Sejarah Wali Songo dan Wali Sepuluh
Nama kitab: Terjemah Ahlal Musamaroh fi Hikayati Auliya il al-Asyarah, Kisah Wali 10 (Sepuluh), Wali Tanah Jawa, Silsilah 10 Wali,
Judul asli: Ahla al-Musamarah fi Hikayat Auliya' al-Asyrah (أحلي المسامرة في حكاية أولياء العشرة)
Makna judul: Paling Manisnya Percakapan tentang Cerita Wali Sepuluh
Penulis: Syekh Kyai Abu Fadhol Senori (الشيخ أبو الفضل السنوري)
Nama lengkap: Syekh Abu Fadhol Senori Syekh Abu Fadhol Senori dari Tuban, Jawa Timur, Indonesia Lahir: 1917 M, Senori, Indonesia
Wafat: Senori, Indonesia
Penerjemah:
Bidang studi: Sejarah Islam di Nusantara, Indonesia
Daftar Isi
- Silsilah Nasab Sayyid Ibrahim Asmara
- Kelana Sayyid Ibrahim Asmara ke Negeri Champa
- Kisah Raja Brawijaya dan Raden Bondan Kejawan (Lembu Peteng)
- Kisah Raja Brawijaya dan Putri Martaningrum
- Kisah Sayyid Raja Pandito dan Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
- Kisah Sayyid Maulana Ishaq
- Kisah Sayyid Abdul Qadir (Sunan Gunung Jati) dan Sayyidah Sarah
- Kisah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang)
- Kisah Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung)
- Kisah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Patah (Sunan Demak)
- Kisah Sayyid Qasim (Sunan Drajat)
- Kisah Raden Said (Sunan Muria)
- Kisah Sayyid Abdul Jalil (Sunan Siti Jenar)
- Kepergian Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
- Kemelut Perang antara Majapahit dan Demak
- Pasukan Majapahit Terpojok lalu Bangkit
- Pasukan Demak Terpojok lalu Bangkit
- Kisah Amirul Haj (Sunan Kudus), Kemenangan Demak, dan Kehancuran Majapahit
- Penutup
- Kembali ke: Terjemah Ahlal Musamarah (Silsilah Walisongo)
Silsilah Nasab Sayyid Ibrahim Asmara
Diriwayatkan -wallahu a’lam- bahwa sayyidina zainal abidin ibn sayyidina
husan ibn sayyidatina fatimah binti rosulullah saw. memiliki putra yang
dinamai zainul adzim, dan zainul adzim memiliki admal yang dinamakan zainul
kubro, dan zainul kubro memilik anak yang di namakan zainul husain, dan zainul
husai memiliki anak yang dinamak mahmud al kubro, dan mahmud al kubro memilik
anak bernama jumadil kubro, dan jumadil kubro memiliki tiga anak: sayyid
maulana ishaq, sayyid ibrohim al asmar -dikatakan yang benar ibrohim
assamarqond- dan sayyidah asfa isti putra raja romawi abdul majid.
Dikatakan
zainul abidin memilik anak bernama zaiul alim, dan zainul alim memiliki anak
bernama zainul kubro, zainul kubro memiliki anak bernama jumadil kubro,
jumadil kubro memiliki anak bernama zainul hasan, zainul hasan memiliki anak
bernama syamun, saymun memiliki anak bernama abdullah, abdullah memiliki anak
bernama abdurrahman, abdurrohman memiliki anak bernama al kubro, al kubro
memiliki anak bernama mahmud, mahmud memiliki anak bernama najmuddin al kubro,
najmuddin al kubro memiliki anak bernama ibrohim asmar, ibrohim asmar memiliki
anak bernama maulana ishaq.
Dikatakan: zainul abidin memiliki anak
bernama zainul hakam, zainul hakam memiliki anak bernama zainul husain, zainul
husain memiliki anak bernama zainul kabir, zainul kabir memiliki anak bernama
najmuddin al kabir, najmuddin al kabir memiliki anak bernama syamun, symaun
memiliki anak bernama ustur, ustur memiliki anak bernama abdullah, abdullah
memiliki anak bernama abdurrahman, abdurrahman memiliki anak bernama mahmud al
akbar, mahmud al akbar memiliki anak bernama najmuddin, najmuddin memiliki
tifa anak: sayyid ibrohim al asmar, maulana ishaq dan sayyidah asfa. dan
dengan riwayat-riwayat ini walaupun berbeda-beda kita yakin bahwa ibrohim al
asmar termasuk keturunan rosulullah saw.
Kelana Sayyid Ibrahim Asmara ke Negeri Champa
Diriwayatkan ketika asyyid Ibrohim al asmar menginjak dewasa,
beliau berkelana di muka bumi sampai ke suatu daerah yang bernama cempa, dan
beliau menetap di situ sampai ia mampu untuk masuk ke raja cempa, ketika
beliau masuk ke raja, raja berkata: wahai darwisy, siapa namamu? dan apa
kebutuhanmu masuk kepadaku? sayyid ibrohim menjawab: namaku adalah ibrohim dan
kebutuhanku masuk kepadamu adalah aku mengajakmu meniggalkan menyembha berhala
untuk ibada kepada raja seluruh agama, dan masuk di agama yang luru yang sucu,
yaitu agama muhammad saw, yaitu agama islam, hal tersebut kamu mengucapkan dua
kalimat syahadat, yaitu: aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
sesungguhnya muhammad adalah utusan Allah. lalu raja mengiyakan dan
mengucapkan dua kalimat syahadat, dan diikuti penduduk negaranya, dan ia
memerintahkan memecahkan seluruh berhalan dan membangun masjid untuk ibadah
dan mendekatkan sayyid ibrohim dan mencintainya dengan sangat.
Dan raja punya tiga anak: ratu murtaningrum istri raja brawijaya yang beragama
budha, raja kepulauan jawa. ratu condrowulan dan raden jenkaro dialah yang
menggantikan ayahnya setelah ayahnya meniggal. maka raja menikahkan sayyid
ibrohim al asmar dengan putrinya yang bernama condro wulan, dan si istri
mencintai sayyid ibrohim dengan sangat, dan mentaati beliau dengan sempurna,
bersama juga beliau taan kepada Allah, yang memiliki kecantikan dan harta yang
banyak.
Dan sayyid ibrohim dari putri condro wulan dikarunia tiga
putra, yaitu: raden rojo pendeto, sayyid rohmat dan sayyidah zainab. ini
adalah cerita sayyid ibrohim al asmar
Kisah Raja Brawijaya dan Raden Bondan Kejawan (Lembu Peteng)
Dan di pulau jawa di waktu itu ada raja budha yang bernama
rangkawijaya, yang masyhur disebut brawijaya, dia adalah akhir raja-raja budha
di pulau jawa, dan akhir orang terakhir yang menjadikan kota majapahit sebagai
pusat kerajaan.
sudah disebut dahulu bahwa ia menikah dengan putri raja cempa yang namanya
murtaningrum, dan dia dikarunia tidak anak, yang pertama cewek namanya
putraadi istri menteri daya ningrat. yang kedua lembu peteng, dia adalah
gubenur di madura. yang ketiga adalah radin gugur, dan ia tidak memiliki
kekuasaan, akan tetapi ia sibuk membantu ayahnya dan menolongnya dalam urusan
kerajaan.
Dan brawijaya memiliki anak lain dari istri lani yaitu
putri seksadana, namanya arya damar, dan ia diberi kekuasaan palembang dan
sekitarnya.
dan brawijaya memiliki dua anak lagi dari istrinya
yang dari ponorogo, yaitu: bathoro katung dan ki jaran panulih. adapun
batorokatung ia menjadi penguasa di ponorogo, adapun jaran panulih ia menjadi
penguasa sumenep dan sampang dari daerah madura.
Dan Brawijaya
menikah dengan wanita lain dari putri raja cina, dan ia memiliki kecantikan,
dan ia sangat mencintainya, ketika putri cina mengandung dan sudah hampir
melahirkan, brawijaya memerintahkan putranya arya damar untuk membawa putri
cina ke palembang, dan memberikan putri tersebut kepadanya, dan berwasiat agar
arya damar tidak menidurinya sampai melahirka. lalu arya damar membara putri
cina ke palempang. ketika putri tersebut berada di palembang dan kehamilannya
mencapai sebelas bulan ia melahirkan seorang putra yang sangat tampan, yang
katakan:
Ia seperti rembulan yang menerangi kegelapan, muncul di
kegelapan malam dan bercahaya
cahaya yang meneragi angkasa, dan petunjuk
menjadi terbuka di bumi, dan telah muncul.
Dan arya damar
menamahinya dengan raden fatah, dan namanya cocok dengan orangnya, karena ia
menjadi sebab terbukanya penduduk islam di tanah jawa, yang akan
dijelaskan.
Setelah itu arya damar menjadikan putri cina sebagai
istri, dan mengandung anak, ketika kandungannya mencapai sembilan bulan, putri
cina melahirkan seorang anak laki-laki yang cerah dahinya, yang setiap
kejelekan hilangn darinya, dan ayahnya memberi nama radin husain, dan
dikatakan:
seakan-akan kedua dahinya dibawah rambut adalah rembulan di
antra kegelapan malam
memberi tahu kita dua lembar rembulan yang
bercahaya, dengan wajah yang terbuat dari sumber keindahan.
Lalu
setelah itu brawijaya sakit yang lama, yang para dokter tidak mampu untuk
menyembuhkannya, maka para peramal mangatakan, engkau tidak akan sembuh dari
sakitmu ini kecuali kemu menikah dengan seorang wanita yang namanya wandan
kuning, dan ia dari rakyat bawah dan berupa jelek, maka brawijaya tidak mau,
tetapi karena mengharap kesembuhan brawijaya terpaksa menikahinya. ketika
menikahinya dan lewat tiga hari sakit brawijaya menjadi ringan, dan tidak lama
brawijaya sembuh dari sakitnya dan kembali seperti sedia kala.
Lalu wanita itu mengandung, ketika sudah sembilan bulan ia
melahirkan purta yang diberi nama bundan kejawen. dan ketika itu brawijaya
malu dari para mentrinya, terhusus istana kerajaanya, karena ia memiliki
seorang anak dari wanita yang rendahan dan jelek, lalu brawijaya mengeluarkan
wanita tersebut dan menaruhnya di seorang petani di suatu desa yang namanya
karang jambu. Dan anak tersebut tumbuh besar di desa tersebut sampi menginjak
dewasa dan dinamakan lembu peteng, dan ia di keadaan yang jelek dan sempitnya
maisyah, karena ia tidak memiliki pekerjaan kecuali petani, dan ia malu dari
manusia, karena ia menjadi rakyat bawan dan rakyat biasa, dan sudah menyebar
bahwa ia anak raja brawijaya, maka ia sedih dan berfikir akan urusan mereka,
dan hatinya bingung di lembah fikiran, lalu ia kelluar dari desa tersebut dan
berjalan di bumi sampai di suatu gunun kadeng, maka ia menyendiri di sana, dan
sibuk melakukan latihan, dengan menyiksa dirinya, dengan menyedikitkan makanan
dan kurangnya tidur, seraya berharap agar kendali tanah jawa berada di
tangannya, dan di bawah kekuasaanya. dan ia berada di situ lama, sampai ia
mendengan suara agar ia meninggalkan tempat ini dan carilah seorang guru dari
guru zaman ini, ketiak kamu menemukannya maka sibuklah untuk berkhidman
padanya dan selalu taat padanya.
Lalu ia keluar dari tempat
tersebut dan turun dari pucuk gunung dan berkelana di bumi, menapaki dalan
kecul dan tanah becek, naik di atas gunu, dan turun di lembah, dan
tempat-tempat yang menakutkan, mendatangi kota-kota dan desa-desa, keluar dari
tempat ini masuk di tempat lain, semua itu bersama meninggalkan enaknya
minuman dan makanan, dan meninggalkan tikar untuk istirahat dan tidur, seraya
mencari kemuliaan yang tinggi dan kehormatan di antara para manusia.
Dai
ia tidak henti-henti melakukan hal tersebut sampai datang di suatu daerah ,
yang di situ adah soerng pemimpin yang namanya ki tarub, dan ki tarub berkata:
apa yang membuatmu datang kesini wahai pemuda?. ia berkata: aku datang
kepadamu dan menyerahkan padamu diriku dan urusanku padamu, seraya meminta
berkah dengan melayanimu. maka ki tarub tersenyum dan memandangnya dan
memiriki firasan dari wajahnya dan cahaya matanya bahwa anak ini termasuk
putra raja, lalu ki tarub menanyakan namanya dan ayahnya dan kotanya. ia
berkata: namaku lembu peteng, dan saya putra seorang wanita yang bernama
wandan kuning dari suatu desa yang namanya karang jambu. maka ki tarub ingan
bahwa brawijaya memiliki istri yang namanya wandan kuning, dan ia ingat apa
yang terjadi padanya, dan bahwa brawijaya mengeluarkannya dan anaknya sampai
akhir cerita. maka ki tarub sangat bahagia dan berkata: wahai anakku jika
enkau ingin melayaniku maka lakukanlah dengan serius dan niat yang kuat, dan
niatlah melatih diri untuk memperoleh apa yang kau inginkan seperti kerajaan
dan kekuasaan. lembu peteng berkata: siap, dan hal tersebut adalah tujuanku
dan puncak harapanku, dan menerimamu akan pelayananku adalah termsuk
kebahagiannku yng besar, seraya mengharap keberkahan doamu.
Maka
lembu peteng tidak henti-henti melayani ki tarub siang malam, dan tidak
terputus dari latihannya bersama pelayanan tersebut, maka ki tarub takjub dari
ketaatannya dan pelayanannya dan mencintainya dengan sangat. dan berkata
padanya: wahai anakku: apakah engkau mau aku nikahkan dengan putriku yang
namanya nawang sih. lembu peteng berkata: iya saya mau. ini adalah cerita
lembu peteng.
Kisah Raja Brawijaya dan Putri Martaningrum
Suatu hari berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu
Martaningrum. Istrinya menceritakan
bahwasanya ia memiliki seorang
saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang
saat itu memiliki
keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya seolah
senja menghitam dan
di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya
bagaikan lampu-lampu yang
berjejer …
Perawakan tubuh bagian
belakangnya
berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari
belakang menonjol
bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh
orang-orang mensifatinya
dan larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah
mereka dari kalangan manusia
atau seperti kijang …
Maka
ketika Brawijaya mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang
saudari
perempuannya; Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya
menikahkan saudari
perempuannya dengannya. Ia kemudian memanggil
menterinya yang bernama Arya
Ba’ah, yang dia juga orang kepercayaan
Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan
permisalan dari Candrawulan lalu
ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau
kepada raja Campa, maka
jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan
raja Brawijaya
yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
dinikahkan
dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
Arya
Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
negeri
Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku keluar
akan tetapi keluarku
bukan untuk mencari rintangan …
Akan
tetapi untuk meraih keridhaanmu
yang kau impikan …
Sekiranya
bukan karenanya, tidaklah
aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
mendatangi negeri asing dan
lautan sembari membawa pesan …
Kepada
raja di negeri yang aku belum
pernah masuk padanya …
Untuk
membawa anaknya yang seperti
terangnya bulan purnama …
Dengan
hati yang di kelilingi
ketakutan …
Yang bahwasanya seperti
burung kecil
yang dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini
(yaitu resiko
sebagai menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku
akan raih dengan kegembiraan dan
kemuliaan termulia …
Arya
Ba’ah tidak berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka
ketika ia memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan
raja setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah
lalu penyebutannya. Anaknya yaitu
Candrawulan telah menikah dengan
seorang laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan
atas pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan
ragu akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak
mendapat hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya
akan namanya dan tentang negerinya serta
keperluannya. Arya berkata :
Wahai raja, saya seorang laki-laki dari Jawa namaku Arya Ba’ah. Aku datang
kepadamu diutus oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya.
Kata Arya dalam dirinya : Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri.
Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku
diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari
Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya
memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit,
kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya
dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan
sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk
ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan
tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak
perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki
arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan
sesungguhnya raja Campa juga
sudah wafat pada hari-hari sebelumnya,
sebelum aku datang.
Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa
pesan dari raja
Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya
(Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada
Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau
katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika
mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke
kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan
memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung)
tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya,
tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang
yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga
ramai terdengar. Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah
sembari memendam kekesalan yang tidak
diragukan lagi karena sebab ia
menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya.
Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.
Kisah Sayyid Raja Pandito dan Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid
Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua
berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua
pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri
Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu
Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun,
agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar
dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada
negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang
milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke
kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam.
Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya.
Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis.
Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu.
Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata
dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang
kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian
bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya
Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja
Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya
Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja
bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian
Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka
dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam
hijriyyah.
Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini,
seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia
memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena
tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara
umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan
shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut
seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun
dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan
selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek
dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang
disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari
tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara
masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang
menyembah Tuhannya.
Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid
Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan
petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak
boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan
tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala,
sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan seorang hamba
tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja
…
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah merasa
takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
namanya Candrawata dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo
Sayyid Rahmat memiliki
5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah, Mutmainnah, Hafsah
dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi dengan Maskarimah
binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan : Murtiah dan
Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama) dari
bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita dan
saudaranya (Sayyid Rahmat).
Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu nama
mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng bin
Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang bernama
Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan Raden Jaka
Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian memiliki anak
bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub yang bernama
Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri Wilatikta
(Tumenggung Wilatikta).
Telah disebutkan bahwasanya raja Pajajaran
Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang bernama
Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang dikaruniai anak
Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa raja Majapahit,
menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru, Bambang Pamengker
dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak bernama Minak
Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang keterkaitan kisah
mereka.
Kisah Sayyid Maulana Ishaq
Maulana Ishak yang telah lalu penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid
Ibrahim; Maka ketika ia menjadi laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri
Pasa yaitu negeri di pulau sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa).
Dikaruniai anak bernama Sayyid Abdul Qadir dan Sarah.
Kemudian
pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa dan meninggalkan kedua anaknya kepada
ibunya. Dimana keduanya masih kecil. Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik
laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal dengan baik sampai tibalah di Gresik,
kemudian turun dan menuju ke Surabaya, masuk ke desa Ampel saat waktu ashar.
Secara kebetulan di situ bertemu dengan Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang
di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah, Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka
Maulana Ishaq menunggu di luar masjid. Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari
shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam dan dijawab salamnya. Kemudian mereka
berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka
tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya.
Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu
saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada
seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan
temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau
jawa.
Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena
sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu
menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru
manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah kepada-Nya.
Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta
kebanyakan orang-orang Surabaya. Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya
dan hikmahnya dalam berdakwah serta baiknya akhlaknya kepada manusia dan
baiknya dalam berjidal, menerapkan firman Allah : Serulah manusia kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta berjidallah dengan mereka
dengan sebaik-baik jidal (Al-Ayat), dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah
kamu kepada orang-orang yang beriman, dan firman-Nya : Perintahkan kepada
kebaikan dan dan menjauhi kemungkaran serta sabarlah atas apa yang menimpamu,
sungguh yang demikan itu adalah yang diwajibkan oleh Allah. Inilah yang
semestinya para imam-imam muslim dan masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut
yang diridhai sampai manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Berkata
penyair :
Terimalah maaf mereka, berjalanlah dengan adat
sebagaimana …
Engkau diperintah, dan tampakanlah (perintah
tersebut) kepada mereka yang jahil …
Lemah lembutlah semampumu pada
setiap manusia …
Maka akan tampak baik atas mereka yang jahil …
Dan
kepada mereka yang keras kepala, sentuhlah mereka …
Dengan sabar,
agar supaya terangkat mereka yang sempurna …
Kemudian berselang
beberapa lama, Maulana Ishaq undur diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian
keluar dari Ampel berjalan menuju timur laut menaiki gunung dan turun di
lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi. Naik di atas gunung yang dikatakan
Selangu semata-mata untuk beribadah di sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa
untuk mencari ridha Ar-Rahman dan menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia
Menyendiri, bersungguh-sungguh meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan
semata-mata untuk hati dan mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang
yang bersyukur dan memuji Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan
syirik yang tersembunyi untuk benteng dan senjata dalamnya iman dan
keyakinan.
Minak Sambayu (raja Blambangan) yang telah lalu
penyebutannya memiliki anak perempuan bernama Sekar Dadu yang ia dahulu
intinya adalah orang yang baik, yang memikat laki-laki, sehingga padanya
dikatakan :
Ia adalah perempuan yang memiliki kehidupan seperti
purnama yang menyihir …
Rambutnya seperti malam ketika gelap gulita
…
Keluar dari mulutnya cahaya ketika tersenyum …
Sebagaimana
kilat yang menyapu penglihatan ketika dipandang …
Ia berjalan
malu-malu tersipu dan menoleh …
Maka jadilah yang memandangnya
sebagaimana orang mabuk …
Ketika ia menghadap, aku lihat tidak
montok pada keduanya …
Seperti dua delima, bagi siapa yang
memandang …
Dan ketika ia membalikkan badan seolah bergelombang
acak (rambutnya) …
Perawakannya tidak tinggi ataupun pendek,
artinya cukup …
Pada saat itu ia sakit keras, telah banyak tabib
letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja Blambangan
karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka dikumpulkanlah
menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan. Setiap dari
mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah mereka untuk
anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil menyembuhkannya akan
dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta kerajaan. Maka mereka semua
menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru negeri, akan tetapi tidak ada
hasil. Maka pada suatu hari, berkata sebagaian menteri-menterinya : Sungguh
kami melihat seorang manusia berpakaian jubah memakai kopyah putih yang
tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan berbeda dengan manusia pada
umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia berdiri dan meletakkan
tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya dengan berucap dengan apa
yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai kemudian tertunduk meletakkan
tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua tangannya, kemudian
menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian duduk dan akhirnya
menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia melakukan hal itu
lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum matahari muncul ia
melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap hari.
Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata : Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya. Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku. Maka Maulana Ishak menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan setengah dari kerajaannya.
Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya, redup dan sedih menyelimutinya. Maulan Ishak tidak kunjung datang. Maulana Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah menghukum raja Blambangan.
Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni. Raja mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar. Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali.
Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu
selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah
pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di
pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai
Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak
siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat
pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai
Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan
Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan
tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya
menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum
susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.
Maulana Ishak setelah
bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau
Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak
mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari
pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang
namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di
pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih;
Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap
di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan
selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali
untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan
Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya,
bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan
yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat
Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.
Kisah Sayyid Abdul Qadir (Sunan Gunung Jati) dan Sayyidah Sarah
Kisah anaknya yaitu Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka
mereka berdua sepeninggal bapak mereka sepakat untuk berkeliling bumi.
Sehingga sampailah mereka ke negeri Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap
berhari-hari di sana kemudian lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke
Keling selama 11 hari, dan menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal
lagi sampai tiba di pulau Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang
dinamakan Juwana ia adalah pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu
itu. Dan keluar mereka berdua menuju Surabaya.
Dan berjalan sampai desa Ampel, mereka berdua bertanya akan rumah dari Sayyid
Rahmat, maka ditunjukkanlah mereka berdua menuju rumah Sayyid Rahmat. Maka
ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam, dan dibalas
salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka, negerinya dan
siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir : Namaku adalah
Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami berdua datang dari
negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana Ishak dan ia telah
wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa kami punya kerabat
dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di Surabaya pulau Jawa
dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata Sayyid Rahmat : Kalau
begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian berdua adalah saudara dari
bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis gembira.
Telah lalu
penjelasan Arya Baribain yang memiliki 2 anak, perempuan yang namanya Madu
Ratna dan telah menikah dengan Sayyid Rajafandita; Dan yang lak-laki bernama
Jaka Kondar. Dahulu Jaka Kondar bahwasanya masuk islam dan menganut paham
zuhud sembari menyendiri di atas gunung untuk beribadah dan riyadhah di desa
yang bernama Malaya; Ia tidak behenti demikian sampai dia menjadi wali di
antara wali-wali Allah Ta’ala, dan terkenal dengan nama Sunan Malaya. Ia
memiliki anak perempuan yang bernama Asiya dan menikah dengan Sayyid Abdul
Qadir bin Maulana Ishak yang telah lalu penyebutannya. Sayyid Abdul Qadir
menetap di desa Gunung Jati yang berada di Cirebon; Menjadi imam di sana dan
juga memilih jalan zuhud dengan tetap menyendiri dan riyadhah, sedikit makan,
sedikit tidur untuk berkhalwat dan riyadhah dengan macam-macam ibadah wajib
dan sunnah yang baik. Keadaannya tetap demikian hingga jadilah ia wali di
antara wali-wali Allah dan terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Ia
senantiasa berdakwah menyeru manusia kepada islam, dan masuk islamlah banyak
manusia; Dan yang tidak masuk islam pada saat itu ketakutan sehingga
mengasingkan diri ke hutan dan pedesaan, mereka takut ikut-ikutan masuk islam.
Sayyid Abdul Qadir memiliki 2 anak, yang laki-laki bernama Abdul Jalil dan
perempuan bernama Sufiyyah. Inilah kisah dari Sayyid Abdul Qadir.
Pada
waktu itu telah datang di pulau Jawa 3 orang laki-laki dari arab dari negeri
Yaman yang juga sebagai keturunan dari Rasulullah bernama Sayyid Muhsin,
Sayyid Ahmad dan Khalifah Husain. Mereka datang ke Ampel dan menemui Sayyid
Rahmat memberi salam lalu salam mereka dijawab. Mereka ditanya tentang nama,
negeri asal dan tujuan mereka. Berkata Sayyid Muhsin : Nama saya Muhsin, ini
saudaraku Khalifah Husain dan ini Ahmad; Kami datang dari dari Yaman kepadamu
untuk belajar ilmu-ilmu syariah dan metodenya serta hakikat dari ilmu
tersebut. Berkata Sayyid Rahmat : Wahai anak-anakku, sungguh ilmu itu berat.
Berkata Sayyid Muhsin : Kami berharap karunia dari Allah dan dari keberkahan
doa engkau kepada kami semua; Begitu juga dengan seruan bapak-bapak kami agar
kami bertakwa di atas amalan dengan ilmu dan ikhlas. Maka belajarlah mereka
dengan ilmu tersebut, mulazamah dengan khidmah dan beramal dengan ketaatan
yang di tunjuki oleh ilmu yang kemudian jadilah mereka bertiga wali di antara
wali-wali Allah Ta’ala.
Telah lalu penyebutan bahwa Sayyid Rahmat
memiliki 7 orang anak dan telah lalu penyebutan nama mereka. Adapun Syarifah
binti Sayyid Rahmat, menikah dengan Haji Ustman bin Sayyid Rajafandita dan
tinggal di desa dekat dengan Mayuran, menyendiri di sana beribadah, melepaskan
segala penyelisihan diri dan hawa nafsu hingga menjadi wali di antara
wali-wali Allah, yang terkenal dengan nama Sunan Mayuran dan memiliki anak
bernama Amir Husain.
Adapun Sayyidah Mutmainnah binti Sayyid
Rahmat, menikah dengan Sayyid Muhsin dan tinggal di desa Wilis, menyendiri di
sana untuh riyadhah dan ibadah sembari menempuh jalan para wali hingga menjadi
wali di antara wali-wali Allah Ta’ala dan terkenal dengan nama Sunan Wilis
serta memiliki anak yang bernama Amir Hamzah.
Adapun Sayyidah
Hafsah binti Sayyid Rahmat yang disebut juga Nyai Ageng Meluka menikah dengan
Sayyid Ahmad dan tinggal di desa dekat gunung Kamlaka menyendiri di sana untuk
mujahadah diri dan semata-mata beribadah meraih ridha Allaah dengan sedikit
makan, tidur dan terus keadaannya demikian sampai 3 tahun hingga menjadi wali
di antara wali-wali Allah Ta’ala yang terkenal dengan nama Sunan Kamlaka dan
tidak dikarunia anak.
Kisah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang)
Adapun Sayyid Ibrahim bin Sayyid Rahmat menikah dengan Dewi Irah
binti Jaka Kondar dan memiliki anak perempuan bernama Rahil dan jadilah Sayyid
Ibrahim imam bagi penduduk Lasem dan Tuban serta tinggal di desa Bonang di
Lasem. Ia menyendiri dan ibadah di atas gunung Gading dekat dengan pesisir
pantai dan bersungguh-sungguh untuk riyadhah dengan sedikit makan dan tidur
serta menahan hawa nafsu pada dirinya; Ia fokus mengerjakan kewajiban dan
sunnah dalam ibadah-ibadah semata-mata untuk taat kepada Ar-Rahman dan
menjauhi godaan setan dengan menyendiri dari manusia seperti perkataan yang
cocok saat itu dikatakan :
Hijrahku dari manusia menghalau dari
maksiat kepada-Mu …
Aku menyendiri dari keluarga untuk melihat-Mu
…
Sekiranya engkau menghalau-ku dari kecintaan, bimbinglah oleh-Mu
…
Dengan tidak diamnya hati ini dari selain-Mu …
Melampaui
diri dari kelemahan yang sungguh Engkau berikan …
Telah datang
pada-Mu dengan teguh mengharap ridha-Mu …
Sekiranya tidak demikian,
sungguh wahai Yang Maha Hidup, maksiatku pada-Mu …
Tidaklah ia
bersujud kepada selain-Mu …
Inilah hamba-Mu yang bermaksiat datang
pada-Mu …
Bersimbah dosa dan maksiat pada-Mu …
Jika
Engkau tak ampuni, Engkaulah pemilik hikmah …
Jika Engkau tolak
(diriku), siapa lagi yang ku harap selain diri-Mu …
Senantiasa
Sayyid Ibrahim beribadah kepada-Nya sampai menjadi pembesar wali Allah Ta’ala
yang terkenal dengan nama Sunan Bonang. Di antara karamahnya yang nampak
adalah bekas dahi, hidung, lutut dan ujung kakinya yang ada di atas batu besar
sampai sekarang, terkenal nama batu itu dengan Sujudan, tinggal batu tersebut
di atas gunung yang telah disebutkan tadi. Di tempat dekat dengan batu itu
terdapat makam dari perempuan, anak dari raja Cina, Putri Cempa.
Dikatakan ia berislam ketika melihat Sayyid Ibrahim shalat di atas batu dan tercetak bekas shalatnya ketika ia meninggalkannya. Puteri tersebut tidak berpindah dari melihat hal tersebut sampai wafat dan dikubur di sana, dibangunlah kubah di atas kuburnya yang tiang-tiangnya dari tulang ikan laut. Dikatakan pula dari karamah Sayyid Ibrahim adalah menjadikan dua babi menjadi batu, ceritanya ketika ia berjalan melihat dua babi bersama sebagian muridnya, babi itu kawin dengan babi betina, maka muridnya berkata padanya dan mengira tak melihat babi-babi itu : Sungguh di hadapanmu ada babi yang kawin. Sayyid Ibrahim menjawab : Bukan, itu hanyalah dua batu. Jadilah babi-babi itu batu yang ada sampai sekarang di tempat yang dikatakan batu babi (Watu Celeng) di desa Karas kecamatan Sedan yang ikut Rembang. Dan karamah-karamah selainnya.
Kisah Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung)
Adapun Sayyid Utsman Hajj adalah saudara Hajj Utsman yang anak
dari Sayyid Rajafandita yang ia menikah dengan perempuan bernama Dewi Sari
anak dari Raden Syakur bin Arya Tija yang telah lalu disebutkan, dan ia
menjadi imam penduduk Jipang dan Panulan. Tinggal di desa Ngudung dan menempuh
jalan para wali, mengesampingkan dunia dan senantiasa riyadhah semata-mata
beribadah hingga jadilah wali yang dikenal dengan nama Sunan Ngudung. Memiliki
anak perempuan bernama Sujinah dan laki-laki yang bernama Amirul Hajj.
Adapun
Nyai Gede Tundo binti Sayyid Rajafandita menikah dengan Sayyid Khalifah Husein
dan menjadi imam di Madura, menetap di desa Kertayasa, menyendiri di sana
untuk ibadah, mencari ridha Allah hingga menjadi wali Allah dan terkenal
dengan nama Sunan Kertayasa. Memiliki anak yang bernama Khalifah Sughro.
Orang-orang banyak mengikuti islam di negeri tersebut.
Raden Syakur
yang telah disebutkan lalu memiliki anak bernama Radin Syahid dan menikah
Raden Syahid dengan Sayyidah Sarah binti Maulan Ishak yang ia adalah saudara
kandung dari Sayyid Abdul Qadir. Raden Syahid menjadi imam bagi penduduk
Dermayu dan Manulan dan tinggal di desa Kali Jaka dan menyendiri di sana untuk
ibadah dan bersungguh-sungguh terus-menerus riyadhah sampai menjadi wali di
antara wali-wali Allah Ta’ala yang di-ikuti oleh banyak manusia dalam ketaatan
kepada Allah Ta’ala, dan ia tidak selesai dalam menyendiri dan riyadhah serta
menghadapkan hatinya menuju akhirat dan membelakangi dunia seluruhnya. Ia
memiliki 3 orang anak : Raden Said, Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Rafi’ah.
Kemudian
bahwasanya Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qadir dan Sayyid Amir Husain
bin Hajj Utsman dan Sayyid Amir Hajj bin Sayyid Utsman Hajj dan Raden Said bin
Raden Syahid dan Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin yang mereka telah lalu
disebutkan; Mereka semua pergi menuju ampel untuk mengabdi kepada Sayyid
Rahmat dan mengambil ilmu darinya. Sayyid Qasim bin Sayyid Rahmat adalah orang
yang kehidupannya hanya untuk belajar.
Telah lalu bahwasanya anak
laki-laki dari Maulana Ishak yang dibuang oleh raja Blambangan, menuju ke
penduduk Gresik dan diserahkan kepada Nyai Gede Tundo Pinatih. Nyai namakan
dengan Raden Paku. Ia dididik oleh Nyai Gede sampai menginjak usia 15 tahun,
dan mulai untuk menuntut ilmu syariah. Raden Paku mendengar bahwasanya di
Ampel daerah Surabaya ada seorang Alim dari pembesar para ulama yang
mengajarkan manusia 3 ilmu : Syariah, Thariqah dan hakikat. Iaa berkata kepada
ibunya : Wahai ibu, aku dengar di Surabaya ada seorang Alim dari pembesar para
ulama yang ia terkenal sebagai bagian dari para wali Allah Ta’ala namanya
adalah Sayyid Rahmat yang bergelar Sunan Maqdum, ia tinggal di desa Ampel, aku
ingi pergi kepadanya, dan ingin berkhidmah padanya; Akan tetapi aku meminta
engkau pergi bersamaku untuk menyerahkanku padanya. Maka ibunya berkata:
Lakukanlah apa yang menjadi kepastianmu, dan aku akan pergi bersamamu
kepadanya.
Maka pergilah mereka berdua menuju Ampel, maka ketika sampai, ibunya menemui
Sayyid Rahmat dan berkata padanya: Aku datang kemari untuk menyerahkan anakku
padamu, karena ia mencintai belajar denganmu, belajar ilmu-ilmu yang ia
butuhkan dari agamanya. Berkata Sayyid Rahmat : Di mana anak itu sekarang?
Berkata Ibunya : Itu dia ada di luar rumah berteduh di bawah pohon besar. Maka
ia dipanggil untuk menghadap Sayyid Rahmat, duduk di hadapannya. Ketika Sayyid
Rahmat melihatnya, ia terdiam dan memperhatikan wajahnya dan teringat wajah
Maulan Ishak dan anaknya yang mirip dengannya. Ia berkata kepada ibunya :
Apakah ini anakmu sendiri atau anak anak angkat. Kemudian ibunya mengkabarkan
yang sebenarnya akan urusannya sebagaimana kisah yang telah lalu. Berkata
Sayyid Rahmat : Jika apa yang telah kau kabarkan adalah benar adanya, maka ini
adalah anak dari pamanku dan aku ingin penjelasan darimu. Ibunya berkata :
Yang terpenting engkau ajari anak ini, sungguh aku menyerahkan padamu untuk
diajar adab dan ilmu-ilmu agama. Ibunya meninggalkannya di sisi Sayyid Rahmat,
maka diajarilah ia adab, ilmu dan jalan naqsabandiyyah. Inilah kisah Raden
Paku.
Telah lalu bahwasanya raja Brawijaya memiliki seorang anak
dari istri orang cina yang bernama Raden Patah, Raden Patah memiliki saudara
seibu yang bernama Raden Husain dan keduanya berada di Palembang. Mereka
bermusyawarah dan sepakat untuk pergi ke Ampel untuk berkhidmat kepada Sayyid
Rahmat belajar ilmu darinya. Maka ditinggalkanlah bapak mereka berdua yaitu
Raden Arya Damar, dan ia mengizinkan mereka berdua. Maka mereka berdua pergi
sampai ke Ampel dan masuk menemui Sayyid Rahmat, maka Sayyid Rahmat bertanya
akan nama mereka dan negeri asal mereka berdua. Berkata Raden Patah : Namaku
Patah dan saya adalah anak dari raja Brawijaya dan ini adalah saudaraku yang
bernama Raden Husain, anak dari Raden Arya Damar pemimpin negeri Palembang;
Kami datang untuk berkhidmat kepadamu dan belajar agama islam darimu. Kemudian
mereka berdua tinggal bersamanya dan belajar agama islam darinya. Adapun Raden
Patah adalah anak yang cepat paham, kuat akalnya, paham tentang semua yang
diajarkan padanya dari ilmu.
Adapun Raden Husain lambat. Jadilah Patah seorang Alim akan ilmu syariah, thariqah dan hakikat. Ia sibuk untuk beramal wajib dan sunnah dalam ibadah-ibadahnya, menjauhi yang haram dan yang makruh. Kemudian Raden Husain setelah berjalannya waktu tinggal di Ampel, berkata pada dirinya sendiri : Bagaimana aku dapat berpisah dari saudaraku Patah dan menyendiri belajar ilmu-ilmu agama dan sibuk dengannya, yang hal itu didapat tanpa perlu orang-orang mengetahui kedudukanku sebagai anak raja. Maka selang beberapa lama ia berkata kepada Raden Patah : Wahai saudaraku, kita telah tinggal di sini melayani Sayyid Rahmat dan kita telah meraih tujuan kita belajar ilmu ibadah. Oleh karena itu kita sekarang pergi ke Majapahit berkhidmat kepada raja Brawijaya agar supaya kita berhasil mensunnikan (Majapahit) dan memberikan kedudukan yang tinggi.
Raden Patah berkata : Aku tidak ingin hal tersebut, pergilah engkau sendiri
menuju raja Brawijaya sedangkan aku tinggal di sini sebagai pelayan Sayyid
Rahmat. Berkata padanya Raden Husain : Lakukanlah apa yang kau suka, adapun
aku akan pergi menuju Majapahit, aku izin demikian. Berkata Raden Patah :
Kalau begitu pergilah. Raden Husain pergi meninggalkan Sayyid Rahmat menuju ke
Majapahit, bertemu dengan Raden Patah sebentar kemudian lanjut meninggalkan
Ampel. Raden Husain terus berjalan sampai Majapahit, masuklah ia bertemu
dengan raja Brawijaya kemudian mencium bumi di hadapannya maka raja menahannya
dan memperhatikannya dari wajahnya dan ingat anaknya Arya Damar ketika melihat
Raden Husain karena padanya terdapat kemiripan. Berkata raja Brawijaya : Siapa
namamu, dari negeri mana dan siapa bapakmu ?. Berkata Raden Husain : Wahai
raja, namaku Raden Husain dan bapakku bernama Arya Damar dan ia pemimpin
Palembang; Aku datang untuk berkhidmat padamu. Maka ketika lama khidmah Raden
Husain, diangkatlah ia menjadi menteri dan diangkat di negeri yang bernama
Terung dan digelari Pecut Tanda.
Suatu hari berbicang Brawijaya
dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya ia
memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu
memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya
seolah senja menghitam dan di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya
bagaikan lampu-lampu yang berjejer …
Perawakan tubuh bagian
belakangnya berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari belakang
menonjol bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh orang-orang
mensifatinya dan larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah mereka
dari kalangan manusia atau seperti kijang …
Maka ketika Brawijaya
mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya;
Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya
dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia
juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan
dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada
raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja
Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku
keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …
Akan
tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …
Sekiranya bukan
karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …
Kepada
raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …
Untuk membawa
anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …
Dengan hati yang di
kelilingi ketakutan …
Yang bahwasanya seperti burung kecil yang
dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai
menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku akan raih dengan
kegembiraan dan kemuliaan termulia …
Arya Ba’ah tidak
berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia
memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja
setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu
penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang
laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas
pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu
akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat
hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya
dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya
seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus
oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya :
Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya
kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia
ridho.
Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum).
Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar.
Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam
kekesalan yang tidak diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini
akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada
istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan
menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab
wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya
? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan
hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk
mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya
telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah
yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.
Adapun
yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya
adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa,
keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya
yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu
bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani
keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa
berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa
menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang
dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang
Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya.
Naiklah mereka semua ke kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah.
Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya.
Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang
bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar
bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka
tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk
membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak
tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari
perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa
senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya)
akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia
memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan
raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian
kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata
: Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya
dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka
bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika
berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal
hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan
memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun
ke-enam hijriyyah.
Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua
anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain.
Ia memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati
karena tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa
secara umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan
shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut
seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun
dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan
selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek
dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang
disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari
tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara
masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang
menyembah Tuhannya.
Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid
Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan
petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak
boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan
tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala,
sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan seorang hamba
tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja
…
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah merasa
takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
namanya Candrawata dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo
Suatu hari berbicang
Brawijaya dengan istrinya yaitu Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya
ia memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu
memiliki keistimewaan yang menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya
seolah senja menghitam dan di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya
bagaikan lampu-lampu yang berjejer …
Perawakan tubuh bagian
belakangnya berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari belakang
menonjol bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh orang-orang
mensifatinya dan larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah mereka
dari kalangan manusia atau seperti kijang …
Maka ketika Brawijaya
mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya;
Brawijaya seolah lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya
dengannya. Ia kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia
juga orang kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan
dari Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada
raja Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja
Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku
keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …
Akan
tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …
Sekiranya bukan
karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …
Kepada
raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …
Untuk membawa
anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …
Dengan hati yang di
kelilingi ketakutan …
Yang bahwasanya seperti burung kecil yang
dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai
menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku akan raih dengan
kegembiraan dan kemuliaan termulia …
Arya Ba’ah tidak
berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia
memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja
setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu
penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang
laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas
pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu
akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat
hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya
dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya
seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus
oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya :
Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya
kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia
ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa
mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura
dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri. Maka ketika Arya ingin
berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk
memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja
Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada
raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan
raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja
Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa,
aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja;
Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana
yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang
bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al
Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa
juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja
setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar.
Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya. Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah seisi rumah sehingga ramai terdengar.
Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk ke dalam rumah sembari memendam
kekesalan yang tidak diragukan lagi karena sebab ia menyangkan semua ini
akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya. Berkata Brawijaya kepada
istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian, engkau menangis, dan
menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku menangis karena sebab
wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang mengabarkan padamu tentangnya
? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan (yang sampai) berkenaan dengan
hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh bapakku berpesan padaku untuk
mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia telah wafat, dan keduanya
telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa bapakku telah tiada. Inilah
yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan Istrinya.
Adapun
yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang keduanya
adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua berasal dari negeri Campa,
keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua pernah mengunjungi bibinya
yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri Majapahit. Pada saat itu
bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu Hurairah untuk menemani
keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun, agar senantiasa
berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar dari negeri Campa
menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada negeri yang
dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang milik orang
Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke kapal
tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam. Ketika ada gelombang laut,
tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja.
Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai
dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja
memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan.
Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat
untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya
dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di
bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri
Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit. Ketik masuk bertemu dengan
raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki
itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari
anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja
Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang
pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena
ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar
di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut
sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan
kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan
mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan
ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis.
Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang
rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka
hambanya. Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja
untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus
10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri
dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya
nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya
Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya
karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang
pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan
aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab
anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa,
saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia
merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja
Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu. Maka ketika mendengar ucapan
Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata dihadapan mereka : Mereka ini
adalah utusan raja Brawijaya, yang datang kepadaku untuk memintaku
mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian bersama mereka. Mereka
bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya Ba’ah lalu undur diri
bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja Kamboja dan menuju
Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya Ba’ah untuk menghadap
raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja bertanya berkenaan
dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian Brawijaya memerintahkan
mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka dengan penghormatan. Dan saat
itu adalah akhir dari kurun ke-enam hijriyyah.
Raja Brawijaya
dahulu mencintai sangat kedua anak ini, seakan-akan mereka berdua adalah
bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia memberikan apapun yang keduanya minta,
akan tetapi mereka berkecil hati karena tak melihat seorang pun dari penduduk
Majapahit secara khusus dan jawa secara umum beragama dengan agama islam.
Ketika mereka berdua akan menjalankan shalat, orang-orang mengejek dan gaduh
dan tidak pernah tahu akan hal tersebut seolah-olah perbuatan yang sangat
asing yang tidak pernah dilihat sekalipun dari berdiri, membaca (Al-Qur’an),
ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan selainnya. Sampai-sampai seorang
yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek dan membuat gaduh mereka berdua,
karena setiap manusia memiliki Tuhan yang disembah dengan sesuatu yang
dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari tuhan kalian yang kalian
sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara masing-masing, janganlah
kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang menyembah Tuhannya.
Inilah
kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yang padanya terdapat pelajaran
bagi yang mengambil pelajaran dan petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang
bahwasanya seorang mukmin tidak boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan
oleh Allah Ta’ala baginya, dan tidak boleh takut celaan orang yang mencela
untuk meraih ridha Allah Ta’ala, sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan
seorang hamba tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan
unta sama saja …
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah
merasa takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
namanya Candrawata dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo.
Sayyid Rahmat
memiliki 5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah,
Mutmainnah, Hafsah dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi
dengan Maskarimah binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan :
Murtiah dan Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama)
dari bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita
dan saudaranya (Sayyid Rahmat).
Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu
nama mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng
bin Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang
bernama Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan
Raden Jaka Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian
memiliki anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub
yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri
Wilatikta (Tumenggung Wilatikta).
Yang telah lalu bahwasanya raja
Pajajaran Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang
bernama Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang
dikaruniai anak Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa
raja Majapahit, menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru,
Bambang Pamengker dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak
bernama Minak Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang
keterkaitan kisah mereka.
Maulan Ishak yang telah lalu
penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid Ibrahim; Maka ketika ia menjadi
laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri Pasa yaitu negeri di pulau
sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa). Dikaruniai anak bernama Sayyid
Abdul Qadir dan Sarah.
Kemudian pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa
dan meninggalkan kedua anaknya kepada ibunya. Dimana keduanya masih kecil.
Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal
dengan baik sampai tibalah di Gresik, kemudian turun dan menuju ke Surabaya,
masuk ke desa Ampel saat waktu ashar. Secara kebetulan di situ bertemu dengan
Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah,
Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka Maulana Ishaq menunggu di luar masjid.
Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam
dan dijawab salamnya.
Kemudian mereka berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya. Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau jawa. Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah kepada-Nya. Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta kebanyakan orang-orang Surabaya.
Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya dan hikmahnya dalam berdakwah
serta baiknya ahakhlaknya kepada manusia dan baiknya dalam berjidal,
menerapkan firman Allah : Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan nasihat yang baik, serta berjidallah dengan mereka dengan sebaik-baik
jidal (Al-Ayat), dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah kamu kepada
orang-orang yang beriman, dan firman-Nya : Perintahkan kepada kebaikan dan dan
menjauhi kemungkaran serta sabarlah atas apa yang menimpamu, sungguh yang
demikan itu adalah yang diwajibkan oleh Allah. Inilah yang semestinya para
imam-imam muslim dan masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut yang diridhai
sampai manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Berkata penyair :
Terimalah
maaf mereka, berjalanlah dengan adat sebagaimana …
Engkau
diperintah, dan tampakanlah (perintah tersebut) kepada mereka yang jahil …
Lemah
lembutlah semampumu pada setiap manusia …
Maka akan tampak baik
atas mereka yang jahil …
Dan kepada mereka yang keras kepala,
sentuhlah mereka …
Dengan sabar, agar supaya terangkat mereka yang
sempurna …
Kemudian berselang beberapa lama, Maulana Ishaq undur
diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian keluar dari Ampel berjalan menuju timur
laut menaiki gunung dan turun di lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi.
Naik di atas gunung yang dikatakan Selangu semata-mata untuk beribadah di
sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa untuk mencari ridha Ar-Rahman dan
menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia Menyendiri, bersungguh-sungguh
meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan semata-mata untuk hati dan
mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang yang bersyukur dan memuji
Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan syirik yang tersembunyi untuk
benteng dan senjata dalamnya iman dan keyakinan.
Minak Sambayu
(raja Blambangan) yang telah lalu penyebutannya memiliki anak perempuan
bernama Sekar Dadu yang ia dahulu intinya adalah orang yang baik, yang memikat
laki-laki, sehingga padanya dikatakan :
Ia adalah perempuan yang
memiliki kehidupan seperti purnama yang menyihir …
Rambutnya
seperti malam ketika gelap gulita …
Keluar dari mulutnya cahaya
ketika tersenyum …
Sebagaimana kilat yang menyapu penglihatan
ketika dipandang …
Ia berjalan malu-malu tersipu dan menoleh …
Maka
jadilah yang memandangnya sebagaimana orang mabuk …
Ketika ia
menghadap, aku lihat tidak montok pada keduanya …
Seperti dua
delima, bagi siapa yang memandang …
Dan ketika ia membalikkan badan
seolah bergelombang acak (rambutnya) …
Perawakannya tidak tinggi
ataupun pendek, artinya cukup …
Pada saat itu ia sakit keras, telah
banyak tabib letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja
Blambangan karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka
dikumpulkanlah menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan.
Setiap dari mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah
mereka untuk anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil
menyembuhkannya akan dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta
kerajaan. Maka mereka semua menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru
negeri, akan tetapi tidak ada hasil. Maka pada suatu hari, berkata sebagaian
menteri-menterinya : Sungguh kami melihat seorang manusia berpakaian jubah
memakai kopyah putih yang tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan
berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia
berdiri dan meletakkan tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya
dengan berucap dengan apa yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai
kemudian tertunduk meletakkan tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua
tangannya, kemudian menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian
duduk dan akhirnya menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia
melakukan hal itu lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum
matahari muncul ia melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap
hari. Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak
perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata :
Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil
Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka
bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya.
Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri
kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku
memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang
ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah
mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku
bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan
bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku. Maka Maulana Ishak
menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar
Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka
tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan
setengah dari kerajaannya. Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia
kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam
kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk
menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang
kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti
setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri,
Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa
illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar
ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak
dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai
beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat
itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya,
redup dan sedih menyelimutinya. Maulan Ishak tidak kunjung datang. Maulana
Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah
menghukum raja Blambangan. Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah
dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau
(adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu
makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan
laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam
kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka
ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni. Raja
mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang
ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun
terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang
termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk
Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai
padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar.
Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali.
Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu
selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah
pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di
pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai
Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak
siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat
pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai
Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan
Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan
tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya
menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum
susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.
Maulana Ishak setelah
bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau
Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak
mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari
pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang
namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di
pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih;
Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap
di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan
selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali
untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan
Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya,
bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan
yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat
Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.
Kisah anaknya yaitu
Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka mereka berdua sepeninggal bapak
mereka sepakat untuk berkeliling bumi. Sehingga sampailah mereka ke negeri
Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap berhari-hari di sana kemudian
lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke Keling selama 11 hari, dan
menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal lagi sampai tiba di pulau
Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang dinamakan Juwana ia adalah
pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu itu. Dan keluar mereka berdua
menuju Surabaya. Dan berjalan sampai desa Ampel, mereka berdua bertanya akan
rumah dari Sayyid Rahmat, maka ditunjukkanlah mereka berdua menuju rumah
Sayyid Rahmat. Maka ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam,
dan dibalas salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka,
negerinya dan siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir :
Namaku adalah Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami
berdua datang dari negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana
Ishak dan ia telah wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa
kami punya kerabat dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di
Surabaya pulau Jawa dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata
Sayyid Rahmat : Kalau begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian
berdua adalah saudara dari bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis
gembira.
Suatu hari berbicang Brawijaya dengan istrinya yaitu
Martaningrum. Istrinya menceritakan bahwasanya ia memiliki seorang saudari
perempuan yang bernama Candrawulan yang saat itu memiliki keistimewaan yang
menakjubkan, padanya dikatakan :
Rambutnya seolah senja menghitam
dan di wajahnya seolah fajar bersinar …
Giginya bagaikan
lampu-lampu yang berjejer …
Perawakan tubuh bagian belakangnya
berpostur kencang …
Berlenggak-lenggok dari belakang menonjol
bagaikan bukit …
Seolah dirinya acuh orang-orang mensifatinya dan
larut dalam pikiran kotor mereka …
Entah mereka dari kalangan
manusia atau seperti kijang …
Maka ketika Brawijaya mendengar apa
yang dikatakan oleh istrinya tentang saudari perempuannya; Brawijaya seolah
lebih senang jika istrinya menikahkan saudari perempuannya dengannya. Ia
kemudian memanggil menterinya yang bernama Arya Ba’ah, yang dia juga orang
kepercayaan Brawijaya. Ketika Brawijaya menceritakan permisalan dari
Candrawulan lalu ia berkata kepada menterinya : Aku utus engkau kepada raja
Campa, maka jika sampai padanya katakan bahwa engkau adalah utusan raja
Brawijaya yang ingin agar anakmu yaitu tuan putri Candrawulan supaya
dinikahkan dengan Brawijaya; Oleh sebab itu aku utus engkau padanya. Berkata
Arya Ba’ah : Aku dengar dan taat. Ia meninggalkan kerajaan Brawjiya menuju ke
negeri Campa sembari bersyair melalui tulisan yang dibacakan :
Aku
keluar akan tetapi keluarku bukan untuk mencari rintangan …
Akan
tetapi untuk meraih keridhaanmu yang kau impikan …
Sekiranya bukan
karenanya, tidaklah aku mau mencari hal yang membahayakan …
Dengan
mendatangi negeri asing dan lautan sembari membawa pesan …
Kepada
raja di negeri yang aku belum pernah masuk padanya …
Untuk membawa
anaknya yang seperti terangnya bulan purnama …
Dengan hati yang di
kelilingi ketakutan …
Yang bahwasanya seperti burung kecil yang
dilempar kepada elang …
Wahai kiranya ini (yaitu resiko sebagai
menteri) sudah ditetapkan oleh tuanku …
Aku akan raih dengan
kegembiraan dan kemuliaan termulia …
Arya Ba’ah tidak
berhenti melangkah kecuali setelah sampai pada negeri Campa, maka ketika ia
memasuki negeri Campa, ia mendengar bahwa raja Campa telah wafat dan raja
setelahnya adalah puteranya sendiri yaitu raja Cangkar sebagaimana telah lalu
penyebutannya. Anaknya yaitu Candrawulan telah menikah dengan seorang
laki-laki bernama Ibrahim dari Samarqand yang memiliki 3 keturunan atas
pernikahannya tersebut, bersedihlah utusan Brawijaya akan hal itu dan ragu
akan kebenarannya, merasa telah gagal akan usahanya dan merasa tidak mendapat
hasil. Ketika ia masuk bertemu dengan raja Cangkar, raja bertanya akan namanya
dan tentang negerinya serta keperluannya. Arya berkata : Wahai raja, saya
seorang laki-laki dari Jawa, namaku Arya Ba’ah. Aku datang kepadamu diutus
oleh seorang raja yang mulia bernama Brawijaya. Kata Arya dalam dirinya :
Dengan wafatnya bapaknya lalu aku serta merta mengatakan tujuanku sebenarnya
kemungkinan dia akan marah, aku tidak boleh mengkabarkan tujuanku sampai dia
ridho. Kemudian Arya mengurungkan niatnya sembari ramah tamah dengan tanpa
mengabarkan kepada raja Cangkar akan tujuannya diutus Brawijaya, berpura-pura
dengan menceritakan dari sisi dirinya sendiri.
Maka ketika Arya ingin berpamitan, berkata raja Cangkar : Sungguh aku diberikan amanah untuk memberikan gelang dan kalung ini kepada saudari Martaningrum istri raja Brawijaya, maka serahkan kepadanya. Kemudian Arya memohon undur diri kepada raja dan kembali pulang sampai ke Majapahit, kemudian masuk bertemu dengan raja Brawijaya. Maka ketika tuntas urusan Arya dan berhadapan dengan raja Brawijaya, ia berkata : Sungguh aku sudah pergi dan sampai ke negeri Campa, aku melakukan atas apa yang wajib aku lakukan untuk ber-khidmat kepada raja; Akan tetapi telah gagal dan sia-sia usahaku dengan tanpa hasil sebagaimana yang di-inginkan oleh raja. Itu semua karena anak perempuan raja Campa yang bernama Chandrawulan telah menikah dengan lelaki arab yang berna Ibrahim Al Samarqandi, dan telah melahirkan 3 orang anak, dan sesungguhnya raja Campa juga sudah wafat pada hari-hari sebelumnya, sebelum aku datang. Raja setelahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Cangkar. Ini aku membawa pesan dari raja Cangkar untuk memeberikan gelang dan kalung untuknya (Martaningrum). Berkata raja Brawijaya kepadanya : Pergilah langsung kepada Martaningrum dan bawa gelang dan kalung ini, tapi ingat janganlah engkau katakan akan kematian bapaknya, sebab aku takut ia berduka dan bersedih jika mendengar darimu akan berita kematian bapaknya.
Masuklah Arya Ba’ah ke kediaman raja Brawijaya dan bertemua dengan tuan putri
Martaningrum dan memberikan pesan tersebut. Maka ketika digenggamnya (gelang
dan kalung) tersebut dan membenarkan bahwasanya itu adalah pemberian saudara
laki-lakinya, tiba-tiba ia jatuh pingsan, kemudian Arya ketakutan dan
memanggil orang-orang yang ada di dalam rumah dengan berteriak, menangislah
seisi rumah sehingga ramai terdengar. Ketika Brawijaya mendengarnya, ia masuk
ke dalam rumah sembari memendam kekesalan yang tidak diragukan lagi karena
sebab ia menyangkan semua ini akibat pengkabaran akan meninggalnya bapaknya.
Berkata Brawijaya kepada istrinya : Tidak benar engkau melakukan demikian,
engkau menangis, dan menjatuhkan diri di lantai. Ia istrinya berkata : Aku
menangis karena sebab wafatnya bapakku. Berkata Brawijaya : Siapa yang
mengabarkan padamu tentangnya ? Sedangkan tidak ada utusan ataupun tulisan
(yang sampai) berkenaan dengan hal tersebut. Berkata istrinya : Sungguh
bapakku berpesan padaku untuk mengirim gelang dan kalung ini kepadaku jika dia
telah wafat, dan keduanya telah sampai padaku, oleh karenanya aku tahu bahwa
bapakku telah tiada. Inilah yang dahulu menjadi kisah dari raja Brawijaya dan
Istrinya.
Adapun yang menjadi kisah dari Sayyid Rajafandita dan
Sayyid Rahmat yang keduanya adalah anak dari Sayyid Ibrahim yang mereka berdua
berasal dari negeri Campa, keduanya adalah guru kita, bapak mereka berdua
pernah mengunjungi bibinya yaitu Martaningrum istri raja Brawijaya di negeri
Majapahit. Pada saat itu bapaknya mengutus seorang budak yang bernama Abu
Hurairah untuk menemani keduanya (yaitu anaknya) safar dimanapun dan kapanpun,
agar senantiasa berkhidmat pada keduanya. Ketika mereka berdua pergi keluar
dari negeri Campa menuju pulau Jawa, sampailah pada suau ketika mereka pada
negeri yang dikatakan Kupang, yang padanya di dapati kapal untuk berdagang
milik orang Gresik yaitu kota dekat dengan Surabaya. Naiklah mereka semua ke
kapal tersebut dan mengarungi lautan selama 7 malam.
Ketika ada gelombang laut, tiba-tiba muncul badai angin yang mendorong kapal menuju negeri dekat Kamboja. Maka ketika tiba di pesisir pantai, kapal berbenturan dengan batu besar pantai dan terbelahlah kapal tersebut. Beredarlah kabar kepada raja Kamboja, raja memerintahkan untuk menenggelamkan kapal dan membawa awak kapal agar ditahan. Mereka bertiga berunding akan kejadian yang menimpa mereka. Mereka sepakat untuk mengkabarkan raja Brawijaya tentang kondisi mereka agar supaya dibebaskan dari tangan raja Kamboja, di mana kekuasaan raja Kamboja berada di bawah kekuasaan Brawijaya. Mereka mengutus seorang laki-laki dari negeri Kamboja, safarlah lelaki tersebut sampai Majapahit.
Ketika masuk bertemu dengan raja Brawijaya, ia ditanya tentang nama, negerinya dan tujuannya. Laki-laki itu berkata : Sungguh aku dari negeri Kamboja , aku datang sebagai utusan dari anak-mu yang mulia, yang keduanya adalah anak dari Candrawulan binti raja Campa yaitu Sayyid Rajafandita dan Sayyid Rahmat yan bersamanya seorang pelayan bernama Abu Hurairah. Mereka ingin adanya delegasi darimu, karena ketika mereka menaiki kapal, kapal tersebut berlabuh dan menabrak batu besar di dekat negeri Kamboja, maka raja Kamboja menenggelamkan kapal tersebut sehingga mereka saat ini menjadi hamba raja Kamboja yang diliputi dengan kedzaliman dan kesengsaraan. Mereka semua berharap bantuan untuk membebaskan mereka dari belenggu raja Kamboja. Maka ketika mendengar ucapan dari utusan ini, berempati dan tambah sedih hati istrinya (Martaningrum) lalu menangis. Dipanggillah menterinya yaitu Arya Ba’ah dan diceritakan kejadiannya yang rusak kapalnya sampai ditahan oleh raja Kamboja dan menjadikan mereka hambanya.
Berkaya raja Brawijaya padanya : Pergilah engkau menuju Kamboja untuk mengambil ketiga anak ini dari tangan raja Kamboja, bersamamu aku utus 10 orang yang akan membantumu dan membersamaimu senjata. Arya Ba’ah undur diri dan menuju ke Kamboja. Setelah sampai di hadapan raja Kamboja, ia ditanya nama, negeri dan tujuannya. Berkata Arya Ba’ah : Adapun saya bernama Arya Ba’ah, aku diutus dan yang bersamaku kepadamu oleh raja besar yaitu Brawijaya karena sebab mendengar bahwasanya engkau menahan dua orang pemuda dan seorang pelayan ketika mereka tengah menaiki kapal yang terbelah di pesisir pantai dan aku diutus untuk membawa mereka semua ke hadapan raja Brawijaya, karena sebab anak-anak tersebut adalah anak dari Sayyidah Candrawulan binti raja Campa, saudari perempuan Sayyidah Martaningrum, istri dari raja Brawijaya, dan ia merasa senang jika engkau tidak menenggelamkan kapalnya, lalu ia (raja Brawijaya) akan merasa senang atas bantuanmu.
Maka ketika mendengar ucapan Arya Ba’ah, ia memanggil ketiganya da berkata
dihadapan mereka : Mereka ini adalah utusan raja Brawijaya, yang datang
kepadaku untuk memintaku mengembalikan kalian kepada mereka, pergilah kalian
bersama mereka. Mereka bertiga kemudia berkata : Kami mendengar dan taat. Arya
Ba’ah lalu undur diri bersama gerombolannya dan mereka bertiga dari raja
Kamboja dan menuju Majapahit. Kemudian mereka bertiga dipanggil oleh Arya
Ba’ah untuk menghadap raja Brawijaya, maka ketika berhadapan dengannya, raja
bertanya berkenaan dengan keadaannya dari awal hingga akhir. Kemudian
Brawijaya memerintahkan mereka berdiri di sandinya dan memuliakan mereka
dengan penghormatan. Dan saat itu adalah akhir dari kurun ke-enam
hijriyyah.
Raja Brawijaya dahulu mencintai sangat kedua anak ini,
seakan-akan mereka berdua adalah bagian dari anak-anaknya yang lain. Ia
memberikan apapun yang keduanya minta, akan tetapi mereka berkecil hati karena
tak melihat seorang pun dari penduduk Majapahit secara khusus dan jawa secara
umum beragama dengan agama islam. Ketika mereka berdua akan menjalankan
shalat, orang-orang mengejek dan gaduh dan tidak pernah tahu akan hal tersebut
seolah-olah perbuatan yang sangat asing yang tidak pernah dilihat sekalipun
dari berdiri, membaca (Al-Qur’an), ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tasyahud dan
selainnya. Sampai-sampai seorang yang sepuh berkata : Janganlah kalian ejek
dan membuat gaduh mereka berdua, karena setiap manusia memiliki Tuhan yang
disembah dengan sesuatu yang dicintai-Nya, keduanya memiliki Tuhan selain dari
tuhan kalian yang kalian sembah sesuai yang dicintai-Nya dengan tata cara
masing-masing, janganlah kalian anggap aib dan jangan kalian cela manusia yang
menyembah Tuhannya.
Inilah kisah Sayyid Rajafandita dan Sayyid
Rahmat yang padanya terdapat pelajaran bagi yang mengambil pelajaran dan
petunjuk dari orang-orang yang berilmu, yang bahwasanya seorang mukmin tidak
boleh malu menyerukan atas apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala baginya, dan
tidak boleh takut celaan orang yang mencela untuk meraih ridha Allah Ta’ala,
sebagaimana berkata sebagian Ulama :
Keimanan seorang hamba
tidaklah sempurna …
Sampai ia melihat manusia dan unta sama saja
…
Pujian dan celaan mereka sama saja …
Tidaklah merasa
takut celaan dari orang yang mencela sang pemilik kemuliaan …
Dahulu
sebelum itu, pada zaman di mana negeri Pajajaran terdapat raja yang bernama
Arya Banjar yaitu anak dari Sang Mundi Wangi, dan Arya Banjar punya anak
bernama Arya Mantahunan, Arya Mantahunan memiliki anak bernama Randa Kuning ,
dan dari Randa Kuning melahirkan 3 anak : Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya
Ba’ah. Lahir 3 anak dari Arya Galuh : Arya Baribain, Arya Tijawaki, Tarub; dan
Arya Baribain punya 2 anak salah satunya perempuan yang namanya Maduratna dan
yang laki-laki bernama Jaka Kandar. Arya Tija memiliki 2 anak, yang perempuan
namanya Candrawata dan yang laki-laki Raden Syukur. Tarub memiliki 3
anak : Nawangsih, Raden Yunawang Sasi dan Raden Yutawang Arum. Wallahu A’lam.
Dan akan datang keterkaitan mereka pada kisah ini.
Lalu Sayyid
Rajafandita dan Sayyid Rahmat ingin kembali ke negeri Campa karena sebab yang
telah dikisahkan lalu karena merasa sedih. Mereka berdua mengkabarkan kepada
raja Brawijaya atas keinginannya, kemudian raja melarang mereka berdua untuk
pulang, raja berkata : Sungguh berpisah dengan kalian berdua adalah perkara
yang besar, janganlah kalian kembali ke negeri kalian berdua; Jika kalian
berdua ingin menguasai wilayah, untukmu wilayah tersebut apa yang kalian
berdua mau, dari kepemimpinan apapun jika kalian mau, jika kalian ingin istri,
pilihlah mana yang kalian kehendaki di antara perempuan-perempuan, dan
pemerintahan, menteri pilihlah. Tapi aku melarang kalian berdua kembali ke
negeri kalian. Karena aku mendengar bahwasanya raja Hindustan memerangi
Kupang, Kalkuta, Giri, Malibar dan sekitarnya, dan tidak tersisa dari
negeri-negeri tersebut kecuali tunduk dibawah kuasanya (Hindustan), tidak juga
negeri Campa, karena saat ini masih berperang dengan Hindustan dan aku tidak
tahu bagaimana akhirnya.
Maka ketika mendengar ucapan Brawijaya dan
kuatnya larangan kepada mereka berdua untuk pulang, keduanya mentaati raja
untuk tetap di Majapahit. Kemudian setelah itu menikahlah keduanya. Adapun
Sayyid Rajafandita menikah dengan anak perempuan Arya Baribain yang bernama
Maduratna di negeri Ris, kemudian tinggal di desa yang bernama Sinabung.
Adapun Sayyid Rahmat menikah dengan anak Arya Tija yang bernama Raden Ayu
Candrawati kemudian tinggal di desa yang dikatakan Ampel di Surabaya. Adapun
Abu Hurairah menikah dengan perempuan dari desa Tambakrian yang bernama
Samirah binti Husain dan pekerjaan mereka berdua adalah berkebun katun; Pada
saat itu Abu Hurairah memetiknya dan memisahkan biji dengan kapuknya. Setiap
hari memberikan hadiah katun kepada Sayyid Rahmat untuk dibuat sumbu
penerangan lampu-lampu masjid, oleh karena itu Sayyid Rahmat menamakannya biji
kapas.
Sayyid Rahmat mengikut laki-laki dari Majapahit yang bernama
Wirajaya dan ia adalah pimpinan desa dan menganjurkan Sayyid Rajafandita untuk
bekerja sebagai tukang besi.
Sayyid Rajafandita memiliki 3 anak :
Hajj Utsman, Utsman Hajj dan Nyai Gede Tundo.
Sayyid Rahmat
memiliki 5 orang anak dari Raden Ayu Candrawati :Sayyidah Syarifah,
Mutmainnah, Hafsah dan Sayyid Ibrahim, Sayyid Qasim. Kemudian menikah lagi
dengan Maskarimah binti Kembang Kuning yang lahir padanya 2 anak perempuan :
Murtiah dan Murtasimah. Seluruh anak-anaknya belajar ilmu-ilmu syariah (agama)
dari bapaknya. Inilah keterangan yang menjelaskan tentang Sayyid Rajafandita
dan saudaranya (Sayyid Rahmat).
Anak-anak Ki Tarub yang telah lalu
nama mereka disebut maka yang bernama Nawangsih ia menikah dengan Lembu Peteng
bin Brawijaya atau yang dinamakan Shohroh Tarub yang dikaruniai anak yang
bernama Getas Pandawa. Dan anaknya yang bernama Nawangsasi menikah dengan
Raden Jaka Kandar bermukim di desa Malaya di Bangkalan di Madura; Kemudian
memiliki anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Adapun anak perempuan Ki Tarub
yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang ia menguasai negeri
Wilatikta (Tumenggung Wilatikta).
Yang telah lalu bahwasanya raja
Pajajaran Mundi Wangi memiliki istri kedua dan dikarunia anak laki-laki yang
bernama Giyung Manar yang dikarunia anak bernama Bambang Wecana yang
dikaruniai anak Bambang Pamengker., dan bapaknya ini tunduk di bawah kuasa
raja Majapahit, menjauhkan diri tinggal di desa di bawah gunung semeru,
Bambang Pamengker dikarunia anak bernama Minak Paranggula yang dikarunia anak
bernama Minak Sambayu yang menjadi raja di negeri Blambangan. Akan datang
keterkaitan kisah mereka.
Maulan Ishak yang telah lalu
penyebutannya, ia adalah saudara Sayyid Ibrahim; Maka ketika ia menjadi
laki-laki petualang di bumi, sampai ke negeri Pasa yaitu negeri di pulau
sumatera, maka tinggallah ia di sana (Pasa). Dikaruniai anak bernama Sayyid
Abdul Qadir dan Sarah.
Kemudian pergilah Mulana Ishak ke pulau jawa
dan meninggalkan kedua anaknya kepada ibunya. Dimana keduanya masih kecil.
Naiklah Maulana Ishak ke kapal milik laki-laki asal Gresik dan berjalan kapal
dengan baik sampai tibalah di Gresik, kemudian turun dan menuju ke Surabaya,
masuk ke desa Ampel saat waktu ashar. Secara kebetulan di situ bertemu dengan
Sayyid Rahmat shalat sebagai imam yang di-ikuti tiga laki-laki : Abu Hurairah,
Ki Wirajaya dan Ki Bangkuning. Maka Maulana Ishaq menunggu di luar masjid.
Ketika Sayyid Rahmat sudah salam dari shalatnya, Maulana Ishaq memberi salam
dan dijawab salamnya.
Kemudian mereka berdua saling bertanya tentang nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Maka tahulah Sayyid Rahmat bahwasanya Maulana Ishaq adalah saudara dari bapaknya. Maulana Ishak berkata : Engkau berarti adalah anakku, karena sebab bapakmu saudara laki-lakiku. Kemudian berkata kepadanya Sayyid Rahmat : Dulu tidak ada seorangpun muslim di sini kecuali aku dan saudaraku Sayyid Rajafandita dan temanku Abu Hurairah, kami adalah yang pertama kali muslim di pulau jawa. Maulana Ishak berkata : Aku namakan engkau Sunan yang pertama, pertama karena sebab engkau yang awal muslim di pulau jawa. Maka sepakatlah manusia yaitu menetapkan nama ini kepada Sayyid Rahmat. Senantiasa Sayyid Rahmat menyeru manusia kepada agama Allah Ta’ala dan kepada ibadah kepada-Nya. Sampai-sampai seluruh penghuni Ampel mengikutinya dan yang di sekitarnya serta kebanyakan orang-orang Surabaya.
Tidaklah itu kecuali kebaikan akan nasihatnya dan hikmahnya dalam berdakwah
serta baiknya akhlaknya kepada manusia dan baiknya dalam berjidal, menerapkan
firman Allah : Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat
yang baik, serta berjidallah dengan mereka dengan sebaik-baik jidal (Al-Ayat),
dan Firman Allah Ta’ala : Rendah dirilah kamu kepada orang-orang yang beriman,
dan firman-Nya : Perintahkan kepada kebaikan dan dan menjauhi kemungkaran
serta sabarlah atas apa yang menimpamu, sungguh yang demikan itu adalah yang
diwajibkan oleh Allah. Inilah yang semestinya para imam-imam muslim dan
masyaikh mereka mengikuti jalan tersebut yang diridhai sampai manusia masuk
agama Allah berbondong-bondong. Berkata penyair :
Terimalah maaf
mereka, berjalanlah dengan adat sebagaimana …
Engkau diperintah,
dan tampakanlah (perintah tersebut) kepada mereka yang jahil …
Lemah
lembutlah semampumu pada setiap manusia …
Maka akan tampak baik
atas mereka yang jahil …
Dan kepada mereka yang keras kepala,
sentuhlah mereka …
Dengan sabar, agar supaya terangkat mereka yang
sempurna …
Kemudian berselang beberapa lama, Maulana Ishaq undur
diri kepada Sayyid Rahmat dan kemudian keluar dari Ampel berjalan menuju timur
laut menaiki gunung dan turun di lembah-lembah sampai ke negeri Banyuwangi.
Naik di atas gunung yang dikatakan Selangu semata-mata untuk beribadah di
sana, shalat wajib, sunnah dan berpuasa untuk mencari ridha Ar-Rahman dan
menjauhkan diri dari seluruh maksiat; Ia Menyendiri, bersungguh-sungguh
meninggalkan hawa nasfu dan godaan setan semata-mata untuk hati dan
mensucikannya dari kebimbangan agar menjadi orang yang bersyukur dan memuji
Rabb-nya, ia bergegas kepada-Nya menghilangkan syirik yang tersembunyi untuk
benteng dan senjata dalamnya iman dan keyakinan.
Minak Sambayu
(raja Blambangan) yang telah lalu penyebutannya memiliki anak perempuan
bernama Sekar Dadu yang ia dahulu intinya adalah orang yang baik, yang memikat
laki-laki, sehingga padanya dikatakan :
Ia adalah perempuan yang
memiliki kehidupan seperti purnama yang menyihir …
Rambutnya
seperti malam ketika gelap gulita …
Keluar dari mulutnya cahaya
ketika tersenyum …
Sebagaimana kilat yang menyapu penglihatan
ketika dipandang …
Ia berjalan malu-malu tersipu dan menoleh …
Maka
jadilah yang memandangnya sebagaimana orang mabuk …
Ketika ia
menghadap, aku lihat tidak montok pada keduanya …
Seperti dua
delima, bagi siapa yang memandang …
Dan ketika ia membalikkan badan
seolah bergelombang acak (rambutnya) …
Perawakannya tidak tinggi
ataupun pendek, artinya cukup …
Pada saat itu ia sakit keras, telah
banyak tabib letih bingung mesti menggunakan obat apa lagi. Bersedihlah raja
Blambangan karena sebab hal itu, dengan kesedihan yang sangat. Maka
dikumpulkanlah menteri-menteri, pemerintahan, pegawai dan ahli fatwa kerajaan.
Setiap dari mereka diseru untuk mencari obat penyembuh pada setiap wilayah
mereka untuk anak perempuan raja, maka barangsiapa yang berhasil
menyembuhkannya akan dinikahkan dengannya dan diberikan separuh harta
kerajaan. Maka mereka semua menyeru seluruh orang-orang desa dan penjuru
negeri, akan tetapi tidak ada hasil.
Maka pada suatu hari, berkata sebagaian menteri-menterinya : Sungguh kami melihat seorang manusia berpakaian jubah memakai kopyah putih yang tinggal menyendiri di atas gunung Salangu dan berbeda dengan manusia pada umumnya, ketika tergelincir matahari di langit, ia berdiri dan meletakkan tangannya ke dadanya dan digerak-gerakkan mulutnya dengan berucap dengan apa yang kami tidak paham, tidak tolah-toleh sampai kemudian tertunduk meletakkan tangannya di lututnya kemudian mengangkat kedua tangannya, kemudian menjatuhkan diri dan meletakkan dahinya ke bumi, kemudian duduk dan akhirnya menoleh ke kanan dan kiri; Maka jika terbenam matahari ia melakukan hal itu lagi, jika hilang matahari ia melakukan lagi, jika sebelum matahari muncul ia melakukan itu lagi dengan ringan, itulah kegiatannya setiap hari.
Kemudian raja berkehendak memanggilnya agar menyembuhkan anak perempuannya yang mulia, semoga ia dapat menyembuhkannya. Raja berkata : Panggil dia yang telah kalian bicarakan. Maka menteri tersebut memanggil Maulana Ishak agar menghadap di hadapan raja Blambangan, maka ketika mereka bertemu dengan Maulan Ishak, mereka mengkabarkan keinginan raja padanya. Maulana Ishak pun memenuhi panggilan raja, dan turun bersama menteri-menteri kerajaan. Maka ketika sampai di hadapan raja, raja berkata : Sungguh aku memiliki anak perempuan, ia adalah buah hatiku dan separuh jiwaku dan sekarang ia sedang sakit, sudah lama sakitnya, sampai-sampai para tabib sudah lelah mencari obatnya, maka sekiranya engkau memiliki obat, sembuhkanlah dia; Aku bernadzar : Barangsiapa yang menyembuhkannya, akan aku nikahkan dengannya dan bersamanya akan aku berikan setengah dari kerajaanku.
Maka Maulana Ishak menerima tawaran tersebut sembari berdoa kepada Allah, mengiba kepada-Nya agar Allah memberi kesembuhan dan menghilangkan sakitnya dengan izin-Nya. Maka tiba-tiba anak raja sembuh, kemudian dinikahkanlah ia dengannya dan memberikan setengah dari kerajaannya. Oleh karena itu, menjadi mudahlah menyeru manusia kepada islam, ia senantiasa menyeru mereka kepada islam sampai-sampai berislam kebanyakan dari penduduk negeri tersebut. Pada suatu hari Maulana Ishak masuk menemui raja Blambangan dan berkata padanya : Wahai bapakku, aku datang kepadamu untuk menyeru agar meninggalkan patung-patung berhala dan mengikuti setan menuju hanya beribadah kepada Allah Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Raja seluruh alam; Katakanlah Asyhadu Anlaa illaha Illallah, wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Maka ketika mendengar ucapan Maulana Ishak, berubah wajahnya dan memerah, marah kepada Maulana Ishak dan berkata : Jika engkau tidak keluar sekarang dari hadapanku, aku akan cerai beraikan tubuhmu. Keluarlah Maulana Ishak, menghilang sebagai buronan. Saat itu istrinya telah hamil 7 bulan, menangis karena berpisah dengan suaminya, redup dan sedih menyelimutinya.
Maulana Ishak tidak kunjung datang. Maulana Ishak tetap bersembunyi sembari berdoa memohon pertolongan Allah agar Allah menghukum raja Blambangan. Maka Allah turunkan pada penduduk Blambangan wabah dan kematian mendadak, matilah kebanyakan rakyatnya, dan tidak mampu menghalau (adzab dari Allah). Bersedihlah raja Blambangan, sampai-sampai tidak nafsu makan, tidak bisa tidur, ia berkata : Ini adalah akibat dari kesialan laki-laki itu (maksudnya Maulana Ishak) dan anaknya yang sekarang dalam kandungan anakku, sungguh kalau dia lahir akan aku hempaskan ke laut. Maka ketika sempurna masa kandungannya, ia lahir seperti emas murni.
Raja mengambilnya dan meletakkannya di peti mati, dan memerintahkan untuk dibuang ke lautan. Terhempaslah kelaut terbawa ombak (peti tersebut) naik turun terjaga, dijaga oleh Allah Ta’ala dan terjaga oleh perhatian-Nya. Itulah yang termasuk sebagian karamah. Ketika peti tersebut melalui kapal dagang penduduk Gresik, diambillah oleh awak kapalnya, maka ketika peti itu dibuka, dijumpai padanya seorang anak yang bercahaya dan wajahnya seperti bulan yang bersinar. Saat itu, para pedagan yang menaiki kapal itu akan pergi menuju Bali.
Dibawalah anak tersebut sampai Bali dengan selamat. Ketika pedagang itu
selesai urusannya di Bali, mereka beranjak menuju Tandes kemudian barulah
pulang menuju Gresik bersamaan dengan anak tersebut. Diturunkannya anak itu di
pelabuhan, kemudian diserahkanlah anak itu kepada perempuan yang bernama Nyai
Gede anak Sayyid Rajafandita yang telah lalu kisahnya. Nyai berkata : Anak
siapa ini ? Mereka (para pedagang) berkata : Anak ini hanyut di dekat
pelabuhan Blambangan, berbutar-putar di air laut. Maka sangat senanglah Nyai
Gede, di mana ia belum melahirkan anak seorang pun. Anak tersebut ia namakan
Broedin, dididiklah ia dengan didikan yang baik, dan sangat dicintai; Akan
tetapi anak tersebut tidak dapat menyusu pada seorang perempuanpun, hanya
menghisap jemarinya saja sampai umur 7 hari. Setelah itu barulah bisa minum
susu, ini sudah menjadi kebiasan bayi.
Maulana Ishak setelah
bersembunyi di balik bukit kecil, kembali menuju negerinya yakni Pasa di pulau
Sumatera berkumpul dengan istrinya dan anak-anaknya. Maulana Ishak
mengkabarkan bahwa istri dan anaknya masih punya kerabat yaitu anak dari
pamannya di pulau jawa di desa Ampel yang termasuk wilayah Surabaya yang
namanya adalah Sayyid Rahmat yang ia termasuk dari yang pertama kali islam di
pulau Jawa, ia juga imam bagi orang-orang islam, wali dan orang shalih;
Mengajarkan islam, jalan islam dan hakikat islam. Maulana Ishak tidak menetap
di Pasa kecuali hanya selama beberapa hari dan kemudian wafat, dikatakan
selama 7 hari di Pasa dan kemudian wafat. Datang para ulama dan para wali
untuk menyolatkannya, setelah dishalatkan dibawa ia ke kubur yang dikatakan
Kuburan Taman Sari. Mereka semua berdesakan sembari bershalawat di kuburnya,
bertasbih, tahmid, tahlil dan membaca Al-Qur’an, semoga mendapatkan balasan
yang luas atas ruh Maulana Ishak, ia dikuburkan di sana, semoga baginya rahmat
Allah yang tak terputus bagi Maulana Ishak.
Kisah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Patah (Sunan Demak)
Kisah anaknya yaitu Sayyid Abdul Qadir dan Sayyidah Sarah, maka
mereka berdua sepeninggal bapak mereka sepakat untuk berkeliling bumi.
Sehingga sampailah mereka ke negeri Adan yaitu di jazirah arab, mereka menetap
berhari-hari di sana kemudian lanjut menaiki kapal yang kemudian melaju ke
Keling selama 11 hari, dan menetap di sana selama sebulan kemudian naik kapal
lagi sampai tiba di pulau Jawa, kemudian naik kapal sampai negeri yang
dinamakan Juwana ia adalah pelabuhan di antara pelabuhan-pelabuhan di waktu
itu. Dan keluar mereka berdua menuju Surabaya. Dan berjalan sampai desa Ampel,
mereka berdua bertanya akan rumah dari Sayyid Rahmat, maka ditunjukkanlah
mereka berdua menuju rumah Sayyid Rahmat.
Maka ketika bertemu dengannya, mereka berdua mengucapkan salam, dan dibalas salamnya. Kemudian Sayyid Rahmat bertanya tentang nama mereka, negerinya dan siapa orang tua mereka berdua. Berkata Sayyid Abdul Qadir : Namaku adalah Abdul Qadir, dan ini adalah saudari perempuanku Sarah, kami berdua datang dari negeri Pasa di pulau Sumatera, bapak kami bernama Maulana Ishak dan ia telah wafat; Dikabarkan kepada kami ketika ia masih hidup bahwa kami punya kerabat dekat bernama Sayyid Rahmat yang tinggal di desa Ampel di Surabaya pulau Jawa dan menjadi imam bagi orang-orang islam di sana. Berkata Sayyid Rahmat : Kalau begitu kalian berdua adalah saudaraku, bapak kalian berdua adalah saudara dari bapakku. Mereka saling berpelukan dan menangis gembira.
Telah disebutkan bahwa Arya Beriben memili-
ki dua anak, yang perempuan
bernama Madu Ret-
no dan telah menikah dengan Sayyid Raja Pendito.
Dan yang laki-laki bernama Jaka Kandar mengambil
laku zuhud dan
menyendiri di atas gunung untuk
fokus beribadah dan melakukan riyadah di
sebuah
kampung bernama Melaya hingga menjadi salah
seorang wali
Allah yang terkenal dengan panggilan
Sunan Melaya. Dan memiliki seorang
putri bernama
Asiyah yang diperistri oleh Sayyid Abdul Qadir bin
Maulana Ishaq.
Sayyid Abdul Qadir tinggal di sebuah desa
ber-
nama Gunung Jati di Cirebon dan menjadi seorang
imam bagi
penduduk Cirebon. Ia juga mengambil
laku zuhud dengan terus berkhalwat
(menyendi
ri) dan melakukan riyadah dengan menyedikitkan
makan,
meninggalkan nikmat tidur. sibuk dengan
badah fardhu maupun sunnah, dan
terus-menerus
seperti itu hingga menjadi seorang wali Allah yang
terkenal dengan panggilan Sunan Gunung Jati. Be-
liau senantiasa
mendakwahkan Islam sehingga ba-
nyak orang masuk Islam, sementara yang
tidak mau
masuk Islam lebih memilih masuk ke hutan dan
pedalaman
karena takut
Sayyid Abdul Qadir memiliki dua anak, yang
laki-laki bernama Abdul Jalil dan yang perempuan
bernama Shufiyah.
Inilah kisah tentang Sayyid Ab-
dul Qadir.
Pada waktu itu,
ada tiga lelaki keturunan Ra-
sulullah SAW dari tanah Arab yakni
penduduk Ya-
man, mereka datang ke pulau Jawa. Mereka bernama
Sayyid Muhsin, Sayyid Ahmad, dan Khalifah Hu-
sain. Mereka datang
ke Ampel dan bertemu dengan
Sayyid Rahmat, lalu mereka mengucapkan salam
dan ditanya perihal nama dan keperluan mereka.
Lalu Sayyid Muhsin
berkata,
“Namaku Muhsin, ini saudaraku bernama Khali-
fah
Husain, dan ini namanya Ahmad. Kami datang
dari Yaman untuk belajar ilmu
syariat, tarekat, dan
hakikat kepadamu.”
Lalu Sayyid Rahmat
berkata, “Wahai anakku, se-
sungguhnya ilmu itu berat, karena jika tidak
diamal-
kan maka akan menyeretnya ke dalam siksa yang be-
rat”
Kemudian Savyid Muhsin berkata. “Kami
memohon perlindungan
Allah serta berkah doamu
dan doa ayah kami semoga kami kuat mengamal-
kannya dengan ikhlas.”
Maka mereka belajar ilmu-ilmu
tersebut dari
Sayyid Rahmat, selalu melayani serta menaatinya,
dan
mengamalkan apapun yang diisyaratkan oleh-
nya hingga mereka menjadi
golongan wali Allah.
Telah disebutkan bahwa Sayyid Rahmat memi-
liki tujuh anak dan telah disebutkan nama-namanya
sebelumnya.
Adapun Sayyidah Syarifah binti Say-
yid Rahmat menikah dengan Haji
Utsman bin Say-
yid Raja Pendito dan tinggal di sebuah desa dekat
gunung yang bernama Mayuran. Ia mengasingkan
diri di sana untuk
beribadah dan membersihkan
hawa nafsu hingga ia menjadi seorang wali
Allah
yang terkenal dengan panggilan Sunan Mayuran. Ia
memiliki
anak bernama Amir Husain.
Adapun Sayyidah Muthmainnah binti Sayyid
Rahmat menikah dengan Sayyid Muhsin dan tinggal
di sebuah desa
bernama Wilis. Ia mengasingkan diri
di sana untuk menyucikan diri
(riyadah), beribadah,
dan menjalankan laku para wali hingga menjadi wali
Allah yang terkenal dengan panggilan Sunan Wil:
la memiliki anak bernama
Amir Hamzah.
Adapun Sayyidah Hafshah binti Sayyid Rahmi
yang
dipanggil Nyai Ageng Meloka, ia menikah de
ngan Sayyid Ahmad dan tinggal
bersamanya di «
buah desa dekat gunung bernama Kemelaka. Sayyid
Ahmad mengasingkan diri untuk membersihkan
hawa nafsu dan
semata-mata beribadah kepada
Allah dengan menyedikitkan makan dan tidur.
Dan
itu terus dilakukan selama tiga tahun hingga ta
menjadi wali
Allah yang terkenal dengan panggilan
Sunan Kemelaka, namun ia tidak
memiliki anak ||
Kisah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonar 4g)
adapun Sayyid Ibrahim bin Sayyid Rahmat me-
Pan dengan Dewi
Irah binti Jaka Kandar dan
memiliki anak perempuan bernama Rahel. Say-
yid Ibrahim menjadi seorang imam bagi penduduk
Lasem dan Tuban,
dan tinggal di desa Bonang
Lasem. Ia menyepi untuk beribadah di atas
bukit Ga-
ding dekat pantai dan bersungguh-sungguh dalam
melakukan
riyadah dengan menyedikitkan makan
serta meninggalkan nikmat tidur demi
mengekang
hawa nafsu. Ia fokus mengerjakan ibadah fardhu
dan
sunnah semata-mata untuk taat kepada Allah
dan menjauhi godaan setan
dengan mengasingkan
diri dari manusia. Seolah-olah ungkapan yang se-
suai untuk menggambarkan dirinya adalah:
“Aku menyendiri
dari manusia untuk mengha-
lau maksiat kepada-Mu, aku meninggalkan
keluar-
ga untuk melihat-Mu. Seandainya Engkau meng-
halauku
dari kecintaan, bimbinglah hati ini agar
tidak berpaling dari-Mu.
Hilangkanlah kelemahan
yang Engkau berikan, dan dengan teguh mengharap
ridha-Mu Sekiranya tidak demikian wahai Dzat
yang Maha Mengawasi,
aku telah berbuat maksi
at kepada-Mu sehingga tidak sudi bersujud kepadu
selain-Mu. Wahai Tuhanku, inilah hamba-Mu yang
penuh dosa telah
datang kepada-Mu, seraya menga
kui segala dosa dan telah maksiat
kepada-Mu Jika
Engkau mengampuni, maka Engkau memang Dzat
yang
berhak mengampuni, dan jika Engkau meno
lakku, lalu siapa lagi yang
kuharap selain diri-Mu
Sayyid Ibrahim senantiasa beribadah seperti
itu
hingga menjadi pembesar wali Allah yang terkenal
dengan
panggilan Sunan Bonang. Salah satu karo:
mah yang nampak adalah bekas
kening. hidung, lu
tut, dan ujung kakinya yang berada di atas batu besar
sampai sekarang ini. Batu tersebut terkenal dengan
nama Pasujudan.
Orang-orang masih mengharap
berkah sampai sekarang yang berada di atas
gunung
Bonang Di sebuah tempat dekat batu tersebut ter”
dapat
sebuah makam salah seorang putri Raja Cina
bernama Putri Chempa.
Dikatakan bahwa ia masuk Islam dan melihat
Sayyid Ibrahim
sedang melaksanakan shalat di atas
batu, lalu ia terpikat dan menetap di
situ sembari
menunggu Sayyid Ibrahim selesai shalat, namun
Ibrahim
tidak kunjung selesai hingga Putri
Chempa meninggal dan dimakamkan di
situ. Dan
di atas makamnya dibangun sebuah kubah yang
tiang-tiangnya terbuat dari tulang ikan.
Dikatakan bahwa
salah satu karomah Sunan
Bonang adalah dua batu yang berbentuk babi
jantan
sedang menyerang babi betina. Ceritanya ketika Su-
nan
Bonang berjalan bersama sebagian muridnya,
tiba-tiba di depannya ada
babi jantan menyerang
babi betina. Lalu muridnya berkata kepadanya dan
mengira bahwa Sunan Bonang tidak mengetahui
ada dua babi tersebut,
“Sesungguhnya di depanmu ada dua babi berke-
lahi.”
Lalu Sunan Bonang berkata, “Tidak, itu hanya
dua buah batu.”
Lalu keduanya menjadi batu dan masih ada
hingga sekarang di
suatu tempat yang disebut batu
babi “Watu Celeng” di desa Karas
kecamatan Sedan
kabupaten Rembang. Dan masih banyak lagi kara-
mah
Sunan Bonang.
Adapun Sayyid Oasim bin Sayyid Rahmat akan
disebutkan nanti, karena saat itu ia belum mengin-
jak dewasa.)
Kisah Sayyid Utsman Haji (Sunan Wu lung)
dapun Sayyid
Utsman Haji, saudara Haji Uts-
man, ia adalah putra Sayyid Raja Pendito.
Ia me-
nikah dengan seorang perempuan bernama Devi
Sari binti
Raden Syukur bin Arya Teja yang telah
disebutkan di depan. Ia menjadi
seorang imam bagi
penduduk Jipang dan Panolan. Ia tinggal di sebuah
desa bernama Ngudung dan menempuh jalan para
wali, mengesampingkan
urusan duniawi, dan senan-
tiasa riyadah semata-mata untuk beribadah
hingga
menjadi seorang wali yang dikenal dengan nama Su:
nan
Ngudung.
Ia memiliki anak perempuan bernama Sujinah
dan anak
laki-laki bernama Amir Haji.
Adapun Nyai Gede Tundo binti Sayyid
Raja
Pendito, ia menikah dengan Sayyid Khalifah Husain
yang
menjadi seorang imam bagi penduduk Madu-
ra dan tinggal di sebuah desa
bernama Kertayasa. Ia
menyendiri di sana untuk beribadah dan mencari
ridha Allah hingga menjadi wali Allah yang terke-
nal dengan nama
Sunan Kertayasa. Ia memiliki anak
bernama Khalifah Sughra dan banyak
warga setem-
pat yang mengikutinya untuk masuk Islam.
Raden
Syukur yang pernah disebutkan sebe-
lumnya, memiliki anak bernama Raden
Syahid yang
menikah dengan Sayyidah Sarah putri Maulana
Ishaq yang
merupakan saudari Sayyid Abdul Qadir.
Raden Syahid menjadi imam bagi
penduduk Derma-
yu dan Manolan. Ia tinggal di sebuah desa bernama
Kalijaga serta menyendiri di sana untuk beribadah,
mengasingkan
diri, dan membersihkan diri dengan
riyadah hingga menjadi wali Allah dan
memiliki
banyak pengikut dalam taat kepada Allah. Ia senan-
tiasa
mengasingkan diri, riyadah, beramal ukhrawi.
dan meninggalkan duniawi
sepenuhnya.
Ia memiliki tiga anak bernama Raden Said,
Sayyid
Rugayyah, dan Sayyidah Rafi'ah.
Kemudian Sayyid Abdul Jalil bin
Sayyid Abdul
Qadir, Sayyid Amir Husain bin Haji Utsman, Sav-
yid
Amir Haji bin Sayyid Utsman Haji, Raden Said
bin Raden Syahid, dan Amir
Hamzah bin Sayyid
Muhsin, mereka pergi ke Ampel untuk berkhidmah
kepada Sayyid Rahmat dan menuntut ilmu dengan
beliau. Sementara
Sayyid Oasim bin Sayyid Rahmat
menjadi ketua mereka dalam belajar.
Telah disebutkan bahwa putra Sayyid Maula-
na
Ishaq dibuang oleh Raja Blambangan kemudi-
an ditemukan oleh para
pedagang dari Gresik lalu
diserahkan kepada Nyai Gede Tundo Pinatih.
Nyai
Gede memberinya nama Raden Paku. Lalu mendidik
dan
mengasuhnya hingga berusia 15 tahun. Kemudi-
an Raden Paku belajar ilmu
syariat dan mendengar
bahwa di desa Ampel Surabaya terdapat seorang ula-
ma alim yang mengajarkan ilmu syariat, tarekat, dan
hakikat.
Kemudian ia berkata kepada ibunya,
“Wahai ibu, aku mendengar bahwa
di Surabaya
ada seorang ulama alim yang terkenal kewaliannya.”
Ibunya pun berkata, “Ya benar, sesungguhnya
ja adalah salah
seorang wali Allah, namanya Sayyid
Rahmat yang dipanggil Sunan Magdum
yang tinggal
di desa Ampel.”
Lalu Raden Paku berkata pada
ibunya, “Sesung:
guhnya aku ingin pergi ke sana dan berkhidmah,
akan tetapi aku memintamu untuk ikut pergi bersa-
maku agar
menyerahkanku padanya.”
Ibunya berkata, “Kalau begitu baiklah, aku
akan
pergi bersamamu.”
Kemudian Raden Paku pergi bersama
ibunya
ke Ampel. Ketika keduanya sampai di sana, ibunya
menemui
Raden Rahmat dan berkata, “Aku datang
untuk menyerahkan anakku kepadamu,
karena ia
ingin belajar ilmu-ilmu agama darimu.”
Sayyid Rahmat
berkata, “Di mana ia sekarang?”
Ibunya menjawab, “Ia ada di luar
sedang ber-
teduh di bawah pohon besar.” Maka Raden Paku
dipanggil
untuk menghadap Sayyid Rahmat, lalu i ia
masuk dan duduk di hadapannya.
Ketika melihatnya, Sayyid Rahmat diam dan
mengamati
wajahnya, dan teringat dengan Maulana
Ishaq dan putranya karena
kemiripannya.
Lalu Sayyid Rahmat bertanya kepada ibunya,
“Ini anak kandungmu atau anak angkatmu?” Ibunya
mengabarkan yang
sebenarnya sebagaimana yang
telah dijelaskan di depan.
Maka
Sayyid Rahmat berkata, “Jika apa yang
kamu katakan benar, maka ini
adalah putra
pamanku, dan aku mengangkatnya sebagai anak.
Lalu ibunya berkata, “Andalah yang lebih ber-
hak
mengangkatnya sebagai anak, dan aku menye-
rahkannya kepadamu agar kamu
mengajarinya adab
dan ilmu-ilmu agama.”
Lalu sang ibu
meninggalkan Raden Paku ber-
sama Sayyid Rahmat. Lalu Raden Paku diajari
ten-
tang adab, ilmu-ilmu agama, dan laku tarekat Nag-
syabandiyah. Inilah kisah tentang Raden Paku.
Telah
dikemukakan bahwa Raja Brawijaya
memiliki seorang anak dari istrinya
yang seorang
perempuan Cina, yang bernama Raden Patah R34.
Patah
memiliki saudara seibu bernama Raden & N
sain, dan keduanya
berada di Palembang.
Dikisahkan bahwa keduanya bersepakat untuk
pergi ke Ampel untuk berkhidmah ke Sayyid P:z.
mat dan belajar
ilmu darinya. Lalu keduanya ber-
pamitan kepada ayahnya, yaitu Raden
Arya Dam.
ar, dan ayahnya pun mengizinkan keduanya. Mal:
keduanya
pergi hingga tiba di Ampel dan bertemu
dengan Sayyid Rahmat. Raden
Rahmat pun bert:-
nya tentang nama dan daerah asal kepada keduans:
Lalu Raden Patah berkata, “Namaku Patah putra
Raja
Brawijaya, dan ini saudaraku namanya Raden
Husain bin Raden Arya Damar
pangeran Palem-
bang. Kami ke sini ingin berkhidmah kepadamu dan
belajar ilmu agama darimu.” Kemudian keduanya
menetap di Ampel dan
belajar ilmu-ilmu agama.
Adapun Raden Patah, ia adalah anak yang
cer-
das, kuat akalnya, dan paham tentang semua ilmu
yang
diajarkan. Sedangkan Raden Husain adalah
anak yang lambat pemahamannya.
Maka Raden P2
tah menjadi seorang yang alim dalam ilmu syariat.
tarekat, dan hakikat. Ia sibuk dengan ibadah-ibadah
fardhu dan
sunnah, menjauhkan diri dari perkara
haram maupun makruh. Sementara
Raden Husain
setelah lama tinggal di Ampel, ia berkata dalam ha
tinya,
“Bagaimana saudaraku, Patah. fokus dan ber-
sungguh-sungguh dalam mempelajari kitab-ki-
tab agama serta
menyibukkan diri dengan ilmu-
ilmu tersebut yang mana tidak bisa
digunakan
untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, se-
olah-olah
ia bukan seorang anak raja.”
Ia pun menyembunyikan hal ini dalam
hati-
nya, dan selang beberapa lama ia berkata kepada
Raden Patah,
“Wahai saudaraku, bagaimana kita
tetap tinggal di sini berkhidmah kepada
Sayyid Rah-
mat di sebuah desa, sementara kita telah memper-
oleh
apa yang kita inginkan, yaitu ilmu-ilmu agama.
Bagaimana kalau kita
sekarang pergi ke Majapahit
dan melayani Raja Brawijaya? Mungkin kita
akan
beruntung mendapatkan kekuasaan yang tinggi dan
kedudukan
luhur.”
Maka Raden Patah berkata, “Sesungguhnya aku
tidak
menginginkan hal itu. Kamu pergilah sendiri
ke Raja Brawijaya dan aku
akan tetap tinggal di sini
berkhidmah pada Sayyid Rahmat untuk riyadah,
membersihkan jiwa dari akhlak yang buruk, dan
menghiasi diri
dengan akhlak mulia.”
Lalu Raden Husain berkata, “Kalau begitu
terse-
rah kamu, izinkan aku untuk pergi ke Majapahit.”
Maka
Raden Patah berkata, “Kalau begitu pergi-
lah.” Lalu keduanya saling
berpamitan, dan Raden
Husain pun pergi ke Majapahit diantar sebentar
oleh Raden Patah, kemudian Raden Patah kembali
ke Ampel.
Raden Husain terus melakukan perjalanan hing-
ga tiba di
Majapahit dan menemui Raja Brawijaya.
Lalu ia mencium tanah yang ada di
hadapannya,
maka Raja pun kaget melihatnya lalu mengamati
wajahnya
dan teringat dengan putranya Arya Damar
karena ada kemiripan. Lalu raja
berkata kepadanya,
“Hai nak, siapakah namamu dan dari mana
asalmu, dan siapa ayahmu?”
Raden Husain menjawab, “Wahai
sang raja, na-
maku Raden Husain, ayahku bernama Arya Damar
pangeran Palembang. Aku datang menemuimu un-
tuk berkhidmah
padamu.”
Maka setelah lama berkhidmah pada Raja, ia di-
jadikan seorang patih dan pindah ke daerah Terung
dan dijuluki
Pecat Tundo.
Kisah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Patah (Sunan Demak)
Telah dikemukakan bahwa Sayyid Rahmat memi-
liki dua putri
bernama Murtiah dan Murtasi-
mah. Adapun Murtiah telah menikah dengan
Raden
Paku yang menjadi seorang imam bagi penduduk
Tendes dan
tinggal di desa Giri. Raden Paku meng-
asingkan diri di sana untuk
beribadah dan riyadah
hingga menjadi seorang wali yang terkenal dengan
panggilan Sunan Giri.
Sunan Giri memiliki banyak pengikut yang me-
meluk agama Islam. Ia memiliki empat anak, yaitu
Raden Prabu,
Raden Masani, Raden Gua, dan Ret-
nowati.
Adapun Murtasimah
telah menikah dengan Ra-
den Patah. Setelah lama berkhidmah pada Sayyid
Rahmat dan tinggal bersama. Sayyid Rahmat berka-
ta padanya, "
“Wahai anakku, pergilah menuju arah barat! Jika
kamu sampai
ke hutan tebu yang bernama Bintoro,
carilah pohon tebu yang wangi. Jika
kamu telah me-
nemukannya maka jadikanlah sebagai rumah dan
tinggallah di sana.”
Maka Raden Patah menaati perintah
Sayyid
Rahmat, Lalu ia berpamitan dengan Sayyid Rah-
mat untuk
pergi menuju Bintoro bersama istrin-
ya dan terus melakukan perjalanan
hingga sampai
di hutan Bintoro lalu mencari sebatang tebu yang
wangi. Setelah mencarinya satu persatu, akhirnya ia
menemukannya.
Maka dari itu daerah dinamakan
Demak, yang diambil dari kalimat
“Demak-demek"
(mencari-cari).
Kemudian Raden Patah
mendirikan sebuah
rumah dan menetap di sana. Ia menyibukkan diri
dengan beribadah, riyadah, mengekang hawa nafsu,
menjaga syariat,
dan menjalani laku ahli hakikat.
Hal itu terus ia lakukan hingga ia
menjadi seorang
wali yang terkenal dengan sebutan Sunan Demak.
Ia terus-menerus mendakwahkan Islam hing-
ga banyak orang
yang masuk Islam dan berbon-
dong-bondong pindah ke Bintoro hingga
menjadi
sebuah negeri yang besar.
Brawijaya mendengar kabar
bahwa Bintoro telah
menjadi sebuah negeri yang baru dalam kepemim-
pinan seseorang yang tidak dikenalnya sehingga ia
pun khawatir
mereka memberontak. Maka ia meng-
utus Raden Husain untuk memastikan apa
yang
didengarnya.
Raden Husain pergi ke Bintoro dan ternyata
pemimpinnya adalah Raden Patah. Ketika ia ma-
suk ke Bintoro,
mereka bersalaman dan berpelukan
serta menangis baHaqia karena telah
lama berpisah,
lalu saling bertukar informasi.
Kemudian
Raden Husain ingin kembali ke Ma-
japahit dan berpamitan kepada Raden
Patah. Sesam-
pai di Majapahit, ia menemui Brawijaya dan meng-
abarkan bahwa yang membangun negeri baru di
Bintoro adalah Raden
Patah, anak Brawijaya sendiri.
Maka Brawijaya mengirim surat kepada
Raden Pa-
tah yang berisi pengangkatannya sebagai pangeran
Demak.
Setelah itu Sayyid Ibrahim memerintahkan Ra-
den Patah untuk
membangun masjid untuk shalat
jamaah dan shalat Jumat. Maka Raden Patah
dipe-
rintahkan untuk mengumpulkan kayu-kayu dan
bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk membangun
masjid.
Sayyid Ibrahim memiliki
seorang murid di desa
Ngempon, Jatirogo, Tuban yang bernama Nyai Si-
belok yang mana suaminya adalah seorang muadzin.
Lalu Sayyid
Ibrahim memerintahkan suami Nyai Si-
belok untuk mengambil rumput
alang-alang yang
biasa dipakai untuk atap rumah, agar di
untuk
atap masjid. Lalu muadzin tersebut me,
pulkan banyak alang-alang dan
mengeringk: an
Kemudian pada suatu hari ia berkata
trinya. “Sayyid Ibrahim memerinta tahkanku Haa
mengambil rumput
alang-alang dan telah berkur,
pul banyak, tapi mengapa sampai sekarang
bej Ki
dikirimkan utusan untuk mengambilnya. pad-i:
sudah kering.”
Maka istrinya menjawab, “Mungkin saja belun
dibutuhkan,
nanti ketika sudah dibutuhkan pass
akan ada yang mengambil.”
Lalu Nyai Sibelok pergi ke ah lap un-
tuk melihat
alang-alang yang Ha impulkan
nya Pe ia memukulkan selendangnya ke
alang-alang tersebut dan semuanya terbang ke De
mak Itulah karomah
Nyai Sibelok
Diceritakan bahwa kedelapan tiang masjid di-
serahkan kepada delapan tukang kayu, dan mereka
diperintahkan agar menyelesaikannya dalam wak-
: tu satu
malam karena masjid akan didirikan esok
: harinya Maka mereka bekerja
keras semalam sun-
tuk untuk menyelesaikan pengerjaan tiang-tiang ke-
cuali satu tiang yang belum selesai karena ada satu
orang yang
tertidur.
Ketika menjelang fajar terbit
orang lainnya)
membangunkanny ja
jah menyelesaikan aa Lalu
ini mengumpulkan
potongan-poto
diikat dengan tali dan Bean aa
hingga ada satu tiang
masjid itu yang te da dari
potongan kayu (tatal) yang masih ada sampai
seka-
rang. Akan tetapi sekarang tiang tersebut ditutupi
dengan
lembaran-lembaran logam.
Raden Patah memiliki lima orang anak.
yaitu
pangeran Prabu, Raden Trenggono, Raden Bagus
Sedo Kali,
Kanduruhan, dan Sayyidah Rativah.
Kisah Sayyid Qasim (Sunan Drajat)
Adapun Sayyid Oasim bin Sayyid Rahmat, ia me-
nikah dengan
Sayyidah Shufiyah binti Sayyid
Abdul Qadir yang terkenal dengan sebutan
Sunan
Gunung Jati sebagaimana telah disebutkan.
Sayyid Oasim
menjadi seorang imam bagi pen-
duduk Lamongan dan Sedayu, dan ia tinggal
di desa
Drajat. Ia menyendiri di sana untuk fokus beribadah,
riyadah, dan membersihkan diri dari hawa nafsu
hingga menjadi wali
Allah. Ia terus berdakwah dan
memiliki banyak pengikut, dan ia dikenal
dengan
sebutan Sunan Drajat. Ia memiliki tiga orang anak,
yaitu
Pangeran Rekyo, Pangeran Sendi, dan Say-
yidah Wuryan.
Adapun Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin (sua-
mi Sayyidah
Muthmainnah), ia menikah dengan Ra-
fiah binti Raden Syahid.
Kisah Raden Said (Sunan Muria)
adapun Raden Said bin Raden Syahid, ia menikah
dengan
Sujinah binti Sayyid Utsman Haji dan
tinggal di desa bernama Muria. Ia
menyendiri di
sana dan fokus beribadah serta riyadah hingga men-
jadi seorang wali Allah yang terkenal dengan sebut-
an Sunan
Muria.
Sunan Muria memiliki anak bernama Pangeran
Sendi yang
tinggal di desa Kadilangu yang terkenal
dengan sebutan Pangeran
Kadilangu dan dijuluki
Pangeran Behi.
Kisah Sayyid Abdul Jahil (Sunan Siti Jenar)
adapun Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qadir, ia tidak
menikah. Ia belajar ilmu agama ke-
pada Sayyid Rahmat dan menyibukkan
diri dengan
ilmu tasawuf, ilmu tauhid, dan ilmu makrifat. Lalu
meningkat ke ilmu Mukasyafah hingga tenggelam
dalam kesatuan dan
fana dari makhluk secara ke-
seluruhan. Kemudian ia meminta izin kepada
Say-
yid Rahmat untuk meninggalkan Ampel dan Sayyid
Rahmat pun
mengizinkannya.
Lalu ia melakukan perjalanan hingga sampai ke
sebuah desa bernama Siti Jenar dan mengasingkan
diri di sana,
menyibukkan diri dengan berzikir dan
bertafakkur mencari ridha Allah,
tidak tidur malam
maupun siang, tidak merasakan lezatnya makan dan
minum, kecuali hanya sedikit. Jiwa dan batinnya
senantiasa
terluapi alam kesucian, hingga apa yang
tersembunyi dalam batinnya
meresap ke ragan-
ya. . itulah penyebab difatwakannya hukuman
mati
terhadap dirinya oleh Sayyid Ibrahim secara
ilmu zahir. Ilmu hakikat
dalam batinnya diserahkan
sepenuhnya pada Dzat yang Maha Mengetahui dan
Maha Bijaksana. Dikatakan mengenai dirinya dalam
syair:
“Barangsiapa yang memahami isyarat, maka hendaknya
ja
menjaganya.
Karena jika tidak, ia akan dibunuh dengan mata panah.
Seperti Al-Hallaj ketika keluar matahari hakikat darinya,
yang
mengatakan Ana Al-Haq (Aku adalah Al-Haq)
yang tidak berubah Dzatnya
seiring berlalunya zaman.”
Peristiwa itu terjadi ketika
Raden Patah
menyerukan untuk memerangi Brawijaya, Raja Ma-
japahit. Lalu Sayyid Abdul Jalil berkata kepada utus-
an Raden
Patah,
“Di sini tidak ada Abdul Jalil, yang ada hanyalah
Allah.” Wallahu Alam.)
Kepergian Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
Kemudian Sayyid Rahmat (Sunan Ampel) wa-
fat dan shalat
jenazah dihadiri oleh para wali.
Dan yang menjadi imam shalat adalah
Sayyid Ra-
den Paku (Sunan Giri), lalu mereka memakamkan-
nya di
sebelah timur laut kediamannya yang mana
makamnya masyhur diziarahi
hingga sekarang di
Ampel Surabaya.
Kemudian setelah itu para
wali jawa berkum-
pul, mereka adalah Sayyid Ibrahim, Sayyid Raden
Paku, Raden Syahid, Sayyid Oasim, Sayyid Abdul
Qadir, Sayyid Raden
Said, Sayyid Amir Haji, Sayyid
Muhsin, Sayyid Haji Utsman, Raden Patah,
Sayyid
Utsman Haji, Raden Jaka Kandar, dan Sayyid Kha-
lifah
Sughra.
Mereka bermusyawarah untuk mengangkat seo-
rang imam
bagi kaum muslimim. Raden Paku me-
ngatakan, “Tidak ada seorangpun dari
kita yang pan-
tas untuk menjadi khalifah Islam dan imam kaum
muslimin kecuali Raden Patah, maka baiatlah diri-
nya. Maka para
wali yang hadir menyetujuinya dan
membaiatnya, sehingga Raden patah
menjadi imam
kaum muslimin. Kemudian Raden Patah kembali ke
Demak
dan mendirikan kerajaan.
Setelah itu Raden Patah mengumpulkan pas
wali dan tokoh umat Islam. Ketika mereka berkum-
Raden Patah
berkata,
“Wahai tuan-tuan yang mulia, Sesu
va aku
mengumpulkan kalian untuk meminta
pendapat kalian mengenai suatu perkara
yang
merupakan suatu kewajiban dalam Islam, dan aku
sendiri
melihat bahwa saat ini umat Islam telah
bertambah banyak. Aku
berpandangan bahwa ji-
had telah wajib bagi mereka karena jumlah mereka
sudah banyak. Sementara Raja Brawijaya dan para
pendukungnya serta
kaumnya masih tetap dalam
kekafiran. Bukankah diwajibkan bagi kita untuk
memerangi mereka di jalan Allah dan meninggikan
kalimat-Nya?
Apabila kalian sependapat denganku,
kami akan memerintahkan kaum
muslimin untuk
mempersiapkan jihad dan peralatan perang. Aku
menunggu jawaban dari kalian semua.” Lalu mereka
semua sependapat
dengan Raden Patah dan mem-
berikan restu untuk menjalankan langkah
mulia itu.
Kemudian mereka bermusyawari
siapa yang menjadi
pemimpin Pasukan d., |” “z
ma perang. Raden Paku berkata, Tp
“Sesungguhnya yang paling pantas untuk menjadi
panglima perang menurutku adalah Sayyid Utsman Haji."
Kemelut Perang antara Majapahit dan Demak
tiganya ag Ba Ta para patih Raja Brawijaya Ada-
pun Gajah Mada. ia
diserahi urusan pertempuran.
sedangkan Gajah Waila diserahi urusan
pajak. se-
dang Gajah Sina diserahi urusan pasukan perang.
Telah dikemukakan bahwa Brawijaya memiliki
seorang anak
bernama Raden Gugur yang menjadi
wakilnya. Dan Raden Gugur memiliki dua
anak ber-
nama Lembu Nasraya dan Lembu Kanigoro. Kedua-
nya
menjadi penguasa wilayah Majapahit.
Telah disebutkan bahwa
Brawijaya menjadikan
Raden Husain bin Arya Damar sebagai pangeran di
Terung dan dijuluki Pecat Tundo.
Istri Brawijaya yang
berasal dari Ponorogo
memiliki seorang saudara bernama Dandang We-
cana dan diangkat menjadi seorang pangeran Ma-
japahit. Ia
memiliki anak bernama Raden Banjar
yang tinggal di desa Tengger dan
dijuluki Dandang
Wurahan.
Istri Brawijaya lainnya memiliki
saudara yang
bernama Ulung Kembang dan diangkat menjadi
pangeran
di Bangkalan Madura.
Ketika Utsman Haji hendak keluar dari Demak
bersama para pasukan, ia mengenakan jubah ber-
mantera yang
dinamakan Onto Kesuma. Setelah
berpamitan dengan Raden Patah, ia keluar
menaiki
kuda hitam di barisan terdepan dengan diikuti para
pasukan
berpayung kuning lengkap dengan pan-
ji-panji di depan dan belakang
serta tabuhan gen-
dang dan tiupan terompet perang.
Amir
Husain berjalan di sebelah kanannya me:
naiki kuda belang hitam putih,
sementara Amir
Hamzah di sebelah kirinya menaiki kuda kelabu.
Mereka berjalan bersama para pasukan seperti
sekelompok
singa terlatih yang terbungkus baju besi,
tidak ada sedikitpun rasa
takut dalam wajah mereka.
Mereka ini digambarkan dalam sebuah alunan
syair:
“Kami adalah bintang-bintang malam dan rembulan yang
menjadi panglima (petunjuk)
bagi orang yang menyusuri jalan-jalan
petunjuk.
Kami menyeru semua orang kepada petunjuk dan kebe-
—
naran.
Kami adalah para singa terlatih bagi setiap kaum yang
melawan.
Kami bukanlah singa pelosok des
singa
negeri-negeri berperadaban.
a, namun kami adalah
Kami semua
pemangsa musuh, memerangi kaum kafir
yang enggan dan lari.
bengan jihad kami mengharap ri
makhluk, selalu berharap
limpahan pahala akhirat.
Wahai Tuhan kami, berilah kami
pertolongan
dha Tuhan seluruh
untuk menumpas kerusakan.”
Mereka terus berjalan hingga sampai ke hutan
Tunggarona lalu
berhenti di sana dan mendirikan
tenda-tenda. Kemudian Utsman Haji
mengirimkan
surat kepada Raja Majapahit, lalu mereka melihat
ada
seorang lelaki naik kuda dan mereka menghen-
tikannya. Lalu Utsman Haji
bertanya kepadanya,
“Siapa kamu wahai pemuda?”
lelaki
tersebut menjawab, “Aku adalah pen-
duduk desa Cakar Ayam, dan aku
adalah kepala desa
. yang diutus Raja Brawijaya untuk berburu rusa.”
Lalu Utsman Haji berkata padanya, “Maukah
kamu membawa
sepucuk surat yang hendak aku
kirimkan kepada Raja Brawijaya?”
Lelaki tersebut menjawab, “Ya, dengan penuh
rasa hormat.”
Maka lelaki itupun membawa sin
untuk Brawijaya, dan ia langsung memacu
kudanya
hingga sampai ke Majapahit. |
Sesampai di Majapahit,
lelaki tadi menemui
Raja Brawijaya yang sedang bersama para pangeran
dan patih, lalu ia menyerahkan surai kepada Raja
Brawijaya, lalu
dibukalah surat itu yang isinya,
-Dari Utsman Haji yang dijuluki
Sunan Ngu
dung kepada Raja Brawijaya penguasa Majapahit.
Sesungguhnya aku adalah utusan Raja Raden Pa-
tah dari kerajaan
Demak. Sang Raja mengutusku
dengan beberapa pasukan untuk mengajakmu dan
seluruh penduduk negerimu untuk masuk agama
Islam. Namun jika
kalian menolaknya maka kami
telah bersiap untuk berperang dengan kalian,
dan
jika golongan lelaki kalian sudah bosa
temui kami di hutan
Tunggarona. Wassalam.”
Setelah Raja Brawijaya selesai membaca
surat
itu ia berkata kepada patihnya Gajah Sina, “Wahai
patih,
sesungguhnya Raden Patah telah mengirim-
kan pasukan bersenjata untuk
memerangi kita, dan
—t--reng sudah berada di hutan Tunggarona. Tem ui-
tani mereka bersama 20 ribu pasukan dan ditemani
rya Jambul putra
Ki Jaran Penoleh.
Gajah Sina dan para pasukan bergerak
Tunggarona dan ketika sampai di
sana, terjadilah peperangan
antara dua kelompok
pasukan dan terus berkecamuk hingga jatuh ban-
vak korban serta belum ada kelompok yang kalah
maupun menang.
Kemudian Gajah Sina menyeru
pasukan muslimin untuk berduel, maka
keluarlah
Amir Husain melawan Gajah Sina. Keduanya saling
menyerang hingga Amir Husain tertusuk pedang
dan mati syahid.
Semoga Allah melimpahkan ridha
kepadanya dan menempatkannya di surga
sebagai
balasan untuknya.
Kemudian keluarlah Amir Hamzah
untuk mela-
wan Gajah Sina dan keduanya terlibat saling serang
namun tidak ada yang kalah. Maka keluarlah Ut-
sman Haji bersama
tiga prajurit dan ia berhasil
menusuk bahu Gajah Sina dengan tombak lalu
men-
garahkan ke arah dadanya hingga Gajah Sina tewas.
Semoga
Allah menempatkan ruhnya ke neraka dan
tempat terburuk. |
Saat itu pasukan muslim hanya tersisa 30
orang, sementara
banyak pasukan lain yang datang
dari Majapahit lengkap dengan sejata.
Maka pasu-
kan muslim memisahkan diri menjadi tiga kelom-
pok.
Satu kelompok menyerang dari arah kanan,
satu kelompok dari arah kiri,
dan satu kelompok
dari tengah. Hingga perang kembali berkecamuk
dan banyak korban yang terluka dan berjatuhan dari
pasukan kafir
dan akhirnya mereka kalah.
Dengan kekalahan tersebut, Arya Jambul
mela.
rikan diri kembali ke Majapahit dan menghadap
Raja Brawijaya
seraya menangis dan berkata,
“Sesungguhnya patih Gajah Sina telah
terbunuh
dan pasukanmu hanya tersisa sedikit, maka dari itu
aku
bergegas kembali menghadapmu untuk meng.
abarkan apa yang terjadi pada
mereka.” Inilah kisah
tentang Gajah Sina dan Arya Jambul.
Adapun kaum muslimin, mereka melarikan diri
ke hutan
Kerawang dan jumlah mereka hanya tersi-
sa sebelas orang. Lalu mereka
bermusyawarah un-
tuk mengutus salah seorang dari mereka ke Demak
untuk mengabarkan kepada Raden Patah apa yang
terjadi pada mereka
dan kaum kafir. Serta menanya-
kan bala bantuan pasukan dan meminta izin
untuk
menyerang pasukan kafir kedua kalinya.
Lalu salah
seorang dari mereka berangkat ke
Demak. Setelah menghadap khalifah dan
menga-
barkan apa yang terjadi pada mereka dan kaum kaf:
ir,
khalifah berkata kepada patih Abdus Salam,
“Wahai Abdus Salam,
sesungguhnya Utsman
Haji mengirimkan utusan mengabarkan bahwa
Amir
Husain telah gugur syahid, dan jumlah pasu-
kan muslimin tersisa
sebelas orang. Lalu ia meminta
bala bantuan pasukan. Sekarang ia
bersembunyi di
hutan Kerawang. Maka kumpulkanlah prajurit
dan
kirim mereka ke Utsman Haji.”
Maka Abdus Salam keluar
dari hadapan kha-
jifah, ia menabuh genderang dan terompet seraya
menyeru orang-orang agar bersiap-siap untuk ber-
perang. Ketika
mereka sudah berkumpul, ia berkata
kepada mereka,
“Sesungguhnya khalifah sudah mengutus satu
pasukan yang
dipimpin oleh Utsman Haji untuk
memerangi kaum kafir Majapahit. Lalu
Utsman Haji
mengirim utusan kepada khalifah untuk meminta
tambahan
pasukan, oleh karena itu aku mengum-
pulkan kalian. Maka susullah
teman-teman kalian
untuk membantu mereka dan carilah Utsman Haji.
Karena sekarangia bersembunyi di hutan Kerawang.
Mereka pun mematuhi arahan tersebut, lalu
khalifah berkata
kepada patih Abdus Salam,
“Panggilkan Haji Utsman agar menghadapku."
Maka dipanggillah Haji Utsman, dan setelah di
hadapan khalifah,
khalifah berkata kepadanya,
“Sesungguhnya anakmu telah gugur sebagai
syahid dan aku ingin agar kamu menggantikan po-
sisinya. Maka
pergilah menemui Utsman Haji de-
ngan memimpin pasukan ini.”
Haji
Utsman pun mematuhi perintah khalifah,
lalu ia berpamitan dan keluar
bersama pasukan
dengan menaiki kuda hitam hingga sampai ke hutan
Kerawang.
Setelah bertemu dengan Utsman Haji dan meng.
ucapkan salam, mereka bermusyawarah mengenai
peperangan. Inilah
kisah tentang kaum muslimin,
Adapun perihal Raja Brawijaya, ketika
ia men-
dengar penuturan Arya Jambul, ia berkata kepada
Patih
Gajah mada,
“Wahai patih, kirimlah dua utusan ke Pengging
dan Ponorogo untuk meminta bantuan pasukan."
Maka Gajah Mada
pun mengirimkan dua utus-
an dengan membawa surat dari Brawijaya. Ketika
utusan sampai ke Pengging dan bertemu dengan
Pangeran
Andayaningrat, ia menyerahkan surat
tersebut dan kemudian dibuka, yang
isinya,
“Dari Raja Brawijaya kepada Pangeran Andaya-
t.
Penting untuk dikabarkan bahwa Majapahit
ningra
limin dari Demak,
kedatangan pasukan kaum mus
maka segeralah kirim bantuan pasukan
untuk me-
merangi mereka.”
Setelah membaca surat tersebut,
Andayaningrat
memerintahkan untuk menabuh genderang dan
terompet
serta mengumpulkan pasukan. Ketika pa-
sukan telah terkumpul, ia berkata
kepada mereka,
“Sesungguhnya aku mengumpulkan kalian
karena
aku ingin membantu Raja Majapahit yang
sekarang berperang melawan
pasukan kaum mus-
limin. Maka berangkatlah bersamaku.” Mereka pun
patuh kepada perintah tersebut. Lalu mereka keluar
menuju
Majapahit.
Ketika Arya Dandang Wuruhan, kepala desa
Tengger,
mendengar bahwa Pangeran Andayaning-
rat keluar bersama pasukan ke
Majapahit untuk ber-
perang, ia mengambil tombak dan panah lalu naik
kuda menuju Majapahit hingga sampai di sana ye
bertemu dengan
ayahnya, Dandang Wecana. Pan
kisah tentang utusan Brawijaya yang dikirim
ke
Pengging.
Adapun utusan yang dikirim ke Ponorogo,
sesampainya di sana ia menghadap Bethoro Katung,
putra Brawijaya,
lalu ia menyerahkan surat aa
ayahnya. Setelah selesai membacanya, ia
mengirim
utusan ke Pangeran Luwanu dengan membawa Se-
pucuk surat.
:
Maka utusan tersebut pergi menghadap Pange-
ran Luwanu dan
menyerahkan surat tersebut yang
isinya,
“Telah sampai
kepadaku sebuah surat dari
ayahku, Raja Brawijaya, bahwa pasukan Demak
te-
lah datang ke Majapahit, dan patih Gajah Sina telah
terbunuh
dalam peperangan. Maka aku berharap
saudaraku, Pangeran Luwanu, mau
mengirimkan
bala tentara ke Majapahit untuk membantu Raja
Brawijaya, namun sebelum ke Majapahit, aku harap
kamu datang
terlebih dahulu ke Ponorogo.”
Maka Pangeran Luwanu memerintahkan
Untuk
mempersiapkan kuda hitam dan mengambil tom:
bak, lalu ia
menaiki kuda dan memacunya hingoa
sampai ke Ponorogo. Setelah bertemu
Bethoro Ka.
tung, ia duduk dan Bethoro Katung berkata kepada
saudaranya Dipati,
“Wahai saudaraku, pergilah kamu dan
saudara-
mu Sudara bersama para pasukan.” Lalu keduanya
berpamitan
dan berangkat. Dipati menaiki kuda hi-
tam dan Sudara menaiki kuda
belang. Setelah me-
reka sampai di Majapahit, di sana telah berkumpul
para pangeran dan patih sedang bermusyawarah
tentang urusan
peperangan.
Ketika pasukan muslimin datang ke Kerawang,
patih
Andayaningrat mendengar hal itu, maka ia
datang menemui Brawijaya dan
mengabarkan hal
tersebut. Lalu Brawijaya memerintahkan para patih
dan pangeran untuk menemui pasukan muslimin.
Brawijaya
berkata kepada patih Gajah Mada,
“Pergilah dan posisimu dalam
melindungi nega-
ra akan digantikan patih Arya Baha" dan patih Lem-
bu Nisraya serta pasukannya.”
Brawijaya mengangkat putranya
Raden Gogor
menjadi komandan pasukan. Sementara itu patih
Pecat
Tundo dari Terung bersama pangeran Lawung,
pangeran Terosaba, dan
pangeran Sukadana datang
bersama 2000 prajurit. Lalu para pasukan yang
su-
dah berkumpul di Majapahit keluar hingga tiba di
hutan
Kerawang.
Pasukan Majapahit dibagi menjadi tiga untuk
bergantian. Di sanalah pasukan muslimin dan kafir
bertemu, hingga
perang berkecamuk di antara me-
reka dengan tebasan pedang, tusukan
tombak, serta
lemparan panah, senapan, dan mesiu. |
Tak
terhitung korban dari pasukan Sa -
mentara dari pasukan muslimin ada
1010 pasukan
gugur. Tidak berselang lama datang bala TA
dari
Majapahit dengan banyak persenjataan, ai
keluarlah Amir Hamzah dan Haji
Utsman serta para
prajuritnya untuk menghalau mereka. |
Kemudian salah seorang dari pasukan apa
hit bernama Ulung
Kembang yang merupakan ipar
Brawijaya dan penguasa Berangkal, berkata
kepada
pasukan Muslimin,
“Wahai orang-orang muslim, jika
kalian su-
dah bosan hidup, maka majulah ke sini, aku adalah
Ulung
Kembang.”
Lalu keluarlah Amir Hamzah dan keduanya
duel.
Tidak lama kemudian Amir Hamzah berha-
sil menusuk dada Ulung Kembang
hingga jatuh
tersungkur dan mati. Semoga Allah menyegerakan
ruhnya
ke neraka dan tempat terburuk.
Kemudian patih Dandang Wecana
keluar mene-
Meruci Pemomakaet peractdknn re Bar ibatian laga»...
kake bdg pun terbitaat pertarg tanu!
saborng adu pukul derrngan
Senttatnaa
tnpa Ikerebannyia Jerbarkenlhaan Bianta bertistisa
Salikara share pepertan tes
Ketika kekuatan edbaarya
—eerrabs,
kenaeiya berediari dian melanjutkan dsnel 4. &
tidiah nda yang kalah maupun menang |, “3
Ltaenan menghampar
kerdisarnya da bner ”
“Piduah selayaknya kamu salimg gmail aa
daa toenbudk, mam semena dengan satu dl
beat modern
beeraritiar
Lala Haji Uterari mengarah torak Amtip
Hamaah
dian berkata kepada Dandang Wecana "Nu
Orang kafir, cepat tusuk
Maka Dandang Wecana pun menusuk Amir
Ilawsah. saman tidak
mempan dan tombak terse
but patah Labu Haji Uteman berkata. “Hai orang
ka
fic penjami Amir Hamirah towabakmu"
Setelah dipinjami
tombak. Haji Utaman berka
ta, “Hai Amit Hangah. cepat tusuklah dia” Maka
Areie Hamuah segera menusuk dada Dandang we
cana bingga mati
Semoga Allah menyegerakannya
ke meraka dan tempat terburnok
Arak
Darelang Wecana yang bernama Dandan
Wuruhan cengat matah ketika
mendengar ayahnya
sebuah. Lahu ig bela move 05
denga MNRARAAN
ternak tua arema
denda kematian ayahnya Miugika berdimmera teeta
juema eraefian Arit Hamarah bros Sek
Manearag Wiorahaun Ke ragam
Meswnaikann bownetoaak Pienngena
merjatab diam mati Sermaga Allah
merunge mkarureya
ke meraka dia terpaan terburuk.
Kewenelian
setebah it Lembu Kamigowo pestra
taden Gogoe yang merupakan cucu
Brmwijaya kote
ag. muak ia diam Armar Marus bantpanrang dan saling
memanah. Lalu datanglah Maji Utsman dan anemu
sah Lema Kanigoro
dari belakang hingga menem
bus dadkanya dar tersangka mati Semnega Allah
menyegerakarinya ke murraka dam tempat ten torak
Kemudian
pati Pecat Tundo berkata kepada
pasa pempanan megerinya ketigarya alah
Suka
"Pergilah kalian bersama para prajarit tempat
anhak
memerangi pasokan muslimin
Mereka pun pergi hingga tiba di medan
perang,
maks peperangan antara dua kelompok berkecamuk
dan banyak
korban berguguran dari pihak kafir
Ketiga pimpinan kafir tidak
henti-hentinya ber
temper sampai pasukan musliman teruika sedikat
hingga mereka berhadapan dengan Utsman Haji
dan mereka merasa
segan lalu berbalik. Utsman Haji
berkata kepada saudaranya Haji Utsman,
“Hai saudaraku, perintahkanlah para prajurit
yang kami
tinggal di Tunggarana agar mereka maju
ke medan tempur untuk
menghancurkan pasukan
kafir.”
Maka Haji Utsman memerintahkan
pasukannya
untuk maju, namun akhirnya pasukan tersebut ha-
bis tak
tersisa, karena semuanya gugur. Kemudian
ketiga panglima Majapahit
kembali berperang, na-
mun tidak lama kemudian mereka lari dan kembali
ke patih Pecat Tundo lalu berkata kepadanya,
“Wahai tuan,
sesungguhnya kamu telah meng-
angkat kami sebagai panglima perang, lalu
kami
berperang melawan kaum muslimin hingga pasu-
kan kami tersisa
sedikit. Kemudian kami marah
kepada musuh-musuh kami dan kami pun maju
memerangi mereka dan terus memerangi mereka
hingga jumlah
pasukan mereka tersisa sedikit. Lalu
panglima mereka keluar menemui kami
dan kami
takut lalu kami lari.”
Patih Pecat Tundo berkata
kepada patih An-
dayaningrat, “Pergilah kamu bersama pangeran Lu-
wanu dan Raden Sudara untuk memerangi musuh.”
Lalu mereka
pergi ke medan perang dengan menaiki
kuda dengan membawa pedang.
yekh :
Ketika mereka sampai di medan perang, berke-
camuklah peperangan antara mereka dan pasukan
muslimin hingga
banyak korban berguguran dan
pasukan muslimin hanya tersisa sembilan
orang,
dan perang belum berakhir hingga matahari ter-
benam. Lalu
masing-masing kelompok kembali ke
markasnya.
Haji Utsman
berkata kep
i bahwa para prajurit telah terbunuh d
maka sebaiknya
kita
bala bantuan. Jika
ada saudaranya Uts-
man Haj an
hanya tersisa sembilan orang,
kembali dari sini untuk meminta
kita sudah mendapat bantuan, kita kembali lagi ber-
perang. Maka
Utsman Haji berkata,
“Baik lakukanlah apa yang menurutmu baik,
aku mematuhimu.”
Lalu mereka melakukan perjalanan hingga
sampai ke hutan Jawo dan singgah di sana. Kemudi-
an Utsman Haji
mengirim utusan dengan membawa
surat kepada ayahnya Sayyid Raja Pendito
yang ting-
gal di wilayah Risbaya.
Ketika utusan tersebut
datang dan menyerah-
kan surat kepada Sayyid Raja Pendito yang isinya
dari Utsman Haji untuk Sayyid Raja Pendito, setelah
mengucapkan
salam,
“Sungguh penting kami mengabarkan bahwa
saya telah
diutus oleh Raja Demak untuk meme-
rangi Raja Brawijaya dan pasukan
kafir, kami telah
berperang hingga sekarang. namun jumlah pasuk:-
kami tersisa sedikit Oleh karena itu kami
rimkan bala tentara,
sekarang kami menyelamatkan
diri di hutan Jawo. Wassalam.”
Setelah selesai membaca dan memahami isi-
nya Raja Pendito
menulis surat dan mengirim seo-
rang utusan kepada Khalifah Husain.
yaitu seorang
pangeran (penguasa) di Kertayasa Ketika utusan
tersebut datang. ia menyerahkan surat kepada Kha-
lifah Husain
lalu dibukalah surat itu yang isinya dari
Sayyid Raden Pendito untuk
Khalifah Husain di Ker-
tayasa setelah mengucapkan salam,
“Pengirim surat ini memberitahukan bahwa
aku telah menerima
surat dari Utsman Haji yang
meminta bantuan pasukan untuk memerangi kaum
kafir Majapahit karena jumlah pasukannya hanya
tersisa sedikit dan
mereka sedang bersembunyi di
hutan jawo. Maka aku berharap darimu agar
berse-
dia mengirimkan bantuan pasukan. Wassalam.”
Setelah
selesai membaca surat. Khalifah Husain
memerintahkan untuk menabuh
genderang dan
terompet untuk menginformasikan perang. Lalu
orang-orang berkumpul dan dikatakan pada mere-
ka,
“Aku mengumpulkan kalian karena aku hendak
memerangi kaum
kafir Majapahit, maka pergilah
Syekh Adu Fsans ,
Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki bemiw:
Ki Cendana.
Ia memiliki dua anak bernama Mas
Bendara Marma dan Jusup.
Keduanya ingin iku:
berperang di jalan Allah bersama Khalifah Husain,
jslu keduanya menemui Khalifah Husain bersam
40 orang laki-laki
dan meminta izin ikut berperan
bersamanya.
Maka Khalifah
Husain pun mengizinkannya
dan berpesan agar mereka meniatkan jihad di
jalan
Allah. Kemudian Khalifah Husain bersama putra-
nya, Khalifah
Sughra, dan 40.000 pasukan kelu-
ar untuk berperang dan berjalan hingga
sampai ke
hutan Jawo.
Raden Paku men-
Pada saatitu
Raden Prabu bin
dengar bahwa Sayyid Haji Utsman dan saudaranya
Utsman Haji berada di hutan Jawo untuk berperang.
lalu ia berkata
kepada istrinya.
“Wahai istriku, hendaknya kamu menjaga di-
rimu, sesungguhnya aku hendak pergi berjihad di
jalan Allah
bersama para wali Allah.”
Lalu ia menaiki kudanya dan berjalan
sampai
keJawo. Ia bertemu Sayyid Haji Utsman dan Utsman
Haji,
setelah bersalaman, ia berkata pada keduanya,
“Aku ingin ikut
berjihad bersama kalian.”
Keduanya menjawab, “Baiklah, lakukan
yang
menurutmu baik, segala puji bagi Allah.”
Saat itu
penguasa wilayah Pakis yang bernama
Jaran Pemburu mendengar bahwa
pasukan Islam
telah berada di hutan Jawo, lalu ia memanggil empat
orang pembesar kaumnya, yaitu Karsani, Kalangan,
Ardi Sari, dan
Gajah Mungkur, lalu berkata,
“Sesungguhnya tentara Islam telah
berada di
hutan Jawo, dan mereka hendak memerangi Maja-
pahit. Aku
mengajak kalian untuk mengumpulkan
kaum kalian lalu memerangi mereka
bersamaku."
Mereka berkata, “Menurut kami, kami akan me-
nemui mereka di jalan mereka, lalu kami akan me-
merintahkan
mereka agar kembali. Jika mereka me-
nolak, maka kami akan memerangi
mereka.”
Lalu Jaran Pemburu menjawab, “Ya, bagus.”
Lalu mereka mengumpulkan kaumnya dan
melakukan
perjalanan hingga sampai ke suatu tem-
pat bernama Mojoler dan singgah
di sana. Utsman
Haji dan pasukannya berjalan sampai ke Mojoler
dan
penguasa Pakis mengetahui kedatangan mere-
ka, lalu ia berkata kepada
empat orang tadi bahwa
pasukan Islam telah datang, maka temuilah mereka.
Setelah kedua kelompok berhadap-hadapan,
perang pun
berkecamuk di antara kedua pasukan
hingga pasukan Pakis habis terbunuh
dan tersisa
empat orang tadi. Lalu mereka keluar berperang
dan bertemu dengan Bendoro Marma dan Bendoro '
Jusup serta
kaumnya, maka mereka pun berperang
hingga pasukan kaumnya tak tersisa
seorangpun.
Lalu Bendoro Marma datang ke Ardi Sari dan
keduanya terlibat bentrok sebentar, kemudian Ben-
doro Jusup
datang dan berhasil menusuk Ardi Sari
hingga mati. Semoga Allah
menyegerakannya ke
neraka dan tempat terburuk.
Dengan
terbunuhnya Ardi
sanya yaitu Gajah Mungkur, Kalangan, dan Karsani
marah terhadap pasukan muslimin, lalu memerangi
kaum muslimin tersebut hingga tersisa sedikit.
Khalifah Husain dengan pedang mengkilap di
tangannya
keluar dan ia ditusuk tombak oleh ketiga
orang tersebut namun berhasil
ditepi
nya dan tombak merekapun patah. Lalu mereka
menghunus
pedang dan menghujamkan ke Khalifah
Husain namun tidak mempan, begitu
pula sebalik-
nya, dan mereka terus saling menyerang hingga ke-
tiga orang tersebut kehabisan nafas karena kelelah-
an dan
terjatuh. Semoga Allah mempercepat mereka
ke neraka dan tempat
terburuk.
Pasukan Majapahit Terpojok lalu Bangkit
Ketika pangeran Pakis melihat para prajurit-
nya terbunuh semua dan
hanya tersisa satu, ia
langsung memacu kudanya dengan cepat layaknya
burung terbang hingga sampai ke Majapahit meng-
hadap Raja
Brawijaya dan berkata padanya,
“Para pasukan muslimin hendak
menembus
masuk ke Majapahit, dan sekarang mereka berada di
hutan
Mojoler. Aku dan para pasukanku telah me-
merangi mereka namun hanya
diriku saja yang ter-
sisa, lalu aku kembali menghadap untuk memberi-
tahumu tentang itu.”
Raja Brawijaya berkata kepada patih
Gajah
Mada, “Raden Arya Jaran Pemburu mengabariku
bahwa pasukan
muslimin sekarang berada di hutan
Mojoler, mereka ingin masuk ke
Majapahit untuk
memerangi penduduknya. Maka kumpulkanlah
para pasukan dan persiapkan peralatan perang lalu
kamu
pergi denganmu bersama para pasukan un-
tuk menghadapi pasukan musuh.
Ajak pula Raden
Karta pangeran Mojosari, Raden Jaran
Pemburu, dan
pangeran Pakis.”
Lalu mereka semua
mematuhi perintah raja
dan berpamitan untuk keluar bersama pasukan
kalajengking. Mereka berjalan, membentangkan
panji-panji, memukul
genderang, meniup terompet,
hari terbenam ketika mereka sampal ke
Mojolebak, lalu mereka singgah di sana.
rsama pasukannya
lebak dan melihat
a, maka ia
namun
mata
Adapun Utsman Haji, ia be
berjalan hingga sampai
ke Mojo
bahwa orang-orang kafir berada di san
membagi pasukannya
menjadi tiga kelompok. Satu
kelompok yang dipimpin oleh Khalifah Sughra
maju
terlebih dahulu ke medan perang.
a kepada Raden Suda-
n telah datang maka ia
p. Kemudian me-
sukan muslimin
Pangeran Pakis berkat
ra bahwa pasukan muslimi
mengintruksikan agar bersiap-sia
reka bangkit untuk mencegat pa
dan terjadilah pertempuran di antara kedua pasu-
kan hingga banyak
korban berjatuhan di pihak pa-
sukan muslimin, dan pasukan kafir hanya
tersisa
tiga orang, yaitu Raden Sudara, Pangeran Mojosekar
atau
Mojosari, dan Pangeran Pakis.
Kemudian Raden Sudara dan Pangeran
Mojo-
sari pergi dan menyerbu pasukan muslimin dengan
Khalifah Sughra keluar 4 Min tersisa
Gan Derkata.
engan Membawa “ Lah
tang
Wahaj kk
Orane-p
semua”
S Orang kafir
“Tenang tuan, aku yang akan membunuh si kafir
ini untukmu.”
Maka ia pun bergerak menuju Raden Suda-
ra, dan Raden Sudara menusukkan tombaknya ke
Aceng. Namun
Aceng menangkisnya dengan tono-
kat hingga tombak tersebut patah. Kemud
an Raden
Sudara menghunus pedangnya dan menghujamkan
ke Aceng
Marwi namun tidak berhasil melukai-
nya. Kemudian Aceng melemparkan
kapur ke mata
Raden Sudara hingga tidak bisa membuka matan-
ya. Saat itulah Aceng Marwi memukulnya dengan
tongkat
lalu berteriak memanggil pasukan Madu-
eret Raden Suda-
lu mereka datang dan meny
Semoga Allah
ra, la
mati.
ya serta memukulinya
hingga
menyegerakannya ke neraka dan tempat terburuk.
Ketika
Pangeran Pakis mengetahui bahwa Raden
Sudara telah mati, ia segera
memacu kudanya dan
berkata, “Wahai orang-orang muslim, berkumpullah
kalian menghadapiku jika kalian jantan.” Maka pa-
sukan muslimin
pun mendatanginya.
Ketika ia tersadar tidak mampu menghadapi
pasukan muslimin, ia berbalik kabur menuju Maja-
pahitdan
menghadap Raja Brawijaya seraya berkata,
“Wahai Tuanku, aku
menghadapmu hendak
mengabarkan bahwa Raden Sudara dan Pangeran
Mojosekar telah mati dalam peperangan dan pra-
La perang hanya
tersisa diriku, sekarang terserah
amu.
| Setelah
mendengar penuturan pangeran Pakis,
Raja Brawijaya berkata kepada patih
Gajah Mada
“Pangeran Pakis datang mengabarkan bahwa
Pangeran Mojosari dan Raden Sudara serta para pra-
jurit semuanya
terbunuh dalam perang, maka kelu-
arlah kamu bersama patih Pecat Tundo
dan Raden
Gogor bersama 90.000 pasukan untuk menghadapi
musuh.”
Setelah berpamitan, mereka berangkat dan ber-
jalan hingga
sampai ke Mojoagung. Raja Brawijaya
memerintahkan Patih Arya Baha,
Pangeran Luwa-
nu, dan Pangeran Pakis serta para prajurit yang ber-
sama mereka untuk melindungi ibukota kerajaan.
Raja Brawijaya juga
memeriritahkan Arya Jambul
dan Pangeran Citrakusuma dari wilayah Wilis
beser-
ta prajurit mereka untuk menjaga pintu gerbang.
Inilah kisah tentang perintah Brawijaya kepada
para patih
dan pangerannya.
Adapun mengenai Utsman Haji dan pasukan
muslimin yang bersamanya, mereka bergerak dari
Mojolebak dan
berjalan hingga sampai ke Mojo-
agung, hingga melihat bahwa pasukan
kafir telah
berada di sana. Lalu ia membagi pasukan muslimin
menjadi dua kelompok dan memerintahkan salah
satunya yang dipimpin
oleh Khalifah Sughra, Ben-
doro Marma, dan Bendoro Jusup untuk maju
lebih
dulu menyerang.
Telah disebutkan bahwa Patih Gajah
Mada dan
pasukannya telah sampai ke Mojoagung dan mere-
ka singgah di Petuguran terlebih dahulu. Ketika ia
mengetahui bahwa pasukan muslimin telah datang
ke tempat itu, ia
berkata kepada pasukannya,
“Bersiaplah untuk menghadapi
musuh, sesung-
guhnya mereka telah mendekat.”
Salah
satu kelompok pasukan Utsman Haji maju
dan berhadapan dengan pasukan
Gajah Mada, maka
perang berkecamuk dengan pedang-pedang Dena
lap,
mesiu-mesiu, tombak-tombak seperti taring
raksasa, serta dentuman
senapan -seperti gemuruh
lebah, hingga banyak korban berguguran dari
pihak
muslimin dan hanya tersisa sedikit.
Hal ini
menyebabkan Khalifah Sughra menga-
jak pihak kafir untuk perang duel,
maka keluarlah
Raden Gogor lalu keduanya saling menikam dan
Khalifah Sughra tertusuk hingga tersungkur dan
wafat. Semoga Allah
meridhainya dan menyegera-
kannya ke surga.
Kemudian
Bendoro Marma maju bertanding
melawan Raden Gogor, dan ia pun tertusuk
dada-
nya dan wafat. Semoga Allah meridhainya dan
menyegerakannya
ke surga.
Kemudian Bendoro Jusup maju menghadapi Ra-
den Gogor, dan ia pun tertusuk dan wafat. Semoga
Allah meridhainya
dan menyegerakannya ke surga.
Saat itu Utsman Haji dan pasukannya
keluar
dan memerangi pasukan kafir hingga jatuh korban
tak
terhitung dari pihak muslim dan tersisa sepu-
luh prajurit, yang di
antaranya adalah Utsman Haji,
Haji Utsman, Raden Prabu, Khalifah Husain,
Amir
Hamzah, dan Khatib Bintoro Raden Mas Winong,
Lalu Amir Hamzah
keluar membawa tombak dan
mengajak pihak kafir perang duel, maka
keluarlah
patih Andayaningrat yang akhirnya terbunuh karena
dadanya tertusuk tombak. Semoga Allah menyegera-
kannya ke neraka
dan tempat terburuk.
Kemudian Raden Gogor keluar menghadapi
Amir Hamzah yang kemudian disusul Patih Pecat
Tundo yang berhasil
menusuk Amir Hamzah de-
ngan tombaknya hingga wafat. Semoga Allah me-
ridhainya.
Kemudian Khalifah Husain keluar menghadapi
Raden Gogor dan menebasnya dengan pedang hing-
ga tubuhnya
terbelah dua. Semoga Allah menyegera-
kannya ke neraka dan tempat
terburuk.
Kemudian Khalifah Husain menghampiri Patih
Pecat
Tundo dengan pedang di tangannya, namun
Pecat Tundo berhasil menusuk
dada Khalifah Hu-
sain yang akhirnya menyebabkannya wafat. Semoga
Allah meridhainya.
Kemudian Khatib Bintoro keluar menghadapi
Pecat Tundo dan ditangannya terdapat belati lalu
sii do menusuk
dadanya hingga Khatib $
peca . wafat Semoga Allah meridhainya.
telah itu Utsman Haji keluar meng-
do dan saling serang dengan
tom-
Haji pun gugur. Semoga Allah me-
perang ti berhenti
padahal matahari telah
benam saat itu, sehingga kedua kelompok pasu-
Ji i ke markas masing-masing dan pihak
orang yang di antaranya
Raden Prabu. Lalu Raden
ada Haji Utsman,
enurutmu, Utsman Haji telah ter-
“Bagaimana m
nam orang.”
bunuh dan
pihak muslimin tersisa €
| Haji Utsman menjawab, “Sebaiknya kita kem-
bali ke Demak, namun kita cari jasad Utsman Haji
terlebih dahulu,
setelah kita temukan, lalu kita bawa
kembali ke Demak agar kita bisa
memberitahu Ra-
den Patah apa yang terjadi pada pasukan muslimin
dan peperangan.”
n setuju lalu mencari jasad Ut-
Mereka semua pu
awanya
Pa Haji dan
menemukannya dan memb
kembali ke Demak. Mereka terus melakukan per-
h-celah pe-
jalanan menyusuri lembah-lembah, cela
ke Demak.
gunungan, dan anak bukit hingga sampai
Setelah bertemu Raden Patah, mereka
menceri.
takan kisah dari awal hingga akhir. Raden Patah me.
manggil istri Utsman Haji dan memberitahu kem.
tian suaminya.
Ketika istri Utsman Haji datang dan
melihat suaminya terbunuh, ia
menangis dan berse-
dih, maka Raden Patah berkata padanya,
“Bersabarlah dan jangan takut, Allah pasti akan
membalasmu
dengan kebaikan.” Inilah kisah ten-
tang pihak muslimin.
Adapun di pihak kafir, Patih Gajah Mada kem-
bali dari
Petuguran ke Majapahit dan diiring oleh
prajuritnya. Ia menghadap
Brawijaya dan menga-
barkan,
“Sesungguhnya kita telah
melakukan apa yang
paduka perintahkan untuk memerangi pasukan
muslimin dan berhasil membunuh pemimpin me-
reka, Utsman Haji,
hingga mereka tersisa enam
orang. Namun putramu yang mulia Raden Gogor
terbunuh, begitu pula dengan Patih Dayaningrat,”
Brawijaya
pun bersedih ketika mendengar kabar
terbunuhnya putranya dan sembilan
pembesar Ma-
japahit, yaitu Gajah Sina, Ulung Kembang, Dandang
Wecana, Dandang Wurahan, Lembu Kanigoro, Karta,
Raden Sudara,
Raden Gogor, Patih Andayaningrat,
dan para prajurit yang tak terhitung
jumlahnya.
Oleh karena itu Brawijaya sangat bersedih. Kemudi-
an
ja berkata kepada patih Gajah Mada,
syekh
APP
1 segera mengangkat
#yahai Pati» ku jabatan mereka
osisi pemang
uh. Maka ia mengangkat Lembu Nas-
ot bun s ebagai pengganti ayah-
a Raden
GogoT, . :
TN Seangkat Gajah Pernala, putra Con Ai
e
a nggantikan posisi Dandang Maen sa
ih Perwana,
menggantikan POSISI an ba g
gangkat Gajah Palwaka menggantikan
Sina. Mengangkat Raden Jaya Prawi-
ada, menggantikan posisi Lembu
Kanigoro. Mengangkat Lembu Suro, putra Gajah
Mada, menggantikan
posisi Raden Karta penguasa
Mojosari. Mengangkat Gajah Wulung, putra
Gajah
Mada, menggantikan posisi Ulung Kembang. Dan
mengangkat
putra pangeran Pengging mengganti-
kan posisi ayahnya. Inilah kisah
tentang Brawijaya
dan para prajuritnya.||
Pasukan Demak Terpojok lalu Bangkit
Raden Patah sangat sedih karena banyak pasukan-
nya yang
terbunuh, lalu berkata kepada Raden
Paku (Sunan Giri),
“Pasukan muslimin banyak yang terbunuh dan
hanya
tersisa sedikit, bagaimana menurut anda?”
Raden Paku
berkata, “Itu sudah menjadi sun-
natullah (hukum Allah) yang juga
dialami generasi
pada abad-abad terdahulu. Peperangan antara kaum
muslimin dan kaum kafir imbang. Allah senantiasa
menguji
hamba-hamba-Nya hingga memberikan
akhir yang baik bagi orang-orang yang
bertakwa be-
rupa kemenangan bagi mereka yang beriman. Allah
SWT
berfirman,
JB os Gl 3 dls,
Syekh Abu
Fadhgi
£s-Senori At-Thuban
“Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu Kami gilir
di antara manusia.” (Al-Imron:
140)
bed 5 &. 2 Da: ix 8. Ce,
Serba Ko east IS S5 NAS,
benar akan menguji kamu
“Dan sungguh Kami benar- :
orang yang berjihad
agar Kami mengetahui orang-
” €. 1
dan bersabar di antara kamu. (Muhammad: 31)
4 2) Lah
rang yang
“Dan akhir yang
baik adalah bagi orang-0
bertakwa.” (Al-Oashash: 83)
pal H3 dee lis 083
“Dan Kami selalu
berkewajiban menolong
orang-orang yang beriman.”
Maka buanglah rasa takut dan bersabarlah atas
musibah
yang menimpa kita, dan kita harus terus
melakukan apa yang diwajibkan
oleh Allah untuk
- memerangi musuh-musuh Allah dan kita. Saya pu-
nya pendapat, angkatlah Amirul Haj (Sunan Kudus)
menggantikan
posisi ayahnya, Utsman Haji. Dan
kirimlah surat kepada Raden Arya Damar
dengan
111.
memberitahukan apa yang terjadi
ngan Majapahit, lalu mintalah bala t
kan
darinya”
Raden Patah pun menyetujui pendapat Sunan
Giri
tersebut Lalu Raden Patah menulis surat yang
isinya,
“Dari
Raden Patah, pemimpin umat bana di
Demak, kepada Raja Raden Arya Damar
bang. Penting untuk diberitahukan bahwa
jadi peperangan antara
kita dengan Maj An it
banyak mengugurkan pasukan tentara kita m
mereka. dan pasukan kita tersisa sedikit Utsman
Haji (Sunan
Ngudung) dibunuh oleh Raden
sain yang menjadi penguasa Terung dari pihak
Ra Raja
Brawijaya. Oleh karena itu kami berharap kamu mau
memberikan bantuan kepada kami dengan menga-
jakmu membawa
pasukan untuk berperang bersama
kami melawan kaum kafir Majapahit
Wassalam.
Setelah selesai menulis surat, Raden Patah
menggulungnya dan memberinya stempel kerajaan
lalu mengutus dua
orang membawa surat tersebut ke
Palembang. Maka utusan Raden Patah aa
Palembang dan menemui Arya Damar lalu menye-
rahkan surat
tersebut, lalu Arya Damar membuka
dan membacanya. Setelah selesai
membaca dan me-
mahami isinya, ia sangat marah terhadap putranya.
Raden Husain, lalu berkata,
-Tidak
semestinya Husain membantu kau
ur Bagaimana bisa ia meninggalkan ian
melupakan akhiratnya demi mengejar duniawi
Kemudian Arya
Damar memerintahkan |
15 MAA
yaitu sebuah
peti. ada yang mengatakan dua potong
rotan yang bertuliskan mantera yang
digunakan
oleh para pembantunya dari golongan jin dan setan.
ya Da,
IYA. r Lt
jimat tersebut
merupakan peninggalan ibunya Putri
Reksadenawa
Ketika jimat
dihadirkan di hadapan Arya Da-
mar. ia berkata kepada Gua utusan Raden
Patan.
“Bawalah jimat ini ke Amirul Mukminin dan
katakan
bahwa penguasa Palembang tidak bisa
mengirimkan bantuan pasukan, hanya
bisa mem-
berikan jimat ini dan hendaknya ini dibuka ketika
mendekati medan perang.”
Lalu kedua utusan tadi berpamitan
dan pulang
hingga akhirnya sampai ke Demak. Sesampai di De-
mak,
setelah mengucapkan salam. keduanya me-
nyampaikan pesan Arya Damar
kepada Raden Pa-
tah. Saat itu Raden Paku yang berada di dekat Raden
Patah berkata.
“Aku berharap kamu segera mengumpulkan
pa-
sukan semampumu untuk memerangi Majapahit
sekali
lagi.”
"
Raden Patah pun
mematuhinya, lalu ia ber-
kata kepada Patih Abdus Salam, “Kumpulkan para
pangeran dan pimpinan agar mereka menyeru ka-
umnya.”
Maka patih mengumpulkan mereka dan me-
merintahkan agar
mengumpulkan orang-orang
yang mampu berperang, dan akhirnya terkumpul
300 orang prajurit. Lalu patih berkata pada mereka,
“Amirul
Mukminin memerintahkan kepada ka-
lian agar keluar ke Majapahit untuk
berperang.”
Mereka menjawab, “Kami patuh, meskipun kami
merangkak, kami akan keluar berperang.”
Raden Patah berkata
kepada Patih Abdus Salam,
“Panggil Amirul Haj (Sunan Kudus) dan para
pem-
besar orang-orang mukmin untuk menghadapku."
Lalu patih
memanggil mereka, dan mereka pun
hadir di hadapan Amirul Mukminin,
mereka ada-
lah Amirul Haj, Haji Utsman (Sunan Mayuran), Ra-
den
Syahid (Sunan Kalijaga), Raden Prabu, Sayyid
Muhsin menantu Raden Rahmat
yang terkenal de-
ngan sebutan Sunan Wilis, Sayyid Oasim (Sunan
Drajat), dan Raden Said.
Mereka adalah ketujuh orang wali
dan yang
kedelapan adalah Raden Paku, sementara yang ke-
sembilan
adalah Raden Patah, dan yang kesepuluh
adalah Sayyid Ibrahim (Sunan
Bonang). Ketika me-
GrEi 1
at
1
K3 |
Pramana bah
reka
semua berkumpul, Raden Patah berkata,
“Wahai tuan-tuan,
pergilah ke Majapahit untuk
berperang, kalian akan disertai 300 pasukan,
dan
bawalah jimat ini, jika hampir tiba di medan perang,
bukalah!
Aku mengangkat Amirul Haj sebagai pemi-
mpin kalian dalam perang ini,
menggantikan posisi
ayahnya.”
Mereka pun mematuhi perintah
Raden Patah.
Lalu mereka berpamitan dan keluar untuk berperang
dengan membawa jimat tersebut menuju Majapahit
dan diikuti oleh
banyak pasukan di sepanjang jalan,
ada yang mengatakan mereka berjumlah
70.000
prajurit.
Dikatakan bahwa yang membawa jimat yang
berupa dua potong rotan adalah dua lelaki muslim,
yang mana
keduanya ikut berjalan bersama para
pasukan. Ketika sampai di sebuah
desa bernama
Ngepun yang berada di utara Jatirogo Tuban, kedua
orang tadi ketinggalan karena beristirahat, lalu salah
satunya
berkata,
“Sungguh aku heran, bagaimana bisa dua potong
rotan
ini menolong dan membantu dalam peperan-
gan, lalu apa yang ada di
dalamnya?”
Maka yang satunya lagi berkata, “Kita berdua
hanya diperintah dan harus mematuhinya, lakukan
saja seperti yang
diperintahkan.”
Lalu satunya tadi
berkata, “Aku ingin membuka
rotan yang aku bawa ini.”
Maka yang satunya lagi berkata, “Jangan!”
Namun ia tidak peduli dan tetap membukanya
dan
dikatakan padanya, “Jika kamu tidak mau me-
nerima nasihatku, ya sudah
itu urusanmu.”
Ketika ia membukanya, ia mendengar seperti
suara gemuruh lebah darinya, lalu ia meyakini yang
ada di dalamnya
telah keluar. Maka ia ketakutan
karena merasa mengkhianati amanat Amirul
Muk-
minin dan berkata kepada orang satunya lagi,
“Kamu sendiri saja yang membawa ini, aku akan
tinggal
di sini karena aku takut terhadap Amirul
Mukminin.”
Lalu ia
berkeliling di desa itu hingga mendatan-
gi rumah seorang wanita tua
bernama Nyai Sibelok,
dan ja ditanya tentang nama dan asalnya, maka ia
menjawab,
“Aku adalah penduduk Demak.”
Lalu ia menceritakan tentang kesalahan yang
baru saja
ia lakukan. Nyai Sibelok berkata,
“Tinggal saja di sini, dan
jangan takut, aku ada-
lah murid Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan ia
sering mengunjungiku, apabila ia datang mencar-
imu, mintalah maaf
kepadanya, dan sebelum itu aku
yang akan menjamin
keamananmu dari para pega-
wai kerajaan.”
Lalu lelaki
tersebut menetap di desa itu hing-
ga meninggal dan ia dimakamkan di
sebelah barat
jalan di sebuah tempat bernama Pondol. Makamnya
sering diziarahi hingga sekarang.
Karena Nyai Sibelok
pernah berkata, “Dan se-
belum itu...sampai akhir.” Maka tidak ada
satupun
pegawai kerajaan yang masuk ke Desa Ngepun di
mana ja
dimakamkan, melainkan ia akan mati atau
kehilangan pekerjaannya, dan hal
itu terus berlaku
hingga sekarang. Itu merupakan salah satu karomah
Nyai Sibelok. Ia dimakamkan di Ngepun sebelah
timur barat dan
makamnya masih diziarahi hing-
ga sekarang. Semoga Allah merahmatinya.
Ini kisah
tentang orang yang berbuat kesalahan.
Adapun
lelaki satunya, setelah beristirahat, ia
melanjutkan perjalanan hingga
menyusul pasukan.
Ia terus berjalan hingga sampai di sebuah tempat
dekat Majapahit yang bernama Bagendul, lalu mere-
ka membuka jimat
tadi di sana, maka keluarlah para
khadam dari golongan
setan, jin, dan ifrit yang ter-
belenggu.
Kemudian di
Majapahit terjangkit wabah dan
kematian (pageblug). Seseorang yang sakit
di pagi
hari, maka meninggal di sore hari. Dan yang sakit
di sore
hari, maka meninggal di pagi hari. Tak ter-
hitung penduduk
Majapahit yang meninggal, terma-
suk empat orang pembesar mereka, yaitu
Gajah Per-
nala, Gajah Perwana, Jaya Prawira, dan Lembu Suro.
Pangeran Luwanu sangat sedih atas musibah
yang menimpa
Majapahit, lalu ia berkata kepada
Raden Jaran Pemburu, penguasa Pakis,
“Aku ingin keluar dari Majapahit sebab wabah
yang
menjangkiti seluruh penduduk ini. Aku men-
duga ini adalah perbuatan
Raja Demak. Jika aku Ja
dak segera keluar, aku pasti akan terjangkiti
seperti
mereka yang telah mati.”
Lalu Jaran Pemburu berkata,
“Kemana kamu
akan pergi? Aku akan ikut denganmu, pergilah seka-
rang bersamaku!”
« ru-bu-
Pangeran
Luwanu berkata, “Jangan bu
ru, ajudanku yang aku perintahkan
untuk mel 4
rerumputan untuk kudaku telah meninggal, begi
tu juga
dengan pembantuku. Aku mencari rumput
sendiri, namun belum mendapatkan
apapun, Li
ku sakit karena kekurangan rumput.”
acari
Lalu keduanya keluar dari Majapahit dengan
naik kuda
tanpa berpamitan dengan Raja Brawijaya:
Mereka terus berjalan hingga
sampai ke Ponorogo,
lalu menemui pangeran Bethoro Katung yang se-
dang duduk di atas kursinya, lalu pangeran Pakis
berkata padanya,
pp”
Syekh Abu Fadhol
As-Senori Al-Thubani
“Wahai saudaraku, sesungguhnya Raden
Sudara
telah terbunuh dalam peperangan, banyak pembe-
sar
Majapahit juga terbunuh bersama pasukan yang
tak terhitung jumlahnya.
Sekarang Majapahit meng-
alami bencana wabah terbesar dan merenggut nya-
wa tak terhitung. Aku menduga itu perbuatan Raja
Demak. Jika kamu
mengizinkan, aku dan Pangeran
Luwanu hendak pergi ke Demak dan
menyerahkan
diri, lalu meminta jaminan keamanan dan kita ma-
suk Islam.”
Bethoro Katung berkata, “Itu pendapat yang
te-
pat. Pergilah, jika kamu sudah di hadapan Raja De-
mak,
katakan padanya bahwa saudaraku Bethoro
Katung, Pangeran
Ponorogo, telah menyerahkan 2
padamu dan ia masuk Islam.”
Lalu keduanya berpamitan dengan Bethoro
Katung dan
keluar dengan menaiki kuda menuju
ke Demak. Sesampainya di Demak mereka
berdua
menghadap Amirul Mukminin, Raden Patah, dan
mengatakan,
“Kami berdua menyerahkan diri padamu dan
kami memeluk agama Islam di hadapanmu, maka
ulurkanlah tanganmu,
kami bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan
Allah."
Lalu Raden Patah
berkata, “Kalian telah selamat
dan beruntung karena masuk ke
dalam agama Is.
lam,”
Lalu pangeran Pakis berkata,
“Sesungguhnya
saudaraku Bethoro Katung, Pangeran Ponorogo, me
merintahkanku agar mengabarkan padamu bahwa
ia juga menyerahkan
diri padamu dan masuk agama
Islam,”
Maka Raden Patah
berkata, “Segala puji bagi
Allah atas hidayah berupa Islam kepadanya."
Ini kisah tentang ketiganya, yaitu Pangeran Pa:
kis,
Pangeran Luwanu, dan Bethoro Katung ||
Kisah Amirul Haj (Sunan Kudus), Kemenangan Demak, dan Kehancuran
Majapahit
adapun mengenai kisah Amirul Haj (Sunan Kudus) dan pasukan
muslimin yang bersamanya,
mereka singgah di sebuah tempat bernama
Bakendul. Kemudian Sunan Kudus berkata kepada pasu-
kan muslimin,
“Wahai orang-orang muslim, berangkatlah ka-
lian.”
Para pasukan pun berangkat dan berjalan hing-
ga sampai ke
sebuah tempat dekat Majapahit, lalu
mereka singgah di luar kota
Kemudian Gubernur Majapahit bernama Gajah
Paloaka
ketika melihat pasukan muslimin telah ber-
ada di luar kota, ia bergegas
keluar dari rumahnya
menghadap Raja Brawijaya, lalu ia mengabarkan
padanya bahwa pasukan muslimin telah berada di
luar kota
Majapahit. Lalu Brawijaya berkata kepada
sebagian orang yang ada di
dekatnya,
Pergilah, temui Patih Gajah
Mada, Patih Ga
jah wila, Patih Arya Baha”, dan Patih Gajah Wulung,
perintahkan mereka untuk menghadapku sekarang
juga. Cepat pergi!"
Maka keluarlah utusan itu dengan cepat dengan
menaiki kuda
hingga sampai ke rumah Gajah Mada,
tiba-tiba terdengar suara teriakan
dari dalam rumah.
Lalu ia bertanya kepada orang yang ada di dalam ru-
mah, dan mereka mengabarkan bahwa Gajah Mada
telah meninggal.
Kemudian ia pun bergegas se
kuda menuju rumah Gajah Wila, lalu ia Br
mah dan menanyakan tentangnya, maka dikata an
bahwa Gajah Wila
telah mati secara mendadak dan
akan dikuburkan, Kemudian ia pun bergegas
sea
ju rumah Arya Baha', ketika sampai ru mahnya, Aa
an tadi
mendapatinya sedang terbaring sakit sa
ia bergegas menuju ke Berangkal
dan menemul
jah Wulung, lalu mengatakan padanya,
“Raja
Brawijaya memanggilmu untuk datang
menghadap Sekarang juga. Ayo pergilah
bersamaku.
Cepat, cepat.” Lalu keduanya keluar dan berjalan
hingga sampai ke Majapahit.
Sesampainya di
hadapan Brawijaya, utusan tadi
berkata, “Sesungguhnya Gajah Mada dan
Gajah Wila
telah meninggal, sementara Arya Baha' saat ini se-
dang sakit, maka yang dapat hadir menghadapmu
hanya
Gajah Wulung.”
Maka Raja Brawijaya berkata
kepada Gajah
Wulung, “sesungguhnya pasukan muslimin telah
datang
untuk memerangi kita, mereka sekarang ber
ada di luar kota, pergilah
bersama Pecat Tundo dan
citrasoma dengan membawa pasukan kalian untuk
menghadapi mereka."
Mereka pun mematuhi perintah itu dan
ber-
pamitan keluar. Ketika mereka di tengah perjalanan,
Gajah
Wulung terjatuh dari kudanya dan ia mening-
gal. Kemudian baru berjalan
sebentar, tiba-tiba Ci-
trasoma juga terjatuh dari kudanya dan
meninggal.
Maka panglima mereka hanya tersisa Pecat Tundo,
dan
mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai
ke luar kota dan bertemu
pasukan muslimin, maka
perang pun berkecamuk.
Raden
Syahid (Sunan Kalijaga) memberi is-
yarat dengan tongkatnya ke arah
orang-orang kafir,
maka Allah menimpakan rasa takut ke dalam hati
mereka, lalu mereka membuang senjata-senjatanya
dan
bercerai-berai. Dan saat itu Pecat Tundo terli-
hat oleh Raden Syahid,
maka ia teringat Da diri-
nyalah yang dulu membunuh Utsman Haji dan Amir
Hamzah, maka timbullah rasa takut dalam dirinya
barangkali Amirul Haj hendak membalas kematian
ayahnya, maka ia mun si
2 an ke Terung, wilayahnya
sendiri.
dur dan melarikan diri hingga
Telah disebutkan
sebelumnya bahwa Arya Jam-
bul diperintahkan menjaga pintu gerbang.
Ketika ia
mengetahui bahwa Patih Pecat Tundo dan pasukan-
nya
telah mundur, ia segera masuk ke dalam mene-
mui Raja Brawijaya dan
mengabarkan padanya ten-
tang hal itu, dan sesungguhnya pasukan muslimin
telah memasuki kota. Lalu Brawijaya berkata kepada
istri
tertuanya, yaitu Martaningrum,
“Sesungguhnya aku akan keluar
dari rumah un-
tuk melarikan diri dari para musuh dan mencari ke-
selamatan, apakah kamu mau keluar bersamaku?”
Istrinya
berkata, “Aku akan tetap di rumah dan
tidak keluar bersamamu.”
Brawijaya berkata, “Jika kamu memutuskan be-
gitu, aku
akan keluar sendiri.” Maka Brawijaya pun
keluar melarikan diri hingga
sampai ke Desa Ceng-
kal Sewu dan berbaur dengan kalangan petani. Se-
lain itu, Lembu Nisraya dan istrinya juga ikut keluar
dari
Majapahit, mereka berjalan hingga sampai ke
Pasuruan dan bersembunyi di
sebuah tempat ber-
nama Puger. Arya Jambul dan istrinya juga keluar
dan berjalan hingga sampai ke Gunung Kelud dan
bersembunyi di
sana.
Tidak ada yang tersisa di rumah Raja Brawijaya
kecuali
istrinya Martaningrum dan 40 wanita dari
para selir dan pembantu
kerajaan, lalu Martaning-
|
hkan mereka untuk mengenakan
.m mM
Sa Islam dan berkata,
rsamaku masuk dalam
agama Islam.”
pun mematuhinya. Pasukan muslim-
i kediaman Brawijaya
| maka Raden syahid menendang
i ya hingga terbuka, lalu ia masuk
bersama pasukan
muslimin, Na-
dak menemukan siapapun kecuali
reka bertanya tentang
ke-
artaningrum berkata,
melarikan diri dan meninggal-
h, karena aku menolak untuk
hnya aku masuk Islam
dengan
wanita-wani-
namun semua
istri B
beradaannya, dan M
“Ia telah keluar
kanku di dalam
ruma
keluar bersamanya. Sesunggu
di hadapan kalian, begitu juga
ta yang ada di rumah ini bersamaku.”
Raden Syahid
mengatakan,
kamu karena telah masuk Islam.
Allah.”
Adapun Patih Pecat Tundo, ketika ia sampai di
Terung, ia
berlindung di sebuah benteng dan meng
umpulkan persenjataan karena takut
dengan ke-
datangan Amirul Haj untuk membalas dendam ke-
“Beruntunglah
Segala puji bagi
matian ayahnya.
Kemngan Raden Syahid meninggalkan
Maja-
pahit menuju wilayah Terung bersama tujuh pra- jurit mengejar
Pecat Tundo. Di tengah perjalanan
mereka berhenti ketika mengetahui
bahwa Pecat
Tundo berlindung di Terung serta mengumpulkan
prajurit
dan persenjataan. Lalu Amirul Haj menulis
surat kepada Pecat Tundo dan
mengutus seseorang
untuk menyerahkannya padanya. Utusan itu keluar
dan berjalan hingga sampai ke Terung lalu menemui
Pecat Tundo dan
menyerahkan surat tersebut.
Maka ia pun membukanya yang isinya,
“Dari Amirul Haj (Sunan Kudus) panglima
perang Amirul
Mukminin, Raden Patah, kepada pa-
tih Pecat Tundo di wilayah Terung.
Yang terpenting
dari surat ini adalah memberi peringatan, meng-
ingatkan, dan memberi nasihat. Bagaimana kamu
melupakan agamamu
dulu hingga kamu menolong
kaum kafir untuk mencari duniawi, padahal dulu
kamu adalah temanku ketika menuntut ilmu dari
Sayyid Rahmat di
Ampel.
Jika kamu bersikeras tidak mau menyerahkan
diri, kami sudah mengampunimu meskipun kamu
telah bertindak
kejahatan karena telah membunuh
ayahku, Utsman Haji. Dan jika kamu mau
menye-
rahkan diri, maka bergegaslah datang ke sebuah tem-
pat
bernama Sariraga sebelum kami mendatangimu
dengan pasukan. Wassalam.”
Setelah selesai membaca surat itu, Pecat Tundo
menangis dan merasa takut terhadap dosanya, sehingga ia menyesal atas
kesalahan yang diperbuat-
nya. Lalu ia berkata kepada sahabatnya,
“Telah datang sebuah surat kepadaku dari Amir-
ul Haj
yang menasihatiku dan mengancamku, ia
- berjanji memberikan
ampunan dan keamanan un-
tukku jika aku mau menyerahkan diri
dan tunduk
padanya, namun aku takut itu adalah tipudaya, kare-
na
akulah yang membunuh ayahnya.”
Lalu sahabatnya, yaitu
pangeran Terosaba ber-
kata padanya, “Ucapan ini tidaklah bohong, namun
itu benar, sebaiknya kamu menurutinya dan tun-
duk padanya,
janganlah menuruti hawa nafsu maka
kamu akan binasa, dan juga
orang-orang setelahmu
akibat perbuatanmu. Aku menduga bahwa Amirul
Haj dan orang-orang yang bersamanya tidak meng-
inginkan apapun
kecuali pahala akhirat, mereka
adalah para wali Allah. Barangsiapa yang
memusuhi
mereka, maka Allah akan menghancurkannya.”
Lalu Pecat Tundo berkata, Jika pendapatmu be-
gitu,
aku menurut saja. Maka beritahu para pasukan
dan para pembantu untuk
menyerahkan diri dan
tunduk pada Raja Demak. Lalu perintahkan mereka
untuk berkumpul dan mengumpulkan persenjataan
untuk diserahkan
padamu.”
Maka Pangeran Terosaba melakukan perintah
tersebut, dan mereka pun mengumpulkan persen-
jataan beserta
harta-harta mereka yang ringan untuk
benar yah Wak Tara Draw
dibawa namun banyak nilainya. Mereka juga bersiap
untuk berangkat Lalu pangeran Terosaba memerin-
tahkan agar
berangkat bersama para wanita. anak-
anak dan harta benda mereka Lalu
mereka berjalan
hingga sampai ke Sariraga, lalu Pecat Tundo mengh-
adap Amirul Haj dan duduk di hadapannya dengan
tertunduk seraya menangis dan meminta ampunan.
Lalu ia
berkata pada Amirul Haj.
"Aku datang menghadapmu untuk menyerah-
kan diri dan tunduk padamu serta bertaubat kepada
Allah terhadap
apa yang telah aku lakukan. Aku su-
dah di hadapanmu. lakukanlah apapun
yang kamu
mau."
Maka Amurul Haj berkata padanya, “Aku su-
dah tahu. mengapa kamu menangis? Kamu tertun-
duk di hadapanku
seperti itu tidak mendatangkan
manfaat bagimu jika kamu tidak bertaubat
kepada
Allah dengan taubat yang benar, maka bertaubat-
lah
pada-Nya dan mintalah ampunan-Nya atas ke-
jahatan yang kamu lakukan.
Sesungguhnya Allah
telah menunjukkan dengan jelas mana jalan yang
baik dan jalan yang buruk, maka berpikirlah dengan
pikiran yang
jernih dan hati yang suci, apa yang jelas
kebaikannya untukmu maka
ikutilah, dan apa yang
bertentangan dengan itu maka jauhilah.
Ingatlah bahwa Allah menjadikanmu pemilik
kekuasaan dan
harta yang banyak. Allah membe-
rimu kenikmatan yang tak terhitung dan
tak ter-
lupakan, namun jangan anggap bahwa itu akan ber-
manfaat
untukmu jika kamu bukan golongan yang
bertakwa.”
Amirul Haj terus mengecamnya sebab perbuat-
annya dan
mengingatkannya pada perbuatan masa
lalunya. kemudian ia berkata kepada
orang-orang
yang di sampingnya,
'Berangkatlah kalian ke
Majapahit dengan
kami”
Mereka mengatakan, “Baiklah.”
Lalu mereka berangkat dan sampai ke Majapa-
hit, dan
di sana telah berkumpul pasukan muslimin
dan para panglima mereka.
Kemudian Amirul Haj
berkata kepada para panglima muslimin,
“Runtuhkan istana kerajaan Brawijaya dan ba-
ngunan-bangunan
yang ada di Majapahit. ambillah
barang-barang bernilai yang bisa dibawa,
kemudian
bawa ke Demak.”
Mereka pun melakukan perintah
tersebut,
kemudian Ratu Martaningrum dibawa dengan
|
kendaraan yang dipersiapkan untuk para raja, lalu
Amirul Haj
mengintruksikan agar segera berangkat,
dan mereka pun berangkat dan
keluar dari Maja-
pahit Sementara Ratu Martaningrum dibawa da-
lam
rombongan paling depan, diikuti para danyang,
pembantu, kaum perempuan,
dan para kerabat se-
bagai rampasan perang.
Mereka terus
berjalan hingga sampai ke Demak
dengan selamat dan baHaqia, lalu mereka
meng-
hadap Raden Patah seraya mengucapkan salam dan
selamat atas
kemenangan dan rampasan perang.
Kemudian Raden Husain (Pecat
Tundo) ber-
kata kepada Raden Patah, “Wahai saudaraku yang
mulia, Raja yang agung, aku datang kepadamu un-
tuk menguasakan
penuh atas jiwaku kepadamu dan
menyerahkan diri tunduk padamu, maka
lakukan-
lah apapun yang kamu mau terhadapku. Sungguh
aku memohon
ampunan darimu atas kejahatan dan
kesalahanku, aku bertaubat kepada
Allah dari sega-
la dosa-dosaku ketika aku melakukannya dalam ke-
lalaianku.”
Maka Raden Patah berkata padanya, “Bergem-
biralah karena kamu bertemu dengan saudara yang
telah dilahirkan
ibumu. Jika kamu benar-benar ber-
taubat kepada Allah atas kejahatan dan
kemaksiatan
yang telah kamu lakukan, maka aku hanya berkata
sebagaimana yang dikatakan Nabi Yusuf AS,
“Pada hari
ini tidak ada cercaan terhadapmu,
mudah-mudahan Allah mengampunimu, dan
Dia
adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Dengan
demikian berakhirlah kerajaan Bu-
dha dan hilang dari Majapahit, beralih
ke Demak di
bawah kekuasaan Amirul Mukminin Raden Patah
yang
mengurusi segala urusan umat Islam dengan
adil dan baik terhadap
orang-orang yang beriman
seraya menyeru ke agama Allah dengan niat yang
baik, mata hati dan perilaku yang sempurna, mens-
tabilkan Demak
menjadi sebuah negeri yang penuh
kebaHaqiaan, dan menyebarkan agama
sampai wak-
tu yang ditentukan.
Dan inilah akhir
kisah, segala puji bagi Allah
Tuhan semesta Alam. Maha Suci Dzat yang
mana ke-
rajaan-Nya tidak akan musnah dan kekuasaan-Nya
tidak pernah berakhir!)
Penutup
alam kisah tersebut mengandung pelajaran bagi
aa yang mau
mengambil pelajaran dan
petunjuk bagi orang-orang yang mencari
penjelasan.
Kaum muslimin pada mulanya terhormat dan
mulia,
kemudian setelah itu menjadi lemah dan
hina. Setelah sebelumnya
pemberani dan kuat, men-
jadi rendah dan penakut. Itu semua karena mere-
ka mengabaikan perintah Tuhannya, melakukan
larangan
Tuhannya, dipermainkan hawa nafsunya,
dan dikuasai oleh
tangan-tangan musuh.
Hal itu juga menjadi bukti kebenaran sabda
Ra-
sulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam kitab Sunan-nya,
“Apabila kalian melakukan
jual beli dengan sistem
'Inah, mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk dengan
peter-
nakan), ridha dengan bercocok tanam (sibuk dengan
pertanian), dan meninggalkan jihad (di saat Fardhu
Ain), maka
Allah akan menguasakan kehinaan atas
kalian dan tidak akan mencabutnya
hingga kalian
kembali pada agama kalian.”
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan per-
tolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung.
Hanya Allah lah
Dzat yang dimintai pertolongan
dan dijadikan sandaran. Semoga Allah
menghilang-
kan kehinaan dari diri kita dan mengembalikan kita
kepada agama kita dengan pertolongan, anugerah,
kemurahan, dan
kemuliaan-Nya. Amin.[alkhoirot.org]