Semuanya Karena Allah

Pasal 1. Semuanya Karena Allah Pasal 2. Manusia Adalah Astrolah Allah Pasal 3. Matilah Kalian Sebelum Kalian Mati Pasal 4. Kami Muliakan Anak Keturuna

Semuanya Karena Allah

Nama kitab: Terjemah Fihi Ma Fihi Mengarungi Samudera Kebijaksanaan Jalaluddin Rumi
Judul kitab asal: (فيه ما فيه)
Penulis: Jalaluddin Rumi (جلال الدين الرومي)
Nama lengkap: Muhammad Jalal al-Din Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qounawy
Nama lengkap dalam bahasa Arab: مُحَمَّد بن مُحَمَّد بن حُسَيْنَ بَهَاءٌ الدِّين البَلَخي الْبَكْرِيّ
Lahir: Balkh, Afghanistan, 1260 M / 658 H
Asal: Balkh, Afghanistan
Wafat: Konya, Türkiye, 672 H/ 1273 M (usia 66 tahun)
Bidang studi: Tasawuf, sufisme

Daftar isi

  1. Pasal 1. Semuanya Karena Allah
  2. Pasal 2. Manusia Adalah Astrolah Allah
  3. Pasal 3. Matilah Kalian Sebelum Kalian Mati
  4. Pasal 4. Kami Muliakan Anak Keturunan Adam
  5. Pasal 5. Kelahiran Yang Sambung Menyambung
  6. Pasal 6. Seorang Mukmin Adalah Cermin Bagi Mukmin Lainnya
  7. Pasal 7. Sekalipun Tabir Tersingkap, Keyakinanku Tidak Akan Bertambah
  8. Pasal 8. Sungguh Telah Datang Kepadamu Seorang Rasul Dari Kaummu Sendiri
  9. Pasal 9. Tujuan Satu-Satunya
  10. Pasal 10. Apa Yang Diucapkannya Bukanlah Kemauan Hawa Nafsunya
  11. Kembali ke: Terjemah Fihi Ma Fihi Jalaludin Rumi  

Pasal 1. Semuanya Karena Allah

 Rasulullah Saw. bersabda: “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin, dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di depan pintu rumah orang fakir, dan seburuk- buruk orang fakir adalah ia yang berada di depan pintu rumah pemimpin.”

Banyak orang yang merasa puas hanya dengan memahami makna redaksi hadis ini secara tekstual, bahwa seorang ulama tidak seharusnya mengunjungi para pemimpin agar tidak menjadi seburuk- buruknya ulama. Padahal makna yang sebenarnya dari hadis tersebut bukanlah seperti itu, melainkan bahwa seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantung kepada para pemimpin, semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari para pemimpin. Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai media agar mereka dapat bercengkerama dengan para pemimpin, agar diberi penghormatan dan jabatan yang tinggi. Mereka mengubah dirinya dari bodoh menjadi berilmu semata-mata demi para pemimpin.
Ketika ulama itu menjadi terpelajar dan berpendidikan karena takut pada para pimpinan dan ingin dipuji, maka ia akan menjadi tunduk pada kekuasaan dan arahan sang pemimpin. Mereka menyenangkan diri dengan penuh harap agar sang pemimpin memerhatikan. Jadi, tidak peduli apakah ulama itu yang datang mengunjungi pemimpin atau pemimpin itu yang mengunjungi ulama, tetapmenjadikanulamasebagaipengunjungdanpemimpinlah yang dikunjungi.
Sementara ketika seorang ulama menuntut ilmu bukan demi seorang pemimpin, melainkan karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka tingkah laku dan kebiasaannya akan sesuai dengan jalan yang benar karena memang itulah tabiatnya dan mereka tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sebaliknya, seperti ikan yang tidak bisa hidup dan tumbuh berkembang kecuali di dalam air. Ulama semacam ini memiliki akal yang dapat mengontrol dan mencegah dirinya dari perbuatan buruk. Pada waktu yang bersamaan, semua orang yang semasa dengannya akan tercerahkan dan segan kepadanya, serta memperoleh bantuan-bantuan dari cahaya dan perumpamaan- perumpamaannya, baik mereka sadari atau tidak.
Ketika ulama semacam ini datang mengunjungi pemimpin, maka sejatinya dialah yang dikunjungi dan pemimpin adalah pengunjungnya. Karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah yang memperoleh pertolongan-pertolongan dan banyak manfaat darinya. Ulama ini tidak butuh kepada pemimpin itu. Ia laksana matahari yang memancarkan cahayanya, yang tugasnya adalah untuk memberi kepada semua makhluk, yang mengubah bebatuan menjadi akik dan yakut, yang menyulap gunung di bumi menjadi tambang-tambang tembaga, emas, perak, dan besi, yang menjadikan bumi hijau bersemi, dan yang memberkati pepohonan dengan buah-buahan yang berlimpah. Pekerjaan ulama ini adalah memberi dan tidak menerima. Dalam sebuah peribahasa Arab disebutkan: “Kami telah belajar untuk memberi, tapi tidak untuk menerima.” Dalam kondisi apapun, ulama yang sesungguhnya adalah yang dikunjungi, dan para pemimpin yang mengunjungi.
Tiba-tiba muncul sebuah pikiran dalam benakku untuk menafsirkan satu ayat al-Qur’an, meskipun ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembahasan yang sedang kita bahas. Akan tetapi, ide ini terlintas di kepalaku sekarang, dan aku akan mengungkapkannya agar bisa diingat. Allah SWT ber rman:

“Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu,” dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Anfal: 70)
Ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad Saw. telah berhasil mengalahkan orang-orang ka r, membunuh sebagian dari mereka, dan merampas sebagian harta mereka.  Beliau juga menawan banyak orang ka r dan membelenggu tangan dan kaki mereka. Salah seorang tawanan itu  adalah  paman Nabi Muhammad Saw. sendiri, yaitu ‘Abbas. Para tawanan itu menangis meraung-raung sepanjang malam dalam belenggu dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka telah kehilang harapan- harapan mereka, menunggu pedang menebas leher dengan sekali hunus. Ketika melihat keadaan mereka, Nabi Muhammad Saw. hanya tertawa.
Para tawanan itu berkata: “Lihat! Ia menunjukkan sifat kemanusiaannya, dan pernyataan bahwa dia manusia luar biasa tidaklah benar. Lihatlah! Ia di sana menatap dan memperhatikan kita dalam rantai dan belenggu ini, dan ia menikmatinya. Ia tak ubahnya budak-budak hawa nafsu yang ketika telah berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan melihat mereka dalam keadaan tak berdaya, ia tertawa riang dan berbahagia.”
Melihat sesuatu yang tampak dengan jelas di dalam hatinya, Muhammad Saw. menjawab: “Bukan begitu, aku tidak akan pernah tertawa melihat musuh-musuhku yang telah takluk di hadapanku, atau melihat mereka tak berdaya dan hina. Aku senang, bahkan tertawa, karena aku melihat dengan mata hatiku, aku mengajak dan menarik-narik sejumlah orang dengan sepenuh tenaga, dengan belenggu, dengan rantai, keluar dari kepulan asap neraka Jahannam yang hitam dan kelam menuju surga, menuju keridaan Allah, dan musim semi yang abadi. Akan tetapi justru mereka terus mengeluh dan menangis meraung-raung, sembari berkata: “Mengapa kau menyeret kami dari tempat kebinasaan ini menuju taman-taman bunga dan tempat yang paling aman?”
Itulahmengapaakutertawa. Meskidemikian, karenakaliantidak dianugerahi kemampuan untuk melihat apa yang aku lihat dan tidak memahami apa yang baru saja aku katakan, Allah memerintahkanku untuk menyampaikan ini kepadamu: “Pada mulanya, kalian susun kekuatan, membentuk para tentara, membuat formasi kemiliteran, kalian begitu percaya diri dengan kejantanan, keberanian, dan kekuatan yang kalian miliki, lalu berkata pada diri sendiri: ‘Inilah yang akan kami lakukan, kami akan hancurkan orang-orang Islam dan menaklukkan mereka.’ Tapi kalian tidak melihat keberadaan Yang Maha kuasa, yang jauh lebih berkuasa dari kalian. Kalian tak tahu keberadaan Yang Maha Kuat, yang kekuatan-Nya jauh di atas kekuatan kalian.”
Itulah yang membuat semua yang kalian rencanakan sepenuhnya gagal total. Bahkan saat ini, ketika kalian dirundung ketakukan, kalian tidak dapat mengubah keyakinan, tidak dapat melihat pada alasan. Kalian berputus asa dan tetap tidak dapat melihat keberadaan Yang Maha Kuasa. Justru saat ini kalian melihat pada kekuatanku, kemampuanku, dan yang kalian tahu, kalian takluk karena kehendakku, sebab hanya sebatas itulah yang paling mudah yang dapat kalian pikirkan. Bahkan ketika rasa takut kalian sudah sampai di ubun-ubun, jangan pernah kehilangan harap terhadapku, karena aku dapat membebaskan kalian dari rasa takut itu, membuat kalian berada dalam rasa aman. Dia yang mampu mengeluarkan banteng hitam dari banteng putih, pasti juga mampu mengeluarkan banteng putih dari banteng hitam.

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah (berkuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam.” (QS. Al-Hajj: 61)

“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.” (QS. Ar-Rum: 19)

Sekarang, saat kamu berada dalam ketakutan yang luar biasa, jangan pernah kehilangan pengharapan terhadap-Ku, sebab Aku masih akan mengulurkan Tangan-Ku untuk kalian:

“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang ka r.” (QS. Yusuf: 87)

Allah SWT ber rman: “Hai para tawanan, jika kalian berpaling pada keyakinan yang dulu, memandang-Ku dengan khauf (rasa takut) dan raja’ (penuh harap), dan menyadari bahwa diri kalian berada dalam kendali-Ku, maka Aku akan membebaskan kalian dari rasa takut itu. Aku juga akan mengembalikan semua harta yang dirampas saat perang dan kerusakan yang telah terjadi, bahkan akan Aku lipatgandakan dengan sesuatu yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akan Aku ampuni kalian dan akan Aku gabungkan kebahagiaan dunia dan akhirat untuk kalian.”
“Aku bertobat, aku telah berpaling dari keyakinanku yang terdahulu,” kata ‘Abbas.
Rasulullah bersabda: “Pengakuan tobat yang baru saja kamu ucapkan butuh bukti,”
Menyatakan cinta adalah hal yang mudah, Tetapi pernyataan itu butuh bukti dan fakta.


“Dengan menyebut nama Allah, bukti apa yang engkau inginkan?” jawab ‘Abbas.
Nabi Muhammad bersabda: “Jika kamu benar-benar seorang Muslim dan menginginkan kebaikan pada Islam dan umatnya, berikan sejumlah harta yang tersisa dari dirimu kepada tentara Islam, sehingga tentara kita bisa lebih kuat!”
‘Abbas berkata: “Wahai Rasulullah, harta apa lagi yang tersisa dariku? Semua milikku telah dirampas, bahkan mereka tidak menyisakan apa-apa selain karpet lusuh ini.”


Rasulullah bersabda: “Lihatlah, kamu tidak jujur. Kamu belum kembali dari kebiasaan buruk masa lalumu. Kamu belum melihat cahaya kebenaran. Haruskah aku katakan kepadamu seberapa banyak harta yang kamu miliki, di mana kamu menyembunyikannya, pada siapa harta itu kamu titipkan, dan di tempat seperti apa kamu menguburnya?”
‘Abbas menjawab: “Tidak. Sungguh aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Rasulullah bersabda: “Bukankah kamu menitipkan sejumlah harta pada ibumu? Bukankah kamu mengubur sebagian hartamu di tempat ini dan itu? Bukankah kamu mengatakan secara rinci kepada ibumu: “Jika aku kembali, kembalikan semua harta ini kepadaku. Jika aku tidak kembali dengan selamat, belanjakanlah beberapa jumlah dari harta ini untuk suatu kepentingan tertentu, berikan sekian kepada si fulan, dan bagian untukmu adalah sekian?”
Ketika ‘Abbas mendengar hal itu, ia mengangkat jemarinya dengan penuh keimanan. Ia berkata: “Ya Rasulullah, dahulu aku selalu yakin bahwa dirimu mewarisi nasib baik para raja terdahulu seperti Haman, Syadad, Namrud, dan yang lainnya. Tetapi setelah engkau mengatakan hal-hal tadi, aku langsung percaya dan yakin bahwa yang baru saja engkau katakan adalah rahasia Allah.”
Nabi Muhammad menjawab: “Kaubenar. Kali iniakumendengar gemeretak keraguan di dalam hatimu, yang gemanya terdengar dalam ruang di telingaku. Aku memiliki telinga yang tersembunyi di balik jiwaku yang terdalam. Dengan telinga itu, aku dapat mendengar geretak jiwaku. Sekarang, kamu benar- benar telah melepas masa lalumu, dan menjadi seorang Mukmin.”
Dalam menafsirkan cerita di atas, Maulana Rumi berkata: Aku menceritakan kisah ini kepada Amir Barwanah1 karena satu sebab, yaitu ketika pertama kali kamu menjadi prajurit tentara Islam, kamu berkata: “Aku akan menjadikan diriku sebagai tebusan, akan aku korbankan akal dan pikiranku demi berdirinya agama Islam dan langgengnya banyak orang Islam, agar agama ini terus menjadi aman dan kuat.” Akan tetapi saat kamu bergantung hanya pada akal dan pikiranmu tanpa melirik pada Allah dan melupakan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya, Allah menjadikan semua itu sebagai kekurangan bagi Islam; kamu mengadakan kesepakatan dengan kaum Tartar, kamu sediakan perlindungan untuk mereka, kamu musnahkan orang-orang Suriah dan Mesir, yang pada akhirnya kamu menghancurkan Islam. Allah justru menjadikan akal dan usaha yang kamu banggakan dan kamu harapkan sebagai jalan untuk melanggengkan Islam itu menjadi sebuah penghancur yang membabi-buta. Oleh karenanya, tengadahkan wajahmu ke hadapan Allah dalam khauf. Percayalah bahwa Allah akan segera melepaskanmu dari belenggu rasa takut yang buruk ini, dan jangan pernah hilangkan pengharapan kepada-Nya meski Ia melemparmu dari berbagai bentuk ketaatan ke dalam kubangan maksiat ini.

Kamu melihat ketaatan itu berasal darimu, maka jatuhlah dirimu ke dalam kemaksiatan. Sekarang, meski kamu bernodakan maksiat, pengharapan itu jangan pernah menghilang. Mengemislah kepada- Nya, karena Allah itu Maha Kuasa. Dia telah menampakkan kepadamu ketaatan dari kemaksiatan itu, dan Dia juga kuasa untuk melakukan yang sebaliknya. Ia mampu menganugerahimu penyesalan yang mendalam karena dosa yang telah kamu perbuat, dan mempersiapkanmu beberapa alasan agar kamu kembali bisa berbuat sesuatu untuk umat Islam dan menjadi kekuataan bagi mereka. Maka, jangan pernah hilangkan pengharapan itu, sebab: “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang ka r.” [QS. Yusuf: 87]
Tujuanku untuk memberikan pemahaman ini kepada Amir adalah agar ia percaya dan mau mengemis di hadapan-Nya. Ia telah mengalami degradasi dari puncak kejayaan ke dalam lembah yang curam, sehingga dalam kondisi seperti ini, aku berharap ia masih memiliki harapan. Allah SWT itu Maha Cerdas, Dia menunjukkan sesuatu dalam bentuk yang baik tapi di dalamnya luar biasa busuk. Bukan demi apa-apa, melainkan agar manusia tidak mudah tertipu, hingga akhirnya ia mengerti dan berkata: “Ide dan perbuataan yang baik tampak di hadapanku.”
Seandainya semua yang ada di dunia ini tampak sebagaimana adanya, maka Nabi Muhammad Saw., yang diberkahi dengan mata yang cemerlang dan tembus pandang, tidak akan menangis: “Ya Allah, tunjukkan padaku segala sesuatu sebagaimana adanya, Engkau memperlihatkan sesuatu yang sangat indah, tetapi ternyata sangat tunjukkan padaku segala sesuatu sebagaimana adanya, agar aku tak jatuh dalam jurang kemusyrikan dan terus tersesat.”
Sebagus dan secemerlang apapun buah pikiranmu, tidak akan lebih hebat dari buah pikiran sang Nabi. Jadi, jangan terlalu mengandalkan akal dan pikiran. Jadilah orang yang terus mengemis dan takut di hadapan Allah SWT. Tujuanku hanya menyampaikan hal ini. Barwanah menggunakan ayat dan tafsir seperti yang dijelaskan tadi sesuai dengan kehendak dan buah pikirannya dengan berkata: “Saat ini kita memiliki bala tentara yang melimpah ruah, tetapi tidak seharusnya kita lantas mengandalkan mereka.Saat kita begitu terpuruk, dirundung rasa takut dan ketidakberdayaan, juga jangan sampai kita kehilangan harapan.” Barwanah menggunakan ucapanku sesuai dengan kehendaknya, inilah tujuanku menyampaikan hal itu.

1  Amir Barwanah itu bernama Mu’inuddin Sulaiman bin Muhaddzab al-Din ‘Ali al-Dailami. Ia adalah salah seorang pemuka dan menteri Saljuk Romawi, terbunuh pada tahun 675 H di tangan tentara Mongol. Dia sangat mencintai Maulana Rumi. Bersama dirinya, Maulana Rumi memiliki banyak kisah dan perbincangan.

Pasal 2 Manusia Adalah Astrolah Allah
SESEORANG berkata: “Maulana tidak mengucap sepatah kata pun.” Maulana Rumi berkata: “Baiklah, pikiranku yang membawa orang itu kepadaku. Tetapi pikiranku tidak bisa mengatakan: “Bagaimana kabarmu? Atau bagaimana kabar semua yang ada bersamamu?” Pikiran tanpa kata-kata ini yang telah membawa orang itu kemari. Jika hakikat dalam diriku membawanya kemari dan dapat membawa dirinya ke tempat yang lain, lalu apa hebatnya kata- kata itu?”
Kata-kata adalah bayangan dan cabang dari hakikat; jika bayangan bisa menarik sebuah benda, maka tentu hakikat akan jauh lebih bisa. Kata-kata adalah media. Yang sesungguhnya membawa manusia kepada orang lain adalah unsur harmoni (keserasian) nya, dan bukan kata-kata. Bahkan ketika seseorang telah melihat nabi atau wali yang menunjukkan kejadian luar biasanya itu, maka semua itu tidak akan ada gunanya sama sekali. Unsur harmoni itulah yang membuat seorang manusia merasa bersemangat, bingung, dan sekaligus tidak tenang. Seandainya di dalam jerami tidak ada amber, maka jerami itu tidak akan pernah tertarik pada amber. Keserasian ini sangatlah samar dan tak terlihat oleh mata.
Pemikiran tentang sesuatulah yang membawa orang tersebut datang kepada sesuatu yang dipikirkannya. Memikirkan taman akan membawa seseorang menuju taman, dan memikirkan toko akan mengantarkan orang itu ke toko. Tetapi di antara pemikiran- pemikiran ini terdapat sesuatu yang palsu dan sulit dibedakan. Bukankah kamu pernah mendatangi suatu tempat, tetapi kemudian kamu menyesal karena telah mendatanginya dan berkata: “Aku pikir ini tempatnya, tapi ternyata bukan”?
Pemikiran ini laksana sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang yang sedang bersembunyi. Ketika pemikiran menghilang dari pandangan dan hanya hakikat tanpa selubung pemikiran yang tampak, maka akan terjadi kebingungan yang luar biasa. Jika hal itu terjadi, tidak akan ada lagi penyesalan. Ketika muncul hakikat yang menarikmu, maka tidak akan ada hal lain lagi selain hakikat itu. Hakikat itu sendirilah yang menarikmu: “Pada hari dinampakkan segala rahasia [QS. al- ariq: 9].” Lantas apa gunanya berbicara?
Sesungguhnya sesuatu yang menarik hanya ada satu, tetapi muncul dalam bentuk yang bermacam-macam. Tidakkah kamu sadar bahwa manusia dikuasai oleh ratusan keinginan yang berbeda- beda? Seseorang berkata: “Aku ingin tutamaj (semacam bihun), aku ingin burik (perkedel daging dengan saus),1 aku ingin halwa, aku ingin kue kering, aku ingin buah, aku ingin kacang-kacangan.” Manusia menghitung semua hal ini dan menamainya satu persatu, akan tetapi asal dari semua yang disebutkan tadi hanya ada satu, yaitu lapar. Jika orang itu telah memenuhi isi perutnya dengan salah satu makanan tersebut, maka ia berkata: “Tak ada lagi yang dibutuhkan dari makanan-makanan itu.”
Jadi, dapat dipahami bahwa sesuatu yang menarik diri manusia bukanlah berjumlah sepuluh atau seratus, melainkan hanya ada satu: “Dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi tnah [QS. al-Muddatsir: 31].” Bagi manusia, bilangan itu adalah tnah (cobaan). Ada yang berkata: “Orang itu hanya satu, dan mereka ada seratus,” atau dengan kata lain mereka berkata: “Wali hanya ada satu sementara manusia biasa ada banyak, seratus ribu.” Ini adalah tnah yang besar. Pandangan dan pemikiran yang membuat mereka menganggap manusia itu ada banyak dan wali hanya ada satu itulah  tnah yang besar.
“Dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi tnah.” Jika sudah demikian, lalu seratus yang mana? Lima puluh yang mana? Dan enam puluh yang mana? Beberapa orang tanpa tangan dan kaki, tanpa akal dan jiwa, bergetar bagaikan jimat ajaib dan air raksa. Mengenai mereka, kamu berkata bahwa mereka berjumlah enam puluh, seratus, atau seribu. Sementara tentang wali itu, kamu berkata bahwa dia hanya ada satu. Sejatinya, jumlah mereka yang banyak itulah yang satu, dan wali itulah yang berjumlah seribu, seratus ribu, dan ratusan ribu.
Sedikit jika dihitung, dan banyak ketika diikat.2

Seorang raja  memberikan kepada  satu  tentaranya seporsi makanan untuk seratus tentara. Tentara lainnya mengeluh. Baginda raja berkata di dalam hatinya: “Akan tiba waktunya aku akan beritahukan pada kalian alasannya, dan kalian akan mengerti mengapa hal ini harus kulakukan.” Ketika perang besar terjadi, semua tentaranya melarikan diri hingga tersisa satu tentara itu sendirian. Raja berkata: “Inilah tujuanku memberimu porsi makanan untuk seratus tentara.”
Seorang manusia harus membersihkan sifat tamyiznya dari berbagai macam kepentingan, dan hendaknya mencari teman di jalan Allah, sebab agama seseorang bisa diketahui lewat teman yang dikenalnya. Selain itu jika seseorang menghabiskan usianya untuk bersahabat dengan mereka yang sifat tamyiznya kurang, maka sifat tamyiz yang dimilikinya juga akan melemah, dan akhirnya sahabat sejatinya itu akan berlalu tanpa kita sadari. Kamu melayani tubuh yang tidak memiliki sifat tamyiz.

Begitu banyak ketika diikat, tetapi sedikit saat dihitung Tamyiz adalah sifat yang selalu tersembunyi dalam jiwa manusia. Tidakkah kamu melihat bahwa orang gila juga memiliki tangan dan kaki tetapi kekurangan sifat tamyiz? Tamyiz, sekali lagi, adalah esensi murni yang terdapat dalam dirimu, sementara kamu asyik memberi makan dan minuman pada tubuh yang tak ber-tamyiz siang dan malam. Bahkan kamu berpendapat bahwa tubuh berdiri di atas sifat ini, padahal justru tamyiz inilah yang berdiri di atas tubuh. Bagaimana bisa kamu mencurahkan seluruh kemampuanmu untuk menjaga tubuh ini sementara kamu sepenuhnya melalaikan esensi yang murni? Pada hakikatnya, tubuh ini bergantung pada esensi itu, tetapi esensi tidak bergantung pada tubuh. Cahaya yang terpancar dari jendela-jendela mata, telinga, dan lainnya. Seandainya jendela- jendela ini tidak ada, maka cahaya itu akan tetap terpancar melalui jendela-jendela yang lain.
Misalnya kamu meletakkan sebuah lentera di hadapan matahari sembari berkata: “Aku dapat melihat matahari dengan lentera ini.” Hal ini tentu tidak mungkin, bahkan jika misalnya kamu tidak meletakkan lentera itu di depannya, matahari tetap akan memancarkan sinarnya kepadamu. Lantas apa gunannya sebuah lentera?
Kita seharusnya tidak pernah berputus asa kepada Allah, karena harapan adalah permulaan bagi jalan keselamatan.
Jika kamu tidak dapat melintas di jalan itu, maka usahakanlah paling tidak untuk berada di garis start jalan itu. Jangan pernah katakan “Jalanku sungguh berliku, aku telah melakukan banyak kesalahan.” Teguhlah di jalan istikamah! Maka tidak akan ada lagi kesalahan- kesalahan lainnya.

Istikamah itu seperti tongkat Musa, dan godaannya seperti tipu daya para penyihir Fir’aun: ketika istikamah muncul, ia akan menelan tipu daya para penyihir Fir’aun itu. Jika kamu teguh pada jalan lurus ini, maka sama saja kamu menyelamatkan dirimu sendiri, sebab dengan keteguhan itu kamu akan sampai kepada Allah.
Seekor burung yang bertengger di gunung itu dan kemudian terbang dan pergi,
Adakah yang bertambah atau berkurang dari gunung itu?3

Ketika kamu sudah menapaki jalan yang lurus, maka semua jalan yang berliku akan hilang. Waspadalah, jangan pernah kehilangan pengharapan!
Kerugian bersahabat dengan raja bukan karena kamu akan kehilangan nyawamu, sebab pada akhirnya semua manusia pasti akan meregang nyawa, entah hari ini atau esok. Kerugian bersahabat dengannya timbul ketika raja menampakkan dirinya, dengan pengaruhnya yang kuat, ia menjadi seperti naga yang superior, maka seorang yang menemani dan mengaku bersahabat dengannya, yang menerima hadiah darinya, mau tidak mau harus berkata-kata sesuai dengan keinginannya, ia harus menerima ide-ide busuk sang raja, ia juga tidak akan mampu menentang perkataan-perkataan raja tersebut. Dari poin inilah tampak bahayanya bersahabat denga raja, karena hal semacam itu dapat melukai agama. Ketika kamu memupuk hubungan yang baik dengan sang raja, maka sisi lain yang merupakan esensi dari hidup ini akan menjadi asing bagimu. Saat kamu semakin dekat dengan raja, maka pada sisi yang lain, tempat di mana Sang Terkasih berada akan semakin jauh darimu. Ketika hubungan kamu semakin erat dengan budak-budak dunia dan kamu senantiasa memiliki satu arah dengan mereka, maka Sang Terkasih akan marah kepadamu.
“Barangsiapa yang membantu orang yang zalim, Allah SWT akan memberikan kekuatan kepadanya.” Kepergianmu ke arah Allah juga akan membuatmu tunduk kepada-Nya. Kapan pun kamu berjalan ke arah-Nya, maka sebagai balasannya, Ia akan senantiasa memberikan kekuatan kepadamu.
Alangkah sayangnya jika seseorang yang telah meraih pantai samudera, hanya merasa puas dengan seteguk atau satu kendi air. Sementara ia melalaikan berbagai macam mutiara berkilauan dan ratusan ribu benda-benda indah yang sebenarnya bisa ia dapatkan di dalam samudera itu. Lantas apa gunanya ia mengambil air dari samudera itu? Apa bangganya melakukan hal tersebut bagi mereka yang berakal? Apa yang telah mereka wujudkan?
Pada hakikatnya, dunia ini tak ubahnya seperti buih di lautan, dan airnya adalah ilmu-ilmu para wali; lalu di mana mutiara itu berada? Dunia ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah buih yang dipenuhi jerami. Akan tetapi karena gulungan ombak dan harmoni irama samudera yang setia menemani sang gelombang, buih itu mewujud menjadi sebentuk keindahan.

“Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah, keciali kaum yang ka r.” (QS. Yusuf: 87) 

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah- lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Kata-kata “dijadikan indah” dalam rman Allah di atas mengindikasikan bahwa semua hal itu sebenarnya tidaklah indah, sebab segala bentuk keindahan yang tersimpan di dalam semua hal itu berasal dari tempat yang lain. Laksana uang palsu yang disepuh dengan emas; dunia yang merupakan gelembung buih ini adalah uang palsu yang tak berharga dan tak bernilai, sementara kitalah yang menyepuh uang palsu itu dengan emas, dan kemudian kita jadikan sebagai perhiasan yang tampak indah di mata manusia.

Manusia adalah astrolab4 Allah, namun dibutuhkan seorang astronom untuk mengetahui astrolab. Jika seorang penjual sayuran atau makanan memiliki astrolab, apa yang akan mereka dapatkan darinya? Dengan alat perbintangan kuno ini, apa yang bisa diketahui oleh pedagang sayur dan makanan itu tentang tingkah laku, perputaran, dan tanda-tanda, lintasan, dan pengaruh bintang di langit? Sebaliknya, astrolab akan sangat bermanfaat jika berada di tangan para astronom. Itulah mengapa kemudian muncul kata-kata: “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.”
Seperti halnya astrolab dari tembaga yang merupakan cerminan bintang-bintang di langit, maka wujud manusia—sebagaimana dinyatakan Allah dalam rman-Nya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam [QS. Al-Isra’: 70].”—juga merupakan astrolab Allah. Ketika Allah SWT telah menjadikan manusia bisa mengetahui dan mengenal diri-Nya, maka hamba ini akan mampu melihat ke dalam wujud astrolab itu; dirinya telah melebur dengan Tuhan dan keindahan-Nya yang mutlak, detik demi detik, sekilas demi sekilas. Keindahan itu sama sekali tidak pernah hilang dari cermin ini. Allah memiliki hamba-hamba yang menutup diri mereka dengan hikmah, makrifat (mengenal Allah), dan karomah (hal luar biasa yang dimiliki orang-orang tertentu). Meski mereka tidak dianugerahi pandangan khusus yang dimiliki orang-orang spesial, akan tetapi semangat yang kuat memotivasi mereka untuk menutup diri, seperti yang dikatakan oleh al-Mutanabbi:

Perempuan-perempuan itu mengenakan sutra yang dibordir bukan untuk mempercantik diri, Melainkan untuk menjaga kecantikan mereka dari mata-mata yang penuh gairah.

1    Salah satu jenis makanan yang terkenal di sekitar lingkungan Maulana Rumi pada masanya.

 2    Kalimat ini adalah potongan dari bait puisi yang digubah oleh Abu at-Tayyib al-Mutanabbi, dengan versi yang lengkap sebagai berikut:
Aku akan mencari hakikat diriku dengan jalan dan bantuan para masayikh Seolah-olah mereka tak berjenggot, karena saking lamanya mencium Berat untuk kehilangan mereka, tapi ringan untuk memanggil mereka

3    Potongan bait ini adalah bagian dari salah satu puisi Rubaiyat Maulana Rumi, dengan versi lengkap sebagai berikut:
Meskipun ada suara makhluk di meja makan azali,
Yang sedang menyantap makanan, niscaya tidak ada satu hidangan pun yang berkurang.
Seekor burung yang bertengger di gunung itu dan kemudian terbang dan pergi, Adakah yang bertambah atau berkurang dari gunung itu?
 
4    Alat perbintangan kuno yang (salah satunya) digunakan untuk mengukur naiknya matahari dan bintang-bintang.

Pasal 3 Matilah Kalian Sebelum Kalian Mati

AMIR Barwanah berkata: “Sungguh hati dan jiwaku ini sangat ingin melayani Allah siang dan malam, akan tetapi karena kesibukanku dengan urusan-urusan Mongol, aku jadi tidak bisa mewujudkan keinginan untuk bersua dengan-Nya.”
Maulana Rumi menjawab: “Sesungguhnya yang kamu lakukan ini juga merupakan bentuk khidmat (melayani) Allah, karena yang kamu lakukan itu menjadi media untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para Muslim. Kamu telah mengorbankan jiwa, harta, dan ragamu untuk membuat mereka semua memperoleh ketenangan dalam melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Tentu saja hal ini juga merupakan amal yang baik. Allah telah menganugerahimu kecenderungan kepada amal yang baik ini. Rasa cintamu yang besar pada apa yang kamu lakukan ini merupakan bukti pertolongan Allah. Sebaliknya, jika rasa cintamu yang besar pada perkerjaan ini hilang, maka itu adalah bukti hilangnya pertolongan Allah. Dalam kasus ini, ketika Allah tidak menginginkan pekerjaan baik dan penting ini jatuh ke tangan orang lain, itu berarti bahwa orang lain itu tidak berhak atas pahala dan derajat-derajat yang tinggi. Contohnya adalah bak mandi yang panas; tentu saja panas itu berasal dari bahan-bahan seperti jerami, kayu bakar, rabuk, dan lain sebagainya, yang dibakar di tungku. Dengan cara yang sama, Allah menunjukkan beberapa hal yang dari luarnya tampak sebagai sesuatu yang buruk dan dibenci, namun justru sebenarnya merupakan sebuah pertolongan Allah untuk membuatnya suci.
Di bak mandi yang panas ini, orang yang mandi di dalamnya dibakar (disucikan) dengan media-media yang tadi disebutkan, dan kemudian menjadi manfaat bagi orang lain.
Pada saat itu beberapa sahabat datang. Maulana Rumi meminta maaf sembari berkata: “Jika aku tidak datang kepada kalian serta tidak berbicang dan bertanya kepadamu, itu sesungguhnya adalah sebuah penghormatan. Sebab bentuk penghormatan pada hal apapun haruslah sesuai dengan waktu terjadinya sesuatu itu. Ketika mendirikan salat misalnya, seseorang tidak seharusnya menghentikan salatnya dan memberikan salam kepada ayah dan saudaranya saat mereka datang. Sikap acuh seseorang kepada orang-orang yang dikasihi dan para kerabatnya saat ia sedang mendirikan salat justru merupakan inti dari kepedulian dan bentuk keramahan yang sesungguhnya dari orang itu. Sebab ketika ia tidak menghentikan ketaatan dan perjumpaannya dengan Allah ketika salat dan tidak merasa terganggu oleh kedatangan mereka, maka ayah, saudara, dan kerabatnya tidak akan mendapatkan dosa dan terbebas dari siksa- Nya. Inilah bentuk kepedulian sesungguhnya dari orang yang sedang salat, yaitu menghindarkan mereka dari siksa.
Seseorang bertanya: “Apakah ada cara lain yang lebih dekat kepada Allah daripada salat?
Maulana Rumi menjawab: “Ada, yaitu salat juga. Tetapi bukan salat dalam bentuk luarnya saja.”
Salat yang kamu sebut dalam pertanyaanmu tadi adalah bentuk dari salat itu sendiri, karena ia memiliki pembuka dan penutup. Sementara semua hal yang memiliki pembuka dan penutup dinamakan bentuk, takbiratul ihram adalah pembuka salat, dan salam adalah penutupnya. Sama halnya dengan syahadat. Syahadat bukan merupakan sesuatu yang dilafalkan dengan bibir saja, tetapi syahadat juga memiliki permulaan dan akhiran. Segala sesuatu yang diekspresikan dengan kata, suara, dan memiliki awalan serta akhiran adalah bentuk dan kerangka. Sementara jiwa dari syahadat itu tidaklah terbatas dan tidak memiliki titik akhir, tak bermula dan tak berakhir.
Masih ada sesuatu yang lain, yaitu salat yang ditunjukkan para Nabi. Nabi Muhammad Saw. menjelaskan perihal salat ini kepada kita semua melalui sabdanya: “Aku memiliki sebuah waktu bersama Allah yang tidak dapat dideteksi oleh nabi-nabi lain maupun para malaikat yang dekat dengan Allah.” Dari sini, bisa kita pahami bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah jiwa (roh)nya salat. Bukan semata bentuk luarnya saja, melainkan kekhusyukan yang sempurna. Sebuah kondisi di mana bentuk apa pun tidak dapat masuk ke dalamnya, tidak ada tempat bagi mereka di sana, bahkan Jibril—yang merupakan wujud suci— sekalipun tak dapat masuk ke dalamnya.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari para sahabat ayahku melihat ayahku (Bahauddin, semoga Allah menyucikan jiwa beliau) sedang berada dalam kekhusyukan yang sempurna. Kebetulan saat itu telah masuk waktu salat, sehingga beberapa murid memanggil ayahku: “Waktu salat telah tiba.” Ayahku tidak menghiraukan suara yang memanggil, sehingga mereka membiarkannya dan menunaikan salat tanpa ayahku. Akan tetapi, ada dua murid yang mengikuti apa yang dilakukan ayahku dan tidak ikut menunaikan salat.
Adalah Khwajagi, salah satu murid yang melaksanakan salat, ditunjukkan ke dalam mata hatinya sehingga ia bisa melihat dengan jelas bahwa punggung semua orang yang salat berjemaah di belakang imam menghadap Ka’bah (salat dengan membelakangi Ka’bah), sementara ayahku dan dua murid yang mengikutinya justru menghadap Ka’bah. Hal itu dikarenakan ayahku telah menghilangkan kekitaan serta keakuannya dan menjadi fana’. Wujud mereka bertiga telah ‘mati’ dan telah meneguk cahaya Tuhan; “Matilah kalian sebelum kalian mati,” mereka telah menyatu dengan cahaya Allah. Semua orang yang memalingkan wajahnya dari cahaya Allah dan menghadapkan wajahnya ke tembok, maka mereka menghadapkan punggungnya kepada kiblat, karena cahaya Allah adalah kiblat yang sebenarnya. Cahaya Allah adalah roh dari kiblat.

Siapa saja yang menghadap Ka’bah, ketahuilah bahwa nabi Muhammad telah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dunia. Jika Ka’bah adalah kiblat dunia, maka yang lebih utama adalah ketika Ka’bah menjadi kiblat bagi seseorang.
Nabi Muhammad Saw. pernah menegur seorang sahabat dan berkata: “Aku memanggilmu, mengapa kamu tak datang?” Sahabat itu menjawab: “Aku sedang khusyuk salat.” Nabi bertanya lagi: “Kamu betul, tetapi bukankah aku memanggilmu untuk salat?” Sahabat itu menjawab: “Aku pasrah.”
Maulana Rumi berkata: “Ada baiknya kamu untuk selalu merasa tidak mampu setiap saat, dan menganggap dirimu tidak mampu meski sebenarnya kamu mampu, seperti saat kamu benar- benar tidak mampu. Hal itu karena di atas kemampuanmu, ada kemampuan yang lebih besar, dan kamu akan selalu takluk oleh Allah dalam kondisi apapun. Dalam hal ini kamu tidak terbagi menjadi dua, terkadang mampu dan terkadang tidak mampu. Kamu melihat ada kemampuan dalam dirimu, tapi selalu menganggap dirimu tidak mampu, tidak memiliki tangan dan kaki, lemah tak berdaya. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang lemah ini, saat ia melihat singa-singa, seluruh harimau, semua buaya lemah dan gemetaran di hadapan Allah? Segenap langit dan bumi tunduk dan takluk pada hukum-Nya. Dia adalah Raja Yang Agung. Cahaya-Nya tidak seperti sinar bulan dan matahari, yang mana benda masih dapat tegak berdiri di bawah sinar bulan dan matahari itu. Akan tetapi, saat cahaya-Nya terpancar tanpa ada selubung, tidak akan ada lagi langit, tidak pula bumi, tidak ada matahari, tidak juga bulan, tidak ada lagi yang tersisa selain Sang Raja.


Hikayat

Seorang raja berkata pada darwis: “Ketika nanti kamu telah sampai pada tingkat tajali1 dan berada dekat di sisi Allah SWT, ingatlah kepadaku!” Darwish itu menjawab: “Ketika aku sampai ke hadirat Allah SWT, dan cahaya matahari keindahan-Nya memancar kepadaku, aku tidak akan lagi mengingat siapa diriku. Lalu bagaimana aku akan mengingatmu?” Ketika Allah telah memilih seorang hamba dan menjadikannya lebur secara sempurna bersama diri-Nya, maka setiap orang yang memegang kakinya dan memohon bantuan kepadanya, Allah yang akan mendengar keinginan mereka. Meski orang agung yang berada di sisi Allah itu tidak ingat siapa yang meminta bantuan kepadanya, Dia akan tetap memberikan apa yang mereka inginkan.
Konon ada seorang raja yang memiliki hamba yang sangat khusus. Ketika hamba ini sedang berjalan menuju istana kerajaan, orang-orang yang mempunyai keinginan menitipkan sebuah qishash2 dan beberapa buah buku kepadanya, dengan harapan ia akan membacakannya di hadapan sang raja. Hamba itu kemudian memasukkan qishash dan beberapa buah buku itu ke dalam tasnya. Ketika ia telah tiba di hadapan baginda raja, ia tak mampu menahan cahaya keindahan yang terpancar dari sang pemilik kerajaan, ia pun jatuh dan tak sadarkan diri tepat di depan sang raja. Baginda, dengan maksud bergurau, memasukkan tangannya ke dalam saku dan tas hambanya yang khusus itu, seraya berkata: “Apa yang dimiliki oleh hamba yang kagum kepadaku dan melebur ke dalam keindahanku ini.” Raja memungut qishash dan buku yang dititipkan oleh rakyat kepadanya. Setelah selesai membaca semuanya, sang raja kemudian memerintahkan untuk mengabulkan semua harapan dan keinginan yang tercatat dalam tulisan itu dengan menulis di atasnya, lalu raja mengembalikan ke dalam tas hambanya yang khusus itu. Demikianlah, sang raja mengabulkan segala harapan dan keinginan semua orang tanpa perlu dituturkan oleh  hambanya  tersebut, dan tanpa ada satu keinginan pun yang ditolak. Bahkan mereka mendapatkan yang diinginkan berlipat ganda dan jauh lebih banyak dari yang mereka harapkan. Sementara para hamba lainnya yang sadar, dan mampu menyampaikan qishash rakyat di hadapan baginda raja, jarang dan bahkan sedikit sekali yang dikabulkan, mungkin hanya satu dari seratus harapan dan impian yang mereka sampaikan.


1    Langkah ketiga dalam tahapan metode pembersihan hati: Takhalli (membersih- kan hati dari keterikatan dengan dunia), Tahalli (mengisi hati yang telah kosong dari keterikatan dunia dengan hanya Allah), dan Tajalli (lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak dapat dilukiskan).
2    Lembaran-lembaran yang berisi berbagai harapan para rakyat tentang keingi- nan-keinginan mereka yang hendak diberikan kepada sang raja.

Pasal 4 Kami Muliakan Anak Keturunan Adam

SALAH satu dari mereka berkata: “Ada sesuatu yang aku lupakan.” Maulana Rumi menjawab: “Ada satu hal di alam semesta ini yang tak patut untuk dilupakan. Kalau kamu melupakan segala hal tapi tetap mengingat satu hal itu, maka kamu tak perlu khawatir. Sebaliknya, kalau kamu bisa meraih dan mengingat segalanya tapi kamu lupa akan satu hal itu, maka seolah-olah kamu tak pernah berbuat apa-apa. Hal ini diibaratkan seperti seorang raja yang mengirimmu ke sebuah desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Kalau kamu pergi ke desa itu tapi kamu malah melakukan hal yang lain dan tak kunjung mengerjakan apa yang diperintahkan, maka seolah-olah kamu sama sekali tak pernah melakukan apa-apa.”
 
Demikianlah, manusia datang ke alam semesta ini untuk melaksanakan tugas tertentu, dan itulah tujuan mereka. Kalau dia tidak mengerjakan tugas yang menjadi alasan kenapa ia datang, maka seolah-olah ia tak pernah mengerjakan apa-apa. 

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)

Amanah itu Kami tawarkan kepada langit, tapi ia merasa tak sanggup untuk memikulnya. Coba perhatikan berapa banyak akibat yang akan timbul dari amanah itu sehingga bisa membuat manusia kebingungan. Amanah itu bisa mengubah bebatuan menjadi akik dan nilam, menyulap pegunungan menjadi tambang- tambang emas dan perak, dan menyegarkan tanaman di bumi serta menghidupkannya kembali sebagai sebuah pemandangan yang sangat indah layaknya surga ‘Adn. Juga tanah yang menerima bibit- bibit kemudian menghasilkan buah-buahan. Bumi yang menerima dan menampakkan ratusan ribu keajaiban yang sulit dijelaskan. Kemudian giliran pegunungan yang membuahkan logam-logam yang melimpah ruah. Semua itu adalah produksi dari langit, bumi, dan gunung. Akan tetapi semua itu tidak dilakukan sendiri oleh mereka, melainkan melalui perantaraan manusia: 

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,” (QS. al- Isra: 70)

Allah tidak ber rman: “Sungguh telah Kami muliakan langit dan bumi.” Begitulah, semua hal yang tidak bisa dilakukan seorang diri oleh langit, bumi, dan gunung, bisa ditangani oleh manusia. Kalau manusia sudah melakukan hal tersebut, maka hilanglah predikat zalim dan bodoh dari dirinya. Kamu bisa saja berkata: “Jika aku tidak melakukan hal itu, masih banyak hal lain yang bisa aku lakukan,” padahal manusia tidak diciptakan untuk melakukan hal- hal selain itu. Misalnya kamu membawa sebilah pedang baja dari India yang tak ternilai harganya seperti yang ada di lemari para raja, lalu kamu memakainya untuk mencincang daging busuk sembari berkata: “Aku tidak akan membiarkan pedang ini tak berfungsi, aku akan menggunakan untuk berbagai hal.” Atau misalnya kamu memiliki sebuah periuk yang terbuat dari emas, kemudian kamu malah menggoreng lobak di atasnya. Padahal di saat yang sama, dengan sebiji atom emas itu kamu bisa membeli seratus periuk. Contoh lain misalnya kamu menjadikan belati permata sebagai paku untuk menggantung tumpukan kertas lusuh sembari berkata: “Aku akan menjadikan belati permata ini sebagai paku untuk menggantung

55
 
Fihi Ma Fihi

tumpukan kertas lusuh, tak akan kubiarkan alat ini tak beroperasi.” Bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan dan menggelikan? Ketika seseorang bisa menggantung tumpukan kertas lusuh dengan paku yang terbuat dari kayu atau besi yang sangat murah, apakah masuk akal kalau dia malah menggunakan belati permata yang berharga seratus dinar?
Allah SWT telah mematok kalian dengan harga yang sangat tinggi ketika ber rman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. al- Taubah: 111)

Nilai kalian itu lebih tinggi daripada dua alam semesta.

Lalu apa yang bisa aku perbuat kalau kalian saja tak mengerti kadar kalian sendiri?!1
Janganlah kau jual dirimu dengan harga yang murah, padahal kamu sangat indah di mata Tuhan!2

Allah SWT ber rman: “Sungguh Aku telah membeli kalian, waktu kalian, nafas kalian, harta kalian, dan hidup kalian. Kalau semua itu kau peruntukkan bagi-Ku, dan kau berikan pada-Ku, maka harganya setara dengan surga yang abadi. Inilah nilai kalian di hadapan-Ku.” Tapi kalau kamu jual dirimu pada neraka Jahannam, itu artinya kamu sudah berbuat zalim pada dirimu sendiri, seperti lelaki yang menancapkan belati berharga seratus dinar pada dinding rumahnya untuk menggantung periuk atau tumpukan kertas lusuh tadi.
Kita kembali ke awal. Bisa saja kamu  menunjukkan justi kasimu dengan berkata: “Tapi aku mengabdikan seluruh kemampuanku untuk melaksanakan perkara-perkara yang luhur dan mulia. Aku belajar ilmu hukum ( qih), lsafat, logika, astronomi, kedokteran, dan lain-lain.” Tapi kamu melakukan semua itu untuk dirimu sendiri. Kamu belajar hukum agar tak seorang pun bisa mencuri roti dari tanganmu, atau menelanjangimu, atau bahkan membunuhmu. Ringkasnya: kamu melakukannya agar kamu merasa aman. Kamu belajar astronomi dan seluk-beluk bintang dan pengaruhnya terhadap bumi, baik ringan maupun berat, yang menandakan keamanan atau bahaya, semua ini berkaitan dengan keadaanmu dan untuk melayani tujuanmu sendiri. Entah ramalan bintang sedang baik atau buruk, selalu bertalian dengan nasibmu, dan seterusnya semua karena demi dirimu sendiri.
Ketika kalian renungkan hal ini baik-baik, akan kalian dapati bahwa asal segala sesuatu adalah diri kalian sendiri, dan segala sesuatu yang lain tadi adalah cabang dari diri kalian. Jika cabang itu memiliki banyak perincian, keajaiban, dan bentuk-bentuk luar biasa yang tak berujung, maka renungkanlah apa yang kalian miliki karena kalian adalah asal dari segala sesuatu itu.
Ketika cabang-cabang itu mengalami ketimpangan, kemerosotan, kebahagiaan, dan ketidakberuntungan, renungkanlah dirimu yang menjadi asal dari semua itu; apa saja yang membuat dunia spiritual (roh) kalian mengalami semua hal itu. Roh seseorang memiliki karakteristik seperti itu, dan akan melahirkan hal-hal seperti itu juga. Karena memang pada dasarnya seorang manusia sudah seharusnya seperti ini.
Sebenarnya (jiwa) kalian itu memiliki makanan yang lain di samping makanan (materi berupa) tidur dan makan. Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Aku bermalam di sisi Tuhanku. Ia memberiku makanan dan minuman.” Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan makanan lain itu karena sibuk dengan makanan materi. Siang malam kamu beri makan tubuhmu. Sekarang tubuhmu seperti seekor kuda dan dunia yang rendah ini menjadi kandangnya. Makanan kuda tentu tak akan menjadi makanan penunggangnya. Karena sang penunggang memiliki cara tidur, makan, dan kebahagiaan yang berbeda. Karena sifat hewan dan binatang mengalahkan jiwamu, maka tinggallah dirimu beserta kuda di kandangnya. Kau tak memiliki satu tempat pun di barisan raja-raja dan pimpinan negeri keabadian. Hatimu di sana, tetapi tubuhmu telah mengalahkanmu, kamu tunduk pada aturannya dan masih menjadi tawanan abadinya.
Sama halnya pada saat Majnun hendak mengunjungi rumah Laila. Ketika Majnun masih sadar, ia mengemudikan untanya menuju rumah Laila. Tetapi saat ia terbenam dalam fantasinya tentang Laila dan melupakan diri dan untanya, unta itu menelusuri jalan kembali ke desa di mana anak unta itu disimpan. Saat Majnun bangun dari imajinasinya, ia menemukan dirinya telah mundur dua hari perjalanan. Selama tiga bulan ia menelusuri jalan ini, justru ia semakin jauh dengan tujuannya. Akhirnya ia berkata “Unta ini bencana buatku!,” ia lalu turun dari unta itu dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Untaku ingin kembali, sementara aku ingin terus maju.
Sungguh aku dan ia sangatlah berbeda.

Guru kami berkata: Sayyid Burhanuddin pernah didatangi seseorang dan berkata: “Aku mendengar seseorang telah memujimu.” Burhanuddin menjawab: “Tunggulah sampai aku bertemu dengan orang itu untuk melihat apakah ia cukup mengenalku sehingga bisa memujiku. Kalau ia hanya mengenalku lewat perkataan orang-orang, berarti ia tak mengenalku. Sebab kata-kata, huruf-huruf dan suara- suara itu tidak abadi. Dua bibir dan mulut ini juga tidak abadi. Semua ini tidaklah penting. Tapi kalau ia mengenalku lewat perbuatan- perbuatanku, dan mengetahui wujudku, maka aku tahu bahwa dia bisa memujiku, dan bahwa pujian itu benar-benar untukku.”
Ini seperti cerita yang mengisahkan tentang seorang raja yang menitipkan anaknya pada sekelompok ilmuwan. Anak itu kemudian diajari ilmu astronomi, geogra , dan lain-lain, sampai ia menjadi seorang guru yang sempurna meski pada awalnya ia adalah anak yang dungu dan pandir. Suatu hari sang raja mengenggaman sesuatu tangannya dan menguji anaknya. 
“Kemarilah, coba katakan apa yang ada dalam genggamanku ini?”

“Barang yang ayah genggam itu berbentuk bulat, berwarna kuning, dan berlubang,” jawab Pangeran.
Raja menimpali: “Kamu telah tunjukkan tanda-tanda yang benar, sekarang pastikan benda apa itu?,”
Pangeran menjawab: “Seharusnya itu adalah ayakan,”

Raja berkata: “Sungguh, kamu sudah menunjukkan banyak data yang detil, tapi semua itu jadi membingungkan. Dengan ilmu dan semangat belajarmu yang begitu kuat, bagaimana kamu bisa melupakan satu hal bahwa ayakan tidak akan muat berada di dalam genggaman?”
Seperti itulah gambaran para ilmuwan di zaman kita ini yang membelah sebutir rambut keilmuan, padahal mereka sudah mengetahui bahwa puncak pengetahuan adalah hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan itu sendiri dan mereka sudah sangat memahami hal itu.
Sementara itu, ada satu hal yang sangat penting dan berada sangat dekat dengan manusia ketimbang hal-hal lain yang tidak diketahui oleh ilmuwan ini, yaitu jiwa manusia. Ia tidak mengetahui jiwanya sendiri. Ia menghukumi segala sesuatu dengan halal dan tahu apakah dirinya sendiri halal atau haram, boleh atau tidak boleh, suci atau tidak suci.
Sekarang, sifat-sifat seperti berlubang, berwarna kuning, berukir, dan bulat hanyalah sifat-sifat buatan semata. Ketika sebuah barang diletakkan di atas api, tidak akan ada yang tersisa darinya; barang itu akan menjadi abu halus dan tidak lagi memiliki sifat-sifat tadi. Tanda-tanda yang diberikan oleh para ilmuwan berupa ilmu-ilmu, perbuatan, dan perkataan, sama dengan sifat- sifat tersebut, ia tidak berkaitan dengan inti sesuatu meski tanda- tanda yang lainnya menghilang. Demikianlah tanda dari segala sesuatu. Sang pangeran membincangkan dan menjelaskan semua tanda, kemudian akhirnya menyimpulkan bahwa barang yang digenggam raja adalah sebuah ayakan, tanpa mengetahui apa inti atau asal dari barang itu sendiri.
Aku adalah seekor burung. Aku adalah seekor bulbul. Aku adalah seekor beo. Kalau mereka berkata padaku: “Tunjukkan jenis suara yang lain selain suaramu,” niscaya aku tidak akan bisa melakukannya. Jika lidahku memang sudah demikian, maka aku tak bisa berbicara dengan suara lain. Hal ini berbeda dengan mereka yang bukan burung yang bisa mempelajari suara- suara burung, bahkan mereka adalah musuh-musuh burung dan pemburu burung itu. Mereka bernyanyi dan bersiul dengan nada lain untuk mengelabui burung agar dirinya dianggap sebagai burung. Kalau mereka disuruh untuk mengeluarkan suara yang itu bukan milik mereka. Seperti para cendekiawan, mereka bisa membunyikan suara yang lain karena mereka telah belajar untuk mencuri suara-suara itu, dan untuk memamerkan nada itu di setiap rumah.

1    Bait ini diambil dari akhir bab ke tujuh dari kitab Hadiqat al-Haqiqah (Kebun Hakikat) karya seorang su besar bernama Sanai al-Ghaznawi.
2    Sepertinya ini adalah potongan bait karya Rumi yang terdapat dalam Al-Diwan al-Kabir.

Pasal 5 Kelahiran Yang Sambung Menyambung

Amir berkata: “Tuan, alangkah mulianya engkau telah meng hormatiku dengan cara ini. Aku tidak pernah mengharapkannya. Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa diriku layak menerima penghormatan ini. Seharusnya aku bernaung siang dan malam dengan kedua tangan terikat dalam barisan kelompok pelayan dan muridmu. Aku bahkan tidak layak begitu. Betapa mulianya semua ini!”
Maulana Rumi berkata: Ini semua karena kamu punya semangat yang tinggi. Ketika kamu memegang jabatan yang tinggi dan agung sehingga kamu disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang penting dan mulia, maka kamu akan menganggap dirimu mampu menangani semua pekerjaan itu karena tingginya semangatmu, dan kamu tidak akan pernah merasa puas dengan prestasi yang sudah kamu raih karena kamu merasa ada banyak hal yang masih perlu dilakukan. Walaupun hatiku ingin selalu membantumu, aku juga ingin memberikan sebuah penghargaan dalam sebuah bentuk pada kalian.
Hal ini karena aksiden (tampakan/bentuk luar) juga memiliki urgensi yang besar, dan mungkin urgensi bentuk itu disebabkan karena aksiden membarengi isi. Seperti halnya sesuatu tidak akan tampak tanpa adanya inti, demikian juga sesuatu itu tidak akan tampak tanpa adanya kulit. Jika kamu menanam sebuah bibit dalam tanah tanpa kulitnya, ia tidak akan tumbuh. Tapi jika kamu menanam beserta kulitnya, maka ia akan tumbuh menjadi pohon yang besar. Dari poin ini, tubuh juga merupakan pondasi yang penting dan memiliki peran yang besar. Sebab tanpa tubuh, sebuah pekerjaan akan gagal dan tujuannya tidak akan tercapai.
Bagaimanapun, sungguh, pondasi itu sangat berarti bagi orang memahami artinya. Ucapan “Dua rakaat salat itu lebih baik dari dunia seisinya” tidak selalu cocok untuk semua orang. Perkataan itu hanya cocok untuk orang yang merasa bahwa jika ia kehilangan dua rakaat salat, berarti ia kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari dunia seisinya. Kehilangan dua rakaat salat lebih sulit baginya dari pada kehilangan kerajaan dunia yang dua rakaat salat berada di dalamnya.
Seorang darwis menghadap salah seorang raja. Sang raja berkata kepadanya, “Wahai, sang zahid (orang yang zuhud)!”
“Tidak, kamu memandang sesuatu secara terbalik dari yang sesungguhnya.” Jawab darwis. “Dunia ini, akhirat, dan semua isi kerajaanmu adalah milikku. Akulah yang memegang otoritas alam semesta ini sepenuhnya. Sementara kau hanya puas dengan sesuap makanan dan sepotong baju.”

“Maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. al-Baqarah: 115)

Wajah Allah itu akan mengalir dan membentang selamanya tanpa batas. Para pencinta sejati telah mengorbankan diri mereka demi wajah itu tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sementara umat manusia yang lainnya berakhlak seperti binatang.
Maulana Rumi berujar: “Sekali pun mereka berakhlak seperti binatang, mereka tetap berhak untuk diberi  pertolongan.  Bisa saja mereka berada di dalam kandang, tetap mereka diterima oleh Sang Pemilik kandang itu. Jika Sang Pemilik menghendaki, Ia bisa memindahkannya ke sebuah ruang khusus. Sama halnya dengan manusia yang pada awalnya tidak ada, kemudian Allah menjadikannya ada. Lalu Allah memindahkannya dari ruang khusus itu ke ruang dunia ini. Kemudian dari ruang dunia ini ke ruang tetumbuhan. Kemudian dari ruang tetumbuhan ke ruang hewani. Dari hewan ke dalam manusia, manusia ke dalam malaikat, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Demikianlah Allah menjelaskan semua hal ini untuk menyatakan bahwa Dia mempunyai banyak kandang (ruang), di mana setiap ruangnya lebih utama dari ruang yang selanjutnya.

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). Mengapa mereka tidak mau beriman?” (QS. al-Insyiqaq: 19-20)

Allah menampakkan dunia ini agar kamu yakin bahwa akan datang tingkatan-tingkatan setelahnya. Allah tidak mengungkapkannya sehingga kamu bisa mengingkarinya dengan berkata: “Ini sudah semuanya.”
Seorang guru menunjukkan kecakapan dan keahliannya sehingga para murid menjadi yakin pada mereka dan akan mengakui keahlian-keahlian lain yang belum ditunjukkan oleh sang guru. Analogi ini serupa dengan seorang raja yang hendak memutus atau menyambung sebuah hubungan. Sang raja memenuhi permintaan rakyatnya agar mereka bisa mengharapkan hal-hal yang lain nantinya, mereka menenun kain untuk dijadikan karung karena mendambakan hadiah-hadiah emas. Raja tidak melimpahkan hadiah-hadiah itu agar mereka berkata: “Ini sudah semuanya. Raja tak akan memberikan hadiah-hadiahnya yang lain,” sehingga mereka hanya puas dengan pemberian yang ada. Jika raja mengetahui rakyatnya akan berkata demikian dan percaya akan hal itu, maka raja tidak akan memberikan hadiah-hadiahnya lagi pada mereka.
Seorang zahid sejati adalah mereka yang mencari akhirat, sedangkan orang yang cinta pada dunia hanya mencari kandang. Sementara orang-orang pilihan Tuhan dan para arif tidak melihat akhirat dan juga kandang. Pandangan mereka tertuju pada sesuatu yang terjadi di awal, mereka mengetahui permulaan setiap sesuatu. Seperti seorang ahli yang menanam gandum, ia tahu yang akan tumbuh adalah gandum karena ia melihat hasil akhirnya sejak permulaan. Begitu juga seseorang yang menanam jelai (padi-padian), beras, serta tanaman-tanaman lainnya. Ketika seseorang melihat permulaan, pandangannya tidak tertuju pada akhir. Padahal dia bisa mengetahui akhir pada permulaan itu. Jarang sekali orang yang bisa mengerti akan hal ini. Mereka yang mencari akhirat adalah para penengah (mutawassitun), sedang mereka yang mencari kandang adalah hewan ternak.
Derita akan menimpa setiap manusia, apapun pekerjaannya. Sebab ketika seseorang tidak menderita, tidak gila, dan tidak merindukan sesuatu, niscaya ia tak akan pernah sampai kepada- Nya. Sesuatu tidak akan didapat dengan mudah tanpa adanya derita, entah sesuatu itu berupa kesuksesan di dunia maupun di akhirat, kekayaan ataupun kekuasaan, maupun ilmu atau bintang gemintang. Seandainya Maryam tak merasakan derita saat melahirkan, maka ia tak akan pernah sampai pada pohon yang penuh berkah:
 
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)

Rasa sakit itulah yang membuat Maryam berangkat menuju pohon yang penuh berkah. Pohon yang mulanya begitu kering itu pun berubah menjadi subur dan berbuah.
Raga kita bagaikan Maryam dan kita semua memiliki seorang Isa dalam diri kita. Kalau kita merasakan sakit, maka Isa kita akan lahir. Namun jika rasa sakit tidak kita rasakan, maka Isa akan kembali ke asalnya melalui jalan rahasia yang sama yang dilaluinya, membiarkan diri kita hampa tanpa ada yang kita dapatkan darinya.
Jiwa ruhaniahmu kelaparan, sementara raga luarmu kekenyangan.
Setan makan dengan rakus sampai muntah, sementara seorang raja bahkan tak memiliki sepotong roti. Sekarang berobatlah, karena Isa-mu sedang berada di bumi.
Ketika Isa telah kembali ke langit, maka semua harapan akan sirna.1
 
1 Sajak ini digubah oleh Afdhaluddin al-Khaqani.

Pasal 6 Seorang Mukmin Adalah Cermin Bagi Mukmin Lainnya

PERKATAAN ini ditujukan untuk orang yang membutuhkan kata-kata untuk memahami. Tapi bagi  orang yang sudah bisa memahami tanpa harus berbicara, apa gunanya berbicara? Seluruh langit dan bumi adalah kata-kata bagi mereka yang mengerti. Mereka adalah anak dari kata-kata: “Jadi, maka jadilah.” Demikian juga bagi mereka yang sudah mendengarkan sebuah bisikan, apa gunanya mereka berteriak dan menjerit?
Seorang pujangga menggubah puisi dengan bahasa Arab di hadapan baginda raja. Raja itu berkebangsaan Turki, tapi ia tidak mengerti bahasa Arab (Persia). Pujangga itu menggubah kata-kata indah dan luar biasa ke dalam bahasa Arab pada pembukanya dan kemudian melanjutkan ke inti puisinya. Ketika sang raja pujangga beranjak dan mulai mendeklamasikan puisinya.
Sang raja selalu menganggukkan kepalanya di setiap alinea sebagai tanda acungan jempol kepada sang pujangga. Di setiap alinea itu, ia tampak terkagum-kagum karena takjubnya, dan sebagai tanda tawaduknya ia perhatikan dengan serius lantunan puisi itu. Para anggota dewan kerajaan keheranan dan bertanya-tanya: “Raja kita tidak mengetahui satu kata pun dalam bahasa Arab, bagaimana dia bisa menganggukkan kepala sesuai dengan lantunan puisi di di majelis tadi? Bisa jadi beliau memang sudah mengetahui Bahasa Arab selama bertahun-tahun tapi kita tidak mengetahuinya. Jika kita pernah mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dalam bahasa Arab, celakalah kita!”
Sang raja memiliki seorang budak kesayangan. Para anggota dewan kerajaan memanggil budak itu dan memberinya seekor kuda, bagal, dan sejumlah uang, dan mereka juga berjanji akan memberikan hadiah lainnya. Kemudian mereka berkata: “Coba kamu cari tahu apakah baginda raja bisa berbahasa Arab atau tidak. Jika memang beliau tidak bisa, bagaimana beliau bisa menganggukkan kepala di saat yang tepat? Apakah itu karomah ataukah ilham dari Tuhan?”
Akhirnya, tibalah pada suatu hari di mana sang budak mendapatkan kesempatan untuk menjalankan tugas dari para anggota dewan. Sang raja sedang keluar untuk berburu dan si budak menganggap bahwa rajanya sedang dalam suasana hati yang baik karena memperoleh banyak hasil buruan. Maka bertanyalah budak itu tanpa berbelit-belit. Sontak sang raja tertawa meledak-ledak. “Demi Allah, aku tidak mengerti bahasa Arab,” kata raja. “Adapun mengenai anggukkan kepalaku itu karena aku mengerti maksud dari susunan puisi yang dideklamasikan pujangga itu, makanya aku menganggukkan kepala sebagai bentuk apresiasi kepadanya.”
Sekarang bisa dipahami bahwa akar dari materi adalah tujuan yang diharapkan. Puisi itu hanyalah cabang dari tujuan, meskipun tujuannya tidak ada dalam kandungan puisi tersebut. Jika yang dilihat adalah tujuannya, maka dualisme akan hilang. Karena dualisme hanya terjadi dalam cabang, sementara akarnya tetap satu. Sama halnya dengan syekh-syekh su . Meski dalam penampilan luar, keadaan, perilaku, dan perkataan mereka berbeda, tapi mereka semua memiliki satu tujuan yang sama, yaitu mencari Tuhan.
Contoh lainnya adalah angin. Ketika angin berhembus di istana, ia akan mengangkat ujung-ujung karpet, membuat berantakan dan gerakan pada karpet-karpet itu, menerbangkan batang dan jerami ke udara, mengibaskan permukaan air hingga nampak seperti anting- anting yang serupa baju baja, serta membuat pepohonan, dahan- dahan, dan dedaunan menari. Semua itu seolah menjadi hal-hal yang berbeda, akan tetapi dari perspektif tujuan, akar, dan realitasnya, semua itu adalah satu hal, yaitu hembusan angin.
Salah seorang dari mereka berkata: “Aku telah melalaikan tujuan sejati itu.”

Maulana Rumi menjawab: “Ketika pikiran ini menghampiri benak manusia kemudian ia menegur dirinya sendiri seraya berkata: ‘Ah, apa yang aku lakukan, mengapa aku melakukan semua ini?” Maka ini menjadi bukti cinta dan perhatian Allah kepadanya.’”
Cinta akan tetap tinggal selama teguran terus berlangsung.1


Hal itu karena teguran hanya diberikan pada orang-orang yang dikasihi, dan tak pernah ada teguran bagi orang asing. Teguran juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Ketika seseorang merasakan sakitnya teguran dan mendapatkan sebuah informasi baru darinya, itu pertanda bahwa Allah mencintai dan menyayangi mereka. Namun jika seseorang mendapatkan teguran tapi tak merasakan pedihnya, maka ini bukanlah pertanda cinta. Sama halnya ketika sebuah karpet dipukul-pukul dengan sebatang kayu untuk membersihkan debu yang melekat padanya, maka orang yang bijak tidak akan menyebutnya sebagai sebuah teguran. Namun jika seseorang memukul anak atau kekasihnya, maka itu disebut dengan teguran yang mana teguran itu adalah bukti kasih sayangnya. Oleh karena itu, selama kamu masih menemukan rasa sakit dan kekecewaan dalam dirimu, maka itu adalah bukti sayang dan cinta Allah padamu. Jika kamu melihat aib pada diri saudaramu, maka sejatinya aib yang kamu lihat itu adalah aibmu juga. Su sejati itu seperti sebuah cermin di mana di dalamnya kamu melihat gambarmu sendiri, karena “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” Jauhkanlah aib itu darimu, karena sesuatu yang menyakitkan dalam diri mereka, juga akan menyakitkan dirimu.
Kemudian beliau melanjutkan ucapannya: Seekor gajah dibimbing menuju sumber mata air untuk minum. Ketika gajah itu melihat bayangan dirinya di permukaan air, ia berlari menjauh. Gajah itu mengira bahwa ia berlari karena ada gajah lain yang datang, padahal sesungguhnya ia menghindari dirinya sendiri. Ketika sifat- sifat buruk seperti kezaliman, kebencian, kecemburuan, ketamakan, keras hati, dan kesombongan ada dalam dirimu, kamu tidak merasa sakit karenanya. Tapi ketika kamu melihatnya ada pada diri orang lain, maka kau akan menghindar dan merasa sakit karenanya. Seseorang tidak akan terganggu ketika ia terkena kudis atau bisul. Ia akan mencelupkan tangannya yang terkena penyakit itu ke dalam sup, lalu menjilati jemarinya tanpa merasa jijik sama sekali. Namun ketika ia melihat bekas bisul atau sedikit luka gores di tangan orang lain, ia menghindari makanan itu dan tidak mau mencicipinya.
Sifat-sifat buruk itu seperti kudis dan bisul. Pada saat sifat-sifat itu ada pada dirinya, ia tak merasa tersakiti. Namun, ketika ia melihat sifat-sifat itu ada pada tubuh orang lain, ia justru merasa tersakiti dan menjauhi orang tersebut.
Seandainya kamu menjauhi saudaramu, lantas bagaimana jika nanti justru saudaramu yang menjauhimu dan merasa jijik pada penyakitmu? Rasa jijik yang kamu tampakkan pada saudaramu itu adalah pemberitahuan baginya sebab perasaanmu itu muncul karena kau melihat aibnya, dan dengan demikian dia bisa melihat aibnya sendiri. Nabi Saw. telah bersabda: “Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya.” Beliau tidak bersabda: “Seorang ka r adalah cermin bagi orang Mukmin.” Mengapa orang ka r tak memiliki karakter itu? Sebab ia bukan cerminan bagi yang lain, ia hanya melihat dirinya dalam cermin.
Seorang raja yang sedang bersedih hati duduk di tepi sungai. Para petinggi menjadi sangat takut kepadanya. Belum ada seorangpun yang mengetahui alasan kesedihan rajanya itu. Sang raja memiliki seorang penghibur yang sangat disayanginya. Para petinggi tersebut membuat kesepakatan dengan si pelawak, “Jika kamu bisa membuat raja tertawa, kami akan memberimu sejumlah uang.” Penghibur itu mendekati sang raja, namun sekeras apapun penghibur berusaha, sang raja tetap tidak memedulikannya, padahal ia hendak mempertontonkan wajah lucunya pada sang raja untuk membuatnya tertawa.
Sang raja tetap menatap sungai dalam-dalam dan sama sekali tak mengangkat kepalanya.
“Apa yang Anda lihat di air sungai itu?” Penghibur itu bertanya kepada raja.
“Aku melihat mucikari,” Jawab raja.
“Wahai raja dunia, hambamu ini juga tidak buta.” Kata penghibur.
Begitu juga halnya denganmu. Jika kamu melihat sesuatu dalam diri hambamu yang menyakitkanmu, sesungguhnya mereka juga tidak buta. Mereka melihat yang kamu lihat.

Di hadapan Allah tidak akan ada dualisme Aku; kamu berkata Aku dan Dia juga berkata Aku. Jika kamu mati di hadapan-Nya, maka Dia juga akan mati di hadapanmu hingga dualisme Aku itu lenyap. Matinya Allah SWT adalah hal yang mustahil, baik di dunia nyata maupun di alam pikiran. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Hidup dan Yang Kekal akan mati? Allah memiliki kelembutan dan kasih sayang yang jika mungkin Dia mati demi kamu, Dia akan mati, hingga tak ada lagi dualisme. Sekarang, karena kematian Allah adalah hal yang mustahil, maka dirimulah yang harus mati agar Dia mengungkapkan Keakuan-Nya kepadamu, dan hilanglah dualisme Aku. Ketika kamu mengikat dua ekor burung secara bersamaan, meski keduanya sejenis, dan kamu mengubah kedua sayapnya menjadi empat, mereka tetap tidak akan bisa terbang, karena ada dualisme makhluk di situ. Tapi jika kamu mengikat seekor burung yang telah mati dengan seekor burung yang masih hidup, maka burung yang hidup itu akan bisa terbang, karena dualisme telah hilang.
Matahari juga memiliki kelembutan yang bisa mendorongnya untuk mati di hadapan seekor kelelawar. Karena hal itu tidak mungkin, matahari berkata: “Wahai kelelawar, kelembutanku bisa dirasakan oleh segala sesuatu, aku juga ingin berbuat baik padamu. Maka matilah kamu, karena kematianmu bukanlah hal yang mustahil, sehingga keberuntungan cahaya kemuliaanku akan memelukmu dan kamu bisa keluar dari ke-kelelawar-anmu, untuk kemudian menjadi burung phoenix yang dekat denganku.
Seorang hamba bisa membuat dirinya fana untuk kekasihnya. Ia memohon kekasih itu pada Allah SWT, tapi Allah tidak mengabulkan permintaannya. Datanglah sebuah seruan: “Aku tak ingin kamu melihatnya!” Si hamba itu tetap bersikeras terhadap permintaannya, ia tak berhenti bertawasul dan berdoa: “Wahai Tuhan, aku sudah tenggelam dalam lautan cintanya dan ia tak mungkin terpisah dariku.” Akhirnya datang seruan lagi: “Apa kamu menginginkan kejelasan? Maka korbankan dirimu dan jadilah fana. Jangan tetap di sini, tinggalkan dunia ini!” Hamba itu menjawab: “Ya Tuhan, aku rela dan itulah yang akan terjadi.” Hamba itu rela mengorbankan dirinya demi orang yang dicintainya hingga ia berhasil meraih apa yang diinginkannya. Ketika seorang hamba memiliki kelembutan yang bahkan mau mengorbankan umur kehidupannya, satu hari baginya akan sepadan dengan umur alam ini dari awal sampai akhir. Bukankah Allah juga memiliki kelembutan seperti yang dimiliki hamba itu? Hal yang demikian tentu tidak mustahil. Fana-nya Allah- lah yang mustahil. Maka tidak ada jalan lain selain kamu sendiri yang harus membuat dirimu fana.
Seorang datang dengan membawa beban berat dan duduk di atas salah satu wali besar. Maulana Rumi berkata: “Apa perbedaan antara mereka yang berada di atas lampu dengan mereka yang berada di bawahnya? Jika lampu berada di atas, ia tidak berharap untuk dirinya sendiri. Tujuannya adalah untuk memberikan manfaat pada orang lain sehingga mereka bisa merasakan sinarnya yang terang. Ke arah mana saja lampu mengarah, lampu tetaplah lampu, ia tetaplah Matahari Abadi. Jika para wali menginginkan kemuliaan dan pangkat duniawi, hal ini karena mereka memiliki satu tujuan: mereka berhasrat untuk memburu para ahli duniawi, yang berteman dengan dunia, yang tidak memiliki pandangan tentang kedudukan hakiki seperti yang dilihat para wali, untuk kemudian mencoba membuat mereka menemukan jalan menuju kedudukan hakiki itu dan menjadi teman akhirat. Demikian juga, Nabi Muhammad Saw. tidak menaklukkan Mekkah dan kota-kota di sekelilingnya lantaran beliau membutuhkannya. Beliau menaklukkan kota-kota itu untuk memberikan kehidupan pada semua manusia dan memuliakan mereka dengan cahaya. “Ini adalah tangan yang terbiasa untuk memberi, ia tidak terbiasa untuk meminta.” Para wali tersebar bersama orang-orang lainnya untuk memberikan sesuatu kepada mereka, bukan untuk mengambil sesuatu dari mereka.
Ketikaseseorangmembuatsebuahperangkapdanmengharapkan burung-burung kecil akan terjerat dalam perangkapnya untuk kemudian dimakan atau dijual, maka itu disebut tipuan. Tetapi jika seorang raja membuat perangkap untuk menangkap burung elang yang tak terlatih, tak memiliki sopan santun, dan tak tahu berharganya dirinya untuk kemudian dilatih dengan tangan sang raja sendiri hingga menjadi burung yang dihormati, terlatih, dan memiliki sopan santun, maka ini bukanlah sebuah tipuan. Meskipun kelihatannya seperti tipuan, hal demikian dapat dikatakan hakikat kebenaran, pemberian, hadiah, menghidupkan makhluk yang mati, mengubah batu menjadi akik, mengubah air mani yang mati menjadi manusia, dan bahkan lebih dari semua itu. Seandainya elang itu mengetahui alasan sang raja memburunya, justru ia akan mendatangi sendiri perangkap tadi dengan jiwa dan hatinya dan akan terbang ke tangan sang raja. Orang-orang hanya melihat pada aspek lahiriah dari perkataan para wali dan berkata: “Kita telah banyak mendengar tentang ini. Hati kita telah penuh dengan kata-kata semacam itu.”

“Dan mereka berkata: “Hati kami tertutup,” tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 88)

Orang-orang  ka r  berkata:  “Sesungguhnya  hati  kita  telah tertutup dan sudah terisi penuh dengan perkataan semacam itu. Allah SWT ber rman: “Tak mungkin hati mereka terisi oleh perkataan- perkataan ini. Hati mereka penuh terisi oleh kegelisahan dan praduga- praduga yang salah, berisi syirik dan keraguan, serta terisi oleh laknat.”
Semoga mereka segera terlepas dari kungkungan halusinasi- halusinasi itu sehingga mereka bisa menerima perkataan ini. Namun karena mereka tak kunjung menerima, Allah menutup telinga, mata, dan hati mereka. Mata mereka melihat sesuatu yang bukan sebenarnya, sehingga mereka melihat Yusuf sebagai seekor serigala. Telinga mereka mendengar sesuatu yang bukan sebenarnya, sehingga mereka menganggap hikmah sebagai canda tawa dan halusinasi. Hati mereka berubah menjadi kaleng-kaleng kegelisahan dan prasangka.
Sungguh mereka telah diracuni oleh berbagai bentuk kezaliman dan prasangka yang bercabang-cabang saat musim dingin, dan membeku saat musim salju tiba.
 
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah: 7)

Bagaimana mungkin mereka  bisa memenuhi hati  mereka dengan perkataan sejati ini? Bahkan baunya saja mereka tidak bisa menciumnya. Mereka tak akan pernah sempat mendengar sepanjang hidupnya. Bukan hanya mereka yang akan mengalami hal demikian, tapi siapa saja yang selalu berbangga-bangga dengan dirinya sendiri serta leluhur mereka yang tak tertolong. Perkataan itu adalah bejana yang diperlihatkan oleh Allah kepada sebagian dari mereka dalam keadaan terisi penuh dengan air, sehingga mereka bisa meneguk dan melepas dahaga. Allah juga memperlihatkan bejana itu pada sebagian yang lain tapi dalam keadaan kosong. Ketika yang terjadi adalah yang kedua, rasa syukur apa yang bisa diberikan seseorang demi sebuah bejana kosong? Hanya mereka yang mendapatkan bejana berisi air yang akan menemukan rasa syukur atas berkah itu. Ketika Allah SWT menciptakan Nabi Adam as. dari tanah dan air—selama empat puluh hari—Dia menyempurnakan bentuknya, kemudian menetap beberapa saat di atas bumi. Iblis kemudian turun dan masuk ke dalam hati Adam, mengitari seluruh aliran darahnya, menelitinya, dan kemudian menyimpulkan bahwa pembuluh dan urat syaraf manusia berisi darah dan campuran-campuran lainnya. Kemudian berkata: “Oh, tidak ada tanda-tanda bahwa iblis yang kulihat di sisi singgasana ‘Arsy akan muncul. Jika iblis muncul dalam pembuluh dan urat manusia, maka inilah jadinya.”

1 Teks ini adalah potongan bait (yang oleh sebagian ulama dinisbatkan kepada) Abu Tamam. Teks lainnya berbunyi:
Jika teguran pergi, begitu pula dengan cinta — Dan tinggallah cinta, jika teguran tetap ada.

Pasal 7 Sekalipun Tabir Tersingkap, Keyakinanku Tidak Akan Bertambah

ANAK laki-laki Amir memasuki ruangan. Maulana Rumi berkata: Ayahmu selalu sibuk dengan Tuhan. Keimanan begitu meliputinya, dan mewujud dalam ucapan-ucapannya. Suatu hari ayahmu berkata: “Orang-orang ka r Romawi mendesakku untuk menikahkan saudariku dengan orang Tartar agar agama kami menjadi satu dan hilanglah agama baru ini, yaitu Islam.” Lalu aku menjawab: “Kapan agama pernah menjadi satu?”
Agama tidak akan pernah menjadi satu. Selalu saja ada dua atau tiga agama, dan selalu ada perang serta saling bunuh di antara mereka. Bagaiamana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama? Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari kiamat. Di dunia ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil. Karena di dunia ini setiap orang memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Ketunggalan agama di dunia itu mustahil. Ini hanya akan terjadi di hari kebangkitan, hari ketika umat manusia menjadi satu dan semuanya melihat ke satu tempat, dan mereka hanya memiliki satu telinga dan satu lisan.
Dalam diri manusia terdapat banyak hal. Ada tikus dalam diri kita, dan juga ada burung. Burung mengangkat sangkarnya ke atas, sementara tikus menurunkannya kembali ke tanah. Seratus ribu binatang buas berkumpul dalam tubuh manusia, kecuali jika tikus menanggalkan ketikusannya dan burung juga menanggalkan keburungannya, dan semuanya menjadi satu. Karena tujuan sebenarnya bukanlah ke atas atau ke bawah. Ketika tujuan sudah muncul dengan gamblang, maka tidak ada lagi atas atau bawah.
Ketika ada seorang yang kehilangan sesuatu, ia menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Ketika ia sudah menemukan barang tersebut, ia  tak  lagi  mencari  ke  atas  dan ke bawah, tidak pula ke kanan dan ke kiri, juga ke depan dan ke belakang. Seketika orang itu menjadi tenang dan tenteram. Demikian juga di hari kiamat nanti, semua manusia akan menjadi satu, melihat dengan satu pandangan, berbicara dengan satu mulut, mendengar dengan satu telinga, dan satu pemahaman. Pada saat sepuluh orang berkumpul di sebuah taman atau toko yang sama, pembicaraan mereka adalah satu, kepentingan mereka satu, dan kesibukan mereka satu, karena tujuan mereka adalah satu. Begitu pula di hari kiamat kelak, karena kepentingan semua manusia sama, yaitu berkepentingan dengan Allah SWT, mereka akan menjadi satu.

Di dunia ini setiap manusia memiliki kesibukan masing- masing. Ada yang sibuk mencintai perempuan, ada yang sibuk mengurusi harta, ada yang sibuk mencari nafkah, dan ada juga yang sibuk menuntut ilmu. Mereka semua yakin bahwa obat, kebahagiaan, kesenangan, dan kenyamanan mereka ada pada sesuatu yang sedang mereka sibukkan itu.
Itulah kasih sayang Allah SWT. Ketika pergi mencarinya, mereka tidak menemukannya sehingga mereka kembali. Beberapa saat kemudian mereka berkata: “Kebahagiaan dan kasih sayang itu harus dicari. Mungkin aku belum mencarinya dengan sungguh- sungguh. Aku akan mencarinya lagi.” Ketika mereka belum juga menemukan keinginan mereka di pencarian kedua, mereka tetap terus mencarinya. Hingga tiba akhirnya kasih sayang itu muncul dan menyingkap selubungnya. Dari situ, barulah mereka menyadari bahwa jalan yang telah mereka tempuh selama ini bukanlah jalan yang tepat.
Allah SWT memiliki beberapa hamba yang seperti di atas sebelum tibanya hari kiamat. Mereka memandang yang hakikat adalah akhirat. Ali r.a. berkata: “Sekali pun tabir tersingkap, keyakinanku tidak akan bertambah.” Artinya, “Bahkan ketika ragaku lenyap dan hari kiamat tiba, keyakinanku tidak akan bertambah.” Ini seperti sekelompok manusia, pada malam yang gelap di dalam rumah, memalingkan wajah mereka ke semua arah di pertengahan salatnya. Pada pagi harinya, mereka semua mengubah arah mereka yang semalam. Kalau arah wajah yang mereka hadapkan semalam adalah kiblat, kenapa mereka mengubahnya? Para hamba Allah itu mereka pada selain-Nya. Bagi mereka, kiamat itu sangat jelas dan pasti akan datang.
Tidak ada akhir untuk kata-kata, tapi kata-kata itu diberikan sesuai dengan kapasitas orang yang memintanya.
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah gudang- gudangnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. al-Hijr: 21)

Hikmah itu seperti hujan. Di tempat penyimpanannya ia tak pernah habis, tapi ia turun sesuai dengan kebutuhan; di musim dingin dan musim semi, di musim kemarau dan musim gugur, selalu dalam kadar yang sesuai dengan kebutuhan di musim itu, kadang bertambah dan kadang berkurang jumlahnya. Tapi yang jelas, hujan tidak memiliki batasan tempat di mana ia akan turun. Seorang apoteker menaruh gula atau obat-obatan di atas secarik kertas, tetapi gula tidak dibatasi jumlahnya hanya di atas kertas itu. Jika persediaan gula tak berbatas dan tidak ada habisnya, bagaimana mungkin secarik kertas bisa menampung semua persediaan gula itu?
Beberapa orang dari mereka berkata dengan nada mengejek: “Kenapa al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad Saw. ayat demi ayat? Kenapa tidak turun surat demi surat? Nabi Muhammad Saw. menjawab: “Apa yang orang-orang bodoh itu katakan? Jika al-Qur’an turun kepadaku sekaligus, aku akan hancur dan lenyap dari kehidupan.”
Karena mereka yang benar-benar merenungkan isinya meski sedikit, berarti ia memahami banyak; dari satu hal, ia mengerti berbagai hal; dari satu baris, ia memahami berbuku- buku. Bandingkan dengan sekelompok orang yang sedang duduk mendengarkan sebuah cerita. Salah satu dari mereka sudah mengetahui semua ihwal dan situasi dalam cerita, padahal cerita itu baru dikisahkan setengahnya. Hanya dengan satu isyarat, ia sudah bisa memahami semua yang diceritakan. Orang itu tampak pucat pasi, perasaannya berkecamuk dan berubah dari suatu kondisi ke kondisi lainnya. Sementara yang lainnya hanya memahami sesuai dengan kadar yang mereka dengar, karena mereka tidak tahu kejadiannya secara utuh. Tetapi bagi orang yang sudah mengetahuinya, maka ia benar-benar memahami seluruh isi cerita tersebut meski hanya sedikit kalimat yang ia dengar.
Kembali lagi: Jika kamu mendatangi seorang apoteker, niscaya kamu akan menemukan banyak obat di sana. Akan tetapi apoteker itu akan melihat seberapa banyak uang yang akan kamu berikan padanya, dan sang apoteker akan memberikan obat sesuai dengan kadar uangmu itu. ‘Uang’ yang dimaksud di sini adalah semangat dan keyakinan. Kata-kata diberikan sesuai dengan semangat dan keyakinan seseorang. Ketika kamu datang untuk mencari obat, apoteker akan melihat tempat yang kamu bawa untuk mengetahui kapasitasnya, kemudian menakar dengan kadar itu, satu takar atau dua takar. Jika ada seseorang yang menggiring segerombolan unta yang membawa wadah dalam jumlah yang banyak, maka apoteker itu akan memanggil banyak penakar.

Di satu sisi, ada orang yang tidak puas pada lautan; sementara yang lain merasa puas hanya dengan beberapa tetes air saja karena lebih dari beberapa tetes itu justru akan berbahaya baginya. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia rasa, ilmu, dan hikmah, tapi terjadi di semua hal. Baik kekayaan, emas, atau logam, semuanya tak terbatas dan tak berpuncak. Tapi semua itu diberikan sesuai dengan kadar kemampuan seseorang, sebab seseorang tidak akan mampu memikul sesuatu melebihi kemampuannya, atau dia akan menjadi gila karenanya. Tidakkah kamu lihat bagaimana Majnun, Farhad, dan para pecinta lainnya mengembara tanpa arah, mendaki gunung dan menyeberangi gurun pasir demi cinta mereka pada seorang perempuan lantaran mereka menanggung kerinduan dan syahwat yang melebihi kadar yang mampu mereka pikul? Tidakkah kamu lihat bagaimana Fir’aun yang ketika kekuasaan dan harta yang dilimpahkan padanya melebihi kemampuannya, ia kemudian menyatakan dirinya sebagai Tuhan?
“Tidak ada sesuatu, yang baik atau buruk, kecuali Kami memiliki ruang penyimpanannya yang tak memiliki batas, akan tetapi sesuatu itu Kami berikan sesuai dengan kebutuhan.”

Ya, memang benar bahwa orang-orang ini memiliki keyakinan, tapi sayangnya mereka tidak tahu apa yang mereka yakini. Bagaikan seorang anak kecil yang memiliki keyakinan bahwa ia akan mendapatkan roti, tapi ia tak tahu dari mana asalnya roti itu. Hal ini juga terjadi pada semua yang bertumbuh. Sebatang pohon menguning dan mengering karena kehausan, tapi mereka tidak tahu apa itu haus.

Eksistensi manusia seperti bendera. Awalnya ia kibarkan bendera itu ke udara untuk menyatakan dirinya, kemudian para tentara disebarkan di bawah bendera itu dari segala arah yang hanya diketahui oleh Allah sendiri, untuk mendukung dan mempertahankannya. Kemudian ia mengemukakan pemikiran, pemahaman, kebanggaan, kebencian, impian, kemuliaan, dan harapan, secara terus menerus dan tanpa batas. Siapapun yang melihatnya dari kejauhan hanya akan melihat bendara itu, tapi siapa yang melihatnya dari dekat akan melihat esensi dan hakikat-hakikat yang bersemayam dalam diri manusia.
Seseorang masuk dan Rumi berkata: “Ke mana saja kamu? Kami sangat merindukanmu. Mengapa kau pergi jauh dari kita?
Orang itu menjawab: “Ini karena takdir.”

Rumi berkata lagi: “Kami juga telah memohon kepada Allah agar mengganti takdir-takdir seperti ini dan menghilangkannya.”
Takdir yang menyebabkan perpisahan adalah takdir yang tak tepat. Ya, demi Allah, takdir seperti itu juga berasal dari Allah, dan dalam pandangan Allah juga baik. Memang benar bahwa segala sesuatu yang dilihat dari sisi Allah akan menjadi baik dan sempurna. Tapi tidak demikian jika dilihat dari sisi kita. Perzinahan dan kesucian, meninggalkan dan mengerjakan salat, kufur dan Islam, syirik dan tauhid, semua itu baik jika melihatnya sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Akan tetapi jika semua itu dihubungkan pada kita, sungguh zina, mencuri, kufur, dan syirik adalah sebuah keburukan. Sementara tauhid, salat, dan kebaikan-kebaikan lainnya adalah baik.

Meskipun di sisi Allah semuanya adalah baik. Seperti halnya seorang raja yang memiliki penjara, tali gantungan, jubah kehormatan, uang, harta benda, kerendahan hati, perjamuan makanan, genderang, dan bendera-bendera. Di lihat dari sisi sang raja, tentu semua itu sempurna. Tapi jika dilihat dari sisi rakyat, bagaimana bisa jubah kehormatan dan penjara adalah sesuatu yang sama?

Pasal 8 Sungguh Telah Datang Kepadamu Seorang Rasul Dari Kaummu Sendiri
SESEORANG bertanya:  “Apa yang  lebih utama  daripada salat?” Salah satu jawaban yang sudah aku ungkapkan sebelumnya adalah bahwa roh-nya salat itu lebih baik daripada salat itu sendiri, seperti yang akan aku jelaskan sekarang. Jawaban yang kedua adalah bahwa iman lebih utama daripada salat, karena salat diwajibkan dalam lima waktu, sementara iman itu berkelanjutan. Salat bisa ditinggalkan karena uzur tertentu dan bisa ditangguhkan sebagai bentuk keringanan. Sebaliknya, iman tidak bisa ditinggalkan karena uzur apapun dan juga tak dapat ditangguhkan sebagai bentuk keringanan. Iman juga tetap bermanfaat meski tanpa adanya salat, sementara salat tak akan bermanfaat tanpa adanya iman, seperti salatnya orang-orang muna k. Jawaban lainnya, salat ada di setiap agama walaupun bentuknya berbeda-beda, tetapi iman tidak berubah antara satu agama dengan agama lainnya. Tindak-tanduknya, arah- arahnya, dan hal-hal lain dalam iman tak dapat tergantikan.
Ada beberapa perbedaan lain dari keimanan, tapi penemuannya bergantung pada kesadaran ruhaniah pendengarnya. Seorang pendengar itu bagaikan tepung di tangan seorang pembuat adonan, dan perkataan laksana air yang dituangkan di atas tepung itu sesuai dengan kebutuhan.
Mataku melihat pada orang lain, lalu apa yang harus aku lakukan? Lihatlah dirimu, karena cahaya matamu itu sesungguhnya adalah dirimu sendiri.

“Mataku melihat pada orang yang lain,” artinya kamu sedang mencari pendengar yang lain, selain dirimu. “Lalu apa yang harus kulakukan - cahaya matamu itu sesungguhnya adalah dirimu sendiri?”: ketahuilah bahwa kamu hanya mencari dirimu sendiri, kamu tidak akan bisa menghindari kilauan yang membutakan dari cahaya-cahaya luar sampai cahaya batinmu menjadi seratus ribu kali lebih besar.
Ada seorang lelaki yang sangat kurus, lemah, dan begitu menyedihkan seperti burung pipit. Dia begitu menyedihkan hingga orang-orang menyedihkan yang lainnya pun melihatnya dengan pandangan jijik dan bersyukur pada Allah karena sebelum melihat lelaki tersebut mereka terbiasa meratapi tubuhnya sendiri yang juga menyedihkan. Namun demikian, ia sangat kasar ketika berkata dan kerap mengatakan hal yang bukan-bukan. Suatu ketika, ia sedang berada di istana raja, tingkah lakunya sungguh mengganggu menteri;

perkataannya menjatuhkan derajat sang menteri. Datanglah suatu hari di mana menteri itu murka kepadanya, ia berteriak: “Wahai penghuni istana, kupungut makhluk ini dari tanah dan kurawat dia. Dengan memakan rotiku dan duduk di meja makanku, dengan segala kebaikanku, pemberianku, dan demi leluhurku, sekarang ia menjadi manusia. Sekarang berani sekali dia mengucapkan hal-hal itu kepadaku.”
Lelaki yang menyedihkan tadi berdiri dan kemudian berteriak: “Wahai penguni istana, kaum bangsawan, dan para pilar negeri, semua yang dia katakan sangat benar. Aku dididik dengan kekayaannya, aku makan roti darinya dan leluhurnya, hingga aku benar-benar mati dan terbalut oleh wujud yang menyedihkan, memalukan, dan hina seperti ini. Jika saja aku dididik oleh orang lain, memakan roti orang lain, dan menerima pemberian dari orang lain itu, niscaya penampilanku, sikapku, dan nilaiku akan lebih baik dari ini. Ia memungutku dari tanah, tetapi apa yang bisa aku katakan adalah: “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku adalah tanah (QS. an-Naba: 40).” Seandainya ada orang lain yang memungutku dari tanah itu, maka aku tak akan menjadi bahan tertawaan seperti yang kalian lihat sekarang.”
Seorang murid yang dididik oleh seorang kekasih Tuhan akan memiliki jiwa yang bersih dan suci. Tetapi seorang yang dididik oleh penipu dan orang muna k, dan belajar ilmu dari mereka, maka ia akan menjadi seperti gurunya itu; memalukan, lemah, hina, menyedihkan, dan tak ada jalan keluar baginya. Pikirannya tak bisa fokus dalam segala hal, dan inderanya juga sangat lemah.

“Dan orang-orang yang ka r, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (keka ran).” (QS. al-Baqarah: 257)

Di dalam wujud manusia, semua jenis ilmu menyatu dalam bentuk asalnya sehingga manusia bisa menampakkan segala hal yang tersembunyi. Seperti air jernih yang mampu memperlihatkan semua yang ada di bawahnya seperti batu, tanah, dan lain sebagainya. Ia juga mampu memantulkan benda-benda yang ada di atas permukaannya seperti sebuah cermin. Itulah hakikat sejati jiwa, tanpa pengembaraan atau latihan. Akan tetapi jika air jernih itu tercampur dengan debu atau warna-warna lainnya, maka karakteristik sejati dan ilmu itu akan hilang dari air dan akan dilupakan. Oleh karena itu, Allah SWT kemudian mengutus para nabi dan wali bagaikan air jernih untuk menjernihkan air hina dan kotor yang telah terkontaminasi dengan debu dan warna-warna baru. Saat itulah manusia akan ingat bahwa seandainya ia melihat dirinya dalam keadaan jernih, ia akan yakin bahwa pada mulanya manusia itu tercipta dalam keadaan suci. Ia juga akan mengerti bahwa sebenarnya kotoran dan warna-warna lain yang ada pada diri manusia adalah sesuatu yang datang kemudian.
Dengan demikian, manusia bisa kembali mengingat keadaannya sebelum sifat-sifat baru ini datang dan berkata:

“Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.”
(QS. al-Baqarah: 25)

Hal ini menunjukkan pada kita bahwa kehadiran para nabi dan wali adalah untuk mengingatkan tentang kondisi kita terdahulu; mereka tidak menanamkan hal yang baru dalam diri manusia. Sekarang, semua air yang kotor mengetahui air jernih itu, sembari berkata: “Aku berasal darinya, aku termasuk jenisnya, dan telah bercampur dengannya.”
Adapun air keruh yang tak mengenali air jernih itu dan menganggapnya sebagai air lain yang tidak sejenis dengannya, ia akan lebih memilih bersemayam bersama warna-warna dan kotoran agar tidak bercampur dengan lautan. Oleh karena itu, Nabi Saw. bersabda: “Yang saling mengenali akan saling mendekat, dan yang tidak saling kenal akan saling menjauh.”1 Allah SWT juga ber rman:
 
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri.”
(QS. al-Taubah: 128)

Ini berarti bahwa air yang agung itu memiliki substansi yang sama dengan air keruh dan keduanya berasal dari satu sumber, tapi air yang pertama merupakan permata di tengah-tengah air yang kedua. Air keruh yang tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari air agung itu, maka kemungkaran dan ketidaktahuannya itu bukan disebabkan oleh dirinya sendiri melainkan karena polusi dari teman yang berbuat jahat kepada air tersebut. Gambaran teman ini adalah re eksi dari air itu sendiri, sementara sang air tak tahu bahwa dirinya telah keluar dari kumpulan air agung. Apakah lautan berasal dari dirinya sendiri ataukah dari bentuk teman jahatnya ini? Hal itu disebabkan karena banyaknya percampuran. Misalnya ada seseorang yang memakan tanah, ia tidak tahu apakah yang dia lakukan itu memang merupakan sifat alaminya atau karena sesuatu yang bercampur dengan sifat alaminya itu.
Ketahuilah bahwa tiap bait puisi, tiap hadis, dan tiap ayat yang dikutip, itu seperti dua orang saksi yang memberikan kesaksian, dan di setiap tempat terdapat saksi yang sesuai dengan sifat tempat itu. Dengan cara yang sama, kita juga memiliki dua orang saksi atas harta warisan sebuah rumah, dua orang saksi atas transaksi jual beli sebuah toko, dan dua orang saksi dalam prosesi pernikahan; semua kejadian yang mereka hadiri akan memberikan kesaksian yang sesuai dengan kejadian itu. Bentuk ruhaniah kesaksian mereka itu selalu satu, tapi maknanya berbeda-beda. Semoga Allah memberikan kemanfaatan kepada kita.
“Warnanya warna darah, dan aromanya aroma minyak misk.”2

1    Ini adalah bagian dari hadis yang redaksi lengkapnya berbunyi: “Roh-roh adalah tentara yang berkelompok-kelompok. Yang saling mengenali akan saling mendekat, dan yang tidak saling kenal akan saling menjauh.” (HR. Bukhari)

 2    Potongan hadis Nabi tentang keutamaan jihad yang redaksi lengkapnya ber- bunyi: “Tidak ada seorang pun yang terluka di jalan Allah, melainkan dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan aromanya aroma minyak misk.” (H.R. Bukhari-Muslim)

Pasal 9: Tujuan Satu-Satunya

SESEORANG berkata: “Seorang lelaki ingin menemuimu.
Dia terus saja berkata, ‘Aku berharap bisa melihat Sang Guru.’”

Maulana Rumi menjawab: “Dia tidak akan melihat Guru saat ini karena dalam kebenaran hasrat yang memenuhinya, yaitu untuk melihat Guru, ada selubung yang menyembunyikan Guru dari pandangannya. Demikian juga Guru tidak akan melihatnya selama selubung itu masih ada. Dengan demikian, maka semua bentuk keinginan, kecenderungan, cinta, dan kasih sayang yang tersembunyi di hati manusia terhadap segala sesuatu—terhadap ibu, ayah, kekasih, langit, bumi, taman, istana, ilmu, perbuatan, makanan, dan minuman—juga merupakan bagian dari hasrat (kecintaan dan kerinduan) kepada Allah.
 
Semua hasrat di atas sebenarnya adalah selubung yang menutupi mata manusia. Ketika manusia telah menjalani kehidupan di dunia ini dan melihat Raja-nya tanpa ada selubung, mereka akan menyadari bahwa semua hasrat itu tak lain merupakan selubung dan tabir, dan bahwa pengembaraan sejati mereka dalam realitas tertuju pada satu hal. Semua masalah akan terpecahkan, mereka akan mendengarkan semua jawaban atas semua pertanyaan dan masalah yang ada di hati mereka, dan semuanya terlihat dengan jelas. Ini bukan cara Allah untuk menjawab berbagai pertanyaan dan masalah secara terpisah, melainkan dengan satu jawaban yang merangkum semua pertanyaan dan masalah, dan semua persoalan terselesaikan.
Seperti yang terjadi di musim dingin, di mana semua orang pergi dengan mengenakan pakaian kulit yang tebal untuk mencari tempat bernaung dari suhu yang amat dingin di dalam gua yang hangat. Demikian juga dengan pepohonan, rerumputan, dan tetumbuhan lainnya yang karena didera oleh hawa dingin menjadi tak berdaun dan berbuah; sementara tetumbuhan itu menyimpan harta bendanya dalam dirinya dan menyembunyikannya agar dingin yang menyengat itu tak mampu meraihnya. Ketika musim semi, Allah menjawab semua permohonan mereka itu dengan satu wahyu, lalu semua masalah yang beragam seperti menghidupkan, menumbuhkan, dan menggugurkan itu terselesaikan dan sebab-sebab yang beragam pun menjadi hilang seketika. Semuanya akan mengangkat kepalanya, dan menyadari penyebab malapetaka itu.
Allah SWT menciptakan selubung-selubung ini demi kebaikan. Sebab jika keindahan Allah dipersaksikan tanpa adanya selubung, maka kita tidak akan mampu untuk menahan dan menikmatinya. Melalui perantaraan selubung-selubung ini kita mendapatkan pertolongan dan kenikmatan. Lihatlah matahari di atas sana. Melalui cahayanya kamu bisa membedakan kebaikan dengan keburukan, dan menemukan kehangatan sinarnya. Pepohononan dan kebun buah- buahan yang mendapatkan kehangatan sinarnya telah menjadikan buah-buahan yang tadinya mentah, ciut, dan pahit menjadi matang, besar, dan manis. Dengan cahaya terangnya, logam-logam emas dan perak, batu akik dan batu sa r dihasilkan. Tetapi jika matahari yang memberikan banyak manfaat ini ditakdirkan untuk mendekat ke bumi, maka ia tidak akan memberikan keuntungan bagi siapapun. Sebaliknya, seluruh dunia dan setiap makhluk justru akan hangus terbakar dan hancur.
Ketika Allah hendak menampakkan Diri-Nya melalui sebuah selubung kepada gunung, Dia akan menyelubungi Diri-Nya dengan pohon, bunga, dan tumbuhan hijau. Sebab ketika Allah menampakkan Diri-Nya tanpa selubung, Ia akan membuat semua yang ada di atas dan di bawah hancur berkeping-keping. 

“TatkalaTuhannya menampakkandirikepadagunungitu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.” (QS. al-A’raf: 143)


Salah seorang lainnya ikut bertanya: “Akan tetapi, bukankah matahari juga muncul di musim dingin?”

Maulana Rumi menjawab: “Tujuan kita di sini adalah untuk memberikan contoh. Ini bukan persoalah tentang keindahan atau muatan. Keserupaan adalah satu hal, dan contoh adalah hal yang lain. Meski akal kita tidak mampu memahami hal itu, tapi bagaimana bisa akal menahan upaya ini? Bukan akal namanya jika tak mengerahkan segala daya dan menghentikan perjuangan.
Akal adalah sesuatu yang terus menerus berproses, siang dan malam, terus berpikir, berusaha, dan bekerja keras untuk memahami Sang Pencipta, meskipun Allah tidak bisa diketahui dan tidak bisa dipahami. Akal itu laksana kupu-kupu dan kekasih bagaikan sebatang lilinnya. Kapan pun kupu-kupu itu terjebak dalam lilin, ia akan lebur dan hancur. Meskipun kupu-kupu harus merasa panas dan terbakar karenanya, ia tetap membutuhkan lilin itu. Jika ada hewan lain seperti kupu-kupu yang tidak mampu terbang dari cahaya lilin, itu bukan merupakan sebuah perbandingan, tapi hewan tersebut pasti kupu-lupu itu sendiri. Namun, jika kupu-kupu melemparkan dirinya ke dalam cahaya lilin dan tidak terbakar, tentu itu bukanlah sebuah lilin.
Oleh sebab itu, seseorang yang senang berada jauh dari Tuhannya dan tidak berusaha untuk sampai kepada-Nya, maka ia bukanlah manusia. Tetapi jika ia mampu memahami Sang Pencipta, tentu saja dia bukanlah Tuhan. Manusia sejati adalah mereka yang tak pernah berhenti berusaha dan terus mengitari cahaya keagungan Tuhannya tanpa henti dan kecil hati. Sementara Tuhan akan menyerap manusia dan menjadikan mereka bukan apa-apa, sebab Dia tak bisa dipahami oleh akal siapapun.
 

Pasal 10 Apa Yang Diucapkannya Bukanlah Kemauan Hawa Nafsunya

AMIR berkata: “Sebelum Bahauddin1 tiba, anak lelaki tertuanya (Rumi) datang padaku dan meminta maaf seraya berkata, ‘Ayahku berkata bahwa dia tak ingin merepotkanmu saat kamu mengunjunginya. Beliau berkata, ‘Aku tunduk pada beragam keadaan sadar. Dalam satu keadaan aku berbicara dan dalam keadaan yang lain aku diam. Dalam satu keadaan aku mencampuri urusan orang lain, dan dalam keadaan yang lain aku menjauh dan mengasingkan diri. Sementara dalam keadaan lainnya lagi, aku betul-betul khusyuk dan menghilang. Aku tak ingin Amir datang ketika aku tidak bisa ramah kepadanya dan tak punya waktu untuk berbincang dan berbicara dengannya. Karena itu, akan lebih baik ketika aku punya waktu

 
1 Beliau adalah Bahauddin Muhammad atau Baha’ Walad (semoga Allah merah- mati beliau), ayah dari Jalaluddin Rumi. Pro l singkat beliau sudah dibahas dalam kata pengantar buku ini.

senggang dan bisa menyambut sahabat-sahabatku dan memberikan kebaikan kepada mereka, sehingga aku bisa pergi dan mengunjungi mereka.’”
Amir melanjutkan ucapannya: “Aku berkata kepada Bahauddin: ‘Aku tidak bermaksud datang ke sini agar Tuan Guru menemuiku dan berbincang-bincang denganku. Aku datang ke sini untuk mendapat kehormatan berada di antara hamba-hambanya.’ Misalnya suatu ketika Tuan guru sedang sibuk dan tidak menampakkan diri sampai membuatku menunggu lama sekali, maka ini bisa menyadarkanku betapa sulit dan menjengkelkannya jika suatu saat aku meninggalkan kaum Muslimin dan orang-orang baik menunggu ketika menghampiri pintu rumahku sementara tak kubukakan pintu untuk mereka dengan cepat. Tuan guru membuatku merasakan kegetiran itu dan telah memberikan pelajaran padaku sehingga aku tidak akan bertindak demikian lagi pada orang lain.
Maulana menjawab: “Tidak, aku membiarkanmu menunggu itu justru merupakan esensi perhatianku padamu. Dikisahkan bahwa Allah SWT ber rman: “Wahai hamba-Ku, Aku akan mengabulkan permintaanmu dengan segera ketika kalian meratap dalam berdoa, itu semua karena ratapan doamu begitu manis di telinga-Ku. Jawaban-Ku atas doamu menjadi kelu dan tak terucapkan dalam harapan-harapan bahwa kamu mungkin akan meratap lagi dan lagi, karena suara ratapan doamu begitu manis bagi-Ku.”
Misalnya, ada dua orang pengemis yang mengetuk pintu rumah seseorang. Satu di antara pengemis itu dicintai dan dinantikan kehadirannya, sementara pengemis yang satunya lagi sangat dibenci.

Pemilik rumah itu berkata pada budaknya: “Cepat kamu berikan sepotong roti kepada pengemis yang kubenci itu agar ia segera pergi dari sini.” Sementara pada pengemis yang dicintai, pemilik rumah menjanjikan akan memberi roti, dengan berkata: “Rotinya belum matang, tunggulah dengan sabar sampai rotinya benar-benar matang.”
Hasrat terbesarku adalah untuk melihat para kekasih, untuk menatap pengharapanku kepada mereka dan pengharapan mereka kepadaku. Sebab ketika para kekasih bisa saling melihat dengan begitu dekat di dunia ini, maka hubungan akan menjadi semakin kuat pada saat mereka diangkat menuju hari kebangkitan kelak. Mereka bisa saling mengenal satu sama lain dengan cepat di sana. Mereka juga akan ingat bahwa mereka dahulu bersama-sama di dunia, sehingga penyatuan mereka satu sama lain sangat erat dan membawa keriangan. Salah satu sifat manusia adalah begitu mudah melupakan kekasih. Tidakkah kamu lihat bagaimana di dunia ini kamu bisa menjadi kekasih dan sahabat seseorang yang menjadi Yusuf di matamu. Namun, hanya karena tergelincir melakukan satu perkara yang buruk saja, kau singkirkan dia dari pandanganmu dan dengan mudahnya kau melupakannya, dan rupa yang menyerupai Yusuf itu diubah menjadi seekor serigala? Seseorang yang dulu kamu lihat sebagai Yusuf, sekarang kamu lihat seperti seekor serigala. Tetapi bentuk mereka sesungguhnya tidak berubah dan masih tetap seperti yang dahulu kamu lihat. Dengan tindakan tiba-tiba itu kamu kehilangan mereka. Esok, ketika wujud manusia diubah menjadi wujud yang lain, bagaimana kamu akan bisa mengenalnya, sementara dahulu kamu tak mengenal dan memperhatikannya dengan baik?

Hikmah yang dapat dipetik dari fenomena ini adalah bahwa seseorang harus melihat orang lain dengan pandangan hakiki, melampaui batasan sifat-sifat buruk dan baik yang dipinjam oleh orang tersebut, berusaha menyelam ke dalam hakikat orang tersebut, dan memastikan bahwa sifat-sifat yang ditinggalkan oleh sebagian orang bukan merupakan sifat asli mereka.
Dikisahkan ada seorang laki-laki yang berkata, “Aku mengenal baik orang si fulan itu, akan kutunjukkan karakteristik yang membedakannya dari orang lain.” Yang lain menjawab, “Silakan, tunjukkan.” Laki-laki itu melanjutkan, “Menurutku ia adalah orang yang cerdik. Dia memiliki dua ekor sapi betina berwarna hitam.” Orang-orang berbicara dengan cara yang sama, “Aku anggap Fulan sebagai temanku. Aku mengenalnya.” Semua tanda yang membedakannya dari lainnya itu sebenarnya sama seperti tanda- tanda yang terdapat pada dua sapi betina yang berwarna hitam.
Tanda-tanda itu bukanlah ciri-ciri khusus. Bahkan tanda seperti itu tak ada gunanya. Oleh karena itu, manusia harus bisa melampaui sifat baik dan buruk orang lain dan masuk ke dalam wujud (dzat)- nya untuk melihat siapa mereka sesungguhnya. Itulah yang disebut dengan penglihatan dan pengetahuan yang sejati.
Aku heran dengan orang-orang yang berkata: “Bagaimana bisa para wali dan pecinta itu bermain-main cinta dalam dunia yang tak terbatas, yang tak memiliki tempat, gambar, dan waktu? Bagaimana mereka bisa memeras intisari dan kekuatan darinya? Bagaimana mereka bisa terstimulasi dan terpengaruh olehnya? Setelah itu semua, tidakkah mereka tenggelam di malam dan siangnya dalam cinta itu sendiri? Orang ini, yang dimabuk cinta kekasihnya, akan mendapatkan pertolongan darinya. selanjutnya ia akan mendapatkan pertolongan dan keramahan, kebaikan dan pengetahuan, kenangan dan pikiran, serta kebahagiaan dan kesedihan darinya.
Semua hal ini bera liasi pada dunia yang tak bertempat. Saat demi saat mereka terus menggali esensi dari makna-makna ini dan ia menjadi terpengaruh olehnya. Tentu saja hal ini tak akan menggugah ketakjuban para peragu. Sebaliknya, mereka justru terkesan dengan pada para wali yang menjadi pecinta-pecinta di dunia yang tak bertempat dan menggali pertolongan dari sang terkasih.
Konon ada seorang lsuf yang mengingkari hakikat ini. Hingga pada suatu hari, sebuah penyakit menyerangnya, ia menjadi lemah. Penyakit itu membebaninya dalam waktu yang lama. Kemudian datanglah seorang teolog yang bijak. Ia berkata: “Apa yang kau inginkan?”
“Kesehatan,” jawab  lsuf.

Teolog bijak itu menjawab, “Beritahu aku bagaimana bentuk sehat itu, agar aku bisa membawakannya untukmu.”
Filsuf itu menjawab: “Kesehatan itu tidak memiliki bentuk. Ia juga tidak punya cara.”
“Jika kesehatan memang tidak mempunyai sifat tertentu, lantas bagaimana kamu bisa mencarinya? Katakan padaku apa sebenarnya sehat itu?” tanya sang Teolog.

Filsuf itu menjawab: “Yang aku tahu, adalah bawa ketika kesehatan itu muncul aku akan bertambah kuat, menjadi gemuk, lebih segar, dan lebih hidup.”
Sang teolog menjawab: “Aku bertanya padamu tentang sehat itu sendiri, tentang bagaimana wujud sehat itu?”
Sang Filsuf kembali menjawab: “Aku tak tahu, ia tak bisa diuraikan.”
Sang Teolog menjawab: “Kalau kamu menjadi seorang Muslim dan kau kembali dari aliran pemikiranmu yang pertama, aku akan menyembuhkanmu, akan kusehatkan badanmu, dan akan kukembalikan  kesehatan  kepadamu.”
Nabi Muhammad Saw. pernah ditanya: “Meskipun makna- makna ini tak bisa dimengerti, apakah manusia masih bisa mengambil manfaat darinya melalui perwujudan bentuknya?” Nabi menjawab: “Lihatlah bentuk langit dan bumi. Melalui bentuk ini manusia bisa mengambil manfaat darinya, sesuai dengan kadar penglihatan mereka terhadap perilaku bintang yang bergerak, awan hujan pada waktu tertentu, musim panas dan dingin, dan zaman yang silih berganti. Perhatikan semua yang terjadi itu sesuai dengan kadar kesalehan dan kebijaksanaanmu. Kemudian, tentang awan yang tak memiliki kehidupan ini, bagaimana kalian bisa tahu kalau ia akan menurunkan hujan pada waktu tertentu. Perhatikan juga bagaimana tanah yang hanya menerima satu bibit bisa menghasilkan biji sepuluh kali lipat dari bibit yang ditanam. Intinya, adakah wujud yang melakukan semua itu? Lihatlah makna-makna itu melalui dunia ini, dan keruk isinya. Seperti halnya kamu menggunakan tubuh manusia untuk mengetahui hakikatnya, kamu juga bisa menemukan hakikat dunia dengan merenungkan perwujudan dunia itu.”
Ketika Nabi bersabda: “Allah ber rman.” Maka dilihat dari bentuknya, yang berbicara adalah bibir beliau. Tetapi bukan itulah yang  terjadi,  sebenarnya  yang  berbicara  adalah  Allah.  Ketika seseorang yang mengetahui dirinya bodoh dan tidak memiliki pengetahun tentang ucapan tertentu, tapi kemudian dari mulutnya muncul ucapan seperti itu, ia akan menyadari bahwa Dia yang sedang mengatakan ini bukanlah dia yang pertama tadi. Dia adalah Tuhan.
Demikian juga ketika Nabi Muhammad Saw. membabarkan berbagai kisah orang-orang dan para nabi terdahulu yang hidup ribuan tahun sebelum Nabi Muhammad ada, dan memberitakan yang akan terjadi di hari akhir, tentang arsy, singgasana, serta tentang kosong dan isi. Allah adalah wujud yang abadi, sementara Muhammad itu tidak abadi. Sebuah wujud yang tidak abadi tentu tidak akan mampu menjabarkan hal-hal semacam itu. Bagaimana bisa seorang yang baru (tidak abadi) bisa berbicara tentang keabadian? Dengan begitu, maka dapat diketahui bahwa bukan Nabi Muhammad Saw. yang bersabda, melainkan Allah-lah yang ber rman.
“Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm: 3-4)

Maha suci Allah dari segala bentuk dan huruf. Firmannya ada di luar huruf dan suara. Tetapi Dia mengalirkan rman-Nya dengan huruf dan suara melalui lisan siapapun yang Dia kehendaki. Di jalan- jalan, hotel, dan di tepi-tepi kolam, para pemahat mengukir patung manusia atau burung dari kayu yang kemudian dari mulutnya mengalir kan air dan tercurah ke dalam kolam. Semua orang yang berakal tentu tahu bahwa air tersebut tidak bersumber dari mulut burung kayu itu, melainkan berasal dari sumber yang lain.
Jika kamu ingin mengenal seseorang, biarkan dia berbicara. Dari perkataannya itu, kamu akan mengenalnya. Jika ada seorang pembohong, sekalipun ada seseorang yang berkata padanya, “Manusia itu dapat dikenali lewat ucapannya dan mereka berhati-hati ketika berbicara agar tak disangka macam-macam,” pada akhirnya kebohongannya akan terungkap juga. Inilah yang digambarkan dalam cerita tentang seorang anak dan ibunya. Seorang anak berbicara kepada ibunya ketika mereka berada di gurun pasir, “Di malam yang kelam, aku melihat sesosok hitam yang menakutkan seperti setan, aku menjadi sangat ketakutan.”
Lalu ibunya berkata, “Jangan takut. Jika lain kali kamu melihat sosok itu lagi, lawan dengan keberanianmu. Maka kamu akan tahu bahwa itu hanyalah halusinasimu.”
“Tetapi ibu,” kata sang anak, “bagaimana jika ibu dari sosok hitam itu memberikan nasihat yang sama? Apa yang harus aku lakukan jika ibunya menasihatinya dengan berkata: ‘Jangan ucapkan sepatah kata pun agar kamu tidak terlihat oleh anak itu.’ Lantas bagaimana aku bisa mengetahui keberadaannya?

“Tetaplah diam, lihatlah bentuknya sebagaimana adanya, dan bersabarlah,” jawab sang ibu. “Cepat atau lambat sebuah kata akan keluar dari mulutnya. Atau jika tidak, mungkin akan keluar kata- kata dari mulutmu tanpa kamu sadari, mungkin juga akan muncul sebuah ide yang terlintas dalam benakmu, yang kemudian dengan kata atau ide itu kamu bisa mengetahui kondisinya. Sebab begitulah dia memengaruhimu saat itu. Bentuk dan tindak tanduk sesuatu itulah yang menunjukkan bagaimana sesuatu yang ada di dalamnya.”
Suatu ketika Syekh Syarrozi2, semoga Allah merahmatinya, sedang duduk di tengah murid-muridnya. Salah seorang muridnya sangat menginginkan kepala kambing panggang. Lalu syekh memanggil pelayannya agar membawakan kepala kambing panggang kepada muridnyanya itu.
Seorang murid bertanya, “Syekh, bagaimana Anda bisa tahu kalau ia menginginkan kepala kambing panggang?” Syekh menjawab, “Karena aku sudah mengekang syahwat dalam diriku selama tiga puluh tahun. Kujernihkan dan kusucikan diriku dari semua bentuk syahwat hingga diriku menjadi sejernih cermin yang terpoles. Pada saat di benakku terlintas kepala kambing panggang dan aku sangat berhasrat padanya, aku tahu bahwa hal itu disebabkan oleh salah seorang yang ada di sini. Karena cermin tidak memiliki bentuk pada wujudnya; maka jika ada bentuk pada permukaan cermin itu, pasti itu adalah bentuk dari sesuatu yang lainnya.

Seseorang yang mulia dari satu kaum pernah duduk berkhalwat untuk memohon sebuah hajat kepada Allah SWT. Sebuah suara muncul kepadanya dan berkata, “Tujuan yang mulia seperti itu tidak akan pernah bisa terealisasi hanya dengan khalwat. Kalau kamu benar- benar ingin meraih tujuanmu, berhentilah berkhalwat dan temui salah seorang wali besar.”
“Di mana aku bisa menemukan wali besar itu?” tanya orang itu.

“Di masjid,” jawab suara itu.

“Di tengah keramaian manusia di masjid, bagaimana aku bisa mengenal orang yang kau maksud?” orang itu bertanya lagi.
“Pergilah,” kata suara itu, “Dia akan mengenalimu dan akan menatapmu. Tanda bahwa kau melihatnya akan muncul jika kendi airmu jatuh dari tanganmu dan kau akan pingsan. Saat itu kau akan tahu bahwa ia sedang menatapmu.”
Orang itu kemudian melakukan yang diperintahkan oleh suara itu. Dia mengisi kendinya dengan air dan memberi minum pada semua jamaah di masjid. Ia berputar dari satu saf ke saf lainnya secepat mungkin, tiba-tiba ia bersin dan kendi air itu terjatuh dari tangannya. Ia kemudian terlempar ke pojok masjid tak sadarkan diri. Semua orang pergi meninggalkannya. Ketika ia sadar, ia melihat bahwa dia sendirian di masjid itu. Ia tidak melihat wali besar yang telah menatap kepadanya di tempat itu, tapi ia sudah meraih tujuannya.

Allah memiliki hamba-hamba yang karena kemuliaannya yang besar dan kecemburuannya yang tinggi kepada Allah, mereka tak menampakkan diri mereka secara terbuka; tapi mereka dapat mengantarkan orang lain pada tujuan-tujuan mereka, dan melimpahkan berkah-berkah pada mereka. Para raja agung semacam itu jarang sekali dan sangat berharga.
Seseorang bertanya, “Apakah orang-orang agung datang di hadapanmu?
Maulana Rumi menjawab, “Tidak ada kata ‘di depan’ bagiku. Sudah lama sekali sejak aku pernah memiliki kata ‘di depan.’ Jika mereka datang, maka mereka akan datang di depan sesuatu yang berbentuk, yang menurut keyakinan mereka sesuatu itu adalah aku. Sebagian orang berkata kepada Isa as., “Aku akan datang ke rumahmu.” Isa menjawab, “Di mana rumahku di dunia ini, dan bagaimana aku bisa memiliki sebuah rumah?
Dikisahkan bahwa suatu hari Isa as. mengembara di sebuah gurun pasir saat hujan deras datang. Ia lalu berlindung di sarang serigala3 yang ada di salah satu pojok gua sampai hujan berhenti. Lalu turunlah wahyu kepadanya, “Keluarlah dari sarang serigala itu! Karena penghuninya merasa tidak nyaman dengan kedatanganmu ke rumahnya.” Lalu Isa as. berseru, “Tuhan, anak-anak serigala saja memiliki tempat berlindung, tapi anak Maryam tidak punya tempat untuk pulang.”

Maulana Rumi berkata, “Meski anak serigala memiliki rumah, tapi ia tidak memiliki Kekasih yang mengusirnya dari rumahnya. Sementara kamu memiliki Kekasih yang mendorongmu keluar. Jika kamu tidak memiliki rumah, lalu apa masalahnya? Cinta kasih dari Pengusir ini dan keanggunan dari jubah kehormatan itu jauh lebih besar melebihi seratus juta langit dan bumi, dunia dan akhirat, arsy dan singgasana, dan bahkan lebih dari itu.
Maulana Rumi melanjutkan, “Kenyataan bahwa Amir datang dan aku tidak menampakkan wajahku dengan segera hendaknya tidak perlu merisaukannya. Hal ini berhubungan dengan maksud kedatangannya, apakah untuk memuliakan diriku atau untuk dirinya sendiri. Jika tujuannya adalah untuk memuliakan diriku, maka semakin lama dia duduk untuk menungguku, semakin besar dia mendapatkannya. Tapi sebaliknya, jika tujuannya untuk memuliakan dirinya sendiri dan mengharapkan pahala, maka ketika ia menunggu dan menanggung kebosanan dari menunggu, pahalanya akan semakin besar. Adapun jika tujuannya adalah untuk kedua- duanya, maka akan terus berlipat ganda maksud kedatangannya dan makin terus bertambah. Dari situ, maka dia patut untuk senang dan bahagia.[alkhoirot.org]

LihatTutupKomentar