Bab 2: Fase Perkembangan Tafsir

Fase Perkembangan Tafsir Fase Pertama: Pada Masa Nabi dan Sahabat Sumber-sumber Penafsiran Pada Masa Sahabat Para Penafsir Dari Sahabat

Bab 2: Fase Perkembangan Tafsir

Nama kitab: Terjemah Ilmu Tafsir
Judul kitab asal: Ilm al-Tafsir li al-Dzahabi (علم التفسير للذهبي)
Nama penulis: Husain al-Dzahabi
Nama lengkap: Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi (د. محمد حسين الذهبي)
Lahir: Mesir, 19 Oktober, 1915
Wafat: Mesir, 7 Juli, 1977 (usia 61 tahun)
Penerjemah ke Bahasa Indonesia: M Nur Prabowo S
Bidang studi: Ulum Al-Quran, Ilmu Tafsir

Daftar Isi  

  1. BAB II- FASE PERKEMBANGAN TAFSIR 
  2. I. Fase Pertama: Pada Masa Nabi dan Sahabat     
    1. Sumber-sumber Penafsiran Pada Masa Sahabat    
    2. Para Penafsir Dari Kalangan Sahabat     
    3. Nilai dan Kedudukan Tafsir bi al-Ma'tsur Dari Sahabat Nabi     
    4. Keistimewaan Tafsir Pada Masa Sahabat     
  3. II Fase Kedua: Pada Masa Tabi'in    
    1. Permulaan Masa Tabi'in    
    2. Sumber-sumber Penafsiran Pada Masa Tabi'in
    3. Gerakan Penafsiran dan Sekolah Tafsir Pada Masa Tabi'in
    4. Nilai dan Kedudukan Tafsir al-Ma'tsurnDari Para Tabi'in    
    5. Keistimewaan Tafsir Pada Masa Tabi'in    
  4. III Fase Ketiga: Pada Masa Kodifikasi    
    1. Permulaan Masa Kodifikasi    
    2. Perkembangan Periodik Pada Masa Kodifikasi    
  5. Footnote dan Referensi
  6. Kembali ke: Ilmu Tafsir al-Dzahabi

BAB II FASE PERKEMBANGAN TAFSIR

Perhatian umat muslim terhadap tafsir al-Qur'an, se­ bagai upaya menjelaskan makna dan menyingkap rahasia yang terkandung  di dalamnya, telah dimu­ lai sejak awal ketika al-Qur'an diturnnkan kepada baginda Rasulullah Saw. Seperti yang barn saja kami jelaskan, upaya ini berlangsung terns menerns, bahkan hingga saat ini, dan masih akan terns berlangsung lagi selama al-Qur'an masih ada di muka bumi ini, hingga saatnya nanti Allah Swt meng­ hancurkan bumi ini beserta selurnh penghuninya.

Namun, upaya untuk menjelaskan makna-makna kan­ dungan al-Qur'an tersebut tidaklah dilakukan hanya  oleh satu kelompok saja, melainkan oleh banyak kelompok dengan model yang beragam. Mereka bahkan  satu sama lain tidak sama dalam memahami dan mengetahui maksud al-Qur'an. Hal ini mernpakan satu hal yang alamiah dalam kehidupan di alam ini, alam kehidupan yang inderawi dan penuh makna abstrak. Dari sini, tidaklah mengherankan bila kita menyaksikan bahwa penafsiran al-Qur'an berlangsung dalam beberapa fase dan berkembang dengan perkembangan yang alamiah: dimulai dengan sesuatu yang kecil kemudian tumbuh hingga mencapai kedewasaannya dan nantinya akan mencapai pada titik kesempurnaan.

Meskipun tafsir al-Qur'an sudah muncul dan terns mengalami perkembangan, ke depan perkembangan ini akan terns berjalan dan semakin berkembang lagi tanpa berhenti atau berakhir pada satu tujuan atau batas tertentu. Hal ini tidak mengherankan, mengingat memang al-Qur'an sungguh-sungguh mernpakan kalam Ilahi, firman Tuhan semesta alam, yang tidak terdapat kontradiksi di dalamnya, dan kandungan-kandungan keajaibannya tidak akan pernah habis.

Adalah satu hal yang alamiah bila tafsir dimulai dalam bentuk yang masih sederhana, karena pada saat itu, ketika al-Qur'an diturnnkan, yang ada adalah orang-orang Arab asli, yang mengerti lisan Arab, yang dapat memahami makna al­ Qur'an dengan mudah, kecuali hanya sedikit permasalahan saja yang mereka  dapati,  dan itupun  mudah  diselesaikan setelah mereka mernjuknya langsung kepada Rasulullah Saw.

Setelah itu, seiring dengan semakin bertambahnya masa­ lah-masalah yang syubhat dalam kehidupan manusia, dan seiring munculnya kebutuhan terhadap penjelasan menge­ nai bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, maka wilayah penafsiran al-Qur'an pun sedikit demi sedikit menjadi semakin luas.

Kita dapat mengelompokkan perkembangan penafsiran al-Qur'an ke dalam tiga fase:
 
1.    Fase pertama,  pada masa  Nabi Muhammad  Saw dan para Sahabatnya.
2.    Fase kedua, pada masa generasi Tabi'in.
3.    Fase ketiga, fase setelah Tabi'in atau semenjak kodifikasi tafsir sebagai ilmu hingga sekarang ini.

Berikut ini akan dibahas satu persatu ketiga fase tersebut dan membicarakan dinamika tafsir pada tiap fase baik dari aspek perkembangan,  orientasi, maupun corak penafsirannya.

I.    Fase Pertama: Pada Masa Nabi dan Sahabat.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa Allah Swt mengutus para rasul-Nya dengan bahasa kaumnya masing-masing, sehingga para kaumnya dapat menerima pesan dari Nabi dan memahaminya, seperti yang disebutkan dalam firman Allah:

"Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka."12

Atas sunnatullah ini pula al-Qur'an diwahyukan kepada Rasulullah Saw, seperti firman Allah mengenai hal ini:

"Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Quran berbahasa Arab agar kamu mengerti."13

Dan juga firman yang lain:

"Dan sungguh (al-Quran) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa turun oleh Ar­ Ruh Al-Amin (f ibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orangyang memberi peringatan dengan berbahasa Arab yang jelas. "14

Dan sudah sewajarnya al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab kepada seorang rasul yang paling memahami bahasa Arab, kemudian Allah Swt menjaminkan setiap keterangan dan penjelasan tentang al-Qur'an tersebut, seperti di dalam firman-Nya:

''Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya ."15

Penting untuk diketahui, bahwa Rasulullah Saw memahami al-Qur'an baik secara global maupun secara spesifik. Tidak ada satu makna, rahasia, hikmah dan hukum pun yang lepas dari pengetahuannya, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Dan yang penting juga, para Sahabat Nabi juga turut menyak­ sikan atau mengalami proses selama penurunan wahyu al­ Qur'an. Mereka juga mengetahui sebab-sebab turunnya al­ Qur'an. Mereka memahami makna al-Qur'an secara global. Namun itu bukan berarti kami mengatakan bahwa mereka mengetahui rahasia-rahasia al-Qur'an dan makna-makna yang terkandung di dalamnya secara detail sehingga tidak ada satu rahasia pun yang tidak mereka ketahui. Orang-orang yang dalam penafsirannya mengandalkan pemahaman para Sahabat pun tidak mengatakan demikian, sebab keterangan dan peristiwa  yang  ada sudah jelas  menunjukkan  bahwa tidak semua Sahabat mengetahui proses penurunan wahyu secara utuh. Ada juga sebagian dari Sahabat Nabi yang tidak mengetahuinya, sehingga mereka hanya mengetahui sebagian saja dari kandungan al-Qur'an. Namun demikian, mereka tetap memiliki ketekunan untuk senantiasa mempelajari dan memahamai al-Qur'an, sebagaimana nanti akan dijelaskan hal tersebut insyaAllah.

Selain itu, para Sahabat Nabi, apabila belum diberitahukan beberapa ayat al-Qur'an kepada salah seorang dari mereka, maka mereka pun lantas tidak hanya tinggal diam dengan kebodohan mereka, melainkan mereka cepat-cepat mengadu pada Rasulullah untuk meminta penjelasan mengenai ayat tersebut beserta maknanya, atau mungkin mengadu kepada Sahabat lainnya yang lebih tahu dan bertanya  kepadanya tentang ilmu dan pengetahuan yang belum mereka ketahui.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama menge­ nai pengetahuan para Sahabat tentang al-Qur'an. Sebagian mereka berpendapat bahwa Rasulullah telah mengajarkan seluruh makna al-Qur'an kepada para Sahabat. Sebagian yang lain berpendapat bahwa Rasulullah telah mengajarkan makna al-Qur'an kepada  para Sahabat namun hanya sedikit saja. Pembicaraan tentang kedua kelompok tersebut tidak perlu kita diskusikan panjang lebar disini, dan memang keduanya juga tidak memiliki dasar petunjuk yang jelas. Namun berikut ini ada perkataan  dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh
 
Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya 16 bahwa pada dasarnya tafsir al-Qur'an itu ada empat macam:

1. Tafsir yang diketahui oleh orangArab dari pembicaraan mereka sendiri.
2.    Tafsir yang diketahui oleh setiap orang.
3.    Tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama.
4.    Tafsir yang tidak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah Swt.

Dengan perkataan Ibnu Abbas itu, orang yang digelari sebagai "Tarjuman al-Qur'an" atau "interpretator al-Qur'an': dapatlah menemukan kebenaran yang dapat menjawab perdebatan ulama tentang persoalan yang telah disinggung sebelumnya, yakni bahwa:

1. Sesungguhnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada Sahabat bagian yang pertama: yaitu tafsir yang pema­ hamannya didasarkan pada bahasa Arab, karena al­ Qur'an sendiri telah diturunkan dengan bahasa Arab yang bisa mereka pahami sendiri.

2.    Rasulullah juga tidak menjelaskan kepada para Sahabat bagian yang kedua, yaitu tafsir atau penjelasan yang memang sudah diketahui oleh setiap orang, dan tidak ada seorangpun yang tidak mengetahuinya.

3.    Namun Rasulullah juga tidak menjelaskan bagian yang keempat, yaitu yang ditutupi ilmunya oleh Allah Swt: seperti  tentang  kapan  tibanya   hari  kiamat,  tentang hakekat ruh, dan tentang beberapa hal gaib lainnya yang tidak pernah diberitahukan oleh Allah Swt kepada Nabi­ Nya.

Terkecuali;

1.    Rasulullah menjelaskan kepada para Sahabat beberapa perkara gaib yang tidak mereka ketahui namun diberi­ tahukan oleh Allah kepadanya, kemudian Allah meme­ rintahkan beliau untuk menerangkan perkara tersebut kepada mereka.

2.    Rasulullah juga menjelaskan kepada para Sahabat beberapa hal yang termasuk dalam bagian ketiga: yaitu pengetahuan yang diketahui oleh para ulama dengan mendasarkan pada ijtihad mereka, seperti pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat umum ( mujmal), tentang pengkhususan atas hal-hal yang masih bersifat umum (takhsish al-'am), tentang  pembatasan  terhadap  hal­ hal yang belum terbatas di dalam al-Qur'an ( taqyid al­ mutlaq) dan beberapa bagian lainnya yang maknanya masih tersembunyi sehingga dengan penjelasan Rasu­ lullah tersebut maksud dari al-Qur'an benar-benar ter­ sampaikan.

Dengan demikian, sebagian dari riwayat Sahabat seputar tafsir al-Qur'an sebenarnya berasal dari Rasulullah Saw, sementara sebagian lainnya, yang diragukan apakah memang benar berasal dari beliau sehingga membutuhkan analisis dan ijtihad lebih lanjut, berasal dari pikiran mereka sendiri. Para Sahabat menggali pengetahuan al-Qur'an berdasarkan pikiran  dan ijtihad mereka  sendiri, dengan mengandalkan dari apa-apa yang mereka ketahui tentang bahasa Arab dan rahasianya, dari tradisi bangsa Arab, dari adat yang telah mereka ikuti, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika wahyu al-Qur'an diturunkan, dan dari cerita-cerita para ahli kitab yang berada di wilayah jazirah Arab ketika al-Qur'an diturunkan, selain juga memang berkat kuatnya pemahaman dan luasnya pengetahuan mereka sendiri. Sayyidina Ali r.a pernah berkata ketika ditanya:

"Engkau tahu ada wahyu selain yang ada daZam Kitab Allah? Ia berkata: demi Dzat yang membelah biji-bijian dan membersihkan jiwa. Saya tidak mengetahui kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada seorang Zaki-Zaki daZam aZ-Qur'an" 17

Di sini dapat dipastikan , bahwa perkataan Ali r.a. yang berbunyi: "Saya tidak mengetahui kecuaZi pemahaman yang Allah berikan kepada seorang Zaki-Zaki daZam aZ-Qur'an" tersebut membantu menguatkan apa yang telah dinyatakan sebelumnya: bahwa sesungguhnya para Sahabat pun masih saling berbeda pendapat dan pandangan satu sama lain dalam memahami al-Qur'an, serta masih banyak juga kandungan makna al-Qur'an yang tidak mereka ketahui.

Apabila dirujuk kembali pada masa Sahabat, maka diketahui bahwa banyak dari kalangan Sahabat yang hanya mencukupkan diri mengetahui makna global saja dari ayat-ayat al-Qur'an. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits dari Abu 'Ubaidah tentang bab keutamaan dari Anas r.a:
 
bahwa sesungguhnya Umar bin Khatab membaca ayat di atas mimbar "wa fakihatan wa abba'', lalu kemudian ada Sahabat yang berkata: kalau "fakihatan" ini kita semua telah mengetahuinya maknanya, lantas apa yang dimaksud "abba"? Kemudian ia menyesali diri sendiri seraya berkata: "Demi Allah wahai Ibnu Khattab, hal ini adalah takalluf'.

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu 'Ubaidah selepas kembali dari perjalanan jihad, di mana ia mendapati Ibnu Abbas r.a berkata: dulu saya tidak pernah mengetahui apa yang dimaksud fatiru as-samawati wal ardh hingga suatu saat datang dua orang Badui yang sedang berbantah­ bantahan di sumur, dan salah satu di antara mereka berkata: anaf atartuha, maksudnya adalah: akulah yang membuatnya pertama kali ( ana ibtadatuha). Tidak ada yang buruk dan salah dalam hal ini, sebab sebenarnya memang tidak ada yang mengetahui semua makna bahasa Arab kecuali orang yang ma'sum, di samping tidak dipungkiri pula bahwa setiap orang tidak menjamin bisa mengetahui semua makna kata bahasa kaumnya sendiri.

Kemudian apabila merujuk sekali lagi pada para Sahabat, maka akan ditemukan juga bahwa di antara para Sahabat Nabi pun ada pula yang memahami ayat al-Qur'an bukan pada maksud yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Adi Ibnu Halim belum faham makna firman Allah: "wa kulu wasyrabu  hatta yatabayyana  lakum al-khait
  al-abyadu min al-khait al-aswadi min al-fajr"is, hingga ia mengambil tali putih dan tali hitam, dan pada suatu malam ia memandangi keduanya tapi ternyata tidak tampak terang juga perbedaan keduanya, lalu pada pagi harinya ia memberitahukan pada Rasulullah permasalahan ini, maka Rasulullah pun menyindir pemahamannya yang sempit itu untuk kemudian menjelaskan maksud sebenarnya dari ayat tersebut. i

Dan apabila merujuk kembali untuk ketiga kalinya pada masa Sahabat, maka akan ditemukan di antara Sahabat golongan tua ada juga yang tidak mengetahui makna isyarat al-Qur'an sebaik pemahaman sebagian golongan Sahabat yang masih muda: hal ini seperti ditunjukkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya: dari Ibnu Abbas berkata: bahwa khalifah Umar kadang-kadang mempertemukan aku dengan para tokoh perang badar, dan sebagian mereka sering bertanya: mengapa engkau mengikutkan anak ini sedangkan kami juga memiliki anak seusianya? Umar berkata:  dia lebih tahu daripada kalian semua. Ketika suatu hari Umar mengumpulkan para Sahabat dan mengikutkanku bersama mereka, saya pun tidak mengira Umar memanggilku hanya untuk dipertemukan dengan mereka. Maka Umar bertanya: apa yang kalian ketahui tentang ayat: "idza jaa nashrullahi wa al-fath"? Sebagian mereka berkata: "Allah memerintahkan kita untuk memujinya dan memohon ampun apabila kita telah diberi pertolongan  dan kemenangan!" Sedangkan sebagian yang lain hanya diam dan tidak berkata apa-apa, maka Umar kemudian bertanya kepadaku. "Apakah kamu melihat seperti itu wahai Ibnu Abbas?" Aku pun lalu menjawab: "Tidak''. Umar berkata: "lantas bagaimana menurutmu?" Saya kata­ kan: ''Ayat ini menjelaskan perihal ajal Rasulullah Saw yang diberitahukan oleh Allah kepada beliau yang apabila datang pertolongan dan kemenangan dari Allah maka itu adalah tanda tibanya ajalmu (maka bertasbihlah dengan pujian terhadap Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya Ia adalah Maha Penerima Taubat)". Umar pun memungkasi: "Saya tidak mengetahui tentang hal ini kecuali dari apa yang telah kamu katakan itu!" 

Sumber-sumber Penafsiran Pada Masa Sahabat
Tidak ada penafsiran dari diri Rasulullah Saw sendiri yang disampaikan, kecuali dari sumber yang paling otentik yakni Allah Swt. Sebab dalam penafsirannya beliau mengam­ bil dari Allah Swt secara langsung atau dari al-Qur'an sen­ diri, ataupun berijtihad dengan  pendapatnya  sendiri, dan itu semua sejatinya bersumber dari Allah Swt  sendiri: "Dan tidaklah yang diucapk an itu (al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain ( al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). "20 Nanti akan disebutkan beberapa penjelasan Rasulullah Saw dalam penafsirannya.

Adapun para Sahabat Nabi, sumber-sumber penafsiran mereka ada empat:
 
Sumber pertama adalah al-Qur'an. Hal ini karena al­ Qur'an mencakup makna majazi dan juga makna alegori (ithnab), mencakup makna global dan makna spesifik, makna yang mutlak( muthlaq) danmakna yang terbatas ( muqayyad ), makna umum ( 'am) dan makna khusus ( khash), ada yang berbentuk majaz di satu tempat namun disebutkan secara terang di tempat yang lain, ada yang disebutkan secara global di satu bagian namun dijabarkan secara detail di bagian yang lain, ada yang disampaikan secara mutlak di satu sisi namun di sisi lain terikat dengan syarat tertentu, ada juga yang disebutkan secara umum di satu ayat namun dikhususkan di ayat yang lain.

Oleh karena itu maka barang siapa yang hendak menaf­ sirkan al-Qur'an harus mengamati al-Qur'an terlebih dahulu dan menklasifikasikan ayat-ayat berdasarkan satu tema tertentu, kemudian membandingkan ayat yang satu dengan ayat yang lain. Hal ini ditujukan agar supaya dapat membantu memahami ayat-ayat yang penuh majaz dengan ayat-ayat yang lebih terang, memahami ayat-ayat yang global dengan ayat­ ayat yang spesifik, menggunakan ayat yang mutlak terhadap yang terbatas, yang umum terhadap yang khusus. Inilah yang sering disebut dengan penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an (tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an) atau memahami maksud Allah Swt melalui apa yang disampaikan oleh Allah sendiri. Ini adalah sumber tafsir paling pokok di mana seseorang tidak diperbolehkan menawar-nawar atau mengabaikannya untuk sampai pada sumber-sumber yang lain.

Adapun contoh tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah: kemudian Adam menerima  beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.21 Kata "kalimat" ditafsirkan dalam ayat yang lain: keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang  merugi".22

2.    Firman Allah: "Sedangorang-orangyang mengikuti hawa nafsunya menghendaki agar kamu berpaling sejauh­ jauhnya ( dari kebenaran)' 123 • Kata sambung" alladzi" ditafsirkan sebagai "ahli kitab" dengan ayat yang lain: "tidaklah kamu memperhatikan orang yang telah diberi bagian Kitab ( Taurat)? M ereka membeli ( memilih) kesesatan dan mereka menghendaki agar kamu tersesat (menyimpang) dari jalan  (yang benar)' 124

3.    Dan contoh-contoh yang lain masih banyak lagi.
Sumber kedua adalah: Nabi Muhammad Saw, yaitu dengan merujuk kepada Rasulullah pada masa hidupnya, dan merujuk kepada sunnahnya pasca sepeninggalnya. Hal ini dikarenakan tugas Rasulullah Saw dengan diberi wahyu oleh Allah tidak lain adalah untuk menerangkannya kepada orang lain, termasuk kepada para Sahabatnya, seperti yang difirmankan Allah Swt dalam al-Qur'an: 
"Dan kami turunkan al-Quran kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkan."25

Dan juga seperti yang diperingatkan Rasulullah Saw sendiri dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Rasulullah Saw, bahwa beliau bersabda:

':....Ketahuilah sesungguhnya diberikan kepadaku al­ Kitab (al-Qur 'an) dan yang semisalnya (yakni as-Sunnah/ al-Hadits) bersamanya. Ketahuilah hampir tiba masanya seorang pria yang kenyang di atas singgasananya. Dia berkata: 'Wajib atas kalian berpegang dengan al-Qur 'an ini (saja). Apa yang k alian dapatkan di dalamnya sesuatu yang halal, maka halalk anlah, dan apa yang kalian dapatkan di dalamnya sesuatu yang haram maka haramkanlah...." (al-Hadits)

Di antara contoh tafsir al-Qur'an dengan hadits Rasulullah ini (tafsir al-Qur'an bi al-Sunnah) adalah:

1. Hadits dari Imam Tirmidzi dari Ali r.a berkata: saya telah menanyakan kepada Rasulullah Saw tentang "yaum al-hajji al-akbar" ( hari haji akbar) 26 maka Rasulullah kemudian menjawab: maksudnya adalah hari qurban.

2.    Dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya dari Uqbah Ibnu Amir berkata: saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: ketika beliau di atas mimbar: "danpersiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki''27maksud nya yaitu "kekuatan memanah".

3.    Dan masih banyak lagi contoh-contoh dari tafsir ini. Dalam buku-buku sunnahjuga sudah banyak disebutkan.

Sumber ketiga adalah ijtihad dan istimbath hukum. Arti­ nya: bila para Sahabat belum menemukan penafsiran yang sesuai dengan kitab Allah dan menemukan kesulitan dalam merujuk kepada penafsiran melalui hadits Nabi baik secara langsung maupun melalui perantara, maka saat itulah ijtihad menjadi wajib bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Kondisi inilah yang sebetulnya membutuhkan analisa dan ijtihad. Adapun untuk hal-hal yang mungkin bisa diselesaikan cukup hanya dengan mengandalkan pema­ haman bahasa, maka hal itu tidak memerlukan analisa­ analisa yang lebih mendalam. Hal ini mengingat para Sahabat Nabi notabenenya adalah orang Arab asli, yang mengetahui dialektika orang Arab dan penempatannya dalam perkataan, mengetahui lafadz-lafadz dalam bahasa Arab beserta makna­ maknanya seperti yang digunakan dalam syi'ir-syi'ir jahiliah yang menjadi kebanggaan orang-orang Arab, sebagaimana dikatakan Umar bin Khatab r.a.

Adapun perangkat yang digunakan oleh para Sahabat dalam berijtihad mencakup di antaranya:
1.    Pemahaman mengenai susunan bahasa Arab dan raha­ sia-rahasianya. Hal ini sangat membantu mereka dalam memahami ayat-ayat yang sulit dipahami dengan selain bahasa Arab.

2.    Pemahaman mengenai tradisi bangsa Arab. Hal ini dapat membantu mereka dalam memahami berbagai ayat yang ada kaitannya dengan bentuk tradisi tertentu di kalangan orang Arab.

3.    Pemahaman mengenai kondisi kaum Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab ketika masa penurunan wahyu al-Qur'an. Hal ini dapat membantu mereka memahami ayat-ayat yang menunjukkan isyarat kepada perilaku kaum Yahudi dan Nasrani maupun kepada penentangan terhadap peri­ laku tersebut.

4.    Pemahaman mengenai asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), mulai dari peristiwa-peristiwa yang terjadi beserta respons al-Qur'an terhadap peristiwa tersebut. Hal ini dapat membantu mereka dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an yang sangat banyak jumlahnya. Al­ Wahidi berkata: "seseorang tidak akan mungkin dapat memahami tafsir ayat al-Qur'an tanpa mengetahui kisah yang melatarbelakangi ayat tersebut atau keterangan mengenai diturunkannya  ayat tersebut"28 •

5.    Pemahaman yang kuat dan pengetahuan yang luas. Ini merupakan keutamaan yang diberikan oleh Allah Swt kepada setiap hamba- Nya yang Dia kehendaki. Hal ini dikarenakan banyak dari ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung makna yang mendalam dan maksud yang tersembunyi, yang tidak tampak kecuali bagi siapa saja yang diberikan kemampuan pemahaman dan cahaya intuisi secara khusus. Ibnu Abbas adalah salah seorang yang diberikan banyak kemampuan tersebut. Ini adalah berkat doa Rasulullah Saw yang secara khusus beliau panjatkan untuk dirinya: "Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama dan anugerahkanlah kepadanya penakwilan''.29
Sumber keempat adalah orang-orang ahli kitab dari kala­ ngan Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya al-Qur'an me-miliki kesamaan dengan kitab Taurat dalam beberapa permasalahan, khususnya mengenai kisah-kisah para Nabi dan kisah-kisah umat-umat masa silam.

Al-Qur'an mengandung beberapa hal yang juga tertera dalam kitab Injil, seperti kisah tentang kelahiran Nabi Isa a.s. dan mukjizat yang dimilikinya. Meskipun demikian, al­ Qur'an menggunakan manhaj yang berbeda dengan manhaj yang dipakai dalam kitab Taurat dan Injil. Al-Qur'an tidak mendeskripsikan masalah tertentu secara  detail dan tidak menceritakan kisah tersebut secara menyeluruh dari berbagai sisi sebagaimana yang terdapat dalam Taurat maupun Injil. Al-Qur'an hanya mendudukkan kisah-kisah tersebut semata­ mata sebagai ibrah atau pelajaran agar dipetik oleh umat Islam.

Ketika para Sahabat memerlukan penjelasan yang lebih rinci, sempurna, dan jelas  tentang kisah dan riwayat yang tidak diterangkan secara rinci dalam al-Qur'an, sebagian Sahabat kemudian merujuk kepada penjelasan para ahli kitab yang masuk Islam, seperti misalnya Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar, dan tokoh-tokoh lainnya dari kalangan ulama Yahudi dan Nasrani. Ini dilakukan karena mereka tidak mendapat penjelasan apapun mengenai hal ini dari Rasulullah Saw. Seandainya mereka telah mendapatkan penjelasan dari Rasulullah Saw tentu mereka tidak perlu harus rela mencari-cari keterangan dari orang lain yang bahkan telah ditundukkan.

Meskipun perujukan sebagian Sahabat kepada para ahli kitab ini tidak memiliki signifikansi terhadap penafsiran dari ketiga sumber sebelumnya di atas, tetapi ini menjadi sumber penafsiran yang sifatnya terbatas. Hal ini karena memang disadari bahwa kitab Taurat dan Injil telah mengalami banyak penggantian dan kerancuan di dalamnya. Dan sudah barang tentu para Sahabat sendiri menyadari bahwa mereka harus senantiasa menjaga aqidah dan membentengi al-Qur'an agar tidak dipahami maknanya sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab terdahulu tersebut yang notabenenya sudah tidak valid lagi. 

Para Penafsir dari Kalangan Sahabat
Para Sahabat yang masyhur dalam menafsirkan al-Qur'an jumlahnya sedikit. Imam Suyuti telah menghitung dalam kitab al-Itqannya beberapa orang dari kalangan Sahabat yang masyhur dan paling ahli dalam penafsiran al-Qur'an, mereka itu adalah:
1.   Abu Bakar As-Siddiq
2. Umar bin Khatab
3.    Utsman bin Affan
4.    Ali bin Abi Thalib
5.    Ibnu Mas'ud
6.    Ibnu Abbas
7.    Ubay bin Ka'ab
8.    Zaid bin Tsabit
9. Abu Musa Al-As'yari
10. Abdullah bin Zubair

Ada pula dari kalangan Sahabat yang memberikan komentar dan berbicara tentang penafsiran al-Qur'an selain yang disebutkan di atas, di antaranya:
1.    Anas bin Malik
2.    Abu Hurairah .
3.    Abdullah Ibnu Umar
4.    Jabir bin Abdillah
5.    Abdullah Ibnu Amr bin Ash
6.    'Aisyah Ummul Mu'minin

Masih ada empat Sahabat lainnya yang juga masyhur dalam penafsiran al-Qur'an dan menjadi sumber rujukan bagi penukilan oleh para penulis tafsir generasi berikutnya, keempat orang itu adalah:
1.    Abdullah Ibnu Abbas
2.    Abdullah Ibnu Mas'ud
3.    Ali bin Abi Thalib
4. Ubay bin Ka'ab

Urutan nama-nama  di atas disesuaikan berdasarkan banyaknya periwayatan yang mereka hasilkan.

Nilai dan Kedudukan Tafsir bi al-Ma'tsur dari Sahabat Nabi.
Nilai tafsir bi al-ma'tsur dari para Sahabat dapat diringkas di antaranya sebagai berikut:

1. Apabila penafsiran oleh para Sahabat dilengkapi dengan asbabun  nuzul  dan tidak tercampur  dengan  pendapat ( ray) seseorang dalam  penafsiran tersebut, maka itu dapat dihukumi sebagai marfu' (tersambung) hingga Rasulullah Saw. Dalam penafsiran ini para Sahabat tidak mencampuradukkan  dengan  pendapat  mereka  sendiri sehingga dipastikan itu benar-benar dari Rasulullah Saw. Sehingga, hukum pemakaian penafsiran ini adalah wajib dan telah disepakati bahwa tidak boleh menentang atau menolaknya.

2.    Apabila dalam penafsiran para Sahabat tersebut terdapat ruang bagi ray (pendapat) mereka, maka penafsiran tersebut menjadi mauquf (terhenti) sepanjang tidak disandarkan pada Rasulullah Saw. Para ulama berselisih pendapat mengenai kadar penafsiran ini. Sebagian kelompok ulama berpendapat bahwa penafsiran tersebut tidak wajib dipakai, sebab ketika penafsiran tersebut tidak mencapai sanad hingga Rasulullah Saw berarti diketahui ada ijtihad di dalamnya, dan seorang mujtahid bisa jadi salah dan bisa jadi juga benar. Bila Sahabat berijtihad, maka kedudukan  mereka  seperti layaknya para mujtahidin yang lain.

3.    Adapun sebagian kelompok ulama yang lain berpendapat bahwa kita juga wajib untuk memakai penafsiran mauquf tersebut, berdasarkan anggapan atau prasangka bahwa Sahabat mendengar dari Rasulullah Saw. Dan seandainya pun Sahabat melakukan ijtihad, maka ijtihad mereka adalah benar, sebab mereka adalah orang yang paling tahu tentang kitab Allah daripada generasi-generasi sesudahnya.

Keistimewaan Tafsir Pada Masa Sahabat
Penafsiran pada masa Sahabat memiliki beberapa keisti­ mewaan di antaranya:

1.    Pada masa Sahabat, al-Qur'an tidak ditafsirkan secara menyeluruh, melainkan hanya sebagian saja. Hal-hal yang tidak diketahui maknanya oleh para Sahabat bisa langsung dipertanyakan kepada Rasulullah Saw.

2.    Dalam tafsir pada masa Sahabat ini tidak banyak ditemu­ kan ikhtilaf atau pertentangan pendapat.

3.    Dalam beberapa perkara, al-Qur'an cukup dipahami maknanya secara global saja, seperti pada kalimat: "wa fakihatan wa abba" 30 • Itu adalah simbol alangkah banyak­ nya nikmat Allah Swt yang diberikan kepada hamba- Nya. Lantas apakah "abba"? Itu adalah takalluf, seperti yang dikatakan oleh Umar bin Khatab r.a dan telah diterangkan kisahnya dalam bahasan sebelumnya.

4.    Dalam konteks penjelasan ayat secara linguistik, mere­ ka cukup puas dengan menggunakan penjelasan yang seringkas mungkin, seperti dalam kalimat "ghairu mutajanifin liitsmin" (tanpa sengaja berbuat dosa)31, yang dijelaskan maknanya sebagai: "ghairu muta'arridin lima'shiatin" (tidak menghalangi maksiat) . Dan apabila mereka membutuhkan penjelasan yang lebih, mereka pun merujuk kepada sebab-sebab turunnya ayat tersebut.

5.    Mereka jarang melakukan penggalian hukum fiqhiah secara ilmiah dari al-Qur'an, dan mereka tidak mengung­ gulkan satu madzhab keagamaan tertentu. Hal ini mengingat perlunya kesadaran akan persatuan akidah mereka, di samping karena memang perbedaan antar madzhab tidak ditemui kecuali setelah zaman Sahabat.

6.    Tidak ada kodifikasi apapun tentang tafsir sebagai sebuah bidang ilmu selama masa Sahabat, sebab kodivikasi ber­ bagai cabang keilmuan Islam barn dimulai pada abad kedua hijriah.

7. Tafsir pada periode Sahabat Nabi masih menggunakan hadits ( bil  hadits). Penafsiran saat itu masih sebatas berupa periwayatan yang masih tersebar mengenai ayat­ ayat al-Qur'an yang juga masih terpisah-pisah. Mereka bertanya kepada Rasulullah Saw tentang makna suatu ayat al-Qur'an, kemudian  beliau menjawab  sesuai apa yang dikehendaki oleh Allah Swt, kemudian sebagian dari Sahabat membawa penjelasan dari Rasulullah Saw itu dan meriwayatkannya kepada siapa saja yang belum pernah mendengarnya, atau kepada para Tabi'in yang belajar kepada Sahabat. Sehingga secara umum, pada periode ini, tafsir tidak melampaui metode riwayat32, dan itulah asal usul pengertian tafsir bi al-ma'tsur yang akan dibahas pada penjelasan selanjutnya. 

II.   Fase Kedua: Pada Masa Tabi'in

Permulaan Masa Tabi'in
Fase penafsiran yang pertama selesai dengan terputusnya periode Sahabat Nabi sehingga dilanjutkan dengan fase yang kedua yaitu oleh para Tabi'in yang telah berguru kepada para Sahabat. Mereka pernah duduk bersama para Sahabat dan menimba ilmu dari mereka. Sebagaimana ada sebagian Sahabat yang pandai dalam hal penafsiran al-Qur'an, begitu pula ada sebagian dari kalangan Tabi'in yang pandai dalam bidang tersebut.

Sumber-sumber Penafsiran Pada Masa Tabi'in.
Sebagaimana pada zaman Sahabat di mana terdapat bebe­ rapa sumber yang menjadi bahan rujukan dan penafsiran, begitu pula dengan zaman Tabi'in, juga terdapat beberapa sumber dan bahan rujukan dalam penafsiran . Adapun perbedaan dalam hal sumber penafsiran antara masa Sahabat dengan masa Tabi'in hanyalah sederhana dan tidak terlalu signifikan mengingat jarak antara kedua zaman tersebut yang sangat berdekatan . Sumber-sumber penafsiran pada fase Tabi'in yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur'an al-Karim. Seorang penafsir tidak boleh menye­ leweng dari sumber utamanya yaitu al-Qur'an dan berpaling kepada sumber yang lain.

2.    Perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah Saw secara jelas mengenai tafsir al-Qur'an. Al-Qur'an menegaskan, "inhuwa ilia wahyunyuha': bahwa "ucapan (Muhammad) itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya''.33

3.    Penafsiran-penafsiran yang diriwayatkan dari para Sahabat, sebab mereka adalah orang yang hidup semasa dengan Rasulullah Saw, semasa dengan peristiwa penuru­ nan wahyu al-Qur'an, dan mereka juga mengetahui sebab-sebab turunnya wahyu al-Qur'an.

4.    Penukilan dari cerita-cerita para ahli kitab dan dari apa yang termaktub dalam kitab mereka, seperti yang telah kita jelaskan dalam pembahasan mengenai hal ini dalam fase Sahabat di atas, meskipun sebagian dari Tabi'in juga ada yang berlebih-lebihan dalam pengutipan itu dan tidak bersikap hati-hati serta tidak memperhatikan validitas atau kesahihannya.

5.    Metode ijtihad dan analisis yang dibukakan oleh Allah Swt bagi mereka untuk memahami kitab-Nya.
 
Gerakan Penafsiran dan Sekolah Tafsir Pada Masa Tabi'in.
Pada pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa apa yang dinukil dari Rasulullah Saw tentang tafsir al-Qur'an jumlahnya masih sedikit, begitu pula penukilan dari para Sahabat. Hal ini lumrah, sebab bangsa Arab pada saat itu notabenenya masih murni. Mereka tidak menemukan keti­ dakjelasan perihal ayat-ayat al-Qur'an kecuali hanya bebe­ rapa hal yang kecil dan mudah diselesaikan.

Ketika zaman Rasulullah Saw dan Sahabatnya berlalu, dan masuk pada periode Tabi'in, di situlah ketidakjelasan mulai semakin bertambah, dan mereka pun membutuhkan orang-orang yang dapat menjelaskan dan memberikan pemahaman tentang ketidakjelasan itu. Namun yang mereka dapati hanyalah parafuqaha dari kalangan Tabi'in sendiri dan para ulama. Para Tabi'in pun kemudian mempertanyakan perihal ketidakjelasan ayat yang mereka temukan itu kepada mereka. Para fuqaha dan para ulama kemudian menafsirkan ayat tersebut untuk para Tabi'in dan menjelaskan kepada mereka dengan penafsiran mereka sendiri. Dengan demikian, seiring dengan bertambahnya ketidakjelasan yang mereka alami, para Tabi'in pun semakin mengalami perkembangan dalam hal penafsiran  al-Qur'an.
Begitulah dinamika perkembangan penafsiran, bergerak dan berjalan dalam pertumbuhan yang berkelanjutan seiring dengan munculnya berbagai ketidakjelasan makna hingga akhirnya ketidakjelasan itu dapat diselesaikan dengan penaf­ siran terhadap seluruh isi kandungan  al-Qur'an.
 
Dinamika tafsir yang telah berjalan semenjak Rasulullah Saw dan para Sahabatnya, semenjak di Darul Hijrah, tidaklah berhenti. Sebaliknya, kita melihat dinamika tersebut berjalan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para Sahabat yang masyhur dalam penafsiran. Dinamika itu berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan mereka. Ketika mereka berpindah ke Makkah setelah Fathul Islami (Fathu Makkah), maka penafsiran pun ikut berpindah ke sana. Ketika sebagian mereka menetap di Madinah, maka penafsiran juga turut menetap disana. Ketika sebagian mereka berangkat menuju Irak, maka penafsiran pun juga turut berangkat kesana. Dan di berbagai tempat di mana saja para ahli tafsir menetap, disanalah manusia berkumpul menggali ilmu tentang al­ Qur'an, di mana para ahli tafsir menafsirkan kitab al-Qur'an bagi mereka sehingga mereka dapat mengambil ilmu darinya dan mewariskannya nanti bagi generasi setelah mereka. Para ulama generasi Sahabat juga telah mendirikan berbagai madrasah tafsir al-Qur'an di berbagai tempat di mana banyak dari kalangan Tabi'in berguru kepada mereka di madrasah tersebut. Di antara madrasah yang terkenal adalah:

Pertama: mad rasah tafsir di Makkah. Madrasah ini didirikan oleh Sahabat Abdullah ibnu Abbas. Murid-murid dari kalangan Tabi'in yang terkenal dan berasal dari madrasah ini adalah:
1.    Said bin Zubair
2.    Mujahid bin Zubair
3.    Ikrimah Maula bin Abbas
4.    Thawus bin Kaisan al-Yamani
5.    Atha' bin Abi Rabah

Kedua: madrasah tafsir di Madinah. Mad rasah ini didirikan oleh Sahabat Ubay bin Ka'ab. Murid-murid yang masyhur dari kalangan Tabi'in yang berasal dari madrasah ini di antaranya:
1.    Abu Aliyah
2.    Rafi' bin Mahran ar-Rayahi
3.    Muhammad bin Ka'ab al-Quradziy
4.    Zaid bin Aslam

Ketiga: madrasah tafsir di Irak. Madrasah ini didirikan oleh Sahabat Abdullah bin Mas'ud. Murid -muridnya yang masyhur dari kalangan Tabi'in dan berasal dari sekolah ini di antaranya:
1.    Alqamah bin Qais an-Nakhi
2.    Masruh bin Ajda
3.    Al-Hamdani al-Aswad bin Yazid an-Nakhi
4.    Murrah al-Hamdani
5.    Amir al-Sya'bi
6.    Hasan Al-Bashri
7.    Qatadah bin Diamah Sadusi

Mereka semua adalah para penafsir yang masyhur dari kalangan Tabi'in. Ketiga madrasah tersebut menjadi tempat di mana mereka semua menyandarkan pembelajaran mereka. Di sana para Sahabat menjadi guru dan sekaligus sebagai tempat mereka menggali ilmu tentang penafsiran al-Qur'an. Dan tidak diragukan pula bahwa para guru dan murid dari kalangan Sahabat dan Tabi'in itu pun telah mencapai tingkat yang agung dalam hal ilmu tentang kitab Allah (' Ulum al­ Qur'an). Atas semua ini, semoga Allah Swt meridhai mereka semua dan menjadikan surga sebagai tempat tinggal mereka. 

Nilai dan Kedudukan Tafsir al-Ma'tsur Dari Para Tabi'in
Para ulama berbeda pendapat perihal nilai penafsiran yang dilakukan oleh para Tabi'in dan mengenai pemakaian perkataan dari para Tabi'in ( aqwal al-Tabi 'in) yang tidak me­ ngandung atsar yang valid dari Rasulullah Saw dan Sahabat Nabi r.a. Singkatnya bisa dinyatakan begini:
Imam Ahmad r.a. menyatakan bahwa terdapat dua riwa­ yat tentang nilai dan kedudukan tafsir bi al-ma'tsur yang berasal dari para Tabi'in. Pertama riwayat yang menerima tafsir tersebut, dan kedua riwayat yang menolak atau tidak menerimanya.

Pertama, sebagian ulama berpendapat, dan diceritakan pula oleh Syu'bah, bahwa tafsir yang dilakukan oleh para Tabi'in tidak diakui dan tidak dipakai. Alasannya adalah karena para Tabi'in tidak pernah mendengarkan perkataan dan kabar langsung dari Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, tidak mungkin para Tabi'in bisa mengeluarkan penafsiran atau penjelasan otentik seperti yang ada dalam tafsir dari para Sahabat. Para Sahabat mampu memberikan penafsiran secara otentik karena memang mereka menyimak dan merekam secara langsung dari Rasulullah Saw. Sedangkan para Tabi'in, mereka belum pernah menyaksikan zaman dan keadaan ketika al-Qur'an diturunkan. Dengan demikian, boleh jadi para Tabi'in memiliki kesalahan dalam memahami maksud dan makna teks al-Qur 'an. Jadi, para ulama mengatakan, tingkat otentisitas penafsiran Tabi'in tidak sama dengan tingkat otentisitas penafsiran Sahabat: diriwayatkan oleh Abu Hanifah r.a. bahwa ia mengatakan : "apa yang datang dari Rasulullah Saw adalah benar secara mutlak; apa yang datang dari Sahabat relatif bisa kita memilah-milahnya ; dan apa yang datang dari Tabi'in adalah sama dengan pendapat kita biasa:'

Kedua, sebagian besar ulama berpendapat bahwa perka­ taan Tabi'in ( aqwal al-Tabi'in) berlaku sebagai tafsir, sebab para Tabi'in di dalam menafsirkan al-Qur'an juga menggali ilmu terlebih dahulu atau bertalaqqi kepada para Sahabat. Mujahid, misalnya, seorang tabi'i, pernah mengatakan :"saya membaca al-Qur'an di depan Ibnu Abbas hingga tiga kali, setiap selesai satu ayat saya berhenti dan bertanya kepadanya: kapan diturunkannya ayat ini? dan bagaimana kondisi saat itu ketika diturunkannya ayat ini?34 ". Dan Qatadah, juga seorang tabi'i, berkata :"tidak ada satu ayat pun dalam al­ Qur'an kecuali aku telah mendengar sesuatu tentang ayat tersebut"35• Oleh sebab itulah banyak penafsir al-Qur'an yang tetap mencantumkan aqwal al-Tabi'in sebagai sumber di dalam kitab tafsir mereka. Mereka meriwayatkan dari para Tabi'in dan tetap menyandarkan pada perkataan mereka.

Namun pandangan yang cenderung diterima terkait persoalan ini adalah: bahwa perkataan Tabi'in dalam tafsir dapat diterima kecuali untuk persoalan-persoalan yang sudah jelas dan tidak lagi membutuhkan ra'y atau pendapat. Selain itu perkataan Tabi'in bisa dipakai dan dijadikan acuan dengan syarat tidak ada keraguan atas keotentikannya, sehingga apabila kita ragu- ragu dan curiga bahwa perkataan itu diambil dari ahli kitab, maka kita pun juga harus meninggalkan perkataan itu dan tidak lagi memakainya. Namun apabila para Tabi'in secara umum memang sudah sepakat dan mem­ benarkan perkataan tersebut sehingga kebanyakan Tabi'in membenarkan, mengakui, dan menerimanya, maka kita pun juga harus menerima dan boleh menyandarkan pada perkataan Tabi'in tersebut. 

Keistimewaan Tafsir Pada Masa Tabi'in
Tafsir yang dikembangkan pada masa Tabi'in ini memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya:
Pertama, banyak kisah-kisah israiliyat dan nasraniyat yang masuk dalam tafsir yang dikembangkan pada masa Tabi'in ini. Sebagian Tabi'in bersikap ramah dan akomodatif terhadap israiliyat dan nasriyat, sehingga mereka banyak mengadopsi keduanya, terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa sumber ini telah dipakai dalam penafsiran mereka, dan juga oleh para penafsir setelah mereka.

Kedua, penafsiran para Tabi'in dikembangkan dengan metode talaqqi (perjumpaan langsung) dan riwayat (periwa­ yatan), meskipun proses talaqqi tersebut tidak diikuti oleh para Tabi'in secara menyeluruh sebagaimana yang terjadi pada zaman Nabi, melainkan bersifat khusus, yakni talaqqi antara para Tabi'in dengan tokoh-tokoh di kota mereka dari kalangan Sahabat: artinya orang-orang Makkah bertalaqqi kepada Ibnu Abbas, orang-orang Madinah bertalaqqi kepada Ubay bin Ka'b, dan orang-orang Iraq bertalaqqi kepada Ibnu Mas'ud. Beginilah proses talaqqi dan riwayat itu berlangsung.

Ketiga, banyak tafsir yang dikembangkan para penafsir pada masa Tabi'in iniyang dipengaruhi oleh berbagai madzhab keagamaan yang muncul pada masa itu. Seperti contohnya kita mengenal Qatadah bin Da'amah as-Sadusi, yang banyak membahas tentang penafsiran seputar qada' dan qodar, dan mengaku sebagai seorang penganut aliran Qadariyah. Kita j uga mengenal nama yang lain, Hasan al-Basri, yang menaf­ sirkan al-Qur'an dalam rangka mengukuhkan konsep qodar dan mengklaim bahwa siapapun yang mengingkari qodar Allah adalah kafir.Keempat, banyak penafsiran para penafsir dari kalangan Tabi'in yang berbeda dengan penafsiran para penafsir dari kalangan Sahabat, meskipun perbedaan itu relatif sedikit jika dibandingkan dengan yang terjadi dalam dinamika penaf­ siran kontemporer.

III. Fase Ketiga: Pada Masa Kodifikasi 

Permulaan Masa Kodifikasi
Fase kodifikasi sebagai fase ketiga dalam perkembangan tafsir dimulai sejak dikenalnya metode kodifikasi atau pembu­ kuan, yaitu pada periode akhir khilafah bani Umayyah dan periode awal khilafah bani Abbasiyah.
 
Perkembangan Periodik Pada Masa Kodifikasi
Dalam fase kodifikasi tafsir ini, beberapa tahap perkem­ bangan telah terjadi. Tahap yang pertama tidak lain adalah fase pertama dan fase kedua yang telah dijelaskan , yaitu fase periwayatan tafsir bi al-ma'tsur dari Rasulullah Saw dan para Sahabat serta Tabi'in. Pada fase ini belum ada kodifikasi tafsir yang sistematis. Tidak ada metode bagi tafsir pada fase pertama dan kedua ini kecuali dengan metode periwayatan, sebab metode pembukuan  atau kodifikasi, dan termasuk di antaranya kodifikasi ilmu tafsir, barn dimulai setelah masa Tabi'in, fase yang kedua.

Setelah fase Tabi'in, tibalah fase yang  ketiga,  yaitu fase kodifikasi keilmuan, dan itulah awal mula tahap yang ked ua dari perkembangan kodifikasi. Tahap ini dimulai dengan kodifikasi terhadap hadits Nabi. Waktu itu, tafsir masih menjadi salah satu bab dari bab-bab yang ada dalam kodifikasi hadits dan belum menjadi bab yang berdiri sendiri. Pada waktu itu juga belum ada kumpulan hadits yang secara khusus menafsirkan al-Quran dengan tertib dari surat ke surat, dari ayat ke ayat, dari awal ayat hingga akhir ayat. Yang barn ada pada saat itu adalah bahwa para ulama berkeliling dari satu kota ke kota yang lain dalam rangka mengumpulkan hadits-hadits Nabi. Inilah kodifikasi tafsir pertama melalui hadits yang disandarkan pada Nabi, para Sahabat, dan para Tabi'in. Di antara ulama yang mengkodifikasi tafsir ini yaitu Yazid bin Harnn as-Salami, wafat 117 H, dan Syu'bah bin Hajjaj, wafat 160 H.
 
Kemudian mulailah tahap berikutnya, tahap yang ketiga, yaitu tahap ketika tafsir mulai memisahkan diri dari hadits dan terkodifikasi menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Penafsiran terhadap al-Qur'an mulai dilakukan ayat per ayat dan surat per surat secara tertib berdasarkan urutan dalam al-Qur'an. Upaya ini dilakukan oleh sejumlah ulama di antaranya: Ibnu Majah, yang wafat 273 H, dan Ibnu Jarir at-Tabari, yang wafat pada 310 H, dan lain sebagainya. Seluruh penafsiran al­ Qur'an yang dilakukan oleh ulama ini menggunakan metode periwayatan yang sanadnya bersumber dari Rasulullah Saw, para Sahabat, para Tabi'in, dan pengikut Tabi'in. Penafsiran al-Qur'an pada  masa itu masih menggunakan  corak tafsir bi al-ma'tsur,  artinya menafsirkan dengan mengandalkan periwayatan saja, kecuali mungkin penafsiran Ibnu Jarir at-Tabari, sebab di dalam tafsirnya ia menyebutkan qaul atau perkataan dari riwayat, kemudian mengarahkannya, mentarjih riwayat yang satu terhadap yang lain, dan menambahkan i'rab kalimat ketika memang itu dibutuhkan dalam penafsiran,  selain juga melakukan istimbath hukum berdasarkan ayat-ayat Qur'an. Kita akan kembali membahas hal ini nanti, khususnya menyangkut perbedaan antara riwayat ( riwayah) dan kodifikasi ( tadwin).

Tahap perkembangan kodifikasi tafsir berikutnya adalah tahap yang keempat, di mana dalam tahap ini tafsir al-Qur'an masih tetap bercorak tafsir bi al-ma'tsur, meskipun sudah mulai ada perubahan pola dalam hal pengambilan sanad. Perubahan yang terjadi di dalam tafsir di antaranya: sanad­ sanadnya mulai diringkas, banyak penafsir yang menukil perkataan   atau  pendapat   dari  para  penafsir   pendahulu mereka tanpa mencatat asal mula dan pemilik pendapat tersebut secara detail. Oleh karena itu, muncullah beberapa permasalahan dalam tafsir di tahap ini, yaitu bercampurnya antara riwayat pendapat yang sahih dan yang tidak sahih.

Tahap kelima dari perkembangan kodifikasi tafsir adalah tahap yang paling luas dan paling panjang, membentang sejak zaman bani Abbasiyah hingga zaman sekarang ini. Setelah sebelumnya usaha kodifikasi tafsir dilakukan hanya dengan meriwayatkan perkataan dari orang-orang terdahulu, maka kini, dalam tahap yang lebih panjang ini, kodifikasi tafsir dilakukan dengan mencampurkan tafsir bi al- 'aqli dengan tafsir bi al-naqli atau tafsir bial-ma'tsur, dan disinilah tafsir bi al-'aqli mulai menampakkan diri dan secara berangsur­ angsur terlihat semakin jelas.

Tafsir bi al-'aqli, yang disebut juga tafsir rasional, pada awalnya muncul dari upaya pemahaman terhadap pandangan individual, kemudian dilanjutkan dengan upaya pentarjihan terhadap satu pandangan atas pandangan yang lain, sehingga dengan demikian upaya pemahaman individual ini perlahan­ lahan berkembang dan akhirnya menjadi pengetahuan yang luas, ilmu yang bercabang-cabang, pemikiran yang beragam, dan bahkan menjadi beragam aqidah yang berlawanan satu sama lain. Bahkan ditemukan pula di antara  kitab-kitab tafsir bi al- 'aqli ini yang mengandung bahasan yang banyak sekali sehingga seolah-oleh tidak ada kaitannya dengan tafsir, sampai-sampai jika kita tidak membacanya dengan pikiran yang luas akan terkesan bukan merupakan kitab tafsir.
 
Pada tahap ini pula berbagai cabang ilmu bahasa disusun, termasuk di antaranya adalah ilmu nahwu dan ilmu sharf Masalah seputar aqidah atau kalam juga menjadi perdebatan yang menyeruak di zaman ini. Secara perlahan-lahan sikap ta'asub terhadap madzhab keagamaan juga semakin dominan pada zaman khilafah Abbasiyah sehingga memperkuat upaya berbagai firqah islamiyah dalam menyebarluaskan dan mendakwahkan pemikiran dan keyakinan madzhab mereka masing-masing. Selain itu, banyak buku-buku filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian, seluruh ilmu pengetahuan yang dikembangkan ini kemudian berjumpa dan bercampur menjadi satu di dalam tafsir. Walhasil, sisi rasional atau 'aqli tafsir akhirnya menjadi lebih dominan daripada sisi tekstual atau naqli.
Sesungguhnya kita bisa menyaksikan sendiri, bahwa di dalam menjelaskan dan mengungkapkan kandungan al­ Qur'an, kitab-kitab tafsir yang telah disusun oleh para penaf­ sir pada tahap ini memiliki jalur yang bermacam-macam, selain j uga menggunakan banyak sekali istilah-istilah ilmiah yang barn, serta coraknya juga beragam sesuai keragaman keyakinan madzhab mereka yang berbeda-beda . Hal ini menunjukkan adanya pengaruh peradaban, pemikiran filsafat, dan kemajuan ilmu pengetahuan yang telah dicapai umat muslim terhadap bidang penafsiran al-Qur'an. Kita juga bisa menyaksikan dengan jelas pengaruh ilmu tasawuf terhadap kemajuan penafsiran al-Qur'an, meskipun tidak dapat kita elakkan pula adanya dominasi yang sangat jelas oleh hasrat emosional dan hawa nafsu manusiawi.
 
Kita juga bisa menyaksikan dengan amat jelas, bahwa para ahli dalam bidang ilmu tertentu ternyata cenderung melakukan pendekatan dan penafsiran al-Qur'an sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya:

1. Ilmu nahwu, misalnya, tentu kita ketahui mengkaji sepu­ tar i'rab kalimat bahasa Arab dan mengkaji sisi-sisi terkait lainnya. Maka pendekatan dan penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh para ahli ilmu ini pun juga menyoroti seputar permasalahan nahwu dan cabang-cabangnya beserta perbedaan pendapat lainnya seputar persoalan nahwiyah di dalam al-Qur'an. Para ahli dalam bidang ini di antaranya Zujaj, dan al-Wahidi dengan tafsirnya al-Basith, serta Abu Hayyan dengan tafsirnya al-Bahru al-M uhith.

2.    Para ahli di bidang ilmu-ilmu yang bersifat akali(filsafat ) melakukan pendekatan dan penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan perkataan-perkataan para ahli hikmah dan filsafat serta dalil-dalil mereka beserta antitesanya, seperti yang dilakukan oleh Fakhrurrazi dalam tafsirnya M afatih al-Ghaib.

3.    Para ahli di bidang ilmu hukum (fiqh) melakukan pende­ katan dan penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan perspektif cabang-cabang ilmu hukum yang ada dengan sederetan madzhab-madzhabnya, serangkaian prinsip hukum yang digunakannya, serta ta'asub terhadap madzhab yang tidak dipungkiri adanya. Di antara para ahli itu adalah Jassash dari madzhab Hanbali dan Ibn 'Arabi dari madzhab Maliki.
 
4.    Para ahli di bidang sejarah (tarikh) memberikan perhatian pada kisah-kisah atau cerita-cerita sejarah. Pendekatan mereka dalam tafsir al-Qur'an adalah dengan menggali kisah dan cerita dari orang-orang terdahulu kemudian dipilah mana kisah yang valid dan yang tidak valid. Di antara para ahli tersebut adalah at-Tsa'labi dan al-Khazin.

5.    Para ahli bid'ah juga tak kalah dalam menyebarkan bid'ah mereka dalam penafsiran al-Qur'an, yang mereka lakukan dengan nafsu dan pemikiran madzhab mereka. Mereka antara lain Juba'i dan Zamaksyari dari madzhab Mu'tazilah, dan Muhsin al-Kasyi dari madzhab Syi'ah Imam Dua Belas.

6.    Para ahli bidang tasawuf (kaum sufi) dalam upaya penaf­ siran al-Qur'an ini juga turut berkontribusi lewat proses penggalian makna batin ( ma'nan isyari) sesuai dengan jalan keyakinan mereka sendiri, sesuai dengan tingkat olah batin (riyadah) mereka, dan sesuai kadar dan tingkat ketajaman hati (wijdan) mereka. Di antara mereka adalah Ibn 'Arabi dan Abi Abdurrahman as-Salami.

Demikianlah setiap ahli dalam bidang ilmu atau madzhab tertentu melakukan pendekatan dan penafsiran al-Qur'an sesuai dengan jalur keahlian mereka masing-masing dan pandangan madzhab keagamaan yang mereka yakini.

Kecenderungan ilmiah, akaliah, dan madzhabiah dalam perkembangan tafsir ini berlangsung terus-menerus, dan bahkan semakin meningkat dari zaman ke zaman  dengan peningkatan yang semakin matang, sebagaimana yang terjadi pada zaman kita sekarang ini di mana penafsiran al-Qur'an  berkembang sangat pesat. Beragam tafsir ilmiah beredar di zaman kontemporer, bahkan sampai ada penafsir yang merancang upaya di balik penafsirannya tersebut untuk mempertentangkan ayat-ayat al-Qur'an dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan yang ada sehingga justru keluar dari maksud dan tujuan hakiki penafsiran al-Qur'an itu sen­ diri.[] 

Footnote dan Referensi

12    Q.S. Ibrahim : 4
13    Q.S Yusuf : 2
14   Q.S As-Syuro : 192 - 195
15    Q.S. Al-Qiyamah : 18 -19
16    Juz I, ha! 52, cetakan: Al-Amiriah
17    Sahih Bukhari, Bab Jihad, Juz 3, Hal.69, Cetakan: 1320 H
18    Q.S. Al-Baqarah  187
19    Hadits dari Imam Bukhari di bab Tafsir
20    Q.S. An-Najm: 3 - 4
21    Q.S. Al-Baqarah : 37
22    Q.S Al-A'raf : 23 23  Q.S.An-Nisa : 27
24    Q.S An-Nisa : 44
25    Q.S An-Nahl : 44
26    Q.S At taubah : 3
27    Q.S Al-Anfal : 60
28    Asba b al-Nuzul, ha!. 5
29    Lihat penjelasan Ibnu Haj ar tentang periwayatan hadits ini dalam kitab Fath al-Bari Juz I hal. 124-125, Kitab al-Ilmi, Bab Qaul an-Nabi Saw.
30    Q.S. Abasa: 17
31    Q.S. Al-Maidah: 3

32    Kami tidak memungkiri adanya tafsir Tanwir al-M iqbas yang seringkali dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, hanya saj a penisbahan tafsir tersebut kepadanya dianggap tidak valid.
33    Q.S. An-Najm: 4
34    Tahdzib al-Tahdzib, Juz 10, ha!. 42, cet: India, tahun 1425 H.
35    Muqaddimah lbnu TaimiyahJi Usuli Tafsir, hal.28,diriwayatkan oleh Tirmidzi

LihatTutupKomentar