Kafir dan Muslim Sama-sama Bertasbih

Kafir dan Muslim Sama-sama Bertasbih Maulana Rumi berkata: “Setiap orang yang menyebut kita dengan ucapan yang baik, alam akan menyebutnya dengan ucap

Kafir dan Muslim Sama-sama Bertasbih

Nama kitab: Terjemah Fihi Ma Fihi Mengarungi Samudera Kebijaksanaan Jalaluddin Rumi
Judul kitab asal: (فيه ما فيه)
Penulis: Jalaluddin Rumi (جلال الدين الرومي)
Nama lengkap: Muhammad Jalal al-Din Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qounawy
Nama lengkap dalam bahasa Arab: مُحَمَّد بن مُحَمَّد بن حُسَيْنَ بَهَاءٌ الدِّين البَلَخي الْبَكْرِيّ
Lahir: Balkh, Afghanistan, 1260 M / 658 H
Asal: Balkh, Afghanistan
Wafat: Konya, Türkiye, 672 H/ 1273 M (usia 66 tahun)
Bidang studi: Tasawuf, sufisme

Daftar isi

  1. Pasal 51. Manisnya Gula Adalah Fitrah
  2. Pasal 52. Selubung Yang Lemah Cocok Untuk Mata Yang Lemah
  3. Pasal 53. Matahari Ucapan Itu Amat Lembut
  4. Pasal 54. Tombak Yang Tergenggam Di Tangan-Nya Sangatlah Besar
  5. Pasal 55. Orang Kafir Dan Orang Beriman, Keduanya Sama-sama Bertasbih
  6. Pasal 56. Cahaya Kekayaan
  7. Pasal 57. Setiap Sesuatu Tersimpan Dalam Cinta
  8. Pasal 58. Sang Guru Dan Pekerja
  9. Pasal 59. Kebaikan Akan Terus Menyatu Dengan Keburukan
  10. Pasal 60. Pangkalnya Adalah Perhatian Allah
  11. Kembali ke: Terjemah Fihi Ma Fihi Jalaludin Rumi    

Pasal 51. Manisnya Gula Adalah Fitrah

Segala sesuatu tidak akan bisa kamu raih tanpa didahului dengan usaha,
Ini tidak berlaku untuk kekasih, ia tidak bisa kamu cari sebelum kamu mendapatkannya.1

KECENDERUNGAN manusia adalah mencari sesuatu yang belum pernah ditemukannya. Ia selalu sibuk mencarinya siang dan malam. Seandainya dia mengejar sesuatu yang sudah ada dan sudah tercapai, maka hal itu merupakan satu hal yang menakjubkan!

 
1 Potongan puisi dari kumpulan ghazal (puisi cinta)-nya al-Hakim Sanai al- Ghaznawi.

Kecenderungan semacam ini tidak akan terbesit dalam benak manusia dan tidak bisa digambarkan, sebab manusia akan selalu mencari sesuatu yang baru, yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya. Sementara yang ini adalah bentuk pencarian atas sesuatu yang sudah ada, yaitu pencarian kepada Allah. Dia adalah pemilik segala sesuatu, dan segala sesuatu itu terwujud atas kekuasaannya. “Jadi, maka jadilah—Dialah Dzat Yang Menemukan (al-Wajid) dan Maha Mulia (al-Majid).” Al-Wajid adalah yang menemukan segala sesuatu, meski demikian Allah adalah “Wujud Yang Mencari dan Wujud Yang Menang.”
Maksud dari pernyataan di atas adalah: “Wahai manusia, sepanjang kamu berpegang teguh pada kecenderunganmu untuk mencari sesuatu yang baru dari sifat-sifat kemanusiaan, maka ia akan semakin menjauh dari tujuan. Namun saat kamu mencurahkan kecenderunganmu pada pencarian kepada Allah yang menguasai kecenderunganmu itu, maka saat itu kamu akan mencari apa yang dicari oleh Allah.”
Seseorang berkata: “Kami tidak memiliki dalil, baik berupa ucapan, perbuatan, keajaiban, maupun sesuatu yang lainnya, yang membuktikan bahwa seseorang adalah wali Allah dan telah menyatu dengan-Nya. Sebuah ucapan bisa diketahui dengan keyakinan yang murni. Perbuatan dan keajaiban juga dimiliki oleh para pendeta. Mereka telah menampakkan banyak keajaiban melalui sihir.” Orang itu kemudian membeberkan beberapa contoh dari pernyataannya itu.

Maulana Rumi menjawab: “Apakah kamu percaya pada seseorang atau tidak?”
Lelaki itu menjawab: “Ya, demi Allah. Tentu saja ada orang yang aku percaya dan aku cintai.”
Maulana Rumi bertanya lagi: “Apakah kepercayaanmu kepadanya didasarkan pada bukti dan penjelasan, atau hanya sekedar memejamkan mata lalu kamu memilih orang itu?”
Lelaki itu menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, aku mempercayainya tanpa didasari oleh bukti dan penjelasan.”
Maulana Rumi berkata: “Lantas kenapa kamu mengatakan bahwa tidak ada dalil maupun penjelasan yang bisa menunjukkan pada kepercayaan? Kalau begitu, kamu sudah mengatakan pernyataan yang paradoks.”
Seseorang yang lain berkata: “Setiap wali dan orang bijak yang besar akan menyangka: ‘Kedekatanku dengan Allah dan perhatian yang kudapat ini tidak dimiliki oleh orang lain dan tak seorang pun bisa merasakannya.’”
Maulana Rumi bertanya: “Siapa yang menyatakan hal itu? Seorang wali atau bukan? Kalau yang menyatakan seorang wali, maka ketahuilah bahwa setiap wali memiliki keyakinan seperti ini, jadi bukan hanya mereka yang istimewa karena mendapatkan perhatian Allah. Adapun jika yang menyatakan hal itu bukan seorang wali, maka sebenarnya dia adalah kekasih Allah yang paling istimewa dari para kekasihnya. Karena Allah telah menyembunyikan rahasia ini dari segelintir para wali dan menampakkannya pada orang itu.”
Orang itu kemudian mengutarakan sebuah parabel: “Seorang raja memiliki sepuluh orang budak perempuan. Salah satu di antara budak itu berkata: ‘Aku ingin tahu siapa di antara kita yang lebih dicintai raja.’ Sang raja berkata: ‘Siapa yang besok pagi menemukan cincin ini di kamarnya, maka dialah yang paling aku cintai.’ Keesokan harinya, sang raja memerintahkan ajudannya untuk membuat sepuluh cincin yang serupa dan diletakkan di kamar kesepuluh budak perempuannya.”
Maulana Rumi berkata: “Hal itu belum bisa menjawab pertanyaan sebab cerita itu bukanlah sebuah jawaban. Pertanyaan yang berkaitan dengan masalah ini. Pernyataan: “Raja paling mencintaiku,” bisa saja dibawa oleh salah satu dari kesepuluh budak itu atau bisa juga oleh orang lain selain mereka. Jika yang menyatakan adalah salah satu dari budak-budak itu, sementara dia tahu bahwa setiap budak telah diberi cincin yang sama, maka dia tidak akan merasa lebih unggul dan lebih dicintai dari para budak lainnya. Akan tetapi jika yang menyatakan adalah seseorang selain sepuluh budak tadi, maka orang itu pasti yang paling berpengaruh dan paling dicintai oleh sang raja.
Seseorang yang lain lagi berkata: “Seorang pecinta harus merendahkan diri, menunduk dan menderita. Mereka juga memiliki sifat-sifat yang lain.”



424
 
Fihi Ma Fihi

Maulana Rumi berkata: “Seorang pecinta memang harus seperti itu, entah yang dicintai menghendaki hal itu atau tidak. Namun jika yang dicintai tidak menghendaki sifat-sifat itu, maka hakikatnya ia bukanlah pecinta tapi hanya mengikuti hasratnya semata. Jika pecinta hadir karena kehendak sang kekasih, sementara sang kekasih tidak menghendaki sang pecinta untuk menunduk dan merendahkan diri, maka bagaimana mungkin dia akan melakukan semua itu?”
Isa berkata: “Aku heran, bagaimana mungkin seekor binatang bisa memakan binatang lainnya?”
Kaum literalis berkata: “Sungguh manusia memakan daging seekor binatang, padahal mereka sama-sama binatang.” Pernyataan ini salah, kenapa? Karena saat manusia memakan daging, pada hakikatnya daging itu bukanlah makhluk hidup lagi, ia sudah mati. Saat binatang itu dibunuh, sifat kebinatangan sudah tidak tersisa lagi dalam dirinya. Makna yang sesungguhnya dari perkataan Isa itu adalah: “Sesungguhnya ketika sang guru mengutarakan contoh yang samar, maka sama saja ia sedang memakan muridnya.” Aku sendiri heran dengan kejadian langka ini.
Seseorang bertanya: “Ibrahim pernah berkata pada Namrud: ‘Sesungguhnya Tuhanku yang menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup.’ Namrud menimpali: ‘Aku juga bisa. Ketika aku membunuh seseorang, maka aku seperti mematikan mereka, dan ketika aku memberi seseorang sebuah jabatan, maka aku seperti menghidupkannya.’ Ibrahim kemudian menarik argumentasinya dan menerima argumentasi Namrud. Ibrahim kemudian berganti


425
 
Fihi Ma Fihi

ke argumentasi yang lain dengan berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanku yang menerbitkan matahari dari timur dan menenggelamkannya di barat. Coba kamu lakukan perbuatan yang sebaliknya.’ Secara literal, akankah ucapan ini berlawanan dengan realita?”
Maulana Rumi berkata: “Maha Suci Allah dari membiarkan Ibrahim dibungkam oleh dalil Namrud dan tidak mampu membalas dalilnya. Ibrahim menggunakan pernyataan ini untuk menunjukkan gagasan yang lain, yaitu: “Sesungguhnya Allah telah menerbitkan janin dari ufuk rahim dan menenggelamkannya di ufuk pusara. Argumentasi Ibrahim tersebut disampaikan dengan menggunakan pernyataan yang setara. Allah selalu menciptakan makhluk yang baru setiap saat, kemudian meniupkan sesuatu yang juga baru di lubuk hatinya; sesuatu yang tidak bisa ditiru oleh yang pertama, kedua, maupun yang ketiga. Namun yang menyulitkan adalah bahwa manusia itu cenderung lalai akan dirinya hingga ia tidak bisa mengetahui dirinya sendiri.
Seseorang mendatangi Sultan Mahmud, rahmatullah ‘alaih, dengan membawa seekor kuda yang sangat indah, pekikan suaranya begitu menawan. Ketika hari raya tiba, Sultan menaiki kuda itu, sementara para rakyat duduk di atas loteng rumah mereka agar bisa melihat Sultan dan ikut bersuka cita dengan pemandangan itu. Saat itu, seseorang yang mabuk sedang duduk di dalam rumahnya, mereka membawanya ke atas loteng sambil berkata: “Kemarilah agar kamu bisa melihat kuda yang agung itu.” Pemabuk itu berkata: “Aku sedang sibuk dengan diriku sendiri, aku tidak ingin melihat dan tidak bisa memperhatikan apa yang aku lihat.” Namun dia tidak bisa

426
 
Fihi Ma Fihi

melarikan diri, jadi dia ikut duduk di ujung loteng dalam keadaan masih mabuk. Ketika sultan lewat di depannya, pemabuk itu berkata dengan spontan: “Apa atinya kuda itu bagiku. Sekalipun kuda itu menjadi milikku dan ada seorang penabuh gendang menyanyikan sebuah lagu untukku, kuda itu akan aku berikan pada penabuh itu.”
Mendengar perkataan itu, sang sultan marah bukan kepalang dan menitahkan prajurit untuk menjebloskannya ke dalam penjara. Seminggu sudah berlalu. Lelaki pemabuk itu kemudian mengirim sebuah pesan kepada sultan: “Dosa apa yang telah aku lakukan, kesalahan apa yang sudah kuperbuat? Biarkanlah raja semesta memutuskan kasusnya sehingga bisa mengabarkan kepada hambanya.” Sang sultan pun memerintah orang untuk membawa lelaki ke hadapannya.
Sultan berkata: “Wahai orang yang berfoya-foya dan tak tahu sopan santun, bagaimana kamu bisa mengucapkan kata-kata itu? Mengapa kamu mengatakannya?”
Lelaki itu berkata: “Wahai raja semesta, bukan aku yang mengucapkan kata-kata itu. Saat itu ada seorang lelaki yang sedang mabuk dan duduk di ujung loteng lalu berkata demikian dan segera pergi. Saat ini aku bukan lelaki itu, aku adalah orang yang berakal dan cerdas.”
Sang sultan senang dengan jawabannya, segera ia memberinya hadiah dan memerintahkan agar lelaki itu dibebaskan. Siapa pun yang bergabung bersama kami dan meminum dari gelas ini, ke mana pun ia pergi, dengan siapa pun ia duduk dan berbicara, maka pada

427
 
Fihi Ma Fihi

hakikatnya ia selalu bersama kami dan bersatu dengan golongan ini. Karena menemani perubahan-perubahan musim adalah cerminan dari lembutnya menemani kekasih. Bersatu dengan yang bukan sejenis akan mendatangkan rasa cinta pada yang sejenis dan menyatu dengannya, sebab “dengan menjadi lawanannya, segala sesuatu akan menjadi tampak.”
Abu Bakar ra. menamai gula dengan sebutan “ummi” yang berarti trah. Maksudnya manisnya gula adalah trah. Buah-buahan membanggakan diri di hadapan gula seraya berkata: “Kami telah lama meneguk rasa pahit hingga kami sampai pada kemanisan ini. Lalu apa yang kamu ketahui dari lezatnya rasa manis, sedang kau tidak pernah merasakan getirnya rasa pahit.”

Pasal 52. Selubung Yang Lemah Cocok Untuk Mata Yang Lemah

Maulana Rumi pernah ditanya tentang tafsir bait berikut:

Ketika hasrat telah mencapai tujuannya, ia akan menjadi kebencian yang sempurna.


MAULANA Rumi berkata: Alam kebencian itu amat sempit jika dibandingkan dengan alam cinta, sebab manusia akan melarikan diri dari alam kebencian dan menuju ke alam cinta. Tetapi, alam cinta juga amat sempit jika dibandingkan dengan alam tempat bersemayamnya cinta dan kebencian. Baik cinta dan kebencian maupun keka ran dan keimanan, keduanya mewajibkan adanya dualisme. Keka ran adalah sebuah pengingkaran, di mana orang yang ingkar menuntut adanya objek yang diingingkari. Demikian juga dengan seseorang yang mengakui mengharuskan adanya objek yang diakui. Sehingga jelaslah bahwa harmoni dan disharmoni adalah penyebab dari dualisme.
 
Fihi Ma Fihi

Alam semesta itu berada di balik keka ran, keimanan, cinta dan kebencian. Karena cinta mewajibkan adanya dualisme sementara alam tidak memiliki dualisme, maka manusia akan keluar dari cinta dan kebencian ketika sampai ke alam tersebut. Di sana tidak ada lagi dua sisi. Demikianlah, manusia akan terbebas dari dualisme ketika sampai di sana. Hal ini dikarenakan alam dualisme yang pertama, tempat cinta dan kerinduan, telah terdegradasi ke alam tempat perpindahan manusia saat ini. Oleh karenanya, ia tidak menginginkannya lagi, dan bahkan akan memusuhinya.
Ketika cinta Mansur al-Hallaj kepada Allah telah mencapai puncaknya, ia menjadi musuh bagi dirinya sendiri dan menganggap dirinya fana. Ketika dia berkata: “Akulah Allah,” maka maksudnya adalah: “Aku adalah fana dan yang kekal hanyalah Allah.” Ungkapan semacam ini adalah puncak ketawadukan dan batas akhir penghambaan, yang mana maksud dari ungkapan itu adalah: “Dia seorang.” Pengakuan dan sifat takabur tampak pada ucapan: “Engkaulah Allah dan aku adalah hamba-Mu.” Karena dengan ucapan itu, kamu juga menetapkan keberadaanmu dan memastikan adanya dualisme. Ketika kamu berkata: “Dialah Allah,” maka dalam perkataanmu ini juga terkandung unsur dualisme, sebab unsur “aku” masih ada dalam perkataan itu sehingga tidak mungkin untuk mengharapkan keberadaan “Dia,” Jadi, yang benar adalah perkataan: “Akulah Allah,” karena selain Dia tidak akan pernah ada. Karena Mansur sudah fana, maka apa yang dilontarkan dari mulutnya adalah ucapan Allah.




430
 
Fihi Ma Fihi

Alam imanjinasi itu lebih luas dari alam materi dan indrawi, sebab semua materi terlahir dari imanjiansi. Tetapi alam imajinasi itu juga lebih sempit dibandingkan dengan alam tempat keluarnya eksistensi sebuah imajinasi. Secara lafdziyah, ini adalah puncak pemahaman. Adapun makna hakikinya adalah mustahil diketahui hanya dari kata dan kalimat.
Seseorang bertanya: “Lantas apa manfaat dari kalimat dan kata- kata?”
Maulana Rumi menjawab: “Kata-kata akan membangkitkan semangatmu dalam berusaha. Ini tidak berarti bahwa apa yang kamu cari akan diperoleh dengan kata-kata. Sebab jika artinya demikian, maka dirimu tidak mungkin membutuhkan kerja keras dan usaha yang membuat dirimu fana. Keadaan kata-kata itu seperti keadaanmu, saat kamu melihat sesuatu bergerak dari jauh, kamu mengalir di belakangnya agar bisa terus memandanginya. Namun bukan berarti dengan melihatnya, dirimu yang menggerakannya. Ucapan manusia di dalam hatinya juga seperti perumpamaan ini. Ia akan memotivasimu untuk mencari makna, meski secara hakikat, kamu tidak melihatnya.”
Seseorang berkata: “Aku telah mempelajari berbagai ilmu dan juga menguasai berbagai pemikiran dan makna. Meski demikian, aku masih belum tahu tentang esensi apa dalam diri manusia yang akan kekal selamanya. Aku sudah lama mencarinya, tapi belum aku temukan.”



431
 
Fihi Ma Fihi

Maulana Rumi menjawab: “Jika esensi itu bisa diketahui hanya dengan kata-kata, maka kamu tidak akan menjadikan dirimu fana, apalagi membutuhkan kerja keras. Kamu harus mengerahkan seluruh dayamu agar dapat kamu fanakan dirimu dan mengetahui sesuatu yang tersisa itu.”
Seseorang berkata: “Aku mendengar bahwa di sana ada Ka’bah, tetapi sekeras apa pun aku berusaha untuk melihatnya, aku tetap tidak bisa melihatnya. Hendaknya aku pergi ke atas loteng agar bisa melihat Ka’bah.” Begitu dia naik ke atas loteng dan memanjangkan lehernya, ia tetap saja tidak bisa melihat ka’bah. Setelah itu, ia pun mengingkari keberadaan Ka’bah.
Untuk melihat Ka’bah tidak cukup hanya dengan berusaha menaiki loteng, sebab manusia tidak bisa melihatnya dari tempat ia berpijak. Seperti saat musim dingin tiba, kamu memburu mantel bulu dengan sepenuh hati. Tetapi ketika musim panas datang, kamu membuang dan melupakan mantel itu. Jadi, karena kamu mencari mantel bulu demi sebuah kehangatan, maka sejatinya kehangatan itulah yang kamu cintai. Di musim dingin kamu tidak bisa menemukan kehangatan dan karenanya kamu membutuhkan perantara mantel itu. Tetapi ketika musim panas panas datang, kamu tidak lagi membutuhkan kehangatan karena sudah ada matahari yang mencegahnya dari kedinginan, dan kamu pun akan membuang mantel itu.

 
“Apabila langit terbelah.” (QS. al-Insyiqaq: 1)


432
 
Fihi Ma Fihi


 

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat).” (QS. al-Zalzalah: 1)


Ayat di atas adalah sebuah petunjuk untukmu. Artinya “Kamu telah melihat kenikmatan berkumpul bersama, dan akan tiba waktunya di mana kamu akan melihat kenikmatan perpisahan seluruh anggota tubuh. Kamu akan melihat alam yang terbentang luas dan terbebas dari kesempitan. Misalnya, seseorang dibelenggu dengan empat paku, selama beberapa waktu dia merasa nyaman di tempat itu dan melupakan jalan keluar serta kebebasannya. Namun ketika ia terbebas dari empat paku itu, dia baru menyadari penderitaan yang baru saja dialaminya. Demikian juga para bocah yang tumbuh dan bersenang-senang di dalam kandungan ibunya dengan kedua tangannya terlipat. Namun jika dia sudah dewasa dan ditelungkupkan dalam sebuah ayunan, maka tentu ini akan menjadi penyiksaan dan penjara baginya.
Sebagian orang menemukan kenikmatan dalam bunga-bunga yang menebar wewangian, yang kepalanya keluar dari kuncup- kuncupnya. Sebagian lagi menemukan kenikmatan saat melihat kelopak bunga yang terpisah dan tersebar ke berbagai arah lalu kembali ke asalnya. Demikianlah, sebagian dari mereka ingin agar kasih sayang, rindu, cinta, kekufuran, dan lainnya tetap ada, tetapi dalam rangka untuk kembali ke asal-muasal mereka. Karena semua


433
 
Fihi Ma Fihi

itu adalah tembok penghalang yang menjadi penyebab kesempitan dan dualisme. Berbeda dengan alam di sana yang memastikan keluasan dan kesatuan mutlak.
Kata-kata ini tidak begitu dalam dan tidak memiliki kekuatan. Bagaimana bisa pembahasan ini menjadi begitu dalam jika pada akhirnya ia tetaplah sebuah kata-kata? Meski demikian, esensi dari kata-kata ini bisa melemahkan. Ia juga memengaruhi hakikat dan menguatkannya. Kata-kata ini adalah selubung yang tersingkap. Bagaimana mungkin susunan dari dua atau tiga kata bisa menyebabkan kehidupan dan kegairahan?
Ketika seseorang datang mengunjungimu, lalu kamu menyambutnya dengan penuh hormat dan kamu berkata ‘selamat datang’ padanya, tentu ia akan senang dan merasakan kasih sayang. Sementara jika seseorang yang lain kamu sambut dengan dua atau tiga kata hinaan dan cacian, maka hal itu bisa membuatnya marah dan menderita. Sekarang, apa hubungannya dua atau tiga kata dengan cinta dan kerelaan yang berlipat ganda? Apa kaitannya semua itu dengan pengaruh amarah dan permusuhan? Allah telah membuat beberapa sebab dan selubung sehingga tidak semua manusia bisa memandang keindahan dan kesempurnaannya. Selubung yang lemah cocok untuk mata yang lemah. Demikianlah Allah menjadikan selubung sebagai hukum-hukum dan alasan-alasan.
Roti yang kamu makan ini, hakikatnya bukanlah penyebab kehidupan. Allah-lah yang menjadikannya tampak sebagai penyebab kehidupan dan kekuatan. Pada akhirnya roti itu akan menjadi keras, yang berarti bahwa dalam roti itu tidak terdapat kehidupan

434
 
Fihi Ma Fihi

sebagaimana yang dimiliki manusia. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi sebab bagi bertambahnya kekuatan? Seandainya roti itu memang memiliki kehidupan, tentu ia akan menghidupkan dirinya sendiri.

Pasal 53. Matahari Ucapan Itu Amat Lembut

MAULANA Rumi pernah ditanya tentang makna bait ke 277 dalam kitab Matsnawi berikut:
Kamu adalah pikiranmu, wahai saudaraku
Tak tersisa darimu selain tulang belulang dan urat-urat syaraf.


Kemudian beliau berkata: “Renungkanlah makna ini; Pemikiran ini adalah isyarat menuju pemikiran yang tertentu itu. Kami mengungkapkannya dengan istilah pemikiran agar maknanya menjadi lebih luas. Sejatinya ia bukanlah pemikiran itu sendiri. Jika demikian, maka ia bukanlah jenis pemikiran sebagaimana yang umum dipahami oleh manusia. Yang kami maksud dengan istilah ‘pemikiran’ adalah makna hakikinya. Jika ada orang yang ingin
 
Fihi Ma Fihi

menakwil makna ini dengan lebih banyak contoh agar bisa dipahami oleh orang awam, maka katakanlah: ‘Manusia adalah hewan yang berbicara.’”
Ucapan adalah sebuah pemikiran, baik tersembunyi maupun nampak. Sementara selain itu adalah hewan. Karenanya, sangat benar jika dikatakan bahwa manusia adalah ungkapan dari sebuah pemikiran, dan sisanya adalah ‘tulang belulang dan urat syaraf ’ semata. Kata-kata itu seperti matahari, yang mana semua manusia memperoleh kehangatan dan kehidupan darinya. Matahari akan selalu ada dan hadir. Selamanya umat manusia akan mendapatkan kehangatan darinya, tetapi hakikat matahari tidak selalu bisa terlihat. Manusia tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya menyandarkan kehidupan dan kehangatan padanya. Ketika pemikiran diungkapkan melalui sebuah kata atau pun frasa, baik dengan cara mensyukuri atau merintih dan dengan kebaikan atau kejelekan, maka matahari akan menjadi tampak sebagaimana matahari di atas cakrawala yang selalu bersinar itu.
Sinar matahari itu tidak akan tampak kecuali jika ia memantul ke dinding. Demikian juga dengan cahaya dari matahari ucapan, ia tidak akan tampak selain dengan menggunakan huruf dan suara. Meskipun esensinya senantiasa ada—karena matahari itu begitu lembut dan dia adalah maha halus—ia membutuhkan sebuah unsur yang padat untuk menyingkapnya sehingga ia bisa terlihat dan tampak.




438
 
Fihi Ma Fihi

Seseorang berkata: “Sesungguhnya makna yang dimiliki Allah itu tidak nampak, tetapi sederet kata bisa melukiskan makna tersebut. Ketika mereka berkata: ‘Allah melakukan ini, memerintahkan begini dan melarang berbuat ini,’ makna itu akan menjadi hangat dan terlihat. Meski kelembutan Allah selalu ada dan menerangi orang itu, ia tetap tidak akan mampu untuk melihatnya sebelum ia menjelaskan hal itu dengan perantaraan perintah, larangan, ciptaan, dan kekuasaan.
Ada sebagian manusia yang—karena kelemahannya—tidak boleh meminum madu. Tapi ketika madu itu dihidangkan ke hadapan mereka melalui perantaraan makanan yang lainnya seperti zardah (semacam kue bolu), halwa dan lain-lain, mereka bisa menyantapnya dan akhirnya mereka bisa menikmati madu dalam bentuk yang lain.
Jadi, sudah jelas bahwa ucapan adalah matahari yang lembut yang akan terus menyinari tanpa henti. Tetapi untuk dapat melihat dan menikmati sinarnya, kamu membutuhkan media yang tebal. Ketika kamu bisa melihat sinar dan kelembutannya tanpa media yang tebal dan semua itu menjadi tabiatmu, maka kamu akan berani memikirkannya dan mengambil kekuatan darinya. Di dasar lautan kelembutan itu, kamu akan melihat warna-warna yang menakjubkan dan pemandangan yang memukau. Tetapi apa anehnya semua itu? Ucapan itu selamanya ada dalam dirimu, baik kamu bicara atau diam, dan bahkan sekalipun tidak ada ucapan dalam pikiranmu.
Kami berkata: “Sesungguhnya ucapan akan selalu ada, seperti yang dikatakan; ‘Manusia adalah hewan yang berbicara.’ Predikat kebinatangan ini akan selamanya ada bersamamu selama kamu hidup, sebagaimana ucapan yang selalu ada bersamamu. Seperti

439
 
Fihi Ma Fihi

halnya aktivitas makan yang bisa menampakkan karakter hewani, meski ia bukan syarat. Dengan cara yang sama, ucapan menuntut adanya pembicaraan dan penyia-nyiaan, meski ia juga bukan syarat.
Manusia  memiliki  tiga  keadaan.  Pertama,  mereka  tidak melihat Allah sama sekali, tetapi menyembah dan patuh pada selain- Nya; perempuan, laki-laki, harta, anak, batu dan debu. Mereka tidak menyembah Allah. Lalu ketika mereka mendapatkan sedikit pengetahuan dan pencerahan, mereka tidak menyembah selain kepada Allah. Setelah mempelajari dan melihat lebih banyak, mereka diam dan tidak berkata: “Aku tidak menyembah Allah” dan tidak juga berkata: “Aku menyembah Allah,” sebab mereka telah melewati dua tingkatan ini. Tidak ada suara yang mereka keluarkan pada alam.
Allah tidak hadir dan tidak juga gaib, sebab Dia yang menciptakan kedua dimensi tersebut. Oleh sebab itu, Allah tidak disifati dengan keduanya. Seandainya Dia hadir, maka di sana tidak boleh ada kegaiban. Tetapi kenyataannya kegaiban itu tetap ada meski Allah tidak hadir, sebab ketika Dia hadir, maka di sana akan terdapat kegaiban. Allah tidak disifati dengan kehadiran maupun ketidakhadiran. Sebab jika tidak demikian, dari sana bisa dipastikan adanya oposisi yang datang dari oposisi. Karena dalam kegaiban, lazim baginya untuk menciptakan kehadiran yang merupakan oposisinya, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, tidak bisa dikatakan: “Oposisi datang dari oposisi.” Kita juga tidak pantas berkata: “Sesungguhnya Allah menciptakan sesamanya,” karena Ia ber rman: “Ia tidak memiliki kawan.” Jika sesuatu dimungkinkan menciptakan sesuatu yang menyerupainya, maka di sana akan ada

440
 
Fihi Ma Fihi

aktivitas pengunggulan tanpa ada yang mengunggulkan. Akhirnya akan menjadi keniscayaan adanya “Sesuatu yang menciptakan dirinya sendiri,” dan keduanya sama-sama tiada.
Ketika kamu sudah sampai di sini, berhentilah dan jangan pergi. Di sini akal tidak bisa beranjak lebih jauh lagi. Ketika dia sampai di tepi pantai, ia akan berhenti sehingga diam yang lama tidak ada dalam suratan takdirnya.
Setiap kata-kata, ilmu, seni, huruf, aroma dan rasanya diambil dari ucapan ini. Ketika ucapan itu tidak ada, tidak tersisa lagi rasa dari setiap amalan dan pekerjaan. Akhir dari bab itu tidak mereka ketahui sebab pengetahuan bukanlah syarat. Seperti halnya seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan kaya yang memiliki dua kambing, kuda dan yang lainnya. Lelaki itu menaruh perhatian pada kambing dan kuda serta menyirami beberapa kebun setiap saat. Meskipun ia sibuk dengan pelayanan itu, namun aroma dari segala amalnya bersumber dari keberadaan si perempuan. Jika perempuan itu ditakdirkan untuk pergi, maka rasa dari segala amalan itu tidak akan tersisa lagi dan kehangatan cinta perempuan di hati sang pria yang tidak lagi memiliki roh itu akan sirna. Demikianlah karena setiap pekerjaan dunia, dengan ilmu dan kecakapannya, memiliki kenikmatan yang bersandar pada pancaran aroma seorang bijak. Seandainya tidak ada aroma dan wujudnya, seluruh amalan itu tidak mungkin beraroma dan terasa nikmat, dan yang tersisa hanyalah bangkai belaka.

Pasal 54. Tombak Yang Tergenggam Di Tangan-Nya Sangatlah Besar

MAULANA Rumi berkata: “Ketika aku mulai mengucapkan syair, di sana ada faktor besar yang mendorongku untuk mengucapkannya. Pada saat itu, faktor tersebut demikian kuat. Sekarang faktor itu telah semakin mereda dan menurun, tetapi ia masih memiliki pengaruh.”
Sudah menjadi ketentuan Allah untuk mendidik setiap sesuatu dan mengembangkannya ketika ia terbit dan menampakkan kepadanya berbagai pengaruh dan hikmah yang besar. Ketika pengaruhnya terbenam, pendidikannya masih tetap eksis: “Tuhan yang menguasai timur dan barat [QS. asy-Syu’ara: 28],” maksudnya Allah-lah yang mendidik faktor-faktor yang menerbitkan dan yang meneggelamkan.
 
Fihi Ma Fihi

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia adalah pencipta semua tindakannya sendiri beserta setiap tindakan yang timbul darinya. Tetapi bukan begitu kenyataannya. Tindakan yang lahir dari diri manusia adakalanya dilakukan dengan perantara alat-alat yang dimilikinya, seperti akal, roh, kekuatan dan jasmani dan ada kalanya tanpa menggunakan perantara. Tidak mungkin manusia dikatakan sebagai pencipta segala perbuatan jika masih membutuhkan perantara semua alat ini, karena ia tidak mampu untuk menciptakan semuanya. Oleh karena itu, manusia bukanlah pencipta segala tindakan dengan semua perantaraan itu, karena perantara-perantara itu tidak dapat dikuasainya. Tidak mungkin juga manusia menciptakan amalan tanpa alat-alat bantu, sebab mustahil suatu perbuatan lahir darinya tanpa adanya perantara.
Oleh sebab itu, kami yakin bahwa pencipta segala perbuatan bukanlah makhluk, melainkan Allah. Setiap perbuatan yang dilakukan seorang hamba, yang baik maupun yang buruk, yang dikerjakannya dengan niat dan kesengajaan, maka hikmah dari perbuatan itu bukanlah takdir yang melekat pada penggambaran seorang hamba. Dari perbuatan tersebut, makna, hikmah dan faedah yang selaras dengan kadar pemicu terjadinya perbuatan itu akan nampak. Hanya Allah yang mengetahui faedah universal dan buah yang dihasilkan oleh perbuatan itu. Misalnya kamu melakukan salat dengan niat agar kamu meraih pahala di akhirat, menyandang gelar yang baik dan rasa aman di dunia. Tetapi faedah salat tidak terbatas pada hal itu saja. Salat akan berbuah seratus kali lipat dari sesuatu yang tak pernah terbesit dalam otakmu. Semua faedah itu


444
 
Fihi Ma Fihi

hanya diketahui oleh Allah, yang mendorong seorang hamba untuk melaksanakan perbuatan semacam ini.
Manusia itu laksana busur dalam genggaman kekuasaan Allah. Allah menggunakannya untuk bermacam-macam perbuatan, sedang yang bekerja pada hakikatnya adalah Allah dan bukan busur. Karena busur hanyalah alat dan media, yang tidak mengenal Allah dan lalai pada-Nya, sehingga tatanan yang tampak dari dunia dapat dijaga. Betapa besar busur yang menyadari sedang dalam genggaman tangan siapa dia berada! Apa yang bisa aku katakan tentang dunia yang keabadian dan tatanannya berada di atas kesungguhan? Tidakkah kamu lihat bagaimana orang-orang yang terjaga akan menolak dunia dan memusuhinya dengan dingin. Bahkan dalam pandangannya, dunia itu lebur dan rusak.
Sejak masa kanak-kanak, manusia terus berkembang dengan perantaraan lupa. Tanpa perantaraan itu, mereka tidak akan berkembang dan menjadi besar. Jadi, manusia membangun dan membesarkan dirinya dengan perantaraan lupa. Allah telah mencengkeram dirinya dengan berbagai upaya dan kesungguhan, terpaksa maupun tidak, agar sifat lupa itu dapat membasuh dan menyucikannya. Baru kemudian ia akan mampu memandang alam di sana.
Keberadaan manusia ibarat tempat sampah atau seperti tumpukan kotoran. Jika tumpukan itu mulia, ini karena di dalamnya tersembunyi cincin sang raja. Keberadaan manusia itu seperti sekarung gandum. Sang raja memanggil: “Ke mana akan kamu bawa gandum itu? takaranku ada di dalamnya.” Manusia tidak mengetahui

445
 
Fihi Ma Fihi

takaran yang tenggelam dalam gandum itu. Seandainya mereka mengetahui takaran itu, bagaimana mungkin mereka masih melirik pada gandumnya? Sekarang, setiap pikiran yang mendorongmu ke alam yang tinggi, yang membuatmu dingin dan tidak bersahabat dengan alam yang rendah ini, maka itu adalah re eksi dari takaran yang berkilauan bagian luarnya itu. Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka ia akan condong ke alam terendah. Itulah bukti bahwa takaran itu telah tertutup hijab.

Pasal 55. Orang Kafir Dan Orang Beriman, Keduanya Sama-sama Bertasbih

SESEORANG berkata: “Sesungguhnya Qadhi ‘Izzuddin mengirimkan salam penghormatan untuk kalian, dan beliau selalu memuji dan memuja kalian.”
Maulana Rumi berkata: “Setiap orang yang menyebut kita dengan ucapan yang baik, alam akan menyebutnya dengan ucapan yang baik pula.”
Ketika manusia membicarakan kebaikan manusia lainnya, kebaikan itu akan kembali kepadanya. Pada hakikatnya ia memuji dan mengapresiasi dirinya sendiri. Seperti sekuntum mawar dan bunga mewangi di sekitar rumahnya, yang setiap kali memandanginya, ia akan melihat mawar dan bunga-bunga. Selamanya ia akan berada di taman, dengan kadar yang membuat tabiat selalu mengingat kebaikan manusia. Setiap kali manusia sibuk membicarakan kebaikan orang lain, maka orang yang ia bicarakan itu akan menjadi kekasihnya. Saat ia mendengar namanya disebut, ia akan segera mengingat kekasihnya itu. Sementara mengingat kekasih itu ibarat sekuntum mawar, taman mawar yang beraroma surgawi. Namun saat dia membicarakan kejelekan orang lain, orang yang dibicarakannya akan menjadi musuh dalam pandangannya. Setiap kali ia mengingatnya, akan tergambar sosok orang itu di hadapannya, seakan-akan di depan kedua matanya terdapat ular, kalajengking, duri dan tumbuhan beracun.
Demikianlah, saat kamu mampu melihat mawar dan taman- tamannya di siang dan malam hari, dan kau lihat kebun-kebun Iram, mengapa kamu berbalik ke bumi yang penuh duri dan ular ini? Cintailah setiap manusia sehingga selamanya kamu berada di taman-taman mawar. Karena ketika kamu memusuhi setiap manusia, maka bayangan permusuhan akan nampak di depanmu. Seakan- akan kamu mengelilingi bumi yang penuh duri dan ular-ular, siang dan malam. Dari sini, sesungguhnya para wali mencintai semua manusia dan selalu meyakini kebaikan mereka. Karena saat mereka melakukan hal itu, hakikatnya bukan untuk orang lain melainkan untuk mereka sendiri. Karena mereka tidak ingin gambar yang ia benci dan membuatnya sakit tampak dalam pandangannya.
Karena mengingat orang lain serta memandang mereka merupakan hal yang tidak mungkin bisa dihindari, maka para wali berusaha sungguh-sungguh agar apa yang ada dalam akal dan memori mereka adalah hal positif yang dicintai dan dicarinya. Hingga kebencian terhadap orang yang dibenci tidak dapat mengganggu jalannya. Demikianlah, karena setiap hak orang lain yang kamu

448
 
Fihi Ma Fihi

kerjakan serta kebaikan dan keburukan mereka yang kamu ingat akan kembali pada dirimu. Itulah mengapa kemudian Allah SWT ber rman:

 
“Barang siapa yang berbuat kebaikan, maka (pahala kebaikan) itu untuk dirinya, dan barang siapa yang berbuat keburukan maka (pahala keburukan) itu untuk dirinya pula.” (QS. Fushilat: 46)



 

“Maka barang siapa yang melakukan kebaikan sebiji zarah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa yang melakukan keburukan sebiji zarah pun, maka ia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)


Seseorangbertanya:“Allahtelahber rman:“Akuakanmenjadikan seorang khalifah di muka bumi [QS. al-Baqarah: 30].” Kemudian malaikat berkata: “Mengapa Engkau hendak menciptakan di bumi ini, orang yang berbuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan- Mu [QS. al-Baqarah: 30],” padahal ketika itu Adam belum tiba di dunia. Lantas bagaimana mungkin malaikat dapat mengklaim jika manusia akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?”
Maulana Rumi menjawab: “Hal itu bisa diketahui melalui dua pendekatan: pendekatan naqli  dan pendekatan aqli.” Jika

449
 
Fihi Ma Fihi

menggunakan pendekatan pertama, berarti malaikat telah membaca di Lauh Mahfuz tentang adanya suatu kaum yang akan muncul dengan perangai demikian, dan setelah itu mereka mengabarkannya.
Sementara dengan pendekatan yang kedua, berarti malaikat telah mengambil dalil dari akal bahwasanya mereka (manusia) adalah satu kaum yang akan muncul di bumi dan berperangai layaknya binatang. Jalan semacam ini pasti akan muncul pada diri binatang. Meskipun karakter tersebut juga ada pada diri manusia, karena dengan adanya tabiat kebinatangan pada jiwa mereka, tak dapat dipungkiri jika mereka akan merusak dan menumpahkan darah, karena itu adalah sebagian dari karakter manusia.
Beberapa orang menyebutkan makna lain. Mereka berkata: “Sesungguhnya malaikat hanya memiliki akal murni dan kebaikan saja. Mereka tidak memiliki pilihan apapun dalam melakukan sesuatu. Seperti halnya kamu melakukan sesuatu ketika tidur, sungguh kamu tidak punya pilihan dalam melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa tak seorang pun yang akan menyalahkanmu saat kamu tertidur, entah kamu mengucapkan kekufuran, bertauhid, atau bahkan berzina. Semacam itulah malaikat dalam kesuciannya.
Hal ini berbeda dengan manusia. Mereka mempunyai pilihan, syahwat dan penyakit jiwa. Mereka menghendaki setiap sesuatu untuk diri mereka sendiri. Mereka siap untuk menumpahkan darah agar segalanya bisa menjadi miliknya. Itulah sifat kebinatangan yang berbeda dengan keadaan makhluk lain, yaitu malaikat, yang berlawanan dari keadaan manusia.


450
 
Fihi Ma Fihi

Jadi, pemberitaan mereka bisa sepenuhnya diterima, karena mereka berkata dengan cara ini. Meski di alam sana tidak ada obrolan dan lisan. Demikian juga perkiraan jika seandainya saja kedua keadaan yang berlawanan ini dapat diungkapkan dengan pembicaraan dan obrolan di antara keduanya, maka kandungan obrolan itu akan tetap sama. Seperti ucapan seorang penyair: [Sebuah kolam bergumam: “Aku sudah penuh.”] Tentu saja kolam tidak dapat berbicara. Maksud dari penyair adalah: “Seandainya kolam itu memiliki lisan, maka ia akan mengatakan demikian.”
Setiap malaikat memiliki sebuah papan di hatinya, yang mana dari papan itu malaikat sudah dapat membaca—dengan kadar kemampuannya—keadaan alam dan fenomena yang akan terjadi di kemudian hari. Ketika apa yang dia baca menjadi kenyataan, maka keimanan, kerinduan, dan rasa syukurnya pada Sang Pencipta akan semakin berlipat. Keagungan Allah dan pengetahuan-Nya akan hal gaib akan mencengangkannya. Bertambahnya rindu dan keimanan serta ketakjuban tanpa lafal dan ungkapan itu adalah wujud dari tasbih malaikat kepada Allah.
Ini seperti ucapan seorang arsitek kepada muridnya: “Di istana yang mereka bangun itu, pada bagian ini menggunakan kayu, bagian itu menggunakan batu bata, bagian ini menggunakan batu, dan bagian itu menggunakan tanah liat.” Ketika pembangunan istana sudah selesai dan jumlah material bangunan telah terpasang dengan sempurna, tanpa kekurangan dan kelebihan suatu apapun, maka keyakinan si murid akan bertambah kuat. Demikian juga yang terjadi dengan malaikat.

451
 
Fihi Ma Fihi

Seseorang berkata pada seorang syekh: “Sungguh Rasulullah Saw. memiliki keagungan yang sama, seperti diisyaratkan dalam
 rman-Nya: “Jika bukan karena engkau (Muhammad), tak akan Kuciptakan alam semesta.” Muhammad berkata: “Seandainya Tuhan Muhammad tidak menciptakan Muhammad, bagaimana alam ini akan ada?”
Sang syekh menjawab: “Pembahasan ini akan menjadi jelas dengan sebuah perumpamaan, sehingga dirimu dapat memahami maknanya.” Sang syekh melanjutkan: “Di sebuah desa ada seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan. Rumah dan kemah mereka berdekatan. Mereka berdua hidup penuh suka cita dan bahagia. Demikianlah mereka berdua saling bersandar untuk tumbuh dewasa. Kehidupan mereka saling bergantung satu sama lain, seperti ikan yang hidup di dalam air. Beberapa tahun mereka lalui bersama. Di tengah-tengah masa itu, Allah menganugerahkan mereka kekayaan yang berlimpah, mulai dari sapi jantan, kuda, harta, emas, kesederhanaan dan anak-anak.
Karena limpahan karunia dan kenikmatan yang dimilikinya, mereka berdua hendak pindah ke kota. Di sana masing-masing dari mereka membeli istana raja yang besar. Si lelaki tinggal di satu wilayah dan si perempuan tinggal di wilayah yang lain. Namun ketika mereka mencapai tingkat kesuksesan ini, mereka berdua tidak dapat menyambung kebersamaan lagi. Hati mereka terbakar dan secara diam-diam mereka merasakan penderitaan meski tidak mereka nyatakan. Api yang membakar di hati mereka telah mencapai puncaknya, sehingga mereka lebur dalam api perpisahan ini. Ketika

452
 
Fihi Ma Fihi

kebakaran sudah sampai pada batas akhirnya, kerinduan dalam diri mereka berdua didengar oleh Allah. Kuda dan kambing mereka semakin mengurus, dan perlahan-lahan mereka kembali pada keadaan semula. Setelah masa yang lama, mereka kembali berkumpul di desa dan menikmati kehidupan bersama. Ketika mereka mengingat pahitnya perpisahan mereka, mereka menangis: “Seandainya Tuhan Muhammad tidak menciptakan Muhammad.”
Demikian juga ketika roh Muhammad bersemayam di Alam Kesucian dan menyatu dengan Allah, ia tumbuh dan menjadi besar, laksana ikan yang tenggelam di lautan rahmat. Meskipun di kehidupan dunia ini beliau memperoleh pangkat kenabian, hadiah dari manusia, keagungan, keluhuran, kemasyhuran dan sahabat yang banyak, namun saat beliau kembali ke kehidupan yang pertama, beliau berkata: “Andai saja aku tidak menjadi Nabi dan tidak datang ke dunia ini, yang jika dibandingkan dengan pertemuan dan penyatuan mutlak ini, maka semuanya hanyalah kesedihan, siksaan dan penderitaan.”
Semua ilmu, kesungguhan, dan ketaatan ini, jika dibandingkan dengan kemurahan dan kemuliaan Allah, seperti seseorang yang datang dengan berlutut di depanmu dan memberikan pelayanannya kemudian ia pergi. Seandainya kamu meletakkan seluruh bumi di atas kepalamu karena khidmat kepada Allah, maka seakan-akan kamu menundukkan kepalamu ke bumi satu kali. Itu karena kemurahan dan kelembutan Allah mendahului keberadaan dan pelayananmu. Dari mana Dia mengeluarkanmu, mewujudkanmu, dan membuatmu mampu beribadah serta berkhidmat, sampai-sampai kamu merasa

453
 
Fihi Ma Fihi

bangga dan sombong dengan pelayananmu? Seluruh ibadah dan ilmu tersebut ibarat seseorang yang terluka karena membuat ayaman dari kayu dan bulu kempa lalu ia datang mempersembahkan anyaman itu kepada Allah seraya berkata: “Benda-benda ini Engkau berikan padaku karena aku mengharap rida dan penerimaan-Mu. Kini aku telah membuatnya, bila Engkau berkenan memberinya roh, maka pemberian-Mu adalah hak-Mu. Bila Engkau memberinya roh, maka Engkau telah menghidupkan amal-amalku. Namun jika Engkau tidak memberinya roh, maka segala sesuatu hanyalah milik-Mu.”
Nabi Ibrahim as. berkata: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan [QS. al-Baqarah: 258].” Namrud menimpali: “Akulah yang menghidupkan dan mematikan [QS. al-Baqarah: 258].” Ketika Allah memberinya kekuasaan, ia mengira dirinya memiliki kemampuan. Ia tidak menyandarkan perbuatannya kepada Allah. Ia berkata: “Aku juga bisa menghidupkan seseorang dan bisa mematikan orang yang lain, dan apa yang aku kehendaki di seluruh penjuru kekuasaanku ini adalah karena ilmuku.” Saat Allah memberikan manusia ilmu, kecerdasan, dan kecermatan, ia menyandarkan segala perbuatannya pada dirinya seraya berkata: “Sesungguhnya aku dengan perbuatan ini akan menghidupkan seluruh perbuatan dan memperoleh kebahagiaan.” Ibrahim berkata: “Tidak, Dialah yang menghidupkan dan yang mematikan.”
Seseorang berkata: “Sesungguhnya Ibrahim berkata pada Namrud: “Sungguh Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari arah barat, maka tercenganglah orang yang ka r itu [QS. al-Baqarah: 258].” Maksudnya, jika kamu mengaku sebagai

454
 
Fihi Ma Fihi

Tuhan, maka kerjakanlah hal yang sebaliknya.” Dari sini, dapat dimaklumi jika Namrud memaksa Ibrahim untuk meninggalkan pembahasan yang pertama tanpa memberi kesempatan untuk ia jawab, hingga ia pun beralih ke argumen yang lain.
Maulana Rumi menjawab: “Apa yang mereka katakan dalam masalah ini adalah omong kosong, begitu juga dengan apa yang kamu katakan. Ini adalah satu argumen yang diutarakan dalam dua contoh yang berbeda. Kamu salah dan mereka juga salah. Sesungguhnya keterangan ini memiliki makna yang berlimpah. Salah satu maknanya adalah: Allah telah membentuk dirimu dari rahasia ketiadaan dalam rahim ibumu. Tempat terbitmu adalah rahimnya. Dari sana kamu terbit lalu tenggelam di dalam kuburan. Inilah kesempurnaan pernyataan yang pertama. Tetapi dengan menggunakan ungkapan yang lain, yaitu: “Dia yang menghidupkan dan mematikan.” Maka maksudnya adalah: Jika kamu mampu, terbitkanlah ia dari dalam kubur dan kembalikan ia ke dalam rahim. Ini adalah salah satu maknanya.
Sedang makna yang lain ialah seorang yang bijak saat ia berhasil menggapai ketaatan, kerja keras, dan amal-amal sunnah, semua itu adalah tempat terbit, kemabukan, (kebahagiaan roh) dan suka cita. Dengan meninggalkan kepatuhan serta kerja keras, kebahagiaan itu akan tenggelam. Dua keadaan; kepatuhan dan meninggalkan kepatuhan, laksana tempat terbit dan tempat tenggelam bagi sang bijak. Jika kamu mampu menghidupkan, dalam keadaan lahiriah yang berupa kefasikan, penghancuran, dan perbuatan maksiat, maka tampakkanlah kebahagiaan yang biasa muncul dari berbagai amalan

455
 
Fihi Ma Fihi

ketaatan dari tempat terbenamnya kebahagiaan yaitu kefasikan sekarang juga. Penampakan ini bukanlah perbuatan hamba, sebab dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Itu adalah perbuatan Allah. Jika Dia menghendaki, Dia akan mengeluarkan matahari dari tempat terbenamnya atau mengeluarkan matahari dari tempat ia terbit, karena: “Dia-lah yang menghidupkan dan yang mematikan [QS. al-Mu’min: 68].”
Orang ka r dan orang beriman, keduanya sama-sama bertasbih. Karena Allah telah memberitakan bahwa setiap orang yang menyusuri jalan yang lurus dan menetapi keistikamahan serta mengikuti syariat para nabi dan wali, Allah akan memberinya kebahagiaan, ia akan mampu menggenggam tempat terbitnya matahari dan kehidupan ini. Ketika ia melakukan amalan yang berlawanan dengan semua itu, Allah akan memberinya berbagai kegelapan, kecemasan, kuburan dan macam-macam cobaan. Hal ini karena orang ka r maupun orang beriman sama-sama berbuat sesuai dengan aturan Tuhan. Karena janji Allah tidak akan bertambah dan berkurang. Perbedaan ini akan semakin jelas ketika kedua orang tersebut (mukmin dan ka r) sama-sama menyucikan Allah, di mana yang satu bertasbih dengan lisannya, dan yang lain dengan lisan lainnya.
Misalnya, ada seorang pencuri yang digantung di atas tiang gantungan. Pencuri itu bisa menjadi peringatan bagi umat Islam. Karena darinya dapat dipahami bahwa setiap orang yang mencuri, maka keadaannya akan seperti itu. Di saat yang sama, ketika sang raja memberikan jubah pada salah seseorang dari mereka karena keistikamahan dan kepandaiannya dalam menjaga amanah, maka

456
 
Fihi Ma Fihi

ia pun jadi peringatan bagi umat Islam. Si pencuri memperingati dengan lisannya, dan orang yang terpercaya itu memperingati dengan lisan yang lain. Renungkanlah perbedaan antara dua orang yang memberi peringatan tersebut.

Pasal 56. Cahaya Kekayaan

MAULANA Rumi berkata: Sesungguhnya hatimu itu baik. Kenapa bisa demikian? Karena hati merupakan sesuatu yang mulia. Ia laksana jaring yang siap untuk menangkap buruan. Namun bila hati keruh, jaring itu akan terputus dan akhirnya tidak bermanfaat.
Oleh sebab itu, manusia tidak seharusnya berlebihan dalam mencintai seseorang dan juga tidak berlebihan dalam memusuhinya, karena kedua hal itu akan memutus jaring tersebut. Manusia harus moderat dan sederhana. Cinta yang tak pantas berlebihan yang aku maksudkan di sini adalah cinta selain kepada Allah. Sementara untuk cinta kepada Allah, maka tak dikenal kata berlebihan: setiap kali cinta bertambah, maka itu akan lebih baik. Karena ketika kita mencintai secara berlebihan kepada selain Allah—sedangkan semua makhluk tunduk pada hukum putaran cakrawala, di mana setiap
 
Fihi Ma Fihi

roda cakrawala berputar, keadaan makhluk juga berputar—maka si pecinta akan selamanya menghendaki kebahagiaan yang besar. Ini hanyalah harapan kosong yang menganggu hati.
Demikian juga ketika ketika kita memusuhi orang lain secara berlebihan, maka kita akan selalu menghendaki agar kenestapaan dan malapetaka selalu menimpa orang yang kita benci. Namun karena roda cakrawala berputar dan keadaan manusia juga berputar bersamanya, maka adakalanya manusia bahagia dan adakalanya ditimpa kerugian. Keadaan manusia yang selalu berada dalam kerugian adalah sebuah kemustahilan. Akhirnya, kebencian kita pada orang lain itu akan menggangu hati kita dan tidak memberi manfaat apa pun.
Adapun kecintaan kepada Allah terdapat di semesta alam, di semua benda yang ada, dan dalam diri seluruh manusia, baik yang beragama Majusi, Yahudi, maupun Nashrani. Karena bagaimana mungkin manusia tidak mencintai penciptanya? Cinta tersimpan dalam jiwa setiap manusia, tetapi di sana terdapat sebuah penghalang yang menyelubunginya. Ketika penghalang itu hilang, maka cinta itu akan menjadi tampak.
Mengapa aku tidak membahas benda-benda yang maujud saja? Sebab ketiadaan juga berada dalam pergolakan dan ia berharap agar Allah menjadikannya ada. Karakter segala sesuatu yang tidak berwujud seperti empat orang yang berbaris di hadapan seorang raja. Setiap orang dari mereka berharap dan menunggu sang raja untuk mengistimewakannya dengan sebuah kedudukan. Masing-masing merasa malu di hadapan yang lainnya karena harapan mereka adalah

460
 
Fihi Ma Fihi

rintangan bagi yang lainnya. Begitu juga dengan segala sesuatu yang tidak berwujud, ia berharap pada Allah agar ia diciptakan. Mereka berbaris dan dengan bahasa keadaan mereka mengatakan, “Ciptakanlah aku,” seraya meminta pada Allah untuk mendahulukan penciptaannya daripada yang lainnya. Lantas jika segala sesuatu yang tidak berwujud saja memiliki harapan, bagaimana dengan segala sesuatu yang berwujud?

 
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”
(QS. al-Isra: 44)


Tak ada yang mengherankan dari hal ini, justru yang lebih mengherankan adalah perkataan: “Dan tidak ada sesuatu yang tidak berwujud pun yang tidak bertasbih dengan memuji-Nya.”
Baik kufur maupun beragama, keduanya sedang mencari dirimu, Mereka kebingungan seraya berkata: “Yang Esa, tiada yang menyekutui-Nya.”1


Bait ini digubah di atas kelalaian. Seluruh organ tubuh serta semesta alam juga tegak di atas kelalaian. Tubuh ini berkembang karena kelalaian. Kelalaian adalah sebuah kekufuran, dan agama tidak mungkin ada tanpa adanya kekufuran karena agama adalah bentuk meninggalkan kekufuran. Oleh sebab itu kekufuran harus

 
1 Bait puisi oleh al-Hakim Sanai al-Ghaznawi dalam diwan-nya “Hadiqat al- Haqiqah.”

461
 
Fihi Ma Fihi

tetap ada agar manusia bisa meninggalkannya. Demikianlah, dua hal sejatinya adalah satu. Karena yang satu tidak mungkin ada tanpa adanya yang lain, dan begitu juga sebaliknya. Semua adalah satu benda yang tidak terbagi-bagi, dan pencipta keduanya adalah Esa. Seandainya penciptanya tidak Esa, maka ciptaannya akan terbagi- bagi. Setiap pencipta yang bebas menciptakan segala sesuatu, hingga saat itu, keduanya terbagi-bagi. Demikianlah karena sang pencipta itu Esa, tidak ada yang menyekutui-Nya.
Mereka berkata: “Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi (beliau adalah salah satu murid dari Bahauddin Walad, ayah Rumi) mengucapkan suatu perkataan yang indah, namun ia banyak mengutip syair dari Sanai.”
Maulana Rumi berkata: “Apa yang kalian katakan seluruhnya benar; matahari itu sangat indah, namun ia tetap memberikan sinarnya. Apakah itu sebuah aib? Sesungguhnya penyisipan ucapan Sanai adalah penjelasan dari perkataan tersebut. Matahari menyinari segala sesuatu, dan dengan cahayanya itu sesuatu menjadi mungkin untuk dilihat. Tujuan dari adanya cahaya matahari adalah untuk menampakan segala sesuatu. Bagaimanapun juga, keberadaan matahari di atas cakrawala dapat menampakkan segala benda yang tidak memiliki manfaat, sedangkan matahari yang hakiki menampakkan segala sesuatu yang bermanfaat. Matahari duniawi hanyalah bentuk metaforis dari matahari yang hakiki. Apakah dengan kemampuan akal parsial, kalian hendak menimba cahaya mentari di hati dan mencari lentera ilmu yang dapat membuat kalian mampu melihat segala sesuatu yang tak kasatmata, sehingga ilmu kalian akan

462
 
Fihi Ma Fihi

semakin bertambah? Maka berharaplah agar dapat memahami dan mengetahui sesuatu itu dari setiap guru dan setiap teman.
Demikianlah, kami meyakini bahwa di sana terdapat matahari yang lain, yaitu matahari yang berwujud non-materi. Dengan perantaraannya, segala hakikat dan makna dapat tersingkap. Pengetahuan parsial yang dapat mengharumkan dirimu ini adalah cabang dari pengetahuan yang besar dan cahayanya. Cahaya itu memanggilmu ke alam yang begitu agung dan tempat matahari yang asli berada: “Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh [QS. Fushilat: 44].”
Kamu berusaha menarik pengetahuan itu kepadamu, tetapi ia berkata: “Aku tidak mungkin berada di sini, dan kamu begitu lama untuk sampai ke alam sana. Memaksaku untuk tetap berada di sini adalah kemustahilan, sedang kedatanganmu ke sana juga hal yang sulit.” Sekarang, apa yang mustahil adalah mustahil, tetapi apa yang sulit tidaklah mustahil. Jadi, berupayalah dengan sungguh-sungguh agar kamu mendapatkan pengetahuan yang agung. Tetapi jangan kamu berharap bahwa pengetahuan itu akan berada di sini, sebab itu adalah sesuatu yang mustahil. Demikianlah, karena kecintaan mereka pada kekayaan Allah, orang-orang kaya mengumpulkan dirham demi dirham dan biji demi biji agar memperoleh sifat kaya dari cahaya kekayaan. Tetapi cahaya kekayaan itu berkata: “Aku memanggilmu dari kekayaan yang tanpa batas di sana, tetapi mengapa kamu menarikku ke sini? Aku enggan berada di tempat ini. Apakah kamu mau ikut denganku menuju kekayaan yang tanpa batas itu?”



463
 
Fihi Ma Fihi

Singkat kata, awal adalah konsekuensi dari akhir: semoga Allah menciptakan akhir yang terpuji. Konsekuensi yang terpuji adalah pohon yang akarnya menancap di taman-taman spiritual, di mana dahan, ranting, dan buahnya menyebar di tempat-tempat lain, sementara buahnya berjatuhan; bahwa pada akhirnya buah itu akan kembali ke kebun itu, karena dari sanalah akar dan batangnya berasal. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka meskipun dalam bentuk lahirnya pohon itu bertasbih dan bertahlil, ia akan memberikan seluruh buahnya ke alam ini, karena akarnya tertanam di sini. Namun bila keduanya berada di kebun spiritual itu, maka itulah “cahaya di atas cahaya.”

Pasal 57. Setiap Sesuatu Tersimpan Dalam Cinta

AKMALUDDIN  Tabib  (Salah  satu  murid   Maulana Rumi) berkata: “Aku merindukan Tuan Rumi dan berharap bisa melihatnya, meski akhirat terhapus dari pikiranku. Aku menemukan kebahagian saat menggambarkan Tuan Rumi tanpa pikiran-pikiran dan sugesti; aku menemukan kesenangan dalam keindahannya; dan kudapatkan kebahagiaan dalam gambaran dirinya atau dalam mengkhayalkannya.”
Maulana Rumi menjawab: “Meskipun akhirat dan Allah tidak melintas dalam benakmu, namun semua itu tersimpan di dalam cinta dan termaktub di sana.”
Seorang perempuan cantik sedang memainkan alat musik di hadapan Khalifah. Sang Khalifah berkata: “Keindahan senimu berada di kedua tanganmu,” perempuan itu menanggapi: “Tidak,
 
Fihi Ma Fihi

tetapi berada di kakiku, wahai Khalifah. Keindahannya berada di tanganku karena mereka telah menawan keindahan yang ada di kakiku.” Meskipun sang murid tidak mengingat rincian-rincian akhirat, namun hasratmu yang kuat saat melihat sang guru dan kekhawatiranmu akan terpisah darinya, menyimpan segala rincian itu. Semuanya tersimpan di sana. Keadaan ini seperti keadaan seseorang yang mencintai dan menyayangi anak atau saudaranya. Meskipun semua pikiran—angan-angan kesetiaan dan kasih sayangnya, perhatian dan cinta pada dirinya, serta akibat dari keadaan itu dan sisa-sisa manfaat yang dinanti oleh sang anak dan saudara— tak ada satu pun yang terlintas dalam benaknya, namun semua rincian itu tersimpan dalam takdir pertemuan dan perenungan.
Seperti udara yang tersimpan dalam sebatang kayu—entah itu berada di antara tumpukan debu atau di dalam air sekali pun— seandainya tidak ada udara di dalamnya, maka api tidak akan mampu membakarnya. Hal itu karena udara adalah makanan dan kehidupan bagi api. Tidakkah kamu tahu jika api akan hidup dengan sebuah tiupan? Meskipun sepotong kayu berada di dalam air dan debu, udara akan tetap tersimpan di dalamnya. Jika tidak ada udara di dalam kayu, maka kayu itu tidak mungkin akan mengambang di atas permukaan air.
Seperti itulah karakter kata-kata yang kamu ucapkan. Meskipun ada banyak hal yang terkandung dalam kata-kata itu, seperti akal, otak, bibir, mulut, tenggorokan, lisan, dan semua anggota tubuh yang terkontrol dalam tubuh. Meskipun semua perangkat yang menjadi tegaknya alam semesta dari berbagai tabiat, seperti suhu-

466
 
Fihi Ma Fihi

suhu, bintang-bintang, dan beratus ribu penyebab alam lainnya, terus menerus sampai kamu tiba ke dunia sifat, dan kemudian dunia esensi—Meskipun semua makna itu tidak tampak dan tidak tersingkap dalam kata-katamu, tapi kumpulan semua perangkat itu tersirat dalam kata-katamu, sebagaimana penjelasanku sebelumnya.
Setiap hari, ketika seseorang bertemu dengan manusia lainnya, ia akan membincangkan sesuatu sebanyak lima atau enam kali tanpa ia kehendaki, tanpa berkecil hati, dan juga tanpa pilihannya. Tak diragukan lagi bahwa segala sesuatu ini tidak bersumber darinya, melainkan dari selainnya. Orang ini tunduk pada sesuatu yang lain yang mengawasinya itu. Karena ia akan merasa sakit setelah mengerjakan perbuatan buruk, maka jika di sana tidak ada yang mengawasi, bagaimana mungkin sesuatu yang lain itu akan memengaruhi perbuatannya. Meskipun segala sesuatu yang bukan merupakan keinginannya itu tidak mengubah tabiatnya dan tidak meyakinkan dirinya, ia akan tetap mengaku bahwa ia sedang berada di bawah kendali orang lain.
“Adam (manusia) diciptakan berdasarkan citra-Nya.” Maksud dari hadis ini adalah bahwa sifat uluhiyyah, yang berlawanan dengan sifat ‘ubudiyyah, dipinjamkan kepada manusia. Begitu banyak manusia yang memukul kepalanya dengan tongkat tanpa meninggalkan sikap pembangkangan yang dipinjamnya. Begitu cepat manusia melupakan segala sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya, namun sifat lupa itu tidak bermanfaat lagi baginya. Selagi ia tidak memiliki apa yang dipinjamnya, ia tidak akan berhenti memukuli kepalanya.

Pasal 58. Sang Guru Dan Pekerja

SEORANG yang arif pernah berkata: “Aku sering mendatangi tempat perapian kamar mandi untuk menghangatkan diri karena tempat itu sering didatangi oleh sebagian para wali. Aku telah melihat kepala tungku perapiannya, dan di sana terdapat pekerja yang mengencangkan lengan bajunya. Saat ia bekerja, sang kepala perapian berkata: “Kerjakan ini, lakukan itu.” Si pekerja bekerja dengan tangkas dan cepat sehingga dengan ketangkasannya dalam melaksanakan semua perintah atasannya, perapian itu bisa memberi kehangatan yang dicari.
Kepala perapian berkata: “Bekerjalah dengan tangkas layaknya orang ini. Jika kamu mahir dan menjaga etika selama-lamanya, maka pangkatku akan aku berikan padamu dan akan kududukkan kamu di tempatku.”
 
Fihi Ma Fihi

“Aku tertawa terpingkal-pingkal,” ujar sang arif, “karena aku melihat bahwa semua guru di dunia ini berperangai seperti ini kepada para murid dan anak didik mereka.”

Pasal 59. Kebaikan Akan Terus Menyatu Dengan Keburukan

SESEORANG berkata: “Seorang ahli nujum berkata: ‘Kamu mengklaim bahwa ada sesuatu selain bintang-bintang yang luas dan bola debu yang kulihat ini. Kamu meyakini ada sesuatu di luar semua ini, padahal di depanku tidak ada apa-apa selain semua itu. Jika memang di sana terdapat sesuatu, tunjukkan padaku di mana dia?”
Maulana Rumi menjawab: Pertanyaan itu sudah rusak sejak awal. Kamu bertanya: ‘tunjukkan padaku di mana dia?’ padahal dia tidak bertempat. Sekarang, kemarilah dan katakan padaku dari mana sanggahanmu berasal dan di mana ia berada? Bukan di lisanmu, bukan di mulutmu, dan bukan pula di dadamu. Carilah di semua tempat itu, uraikan sedikit demi sedikit dan sepotong demi sepotong, niscaya tidak akan kamu temukan sanggahan dan pikiranmu di semua tempat itu. Dari sini kita bisa menyadari bahwa pikiranmu
 
Fihi Ma Fihi

tidak bertempat. Jika kamu tidak tahu tempat pikiranmu, bagaimana kamu akan tahu tempat dari Dia yang menciptakan pikiranmu?
Ribuan pikiran dan keadaan telah memperbudakmu, sementara dirimu tidak berkuasa, tidak berdaya, dan tidak bisa melakukan apa- apa padanya. Andai saja kamu tahu dari mana pikiran-pikiran ini berasal, kamu akan mampu untuk melipatgandakannya. Semua pikiran dan keadaan ini melewatimu, namun kamu tidak tahu dari mana ia datang, ke mana ia pergi, dan apa yang dia lakukan?
Jika kamu tidak mampu melihat semua keadaanmu, bagaimana mungkin kamu berharap untuk mampu melihat penciptamu?
Si anak pelacur berkata: “Allah tidak berada di langit.” Hai bajingan, bagaimana kamu tahu Allah tidak ada di langit?
Apakah kamu sudah menyisir langit jengkal demi jengkal dan mengitari seluruhnya sampai-sampai kamu berkata bahwa Allah tidak berada di langit? Kamu saja tidak tahu pelacur yang ada di rumahmu, lantas bagaimana bisa kamu mengetahui langit? Baiklah, kamu pernah mendengar tentang langit, nama-nama bintang dan cakrawala, kemudian kamu mengatakan hal seperti itu. Tetapi seandainya kamu mengamati langit dengan sungguh-sungguh, atau kamu naik sejengkal saja ke arah langit, maka kamu tidak akan mengatakan omong kosong seperti itu.
Apa yang aku katakan bahwa Allah tidak berada di atas langit, bukan berarti bahwa Dia tidak berada di langit. Yang aku maksud adalah bahwa langit tidak mampu menampung Allah, dan sebaliknya, Allah mampu menampung langit. Allah memiliki ikatan

472
 
Fihi Ma Fihi

yang tak terpisahkan dengan langit, sebagaimana kamu yang juga tak terpisahkan memiliki ikatan dengan dirimu. Segala sesuatu berada di bawah kekuasaan-Nya, Dia yang menciptakan dan memberdayakan semuanya. Oleh karena itu, Allah tidak berada di luar langit dan semesta, dan tidak pula sepenuhnya berada di dalamnya. Dengan kata lain, seluruh alam semesta tidak meliputi-Nya, tetapi Allah meliputi semuanya.
Seseorang berkata: “Sebelum bumi, langit dan Singgasana diciptakan, di manakah Allah bersemayam?” Kami menjawab: “Pertanyaan ini sudah rusak sejak awal. Allah adalah Wujud yang tidak memiliki tempat. Kamu bertanya: ‘Di manakah Allah berada sebelum semua ini?’ padahal segala sesuatu yang melekat padamu saja tidak bertempat. Apakah kamu mengetahui tempat segala sesuatu itu dalam dirimu, sehingga kamu menanyakan tempat-Nya? Karena perasaan dan pikiranmu tidak memiliki tempat, bagaimana mungkin persemayaman Allah bisa ditemukan? Bagaimanapun juga, Pencipta pikiran lebih subtil dari pikiran itu sendiri.”
Contoh lainnya adalah struktur rumah hasil buatan manusia yang lebih subtil dari rumah itu sendiri. Manusia mampu membuat dan merangkai ratusan struktur yang sama dengan struktur-struktur yang lain. Ia juga mampu untuk membuat berbagai macam pekerjaan dan desain yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karena itu, manusia lebih subtil dan lebih berkuasa daripada struktur apa pun, tetapi kesubtilan ini hanya bisa dilihat jika keberadaan rumah karya mereka sudah jadi; dari pekerjaan nyata untuk memasuki dunia rasa, sehingga kesubtilannya yang indah dapat terlihat.

473
 
Fihi Ma Fihi

Udara yang kamu hembuskan ketika bernafas bisa dilihat kala musim dingin tiba, tetapi di musim panas, ia tidak lagi terlihat. Itu tidak berarti bahwa nafasmu terputus saat musim panas datang dan tidak juga berarti bahwa di sana tidak ada udara, tetapi di musim panas nafasmu lebih subtil dan tidak terlihat. Begitu juga dengan segala sifat dan karaktermu yang begitu subtil dan tidak akan terlihat sebelum kamu melakukan sebuah tindakan. Misalnya kamu memiliki sifat rendah hati yang tidak terlihat. Hanya jika kamu sudah memaafkan orang lain yang berbuat salah padamu, sifat itu baru bisa dilihat. Demikian juga dengan kekerasanmu yang tidak terlihat, hanya jika kamu sudah menghukum seorang kriminalis dan memukulnya, kekerasanmu itu baru bisa dilihat, dan demikian seterusnya.
Allah SWT  tidak  terlihat  karena  kesubtilannya.  Jadi Dia menciptakan langit dan bumi agar kekuasaan dan karya-Nya menjadi tampak. Allah ber rman:

 
“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak memiliki keretakan sedikit pun?” (QS. Qaaf: 6)


Ucapanku ini tidak sepenuhnya berada dalam genggamanku, dan karenanya aku menjadi menderita karena ingin menasihati para kekasih namun tidak ada kata-kata yang bisa aku utarakan. Itulah yang membuatku sakit. Tetapi kata-kataku ini lebih tinggi dariku

474
 
Fihi Ma Fihi

dan aku tunduk kepadanya, aku bahagia. Karena di mana pun kata-kata Allah diucapkan, ia akan membangkitkan kehidupan dan meninggalkan kesan yang mendalam:

 
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah- lah yang melempar.” (QS. al-Anfal: 17)


Anak panah yang melesat dari busur Allah tidak akan bisa dicegah oleh tameng atau perisai baja apa pun. Dari sini aku bahagia. Seandainya semua ilmu ada pada diri manusia dan tidak ada kebodohan di sana, mereka akan lebur dan tidak akan tersisa apa-apa. Jadi, kebodohan adalah sebuah tuntutan agar manusia bisa tetap ada. Pengetahuan juga sebuah tuntutan karena ia menjadi media untuk mengetahui Sang Pencipta. Meskipun keduanya berlawanan di satu waktu, namun keduanya saling mengukuhkan satu sama lain. Malam adalah lawan dari siang, namun mereka saling mengukuhkan dan saling menolong; keduanya melakukan tugas yang sama. Seandainya malam itu abadi, maka kita tidak akan melakukan pekerjaan apa pun dan akan gagal. Seandainya siang itu abadi, maka mata, kepala dan otak kita akan linglung, terperangah, dan akhirnya semua organ akan stres dan rusak. Oleh sebab itu, manusia beristirahat dan tidur pada malam hari sehingga semua organ—otak, pikiran, kedua tangan, kedua kaki, pendengaran dan penglihatan—akan memperoleh kekuatan. Sementara di siang hari mereka akan menggunakan kekuatan itu dan memberdayakannya.


475
 
Fihi Ma Fihi

Jadi, semua yang berlawanan akan tampak sebagai oposisi dalam takaran kita, tapi dalam pandangan Allah mereka mengerjakan pekerjaan yang sama dan tidak berlawanan. Tunjukkan padaku sebuah keburukan yang tidak mengandung unsur kebaikan di dalamnya, atau sebuah kebaikan yang tidak memiliki unsur keburukan di dalamnya. Misalnya, seseorang yang hendak membunuh tiba-tiba berhasrat untuk berzina, akibatnya dia tidak jadi menumpahkan darah. Di satu sisi, benar bahwa zina adalah perbuatan tercela, tapi di sisi yang lain, ia menjadi penghalang bagi terjadinya pembunuhan. Pada sisi inilah zina yang dilakukan orang itu mengandung unsur kebaikan.
Kesimpulannya, keburukan dan kebaikan adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari sisi inilah kita selalu berdebat dengan orang Majusi. Mereka mengatakan bahwa di sana terdapat dua Tuhan; Pencipta kebaikan dan Pencipta keburukan. Tunjukkan padaku kebaikan yang tidak memiliki unsur keburukan di dalamnya, maka aku akan mengakui bahwa di sana ada Tuhan kebaikan dan Tuhan keburukan.
Ini sungguh mustahil, karena kebaikan tidak akan terlepas dari keburukan. Selagi keduanya bukan merupakan dua hal yang berbeda dan tak terpisahkan, maka keberadaan dua pencipta adalah sesuatu yang mustahil. Apakah argumentasi kita belum meyakinkan kalian? Tentu kalian harus percaya sebab memang demikianlah keadaannya. Kami mengatakan ucapan yang sedikit mengkhawatirkan dan mungkin terbesit dalam benakmu bahwa mungkin apa yang diucapkan orang Majusi itu juga benar. Kamu bisa saja tidak percaya

476
 
Fihi Ma Fihi

bahwa apa yang kukatakan ini benar, tetapi bagaimana kamu bisa percaya bahwa apa yang kukatakan ini salah? Wahai orang ka r yang tidak memiliki harapan, Allah SWT telah ber rman: “Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar [QS. al-Mutha n: 4-5].”
“Tidakkah kamu menyangka bahwa segala sesuatu yang kujanjikan akan terlaksana, dan akan menjadi balasan bagi orang- orang ka r atas apa yang tidak pernah mereka bayangkan? Lantas bagaimana mungkin, ketika keadaan tak dapat kamu kuasai, dirimu berharap mencari Allah?”

Pasal 60. Pangkalnya Adalah Perhatian Allah

“Keutamaan Abu Bakar ra bukan karena banyak salat, puasa dan sedekah, melainkan karena kehormatan yang tertanam di hatinya.”
Maulana Rumi berkata: “Keutamaan Abu Bakar yang melebihi manusia lainnya bukan disebabkan karena banyaknya salat dan puasa yang ia kerjakan, namun karena ia diistimewakan oleh pertolongan Tuhan, yaitu cinta Allah. Di hari pembalasan, ketika manusia datang dengan membawa seluruh ibadah salat, puasa dan sedekahnya, semua akan diletakkan di atas Mizan. Namun saat ia datang dengan membawa cinta, Mizan tak dapat menampungnya, karena cinta adalah akar.
Saat kamu melihat cinta dalam dirimu, doronglah agar ia terus bertambah. Saat kamu melihat gejala awal itu ada di dirimu, yaitu keinginan mencari Allah, tingkatkanlah ia dengan pencarian
 
Fihi Ma Fihi

yang abadi, karena ‘dalam pergerakan ada berkah.’ Jika gejala ini tidak bertambah, maka ia akan lari meninggalkanmu. Manusia tidak lebih kecil dari bumi, mereka telah berhasil mengubah bumi dengan mencangkul, membolak-balikkan dan membajak tanahnya hingga tumbuhlah berbagai tumbuhan. Namun saat mereka menyia- nyiakannya, bumi akan menjadi keras.
Jadi saat dirimu merasa bahagia ketika mencari Allah, maka teruslah berjalan dan jangan kamu berkata: “Apa manfaat dari perjalanan ini?” Teruslah berjalan, dan manfaat dari perjalanan itu akan tampak dengan sendirinya. Kepergian seseorang ke toko tidak akan menghasilkan apa-apa selain memenuhi kebutuhannya. Allah akan memberi rizki, namun jika orang itu hanya duduk di rumah, maka seolah-olah ia sedang menyatakan bahwa semua kebutuhannya sudah terpenuhi, sehingga rezeki tidak akan menghampiri mereka.
Renungkanlah bagaimana seorang bayi yang menangis, kemudian sang ibu memberinya air susu. Seandainya ia mampu berpikir lalu berkata: “Apa gunanya tangisanku dan apa sebab ibu memberiku air susu?” niscaya ia tidak akan mendapatkan susu. Dari sini bisa kita pahami bahwa tangisan si bayi itulah yang membawakan susu untuknya. Demikian juga ketika manusia mempertanyakan: “Apa manfaatnya rukuk dan sujud ini? kenapa aku harus melakukannya?”
Ketika kamu menunjukkan kepatuhanmu di depan seorang Amir atau pemimpin dengan membungkuk dan berlutut, maka Amir itu akan mengasihimu dan memberimu sedikit penghargaan. Tetapi sesuatu yang menumbuhkan rasa sayang di hati sang Amir

480
 
Fihi Ma Fihi

bukanlah berasal dari tubuhnya. Setelah mati, tubuh sang Amir akan tetap ada. demikian juga ketika sang Amir tertidur atau lupa, maka kepatuhan yang kamu tampakkan padanya akan menjadi sia- sia. Jadi kita menyadari bahwa kasih sayang yang ditampakkan sang Amir adalah sesuatu yang tak kasatmata. Bila kita bisa mematuhi dan melayani sesuatu yang tak kasatmata, yang terbungkus dengan kulit dan daging, maka tentu saja kepatuhan itu juga bisa kita haturkan pada Wujud yang tidak berkulit dan berdaging. Seandainya sesuatu yang terbungkus kulit dan daging itu bisa dilihat, niscaya Abu Jahal dan Rasulullah sejatinya adalah satu dan tidak ada perbedaan antara keduanya.
Telinga, dari tampakan luarnya, adalah sama apakah tuli atau bisa mendengar. Tidak ada bedanya antara telinga yang dimiliki seseorang dengan yang lain, bentuk lahiriah mereka adalah sama. Akan tetapi pendengaran yang tersimpan di telinga itu adalah tak kasatmata dan tidak bisa dilihat.
Jadi, akar materinya adalah perhatian Allah. Kamu, ketika menjadi seorang Amir, memiliki dua budak yang melayanimu. Budak yang satu melaksanakan berbagai macam pelayanan, dan ia melakukan perjalanan panjang demi dirimu. Adapun budak yang satu lagi adalah seorang pemalas dan lamban dalam memberikan pelayanan. Kita melihat kecintaanmu pada budak yang kedua ini melebihi kecintaanmu pada budak yang pertama. Namun meski demikian, tentu kamu tidak akan membiarkan budak yang kedua itu melayani dirimu tanpa mendapatkan balasan. Demikianlah yang terjadi, karena hukum tidak didasarkan pada perhatian.

481
 
Fihi Ma Fihi

Mata kanan dan mata kiri ini, secara lahiriah, keduanya serupa. Lantas pelayanan apa yang sudah diberikan oleh mata kanan dan tidak diberikan oleh mata kiri? Apa yang sudah dikerjakan oleh tangan kanan yang belum dikerjakan oleh tangan kiri, dan sebaliknya? Tetapi perhatian telah menjadi keberuntungan bagi mata kanan. Demikianlah, dalam satu pekan, Jum’at lebih utama di banding hari-hari lainnya: “Allah memiliki rezeki selain yang sudah tercatat untuk manusia di Lauh Mahfuz. Maka carilah ia di hari Jum’at.” Sekarang, pelayanan apa yang sudah dilakukan hari Jum’at yang tidak dilakukan oleh hari-hari lainnya? Meski begitu, perhatian dan kemuliaan tetaplah menjadi keberuntungan dan keistimewaannya.
Seandainya si buta berkata: “Aku diciptakan dalam keadaan buta dan aku berhalangan,” niscaya ucapannya itu tidak akan memberinya manfaat dan memalingkannya dari cobaan yang sedang menimpanya itu. Orang-orang ka r yang yakin dengan keka rannya, pada akhirnya akan menderita karena keka ran mereka sendiri. Meski begitu, jika kita melihat fenomena ini sekali lagi, kita akan jadi tahu bahwa penderitaan itu adalah sebuah perhatian yang murni. Ketika si ka r masih dalam kebahagiaan dia melupakan Sang Pencipta, sehingga Allah mengingatkan mereka melalui penderitaan. Oleh karena itu, Jahanam pada hakikatnya adalah tempat ibadah dan masjid bagi orang-orang ka r, sebab di tempat itulah orang-orang ka r akan mengingat Allah. Ia laksana sebuah penjara, kesengsaraan dan sakit gigi. Ketika penyakit datang merobek selubung kealpaan, si pesakitan akan mengakui keberadaan Allah dan mengadu: “Ya Allah, Ya Rahman, Ya Haq,” sampai Allah menyembuhkannya. Di lain waktu, selubung itu kembali mengembang dan mereka berkata: “Di

482
 
Fihi Ma Fihi

mana Allah? Aku tidak menemukan-Nya, aku tidak dapat melihat- Nya. Dengan apa aku harus mencari-Nya?”
Bagaimana kamu bisa melihat dan menemukan-Nya saat kamu menderita. Sekarang kamu tidak bisa melihat-Nya? Hal itu karena kamu hanya bisa melihat-Nya ketika sakit. Penyakit diciptakan agar kamu mengingat Allah. Begitu juga dengan penghuni Jahanam yang melupakan Allah di waktu lapangnya. Namun ketika mereka sudah berada di Jahanam, mereka akan mengingat Allah siang dan malam.
Allah SWT menciptakan dunia, langit, bumi, bulan, matahari, kendaraan, serta kebaikan dan keburukan agar kamu mengingat, mematuhi, bertasbih, dan memuji-Nya. Karena orang-orang ka r ketika sehat tidak melakukan hal itu, sementara tujuan diciptakannya mereka adalah untuk mengingat Allah, maka mereka masuk ke Jahanam agar mereka kembali mengingat-Nya.
Hal ini berbeda dengan orang-orang Mukmin yang tidak membutuhkan penyakit, sebab di waktu lapangnya, mereka tidak lalai dan selalu melihat bahwa penyakit akan selalu hadir. Seperti seorang anak yang cerdas, cukup satu kali kakinya dipukul dan itu akan membuatnya selalu mengingat hukuman itu. Sedangkan anak yang bodoh, ia akan mudah lupa, sehingga ia butuh pada hukuman setiap waktu. Demikian juga dengan kuda keturunan baik yang cukup digertak dengan satu pacuan oleh si pawang kuda. Dia tidak butuh dipacu lagi dan akan membawa lari si penunggangnya menempuh jarak hingga bermil-mil. Berbeda dengan kuda peranakan yang membutuhkan pacuan setiap saat; dia tidak pantas untuk membawa penumpang, sehingga mereka membebaninya dengan kotoran.[]

LihatTutupKomentar