Musik dan Tarian menurut Al-Ghazali

Musik dan Tarian menurut Imam Al-Ghazali ALLAH YANG Mahakuasa menciptakan hati manusia bagaikan sebuah batu api. Ia me- nyimpan api yang akan berpijar

Musik dan Tarian menurut Al-Ghazali

Nama kitab: Terjemah Kimiya al-Sa'adah, Proses Kebahagiaan, Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, Meraih Kebahagiaan dan Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Judul kitab asal:  Kimiyaus Sa'adah  (كيمياء السعادة - الغزالي)
Penulis: Imam Ghazali.
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (أبو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي)
Lahir: 1058 M / 450 H
Asal: Tous, Iran
Wafat: 19 Desember 1111 Masehi (usia 53) atau tahun 505 Hijriah
Bidang studi: Tasawuf, akhlak, sufi, tarekat

Daftar Isi 

  1. Spiritualitas dalam Musik dan Tarian
  2. Muhasabah dan Zikir
  3. Perkawinan: Pendorong ataukah Perintang Kehidupan Beragama?
  4. Cinta Kepada Allah
  5. Kembali ke: Terjemah Kimiyaus Sa'adah

 Spiritualitas dalam Musik dan Tarian

ALLAH YANG Mahakuasa menciptakan hati manusia bagaikan sebuah batu api. Ia me- nyimpan api yang akan berpijar-pijar musik dan harmoni, yang mampu memberikan ke- tenteraman kepadanya dan orang lain. Harmoni yang dinikmati manusia merupa- kan gema dari keindahan dunia yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh. Ia meng- ingatkan bahwa manusia terhubung dengan dunia itu, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya sehingga ia sendiri tak kuasa menjelaskan- nya. Musik dan tarian sangat dalam me- mengaruhi keadaan hati manusia; ia menya- lakan cinta yang tertidur dalam hati—cinta yang bersifat duniawi dan indriawi, maupun yang ilahi dan ruhani.

Para teolog bersilang pendapat mengenai kebolehan musik dan tarian dalam aktivitas keagamaan. Mazhab Zahiriah berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dipersepsi manusia. Mereka menolak kemungkinan ma- nusia bisa benar-benar merasakan cinta ke- pada Allah. Bagi mereka, manusia hanya bisa mencintai makhluk. Cinta yang diyakini se- bagian manusia sebagai cinta kepada Sang Khalik hanyalah proyeksi dari rasa cintanya kepada makhluk atau sekadar bayang-ba- yang yang tercipta oleh khayalannya. Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurus- an dengan cinta kepada makhluk dan, kare- nanya, haram dipergunakan dalam kegiatan keagamaan. 

Jika kita tanya mereka, apa arti “cinta kepada Allah” yang diperintahkan syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah. Kekeliruan pan- dangan mereka itu akan kita jelaskan pada bab tentang cinta kepada Allah. Untuk saat ini cukuplah jika kita katakan bahwa musik dan tarian tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dalam hati, tetapi ia hanya membangunkan emosi yang tertidur. Karena itu, jika yang dibangkitkan adalah cinta kepada Allah—yang sangat dianjurkan syariat—musik dan tarian boleh diperguna- kan, bahkan dianjurkan. Sebaliknya, jika yang memenuhi hatinya adalah nafsu dunia- wi, musik dan tarian hanya akan memper- buruk keadaannya sehingga keduanya terla- rang. Hukum keduanya menjadi mubah jika dimaksudkan semata untuk hiburan. Kenya- taan bahwa musik dan tarian menenteram- kan hati tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan nyanyian burung, atau melihat rumput hijau dan air yang mengalir. Bahkan kita mendapati sebuah ha- dis sahih dari Aisyah r.a. mengenai keboleh- an musik dan tarian yang dipergunakan se- mata-mata sebagai hiburan:

Pada suatu hari raya, beberapa Arab ne- gro menari di masjid. Nabi berkata kepada- ku, “Apakah kau ingin melihatnya?” Aku jawab, “Ya.” Lantas aku diangkatnya de-- ngan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama sehingga lebih dari sekali beliau berka- ta, “Belum cukup?”
 
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah seba- gai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, berseru: “Bah! Seruling setan di rumah Nabi!” Mendengar perkataannya, Nabi menoleh dan berkata: “Abu Bakar, bi- arkan mereka, ini hari raya.”

Memang banyak terjadi musik dan tari- an membangkitkan nafsu setan dalam diri manusia. Namun, kita juga mendapati mu- sik dan tarian yang justru membangkitkan kebaikan, misalnya nyanyian jemaah haji me- muji keagungan Baitullah di Mekah sehing- ga banyak orang yang terdorong untuk per- gi haji; atau musik dan nyanyian yang mem- bangkitkan semangat perang para pejuang untuk memerangi kaum kafir; atau musik pilu yang membangkitkan kesedihan orang yang telah berbuat dosa sehingga ia menya- dari kesalahannya; atau musik yang dimain- kan di walimah arusy, khitanan, atau untuk menyambut kedatangan seseorang dari perjalanan jauh. Semua jenis musik dan tarian seperti itu halal dan dibolehkan. Nabiyullah Daud pun bernyanyi dan memainkan alat musik untuk memuji dan mengagungkan Allah. Nyanyian yang termasuk diharamkan adalah nyanyian di pekuburan yang hanya menambah kesedihan setelah peristiwa ke- matian. Allah berfirman, “Jangan bersedih atas  apa  yang  hilang  darimu.”

Kini, mari kita bahasa musik dan tarian yang dipergunakan dalam aktivitas keaga- maan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepa- da Allah dalam diri mereka. Berkat bantuan musik mereka sering mendapatkan visi dan gairah ruhani. Dalam keadaan seperti ini hati mereka menjadi sebersih perak yang dibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai melalui laku prihatin. Mereka semakin me- nyadari keterkaitan mereka dengan dunia ruhani sehingga perhatian pada dunia secara bertahap sirna, bahkan kadang-kadang kesa- daran indriawi mereka hilang.

Meski demikian, para calon sufi dila- rang ikut ambil bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syekh atau guru)nya. Diriwayatkan bahwa Syekh Abu Qasim al- Jurjani, ketika seorang muridnya minta izin untuk ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata, “Jalani puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh orang lain mema- sak makanan yang menggiurkan. Jika sete- lah itu kau masih lebih menyukai tarian itu, kau boleh ikut.” Bagaimanapun, seorang murid yang hatinya belum sepenuhnya ter- sucikan dari nafsu duniawi—meski pernah mendapat penglihatan ruhani—mesti dilarang oleh syekhnya untuk ambil bagian dalam ta- rian mistik semacam itu karena hanya akan mendatangkan mudarat ketimbang maslahat. Orang yang menolak hakikat ekstase (kegairahan) dan pengalaman spiritual para sufi sebenarnya menunjukkan kesempitan pi- kiran dan kedangkalan wawasan mereka. Namun, maafkanlah mereka. Memercayai sesuatu yang belum pernah dialami sendiri sama sulitnya dengan seorang buta memer- cayai keindahan taman, rumput hijau, atau air yang mengalir, atau seorang anak untuk memahami nikmatnya kekuasaan. Seorang bijak, meski ia sendiri tak pernah mengalami keadaan spiritual seperti itu, tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat sesuatu hanya ka- rena ia sendiri belum mengalaminya! Alquran mengecam orang-orang seperti ini: “Orang yang  tak   mendapatkan   petunjuk   akan   ber- kata,  ‘Ini  adalah  kemunafikan  yang  nyata.’” Kemudian, ada sebagian orang yang me- nentang puisi-puisi cinta yang dilantunkan para sufi dalam halaqah mereka. Ketahuilah, para sufi—yang sangat mencintai Allah—me- lantunkan puisi tentang pemisahan dari atau persekutuan dengan yang dicintai dimaksud- kan untuk menjelaskan cinta mereka kepa- da-Nya. Ungkapan puitis “lorong-lorong ge- lap” digunakan untuk menjelaskan gelapnya kekafiran; “pancaran wajah” untuk cahaya keimanan dan mabuknya sang sufi dalam kecintaan kepada-Nya. Sebagai contoh, per-
hatikanlah bait syair berikut:

Kau bisa takar beribu cangkir arak Namun, hingga kaureguk tandas tiada kenikmatan kaurasa
 
Maksudnya, kenikmatan sejati dalam beragama takkan bisa dirasakan hanya me- lalui pelaksanaan perintah, tetapi harus di- sertai ketertarikan dan hasrat hati. Orang boleh saja banyak berbicara dan menulis tentang cinta, iman, takwa, dan sebagainya, tetapi sebelum ia sendiri memiliki sifat-sifat ini, semuanya itu tak bermanfaat baginya. Jadi, orang yang mencari-cari kesalahan para sufi, karena melihat mereka begitu terpenga- ruh—bahkan mencapai ekstase—oleh bait- bait seperti itu hanyalah orang yang berpi- kiran dangkal dan tak toleran. Bahkan se- ekor unta pun kadang-kadang terpengaruh oleh dendang lagu Arab yang dinyanyikan penunggangnya sehingga ia berlari lebih ken- cang dan mampu memikul beban berat hing- ga tersungkur kelelahan.

Tetapi berhati-hatilah jangan sampai ke- liru menerapkan syair yang dilantunkan para sufi kepada Allah. Jika kau salah, kau layak dikecam. Misalnya, saat mendengar ungka- pan puitis mereka seperti “Kau berubah dari kecenderungan asalmu”, kau tak boleh me- nerapkannya untuk Allah—yang mustahil berubah. Ungkapan seperti itu hanya cocok untuk dirimu, yang sering kali berubah te- kad dan kecenderungan. Allah bagaikan men- tari yang selalu bersinar, tetapi kadang-ka- dang cahaya-Nya terhalang oleh berbagai hal yang ada antara kita dan Dia.

Diriwayatkan bahwa beberapa sufi men- capai tingkatan ekstase sedemikian rupa se- hingga mereka hilang dalam Allah. Itulah yang terjadi pada Syekh Abu Hasan al-Nuri yang tersungkur ekstatik saat mendengar sya- ir tertentu. Ia berlari cepat menerobos la- dang tebu yang baru dipanen hingga kaki- nya berdarah penuh luka dan tak lama sete- lah itu ajal menjemputnya. Dalam kasus se- perti itu, sebagian orang bilang bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia. Sungguh pendapat yang keliru! Jika kau ber- pendapat seperti itu, kau tak ubahnya orang yang mengaku telah menyatu dengan cermin saat ia melihat bayangan dirinya di cermin, atau orang yang mengatakan bahwa warna merah atau putih yang dipantulkan cermin adalah sifat asali cermin itu.

Ada beragam keadaan ekstatik yang di- alami para sufi sesuai dengan emosi yang mendominasi mereka, seperti cinta, takut, nafsu, tobat, dan sebagainya. Keadaan spiri- tual seperti itu sering kali dicapai tidak ha- nya melalui lantunan ayat-ayat Alquran, te- tapi juga melalui lantunan syair-syair ro- mantis. Sebagian orang keberatan terhadap pembacaan syair pada kesempatan-kesem- patan seperti itu. Hanya Alquran yang layak dibacakan dalam aktivitas keagamaan. Tetapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat Alquran dimaksudkan untuk membangkit- kan emosi—misalnya, perintah bahwa se- orang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan seperduanya un- tuk saudara perempuannya, atau perintah bahwa seorang janda mesti menunggu empat bulan sebelum menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang—dan mesti orang yang sangat peka—yang dapat tenggelam ekstatik mendengar lantunan ayat-ayat se- perti itu.

Alasan lain yang membenarkan pemba- caan syair, selain ayat-ayat Alquran, dalam kesempatan-kesempatan seperti ini adalah bahwa orang-orang telah begitu akrab de- ngan Alquran, bahkan banyak orang yang hafal sehingga akibat terlalu sering diulang-ulang, pengaruhnya semakin lemah. Untuk membangkitkan emosi, seseorang tak mesti selalu mengutip ayat-ayat Alquran. Diriwa- yatkan bahwa suatu ketika beberapa orang Arab Badui begitu terpesona saat pertama kali mendengar pembacaan Alquran. Melihat keadaan mereka, Abu Bakar berkata, “Dulu kami pun seperti kalian, tetapi kini hati kami telah tumbuh begitu kuat.” Ungkapan itu menunjukkan bahwa pengaruh ayat-ayat Alquran terhadap orang yang telah akrab dengannya tidak sekuat yang dirasakan orang yang baru mendengarnya. Dengan alas- an yang sama, Khalifah Umar biasa meme- rintah jemaah haji agar segera meninggalkan Makkah setelah menunaikan semua manasik haji. “Karena,” ujarnya, “aku khawatir, jika kalian terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban terhadapnya akan sirna dari hati kalian.”

Ada pula sebagian orang yang secara sembrono mempergunakan nyanyian atau memainkan alat musik—seperti seruling atau gendang—untuk mengiringi pembacaan Alquran. Banyak orang yang menganggap perilaku itu tidak pantas. Memang, keagungan Alquran tidak layak disandingkan dengan permainan. Diriwayatkan bahwa sekali wak- tu Nabi saw. memasuki rumah Rabiah bint Mu‘adz. Beberapa orang gadis-penyanyi, de- ngan maksud menghormati kedatangan Nabi, tiba-tiba bernyanyi riuh. Beliau segera me- minta mereka berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk dimainkan seperti itu. Termasuk da- lam kategori ini orang yang mempermainkan ayat-ayat Alquran sehingga dalam pikiran orang yang mendengarnya muncul penafsir- an semau mereka. Di pihak lain, kita bisa bebas menafsirkan bait-bait syair yang kita dengar, karena makna yang diserap sese- orang atas suatu syair tak harus sama de- ngan makna yang dimaksudkan penulisnya. Ada fenomena lain dalam tarian mistik yang mungkin di mata sebagian orang tam- pak sebagai perilaku menyimpang, yakni se- bagian sufi yang menari histeris sehingga ia melukai diri sendiri dan mengoyak-koyak pakaiannya. Jika perilaku itu murni sebagai hasil dari keadaan ekstase, tak ada alasan untuk menentangnya. Namun jika laku ini muncul dari seorang yang sok ahli, ia layak dikecam karena hal itu hanyalah gambaran kemunafikan. Dalam berbagai hal, orang yang disebut ahli adalah yang mampu me- ngendalikan diri hingga ia merasa wajib un- tuk menyalurkan segenap perasannya. Di- riwayatkan bahwa seorang murid Syekh Junaid, ketika mendengar sebuah nyanyian dalam sebuah halaqah sufi, tak bisa mena- han diri sehingga mulai memekik ekstatik. Junaid berkata kepadanya, “Sekali lagi kau bertingkah seperti itu, kau harus pergi dari hadapanku.” Setelah kejadian itu, si murid berusaha menahan diri hingga suatu ketika emosinya begitu kuat terbangkitkan. Dorong- an itu menekannya dengan sangat keras se- hingga tanpa sadar ia memekik keras dan kemudian mati.

Kesimpulannya, setiap orang yang meng- hadiri halaqah sufistik seperti itu harus me- merhatikan tempat dan waktu. Orang yang berniat busuk tak patut hadir di sana. Setiap hadirin mesti duduk berdiam diri, tidak sa- ling melihat, menundukkan kepala—seperti dalam salat—dan memusatkan pikiran ha- nya kepada Allah. Setiap orang mesti me- waspadai segala sesuatu yang mungkin terlintas dalam hatinya, dan tidak melakukan sedikit pun gerakan yang bersumber dari rangsangan diri-sadar. Tetapi jika ada sese- orang di antara mereka yang bangkit dalam keadaan ekstase murni, segenap orang yang hadir mesti bangkit bersamanya, dan jika ada sorban seseorang yang jatuh, orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.

Meski ini merupakan fenomena baru dalam Islam yang tidak ada contohnya dari para sahabat, mesti kita ingat bahwa yang diharamkan hanyalah segala sesuatu yang secara langsung bertentangan dengan syariat. Sebagai contoh salat Tarawih. Kita sama- sama mengetahui bahwa salat ini dilembaga- kan pertama kali oleh Khalifah Umar.

Nabi saw. bersabda, “Hiduplah dengan setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan wataknya.” Karena itu, kita boleh mengerja- kan hal-hal tertentu untuk menyenangkan seseorang, karena sikap tidak bersahabat akan menyakitkan hati mereka. Memang benar bahwa para sahabat tidak terbiasa berdiri saat Nabi saw. memasuki ruangan karena mereka tak menyukai kebiasaan ini; tetapi di daerah-daerah tertentu yang punya kebiasaan seperti ini, kita mesti mengikuti kebiasaan mereka karena sikap yang tidak bersahabat hanya akan menimbulkan keben- cian. Setiap bangsa punya kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Budaya Arab ten- tu berbeda dengan budaya Persia. Hanya Allah yang mengetahui mana yang paling baik.[]

***

Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu
yang datang dan pergi silih berganti. Di sana disediakan piring-piring emas dan perak, makanan dan wewangian yang berlimpah. Tamu yang bijaksana makan sesuai kebutuhannya,
menghirup wewangian, berterima kasih kepada tuan rumah, lalu pergi.

***

Muhasabah dan Zikir

KETAHUILAH, ALLAH telah berfirman dalam Alquran, “Akan Kami pasang satu timbang- an yang adil di Hari Perhitungan dan  tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal.” Siapa saja yang melakukan keburukan atau kebaikan meski hanya seberat biji sawi, pasti ia akan mendapati balasannya. Takkan ada sedikit pun yang diluputkan timbangan itu. Dalam ayat yang berbeda, Allah berfir- man, “Setiap jiwa akan melihat apa yang diperbuat sebelumnya pada Hari Perhitung- an.” Khalifah Umar diriwayatkan pernah ber- kata, “Hisablah dirimu sebelum engkau dihi- sab.” Dan Tuhan berfirman, “Wahai kaum mukminin, bersabar  dan  berjuanglah  mela- wan  nafsumu,  dan  kemudian  istikamahlah.”
 
Para wali memahami bahwa mereka datang ke dunia ini untuk menjalani perjuangan ba- tin yang hasilnya akan menentukan nasib akhir mereka: surga atau neraka. Karena itu, mereka selalu mewaspadai tubuh mereka yang kerap kali mengkhinati jiwa agar mereka tak menderita kerugian besar. Seorang yang bijak pasti akan melakukan muhasabah se- tiap pagi setelah salat subuh dan berkata kepada jiwanya, “Wahai jiwaku, tujuan hi- dupmu hanya satu. Meski sedetik, saat yang telah lewat takkan bisa dikembalikan karena dalam perbendaharaan Allah bagian napas- mu sudah ditentukan, tak bisa ditambah atau dikurangi. Saat kehidupan telah berakhir, tak ada lagi laku batin yang dapat kaujalani. Karena itu, apa yang bisa kaukerjakan, ker- jakanlah sekarang. Perlakukan hari ini la-- yaknya hidupmu telah habis dan hari yang akan kau jalani hanyalah bonus yang dianu- gerahkan Allah Yang Maharahim. Sungguh salah besar jika kau menyia-nyiakan hari yang kauhidupi!”

Di Hari Perhitungan setiap orang akan melihat seluruh episode hidupnya berderet rapi di lemari perbendaharaan amal. Ketika pintu pertama terbuka dan cahaya terang memancar darinya, berarti episode kehidup- an itu dihabiskan dalam kebaikan. Hatinya akan dipenuhi kegembiraan sedemikian be- sar, yang sedikit saja darinya akan membuat penghuni neraka melupakan panasnya api. Pintu kedua terbuka; yang tampak hanya kegelapan dan pancaran bau yang teramat busuk, yang memaksa setiap orang menutup hidung. Itu berarti ia menghabiskan episode itu dalam kemaksiatan. Ia akan merasakan ketakutan yang teramat besar, yang sedikit saja darinya mampu membuat para penghu- ni surga gelisah dan memohon rahmat. Pintu lemari ketiga terbuka; di dalamnya tampak kosong, tak ada cahaya tak pula kegelapan. Ini mencerminkan saat-saat yang tidak dipa- kai untuk kebaikan maupun keburukan. Ia akan merasa sangat menyesal dan kebingung- an laksana orang yang punya banyak harta namun menyia-siakan atau membiarkannya lepas begitu saja. Begitulah, seluruh episode kehidupan manusia akan ditampilkan satu demi satu di hadapannya. Karenanya, setiap orang mesti berkata kepada jiwanya di se- tiap pagi, “Allah telah memberimu bonus hidup dua puluh empat jam. Berhati-hatilah agar kau tidak kehilangan sedetik pun dari- nya, karena kau tidak akan mampu me- nanggung besarnya penyesalan saat kerugian besar  menimpamu.”

Para wali berkata, “Bahkan, seandainya Allah mengampunimu setelah kau menyia- siakan kehidupan, kau tidak pernah bisa mencapai tingkatan para saleh dan kelak kau pasti akan menyesali kerugianmu. Karena itu, awasilah dengan ketat lisanmu, matamu, dan seluruh anggota tubuhmu, karena semua itu mungkin menjadi pendorongmu ke nera- ka. Ucapkanlah pada jasadmu, ‘Jika kau memberontak, pasti aku akan menghukum- mu.’ Meski cenderung keras kepala, jasad akan menerima perintah dan dapat dijinakkan dengan laku zuhud.” Itulah tujuan muhasa- bah. Nabi saw. pernah bersabda, “Kebahagia- an hanya bagi orang yang melakukan sesua- tu yang akan memberinya keuntungan di akhirat.”
Kini kita akan membahas permasalah zikir kepada Allah. Orang yang berzikir ada- lah yang selalu ingat bahwa Allah meng- amati seluruh tindakan dan pikirannya. Manusia hanya mampu melihat yang terindra, sementara Allah melihat yang terindra dan yang tersembunyi. Karenanya, orang yang memercayai pengawasan Allah atas dirinya pasti bisa melatih jasad dan batinnya sekali- gus. Orang yang menyangkalnya adalah orang kafir; sedangkan orang yang memer- cayainya namun tindakannya bertentangan dengan kepercayaannya itu adalah orang yang sangat angkuh dan sombong.
Suatu hari seorang Arab negro datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan banyak dosa. Mungkinkah tobatku diterima?”
“Ya,” jawab Nabi saw.
“Wahai Rasulullah, setiap kali aku me- lakukan dosa, apakah Tuhan benar-benar melihatnya?”
“Ya.”
Tiba-tiba orang itu memekik keras lalu terjatuh pingsan.
Orang yang telah merasa yakin sepenuh- nya bahwa Allah selalu mengawasi setiap perbuatannya, pasti ia akan selalu menapaki jalan kebenaran.

Dikisahkan bahwa ada seorang murid yang sangat dikasihi syekhnya hingga murid- murid lain iri kepadanya. Suatu hari Syekh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan menyuruh mereka membunuh- nya tanpa ada seorang pun yang melihat me- reka. Lalu, pergilah mereka mencari tempat yang paling sunyi untuk membunuh unggas itu. Semua murid segera kembali membawa unggas yang telah disembelih, kecuali si mu- rid terkasih. Ia kembali dengan unggas yang masih hidup seraya berkata, “Saya tak me- nemukan tempat untuk membunuhnya, ka- rena di mana-mana Allah selalu melihat.” Syekh berkata kepada murid-muridnya, “Kini kalian tahu maqam anak muda ini. Ia telah mencapai maqam selalu ingat Allah.”

Ketika Zulaikha menggoda Yusuf, ia me- nutupkan kain ke wajah berhala yang biasa disembahnya. Yusuf berkata kepadanya, “Wahai Zulaikha, angkau malu di hadapan sebongkah batu. Bagaimana mungkin aku tak merasa malu di hadapan Dia yang men- ciptakan tujuh langit dan bumi.” Suatu keti- ka seseorang mengunjungi Junaid al-Baghdadi dan berkata, “Aku tak bisa menahan pandangan dari melihat hal-hal yang menggai- rahkan. Apa yang mesti kulakukan?” Junaid menjawab, “Ingatlah, Allah melihatmu jauh lebih jelas daripada kamu melihat orang lain.” Dalam sebuah hadis qudsi Allah ber- firman, “Surga disediakan bagi orang yang hendak melakukan dosa tetapi kemudian ingat bahwa Aku melihat mereka dan ke- mudian mereka menahan diri.”
Abdullah ibn Dinar meriwayatkan bah- wa ketika ia berjalan bersama Khalifah Umar di dekat Mekah, mereka melihat seorang anak laki-laki sedang menggembalakan se- kawanan domba. Umar berkata kepadanya, “Juallah seekor saja kepadaku.”
Gembala itu menjawab, “Domba ini bu- kan milikku, tetapi milik tuanku.”
Kemudian untuk mengujinya, Umar ber- kata, “Katakan saja kepada tuanmu bahwa srigala telah membunuh salah satu domba- nya. Dia tidak akan tahu!”
“Tidak, memang dia tidak akan tahu,” kata anak itu, “tetapi Allah pasti tahu.”
Umar menangis mendengar jawabannya lalu mendatangi majikan si gembala untuk membelinya dan kemudian membebaskannya seraya berkata, “Jawabanmu itu telah membuatmu bebas di dunia ini akan akan membuatmu bebas di akhirat.”

Ada dua tingkatan zikir kepada Allah: tingkatan pertama adalah zikir para wali yang seluruh pikirannya terserap dalam ingatan dan perenungan kepada Allah. Tak ada se- dikit pun ruang dalam hati mereka untuk selain Dia. Ini tingkatan zikir yang lebih ren- dah, karena ketika hati manusia sudah man- tap dan anggota tubuhnya telah terkendali- kan oleh hatinya sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari laku yang dibolehkan maka ia sama sekali tak membutuhkan sara- na maupun pelindung dari dosa. Tingkatan inilah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi saw., “Orang yang bangun di pagi hari dan hanya Allah dalam pikirannya maka Allah akan menjaganya di dunia maupun di akhirat.”

Sebagian pelaku zikir ini begitu larut da- lam ingatan kepada-Nya sehingga mereka ti- dak mendengar orang yang berbicara kepa- da mereka, tidak melihat orang yang berja- lan di depan mereka; tubuh mereka linglung seakan telah menabrak dinding. Seorang wali menuturkan bahwa suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang berlomba. Agak jauh dari situ, tampak seseorang duduk sen- dirian. “Aku mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, tetapi ia menjawab, ‘Mengingat Allah lebih baik daripada
ngobrol.’
Aku berkata, ‘Tidakkah kau kesepian?’ ‘Tidak,’ jawabnya, ‘Allah dan dua ma-
laikat bersamaku.’
Sembari menunjuk kepada para pema- nah aku bertanya lagi, ‘Mana di antara me- reka yang menjadi pemenang?’
‘Orang yang telah ditakdirkan Allah un- tuk menang,’ jawabnya.
Kemudian aku bertanya, ‘Dari manakah jalan ini berasal?’

Terhadap pertanyaan ini ia memandang lurus ke langit, kemudian bangkit seraya berkata, ‘Tuhanku, begitu banyak mahluk- Mu yang menghalang-halangi orang untuk mengingat-Mu.’”

Syekh al-Syibli suatu hari mengunjungi al-Tsauri. Tiba di sana ia mendapati al-Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian khusyuk sehingga tak satu helai rambut pun bergerak. Al-Syibli bertanya, “Siapa yang mengja- rimu tafakur sedemikian khusyuk?” Al-Tsauri menjawab, “Seekor kucing yang aku lihat menunggu di depan lubang tikus. Dibanding keadaanku sekarang, ia bahkan jauh lebih tenang.”
Ibn Hanif berkata, “Aku mendengar ten- tang seorang Syekh dan muridnya di kota Tsaur yang selalu duduk dan larut dalam zi- kir. Lalu aku pergi ke sana dan mendapati keduanya sedang duduk tenang menghadap kiblat. Aku mengucapkan salam tiga kali, tetapi mereka tak menjawab. Aku berkata, ‘Demi Allah, jawablah salamku.’ Si murid mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Wahai Ibn Hanif, waktu di dunia ini teramat sing- kat. Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih tersisa. Kau telah merin- tangi kami dengan tuntutanmu agar kami membalas salammu.’ Lalu ia kembali me- nundukkan kepalanya dan melanjutkan zi- kirnya. Saat itu aku merasa sangat lapar. Tetapi rasa ingin tahu tentang kedua orang itu mengalahkan rasa laparku. Kemudain aku salat Asar dan Maghrib bersama mereka, dan meminta mereka menasihatiku. Sekali lagi si murid berujar, ‘Wahai Ibn Hanif, kami ini orang miskin, bahkan kami tak pu- nya lidah untuk memberikan nasihat.’ Aku bersikukuh menyertai mereka selama tiga hari tiga malam. Tak sepatah kata pun ter- lontar di antara kami dan tak seorang pun tertidur. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, aku akan memaksa mereka memberiku nasi- hat.’ Si murid membaca pikiranku, meng- angkat kepalanya, dan berkata, ‘Pergi dan carilah orang yang dengan mengunjunginya kau akan mengingat Allah dan rasa takut kepada-Nya tertanam dalam hatimu, dan yang akan memberimu nasihat dengan di- amnya, bukan lisannya.’”

Itulah tingkatan zikir para wali, yang seluruh dirinya terserap dalam perenungan kepada Allah.
Tingkatan kedua adalah zikir “golongan kanan” (ashhâbul yamîn). Mereka sadar bah- wa Allah mengetahui segala sesuatu tentang mereka dan merasa malu di hadapan-Nya. Meski demikian, mereka tetap sadar dan ti- dak larut dalam pikiran tentang keagungan- Nya. Keadaan mereka seperti orang yang tiba-tiba terkejut mendapati dirinya dalam keadaan telanjang dan terburu-buru menu- tupi tubuhnya. Sementara kelompok tingkat- an pertama seperti orang yang tiba-tiba men- dapati dirinya di hadapan seorang raja se- hingga ia kaget dan bingung. Kelompok ting- katan kedua selalu mewaspadai segala yang terlintas dalam pikiran mereka, karena kelak di Hari Perhitungan setiap tindakan akan dipertanyakan: kenapa, bagaimana, dan apa tujuan tindakan itu? Pertanyaan pertama di- ajukan karena setiap orang semestinya ber- tindak berdasarkan dorongan Ilahi, bukan dorongan setan atau jasad semata. Jika per- tanyaan ini dijawab dengan baik, pertanya- an kedua mempersoalkan bagaimana tin- dakan itu dilakukan, secara bijaksana, cero- boh, ataukah lalai. Dan pertanyaan ketiga mencari tahu apakah tindakan itu dilakukan demi mencari rida Allah ataukah untuk men- dapat pujian manusia. Jika seseorang mema- hami arti ketiga pertanyaan ini, ia akan me- merhatikan keadaan hatinya dan akan selalu berpikir sebelum bertindak. Mengawasi se- tiap lintasan pikiran yang muncul memang pekerjaan yang sangat berat dan musykil. Orang yang tak mampu melakukannya mesti mengikuti bimbingan guru ruhani yang akan menerangi hatinya. Ia harus menghindari orang terpelajar yang hanya mementingkan dunia, karena mereka adalah pendukung se- tan. Allah berfirman kepada Daud a.s. “Wahai Daud, jangan bertanya tentang orang terpe- lajar yang telah dimabuk cinta dunia, karena ia akan merampok cinta-Ku darimu.” Dan Nabi saw. bersabda, “Allah mencintai orang yang cermat meneliti soal-soal yang meragu- kan dan yang tidak membiarkan akalnya di- kuasai nafsu.” Nalar dan tugas pemilahan berkaitan erat, dan orang yang nalarnya tak mampu mengendalikan nafsunya tidak akan bisa mengawasi dan memilah pikiran serta tindakannya secara cermat.

Selain mesti berpikir dan bertindak de- ngan cermat, kita juga harus memperhitung- kan (muhâsabah) setiap tindakan yang telah dilakukan. Setiap malam, tanyalah hatimu, apa yang telah dilakukannya sepanjang hari ini sehingga kau bisa mengetahui apakah ia beruntung ataukah merugi. Ini penting dila- kukan karena hati itu laksana rekanan da- gang yang curang yang selalu siap menipu dan mengelabui. Kadang-kadang ia menampakkan egoismenya dalam bentuk ketaatan kepada Allah sedemikian rupa sehingga orang menyangka bahwa ia telah beruntung padahal sebenarnya ia merugi.

Seorang wali bernama Amiya, yang ber- usia enam puluh tahun, menghitung hari- hari dalam hidupnya dan ia dapati bahwa jumlahnya mencapai 21.600 hari. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Celakalah aku, se- andainya aku melakukan satu dosa saja se- tiap harinya, bagaimana aku bisa melarikan diri dari timbunan 21.600 dosa?” Ia pun memekik dan rubuh ke tanah. Ketika orang- orang datang untuk membangunkannya, me- reka dapati ia telah mati.

Namun, sebagian besar manusia bersifat lalai dan tidak pernah berpikir untuk ber- muhasabah. Jika setiap dosa yang dilakukan dianggap sebagai sebutir batu yang ditem- patkan di sebuah rumah kosong, niscaya ru- mah itu akan segera dipenuhi batu. Jika ma- laikat pencatat menuntut upah bagi tugas menuliskan dosa-dosa kita, tentu kita akan segera bangkrut. Begitu banyak orang yang merasa puas menghitung biji tasbih setiap kali menyebut nama Allah, tetapi tak punya tasbih untuk menghitung ucapan sia-sia yang tak terbilang banyaknya. Karena itu, Khalifah Umar berkata, “Timbang dengan cermat setiap kata-kata dan tindakanmu se- belum semua itu ditimbang di Hari Peng- adilan nanti.” Ia sendiri sebelum beristirahat di malam hari biasa memukul kakinya diser- tai rasa ngeri seraya berseru, “Apa yang te- lah kaulakukan hari ini?”

Dikisahkan bahwa ketika salat di kebun kurmanya, Abu Thalhah melupakan jumlah rakaatnya karena melihat seekor burung in- dah. Untuk menghukum dirinya karena la- lai, kebun kurma itu ia hadiahkan. Orang suci seperti mereka mengetahui bahwa sifat indriawi cenderung tersesat. Karena itu me- reka senantiasa mengawasinya dengan ketat dan menghukumnya setiap kali melakukan kesalahan.
Jika kau menyadari kebebalanmu dan merasa sulit mendisiplinkan diri, kau harus menyertai orang yang terbiasa mempraktik- kan muhasabah agar semangat dan kegai- rahan spiritualnya menularimu. Seorang wali biasa berkata, “Jika aku lalai mendisiplin- kan diri, aku menatap Muhammad ibn Wasi.

Allah Yang Mahakuasa menciptakan hati manusia bagaikan sebuah batu api.
Ia menyimpan api yang akan berpijar-pijar musik dan harmoni, yang mampu memberikan ketenteraman kepadanya dan orang lain. Harmoni yang dinikmati manusia merupakan gema dari keindahan dunia yang lebih tinggi,
yang kita sebut dunia ruh.

***

Layaknya pengetahuan, kebodohan pun akan abadi menyertai jiwa. Jadi, jika kau lebih memilih kebodohan ketimbang pengetahuan tentang Allah
maka kebodohan itu akan menyertaimu di akhirat dalam wujud kegelapan jiwa dan penderitaan.

***  
 
Hanya dengan memandangnya, gairah ruha- niku seketika bangkit, setidaknya untuk se- minggu.” Jika kau tak dapat menemukan orang yang dapat diteladani, pelajarilah ke- hidupan para wali. Selain itu, kau juga mesti mendorong jiwamu agar tetap bersemangat. “Wahai jiwaku, kau anggap dirimu cer-  das, dan kau marah jika disebut tolol. Se- betulnya kau ini apa? Kausiapkan pakaian untuk menutupi tubuh dari gigitan musim dingin, tetapi tak kaupersiapkan diri untuk akhirat. Sungguh kau seperti seseorang yang, saat musim dingin datang, berkata, ‘Aku tak akan memakai pakaian hangat. Aku perca- ya, rahmat Tuhan akan melindungiku dari rasa dingin.’ Ia lupa bahwa selain mencipta- kan dingin, Allah juga menunjuki manusia cara membuat pakaian untuk melindungi diri darinya dan menyediakan bahan-bahan untuk pakaian itu. Dan ingatlah juga, wahai jiwa, kau dihukum di akhirat bukan karena Allah murka akibat ketidaktaatanmu; jangan pernah berpikir, ‘Bagaimana mungkin dosa- dosaku mengganggu Allah?’ Nafsumu sendi- rilah yang akan menyalakan kobaran neraka dalam dirimu. Tubuhmu sakit karena kau makan makanan yang tidak sehat, bukan karena dokter kesal karena kau melanggar nasihatnya.”

Celakalah kau, wahai diri, karena kau berlebihan mencintai dunia! Jika kau tidak percaya pada surga dan neraka, bagaimana mungkin kau percaya kematian yang akan merenggut semua nikmat duniawi dan mem- buatmu jauh lebih menderita dibanding keti- ka kau terikat kepadanya? Untu apa kauper- gunakan dunia yang kaukumpulkan? Jika seluruh isi dunia, dari timur sampai barat, adalah milikmu dan semuanya menyembah- mu, tetap saja kelak semuanya akan menja- di debu bersama dirimu, dan namamu akan musnah seperti raja-raja terdahulu. Lalu per- hatikanlah wahai diri, karena yang kaumili- ki dari dunia ini hanyalah bagian yang sa- ngat kecil dan kotor; akankah kau berting- kah gila: menukar kebahagiaan abadi (akhi- rat) dengan bagian duniamu, permata yang mahal dengan sebuah gelas pecah terbuat dari lempung dan menjadikan dirimu bahan tertawaan orang-orang di sekitarmu?”

Perkawinan: Pendorong ataukah Perintang Kehidupan Beragama?

PERKAWINAN MEMAINKAN peranan besar dalam kehidupan manusia sehingga ia perlu diper- hitungkan saat kita membahas tema spiri- tualitas. Kita akan membahasnya dari dua aspek yang berlawanan, yaitu keuntungan dan kerugiannya.

Ada beberapa keuntungan yang didapat dari perkawinan: pertama, kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah. Berkat perkawinan, jumlah para penyembah Allah semakin bertambah ba- nyak. Karena itu, ada sebuah pepatah yang dikenal di antara para ahli kalam: sibukkan dirimu dalam tugas-tugas perkawinan ketim- bang dalam ibadah-ibadah sunat.

Kedua, Nabi saw. bersabda, “Doa anak- anak bermanfaat untuk orangtuanya saat keduanya telah meninggal, dan anak-anak yang meninggal sebelum orangtuanya akan memintakan ampun bagi keduanya di Hari Pengadilan.” Dalam riwayat yang lain Nabi bersabda, “Ketika seorang anak diperintah untuk masuk surga, ia menangis dan berka- ta, ‘Aku tak mau masuk jika tidak beserta ayah dan ibu.’” Dan diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi saw. menarik dengan keras lengan seseorang ke arah dirinya sambil ber- sabda, “Begitulah anak-anak akan menarik orangtuanya ke surga.” Lalu beliau menam- bahkan, “Anak-anak antri berdesakan di pintu surga seraya menjerit memanggil ayah dan ibunya sehingga orangtua yang masih berada di luar diperintah untuk masuk dan bergabung dengan anak-anak mereka.”

Dikisahkan bahwa seorang wali yang ter- masyhur suatu ketika memimpikan Hari Kiamat telah tiba. Matahari mendekat ke bumi dan manusia mati karena dahaga. Se- kelompok anak-anak berjalan kian kemari memberikan air dari cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang wali meminta, mereka tak mau memberi. Salah seorang anak itu berkata kepadanya, “Tak ada anakmu di antara kami.” Segera setelah bangun, ia ber- tekad untuk menikah.

Ketiga, melalui perkawinan setiap pa- sangan akan merasakan ketenangan dan ke- tenteraman. Duduk bersama dan memperla- kukan istri dengan baik merupakan perbuatan yang memberi kita rasa santai setelah mela- kukan tugas-tugas keagamaan. Dan, setelah itu, kita bisa kembali beribadah dengan se- mangat baru. Itu pulalah yang dilakukan baginda Nabi saw.: ketika beban berat wa- hyu mengimpitnya, ia menyentuh istrinya Aisyah dan berkata: “Bicaralah kepadaku wahai Aisyah, bicaralah!” Rasul benar-benar menyadari bahwa sentuhan kemanusiaan yang hangat akan memberinya semangat dan kekuatan untuk menerima wahyu-wahyu baru. Untuk alasan yang sama ia sering meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dan ka- dang-kadang ia menghirup wewangian yang harum. Dalam sebuah hadisnya yang terke- nal beliau bersabda, “Tiga hal yang aku cintai di dunia ini: wewangian, wanita, dan ke- nikmatan dalam salat.” Suatu kali Umar bertanya kepada Nabi tentang hal-hal yang paling penting untuk dicari di dunia ini. Beliau saw. menjawab: “Lidah yang selalu berzikir kepada Allah, hati yang penuh rasa syukur, dan istri yang amanat.”

Dengan berumah tangga, seseorang akan mendapatkan istri yang akan membantunya memelihara rumah, memasak, mencuci, me- nyapu, dan sebagainya. Jika ia melakukan semua itu sendirian, ia tak bisa mencari ilmu, berdagang, atau melakukan aktivitas lain. Untuk alasan inilah Abu Sulaiman berkata, “Istri yang baik tidak hanya menjadi rahmat di dunia ini, tetapi juga di akhirat, karena ia memberikan waktu senggang kepada suami- nya untuk memikirkan akhirat.” Bahkan, Khalifah Umar r.a. begitu memuliakan ke- dudukan istri salihah dengan mengatakan bahwa “Setelah iman, tidak ada rahmat yang bisa menyamai istri salihah.”

Perkawinan juga dapat melatih seorang laki-laki untuk bersabar menghadapi istri de- ngan segala aktivitasnya yang khas, membe- rinya segala yang dibutuhkannya, dan menjaga agar mereka tetap berada di jalan hu- kum. Semua itu merupakan bagian yang amat penting dari agama. Nabi saw. bersab- da; “Memberi nafkah kepada istri lebih pen- ting daripada memberi sedekah.”
Suatu kali, ketika Ibn Mubarak berpida- to di hadapan pasukan yang hendak berpe- rang melawan orang kafir, seorang sahabat- nya bertanya, “Adakah pekerjaan lain yang memberi ganjaran lebih dibanding jihad?”
“Ya,” ujarnya, “yaitu memberi makan dan pakaian kepada istri dan anak dengan sepatutnya.”
Waliyullah yang termasyhur, Bisyr al- Hafi, berkata, “Lebih baik bagi seseorang untuk bekerja bagi istri dan anak daripada bagi dirinya sendiri.” Dalam hadis diriwa- yatkan bahwa beberapa dosa hanya bisa di- tebus dengan menanggung tugas-tugas domestik.

Dikisahkan bahwa seorang wali diting- gal mati istrinya dan ia tak hendak menikah lagi meski orang-orang mendesaknya seraya berkata bahwa dengan begitu ia akan lebih mudah memusatkan diri dan pikirannya di dalam uzlah. Pada suatu malam ia bermimpi melihat pintu surga terbuka dan beberapa malaikat turun mendekatinya. Salah satunya bertanya, “Inikah orang celaka yang egois itu?” malaikat lain menjawab: “Ya,  inilah dia.” Ia terkejut setengah mati sehingga tak sempat menanyakan siapakah yang mereka maksud. Tiba-tiba seorang anak laki-laki le- wat dan berkata kepadanya, “Engkaulah yang sedang mereka bicarakan. Seminggu yang lalu perbuatan-perbuatan baikmu dica- tat di surga bersama para wali yang lain, te- tapi sekarang mereka telah menghapuskan namamu dari buku catatan itu.” Setelah ter- jaga dengan pikiran penuh tanda tanya, ia segera berencana untuk menikah lagi. Semua penjelasan di atas menunjukkan betapa pen- tingnya perkawinan.

Sekarang mari kita bahas sisi negatif per- kawinan. Salah satunya adalah kekhawatir- an, terutama di masa sekarang, seorang sua- mi mesti mencari nafkah dari jalan yang ha- ram untuk menghidupi keluarganya, padahal dosa seperti ini tak dapat ditebus dengan perbuatan baik apa pun. Nabi saw. bersab- da bahwa pada Hari Kebangkitan akan ada laki-laki yang membawa tumpukan perbuatan baik setinggi gunung dan menempatkan- nya di dekat Mizan. Ketika ditanya, “Bagai- mana kauhidupi keluargamu?” ia tak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Akibat- nya, semua perbuatan baiknya dihapus dan dikatakan kepadanya, “Inilah orang yang ke- luarganya telah menelan semua perbuatan baiknya!”

Dampak negatif lainnya muncul disebab- kan kegagalan seseorang memperlakukan is- tri dan anggota keluarganya. Hanya orang yang bertabiat baik yang dapat memperla- kukan keluarganya dengan baik dan sabar serta menyelesaikan setiap masalah yang di- hadapinya. Memperlakukan keluarga dengan kasar atau mengabaikan mereka termasuk dosa besar. Nabi saw. bersabda, “Seseorang yang meninggalkan istri dan anak-anaknya adalah seperti budak yang lari. Sebelum ia kembali kepada mereka, puasa dan salatnya tidak akan diterima oleh Allah.”

Ringkasnya, karena semua manusia pu- nya sifat-sifat rendah, orang yang tak bisa mengendalikan sifat-sifat itu tak layak me- mikul tanggung jawab untuk mengendalikan orang lain (menikah). Ketika seseorang menanyakan kenapa ia tidak menikah, Bisyr al-Hafi menjawab, “Aku takut akan ayat Alquran yang berbunyi: ‘hak-hak wanita atas laki-laki persis sama dengan hak-hak  laki- laki atas wanita’.”
Dampak negatif lainnya muncul ketika urusan keluarga memalingkan seseorang dari mengingat Allah. Sering kali urusan keluarga menghalangi manusia untuk memusatkan perhatiannya kepada Allah dan akhirat. Dan sangat mungkin urusan keluarga akan me- nyeretnya ke jurang kehancuran kecuali ia berhati-hati. Allah telah berfirman, “Jangan sampai istri dan anak-anakmu memaling- kanmu dari mengingat Allah.” Orang yang berpikir bahwa dengan tidak menikah ia bisa menjalankan ibadah secara lebih baik, ia bo- leh membujang; dan orang yang takut terja- tuh ke dalam dosa jika tidak menikah maka menikah menjadi jalan terbaik baginya.

Agar perkawinan menjadi jalan kesela- matan, seseorang harus memerhatikan calon istri yang hendak dinikahinya. Ada beberapa sifat utama yang mesti dimiliki seorang istri. Yang pertama dan yang paling penting ada- lah kesucian akhlak. Jika istrimu berakhlak buruk dan kau diam saja maka namamu akan tercoreng dan agamamu akan rusak. Jika kau menegurnya, kehidupanmu akan terganggu. Dan bila kauceraikan, kau pasti bersedih karena mesti berpisah dengannya. Seorang istri yang cantik tetapi berakhlak buruk adalah bencana yang teramat besar sehingga mencerainya menjadi jalan yang ter- baik. Nabi saw. bersabda, “Orang yang men- cari istri karena kecantikan atau kekayaan- nya pasti akan kehilangan keduanya.”

Sifat yang kedua adalah tabiat yang baik. Istri yang bertabiat buruk—tidak berterima kasih, suka bergunjing, atau angkuh—akan menjadikan kehidupan rumah tangga layak- nya neraka dan pasti akan menghalangi ke- majuan seseorang dalam perjalan ruhaninya. Sifat ketiga yang harus dicari adalah ke- cantikan, yang dapat menimbulkan cinta dan kasih sayang. Karenanya, seseorang harus melihat calon istrinya sebelum menikahinya. Nabi saw. bersabda, “Wanita-wanita dari suku ini dan itu punya cacat di mata mere- ka. Orang yang ingin menikahi seseorang di antara mereka mesti melihatnya dulu.” Se- orang bijak berkata bahwa menikah tanpa lebih dulu melihat calon istri pasti akan me- lahirkan penyesalan. Memang benar bahwa kita tak seharusnya menikah demi kecantik- an, tetapi hal ini tidak menafikan arti pen- ting kecantikan.

***

Seorang bijak pasti akan melakukan muhasabah setiap pagi setelah salat subuh dan berkata kepada jiwanya, “Wahai jiwaku, tujuan hidupmu hanya satu. Meski sedetik, saat yang telah lewat takkan bisa dikembalikan karena
dalam perbendaharaan Allah bagian napasmu sudah ditentukan, tak bisa ditambah atau dikurangi. Saat kehidupan telah berakhir, tak ada lagi laku batin yang dapat kaujalani. Karena itu,
apa yang bisa kaukerjakan, kerjakanlah sekarang.

***

Sifat lainnya berkaitan dengan persoalan mahar yang diminta seorang istri. Mahar paling baik adalah yang pertengahan. Nabi saw. bersabda, “Wanita yang paling baik untuk diperistri adalah yang cantik namun kecil maharnya.” Beliau sendiri memberi ma- har kepada beberapa calon istrinya sekitar sepuluh dirham, dan mahar putri-putri beli- au sendiri tidak lebih dari empat ratus dirham.
Sifat-sifat lain yang harus dimiliki se- orang istri adalah berasal dari keturunan baik-baik, sepenuhnya belum menikah, dan hubungan keluarga dengan calon suaminya tidak terlalu dekat.
Karena perkawinan berperan penting dalam kehidupan seseorang, beberapa hal berikut ini penting untuk diperhatikan:

Pertama, karena perkawinan merupakan satu institusi keagamaan, ia mesti diperlaku- kan secara keagamaan. Jika tidak, pertemuan antara laki-laki dan wanita itu tak lebih baik dari kawinnya hewan. Syariat meme- rintahkan agar seseorang menggelar perja-- muan dalam perkawinannya. Ketika Abdur- rahman ibn Auf menikah, Nabi saw. berkata kepadanya, “Gelarlah jamuan nikah meski hanya dengan seekor kambing.” Ketika Nabi saw. menikah dengan Shafiyah, beliau meng- gelar jamuan meski hanya dengan kurma dan gandum. Demikian pula, perkawinan se- baiknya dimeriahkan dengan permainan mu- sik seperti tabuhan rebana, karena manusia adalah mahkota penciptaan.

Kedua, suami mesti bersikap baik kepa- da istrinya. Ini tidak berarti ia tidak boleh menyakitinya, namun ia harus sabar menang- gung semua perasaan tidak enak yang diaki- batkan istrinya, baik karena sikapnya yang tidak masuk akal atau sikap tak-berterima- kasihnya. Wanita diciptakan lemah dan bu- tuh perlindungan. Karenanya, ia mesti diper- lakukan dengan sabar dan terus dilindungi. Nabi saw. bersabda, “Orang yang sabar me- nanggung kekesalan akibat sikap istrinya akan memperoleh pahala sebesar yang di- terima Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung ujian.” Menjelang ajal menjemputnya, Nabi saw. bersabda, “Berdoalah dan perla- kukan istrimu dengan baik, karena mereka adalah tawananmu.” Beliau sendiri selalu menghadapi tingkah laku istri-istrinya de- ngan sabar. Suatu hari istri Umar marah dan mengomelinya, Umar berkata kepada- nya, “Hai kau yang berlidah tajam, berani kau mendebatku?” Istrinya menjawab, “Ya, penghulu para nabi lebih baik darimu, dan istri-istrinya mendebatnya.” Lalu Umar ber- kata, “Celakalah Hafshah (Putrinya, istri Nabi saw.) jika ia tidak merendahkan dirinya.” Dan ketika berjumpa Hafshah, ia berkata, “Awas, jangan pernah kau mendebat Rasulullah.” Nabi saw. juga berkata, “Yang terbaik di antaramu adalah yang paling baik memperlakukan keluarganya, dan akulah yang terbaik kepada keluargaku.”

Ketiga, suami mesti membolehkan istri- nya beristirahat, rekreasi, dan menikmati ke- senangannya. Nabi saw. sendiri pernah ber- lomba lari dengan istrinya, Aisyah. Pada kali pertama Nabi saw. mengalahkan Aisyah dan pada kali kedua, Aisyah mengalahkan- nya. 

Di waktu lain, beliau menggendong Aisyah agar ia bisa melihat beberapa orang Arab negro menari. Kenyataannya, kita akan sulit menemukan suami yang begitu baik ke- pada istrinya seperti yang dicontohkan Nabi saw. Seorang bijak berkata, “Seorang suami mesti pulang dengan wajah yang ceria dan makan apa saja yang telah disediakan tanpa menuntut yang tidak ada.” Meski demikian, ia pun tak boleh bersikap terlalu lemah se- hingga istrinya tak lagi menghargainya. Jika istrinya berbuat salah, ia harus segera mene- gurnya. Jika tidak, ia akan menjadi bahan cemoohan. Alquran menyatakan, “Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita,” dan Nabi saw. bersabda, “Celakalah laki-laki yang men- jadi pelayan istrinya,” karena istrilah yang seharusnya melayani suami. Seorang bijak berkata, “Bertanyalah kepada perempuan dan lakukan berkebalikan dengan nasihat- nya.” 

Memang kebanyakan wanita cende- rung suka menentang; dan jika dibiarkan sekejap saja, mereka akan melepaskan diri dari kendali dan sulit disadarkan kembali. Wanita harus diperlakukan secara tegas se- kaligus penuh kasih, dan utamakanlah sikap lemah lembut. Nabi saw. bersabda, “Wanita diciptakan bak tulang iga yang bengkok. Jika kau memaksa meluruskannya, ia akan pa- tah; jika kaubiarkan, ia tetap bengkok. Karena itu, perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang.”

Keempat, suami harus berhati-hati agar tidak membiarkan istrinya dipandang atau memandang orang asing, karena semua ke- rusakan berawal dari pandangan. Sebisa mungkin jangan izinkan ia keluar rumah, nongkrong di loteng, atau berdiri di pintu. Meski demikian, jangan mencemburuinya atau menekannya terlalu berlebihan. Suatu hari Nabi saw. bertanya kepada anaknya, Fatimah, “Apakah yang terbaik bagi wani- ta?” Ia menjawab, “Mereka tidak boleh me- nemui atau ditemui orang asing.” Nabi saw. senang mendengar jawabannya dan meme- luknya seraya berkata, “Sungguh, engkau bagian hatiku.” Amirul Mukminin Umar ber- kata, “Jangan memberi wanita busana yang indah, karena segera setelah mengenakannya mereka ingin keluar rumah.” Pada masa Nabi, wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan salat di barisan paling belakang. Namun hal itu dilarang secara bertahap.
 
Kelima, suami mesti menafkahi istrinya dengan layak dan tidak kikir, karena perbu- atan itu lebih baik daripada memberi sede- kah. Nabi saw. bersabda, “Seorang laki-laki yang menghabiskan satu dinar untuk berji- had, satu dinar untuk menebus budak, satu dinar untuk bersedekah, dan satu dinar un- tuk istrinya maka pahala pemberian yang terakhir ini melebihi jumlah pahala ketiga pemberian lainnya.”
Keenam, suami tidak boleh makan se- suatu yang lezat sendirian. Kalaupun ia te- lah memakannya, ia tak boleh membicara- kannya di hadapan istrinya. Jika tidak ada tamu, suami–istri sebaiknya makan bersama, karena Nabi saw. bersabda, “Jika mereka melakukan itu, Allah menurunkan rahmat- Nya atas mereka dan para malaikat pun ber- doa untuk mereka.” Dan yang paling pen- ting, nafkah yang diberikan harus didapat- kan dengan cara-cara yang halal.

Jika istri memberontak dan tidak taat, suami harus menasihatinya secara lemah lem- but. Jika ini tidak mempan, keduanya mesti tidur di kamar terpisah untuk tiga malam. Jika tak berhasil juga, suami boleh memukulnya, bukan di wajah dan tidak terlalu keras hingga melukainya. Jika istri melalai- kan kewajiban agama, suami mesti menun- jukkan sikap tidak senang kepadanya sela- ma sebulan penuh, sebagaimana pernah di- lakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.

Setiap pasangan suami–istri harus berha- ti-hati agar perceraian tidak terjadi. Meski dibolehkan, Allah tidak menyukainya. Per- kataan cerai akan mengakibatkan penderita- an bagi seorang wanita, sedangkan kita tak dibolehkan menyakiti perasaan apalagi mem- buat orang lain menderita! Jika cerai terpak- sa dilakukan, kata cerai tak boleh diulangi tiga kali sekaligus, tetapi harus diucapkan pada tiga waktu yang berlainan. Seorang pe- rempuan mesti dicerai secara baik-baik, ti- dak disertai kemarahan maupun penghina- an, dan tidak pula tanpa alasan. Setelah per- ceraian, seorang laki-laki mesti memberikan mut‘ah kepada bekas istrinya, dan tidak menceritakan alasan atau kesalahan istrinya kepada orang lain. Diriwayatkan, seseorang yang ingin menceraikan istrinya, ditanya, “Mengapa kau ingin menceraikannya?” Ia menjawab, “Aku tak akan membongkar rahasia istriku.” Ketika akhirnya ia benar-be- nar menceraikannya, ia ditanya lagi dan menjawab, “Kini dia orang asing bagiku; aku tidak lagi mengurusi masalah pribadi- nya.” Itulah sikap yang baik.

Itulah hak-hak istri dari suaminya, se- mentara hak-hak suami dari istrinya jauh le- bih mengikat. Nabi saw. bersabda, “Andai saja dibolehkan untuk bersujud kepada se- suatu selain Allah, akan kuperintahkan agar para istri bersujud kepada suami mereka.”

Istri tidak boleh menyombongkan ke- cantikannya di depan suaminya, tidak boleh membalas kebaikan suami dengan sikap ti- dak berterima kasih. Istri tidak boleh berka- ta kepada suaminya, “Kenapa kauperlaku- kan aku begini dan begitu?” Nabi saw. ber- sabda, “Aku melihat ke dalam neraka dan tampak di sana banyak wanita. Kutanyakan sebab-sebabnya dan dijawab bahwa itu ka- rena mereka berlaku tidak baik kepada sua- mi mereka dan tidak berterima kasih kepa- danya.”

Cinta Kepada Allah
CINTA KEPADA Allah adalah topik paling pen- ting dan tujuan akhir pembahasan buku ini. Di depan kita telah membahas ancaman dan rintangan ruhaniah yang merusak kecintaan manusia kepada Allah. Kita pun telah mem- bahas sifat-sifat baik yang diperlukan untuk membangkitkan dan menambah kecintaan kepada-Nya. Kesempurnaan manusia terca- pai jika cinta kepada Allah memenuhi dan menguasai hatinya. Seandainya cinta kepada Allah tidak sepenuhnya menguasai hati, seti- daknya ia menjadi perasaan paling dominan, mengatasi kecintaannya kepada selain Dia. Tentu saja, kita sulit mencapai tingkatan cinta kepada Allah. Tak heran jika sebuah mazhab kalam sama sekali menyangkal kenyataan bahwa manusia bisa mencintai sua- tu wujud yang bukan spesiesnya. 

Mereka mengartikan cinta kepada Allah hanya seba- tas ketaatan kepada-Nya. Orang yang ber- pendapat seperti itu sesungguhnya tidak me- ngetahui apa makna agama yang sebenarnya. Seluruh muslim sepakat bahwa mereka wajib mencintai Allah, sebagaimana firman- Nya tentang sifat kaum beriman: “Dia men- cintai   mereka   dan   mereka   mencintai-Nya,” dan sabda Nabi saw., “Sebelum seseorang mencintai Allah dan Nabi-Nya melebihi cin- tanya kepada yang lain, imannya tidak be- nar.” Ketika malaikat maut datang menjem- put, Nabi Ibrahim berkata, “Pernahkah kau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?” Allah menjawab, “Pernahkah kau melihat seorang kawan yang tidak suka melihat kawannya?” Maka Ibrahim pun ber- kata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!” Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya:

“Ya Allah, berilah aku kecintaan ke- pada-Mu dan kecintaan kepada orang- orang yang mencintai-Mu, dan segala yangmembawaku lebih dekat kepada cinta- Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang yang kehausan.”

Hasan al-Basri sering berkata, “Orang yang mengenal Allah akan mencintai-Nya dan orang yang mengenal dunia akan mem- bencinya.”

Sekarang kita akan membahas sifat cin- ta. Cinta bisa didefinisikan sebagai suatu ke- cenderungan kepada sesuatu yang menye- nangkan. Contoh yang paling jelas tampak pada panca indra kita. Masing-masing indra mencintai sesuatu yang membuatnya senang. Mata mencintai pemandangan yang indah, telinga mencintai musik dan suara yang mer- du, dan seterusnya. Jenis cinta seperti ini juga dimiliki hewan. Tetapi manusia punya indra keenam, yakni persepsi, yang tertanam dalam hati dan tak dimiliki hewan. Fakultas persepsi membuat kita menyadari keindahan dan keunggulan ruhani. Karena itulah seseo- rang yang hanya mengenal kesenangan in- driawi tidak akan bisa memahami maksud Nabi saw. ketika menyatakan bahwa ia men- cintai salat melebihi cintanya pada wewangian dan wanita.

Sebaliknya, orang yang mata- hatinya telah terbuka untuk melihat kein- dahan dan kesempurnaan Allah pasti akan meremehkan semua penglihatan luar meski semua itu tampak indah di mata.

Manusia yang hanya mengenal kesenang- an indriawi akan mengatakan bahwa kein- dahan ada pada rupa yang warna-warni, keserasian anggota tubuh, dan seterusnya, namun tak bisa melihat keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka membicarakan seseorang yang berta- biat baik. Tetapi menurut orang yang punya pandangan lebih dalam, kita dapat mencin- tai orang-orang besar yang telah mendahului mereka, seperti Khalifah Umar dan Abu Bakar, yang memiliki karakter mulia meski jasad mereka telah bercampur debu. Cinta seperti itu tidak melihat bentuk luar, tetapi mencermati sifat-sifat ruhani. Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta seorang anak kepada orang lain, kita tidak meng- uraikan keindahan tubuhnya, tetapi keung- gulan moralnya.

Jika prinsip ini kita terapkan untuk ke- cintaan kepada Allah, kita akan mendapati bahwa hanya Dia satu-satunya yang pantas dicintai. Seseorang yang tidak mencintai Allah berarti tak mengenali-Nya. Karena alasan inilah kita mencintai Muhammad saw., nabi dan kekasih-Nya. Cinta kepada Nabi saw. berarti cinta kepada Allah. Begitu pula, cinta orang yang berilmu dan bartakwa sesung-- guhnya merupakan cinta kepada Allah. Kita akan memahami hal ini lebih jelas kalau kita membahas fakor-faktor yang membangkit- kan cinta kepada Allah.

Faktor pertama adalah bahwa manusia selalu mencintai dirinya dan kesempurnaan sifatnya. Ini mengantarkannya langsung me- nuju cinta kepada Allah, karena keberadaan manusia dan sifat-sifatnya tak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena keba- ikan-Nya, manusia tidak akan pernah mun- cul dari balik tirai ketiadaan ke dunia kasat- mata ini. Pemeliharaan dan pencapaian ke- sempurnaan manusia juga sepenuhnya bergantung kepada kemurahan Allah. 

Sungguh aneh, ada orang yang berlindung dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon tetapi tidak mensyukuri pohon itu—sumber bayangan—yang tanpanya pasti tak akan ada  bayangan sama sekali. Kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan ada dan tidak akan punya sifat-sifat. Karenanya, setiap orang pasti dan mesti mencintai Allah, ke- cuali orang-orang yang tidak mengetahui- Nya.

Mereka tak bisa mencintai-Nya, kare- na cinta kepada-Nya memancar langsung dari pengetahuan tentang-Nya. Dan sejak kapan- kah orang yang bodoh punya pengetahuan? 

Faktor kedua adalah cinta manusia ke- pada pendukungnya, dan sesungguhnya yang senantiasa mendukung dan membantu ma- nusia hanyalah Allah. Sebab, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia pada hakikatnya disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa saja yang menggerakkan seseorang memberi kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan un- tuk mendapat pahala atau nama baik, sesungguhnya digerakkan oleh Allah.

***

Tuhan itu satu, tetapi Dia akan terlihat dalam banyak modus yang berbeda, persis seperti sebuah benda tecermin dalam beragam cara melalui sejumlah cermin; ada yang memantulkan bayangan yang lurus, ada yang baur, ada yang jelas, juga ada yang kabur. Cermin yang kotor dan rusak bisa jadi akan mengubah tampilan benda yang indah
menjadi tampak buruk. Begitu pula manusia yang datang ke akhirat
dengan hati yang kotor, rusak, dan gelap.
Sesuatu yang menyenangkan
dan membahagiakan bagi orang lain justru membuatnya sedih dan menderita.

***

Faktor ketiga adalah perenungan terha- dap sifat-sifat Allah, kekuasaan, dan kebi- jakan-Nya. Kekuasaan dan kebijakan manu- sia hanyalah cerminan paling lemah dari kebijakan dan kekuasaan-Nya. Cinta seperti ini mirip dengan cinta kita kepada orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi‘i meski kita tak per- nah berharap mendapat keuntungan dari mereka. Inilah cinta yang tanpa pamrih. Allah berfirman kepada Nabi Daud, “Hamba-Ku yang paling mencintai-Ku adalah yang tidak mencari-Ku karena takut dihukum atau meng- harapkan pahala. Ia mencari-Ku hanya un- tuk membayar hutangnya kepada ketuhan- an-Ku.” Dalam Alkitab tertulis: “Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang me- nyembah-Ku karena takut neraka atau mengharap surga? Jika tidak Kuciptakan ke- duanya, tidak pantaskah Aku untuk disem- bah?”

Faktor keempat adalah adanya “kemi- ripan” antara manusia dan Allah. Inilah mak- na sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan de- ngan diri-Nya.” Dan dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman: “Hamba-Ku mende- kat kepada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Lantas, Aku menjadi telinganya, matanya, dan lidahnya.” Dan Allah berfir- man kepada Musa as.: “Aku sakit tetapi eng- kau tidak menjengukku!” Musa menjawab, 
“Ya Allah, Engkau adalah penguasa langit dan bumi, bagaimana mungkin Engkau sa- kit?” Allah berfirman, “Salah seorang ham- ba-Ku sakit. Dengan menjenguknya berarti kau telah mengunjungi-Ku.”

Memang tema ini agak riskan diperbin- cangkan karena berada di luar pemahaman orang awam. Orang yang cerdas sekalipun tersandung ketika membicarakan masalah ini sehingga mereka meyakini adanya inkarnasi dan persatuan dengan Allah. Meski demiki- an, kemiripan antara manusia dan Allah menjawab keberatan teolog Zahiriah yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa men- cintai wujud yang bukan dari spesiesnya sen- diri. Betapa pun jauh jarak yang memisah- kan keduanya, manusia bisa mencintai Allah karena kemiripan yang diisyaratkan dalam sabda Nabi: “Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya.” 

MELIHAT  ALLAH
SEMUA MUSLIM mengakui percaya bahwa me- lihat Allah adalah puncak kebahagiaan ma- nusia, sebagaimana dikatakan syariat. Tetapi kebanyakan pengakuan mereka hanyalah pengakuan lisan yang tidak disertai keyakin- an yang teguh. Fenomena ini tidaklah meng- herankan karena bagaimana bisa manusia mendambakan sesuatu yang tak diketahui- nya! Kami akan berusaha menjelaskan seca- ra ringkas, kenapa melihat Allah menjadi kebahagiaan terbesar manusia.

Semua fakultas dalam diri manusia se- sungguhnya memiliki fungsi tersendiri yang harus dipenuhi. Masing-masing punya keba- ikannya sendiri, mulai dari nafsu jasadi yang paling rendah hingga pemahaman intelektual yang tertinggi. Namun, bahkan upaya men- tal yang paling kecil sekalipun akan membe- rikan kesenangan yang lebih besar daripada pemuasan hasrat jasad. Begitulah, seseorang yang telah larut dalam permainan catur ti- dak akan ingat makan meski berulang kali dipanggil. Dan, semakin tinggi pengetahuan kita, semakin besar kegembiraan kita. Misal- nya, kita merasa lebih senang mengetahui rahasia raja daripada rahasia wazir. Karena Allah merupakan objek pengetahuan terting- gi maka pengetahuan tentang-Nya pasti akan memberikan kesenangan yang sangat besar. Orang yang mengenal Allah, di dunia ini, pasti merasa telah berada di surga “yang lu- asnya seluas langit dan bumi”, yang buah- buahannya begitu nikmat dan bebas dipetik; dan surga yang tak menjadi sempit sebanyak apa pun penghuninya.

Kendati demikian, nikmat pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada nikmat peng- lihatan. Jelas saja, melihat orang yang kita cintai memberi kenikmatan yang jauh lebih besar ketimbang hanya mengetahui dan me- lamunkannya. Keterpenjaraan kita dalam ja- sad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukan kita mengurusi dunia telah menciptakan tirai yang menghalangi kita dari melihat Allah meski hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh sebagian pengetahuan tentang-Nya. Karena alasan inilah Allah ber- firman kepada Musa di Bukit Sinai: “Engkau tidak akan bisa melihat-Ku.”

Penjelasannya seperti ini. Sebagaimana benih manusia akan menjadi manusia dan biji kurma yang ditanam akan tumbuh men- jadi pohon kurma maka pengetahuan ten- tang Tuhan yang dicapai di bumi pun kelak akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat. Orang yang tak pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan bisa melihat Tuhan. Kendati demikian, Tuhan akan me- nampakkan diri-Nya kepada orang-orang yang mengetahui-Nya dengan kadar penam- pakan yang berbeda-beda sesuai dengan ting- kat pengetahuan mereka. Tuhan itu satu, te- tapi Dia akan terlihat dalam banyak modus yang berbeda, persis seperti sebuah benda tecermin dalam beragam cara melalui sejum- lah cermin; ada yang memantulkan bayang- an yang lurus, ada yang baur, ada yang je- las, juga ada yang kabur. Cermin yang kotor dan rusak bisa jadi akan mengubah tampil- an benda yang indah menjadi tampak bu- ruk. Begitu pula manusia yang datang ke akhirat dengan hati yang kotor, rusak, dan gelap. Sesuatu yang menyenangkan dan mem- bahagiakan bagi orang lain justru membuat- nya sedih dan menderita. Orang yang hati- nya telah dikuasai cinta kepada Allah tentu akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penampakan-Nya dibanding orang yang hatinya tidak didominasi cinta kepada-Nya. 

Keadaan keduanya seperti dua orang yang sama-sama bermata tajam melihat wajah yang cantik. Orang yang mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia saat mena- tapnya ketimbang orang yang tidak mencin- tainya. Agar mendapat kebahagiaan sempur- na, pengetahuan semata tanpa disertai cinta belumlah cukup. Dan cinta kepada Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum hati- nya disucikan dengan zuhud dari cinta du- nia. Keadaan orang yang mencintai Allah di dunia ini adalah seperti pecinta yang akan melihat wajah kasihya di keremangan senja, sementara pakaiannya dipenuhi lebah dan kalajengking yang terus menyiksanya. Ia akan merasakan kebahagiaan sempurna saat matahari terbit dan menampakkan wajah sang kekasih dengan segenap keindahannya disertai matinya semua binatang berbisa yang selalu mengusiknya. Seperti itulah keadaan hamba yang mencintai Allah setelah keluar dari keremangan dan terbebas dari bala yang menyiksa di dunia ini. Ia akan melihat-Nya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata, “Orang yang sibuk dengan dirinya di dunia, kelak akan sibuk dengan dirinya; dan orang yang sibuk dengan Allah di dunia, kelak akan si- buk dengan-Nya.”

Yahya ibn Mu‘adz meriwayatkan bah- wa ia mengamati Bayazid Bistami dalam sa- latnya sepanjang malam. Usai salat, Bayazid berdiri dan berkata, “Ya Allah! Sebagian hamba telah meminta dan mendapat kemam- puan luar biasa, berjalan di atas air atau ter- bang di udara, tetapi aku tidak meminta itu; sebagian lainnya meminta dan mendapatkan limpahan harta, tetapi bukan itu pula yang kuminta.”
Kemudian Bayazid berpaling dan ketika melihat Yahya, ia bertanya, “Engkaukah itu Yahya?”
“Ya.”
“Sejak kapan?”
“Cukup lama.” Kemudian Yahya me- mintanya agar mengungkapkan beberapa pengalaman  ruhaniahnya.
“Akan kuungkapkan,” jawab Bayazid, “apa yang boleh diceritakan kepadamu. Yang Mahakuasa telah memperlihatkan kerajaan- Nya kepadaku, dari yang paling mulia hing- ga yang paling hina. Ia mengangkatku ke atas Arasy dan Kursi-Nya dan ketujuh la- ngit. Kemudian Dia berkata, ‘Mintalah ke- pada-Ku apa yang kauinginkan.’ Aku menjawab, ‘Ya Allah! Tak kuingini sesuatu pun selain Engkau.’ Dia berkata, ‘Sungguh, eng- kaulah hamba-Ku.”
Di kesempatan yang berbeda Bayazid berkata, “Jika Allah menawarimu keakrab- an dengan-Nya seperti keakraban Ibrahim kepada-Nya, kekuatan doa Musa, dan keru- hanian Isa, mintalah agar wajahmu terus mengarah kepada-Nya. Cukuplah itu bagi- mu, karena Dia memiliki khazanah yang bahkan melampaui semua ini.”

Suatu hari seorang sahabatnya berkata, “Selama tigapuluh tahun aku berpuasa di siang hari dan salat di malam hari, tetapi sama sekali tak kudapati kebahagiaan ruha- niah yang sering kau sebut-sebut itu.”
Bayazid menjawab, “Meski kau berpua- sa dan salat selama tiga ratus tahun, kau te- tap tidak akan mendapatinya.”
“Kenapa?”
“Karena perasaan mementingkan-diri- sendiri telah menjadi tirai antara dirimu dan Allah.”
“Lalu, bagaimana menyembuhkannya?” “Kau tidak mungkin bisa melaksana- kannya.” Namun, sahabatnya itu bersikeras memohon hingga akhirnya Bayazid berkata, “Pergilah ke tukang cukur terdekat, cukur- lah jenggotmu. Buka semua pakaianmu ke- cuali korset yang melingkari pinggangmu. Ambillah sebuah kantong penuh buah kena- ri, gantungkan di lehermu, pergilah ke pasar dan berteriaklah: ‘Setiap orang yang memu- kul tengkukku akan mendapat satu buah ke- nari.’ Kemudian dalam keadaan seperti itu, pergilah ke tempat para kadi dan fakih.”
“Astaga!” kata temannya, “aku tak bisa melakukannya. Adakah cara penyembuhan yang lain?”
“Yang kusebutkan tadi barulah langkah awal untuk menyembuhkan penyakitmu. Namun, seperti telah kukatakan, kau tak bisa disembuhkan.”

Bayazid menunjukkan cara penyembuh- an seperti itu karena sahabatnya itu sangat ambisius mengejar kedudukan dan kehor- matan. Ambisi dan kesombongan adalah pe- nyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan cara-cara seperti itu. Allah berfirman kepada Isa, “Wahai Isa, jika Kulihat di hati para hamba-Ku kecintaan yang murni kepada- Ku, yang tidak ternodai nafsu mementingkan diri sendiri di dunia maupun dia akhi- rat, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu.” Dan diriwayatkan bahwa ketika orang- orang meminta Isa a.s. menyebutkan amal yang paling mulia, ia menjawab, “Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehen- dak-Nya.”

Ketika ditanya apakah ia mencintai Nabi saw., Rabiah al-Adawiyah menjawab, “Ke- cintaan kepada Sang Pencipta telah mence- gahku mencintai mahluk.”

Ibrahim ibn Adam dalam doanya berka- ta, “Ya Allah, di mataku, surga masih lebih rendah dari seekor serangga jika dibanding cintaku kepada-Mu dan kebahagiaan meng- ingat-Mu yang telah Kauanugerahkan ke- padaku.”

Sungguh telah tersesat jauh orang yang menduga bahwa kebahagiaan di akhirat bis- sa dinikmati tanpa kecintaan kepada Allah. Sebab, tujuan utama kehidupan manusia ada- lah sampai kepada Allah kelak di akhirat se- bagaimana sampainya seseorang pada sesua- tu yang sangat didambakannya. Kebahagiaan pertemuan dengan-Nya, setelah melewati pel- bagai rintangan yang tak terbilang, sungguh tak terkatakan. Itulah kebahagiaan puncak manusia di akhirat. Namun, kebahagiaan itu takkan pernah dirasakan oleh orang yang tak pernah mencintai-Nya dan tak merasa senang kepada-Nya di dunia. Jika rasa se- nang kepada Allah di dunia teramat kecil, tentu di akhirat pun rasa senangnya sangat kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa datang sama persis kadarnya dengan kecin- taan kita kepada Allah di masa sekarang.

Nasib yang jauh lebih buruk di akhi- rat—kita berlindung kepada Allah dari men- dapat nasib seperti ini—akan menimpa orang yang semasa di dunia justru mencintai se- suatu yang bertentangan dengan Allah. Bagi- nya, negeri akhirat akan menjadi tempat penderitaan tak berkesudahan. Segala hal yang membuat orang lain bahagia akan mem- buatnya sedih dan menderita. Keadaannya tak berbeda dengan seorang pemakan bang- kai yang pergi ke toko minyak wangi. Ketika mencium aroma yang sangat wangi, ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya dan memercikkan air mawar kepadanya, kemu- dian menciumkan misik (minyak wangi) ke hidungnya. Namun keadaannya justru semakin parah. Akhirnya, datanglah seseorang, yang juga pemakan bangkai. Ia mendekat- kan sampah ke hidung orang itu. Segera ia bangkit sadarkan diri, mendesah puas, “Wah, ini baru wangi!”

Dengan demikian, para budak dunia ti- dak akan merasakan kenikmatan akhirat. Ke- bahagiaan ruhaniah di akhirat tidak akan mendekati mereka, bahkan membuat mereka semakin menderita. Hasrat-hasrat kotor me- reka di dunia akan dibalas dengan balasan yang kotor pula. Akhirat adalah dunia ruh yang merupakan pengejawantahan dari ke- indahan Allah. Karenanya, ia tak layak bagi orang yang berpikiran dan berperilaku ko- tor. Kebahagiaan itu hanya akan diberikan kepada orang yang berusaha menggapainya dan tertarik kepadanya. Mereka mencurah- kan energi dalam zuhud, ibadah, dan pere- nungan sehingga ketertarikan mereka sema- kin menguat. Itulah arti cinta yang sesung- guhnya. Mereka itulah yang disebutkan ayat: “Orang yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia.” Ketertarikan pada kebahagiaan ukhrawi tidak akan dimiliki oleh orang yang selalu bergelimang dosa dan syahwat duniawi.

Orang yang hatinya telah dikuasai cinta kepada Allah tentu akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penampakan-Nya dibanding orang yang hatinya tidak didominasi cinta kepada-Nya. Keadaan keduanya seperti dua orang yang sama-sama bermata tajam melihat wajah yang cantik. Orang yang mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia saat menatapnya ketimbang orang yang tidak mencintainya.
 
Mereka akan menderita di akhirat. Alquran menyatakan, “Dan orang yang mengotori jiwanya akan merugi.” Orang yang dianuge- rahi wawasan ruhaniah memahami kebenar- an ini sebagai kenyataan-teralami, bukan se- kadar ungkapan tanpa makna. Karena itulah mereka yakin betul bahwa orang yang mem- bawa kebenaran itu benar-benar seorang nabi, sebagaimana orang yang telah belajar kedokteran meyakini kebenaran ucapan se- orang dokter. Keyakinan semacam ini tak lagi membutuhkan dukungan mukjizat, se- perti mengubah tongkat menjadi ular yang masih mungkin dipengaruhi oleh mukjizat- mukjizat sejenis yang dilakukan para ahli sihir.

TANDA-TANDA  CINTA  KEPADA  ALLAH
BANYAK ORANG mengaku mencintai Allah, te- tapi mereka harus mempertanyakan kembali, semurni apakah kecintaan mereka itu? Ke- cintaannya itu harus diuji, di antaranya de- ngan tidak membenci kematian, karena se- orang “teman” tidak akan takut bertemu dengan “teman”nya. Nabi saw. bersabda, “Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya.” Memang benar, seorang pecinta Allah yang ikhlas mungkin saja ta- kut akan kematian sebelum tuntas memper- siapkan dirinya untuk kehidupan akhirat. Namun, jika ia benar-benar ikhlas, pasti ia akan bersemangat mempersiapkan diri. Jadi, salah satu tanda bahwa seseorang mencintai Allah adalah tidak takut mati.

Tanda berikutnya adalah kesediaan se- seorang untuk mengorbankan segala hasrat dan kehendaknya demi mencapai kehendak Allah. Ia harus mengikuti dan melaksanakan segala sesuatu yang dapat mendekatkannya kepada Allah seraya menjauhkan diri dari segala yang menjauhkannya dari Allah.
Kendati demikian, orang yang pernah melakukan dosa tidak lantas divonis tidak mencintai Allah sama sekali. Keberdosaannya itu semata-mata membuktikan bahwa ia ti- dak mencintai-Nya sepenuh hati. Wali Fudhail berkata kepada seseorang, “Jika ada yang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepa- da Allah, diamlah; karena jika kaujawab, ‘Aku tidak mencintai-Nya,’ kau telah kafir; dan jika kaujawab, ‘Ya, aku mencintai-Nya,’ berarti kau dusta karena banyak perbuatan-mu yang bertentangan dengan pengakuan- mu.”

Tanda yang ketiga adalah pikiran yang selalu hidup dan segar berkat zikir kepada Allah. Setiap saat, ingatan kepada-Nya tak pernah lepas dari pikirannya. Seorang pecin- ta pasti akan terus mengingat kekasihnya. Dan jika cintanya itu sempurna, tentu ia ti- dak akan pernah melupakan-Nya. Meski de- mikian, mungkin saja cinta kepada Allah tidak menempati tempat utama di hari sese- orang, namun kecintaan akan cinta kepada Allah menguasai hatinya. Kedua hal itu, cin- ta kepada Allah dan kecintaan akan cinta kepada-Nya, sungguh berbeda.

Tanda cinta kepada Allah yang keempat adalah mencintai Alquran, firman Allah, dan mencintai Muhammad Nabiyullah. Lalu, jika cintanya benar-benar kuat, ia akan mencin- tai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba Allah. Bahkan, cintanya akan meliputi seluruh mahluk, karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya- karya cipta dan tulisan tangannya.

Tanda yang kelima adalah adanya has- rat yang kuat untuk beruzlah demi tujuan ibadah. Seorang yang mencintai Allah se- nantiasa mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai ber- cakap-cakap di siang hari dan tidur di ma- lam hari ketimbang melakukan uzlah seperti itu, berarti cintanya tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud a.s., “Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis manusia yang jauh dari kehadiran-Ku, yaitu orang yang bernafsu mencari imbalan na- mun semangatnya kendor setelah mendapat-- kannya, dan orang yang lebih menyukai pi- kiran-pikirannya sendiri daripada mengingat- Ku. Tanda-tanda keengganan-Ku adalah Aku membiarkannya  sendirian.”

Sebenarnya, jika cinta kepada Allah be- nar-benar menguasai hati manusia, kecinta- an kepada segala sesuatu yang lain akan sir- na. Dikisahkan bahwa seorang Bani Israil biasa salat di malam hari. Tetapi ketika me- lihat seekor burung yang selalu bernyanyi dengan merdu di atas sebatang pohon, ia mulai salat di bawah pohon itu agar dapat menikmati nyanyian burung itu. Allah me- merintahkan Daud a.s. untuk mengunjunginya dan berkata kepadanya, “Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor bu- rung yang merdu dengan kecintaan kepada- Ku sehingga tingkatanmu di antara para wali melorot jatuh.” Di lain pihak, ada orang yang sangat mencintai Allah sehingga ketika sedang beribadah kepada-Nya dan rumah- nya terbakar habis, ia tidak menyadarinya sama sekali.

Tanda yang keenam adalah perasaan ri- ngan dan mudah untuk beribadah. Seorang wali berkata, “Selama tiga puluh tahun per- tama aku menjalankan ibadah malamku de- ngan susah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian aku bahkan sangat menyukainya.” Jika cinta kepada Allah sudah sempurna, tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi ke- bahagiaan beribadah kepada-Nya.

Tanda ketujuh adalah mencintai orang yang menaati-Nya dan membenci orang ka- fir dan orang yang tidak taat, sebagaimana dikatakan Alquran: “Mereka bersikap keras kepada orang kafir dan saling mengasihi di antara sesamanya.” Nabi saw. pernah berta- nya kepada Allah, “Ya Allah, siapakah pen- cinta-pencinta-Mu?” Dia menjawab, “Orang yang berpegang erat kepada-Ku layaknya seorang anak kepada ibunya; yang berlin- dung dalam mengingat-Ku sebagaimana se- ekor burung mencari perlindungan di sa- rangnya; dan orang yang murka melihat per- buatan dosa layaknya seekor macan ketika marah; ia tidak takut kepada apa pun.”[]

LihatTutupKomentar