Manuskrip Palsu Rumail Abbas
Judul buku: Manuskrip-Manuskrip Palsu Ba'alwi Versi Rumail Abbas
Penulis: K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Cetakan: ke-1
Jumlah halaman: 24 Ukuran Kertas: B5
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum Banten
Tahun Terbit: 2024 M.
Alamat: Tangerang Banten Indonesia
Bidang studi: sejarah, Ilmu nasab, genealogi
Daftar isi
- Bab II Manuskrip-Manuskrip Rumail Abbas
- Manuskrip Hasan al-Allal (w. 460 H)
- Manuskrip Umar bin Sa'ad al-Din al-Dzifari (w. 667 H)
- Manuskrip ljazah Kitab Sunan Turmudzi Tahun 589 H.
- Kitab Tuhfat al-Murid Wa Uns al-Mustafid (w. 630 H)
- Manuskrip Abul Qasim al-Naffath (w. 581 H).
- Sanad Muhammad Aqilah dan Manuskrip Assegaf
- Manuskrip Kitab Musnad Ubadillah al-Tamimi al-Iraqi (w. 488 H.)
- Manuskrip Sanad Abdul Haq al-Isybili Ibnu al-Kharrath
- Manuskrip Sanad Ali al-Syanini
-
Manuskrip Al-Thurfat al-Gharibat (w. 845 H.)
- Bab III Penutup
-
Kembali ke:
Buku Manuskrip-Manuskrip Palsu Ba'alwi Versi Rumail Abbas
BAB II MANUSKRIP-MANUSKRIP RUMAIL ABBAS
1. Manuskrip Hasan al-Allal (460 H)
Setelah diteliti rangkaian sanad itu adalah sanad cangkokan dari sanad asli yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad. Perhatikan sanad asli di bawah ini: Sanad ini sanad asli terdapat dalam kitab yang menjadi rujukan ahli hadits yaitu Tarikh Bagdad (Juz III h. 18). Lalu perhatikan sanad cangkokan Gus Rumail di bawah ini: Dalam sanad asli yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad , Ibnu al-Askari mempunyai murid Ali bin Muhammad bin Hasan al-Maliki; dalam manuskrip Rumail, Ibnu al-Askari mempunyai murid Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad "bin" Isa. Mari kita uji secara Ittisal al-Riwayat (ketersambungan riwayat), yaitu dengan melihat kitab-kitab Tarikh al-Ruwat (sejarah perawi) yang menyebut seorang tokoh perawi berikut guru dan muridnya. Apakah Ali bin Muhammad bin Hasan al-Maliki dan Abdullah (Ubaidillah) "bin" Ahmad bin Isa terbukti keduanya sebagai murid Ibnu al-Askari?
Mari kita lihat kitab Tarikh Bagdad tentang sosok Al-Husan bin Muhammad bin al-Askari. Dalam kitab Tarikh Bagdad karya al-Khatib al-Bagdadi itu, disebutkan bahwa murid-murib Ibnul Askari adalah: Abul Qosim al-Azhari, Abu Muhammad al-Jauhari, Al-Hasan bin Muhammad al-Khollal, Ahmad bin Muhammad al-Atiqi, Abul faraj bin Burhan, Al-Qodi Abul Ala al-Wasiti, Abdul Aziz bin Ali al-Azji, Ali bin Muhammad bin al-hasan al-Maliki, Al-Qodi Abu Abdillah al-Baidowi, Ahmad bin Umar al-Nahrawani, dan Abul Qosim al-Tanukhi (lihat kitab Tarikh Bagdad juz delapan halaman 569).
Setelah kita verifikasi maka Ali bin Muhammad bin al-Hasan al-Maliki terbukti sebagai murid Ibnu al-Askari, sedangkan Abdullah tidak terbukti. Maka rangkaian sanad Rumail itu terbukti sanad cangkokan atau sanad palsu.
Jelas sekali rangkaian sanad itu sengaja diciptakan bukan untuk kepentingan periwayatan sebuah hadits, tetapi lebih untuk kepentingan disebutnya nama Abdullah, untuk dijadikan bukti palsu bahwa sosoknya betul-betul ada, bahkan meriwayatkan sebuah hadits . Sayangnya creator sanad itu lupa, bahwa Ilmu Hadits lebih ketat dari ilmu nasab, nama-nama perawi sudah terkodifikasi rapih ditulis dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat (Sejarah Para Perawi). Untuk mengkonfirmasi seorang perawi, apakah ia merupakan sosok historis atau bukan (jangan-jangan ia sekedar nama yang sengaja disematkan tanpa ada sosoknya) bisa dilihat dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat yang sudah ditulis sejak abad ke tiga Hijriah.
Perhatikan wafat Abdullah, ia disebut wafat tahun 383 Hijriah, jika ia benar-benar seorang perawi, maka namanya akan dikenal oleh para ahli ilmu di masanya, tempatnya akan banyak didatangi para pencari hadits dari berbagai penjuru dunia, dengan itu seharusnya namanya telah dicatat oleh kitab yang mencatat para perawi yang semasa dengannya atau yang mendekatinya, semacam Ibnu Syahin yang wafat tahun 385 Hijriah, dua tahun setelah wafatnya Abdullah, atau kitab Al-Dzahabi yang wafat tahun 748 Hijriah. Dan tentu namanya pula akan dicatat oleh kitab nasab pada masanya seperti Al-Ubaidili (w. 437 H.), tapi, nama Abdullah ini tidak dicatat dimanapun: tidak di kitab nasab, tidak pula di kitab para perawi.
2. Manuskrip Umar bin Sa'ad al-Din al-Dzifari
Umar ibn Sa'd Al-Din Al-Dzafari (w. 667 H.), hidup di tahun
500-an, anak dari Sa'd Al-Din Al-Dzafari yang populer dengan gelar Taj
Al-Arifin, kata Rumail, ia memproduksi dan menyalin kitab
berjudul: Al-Arba'un, Al-Musnad li Al-Imam M uhammad ibn Ali
Al-Faqih Al-Alawi. Umar ibn Sa'd Al- Din Al-Dzafari, kata Rumail lagi,
mengompilasi 40 hadis yang ia dapatkan dari Muhammad
ibn Ali Faqih Muqoddam (w. 653 H.), dan beberapa sanad menyebut nama
"Shohib Mirbath".
Di bawah ini salah satu manuskrip Rumail yang
ditayangkan dalam presentasi diskusi di Rabitah Alwiyah Jakarta
(7/9/2024), naskah itu memuat sanad hadits Umar ibn Sa'd al-din al-Dzifari
yang, menurut Rumail, ia dapatkan dari Muhammad Faqih Muqoddam, dan Faqih
Muqoddam mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid.
Rumail menyebutkan bahwa tahun penulisan manuskrip itu tahun 667 Hijriyah. Dilihat dari bentuk manuskripnya, ia sangat tidak meyakinkan. Tinta biru seperti itu tidak lazim digunakan pada abad ke-7 Hijriah; kertas yang bergaris-garis semacam itu diproduksi sekitar tahun 1960 M. Selain dilihat dari isinya, dilihat dari media yang digunakan pun, manuskrip ini jelas manuskrip palsu. Bentuk tulisan manuskrip ini sangat identic dengan manuskrip kitab hadits tulisan Salim bin Jindan (w. 1969 H.). Perhatikan potongan manuskrip yang terdapat dalam media online "Jaringan Santri" (https://jaringansantri.com/manuskrip-ilmu-hadis-habib-salim bin- jindan/ ) yang memuat sebuah manuskrip kitab hadits karya Salim bin Jindan yang diberi judul Riwayah bi al-Fi 'li di bawah ini:
Dilihat dari bentuk tulisan dan jenis kertas yang bergaris-garis yang biasa
digunakan oleh Salim bin Jindan, antara naskah Rumail dan
naskah Salim bin Jindan identic. Naskah Rumail itu 99% adalah
tulisan tangan Salim bin Jindan yang wafat di Jakarta tahun 1969 M.
Lalu
bagaimana pendapat ulama Yaman tentang Salim bin Jindan? Doktor Muhammad
Badzib dalam Akun Media Sosial Saluran Telegram nya yang diposkan
tanggal 16 Mei 2024 menyebutkan bahwa kitab-kitab Syekh
Salim bin Jindan "la y uhtajju biha wala yu 'tamadu alaiha " (tidak
dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan pegangan).
Doktor Badzib mengutip pendapat Abdullah Alhabsyi
dalam
kitabnya "Mashadir al .fikri al Islami fl al Yaman " bahwa
kitab-kitab Salim bin
Jindan adalah kitab yang diambil dari "ruang
hampa".
Abdullah Muhammad Al-Habsyi menyebut bahwa kitab-kitab
Syekh Salim bin Jindan tidak baerfaidah dan dalam kitab-kitab itu
ada "Mujazafah " (ucapan kacau dan tanpa referensi); didalamnya pula ada
"al-khaltu " (ucapan rusak dan igauan orang yang tidak sadar) (h.
558).
Selain Abdullah Al-Habsyi, menurut Badzib, Sagaf Ali al-Kaf
pun berpendapat yang sama, bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin
Jindan dalam ilmu nasab penuh dengan "akadzibu la yu 'tamadu
alaiha " (kedustaan dan tidak dapat dijadikan pegangan) .
Selain
kedua ulama itu, masih banyak ulama lain yang menilai kitab-kitab Syekh Salim
bin Jindan dalam nasab sebagai kitab-kitab yang tidak bermutu . Badzib
menyebut juga seorang ulama yang bernama Masyhur bin Hafidz yang menyatakan
bahwa Syekh Salim bin Jindan adalah seorang "hatibu lailin " (orang yang
berbicara dengan semua yang terlintas dalam benaknya) . Dan seorang peneliti
bernama Ziyad al-Taklah dan Doktor Sa'id Tulah keduanya mempunyai tulisan
tentang Salim bin Jindan dan khyalan-khayalannya dalam
menciptakan sanad sanad hadis yang tidak berdasar.
Menurut
Badzib, seorang professor dan pengacara, Fu 'ad Tarabulsi, menceritakan
kepadanya, bahwa nama-nama yang disebut oleh Ibnu jindan dalam
kitabnya-kitabnya banyak nama-nama fiktif "la
wujuda laha" (tidak ada wujudnya) . Badzib menyebutkan
contoh: Syekh Salim bin Jindan menyebut bahwa sebagian dari guru-gurunya
adalah seseorang yang disebut sebagai anak Al-Allamah Jamaluddin al-Qasimi
al-Dimisyqi. Orang ini sama sekali tidak pernah
ada yang tahu sebagai bagian dari keluarga Al-Qasimi. Keluarga Al Qasimi
sendiri tidak mengenalnya.
Syekh Salim bin Jindan pula, menurut
Badzib, memperlihatkan adanya kitab-kitab musnad keluarga Ba'alwi dan
mengatakan bahwa kitab musnad itu manuskripnya terdapat di perpustakaan "Arif
Hikmat ". Kitab-kitab musnad itu, menurut Ba'dzib adalah kitab musnad palsu
dan tanpa dasar. Di perpustakaan "Arif Hikmat" yang ia sebutkan itupun tidak
ada. Bahkan , di seluruh perpustakaan yang ada di atas muka bumi ini pun tidak
ada, kecuali di rumah Salim bin Jindan, Kata Badzib. Sepertinya, yang dimaksud
oleh Badzib itu adalah kitab M usnad Faqih Muqoddam yang katanya ditulis Umar
bin Sa'd al-Dzifari tersebut, yang manuskripnya ditampilkan Rumail Abbas di
Rabitah Alwiyah itu.
Yang dilakukan Syekh Salim bin Jindan Itu,
menurut Badzib, dijelaskan oleh teks langka yang terdapat dalam surat
pribadi Alwi bin Taber al-Haddad kepada muridnya Profesor Ali
Ba'bud yang menyatakan, bahwa Ibnu Jindan mengidap penyakit Malecholia: ia
membayangkan hal-hal yang tidak ada, lalu menduga keberadaannya, kemudian
menulis imajinasi itu. Masyarakat yang tidak mengetahui kondisi kesehatannya
menerimanya begitu saja sebagai informasi yang dapat dipercaya.
Sayangnya,
menurut Badzib, orang-orang yang mengutipnya tidak berusaha untuk
mengkonfirmasi dari mana sumber-sumber Syekh Salim bin Jindan ketika menulis
kitabnya itu. Jika mereka melihat lebih dekat, mereka akan menemukan
bahwa dia mengutip dari dokumen-dokumen palsu yang barn ditulis, yang ditulis
orang-orang fiktif.
Dalam akun Telegramnya itu pula, Badzib
memperlihatkan tulisan Aiman Al Habsyi tentang Salim Bin Jindan dengan judul:
Attahdir Min Ansab Ibni Jindan (peringatan tenang nasab-nasab Ibni Jindan).
Dalam tulisannya itu, Aiman diantaranya menyatakan bahwa ia
bertanya kepada pamannya, Abu Bakar bin Ali al-Masyhur,
tentang kitab-kitab Ibnu Jindan, lalu pamannya menyatakan bahwa ia bertanya
kepada Abdul Qadir Ahmad al-Saqaf, maka ia berkata: "Salim bin Jindan orang
baik, tetapi pendapatn ya dalam nasab dan sejarah tidak boleh menjadi pegangan
".
Aiman al-Habsyi pada mulanya hendak men-tahqiq kitab karya
Syekh Salim bin Jindan yang berjudul "Al-Du r al-Yaqut ", ketika melihat di
dalamnya penuh dengan "musibah besar", maka ia mengurungkan niyatnya. Bahkan ,
menurut Aiman , dalam kitabnya tersebut nasab-nasab Ba'alwi pun banyak
"musibah besar".
Berikut ini screenshot dari pernyataan Badzib :
Di bawah ini contoh lain dari manuskrip palsu Rumail Abbas yang
tampaknya juga berasal dari Salim bin Jindan.
Di bawah ini contoh rangkaian sanad palsu yang pernah Rumail angkat tanpa menyebut dari sumber mana. Nampaknya ia juga berasal dari kitab Al Arba'un tulisan Salim bin Jindan yang kemudian diatribusikan sebagai karya Umar bin Sa'ad:
3. Manuskrip ljazah Kitab Sunan Turmudzi Tahun 589 H.
Rumail menampilkan sebuah manuskrip ijazah kitab Sunan Turmudzi,
mungkin maksud Rumail dengan adanya bukti manuskrip
tersebut, tokoh-tokoh Ba' alwi sudah terbukti sebagai sosok historis
karena telah tereportase secara ontologis eksistensinya pada abad ke-6
Hijriah. Pernyataan ini mengada-ada, karena tidak ada hubungannya antara
keluarga Jadid dan keluarga Abdurrahman Assegaf (kemudian
mengatribusikan diri menjadi Ba'alwi). Keduanya
adalah dua keluarga yang berbeda. Pengakuan bahwa Jadid adalah kakak
dari Alwi bin Ubaid itu baru ada sejak abad sembilan, sebelumnya nihil. Tidak
ada satu kitab pun di masa di mana Jadid itu diasumsikan hidup yang
menyatakan ia bersaudara dengan Alwi.
Syarif Abul Hasan Ali, yang
merupakan keturunan dari Jadid yang wafat tahun 620 Hijriah, tereportase
oleh kitab Al-Suluk sebagai ulama hadits. Ia mempunyai istri anak dari Syekh
Mudafi'. Berbagai macam kota tempat perpindahan Ali diceritakan oleh
Al-Suluk , tetapi tidak pernah ia disebut pernah datang ke Tarim. Seperti juga
ia tidak disebutkan dilahirkan di Tarim atau mempunyai adik bernama Alwi di
sana. Rumail tidak bisa berhujjah dengan kesejarahan Abul Hasan Ali untuk
kesejarahan keluarga Abdurrahman Assegaf karena keduanya tidak ada kaitan
apapun.
Walau demikian ada baiknya kita telaah manuskrip
yang memuat ijazah kitab Sunan Turmudzi dari keluarga Jadid ini:
Menurut Abu Umar Mazin bin 'Amir al-Ma'syani al-Dzifari al-'Ummani
yang merestorasi manuskrip ini pada 2 Dzulqo' dah 1444 H., manuskrip ini
adalah manuskrip Jami ' Imam turmudzi yang terdapat di "Maktabah Ra'is
al-Kitab" di Turki nomor 154. Penyalinnya memulai dari bab La
yaqbalullah Sholatan Bighairi Thuhurin" dari bab Thaharah sampai akhir kitab
Al-Thibb dalam 15 juz, ditulis tahun 589 H. oleh penyalin Qasim bin
Ahmad bin Abdullah al-Mu 'allim al-Juba'I. kemudian ada catatan tambahan
ijazah dari Abu Muhammad Hasan bin Rasyid bin Salim bin Rasyid bin Hasan
al-Hadrami al-Sakuni al-Umani (w.638 H.) kepada Syarif Muhammad bin Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid (anak
Abul Hasan Ali bin Jadid [w. 620 H.] dengan tulisan yang lemah hampir tidak
terbaca (h.3). Tulisan tambahan itu tanpa titimangsa kemungkinan besar
ditulis setelah tahun 620 H. setelah direstorasi kemudian dapat
dibaca seperti berikut:
Manuskrip itu ditulis oleh Qosim bin
Ahmad bin Abdullah dengan titimangsa 589 H. jadi titimangsa
itu bukan titimangsa 'catatan tambahan ' berupa ijazah yang menyebut nama
Muhammad bin Ali. Angka tahun itu merupakan angka tahun selesainya penulisan
naskah , bukan pengijajahan kitab kepada Muhammad bin
Ali. Lihat perbedaan cara penulisan antara isi kitab dan ijazah tersebut.
Perlu
diperhatikan pula, antara waktu selesainya penulisan dengan waktu pengkajian
bisa saja berbeda. Namun jika kita merujuk pada Al-Janadi, di mana
ayah Muhammad, yaitu Ali wafat pada tahun 620 H (abad ke tujuh), dalam Syamsu
al-Dzahirah tahun 630 H, maka dengan metode Ibnu Khaldun, di mana
dalam setiap satu abad terdapat tiga generasi, maka dapat diperkirakan
wafatnya Muhammad bin Ali adalah pada tahun 653 H, dari situ kita bisa
perkirakan juga Muhammad ini mendapat ijazah kitab Sunan Tirmidzi antara
rentang tahun 620-653 H. Bila dibagi dua diperkirakan
mendapat ijazah pada tahun 636 H, tentu ini lebih muda dari Al-Syajarah al-M
ubarokah yang ditulis tahun 597 H.
Catatan tambahan '
tersebut bisa menjadi dalil untuk keluarga Jadid, bahwa mereka dalam tahun 636
H itu adalah tokoh historis, dari mulai nama Muhammad (w. 653 H) dan ayahnya,
yaitu Ali (w. 620 H), namun tidak bisa menjadi dalil nasab mereka terhadap
Abdullah, karena yang disebutkan hanya 5 generasi. Mujiz (pemberi ijazah) itu
hanya menyambungkan sampai ke Jadid Tsani, butuh 4 generasi lagi untuk sampai
ke Abdullah seperti yang disebut oleh Al-Janadi . Setelah itu , perlu pula
sumber yang menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad. Sementara ini, Al-Janadi
(732 H) -lah orang yang pertama menyambungkan nasab Bani Jadid kepada Ahmad
bin Isa yang bertentangan dengan kitab yang lebih tua yaitu Al-Syajarah al-M
ubarokah (597 H). diperlukan pula sumber yang menyebut bahwa Jadid betul-betul
saudara dari Alwi bin Ubaid.
Catatan tambahan ' tersebut, ketika
begitu lemah menjadi saksi nasab Jadid kepada Ahmad bin Isa, tentu akan lebih
lemah lagi menjadi saksi untuk keluarga Abdurrahman Assegaf atau Ba Alawi
Ubaidillah.
4. Kitab Tuhfat al-Murid Wa Uns al-Mustafid
Kata Rumail, Muhammad ibn Ali Bathahan (w. 630 H.) memproduksi
kitab berjudul Tuhfat Al-M urid wa Uns Al-Mustafid fi Manaqib Al-Syaikh Sa'd
Al-Din ibn Ali Al-Dzafari. Kata Rumail lagi, Kitab ini
mengonfirmasi jaringan intelektual antara Sa'd Al-Din Al-Dzafari
dengan Muhammad ibn Ali Al-Alawi yang kelak, pada deklarasi
anaknya (Umar Al-'Abid ibn Sa'd Al-Din Al-Dzafari) , ditulis sebagai "Al-Faqih
Al- Muqoddam" .
Mungkin maksud Rumail dengan kalimat ')aringan
intelektual " itu, di dalam kitab itu disebutkan bahwa Faqih
Muqoddam menulis surat kepada Syaikh Sa'd al Din al-dzifari dan kemudian ia
membalasnya, sebagaimana informasi yang disebut literasi Ba'alwi.
Pertanyaannya: benarkah Bathahan menulis kitab tersebut? Di
mana kitabnya? Jika ada benarkah di dalamnya ada surat menyurat antara
Faqih Muqoddam dan Syaikh Sa'd? berita tentang kitab itu hanya berasal dari
pengakuan penulis-penulis Ba'alwi seperti dalam kitab Al-Burqat al-M usy iqat
(h.99).
Salih al-Hamid Ba'alwi (w.1386 H.) mengaku pernah melihat
manuskrip kitab itu (lihat Tarikh Hadrmaut juz II h. 824). Menurut DR.
Muhammad Yaslam Abd al Nur , Salih al-Hamid mengaku pernah melihatnya di
Perpustakaan Husen bin Abdurrahman Bin Sahl, kemudian di bawa ke
Perpustakaan Al-Ahqaf Tarim, ditulis tahun 978 H. oleh Umar bin
Ibrahim Al-Hubani. Benarkah berita itu? DR. Muhamad Yaslam mengatakan,
sekarang kitab itu sudah hilang (lihat Footnote Tarikh wa al-Muarrikhun
al-Hadlarimah h.50).
Semua manuskrip penting eksternal yang sezaman
yang diklaim menyebut keluarga Ba'alwi setelah dikutip kemudian dinyatakan
hilang. Bagi seorang peneliti ini adalah suatu pola yang mencurigakan. Dan
bagi penulis, kitab itu kemungkinan besar, jika pun pernah ada, tidak pernah
menyebut Faqih Muqaddam, itulah alasan kenapa manuskrip kitab itu harus
"dilenyapkan ".
5. Manuskrip Abul Qasim al-Naffath
Kata Rumail, Abu Al-Qasim An-Naffath (w. 581 H.) memproduksi
kitab yang mengompilasi 40 macam hadis dalam musnad yang ia beri judul:
Al-Arba'un . Dalam beberapa riwayat, keduanya melewati
Imam Ahmad Al-Muhajir yang disebut sebagai Nazi! Al-Yaman
(pendatang Yaman yang menetap) dan gelar Al Abah."
Benarkah klaim Rumail itu? perhatikan manu skrip Rumail yang telah penulis tampilakan sebelumnya:
Ini adalah rangkaian sanad yang diduga kuat ditulis
oleh Salim bin Jindan. Di dalamnya disebut pula bahwa Ahmad al-Abah adalah
"Nazil al Yaman " (yang datang menetap di Yaman). Agaknya , klaim Rumail
tentang ditemukannya manuskrip Abul Qasim al-Naffat juga berasal dari
tulisan Salim bin Jindan. Dan sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ulama-ulama
Yaman menganggap apa yang ditulis oleh Salim bin
Jindan tentang nasab dan sanad "La
yuhtajju biha wa la yu 'tamadu alaiha " (tidak bisa dijadikan
hujjah dan tidak dapat dijadikan pegangan).
6. Sanad Muhammad Aqilah dan Manuskrip Assegaf
Kata Rumail, dalam kitab Al-Silk al- Durar fl A 'yan al-Qarn al-Tsani
Asyar karya Muhammad Khalil al-Muradi bin Ali al-Muradi (w.1206
H.) juz ke-4 halaman 30, terdapat biografi seorang ulama
bernama Muhammad Aqilah (w.1150 H.). dalam kitab tersebut disebutkan
bahwa ia mendapatkan talqin dzikir dari Abdullah bin Ali Bahusain al-Saqqaf.
Selain talqin dzikir, Abdullah al-Saqqaf juga mengijazahkan kitab karya Ali
bin Abdullah al-Idrus yang tinggal di Surat India.
Kata Rumail,
karena Muhammad Aqilah ini orang yang tsiqah (bisa dipercaya), maka gurunya
juga yaitu Abdullah bin Ali Bahusain adalah orang tsiqah, oleh
karena itu ketika dalam kitab yang lain, Abdullah bin Ali al-Saqqaf ini
menulis sebuah riwayat maka riwayatnya terhitung tsiqah.
Contohnya, ketika Abdullah bin Ali dalam sebuah sanad hadits musalsal
menyebut bahwa ia menerima hadits dari ayahnya Ali, dari Ayahnya
Abdullah, dari ayahnya Ahmad, dari ayahnya Ali al Naqi,
terus sampai Faqih Muqoddam, maka ini membuktikan sisi faktual dan
historis dari Faqih Muqoddam.
Bagi Rumail, disebutnya nama Faqih
Muqodaam di tahun 1150 Hijriyah setelah 500 tahun dari kematiannya dalam
rangkaian sebuah sanad, dapat diterima dan menunjukan ia sosok historis walau
tanpa menggunakan metodologi kritik hadits. Rumail belum memahami bagaimana
metode para ahli hadits dalam meneliti sebuah rangkaian sanad untuk menentukan
apakah sebuah sanad itu muttasil atau tidak; ada individu perawi yang
pendusta, fasik, fiktif, atau tidak.
Berikut ini manuskrip hadist
musalsal yang ditampilkan Rumail yang di dalamnya menyebut nama Faqih
Muqoddam:
Ketika diadakan penelitian sanad dari mulai Abdullah bin Ali al-Saqqaf, kita mengetahui bahwa susunan sanad itu sama dengan susunan nasab mereka. Seperti pernah penulis nyatakan dalam kitab I'anat al-Akhyar, bahwa riwayat dari ulama Ba'alwi terkait nasab dan sejarah mereka kedudukannya "muttaham bi al-kadzib" (patut diduga berdusta), tidak dapat dipercaya, karena kontradiksi dengan kitab kitab sejarah dan kitab-kitab nasab yang muktabar. Maka susunan sanad Abdullah bin Ali al-Saqqaf sampai Faqih Muqoddam, berdasarkan susunan nasab mereka itu pun tidak dapat dipercaya.
Rumail menyebut nama Muhammad Aqilah itu hanya sebagai tangga untuk menyebut nama Abdullah bin Ali al-Saqqaf. Sebenarnya Muhammad Aqilah tidak menyebut nama Faqih Muqoddam, yang menyebut Faqih Muqoddam adalah Abdullah bin Ali al-Saqqaf. Nama Muhammad Aqilah sebagai ulama yang terkenal disebut Rumail, agar nama Abdullah bin Ali al-Saqqaf itu ikut terangkat.
7. Manuskrip Kitab Musnad Ubadillah al-Tamimi al-Iraqi
Kata Rumail, Ubaidillah ibn Thahir Al-Tamimi (w. 488 H.) memproduksi kitab yang mengompilasi puluhan hadis dengan judul Musnad Ubaidillah Al-Tamimi Al Iraqi. Kata Rumail lagi, di dalamnya terdapat sanad Hasan ibn Muhammad Al Allal. Hasan ibn Muhammad Al-Allal (w. <490 H.) memproduksi kitab musnad berjudul Al-Arba'in yang berisi 40 macam hadis dari beragam isnad, dan di antaranya disebutkan kekerabatan musnid dengan kabilah Baalawi sebagai 'amm (paman), ibn 'amm (sepupu), dan setamsilnya.
Pernyataan Rumail ini pun sama dengan sebelumnya, ingin mengaitkan sebuah nama terkenal dengan keluarga Ba'alwi. Ubaidillah al-Tamimi sama sekali tidak menyebut nama-nama keluarga Ba'alwi, yang ia sebut adalah Hasan bin Muhammad al-Allal, cucu asli Ahmad bin Isa. kemudian dibuatlah cerita bahwa Hasan al-Allal ini menyebut nama-nama Ba'alwi sebagai paman, sepupu atau semacamnya, agar nampak benar ada kekerabatan antara Hasan al-Allal dengan keluarga Ba'alwi. Pertanyaannya: mana manuskrip kitab Hasan al-Allal itu? benarkah ia ditulis oleh Hasan al-Allal? Atau ia hanya manuskrip palsu yang dibuat hari ini lalu diatribusikan sebagai karya Hasan al-Allal? Jawabannya: ia adalah rangkaian sanad yang diduga kuat ditulis oleh Salim bin Jindan bukan Hasan al Allal.
8. Manuskrip Sanad Abdul Haq al-Isybili Ibnu al-Kharrath
Dalam komunitas youtube-nya Rumail memuat beberapa sanad hadits yang menyebut nama Ubaidillah yang katanya mendapat hadits dari bapaknya Ahmad al Abah. Rangkaian sanad itu sebagai berikut:
Rangkaian sanad ini ditampilkan Rumail hanya sepotong tanpa
menyebut dari kitab apa ia mendapatkannya. Sepertinya, Rumail kali ini tidak
ingin seperti sebelumnya, di mana rangkaian sanadnya dapat dilacak melalui
nama-nama perawi popular. Perawi-perawi dalam sanad ini tidak ada yang dikenal
dan tidak disambungkan sampai sahabat Nabi, ia berhenti kepada Ubaidillah bin
Ahmad bin Muhammad al-Azraq. Jelas sanad ini sanad ')adi-jadian " yang tidak
valid. Jika disambungkan sampai sahabat Nabi, ia dapat terdeteksi
ketersambungan atau tidaknya, karena nama para perawi hadits sejak zaman
sahabat sudah terkodifikasi dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat.
Nampaknya,
ia rangkaian sanad yang didapatkan dari sumber yang sama dengan sanad palsu
sebelumnya, yaitu dari tulisan Salim bin Jindan. Dalam rangkaian sanad
itu ada kalimat yang nampak memaksakan yaitu disebutnya nama Ubaidillah
sebagai paman dari Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Isa al-Abah. Sebagaimana
diketahui bahwa nama Ali terkonfirmasi dalam kitab Al-Syajarah al M ubarakah
sebagai anak Ahmad bin Isa, nampaknya creator sanad itu ingin nama Ubaidillah
numpang tenar kepada Muhammad bin Ali.
9. Manuskrip Sanad Ali al-Syanini
10. Manuskrip Al-Thurfat al-Gharibat
Rumail menampilkan sebuah manuskrip karya Abul Abbas Taqiyyuddin Ahmad bin Ali Al-Maqrizi (w.845 H.) berjudul Al-Thurfat al-Gharibat Fi Akhbar Wadi Hadramaut al-Ajibat. Menurut Rumail, naskah ini sebagai bukti bahwa nama keluarga Ba'alwi dikenal oleh ulama ekstemal pada pertengahan abad ke-9 H. sebagai keturunan Nabi.
Sayang Rumail tidak teliti, justru naskah ini malah memperkuat bahwa bahwa keluarga Ba'alwi pada sekitar tahun 845 H. itu masih dikenal sebagai "Arab Hadramaut" bukan sebagai sadat. Perhatikan salah satau ibarat dalam naskah ini: "Telah menceritakan kepadaku Al-Faqir al-Mu 'taqid Ibrahim bin Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Alawi dari kabilah yang disebut Aba Alwi dari Arab Hadramaut . . ."
Al-Maqrizi sebagai seorang sejarawan, ketika mendapat pengakuan dari Ibrahim bin Abdurrahman Assegaf bahwa ia adalah dari keluarga Aba Alwi, langsung mengetahui bahwa keluarga ini adalah keluarga Arab Hadramaut, karena memang sejak abad ke-4 Hijriah telah dicatat dalam kitab-kitab sejarah nama Bani Alwi sebagai keturunan Qahtan. Yang demikian itu sebagaimana di tulis oleh Al Hamadani (w.344 H.) dalam kitabnya Al-Iklil Ji Akhbaril Yaman wa Ansabi Himyar (kitab Al-Iklil memuat kisah-kisah Negara Yaman dan nasab Himyar) (h.36).
Penulis telah jelaskan dalam beberapa tulisan bahwa pengakuan keluarga Abdurrahman Assegaf sebagaia bagian Aba Alwi pun barn pada abad ke-9 H. Jelas sekali, keluarga Abdurrahman Assegaf bukanlah keluarga Aba Alwi yang ditulis oleh kitab Al-Suluk (732 H.) ketika menjelaskan silsilah seorang ulama bernama Syarif Abul Hasan Ali bin Jadid. Pada abad ke-9 Hijriah keluarga Abdurrahman Assegaf mengokulasi diri ke dalam bagian keluarga Aba Alwi. hal demikian diperkuat oleh hasil tes Y DNA keturunan Abdurrahman Assegaf hari ini yang dikenal dengan nama keluarga Ba'alwi bahwa haplogroup mereka adalah "G" yang menunjukan mereka bukan berasal dari Arab. Orang-orang Arab hari ini hasil tes Y DNA mereka terkonfirmasi berhaplogroup J.
BAB III PENUTUP
Demikianlah manuskrip-manuskrip yang diklaim oleh Rumail sebagai
jawaban atas tesis penulis bahwa nama-nama keluarga
Ba'alwi tidak tercatat sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari
mulai abad ke-4 Hijriyah sampai ke-9 Hijriah, baik dalam kitab nasab maupun
sejarah. Sayang apa yang Rumail dapatkan ternyata hanya rangkaian sanad yang
terbukti palsu, baik dari sisi isi maupun media. Menurut penulis, melihat
algoritma historiografi yang tersebar di abad ke-8 dan ke-9
Hijriah, baik di Yaman maupun wilayah lain yang terkait dengan
Ahmad bin Isa, maka akan sangat sulit menemukan bukti-bukti keterkaitan
keluarga Ba'alwi sebagai keturunan Nabi dari jalur Ahmad bin Isa. Kenapa?
Karena memang keluarga Ba'alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW.