Cara Mengenal Allah dan Diri Sendiri

Cara Mengenal Allah dan Diri Sendiri, dunia dan akhirat MENGENAL DIRI adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai ungkapan hadis: “Siapa yang mengenal

Cara Mengenal Allah dan Diri Sendiri

Nama kitab: Terjemah Kimiya al-Sa'adah, Proses Kebahagiaan, Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, Meraih Kebahagiaan dan Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Judul kitab asal:  Kimiyaus Sa'adah  (كيمياء السعادة - الغزالي)
Penulis: Imam Ghazali.
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (أبو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي)
Lahir: 1058 M / 450 H
Asal: Tous, Iran
Wafat: 19 Desember 1111 Masehi (usia 53) atau tahun 505 Hijriah
Bidang studi: Tasawuf, akhlak, sufi, tarekat

Daftar Isi 

  1. Kata Pengantar
  2. Mengenal Diri
  3. Mengenal  Allah
  4. Mengenal Dunia
  5. Mengenal Akhirat
  6. Kembali ke: Terjemah Kimiyaus Sa'ada Al-Ghazali

Kata Pengantar
KETAHUILAH, MANUSIA tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan. Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi tujuan yang mulia. Meski bukan bagian dari Yang Kekal, ia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan membumi, ruhnya mulia dan ber- sifat ilahi. Melalui tempaan zuhud, ia suci- kan dirinya dari nafsu jasmani dan menca- pai tingkatan tertinggi, tidak menjadi budak nafsu, dan meraih sifat-sifat malakut. Ia te- mukan surganya dalam perenungan tentang Keindahan Abadi dan tak lagi memedulikan kenikmatan badani. Kimia ruhani yang mam- pu menghasilkan perubahan seperti ini, la- yaknya kimia yang mengubah logam biasa menjadi emas, tak mudah ditemukan. Buku ini ditulis untuk menjelaskan kimia ruhani tersebut beserta metode operasinya.

Khazanah ilahi yang menuturkan kimia ini terkandung dalam hati para nabi. Siapa saja yang mencarinya di tempat lain pasti akan kecewa dan terpuruk di hari berbang- kit, ketika dikatakan kepadanya:

           
... Telah Kami angkat tirai itu dari- mu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah tajam. (Q. 50:22)

Allah telah mengutus ke dunia ini 124 ribu orang nabi untuk mengajar manusia tentang resep kimia ini dan bagaimana cara menyucikan hati mereka dari sifat-sifat hina melalui zuhud. Jadi, secara ringkas dapat di- katakan bahwa Kimia Kebahagiaan adalah berpaling dari dunia untuk menghadap ke- pada Allah. Kimia Kebahagiaan terdiri atas empat elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahu- an tentang dunia sebagaimana adanya, dan pengetahuan tentang akhirat sebagaimana adanya.

Mari kita jelajahi satu demi satu keem- pat elemen tersebut.[]

Mengenal Diri

MENGENAL DIRI adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai ungkapan hadis: “Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya,” dan sebagaimana dikatakan Alquran: 
Akan Kami tunjukkan ayat-ayat Kami di dunia ini dan dalam diri mereka agar kebenaran tampak bagi  mere- ka. (Q. 41: 53)
Ketahuilah, tak ada yang lebih dekat ke- padamu kecuali dirimu sendiri. Jika kau ti- dak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui yang lain. Pengetahuanmu tentang diri sendiri dari sisi lahiriah, seperti bentuk muka, badan, anggota tubuh, dan lainnya sama sekali tak akan mengantarmu untuk mengenal Tuhan. Sama halnya, pe- ngetahuanmu mengenai karakter fisikal diri- mu, seperti bahwa kalau lapar kaumakan, kalau sedih kau menangis, dan kalau marah kau menyerang, bukanlah kunci menuju pe- ngetahuan tentang Tuhan. Bagaimana bisa kau mencapai kemajuan dalam perjalanan ini jika kau mengandalkan insting hewani serupa itu? Sesungguhnya pengetahuan yang benar tentang diri meliputi beberapa hal berikut:
Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan keda- tangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan? Ketahuilah, ada tiga sifat yang bersemayam dalam dirimu: hewan, setan, dan malaikat. Harus kautemukan, mana di anta- ra ketiganya yang aksidental dan mana yang esensial. Tanpa menyingkap rahasia itu, kau tak akan temukan kebahagiaan sejati.
 
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur, dan berkelahi. Karena itu, jika engkau he- wan, sibukkanlah dirimu dalam aktivitas itu. Setan selalu sibuk mengobarkan keja- hatan, tipu daya, dan dusta. Jika kau terma- suk golongan setan, lakukan yang biasa ia kerjakan. Sementara, malaikat selalu mere- nungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat hewani. Jika kau punya sifat malaikat, berjuanglah menemukan sifat-sifat asalimu agar kau dapat mengenali dan me- renungi Dia Yang Mahatinggi, serta terbebas dari perbudakan syahwat dan amarah. Ber- upayalah untuk mencari tahu mengapa kau diciptakan dengan kedua insting hewan ini— syahwat dan amarah—sehingga kau tidak ditundukkan dan diperangkap keduanya. Alih-alih diperbudak keduanya, kau harus menundukkan mereka dan mempergunakan- nya sebagai kuda tunggangan dan senjatamu. Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa dirimu terdiri atas bentuk luar yang disebut jasad, dan wujud dalam yang disebut hati atau ruh. Hati yang saya maksudkan bukanlah segumpal daging yang terletak di dada kiri, melainkan tuan yang mengendalikan semua fakultas lainnya dalam diri serta mempergunakannya sebagai alat dan pelayannya. Pada hakikatnya, ia bukan sesuatu yang indriawi, melainkan se- suatu yang gaib; ia muncul di dunia ini se- bagai pelancong dari negeri asing untuk ber- dagang dan kelak akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan si- fat-sifatnya inilah yang menjadi kunci me- ngenal Tuhan.
Sebagian pemahaman mengenai hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang de- ngan mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu, ia akan mengetahui ketakterbatasan sifat dirinya itu. Namun, syariat melarang kita menelisik hakikat ruh sebagaimana ditegaskan Alquran: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: (soal) ruh adalah urusan Tuhanku.” (Q.  17: 85). Jadi, sedikit yang dapat diketahui ha- nyalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terbagi yang termasuk dalam dunia titah (amr), dan bahwa ia bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan ciptaan. Pengetahuan filo- sofis yang tepat mengenai ruh bukanlah awal yang niscaya untuk meniti jalan ruha- ni. Pengetahuan itu akan didapatkan melalui disiplin-diri dan kesabaran menapaki jalan ruhani, sebagaimana dikatakan Alquran:
 
Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada- nya jalan-jalan Kami ( yang lurus). (Q. 29: 69).
Untuk memahami lebih jauh perjuangan batin untuk benar-benar mengenal diri dan Tuhan, kita dapat melihat jasad kita sebagai sebuah kerajaan; jiwa sebagai rajanya dan indra beserta fakultas lain sebagai tentara- nya. Akal bisa disebut perdana menterinya, syahwat sebagai pemungut pajak, dan ama- rah sebagai polisi. Dengan alasan mengum- pulkan pajak, syahwat selalu ingin meram- pas segala hal demi kepentingan sendiri, se- mentara amarah cenderung bersikap kasar dan keras. Pemungut pajak dan polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tak mesti dibunuh atau ditindas, karena mereka punya peran tersendiri yang harus dipenuhi-nya. Tetapi, jika syahwat dan amarah me- nguasai nalar maka jiwa pasti runtuh. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang le- bih rendah menguasai yang lebih tinggi ibarat orang yang menyerahkan bidadari kepada seekor anjing, atau seorang muslim kepada seorang raja kafir yang zalim.
Memelihara sifat-sifat setan, hewan, atau malaikat akan melahirkan watak yang berse- suaian dengannya yang di hari kiamat akan mewujud dalam rupa yang kasatmata, seper- ti syahwat menjadi babi, amarah menjadi anjing dan serigala, serta kesucian mewujud dalam rupa malaikat. Pendisiplinan moral bertujuan membersihkan hati dari karat syah- wat dan amarah sehingga sebening cermin yang mampu memantulkan cahaya Ilahi.
Mungkin ada pembaca yang keberatan dan menanyakan, “Jika manusia diciptakan dengan sifat-sifat hewan, setan, dan malai- kat, bagaimana kita bisa tahu bahwa sifat malaikat adalah esensi kita, sementara sifat hewan dan setan hanyalah aksidensi?” Ja- wabannya, esensi setiap makhluk adalah se- suatu yang tertinggi dan khas dalam dirinya. Contohnya, kuda dan keledai adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul karena ia dipergunakan juga untuk perang. Jika tidak, kuda terpuruk hanya menjadi he-- wan pengangkut beban. Fakultas tertinggi dalam diri manusia adalah akal yang me-- mampukannya merenung tentang Tuhan. Jika akal mendominasi maka ketika mati ia terbebas dari kecenderungan syahwat dan amarah sehingga dapat bergabung dengan para malaikat. Dibandingkan dengan bebe- rapa jenis hewan, manusia jauh lebih lemah. Berkat akal, ia dapat mengungguli mereka sebagaimana dikatakan Alquran: “Telah Kami tundukkan segala sesuatu di atas  bumi  un- tuk manusia” (Q. 45:13). Sebaliknya, jika sifat hewani atau setan yang berkuasa maka setelah mati ia akan selalu menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan duniawi.

Betapa mengagumkan, jiwa rasional (akal) manusia berlimpah dengan pengetahu- an dan kekuatan. Berkat keduanya ia dapat menguasai seni dan sains, mampu bolak-balik dari bumi ke angkasa secepat kilat, dapat memetakan langit dan mengukur jarak an- tarbintang. Berkat ilmu dan kekuatan ia juga dapat menangkap ikan dari lautan dan bu- rung di udara, bahkan kuasa menundukkan binatang liar seperti gajah, unta, dan kuda. Panca indranya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap dunia luar. Namun yang paling menakjubkan dari semua ini adalah hatinya yang memiliki jendela terbuka ke dunia ruh yang gaib. Dalam keadaan tidur, ketika saluran indranya tertutup, jendela ini terbuka menerima berbagai gambaran dari dunia gaib, yang kadang-kadang mengabar- kan isyarat tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu di Lauh Mahfuzh. Tetapi, bahkan di saat tidur, pikiran-pikiran yang bersifat duniawi akan memburamkan cermin tersebut sehingga kesan-kesan yang diterima- nya tidak jelas. Bagaimanapun, saat kemati- an datang, semua pikiran seperti itu akan sirna dan hakikat segala sesuatu tampak se- jelas-jelasnya. Saat itulah yang dimaksud dalam ayat di atas: Kamu  lalai  dari  (hal) ini. Kami singkapkan tutup matamu sehingga penglihatanmu pada hari itu sangat  tajam. (Q.  50:  22). 
Jendela dalam hati itu juga dapat terbu- ka dan mengarah ke dunia gaib di saat-saat yang menyerupai ilham kenabian, yakni ke- tika intuisi muncul dalam pikiran tanpa me- lalui perangkat indriawi. Makin seseorang memurnikan dirinya dari hasrat badani dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, se- makin peka ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang yang tidak menyadari intuisi se- macam itu tak berhak menyangkal keber- adaannya.
Dan tidak hanya para nabi yang bisa menerima intuisi seperti itu. Layaknya seba- tang besi yang terus dipoles akan berubah menjadi cermin, pikiran siapa pun akan mam- pu menerima intuisi seperti itu jika dilatih dengan disiplin yang keras. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau bersabda: “Setiap anak dilahirkan dengan fitrah (kecenderungan menjadi muslim); orang tuanya kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Setiap manusia, di lubuk terdalam kesadarannya mendengar pertanyaan “Bukankah Aku ini tuhanmu?” dan menjawab “Ya”. Tetapi kebanyakan hati manusia bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat memantulkan gambaran yang jernih. Berbeda dengan hati para nabi dan wali yang, meski mereka pun memiliki nafsu se- rupa kita, sangat peka terhadap kesan-kesan ilahiah.
Sebagaimana dikatakan di atas, jiwa ra- sional dilimpahi pengetahuan dan kekuatan. Jadi, intuisi seperti itu tak hanya bisa diraih dengan pengetahuan—yang membuat manu- sia lebih unggul dari semua makhluk lain- nya—tetapi juga dengan kekuatan. Sebagai- mana malaikat menguasai pelbagai kekuatan alam, jiwa manusia pun berkuasa mengatur semua anggota badan. Jiwa yang telah men- capai tingkat kekuatan tertentu, tidak saja dapat mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika ia ingin agar se- seorang yang sakit sembuh, si sakit akan sembuh, atau jika ingin seseorang yang sehat agar jatuh sakit, sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, orang itu akan datang di hadapannya. Baik atau bu- ruk akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini bergantung pada sumber ke- kuatannya, sihir ataukah mukjizat.

Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku
di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?
Ketahuilah, ada tiga sifat yang bersemayam dalam dirimu:
hewan, setan, dan malaikat.
Harus kautemukan, mana di antara ketiganya yang aksidental
dan mana yang esensial.
Tanpa menyingkap rahasia itu,
kau tak akan temukan kebahagiaan sejati. 
 
Ada tiga hal yang membedakan jiwa yang sangat kuat ini dari jiwa orang kebanyakan:
1.    Apa yang dilihat orang lain hanya da- lam mimpi, mereka melihatnya di saat- saat jaga.
2.    Sementara kehendak orang lain hanya memengaruhi jasad mereka, jiwa ini, de- ngan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakkan jasad orang lain.
3.    Jika orang lain mesti belajar keras untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ia men- dapatkannya melalui intuisi.
Tentu saja ada banyak hal lain yang membedakan jiwa mereka dari jiwa keba- nyakan manusia. Namun, ketiga tanda itu- lah yang dapat diketahui umum. Sebagai- mana tidak ada sesuatu pun yang mengeta- hui hakikat sifat-sifat Tuhan kecuali Tuhan, sifat sejati seorang nabi pun hanya diketahui oleh nabi. Tak perlu merasa heran, karena dalam kehidupan sehari-hari pun kita tak mungkin menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang tak peka terhadap rima dan irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seorang yang buta. Selain ketidak- mampuan, ada perintang-perintang lain untuk mencapai kebenaran spiritual. Satu di antaranya adalah pengetahuan capaian lahi- riah. Jelasnya, hati manusia bisa digambar- kan sebagai sumur dan pancaindra sebagai lima aliran yang terus mengaliri sumur itu. Untuk mengetahui kandungan hati yang se- benarnya, kita harus menghentikan aliran- aliran tersebut dan membersihkan sampah yang dibawanya. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni, kita mesti membuang pengetahuan yang telah dicapai melalui proses indriawi dan yang sering kali mengeras menjadi pra- sangka dogmatis.
Namun, banyak juga orang yang salah kaprah menyikapi pengetahuan capaian lahi- riah ini. Banyak orang yang dangkal ilmu- nya—seraya mengutip beberapa ungkapan yang mereka dengar dari guru-guru sufi— bercuap-cuap mencela dan menajiskan se- mua jenis pengetahuan. Ia tak ubahnya sese- orang yang tak tahu kimia lalu berkoar: “Kimia lebih baik daripada emas,” seraya menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tetapi alkemis sejati amatlah langka, begitu pun sufi sejati. Orang yang hanya mengenal kulit tasawuf tidak lebih baik daripada seorang terpelajar. Demikian pula, orang yang baru mencoba beberapa rumus kimia, tak punya alasan untuk menghina seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan sejati tak bisa dilepaskan dari makrifat—mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam diri manusia me- nyukai segala sesuatu yang untuk itu ia di- ciptakan. Syahwat senang memenuhi hasrat nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan indah, dan telinga senang mendengar suara-suara mer- du. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar ia mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang dalam upa- ya tersebut. Bahkan dalam persoalan yang remeh sekalipun, seperti permainan catur, manusia merasakan kesenangan. Dan, sema- kin tinggi materi pengetahuan yang didapat, semakin besar rasa senangnya. Orang akan senang jika dipercaya menjadi perdana men- teri, tetapi ia akan jauh senang jika semakin dekat kepada raja yang mungkin menying- kapkan berbagai rahasia kepadanya.
 
Seorang astronom yang dengan pengeta- huannya bisa memetakan posisi bintang- bintang dan menguraikan lintasan-lintasan- nya, pasti merasa jauh lebih senang ketim- bang pemain catur. Maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat mengeta- hui bahwa tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dari Allah! Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya subjek pengetahuan tertinggi sehingga orang yang berhasil me- raihnya pasti akan merasakan puncak ke- senangan.
Orang yang tak menginginkan pengeta- huan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai makanan sehat; atau layaknya orang yang lebih suka lempung ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membu- nuh semua organ tubuh yang biasa diper- alat nafsu, semua dorongan dan hasrat ba- dani musnah, tetapi jiwa manusia tidak. Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala pe- ngetahuannya tentang Tuhan, malah penge- tahuannya semakin bertambah.
Satu bagian penting dari pengetahuan tentang Tuhan timbul dari kajian dan pere- nungan atas jasad manusia yang menampilkan kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Penciptanya. Dengan kekuasaan-Nya, Dia membangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa ini hanya dari satu tetes air mani. Kerumitan jasad kita dan kemampuan setiap bagiannya untuk bekerja secara harmonis menunjukkan kebijakan-Nya. Cinta-Nya Dia perlihatkan dengan memberi organ tubuh yang mutlak diperlukan manusia—seperti hati, jantung, dan otak—dan juga organ yang tidak mutlak dibutuhkan—seperti ta- ngan, kaki, lidah, dan mata. Lalu Dia me- nyempurnakan ciptaan-Nya itu dengan me- nambahkan rambut yang hitam, bibir yang memerah, dan bulu mata yang melengkung. Karena itu, sangat pantas jika manusia disebut   âlam   al-shaghîr   (mikrokosmos). Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan ha- nya oleh orang yang ingin menjadi dokter, melainkan juga oleh orang yang ingin men- capai  pengetahuan  lebih  dalam  tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan gaya bahasa pada se- buah puisi yang indah akan mengungkapkan
lebih banyak kegeniusan penulisnya.
 
Namun, dibandingkan pengetahuan ten- tang jasad beserta fungsi-fungsinya, pengeta- huan tentang jiwa lebih banyak berperan mengantar manusia pada pengetahuan tentang Tuhan. Jasad bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggang- nya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang tidak mengeta- hui jiwanya—sesuatu yang paling dekat ke- padanya—maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa- apa. Ia tak ubahnya pengemis yang tak pu- nya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha me- maparkan kebesaran jiwa manusia. Orang yang mengabaikannya dan menodai kesuci- annya dengan mengotori atau bahkan meru- saknya, pasti akan kalah di dunia dan di akhirat. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kemampuannya untuk terus maju dan berkembang. Tanpa kemampuan itu ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di antara makhluk lainnya—takluk oleh rasa lapar, haus, panas, dingin, dan mus- nah oleh penderitaan. Sering kali apa yang disukai seseorang justru sangat membahaya- kan dirinya. Dan segala hal yang memaju- kannya tidak bisa diperoleh kecuali dengan kesusahan dan kerja keras. Intelektualitas manusia sesungguhnya sangat rapuh. Sedikit saja kekacauan dalam otaknya sudah cukup untuk merusak atau membuatnya gila. Dan fisiknya pun lebih lemah dibanding sebagian hewan; bahkan sengatan tawon saja sudah mampu mengusik ketenangan dan kesehat- annya. Tabiatnya bahkan lebih lemah lagi; satu rupiah hilang dari kantongnya, ia kela- bakan dan gelisah tak karuan. Kecantikan- nya pun, berkat kulitnya yang lembut, ha- nya sedikit lebih baik daripada makhluk lainnya. Jika tidak sering dicuci, manusia akan tampak sangat menjijikkan dan mema- lukan.
Sebenarnya manusia merupakan makh- luk yang teramat lemah dan hina di dunia ini. Kebernialaian dan keutamaannya hanya akan mewujud di negeri akhirat. Melalui pendisiplinan diri dengan sarana “Kimia Ke- bahagiaan” ia akan naik dari tingkatan he- wan ke tingkatan malaikat. Tanpa Kimia Kebahagiaan, keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang biadab yang pasti mus- nah dan menjadi debu. Karena itu, disertai kesadaran sebagai makhluk terbaik dan pa- ling unggul, ia harus berusaha mengetahui ketakberdayaannya, karena pengetahuan itu menjadi salah satu kunci untuk membuka pengetahuan tentang Allah.[]

Mengenal Allah

SEBUAH HADIS Nabi saw. yang terkenal ber- bunyi “Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah.” Artinya, dengan merenung- kan wujud dan sifat-sifatnya, manusia sam- pai pada sebagian pengetahuan tentang Allah. Mengingat banyak orang yang merenungkan dirinya tetapi tak juga menemu Tuhannya, berarti ada cara-cara tersendiri untuk menja- lani perenungan itu. Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahu- an ini. Salah satunya terlalu musykil sehing- ga tak bisa dicerna kecerdasan biasa dan, karenanya, lebih baik tidak kita bahas di sini.
Metode lain adalah sebagai berikut. Jika seseorang merenungkan dirinya, ia akan mengetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis dalam Alquran: Tidak- kah manusia tahu bahwa sebelumnya  ia  bu- kan  apa-apa?(Q.  76:  1)
Lalu ia akan mengetahui bahwa ia ter- buat dari setetes air yang tak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan seterusnya. Jadi jelaslah, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak men- ciptakan dirinya, bahkan tak kuasa untuk menciptakan meski hanya sehelai rambut.
Betapa sangat tak berdayanya manusia ketika ia hanya berupa setetes mani! Jadi, sebagaimana telah dijelaskan, ia mendapati wujudnya sebagai miniatur atau pantulan dari kekuasaan, kebijakan, dan cinta Sang Pencipta. Jika semua orang pintar dari selu- ruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tak terba- tas, mereka tak akan bisa memperbaiki sedi- kit saja dari struktur jasad manusia, yang paling kecil sekalipun. Keajaiban penciptaan manusia tampak dalam berbagai sisi, seperti kesesuaian antara geligi depan dan samping ketika mengunyah makanan, proporsi lidah di mulut, kelenjar air liur dan kerongkongan untuk menelan, dan berbagai organ lainnya yang begitu menakjubkan. Lihatlah pula struktur tangan dengan lima jarinya yang tak sama panjang—empat di antaranya pu- nya tiga persendian dan jempol hanya punya dua—sehingga ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing, atau memukul. Tidak mungkin manusia, secerdas apa pun ia, mam- pu membuatnya lebih baik lagi, misalnya dengan mengubah jumlah dan struktur jari- jari itu, atau dengan cara lainnya.
Lalu, jika ia memikirkan lebih lanjut me- ngenai hasratnya terhadap beragam makan- an, penginapan, dan sebagainya, yang se- muanya bisa didapatkan dari gudang pen- ciptaan, ia akan menyadari bahwa kasih sa- yang Allah sama besarnya dengan kekuasaan dan kebijakan-Nya. Allah berfirman, “Rahmat- Ku lebih luas dari kutukan-Ku.” Dan sebuah hadis Nabi saw. menyebutkan bahwa kasih Allah lebih lembut daripada kasih seorang ibu pada bayinya yang sedang menyusu. Jadi, dengan mengenali penciptaan dirinya, manu- sia akan mengetahui keberadaan Tuhan. Dengan merenungi struktur tubuhnya yang menakjubkan ia menyadari kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Dan dengan merenung- kan karunia yang berlimpah untuk meme- nuhi berbagai kebutuhannya, ia akan me- nyadari cinta Allah kepadanya. Begitulah, mengenal diri menjadi kunci untuk mengenal Allah.

***

Kebahagiaan sejati tak bisa dilepaskan dari makrifat—mengenal Tuhan.
Tiap fakultas dalam diri manusia menyukai segala sesuatu yang untuk itu ia diciptakan. Syahwat senang memenuhi ajakan nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar ia  mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang
dalam upaya tersebut.

***


Bukan saja sifat-sifat manusia merupa- kan pantulan sifat-sifat Tuhan, melainkan keberadaan ruhnya pun dapat mengantarkan manusia pada pemahaman tentang keber- adaan Allah. Dengan demikian, bisa dikata- kan bahwa Allah dan ruh manusia tidak terbatasi ruang dan waktu, gaib, tak terbagi, di luar definisi kualitas dan kuantitas, serta tak dapat dilekati oleh gagasan tentang ben- tuk, warna, atau ukuran. Manusia kesulitan untuk memersepsi bentuk hakikat-hakikat semacam itu yang berada di luar batasan kualitas, kuantitas, dan sebagainya, sebagai- mana ia tak bisa memersepsi bentuk perasa-- annya sendiri, seperti marah, sakit, senang, atau cinta. Semuanya itu merupakan konsep pikiran yang tak dapat dimengerti oleh in- dra, sementara kualitas, kuantitas, dan batas- an-batasan lainnya merupakan konsep indri- awi. Sebagaimana telinga tak bisa mengenali warna atau mata mengenali suara, kita ber- ada di sebuah ruang, tempat persepsi indria- wi tak bisa dipergunakan untuk memba- yangkan kedua hakikat puncak itu, Allah dan ruh. Meski demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Dia—yang berada di luar batasan ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas—mengatur se- gala sesuatu di alam semesta ini begitu sem- purna. Seperti itu pulalah ruh mengatur ja- sad dan seluruh anggotanya sementara ia sendiri tak kasatmata, tak terbagi, dan tak be-ruang. Bagaimana mungkin sesuatu yang tak terbagi ditempatkan di suatu ruang yang terbagi. Dari sinilah kita bisa melihat kebe- naran hadis Nabi saw.: “Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya.” Setelah kita mengetahui sebagian esensi  dan sifat-sifat Allah melalui perenungan ter- hadap esensi dan sifat-sifat ruh, kita akan memahami metode kerja, pengaturan, dan pendelegasian kekuasaan Allah kepada ke- kuatan-kekuatan malakut dan sebagainya dengan mengamati bagaimana kita meng- atur kerajaan kecil dalam diri kita. Contoh sederhananya, seseorang ingin menulis nama Allah. Mula-mula keinginan itu terbetik da- lam hati, kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata “Allah” tergam- bar dalam relung otak, kemudian berjalan mengikuti jalur saraf dan menggerakkan jari- jari, yang kemudian menggerakkan pena. Be- gitulah, nama “Allah” tergurat di atas kertas tepat seperti yang tergambar dalam otak pe- nulisnya. Demikian pula, jika Allah meng- hendaki sesuatu, ia tampil di alam ruhaniah yang dalam Alquran disebut “Singgasana” (Arasy). Dari sana ia mengikuti arus spiritu- al ke suatu alam yang lebih rendah yang di- sebut Kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil di Lauh Mahfuzh; lalu, melalui per- antaraan kekuatan-kekuatan yang disebut “malaikat”, bentuk itu mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk tanaman, pohon, hewan, dan lain-lain sebagai cerminan ke- inginan dan pikiran Allah, sebagaimana hu- ruf-huruf yang tertulis mencerminkan ke- inginan yang terbetik dalam hati dan bentuk yang hadir di otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami se- orang raja kecuali seorang raja. Karena itu, Allah telah menjadikan tiap-tiap kita sebagai, katakanlah, seorang raja kecil, penguasa atas sebuah kerajaan yang merupakan tiruan dari kerajaan-Nya. Di dalam kerajaan ma- nusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat oleh hati, Kursi oleh otak, dan Lauh Mahfuzh oleh perbendaharaan pikiran. Ruh—yang tak tertempatkan dan tak terba- gi—mengatur jasad sebagaimana Allah meng- atur jagat. Pendeknya, kepada kita diama- natkan sebuah kerajaan kecil, dan kita di- wajibkan untuk mengaturnya secara saksa- ma, tidak ceroboh apalagi semena-mena.
Sementara berkenaan dengan pengatur- an Allah terhadap alam semesta, pengetahu- an manusia terbagi ke dalam beberapa ting- katan. Ada tingkatan fisikawan yang, seperti seekor semut yang merangkak di atas selem- bar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, hanya mengetahui bahwa penyebabnya adalah pena. Ada ting- katan astronom yang, seperti seekor semut dengan pandangan yang lebih luas, bisa me- lihat jari-jari yang menggerakkan pena. Mak- sudnya, ia tahu bahwa berbagai elemen se- mesta dipengaruhi oleh kekuatan bintang- bintang, tetapi ia tidak tahu bahwa bintang-bintang itu berada di bawah kekuasaan ma- laikat-malaikat. Jadi, karena perbedaan tingkat persepsi setiap orang, tak heran jika muncul perbedaan paham mengenai Sebab Pertama dari segala akibat. Orang yang tak pernah melihat ke balik dunia-gejala adalah seperti orang yang menganggap budak seba- gai raja. Memang hukum alam harus ber- sifat tetap, karena jika tidak, tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi, menganggap budak sebagai majikan adalah kesalahan besar.
Selama kapasitas persepsi manusia ber- beda-beda, perdebatan akan terus berlanjut. Keadaan itu bagaikan beberapa orang buta yang mendengar kedatangan seekor gajah di kota mereka dan kemudian pergi menyelidi- kinya. Pengetahuan hanya mereka dapatkan lewat indra peraba sehingga ketika seorang memegang kaki gajah, orang kedua meme- gang gadingnya, dan yang lain telinganya, tentu persepsi mereka tentang gajah akan berbeda. Orang pertama menyebut gajah se- bagai sebuah tiang, orang kedua menyebut- nya tabung yang tebal, dan yang lainnya menganggap gajah sebagai sesuatu yang lembut bak kapas. Setiap orang menjadikan ba- gian kecil yang dipersepsinya sebagai keselu- ruhan. Begitulah, fisikawan dan astronom menyamakan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Tuhan Sang Pembuat ber- bagai hukum. Kesalahan itu pulalah yang disimpulkan Ibrahim ketika ia berturut-turut berpaling kepada bintang, bulan, dan mata- hari sebagai objek sembahannya. Ketika me- nyadari kesalahannya dan mengetahui Dia yang menciptakan segala sesuatu, ia berseru: “Aku tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam.”  (Q.  6:76).
Ada sebuah contoh umum tentang beta- pa sering manusia salah menyimpulkan se- bab kedua sebagai Sebab Pertama, yakni rasa sakit yang diderita manusia. Misalnya jika ada orang yang tak lagi tertarik pada urus- an dunia, menjauhi pelbagai bentuk kese-- nangan, dan tampak tenggelam dalam dep- resi, dokter akan menyimpulkan: “Ia mende- rita melankoli dan harus diobati dengan anu dan anu.” Fisikawan akan berkata, “Ia men- derita kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak akan sembuh hingga udara menjadi lembab kembali.” Dan berbeda lagi pendapat astrolog yang mengaitkan fenomena itu dengan konjungsi planet dan bintang-bintang. “Sejauh jangkauan kebijak- an mereka,” kata Alquran. Sama sekali tak terlintas dalam pikiran mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah sebagai berikut: Yang Mahakuasa berkehendak mengurusi kesejahteraan orang itu, dan kemudian me- merintah hamba-hamba-Nya, yakni planet dan elemen-elemen semesta lain, agar men- ciptakan situasi tertentu dalam diri orang itu sehingga ia berpaling dari dunia ke Pen- ciptanya. Pengetahuan tentang kenyataan ini merupakan mutiara paling berharga dari sa- mudera pengetahuan yang diilhamkan. Di- banding mutiara itu, semua bentuk pengeta- huan lain hanya seperti pulau-pulau di tengah lautan.
Memang pendapat ketiganya, yakni dokter, fisikawan, dan astrolog benar dari sisi cabang pengetahuannya masing-masing, te- tapi mereka tak bisa melihat bahwa penya- kit itu adalah, katakanlah, tali cinta yang digunakan oleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Aku sakit dan kamu tidak menje- nguk-Ku.” Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai pada pengetahuan tentang Allah, se- bagaimana Dia berfirman melalui lisan Nabi saw.: “Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan semuanya bergantung pada  keputusan-Ku.”
Penjelasan di atas memungkinkan kita memahami lebih dalam makna seruan yang sering diucapkan orang beriman, seperti “sub-  hânallâh”, “alhamdulillâh”, “lâ ilâha illâ al- lâh”, dan “allâhu akbar.” Seruan terakhir, yang berarti Allah Mahabesar tidak berarti bahwa Allah lebih besar dari ciptaan, karena ciptaan adalah pengejawantahan-Nya, seba- gaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari. Tidak benar jika dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahayanya. Seruan itu berarti bahwa kebesaran Allah tak dapat diukur dan berada di luar kemampuan kog- nisi manusia dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang kebesaran-Nya. Jika seorang anak meminta kita menjelaskan nikmatnya kekuasaan dan memerintah, kita bisa katakan bahwa hal itu tidak berbeda dengan kesenangannya bermain bola dengan pemukulnya meski pada hakikatnya kedua- nya tidak sama kecuali bahwa keduanya termasuk dalam kategori “senang”. Jadi, se- ruan “allâhu akbar” berarti bahwa kebesar- an-Nya jauh di luar batas kemampuan pe- mahaman kita. Lagi pula, pengetahuan ten- tang Allah yang tak sempurna seperti itu— sebagaimana yang bisa kita peroleh—bukan sekadar pengetahuan spekulatif, tetapi mesti disertai dengan penyerahan diri dan ibadah. Jika seseorang mati, ia hanya akan berurus- an dengan Allah. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita ber- gantung sepenuhnya pada seberapa besar kita mencintainya.
Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan zikir tak berkesudahan mencerminkan suatu ting- kat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani. Ini tidak berarti ia harus memusnah- kan nafsu badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras manusia akan musnah. Namun, pemuasan hasrat tubuh itu harus dibatasi dengan ketat. Dan, karena manusia bukan hakim yang terbaik untuk menghukum diri- nya sendiri, ia harus mengonsultasikan pene- tapan batasan-batasan itu kepada pembim- bing ruhani, yakni para nabi. Hukum yang mereka tetapkan berdasarkan wahyu Tuhan menetapkan batasan-batasan yang mesti di- taati manusia. Orang yang melanggarnya ber- arti “telah menganiaya dirinya sendiri”, se- bagaimana dikatakan dalam Alquran. Meski pernyataan Alquran ini teramat jelas, masih banyak orang yang, karena kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut. Ada beberapa penyebab kebodohan ini:
Pertama, ada orang yang gagal mene-- mukan Allah lewat pengamatan, lantas me- nyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban ini men- ciptakan dirinya sendiri atau ada dari keaba- dian. Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditu- lis siapa pun, atau memang sudah ada begi- tu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat sehingga penjelasan dan perdebatan dengan mereka takkan ber- manfaat sedikit pun. Mereka mirip dengan fisikawan dan astronom yang kita sebut di atas.
Kedua, sejumlah orang yang, karena ti- dak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau disiksa. Mereka ang- gap diri mereka sendiri tak lebih baik dari hewan atau sayuran, yang akan musnah be- gitu saja dan tidak akan dibangkitkan lagi.
Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat, tetapi keperca- yaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita ber- ibadah atau tidak.” Pikiran mereka itu se- perti orang sakit yang, saat dokter memberi- nya nasihat penyembuhan, berkata, “Yah, kuikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu.” Memang tindakannya itu tidak berdampak apa-apa pada diri si dokter, teta- pi pasti akan merusak dirinya sendiri. Se- bagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa yang tak tersembuhkan pun akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah ber- firman, “Orang yang akan diselamatkan ha- nyalah yang datang kepada Allah  dengan hati  yang  bersih.”
Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat mengajari kita untuk me- nahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah yang musykil dilaksanakan, ka- rena manusia diciptakan dengan sifat-sifat seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.” Orang bo- doh seperti mereka sepenuhnya tidak meli- hat kenyataan bahwa syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk meletakkan mereka dalam ba- tas-batasnya. Sehingga, dengan menghindari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan am- punan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Aku manusia sepertimu juga, dan aku marah seperti yang lain.” Dan dalam Alquran tertulis: “Allah mencintai orang yang menahan amarahnya” (Q. 3: 134), bukan orang yang tidak punya amarah sama sekali.

 
Kelima, kelompok orang yang menonjol- nonjolkan kemurahan Allah seraya meng- abaikan keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bah- wa meskipun Allah maha mengampuni, ju- taan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran, atau kepintar- an tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha dengan ke- ras. Meski Alquran mengatakan: “Rezeki se- mua makhluk hidup datang dari Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak men- dapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha” (Q. 53: 39). Kenyataannya, ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak de- ngan hatinya.
Keenam, kelompok orang yang meng- aku telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaru- hi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di antara mereka secara tidak hormat, ia akan men dendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak men- dapat sebutir makanan yang menurutnya telah menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi—manusia paling mulia—pun selalu meratap mengakui dosa- dosa mereka. Sebagian kelompok ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal. Di- riwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari seseorang menyodorkan sebutir kurma kepa- danya, tetapi beliau enggan memakannya lantaran tidak yakin kurma itu diperoleh secara halal. Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berli- ter-liter arak lalu mengaku (aku bergidik saat menulis ini) lebih unggul dari Nabi yang selalu menjaga kesuciannya bahkan dari se- butir kurma, sementara mereka merasa tak terpengaruh oleh arak sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran. Orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai naf- sunya tidak pantas disebut manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati pastilah de- ngan senang hati mengakui batas-batas yang ditetapkan syariat. Orang yang ber- upaya dengan dalih apa pun untuk meng- abaikan kewajibannya berarti bisa dipasti- kan berada dalam pengaruh setan. Bagi me- reka, nasihat lisan maupun tulisan takkan lagi mempan; mereka harus diancam dengan pedang. Para mistikus palsu seperti mereka kadang-kadang berpura-pura tenggelam da- lam samudra ketakjuban. Tetapi, jika kauta- nyakan kepada mereka apa yang mereka takjubkan, mereka tidak mengetahuinya. Biar- kanlah mereka takjub sekehendak hati mere- ka, namun pada saat yang sama ingatkanlah bahwa Yang Mahakuasa adalah pencipta mereka, dan bahwa mereka adalah hamba- Nya.[]

***

Orang yang tak menginginkan pengetahuan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai makanan sehat;  atau layaknya orang yang lebih suka
lempung ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membunuh semua organ tubuh yang biasa diperalat nafsu,
semua dorongan dan hasrat badani musnah, tetapi jiwa manusia tidak.
Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala pengetahuannya tentang Tuhan, malah pengetahuannya
semakin bertambah.

***

Mengenal Dunia

DUNIA INI adalah sebuah panggung atau pa- sar yang disinggahi para musafir dalam per- jalanan mereka ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai per- bekalan. Dengan bantuan perangkat indria- winya, manusia harus memperoleh pengeta- huan tentang ciptaan Allah dan, melalui pe- renungan terhadap semua ciptaan-Nya itu, ia akan mengenal Allah. Pandangan manusia mengenai Tuhannya akan menentukan na- sibnya di masa depan. Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke dunia tanah dan air. Selama indranya ma- sih berfungsi, ia akan menetap di alam ini. Jika semuanya telah sirna dan yang tertinggal hanya sifat-sifat esensinya, berarti ia te- lah pergi ke “alam lain”.
Selama hidup di dunia ini, manusia ha- rus menjalankan dua hal penting, yaitu me- lindungi dan memelihara jiwanya, serta me- rawat dan mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuan dan cinta kepada Allah. Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap dalam kecin- taan kepada sesuatu selain Allah. Sementara itu, jasad hanyalah hewan tunggangan bagi jiwa, yang kelak akan musnah. Setelah ke- hancuran jasad, jiwa akan abadi. Kendati demikian, jiwa harus merawat jasad layak- nya seorang pedagang yang selalu merawat unta tunggangannya. Tetapi jika ia mengha- biskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi untanya, tentu rombongan kafilah akan meninggalkannya dan ia akan mati sen- dirian di padang pasir.
Untuk bertahan dan berkembang, jasad hanya membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Tetapi nafsu jasmani yang tertanam dalam dirinya untuk memenuhi ke- butuhan itu cenderung memberontak mela- wan nalar yang tumbuhnya lebih lambat ketimbang nafsu. Karenanya, nafsu jasmani harus dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang diajarkan oleh para nabi.
Lalu, berkenaan dengan dunia yang kita tempati ini, ia terbagi ke dalam tiga kelom- pok utama, yaitu hewan, tumbuhan, dan mineral. Produk ketiganya terus-menerus di- butuhkan manusia, yang kemudian memun- culkan tiga bidang profesi utama, yaitu para pembuat pakaian, tukang bangunan, dan pe- kerja tambang. Tentu saja ketiga bidang ker- ja utama itu menurunkan profesi-profesi lain yang lebih khusus, seperti penjahit, tukang batu, tukang besi, dan lain-lain. Semua pe- kerja dalam berbagai bidang itu saling ter- kait satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari yang lain. Keadaan ini melahirkan sistem hubungan perdagangan yang pada gilirannya sering kali memuncul- kan kebencian, iri hati, cemburu, dan penya- kit jiwa lainnya. Ujung-ujungnya, timbul per- tengkaran dan perselisihan, yang memuncul- kan kebutuhan terhadap kekuasaan politik dan sipil serta pengetahuan tentang hukum. Begitulah, berbagai bidang profesi, per- dagangan, jasa, dan lain-lain bermunculan di dunia ini yang semakin memperumit ke- adaan dan menimbulkan kekacauan sosial. Apa pasal? Karena manusia lupa bahwa ke- butuhan mereka sebenarnya hanya tiga, yai- tu pakaian, makanan, dan tempat tinggal, yang semuanya semata-mata dibutuhkan agar jasad dapat menjadi tunggangan yang layak bagi jiwa dalam perjalanannya ke alam ber- ikutnya. Mereka terjerumus dalam kesalah- an yang sama seperti peziarah ke Mekah yang, karena melupakan tujuan ziarah, meng- habiskan seluruh waktunya untuk memberi makan dan menghiasi hewan tunggangan- nya. Seseorang pasti akan terpikat dan disi- bukkan oleh dunia—yang menurut Rasulullah daya pikatnya lebih kuat daripada sihir Harut dan Marut—kecuali jika ia mengawasi dan mengendalikan nafsunya dengan ketat.
Dunia cenderung menipu dan memper- daya manusia, yang mewujud dalam bera- gam rupa. Misalnya, dunia berpura-pura se- akan-akan ia akan selalu tinggal bersama- mu, padahal kenyataannya, secara perlahan ia bakal pergi menjauhimu dan berpisah da- rimu, layaknya suatu bayangan yang tam- paknya tetap, tetapi kenyataannya selalu bergerak. Atau, dunia menampilkan dirinya da- lam rupa penyihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, ia berpura-pura mencintai dan menyayangimu, namun kemudian membelot kepada musuhmu, meninggalkanmu mati me- rana dilanda rasa kecewa dan putus asa. Nabi Isa a.s. melihat dunia melihat dunia dalam bentuk seorang wanita tua yang bu- ruk rupa. Ketika Isa a.s. bertanya kepadanya tentang berapa banyak suaminya, ia menja- wab bahwa jumlahnya tak terhitung. Ia ber- tanya lagi, apakah mereka telah mati atau- kah dicerai. Si wanita itu bilang bahwa ia telah memenggal mereka semua. “Aku he- ran,” ujar Isa a.s. kepada wanita tua itu, “betapa banyak orang bodoh yang masih menginginkanmu setelah apa yang kaulaku- kan atas banyak orang.”
Wanita tua ini menghiasi dirinya dengan busana yang indah sarat permata, menutupi mukanya dengan cadar, lalu merayu manu- sia. Sangat banyak dari mereka yang meng- ikutinya menuju kehancuran. Rasulullah saw. menyatakan bahwa di Hari Pengadilan, du- nia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek tua yang seram, bermata hijau gelap, dan gigi yang bertonjolan. Orang yang meli- hatnya akan berkata, “Ampun! Siapakah ini?” Malaikat menjawab, “Inilah dunia yang de- minya kalian bertengkar dan berkelahi serta saling merusak kehidupan.” Kemudian wa- nita itu akan dicampakkan ke neraka seraya menjerit keras, “Oh Tuhan, di mana pencin- ta-pencintaku dahulu?” Tuhan pun kemudi- an memerintahkan para pecinta dunia juga dilemparkan mengikuti kekasih mereka itu.
Siapa saja yang mau merenungkan seca- ra serius keabadian di masa lalu, ketika du- nia ini belum ada, dan keabadian di masa datang, ketika dunia tak lagi ada, akan me- ngetahui bahwa kehidupan ini bagaikan se- buah perjalanan yang tahapan-tahapannya dicerminkan oleh tahun, liga-liganya (ukuran jarak, ± 3 mil) oleh bulan, mil-milnya oleh hari, dan langkah-langkahnya oleh detik. Jadi, betapa bodoh orang yang berupaya menjadi- kan dunia sebagai tempat tinggalnya yang abadi dan menyusun rencana sepuluh tahun ke depan untuk meraih apa-apa yang bisa jadi tak pernah dibutuhkannya, padahal se- puluh hari ke depan mungkin ia telah terku- bur dalam tanah.
 
Saat kematian datang, orang yang meng- umbar nafsu tanpa batas dan tenggelam da- lam kenikmatan dunia tak ubahnya seperti orang yang memenuhi perutnya dengan pa- nganan lezat, kemudian memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang, tetapi mualnya tetap terasa. Makin banyak harta yang di- nikmati—berupa taman-taman yang indah, budak, emas, perak, dan lain-lain—semakin berat penderitaan yang dirasakan ketika me- reka dipisahkan oleh kematian. Beratnya penderitaan itu melebihi derita kematian, ka- rena jiwa yang telah dilekati sifat tamak akan menderita di akhirat akibat nafsu yang tak terpuaskan.
Dunia menipu manusia dengan cara- cara lainnya, seperti menampakkan diri se- bagai sesuatu yang remeh dan sepele, tetapi setelah dikejar ternyata ia punya cabang yang begitu banyak dan panjang sehingga seluruh waktu dan energi manusia dihabiskan untuk mengejarnya. Nabi Isa a.s. berkata, “Pecinta dunia ini seperti orang yang minum air laut; semakin banyak minum, semakin haus ia sampai akhirnya mati akibat dahaga yang tak terpuaskan.” Dan Rasulullah saw. bersabda, “Kau tak bisa bergelut dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana kau tak bisa menyelam tanpa menjadi basah.”
Dunia ini seperti sebuah meja yang ter- hampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di sana disediakan pi- ring-piring emas dan perak, makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bi- jaksana makan sesuai kebutuhannya, meng- hirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya, tamu yang tolol mencoba membawa beberapa pi- ring emas dan perak hanya untuk direnggut kembali dari tangannya sehingga ia akhinya dicampakkan dalam keadaan hina dan malu. Gambaran tentang sifat dunia yang pe-  nuh tipu daya ini akan kita tutup dengan sebuah tamsil pendek berikut ini. Katakanlah ada sebuah kapal yang hendak berlabuh di sebuah pulau berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berlabuh selama beberapa jam, dan me- reka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi ja- ngan terlalu lama. Akhirnya, para penum- pang turun dan berjalan ke berbagai arah. Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan seben- tar dan mendapati kapal itu kosong sehing- ga mereka dapat memilih tempat yang pa- ling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan men- dengarkan nyanyian burung. Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nya- man telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman. Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih lauh dan lebih lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal. Namun, mereka ter- paksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru sema- kin membuat mereka merasa tidak nyaman. Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal itu terpaksa berlayar tanpa mereka. Mereka terlunta-lunta di pulau itu tanpa harapan dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang buas.

Jasad bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang
tidak mengetahui jiwanya—sesuatu yang paling dekat kepadanya—maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa-apa.
Ia tak ubahnya pengemis yang tak punya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
 
Kelompok pertama adalah orang ber- iman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya adalah orang ber- iman, tetapi masih disibukkan oleh dunia yang sesungguhnya tidak berharga.
Meskipun kita telah banyak bicara ten- tang bahaya dunia, mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tak layak di- cela, seperti ilmu dan amal baik. Ilmu dan amal baik yang dibawa seseorang ke akhirat akan memengaruhi nasib dan keadaannya di sana. Terlebih lagi amal yang dibawa adalah amal ibadah yang membuatnya selalu meng- ingat dan mencintai Allah. Semua itu, seba- gaimana ungkapan Alquran, termasuk “se- gala  yang  baik  akan  abadi”.
Juga ada beberapa hal baik lainnya di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pa- kaian, dan lain-lain, yang dipergunakan se- cara bijak oleh kaum beriman sebagai sara- na untuk mencapai dunia yang akan datang. Selain semua hal tersebut, terutama yang me- mikat pikiran dan memaksa manusia untuk bersetia kepadanya dan mengabaikan akhi- rat, sungguh merupakan kejahatan yang la- yak dikutuk, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan segala sesua- tu yang mendukungnya.”[]

Mengenal Akhirat
ORANG YANG memercayai Alquran dan Sunah sudah tidak asing lagi dengan konsep nik- mat surga dan siksa neraka yang menanti di akhirat. Namun, ada hal penting yang sering mereka luputkan, yakni bahwa ada surga ruhani dan neraka ruhani. Mengenai surga ruhani, Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Tak pernah dilihat mata, tak pernah dide- ngar telinga, dan tak pernah  terlintas  dalam hati manusia, itulah nikmat yang disiapkan bagi  orang  yang  bertakwa.”
Hati orang yang tercerahkan memiliki satu jendela yang terbuka ke arah dunia ru- hani sehingga ia dapat mengetahui—bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisio- nal,  melainkan  teralami  secara  nyata penyebab segala kerusakan dan kebahagiaan jiwa, sejelas dan senyata pengetahuan se- orang dokter mengenai segala penyebab rasa sakit atau pendukung kesehatan. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan iba- dah kepada-Nya menjadi obat bagi jiwa, se- mentara kebodohan dan dosa menjadi racun yang merusaknya. Banyak orang, bahkan juga yang disebut ulama, karena bertaklid buta terhadap pendapat orang lain, tak pu- nya keyakinan yang benar berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhi- rat. Tetapi orang yang mau mempelajari ma- salah ini dengan pikiran yang bersih dari prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas mengenai masalah ini.
Kematian akan mengakibatkan keadaan yang berbeda pada dua jenis jiwa yang di- miliki manusia, yaitu jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani bersifat malakut. Jiwa hewani bertempat dalam hati, yang dari sana menyebar laksana uap ke semua anggota tu- buh, memberi tenaga atau kemampuan meli- hat pada mata, mendengar pada telinga, dan ke seluruh anggota tubuh lainnya sehingga mereka dapat menjalankan fungsinya. Ini bisa dibandingkan dengan sebuah lampu di sebuah pondok yang cahayanya menyebar ke dinding-dinding. Hati adalah sumbu lam- pu ini, dan jika aliran minyaknya terputus karena suatu sebab, lampu itu akan mati. Seperti itulah jiwa hewani mengalami kema- tiannya.
Berbeda halnya dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Jiwa ruhani tak terbagi dan dengan jiwa itulah manusia dapat mengenali Allah. Boleh dikatakan, ia adalah pengenda- ra jiwa hewani. Dan ketika jiwa hewani mus- nah, ia tetap ada. Keadaannya serupa de-- ngan penunggang kuda yang telah turun atau pemburu yang tak lagi bersenjata. Kuda dan senjata itu adalah anugerah bagi jiwa manu- sia agar ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tentang Allah. Jika berhasil, ia pasti akan merasa lega dan bahagia meski senjata atau tung- gangannya meninggalkannya; ia tidak akan berkeluh kesah. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda, “Kematian adalah hadiah Tuhan yang diharap-harapkan kaum beriman.” Te- tapi ia akan celaka dan menderita jika kuda atau senjata itu telah hilang sedang ia belum berhasil meraih tujuannya. Kesedihan dan penyesalannya sangat tak terperi.
Pembahasan yang lebih dalam akan me- nunjukkan betapa berbedanya jiwa manusia dari jasad dan segenap anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti be- kerja, tetapi kemandirian jiwa tak terusik. Selain itu, tubuh manusia mengalami per- kembangan dari waktu ke waktu. Tubuhnya di waktu bayi jauh berbeda dengan tubuh- nya di masa tua. Namun, kepribadian ma- nusia tetap sama, dulu maupun sekarang. Jadi, bisa dikatakan bahwa jiwa akan terus ada menyertai sifat-sifat esensialnya yang tak bergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta kepada Allah. Inilah makna ayat Alquran, “segala yang baik akan abadi.” Layaknya pengetahuan, kebodohan pun akan abadi menyertai jiwa. Jadi, jika kau lebih memilih kebodohan ketimbang pengetahuan tentang Allah maka kebodohan itu akan me- nyertaimu di akhirat dalam wujud kegelapan jiwa dan penderitaan. Keadaan itulah yang dimaksudkan Alquran:

 Orang yang buta di dunia ini akan buta di akhirat dan tersesat dari ja- lan yang lurus.

Mengapa jiwa manusia cenderung untuk kembali ke dunia yang lebih tinggi? Sebab, ia berasal dari sana dan pada dasarnya ia bersifat malakut. Ia dikirim ke dunia yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehen- daknya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana firman Allah da- lam Alquran, “Turunlah dari sini kamu se- muanya, akan datang kepadamu perintah- perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu gelisah.” Dan ayat Alquran: “Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku” juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Jiwa hewani akan te- tap sehat selama keseimbangan bagian-bagi- an yang menyusunnya terjaga. Jika keseim- bangan itu terusik, ia obat-obatan dapat memulihkannya. Sama halnya, jiwa ruhani akan tetap sehat selama keseimbangan mo- ralnya terjaga dengan menjalankan tuntunan etika dan ajaran moral.
Lalu, bagaimanakah keadaan jiwa ma- nusia setelah kematian jasad? Sebagaimana telah disebutkan, jiwa manusia tak bergan- tung pada jasad. Pandangan sebagian orang yang menentang keberadaan jiwa setelah ke- matian didasarkan atas dugaan bahwa jiwa harus dibangkitkan setelah jasadnya menya- tu dengan tanah. Sebagian ahli kalam ber- pendapat bahwa jiwa manusia musnah sete- lah mati, kemudian dibangkitkan kembali. Pendapat ini bertentangan baik dengan nalar maupun Alquran. Sebagaimana telah kita bahas, kematian jasad sama sekali tidak me- mengaruhi apalagi menghancurkan jiwa, se- bagaimana dikatakan Alquran, “Jangan kamu pikir orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Tidak! Mereka hidup, bahagia dengan kehadiran Tuhan mereka  dan  dalam  limpah- an karunia.” Tak ada sedikit pun rujukan syariat yang menyebutkan bahwa ruh orang yang telah mati, yang baik maupun jahat, akan musnah. Malah, diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada ruh orang- orang kafir yang terbunuh mengenai kebe- naran hukuman yang diancamkan kepada mereka. Ketika para sahabat menanyakan apa gunanya bertanya kepada mereka, Rasulullah menjawab, “Mereka bisa mende- ngar kata-kataku lebih baik daripada kali- an.”
Diriwayatkan bahwa beberapa sufi meli- hat surga dan neraka ketika mereka menca- pai keadaan ekstase. Ketika kembali sadar, wajah mereka menunjukkan apa yang telah mereka saksikan; sarat dengan tanda-tanda kebahagiaan dan ketakutan yang sangat. Tetapi, visi atau penglihatan ke dunia gaib tak lagi dibutuhkan bagi orang-orang yang berpikir. Bagi orang yang selalu menyibuk- kan dirinya memuaskan nafsu duniawi, saat kematian menghentikan seluruh perangkat indriawinya dan ketika segalanya musnah kecuali kepribadiannya, ia akan menderita karena harus berpisah dengan segala bentuk keduniaan yang begitu dekat dengannya se- lama ini, seperti istri, anak, kekayaan, tanah, budak, dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang telah menghindari keduniaan dan meneguhkan cintanya kepada Allah, niscaya akan menyambut kematian sebagai pelepas- an dari kericuhan hidup duniawi untuk ber- gabung dengan Dia yang dicintainya. Benar- lah Rasulullah saw. ketika mengatakan, “Ke- matian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat.” Dan dalam hadis yang lain beliau bersabda, “Dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang mukmin.”
Di lain pihak, semua derita yang ditang- gung jiwa setelah mati sesungguhnya dise- babkan oleh cinta dunia yang berlebihan. Rasulullah bersabda bahwa setelah mati, se- mua orang kafir akan disiksa oleh 99 ular, yang masing-masing punya sembilan kepala. Orang yang berpikiran dangkal memaknai hadis itu secara harfiah; ia menggali kubur- an orang kafir dan mencari ular yang di-- maksud namun tak juga ditemukan. Mereka sama sekali tidak memahami bahwa “ular- ular” itu selalu bersemayam dalam jiwa orang kafir, bahkan sudah menetap di sana saat mereka masih hidup. Ular-ular itu menyim- bolkan sifat-sifat jahat, seperti dengki, benci, munafik, sombong, licik, dan lain-lain. Semua

Mengenal Akhirat —    
 
sifat itu bersumber, langsung maupun tidak, dari cinta dunia. Itulah neraka yang disedia- kan bagi orang yang, menurut Alquran, “me- neguhkan hati mereka pada dunia  ini  mele- bihi akhirat”. Jika ular-ular itu adalah ular biasa, mereka mungkin bisa melarikan diri dari siksanya meski hanya untuk sesaat. Tetapi ular-ular itu merupakan penjelmaan dari sifat bawaan mereka sehingga bagaima- na bisa mereka melarikan diri darinya?
Ambillah contoh seseorang yang menju- al budak perempuannya tanpa menyadari pe- rasaannya hingga budak itu telah lepas dari jangkauannya. Lalu, rasa cinta kepada bu- dak itu yang selama ini tertidur dalam hati- nya, tiba-tiba bangkit dengan intensitas yang luar biasa sehingga ia tersiksa dan menderita bagai disengat bisa ular. Ia menjadi gila ka- renanya; ia rela mencampakkan dirinya ke dalam kobaran api atau menceburkan diri ke sungai untuk melarikan diri impitan pe- rasaan itu. Seperti itulah akibat cinta dunia yang berlebihan. Para pecinta dunia tidak menyadarinya hingga dunia yang mereka cin- tai itu direnggut dari mereka dan akhirnya, karena merasa sangat tersiksa, mereka lebih memilih hidup sengsara ditemani ular dan kalajengking.

***

Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan
dan dikembangkan oleh ibadah.
Ibadah dan zikir tak berkesudahan mencerminkan suatu tingkat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani.
Ini tidak berarti ia harus memusnahkan nafsu badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras manusia akan musnah.
Namun, pemuasan hasrat tubuh itu harus dibatasi dengan ketat.

***

Dengan demikian, setiap pendosa akan disiksa di akhirat dengan alat penyiksaan yang mereka bawa sendiri dari dunia. Benar- lah kata Alquran, “Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan melihatnya de- ngan mata keyakinan (‘ayn al-yaqîn)”, dan “neraka mengitari orang kafir.” Alquran ti- dak mengatakan “neraka akan mengitari me- reka”, karena bahkan di dunia pun neraka sudah mengitari mereka.
Mungkin ada yang keberatan dan me- nyatakan, “Kalau begitu, berarti tidak ada orang yang terbebas dari neraka, karena sia- pa pun, sedikit atau banyak, pasti terikat pada dunia dengan beragam kepentingan dan kecenderungan?” Untuk menjawabnya bisa kita katakan bahwa ada orang-orang, terutama para fakir, yang telah sepenuhnya melepaskan diri dari cinta dunia. Bahkan, di antara orang-orang yang memiliki dan men- cintai dunia—termasuk istri, anak, rumah, dan lain-lain—ada yang cintanya kepada Allah jauh lebih besar daripada cintanya ke- pada yang lain. Mereka layaknya seseorang yang, meski sudah punya rumah yang ia cin- tai di sebuah kota, ketika raja memintanya untuk mengisi pos jabatan di kota lain, ia akan memenuhinya dengan senang hati, ka- rena jabatan itu lebih berharga baginya da- ripada rumahnya. Termasuk dalam kategori ini adalah para nabi dan sebagian wali.
Di lain pihak, ada pula orang yang men- cintai Allah, tetapi cintanya kepada dunia jauh lebih besar sehingga mereka harus men- derita siksaan yang cukup berat setelah ke- matian sebelum mereka dibebaskan darinya. Banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi kecintaannya sama sekali tak teruji. Untuk menguji rasa cintamu, perhatikanlah ke mana kau akan condong ketika perintah- perintah Allah datang bertolak belakang de- ngan hasrat keduniawianmu? Orang yang mengaku cinta kepada Allah namun tetap membangkang kepada-Nya, berarti peng- akuannya itu dusta belaka.
Telah kita jelaskan di atas bahwa salah satu bentuk neraka ruhani adalah terpisah- nya seseorang secara paksa dari dunia yang sangat dicintainya. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya benih-benih neraka. Mereka akan mengalami nasib yang teramat naas, layaknya seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, tiba-tiba di- campakkan dari singgasananya dan menjadi cemoohan  orang-orang.
Neraka ruhani jenis kedua adalah rasa malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk melihat hasil perbuatannya di dunia. Orang yang suka mengumpat di dunia akan mendapati dirinya dalam bentuk seorang ka- nibal yang makan bangkai saudaranya. Orang yang iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu ke dinding, ke- mudian batu-batu itu memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu rasa malu, bisa dijelaskan dengan perumpamaan ringkas ber- ikut ini. Seorang putra raja baru saja meni- kah. Di malam harinya, ia pergi keluar ber- sama beberapa sahabatnya dan kembali lagi ke istana dalam keadaan mabuk. Ia masuki sebuah kamar yang terang lalu berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mem- pelai wanitanya. Pagi harinya, saat kesadar- annya pulih, ia terperanjat mendapati diri- nya terbaring di sebuah kamar mayat penyembah api. Sofanya adalah pembaringan jenazah, dan tubuh yang diduganya mempe- lai wanitanya adalah mayat wanita tua yang mulai membusuk. Betapa malu ia ketika ke- luar kamar dan mendapati ayahnya, sang raja, mendekatinya dengan serombongan ten- tara. Itulah perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat oleh orang- orang serakah yang memasrahkan diri mere- ka kepada segala sesuatu yang mereka ang- gap sumber kebahagiaan.
Neraka ruhani jenis ketiga adalah keke- cewaan dan kegagalan mencapai objek ek- sistensi yang sejati. Manusia diciptakan de- ngan tujuan untuk memantulkan cahaya pe- ngetahuan tentang Tuhan. Namun, jika ia tiba di akhirat dengan jiwa yang tertutup karat tebal nafsu duniawi, ia akan gagal men- capai tujuan penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan perumpamaan ber- ikut. Misalkan seseorang melewati hutan ge- lap bersama beberapa sahabat. Mereka me- lihat di sana-sini bertebaran batu berwarna yang kerlap-kerlip memantulkan cahaya. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa batu-batu itu dan mengajaknya untuk melakukan hal yang sama. “Karena,” kata mere- ka, “kami dengar batu-batu itu akan diba- yar dengan harga tinggi di tempat yang akan kita datangi.” Tetapi orang ini malah me- nertawakan mereka dan menyebut mereka bodoh karena menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sen- diri bisa berjalan bebas tak berbebani. Ke- mudian mereka tiba di tempat yang dituju dan ternyata batu-batu itu adalah batu deli- ma, zamrud, dan permata yang tak ternilai harganya. Betapa kecewa dan menyesal orang itu karena tidak mengumpulkan benda-ben- da yang sudah berada dalam jangkauannya itu. Seperti itulah penyesalan orang yang saat hidup di dunia ini tidak berusaha mendapat- kan permata kebajikan dan perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia di dunia ini bisa di- bagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap in- driawi, eksperimental, instingtif, dan rasio- nal. Pada tahapan pertama ia seperti seekor ngengat yang, meski bisa melihat, tak bisa mengingat sehingga ia akan menubrukkan dirinya berkali-kali pada lilin yang sama. Pada tahapan kedua ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali dipukul, akan lari saat melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahapan keti- ga ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, segera kabur saat melihat macan atau srigala—musuh alaminya—se- mentara mereka tak akan lari saat melihat unta atau kerbau, meski ukuran keduanya lebih besar. Pada tahapan keempat ia telah melampaui batas-batas kebinatangan itu se- hingga mampu, hingga batas tertentu, mera- malkan dan mempersiapkan masa depannya. Pada tahapan pertama gerakannya seperti orang yang berjalan di atas tanah, lalu se- perti orang yang menyeberangi lautan di atas sebuah kapal, dan pada tahapan terakhir, ketika ia sudah akrab dengan hakikat-haki- kat, ia seperti orang yang mampu berjalan di atas air. Dan, masih ada tahapan kelima yang hanya dikenal oleh para nabi dan wali. Gerakan mereka seperti orang yang terbang mengarungi udara.
Jadi, manusia bisa mengada pada berba- gai tahapan yang berbeda, mulai tahapan hewani sampai tahapan malakut. Dan persis di sinilah bahaya besar mengancam, yaitu kemungkinan jatuh ke tahapan yang paling rendah. Alquran menyatakan, “Telah Kami tawarkan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak me- nanggungnya. Tetapi manusia mau menang- gungnya. Sungguh manusia itu bodoh.” He- wan maupun malaikat tak bisa mengubah tingkatan dan posisi kemakhlukannya. Te- tapi manusia bisa jatuh ke tingkatan hewan yang paling rendah atau naik meraih ting- katan malakut tertinggi. Inilah makna “pe- nanggungan amanah” yang disebutkan da- lam ayat di atas. Kebanyakan manusia me- milih menetap di dua tahapan yang paling rendah. Dan biasanya mereka selalu memu- suhi orang-orang yang bepergian atau mus- afir yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak manusia dari kedua kelompok itu, karena tak punya keyakinan yang teguh tentang akhirat, menolaknya sama sekali saat nafsu indriawi menguasainya. Menurut me- reka, neraka hanyalah temuan para teolog untuk menakut-nakuti manusia. Mereka menghina dan merendahkan para teolog. Ber- debat dengan orang seperti ini tak banyak berguna. Meski demikian, mungkin perta- nyaan ini bisa membungkam keangkuhan nya sehingga ia mau merenung sejenak: “Apa- kah kau benar-benar yakin bahwa 124.000 nabi dan wali yang memercayai kehidupan akhirat itu semuanya salah, dan hanya kau yang benar?” Jika ia menjawab, “Ya, aku yakin,” berarti tak ada lagi yang dapat di- harapkan darinya. Hati dan pikiran mereka sudah membatu. Mereka sama sekali tak me- mercayai adanya hari akhir dengan pahala dan siksa yang disediakan bagi jiwa-jiwa ma- nusia. Jika seperti itu keadaannya, tinggal- kan dan biarkanlah mereka dalam kesesat- an, sebagaimana dikatakan Alquran, “Meski kau  peringatkan,  mereka  takkan  ingat.”
Tetapi jika ia menjawab bahwa kehi- dupan akhirat itu mungkin ada mungkin ti- dak ada, dan bahwa ajaran itu sarat misteri dan keraguan sehingga ia tak dapat memu- tuskan benar atau tidaknya maka katakan- lah kepadanya, “Tuntaskan keraguanmu itu!” Sampaikan beberapa perumpamaan ber- ikut. Umpamanya kau hendak makan, lalu seseorang berkata bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke makanan itu, mungkin kau akan menahan diri dan memilih untuk menahan lapar daripada memakannya, meski orang yang mengabarkan informasi itu mungkin hanya bercanda atau berbohong. Atau misalnya kau sedang sakit dan seorang penyair berkata, “Beri aku satu dirham dan akan kutulis sebuah puisi untuk kauikatkan di lehermu agar kau sembuh dari sakit.” Mungkin kau akan memberinya uang de- ngan harapan jimatnya bisa menyembuhkan penyakitmu. Atau jika seorang peramal ber- kata, “Jika bulan telah sampai pada suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu, niscaya kamu akan sembuh.” Meski kau tak begitu percaya astrologi, mungkin kau akan mencobanya seraya berharap ramalannya itu benar. Lalu, tidak pernahkah kau berpikir bahwa mungkin saja ucapan para nabi, para wali, dan orang-orang suci, yang meyakin- kan manusia mengenai adanya kehidupan mendatang, mengandung kebenaran seperti jimat si penyair atau ramalan si peramal? Banyak manusia yang berani menanggung risiko menyeberangi samudera demi meng- harap suatu keuntungan. Apakah kau bersi- kukuh tidak mau menanggung sedikit pen- deritaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?

***

Selama hidup di dunia ini, manusia harus menjalankan dua hal penting,
yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara
dengan pengetahuan dan cinta kepada Allah. Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seseorang terserap dalam kecintaan
kepada sesuatu selain Allah.

***

 Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, cucu Rasulullah saw.) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, “Jika kau benar maka tidak se- orang pun di antara kita yang akan menang- gung penderitaan di masa depan. Tetapi jika kami yang benar maka kami akan selamat sementara kau pasti menderita.” Ia menga- takan itu bukan karena meragukan akhirat, melainkan untuk memberikan kesan tertentu kepada orang kafir itu.
Berdasarkan semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan utama ma- nusia di dunia ini adalah mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Bahkan sean- dainya seseorang meragukan keberadaan akhirat, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan akhirat itu ada de- ngan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan hanya bagi orang-orang yang mengikuti ajaran Allah.[]

LihatTutupKomentar