Pengantar Penerjemah Kitab Fihi Ma Fihi Rumi
Nama kitab: Terjemah Fihi Ma Fihi Mengarungi Samudera Kebijaksanaan Jalaluddin Rumi
Judul kitab asal: (فيه ما فيه)
Penulis: Jalaluddin Rumi (جلال الدين الرومي)
Nama lengkap: Muhammad Jalal al-Din Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qounawy
Nama lengkap dalam bahasa Arab: مُحَمَّد بن مُحَمَّد بن حُسَيْنَ بَهَاءٌ الدِّين البَلَخي الْبَكْرِيّ
Lahir: Balkh, Afghanistan, 1260 M / 658 H
Asal: Balkh, Afghanistan
Wafat: Konya, Türkiye, 672 H/ 1273 M (usia 66 tahun)
Bidang studi: Tasawuf, sufisme
Daftar isi
- Pengantar Penerjemah
- Kembali ke: Terjemah Fihi Ma Fihi Jalaludin Rumi
Pengantar Penerjemah
Maulana Rumi telah menyulap bumiku menjadi permata, dengan tanah liatku, ia bentuk semesta laksana surga. (Muhammad Iqbal)
Segala puji hanya milik Allah yang telah memecahkan sumber- sumber hikmah dari hati orang-orang yang benar. Dengan hikmah itu, Tuhan membukakan pendengaran para pecinta dan perindu sehingga mereka dapat mendengar, Tuhan juga memberikan cahaya bagi penglihatan orang-orang yang mengembara keharibaan-Nya sehingga mereka pun mampu melihat.
Aku memuji Allah dengan sebuah pujian dari seseorang yang mengakui anugerah-Nya. Aku bersyukur kepada Allah dengan rasa syukur dari orang yang mengetahui kebaikan-Nya dan pemberian-Nya. Aku memohon ampunan-Nya dari segala dosa yang ada di semua amal. Aku meminta pertolongan kepada Dia yang menjadi asal dari segala sesuatu.
Kupanjatkan selawat kepada Nabi dan hamba-Nya yang mulia, Sayidina Muhammad Saw., kepada keluarga, para shahabat, keturunan dan juga semua orang yang mencintainya, dengan untaian selawat untuk melaksanakan kewajiban mengagungkan kedudukannya dan memuliakan pangkatnya. Kepada beliau dan mereka semua, aku haturkan ribuan salam sejahtera. Aku bersyukur atasa semua itu.
Tiada apa pun lagi di sana selain Allah: Barang siapa yang mengetahui-Nya, maka ia akan meraih kebahagiaan sejati. Siapapun yang melupakan-Nya, maka ia akan tertimpa kerugian yang nyata. Tingkatan para makhluk di jalan makrifat ini bertingkat-tingkat. Di antara mereka ada yang terpandang, rajin melaksanakan salat, dan yang mampu bertajali (menangkap penampakan keagungan Allah). Ada pula seseorang yang terdiam, yang tak diketahui keadaannya.
Allah SWT telah mempersiapkan keberadaan seseorang yang menyeru kepada keimanan: “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu [QS. Ali ‘Imran: 193].” Kenalilah Tuhanmu dengan sungguh- sungguh sebagai tujuan dan maksud dari setiap apa yang kamu ambil dan kamu undang. Termasuk ke dalam golongan yang istimewa ini adalah para utusan, para Nabi, orang-orang saleh dan para wali. Golongan ini tidak memandang apapun selain Allah sehingga nyatalah makna kalimat syahadat: “Tiada Tuhan selain Allah.”
Karena mereka semua adalah golongan yang paling istimewa daripada makhluk-makhluk lainnya, maka Allah telah mengistimewakan setiap ucapan mereka di atas ucapan makhluk lainnya. Ketika seseorang berkata: “Sesungguhnya mendahulukan ucapan anak cucu umat yang mulia ini adalah fardu kifayah, karena ucapan mereka adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk memperbaiki hati kita.”
Benar bahwa kita sangat membutuhkan keikhlasan yang sempurna, sebab bentuk amalan-amalan lahiriah tidak akan memberi manfaat tanpa dilandasi oleh keikhlasan. Imam Ibnu ‘Athaillah pernah berkata: “Amal adalah kerangka yang mati, dan nyawanya adalah keikhlasan yang ada dalam amalan tersebut.” Mayoritas ahli tahkik berpendapat bahwa Jalaluddin Rumi adalah salah satu orang yang termasuk ke dalam golongan istimewa itu, dan ucapannya termasuk ucapan yang istimewa dibanding yang lainnya.
Allah telah menganugerahkan kepada Rumi berbagai kenikmatan. Sejak beberapa tahun silam, beliau telah mempersiapkanku untuk ikut andil dalam menyingkap gur yang luar biasa ini beserta pengaruh dan jasanya yang besar untuk umat manusia. Sebelumnya aku telah menerjemahkan tiga buah buku berbahasa Inggris yang berhubungan dengan Jalaluddin Rumi.
Untuk pengantar kitab ini, aku akan menjelaskan tiga hal yang berkaitan dengan biogra Maulana Jalaluddin Rumi, kitab Fihi Ma Fihi, dan cerita dalam menjalani proses penerjemahan kitab beliau ini.
Pengarang kitab Fihi Ma Fihi ini adalah seorang lelaki bernama Muhammad, dan mendapat julukan Jalaluddin.1 Murid-murid dan para shahabatnya memanggil beliau dengan panggilan Maulana (Tuanku) yang searti dengan kata Khawaja dalam bahasa Persia, sebuah penghargaan maknawi dan sosial. Kata Maulana sendiri adalah terjamahan dari bahasa Persia Khudawanda kar, yang mana julukan ini pertama kali diberikan oleh ayahnya. Dalam literatur Persia modern, dia terkenal dengan sebutan Mevlevi.
Terkadang disematkan pula julukan Rumi atau Maulana Rumi karena dia hidup di sebuah negeri Romawi, tepatnya di daerah Asia Kecil atau Anatolia yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Turki, sementara tempat tinggal ayah dan ibunya berada di kota Konya. Di negara Barat, dia dikenal dengan sebutan Rumi.
Maulana Rumi lahir di kota Balkha, salah satu kota di daerah Khurasan, pada 6 Rabi’ul Awal 604 H atau 30 September 1207 M. Nama asli ayah beliau adalah Bahauddin Muhammad, tetapi nama yang lebih masyhur adalah Baha’ Walad. Beliau adalah seorang pakar Fiqih yang agung, pemberi fatwa, sekaligus salah satu guru tarekat al-Kubrawiyah (pengikut Najmuddin al-Kubra), yang mendapat julukan Sultan al-Ulama (pembesar para Ulama). Dalam salah satu
Sebagian riwayat menyatakan bahwa nasab Baha’ Walad dari jalur ayah bersambung kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, sementara dari jalur ibu memiliki ikatan darah dengan raja-raja Khawarizmi.
Diketahui juga dari beberapa riwayat bahwa Baha’ Walad sering berdiskusi dan beradu argumentasi dengan para pembesar Khawarizmi, bahkan dengan Imam Fakhrurrazi. Beliau pernah berkata: “Kalian adalah tawanan materai yang tak berharga dan kalian terhalang untuk mencapai hakikat.” Namun pergulatan Baha’ Walad dengan mereka tidak berlangsung lama dan terputus setelah serangan Mongol mempersempit ruang gerak ayah Rumi di Khurasan. Hingga ia dan keluarganya harus hijrah menuju Asia Kecil, sebuah tempat perlindungan yang dihiasai oleh para ulama, pemikir dan orang- orang bijak.
Sampai beberapa tahun sebelum mereka berhijrah, Baha’ Walad tidak menetap di kota Balkha, namun ia lebih sering berpindah- pindah dari satu kota ke kota lain di wilayah Khurasan, seperti Wakhsy, Tirmidz dan Samarkand.
Perjalanan panjang ke Konya beserta keluarganya dimulai pada tahun 616 atau 617 H, seiring dengan gempuran tentara Moghul ke kota-kota Khurasan. Sebenarnya dalam perjalanan itu Baha’ Walad hendak melaksanakan ibadah haji ke kota Makkah al-Mukarromah, tetapi niat itu baru terlaksana setelah ia dan keluarganya menetap di Konya. Keluarga Baha’ Walad juga sempat singgah ke kota Naisabur, pasangan dari kota Khurasan, dan disambut ole Syekh Fariduddin al-Attar, seorang bijak dan penyair besar yang berada di pasar tempat para penjual minyak di kota itu. Ia tinggal di sebuah bilik yang saat ini dikenal dengan sebutan apotek. Di sana ia mengobati orang-orang sakit dengan obat-obat racikannya sendiri, di samping itu ia juga sering menggubah syair Irfani dan mengarang berbagai kitab yang berharga.
Menurut sebagian sumber informasi, Syekh Fariduddin kagum dengan kepribadian Maulana Rumi yang meski masih belia namun sudah memiliki tingkat kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa sehingga beliau memberikan kitab karangannya yang berjudul Asrar Namih (Book of Secrets) kepada Rumi dan berkata pada ayahnya: “Sesungguhnya anakmu akan menyalakan api dengan cepat di sekam dunia ini.”
Kemudian dari kota Naisabur, mereka beranjak menuju Baghdad.Terdapat bermacam kejadian yang dialami ayah Rumiselama tiga hari di sana. Ia pernah meramalkan kemungkinan runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah, kedatangan khalifah ke kediamannya, dan mangkatnya sang lentera agama, Abu Hafs as-Suhrawardi, seorang bijak yang alim, terpandang, dan pemilik karya monumental ‘Awarif al-Ma’arif ( e Knowledge of e Spiritually Learned). Dari Baghdad, Baha’ Walad membawa keluargnya keluar menuju Hijaz, kemudian bertolak ke kota Syam, dan menetap cukup lama di sana.
Beberapa versi riwayat yang tidak begitu valid menjelaskan perjalanan Baha’ Walad dan putranya Maulana Rumi menuju kota Arzanjan di negara Armenia, bahwa mereka juga pernah singgah dalam waktu yang lama di kota Ak-Shahr (Akşehir), Malta, dan Laranda, yang menjadi tempat wafatnya ibunda Maulana Rumi, Mu’mine Khatun. Di tempat ini pulalah Rumi dipertemukan dengan seorang gadis bernama Jauhar Khatun yang kemudian dinikahinya dan melahirkan putra yang bernama Sultan Walad.
Perjalanan Baha’ Walad bersama putranya sampai ke kota Konya pada tahun 626 H/1229 M. Kedatangannya dimuliakan oleh Sultan Seljuk Romawi, Alauddin Kaiqubad. Baha’ Walad meninggal dunia pada 18 Rabi’ul Awal 628 H/1231 M. Kemudian Maulana Rumi menggantikan kedudukan ayahnya dalam mengajar ilmu Fiqh, memberi fatwa dan mendidik manusia.
Setahun setelah wafatnya Baha’ Walad, datanglah salah seorang muridnya yang bernama Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi yang ingin menemui guru yang dirindukannya. Namun perpisahan Burhanuddin dengan gurunya ini membuatnya pilu. Kemudian Burhanuddin memberikan pendidikan pada Maulana, dan yang pertama kali ia sampaikan adalah apa yang ia peroleh dari ayahnya. Burhanuddin menyarankan agar Maulana Rumi pergi ke kota Syam untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya. Rumi kemudian dikirim ke kota Halb. Sambil ditemani olehnya, Rumi keluar sampai ke daerah Caesarea. Selama sembilan bulan lamanya, Burhanuddin al-Tirmidzi menjadi kekasih sekaligus mursyid bagi Rumi, baik jauh maupun dekat.
Diceritakan pula bahwa Maulana menetap di Halb sebelum menjelajahi separuh wilayah Damaskus. Sebagian pakar berpendapat bahwa wawasan luas Maulana Rumi yang berkaitan dengan keilmuan Islam terlihat pada kitabnya Matsnawi. Ia berhasil memperoleh pengetahuan tersebut saat ia masih berada di Halb dan Damaskus, di mana pada saat itu dua kota ini terkenal dengan sekolah-sekolah Islam terkemuka yang pengajarannya dijalankan oleh para cendikiawan ilmu Fiqih tersohor. Di dekat sekolah itu, tepatnya di Damaskus, juga hidup seorang guru Irfani terbesar, Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Termasuk dari kebiasaan para pencari ilmu tersurat maupun tersirat adalah menelusuri separuh Damaskus dari setiap penjuru dunia Islam.
Kemudian Maulana kembali ke kota Konya dengan membawa predikat sebagai seorang yang alim akan ilmu-ilmu keislaman. Para cendikiawan dan ulama menyambut kedatangannya. Begitu pula dengan para pengikutnya, yakni kaum su , yang menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Pada kesempatan itu, Burhanuddin memaksa dan mendorongnya untuk menjadi seorang mursyid besar dan salah satu guru Irfani yang agung. Pada tahun 638 H/1241 M, Burhanuddin al-Tirmidzi wafat di kota Caesarea. Sedangkan Maulana Rumi terus mengajar dan memberi tuntunan kepada para murid di sekelilingnya.
Keadaan ini terus berlangsung sampai tahun 642 H, sebelum terjadinya perubahan besar pada kehidupan Maulana Rumi. Tepatnya pada senin, 26 Jumadil Tsani 642 H, Syamsuddin al-Tabrizi berkunjung ke kota Konya. Dia adalah seoarang pria berperawakan tinggi, wajahnya padat berisi, serta kedua matanya dipenuhi oleh amarah dan kasih sayang. Dia banyak bersedih dan umurnya sekitar enam puluhan tahun.
Syams telah banyak bergulat dengan para guru tarekat dan sempat menimba ilmu kepada beberapa mursyid, di anatara adalah Abu Bakar as-Sallal at-Tabrizi dan Ruknuddin as-Syijasi. Tetapi, mereka tidak dapat menjawab kegoncangan jiwa yang dialami oleh Syams al-Tabrizi serta memuaskan beberapa persoalan yang menghinggapi jiwanya. Karena merasa tidak puas, beliau kemudian meninggalkan kampung halamannya untuk mencari seseorang yang mampu memberinya jawaban. Beliau pernah berkata: “Aku mencari seseorang yang sejenis denganku agar aku dapat menjadikannya kiblat, tempatku menghadap. Aku telah jenuh dengan diriku sendiri.” Demikianlah hingga akhirnya beliau pergi dari Tabriz menuju Baghdad dan terus melanjutkan perjalannya ke Damaskus, tempat Ibnu ‘Arabi berada. Di sana terjadilah pergulatan dan diskusi antar keduanya.
Beliau masih terus mengembara dari satu kota ke kota lainnya dan akhirnya sampai ke kota Konya. Syamsuddin diliputi oleh kebingungan, sebagaimana disinggung dalam beberapa tulisannya yang mengambarkan kebingungan itu. Ketika ia sampai ke sana, ia tidak mengetahui apakah ia akan menemukan seseorang yang dicarinya di kota itu atau tidak? Beberapa saat lamanya ia terdiam. Dengan menyembunyikan identitas aslinya, ia menyewa sebuah kamar bersama seorang pedagang di kediaman seorang wanita pedagang gula. Sampai akhirnya ia menemukan Rumi.
Berbagai macam vesi yang serupa dalam riwayat-riwayat ini meyakini jika Syamsuddin tahu akan keberadaan Rumi di kota Konya. Di tengah persinggahannya itu, ia selalu menunggu kesmpatan untuk menemuinya, dan akhirnya ia meyakini bahwa Rumi sama dengan para pengajar lainnya yang kering dan dangkal. Namun demikian, di awal pertemuan mereka, Syams telah mengagumi beberapa potensi yang ada dalam diri Rumi, dan demikian juga sebaliknya. Beberapa sumber hikayat menjelaskan bahwa Syamsuddin turun laksana guntur menyambar cakrawala pemahaman Rumi, hingga ia ingin guntur itu yang meluluhlantahkan dirinya. Seperti yang beliau katakan: “Apa yang membebaniku dengan keluluhlantakan ini, jika dalam kefanaan tersimpan harta karun sang sultan.”
Setelah keduanya bertemu, semangat mengajar dan mendidik murid dalam diri Rumi menjadi sirna. Ia tinggalkan majelis taklim dan kebiasaannya menjadi imam salat, dan lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan menari dan memukulkan kedua kakinya ke tanah, tenggelam dalam alunan lagu-lagu ghazal yang memengaruhi jiwa. Fenomena ini menyulut kemarahan para pengajar qih yang akhirnya mengucilkannya dan menghasut para pengikut Rumi. Akibatnya, satu persatu dari pengikutnya meninggalkan Rumi dan berpindah kepada para fukaha itu. Fitnah telah memperdaya kota Konya hingga pengaruhnya membuat Syamsuddin Tabrizi beranjak dari kota tersebut. Pada 21 Syawal 643 H/1245 M, Syams pergi tanpa memberi tahu ke mana ia akan pergi.
Kejadian itu meningalkan kesedihan pada diri Rumi. Ia pun semakin sering menyanyikan lagu-lagu ghazal untuk melipur lara dihatinya, hingga lahirlah majelis baru, tempat di mana sang pemberi fatwa rindu untuk mengundang manusia bermain musik dan menyimaknya. Sebagaimana keterangan yang didapat dari Dr. Muhammad Isti’lami, pentahkik kitab Matsnawi, bahwa pada akhirnya kebahagiaan menghampiri Maulana saat ia tahu Syamsuddin berada di kota Syam. Dalam senandung syairnya, ia berkata: “Waktu Subuh mana lagi yang akan muncul, jika ternyata ia berada di kota Syam?”
Setelah beberapa lembar surat dan buku tak mampu membuat Syams kembali ke Konya, Rumi mengutus anaknya, Sultan Walad, ke Damaskus untuk menjemput sang guru. Sultan Walad kembali bersama Syams Tabrizi ke Konya pada bulan Dzulhijjah tahun 644 H/1246 M. Namun belum lama ia tinggal di sana, untuk kedua kalinya, permusuhan pada Syams dengan cepat mengakar kuat di seluruh hati masyarakat. Karena tamu-tamu akal tidak dapat menerima keberadaan sang magician, sebagaimana pemahaman mereka yang sempit, menyebabkan mereka menuduh Rumi sebagai orang gila yang kelakuannya hanya menari di tempat-tempat umum dan di pasar-pasar. Tidak jarang para ahli qih menyerang Rumi dan gurunya. Banyak pula dari para shahabat dan musuh-musuhnya yang ingin menumpahkan darah Syams. Bahkan konon ada banyak riwayat yang menceritakan bahwa pada akhirnya Syams mati terbunuh.
Apa pun yang terjadi, faktanya adalah bahwa Syamsuddin al-Tabrizi menghilang dari penglihatan tahun 648 H/1247 M setelah tersulutnya tnah yang kedua. Sedangkan riwayat tentang pembunuhannya tidak dapat dipercaya. Beberapa sumber berita justru menceritakan kepergian Rumi ke kota Damaskus untuk mencarinya:
Dengan sebab fajar kebahagiaan yang bersinar dari arah itu,
Di setiap sore dan petang aku terlena oleh berbagai macam sihir di kota Damaskus.
Setelah beberapa waktu, Rumi kembali ke Konya. Ia kembali mengajar dan memberi tuntunan memberi petunjuk untuk para muridnya. Tetapi kali ini arahan dan ajaran Rumi lebih murni bernuansa su sme dengan bingkai tarian dan musik. Hal ini terus beliau lakukan hingga akhir hayatnya.
Di sela-sela kesibukannya mengajar, Rumi membutuhkan orang yang dapat dipercaya serta mampu mengurusi segala keperluan para muridnya. Maka diangkatlah Salahuddin Zarqub dan kemudian Husamuddin Celebi sebagai pengganti dirinya dalam melaksanakan tugas-tugas ketika ia pergi. Mereka berdua membantu Rumi dalam mengobati dan menyelesaikan segala persoalan yang dihadap para murid dan setiap orang yang mengunjunginya.
Salahuddin Zarkub adalah wakil Rumi yang pertama. Ia berasal dari salah satu desa di Konya. Ia adalah seorang yang sederhana dan berprofesi sebagai tukang tambal emas di toko miliknya yang berada di tengah pasar. Meskipun wawasan dan pendidikannya terbatas, namun ia memiliki kecenderungan yang kuat kepada para pecinta Allah.
Rumi memberikan perhatian yang besar kepadanya dengan menjadikannya sebagai pelaksana dalam mengarahkan para murid, terutama dari kalangan tua renta. Pada tahun-tahun ini, hubungan yang terjalin di antara mereka semakin erat dan ditingkatkan menjadi pertalian keluarga setelah salah satu saudari Salahuddin dipersunting oleh Sultan Walad.
Salahuddin terus melaksanakan tugas-tugas Rumi selama sepuluh tahun. Pada 1 Muharram 657 H/1258 M, ia meninggal setelah menderita penyakit kronik.
Setelah Salahuddin wafat, kedudukannya digantikan oleh Husamuddin Celebi atau Hasan bin Muhammad al-Armawy, seorang lelaki yang dalam mukaddimah Matsnawi disebut sebagai “Abu Yazidnya zaman itu dan Imam Junaidnya masa itu” oleh Rumi. Hasan juga dikenal dengan julukan ‘keponakanku yang tertinggal.’
Peran dan jasa Husamuddin dalam mengurusi segala keperluan murid-murid Rumi dan majelis ilmiahnya patut mendapat pujian. Bukti yang lebih kuat akan hal itu adalah bagaimana pengaruhnya yang sangat krusial dalam memberikan saran pada Rumi untuk menggubah nazam-nazam Matsnawi dan mendorongnya untuk melahirkan karyanya itu. Ada berbagai sumber yang menerangkan kronologi ini, di antaranya adalah: Pada awalnya, dalam memahami makna-makna yang agung dalam ilmu Irfani, segelintir murid Rumi sering membaca karya-karya al-Hakim Sanai dan Fariduddin al-Attar. Sedangkan Husamuddin meyakini bahwa Rumi telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari keduanya dalam memberikan nasihat-nasihat Irfani. Bahkan produktivitas hati dan keistimewaan beliau memungkinkannya menciptakan sebuah karya yang jauh lebih berharga dan fenomenal dari kitab Hadiqatul Haqiqah karya Sanai, atau nazam-nazam milik Fariduddin al-Attar. Diceritakan pada suatu malam Husamuddin mendatangi gurunya, Rumi kemudian menyarankannya untuk menggubah syair yang mirip dengan kitab Hadiqatul Haqiqah, tiba-tiba Rumi mengeluarkan secarik kertas yang berisi 18 bait dari permulaan kitab Matsnawi dari ujung serbannya.
Yang jelas dalam empat atau lima tahun terakhir dari hidupnya, Rumi senang berkhalwat dalam kesendiriannya dan tidak menyibukkan diri dengan memberi bimbingan dan petunjuk dalam bentuk nazam. Pertemuan Rumi dengan para simpatisan hanya terbatas pada majelis sima’, yang menjadi halaqoh zikir dan tempat berkumpulnya Syekh dengan murid-muridnya, menari dan berputar-putar. Beliau tetap menjaga keistikamahannya menghadiri majelis sima’ ini hingga detik-detik akhir dari hidupnya.
Di malam terakhir sebelum beliau meninggal, Rumi terkena demam parah. Namun tak sedikitpun terlihat di wajahnya ada tanda-tanda sakratulmaut. Bahkan beliau juga masih sempat menyenandungkan lagu-lagu ghazal dan menampakkan kebahagiaan di wajahnya. Ia juga melarang para shahabatnya untuk bersedih atas kepergiannya:
Di malam sebelumnya aku bermimpi melihat seorang syekh di pelataran rindu,
Ia menudingkan tangannya padaku dan berkata: “Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku.”
Konon, syair di atas adalah bait terakhir yang digubah oleh Rumi. Akhirnya pada Ahad, 5 Jumadil Tsani 672 H/1273 M, ketika siang telah mengumandangkan azan perpisahan dan di senja harinya dua matahari terbenam sekaligus di ufuk Barat, yang salah satunya adalah sang surya Maulana Jalaluddin Rumi.
Demikianlah biogra dari seorang lelaki agung yang telah memenuhi agama Islam dengan ilmu yang serupa kimia, dapat mengubah tambang-tambang yang bernilai menjadi emas. Berdasarkan keyakinan orang-orang terdahulu, beliau menggubah syair-syair indah menjadi piranti dalam memperbaiki keadaan jiwa yang rusak. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin Prof. Nicholson rela menghabiskan waktu 30 tahun dari umurnya untuk mempelajari kepribadian Jalaluddin Rumi dan mengklaim dirinya sebagai penyair su terbesar?
Nicholson berpendapat bahwa deskripsi tentang Rumi yang dilakukannya ini belumlah menyingkap hakikat dari sang su tersebut. Ia berkata: “Jika tidak demikian, mana mungkin kita dapat melihat suatu gambaran yang mencakup segala eksistensi dengan sempurna terhampar di depan mata kita saat ini dan selamanya?” Sesungguhnya syair gubahan Rumi ini, ditinjau dari karakter su sme, mengandung unsur-unsur sarkastis dan sinisme serta berbagai logika yang dapat menimbulkan ratapan dan bermacam deskripsi seorang kereator yang saat ia menyentuh sebuah barang maka esensi darinya akan tersingkap.2
Secara singkat akan aku paparkan beberapa karangan Maulana Rumi, dan akan aku sebutkan secara khusus tentang kitab yang diterjamahkan ini dengan penjelasan terperinci.
Maulana Rumi meninggalkan dua buah karya yang mengupas tentang sastra. Di antara kitabnya ada yang redaksinya berbentuk prosa dan ada pula yang susunannya berbentuk nazam. Karya yang redaksinya berbentuk prosa adalah:
1. Al-Majalis as-Sab’ah: kitab ini berisi kumpulan nasihat dan khotbah yang disampaikan Rumi di atas mimbar-mimbar. Adapun isinya merupakan hasil dari pengembaraan hidup Rumi yang mempertemukan dirinya dengan sang guru, Syamsuddin al-Tabrizi.
2. Majmu’ah min ar-Rasa’il: kitab ini berisi sekumpulan surat yang ditulis oleh Rumi kepada para sahabat dan kerabatnya, dan
3. Fihi Ma Fihi, kitab yang diterjamahkan ini.
Sementara karya-karya Rumi yang berupa Nazam adalah:
1. Diwan Syams Tabrizi: Kitab ini berisi ghazal su yang jumlahnya hampir mendekati 3500 ghazal, seperti yang dikatakan orang- orang Iran. Diwan ini digubah dengan mengikuti bahar-bahar yang bervariasi dengan jumlah baitnya mencapai 43.000 bait. Rumi menggubah Diwan ini untuk mengungkapkan ketergantungannya kepada gurunya Syamsuddin Tabrizi. Karenanya terjalinlah persatuan antara murid dan gurunya, sampai-sampai Rumi menggubah diwan dan pada akhirnya terucap nama Syams oleh lisannya sehingga Diwan ini terkenala dengan nama Diwan Syams Tabrizi.
2. Ruba’iyat, yang dinisbahkan kepada Maulana Rumi. Dalam kitab ini terdapat 1.659 bait yang wazan-nya berbentuk rubai (terdiri dari empat baris). Sementara keseluruhan baitnya mencapai 3.318 bait, dan
3. Matsnawi: nazam berbahasa Persia yang dalam bahasa Arab searti dengan kata biner. Dalam setiap bait terselip rima yang menyendiri dari rima bait-bait lainnya. Namun dua penggalan dalam satu baitnya tetaplah sama.
Sekumpulan syair besar ini tercakup dalam enam kitab yang berisi 25.000 bait syair dan membahas berbagai macam tema berhubungan dengan manusia, dunia dan akhirat.
Seperti yang telah aku sampaikan sebelumnya, kini kita telah sampai pada pembahasan mengenai karya fenomenal, kitab Fihi Ma Fihi yang telah aku terjamahkan untuk para pembaca.
Kitab ini adalah karya Maulana Jalaluddin Rumi yang penyampaiannya berbentuk prosa. Kebanyakan pembahasan dalam setiap pasal-pasalnya merupakan jawaban dan tanggapan atas bermacam pertanyaan dalam konteks dan kesempatan yang berbeda- beda.
Sebagian dari isi pembahasan kitab ini berisi percakapan antara Rumi dengan Mu’inuddin Sulaiman Barunah, seorang lelaki yang memiliki kedudukan tinggi di birokrasi pemerintahan Seljuk Romawi. Mu’inuddin adalah orang yang sangat merindukan para ahli batin dan termasuk golongan yang meyakini kewalian Maulana Rumi.
Kitab Fihi Ma Fihi ini berisi kumpulan materi perkuliahan, re eksi dan komentar yang membahas masalah sekitar akhlak dan ilmu-ilmu Irfan yang dilengkapi dengan tafsiran atas al-Qur’an dan Hadis. Ada juga beberapa pembahasan yang uraian lengkapnya dapat ditemukan dalam kitab Matsnawi. Seperti halnya diwan Matsnawi, kitab ini menyelipkan berbagai analogi, hikayat sekaligus komentar Maulana Rumi. Selain itu, kitab ini bisa membantu kita untuk memahami pemikiran beliau dan menyingkap maksud-maksud ucapannya dalam berbagai kitab lainnya.
Maulana Rumi juga tidak lupa mencantumkan beberapa nama yang memiliki hubungan emosional dengan beliau. Seperti Baha’ Walad (ayahnya), Burhanuddin Muhaqqiq al-Tarmidzi (guru ayahnya) yang mendidiknya setelah sang ayah wafat, Syamsuddin Tabrizi (sang maha guru Rumi), dan juga kekasih sekaligus penolongnya, Shalahuddin Zarkub.
Kitab Fihi Ma Fihi juga memuat ensiklopedi budaya Maulana Jalaluddin Rumi. Diketahui bahwa beliau memiliki pengetahuan yang sangat dalam dan luas tentang bermacam-macam isu. Sebagian dari kemampuannya adalah bagaimana ia bisa mengungkapkan gagasan cemerlang dengan memakai redaksi yang biasa digunakan sehari-hari. Misalnya ketika beliau menjelaskan roh Islam dan kehendak Allah dengan segala ciptaan-Nya, beliau memakai term ‘Isyq (kerinduan dan kecenderungan relung hati pada Wujud yang dirindukan) yang dapat memengaruhi perasaan dan memalingkan akal, jiwa dan hati dalam waktu yang bersamaan.
Tujuan pokok dari kitab Fihi Ma Fihi ini adalah: Tarbiyah rohani pada manusia agar ia mengikuti apa yang dikehendaki Allah, Tuhan semesta dan jagat raya ini.
Asalnya, kitab ini terdiri dari 71 pasal yang panjang redaksinya berbeda-beda dan tanpa diberi judul. Enam pasal di antaranya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab, yaitu pasal 22, 29, 34, 43, 47 dan 48. Kami kemudian mentoleransi untuk memberikan judul atas setiap pasal sesuai dengan isi pembahasan yang dikandungnya. Meski demikian, kami tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa judul yang kami gunakan untuk setiap pasal itu mengungkapkan materi pasal, karena tidak jarang Maulana Rumi melompat dari satu pembahasan ke pembahasan lainnya.
Dalam mengomentari judul kitab ini, seorang pakar cendikiawan bernama Badi’uzzaman Farouzanfar menjelaskan bahwa nama ‘Fihi Ma Fihi’ terdapat pada sampul salinan yang ia yakini sebagai judul asli. Setelah ia melakukan penelitian terhadap kitab itu, ia berkesimpulan bahwa kitab Fihi Ma Fihi ini telah dibukukan dengan sempurna setelah wafatnya Rumi dengan merujuk pada pembukuan per pasal ketika beliau masih hidup. Adapun yang melakukan penyempurnaan kodi kasi kitab ini kemungkinan adalah puteranya, Sultan Walad, atau salah satu muridnya.
Badiuzzaman Farouzanfar berkata dalam pengantar bukunya tentang kitab ini: “Tidak mungkin kita mengira jika Rumi sendiri yang memberi nama kitab ini. Besar dugaan nama ini (Fihi Ma Fihi) diambil dari penggalan syair yang tertera dalam al-Futuhat al- Makkiyah karya Syekh Muhyiddin ibn ‘Arabi.” Adapun penggalan itu adalah sebagai berikut:
Dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Persia, kami bersandar pada buku ulasan karya Farouzanfar. Sementara dalam menghadapi beberapa kemusykilan yang ditemukan, kami merujuk pada buku terjamah versi bahasa Inggris yang ditulis oleh Arthur J. Arbery yang diberi judul Discourses of Rumi.
Karena tujuan yang mendorongku untuk menanggung penerjemahan ini, maka di akhir pengantar ini, izinkan kami meminjam pernyataan-pernyataan yang pernah diungkapkan oleh Dr. Muhammad Abdus Salam Kafa yang kami anggap sesuai dengan harapan kami. Pernyataan itu terdapat pada pengantar terjamah kitab Matsnawi juz 2 yang isinya sebagaimana berikut:
“Kami sangat membutuhkan etika tasawuf yang konstruktif, yang dapat mengembalikan kehidupan kepada jiwa bangsa Arab yang asli dan menyingkirkan esensinya yang tertutupi oleh debu-debu masa. Di saat itu kita akan menggenggam kekuatan harapan. Kita tidak akan khawatir tertiup oleh beberapa penghalang dan debu-debu jalanan. Termasuk dari akhlak tasawuf adalah mengalahkan syahwat dan menganggap ringan kehidupan ini demi mencapai cita-cita yang lebih tinggi. Demikian pula hendaknya kita mengikuti apa yang kita yakini dalam berbuat dan berkata.”
Benar bahwa kita memang sangat butuh pada etika seorang pendidik yang akan menangkis umat dari depresi yang dapat menjerat mereka dan menjadikan mereka bahan tertawaan bangsa- bangsa lain, atau menjadi bahan percobaan bagi setiap eksperiman murahan. Namun bagaimana mungkin syair ini akan membuat keadaan menjadi stabil jika faktor-faktor etika dan para pendongeng banyolan selalu menghujani umat dengan kejanggalan, keletihan dan kerendahan.
Maka kepada putra-putra bangsa yang mulia ini aku persembahkan bara api yang dinyalakan oleh sang penyair dan pemikir yang rindu pada Sang Pencipta, Maulana Jalaluddin Rumi. Sosok, yang oleh Abdurrahman Jami’ disebut sebagai penyair bijak terbesar abad 7 H. “Ia bukan seorang Nabi, tetapi ia menerima kitab suci,” Puji Abdurrahman Jami’.
Allah SWT adalah tujuan di awal dan di akhir.
Halb, Jum’at, 9 Dzulqa’dah 1421 H. ‘Isa ‘Ali al-‘Akub
FOOTNOTE
1 Dalam menulis sejarah singkat dari kehidupan Maulana Rumi ini kami merujuk pada buku pengantar berharga yang ditulis oleh Dr. Muham- mad Isti’lami yang mentahkik kitab Matsnawi. Untuk mengurai bio- gra Rumi, kita juga bisa menelusuri beberapa kitab terjamah lainnya seperti: Yad al-Syi’ri: Khamsatu Syi’rai Mutashawwifah min Faris karya Inayat khan, Mystical Dimensions of Islam karya Anemmarie Schimmel, serta buku Rumi and Su sm karya Eva de Vitray dan Meyerovitch.
2 Lihatlah Mukaddimah Dr. Muhammad Abdus Salam Kafa dalam pengantar terjamah kitab Matsnawi juz 1, cetakan pertama (Beirut: Maktabah al-Mishriyyah, 1966), hlm. 43
3 Kitab Fihi Ma Fihi ini selesai diterjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Arab oleh ‘Isa ‘Ali al-‘Akub—seorang yang tumbuh di desa Huwaijah, salah satu distrik di Suriah, dan bertempat tinggal di Halb al-Amira—tepat pada jam tujuh sore, Selasa, 17 Syawal 1421 H.