Dari Jihad Aksi Menuju Jihad Pikiran

Dari Jihad Aksi Menuju Jihad Pikiran MAULANA Rumi berkata, “Sudah lama aku ingin bertemu denganmu tapi aku tahu kau sedang sibuk dengan kemaslahatan

Dari Jihad Aksi Menuju Jihad Pikiran

 Nama kitab: Terjemah Fihi Ma Fihi Mengarungi Samudera Kebijaksanaan Jalaluddin Rumi
Judul kitab asal: (فيه ما فيه)
Penulis: Jalaluddin Rumi (جلال الدين الرومي)
Nama lengkap: Muhammad Jalal al-Din Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qounawy
Nama lengkap dalam bahasa Arab: مُحَمَّد بن مُحَمَّد بن حُسَيْنَ بَهَاءٌ الدِّين البَلَخي الْبَكْرِيّ
Lahir: Balkh, Afghanistan, 1260 M / 658 H
Asal: Balkh, Afghanistan
Wafat: Konya, Türkiye, 672 H/ 1273 M (usia 66 tahun)
Bidang studi: Tasawuf, sufisme

Daftar isi

  1. Pasal 11. Tunjukkan Segala Sesuatu Padaku Apa Adanya
  2. Pasal 12. Kita Kembali Dari Jihad Aksiden Menuju Jihad Pikiran
  3. Pasal 13. Menjauhlah Dari Tujuan Mereka
  4. Pasal 14. Dari Dan Untuk Allah
  5. Pasal 15. Mempelai Perempuan Rahasia
  6. Pasal 16. Siapa Yang Melihatnya, Berarti Ia Sudah Melihat-Ku
  7. Pasal 17. Manusia Adalah Kombinasi Malaikat Dan Binatang
  8. Pasal 18. Setetes Air Dari Hari Alastu
  9. Pasal 19. Yang Terpenting Adalah Tujuannya
  10. Pasal 20. Berlayar Mengarungi Wujud Manusia
  11. Kembali ke: Terjemah Fihi Ma Fihi Jalaludin Rumi    

Pasal 11 Tunjukkan Segala Sesuatu Padaku Apa Adanya
PEPATAH “Hati menjadi saksi bagi hati yang lain,” mengacu pada sebuah realitas yang tersembunyi. Jika semua realitas terungkap secara terbuka, apa perlunya kata-kata diucapkan? Demikian juga, ketika hati sudah menjadi saksi, lantas apa gunanya kesaksian lisan?
Wakil Amir berkata, “Sungguh, hati dapat memberikan kesaksian. Tetapi, hati memiliki tugasnya sendiri, telinga juga memiliki peran sendiri, mata juga demikian, dan begitu pula dengan lisan. Dengan demikian, ada kebutuhan laten terhadap semuanya agar dapat menambah guna.
Maulana Rumi berkata: “Jika hati bisa khusyuk secara total, maka semua anggota badan yang lain akan gugur di dalamnya dan lisan tidak lagi dibutuhkan lagi. Contohnya adalah Laila. Laila bukanlah sebuah sosok spiritual, ia adalah seorang perempuan yang punya raga dan bernafas, ia berasal dari air dan tanah. Tapi kecintaan Majnun pada Laila telah membuatnya begitu terampas dan terkuasai sehingga ia tidak lagi membutuhkan mata untuk melihat Laila, tidak pula membutuhkan telinga untuk mendengar suaranya. Hal ini dikarenakan Majnun tidak merasa Laila adalah raga yang terpisah dari dirinya, dan itulah yang membuatnya terus berteriak:
Bayanganmu dalam pandanganku, namamu mengikat lidahku. Kenanganmu dalam hatiku, ke mana harus kukirim kata-kata yang kurangkai ini?1


Jadi, wujud jasmaniah memiliki satu kekuatan luar biasa yang mampu membuat asmara dalam diri manusia memasuki sebuah keadaan di mana ia tidak melihat dirinya berada dalam raga yang terpisah dari sang kekasih. Semua indranya terserap: penglihatan, pendengaran, penciuman, dan yang lainnya. Tak ada anggota badan yang meminta jatah untuk dirinya sendiri dan terpisah dari yang lainnya, semua wujud menyatu. Jika setiap indra memainkan peran mereka masing-masing sepenuhnya, maka semuanya akan luruh dalam satu pengalaman dan tidak akan menginginkan yang lain lagi. Jika masih ada salah satu indra yang meminta tugas terpisah dari tugas indra lainnya, maka itu menunjukkan bahwa indra tersebut tidak mengambil tugasnya yang hakiki dan sempurna. Indra itu mengambil tugas yang

 
1    Bait puisi ini ditulis oleh Husain Ibn Manshur al-Hallaj, seorang su yang wafat pada tahun 309 M.

112
 
Fihi Ma Fihi

kurang, dan dari sini bisa dipahami bahwa ia tidak benar-benar masuk ke dalam misi itu. Sementara indra lain mulai mencari tugas mereka masing-masing, dan semuanya menjadi terbagi.
Dari sudut pandang esensi, semua indra melihat pada satu hal, tetapi jika dilihat dari sudut pandang bentuk luarnya, masing-masing mereka berbeda satu sama lain. Ketika satu indra bergerak masuk menuju kehidmatan, maka semua indra yang lain akan menyusul dan melebur di dalamnya. Sama halnya ketika seekor lalat terbang ke atas dengan menggerakkan sayap-sayapnya, kepalanya, dan semua anggota badannya secara terpisah, tetapi ketika ia tenggelam ke dalam madu, maka semua anggota badannya menjadi satu dan masing-masing tidak bergerak sama sekali.
Penenggelaman membuat orang yang tenggelam itu menjadi tidak lagi ada di sana. Tidak ada lagi usaha yang tersisa dan tidak ada lagi perbuatan serta gerakan. Mereka tenggelam dalam air. Semua laku yang muncul dari dirinya bukan lagi menjadi miliknya, tapi menjadi laku air. Jika orang itu masih bisa memukul dan menendang air itu dengan tangan dan kakinya, maka itu bukan tenggelam namanya. Demikian juga jika mereka berteriak, “Aku sedang tenggelam,” ini juga tidaklah disebut tenggelam.
Ambilah ungkapan masyhur ini: “Aku adalah Allah.” Sebagian orang mengganggap ungkapan tersebut sebuah pernyataan besar yang tak berdasar. Tapi sebenarnya, ungkapan itu adalah wujud kerendahan hati yang besar. Karena orang yang berkata: “Aku adalah hamba Allah,” berarti percaya akan adanya dua eksistensi yang berbeda, dirinya sendiri dan Allah SWT. Sementara mereka yang

113
 
Fihi Ma Fihi

berkata “Aku adalah Allah,” berarti ia telah meniadakan diri dan mendamparkan dirinya pada angin. Mereka berkata “Aku adalah Allah” berarti bahwa “Aku bukan apa-apa, Allah adalah segalanya, tidak ada wujud kecuali diri-Nya. Aku sepenuhnya tidak ada, aku hampa.”
Di sini, kerendahan hati adalah yang paling besar. Inilah yang tidak dipahami oleh kebanyakan manusia. Jika seseorang mempersembahkan ibadahnya kepada Allah untuk menghormati keagungan-Nya, maka ibadah mereka masih tetap ada. Meskipun ini demi Allah semata, mereka masih melihat dirinya sendiri, perbuatannya, dan juga Allah. Mereka tidak bisa dikatakan tenggelam ke dalam air, sebab orang yang tenggelam dalam air adalah orang yang tak lagi bergerak dan bertindak karena semua gerakannya adalah gerakan air.
Jika ada seekor singa yang sedang memburu kijang dan kijang itu melesat melarikan diri, maka di sini berarti ada dua eksistensi yang tampak, singa dan kijang. Namun ketika singa itu berhasil menerkam si kijang dan mencabik-cabik dengan cakarnya, dan karena begitu takutnya kijang pada singa, kijang menjadi kehilangan kesadaran dan jatuh di hadapan sang raja hutan, maka pada saat seperti ini, yang ada hanya eksistensi singa, sementara eksistensi kijang telah terhapus dan hilang dengan sendirinya.
Penenggelaman sejati adalah ketika Allah memberikan rasa takut kepada para wali-Nya. Perasaan takut di sini tidak seperti rasa takut manusia kepada singa, macan, dan pada kezaliman, melainkan rasa takut akan perpisahan dengan-Nya. Dia menunjukkan kepada

114
 
Fihi Ma Fihi

mereka bahwa rasa takut itu berasal dari Allah, sebagaimana rasa aman, kehidupan yang damai dan kebahagian, makan, minum, dan tidur yang semuanya juga berasal dari Allah. Dia menunjukkan kepada para wali dalam bentuk khusus yang hanya bisa dilihat oleh mata yang awas dan terbuka, dalam bentuk singa, macan, atau api. Dengan demikian, para wali akan segera mengetahui bahwa wujud singa dan macan yang ia lihat itu sama sekali bukanlah wujud yang berasal dari dunia ini, tetapi wujud dari dunia gaib. Binatang itu dibentuk dalam sebuah wujud dan memperlihatkan keindahan yang luar biasa. Demikian juga perkebunan, sungai, pohon, istana, makanan, minuman, jubah kehormatan, burak, kota, tempat tinggal dan berbagai jenis keajaiban lainnya—mereka (para wali) mengetahui bahwa semua itu bukanlah wujud dari dunia ini. Allah menampakkan dan mengungkapnya dalam sebuah wujud khusus agar wali itu bisa melihatnya. Dengan begitu, bisa dipahami sepenuhnya bahwa rasa takut, rasa aman, kebahagiaan, dan setiap tampakan spiritual itu berasal dari Allah semata.
Sekarang, semakin jelas bahwa rasa takut akan perpisahan dengan Allah ini tidak sama dengan rasa takut yang ada dalam diri makhluk-Nya, karena rasa takut itu berasal perenungan dan pengalaman dan bukan karena adanya dalil atau bukti. Hal itu dikarenakan Allah SWT menunjukkannya dalam bentuk yang pasti, bahwa segala sesuatu itu berasal dari-Nya. Bisa jadi para lsuf mengetahui hal ini, tapi mereka mengetahuinya melalui bukti, sementara bukti itu tidak permanen. Kebahagian yang didapat dari bukti tidaklah abadi, sehingga kamu bisa berkomentar tentang bukti itu: “Ia menyenangkan, hangat, dan mekar.”

115
 
Fihi Ma Fihi

Ketika kenangan tentang bukti itu berlalu, maka ketegangan dan kehangatannya juga berlalu. Misalnya seseorang mengetahui dengan bukti bahwa rumah ini dibangun oleh seorang tukang. Dengan bukti, ia juga mengetahui bahwa tukang itu memiliki dua mata, ia tidak buta, ia memiliki kemampuan untuk membangun suatu konstruksi bangunan, ia mampu, ia ada dan bukan tidak ada, ia hidup dan tidak mati, sebelumnya ia juga pernah membangun rumah. Orang itu mengetahui semuanya, tapi melalui bukti. Sementara bukti tidaklah abadi, dan bisa dilupakan dengan sangat mudah.
Para pecinta yang melayani Tuhannya mengetahui tukang itu, dan mereka melihatnya dengan mata keyakinan. Mereka telah makan roti dan garam bersama-sama serta berkumpul bersama-sama. Meski demikian, tukang itu tidak pernah menghilang dari pikiran dan pandangan mereka. Orang-orang semacam ini fana (lebur) ke dalam Tuhannya. Bagi mereka, dosa bukanlah dosa dan kejahatan bukanlah kejahatan. Karena mereka sudah takluk dan menghilang ke dalam Sang Maha Benar.
Seorang raja memerintahkan semua pelayannya agar masing- masing memegang cangkir dari emas, untuk menyambut seorang tamu yang akan segera tiba. Sang raja juga memerintahkan pelayan kesayangannya untuk melakukan hal serupa. Ketika sang raja menampakkan wajahnya, pelayan kesayangan raja itu kehilangan kendali dan tak sadarkan diri setelah melihat sang raja, cangkir pun jatuh dari tangannya dan pecah. Ketika pelayan lain melihat kejadian itu, mereka berkata, “Mungkin kita juga harus melakukannya,” mereka pun menjatuhkan cangkir-cangkir mereka dengan sengaja.

116
 
Fihi Ma Fihi

“Mengapa kalian melakukan hal itu?” tegur sang raja.
“Karena pelayan kesayangan baginda melakukan hal demikian.”
Jawab mereka.
“Dasar bodoh!” teriak raja. “Bukan dia yang melakukan hal itu, tapi aku.”
Secara kasat mata, semua perilaku hamba itu adalah dosa. Tapi justru dosa itulah yang merupakan bentuk ketaatan, bahkan melampaui ketataan dan perbuatan dosa. Tujuan hakiki dari mereka semua adalah pelayan kesayangan raja itu. Para pelayan yang lain hanyalah pengikut sang raja, dan dengan demikian berarti mereka adalah pengikut dari pelayan kesayangan itu, karena ia sudah menjadi esensi dari sang raja yang, meski tampilan luarnya memakai wujud budak, hatinya dipenuhi dengan kecantikan sang raja.
Allah SWT ber rman: “Jika bukan karena engkau (Muhammad), takakankuciptakanalamsemesta.”2 Kata “Akulah Allah” menunjukkan wujud-Nya sendiri. Dengan demikian, ini berarti “Aku menciptakan alam semseta karena diri-Ku sendiri.”
Inilah “Akulah Tuhan” dalam bahasa dan simbol yang lain. Walaupun kata-kata para wali agung muncul dalam ratusan bentuk yang berbeda, bagaimana mungkin kata-kata mereka berbeda sementara Allah itu satu dan jalan yang ditempuh juga satu? Meskipun kata-kata itu tampak bertentangan dalam bentuk luarnya, namun esensinya adalah sama. Perbedaan antara mereka hanya dalam bentuk luarnya saja, sementara esensinya tetap satu. Ini sama

 
2    Dalam riwayat yang lain tertulis: “Jika bukan karenamu, tak akan kucipta surga,” dan “Jika bukan karenamu, neraka tak akan kucipta.”

117
 
Fihi Ma Fihi

dengan perumpamaan seorang raja yang memerintahan prajuritnya untuk mendirikan tenda. Salah seorang dari mereka menjalin tali, sementara yang lainnya memancangkan pasak, dan orang yang ketiga membuat penutupnya, prajurit keempat menjahit, yang kelima merobek, dan yang keenam menyulam dengan jarum. Meski yang dilakukan oleh para prajurit itu berbeda-beda bentuk luarnya, akan tetapi secara esensi mereka bersatu dan mengerjakan satu misi. Seperti itulah kondisi-kondisi yang terjadi di dunia ini.
Ketika kamu melihat sebuah masalah dengan benar, kamu akan melihat semua makhluk di bumi ini melakukan hal yang sama, beribadah kepada Tuhan. Yang fasik dan yang saleh, pendosa dan yang taat, setan dan malaikat. Misalnya para raja hendak mengetes hamba-hambanya dengan cara yang berbeda-beda, sehingga bisa melihat mana yang teguh dari mereka dan mana yang tidak, yang baik dan yang buruk, serta yang setia dan yang pembangkang. Untuk itu, sang raja membutuhkan seorang pengganggu dan penghasut untuk mengetes keteguhan hati dan keikhlasan para hambanya. Tanpa adanya pengganggu dan penghasut ini, bagaimana mungkin keteguhan hati dan keikhlasan seorang hamba dapat ditentukan? Jadi, pengganggu dan penghasut ini sedang melayani raja, karena atas kehendak raja mereka bertindak. Dia mengirimkan angin untuk menunjukkan yang teguh dari yang tidak teguh, untuk memisahkan lalat dari pohon dan taman sehingga lalatnya akan pergi dan elang tetap tinggal.
Sorang raja memerintahkan budak perempuannya untuk merias diri dan kemudian menawarkan diri mereka kepada para pelayan

118
 
Fihi Ma Fihi

laki-laki untuk menguji apakah mereka amanah atau penghianat. Meskipun secara lahiriah perbuatan para budak perempuan itu adalah sebuah kemaksiatan, namun sesungguhnya mereka sedang mengabdi kepada raja mereka.
Para hamba-hamba Tuhan yang sejati melihat sendiri di dunia ini, tidak dengan bukti atau sekedar ikut-ikutan tetapi dengan pengamatan dan penglihatan  langsung tanpa selubung atau tabir, bahwa semua manusia, yang baik maupun yang buruk, mempersembahkan ibadah dan ketaatan mereka kepada Allah.

 

“Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”
(QS. an-Isra’: 44)


Dengan demikian menurut para wali itu, dunia ini sendiri adalah kiamat, karena kiamat berarti bahwa semua orang melaksanakan ibadah kepada Allah dan tak melakukan hal lain selain beribadah kepada-Nya. Mereka melihat esensi tersebut di dunia ini. Ada sebuah ungkapan: “Sekali pun selubung itu tersingkap, keyakinanku tidak akan bertambah.” Alim, secara kebahasaan bermakna ‘lebih unggul dari arif.’ Allah sendiri disebut ‘Alim, dan tidak seharusnya Allah disebut ‘Arif. Sementara arti dari kata arif itu sendiri adalah orang yang tidak tahu dan kemudian menjadi tahu. Oleh karena itu, hal semacam ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah. Namun dari segi pemakaiannya, arif lebih utama dari alim karena arif bermakna


119
 
Fihi Ma Fihi

orang yang mengetahui dunia tanpa adanya bukti, ia mengetahuinya dengan pengamatan dan melihat langsung. Orang semacam inilah yang disebut arif.
Dikatakan bahwa “Satu orang alim lebih utama dari seratus zahid.” Bagaimana bisa satu orang alim bisa lebih utama dari seratus orang zuhud? Bagaimanapun juga, para zahid mempraktikkan kezuhudannya melalui media ilmu, sebab zuhud tanpa ilmu adalah hal yang mustahil.
Lantas apa itu zuhud? Zuhud adalah berpaling dari dunia dan berfokus pada ketaatan dan akhirat. Puncaknya, ia harus mengetahui dunia, kejelekan dunia, dan ketidakabadian dunia. Ia pun harus mengetahui kelembutan akhirat, kekekalan, dan keabadiannya. Selain itu, ia harus senantiasa berusaha sekuat tenaga agar selalu berada dalam ketaatan sembari selalu mengatakan: “Bagaimana aku bisa menjadi orang yang taat, dan apakah taat itu?” ketahuilah bahwa semua itu adalah ilmu. Dari sini bisa kita pahami bahwa zuhud tanpa ilmu adalah mustahil, sebab orang yang zahid itu harus memahami ilmu zuhud terlebih dahulu. Dengan demikian, maka pernyataan bahwa orang alim lebih utama dari seratus zahid harus diteliti kembali atau maknanya tidak akan bisa dipahami.
Terdapat sebuah ilmu lain yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia setelah ia terlebih dahulu memiliki keduanya, ilmu dan zuhud. Ilmu ini merupakan buah dari keduanya. Dan bisa dipastikan bahwa orang yang memiliki ilmu ini baru dinamakan orang alim yang lebih utama dari seratus zahid.


120
 
Fihi Ma Fihi

Perbandingannya adalah seperti seorang petani yang menanam pohom, kemudian pohon ini berbuah.  Tentu  saja kita tidak bisa membantah bahwa pohon yang berbuah itu lebih utama dari seratus pohon yang tidak berbuah. Bahkan bisa jadi pohon-pohon lainnya tidak pernah berbuah sama sekali, karena ada banyak tahapan pertumbuhan di mana berbagai penyakit bisa saja menyerang. Seorang peziarah yang telah sampai di Ka’bah lebih utama dari peziarah yang masih berada di perjalanan. Orang yang kedua ini masih terus diliputi keraguan apakah dirinya akan sampai ke Ka’bah atau tidak, sementara orang yang pertama telah mencapai tujuannya (Ka’bah). Satu kepastian lebih utama dari seratus keraguan.
Wakil Amir berkata: “Mereka yang belum sampai kepada tujuannya itu, masih memiliki harapan untuk sampai juga.” Maulana Rumi menjawab: “Apalah artinya perbedaan serius antara orang yang berharap dengan orang yang telah meraih tujuannya, dan antara ketakutan dengan keselamatan. Apakah penting untuk memperbincangkan perbedaan antara keduanya padahal semuanya sudah sangat jelas? Akan lebih penting rasanya jika kita membicarakan keselamatan, sebab ada banyak sekali perbedaan di antara keselamatan yang satu dengan keselamatan yang lain. Hal itu dikarenakan keutamaan Nabi Muhammad Saw. atas nabi-nabi sebelumnya terletak pada misi keselamatan yang diembannya. Jika tidak, maka para nabi juga dalam kondisi selamat, tidak ada rasa takut dalam diri mereka. Keselamatan itu sendiri memiliki beberapa tingkatan.


121
 
Fihi Ma Fihi

 

“Dan telah Kami tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat.” (QS. al-Zukhruf: 32)


Mungkinkah untuk mengindikasikan beragam tahapan dan tingkatan ketakutan, sementara tingkatan keselamatan tidak memiliki indikasi. Dalam dunia ketakutan, setiap manusia bisa memutuskan apa yang akan mereka berikan kepada Allah. Ada yang memberikan raganya, ada yang mendonasikan hartanya; ada yang mengorbankan nyawanya. Satu orang menawarkan ibadah puasanya, sementara yang lainnya menawarkan ibadah salatnya sebanyak tiga belas rakaat dan bahkan empat ratus rakaat. Tahapan-tahapan ini sangat berbeda dan bisa dibedakan dengan mudah. Dengan cara yang sama, ada banyak tahapan perjalanan dari Konya dan Caesarea yang bisa ditentukan dan diketahui: yaitu melewati Kaimaz, Ubrukh, Sultan, dan lain- lain. Sementara tempat-tempat di dasar laut dari Anatolia hingga Alexandria tak dapat ditentukan. Tempat-tempat itu hanya diketahui oleh kapten-kapten kapal, mereka juga tidak pernah membahasnya bersama penduduk darat karena mereka tidak memahaminya.
Amir berkata: “Bahkan satu perbincangan pun akan ada manfaatnya. Mungkin manusia tidak mengetahui segala sesuatu, tetapi mereka akan mengetahuinya sedikit demi sedikit dan kemudian akan memahami dan mengira-ngira sisanya.”
Maulana Rumi berkata: “Oh, Demi Allah! Seseorang sedang duduk begadang menembus pekatnya malam, meneguhkan hati

122
 
Fihi Ma Fihi

untuk berjalan menuju siang. Meski ia tidak tahu bagaimana cara mencapainya, tetapi ia menjadi dekat dengan siang itu karena ia menantinya. Seseorang lainnya melakukan perjalanan bersama rombongan dalam pekatnya malam dan berteman hujan. Ia tidak tahu sampai di mana ia sekarang, jalan mana yang ia lalui, dan berapa jarak yang telah ia tempuh. Namun ketika siang tiba, ia akan mengetahui hasil perjalanannya dan tahu di mana ia berada sekarang. Semua yang dikerjakan oleh manusia akan dinilai oleh Allah SWT. Bahkan jika kedua matanya tertutup, usaha mereka tidak akan hilang.

 

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. al-Zalzalah: 7)


Meskipun di dalam begitu gelap dan terselubung sehingga ia tidak dapat melihat seberapa jauh perjalanannya selama ini, namun di akhirat nanti ia akan dapat melihatnya. “Dunia adalah ladang bagi kehidupan di akhirat.” Semua yang ditanam manusia di dunia ini, akan ia panen di akhirat kelak.
Isa as. banyak tertawa, sementara Yahya as. banyak menangis. Yahya kemudian berkata kepada Isa, “Kau percaya pada semua tipu muslihat halus ini sehingga kau banyak tertawa?” Isa menjawab, “Sementara kau telah menutup matamu dari pertolongan dan cinta kasih Tuhan yang subtil, misterius dan agung, sehingga kau banyak menangis?


123
 
Fihi Ma Fihi

Seorang wali Allah hadir dalam percakapan tersebut, ia kemudian bertanya kepada Allah: “Di antara keduanya, manakah yang memiliki martabat lebih tinggi?” Allah menjawab, “Yang paling baik prasangkanya kepada-Ku.” Artinya “Aku menurut prasangka hamba- ku terhadap-Ku.” Semua hamba memiliki imajinasi dan gambaran tentang diri-Ku. Dalam bentuk apapun ia mengimajinasikan-Ku, aku tepat sesuai dengan bentuk itu. Aku adalah hamba bagi khayalan yang memiliki Tuhan, dan aku tidak memikirkan hakikat yang tak memiliki Tuhan. Sucikanlah imajinasi kalian wahai hamba-hamba- Ku. Karena itu adalah tempat kediaman-Ku dan tempat bersemayam- Ku.”
Sekarang, uji dirimu sendiri dengan menangis dan tertawa, berpuasa dan salat, berkhalwat dan berkumpul, dan lain sebagainya. Yang manakah dari semua itu yang lebih bermanfaat bagi kalian? Dan dalam segala hal yang berkaitan dengan keadaan-keadaanmu, pilihlah pekerjaan-pekerjaan yang bisa membuatmu lebih istiqomah dan memberimu prestasi terbesar. “Bertanyalah pada hatimu, meskipun yang lain tidak setuju.”
Dalam dirimu terdapat makna, mintalah fatwa pada seorang Mufti agar kamu bisa merengkuh makna itu dan menciptakan sesuatu yang sesuai dengannya. Sama seperti seorang dokter yang mengunjungi pasiennya dan bertanya kepada sang pasien tentang keberadaan dokter ruhaniahnya; karena sebenarnya kau memiliki dokter dalam dirimu, hanya saja keadaan jiwamulah yang menolak untuk menerimanya. Oleh karena itu, dokter sik tadi bertanya, “Makanan  yang  kamu  makan,  bagaimana  rasanya?  Beratkah?

124
 
Fihi Ma Fihi

Bagaimana dengan tidurmu?” Demikianlah, dari apa yang dijawab oleh dokter ruhaniah, dokter sik membuatkan resepnya. Hal ini di karenakan akar masalahnya adalah dokter ruhaniah itu: respons pasien itu sendiri. Ketika dokter ruhaniah ini lemah dan keadaan jiwa sang pasien rusak, maka pasien itu akan melihat segalanya berlawanan dengan yang sebenarnya, kemudian mengatakan hal- hal yang tidak seharusnya; ia berkata, “Gula itu pahit, dan cuka itu manis.” Oleh sebab itu, dia membutuhkan dokter sik untuk menolongnya sampai ia pulih kembali. Setelah itu ia berkonsultasi sendiri pada dokter ruhaniahnya untuk mendapatkan bimbingan yang dia butuhkan.
Pada dasarnya, setiap insan memiliki kondisi jiwa yang sama. Para wali adalah dokter yang menawarkan pertolongan pada manusia agar keadaan jiwanya stabil serta hati dan agamanya menjadi kuat, seperti yang dikatakan dalam sebuah ungkapan: “Tunjukkan padaku segalanya sebagaimana adanya mereka.” Manusia adalah makhluk yang agung; yang mana dalam diri mereka tertulis segala sesuatu, namun selubung dan kegelapan tidak mengizinkan mereka untuk membaca pengetahuan yang ada dalam diri mereka sendiri. Selubung dan kegelapan itu adalah kesibukan yang bermacam-macam, hasrat- hasrat duniawi, dan keinginan yang berwarna-warni. Tapi meskipun tenggelam dalam berbagai kegelapan dan tertutup oleh banyak selubung, mereka tetap dapat membaca sesuatu dan mengambil kesimpulan darinya. Bayangkan seandainya kegelapan dan selubung- selubung itu tersingkap, betapa berlimpahnya pengetahuan yang akan mereka temukan dalam diri mereka.


125
 
Fihi Ma Fihi

Pada akhirnya, semua perilaku seperti menjahit, membangun, bertukang, pandai besi, ilmu, astronomi, kedokteran, dan beragam perilaku manusia lainnya yang tidak dapat dihitung dan dibatasi jumlahnya ini tersingkap dari dalam diri manusia, dan bukan dari batu atau tanah kering. Seekor gagak yang mengajarkan pada manusia tentang tata cara menguburkan mayat juga merupakan pembelajaran bagi manusia yang memperhatikan burung, sebagai bagian dari desakan dari diri dan mendorong mereka untuk mempelajarinya. Dengan demikian, naluri-naluri hewan tidak lain adalah bagian dari manusia, tetapi satu bagian tidak berarti keseluruhan. Hal ini serupa dengan seseorang yang hendak menulis dengan tangan kirinya. Meski hatinya sudah teguh, tangannya gemetar ketika menulis. Namun, tangan itu tetap saja menulis karena ada perintah dari hati.
Ketika Amir datang, Guru kita berujar dengan kata-kata yang agung. Kata-katanya tidak terputus-putus karena dia adalah guru segala ucapan. Kata-kata membanjir darinya tanpa bersela. Di musim dingin, jika ada pepohonan tidak menumbuhkan dedaunan dan buah-buahan, orang tidak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa pohon itu berhenti bekerja. Pohon itu tetap dan terus-menerus bekerja.
Musim dingin adalah waktu pengumpulan (produksi), sementara musim panas adalah waktu penghamburan (konsumsi). Semua orang melihatnya pada waktu konsumsi, namun tak ada orang melihatnya ketika produksi. Sama halnya ketika seseorang sedang melangsungkan sebuah pesta dan mengeluarkan banyak uang. Semua orang melihat pengeluaran ini, tapi tak seorang pun

126
 
Fihi Ma Fihi

yang melihat bagaimana dia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk mengadakan pesta ini. Padahal yang menjadi akar materinya adalah pengumpulan, karena penghamburan bisa terjadi karena adanya pengumpulan.
Kitabisahidupdalamharmonidengansiapapun, bisaberbincang dengan mereka kapan pun, bahkan dalam kebisuan sekalipun, dan dalam ketidakhadiran maupun kehadiran. Sebenarnya kita bisa saling membunuh, kita juga bisa bersatu dan saling mencampuri urusan orang lain. Meski kita bisa saling mempukul dengan kepalan tangan, kita tetap bisa berbincang-bincang dengannya, menjadi satu, dan saling berhubungan erat. Jangan kamu lihat kepalan tangan itu, karena ada anggur yang tersimpan di dalamnya. Kalau kamu tidak percaya, bukalah kepalan tangan itu dan lihatlah perbedaan antara anggur dan mutiara yang indah. Orang-orang ramai membicarakan hal-hal yang sangat detail dan ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Kecenderungan Amir kepada kita bukanlah karena kebajikan yang mulia, perkataan-perkataan yang anggun, dan khotbah-khotbah. Hal-hal seperti ini bisa ditemukan di mana-mana, dan berlimpah ruah. Cintanya dan kecenderungannya padaku bukan karena hal-hal itu, melainkan karena ia melihat sesuatu yang lain. Ia melihat sebuah cahaya yang melampaui semua yang tampak dalam pandangan orang lain.
Dikisahkan bahwa seorang khalifah mendatangkan al-Majnun dan bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi padamu, apa yang membuatmu begini? Kau sudah mempermalukan dirimu sendiri, kau pergi dari rumahmu, kau menjadi hancur dan hilang, siapa

127
 
Fihi Ma Fihi

itu Laila? Bagaimana kecantikannya? Akan ku tunjukkan padamu perempuan-perempuan yang cantik dan menarik. Akan kujadikan mereka sebagai penyelamat kegilaanmu, akan kuberikan mereka semua untukmu.” Ketika perempuan-perempuan itu tiba, Majnun dan mereka dipersilahkan untuk saling melihat. Lalu Majnun menundukkan kepalanya, melihat ke bawah.
“Sekarang, angkat kepalamu dan lihatlah!” kata Khalifah.

“Aku takut,” jawab Majnun. “Cintaku pada Laila adalah sebuah pedang yang terhunus. Jika kuangkat kepalaku, pedang itu akan menebasnya.”
Demikianlah, Majnun telah tenggelam dalam cinta Laila. Bagaimanapun juga, perempuan-perempuan yang lain juga memiliki mata, bibir, dan hidup. Jadi, apa yang sebenarnya dilihat oleh Majnun dalam diri Laila sampa ia menjadi seperti ini?

Pasal 12 Kita Kembali Dari Jihad Aksiden Menuju Jihad Pikiran
MAULANA Rumi berkata, “Sudah lama aku ingin bertemu denganmu tapi aku tahu kau sedang sibuk dengan kemaslahatan manusia, jadi aku tidak ingin memberatkanmu.”
Amir menjawab, “Ini memang sudah menjadi kewajibanku. Tapi sekarang kesibukan-kesibukanku ini telah selesai, jadi aku siap untuk melayanimu.”
Maulana Rumi berkata, “Tidak ada bedanya. Semuanya sama. Dalam dirimu ada kebaikan yang membuat semuanya menjadi sama. Bagaimana seseorang bisa berbicara tentang kesusahan? Akan tetapi, karena aku tahu sekarang kalian adalah orang-orang yang dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat, maka aku akan menemui kalian.”
 
Fihi Ma Fihi

Sekarang kita akan membahas tentang satu masalah: Jika ada seseorang yang memiliki banyak anak dan yang lainnya tidak, apakah mungkin untuk mengambil anak dari orang pertama dan kemudian diberikan kepada orang kedua?
Ulama Zahiriyyah berkata, “Kamu ambil saja anak dari orang yang pertama itu lalu kau berikan kepada orang yang kedua.” Jika kamu renungkan baik-baik, sebenarnya orang yang tak memiliki anak itulah yang memiliki anak. Misalnya ada seorang wali, yang memiliki permata di hatinya, memukul seseorang hingga membuat kepala, hidung, dan rahangnya terluka. Setiap orang berkata bahwa orang yang dipukul adalah orang yang dizalimi, tapi sebenarnya orang yang dizalimi itulah yang memukul (yang menzalimi). Orang yang zalim adalah mereka yang melakukan sesuatu untuk untuk kemaslahatannya dirinya sendiri. Ia yang menerima kepalan tangan dan dihantam kepalanya adalah orang zalim itu sendiri dan orang yang memukul ini pasti adalah orang yang dizalimi. Hal ini dikarenakan ia yang memiliki permata di hatinya, karena ia fana dalam kemuliaan Tuhannya, dan karena yang dilakukannya adalah perbuatan Allah SWT. Sementara Allah tak mungkin dikatakan sebagai Dzat yang Zalim. Sama halnya ketika nabi Muhammad Saw. membunuh, menumpahkan darah, dan menginvasi, sebenarnya merekalah yang zalim dan nabi Muhammad adalah yang orang yang dizalimi.
Contoh lainnya, orang barat tinggal di Barat dan orang timur datang ke Barat. Orang barat itu adalah orang asing bagi orang timur; tapi sesungguhnya orang timur itulah yang menjadi orang asing bagi

130
 
Fihi Ma Fihi

orang-orang barat. Seluruh dunia ini tidak lain adalah sebuah rumah, tidak lebih. Apakah kita pergi dari rumah ini ke rumah itu, atau dari sudut ini ke ke sudut itu, bukankah pada akhirnya kita masih tetap ada di rumah yang sama? Orang barat yang memiliki permata hati itu berasal dari luar rumah. Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Islam datang dalam keadaan asing,” dan tidak bersabda, “Orang timur datang dalam keadaan asing.” Dengan demikian, ketika nabi Muhammad Saw. dikalahkan oleh musuh-musuhnya, beliau adalah orang yang dizalimi. Begitu pula saat beliau menghantam mereka, beliau juga adalah orang yang dizalimi. Karena dalam dua keadaan tersebut, Tuhan (kebenaran) ada bersama dirinya, dan orang yang dizalimi adalah orang yang menggengam Tuhan (kebenaran) di tangannya.
Hati Nabi Muhammad Saw. berasa terbakar melihat para tawanannya. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya untuk mendamaikan hati beliau: “Wahai Muhammad, katakanlah pada mereka; ‘Saat ini kalian tertawan dalam ikatan dan rantai-rantai, jika kamu berniat untuk melakukan kebaikan, maka sungguh Allah akan membebaskan kalian dari belenggu itu. Dia akan mengembalikan segala milikmu yang telah hilang dan bahkan akan melipatgandakannnya. Allah akan memberikan pengampunan dan keberkahan untukmu di akhirat kelak. Dia juga akan memberi kalian dua gudang harta, yang mana salah satunya adalah gudang yang hilang dari diri kalian dan yang satunya lagi adalah gudang akhirat.’”
Amir bertanya: “Jika seorang hamba melakukan suatu amal, apakah pertolongan dan kebaikan yang akan ia dapatkan

131
 
Fihi Ma Fihi

disebabkan oleh amal yang ia lakukan itu ataukah itu anugerah dari Allah?” Maulana Rumi menjawab: “Tentu saja itu adalah anugerah dari Allah SWT. Tetapi Allah SWT, karena kasih sayang- Nya yang luas, membuatnya seolah-olah berasal dari hamba. Karena itu, Ia ber rman: ‘Pertolongan dan kebaikan itu adalah milikmu.’”

 
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Sajdah: 17)


Amir berkata: “Karena Allah memiliki kasih sayang ini, maka setiap orang yang benar-benar mencari kebenaran akan mendapatkannya.”
Maulana Rumi menjawab: “Akan tetapi tanpa adanya seorang pemandu (mursyid) hal itu tidak akan terjadi. Ketika Bani Israil mematuhi Nabi Musa as., semua jalan dibukakan pada mereka, bahkan lautan sekalipun. Lumpur disingkirkan dari lautan untuk jalan mereka. Tapi jika mereka saling berbeda pendapat, maka mereka akan tetap mengembara di jalan-jalan gurun pasir (berada dalam kejahiliyahan) selama bertahun-tahun. Para pemandu masa itu bertanggung jawab terhadap kemaslahatan mereka yang berpegang teguh dan yang taat kepadanya. Misalnya, jika sekelompok tentara mematuhi perintah raja mereka, maka sang raja pun akan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan

132
 
Fihi Ma Fihi

bertanggungjawab atas kemaslahatan mereka. Tetapi jika mereka tidak patuh, untuk apa sang raja repot-repot memikirkan urusan- urusan mereka?
Akal itu seperti raja dalam tubuh manusia. Selama anggota tubuh yang lain patuh pada akal, maka semua urusan akan berada pada jalan yang benar. Tapi jika anggota tubuh itu tidak patuh kepadanya, maka semua urusan akan rusak. Tidakkah kamu lihat ketika seseorang mabuk karena meminum alkohol, berapa banyak kerusakan yang diperbuat oleh tangan, kaki, mulut, dan anggota tubuh lainnya? Kemudian di hari berikutnya, ketika ia sadar, ia berkata, “Ah, apa yang telah kulakukan? Kenapa aku memukul? Kenapa aku mencaci?”
Demikian juga semua urusan di sebuah desa akan sempurna tatanannya hanya ketika ada seorang mursyid di desa tersebut, dan para penduduk desa patuh kepadanya. Dengan  demikian, akal sesungguhnya memikirkan kemaslahatan rakyat-rakyat ketika mereka mematuhi sang mursyid. Jika ia berpikir untuk pergi, ia tidak akan pergi kecuali para kaki berada di bawah perintahnya, jika tidak, berarti ia memang tidak berpikir demikian.
Sama seperti akal yang berposisi sebagai raja dalam tubuh manusia, jika dihubungkan dengan seorang wali, maka semua eksistensi yang disebut makhluk—dengan seluruh potensi akal, pengetahuan, perenungan, dan ilmu-ilmu mereka—adalah tubuh umat manusia dan wali tersebut adalah akal di tengah-tengah semua eksistensi itu. Dengan demikian, ketika manusia (tubuh) tidak patuh pada wali (akal) yang menjadi raja bagi mereka, maka segala urusan

133
 
Fihi Ma Fihi

mereka akan menjadi kacau dan mereka akan menyesal. Mereka harus patuh dan menerima segala yang dilakukan oleh sang wali, dan mereka tidak perlu menggunakan akal mereka. Karena bisa jadi mereka tidak bisa memahami apa yang diperbuat oleh sang wali dengan akal mereka sendiri, maka sudah sepatutnya mereka patuh pada wali tersebut. Ini seperti seorang anak yang diserahkan kepada seorang penjahit untuk dididik. Sudah seharusnya sang anak patuh pada penjahit itu. Jika penjahit memberinya sepotong kain untuk dijahit, maka ia harus menjahit potongan kain itu. Jika penjahit memberikan depun kepadanya, maka anak itu harus menjahit dengan depun itu. Jika anak tersebut ingin mempelajari keahlian sang penjahit, maka ia harus menanggalkan seluruh hasrat pribadinya dan tunduk pada semua perintah penjahit itu.
Kita berharap semoga Allah memudahkan jalan itu untuk kita. Jalan yang merupakan pertolongan-Nya. Jalan yang melebihi seribu daya dan upaya.

 
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadr: 3)


Ayat di atas semakna dengan ungkapan ini: “Satu sentakan Allah SWT itu lebih baik daripada ibadahnya orang-orang yang tekun.” Artinya, jika pertolongan Allah mengintervensi amal manusia, maka pertolongan itu telah melakukan ratusan kali lipat perjuangan, dan bahkan lebih. Perjuangan itu indah, baik, dan bermanfaat, tapi apalah artinya perjuangan itu jika dibanding dengan pertolongan Allah?

134
 
Fihi Ma Fihi

Amir bertanya: “Apakah pertolongan Allah menciptakan perjuangan?”
Maulana Rumi menjawab: “Kenapa tidak? Ketika pertolongan Allah muncul, perjuangan dimulai. Alangkah besarnya usaha yang dilakukan oleh Nabi Isa as. ketika ia berkata di dalam kandungan ibunya: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Injil [QS. Maryam: 30],” dan Yahya menyebutkan bahwa Isa saat itu sedang berada dalam perut ibunya. Sementara perkataan itu sudah siap untuk Nabi Muhammad tanpa adanya usaha:

 

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam.” (QS. al-Zumar: 22)


Keutamaan datang terlebih dahulu. Kemudian jika dalam diri manusia muncul kesadaran dari kesesatan, maka itulah yang dinamakan keutamaan dan anugerah murni dari Allah SWT. Jika tidak, mengapa Allah tidak memberikan hal itu kepada teman- temannya yang lain yang dekat dengannya? Keutamaan dan balasan dari Allah laksana percikan api. Pada mulanya ia adalah anugerah, akan tetapi jika kamu letakkan katun di dalamnya dan kamu kembangkan api itu sampai apinya semakin membesar, maka itulah yang disebut dengan keutamaan dan balasan. Percikan api itu awalnya kecil dan lemah: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah [QS. al-Nisa’: 28].” Akan tetapi ketika api yang lemah itu


135
 
Fihi Ma Fihi

menyantap hidangannya, ia akan menjalar ke seluruh penjuru dunia dan membakar dunia, percikan kecil dan lemah itu kini telah menjadi besar dan kuat.

 
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. al-Qalam: 4)


Seseorang berkata: “Sesungguhnya Maulana Rumi teramat mencintaimu.”
Maulana Rumi menjawab: “Kedatangan dan perkataanku bukanlah indikasi dari rasa cintaku. Aku mengatakan apa saja yang tampak padaku. Jika Allah menghendaki, Dia akan menjadikan ucapan yang sedikit ini menjadi bermanfaat dan menumbuhkannya di hati kalian, berikut dengan manfaatnya yang besar. Sebaliknya, jika Allah tak menghendaki, seratus ribu kata yang terucap sekalipun tak akan ada yang terpatri di hati siapapun, melainkan hanya akan berlalu dan dilupakan. Seperti halnya sebuah percikan api yang jatuh pada sepotong kain. Jika Allah berkenan, percikan itu akan menjadi besar dan melumat kain itu. Sebaliknya jika Ia tak berkenan, seratus percikan api yang dikobarkan pada kain itu akan mati, dan tidak sedikit pun membakarnya.

 
“Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi.” (QS. al-Fath: 4)


136
 
Fihi Ma Fihi

Kata-kata adalah tentara Allah SWT. Atas perintah Allah, mereka akan menghantam benteng dan menguasainya. Jika Allah menitahkan ribuan tentara berkuda untuk menaklukkan sebuah benteng tanpa harus menguasainya, maka mereka akan melakukannya. Begitu pula jika Allah memerintahkan satu pasukan berkuda untuk meruntuhkan benteng dan menguasainya, maka satu pasukan berkuda tersebut akan membuka pintu benteng itu dan menguasainya. Allah mengirimkan seekor nyamuk untuk melawan Namrud dan menghancurkannya. Seperti yang pernah dikatakan, “Di mata sang arif semua sama, baik itu satu sen, satu dinar, seekor singa, dan seekor kucing.” Karena jika Allah sudah menurunkan berkah-Nya, maka uang satu sen akan mampu melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh uang satu dinar, dan bahkan lebih.
Sementara jika Allah merenggut berkah-Nya dari seribu dinar, maka uang sebesar ini tak akan mampu melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh uang satu sen. Begitu pula jika seekor kucing dititahkan untuk menaklukkan singa, seperti nyamuk yang diperintahkan untuk menghancurkan Namrud, maka singa-singa akan bergetar ketika berhadapan dengannya, atau tampak seperti keledai dungu di hadapan kucing. Seperti beberapa darwis yang menunggangi singa atau seperti api yang menjadi dingin di tubuh Ibrahim as. dan menyelamatkan, mendamaikan, menghiasi, dan melindungi beliau; semua itu karena Allah tidak menitahkan api untuk membakar Ibrahim. Pendek kata, jika kita menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT, maka semua yang tampak dalam pandangan mereka adalah satu dan sama. Aku

137
 
Fihi Ma Fihi

berharap kepada Allah SWT semoga kalian juga mendengar kata- kata ini dengan telinga batin kalian, karena itu akan bermanfaat.
Walaupun ada seribu pencuri dari luar rumah, semuanya tidak akan bisa membuka pintu sebuah rumah jika mereka tidak memiliki pencuri jujur di dalam rumah yang bisa membukakan pintu dari dalam. Ucapkanlah seribu kata dari luar, maka semua itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada pembenaran dari dalam. Seperti halnya pohon yang tidak subur akar-akarnya, maka banjir ribuan kali pun tidak akan memberi manfaat apa-apa untuknya. Jika mengharapkan air bermanfaat baginya, maka akar pohon itu harus segar dan subur terlebih dahulu.
Sekalipun seseorang mampu melihat seratus ribu cahaya, Niscaya cahaya itu tak akan turun kecuali menuju asalnya (Nurul ‘Ain)


Meskipun dunia dipenuhi oleh cahaya, tak akan ada seorang pun yang mampu melihat cahaya itu jika di matanya tidak ada percikan cahaya. Asal dari ketidakmampuan itu berada di dalam dirinya sendiri.
Jiwa adalah sesuatu dan roh adalah sesuatu yang lain. Tidakkah kamu lihat ke mana jiwa pergi saat sedang tidur? Sementara roh tetap tinggal dalam tubuh, jiwa justru berkelana dan berubah menjadi hal yang lain. Dengan demikian, ungkapan; “Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya,” ini berbicara tentang jiwa.


138
 
Fihi Ma Fihi

Maulana Rumi berkata: “Ungkapan itu berbicara tentang jiwa, tapi hal itu bukanlah sesuatu yang mudah. Jika kita menfasirkan ungkapan itu dengan jiwa, maka pendengar akan memahaminya dengan deskripsinya yang menunjuk pada jiwa tersebut karena ia tak tahu tentang jiwa itu sendiri. Sebagai contoh, jika kamu memegang sebuah cermin kecil di tanganmu dan kemudian tampak sesuatu yang baik, kecil ataupun besar, di cermin itu, maka sifat-sifat itu adalah milik benda itu sendiri. Kata-kata saja tak bisa mengungkapkan pemahaman spiritual ini; kata-kata hanya dapat memberikan dorongan internal terhadap pendengarnya.
Di luar dunia yang sedang kita bicarakan, ada dunia lain yang sudah sepatutnya kita cari. Dunia ini beserta keindahannya melayani binatang dalam diri kita. Semua hal ini memberikan hidangan pada sifat hewani manusia. Sementara yang asal, yaitu manusia, mengurangi dan membatasi dirinya dari hidangan-hidangan hewani itu.
Mereka berkata: “Manusia adalah hewan yang berbicara.” Dari sini dapat dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan. Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewanannya di dunia yang materil ini, yaitu nafsu dan harapan- harapan. Kedua, memberikan hidangan pada sifat kemanusiaan berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kemampuan melihat Tuhan. Kecenderungan yang kedua inilah yang dimaksud dengan inti yang hakiki. Sifat kehewanan dalam diri manusia pergi dari Tuhan, sementara sifat kemanusiaan dalam diri manusia menjauh dari dunia.

139
 
Fihi Ma Fihi


 

“Maka di antara kamu ada yang ka r dan di antaramu ada yang Mukmin.” (QS. al-Taghabun: 2)


Dua manusia di dunia ini saling berperang. Siapa yang akan menang? Adalah dia yang dijadikan sebagai kekasih Tuhan oleh nasibnya.
Tak diragukan lagi bahwa dunia ini adalah dunia musim dingin. Mengapa mereka menyebut benda-benda sebagai barang yang kaku? Karena benda-benda itu kaku. Batu, gunung, dan jubah yang mencakup semua hal juga merupakan barang-barang kaku. Jika di dunia ini tidak ada musim dingin, bagaimana benda-benda itu bisa menjadi kaku? Arti dari dunia ini sangatlah luas; dan meskipun arti itu tak terlihat, tapi dengan tanda-tandanya kita bisa mengetahui bahwa di dalam dunia itu ada angin dingin dan hawa dingin yang menusuk.
Dunia ini seperti musim dingin, di mana semua yang ada di dalamnya menjadi beku. Musim dingin yang bagaimana? Musim dingin ini bisa diraba oleh pikiran, tapi tidak dirasa oleh indra. Ketika angin Ilahi berhembus, gunung-gunung akan mencair, dan kepadatan dunia akan meleleh; seperti halnya ketika kehangatan musim panas berhembus, semua benda yang beku meleleh. Di hari kiamat, ketika angin itu berhembus, semua benda akan meleleh.



140
 
Fihi Ma Fihi

Allah    menjadikan    kata-kata    ini    sebagai    tentara    yang ditempatkan di sekitar kalian, untuk menghalau kehadiran musuh- musuh kalian; karena ada banyak musuh, baik dari dalam maupun dari luar. Tapi mereka sesungguhnya bukanlah apa-apa; apalah arti mereka itu? Tidakkah kamu lihat ribuan orang ka r yang menjadi tawanan bagi satu orang ka r, yaitu rajanya. Sementara raja ka r itu menjadi tawanan bagi pikiran-pikirannya. Dari sini kita memahami bahwa pikiran memiliki pengaruh yang besar, karena hanya dengan satu pikiran yang lemah saja, ribuan manusia dan seluruh dunia bisa menjadi tawanannya. Bertolak dari hal ini, meski dunia pikiran tak pernah berhenti, renungkan keagungan dan kemegahan yang dimilikinya. Betapa mudahnya ia menaklukkan musuh-musuhnya, dan betapa semaraknya dunia yang mereka tundukkan! Aku terheran- heran saat melihat ratusan bentuk yang tak ada batasnya, tentara yang merentang tanpa ujung dari satu padang ke padang lainnya, semuanya menjadi tawanan satu orang, dan satu orang itu menjadi tawanan dari pikiran keji di kepalanya! Ini berarti bahwa mereka semua adalah tawanan bagi satu buah pikiran. Di mana mereka berdiri di antara pikiran besar, tak terbatas, serius, sakral dan sublim?
Dari sini dapat kita lihat bahwa pikiran memiliki pengaruh yang sangat besar. Segala bentuk yang ada di dunia ini hanya mengikuti dan menjadi alat bagi pikiran; yang mana tanpa pikiran, bentuk- bentuk itu akan mati dan kaku. Mereka yang hanya mementingkan bentuk dan dan menyibukkan diri dengannya juga mati; mereka tidak mampu menembus makna. Mereka adalah anak-anak dan belum dewasa, sekalipun mereka tampak seperti seorang syekh yang berumur seratus tahun.

141
 
Fihi Ma Fihi

“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar,” artinya kita sedang bertempur melawan bentuk dan berusaha untuk mengalahkan para shuwariyyin (orang-orang yang memperhatikan bentuk) ini. Selanjutnya kita juga harus berhadapan dengan tentara- tentara pikiran, sehingga pikiran yang baik dapat menghancurkan pikiran yang buruk dan mengusirnya dari kerajaan tubuh kita. Inilah yang disebut dengan jihad besar dan pertempuran yang agung.
Demikianlah, pikiran memiliki pengaruhnya sendiri karena ia bekerja tanpa intervensi dari tubuh, seperti halnya akal yang secara efektif mampu mengatur rotasi bintang tanpa bantuan instrumen apapun. Itulah mengapa seorang lsuf mengatakan bahwa pikiran tidak membutuhkan alat (tubuh).
Kamu adalah esensi, sementara dua dunia itu adalah aksiden (tampilan luar) bagimu,
Dan esensi yang kamu cari dari aksiden sama sekali tak berharga Tangisilah orang yang mencari ilmu dalam hati
Dan tertawalah pada orang yang mencari akal dalam jiwa.



Karena dunia ini hanya merupakan aksiden, maka tidak seharusnya bagi manusia untuk terus berdiri di sampingnya. Esensi itu laksana botol parfum dan dunia beserta keindahannya adalah aroma parfum itu. Aroma parfum ini tak akan bertahan lama sebab ia hanya merupakan aksiden. Siapa saja yang mencari botol parfum, bukan aromanya karena ia tidak puas hanya hanya dengan aroma itu, maka itulah orang yang bijak. Tetapi siapa saja yang mencari

142
 
Fihi Ma Fihi

aroma dan sudah merasa puas dengannya, maka dia adalah orang yang bodoh. Mereka memburu sesuatu yang tidak bisa digenggam oleh tangan mereka. Hal itu karena aroma hanyalah sifat dari parfum ini. Selama ada parfum di dunia ini, maka aromanya pasti tercium oleh hidung. Tetapi jika parfum itu sudah melintasi selubung dan meninggalkan dunia ini, maka semua yang ada pada parfum itu akan hilang. Karena aroma adalah bagian yang inheren dari parfum, maka aroma itu akan ikut berpindah ke tempat di mana parfum itu berada.
Beruntunglah orang yang menemukan parfum itu dengan mengikuti aromanya dan kemudian menjadi satu dengannya. Mereka tidak pernah mati, tapi menjadi bagian yang abadi dari esensi parfum itu dan diberkati oleh kualitas-kualitas parfum. Setelah itu, mereka dapat menebarkan aromanya ke dunia dan dunia menjadi hidup karenanya. Tak ada lagi yang tersisa dari dirinya selain nama. Seperti kuda atau hewan-hewan lain yang tenggelam dalam basin garam, tak tersisa dari hewan itu selain namanya. Yang sebenarnya terjadi adalah, kuda itu sekarang telah menjadi bagian dari basin garam yang besar. Namanya tak akan merubah apapun, dan ia tetap tidak akan bisa keluar dari basin garam tersebut. Meski kamu berikan nama lain padanya di dalam basin garam itu, ia tetap tak akan bisa keluar dari sifat kegaramannya.
Oleh karena itu, manusia harus menghindari keindahan dan kemegahan-kemegahan dunia yang merupakan bias-bias sinar dan re eksi dari Allah SWT. Manusia tidak sepatutnya merasa puas hanya dengan hal-hal tersebut. Sebab meski semua itu merupakan kelembutan Allah dan sinar-sinar keindahan-Nya, tetapi semua itu

143
 
Fihi Ma Fihi

tidaklah abadi. Semua itu abadi bagi Allah, tapi nisbi bagi manusia. Ia seperti cahaya matahari yang menyinari berbagai tempat di bumi; meski itu adalah sinar matahari dan cahaya, tetapi ia tetap merupakan bagian dari matahari. Ketika matahari tenggelam, maka sinar itu juga akan hilang. Dengan demikian, maka kita seharusnya menjadi matahari sehingga kita tak perlu takut lagi untuk kehilangan cahaya dan sinar itu.
Ada pemberian, ada juga pengetahuan. Ada yang mendapatkan pemberian dan anugerah, tapi tak memiliki pengetahuan. Ada pula yang mendapatkan pengetahuan tapi tak memiliki pemberian. Jika kedua hal ini bisa dimiliki oleh seseorang, maka orang tersebut benar- benar mendapat tau k yang besar dan benar-benar tak tertandingi. Analogi dari hal ini adalah seperti seseorang yang sedang menyusuri sebuah jalan tetapi ia tak tahu di mana jalan ini bermula dan berakhir, atau bahkan mungkin ia menyusuri jalan yang salah. Ia berjalan dengan buta, berharap seekor ayam berkokok atau muncul tanda- tanda adanya pemukiman. Bagaimana bisa orang ini dibandingkan dengan mereka yang mengetahui jalan tanpa membutuhkan tanda dan marka jalan? Tugas yang ia punya sangatlah jelas. Oleh karena itu, pengetahuan melebihi segala sesuatu.

Pasal 13 Menjauhlah Dari Tujuan Mereka

RASULULLAH Saw. bersabda: “Malam itu panjang, maka jangan kau pendekkan ia dengan tidurmu. Siang itu terang, maka jangan kau gelapkan ia dengan dosa-dosamu.”
Malam itu panjang untuk kamu yang mencari rahasia-rahasia yang berhamburan dan memohon hajat tanpa ada gangguan dari orang lain, tanpa ada gangguan dari kekasih dan musuh. Kamu begitu damai dan erat dengan Allah karena Dia telah menutup mata orang-orang lain, sehingga perbuatan-perbuatanmu terjaga dan terpelihara dari riya’, dan murni karena Allah SWT. Di malam yang kelam, kita dapat membedakan mana yang beribadah karena riya’ dan yang ikhlas. Orang-orang yang riya’ akan terungkap, sebab di malam hari semua hal tertutupi oleh gelap, sementara di siang hari semuanya terlihat, karenanya orang yang riya’ akan terlihat di malam
 
Fihi Ma Fihi

hari. Ia berkata, “Karena tak ada seorang pun yang melihatku, untuk apa aku melakukan semua itu?” Dijawab, “Ada satu yang melihatmu, tapi kamu bukan orang yang bisa melihat-Nya. Yang bisa melihat hanya mereka yang berada dalam genggaman kekuasaan-Nya.
“Ketika mengalami kesulitan, semua orang memanggil-Nya. Begitu juga ketika sakit gigi, sakit telinga, dan sakit mata; ketika sedih, takut, dan tak memiliki rasa aman, semua memanggil-Nya. Dalam kerahasiaan semua memanggil-Nya disertai keyakinan bahwa Ia akan mendengar keluh kesah dan mengabulkan permintaan mereka. Secara rahasia mereka bersedakah untuk menolak bencana dan sebagai obat penyakit, berkeyakinan bahwa Ia akan menerima usaha-usaha dan sedekah mereka. Saat Allah mengembalikan kesehatan dan kedamaian hati mereka, mereka kembali kehilangan keyakinannya dan bayangan kegelisahan muncul lagi. Mereka berkata, “Tuhanku, bagaimanapun dulu kami berdoa kepada-Mu dengan penuh ikhlas dari pojok penjara itu dengan mengulang-ulang ayat: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa [QS. al-Ikhlas: 1]” sebanyak seribu kali tanpa rasa bosan dan lelah, lalu Kau kabulkan permintaan kami. Sekarang kami sudah berada di luar penjara dan tetap membutuhkan-Mu, sama seperti ketika berada di dalam penjara, sampai Kau keluarkan kami dari penjara dunia yang penuh kezaliman ini menuju dunia para nabi yang penuh cahaya. Mengapa keikhlasan tidak bisa datang kepada kita tanpa adanya penjara dan rasa sakit? Seribu khayalan yang timbul, yang bermanfaat maupun yang tidak, hanya menimbulkan ribuan bentuk rasa malas dan rasa lelah. Lalu di manakah keyakinan yang dapat menghanguskan imanjinasi-imajinasi itu?”

146
 
Fihi Ma Fihi

Allah SWT menjawab: “Seperti yang telah Kukatakan, jiwa hewanimu adalah musuh bagimu dan juga bagi-Ku.”

 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. al- Mumtahanah: 1)


Perangilah musuh ini selalu di dalam penjara! Sebab saat seseorang merasa terpenjara, diuji dan menderita, maka keikhlasanmu akan muncul dan bahkan akan semakin kuat. Ribuan kali telah kamu buktikan bahwa keikhlasan muncul karena adanya rasa sakit pada gigi, pada kepala, dan adanya rasa takut. Lalu, mengapa kamu terkungkung dengan kenyamanan raga? Kenapa kamu selalu disibukkan untuk merawat tubuh? Jangan lupakan ujung dari benang itu; jauhkan dirimu dari apa-apa yang tidak Dia inginkan agar kamu bisa meraih tujuan abadi dan terbebas dari penjara kegelapan:

 
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. al-Nazi’at: 40-41)

Pasal 14 Dari Dan Untuk Allah

SYEKH Ibrahim1 berkata: “Jika Saifuddin Farukh memukul seseorang, maka ia akan menyibukkan dirinya dengan bercerita kepada orang lain tentang perbuatannya itu agar orang-orang lain juga memukulnya. Akan tetapi metode seperti tidak akan menolong orang yang ia pukul.”
Maulana Rumi berkata: “Semua yang kamu lihat di dunia ini sama persis dengan apa yang ada di dunia sana. Semua hal yang ada di dunia ini merupakan contoh dari apa yang ada di dunia sana. Semua yang ada di dunia ini didatangkan dari dunia sana.”




 
1  Beliau adalah salah satu murid kesayangan Syamsuddin Tabrizi.
 
Fihi Ma Fihi


 
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21)


Seorang laki-laki botak dari Baalbak menjunjung nampan yang berisi bermacam-macam obat-obatan di atas kepalanya, segenggam tiap jenisnya—segenggam lada dan segenggam mastik. Masing- masing jenis obat-obatan itu sebenarnya tak terbatas, tetapi sudah tidak ada tempat lagi yang tersisa di dalam nampannya. Manusia tak ubahnya laki-laki botak dari Baalbak ini atau seperti toko parfum. Masing-masing orang terisi oleh satu genggam atau beberapa genggam dari gudang sifat-sifat Allah yang diletakkan di dalam nampan. Sehingga di dunia ini, antara satu orang dengan yang lainnya saling bertalian dalam hal jual-beli barang yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Satu bagian dari pendengaran, satu bagian dari ucapan, satu bagian dari akal, satu bagian dari kemuliaan, satu bagian dari ilmu, dan seterusnya. Dengan demikian, terdapat beberapa orang yang berkeliling demi Tuhannya, ia berjalan berkeliling menyusuri jalan- jalan, siang dan malam untuk mengisi nampannya.
Misalnya kamu dengan jelas melihat bahwa di dunia sana terdapat penglihatan, mata, dan pemandangan yang berbeda-beda. Sebuah contoh dari semua itu dikirimkan kepadamu agar kamu dapat melihat hal itu semua di dunia ini. Melihatnya semua itu di dunia ini tidak berarti bahwa kadar semua hal itu terbatas pada apa


150
 
Fihi Ma Fihi

yang kamu lihat, kamu hanya tidak mampu melihat lebih dari itu. “Semua sifat yang Aku miliki tidak terbatas, dan kami mengirimnya kepadamu dengan kadar tertentu.”
Renungkanlah bagaimana ribuan manusia dari generasi ke generasi datang dan mengisi penuh lautan ini, akan tetapi lautan itu tidak pernah penuh. Lihatlah, gudang apa itu. Setiap orang yang tinggal lama di dalamnya, hatinya akan merasa lebih dingin dari nampan itu. Itu adalah gambaran bahwa dunia ini berasal dari tempat contoh itu berada, dan akan kembali lagi ke tempat berkumpulnya semua contoh-contoh itu.

 
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)


Kata Inna (sesungguhnya kami) bermakna: semua bagian dari kita berasal dari dunia sana, semua itu hanyalah contoh dari dunia yang ada di sana, dan nanti akan kembali lagi kesana—yang kecil, yang besar, maupun semua binatang. Dunia yang ada di sana begitu lembut dan tak kasat mata, tetapi alangkah indahnya ketika mereka menampakkan diri! Tidakkah kamu melihat bagaimana angin musim semi tercermin pada pepohonan, rerumputan, bunga-bunga di taman, dan tanaman kemangi? Melalui goyangan tanaman-tanaman itu, tampak keindahan musim semi. Jika kamu hanya memfokuskan pandanganmu pada angin musim semi itu, kamu tidak akan melihat semua keindahan itu. Tetapi, hal itu bukan karena pemandangan dan

151
 
Fihi Ma Fihi

taman-taman itu tidak ada di dalam angin. Bukankah pemandangan seperti itu merupakan bias dari angin itu sendiri? Saat musim semi, bunga-bunga dan kemangi berdansa di taman, akan tetapi berdansanya tanaman-tanaman itu sangat lembut dan tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Ia tak akan tampak tanpa adanya media yang dapat membuatnya keluar dari kelembutannya tersebut. Demikian juga dengan manusia, dalam diri manusia terdapat sifat-sifat yang samar, dan hanya akan terlihat melalui sebuah perantara, baik dari dalam maupun luar.
Pada seseorang, sifat-sifat itu bisa tampak melalui ucapan, yang lainnya melalui paksaan, orang yang lain lagi melalui perang atau pun damai. Meski kamu berusaha sekuat tenaga, kamu tak akan bisa melihat sifat-sifat manusia tanpa adanya perantara. Coba pikirkan dirimu, maka tak ada yang akan kamu temukan. Jadi, asumsikanlah bahwa dirimu terlepas dari sifat-sifat ini. Hal ini tentu bukan berarti kamu mengubah sesuatu yang ada pada dirimu, melainkan karena hal itu memang tersembunyi dari dirimu. Layaknya air di laut, air- air itu tidak akan keluar dari laut kecuali dibawa oleh awan, dan hanya terlihat pada ombak. Gelombang adalah gejolak yang timbul dari dalam dirimu tanpa perantara dari luar. Akan tetapi, selama laut itu diam, kamu tak akan melihat gelombang air. Ragamu terletak di pinggir pantai, sementara jiwamu ada di dalam lautan. Tidakkah kamu lihat bagaimana ikan-ikan, ular, burung, dan berbagai macam makhluk menampakkan dirinya dan kemudian kembali menghilang? Sifat-sifamu, seperti marah, dengki, nafsu, dan yang lainnya, akan timbul dari lautan ini.


152
 
Fihi Ma Fihi

Dengan demikian, kamu dapat berkata: “Sifat-sifat yang kamu miliki begitu lembut wahai para pecinta Tuhan, tak mungkin kamu dapat melihatnya tanpa perantaraan lidah. Karena kelembutannya, ia tidak akan pernah terlihat tanpa adanya perantara.”

Pasal 15 Mempelai Perempuan Rahasia

DALAM diri manusia terdapat cinta, rasa sakit, rindu, dan keinginan. Sekalipun seratus ribu dunia menjadi milik mereka, niscaya mereka tidak akan merasa puas dan tenang. Meski mereka sudah menjajal setiap keahlian, mempelajari astronomi, kedokteran, dan lain sebagainya, tetap saja mereka tidak puas karena belum mendapatkan apa yang mereka tuju. Orang-orang menyebut Sang Kekasih sebagai “ketenteraman hati,” karena di sanalah hati mereka menemukan ketenteraman. Lantas bagaimana bisa seseorang dapat menemukan ketenteraman dan keputusan selain dari-Nya?
Semua kesenangan dan pencarian ini laksana anak tangga. Anak tangga bukanlah tempat untuk menginap dan ditinggali, melainkan hanya sebatas jalan untuk dilewati. Betapa bahagianya orang yang bangun dan menyadari hal ini lebih awal karena ia tidak
 
Fihi Ma Fihi

akan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai puncak tangga, dan usianya tidak akan terbuang percuma di tingkatan anak tangga itu.
Seseorang bertanya: “Tentara Mongol telah merampas harta kami secara paksa, tapi dari waktu ke waktu mereka mengembalikan harta itu kepada kami. Ini merupakan kondisi yang aneh. Bagaimana menurutmu?”
Maulana Rumi menjawab: “Semua yang sudah direbut paksa oleh tentara Mongol telah masuk ke dalam genggaman dan gudang- gudang Allah. Contohnya, kamu mengisi sebuah kendi dengan air laut kemudian kamu pergi. Selama air itu masih berada di dalam kendi, ia akan tetap menjadi milikmu dan tidak ada seorang pun yang berhak menggunakannya. Jika ada orang yang mengambil air itu dari kendi tanpa seizinmu, berarti ia adalah seorang pencuri. Tetapi jika air itu dituangkan kembali ke dalam lautan, maka air akan menjadi halal bagi semua dan bebas dari kepemilikanmu. Dengan demikian, maka harta kita menjadi haram bagi mereka dan harta mereka halal bagi kita.”
“Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam. Jemaah adalah rahmat.” Rasulullah Saw. senantiasa bertindak atas nama jemaah. Hal ini dikarenakan berkumpulnya jiwa-jiwa akan memberikan pengaruh yang sangat besar dan penting, yang tidak bisa dihasilkan oleh satu jiwa. Inilah alasan kenapa masjid dibangun, yaitu agar orang sekitar bisa berkumpul sehingga rahmat serta manfaat menjadi berlipat. Tempatnya dijauhkan dari perumahan agar dapat dibedakan dan menutupi aib. Itulah beberapa faidah. Masjid-masjid jami’ dibangun

156
 
Fihi Ma Fihi

agar para penduduk kota dapat berkumpul semuanya. Sementara Ka’bah dibangun agar umat manusia dari kota-kota dan musim- musim yang berlainan dapat berjumpa.
Seseorang berkata: “Ketika tentara Mongol pertama kali datang ke tanah ini, mereka telanjang dan tidak memiliki apa-apa. Mereka mengendarai banteng dan senjata mereka terbuat dari kayu. Tapi sekarang, mereka tampak rapi dan cukup makan, mereka juga memiliki kuda-kuda Arab yang cantik dan peralatan perang yang modern.”
Maulana Rumi berkata: “Kala itu, ketika mereka sedang putus asa, lemah dan tidak memiliki kekuatan, Allah menolong mereka dan menjawab doa-doa mereka. Sekarang, ketika mereka tampak begitu rapi dan perkasa, Allah menghancurkan mereka dengan makhluk yang paling lemah agar mereka menyadari bahwa karena pertolongan dan anugerah dari Allah-lah mereka mampu menaklukkan dunia, dan bukan karena daya dan kemampuan mereka sendiri. Dulu mereka tinggal di gurun, jauh dari manusia, tanpa daya dan kekuatan, miskin, telanjang, dan fakir. Tanpa diduga-guga, beberapa dari mereka datang ke daerah Khawarizmi sebagai pedagang, lalu mereka mulai  melakukan transaksi  jual-beli.  Mereka membeli Kirbas (baju dari katun putih) untuk menutupi tubuh mereka. Lalu orang-orang Khawarizmi menghentikan transaksi jual-beli mereka, pedagang-pedagang mereka dititahkan untuk dibunuh, mereka juga dibebani untuk membayar pajak, orang-orang Khawarizmi tidak lagi mengizinkan mereka untuk menjejakkan kaki di tanah mereka. Orang-orang Mongol itu datang kepada raja mereka dan berkata,

157
 
Fihi Ma Fihi

“Mereka telah menghancurkan kami.” Raja meminta waktu selama sepuluh hari, dan kemudian masuk ke dalam gua yang dalam. Di dalam gua itu sang raja berpuasa sepuluh hari, dan dengan khusyuk merendahkan diri kepada Tuhannya. Lalu datanglah suara dari Allah, “Aku terima permohonan dan tawasulmu. Keluarlah! Ke mana pun kamu pergi, kamu akan menang.” Demikianlah yang terjadi. Ketika mereka keluar, mereka menang dengan perintah Allah dan mereka menaklukkan dunia.
Seseorang berkata, “Orang-orang Mongol juga percaya pada hari kebangkitan, dan berkata bahwa akan ada hisab.”
Maulana Rumi berkata: “Mereka berbohong, mereka melakukan itu karena ingin diterima oleh umat Islam.”
Mereka berkata, “Kami mengakui dan mempercayainya.” Jamal ditanya, “Dari mana kamu?” Ia menjawab, “Dari kamar mandi.” Dijawab lagi, “Ya, itu terlihat dari sepatumu!” Jika mereka memang percaya akan keberadaan hari kebangkitan, apa buktinya? Maksiat, kezaliman, dan keburukan yang mereka lakukan seperti salju dan es yang dikumpulkan setinggi gunung. Padahal ketika matahari kesadaran, penyesalan, kabar tentang akhirat, dan rasa takut kepada Allah datang, ia akan melelehkan tumpukan salju dan es maksiat semuanya, seperti matahari yang mencairkan salju dan es yang menggunung. Jika sebagian tumpukan salju dan es berkata, “Aku melihat matahari dan sinarnya memandikan diriku,” tetapi tumpukan salju dan es itu tetap menggunung, maka orang yang waras tidak akan mempercayainya. Adalah hal yang mustahil jika matahari sudah datang tapi tumpukan salju dan es tetap kokoh.

158
 
Fihi Ma Fihi

Walaupun Allah SWT telah berjanji akan memberikan balasan atas perbuatan baik dan buruk di hari kiamat kelak, akan tetapi contoh dari balasan-balasan itu sudah Ia kirimkan kepada kita di setiap waktu dan kerlingan mata. Jika kebahagian masuk ke dalam hati seseorang, maka itu adalah balasan baginya karena membuat orang lain bahagia. Jika seseorang bersedih, maka itu juga merupakan balasan baginya karena membuat orang lain sedih. Ini semua adalah hadiah dari dunia yang lain dan tanda bagi hari pembalasan nanti, agar orang-orang bisa memahami yang banyak dari yang sedikit ini, sebagaimana kamu mengambil segenggam gandum sebagai contoh dari gandum-gandum yang ada di dalam karung.
Baginda Rasulullah Saw., meskipun beliau memiliki keagungan dan kebesaran, pada suatu malam merasakan sakit di tangannya. Turunlah wahyu yang memberitahukan pada beliau bahwa rasa sakit yang dialaminya itu adalah efek dari rasa sakit di tangan ‘Abbas, karena beliau telah memenjarakan dan mengikat tangannya bersama para tawanan yang lain.
Meskipun Nabi mengikat tangan Abbas atas perintah Allah, tapi beliau harus mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut, agar kamu mengetahui bahwa penangkapan, penderitaan, dan kesedihan yang menimpa dirimu adalah efek dari perbuatan buruk dan maksiat yang kamu lakukan. Meski secara detail kamu tidak bisa mengingat semua yang telah kamu lakukan, dari balasan itu kamu dapat menarik kesimpulan bahwa dirimu telah banyak melakukan kesalahan-kesalahan. Kamu barangkali juga lupa apakah perbuatan buruk itu kamu lakukan karena lupa atau karena ketidaktahuanmu,

159
 
Fihi Ma Fihi

atau mungkin ditularkan oleh seorang teman yang tidak mengerti agama sehingga membuatmu melakukan pelanggaran terhadap Tuhan. Renungkan balasan itu, sampai titik mana kamu rentangkan tanganmu, atau sampai sejauh mana kamu tersiksa? Sudah jelas bahwa siksaan adalah balasan dari ketidakpatuhan, dan kesenangan adalah balasan dari kepatuhan. Demikian juga ketika Rasulullah Saw. ditegur oleh Allah karena mengenakan cincin di jarinya: “Kami tidak menciptakanmu untuk bermain-main dan tidak berbuat apa-apa.”

 
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minun: 115)


Renungkan hal ini, dan tegaskan apakah kamu menjalani kehidupanmu dalam kemaksiatan atau kepatuhan!
Allah SWT mengutus Musa as. untuk membantu urusan- urusan manusia. Meski ia segan karena kesibukannya melayani Allah, Dia tetap mengutusnya untuk membatu urusan manusia demi kepentingan umum. Khidir juga sepenuhnya sibuk melayani Tuhannya. Pada Mulanya, Rasulullah juga sibuk melayani Tuhannya. Lalu Allah memerintahkannya: “Ajaklah manusia, nasihati mereka, dan perbaiki kesalahan mereka.” Beliau menjadi sedih dan tersiksa sembari berkata: “Oh Tuhan, dosa apa yang telah kulakukan? Mengapa Kau melemparku dari hadapan-Mu? Aku tak menginginkan manusia.” Allah kemudian

160
 
Fihi Ma Fihi

menjawab: “Wahai Muhammad, jangan kau berputus asa, aku tidak akan membiarkanmu sibuk dengan urusan manusia, bahkan di dalam derasnya kesibukanmu itu, kau tetap bersama-Ku. Ketika kau sibuk bersama manusia, tak sedetik pun waktumu bersama-Ku akan diambil darimu. Bahkan meski kamu berada di tengah-tengah lautan manusia, kau tetap bersama-Ku.”
Seseorang bertanya: “Apakah hukum-hukum azali yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT akan berubah?”
Maulana Rumi menjawab: “Apapun yang diputuskan oleh Allah di dalam azal, bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan didera dengan keburukan, sama sekali tidak akan pernah berubah. Karena Allah SWT itu Maha Bijaksana, bagaimana mungkin Dia ber rman: “Lakukanlah keburukan agar kamu memperoleh kebaikan.” Apakah bisa seorang yang menanam gandum akan menuai jelai? Atau sebaliknya ia menanam jelai tapi menuai gandum? Tentu itu mustahil. Para wali dan para Nabi semuanya sudah berkata bahwa balasan bagi kebaikan adalah kebaikan, dan balasan dari keburukan adalah keburukan.

 
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya dia juga akan melihat (balasan) nya.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)



161
 
Fihi Ma Fihi

Jika yang kamu maksud adalah hukum azali seperti yang baru saja aku jelaskan, maka ia sama sekali tak akan pernah berubah. Kita belindung kepada Allah! Tapi jika yang kamu maksud adalah balasan kebaikan dan keburukan yang bertambah dan berubah, artinya setiap kamu menambah kebaikan, maka akan bertambah pula balasan kebaikan tersebut, dan sebaliknya jika kamu terus menimbun pundi-pundi keburukanmu, maka akan lebih banyak keburukan yang akan menunggumu, maka tentu saja ini akan terus berubah sesuai kadarnya. Yang jelas, asal hukum itu tidak pernah berubah.
Salah seorang yang menyangkal bertanya: “Terkadang kita melihat orang yang menderita menjadi sangat bahagia, dan orang yang sangat bahagia menjadi begitu menderita?”
Maulana Rumi menjawab, “Ya, orang yang menderita itu kemudian berbuat kebaikan, atau berpikir untuk melakukan kebaikan, maka jadilah ia orang yang bahagia. Sementara orang bahagia yang kamu sebutkan tadi menjadi menderita karena ia kemudian melakukan keburukan-keburukan, maka berubahlah ia menjadi orang yang menderita. Seperti Iblis yang menentang Adam sembari berkata:

 
“Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad: 76)



162
 
Fihi Ma Fihi

Setelah menjadi guru bagi para malaikat, ia dikutuk selamanya dan diusir dari hadapan-Nya. Dari kasus ini kita juga bisa mengatakan: “Balasan kebaikan adalah kebaikan dan balasan keburukan adalah keburukan.”
Orang yang lain bertanya, “Seorang laki-laki yang bernazar untuk berpuasa. Jika kemudian ia tidak berpuasa, apakah ia dikenai kafarat (denda) atau tidak?”
Maulana Rumi menjawab, “Dalam mazhab Imam Sya ’i disebutkan bahwa ia dikenai kafarat karena nazar merupakan bagian dari sumpah. Sementara setiap orang yang melakukan sumpah palsu, maka ia akan dikenai kafarat. Sedangkan dalam mazhab Imam Abu Hanifah, nazar tidak berarti sumpah, sehingga orang yang tidak menjalankan nazar tidak dikenai kafarat.
Sumpah itu sendiri terbagi menjadi dua: Mutlaq dan Muqayyad. Sumpah Mutlaq itu seperti ucapan: “Aku harus berpuasa hari ini.” Sedangkan sumpah Muqayyad itu seperti ucapan: “Aku harus melakukan begini jika Fulan datang.”
Maulana Rumi menambahkan, “Seseorang kehilangan keledainya. Kemudian ia berpuasa selama tiga hari dengan niatan mengharap dapat menemukan keledainya kembali. Setelah tiga hari, ia benar-benar menemukan keledainya namun dalam kondisi sudah menjadi bangkai. Orang itu bersedih. Dalam kesedihannya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sembari berkata, “Jika aku tidak makan selama enam hari dari Bulan Ramadan sebagai ganti dari



163
 
Fihi Ma Fihi

puasaku selama tiga hari, maka aku bukanlah manusia, dan kamu tidak akan dapat menaruh kepercayaan lagi kepadaku.”
Seseorang bertanya, “Apakah arti dari penghormatan, selawat, dan pujian terhadap Nabi?
Maulana Rumi  menjawab,  “Ini  berarti  bahwa  ibadah, pengabdian, dan rasa hormat itu bukanlah berasal dari kita, karena kita tidak cukup memiliki daya untuk melakukannya. Pada hakikatnya, penghormatan, selawat, dan pujian terhadap Nabi itu semuanya adalah untuk Allah dan bukan untuk kita, semuanya dari Allah dan semuanya adalah milik Allah. Seperti pada saat musim semi, di mana orang-orang bercocok tanam, mereka keluar ke jalanan, bepergian, dan membangun. Ini semua adalah anugerah dan hadiah-hadiah dari musim semi. Sebab jika tidak, maka mereka akan tetap seperti dulu, berada di dalam rumah dan di gua-gua. Dari sini, kita bisa memahami bahwa hasil cocok tanam, kesenangan, dan kenikmatan ini berasal dari musim semi. Ia adalah induk dari kesenangan-kesenangan, dan pemilik hadiah-hadiah itu.
Para manusia hanya melihat pada sebab, mereka menganggap bahwa hasil itu muncul karena adanya sebab-sebab itu. Di hadapan para wali, sebab tidak lebih hanya sekedar selubung yang menutupi musababnya. Seperti halnya seseorang yang berbicara di belakang sebuah tirai.
Orang-orang menyangka bahwa tirai itu dapat berbicara, mereka tidak mengerti bahwa sebenarnya tirai itu tidak berfungsi apa- apa selain sebagai selubung. Ketika orang tersebut keluar dari tabir

164
 
Fihi Ma Fihi

itu, barulah ia mengerti bahwa tabir itu hanyalah alat. Para wali Allah melihat tindakan-tindakan yang dilakukan di balik sebab sehingga semua menjadi tampak dengan jelas. Seperti seekor unta yang keluar dari balik gunung, seperti tongkat Nabi Musa yang bertransformasi menjadi ular, dan seperti dua belas sumber mata air yang mengalir dari batu yang keras. Seperti Nabi Muhammad Saw. yang memecah bulan tanpa bantuan alat apapun, seperti Nabi Adam yang datang ke dunia tanpa ayah serta ibu dan Nabi Isa yang juga datang tanpa ibu, seperti berseminya mawar dan bunga-bunga lainnya dari api yang memandikan Nabi Ibrahim, dan demikian seterusnya.
Dengan begitu, ketika mereka melihat sesuatu, mereka mengerti bahwa sebab hanyalah merupakan media, sementara penyebab utamanya bukanlah sebab itu sendiri. Sebab-sebab hanyalah sampul agar orang-orang mau berpikir.
Allah berjanji pada Nabi Zakaria untuk mengaruniainya seorang anak. Zakaria kemudian berseru: “Aku dan istriku sudah sangat tua. Alat syahwatku telah lemah, dan istriku tidak lagi subur. Ya Allah, dari istri seperti itukah Engkau hendak mengaruniaiku seorang anak?”

 
“Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku sudah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?” (QS. Ali ‘Imran: 40)



165
 
Fihi Ma Fihi

Datang sebuah jawaban: “Sadarlah Zakaria, kamu telah kehilangan ujung dari tali itu. Aku telah menunjukkan padamu seratus ribu kali bahwa semua itu tidak memiliki penyebab. Kamu benar-benar telah melupakannya, kamu lupa bahwa sebab hanyalah media. Sungguh Aku mampu, saat ini juga, memberimu seratus ribu anak tanpa perantaraan istri dan tanpa mengandung. Jika Aku memberikan satu isyarat, semua orang akan tumbuh menjadi dewasa semuanya. Bukankah Aku yang telah menciptakanmu di dunia roh tanpa ibu dan ayah?—bukankah kamu sudah rasakan keramahan dan pertolongan-Ku sebelum kamu datang ke dunia ini?—Mengapa kamu melupakan semua itu?”
Semua Nabi, wali, dan manusia lainnya, yang baik maupun yang buruk, dapat dijadikan sebagai contoh sesuai dengan tingkat kedudukan dan esensi yang mereka miliki. Para budak dari negeri ka r dibawa ke negeri Islam, kemudian dijual. Sebagian dibawa saat berusia lima tahun, ada juga yang sepuluh hingga lima belas tahun. Semuanya masih anak-anak. Karena mereka dididik bertahun-tahun bersama orang-orang Islam hingga menjadi tua, mereka benar-benar lupa akan kondisi yang ada di negerinya dahulu, dan tidak ada satu pun yang mereka ingat. Sementara para budak yang dibawa ketika berusia sedikit lebih tua dari masa kanak-kanak, mereka sedikit banyak akan mengingat yang ada di negerinya dahulu. Jika yang dibawa jauh lebih tua lagi, maka tentunya akan lebih banyak yang ia ingat. Seperti halnya para roh di dunia sana, tepat di hadapan Tuhannya, ketika Ia ber rman:




166
 
Fihi Ma Fihi


 

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami).” (QS. al-A’raf: 172)


Makanan-makanan roh itu adalah kalam Tuhan, yang tak berhuruf dan bersuara. Ketika mereka lahir ke dunia ini sebagai bayi, kemudian mendengar kalam itu, mereka tidak dapat mengingat apapun yang sudah terjadi sebelumnya di dunia roh. Mereka merasa aneh dengan kalam ini. Itulah sekelompak manusia yang tertutup dari Tuhannya, mereka tenggelam dalam keka ran dan kesesatan. Sementara sebagian orang yang masih memiliki sedikit ingatan, memendam rindu yang membara dalam hati mereka untuk kembali ke dunia roh itu. Mereka itulah orang-orang yang beriman. Beberapa dari mereka justru mendengar kalam itu, lalu tampak dengan jelas dalam pandangan mereka akan keadaan-keadaan masa lalu yang ada di masa roh dahulu. Semua tabir tersingkap dari mereka dan bergabung dengan kesatuan itu. Mereka adalah golongan para Nabi dan wali.
Sekarang, aku akan berikan petuah kepada kekasih-kekasihku dengan sungguh-sungguh. Ketika mempelai perempuan makna menampakkan diri di hadapan kalian dan rahasia-rahasia mereka tersingkap, berhati-hatilah, jangan kamu ceritakan ini pada orang asing, jangan kamu jelaskan apa yang kamu saksikan pada orang lain, dan jangan ceritakan pada siapapun kata-kataku ini: “Jangan berikan kebijaksanaan pada orang yang tidak layak untuk menerimanya, karena

167
 
Fihi Ma Fihi

ia kelak akan menzalimimu. Jangan kamu simpan kebijaksanaan dari orang yang layak menerimanya, karena itu berarti kamu telah menzaliminya.”1 Jika seorang perempuan cantik dan layak dipuja menyerahkan dirinya kepadamu secara pribadi di rumahmu, sembari berkata, “Jangan tunjukkan diriku pada orang lain, karena aku adalah milikmu,” maka apakah boleh dan layak bagimu untuk mempertontonkannya di pasar-pasar, dan kamu berkata pada semua orang, “Ayo kesini, lihatlah si cantik ini!” Tentu perempuan cantik itu tidak akan menerimanya. Ia akan pergi pada orang lain dan marah kepadamu. Allah telah menjadikan kata-kata ini haram bagi sebagian orang. Seperti halnya para ahli neraka Jahanam yang mengemis-ngemis kepada ahli surga, seraya berkata, “Sekarang, di mana kedermawanan dan keluhuran hatimu?—sulitkah bagimu jika kamu alirkan sedikit saja kepada kami anugerah dan hadiah-hadiah yang sudah diberikan oleh Allah SWT sebagai bentuk sedekah dan perbuatan baik?”
Dalam cangkir kedermawanan, terdapat porsi untuk bumi.2





 
1    Kalimat ini berasal dari ucapan Nabi Isa as., akan tetapi dengan redaksi yang berbeda-beda.
2    Potongan bait yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali, Juz 4, halaman 71. Adapun redaksi lengkapnya adalah sebagai berikut (pengarang bait ini tidak diketahui):
Kami meneguk minuman yang baik milik orang baik — Ternyata beginilah manisnya minuman orang-orang baik
Kami minum lalu sisanya kami tuangkan ke bumi — Dalam cangkir kedermawanan, terdapat porsi untuk bumi.

168
 
Fihi Ma Fihi

Kami terbakar dan meleleh dalam panasnya api neraka ini. Tidakkah sulit bagimu untuk memberikan sedikit dari buah-buahan itu, atau kau tuangkan ke dalam tubuh kami satu atau dua tetes air surga yang segar?

 

 

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “ Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.” Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang ka r.” (QS. al- A’raf: 50)


Penghuni surga menjawab, “Allah mengharamkan itu semua untukmu. Benih-benih kenikmatan ini berada di dunia. Karena di dunia kamu tidak menabur dan menyemai benih iman, kejujuran, dan amal kebajikan, lantas apa yang akan kalian panen di sini? Bahkan sekalipun kami berikan sedikit kenikmatan ini sebagai bentuk kedermawanan kami pada kerongkonganmu yang terbakar, niscaya tak sedikit pun dari nikmat ini yang akan sampai di perutmu, sebab Allah telah mengharamkannya pada kalian. Meski nikmat itu kamu letakkan ke dalam karung-karung besar, karung itu akan sobek dan nikmat itu akan jatuh darinya.



169
 
Fihi Ma Fihi

Sekelompok orang muna k datang kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka menceritakan rahasia-rahasia dan melayangkan pujian kepada beliau. Nabi Muhammad berkata kepada para sabahatnya dengan menggunakan simbol, “Khamarkanlah wadah-wadah kalian!” Maksudnya, karena ada barang-barang kotor dan beracun (celoteh orang-orang muna k), maka tutuplah erat-erat mangkuk, cangkir, periuk, ceret, dan kendi kalian agar ia tidak terjatuh ke dalam wadah- wadah kalian, yang kemudian tanpa diketahui kalian meminumnya dan lantas teracuni. Melalui gambaran ini, Rasulullah mengajak para sahabat untuk menyembunyikan hikmah dari orang-orang muna k, untuk menutup mulut mereka dan berhenti berbicara, karena mereka adalah tikus-tikus yang sama sekali tidak pantas memperoleh hikmah dan kenikmatan ini.
Maulana Rumi  berkata, “Amir yang  baru saja  pergi  dari hadapanku itu, meskipun ia tidak mengerti secara detail, tapi secara umum ia sudah memahaminya, bahwa aku mengajaknya ke jalan Tuhan. Cara memohonnya yang amat santun, anggukan kepalanya, cinta dan kerinduannya yang mendalam, menunjukkan bahwa ia memang sudah paham. Ya, orang desa ini datang ke kota untuk mendengar kumandang azan salat, meskipun ia tidak memahami azan itu secara detail, tapi secara umum ia mengerti maksud dan artinya.”

Pasal 16 Siapa Yang Melihatnya, Berarti Ia Sudah Melihat-Ku

MAULANA Rumi berkata, “Semua yang dicintai itu cantik, tapi tidak semua yang cantik itu dicintai.” Cantik adalah bagian dari sifat sesuatu yang kita cintai, dan sifat sesuatu yang kita cintai itulah asalnya. Ketika seseorang dicintai, maka orang itu akan menjadi cantik di mata orang yang mencintainya; bagian dari sesuatu tidak akan terpisah dari keseluruhannya, sesuatu yang melekat pada bentuk keseluruhannya.
Pada saat Majnun masih hidup, ada banyak sekali perempuan yang lebih cantik daripada Laila, akan tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang dicintai oleh Majnun.
Mereka berkata kepada Majnun, “Ada banyak perempuan yang lebih cantik daripada Laila, kami akan membawakan beberapa
 
Fihi Ma Fihi

kepadamu.” Majnun menjawab, “Silakan saja, tapi aku tidak mencintai Laila dari bentuk luarnya, dan Laila bukanlah bentuk luar. Ia laksana cangkir yang ada dalam genggaman tanganku, yang mana dari cangkir itulah aku meneguk anggur. Aku jatuh cinta pada anggur itu. Mata mereka hanya bisa melihat cangkir itu, tapi tidak tahu bahwa di dalamnya ada anggur. Jika aku memiliki sebuah cangkir emas bertatahkan mutiara tapi berisi cuka atau cairan lainnya, apa gunanya cangkir itu buatku? Bagiku, sebuah labu tua yang sudah usang tapi di dalamnya terdapat anggur akan jauh lebih baik ketimbang seratus cangkir itu.
Seorang manusia baru boleh mencinta dan merindu setelah mengetahui anggur itu, dan menjauhkan cangkir, tempat anggur itu, dari pandangan hatinya. Ini seperti dua orang yang melihat seiris roti, di mana orang yang pertama dalam kondisi kelaparan karena belum makan apapun selama sepuluh hari, sementara orang yang kedua dalam kondisi kekenyangan karena makan lima kali dalam sehari. Orang yang kenyang hanya melihat roti itu, sementara yang lapar melihat esensi yang ada di dalam roti itu. Roti itu bagaikan cangkir, dan kelezatan yang ada di dalamnya seperti anggur di dalam cangkir. Anggur tidak dapat terlihat kecuali dengan mata hasrat yang kuat dan kerinduan yang mendalam. Raihlah dua hal itu agar kamu tak menjadi orang yang hanya melihat bentuknya, tapi juga bisa melihat yang kau cinta di setiap wujud dan tempat.
Semua bentuk ciptaan Allah itu laksana cangkir. Ilmu, seni, dan pengetahuan adalah inskripsi di atas cangkir itu. Tidakkah kau

172
 
Fihi Ma Fihi

mengerti bahwa ketika cangkir-cangkir itu jatuh dan pecah, maka inskripsi itu juga akan hilang? Anggur adalah sesuatu yang berada di dalam cangkir itu, dan barangsiapa yang meminumnya maka ia akan melihat: “Amalan-amalan yang kekal lagi saleh. [QS. al-Kah : 46]”
Orang yang bertanya terlebih dahulu harus menyadari dua hal: Pertama, ia harus percaya bahwa ada yang keliru dalam ucapannya dan ada sesuatu yang berbeda. Kedua, ia harus sadar bahwa selama ini ada perkataan dan hikmah lain yang lebih baik dari miliknya, tapi ia tidak mengetahui hal itu. Itulah maksud dari ucapan: “Bertanya adalah setengah dari pengetahuan.”
Setiap orang berpaling pada orang lainnya, dan mereka semua sedang mencari Allah. Dalam asa inilah mereka menghabiskan umur mereka. Akan tetapi, di dalam keributan ini, pasti ada seseorang yang istimewa yang mengetahui siapa yang terpilih. Di tubuhnya terdapat bekas pukulan tongkat sang raja hingga akhirnya ia menyatakan dan percaya bahwa hanya ada satu Tuhan.
Seorang baru bisa dikatakan ‘tenggelam dalam air’ ketika air yang menenggelamkannya, bukan ia yang menenggelamkan diri ke dalam air.
Orang yang berenang dan tenggelam sama-sama berada di dalam air; perbedaannya adalah orang yang tenggelam dibawa oleh air, sementara orang yang berenang mengontrol air itu dengan kekuatannya dan bergerak sesuka hatinya. Semua gerakan, perbuatan dan perkataan yang berasal dari orang yang tenggelam sejatinya berasal dari air. Dalam hal ini, ia hanya merupakan alat. Seperti saat

173
 
Fihi Ma Fihi

kamu mendengar kata-kata dari dinding, kamu pasti tahu bahwa kata-kata itu tidak berasal dari dinding, akan tetapi ada Wujud yang membuat dinding itu berbicara.
Para wali tak berbeda dengan perumpamaan ini. Mereka sudah mati sebelum mati. Mereka bergerak mengikuti gerakan pintu dan dinding, tidak ada sehelai rambut pun yang tersisa dari diri mereka. Di tangan kekuasaan, mereka seperti perisai, dan gerakan perisai itu bukan berasal dari dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan “Akulah Allah.”
Perisai itu berkata, “Aku sama sekali tidak ada. Gerakan ini berasal dari Tuhan. Lihatlah perisai ini sebagai Tuhan dan janganlah kamu berseteru dengan Tuhan, sebab orang-orang yang memukul perisai ini berarti ia menyatakan perang dengan Tuhan. Dari masa Nabi Adam hingga saat ini, kamu sudah banyak mendengar tentang orang-orang yang menyatakan perang dengan Allah—seperti Fir’aun, Syaddad, Namrud, kaum ‘Ad, kaum Luth, dan kaum Tsamud— tanpa henti. Perisai itu tetap berdiri sampai hari kiamat, masa demi masa. Satu waktu berbentuk Nabi dan di waktu lain dalam wujud wali, hingga akhirnya dapat dibedakan antara orang-orang yang bertakwa dari orang-orang yang durhaka, dan antara para musuh dari para wali.
Setiap wali adalah bukti Allah bagi manusia. Tingkatan dan maqam manusia disesuaikan dengan derajat hubungan mereka dengan para wali tersebut. Jika mereka memusuhi para wali, berarti mereka memusuhi Allah. Sementara jika mereka membenarkan para wali, berarti mereka membenarkan Allah. Inilah arti dari ungkapan:

174
 
Fihi Ma Fihi

“Siapa saja yang melihatnya, berarti ia telah melihat-Ku. Siapa saja yang mencarinya, berarti ia sedang mencari-Ku.”1
Para hamba Allah adalah mahram dari tempat suci Allah. Seperti Allah yang memotong semua urat yang membuat para hamba menjauh dari-Nya dan lebih memilih mendekati syahwat, dan semua benih pengkhianatan, maka ia pasti menjadi pangeran di muka bumi dan begitu intim dengan misteri-misteri karena:“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. [QS. al-Waqi’ah: 79]”
Maulana Rumi berkata: “Jika orang tersebut memalingkan punggungnya pada kuburan para wali dan orang-orang besar, sesungguhnya ia tidak melakukan hal tersebut lantaran ingkar atau sebagai bentuk kelalaian, melainkan karena ia memalingkan wajahnya kepada roh (esensi) para wali. Perkataan yang keluar dari mulutku ini adalah roh mereka. Memalingkan punggung dari jasad dan menghadapkannya kepada roh tentu bukanlah sesuatu yang merugikan.
Sudah menjadi tabiatku bahwa aku tidak menginginkan hati manapun bersedih karena diriku. Di tengah-tengah perkumpulan, terkadang sekelompok orang menghambur kepadaku, tetapi beberapa kekasihku mengusir mereka. Itu tidak menyenangkanku. Telah kukatakan ratusan kali, “Jangan katakan apapun atas namaku, karena aku rela akan hal itu.” Ketika teman-temanku datang kepadaku

 
1    Tampaknya perkataan ini dinukil dari kata-kata Abu Yazid al-Busthomi saat mendeskripsikan “mi’raj”-nya: “Barang siapa yang melihatmu, berarti ia melihat- ku, Siapa yang menginginkanmu, ia menginginkanku.” Lihat Risalat an-Nur yang dipublikasikan oleh Abdurrahman Badawi dengan judul Syathahat ash-Shu yah, hlm 139.

175
 
Fihi Ma Fihi

dan aku takut akan membosankan mereka, maka aku membacakan puisi untuk menyenangkan mereka. Jika tidak, apa perlunya aku menggubah puisi? Demi Allah, aku tidak peduli pada puisi. Di mataku, tidak ada yang lebih buruk dari puisi. Tapi justru itu menjadi kewajiban buatku; seperti halnya tuan rumah yang memasukkan tangannya ke dalam periuk berisi makanan untuk menjaga nafsu makan sang tamu, maka hal itu menjadi wajib untukku.
Seorang pedagang mencoba untuk melihat barang apa yang dibutuhkan dan yang ingin dibeli oleh orang-orang di sebuah kota. Itu barang yang akan dibeli dan itu barang yang akan dijual, meskipun barang-barang itu harganya murah. Banyak ilmu telah kupelajari, banyak orang menderita yang telah kutemui, agar aku dapat menunjukkan hal-hal yang indah, luar biasa, dan detail kepada para cendekiawan, para muhaqqiq, orang-orang pandai, dan para pemikir yang datang kepadaku. Allah SWT telah menghendaki hal ini. Dia mengumpulkan semua ilmu itu beserta rasa sakit yang terkandung di dalamnya untukku sehingga aku menjadi sibuk dengan pekerjaan ini. Apa yang bisa aku lakukan? Di kotaku ini, di antara semua penduduk yang ada di sini, tidak ada yang lebih rendah kedudukannya ketimbang puisi.
Jika aku tinggal di tempat ini, maka aku harus hidup sesuai dengan adat-istiadat penduduk dan mempraktikkan sesuatu yang mereka suka, seperti memberikan pelajaran, mengarang buku, dan saling mengingatkan dan menasehati, berlaku zuhud, dan melakukan perkara-perkara yang tampak.



176
 
Fihi Ma Fihi

Amir berkata padaku: “Akar masalahnya adalah tindakan.” Maulana Rumi menjawab: “Di mana orang-orang yang melakukan tidakan dan yang mencari tindakan itu, sehingga aku bisa menunjukkan kepada mereka sebuah tindakan? Sekarang, kamu mencari kata-kata dan memiringkan telingamu agar bisa mendengar sesuatu. Jika aku tidak berbicara, maka kau akan bosan. Jadilah para pencari tindakan agar aku dapat menunjukkan sebuah tindakan kepadamu! Aku sedang mencari murid tindakan (orang yang melakukan tindakan) di dunia ini untuk mengajarkan tentang tindakan kepadanya. Karena aku tidak menemukan murid tindakan dan hanya menemukan murid perkataan, maka kusibukkan diriku dengan berkata-kata. Apa gunanya kamu mengetahui tindakan itu apa, kalau kamu tidak bertindak? Tidak mungkin mengetahui tindakan tanpa bertindak. Tak mungkin bisa memahami ilmu kecuali dengan ilmu, bentuk dengan bentuk, dan makna dengan makna. Tidak ada seorang pejalan pun yang di jalanan sepi ini, bagaimana seseorang bisa tahu kalau kita berada di jalan tindakan yang benar?
Kesimpulannya, tindakan itu bukanlah salat dan bukan puasa. Keduanya adalah aksiden dari tindakan, sementara tindakan itu sendiri berada di hati. Bagaimanapun, sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw., salat dan puasa telah berubah bentuk, tetapi tidakannya selalu sama. Semua itu adalah aksiden dari tindakan, sementara tindakan itu berada dalam diri manusia. Seperti ketika kamu berkata, “Obat itu bekerja (bertindak).” Tentu yang dimaksud di sini bukanlah aksiden dari tindakan, melainkan esensi dari tindakan. Ketika seseorang mengatakan, “Lelaki itu bekerja (bertindak) di kota sebagai...;” orang itu tidak sedang melihat

177
 
Fihi Ma Fihi

aksidennya (jenis pekerjaannya), tetapi sedang mengajak orang yang diajak bicara untuk bekerja mengikuti pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh lelaki tersebut.
Tindakan tidak seperti apa yang dipahami oleh kebanyakan orang. Mereka beranggapan bahwa tindakan adalah sebuah aksiden. Jika memang demikian, mengapa jika seorang muna k melakukan tindakan itu (shalat dan puasa), ia tidak akan memperoleh manfaat apa-apa? Itu disebabkan karena makna (esensi) dari kejujuran dan iman tidak ada dalam aksiden itu.
Prinsip rahasia dari segala sesuatu adalah ucapan dan kata-kata. Kamu belum benar-benar mengetahui ucapan dan kata-kata itu, dan karenanya kamu menganggapnya tidak penting. Bagaimanapun, ucapan adalah buah dari pohon tindakan. Karena kata-kata dilahirkan dari tindakan. Allah SWT menciptakan dunia dengan kata-kata: “Jadi, maka jadilah.”
Iman itu terletak di hati. Tetapi jika kamu tidak menyatakannya dengan ucapan, maka ia tidak akan berarti apa-apa. Salat adalah serangkaian tindakan, tapi jika kamu tidak membaca al-Qur’an dalam prosesinya, maka salatmu akan batal. Jika kamu berkata, “Saat ini, kata-kata tidak perlu lagi dipertimbangkan,” bukankah pernyataan ini ini juga disampaikan melalui kata-kata? Jika kata-kata memang tidak perlu dipertimbangkan, lantas bagaimana kita bisa mendengar pernyataan itu darimu? Intinya adalah bahwa kamu mengatakan hal itu juga dengan kata-kata.



178
 
Fihi Ma Fihi

Seseorang bertanya: “Ketika kita melakukan kebaikan dan beramal saleh, lantas kita memupuk harapan kepada Allah agar Dia memberikan ganjaran yang setimpal, apakah itu buruk untuk kita?
Maulana Rumi menjawab: “Demi Allah, sudah sepatutnya bagi manusia untuk selalu memiliki harapan. Iman itu sendiri terdiri atas rasa takut dan harapan.”
Seseorang pernah menanyaiku: “Harapan itu baik, tapi apa gunanya rasa takut ini?” Aku menjawab: “Tunjukkan padaku rasa takut tanpa harapan, atau harapan tanpa rasa takut. Selama keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, kenapa kamu menanyakan pertanyaan semacam itu?” Sebagai contoh, jika seseorang menanam benih gandum, tentu ia berharap bahwa suatu saat ia akan memanen gandum itu. Di saat yang sama, ia juga takut ada penyakit atau hama yang akan membuatnya gagal panen. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak ada harapan tanpa adanya rasa takut. Kita bahkan tidak mungkin bisa membayangkan harapan tanpa rasa takut atau sebaliknya. Jika seseorang memupuk harapan akan balasan atas kebaikan yang sudah ilakukannya, bukan tidak mungkin ia akan menjadi lebih giat dan rajin di dalam melakukan pekerjaan tersebut. Harapan itu seperti menjadi sayap baginya, di mana semakin kuat lambaian sayapnya maka ia akan terbang semakin tinggi. Sementara jika ia berputus asa, ia akan menjadi malas. Ia tak akan melakukan apa-apa lagi. Seperti orang sakit yang meneguk obat yang pahit dan meninggalkan puluhan makanan lezat; jika ia tidak mengharapkan sehat, bagaimana bisa ia tahan meneguk obat yang pahit itu?



179
 
Fihi Ma Fihi

“Manusia adalah hewan yang berbicara.” Manusia terdiri atas dua hal, hewan dan berbicara. Seperti halnya hewan yang selalu ada dalam diri manusia, begitu juga dengan berbicara. Jika manusia tampak tidak berbicara dengan mulutnya, berarti ia berbicara dalam batinnya. Ia berbicara secara konstan. Jika hal ini dibandingkan dengan banjir, maka air yang jernih diserupakan dengan berbicara, sementara tanah yang bercampur dengan air itu adalah sifat kehewanannya; tetapi tanah itu bukan sifat asli dari air. Tidakkah kamu melihat bahwa tanah-tanah itu terpisah dan hilang dari air, sedangkan ucapan, cerita, dan pengetahuan mereka yang baik dan yang buruk masih tetap tinggal?
Pemilik hati adalah keseluruhan. Jika kamu telah melihatnya, berarti kamu telah melihat keseluruhan. “Hewan buruan itu semuanya ada di dalam perut keledai.” Semua makhluk yang ada di bumi adalah bagian-bagian dari pemilik hati, ia adalah bagian dari keseluruhan.
Seluruh manusia, yang baik maupun yang buruk, adalah bagian dari para darwis
Siapa saja yang tidak memiliki hati, dia tidak seperti para darwis itu.2



Sekarang, jika kamu sudah melihat dia yang sudah menjadi bagian dari keseluruhan, maka tentu kamu sudah melihat seluruh dunia. Siapa saja yang kamu lihat setelah itu hanyalah bentuk

 
2    Bait ini adalah potongan puisi dari kumpulan ghazal (puisi cinta)-nya Maulana Jalaluddin Rumi.

180
 
Fihi Ma Fihi

pengulangan, sebab ucapan-ucapan mereka sudah terkandung dalam perkataan keseluruhan. Ketika kamu sudah mendengar perkataan mereka, semua yang kamu dengar setelah itu hanya sebuah gema: “Maka barang siapa yang melihatnya di suatu tempat, maka seolah-olah ia telah melihat semua manusia dan semua tempat.”
Seperti kata seorang penyair:

Wahai kamu yang menjadi salinan sejati dari kitab Tuhan, Wahai kamu yang menjadi cermin keindahan sang Raja, Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang keluar dari dirimu,
Maka mintalah semua yang kamu inginkan dari dalam dirimu, dan berteriaklah: “Inilah aku!”

Pasal 17 Manusia Adalah Kombinasi Malaikat Dan Binatang

AMIR berkata: “Orang-orang ka r menyembah berhala dan bersujud di hadapannya. Sekarang kita juga melakukan hal yang sama. Kita pergi dan bersujud kepada bangsa Mongol serta melayani mereka. Kita juga menganggap mereka sebagai Muslim. Jauh di dalam hati kita, juga terdapat banyak sekali berhala seperti sifat tamak, nafsu, dendam, dengki, yang semuanya kita patuhi. Demikianlah kita berperilaku, secara lahir maupun batin. Lantas kita menganggap diri kita sebagai seorang Muslim!”
Maulana Rumi berkata: “Tetapi di sini ada sesuatu yang berbeda. Dalam pikiranmu terlintas satu pandangan bahwa perilaku semacam itu (tamak, nafsu, dendam, dengki, dan lain-lain) sungguh jahat dan benar-benar menjijikkan. Mata hatimu telah melihat sesuatu yang agung yang menunjukkan bahwa perilaku-perilaku itu
 
Fihi Ma Fihi

adalah buruk dan keji. Air asin menunjukkan keasinannya kepada orang yang sudah meneguk air manis, dan “segala sesuatu akan menjadi lebih jelas lewat kebalikan-kebalikannya.” Oleh karena itu, Allah SWT menanamkan cahaya keimanan dalam jiwa-jiwa kalian sehingga kalian bisa melihat perbuatan-perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang tercela.
Ringkasnya, sebagai oposisi dari keindahan, keburukan menjadi tampak. Namun karena orang lain tidak bisa merasakan rasa sakit ini, maka mereka sangat berbahagia dengan kondisi mereka sekarang, seraya berkata: “Ini sungguh indah.”
Allah akan menganugerahkan apa yang kamu minta. Sejauhmana semangatmu, sejauh itulah kamu akan mendapatkan apa yang kamu minta. “Burung terbang dengan kedua sayapnya, dan orang Mukmin terbang dengan semangat yang dimilikinya.”
Makhluk Allah terbagi ke dalam tiga jenis: Pertama, adalah malaikat. Mereka hanya memfokuskan diri secara murni pada ibadah. Ketaatan, ibadah, dan zikir adalah sifat dan makanan mereka. Mereka makan dan hidup dengan semua esensi itu. Seperti ikan yang hidup di dalam air, alas dan bantal mereka adalah air. Malaikat tidak memiliki nafsu karena mereka tidak dikaruniai syahwat sehingga mereka suci darinya. Lantas apa yang mereka peroleh dari tidak memiliki nafsu di dalam jiwa? Karena mereka suci dari nafsu, maka tentu saja tidak ada usaha bagi mereka untuk melepaskan diri dari hawa nafsu. Ketika mereka menaati apa yang Allah perintahkan, maka hal itu tidak lagi disebut sebagai sebuah ketaatan, sebab ketaatan adalah sifat mereka, mereka juga tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk tidak taat.

184
 
Fihi Ma Fihi

Jenis yang kedua adalah binatang, yang mana di dalam dirinya hanya ada nafsu belaka. Mereka tidak memiliki akal yang dapat mencegah mereka dari hawa nafsunya. Mereka juga tidak dibebani tanggungjawab apapun.
Adapun jenis yang ketiga adalah manusia yang lemah. Mereka memiliki akal dan juga hawa nafsu. Setengah dari dirinya adalah malaikat, dan setengahnya yang lain adalah binatang. Setengah ular, setengah ikan. (Dalam Bahasa Persi,   ). Ikan menarik dirinya ke lautan, sementara ular menarik dirinya ke daratan. Mereka selalu berada dalam pergulatan dan peperangan. “Barang siapa yang akalnya mengalahkan hawa nafsunya, maka ia lebih mulia dari malaikat, dan siapa yang hawa nafsunya mengalahkan akalnya, maka ia lebih rendah daripada binatang.”1
Malaikat selamat karena pengetahuannya, binatang selamat karena ketidakpeduliannya

 

itu.
 
Dan anak cucu Adam akan selalu bersengketa tentang dua hal
 

Sebagian anak Adam lebih memilih untuk mengikuti akalnya ketimbang hawa nafsunya sehingga mereka sampai pada tingkat malaikat dan Cahaya murni. Mereka ini adalah para Nabi dan wali. Mereka telah terbebas dari kungkungan rasa takut dan harapan. Karena itulah, “Maka tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. al-Baqarah: 38]”

 
1    Maulana Rumi berpendapat bahwa pernyataan ini adalah hadis Nabi, semen- tara beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa pernyataan ini adalah ucapan Sayyidina Ali bin Abi   alib. Adapun yang benar adalah pendapat yang kedua.

185
 
Fihi Ma Fihi

Adapun sebagian yang lain lebih memilih untuk memenangkan hawa nafsunya ketimbang akal, sehingga mereka benar-benar menjadi seperti binatang. Sedangkan sisanya masih terus dalam pergulatan antara hawa nafsu dan akal. Mereka adalah sekelompok orang yang dalam diri mereka berbaur perasaan gelisah, sakit, sedih, menderita, dan tidak puas dengan hidup yang mereka jalani. Mereka adalah orang-orang Mukmin yang ditunggu oleh para wali untuk membawa mereka kembali ke tempat asal mereka, untuk membuat mereka seperti para wali itu. Di tempat lain, mereka juga ditunggu oleh para setan yang akan menyeret mereka ke tempat yang paling rendah, dan dijadikan sebagai kolega mereka.
Kita menginginkannya, yang lainnya juga menginginkannya. Lantas siapakah yang akan beruntung? Adalah dia yang menjadi kekasih dari kemujuran!


Allah SWT ber rman:


                     

 
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada- Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.” (QS. an- Nashr: 1-3)


186
 
Fihi Ma Fihi

Para mufasir mazhab Zahiri (tekstual) menginterpretasikan surat ini sebagai berikut: Nabi Muhammad Saw.. memiliki semangat yang tinggi, beliau berkata: “Akan aku membuat semua manusia di bumi menjadi Muslim dan aku akan membuat mereka berada di jalan Allah.”
Ketika merasa maut sudah mendekat, beliau berkata, “Ah, bukankah aku dilahirkan untuk mengajak manusia ke jalan Allah?” Allah SWT menjawab: “Jangan bersedih. Ketika waktu kepergianmu telah tiba, semua wilayah dan kota yang hendak kamu taklukkan dengan bala tentara dan hunusan pedang ini akan Aku jadikan semuanya tunduk dan beriman tanpa bala tentara dan pedang. Tanda ini kelak akan datang menjelang ajalmu tiba, kamu akan melihat mereka memasuki pintu-pintu-Ku dengan berbondong-bondong dan menjadi Muslim. Ketika kamu melihat tanda ini, ketahuilah bahwa waktu keberangkatanmu telah tiba. Saat itu, bertasbih dan beristighfarlah! Karena kamu akan tiba di sana.”
Sementara para muhaqqiq (ahli tahkik) berkata: “Sesungguhnya makna surat ini adalah bahwa manusia menganggap bahwa diri mereka mampu membuang sifat-sifat tercela dengan ilmu dan usaha mereka. Kemudian ketika mereka berjuang dan mengerahkan seluruh kekuatan serta menggunakan segala cara, mereka menjadi berputus asa. Pada saat itu, Allah ber rman: “Kamu anggap mampu meraih tujuan itu dengan kekuatan, usaha, dan tindakanmu. Inilah sunah yang telah Aku tetapkan: Semua yang kamu miliki, belanjakanlah di jalan-Ku, niscaya anugerah-Ku akan memancar padamu. Allah memerintahkan kepadamu untuk menyusuri jalanan yang tak berujung ini dengan kedua tangan dan kakimu. Sudah barang tentu Aku tahu

187
 
Fihi Ma Fihi

bahwa kamu tidak akan mampu menembus jalanan ini dengan kedua kaki lemahmu itu, bahkan selama ratusan ribu tahun pun kamu tidak akan mampu melewati satu tempat pun dari jalan ini. Akan tetapi, jika kamu terus berjalan hingga terjatuh dan pingsan, dan tanpa kekuatan yang tersisa lagi dalam tubuhmu untuk melanjutkan perjalanan, maka pada saat itulah pertolongan Allah akan datang.”
“Seperti anak kecil, setelah lahir ia digendong dengan kedua tangan ibunya, lalu setelah tumbuh besar ia dibiarkan untuk berjalan di atas kedua kakinya sendiri. Sekarang, ketika tidak ada sedikit pun kekuatan yang tersisa dalam dirimu—di mana dulu kamu terus mengerahkan semua kekuatan yang kamu miliki, saat tidur maupun terjaga—akan Kutunjukkan kepadamu sebuah kelembutan yang darinya kamu akan mendapatkan kekuatan sehingga kamu bisa mencari-Ku dengan penuh harap. Demikianlah, ketika sudah tidak ada lagi cara yang bisa kamu gunakan, maka lihatlah anugerah, hadiah, dan pertolongan-Ku ini. Ketika orang-orang datang kepadamu dengan berbondong-bondong, padahal tidak ada satu pun dari mereka yang kamu lihat ketika kamu mengerahkan seratus ribu tentara, “maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.”
Beristighfarlah kamu karena pikiran dan pradugamu itu. Kamu tidak akan menyangka bahwa impianmu tidak terwujud dengan tangan dan kakimu, ternyata Aku-lah yang mewujudkan impian itu. Sekarang, setelah kamu menyadari bahwa Aku-lah yang mewujudkan semua itu, beristighfarlah kamu kepada Allah karena “Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.”


188
 
Fihi Ma Fihi

Aku tidak mencintai Amir karena pertimbangan-pertimbangan duniawi, martabat, ilmu, atau perbuatannya. Orang lain mencintainya karena semua hal ini. Mereka tidak melihat wajah Amir, melainkan melihat punggungnya. Amir bagaikan cermin dengan mutiara-mutiara berharga dan sepuhan emas di punggung cermin itu. Mereka yang menyukai emas dan mutiara akan melihat punggung cermin ini. Sementara mereka yang menyukai cermin, akan melihat ke depan cermin dan tidak akan melihat mutiara dan emas yang ada di punggung cermin. Mereka menyukai cermin karena ia adalah cermin, karena mereka melihat ada keindahan luar biasa dan tidak membosankan di dalam cermin itu. Orang yang berwajah buruk dan beraib hanya akan melihat keburukan di dalam cermin itu, sehingga ia akan segera memalingkan mukanya dari cermin itu dan beralih mencari perhiasan-perhiasan tadi. Lalu, apa yang melukai cermin itu jika di punggungnya diukir dengan seribu ukiran dari mutiara dan disepuh dengan emas?
Allah SWT menyusun manusia dari dua partikel; kemanusiaan dan kehewanan. “Segala sesuatu akan menjadi jelas dengan kebalikan- kebalikannya.” Adalah mustahil bagi kita untuk mengetahui sesuatu tanpa mau mengetahui kebalikannya. Tetapi Allah tidak memiliki kebalikan, maka Allah ber rman: “Aku adalah gudang yang tersembunyi, Aku ingin diketahui.”2  Untuk itulah maka Allah

 
2    Hadis Qudsi yang masyhur, para ahli taSaw.uf menggunakan hadis ini dalam banyak karangannya. Pengarang kitab al-Lu’lu’ al-Marshu’ berkata bahwa hadis tersebut, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibn Taymiyyah dan kemudian diikuti oleh Az-Zarkasyi dan Ibnu Hajar, bukan termasuk hadis Nabi, dan  tidak diketahui apakah ada sanad shahih maupun daif yang menyebutkan hadis tersebut atau tidak. Akan tetapi maknanya adalah benar dan jelas. Hadis ini selalu berotasi di kalangan para su . (Al-Lu’lu’ al-Marshu’, hlm. 61. Dinukil dari
catatan kaki terakhir dalam komentar Bedîuzzaman Forouzanfar dalam kitab ini yang berbahasa Persi, Tahqiq Forouzanfar, hlm. 293).

189
 
Fihi Ma Fihi

menciptakan dunia ini dari kegelapan agar menampakkan cahaya- Nya. Demikian juga Dia menciptakan para Nabi dan wali sembari berkata pada mereka semua, “Pergilah dengan semua sifat-Ku kepada semua makhluk-Ku!” Mereka adalah penunjuk kepada cahaya Tuhan, agar tampak orang yang tulus dari yang muna k, agar dapat dibedakan antara kerabat dari orang asing. Esensi itu tidak memiliki kebalikan, sehingga untuk bisa melihatnya adalah dengan cara melihat pada bentuknya. Seperti halnya kebalikan dari Nabi Adam adalah Iblis, kebalikan Nabi Musa adalah Fir’aun, kebalikan Nabi Ibrahim adalah Namrud, kebalikan Nabi Muhammad Saw.. adalah Abu Jahal, dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, melalui perantaraan para wali, akan tampak musuh-musuh Allah, meskipun secara esensi Allah tak memiliki musuh. Melalui permusuhan dan perlawanan, amal perbuatan mereka menjadi tampak. Allah ber rman: “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang ka r membencinya. [QS. ash-Sha : 8]”
Seperti kata seorang penyair:

Bulan menampakkan cahayanya, sementara anjing menggonggong.
Apa kesalahan bulan, jika memang kebiasaan anjing begitu?
Dari bulan itu, cahaya menerangi tiap sudut langit Apa yang dilakukan anjing itu dalam keheningan di bumi?







190
 
Fihi Ma Fihi

Ada banyak sekali manusia yang disiksa oleh Tuhannya dengan kenikmatan, harta, emas, dan kekuasaan, lantas jiwa-jiwa mereka kabur dari kemegahan dunia itu. Seorang fakir melihat Amir yang kaya raya lagi dermawan di tanah Arab, di atas dahi sang Amir itu ia melihat cahaya para Nabi dan wali, ia kemudian berkata: “Maha Suci Allah yang menyiksa para hamba-Nya dengan berbagai kenikmatan.”

Pasal 18 Setetes Air Dari Hari Alastu

IBNU Muqri membaca al-Qur’an dengan benar. Ya, dia melantunkan aksiden al-Qur’an dengan benar, tetapi dia tidak mengetahui maknanya. Buktinya adalah dia tidak bisa menjawab ketika ditanya tentang maknanya. Ia membaca tanpa melihatnya. Dia seperti seseorang yang menggenggam cerpelai, kemudian ada orang lain yang menawarkan cerpelai yang lebih bagus dari miliknya, tapi ia menolaknya.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya orang tersebut tidak tahu apa-apa tentang cerpelai. Orang lain berkata padanya: “Ini adalah cerpelai,” lalu ia serta merta mengambilnya karena ikut-ikutan saja. Seperti anak-anak yang bermain dengan buah kenari, ketika mereka disuguhkan buah kenari atau minyak kenari itu, mereka akan menolak sambil berkata: “Kenari itu yang
 
Fihi Ma Fihi

bunyinya kertak-kertuk. Benda ini tidak bersuara, apalagi berbunyi kertak-kertuk.” Gudang-gudang Allah itu sangat banyak, begitu juga dengan ilmu-ilmu-Nya. Jika seseorang membaca al-Qur’an itu dengan ilmu, lantas kenapa ia menolak al-Qur’an yang lain?
Kutegaskan lagi pada para pembaca al-Qur’an bahwa Allah telah ber rman:

 

 

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat- kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. al-Kah : 109)


Sekarang, dengan tinta seharga lima puluh dirham, seseorang sudah bisa menyalin seluruh isi al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri hanyalah sebagian kecil dari simbol ilmu Allah, karena semua ilmu adalah milik Allah, tidak hanya yang tertulis dalam mushaf al-Qur’an saja. Seorang ahli obat meletakkan sedikit obat di atas secarik kertas. Kamu kemudian berkata: “Semua obat-obatan yang dimiliki oleh ahli obat ada di atas secarik kertas ini.” Perkataan seperti itu tentu amat bodoh dan menggelikan. Di zaman Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi-Nabi lainnya, sudah ada al-Qur’an. Kalam Allah sudah ada kala itu, hanya saja tidak dalam bahasa Arab. Kutegaskan hal ini pada para


194
 
Fihi Ma Fihi

pembaca al-Qur’an dengan cara demikian, tapi aku melihat semua itu tidak berbekas sama sekali pada mereka, jadi kutinggalkan saja mereka.
Dikisahkan bahwa di zaman Nabi Muhammad Saw., siapa saja sahabat yang mampu menghafal satu atau setengah surat al-Qur’an dalam hati, maka dia disebut sebagai orang yang hebat dan orang- orang akan mengatakan: “Ia menghapal satu surat al-Qur’an,” karena ia telah ‘menelan’ al-Qur’an. Seseorang yang bisa menelan satu atau sepotong roti tentu merupakan pekerjaan yang hebat. Akan tetapi orang-orang yang mampu meletakkan roti di dalam mulut mereka tanpa mengunyahnya dan malah memuntahkannya lagi, maka ia akan mampu memakan ribuan ton roti dengan cara seperti itu.
Oleh karena itu dikatakan bahwa, “Banyak orang yang membaca al-Qur’an, tetapi justru al-Qur’an mengutuknya.” Tentu yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak memperhatikan makna al- Qur’an itu sendiri.
Meski demikian, hanya membaca al-Qur’an saja juga tetap merupakan sebuah kebaikan. Sekelompok orang ditutup matanya oleh Allah dengan ketidaksadaran sehingga mereka memakmurkan dunia ini. Jika mereka semua dianugerahi kesadaran terhadap dunia lain di sana, maka tentu dunia ini tidak akan makmur sama sekali. Ketidaksadaran itulah yang menyebabkan kemajuan di bumi ini. Coba pikirkan masa kanak-kanak kita dahulu. Dari ketidaksadaran itu kita menjadi besar dan tumbuh tinggi, namun ketika pertumbuhan akal ini telah mencapat kesempurnaan, pertumbuhan kita terhenti.


195
 
Fihi Ma Fihi

Jadi, penyebab pertumbuhan dan kemajuan di bumi ini adalah ketidaksadaran itu, dan penyebab kerusakan dan kemusnahan adalah kesadaran.
Apa yang aku katakan ini tidak akan keluar kecuali karena dua hal: Aku mengatakan semua ini karena cemburu, atau aku mengatakannya karena rasa kasihan. Aku berlindung kepada Allah dari kecemburuan di hatiku. Sayang sekali jika kita harus cemburu pada seseorang yang memang layak untuk dicemburui, tapi bagaimana jika kita cemburu pada mereka yang tidak layak untuk dicemburui? Tidak, aku mengatakan semua ini karena rasa kasihan dan kasih sayangku yang begitu besar pada kalian, karena aku berharap bisa membawa kalian ke dalam muara makna yang sesungguhnya.
Dikisahkan pada suatu hari ada seorang jamaah haji memasuki daerah gurun pasir. Di sana, ia merasa kehausan. Sampai akhirnya ia melihat ada sebuah tenda kecil yang sudah koyak di kejauhan. Ia pun berjalan ke arah tenda itu. Ketika ia melihat seorang perempuan, ia berteriak: “Aku adalah tamu! Aku telah mencapai tujuanku!” orang itu pun masuk, duduk, dan meminta air. Pemilik tenda memberinya minuman yang lebih panas dari api dan lebih asin dari garam. Air itu membakar semua yang dilewatinya, dari bibir hingga kerongkongannya. Rasa haru orang itu membuatnya ingin menasihati gadis itu sebagai tanda terima kasih.
“Karena kebaikan yang telah kamu berikan kepadaku, sekarang aku berhutang padamu.” Kata orang itu. “Kasih sayang telah meluap dalam diriku, jadi perhatikan baik-baik apa yang akan aku ucapkan padamu. Lihatlah, Baghdad sudah dekat dari di sini,

196
 
Fihi Ma Fihi

begitu juga dengan Kufah, Wasith, dan juga kota lainnya. Jika kamu tidak sanggup melanjutkan perjalanan, kamu bisa berhenti dan beristirahat di sana dan di sana, dan berputar balik dari satu tempat ke tempat lainnya sampai kamu sampai ke tempat itu. Di sana ada banyak minuman yang manis dan dingin, berbagai jenis makanan, bak mandi, berbagai kenikmatan dan perhiasan.” Orang itu terus menyebutkan kemegahan-kemegahan yang ada di kota itu.
Sesaat kemudian, datang seorang Badui yang tidak lain adalah suami dari perempuan itu. Dia sudah menangkap sekeranjang tikus gurun, lalu meminta sang istri untuk memasaknya. Sang tuan rumah juga menyuguhkan beberapa kepada sang tamu, yang dimakan oleh lelaki itu dengan perasaan jijik. Setelah itu, di tengah malam, sang tamu tidur di luar tenda. Perempuan itu berkata kepada suaminya: “Apa kamu tidak pernah mendengar semua kisah yang diceritakan oleh tamu kita itu?” Dia pun menceritakan semua yang diceritakan tamu tadi pada suaminya. Badui itu menjawab: “Istriku, jangan kamu dengarkan apapun dari tamu kita ini. Ada banyak sekali orang yang cemburu di dunia ini. Ketika mereka melihat orang lain hidup dalam kebahagiaan dan kesenangan, mereka cemburu padanya dan ingin mengusir mereka dari tempat tinggalnya dan menjerumuskan mereka pada kehidupan yang menyedihkan.”
Sebagian orang mirip seperti orang Badui ini. Ketika orang menasihatinya karena perasaan sayang kepada orang lain, ia justru menyebutnya sebagai pencemburu. Namun, jika seseorang memiliki akar yang kuat dalam hatinya, pada akhirnya, ia akan memalingkan wajahnya kepada kebenaran. Ketika setetes air dari

197
 
Fihi Ma Fihi

Hari Alastu (Perjanjian Awal) dipercikkan kepadanya, kelak tetes air itu akan membebaskannya dari kebingungan dan kesedihan. Maka, kemarilah! Sampai kapan kamu akan jauh dariku dan menjadi orang asing? Sampai kapan kamu akan diliputi oleh kebingungan dan kesedihan? Apa yang harus kita katakan pada orang yang belum pernah mendengar cerita-cerita tersebut, bahkan dari guru mereka sendiri?
Seorang penyair pernah berkata:

Karena keagungan tak pernah melingkupi nenek moyang mereka,
Mereka juga tidak akan mampu mendengar sesuatu dari orang-orang yang agung.


Meskipun berhadapan dengan esensi tidaklah menarik pada awalnya, tapi jika ia terus mengikutinya, maka ia akan menjadi semakin manis. Ini berlawanan dengan aksiden yang membuat kita terpesona pada awalnya, tapi semakin lama kita berhadapan dengannya, ia akan menjadi semakin dingin. Apalah artinya bentuk al-Qur’an  jika  dibandingkan  dengan  maknanya?—bayangkan seorang manusia; apalah artinya bentuk dibanding dengan esensi orang tersebut?—Jika bentuk dari manusia itu terlepas dari dirinya, kita tidak akan melepaskannya dari tempat ia berada barang sejenak.
Maulana Syamsuddin, semoga Allah menyucikan jiwanya, pernah bercerita: Suatu ketika ada sebuah ka lah besar yang sedang berjalan menuju suatu tempat. Sepanjang perjalanan, mereka tidak menemukan tanda-tanda adanya pemukiman dan sumber mata air.

198
 
Fihi Ma Fihi

Tiba-tiba mereka sampai di depan sebuah sumur yang tidak ada timbanya. Mereka pun mengambil sebuah ceret dan tali secukupnya kemudian menurunkannya ke dalam sumur. Saat mereka menarik tali itu, ceret yang diikat tali itu pecah. Mereka mengambil ceret lainnya dan kembali dimasukkan ke dalam sumur, tapi lagi-lagi ceret itu pecah. Setelah itu, mereka mengikat beberapa orang dengan seutas tali untuk diturunkan ke dalam sumur, tetapi mereka juga tak kunjung keluar dari sumur gelap itu. Kemudian ada seorang pandai berkata, “Aku akan turun.” Mereka pun menurunkannya. Ketika hampir mendekati dasar sumur, tiba-tiba laki-laki itu melihat sesosok makhluk hitam yang menakutkan muncul dihadapannya.
“Aku tidak akan melarikan diri, tapi setidaknya biarkan aku menjaga akalku dan tidak kehilangan kesadaranku sehingga aku bisa melihat apa yang akan terjadi,” Kata laki-laki itu.
“Jangan banyak bicara. Kamu adalah tawananku, dan kamu tidak akan selamat kecuali kamu bisa memberikan jawaban yang benar. Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkanmu,” Jawab sosok hitam itu.
“Silakan, tanya saja,” timpal laki-laki itu.

“Tempat mana yang paling baik di muka bumi ini?” sosok itu bertanya.
“Aku hanyalah seorang tawanan dan makhluk lemah di hadapannya. Jika aku menjawab Baghdad atau kota lainnya, mungkin aku menghina kampung halamannya,” laki-laki itu membatin. Kemudian ia pun berkata dengan suara lantang, “Tempat yang paling baik untuk ditinggali adalah tempat di mana pun kita bisa merasa

199
 
Fihi Ma Fihi

nyaman di dalamnya. Meskipun tempat itu berada di perut bumi atau di lubang tikus, maka itu adalah tempat yang terbaik.”
“Benar, jawabanmu benar,” kata sosok hitam itu. “Sekarang kamu selamat. Kamu adalah satu-satunya dari sejuta orang. Sekarang aku akan melepaskanmu, dan akan kubebaskan yang lainnya demi kamu. Mulai sekarang aku tidak akan menumpahkan darah lagi. Akan aku limpahkan anugerah berupa sumur ini pada semua orang karena cintaku padamu.”
Sosok hitam mengerikan itu pun memberikan banyak air agar bisa diminum oleh rombongan ka lah tersebut.
Tujuan dari kisah ini terkandung dalam maknanya. Kita bisa mengatakan makna yang sama dengan bentuk yang lain. Tetapi orang-orang yang ikut-ikutan akan berpegang pada bentuk itu sendiri. Akan sulit untuk berbicara dengan mereka, meski kamu menceritakan tentang makna kisah ini dalam bentuk yang lain, mereka tetap tidak akan mendengarnya.

Pasal 19 Yang Terpenting Adalah Tujuannya
MAULANA Rumi berkata: “Orang-orang berkata kepada Tajuddin Quba’i bahwa para ulama itu berada di antara mereka dan memisahkan orang-orang dari keyakinan agama mereka.” Tajuddin menjawab: “Tidak mungkin para ulama datang di tengah-tengah kita dan memisahkan kita dari keyakinan agama kita. Akan tetapi, semoga Allah tidak membiarkan orang-orang yang demikian menjadi bagian dari kita. Jika misalnya kamu memasang kalung dari emas di leher seekor anjing, maka kamu tidak bisa serta merta menyebutnya sebagai anjing pemburu karena kalung itu. Sifat sebagai pemburu adalah hal yang spesi k dari seekor hewan, terlepas dari apakah itu memakai kalung emas atau kain wol.”
Seseorang tidak bisa serta merta menjadi cendekiawan lantaran ia mengenakan jubah dan serban. Esensi dari sifat kecendekiawanan
 
Fihi Ma Fihi

yang ada dalam dirinyalah yang menjadikannya sebagai seorang cendekiawan. Entah ia mengenakan penutup kepala atau jubah, tidak akan merubah apapun.
Demikian juga  yang  terjadi  pada  orang-orang  muna k  di zaman Rasulullah Saw.. yang hendak memutus jalan agama. Mereka mengenakan pakaian salat agar bisa mencabut keimanan dari dalam hati umat Islam; mereka mengenakan pakaian salat itu agar dirinya tampak seperti seorang Muslim. jika seorang Kristen dan Yahudi mengkritik agama Islam, siapa yang akan mendengarkan mereka?

                            

 

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. al-Ma’un: 4-7)


Ini hanyalah kata-kata: Kamu sudah menaklukkan cahaya itu tetapi kamu belum meraih sisi kemanusiaanmu. Gapailah sisi kemanusiaan itu karena itu adalah tujuan sejatimu. Adapun yang lainnya hanyalah perluasan darinya. Ketika kata-kata diukir terlalu panjang dan rumit, tujuan mereka akan menjadi terlupakan.
Seorang pedagang jatuh cinta pada seorang perempuan, ia pun mengirimkan beberapa pucuk surat lewat pelayannya. “Aku begini, aku begitu. Aku jatuh cinta, aku terbakar, benakku tak pernah

202
 
Fihi Ma Fihi

tenang, kegelapan menimpaku, kemarin aku begini. Semalam juga terjadi ini dan itu padaku.” Ia bercerita secara panjang lebar. Pelayan itu datang pada perempuan yang dituju dan berkata, “Pedagang itu mengirimkan salam kepadamu dan berkata, ‘Datanglah padaku agar aku bisa melakukan ini dan itu padamu.’ Perempuan itu berkata, “Sedemikian apatiskah dia?” Pelayan itu berkata, “Sebenarnya ia mengatakan secara panjang lebar, tapi maksud dia sebenarnya adalah itu. Yang terpenting adalah tujuannya, sementara sisanya hanya akan membuatmu pusing.”

Pasal 20 Berlayar Mengarungi Wujud Manusia

MAULANA Rumi berkata: “Siang dan malam kamu terus berperang, berharap akan mampu memperbaiki akhlak seorang perempuan dan menyucikan amal perbuatannya melalui dirimu. Akan lebih baik kiranya kalau kamu memperbaiki akhlakmu melalui dia ketimbang mencoba memperbaiki akhlaknya melalui dirimu. Ubahlah dirimu dengan perantaraan dia.”
Datanglah padanya dan terima semua yang dia katakan, sekalipun dalam pandanganmu apa yang dia ucapkan terdengar mustahil. Buanglah kecemburuan dalam dirimu meskipun cemburu adalah sifat yang melekat pada laki-laki; karena hal itu akan membuat sifat baik dan buruk dalam dirimu bersatu. Karena itulah maka Rasulullah Saw.. kemudian bersabda: “Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam.” Jalan yang ditempuh oleh para
 
Fihi Ma Fihi

pendeta adalah menyendiri, menjauh dari keramaian di gunung, menghindari perempuan, dan meninggalkan dunia. Allah SWT sudah menunjukkan jalan yang lurus dan tersembunyi pada Nabi Muhammad Saw.. Apa jalan itu? Yaitu menikah, sehingga kamu bisa memikul ketidakadilannya, mendengarkan berbagai kemustahilan darinya, bisa menjalani kerasnya hidup bersamanya, dan bisa mengubah akhlakmu menjadi jernih.

 

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. al-Qalam: 4)


Dengan memikul ketidakadilannya, itu sama halnya kamu menghapus ketidaksucianmu padanya. Kesabaran akan memperbaiki akhlakmu, sementara akhlaknya akan memburuk dengan penguasaan dan agresi tasnya. Jika kamu sudah memahami ini, sucikan dirimu. Ketahuilah bahwa mereka bagaikan pakaian bagimu, melalui mereka, kamu bisa menyucikan dirimu. Jika dengan cara ini tak berhasil, bermusyawarahlah dengan dirimu sendiri melalui akal yang kamu miliki seperti ini: “Biarkan aku menganggap bahwa kita tidak pernah menikah. Ia adalah pelacur. Setiap aku diliputi oleh hawa nafsu, aku akan pergi kepadanya.” Cara ini akan melindungimu dari sifat agresif dan cemburu sehingga kamu akan merasakan indahnya berjuang dan memikul, dan karena kemustahilan mereka sendirilah berbagai hal akan tersingkap dengan jelas di hadapannya. Setelah itu, tanpa perlu bermusyawarah lagi, kamu akan langsung bersedia

206
 
Fihi Ma Fihi

untuk menanggung kesalahannya, berjuang demi dirinya, dan menaklukkan jiwanya yang penuh dengan kesalahan. Saat kamu melihat itu semua, ada keuntungan-keuntungan yang secara khusus akan kamu dapatkan.
Dikisahkan bahwa pada suatu malam, Rasulullah Saw.. kembali bersama para sahabat dari sebuah serangan. Beliau memerintahkan mereka untuk menabuh genderang, seraya berkata: “Malam ini kita akan tidur di gerbang kota, dan memasuki kota keesokan harinya.” Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, untuk apa kita melakukan itu?” Beliau bersabda: “Barangkali kamu akan melihat istrimu sedang bersama lelaki asing, lalu kamu akan sakit hati dan terjadi perselisihan di antara kalian.” Salah seorang sahabat tidak mendengar ucapan Rasulullah itu. Ia kemudian memasuki kota dan melihat istrinya sedang bersama pria asing.
Inti dari cara Rasulullah Saw.. ini adalah bahwa kamu harus mampu memikul rasa sakit, menyingkirkan kecemburuan dan agresi tas, beban dalam menafkahi dan memberi pakaian pada istri, serta ribuan kepedihan lainnya yang tak berkesudahan. Inilah “dunia Muhammad.” Cara yang ditempuh Nabi Isa as. adalah dengan bergelut dalam kesendirian dan menundukkan hawa nafsu, sedangkan cara yang ditempuh Rasulullah Saw.. adalah dengan memikul ketidakadilan dan penderitaan yang terjadi di antara mereka berdua. Jika kamu tidak bisa menerapkan cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, setidaknya pakailah cara yang digunakan oleh Nabi Isa as., agar kamu tidak sepenuhnya berada di luar jalan spiritual. Jika kamu memiliki ketenangan, maka kamu akan mampu

207
 
Fihi Ma Fihi

menentramkan hatimu untuk memikul seratus pukulan, dan kamu juga akan menemukan buah dan hasilnya, atau kamu akan percaya hatimu yang tersebunyi bahwa sesuatu “akan terjadi sesuai dengan yang mereka katakan dan kabarkan, dan aku akan bersabar hingga tiba waktunya berada di tempat yang banyak diceritakan orang.”
Kemudian kamu akan melihat, karena kamu mencurahkan hatimu tentang hal ini, dan berkata, “Meski saat ini aku tidak mendapat hasil apapun dari penderitaan ini, pada akhirnya nanti aku akan sampai ke gudang-gudang itu.” Kamu akan sampai ke gudang- gudang itu, ya, bahkan lebih dari yang kamu ingin dan harapkan. Jika sekarang kata-kata ini belum memberikan pengaruh padamu, maka suatu saat nanti kata-kata ini akan memberikan pengaruh yang besar padamu. Itu akan terjadi ketika kamu menjadi lebih dewasa. Itulah perbedaan antara perempuan dan cendekiawan. Entah kamu mau mengajak perempuan berbicara atau tidak, mereka masih akan tetap sama dan tidak akan mengubah tabiat dan wataknya. Kata-katamu tidak akan berpengaruh apapun pada mereka, bahkan mungkin akan menjadi lebih buruk.
Sebagai contoh, ambillah seiris roti dan letakkan di bawah ketiakmu, dan jangan berikan pada orang lain, katakanlah: “Aku tidak akan pernah memberikan roti ini kepada siapapun. Kenapa harus aku berikan? Aku bahkan tidak akan menunjukkannya.” Sekalipun roti itu dibuang di depan pintu, belum tentu anjing akan memakannya karena begitu berlimpah dan murahnya roti itu. Tapi ketika kamu mulai melarang orang lain untuk mendapatkannya, maka semua orang akan mulai menginginkan roti itu, mereka

208
 
Fihi Ma Fihi

akan memancangkan hatinya untuk roti itu, dan mereka menjadi sangat berhasrat pada roti itu, “Kami ingin melihat roti yang kamu sembunyikan dan kamu larang untuk kami miliki itu.” Terlebih lagi kalau kamu simpan roti itu untuk waktu yang sangat lama di lengan bajumu, sambil kamu lebih-lebihkan dan tegaskan bahwa kamu tidak akan memberikan dan menunjukkannya pada siapapun, maka rasa ingin tahu mereka kepada roti ini akan menembus ambang batas kewajaran, karena “Manusia sangat berhasrat pada sesuatu yang dilarang.”
Semakin kamu memerintahkan perempuan, “Tetap sembunyikan dirimu,” maka ia akan semakin bersikeras untuk memperlihatkan dirinya dan semakin bersikeras juga orang lain untuk melihat perempuan itu karena hijab yang menutupinya. Maka kamu duduk di tengah dan hasratmu bertambah pada dua hal yang berbeda, dan kamu menganggap dirimu benar. Itu adalah pandangan yang salah. Jika dalam diri mereka terdapat jiwa yang bisa mencegah mereka untuk tidak berbuat jahat, maka hasilnya akan sama saja apakah kamu mau mencegahnya atau tidak, mereka akan tetap berjalan sesuai dengan tabiat baik dan watak sucinya. Jadi, kosongkanlah pikiranmu dari kegelisahan dan kesedihan. Jika tidak begitu, maka kamu akan sama saja seperti mereka. Yang terjadi bukanlah kamu mencegahnya untuk berbuat jahat, tapi justru kamu memperbesar hasratnya untuk dilihat orang lain.
Orang-orang tetap berkata: “Kami telah melihat Syamsuddin Tabrizi, Tuanku! Sungguh kami telah melihatnya.”



209
 
Fihi Ma Fihi

“Hei bodoh, di mana kamu melihatnya?” Orang yang tidak bisa melihat seekor unta di atap rumahnya sendiri, datang dan berkata: “Aku melihat sebuah jarum dan memasukkan benang ke dalamnya.” Apa yang dikatakan orang itu sama bagusnya dengan apa yang diucapkanolehoranglainyangberkata:“Adaduahalyangmembuatku tertawa: orang negro yang mewarnai ujung-ujung jemarinya dengan tinta hitam dan orang buta yang bisa mengeluarkan kepalanya dari jendela.” Keduanya sama persis dengan cerita di atas. Orang yang buta mata hatinya, mengeluarkan kepala mereka dari jendela raga yang materil. Apa yang akan mereka lihat? Anggukan atau gelengan kepala? Bagi orang yang berakal, keduanya sama saja, apakah mereka melihat anggukan ataupun gelengan, semua yang mereka katakan tetaplah omong kosong.
Pertama-tama seseorang harus memiliki pandangan hati, setelah itu barulah ia dapat melihat. Jika ia tidak memiliki pandangan hati, lantas bagaimana ia bisa melihat sesuatu yang tersembunyi?
Di dunia ini, ada banyak wali yang sudah mencapai tingkatan kemanunggalan, sementara wali-wali lainnya berada di belakang mereka, yang disebut “Wali Allah yang Terselubung.” Para wali yang pertama selalu memohon dengan sungguh-sungguh: “Ya Tuhan, tunjukkan pada kami salah satu wali-Mu yang Terselubung.” Selama mereka tidak benar-benar ingin, atau selama Wali yang Terselubung itu tidak ingin dilihat, meskipun wali itu memiliki mata yang sangat tajam, mereka tidak akan mampu melihatnya. Seperti para pelacur yang tidak boleh melihat satu orang pelanggan pun, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan mereka atau menemuinya. Bagaimana

210
 
Fihi Ma Fihi

bisa seseorang melihat Wali yang Terselubung atau mengetahuinya tanpa mereka kehendaki?
Ini bukanlah perkara yang mudah. Para malaikat berkata:

 
“Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. al-Baqarah: 30)


“Kami juga para pecinta, rohaniawan, dan cahaya sejati. Sedangkan mereka para manusia, hanyalah sekumpulan orang rakus yang gemar membunuh, mereka akan selalu menumpahkan darah.” Ini semua dikarenakan manusia gemetaran oleh adanya malaikat yang merupakan rohaniawan, yang tak memiliki nafsu pada harta, martabat, dan tidak tertutup oleh selubung. Mereka adalah cahaya sejati yang mewakili keindahan Tuhan, mereka adalah pecinta sejati, pemilik mata yang tajam yang mampu melihat dari jarak yang sangat jauh. Antara mengingkari dan mengakui realitas tersebut, dengan gemetaran manusia bertanya: “Oh, siapa aku? Apa yang aku tahu? Demikian pula jika ada seberkas cahaya yang menyinari wajahnya dan ia merasa sangat senang, maka ia akan bersyukur seribu kali sambil berkata: “Bagaimana aku bisa layak mendapatkan semua ini?”
Sekali lagi, kamu akan mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan ketimbang perkataan Syamsuddin. Karena pelayaran mengarungi wujud manusia adalah cita-cita kita. Ketika ada pelayaran, maka angin akan membawa kapal itu ke suatu tempat

211
 
Fihi Ma Fihi

yang agung. Tapi ketika tidak ada pelayaran, maka semua perkataan itu hanyalah hembusan angin belaka.
Alangkah indahnya hubungan antara pecinta dan yang dicintanya, tidak ada paksaan di antara mereka bedua. Kalaupun ada paksaan, maka hal itu dilakukan demi yang lain. Semua hal selain cinta adalah haram baginya.
Aku bisa menjelaskan ucapan ini secara panjang lebar, tapi sayangnya tidak ada waktu lagi. Seseorang harus berjuang keras dan menggali sungai agar bisa sampai ke telaga hati. Akan tetapi orang-orang itu menjadi bosan, atau orang yang berkata itu yang bosan dan mengajukan beragam alasan. Jika tidak, maka orang yang berbicara tidak akan membiarkan pendengarnya melepaskan diri dari kebosanan yang tak bermakna itu.
Siapapuntidakbisamemintaseorangpecintauntukmemberikan bukti tentang keindahan orang yang dicintanya. Siapapun juga tidak akan mampu menunjukkan bukti di hati pecinta tentang keburukan orang yang dicintanya. Dengan demikian, bukti tidak berguna di sini. Di sini, manusia harus menjadi pencari cinta. Jika dalam bait ini aku melebih-lebihkan keadaan pecinta, maka itu bukan merupakan bentuk yang sebenarnya. Aku juga melihat bahwa seorang murid hendaknya menanggalkan seluruh tujuan (makna)-nya demi bentuk guru mereka.
Wahai engkau yang bentuknya lebih indah dari seratus makna




212
 
Fihi Ma Fihi

Hal itu dikarenakan semua murid yang datang kepada gurunya harus melepaskan diri dari semua tujuan (makna) yang dimilikinya, untuk masuk ke dalam kebutuhan gurunya itu.
Bahauddin melemparkan pertanyaan: “Tentu saja murid tidak menanggalkan tujuan mereka karena bentuk gurunya, tetapi demi tujuan gurunya?”
Maulana Rumi menjawab: “Malasahnya tidak seperti itu. Jika kondisinya demikian, maka keduanya akan menjadi guru. Sekarang kamu harus berjuang agar bisa mencapai cahaya di dalam dirimu, agar kau bisa selamat dan mengamankan diri dari api kebingunan- kebingungan ini. Jika seseorang bisa menemukan cahaya semacam ini di dalam dirinya, maka seluruh kemegahan dunia seperti pangkat, kehormatan dan jabatan akan melewati batinnya seperti kilatan cahaya. Ini sama dengan orang-orang yang berkepentingan terhadap dunia sehingga beragam kemegahan dari dunia lain di sana, seperti rasa takut kepada Allah dan rindu kepada dunia para wali, hanya akan menyinari hati mereka untuk sesaat lalu melesat seperti kilat. Ahlul Haq (para pengikut kebenaran) adalah milik Allah. Wajah mereka menghadap ke arah-Nya. Mereka sibuk dengan Allah dan tenggelam ke dalam diri-Nya. Bagi mereka, nafsu-nafsu dunia itu ibarat nafsunya orang yang impoten, tidak pernah tinggal lama dan hanya lewat dengan cepat. Ini berbanding terbalik dengan yang terjadi pada Ahlu al-Dunya.[]

LihatTutupKomentar