Bab 3: Jenis-Jenis Tafsir

Jenis-Jenis Tafsir Tafsir bi al-Ma'tsur bi al-Ra'y atau bi al-'Aqli al-Maudu'i Al-Isyari al- 'Ilmi Bidang studi: Ulum Al-Quran, Ilmu Tafsir

Bab 3: Jenis-Jenis Tafsir

Nama kitab: Terjemah Ilmu Tafsir
Judul kitab asal: Ilm al-Tafsir li al-Dzahabi (علم التفسير للذهبي)
Nama penulis: Husain al-Dzahabi
Nama lengkap: Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi (د. محمد حسين الذهبي)
Lahir: Mesir, 19 Oktober, 1915
Wafat: Mesir, 7 Juli, 1977 (usia 61 tahun)
Penerjemah ke Bahasa Indonesia: M Nur Prabowo S
Bidang studi: Ulum Al-Quran, Ilmu Tafsir

Daftar Isi  

  1. BAB III - JENIS- JENIS TAFSIR    
  2. I. Tafsir bi al-Ma'tsur    
    1. Pengertian Tafsir bi al-Ma'tsur    
    2. Tafsir bi al-Ma'tsur di antara Periwayatan dan Kodifikasi    
    3. Melemahnya Tafsir Bi al-M a'tsur dan Sebab-Sebabnya    
  3. II. Tafsir bi al-Ra'y atau bi al-'Aqli    
    1. Pengertian Tafsir bi al-Ra'y    
    2. Sikap Para Ulama Terhadap Tafsir bi al-Ra'y    
    3. Argumen yang Melarang Tafsir bi al-Ra'y    
    4. Argumen yang Membolehkan Tafsir bi al-Ra'y    
    5. Ilmu-Ilmu yang Dibutuhkan  Penafsir bi al-Ra'y
    6. Sumber Tafsir Bagi Penafsir Al-Qur'an bi al-Ra'y
    7. Hal-Hal yang Wajib Dihindari dalam Menafsirkan bi al-Ra'y     
    8. Etika yang Harns Dipegang oleh Penafsir    
    9. Faktor Kesalahan Dalam Tafsir bi al-Ra'y    
    10. Kontradiksi yang Seringkali Terjadi antara Tafsir bi al-Ma'tsur dan Tafsir bi al-Ra'y    
    11. Macam-Macam Tafsir bi al-Ra'y     
    12. Kitab- Kitab Tafsir bi al-Ra'y yang Terpuji    
    13. Kitab- Kitab Tafsir bi al-Ra'y yang Tercela     
  4. III. Tafsir al-Maudu'i     
    1. Pengertian Tafsir al-Maudu'i     
  5. IV. Tafsir Al-Isyari     
    1. Pengertian Tafsir al-Isyari     
    2. Kitab-Kitab Utama Tafsir al-Isyari    
  6. V. Tafsir al- 'Ilmi     
    1. Pengertian Tafsir al- 'Ilmi    
    2. Penolakan al-Syatibi Terhadap Tafsir al-Ilmi    
  7. PENUTUP
  8. Footnote dan Referensi
  9. Kembali ke: Terjemah Ilmu Tafsir al-Dzahabi

BAB III JENIS-JENIS TAFSIR

Jika dirunut dan diselidiki kitab-kitab tafsir berdasarkan zaman penulisan, metode yang dipakai, model dan arah penafsirannya, maka akan ditemukan bahwa kitab-kitab tafsir yang selama ini berkembang tersebut bisa dibagi ke dalam lima jenis, yaitu:
1.    Tafsir bi al-Ma'tsur
2.    Tafsir bi al-Ra'yi atau Tafsir bi al-'Aqli
3.    Tafsir al-Maudu'i
4.    Tafsir al-Isyari
5.    Tafsir al-'Ilmi
Kelima jenis tafsir tersebut akan dibahas satu persatu.

I.    Tafsir bi al-M a'tsur36


Pengertian Tafsir bi al-Ma'tsur
Yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma'tsuradalah seluruh penjelasan dan juga keterangan tentang makna dan maksud yang disampaikan Allah Swt dalam ayat-ayat al-Qur'an yang dinukil atau diriwayatkan dari Rasulullah, Sahabat, dan juga dari Tabi'in. Keterangan yang diriwayatkan dari para Tabi'in kami kategorikan ke dalam tafsir bi al-ma'tsur, meskipun dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah tafsir Tabi'in itu harus dikategorikan ke dalam tafsir bi al-ma'tsur ataukah tafsir bi al-ra'y? Alasan kami mengkategorikannya ke dalam tafsir bi al-ma'tsur adalah, karena kami mendapati adanya beberapa kitab tafsir yang meriwayatkan keterangan-keterangan dari Tabi'in dan disandingkan dengan keterangan-keterangan yang berasal dari Sahabat dan bahkan dari Rasulullah Saw. Oleh karena itulah kami masukkan tafsir Tabi'in ke dalam kategori tafsir bi al-ma'tsur.  

Tafsir bi al-Ma'tsur di antara Periwayatan dan Kodifikasi
Sebagaimana yang telah kami tunjukkan sebelumnya, bahwa tafsir bi al-ma'tsur dikembangkan baik selama masa periwayatan maupun selama masa kodifikasi.

Pengembangan tafsir bi al-ma'tsur dengan periwayatan memang sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Beliau memberikan keterangan dan penjelasan kepada para Sahabatnya seputar apa yang tidak mereka ketahui tentang makna dari ayat-ayat al-Qur'an. Para Sahabat mempelajari penjelasan itu langsung dari beliau, kemudian mereka saling meriwayatkan penjelasan tersebut satu sama lain, terutama meriwayatkannya kepada generasi Tabi'in yang masih mereka jumpai.
 
Namun demikian, meskipun para Sahabat masih tetap memegang apa yang telah diajarkan langsung oleh Rasulullah Saw, ada pula di antara mereka yang membicarakan mengenai penafsiran al-Qur'an berdasarkan pandangan dan ijtihad mereka sendiri, lalu itu dinukil dan diadopsi oleh sebagian Tabi'in yang sempat menjumpainya. Hal seperti ini tidak dipungkiri adanya.

Setelah itu, meskipun para Tabi'in masih tetap memegang apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw lewat sebagian Sahabat yang dijumpainya, ada juga di antara kalangan Tabi'in yang, atas hidayah dari Allah Swt, berbicara mengenai tafsir al-Qur'an, lalu itu dinukil dan diadopsi oleh pengikut Tabi'in ( tabi'u Tabi'in) yang sempat menjumpainya. Hal seperti ini juga tidak dipungkiri adanya.

Dilihat dari sisi kualifikasi atau penentuan otentisitas dan validitasnya, maka secara umum dapat dikatakan bahwa model periwayatan tafsir bi al-ma'tsur mirip dengan model periwayatan hadits. Tetapi otentisitas dan validitas tafsir ini masih dapat dipertahankan secara utuh hingga pada akhir zaman Sahabat. Adapun setelah masa Sahabat, sudah mulai muncul sebagian dari kalangan perawi yang memasukkan unsur-unsur yang sebenarnya bukan bagian dari tafsir. Tendensinya adalah hanya wujud kesembronoan mereka atau mungkin sebagai dukungan dan pertolongan untuk golongan madzhab tertentu saja. Nanti akan dibahas lebih lanjut secara lebih detail.

Adapun masa kodifikasi, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, dimulai sejak akhir periode periwayatan  dan sejak penerapan kodifikasi dalam ilmu-ilmu secara umum. Maka sejak saat itu, tafsir mulai menjadi cabang ilmu yang terkodifikasi. Proses yang terjadi dalam pengembangan tafsir sehingga menjadi bagian dari cabang ilmu yang terkodifikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Cikal bakal kodifikasi tafsir sesungguhnya sudah muncul semenjak tafsir menjadi bagian dari susunan bab dalam hadits. Saat itu, tafsir menjadi salah satu bab dari bab-bab yang beragam dalam hadits. Di dalam bab tafsir tersebut, para perawi hadits meriwayatkan pernyataan-pernyataan ( atsar) seputar penafsiran yang berasal dari Nabi, para Sahabat, dan para Tabi'in. Para penulis berupaya sebisa mungkin melakukan verifikasi terhadap riwayat-riwayat yang sahih.

2.    Dan setelah itu, tafsir mulai memisahkan diri dari hadits. Pengumpulan riwayat secara mandiri mulai dilakukan, dan naskah tafsir yang diketahui pertama kali dibuat adalah yang ditulis dan diriwayatkan oleh Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas.37

3.    Mulailah muncul satu atau beberapa jilid kitab hasil kodifikasi tafsir secara khusus, misalnya yang berasal dari Abu Rauq, dan tiga jilid kitab yang ditulis dan diriwayat­ kan oleh Muhammad bin Tsaur dari Ibnu Juraij.38 Mereka sebisa mungkin juga melakukan upaya validasi atas kesahihan isinya.
 
4.    Kemudian ditulislah model ensiklopedia ( mausu'ah) atau kumpulan (jami') tafsir. Kitab ini mengandung segala yang dijumpai dan dialami oleh penulisnya menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang diriwayatkan dari Nabi, Sahabat, dan Tabi'in. Untuk menentukan kesahihan atau validitas isinya maka upaya yang dilakukan saat itu adalah dengan mencantumkan sanad atau silsilah sumber periwayatan dari setiap pernyataan. Alasan penggunaan metode pensilsilahan (isnad) ini adalah karena dengan mencantumkan sanad itu pengarang terbebas dari segala tanggungan, bebas dari subyektifitas, dan menyerahkan segala tanggungjawab pembahasan tentang kondisi perawi secara obyektif kepada sumbernya. Para ulama usulul hadits telah menyatakan prinsip tentang hal ini, bahwa: "siapa yang menyandarkan sanad kepada engkau maka engkau harus mempertanggungjawabkannya' :Dan di antara ensiklopedia dan kumpulan ini salah satunya adalah tafsir Ibnu Jarir at-Tabari, yang meninggal pada tahun 310 H.

5.    Kemudian setelah itu mulailah kodifikasi ensiklopedia­ ensiklopedia tafsir yang lain. Namun sayangnya, para penulisnya tidak menjamin validitas dan kesahihan dari apa yang mereka riwayatkan. Mereka tidak menyebutkan sanad dalam tafsir mereka . Mereka asal nukil dan tidak menjelaskan secara jelas sumber yang menjadi rujukan penafsiran. Mereka mencampuradukkan antara riwayat yang sahih dan tidak sahih. Artinya, mereka sudah mela­ kukan perusakan yang vatal terhadap apa yang sudah dikembangkan dalam tafsir. Di antara ensiklopedia tafsir yang ditulis ini adalah kitab Bahrul 'Ulum karya Abu Laits as-Samarkandi, yang meninggal tahun 373 H39• Kitab tersebut sangat jarang menyebutkan sanad bagi periwayatannya.

6.    Setelah itu, mulailah terjadi peralihan model kodifikasi, dari kodifikasi tafsir bial-ma'tsur menuju tafsir bi al-ra'y. Peralihan ini berlangsung secara berangsur-angsur dan melalui beberapa tahap sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya.

Melemahnya Tafsir bi al-Ma'tsur dan Sebab-sebabnya
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa dinamika tafsir bi al­ ma'tsur hingga fase tertentu mengalami kelemahan sampai­ sampai hampir menghilangkan tingkat kepercayaan dan penerimaan terhadapnya. Kecemasan akan melemahnya tafsir bi al-ma'tsur ini sudah terasa sejak awal periode Tabi'in, hingga akhirnya terjadi dan sampai pada titik yang paling ekstrim pada tahun 41 setelah hijrah. Masa itu adalah masa ketika umat muslim terpecah ke dalam tiga golongan utama, Syi'ah, Khawarij, dan Jumhur; ketika terjadi banyak sekali penaklukan Islam sehingga banyak yang memeluk Islam, meski di sisi lain juga banyak yang menaruh dendam kepada Islam dan ingin merobohkan fondasi-fondasi agama Islam; ketika muncul banyak sekali madzhab keagamaan dan politik dalam Islam di mana untuk menjustifikasinya seringkali para pengikutnya mengunakan hadits-hadits maudu' yang mereka buat-buat sendiri untuk kemudian mereka nisbahkan kepada Nabi ataupun kepada Sahabat.

Kita bisa mengembalikan sebab-sebab melemahnya tafsir bi al-ma'tsur ini ke dalam tiga hal yang paling utama, yaitu: Pertama, adanya riwayat palsu dalam tafsir bi al-ma'tsur

Kedua, masuknya cerita israiliyat dalam tafsir bi al-ma'tsur

Ketiga, penghilangan sanad dalam tafsir bi al-ma'tsur.

Munculnya riwayat-riwayat palsu di dalam tafsir bi al­ ma'tsur menyebabkan  kepercayaan dan penerimaan ulama terhadapnya menjadi melemah. Alhasil, tafsir bi al-ma'tsur seperti terkepung oleh pagar keragu- raguan, dan para ulama terkadang malah menolak riwayat yang dianggap lemah dan tidak sahih meski mungkin sebenarnya itu kuat dan sahih.

Bercampurnya riwayat yang sahih dan yang tidak sahih dalam tafsir bi al-ma'tsur itu telah menyebabkan kerancuan dan melemahkan kepercayaan terhadap tafsir bi al-ma'tsur. Sebagian mereka yang mengandalkan tafsir bi al-ma'tsur tetapi tidak memiliki kemampuan memilah mana riwayat yang sahih dan yang tidak sahih akhirnya harus: memukul rata seluruh periwayatan; menelan secara mentah-mentah dan menganggap seluruh riwayat adalah sahih; menggunakan seluruh riwayat secara campur aduk, sampai pada masanya, para ahli kritik hadits mampu memisahkan antara riwayat hadits yang sahih dan yang tidak sahih. Upaya yang dilakukan para ahli kritik hadits ini merupakan kemajuan yang sangat berharga di dalam sejarah perkembangan periwayatan.
 
Sedangkan masuknya cerita israiliyat ke dalam tafsir bi al-ma'tsur sebenarnya sudah mulai sejak masa Sahabat. Para Sahabat sudah mendengar cerita-cerita israiliyat dari para ahli kitab. Namun demikian, mereka tetap tidak melampuai batas yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah Saw di dalam sabdanya: "Sampaikan dariku meskipun hanya satu ayat, dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa; akan tetapi, barangsiapa yang dengan sengaja berdusta kepadaku, maka tempatnya adalah di neraka".40

Dan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi: "Jangan terlalu percaya kepada Bani Israel danjangan juga sampai berbohong, tetapi katakanlah kepada mereka:"kami beriman kepada Allah Swt dan apa-apa yang diturunkan kepada kami".41

Pada masa Tabi'in, penerimaan terhadap cerita-cerita dari Bani Israil semakin luas. Seiring dengan semakin banyaknya kalangan ahli kitab yang memeluk Islam, dan seiring dengan timbulnya kecenderungan kaum muslim untuk mendengar secara lebih detail tentang apa yang hanya ditunjukkan secara global dalam al-Qur'an tentang kisah-kisah umat Yahudi dan Nasrani, maka semakin banyak pula periwayatan israiliyat dalam tafsir Tabi'in.

Kemudian, setelah periode Tabi'in, kegemaran untuk mengadopsi kisah israiliyat semakin meningkat. Banyak yang gemar menerima israiliyat begitu saja sampai-sampai mereka tidak memiliki keraguan sama sekali terhadap validitasnya. Kisah yang telah mereka dengar dari Bani Israel tidak mereka upayakan untuk dikaitkan dengan al-Qur'an kendati kisah itu terkait hal-hal yang berbau khurafat dan tidak bisa diterima oleh akal manusia sekalipun!

Kegemaran mereka terhadap kisah israiliyat ini, dan peri­ laku dusta mereka dalam periwayatan sekalipun menyangkut riwayat yang berbau khurafat dan takhayul, masih berlangsung terns sampai datangnya masa kodifikasi. Ada sebagian dari kalangan penafsir yang mencantumkan kisah-kisah israiliyat tersebut  dalam karya tafsir mereka. Itulah yang membuat orang-orang hampir tidak tertarik pada karya tafsir mereka.

Para tukang dongeng dan para pembawa kabar kisah israiliyat memiliki pengarnh yang besar terhadap cepatnya laju penyebaran khurafat dan takhayul yang batil ini. Mereka beserta para pendukung mereka dalam gerakan yang sama ibaratnya telah menabur duri di jalanan utama yang dilalui para ahli tafsir pada umumnya. Akibatnya, mereka justrn menciptakan sikap meragukan atas khabar-khabar sahih yang diriwayatkan secara jelas dan lebih menarnh kepercayaan kepada kisah-kisah dan cerita-cerita ahli kitab yang penuh kebohongan.

Adapun penghilangan atau penghapusan sanad dalam tafsir bi al-ma'tsurbarn terjadi pasca periode Tabi'in, di mana kala itu banyak dari para perawi yang sembrono dalam peri­ wayatan. Mereka tidak mengaitkan apa yang mereka riwa­ yatkan dengan sumber riwayatnya. Banyak di antara penggiat tafsir yang tergiur dengan kesembronoan ini sehingga mereka menulis tafsir tetapi meringkas sanad di dalamnya, menukil perkataan-perkataan ( matan) dengan tidak mencantumkan siapa penuturnya, tidak melakukan usaha validasi atas apa yang mereka riwayatkan. Akibatnya, masuklah hal-hal yang dibahas sebelumnya , yakni riwayat-riwayat palsu, sehingga antara riwayat yang sahih dan tidak sahih menjadi samar­ samar!

Mereka yang bersikap toleran terhadap riwayat-riwayat perkataan yang sembrono itu pun kemudian mengadopsinya, dan mereka yang tertarik tentu akan menyandarkan diri pula pada riwayat tersebut, sehingga generasi yang datang sesudah mereka  pun  akan menyangka  bahwa  perkataan-perkataan ( aqwal) tersebut sungguh otentik dan memang berasal dari para salafussalih.

Kita telah membahas ketiga hal pokok yang menyebabkan lemahnya tafsir bi al-ma'tsur, dan sepertinya jelas bahwa yang paling pokok dan terpenting dari ketiga hal tersebut adalah hal yang ketiga, yaitu penghapusan sanad. Sebab banyaknya periwayatan palsu dan banyaknya cerita israiliyat mungkin dapat diperbaiki dan diidentifikasi jika saja periwayatan­ periwayatan atau perkataan-perkataan dalam riwayat itu disertai dengan sanadnya. Namun sayang, sanad itu telah dihapuskan sehingga kita tidak bisa mengetahui apa-apa tentang sanad tersebut. Tetapi kita berharap semoga mereka yang telah menghapus sanad akan mencantumkan kembali sanadnya agar bisa diketahui dan mengkritik orang-orang dalam sanad tersebut sehingga kita bisa memilah mana riwayat yang boleh diambil dan mana yang ditolak!
Adapun di antara karya tafsir bi al-ma'tsur yang paling populer dalam sejarah penafsiran adalah sebagai berikut:
 
1.    Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an: karya Ibnu Jarir at­ Tabari (wafat 310 H)
2.    M a'alim at-Tanzi!: karya Abu Muhammad  Husain  al­ Baghawi (wafat 510 H)
3.    Tafsir al-Qur'an al-'Adzim: karya Ibnu Katsir ad-Dimasqi (wafat 774H)
4.    Ad-Dur  al-M antsur: karya Jalaluddin as-Suyuti (wafat 911 H)

II.    Tafsir bi al-Ra'y atau bi al-'Aqli 42 

Pengertian Tafsir bi al-Ra'y
Tafsir bi al-ra'y atau tafsir bi al-'aqli artinya penafsiran al-Qur'an dengan metode ijtihad setelah penafsir memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahasa Arab, antara lain menyangkut seluk beluk kata dalam tata bahasa Arab, bentuk­ bentuk pengucapan dalam bahasa Arab serta pemaknaannya, penggunaan bahasa Arab dalam karya-karya sastra jahiliah klasik, memiliki pemahaman yang cukup tentang asbabun nuzul dan naskh wa mansukh dalam ayat-ayat al-Qur'an, se­ lain juga beberapa perangkat keilmuan penting lainnya yang amat diperlukan oleh seorang penafsir yang akan dijelaskan secara lebih lanjut.

Tentang sejarah munculnya penafsiran bi al-ra'y sudah disebutkan sebelumnya ketika membahas tentang tahap kelima dari fase ketiga perkembangan tafsir, sehingga kiranya tidak perlu diulang pembahasan  tersebut.
 
Sikap Para Ulama Terhadap Tafsir bi al-Ra'y
Para ulama sejak dahulu berbeda pandangan terkait boleh tidaknya penafsiran dengan ra'y ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa penafsiran dengan ra'y tidak boleh dilakukan meski penafsir memiliki kualifikasi dan perangkat keilmuan yang mencukupi yang dibutuhkan oleh seorang penafsir al-Qur'an. Menurut sebagian ulama tersebut, penaf­ siran al-Qur'an cukup hanya mengacu sepenuhnya pada apa yang sudah ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw, dan yang dituturkan oleh para Sahabat sebagai pihak yang menyaksikan peristiwa turunnya al-Qur'an, serta yang diriwayatkan oleh para Tabi'in berdasarkan kesaksian langsung mereka dari para Sahabat. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat sebaliknya, bahwa penafsiran dengan ra'y boleh dilakukan oleh siapa saja yang telah memiliki kualifikasi keilmuan dan perangkat ilmu yang dibutuhkan oleh seorang penafsir. Masing-masing mereka mengemukakan pendapatnya dengan argumentasinya  sendiri-sendiri sebagai berikut.

Argumen yang Melarang Tafsir bi al-Ra'y
Para ulama yang tidak memperbolehkan penafsiran al­ Qur'an dengan ra'y mendasarkan pada dalil-dalil dan alasan sebagai berikut:

1.    Mereka mengatakan bahwa menafsirkan al-Qur'an dengan menggunakan ra'y berarti menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Allah Swt tanpa didasarkan pada ilmu, dan penjelasan yang tanpa ilmu semacam itu terlarang, sehingga tafsir bi al-ra'y adalah juga terlarang.
 
2.    Sesungguhnya Allah Swt sudah menyampaikan firman­ Nya kepada Nabi Muhammad Saw: "waanzalna ilaika al­ dzikra litubayyina linnasi ma nuzzila ilaihim" (dan kami turunkan kepadamu al-Dzikr agar engkau menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka), sehingga segala penjelasan seharusnya bersum­ ber atau disandarkan pada keterangan al-Dzikr, dan tidak ada penjelasan tentang makna-makna dalam al-Qur'an selain dari keterangan yang sudah Allah turunkan sendiri dalam al-Dzikr tersebut.

3.    Mereka mengatakan bahwa telah disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzy dan Abu Dawud, yang termasuk kategori hadits marfu'd an hadits hasan, bahwa: "barang siapa mengatakan sesuatu tentang al­ Qur'an dengan pendapatnya sendiri maka tempatnya adalah di neraka".43 Selain itu ada juga hadits terkait yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Abu Dawud dari Jundub bahwa ia mengatakan: Rasulullah Saw telah bersabda: "barang siapa mengatakan sesuatu tentang al-Qur'an dengan ra'yinya, meskipun perkataan itu benar, tetapi tetap saja ia salah".44

4.    Mereka juga mengatakan, bahwa ada atsar yang berasal dari para Sahabat dan Tabi'in yang menunjukkan bahwa para salafushalih mengagungkan tafsir al-Qur'an tetapi mereka menjauhkan diri dari perkataan-perkataan yang bersumber dari pandangan atau pikiran mereka sendiri.
 
Di antara riwayat itu adalah: dari Abu Malikah bahwa dirinya mengatakan: Abu Bakar  as-Siddiq r.a. pernah ditanya perihal tafsir tentang satu huruf dalam al-Qur'an, maka ia lalu mengatakan: "langityang mana yang akan menaungiku, bumi yang mana yang akan mengangkatku, dan kemana aku akan pergi berlindung jika aku menga­ takan sesuatu hal perihal satu huruf al-Qur'an padahal itu bukan seperti maksud yang dikehendaki Allah  Yang M aha Suci dan M aha Tinggi?" 45 Ada juga yang berasal dari Said bin al-Musib, bahwa apabila ia ditanya perihal mana yang halal dan yang haram maka ia akan berbicara dan menjawabnya, tetapi apabila ia ditanya tentang tafsir ayat dalam al-Qur'an, maka ia akan terdiam dan seakan belum mendengar apa-apa.46Selain kedua riwayat terse­ but, masih banyak lagi riwayat lainnya yang pada intinya menunjukkan sikap para salaf yang menghindari penaf­ siran terhadap al-Qur'an dengan ijtihad mereka sendiri.

Argumen yang Membolehkan Tafsir bi al-Ra'y
Para ulama yang membolehkan tafsir bi al-ra'ymengguna­ kan alasan dan dalil sebagai berikut:
1. Mereka mengatakan bahwa terdapat banyak ayat dalam al-Qur'an yang menunjukkan bahwa menafsirkan al­ Qur'an bi al-ra'y itu boleh bagi yang memang ahli dalam bidang itu, di antaranya adalah firman Allah Swt: "atau apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"47 Juga firman Allah Swt yang lain: "inilah sebuah kitabyang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat­ ayatnya dan supaya orang-orangyang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran. "48

Firman Allah Swt lainnya yang artinya: "dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang­ orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya  dari mereka  (Rasul dan Ulil Amri). "49

2.    Jika tafsir bial-ra'y, atau penafsiran dengan cara ijtihad, dilarang, maka ijtihad itu sendiri juga akan terlarang, sebab banyak hukum yang akan menjadi sia-sia dan tak terjamah mengingat hukum itu sendiri digali dengan cara ijtihad.Oleh sebab itu, pelarangan tafsir ijtihad itu sendiri jelas-jelas keliru, sebab pintu ijtihad masih selalu terbuka hingga hari ini, dan siapa saja yang berijtihad tetap akan mendapatkan pahala. Selain itu, Nabi Muhammad Saw sendiri pun belum memberikan penafsiran al-Qur'an secara keseluruhan, belum menjelaskan dan menetapkan hukum-hukum dari dalam al-Qur'an secara menyeluruh, melainkan hanya sebagian saja.

3.    Sesungguhnya para Sahabat pun juga melakukan penaf­ siran terhadap al-Qur'an dengan pikiran atau ra'y mereka sendiri. Dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an, mereka juga saling berbeda pendapat satu dengan yang lain. Selain itu, mereka juga tidak seluruhnya mendengar­ kan dan mengetahui apa yang dikatakan Rasulullah Saw terkait ayat-ayat al-Qur'an. Oleh karena itu, seandainya mengatakan sesuatu tentang ayat al-Qur'an dengan didasarkan pada akal pikiran atau ra'y sendiri adalah terlarang, itu artinya mereka, para Sahabat, juga telah melanggar dan melakukan sesuatu yang diharamkan Allah? Lantas apakah justru itu yang kita harapkan?

4.    Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw pernah memanggil Sahabat Ibnu Abbas, kemudian menyampaikan doanya khusus baginya: "allahummafaqqihhu fi al-din wa 'allimhu at-ta'wil"  (Ya  Allah,  pandaikanlah  dia  dalam  urusan agama dan anugerahkanlah kepadanya penakwilan). Seandainya pengertian takwil dalam doa Nabi tersebut hanya sebatas pada pendengaran ( sima') dan penukilan ( naql) semata seperti halnya dalam konsep penurunan wahyu (tanzil) pada umumnya, maka pengkhususan Nabi terhadap Ibnu Abbas dengan doa tersebut tentu tidak mengandung faidah dan kelebihan apa-apa. Itu menunjukkan bahwa pengertian takwil dalam doa Nabi di atas, yang diharapkan akan dianugerahkan oleh Allah kepada Ibnu Abbas, adalah sesuatu yang lain yang tidak hanya sebatas pendengaran dan penukilan, melainkan sesuatu yang melebihi keduanya, yaitu tafsir bi al-ra'y atau ijtihad itu sendiri.

Demikianlah  argumen dua kelompok yang saling ber­ tentangan satu sama lain terkait tafsir bi al-ra'y, yang mana kelornpok kedua rnenolak argurnen kelornpok pertarna. Tidak ada rnotivasi untuk rnencoba rnengkornprornikan argurnen yang diajukan oleh rnasing-rnasing kelornpok, sebab perselisihan ini sudah berlangsung cukup lama. Oleh sebab itu kita akan rnencoba rnenguraikan pokok perrnasalan ini. Sebetulnya inti perrnasalannya adalah: bahwa jika kita rnerujuk kepada sikap orang-orang yang cenderung eksklusif dalarn urusan penafsiran, dan kita sudah rnengetahui rahasia yang rnendorong sikap eksklusif rnereka, lalu kita kernbalikan lagi pada sikap orang-orang yang cenderung inklusif (dalarn arti rnernbolehkan tafsir bi al-ra'y), dan kita rnelihat beberapa syarat yang rnereka tetapkan yang setidaknya harus dirniliki oleh siapa saja yang hendak berbicara rnengenai tafsir al­ Qur'an dengan akal pikirannyanya ( ra'y), lalu kita rnencoba untuk rnengurai dan rnenganalisis argurnen dan dalil kedua kelornpok tersebut secara lebih jernih dan rnendalarn, rnaka kita akan rnendapati bahwa ternyata pertentangan antara rnereka hanya bersifat literer sernata, bukan pada pokok persoalan yang lebih substansial. Hal ini disebabkan karena tafsir bi al-ra'y itu sebenarnya rnerniliki dua rnacarn pengertian:
Pertarna, tafsir bi al-ra'yartinya penafsiran dengan rneng­ andalkan ra'y dan tetap rnerujuk kepada kaedah bahasa Arab dan aspek-aspeknya, di sarnping rnenyesuaikan pula dengan surnber al-Qur'an dan Sunnah, rnasih ditarnbah pula dengan rnenjaga syarat-syarat dalarn penafsiran. Tafsir  bi al-ra'y dalarn pengertian seperti ini tentu sah-sah saja, dan ini yang dijadikan dasar pernaharnan rnereka yang rnernbolehkan tafsir bi al-ra'y.
 
Kedua, tafsir bi al-ra'y artinya penafsiran dengan ra'y yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa menyesuaikan dengan dalil-dalil syari'at, dan juga tidak menjaga atau memenuhi syarat-syarat penafsiran. Penafsiran yang seperti inilah yang dicela dan dilarang. Ini pulalah yang dimaksud dalam perkataan Umar r.a.: "sesunggunya aku takut adanya dua orang di antara kalian: orangyang menakwilkan al-Qur'a n dengan penakwilan yang tidak tepat, dan orang yang saling iri kepada saudaranya dalam memperebutkan kekuasaan. " Kategori ini berlaku bagi mereka yang tidak berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab dan dalil-dalil syari'at dalam penafsirannya, yang lebih menjadikan nafsu sebagai panduannya, dan menjadikan madzhab agamanya sendiri sebagai penuntun.
Selain itu, dasar penolakan lainnya merujuk pada per­ kataan Ibnu Taimiyah-setelah menyampaikan perkataan Umar yang menerangkan tentang tak:wil al-Qur'an tersebut­ bahwa atsar ini adalah sahih, dan Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa: siapa yang meniru-niru perkataan salaf tanpa didasari ilmu maka itu adalah dosa, sedangkan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang tafsir namun didasari dengan ilmu bahasa dan ilmu syar'iat maka tidak apa-apa. Sehingga, ada riwayat yang disampaikan oleh sekelompok orang, dan itu sah-sah saja, sebab mereka menyampaikan dan berbicara itu atas dasar pengetahuan mereka, dan mereka diam jika memang mereka tidak tahu, dan inilah mestinya yang harus diikuti oleh setiap orang. Oleh karena itu, sebagaimana halnya orang harus diam apabila memang tidak tahu, begitu pula orang harus mengatakan yang benar jika ia ditanya tentang sesuatu hal yang ia memang ketahui. Hal ini berdasarkan ayat: "hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya" 50; dan juga berdasarkan hadits Nabi: "barang siapa ditanya perihal ilmu kemudian ia tidak bersedia memberitahunya_meskipun sebenarnya ia mengetahui_maka ia akan dikekang dengan kekangan api neraka.''S t

Kita telah menyinggung secara sekilas tentang pentingnya seorang penafsir bi al-ra'y memiliki ilmu-ilmu dan alat-alat yang diperlukan dalam penafsiran. Selanjutnya, kita perlu membahas ilmu-ilmu dan alat-alat tersebut secara lebih rinci, dan juga membahas tentang sumber-sumber yang harus dijadikan rujukan dalam penafsiran bi al-ra'y, serta hal-hal yang harus diantisipasi dan dihindari oleh seorang penafsir bi al-ray.

Ilmu-ilmu yang Dibutuhkan Penafsir bi al-Ra'y
Para ulama mensyaratkan penguasaan beberapa cabang ilmu bagi setiap penfasir yang ingin menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y terkait permasalah-permasalah yang tidak ada atsar yang sahih dan jelas yang mendasarinya.  Mereka harus menguasai sejumlah cabang ilmu yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur'an secara rasional  dan dapat diterima. Para ulama memfungsikan ilmu-ilmu ini sebagai alat pelindung bagi para penafsir agar mereka tidak terje­ rumus dalam kesalahan, dan menjaga mereka agar tidak termasuk dalam kategori membicarakan maksud Allah Swt tanpa didasari ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ilmu bahasa Arab: sebab dengan ilmu bahasa Arab penaf­ sir bisa menjelaskan makna kosa-kata dalam kalimat sesuai dengan konteks penggunaannya.

2.    Ilmu nahwu: karena makna kata berubah-ubah dan ber­ ganti seiring dengan pergantian i'rab, maka pergantian i'rab itu harus diketahui melalui ilmu nahwu.

3.    Ilmu sharf sebab dengan ilmu ini macam-macam bentuk dan bangunan kata dalam bahasa Arab dapat diketahui.

4.    Ilmu isytiqaq: sebab sebuah ism atau kata benda boleh jadi tersusun atau terambil akarnya dari dua kata yang berbeda sehingga maknanya menjadi berbeda.

5.    Ilmu balaghah yang tiga (5,6,7):

6.    Ilmu ma'ani: dengan ilmu ini rahasia susunan kalimat dapat disingkap dari sisi faidah maknanya.

7. Ilmu bayan: dengan ilmu ini rahasia susunan kalimat dapat disingkap, sebab ilmu ini mempelajari makna yang dzahir dan makna yang tersembunyi dari sisi perbedaan kejelasan dan ketersembunyian dilalah atau petunjuknya.8.    Ilmu badi': dengan ilmu ini sisi-sisi keindahan dan keha­ lusan kalimat bahasa Arab dapat diketahui.

9.    Ilmu qiraat: sebab dengan pengetahuan tentang qiraat penafsir akan mampu melakukan tarjih atas satu bacaan terhadap bacaan yang lain.
 
10.    Ilmu ushul al-din (ilmu kalam): dengan pengetahuan ini penafsir dapat mencari petunjuk mengenai hal-hal apa saja yang wajib, yang boleh, dan yang mustahil bagi Allah Swt, mampu mengkaji tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan kenabian ( nubuwwah), dengan perkara akhirat, dan lain sebagainya dengan benar.

11.    Ilmu ushul al-fiqh: sebab dengan ilmu ini bisa diketahui bagaimana langkah penggalian hukum dan pencarian petunjuk dari ayat-ayat al-Qur'an, selain dapat diketahui pula ayat-ayat al-Qur'an yang mujmal dan mubayyan, yang umum dan khusus, yang mutlaq dan muqayyad , yang berbentuk amr dan nahy, dan lain-lain yang menjadi bahasan dalam cabang ilmu ini.

12.    Ilmu asbabun nuzul: sebab pengetahuan tentang asbabun nuzul ayat (sebab-sebab turunya ayat) dapat membantu dalam memahami maksud dari diwahyukannya ayat al­ Qur'an  tersebut.

13.    Ilmu qasash: sebab dengan mengetahui kisah-kisah cerita secara detail akan dapat membantu memahami kisah­ kisah cerita yang dimuat secara umum dalam al-Qur'an.

14.    Ilmu naskh wa mansukh: sebab dengan ilmu ini akan bisa diketahui dan dibedakan mana yang muhkam dan bukan muhkam. Sisi ini sangatlah penting, dan siapa yang mengabaikan sisi ke-muhkam-an ini bisa jadi keliru karena mengambil hukum yang sebenarnya mansukh, dan akhirnya tersesat.

15.    Ilmu hadits: sebab ilmu ini bisa membantu dalam menge­ tahui mana ayat-ayat yang mujmal, yang mubham, dan lain sebagainya dari sisi ada tidaknya sunnah yang men­ jadi penjelas ayat tersebut.

16.    Ilmu muhibah: adalah ilmu yang Allah Swt anugerahkan kepada siapa saja yang mengamalkan ilmu yang dimili­ kinya. Hal ini ditunjukkan oleh Allah Swt dalam firman­ Nya: "bertaqwalah kalian pada Allah niscaya Allah akan menganugerahkan ilmu kepadamu'',52 selain juga sabda Rasulullah Saw: "barang siapa yang mengamalkan ilmu yang telah ia ketahui, maka Allah akan mewariskan ilmu yang  belum  ia ketahui.''53

Demikian ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang penafsir bi al-ray. Sebagian ulama ada yang menambahkan ilmu psiko-antro ( ahwal al-basyar), sebagian lagi menambah­ kan ilmu sejarah (tarikh) dan ilmu tentang umat-umat negeri masa lalu (taqdim al-buldan), sebagian lagi ada yang malah mengurangi dari sejumlah ilmu yang telah disebutkan di atas. Terlepas dari itu semua, yang penting, setiap ilmu pengetahuan yang bisa mendukung penafsir dalam menafsirkan al-Qur'an harus dipelajari dan diketahui, karena kalau tidak maka ia tidak cukup untuk dikatakan telah memenuhi syarat dalam penafsiran.

Sumber Tafsir bagi Penafsir al-Qur'an bi al-Ra'y
Siapa saja yang menafsirkan al-Qur'an dengan pikiran atau ray tidak boleh lantas meremehkan dan melupakan tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an ( tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an), dan juga tidak boleh menghapuskan penafsiran yang sudah benar dari Rasulullah dan Sahabatnya. Apabila penafsir itu melupakan penafsiran yang sudah dilakukan  Rasulullah dan Sahabat dan tidak merujuk sama sekali kepadanya, maka ia bisa dimasukkan ke dalam golongan penafsir yang tercela ( madzmum), sebab penafsirannya bisa bertentangan dengan penafsiran Nabi yang kedudukannya lebih kuat dan lebih patut untuk diterima. Lebih jelasnya bisa kita katakan bahwa ada beberapa sumber penafsiran yang harus dijadikan rujukan pokok bagi penafsir bi al-ra'y ketika menafsirkan al­ Qur'an agar penafsirannya diperbolehkan dan sehingga juga dapat diterima ( maqbul), yaitu sebagai berikut:

Pertama, kembali kepada al-Qur'an itu sendiri. Maksud­ nya, penafsir harus merujuk kepada al-Qur'an, mempelajari dan menyelidikinya secara seksama dan teliti, mengumpulkan dan mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur'an menjadi satu berdasarkan temanya, lalu kemudian membandingkan satu ayat dengan ayat yang lain. Dalam al-Qur'an ada ayat-ayat yang sifatnya mujmal (umum) di satu tempat tetapi ada juga mufasshal (detail) di tempat yang lain, sebagian  ayat ada yang sifatnya mujaz (ringkas) tetapi ada juga yang panjang. Dengan demikian, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan dengan ayat yang mufasshal , ayat-ayat yang  ringkas  ditafsirkan dan dijelaskan dengan ayat-ayat yang panjang dan telah dijelaskan maknanya secara panjang lebar dan detail, begitu seterusnya. Inilah yang dinamakan dengan tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an. Apabila seorang penafsir meninggalkan dan menyimpang  dari tafsir  yang  utama  ini  dan menafsirkan dengan pendapatnya sendiri maka ia telah keliru, dan ini dikatakan sebagai tafsir dengan pendapatnya sendiri yang tercela ( bi al-ra'y al-madzmum).

Kedua, penukilan dari Rasulullah Saw. Seorang penafsir harus menukil dari Nabi dengan senatiasa menjaga diri dari hadits-hadits yang sifatnya dha'if dan maudu', sebab keduanya banyak sekali ditemukan dalam literatur hadits. Apabila memang sudah ada penjelasan yang benar dari Rasulullah Saw maka seseorang tidak boleh mengeluarkan diri dari penjelasan Nabi yang sudah benar tersebut untuk kemudian menafsirkan sendiri dengan ra'yinya. Sebab pada hakikatnya Nabi adalah orang yang diberi tugas untuk meneguhkan apa yang benar dari Tuhannya, menjalankan tugas ilahi untuk menjelaskan kebenaran yang sudah diturunkan pada umat manusia. Maka barang siapa yang meninggalkan penjelasan Nabi yang sesungguhnya sudah benar, kemudian menafsirkan dengan ra'y atau pendapatnya sendiri, maka sebetulnya pen­ dapatnya itu adalah tercela ( madzmum).

Ketiga, mengambil penafsiran yang sudah benar dari para Sahabat Nabi dan tidak berusaha untuk mengubah­ ubahnya, sebab banyak juga riwayat-riwayat yang juga meng­ atasnamakan Sahabat tapi sebenarnya bukan demikian dan merupakan kebohongan belaka. Oleh karena itu, apabila penafsir sudah menemukan riwayat yang sahih dari para Sahabat dalam penafsirannya maka ia tidak boleh membuang riwayat tersebut untuk beralih kepada penafsiran dengan pendapatnya sendiri. Sebab, para Sahabat lebih mengetahui tentang makna dan isi kitab Allah, mereka lebih mengenali sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur'an, bahkan mereka mengalami dan merasakan kondisi dan keadaan zaman saat diturunkannya al-Qur'an, sehingga mereka memiliki kadar pemahaman yang penuh dan memiliki ilmu-ilmu yang benar mengenai al-Qur'an, terlebih para Sahabat yang notabene sebagai pembesar dan juga ulama pada zamannya.

Lalu kemudian, apakah seorang penafsir harus mening­ galkan perkataan-perkataan  dari para Tabi'in dalam penaf­ sirannya? Ataukah ia harus kembali pada perkataan mereka? Terkait hal ini, ada perbedaan pendapat sebagaimana yang telah kita bahas dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, dan kiranya tidak usah mengulang pembahasannya kembali.

Keempat, senantiasa mengacu pada makna kata yang mutlak (sudah jelas), sebab al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Namun, penafsir al-Qur'an tidak boleh hanya berhenti pada makna dzahir saja, melainkan juga harus mengacu pada pemaknaan yang bersifat batin, yang lebih jarang dipakai dalam perkataan bahasa Arab kecuali dalam bahasa syair-syair Arab dan sejenisnya dan bisa salah kaprah jika itu dipahami secara tergesa-gesa. Baihaqi mengeluarkan riwayat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia mengatakan: "Tidaklah didatangkan seseorang yang tidak mengetahui bahasa Arab lalu ia menafsirkan Kitabullah  (al­ Quran),  melainkan  ia akan aku jadikan  sebagai  hukuman".

Kelima, penafsiran yang mengacu pada pemaknaan kata dengan didasari oleh pemahaman yang kuat tentang hukum syara'. Inilah sebetulnya yang dikehendaki Nabi Muhammad Saw dalam doa beliau untuk Ibnu Abbas, yangmana beliau berdoa: "Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan  agama dan anugerahkanlah kepadanya penakwilan': dan juga yang dimaksudkan oleh Ali r.a. dengan perkataannya ketika ia beserta para Sahabatnya ditanya: "apakah ada sesuatu yang lain yang engkau peroleh dari Rasulullah Saw selain al­ Qur'an?, mereka menjawab: "sesungguhnya, tidak ada yang lain di sisi kami kecuali pemahaman tentang al-Qur'an yang Allah Swt karuniakan kepada setiap orang'. Dari sini dapat diketahui bahwa sebenarnya para Sahabat saling berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an, dan mereka memahami al-Qur'an sesuai dengan kadar kekuatan  akal dan jangkauan pemahaman mereka serta kadar pengalaman mereka  sendiri-sendiri.

Hal yang Wajib Dihindari dalam Menafsirkan bi al-Ra'y
Ada beberapa hal yang harus dihindari oleh setiap penaf­ sir al-Qur'an bi al-ra'y dalam menafsirkan al-Qur'an agar dirinya tidak terjerumus ke dalam kekeliruan atau kesalahan dan tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menafsirkan al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri secara batil.
Pertama, mengobral penjelasan tentang maksud­ maksud perkataan Allah Swt di dalam kitab- Nya tetapi tanpa mengetahui kaedah-kaedah bahasa Arab yang benar, dasar­ dasar atau fondasi hukum agama ( ushul al-syari'ah ), dan belum mencapai kadar keilmuan yang mencukupi sebagai syarat kemampuan yang harus dimiliki sebelum menjadi seorang penafsir.
 
Kedua, membicarakan panjang lebar sesuatu yang sebe­ tulnya hanya Allah Swt sendiri saja yang mengetahui: hal ini misalnya pada ayat-ayat mutasyabihat, yang maknanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah Swt sendiri. Oleh karena itu, seorang penafsir tidak seharusnya banyak memperbincangkan sesuatu perkara yang gaib setelah Allah Swt sendiri menjadikan perkara itu sebagai rahasia dari rahasia-rahasia-Nya untuk menunjukkan kekuasaan-Nya atas hamba-Nya.

Ketiga, mengandalkan hawa nafsu dan pertimbangan istihsan: seorang penafsir hendaknya tidak mengedepankan hawa nafsunya dan tidak melakukan pentarjihan dengan pertimbangan  istihsannya  sendiri.

Keempat, menundukkan tafsir di depan pandangan madzhabnya sendiri yang batil: maksudnya adalah menjadi­ kan pemikiran madzab agamanya sebagai sesuatu yang primer, sedangkan tafsir justru diposisikan sebagai sekunder atau sebagai pengikut semata sehingga justru menjadikan pentakwilan sebagai ajang usaha tipu daya, sampai-sampai menggiring pentakwilan itu  menuju aqidah  madzhabnya sendiri, dan kalau perlu dengan cara apa saja agar bisa men­ undukkannya di bawah madzhabnya meskipun akhirnya justru terasa semakin jauh dan asing.

Kelima, menafsirkan secara mutlak (absolut) bahwa maksud Allah Swt sesungguhnya dalam firman-Nya adalah begini begini begini tetapi tanpa didasari dengan dalil dari al-Qur'an yang mendasarinya. Langkah seperti ini secara syari'at adalah dilarang, berdasarkan firman Tuhan: "....dan mengatakan atas Allah apa-apa yang tidak engkau ketahui" 54

Etika yang Harus Dipegang oleh Penafsir
Siapapun yang hendak menafsirkan  al-Qur'an harus memegang manhaj atau etika penafsiran yang mengandung kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti. Dengan mengikuti kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip tersebut diharapkan penafsiran yang dilakukan tidak akan menyimpang dari kaidah dan aturan yang benar. Prinsip­ prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, prinsip proporsionalitas penafsiran dengan kebutuhan penafsir, tanpa mengurang-ngurangi apa yang sesungguhnya diperlukan penafsir dalam  penafsiran dan penjelasannya mengenai suatu makna, dan tanpa menambah­ nambahi sesuatu pembahasan yang sebetulnya tidak ada kaitannya dengan maksud suatu ayat sehingga tidak cocok atau tidak pada tempatnya. Di samping itu, sembari menjaga proporsionalitas tersebut, penafsir juga harus menjaga diri agar dalam penafsirannya tidak menyimpang dari makna dan keluar dari maksud yang sebenarnya.

Kedua, memilah dan membedakan mana yang meru­ pakan makna haqiqi dan mana yang berupa makna majazi. Bila penafsir mendapati makna atau maksud majazi, maka penjelasannya harus diarahkan pada yang haqiqi, bukan pada yang majazi lagi, dan begitu juga sebaliknya.
 
Ketiga, mengidentifkasi susunan dan rangkaian kata­ kata dalam ayat al-Qur'an sehingga mampu menangkap arti atau maksud yang seringkali terkandung secara tersirat di dalamnya.

Keempat,  mengetahui  keterkaitan  ayat-ayat  al-Qur'an ( munasabat al-ayat) dan menjelaskan sisi-sisi keterkaitan ayat yang satu dengan ayat yang lain, mengaitkan ayat-ayat yang diturunkan lebih awal dengan ayat-ayat yang diturun­ kan lebih akhir, sampai diketahui dan dimengerti secara jelas bahwa sebenarnya ayat-ayat al-Qur'an itu tidak saling tercerai berai satu sama lain, melainkan saling terkait satu dengan yang lain, ayat yang satu mendukung dan menguatkan ayat yang lain.

Kelima, selalu memperhatikan sebab-sebab turunnya ayat ( asbab al-nuzul), karena setiap ayat diturunkan dengan suatu sebab tertentu yang melatarinya. Oleh karena itu, ketika menjelaskan tentang sebab turunnya ayat, harus dijelaskan pula sebab-sebab lain yang melatarbelakangi sebab tersebut. Sebab-sebab turunnya ayat tersebut harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam pembahasan isi kandungan ayat.

Keenam, setelah menyebutkan keterkaitan ayat-ayat al-Qur'an dan sebab-sebab diturunkannya, barulah mulai menjelaskan hal-hal yang terkait dengan kalimat (lajadz) dan kata ( mufradat) dalam ayat-ayat tersebut. Diawali dari sisi kebahasaan, khususnya  ilmu sharf dan isytiqaq, kemudian menjelaskan tentang struktur (tarkib) ayat, dimulai dengan i'rab, kemudian  hal-hal  terkait  dengan  ma'ani, bayan, dan badi'. Setelah itu, barn menjelaskan kandungan makna yang dimaksud dalam ayat tersebut dan mengambil kesimpulan­ kesimpulan yang sekiranya bisa diambil terkait hukum­ hukum dan aturan-aturan keagamaan ( ahkam syar'iyyah ).

Ketujuh, penafsir tidak boleh menolak dan menentang tuduhan terhadap adanya pengulangan (tikrar) di dalam al­ Qur'anjika memang itu mungkin terjadi. Imam Suyuti menukil dari sebagian ulama di mana ia mengatakan: di antara hal-hal yang menjadikan kita ragu terhadap kemungkinan adanya tikrar atau pengulangan dua kata dalam al-Qur'an seperti dalam ayat "la tubqi wa wa la tadzar"55 dan ayat "shalawatun min rabbihim wa rahmah"56 , dan juga ayat-ayat yang lain, adalah adanya keyakinan di dalam diri penafsir bahwa penempatan dua suku kata menjadi satu dalam satu ayat al­ Qur'an menghasilkan makna yang tidak akan bisa dipahami jika masing-masing kata dilepaskan satu sama lain. Struktur atau tarkib yang semacam itu mengindikasikan adanya makna tambahan, sebab sebagaimana jika bertambahnya huruf mengakibatkan bertambahnya makna, maka begitu pula yang berlaku pada bertambahnya kata.57

Kedelapan, penafsir juga harus menghindari upaya yang justru dianggap keluar dari tafsir akibat penafsir berlebih­ lebihan dan terjerumus ke dalam pembahasan yang terlalu bertele-tele sehingga meninggalkan substansi penafsiran itu sendiri. Hal ini terjadi ketika penafsir terlalu berlebihan membicarakan, misalnya, masalah-masalah nahwiyah dalam tafsir, atau dalil-dalil masalah ushul al-fiqh, dalil-dalil masalah fiqh, dan dalil-dalil masalah ushul al-din. Dalil-dalil tersebut seharusnya sudah diketahui dalam penyusunan masing­ masing ilmu yang bersangkutan, oleh karena itu tidak perlu dijelaskan berlebihan dalam ilmu tafsir. Ilmu-ilmu tersebut memang disusun dalam rangka mendukung ilmu tafsir, tetapi penyelidikannya tidak harus disertakan di dalamnya.

Kesembilan, penafsir seharusnya menghindari pengu­ tipan hal-hal terkait asbab al-nuzul yang validitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan juga hadits-hadits tentang fadilah surat-surat al-Qur'an (yang dikarang oleh Abu Usmah Nuh bin Maryam), begitu juga kisah-kisah yang sifatnya maudu', ataupun cerita-cerita israiliyyat. Hal-hal itulah yang justru akan mengurangi keindahan al-Qur'an, dan justru menjauhkan manusia dari usaha  tadabbur dan mengambil i'tibar dari al-Qur'an.
Kesepuluh, setelah mempertimbangkan kesemuanya di atas, berikutnya penafsir harus senantiasa mengetahui, mem­ perhatikan, dan juga mengikuti kaidah-kaidah pentarjihan, sehingga ketika ada ayat yang kemungkinan memiliki kele­ bihan di beberapa aspek tertentu di banding yang lain maka ayat itulah yang dipilih dan diunggulkan.58
 
Faktor Kesalahan Dalam Tafsir bi al-Ra'y
Ada dua faktor yang seringkali menyebabkan terjadinya kesalahan dalam tafsir bi al- ra'y yang muncul setelah penafsiran generasi Sahabat dan Tabi'in. Kitab-kitab tafsir yang bercorak bi al-ra'y yang menyantumkan perkataan berbagai macam pihak tetapi cenderung obyektif dan tidak mencampuradukkan antar satu perkataan dengan perkataan yang lain di antaranya adalah tafsir karya Abdul Razaq dan 'Abd ibnu Hamid, selain masih banyak juga karya-karya lainnya yang bebas dari dua faktor tersebut. Berbeda dengan karya-karya tafsir bi al-ra'yyang lain yang dikembangkan setelah itu, yangmana kebanyakan di dalamnya diisi dengan berbagai kesalahan yang tidak bisa ditolerir, seperti tafsir yang dikembangkan oleh kalangan Mu'tazilah dan Syi'ah. Mereka mengembangkan penafsiran mereka sendiri secara subyektif semata-mata untuk mendukung madzhab dan membela akidah mereka sendiri. Kedua faktor tersebut adalah:

1. Penafsir sebelumnya meyakini suatu makna tertentu dari makna-makna yang ada, kemudian mereka menyela­ raksan makna ayat-ayat al-Qur'an yang ada dengan mak­ na subyektif yang mereka yakini tersebut.

2. Penfasir menafsirkan ayat al-Qur'an semata-mata ber­ dasarkan makna lafadz yang umumnya sudah dipahami dalam penuturan bahasa Arab, tanpa memperhatikan siapa sebetulnya yang berbicara dengan menggunakan bahasa al-Qur'an itu, siapa yang menurunkan dan kepada siapa diturunkannya al-Qur'an, dan siapa pula yang dibi­ carakan dalam al-Qur'an.
 
Pada faktor yang pertama di atas, penafsir hanya memper­ timbangkan makna yang ia yakini saja tanpa memperhatikan siapa sesungguhnya  yang mempunyai hak atas penjelasan dan keterangan secara mutlak atas makna ayat al-Qur'an itu.

Pada faktor yang kedua, penafsir hanya memperhatikan sisi lafadz dan sumber-sumber dari orang-orang Arab saja, tanpa memperhatikan apa sebenarnya makna yang dimak­ sudkan oleh pembicara (dalam al-Qur'an) itu sendiri, siapa yang diajak bicara, serta apa konteks pembicaraan itu sebe­ narnya .59

Kontradiksi yang Seringkali Terjadi antara Tafsir bi al­ Ma'tsur dan Tafsir bi al-Ra'y 

Perlu ditekankan terlebih dahulu disini bahwa:

Pertama, yang mungkin dipertentangkan sebenarnya bukan antara tafsir bi al-ma'tsur dengan tafsir bi al-ra'yi al­ madzmum, sebab tanpa perlu dipertentangkan pun memang sudah jelas bahwa tafsir bi al-ra'yi al-madzmum sejak awal tidak termasuk dalam kategori tafsir yang bisa diterima dan tidak masuk dalam kategori penafsiran makna yang sahih.

Kedua, pertentangan yang lebih mungkin terjadi adalah antara tafsir bi al-ra'yi al-mahmud dengan tafsir bi al-ma'tsur, dan inilah yang ingin dibahas disini, sehingga bisa dikatakan bahwa sesungguhnya pola atau bentuk yang masuk akal dan mungkin dapat digambarkan untuk menunjukkan perten­ tangan atau kontradiksi  antara kedua tafsir tersebut, yakni antara tafsir bi al-ma'tsur dan tafsir bi al-ra'yi al-mahmud, ada tiga, yaitu:

Pertama, kontradiksi yang terjadi ketika baik tafsir bi al­ ra'yi al-mahmud maupun tafsir bi al-ma'tsur keduanya sama-sama bersifat qath'iy (artinya desisif, tegas, final). Sebenarnya, ini adalah pola pertentangan yang hanya bersifat hipotetis, dugaan, dan tanpa bukti, sebab antara dua dalil yang sama-sama qath'iy tidak akan pernah mungkin bertentangan, dan sungguh merupakan suatu yang mustahil seandainya syari'at ( naqliy) bertentangan dengan dalil akal ( aqliy).

Kedua, kontradiksi yang terjadi ketika salah satu dari keduanya adalah qath'iy sedangkan yang lain bersifat dzanniy, sehingga ketika terjadi kontradiksi seperti ini, apabila tidak memungkinkan dilakukan ijma' dan tidak ada kesepakatan antara keduanya, maka yang qath'iy lebih diutamakan daripada yang dzanniy, dengan tujuan untuk mengambil mana di antara keduanya yang lebih unggul ( arjakh) dan untuk mengamalkan penafsiran yang lebih kuat.

Ketiga, kontradiksi yang terjadi ketika keduanya, baik tafsir bi al-ra'yial-mahmud atau tafsir bi al-ma'tsur, sama­ sama dzanniy. Dalam kontradiksi seperti ini, apabila memungkinkan untuk  dipersatukan  dan  dilakukan ijma', maka harus dilakukan ijma'. Tetapi seandainya keduanya tidak memungkinkan untuk dilakukan ijma', maka atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah Saw harus didahulukan jika memang itu ditetapkan dengan metode periwayatan yang benar (kuat dan sahih). 

Demikian pula atsar-atsar yang berasal dari para Sahabat juga harus didahulukan. Adapun atsar-atsar yang berasal dari para Tabi'in, apabila perawinya dikenal sering mengambil periwayatan dari para ahli kitab, maka dalam hal ini tafsir bi al-ra'y harus didahulukan. Apabila perawi memang dikenal tidak pernah mengambil dari para ahli kitab, maka harus dilakukan pentarjihan terhadap keduanya dengan pertimbangan: apabila salah satu dari keduanya diperkuat dengan riwayat-riwayat yang pernah didengar atau diperkuat dengan istidlal (pengambilan dalil), maka itu yang kita anggap rajih dan kita unggulkan dari yang lain. Namun apabila dalil-dalil dan kesaksian-kesaksian yang mendukung keduanya itu ternyata saling bertolak belakang, maka hendaknyapenafsir berhenti saja dalam perkara tersebut dan beriman kepada kehendak Allah Swt dan tidak harus terns-menerus mengejar penafsiran tersebut. Masukkan saja ayat tersebut ke dalam kelompok ayat-ayat yang mujmal dan mutasyabih sebelum diperoleh penjelasan yang sebenarnya.

Macam-macam Tafsir bi al-Ra'y
Telah dijelaskan pada bahasan-bahasan sebelumnya tentang adanya perbedaan sikap para ulama terkait boleh tidaknya penafsiran dengan ra'y: Sebagian ulama membo­ lehkan tafsir bi al-ra'y, dan sebagian yang lain melarangnya. Kita juga telah membahas argumentasi masing-masing kelompok, sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa perbe­ daan  kedua  pandangan  tersebut  sebenarnya  hanya  pada tataran literer, bukan secara substansial. Sebab pengertian ra'y dalam hal ini, sebagaimana telah kita bahas, terbagi ke dalam dua makna. Maka ra'ydalam pengertian yang pertama, yakni yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab beserta aspek-aspek lainnya, sesuai dengan al-Qur'an dan al-Sunnah, dengan senantiasa menjaga serangkaian syarat-syarat penaf­ siran, yang tentunya tidak diragukan lagi kebolehannya. Dalam pengertian inilah tafsir bi al-ra'y boleh dilakukan.

Adapun dalam pengertian yang kedua, ra'y yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, dan tidak sesuai pula dengan dalil-dalil syari'at dalam al-Qur'an dan Sunnah, serta tidak memenuhi pula terhadap syarat-syarat penafsiran, maka kelompok inilah yang sebetulnya dilarang dan dicela. Dalam pengertian inilah tafsir bi al-ra'y itu dilarang.

Kita telah menghasilkan kesimpulan dari pembahasan sebelumnya, bahwa tafsir bi al-ra'y ada dua, yaitu: tafsir yang terpuji dan diperbolehkan atau mamduhun jaiz, dan tafsir yang tercela dan dilarang atau madzmumun ghairu jaiz.

Tafsir bi al-ra'y yang diperbolehkan (jaiz) sebenarnya sudah dilakukan semenjak jauh-jauh hari tanpa melanggar kaidah-kaidah bahasa Arab, tidak pula melanggar aturan syari'ah. Kondisi seperti ini masih bisa berjalan, hingga pada akhirnya muncullah firqah atau kelompok yang beragam, dan muncul pula madzhab-madzhab keagamaan yang cukup bervariasi. Maka muncullah ulama-ulama yang yang berusaha menyokong madzhabnya masing-masing, mempertahankan akidahnya dengan menghalalkan segala macam cara. Mereka memang  merujuk kepada  al-Qur'an,  tetapi  tujuan  mereka mengkaji al-Qur'an adalah untuk menggali dalil-dalil dalam al-Qur'an yang kiranya dapat memperkuat pendapatnya sendiri dan menyokong madzhab yang dianutnya. Mereka saling bersaing untuk mengkaji al-Qur'an meski dengan jalan merendahkan ayat-ayat al-Qur'an terhadap madzhabnya sendiri, serta lebih cenderung mengunggulkan pendapat dan hawa nafsunya, menakwilkan ayat-ayat al-Qur'an yang sekiranya bertentangan dengan pandangan madzhabnya sehingga membuatnya seakan-akan tidak ada kontradiksi dan pertentangan dengannya. Dari sinilah mulai timbul tafsir bi al-ra'yi al-madzmum. Keadaan mulai menjadi genting hingga menjadikan orang-orang saling memperjuangkan akidah mereka sendiri, memperkuat madzhab mereka sen­ diri dengan penafsiran yang mereka lakukan melalui upaya memperturutkan ayat-ayat al-Qur'an pada hawa nafsu mereka sesuai kecenderungan masing-masing madzhab dan keyakinan yang mereka anut.

Mereka yang melakukan penfasiran yang kita katakan sebagai tafsir bi al-ra'yi al  mahmud  (tafsir  yang  terpuji) dan tafsir bi al-ra'yi al-madzmum (tafsir yang tercela) telah meninggalkan banyak sekali buku-buku tafsir, dan di antara buku peninggalan mereka tersebut akan kita perkenalkan sebagai berikut.

Kitab-kitab Tafsir bi al-Ra'yyang Terpuji

Sesunggunya di perupustakaan-perpustakaan Islam telah tersimpan banyak sekali kitab-kitab tafsir yang tergolong sebagai tafsir bi al-ra'y yang terpuji. Berikut ini kami sebutkan sebagian dari tafsir tersebut yang kiranya sudah saya pelajari dan saya jadikan kitab acuan dalam penafsiran.

Saya juga tidak lupa memperingatkan bahwa kitab-kitab yang saya pilih berikut ini memiliki orientasi dan kecen­ derungan masing-masing. Setiap tafsir tersebut juga memiliki kelebihan masing-masing dalam aspek dan warna tertentu. Sebagian ada yang menojol pada aspek bahasa nahwiyah, sebagian ada yang menonjol pada aspek kefilsafatan dan ilmu kalam, sebagian ada juga yang sangat kaya dengan cerita­ cerita israiliyat, dan begitu seterusnya dengan kelebihan yang dimiliki masing-masing tafsir. Tetapi secara keseluruhan tafsir-tafsir tersebut dapat digolongan ke dalam satu jenis: tafsir bi al-ra'y al-jaiz atau tafsir bi al-ra'y yang dibolehkan.

1.    Mafatih al-Ghaib (karangan Fakhrurazi, wafat 606 H)
2.    Anwaru al-Tanzil wa Asraru al-Takwil (karangan Al­ Baidawi, wafat 691 H)
3.    Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Takwil (karangan Abu Al-Barakat Al-Nasafi, wafat 701 H)
4.    Lubab al-Takwil fi Ma'ani al-Tanzi! (karangan 'Alauddin al-Khazin, wafat 741H)
5.    Al-Bahr al-Muhith (karangan Abu Hayyan al-Andalusiy, wafat 745H)
6.    Gharaib al-Qur'an wa Raghaib  al-Furqan (karangan Nidzamuddin al-Nisaburi, wafat 728H60) 
7.  Tafsir al-Jalalain (karangan Jalaluddin al-Mahalli, wafat 791H, dan Jalaluddin al-Suyuti, wafat 911 H)
8.    Al-Siraj al-Munir (karangan al-Khatib al-Syarbini, wafat 977H)
9.    Irsyad  al-'Aql al-Salim  ila M azaya al-Qur'an al-Karim (karangan Abu Sa'ud al-'Imadi, wafat 972H)
10.    Ruh al-M a'ani (karangan Syihabuddin al-Alusiy, wafat 1270H)

Kitab-kitab Tafsir bi al-Ra'y yang Tercela
Akan tetapi, selain tafsir bi al-ra'y yang terpuji, perpusta­ kaan-perpustakaan Islam juga menyimpan koleksi kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam tafsir bi al-ra'y al-madzmum, di mana dalam tafsir-tafsir ini penafsirnya didominasi oleh hawa nafsu dan keberpihakan madzhabiah. Tidak ada penafsir yang menulis tafsir tersebut kecuali dengan pendekatan yang sesuai keyakinan akidahnya sendiri, kemudian mereka menafsirkan secara serampangan, menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an bukan dengan mengedepankan makna yang sesungguhnya dari ayat tersebut, tetapi menundukkannya pada keyakinan mereka sendiri. Sampai-sampai, penafsiran mereka itu keluar jauh dari kaidah dan menjadi perkataan yang hanya didasarkan pada hawa nafsu dan kehendaknya sendiri.

Saya akan menyebutkan dua kitab saja pada masing­ masing madzhab, tanpa harus saya singkapkan aspek-aspek khurafat di dalamnya, agar pembaca bisa mulai merujuknya sendiri  pada  buku-buku  tafsir  tersebut  dan  membacanya dengan baik sehingga akan terkejut dengan sendirinya. Kitab­ kitab tersebut adalah sebagai berikut:

Tafsir dari kalangan Mu'tazilah:
1.    Tanzih al-Qur'a n 'an al-M athain (tafsir karangan al­ Qadhi Abd al-Jabar, wafat 415H)
2.    Al-Kasyaf 'an Haqaiq al-Tanzi! wa'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil (tafsir karangan Zamaksyari, wafat 538H)

Tafsir dari kalangan Syi'ah Imam Dua Belas:
1.    M ajma' al-Bayan li 'Ulum al-Qur'an (karangan Abi Ali al-Fadl bin Hasan al-Tibrisi, wafat 538H, adalah kitab kaum Syi'ah yang paling populer dan tafsir yang dianggap paling lurus)
2.    Al-Safi fi Tafsir al-Qur'a n al-Karim: (karangan Imam Muhsin al-Kasyi, wafat di akhir abad sebelas hijriah, dan saya belum tahu tahun berapa persisnya)

Tafsir dari kalangan Syi'ah Zaidiyah:

1.    Fath al-Qadir (karangan Muhammad bin Syaukani, wafat 1250H)
2.    Tafsir 'Atiyyah ibn M uhammad al-Najrani, wafat tahun 665H. Saya tidak pernah meneliti tafsir tersebut, tetapi pengarang kitab Al-Fahrasat pernah mengatakan: bahwa konon tafsir ini adalah tafsir yang agung, pengarang kitab tersebut mengumpulkan ilmu-ilmu Zaidiyah 61 (sembari menekankan bahwa Syi'ah Zaidiyah adalah Syiah sejati yang paling lurus).

Tafsir dari kalangan Khawarij al-Abadhiyah
1.    Himyan al-Zad ila Dar al-M a'ad: (karangan Muhammad ibn Yusuf Ithfayas, wafat tahun 1332H)
2.    Tafsir Hud ibn Muhkam al-Hawari, seorang ulama yang hidup pada abad ketiga hijriah. Tafsir ini beredar di kalangan kaum Khawarij Abadhiyah di Maghrib, dan saya telah mempelajari keempat bagiannya dari Syaikh Ibrahim Atfayas. Semoga Allah merahmatinya.

III.    Tafsir al-Maudu'i 62

Pengertian Tafsir al-Maudu'i
Tafsir al-maudu'i yang kami maksud adalah menyelami satu aspek tertentu dari aspek-aspek yang ada dalam al­ Qur'an, dengan pengkajian dan penelitian khusus secara mendalam. Penafsiran ini ditujukan secara khusus untuk mengkaji satu tema tertentu dari al-Qur'an melalui berbagai macam pendekatan, sehingga akan mampu menguak sisi-sisi rahasia al-Qur'an yang mungkin tidak dapat diketahui jika hanya mengadalkan penafsiran secara umum. Umumnya tafsir model ini dilakukan oleh mereka yang memang memi­ liki bekal dan keahlian dalam bidang keilmuan tertentu sehingga mereka memenuhi hasrat cinta ilmu mereka dan  semangat mereka untuk penelitian mengenai tema tertentu dalam al-Qur'an. Mereka memilih tema tertentu dari tema­ tema al-Qur'an yang kiranya dapat dipertemukan dengan bidang keahlian ilmu mereka secara spesifik.

1.   Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, misalnya, mengarang kitab yang mengulas secara spesifik tentang bagian-bagian al-Qur'an, yang dinamakan dengan kitab al-Tibyan fi Aqsam al-Qur'an.

2.    Ibnu 'Ubaidah, mengarang kitab Majaz al-Qur'an yang membahas secara spesifik tentang kemukjizatan dalam al-Qur'an.

3.    Al-Raghib al-Isfahani, menulis kitab Mu'jam al-M ufradat li Alfadz al-Qur'an yang membahas secara spesifik tentang mufradat  dalam  al-Qur'an.

4.    Abu Ja'far al-Nahhas, menulis kitab yang membahas secara spesifik mengenai masalah naskh wal mansukh dalam al-Qur'an dalam al-Nasikh wa al-Mansukh fi al­ Qur'an.

5.    Abu Hasan al-Wahidi, membahas secara spesifik tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur'an dalam kitabnya yang ia tulis, Asbab  an-Nuzul.

6.    Abu Bakar al-Jashash, menulis kitab Ahkam al-Qur'an yang membahas secara spesifik tentang hukum-hukum dalam al-Qur'an.

Di samping beberapa penafsir di atas, masih banyak lagi penafsir lainnya yang menulis tentang tema tertentu dalam al­ Qur'an, mengumpulkan menjadi satu bahasan-bahasan yang kurang sistematis di dalam al-Qur'an, dan membahasanya dalam penelitian dan penafsiran mereka secara tematis.

IV. Tafsir al-Isyari63

Pengertian Tafsir al-Isyari
Tafsir al-isyari adalah takwil atas ayat-ayat al-Qur'an untuk mengetahui makna-makna batin yang berbeda dengan makna dzahir, yang dicapai melalui isyarat-isyarat yang halus dan hanya diperoleh oleh orang-orang yang melewati jalan suluk, sehingga memungkinkan pula untuk menemukan ke­ sesuaian dan perpaduan antara makna batin tersebut dengan makna ayat yang terkandung secara dzahir.
Tafsir al-isyari didasarkan pada olah batin ( riyadhah ruhaniyah) yang dilakukan oleh kaum sufi sendiri sampai diri­ nya mencapai derajat atau maqam di mana ia mendapatkan anugerah berupa tersingkapnya tabir-tabir simbolik melalui isyarat-isyarat ilahiah yang suci, dan tersingkapnya tabir-tabir kegaiban dalam hatinya sehingga dapat memahami ayat-ayat al-Qur'an melalui pengetahuan yang suci.
Para kaum sufi tidak mengklaim bahwa tafsir al-isyari ini adalah makna satu-satunya dan makna sesungguhnya yang terkandung dalam setiap ayat al-Qur'an, melainkan mereka hanya meyakini bahwa terdapat makna lain yang terkandung dalam setiap ayat yang mungkin berbeda dari makna dzahir yang dapat dipahami begitu saja oleh pikiran kita.

Para ulama memberikan dua prasyarat paling mendasar bagi kesahihan makna al-isyari atau makna sufistik ini, yaitu:

Pertama, makna tersebut harus sahih secara dzahir ber­ dasarkan ketentuan atau kaidah-kaidah dalam bahasa Arab, atau senantiasa mematuhi prinsip-prinsip bahasa Arab.

Kedua, harus ada ayat atau teks pendukung lainnya seca­ ra dzahir di tempat yang berbeda yang menjadi saksi untuk memperkuat kesahihan makna tersebut dan tidak bertolak belakang.

Apabila kita menyelidiki perkataan-perkataan para tokoh yang dinyatakan sebagai makna sufistik ( isyariah) al-Qur'an berdasarkan dua syarat mendasar di atas, maka kita akan mengetahui bahwa kebanyakan perkataan mereka itu bisa dimasukkan dalam kategori tafsir al-isyari yang maqbul (diterima), selain banyak juga yang bisa termasuk ke dalam kategori tafsir al-isyari yang marfud (ditolak). Yang menjadi problematis dalam hal ini adalah, ternyata tokoh-tokoh yang mengatakan itu tergolong sebagai orang yang berilmu dan dipandang memiliki kapasitas ilmu agama yang cukup tinggi di kalangan umat muslim.

Untuk memperjelas maksud pernyataan di atas, kita dapat menunjukkan contoh, baik dari kelompok tafsir al-isyari yang maqbul maupun tafsir al-isyari yang marfud. Contoh tafsir al-isyari yang maqbul adalah penafsiran oleh Sahl al­ Tustari terhadap firman Allah Swt dalam ayat "fala taj'alu lillahi andadan wa antum ta'lamun"64 di mana ia menafsirkan kata "andadan" (sekutu) dengan "adhdadan" (kemarahan), dan sumber kemarahan yang terbesar menurut Sahl al­ Tustari adalah: nafsu ammarah bil su', artinya nafsu amarah untuk melakukan sesuatu yang buruk, dan kecenderungan memenuhi nafsu amarah tersebut dengan mengabaikan petunjuk dari Allah Swt.65

Contoh tafsir al-isyari yang marfud adalah penafsiran oleh Sahl al-Tustari juga terhadap firman Allah Swt dalam ayat: "inna awwala baitin wudhi'a linnasi": bahwa makna dzahir dari "awwala baitin" adalah rumah pertama yang dibangun untuk manusia (untuk ibadah) yakni Baitullah di Makkah, adapun makna batin ayat tersebut, menurut Tustari, adalah: bahwa Rasulullah percaya bahwa ia adalah manusia yang diberi ketetapan hati oleh Allah Swt berupa tauhid.66

Kitab-kitab Utama Tafsir al-Isyari
Sebagian ulama ada yang mengklaim tafsirnya termasuk dalam kategori tafsir dzahir tetapi sebenarnya isinya memiliki kecenderungan pula terhadap tafsir al-isyari, seperti misalnya tafsirnya al-Nisaburi dan al-Alusi.

Sebagian ulama ada pula yang memiliki sisi dominan pada tafsir al-isyari, akan tetapi terkadang memiliki juga kecenderungan terhadap tafsir dzahir, seperti yang dilakukan oleh Sahl al-Tustari.
Ada juga ulama yang sepenuhnya masuk dalam kategori tafsir al-isyari dan tidak masuk pada bahasan seputar makna dzahir, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Abdurrahman al-Salami.

Kiranya kita bisa sebutkan beberapa kitab yang termasuk dalam kitab tafsir al-isyari yang utama dan ditulis dengan penuh kesungguhan. Beberapa kitab tersebut adalah:

1.    Tafsir al-Qur'an al-'Adzim: karya Sahl Al-Tustari, wafat tahun 283 H, ada yang mengatakan pula wafatnya tahun 273 H. Kadang-kadang dalam tafsir ini juga masih men­ cantumkan makna dzahir ayat.

2.    Haqaiq al-Tafsir:kar ya Abu Abdurrahman al-Salami, wafat tahun 413 H, sepenuhnya adalah tafsir al-isyari dan tidak mengandung kecenderungan pada tafsir dzahir.

3.    'Arais al-Bayanfi Haqaiq al-Qur'an: yang ditulis oleh Abu Muhammad al-Syairazi, wafat tahun 202 H, sepenuhnya merupakan tafsir al-isyari dan tidak ada kecenderungan tafsir dzahir.

IV.    Tafsir al- 'Ilmi67 

Pengertian Tafsir al- 'Ilmi
Tafsir al-'ilmi atau disebut juga tafsir ilmiah adalah penaf­ siran al-Qur'an dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah untuk menjelaskan dan memberikan keterangan tentang makna di dalamnya, dan berupaya dengan penafsiran tersebut untuk menggali bermacam-macam ilmu pengetahuan dan pemikiran-pemikiran filosofis dari dalam al-Qur'an.
 
Tafsir jenis ini sudah berkembang cukup pesat, dan sudah banyak pula penjelasan tentang ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur'an, baik yang sudah terbukti atau yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Sehingga, al-Qur'an dalam pandangan penggiat metode penafsiran ini mencakup aspek pengetahuan keagamaan ( diniyyah), keimanan atau keyakinan ( i'tiqadiyyah), dan moralitas ('amaliyyah), serta berbagai macam ilmu pengetahuan dunia dengan berbagai variasi jenis, bentuk, dan warnanya.

Kita telah mengetahui, bahwa Imam al-Ghazali, misalnya, pada masanya, merupakan tokoh yang paling menguasai penjelasan al-Qur'an dengan menggunakan pendekatan ilmiah semacam ini, dan tokoh yang paling utama dalam memperkokoh dan menerapkan model penafsiran ini secara produktif di tengah bingkai ilmu-ilmu keislaman.

Kita juga mengetahui sang ahli ilmu, Jalaluddin al-Suyuti, adalah tokoh yang mengikuti jejak Imam Ghazali dalam menafsirkan al-Qur'an dengan tafsir ilmiah. Ia menafsirkan
al-Qur'an secara ilmiah, jelas, dan komprehensif di dalam kitabnya al-Itqan dan di dalam al-Iklilfi Istimbathi al-Tanzi!, dengan menyandarkan diri pada firman Allah yang berbunyi:
"tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab"68, dan firman-Nya yang lain: "dan Kami turunkan kepadamu al­ Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu".69
 
Penolakan al-Syatibi Terhadap Tafsir al- 'Ilmi
Kita telah mengetahui dari literatur-literatur yang kita baca, bahwa orang yang <lulu menolak keras tafsir ilmiah adalah sang ahli ushul al-fiqh, Abu Ishaq al-Syatibi. Al-Syatibi mengatakan dan menegaskan pandangannya itu di dalam kitabnya al-M uwafaqat. Iamenolak dalil-dalil al-Qur'an yang diajukan oleh Imam Suyuti yang disebutkan di atas. Menurut al-Syatibi, konteks ayat-ayat tersebut adalah pada urusan pembebanan hukum ( taklij) dan peribadatan ( ta'abud), dan ia juga menyangkal dengan mengatakan bahwa sebenarnya makna lafadz "kitab"pada ayat kedua yang diajukan al-Suyuti di atas adalah "Lauhul Mahfudz".

Keyakinan saya juga mengatakan: yang benar adalah al-Syatibi. Sebab argumen-argumen yang ia kemukakan untuk memperbaiki klaim-klaim tentang tafsir ilmiah tersebut adalah argumen-argumen yang kuat dan tidak ada kelemahan sedikitpun, tidak pula ada cacat di dalamnya. Al­ Syatibi mengemukakan argumennya dengan mengatakan: "Sesungguhnya para salafushalih, dari kalangan Tabi'in dan generasi sesudahnya, adalah generasi yang paling mengetahui tentang al-Qur'an, tentang ilmu-ilmu di dalamnya, pesan­ pesan di dalamnya, tetapi kita tidak pernah mendengar ada salah seorang dari mereka yang membicarakan tentang klaim­ klaim ilmiah seperti ini. Seandainya ada dari para salafushalih itu yang terjun dalam tafsir ilmiah dan pandangan-pandangan seperti klaim-klaim ini, maka kita tentu akan mengetahui asal usul masalah yang sebenarnya.Tapi nyatanya mereka tidak ada yang melakukan dan mengemukakan  hal itu, maka itu menunjukkan bahwa menurut mereka klaim-klaim ilmiah itu sesungguhnya tidak ada. Dan itu menjadi bukti yang menun­ jukkan bahwa al-Qur'an tidak pernah menyatakan sesuatu seperti yang mereka kehendaki, bahwa al-Qur'an itu mengan­ dung ilmu-ilmu seperti ilmu orang-orang Arab dahulu, atau ilmu-ilmu kontemporer yang diharapkan jika diketahui akan membuat para ahli sains takjub kepada al-Qur'an. Al-Qur'an tidak akan pernah dapat dipahami melalui pengetahuan akal yang paling unggul sekalipun jika tanpa karunia hidayah dari Allah Swt untuk mengetahuinya dan tanpa memohon cahaya untuk menerangi langkah dalam memahaminya. Jika tidak demikian, maka sungguh tidak akan mungkin akan bisa  memahaminya:'70

Itulah yang dikatakan oleh al-Syatibi, dan itupula yang mestinya kita katakan. Jika tidak demikian, maka berarti kita mengakui bahwa al-Qur'an adalah sumber bagi buku-buku kedokteran, bagi kaedah-kaidah ilmu falak, teori-teori ilmu ukur, hukum-hukum kimia, dan bagi ilmu-ilmu lainnya yang beragam. Dan jika demikian pula maka yang terjadi adalah munculnya keragu-raguan dalam akidah umat muslim terhadap al-Qur'an. Hal ini disebabkan karena sesungguh­ nya kaidah-kaidah dalam ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai landasan bagi teori-teori ilmiah itu tidaklah bersifat tetap dan kekal. Bisa jadi sebuah teori ilmiah diungkapkan oleh seorang ilmuwan hari ini, kemudian setelah beberapa masa teori tersebut batal karena ada anomali di dalamnya. Dan berapa banyak teori-teori ilmiah, baik yang dulu atau yang ada sekarang, mengandung banyak sekali pertentangan atau kontradiksi di dalamnya. Sehingga, dengan demikian, apakah masuk akal jika al-Qur'an dikatakan mengandung seluruh teori dan kaidah-kaidah ilmiah tersebut dengan segala pertentangan dan kontradiksi yang ada di dalamnya? Jika memang itu masuk akal, maka apakah masuk akal jika setelah detik ini umat muslim masih percaya pada kitab suci al-Qur'an bersamaan dengan keyakinan mereka bahwa kitab suci al-Qur'an adalah kitab Allah Swt yang tidak ada keburukan di dalamnya?

Orang-orang yang memiliki pemikiran seperti ini hendaknya memahami bahwa al-Qur'an tidak harus dimulia­ kan dengan menggunakan cara yang penuh kepura-puraan seperti ini. Sikap ini justru malah bisa mengeluarkan dari tujuan kemanusiaan dan sosial al-Qur'an itu sendiri, yakni memperbaiki kehidupan, menyehatkan jiwa, dan mengemba­ likannya pada Allah Swt. Para ilmuwan cukup meyakini saja bahwa di dalam al-Qur'an jelas sekali tidak ada ayat yang bertentangan dengan hakikat keilmiahan yang sejati, kuat dan tetap. Dan juga, kandungan al-Qur'an itu sendiri memungkinkan untuk mengalami kesesuaian hanya dengan teori-teori dan hukum-hukum ilmiah yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang benar, serta disandarkan pada sumber yang benar.

Jika pada zaman dahulu tafsir al- 'ilmi melahirkan pro dan kontra, antara ulama-ulama yang menerima dengan yang tidak menerima tafsir tersebut, maka pada zaman modern ini masih ada juga ulama-ulama yang pro dan yang kontra.
 
Kita bisa mengetahui, di antara ulama yang menerima model penafsiran ini, bahkan sebagai pemuka kelompok ini, adalah: almarhum  Syaikh Thantawi  Jauhari  dalam kitabnya  yang diberi judul: al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim.

Kita juga bisa mengetahui bahwa banyak juga ulama yang tidak menerima model penafsiran ini, di antaranya adalah: Syaikh Muhammad Mustofa al-Maraghi, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Amin al-Khulli, semoga Allah Swt menganugerahkan  rahmat yang luas kepada mereka.

PENUTUP

Al-Qur'an masih memiliki kandungan yang tak habis­ habisnya sampai sekarang. Tafsir al-Qur'an juga masih  menjadi  kajian yang tak henti-henti  ibarat lautan yang tak bertepi. Darimana saja Anda mengkaji al­ Qur'an, maka Anda akan tetap menemukan mutiara-mutiara yang berharga di dalamnya. Meskipun para mufassir telah bernsaha dan berijtihad sedemikian rnpa untuk menggali hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia dari dalam al-Qur'an, mereka tidak pernah mencapai titik batas terakhirnya dan tidak pernah terhenti pada akhir pencapaiannya. Dan meski tidak henti-hentinya mereka mengkaji tafsir secara beragam dengan kecendernngan masing-masing, mereka tetap terns dan masih terns mempelajari dan menggali al-Qur'a n al­ Karim. Tujuannya tak lain adalah untuk menyingkapkan kan­ dungan ilmu-ilmu dalam al-Qur'an dan menggali kandungan hidayah yang amat luar biasa. Generasi para pengkaji al­ Qur'an tersebut, baik kini maupun yang akan datang, bahkan hingga hari kiamat kelak, akan tetap mengkaji bidang tafsir al-Qur'an, berharap dengan menyelami ayat-ayat al-Qur'an akan tersingkap sesuatu yang barn dan berharga. Namun demikian, betapapun agung dan berharganya pengetahuan-pengetahuan barn yang sudah tergali dari dalam al-Qur'an, tetap saja itu masih hanya setitik dari rahasia  ilmu Allah yang masih teramat luas, sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur'an: "wamautitum min  al-'ilmi illa  qalilan".71

Kalaupun pada zaman dahulu ada banyak madzhab atau aliran dalam tafsir, metodenya yang bermacam-macam, orientasi dan maksudnya juga beragam, pada zaman ini feno­ mena penafsiran al-Qur'an pun tak ubahnya seperti zaman dahulu, ada beragam warna tafsir: ada tafsir bi al-ra'yi al­ mahmud, ada tafsir bi al-ra'yial-madzmum, ada tafsir maudu'i, ada tafsir al-sufi, ada juga tafsir al-'ilmi. Secara umum dapat dikatakan, penafsiran al-Qur'an pada zaman sekarang masih melanjutkan tafsir di zaman dahulu dan masih belum bisa melepaskan diri secara total. Hanya perbedaanya mungkin pada bentuknya saja, sebab para penafsir generasi dahulu sungguh-sungguh mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk menafsirkan al-Qur'an, membukakan jalan bagi para murid yang ingin mendalami al-Qur'an, menjelaskan ayat­ ayat al-Qur'an satu per satu dengan penjelasan yang detail dan luas, sehingga hampir-hampir saya bisa katakan: bahwa saya tidak melihat para penafsir sekarang ini menjelaskan al-Qur'an kecuali hanya mengulang penjelasan yang sudah terlebih dahulu dikatakan oleh ulama pada zaman dahulu!

Memang ada beberapa macam aspek al-Qur'an yang digali dan dikembangkan dalam tafsir sekarang ini yang sebenarnya asalnya sejak zaman dulu, hanya saja pada masa kini dikaji kembali sehingga harus kita perhatikan. Kajian aspek-aspek al-Qur'an tersebut di antaranya:

1. Kajian aspek sosial dalam al-Qur'an. Ulama yang menye­ lidiki aspek kajian ini dalam tafsir adalah Imam Syaikh Muhammad  Abduh, semoga Allah merahmatinya.

2.    Kajian aspek ilmiah dalam al-Qur'an. Ulama yang men­ yelidiki aspek kajian ini dalam tafsir adalah Syaikh Thantawi Jauhari. Ulama-ulama yang datang sesudahnya banyak pula yang terjun dalam kajian ini, dan menulis tafsir yang sama, sebagian ada yang maqbul dan sebagian ada yang marfud.

3.    Kajian aspek pemikiran dalam al-Qur'an. Kebanyakan kajian penafsiran ini menjadi ajang aktualisasi pemikiran, terkadang pengkajinya terlalu berlebihan sampai-sampai memposisikan al-Qur'an di bawah pemikiran mereka, tetapi upaya seperti ini biasanya gagal!

Selain itu, ada juga upaya penafsiran yang lain yang disebut dengan Tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an yang ditulis oleh saudara kita yang mulia Abdul Karim Khatib.

Ada juga tafsir modern lainnya yang dinamai Tafsir al- 1\sri al-Qadim, karya Ustadz Abdul Fattah Imam al-Dimasqi, yang dicetak dalam tiga jilid.

Ada juga tafsir modern kedua yang dinamai Tafsir al­ Hadits karya Ustadz Izzah Daruzah. Tafsir ini disusun secara rapi menurut periode turunnya al-Qur'an, dan dicetak dalam dua belas juz.
Ada juga tafsir modern ketiga yang dinamai Bayan al­ M a'ani karya Sayyid Abd Qad Malla Khawaish Ali Ghazi al-'Ani, yang juga disusun secara tertib berdasarkan periode al-Qur'an, dan dicetak dalam enam jilid.

Berbagai upaya penafsiran, dan karya-karya tafsir yang banyak sekali tersebut, dianggap sebagai karya-karya yang paling penting dalam tafsir. Kita perlu untuk mempelajari karya-karya tersebut secara komprehensif dan mendalam sampai ke akar-akarnya, hingga kita bisa mengambil pelajaran atau menghukuminya  dengan benar.

Semoga sempitnya aspek kajian di dalam tulisan yang saya hadirkan ini, sempitnya pembahasan tentang ilmu tafsir, sebab saya belum membahas beberapa aspek yang telah saya tunjukkan dalam tulisan ini dengan pembahasan yang lebih mendalam. Bisa dimaklumi, sebab sebetulnya di sini saya hanya sekedar ingin menjelaskan dan berbagi atas apa yang saya ketahui tentang: apa itu ilmu tafsir? bagaimana awal mulanya? bagaimana perkembagannya? dan sampai sejauh mana kemajuannya kini?

Saya berdoa semoga Allah Swt selalu menganugerahkan petunjuk kepada kita semua dan menuntun langkah kita menuju jalan yang terbaik dan penuh hidayah. Dialah yang ada di balik terkabulnya doa-doa manusia, dan Dialah yang Maha Kuasa. Semoga kesejahteraan juga senantiasa dilim­ pahkan kepada para Nabi dan Rasul yang menjadi utusan­ Nya. Dan akhirnya, kita haturkan segala puji syukur hanya kepada-Nya. Alhamdulillahirabbil'alamin.

Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi

Footnote dan Referensi

36    Penj: karakteristik tafsir ini adalah tekstual
37    Al-ltqan, ju z II, ha!. 88
38    Idem
39    Konon ju ga ada yang mengatakan ia meninggal tahun 375 H.
40    Bukhari, Juz 6, ha!. 320, dalam Fath al-Bari
41    Bukhari, Bab Tafsir, Juz VIII, ha!. 120, dalam Fath al-Bari
42    Penj: karakteristik tafsir ini adalah rasional
43    At-Tirmidzi dalam bab tafsir, Juz II, ha! 157, cet. al-Amiriyah 1292 H.
44    idem
45    Muqaddimah Tafsir lbnu farir, Juz I, ha!. 78.
46    Idem, Juz 1, ha! 85-86, dan masih banyak lagi perawi yang lain yang turut meriwayatkan atsar tersebut.
47    Q.S. Muhammad: 24
48    Q.S. Saad: 83
49    Q.S.An-Nisa: 83
50    Q.S. Ali Imran , ayat: 187
51    Muqaddimah Ibnu Taimiyah dalam Ushulu al-Taf sir, hal:31-32
52    Q.S. al-Baqarah: 282
53    Di dalam takhrijnya terhadap hadits-hadits dalam Ihyanya al-Ghazali, Hafiz al-Iraqi menulis hadits ini diriwayatkan oleh Abu Na'im yang diperoleh dari Anas. Lih Kitab Ihya, Juz I ha! 121, dicetak oleh Nasyr Tsaqafah Islamiah, tahun 1356.
54    Q.S. Al-Baqarah: 169
55    Q.S. Al-Mudatssir : 28
56    Q.S. Al-Baqarah: 157
57    Al-ltqan, Juz II, Hal. 185-186
58    Lihat tentang kaidah-kaidah  tarjihdalam  al-ltqan, Juz II, ha!182, yang dinukil dari kitab al-Burhan karya Zarkasyi.
59    Lihat kembali penjelasan tentang kedua faktor tersebut di dalam Muqaddimah Ibnu Taimiyyah dalam Ushul al-Tafsir, ha!. 20-24.
60    Kapan persisnya tahun wafatnya tidak diketahui secara pasti. Yang tersebut di atas hanyalah dugaan.
61    Al-Fahrasat karangan Ibn Nadim, ha!. 23, cet. Al-Rahmaniah, tahun 1345H
62    Penj: karakteristik tafsir ini adalah tematik
63 Penj: karakteristik tafsir ini adalah sufistik
64    Q.S. Al-Baqarah: 22
65    Tafsir al-Qur'an al-'Adzim dari al-Tustari, ha!: 14
66    Al-Marja ' al-Sabiq, ha!. 41
67    Penj: karakteristik tafsir ini adalah ilmiah
68    Q.S. Al-An'am: 38
69    Q.S. Al-Nahl: 89
70    Al-Mu waf aqat, j uz II. Hal. 79.
71 Q.S. Isra: 85

LihatTutupKomentar