Bab 1: Ilmu Tafsir

Makna Etimologis "Tafsir" Makna Terminologis "Tafsir" "Takwil" dan Perbedaannya dengan "Tafsir" Makna Etimologis "Takwil" Makna

Bab 1: Ilmu Tafsir

Nama kitab: Terjemah Ilmu Tafsir
Judul kitab asal: Ilm al-Tafsir li al-Dzahabi (علم التفسير للذهبي)
Nama penulis: Husain al-Dzahabi
Nama lengkap: Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi (د. محمد حسين الذهبي)
Lahir: Mesir, 19 Oktober, 1915
Wafat: Mesir, 7 Juli, 1977 (usia 61 tahun)
Penerjemah ke Bahasa Indonesia: M Nur Prabowo S
Bidang studi: Ulum Al-Quran, Ilmu Tafsir

Daftar Isi 

  1. BAB I - ILMU TAFSIR     
    1. Makna  Etimologis  "Tafsir"    
    2. Makna Terminologis "Tafsir"     
    3. "Takwil" dan Perbedaannya dengan "Tafsir"     
    4. Makna Etimologis  "Takwil"    
    5. Makna Terminologis "Takwil"     
    6. Urgensi Ilmu Tafsir dan Perhatian Muslim Terhadap Tafsir      
  2. Footnote dan Referensi
  3. Kembali ke: Ilmu Tafsir al-Dzahabi

BAB I ILMU TAFSIR 

Makna Etimologis "Tafsir"
Dalam bahasa Arab, lafadz tafsir mengandung makna: penerangan (idakh) dan penjelasan ( tabyin). Makna ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam firman

"Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu Allah Swt: ( membawa) sesuatu yang aneh melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar danpenjelasan yang paling baik." 1

Kata tafsir dalam pembentukan katanya diambil dari kata dasar al-fasr yang berarti penjelasan ( ibanah) dan penying­ kapan ( kasyf):
.,/ Dalam kamus dikatakan bahwa: al-fasr berarti ibanah yang berarti penjelasan, atau kasyf yang berarti penying­ kapan atas sesuatu yang tersembunyi.
.,/ Dalam Lisanul 'Arab dikatakan bahwa: al-fasr berarti al-bayan, maknanya adalah penjelasan ... sama artinya dengan tafsir... ; kemudian juga dikatakan: al-fasr berarti penyingkapan atas sesuatu yang tertutupi, adapun tafsir berarti penyingkapan atas makna dan maksud dari suatu lafadz yang sulit dipahami.

Dari apa yang telah dipaparkan tersebut, menjadi jelas bahwa secara linguistik kata tafsir dipakai untuk penying­ kapan tentang sesuatu yang inderawi, selain juga dipakai dalam penyingkapan tentang sesuatu yang ma'nawi, namun makna yang terakhir ini lebih sering dipakai daripada yang pertama.

Makna Terminologis "Tafsir"
Para ulama yang menekuni tafsir pada umumnya mem­ beri makna pada istilah "tafsir" sebagai ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah, al-Qur'an, yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw., dan menjelaskan makna­ maknanya, serta mengambil hukum-hukum dan hikmah­ hikmah yang terkandung di dalamnya. Begitulah pengertian yang diberikan Az-Zarkasyi sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuti (penulis al-Itqan fi 'Ulumal-Qur'an) 2 •

Disini ada juga beberapa definisi tafsir yang lain, yang bersumber dari Imam Suyuti dan beberapa ulama tafsir yang lain. Namun kesemuanya itu intinya sama, bahwa ilmu tafsir adalah: ilmu yang membahas tentang maksud firman Allah Swt sesuai dengan kapasitas yang dimiliki manusia. Ilmu ini mencakup setiap upaya yang dilakukan manusia dalam memahami makna firman Allah Swt dan menerangkan mak­ sud-maksudnya.
 
"Takwil" dan Perbedaannya dengan "Tafsir"
Para ulama tafsir dan para ahli yang menekuni ilmu tafsir harus menjelaskan definisi takwil sebagaimana mereka mendefinisikan tafsir, karena kedua lafadz tersebut sering muncul dalam uraian buku-buku mereka.

Mereka juga perlu menjelaskan perbedaan penggunaan kedua lafadz tersebut jika memang disana ada perbedaan, dan menjelaskan kepada kita letak kesamaannya jika memang keduanya sinonim dan memiliki satu maksud yang sama.
Kami mencoba menjelaskan perkara ini dalam beberapa uraian singkat sebagai berikut:

Makna Etimologis "Takwil"
Secara etimologis, kata takwil diambil dari kata dasar aulan yang berarti kembali atau ruju'. Dalam kamus bahasa Arab dikatakan: ala ilaihi aulan wa maalan, yang artinya kembali atau berpulang. Dan kemudian dikatakan: awwala al-kalam wa taawwalahu berarti: mengatur, memikirkan dan menjelaskan  perkataan.

Makna Terminologis "Takwil''
Bagi sebagian ulama salaf, yang dimaksud dengan takwil adalah penafsiran terhadap suatu perkataan dan penjelasan mengenai makna perkataan tersebut, baik makna yang sesuai dengan kenyataan dzahir (makna dzahir) atau yang tidak sesuai (makna batin), sehingga tafsir dan takwil sebenarnya adalah sinonim. Dan itulah yang dimaksud oleh Ibnu Jarir At-Thabari ketika mengungkapkan di dalam karya tafsirnya: "takwil dari firm an  Tuhan  adalah...begini...begini...begini': dan itu pula yang ia maksud ketika ia mengatakan "para ahli takwil berbeda pendapat  tentang maksud ayat ini''.

Namun bagi sebagian ulama salaf yang lain, yang dimak­ sud takwil adalah seperti yang dimaksud dalam pengertian yang lebih substansial, dalam pengertian sebagai berikut: "apabila suatu perkataan adalah bentuk permintaan, maka takwil dari perkataan itu adalah tindakan atau perbuatan apa yang menjadi permintaan itu sendiri; dan apabila perkataan itu adalah bentuk pemberitaan, maka takwil dari perkataan itu adalah sesuatu yang dikabarkan atau diberitakan itu sendiri:' Oleh karena itu, takwil dan tafsir sebenarnya adalah dua hal yang berbeda atau berlainan.

Sedangkan bagi ulama yang lebih mutakhir dari kalangan ahli fiqh, ahli kalam dan ahli hadits, takwil diartikan sebagai: mengalihkan lafadz dari maknanya yang lebih kuat ( rajih) kepada makna yang lebih lemah ( marjuh) karena adanya dalil yang mengindikasikan  kecenderungan ke arah makna yang lebih spesifik tersebut. Dengan demikian berarti tafsir lebih umum daripada takwil.

Imam Suyuti dalam kitabnya al-Itqan3 mengutip dari beberapa ulama, bahwa sesungguhnya tafsir terkait dengan riwayat (periwayatan), sedangkan takwil lebih terkait dengan dirayat (pengetahuan), sehingga keduanya sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda.

Pendapat yang terakhir ini juga didukung oleh Az­ Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan 4 dengan mengutip dari perkataan Abu Nashr al-Qusyairi: "Abu Nashr al-Qusyairi mengatakan: di dalam tafsir, yang ditonjolkan adalah itiba' (mengikuti) dan sima' (mendengarkan), sedangkan istimbath (penyimpulan) itu lebih mendekati kepada takwil:'

Kemudian, yang ingin saya sampaikan terkait apa yang sudah dan yang belum disebutkan di atas tentang perbedaan antara tafsir dan takwil adalah: bahwa tafsir adalah penjelasan yang dirujukkan kepada riwayat (periwayatan), sedangkan takwil adalah penjelasan yang dirujukkan kepada dirayah (pengetahuan). Hal ini karena makna tafsir itu sendiri adalah: keterangan dan penjelasan terhadap maksud Allah; sementara menerangkan dan menjelaskan tentang maksud Allah itu tidak akan pernah bisa dilakukan kecuali dengan periwayatan yang sahih (benar) dari Rasulullah Saw atau dari sebagian para Sahabatnya yang turut menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui kejadian dan peristiwa yang terjadi, pernah berinteraksi dengan Rasulullah Saw dan mempertanyakan setiap kesulitan seputar makna dan kandungan al-Qur'an langsung kepada Rasulullah Saw.

Adapun yang dimaksud dengan takwil adalah: pentarjihan terhadap satu kemungkinan makna lafadz dengan indikasi atau petunjuk dalil. Sedangkan pentarjihan itu sendiri dilaku­ kan berdasarkan ijtihad, dengan pengetahuan yang mencu­ kupi  tentang  kosa-kata  dan  makna-makna  dalam  bahasa penyimpulan makna menurut masing-masing  uslub.

Urgensi Ilmu Tafsir dan Perhatian Muslim Terhadap Tafsir
Ilmu tafsir dianggap sebagai ilmu yang paling berharga dan paling penting, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya yang beragam dengan orientasi yang berbeda-beda. Angga­ pan ini memang betul-betul nyata dan bisa dibuktikan kebenarannya, dan tidak ada seorangpun yang mengingkari kebenaran ini 'kecuali orang-orang yang mengingkari cahaya matahari'. Adapun obyek ilmu tafsir adalah al-Qur'an, kitab Allah yang tidak ada kebatilan di dalamnya, yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Semua ilmu berada di bawah kemuliaannya. Semua ilmu sebenarnya adalah sarana dalam rangka memberikan penjelasan atas kandungan makna-makna al-Qur'an dan menerangkan maksud dan tujuan al-Qur'an itu sendiri: misalnya ilmu balaghah yang merupakan sarana untuk menjelaskan kelebihan atau kefasihan ( balaghiah) al-Qur'an dan rahasia kemukjizatan yang terkandung di dalamnya; ilmu fiqh dan ushul al-fiqh sebagai sarana penjelasan tentang syari'at dan hukum-hukum dalam al-Qur'an; ilmu nahwu  dan  ilmu sharf keduanya adalah sebagai sarana menuju ketepatan lafadz dan pemahaman maknanya; ilmu kalam dan ilmu dialektika adalah sarana untuk menerangkan konsep aqidah dalam al-Qur'an dan pembuktiannya dengan menggunakan dalil-dalil yang jelas dan bukti-bukti yang pasti; ilmu-ilmu kealaman, ilmu fisika dan ilmu biologi, adalah sarana untuk
 
menerangkan bukti-bukti kekuasaan dan rahasia-rahasia kerajaan Allah yang dituangkan Allah dalam kitab-Nya dan diperhatikan oleh hamba-Nya, dan juga keajaiban-keajaiban ciptaan-ciptaannya yang ditebarkan di seluruh jiwa dan belantara bumi. Begitu juga dengan bidang ilmu pengetahuan lainnya, meskipun beragam dan sangat penting tetapi tetap diperlakukan dalam rangka pengabdian kepada al-Qur'an. Sehingga, tidak heran bila al-Qur'an adalah kitab Tuhan Sang Pemelihara Alam Semesta:
"(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu."5

Dan dari sini, perhatian kaum muslim terhadap tafsir al­ Qur'an dan penjelasan makna-maknanya sangatlah besar jika dibandingkan dengan perhatian terhadap ilmu-ilmu keislaman yang lain, apalagi ilmu-ilmu non-keislaman, suatu perhatian sangat mendalam, bukan saja perhatian yang baru dimulai dari kemarin sore atau beberapa waktu yang lalu, akan tetapi sudah dimulai sejak dahulu kala, karena perhatian itu sudah ada dan terlahir sejakpertama kali al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sejak awal diturunkannya al­ Qur'an kepada Rasulullah, malaikat Jibril membacakannya dan segera diterima oleh Rasulullah. Malaikat pun menuntun Rasulullah secara seksama dalam pembacaannya, kemudian Allah Swt memerintahkan beliau (Muhammad Saw) untuk memperhatikan  apabila  setiap saat malaikat  datang untuk membacakannya. Allah Swt juga menjamin al-Qur'an yang diwahyukan itu dengan cara: menghimpunnya di dalam dada Rasulullah sendiri, memudahkan penerimaan Rasulullah atas apa yang disampaikan kepadanya, kemudian juga menjelas­ kan, menerangkan, dan memperjelasnya. Dalam hal ini Allah Swt berfirman kepada Nabi Muhammad Saw:
''Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca al-Qur'a n) karena cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya kami akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian sungguh kami akan menjelaskannya."6

Allah Swt menjamin hafalan Rasulullah, menjamin baca­ an al-Qur'annya tepat sesuai apa yang dibacakan oleh mala­ ikat Jibril, dan menjamin keterangan atas makna-maknanya.

Adapun penjelasan atau penafsiran mengenaikan kan­ dungan makna al-Qur'an tidak terhenti hanya sampai masa Rasulullah saja, melainkan tetap berlangsung terus-menerus hingga selama masa Sahabat-Sahabat Nabi(semoga Allah meridhai mereka), sebagaimana sejak pertama kali wahyu tersebut diturunkan. Allah Swt juga telah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menjelaskan kepada manusia al­ Qur'an yang telah  diturunkan kepadanya, melalui firman­ Nya:
 
"Dan kami turunkan Adz-Dzikr (al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.'"1

Al-Qur'an tidak hanya berhenti sampai disini, tetapi bahkan melampauinya sampai pada anjuran kepada kita semua untuk mempelajari  (tadabbur)  ayat-ayatnya  dan menggali makna­ makna yang terkandung di dalamnya melalui firman-Nya:

"Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orangyang berakal sehat mendapatkan pelajaran. "8

Dan juga firman-Nya yang mencela siapa saja yang tidak mau menerima  pelajaran  al-Qur'an:
"Maka tidaklah mereka menghayati  al-Quran ataukah hati mereka sudah terkunci?" 9

Para Sahabat Nabi pun sangat 'tamale' dalam berlomba-lomba untuk saling menggali dan mengetahui kandungan makna dalam al-Qur'an, seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dari Abi Mas'ud r.a, ia berkata:

''Apabila ada seseorang di antara kami mempelajari 10 ayat al-Quran maka Rasulullah tidak memperbolehkan untuk melampauinya hingga betul-betul paham makna ayat tersebut dan mengamalkannya."10
 
Ibnu Jarir meriwayatkan juga melalui Abu Abdurrahman as­ Salami bahwa ia berkata: orang yang menyampaikan kepada kami mengatakan kepada kami bahwa mereka meminta kepada Rasulullah Saw untuk membacakan (al-Qur'an), dan apabila mereka telah mempelajari 10 ayat maka tidak akan dilanjutkan sampai betul-betul mampu mengamalkannya, maka kami pun mempelajari al-Qur'an dan sekaligus menga­ malkannya. 11

Footnote dan Referensi

1    Al-ltqan, Juz 2 ha!. 174: penerbit: Khalibi, tahun: 1935

3     Al-ltqan, Juz II, ha!: 173.

4    Al-ltqan, Juz II, ha!: 250, Isa Khalibi, tahun 1957

5    Q.S. Hud ayat : 1

6    Q.S. Qiyamah: 16 - 19  

7    Q.S. An-Nahl : 1

8    Q.S Shaad : 29

9    Q.S. Muhammad: 24

10    Tafsir Ibnu Jarir Juz I ha!. 46
 
11    Al-Marja' As-Sabi q Juz II ha!. 27

LihatTutupKomentar