Dari Jihad Aksi Menuju Jihad Pikiran
Nama kitab: Terjemah Fihi Ma Fihi Mengarungi Samudera Kebijaksanaan Jalaluddin Rumi
Judul kitab asal: (فيه ما فيه)
Penulis: Jalaluddin Rumi (جلال الدين الرومي)
Nama lengkap: Muhammad Jalal al-Din Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qounawy
Nama lengkap dalam bahasa Arab: مُحَمَّد بن مُحَمَّد بن حُسَيْنَ بَهَاءٌ الدِّين البَلَخي الْبَكْرِيّ
Lahir: Balkh, Afghanistan, 1260 M / 658 H
Asal: Balkh, Afghanistan
Wafat: Konya, Türkiye, 672 H/ 1273 M (usia 66 tahun)
Bidang studi: Tasawuf, sufisme
Daftar isi
- Pasal 11. Tunjukkan Segala Sesuatu Padaku Apa Adanya
- Pasal 12. Kita Kembali Dari Jihad Aksiden Menuju Jihad Pikiran
- Pasal 13. Menjauhlah Dari Tujuan Mereka
- Pasal 14. Dari Dan Untuk Allah
- Pasal 15. Mempelai Perempuan Rahasia
- Pasal 16. Siapa Yang Melihatnya, Berarti Ia Sudah Melihat-Ku
- Pasal 17. Manusia Adalah Kombinasi Malaikat Dan Binatang
- Pasal 18. Setetes Air Dari Hari Alastu
- Pasal 19. Yang Terpenting Adalah Tujuannya
- Pasal 20. Berlayar Mengarungi Wujud Manusia
- Kembali ke: Terjemah Fihi Ma Fihi Jalaludin Rumi
Pasal 11 Tunjukkan Segala Sesuatu Padaku Apa Adanya
PEPATAH “Hati menjadi saksi bagi hati yang lain,” mengacu pada sebuah
realitas yang tersembunyi. Jika semua realitas terungkap secara terbuka, apa
perlunya kata-kata diucapkan? Demikian juga, ketika hati sudah menjadi saksi,
lantas apa gunanya kesaksian lisan?
Wakil Amir berkata, “Sungguh, hati
dapat memberikan kesaksian. Tetapi, hati memiliki tugasnya sendiri, telinga
juga memiliki peran sendiri, mata juga demikian, dan begitu pula dengan lisan.
Dengan demikian, ada kebutuhan laten terhadap semuanya agar dapat menambah
guna.
Maulana Rumi berkata: “Jika hati bisa khusyuk secara total, maka
semua anggota badan yang lain akan gugur di dalamnya dan lisan tidak lagi
dibutuhkan lagi. Contohnya adalah Laila. Laila bukanlah sebuah sosok
spiritual, ia adalah seorang perempuan yang punya raga dan bernafas, ia
berasal dari air dan tanah. Tapi kecintaan Majnun pada Laila telah membuatnya
begitu terampas dan terkuasai sehingga ia tidak lagi membutuhkan mata untuk
melihat Laila, tidak pula membutuhkan telinga untuk mendengar suaranya. Hal
ini dikarenakan Majnun tidak merasa Laila adalah raga yang terpisah dari
dirinya, dan itulah yang membuatnya terus berteriak:
Bayanganmu dalam
pandanganku, namamu mengikat lidahku. Kenanganmu dalam hatiku, ke mana harus
kukirim kata-kata yang kurangkai ini?1
Jadi, wujud jasmaniah
memiliki satu kekuatan luar biasa yang mampu membuat asmara dalam diri manusia
memasuki sebuah keadaan di mana ia tidak melihat dirinya berada dalam raga
yang terpisah dari sang kekasih. Semua indranya terserap: penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan yang lainnya. Tak ada anggota badan yang meminta
jatah untuk dirinya sendiri dan terpisah dari yang lainnya, semua wujud
menyatu. Jika setiap indra memainkan peran mereka masing-masing sepenuhnya,
maka semuanya akan luruh dalam satu pengalaman dan tidak akan menginginkan
yang lain lagi. Jika masih ada salah satu indra yang meminta tugas terpisah
dari tugas indra lainnya, maka itu menunjukkan bahwa indra tersebut tidak
mengambil tugasnya yang hakiki dan sempurna. Indra itu mengambil tugas yang
1
Bait puisi ini ditulis oleh Husain Ibn Manshur al-Hallaj, seorang su yang
wafat pada tahun 309 M.
112
Fihi Ma Fihi
kurang,
dan dari sini bisa dipahami bahwa ia tidak benar-benar masuk ke dalam misi
itu. Sementara indra lain mulai mencari tugas mereka masing-masing, dan
semuanya menjadi terbagi.
Dari sudut pandang esensi, semua indra melihat
pada satu hal, tetapi jika dilihat dari sudut pandang bentuk luarnya,
masing-masing mereka berbeda satu sama lain. Ketika satu indra bergerak masuk
menuju kehidmatan, maka semua indra yang lain akan menyusul dan melebur di
dalamnya. Sama halnya ketika seekor lalat terbang ke atas dengan menggerakkan
sayap-sayapnya, kepalanya, dan semua anggota badannya secara terpisah, tetapi
ketika ia tenggelam ke dalam madu, maka semua anggota badannya menjadi satu
dan masing-masing tidak bergerak sama sekali.
Penenggelaman membuat orang
yang tenggelam itu menjadi tidak lagi ada di sana. Tidak ada lagi usaha yang
tersisa dan tidak ada lagi perbuatan serta gerakan. Mereka tenggelam dalam
air. Semua laku yang muncul dari dirinya bukan lagi menjadi miliknya, tapi
menjadi laku air. Jika orang itu masih bisa memukul dan menendang air itu
dengan tangan dan kakinya, maka itu bukan tenggelam namanya. Demikian juga
jika mereka berteriak, “Aku sedang tenggelam,” ini juga tidaklah disebut
tenggelam.
Ambilah ungkapan masyhur ini: “Aku adalah Allah.” Sebagian
orang mengganggap ungkapan tersebut sebuah pernyataan besar yang tak berdasar.
Tapi sebenarnya, ungkapan itu adalah wujud kerendahan hati yang besar. Karena
orang yang berkata: “Aku adalah hamba Allah,” berarti percaya akan adanya dua
eksistensi yang berbeda, dirinya sendiri dan Allah SWT. Sementara mereka
yang
113
Fihi Ma Fihi
berkata “Aku
adalah Allah,” berarti ia telah meniadakan diri dan mendamparkan dirinya pada
angin. Mereka berkata “Aku adalah Allah” berarti bahwa “Aku bukan apa-apa,
Allah adalah segalanya, tidak ada wujud kecuali diri-Nya. Aku sepenuhnya tidak
ada, aku hampa.”
Di sini, kerendahan hati adalah yang paling besar.
Inilah yang tidak dipahami oleh kebanyakan manusia. Jika seseorang
mempersembahkan ibadahnya kepada Allah untuk menghormati keagungan-Nya, maka
ibadah mereka masih tetap ada. Meskipun ini demi Allah semata, mereka masih
melihat dirinya sendiri, perbuatannya, dan juga Allah. Mereka tidak bisa
dikatakan tenggelam ke dalam air, sebab orang yang tenggelam dalam air adalah
orang yang tak lagi bergerak dan bertindak karena semua gerakannya adalah
gerakan air.
Jika ada seekor singa yang sedang memburu kijang dan kijang
itu melesat melarikan diri, maka di sini berarti ada dua eksistensi yang
tampak, singa dan kijang. Namun ketika singa itu berhasil menerkam si kijang
dan mencabik-cabik dengan cakarnya, dan karena begitu takutnya kijang pada
singa, kijang menjadi kehilangan kesadaran dan jatuh di hadapan sang raja
hutan, maka pada saat seperti ini, yang ada hanya eksistensi singa, sementara
eksistensi kijang telah terhapus dan hilang dengan sendirinya.
Penenggelaman
sejati adalah ketika Allah memberikan rasa takut kepada para wali-Nya.
Perasaan takut di sini tidak seperti rasa takut manusia kepada singa, macan,
dan pada kezaliman, melainkan rasa takut akan perpisahan dengan-Nya. Dia
menunjukkan kepada
114
Fihi Ma Fihi
mereka
bahwa rasa takut itu berasal dari Allah, sebagaimana rasa aman, kehidupan yang
damai dan kebahagian, makan, minum, dan tidur yang semuanya juga berasal dari
Allah. Dia menunjukkan kepada para wali dalam bentuk khusus yang hanya bisa
dilihat oleh mata yang awas dan terbuka, dalam bentuk singa, macan, atau api.
Dengan demikian, para wali akan segera mengetahui bahwa wujud singa dan macan
yang ia lihat itu sama sekali bukanlah wujud yang berasal dari dunia ini,
tetapi wujud dari dunia gaib. Binatang itu dibentuk dalam sebuah wujud dan
memperlihatkan keindahan yang luar biasa. Demikian juga perkebunan, sungai,
pohon, istana, makanan, minuman, jubah kehormatan, burak, kota, tempat tinggal
dan berbagai jenis keajaiban lainnya—mereka (para wali) mengetahui bahwa semua
itu bukanlah wujud dari dunia ini. Allah menampakkan dan mengungkapnya dalam
sebuah wujud khusus agar wali itu bisa melihatnya. Dengan begitu, bisa
dipahami sepenuhnya bahwa rasa takut, rasa aman, kebahagiaan, dan setiap
tampakan spiritual itu berasal dari Allah semata.
Sekarang, semakin jelas
bahwa rasa takut akan perpisahan dengan Allah ini tidak sama dengan rasa takut
yang ada dalam diri makhluk-Nya, karena rasa takut itu berasal perenungan dan
pengalaman dan bukan karena adanya dalil atau bukti. Hal itu dikarenakan Allah
SWT menunjukkannya dalam bentuk yang pasti, bahwa segala sesuatu itu berasal
dari-Nya. Bisa jadi para lsuf mengetahui hal ini, tapi mereka mengetahuinya
melalui bukti, sementara bukti itu tidak permanen. Kebahagian yang didapat
dari bukti tidaklah abadi, sehingga kamu bisa berkomentar tentang bukti itu:
“Ia menyenangkan, hangat, dan mekar.”
115
Fihi Ma
Fihi
Ketika kenangan tentang bukti itu berlalu, maka ketegangan dan
kehangatannya juga berlalu. Misalnya seseorang mengetahui dengan bukti bahwa
rumah ini dibangun oleh seorang tukang. Dengan bukti, ia juga mengetahui bahwa
tukang itu memiliki dua mata, ia tidak buta, ia memiliki kemampuan untuk
membangun suatu konstruksi bangunan, ia mampu, ia ada dan bukan tidak ada, ia
hidup dan tidak mati, sebelumnya ia juga pernah membangun rumah. Orang itu
mengetahui semuanya, tapi melalui bukti. Sementara bukti tidaklah abadi, dan
bisa dilupakan dengan sangat mudah.
Para pecinta yang melayani Tuhannya
mengetahui tukang itu, dan mereka melihatnya dengan mata keyakinan. Mereka
telah makan roti dan garam bersama-sama serta berkumpul bersama-sama. Meski
demikian, tukang itu tidak pernah menghilang dari pikiran dan pandangan
mereka. Orang-orang semacam ini fana (lebur) ke dalam Tuhannya. Bagi mereka,
dosa bukanlah dosa dan kejahatan bukanlah kejahatan. Karena mereka sudah
takluk dan menghilang ke dalam Sang Maha Benar.
Seorang raja
memerintahkan semua pelayannya agar masing- masing memegang cangkir dari emas,
untuk menyambut seorang tamu yang akan segera tiba. Sang raja juga
memerintahkan pelayan kesayangannya untuk melakukan hal serupa. Ketika sang
raja menampakkan wajahnya, pelayan kesayangan raja itu kehilangan kendali dan
tak sadarkan diri setelah melihat sang raja, cangkir pun jatuh dari tangannya
dan pecah. Ketika pelayan lain melihat kejadian itu, mereka berkata, “Mungkin
kita juga harus melakukannya,” mereka pun menjatuhkan cangkir-cangkir mereka
dengan sengaja.
116
Fihi Ma Fihi
“Mengapa
kalian melakukan hal itu?” tegur sang raja.
“Karena pelayan kesayangan
baginda melakukan hal demikian.”
Jawab mereka.
“Dasar bodoh!” teriak
raja. “Bukan dia yang melakukan hal itu, tapi aku.”
Secara kasat mata,
semua perilaku hamba itu adalah dosa. Tapi justru dosa itulah yang merupakan
bentuk ketaatan, bahkan melampaui ketataan dan perbuatan dosa. Tujuan hakiki
dari mereka semua adalah pelayan kesayangan raja itu. Para pelayan yang lain
hanyalah pengikut sang raja, dan dengan demikian berarti mereka adalah
pengikut dari pelayan kesayangan itu, karena ia sudah menjadi esensi dari sang
raja yang, meski tampilan luarnya memakai wujud budak, hatinya dipenuhi dengan
kecantikan sang raja.
Allah SWT ber rman: “Jika bukan karena engkau
(Muhammad), takakankuciptakanalamsemesta.”2 Kata “Akulah Allah” menunjukkan
wujud-Nya sendiri. Dengan demikian, ini berarti “Aku menciptakan alam semseta
karena diri-Ku sendiri.”
Inilah “Akulah Tuhan” dalam bahasa dan simbol
yang lain. Walaupun kata-kata para wali agung muncul dalam ratusan bentuk yang
berbeda, bagaimana mungkin kata-kata mereka berbeda sementara Allah itu satu
dan jalan yang ditempuh juga satu? Meskipun kata-kata itu tampak bertentangan
dalam bentuk luarnya, namun esensinya adalah sama. Perbedaan antara mereka
hanya dalam bentuk luarnya saja, sementara esensinya tetap satu. Ini sama
2
Dalam riwayat yang lain tertulis: “Jika bukan karenamu, tak akan kucipta
surga,” dan “Jika bukan karenamu, neraka tak akan kucipta.”
117
Fihi
Ma Fihi
dengan perumpamaan seorang raja yang memerintahan
prajuritnya untuk mendirikan tenda. Salah seorang dari mereka menjalin tali,
sementara yang lainnya memancangkan pasak, dan orang yang ketiga membuat
penutupnya, prajurit keempat menjahit, yang kelima merobek, dan yang keenam
menyulam dengan jarum. Meski yang dilakukan oleh para prajurit itu
berbeda-beda bentuk luarnya, akan tetapi secara esensi mereka bersatu dan
mengerjakan satu misi. Seperti itulah kondisi-kondisi yang terjadi di dunia
ini.
Ketika kamu melihat sebuah masalah dengan benar, kamu akan melihat
semua makhluk di bumi ini melakukan hal yang sama, beribadah kepada Tuhan.
Yang fasik dan yang saleh, pendosa dan yang taat, setan dan malaikat. Misalnya
para raja hendak mengetes hamba-hambanya dengan cara yang berbeda-beda,
sehingga bisa melihat mana yang teguh dari mereka dan mana yang tidak, yang
baik dan yang buruk, serta yang setia dan yang pembangkang. Untuk itu, sang
raja membutuhkan seorang pengganggu dan penghasut untuk mengetes keteguhan
hati dan keikhlasan para hambanya. Tanpa adanya pengganggu dan penghasut ini,
bagaimana mungkin keteguhan hati dan keikhlasan seorang hamba dapat
ditentukan? Jadi, pengganggu dan penghasut ini sedang melayani raja, karena
atas kehendak raja mereka bertindak. Dia mengirimkan angin untuk menunjukkan
yang teguh dari yang tidak teguh, untuk memisahkan lalat dari pohon dan taman
sehingga lalatnya akan pergi dan elang tetap tinggal.
Sorang raja
memerintahkan budak perempuannya untuk merias diri dan kemudian menawarkan
diri mereka kepada para pelayan
118
Fihi Ma
Fihi
laki-laki untuk menguji apakah mereka amanah atau penghianat.
Meskipun secara lahiriah perbuatan para budak perempuan itu adalah sebuah
kemaksiatan, namun sesungguhnya mereka sedang mengabdi kepada raja mereka.
Para
hamba-hamba Tuhan yang sejati melihat sendiri di dunia ini, tidak dengan bukti
atau sekedar ikut-ikutan tetapi dengan pengamatan dan penglihatan
langsung tanpa selubung atau tabir, bahwa semua manusia, yang baik maupun yang
buruk, mempersembahkan ibadah dan ketaatan mereka kepada Allah.
“Dan
tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”
(QS. an-Isra’:
44)
Dengan demikian menurut para wali itu, dunia ini sendiri
adalah kiamat, karena kiamat berarti bahwa semua orang melaksanakan ibadah
kepada Allah dan tak melakukan hal lain selain beribadah kepada-Nya. Mereka
melihat esensi tersebut di dunia ini. Ada sebuah ungkapan: “Sekali pun
selubung itu tersingkap, keyakinanku tidak akan bertambah.” Alim, secara
kebahasaan bermakna ‘lebih unggul dari arif.’ Allah sendiri disebut ‘Alim, dan
tidak seharusnya Allah disebut ‘Arif. Sementara arti dari kata arif itu
sendiri adalah orang yang tidak tahu dan kemudian menjadi tahu. Oleh karena
itu, hal semacam ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah. Namun dari segi
pemakaiannya, arif lebih utama dari alim karena arif bermakna
119
Fihi
Ma Fihi
orang yang mengetahui dunia tanpa adanya bukti, ia
mengetahuinya dengan pengamatan dan melihat langsung. Orang semacam inilah
yang disebut arif.
Dikatakan bahwa “Satu orang alim lebih utama dari
seratus zahid.” Bagaimana bisa satu orang alim bisa lebih utama dari seratus
orang zuhud? Bagaimanapun juga, para zahid mempraktikkan kezuhudannya melalui
media ilmu, sebab zuhud tanpa ilmu adalah hal yang mustahil.
Lantas apa
itu zuhud? Zuhud adalah berpaling dari dunia dan berfokus pada ketaatan dan
akhirat. Puncaknya, ia harus mengetahui dunia, kejelekan dunia, dan
ketidakabadian dunia. Ia pun harus mengetahui kelembutan akhirat, kekekalan,
dan keabadiannya. Selain itu, ia harus senantiasa berusaha sekuat tenaga agar
selalu berada dalam ketaatan sembari selalu mengatakan: “Bagaimana aku bisa
menjadi orang yang taat, dan apakah taat itu?” ketahuilah bahwa semua itu
adalah ilmu. Dari sini bisa kita pahami bahwa zuhud tanpa ilmu adalah
mustahil, sebab orang yang zahid itu harus memahami ilmu zuhud terlebih
dahulu. Dengan demikian, maka pernyataan bahwa orang alim lebih utama dari
seratus zahid harus diteliti kembali atau maknanya tidak akan bisa
dipahami.
Terdapat sebuah ilmu lain yang diberikan oleh Allah SWT kepada
manusia setelah ia terlebih dahulu memiliki keduanya, ilmu dan zuhud. Ilmu ini
merupakan buah dari keduanya. Dan bisa dipastikan bahwa orang yang memiliki
ilmu ini baru dinamakan orang alim yang lebih utama dari seratus zahid.
120
Fihi
Ma Fihi
Perbandingannya adalah seperti seorang petani yang menanam
pohom, kemudian pohon ini berbuah. Tentu saja kita tidak bisa
membantah bahwa pohon yang berbuah itu lebih utama dari seratus pohon yang
tidak berbuah. Bahkan bisa jadi pohon-pohon lainnya tidak pernah berbuah sama
sekali, karena ada banyak tahapan pertumbuhan di mana berbagai penyakit bisa
saja menyerang. Seorang peziarah yang telah sampai di Ka’bah lebih utama dari
peziarah yang masih berada di perjalanan. Orang yang kedua ini masih terus
diliputi keraguan apakah dirinya akan sampai ke Ka’bah atau tidak, sementara
orang yang pertama telah mencapai tujuannya (Ka’bah). Satu kepastian lebih
utama dari seratus keraguan.
Wakil Amir berkata: “Mereka yang belum
sampai kepada tujuannya itu, masih memiliki harapan untuk sampai juga.”
Maulana Rumi menjawab: “Apalah artinya perbedaan serius antara orang yang
berharap dengan orang yang telah meraih tujuannya, dan antara ketakutan dengan
keselamatan. Apakah penting untuk memperbincangkan perbedaan antara keduanya
padahal semuanya sudah sangat jelas? Akan lebih penting rasanya jika kita
membicarakan keselamatan, sebab ada banyak sekali perbedaan di antara
keselamatan yang satu dengan keselamatan yang lain. Hal itu dikarenakan
keutamaan Nabi Muhammad Saw. atas nabi-nabi sebelumnya terletak pada misi
keselamatan yang diembannya. Jika tidak, maka para nabi juga dalam kondisi
selamat, tidak ada rasa takut dalam diri mereka. Keselamatan itu sendiri
memiliki beberapa tingkatan.
121
Fihi Ma
Fihi
“Dan telah Kami tinggikan sebagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat.” (QS. al-Zukhruf: 32)
Mungkinkah
untuk mengindikasikan beragam tahapan dan tingkatan ketakutan, sementara
tingkatan keselamatan tidak memiliki indikasi. Dalam dunia ketakutan, setiap
manusia bisa memutuskan apa yang akan mereka berikan kepada Allah. Ada yang
memberikan raganya, ada yang mendonasikan hartanya; ada yang mengorbankan
nyawanya. Satu orang menawarkan ibadah puasanya, sementara yang lainnya
menawarkan ibadah salatnya sebanyak tiga belas rakaat dan bahkan empat ratus
rakaat. Tahapan-tahapan ini sangat berbeda dan bisa dibedakan dengan mudah.
Dengan cara yang sama, ada banyak tahapan perjalanan dari Konya dan Caesarea
yang bisa ditentukan dan diketahui: yaitu melewati Kaimaz, Ubrukh, Sultan, dan
lain- lain. Sementara tempat-tempat di dasar laut dari Anatolia hingga
Alexandria tak dapat ditentukan. Tempat-tempat itu hanya diketahui oleh
kapten-kapten kapal, mereka juga tidak pernah membahasnya bersama penduduk
darat karena mereka tidak memahaminya.
Amir berkata: “Bahkan satu
perbincangan pun akan ada manfaatnya. Mungkin manusia tidak mengetahui segala
sesuatu, tetapi mereka akan mengetahuinya sedikit demi sedikit dan kemudian
akan memahami dan mengira-ngira sisanya.”
Maulana Rumi berkata: “Oh, Demi
Allah! Seseorang sedang duduk begadang menembus pekatnya malam, meneguhkan
hati
122
Fihi Ma Fihi
untuk berjalan
menuju siang. Meski ia tidak tahu bagaimana cara mencapainya, tetapi ia
menjadi dekat dengan siang itu karena ia menantinya. Seseorang lainnya
melakukan perjalanan bersama rombongan dalam pekatnya malam dan berteman
hujan. Ia tidak tahu sampai di mana ia sekarang, jalan mana yang ia lalui, dan
berapa jarak yang telah ia tempuh. Namun ketika siang tiba, ia akan mengetahui
hasil perjalanannya dan tahu di mana ia berada sekarang. Semua yang dikerjakan
oleh manusia akan dinilai oleh Allah SWT. Bahkan jika kedua matanya tertutup,
usaha mereka tidak akan hilang.
“Barang siapa
yang mengerjakan kebaikan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” (QS. al-Zalzalah: 7)
Meskipun di dalam begitu
gelap dan terselubung sehingga ia tidak dapat melihat seberapa jauh
perjalanannya selama ini, namun di akhirat nanti ia akan dapat melihatnya.
“Dunia adalah ladang bagi kehidupan di akhirat.” Semua yang ditanam manusia di
dunia ini, akan ia panen di akhirat kelak.
Isa as. banyak tertawa,
sementara Yahya as. banyak menangis. Yahya kemudian berkata kepada Isa, “Kau
percaya pada semua tipu muslihat halus ini sehingga kau banyak tertawa?” Isa
menjawab, “Sementara kau telah menutup matamu dari pertolongan dan cinta kasih
Tuhan yang subtil, misterius dan agung, sehingga kau banyak menangis?
123
Fihi
Ma Fihi
Seorang wali Allah hadir dalam percakapan tersebut, ia
kemudian bertanya kepada Allah: “Di antara keduanya, manakah yang memiliki
martabat lebih tinggi?” Allah menjawab, “Yang paling baik prasangkanya
kepada-Ku.” Artinya “Aku menurut prasangka hamba- ku terhadap-Ku.” Semua hamba
memiliki imajinasi dan gambaran tentang diri-Ku. Dalam bentuk apapun ia
mengimajinasikan-Ku, aku tepat sesuai dengan bentuk itu. Aku adalah hamba bagi
khayalan yang memiliki Tuhan, dan aku tidak memikirkan hakikat yang tak
memiliki Tuhan. Sucikanlah imajinasi kalian wahai hamba-hamba- Ku. Karena itu
adalah tempat kediaman-Ku dan tempat bersemayam- Ku.”
Sekarang, uji
dirimu sendiri dengan menangis dan tertawa, berpuasa dan salat, berkhalwat dan
berkumpul, dan lain sebagainya. Yang manakah dari semua itu yang lebih
bermanfaat bagi kalian? Dan dalam segala hal yang berkaitan dengan
keadaan-keadaanmu, pilihlah pekerjaan-pekerjaan yang bisa membuatmu lebih
istiqomah dan memberimu prestasi terbesar. “Bertanyalah pada hatimu, meskipun
yang lain tidak setuju.”
Dalam dirimu terdapat makna, mintalah fatwa pada
seorang Mufti agar kamu bisa merengkuh makna itu dan menciptakan sesuatu yang
sesuai dengannya. Sama seperti seorang dokter yang mengunjungi pasiennya dan
bertanya kepada sang pasien tentang keberadaan dokter ruhaniahnya; karena
sebenarnya kau memiliki dokter dalam dirimu, hanya saja keadaan jiwamulah yang
menolak untuk menerimanya. Oleh karena itu, dokter sik tadi bertanya,
“Makanan yang kamu makan, bagaimana
rasanya? Beratkah?
124
Fihi Ma Fihi
Bagaimana
dengan tidurmu?” Demikianlah, dari apa yang dijawab oleh dokter ruhaniah,
dokter sik membuatkan resepnya. Hal ini di karenakan akar masalahnya adalah
dokter ruhaniah itu: respons pasien itu sendiri. Ketika dokter ruhaniah ini
lemah dan keadaan jiwa sang pasien rusak, maka pasien itu akan melihat
segalanya berlawanan dengan yang sebenarnya, kemudian mengatakan hal- hal yang
tidak seharusnya; ia berkata, “Gula itu pahit, dan cuka itu manis.” Oleh sebab
itu, dia membutuhkan dokter sik untuk menolongnya sampai ia pulih kembali.
Setelah itu ia berkonsultasi sendiri pada dokter ruhaniahnya untuk mendapatkan
bimbingan yang dia butuhkan.
Pada dasarnya, setiap insan memiliki kondisi
jiwa yang sama. Para wali adalah dokter yang menawarkan pertolongan pada
manusia agar keadaan jiwanya stabil serta hati dan agamanya menjadi kuat,
seperti yang dikatakan dalam sebuah ungkapan: “Tunjukkan padaku segalanya
sebagaimana adanya mereka.” Manusia adalah makhluk yang agung; yang mana dalam
diri mereka tertulis segala sesuatu, namun selubung dan kegelapan tidak
mengizinkan mereka untuk membaca pengetahuan yang ada dalam diri mereka
sendiri. Selubung dan kegelapan itu adalah kesibukan yang bermacam-macam,
hasrat- hasrat duniawi, dan keinginan yang berwarna-warni. Tapi meskipun
tenggelam dalam berbagai kegelapan dan tertutup oleh banyak selubung, mereka
tetap dapat membaca sesuatu dan mengambil kesimpulan darinya. Bayangkan
seandainya kegelapan dan selubung- selubung itu tersingkap, betapa
berlimpahnya pengetahuan yang akan mereka temukan dalam diri mereka.
125
Fihi
Ma Fihi
Pada akhirnya, semua perilaku seperti menjahit, membangun,
bertukang, pandai besi, ilmu, astronomi, kedokteran, dan beragam perilaku
manusia lainnya yang tidak dapat dihitung dan dibatasi jumlahnya ini
tersingkap dari dalam diri manusia, dan bukan dari batu atau tanah kering.
Seekor gagak yang mengajarkan pada manusia tentang tata cara menguburkan mayat
juga merupakan pembelajaran bagi manusia yang memperhatikan burung, sebagai
bagian dari desakan dari diri dan mendorong mereka untuk mempelajarinya.
Dengan demikian, naluri-naluri hewan tidak lain adalah bagian dari manusia,
tetapi satu bagian tidak berarti keseluruhan. Hal ini serupa dengan seseorang
yang hendak menulis dengan tangan kirinya. Meski hatinya sudah teguh,
tangannya gemetar ketika menulis. Namun, tangan itu tetap saja menulis karena
ada perintah dari hati.
Ketika Amir datang, Guru kita berujar dengan
kata-kata yang agung. Kata-katanya tidak terputus-putus karena dia adalah guru
segala ucapan. Kata-kata membanjir darinya tanpa bersela. Di musim dingin,
jika ada pepohonan tidak menumbuhkan dedaunan dan buah-buahan, orang tidak
bisa serta-merta menyimpulkan bahwa pohon itu berhenti bekerja. Pohon itu
tetap dan terus-menerus bekerja.
Musim dingin adalah waktu pengumpulan
(produksi), sementara musim panas adalah waktu penghamburan (konsumsi). Semua
orang melihatnya pada waktu konsumsi, namun tak ada orang melihatnya ketika
produksi. Sama halnya ketika seseorang sedang melangsungkan sebuah pesta dan
mengeluarkan banyak uang. Semua orang melihat pengeluaran ini, tapi tak
seorang pun
126
Fihi Ma Fihi
yang
melihat bagaimana dia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk mengadakan
pesta ini. Padahal yang menjadi akar materinya adalah pengumpulan, karena
penghamburan bisa terjadi karena adanya pengumpulan.
Kitabisahidupdalamharmonidengansiapapun,
bisaberbincang dengan mereka kapan pun, bahkan dalam kebisuan sekalipun, dan
dalam ketidakhadiran maupun kehadiran. Sebenarnya kita bisa saling membunuh,
kita juga bisa bersatu dan saling mencampuri urusan orang lain. Meski kita
bisa saling mempukul dengan kepalan tangan, kita tetap bisa berbincang-bincang
dengannya, menjadi satu, dan saling berhubungan erat. Jangan kamu lihat
kepalan tangan itu, karena ada anggur yang tersimpan di dalamnya. Kalau kamu
tidak percaya, bukalah kepalan tangan itu dan lihatlah perbedaan antara anggur
dan mutiara yang indah. Orang-orang ramai membicarakan hal-hal yang sangat
detail dan ilmu pengetahuan, baik dalam bentuk puisi maupun prosa.
Kecenderungan Amir kepada kita bukanlah karena kebajikan yang mulia,
perkataan-perkataan yang anggun, dan khotbah-khotbah. Hal-hal seperti ini bisa
ditemukan di mana-mana, dan berlimpah ruah. Cintanya dan kecenderungannya
padaku bukan karena hal-hal itu, melainkan karena ia melihat sesuatu yang
lain. Ia melihat sebuah cahaya yang melampaui semua yang tampak dalam
pandangan orang lain.
Dikisahkan bahwa seorang khalifah mendatangkan
al-Majnun dan bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi padamu, apa yang membuatmu
begini? Kau sudah mempermalukan dirimu sendiri, kau pergi dari rumahmu, kau
menjadi hancur dan hilang, siapa
127
Fihi Ma
Fihi
itu Laila? Bagaimana kecantikannya? Akan ku tunjukkan padamu
perempuan-perempuan yang cantik dan menarik. Akan kujadikan mereka sebagai
penyelamat kegilaanmu, akan kuberikan mereka semua untukmu.” Ketika
perempuan-perempuan itu tiba, Majnun dan mereka dipersilahkan untuk saling
melihat. Lalu Majnun menundukkan kepalanya, melihat ke bawah.
“Sekarang,
angkat kepalamu dan lihatlah!” kata Khalifah.
“Aku takut,” jawab
Majnun. “Cintaku pada Laila adalah sebuah pedang yang terhunus. Jika kuangkat
kepalaku, pedang itu akan menebasnya.”
Demikianlah, Majnun telah
tenggelam dalam cinta Laila. Bagaimanapun juga, perempuan-perempuan yang lain
juga memiliki mata, bibir, dan hidup. Jadi, apa yang sebenarnya dilihat oleh
Majnun dalam diri Laila sampa ia menjadi seperti ini?
Pasal 12 Kita Kembali Dari Jihad Aksiden Menuju Jihad Pikiran
MAULANA Rumi berkata, “Sudah lama aku ingin bertemu denganmu tapi aku
tahu kau sedang sibuk dengan kemaslahatan manusia, jadi aku tidak ingin
memberatkanmu.”
Amir menjawab, “Ini memang sudah menjadi kewajibanku.
Tapi sekarang kesibukan-kesibukanku ini telah selesai, jadi aku siap untuk
melayanimu.”
Maulana Rumi berkata, “Tidak ada bedanya. Semuanya sama.
Dalam dirimu ada kebaikan yang membuat semuanya menjadi sama. Bagaimana
seseorang bisa berbicara tentang kesusahan? Akan tetapi, karena aku tahu
sekarang kalian adalah orang-orang yang dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik
dan bermanfaat, maka aku akan menemui kalian.”
Fihi Ma
Fihi
Sekarang kita akan membahas tentang satu masalah: Jika ada
seseorang yang memiliki banyak anak dan yang lainnya tidak, apakah mungkin
untuk mengambil anak dari orang pertama dan kemudian diberikan kepada orang
kedua?
Ulama Zahiriyyah berkata, “Kamu ambil saja anak dari orang yang
pertama itu lalu kau berikan kepada orang yang kedua.” Jika kamu renungkan
baik-baik, sebenarnya orang yang tak memiliki anak itulah yang memiliki anak.
Misalnya ada seorang wali, yang memiliki permata di hatinya, memukul seseorang
hingga membuat kepala, hidung, dan rahangnya terluka. Setiap orang berkata
bahwa orang yang dipukul adalah orang yang dizalimi, tapi sebenarnya orang
yang dizalimi itulah yang memukul (yang menzalimi). Orang yang zalim adalah
mereka yang melakukan sesuatu untuk untuk kemaslahatannya dirinya sendiri. Ia
yang menerima kepalan tangan dan dihantam kepalanya adalah orang zalim itu
sendiri dan orang yang memukul ini pasti adalah orang yang dizalimi. Hal ini
dikarenakan ia yang memiliki permata di hatinya, karena ia fana dalam
kemuliaan Tuhannya, dan karena yang dilakukannya adalah perbuatan Allah SWT.
Sementara Allah tak mungkin dikatakan sebagai Dzat yang Zalim. Sama halnya
ketika nabi Muhammad Saw. membunuh, menumpahkan darah, dan menginvasi,
sebenarnya merekalah yang zalim dan nabi Muhammad adalah yang orang yang
dizalimi.
Contoh lainnya, orang barat tinggal di Barat dan orang timur
datang ke Barat. Orang barat itu adalah orang asing bagi orang timur; tapi
sesungguhnya orang timur itulah yang menjadi orang asing bagi
130
Fihi
Ma Fihi
orang-orang barat. Seluruh dunia ini tidak lain adalah
sebuah rumah, tidak lebih. Apakah kita pergi dari rumah ini ke rumah itu, atau
dari sudut ini ke ke sudut itu, bukankah pada akhirnya kita masih tetap ada di
rumah yang sama? Orang barat yang memiliki permata hati itu berasal dari luar
rumah. Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Islam datang dalam keadaan asing,” dan
tidak bersabda, “Orang timur datang dalam keadaan asing.” Dengan demikian,
ketika nabi Muhammad Saw. dikalahkan oleh musuh-musuhnya, beliau adalah orang
yang dizalimi. Begitu pula saat beliau menghantam mereka, beliau juga adalah
orang yang dizalimi. Karena dalam dua keadaan tersebut, Tuhan (kebenaran) ada
bersama dirinya, dan orang yang dizalimi adalah orang yang menggengam Tuhan
(kebenaran) di tangannya.
Hati Nabi Muhammad Saw. berasa terbakar melihat
para tawanannya. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya untuk mendamaikan hati
beliau: “Wahai Muhammad, katakanlah pada mereka; ‘Saat ini kalian tertawan
dalam ikatan dan rantai-rantai, jika kamu berniat untuk melakukan kebaikan,
maka sungguh Allah akan membebaskan kalian dari belenggu itu. Dia akan
mengembalikan segala milikmu yang telah hilang dan bahkan akan
melipatgandakannnya. Allah akan memberikan pengampunan dan keberkahan untukmu
di akhirat kelak. Dia juga akan memberi kalian dua gudang harta, yang mana
salah satunya adalah gudang yang hilang dari diri kalian dan yang satunya lagi
adalah gudang akhirat.’”
Amir bertanya: “Jika seorang hamba melakukan
suatu amal, apakah pertolongan dan kebaikan yang akan ia dapatkan
131
Fihi
Ma Fihi
disebabkan oleh amal yang ia lakukan itu ataukah itu
anugerah dari Allah?” Maulana Rumi menjawab: “Tentu saja itu adalah anugerah
dari Allah SWT. Tetapi Allah SWT, karena kasih sayang- Nya yang luas,
membuatnya seolah-olah berasal dari hamba. Karena itu, Ia ber rman:
‘Pertolongan dan kebaikan itu adalah milikmu.’”
“Tak
seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang
sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Sajdah:
17)
Amir berkata: “Karena Allah memiliki kasih sayang ini,
maka setiap orang yang benar-benar mencari kebenaran akan mendapatkannya.”
Maulana
Rumi menjawab: “Akan tetapi tanpa adanya seorang pemandu (mursyid) hal itu
tidak akan terjadi. Ketika Bani Israil mematuhi Nabi Musa as., semua jalan
dibukakan pada mereka, bahkan lautan sekalipun. Lumpur disingkirkan dari
lautan untuk jalan mereka. Tapi jika mereka saling berbeda pendapat, maka
mereka akan tetap mengembara di jalan-jalan gurun pasir (berada dalam
kejahiliyahan) selama bertahun-tahun. Para pemandu masa itu bertanggung jawab
terhadap kemaslahatan mereka yang berpegang teguh dan yang taat kepadanya.
Misalnya, jika sekelompok tentara mematuhi perintah raja mereka, maka sang
raja pun akan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan
132
Fihi
Ma Fihi
bertanggungjawab atas kemaslahatan mereka. Tetapi jika
mereka tidak patuh, untuk apa sang raja repot-repot memikirkan urusan- urusan
mereka?
Akal itu seperti raja dalam tubuh manusia. Selama anggota tubuh
yang lain patuh pada akal, maka semua urusan akan berada pada jalan yang
benar. Tapi jika anggota tubuh itu tidak patuh kepadanya, maka semua urusan
akan rusak. Tidakkah kamu lihat ketika seseorang mabuk karena meminum alkohol,
berapa banyak kerusakan yang diperbuat oleh tangan, kaki, mulut, dan anggota
tubuh lainnya? Kemudian di hari berikutnya, ketika ia sadar, ia berkata, “Ah,
apa yang telah kulakukan? Kenapa aku memukul? Kenapa aku mencaci?”
Demikian
juga semua urusan di sebuah desa akan sempurna tatanannya hanya ketika ada
seorang mursyid di desa tersebut, dan para penduduk desa patuh kepadanya.
Dengan demikian, akal sesungguhnya memikirkan kemaslahatan rakyat-rakyat
ketika mereka mematuhi sang mursyid. Jika ia berpikir untuk pergi, ia tidak
akan pergi kecuali para kaki berada di bawah perintahnya, jika tidak, berarti
ia memang tidak berpikir demikian.
Sama seperti akal yang berposisi
sebagai raja dalam tubuh manusia, jika dihubungkan dengan seorang wali, maka
semua eksistensi yang disebut makhluk—dengan seluruh potensi akal,
pengetahuan, perenungan, dan ilmu-ilmu mereka—adalah tubuh umat manusia dan
wali tersebut adalah akal di tengah-tengah semua eksistensi itu. Dengan
demikian, ketika manusia (tubuh) tidak patuh pada wali (akal) yang menjadi
raja bagi mereka, maka segala urusan
133
Fihi Ma
Fihi
mereka akan menjadi kacau dan mereka akan menyesal. Mereka
harus patuh dan menerima segala yang dilakukan oleh sang wali, dan mereka
tidak perlu menggunakan akal mereka. Karena bisa jadi mereka tidak bisa
memahami apa yang diperbuat oleh sang wali dengan akal mereka sendiri, maka
sudah sepatutnya mereka patuh pada wali tersebut. Ini seperti seorang anak
yang diserahkan kepada seorang penjahit untuk dididik. Sudah seharusnya sang
anak patuh pada penjahit itu. Jika penjahit memberinya sepotong kain untuk
dijahit, maka ia harus menjahit potongan kain itu. Jika penjahit memberikan
depun kepadanya, maka anak itu harus menjahit dengan depun itu. Jika anak
tersebut ingin mempelajari keahlian sang penjahit, maka ia harus menanggalkan
seluruh hasrat pribadinya dan tunduk pada semua perintah penjahit itu.
Kita
berharap semoga Allah memudahkan jalan itu untuk kita. Jalan yang merupakan
pertolongan-Nya. Jalan yang melebihi seribu daya dan upaya.
“Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadr: 3)
Ayat
di atas semakna dengan ungkapan ini: “Satu sentakan Allah SWT itu lebih baik
daripada ibadahnya orang-orang yang tekun.” Artinya, jika pertolongan Allah
mengintervensi amal manusia, maka pertolongan itu telah melakukan ratusan kali
lipat perjuangan, dan bahkan lebih. Perjuangan itu indah, baik, dan
bermanfaat, tapi apalah artinya perjuangan itu jika dibanding dengan
pertolongan Allah?
134
Fihi Ma Fihi
Amir
bertanya: “Apakah pertolongan Allah menciptakan perjuangan?”
Maulana Rumi
menjawab: “Kenapa tidak? Ketika pertolongan Allah muncul, perjuangan dimulai.
Alangkah besarnya usaha yang dilakukan oleh Nabi Isa as. ketika ia berkata di
dalam kandungan ibunya: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Injil
[QS. Maryam: 30],” dan Yahya menyebutkan bahwa Isa saat itu sedang berada
dalam perut ibunya. Sementara perkataan itu sudah siap untuk Nabi Muhammad
tanpa adanya usaha:
“Maka apakah orang-orang yang
dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam.” (QS. al-Zumar: 22)
Keutamaan
datang terlebih dahulu. Kemudian jika dalam diri manusia muncul kesadaran dari
kesesatan, maka itulah yang dinamakan keutamaan dan anugerah murni dari Allah
SWT. Jika tidak, mengapa Allah tidak memberikan hal itu kepada teman- temannya
yang lain yang dekat dengannya? Keutamaan dan balasan dari Allah laksana
percikan api. Pada mulanya ia adalah anugerah, akan tetapi jika kamu letakkan
katun di dalamnya dan kamu kembangkan api itu sampai apinya semakin membesar,
maka itulah yang disebut dengan keutamaan dan balasan. Percikan api itu
awalnya kecil dan lemah: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah [QS. al-Nisa’:
28].” Akan tetapi ketika api yang lemah itu
135
Fihi
Ma Fihi
menyantap hidangannya, ia akan menjalar ke seluruh penjuru
dunia dan membakar dunia, percikan kecil dan lemah itu kini telah menjadi
besar dan kuat.
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.”
(QS. al-Qalam: 4)
Seseorang
berkata: “Sesungguhnya Maulana Rumi teramat mencintaimu.”
Maulana Rumi
menjawab: “Kedatangan dan perkataanku bukanlah indikasi dari rasa cintaku. Aku
mengatakan apa saja yang tampak padaku. Jika Allah menghendaki, Dia akan
menjadikan ucapan yang sedikit ini menjadi bermanfaat dan menumbuhkannya di
hati kalian, berikut dengan manfaatnya yang besar. Sebaliknya, jika Allah tak
menghendaki, seratus ribu kata yang terucap sekalipun tak akan ada yang
terpatri di hati siapapun, melainkan hanya akan berlalu dan dilupakan. Seperti
halnya sebuah percikan api yang jatuh pada sepotong kain. Jika Allah berkenan,
percikan itu akan menjadi besar dan melumat kain itu. Sebaliknya jika Ia tak
berkenan, seratus percikan api yang dikobarkan pada kain itu akan mati, dan
tidak sedikit pun membakarnya.
“Dan kepunyaan Allah-lah
tentara langit dan bumi.” (QS. al-Fath: 4)
136
Fihi
Ma Fihi
Kata-kata adalah tentara Allah SWT. Atas perintah Allah,
mereka akan menghantam benteng dan menguasainya. Jika Allah menitahkan ribuan
tentara berkuda untuk menaklukkan sebuah benteng tanpa harus menguasainya,
maka mereka akan melakukannya. Begitu pula jika Allah memerintahkan satu
pasukan berkuda untuk meruntuhkan benteng dan menguasainya, maka satu pasukan
berkuda tersebut akan membuka pintu benteng itu dan menguasainya. Allah
mengirimkan seekor nyamuk untuk melawan Namrud dan menghancurkannya. Seperti
yang pernah dikatakan, “Di mata sang arif semua sama, baik itu satu sen, satu
dinar, seekor singa, dan seekor kucing.” Karena jika Allah sudah menurunkan
berkah-Nya, maka uang satu sen akan mampu melakukan pekerjaan yang bisa
dilakukan oleh uang satu dinar, dan bahkan lebih.
Sementara jika Allah
merenggut berkah-Nya dari seribu dinar, maka uang sebesar ini tak akan mampu
melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh uang satu sen. Begitu pula jika
seekor kucing dititahkan untuk menaklukkan singa, seperti nyamuk yang
diperintahkan untuk menghancurkan Namrud, maka singa-singa akan bergetar
ketika berhadapan dengannya, atau tampak seperti keledai dungu di hadapan
kucing. Seperti beberapa darwis yang menunggangi singa atau seperti api yang
menjadi dingin di tubuh Ibrahim as. dan menyelamatkan, mendamaikan, menghiasi,
dan melindungi beliau; semua itu karena Allah tidak menitahkan api untuk
membakar Ibrahim. Pendek kata, jika kita menyadari bahwa segala sesuatu
berasal dari Allah SWT, maka semua yang tampak dalam pandangan mereka adalah
satu dan sama. Aku
137
Fihi Ma Fihi
berharap
kepada Allah SWT semoga kalian juga mendengar kata- kata ini dengan telinga
batin kalian, karena itu akan bermanfaat.
Walaupun ada seribu pencuri
dari luar rumah, semuanya tidak akan bisa membuka pintu sebuah rumah jika
mereka tidak memiliki pencuri jujur di dalam rumah yang bisa membukakan pintu
dari dalam. Ucapkanlah seribu kata dari luar, maka semua itu tidak akan
berarti apa-apa jika tidak ada pembenaran dari dalam. Seperti halnya pohon
yang tidak subur akar-akarnya, maka banjir ribuan kali pun tidak akan memberi
manfaat apa-apa untuknya. Jika mengharapkan air bermanfaat baginya, maka akar
pohon itu harus segar dan subur terlebih dahulu.
Sekalipun seseorang
mampu melihat seratus ribu cahaya, Niscaya cahaya itu tak akan turun kecuali
menuju asalnya (Nurul ‘Ain)
Meskipun dunia dipenuhi oleh
cahaya, tak akan ada seorang pun yang mampu melihat cahaya itu jika di matanya
tidak ada percikan cahaya. Asal dari ketidakmampuan itu berada di dalam
dirinya sendiri.
Jiwa adalah sesuatu dan roh adalah sesuatu yang lain.
Tidakkah kamu lihat ke mana jiwa pergi saat sedang tidur? Sementara roh tetap
tinggal dalam tubuh, jiwa justru berkelana dan berubah menjadi hal yang lain.
Dengan demikian, ungkapan; “Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal
Tuhannya,” ini berbicara tentang jiwa.
138
Fihi
Ma Fihi
Maulana Rumi berkata: “Ungkapan itu berbicara tentang jiwa,
tapi hal itu bukanlah sesuatu yang mudah. Jika kita menfasirkan ungkapan itu
dengan jiwa, maka pendengar akan memahaminya dengan deskripsinya yang menunjuk
pada jiwa tersebut karena ia tak tahu tentang jiwa itu sendiri. Sebagai
contoh, jika kamu memegang sebuah cermin kecil di tanganmu dan kemudian tampak
sesuatu yang baik, kecil ataupun besar, di cermin itu, maka sifat-sifat itu
adalah milik benda itu sendiri. Kata-kata saja tak bisa mengungkapkan
pemahaman spiritual ini; kata-kata hanya dapat memberikan dorongan internal
terhadap pendengarnya.
Di luar dunia yang sedang kita bicarakan, ada
dunia lain yang sudah sepatutnya kita cari. Dunia ini beserta keindahannya
melayani binatang dalam diri kita. Semua hal ini memberikan hidangan pada
sifat hewani manusia. Sementara yang asal, yaitu manusia, mengurangi dan
membatasi dirinya dari hidangan-hidangan hewani itu.
Mereka berkata:
“Manusia adalah hewan yang berbicara.” Dari sini dapat dipahami bahwa dalam
diri manusia terdapat dua kecenderungan. Pertama, memberikan hidangan pada
sifat kehewanannya di dunia yang materil ini, yaitu nafsu dan harapan-
harapan. Kedua, memberikan hidangan pada sifat kemanusiaan berupa ilmu,
kebijaksanaan, dan kemampuan melihat Tuhan. Kecenderungan yang kedua inilah
yang dimaksud dengan inti yang hakiki. Sifat kehewanan dalam diri manusia
pergi dari Tuhan, sementara sifat kemanusiaan dalam diri manusia menjauh dari
dunia.
139
Fihi Ma Fihi
“Maka
di antara kamu ada yang ka r dan di antaramu ada yang Mukmin.” (QS.
al-Taghabun: 2)
Dua manusia di dunia ini saling berperang.
Siapa yang akan menang? Adalah dia yang dijadikan sebagai kekasih Tuhan oleh
nasibnya.
Tak diragukan lagi bahwa dunia ini adalah dunia musim dingin.
Mengapa mereka menyebut benda-benda sebagai barang yang kaku? Karena
benda-benda itu kaku. Batu, gunung, dan jubah yang mencakup semua hal juga
merupakan barang-barang kaku. Jika di dunia ini tidak ada musim dingin,
bagaimana benda-benda itu bisa menjadi kaku? Arti dari dunia ini sangatlah
luas; dan meskipun arti itu tak terlihat, tapi dengan tanda-tandanya kita bisa
mengetahui bahwa di dalam dunia itu ada angin dingin dan hawa dingin yang
menusuk.
Dunia ini seperti musim dingin, di mana semua yang ada di
dalamnya menjadi beku. Musim dingin yang bagaimana? Musim dingin ini bisa
diraba oleh pikiran, tapi tidak dirasa oleh indra. Ketika angin Ilahi
berhembus, gunung-gunung akan mencair, dan kepadatan dunia akan meleleh;
seperti halnya ketika kehangatan musim panas berhembus, semua benda yang beku
meleleh. Di hari kiamat, ketika angin itu berhembus, semua benda akan
meleleh.
140
Fihi Ma Fihi
Allah
menjadikan kata-kata ini
sebagai tentara yang ditempatkan di
sekitar kalian, untuk menghalau kehadiran musuh- musuh kalian; karena ada
banyak musuh, baik dari dalam maupun dari luar. Tapi mereka sesungguhnya
bukanlah apa-apa; apalah arti mereka itu? Tidakkah kamu lihat ribuan orang ka
r yang menjadi tawanan bagi satu orang ka r, yaitu rajanya. Sementara raja ka
r itu menjadi tawanan bagi pikiran-pikirannya. Dari sini kita memahami bahwa
pikiran memiliki pengaruh yang besar, karena hanya dengan satu pikiran yang
lemah saja, ribuan manusia dan seluruh dunia bisa menjadi tawanannya. Bertolak
dari hal ini, meski dunia pikiran tak pernah berhenti, renungkan keagungan dan
kemegahan yang dimilikinya. Betapa mudahnya ia menaklukkan musuh-musuhnya, dan
betapa semaraknya dunia yang mereka tundukkan! Aku terheran- heran saat
melihat ratusan bentuk yang tak ada batasnya, tentara yang merentang tanpa
ujung dari satu padang ke padang lainnya, semuanya menjadi tawanan satu orang,
dan satu orang itu menjadi tawanan dari pikiran keji di kepalanya! Ini berarti
bahwa mereka semua adalah tawanan bagi satu buah pikiran. Di mana mereka
berdiri di antara pikiran besar, tak terbatas, serius, sakral dan sublim?
Dari
sini dapat kita lihat bahwa pikiran memiliki pengaruh yang sangat besar.
Segala bentuk yang ada di dunia ini hanya mengikuti dan menjadi alat bagi
pikiran; yang mana tanpa pikiran, bentuk- bentuk itu akan mati dan kaku.
Mereka yang hanya mementingkan bentuk dan dan menyibukkan diri dengannya juga
mati; mereka tidak mampu menembus makna. Mereka adalah anak-anak dan belum
dewasa, sekalipun mereka tampak seperti seorang syekh yang berumur seratus
tahun.
141
Fihi Ma Fihi
“Kita telah
kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar,” artinya kita sedang
bertempur melawan bentuk dan berusaha untuk mengalahkan para shuwariyyin
(orang-orang yang memperhatikan bentuk) ini. Selanjutnya kita juga harus
berhadapan dengan tentara- tentara pikiran, sehingga pikiran yang baik dapat
menghancurkan pikiran yang buruk dan mengusirnya dari kerajaan tubuh kita.
Inilah yang disebut dengan jihad besar dan pertempuran yang agung.
Demikianlah,
pikiran memiliki pengaruhnya sendiri karena ia bekerja tanpa intervensi dari
tubuh, seperti halnya akal yang secara efektif mampu mengatur rotasi bintang
tanpa bantuan instrumen apapun. Itulah mengapa seorang lsuf mengatakan bahwa
pikiran tidak membutuhkan alat (tubuh).
Kamu adalah esensi, sementara dua
dunia itu adalah aksiden (tampilan luar) bagimu,
Dan esensi yang kamu
cari dari aksiden sama sekali tak berharga Tangisilah orang yang mencari ilmu
dalam hati
Dan tertawalah pada orang yang mencari akal dalam jiwa.
Karena
dunia ini hanya merupakan aksiden, maka tidak seharusnya bagi manusia untuk
terus berdiri di sampingnya. Esensi itu laksana botol parfum dan dunia beserta
keindahannya adalah aroma parfum itu. Aroma parfum ini tak akan bertahan lama
sebab ia hanya merupakan aksiden. Siapa saja yang mencari botol parfum, bukan
aromanya karena ia tidak puas hanya hanya dengan aroma itu, maka itulah orang
yang bijak. Tetapi siapa saja yang mencari
142
Fihi
Ma Fihi
aroma dan sudah merasa puas dengannya, maka dia adalah
orang yang bodoh. Mereka memburu sesuatu yang tidak bisa digenggam oleh tangan
mereka. Hal itu karena aroma hanyalah sifat dari parfum ini. Selama ada parfum
di dunia ini, maka aromanya pasti tercium oleh hidung. Tetapi jika parfum itu
sudah melintasi selubung dan meninggalkan dunia ini, maka semua yang ada pada
parfum itu akan hilang. Karena aroma adalah bagian yang inheren dari parfum,
maka aroma itu akan ikut berpindah ke tempat di mana parfum itu berada.
Beruntunglah
orang yang menemukan parfum itu dengan mengikuti aromanya dan kemudian menjadi
satu dengannya. Mereka tidak pernah mati, tapi menjadi bagian yang abadi dari
esensi parfum itu dan diberkati oleh kualitas-kualitas parfum. Setelah itu,
mereka dapat menebarkan aromanya ke dunia dan dunia menjadi hidup karenanya.
Tak ada lagi yang tersisa dari dirinya selain nama. Seperti kuda atau
hewan-hewan lain yang tenggelam dalam basin garam, tak tersisa dari hewan itu
selain namanya. Yang sebenarnya terjadi adalah, kuda itu sekarang telah
menjadi bagian dari basin garam yang besar. Namanya tak akan merubah apapun,
dan ia tetap tidak akan bisa keluar dari basin garam tersebut. Meski kamu
berikan nama lain padanya di dalam basin garam itu, ia tetap tak akan bisa
keluar dari sifat kegaramannya.
Oleh karena itu, manusia harus
menghindari keindahan dan kemegahan-kemegahan dunia yang merupakan bias-bias
sinar dan re eksi dari Allah SWT. Manusia tidak sepatutnya merasa puas hanya
dengan hal-hal tersebut. Sebab meski semua itu merupakan kelembutan Allah dan
sinar-sinar keindahan-Nya, tetapi semua itu
143
Fihi
Ma Fihi
tidaklah abadi. Semua itu abadi bagi Allah, tapi nisbi bagi
manusia. Ia seperti cahaya matahari yang menyinari berbagai tempat di bumi;
meski itu adalah sinar matahari dan cahaya, tetapi ia tetap merupakan bagian
dari matahari. Ketika matahari tenggelam, maka sinar itu juga akan hilang.
Dengan demikian, maka kita seharusnya menjadi matahari sehingga kita tak perlu
takut lagi untuk kehilangan cahaya dan sinar itu.
Ada pemberian, ada juga
pengetahuan. Ada yang mendapatkan pemberian dan anugerah, tapi tak memiliki
pengetahuan. Ada pula yang mendapatkan pengetahuan tapi tak memiliki
pemberian. Jika kedua hal ini bisa dimiliki oleh seseorang, maka orang
tersebut benar- benar mendapat tau k yang besar dan benar-benar tak
tertandingi. Analogi dari hal ini adalah seperti seseorang yang sedang
menyusuri sebuah jalan tetapi ia tak tahu di mana jalan ini bermula dan
berakhir, atau bahkan mungkin ia menyusuri jalan yang salah. Ia berjalan
dengan buta, berharap seekor ayam berkokok atau muncul tanda- tanda adanya
pemukiman. Bagaimana bisa orang ini dibandingkan dengan mereka yang mengetahui
jalan tanpa membutuhkan tanda dan marka jalan? Tugas yang ia punya sangatlah
jelas. Oleh karena itu, pengetahuan melebihi segala sesuatu.
Pasal 13 Menjauhlah Dari Tujuan Mereka
RASULULLAH Saw. bersabda: “Malam itu panjang, maka jangan kau
pendekkan ia dengan tidurmu. Siang itu terang, maka jangan kau gelapkan ia
dengan dosa-dosamu.”
Malam itu panjang untuk kamu yang mencari
rahasia-rahasia yang berhamburan dan memohon hajat tanpa ada gangguan dari
orang lain, tanpa ada gangguan dari kekasih dan musuh. Kamu begitu damai dan
erat dengan Allah karena Dia telah menutup mata orang-orang lain, sehingga
perbuatan-perbuatanmu terjaga dan terpelihara dari riya’, dan murni karena
Allah SWT. Di malam yang kelam, kita dapat membedakan mana yang beribadah
karena riya’ dan yang ikhlas. Orang-orang yang riya’ akan terungkap, sebab di
malam hari semua hal tertutupi oleh gelap, sementara di siang hari semuanya
terlihat, karenanya orang yang riya’ akan terlihat di malam
Fihi
Ma Fihi
hari. Ia berkata, “Karena tak ada seorang pun yang
melihatku, untuk apa aku melakukan semua itu?” Dijawab, “Ada satu yang
melihatmu, tapi kamu bukan orang yang bisa melihat-Nya. Yang bisa melihat
hanya mereka yang berada dalam genggaman kekuasaan-Nya.
“Ketika mengalami
kesulitan, semua orang memanggil-Nya. Begitu juga ketika sakit gigi, sakit
telinga, dan sakit mata; ketika sedih, takut, dan tak memiliki rasa aman,
semua memanggil-Nya. Dalam kerahasiaan semua memanggil-Nya disertai keyakinan
bahwa Ia akan mendengar keluh kesah dan mengabulkan permintaan mereka. Secara
rahasia mereka bersedakah untuk menolak bencana dan sebagai obat penyakit,
berkeyakinan bahwa Ia akan menerima usaha-usaha dan sedekah mereka. Saat Allah
mengembalikan kesehatan dan kedamaian hati mereka, mereka kembali kehilangan
keyakinannya dan bayangan kegelisahan muncul lagi. Mereka berkata, “Tuhanku,
bagaimanapun dulu kami berdoa kepada-Mu dengan penuh ikhlas dari pojok penjara
itu dengan mengulang-ulang ayat: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa
[QS. al-Ikhlas: 1]” sebanyak seribu kali tanpa rasa bosan dan lelah, lalu Kau
kabulkan permintaan kami. Sekarang kami sudah berada di luar penjara dan tetap
membutuhkan-Mu, sama seperti ketika berada di dalam penjara, sampai Kau
keluarkan kami dari penjara dunia yang penuh kezaliman ini menuju dunia para
nabi yang penuh cahaya. Mengapa keikhlasan tidak bisa datang kepada kita tanpa
adanya penjara dan rasa sakit? Seribu khayalan yang timbul, yang bermanfaat
maupun yang tidak, hanya menimbulkan ribuan bentuk rasa malas dan rasa lelah.
Lalu di manakah keyakinan yang dapat menghanguskan imanjinasi-imajinasi
itu?”
146
Fihi Ma Fihi
Allah SWT
menjawab: “Seperti yang telah Kukatakan, jiwa hewanimu adalah musuh bagimu dan
juga bagi-Ku.”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. al-
Mumtahanah: 1)
Perangilah musuh ini selalu di dalam penjara!
Sebab saat seseorang merasa terpenjara, diuji dan menderita, maka keikhlasanmu
akan muncul dan bahkan akan semakin kuat. Ribuan kali telah kamu buktikan
bahwa keikhlasan muncul karena adanya rasa sakit pada gigi, pada kepala, dan
adanya rasa takut. Lalu, mengapa kamu terkungkung dengan kenyamanan raga?
Kenapa kamu selalu disibukkan untuk merawat tubuh? Jangan lupakan ujung dari
benang itu; jauhkan dirimu dari apa-apa yang tidak Dia inginkan agar kamu bisa
meraih tujuan abadi dan terbebas dari penjara kegelapan:
“Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS.
al-Nazi’at: 40-41)
Pasal 14 Dari Dan Untuk Allah
SYEKH Ibrahim1 berkata: “Jika Saifuddin Farukh memukul seseorang,
maka ia akan menyibukkan dirinya dengan bercerita kepada orang lain tentang
perbuatannya itu agar orang-orang lain juga memukulnya. Akan tetapi metode
seperti tidak akan menolong orang yang ia pukul.”
Maulana Rumi berkata:
“Semua yang kamu lihat di dunia ini sama persis dengan apa yang ada di dunia
sana. Semua hal yang ada di dunia ini merupakan contoh dari apa yang ada di
dunia sana. Semua yang ada di dunia ini didatangkan dari dunia sana.”
1
Beliau adalah salah satu murid kesayangan Syamsuddin Tabrizi.
Fihi
Ma Fihi
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada
sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan
ukuran yang tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21)
Seorang laki-laki
botak dari Baalbak menjunjung nampan yang berisi bermacam-macam obat-obatan di
atas kepalanya, segenggam tiap jenisnya—segenggam lada dan segenggam mastik.
Masing- masing jenis obat-obatan itu sebenarnya tak terbatas, tetapi sudah
tidak ada tempat lagi yang tersisa di dalam nampannya. Manusia tak ubahnya
laki-laki botak dari Baalbak ini atau seperti toko parfum. Masing-masing orang
terisi oleh satu genggam atau beberapa genggam dari gudang sifat-sifat Allah
yang diletakkan di dalam nampan. Sehingga di dunia ini, antara satu orang
dengan yang lainnya saling bertalian dalam hal jual-beli barang yang sesuai
dengan kebutuhan mereka. Satu bagian dari pendengaran, satu bagian dari
ucapan, satu bagian dari akal, satu bagian dari kemuliaan, satu bagian dari
ilmu, dan seterusnya. Dengan demikian, terdapat beberapa orang yang
berkeliling demi Tuhannya, ia berjalan berkeliling menyusuri jalan- jalan,
siang dan malam untuk mengisi nampannya.
Misalnya kamu dengan jelas
melihat bahwa di dunia sana terdapat penglihatan, mata, dan pemandangan yang
berbeda-beda. Sebuah contoh dari semua itu dikirimkan kepadamu agar kamu dapat
melihat hal itu semua di dunia ini. Melihatnya semua itu di dunia ini tidak
berarti bahwa kadar semua hal itu terbatas pada apa
150
Fihi
Ma Fihi
yang kamu lihat, kamu hanya tidak mampu melihat lebih dari
itu. “Semua sifat yang Aku miliki tidak terbatas, dan kami mengirimnya
kepadamu dengan kadar tertentu.”
Renungkanlah bagaimana ribuan manusia
dari generasi ke generasi datang dan mengisi penuh lautan ini, akan tetapi
lautan itu tidak pernah penuh. Lihatlah, gudang apa itu. Setiap orang yang
tinggal lama di dalamnya, hatinya akan merasa lebih dingin dari nampan itu.
Itu adalah gambaran bahwa dunia ini berasal dari tempat contoh itu berada, dan
akan kembali lagi ke tempat berkumpulnya semua contoh-contoh itu.
“Sesungguhnya
kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kami kembali.”
(QS. Al-Baqarah: 156)
Kata Inna (sesungguhnya kami) bermakna:
semua bagian dari kita berasal dari dunia sana, semua itu hanyalah contoh dari
dunia yang ada di sana, dan nanti akan kembali lagi kesana—yang kecil, yang
besar, maupun semua binatang. Dunia yang ada di sana begitu lembut dan tak
kasat mata, tetapi alangkah indahnya ketika mereka menampakkan diri! Tidakkah
kamu melihat bagaimana angin musim semi tercermin pada pepohonan, rerumputan,
bunga-bunga di taman, dan tanaman kemangi? Melalui goyangan tanaman-tanaman
itu, tampak keindahan musim semi. Jika kamu hanya memfokuskan pandanganmu pada
angin musim semi itu, kamu tidak akan melihat semua keindahan itu. Tetapi, hal
itu bukan karena pemandangan dan
151
Fihi Ma
Fihi
taman-taman itu tidak ada di dalam angin. Bukankah pemandangan
seperti itu merupakan bias dari angin itu sendiri? Saat musim semi,
bunga-bunga dan kemangi berdansa di taman, akan tetapi berdansanya
tanaman-tanaman itu sangat lembut dan tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Ia
tak akan tampak tanpa adanya media yang dapat membuatnya keluar dari
kelembutannya tersebut. Demikian juga dengan manusia, dalam diri manusia
terdapat sifat-sifat yang samar, dan hanya akan terlihat melalui sebuah
perantara, baik dari dalam maupun luar.
Pada seseorang, sifat-sifat itu
bisa tampak melalui ucapan, yang lainnya melalui paksaan, orang yang lain lagi
melalui perang atau pun damai. Meski kamu berusaha sekuat tenaga, kamu tak
akan bisa melihat sifat-sifat manusia tanpa adanya perantara. Coba pikirkan
dirimu, maka tak ada yang akan kamu temukan. Jadi, asumsikanlah bahwa dirimu
terlepas dari sifat-sifat ini. Hal ini tentu bukan berarti kamu mengubah
sesuatu yang ada pada dirimu, melainkan karena hal itu memang tersembunyi dari
dirimu. Layaknya air di laut, air- air itu tidak akan keluar dari laut kecuali
dibawa oleh awan, dan hanya terlihat pada ombak. Gelombang adalah gejolak yang
timbul dari dalam dirimu tanpa perantara dari luar. Akan tetapi, selama laut
itu diam, kamu tak akan melihat gelombang air. Ragamu terletak di pinggir
pantai, sementara jiwamu ada di dalam lautan. Tidakkah kamu lihat bagaimana
ikan-ikan, ular, burung, dan berbagai macam makhluk menampakkan dirinya dan
kemudian kembali menghilang? Sifat-sifamu, seperti marah, dengki, nafsu, dan
yang lainnya, akan timbul dari lautan ini.
152
Fihi
Ma Fihi
Dengan demikian, kamu dapat berkata: “Sifat-sifat yang kamu
miliki begitu lembut wahai para pecinta Tuhan, tak mungkin kamu dapat
melihatnya tanpa perantaraan lidah. Karena kelembutannya, ia tidak akan pernah
terlihat tanpa adanya perantara.”
Pasal 15 Mempelai Perempuan Rahasia
DALAM diri manusia terdapat cinta, rasa sakit, rindu, dan
keinginan. Sekalipun seratus ribu dunia menjadi milik mereka, niscaya mereka
tidak akan merasa puas dan tenang. Meski mereka sudah menjajal setiap
keahlian, mempelajari astronomi, kedokteran, dan lain sebagainya, tetap saja
mereka tidak puas karena belum mendapatkan apa yang mereka tuju. Orang-orang
menyebut Sang Kekasih sebagai “ketenteraman hati,” karena di sanalah hati
mereka menemukan ketenteraman. Lantas bagaimana bisa seseorang dapat menemukan
ketenteraman dan keputusan selain dari-Nya?
Semua kesenangan dan
pencarian ini laksana anak tangga. Anak tangga bukanlah tempat untuk menginap
dan ditinggali, melainkan hanya sebatas jalan untuk dilewati. Betapa
bahagianya orang yang bangun dan menyadari hal ini lebih awal karena ia
tidak
Fihi Ma Fihi
akan membutuhkan waktu yang
panjang untuk mencapai puncak tangga, dan usianya tidak akan terbuang percuma
di tingkatan anak tangga itu.
Seseorang bertanya: “Tentara Mongol telah
merampas harta kami secara paksa, tapi dari waktu ke waktu mereka
mengembalikan harta itu kepada kami. Ini merupakan kondisi yang aneh.
Bagaimana menurutmu?”
Maulana Rumi menjawab: “Semua yang sudah direbut
paksa oleh tentara Mongol telah masuk ke dalam genggaman dan gudang- gudang
Allah. Contohnya, kamu mengisi sebuah kendi dengan air laut kemudian kamu
pergi. Selama air itu masih berada di dalam kendi, ia akan tetap menjadi
milikmu dan tidak ada seorang pun yang berhak menggunakannya. Jika ada orang
yang mengambil air itu dari kendi tanpa seizinmu, berarti ia adalah seorang
pencuri. Tetapi jika air itu dituangkan kembali ke dalam lautan, maka air akan
menjadi halal bagi semua dan bebas dari kepemilikanmu. Dengan demikian, maka
harta kita menjadi haram bagi mereka dan harta mereka halal bagi kita.”
“Tidak
ada sistem kependetaan dalam Islam. Jemaah adalah rahmat.” Rasulullah Saw.
senantiasa bertindak atas nama jemaah. Hal ini dikarenakan berkumpulnya
jiwa-jiwa akan memberikan pengaruh yang sangat besar dan penting, yang tidak
bisa dihasilkan oleh satu jiwa. Inilah alasan kenapa masjid dibangun, yaitu
agar orang sekitar bisa berkumpul sehingga rahmat serta manfaat menjadi
berlipat. Tempatnya dijauhkan dari perumahan agar dapat dibedakan dan menutupi
aib. Itulah beberapa faidah. Masjid-masjid jami’ dibangun
156
Fihi
Ma Fihi
agar para penduduk kota dapat berkumpul semuanya. Sementara
Ka’bah dibangun agar umat manusia dari kota-kota dan musim- musim yang
berlainan dapat berjumpa.
Seseorang berkata: “Ketika tentara Mongol
pertama kali datang ke tanah ini, mereka telanjang dan tidak memiliki apa-apa.
Mereka mengendarai banteng dan senjata mereka terbuat dari kayu. Tapi
sekarang, mereka tampak rapi dan cukup makan, mereka juga memiliki kuda-kuda
Arab yang cantik dan peralatan perang yang modern.”
Maulana Rumi berkata:
“Kala itu, ketika mereka sedang putus asa, lemah dan tidak memiliki kekuatan,
Allah menolong mereka dan menjawab doa-doa mereka. Sekarang, ketika mereka
tampak begitu rapi dan perkasa, Allah menghancurkan mereka dengan makhluk yang
paling lemah agar mereka menyadari bahwa karena pertolongan dan anugerah dari
Allah-lah mereka mampu menaklukkan dunia, dan bukan karena daya dan kemampuan
mereka sendiri. Dulu mereka tinggal di gurun, jauh dari manusia, tanpa daya
dan kekuatan, miskin, telanjang, dan fakir. Tanpa diduga-guga, beberapa dari
mereka datang ke daerah Khawarizmi sebagai pedagang, lalu mereka mulai
melakukan transaksi jual-beli. Mereka membeli Kirbas (baju dari
katun putih) untuk menutupi tubuh mereka. Lalu orang-orang Khawarizmi
menghentikan transaksi jual-beli mereka, pedagang-pedagang mereka dititahkan
untuk dibunuh, mereka juga dibebani untuk membayar pajak, orang-orang
Khawarizmi tidak lagi mengizinkan mereka untuk menjejakkan kaki di tanah
mereka. Orang-orang Mongol itu datang kepada raja mereka dan berkata,
157
Fihi
Ma Fihi
“Mereka telah menghancurkan kami.” Raja meminta waktu
selama sepuluh hari, dan kemudian masuk ke dalam gua yang dalam. Di dalam gua
itu sang raja berpuasa sepuluh hari, dan dengan khusyuk merendahkan diri
kepada Tuhannya. Lalu datanglah suara dari Allah, “Aku terima permohonan dan
tawasulmu. Keluarlah! Ke mana pun kamu pergi, kamu akan menang.” Demikianlah
yang terjadi. Ketika mereka keluar, mereka menang dengan perintah Allah dan
mereka menaklukkan dunia.
Seseorang berkata, “Orang-orang Mongol juga
percaya pada hari kebangkitan, dan berkata bahwa akan ada hisab.”
Maulana
Rumi berkata: “Mereka berbohong, mereka melakukan itu karena ingin diterima
oleh umat Islam.”
Mereka berkata, “Kami mengakui dan mempercayainya.”
Jamal ditanya, “Dari mana kamu?” Ia menjawab, “Dari kamar mandi.” Dijawab
lagi, “Ya, itu terlihat dari sepatumu!” Jika mereka memang percaya akan
keberadaan hari kebangkitan, apa buktinya? Maksiat, kezaliman, dan keburukan
yang mereka lakukan seperti salju dan es yang dikumpulkan setinggi gunung.
Padahal ketika matahari kesadaran, penyesalan, kabar tentang akhirat, dan rasa
takut kepada Allah datang, ia akan melelehkan tumpukan salju dan es maksiat
semuanya, seperti matahari yang mencairkan salju dan es yang menggunung. Jika
sebagian tumpukan salju dan es berkata, “Aku melihat matahari dan sinarnya
memandikan diriku,” tetapi tumpukan salju dan es itu tetap menggunung, maka
orang yang waras tidak akan mempercayainya. Adalah hal yang mustahil jika
matahari sudah datang tapi tumpukan salju dan es tetap kokoh.
158
Fihi
Ma Fihi
Walaupun Allah SWT telah berjanji akan memberikan balasan
atas perbuatan baik dan buruk di hari kiamat kelak, akan tetapi contoh dari
balasan-balasan itu sudah Ia kirimkan kepada kita di setiap waktu dan
kerlingan mata. Jika kebahagian masuk ke dalam hati seseorang, maka itu adalah
balasan baginya karena membuat orang lain bahagia. Jika seseorang bersedih,
maka itu juga merupakan balasan baginya karena membuat orang lain sedih. Ini
semua adalah hadiah dari dunia yang lain dan tanda bagi hari pembalasan nanti,
agar orang-orang bisa memahami yang banyak dari yang sedikit ini, sebagaimana
kamu mengambil segenggam gandum sebagai contoh dari gandum-gandum yang ada di
dalam karung.
Baginda Rasulullah Saw., meskipun beliau memiliki keagungan
dan kebesaran, pada suatu malam merasakan sakit di tangannya. Turunlah wahyu
yang memberitahukan pada beliau bahwa rasa sakit yang dialaminya itu adalah
efek dari rasa sakit di tangan ‘Abbas, karena beliau telah memenjarakan dan
mengikat tangannya bersama para tawanan yang lain.
Meskipun Nabi mengikat
tangan Abbas atas perintah Allah, tapi beliau harus mendapatkan balasan dari
perbuatannya tersebut, agar kamu mengetahui bahwa penangkapan, penderitaan,
dan kesedihan yang menimpa dirimu adalah efek dari perbuatan buruk dan maksiat
yang kamu lakukan. Meski secara detail kamu tidak bisa mengingat semua yang
telah kamu lakukan, dari balasan itu kamu dapat menarik kesimpulan bahwa
dirimu telah banyak melakukan kesalahan-kesalahan. Kamu barangkali juga lupa
apakah perbuatan buruk itu kamu lakukan karena lupa atau karena
ketidaktahuanmu,
159
Fihi Ma Fihi
atau
mungkin ditularkan oleh seorang teman yang tidak mengerti agama sehingga
membuatmu melakukan pelanggaran terhadap Tuhan. Renungkan balasan itu, sampai
titik mana kamu rentangkan tanganmu, atau sampai sejauh mana kamu tersiksa?
Sudah jelas bahwa siksaan adalah balasan dari ketidakpatuhan, dan kesenangan
adalah balasan dari kepatuhan. Demikian juga ketika Rasulullah Saw. ditegur
oleh Allah karena mengenakan cincin di jarinya: “Kami tidak menciptakanmu
untuk bermain-main dan tidak berbuat apa-apa.”
“Maka
apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minun:
115)
Renungkan hal ini, dan tegaskan apakah kamu menjalani
kehidupanmu dalam kemaksiatan atau kepatuhan!
Allah SWT mengutus Musa as.
untuk membantu urusan- urusan manusia. Meski ia segan karena kesibukannya
melayani Allah, Dia tetap mengutusnya untuk membatu urusan manusia demi
kepentingan umum. Khidir juga sepenuhnya sibuk melayani Tuhannya. Pada
Mulanya, Rasulullah juga sibuk melayani Tuhannya. Lalu Allah memerintahkannya:
“Ajaklah manusia, nasihati mereka, dan perbaiki kesalahan mereka.” Beliau
menjadi sedih dan tersiksa sembari berkata: “Oh Tuhan, dosa apa yang telah
kulakukan? Mengapa Kau melemparku dari hadapan-Mu? Aku tak menginginkan
manusia.” Allah kemudian
160
Fihi Ma Fihi
menjawab:
“Wahai Muhammad, jangan kau berputus asa, aku tidak akan membiarkanmu sibuk
dengan urusan manusia, bahkan di dalam derasnya kesibukanmu itu, kau tetap
bersama-Ku. Ketika kau sibuk bersama manusia, tak sedetik pun waktumu
bersama-Ku akan diambil darimu. Bahkan meski kamu berada di tengah-tengah
lautan manusia, kau tetap bersama-Ku.”
Seseorang bertanya: “Apakah
hukum-hukum azali yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT akan berubah?”
Maulana
Rumi menjawab: “Apapun yang diputuskan oleh Allah di dalam azal, bahwa
kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan didera dengan
keburukan, sama sekali tidak akan pernah berubah. Karena Allah SWT itu Maha
Bijaksana, bagaimana mungkin Dia ber rman: “Lakukanlah keburukan agar kamu
memperoleh kebaikan.” Apakah bisa seorang yang menanam gandum akan menuai
jelai? Atau sebaliknya ia menanam jelai tapi menuai gandum? Tentu itu
mustahil. Para wali dan para Nabi semuanya sudah berkata bahwa balasan bagi
kebaikan adalah kebaikan, dan balasan dari keburukan adalah keburukan.
“Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun,
niscaya dia juga akan melihat (balasan) nya.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)
161
Fihi
Ma Fihi
Jika yang kamu maksud adalah hukum azali seperti yang baru
saja aku jelaskan, maka ia sama sekali tak akan pernah berubah. Kita belindung
kepada Allah! Tapi jika yang kamu maksud adalah balasan kebaikan dan keburukan
yang bertambah dan berubah, artinya setiap kamu menambah kebaikan, maka akan
bertambah pula balasan kebaikan tersebut, dan sebaliknya jika kamu terus
menimbun pundi-pundi keburukanmu, maka akan lebih banyak keburukan yang akan
menunggumu, maka tentu saja ini akan terus berubah sesuai kadarnya. Yang
jelas, asal hukum itu tidak pernah berubah.
Salah seorang yang menyangkal
bertanya: “Terkadang kita melihat orang yang menderita menjadi sangat bahagia,
dan orang yang sangat bahagia menjadi begitu menderita?”
Maulana Rumi
menjawab, “Ya, orang yang menderita itu kemudian berbuat kebaikan, atau
berpikir untuk melakukan kebaikan, maka jadilah ia orang yang bahagia.
Sementara orang bahagia yang kamu sebutkan tadi menjadi menderita karena ia
kemudian melakukan keburukan-keburukan, maka berubahlah ia menjadi orang yang
menderita. Seperti Iblis yang menentang Adam sembari berkata:
“Engkau
ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad:
76)
162
Fihi Ma Fihi
Setelah
menjadi guru bagi para malaikat, ia dikutuk selamanya dan diusir dari
hadapan-Nya. Dari kasus ini kita juga bisa mengatakan: “Balasan kebaikan
adalah kebaikan dan balasan keburukan adalah keburukan.”
Orang yang lain
bertanya, “Seorang laki-laki yang bernazar untuk berpuasa. Jika kemudian ia
tidak berpuasa, apakah ia dikenai kafarat (denda) atau tidak?”
Maulana
Rumi menjawab, “Dalam mazhab Imam Sya ’i disebutkan bahwa ia dikenai kafarat
karena nazar merupakan bagian dari sumpah. Sementara setiap orang yang
melakukan sumpah palsu, maka ia akan dikenai kafarat. Sedangkan dalam mazhab
Imam Abu Hanifah, nazar tidak berarti sumpah, sehingga orang yang tidak
menjalankan nazar tidak dikenai kafarat.
Sumpah itu sendiri terbagi
menjadi dua: Mutlaq dan Muqayyad. Sumpah Mutlaq itu seperti ucapan: “Aku harus
berpuasa hari ini.” Sedangkan sumpah Muqayyad itu seperti ucapan: “Aku harus
melakukan begini jika Fulan datang.”
Maulana Rumi menambahkan, “Seseorang
kehilangan keledainya. Kemudian ia berpuasa selama tiga hari dengan niatan
mengharap dapat menemukan keledainya kembali. Setelah tiga hari, ia
benar-benar menemukan keledainya namun dalam kondisi sudah menjadi bangkai.
Orang itu bersedih. Dalam kesedihannya itu, ia menengadahkan kepalanya ke
langit sembari berkata, “Jika aku tidak makan selama enam hari dari Bulan
Ramadan sebagai ganti dari
163
Fihi Ma
Fihi
puasaku selama tiga hari, maka aku bukanlah manusia, dan kamu
tidak akan dapat menaruh kepercayaan lagi kepadaku.”
Seseorang bertanya,
“Apakah arti dari penghormatan, selawat, dan pujian terhadap Nabi?
Maulana
Rumi menjawab, “Ini berarti bahwa ibadah,
pengabdian, dan rasa hormat itu bukanlah berasal dari kita, karena kita tidak
cukup memiliki daya untuk melakukannya. Pada hakikatnya, penghormatan,
selawat, dan pujian terhadap Nabi itu semuanya adalah untuk Allah dan bukan
untuk kita, semuanya dari Allah dan semuanya adalah milik Allah. Seperti pada
saat musim semi, di mana orang-orang bercocok tanam, mereka keluar ke jalanan,
bepergian, dan membangun. Ini semua adalah anugerah dan hadiah-hadiah dari
musim semi. Sebab jika tidak, maka mereka akan tetap seperti dulu, berada di
dalam rumah dan di gua-gua. Dari sini, kita bisa memahami bahwa hasil cocok
tanam, kesenangan, dan kenikmatan ini berasal dari musim semi. Ia adalah induk
dari kesenangan-kesenangan, dan pemilik hadiah-hadiah itu.
Para manusia
hanya melihat pada sebab, mereka menganggap bahwa hasil itu muncul karena
adanya sebab-sebab itu. Di hadapan para wali, sebab tidak lebih hanya sekedar
selubung yang menutupi musababnya. Seperti halnya seseorang yang berbicara di
belakang sebuah tirai.
Orang-orang menyangka bahwa tirai itu dapat
berbicara, mereka tidak mengerti bahwa sebenarnya tirai itu tidak berfungsi
apa- apa selain sebagai selubung. Ketika orang tersebut keluar dari tabir
164
Fihi
Ma Fihi
itu, barulah ia mengerti bahwa tabir itu hanyalah alat.
Para wali Allah melihat tindakan-tindakan yang dilakukan di balik sebab
sehingga semua menjadi tampak dengan jelas. Seperti seekor unta yang keluar
dari balik gunung, seperti tongkat Nabi Musa yang bertransformasi menjadi
ular, dan seperti dua belas sumber mata air yang mengalir dari batu yang
keras. Seperti Nabi Muhammad Saw. yang memecah bulan tanpa bantuan alat
apapun, seperti Nabi Adam yang datang ke dunia tanpa ayah serta ibu dan Nabi
Isa yang juga datang tanpa ibu, seperti berseminya mawar dan bunga-bunga
lainnya dari api yang memandikan Nabi Ibrahim, dan demikian seterusnya.
Dengan
begitu, ketika mereka melihat sesuatu, mereka mengerti bahwa sebab hanyalah
merupakan media, sementara penyebab utamanya bukanlah sebab itu sendiri.
Sebab-sebab hanyalah sampul agar orang-orang mau berpikir.
Allah berjanji
pada Nabi Zakaria untuk mengaruniainya seorang anak. Zakaria kemudian berseru:
“Aku dan istriku sudah sangat tua. Alat syahwatku telah lemah, dan istriku
tidak lagi subur. Ya Allah, dari istri seperti itukah Engkau hendak
mengaruniaiku seorang anak?”
“Zakaria berkata: “Ya
Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku sudah sangat tua dan
istriku pun seorang yang mandul?” (QS. Ali ‘Imran: 40)
165
Fihi
Ma Fihi
Datang sebuah jawaban: “Sadarlah Zakaria, kamu telah
kehilangan ujung dari tali itu. Aku telah menunjukkan padamu seratus ribu kali
bahwa semua itu tidak memiliki penyebab. Kamu benar-benar telah melupakannya,
kamu lupa bahwa sebab hanyalah media. Sungguh Aku mampu, saat ini juga,
memberimu seratus ribu anak tanpa perantaraan istri dan tanpa mengandung. Jika
Aku memberikan satu isyarat, semua orang akan tumbuh menjadi dewasa semuanya.
Bukankah Aku yang telah menciptakanmu di dunia roh tanpa ibu dan
ayah?—bukankah kamu sudah rasakan keramahan dan pertolongan-Ku sebelum kamu
datang ke dunia ini?—Mengapa kamu melupakan semua itu?”
Semua Nabi, wali,
dan manusia lainnya, yang baik maupun yang buruk, dapat dijadikan sebagai
contoh sesuai dengan tingkat kedudukan dan esensi yang mereka miliki. Para
budak dari negeri ka r dibawa ke negeri Islam, kemudian dijual. Sebagian
dibawa saat berusia lima tahun, ada juga yang sepuluh hingga lima belas tahun.
Semuanya masih anak-anak. Karena mereka dididik bertahun-tahun bersama
orang-orang Islam hingga menjadi tua, mereka benar-benar lupa akan kondisi
yang ada di negerinya dahulu, dan tidak ada satu pun yang mereka ingat.
Sementara para budak yang dibawa ketika berusia sedikit lebih tua dari masa
kanak-kanak, mereka sedikit banyak akan mengingat yang ada di negerinya
dahulu. Jika yang dibawa jauh lebih tua lagi, maka tentunya akan lebih banyak
yang ia ingat. Seperti halnya para roh di dunia sana, tepat di hadapan
Tuhannya, ketika Ia ber rman:
166
Fihi
Ma Fihi
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami).” (QS. al-A’raf: 172)
Makanan-makanan
roh itu adalah kalam Tuhan, yang tak berhuruf dan bersuara. Ketika mereka
lahir ke dunia ini sebagai bayi, kemudian mendengar kalam itu, mereka tidak
dapat mengingat apapun yang sudah terjadi sebelumnya di dunia roh. Mereka
merasa aneh dengan kalam ini. Itulah sekelompak manusia yang tertutup dari
Tuhannya, mereka tenggelam dalam keka ran dan kesesatan. Sementara sebagian
orang yang masih memiliki sedikit ingatan, memendam rindu yang membara dalam
hati mereka untuk kembali ke dunia roh itu. Mereka itulah orang-orang yang
beriman. Beberapa dari mereka justru mendengar kalam itu, lalu tampak dengan
jelas dalam pandangan mereka akan keadaan-keadaan masa lalu yang ada di masa
roh dahulu. Semua tabir tersingkap dari mereka dan bergabung dengan kesatuan
itu. Mereka adalah golongan para Nabi dan wali.
Sekarang, aku akan
berikan petuah kepada kekasih-kekasihku dengan sungguh-sungguh. Ketika
mempelai perempuan makna menampakkan diri di hadapan kalian dan
rahasia-rahasia mereka tersingkap, berhati-hatilah, jangan kamu ceritakan ini
pada orang asing, jangan kamu jelaskan apa yang kamu saksikan pada orang lain,
dan jangan ceritakan pada siapapun kata-kataku ini: “Jangan berikan
kebijaksanaan pada orang yang tidak layak untuk menerimanya, karena
167
Fihi
Ma Fihi
ia kelak akan menzalimimu. Jangan kamu simpan kebijaksanaan
dari orang yang layak menerimanya, karena itu berarti kamu telah
menzaliminya.”1 Jika seorang perempuan cantik dan layak dipuja menyerahkan
dirinya kepadamu secara pribadi di rumahmu, sembari berkata, “Jangan tunjukkan
diriku pada orang lain, karena aku adalah milikmu,” maka apakah boleh dan
layak bagimu untuk mempertontonkannya di pasar-pasar, dan kamu berkata pada
semua orang, “Ayo kesini, lihatlah si cantik ini!” Tentu perempuan cantik itu
tidak akan menerimanya. Ia akan pergi pada orang lain dan marah kepadamu.
Allah telah menjadikan kata-kata ini haram bagi sebagian orang. Seperti halnya
para ahli neraka Jahanam yang mengemis-ngemis kepada ahli surga, seraya
berkata, “Sekarang, di mana kedermawanan dan keluhuran hatimu?—sulitkah bagimu
jika kamu alirkan sedikit saja kepada kami anugerah dan hadiah-hadiah yang
sudah diberikan oleh Allah SWT sebagai bentuk sedekah dan perbuatan baik?”
Dalam
cangkir kedermawanan, terdapat porsi untuk bumi.2
1
Kalimat ini berasal dari ucapan Nabi Isa as., akan tetapi dengan redaksi yang
berbeda-beda.
2 Potongan bait yang terdapat dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali, Juz 4, halaman 71. Adapun redaksi lengkapnya
adalah sebagai berikut (pengarang bait ini tidak diketahui):
Kami meneguk
minuman yang baik milik orang baik — Ternyata beginilah manisnya minuman
orang-orang baik
Kami minum lalu sisanya kami tuangkan ke bumi — Dalam
cangkir kedermawanan, terdapat porsi untuk bumi.
168
Fihi
Ma Fihi
Kami terbakar dan meleleh dalam panasnya api neraka ini.
Tidakkah sulit bagimu untuk memberikan sedikit dari buah-buahan itu, atau kau
tuangkan ke dalam tubuh kami satu atau dua tetes air surga yang segar?
“Dan
penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “ Limpahkanlah kepada kami sedikit
air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.” Mereka (penghuni
surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas
orang-orang ka r.” (QS. al- A’raf: 50)
Penghuni surga
menjawab, “Allah mengharamkan itu semua untukmu. Benih-benih kenikmatan ini
berada di dunia. Karena di dunia kamu tidak menabur dan menyemai benih iman,
kejujuran, dan amal kebajikan, lantas apa yang akan kalian panen di sini?
Bahkan sekalipun kami berikan sedikit kenikmatan ini sebagai bentuk
kedermawanan kami pada kerongkonganmu yang terbakar, niscaya tak sedikit pun
dari nikmat ini yang akan sampai di perutmu, sebab Allah telah mengharamkannya
pada kalian. Meski nikmat itu kamu letakkan ke dalam karung-karung besar,
karung itu akan sobek dan nikmat itu akan jatuh darinya.
169
Fihi
Ma Fihi
Sekelompok orang muna k datang kepada Nabi Muhammad Saw.
Mereka menceritakan rahasia-rahasia dan melayangkan pujian kepada beliau. Nabi
Muhammad berkata kepada para sabahatnya dengan menggunakan simbol,
“Khamarkanlah wadah-wadah kalian!” Maksudnya, karena ada barang-barang kotor
dan beracun (celoteh orang-orang muna k), maka tutuplah erat-erat mangkuk,
cangkir, periuk, ceret, dan kendi kalian agar ia tidak terjatuh ke dalam
wadah- wadah kalian, yang kemudian tanpa diketahui kalian meminumnya dan
lantas teracuni. Melalui gambaran ini, Rasulullah mengajak para sahabat untuk
menyembunyikan hikmah dari orang-orang muna k, untuk menutup mulut mereka dan
berhenti berbicara, karena mereka adalah tikus-tikus yang sama sekali tidak
pantas memperoleh hikmah dan kenikmatan ini.
Maulana Rumi berkata,
“Amir yang baru saja pergi dari hadapanku itu, meskipun ia
tidak mengerti secara detail, tapi secara umum ia sudah memahaminya, bahwa aku
mengajaknya ke jalan Tuhan. Cara memohonnya yang amat santun, anggukan
kepalanya, cinta dan kerinduannya yang mendalam, menunjukkan bahwa ia memang
sudah paham. Ya, orang desa ini datang ke kota untuk mendengar kumandang azan
salat, meskipun ia tidak memahami azan itu secara detail, tapi secara umum ia
mengerti maksud dan artinya.”
Pasal 16 Siapa Yang Melihatnya, Berarti Ia Sudah Melihat-Ku
MAULANA Rumi berkata, “Semua yang dicintai itu cantik, tapi tidak
semua yang cantik itu dicintai.” Cantik adalah bagian dari sifat sesuatu yang
kita cintai, dan sifat sesuatu yang kita cintai itulah asalnya. Ketika
seseorang dicintai, maka orang itu akan menjadi cantik di mata orang yang
mencintainya; bagian dari sesuatu tidak akan terpisah dari keseluruhannya,
sesuatu yang melekat pada bentuk keseluruhannya.
Pada saat Majnun masih
hidup, ada banyak sekali perempuan yang lebih cantik daripada Laila, akan
tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang dicintai oleh Majnun.
Mereka
berkata kepada Majnun, “Ada banyak perempuan yang lebih cantik daripada Laila,
kami akan membawakan beberapa
Fihi Ma Fihi
kepadamu.”
Majnun menjawab, “Silakan saja, tapi aku tidak mencintai Laila dari bentuk
luarnya, dan Laila bukanlah bentuk luar. Ia laksana cangkir yang ada dalam
genggaman tanganku, yang mana dari cangkir itulah aku meneguk anggur. Aku
jatuh cinta pada anggur itu. Mata mereka hanya bisa melihat cangkir itu, tapi
tidak tahu bahwa di dalamnya ada anggur. Jika aku memiliki sebuah cangkir emas
bertatahkan mutiara tapi berisi cuka atau cairan lainnya, apa gunanya cangkir
itu buatku? Bagiku, sebuah labu tua yang sudah usang tapi di dalamnya terdapat
anggur akan jauh lebih baik ketimbang seratus cangkir itu.
Seorang
manusia baru boleh mencinta dan merindu setelah mengetahui anggur itu, dan
menjauhkan cangkir, tempat anggur itu, dari pandangan hatinya. Ini seperti dua
orang yang melihat seiris roti, di mana orang yang pertama dalam kondisi
kelaparan karena belum makan apapun selama sepuluh hari, sementara orang yang
kedua dalam kondisi kekenyangan karena makan lima kali dalam sehari. Orang
yang kenyang hanya melihat roti itu, sementara yang lapar melihat esensi yang
ada di dalam roti itu. Roti itu bagaikan cangkir, dan kelezatan yang ada di
dalamnya seperti anggur di dalam cangkir. Anggur tidak dapat terlihat kecuali
dengan mata hasrat yang kuat dan kerinduan yang mendalam. Raihlah dua hal itu
agar kamu tak menjadi orang yang hanya melihat bentuknya, tapi juga bisa
melihat yang kau cinta di setiap wujud dan tempat.
Semua bentuk ciptaan
Allah itu laksana cangkir. Ilmu, seni, dan pengetahuan adalah inskripsi di
atas cangkir itu. Tidakkah kau
172
Fihi Ma Fihi
mengerti
bahwa ketika cangkir-cangkir itu jatuh dan pecah, maka inskripsi itu juga akan
hilang? Anggur adalah sesuatu yang berada di dalam cangkir itu, dan
barangsiapa yang meminumnya maka ia akan melihat: “Amalan-amalan yang kekal
lagi saleh. [QS. al-Kah : 46]”
Orang yang bertanya terlebih dahulu harus
menyadari dua hal: Pertama, ia harus percaya bahwa ada yang keliru dalam
ucapannya dan ada sesuatu yang berbeda. Kedua, ia harus sadar bahwa selama ini
ada perkataan dan hikmah lain yang lebih baik dari miliknya, tapi ia tidak
mengetahui hal itu. Itulah maksud dari ucapan: “Bertanya adalah setengah dari
pengetahuan.”
Setiap orang berpaling pada orang lainnya, dan mereka semua
sedang mencari Allah. Dalam asa inilah mereka menghabiskan umur mereka. Akan
tetapi, di dalam keributan ini, pasti ada seseorang yang istimewa yang
mengetahui siapa yang terpilih. Di tubuhnya terdapat bekas pukulan tongkat
sang raja hingga akhirnya ia menyatakan dan percaya bahwa hanya ada satu
Tuhan.
Seorang baru bisa dikatakan ‘tenggelam dalam air’ ketika air yang
menenggelamkannya, bukan ia yang menenggelamkan diri ke dalam air.
Orang
yang berenang dan tenggelam sama-sama berada di dalam air; perbedaannya adalah
orang yang tenggelam dibawa oleh air, sementara orang yang berenang mengontrol
air itu dengan kekuatannya dan bergerak sesuka hatinya. Semua gerakan,
perbuatan dan perkataan yang berasal dari orang yang tenggelam sejatinya
berasal dari air. Dalam hal ini, ia hanya merupakan alat. Seperti saat
173
Fihi
Ma Fihi
kamu mendengar kata-kata dari dinding, kamu pasti tahu
bahwa kata-kata itu tidak berasal dari dinding, akan tetapi ada Wujud yang
membuat dinding itu berbicara.
Para wali tak berbeda dengan perumpamaan
ini. Mereka sudah mati sebelum mati. Mereka bergerak mengikuti gerakan pintu
dan dinding, tidak ada sehelai rambut pun yang tersisa dari diri mereka. Di
tangan kekuasaan, mereka seperti perisai, dan gerakan perisai itu bukan
berasal dari dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan “Akulah Allah.”
Perisai
itu berkata, “Aku sama sekali tidak ada. Gerakan ini berasal dari Tuhan.
Lihatlah perisai ini sebagai Tuhan dan janganlah kamu berseteru dengan Tuhan,
sebab orang-orang yang memukul perisai ini berarti ia menyatakan perang dengan
Tuhan. Dari masa Nabi Adam hingga saat ini, kamu sudah banyak mendengar
tentang orang-orang yang menyatakan perang dengan Allah—seperti Fir’aun,
Syaddad, Namrud, kaum ‘Ad, kaum Luth, dan kaum Tsamud— tanpa henti. Perisai
itu tetap berdiri sampai hari kiamat, masa demi masa. Satu waktu berbentuk
Nabi dan di waktu lain dalam wujud wali, hingga akhirnya dapat dibedakan
antara orang-orang yang bertakwa dari orang-orang yang durhaka, dan antara
para musuh dari para wali.
Setiap wali adalah bukti Allah bagi manusia.
Tingkatan dan maqam manusia disesuaikan dengan derajat hubungan mereka dengan
para wali tersebut. Jika mereka memusuhi para wali, berarti mereka memusuhi
Allah. Sementara jika mereka membenarkan para wali, berarti mereka membenarkan
Allah. Inilah arti dari ungkapan:
174
Fihi Ma
Fihi
“Siapa saja yang melihatnya, berarti ia telah melihat-Ku.
Siapa saja yang mencarinya, berarti ia sedang mencari-Ku.”1
Para hamba
Allah adalah mahram dari tempat suci Allah. Seperti Allah yang memotong semua
urat yang membuat para hamba menjauh dari-Nya dan lebih memilih mendekati
syahwat, dan semua benih pengkhianatan, maka ia pasti menjadi pangeran di muka
bumi dan begitu intim dengan misteri-misteri karena:“Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan. [QS. al-Waqi’ah: 79]”
Maulana Rumi
berkata: “Jika orang tersebut memalingkan punggungnya pada kuburan para wali
dan orang-orang besar, sesungguhnya ia tidak melakukan hal tersebut lantaran
ingkar atau sebagai bentuk kelalaian, melainkan karena ia memalingkan wajahnya
kepada roh (esensi) para wali. Perkataan yang keluar dari mulutku ini adalah
roh mereka. Memalingkan punggung dari jasad dan menghadapkannya kepada roh
tentu bukanlah sesuatu yang merugikan.
Sudah menjadi tabiatku bahwa aku
tidak menginginkan hati manapun bersedih karena diriku. Di tengah-tengah
perkumpulan, terkadang sekelompok orang menghambur kepadaku, tetapi beberapa
kekasihku mengusir mereka. Itu tidak menyenangkanku. Telah kukatakan ratusan
kali, “Jangan katakan apapun atas namaku, karena aku rela akan hal itu.”
Ketika teman-temanku datang kepadaku
1
Tampaknya perkataan ini dinukil dari kata-kata Abu Yazid al-Busthomi saat
mendeskripsikan “mi’raj”-nya: “Barang siapa yang melihatmu, berarti ia
melihat- ku, Siapa yang menginginkanmu, ia menginginkanku.” Lihat Risalat
an-Nur yang dipublikasikan oleh Abdurrahman Badawi dengan judul Syathahat
ash-Shu yah, hlm 139.
175
Fihi Ma Fihi
dan
aku takut akan membosankan mereka, maka aku membacakan puisi untuk
menyenangkan mereka. Jika tidak, apa perlunya aku menggubah puisi? Demi Allah,
aku tidak peduli pada puisi. Di mataku, tidak ada yang lebih buruk dari puisi.
Tapi justru itu menjadi kewajiban buatku; seperti halnya tuan rumah yang
memasukkan tangannya ke dalam periuk berisi makanan untuk menjaga nafsu makan
sang tamu, maka hal itu menjadi wajib untukku.
Seorang pedagang mencoba
untuk melihat barang apa yang dibutuhkan dan yang ingin dibeli oleh
orang-orang di sebuah kota. Itu barang yang akan dibeli dan itu barang yang
akan dijual, meskipun barang-barang itu harganya murah. Banyak ilmu telah
kupelajari, banyak orang menderita yang telah kutemui, agar aku dapat
menunjukkan hal-hal yang indah, luar biasa, dan detail kepada para
cendekiawan, para muhaqqiq, orang-orang pandai, dan para pemikir yang datang
kepadaku. Allah SWT telah menghendaki hal ini. Dia mengumpulkan semua ilmu itu
beserta rasa sakit yang terkandung di dalamnya untukku sehingga aku menjadi
sibuk dengan pekerjaan ini. Apa yang bisa aku lakukan? Di kotaku ini, di
antara semua penduduk yang ada di sini, tidak ada yang lebih rendah
kedudukannya ketimbang puisi.
Jika aku tinggal di tempat ini, maka aku
harus hidup sesuai dengan adat-istiadat penduduk dan mempraktikkan sesuatu
yang mereka suka, seperti memberikan pelajaran, mengarang buku, dan saling
mengingatkan dan menasehati, berlaku zuhud, dan melakukan perkara-perkara yang
tampak.
176
Fihi Ma Fihi
Amir
berkata padaku: “Akar masalahnya adalah tindakan.” Maulana Rumi menjawab: “Di
mana orang-orang yang melakukan tidakan dan yang mencari tindakan itu,
sehingga aku bisa menunjukkan kepada mereka sebuah tindakan? Sekarang, kamu
mencari kata-kata dan memiringkan telingamu agar bisa mendengar sesuatu. Jika
aku tidak berbicara, maka kau akan bosan. Jadilah para pencari tindakan agar
aku dapat menunjukkan sebuah tindakan kepadamu! Aku sedang mencari murid
tindakan (orang yang melakukan tindakan) di dunia ini untuk mengajarkan
tentang tindakan kepadanya. Karena aku tidak menemukan murid tindakan dan
hanya menemukan murid perkataan, maka kusibukkan diriku dengan berkata-kata.
Apa gunanya kamu mengetahui tindakan itu apa, kalau kamu tidak bertindak?
Tidak mungkin mengetahui tindakan tanpa bertindak. Tak mungkin bisa memahami
ilmu kecuali dengan ilmu, bentuk dengan bentuk, dan makna dengan makna. Tidak
ada seorang pejalan pun yang di jalanan sepi ini, bagaimana seseorang bisa
tahu kalau kita berada di jalan tindakan yang benar?
Kesimpulannya,
tindakan itu bukanlah salat dan bukan puasa. Keduanya adalah aksiden dari
tindakan, sementara tindakan itu sendiri berada di hati. Bagaimanapun, sejak
zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw., salat dan puasa telah berubah
bentuk, tetapi tidakannya selalu sama. Semua itu adalah aksiden dari tindakan,
sementara tindakan itu berada dalam diri manusia. Seperti ketika kamu berkata,
“Obat itu bekerja (bertindak).” Tentu yang dimaksud di sini bukanlah aksiden
dari tindakan, melainkan esensi dari tindakan. Ketika seseorang mengatakan,
“Lelaki itu bekerja (bertindak) di kota sebagai...;” orang itu tidak sedang
melihat
177
Fihi Ma Fihi
aksidennya
(jenis pekerjaannya), tetapi sedang mengajak orang yang diajak bicara untuk
bekerja mengikuti pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh lelaki tersebut.
Tindakan
tidak seperti apa yang dipahami oleh kebanyakan orang. Mereka beranggapan
bahwa tindakan adalah sebuah aksiden. Jika memang demikian, mengapa jika
seorang muna k melakukan tindakan itu (shalat dan puasa), ia tidak akan
memperoleh manfaat apa-apa? Itu disebabkan karena makna (esensi) dari
kejujuran dan iman tidak ada dalam aksiden itu.
Prinsip rahasia dari
segala sesuatu adalah ucapan dan kata-kata. Kamu belum benar-benar mengetahui
ucapan dan kata-kata itu, dan karenanya kamu menganggapnya tidak penting.
Bagaimanapun, ucapan adalah buah dari pohon tindakan. Karena kata-kata
dilahirkan dari tindakan. Allah SWT menciptakan dunia dengan kata-kata: “Jadi,
maka jadilah.”
Iman itu terletak di hati. Tetapi jika kamu tidak
menyatakannya dengan ucapan, maka ia tidak akan berarti apa-apa. Salat adalah
serangkaian tindakan, tapi jika kamu tidak membaca al-Qur’an dalam prosesinya,
maka salatmu akan batal. Jika kamu berkata, “Saat ini, kata-kata tidak perlu
lagi dipertimbangkan,” bukankah pernyataan ini ini juga disampaikan melalui
kata-kata? Jika kata-kata memang tidak perlu dipertimbangkan, lantas bagaimana
kita bisa mendengar pernyataan itu darimu? Intinya adalah bahwa kamu
mengatakan hal itu juga dengan kata-kata.
178
Fihi
Ma Fihi
Seseorang bertanya: “Ketika kita melakukan kebaikan dan
beramal saleh, lantas kita memupuk harapan kepada Allah agar Dia memberikan
ganjaran yang setimpal, apakah itu buruk untuk kita?
Maulana Rumi
menjawab: “Demi Allah, sudah sepatutnya bagi manusia untuk selalu memiliki
harapan. Iman itu sendiri terdiri atas rasa takut dan harapan.”
Seseorang
pernah menanyaiku: “Harapan itu baik, tapi apa gunanya rasa takut ini?” Aku
menjawab: “Tunjukkan padaku rasa takut tanpa harapan, atau harapan tanpa rasa
takut. Selama keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, kenapa kamu
menanyakan pertanyaan semacam itu?” Sebagai contoh, jika seseorang menanam
benih gandum, tentu ia berharap bahwa suatu saat ia akan memanen gandum itu.
Di saat yang sama, ia juga takut ada penyakit atau hama yang akan membuatnya
gagal panen. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak ada harapan tanpa
adanya rasa takut. Kita bahkan tidak mungkin bisa membayangkan harapan tanpa
rasa takut atau sebaliknya. Jika seseorang memupuk harapan akan balasan atas
kebaikan yang sudah ilakukannya, bukan tidak mungkin ia akan menjadi lebih
giat dan rajin di dalam melakukan pekerjaan tersebut. Harapan itu seperti
menjadi sayap baginya, di mana semakin kuat lambaian sayapnya maka ia akan
terbang semakin tinggi. Sementara jika ia berputus asa, ia akan menjadi malas.
Ia tak akan melakukan apa-apa lagi. Seperti orang sakit yang meneguk obat yang
pahit dan meninggalkan puluhan makanan lezat; jika ia tidak mengharapkan
sehat, bagaimana bisa ia tahan meneguk obat yang pahit itu?
179
Fihi
Ma Fihi
“Manusia adalah hewan yang berbicara.” Manusia terdiri atas
dua hal, hewan dan berbicara. Seperti halnya hewan yang selalu ada dalam diri
manusia, begitu juga dengan berbicara. Jika manusia tampak tidak berbicara
dengan mulutnya, berarti ia berbicara dalam batinnya. Ia berbicara secara
konstan. Jika hal ini dibandingkan dengan banjir, maka air yang jernih
diserupakan dengan berbicara, sementara tanah yang bercampur dengan air itu
adalah sifat kehewanannya; tetapi tanah itu bukan sifat asli dari air.
Tidakkah kamu melihat bahwa tanah-tanah itu terpisah dan hilang dari air,
sedangkan ucapan, cerita, dan pengetahuan mereka yang baik dan yang buruk
masih tetap tinggal?
Pemilik hati adalah keseluruhan. Jika kamu telah
melihatnya, berarti kamu telah melihat keseluruhan. “Hewan buruan itu semuanya
ada di dalam perut keledai.” Semua makhluk yang ada di bumi adalah
bagian-bagian dari pemilik hati, ia adalah bagian dari keseluruhan.
Seluruh
manusia, yang baik maupun yang buruk, adalah bagian dari para darwis
Siapa
saja yang tidak memiliki hati, dia tidak seperti para darwis itu.2
Sekarang,
jika kamu sudah melihat dia yang sudah menjadi bagian dari keseluruhan, maka
tentu kamu sudah melihat seluruh dunia. Siapa saja yang kamu lihat setelah itu
hanyalah bentuk
2 Bait ini adalah
potongan puisi dari kumpulan ghazal (puisi cinta)-nya Maulana Jalaluddin
Rumi.
180
Fihi Ma Fihi
pengulangan,
sebab ucapan-ucapan mereka sudah terkandung dalam perkataan keseluruhan.
Ketika kamu sudah mendengar perkataan mereka, semua yang kamu dengar setelah
itu hanya sebuah gema: “Maka barang siapa yang melihatnya di suatu tempat,
maka seolah-olah ia telah melihat semua manusia dan semua tempat.”
Seperti
kata seorang penyair:
Wahai kamu yang menjadi salinan sejati dari
kitab Tuhan, Wahai kamu yang menjadi cermin keindahan sang Raja, Tidak ada
sesuatu pun di dunia ini yang keluar dari dirimu,
Maka mintalah semua
yang kamu inginkan dari dalam dirimu, dan berteriaklah: “Inilah aku!”
Pasal 17 Manusia Adalah Kombinasi Malaikat Dan Binatang
AMIR berkata: “Orang-orang ka r menyembah berhala dan bersujud di
hadapannya. Sekarang kita juga melakukan hal yang sama. Kita pergi dan
bersujud kepada bangsa Mongol serta melayani mereka. Kita juga menganggap
mereka sebagai Muslim. Jauh di dalam hati kita, juga terdapat banyak sekali
berhala seperti sifat tamak, nafsu, dendam, dengki, yang semuanya kita patuhi.
Demikianlah kita berperilaku, secara lahir maupun batin. Lantas kita
menganggap diri kita sebagai seorang Muslim!”
Maulana Rumi berkata:
“Tetapi di sini ada sesuatu yang berbeda. Dalam pikiranmu terlintas satu
pandangan bahwa perilaku semacam itu (tamak, nafsu, dendam, dengki, dan
lain-lain) sungguh jahat dan benar-benar menjijikkan. Mata hatimu telah
melihat sesuatu yang agung yang menunjukkan bahwa perilaku-perilaku itu
Fihi
Ma Fihi
adalah buruk dan keji. Air asin menunjukkan keasinannya
kepada orang yang sudah meneguk air manis, dan “segala sesuatu akan menjadi
lebih jelas lewat kebalikan-kebalikannya.” Oleh karena itu, Allah SWT
menanamkan cahaya keimanan dalam jiwa-jiwa kalian sehingga kalian bisa melihat
perbuatan-perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang tercela.
Ringkasnya,
sebagai oposisi dari keindahan, keburukan menjadi tampak. Namun karena orang
lain tidak bisa merasakan rasa sakit ini, maka mereka sangat berbahagia dengan
kondisi mereka sekarang, seraya berkata: “Ini sungguh indah.”
Allah akan
menganugerahkan apa yang kamu minta. Sejauhmana semangatmu, sejauh itulah kamu
akan mendapatkan apa yang kamu minta. “Burung terbang dengan kedua sayapnya,
dan orang Mukmin terbang dengan semangat yang dimilikinya.”
Makhluk Allah
terbagi ke dalam tiga jenis: Pertama, adalah malaikat. Mereka hanya
memfokuskan diri secara murni pada ibadah. Ketaatan, ibadah, dan zikir adalah
sifat dan makanan mereka. Mereka makan dan hidup dengan semua esensi itu.
Seperti ikan yang hidup di dalam air, alas dan bantal mereka adalah air.
Malaikat tidak memiliki nafsu karena mereka tidak dikaruniai syahwat sehingga
mereka suci darinya. Lantas apa yang mereka peroleh dari tidak memiliki nafsu
di dalam jiwa? Karena mereka suci dari nafsu, maka tentu saja tidak ada usaha
bagi mereka untuk melepaskan diri dari hawa nafsu. Ketika mereka menaati apa
yang Allah perintahkan, maka hal itu tidak lagi disebut sebagai sebuah
ketaatan, sebab ketaatan adalah sifat mereka, mereka juga tidak memiliki kuasa
sedikit pun untuk tidak taat.
184
Fihi Ma Fihi
Jenis
yang kedua adalah binatang, yang mana di dalam dirinya hanya ada nafsu belaka.
Mereka tidak memiliki akal yang dapat mencegah mereka dari hawa nafsunya.
Mereka juga tidak dibebani tanggungjawab apapun.
Adapun jenis yang ketiga
adalah manusia yang lemah. Mereka memiliki akal dan juga hawa nafsu. Setengah
dari dirinya adalah malaikat, dan setengahnya yang lain adalah binatang.
Setengah ular, setengah ikan. (Dalam Bahasa Persi, ). Ikan menarik
dirinya ke lautan, sementara ular menarik dirinya ke daratan. Mereka selalu
berada dalam pergulatan dan peperangan. “Barang siapa yang akalnya mengalahkan
hawa nafsunya, maka ia lebih mulia dari malaikat, dan siapa yang hawa nafsunya
mengalahkan akalnya, maka ia lebih rendah daripada binatang.”1
Malaikat
selamat karena pengetahuannya, binatang selamat karena ketidakpeduliannya
itu.
Dan
anak cucu Adam akan selalu bersengketa tentang dua hal
Sebagian
anak Adam lebih memilih untuk mengikuti akalnya ketimbang hawa nafsunya
sehingga mereka sampai pada tingkat malaikat dan Cahaya murni. Mereka ini
adalah para Nabi dan wali. Mereka telah terbebas dari kungkungan rasa takut
dan harapan. Karena itulah, “Maka tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. al-Baqarah: 38]”
1
Maulana Rumi berpendapat bahwa pernyataan ini adalah hadis Nabi, semen- tara
beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa pernyataan ini adalah ucapan
Sayyidina Ali bin Abi alib. Adapun yang benar adalah pendapat yang
kedua.
185
Fihi Ma Fihi
Adapun sebagian
yang lain lebih memilih untuk memenangkan hawa nafsunya ketimbang akal,
sehingga mereka benar-benar menjadi seperti binatang. Sedangkan sisanya masih
terus dalam pergulatan antara hawa nafsu dan akal. Mereka adalah sekelompok
orang yang dalam diri mereka berbaur perasaan gelisah, sakit, sedih,
menderita, dan tidak puas dengan hidup yang mereka jalani. Mereka adalah
orang-orang Mukmin yang ditunggu oleh para wali untuk membawa mereka kembali
ke tempat asal mereka, untuk membuat mereka seperti para wali itu. Di tempat
lain, mereka juga ditunggu oleh para setan yang akan menyeret mereka ke tempat
yang paling rendah, dan dijadikan sebagai kolega mereka.
Kita
menginginkannya, yang lainnya juga menginginkannya. Lantas siapakah yang akan
beruntung? Adalah dia yang menjadi kekasih dari kemujuran!
Allah
SWT ber rman:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun
kepada- Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.” (QS. an- Nashr:
1-3)
186
Fihi Ma Fihi
Para
mufasir mazhab Zahiri (tekstual) menginterpretasikan surat ini sebagai
berikut: Nabi Muhammad Saw.. memiliki semangat yang tinggi, beliau berkata:
“Akan aku membuat semua manusia di bumi menjadi Muslim dan aku akan membuat
mereka berada di jalan Allah.”
Ketika merasa maut sudah mendekat, beliau
berkata, “Ah, bukankah aku dilahirkan untuk mengajak manusia ke jalan Allah?”
Allah SWT menjawab: “Jangan bersedih. Ketika waktu kepergianmu telah tiba,
semua wilayah dan kota yang hendak kamu taklukkan dengan bala tentara dan
hunusan pedang ini akan Aku jadikan semuanya tunduk dan beriman tanpa bala
tentara dan pedang. Tanda ini kelak akan datang menjelang ajalmu tiba, kamu
akan melihat mereka memasuki pintu-pintu-Ku dengan berbondong-bondong dan
menjadi Muslim. Ketika kamu melihat tanda ini, ketahuilah bahwa waktu
keberangkatanmu telah tiba. Saat itu, bertasbih dan beristighfarlah! Karena
kamu akan tiba di sana.”
Sementara para muhaqqiq (ahli tahkik) berkata:
“Sesungguhnya makna surat ini adalah bahwa manusia menganggap bahwa diri
mereka mampu membuang sifat-sifat tercela dengan ilmu dan usaha mereka.
Kemudian ketika mereka berjuang dan mengerahkan seluruh kekuatan serta
menggunakan segala cara, mereka menjadi berputus asa. Pada saat itu, Allah ber
rman: “Kamu anggap mampu meraih tujuan itu dengan kekuatan, usaha, dan
tindakanmu. Inilah sunah yang telah Aku tetapkan: Semua yang kamu miliki,
belanjakanlah di jalan-Ku, niscaya anugerah-Ku akan memancar padamu. Allah
memerintahkan kepadamu untuk menyusuri jalanan yang tak berujung ini dengan
kedua tangan dan kakimu. Sudah barang tentu Aku tahu
187
Fihi
Ma Fihi
bahwa kamu tidak akan mampu menembus jalanan ini dengan
kedua kaki lemahmu itu, bahkan selama ratusan ribu tahun pun kamu tidak akan
mampu melewati satu tempat pun dari jalan ini. Akan tetapi, jika kamu terus
berjalan hingga terjatuh dan pingsan, dan tanpa kekuatan yang tersisa lagi
dalam tubuhmu untuk melanjutkan perjalanan, maka pada saat itulah pertolongan
Allah akan datang.”
“Seperti anak kecil, setelah lahir ia digendong
dengan kedua tangan ibunya, lalu setelah tumbuh besar ia dibiarkan untuk
berjalan di atas kedua kakinya sendiri. Sekarang, ketika tidak ada sedikit pun
kekuatan yang tersisa dalam dirimu—di mana dulu kamu terus mengerahkan semua
kekuatan yang kamu miliki, saat tidur maupun terjaga—akan Kutunjukkan kepadamu
sebuah kelembutan yang darinya kamu akan mendapatkan kekuatan sehingga kamu
bisa mencari-Ku dengan penuh harap. Demikianlah, ketika sudah tidak ada lagi
cara yang bisa kamu gunakan, maka lihatlah anugerah, hadiah, dan
pertolongan-Ku ini. Ketika orang-orang datang kepadamu dengan
berbondong-bondong, padahal tidak ada satu pun dari mereka yang kamu lihat
ketika kamu mengerahkan seratus ribu tentara, “maka bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.”
Beristighfarlah kamu karena
pikiran dan pradugamu itu. Kamu tidak akan menyangka bahwa impianmu tidak
terwujud dengan tangan dan kakimu, ternyata Aku-lah yang mewujudkan impian
itu. Sekarang, setelah kamu menyadari bahwa Aku-lah yang mewujudkan semua itu,
beristighfarlah kamu kepada Allah karena “Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penerima Taubat.”
188
Fihi Ma Fihi
Aku
tidak mencintai Amir karena pertimbangan-pertimbangan duniawi, martabat, ilmu,
atau perbuatannya. Orang lain mencintainya karena semua hal ini. Mereka tidak
melihat wajah Amir, melainkan melihat punggungnya. Amir bagaikan cermin dengan
mutiara-mutiara berharga dan sepuhan emas di punggung cermin itu. Mereka yang
menyukai emas dan mutiara akan melihat punggung cermin ini. Sementara mereka
yang menyukai cermin, akan melihat ke depan cermin dan tidak akan melihat
mutiara dan emas yang ada di punggung cermin. Mereka menyukai cermin karena ia
adalah cermin, karena mereka melihat ada keindahan luar biasa dan tidak
membosankan di dalam cermin itu. Orang yang berwajah buruk dan beraib hanya
akan melihat keburukan di dalam cermin itu, sehingga ia akan segera
memalingkan mukanya dari cermin itu dan beralih mencari perhiasan-perhiasan
tadi. Lalu, apa yang melukai cermin itu jika di punggungnya diukir dengan
seribu ukiran dari mutiara dan disepuh dengan emas?
Allah SWT menyusun
manusia dari dua partikel; kemanusiaan dan kehewanan. “Segala sesuatu akan
menjadi jelas dengan kebalikan- kebalikannya.” Adalah mustahil bagi kita untuk
mengetahui sesuatu tanpa mau mengetahui kebalikannya. Tetapi Allah tidak
memiliki kebalikan, maka Allah ber rman: “Aku adalah gudang yang tersembunyi,
Aku ingin diketahui.”2 Untuk itulah maka Allah
2
Hadis Qudsi yang masyhur, para ahli taSaw.uf menggunakan hadis ini dalam
banyak karangannya. Pengarang kitab al-Lu’lu’ al-Marshu’ berkata bahwa hadis
tersebut, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibn Taymiyyah dan kemudian diikuti
oleh Az-Zarkasyi dan Ibnu Hajar, bukan termasuk hadis Nabi, dan tidak
diketahui apakah ada sanad shahih maupun daif yang menyebutkan hadis tersebut
atau tidak. Akan tetapi maknanya adalah benar dan jelas. Hadis ini selalu
berotasi di kalangan para su . (Al-Lu’lu’ al-Marshu’, hlm. 61. Dinukil dari
catatan
kaki terakhir dalam komentar Bedîuzzaman Forouzanfar dalam kitab ini yang
berbahasa Persi, Tahqiq Forouzanfar, hlm. 293).
189
Fihi
Ma Fihi
menciptakan dunia ini dari kegelapan agar menampakkan
cahaya- Nya. Demikian juga Dia menciptakan para Nabi dan wali sembari berkata
pada mereka semua, “Pergilah dengan semua sifat-Ku kepada semua makhluk-Ku!”
Mereka adalah penunjuk kepada cahaya Tuhan, agar tampak orang yang tulus dari
yang muna k, agar dapat dibedakan antara kerabat dari orang asing. Esensi itu
tidak memiliki kebalikan, sehingga untuk bisa melihatnya adalah dengan cara
melihat pada bentuknya. Seperti halnya kebalikan dari Nabi Adam adalah Iblis,
kebalikan Nabi Musa adalah Fir’aun, kebalikan Nabi Ibrahim adalah Namrud,
kebalikan Nabi Muhammad Saw.. adalah Abu Jahal, dan demikian seterusnya. Oleh
karena itu, melalui perantaraan para wali, akan tampak musuh-musuh Allah,
meskipun secara esensi Allah tak memiliki musuh. Melalui permusuhan dan
perlawanan, amal perbuatan mereka menjadi tampak. Allah ber rman: “Mereka
ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah
(justru) menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang ka r membencinya.
[QS. ash-Sha : 8]”
Seperti kata seorang penyair:
Bulan
menampakkan cahayanya, sementara anjing menggonggong.
Apa kesalahan
bulan, jika memang kebiasaan anjing begitu?
Dari bulan itu, cahaya
menerangi tiap sudut langit Apa yang dilakukan anjing itu dalam keheningan di
bumi?
190
Fihi
Ma Fihi
Ada banyak sekali manusia yang disiksa oleh Tuhannya dengan
kenikmatan, harta, emas, dan kekuasaan, lantas jiwa-jiwa mereka kabur dari
kemegahan dunia itu. Seorang fakir melihat Amir yang kaya raya lagi dermawan
di tanah Arab, di atas dahi sang Amir itu ia melihat cahaya para Nabi dan
wali, ia kemudian berkata: “Maha Suci Allah yang menyiksa para hamba-Nya
dengan berbagai kenikmatan.”
Pasal 18 Setetes Air Dari Hari Alastu
IBNU Muqri membaca al-Qur’an dengan benar. Ya, dia melantunkan
aksiden al-Qur’an dengan benar, tetapi dia tidak mengetahui maknanya. Buktinya
adalah dia tidak bisa menjawab ketika ditanya tentang maknanya. Ia membaca
tanpa melihatnya. Dia seperti seseorang yang menggenggam cerpelai, kemudian
ada orang lain yang menawarkan cerpelai yang lebih bagus dari miliknya, tapi
ia menolaknya.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya
orang tersebut tidak tahu apa-apa tentang cerpelai. Orang lain berkata
padanya: “Ini adalah cerpelai,” lalu ia serta merta mengambilnya karena
ikut-ikutan saja. Seperti anak-anak yang bermain dengan buah kenari, ketika
mereka disuguhkan buah kenari atau minyak kenari itu, mereka akan menolak
sambil berkata: “Kenari itu yang
Fihi Ma Fihi
bunyinya
kertak-kertuk. Benda ini tidak bersuara, apalagi berbunyi kertak-kertuk.”
Gudang-gudang Allah itu sangat banyak, begitu juga dengan ilmu-ilmu-Nya. Jika
seseorang membaca al-Qur’an itu dengan ilmu, lantas kenapa ia menolak
al-Qur’an yang lain?
Kutegaskan lagi pada para pembaca al-Qur’an bahwa
Allah telah ber rman:
“Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat- kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. al-Kah : 109)
Sekarang,
dengan tinta seharga lima puluh dirham, seseorang sudah bisa menyalin seluruh
isi al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri hanyalah sebagian kecil dari simbol ilmu
Allah, karena semua ilmu adalah milik Allah, tidak hanya yang tertulis dalam
mushaf al-Qur’an saja. Seorang ahli obat meletakkan sedikit obat di atas
secarik kertas. Kamu kemudian berkata: “Semua obat-obatan yang dimiliki oleh
ahli obat ada di atas secarik kertas ini.” Perkataan seperti itu tentu amat
bodoh dan menggelikan. Di zaman Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi-Nabi lainnya,
sudah ada al-Qur’an. Kalam Allah sudah ada kala itu, hanya saja tidak dalam
bahasa Arab. Kutegaskan hal ini pada para
194
Fihi
Ma Fihi
pembaca al-Qur’an dengan cara demikian, tapi aku melihat
semua itu tidak berbekas sama sekali pada mereka, jadi kutinggalkan saja
mereka.
Dikisahkan bahwa di zaman Nabi Muhammad Saw., siapa saja sahabat
yang mampu menghafal satu atau setengah surat al-Qur’an dalam hati, maka dia
disebut sebagai orang yang hebat dan orang- orang akan mengatakan: “Ia
menghapal satu surat al-Qur’an,” karena ia telah ‘menelan’ al-Qur’an.
Seseorang yang bisa menelan satu atau sepotong roti tentu merupakan pekerjaan
yang hebat. Akan tetapi orang-orang yang mampu meletakkan roti di dalam mulut
mereka tanpa mengunyahnya dan malah memuntahkannya lagi, maka ia akan mampu
memakan ribuan ton roti dengan cara seperti itu.
Oleh karena itu
dikatakan bahwa, “Banyak orang yang membaca al-Qur’an, tetapi justru al-Qur’an
mengutuknya.” Tentu yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak
memperhatikan makna al- Qur’an itu sendiri.
Meski demikian, hanya membaca
al-Qur’an saja juga tetap merupakan sebuah kebaikan. Sekelompok orang ditutup
matanya oleh Allah dengan ketidaksadaran sehingga mereka memakmurkan dunia
ini. Jika mereka semua dianugerahi kesadaran terhadap dunia lain di sana, maka
tentu dunia ini tidak akan makmur sama sekali. Ketidaksadaran itulah yang
menyebabkan kemajuan di bumi ini. Coba pikirkan masa kanak-kanak kita dahulu.
Dari ketidaksadaran itu kita menjadi besar dan tumbuh tinggi, namun ketika
pertumbuhan akal ini telah mencapat kesempurnaan, pertumbuhan kita
terhenti.
195
Fihi Ma Fihi
Jadi,
penyebab pertumbuhan dan kemajuan di bumi ini adalah ketidaksadaran itu, dan
penyebab kerusakan dan kemusnahan adalah kesadaran.
Apa yang aku katakan
ini tidak akan keluar kecuali karena dua hal: Aku mengatakan semua ini karena
cemburu, atau aku mengatakannya karena rasa kasihan. Aku berlindung kepada
Allah dari kecemburuan di hatiku. Sayang sekali jika kita harus cemburu pada
seseorang yang memang layak untuk dicemburui, tapi bagaimana jika kita cemburu
pada mereka yang tidak layak untuk dicemburui? Tidak, aku mengatakan semua ini
karena rasa kasihan dan kasih sayangku yang begitu besar pada kalian, karena
aku berharap bisa membawa kalian ke dalam muara makna yang sesungguhnya.
Dikisahkan
pada suatu hari ada seorang jamaah haji memasuki daerah gurun pasir. Di sana,
ia merasa kehausan. Sampai akhirnya ia melihat ada sebuah tenda kecil yang
sudah koyak di kejauhan. Ia pun berjalan ke arah tenda itu. Ketika ia melihat
seorang perempuan, ia berteriak: “Aku adalah tamu! Aku telah mencapai
tujuanku!” orang itu pun masuk, duduk, dan meminta air. Pemilik tenda
memberinya minuman yang lebih panas dari api dan lebih asin dari garam. Air
itu membakar semua yang dilewatinya, dari bibir hingga kerongkongannya. Rasa
haru orang itu membuatnya ingin menasihati gadis itu sebagai tanda terima
kasih.
“Karena kebaikan yang telah kamu berikan kepadaku, sekarang aku
berhutang padamu.” Kata orang itu. “Kasih sayang telah meluap dalam diriku,
jadi perhatikan baik-baik apa yang akan aku ucapkan padamu. Lihatlah, Baghdad
sudah dekat dari di sini,
196
Fihi Ma Fihi
begitu
juga dengan Kufah, Wasith, dan juga kota lainnya. Jika kamu tidak sanggup
melanjutkan perjalanan, kamu bisa berhenti dan beristirahat di sana dan di
sana, dan berputar balik dari satu tempat ke tempat lainnya sampai kamu sampai
ke tempat itu. Di sana ada banyak minuman yang manis dan dingin, berbagai
jenis makanan, bak mandi, berbagai kenikmatan dan perhiasan.” Orang itu terus
menyebutkan kemegahan-kemegahan yang ada di kota itu.
Sesaat kemudian,
datang seorang Badui yang tidak lain adalah suami dari perempuan itu. Dia
sudah menangkap sekeranjang tikus gurun, lalu meminta sang istri untuk
memasaknya. Sang tuan rumah juga menyuguhkan beberapa kepada sang tamu, yang
dimakan oleh lelaki itu dengan perasaan jijik. Setelah itu, di tengah malam,
sang tamu tidur di luar tenda. Perempuan itu berkata kepada suaminya: “Apa
kamu tidak pernah mendengar semua kisah yang diceritakan oleh tamu kita itu?”
Dia pun menceritakan semua yang diceritakan tamu tadi pada suaminya. Badui itu
menjawab: “Istriku, jangan kamu dengarkan apapun dari tamu kita ini. Ada
banyak sekali orang yang cemburu di dunia ini. Ketika mereka melihat orang
lain hidup dalam kebahagiaan dan kesenangan, mereka cemburu padanya dan ingin
mengusir mereka dari tempat tinggalnya dan menjerumuskan mereka pada kehidupan
yang menyedihkan.”
Sebagian orang mirip seperti orang Badui ini. Ketika
orang menasihatinya karena perasaan sayang kepada orang lain, ia justru
menyebutnya sebagai pencemburu. Namun, jika seseorang memiliki akar yang kuat
dalam hatinya, pada akhirnya, ia akan memalingkan wajahnya kepada kebenaran.
Ketika setetes air dari
197
Fihi Ma Fihi
Hari
Alastu (Perjanjian Awal) dipercikkan kepadanya, kelak tetes air itu akan
membebaskannya dari kebingungan dan kesedihan. Maka, kemarilah! Sampai kapan
kamu akan jauh dariku dan menjadi orang asing? Sampai kapan kamu akan diliputi
oleh kebingungan dan kesedihan? Apa yang harus kita katakan pada orang yang
belum pernah mendengar cerita-cerita tersebut, bahkan dari guru mereka
sendiri?
Seorang penyair pernah berkata:
Karena keagungan tak
pernah melingkupi nenek moyang mereka,
Mereka juga tidak akan mampu
mendengar sesuatu dari orang-orang yang agung.
Meskipun
berhadapan dengan esensi tidaklah menarik pada awalnya, tapi jika ia terus
mengikutinya, maka ia akan menjadi semakin manis. Ini berlawanan dengan
aksiden yang membuat kita terpesona pada awalnya, tapi semakin lama kita
berhadapan dengannya, ia akan menjadi semakin dingin. Apalah artinya bentuk
al-Qur’an jika dibandingkan dengan maknanya?—bayangkan
seorang manusia; apalah artinya bentuk dibanding dengan esensi orang
tersebut?—Jika bentuk dari manusia itu terlepas dari dirinya, kita tidak akan
melepaskannya dari tempat ia berada barang sejenak.
Maulana Syamsuddin,
semoga Allah menyucikan jiwanya, pernah bercerita: Suatu ketika ada sebuah ka
lah besar yang sedang berjalan menuju suatu tempat. Sepanjang perjalanan,
mereka tidak menemukan tanda-tanda adanya pemukiman dan sumber mata air.
198
Fihi
Ma Fihi
Tiba-tiba mereka sampai di depan sebuah sumur yang tidak
ada timbanya. Mereka pun mengambil sebuah ceret dan tali secukupnya kemudian
menurunkannya ke dalam sumur. Saat mereka menarik tali itu, ceret yang diikat
tali itu pecah. Mereka mengambil ceret lainnya dan kembali dimasukkan ke dalam
sumur, tapi lagi-lagi ceret itu pecah. Setelah itu, mereka mengikat beberapa
orang dengan seutas tali untuk diturunkan ke dalam sumur, tetapi mereka juga
tak kunjung keluar dari sumur gelap itu. Kemudian ada seorang pandai berkata,
“Aku akan turun.” Mereka pun menurunkannya. Ketika hampir mendekati dasar
sumur, tiba-tiba laki-laki itu melihat sesosok makhluk hitam yang menakutkan
muncul dihadapannya.
“Aku tidak akan melarikan diri, tapi setidaknya
biarkan aku menjaga akalku dan tidak kehilangan kesadaranku sehingga aku bisa
melihat apa yang akan terjadi,” Kata laki-laki itu.
“Jangan banyak
bicara. Kamu adalah tawananku, dan kamu tidak akan selamat kecuali kamu bisa
memberikan jawaban yang benar. Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkanmu,”
Jawab sosok hitam itu.
“Silakan, tanya saja,” timpal laki-laki itu.
“Tempat
mana yang paling baik di muka bumi ini?” sosok itu bertanya.
“Aku
hanyalah seorang tawanan dan makhluk lemah di hadapannya. Jika aku menjawab
Baghdad atau kota lainnya, mungkin aku menghina kampung halamannya,” laki-laki
itu membatin. Kemudian ia pun berkata dengan suara lantang, “Tempat yang
paling baik untuk ditinggali adalah tempat di mana pun kita bisa merasa
199
Fihi
Ma Fihi
nyaman di dalamnya. Meskipun tempat itu berada di perut
bumi atau di lubang tikus, maka itu adalah tempat yang terbaik.”
“Benar,
jawabanmu benar,” kata sosok hitam itu. “Sekarang kamu selamat. Kamu adalah
satu-satunya dari sejuta orang. Sekarang aku akan melepaskanmu, dan akan
kubebaskan yang lainnya demi kamu. Mulai sekarang aku tidak akan menumpahkan
darah lagi. Akan aku limpahkan anugerah berupa sumur ini pada semua orang
karena cintaku padamu.”
Sosok hitam mengerikan itu pun memberikan banyak
air agar bisa diminum oleh rombongan ka lah tersebut.
Tujuan dari kisah
ini terkandung dalam maknanya. Kita bisa mengatakan makna yang sama dengan
bentuk yang lain. Tetapi orang-orang yang ikut-ikutan akan berpegang pada
bentuk itu sendiri. Akan sulit untuk berbicara dengan mereka, meski kamu
menceritakan tentang makna kisah ini dalam bentuk yang lain, mereka tetap
tidak akan mendengarnya.
Pasal 19 Yang Terpenting Adalah Tujuannya
MAULANA Rumi berkata: “Orang-orang berkata kepada Tajuddin Quba’i bahwa
para ulama itu berada di antara mereka dan memisahkan orang-orang dari
keyakinan agama mereka.” Tajuddin menjawab: “Tidak mungkin para ulama datang
di tengah-tengah kita dan memisahkan kita dari keyakinan agama kita. Akan
tetapi, semoga Allah tidak membiarkan orang-orang yang demikian menjadi bagian
dari kita. Jika misalnya kamu memasang kalung dari emas di leher seekor
anjing, maka kamu tidak bisa serta merta menyebutnya sebagai anjing pemburu
karena kalung itu. Sifat sebagai pemburu adalah hal yang spesi k dari seekor
hewan, terlepas dari apakah itu memakai kalung emas atau kain wol.”
Seseorang
tidak bisa serta merta menjadi cendekiawan lantaran ia mengenakan jubah dan
serban. Esensi dari sifat kecendekiawanan
Fihi Ma Fihi
yang
ada dalam dirinyalah yang menjadikannya sebagai seorang cendekiawan. Entah ia
mengenakan penutup kepala atau jubah, tidak akan merubah apapun.
Demikian
juga yang terjadi pada orang-orang muna k
di zaman Rasulullah Saw.. yang hendak memutus jalan agama. Mereka mengenakan
pakaian salat agar bisa mencabut keimanan dari dalam hati umat Islam; mereka
mengenakan pakaian salat itu agar dirinya tampak seperti seorang Muslim. jika
seorang Kristen dan Yahudi mengkritik agama Islam, siapa yang akan
mendengarkan mereka?
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat
riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. al-Ma’un: 4-7)
Ini
hanyalah kata-kata: Kamu sudah menaklukkan cahaya itu tetapi kamu belum meraih
sisi kemanusiaanmu. Gapailah sisi kemanusiaan itu karena itu adalah tujuan
sejatimu. Adapun yang lainnya hanyalah perluasan darinya. Ketika kata-kata
diukir terlalu panjang dan rumit, tujuan mereka akan menjadi terlupakan.
Seorang
pedagang jatuh cinta pada seorang perempuan, ia pun mengirimkan beberapa pucuk
surat lewat pelayannya. “Aku begini, aku begitu. Aku jatuh cinta, aku
terbakar, benakku tak pernah
202
Fihi Ma Fihi
tenang,
kegelapan menimpaku, kemarin aku begini. Semalam juga terjadi ini dan itu
padaku.” Ia bercerita secara panjang lebar. Pelayan itu datang pada perempuan
yang dituju dan berkata, “Pedagang itu mengirimkan salam kepadamu dan berkata,
‘Datanglah padaku agar aku bisa melakukan ini dan itu padamu.’ Perempuan itu
berkata, “Sedemikian apatiskah dia?” Pelayan itu berkata, “Sebenarnya ia
mengatakan secara panjang lebar, tapi maksud dia sebenarnya adalah itu. Yang
terpenting adalah tujuannya, sementara sisanya hanya akan membuatmu
pusing.”
Pasal 20 Berlayar Mengarungi Wujud Manusia
MAULANA Rumi berkata: “Siang dan malam kamu terus berperang,
berharap akan mampu memperbaiki akhlak seorang perempuan dan menyucikan amal
perbuatannya melalui dirimu. Akan lebih baik kiranya kalau kamu memperbaiki
akhlakmu melalui dia ketimbang mencoba memperbaiki akhlaknya melalui dirimu.
Ubahlah dirimu dengan perantaraan dia.”
Datanglah padanya dan terima
semua yang dia katakan, sekalipun dalam pandanganmu apa yang dia ucapkan
terdengar mustahil. Buanglah kecemburuan dalam dirimu meskipun cemburu adalah
sifat yang melekat pada laki-laki; karena hal itu akan membuat sifat baik dan
buruk dalam dirimu bersatu. Karena itulah maka Rasulullah Saw.. kemudian
bersabda: “Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam.” Jalan yang ditempuh oleh
para
Fihi Ma Fihi
pendeta adalah menyendiri,
menjauh dari keramaian di gunung, menghindari perempuan, dan meninggalkan
dunia. Allah SWT sudah menunjukkan jalan yang lurus dan tersembunyi pada Nabi
Muhammad Saw.. Apa jalan itu? Yaitu menikah, sehingga kamu bisa memikul
ketidakadilannya, mendengarkan berbagai kemustahilan darinya, bisa menjalani
kerasnya hidup bersamanya, dan bisa mengubah akhlakmu menjadi jernih.
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. al-Qalam:
4)
Dengan memikul ketidakadilannya, itu sama halnya kamu
menghapus ketidaksucianmu padanya. Kesabaran akan memperbaiki akhlakmu,
sementara akhlaknya akan memburuk dengan penguasaan dan agresi tasnya. Jika
kamu sudah memahami ini, sucikan dirimu. Ketahuilah bahwa mereka bagaikan
pakaian bagimu, melalui mereka, kamu bisa menyucikan dirimu. Jika dengan cara
ini tak berhasil, bermusyawarahlah dengan dirimu sendiri melalui akal yang
kamu miliki seperti ini: “Biarkan aku menganggap bahwa kita tidak pernah
menikah. Ia adalah pelacur. Setiap aku diliputi oleh hawa nafsu, aku akan
pergi kepadanya.” Cara ini akan melindungimu dari sifat agresif dan cemburu
sehingga kamu akan merasakan indahnya berjuang dan memikul, dan karena
kemustahilan mereka sendirilah berbagai hal akan tersingkap dengan jelas di
hadapannya. Setelah itu, tanpa perlu bermusyawarah lagi, kamu akan langsung
bersedia
206
Fihi Ma Fihi
untuk
menanggung kesalahannya, berjuang demi dirinya, dan menaklukkan jiwanya yang
penuh dengan kesalahan. Saat kamu melihat itu semua, ada keuntungan-keuntungan
yang secara khusus akan kamu dapatkan.
Dikisahkan bahwa pada suatu malam,
Rasulullah Saw.. kembali bersama para sahabat dari sebuah serangan. Beliau
memerintahkan mereka untuk menabuh genderang, seraya berkata: “Malam ini kita
akan tidur di gerbang kota, dan memasuki kota keesokan harinya.” Mereka
menjawab: “Ya Rasulullah, untuk apa kita melakukan itu?” Beliau bersabda:
“Barangkali kamu akan melihat istrimu sedang bersama lelaki asing, lalu kamu
akan sakit hati dan terjadi perselisihan di antara kalian.” Salah seorang
sahabat tidak mendengar ucapan Rasulullah itu. Ia kemudian memasuki kota dan
melihat istrinya sedang bersama pria asing.
Inti dari cara Rasulullah
Saw.. ini adalah bahwa kamu harus mampu memikul rasa sakit, menyingkirkan
kecemburuan dan agresi tas, beban dalam menafkahi dan memberi pakaian pada
istri, serta ribuan kepedihan lainnya yang tak berkesudahan. Inilah “dunia
Muhammad.” Cara yang ditempuh Nabi Isa as. adalah dengan bergelut dalam
kesendirian dan menundukkan hawa nafsu, sedangkan cara yang ditempuh
Rasulullah Saw.. adalah dengan memikul ketidakadilan dan penderitaan yang
terjadi di antara mereka berdua. Jika kamu tidak bisa menerapkan cara yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad, setidaknya pakailah cara yang digunakan oleh
Nabi Isa as., agar kamu tidak sepenuhnya berada di luar jalan spiritual. Jika
kamu memiliki ketenangan, maka kamu akan mampu
207
Fihi
Ma Fihi
menentramkan hatimu untuk memikul seratus pukulan, dan kamu
juga akan menemukan buah dan hasilnya, atau kamu akan percaya hatimu yang
tersebunyi bahwa sesuatu “akan terjadi sesuai dengan yang mereka katakan dan
kabarkan, dan aku akan bersabar hingga tiba waktunya berada di tempat yang
banyak diceritakan orang.”
Kemudian kamu akan melihat, karena kamu
mencurahkan hatimu tentang hal ini, dan berkata, “Meski saat ini aku tidak
mendapat hasil apapun dari penderitaan ini, pada akhirnya nanti aku akan
sampai ke gudang-gudang itu.” Kamu akan sampai ke gudang- gudang itu, ya,
bahkan lebih dari yang kamu ingin dan harapkan. Jika sekarang kata-kata ini
belum memberikan pengaruh padamu, maka suatu saat nanti kata-kata ini akan
memberikan pengaruh yang besar padamu. Itu akan terjadi ketika kamu menjadi
lebih dewasa. Itulah perbedaan antara perempuan dan cendekiawan. Entah kamu
mau mengajak perempuan berbicara atau tidak, mereka masih akan tetap sama dan
tidak akan mengubah tabiat dan wataknya. Kata-katamu tidak akan berpengaruh
apapun pada mereka, bahkan mungkin akan menjadi lebih buruk.
Sebagai
contoh, ambillah seiris roti dan letakkan di bawah ketiakmu, dan jangan
berikan pada orang lain, katakanlah: “Aku tidak akan pernah memberikan roti
ini kepada siapapun. Kenapa harus aku berikan? Aku bahkan tidak akan
menunjukkannya.” Sekalipun roti itu dibuang di depan pintu, belum tentu anjing
akan memakannya karena begitu berlimpah dan murahnya roti itu. Tapi ketika
kamu mulai melarang orang lain untuk mendapatkannya, maka semua orang akan
mulai menginginkan roti itu, mereka
208
Fihi Ma
Fihi
akan memancangkan hatinya untuk roti itu, dan mereka menjadi
sangat berhasrat pada roti itu, “Kami ingin melihat roti yang kamu sembunyikan
dan kamu larang untuk kami miliki itu.” Terlebih lagi kalau kamu simpan roti
itu untuk waktu yang sangat lama di lengan bajumu, sambil kamu lebih-lebihkan
dan tegaskan bahwa kamu tidak akan memberikan dan menunjukkannya pada
siapapun, maka rasa ingin tahu mereka kepada roti ini akan menembus ambang
batas kewajaran, karena “Manusia sangat berhasrat pada sesuatu yang
dilarang.”
Semakin kamu memerintahkan perempuan, “Tetap sembunyikan
dirimu,” maka ia akan semakin bersikeras untuk memperlihatkan dirinya dan
semakin bersikeras juga orang lain untuk melihat perempuan itu karena hijab
yang menutupinya. Maka kamu duduk di tengah dan hasratmu bertambah pada dua
hal yang berbeda, dan kamu menganggap dirimu benar. Itu adalah pandangan yang
salah. Jika dalam diri mereka terdapat jiwa yang bisa mencegah mereka untuk
tidak berbuat jahat, maka hasilnya akan sama saja apakah kamu mau mencegahnya
atau tidak, mereka akan tetap berjalan sesuai dengan tabiat baik dan watak
sucinya. Jadi, kosongkanlah pikiranmu dari kegelisahan dan kesedihan. Jika
tidak begitu, maka kamu akan sama saja seperti mereka. Yang terjadi bukanlah
kamu mencegahnya untuk berbuat jahat, tapi justru kamu memperbesar hasratnya
untuk dilihat orang lain.
Orang-orang tetap berkata: “Kami telah melihat
Syamsuddin Tabrizi, Tuanku! Sungguh kami telah melihatnya.”
209
Fihi
Ma Fihi
“Hei bodoh, di mana kamu melihatnya?” Orang yang tidak bisa
melihat seekor unta di atap rumahnya sendiri, datang dan berkata: “Aku melihat
sebuah jarum dan memasukkan benang ke dalamnya.” Apa yang dikatakan orang itu
sama bagusnya dengan apa yang
diucapkanolehoranglainyangberkata:“Adaduahalyangmembuatku tertawa: orang negro
yang mewarnai ujung-ujung jemarinya dengan tinta hitam dan orang buta yang
bisa mengeluarkan kepalanya dari jendela.” Keduanya sama persis dengan cerita
di atas. Orang yang buta mata hatinya, mengeluarkan kepala mereka dari jendela
raga yang materil. Apa yang akan mereka lihat? Anggukan atau gelengan kepala?
Bagi orang yang berakal, keduanya sama saja, apakah mereka melihat anggukan
ataupun gelengan, semua yang mereka katakan tetaplah omong kosong.
Pertama-tama
seseorang harus memiliki pandangan hati, setelah itu barulah ia dapat melihat.
Jika ia tidak memiliki pandangan hati, lantas bagaimana ia bisa melihat
sesuatu yang tersembunyi?
Di dunia ini, ada banyak wali yang sudah
mencapai tingkatan kemanunggalan, sementara wali-wali lainnya berada di
belakang mereka, yang disebut “Wali Allah yang Terselubung.” Para wali yang
pertama selalu memohon dengan sungguh-sungguh: “Ya Tuhan, tunjukkan pada kami
salah satu wali-Mu yang Terselubung.” Selama mereka tidak benar-benar ingin,
atau selama Wali yang Terselubung itu tidak ingin dilihat, meskipun wali itu
memiliki mata yang sangat tajam, mereka tidak akan mampu melihatnya. Seperti
para pelacur yang tidak boleh melihat satu orang pelanggan pun, mereka tidak
bisa berkomunikasi dengan mereka atau menemuinya. Bagaimana
210
Fihi
Ma Fihi
bisa seseorang melihat Wali yang Terselubung atau
mengetahuinya tanpa mereka kehendaki?
Ini bukanlah perkara yang mudah.
Para malaikat berkata:
“Kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. al-Baqarah: 30)
“Kami
juga para pecinta, rohaniawan, dan cahaya sejati. Sedangkan mereka para
manusia, hanyalah sekumpulan orang rakus yang gemar membunuh, mereka akan
selalu menumpahkan darah.” Ini semua dikarenakan manusia gemetaran oleh adanya
malaikat yang merupakan rohaniawan, yang tak memiliki nafsu pada harta,
martabat, dan tidak tertutup oleh selubung. Mereka adalah cahaya sejati yang
mewakili keindahan Tuhan, mereka adalah pecinta sejati, pemilik mata yang
tajam yang mampu melihat dari jarak yang sangat jauh. Antara mengingkari dan
mengakui realitas tersebut, dengan gemetaran manusia bertanya: “Oh, siapa aku?
Apa yang aku tahu? Demikian pula jika ada seberkas cahaya yang menyinari
wajahnya dan ia merasa sangat senang, maka ia akan bersyukur seribu kali
sambil berkata: “Bagaimana aku bisa layak mendapatkan semua ini?”
Sekali
lagi, kamu akan mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan ketimbang
perkataan Syamsuddin. Karena pelayaran mengarungi wujud manusia adalah
cita-cita kita. Ketika ada pelayaran, maka angin akan membawa kapal itu ke
suatu tempat
211
Fihi Ma Fihi
yang
agung. Tapi ketika tidak ada pelayaran, maka semua perkataan itu hanyalah
hembusan angin belaka.
Alangkah indahnya hubungan antara pecinta dan yang
dicintanya, tidak ada paksaan di antara mereka bedua. Kalaupun ada paksaan,
maka hal itu dilakukan demi yang lain. Semua hal selain cinta adalah haram
baginya.
Aku bisa menjelaskan ucapan ini secara panjang lebar, tapi
sayangnya tidak ada waktu lagi. Seseorang harus berjuang keras dan menggali
sungai agar bisa sampai ke telaga hati. Akan tetapi orang-orang itu menjadi
bosan, atau orang yang berkata itu yang bosan dan mengajukan beragam alasan.
Jika tidak, maka orang yang berbicara tidak akan membiarkan pendengarnya
melepaskan diri dari kebosanan yang tak bermakna itu.
Siapapuntidakbisamemintaseorangpecintauntukmemberikan
bukti tentang keindahan orang yang dicintanya. Siapapun juga tidak akan mampu
menunjukkan bukti di hati pecinta tentang keburukan orang yang dicintanya.
Dengan demikian, bukti tidak berguna di sini. Di sini, manusia harus menjadi
pencari cinta. Jika dalam bait ini aku melebih-lebihkan keadaan pecinta, maka
itu bukan merupakan bentuk yang sebenarnya. Aku juga melihat bahwa seorang
murid hendaknya menanggalkan seluruh tujuan (makna)-nya demi bentuk guru
mereka.
Wahai engkau yang bentuknya lebih indah dari seratus makna
212
Fihi
Ma Fihi
Hal itu dikarenakan semua murid yang datang kepada gurunya
harus melepaskan diri dari semua tujuan (makna) yang dimilikinya, untuk masuk
ke dalam kebutuhan gurunya itu.
Bahauddin melemparkan pertanyaan: “Tentu
saja murid tidak menanggalkan tujuan mereka karena bentuk gurunya, tetapi demi
tujuan gurunya?”
Maulana Rumi menjawab: “Malasahnya tidak seperti itu.
Jika kondisinya demikian, maka keduanya akan menjadi guru. Sekarang kamu harus
berjuang agar bisa mencapai cahaya di dalam dirimu, agar kau bisa selamat dan
mengamankan diri dari api kebingunan- kebingungan ini. Jika seseorang bisa
menemukan cahaya semacam ini di dalam dirinya, maka seluruh kemegahan dunia
seperti pangkat, kehormatan dan jabatan akan melewati batinnya seperti kilatan
cahaya. Ini sama dengan orang-orang yang berkepentingan terhadap dunia
sehingga beragam kemegahan dari dunia lain di sana, seperti rasa takut kepada
Allah dan rindu kepada dunia para wali, hanya akan menyinari hati mereka untuk
sesaat lalu melesat seperti kilat. Ahlul Haq (para pengikut kebenaran) adalah
milik Allah. Wajah mereka menghadap ke arah-Nya. Mereka sibuk dengan Allah dan
tenggelam ke dalam diri-Nya. Bagi mereka, nafsu-nafsu dunia itu ibarat
nafsunya orang yang impoten, tidak pernah tinggal lama dan hanya lewat dengan
cepat. Ini berbanding terbalik dengan yang terjadi pada Ahlu al-Dunya.[]