Terjemah Ahlal Musamaroh (10 Wali Tanah Jawa)

Nama kitab: Terjemah Ahlal Musamaroh, Kisah Wali 10 (Sepuluh), Wali Tanah Jawa, Silsilah 10 Wali, Penulis: Kyai Abu Fadhol Senori Tuban Indonesia

Terjemah Ahlal Musamaroh

Nama kitab: Terjemah Ahlal Musamaroh fi Hikayati Auliya il al-Asyarah, Kisah Wali 10 (Sepuluh), Wali Tanah Jawa, Silsilah 10 Wali,
Judul asli: Ahla al-Musamarah fi Hikayat Auliya' al-Asyrah (أحلي المسامرة في حكاية أولياء العشرة)
Makna judul:   Paling Manisnya Percakapan tentang Cerita Wali Sepuluh
Penulis: Syekh Kyai Abu Fadhol Senori (الشيخ أبو الفضل السنوري التوباني الإندونيسي)
Nama lengkap: Syekh Kyai Haji Abu Fadhol Senori dari Tuban, Jawa Timur, Indonesia
Lahir: 1917 M, Senori, Tuban, Jawa Timur, Indonesia
Wafat: Hari Sabtu, 11 November 1989 atau 12 Robiul Awal 1410 H, Senori, Tuban, Indonesia
Penerjemah:
Era: awal pesatnya penyebaran Islam di Nusantara
Bidang studi: Sejarah Islam di Nusantara, Indonesia

Daftar Isi

  1. Download Kitab Ahlal Musamaroh
  2. Biografi Pengarang: Kiai Fadhol Senori
  3. Profil Kitab Ahlal Musamaroh
  4. Pengantar
  5. Silsilah Nasab Sayyid Ibrahim Asmara  
  6. Kelana Sayyid Ibrahim Asmara ke Negeri Champa 
  7. Kisah Raja Brawijaya dan Raden Bondan Kejawan (Lembu Peteng)
  8. Kisah Raja Brawijaya dan Putri Martaningrum
  9. Kisah Sayyid Raja Pandito dan Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
  10. Kisah Sayyid Maulana Ishaq
  11. Kisah Sayyid Abdul Qadir (Sunan Gunung Jati) dan Sayyidah Sarah
  12. Kisah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang)
  13. Kisah Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) 
  14. Kisah Raden Paku (Sunan Giri) dan Raden Patah (Sunan Demak)
  15. Kisah Sayyid  Qasim (Sunan Drajat)
  16. Kisah Raden Said (Sunan Muria)
  17. Kisah Sayyid Abdul Jalil (Sunan Siti Jenar)
  18. Kepergian Sayyid Rahmat (Sunan Ampel)
  19. Kemelut Perang antara Majapahit dan Demak
  20. Pasukan Majapahit Terpojok lalu Bangkit
  21. Pasukan Demak Terpojok lalu Bangkit
  22. Kisah Amirul Haj (Sunan Kudus), Kemenangan Demak, dan Kehancuran Majapahit
  23. Penutup
  24. Kitab Sejarah lain:
    1. Terjemah Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam 
    2. Terjemah Al-Bidayah wan Nihayah
    3. Terjemah Zadul Ma'ad Ibnul Qayyim
    4. Terjemah Sejarah Ahlal Musamarah (Sejarah Wali Songo + 1)
    5. Terjemah Nurul Yaqin 1
    6. Terjemah Nurul Yaqin 2
    7. Guruku Orang-orang dari Pesantren
  25. Kitab Sejarah terbaru

BIOGRAFI PENGARANG

Syekh Abu al Fadhol al Senori atau Kiai Fadhol adalah putra dari pasangan ulama KH. Abdus Syakur bersama istrinya Nyai Sumiah yang lahir pada tahun 1917 M. Dilihat dari nasab ayahnya, Kiai Fadhol bukanlah keturunan orang sembarangan. Kakeknya dari jalur ayah, yang bernama Kiai Muhsin adalah ulama dari Karangmangu, Sarang yang merupakan putra dari Mbah Saman bin Yaman, yaitu seorang pejuang dari pasukan Pangeran Diponegoro yang gigih membela negara. Adapun neneknya dari jalur ayah yang bernama Mbah Denok berasal dari keturunan pengusaha Kesultanan Surakarta, yaitu Raden Diloyo.

Mbah Denok merupakan ulama perempuan yang alim dan zuhud. Ia adalah perempuan yang sangat setia dan berbakti kepada suaminya. Berdasarkan cerita dari beberapa sumber, Mbah Denok sangat menginginkan putra yang shalih.  Ketika ia sedang hamil, ia tidak sengaja menumpahkan sebagian beras yang sedang ia cuci. Seketika itu, beras yang tumpah berubah menjadi emas. Kemudian Mbah Denok berkata,

“Ya Allah, saya tidak meminta harta benda, saya minta putra yang alim.”

Dan benar saja. Allah mengabulkan doanya dan menganugerahinya putra putri yang shalih dan shalihah, yaitu Kiai Abdus Syakur, Kiai Chair dan Nyai Sarah yang diperistri oleh Raden Yusuf Mangkudirjo, Putra Bupati Jepara kala itu.

Pada usia yang masih belia, Kiai Abdus Syakur mengikuti pamannya untuk menuntut ilmu ke Haramain selama dua belas tahun lamanya. Di sana, ia berguru kepada berbagai macam ulama terkemuka, di antaranya kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Zaini Dahlan, Syekh Mukri dan juga pengarang kitab I’anah ath-Thalibin, Sayyid Bakri Syatha’. Ia juga bersahabat baik dengan cucu muallif tersebut yang bernama Sayyid Hamzah Syatha’. Selain di Mekkah, Kiai Abdus Syakur juga pernah mengenyam pendidikan agama kepada KH. Ahmad Sholeh Langitan, Kiai Sholeh Darat Semarang dan Syekh Kafrawi Tuban.

Sekembalinya ke tanah air, ia dinikahkan oleh Nyai Sumiah di Sedan Rembang dan menetap di sana. Keduanya dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama Abul Khair dan Abul Fadhol. Selanjutnya, ia mendirikan lembaga pendidikan pesantren dan mengajar santri-santrinya di sana. Di antara santrinya itu, ada yang bernama Kiai Djuned yang akan menjadi besannya kelak.

Kiai Abdus Syakur adalah ulama yang disiplin dan telaten. Dengan kedalaman pengetahuannya, ia sendiri yang mengajarkan ilmu agama  terhadap anak-anaknya terutama Kiai Fadhol. Karena memiiki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, Kiai Fadhol dengan mudah menyerap semua ilmu dari ayahnya. Dalam mengajar, Kiai Abdus Syakur menggunakan metode menghafal dan memaknai kitab, sehingga tidak heran ketika nantinya Kiai Fadhol menjadi salah satu ulama yang produktif dalam mengarang kitab. Maka tidak heran ketika kakaknya sendiri, Kiai Abdul Khair lantas memuji kecerdasan adiknya itu.

“Saya (Kiai Abul Khair) dan Abul Fadhol hanya belajar kepada ayah kami. Akan tetapi, dalam masalah ini, Abul Fadhol kecerdasannya mengungguli saya. Sebab cepatnya menghafal dan menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti sharaf, nahwu, balaghah, manthiq, muqawwalat, ilmu tafsir, ilmu hadis nabawi, arudh dan khafiyah.”

Kecerdasan Kiai Fadhol memang sudah nampak sejak masih kecil. Daya hafalannya sangat kuat. Dengan hanya mendengar penjelasan ayahnya, ia dapat mencerna dan memahami dengan cepat. Maka tidaklah heran, ketika berusia Sembilan tahun, ia sudah sanggup menghafalkan al-Quran 30 juz hanya dalam waktu dua bulan. Kemudian, pada usianya yang kesebelas tahun, ia sudah hafal Alfiyah ibn Malik. Selain itu, ia juga sudah mampu mengarang kitab, khatam kitab Kafrawi dan membaca Fathul Wahab ketika masih muda. Bahkan, saat ia mengkhatamkan kitab Uqudul Juman, tata bahasa Arabnya sudah sangat sempurna. Oleh karena itu, meskipun tidak pernah menuntut ilmu ke Mekkah seperti ayahnya, keunggulan gramatikal bahasa Arab Kiai Fadhol tidak perlu diragukan lagi kefushah-annya. Terbukti ketika banyaknya tamu Kiai Abdus Syakur yang dari negara Arab datang ke rumah, Kiai Fadhol lah yang menjumpai mereka dan berdiskusi dengan mereka.

Selain mahir dalam bahasa Arab, Kiai Fadhol rupanya juga mahir dalam bahasa Belanda. Sejak kecil, ia tak segang untuk bersenda gurau dengan serdadu-serdadu atau siapapun yang berada di markas Belanda tanpa ada rasa khawatir sedikitpun. Tapi dari situlah kemampuan berbahasanya bertambah. Kebiasaan tersebut membuatnya menjadi mahir dalam berbahasa Belanda.

Setelah Kiai Fadhol mendapatkan pemahaman agama yang cukup dari ayahnya, barulah ia diizinkan mengambil sanad keilmuan dari ulama lain seperti kepada Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asyari yang merupakan sahabat ayahnya ketika di Haramain, itupun tidak sampai satu tahun. Melalui sanad keilmuannya dari KH. Hasyim Asyari, Kiai Fadhol mengembangkan Islam yang toleran, bahwa perbedaan hanya terletak dalam soal furu’, sedangkan dalam hal pokok, ushul, antar golongan umat Islam memiliki satu pemahaman. Sehingga, banyak santri KH. Hasyim Asyari yang kemudian melakukan propaganda bersama untuk kepentingan Islam dan sebagai cermin dari pendekatan bersatu yang dilakukan dengan mengemukakan perlunya toleransi. Inilah yang sepertinya menjadi buah pikir penulisan kitab Kawakib al Lama’ah, salah satu karyanya yang membahas eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah.  

 Kiai Fadhol wafat pada Hari Sabtu, 11 November 1989 yang bertepatan dengan tanggal 12 Robiul Awal 1410 H dan dimakamkan di pemakaman umum di Senori Tuban

PROFIL KITAB AHLAL MUSAMAROH

embaca kitab ini kita dihanyutkan dengan perjalanan Sang Wali dari negeri seberang ke Nusantara yang demikian penuh perjuangan.

Berbeda dengan pandangan umum yang lebih menekankan sembilan wali saja, kiai yang dikenal dengan sapaan Mbah Fadhol itu justru menulis kitab wali sepuluh. Ia menambahkan satu wali lagi dalam catatan ilmiahnya ini. Menjadi pertanyaan, siapa wali satu lagi?

Ada banyak nama yang disebut dalam kitab ini selain sembilan anggota Wali Songo, seperti Syekh Asmoroqondi yang disebutnya sebagai Syekh al-Asmar, ayahanda dari Sunan Ampel sendiri yang makamnya terdapat di Tuban, Jawa Timur. Ada pula Raden Fatah yang kelak menjadi Raja Demak, seorang putra dari Raja Brawijaya V dan Siti Mertaningrum, bibi dari Sunan Ampel.

Menurut buku ini, adalah Raden Rahmat, sosok di antara anggota Wali Songo yang kali pertama tiba di Nusantara. Karenanya, ia merupakan sosok yang disepuhkan. Selain karena usianya yang lebih tua, tokoh yang kemudian dikenal Sunan Ampel juga merupakan ayah biologis dan/atau ideologis bagi anggota Wali Songo lainnya.

Sunan Ampel datang dari Negeri Champa, sebuah wilayah yang kini Vietnam bagian selatan. Ibunya merupakan putri Raja Champa, yakni Dewi Candrawulan. Ia datang ke Nusantara atas titah ibunya untuk menemui bibinya.

Selain tentang Wali Songo,  kitab ini dimulai dengan menyebutkan silsilah Nabi Muhammad saw sampai pada Syekh Jumadil Kubro yang diyakini sebagai leluhur Wali Songo. Kemudian dilanjutkan dengan cerita perjalanan Syekh Asmoroqondi ke Champa dan perjalanan Sunan Ampel ke Nusantara.

PENGANTAR

Segala puji bagi Allah aygn menjelaskan kepada kita cara mencarai kebenaran, dan memerintahkan untuk mengigat dan i’tibar, maka allah menceritakan kepada kita kisah-kisah orang baik dan orang jelek, agar kami dapat mengambil contoh terhadap yang sudah terjadi di waktu yang dahulu, dan selawat serta salam untuk junjungan kita Muhammad yang diutus dengan kabar bahagia dan peringata, dan untuk keluarga beliau dan sahabat beliau yang mulia dan pilihan.

Amma ba’du, berkata seorang hamba yang tertipu dengan perkara yang tidak ada faidah, abul fadlol ib abdus syakur assenori sebuah desa di tuban: ketika mengetahi sejarah adalah perkara yang pentign menurut orang yang memiliki mata hati, dan pemilk fikiran dan contoh, jika tidak karena hal itu maka Allah tidak menceritakan kepada kita kisah-kisah umat terdahulu dalam masa yang telah lewat, dan menganjurkan kita untuk berjalan di ujung-ujung bumu untuk melihat peninggalan, maka saya melihat untuk menulis kitab yang ringkas ini, agar menjadi pengigat untuk diriku dan untuk orang yang sepertiku dari anak bangsaku, dan aku beri nama ahlal musamarah fi hikayat auliya asyroh, karena untuk mengikutu ulama’ yang mulia, dan orang utama yang pandai, karena aku melihat mereka menulis sejarah kota-kota mereka, dan apa yang terjadi di penduduknya, dari pendahulunya dan yang sezaman. agar hal tersebut menjadi pengigat bagi orang yang datang sesudahnya. dan Allah yang memberi petunjuk dengan anugra dan kemurahan Allah.

DOWNLOAD KITAB AL-MUSAMARAH

LihatTutupKomentar