad, gelar "al-Abah"adalah gelarbarn yangtidak disematkan kepada Ahmad ibn Isa. Gelar itu barn disematkan untuk keturunannya dari generasi keempat yang tercampur atau karena salah penyematan . Hal ini didukung oleh catatan dalam beberapa kitab nasab dalam bentuk tulisan tangan (makhthuthlit) di Teheran, Qum, Najaf, Baghdad, dan Mesir. Data semacam ini hanya dapat diperoleh jika seseorang melakukan perjalanan yang luas,256 bukan hanya duduk di depan komputer seperti yang dilakukan oleh Imad. Berbagai tuduhan Imaduddin dalam bukunya itu hanya didasarkan atas kitab-kitab yang telah dicetak (mathbu'), yang rawan interpolasi. Imaduddin tidak melakukan penelusuran yang lebih luas dan melakukan perbandingan dengan kitab-kitab lain dalam bentuk manuskrip tulisan tangan (makhthuth).
Kitab-kitab yang masih dalam bentuk manuskrip (makhthuth) hams menjadi rujukan dan pertimbangan penting bagi siapa saja yang ingin mendalami kajian nasab. Selain itu, ia juga hams menempuh perjalanan untuk berdiskusi dengan para ahli nasab dunia, seperti yang dilakukan oleh Sayid Alwi ibn Thahir al­ Haddad. Lalu, pertanyaannya :

Apakah Imaduddin telah melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti yang dilakukan Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad?
Apakah Imaduddin memiliki kitab Tahdzib al-Ans<ib dan al-Majdi dalam bentuk tulisan tangan yang didapatkan dari Kota Teheran, Qum, Najaf, Baghdad, dan Mesir?
Mengenai penyematan  gelar al-naff<ith, Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad mengatakan, "Ulama terdahulu seperti al-'Ubaidili dan al-Umri dan sebagian ulama yang datang kemudian seperti al-A'raji al-Hamazi dan lbn Inabah dalam 'Umdah al-Kubr<i, juga al-Fathuni al-Nabathi penyusun kitab Mukhtashar Hada'iq al-Alb<ib, lbn Muhanna dalam Musajjar-nya, Sayid Ja'far ibn Muhammad al-A'raji
al-Husaini penyusun kitab al-Dur al-Muntazham fi Ans<ib al-'Arab wa al-'Ajam,
Sayid Muhammad ibn Abi Ja'far yang dikenal dengan nama Ibn Ma'iyah, Sayid Jamaluddin al-Jurjani al-Husaini, semuanya tidak menyebutkan gelar al-Naff<ith untuk Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Para ulama yang datang kemudian menyebutkan gelar ini untuk keturunan al-Muhajir, yaitu urutan kelima setelah Ahmad ibn Isa. Semua ulama nasab bersepakat tentang hal ini, termasuk Ibn Inabah dalam 'Umdah al-Kubr<i ketika menuliskan silsilah Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi.257

"Danmereka adalah Ahmad al-Abah ibn Abu Muhammad al-Hasan al-Dallal ibn Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa al-Akbar."258

Pada tulisan di atas tidak ada gelar "al-Abah" dan "al-Naffath" yang di­ sematkan kepada Ahmad ibn Isa. Gelar "al-Abah" disematkan kepada Ahmad ibn Hasan al-Dalla! ibn Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, cucu keempat atau urutan kelima setelah Ahmad ibn Isa al-Akbar.
Ada perbedaan antara kitab 'Umdah al-Th<ilib al-Sughr<i dan 'Umdah al­ Th<ilib al-Kubra dalam penulisan gelar al-Naff<ith. Dalam kitab 'Umdah al-Th<ilib al-Sughr<i disebutkan:

"Di antara mereka ada Ahmad al-Abah ibn Isa al-Akbar, ia berjualan minyak
naff<ith sehingga diberi gelar al-Naff<ith."259

Ketika ditanya tentang perbedaan yang bertolak belakang antara penulisan naskah 'Umdah al-Kubra dan naskah 'Umdah al-Shugra, seorang ahli nasab berasal dari Irak, Sayid Abdurrazak ibn Hasan al-Husaini mengatakan, "Saya berkeyakinan, masalah ini karena kesalahan penulis naskah, dan mereka tidak menyebutkan kelengkapan perbaikannya, seluruh naskah yang ada semua tidak lengkap [naskah yang ada pada 'Umdah al-Shugr<i].260 Begitu pula dalam kitab al-Musyajjar al-Kasysy<if baik yang telah dicetak atau yang masih tulisan tangan . Gelar al-naff<ith untuk Ahmad ibn Isa bukan pada naskah aslinya, melainkan karena kesalahan penyalin naskah.
Sebagai perbandingan, kita bisa melihat redaksi kalimat pemberian gelar "al-Abah" dan "al-Naffath" dalam kitab Tahdzib al-Ans<ib dan al-Majdi . Dalam kitab yang masih berupa tulisan tangan (makhtuth), Syaikh Syaraf Abu al-Hasan al-Ubaidilli menulis

"Ahmad ibn Isa al-Akbar, di antara keturunannya adalah Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi. Saya melihatnya di Baghdad dan mengalami kebutaan pada masa tuanya, sedangkan  saudara-saudaranya  berada  di Jabal."261

Sementara, al-'Umari menulis dalam mak htuth-nya:

"Ahmad  Abu  al-Qasim  al-Abah  dikenal  dengan  gelar  al-Naffiith  karena  ia berdagang minyak naffiith . Ia punya keturunan di Baghdad dari al-Hasan Abu Muhammad al-Dalla! Ali al-Dauri. Aku melihatnya (al-Hasan) wafat pada akhir hidupnya di Baghdad, (al-Hasan) anak dari Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn (Ali) al-'Uraidhi. Dan, al-Dalla!memiliki keturunan  seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama Abi al-Ghanaim Muhammad dan seorang perempuan . Dan, Abu al-Ghanaim Muhammad ibn al­ Dallal wafat dan meninggalkan dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan ."262

Pada kitab yang masih berupa tulisan tangan di atas, sangat jelas bahwa yang dimaksud Ahmad "al-Abah" adalah yang dikenal dengan gelar "al-Naffath" ibn Abi Muhammad al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Isa al-Akbar. Pada kitab itu tidak dituliskan Aba al-Qasim Ahmad "al-Abah" yang dikenal dengan gelar "al-Naffath", karena ia hidup pada zaman setelahnya, sedangkan kakeknya, yaitu Abu Ja'far Muhammad hidup sezaman dengannya. Maka, menjadi sesuatu yang kontradiktif jika "al-Naffath" yang dimaksud di situ adalah Ahmad ibn Isa.263 Sementara, gelar al-Muhlijir telah digunakan pada 511 Hijriah dalam kitab al-Arba'un karya Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid. Dalam kitab tersebut disebutkan :

"Dia mengatakan, al-Syarif al-Musnid Abdullah ibn Bashri ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa menceritakan kepada kami: ayahku dan pamanku Jadid dan Alwi keduanya anak Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir."264

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama ahli nasab terdahulu tidak menyematkan gelar "al-Abah" dan "al-Naffath" kepada Imam al-Muhajir (Ahmad ibn Isa) ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi. Awai kerancuan pemberian gelar "al-Abah" dan "al-Naffath" dimulai dalam kitab nasab 'Umdah al-Thlilib al-Shugra karangan Ibn Inabah yang kemudian diikuti oleh kitab-kitab setelahnya. Kekeliruan itu tidak terdapat pada naskah aslinya. Kekeliruan dilakukan oleh penulis naskah setelahnya. Karena itulah dibutuhkan ketelitian dan kecermatan ketika menelusuri berbagai rujukan dan kitab-kitab terdahulu . Imaduddin tidak menerapkan kecermatan itu. Ketika ia tidak mampu membantah secara ilmiah, yang ia lakukan kemudian adalah melontarkan fitnah barn.
Tidak hanya itu, ketika menuliskan bantahan terhadap Risalah Habib Hanif Alathas, Imaduddin memfitnah Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad telah menambahkan kalimat sendiri ke dalam kitab al-Raudhu al-Jaliy . Imaduddin melontarkan tuduhan itu karena  di dalamnya ada kalimat yang bertentangan dengan pemikirannya . Padahal setelah diteliti dan diperbandingkan dengan manuskripnya, kita bisa melihat bahwa Sayid Alwi ibn Thahir al-Haddad adalah sosok ulama yang selalu menjunjung tinggi etika keilmuan . Ia tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh Imad. Sebaliknya, justru Imaduddin yang kerap melakukan fitnah mengatasnamakan tradisi ilmiah. Berikut ini bantahan Habib Hanif kepada Imaduddin yang memperlihatkan keculasan Imad:

"Dalam Risalah saya mengutip kesaksian Syaikh Syaraf al-'Ubaidili (w. 435 H) tentang hijrahnya al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa bersama putranya, Abdullah, menuju Hadramaut . Kesaksian itu dimuat oleh al-Imam al­ Nassabah Murtadha al-Zabidi dalam karyanya, al-Raudhu al-Jaliy fi Nasabi
Bani 'Alawi.
Imaduddin mengatakan, 'Hanif  menyebutkan bahwa Alwi (mungkin yang dimaksud Abdullah/Ubaidillah) sebagai anak Ahmad telah disebutkan pada abad ke-5. Alhamdulillah . Apa betul? Menurutnya, nasab itu telah disebut oleh Al-'Ubaidili yang wafat pada 435 H. Hal itu disebutkan dalam kitab al-Raudhu al-Jaliy , karya al-Zabidi (w. 1205 M). Kalau ini terbukti, kita akan taslim akui mereka sebagai keturunan Nabi.' Subhanallah.''
Dan yang lebih miris, lagi-lagi secara sembrono Imaduddin menuding naskah al-Raudhu al-Jaliy yang saya jadikan rujukan (Cetakan Darul Fath Yordania 1444 H) adalah palsu, karena telah ditambah-tambahkan oleh Mu'alliq al-Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad dan Muhaqqiq Dr. Muhammad Abu Bakar Badzeib. Sebab menurut Imaduddin, pada naskah al-Raudhu al-Jaliy yang ia miliki (cetakan Maktabah Dar Kanaan tahun 1431 H) tidak
ada kata-kata <':)I w_r.JI     Jli). Maka, menurutnya, naskah al­
Raudhu al-Jaliy yang saya jadikan rujukan adalah palsu . Bahkan  setelah itu Imaduddin dengan penuh percaya diri menyindir ulama  sekaliber al­ Mu'arrikh al-Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad tentang moral ilmiah dan kejujuran ilmiah. Benarkah demikian?
Justru bagi saya, moral, kejujuran, serta logika ilmiah Imaduddin yang perlu dipertanyakan . Bagaimana mungkin ia bisa memvonis naskah al­ Raudhu al-Jaliy cetakan Darul Fath yang saya miliki palsu dan ditambah-tambahkan,  cuma karena berbeda  dari naskah miliknya?  Kaidah  filologi mana yang ia gunakan?
Jika ingin memastikan kesesuaian cetakan kitab tersebut dengan naskah aslinya maka seharusnya ia merujuk kepada manuskrip yang dijadikan pegangan dalam penulisan ulang, tahqiq, dan pencetakan kitab tersebut .
Mengenai naskah al-Raudh al-Jaliy cetakan Darul Fath 1444 H yang saya jadikan rujukan, muhaqqiq kitab itu, Dr. Muhammad Abu Bakar Badzeib, menyebutkan bahwa ia bersandar kepada dua naskah manuskrip dalam tahqiq-nya :265
1.    Naskah manuskrip pertama dan utama (al-ashl), yaitu naskah yang di­ salin oleh al-Nassabah Hasan Muhammad Qosim (w. 1394 H), pada tahun 1350 H. Beliau menyalin dari naskah yang ditulis oleh Abdul Mu'thi al­ Sayid al-Wafa'i yang merupakan murid Muallif al-Murtadha al-Zabidi,
dan naskah  tersebut  di-ACC  oleh  Muallif  (jll .h>     J)· Naskah
manuskrip ini terjaga rapi di Maktabah al-S<idah al-Wafa'iyyah di Mesir. Naskah ini dihadiahkan oleh al-Sayid Abdullah ibn Ahmad ibn Yahya kepada al-Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad pada 25 Sya'ban 1352 H.
2. Naskah manuskrip kedua, yaitu naskah yang disalin pada 1358 H oleh al-Sayid Thahir ibn Alwi al-Haddad (w. 1394 H), yang juga  menukil
dari naskah yang ditulis oleh Abddul Mu'thi al-Wafa'i yang merupakan murid Muallif al-Murtadha al-Zabidi, dan di-ACC oleh Muallif (jll
.h>     j)· Naskah tersebut terjaga rapi di Maktabah al-Ahqaf Ii al­
Makhthuthat Tarim dengan No. 2059 tarikh.

Adapun kitab al-Raudhu al-Jaliy cetakan Dar Kanaan 1431 H yang dijadikan pegangan Imaduddin hanya merujuk kepada naskah manuskrip kedua yang saya sebutkan di atas, sebagaimana disebutkan oleh Arif Ahmad Abdulghoni dalam mukadimah tah_qiq-nya. 266

Kemudian, saya menghubungi Muh_aqqiq Dr. Muhammad Abu Bakar Badzeib untuk meminta salinan dua naskah manuskrip di atas, khususnya bagian halaman yang menyebutkan pembahasan Imam al-Muhajir dan putra-putranya . Dan, beliau dengan sukarela mengirimkan gambar salinan tersebut.
Setelah saya teliti dengan saksama, baik naskah manuskrip pertama (al-ashl) atau naskah manuskrip kedua  (yang juga  dijadikan  sandaran oleh Muhaqqiq kitab cetakan Dar Kanaan yang dipegang oleh Imaduddin) keduanya sama-sama mengutip ungkapan Syaikh al-Syaraf al-'Ubaidili tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa bersama putranya yang bernama Abdullah (Ubaidillah) . Kedua manuskrip itujuga mencantumkan bahwa apa yang telah al-Nassabah al-Zabidi sebutkan dari anak-anak Ahmad ibn Isa merupakan
hal yang disepakati oleh para ahli nasab; O.k t.. JAjl    0y.W I ,y
..u--i U;    I), sebagaimana termaktub dalam kitab al-Raudhu al-Jaliy
cetakan Dar al-Fath Yordania 1444 H yang di-tahqiq oleh Dr. Muhammad ibn Abu Bakar Badzeib, yang sayajadikan rujukan dalam risalah yang saya susun. Berikut ini foto-foto dari salinan naskah manuskrip pertama dan kedua:
      
Manuskrip  1(Sampul)    Manuskrip 1(Paparan tentang Ahmad ibn Isa dan putranya, Abdullah)

Manuskrip 1(Penutup)

Manuskrip 2 (Sampul)

Manuskrip 1(Penutup)

Manuskrip 2 (Paparan tentang Ahmad ibn Isa dan putranya, Abdullah)
 
Dari lembaran-lembaran manuskrip di atas, sangatjelas bahwa al-Nassabah al­ Imam Murtadha al-Zabidi dalam kitab al-Raudhual- Jaliy memangmengabadikan pernyataan Syaikh Syaraf al-'Ubaidili (w. 431 H) tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa bersama putranya, Abdullah, ke Hadramaut . Al-Nassabah al-Zabidi juga menyebutkan status Abdullah (Ubaidillah) sebagai anak Ahmad ibn Isa dari Mush'ab al-Zubairi yang hidup satu zaman dengan Abdullah ibn Ahmad ibn Isa. Begitu pula al-'Umari (w. 490 H) menyebutkannya dalam kitab Musyajjaru al-Ans<ib yang diakhiri dengan pembahasan tentang anak-anak Ahmad ibn Isa-di antaranya bernama Abdullah . Kemudian, ia menyebutkan ungkapan al­ Nassabah al-Zabidi bahwa hal itu telah menjadi kesepakatan para ahli nasab
(0y.L..i.ll     JIJI L. La). Ini semua tercantum  baik  di naskah manuskrip
pertama maupun manuskrip kedua .
Manuskrip pertama di atas juga menunjukkan dengan jelas bahwa catatan (ta'liq) dari al-'Allamah al-Mu'arrikh Alwi ibn Thahir al-Haddad sama sekali tidak bercampur dengan naskah asli al-Raudhu al-Jaliy . Beliau hanya memberi catatan di pinggir (hamisy) kitab. Bahkan dalam mukadimah tahqiq-nya, Dr. Muhammad Badzeib memastikan bahwa setiap catatan, koreksi, atau faedah tambahan dari Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad dan Dr. Badzeib sendiri tidak dicampur dengan matan asli kitab al-Raudhu al-Jaliy . Dan jika catatan itu dituliskan di tengah matan maka akan dibedakan dengan tanda kurung buka dan tutup "[ ]" atau ditulis dalam catatan kaki.267
Sebaliknya, berdasarkan foto-foto manuskrip di atas,justru kitab al-Raudhu al-Jaliy pegangan Imaduddin-lah yang bermasalah . Sebab, pembahasannya tentang Abna Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa berbeda dengan pembahasan dalam naskah manuskrip kedua . Bahkan Dr. Badzeib, dalam mukadimah tahqiq­ nya, secara khusus mengulas berbagai masalah amanah ilmiah dalam al-Raudhu al-Jaliy cetakan Dar Kanaan. Misalnya, judulnya saja patut dipertanyakan dari
sisi keilmuan . Arif Ahmad Abdul Ghoni sebagai Muhaqqiq memberikan judul al­ Raudhu al-Jaliy fi Ans<ibi Ali Ba'alawi, padahal dalam naskah manuskrip kedua yang dijadikan objek tahqiq oleh Arif Ahmad judul kitab itu adalah al-Raudhu al­ Jaliy fi Nasabi Bani 'Alawi, menggunakan kata tunggal (mufrad) "nasab" bukan
kata jamak "ans<ib". Jika dalam penulisan judulnya saja tidak menjaga amanah ilmiah, bagaimana dengan isinya? Berbagai masalah amanah ilmiah dalam al­ Raudhu al-Jaliy cetakan Dar Kanaan ini diulas secara apik dan objektif oleh Dr. Muhammad Badzeib dalam mukadimah tahqiq-nya.268
Dengan demikian, tuduhan Imaduddin bahwa kitab al-Raudhu al-Jaliy cetakan Dar al-Fath 1444 H yang saya jadikan rujukan adalah palsu-karena sudah ditambah-tambahkan oleh Mu'aUiq-nya Habib Alwi ibn Thahir al-Haddad dan Muhaqqiq-nya Dr. Muhammad Badzeib- adalah fitnah. Segala sindiran Imaduddin tentang amanah dan moral ilmiah seharusnya ditujukan kepada dirinya sendiri yang seenaknya menuduh palsu suatu kitab hanya karena isinya tidak sesuai dengan pemikirannya tentang terputusnya nasab Ba'alawi ."

E.    Fitnah Imaduddin kepada Sayid Murtadha al-Zabidi
Imaduddin terns menebarkan jaring fitnahnya menyerang banyak pihak, bahkan termasuk ulama besar seperti al-Imam al-Hafizh Murtadha al-Zabidi, penulis Syarah I!:!Y<i' 'Uhlmiddin. Ketika mengulas dialog Habib Hamid al-Gadri di kanal YouTube Majlis Muwasholah, Imaduddin mengatakan bahwa al-Imam Murtadha al-Zabidi berusia 20 tahun ketika menulis al-Raudhu al-Jaliy . Dengan mengatakan seperti itu, ia ingin melakukan framing bahwa dari sisi keilmuan, usia al-Nassabah al-Zabidi belum cukup matang ketika menulis kitab tersebut . Komentarnya itu jelas-jelas keliru . Sebab, dalam penutup naskah manuskrip 1yang saya muat di atas terlihat jelas bahwa al-Nassabah Murtadha al-Zabidi menulis al-Raudhu al-Jaliy pada pertengahan bulan Dzulqa'dah 1196 H. Artinya, ketika menulis kitab itu usianya 51tahun, 9 tahun sebelum wafat. Ia dilahirkan pada 1145 H dan wafat pada 1205 H. Bahkan, seandainya benar ia menulis kitab itu saat usianya 20 tahun maka sesungguhnya usia tidak menjadi ukuran kematangan dalam berilmu . Ada banyak ulama yang memiliki keluasan dan kematangan ilmu meskipun usianya masih sangat muda .
Tidak hanya itu, dalam buku Terputusnya Nasab Habaib kepada Nabi Saw. hal. 66, Imaduddin men-framing  seolah al-Hafizh Murtadha al-Zabidi menulis ketersambungan nasab Ba'alawi dalam bukunya al-Raudhu al-Jaliy semata-mata karena "pesanan" gurunya yang bermarga Alidrus, bukan karena pertimbangan ilmiah.  Imaduddin   mengatakan,   "Apakah  benar   al-Zabidi   menulis   sesuai keilmuannya pada saat itu, atau sesuai data yang disiapkan gurunya tersebut?" Sepertinya Imaduddin lupa atau berpura-pura lupa bahwa haram hukumnya menyambungkan  nasab tanpa dasar ilmu. Haram hukumnya menyambungkan nasab hanya karena faktor kedekatan atau hubungan murid dan guru. Apakah orang  sekaliber  al-Imam  al-Hafizh  al-Nassabah  Murtadha  al-Zabidi  berani melakukan  perbuatan  terlaknat  dengan  menyambungkan   nasab  yang  tidak seharusnya   bersambung,    hanya   karena   kedekatannya    dengan   gurunya?
Sungguh Imaduddin telah melakukan dusta yang besar.

F.    Fitnah Imaduddin kepada Sayid Yusuf Jamalullail
Sayid Yusuf Jamalullail adalah seorang alim yang banyak melahirkan karya di bidang ilmu nasab. Imaduddin menuduh Sayid Yusuf telah menyisipkan (interpolasi) nama Ubaidillah dalam kitab Abwi' al-Imam karangan Abu Mu'ammar ibn Thaba Thaba (w. 478 H). Atau, jika mengikuti pengertian harfiah, Imaduddin menuduh Sayid Yusuf telah melakukan ekstrapolasi, yakni menambahkan data di luar data yang tersedia dalam naskah asli.269 Dalam kasus naskah ini, ekstrapolasi tersebut sesuungguhnya dilakukan oleh ketiga orang mub:_aqqiq yang menelaah naskah asli lbn Thaba Thaba, sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Yusuf Jamalullail dalam mukadimahnya :

"Setelah saya (Yusuf Jamalullail) meneliti manuskrip ini dengan sangat cermat, saya mendapati bahwa Ibn Shadaqah al-Halabi menyalin ulang dari manuskrip milik Abu al-Mu'ammar Yahya ibn Muhammad al-Hasani yang dikenal dengan nama Ibn Thaba Thaba. Mencermati jejak-jejak perjalanannya ke Syam, ketika menyalin ulang naskah asli itu, ternyata ia menambahkan (ekstrapolasi) tokoh­ tokoh yang hidup setelah era Ibn Thaba Thaba, pemilik naskah. Selain itu juga ada penambahan  oleh Ibn Shadaqah dari sumber yang dikaitkan kepada ahli Shadaqah menempuh jalan yang dilalui sejawatnya yang lain. Ia memperbaiki sekaligus menambahkan redaksi yang berasal dari berbagai rujukan, sumber yang ia dengar, ia hafal, dan ia catat dari gurunya selama di Syam."270

Dari mukadimah itu menjadi jelas, justru Sayid Yusuf Jamalullail yang dengan jujur menyatakan bahwa naskah Abna' al-Imam karya Ibn Thaba Thaba telah bercampur dengan beberapa penambahan yang dilakukan para muhaqqiq­ nya. Jadi, mengapa Imaduddin malah menuduh  Sayid Yusuf Jamalullail telah mengubah naskah itu? Apakah karena Sayid Yusuf seorang Ba'alawi?
Adapun judul al-'Iqdu al-Masi fi Ansabi Ali Bayti al-Nabawi yang diberikan oleh Sayid Yusuf untuk kitab Abna' al-Imam, itu tidak berarti ia mengubah judul kitab tersebut . Judul dari Sayid Yusuf itu diletakkan di kanan atas buku . Format penulisan itu banyak dipergunakan  oleh  penerbit  yang  mencetak  banyak buku dengan tema tertentu. Itu dimaksudkan  untuk  keperluan  klasifikasi tema buku sehingga pembaca dapat menemukan kitab-kitab dengan tema tertentu . Contohnya, Penerbit Dar al-Qalam di Damaskus banyak menerbitkan buku tentang tokoh-tokoh ulama hadis, fikih, tasawuf, dan lainnya. Untuk mempermudah pembaca, buku-buku itu dikelompokkan ke dalam judul barn Silsilah A'lam al-Muslimin. Sementara, judul aslinya tetap menyebutkan nama­ nama tokoh, seperti Imam Syafi'i, Imam Bukhari, Imam Ghazali, dan lainnya.
 
KELIMA Pengkhianatan Ilmiah

A.    Standar Ganda Imaduddin
Konsistensi merupakan unsur yang sangat penting dalam penelitian ilmiah. Tetapi, tampaknya Imaduddin mengabaikan masalah yang sangat penting ini. Ia kerap menerapkan standar ganda dalam membangun pemikirannya. Ia seperti orang yang bermain sepak bola, yang kemudian memindahkan gawangnya saat hampir kebobolan. Inkonsistensi yang ditunjukkan Imaduddin ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap integritas ilmiah bagi seorang peneliti. Berikut ini beberapa bentuk standar ganda yang dilakukan Imaduddin .

1.    Imaduddin Sulit Menerima Rujukan yang Mendukung Keabsahan Nasab Ba'alawi
Imaduddin sulit menerima rujukan yang mendukung keabsahan nasab Ba'alawi meskipun rujukan itu resmi dan jelas sumbernya. Di sisi lain, ia dengan mudah  menerima  dan  menelan  mentah-mentah  rujukan   yang  menafikan atau membatalkan nasab Ba'alawi. Contohnya, ia langsung memercayai dan memublikasikan keterangan bahwa Mufti Yaman Syamsyuddin ibn Syarafuddin membatalkan nasab Ba'alawi. Padahal berita itu dimuat di situs yang tidak jelas dan akun palsu  di kanal Facebook. Bahkan, berita itu sendiri sudah dibantah melalui klarifikasi resmi kemuftian Yaman sebagaimana kami uraikan dalam buku ini. Di sisi lain, Imaduddin menolak  mentah-mentah  maklumat  resmi dari Imamul Yaman tentang keabsahan nasab Ba'alawi. Padahal, itu merupakan maklumat resmi pimpinan negara Yaman yang juga dikenal sebagai seorang ulama di Yaman Utara.
Contoh lainnya, Imaduddin menolak beberapa kitab yang menyebutkan Ba'alawi seperti Tuhfah al-Zaman yang ditahkik oleh Abdullah al-Habsyi, seorang muhaqqiq ternama di Yaman . Lebih jauh, Imaduddin menuduh bahwa semua kitab yang ditahkik oleh kalangan Ba'alawi hams dicurigai kebenarannya . Sebaliknya, Imaduddin begitu saja mengutip pendapat  Abdullah  al-Habsyi yang meragukan integritas Habib Salim ibn Jindan dalam periwayatan nasab dan sejarah. Semestinya, jika konsisten, ia akan menerima pendapat Abdullah al-Habsyi, bukan hanya pendapat yang meragukan integritas Habib Salim ibn Jindan. Semestinya Imaduddin melihat ketegasan dan sikap kritis Abdullah al­ Habsyi kepada sesama tokoh Ba'alawi sehingga menyadari bahwa Abdullah al­ Habsyi adalah muhaqqiq yang berintegritas dan tidak pandang bulu. Namun, Imaduddin meragukan integritas Abdullah al-Habsyi ketika pendapatnya dianggap menguntungkan Ba'alawi. Sebaliknya, ia menerima pendapat al­ Habsyi yang mendukung pemikirannya .
ltu barn sedikit contoh. Sikap seperti itu kerap dipertontonkan oleh Imaduddin .Sikap ini menunjukkan ketidakobjektifan dalam mempertimbangkan bukti-bukti dan referensi yang ada. Integritas ilmiah Imaduddin sangat patut dipertanyakan karena ia menolak secara berlebihan rujukan yang mengisbat nasab Ba'alawi dan lebih memilih rujukan yang menafikan . Sikap ini dapat memengaruhi  keputusan  dan penilaiannya .

2.    Hanya Menerapkan "Standar" Buatannya untuk Menilai Nasab Ba'alawi
Imaduddin hanya menerapkan "standar" buatannya untuk menilai nasab Ba'alawi. Ia tidak menggunakan standar yang sama untuk menilai nasab selain nasab Ba'alawi . Misalnya, saat berbicara tentang Nasab Walisongo melalui jalur Musa al-Kazhim yang dirumuskan oleh Imad, dkk., Imaduddin berkesimpulan bahwa Walisongo adalah dzurriyah Nabi Saw. melalui jalur Musa al-Kazhim berdasarkan beberapa manuskrip yang menyebutkan nama secara lompat­ lompat. Berikut kami sajikan kutipan dari artikel Imaduddin terkait hal tersebut.271 Imaduddin  mengatakan :

"Pada hari Ahad 3 September 2023 diadakan pertemuan di rumah K.H. Rohimuddin Nawawi, dihadiri oleh Penulis (Imaduddin Utsman al-Bantani),
K.H. Rohimuddin Nawawi (Tuan Rumah), K.H. Ahmad Hasan (Benda Kerep),
K.H. Tobari Sazili (Banten), TB. Mogy Nurfadil (Banten), TB. Imamuddin (Banten), TB. Imam Ibrahim (Banten), TB. Soleh (Banten), Noval Saefullah (Benda Kerep), Tengku Muda Qori (Aceh), Lutfi Abdul Gani (Banten), Kang Gina (Banten), R. Suprio (Banten), Abdurrahman (Bekasi), dan lain-lain.

Dalam pertemuan itu, penulis memimpin inventarisir manuskrip per­ manuskrip, dan masing-masing menunjukkan manuskripnya . Lalu, terkumpul 7 manuskrip . Satu manuskrip dieliminasi karena hanya menceritakan tentang Sunan Giri. Enam lainnya menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keturunan Nabi Muhammad Saw. melalui jalur Sayid Musa al-Kazhim . Dari salah satu manuskrip itu ada 6 riwayat yang disebutkan . Jadi, seluruh riwayat Musa al-Kazhim menjadi sebelas riwayat. Adapun ke-enam manuskrip itu adalah:

1.   Manuskrip Bangkalan (1624 M)
Manuskrip Bangkalan ini selesai ditulis hari kamis 12 Dzulhijjah 1033 H atau 24 September 1624 M. Di dalamnya ada silsilah Sunan Bonang sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel. Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati sama-sama keturunan Syaikh Jumadil Kubra. Dalam manuskrip Bangkalan ini disebutkan silsilah Sunan Bonang sampai Rasulullah melalui Sayidina Husain . Disebut pula nama-nama yang menunjukkan bahwa silsilah ini melalui jalur Sayid Musa al-Kazhim seperti nama Ali al-Naqi, al-Rida. Sama dengan kebiasaan manuskrip  Nusantara lainnya, dalam menulis silsilah, manuskrip Bangkalan ini tidak lengkap secara berurut . Tetapi, kadangkala di loncat-loncat seperti menyebut anak langsung ke kakek tanpa menyebut ayah.

2.    Manuskrip Tapal Kuda (1650 M)
Manuskrip Tapal Kuda ini menjelaskan tentang silsilah istri dari Syaikh Ibrahim Asmoro melalui Syaikh Jumadil Kubro. Dijelaskan bahwa silsilah Syaikh Jumadil Kubro adalah dari Zainal Abidin, dari Ja'far Shadiq yang berputra Musa. Terns dilanjut secara tidak tertib sampai kepada Syaikh Jumadil Kubro dan istri Syaikh Ibrahim Asmoro . Silsilah dalam manuskrip ini tidak tertib seperti yang dikenal dalam Kitab-Kitab Nasab mu'tabarah. Yang demikian itu kebiasaan manuskrip-manuskrip Nusantara dalam menulis silsilah. Kemungkinan besar adanya salah penempatan antara nama dan gelar, terbalik antara nama ayah dan anak pun sering terjadi. Namun, manuskrip ini telah tegas menyebut silsilah Jumadil Kubro kepada Sayid Musa al-Kazhim.

3.    Manuskrip Pamekasan (1700 M)
Manuskrip Pamekasan ini tampaknya adalah salinan dari manuskrip Tapal Kuda tahun 1650 M. (Mansuskrip ini) menjelaskan tentang silsilah istri dari Syaikh Ibrahim Asmoro melalui Syaikh Jumadil Kubro. Dijelaskan bahwa silsilah Syaikh Jumadil Kubro adalah dari Zainal Abidin, dari Ja'far Shadiq yang berputra  Musa.

4.    Manuskrip Syaikh Hasan Muhyi (1787 M)
Manuskrip ini menerangkan silsilah kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Sayid Musa al-Kazhim . Dalam manuskrip itu  terjadi distorsi ketika al­ Kazhim disebut sebagai anak Musa, padahal al-Kazhim adalah gelar untuk Musa. Juga terjadi distorsi ketika menyebut nama Muhammad Mubarak, seharusnya Muhammad al-Baqir. Namun dengan itu semua, manuskrip ini tegas menyebut silsilah Sunan Gunung Jati. Waiau nama Sunan Gunung Jati tidak disebut lengkap, hanya ditulis Kanjeng Sunan, tetapi dapat diketahui bahwa yang dimaksud itu adalah Sunan Gunung Jati karena ada nama Ratu Bani Israil dan Raja Mesir. Di mana dapat dikonfirmasi dari sumber lain bahwa silsilah Sunan Gunung Jati ke atas ada dua nama tersebut .

5.    Asal-Usul Kesultanan Cirebon (1809 M)
Dalam manuskrip ini disebutkan silsilah Sunan Gunung Jati melalui Musa al-Kazhim . Dalam manuskrip ini disebutkan nama Sunan Gunung Jati sebagai Kanjeng Sinuhun Carbon.

6.    Tinjauan Kritis Sajarah Banten (1913 M)
Tinjauan Kritis Sejarah Banten adalah buku yang berasal dari disertasi Prof. Husein Djayadiningrat . Dalam buku ini disebutkan enam versi silsilah Sunan Gunug Jati yang diambil dari sumber-sumber tua di antaranya: Daftar Raja-Raja Banten dari Priangan, Sejarah Banten Rante-Rante, Abdulkahar, Sejarah para Wali (Jawa), Sejarah para Wali (Sunda), dan Wawacan Sunan Gunung Jati. Lima dari enam versi itu menyebut Jumadil Kubro, dan satu tidak. Menariknya, yang tidak menyebut Jumadil Kubro justru menyebut nama Musa al-Kazhim . Namun, dari enam versi itu terkonfirmasi semuanya melalui jalur Musa al-Kazhim, karena dalam manuskrip tertua tahun 1624 yaitu manuskrip Bangkalan, dan manuskrip Tapal Kuda tahun 1650 yang telah disebutkan di atas, Jumadil Kubro adalah keturunan Musa al-Kazhim.

Enam manuskrip di atas, sangat kuat menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. dari jalur Musa al-Kazhim"
Demikian penuturan Imaduddin  terkait manuskrip-manuskrip yang menyatakan bahwa Walisongo merupakan keturunan Musa al-Kazhim. Sikap ini berbanding terbalik, ketika ia menelaah nasab S<idah Aal Abi Alawi. Dalam buku Membongkar Skandal Umiah, Imaduddin  mempermasalahkan  silsilah  nasab Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abdidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu wajhah, yang dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid sebagai keturunan al-'Uraidhi al-Quraisy karena adanya perbedaan urutan silsilah nasab yang terdapat dalam dua manuskrip kitab al-SulUk al-Janadi.
Manuskrip pertama (terbitan Dar al-Kutub al-Misriyyah) yang selesai ditulis oleh al-Arabi ibn Ahmad ibn 'Ali ibn Husain al-Halwani pada hari Sabtu, 7 Dzulhijjah 877 H, menuliskan silsilah Abu al-Jadid sebagai berikut :

"Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Jadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al­ Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu wajhah."

Manuskrip kedua terdapat di Paris, ditulis oleh Ahmad ibn Yahya ibn Ismail ibn al-Abbas ibn Daud ibn Yusuf ibn Umar ibn Ali ibn Rasul (putra Raja Yahya ibn al-Malik al-Asraflsmail) . Manuskrip yang selesai ditulis hari Senin, 9 Sya'ban 820 H ini menyebutkan :

"Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abdidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu wajhah."
Antara manuskrip Mesir dan Paris terdapat perbedaan jumlah nama sampai ke Ahmad ibn Isa. Pada manuskrip Mesir, urutan silsilah Abu al-Jadid tertulis lengkap sebanyak delapan orang sampai ke Ahmad ibn Isa. Sementara, pada manuskrip Paris hanya tertulis empat nama sampai ke Ahmad ibn Isa. Mari kita lihat silsilah nasab seorang perawi hadis bernama Abu al-Ghanaim al-Dajjaji al-Baghdadi yang ditulis dalam lima kitab seperti Bughya al-Thalib, Tankh Baghdad, Siyar A'lami al-Nubata, al-Musyayyak hah al-Kubra dan Tankh Madinah Damsyik , di bawah ini.

1.    Dalam kitab Bughya al-Thalib karya Jaradah disebutkan :

"Telah memberi tahu kami Abu al-Ghanaim Muhammad ibn Ali al-Dajjaji."272

2.    Dalam kitab Tankh Baghdad karya al-Baghdadi disebutkan :

"Muhammad ibn Ali ibn al-Hasan, Abu al-Ghanaim yang dikenal dengan nama Ibn al-Dajjaji."273

3.    Dalam kitab Siyar A'lami al-Nubata karya al-Dzahabi disebutkan :
"Syaikh al-Amin al-Muammar Abu al-Ghanaim Muhammad ibn Ali ibn Ali ibn al-Hasan, Ibnu al-Dajjaji al-Baghdadi."274

4.    Dalam kitab al-Musyayyak hah al-Kubni karya Al-Maristani disebutkan:

"Telah memberi tahu kami Abu al-Ghanaim Muhammad ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Hasan, yang dikenal dengan nama Ibn al-Dajjaji."275

5.    Dalam kitab T<irikh Madinah Damsyik karya Hibatullah al-Syafi'i disebutkan :

"Telah memberi tahu kami Abu Ali al-Hasan ibn al-Muzaffar dan Abu Abdillah al-Husain ibn Muhammad ibn Abdul Wahab al-Bari', dan ibu ayahnya Fathimah binti Ali ibn al-Husain, berkata: Sesungguhnya kami Abu al-Ghanaim Muhammad ibn Ali ibn Ali ibn al-Dajjaji."276

Pada kelima kitab di atas, penulisan urutan nama pada silsilah Abu al-Ghanaim al-Dajjaji berbeda-beda. Kemungkinan kesalahan kutip yang dilakukan pengarang atau penyalin kitab-kitab di atas juga sangat besar. ltu dibuktikan dengan adanya perbedaan urutan nasab  di antara  kitab-kitab  tersebut. Atau bisa saja penulisnya ingin menyingkat urutan nama sampai ke nama tertentu . Contoh lainnya, penulisan perawi hadis dalam kitab al-Mawahib  al-Jazilah karya Syaraf Abu al-Jadid. Di sana hanya dituliskan Abu al-Hasan Ali ibn Jadid
al-Alawi

Walaupun urutan nasabnya berlainan (terdapat beberapa nama  yang hilang), orangnya tetap satu yaitu Abu al-Ghanaim al-Dajjaji. Begitu pula dengan silsilah nasab Abu al-Jadid yang berbeda dalam dua manuskrip, orangnya tetap satu, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Jadid yang nasabnya tersambung kepada Ahmad ibn Isa al-'Uraidhi al-Quraisy al-Adnani, bukan kepada al-Qahtani.
Sebagaimana diketahui, manuskrip pertama terbitan Dar al-Kutub al­ Mishriyyah selesai ditulis pada 877 H dan manuskrip kedua yang terdapat di Paris selesai ditulis pada 820 H. Jauh sebelum kedua manuskrip itu ditulis, sudah ada kitab yang menuliskan silsilah nasab lengkap Abu al-Jadid, yaitu kitab al-Athaya al-Saniyah karya al-Rasuli (w. 778 H) dan kitab 'Iqd al-Fak hir karya al-Khazraji (w. 812 H), dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

1.    Kitab al-Athay al-Saniyah

"Ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Hadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Hadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramalllihu wajhah."278

2.    Kitab 'Iqd al-Fakhir
"Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Hadid ibn Ali ibn Muhammad ibn Hadid ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali ibn Zainal Abidin ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu wajhah."279

Kedua kitab di atas dapat dijadikan sumber pembanding untuk menvalidasi urutan yang benar. Berdasarkan kitab al-Ath<iy<i al-Saniyah dan kitab 'Iqd al-Fak hir , dapat disimpulkan bahwa manuskrip terbitan Dar al-Kutub al­ Mishriyyah  menyajikan  urutan  silsilah nasab yang  sama tanpa  pengurangan
..1zl..,) jumlah nama dari delapan menjadi empat. Dan kitab-kitab sete­ lahnya seperti T<irikh Tsugr<i Aden karya Bamakhramah al-Hadrami (w. 947 H) konsisten menuliskan silsilah nasab Syarif Abu al-Jadid secara lengkap.

 
Arba'un (620)    al-Suh1k (732)    al-Athaya (778)    'Iqd al-
Fakhir (812)    Naskah Mesir (877)    Naskah Paris (820)    Tarikh Aden (947)
Isa    Isa    Isa    Isa    Isa    Isa    Isa
Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad
Abdullah    Abdullah    Abdullah    Abdullah    Abdullah    l    Abdullah
Jadid    Jadid    Jadid    Jadid    Jadid        Jadid
Muhammad    Muhammad    Muhammad    Muhammad    Muhammad        Muhammad
Ali    Ali    Ali    Ali    Ali        Ali
Jadid    Jadid    Jadid    Jadid    Jadid    Jadid    Jadid
Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad    Ahmad
Muhammad    Muhammad    Muhammad    Muhammad    Muhammad    Muhammad    Muhammad
Ali    Ali    Ali    Ali    Ali    Ali    Ali

Pemikiran  Imaduddin  itu tidak  didukung oleh rujukan  yang lengkap. Ia hanya  membandingkan  antara  manuskrip  Mesir  dan  manuskrip  Paris  tanpa melihat manuskrip lain yang diproduksi pada era yang sama atau lebih tua. Berdasarkan kitab Arba"un, al-SulUk , al-Ath<iy<i, dan 'Iqd al-Fak hir  (ketiga kitab itu lebih tua waktunya dari manuskrip Paris) diperoleh informasi yang sangatjelas bahwa nama Abdullah, Jadid, dan Muhammad bukanlah nama fiktif . Ketiga nama itu benar-benar  tertulis dalam kitab yang dikarang jauh sebelum naskah Mesir dan naskah Paris. Tidak adanya tiga nama pada naskah Paris bisa disebabkan kelalaian penulisan atau karena penulis ingin menyingkat silsilah.
Perlu disampaikan, paparan kami ini tidak bermaksud untuk meragukan validitas nasab Walisongo . Sebab, kami sendiri meyakini bahwa mayoritas Walisongo adalah dzurriyah Rasulullah Saw. Paparan ini semata-mata untuk menunjukkan inkonsistensi Imaduddin yang menerapkan standar ganda dalam penelaahannya terhadap nasab Ba'alawi .
Sikap Imaduddin itu menyebabkan bias dalam penelitian dan analisisnya . Pada gilirannya, hal ini menciptakan ketidakseimbangan  Imaduddin dalam menilai nasab. Ia menggunakan standar tertentu untuk diterapkan pada analisis nasab tertentu dan menggunakan standar berbeda ketika menganalisis nasab yang lain.

3.    Imaduddin    Kerap   Menggunakan    Teori   dari   Seorang   Pakar   tapi Mengabaikan Isbatnya terhadap Ba'alawi
Imaduddin kerap menggunakan teori dari seorang ulama untuk menyerang Ba'alawi, sementara ulama itu sendiri menerima dan mengakui nasab Ba'alawi. Imaduddin menggunakan teorinya, tetapi mengabaikan isbat yang dilakukan ulama tersebut . Sikap ini, selain menunjukkan standar ganda Imad, juga menunjukkan kekeliruannya dalam memahami teori yang ia pergunakan . Sebagai contoh, dalam tulisannya yang berjudul "Tujuh Bahaya Bagi Pembela Pencangkok Nasab Nabi Saw." Imaduddin mengatakan :

"Pembela pencangkok nasab Nabi termasuk orang yang merendahkan Nabi Muhammad Saw. Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :

"Seyogianya bagi setiap orang mempunyai kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad Saw. dan men-dhabiti-nya (menjaganya) sehingga seseorang tidak menisbahkan diri kepada (nasab) Nabi Muhammad Saw., kecuali dengan sebenarnya ." (Al-Shaw<i'iq al Muhriqah: 2/537)

Tanpa ragu dan tanpa malu Imaduddin mengutip perkataan Imam Ibn Hajar al-Haitami untuk menyerang Ba'alawi dan  para pendukungnya . Padahal, al­ Imam Ibnu Hajar dalam tsabat-nya menegaskan bahwa Ba'alawi adalah Ahlul Bait Rasulullah Saw.:

Entah disadari atau tidak, Imaduddin sedang mengatakan bahwa Imam Ibn Hajar al-Haitami merendahkan Rasulullah Saw., na'udzubill<ih. Ungkapan Ibn Hajar r.a. yang  dikutip oleh Imaduddin itu sesungguhnya menguatkan fakta bahwa Imam Ibn Hajar r.a. memiliki azam yang sangat besar untuk menjaga kemurnian nasab Rasulullah Saw. Dengan demikian, pengakuan dan penerimaan Imam Ibn Hajar terhadap nasab Ba'alawi ini bukanlah sikap yang sembarangan .

Sikapnya itu telah melalui standar kehati-hatian yang luar biasa dalam menjaga nasab Rasulullah Saw.
Selain mengutip Imam Ibn Hajar, Imaduddin juga sering mengutip beberapa teori yang disampaikan Syaikh Ibrahim ibn Manshur dalam beberapa kitabnya (seperti aHfiidhah)  untuk  menguatkan  pandangannya  yang  membatalkan nasab Ba'alawi . Tentu saja ini menggelikan, karena Syaikh Ibrahim ibn Manshur sendiri membenarkan nasab Sadah Ba'alawi sebagaimana telah kami sampaikan pada Pasal 3 Bab 1.
Imaduddin juga menggunakan kitab al-Syajarah al-Mubiirakah yang ditahkik oleh Sayid Mahdi Raja'i untuk mendukung upayanya membatalkan nasab Ba'alawi . Padahal, Sayid Mahdi Raja'i sendiri menegaskan bahwa nasab Sadah Ba'alawi itu sahih. Memang dalam kitab itu tidak disebutkan Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa. Namun, fakta itu tidak menunjukkan bahwa beliau bukan anak Ahmad ibn Isa. Dan yang lebih lucu, Imaduddin mengambil teori nasabnya Sayid Mahdi Raja'i yang disampaikan dalam mukadimah kitab al-Mu'qibun untuk  membatalkan nasab Ba'alawi. Padahal, dalam kitab itu al-Nassabah Mahdi Raja'i menetapkan dan mengakui nasab Sadah Ba'alawi. Ia menguraikan pandangannya secara panjang lebar sebagaimana telah dibahas pada Pasal 2 Bab 1.
Dengan demikian, Imaduddin telah menganulir pendapatnya sendiri ketika ia memilih untuk mengambil teori dari para pakar yang menetapkan nasab Ba'alawi. Ia membatalkan nasab Ba'alawi dengan teori yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung nasab Ba'alawi. Di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa Imaduddin keliru memahami teori-teori yang disampaikan para ulama tersebut sehingga akhirnya melahirkan kesimpulan yang bertentangan dengan perumus teori itu sendiri.

4.    Imaduddin Menuntut Sumber Kitab Sezaman padahal Ia Sendiri Tidak Menggunakan Kitab Sezaman
Imaduddin selalu menuntut merujuk kepada kitab-kitab sezaman untuk mengesahkan Nasab Ba 'alawi. Sementara, ia sendiri dalam berbagai kesempatan tidak menggunakan sumber sezaman. Misalnya, ketika menyatakan bahwa nasab Sunan Gunung Jati tersambung kepada Sayidina Musa al-Kazhim, naskah tertua yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin adalah naskah terbitan tahun 1033 H, sedangkan Sayidina Musa al-Kazhim wafat pada 183 H. Ia menggunakan kitab yang jaraknya terentang selama 850 tahun. Berapa banyak nama yang hams dikonfirmasi dalam masa sepanjang itu? Imaduddin sendiri tidak pernah mempertanyakan hal ini. Sikapnya itu bertolak belakang dengan sikapnya ketika membatalkan nasab Ba'alawi . Ia selalu berkomentar keras dan menuntut lawan-lawan debatnya untuk merujuk kepada kitab-kitab sezaman.
Jadi, Imaduddin sendirilah yang melanggar persyaratan yang ia buat sendiri. Misalnya, ketika menyusun dalil bahwa Imam Ali al-'Uraidhi punya anak yang bernama Imam Muhammad al-Naqib (w. 230 H) dan bahwa Imam Muhammad al-Naqib punya anak yang bernama Isa (w. 270 H), Imaduddin menggunakan kitab Tahdzib al-Ansab karya al-Ubaidili (w. 435 H) dan kitab al-Syajarah al­ Mubarakah karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H). Faktanya, al-Ubaidili hidup lebih dari satu abad setelah  Muhammad al-Naqib dan Isa al-Rumi. Bahkan, Fakhr al-Din al-Razi hidup lebih dari dua abad setelah masa keduanya. Mengapa Imaduddin tidak menggunakan rujukan yang sezaman dengan kedua  tokoh Ahlul Bait itu, misalnya kitab Ansab Quraisy karya al-Zubairi (w. 236 H)?
Inkonsistensi lainnya ditunjukkan oleh Imaduddin ketika ia menyimpulkan bahwa Ahmad ibn Isa tidak punya anak yang bernama Abdullah/Ubaidillah . Imaduddin menekankan argumennya kepada kitab al-Syajarah al-Mubarakah karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H) yang menyebutkan bahwa Ahmad ibn Isa punya tiga orang anak, yaitu Muhammad, Husain, dan Ali. Argumentasi Imaduddin ini menabrak syarat dan kaidah yang dibuatnya sendiri. Sebab, al­ Razi hidupjauh (lebih dari dua abad) setelah Ahmad ibn Isa (w. 345 H). Karenanya, penelitian yang dilakukan Imaduddin itu tidak konsisten, kontradiktif, berstandar ganda, dan bertolak belakang dengan kaidah yang ia tetapkan sendiri.

5.    Imaduddin Kerap Menolak Validitas Kitab yang Mengisbat Nasab Ba'alawi, namun Menerima Begitu Saja Rujukan yang Dianggap Menolak Nasab Ba'alawi
Imaduddin dengan mudah menolak validitas kitab  al-Jawhar  al-Syafiif yang dikarang oleh al-Khathib pada 820 H. Imaduddin menebarkan keraguan atas keberadaan kitab ini. Sebab, kitab ini dengan sangat mudah menangkis tuduhan Imaduddin terhadap Sayid Ali ibn Abi Bakar al-Sakran . Sebagaimana telah dijelaskan, Imaduddin menuduh Sayid Ali telah mereka-reka nasab Ba'alawi melalui jalur Ahmad ibn Isa. Padahal hanya beberapa puluh tahun setelah wafatnya Sayid Ali ibn Abu Bakar al-Sakran, ada penulis yang mengutip dari kitab al-Jawhar al-Syafiif , yaitu Bamakhramah dalam kitabnya Qiliidah al­ Nahr , sebagaimana telah kami jelaskan di depan.
Beda halnya dengan al-Syajarah al-Mubiirakah, kitab yang Imaduddin "anggap membatalkan"  status Ubaidillah sebagai Ahmad ibn Isa ini memiliki banyak masalah dalam penisbahannya . Di antaranya, kitab itu tidak pernah disebutkan atau dikutip oleh para ulama setelahnya yang menulis biografi al-Razi; substansi kitab itu yang berbau Syiah sehingga sangat janggal jika dinisbahkan kepada Fakhr al-Din al-Razi yang dikenal Sunni. Masalah lainnya, kitab itu ditahkik hanya berdasarkan satu-satunya naskah yang problematik. Naskah tertua yang tersedia pada masa sekarang dalam cetakan modern hanyalah naskah milik Wahid ibn Syamsuddin. Ia sendiri mengakui bahwa ia adalah penyalin  kedua dan menyalinnya pada 825 H. Ia mengaku telah menyalin kitab itu dari naskah penyalin pertama (yang tidak dikenal) yang ditulis pada 597 H.
Artinya, baik penyalin pertama maupun penyalin kedua tidak hidup sezaman (mu'iishirah) dan belum pernah bertemu sama sekali (tauaqquq aHiqii') karena rentang hidup mereka terpaut 228 tahun.  Kuat  diduga bahwa  Wahid ibn Syamsuddin melakukan ijtihad dengan satu-satunya modal, yaitu nama "Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan" dan kemudian menisbahkannya kepada "al-Razi". Namun, sebagaimana diketahui sejarawan, "al-Razi" ialah nisbat untuk Kota "Rayy", sebuah kota lama di sebelah barat daya Teheran, ibu kota Iran sekarang. Banyak ulama yang dinisbahkan dengan nama "al-Razi". Namun, penisbahan itu belum tentu menunjukkan kepada sosok ulama tertentu kecuali jika namanya disebutkan secara lengkap. Permasalahan ini sudah kami jelaskan panjang lebar ketika  membahas  kitab al-Syajarah  al-Mubarakah.

B.    Kebohongan  Imaduddin  dalam Pengutipan
Di antara etika ilmiah lain yang dikenal dan dipraktikkan oleh para peneliti adalah pengutipan yang jujur dan utuh terhadap segala sesuatu yang bersifat substantif . Sebab, memotong ungkapan yang berkaitan dengan substansi yang dibahas bisa menyebabkan kekeliruan dalam pemahaman, bahkan pengaburan fakta. Karenanya, tindakan seperti itu termasuk pengkhianatan ilmiah. Tindakan seperti inilah yang dilakukan oleh Imaduddin .
Dalam bukunya, Membongkar Skandal Umiah, hal.14, Imaduddin mengatakan :

"Murtada al-Zabidi (w. 1205 H) dalam kitabnya al-Raudhu al-Jaliy (sebuah kitab yang membahas nasab Ba'alawi), mengutip  bahwa al-'Ubaidili  (w. 436 H) menyatakan bahwa Ahmad ibn Isa al-Naqib hijrah dari Madinah ke Bashrah pada abad keempat Hijriah, lalu keluar bersama anaknya menuju timur. Kutipan itu dikomentari oleh Muhmammad Abu Bakar Abdullah Badzeib, seorang sejarawan Yaman yang juga muhaqqiq kitab tersebut, bahwa kutipan itu tidak ditemukan dalam kitab al-'Ubaidili, Tahdzib al­ Ans<ib . Badzeib, walau dikenal dekat dengan keluarga Ba'alawi, tetapi ia kritis mengomentari kejanggalan-kejanggalan  kitab al-Raudhu al-Jaliy tersebut."

Dari kutipan tersebut, kita mendapati tiga bentuk ketidakjujuran yang dilakukan oleh Imad:
1.    Imaduddin menghapus nama  anak Ahmad ibn Isa yang dimaksud, yaitu Abdullah yang disebutkan secara eksplisit dalam perkataan Syaikh al­ Syaraf al-'Ubaidili .
2.    Imaduddin tidak melanjutkan kutipan perkataan al-'Ubaidili, yaitu bahwa kemudian  Ahmad  ibn Isa menetap  di Hadramaut. Sebab dua hal di atas bertentangan dengan narasi yang sedang dibangun Imad. Berikut ini kami sampaikan redaksi lengkap kutipan dari kitab yang sama:

Dalam keterangan di atas Syaikh al-Syaraf al-'Ubaidili menjelaskan bahwa Ahmad ibn Isa hijrah dari Madinah ke Bashrah pada 10 tahun kedua, abad ke-4 Hijriah . Kemudian, beliau keluar dari Madinah bersama putranya, Abdullah, menuju timur dan menetap di Hadramaut, Yaman .
3.    Imaduddin menyebutkan perkataan Badzeib bahwa kutipan itu tidak ditemukan dalam kitab al-'Ubaidili, Tahdzib al-Ans<ib. Padahal, faktanya tidak seperti itu. Imaduddin memenggal bagian yang substantif dari kutipan tersebut . Badzeib mengatakan bahwa  kutipan itu tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib al-Ans<ib yang diterbitkan  tahun 1411 H dengan perhatian dari Muhammad Kazhim al-Mahmudi dan Syaraf al-Sayid Mahmud al­ Mar'asyi . Tentu saja ada perbedaan besar antara "tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib al-Ans<ib" dan "tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib al-Ans<ib cetakan tertentu". Tidak sampai di situ, Badzeib lebih lanjut menyampaikan alasan kenapa kutipan itu tidak ditemukan pada Tahdzib al-Ans<ib versi cetakan tersebut . Menurutnya, muhakkik kitab Tahdzib al-Ans<ib dalam mukadimahnya menyatakan bahwa Syaikh al-Syaraf memiliki sebuah kitab dengan pola penulisan mabsuth, yang mana kitab tersebut merupakan asal-usul Tahdzib al-Ans<ib, jumlahnya 10 ribu lembar. Al-'Umari termasuk penulis yang mengutip dari kitab tersebut dalam kitabnya, al-Majdi. Menurut Badzeib, bisa jadi redaksi perkataan al-'Ubaidili yang ditampilkan oleh Murtadha al-Zabidi ini diambil dari naskah lain yang ada tambahannya
atau dari karya lain (selain Tahdzib al-Ans<ib) karangan al-'Ubaidili, wall<ihu a'lam.282
Keterangan yang disampaikan Badzeib  ini tidak  dikutip  oleh  Imad. Ia sengaja memotong kutipannya sehingga pembaca tidak mendapatkan kutipan utuh yang menyebutkan ucapan al-'Ubaidili tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut bersama anaknya, Abdullah . Pemenggalan kutipan seperti ini layak disebut sebagai pengkhianatan ilmiah, bahkan sebuah kejahatan ilmiah.
Ini semakin menegaskan ketidakjujuran Imaduddin  dalam penelitiannya . Integritasnya sebagai peneliti sangat bermasalah .  Maka, siapa pun yang membaca tulisan Imaduddin wajib memeriksa validasi dan kelengkapan pengutipan serta kesesuaiannya dengan konteks serta maksud yang disampaikan penulis asli kitab yang dirujuknya .

C.    Memelintir Dalil Al-Qur'an dan Sunnah
1.    Gelar Habib Adalah Konsep Yahudi
Dalam sebuah video yang tersebar di media sosial,283 Imaduddin mengatakan, "Gelar habib itu tidak dikenal dalam ajaran Islam. Menurut Al­ Qur'an, dulu orang Yahudi dan orang Nasrani mengatakan bahwa mereka adalah habib (QS Al-Ma'idah : 18). Orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, 'Kami adalah anak-anak Allah dan habib-habib Allah'. (Maka, konsep habib) dalam ajaran Islam tidak ada."
Berdasarkan ayat tersebut Imaduddin menyatakan  bahwa sebutan habib hanya dikenal oleh kalangan Yahudi dan Nasrani. Padahal,  Islam juga mengenal konsep habib. Misalnya, ketika menafsirkan Surah al-Bun1j ayat 14, Ibn Abbas r.a. menyebutkan al-habib. Imam  Ibn Jarir al-Thabari mengatakan :

Firman Allah (.3J.3_,ll JPI J) Allah Swt. berf irman: Dia Yang Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang bertobat dan Yang Maha Kasih baginya . Ahli takwil juga menyampaikan penjelasan yang sama seperti yang kami sebutkan sebelumnya . Ulama yang mengatakan demikian, di antaranya:Ali
menceritakan kepadaku, "Abu Shalih menceritakan kepada kami, Muawiyah menceritakan kepadaku dari Ali dari Ibn Abbas, firman Allah (.3_,.3_,ll Jpl) lbn Abbas berkata, "Artinya adalah:    I(Yang Mengasihi) .
Di kalangan Bani Alawi ada gelar "habib" yang disematkan kepada orang yang alim, sepuh, atau dikenal sebagai pemuka di antara mereka. Bagi Alawi yang memegang jabatan tertentu di pemerintahan, ia  diberi gelar "syarif '. Gelar ini kemudian dipergunakan secara turun-temurun oleh anak keturunannya . Gelar "habib" mulai digunakan pada pertengahan abad ke-11 sampai abad ke-14. Tahap ini ditandai dengan makin banyaknya kaum Alawi yang hijrah keluar Hadramaut.285 Sosok pertama yang menggunakan gelar ini adalah Habib Umar ibn Abdurrahman Alatas (Sh<ihib al-R<itib).
Sayid Ali ibn Abdurrahman al-Masyhur mendengar ayahnya, al-'Allamah Abdurrahman ibn Muhammad al-Masyhur (Mufti Hadramaut) berkata, "Saya mendengar para masy<iyikh berkata: sesungguhnya yang mengawali mencium tangan, menggunakan imamah, memanggil dengan kata 'habib' sebagai tanda orang itu syarif adalah para masy<iyik h di Tarim.'286 Dalam kitab Syarah 'Uqudu al-Lujain, Syaikh Nawawi al-Bantani mengatakan :

"(Berkata Sayiduna) yang paling mulia (al-Habib) yang dicintai (Abdullah al-Haddad), pemilik tarekat yang masyhur, dan pemilik asnir. Sebagian penduduk negeri menggunakan sebutan  yang berbeda untuk keturunan Rasulullah Saw.Jika orang itu laki-laki, ia disebut 'Habib' danjika perempuan disebut 'Hababah'. Sementara, orang kebanyakan memanggilnya dengan sebutan 'Sayid' dan 'Sayidah'."287

Bila kita telusuri lebih jauh, kita akan menemukan bahwa penggunaan istilah "habib" untuk keturunan Nabi Saw. bukanlah sesuatu yang baru . Panggilan "al-Habib" pernah juga digunakan oleh Abdullah ibn Abbas r.a. untuk memanggil cucu Rasulullah Saw., yaitu al-Imam Ali Zainal Abidin ibn Husain al-Shibt. Diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Sakhawi dalam Istijlcib Irtiqci al-Ghuraf bi Hubbi Aqriba al-Rasul Saw. Wa Dzawi al-Syaraf :

"Razin ibn Ubaid mengatakan : 'Aku bersama lbn Abbas r.a., lalu datang Zainal Abidin Ali ibn al-Husain. lbn Abbas berkata kepadanya, "Selamat datang, wahai kekasih (al-Habib) putra Sang Kekasih (al-Habib)."

Riwayat dari Razin ini sahih dan beliau termasuk orang yang tsiqah (jJ W;
b J§ ¥1 ¥.) 289.
*    *

2.    Tidak Ada Hadis Sahib tentang Mencintai Keluarga Nabi Saw.
Selain memelintir ayat Al-Qur'an, Imaduddin juga menyatakan bahwa tidak ada hadis sahih yang memerintahkan umat untuk mencintai habaib dzurriyah (keturunan) Nabi Saw. Tentu saja pernyataan Imaduddin itu salah besar. Kita bisa menemukan banyak hadis sahih yang menegaskan pentingnya mencintai dan menghormati keturunan Nabi Muhammad Saw., dan juga mencintai habaib dzurriyah Nabi Saw.
Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Ahmad, yang menyatakan bahwa mencintai keluarga Nabi  adalah  salah satu tanda keimanan . Hadis lainnya menyatakan bahwa mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi Saw.) adalah syarat keimanan yang sempurna.

D.    Pengambilan Kesimpulan yang Serampangan
1.    Ba'alawi Mencangkok Nasab Bani Ulwi al-Qahthani
Dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi Imaduddin kerap mengambil kesimpulan yang serampangan. Misalnya,  ia  menyatakan bahwa Bani Alawi (Ba'alawi) mencangkok nasab Bani Alawi yang diklaim sebagai keturunan  Qahthan. Benarkah demikian?
Untuk menjawabnya, perlu dijelaskan bahwa pada abad keempat Hijriah ada  sebuah  kabilah  yang  disebut  "Bani Alawi". Mereka  sudah menetap
di Yaman  sebelum  Imam  Ahmad  ibn  Isa  hijrah  ke  sana,  sebagaimana disebutkan oleh al-Hamdani (w. 360 H):290

Berikut ini beberapa perbedaan antara kedua kabilah tersebut yang tidak mungkin mirip, apalagi mencangkok satu sama lain:
Pertama, Bani Alawi yang kemudian pada abad-abad berikutnya secara konsisten disebut Ba'alawi, Abu Alawi, atau al-Ba'alawi merupakan wangsa Alu Abi Alawi yang lempang lelaki ke atas adalah wangsa al-'Uraidhi (Imam Ali al-'Uraidhi). Sementara, Bani Alwi yang dilaporkan oleh al-Hamdani pada abad belakangan disebut Bani Alwi, Bani Ulwi, atau Bani Alwa. Mereka adalah wangsa keturunan al-Arhabi (Murrah ibn Du'am).
Arhab, leluhur Bani Ulwi (yang di antara keturunannya adalah Bani Ulwi, Ali Rausya, dan Alu Hakim) adalah Marrah ibn Du'am ibn Malik ibn Muawiyah ibn Sha'b ibn Dauman ibn Bakil ibn Jasym ibn  Khiwan  ibn Nauf ibn Hamidan . Dari Murrah  inilah wangsa al-Arhabiyah diturunkan karena ia memiliki julukan Arhab (secara harfiah berarti luas) sebagaimana disebutkan  dalam keterangan berikut :291

Jadi, Ba'alawi al-'Uraidhi dan Bani Ulwi (Alwa/Alwi) al-Arhabi memiliki rantai silsilah yang berbeda seperti berikut ini:

Ba'alawi al-'Uraidhi    
Bani Ulwi al-Arhabi
Alwi ibn Ubaidillah (Abdullah) ibn
Ahmad ibn Isa ibn
Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq ibn
Muhammad al-Baqir ibn Ali Zain al-Abidin ibn Husain Sibth ibn
Ali karramall<ihu wajhah ibn Abi Thalib    AlwijUlwi/Alwa al-Kabir ibn Ulyan/Alwan ibn
Murrah al-Arhabiyah ibn Du'am ibn
Malik ibn Muawiyah ibn Sha'b ibn Dauman ibn Bakil ibn Jasym ibn Khiwan ibn Nauf ibn Hamidan

Kedua, Bani Ulwi al-Arhabi dianggap punah oleh penulis pada masanya (kecuali wangsa-wangsa kecil seperti Alu Rausyan dan Alu Hakim), yaitu al-Hamdani (w. 360 H). Dan, dari situlah kemudian muncul tuduhan bahwa Ba'alawi al-'Uraidhi mencangkok nasab Bani Ulwi.
Tetapi perlu disampaikan di sini bahwa wangsa al-Arhabi yang menurunkan Bani Ulwi ini memiliki wangsa turunan lain yang semasa dengan Abu al-Hajjaj al-Asy'ari (w. 600 H) dari jalur yang lain, yaitu Bani Sha'b:292

Berikut ini tabel silsilah Bani Sha'b al-Arhabi, Bani Ulwi al-Arhabi, dan Ba'alawi al-'Uraidhi yang hidup sezaman dengan Abu al-Hajjaj al-Asy'ari (w. 600 H):

Ba'alawi Al-'Uraidhi    Bani Sha'b Al-Arhabi    Bani Ulwi Al-Arhabi
Muhammad  bin Ali bin Muhammad  bin Ali ibn
Alwi ibn Muhammad ibn Alwi ibn
Ubaidillah (Abdullah) ibn Ahmad ibn
Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi ibn
Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zain al-Abidin ibn Husain Sibth ibn
Ali k.w. ibn Abi Thalib    Hasan ibn Ahmad ibn Ya'qub ibn Dawud ibn Sulaiman ibn Amr ibn Harits
bin Hasan ibn
al-Walid al-Azhar ibn Amr ibn
Thariq ibn Adham ibn Qais ibn Rabiah ibn
Abd al-Ulyan ibn Alu Hakim & Alu Rausya ibna
Alwi ibn Alwi/UlwijAlwa ibn Ulyan/Alwan ibn
    Murrah al-Arhabiyah ibn Du'am ibn
Malik ibn Mu'awiyah ibn Sha'b ibn Dauman  ibn Bakil ibn Jasym ibn Khiwan ibn Nauf ibn Hamidan

Jika pada periode tahun 600-an Ba'alawi al-'Uraidhi melanjutkan keturunan dan Bani al-Arhabi juga menurunkan Bani Ulwi al-Arhabi serta Bani Sha'b al-Arhabi, mengapa tidak ada satu pun interupsi bahwa Ba'alawi al-'Uraidhi mencangkok nasab mereka dari Bani Ulwi al-Arhabi?
Di sini bisa dijawab bahwa pencangkokan itu tidak dapat dibuktikan . Kedua wangsa itu (al-'Uraidhi dan al-Arhabi)  tidak  saling berketurunan satu sama lain. Keduanya memiliki garis silsilah yang berbeda. Wangsa keduanya pun berbeda (Adnani dan Qahthani). Dengan demikian, apa yang dilakukan Imaduddin hanyalah cocoklogi yang akhirnya berujung pada kesimpulan yang ngaco.

2.    Kakek Ba'alawi Adalah Sepupu Langsung Kakek al-Ahdal, Lalu Nasabnya Dicocokkan!
Imaduddin melontarkan tuduhan lain yang ia sampaikan ketika mengomentari video Sayid Mahdi Raja'i. Imaduddin mengatakan :

"Kalau penulis bisa menjawab pertanyaan : mengapa Ubed tidak ditulis sebagai anak Ahmad? Jawabannya : karena memang Ubed bukan anak Ahmad. Kalau bukan anak Ahmad, lalu Ubed anak siapa? Ubed anak Isa. Dari mana penulis mengetahui? Dari kitab Tubfah al-Zaman karya Husain al-Ahdal (w. 855 H). Lihat kitab tersebut juz II halaman 238. Kitab itu menerangkan silsilah Bani Ahdal! Betul, tetapi leluhur Ba'alawi itu bersepupu dengan leluhur Bani Ahdal. Dari mana dalilnya? Dari kitab Tubfah al-Zaman juga, lihat di Juz II halaman 238. Di sana dikatakan bahwa leluhur Ba'alawi dan Bani Ahdal itu bersepupu . Kalau bersepupu berarti satu kakek, kenapa sekarang kakeknya berbeda? Tanyakan kepada rumput yang bergoyang, kenapa semua ini bisa terjadi?"

Dari paparan Imaduddin tersebut, kita bisa mengetahui, ternyata Imaduddin yang disebut "mujaddid" oleh para pengikutnya ini tidak mampu memahami hal  yang  sangat  sederhana. Bahkan,  tampak jelas  ketumpulan  nalarnya dalam memahami istilah "Ibnu al-'Am" yang  dikenal di kalangan Arab. Imaduddin mengambil kesimpulan sembrono  dan  menganulir  semua pohon nasab ('amud al-nasab) S<idah Aal Abi 'Alawi yang disebutkan oleh para ulama. Kemudian dengan serampangan pula ia menetapkan bahwa Ubadillah adalah anak Isa ibn Alwi yang ada di pohon nasab al-Ahdal, bukan anak Ahmad ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib yang ada di pohon nasab Ba'alawi . Ia melakukan semua itu semata-mata untuk mencocokkan bahwa Ba'alawi dan al-Ahdal bersepupu langsung.
Dalam  konsep  kekerabatan,  anak paman  dari pihak  ayah    I) atau paman  dari pihak  ibu (JI), dalam  bahasa  sehari-hari  disebut  "sepupu". Sebutan  ini  disematkan  kepada  orang-orang  yang  memiliki   satu  atau lebih  kakek/nenek  yang  sama.  Namun,  dalam  bahasa  umum,  "sepupu" biasanya  berarti  "sepupu  pertama".  Di  beberapa  negara,  "derajat"  dan "jarak" antarsepupu  serta keturunan berikutnya  digambarkan  secara tepat dengan sebutan tertentu . Misalnya, mereka menggunakan sebutan "sepupu pertama", "sepupu kedua", dan "sepupu ketiga" menggambarkan  "derajat" hubungan  sepupu. Dalam  percakapan  sehari-hari,  kata  "sepupu"  sering digunakan untuk arti lain, yang tidak terbatas dengan tingkatan atau derajat. Pada  dasarnya,  istilah  "sepupu"  diterapkan  untuk  kerabat  tingkat pertama. Namun,  istilah  "sepupu" juga  digunakan  untuk  merujuk  pada semua jenis   kerabat,   seperti  kerabat  tingkat  pertama,  kerabat  tingkat kedua, kerabat tingkat ketiga, dan seterusnya. Misalnya, Ibrahim Asmoro memiliki anak bernama  Sunan Ampel dan Maulana Ishak. Sunan Ampel memiliki anak bernama Sunan Bonang, dan Maulana Ishak memiliki anak bernama  Sunan  Giri. Dengan  demikian,  Sunan  Bonang  dan  Sunan  Giri adalah saudara sepupu tingkat pertama . Orang yang menggunakan  istilah "sepupu" hanya untuk kerabat tingkat pertama berarti ia tidak memahami konsep  tersebut. Sebab, Sunan Prapen yang merupakan  anak Sunan Giri
dapat juga  disebut sepupu Sunan Bonang.
Dalam  Islam,  sebutan  sepupu  telah  digunakan  pada  zaman  Nabi Muhammad Saw. sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab hadis maupun  sirah. Misalnya, penggunaan istilah sepupu tingkat pertama dapat ditemu­ kan dalam hadis riwayat Imam Bukhari berikut :

"Rasulullah Saw. datang ke rumah Fathimah, beliau tidak menemukan Ali di rumah. Maka, Rasul berkata, 'Di mana anak pamanmu?"' 293

Dalam   kitab   sejarah,  penggunaan   sepupu  tingkat   pertama   dapat ditemukan dalam kitab Usud al-Gh<ibah karya Ibn Atsir.
"Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdu Manaf . Abu al-Abbas al-Qurasyi al-Hasyimi, anak paman (sepupu) Rasulullah Saw., kunyah-nya  Ibn Abbas."294

Penggunaan istilah sepupu pada tingkat kedua dapat ditemukan pada sahabat Nabi Saw. yang bernama Sa'd ibn Muaz dan anak paman (sepupu)­ nya bernama Asyid ibn Hudhair, keduanya bertemu pada kakek yang bernama Amra'i al-Qais ibn Zaid ibn Abdu al-Asyhal. Mereka masuk Islam di tangan Mush'ab ibn Umair.295


Silsilah nasab keduanya sebagai berikut.

Tingkat    Amro'i al-Qais ibn Zaid ibn Abdu al-Asyhal
    Nu'man    Utaik
1    Muaz    Samak
2    Sa'd    Hudhair
3        Asid


Pada abad ke-2 Hijriah istilah sepupu tidak saja digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama tetapi juga digunakan untuk menyebut kerabat jauh sampai tingkat ke-6 . Ini misalnya ditemukan pada silsilah Nabi Muhammad Saw. dan silsilah Harun al-Rasyid Khalifah kelima Bani Abbasiyah . Kedunya memiliki kakek yang sama, yaitu Abdul Muthalib.

 
Tingkat    Abdul Muthalib
    Abdullah    Abbas
1    Muhammad Saw.    Abdullah
2        Ali
3        Muhammad
4        Abdullah al-Manshur
5        Muhammad al-Mahdi
6        Harun al-Rasyid

Dalam kitab al-Umm karya Imam Syafi'i diceritakan dialog antara Imam Syafi'i dan Khalifah Harun al-Rasyid. Dalam dialog tersebut Khalifah Harun al-Rasyid menyatakan bahwa ia adalah sepupu Nabi Muhammad Saw.296


Pada abad ke-3 Hijriah, istilah sepupu digunakan untuk menyebut kerabat tingkat kesembilan. Ini misalnya ditemukan pada silsilah Nabi Muhammad Saw. dan silsilah Imam Syafi'i, yang memiliki kakek yang sama, yaitu Abdu Manaf.

 
Tingkat    Abdi Manaf
    Hasyim    Muthalib
1    Abdul Muthalib    Hasyim
2    Abdullah    Abdu Yazid
3    Muhammad Saw.    Ubaid
4        Syaib
5        Syafi'
6        Utsman
7        Abbas
8        Idris

Dalam kitab Siy<ir A'tam al-Nubal<i karangan al-Dzahabi dituliskan bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. meskipun Abdu Manaf adalah kakek keempat bagi Rasulullah Saw. dan kakek kesepuluh bagi Imam Syafi'i.z91


Ahmad Farid dalam kitab Min A'lam al-Salaf menjelaskan bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. Nasab keduanya bertemu  pada Abdu Manaf . Rasulullah Saw. dari Bani Hasyim ibn Abdu Manaf dan Imam Syafi'i dari Bani Muthalib ibn Abdi Manaf . Rasulullah Saw. bersabda, "Bani Muththalib dan Bani Hasyim adalah satu."298

Diceritakan dalam kitab al-Sayidah Najisah karangan Abu Alam bahwa jika Imam Syafi'i sakit, dia akan mengutus sahabatnya kepada Sayidah Nafisah . Saat tiba, sang utusan akan menyampaikan salam dan berkata, "Sungguh sepupumu (j,1), Syafi'i sedang sakit, dan meminta doa kepadamu ." Kemudian, Sayidah Nafisah mendoakannya .299

Jadi,  bagaimanakah  hubungan  antara  Bani  Alawi  dan  Bani  Ahdal? Apakah keduanya bersepupu dan memiliki kakek yang sama? Dalam kitab
Tuhfahal-Zaman dituliskan bahwa Bani Alawi dan Bani Ahdal adalah saudara sepupu.30° Keduanya memiliki kakek yang sama, yaitu Imam Ja'far al-Shadiq
ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Bani Alawi memiliki kakek Ahmad ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, sedangkan Bani Ahdal memiliki kakek Muhammad ibn Himham ibn Aun ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far al-Shadiq.301

Tingkat    Imam Ja'far al-Shadiq
    Ali al-'Uraidhi    Musa al-Kazhim
1    Muhammad al-Naqib    Aun
2    Isa al-Rumi    Himham
3    Ahmad al-Muhajir    Muhammad

Persoalan ini sudah dijelaskan oleh al-Imam al-Syarji al-Zabidi dalam kitab Thabaq<it al-Khaww<ish Ahli al-Shidqi wal Ikhlash. Ia mengatakan :

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam pengertian dan penggunaan istilah umum, kata "sepupu" digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama. Kemudian, seiring perjalanan sejarah, kata "sepupu" tidak hanya digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama, tetapi meliputi kerabat yang lebihjauh lagi. Sebagai contoh, pada masa Rasulullah Saw. kita mengenal penggunaan kata "sepupu" untuk menyebut hubungan antara Rasulullah Saw. dan Imam Ali ibn Abi Thalib, atau antara Rasulullah Saw. dan Abdullah ibn Abbas, dan lainnya. Kemudian pada abad pertama, kedua, dan ketiga, kata "sepupu" dipergunakan lebih luas lagi untuk menyebut kerabat tingkat ketiga. Misalnya, kata "sepupu" digunakan oleh Khalifah Hamn al-Rasyid dan Imam Syafi'i. Keduanya menyebut diri mereka sebagai sepupu Rasulullah Saw.
Istilah "saudara sepupu" dapat digunakan jika kedua orang yang dimaksud memiliki kakek yang sama. Misalnya, Bani Alawi dan Bani Ahdal adalah saudara sepupu karena keduanya memiliki kakek yang sama, yaitu Imam Ja'far al-Shadiq . Lucunya, karena gagal memahami makna "Ibn al­ 'Am" dan tidak mau mencari penjelasan ulama, Imaduddin mengacak­ ngacak 'amud al-nasab Ba'alawi yang disebutkan para ulama dan melakukan cocoklogi dengan 'amud al-nasab al-Ahdal. Tujuannya, ia ingin agar orang­ orang beranggapan bahwa kakek Ba'alawi dan kakek al-Ahdal adalah saudara sepupu langsung yang hijrah bersama. Kebencian Imaduddin kepada Ba'alawi membuatnya kehilangan akal sehat sehingga tak mampu berpikir dan menganalisis dengan baik.

3.    Ahmad ibn Isa Tidak Hijrah ke Hadramaut
Imaduddin menyatakan bahwa tidak ada satu pun kitab nasab dan sejarah yang ditulis pada masa yang sama atau yang paling dekat dengan masa hidup Ahmad ibn Isa yang menyatakan atau mendukung bahwa Ahmad ibn Isa pernah ke Hadramaut, apalagi hijrah untuk  menetap  di sana. Menurutnya, kitab yang dijadikan rujukan seperti al-Jawhar al-Syafiif karya Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H) adalah kitab yang problematik, karena ditulis oleh orang yang sama sekali tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Menurutnya, kitab al-Jawhar  al-Syafiif itu ditulis oleh Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani (w. 724 H). Kemudian, Imaduddin melontarkan tuduhan bahwa Ali ibn Abu Bakar al-Sakran adalah orang yang pertama secara formal mengarang bahwa Ahmad ibn Isa hijrah dari Bashrah ke Hadramaut .
Sejarah asal-usul habaib bermula dari hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Bashrah ke Hadramaut. Silsilahnya sebagai berikut: Ahmad al-Muhajir ibn Isa al-Rumi putra Muhammad al-Naqib putra Al al-'Uraidhi putra Ja'far al-Shadiq putra Muhammad al-Baqir putra Ali Zainal Abidin putra Husain putra Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah putri Rasulullah Saw. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 Hijriah .303
Imam Ahmad  ibn Isa al-Muhajir hijrah pada  317 Hijriah pada masa khalifah Abbasiyah al-Muqtadir Billah bersama beberapa keluarganya :
1.    Istrinya, Zainab binti Abdullah ibn Hasan ibn Ali al-'Uraidhi;
2.    Anaknya, Abdullah yang dikenal dengan nama Ubaidillah beserta istri- nya, Ummul Banin binti Muhammad ibn Isa;
3.    Cucunya, Ismail ibn Abdullah yang digelari Basri,
4.    Kakek Bani Ahdal al-Kazhimi;
5.    Cucunya, Syarif Ahmad, kakek bani Qudaim al-Kazhimi, dan;
6.    Tujuh puluh orang pengikut serta pembantunya, termasuk Ja'far ibn Abdullah al-Azadi, Mukhtar ibn Abdullah ibn Sa'ad dan Suwayyah ibn Faraj al-Asfahani. 304

Imam al-Muhajir hijrah dari Irak ke Hadramaut dengan tujuan untuk menyelamatkan agama dan anak-anaknya  dari fitnah. Sama halnya, anak keturunan Imam al-Muhajir hijrah dan menyebar ke  berbagai  penjuru alam dengan tujuan untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah, bukan karena alasan ekonomi atau yang lainnya. Imam al-Muhajir hijrah ke Hadramaut berdasarkan isyarat dari sabda Rasulullah Saw.: "Sungguh aku melihat, hijrahku ini ke negeri yang memiliki banyak pohon kurma, yaitu Yatsrib atau Hadramaut." Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah hijrah ke Yatsrib sedangkan Imam al-Muhajir hijrah ke Hadramaut.
Dalam kitab al-Burqah al-Musyiqah, Habib Ali ibn Abubakar al-Sakran menjelaskan alasan kepindahan al-Muhajir dari Irak ke Hadramaut, sebagai berikut:

"Karena kepindahannya (al-Muhajir) anak cucunya selamat dari ke­ rusakan akidah, fitnah, dan bid'ah, serta penentangan terhadap sunnah dan pengikutnya . Karena kepindahan tersebut mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan syiah yang sangat buruk yang saat itu melanda sebagian asynif (keturunan Nabi Saw.)."305

Al-Imam Abdullah ibn Alwi al-Haddad menuturkan :

"Ketika bid'ah dan kerusakan moral karena mengikuti hawa nafsu merajalela di Irak, muncul pertentangan pendapat di Irak. Menghadapi situasi tersebut, Sayid Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir memutuskan untuk hijrah dari negeri itu dan mengembara hingga akhirnya tiba di Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah memberkati keturunannya sehingga banyak dari kalangan mereka yang menjadi ahli ilmu, ahli ibadah, serta ahli wilayah dan makrifat. Golongan Ahlul Bait diselamatkan dari bid'ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan merupakan berkah dari Imam yang tepercaya.  Ia telah  menghindar dan membawa agama dari jebakan fitnah."

Dalam perjalanan hijrah dari Bashrah,  Imam  al-Muhajir  menggunakan tiga ekor kuda dan sepuluh ekor unta untuk membawa barang-barang berharga, termasuk emas dan perak.306 Di antara anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir yang tidak ikut hijrah ke Hadramaut adalah Muhammad. Mereka tetap tinggal di Bashrah untuk menjaga dan memelihara harta serta kebun Imam al-Muhajir. Di antara keturunan Muhammad ibn Ahmad al-Muhajir ini kemudian ada yang menetap di Mesir dan Syam.
Setibanya di Hadramaut yang dikenal sebagai negeri Khawarij, Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir singgah di Jubail yang penduduknya mengikuti paham  Syiah, lalu menetap beberapa lama di Hajrain yang penduduknya berpaham Sunni. Selama tinggal di Hajrain, Imam al-Muhajir mengerahkan waktu dan hartanya untuk berkeliling dan berdakwah dengan penyampaian yang lembut dan santun sehingga banyak pengikut Khawarij yang bertobat dan  menjadi  pengikutnya . Selain  dengan  metode  dakwah  yang  lembut, Imam  al-Muhajir  tak  takut  untuk  berperang  melawan  kaum  Khawarij, seperti yang dilakukan di Bahran, daerah antara Hajrain dan Desa Sadyah.307 Dalam perjalanan dakwahnya, Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir mem­
beli rumah, membuka desa dan lahan pertanian setiap kali singgah di suatu daerah hingga tiba di Husaisah . Di kota itulah ia kemudian menetap dan membeli sebidang tanah. Di Kawasan itu pulalah kelak cucunya, yaitu Imam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir menggali dan membuat sumur untuk warga. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada tahun 345 H dan dimakamkan di Husaisah .308
Tidak  diperlukan  rujukan  berupa  kitab-kitab  yang  ditulis  pada masa Imam Ahmad al-Muhajir hidup untuk membuktikan bahwa ia dan keluarganya telah hijrah dari Bashrah ke Hadramaut . Sama halnya, tidak diperlukan kitab-kitab sezaman untuk membuktikan hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah, atau hijrahnya kakek Walisongo, yaitu Jamaluddin Husain al-Akbar dari Campa ke Indonesia. Kesahihan informasi tentang hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir ke Hadramaut telah banyak  dituliskan  dalam kitab-kitab  sejarah, di antaranya  kitab al­
Jawhar al-Syafaf fi Fadha'il wa Manaqib wa Karamat al-Sadah al-Asyraf
min Ali Abi 'Alawi karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami (w. 855 H).
Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dikenal luas sebagai ahli sejarah di Hadramaut . Silsilah nasabnya adalah Abu Muhammad Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (shiih_ib al-wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Ia dilahirkan pada 795 Hijriah dan wafat pada 855 Hijriah . Ia merupakan murid Syaikh Abdurrahman Assegaf ibn Muhammad Maula Dawilah. Selain al­ Jawhar al-Syafaf , ia juga menulis kitab-kitab lain, termasuk 'Iqd al-Barahin
al-Musyaraqah fi Manaqib al-'Allamah al-Sayyid 'Abdullah 'Alaydrus al­
'Alawi. 309

Ada beberapa perbedaan antara Abdurrahman ibn Muhammad yang disebutkan di atas dengan Abdurrahman ibn Muhammad yang dibicarakan oleh Imad. Perbedaan pertama dari sisi silsilah nasab. Urutan nasab orang pertama adalah: Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Sementara, silsilah nasab orang kedua urutannya adalah: Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ahmad al-Syaibani Bahissan al-Hadrami.
Perbedaan kedua adalah bahwa keduanya tidak hidup sezaman. Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib lahir pada 795 Hijriah, sedangkan Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani wafat pada 724 Hijriah . Artinya, ketika Abdurrahman  ibn  Muhammad  al-Syaibani  wafat,  Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib belum lahir. Ada jarak waktu 71 tahun antara wafatnya Abdurrahman al-Syaibani dan lahirnya Abdurrahman al-Khatib.
Karenanya, siapa saja yang ingin melakukan analisis dan penelitian dalam bidang apa pun, termasuk dalam kajian nasab, semestinya ia memiliki kemampuan untuk melakukan kritik atas  sumber dan  rujukan yang dipergunakan sehingga ia mendapatkan data yang valid . Misalnya, kesalahan sumber yang dilakukan Ismail Basya al-Babani dalam kitab Hadiyyat al-'Arifin ketika mengutip nama Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman sebagai pengarang kitab al-Jawhar al-Syafaf berdasarkan kitab Qiladah al-Nahr karangan Bamakhramah . Dalam kitab Qiladah al-Nahr , Bamakhramah mengutip dari kitab al-Jawhar al-Syafaf yang pengarangnya bernama Abdurrahman ibn Muhammad  ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari, bukan Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ahmad al-Syaibani Bahissan al-Hadrami. Kesalahan pengutipan ini terjadi berulang-ulang seperti yang dilakukan oleh Umar Ridha Kahalah dalam kitabnya, Mu)am al-Mu'aUifin.

Maka, keliru  jika  ada  yang  menyimpulkan  bahwa  kedua  kitab, yaitu Hadiyy<it al-'Arifin dan Mu)am al-Mu'allifin, sama-sama sepakat mengatakan bahwa penulis kitab al-Jawhar al-Syaf<if adalah Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman yang wafat pada 724 Hijriah, bukan Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman yang wafat pada 855 Hijriah . Kesimpulan itu muncul karena Imaduddin tidak melakukan kritik sumber terhadap kitab-kitab yang ada. Ini juga menunjukkan,   betapa minim dan terbatas sumber rujukan yang dimiliki oleh Imaduddin serta betapa sempitnya pengetahuan  Imaduddin  dalam metodologi penelitian .
Jika fakta-fakta ini disampaikan kepada Imaduddin, kemungkinan besar ia akan berkomentar, "Yang salah bukan saya, tetapi kitab-kitab tersebut yang salah mengutip, saya hanya menyampaikan ." Komentar serupa disampaikan Imaduddin dalam kasus penyebaran berita hoaks tentang Mufti Yaman yang membatalkan nasab Bani Alawi. Pemecah belah umat ini membela diri dengan mengatakan, "Yang salah itu situs-situs yang memuat berita tersebut, saya hanya menyampaikan  saja."
Kitab al-Jawhar al-Syaf<if fi Fadh<i'il wa Man<iqib wa Karamat al-S<idah al-Asyr<if min Ali Abi 'Alawi karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami ini merupakan salah satu sumber penting yang melaporkan keberadaan Bani Alawi di Hadramaut, baik dari sisi nasab maupun sejarah, termasuk informasi hijrahnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Irak ke Hadramaut. Imaduddin berusaha keras merendahkan dan meragukan validitas sumber  tersebut  dengan  mengatakan  bahwa  kitab itu sebagai kitab yang bermasalah, karena ditulis oleh orang yang sama sekali tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Padahal faktanya menunjukkan sebaliknya, Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H) adalah penulis sejarah yang dikenal di Hadramaut dan kitabnya dijadikan rujukan oleh Bamakhramah (w. 947 H) dalam kitab Qil<idah al­ Nahr yang ditahkik beberapa kali oleh pakar dari kalangan non-Ba'alawi. Kesalahan justru  dilakukan oleh si pemecah belah umat yang mengambil rujukan dari kitab yang isinya salah atau keliru, seperti kitab Hadiyy<it al­ 'Arifin dan Mu)am al-Mu'allifin. Imaduddin tidak melakukan kritik dan verifikasi terlebih dahulu terhadap kitab tersebut sehingga melahirkan kesimpulan yang sesat.
Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran bukan orang pertama yang menulis tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya, al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syaf<if telah menulis kepindahan Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut.

"Sesungguhnya kakek mereka, Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn al­ Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu wajhah wa radhiyall<ihu 'anhum ajma'in keluar dari Bashrah bersama 5 orang di luar pembantunya, pindah membawa keluarga, anak-anak dan hartanya sampai akhirnya tiba di Hadramaut ."310

Al-Khathib rampung menuliskan kitab itu pada 820 Hijriah .  Jika dibandingkan dengan tahun kelahiran Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran (818 H), saat itu usianya masih dua tahun . Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran yang masih berusia dua tahun saat al-Khatib wafat disebut sebagai orang pertama yang menuliskan hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut?

Selain kitab al-Jawhar al-Syafiif , sumber lainnya yang  dijadikan referensi seputar Bani Alawi adalah kitab Thabaqiit al-Khawwiish karangan al-Syarji al-Zubaidi (w. 893 H). Penulis yang bukan berasal dari golongan Bani Alawi ini menuliskan bahwa kakek bani Alawi hijrah dari Irak ke Hadramaut.

"Disebutkan, sesungguhnya kakek mereka, Bani Qudaim,  sampai  dari Irak bersama kakek Syaikh Ali al-Ahdal dan Syaikh keluarga Ba'alawi yang tinggal di Hadramaut ."311

Ketika berbicara tentang Abu Hasan Ali ibn Umar ibn Muhammad al­ Ahdal, kakek keluarga al-Ahdal, al-Syarji menyatakan :

"Kakeknya Muhammad, yang disebutkan berasal dari Irak, telah datang bersama dua anak pamannya di atas jalan tasawuf menuju arah lembah Sahm. Dan kedua anak pamannya, yaitu kakek Bani Qudaimi, juga pergi menuju lembah Surdud. Dan yang ketiga, yaitu kakek keluarga Ba'alawi, pergi menuju Hadramaut ."

Sumber kitab lain yang menuliskan peristiwa hijrahnya Ahmad  ibn Isa al-Muhajir dari Bashrah ke Hadramaut adalah Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra (w. 889 H). Dalam kitab yang berjudul Fathulliih al-Rahim al-Rahman fi Manaqib  al-Syaik h al-'Arif  Billah al-Quthb al-Ghawts al­
'Aydrus 'Abdullah ibn Abubakar ibn 'Abdurrahman, disebutkan:

"Mereka keluar dari Irak menuju Hadramaut disebabkan oleh terjadinya fitnah, terutama dalam perkara agama. Karena itu, kakek mereka, Ahmad ibn Isa hijrah (ke Hadramaut) sebagaimana hijrah kepada Allah dan Rasul­ Nya, bersama anaknya, Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa."312

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran bukanlah orang pertama yang menulis tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya sudah ada orang yang menuliskan peristiwa hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut, seperti Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syafaf . Selain al-Khatib, ada ulama lain yang menuliskan hijrahnya  Ahmad ibn Isa dari  Bashrah ke Hadramaut, di antaranya al-Syarji al-Zabidi dalam kitab Thabaqat al­ Khawwash dan Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra dalam kitab FathuUah al-Rahim al-Rahman. Kitab-kitab inilah yang dijadikan sumber lain dalam penulisan sejarah hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut .
Selain berdasarkan rujukan kitab-kitab itu, peristiwa hijrah dan menetapnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir di Hadramaut telah diterima dan diakui secara mutawatir oleh ulama dan masyarakat Hadramaut  sampai saat ini. Tidak ada kalangan yang mengingkarinya . Jika hijrahnya Imam Ahmad  ibn  Isa  itu  tidak  pernah  terjadi  maka  ulama  non-Ba'alawi  di Hadramaut pasti akan menjadi kelompok pertama yang menentangnya . Faktanya, bahkan para ulama yang akidahnya berseberangan dengan Ba'alawi sekalipun, seperti golongan Wahabi Hadramaut tidak ada seorang pun yang mengingkarinya . Tidak hanya itu, hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut juga diakui secara serentak oleh keturunan Ahmad ibn Isa dari selain jalur Ubaidillah, sebagai keturunan Ahmad ibn Isa dari anaknya yang bernama Ali ibn Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak. Mereka mengakui bahwa kakeknya hijrah ke Hadramaut sehingga mereka menyebutnya "al­ Muhajir" dan bahwa kakeknya itu punya keturunan di Hadramaut yang disebut S<idah Ba'alawi .313 Jika hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut adalah rekaan atau fiksi maka keturunan Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak pasti menjadi kelompok yang paling keras menentang  fiksi  tersebut.  Mereka akan protes jika sejarah kakek mereka diselewengkan . Kenyataannya, tidak ada perdebatan di antara mereka bahwa kakek mereka memang hijrah ke Hadramaut dan memiliki keturunan yang disebut S<idah Ba'alawi .

Sumber Primer dan Kebenaran Sejarah
Imaduddin mengatakan bahwa suatu peristiwa pada masa lalu bisa dikatakan benar-benar peristiwa historis jika dikonfirmasi oleh sumber sezaman atau paling tidak, sumber sejarah dari masa yang paling dekat dengan masa peristiwa itu. Sumber rujukan yang ditulis atau diterbitkan dari masa sezaman termasuk di antara sumber primer dalam penulisan sejarah.
Sejarah sebagai peristiwa mengandung arti bahwa sejarah merupakan realitas atau kenyataan yang terjadi pada masa lampau. Suatu peristiwa pada masa lalu dianggap benar jika didukung oleh bukti-bukti atau data-data yang menguatkan, seperti saksi mata, peninggalan, dan dokumen. Bukti atau data penguat atas suatu peristiwa sejarah itu dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer, sekunder, dan sumber tersier.

Menurut Permendikbud tahun 2016, sumber primer adalah kesaksian seseorang yang menyaksikan peristiwa secara langsung menggunakan perangkat indranya, alat mekanis, dokumen, naskah perjanjian, arsip, dan surat kabar. Sumber sejarah primer menjadi hal penting untuk mendukung validitas suatu peristiwa sejarah. Meski demikian, tidak berarti bahwa satu sumber primer dapat dipastikan sebagai kebenaran sejarah. Sebuah sumber  primer perlu diteliti, ditelisik latar belakangnya, atau dibandingkan dengan sumber primer lainnya.
Dari sisi bentuknya, sumber primer sejarah dapat dibagi  menjadi  tiga jenis, yaitu sumber dokumenter, artefak, dan lisan. Bentuk dokumenter seperti laporan, surat kabar, catatan pribadi. Bentuk artefak seperti prasasti, candi, makam, benteng, kitab, atau dokumen, arsip, dan foto.314 Salah satu  contoh bentuk artefak makam adalah makam Islam tertua Fatimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur. Sumber primer dalam bentuk makam merupakan salah satu bukti yang mendukung eksistensi dan kesahihan nasab keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir di Hadramaut dari zaman ke zaman . Situs makam anak keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir masih terjaga dan terpelihara dengan baik sampai saat ini di Hadramaut, seperti makam Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa di daerah Bor, makam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa di Sumul, makam Muhammad ibn Ali ibn Alwi Khali' Qasam di Mirbath Oman, makam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad ibn Ali di Zanbal Tarim, dan lainnya.
Lalu yang menjadi permasalahan, apakah kitab-kitab nasab yang beredar sekarang seperti Sirru Silsilah al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi, Muntaqilah al-Thalibiyah, yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin untuk menyatakan bahwa Ubaidillah bukan anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir adalah kitab primer? Apakah nama-nama yang ada di kitab itu dicatat oleh penyusunnya berdasarkan pertemuan langsung dengan orangnya?

Jika kita mencermati kitab-kitab yang ada saat ini, dapat diketahui bahwa kitab-kitab nasab yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin bukanlah kitab primer, mengapa? Karena para penyusunnya tidak pernah bertemu langsung kepada orang yang namanya ada dalam kitab nasab tersebut .
Contohnya, kitab nasab al-Syajarah al-Mubarakah yang disusun pada abad keenam Hijriah, apakah data yang ditulis oleh al-Razi tentang anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir diperoleh dari pertemuan al-Razi dengan al-Muhajir atau dari orang yang bertemu langsung dengan al-Muhajir yang hidup pada abad keempat Hijriah?
Bagaimana al-Razi yang hidup pada abad keenam Hijriah dapat membatalkan nasab orang yang hidup pada abad keempat Hijriah?
Jadi, bisa disimpulkan, kitab yang ditulis pada masa sezaman dengan objek yang diteliti belum tentu dapat dikatakan sebagai sumber primer, jika sumber tersebut tidak bersentuhan langsung dengan objek yang diteliti. Contohnya adalah kitab Sirru Silsilah al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi , Muntaqilah al-Thalibiyah. Walaupun masa hidup pengarang kitab itu sezaman dengan Ahmad ibn Isa, Ubaidillah, atau Alwi ibn Ubaidillah, pengarang kitab itu tidak pernah bertemu langsung dengan Ahmad ibn Isa, Ubaidillah atau Alwi ibn Ubaidillah . Maka, kitab-kitab itu tidak dapat disebut sebagai sumber primer.
Sumber primer yang dimaksud dalam penelitian menurut regulasi yang telah disebutkan di atas adalah jika sumber itu bersentuhan atau bertemu langsung dengan objek yang diteliti. Sebagai contoh, saya akan meneliti kitab al-Fikrah an-Nahdhiyah karangan Imaduddin . Dalam kitab itu  Imaduddin menyatakan bahwa Bani Hasyim adalah Sadah Ba'alawi yang dinisbahkan kepada Sayid Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa dan itu menjadi alasan ia mengubah pendapatnya sampai tiga kali tentang status nasab Ba'alawi. Dalam contoh penelitian saya ini, yang menjadi sumber primer adalah Imad, karena saya hidup sezaman dengannya. Saya bisa berinteraksi dan mendapatkan penjelasan secara langsung (baik tatap muka atau secara daring) tentang keputusannya yang berubah-ubah seputar kesahihan nasab habaib.

Memanipulasi  Data untuk Menguatkan Argumen
Imaduddin tidak segan-segan memanipulasi data untuk mendukung argumennya bahwa Ahmad ibn Isa tidak hijrah dari Bashrah ke Hadramaut. Untuk menguatkan argumennya, Imaduddin menggunakan sumber data yang tidak masuk akal. Ia mengambil data dari kitab al-Ghaybah karangan al-Thusi.

"Ahmad ibn Isa al-Alawi, dari anak Ali ibn Ja'far, berkata, 'Aku menemui Abu al­ Hasan a.s. [Ali al-Hadi], di Suriya. Kami mengucapkan salam kepadanya . [Di sana] Kami bertemu dengan Abu Ja'far dan Abu Muhammad . Keduanya telah berada di dalam. Kami berdiri dan mengucapkan salam kepada Abu Ja'far. Abu al-Hasan
a.s.    berkata, 'Bukan dia yang menjadi sh<ihib-mu (pemimpinmu) . Perhatikanlah pemimpinmu,' sambil mengisyaratkan kepada Abu Muhammad a.s."315

Nama lengkap Abu al-Hasan adalah Ali al-Hadi ibn Muhammad al­ Jawwad ibn Ali al-Ridha ibn Musa al-Kazhim. Ia wafat pada 254 H. Sementara, Ahmad ibn Isa al-Muhajir dilahirkan pada 260 H di Kota Bashrah, Irak.316 Ada kejanggalan jika dilihat dari data lahir dan wafat kedua tokoh tersebut, yaitu bahwa Ahmad ibn Isa al-Muhajir lahir enam tahun setelah Abu al-Hasan Ali al­ Hadi wafat. Artinya, Ahmad ibn Isa yang dimaksud dalam redaksi di atas tidak pernah bertemu, atau tidak sezaman dengan Abu al-Hasan Ali al-Hadi. Begitu pula dengan al-Hasan yang wafat pada 260 H. Ia tidak pernah bertemu dengan Ahmad  ibn Isa al-Muhajir,  karena tahun wafat al-Hasan  sama dengan tahun kelahiran Ahmad ibn Isa al-Muhajir.
Dengan demikian, kita bisa melihat kegagalan Imaduddin dalam memahami masalah ini. Ahmad ibn Isa al-Alawi yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah Ahmad ibn Isa ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, sesuai dengan redaksi dalam kitab itu bahwa Ahmad ibn Isa ibn Ali ibn Ja'far. Al-Nassabah al-'Umari (wafat abad kelima) dalam kitab al-Majdi menyatakan  bahwa  Ali  al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq memiliki 11 anak, di antaranya bernama Isa. Lebih lanjut al­ 'Umari mengatakan :

"Adapun tentang Isa ibn (Ali) al-'Uraidhi, hanya ayahku yang meriwayatkannya . Dikatakan bahwa ia punya anak Hasan dan Ahmad.''317

Jadi jelas, sesuai yang tertulis dalam al-Ghaybah, yang dimaksud dengan Ahmad ibn Isa min walad Ali ibn Ja'far adalah Ahmad ibn Isa ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, bukan Ahmad al-Muhajir ibn Isa al-Rumi ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali 'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq yang merupakan kakek S<idah Ba'alawi.

Makam al-Muhajir & Makam Jamaluddin Kubra Versi Gusdur
Berdasarkan keyakinan bahwa Ahmad ibn Isa al-Naqib tidak hijrah ke Hadramaut, Imaduddin lebih lanjut menegaskan bahwa makam Ahmad ibn Isa yang berada di Husaisah adalah makam palsu. Untuk mendukung pendapatnya, ia mengutip perkataan Syaikh Ahmad ibn Hasan al-Mu'allim : "Dalam sejarah Yaman hingga paruh kedua abad kelima tidak ada makam yang diagungkan yang di atasnya terdapat masy had dan masjid kecuali masjid syahidain di Shana'a," dan perkataan al-Janadi, "Dan makam dua anak masyhur di Shan'a."

Suatu peristiwa, seorang tokoh, atau satu tempat bersejarah yang dikenal di suatu masyarakat banyak yang dituliskan dalam bentuk cerita, baik tertulis maupun yang diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi. Begitu pula, keberadaan satu makam atau situs bersejarah  selalu  mengungkapkan  asal­ usul keberadaan makam itu dan asal-usul tempat tersebut yang dikaitkan dengan keberadaan seorang ulama, cendekiawan, atau tokoh  besar  lainnya yang kebesaran dan keagungannya diakui oleh  masyarakat  setempat. Salah satu daerah yang dikenal dengan banyaknya makam yang menjadi situs sejarah adalah Hadramaut .
Di Hadramaut ada tempat yang dimuliakan umat Islam yang bernama Qabr Hud (makam Nabi Hud). Makam itu ramai dikunjungi peziarah, khususnya pada setiap pertengahan bulan Sya'ban. Tempat mulia lainnya adalah makam leluhur kaum sayid di Hadramaut, yaitu Ahmad ibn Isa yang bergelar al-Muhajir.Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada 345 Hijriah danjenazahnya disemayamkan di atas bukit di Desa Husaisah . Makam ini merupakan salah satu tempat sakral yang menjadi sasaran utama para peziarah .
Imaduddin dan para pendukungnya mengatakan bahwa makam Ahmad ibn Isa di Husaisah adalah makam palsu, karena beberapa alasan. Pertama, dalam kitab Qiladah al-Nahr  disebutkan  dua  pendapat  mengenai  makam  Ahmad ibn Isa: pendapat pertama mengatakan bahwa ia wafat dan dimakamkan di Husaisah, dan pendapat kedua mengatakan bahwa ia wafat di Qarah Jasyib.
Kedua, makam al-Muhajir hanya diketahui berdasarkan naskah yang menyatakan bahwa ia memang dimakamkan di Husaisah . Makam itu sebenarnya barn dibangun pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah dan ditetapkan sebagai makam Ahmad ibn Isa berdasarakan ijtihad.
Dalam kitab al-Jawhar al-Syafiif , al-Khathib menuliskan :

"Sayidina Ahmad ibn Isa (pendapat pertama) wafat di Husaisah . Dan terlihat pada lokasi yang ditunjukkan bahwa kubur al-Syarif [Ahmad ibn Isa] terdapat cahaya yang agung. Dan guru kami, al-Arif Billah Abdurrahman ibn Syaikh Muhammad ibn Ali Alawi, berziarah ke tempat itu. Pendapat lain menyatakan bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb."318

Dari tulisan di atas dapat diperoleh beberapa informasi bahwa pendapat pertama Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat di Husaisah dan pendapat kedua ia wafat di Qarah Jusyayb. Antara Husaisah dan Qarah Jusyayb berjarak kira-kira 3 kilometer, bukan 850 kilometer seperti yang disebutkan oleh Imad. Qarah Jusyayb berdekatan dengan Kota Bor. Dalam kutipan di atas, hanya dikatakan bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, bukan dimakamkan di sana. Jadi, meskipun seandainya pendapat kedua benar, yakni bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, Ahmad ibn Isa tetap dimakamkan di Husaisah . Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini.
Makam Ahmad ibn Isa al-Muhajir bukanlah makam barn yang dibangun pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Qillidah al-Nahr, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Ali Alawi adalah seorang 'lirif billlih. Ia melihat cahaya terpancar dari wilayah makam Ahmad ibn Isa al­ Muhajir. Pancaran cahaya itu sebagai isyarat bahwa al-Muhajir adalah seorang yang agung dan mulia di sisi Allah Swt. Cahaya  yang  terpancar  bukanlah syarat penemuan lokasi kuburan  tetapi isyarat kemuliaan yang terdapat  pada penghuni makam itu. Jadi, bukan karena melihat cahaya itu kemudian di sana dibangun makam, melainkan cahaya itu memancar dari kawasan makam yang sudah dikenal masyarakat sejak lama. Itu dua hal yang sangat berbeda tetapi tidak dapat dipahami oleh Imaduddin dan para pengikutnya .
Pernyataan Imaduddin bahwa makam al-Muhajir adalah makam palsu hanya didasarkan atas tulisan Ahmad ibn Hasan al-Muallim dan al-Janadi. Kesimpulan Imaduddin itu serampangan dan hanya mencocok-cocokkan . Sebab, kedua penulis itu (al-Muallim dan al-Janadi) tidak mencatat seluruh kuburan di negeri Yaman . Keduanya hanya bertutur tentang kuburan yang berada di Kota Shana'a, bagian utara Yaman, sedangkan Husaisah berada di Hadramaut, bagian selatan Yaman. Jarak antara keduanya kira-kira 600 Km. Dapat dibayangkan, betapa sulit kondisi yang hams ditempuh pada masa itu jika seseorang mencatat dan menceritakan semua kuburan yang berada di seluruh Yaman .
Imaduddin menyatakan bahwa makam Ahmad ibn Isa al-Muhajir itu barn diketahui 602 tahun setelah wafatnya dan, karenanya, makam itu palsu. Jika pengambilan kesimpulannya seperti itu, lalu bagaimana dengan makam Siti Aminah ibunda Nabi Saw. yang terletak di atas bukit di Desa Abwa yang tidak diketahui lokasinya, dan barn diketahui 1.400 tahun kemudian setelah wafatnya, itu pun hanya perkiraan . Pertanyaannya, apakah makam itu sudah dikenal sejak Siti Aminah wafat? Sumber sezaman apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Siti Aminah ibunda Nabi Saw. dimakamkan di Abwa? Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah makam Siti Aminah itu palsu dan bahwa Siti Aminah ibunda Nabi Saw. adalah tokoh fiktif?
Bagaimana pula dengan makam Jamaluddin Husain al-Akbar atau Syaikh Jumadil Kubro? Makam yang kemudian diyakini sebagai makam keramat itu ditetapkan berdasarkan pernyataan K.H.  Abdurrahman  Wahid  (Gus  Dur), yang meyakini bahwa makam Sayid Jamaluddin Akbar berada di Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan. Sumber lain menyatakan bahwa satu-satunya makam  yang diyakini umum sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro adalah makam yang terletak Tralaya di Kabupaten Mojokerto.319 Makam  Syaikh  Jumadil  Kubro barn diketahui 600 tahun setelah wafatnya . Pertanyaannya, apakah makam itu sudah dikenal sejak Syaikh Jumadil Kubro wafat? Sumber sezaman apa yang bisa memberi kesaksian  bahwa benar  Syaikh Jumadil  Kubro dimakamkan  di Wajo atau di Mojokerto? Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah makam itu palsu dan Syaikh Jumadil Kubro adalah tokoh fiktif? Seperti itulah kerusakan pola pikir Imaduddin dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi . Jika metode pengambilan Kesimpulan yang digunakan Imaduddin itu diterapkan pada fakta-fakta sejarah lain, akan rusaklah berbagai fakta historis yang selama ini dikenal oleh masyarakat .
 
KEENAM Melakukan Kebohongan Publik

Dalam penelitian ilmiah, kejujuran adalah segala-galanya . Seorang ilmuwan atau peneliti yang terbukti tidak jujur, pasti akan kehilangan integritasnya .  Jika  penelitian   dilakukan  secara  tidak  jujur   maka
hasilnya akan menyesatkan orang lain dan juga bisa menyesatkan kesimpulan si peneliti itu sendiri. Terkait dengan kejujuran ilmiah ini, Imaduddin dan para pengikutnya banyak melakukan kebohongan publik. Akibatnya, Imaduddin terperosok dalam penyimpangan hasil penelitiannya . Lebih jauh, ia juga menyesatkan banyak orang, terutama kalangan awam. Berikut ini beberapa kebohongan publik yang dilakukan oleh Imaduddin dan para pengikutnya .

A.    Catatan Nasab Ba'alawi Terputus 550 Tahun
Dalam berbagai kesempatan Imaduddin selalu mendengungkan bahwa catatan nasab Ba'alawi terputus 550 tahun . Untuk menjawab tuduhan Imaduddin ini sebenarnya tidak dibutuhkan penjelasan panjang lebar. Dengan membaca Bab I, Pasal 3, yang banyak bertutur tentang nasab Ba'alawi dari sebelum tahun 900 H, pembaca bisa mengambil kesimpulan bahwa tuduhan Imaduddin benar-benar merupakan kebohongan publik yang terus-menerus didengungkan oleh Imaduddin dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.

B.    Mufti Yaman Membatalkan Nasab Ba'alawi
Imaduddin melontarkan tuduhan lain, yaitu bahwa Mufti Yaman, Syamsyuddin ibn Syarafuddin dari kalangan Zaidiyyah membatalkan nasab Ba'alawi. Tetapi kemudian terbukti bahwa tuduhan ini juga merupakan pembohongan publik. Fakta ini menunjukkan bahwa Imaduddin tidak melakukan proses validasi informasi yang memadai sebelum menyebarkan tuduhan dan fitnahnya.
Kabar dusta itu didapatkan oleh Imaduddin dari satu situs yang tidak otoritatif . Pada 1443 H/2021 M situs itu menyuguhkan berita bahwa Mufti Yaman, Syamsuddin Syarafuddin, membatalkan 21 marga, dan delapan di antaranya adalah wangsa Ba'alawi . Silakan lihat link https://voicnews .com/ new/374149.
Kenyataannya, sejak tahun 2020 kemuftian Yaman telah merilis berita di situs resmi yang menyatakan bahwa kemuftian Yaman dan Mufti Yaman (Syamsuddin Syarafuddin) tidak memiliki akun media sosial apa pun. Seluruh informasi resmi kemuftian Yaman disampaikan dalam situs resmi https :// yemenscholars .com/.
Keputusan resmi bahwa kemuftian Yaman dan Mufti Yaman tidak memiliki akun media sosial dapat diakses di berita berikut: https://yemenscholars . com/articles/1380 dan https://yemenscholars .com/articles/1203 . Berikut kami tampilkan qarar (keputusan resminya) :

Akun-akun yang mengatasnamakan Syamsuddin Syarafuddin dan akun yang berisi informasi tentang batalnya 21 wangsa Asyraf (termasuk Ba'alawi) dipastikan kepalsuannya oleh Abdussalam Syarafuddin (anak Mufti Yaman). Pada 16 Mei 2024 Gus Rumail Abbas menghubunginya langsung dan kemudian Abdussalam mengunggah video pernyataan ayahnya, Mufti Syamsuddin Syarafuddin. Dalam video tersebut al-Mufti memastikan bahwa pembatalan nasab kabilah-kabilah Asyraf yang dinisbahkan kepadanya adalah dusta dan fitnah. Simak videonya dalam link berikut :

https://wwW.facebook.com/permalink.php?story       _fbid=pfbidOXTCHtX5m­ vDzRFDdaQxSygNGgaBJ3PQV8aEKWK3jLHSx9GqMVcVo5SYJ98M6WJCHx­ l&id=61556672620640 .
 


Pernyataan itu dikuatkan  lagi melalui  khutbah Jumat yang ia sampaikan di al-Jami' al-Kabir Shana'a pada 29 Dzulhijjah 1445 H. Mufti Syamsuddin ibn Syarafuddin menyatakan bahwa informasi yang menyatakan dirinya meragukan keluarga Hasyimiyyah Hadramiyyah Muhdhariyyah (Ba'alawi) adalah fitnah dan dusta. Ia juga menegaskan betapa besar dosa al-tha'nufi al-ansab (menyerang nasab orang lain).
Sebaliknya, mufti dan para imam Yaman dari kalangan Zaidiyyah,  sejak ratusan tahun silam telah mengakui dan mengisbat bahwa Ubaidillah adalah putra Ahmad ibn Isa. Mufti jauh sebelum Syamsuddin, yaitu al-Imam al­ Mutawakkil 'Alallah Yahya ibn Syarafuddin ibn al-Mahdi al-Hasani (877-965 H) menyatakan dalam tsabat (kumpulan sanadnya):

Dalam tsabat-nya tersebut al-Mutawakkil 'Alallah lebih dari sepuluh kali menyebutkan bahwa gurunya, yaitu al-Sayid Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid adalah cucu Jadid ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa. Bahkan, dalam kutipan di atas ia dengan jelas menyambungkan nasab Ubaidillah kepada al­ Muhajir Ahmad ibn Isa, dst.
Setelah segala fakta yang terang benderang ini, Imaduddin dkk.  tetap ngotot menyebarkan kebohongan publik bahwa Mufti Yaman Syamsuddin ibn Syarafudin membatalkan nasab Ba'alawi hanya berdasarkan berita dari sebuah akun palsu di Facebook. Pembaca bisa membayangkan, Imaduddin gagal total bahkan hanya untuk memeriksa validasi satu informasi di media sosial. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa memeriksa validasi informasi tentang Ubaidillah ibn Ahmad yang berjarak 1.000 tahun silam?

C.    Ba'alawi Tidak Diakui oleh Naqabah Asyraf Internasional
Imaduddin dan para pengikutnya  selalu  mengampanyekan  bahwa naqabah (komunitas resmi yang menaungi para S<idah/ Asyr<if) internasional membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Itu adalah kebohongan publik yang nyata. Sebab, kenyataannya, tidak ada satu pun naqabah asyr<if resmi di dunia ini yang membatalkan nasab S<idah Ba'alawi .
Imaduddin dan kelompoknya menyatakan bahwa naqabah internasional membatalkan nasab Ba'alawi. Namun, mereka tidak pernah menyebutkan sekali pun naqabah Asyr<if mana yang membatalkannya . Mereka sekadar melemparkan isu secara tidak bertanggung jawab . Rasulullah Saw. bersabda, "Bukti wajib didatangkan oleh penuduh ." (HR al-Baihaqi) .
Satu-satunya pihak yang disebutkan oleh kelompok Imaduddin adalah naqabah blogspot yang dikelola oleh seorang pelarian politik asal Irak bernama Yasin al-Kalidar. Naqabah-naqabah asyr<if internasional yang resmi, baik di Maroko, Aljazair, Libya, Tunisia, Mesir, Yaman, Hijaz, Yordania, Irak, Iran, Turki, Pakistan, dan negara-negara lainnya, tidak ada satu pun yang membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Jangankan membatalkan, bahkan tidak ada satu pun naqabah yang meragukan nasab Ba'alawi.
Naqabah  Al-Uraidhiyyun  yang  merupakan  lembaga  pencatat  nasab  ke­ turunan Imam Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq bahkan mencatat Sadah Ba'alawi sebagai bagian dari keturunan Imam Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq. Salah satu bukti pendukung mengenai hal ini kami lampirkan pada akhir Pasal 1Bab II. Seorang pelajar Indonesia di Mesir, Muhammad Yasin Rahmatullah, seperti ditulis  di  laman  Facebook  resminya,321  berinisiatif  melakukan  tabayyun  ke
kantor Naqabah Asyraf Mesir. Dia menulis:

"Hari ini (Kamis) kami berkunjung kembali ke Naqabah dalam rangka istifadah yang lebih mendetail tentang Sadah Ba'alawi, seperti sebelumnya kami dipertemukan dengan Muqarrir Lajnah Tahqiq Ans<ib, Syarif Ahmad Yahya.

Kemudian kami memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, apakah pada masa-masa dulu pernah terjadi khilaf tentang status Sadah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait?
Ia langsung menjawab: "Tidak pernah ."
Setelah itu kami akhiri pembicaraan . Kami mohon pamit seraya meminta doa kepadanya untuk kami. (Syaikh Syarif Ahmad Yahya adalah seorang syarif .)
Kami juga mendapatkan kabar dari seorang teman yang belajar di Iran, yaitu Firmansyah Djibran El'Razy bahwa naqabah Iran juga berpandangan seperti itu (mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait). Lebih jauh, naqabah di Iran itu juga mengungkapkan bahwa semua naqabah di Timur
Tengah sepakat dan mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait.

Gambar Muhammad Yasin Rahmatullah saat berkunjung ke Naqabah Asyraf Mesir.
 
Gambar Kantor Naqabah Asyraf Mesir

Ketika Muhammad Yasin Rahmatullah berkunjung ke naqabah Asyraf Mesir diperlihatkan kepadanya kitab rujukan Naqabah Asyraf Mesir, Mausu'ah Ali Bayt al-Nabawi, yang di dalamnya tercatat nasab S<idah Ba'alawi. Berikut tampilan halamannya :

Selain itu, tokoh Asyraf  Hijaz yaitu Sayid Anas al-Kutbi juga  mengakui
S<idah Ba'alawi. Bahkan ia menulis sebuah artikel khusus tentang Sadah Ba'alawi yang dijuduli "S<idah Ba'alawi Laksana Mutiara yang Bertebaran di Lautan Keluarga Rasulullah Saw.''. Dalam artikel itu itu ia menceritakan keutamaan dan kemasyhuran Sadah Ba'alawi, serta menyebutkan marga-marga Ba'alawi .322 Keterangan tentang keabsahan nasab Ba'alawi juga banyak dimuat dalam www. al-Amir .com yang merupakan situs resmi komunitas Asyraf Hijaz yang konsen dalam bidang nasab. Tidak hanya itu, sejarah juga mencatat bahwa para tokoh S<idah Ba'alawi banyak yang diangkat menjadi naqib (kepala suku) para Asyraf di Hijaz (Makkah, Madinah, dan sekitarnya). Padahal di Hijaz ada banyak sadah dari beberapa jalur keturunan al-Imam Hasan dan Husain, bahkan banyak di antara mereka yang dikenal sebagai ahli nasab. Jika keabsahan Nasab Ba'alawi diragukan, mereka tidak mungkin diangkat menjadi naqib hingga berkali-kali di Hijaz, kawasan yang dihuni oleh banyak s<idah dari jalur yang beragam. Berikut ini beberapa nama naqib Asyraf Hijaz dari wangsa Ba'alawi :

Di Makkah:
1.    Sayid Muhammad ibn Muhsin Al-Attas, tahun 1243 H
2.    Sayid Ishaq ibn Aqil
3.    Sayid Abdullah ibn Aqil, tahun 1267 H
4.    Sayid Alwi ibn Ahmad al-Segaf, Mufti Makkah. Diangkat menjadi naqib pada 1314 H. Ia juga dikenal sebagai penulis kitab Tarsyih al-Mustafidin, kitab fikih yang dipakai oleh para ulama Nahdhiyyin di Indonesia.

Di Madinah :
1.    Sayid Muhammad Jamalullail, tahun 1283 H 2.    Sayid Muhammad Ba Faqih, 1286 H
3.    Sayid Ali Alhabsyi, tahun 1315 H
4.    Sayid Alwi Bafaqih, 1315 H
5.    Sayid Abdullah Jamalullail 323

Naqabah Asyraf Irak, dan Naqabah Lebanon juga mengakui S<idah Ba'alawi, sebagaimana tertulis pada laman Facebook resminya yang menyebutkan nama­ nama marga S<idah Ba'alawi .324
Pada tahun 2005-an, ada pertemuan sejumlah Naqabah Asyraf dan berbagai lembaga resmi pencatat nasab internasional di Libya. Dalam kesempatan itu al­ Rabithah al-Alawiyyah turut hadir diwakili Alm. Habib Zein ibn Umar ibn Smith (Ketua Umum al-Rabithah al-Alawiyyah), Alm . Habib Kazhim al-Hiyed, dan Habib Abdurrahman Bashurrah (Ketua Maktab Daimi). Beberapa saat setelah pertemuan tersebut ada beberapa sampel nasab yang divalidasi keabsahannya bersama-sama dan ditandatangani oleh para pimpinan lembaga dan naqabah dari berbagai negara. Di antaranya adalah nasab salah seorang S<idah Ba'alawi. Berikut ini pindaian sertifikat yang asli:
 
Yusuf Jamalullail, dll.

Tidak hanya itu, pengakuan terhadap S<idah Ba'alawi bukan hanya datang dari naqabah. Pengakuan resmi juga datang dari negara tempat S<idah Ba'alawi menetap. Imam Yaman, Syaikh Yahya Hamiduddin dalam surat maklumatnya secara resmi mengakui nasab S<idah Ba'alawi. Berikut ini salinan dokumennya:

Pengakuan resmi lainnya disampaikan oleh pemerintah al-Kuwaitiyyah dan al-Katsiriyyah Hadramaut Yaman Selatan pada 1351 H. Keduanya memberikan penjelasan resmi tentang keabsahan nasab S<idah Ba'alawi di Hadramaut. Bahkan, keduanya mengakui peran penting S<idah Ba'alawi dalam lintasan sejarah. Pengakuan dan penjelasan resmi itu sebagai jawaban atas berkembangnya desas-desus dari komunitas al-Irsyad-yang berhaluan Salafi­ Wahabi-di Pulau Jawa yang mempermasalahkan  S<idah Ba'alawi . Namun, pertentangan dan kesalahpahaman  antara S<idah Ba'alawi dan al-Irsyad di Jawa itu tidak berlangsung lama. Kedua kelompok itu kembali bergandengan resmi tersebut yang diambil dari Pusat Arsip Nasional Hadramaut di Kota Sewun, beserta transkrip dan terjemahnya :

(Menampakkan Kebenaran)

[Dokumen ini diterbitkan] M engingat apa yang terjadi beberapa tahun terak hir di diaspora (di Jawa), yaitu berkembangnya provokasi yang memalukan terhadap para Sadah Hadhrami Alawiyyin yang telah tinggal di Hadramaut selama lebih dari seribu tahun dan memiliki reputasi tertinggi dalam penyebaran ilmu pengetahuan serta berbagai kemuliaan di negara tercinta ini. Dan mereka ini masih dan akan terus mengorbankan jiwa serta harta berharga mereka untuk menyebarkan berbagai hal yang membawa manfaat dan kebaikan bagi negara. M ereka juga senantiasa menyebarkan nasihat dan ketulusan sebagaimana telah kita lihat kepada pemerintahan Qu'aithiah dan Kathiriah . Semua itu mendorong kita untuk mencintai dan mendukung mereka dengan segala kehormatan harga diri mereka dan keagungan garis keturunan mereka. Dan betapa besar jasa khusus dan umum yang mereka persembahkan kepada tanah air kita tercinta.
M engingat apa yang  telah kita sak sikan selama beberapa tahun, dengan beberapa  orang  yang   mencemarkan  nama  baik  mereka,  menyerang  garis keturunan mereka yang sahih, dan menuduh mereka dengan tuduhan yang batil dan fitnah palsu. Sebagai bentuk pembelaan terhadap kebenaran, dukungan terhadap kenyataan, dan rasa terima kasih, kami melihat  bahwa kami harus mengumumkan secara resmi bahwa mereka adalah Sadah Alawiyah yang dikenal oleh para pendahulu kami dan kami mengenal mereka setelah pendahulu kami. Kami dan mereka berjalan bahu-membahu serta berdampingan bertahun­ tahun dan pada tempo yang panjang dalam damai, rukun, ikhlas, dan saling mencintai. M ereka adalah panji putih perdamaian di negara kita dan pembawa pesan keamanan dan perbaikan di dalamnya. M ereka adalah satu-satunya yang menyandang gelar "sayid" yang sesung guhnya karena sahnya nasab mereka kepada Rasulullah . M aka, tidak boleh bagi siapa pun menyandang gelar "Sayid" di antara orang Hadramaut selama belum sah nasabnya kepada Rasulullah Saw. Nasab yang didukung oleh pohon- pohon silsilah yang ditulis dengan pena para ahli nasab yang dapat dipercaya .
Sebagai penutup, kami mengarahkan surat kami ini kepada semua orang yang mempunyai perkataan yang efektif atau pengaruh yang efektif , dengan harapan dapat membantu memadamkanfitnah yang berkobar dan kegaduhan tak berguna yang merugikan masyarakat, serta berupaya memulihkan ketenangan dan kedamaian. Ditulis pada tanggal 25 M uharram 1351 H.

(Pusat Arsip Nasional Sewun)

Karenanya, tidak mengherankan jika salah seorang Mufti Hadramaut dari kalangan masy<iyik h (bukan S<idah), yaitu Syaikh Ali ibn Salim Sa'id Bukair Baghaitsan, dalam salah satu wawancaranya dengan televisi mengatakan bahwa nasab S<idah Ba'alawi adalah salah satu nasab yang paling kuat. Lebih jauh ia mengatakan, "Siapa saja yang ingin meragukan atau berusaha mendustakan nasab S<idah Ba'alawi, niscaya ia akan merasa kelelahan dan kesulitan sendiri."325

Jika Anda membaca uraian kami pada Bab 1 dengan cermat dan saksama, Anda pasti akan menemukan bahwa pengakuan dan penerimaan terhadap nasab Ba'alawi telah muncul sejak berabad-abad silam dari para ulama yang menetap di berbagai belahan dunia, mulai dari Yaman, Hijaz, Mesir, Syam, Irak, Iran, Maroko sampai di Nusantara .
Dari berbagai data yang kami sajikan di atas, pembaca dapat menyimpulkan bahwa isu nasab Ba'alawi tidak diakui oleh naqabah internasional adalah hoaks atau kebohongan yang nyata. Faktanya, nasab Ba'alawi diakui dunia Islam internasional dari masa ke masa. Semua itu membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh kelompok Imaduddin adalah fitnah belaka. Mereka sama sekali tidak memiliki data kecuali cerita-cerita rekaan atau hoaks  yang disebarkan semata-mata untuk mengelabui  masyarakat  awam.

D.    Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba'alawi
Dusta lain yang dilakukan dan disebarkan Imaduddin adalah bahwa al­ Turbani membatalkan nasab Ba'alawi . Imaduddin berulang-ulang menyebarkan pendapat lama Syaikh al-Turbani, padahal pendapat itu telah direvisi atau dikoreksi. Salah seorang rekan kami telah berkomunikasi dengan Syaikh al­ Turbani melalui laman Facebook resminya . Syaikh al-Turbani menyatakan bahwa ia meralat dan membatalkan pendapatnya yang lama. Ia meralat pendapatnya itu karena telah menemukan banyak dalil tentang kesahihan nasab S<idah Ba'alawi. Pada era digital seperti saat ini, kita bisa dengan sangat mudah melakukan konfirmasi atau validasi pandangan atau pendapat seseorang yang aktif di media sosial. Sayangnya, Imaduddin tidak melakukan langkah konfirmasi ini. Alih-alih, ia justru terns menebarkan kebohongan publik. Berikut ini kami tampilkan tangkapan layar percakapan rekan kami dengan Syaikh al-Turbani:
episode kedua: https:/ /youtu.be/w83YNPa3U04 ?si=b6uywAKs4GeWuelD.

E.    Menyebut Tulisannya tentang Pembatalan Nasab Ba'alawi sebagai Tesis
Dalam berbagai kesempatan Imaduddin kerap mengeklaim bahwa tulisannya tentang pembatalan nasab Bani Alawi merupakan tesis, benarkah klaim  tersebut?
Secara bahasa (etimologi), dalam KBBI disebutkan, arti tesis adalah: (1) n pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karangan; untuk mendapatkan  gelar kesarjanaan  pada perguruan  tinggi. (2) karangan ilmiah yang ditulis untuk mendapatkan  gelar kesarjanaan pada suatu universitas  (perguruan tinggi); disertasi.
Adapun pengertian secara istilah (terminologi), tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karya tulis ilmiah, untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. Tesis juga dapat berarti sebuah tugas akhir seorang mahasiswa berupa karya tulis ilmiah resmi.326
Merujuk pada pengertian di atas, tulisan Imaduddin tentang pembatalan nasab Ba'alawi tidak bisa disebut tesis baik secara etimologi ataupun terminologi. Sebab, karya tulis itu tidak disusun dan diujikan secara akademik di perguruan tinggi. Ia tidak lebih dari sebuah makalah yang bisa ditulis oleh siapa saja dan dimuat di mana saja tanpa membutuhkan pertanggungjawaban serta standar ilmiah yang jelas . Maka, gembar-gembor Imaduddin dan kawan­ kawannya yang selalu menyebut makalah Imaduddin sebagai tesis hanyalah pembohongan publik.

KETUJUH Menjiplak Pemikiran Orientalis dan Tokoh Non-Aswaja

A.  Menggunakan Teori Orientalis untuk Membatalkan Nasab Ba'alawi
Berdasarkan petunjuk hadis-hadis Rasulullah Saw. dan pendapat para ulama, ditetapkanlah suatu metode yang universal, telah teruji, dan masuk akal untuk menetapkan nasab seseorang atau suatu kaum yaitu dengan syuhrah dan istifcidhah atau tasamu. Inilah metode penetapan nasab yang dilakukan oleh ulama ahli nasab berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. dan para ulama mazhab. Metode penetapan nasab yang dilakukan oleh ahli nasab ini tidak bertentangan dengan metode para ahli fikih. Sebab, penetapan ahli nasab dan ahli fikih berasal dari sumber yang sama yaitu sunnah Rasulullah Saw.
Lalu, bagaimana dengan metode konfirmasi melalui kitab sezaman untuk mengonfirmasi nasab-nasab lama? Tidak ada satu pun teori, kitab ilmu nasab atau pendapat ahli nasab yang mengakui adanya metode konfirmasi melalui kitab sezaman. Jika metode "konfirmasi kitab sezaman" ini telah digunakan secara universal oleh para ahli nasab maka tentu kita bisa dengan mudah menemukan teorinya serta sumber rujukan yang mendukungnya, atau ulama ahli fikih dan ahli nasab yang menggunakannya . Kita juga bisa menemukan dengan  mudah  kapan  metode  itu  mulai  digunakan  dan  untuk  menganalisis nasab siapa, dan apakah metode itu dilandasi oleh dalil-dalil Al-Qur'an, Sunnah, atau pendapat ulama mazhab.
Selanjutnya, jika Imaduddin bersikukuh menggunakan metode konfirmasi melalui kitab sezaman, ia juga hams melakukan pembuktian terbalik. Ia hams memberikan kitab-kitab sezaman yang menolak Ubaidillah sebagai anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Dapat dipastikan, ia tidak akan bisa  menunjukkan kitab­ kitab itu. Sama halnya, iajuga tidak akan mampu menunjukkan kekokohan teori konfirmasi melalui kitab sezaman.
Penggunaan metode kehamsan kitab sezaman untuk menetapkan  nasab tidak dikenal dalam sejarah Islam. Sebaliknya, menggunakan kitab sezaman untuk menetapkan kesahihan suatu nasab dapat dikatakan  sebagai usaha keji untuk memntuhkan sendi-sendi Islam. Cara itu akan memutus sanad keilmuan antara ulama Bani Alawi dan para ulama Nusantara . Cara seperti inilah yang dilakukan oleh seorang orientalis dari wangsa Yahudi,  Ignaz Goldziher yang meragukan keaslian atau kebenaran (otentisitas) hadis-hadis  dalam  Shah_ih Buk h<iri . Dia adalah orang yang pertama kali menggunakan metode kitab sezaman untuk memntuhkan sendi-sendi Islam dari sisi hadis. Menumtnya, hadis-hadis itu mempakan hasil rekaan (fabrikasi) generasi-generasi setelah Nabi. Ia menguatkan kesimpulannya dengan alasan bahwa kodifikasi hadis dilakukan jauh setelah Nabi wafat. Tidak ada satu pun dokumen tertulis dari masa Nabi Muhammad Saw. hidup yang bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, menumtnya, hadis lebih mengandalkan  tradisi lisan sehingga otentisitasnya  diragukan.327
Lebih jauh, dengan metodenya itu Goldziher menilai bahwa kekacauan dan inkonsisten teks Al-Qur'an (perbedaan pola bacaan Al-Qur'an) tidak ditemukan dalam kitab-kitab terdahulu yang ia teliti. Melalui analisisnya ini ia bemsaha menanamkan keraguan di hati banyak  orang  mengenai  kemutawatiran dan orisinalitas Al-Qur'an. Langkah seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Imaduddin si pemecah belah umat zaman ini. Ia  bersikukuh  membatalkan nasab Bani Alawi dan bahwa nasab itu tidak tersambung kepada Rasulullah Saw. hanya karena tidak ada pada kitab-kitab sezaman yang dibacanya. Maka, ada dua pilihan bagi umat Islam, apakah akan berpegang teguh kepada metode penetapan nasab berdasarkan syariat Islam ataukah mengikuti metode bid'ah yang digunakan oleh orientalis Yahudi dan kemudian diadopsi oleh Imaduddin dari Kresek Banten?
Teori  yang  digunakan  oleh  Imaduddin  ini  disebut  juga  Argumentum Ex Silentio, yaitu menolak sesuatu jika tidak ada landasan dokumen berupa catatan sezaman pada masa lalu. Pendekatan yang digunakan Goldziher  ini mirip dengan pendekatan yang digunakan oleh Joseph Schacht ketika menolak validitas hadis riwayat Imam Bukhari karena hadis itu tidak ditemukan dalam kitab hadis yang lebih tua seperti M ushannaf Abdur Razzaq . Karenanya, sangat aneh jika Imaduddin justru menerima logika orientalis untuk membenarkan dan mendukung hipotesisnya serta menolak teori yang dipergunakan oleh para ulama.
Mengandalkan argumentum ex silentio sebagai dasar penolakan adalah langkah yang sangat bermasalah, terutama dalam konteks ilmu nasab dan sejarah Islam. Tidak adanya dokumen bukan berarti tidak adanya fakta. Banyak informasi sejarah yang mungkin tidak terdokumentasi tetapi tetap sahih dan diterima melalui tradisi lisan yang kuat. Menerima dan mengadopsi pendekatan argumentum ex silentio hanya menunjukkan kelemahan seseorang dalam memahami dan menghargai metodologi syar'i yang telah diakui oleh  para ulama selama berabad-abad .

B.    Menyontek  Sebagian Tokoh Wahabi
Imaduddin dan para pengikutnya terus-menerus berkampanye bahwa pembatalan nasab Ba'alawi adalah temuannya . Padahal kenyataannya, catatan dan penjelasan Imaduddin itu hanyalah plagiasi atau sontekan dari beberapa tokoh Wahabi Timur Tengah, yang belasan tahun silam menulis makalah untuk membatalkan nasab sadah Ba'alawi. Imaduddin hanya melakukan sedikit perubahan dan pengembangan pada tulisan-tulisan yang disusun oleh kaum Wahabi. Berikut ini beberapa catatan mereka.

1.    Murad Syukri
Murad Syukri, seorang Wahabi asal Yordania yang juga pernah nyantri kepada Syaikh al-Albani,  dalam situs al-Syibami menulis sebuah artikel yang dimuat pada 12 Juli 2008 tentang terputusnya nasab Sadah Ba'alawi kepada Rasulullah Saw. Setelah panjang lebar menguraikan hal tersebut di akhir tulisannya ia mengatakan, bukan hanya Ba'alawi yang mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah Saw. Banyak kaum sufi yang gemar mengaku-ngaku sebagai ke­ turunan Rasulullah Saw., termasuk Sayid Ahmad al-Rifa'i, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdadi (Sayyidu al-Thaifah). Artikel Murad Syukri ini sudah dikuliti dan dipatahkan oleh  al-Muhaddits Hasan ibn Ali al-Segaf (penulis Tanaqudhat al-Albani) dalam kitabnya al-Radd al-Mufahhim al-Mubayyin 'ala' Murad Syukri Dzanb al-Mutamassilin dan al­ 'Allamah al-Sayid Abu Laits al-Kattani dalam kitabnya al-Samm al-Zur'af .

2.   Audah al-Aqili
Seorang beraliran Salafi Wahabi asal Mesir bernama Audah al-Aqili menulis sebuah esai berjudul al-Shufiyyah al-Khabitsah (Kaum Sufi yang Keji) dan dimuat pada 13 Desember 2009. Dalam tulisannya itu ia membatalkan nasab beberapa kabilah Sadah, termasuk sadah Ba'alawi .328 Ia membatalkan nasab sadah Ba'alawi dengan argumen yang didasarkan atas kitab al-Syajarah al­ Mubarakah. Pola argumentasinya itu sangat mirip dengan pola argumentasi Imaduddin . Berikut ini kami tampilkan sebagian tulisannya :



dalam memahami istilah "Ibnu al-'Am" yang  dikenal di kalangan Arab. Imaduddin mengambil kesimpulan sembrono  dan  menganulir  semua pohon nasab ('amud al-nasab) S<idah Aal Abi 'Alawi yang disebutkan oleh para ulama. Kemudian dengan serampangan pula ia menetapkan bahwa Ubadillah adalah anak Isa ibn Alwi yang ada di pohon nasab al-Ahdal, bukan anak Ahmad ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib yang ada di pohon nasab Ba'alawi . Ia melakukan semua itu semata-mata untuk mencocokkan bahwa Ba'alawi dan al-Ahdal bersepupu langsung.
Dalam  konsep  kekerabatan,  anak paman  dari pihak  ayah    I) atau paman  dari pihak  ibu (JI), dalam  bahasa  sehari-hari  disebut  "sepupu". Sebutan  ini  disematkan  kepada  orang-orang  yang  memiliki   satu  atau lebih  kakek/nenek  yang  sama.  Namun,  dalam  bahasa  umum,  "sepupu" biasanya  berarti  "sepupu  pertama".  Di  beberapa  negara,  "derajat"  dan "jarak" antarsepupu  serta keturunan berikutnya  digambarkan  secara tepat dengan sebutan tertentu . Misalnya, mereka menggunakan sebutan "sepupu pertama", "sepupu kedua", dan "sepupu ketiga" menggambarkan  "derajat" hubungan  sepupu. Dalam  percakapan  sehari-hari,  kata  "sepupu"  sering digunakan untuk arti lain, yang tidak terbatas dengan tingkatan atau derajat. Pada  dasarnya,  istilah  "sepupu"  diterapkan  untuk  kerabat  tingkat pertama. Namun,  istilah  "sepupu" juga  digunakan  untuk  merujuk  pada semua jenis   kerabat,   seperti  kerabat  tingkat  pertama,  kerabat  tingkat kedua, kerabat tingkat ketiga, dan seterusnya. Misalnya, Ibrahim Asmoro memiliki anak bernama  Sunan Ampel dan Maulana Ishak. Sunan Ampel memiliki anak bernama Sunan Bonang, dan Maulana Ishak memiliki anak bernama  Sunan  Giri. Dengan  demikian,  Sunan  Bonang  dan  Sunan  Giri adalah saudara sepupu tingkat pertama . Orang yang menggunakan  istilah "sepupu" hanya untuk kerabat tingkat pertama berarti ia tidak memahami konsep  tersebut. Sebab, Sunan Prapen yang merupakan  anak Sunan Giri
dapat juga  disebut sepupu Sunan Bonang.
Dalam  Islam,  sebutan  sepupu  telah  digunakan  pada  zaman  Nabi Muhammad Saw. sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab hadis maupun Bukhari berikut :

"Rasulullah Saw. datang ke rumah Fathimah, beliau tidak menemukan Ali di rumah. Maka, Rasul berkata, 'Di mana anak pamanmu?"' 293

Dalam   kitab   sejarah,  penggunaan   sepupu  tingkat   pertama   dapat ditemukan dalam kitab Usud al-Gh<ibah karya Ibn Atsir.

"Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdu Manaf . Abu al-Abbas al-Qurasyi al-Hasyimi, anak paman (sepupu) Rasulullah Saw., kunyah-nya  Ibn Abbas."294

Penggunaan istilah sepupu pada tingkat kedua dapat ditemukan pada sahabat Nabi Saw. yang bernama Sa'd ibn Muaz dan anak paman (sepupu)­ nya bernama Asyid ibn Hudhair, keduanya bertemu pada kakek yang bernama Amra'i al-Qais ibn Zaid ibn Abdu al-Asyhal. Mereka masuk Islam di tangan Mush'ab ibn Umair.295

Silsilah nasab keduanya sebagai berikut.

Tingkat    Amro'i al-Qais ibn Zaid ibn Abdu al-Asyhal
    Nu'man    Utaik
1    Muaz    Samak
2    Sa'd    Hudhair
3        Asid


Pada abad ke-2 Hijriah istilah sepupu tidak saja digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama tetapi juga digunakan untuk menyebut kerabat jauh sampai tingkat ke-6 . Ini misalnya ditemukan pada silsilah Nabi Muhammad Saw. dan silsilah Harun al-Rasyid Khalifah kelima Bani Abbasiyah . Kedunya memiliki kakek yang sama, yaitu Abdul Muthalib.

 
Tingkat    Abdul Muthalib
    Abdullah    Abbas
1    Muhammad Saw.    Abdullah
2        Ali
3        Muhammad
4        Abdullah al-Manshur
5        Muhammad al-Mahdi
6        Harun al-Rasyid

Dalam kitab al-Umm karya Imam Syafi'i diceritakan dialog antara Imam Syafi'i dan Khalifah Harun al-Rasyid. Dalam dialog tersebut Khalifah Harun al-Rasyid menyatakan bahwa ia adalah sepupu Nabi Muhammad Saw.296

Pada abad ke-3 Hijriah, istilah sepupu digunakan untuk menyebut kerabat tingkat kesembilan. Ini misalnya ditemukan pada silsilah Nabi Muhammad Saw. dan silsilah Imam Syafi'i, yang memiliki kakek yang sama, yaitu Abdu Manaf.
 
Tingkat    Abdi Manaf
    Hasyim    Muthalib
1    Abdul Muthalib    Hasyim
2    Abdullah    Abdu Yazid
3    Muhammad Saw.    Ubaid
4        Syaib
5        Syafi'
6        Utsman
7        Abbas
8        Idris

Dalam kitab Siy<ir A'tam al-Nubal<i karangan al-Dzahabi dituliskan bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. meskipun Abdu Manaf adalah kakek keempat bagi Rasulullah Saw. dan kakek kesepuluh bagi Imam Syafi'i.z91

Ahmad Farid dalam kitab Min A'lam al-Salaf menjelaskan bahwa Imam Syafi'i adalah sepupu Rasulullah Saw. Nasab keduanya bertemu  pada Abdu Manaf . Rasulullah Saw. dari Bani Hasyim ibn Abdu Manaf dan Imam Syafi'i dari Bani Muthalib ibn Abdi Manaf . Rasulullah Saw. bersabda, "Bani Muththalib dan Bani Hasyim adalah satu."298

Diceritakan dalam kitab al-Sayidah Najisah karangan Abu Alam bahwa jika Imam Syafi'i sakit, dia akan mengutus sahabatnya kepada Sayidah Nafisah . Saat tiba, sang utusan akan menyampaikan salam dan berkata, "Sungguh sepupumu (j,1), Syafi'i sedang sakit, dan meminta doa kepadamu ." Kemudian, Sayidah Nafisah mendoakannya .299

Jadi,  bagaimanakah  hubungan  antara  Bani  Alawi  dan  Bani  Ahdal? Apakah keduanya bersepupu dan memiliki kakek yang sama? Dalam kitab
Tuhfahal-Zaman dituliskan bahwa Bani Alawi dan Bani Ahdal adalah saudara sepupu.30° Keduanya memiliki kakek yang sama, yaitu Imam Ja'far al-Shadiq
ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Bani Alawi memiliki kakek Ahmad ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, sedangkan Bani Ahdal memiliki kakek Muhammad ibn Himham ibn Aun ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far al-Shadiq.301

Tingkat    Imam Ja'far al-Shadiq
    Ali al-'Uraidhi    Musa al-Kazhim
1    Muhammad al-Naqib    Aun
2    Isa al-Rumi    Himham
3    Ahmad al-Muhajir    Muhammad

Persoalan ini sudah dijelaskan oleh al-Imam al-Syarji al-Zabidi dalam kitab Thabaq<it al-Khaww<ish Ahli al-Shidqi wal Ikhlash. Ia mengatakan :

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam pengertian dan penggunaan istilah umum, kata "sepupu" digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama. Kemudian, seiring perjalanan sejarah, kata "sepupu" tidak hanya digunakan untuk menyebut kerabat tingkat pertama, tetapi meliputi kerabat yang lebihjauh lagi. Sebagai contoh, pada masa Rasulullah Saw. kita mengenal penggunaan kata "sepupu" untuk menyebut hubungan antara Rasulullah Saw. dan Imam Ali ibn Abi Thalib, atau antara Rasulullah Saw. dan Abdullah ibn Abbas, dan lainnya. Kemudian pada abad pertama, kedua, dan ketiga, kata "sepupu" dipergunakan lebih luas lagi untuk menyebut kerabat tingkat ketiga. Misalnya, kata "sepupu" digunakan oleh Khalifah Hamn al-Rasyid dan Imam Syafi'i. Keduanya menyebut diri mereka sebagai sepupu Rasulullah Saw.
Istilah "saudara sepupu" dapat digunakan jika kedua orang yang dimaksud memiliki kakek yang sama. Misalnya, Bani Alawi dan Bani Ahdal adalah saudara sepupu karena keduanya memiliki kakek yang sama, yaitu Imam Ja'far al-Shadiq . Lucunya, karena gagal memahami makna "Ibn al­ 'Am" dan tidak mau mencari penjelasan ulama, Imaduddin mengacak­ ngacak 'amud al-nasab Ba'alawi yang disebutkan para ulama dan melakukan cocoklogi dengan 'amud al-nasab al-Ahdal. Tujuannya, ia ingin agar orang­ orang beranggapan bahwa kakek Ba'alawi dan kakek al-Ahdal adalah saudara sepupu langsung yang hijrah bersama. Kebencian Imaduddin kepada Ba'alawi membuatnya kehilangan akal sehat sehingga tak mampu berpikir dan menganalisis dengan baik.

3.    Ahmad ibn Isa Tidak Hijrah ke Hadramaut
Imaduddin menyatakan bahwa tidak ada satu pun kitab nasab dan sejarah yang ditulis pada masa yang sama atau yang paling dekat dengan masa hidup Ahmad ibn Isa yang menyatakan atau mendukung bahwa Ahmad ibn Isa pernah ke Hadramaut, apalagi hijrah untuk  menetap  di sana. Menurutnya, kitab yang dijadikan rujukan seperti al-Jawhar al-Syafiif karya Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H) adalah kitab yang problematik, karena ditulis oleh orang yang sama sekali tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Menurutnya, kitab al-Jawhar  al-Syafiif itu ditulis oleh Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani (w. 724 H). Kemudian, Imaduddin melontarkan tuduhan bahwa Ali ibn Abu Bakar al-Sakran adalah orang yang pertama secara formal mengarang bahwa Ahmad ibn Isa hijrah dari Bashrah ke Hadramaut .
Sejarah asal-usul habaib bermula dari hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Bashrah ke Hadramaut. Silsilahnya sebagai berikut: Ahmad al-Muhajir ibn Isa al-Rumi putra Muhammad al-Naqib putra Al al-'Uraidhi putra Ja'far al-Shadiq putra Muhammad al-Baqir putra Ali Zainal Abidin putra Husain putra Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah putri Rasulullah Saw. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 Hijriah .303
Imam Ahmad  ibn Isa al-Muhajir hijrah pada  317 Hijriah pada masa khalifah Abbasiyah al-Muqtadir Billah bersama beberapa keluarganya :
1.    Istrinya, Zainab binti Abdullah ibn Hasan ibn Ali al-'Uraidhi;
2.    Anaknya, Abdullah yang dikenal dengan nama Ubaidillah beserta istri- nya, Ummul Banin binti Muhammad ibn Isa;
3.    Cucunya, Ismail ibn Abdullah yang digelari Basri,
4.    Kakek Bani Ahdal al-Kazhimi;
5.    Cucunya, Syarif Ahmad, kakek bani Qudaim al-Kazhimi, dan;
6.    Tujuh puluh orang pengikut serta pembantunya, termasuk Ja'far ibn Abdullah al-Azadi, Mukhtar ibn Abdullah ibn Sa'ad dan Suwayyah ibn Faraj al-Asfahani. 304

Imam al-Muhajir hijrah dari Irak ke Hadramaut dengan tujuan untuk menyelamatkan agama dan anak-anaknya  dari fitnah. Sama halnya, anak keturunan Imam al-Muhajir hijrah dan menyebar ke  berbagai  penjuru alam dengan tujuan untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah, bukan karena alasan ekonomi atau yang lainnya. Imam al-Muhajir hijrah ke Hadramaut berdasarkan isyarat dari sabda Rasulullah Saw.: "Sungguh aku melihat, hijrahku ini ke negeri yang memiliki banyak pohon kurma, yaitu Yatsrib atau Hadramaut." Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah hijrah ke Yatsrib sedangkan Imam al-Muhajir hijrah ke Hadramaut.
Dalam kitab al-Burqah al-Musyiqah, Habib Ali ibn Abubakar al-Sakran menjelaskan alasan kepindahan al-Muhajir dari Irak ke Hadramaut, sebagai berikut:

"Karena kepindahannya (al-Muhajir) anak cucunya selamat dari ke­ rusakan akidah, fitnah, dan bid'ah, serta penentangan terhadap sunnah dan pengikutnya . Karena kepindahan tersebut mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan syiah yang sangat buruk yang saat itu melanda sebagian asynif (keturunan Nabi Saw.)."305

Al-Imam Abdullah ibn Alwi al-Haddad menuturkan :

"Ketika bid'ah dan kerusakan moral karena mengikuti hawa nafsu merajalela di Irak, muncul pertentangan pendapat di Irak. Menghadapi situasi tersebut, Sayid Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir memutuskan untuk hijrah dari negeri itu dan mengembara hingga akhirnya tiba di Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah memberkati keturunannya sehingga banyak dari kalangan mereka yang menjadi ahli ilmu, ahli ibadah, serta ahli wilayah dan makrifat. Golongan Ahlul Bait diselamatkan dari bid'ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan merupakan berkah dari Imam yang tepercaya.  Ia telah  menghindar dan membawa agama dari jebakan fitnah."

Dalam perjalanan hijrah dari Bashrah,  Imam  al-Muhajir  menggunakan tiga ekor kuda dan sepuluh ekor unta untuk membawa barang-barang berharga, termasuk emas dan perak.306 Di antara anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir yang tidak ikut hijrah ke Hadramaut adalah Muhammad. Mereka tetap tinggal di Bashrah untuk menjaga dan memelihara harta serta kebun Imam al-Muhajir. Di antara keturunan Muhammad ibn Ahmad al-Muhajir ini kemudian ada yang menetap di Mesir dan Syam.
Setibanya di Hadramaut yang dikenal sebagai negeri Khawarij, Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir singgah di Jubail yang penduduknya mengikuti paham  Syiah, lalu menetap beberapa lama di Hajrain yang penduduknya berpaham Sunni. Selama tinggal di Hajrain, Imam al-Muhajir mengerahkan waktu dan hartanya untuk berkeliling dan berdakwah dengan penyampaian yang lembut dan santun sehingga banyak pengikut Khawarij yang bertobat dan  menjadi  pengikutnya . Selain  dengan  metode  dakwah  yang  lembut, Imam  al-Muhajir  tak  takut  untuk  berperang  melawan  kaum  Khawarij, seperti yang dilakukan di Bahran, daerah antara Hajrain dan Desa Sadyah.307 Dalam perjalanan dakwahnya, Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir mem­
beli rumah, membuka desa dan lahan pertanian setiap kali singgah di suatu daerah hingga tiba di Husaisah . Di kota itulah ia kemudian menetap dan membeli sebidang tanah. Di Kawasan itu pulalah kelak cucunya, yaitu Imam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir menggali dan membuat sumur untuk warga. Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada tahun 345 H dan dimakamkan di Husaisah .308
Tidak  diperlukan  rujukan  berupa  kitab-kitab  yang  ditulis  pada masa Imam Ahmad al-Muhajir hidup untuk membuktikan bahwa ia dan keluarganya telah hijrah dari Bashrah ke Hadramaut . Sama halnya, tidak diperlukan kitab-kitab sezaman untuk membuktikan hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah, atau hijrahnya kakek Walisongo, yaitu Jamaluddin Husain al-Akbar dari Campa ke Indonesia. Kesahihan informasi tentang hijrahnya Imam Ahmad ibn Isa al-Muhajir ke Hadramaut telah banyak  dituliskan  dalam kitab-kitab  sejarah, di antaranya  kitab al­
Jawhar al-Syafaf fi Fadha'il wa Manaqib wa Karamat al-Sadah al-Asyraf
min Ali Abi 'Alawi karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami (w. 855 H).
Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dikenal luas sebagai ahli sejarah di Hadramaut . Silsilah nasabnya adalah Abu Muhammad Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (shiih_ib al-wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Ia dilahirkan pada 795 Hijriah dan wafat pada 855 Hijriah . Ia merupakan murid Syaikh Abdurrahman Assegaf ibn Muhammad Maula Dawilah. Selain al­ Jawhar al-Syafaf , ia juga menulis kitab-kitab lain, termasuk 'Iqd al-Barahin
al-Musyaraqah fi Manaqib al-'Allamah al-Sayyid 'Abdullah 'Alaydrus al­'Alawi. 309

Ada beberapa perbedaan antara Abdurrahman ibn Muhammad yang disebutkan di atas dengan Abdurrahman ibn Muhammad yang dibicarakan oleh Imad. Perbedaan pertama dari sisi silsilah nasab. Urutan nasab orang pertama adalah: Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Syaikh Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari. Sementara, silsilah nasab orang kedua urutannya adalah: Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ahmad al-Syaibani Bahissan al-Hadrami.
Perbedaan kedua adalah bahwa keduanya tidak hidup sezaman. Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib lahir pada 795 Hijriah, sedangkan Abdurrahman ibn Muhammad al-Syaibani wafat pada 724 Hijriah . Artinya, ketika Abdurrahman  ibn  Muhammad  al-Syaibani  wafat,  Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib belum lahir. Ada jarak waktu 71 tahun antara wafatnya Abdurrahman al-Syaibani dan lahirnya Abdurrahman al-Khatib.
Karenanya, siapa saja yang ingin melakukan analisis dan penelitian dalam bidang apa pun, termasuk dalam kajian nasab, semestinya ia memiliki kemampuan untuk melakukan kritik atas  sumber dan  rujukan yang dipergunakan sehingga ia mendapatkan data yang valid . Misalnya, kesalahan sumber yang dilakukan Ismail Basya al-Babani dalam kitab Hadiyyat al-'Arifin ketika mengutip nama Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman sebagai pengarang kitab al-Jawhar al-Syafaf berdasarkan kitab Qiladah al-Nahr karangan Bamakhramah . Dalam kitab Qiladah al-Nahr , Bamakhramah mengutip dari kitab al-Jawhar al-Syafaf yang pengarangnya bernama Abdurrahman ibn Muhammad  ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Muhammad ibn Ali (Shahib al-Wail) ibn Muhammad al-Khatib al-Anshari, bukan Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ahmad al-Syaibani Bahissan al-Hadrami. Kesalahan pengutipan ini terjadi berulang-ulang seperti yang dilakukan oleh Umar Ridha Kahalah dalam kitabnya, Mu)am al-Mu'aUifin.

Maka, keliru  jika  ada  yang  menyimpulkan  bahwa  kedua  kitab, yaitu Hadiyy<it al-'Arifin dan Mu)am al-Mu'allifin, sama-sama sepakat mengatakan bahwa penulis kitab al-Jawhar al-Syaf<if adalah Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman yang wafat pada 724 Hijriah, bukan Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman yang wafat pada 855 Hijriah . Kesimpulan itu muncul karena Imaduddin tidak melakukan kritik sumber terhadap kitab-kitab yang ada. Ini juga menunjukkan,   betapa minim dan terbatas sumber rujukan yang dimiliki oleh Imaduddin serta betapa sempitnya pengetahuan  Imaduddin  dalam metodologi penelitian .
Jika fakta-fakta ini disampaikan kepada Imaduddin, kemungkinan besar ia akan berkomentar, "Yang salah bukan saya, tetapi kitab-kitab tersebut yang salah mengutip, saya hanya menyampaikan ." Komentar serupa disampaikan Imaduddin dalam kasus penyebaran berita hoaks tentang Mufti Yaman yang membatalkan nasab Bani Alawi. Pemecah belah umat ini membela diri dengan mengatakan, "Yang salah itu situs-situs yang memuat berita tersebut, saya hanya menyampaikan  saja."
Kitab al-Jawhar al-Syaf<if fi Fadh<i'il wa Man<iqib wa Karamat al-S<idah al-Asyr<if min Ali Abi 'Alawi karangan Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib al-Tarimi al-Hadrami ini merupakan salah satu sumber penting yang melaporkan keberadaan Bani Alawi di Hadramaut, baik dari sisi nasab maupun sejarah, termasuk informasi hijrahnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir dari Irak ke Hadramaut. Imaduddin berusaha keras merendahkan dan meragukan validitas sumber  tersebut  dengan  mengatakan  bahwa  kitab itu sebagai kitab yang bermasalah, karena ditulis oleh orang yang sama sekali tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut . Padahal faktanya menunjukkan sebaliknya, Syaikh Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib (w. 855 H) adalah penulis sejarah yang dikenal di Hadramaut dan kitabnya dijadikan rujukan oleh Bamakhramah (w. 947 H) dalam kitab Qil<idah al­ Nahr yang ditahkik beberapa kali oleh pakar dari kalangan non-Ba'alawi. Kesalahan justru  dilakukan oleh si pemecah belah umat yang mengambil rujukan dari kitab yang isinya salah atau keliru, seperti kitab Hadiyy<it al­ 'Arifin dan Mu)am al-Mu'allifin. Imaduddin tidak melakukan kritik dan verifikasi terlebih dahulu terhadap kitab tersebut sehingga melahirkan kesimpulan yang sesat.
Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran bukan orang pertama yang menulis tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya, al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syaf<if telah menulis kepindahan Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut.

"Sesungguhnya kakek mereka, Ahmad ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn al­ Husain ibn Ali ibn Abi Thalib karramall<ihu wajhah wa radhiyall<ihu 'anhum ajma'in keluar dari Bashrah bersama 5 orang di luar pembantunya, pindah membawa keluarga, anak-anak dan hartanya sampai akhirnya tiba di Hadramaut ."310

Al-Khathib rampung menuliskan kitab itu pada 820 Hijriah .  Jika dibandingkan dengan tahun kelahiran Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran (818 H), saat itu usianya masih dua tahun . Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran yang masih berusia dua tahun saat al-Khatib wafat disebut sebagai orang pertama yang menuliskan hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut?

Selain kitab al-Jawhar al-Syafiif , sumber lainnya yang  dijadikan referensi seputar Bani Alawi adalah kitab Thabaqiit al-Khawwiish karangan al-Syarji al-Zubaidi (w. 893 H). Penulis yang bukan berasal dari golongan Bani Alawi ini menuliskan bahwa kakek bani Alawi hijrah dari Irak ke Hadramaut.

"Disebutkan, sesungguhnya kakek mereka, Bani Qudaim,  sampai  dari Irak bersama kakek Syaikh Ali al-Ahdal dan Syaikh keluarga Ba'alawi yang tinggal di Hadramaut ."311

Ketika berbicara tentang Abu Hasan Ali ibn Umar ibn Muhammad al­ Ahdal, kakek keluarga al-Ahdal, al-Syarji menyatakan :

"Kakeknya Muhammad, yang disebutkan berasal dari Irak, telah datang bersama dua anak pamannya di atas jalan tasawuf menuju arah lembah Sahm. Dan kedua anak pamannya, yaitu kakek Bani Qudaimi, juga pergi menuju lembah Surdud. Dan yang ketiga, yaitu kakek keluarga Ba'alawi, pergi menuju Hadramaut ."

Sumber kitab lain yang menuliskan peristiwa hijrahnya Ahmad  ibn Isa al-Muhajir dari Bashrah ke Hadramaut adalah Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra (w. 889 H). Dalam kitab yang berjudul Fathulliih al-Rahim al-Rahman fi Manaqib  al-Syaik h al-'Arif  Billah al-Quthb al-Ghawts al­
'Aydrus 'Abdullah ibn Abubakar ibn 'Abdurrahman, disebutkan:

"Mereka keluar dari Irak menuju Hadramaut disebabkan oleh terjadinya fitnah, terutama dalam perkara agama. Karena itu, kakek mereka, Ahmad ibn Isa hijrah (ke Hadramaut) sebagaimana hijrah kepada Allah dan Rasul­ Nya, bersama anaknya, Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa."312

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Sayid Ali ibn Abubakar al-Sakran bukanlah orang pertama yang menulis tentang hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut . Sebelumnya sudah ada orang yang menuliskan peristiwa hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut, seperti Abdurrahman ibn Muhammad al-Khatib dalam kitab al-Jawhar al-Syafaf . Selain al-Khatib, ada ulama lain yang menuliskan hijrahnya  Ahmad ibn Isa dari  Bashrah ke Hadramaut, di antaranya al-Syarji al-Zabidi dalam kitab Thabaqat al­ Khawwash dan Umar ibn Abdurrahman Shahib al-Hamra dalam kitab FathuUah al-Rahim al-Rahman. Kitab-kitab inilah yang dijadikan sumber lain dalam penulisan sejarah hijrahnya Ahmad ibn Isa dari Bashrah ke Hadramaut .
Selain berdasarkan rujukan kitab-kitab itu, peristiwa hijrah dan menetapnya Ahmad ibn Isa al-Muhajir di Hadramaut telah diterima dan diakui secara mutawatir oleh ulama dan masyarakat Hadramaut  sampai saat ini. Tidak ada kalangan yang mengingkarinya . Jika hijrahnya Imam Ahmad  ibn  Isa  itu  tidak  pernah  terjadi  maka  ulama  non-Ba'alawi  di Hadramaut pasti akan menjadi kelompok pertama yang menentangnya . Faktanya, bahkan para ulama yang akidahnya berseberangan dengan Ba'alawi sekalipun, seperti golongan Wahabi Hadramaut tidak ada seorang pun yang mengingkarinya . Tidak hanya itu, hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut juga diakui secara serentak oleh keturunan Ahmad ibn Isa dari selain jalur Ubaidillah, sebagai keturunan Ahmad ibn Isa dari anaknya yang bernama Ali ibn Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak. Mereka mengakui bahwa kakeknya hijrah ke Hadramaut sehingga mereka menyebutnya "al­ Muhajir" dan bahwa kakeknya itu punya keturunan di Hadramaut yang disebut S<idah Ba'alawi .313 Jika hijrahnya Ahmad ibn Isa ke Hadramaut adalah rekaan atau fiksi maka keturunan Ahmad ibn Isa yang menetap di Irak pasti menjadi kelompok yang paling keras menentang  fiksi  tersebut.  Mereka akan protes jika sejarah kakek mereka diselewengkan . Kenyataannya, tidak ada perdebatan di antara mereka bahwa kakek mereka memang hijrah ke Hadramaut dan memiliki keturunan yang disebut S<idah Ba'alawi .

Sumber Primer dan Kebenaran Sejarah
Imaduddin mengatakan bahwa suatu peristiwa pada masa lalu bisa dikatakan benar-benar peristiwa historis jika dikonfirmasi oleh sumber sezaman atau paling tidak, sumber sejarah dari masa yang paling dekat dengan masa peristiwa itu. Sumber rujukan yang ditulis atau diterbitkan dari masa sezaman termasuk di antara sumber primer dalam penulisan sejarah.
Sejarah sebagai peristiwa mengandung arti bahwa sejarah merupakan realitas atau kenyataan yang terjadi pada masa lampau. Suatu peristiwa pada masa lalu dianggap benar jika didukung oleh bukti-bukti atau data-data yang menguatkan, seperti saksi mata, peninggalan, dan dokumen. Bukti atau data penguat atas suatu peristiwa sejarah itu dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer, sekunder, dan sumber tersier.

Menurut Permendikbud tahun 2016, sumber primer adalah kesaksian seseorang yang menyaksikan peristiwa secara langsung menggunakan perangkat indranya, alat mekanis, dokumen, naskah perjanjian, arsip, dan surat kabar. Sumber sejarah primer menjadi hal penting untuk mendukung validitas suatu peristiwa sejarah. Meski demikian, tidak berarti bahwa satu sumber primer dapat dipastikan sebagai kebenaran sejarah. Sebuah sumber  primer perlu diteliti, ditelisik latar belakangnya, atau dibandingkan dengan sumber primer lainnya.
Dari sisi bentuknya, sumber primer sejarah dapat dibagi  menjadi  tiga jenis, yaitu sumber dokumenter, artefak, dan lisan. Bentuk dokumenter seperti laporan, surat kabar, catatan pribadi. Bentuk artefak seperti prasasti, candi, makam, benteng, kitab, atau dokumen, arsip, dan foto.314 Salah satu  contoh bentuk artefak makam adalah makam Islam tertua Fatimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur. Sumber primer dalam bentuk makam merupakan salah satu bukti yang mendukung eksistensi dan kesahihan nasab keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir di Hadramaut dari zaman ke zaman . Situs makam anak keturunan Ahmad ibn Isa al-Muhajir masih terjaga dan terpelihara dengan baik sampai saat ini di Hadramaut, seperti makam Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa di daerah Bor, makam Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa di Sumul, makam Muhammad ibn Ali ibn Alwi Khali' Qasam di Mirbath Oman, makam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad ibn Ali di Zanbal Tarim, dan lainnya.
Lalu yang menjadi permasalahan, apakah kitab-kitab nasab yang beredar sekarang seperti Sirru Silsilah al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi, Muntaqilah al-Thalibiyah, yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin untuk menyatakan bahwa Ubaidillah bukan anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir adalah kitab primer? Apakah nama-nama yang ada di kitab itu dicatat oleh penyusunnya berdasarkan pertemuan langsung dengan orangnya?

Jika kita mencermati kitab-kitab yang ada saat ini, dapat diketahui bahwa kitab-kitab nasab yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin bukanlah kitab primer, mengapa? Karena para penyusunnya tidak pernah bertemu langsung kepada orang yang namanya ada dalam kitab nasab tersebut .
Contohnya, kitab nasab al-Syajarah al-Mubarakah yang disusun pada abad keenam Hijriah, apakah data yang ditulis oleh al-Razi tentang anak-anak Imam Ahmad al-Muhajir diperoleh dari pertemuan al-Razi dengan al-Muhajir atau dari orang yang bertemu langsung dengan al-Muhajir yang hidup pada abad keempat Hijriah?
Bagaimana al-Razi yang hidup pada abad keenam Hijriah dapat membatalkan nasab orang yang hidup pada abad keempat Hijriah?
Jadi, bisa disimpulkan, kitab yang ditulis pada masa sezaman dengan objek yang diteliti belum tentu dapat dikatakan sebagai sumber primer, jika sumber tersebut tidak bersentuhan langsung dengan objek yang diteliti. Contohnya adalah kitab Sirru Silsilah al-'Alawiyah, Tahdzib al-Ansab, al-Majdi , Muntaqilah al-Thalibiyah. Walaupun masa hidup pengarang kitab itu sezaman dengan Ahmad ibn Isa, Ubaidillah, atau Alwi ibn Ubaidillah, pengarang kitab itu tidak pernah bertemu langsung dengan Ahmad ibn Isa, Ubaidillah atau Alwi ibn Ubaidillah . Maka, kitab-kitab itu tidak dapat disebut sebagai sumber primer.
Sumber primer yang dimaksud dalam penelitian menurut regulasi yang telah disebutkan di atas adalah jika sumber itu bersentuhan atau bertemu langsung dengan objek yang diteliti. Sebagai contoh, saya akan meneliti kitab al-Fikrah an-Nahdhiyah karangan Imaduddin . Dalam kitab itu  Imaduddin menyatakan bahwa Bani Hasyim adalah Sadah Ba'alawi yang dinisbahkan kepada Sayid Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa dan itu menjadi alasan ia mengubah pendapatnya sampai tiga kali tentang status nasab Ba'alawi. Dalam contoh penelitian saya ini, yang menjadi sumber primer adalah Imad, karena saya hidup sezaman dengannya. Saya bisa berinteraksi dan mendapatkan penjelasan secara langsung (baik tatap muka atau secara daring) tentang keputusannya yang berubah-ubah seputar kesahihan nasab habaib.

Memanipulasi  Data untuk Menguatkan Argumen
Imaduddin tidak segan-segan memanipulasi data untuk mendukung argumennya bahwa Ahmad ibn Isa tidak hijrah dari Bashrah ke Hadramaut. Untuk menguatkan argumennya, Imaduddin menggunakan sumber data yang tidak masuk akal. Ia mengambil data dari kitab al-Ghaybah karangan al-Thusi.

"Ahmad ibn Isa al-Alawi, dari anak Ali ibn Ja'far, berkata, 'Aku menemui Abu al­ Hasan a.s. [Ali al-Hadi], di Suriya. Kami mengucapkan salam kepadanya . [Di sana] Kami bertemu dengan Abu Ja'far dan Abu Muhammad . Keduanya telah berada di dalam. Kami berdiri dan mengucapkan salam kepada Abu Ja'far. Abu al-Hasan
a.s.    berkata, 'Bukan dia yang menjadi sh<ihib-mu (pemimpinmu) . Perhatikanlah pemimpinmu,' sambil mengisyaratkan kepada Abu Muhammad a.s."315

Nama lengkap Abu al-Hasan adalah Ali al-Hadi ibn Muhammad al­ Jawwad ibn Ali al-Ridha ibn Musa al-Kazhim. Ia wafat pada 254 H. Sementara, Ahmad ibn Isa al-Muhajir dilahirkan pada 260 H di Kota Bashrah, Irak.316 Ada kejanggalan jika dilihat dari data lahir dan wafat kedua tokoh tersebut, yaitu bahwa Ahmad ibn Isa al-Muhajir lahir enam tahun setelah Abu al-Hasan Ali al­ Hadi wafat. Artinya, Ahmad ibn Isa yang dimaksud dalam redaksi di atas tidak pernah bertemu, atau tidak sezaman dengan Abu al-Hasan Ali al-Hadi. Begitu pula dengan al-Hasan yang wafat pada 260 H. Ia tidak pernah bertemu dengan293  Lihat Yaqut al-Hamawi, M u)am al-Buldan, Juz 1, hal. 144.

Ahmad  ibn Isa al-Muhajir,  karena tahun wafat al-Hasan  sama dengan tahun kelahiran Ahmad ibn Isa al-Muhajir.
Dengan demikian, kita bisa melihat kegagalan Imaduddin dalam memahami masalah ini. Ahmad ibn Isa al-Alawi yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah Ahmad ibn Isa ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, sesuai dengan redaksi dalam kitab itu bahwa Ahmad ibn Isa ibn Ali ibn Ja'far. Al-Nassabah al-'Umari (wafat abad kelima) dalam kitab al-Majdi menyatakan  bahwa  Ali  al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq memiliki 11 anak, di antaranya bernama Isa. Lebih lanjut al­ 'Umari mengatakan :

"Adapun tentang Isa ibn (Ali) al-'Uraidhi, hanya ayahku yang meriwayatkannya . Dikatakan bahwa ia punya anak Hasan dan Ahmad.''317

Jadi jelas, sesuai yang tertulis dalam al-Ghaybah, yang dimaksud dengan Ahmad ibn Isa min walad Ali ibn Ja'far adalah Ahmad ibn Isa ibn Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq, bukan Ahmad al-Muhajir ibn Isa al-Rumi ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali 'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq yang merupakan kakek S<idah Ba'alawi.

Makam al-Muhajir & Makam Jamaluddin Kubra Versi Gusdur
Berdasarkan keyakinan bahwa Ahmad ibn Isa al-Naqib tidak hijrah ke Hadramaut, Imaduddin lebih lanjut menegaskan bahwa makam Ahmad ibn Isa yang berada di Husaisah adalah makam palsu. Untuk mendukung pendapatnya, ia mengutip perkataan Syaikh Ahmad ibn Hasan al-Mu'allim : "Dalam sejarah Yaman hingga paruh kedua abad kelima tidak ada makam yang diagungkan yang di atasnya terdapat masy had dan masjid kecuali masjid syahidain di Shana'a," dan perkataan al-Janadi, "Dan makam dua anak masyhur di Shan'a."

Suatu peristiwa, seorang tokoh, atau satu tempat bersejarah yang dikenal di suatu masyarakat banyak yang dituliskan dalam bentuk cerita, baik tertulis maupun yang diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi. Begitu pula, keberadaan satu makam atau situs bersejarah  selalu  mengungkapkan  asal­ usul keberadaan makam itu dan asal-usul tempat tersebut yang dikaitkan dengan keberadaan seorang ulama, cendekiawan, atau tokoh  besar  lainnya yang kebesaran dan keagungannya diakui oleh  masyarakat  setempat. Salah satu daerah yang dikenal dengan banyaknya makam yang menjadi situs sejarah adalah Hadramaut .
Di Hadramaut ada tempat yang dimuliakan umat Islam yang bernama Qabr Hud (makam Nabi Hud). Makam itu ramai dikunjungi peziarah, khususnya pada setiap pertengahan bulan Sya'ban. Tempat mulia lainnya adalah makam leluhur kaum sayid di Hadramaut, yaitu Ahmad ibn Isa yang bergelar al-Muhajir.Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat pada 345 Hijriah danjenazahnya disemayamkan di atas bukit di Desa Husaisah . Makam ini merupakan salah satu tempat sakral yang menjadi sasaran utama para peziarah .
Imaduddin dan para pendukungnya mengatakan bahwa makam Ahmad ibn Isa di Husaisah adalah makam palsu, karena beberapa alasan. Pertama, dalam kitab Qiladah al-Nahr  disebutkan  dua  pendapat  mengenai  makam  Ahmad ibn Isa: pendapat pertama mengatakan bahwa ia wafat dan dimakamkan di Husaisah, dan pendapat kedua mengatakan bahwa ia wafat di Qarah Jasyib.
Kedua, makam al-Muhajir hanya diketahui berdasarkan naskah yang menyatakan bahwa ia memang dimakamkan di Husaisah . Makam itu sebenarnya barn dibangun pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah dan ditetapkan sebagai makam Ahmad ibn Isa berdasarakan ijtihad.
Dalam kitab al-Jawhar al-Syafiif , al-Khathib menuliskan :

"Sayidina Ahmad ibn Isa (pendapat pertama) wafat di Husaisah . Dan terlihat pada lokasi yang ditunjukkan bahwa kubur al-Syarif [Ahmad ibn Isa] terdapat cahaya yang agung. Dan guru kami, al-Arif Billah Abdurrahman ibn Syaikh Muhammad ibn Ali Alawi, berziarah ke tempat itu. Pendapat lain menyatakan bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb."318

Dari tulisan di atas dapat diperoleh beberapa informasi bahwa pendapat pertama Ahmad ibn Isa al-Muhajir wafat di Husaisah dan pendapat kedua ia wafat di Qarah Jusyayb. Antara Husaisah dan Qarah Jusyayb berjarak kira-kira 3 kilometer, bukan 850 kilometer seperti yang disebutkan oleh Imad. Qarah Jusyayb berdekatan dengan Kota Bor. Dalam kutipan di atas, hanya dikatakan bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, bukan dimakamkan di sana. Jadi, meskipun seandainya pendapat kedua benar, yakni bahwa ia wafat di Qarah Jusyayb, Ahmad ibn Isa tetap dimakamkan di Husaisah . Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini.
Makam Ahmad ibn Isa al-Muhajir bukanlah makam barn yang dibangun pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Qillidah al-Nahr, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Ali Alawi adalah seorang 'lirif billlih. Ia melihat cahaya terpancar dari wilayah makam Ahmad ibn Isa al­ Muhajir. Pancaran cahaya itu sebagai isyarat bahwa al-Muhajir adalah seorang yang agung dan mulia di sisi Allah Swt. Cahaya  yang  terpancar  bukanlah syarat penemuan lokasi kuburan  tetapi isyarat kemuliaan yang terdapat  pada penghuni makam itu. Jadi, bukan karena melihat cahaya itu kemudian di sana dibangun makam, melainkan cahaya itu memancar dari kawasan makam yang sudah dikenal masyarakat sejak lama. Itu dua hal yang sangat berbeda tetapi tidak dapat dipahami oleh Imaduddin dan para pengikutnya .
Pernyataan Imaduddin bahwa makam al-Muhajir adalah makam palsu hanya didasarkan atas tulisan Ahmad ibn Hasan al-Muallim dan al-Janadi. Kesimpulan Imaduddin itu serampangan dan hanya mencocok-cocokkan . Sebab, kedua penulis itu (al-Muallim dan al-Janadi) tidak mencatat seluruh kuburan di negeri Yaman . Keduanya hanya bertutur tentang kuburan yang berada di Kota Shana'a, bagian utara Yaman, sedangkan Husaisah berada di Hadramaut, bagian selatan Yaman. Jarak antara keduanya kira-kira 600 Km. Dapat dibayangkan, betapa sulit kondisi yang hams ditempuh pada masa itu jika seseorang mencatat dan menceritakan semua kuburan yang berada di seluruh Yaman .
Imaduddin menyatakan bahwa makam Ahmad ibn Isa al-Muhajir itu barn diketahui 602 tahun setelah wafatnya dan, karenanya, makam itu palsu. Jika pengambilan kesimpulannya seperti itu, lalu bagaimana dengan makam Siti Aminah ibunda Nabi Saw. yang terletak di atas bukit di Desa Abwa yang tidak diketahui lokasinya, dan barn diketahui 1.400 tahun kemudian setelah wafatnya, itu pun hanya perkiraan . Pertanyaannya, apakah makam itu sudah dikenal sejak Siti Aminah wafat? Sumber sezaman apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Siti Aminah ibunda Nabi Saw. dimakamkan di Abwa? Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah makam Siti Aminah itu palsu dan bahwa Siti Aminah ibunda Nabi Saw. adalah tokoh fiktif?
Bagaimana pula dengan makam Jamaluddin Husain al-Akbar atau Syaikh Jumadil Kubro? Makam yang kemudian diyakini sebagai makam keramat itu ditetapkan berdasarkan pernyataan K.H.  Abdurrahman  Wahid  (Gus  Dur), yang meyakini bahwa makam Sayid Jamaluddin Akbar berada di Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan. Sumber lain menyatakan bahwa satu-satunya makam  yang diyakini umum sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro adalah makam yang terletak Tralaya di Kabupaten Mojokerto.319 Makam  Syaikh  Jumadil  Kubro barn diketahui 600 tahun setelah wafatnya . Pertanyaannya, apakah makam itu sudah dikenal sejak Syaikh Jumadil Kubro wafat? Sumber sezaman apa yang bisa memberi kesaksian  bahwa benar  Syaikh Jumadil  Kubro dimakamkan  di Wajo atau di Mojokerto? Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak didukung oleh bukti primer sezaman, apakah makam itu palsu dan Syaikh Jumadil Kubro adalah tokoh fiktif? Seperti itulah kerusakan pola pikir Imaduddin dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi . Jika metode pengambilan Kesimpulan yang digunakan Imaduddin itu diterapkan pada fakta-fakta sejarah lain, akan rusaklah berbagai fakta historis yang selama ini dikenal oleh masyarakat .
 
KEENAM Melakukan Kebohongan Publik

Dalam penelitian ilmiah, kejujuran adalah segala-galanya . Seorang ilmuwan atau peneliti yang terbukti tidak jujur, pasti akan kehilangan integritasnya .  Jika  penelitian   dilakukan  secara  tidak  jujur   maka
hasilnya akan menyesatkan orang lain dan juga bisa menyesatkan kesimpulan si peneliti itu sendiri. Terkait dengan kejujuran ilmiah ini, Imaduddin dan para pengikutnya banyak melakukan kebohongan publik. Akibatnya, Imaduddin terperosok dalam penyimpangan hasil penelitiannya . Lebih jauh, ia juga menyesatkan banyak orang, terutama kalangan awam. Berikut ini beberapa kebohongan publik yang dilakukan oleh Imaduddin dan para pengikutnya .

A.    Catatan Nasab Ba'alawi Terputus 550 Tahun
Dalam berbagai kesempatan Imaduddin selalu mendengungkan bahwa catatan nasab Ba'alawi terputus 550 tahun . Untuk menjawab tuduhan Imaduddin ini sebenarnya tidak dibutuhkan penjelasan panjang lebar. Dengan membaca Bab I, Pasal 3, yang banyak bertutur tentang nasab Ba'alawi dari sebelum tahun 900 H, pembaca bisa mengambil kesimpulan bahwa tuduhan Imaduddin benar-benar merupakan kebohongan publik yang terus-menerus didengungkan oleh Imaduddin dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.

B.    Mufti Yaman Membatalkan Nasab Ba'alawi
Imaduddin melontarkan tuduhan lain, yaitu bahwa Mufti Yaman, Syamsyuddin ibn Syarafuddin dari kalangan Zaidiyyah membatalkan nasab Ba'alawi. Tetapi kemudian terbukti bahwa tuduhan ini juga merupakan pembohongan publik. Fakta ini menunjukkan bahwa Imaduddin tidak melakukan proses validasi informasi yang memadai sebelum menyebarkan tuduhan dan fitnahnya.
Kabar dusta itu didapatkan oleh Imaduddin dari satu situs yang tidak otoritatif . Pada 1443 H/2021 M situs itu menyuguhkan berita bahwa Mufti Yaman, Syamsuddin Syarafuddin, membatalkan 21 marga, dan delapan di antaranya adalah wangsa Ba'alawi . Silakan lihat link https://voicnews .com/ new/374149.
Kenyataannya, sejak tahun 2020 kemuftian Yaman telah merilis berita di situs resmi yang menyatakan bahwa kemuftian Yaman dan Mufti Yaman (Syamsuddin Syarafuddin) tidak memiliki akun media sosial apa pun. Seluruh informasi resmi kemuftian Yaman disampaikan dalam situs resmi https :// yemenscholars .com/.
Keputusan resmi bahwa kemuftian Yaman dan Mufti Yaman tidak memiliki akun media sosial dapat diakses di berita berikut: https://yemenscholars . com/articles/1380 dan https://yemenscholars .com/articles/1203 . Berikut kami tampilkan qarar (keputusan resminya) :

Akun-akun yang mengatasnamakan Syamsuddin Syarafuddin dan akun yang berisi informasi tentang batalnya 21 wangsa Asyraf (termasuk Ba'alawi) dipastikan kepalsuannya oleh Abdussalam Syarafuddin (anak Mufti Yaman). Pada 16 Mei 2024 Gus Rumail Abbas menghubunginya langsung dan kemudian Abdussalam mengunggah video pernyataan ayahnya, Mufti Syamsuddin Syarafuddin. Dalam video tersebut al-Mufti memastikan bahwa pembatalan nasab kabilah-kabilah Asyraf yang dinisbahkan kepadanya adalah dusta dan fitnah. Simak videonya dalam link berikut :

https://wwW.facebook.com/permalink.php?story       _fbid=pfbidOXTCHtX5m­ vDzRFDdaQxSygNGgaBJ3PQV8aEKWK3jLHSx9GqMVcVo5SYJ98M6WJCHx­ l&id=61556672620640 .

Pernyataan itu dikuatkan  lagi melalui  khutbah Jumat yang ia sampaikan di al-Jami' al-Kabir Shana'a pada 29 Dzulhijjah 1445 H. Mufti Syamsuddin ibn Syarafuddin menyatakan bahwa informasi yang menyatakan dirinya meragukan keluarga Hasyimiyyah Hadramiyyah Muhdhariyyah (Ba'alawi) adalah fitnah dan dusta. Ia juga menegaskan betapa besar dosa al-tha'nufi al-ansab (menyerang nasab orang lain).
Sebaliknya, mufti dan para imam Yaman dari kalangan Zaidiyyah,  sejak ratusan tahun silam telah mengakui dan mengisbat bahwa Ubaidillah adalah putra Ahmad ibn Isa. Mufti jauh sebelum Syamsuddin, yaitu al-Imam al­ Mutawakkil 'Alallah Yahya ibn Syarafuddin ibn al-Mahdi al-Hasani (877-965 H) menyatakan dalam tsabat (kumpulan sanadnya):

Dalam tsabat-nya tersebut al-Mutawakkil 'Alallah lebih dari sepuluh kali menyebutkan bahwa gurunya, yaitu al-Sayid Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Jadid adalah cucu Jadid ibn Ubaidillah ibn Ahmad ibn Isa. Bahkan, dalam kutipan di atas ia dengan jelas menyambungkan nasab Ubaidillah kepada al­ Muhajir Ahmad ibn Isa, dst.
Setelah segala fakta yang terang benderang ini, Imaduddin dkk.  tetap ngotot menyebarkan kebohongan publik bahwa Mufti Yaman Syamsuddin ibn Syarafudin membatalkan nasab Ba'alawi hanya berdasarkan berita dari sebuah akun palsu di Facebook. Pembaca bisa membayangkan, Imaduddin gagal total bahkan hanya untuk memeriksa validasi satu informasi di media sosial. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa memeriksa validasi informasi tentang Ubaidillah ibn Ahmad yang berjarak 1.000 tahun silam?

C.    Ba'alawi Tidak Diakui oleh Naqabah Asyraf Internasional
Imaduddin dan para pengikutnya  selalu  mengampanyekan  bahwa naqabah (komunitas resmi yang menaungi para S<idah/ Asyr<if) internasional membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Itu adalah kebohongan publik yang nyata. Sebab, kenyataannya, tidak ada satu pun naqabah asyr<if resmi di dunia ini yang membatalkan nasab S<idah Ba'alawi .
Imaduddin dan kelompoknya menyatakan bahwa naqabah internasional membatalkan nasab Ba'alawi. Namun, mereka tidak pernah menyebutkan sekali pun naqabah Asyr<if mana yang membatalkannya . Mereka sekadar melemparkan isu secara tidak bertanggung jawab . Rasulullah Saw. bersabda, "Bukti wajib didatangkan oleh penuduh ." (HR al-Baihaqi) .
Satu-satunya pihak yang disebutkan oleh kelompok Imaduddin adalah naqabah blogspot yang dikelola oleh seorang pelarian politik asal Irak bernama Yasin al-Kalidar. Naqabah-naqabah asyr<if internasional yang resmi, baik di Maroko, Aljazair, Libya, Tunisia, Mesir, Yaman, Hijaz, Yordania, Irak, Iran, Turki, Pakistan, dan negara-negara lainnya, tidak ada satu pun yang membatalkan nasab Sadah Ba'alawi. Jangankan membatalkan, bahkan tidak ada satu pun naqabah yang meragukan nasab Ba'alawi.
Naqabah  Al-Uraidhiyyun  yang  merupakan  lembaga  pencatat  nasab  ke­ turunan Imam Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq bahkan mencatat Sadah Ba'alawi sebagai bagian dari keturunan Imam Ali al-'Uraidhi ibn Ja'far al-Shadiq. Salah satu bukti pendukung mengenai hal ini kami lampirkan pada akhir Pasal 1Bab II. Seorang pelajar Indonesia di Mesir, Muhammad Yasin Rahmatullah, seperti ditulis  di  laman  Facebook  resminya,321  berinisiatif  melakukan  tabayyun  ke
kantor Naqabah Asyraf Mesir. Dia menulis:

"Hari ini (Kamis) kami berkunjung kembali ke Naqabah dalam rangka istifadah yang lebih mendetail tentang Sadah Ba'alawi, seperti sebelumnya kami dipertemukan dengan Muqarrir Lajnah Tahqiq Ans<ib, Syarif Ahmad Yahya.

Kemudian kami memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, apakah pada masa-masa dulu pernah terjadi khilaf tentang status Sadah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait?
Ia langsung menjawab: "Tidak pernah ."
Setelah itu kami akhiri pembicaraan . Kami mohon pamit seraya meminta doa kepadanya untuk kami. (Syaikh Syarif Ahmad Yahya adalah seorang syarif .)
Kami juga mendapatkan kabar dari seorang teman yang belajar di Iran, yaitu Firmansyah Djibran El'Razy bahwa naqabah Iran juga berpandangan seperti itu (mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait). Lebih jauh, naqabah di Iran itu juga mengungkapkan bahwa semua naqabah di Timur
Tengah sepakat dan mengakui S<idah Ba'alawi sebagai Ahlul Bait.
                                                           I .
Gambar Muhammad Yasin Rahmatullah saat berkunjung ke Naqabah Asyraf Mesir.
 
Gambar Kantor Naqabah Asyraf Mesir

Ketika Muhammad Yasin Rahmatullah berkunjung ke naqabah Asyraf Mesir diperlihatkan kepadanya kitab rujukan Naqabah Asyraf Mesir, Mausu'ah Ali Bayt al-Nabawi, yang di dalamnya tercatat nasab S<idah Ba'alawi. Berikut tampilan halamannya :

Selain itu, tokoh Asyraf  Hijaz yaitu Sayid Anas al-Kutbi juga  mengakui
S<idah Ba'alawi. Bahkan ia menulis sebuah artikel khusus tentang Sadah Ba'alawi yang dijuduli "S<idah Ba'alawi Laksana Mutiara yang Bertebaran di Lautan Keluarga Rasulullah Saw.''. Dalam artikel itu itu ia menceritakan keutamaan dan kemasyhuran Sadah Ba'alawi, serta menyebutkan marga-marga Ba'alawi .322 Keterangan tentang keabsahan nasab Ba'alawi juga banyak dimuat dalam www. al-Amir .com yang merupakan situs resmi komunitas Asyraf Hijaz yang konsen dalam bidang nasab. Tidak hanya itu, sejarah juga mencatat bahwa para tokoh S<idah Ba'alawi banyak yang diangkat menjadi naqib (kepala suku) para Asyraf di Hijaz (Makkah, Madinah, dan sekitarnya). Padahal di Hijaz ada banyak sadah dari beberapa jalur keturunan al-Imam Hasan dan Husain, bahkan banyak di antara mereka yang dikenal sebagai ahli nasab. Jika keabsahan Nasab Ba'alawi diragukan, mereka tidak mungkin diangkat menjadi naqib hingga berkali-kali di Hijaz, kawasan yang dihuni oleh banyak s<idah dari jalur yang beragam. Berikut ini beberapa nama naqib Asyraf Hijaz dari wangsa Ba'alawi :

Di Makkah:
1.    Sayid Muhammad ibn Muhsin Al-Attas, tahun 1243 H
2.    Sayid Ishaq ibn Aqil
3.    Sayid Abdullah ibn Aqil, tahun 1267 H
4.    Sayid Alwi ibn Ahmad al-Segaf, Mufti Makkah. Diangkat menjadi naqib pada 1314 H. Ia juga dikenal sebagai penulis kitab Tarsyih al-Mustafidin, kitab fikih yang dipakai oleh para ulama Nahdhiyyin di Indonesia.

Di Madinah :
1.    Sayid Muhammad Jamalullail, tahun 1283 H 2.    Sayid Muhammad Ba Faqih, 1286 H
3.    Sayid Ali Alhabsyi, tahun 1315 H
4.    Sayid Alwi Bafaqih, 1315 H
5.    Sayid Abdullah Jamalullail 323

Naqabah Asyraf Irak, dan Naqabah Lebanon juga mengakui S<idah Ba'alawi, sebagaimana tertulis pada laman Facebook resminya yang menyebutkan nama­ nama marga S<idah Ba'alawi .324
Pada tahun 2005-an, ada pertemuan sejumlah Naqabah Asyraf dan berbagai lembaga resmi pencatat nasab internasional di Libya. Dalam kesempatan itu al­ Rabithah al-Alawiyyah turut hadir diwakili Alm. Habib Zein ibn Umar ibn Smith (Ketua Umum al-Rabithah al-Alawiyyah), Alm . Habib Kazhim al-Hiyed, dan Habib Abdurrahman Bashurrah (Ketua Maktab Daimi). Beberapa saat setelah pertemuan tersebut ada beberapa sampel nasab yang divalidasi keabsahannya bersama-sama dan ditandatangani oleh para pimpinan lembaga dan naqabah dari berbagai negara. Di antaranya adalah nasab salah seorang S<idah Ba'alawi. Berikut ini pindaian sertifikat yang asli:
 
Yusuf Jamalullail, dll.

Tidak hanya itu, pengakuan terhadap S<idah Ba'alawi bukan hanya datang dari naqabah. Pengakuan resmi juga datang dari negara tempat S<idah Ba'alawi menetap. Imam Yaman, Syaikh Yahya Hamiduddin dalam surat maklumatnya secara resmi mengakui nasab S<idah Ba'alawi. Berikut ini salinan dokumennya:

Pengakuan resmi lainnya disampaikan oleh pemerintah al-Kuwaitiyyah dan al-Katsiriyyah Hadramaut Yaman Selatan pada 1351 H. Keduanya memberikan penjelasan resmi tentang keabsahan nasab S<idah Ba'alawi di Hadramaut. Bahkan, keduanya mengakui peran penting S<idah Ba'alawi dalam lintasan sejarah. Pengakuan dan penjelasan resmi itu sebagai jawaban atas berkembangnya desas-desus dari komunitas al-Irsyad-yang berhaluan Salafi­ Wahabi-di Pulau Jawa yang mempermasalahkan  S<idah Ba'alawi . Namun, pertentangan dan kesalahpahaman  antara S<idah Ba'alawi dan al-Irsyad di Jawa itu tidak berlangsung lama. Kedua kelompok itu kembali bergandengan tangan dalam bingkai ukhuwwah sampai saat ini. Alhamdulilllih . Berikut kami tampilkan salinan dokumen resmi tersebut yang diambil dari Pusat Arsip Nasional Hadramaut di Kota Sewun, beserta transkrip dan terjemahnya :

(Menampakkan Kebenaran)

[Dokumen ini diterbitkan] M engingat apa yang terjadi beberapa tahun terak hir di diaspora (di Jawa), yaitu berkembangnya provokasi yang memalukan terhadap para Sadah Hadhrami Alawiyyin yang telah tinggal di Hadramaut selama lebih dari seribu tahun dan memiliki reputasi tertinggi dalam penyebaran ilmu pengetahuan serta berbagai kemuliaan di negara tercinta ini. Dan mereka ini masih dan akan terus mengorbankan jiwa serta harta berharga mereka untuk menyebarkan berbagai hal yang membawa manfaat dan kebaikan bagi negara. M ereka juga senantiasa menyebarkan nasihat dan ketulusan sebagaimana telah kita lihat kepada pemerintahan Qu'aithiah dan Kathiriah . Semua itu mendorong kita untuk mencintai dan mendukung mereka dengan segala kehormatan harga diri mereka dan keagungan garis keturunan mereka. Dan betapa besar jasa khusus dan umum yang mereka persembahkan kepada tanah air kita tercinta.
M engingat apa yang  telah kita sak sikan selama beberapa tahun, dengan beberapa  orang  yang   mencemarkan  nama  baik  mereka,  menyerang  garis keturunan mereka yang sahih, dan menuduh mereka dengan tuduhan yang batil dan fitnah palsu. Sebagai bentuk pembelaan terhadap kebenaran, dukungan terhadap kenyataan, dan rasa terima kasih, kami melihat  bahwa kami harus mengumumkan secara resmi bahwa mereka adalah Sadah Alawiyah yang dikenal oleh para pendahulu kami dan kami mengenal mereka setelah pendahulu kami. Kami dan mereka berjalan bahu-membahu serta berdampingan bertahun­ tahun dan pada tempo yang panjang dalam damai, rukun, ikhlas, dan saling mencintai. M ereka adalah panji putih perdamaian di negara kita dan pembawa pesan keamanan dan perbaikan di dalamnya. M ereka adalah satu-satunya yang menyandang gelar "sayid" yang sesung guhnya karena sahnya nasab mereka kepada Rasulullah . M aka, tidak boleh bagi siapa pun menyandang gelar "Sayid" di antara orang Hadramaut selama belum sah nasabnya kepada Rasulullah Saw. Nasab yang didukung oleh pohon- pohon silsilah yang ditulis dengan pena para ahli nasab yang dapat dipercaya .
Sebagai penutup, kami mengarahkan surat kami ini kepada semua orang yang mempunyai perkataan yang efektif atau pengaruh yang efektif , dengan harapan dapat membantu memadamkanfitnah yang berkobar dan kegaduhan tak berguna yang merugikan masyarakat, serta berupaya memulihkan ketenangan dan kedamaian. Ditulis pada tanggal 25 M uharram 1351 H.

(Pusat Arsip Nasional Sewun)

Karenanya, tidak mengherankan jika salah seorang Mufti Hadramaut dari kalangan masy<iyik h (bukan S<idah), yaitu Syaikh Ali ibn Salim Sa'id Bukair Baghaitsan, dalam salah satu wawancaranya dengan televisi mengatakan bahwa nasab S<idah Ba'alawi adalah salah satu nasab yang paling kuat. Lebih jauh ia mengatakan, "Siapa saja yang ingin meragukan atau berusaha mendustakan nasab S<idah Ba'alawi, niscaya ia akan merasa kelelahan dan kesulitan sendiri."325

Jika Anda membaca uraian kami pada Bab 1 dengan cermat dan saksama, Anda pasti akan menemukan bahwa pengakuan dan penerimaan terhadap nasab Ba'alawi telah muncul sejak berabad-abad silam dari para ulama yang menetap di berbagai belahan dunia, mulai dari Yaman, Hijaz, Mesir, Syam, Irak, Iran, Maroko sampai di Nusantara .
Dari berbagai data yang kami sajikan di atas, pembaca dapat menyimpulkan bahwa isu nasab Ba'alawi tidak diakui oleh naqabah internasional adalah hoaks atau kebohongan yang nyata. Faktanya, nasab Ba'alawi diakui dunia Islam internasional dari masa ke masa. Semua itu membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh kelompok Imaduddin adalah fitnah belaka. Mereka sama sekali tidak memiliki data kecuali cerita-cerita rekaan atau hoaks  yang disebarkan semata-mata untuk mengelabui  masyarakat  awam.

D.    Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba'alawi
Dusta lain yang dilakukan dan disebarkan Imaduddin adalah bahwa al­ Turbani membatalkan nasab Ba'alawi . Imaduddin berulang-ulang menyebarkan pendapat lama Syaikh al-Turbani, padahal pendapat itu telah direvisi atau dikoreksi. Salah seorang rekan kami telah berkomunikasi dengan Syaikh al­ Turbani melalui laman Facebook resminya . Syaikh al-Turbani menyatakan bahwa ia meralat dan membatalkan pendapatnya yang lama. Ia meralat pendapatnya itu karena telah menemukan banyak dalil tentang kesahihan nasab S<idah Ba'alawi. Pada era digital seperti saat ini, kita bisa dengan sangat mudah melakukan konfirmasi atau validasi pandangan atau pendapat seseorang yang aktif di media sosial. Sayangnya, Imaduddin tidak melakukan langkah konfirmasi ini. Alih-alih, ia justru terns menebarkan kebohongan publik. Berikut ini kami tampilkan tangkapan layar percakapan rekan kami dengan Syaikh al-Turbani:
 
episode kedua: https:/ /youtu.be/w83YNPa3U04 ?si=b6uywAKs4GeWuelD.

E.    Menyebut Tulisannya tentang Pembatalan Nasab Ba'alawi sebagai Tesis
Dalam berbagai kesempatan Imaduddin kerap mengeklaim bahwa tulisannya tentang pembatalan nasab Bani Alawi merupakan tesis, benarkah klaim  tersebut?
Secara bahasa (etimologi), dalam KBBI disebutkan, arti tesis adalah: (1) n pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karangan; untuk mendapatkan  gelar kesarjanaan  pada perguruan  tinggi. (2) karangan ilmiah yang ditulis untuk mendapatkan  gelar kesarjanaan pada suatu universitas  (perguruan tinggi); disertasi.
Adapun pengertian secara istilah (terminologi), tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan dalam karya tulis ilmiah, untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi. Tesis juga dapat berarti sebuah tugas akhir seorang mahasiswa berupa karya tulis ilmiah resmi.326
Merujuk pada pengertian di atas, tulisan Imaduddin tentang pembatalan nasab Ba'alawi tidak bisa disebut tesis baik secara etimologi ataupun terminologi. Sebab, karya tulis itu tidak disusun dan diujikan secara akademik di perguruan tinggi. Ia tidak lebih dari sebuah makalah yang bisa ditulis oleh siapa saja dan dimuat di mana saja tanpa membutuhkan pertanggungjawaban serta standar ilmiah yang jelas . Maka, gembar-gembor Imaduddin dan kawan­ kawannya yang selalu menyebut makalah Imaduddin sebagai tesis hanyalah pembohongan publik.
 
KETUJUH Menjiplak Pemikiran Orientalis dan Tokoh Non-Aswaja

A.  Menggunakan Teori Orientalis untuk Membatalkan Nasab Ba'alawi
Berdasarkan petunjuk hadis-hadis Rasulullah Saw. dan pendapat para ulama, ditetapkanlah suatu metode yang universal, telah teruji, dan masuk akal untuk menetapkan nasab seseorang atau suatu kaum yaitu dengan syuhrah dan istifcidhah atau tasamu. Inilah metode penetapan nasab yang dilakukan oleh ulama ahli nasab berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. dan para ulama mazhab. Metode penetapan nasab yang dilakukan oleh ahli nasab ini tidak bertentangan dengan metode para ahli fikih. Sebab, penetapan ahli nasab dan ahli fikih berasal dari sumber yang sama yaitu sunnah Rasulullah Saw.
Lalu, bagaimana dengan metode konfirmasi melalui kitab sezaman untuk mengonfirmasi nasab-nasab lama? Tidak ada satu pun teori, kitab ilmu nasab atau pendapat ahli nasab yang mengakui adanya metode konfirmasi melalui kitab sezaman. Jika metode "konfirmasi kitab sezaman" ini telah digunakan secara universal oleh para ahli nasab maka tentu kita bisa dengan mudah menemukan teorinya serta sumber rujukan yang mendukungnya, atau ulama ahli fikih dan ahli nasab yang menggunakannya . Kita juga bisa menemukan dengan  mudah  kapan  metode  itu  mulai  digunakan  dan  untuk  menganalisis nasab siapa, dan apakah metode itu dilandasi oleh dalil-dalil Al-Qur'an, Sunnah, atau pendapat ulama mazhab.
Selanjutnya, jika Imaduddin bersikukuh menggunakan metode konfirmasi melalui kitab sezaman, ia juga hams melakukan pembuktian terbalik. Ia hams memberikan kitab-kitab sezaman yang menolak Ubaidillah sebagai anak Ahmad ibn Isa al-Muhajir. Dapat dipastikan, ia tidak akan bisa  menunjukkan kitab­ kitab itu. Sama halnya, iajuga tidak akan mampu menunjukkan kekokohan teori konfirmasi melalui kitab sezaman.
Penggunaan metode kehamsan kitab sezaman untuk menetapkan  nasab tidak dikenal dalam sejarah Islam. Sebaliknya, menggunakan kitab sezaman untuk menetapkan kesahihan suatu nasab dapat dikatakan  sebagai usaha keji untuk memntuhkan sendi-sendi Islam. Cara itu akan memutus sanad keilmuan antara ulama Bani Alawi dan para ulama Nusantara . Cara seperti inilah yang dilakukan oleh seorang orientalis dari wangsa Yahudi,  Ignaz Goldziher yang meragukan keaslian atau kebenaran (otentisitas) hadis-hadis  dalam  Shah_ih Buk h<iri . Dia adalah orang yang pertama kali menggunakan metode kitab sezaman untuk memntuhkan sendi-sendi Islam dari sisi hadis. Menumtnya, hadis-hadis itu mempakan hasil rekaan (fabrikasi) generasi-generasi setelah Nabi. Ia menguatkan kesimpulannya dengan alasan bahwa kodifikasi hadis dilakukan jauh setelah Nabi wafat. Tidak ada satu pun dokumen tertulis dari masa Nabi Muhammad Saw. hidup yang bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad Saw. Selain itu, menumtnya, hadis lebih mengandalkan  tradisi lisan sehingga otentisitasnya  diragukan.327
Lebih jauh, dengan metodenya itu Goldziher menilai bahwa kekacauan dan inkonsisten teks Al-Qur'an (perbedaan pola bacaan Al-Qur'an) tidak ditemukan dalam kitab-kitab terdahulu yang ia teliti. Melalui analisisnya ini ia bemsaha menanamkan keraguan di hati banyak  orang  mengenai  kemutawatiran dan orisinalitas Al-Qur'an. Langkah seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Imaduddin si pemecah belah umat zaman ini. Ia  bersikukuh  membatalkan nasab Bani Alawi dan bahwa nasab itu tidak tersambung kepada Rasulullah Saw. hanya karena tidak ada pada kitab-kitab sezaman yang dibacanya. Maka, ada dua pilihan bagi umat Islam, apakah akan berpegang teguh kepada metode penetapan nasab berdasarkan syariat Islam ataukah mengikuti metode bid'ah yang digunakan oleh orientalis Yahudi dan kemudian diadopsi oleh Imaduddin dari Kresek Banten?
Teori  yang  digunakan  oleh  Imaduddin  ini  disebut  juga  Argumentum Ex Silentio, yaitu menolak sesuatu jika tidak ada landasan dokumen berupa catatan sezaman pada masa lalu. Pendekatan yang digunakan Goldziher  ini mirip dengan pendekatan yang digunakan oleh Joseph Schacht ketika menolak validitas hadis riwayat Imam Bukhari karena hadis itu tidak ditemukan dalam kitab hadis yang lebih tua seperti M ushannaf Abdur Razzaq . Karenanya, sangat aneh jika Imaduddin justru menerima logika orientalis untuk membenarkan dan mendukung hipotesisnya serta menolak teori yang dipergunakan oleh para ulama.
Mengandalkan argumentum ex silentio sebagai dasar penolakan adalah langkah yang sangat bermasalah, terutama dalam konteks ilmu nasab dan sejarah Islam. Tidak adanya dokumen bukan berarti tidak adanya fakta. Banyak informasi sejarah yang mungkin tidak terdokumentasi tetapi tetap sahih dan diterima melalui tradisi lisan yang kuat. Menerima dan mengadopsi pendekatan argumentum ex silentio hanya menunjukkan kelemahan seseorang dalam memahami dan menghargai metodologi syar'i yang telah diakui oleh  para ulama selama berabad-abad .

B.    Menyontek  Sebagian Tokoh Wahabi
Imaduddin dan para pengikutnya terus-menerus berkampanye bahwa pembatalan nasab Ba'alawi adalah temuannya . Padahal kenyataannya, catatan dan penjelasan Imaduddin itu hanyalah plagiasi atau sontekan dari beberapa tokoh Wahabi Timur Tengah, yang belasan tahun silam menulis makalah untuk membatalkan nasab sadah Ba'alawi. Imaduddin hanya melakukan sedikit perubahan dan pengembangan pada tulisan-tulisan yang disusun oleh kaum Wahabi. Berikut ini beberapa catatan mereka.

1.    Murad Syukri
Murad Syukri, seorang Wahabi asal Yordania yang juga pernah nyantri kepada Syaikh al-Albani,  dalam situs al-Syibami menulis sebuah artikel yang dimuat pada 12 Juli 2008 tentang terputusnya nasab Sadah Ba'alawi kepada Rasulullah Saw. Setelah panjang lebar menguraikan hal tersebut di akhir tulisannya ia mengatakan, bukan hanya Ba'alawi yang mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah Saw. Banyak kaum sufi yang gemar mengaku-ngaku sebagai ke­ turunan Rasulullah Saw., termasuk Sayid Ahmad al-Rifa'i, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Syaikh al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdadi (Sayyidu al-Thaifah). Artikel Murad Syukri ini sudah dikuliti dan dipatahkan oleh  al-Muhaddits Hasan ibn Ali al-Segaf (penulis Tanaqudhat al-Albani) dalam kitabnya al-Radd al-Mufahhim al-Mubayyin 'ala' Murad Syukri Dzanb al-Mutamassilin dan al­ 'Allamah al-Sayid Abu Laits al-Kattani dalam kitabnya al-Samm al-Zur'af .

2.    Audah al-Aqili
Seorang beraliran Salafi Wahabi asal Mesir bernama Audah al-Aqili menulis sebuah esai berjudul al-Shufiyyah al-Khabitsah (Kaum Sufi yang Keji) dan dimuat pada 13 Desember 2009. Dalam tulisannya itu ia membatalkan nasab beberapa kabilah Sadah, termasuk sadah Ba'alawi .328 Ia membatalkan nasab sadah Ba'alawi dengan argumen yang didasarkan atas kitab al-Syajarah al­ Mubarakah. Pola argumentasinya itu sangat mirip dengan pola argumentasi Imaduddin . Berikut ini kami tampilkan sebagian tulisannya :

Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa apa yang digembar-gemborkan sebagai temuan ilmiah Imaduddin itu konsep dasarnya berkiblat kepada teori orientalis dan substansinya menjiplak tulisan kaum Wahabi. Karenanya, sangat lucu jika kemudian para pengikut dan pengagum Imaduddin menyebutnya sebagai "al-Mujaddid" hanya karena karangan yang tidak bermutu itu.

3.    Ulama Wahabi dalam Mata Rantai Pemikiran Imad329
Para pembaca yang selama ini mengikuti polemik mengenai nasab ini tentu tidak akan asing dengan gagasan dan pemikiran Imaduddin dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi . Tampaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa Imaduddin dalam berbagai argumennya kerap mengutip pernyataan dua ulama Wahabi, yaitu Syaikh Murad Syukri, tokoh Wahabi Yordania dan Syaikh Muqbil a-Wadi'i, pemuka Wahabi Yaman . Namun, saya mendapati fakta menarik yang muncul dari sebuah pertanyaan : "Apakah Imaduddin tidak tahu bahwa kedua ulama itu adalah tokoh Wahabi?"
Saya yakin, Imaduddin tidak selugu dan sepolos itu. Ia dikenal sebagai orang yang berilmu dan bisa membaca kitab-kitab berbahasa  Arab.  Maka, tidak mungkin rasanya jika ia tidak mengenali kedua ulama itu. Buktinya, ketika menyebut biografi singkat Syaikh Murad Syukri dalam catatan kaki tesis
versi kitabnya Mawiihib al-Laduniyyah fi Bay<ini Inqith<i'i Nasabi Ba'alawi ibn
UbaydiU<ih (hal. 21), Imaduddin menulis:

"Murad Syukri Suwaidan Abu al-Harits al-Falistini al-Urduni ...". Setelah saya telusuri, catatan biografi disalin oleh Imaduddin dari situs "Wahabi" berikut : http://www.al-eman.com/_,Ajjllj.3!_,..%20µ;i2S7&p2  .

Coba perhatikan, mengapa Imaduddin hanya menyalin sampai di situ?
Jawabannya, karena baris berikutnya di situs ini menampilkan satu fakta yang terang benderang yang menunjukkan "kewahabian" Murad Syukri. Pada baris berikutnya  tertulis :

"Murad Syukri mengambil ilmu dari Albani, Nasib Rifai (tokoh Wahabi Suriah) dll."

Tentu saja Imaduddin tidak ingin membuat  para  pengikutnya  yang sebagian besar merupakan Nahdhiyyin merasa kecewa jika mereka mengetahui bahwa selama ini yang dia jadikan rujukan untuk membatalkan nasab Ba'alawi adalah ulama-ulama yang sanad keilmuannya tersambung kepada tokoh besar Wahabi, yaitu Syaikh Albani. Dalam tulisan yang lain Imaduddin masih berusaha menyembunyikan identitas Wahabi ulama yang menjadi rujukannya, yaitu Murad Syukri. Imaduddin menulis:

"Ia (Murad Syukri) adalah ulama mazhab Hanbali di Kementerian Wakaf Negara Yordania . Ia banyak menulis kitab dalam ilmu fikih. Di antara kitabnya adalah Raf'ul Haraj wa al-Asor An al-M uslimin fi Had zihi al-A'sor. Ia juga menulis sebuah kitab yang membatalkan nasab Ba'alawi dengan judul AHth_af fi Ibtal Nasabi al-Hasyimiy Li Bani Alwi wa al-Saqqaf ."330

Lebih jauh,  Imaduddin juga mengakui bahwa Murad Syukri adalah salah satu "inspirasi" yang berpengaruh  dalam tesisnya. Ia mengatakan :

"Tentu Syaikh Murad Syukri dan lainnya sebagai ulama terdahulu, mempunyai peran terhadap tesis penulis, tetapi yang penulis suguhkan hari ini jauh lebih komprehensif dan mendetail dari ulama-ulama sebelumnya yang membatalkan nasab Ba'alawi." (https://rminubanten .or.id/imam­ mahdi-ba-alawi-dan-klasifikasi-ulama-pendukungnya/)

Pada bagian berikutnya kami akan menyampaikan siapa yang dimaksud dengan ulama  lainnya  dalam  perkataan  Imaduddin  tersebut. Murad  Syukri  sendiri bukanlah ulama Wahabi kaleng-kaleng. Ia dikenal sebagai tokoh Wahabi yang terkenal kerap mengucapkan kata-kata kasar, bahkan pernah mengatakan bahwa para pengikut akidah Imam Asy'ari adalah zindik yang lebih hina dari sampah dan sudah seharusnya kepala mereka ditebas dengan pedang. Bukankah Imaduddin dan para pengikutnya masih berakidah Asy'ari?
Berikut ini tautan videonya :
https://youtu.be/    dUJevUTKLbU?si=T-JblGSSeZaRYlKK.

Perhatikanlah  bagaimana  dalam  video  tersebut  Murad  Syukri menyebut Imam Fakhr al-Razi, penulis kitab Syajarah Mubarakah sebagai seorang zindik. Tokoh Wahabi kedua yang disebutkan oleh Imaduddin sebagai bagian dari "ulama-ulama  sebelumnya yang membatalkan  nasab Ba'alawi" adalah Syaikh
Muqbil al-Wadi'i. Imaduddin menyatakan :

"Para ulama di Timur Tengah pun ternyata banyak yang berpendapat sama, di antaranya para ulama asal Yaman . Seorang ahli hadis, Syaikh Muqbil ibn Hadi al-Wada'i dalam kitabnya Sho'qotuz Zilzal dikatakan bahwa siapa yang bisa mengatakan kepada saya bahwa nasab leluhur al-Alawi, al-Ahdal, dan al-Qadimi? Mereka adalah tiga orang yang datang dari Irak ke Yaman . Lalu, mengaku keturunan Nabi Muhammad atau Alawiyyin . Pendapat beliau bisa dibaca dalam kitabnya Sho'qotuz Zilzal halaman 45."331

Dalam sebuah video live YouTube bersama Gus Fuad Plered, Gus Mogi, dan KRT Faqih, Imaduddin masih berupaya mengaburkan identitas Wahabi Syaikh Muqbil dengan mengatakan :

"Satu lagi seorang ulama hadis, Syaikh Muqbil ibn Hadi al-Wada'i, orang semua kenal banyak itu kitab-kitab hadisnya, ia sudah mengatakan Ba'alawi, al-Ahdal,  al-Qudaimi  bukan  keturunan  Baginda  Nabi  Saw." (mendengar perkataan Imad, Gus Plered, Gus Mogi, dan KRT Faqih hanya senyum­ senyum dan manggut-manggut). 332

Sebagaimana Syaikh Murad Syukri, Syaikh Muqbil juga bukanlah ulama Wahabi biasa. Ia adalah pemuka ulama Wahabi. Kedudukannya sebagai ulama penting Wahabi sangat tersohor di seantero Timur Tengah. Disebutkan bahwa ia punya "tesis" yang mengajak orang-orang untuk merubuhkan kubah hijau Masjid Nabawi .
Sayid Yusuf al-Rifai, dalam kitab Nashihah li Ikhw<inirni 'Ulam<i' Najd (Kritik kepada Ulama Wahabi-Nejd) yang diberi pengantar oleh Syaikh al-Buthi, menjelaskan siapa sebenarnya Syaikh Muqbil ini:

25. Kalian (ulama Wahabi) mengizinkan Muqbil ibn Hadi al-Wadi'i yang dikenal dengan caci makinya terhadap para ulama dan orang saleh umat ini (dalam berbagai tulisan dan kasetnya) untuk mengajukan 'tesis' di Universitas Madinah dengan judul "[Studi] tentang Kubah yang Dibangun di Atas Kubur Rasul" di bawah bimbingan Syaikh Hammad al-Anshari. Di dalam tesis itu secara terang-terangan ia menuntut untuk mengeluarkan makam Baginda Nabi Saw. dari Masjid Nabawi. Ia menganggap keberadaan makam dan kubah Nabi sebagai bid'ah yang besar. Ia juga menuntut untuk menghancurkan kubah hijau. Tetapi kemudian kalian memberi peringkat "lulus" untuk tesis itu!

"Apakah kalian memberi penghargaan kepada orang yang lancang dan kurang ajar kepada Baginda Nabi Saw.? Dan laki-laki ini (Muqbil al-Wadi'i) telah mengarahkan ratusan pengikut fanatiknya dengan membawa senjata untuk menghancurkan dan membongkar makam-makam orang-orang saleh di Yaman (termasuk makam Habib Abu Bakar Alaydrus al-Adni) beberapa tahun silam. Mereka membuat kekacauan dan membongkar makam para wali dengan cangkul dan alat-alat lainnya, bahkan sebagian mereka menggunakan dinamit untuk melancarkan aksi mereka!"

Entah bagaimana perasaan para pengikut dan pendukung Imaduddin jika mereka mengetahui bahwa ulama yang menjadi rujukan idolanya itu ternyata dedengkot Wahabi, yang nyata-nyata memusuhi kaum Aswaja.
Jadi, diakui atau tidak, Imaduddin telah "berjasa" mengangkat derajat dan mempromosikan ulama Wahabi Timur Tengah bahkan dengan sengaja "membungkus" mereka secantik mungkin agar para pengikutnya percaya bahwa ulama yang ia jadikan rujukan adalah ulama Aswaja yang kredibel dan kompeten di bidangnya . Sepanjang pengetahuan penulis, hanya Imaduddin satu-satunya kiai NU yang meng-aswaja-kan ulama Wahabi.
 
Meski demikian, saya bisa memaklumi mengapa Imaduddin bersikap seperti itu. Sebagaimana pernah saya katakan, sejak dulu Imaduddin dan para pengikutnya menghadapi satu masalah besar yaitu "krisis ulama pendukung". Karena itulah siapa pun ulamanya, yang penting anti Ba'alawi, pasti akan didukung dan dijadikan rujukan . Bahkan, seandainya ulama itu berasal dari negeri antah berantah yang tidak dikenal asal-usulnya, Imaduddin akan menjadikannya rujukan selama ia menulis sesuatu yang menafikan atau menyerang Ba'alawi . Sikap Imaduddin ini mengingatkan saya kepada sebuah pepatah : "Oboreru mono wa wara o mo tsukamu" , sebuah pepatah Jepang yang berarti "Jerami pun akan digapai saat orang panik dan tenggelam ."
Akhirnya, saya hanya bisa menyampaikan duka cita mendalam bagi para pendukung dan pengikut Imaduddin yang selama ini sangat mencintai NU dan istikamah memerangi  penyebaran Salafi Wahabi. Mereka selama ini kencang bersuara ketika mendengar rumor bahwa tokoh-tokoh Nusantara di-Ba'alawi­ kan. Namun, tanpa mereka sadari, berkat upaya dan kegigihan Imaduddin panutan mereka, tokoh-tokoh Wahabi terkemuka berhasil di-aswaja-kan .Maka, jangan heran jika kecenderungan dan ajaran Imaduddin ini tidak dihentikan, 50 tahun yang akan datang anak-cucu mereka akan disuguhi sejarah ulama barn hingga menjadikan para ulama Wahabi sebagai panutan dan rujukan
 
KEDELAPAN Tidak Memiliki Kompetensi dalam llmu Nasab

Tradisi keilmuan Islam sangat menghargai kepakaran dalam suatubidang. Karenanya, pendapat seseorang yang bukan pakar dalam suatu bidang tidak dianggap sebagai pandangan yang muktabar (otoritatif), termasuk
dalam kajian nasab. Hal ini bahkan dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan Hassan ibn Tsabit r.a. untuk bertanya kepada Abu Bakr al-Shiddiq r.a. terkait nasab Quraisy. Beliau mengakui keahlian Abu Bakr r.a. sebagai pakar yang paling menguasai nasab Quraisy. Berikut ini redaksi hadis tersebut:

Karena itu, tidak semua pendapat dalam suatu bidang ilmu bisa langsung diterima begitu saja. Suatu pandangan berbeda dari seseorang yang bukan pakar tentang sesuatu masalah maka pandangan itu dianggap tidak ada. Sebab, jika semua pandangan diterima begitu saja dalam suatu bidang kajian maka tentu bangunan keilmuan akan hancur. Seorang penyair bertutur:

Contohnya dalam bidang ilmu fikih. ljtihad seseorang yang tidak punya kapasitas dan tidak memenuhi kriteria mujtahid yang meliputi beberapa tingkatan maka hasil ijtihadnya itu tidak dianggap otoritatif . Begitu pula dalam kajian ilmu nasab. Ijtihad seseorang, terlebih lagi ijtihad yang membatalkan sesuatu yang telah lama diterima, tidak akan diterima kecuali jika dilakukan oleh
orang yang telah diakui kepakaran dan integritasnya dalam bidang nasab. Dalam kitab Dun1s fi 'Ilm al-Nasab, Syaikh Khalil Ibrahim al-Dailami menjelaskan :

Pertanyaannya,  apakah  Imaduddin  diterima  dan  diakui  sebagai  seorang pakar dalam kajian nasab (al-nass<ib al-tsabat al-mu'taman)?
Apakah komunitas ilmiah dalam kajian nasab telah mengakui otoritasnya sebagai ahli nasab, sehingga pandangannya layak dilirik dan dipertimbangkan?
Apakah  ia memiliki  otoritas keilmuan  yang memadai  untuk  menyelisihi puluhan bahkan ratusan ulama dengan membatalkan nasab Ba'alawi?

A.    Apakah Imaduddin Seorang Nassabah?
Dalam berbagai kesempatan dan juga melalui beberapa tulisannya, Imaduddin bersikap dan menunjukkan seakan-akan dirinya adalah orang yang paling paham dan ahli dalam ilmu nasab. Tetapi pertanyaannya, apakah ia telah memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ahli nasab (nass<ibah)? Apa sajakah kriterianya?
Sebelum membahas kriteria seorang al-nass<ibah yang kepakarannya diakui dan hasil ijtihadnya dalam menetapkan atau membatalkan nasab diterima oleh masyarakat, terlebih dahulu kita akan mencermati syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menekuni ilmu nasab (al-musytaghil bi 'ilm al-nasab) hingga akhimya ia bisa menekuni dan menjadi ahli nasab (al­ nass<ibah). Dr. Kamal al-Hut al-Husaini, dalam kitab J<imi' al-Durar al-Bahiyyah li
al-S<ib al-Qurasyiyyin fi al-Bilad al-Sy<imiyyah, menjelaskan  kriterianya sebagai
berikut:

"Bagi orang yang menekuni ilmu ini, disyaratkan agar memenuhi beberapa syarat, di antaranya yang terpenting ..."

"Pertama, bertakwa kepada Allah agar tidak menerima suap dalam menentukan nasab."

"Kedua, jujur dan tidak berbohong dalam urusan nasab sehingga menafikan nasab yang sudah ditetapkan dan menetapkan nasab yang dicantolkan ."

"Ketiga, menghindari maksiat, kebejatan, dan segala perbuatan yang merusak kehormatan  diri (muruah)."
"Keempat, memiliki ilmu yang luas dalam disiplin ilmu nasab, memilki pemahaman yang benar, hafalan yang baik, jangkauan pemikiran yang luas, dan memahami hukum syariat, khususnya yang berkaitan dengan Ahlul Bait."

"Kelima, teliti dan tidak terburu-buru, jauh dari sifat gegabah dan abai, betul-betul mencermati dan menganalisis suatu nasab sebelum memberikan pendapatnya ."

"Keenam, memiliki jiwa yang kuat agar tidak bisa ditakut-takuti oleh orang zalim yang kemudian menyuruhnya melakukan kebatilan dan mengabaikan kebenaran ."
 
"Syarat tambahan, tulisannya hams bagus agar bisa menulis musyajjar  dengan baik."

Jika kita cermati kriteria orang yang layak menekuni ilmu nasab, yang mungkin tugasnya hanya sebagai pencatat dan penjaga amanat nasab, maka Imaduddin jelas tidak memenuhi kriteria tersebut. Misalnya untuk syarat nomor 2, yaitu hams jujur. Imaduddin tidak memenuhi kriteria dan syarat yang kedua ini karena ia telah banyak melakukan kebohongan publik demi mendukung pandangannya, sebagaimana telah kami uraikan . Karenanya, Imaduddin bisa dikategorikan sebagai orang yang majn1h (tidak memiliki integritas).
Sama halnya, Imaduddin juga tidak memenuhi syarat nomor 4, karena ia tidak pernah dikenal sebagai orang yang memiliki wawasan yang luas dalam kajian nasab. Tiba-tiba saja Imaduddin muncul menyebarkan artikel tulisan beberapa tokoh Wahabi yang membatalkan nasab Ba'alawi sebagaimana telah kami jelaskan. Apa yang dilakukan Imaduddin hanyalah tems-menems meracau tentang Ba'alawi. Sebelum ini, Imaduddin tidak pernah diketahui melakukan analisis terhadap nasab seseorang, tidak pernah dikenal berkecimpung dalam kajian nasab secara umum . Dengan demikian, Imaduddin tidak memenuhi syarat nomor 4.
Kemudian berkaitan dengan syarat nomor 5, semua yang menelaah pe­ nelitian Imaduddin akan melihat, betapa tidak hati-hatinya Imaduddin dalam upayanya membatalkan nasab Ba'alawi, mulai dari cacat logika, menyebarkan kebohongan, sampai pengambilan kesimpulan yang serampangan . Imaduddin melakukan semua itu sebagaimana telah kami jelaskan . Sepertinya, Imaduddin akan melakukan langkah apa pun selama bisa menguatkan pendapatnya yang membatalkan nasab Ba'alawi.
"Wain aftal muftun," ujarnya .
Untuk memenuhi kriteria orang yang menekuni ilmu nasab saja kapasitas Imaduddin tidak layak. Jadi, bagaimana mungkin ia dapat memenuhi nassabah,
seseorang yang dianggap pakar dan menjadi rujukan pada pemerhati kajian nasab? Dalam Rasa'il fi 'Ilm al-Nasab, Sayyid Husain al-Hasyimi menjelaskan kriteria nassabah sebagai berikut :

"Tingkatan pertama, inilah salah satu rukun (tiang kokoh)  ilmu  nasab, yaitu nassabah (ahli nasab) yang hafal (banyak nasab), yang kokoh dan kuat hafalannya, seorang muhaqqiq dan muharrir yang cermat, cerdas, dan mantap kepakarannya, selalu mencari  yang benar, sadar, tidak lalai dan tidak terkecoh oleh waham, mujtahid yang berdiri sendiri, mengetahui rahasia-rahasia nasab dan hal-hal yang halus, bisa mendeteksi sela-sela dalam nasab yang munkar, objektif, terlepas dari belenggu nafsu, tepercaya, tidak pernah bohong, memegang teguh janji setia ahli nasab dan menjaga qanun (segala aturan) dalam disiplin ilmu nasab."

Dari kriteria di atas, siapa saja bisa  langsung mengambil kesimpulan bahwa kapasitas dan kompetensi Imaduddin sangatlah jauh . Dengan demikian, dari perspektif ilmu nasab dan pada pandangan para pengkaji nasab, Imaduddin bukanlah  siapa-siapa. Ia bukan  sosok  ahli  atau ulama  nasab yang  muktabar (otoritatif). Pandangannya  tentang nasab, apalagi yang menyelisihi  pandangan para ulama terdahulu, tidak dapat dikategorikan  sebagai pandangan yang oto­ ritatif . Pandangannya itu tidak memiliki bobot apa-apa dalam disiplin ilmu nasab. Jika melihat klasifikasi tingkatan orang yang menekuni kajian nasab maka Imaduddin dan para pendukungnya masuk dalam tingkatan ke-4, yaitu kategori buzzer (pendengung) yang hanya sibuk berdebat  dan membuat kegaduhan  di
media sosial. Sayid Husain al-Hasyimi mengatakan :

"Tingkatan terakhir adalah para perusuh atau pelaku debat yang tercela. Kebanyakan mereka  adalah orang muda. Pandangan  mereka tersebar banyak di internet dan situs-situs tentang nasab. Mereka bodoh, berakhlak buruk, dan kerap melontarkan ucapan yang kotor dan buruk. Mereka ini adalah para perusuh yang hobi berdebat serta memiliki banyak motif atas apa yang mereka lakukan."

B.  Tidak Pernah Bergum kepada Nassabah
Mempelajari suatu disiplin ilmu  pengetahuan menuntut kesungguhan, kegigihan, dan kesabaran . Selain itu, orang yang ingin belajar dan menguasai suatu bidang ilmu tentu saja ia hams belajar dan berguru kepada ahlinya, kepada seorang guru yang mumpuni dan memiliki kapasitas keilmuan yang lebih baik. Dalam Mukadimah Shahih Muslim disebutkan bahwa al-Imam Muhammad ibn Sirin (seorang ulama pada era tabiin) menegaskan

"Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari agama. Maka, perhatikan  dari siapa kalian mengambil agama kalian ."

Dalam nasihat yang masyhur di kalangan pesantren salaf disebutkan bahwa siapa saja yang hanya berguru kepada kitab, tanpa bimbingan seorang guru atau syaikh maka gurunya adalah setan.
Sama seperti disiplin ilmu Islam lainnya, ilmu nasab juga hams dipelajari dari para masyayikh yang kompeten dan pakar dalam kajian nasab. Ironisnya, Imaduddin tidak pernah talaqqi (menimba) ilmu nasab dari seorang Syakh Nassabah. Ia terns mengutak-atik nasab Ba'alawi secara autodidak. Di sisi lain, ia kerap berbicara tentang pentingnya sanad (matarantai) periwayatan nasab. Imaduddin sendiri tidak memiliki sanad yang jelas dalam kajian ilmu nasab. Tiba-tiba ia muncul digelembungkan oleh media sosial dan ditahbiskan sebagai mujaddid, seorang pakar ilmu nasab yang menyelisihi serta mengabaikan pandangan para nassabah yang telah bertahan selama ratusan tahun tentang keabsahan nasab Ba'alawi. Fenomena menyesatkan sebagai akibat dari tidak belajar kepada guru yang kompeten ini telah disinggung jauh-jauh hari  oleh al-Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa' al-Haditsiyah. Ia mengatakan :

"Obat tidak akan bekerja dengan baik kecuali bagi orang yang diketahui tidak punya alergi dalam dirinya terhadap obat itu. Pengetahuan tentang hal itu hanya dimiliki oleh seorang dokter yang belajar langsung dari dokter ahli secara langsung, bukan hanya melalui tulisan. Masalah ini tidak hanya khusus dalam ilmu kedokteran. Siapa saja yang belajar suatu ilmu hanya dari buku maka ia menjadi sesat dan menyesatkan . Karenanya, al-Imam al-Nawawi berkata, 'Ketika seseorang mendapati satu masalah yang disebutkan dalam sepuluh kitab, ia tidak boleh berfatwa berdasarkan kitab-kitab itu. Sebab, ada kemungkinan kitab-kitab itu mengadopsi pendapat yang lemah."

Nasab Ba'alawi telah diterima dan diakui oleh puluhan bahkan ratusan ulama ahli nasab, ahli fikih,  dan ahli sejarah selama ratusan tahun . Lalu, tiba-tiba muncul seseorang dari antah berantah yang tidak pernah belajar ilmu nasab dan tidak pernah dikenal sebagai analis atau pakar nasab yang membatalkan nasab Ba'alawi. Akal sehat mana yang bisa menerima? Imaduddin muncul ke permukaan begitu saja untuk membatalkan nasab Ba'alawi dan menyerukan bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pandangan para ulama sebelumnya keliru. Terkait tiadanya kompetensi pendapat seorang yang tidak belajar dari  guru dalam sebuah bidang, al-'Allamah Prof . Dr. Muhammad 'Awamah dalam kitabnya yang berisi petunjuk untuk para penuntut ilmu mengatakan:
"Para ulama terdahulu tidak menoleh kepada orang yang  tidak punya guru dalam sebuah disiplin ilmu. Para ulama juga tidak menganggap orang seperti itu yang tidak mendapatkan  wewenang  apa-apa. Mereka juga  memandang  orang seperti itu tidak pantas diajak diskusi karena ia hanyalah tempatnya kesalahan dan kekeliruan."

Dalam kitab Is'iif al-Mubatha' Imam al-Suyuthi meriwayatkan bahwa Imam Malik r.a. ditanya, "Apakah sebuah ilmu bisa diambil dari orang yang tidak pernah menuntutnya dan belajar kepada seorang guru?" Dengan tegas Imam Malik menjawab, "Tidak!"340

C.    Kebodohan yang Mendunia
Dalam dunia keilmuan Islam, kesaksian seorang alim yang ahli dalam bidang ilmunya terhadap kapasitas keilmuan seseorang menjadi nilai tersendiri dalam mengonfirmasi kompetensinya pada suatu disiplin ilmu. Alih-alih mendapatkan pengakuan tentangkapasitasnya dalam ilmu nasab dari para ulama internasional, justru kebodohannyalah yang kemudian diakui oleh para ulama internasinal. Berikut ini beberapa pernyataan ulama dunia tentang kebodohan  Imaduddin .
1.    Prof. Dr. Aqil al-Mahdali al-Musawi al-Husaini, mantan rektor salah satu perguruan tinggi di Kedah Malaysia, sebagaimana telah kami kutip secara utuh pada Bab 1, ketika mengomentari pembatalan nasab  Ba'alawi yang dilakukan oleh Imad, mengatakan :

"(Orangyangmembatalkan nasab Ba'alawi) adalah orangyangbodoh kuadrat. Ia telah kehilangan akal dan ingatannya. Berdasarkan pandangannya itu, ia layak dibariskan dalam barian orang-orang gila."

2.    Prof. Dr. Syaikh Ali Jumah, ulama besar al-Azhar dan mantan Grand Mufti Republik  Mesir,  ketika  ditanya  tentang  nasab  Ba'alawi,  ia  menegaskan bahwa  nasab  Ba'alawi  sah  secara  ijmak  serta  tidak  ada  satu  pun  yang meragukannya sepanjang sejarah. Lebih lanjut ia mengatakan :

"Perkataan ini (yang membatalkan  nasab Ba'alawi) membawa kebodohan luar biasa yang kadarnya hanya diketahui oleh Allah."341

3.    Al-Nassabah al-Syarif Ibrahim ibn Manshur al-Amir, pakar teori ilmu nasab yang beberapa karyanya kerap dijadikan rujukan oleh Imad, dalam wawancaranya bersama Gus Rumail Abbas menegaskan bahwa pembatalan nasab Ba'alawi seperti yang dilakukan Imaduddin didasari oleh kebodohan kuadrat (jahl murakkab) berkaitan dengan ilmu nasab dan  kaidah­ kaidahnya .342

Kesaksian para ulama ini tentang "kebodohan Imaduddin " dalam ilmu nasab setidaknya menjadi salah satu indikator kuat bahwa Imaduddin adalah orang yang  awam dalam ilmu nasab sehingga pendapatnya tidak muktabar (otoritatit) . Terlebih lagi, pandangannya yang menyelisihi semua ulama tidak layak dipertimbangkan, karena ia bukanlah seorang ahli dalam bidang nasab.

D.    Kampanye  Antitaklid
Dalam konsep Ahlus-Sunnah wal-Jam<i 'ah, ketika ada hal yang bersifat ma'Wm min al-din bi ak-dhan1rah (hal mendasar yang umum diketahui) seperti sifat­ sifat wajib bagi Allah Swt., kewajiban shalat, keharaman zina, dan lain-lain, maka menjadi kewajiban bagi Muslim untuk tidak taklid. Setiap Muslim hams meyakini dan memahami dasar-dasarnya dengan kesadaran penuh . Namun, selain hal-hal yang bersifat ma'h1m min al-din bi ak-dhan1rah, kewajiban dan kebolehan ijtihad hanya dikhususkan untuk orang yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid . Bagi orang yang tidak memiliki kapasitas mujtahid, ia wajib taklid. Jika ia memiliki ilmu tetapi tidak punya perangkat yang cukup untuk memenuhi kualifikasi mujtahid, ia wajib bertaklid kepada Mujtahid . Hal ini telah dijelaskan oleh para ahli ushul, di antanya Imam al-Zarkasyi. Ia mengatakan :

Jika diperhatikan secara saksama, ungkapan di atas tidak  dikhususkan untuk fikih, tetapi untuk segala bidang keilmuan, termasuk ilmu nasab. Jika seseorang tidak memiliki kapasitas nass<ibah mujtahid maka ia wajib taklid kepada nass<ibah yang diakui kepakaran dan kredibilitasnya . Karena itulah dalam kajian ilmu nasab salah satu cara untuk menetapkan (itsbat) nasab adalah
adanya keterangan tertulis dari seorang nass<ibah (WI .k.;.) yang kompeten
tentang keabsahan  nasab sebagaimana telah kami jelaskan  di buku  ini. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh seorang ulama besar ahli fikih dan ushul fikih dari NU, yaitu Kiai Afifuddin Muhajir, ketika mengomentari polemik nasab Ba'alawi di media sosial. Dengan segala keluasan ilmunya ia mengatakan :

"Saya sendiri merasa sebagai orang awam dalam kajian nasab sehingga tidak mau larut membahas persoalan ini. Saya sama sekali tidak bertanya tentang dalil  yang mengisbat atau menafikan ketersambungan nasab Ba'alawi kepada Nabi Saw. Saya hanya bertanya tentang pandangan ulama terdahulu dari kalangan Nahdhatul Ulama dan guru-guru mereka mengenai masalah ini. Jadi, yang bisa saya lakukan adalah mengikuti dan taklid kepada mereka, apa pun pendapat mereka . Setiap kebaikan ada di balik mengikuti ulama terdahulu, dan setiap keburukan ada di balik bid'ahnya orang yang datang kemudian ."

Tentunya kita  sama-sama  mengetahui  bagaimana  para  syaikh  Nahdlatul Ulama dan guru mereka mengakui keabsahan  nasab  Ba'alawi  sebagaimana telah diuraikan dalam Pasal 3 dan 4 Bab 1. Namun, apa yang disampaikan K.H. Afifuddin Muhajir (Wakil Ketua Rais Am PBNU) merupakan satir atau sindirian kepada pihak yang memosisikan  diri sebagai mujtahid padahal ilmunya masih taraf muqallid, orang yang awam dalam kajian ilmu nasab. Inilah yang dilakukan Imad. Bahkan, ia menyuarakan kewajiban ijtihad dan keharaman taklid kepada para kiai dalam masalah nasab. Padahal belum tentu seorang kiai yang ahli dalam bidang fikih ia juga ahli dalam bidang nasab. Bahkan, seorang yang alim dan meneliti sekalipun belum tentu mencapai tingkatan nass<ibah mujtahid . Konsep  antitaklid  yang  disuarakan  Imaduddin  ini  persis  dengan  apa  yang
dikampanyekan  golongan  ia madzhabiyah  (antimazhab)  dari kalangan  Salafi Wahabi. Mereka berkampanye kembali kepada dalil Al-Qur'an dan Sunnah dalam masalah funl'. Padahal, hanya orang dengan kapasitas mujtahid saja yang memiliki perangkat lengkap untuk menggali hukum dengan benar dari Al-Qur'an dan Sunnah serta qiyas, dan lain-lain. Jika orang yang bukan ahli dipaksa menggali hukum langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah maka yang akan terjadi adalah kerancuan berpikir dan kekacuan kesimpulan . Sama halnya, jika orang yang bukan nass<ibah diminta mensahihkan atau menafikan nasab yang sudah berusia ratusan tahun maka yang akan terjadi adalah menyambung yang terputus dan memutuskan yang tersambung. Pola ini juga berlaku pada semua
disiplin ilmu. Jika seorang yang bukan ahli seenaknya berpendapat dalam satu disiplin ilmu maka rusaklah tatanan disiplin Ilmu. ia h_awla wa ia quwwata ma bill<ih. Pantas jika Imam Ibn Hajar al-Asqalani berkata:

Imam Ibn Hazm al-Zhahiri juga mengatakan :

"Penyakit yang paling berbahaya bagi  berbagai  disiplin  ilmu  dan  para ahli ilmu adalah orang yang infiltrasi kedalamannya,  sementara  ia bukanlah ahlinya. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui tetapi merasa mengetahui. Mereka merusak, tetapi mereka merasa memperbaiki."

Imad, yang tidak memiliki  kompetensi dalam bidang ilmu nasab, seharusnya mengikuti para ulama yang telah diakui keahliannya . Alih-alih, ia membuat teori-teori tidak jelas yang menyelisihi para ahli nasab terdahulu . Dalam tradisi keilmuan Islam, mengikuti panduan dan  ajaran  para  ulama  yang  tepercaya dan kompeten menjadi keniscayaan, terutama dalam bidang ilmu yang sensitif seperti  nasab.
Para ulama yang kemudian dikenal sebagai ahli nasab telah melalui proses pendidikan yang ketat, memiliki sanad yang jelas, dan diakui secara luas oleh komunitas ilmiah. Mereka memiliki pengetahuan mendalam yang didasarkan atas studi yang komprehensif dan pembelajaran dari guru-guru yang kompeten. Mengabaikan otoritas dan keahlian serta membuat teori sendiri yang nyleneh hanya akan menimbulkan kebingungan, disinformasi, dan penyimpangan di kalangan umat.

E.    Melempar Temuan Prematur Tanpa Tashih para Ahli
Para ulama terdahulu sangat berhati-hati dalam menerbitkan karya. Mereka tidak menerbitkan karya kecuali setelah melalui tahapan koreksi yang berlapis sampai benar-benar matang dan layak terbit. Dalam mukadimah al-Majmu', Imam al-Nawawi r.a. berkata :

"Hendaknya (seorang penulis) berhati-hati agar tidak menerbitkan karya kecuali setelah mengoreksi, mematangkannya, dan meninjaunya secara berulang-ulang ."

Sementara, Imaduddin melakukan tindakan yang biasa dilakukan oleh para pemalsu nasab, yaitu menulis kitab tentang nasab lalu melemparkannya kepada masyarakat awam tanpa ditahkik oleh pakar. Tindakan Imaduddin ini merupakan kecerobohan  ilmiah yang nyata. Tindakannya itu merusak integritas ilmu dan menimbulkan kebingungan di tengah umat. Proses tahkik oleh pakar sangat penting untuk memastikan keakuratan informasi, terutama  dalam  masalah yang sensitif seperti nasab. Tindakan Imaduddin ini menunjukkan Dengan mengabaikan langkah ini, Imaduddin menunjukkan kurangnya tanggung jawab ilmiah dan menampakkan karakter sebagai peneliti gadungan tentang nasab. Terkait hal ini, dalam Ras<i'il fi 'Um al-Ans<ib disebutkan :

"Karena itu, para pemalsu nasab mesti ingat bahwa tulisan mereka itu akan dibaca oleh para pakar, tidak seperti dugaan mereka bahwa  tulisan  mereka hanya akan dibaca oleh orang awam yang bukan ahli. Karena dugaan itu, mereka merasa akan aman dan selamat dari kritik atas kebohongan mereka. Jangan berharap bahwa tulisan mereka akan beredar  di  tengah  masyarakat tanpa pengawasan. Karena itu, nass<ibah yang tsiqah dan kompeten  hanya akan menulis untuk (diajukan) kepada pakar terlebih dahulu barulah kemudian disebarkan kepada umat di luar pakar."

Kesembronoan Imaduddin ini bertolak belakang dengan akhlak para ulama terdahulu . Ketika menulis kitab al-M ughni 'An Hamli al-Asfar fi al-Asfar (Takhrij Hadis-Hadis Iby<i' 'Uhlmiddin), al-Hafiz al-Iraqi mengoreksi draf (taswid) kitab itu sampai 39 tahun . Setelah itu barulah ia melakukan finalisasi (tabyidh), lalu menerbitkannya . Dalam kitabnya itu ia mengatakan

"Aku telah menuntaskan penulisan buku ini pada 751 H dan aku menyem­ purnakan finalisasi naskahnya pada hari Senin 12 Rabiul Akhir tahun 790 H."

Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami, dalam kitab  Fath_ al-Jawad Syarh aHrsy<id, bercerita tentang gurunya, al-Imam Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari yang berulang-ulang mengoreksi dan menerima koreksian dari orang lain atas kitabnya Fath_ al-Wahh<ib Syarh_ Manhaj al-Thull<ib. Bahkan, Syaikh al-Islam memberikan hadiah kepada orang yang menyampaikan koreksi atas kitabnya itu. Berikut ini ungkapan Imam Ibn Hajar al-Haitami :348

Berbeda dengan Imaduddin yang serampangan dan sembrono, para ulama besar terdahulu dengan segala keluasan ilmunya sangat berhati-hati ketika menuliskan dan menerbitkan karya. Mereka  memiliki kesadaran yang penuh bahwa semua yang tertulis dan dibaca oleh umat akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya di hadapan Allah Swt.
 
KESEMBILAN Membatalkan Nasab Jauh dengan Tes DNA

Imaduddin   dan   para   pengikutnya   menganggap   nasab   Ba'alawi   batal berdasarkan hasil tes DNA. Menurut mereka, Ba'alawi bukanlah keturunan Nabi  Saw. karena hasil tes DNA menunjukkan  bahwa haplogrup mereka adalah  G2,  sedangkan  keturunan  Sayidina  Husain  seharusnya  berhaplogrup Jl. Pada bagian ini kami akan menguraikan bahwa pembatalan nasab Ba'alawi melalui hasil tes DNA di atas merupakan kesalahan baik dari sudut pandang sains maupun syariah.

Analisis DNA dan Konfirmasi Nasab

1.    Perkembangan ilmu pengetahuan dan DNA
Dalam pengertian sempit sains dipahami  sebagai ilmu untuk memahami fenomena alam. Fenomena alam itu merupakan bagian dari ketetapan Allah Swt., termasuk berbagai perubahan yang terjadi di dalamnya. Semua ciptaan Allah dan semua fenomena alam berjalan sesuai dengan sunn<itulllih, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Furqan ayat 2:

"Dan  Dia  telah  menciptakan  segala  sesuatu,  lalu  menetapkan  ukuran­ ukurannya dengan tepat." (QS Al-Furqan : 2)

Pemahaman manusia mengenai fenomena alam terns berkembang dan ber­ ubah-ubah dari waktu ke waktu karena sifat pengetahuan manusia yang terbatas dan berkembang. Dahulu para ilmuwan percaya adanya medium perambat cahaya yang bemama Ether.349 Seiring dengan perkembangan pengetahuan, teori tentang Ether ini terbukti salah sehingga tidak diikuti lagi. Dahulu ada ilmu yang disebut frenologi, yaitu studi yang mempelajari bentuk tengkorak manusia dan kaitannya dengan kemampuan dan kepribadian . Saat ini ilmu tersebut dianggap sebagai pseudoscience (kepercayaan atau teori yang salah yang awalnya dianggap ilmiah). Penelitian ilmiah modern menghapusnya dari khazanah pengetahuan modern dengan membuktikan bahwa ciri-ciri kepribadian tidak dapat ditelusuri dengan meneliti bagian otak tertentu.
Demikian pula teori alam semesta yang dikemukakan oleh Albert Einstein pada 1917 ternyata bertentangan dengan fakta dan penemuan barn Edwin Hubble yang menunjukkan bahwa alam semesta (universe) ini berekspansi, walaupun sebagian teori Einstein juga dibuktikan kebenarannya oleh Hubble. Banyak lagi teori lainnya yang bernbah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai penemuan barn.
Termasuk juga teori evolusi manusia yang diperkenalkan oleh Darwin . Evolusi yang terjadi pada makhluk hidup bisa saja terjadi dan pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama (Islam). Namun, khusus untuk evolusi manusia atau yang kita kenal sebagai "Bani Adam" (keturnnan Nabi Adam) teori evolusi ini terbukti tidak benar dan dipatahkan oleh teori serta penemuan lainnya, termasuk DNA di dalamnya. Teknologi DNA membuktikan bahwa manusia saat ini berasal dari manusia pertama yang dikenal sebagai "Y-chromosomal Adam" atau Y-Adam . Namun, kebanyakan saintis DNA memercayai bahwa Y-Adam tidak berhenti sampai di situ saja. Pendapat ini pada dasarnya mernpakan kepanjangan teori Darwin  itu sendiri. Menurnt para  saintis, "Y-chromosomal Adam" atau Y-Adam itu sendiri pada dasamya adalah hasil evolusi "manusia purba" yang hidup sebelumnya.350 Menurut teori DNA yang sampai saat ini dipercayai para saintis, di samping merupakan hasil evolusi sebelumnya, sebagian manusia  modem yang ada sekarang ini merupakan hasil  percampuran  dengan  Neanderthal, yaitu "manusia purba" (primata setengah manusia) yang  hidup ratusan  ribu tahun silam dan diperkirakan punah sekitar 40 ribu tahun lalu. Teori ini juga dipopulerkan oleh seorang penulis Yahudi bemama Yuval Noah Harari dalam buku terkenalnya yang berjudul Sapiens: A Brief History of Humankind .351 Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Kalau kita konsisten dengan teori DNA ini dan tidak tebang pilih maka Nabi Adam yang diduga sebagai Homo Sapiens352 (manusia modern) pertama adalah hasil evolusi dan tentunya mempunyai "ayah" dan "ibu" biologis. Teori Nabi Adam yang merupakan hasil evolusi biologis dan mempunyai "ayah" dan "ibu" ini tentu saja tidak diterima para ulama karena bertentangan dengan ajaran Islam. Agama Kristen dan Yahudi pun menolaknya . Evolusi manusia semacam ini semata-mata berdasarkan praduga (zhanni) menggunakan fosil yang diduga sebagai Homo Sapiens (manusia) masa lalu dan analisis DNA yang dibandingkan dengan manusia sekarang, walaupun tidak ada bukti yang pasti mengenai hal ini. Sementara Al-Qur'an dengan jelas menyebutkan:

"Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, 'Jadilah' (seorang manusia) maka jadilah dia." (QS Ali 'Imran: 59)

Ayat di atas berkaitan dengan pertanyaan bagaimana Nabi Isa diciptakan tanpa ibu. Allah menjelaskan bahwa masalah penciptaan Nabi Isa di sisi Allah seperti penciptaan Nabi Adam. Nabi Adam diciptakan oleh Allah tanpa ayah dan tanpa ibu dan Allah menciptakannya dari unsur-unsur tanah, tidak berbeda dengan penciptaan Nabi Isa.
Di samping Y-Adam sebagai hasil evolusi yang tentunya meniscayakan adanya ibu biologis, dalam dunia DNA juga dipercayai bahwa leluhur wanita manusia modern yang disebut "MtDNA Eve" atau theoretical Eve (Siti Hawa) juga bukanlah satu-satunya wanita pertama yang  hidup  saat  itu. Menurut teori ini, ada kemungkinan bahwa wanita yang hidup  sekarang bukan hanya keturunan Siti Hawa,  melainkan mungkin keturunan wanita lain yang hidup pada masa lalu.353
Ada sebagian orang yang salah kaprah menyikapi sains, baik itu ilmu sosial maupun ilmu alam. Mereka selalu menggunakan standar  metodologi  fisika yang dianggap berhasil dalam 300 tahun terakhir. Mereka berasumsi tanpa argumen yang meyakinkan bahwa semua bidang studi, jika ingin dianggap "ilmiah", hams memiliki kesamaan ciri-ciri dasar fisika. Metode seperti ini dipopulerkan oleh Lakatos, seorang filsuf matematika dan sains asal Hungaria . Paul Feyerabend (1976) seorang filsuf sains mengkritik Lakatos. Metode dan fenomena yang terjadi dan diterapkan dalam ilmu fisika tidak bisa serta-merta diterapkan sepenuhnya dalam ilmu lain, misalnya biologi. Ada perbedaan­ perbedaan penting dalam fenomena biologi. Penjelasan mengenai hal ini dibahas panjang lebar oleh Alan Charmers, seorang ilmuwan  dari University of Australia di Sydney dalam bukunya yang terkenal, What Is This Thing Called Science (Apakah yang Disebut Sains).354
Kita hams menyadari bahwa ilmu dan teknologi DNA muncul dan ber­ kembang beberapa dekade terakhir. Teknologi ini relatif barn dan masih terus berkembang . Karenanya, pemahaman manusia mengenai ilmu dan  berbagai penemuan di dunia inijuga masih terns berkembang dan bernbah-ubah. Banyak hal yang masih belum diketahui dan belum bisa dijelaskan secara pasti. Berbagai teori ilmiah dikemukakan tetapi tidak semuanya bernpa kepastian. Semua ini mernpakan bagian dari usaha manusia untuk memahami dan menjelaskan fenomena alam dan biologis sehingga pemahaman para pakar dalam hal ini pun berkembang dan berbeda-beda. 355 Berbagai teori dan perbedaan pendapat para pakar di dunia DNA ini banyak ditemui di sejumlah jurnal ilmiah genetika dan biologi evolusi. Demikian pula di dunia antrogenika yang khusus mendalami genetika dan antropologi.
Para ahli membangun berbagai teori berdasarkan analisis DNA dan penemuan arkeologi, baik teori kesehatan maupun teori migrasi, didukung oleh data-data statistik dan analisis. Lagi-lagi ini adalah teori yang belum tentu benar sepenuhnya, apalagi ketika digunakan untuk menelusuri leluhur yang berjarak ribuan tahun .Teori evolusi itu sendiri masih mendapat tantangan dari para ahli, sebagaimana disebutkan dalam buku 32 Challenges to Evolutionary  Theory.356
Analisis perkiraan umur berbagai percabangan kelompok dan Haplogroup berdasarkan mutasi genetik yang umurnya mencapai puluhan ribu tahun itu masih terns bernbah-ubah dengan metode perhitungan yang berbeda-beda . Hasilnya pun masih sangat perlu diuji dan dipertanyakan kebenarannya . Sebagian mencoba menjelajah keturnnan Nabi Ibrahim dan menggunakan kalkulator genetika untuk menghitung usia mutasi sampel-sampel yang digunakan. Keanehan perhitungan usia genetika ini bermunculan karena tidak sesuai dengan fakta sejarah, mengingat zaman Nabi Ibrahim diperkirakan belum sampai tujuh ribu tahun lalu. Sementara, teori DNA menyebutkan manusia mulai bermigrasi dari Afrika sekitar 60 ribu tahun lalu. Ada jarak yang sangat jauh antara teori migrasi manusia dari Afrika sampai ke zaman Nabi Ibrahim, apalagi sampai ke Y-Adam yang diperkirakan hidup sekitar 200-230 ribu tahun lalu. Belum lagi perhitungan masa hidup dan keberadaan wanita pertama "Hawa (Eve)" yang tidak sama dengan masa hidup Nabi Adam.357 Bahkan, perbedaannya mencapai puluhan ribu tahun dengan berbagai versi perhitungannya! Bukankah semua fakta ini menunjukkan bahwa analisis DNA masih sangat spekulatif dan rekaan? Bagaimana kita bisa memastikan kebenarannya?

Teori DNA menyimpulkan bahwa manusia pertama berasal dari Afrika sekitar 250 ribu tahun lalu dan kemudian bermigrasi ke berbagai pelosok penjuru dunia sekitar 60 ribu tahun lalu. Pernyataan ini memunculkan  pertanyaan besar! Benarkah manusia pertama-yang kita yakini adalah Nabi Adam- itu berasal dari Afrika dan hidup sekitar 230 ribu tahun lalu? Dalam penemuan yang lebih mutakhir ditemukan fosil tertua  "Homo  Sapiens"  di  Maroko.358 Para saintis berasumsi fosil itu adalah fosil manusia yang keturunannya sama dengan manusia modern saat ini. Fosil ini diperkirakan hidup sekitar 315 ribu tahun lalu. Artinya, ia hidup hampir 100 ribu tahun lebih tua dari perkiraan dan asumsi sebelumnya. Lalu  pertanyaan besarnya, apakah benar  yang dianggap "manusia" ini adalah Bani Adam dan apakah valid menggunakan analisis DNA manusia-manusia purba ini untuk menghubungkan mereka dengan manusia modern saat ini? Apakah benar "makhluk-makhluk ini'' adalah leluhur atau kerabat Bani Adam yang hidup saat ini? Jika mereka  ini dijadikan referensi tentu hasilnya juga akan memengaruhi analisis DNA mengenai perhitungan dan leluhur manusia zaman ini. Kalau "Adam" ini dianggap hidup lebih dari 200 ribu tahun lalu, mungkinkah jarak antara Nabi Ibrahim sampai Nabi Adam lebih dari 200  ribu  tahun  sementara  tidak  ada  sejarah  dan  data arkeologi atau artefak yang bisa membuktikannya? Sampai saat ini tidak ada bukti yang mendukung kebenarannya, termasuk percampuran Homo  Sapiens  (manusia  modern) dengan Neanderthal yang disebutkan sebelumnya . Lagi-lagi ini adalah misteri dan fenomena yang masih bersifat spekulatif . Agar lebih mudah dipahami, baiknya kita melihat seperti apa teori migrasi dan evolusi yang digadang­ gadang para ahli DNA dan antrogenika ini. Gelombang migrasi manusia dan periode migrasinya digambarkan secara sederhana di bagan berikut ini.

Bagan 1-Gelombang Migrasi Manusia dari Afrika dan Perkiraan Zamannya 359

2.    DNA dan Teori Migrasi
Manusia memiliki 46 kromosom yang terdiri atas 23 pasang pada setiap selnya. Pasangan ke-23 adalah kromosom yang menentukan jenis kelamin, yaitu kromosom X dan kromosom Y. Perlu diketahui, kromosom Y hanya dimiliki lak-laki dan hanya diturunkan melalui jalur laki-laki. Informasi genetik yang terdapat dalam kromosom  dapat memberikan instruksi untuk menentukan sifat-sifat individu, seperti warna rambut, tinggi badan, dan kecenderungan terhadap penyakit tertentu .
Ada tiga jenis utama tes DNA terkait penelusuran keturunan atau silsilah, yaitu autosomal (yang mencakup X-DNA), Y-DNA, dan mtDNA.
•    Tes DNA autosomal. Tes ini melihat pasangan kromosom 1-22 dan bagian X dari kromosom ke-23. Autosom (pasangan kromosom 1-22) diwarisi dari kedua orang tua dan beberapa generasi sebelumnya. Semakin jauh generasi leluhurnya, semakin sedikit genetik yang diwariskan. Perkiraan etnis yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan penyedia jasa uji DNA menggunakan tes DNA autosomal ini. Perkiraan etnis ini sangat tergantung database yang dimiliki perusahaan dan metode yang digunakan . Pendefinisian  etnis pun berbeda-beda di antara masing-masing perusahaan . Pendefinisiannya juga berubah-ubah sesuai dengan perkembangan data, penemuan, dan teknologi.
•    Tes Y-DNA hanya memfokuskan tes kromosom Y, yang diturunkan dari ayah ke anak. Dengan demikian, tes Y-DNA hanya bisa dilakukan oleh laki­ laki untuk mengetahui garis ayah langsungnya .
•    mtDNA melihat mitokondria yang diturunkan dari ibu ke anak. Dengan demikian, tes mtDNA dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, serta untuk menelusuri garis keturunan langsung dari ibu.

Y-DNA dan mtDNA tidak dapat digunakan untuk memperkirakan etnis, tetapi dapat digunakan untuk menemukan Haplogroup seseorang, yangtersebar tidak merata secara geografis. Perusahaan tes DNA komersial yang jasanya bisa digunakan siapa pun sering kali memberi label Haplogroup berdasarkan benua atau etnis (misalnya, "Haplogroup Afrika" atau "Haplogroup Viking"), namun label ini bersifat spekulatif atau menyesatkan . Hal ini dijelaskan dalam sebuah jurnal ilmiah khusus genetika yang berjudul Inferring Genetic Ancestry : Opportunities,  Challenges, and Implications .36 0
Untuk membatasi masalah, pembahasan DNA di  sini  dikonsentrasikan pada paternal DNA saja, yaitu pola genetik yang secara teori sampai saat ini hanya diturunkan melalui jalur ayah. Para ilmuwan mengelompokkan pola genetik Y-DNA dan variasinya dengan nama yang disebut Haplogroup, yaitu kumpulan pola genetik yang diturunkan oleh orang tua atau leluhur. Untuk lebih mudahnya, bisa dilihat di Bagan 2-Peta Haplogroup dan Distribusinya. Paparan di bagan tersebut membagi pola genetik manusia dan distribusi populasi mereka di dunia ini. Perlu diingat, klasifikasi ini bisa saja berubah seiring dengan perkembangan  ilmu pengetahuan  dan penemuan barn.

Pada dasarnya, berbagai teori migrasi ini pun sebenarnya masih bersifat dugaan dan hipotesis. Tidak ada kepastian sama sekali. Sebab, para pakar sendiri punya berbagai analisis yang berbeda. Hal ini bisa kita jumpai di berbagai jurnal ilmiah yang memuat analisis yang berbeda-beda mengenai hal ini. Perbedaan dan perubahan ini merupakan fenomena yang bisa terjadi di kalangan ilmuwan . Banyak praduga dan hal-hal yang belum bisa terjawab secara meyakinkan .361 Para ahli pun belum mencapai kesepakatan bagaimana menghitung umur mutasi perubahan genetik manusia . Hal ini juga bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda terhadap hasil tes DNA. Belum lagi kemungkinan perubahan genetik pada masa lampau yang belum diketahui saat ini. ltu bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi! Banyak hal yang dianggap tidak mungkin terjadi akhirnya bisa dijelaskan secara ilmiah seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta pemahaman manusia.

 
36° Charmaine  D.  Royal  et.al,   "Inferring   Genetic   Ancestry:   Opportunities ,   Challenges, and Implications", American Journal of Human Genetics, May 14, 2010 doi: 10.1016/j. ajhg.2010.03.011.
361  David W. Anthony, "Ancient DNA and migrations :New understandings andmisunderstandings ",
Journal of Anthropological Archaeology , Volume70, June 2023.

Bagan 2-Peta Haplogroup dan Distribusinya

Berikut ini salah satu contoh analisis seorang saintis yang mencoba menjawab kebingungan mereka mengapa ada salah satu clade362 yang dominan ras Eropa bisa muncul di beberapa suku di Kamerun, Afrika .

"How is possible that some tribes in North Cameroon are mostly Rlb, considering that this Haplogroup is of Eurasian populations? The Rlb that is mostly found in Cameroonian populations, as in other parts of West­ Central Africa, is specifically the V88 clade, which was already found in Mesolithic European DNA sampels from different parts of Europe (Spain, Sardinia, Serbia and Ukraine, so all the way from the westernmost to the easternmost parts of the European continent). It may also have been present in some neighboring areas of West Asia (like Anatolia and Caucasia) at that time, so it's not impossible that V88 was also present in some of the groups that came from Neolithic Anatolia and spread to the rest of Europe after moving into the Balkans. Rlb itself arose many thousands of years before Rlb-V88, probably somewhere between Eastern Europe and North­ Central Asia.
During thousands of years of gradual southward movement, the Rlb-V88 males mixed with and absorbed other local peoples they met and conquered or allied with, in such a way that the mating over generations involved mainly the incoming males, especially those who carried Rlb-V88, with native females, who belonged to several distinct populations and Mt­ DNA  Haplogroups."

Kutipan di atas secara ringkas dapat diterjemahkan sebagai berikut :

"Bagaimana mungkin beberapa suku di Kamerun Utara sebagian besar berada di Haplogroup Rlb, sedangkan Haplogroup ini umumnya ditemui di penduduk daerah Eurasia? Sebuah clade yang berada di bawah Haplogroup Rlb yang banyak ditemukan pada populasi Kamerun,  seperti  di bagian lain Afrika Barat-Tengah, adalah clade V88, yang ditemukan pada sampel DNA Eropa Mesolitikum dari beberapa belahan Eropa (Spanyol, Sardinia, Serbia, dan Ukraina, mulai dari bagian paling barat hingga paling timur benua Eropa). Mungkin clade ini sudah ada di beberapa wilayah tetangga Asia Barat (seperti Anatolia dan Kaukasia) pada masa itu, sehingga bukan tidak mungkin V88 juga sudah ada di beberapa kelompok yang berasal dari Neolitikum Anatolia dan menyebar ke seluruh Eropa setelahnya, kemudian pindah ke Balkan . Rlb sendiri muncul ribuan tahun sebelum Rlb-V88, mungkin antara Eropa Timur dan Asia Utara-Tengah .
Selama ribuan tahun pergerakan bertahap ke arah selatan, para pria yang mempunyai Haplogroup Rlb-V88 ini bercampur dengan masyarakat lokal lain yang mereka temui dan yang mereka taklukkan atau bersekutu . Itu terjadi sedemikian rupa selama beberapa generasi sehingga akhirnya muncul banyak pria yang punya Haplogroup Rlb- V88 dengan berbagai percampuran dengan para wanita asli Afrika."

Sementara itu saintis lain punya analisis yang berbeda  tentang  mengapa clade Rlb-V88 ini banyak ditemui di populasi di Kamerun padahal kebanyakan penduduk Afrika berada di Haplogroup A.
Lagi-lagi analisis itu semata-mata sebuah analisis dan dugaan yang bisa jadi benar bisa salah, ketika mencoba menganalisis mengapa Haplotype yang dominan Eropa itu bisa terdapat di beberapa suku di pedalaman Kamerun . Banyak lagi kasus lain di berbagai belahan dunia yang belum terjawab secara memuaskan . Para ilmuwan saat ini hanya bisa mengajukan hipotesis yang tidak menyajikan kepastian. Semuanya masih bersifat zhanni dan spekulatif. Dalam kajian ushul fikih, hal ini masuk kategori zhanni al-tsubut wa zhanni al -diliilah. Analisis dan dalil yang dipergunakan masih bersifat spekulatif (zhanni) .

Metode kalkulasi yang digunakan pun berkembang dan bernbah-ubah seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan barn. Berbagai perangkat lunak dan perangkat keras terns dikembangkan dengan versi dan metode barn untuk menganalisis umur terbentuknya bermacam mutasi genetik dan kaitannya dengan pohon phy logeny .363 Contoh sederhana perbedaan perhitungan ini bisa dilihat dalam analisis umur Haplogroup J menurnt 2 sumber dan metode yang berbeda, seperti ditunjukkan di bawah ini.

Kalkulasi Umur SNP versi Dmitry Adamov cs (Yfull)
 
Kalkulasi Umur SNP Familiy (FTDNA)

Bagan 3 - Perbandingan Usia Haplogroup Berdasarkan Somber dan Metode Kalkulasi yang Berbeda

Bagan pertama di atas menggunakan kalkulasi SNP364  yang  dikembangkan oleh Dmitry Adamov cs yang diadopsi oleh perusahaan analisis DNA yang bernama Yfull.  Di sini Haplogroup J diperkirakan  lahir  sekitar  31.600 tahun lalu. Bagan kedua menunjukkan kalkulasi usia Haplogroup yang diadopsi perusahaan komersial Family Tree DNA (FTDNA). Hasilnya, usia Haplogroup ini diperkirakan sekitar 27.000 tahun lalu. Ini saja sudah menunjukkan perbedaan masa ribuan tahun (sekitar 4.000 tahun). Satu jarak waktu yang sangat lama! Banyak kejadian bersejarah terjadi dalam periode ini menjadi  tidak  sesuai jika kedua hasil yang bertentangan  ini  diterapkan.  Lihat  Bagan  3-Perbandingan Usia Haplogroup Berdasar kan Sumber dan Metode Kalkulasi yang Berbeda.
Perbedaan tidak hanya terletak pada metode perhitungan SNPyang berbeda. Berbagai hal lain, termasuk analisis dan hipotesis mengenai asal-usul sebuah clade, klaster, atau super klaster sebuah Haplogroup juga berbeda-beda .

3.    Perkembangan Ilmu Genetika Evolusi
Setelah sedikit pengenalan mengenai tes DNA dengan segala fenomenanya, kita akan fokus pada analisis beberapa Y-DNA Haplogroup yang secara statistik lebih banyak ditemui (bukan berarti di tempat lain tidak ada) di Timur Tengah dan sekitarnya . Dalam hal ini Haplogroup E, G, J, dan T adalah Haplogroup yang relatif banyak ditemui di populasi masyarakat Arab. Haplogroup R juga ditemui di beberapa populasi Arab dalam frekuensi yang lebih sedikit.365
Para ilmuwan mengumpulkan berbagai sampel DNA manusia modern dan fosil-fosil purbakala dan menganalisis hasil temuan mereka. Dari sana para ilmu­ wan kemudian menganalisis dan "menduga" berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan . Perlu diingat juga, baik ilmu, metode, dan alat (berbagai komputer canggih  dan software yang digunakan  di dunia bioinformatika  saat ini) juga berkembang terns sehingga melahirkan hasil dan versi yang berbeda seiring perkembangan zaman dan teknologi. Dalam hal ini lagi-lagi kita hams meng­ gunakan kata-kata "menduga" karena semuanya tidak mengandung kepastian . Dugaan ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kepastian aritmetika dasar seperti perkalian 2 x 2 = 4. Di sini kita tidak berbicara hasil tes DNA dengan rentang 5-10 generasi yang memiliki akurasi dan probabilitas kebenaran yang tinggi. Apa yang dilakukan para ilmuwan itu adalah analisis populasi manusia dengan kurun waktu puluhan dan ratusan generasi ke belakang yang masih penuh misteri. Analisis yang dilakukan pun berdasarkan statistik yang belum tentu mewakili dan mencakup semua kelompok yang ada di daerah itu. Di antara dugaan para ilmuwan tersebut bisa digambarkan ketika mereka menganalisis
migrasi sebuah Haplogroup berikut ini.
Sementara ini para ilmuwan berpendapat bahwa Haplogroup E terpecah menjadi 2 cabang besar, yaitu Elbla (E-V38) dan Elblb (E-M215, E-M35). Populasi masyarakat yang berada dalam Haplogroup Elbla ini banyak ditemui di Afrika Barat, Afrika Selatan, dan sebagian di Amerika (karena hijrah pada zaman perbudakan di benua Amerika yang terjadi beberapa abad terakhir), sementara Haplogroup Elblb banyak dijumpai di Afrika Utara, Timur Tengah, dan sedikit di Eropa. Secara umum masih masuk akal. Namun, ketika kita melihat keanehan Rlb yang dominan di Eropa tetapi banyak ditemukan di tempat tertentu di Kamerun seperti dijelaskan sebelumnya, ini mulai memunculkan tanda tanya, memicu lahimya berbagai teori dan analisis serta dugaan yang kesemuanya tidak ada yang pasti.
Haplogroup J1 yang digadang-gadang  oleh  sekelompok  pembatal nasab sebagai Haplogroup Semitik dan lbrahimi itu sendiri asalnya masih diperdebatkan oleh para ahli. Berdasarkan jumal ilmiah terakhir, Haplogroup itu malah berasal dari daerah Kaukasus, bukan Timur Tengah, sebagaimana dikutip dalam sebuah jumal ilmiah sebagai berikut:
 
Bagan 4-Haplogroup  E, Cabang dan Migrasinya

Tabel 1-Hasil Sequencing J1-M267 Berdasarkan Fosil Kuno

"We show that this Haplogroup evolved - 20,000 years ago somewhere in northwestern Iran, the Caucasus, the Armenian Highland, and northern Mesopotamia ."366
"Kami menunjukkan  (dalam paper ini) bahwa  Haplogroup ini berevolusi
- 20.000 tahun yang lalu di suatu tempat di barat laut Iran, Kaukasus, Dataran Tinggi Armenia, dan Mesopotamia utara."

Berbagai penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa Haplogroup J ini berasal dari daerah Kaukasus . Haplogroup J ini bercabang menjadi dua cabang besar, yaitu J1 atau  dikenal juga dengan J1-M267 yang berasal dari dataran tinggi Armenia dan Asia Tengah, sementara J2 atau J2-M172 yang berasal dari daerah pegunungan Zagros, Iran. Untuk lebih detailnya lihat data-data fosil di Tabel 1-Hasil Sequencing J1-M267 Berdasarkan Fosil Kuno berikut ini.
Kalau  kita  percaya  bahwa  bangsa-bangsa  Semitik  itu  adalah  keturunan Sam bin  Nuh  yang menurut  sejarah berasal  dari Timur  Tengah,  seharusnya Haplogroup ini bukan berasal dari Kaukasus, tetapi Timur Tengah. Belum lagi tahun-tahun dan perkiraan kemunculannya yang semuanya masih penuh misteri dan bersifat dugaan para ilmuwan. Lagi-lagi semuanya masih bersifat spekulatif! Lalu ada yang selalu mempertanyakan Haplogroup lain yang terkait dengan masalah  nasab  ini, yaitu  Haplogroup  G yang  konon  dikatakan  berasal  dari Kaukasus. Analisis migrasi Haplogroup G ke Eropa dengan menggunakan lini waktu bisa dilihat di bagan berikut ini. Kalau bagan di bawah ini kita percayai, justru  Haplogroup  G  berasal  dari  Timur  Tengah,  khususnya  daerah  bulan sabit di kawasan  Levant (Syam),  Irak, dan Turki.367   Secara statistik  populasi Haplogroup G ini juga terlihat di berbagai wilayah, seperti Mediterania, Timur Dekat, Timur Tengah, Eropa, dan sekitar Kaukasus . Singkat cerita, teori migrasi menunjukkan bahwa Haplogroup ini berasal dari Timur Tengah sebagaimana terlihat di bagan berikut ini:

Bagan 6-Teori Penyebaran Haplogroup G ke Eropa
 
Bagan 7-Prediksi Migrasi Haplogroup G dengan Lini Waktu

Lagi-lagi  asal-usul  berbagai  Haplogroup,  termasuk  Haplogroup   G itu sendiri masih diperdebatkan, terlepas di mana konsentrasi populasi Haplogroup ini berada . Sebuah teori menyebutkan Haplogroup ini berasal dari daerah sekitar pegunungan Zagros di Iran. Beberapa teori lain yang lebih barn dan kuat menyebutkan Haplogroup G berasal dari daerah bulan sabit (sekitar Suriah, Anatolia, dan Mesopotamia) . Angka-angka di gambar atas menunjukkan perkiraan migrasi ribuan tahun yang lalu.368
Perlu diketahui juga bahwa sampai saat ini studi DNA masih bersifat Eurosentris sehingga analisisnya juga terfokus pada kawasan Eropa dan sekitarnya. Data-data dan studi untuk kawasan lainnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan kawasan Eropa sehingga studinya juga masih sangat terbatas. Sama halnya, sampel-sampel penelitian lebih dinominasi oleh ras kaukasoid, baik dari sisi medis maupun historis sehingga berbagai teori DNA juga banyak yang bersifat Eurosentris .
Sekali lagi perlu dipahami bahwa berbagai teori dan analisis para ilmuwan mengenai masalah migrasi dan kaitannya dengan genetika  itu  semuanya masih bersifat zhanni, bukan qath'i sehingga tidak bisa dijadikan rnjukan yang pasti dan mutlak, apalagi dalam masalah nasab yang berjarak sangat jauh .369 Ketika para ahli dan saintis masih terns mengumpulkan data, mereka-reka, dan menganalisis fenomena populasi genetik ini, sekelompok orang yang tidak punya pengetahuan memadai dengan gegabah dan pongah memastikan asal-usul manusia dan leluhur masa lalunya. Mereka memastikan silsilah dan keturnnan Nabi Muhammad dengan suatu perangkat dan cara yang hasilnya masih bersifat spekulatif .Mereka melakukan sesuatu tanpa pengetahuan yangmemadai semata­ mata dengan menjiplak sekelompok aktivis media sosial peminat antrogenika di internet. Sebagian melakukannya karena dorongan kebencian, kecemburnan sosial, pemahaman keagamaan yang salah, xenofobia,370 atau alasan lainnya.

4.    Kejanggalan dan Keragaman Nasab Jauh
Nasab jauh yang kita bicarakan di sini bukanlah nasab yang berjarak sekitar 10 generasi atau sekitar 300 atau 400 tahunan lamanya. Sebab, jarak selama itu masih mungkin dilacak melalui penelusuran sejarah, arkeologi, atau genealogi. Nasab jauh yang dimaksudkan di sini adalah nasab kabilah-kabilah atau suku­ suku yang sudah berjarak puluhan generasi dan lebih dari 1.000 atau ribuan tahun lalu.
Mungkin analisis statistik migrasi dan populasi yang telah dibahas sebelum­ nya sebagiannya benar, khususnya ketika menganalisis populasi manusia dan "perkiraan" distribusi pola genetik kelompok manusia di beberapa wilayah di dunia. Namun, analisis itu sama sekali bukan kebenaran yang bisa dijadikan acuan dan landasan untuk menganalisis dan membuktikan nasab-nasab jauh yang sudah berjarak puluhan generasi. Bahkan, analisis itu tidak bisa digunakan untuk mendefinisikan dan memastikan ras itu sendiri. Hal ini dibahas panjang lebar oleh Alan Templeton dalam jurnalnya yang berjudul "Biological Races in Humans".371 Kemiripan klaster atau super klaster di sebuah wilayah atau kawasan tertentu, atau  kelompok  tertentu  tidak  serta-merta  bisa  dijadikan  alasan untuk memastikan seseorang itu adalah keturunan orang tertentu yang sudah hidup jauh pada masa lampau. Data di lapangan banyak sekali menunjukkan ditemukannya outliers (hasil berbeda) dan berbagai kejanggalan ketika hal ini diterapkan secara spesifik untuk menganalisis nasab jauh.
Berbagai studi genetika menunjukkan tidak adanya homogenitas gen paternal (Y-DNA) di berbagai populasi masyarakat dan suku-suku atau kabilah-kabilah tertentu, bahkan di daerah yang tidak banyak interaksi dengan masyarakat luar. Belum ada satujurnal ilmiah yang diakui oleh para ilmuwan yang bisa membuktikan orang yang hidup pada zaman modern ini adalah keturunan orang tertentu yang hidup ribuan tahun  silam  tanpa  menggunakan   sampel asli atau fosil manusia yang dianggap leluhurnya itu. Apalagi tanpa penelitian sejarah, arkeologi, dan genealogi secara mendalam . Ini pun keakuratannya masih bisa dipertanyakan! Apakah sampel atau fosil yang dibandingkan itu adalah benar-benar milik manusia yang hidup pada masa lampau itu, atau bukan. Belum lagi kemungkinan mutasi genetik yang tidak diketahui selama periode tersebut  dengan manusia modern itu.
Studi-studi genetika terhadap fosil-fosil manusia yang hidup pada masa lampau seperti Fir'aun dan lainnya biasanya terfokus kepada perbandingan dengan fosil keluarga dekatnya saja yang berada di lokasi yang sama. ltu pun hanya berupa prediksi karena pada umumnya cakupan (coverage) tesnya rendah dan sering kali sampel DNA itu sudah sulit terbaca karena berbagai faktor kontaminasi. Para ilmuwan kemudian mengaitkan hasil-hasil DNA fosil dengan coverage rendah tersebut dengan sampel masyarakat modern  di  kawasan yang sama dengan melakukan analisis yang bisa jadi melahirkan kesimpulan yang berbeda-beda pula. Ini pun hanyalah analisis dan dugaan, bukan sebuah kepastian .
Hal paling spektakuler yang pernah dilakukan dengan menggunakan analisis genetika adalah pelacakan terhadap Raja Inggris Richard III yang hidup pada abad ke-15 dengan menggunakan tulang belulang dan tengkorak yang diduga miliknya . Ini dilakukan melalui pelacakan terhadap kerabatnya yang hidup pada zaman modern dengan melibatkan arkeolog, ilmuwan, sejarawan, para pakar DNA dan ahli silsilah kerajaan . Penelitian itu memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa mengonfirmasi bahwa tulang belulang  itu  benar milik Raja Richard IIl.372 Lalu, bagaimana mungkin sekelompok orang dengan mudahnya dan hanya bermodalkan informasi di dunia maya tiba-tiba menjadi pakar dan mengeklaim bahwa Haplogroup tertentu, SNP tertentu, atau pola genetik tertentu adalah pola genetik Nabi Ibrahim, Quraisy, Bani Hasyim, dan Nabi Muhammad yang hidup jauh pada masa lampau? Apalagi mereka sama sekali tidak  melibatkan  ilmuwan,  arkeolog,  sejarawan,  ahli  nasab,  dan  para pakar dalam bidang terkait . Data yang digunakan pun tidak representatif  dan sangat dipertanyakan  kebenarannya .
Apakah kita menentang ilmu pengetahuan dan ilmu genetika? Tentu saja tidak! Hanya saja ilmu pengetahuan yang ada saat ini belum bisa dijadikan alat untuk menetapkan atau membatalkan nasab yangjauh . Sebab, masih ditemukan banyak kejanggalan, kerancuan, dan berbagai hal lain yang bertentangan dengan fakta sejarah. Beberapa contoh kejanggalan data lapangan  dan heterogenitas itu akan dibahas pada bagian berikut ini.

5.    Analisis Pola Genetik Berbagai Kelompok di Komunitas Yahudi
Analisis terhadap pola genetik berbagai komunitas dan etnis  Yahudi boleh dikatakan merupakan salah satu acuan penting dalam analisis nasab ini. Mengapa komunitas Yahudi yang dianalisis dan dijadikan acuan di sini? Karena berbagai studi ilmiah terhadap kelompok Yahudi inilah yang paling banyak diteliti oleh para ahli genetika . Perusahaan tes DNA dan peneliti bidang genetika juga didominasi komunitas Yahudi. Para pakar dari kelompok Yahudi pulalah yang paling banyak mempublikasikan berbagai referensi dan jurnal ilmiah yang bisa diakses publik. Hal ini tidak mengherankan karena memang orang Yahudi punya perhatian  khusus terhadap etnis dan genetika mereka.
Kelompok etnorelijius Yahudi dikenal sebagai komunitas yang umumnya melakukan perkawinan endogami dan eksklusif . Etnis ini juga dikenal sebagai komunitas yang relatif menjaga nasab mereka, khususnya pada masa lampau, sehingga menarik untuk dijadikan objek penelitian . Di samping etnis Yahudi, kelompok lain yangrelatif kuat menjaga dan mencatatkan sejarah serta genealogi leluhur mereka adalah kelompok Sayid dan sebagian keluarga kerajaan atau aristokrat di beberapa belahan dunia. Misalnya, keluarga kerajaan Inggris dan Eropa lainnya juga punya perhatian khusus dalam penelusuran silsilah keluarga mereka .
Komunitas selain Yahudi tidak banyak melakukan studi ilmiah secara serius. Kebanyakan  hanya melakukan studi internal yang tidak dipublikasikan dalam jurnal ilmiah yang bisa diakses luas. Studi itu biasanya hanya dilakukan oleh beberapa interest group atau berupa proyek yang dilakukan para citizen scientist (peneliti amatir lokal). Namun, kita akan gunakan temuan dan fakta beberapa interest group dan para citizen scientist tersebut sebagai pembanding untuk mengonfirmasi bahwa apa yang terlihat di kelompok Yahudi juga terlihat di kelompok lainnya.
Secara garis besar kelompok etnis Yahudi bisa dibagi menjadi dua grup besar, yaitu Ashkenazi (Yahudi asal Eropa) dan non-Ashkenazi. Karena migrasi penduduk Eropa beberapa abad terakhir ke Amerika, mayoritas Yahudi Amerika berasal dari kelompok Yahudi Ashkenazi. Mereka menjadi kelompok terbesar komunitas Yahudi di dunia saat ini. Yahudi non-Asheknazi terdiri dari berbagai kelompok yang berasal dari kawasan non- Eropa, di antaranya Sefardim (Yahudi dari Afrika Utara dan semenanjung Iberia-Spanyol dan Portugal) serta Yahudi Timur Tengah yang disebut Mizrahi. Yahudi Yaman punya nama sendiri, yaitu Teimanim. Yahudi Kurdi juga  dikelompokkan tersendiri walaupun merupakan bagian dari Mizrahi. Demikian pula Yahudi Asia Selatan yang dikenal dengan Cochin dan Yahudi Afrika Timur, khususnya Ethiopia yang dikenal dengan Beta Israel atau Falasha.
Singkat cerita, berbagai penelitian yang dilakukan para ilmuwan genetik Yahudi itu mencapai kesimpulan bahwa pola genetika keturunan Yahudi itu tidak seragam.373 Benar bahwa ditemukan berbagai klaster DNA yang secara statistik dominan dimiliki kelompok Yahudi. Namun, berbagai klaster itu berlaku hanya untuk kelompok itu dan tidak bersifat seragam untuk semua kelompok Yahudi. Bahkan beberapa penelitian terhadap kelompok Cohen, yang statusnya  diturunkan secara paternal Qalur ayah) dan dikenal ketat menjalankan kehidupan Endogami pada periode yang lama, juga ditemukan Kohanim (bentuk jamak dari Cohen) dipilih sebagai salah satu objek studi karena secara tradisi mempunyai kekhususan berupa otoritas keagamaan dan dianggap kelompok elite para rabi etnis Yahudi yang mengaku dan dianggap sebagai keturunan Nabi Hamn a.s. Dalam tradisi Yahudi biasanya  mereka diberi hak membuka acara-acara peribadatan di sinagoge atau acara-acara keagamaan lainnya . Salah satu peraturan bagi suku Yahudi Kohanim adalah mereka tidak boleh menikahi convert (orang yang masuk agama Yahudi tetapi berasal dari etnis non-Yahudi Bani Israel). Ini juga bertujuan untuk menjaga kemurnian etnis kelompok Kohanim pada masa lalu.
Sebuah studi yang melibatkan 1.575 orang Yahudi menyebutkan hanya sekitar 46% orang yang mengaku Kohanim berada dalam satu  Haplogroup besar yang sama,357 yaitu J-P58. Tidak jelas pada klaster mana mereka berada, tetapi beberapa data belakangan yang lebih detail menunjukkan mereka berada di beberapa klaster di bawah J-P58. Bahkan sebagian clade muncul sebelum Bani Israel itu sendiri ada. Perlu diketahui pula bahwa sampel para Kohanim itu berdasarkan self proclaim, yaitu semata berdasarkan pengakuan mereka sendiri dan mereka dikenal sebagai keturunan Yahudi suku Cohen. Tidak ada verifikasi terhadap keabsahan nasab mereka.
Menariknya, Haplogroup J-P58 yang diklaim sebagai klaster Semitik itu sendiri meliputi berbagai bangsa lain yang tidak termasuk Semitik, seperti beberapa fosil yang ditemukan di Yunani dan Turki berdasarkan penemuan terbaru,374 termasuk penemuan fosil bayi laki-laki di Oylum Hoyiik, Turki yang diperkirakan hidup antara 4000-5000 tahun lalu. Begitujuga fosil beberapa laki­ laki yang ditemukan di gua Hagios Charalambos, Lasithi, pulau Kreta, Yunani. Mereka diperkirakan hidup sekitar 4000 tahun lalu. Belum lagi berbagai fosil dari suku Amorit dan Kan'an yang berada di Haplogroup yang sama, padahal mereka sama sekali tidak ada hubungan dekat dengan Bani Israil. Data genetic sequence detail menempatkan  mereka berada dalam pohon filogeni yang sangat dekat, bahkan bagian kelompok yang dimitoskan sebagai Haplogroup Ibrahimi.375 Menurut sejarah Bani Israil, orang Amorit dan Kan'an ini adalah orang Amalek yang merupakan musuh bebuyutan Bani Israil pada zaman Nabi Musa sampai zaman Nabi Daud. Beberapa tafsir tentang Al-Qur'an Surah Al­ Baqarah ayat 246 mengindikasikan, mereka adalah kaum yang merupakan musuh Bani Israil ini.

"Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: 'Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.' Nabi mereka menjawab: 'Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.' Mereka menjawab: 'Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari  anak -anak  kami?'  Maka tatkala perang  itu diwajibkan  atas mereka,
mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang yang zalim.'' (QS Al-Baqarah: 246).

Bagaimana mungkin Kan'an ini saudara dekat Bani Israil, sementara Alkitab sendiri menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Ham ibn Nuh, bukan Sam ibn Nuh .376 Kita tidak mengetahui hakikat sebenarnya.
Mereka mengeklaim, J-FGC8712-yangberdasarkan pohon filogeni merupa­ kan keturunan J-P58-adalah Haplogroup Nabi  Ibrahim!  Dari  perhitungan tahun mutasi SNP, Haplogroup J-FGC8712 ini diperkirakan muncul 3100 tahun silam, yaitu sekitar 1100 tahun SM. Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim hidup 1100 tahun sebelum Masehi sedangkan menurut sejarah ia hidup jauh sebelum itu. Masa ini diperkirakan sekitar zaman Nabi Daud atau Nabi Samuel.377 Menurut sejarah Bani Israil sendiri, Nabi Ibrahim paling tidak diperkirakan hidup sekitar 2000 tahun SM.
Sebuah sumber sejarah mencatat bahwa sekitar 1200 tahun lebih Sebelum Masehi seorang raja Mesir bernama Mernephtah telah menyebut Israel sebagai sebuah "bangsa". Informasi tersebut bisa didapatkan pada tautan berikut :

https://www .historyofinformation .com/detail.php?id=1561#:-:text=The%20 line%20referring°/o20to%20Mernephtah's,11%2D29%2D2008).

Pada prasasti itu disebutkan :
"Mernephtah states that he defeated AshkelonOffsite Link, GezerOffsite Link, Yanoam and Israel among others. It is preserved  in the Museum of Egyptian Antiquities Offsite Linkin Cairo."

"Mernephtah menyatakan bahwa dia mengalahkan Ashkelon, Gezer, Yanoam, dan Israel. (Prasasti sejarah yang menyebutkan ini) Disimpan di Museum Barang Antik Mesir di Luar Kota Kairo."

Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim hidup jauh sebelum zaman Mernephtah, karena Israel sebagai sebuah bangsa atau "negara" telah disebutkan oleh Mernephtah yang hidup sekitar 1200 SM. Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim bisa hidup pada masa setelah Mernephtah menyebutkan nama Israel itu sendiri sedangkan Bani Israil adalah ketumnan Nabi Ibrahim. Kalau analisis DNA dijadikan mjukan maka sejarah yang kita pahami selama ini menjadi salah semua dan hams ditulis ulang termasuk sejarah yang terkait dengan ajaran agama kita akan menjadi mitos semuanya.
Data statistik tes DNA yang dilakukan terhadap sejumlah kelompok Yahudi yang dimjuk dalam artikel ilmiah tersebut bisa dilihat di Bagan 9-Distribusi Frekuensi Kelompok Yahudi secara Umum dan Cohen secara Khusus. Bagan di atas menunjukkan distribusi Haplogroup Yahudi secara umum (Non-Kohanim), sedangkan grafik di bawahnya khusus menunjukkan distribusi kelompok Kohanim yang mengaku sebagai ketumnan Nabi Hamn.
Dari klaster J1-PSS itu sendiri tidak ada informasi lebih detail yang menunjukkan masa munculnya para Kohanim . Sangat mungkin sekali mereka berada di berbagai klaster yang bahkan sama sekali tidak berhubungan pada zaman Nabi Musa dan Nabi Hamn . Menumt teori DNA J1-P58 muncul
sekitar 9.000 tahun lalu, jauh sebelum Nabi Ibrahim . Maka, jangankan dengan Nabi Hamn, sangat mungkin orang-orang ini tidak ada hubungan sama sekali dengan Nabi Ibrahim. Nabi Musa dan Hamn diperkirakan hidup sekitar 1500-1600 tahun sebelum Masehi atau sekitar 3600 tahun lalu.
Di situ jelas sekali bahwa Haplogroup kelompok Yahudi sendiri beragam dan jelas berbagai kelompok Yahudi muncul di berbagai Haplogroup dan clade yang berbeda. Demikian pula yang terlihat di kelompok  Lawi atau Levi, satu kelompok kasta aristokrat Yahudi yang Kohanim menjadi salah satu cabang khususnya. Suku Yahudi Levi atau Lawi juga ditumnkan secara paternalistik. Mereka memiliki tradisi aristokratis dan keagamaan  dalam  sejarah  Yahudi. Satu hal yang menarik, suku Yahudi Ashkenazi Levi yang bukan dari kelompok Kohanim  kebanyakan  berada  di  Haplogroup   Rla-M198  yang  sampai  saat ini dipercayai berasal  dari Timur Tengah juga .378 Menurut versi analis DNA, leluhur mereka datang ke Timur Tengah belakangan dan berasimilasi dengan orang Yahudi. Mayoritas keturunan Yahudi tidak menerima ini karena mereka meyakini sebagai keturunan Yakub ibn ishak ibn Ibrahim.Hampir 50% Ashkenazi Lawi berada di Haplogroup ini. Konon jumlah populasi Yahudi Ashkenaszi suku Levi ini mencapai 200 ribu orang,379 satu jumlah besar yang tidak mungkin jika semuanya palsu! Di antara mereka adalah keluarga para rabi marga Horowitz yang mampu menelusuri jejak leluhurnya sampai ke abad ke-15 M. Jika klaim mereka benar, berarti mereka pun termasuk golongan Bani Israil dan keturunan Nabi Ibrahim tetapi berada pada Haplogroup yang berbeda .
Ada lagi kelompok elite Kohanim yang punya sejarah kokoh seperti keluarga para rabi Kohanim di pulau Jarba, Tunisia. Menurut riwayat dan sejarah Yahudi, kelompok ini mendiami pulau Jerba sejak 2500 tahun lalu dan dianggap paling ketat menjaga keyahudian mereka . Konon mereka mengungsi setelah Nebu­ kadnezar menghancurkan kerajaan Judah (Yudea) sekitar 587 tahun SM.380  Para Yahudi Kohanim pulau Jerba ini berada di Haplogroup J2-M318 dan sama sekali tidak berada di kelompok klaster Kohanim J1-P58 yang diklaim sebagai klaster semitik dan leluhur Nabi Ibrahim itu. Demikian pula kelompok Kohanim yang berada di Iran, juga berada di J2 dan tidak masuk dalam Haplogroup J1 di mana mayoritas Kohanim lainnya berada. Banyak lagi contoh lain yang bisa diberikan tetapi tidak dimasukkan di sini untuk membatasi pembahasan  dan ruang.
Berbagai data dari jurnal-jurnal ilmiah itu lagi-lagi mengonfirmasi tidak adanya keseragaman kelompok Yahudi. Berbagai fakta dan kesimpulan ini banyak ditemukan di jurnal ilmiah dan pendapat para saintis. Salah satu hasil tes DNA interest group Yahudi yang melakukan proyek sukarela yang difasilitasi oleh Family Tree DNA bisa dilihat di: https://www .familytreedna.com/publik/

Tabel 2-Distribusi Frekuensi
Kelompok Yahudi secara Umum dan Cohen secara Khusus

Hebrew?iframe=ycolorized . Ada lebih dari 500 sampel tes DNA dalam proyek tersebut. Sebagaimana juga interest group lain, tidak semua anggota interest group tersebut adalah Yahudi karena siapa pun bebas menjadi anggota proyek ini selama disetujui oleh administratornya. Meski demikian, sangat wajar diasumsikan jika mayoritas anggotanya adalah keturunan Yahudi, karena tentu mereka yang lebih berkepentingan ikut dalam interest group tersebut. Dari sini jelas terlihat keberagaman kelompok mereka. Data-data lainnya yang serupa bisa juga  dijumpai di situs Jewish DNA: https://jewishdna .net.

Ironisnya,  ada sekelompok  orang yang mempertontonkan  kebodohannya di publik dengan nyaring dan tanpa henti. Mereka koar-koar bahwa Haplogroup G adalah Haplogroup Yahudi Ashkenazi. Jelas-jelas ini pembodohan publik. Yahudi Ashkenazi itu adalah istilah yang diberikan untuk orang Yahudi yang berasal dari Eropa. Dari berbagai hasil uji DNA jelas sekali bahwa Yahudi Ashekanazi tersebar di berbagai Haplogroup, bahkan untuk kasus Kohanim persentase di beberapa clade di Haplogroup J1 dan J2 relatif lebih banyak dari Haplogroup lain. Persentase Yahudi Ashkenazi yang berada di Haplogroup G sangat kecil dan clade-nya sama sekali tidak ada hubungan dengan kelompok Alawiyin Uraydhiyin (Bani Alawi).
Komunitas Yahudi adalah komunitas tertutup, khususnya pada masa silam. Secara teori dan logika persentase heterogenitasnya tidak akan terlihat seperti yang ada sekarang ini tetapi kenyataannya tidak demikian. Sulit menerima jika mayoritas berasal dari leluhur yang berbeda, khususnya kelompok Levi dan Kohanim. Sekelompok keluarga Kohanim terkenal menjaga eksklusivitas mereka, seperti marga Spira381 dan para rabi dari marga Rappaport .382 Terlihat di kelompok mereka sendiri beragam dan sama sekali tidak berada dalam klaster besar Kohanim J1-P58 itu. Penelitian terhadap kelompok Yahudi lainnya, yang secara umum disebut oleh komunitas Yahudi sebagai Bene Yisrael (Bani Israil) malah menunjukkan heterogenitas yang lebih besar lagi. Demikian pula DNA kelompok yang mengaku sebagai Davidic line (keturunan Nabi Daud) yang juga beragam. 383 Terlalu banyak fakta lapangan dan sejarah yang menolak mitos bahwa keturunan Nabi Ibrahim adalah J1-P58 itu atau mitos bahwa Ibrahimi itu hams berada di Haplogroup J.

Beberapa ilmuwan Yahudi mencoba menjawab keberagaman ini dalam jurnal ilmiah yang mereka terbitkan . Di antaranya mereka berteori tentang asumsi keragaman leluhur. Sebagian agamawan mereka juga ada yang menganggap bahwa sekelompok Yahudi yang bervariasi itu bukan keturunan Nabi Ibrahim. Jawaban ini tidak memuaskan dan sangat bersifat dugaan. Memang benar diakui adanya konversi beberapa kelompok masyarakat pada zaman dahulu tetapi tidak mungkin terjadi secara masif dan begitu banyaknya masuk ke golongan elite Levi (Lawi), apalagi kelompok Cohen yang menjalankan praktik endogami dan menetapkan persyaratan ketat pada masa silam. Tidak mungkin Bani Israelnya sendiri menjadi minoritas akibat percampuran itu. Analisis-analisis ilmuwan Yahudi yang menyimpulkan bahwa leluhur mereka sangat beragam juga bertentangan dengan para sejarawan Yahudi dan ditolak oleh banyak agamawan dan ilmuwan Yahudi. Kenyataannya, mayoritas orang Yahudi saat ini, apalagi etnis Levi dan Cohen tetap mengaku sebagai keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi Hamn.
Tidak mungkin muncul keragaman kelompok yang begitu banyak dan membentuk berbagai klaster tersendiri jika tidak terjadi suatu perubahan besar pada masa silam dan yang hingga sekarang tidak diketahui penyebabnya . Kita tidak tahu secara pasti perubahan apa yang terjadi selama ribuan tahun dan puluhan atau ratusan generasi itu.
Sekali lagi  perlu diingatkan, pengetahuan manusia tentang hal ini terns berkembang dan berubah! Misalnya, pada awal 2000-an para ilmuwan menemukan bahwa sel-sel bayi juga lewat dan berinteraksi dengan  sel-sel induk ibu. Dengan kata lain, sesuatu yang disebut microchimerism terjadi. Konsep microchimerism mengacu pada situasi di mana seseorang atau makhluk memiliki sel-sel individu lain dalam organismenya, karena dalam interiornya persentase kecil DNA berbeda dari DNA-nya . Sel-sel ini membangun hubungan dengan karakteristik genetika dari subjek, mampu menciptakan  hubungan antara kedua jenis  sel, yang mengarah  pada konsekuensi  positif  dan negatif .

Ini bisa terjadi hanya temporer atau dalam waktu yang lama pada ibunya,384 atau manusia yang diturunkannya bisa memiliki kelainan, tetapi ini adalah suatu hal yang tidak diketahui sebelumnya . Karena itu, sangat gegabah jika kita mengambil kesimpulan tergesa-gesa seperti yang dilakukan kelompok begal nasab itu. Ilmu ini masih berkembang dan masih banyak hal yang belum diketahui.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surah al-Isra' ayat 6-7:

"Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri danjika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua,(Kamidatang kan orang lain)untuk menyuramkan muka-mukamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh­ musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai." (QS Al-lsra': 6-7)

Ayat di atas berbicara mengenai Bani Israil ketika mereka kembali ke Palestina. Banyak ulama menafsirkan ayat 6 itu dengan keadaan dan kejadian pada zaman sekarangini, ketika kaum Yahudi menguasai tanah Palestina dan berada di puncak kekuasaan serta menjadi  kaum yang sangat kuat. Ayat 7 menjelaskan  bahwa kehancuran mereka akan terulang sebagaimana yang pemah terjadi dahulu.

Lalu, apa kaitan ayat tersebut dengan pembahasan DNA? Data statistik kaum Yahudi modern yang mengaku sebagai Bani Israil menunjukkan keberagaman pola genetik mereka . Kelompok genetik yang diklaim sekelompok orang sebagai keturunan Nabi Ibrahim itu juga hanya merupakan salah satu bagian kecil dari berbagai klaster genetik etnis Yahudi. Dengan kata lain, jika kita gunakan klaim orang yang mengusung teori bahwa Haplogroup Nabi Ibrahim adalah J-FGC8712 maka melihat statistik Bani Israil, keberadaan kelompok ini sangat kecil di Palestina . Memang benar tidak semua orang Yahudi di tanah Palestina saat ini adalah Bani Israil karena berbagai macam faktor, termasuk konversi agama, percampuran, dan lainnya. Namun, jika kita memercayai ayat Al-Qur'an di atas maka ayat tersebut menyebutkan bahwa Bani Israil itu akan kembali ke tanah Palestina yang berarti secara logika mereka adalah Bani Israil dan jumlahnya seharusnya lebih banyak dari Yahudi non-Bani Israil. Ayat dalam Surat Al-Isra' tersebut menyebutkan "Bani Israil", frasa yang berarti biologis. Al-Qur'an tidak menyebutkan kata "Yahudi" yang mengacu pada makna agama atau budaya. Fakta DNA menunjukkan sebaliknya: kelompok yang dianggap "Ibrahimi" itu bahkan hampir tidak terlihat. Apakah kita memercayai Al­ Qur'an yang menceritakan kenyataan tentang kembalinya Bani Israil saat ini ke Palestina ataukah hasil tes DNA yang sangat spekulatif dan hanya menunjukkan fraksi kecil saja yang berada di J-FGC8712?
Karenanya, seseorang tidak bisa begitu saja menyimpulkan jika pola genetikanya bukan J-FGC8712 atau J1-P58 atau X atau Y misalnya maka dia bukan Ibrahimi. Secara statistik jumlah yang berada di bawah klaster genetik yang diklaim Ibrahimi itu sama sekali tidak dominan. Bahkan kalaupun ada, jumlahnya  sangat sedikit dalam populasi genetika orang Yahudi.

6.    Keragaman Suku-Suku Arab dan Mitos Haplogroup Ibrahimi
Tentu kita belum merasa puas jika contoh yang diberikan sebelumnya hanya dibatasi pada kelompok suku-suku Yahudi. Wajarjika muncul pertanyaan, apakah heterogenitas ini juga dijumpai di suku-suku lain yang menjaga nasab  dan kesukuannya, khususnya suku-suku Arab di Timur Tengah. Variasi genetik ini juga terlihat jelas di banyak populasi suku-suku Arab di Timur Tengah.385 Fakta ini bisa kita lihat dari berbagai hasil uji DNA yang dipublikasikan berbagai interest group suku-suku Arab dan populasi berbagai etnis di Timur Tengah di situs Family Tree DNA yang menyediakan fasilitas dengan kolaborasi publik. Di sana terlihat jelas berbagai suku Arab dengan Haplogroup besar E, Jl, J2,G, T, dan R dengan berbagai super klasternya .
Contohnya, marga Al ibn Ali yang merupakan salah satu suku yang bermuara ke Bani Sulaim, salah satu suku Arab Adnani juga . Banyak dari mereka berada di Haplogroup G, seperti yang ditunjukkan di Tabel 3-Marga Al ibn Ali Bani Sulaim Adnani di Haplogroup G. Sekelompok suku-suku Arab yang bermuara ke Anzah dan Bani Tamim yang berada di kawasan Hail, Saudi Arabia berada di Haplogroup G-216670.386 Sementara kelompok lain berada di Haplogroup lainnya, seperti J-M267 . Bani Tamim dan kelompok kabilah 'Anzah adalah suku­ suku yang termasuk kelompok 'Adnani.
Selanjutnya, ribuan sampel DNA suku-suku Arab dengan berbagai cabangnya ada juga yang berada di Haplogroup T. Misalnya, marga Khalifah yang berada di Bahrain . Penguasa Bahrain saat ini adalah merupakan bagian dari marga Khalifah yang berada di Haplogroup ini. Secara nasab, marga Khalifah ini adalah salah satu suku cabang 'Anzah387 , bagian dari grup besar Rabi'ah yang secara nasab termasuk suku 'Adnani yang juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim. Mereka berada di Haplogroup T dan mengklaster di bawah T-Y8853. Lihat Tabel 4-Sampel Marga Khalifah Berada di Haplogroup T.

Tidak hanya sampai di sini saja, suku-suku Arab dari kelompok 'Adnani dan Qahthani terlihat berada di berbagai Haplogroup yang sama atau berbeda. Ini bisa ditunjukkan di salah satu hasil uji DNA di interest group Haplogroup R-Arabia berikut ini.388 Beberapa marga di sini jelas berasal dari Suku Qahthani, bukan Adnani, tetapi muncul di Haplogroup R. Di daftar tersebut bahkan ada beberapa sampel yang berasal dari kelompok Asyraf (keturunan Nabi melalui cucunya, Hasan dan Husain). Ironisnya, ada orang yang mengaku ahli filologi dengan yakin dan bodohnya mengatakan bahwa keturunan Adnan berada di Haplogroup Jl, sedangkan keturunan Qahthan yang (berdasarkan buku yang dibacanya) dikenal juga sebagai Yamaniyun (orang yang berasal dari Yaman) berada di Haplogroup G. Jelas ini perkataan orang yang tidak pernah belajar dan memahami ilmu nasab, apalagi ilmu DNA. Kalau ia tidak tergesa-gesa dan sedikit mau belajar serta menerima kebenaran, dia akan melihat bahwa secara statistik Yaman adalah  wilayah dengan populasi Haplogroup J1 terbesar di Timur Tengah, bahkan di dunia. Mengikuti kaidahnya sendiri, pendapatnya itu berlawanan 180 derajat dengan kenyataan, karena Yamaniyun yang keturunan Qahthan itu malah kebanyakan berada di Haplogroup J, sedangkan sampel­ sampel kelompok Adnani dari Yaman berada di Haplogroup G atau lainnya. Inilah jika kita semata mencocokkan teori dengan keinginan dan khayalan kita tanpa menggunakan data dan ilmu yang tepat. Hal ini sesuai dengan perkataan Ibn Hajar al-'Asqalani yang terkenal:

"Barang siapa yang berbicara  mengenai hal yang bukan bidangnya  maka dia akan menampakkan hal-hal yang aneh."

Orang Arab  biasanya  menggunakan  nama  keluarga  dan  marga  untuk mengenali asal suku atau kelompok mereka. Kita sama sekali tidak bisa serta-merta menafikan nasab ribuan atau jutaan orang yang secara turun-temurun mengetahui dan menjaga marga suku-sukunya tiba-tiba dianggap bukan dari suku itu dan dianggap mencantolkan nasab. Walaupun faktor konfederasi suku ( hilf) itu ada, dimana seseorang, sekelompok orang, atau suku bisa menggunakan nama suku lainnya, secara umum faktor genealogis lebih dominan daripada faktor hilf , kecuali jika kita mengetahui dengan pasti. Pada umumnya, masyarakat Arab selalu menjaga nasab mereka, karena itu telah menjadi tradisi mereka.\
 
"Orang-orang itu menjaga nasab mereka ."

Dominasi Haplogroup tertentu di kawasan tertentu, seperti Haplogroup J1 di populasi Timur Tengah tidak serta-merta berarti bahwa Nabi Ibrahim, Adnan, Quraisy, atau Bani Hasyim pasti berada di Haplogroup ini.
Kabar yang beredar di internet dan media sosial adalah kabar yang misleading (menyesatkan). Ironisnya, kampanye mereka itu sangat nyaring diteriakkan, terns disebarkan, dan didukung teori semu yang dipersepsikan sedemikian rupa sehingga dipercayai orang banyak. Padahal semuanya masih bersifat zhanni (dugaan), spekulatif, dan semu.

Ada baiknya kita melihat latar belakang munculnya analisis DNA terkait keturunan . Setelah beberapa studi DNA untuk melacak keturunan dilakukan dan beberapa  keberhasilan  terbatas  dalam  menguak  pertalian  hubungan dekat, baik patrilineal Qalur ayah) maupun matrilineal Qalur ibu) sekelompok orang dan para ilmuwan di komunitas Yahudi melakukan berbagai penelitian genetika, khususnya terhadap komunitas mereka. Seorang pengusaha kaya keturunan Yahudi bernama Bennet Greenspan pada tahun 2000-an berinisiatif membuat perusahaan yang menjual jasa pelacakan keturunan dan etnis kepada publik. Sebagai pengusaha  serta peminat genetika dan ilmu keturunan, Bennet Greeenspan dan kawan-kawannya melihat peluang bisnis besar di sini. Dia mengajak  Dr.  Michael  Hammer  untuk  memimpin  tim  teknis. Dr.  Hammer dikenal sebagai ilmuwan ahli genetika yang ikut dalam penelitian genetika kelompok Yahudi yang mempublikasikan pola genetika Yahudi di penghujung tahun  1990-an dan awal 2000-an.
Sejak saat itu jasa tes DNA dengan berbagai jenisnya dipasarkan kepada konsumen, baik produk yang bernama fam ily finder untuk memperkirakan etnis dengan metode autosomal DNA (kombinasi ayah ibu) dan pelacakan keluarga, Y-DNA yang melihat kromosom Y yang diturunkan dari jalur bapak saja, atau mtDNA yang melihat mitokondria yang diturunkan melalui jalur ibu saja. Beberapa varian dan produk tes dikembangkan dan ditawarkan ke publik dengan berbagai harga, termasuk tes yang berkaitan dengan kesehatan dan penyakit. Perkembangan ini menarik perhatian masyarakat Barat, khususnya di Amerika yang mayoritas penduduknya adalah imigran dan masyarakat majemuk dengan kebutuhan sekunder yang sudah berkembang . Tentunya di samping keingintahuan masyarakat mengenai hubungan pertalian famili mereka yang tersebar di Amerika dan negara asalnya, juga "perkiraan etnis" dari populasi mana mereka berasal. Namun, tidak sedikit yang melakukannya hanya untuk iseng.

Bisnis ini berkembang pesat dan menarik banyak peminat untuk ikut bermain sehingga muncul citizen scientists (peneliti amatir) yang membentuk berbagai interest group dengan fokus untuk meneliti  kelompok-kelompok etnis. Dalam perkembangannya, beberapa orang yang mengaku sebagai citizen scientist dan  difasilitasi  oleh  perusahaan  Familiy  Tree  DNA yang  berpusat di Houston, Texas, mengeklaim dan menyimpulkan secara sepihak bahwa Haplogroup tertentu, yaitu J-FGC8712 yang merupakan bagian dari J-P58 adalah Haplogroup Nabi Ibrahim .

Klaim ini, walaupun tampak dikemas sebagai klaim ilmiah, lebih bermotifkan komersial dan konon ada unsur politis juga di belakangnya . Klaim ini sama sekali tidak didukung oleh penelitian serius dan metodologi ilmiah yang memadai. Belum pernah dipublikasikan di jurnal ilmiah mana pun dan tidak ada sama sekali peer review-nya . Anehnya, dari ratusan sampel para Kohanim yang pernah diteliti secara serius dalam studi genetika Yahudi tersebut hampir tidak ada yang berada di Haplogroup ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin orang yang mengaku dan dianggap  sebagai  keturunan Nabi Hamn yang tentunya juga keturunan Nabi Ibrahim malah hampir tidak ditemukan pada "Haplogroup Ibrahimi" ini. Sementara, yang muncul adalah segelintir orang Yahudi Eropa Timur dan sekelompok orang yang mengaku Asyraf (keturunan Nabi melalui putrinya, Fathimah) . Dan di sisi lain, mayoritas orang yang dikenal sebagai Quraisy, berbagai suku Arab Adnani dan Bani Hasyim lainnya hampir tidak ada yang berada di Haplogroup "Ibrahimi" buatan ini.
Karena sangat menarik perhatian masyarakat dan kalangan bisnis, klaim genetika Ibrahimi, Quraisy, dan Bani Hasyim inikemudian tersebar dimedia sosial dan banyak menarik perhatian pelanggan dan para peminat genetika. Berbagai diskusi dan perdebatan terjadi di media sosial Timur Tengah. Perusahaan Family Tree DNA sangat diuntungkan dengan publisitas ini walaupun klaim dan hasil tes yang digembar-gemborkan itu masih penuh dengan pertanyaan, spekulasi, dugaan, dan kritik para pakar. Lagi-lagi belum ada satu tulisan ilmiah pun yang membahas dan membuktikan seperti apa Haplogroup Nabi Ibrahim, Quraisy, Bani Hasyim, dan Asyraf itu. Semuanya hanya berdasarkan hasil tes yang dipublikasikan di beberapa interest group situs Family Tree DNA dan analisis para netizen dan peminat antrogenika semata. CEO perusahaan FTDNA saat ini (2024) dipimpin oleh Lior Rauchberger, seorang Yahudi Australia .
Hasil yang diberitakan di media sosial itu masih  sangat dipertentangkan (contested), sebagaimana dipublikasikan secara resmi oleh ISOGG, yaitu organisasi internasional terkait genetika keturunan . Bukan hanya Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, Bani Hasyim, dan Quraisy yang dipertentangkan, tetapi berbagai tokoh sejarah lain termasuk Fir'aun, Jengis Khan, dan lainnya.389
Dalam tautan tersebut disebutukan : "Men claiming Hashemite ancestry belong also to other Haplogroups in J or other major Haplogroups, so there is no consensus". Artinya, "Orang yang punya nasab dan mengaku sebagai keturunan Bani Hasyim juga tersebar di berbagai cabang (Haplogroup J lain yang berbeda) dan Haplogroup lainnya. Maka, bisa dikatakan bahwa tidak ada kesepakatan (mengenai hal ini)."
Berbagai heterogenitas yang kita temukan tidak hanya mencakup perbedaan Haplogroup, tetapi juga berbagai kerancuan dan kejanggalan lain yang tidak sesuai dengan sejarah dan pohon nasab. Misalnya, bercampur aduknya suku-suku Adnani dan Qahthani yang tidak bersesuaian dengan jalur nasab mereka . Berdasarkan sejarah dan silsilah yang dipercayai sejarawan dan ahli nasab Arab, Suku Adnani dan Qahthani itu berasal dari jalur leluhur yang berbeda sampai masa jauh sebelum Nabi Ibrahim. Namun kita temui banyak sampel yang seharusnya Adnani berada di kelompok Qahthani, begitu juga sebaliknya. Contoh sederhananya adalah beberapa sampel dari Suku Bani Hamdan berikut ini:
Bani Hamdan adalah Suku Qahthani yang seharusnya tidak bertemu dengan kelompok Haplogroup J-FGC8712 yang diklaim lbrahimi. Namun, analisis Haplotree sampel di atas menunjukkan mereka berada sangat dekat dengan kelompok yang diklaim sebagai "Ibrahimi". Jika ini dipercaya maka ini menunjukkan bahwa mereka adalah Adnani dan tentu saja hal ini bertentangan dengan nasab yang sudah masyhur dan disepakati. Lalu ada lagi orang dari Suku Qahthan yang sama sekali berbeda kelompok dan bervariasi, seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini. Dan, ada banyak contoh lainnya.
Sementara  itu,  berbagai  sampel  sejumlah  orang  dari   Suku   Quraisy dan Adnani lainnya menunjukkan bahwa hampir semuanya tidak berada di Haplogroup J-FGC8712 yang diklaim sebagai Haplogroup Ibrahimi. Bahkan secara perhitungan mutasi SNP, pertemuan SNP mereka jauh di atas Haplogroup "Ibrahimi". Contohnya beberapa sampel Suku Quraisy  dan Bani Tamim di bawah ini:
 
Tabel 6-Bani Hamdan Qahthani di Jalur Dekat Ibrahimi

Bagaimana mungkin Bani Tamim dan Quraisy yang seharusnya adalah Suku Adnani bisa sama sekali berbeda dan tidak masuk kelompok yang dianggap Ibrahimi, bahkan sekelompok Bani Tamim di atas berada di Haplogroup J2 yang sama sekali berbeda . Menurut teori DNA, leluhurnya bertemu belasan ribu tahun lalu, jauh sebelum masa hidup Nabi Ibrahim.
Kelompok pembatal nasabjuga mengampanyekan mitos bahwa Haplogroup Quraisy adalah J-L859 . Menurut perhitungan masa mutasi SNP, tahun kelahiran orang yang dianggap sebagai leluhur bersama Haplogroup ini juga sangat bermasalah . Perhitungan masa mutasi SNP menunjukkan bahwa ia lahir sekitar tahun 500 M, yang berarti barn 1500 tahun lalu. Sementara, Quraisy sendiri sudah ada 11 generasi sebelum Nabi Muhammad lahir pada 570 M. Berikut ini yang tertulis pada situs Family Tree DNA mengenai Haplogroup J-L859 ini.

"The man who is the most recent common ancestor of this line is estimated to have been born around 500 CE. (Orang yang merupakan nenek moyang terbaru dari garis keturunan ini diperkirakan lahir sekitar tahun 500 Masehi) ."

Di grup itu ada beberapa orang yang mengaku keturunan Quraisy dan seharusnya leluhur mereka adalah Quraisy yang hidup 11 generasi sebelum Rasulullah Saw. Anehnya, menurut perhitungan DNA, leluhur bersama ini lahir sekitar 70 tahun sebelum Rasulullah Saw. Mungkinkan ini? Sebaiknya kita gunakan akal sehat dan kewarasan berpikir sebelum menerima kebohongan ini! Dan jika kita gunakan perhitungan Yfull, didapatkan hasil bahwa leluhur
bersama  J-859 yang diklaim  sebagai  Quraisy ini lahir  sekitar 1400 tahun
lalu, yang sama dengan masa hidup Rasulullah .39° Kesimpulan ini jauh lebih mustahil lagi!
Belum lagi berbagai sampel dari orang-orang yang dikenal sebagai Quraisy dengan berbagai cabangnya, seperti Bani Makhzum, Bani Taim (suku Abu Bakar al-Shiddiq sahabat Nabi), Banu Adi (suku Umar ibn Khaththtab), atau Banu Umayyah (suku Utsman ibn Affan) yang sama sekali tidak masuk ke dalam kelompok Ibrahimi atau Adnani atau Quraisy J-L859 itu. Terlalu banyak contoh lain bisa ditemui. Namun, demi alasan praktis dan keterbatasan  ruang kita batasi  hanya beberapa  contoh.
Bukti kejanggalan lain yang sangat penting diketahui adalah ketidaksesuaian Bani Syaibah dengan kelompok yang diklaim sebagai Quraisy dan Adnani. Bani Syaibah adalah salah satu cabang  Suku  Quraisy  yang  secara turun-temurun dari zaman pra-lslam diberikan hak pemeliharaan Ka'bah dan kuncinya.
Pada masa Rasulullah Saw. yang bertugas merawat Ka'bah dan memegang kuncinya adalah Utsman ibn Thalhah. Ketika menaklukkan Kota Makkah, Rasulullah Saw. meminta kunci Ka'bah kepada Utsman ibn Abi Thalhah. Setelah Rasulullah Saw. dan Sayidina Ali ibn Abi Thalib menghancurkan berhala-berhala di dalamnya, Rasulullah menyerahkan kembali kunci Ka'bah kepada Utsman ibn Thalhah, seraya berkata:

"Ambillah ini, wahai Bani Abi Thalhah, selama-lamanya sepanjang masa. Tidak adayang merebutnya dari kalian kecuali orang zalim atau penganiaya ." (HR Thabrani)

Utsman ibn Thalhah lalu mewariskan kunci Ka'bah itu kepada saudaranya, Syaibah. Hingga hari ini, kunci Ka'bah dipegang oleh anak cucu keturunan Bani Syaibah. Merekalah yang bertanggung jawab merawat Ka'bah, termasuk membuka dan menutupnya, membersihkan dan mencucinya, serta merawat Kiswah atau kain penutupnya. Tidak ada seorang pun yang berani mengambil hak ini dari tangan Bani Syaibah sampai hari ini karena menghormati pesan Nabi tersebut .
Menariknya, hasil tes DNA beberapa keluarga Bani Syaibah pemegang kunci Ka'bah ini sama sekali berbeda dengan Haplogroup mitos DNA Quraisy yang digadang-gadang itu, sebagaimana ditunjukkan di Tabel 9-Hasil Sampel Bani Syaibah Pemelihara Ka'bah. Alih-alih berada di Haplogroup J1 dan Haplogroup mitos Ibrahimi atau mitos Quraisy, mereka malah berada di Haplogroup R yang pertemuannya sangat jauh dengan Haplogroup Quraisy. Pertanyaan penting yang hams kita jawab sebagai seorang Muslim adalah apakah hadis Nabi Saw. yang benar ataukah kita lebih memercayai mitos Haplogroup Quraisy J-L859 yang masih bersifat spekulatif dan zhanni?
Hasil analisis Haplotree beberapa keluarga Bani Syaibah pemegang kunci Ka'bah terkait beberapa sampel di atas bisa juga dilihat pada hasil analisis perusahaan yang bernama YFull seperti di bawah ini.

Bagan 8- Haplotree Sampel Bani Syaibah Pemelihara Ka'bah


Ketiga sampel di atas berasal dari keluarga yang sama. Diperkirakan mereka bertemu pada leluhur yang berjarak sekitar 175  tahun  atau  sekitar enam  generasi.
Demikian pula suku Bani Khalid yang dikenal sebagai keturunan Bani Makhzum, yang merupakan bagian dari Suku Quraisy.391 Ada juga yang menye­ butkan mereka adalah bagian dari kabilah Rabiah Bani Hawazin, keduanya merupakan kabilah Adnani. Banyak dari mereka berada di Haplogroup T yang berkumpul pada klaster clade tertentu seperti ditunjukkan pada beberapa sampel bawah ini. Tidak ada satu pun yang berada di bawah Haplogroup J1 atau cabangnya J-L859 yang dianggap clade Quraisy.

Hal lain yang lebih ironis dan lucu adalah munculnya sekelompok orang yang sama sekali tidak memahami tes DNA dan nasab lalu menggunakan hasil estimasi etnis tes autosomal DNA untuk membatalkan nasab jalur paternal Qalur ayah). Ini adalah pembodohan publik yang luar biasa. Uji DNA autosomal itu tidak bisa digunakan untuk melacak keturunan jalur paternal (ayah), apalagi leluhur masa lampau yang hidup ratusan atau ribuan tahun lalu. Uji DNA autosomal hanya bisa memperkirakan kekerabatan sampai sekitar 5-7 generasi.
Perlu dipahami benar  dan  sebagaimana  disebutkan  sebelumnya  bahwa tes estimasi etnis yang menguji autosomal DNA sangat bergantung kepada database dan metode yang digunakan . Estimasi ini berkembang seiring dengan bertambahnya database yang dimiliki perusahaan sehingga hasilnya pun bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu, begitu juga dengan algoritma dan software yang digunakan. Di samping itu, pendefinisian dan pemetaan pola-pola genetik kelompok masyarakat itu bisa berbeda dan berkembang, juga sangat tergantung kepada kelengkapan dan keakuratan data statistik yang mereka miliki. Karena itu, biasanya komposisi dan persentase estimasi etnis autosomal tes antara perusahaan A dan perusahaan B selalu berbeda dan bisa jadi sangat berbeda. Tidak jarang etnis A muncul pada hasil tes perusahaan X tetapi tidak muncul pada hasil tes perusahaan Y, begitu juga sebaliknya .
Sangat umum ditemui hasil estimasi etnis ini sama sekali tidak akurat bahkan sangat janggal, baik dari sisi komposisi maupun persentase . Ini bisa dengan mudah ditemui di berbagai perusahaan DNA ternama di dunia seperti Familiy Tree DNA, 23andMe, AncestryDNA, MyHeritage atau lainnya . Ironisnya, banyak orang awam yang secara serampangan dan bodoh menggunakan ini sebagai acuan untuk masalah nasab, padahal tes autosomal itu sama sekali tidak valid untuk pelacakan nasab patrilineal Qalur ayah semata). Sungguh bodoh mereka yang menggunakan hasil tes DNA seorang wanita figur publik yang akurasinya sendiri sangat dipertanyakan sebagai acuan untuk menetapkan atau membatalkan nasab. Apalagi perusahaan penyedia jasa tes DNA pun tidak memiliki database yang memadai untuk menguji DNA etnis tertentu .Akibatnya, hasil ujinya pun terlihat aneh.
Alih-alih digunakan sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan kesehatan, pelacakan kekerabatan, penegakan hukum, dan lain-lain, tes DNA malah dijadikan sarana untuk membatalkan nasab-nasab yang sudah masyhur di kalangan umat selama ratusan tahun . Akibatnya,  muncul  kericuhan  dan polemik pada berbagai platform media sosial di beberapa negara berpenduduk Muslim, khususnya di Timur Tengah. Lebih jauh, isu ini memunculkan fitnah dan gejolak sosial di kalangan umat Islam. Kericuhan dan polemik tampaknya meluas sampai ke Indonesia . Tentu saja perkembangan ini sangat menyedihkan dan merugikan umat Islam. Masih banyak hal yangjauh lebih bermanfaat untuk digali dibandingkan berpolemik dan membatalkan nasab yang sudah masyhur sepanjang masa . Rasulullah Saw. bersabda :

"Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang  tidak bermanfaat." (HR Tirmidzi No. 2317; Ibn Majah No. 3976)

7.    Kerancuan DNA Kelompok Sadah/ Asyraf dan Bani Hasyim392
Kerancuan dan heterogenitas jalur genetik Ibrahimi, Adnani, Qahthani, Quraisy yang sudah dibahas panjang lebar sebelumnya juga muncul pada kelompok Bani Hasyim dan Siidah-Asyraf . Para pendukung pembatal nasab mengusung mitos bahwa keturunan Nabi hams berada di bawah Haplogroup mitos J-FGC10500. Mitos itu disandarkan atas hasil uji sekelompok orang yang mengaku sebagai Sayid atau keturunan Bani Hasyim . Klaim ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil dan rujukan untuk menentukan apakah seseorang itu keturunan Nabi, Bani Hasyim, atau Sayid. Klaim ini juga tidak bisa digunakan untuk membatalkan nasab kabilah yang sudah sangat dikenal dari zaman dahulu dan sah secara syariat sebagai Bani Hasyim atau Asynif (keturunan Nabi Saw.). Mengapa klaim tersebut tidak bisa diterima dan hams ditolak secara ilmu dan syariat? Berikut ini beberapa alasannya:
1)    Metadatanya tidak bisa dipertanggungjawabkan . Tidak ada validasi ke­ benaran nasab sampel-sampel yang digunakan dalam tes DNA orang yang mengaku sebagai Quraisy, Bani Hasyim, atau sayid tersebut . Semua data dan sampel yang digunakan semata-mata berdasarkan self proclaim atau pengakuan sepihak tanpa ada verifikasi nasab oleh para ahli nasab atau Naqib al-Asyriif .
2)    Tidak ada satu pun jurnal ilmiah yang mempublikasi seperti apa pola genetik Quraisy, Bani Hasyim atau Asyriif itu. Bahkan seandainya ada, sebuah jurnal ilmiah atau catatan analisis barn hams melalui proses peer review 393 dan menghadapi kritik para pakar di bidang-bidang terkait untuk dipertanggungjawabkan  keilmiahannya .
3)    Konon proyek tes DNA Bani Hasyim itu sampai saat ini memuat lebih dari 1.600 sampel DNA. Dari jumlah ini hanya sekitar 200 sampel yang bersesuaian dengan kelompok mitos Asyraf . Dengan kata lain, tidak sampai 15% dari sampel yang ada yang mengerucut ke beberapa klaster yang dianggap Asyraf . Lalu, ke mana 85% lainnya? Apakah mereka ini bukan Asyraf? Anggaplah 500 orang darijumlah itu hanya ingin ikut berpartisipasi dan mereka memang bukan Asyraf . Lalu, yang 800 orang lebih (>50%) yang punya nasab yang jelas dan diketahui sebagai Asyraf dengan nasab yang benar itu batal semua nasabnya? Masuk akalkah ini?
4)    Tidak ada konsensus seperti apa pola genetik Ibrahimi, Adnani, Qahthani, Quraisy, Bani Hasyim, dan Siidah-Asyriif .Berbagai data dan fakta di lapangan menunjukkan mereka tersebar di berbagi klaster dan pola genetik yang berbeda. Sebuah organisasi internasional komunitas Genetic Genealogy yang disebut  Inemational  Society of  Genetic  Genealogy  (ISOGG)  dalam situsnya menyebutkan : "No descendant by classical genealog y (Hashemite, Sharif , Abbasid) of Abdul Muttalib has published positive testing for L859.394 (Tidak ada keturunan Abdul Mutthalib berdasarkan silsilah klasik yang disepakati [Bani Hasyim, Syarif, Bani Abbas] yang menerbitkan tes positif untuk L859)."
5)    Tes DNA yang dilakukan terhadap kelompok Siidah-Asyriif sama sekali tidak representatif karena banyak sekali kelompok  Siidah-Asyriif  yang tidak terwakili. Siidah Uraydhiyah dengan berbagai cabangnya, Siidah Idrisiyah dengan berbagai cabang besarnya, Siidah Kattaniyah, Siidah Rifaiyah, Siidah Jailaniyah, Ayyasyi, Alawiyin Filaliyin, Al-Ahdal, Qudaimi, Musya'syain, Barzanji, Siidah Zahrawiyah, Ismaili,  Siidah  Hamzawiyah, dan banyak lagi kelompok lainnya tidak  terwakili dalam proyek amatir yang dilakukan oleh interest group tersebut . Terlalu banyak kelompok Sayid yang tidak terwakili dalam tes DNA ini sementara jumlah kelompok Siidah sendiri lebih dari seratus kelompok.  Tidak  diketahui  seperti  apa pola genetik mereka. Adalah hal yang tidak jujur menggunakan segelintir orang  dari  kelompok  tertentu-bahkan  tanpa  verifikasi-sebagai   acuan dan menyimpulkan secara prematur. Di sisi lain dengan gegabah menegasi berbagai kelompok Siidah lainnya yang sudah disepakati secara syariat.
6)    Hasil-hasil DNA yang diklaim sebagai Siidah-Asyriif ini  banyak  yang tidak sesuai dengan silsilah nasab yang disepakati oleh para ahli nasab, baik musyajjar nasab Hasani maupun Husaini. Sebagian sampel yang dikelompokkan dalam satu grup berada di posisi yang tidak sesuai dengan pohon nasab dan terkesan dipaksakan . Contohnya adalah salah satu sampel berikut ini:
NP J-FGC39790 di atas diklaim dan ditulis jelas sebagai keturunan Musa al-Kazhim . Namun, menurut analisis DNA, sampel ini tidak masuk dalam grup Husaini, tetapi Alawi-Abbasi (keturunan Abbas ibn Ali, bukan jalur Fathimah) . Bagaimana mungkin seorang keturunan Musa al-Kazhim tetapi tidak termasuk Husaini? Sama halnya, ada sampel dari kelompok S<idah Qudaimi yang secara nasab bersambung kepada Musa al-Kazhim malah muncul di kelompok Abbasi-Alawi .
7)    Munculnya orang-orang yang secara silsilah nasab bukan termasuk kelompok Sayid tetapi muncul di DNA dalam kelompok Sayid. Contohnya adalah Marga al-Gatham yang secara nasab termasuk kelompok marga Khalifah di Bahrain (bukan Quraisy) tiba-tiba muncul di kelompok yang diklaim sebagai Bani Hasyim .
Contoh lain yang lebih aneh adalah munculnya seorang Katolik dari Cantabria, Spanyol Utara yang tiba-tiba dikelompokkan sebagai Sayid Husaini yang bahkan diprediksi berasal dari kelompok S<idah A'rajiah.
Apakah masuk akal jika Mario Reynoso Guemes yang berasal dari Cantabria, Spanyol, dan  punya  leluhur  bernama  Juan  Manuel  Guemes ini menurut tes DNA adalah seorang Sayid al-Husaini? Bagaimana mungkin orang yang sama sekali tidak dikenal dan punya latar belakang dari keturunan Asyraf tiba-tiba menjadi  seorang Sayid Husaini? Apakah tidak kebetulan saja pola genetikanya mirip dengan beberapa orang yang mengaku Sayid yang tidak terverifikasi itu?
Ada orang yang mencoba memaksakan diri dengan membuat cerita khayalan dan merasionalisasi hal ini dengan mengatakan bahwa leluhur Reynoso Guemes adalah seorang Sayid Husaini yang hijrah ke Andalusia zaman dahulu dan keturunannya menjadi Katolik pada periode inkuisisi.395 Pernyataan tersebut sangat spekulatif dan sama sekali tidak berdasar! Tidak pernah ada pengakuan dari yang bersangkutan bahwa leluhurnya berasal dari Timur Tengah. Dia  dan leluhurnya pun secara historis berasal dari Cantabria, Spanyol Utara, daerah yang jauh  dari Andalusia yang berada di  Selatan. Syariat Islam sama sekali tidak mengajarkan dan membolehkan kita menisbahkan nasab seseorang  dengan suatu hal yang bersifat spekulatif dan zhanni seperti ini.
Mungkin kita tidak puas hanya dengan satu atau dua contoh. Berikut ini contoh kejanggalan lain. Seorang yang berasal dari kabilah Syammar tiba-tiba muncul di satu kelompok Bani Husain kelompok Asyraf Jl.
Orang yang  dites  ini berasal  dari  kabilah  Syammar,  bagian  dari Qahthan, suku yang sama sekali bukan kelompok Adnani atau Quraisy, apalagi S<idah. Pertanyaan besarnya, bagaimana bisa seorang Syammar bisa masuk ke dalam grup Husaini dari Bani Husain yang mengaku dari kelompok S<idah A'rajiah? 396 Terlalu berbahaya untuk berandai-andai! Al­ Qur'an memerintahkan kita untuk menjauhi prasangka buruk dan tajassus :

"Wahai orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu  dosa dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik . Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS Al-Hujurat: 12)
8)    Berbagai  kejanggalan   dan  heterogenitas  juga   ditemukan  pada  banyak
sampel S<idah-Asyr<if sebagaimana dijelaskan dalam contoh berikut ini:
Di Haplogroup E dengan berbagai klasternya ditemukan banyak sampel dari kelompok Sadah, khususnya S<idah Idrisiyah dengan berbagai cabangnya.

Demikian pula Bani Hasyim dan Quraisy lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel-tabel berikut ini.

Tabel 16 -Syurafa' Adarisah dan lainnya berisikan beberapa sampel Syurafa'
Adarisah (Idrisi) dan Asyraf lain serta keluarga Bani Hasyim lainnya.
Pada  Haplogroup  E  di bawah  klaster  E-CTS106  terdapat  Bani  Thayib, sebuah grup yang dikenal sebagai salah suku Bani Hasyim di Yaman Utara.

8.    Sadah/ Asyraf  di Haplogroup G
Apakah ada kelompok S<idah lain yang berada di Haplogroup G dan berbagai cabangnya? Jawabnya, banyak! Sebagiannya ditunjukkan pada beberapa tabel berikut ini.
Di tabel tersebut ada 5 grup pola genetik Asyraf yang dikelompokkan . Pertama adalah, kelompok S<idah al-Bayati (salah satu cabang S<idah al­ Hamail al-Sittah al-Ridhawiyah al-Musawiyah). Ini adalah salah satu kelompok S<idah Musawi (keturunan Musa al-Kazhim) melalui jalur Imam al-Ridha yang menetap di Irak. Leluhur mereka bernama Sayid Mustafa ibn Ali Abu al-'Ilm yang nasabnya bersambung ke Ja'far ibn Ali al-Hadi ibn Muhammad al-Jawad ibn Imam Ali Ridha. S<idah al-Bayyat ini pindah dari Syam ke Irak pada zaman Sultan Utsmani yang bernama Murad I. Mereka adalah kelompok S<idah yang cukup luas dikenal di Irak.
Grup selanjutnya di tabel itu adalah S<idah Haydari atau yang dikenal Hayadirah yang berasal dari Ahwaz, Iran Selatan yang berbatasan dengan Irak. Mereka adalah cabang dari S<idah Musya'sya'in yang sangat terkenal di Ahwaz karena menjadi penguasa atau amir  di wilayah Ahwaz (dikenal juga dengan nama Arabistan) dalam waktu yang cukup lama. Berikut ini sedikit paparan tentang S<idah Musya'syain :

Disebutkan dalam kutipan di atas bahwa datuk Sadah Haydari (Hayadirah) adalah Sayid Haidar al-Mawla al-Musya'sya'. Demikian pula beberapa cabang S<idah Haidari disebutkan . S<idah Musya'syaiyah ini adalah keturunan Sayid Muhammad al-Mahdi (pendiri dinasti Musya'syaiyah) ibn Falah yang nasabnya bersambung ke Ibrahim al-Mujab ibn Muhammad al-Abid ibn Imam Musa al­ Kazhim .
S<idah Musya'syaiyah ini penting untuk diketahui di sini karena mereka dahulunya adalah para Amir di Ahwaz (daerah antara Irak dan Iran Selatan) dan sejak dulu dikenal sebagai Asyraf .397 Legitimasi mereka sangat kuat sehingga tidak bisa seorang dengan begitu saja mengaku sebagai bagian kelompok S<idah Musya'syaiyah . Perlu dimengerti bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang dikenal kuat kesukuannya (qabaliyah) dan menjaga nasabnya, apalagi di daerah yang masih menggunakan 'Asyair (marga) sebagai identifikasi keluarga. Orang yang mengaku tanpa bukti dan latar belakang yang jelas dengan mudah diketahui dan tertolak di masyarakat mereka sendiri. Apalagi jika mereka mencantol nasab ke kelompok terkenal seperti Musya'syain ini.
Kelompok ketiga adalah beberapa sampel klaster S<idah Alawiyin Filaliyin, yaitu kelompok Asyraf al-Hasani kerajaan Maroko saat ini. Ini juga merupakan kelompok Asyraf yang kuat karena mereka menjadi penguasa Maroko selama ratusan tahun sampai sekarang dan legitimasinya juga diakui oleh mayoritas ahli nasab. Nasab mereka bersambung kepada Hasan al-Dakhil,398 salah seorang keturunan Sayidina Hasan r.a. yang pindah dari Yanbu' (salah satu kota di Saudi Arabia) ke Sijilmasah atau Tafilait399 di Maroko untuk berdakwah dan menjadi Imam atas undangan warga Sijilmasah (Tafilait) saat itu. Asyraf Sa'diyin yang sebelumnya menjadi penguasa Maroko dan S<idah 'Ayyasyi ('Ayayishah) yang berada di Saudi Arabia saat ini, khususnya dari Yanbu' juga berasal dari leluhur yang sama dengan S<idah Alawiyin Filaliyin ini. Apakah karena hasil tes DNA mereka berbeda dengan Haplogroup mitos maka puluhan atau ratusan ribu Asyraf kelompok ini batal semua nasabnya?
Kelompok keempat pada gambar di atas adalah kelompok klaster dengan beberapa sampel S<idah Ba'alawi yang masuk di FTDNA, yang berada dalam sub-clade G-Y32613. Perlu diketahui bahwa walaupun banyak sampel Alawiyin (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebut S<idah Ba'alawi) berada di SNP G-Y32613 tersebut tidak berarti semua yang ada di grup itu adalah Ba'alawi, tetapi semata pola genetik mereka  sama dengan beberapa  individu  Ba'alawi di grup itu. Misalnya di situ ada seorang dari marga al-Hamam yang tinggal di Makkah dan jelas bukan Ba'alawi . Ini dikonfirmasi sendiri oleh si pemilik sampel. Kemudian adajuga seorang Muslim India yang berasal dari Kottapuram (sebuah desa di India) dan saat ini tinggal di Amerika Serikat. Ia sama sekali tidak berhubungan dengan Ba'alawi. Orang itu sendiri sudah mengakui dan mengonfirmasinya . Ada pula dari keluarga Ba Nati' yang secara nasab dikenal sebagai marga yang merupakan bagian dari Quraisy, tetapi bukan Bani Hasyim dan bukan Ba'alawi. Demikian pula sebuah sampel dari klan Ba Hurmuz, salah satu marga kelompok Quraisy cabang Bani Syaibah. Kami juga mendapati Ba Lathif al-Aqili (Bani Hasyim keturunan Aqil ibn Abi Thalib) di grup yang sama dengan beberapa sampel Ba'alawi ini. Selain itu, ada pula beberapa Asyraf lain yang berasal dari UAE dan Saudi Arabia di kelompok tersebut . Hal penting yang perlu diketahui juga bahwa di kelompok genetik ini juga  ada seorang Sayid dari keluarga al-Rifa'i yang tinggal di Qatar. Dari data yang kami dapatkan, ia berasal dari kelompok S<idah Rifa'iah di Ru'ais, Qatar.12 Mereka dikenal sebagai keturunan Ahmad ibn Kasib al-Rifa'i yang berasal dari Irak. Singkat cerita, kelompok Ba'alawi  dan lainnya ternyata berisikan beberapa sampel Ba'alawi, Quraisy, dan Bani Hasyim lainnya .
Kelompok kelima pada tabel tersebut adalah kelompok S<idah Bani Husain yang berasal dari Irak. Mereka juga banyak berada di Kuwait. Bani Husain adalah keturunan Husain al-Asghar ibn Ali Zainal Abidin. Mereka punya banyak cabang, di antaranya adalah al-Zabari, al-Ja'ib, al-Huzaifat, dan lain-lain .
Selain kelompok-kelompok yang disebut di atas, berikut ini  beberapa orang S<idah yang berada pada Haplogroup G. Lihat Tabet 21-Scidah Asyraf di Haplogroup G(2). Pada tabel itu terlihat beberapa dari kelompok S<idah terkenal, seperti Shirazi (kelompok ini dikenal sebagai bagian dari kelompok Naqvi [Naqawi]), keturunan Ali al-Hadi ibn Muhamamd al-Jawad melalui jalur Imam Musa al-Kazhim . Grup Naqvi dengan berbagai cabangnya banyak dijumpai di India, Pakistan, dan Asia Tengah . Selanjutnya di sini juga terdapat sampel S<idah Qazwini, al-Ghalibi, al-Shafi, al-Nu'aimi, al-Waisi, Jammaz (termasuk S<idah A'rajiah), al-Mathbaqani, al-Nasur al-Idrisi al-Hasani (di Jordan), Barzanji (Musawi Husaini), sebagian Sadah al-Rifa'i (Musawi) dengan beberapa cabangnya seperti al-Qitali (bagian dari grup al-Rifa'i) dan lainnya . Di antara mereka ada beberapa yang tidak mengidentifikasi nama dan kelompoknya karena berbagai  alasan.
Klan Qazwini adalah klan S<idah Musawiyah (keturunan Musa al-Kazhim) melalui Ibrahim al-Mujab. S<idah Qazwini bersambung ke datuk mereka, yaitu Abdulkarim ibn Ni'matullah sebagaimana disebutkan  para ahli nasab sebagai berikut:'Abdul Karim ibn Ni'matullah ibn Murtadha ibn Radhi al-Din ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Husain ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Musa ibn Husayn ibn Ibrahim ibn Hasan ibn Muhammad ibn Majid ibn Ma'ad ibn Isma'il ibn Yahya ibn Muhammad ibn Ahmad al-Zahid ibn Ibrahim al-Mujab ibn Muhammad al-'Aabid ibn Musa al-Kazhim ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn 'Ali al-Sajjad ibn Husayn al-Syahid ibn 'Ali ibn Abi Talib wa Fathimah al-Zahra binti Muhammad Saw.

S<idah Ba'alawi adalah salah satu kelompok S<idah keturunan Ali al-Uraydhi, dikenal sebagai S<idah Uraydhiyah . Kita hanya punya dua sampel dari S<idah Uraydhiyah yang bisa diakses dan keduanya berada di Haplogroup G. Apakah berarti S<idah Uraydhiyah dominan atau pasti berada di Haplogroup dan clade yang sama? Apakah terjadi perubahan genetik di leluhur Uraydhiyin? Semuanya tidak bisa dipastikan, apa lagi mau membatalkan semua Sadah dari kelompok Uraydhiyin karena beberapa sampel mereka tidak berada di kelompok mitos J-FGC10500 itu. Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan dosa besar ini. Beberapa puluh sampel dari berbagai cabang saja tidak bisa memastikan apalagi hanya segelintir. Marilah kita kembali ke jalan kebenaran dan kesadaran karena hanya Allah yang tahu hakikat sebenarnya!
Ada seorang yang mengaku atau dianggap oleh kalangan awam sebagian ahli DNA menyebutkan bahwa sudah ada lebih dari 180 sampel DNA kelompok Ba'alawi yang telah melakukan test DNA di Family Tree dan hasilnya dipublikasikan. Ini adalah pemahaman yang sangat keliru dan fatal dalam memahami proyek DNA yang dipublikasikan oleh Family Tree  DNA. Yang ditampilkan oleh Family Tree DNA di proyek terkait adalah semata jumlah anggota yang berada di proyek tersebut . Setiap orang yang sudah melakukan test DNA di Family Tree DNA bisa mendaftar menjadi anggota di proyek tersebut selama disetujui oleh administratornya . Yang bersangkutan  tidak hams mempunyai pola genetik yang sama dengan kluster  Ba'alawi yang ada di proyek tersebut . Ini jelas terlihat bahwa ada beberapa kluster di kelompok tersebut, bahkan sebagian anggota proyek sama sekali berada di haplogroup yang berbeda.
Bagi orang yang mengerti, maka sampel yang sementara dikelompokkan sebagai Ba'alawi itu tidak lebih dari belasan orang saja. ltu pun tidak semuanya diketahui apakah memang benar mereka mempunyai nasab yang berasal dari kelompok S<idah Ba'alawi . Dari 180 anggota proyek tersebut hanya segelintir saja yang ditampilkan karena banyak sampel-sampel lain yang tidak ditampilkan tidak diketahui hasil DNA mereka seperti apa. Orang yang digadang-gadang  sebagai ahli DNA ini pun tidak mempunyai kredensi sebagai ahli DNA dan sama sekali tidak pernah melakukan penelitan DNA manusia yang pernah diuji dan dipublikasikan, apalagi DNA evolusi. Bagaimana mungkin orang yang tidak memahami bagaimana interest group proyek DNA dikelola oleh Family Tree DNA dianggap oleh awam sebagai ahli DNA. Sementara tidak ada satu pun pakar DNA yang berani membatalkan atau mengesahkan kelompok tertentu sebagai keturunan Nabi atau bukan. Sungguh ironis!
Pertanyaan berikutnya, adakah  di  antara  S<idah  Ba'alawi  yang  berada di Haplogroup J? Ada! Bahkan ada di kelompok J-FGC10500 yang dijadikan referensi itu, seperti ditunjukkan berikut ini:
Ada beberapa sampel lagi yang berada di Haplogroup J lain tetapi tidak bisa ditampilkan karena faktor kerahasiaan (privacy ) . Di sini kami hanya bisa menampilkan data yang bersifat publik. Apakah kita akan lancang tanpa bukti menuduh sampel yang ada pada tabel di  atas adalah 'Mudda'iy' atau palsu, sementara yang bersangkutan mengonfirmasi bahwa beliau berasal dari kelompok S<idah Ba'alawi .
Lalu, ada pertanyaan selanjutnya. Apakah ada Sadah di Haplogroup lain?
Ada! Contohnya ada di Haplogroup R berikut ini.
Tentu masih banyak lagi. Data di atas sekadar contoh tentang apa yang sedang berlangsung saat ini.

9.   Heterogenitas Scidah di Haplogroup J
Setelah pembahasan panjang lebar mengenai kelompok S<idah di berbagai Haplogroup, muncul pertanyaan lainnya. Apakah S<idah yang berada di Haplogroup J juga heterogen? Jawabannya, ya, mereka juga heterogen!
Tidak semua Sadah yang berada di Haplogroup J1 itu berada di Haplogroup atau clade yang dianggap sebagai Ibrahimi, Quraisy, dan Asyraf . Banyak sekali yang tersebar di berbagai clade di Haplogroup J dengan berbagai cabangnya, bahkan banyak yang berada di Haplogroup J2 yang secara teori perhitungan mutasi DNA pertemuannya mencapai puluhan ribu tahun lalu, jauh sebelum Nabi Ibrahim. Bahkan mungkin sebelum Nabi Nuh, ataujangan-jangan sebelum Nabi Adam hidup di dunia ini. Mungkinkah ini? Semua pertanyaan dan misteri ini hanya bisa dijawab dengan penggunaan akal sehat dan kewarasan.
Secara teori Haplogroup J1 dan J2 bertemu lebih dari 30 ribu tahun lalu. Di Haplogroup J1 pun banyak ditemukan Bani Hasyim dan Asyraf yang secara perhitungan DNA sama sekali tidak berada di kelompok yang digadang-gadang sebagai kelompok Sayid itu, bahkan Ibrahimi saja bukan. Contohnya sampel di bawah ini.
Menurut perhitungan genetika versi Yfull, pertemuan sampel pertama Haplogroup J1 di atas dengan kelompok yang dianggap Asyraf itu adalah di leluhur genetik J-L136 yang diperkirakan hidup lebih dari 11000 tahun lalu. Mungkinkah  ini?  Sementara  untuk  sampel  kedua  pertemuannya   sekitar 5700 tahun lalu. Sebelum Nabi Ibrahim hidup! Sedangkan Nabi Ibrahim saja diperkirakan hidup sekitar 4000 tahun silam.
Sampel Bani Hasyim di atas juga walaupun berada di Haplogroup J1 pertemuan genetikanya sekitar 3100 tahun lalu, sementara Hasyim sendiri adalah kakek ke-4 Nabi Muhammad yang hidup sekitar 1400 tahun lalu. Mungkinkah Hasyim hidup lebih dari 1500 tahun sebelum Rasulullah Saw. hidup?
Bahkan, banyak lagi yang lebih jauh . Beberapa contoh sampel Asyraf yang berada di Haplogroup J2 .
Berikut ini juga menunjukkan bahwa mereka bertemu di leluhur genetika yang hidup lebih dari 30 ribu tahun lalu. Apakah leluhur mereka hidup sebelum Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim? Masuk akalkah ini?
Contoh lainnya adalah beberapa Sadah Jailani dari klan Azzu'bi yang merupakan kelompok Jailani yang terkenal, khususnya di negeri Syam.400 Mereka sama sekali tidak berada di kelompok dominan J1 yang dianggap kelompok Sayid. Di sini malah ada klaster yang berbeda dan kelompok J yang berbeda, ada yang termasuk di dalam Haplogroup J1-M267 dan ada yang masuk J2-M172. Tentu kalau kita percaya bahwa Jailani adalah kelompok Sadah al­ Hasani dan kelompok al-Zu'bi al-Jailani yang terkenal itu adalah keturunannya

Beberapa sampel S<idah Jailaniah lainnya ada di Haplogroup R, E dan J2. Kalau menggunakan teori DNA yang validitasnya dipertanyakan untuk melacak nasab  yang  sudah  sangat jauh  ini  mereka  bertemu  dengan  kelompok  yang mengaku dan dianggap Asyraf J-FGC10500 di leluhur yang jauh  ribuan tahun ke belakang. Sadah al-Zu'bi dan al-Khathib adalah kelompok Sadah Jailani yang cukup masyhur di negeri Syam. Kalau mengikuti metode kalkulator DNA, mereka bukanlah Quraisy atau Bani Hasyim. Apakah hal ini mungkin dan bisa diterima? Apakah dengan hasil tes DNA yang masih zhanni ini nasab mereka menjadi batal? Sebegitu  lancang  dan  beranikah  kita  melakukan  tuduhan  pemalsuan  nasab terhadap kelompok ini? Hanya akal sehat dan keimanan yang bisa menjawabnya . Ada hal menarik mengenai interest group Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ini.
Ada sekelompok orang dari Indonesia mengeklaim bahwa nasabnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jilani, seperti ditunjukkan pada Tabel 30-"Jilani" Indonesia. Namun anehnya tidak diketahui ada satu klaster Jilani pun di dunia ini yang sama dengan mereka dan berada di Haplogroup 0. Secara statistik Haplogroup 0 pada umumnya ditemui di populasi masyarakat Asia Timur dan Asia tenggara dan tidak ditemukan di Timur Tengah. Benar faktanya bahwa para S<idah-Asyr<if tersebar di berbagai klaster dan Haplogroup . Namun jika kita mengikuti logika akal sehat dan jika hasil tes DNA diterima sebagai alat untuk menelusuri leluhur seperti yang dikampanyekan Imaduddin dan kelompoknya, paling tidak ada kelompok Jilani lain di dunia ini yang pola genetiknya sama dengan kelompok yang  mengaku "Jilani" dari Indonesia ini.  Kenyataannya, secara perhitungan mutasi SNP sampel-sampel genetika  sekelompok  orang yang mengaku dari wangsa Jilani di Haplogroup 0 itu sendiri bertemu ribuan tahun silam antara satu sama lain, apalagi dengan keluarga-keluarga Jilani yang dikenal seperti al-Zu'bi, al-Khatib, al-Qadiri, Kailani, Jilani, Dahlan, dan lainnya. Apakah hal ini masih bisa diterima akal sehat? Motif apakah yang membuat sekelompok orang ini menyambungkan diri kepada S<idah Jailaniyah? Apakah ada bukti hubungan dengan sadah Jailaniyah lainnya  dan klaim ini diterima oleh S<idah Jailaniyah? Silakan pembaca yang menyimpulkan sendiri!

J PF4'51&1F11!1J'S.1S. • YSCOOOt2S6JCTS722'9/PF4'563 •YSC0001296JPF.tll'516JF1 167 •142 SN Pl  tanned 42900 )'bp TMRC.A31600 }'bp Info
II
LiiV?l.,  sn?li'FL..C:7fi7C •ysrJl(IOD?fl  iPFU:VS:\1 • PF4MCI   •l7A stl h1!ftf '1100  1•  TMRCA 1&"..100   iii  i11r11
 
LmPr4!U.li'f'"?t1:'\.. Pr.. ,.Pf"4""-".tr"47A'.l    ..        P.lP    1.-,,;1
 

.,fn,
 

Tabel 25-Percabangan Haplogroup J


 

+  267 & +  SC65 & +P58
 
4!40160    ·u.J1    -JI    .i;-JI    United Arab Emirate-:sJ-Y36276

1
i
1
1
1
Tabel 26-Bani Hasyim dan Asyraf J1 yang Tidak Sesuai


 
Tabel 27-Sadah di Haplogroup J2


 
0201O-J2a4h
'291      2310    ..:..,.>''·!_, - .)-'Jh!' •.;-•_;,J!. . _...    Bah ain    J-Y100158 02011-J2a4h2a (+L70)
330866    ·-    ·, -    :.:w1 - 9fa-' !.,!_, '    Bahrain    J-Y90689
0201-J2a 4h {L25,L24 L70-,DYS445s7, DYS472=9)
1300031    I -    -    '-Y !.__.!    SaudiArab i J-Z43047
3431.57    1 -   1    - ..:..    · .J........1    SaudiAra  iaJ-243047
1330846    .:.,.J""f '' - -1.... , -  p1 ;}'1 · i -u1    Bah ain    J-Z43044
0703-E b 1a
342772    ··..f,'"-'     '  ::!.;:1    ·, ...ll_r!i. 1 -  ·1saudiArab iaE-M35
!342773    ·    -  J    !.Jol_p!  .Jl_>!i    •    1sa1.1diAra i E-A930
071-E 1b1b ( 135 .1)
193001    SaudiArabia E-M35

 
 
None J1 J2 (+M172)}
447904    ...,.b.A! ·, 1_>.11    -    '_;:.'i i    Kuwait
 

 
- -M172
 
Tabel 27-Sadah di Haplogroup J2 dan Lainnya
 



 
'    w       ·';:!-' fl...    · tJ.,...:...l..l);-"'
M IN
MAX
MOOE
 
550156
550147
411444
::JJ!JOO
 
alGlanl    l,,!1".1."il. 1..- t,...:l.
u '-,. ·JJ - - J

(arruniJr:il::m1:;.MJtc::; I)
 
P<illl:Gtirnlan Temtory J-t.117.2: P<1J9:E:t:lrnlan TellltOly J-t.117.2: lraQ    J   Ml/2
lraQ    J  M1rl
 
l:IP1814
160041
249090
3l1W
 
J\llCClany
;"'-'  .r-'(Al-I18ssoli AHlashemil
Al-Our;iysh,,,...:  .•L6
 
.:.....    "'    Hi:lm:J. syna
,..,,,. . -   >"'
{...L.. .:_1,.::..).   '-    ....Q- J
S)'P.d r. 1!hmnOO w.. &h™ri noo An
 
)'n::in Nab HCSMibllCJ M1rl    1
lraQ    J-YSC000015J I
Yemen    J-M 112    I
P;iki!i.tilll    .1-FT1'fJl'".4a    1
 
Tabel 28-Sadah Jailani di Haplogroup J2
 
Nome
Cklster Z 18292•,J1 """'- .r         
 
Pate ma! Anceslor Name
,
 
Ha:plogroup
 
37B452    alOadirialGilani    .;_,,·   ..i-_,,_._.lJ    ..,, a.    Palestimian Territory  J-ZS97 12
508513    a1oaa 1n all3ilani    .;-"   ;;._ "' .:.:..,,.-....1 .;,,.,:;..    Paresum1an Territory J-BY37585
550151    alOaa lrt all311anl    .;-"  .;.. .:r ;jj-- - -'    J->    Palesllmlan Territory J-M267
493353    a1Qaa1rt a1G11an1    .rt" ......_J!> """'J!    •fa ...... _.L..Pa 1esUmlan Tenitory J BY37535
550145    al0adlrt all3ilani    J'"Jl&+   .,.'J'J.:l!    PalestimianTerrilory J-M267
550152    alQadlrl alGllanl    p.,.J .;.fl'J ,_. p l!> °'''>,;,, _._J!    Palesttnlan Territory  J-M267 E        

10.    Etnisitas Ba'alawi Nusantara
Kaum Ba'alawi di Asia Tenggara khususnya Nusantara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bangsa-bangsa di kawasan ini. Mereka adalah bagian dari sejarah dan tumbuh kembang masyarakat Nusantara itu sendiri, baik dari sisi etnis maupun budaya. Perlu diketahui bahwa hampir tidak ada manusia di dunia ini yang murni berasal dari satu etnis, karena pasti ada percampuran dengan berbagai etnis lain pada masa lalu. Apalagi etnis Ba'alawi yang berada di Nusantara . Integrasi dengan masyarakat Asia Tenggara dan Nusantara adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan . Beberapa kerajaan atau kesultanan di Nusantara dan keterlibatan figur-figur dari komunitas Ba'alawi dalam berbagai aspek kehidupan merupakan bagian dari sejarah Nusantara itu sendiri. Ini terlihat dari berbagai fakta sejarah mulai dari Aceh, kesultanan Palembang, Kesultanan Siak, Kesultanan Deli, Kesultanan Pontianak, Kesultanan Kubu, beberapa kesultanan di negeri Melayu termasuk Kesultanan Perlis saat ini, beberapa kesultanan di Jawa sampai wilayah Timur Indonesia. Terkait penyebaran Islam, Prof. Azyumardi Azra menjelaskan panjang lebar jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, pada abad 17 dan 18 dalam bukunya yang terkenal, Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Keterlibatan kaum Alawiyyin (S<idah Bani Alawi) dalam proses itu terbaca dengan jelas .401
Integrasi inijuga ditunjukkan oleh berbagai data uji DNA autosomal mereka sendiri. Bagaimana tidak, karena pada umumnya leluhur jalur ibu mereka selalu merupakan bagian dari penduduk setempat. Karena itulah, di komunitas ini dikenal istilah "akhwal" yang berarti paman dari pihak ibu ketika merujuk ke keluarga yang berasal dari komunitas jalur ibu mereka. Istilah paman jalur ibu adalah sebuah penghormatan dan menunjukkan kedekatan biologis  S<idah Bani Alawi (Alawiyyin) dengan keluarga jalur leluhur ibu mereka . Fenomena ini sudah terjadi  dari generasi ke generasi  dan berlangsung  lama. Kita  tahu  ibuadalah sosok yang sangat dihormati dalam Islam. Adalah sebuah kejahatan bagi yang ingin mencerabut etnis S<idah Ba'alawi dari akar mereka.
Walaupun  komposisi  etnisitas dalam autosomal tes adalah perkiraan  dan tergantung database perusahaan  di mana mereka melakukan  tes, paling tidak berbagai  tes yang pernah dilakukan memberikan  gambaran  secara garis besar bahwa etnis ini adalah bagian yang tak terpisahkan  dari penduduk  Nusantara . Hal yang serupa ditemui di kalangan Ba'alawi di wilayah lainnya seperti Afrika, Myanmar, India, dan lainnya. Variasi etnis lokal ini terlihat antara 30-85% dan di daerah-daerah  tertentu  bahkan  sangat  dominan,  sebagaimana  ditunjukkan oleh beberapa sampel di Bagan 9-Contoh Komposisi Etnis Ba'alawi Nusantara . Menjadi satu kejahatan dan ketidakadilan untuk memisahkan mereka dari masyarakat Nusantara, karena mereka adalah bagian dari masyarakat Nusantara
itu sendiri.
Sungguh menyedihkan, ada orang yang mengaku beriman tetapi dengan beraninya memastikan dan menyimpulkan bahwa Nabi  Saw. mempunyai Haplogroup J-FGC10500 dan menafikan jutaan nasab orang lain (tha'n Ji al-nasab) yang sudah diakui syariat dan mujma' 'alaih. Di lain pihak mereka berisiko  memasukkan  orang yang sama  sekali  tidak  berintisab  kepada  Nabi
dan ahlulbaitnya semata-mata karena pola genetiknya kebetulan sama dengan Haplogroup dan SNP mitos tersebut . Cukuplah sabda Rasulullah Saw. di bawah ini sebagai pengingat bagi kita:

"Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta kepada selainku. Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka." (HR Bukhari No. 1291 dan Muslim No. 4)

Ancestry Report
Th<> anresrry l    Or'O.    rSigt  Ir o    tndty and ...tiere )'O'J anc!'Stors llYed.
Ta e t1me 10 1rart)'Oll" rO<ls 'l:lseev.ooycual"("estorsare

• IUl Aili.
-[IH
•c.111 1-
• ITC

•    For IOOl'e di!Ll r
EIC. ple.is.150e ,
tfle    P bdc>N
 

2434343 (Sequencing.com) Is
59.7896 East Asian.
East Asia    59.7896

 
31.7
18.3&1fo
9.



1s.ai;w.
10.19'111
outh Asia    9.7596

 

 
5.6
4.06!f.
ETC    1.4496
 

 

 

Ancestry Report
The a11res1 t Pr.Qr'    !Slgnls kto}WI'    and    }WI' .n-estors ll\led. Take timeto track your root:> ard :;ee    ywr aocesiors are.

3438297 (Sequendng.com) Is
81.0896 East Asian.
East Asla    81.08%

Awn    59.16""
1426'111
!illeiwi'I    7.65'11
Mid     East    10.   96
•    Utt Alli
tut    6.41'11>
 
Mlidlll•
• '°'1111-
• m:
 
NiarlhomAli1Gan &N-.    4.23'16
 
CentralSouth
 
Asia
 
5.1696
 
 
ETC    3.12%

 
 



Middle East & North Africa    52%

 
Indones1'ln1 Thai,Khmer &
Myan111a

Indonesia
 

36.6%   >
 
Middle East


•    Ana·tolia, Armen ia,& Mesopotamia    27%
 

 
Filipino & Austronesia n    15.2%   )

•    Broadly East Asian    1.1% v

      

•    Arab, Egyptian & Levantine    29.6%  v
•    Peninsular   Arab    24.8%   >
Hadhramaut Governoliate. Yeomen
•    Levantine    1.4%  >
Broadly Arab, Egyptian &    3.4%  v
Levantine
•    Northern West A·sian    :!I.&% v
Iranian,  Caucasian   &    :!1.3% >
Mesopotamian

•    Broadly Northern West Asian &.3% v

•    Broadly Western Asian & North
2.1% v
African


Middle Eas1 & North Africa Middle East
•Ana1011a,Armenia,& Mesopotam ia

• Northern Lt'Vant

Southern Levant

Arabia

•Arabian Peninsula

•Yemenite

Aola

lsla11d Southeoa!rt Asia

•Malaysia & Weslem Indonesia

•Philippine Lo,vlands
 

Arabia


•    Arab ian Peninsula    13%


•    Yemenite    11%


Asia    47%


Island Southeast Asia


Bagan 9- Contoh Komposisi  Etnis Ba'alawi  Nusantara

Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda :

"Ada dua hal yang bisa menyebabkan kekufuran, tha'n dalam nasab (mem­
batalkan nasab orang) dan meratapi mayat." (HR Muslim No. 100)

11.    Pandangan Pakar tentang Tes DNA untuk Nasab Jauh
a.    Tidak dapat dimungkiri ilmu  DNA  memberikan  banyak  manfaat bagi kemanusiaan . Namun, ilmu yang masih berkembang  ini  tidak bisa dijadikan acuan atau referensi untuk memastikan leluhur jauh seseorang sampai ratusan atau ribuan tahun lalu. Berikut ini pendapat para pakar DNA, di antaranya adalah Prof . Alan R. Templeton 402 dalam bukunya, Biological races in Humans .403 Ia mengatakan :
"Much of the recent scientific Literature on human evolution portrays human po pulations as separate branches on an evolutionary tree. A tree­ like structure among humans has been falsified whenever tested, so this practice is scientifically indefensible. It is also socially irresponsible as these pictorial representations of human evolution have more impact on the general public than nuanced phrases in the text of a scientific pa per . Humans have much genetic diversity, but the vast majority of this diversity reflects individual uniqueness and not race."

"Banyak literatur ilmiah terkini mengenai evolusi manusia menggam­ barkan populasi manusia sebagai cabang terpisah dalam pohon evolusi. Struktur mirip pohon pada manusia telah menunjukkan kesalahan dan kepalsuan setiap kali diuji sehingga praktik initidak dapat dipertahankan secara ilmiah. Hal ini juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sosial karena representasi gambar evolusi manusia ini memiliki dampak yang lebih besar terhadap masyarakat umum dibandingkan kalimat-kalimat dengan nuansa berbeda dalam teks-teks makalah ilmiah. Manusia memiliki banyak keragaman genetik, namun sebagian besar keragaman ini mencerminkan keunikan individu, bukan ras."

b.    Profesor Anatole  Klyosove,  seorang pakar  genetika asal Rusia yang tinggal di Amerika, dalam salah satu korespondensinya menulis:
"Let's move now to the great Prophets and to the Quraysh tribe. Right now, we cannot reliably  ascribe them to haplogroups  Rla or Ila  or E, or G. The thing is that Mitanni Aryans lived nearby bearers of 11 and 12 peo ple, and in order to figure out who is (and was) who, we need data. For example, we need as many as possible haplogroups, snips and haploty pes from the Quraysh tribe. We need to determine how many of them belong to 11, 12, Rla, E, G2 and other haplogroups, and who is in the majority? However, majority is not enough, we need to determine when their common ancestors leave, in each haplogroup  and in which subclade ."

"Sekarang mari kita beralih ke nabi-nabi besar  dan  Suku  Quraisy. Saat ini kita tidak dapat memastikan dan mengaitkannya dengan Haplogroup Rla atau Jla atau E, atau G. Masalahnya, Mitanni Arya tinggal berdekatan dengan pembawa orang-orang J1 dan J2, dan untuk mengetahui siapa (dan dulu) siapa, kita memerlukan data yang cukup. Misalnya, kita membutuhkan sebanyak-banyaknya Haplogroup, snips (SNPs) dan Haplotype dari Suku Quraisy.  Kita perlu menentukan berapa banyak dari mereka yang tergabung dalam Jl , 12, Rla, E, G2, dan Haplogroup lainnya, dan siapa yang mayoritas? Namun, ini masih tidak cukup. Kita perlu menentukan mayoritas kapan nenek moyang mereka pindah di setiap Haplogroup dan di sub-clade mana."
 
Ringkasnya, hingga saat ini kita masih belum dapat mengetahui dan menentukan dengan pasti, siapakah yang termasuk Ibrahimi, Quraisy, dan turunannya melalui uji DNA.

c.    Prof. Dr. Zainab al-Muthairi, ahli biologi dengan spesialisasi Genetika Molekuler di Prince Sattam ibn Abdul Aziz University Saudi Arabia menyatakan dengan jelas dan gamblang dalam sebuah wawancaranya bahwa uji DNA leluhur jauh tidak bisa dijadikan acuan untuk mengisbat atau menafikan nasab jauh, baik ditinjau dari segi ilmu biologi maupun segi sosial. Seseorang tidak bisa memastikan diaberasal dari suku A atau kabilah B yang sudah berjarak puluhan generasi dengan melakukan uji DNA. Penjelasan beliau secara detail bisa didapatkan di berbagai situs dan kanal di dunia maya, di antaranya
https ://www .youtube .com/watch?v=HDBWeeLAGOU  .

d.    Perusahaan tes DNA Ancestry .com dalam FAQ-nya menyebutkan :

"If you have taken these tests, you may see the percentages in your ancestry report fluctuate over time, or if you 've taken multiple DNA tests with different companies you may see slight differences in the report numbers. This could be due to differences in each company's methods, the continued growth and improvement of the reference datasets, and otherfactors . Keep inmind that thefield of DNA ancestry is new and still developing , and companies are working with the best algorithms and data they have at any given time".

"Jika Anda telah mengikuti tes DNA ini, Anda mungkin melihat persentase dalam laporan keturunan Anda berubah-ubah dari waktu  ke waktu, atau jika Anda telah melakukan beberapa tes DNA dengan perusahaan yang berbeda, Anda mungkin melihat sedikit perbedaan dalam jumlah komposisinya . Ini disebabkan karena perbedaan metode masing-masing perusahaan,   pertumbuhan,   dan  perbaikan   yang  berlangsung   terns terkait data referensi dan faktor lainnya . Ingatlah bahwa bidang ilmu DNA keturunan ini masih barn dan masih berkembang. Perusahaan tes DNA bekerja dengan algoritma dan data terbaik yang mereka miliki pada waktu tersebut."

Walaupun yang di atas itu lebih relevan untuk autosomal DNA tes bukan berarti tidak berlaku untuk Y-DNA. Inti pernyataan tersebut adalah ilmu ini masih berkembang sehingga berbagai  kemungkinan dan perubahan hasil bisa saja terjadi.

e. Dalam sebuah artikel404 disebutkan bahwa Professor David Balding dan Mark Thomas dari University College London memperingatkan bahwa hasil tes DNA tidak bisa dibaca sederhana seperti sebuah buku atau peta perjalanan tanpa bukti-bukti sejarah yang mendukung. Ia menyebutkan bahwa DNA itu mengandung informasi genetik yang sangat banyak namun sebagian besar informasi yang dapat diperoleh darinya adalah tentang sejarah genetik seluruh populasi, bukan tentang silsilah keluarga individu.
"Professors David Balding and M ark Thomas of the University College London warn in a public statement from the Sense About Science campaign group that "you cannot look at DNA and read it like a book or a map of a journey" without supporting historical evidence. Your DNA contains an enormous amount of genetic information, but most of the information that can be gleaned from it is about the genetic history of whole po pulation - not of individual fam ily trees."405

Interpretative phylogeography
and the scientific method
•    No study has ever been published showing that Interpretative phylogeography works!
•    The only systematic (and therefore testable) interpretative phy/ogeographic analysis method ever developed (Nested Clade Phylogeographic Analysis, NCPA) has been shown explicitly not to work (Panchal & Beaumont. 2007, Evolution 61-6: 1466- 1480).
•    The vast majority of population geneticists consider Interpretative phy/ogeographic analysis as folly:
- Story telling, not story tesing.    



KEEP
CALM
SCIENTIFIC
METHOD
    Fonn an explicit
hypothesis I model
    I Ma e explicit
predictions
    
    Test predictions
against empirica l data
    Aa:epl or reject
hypothesis I model

Bagan 10 - Salah Satu Kesimpulan Prof. Thomas


f.        Perusahaan DNA terkenal Sequencing.com menyebutkan dalam satu pernyataan :
"Jewishness is more difficult to identify in genetic testing than other ethnic groups. This is because there is no specific gene that makes a person Jewish . Straightforward DNA examination cannot conclusively tell a person whether or not they're of Jewish descent or part of the Jewish po pulation ."

"Keyahudian lebih sulit diidentifikasi dalam pengujian genetik dibandingkan kelompok etnis lainnya . Sebab, tidak ada gen spesifik yang menjadikan seseorang menjadi Yahudi. Pemeriksaan DNA secara langsung tidak dapat secara eksklusif memberi tahu seseorang apakah mereka keturunan Yahudi atau bagian dari populasi Yahudi."

g.    Dalam sebuah situs Yahudi TheTorah .com ketika membahas "DNA and the Origin of the Jews" (Yahudi dan asal orang Yahudi) menyebutkan :

"The existence of the CMH (Cohen M odal Haploty pe ) along with its dating range were sug gestive enough to lead the public to mistake the genetic findings as scientific evidence that cohanim were descendant from Aaron himself ."

"Keberadaan CMH (Cohen Modal Haplotype) beserta rentang penanggalannya adalah suatu hal yang bersifat sugestif sehingga membuat masyarakat salah mengira temuan genetik tersebut sebagai bukti ilmiah bahwa Cohanim adalah keturunan Hamn sendiri. Kalau yang menyampaikan pernyataan adalah sebuah  organisasi  Yahudi yang berisi para pakar dari kelompok mereka sendiri mengapa kita memaksakan diri kita menggunakan hasil tes DNA untuk menetapkan dan membatalkan nasabjauh dengan suatu metode yang masih bersifat zhanni (dugaan)."

h.    Sebuah situs Yahudi lainnya menyebutkan, "Nothing  in your  DNA can tell you if you belong to the Jewish, or any other belief system. The only way to prove Jewish ancestry is by connecting your famil y tree to ancestors who are historically confirmed to have been Jewish ."

"Tidak ada dalam DNA Anda yang dapat memberi tahu Anda apakah Anda termasuk orang Yahudi,  atau lainnya . Satu-satunya cara untuk membuktikan keturunan Yahudi adalah dengan  menghubungkan silsilah keluarga Anda dengan leluhur yang secara historis dikonfirmasi sebagai Yahudi."

i.    Dalam sebuah interest group di Family Tree DNA yang dikelola oleh dua peneliti genetika Yahudi yang melakukan penelitian terhadap sekelompok orang Yahudi yang mengaku sebagai keturunan "Nabi Daud" menyimpulkan : "An emphasis on Davidic Descent, descent from Biblical Aaron, and "Pure Israelit Blood" is totally contrary to mainstream Rabbinic Judaism (e.g. Tractate Kiddushin). It's about time we all spoke up, told the truth and stand up and stop those who profit off of false claims of "Davidic" and "Biblical Aaron" descent."

"Penekanan pada keturunan (Nabi) Daud, keturunan (Nabi) Harun dalam Alkitab, dan 'Darah Israel Murni' sepenuhnya bertentangan dengan Yudaisme (misalnya Traktat Kiddushin). Sudah  saatnya kita semua angkat bicara, mengatakan kebenaran dan berdiri serta menghentikan mereka yang mengambil keuntungan dari klaim palsu (berdasarkan uji DNA) tentang keturunan 'Daud' dan 'Harun menurut Alkitab'. Intinya, setelah mengumpulkan sampel dan melakukan penelitian kedua peneliti itu berkesimpulan bahwa secara tidak langsung uji DNA tidak bisa menentukan apakah seseorang itu adalah keturunan sosok historis Nabi Daud, Nabi Harun, atau sebagainya."406

j.    .    Profesor  Alan  Goodman,  ahli  antropologi  biologi  dari  Hampshire College dan co-editor buku terkenal, Genetic Nature/ Culture: Anthro­ polog y and Science Beyond the Cultural Divide , menyebutkan :407

"Scientists have actually been saying for quite a while that race, as biology, doesn't exist - that there's no biological  basis for race. And that is in the facts of biology, the facts of non-concordance, the facts of continuous variation, the recentness of our evolution, the way that we all commingle and come together, how genes flow, and perha ps especiall y in the fact that most variation occurs within race versus between races or among races, suggesting that there's no generalizability to race. There is no center there; there is no there there in the center. It's fluid.

Richard Lewontin did an amazing piece of work which he published in 1972, inafamous article called "The Apportionment of Human Variation." Literall y what he tried to do was see how much genetic variation showed up at three different levels.
One level was the variation that showed up among or between pur ported races. And the conventional idea is that quite a bit of variation would show up at that level. And then he also explored two other levels at the same time. How much variation occurred within a race, but between or among sub-groups within that pur ported race.
So, for instance, in Europe, how much variation would there be between the Germans, the Finns and the Spanish? Or how much variation could we call local variation, occurring within an ethnicity such as the Navaho or Hopi or the Chatua.
And the amazing result was that, on average, about 85% of the variation occurred within any given group. The vast majority of that variation was found at a local level. In fact, groups like the Finns are not homogeneous
- they actually contain, I guess one could literally say, 85% of the genetic diversity of the world .
Secondly, of that remaining 15%, about half of that, seven and a half percent or so, wasfound to be still within the continent, but just between local po pulations; between the Germans and the Finns and the Spanish . So, now we're over 90%, something like 93% of variation actually occurs within any given continental group . And only about 6-7% of that variation occurs between "races," leaving one to say that race actually explains very little of human variation."

"Para ilmuwan sebenarnya telah lama mengatakan bahwa ras sebagai fenomena biologis itu sebenarnya tidak ada; bahwa tidak ada dasar biologis  untuk mendefinisikan  ras itu. Hal ini terdapat  dalam fakta-fakta biologi, fakta-fakta ketidaksesuaian (pola genetika), fakta-fakta tentang variasi yang terjadi secara terus-menerus,  kekinian  evolusi kita, cara kita semua berbaur dan berkumpul, bagaimana gen mengalir. Mungkin dalam kenyataannya sebagian besar perubahan dan variasi genetika itu terjadi dalam 'ras' itu sendiri dibanding antar-ras. Ini menunjukkan tidak adanya kemampuan untuk menggeneralisasi ras. Tidak ada yang terpusat di satu titik dan kaku, semuanya cair.

Richard Lewontin menulis sebuah artikel luar biasa yang dia terbitkan pada 1972 berjudul "The Apportionment of Human Variation". Secara harfiah apa yang  dia coba lakukan adalah melihat seberapa banyak variasi genetik yang muncul pada tiga tingkat berbeda .

Satu tingkat adalah variasi yang muncul di antara atau di antara ras­ ras yang diklaim sebagai ras tertentu . Dugaan konvensionalnya adalah bahwa akan ada sedikit variasi yang muncul pada level tersebut . Kemudian, diajuga menjelajahi dua level berikutnya secara bersamaan . Berapa banyak variasi yang terjadi dalam suatu ras, tetapi antar atau di antara sub-kelompok  dalam ras tersebut.

Misalnya, di Eropa, seberapa besar variasi antara Jerman, Finlandia, dan Spanyol? Atau seberapa besar variasi yang bisa kita sebut sebagai variasi lokal, yang terjadi dalam suatu etnis seperti Navaho atau Hopi atau Chatua (suku-suku Indian).

Hasil yang ia dapatkan adalah luar biasa. Rata-rata, sekitar 85% variasi terjadi pada kelompok itu sendiri. Sebagian besar variasi tersebut ditemukan pada tingkat lokal. Faktanya, kelompok seperti Finlandia tidaklah homogen . Mereka sebenarnya memiliki, menurut  saya, 85% keragaman genetik di dunia.

Kedua, dari 15% sisanya, sekitar setengahnya, tujuh setengah persen atau lebih, ditemukan masih berada di benua tersebut, tetapi hanya berada di antara populasi lokal; antara Jerman dan Finlandia dan Spanyol. Jadi, sekarang kita sudah mencapai lebih dari 90%, sekitar 93% variasi benar-benar terjadi dalam kelompok benua tertentu. Hanya sekitar 6-7% dari variasi tersebut terjadi antar-'ras' sehingga ada yang mengatakan bahwa ras sebenarnya hanya menjelaskan sedikit variasi manusia."

Pada prinsipnya, variasi genetik yang sedemikian rupa dalam sebuah kelompok etnis tertentu atau ras tertentu tidak bisa dijadikan acuan untuk menetapkan seseorang itu mempunyai leluhur A atau B.
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa para ahli ilmu genetika evolusi­ dan teknik penelusuran leluhur melalui DNA termasuk bagian dari ilmu ini­ percaya bahwa manusia modern saat ini berasal dari seorang manusia yang hidup di Afrika sekitar 200 ribu tahun lalu. Untuk memudahkan, "manusia pertama" ini mereka sebut Y Adam, yang juga merupakan hasil evolusi makhluk lain. Mereka juga percaya bahwa Y Adam itu bukan satu-satunya Adam yang hidup saat itu dan yang mempunyai keturunan sampai saat ini. Kesimpulannya, ada "Bani Adam" lain. Teori ini juga diadopsi oleh berbagai perusahaan DNA yang tentunya mempunyai banyak ahli di bidang ini. Kami serahkan pembaca untuk menilai sendiri kebenaran teori ini. Agar tidak dianggap mengada-ada, berikut penjelasan perusahaan tes DNA FamilyTree DNA menyebutkan di dalam situsnya:
"There is one man who is the most recent common ancestor of all patrilineal lineages. This man has been dubbed Y Adam. Y Adam lived in Africa over 200,000 years ago. He was not necessarily the only man alive at the time, or the only one who had descendants, but is the only one with tested patrilineal descendants still alive today.

This does not necessarily mean that there are no other potential Y-DNA lineages, just that if there are, they have not yet been discovered. The same holds true for the age of Y Adam. Through additional research and testing of modem and ancient DNA, different and/ or older lineages may be discovered in the future ."

"Ada satu laki-laki yang merupakan nenek moyang terakhir semua garis keturunan patrilineal. Pria ini dijuluki 'Y Adam'. Y Adam tinggal di Afrika lebih dari 200.000 tahun yang lalu. Dia belum tentu satu-satunya manusia yang hidup pada saat itu, atau satu-satunya yang memiliki keturunan, namun satu-satunya  yang  memiliki  keturunan  patrilineal  berdasarkan hasil tes terhadap manusia yang masih hidup hingga saat ini.

Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan garis keturunan Y-DNA lain. Hanya saja, jika ada maka garis keturunan itu belum ditemukan. Hal yang sama juga berlaku pada zaman Y Adam . Melalui penelitian tambahan dan pengujian DNA modern dan kuno, garis keturunan yang berbeda dan/ atau lebih tua dapat ditemukan pada masa depan ."

Sekali lagi, silakan pembaca menyimpulkan sendiri apakah kita akan mengikuti itsbat dan kesimpulan nasab-nasab manusia masa lampau yang hidup lebih dari 1000 tahun  lalu berdasarkan  teori yang diyakini  para  ahli  seperti di atas ataukah mengikuti suatu yang sudah baku, kokoh, dan diakui syariat. Apakah tidak mungkin terjadi berbagai mutasi Y-DNA pada masa lampau dalam jarak yang  lebih dekat sehingga terjadi heterogenitas  kelompok  masyarakat yang sama atau dengan gegabah kita menuduh jutaan manusia di dunia ini bernasab palsu? Hanya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan yang akan membuktikan hal ini. Allah Mengetahui segala yang tersirat dan tersurat! Allah Maha Mengetahui hakikat yang terjadi di alam dan di dalam diri manusia ini.

12.   Pandangan Ulama mengenai Uji DNA untuk Nasab
Jika keberagaman Asyraf, Bani Hasyim, dan Quraisy, Adnani, Qahthani, Ibrahimi, Yahudi, Arab, dan lainnya ini hanya ditemukan di segelintir sampel maka mungkin saja kita menduga bahwa mereka tidak punya leluhur yang sama. Tetapi ketika jumlahnya sudah mencapai ratusan maka keabsahan metode ini untuk menelusuri keturunan jauh perlu dipertanyakan. Ratusan sampel ini semata yang tersedia dan kita bisa akses secara publik, sementara yang tidak tersedia secara publik tentu saja lebih banyak, sehingga perbedaan dan kerancuannya juga pasti lebih banyak. Oleh karena itulah uji DNA belum bisa dijadikan metode untuk meng-itsbat atau menolak nasab-nasab jauh yang sudah jelas dan "tsabit" secara syariat.
Lalu, bagaimana syariat Islam memandang uji DNA dan penggunaannya? Apakah Islam berlawanan dengan ilmu pengetahuan modern? Tentu saja tidak! Islam sangat mendukung dan sejalan dengan ilmu pengetahuan, tetapi  ada aturan hukum syariat yang menjadi rujukan dalam aktivitas ilmiah, termasuk uji DNA. Kebenaran dan maqashid al-syari 'ah diutamakan di atas kepentingan lain. Tentunya keputusan para ulama tersebut  telah  mendapat  masukan  berbagai ahli, termasuk ahli DNA. Berikut pandangan syariat Islam terhadap uji DNA.
Al-Majma' al-Fiqh al-Islami (Forum Fiqih Islam Internasional) di bawah naungan Rabithah al-'Alam al-Islami, pada muktamar ke-16 yang bertempat di Makkah dan berlangsung pada 21-26 Syawwal 1422 H/5-10 Januari 2002 M, dalam keputusan No. 95 memutuskan fatwa mengenai uji DNA, yaitu:
1.    Uji DNA boleh digunakan untuk menentukan pelaku tindak kriminal. Dalam hal ini uji DNA hanya digunakan dalam tindak kejahatan kriminal yang tidak ketentuan syariatnya, juga tidak ada qisas-nya. Ketetapan ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw.

"Tolaklah hukuman had karena masalahnya masih samar."

Penggunaan uji DNA dalam permasalahan inibertujuan untuk merealisasikan keadilan dan keamanan dalam masyarakat. Dengan pelaksanaan uji DNA hukuman  dapat dijatuhkan kepada orang yang tepat.
2.    Uji DNA dalam permasalahan yang berhubungan dengan nasab hams dilakukan dengan kehati-hatian penuh . Uji DNA adalah jalan terakhir. Nash dan kaidah syariat tetap hams didahulukan atas uji DNA.
3.    Secara syariat, menggunakan uji DNA untuk nafy al-nasab (meniadakan nasab) tidak diperbolehkan . Uji DNA juga tidak boleh didahulukan sebagai pengganti li'<in.
4.    Penggunaan uji DNA untuk memastikan nasab yang sudah "tsabit" dan ditetapkan secara syariat tidak diperbolehkan .408 Pihak yang berwenang hams mencegahnya dan memberikan sanksi yang tegas, karena larangan ini melindungi kehormatan masyarakat dan menjaga nasabnya (garis ketumnannya) .
5.    Menetapkan nasab menggunakan uji DNA hanya diperbolehkan pada keadaan berikut :
a.    Ketika terjadi persengketaan atas nasab seorang anak yang tidak diketahui nasabnya . Persengketaan ini dapat muncul karena tidak adanya bukti yang jelas mengenai nasab anak, ketika bukti yang digunakan oleh orang yang bersengketa sama kuatnya, ketika terjadi wath'usyubhat4° 9 ,  atau yang semisalnya.
b.    Ketika muncul kesamaran mengenai nasab anak-anak yang lahir di mmah sakit dan yang semisalnya serta ketika ada kesamaran nasab pada bayi tabung.
c.    Menentukan nasab anak-anak "hilang" yang terpisah dari keluarganya ketika terjadi bencana alam atau peperangan .

4.    Dilarang memberikan secara cuma-cuma atau memperjualbelikan genom manusia kepada etnis tertentu, bangsa, atau individu dengan tujuan  apa pun. Juga tidak  diperbolehkan memberikannya kepada pihak mana pun, karena dampak buruk yang diakibatkan dari penjualan atau pemberiannya .
5.    Al-Majma' al-Fiqhi al-Islami memberikan arahan agar:
a.    Dalam masalah yang terkait dengan hukum negara tidak diperbolehkan melaksanakan uji DNA kecuali atas permintaan pengadilan . Pelaksana­ annya juga  hanya untuk perkara tertentu . Pelaksanaan uji DNA demi keuntungan individu juga dilarang.
b.    Setiap negara hendaknya membentuk dewan khusus pelaksana uji DNA yang terdiri atas ulama, dokter, dan pengawas yang nantinya akan mengawasi jalannya uji DNA sehingga hasil uji DNA dapat dijadikan hujjah atau bukti yang valid (dalam masalah yang terkait dengan hukum).
c.    Hams ada pengambilan sumpah atau peraturan ketat agar tidak terjadi pemalsuan dan kecurangan sehingga hasil uji DNA yang dilaporkan benar-benar sesuai dengan hasil aslinya. Pengambilan sampel juga tidak boleh berlebihan agar tidak muncul keragu-raguan.

Kutipan keputusan resmi di atas dalam bahasa Arab adalah sebagai berikut .

Fatwa di atas diterbitkan setelah menghadirkan dan mempertimbangkan pandangan para saintis dan ahli DNA dari berbagai penjuru dunia. Setelah itu para ulama berdiskusi dan melahirkan kesepakatan dalam forum internasional tersebut. Para ulama yang hadir dan menandatangani saat itu di antaranya Prof . Dr. Wahbah Zuhaili, Prof . Dr. Yusuf al-Qardhawi, Prof . Dr. Abdul Karim Zaidan, al-'Allamah al-Syaikh Muhammad Taqi Utsmani (Mufti Agung Pakistan), Dr. Muhammad al-Habib Ibn al-Khaujah (Mufti Agung Tunisia), al-Syaikh Muhammad Rasyid Qubbani (Mufti Agung Lebanon), Dr. Nashr Farid Washil (Grand Mufti Mesir), al-'Allamah Syaikh Muhammad Salim Walad 'Adud (Ulama Besar Syingqith/Mauretania), dll.
Fatwa di atasjelas membolehkan uji DNA dalam hal-hal tertentu, termasuk pembuktian nasab anak kepada orang tuanya (nasab dekat), tetapi tidak berlaku untuk nasab-nasab jauh atau kabilah atau suku-suku yang sudah dikenal. Fatwa serupa terkait paternity test juga diadopsi oleh Lajnah ad-Daimah Darul Ifta' Kerajaan Yordan dalam fatwa No. 2794 . Lagi-lagi ini adalah fatwa terkait nasab yang sangat dekat antara anak dan ayah, bukan nasab yang sudah masyhur ratusan atau ribuan tahun lalu. Fatwa yang sama juga diadopsi oleh berbagai negara Islam lainnya.

13. Basil Bahtsul Masail NU tentang Uji DNA
Para pembatal nasab Ba'alawi, kerap mengaitkan syubhat yang dilahirkan Imaduddin dengan hasil  keputusan  Bahtsul  Masai!  Muktamar  NU  ke- 31 di Solo tentang pengaruh tes DNA dalam urusan nasab. Keputusan ini seakan-akan menjadi angin segar dan tambahan amunisi bagi mereka untuk membatalkan nasab Ba'alawi. Mereka tergesa-gesa meyakini bahwa tes DNA dapat mengonfirmasi nasab secara mutlak, baik dalam penetapan/itsbat atau peniadaan/na.fy, baik dalam keadaan normal maupun darurat, baik untuk nasab dekat maupun yang jauh . Sehingga, hasil tes DNA sebagian kecil S<idah Ba'alawi yang Haplogrup-nya berbeda-beda dijadikan bukti terputusnya nasab mereka dari Rasulullah Saw.

Padahal, jika mereka mau membaca keputusan Bahtsul Masai! di atas dengan cermat dan teliti, secara utuh dan tidak sepotong-potong, lalu menelaah dan mengkaji ulang uraian argumentasi ibarat kitab salaf yang menjadi dasar keputusan, niscaya mereka akan mendapatkan pencerahan dan berkesimpulan bahwa hasil Bahtsul Masai! Muktamar Solo sangat bertolak belakang dengan syubhat Imaduddin dkk.
Berikut ini penjelasan Dr. K.H. Fakhrur Rozi, salah satu Ketua PBNU saat ini (2024), anggota LBM PWNU sejak 1999, dan juga peserta Muktamar NU ke-31di Solo, dalam sebuah video klarifikasinya ia menjelaskan :

"Assalamualaikum, saya ingin memberi satu informasi. Kebetulan saya hadir di Muktamar Solo dan saya pengurus LBM PWNU Jawa Timur mulai tahun  1999.
Bahwa yang dimaksud dengan tes DNA untuk nasab di Muktamar Solo itu, kasusnya adalah sengketa ada pernikahan  seorang pejabat  inisialnya M, dengan artis inisialnya MM. Setelah menikah secara siri, punya anak, bapaknya enggak ngakui anaknya. Tapi, ibunya keukeuh itu adalah anaknya. Bapaknya ini namanya Nafyul Walad, enggak ngakui anaknya . Ini namanya Nafyul Walad. Ibunya tetap minta itu diakui sebagai anak. Dia minta di­ ilhaq-kan .
Konteksnya ilhaq dan nafyul walad. Jadi, pembahasannya itu dengan siapa? Dengan orang tua. Bukan dengan nenek moyang. Apakah tes DNA itu bisa menetapkan nasab dalam kasus ini? Tidak bisa.
Maka, disebut tidak bisa untuk ilhaq.Jadi bapak yang menolak anaknya, enggak ngakui anak hasil nikah sirinya itu dibenarkan. Itu namanya dia melakukan nafyul walad. Tapi kalau dalam fikih dia itu harusnya melakukan li'an, bahwa dia menuduh istrinya berselingkuh, bahwa itu bukan anaknya dan dia bersumpah. Nah istrinya supaya tidak dituduh berzina karena atas tuduhan suaminya, dia bisa membalas dengan sumpah li'an. Nah dua­ duanya ini bersumpah, maka anaknya itu menjadi anak siapa? Itu menjadi anak ibunya. Tidak menjadi anak bapaknya . Walaupun ibunya mengajukan tes DNA, dan terbukti itu memang anak bapaknya, secara fikih tetap tidak diterima . Jadi, karena apa? Al-walad itu 'kan lilfiriisy .
Jadi anak itu ditentukan oleh pernikahan . Dalam hal ini bapaknya enggak mengakui itu anaknya, dia enggak punya saksi tapi dia bisa bersumpah li'an, maka anak itu dinafikan, enggak diakui. Nafyul walad ini namanya. Bukan menafikan nasab, bukan! Ngaji fikih dulu, ya. Ngaji bab li'an dulu supaya paham konteks masalah nafyul walad dan ilhaq.
Jadi (sekali lagi) kasus ini, bapaknya enggak mengakui anaknya, itu namanya nafyul walad. lbunya ngeyel minta diakui dengan mengajukan sanggahan melalui tes DNA. Nah ini dia mau minta ilhaq nasab, supaya nasabnya diakui bapaknya . Apakah bisa tes DNA itu dibuat menyanggah bapaknya yang mengingkari anaknya itu? Tidak bisa. Tapi kalau (tes DNA) dibuat bapaknya untuk menguatkan dugaan itu bukan anaknya? Bisa. Tapi kalau untuk ibunya, yang dia itu merasa tidak selingkuh, bahwa ini memang betul-betul anakmu berdasarkan tes DNA, bisakah dia di-ilhaq-kan dengan bapaknya? Tidak bisa. Jadi, setidaknya segitu aja. Jangan salah paham, keputusan Muktamar Solo 2004 itu enggak ada hubungan dengan nasab habib-habib saat ini, ya. Jangan digoreng. ltu Anda salah paham, ya. Terima kasih. Assalamualaikum ."410

Seandainya hasil Bahtsul Masai! Muktamar Solo dibaca dengan benar, tentu pembaca akan memahami alur pembahasan musyawarahnya . Satu jawaban tidak akan keluar dari konteks deskripsi masalah, yakni bunyi jawabannya bahwa tes DNA itu hanya bisa untuk menafikan ilhaq nasab, tetapi belum tentu bisa digunakan untuk ilhaq nasab, dan kasus ini hanya terjadi pada nasab dekat, bukan yang jauh .

14.    Kesimpulan
1.    Ilmu DNA, khususnya ilmu yang membahas evolusi genetika ini masih berkembang terns sehingga pernbahan dan teori-teori barn  sangat mungkin akan bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan .
2.    Islam tidak menentang ilmu genetika secara umum dan Islam sejalan dengan ilmu pengetahuan, termasuk DNA. Namun, teori DNA yang bertentangan dengan pemahaman Islam seperti Adam bukan manusia pertama dan kemungkinan adanya manusia selain keturnnan Bani Adam yang hidup pada zaman ini bertentangan dengan nash qath'i agama Islam sehingga tidak bisa diterima .
3.    Islam tidak menentang dan sejalan dengan ilmu pengetahuan, termasuk DNA. Namun, syariat Islam menolak menggunakan metode yang masih bersifat sangat spekulatif dalam masalah penelusuran nasab jauh .
4.    Uji DNA dan penggunaannya diterima oleh Syariat Islam untuk urnsan tertentu dalam ranah yang sangat terbatas, sesuai dengan arahan dan fatwa Lembaga Fiqih Islam Internasional.
5.    Hasil uji DNA populasi masyarakat di berbagai belahan dunia menun­ jukkan heterogenitas pola genetik populasi etnis atau suku-suku tersebut.
6.    Uji DNA tidak bisa memastikan apakah seseorang itu keturnnan suku Fulan atau kabilah Fulan atau sosok historis lainnya yang hidup pada masa lampau, yang masanya sudah sangat jauh .
7.    Belum ada penelitian ilmiah dan jurnal  ilmiah apa pun yang meneliti dan menyimpulkan seperti apa pola genetik Nabi Ibrahim, Adnani, Quraisy, dan Bani Hasyim, apalagi Nabi Muhammad . Semua yang terkait hal ini mernpakan spekulasi belaka.
8.    Uji DNA tidak bisa memastikan apakah seseorang itu keturnnan Rasulullah atau bukan .
9.    Ba'alawi di Nusantara adalah bagian yang tak  terpisahkan dari masyarakat Nusantara baik secara biologis, historis, maupun kultural.[]


FOOTNOTE  

122     Hajji Khalifah, Kasyf al-Dhunûn ‘an Asâmî al-Kutub wa al-Funûn, Juz 1, hal. 178.
123  Walid al-Husaini al-‘Uraidhi, Ghâyah al-Ikhtishâr fî Ansâbi al-Sâdah al-Athhar, hal. 4.
124    Muhammad ‘Abdul Hay al-Laknawi al-Hindi, Iqâmah al-Hujjah ‘alâ’ Anna al-Iktsar fî al- Ta‘abbud Laisa Bibid‘ah, hal. 101.
125  Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy al-Nasab, hal. 47.
126  Ibid., hal. 47-50.

127   Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy al-Nasab, hal. 7.

128    Dikenal juga dengan Ja‘far al-Kadzdzab oleh kaum Syiah Imamiyah karena permasalahan warisan dan imamah. Gelar lain yang disematkan kepada beliau adalah Ja‘far al-Tawwab
129    Muhibuddin bin al-Najjar al-Baghdadi, Al-Mustafâd min Dzail Târîkh al-Baghdad, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1986), hal. 171.

130 Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Zahabi, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1985), Juz 20, hal. 447. Târîkh Islâm wa Wafayat al-Masyâhir wa al-A‘lam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996), Juz 39, hal. 97. Muhammad bin Syakir al-Kutbi, Fawât aþ-WaŠŔâĴ Ŏa aþ-DŜaiþ ‘Aþaiha, (Beirut: Dar al-Shodir, tt), hal. 374.
131     Ahmad bin Ali al-Hasani al-Dawudi Ibnu Inabah, ‘Umdah al-Thâlib al-Sughra fî Nasabi ‘Âlî Abî Thâlib, tahkik Sayid Mahdi Raja’i, (Iran: Maktab al-Mar’asyi, 2009), hal. 83.
132    Catatan Lora Ismail Amin Kholili Bangkalan, cucu Syaikhana Khalil Bangkalan.
133    Catatan Lora Ismail Amin Khalili Bangkalan, cucu Syaikhana Khalil Bangkalan.
134 Husain bin Haidar al-Hasyimi, Rasâ’il fî ‘Ilm al-Ansâb, hal. 98-100.
135  Abdur Rahman bin Majid Alu Qaraja al-Rifa’i al-Husaini al-Zar’ini, al-Kâfî al-Muntakhib fâ ‘Ilm al-Nasab, hal. 26.
136    Ibid.
137      Muhammad  Hifz  al-Rahman  al-Kamlani,  aþ-BĹdĹĨ  aþ-MadhiŔŔah  fî  TaĨâøiĄ  aþ-HaąaŠŔah, (Kairo: Dar al-Shalih, 2018), Juz 1, hal. 61.
138    Baha al-Din al-Janadi, al-Sulûk fî Thabaqât al-‘Ulamâ’ wa al-Mulûk, hal. 59.
139  Ibrahim bin Manshur, al-Madkhal Ilâ’ ‘Ilmi al-Nasab wa Qawâ‘idihi wa ‘Inâyah al-‘Arab Bihi, hal. 52.
140  Abdur Rahman bin Majid Alu Qaraja al-Rifa’i al-Husaini al-Zar’ini, al-Kâfî al-Muntakhib fî ‘Ilm al-Nasab, hal. 49.
141
142    Abu ‘Abdillah Muhammad al-Thalib al-Maradisi al-Fasi, al-Isyraf ‘Alâ Ba‘dhi Man Bi Faas min Masyahir al-Asyrâf, Juz 2, hal. 125-127.
143  Abdur Rahman bin Majid Alu Qaraja al-Rifa’i al-Husaini al-Zar’ini, al-Kâfî al-Muntakhib fî ‘Ilm al-Nasab, hal. 48.
144     Lihat     https://cendananewsindonesia.com/kh-imaduddin-polemik-nasab-habib-ba-alawi- selesai-terbukti-bukan-cucu-nabi-muhammad-saw/.
145  Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy al-Nasab, hal. 7.
146  Syarif Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi, al-Ifâdhah fî Adillati Tsubuti al-Nasab wa Nafyuhu bi al-Syuhrah wa al-Istifâdhah, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 2019), hal. 35.
147    Ibid., hal. 51.
148   Ibid., hal. 52.
149    Mu‘jam al-Syuyûkh, hal. 155.
150  Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, al-Ifâdhah fî Adillati Tsubut al-Nasab wa Nafyihi bi al-Syahrah wa al-Istifâdhah, hal. 54.
151   Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, UĬhĽþ Ŏa QaŎâ‘id fî KaĬŔŠ MĹdda’i aþ-SŔaĨaf Ŏa
Marwiy al-Nasab, hal. 7.
152   Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr, Juz 17,  hal. 35. 
153   Muhammad  bin  Ahmad  al-Khatib  al-Syarbini,  Mughnî  al-Muhtâj  ilâ’  Ma‘rifati  Ma‘ani Alfadhi al-Minhâj, Juz 6, hal. 377.
154    Abu al-Mahasin ‘Abdul Wahid bin Isma’il, Bahru al-Madzhab, (Lebanon: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 2009), Juz 14, hal. 134.
155   Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Jawâb al-Jalîl, hal. 47.

156   Abu al-Mahasin 'Abdul Wahid bin Isma'il, Bahru al-M adzhab, hal. 133.
157    Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Anshari Ibn al-Rifah, Kifayah al-Nabih fi Syarh a[­
Tanbih, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009), Juz 19, hal. 217.
158  Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud bin Muhammad bin al-Farra' al-Baghawi al-Syafi'i,
al-Tahdzibfi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), Juz 8, hal. 223.
159  Ibrahim bin Manshur al-Hasyimi al-Amir, al-Ifadhah fi Adillati Tsubut al-Nasab wa Nafyihi
bi al-Syahrah wa al-I stifadhah , hal. 76.
160  Al-Wasyali , Nasyr al-Tsana' al-Hasan 'ala' Arbab al-Fad[ wa al-Kamal min Ahl al-Yaman,
Juz 3, hal. 58.
161   Ibrahim  bin  Manshur  al-Hasyimi  al-Amir,  al-Ifadhah  Ji Adillati  Tsubuti  al-Nasab  wa Nafyuhu bi al-Syuhrah wa al-I stifadhah, hal. 77.
162  Ibid., hal. 57.
163  Ibrahim bin Manshur, al-M adk hal Ha' 'Ilmi al-Nasab wa Qawa'idihi wa 'Inayah al-'Arab Bihi, hal. 65.
164  Syams al-Din al-Dzahabi, Mizan al-I 'tidal, Juz 3, hal. 186.
165    Ibnu Hajar al-'Asqalani, Inba' al-Ghumar bi Abna al-'Umar, Juz 3, hal. 443.
166  Abdur Rahman bin Majid Alu Qaraja al-Rifa'i al-Husaini al-Zar'ini, al-Kafi al-Muntak hib fi
'Ilm al-Nasab, hal. 91.
167   Ibnu Qudamah, al-Mughni , Juz 6, hal. 127.
168 Ahmad bin Muhammad bin 'Ali bin Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyyah libni Hajar al-Haitami, (Kairo: Dar al-Ma'rifah , tt), hal. 120.
169  Ibid.
110   Berg, Herbert, "15. The Implications of, and Opposition to, the Methods and Theories of John Wansbrough". The Questfor the Historical Muhammad . New York: Prometheus Book, 2000.
171     Ritchie, Donald , Doing Oral History, Oxford University Press, 2002.
172        Https://www.birmingham.ac.uk/news-archive/2015/birmingham-quran-manuscript­ dated-among-the-oldest-in-the-world.
173 Khumul adalah sifat yang dikenal dalam dunia tasawuf sebagai sifat tidak ingin dikenal dan menjauhi  ketenaran.
174 Al-Tarikh wa al-mu'arrikhun al-hadharimah, kumpulan makalah Muktamar Internasional pertama mengenai sejarah dan sejarawan Hadramaut, 20-21 Desember 2016, Dami Wafaq , cet. 2019.
175 Qasam adalah daerah perkebunan yang dibangun keturunan Ahmad ibn  Isa  sebelum pindah ke Kota Tarim. Nama ini berasal dari nama daerah perkebunan tempat Ahmad ibn Isa dan keluarganya tinggal di Bashrah. Tokoh Bani Alawi yang pertama kali pindah ke Tarim adalah Imam Ali Khali Qasam (yang meninggalkan Qasam).
176 Alawi atau Alwi berarti sesuatu yang tinggi atau yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib atau  keturunannya.
177   Berdasarkan informasi dari kutipan al-Imam al-Hujjah Murtadha al-Zabidi.
178   Imaduddin, Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad Saw., hal. 66.
179         Lihat   https://www.nahdlatul-ulum   .com/ibnu-hajar-tidak-mengitsbat-nasab-ba-alwi/.
180  Abdullah  bin  Husain  Balfaqih , Mathlab  al-Iqadh  fi al-Kalam  'ala' Syai'in  min  Ghurar  al­ Alfadh , hal. 35.
181  Al-Dur al-Mukhtar wa Hasyiyatu Ibn 'Abidin, Juz 1, hal. 48.
182  Ak hbaru Abi Hanifah wa Ash-habihi , hal. 110.
184  Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, hal. 157.
185 Abdur Rahman bin Majid Alu Qaraja al-Rifa'i al-Husaini al-Zar'ini, al-Kafi al-Muntak hib fi
'Ilm al-Nasab, hal. 91.
186 Abil Laits Muhammad  Hamzah bin Ali al-Kattani al-Hasani al-Idrisi, al-Sum al-Zi'af, hal. 13.
187    Nuruddin  al-Molla al-Harawi al-Qari, Syarh  Nukhbah al-Fikr, (Lebanon: Dar al-Arqam, tt)
hal. 327.
188   Abdur  Rahim bin Husain bin Abdur  Rahman al-'Iraqi, Tharh a[-Tatsrib fi Syarh  a[-Taqrib, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 2, hal. 121.
189  Nuruddin al-Molla al-Harawi al-Qari, Syarh Nukhbah al-Fikr, hal. 327. Ahmad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar al-'Asqalani , Nuz hah al-Nadhar fi Taudhihi Nuz hah a[­
Fikr, (Riyadh: Safir, 1442 H), hal. 318.
190   Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain al-Taimi al-Razi, al-Syajarah al-M ubarakahfi Ansab al-Thalibiyyah, hal. 111.
191   Muhammad bin 'Abdillah bin Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahr al-M uhith fi  UshiU al-Fiqh,
(tt: Dar al-Kutubi, 1999), Juz 8, hal. 32.
192   'Abdur Ra'uf bin Taj al-Arifin bin 'Ali bin Zainal Abidin al-Haddadi, al-Taisir Bisyarh al-Jami' al-S haghir, (Riyadh: Maktabah Imam Syafi'i, 1988), Juz 1, hal. 19.
193  Ibid., Juz 2, hal. 172.
194   Ibid.
195  Muhammad bin 'Umar bin Hasan bin Husain al-Taimi al-Razi, al-M ahshul, (Lebanon: al­ Risalah, 1997), Juz 2, hal. 131.
Abdur Rahim bin Hasan bin 'Ali al-Isnawi al-Syafi'i, al-Tamhid fi  Takhrij al-Furn' 'ala' al­ UshUl, (Lebanon: al-Risalah, 1440), hal. 253.
Muhammad bin 'Abdillah bin Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhithfi UshUl al-Fiqh, Juz 5, hal. 171.
196   Muhammad  Sholeh  al-Zarkan,  Fakhruddin  al-Razi  wa  Ara'uhu  al-Kalamiyyah  wa  al­
Falsafiyyah, hal. 188, 130.
197    Muhammad bin 'Umar bin Hasan bin Husain al-Taimi al-Razi, al-Syajarah al-Mubarakah fi Ansab al-Thalibiyyah, hal. 9.
198  Ibid., hal. 9.
199  Fihris al-M ak hthuthat al-M ushawwarah, Juz 2, hal. 238.
202 Gelar al-Kadzd zab untuk Ja'far bin Ali al-Hadi ini tidak umum digunakan di kalangan Sunni, tetapi cukup sering disematkan kepadanya di kalangan Syiah Imamiyah.
203 Fakhr al-Din al-Razi, al-Sajarah al-Mubarakah  hal. 92.
204     Fakhr al-Din al-Razi, Ibid., hal. 92.
205 Banyak hadis dalam Shahih Buk hari mengisyaratkan bahwa 'alaihissalam untuk ahli bait tidak dimonopoli lidah Syiah. Muslim Sunni pun kerap melakukan hal yang sama.
206 Dalam menulis silsilah Ummu Zaid binti Abdillah bin 'Umar al-Khaththab, naskah  al­ Syajarah al-Mubarakah tidak memakai taradhi selayaknya orang Sunni lantunkan untuk Khalifah 'Umar bin al-Khaththab (lihat: ibid., hal. 75).
207 Ummu Farwah adalah cicit dari Sayidina Abu Bakr  al-Shiddiq yang menikah dengan Muhammad al-Baqir dan menurunkan Ja'far dan Abdullah. Ummu Farwah sendiri adalah anak dari Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Shiddiq, dan memiliki ibu bernama Asma binti Abd al-Rahman ibn Abu Bakr al-Shiddiq. Dalam dua kesempatan tersebut, al-Syajarah al-Mubarakah tidak memakai taradhi selayaknya orang Sunni lantunkan untuk Khulafa ' al­ Rasyidin (lihat: Ibid.).

208 Muhammad  Shaleh  al-Zarkan,  Fakhruddin  al-Razi wa  Ara'uhu  al-Kalamiyyah  wa  al­ Falsafiyyah , hal. 188, 130.
209 Bagi penulis, manual dalam kitab adalah satu hal, sementara  penjelasan  faktualnya adalah lain hal. Keduanya berbeda dan tidak terlalu kontroversial jika saling kontradiksi. Penjelasan detailnya dapat pembaca simak pada paragraf selanjutnya.
210 Penulis sengaja membatasi sajian uji sampel pada enam generasi dari Sayid Ali al-'Uraidhi sampai dengan generasi Sayid Alwi bin Ubaidillah (datuk seluruh klan Ba'alawi) untuk simplifikasi. Uji sampel bisa pembaca lakukan sendiri dengan mengambil acak nama­ nama dalam al-Syajarah al-Mubarakah, kemudian dikonfrontasi dengan kitab nasab yang lebih tua sekaligus sezaman dengannya. Kontradiksi tidak hanya terjadi pada jumlah belaka, namun pada nama, keturunan, dan wilayah yang disebutkan dalam al-Syajarah al­ Mubarakah. Selamat mencoba!
211   Muhammad al-Akbar dan Ahmad al-Sya'rani. Lihat: Fakhr al-Din al-Razi, Ibid., hal. 110.
212    Hasan dan Husain. lihat: Ibid.
213   Mereka  adalah  Ja'far,  Ali,  Abdullah,  al-Qasim,  Muhammad  al-Ashghar,  dan  Ahmad  al­ Ashghar. Lihat: Ibid., hal. 111.
214  Ibid., hal. 114.
215     Muhammad bin Abi Ja'far al-'Ubaidili, Ibid., hal. 180.
216 Mi'nats adalah seseorang yang memiliki  anak perempuan sehingga genealoginya tidak dikaitkan lagi dengannya, namun kepada suaminya. Atau diartikan memiliki anak lelaki namun tidak melanjutkan keturunan. Detailnya bisa lihat Khalil Ibrahim al-Dalimi, Durus fi 'Jlm al-Ansab, (tanpa penerbit , 2016), hal. 56.
217     Najm al-Din Abi al-Hasan Ali al-'Umari, Ibid., hal. 333-334.
218 Redaksi wabiha 'aqibuhu (dan di sanalah [Yazd Ishfahan] domisili keturunannya) tersusun dari jumlah ismiyah yang bermakna inshishar dengan susunan khabar muqaddam (k habar yang mendahului mubtada'). Jika jumlah ismiyah belaka sudah bermakna inhishar, alih-alih susunan k habar muqaddam seperti ini harus lebih dari final. Lihat Fakhr al-Din al-Razi, Ibid., hal. 114.
219   Najm al-Din Abi al-Hasan Ali al-'Umari, Ibid., hal. 334.
220 Ismail bin Husain al-Marwazi al-Azwarqani , Ibid., hal. 31.
221 Secara geografi, jarak antara Yazd Ishfahan ke Qazvin sekitar 551 km. (butuh enam jam perjalanan darat dengan transportasi modern), sedangkan Yazd Ishfahan ke Marand sekitar 971 km (memakan waktu 11 jam perjalanan darat sekarang). Bayangkan jika perjalanan tersebut ditempuh oleh orang pada masa lalu.
222  Fakhr Al-Din Al-Razi, Ibid., hal. 111.
223  Muhammad bin Abi Ja'far Al-'Ubaidili , Ibid., hal. 175.
224   Najm al-Din Abi al-Hasan Ali al-'Umari, Ibid., hal. 334.
225    Ismail bin Husain Al-Marwazi al-Azwarqani, Ibid., hal. 29.
226   Fakhr al-Din al-Razi, Ibid., hal. 113.
227    Ibrahim bin Nashir bin Thabathaba , Ibid., hal. 160.
22s  Fakhr Al-Din Al-Razi, Ibid.
229 Muhammad bin Abi Ja'far al-'Ubaidili , Ibid., hal. 177, bandingkan dengan Ismail bin Husain aal-Marwazi al-Azwarqani, Ibid., hal. 30.
230 Jika pembaca (dan Penggugat) menaikkan sampel lebih besar dari yang penulis lakukan (yaitu 100 nama), seperti menguji 500 sampel dalam al-Syajarah al-M ubarakah secara acak, konstanta margin error-nya sebesar 4%.  Artinya , jika hasil uji sampel tersebut mendapatkan angka problem lebih dari 20 orang, dipastikan secara ilmiah reportase a[­ Syajarah al-M ubarakah belum bisa ditoleransi. Sebagai panduan , silakan lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif , Kualitatif , dan R&D, (Bandung: Penerbit Alfabeta , 2014).
231 Lihat https:/ /wwW.youtube.com/watch ?v=ZBjHxEQcZ_A.
232 Abu al-Hasan 'Ali bin Abi 'Ali Muhammad al-Amidi, Abkar , al-Afkar fi UshUl al-Din, (Kairo: Dar al-Kutub wa al-Watsa'iq al-Qaumiyyah , 2004), Juz 1, hal. 207.
233 Ahmad bin Muhammad bin 'Ali bin Hajar al-Haitami, al-Fatawa ' al-Haditsiyyah libni Hajar al-Haitami, hal. 119.
234  Abdullah bin Alwi al-Haddad, Tatsbit al-Fu'ad , Juz, 2, hal. 1086.
235  Abdullah bin Alwi al-Haddad , al-Durr al-M andhum Lid zawi al-'Uqul wa al-M afhum, hal. 57.
236  Abdullah bin Alwi al-Haddad , al-M anhaj at-sawifi UshUli Thariqah al-Sadah Ali Ba'alawi,
hal. 66.
237  Idrus bin Umar al-Habsyi, Nur al-Futuhat al-'Arsyiyyah , hal. 37.
238 Muhammad bin Isma'il al-Amir al-Shan'ani, al-Masa'il al-M ardhiyyahjit Tifaqi Ahlissunnah wa al-Zaidiyyah, (dokumen pribadi), hal. 4. Naskah ini berada di universitas di Shana'a, Yaman, pada himpunan Qaf 1-5, al-Fiqh al-islami wa Ushulihi.
239  Abu al-Qasim Ali ibn Hibbatullah ibn al-Asakir, Tabyin Kad zb al-Muftari fi ma Nusiba ila
al-Asy 'ari, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Arabi, 1404), hal. 29.
240 .01µ1 _}:.,. '-t,l J. Jf- ..1::-11 '-. fa  ':?J)I tfll
241  Abdurrahman  al-Khathib, al-Jawhar al-Syafaf , (dokumen pribadi: Makhthuth), Hikayat Pertama.
242   Al-Khatib, al-Jawhar al-Syafaf  (manuskrip).
243   Al-Khatib, al-Jawhar al-Syafaf  (manuskrip).
244   Al-Khatib , al-Jawhar al-Syafaf  (manuskrip).
245   Bamakhramah , Qiladah al-Nahr, Juz 2, hal. 619.
246  Al-Khatib, al-Jawhar al-Syafaf  (manuskrip).
247   Al-Ahdal, Husain ibn Abdurrahman , Tuhfah al-Zamanfi Tarikh Sadah al-Yaman, jilid ke-2, (Shana'a: Maktabah al-Irsyad , 2010), hal. 238.
248   Amir Syakib Arsalan, Hadhir al-Alam al-lslami , (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), jilid  ke-3, hal. 168.
249 Al-Ahdal, Muhammad ibn Muhammad , Qarar 'Ulama Bani al-Ahdal , (tt: Maktab al-Burhan,
tt), hal. 36.
250    Lihat https://www.youtube.com/watch ?v=g_2MDVtt_ NQ.
251  Al-'Ubaidili , Muhammad ibn Abi Ja'.far , Tahdzib al-Ansab wa Nihayah al-Alqab (tt) hal. 176.
252  Al-Haddad , 'Uqud al-Almas, hal. 129-131.
253  Al-Haddad , 'Uqud al-Almas, hal.131.
254   Al-Haddad , 'Uqud al-Almas, hal. 132.
255 Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 133.
256  Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 133.
257   Al-Haddad , 'Uqud al-Almas, hal. 134.
258 Ibnu Inabah, Ahmad ibn Ali, 'Umdah al-Thalibfi Ansab Ali Abi Thalib, (Najaf: al-Haidariyah, 1961), hal. 245.
259 Ibnu Inabah , 'Umdah al-Thalib al-S hugra, hal. 135.
260  Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 134.
261    Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 138.
262    Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 138.
263 Al-Haddad, 'Uqud al-Almas, hal. 138.
264     Dokumen Rumail Abbas.
265 Lihat al-Raudhu al-Jaliy , ditahkik oleh Muhammad Abu Bakar Badzeib, hal. 60-62.
266  Lihat, Ibid., hal. 11.
267  Lihat, Ibid., hal. 71.
268  Lihat, Ibid., hal. 68.
269    https:/ /kbbi.kemdikbud.go.id/entrij ekstrapolasi.
270  Abu Muhammar Yahya ibn Muhammad ibn Thaba Thaba, Abna' al-Imam fi Mishr wa al­Syam al-Hasan wa al-Husain, (Riyadh, Maktabah al-Taubah, 1425 H), hal. 22.

271    Lihat https:/ /rminubanten.or.id/silsilah-sunan-gunung-jati-ke-musa-al-kadzim/.
272  Umar ibn Ahmad ibn Abi Jaradah, Bughyah al-Thalibfi Tarikh Halab, (Beirut: Dar al-Fikir, tt.), Juz 1, him. 97
273 Ahmad ibn Ali al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), Juz 3, him. 323.
274  Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman al-Zahabi, Siyar A'lam al-Nubala',(Beirut: Muassasah al-Risalah , 1985), Juz 18, him. 626.
275   Muhammad  ibn Abdul  Baqi'  al-Maristani, Ahadits  al-Syuyukh  al-Tsiqat, (Beirut:  Dar  al­ Kutub al-Ilmiyah, 2004), Juz 2 him. 25.
276  Ali ibn  Hasan  ibn Hibbatullah  al-Syafi'i,  Tarikh M adinah Damsyik , (Beirut:  Dar  al-Fikr, 1996), Juz 42, him. 351.
277   Abu al-Hasan Ali ibn Jadid, al-M awahib al-Jazilah fi  Ahadits al-Musalsalah (Makhthuth).  
278  Al-Rasuli, al-Athaya al-Saniyah, him. 460.
279  Al-Khazraji, al-Iqd al-Fak hir, hal. 1486.
280 Ibn Hajar al-Haitami, Tsabat, hal. 212-213.
281  Muhammad  Murtadha  al-Zabidi, al-Raudhu  al-Jaliy fi Nasabi  Bani  'Alawi , ditahkik  oleh Muhammad Abu Bakar Badzeib, hal. 121.
282  Lihat, ibid., hal. 121.
283    Https://www.tiktok.com/@semestaqolbu/video /7219178074317901082?_t=8mk7IF2elx2&_r=l.
284   Lihat, op.cit., hal. 121.
285  Al-Syathiri , Muhammad ibn Ahmad , Sirah al-Salaf min Bani 'Alawi al-Husainiyyin, (Tarim: Dar al-Hawi, tt), hal. 17-18.
286  Al-Segaf , Abdurrahman ibn Ubaidillah , Idam al-Qilt fi Dzikri Buldan Hadhramaut , (Beirut: Dar al-Minhaj, 2005), hal. 613.
 
287  Al-Bantani , Muhammad ibn Umar ibn Ali Nawawi, Syarah 'Uqudu al-Lujainfi Bayan Huquq al-Zawjain, (Beirut: Dar Kutub Islamiyah, 2015), hal. 10.
288  Ibid., hal. 10.
289  Al-Sakhawi, Istijlab Irtiqa ' al-Ghuraf bi Hubbi Aqriba ' al-Rasill S hallallahu 'Alaihi wa Sallam
wa Dzawi al-Syaraf , hal. 566.
290 Ahmad ibn Abdillah ibn Shalih al-Ijli, Kitab al-Tiqat, (Saudi: Maktabah al-Dar, 1985), Juz 1, hal. 360.
 
291  Lihat Yaqut al-Hamawi, Kitab Mujam al-Buldan, Juz I, hal. 144.
 
292   Al-Hamdani , aHkl'il min Ak hbar al-Yaman wa Ansab al-Himyar, Juz 10, hal. 153.
 
293  Lihat Yaqut al-Hamawi, M u)am al-Buldan, Juz 1, hal. 144.
294   Ibnu Atsir, Ali ibn Muhammad , Usud al-Ghabah fi M a'rifah al-S hahabah, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2012), hal. 692.
295  Al-Halabi , Ali ibn Burhan, al-Sirah al-Halabiyah, Juz 2, hal. 170.
 
296  Al-Syafi'i, Muhammad ibn Idris, al-Umm, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikir, 1980), hal. 10.
 
297  Al- Dzahabi, Muhammad ibn Ahmad , Ibid., hal. 5.
298  Farid, Ahmad , Min A'lam al-Salaf , Juz 2, (Mesir: Dar-al-Iman , 1998), hal. 113.
299 Abu Alam, Taufiq, al-Sayidah Nafisah , (Kairo: Wizarah Auqaf , 1992), hal. 108.
 
 
300 Al-Ahdal, Husain ibn Abdurrahman , Tuhfah al-Zaman fi Tarikh Sadah al-Yaman , jilid 2, (Shan'a: Maktabah al-Irsyad , 2010), hal. 238.
301 Mengenai hijrahnya kakek Bani Ahdal yang tidak sinkron dengan kakek Bani Alawi telah dikoreksi oleh keluarga al-Ahdal dalam kitab Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal karya Muhammad al-Ahdal, yang menyatakan bahwa kakek yang pertama hijrah bukanlah Muhammad ibn Sulaiman, melainkan kakek yang keenam yaitu Muhammad ibn Hamham, (Muhammad ibn Muhammad al-Ahdal, Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal, hal. 36).
302 Ahmad ibn Ahmad ibn Abdul Lathif al-Syaraji al-Zubaidi al-Hanafi, Thabaqat al-Khawwash
li Ahl al-Shidq wa al-Ik hlash, hal. 79-95.
303 Al-Mutawakkil  'Alallah  Syarafuddin  Yahya  ibn  Syamsuddin  al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi), hal. 32.
304   Shalih ibn Ali al-Hamid, Tarikh Hadhramaut, jilid 1, (Shon'a: Maktabah al-Irsyad, 2003), hal. 305.
305 Ali ibn Abubakar al-Sakran, al-Burqah al-Musyiqah, (Mesir: tp, 1928), hal. 133.

306  Muhammad  Dhiya'  Syahab dan Abdullah  ibn  Nuh,  al-Imam al-Muhajir  Ahmad  ibn Isa,
(Saudi Arabia: Dar al-Syuruq, 1980), hal. 61.
307  Ibid., hal. 59.
308 Dalam beberapa kitab disebutkan perbedaan pendapat tentang tempat wafatnya Imam al­ Muhajir. Pada kitab al-Jawhar al-Syafaf karangan al-Khatib disebutkan bahwa al-Muhajir wafat di Qarah Jusyaib , sebuah desa kecil, berjarak 3 Km. dari Husaisah dekat dengan Bor.
309 Muhammad , Abdullah , Tarikh al-Syu 'ara' al-Hadramiyyin, (Kairo: Matba'ah Hijazi, 1933), hal. 76-77.
310  Al-Khatib, Abdurrahman  ibn Muhammad,  al-Jawhar al-Syafaf fi Fadha'il wa M anaqib wa Karamat al-Sadah al-Asyraf  min Ali Abi 'Alawi (makhtuth).
311   Al-Syarji, Ahmad ibn Ahmad , Ibid., hal. 53.
312 Al-Hamra, Umar ibn Abdurrahman Shahib, Fathullah al-Rahim al-Rahman fi M anaqib a[­ Syaikh al-'Arif Billah al-Quthb al-Ghawts al-'Aydrus Abdullah ibnAbu Bakr ibn 'Abdurrahman (makhthuth).
 
313  Walid al-'Uraidhi, Ghayah al-I k htishar fi Ansab al-Sadah al-Athhar, hal. 31.
314   Murtadha , Ahmad Ali, Ruang Pandang Sejarah Peminatan, (Bogor: Guepedia, 2021), hal. 69.
315 Al-Thusi, Abu Ja'far Muhammad ibn al-Hasan, Kitab al-Ghaybah, (Qum: Muassasah Al­ Ma'arif al-Islamiyah , 2005 H), hal. 199.
316   Bakutsair , Abdullah ibn Muhammad , Rih_lah al-Asywaq al-Qawiyyah ila M awathin al-Sadah al-Ulwiyah, (tt:tt, 1985), hal. 34.
317   Al-'Umari, al-M ajdi fi Ansab al-T haibiyyin, hal. 136.
318 Bamakhramah , Abdullah ibn Ahmad , Qiladah al-Nahr fi Wafiyyat A'yan al-Dahr, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2008), Juz 2, hal. 618.
319  Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo, (Tangerang: Pustaka Ilman, 2017), hal. 80.
 
320  Al-mutawakkil  'Alallah  Syarafuddin  Yahya  ibn  Syamsuddin  al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi), hal. 32.
321     Lihat https://wwW.facebook.com/photo/ ?fbid=3540529699557890&set=pcb.3540529722891 221.
 
322    Lihat https://shabwaah-press.info/news/40728.
323  Sumber: Arsip perpustakaan Syarieflbrahim ibn Mansur al-Amir, arsip kesultanan Utsmani, beberapa kitab dan arsip sejarah Hijaz serta kitab al-Syajarah al-Zakiyyah susunan Sayid
324     Lihat  https://wwW.facebook.com/profile  .php?id=100064644371285&locale=ar  _AR.
325   Lihat wawancara tentang kehidupan Syaikh Ali ibn Salim Bukair:
episode pertama: https://youtu.be/DORWqdWxty8?si=8Mjc_hYhpF3zWxlQ
326   Lihat https:/ /id.wikipedia.org/wikij Tesis.
327   Siska  Helma  Hera.  Kritik  Ignaz  Goldziher  dan  Pembelaan  Musthofa  al-Azami  terhadap Hadis dalam Kitab S hahih Bukhari, Living Hadits , 10.14421, 13 April 2020.  
328     Https://asdf.niceboard.com/t13-topic#28.
294   Ibnu Atsir, Ali ibn Muhammad , Usud al-Ghabah fi M a'rifah al-S hahabah, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2012), hal. 692.
295  Al-Halabi , Ali ibn Burhan, al-Sirah al-Halabiyah, Juz 2, hal. 170.
296  Al-Syafi'i, Muhammad ibn Idris, al-Umm, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikir, 1980), hal. 10.
297  Al- Dzahabi, Muhammad ibn Ahmad , Ibid., hal. 5.
298  Farid, Ahmad , Min A'lam al-Salaf , Juz 2, (Mesir: Dar-al-Iman , 1998), hal. 113.
299 Abu Alam, Taufiq, al-Sayidah Nafisah , (Kairo: Wizarah Auqaf , 1992), hal. 108.
300 Al-Ahdal, Husain ibn Abdurrahman , Tuhfah al-Zaman fi Tarikh Sadah al-Yaman , jilid 2, (Shan'a: Maktabah al-Irsyad , 2010), hal. 238.
301 Mengenai hijrahnya kakek Bani Ahdal yang tidak sinkron dengan kakek Bani Alawi telah dikoreksi oleh keluarga al-Ahdal dalam kitab Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal karya Muhammad al-Ahdal, yang menyatakan bahwa kakek yang pertama hijrah bukanlah Muhammad ibn Sulaiman, melainkan kakek yang keenam yaitu Muhammad ibn Hamham, (Muhammad ibn Muhammad al-Ahdal, Qarar 'Ulama' Bani al-Ahdal, hal. 36).
302 Ahmad ibn Ahmad ibn Abdul Lathif al-Syaraji al-Zubaidi al-Hanafi, Thabaqat al-Khawwash
li Ahl al-Shidq wa al-Ik hlash, hal. 79-95.
303 Al-Mutawakkil  'Alallah  Syarafuddin  Yahya  ibn  Syamsuddin  al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi), hal. 32.
304   Shalih ibn Ali al-Hamid, Tarikh Hadhramaut, jilid 1, (Shon'a: Maktabah al-Irsyad, 2003), hal. 305.
305 Ali ibn Abubakar al-Sakran, al-Burqah al-Musyiqah, (Mesir: tp, 1928), hal. 133.
306  Muhammad  Dhiya'  Syahab dan Abdullah  ibn  Nuh,  al-Imam al-Muhajir  Ahmad  ibn Isa,
(Saudi Arabia: Dar al-Syuruq, 1980), hal. 61.
307  Ibid., hal. 59.
308 Dalam beberapa kitab disebutkan perbedaan pendapat tentang tempat wafatnya Imam al­ Muhajir. Pada kitab al-Jawhar al-Syafaf karangan al-Khatib disebutkan bahwa al-Muhajir wafat di Qarah Jusyaib , sebuah desa kecil, berjarak 3 Km. dari Husaisah dekat dengan Bor.
309 Muhammad , Abdullah , Tarikh al-Syu 'ara' al-Hadramiyyin, (Kairo: Matba'ah Hijazi, 1933), hal. 76-77.
310  Al-Khatib, Abdurrahman  ibn Muhammad,  al-Jawhar al-Syafaf fi Fadha'il wa M anaqib wa Karamat al-Sadah al-Asyraf  min Ali Abi 'Alawi (makhtuth).
 
311   Al-Syarji, Ahmad ibn Ahmad , Ibid., hal. 53.
312 Al-Hamra, Umar ibn Abdurrahman Shahib, Fathullah al-Rahim al-Rahman fi M anaqib a[­ Syaikh al-'Arif Billah al-Quthb al-Ghawts al-'Aydrus Abdullah ibnAbu Bakr ibn 'Abdurrahman (makhthuth).
 
313  Walid al-'Uraidhi, Ghayah al-I k htishar fi Ansab al-Sadah al-Athhar, hal. 31.
314   Murtadha , Ahmad Ali, Ruang Pandang Sejarah Peminatan, (Bogor: Guepedia, 2021), hal. 69.
315 Al-Thusi, Abu Ja'far Muhammad ibn al-Hasan, Kitab al-Ghaybah, (Qum: Muassasah Al­ Ma'arif al-Islamiyah , 2005 H), hal. 199.
316   Bakutsair , Abdullah ibn Muhammad , Rih_lah al-Asywaq al-Qawiyyah ila M awathin al-Sadah al-Ulwiyah, (tt:tt, 1985), hal. 34.
317   Al-'Umari, al-M ajdi fi Ansab al-T haibiyyin, hal. 136.
318 Bamakhramah , Abdullah ibn Ahmad , Qiladah al-Nahr fi Wafiyyat A'yan al-Dahr, (Jeddah: Dar al-Minhaj, 2008), Juz 2, hal. 618.
319  Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo, (Tangerang: Pustaka Ilman, 2017), hal. 80.
 
320  Al-mutawakkil  'Alallah  Syarafuddin  Yahya  ibn  Syamsuddin  al-Hasani, Tsabat, (dokumen pribadi), hal. 32.
321     Lihat https://wwW.facebook.com/photo/ ?fbid=3540529699557890&set=pcb.3540529722891 221.
322    Lihat https://shabwaah-press.info/news/40728.
323  Sumber: Arsip perpustakaan Syarieflbrahim ibn Mansur al-Amir, arsip kesultanan Utsmani, beberapa kitab dan arsip sejarah Hijaz serta kitab al-Syajarah al-Zakiyyah susunan Sayid
324     Lihat  https://wwW.facebook.com/profile  .php?id=100064644371285&locale=ar  _AR.
325   Lihat wawancara tentang kehidupan Syaikh Ali ibn Salim Bukair:
episode pertama: https://youtu.be/DORWqdWxty8?si=8Mjc_hYhpF3zWxlQ
 
326   Lihat https:/ /id.wikipedia.org/wikij Tesis.
327   Siska  Helma  Hera.  Kritik  Ignaz  Goldziher  dan  Pembelaan  Musthofa  al-Azami  terhadap Hadis dalam Kitab S hahih Bukhari, Living Hadits , 10.14421, 13 April 2020.
329  Catatan Lora Ismail Amin Kholili Bangkalan , Cucu Syaikhana Kholil r.a.
330 Https://rminubanten.or.id/membedah-kitab-rujukan-sang-profesor /.
331       Https://www.konsultasisyariah.in/2023/05/terputusnya-silsilah-habib-indonesia. html?m=l.
332    Lihat https://www.facebook.com/share/v /puPHV5mvLHW721M5/?mibextid=KsPBc6.
333 Muslim ibn Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, S hahih Muslim, (Lebanon: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tt), Juz 4, hal. 1935.
334  Khalil Ibrahim al-Dalimi, Durus fi 'Ilm aL-Ansab.
335 Kamal al-Hut al-Husaini, Jami' al-Durar al-Bahiyyah li Ansab al-Qurasyiyyin fi al-Bilad al­
Syamiyyah , hal. 15.
336  Husain ibn Haidar al-Hasyimi, Rasa'il fi  'Ilm al-Ansab, hal. 93.

 
337   Ibid.
338 Ahmad ibn Muhammad ibn Ali ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa ' al-Haditsah li Ibni Hajar al-Haitami, hal. 19.
339  Muhammad Awamah , al-M a'alim al-Irsyadiyyah li S hana'ati Thalib al-'Ilm, hal. 161.
340  Abdurrahman ibn Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Is'af al-Mubattha',hal. 180.
341   Sumber: https://youtube.com/shorts/TA9u ZXAchIY?si=iSygOSQxHV35-QSY.
342  Sumber: https://youtu.be/-FRlqHRKYLO ?si=ABKF-BwdAi ZKZ87v.
343 Muhammad ibn Abdillah ibn Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhithfi UshUl al-Fiqh, Juz 8, hal. 332.
 
344  Ibnu Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, Juz 3, hal. 584.
345  Ibnu Hazm al-Zhahiri, Mudawah al-Nufil s , hal. 67.


346 Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzzab, (Mesir:Dar al-Fikr, tt),Juz 1, hal. 30. Al-Taqrib wa al-Tays!, (Lebanon: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1985), hal. 83.
347 Husain ibn Haidar al-Hasyimi, Rasa'il fi 'Ilm al-Ansab, hal. 169-170.
348 Ahmad ibn Muhammad ibn Ali ibn Hajar al-Haitami, Fath_ al-Jawad bi Syarh_ al-Irsyad ,
(Lebanon: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2012), Juz 1, hal. 8.
349 Untuk lebih lanjut mengenai teori Ether (aether) ini bisa dilihat di sini, Whittaker,  E. T. (2012) [1910]. A History of the Theories of Aether and Electricity:from the Age of Descartes to the Close of the Nineteenth  Century. Whitefish , Montana.
 
350 Lindell Bromham, "Darwinwould have loved DNA:celebrating Darwin 200", Biology letters, diterbitkan online 15 May 2009 doi: 10.1098/rsbl.2009.0298.
351  Yuval Noah Harari, "Sapiens: A Brief  History of Humankind", Harper Perennial; Reprint edition, (May 15, 2018).
352    Https:/ /www.britannica.com/topic/Homo-sapiens.
353   Https:// science.howstuffworks.com/life /evolution/female-ancestor. htm.
354  Alan F. Chalmers, What Is This Thing  Called  Science, Hackett Publishing Company,  Inc.; Fourth  edition, 2013.
355      Https://www.ucdavis.edu/food/news/study-challenges-evolutionary-theory-dna­ mutations-are-random.
356  D.M. Walsh, Challenges to Evolutionary Theory, The Oxford Handbook of Philosophy of Science, Published: 06 August 2015.
357 Eva K. F. Chan et. al., Human Origins in A Southern African Palaeo- Wetland and First Migrations, majalah Nature , 575, pages185-189 (2019). Penulisnya memublikasikan koreksi dan perubahan terhadap  papernya  pada  2021.  Ini  menunjukkan  perubahan  pendapat setelah  mendapatkan  informasi  baru.
358 Chris Tringer and Julia Galway-Witham , "On the Origin of Our Species", Majalah Sains "Nature" edisi 546, tahun  2017.
359 Arti notasi "Kya" di peta adalah kilo years ago (ribuan tahun lalu).

362  Clade adalah sekelompok organisme yang monofiletik, yaitu terdiri atas leluhur yang sama dan semua garis keturunannya.

363  Pohon Filogeni adalah representasi sejarah evolusi dan hubungan antarkelompok manusia dalam bentuk pohon yang bercabang-cabang.
364 SNP, biasa dibaca "snip adalah singkatan dari Single Nucleotide  Polymorphism adalah bentuk variasi materi genetik yang ditunjukkan oleh perbedaan nukleotide dalam susunan rangkaian genetik. Secara umum bisa dipahami ini penanda variasi genetik setiap individu.
365  T. Mohammad et. al, "Genetic structure of nomadic Bedouin from  Kuwait ",Heredity (Edinb).
2009 Nov; 103(5): 425-433.
366 Hovhannes Sahakyan, Ashot Margar , et al., "Origin and diffusion of human Y chromosome haplogroup Jl-M267", Sci Rep. 2021 Mar 23;11(1):6659. doi: 10.1038/s41598-021-85883-2.
367 Rootsi, Siiri; Myres, Natalie M; Lin, Alice A; Jiirve, Mari; King, Roy J, et.al., "Distinguishing the co-ancestries of haplogroup G Y-chromosomes in the po pulations  of Europe  and the Caucasus". European Journal of Human Genetics. 20 (12): 1275-1282. doi:l0.1038/ ejhg.2012.86. PMC 3499744. PMID 22588667.
368  Op.cit.
369  Op.cit.
37° Kebencian atau ketakutan terhadap sesuatu yang dianggap "asing" atau berasal dari luar.
371  Alan R. Templeton, "Biological Races in Humans ", NIH Stud Hist Philos Biol Biomed Sci. 2013  September.
372  Kennedy, Maev (4 February 2013). "Richard III: DNA corifirms twisted bones belong to king ".
The Guardian. London. Retrieved 7 December 2014.
373 Hammer et al. (2009, "Extended Y chromosome haploty pes resolve multiple and unique lineages of the Jewish priesthood ", Hum Genet. 2009; 126(5): 707-717. Published online 2009 Aug 8. doi: 10.1007/s00439-009-0727-5. Lihat dalam tautan ini juga: https://link. springer.com/article/10.1007     /s00439-009-0727-5.
374 Iosif Lazaridis, Songiil Alpaslan-Roodenberg, Aye Acar, Ayen A<;1kkol et. al., "The genetic history of the Southern Arc: a bridge between West Asia and Europe", Science. 2022 Aug 26; 377(6609): eabm4247. Published  online 2022 Aug 26. doi: 10.1126/science.abm4247.
375 Marc Haber, et. al., "Continuity and Admixture in the Last Five Millennia  of  Levantine History from Ancient Canaanite and Present-Day Lebanese  Genome Sequences - PMC (nih. gov)", American Journal of Human Genetics, Published online 2017 July 27.
376         Https://en.wikipedia.org/wikij  Canaan_(son_of_Ham).
377   Https://www.britannica.com/biography /Samuel-Hebrew-prophet .
378 Doron M. Behar, Karl Skorecki, Siiri Rootsi, et.al, "The genetic variation in the Rla clade among the Ashkenazi Levites ' Y chromosome", Sci Rep. 2017; 7: 14969. Published online 2017 Nov 2.
379  Wexler , J. D. "Levite DNA", Levite DNA.org (2013).
380   Https://www.britannica.com/biography / Nebuchadne zzar-II.
381  Berbagai  sampel kelompok  Spira atau Sapphiro yang mempublikasikan  hasil tes DNA mereka bisa dilihat pada tautan:
https:/ /www.familytreedna .com/public/Shapiro/default.aspx ?section=ycolorized.
382  Sebagian hasil yang bisa diakses publik bisa dilihat pada tautan:
https:/ /www.familytreedna .com/public/Rapoport/default.aspx ?section=yresults.
383  Situs ini membahas keberadaan jalur wangsa Daud. Hasil uji DNA sebagian mereka juga beragam.   Lihat  https:/ /momentmag.com/king-davids-genes-2/     .

384 https://www.choicedna.com/how-long-does-a-mans-dna-stay-inside-a-woman/#:-:t ext=Malefetalcellshavebeen,forseveraldecadesfollowingchildbirth.
385 Khaled K Abu-Amero , Ali Hellani, et.al, "Saudi Arabian ¥-C hromosome diversity and its relationship with nearby regions ", BMC Genet. 2009. Published online 2009 Sep 22. doi: 10.1186/1471-2156-10-59. Lihat juga , Abdelhafidh Hajjejl dan Wassim Y. Almawi, "The genetic heterogeneity of Arab po pulations as inf erredfrom HLA genes", PLoS ONE 13(3) 2018: e0192269 , School of Pharmacy, Lebanese American University , Byblos, Lebanon.
386     Lihat  https://www.yfull.com/tree/G-Z16670/.
387         Https://ar.wikipedia.org/wikij %D8%B9%D9%86%D8%B2%D8%A9_(%D9%82%D8%A8
%D9%8A%D9%84%D8%A9).
388  Lihat Tabel 5-Berbagai Marga Adnani dan Qahthani Bercampur dalam Satu Haplogroup.
389     Lihat   https:/ /isogg.org/wikijFamous_DNA:Contested_DNA_Results#Mohammed.2C_ Prophet.2C_Hashemites.
390 Pohon phylogeni J-L859 yang dianggap Quraisy ini bisa lihat di sini https://www.yfull. com/tree/J-L859/.
391 Bani Khalid Khalid umumnya dikenal sebagai keturunan Khalid ibn Walid, sebagian lagi menyebutkan mereka keturunan salah seorang keluarganya yang sama-sama berasal dari Bani Makhsum, salah satu cabang Suku Quraisy.
392  Sadah adalah bentuk jamak kata Sayid, gelar yang disematkan kepada keturunan Nabi Saw.
393 Peer review adalah evaluasi karya oleh satu orang atau lebih yang memiliki kompetensi serupa dengan produsen karya ilmiah tersebut.
394     Https://isogg.org/wiki/Famous_  DNA:Contested _ DNA_ Results#Mohammed.2C_ Prophet.2C_Hashemites.
395 Inkuisisi adalah institusi pengadilan gereja yang didirikan oleh monarki Spanyol setelah mereka merebut kembali kekuasaan dari kaum Muslimin. Inkuisisi ditujukan mempersekusi dan mengadili aliran agama yang dianggap tidak sejalan dengan agama Katolik. Dalam hal ini agama Islam dan Yahudi.
396  Sadah A'rajiah adalah kelompok Sadah keturunan Ubaidillah al-A'raj ibn Husain ibn Imam Ali Zainal Abidin.
397 Https://ar.wikipedia.org/wikij%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%88%D9%84%D8%A9_
%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B4%D8%B9%D8%B4%D8%B9%D9%8A%D8%A9.
398  Https://www.maghress.com/almithaq/124973.
399  Https://en.wikipedia.org/wikij Tafilalt.
400  Umar Ahmad Shahil Mursyid, Jami' al-Ansab al-Jaylani al-k!asani.
401  Azyumardi Azra , Jaringan ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII :
Akar Pembaruan Islam Indonesia, Prenadamedia Group, Edisi Perenial, 2013.

402 Profesor Alan Templeton adalah pakar genetika dan statistik di Washington University St Louis Amerika Serikat.
403 Alan R. Templeton, Biological races in Humans , Studies in History and Philosophy of Science Part C: Studies in History and Philosophy of Biological and Biomedical Sciences, 44 (3):262- 271(2013).
404          Https://www.medicaldaily.com/dna-ancestry-tests-are-meaningless-your-historical­ genealogy-search-244586.
Presentasi lengkap Prof. Mark Thomas mengenai masalah ini dapat didengarkan di https://www.youtube    .com/watch?v=8Sr31Ke66tU.
405 Presentasi lengkap Prof. Mark Thomas mengenai masalah ini dapat dilihat disimak pada kanal berikut: https://www.youtube.com/watch?v=8Sr3 1Ke66tU.
406  Hasil uji DNA sampel Davidic lineage yang bisa diakses di https://www.familytreedna.com/ public/yichus?iframe=ycolorized.
407  Lihat di https:/ /www.pbs.org/race/OOO_About/002_04-background-01-07.htm  .
408 Nasab sadah Ba'alawi adalah nasab yang sudah "tsabit" secara syariat, bahkan hal itu diakui oleh banyak sekali ulama besar selama berbadab-abad.
409  Hubungan seksual yang tidak jelas kepastiannya.  
410  Sumber: https://vt.tiktok.com/ZS2LvRtYu/.

LihatTutupKomentar