Manuskrip Palsu Rumail Abbas

manuskrip yang katanya ditemukan atau dibeli Rumail. Sanad itu menyebut nama Abdullah "bin" Ahmad bin Isa (ayah Alwi) yang katanya mendapat hadits dar

Manuskrip Palsu Rumail Abbas

Judul buku: Manuskrip-Manuskrip Palsu Ba'alwi Versi Rumail Abbas
Penulis: K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Cetakan: ke-1
Jumlah halaman: 24 Ukuran Kertas: B5
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum Banten
Tahun Terbit: 2024 M.
Alamat: Tangerang  Banten Indonesia
Bidang studi: sejarah, Ilmu nasab, genealogi

Daftar isi

  1. Bab II Manuskrip-Manuskrip  Rumail Abbas
    1. Manuskrip Hasan al-Allal (w. 460 H) 
    2. Manuskrip Umar bin Sa'ad al-Din al-Dzifari (w. 667 H)
    3. Manuskrip ljazah Kitab Sunan Turmudzi Tahun 589 H. 
    4. Kitab Tuhfat al-Murid Wa Uns al-Mustafid (w. 630 H)
    5. Manuskrip Abul Qasim al-Naffath (w. 581 H).
    6. Sanad Muhammad Aqilah dan Manuskrip Assegaf 
    7. Manuskrip Kitab Musnad Ubadillah al-Tamimi al-Iraqi (w. 488 H.)
    8. Manuskrip Sanad Abdul Haq al-Isybili Ibnu al-Kharrath 
    9. Manuskrip Sanad Ali al-Syanini
    10. Manuskrip Al-Thurfat al-Gharibat (w. 845 H.)
  2. Bab III Penutup  
  3. Kembali ke: Buku Manuskrip-Manuskrip Palsu Ba'alwi Versi Rumail Abbas

BAB II MANUSKRIP-MANUSKRIP  RUMAIL ABBAS

1. Manuskrip Hasan al-Allal (460 H)

Manuskrip Hasan al-Allal (460 H)
Inilah penampakan manuskrip yang katanya ditemukan atau dibeli Rumail. Sanad itu menyebut nama Abdullah "bin" Ahmad bin Isa (ayah Alwi) yang katanya mendapat hadits dari Al-Husain bin Muhammad bin Ubaid bin al-Askari. Manuskrip  ini  jelas   "manuskrip  lucu-lucuan";  ia  manuskrip  "bodong"  tanpa identitas. Tidak disebutkan diambil dari kitab apa, karya siapa, ditulis tahun berapa, selama ini manuskrip itu ada di mana. Tetapi, nampaknya ia potongan sana-sanad yang terdapat dalam kitab palsu Al-Arba 'un yang  diatribusikan kepada Umar bin Sa'ad al-Din al-Dzifari (w. 667 H.). Nanti di depan akan kita lihat, secara terang Rumail menyebut beberapa sanad yang katanya di ambil dari kitab tersebut.  Kitab tersebut diduga kuat adalah kitab palsu yang ditulis tahun  1960-an Masehi  oleh Salim bin Jindan.

Setelah diteliti rangkaian sanad itu adalah sanad cangkokan  dari sanad asli yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad. Perhatikan sanad asli di bawah ini: 

 Sanad ini sanad asli terdapat dalam kitab yang menjadi rujukan ahli hadits yaitu Tarikh Bagdad  (Juz III h. 18). Lalu perhatikan sanad cangkokan  Gus Rumail di bawah ini:

Dalam sanad asli yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad , Ibnu al-Askari mempunyai murid Ali bin Muhammad bin Hasan al-Maliki; dalam manuskrip Rumail, Ibnu al-Askari mempunyai murid Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad "bin" Isa. Mari kita uji secara Ittisal al-Riwayat (ketersambungan riwayat), yaitu dengan melihat kitab-kitab  Tarikh al-Ruwat (sejarah perawi) yang menyebut seorang tokoh perawi berikut guru dan muridnya. Apakah Ali bin Muhammad bin Hasan al-Maliki dan Abdullah (Ubaidillah) "bin" Ahmad bin Isa terbukti  keduanya  sebagai murid Ibnu al-Askari?

Mari kita lihat kitab Tarikh Bagdad tentang sosok Al-Husan  bin Muhammad bin al-Askari. 

Dalam kitab Tarikh Bagdad karya al-Khatib al-Bagdadi itu,  disebutkan bahwa murid-murib  Ibnul Askari adalah: Abul Qosim al-Azhari, Abu Muhammad al-Jauhari, Al-Hasan bin Muhammad al-Khollal, Ahmad bin Muhammad al-Atiqi, Abul faraj bin Burhan, Al-Qodi Abul Ala al-Wasiti, Abdul Aziz bin Ali al-Azji, Ali bin Muhammad bin al-hasan al-Maliki, Al-Qodi Abu Abdillah al-Baidowi, Ahmad bin Umar al-Nahrawani, dan Abul Qosim al-Tanukhi (lihat kitab Tarikh Bagdad juz delapan halaman 569).

Setelah kita verifikasi maka Ali bin Muhammad bin al-Hasan al-Maliki terbukti sebagai murid Ibnu al-Askari, sedangkan Abdullah tidak terbukti. Maka rangkaian sanad Rumail itu terbukti sanad cangkokan atau sanad palsu.

Jelas    sekali    rangkaian    sanad   itu    sengaja    diciptakan    bukan    untuk kepentingan  periwayatan  sebuah hadits,  tetapi lebih untuk kepentingan  disebutnya nama  Abdullah,  untuk  dijadikan  bukti  palsu   bahwa   sosoknya  betul-betul   ada, bahkan meriwayatkan  sebuah hadits . Sayangnya creator sanad itu lupa, bahwa Ilmu Hadits  lebih  ketat  dari  ilmu  nasab,  nama-nama  perawi  sudah  terkodifikasi  rapih ditulis    dalam        kitab-kitab    Tarikh    Ruwat    (Sejarah        Para    Perawi).    Untuk mengkonfirmasi  seorang  perawi,  apakah  ia  merupakan  sosok historis  atau  bukan (jangan-jangan ia sekedar nama yang sengaja disematkan tanpa ada sosoknya) bisa dilihat dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat yang sudah ditulis sejak abad ke tiga Hijriah.

Perhatikan wafat Abdullah, ia disebut wafat tahun 383 Hijriah, jika ia benar-benar seorang perawi, maka namanya akan dikenal oleh para ahli ilmu di masanya, tempatnya akan banyak didatangi para pencari hadits  dari  berbagai penjuru dunia, dengan itu seharusnya namanya telah dicatat oleh kitab yang mencatat para perawi yang semasa dengannya atau  yang mendekatinya,  semacam Ibnu Syahin yang wafat tahun 385 Hijriah,  dua tahun setelah wafatnya Abdullah, atau kitab Al-Dzahabi yang wafat tahun 748 Hijriah. Dan tentu namanya pula akan dicatat oleh kitab nasab pada masanya seperti Al-Ubaidili (w. 437 H.), tapi, nama Abdullah ini tidak dicatat dimanapun: tidak di kitab nasab, tidak pula di kitab para perawi.

2. Manuskrip Umar bin Sa'ad al-Din al-Dzifari

Umar ibn Sa'd Al-Din Al-Dzafari (w. 667 H.), hidup di tahun 500-an, anak dari Sa'd Al-Din Al-Dzafari yang populer dengan gelar Taj Al-Arifin, kata Rumail, ia memproduksi  dan menyalin  kitab berjudul: Al-Arba'un,  Al-Musnad  li Al-Imam M uhammad ibn Ali Al-Faqih Al-Alawi. Umar ibn Sa'd Al- Din Al-Dzafari, kata Rumail lagi, mengompilasi 40 hadis yang  ia  dapatkan  dari Muhammad  ibn  Ali Faqih Muqoddam (w. 653 H.), dan beberapa sanad menyebut nama "Shohib Mirbath".

Di bawah ini salah satu manuskrip Rumail yang ditayangkan  dalam presentasi diskusi di Rabitah Alwiyah Jakarta (7/9/2024), naskah itu memuat sanad hadits Umar ibn Sa'd al-din al-Dzifari yang, menurut Rumail, ia dapatkan dari Muhammad Faqih Muqoddam, dan Faqih Muqoddam mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid. 

Dalam manuskrip itu disebut bahwa  Umar  bin  Sa'd mendapatkan  hadits dari Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam, dan Faqih Muqoddam mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid. Sanad ini jelas sanad palsu, karena Abul Hasan Ali bin Jadid tidak mempunyai murid bernama Muhammad bin  Ali Faqih Muqoddam. Dalam kitab Al-Suluk Ji Thabaqat al-Ulama Wa al-M uluk , Al­ janadi (w.732 H.) menyebut nama murid-murid Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid, tetapi tidak ada yang bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam. Adapun nama-nama  murid  Ali  bin  Jadid  yang  disebut  Al-Suluk   adalah:  Muhammad  bin Muhammad bin Ibrahim al-Fasyali, Umar bin Ali Sahibu Baiti Husain. (Al-Suluk, juz 2, h. 136). Dalam kitab Banu al-Mu 'allim al-jaba 'iyyun wa Banu al­ Jadid al-Alawiyyun, Abu Umar menyebutkan sembilan nama dari murid Ali bin Jadid, namun tidak juga disebutkan  ia  mempunyai  murid  yang  bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam (lihat h. 6). Jelas sekali manuskrip yang memuat sanad-sanad Faqih Muqoddam di atas adalah sanad palsu.

Rumail  menyebutkan   bahwa  tahun  penulisan   manuskrip  itu  tahun  667 Hijriyah.  Dilihat dari bentuk manuskripnya,  ia sangat tidak meyakinkan. Tinta biru seperti itu tidak lazim digunakan pada abad ke-7 Hijriah; kertas yang bergaris-garis semacam itu diproduksi sekitar tahun  1960 M. Selain dilihat dari isinya, dilihat dari media  yang  digunakan  pun,  manuskrip  ini jelas  manuskrip  palsu.  Bentuk  tulisan manuskrip ini sangat identic dengan manuskrip kitab hadits tulisan Salim bin Jindan (w. 1969 H.).   Perhatikan  potongan  manuskrip  yang terdapat  dalam media  online "Jaringan    Santri"    (https://jaringansantri.com/manuskrip-ilmu-hadis-habib-salim­  bin- jindan/ ) yang  memuat  sebuah  manuskrip  kitab hadits karya  Salim bin Jindan yang diberi judul   Riwayah bi al-Fi 'li  di bawah ini:



Dilihat dari bentuk tulisan dan jenis kertas yang bergaris-garis yang biasa digunakan oleh Salim bin Jindan, antara naskah Rumail  dan  naskah  Salim  bin Jindan identic. Naskah Rumail itu 99% adalah tulisan tangan Salim bin Jindan yang wafat di Jakarta tahun 1969 M.

Lalu bagaimana pendapat ulama Yaman tentang Salim bin Jindan? Doktor Muhammad Badzib dalam Akun Media Sosial Saluran Telegram nya yang diposkan tanggal  16 Mei 2024 menyebutkan  bahwa kitab-kitab  Syekh Salim bin Jindan  "la y uhtajju biha wala yu 'tamadu alaiha " (tidak dapat dijadikan  dalil dan tidak dapat dijadikan  pegangan).  Doktor  Badzib mengutip pendapat  Abdullah  Alhabsyi  dalam
kitabnya  "Mashadir al .fikri al Islami fl al Yaman " bahwa kitab-kitab Salim bin
Jindan adalah kitab yang diambil dari "ruang hampa".

Abdullah Muhammad Al-Habsyi menyebut bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan tidak baerfaidah dan dalam kitab-kitab  itu  ada  "Mujazafah " (ucapan kacau dan tanpa referensi); didalamnya pula ada "al-khaltu " (ucapan rusak  dan igauan orang yang tidak sadar) (h. 558).

Selain Abdullah Al-Habsyi, menurut Badzib, Sagaf Ali al-Kaf pun berpendapat yang sama, bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin  Jindan  dalam  ilmu nasab penuh dengan "akadzibu la yu 'tamadu alaiha " (kedustaan dan tidak dapat dijadikan pegangan) .

Selain kedua ulama itu, masih banyak ulama lain yang menilai kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan dalam nasab sebagai kitab-kitab yang tidak bermutu . Badzib menyebut juga seorang ulama yang bernama Masyhur bin Hafidz yang menyatakan bahwa Syekh Salim bin Jindan adalah  seorang "hatibu lailin " (orang yang berbicara dengan semua yang terlintas dalam benaknya) . Dan seorang peneliti bernama Ziyad al-Taklah dan Doktor Sa'id Tulah keduanya mempunyai tulisan tentang Salim bin Jindan dan  khyalan-khayalannya  dalam  menciptakan  sanad­ sanad hadis yang tidak berdasar.

Menurut Badzib, seorang professor dan pengacara, Fu 'ad Tarabulsi, menceritakan kepadanya, bahwa nama-nama yang disebut oleh Ibnu jindan dalam kitabnya-kitabnya banyak  nama-nama  fiktif  "la  wujuda  laha"  (tidak  ada wujudnya) . Badzib menyebutkan contoh: Syekh Salim bin Jindan menyebut bahwa sebagian dari guru-gurunya adalah seseorang yang disebut sebagai anak Al-Allamah Jamaluddin al-Qasimi al-Dimisyqi. Orang ini sama  sekali  tidak  pernah  ada  yang tahu sebagai bagian dari keluarga Al-Qasimi. Keluarga Al Qasimi sendiri tidak mengenalnya.

Syekh Salim bin Jindan pula, menurut Badzib, memperlihatkan adanya kitab-kitab musnad keluarga Ba'alwi dan mengatakan bahwa kitab musnad itu manuskripnya terdapat di perpustakaan "Arif Hikmat ". Kitab-kitab musnad itu, menurut Ba'dzib adalah kitab musnad palsu dan tanpa dasar. Di perpustakaan "Arif Hikmat" yang ia sebutkan itupun tidak ada. Bahkan , di seluruh perpustakaan yang ada di atas muka bumi ini pun tidak ada, kecuali di rumah Salim bin Jindan, Kata Badzib. Sepertinya, yang dimaksud oleh Badzib itu adalah kitab M usnad Faqih Muqoddam yang katanya ditulis Umar bin Sa'd al-Dzifari tersebut, yang manuskripnya ditampilkan Rumail Abbas di Rabitah Alwiyah itu.

Yang dilakukan Syekh Salim bin Jindan Itu, menurut Badzib,  dijelaskan oleh teks langka yang terdapat dalam surat pribadi Alwi bin  Taber  al-Haddad kepada muridnya Profesor Ali Ba'bud yang menyatakan, bahwa Ibnu Jindan mengidap penyakit Malecholia: ia membayangkan hal-hal yang tidak ada, lalu menduga keberadaannya, kemudian menulis imajinasi itu. Masyarakat yang tidak mengetahui kondisi kesehatannya menerimanya begitu saja sebagai informasi yang dapat dipercaya.

Sayangnya, menurut Badzib, orang-orang yang mengutipnya tidak berusaha untuk mengkonfirmasi dari mana sumber-sumber Syekh Salim bin Jindan ketika menulis kitabnya itu. Jika mereka melihat lebih dekat, mereka akan  menemukan bahwa dia mengutip dari dokumen-dokumen palsu yang barn ditulis, yang ditulis orang-orang  fiktif.

Dalam akun Telegramnya itu pula, Badzib memperlihatkan tulisan Aiman Al Habsyi tentang Salim Bin Jindan dengan judul: Attahdir Min Ansab Ibni Jindan (peringatan tenang nasab-nasab Ibni Jindan). Dalam tulisannya itu, Aiman diantaranya  menyatakan  bahwa  ia bertanya kepada  pamannya,  Abu  Bakar bin Ali al-Masyhur, tentang kitab-kitab Ibnu Jindan, lalu pamannya menyatakan bahwa ia bertanya kepada Abdul Qadir Ahmad al-Saqaf, maka ia berkata: "Salim bin Jindan orang baik, tetapi pendapatn ya dalam nasab dan sejarah tidak boleh menjadi pegangan ".

Aiman al-Habsyi pada mulanya hendak men-tahqiq kitab karya  Syekh Salim bin Jindan yang berjudul "Al-Du r al-Yaqut ", ketika melihat di dalamnya penuh dengan "musibah besar", maka ia mengurungkan niyatnya. Bahkan , menurut Aiman , dalam kitabnya tersebut nasab-nasab Ba'alwi pun banyak "musibah besar".

Berikut ini screenshot dari pernyataan Badzib :


Di bawah ini contoh lain dari manuskrip palsu Rumail Abbas yang tampaknya juga berasal dari Salim bin Jindan.

Di bawah ini contoh rangkaian sanad palsu yang  pernah  Rumail  angkat tanpa menyebut dari sumber mana. Nampaknya ia juga berasal dari kitab Al­ Arba'un tulisan Salim bin Jindan yang kemudian diatribusikan  sebagai karya Umar bin  Sa'ad: 


3. Manuskrip ljazah Kitab Sunan Turmudzi Tahun 589 H.

Rumail menampilkan sebuah manuskrip ijazah kitab Sunan Turmudzi, mungkin maksud Rumail dengan  adanya  bukti  manuskrip  tersebut,  tokoh-tokoh Ba' alwi sudah terbukti sebagai sosok historis karena telah tereportase  secara ontologis eksistensinya pada abad ke-6 Hijriah. Pernyataan ini mengada-ada, karena tidak ada hubungannya antara keluarga Jadid dan keluarga Abdurrahman Assegaf (kemudian  mengatribusikan  diri menjadi  Ba'alwi).  Keduanya  adalah  dua keluarga yang berbeda. Pengakuan bahwa Jadid adalah kakak dari Alwi bin Ubaid itu baru ada sejak abad sembilan, sebelumnya nihil. Tidak ada satu kitab pun di masa  di mana Jadid itu diasumsikan hidup yang menyatakan ia bersaudara dengan Alwi.

Syarif Abul Hasan Ali, yang merupakan keturunan dari Jadid yang  wafat tahun 620 Hijriah, tereportase oleh kitab Al-Suluk sebagai ulama hadits. Ia mempunyai istri anak dari Syekh Mudafi'. Berbagai macam kota  tempat perpindahan Ali diceritakan oleh Al-Suluk , tetapi tidak pernah ia disebut pernah datang ke Tarim. Seperti juga ia tidak disebutkan dilahirkan di Tarim atau mempunyai adik bernama Alwi di sana. Rumail tidak bisa berhujjah dengan kesejarahan Abul Hasan Ali untuk kesejarahan keluarga Abdurrahman Assegaf karena keduanya tidak ada kaitan apapun.

Walau demikian ada baiknya kita telaah manuskrip  yang  memuat  ijazah kitab Sunan Turmudzi dari keluarga Jadid ini:

Menurut Abu Umar Mazin bin 'Amir al-Ma'syani  al-Dzifari  al-'Ummani yang merestorasi manuskrip ini pada 2 Dzulqo' dah 1444 H., manuskrip ini adalah manuskrip Jami ' Imam turmudzi yang terdapat di "Maktabah Ra'is  al-Kitab"  di Turki nomor 154. Penyalinnya memulai dari bab La yaqbalullah Sholatan Bighairi Thuhurin" dari bab Thaharah sampai akhir kitab Al-Thibb dalam 15 juz,  ditulis tahun 589 H. oleh penyalin Qasim bin Ahmad bin Abdullah al-Mu 'allim al-Juba'I. kemudian ada catatan tambahan ijazah dari Abu Muhammad Hasan bin Rasyid bin Salim bin Rasyid bin Hasan al-Hadrami al-Sakuni al-Umani (w.638  H.) kepada Syarif Muhammad bin Ali bin  Muhammad  bin  Ahmad  bin  Jadid  (anak Abul Hasan Ali bin Jadid [w. 620 H.] dengan tulisan yang lemah hampir tidak terbaca (h.3). Tulisan tambahan itu tanpa titimangsa kemungkinan besar  ditulis  setelah tahun 620 H.  setelah direstorasi kemudian dapat dibaca seperti berikut:

Manuskrip itu ditulis oleh Qosim bin Ahmad  bin  Abdullah  dengan titimangsa 589 H. jadi titimangsa itu bukan titimangsa 'catatan tambahan ' berupa ijazah yang menyebut nama Muhammad bin Ali. Angka tahun itu merupakan angka tahun selesainya penulisan naskah , bukan  pengijajahan  kitab  kepada  Muhammad bin Ali. Lihat perbedaan cara penulisan antara isi kitab dan ijazah tersebut.

Perlu diperhatikan pula, antara waktu selesainya penulisan dengan waktu pengkajian bisa saja berbeda. Namun jika kita  merujuk pada Al-Janadi,  di mana ayah Muhammad, yaitu Ali wafat pada tahun 620 H (abad ke tujuh), dalam Syamsu al-Dzahirah tahun 630 H, maka dengan metode Ibnu Khaldun,  di mana  dalam setiap satu abad terdapat tiga generasi, maka dapat diperkirakan  wafatnya Muhammad bin Ali adalah pada tahun 653 H, dari situ kita bisa perkirakan juga Muhammad ini mendapat ijazah kitab Sunan Tirmidzi antara rentang tahun 620-653 H. Bila dibagi dua   diperkirakan  mendapat ijazah pada tahun 636 H, tentu ini lebih muda dari Al-Syajarah al-M ubarokah  yang ditulis tahun 597  H.

Catatan tambahan ' tersebut bisa menjadi dalil untuk keluarga Jadid, bahwa mereka dalam tahun 636 H itu adalah tokoh historis, dari mulai nama Muhammad (w. 653 H) dan ayahnya, yaitu Ali (w. 620 H), namun tidak bisa menjadi dalil nasab mereka terhadap Abdullah, karena yang disebutkan hanya 5 generasi. Mujiz (pemberi ijazah) itu hanya menyambungkan sampai ke Jadid Tsani, butuh 4 generasi lagi untuk sampai ke Abdullah seperti yang disebut oleh Al-Janadi . Setelah itu , perlu pula sumber yang menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad. Sementara ini, Al-Janadi (732 H) -lah orang yang pertama menyambungkan nasab Bani Jadid kepada Ahmad bin Isa yang bertentangan dengan kitab yang lebih tua yaitu Al-Syajarah al-M ubarokah (597 H). diperlukan pula sumber yang menyebut bahwa Jadid betul-betul saudara dari Alwi bin Ubaid.

Catatan tambahan ' tersebut, ketika begitu lemah menjadi saksi nasab Jadid kepada Ahmad bin Isa, tentu akan lebih lemah lagi menjadi saksi untuk keluarga Abdurrahman Assegaf atau Ba Alawi Ubaidillah.

4. Kitab Tuhfat al-Murid Wa Uns al-Mustafid

Kata Rumail, Muhammad ibn Ali Bathahan (w. 630 H.) memproduksi kitab berjudul Tuhfat Al-M urid wa Uns Al-Mustafid fi Manaqib Al-Syaikh Sa'd Al-Din ibn Ali Al-Dzafari. Kata Rumail lagi, Kitab ini  mengonfirmasi  jaringan  intelektual antara Sa'd Al-Din Al-Dzafari dengan Muhammad ibn  Ali Al-Alawi  yang kelak, pada deklarasi anaknya (Umar Al-'Abid ibn Sa'd Al-Din Al-Dzafari) , ditulis sebagai "Al-Faqih Al- Muqoddam" .

Mungkin maksud Rumail dengan kalimat ')aringan intelektual " itu,  di  dalam kitab itu disebutkan bahwa Faqih Muqoddam menulis surat kepada Syaikh Sa'd al­ Din al-dzifari dan kemudian ia membalasnya, sebagaimana informasi yang disebut literasi Ba'alwi. Pertanyaannya: benarkah Bathahan menulis  kitab  tersebut?  Di mana kitabnya? Jika ada benarkah di dalamnya ada surat menyurat antara  Faqih Muqoddam dan Syaikh Sa'd? berita tentang kitab itu hanya berasal dari pengakuan penulis-penulis Ba'alwi seperti dalam kitab Al-Burqat al-M usy iqat (h.99).

Salih al-Hamid Ba'alwi (w.1386 H.) mengaku pernah melihat manuskrip kitab itu (lihat Tarikh Hadrmaut juz II h. 824). Menurut DR. Muhammad Yaslam Abd al­ Nur , Salih al-Hamid mengaku pernah melihatnya di Perpustakaan Husen bin Abdurrahman Bin Sahl, kemudian di bawa ke  Perpustakaan  Al-Ahqaf  Tarim, ditulis tahun 978 H. oleh Umar bin Ibrahim  Al-Hubani. Benarkah berita itu? DR. Muhamad Yaslam mengatakan, sekarang kitab itu sudah hilang (lihat Footnote Tarikh wa al-Muarrikhun al-Hadlarimah h.50).

Semua manuskrip penting eksternal yang sezaman yang diklaim menyebut keluarga Ba'alwi setelah dikutip kemudian dinyatakan hilang. Bagi seorang peneliti ini adalah suatu pola yang mencurigakan. Dan bagi penulis, kitab itu kemungkinan besar, jika pun pernah ada, tidak pernah menyebut Faqih Muqaddam, itulah alasan kenapa manuskrip kitab itu harus "dilenyapkan ".

5. Manuskrip Abul Qasim al-Naffath

Kata Rumail, Abu Al-Qasim An-Naffath (w. 581 H.) memproduksi kitab yang mengompilasi 40 macam hadis dalam musnad yang ia beri judul:  Al-Arba'un . Dalam beberapa  riwayat,  keduanya  melewati  Imam  Ahmad  Al-Muhajir  yang disebut sebagai Nazi! Al-Yaman (pendatang Yaman yang menetap) dan gelar Al­ Abah."

Benarkah  klaim  Rumail  itu? perhatikan  manu skrip Rumail yang telah  penulis tampilakan  sebelumnya:


  
Ini adalah rangkaian sanad yang diduga kuat ditulis oleh Salim bin Jindan. Di dalamnya disebut pula bahwa Ahmad al-Abah adalah "Nazil al Yaman " (yang datang menetap di Yaman). Agaknya , klaim Rumail  tentang  ditemukannya manuskrip Abul Qasim al-Naffat juga berasal dari tulisan Salim bin Jindan. Dan sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ulama-ulama Yaman menganggap apa  yang ditulis oleh  Salim  bin  Jindan  tentang  nasab  dan  sanad   "La yuhtajju  biha wa  la yu 'tamadu alaiha " (tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan pegangan).

6. Sanad Muhammad Aqilah dan Manuskrip Assegaf
Kata Rumail, dalam kitab Al-Silk al- Durar fl A 'yan al-Qarn al-Tsani Asyar karya Muhammad Khalil al-Muradi bin  Ali al-Muradi (w.1206  H.)  juz  ke-4 halaman 30, terdapat biografi seorang ulama bernama  Muhammad Aqilah (w.1150 H.). dalam kitab tersebut disebutkan bahwa ia mendapatkan talqin dzikir dari Abdullah bin Ali Bahusain al-Saqqaf. Selain talqin dzikir, Abdullah al-Saqqaf juga mengijazahkan kitab karya Ali bin Abdullah al-Idrus yang tinggal di Surat India.

Kata Rumail, karena Muhammad Aqilah ini orang yang tsiqah (bisa dipercaya), maka gurunya juga yaitu Abdullah bin Ali Bahusain adalah orang  tsiqah,  oleh karena itu ketika dalam kitab yang lain, Abdullah bin Ali al-Saqqaf ini menulis sebuah riwayat maka riwayatnya  terhitung  tsiqah. Contohnya, ketika Abdullah  bin Ali dalam sebuah sanad hadits musalsal menyebut bahwa ia menerima hadits dari ayahnya Ali, dari Ayahnya  Abdullah, dari ayahnya Ahmad, dari  ayahnya  Ali  al Naqi, terus sampai Faqih Muqoddam, maka ini membuktikan sisi  faktual  dan historis dari Faqih Muqoddam.

Bagi Rumail, disebutnya nama Faqih Muqodaam di tahun 1150 Hijriyah setelah 500 tahun dari kematiannya dalam rangkaian sebuah sanad, dapat diterima dan menunjukan ia sosok historis walau tanpa menggunakan metodologi kritik hadits. Rumail belum memahami bagaimana metode para ahli hadits dalam meneliti sebuah rangkaian sanad untuk menentukan apakah sebuah sanad itu muttasil atau tidak; ada individu perawi yang pendusta, fasik, fiktif, atau tidak.

Berikut ini manuskrip hadist musalsal yang ditampilkan Rumail yang di dalamnya menyebut nama Faqih Muqoddam: 

Pertanyaan yang menggelitik penulis adalah: Rumail belajar Ilmu Hadits  dari mana, sehingga ia menyatakan jika muridnya tsiqah maka gurunya juga harus dihukumi tsiqah? Ini does not make sense (tidak masuk akal). Dalam Ilmu Hadits ada yang disebut Ilmu Al-Jarh wa al-Ta 'dil, yaitu ilmu yang mempelajari tentang apakah para perawi ini laik dipercaya atau tidak. Setiap perawi dari sebuah sanad itu diteliti satu persatu dari mulai awal sampai akhir. Jika ada salah seorang diantara mereka yang terbukti dalam sejarah sebagai pendusta maka hadits itu menjadi dla 'if bahkan divonis maudlu (palsu). Ketika Muhammad Aqilah divonis tsiqah (terpercaya), maka tidak serta merta gurunya yang bernama Abdullah bin Ali al­ Saqqaf langsung dinyatakan tsiqah, ia  perlu  penelitian  tersendiri  begitu  pula susunan perawi selanjutnya.

Ketika diadakan penelitian sanad dari mulai  Abdullah bin Ali al-Saqqaf, kita mengetahui bahwa susunan sanad itu sama dengan susunan nasab mereka. Seperti pernah  penulis  nyatakan  dalam kitab I'anat  al-Akhyar,  bahwa  riwayat  dari ulama Ba'alwi terkait nasab dan sejarah mereka kedudukannya "muttaham bi al-kadzib" (patut diduga berdusta), tidak dapat dipercaya, karena  kontradiksi  dengan  kitab­ kitab sejarah dan kitab-kitab nasab yang muktabar. Maka susunan sanad Abdullah bin Ali al-Saqqaf sampai Faqih Muqoddam, berdasarkan susunan nasab mereka itu pun tidak dapat dipercaya.

Rumail menyebut nama Muhammad Aqilah itu hanya sebagai tangga untuk menyebut nama Abdullah bin Ali al-Saqqaf. Sebenarnya Muhammad Aqilah tidak menyebut nama Faqih Muqoddam, yang menyebut  Faqih  Muqoddam  adalah Abdullah bin Ali al-Saqqaf. Nama Muhammad Aqilah sebagai ulama yang terkenal disebut Rumail, agar nama Abdullah bin Ali al-Saqqaf itu ikut terangkat.

7. Manuskrip Kitab Musnad Ubadillah al-Tamimi al-Iraqi

Kata Rumail, Ubaidillah ibn Thahir Al-Tamimi (w. 488 H.) memproduksi kitab yang mengompilasi puluhan hadis dengan judul Musnad Ubaidillah Al-Tamimi Al­ Iraqi. Kata Rumail lagi, di dalamnya terdapat sanad Hasan  ibn  Muhammad  Al­ Allal. Hasan ibn Muhammad Al-Allal (w. <490 H.) memproduksi kitab musnad berjudul Al-Arba'in yang berisi 40 macam hadis dari beragam isnad, dan di antaranya disebutkan kekerabatan musnid dengan kabilah Baalawi sebagai 'amm (paman), ibn 'amm  (sepupu), dan setamsilnya.

Pernyataan Rumail ini pun sama dengan sebelumnya, ingin mengaitkan sebuah nama terkenal dengan keluarga Ba'alwi. Ubaidillah al-Tamimi sama  sekali tidak menyebut nama-nama keluarga Ba'alwi, yang ia  sebut  adalah  Hasan  bin Muhammad al-Allal, cucu asli Ahmad bin Isa. kemudian dibuatlah cerita bahwa Hasan al-Allal ini menyebut nama-nama Ba'alwi sebagai paman, sepupu atau semacamnya, agar nampak benar ada kekerabatan antara Hasan al-Allal dengan keluarga Ba'alwi. Pertanyaannya: mana manuskrip kitab  Hasan  al-Allal  itu? benarkah ia ditulis oleh Hasan al-Allal? Atau ia hanya manuskrip palsu yang dibuat hari ini lalu diatribusikan sebagai karya Hasan al-Allal? Jawabannya: ia adalah rangkaian sanad yang diduga kuat ditulis oleh Salim bin Jindan bukan Hasan al­ Allal.

8. Manuskrip Sanad Abdul Haq al-Isybili Ibnu al-Kharrath

Dalam komunitas youtube-nya Rumail memuat beberapa sanad hadits yang menyebut nama Ubaidillah yang katanya  mendapat hadits dari bapaknya Ahmad al­ Abah. Rangkaian sanad itu sebagai berikut:


 
Rangkaian sanad ini ditampilkan Rumail hanya sepotong tanpa menyebut dari kitab apa ia mendapatkannya. Sepertinya, Rumail kali ini tidak ingin seperti sebelumnya, di mana rangkaian sanadnya dapat dilacak melalui nama-nama perawi popular. Perawi-perawi dalam sanad ini tidak ada yang dikenal dan tidak disambungkan sampai sahabat Nabi, ia berhenti kepada Ubaidillah bin Ahmad bin Muhammad al-Azraq. Jelas sanad ini sanad ')adi-jadian " yang tidak valid. Jika disambungkan sampai sahabat Nabi, ia dapat terdeteksi ketersambungan atau tidaknya, karena nama para perawi hadits sejak zaman sahabat sudah terkodifikasi dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat.

Nampaknya, ia rangkaian sanad yang didapatkan dari sumber yang sama dengan sanad palsu sebelumnya, yaitu dari tulisan Salim bin Jindan.  Dalam rangkaian sanad itu ada kalimat yang nampak memaksakan yaitu disebutnya nama Ubaidillah sebagai paman dari Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Isa al-Abah. Sebagaimana diketahui bahwa nama Ali terkonfirmasi dalam kitab Al-Syajarah al­ M ubarakah sebagai anak Ahmad bin Isa, nampaknya creator sanad itu ingin nama Ubaidillah numpang tenar kepada Muhammad bin Ali.

9. Manuskrip Sanad Ali al-Syanini

Dalam sanad ini terdapat nama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam yang katanya mendapat hadits dari Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid. Jelas sanad ini palsu karena Ali bin Jadid dicatat para ulama tidak mempunyai murid bernama Faqih Muqoddam. Selain ia rangkaian sanad bodong yang tidak disebutkan dari manuskrip kitab apa, dari sisi ilmu riwayat sudah terbukti ia  palsu.  Nampaknya seperti yang lain ia diambil dari tulisan Salim bin Jindan.

10. Manuskrip Al-Thurfat al-Gharibat

Rumail menampilkan sebuah manuskrip karya Abul Abbas Taqiyyuddin Ahmad bin Ali Al-Maqrizi (w.845 H.) berjudul Al-Thurfat al-Gharibat Fi Akhbar Wadi Hadramaut al-Ajibat. Menurut Rumail, naskah ini sebagai bukti bahwa nama keluarga Ba'alwi dikenal oleh ulama ekstemal pada pertengahan abad ke-9  H. sebagai keturunan Nabi.

Sayang Rumail tidak teliti, justru naskah ini malah memperkuat bahwa bahwa keluarga Ba'alwi pada sekitar tahun 845 H. itu masih dikenal sebagai "Arab Hadramaut" bukan sebagai  sadat. Perhatikan salah satau ibarat dalam naskah ini: 

"Telah menceritakan kepadaku Al-Faqir al-Mu 'taqid Ibrahim bin  Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Alawi dari kabilah yang disebut Aba  Alwi  dari Arab Hadramaut . . ."

Al-Maqrizi sebagai seorang sejarawan, ketika mendapat pengakuan dari Ibrahim bin Abdurrahman Assegaf  bahwa ia adalah dari keluarga Aba Alwi, langsung mengetahui bahwa keluarga ini adalah keluarga Arab Hadramaut, karena memang sejak abad ke-4 Hijriah telah dicatat dalam kitab-kitab sejarah nama Bani Alwi sebagai keturunan Qahtan. Yang demikian itu sebagaimana di tulis oleh Al­ Hamadani (w.344 H.) dalam kitabnya Al-Iklil Ji Akhbaril Yaman wa Ansabi Himyar (kitab Al-Iklil  memuat kisah-kisah Negara Yaman dan nasab Himyar) (h.36).

Penulis telah jelaskan dalam beberapa tulisan bahwa pengakuan keluarga Abdurrahman Assegaf sebagaia bagian Aba Alwi pun barn pada abad ke-9 H. Jelas sekali, keluarga Abdurrahman Assegaf bukanlah keluarga Aba  Alwi  yang  ditulis oleh kitab Al-Suluk (732 H.) ketika menjelaskan silsilah seorang ulama bernama Syarif Abul Hasan Ali bin Jadid. Pada abad ke-9 Hijriah keluarga Abdurrahman Assegaf mengokulasi diri ke dalam bagian keluarga Aba Alwi. hal demikian diperkuat oleh hasil tes Y DNA keturunan Abdurrahman Assegaf hari ini  yang dikenal dengan nama keluarga Ba'alwi bahwa haplogroup mereka adalah "G" yang menunjukan mereka bukan berasal dari Arab. Orang-orang Arab hari ini hasil tes Y DNA mereka terkonfirmasi berhaplogroup J. 



BAB III PENUTUP
Demikianlah manuskrip-manuskrip yang diklaim oleh Rumail sebagai jawaban atas tesis penulis  bahwa  nama-nama  keluarga  Ba'alwi  tidak  tercatat sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari mulai abad ke-4 Hijriyah sampai ke-9 Hijriah, baik dalam kitab nasab maupun sejarah. Sayang apa yang Rumail dapatkan ternyata hanya rangkaian sanad yang terbukti palsu, baik dari sisi isi maupun media. Menurut penulis, melihat algoritma historiografi  yang  tersebar  di abad ke-8 dan ke-9 Hijriah, baik di Yaman maupun wilayah lain  yang  terkait dengan Ahmad bin Isa, maka akan sangat sulit menemukan bukti-bukti keterkaitan keluarga Ba'alwi sebagai keturunan Nabi dari jalur Ahmad bin Isa. Kenapa? Karena memang keluarga Ba'alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad  SAW.

LihatTutupKomentar