Bab Isim-isim yang Rafak dan Nasab
Nama kitab: Terjemah Kawakib Mutammimah
Judul kitab asal: Al-Kawakib al-Durriyyah Syarah Mutammimah al-Ajurrumiyah ( الكواكب الدرية شرح متممة الآجرومية)
Ejaan lain: Al-Kawakibud Duriyah Syarh Mutamimah al-Ajurumiyah
Pengarang Kawakib: Muhammad ibn Ahmad bin Abdul Bari Al-Ahdal (محمد بن أحمد بن عبد الباري)
Lahir: Tihamah, Yaman. 1241 Hijriah atau 1826 Masehi
Wafat: 1298 H, atau 1880 Masehi
Pengarang Kitab Mutammimah: Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdirrahman ar-Ra’iniy, yang terkenal dengan sebutan al-Hatthab.
Kelahiran: Mekkah, pada tahun 902 H/1491 M,
Meninggal: Makkah, tahun 945H/1547 M
Penerjemah:
Bidang studi: Gramatika tata bahasa Arab, nahwu dan sharaf tingkat menengah.
Daftar isi
- Bab Tentang Isim-Isim Yang Marfu’ (Rafa')
- Bab Tentang Fa’il
- Bab Tentang Naibu Fa’il
- Bab Tentang Mubtada dan Khabar
- Bab ‘Awamil Yang Masuk atas Mubtada dan Khabar
-
Bab Tentang Kalimat Yang Diserupakan Dengan Laisa (لَيْس )
- Bab Tentang Isim-isim Yang Dinashabkan
- Bab Tentang Maf’ul Bih
- Bab Tentang Isytighal
- Bab Tentang Munada
- Bab Tentang Maf’ul Muthlaq
- Bab Tentang Maf’ul Fih
- Bab Tentang Maf’ul Min Ajlih
- Bab Tentang Maf’ul Ma’ah
- Bab Tentang Hal
- Bab Tentang Tamyiz
- Bab Tentang Mustasna
- Kembali ke: Kawakib Syarah Mutammimah
Bab Tentang Isim-Isim Yang Marfu’
Isim- isim yang marfu’ ada sepuluh macam :
1.
Fa’il.
2. Maf’ul yang tidak disebutkan fa’ilnya (naib
fa’il).
3. Mubtada .
4.
Khabar.
5. Isim “ كن”.
6. Isim
dari fi’il muqarabah.
7. Isim dari huruf-huruf yang
serupa dengan “ ليس ”.
8. Khabar “ إِن ” dan
saudaranya.
9. Khabar “ لا ” nafi jinsi.
10.
Tabi’ bagi marfu, yaitu : na’at, ‘ataf, taukid, dan badal.
Bab Tentang Fa’il
Definisi fa’il
الفاعل هو : ا َ ِلإ َسم َا ْل
ٌمرفوع المذكور قبله فِعله او ما ِ ْف تأوِي ِل الفِع ِل .
gَyan ْ atau ْ
َقا َمَ ُ ْزي َد ْ : َ ْseperti َ ُsharih,ُ ُyang ُ ُ ْisim ْ adalah Fa’il
ألم
يأ ِن ل ِلين أمنوا أن تشع قلوبهم أي خشوع قلوبِ ِهمseperti: muawwal,
yang
marfu’ (pada lafaz atau pada takdir atau pada mahal) dengan fi’il yang tam
atau serupa fi’il yang wajib disebutkan terlebih dahulu dari padanya.
Kalimat
yang serupa fi’il adalah: isim fa’il, sifat musyabbahah, mashdar, isim fi’il,
amtsilah mubalaghah dan isim tafdhil.
Fa’il terbagi dua :
1.
Fa’il dzahir
Yakni kalimat yangُ َ dijadikan sebagaiَ fa’il
berupaَ
isim dzahir.
ُ َّ
ِذ ُرون , يوم
يقوم النَّاس : Contoh
2. Fai’il Mudhmar
ِن
, جاء ال ُمع
.قال الله , قال رجلا
Yakni
kalimat yang dijadikan sebagai fa’il berupa isim dzamir. Fa’il mudzmar terbagi
dua :
• Dzamir muttashil.
. َ َضربْ ُت , َ
َضربْ َنا : Contoh
• Dzamir munfashil.
Fa’il yang
berbentuk dzamir munfashil sama seperti fa’il muttashil tetapi tidak jatuh
menyertai fi’il pada ketika ikhtiyar kecuali di_hashar_kan dengan lafaz َّ
اِلا atau إنَا, dan tidak dirafa’_kan oleh fi’il
amar, mashdar, isim
fi’il amar, dan isimَ َّ fi’il ُmudhari’ akanَ tetapi dirafa’_
َ
َ ٌ َّ ْ َ .ما قام َاُِ ْلا
ُأنا , لم يقم اِلا أنا : Contoh demikian. selain oleh kan
أ قائِم
الزيدان اي يقوم: fi’il takwilَ pada ْat ُkalim dari ٌfa’il ْ َContoh َّ ْ َ
.مختلِف
ألوانه اي يتلِف ألوانه , الزيدان
Macam–macam hukum fa’il :
1.
Tidak boleh membuang fa’il, karena fa’il merupakan ‘umdah (pokok atau bagian
dari fi’il).
Dari kaidah tidak dibolehkan buang fa’il di_istisnakan
beberapa masalah, yaitu :
• Istisna
muْfarragh.َ َ
.ما قام اِلا هِند : Contoh
•
Fi’il ta’ajjub apabila menunjukkan atas terdahulu yang semisal
dengannya.
ْ
ْ ْ َ َ ْ ْ َ
.أس
ِمع بِ ِهم وأب ِص اي بِ ِهم : Contoh
• Fa’il mashdar
apabila mashdarnya tidak dibadalkanْ َ dari fi’ilnya.
. أو إِطعام ِ ْف يَ
ْو ٍم ذِ ْي مسغ َب ٍة يَتِيْ َما اي أو إِطعامه : Contoh
ُ
َ َ ْ
ُ َ َ
َ َّ ُ
َ ْ fa’il. ib Na • َ
.وق ِض الأمر اي وقض الله الأمر :
Contoh
• Apabila dibuangkan amilnya َmaka dibuangkan
pulaَ fa’ilnya.
.ق ْولك إِيَّك لِ َم ْن قال هل أك َرم َت أ َح ًدا اي أك
َرم ُت إِياك : Contoh
2. Fa’il tidak boleh mendahului
fi’ilnya atau kalimat pada takwil fi’il.
Maka jika diperdapatkan suatu
lafaz yang dzahirnya sebagai fa’il yang didahulukan maka wajib ditakdirkan
fa’il berupa dzamir
mustatir, dan kalimat yang didahuْlukan tersebut
adakala
di_i’rab sebagai mubtada, sepertَ i َم ْقَا ْزَيد , atauْ
sebagaiَ fa’il dari
. وَإِن أحد من الم ِشكِين استجارك seperti:
dibuangkan, yang fi’il
3. Fi’il harus di_mufradkan
beserta fa’il yang berbentuk tatsniyah
atau jamak.
ُ ْ َّ
قام الزيدان , قام الزيدون , وجاء المع ِذرون , وقال
الظالِمون , َ: َ َontoh ٌC
.وقال ن ِسوة
Sebagian orang Arab ada yang
menyertakan tanda tatsniah atau jamak pada fi’il apabila fa’ilnya berupa
mutsanna atau jamak.
َ َ ُ. ْقَاما ال
َزيْ َدا ِن , قَام ْوا الزيْ ُد ْو َن , ُق ْم َن
الهنْ َدات : Contoh
Dialeg ini dinamakan sebagai
dialek: الباغيث ْن أكلو (nyamuk-
nyamuk itu telah menggigitku).
4.
Wajib men_tazkirkan fi’il dan kalimat pada takwilnya apabila fa’ilnya
mudzakkar hakiki, baik mufrad atau tatsniyah atau
َ َ ْ
ٌ َ ْ َ ْ َ ُ
َ َّ ْ َ َ
ْ َّ ْ َ
َ َ ْ َّ ْ ُ
ْ َ َ jamak. َ
قام
زيد أو طلحة او الزيدان او الطلحتان او الزيدون او : َّContoh
.الطلحات
Maka
jika fa’ilnya mudzakkar majazi maka boleh men_tazkirkan
ُ ّ
َّ ُ َ َ ً ُ
َ َ ُ
َ ُ ُ ُ ْ َ
. men_taknits_kannya. dan fi’il
المذكر
مازِيا هو : مالا يقابِله أنث
Muzakkar majazi adalah sesuatu yang tidak
bermuqabalah
dengan perempuan.
. الق
َم ُر , الفلك , الك ْوك ُب , الملك عليْهِ السلأم: Contoh
5.
Wajib taknits fi’il dengan memakai ta’ yang disukunkan pada akhir fi’il madhi,
dan dengan ta’ mudhara’ah pada awal fi’il mudhari’ dengan ketentuan :
•
Apabila fa’ilnya muannats yang hakiki dan bersambung
dengan fi’ilnya, dan
fi’ilnya bukan lafazُ َم َع نِ dan ًس َبِئ .
ُ َّ َ ُ
المؤنث حقِيقِيا هو : ماله فرج .
Muannats
hakiki adalah sesuatu yang mempunyai faraj.
. قَام ْت هِنْ ٌد , َت ُق ْو
ُم هِنْ ٌد: Contoh
• Apabila disandarkan kepada dzamir
muttashil yang kembali
kepada muannast ghaib, baikْ taknistnya hakiki,
seperti : هِند
.الشمس طلعت : seperti majazi, atau قامت
Men_tazkir_kan
fi’il beserta fa’ilnya muannas hakiki adalah
ُluْ ghah yang sedَ ikit,
َyang dinamakan dengan lughah قام
Boleh meninggalkan/membuang ta’ taknist
dan menyebutkannya apabila fa’ilnya yang dzahir berupa taknist kakiki yang
berpisah
, َح َ َض القا ِض ْإِ ْم َرأَةٌ seperti , اِ
َّلا lafaz bukan dengan fi’ilnya dari
نِ ْع َم seperti ,بِئ َس dan نِ ْع
َم ba pada fi’il َn ْengaْd ersambungَb atau
majazi, taknist berupa
fa’ilnya atau ,المرأة هِند , بِئس المرأة هِند
maka tidak wajib
men_taknistkan fi’il besertanya taknisْ majazi,
baik bersambung dengan
fi’il atau berpisah. Contoh : الشمس طلع
Hukum fa’il yang mutsanna dan
majmu’ dengan jamak mudzakkar salim adalah hukum fa’il yang mufrad mudzakkar
atau muannats (yakni tidak mengubah bentuk fi’ilnya).
.قَام ال ّزيْ َدان
, قَام ال َّزيْ ُد ْو َن ,قَام ِت ال ُم ْسلِ َم َتان , قَام ِت ال ُم ْسلِ َما
ُت : Contoh
Jamak taksir hukumnya sama seperti fa’il mufrad yang
taknist
majazi disegi boleh di_tazkirkan fi’il dan di_taknistkan
(yakni
disebutkanْ ُ ta’ taknist ُdanُ ْ
dibuangkannya).َ ُ َ ّ
َ َ
.قام الرِجال , قام ِت الرِجال , قام الهنود , قام ِت الهنود :
Contoh
6. Menurut kaidah dasarnya: Fa’il mengiringi
fi’ilnya (bersambung
dengannya), kemudian
َ
disebutkan
maf’ulnya.
َو َورِث ُسليْ َمان َداو َد :. Contoh
Kadang-kadang
wajib mendahulukan fa’il karena khawatir terjadi iltibas (keserupaan) dengan
lainnya disebabkan tidak dzahir i’rab dan tidak ada qarinah yang
membedakannya, dengan bahwa fa’il dan kalimat lainnya berupa dua buah isim
maqshur, atau dua buah isim isyarah, atau dua buah isim maushul, atau dua
isim
dzamir, atau dua kalimatَّ yang di_idَ hafahkan kَepadaْ ya
mutakallim.
ضرب موس ِعيس اؤ هذا ذاك او م ْ َن ِف َا ْلدا ُرَ م ْن َعلى:
ْtohَCon َ ْ ُ َ
.الاب اؤ غلا ِم ص ِدي ِق او ضربتك
Pada contoh
tersebut tertentulah bahwa yang pertama yang dijadikan sebagai fa’il dan yang
kedua yang dijadikan sebagai maf’ul.
Terkadang dibolehkan mendahulukan
maf’ul َdan mengakhir-
kan
َّ
fa’il
karena tawassu’ pada kalam. Contoh : فِرعون آل جاء ولقد
.النذر
Terkadang
wajib mendahulukan maf’ul dan mengakhirkan fa’il
karena suatu perkara
yang menghendaki kepada demikian, yaitu:
a.
Maf’ulnya adalah dzamir yang bersambung
dengan fi’il,
. َش َغ َلتْ َنا أَ ْم َوال َنا : Contoh dzahir. isim
berupa fa’il sedangkan
Alasan wajib mendahulukan maf’ul atas fa’il pada
hal demikian, karena seandainya didahulukan fa’il maka akan lazim terjadi
infishal (terpisahnya) dzamir yang jatuh sebagai maf’ul beserta mungkin untuk
menyambungkannya.
َ ْ ْ
َ َ ْ
ُ ْ ُ ْ َ
ْ َ َ َ
َّ : َberkata ْMalik Ibnu
و ِف اختِيار لا ِييئ المنف
ِصل * إِذا تأت أن ِييئ المت ِصل
“Tidak boleh mendatangkan dzamir
munfashil pada ketika ikhtiyar apabila mungkin mendatangkan dhamir
muttashil”.
b. Terdapat sebuah dzamir yang bersambung
dengan fa’il yang
.واِذا ابتل إِبراهِيم ربه : Contoh maf’ul. kepada
kembali
Alasannya, karena seandainya diakhirkan maf’ul bih maka lazim
kembali dzamir pada lafaz ربه atas yang terakhir pada lafaz dan pada martabat,
yang mana hal seperti demikian tidak diperbolehkan.
Terkadang boleh
mendahulukan maf’ul atas fi’il dan fa’il, karena
tidُakْ َ adaْ sesuatuَ
halْ yang menghendaki bagi wajib. Contoh:
.فرِيقا كذبوا و فرِيقا
يقتلون
Terkadang wajib mendahulukan maf’ul atas fi’il dan fa’il,
karena
maf’ul ْ menganduَng shadar kalam (permulaan kalam). Contoh:
ِكرون
تن آيات فاي. Alasan wajib mendahulukan maf’ul, karena
isim syarat dan
isim istifham merupakan shadar kalam.
Catatan :
Tentang mendahulukan
maf’ul atas fa’il tidak terkhusus dengan maf’ul bih saja, tetapi maf’ul-maf’ul
yang lain juga sama, kecuali maf’ul ma’ah, maka tidak boleh mendahulukannya.
Bab Tentang Maf’ul Yang Tidak Disebutkan Fa’ilnya (Naib Fa’il) .
Naib fa’il adalah (isim) yang sharih atau muawwal ( yang marfu’ yang
tidak disebutkan fa’il_nya dan dipertempatkan isim tersebut pada tempat fa’il
pada segala hukum-hukumnya, sehingga dengan sebab demikian maka isim tersebut
menjadi marfu’ setelah dahulunya manshub, dan menjadi ‘umdah setelah dahulunya
fudhlah, maka tidak boleh membuangnya dan mendahulukannya atas fi’il, dan
wajib
men_ْ taknist_kanَ ّ fi’ilٌ ْ apabilaُ naib fa’il-nya muannast hakiki,
fi’ilnya
bahwa diwajibkan dan , ِضربت هِند , ِإذا زل ِزل ِت الأرض seperti:
tidak
dihubungkan tanda tastniyahْ َّ atau ُjamakَ ْ jika َ naib fa’il_nya
.
ِضرب الزيدا ِن , ِضرب الزيدون : seperti jamak, atau mutsanna
Sebab
-sebab dibuangkan fa’il dan dipertempatkan maf’ul pada tempatnya adalah
sebagaimana disebutkan pada sya’ir
berikut ini :
Sebab-sebab
dibuangkan fa’il :
1. Karena nadzam.
. َطابَ ْت َ
ِسيُْ َرتُ ُهَ ُ َحمِ َْد ٌ ْت َ ِسيْ َرتُ ُه : misalnya saja’, Karena 2.
3.
Untuk memperhina, misalnya : عمرو طعِن.
4. Untuk
ta’dzim fa’il dengan menjaga namanya daْriْ lisanَ atau
daripada
menyertakan dengan maf’ul, misalnya: ُر الخِنِي خلِق.
5.
Karena takut melarat atasnya, seperti: ُن َلا ف ِضرب َ
ُ, atau takut
terjadi kemudharatan darinya, seperti : َالحُِصان َق
ِس .َ ُ
6. Karena
ibham (memperwaham), misalnya : الحصان ركِب.
7.
Karena itsar (mengutamakan orang
ْ
lain).
َ
.وخلِق
الإنسان ضعِيف : seperti maklum, sudah Karena 8.
َ
9.
Karena jahil, seperi : المتاع ِسق .
10.
Untuk meringkas.
11. Mempermudah ingkar.
12.
Untuk Menguji.
13. Karena cerdiknya sipendengar.
14.
Mengkadarkan.
15. Karena cerdik.
16.
Mengkhayalkan perpalingan sehingga menjadi dalil.
17.
Untuk memelihara terjadi main-main.
18. Karena
kesesuaian, dan lain-lain.
Fi’il_nya dinamakan dengan fi’il mabni lil
maf’ul dan fi’il majhul dan fi’il mabni lil majhul dan fi’il berubah shighat
dan fi’il yang tidak disebutkan fa’il_nya.
Syarat pada fi’il_nya :
Harus
fi’il yang mutasharrif yang tam.
Maka fi’il jamid tidak boleh dibinakan
bagi majhul, begitu juga fi’il naqish menurut ulama Bashariyun.
Bentuk-bentuk
fi’il_nya :
• Apabila fi’il_nya berupa fi’il madhi maka
didhammah_kan huruf awalnya dan dikasrah_kan huruf sebelum akhirnya,
seperti:
. ِضرب
• Apabila fi’il madhi
diawali dengan ta’ zaidah maka َ didhammّ ahُ _
kan huruf huruf pertama
dan huruf kedua, seperti:.تضورِب , تعلِم.
• Apabila
fi’il madhi diawali dengan hamzah washal, maka
didhammah_kanْ ُ hurufْ ُ
pertamanya dan huruf yang ketiga,
ُطلِق , أستخرِج :
seperti
هم َزة الوص ِل ه َو : ال ِ ْت تث ُب ُت ِ ْف الإبتِداءِ َو
تحذف ِ ْف الد ْر ِج .
Hamzah washal adalah hamzah yang disebutkan pada
permulaan dan dibuangkan pada persambungan.
Apabila fi’il madhi berupa
fi’il mu’tal ‘ain maka cara membacanya ada beberapa macam :
a.
Boleh meng-kasrah_kan fa’ fi’il_nya, kemudian menjadikanْ ya’
sebagai
‘ain fi’il (walaupun asalnya wawu). Seperti : بِيع , قِيل.
b.
Boleh meng_isymam_kan kasrah kepada dhammah, yakni mencampurkan bunyi kasrah
dengan sedikit suara dhammah.
c. Boleh men_dhammah_kan
fa’ fi’il, kemudian menjadikan wawu
yang di_sukun_kan sebagai ‘ain fi’il
(walaupun asalnya ya’).
.قول , بوع Seperti:
•
Apabila fi’il_nya berupa fi’il mudhari’, maka di_dhammah_kan
huruf
awalnya dan difatah_kan huruf sebelum akhirnya, seperti: يضب .
Pembagian
Naibul fa’il
Naibul fa’il terbagi atas dua macam :
1.
Dzahir
ُ َ ُ
ْ ُ ُ
َ َ َ ُ ُ
َ ْ ُ
ُ َ َ َّ ُ ْ
َ َ
وَإِذا ق ِرئ القلرآن , ضرِب مثل , ق ِض الأمر , قتِل الخراُصَوُن ,
:ُontoh َC
. يعرف المجرِمون
2.
Mudzmar Contoh: َت
ُ ِضربْ
ُ
ِضربْ َنا ,
ُت ,
ُ ِضربْ
,
dan lain-lain.
Lafaz–lafaz yang dijadikan sebagai naib
fa’il
Fa’il dapat diganti kedudukannya oleh salah satu dari lima perkara
:
a. Maf’ul bih
Maf’ul bih merupakan asal dari
naib fa’il, namun maf’ul yang kedua dari bab ظن tidak boleh dijadikan sebagai
naib fa’il, begitu juga maf’ul yang ketَiga dari bab “ أعلم ”, dan maf’ul yang
kedua dari bab أعطى, jika dapat menjatuhkan dalam
talabbus (keserupaan).
ُ ُ ْ َ ُ ْ َ
َ ُ
أصله قض الله الأمر : Contoh
b.
Dzaraf (zamani atau makani) Syaratnya :
.ق ِض الأمر
•
Dzaraf yang mutasharrifah, yakni kalimat yang dijadikan
sebagai naib
fa’il kadang-kadang dipakai َ sebُagaiَ ْ dzaraf
dan kepada lainnya. Maka
keluarlah lafazثم ْ هنا , ِعند , إِذا
, dan tiap-tiap
kalimat yang melazimi bagi idhafah.
• Mukhtash, yakni
dzaraf yang menunjukkan kepada yang
tertentu. َ Makَ a kْeluarlahَ dzaraf
yang mubham, seperti
ُ َ.وق َ َت
ُ, َ ِحين , نا ْ َحيةَ َ, َجانُِب :رمضان dan
أمامك Lafaz .جلِس أمامك , ِصيم رمضان Contoh:
merupakan dzaraf yang
mutasharrifah, karena pemakaiannya tidak terkhusus sebagai maf’ul fih (dzaraf)
tetapi dipakai juga
sebagai fa’il, maf’ul, idhafah dan lainnya. َ Lafaz
َك َمام أَ mukhtash
dengan idhafah, sedangkan lafaz رمضان mukhtash dengan
‘alamiyah.
c. Jar dan majrur Syaratnya :
•
Huruf jar yang tidak berfaedah bagi ta’lil.
•
Huruf jar yang tidak lazim wajh yang satu dalam isti’mal
(pemakaian),
seperti مذ yang terkhusus dengan zaman, dan
ربَyang terkhusus denganَّ َ
nakirah. َّ َ
zaman dzaraf adalah لما Lafaz .لما سقِط ِف أ ْ َي دِي ِهم :
Contoh
dengan makna ِحين menurut pendapat sebagian
ulama nahwu,
sedangkan menurut jumhur ulama, bahwa lafaz َلاَّ adalah
huruf
rabith bagi wujud sesuatu dengan sebab wujud lainnya. Menurut
ikhtiyar Ibnu Malik: “Yang dijadikan sebagai naib fa’il adalah majmu’
(kumpulan) dari jar beserta majrur. Sedangkan
pendapat yang tahqiq, yang
dijadikan sebagai naib fa’il adalah
majrur saja, karena majrur adalah
maf’ul pada hakikat, sedangkan huruf jar didatangkan untuk menyambungkan makna
fi’il kepada isim.
d. Mashdar (maf’ul muthlaq)
Syaratnya :
• Mutasharrif, yakni mashdar yang tidak
melazimi bagi nasab atas mashdariyah. Maka keluarlah seumpama lafaz اللهِ معاذ
dan اللهِ سبحان , karena lafaz tersebut melazimi nasab atas mashdariyah.
•
Mukhtash, yakni mashdar yang berfaedah
ziyadah
(bertambahَ)ْ َatas makna amilnya, adakala secara pasti,
ِضرْ
َب: rtiْsepe idhafah, dengan atau , ِضرب ضرب َتا
ْ ِن ُ seperti:
, َ ِِس َي ُالسي ْ seperti: lam, dan alif dengan atau
,ضرب الأ ِميِ
فأذا نفِخ ِف الصورِ: seperti dzahir, yang washaf َdengan
atau
: ْدِة ِح َوا َة ْنفخ , ِ atauُ dengan washaf
yangِ ditakdirkan, seperti
Maka . فمن ع ِف له من أ ِخيهِ شيئ اي عفو ما من
ِجهةِ أ ِخيه
keluarlah mashdar yang ketiadaan mukhtash (mashdar yang
tidak berfaedah bertambah makna) yang dinamakan dengan mashdar muakkad.
e.
Jumlah
Jumlah menjadi naib fa’il terkhusus dengan bab
saja,
الق ْو ُل
ketiadaan yang muradif (bersinonim) dengannya.
Seperti lafaz
.الوح , الإلهام
. َوقِيْ َل ل َّل ْي إِ
َّت ُق ْوا َما َذا َأنْ َز َل َر ُّب ُك ْم : Contoh
Pada dasarnya
tidak boleh menjadikan selain maf’ul bih sebagai naib fa’il apabila ada maf’ul
bih, tetapi tertentu/wajib yang dijadikan sebagai naib fa’il adalah maf’ul bih
tersebut, karena maf’ul bih sangat erat kaitannya dengan fa’il disegi tawaqquf
(terhenti) memahami makna fi’il atasnya.
Sedangkan ulama kufiyun
memperboleh menjadikan selain maf’ul bih sebagai naib fa’il ketika ada maf’ul
bih. Pendapat tersebut dipilih oleh Ibnu Malik, karena warid sima’ (dengar)
tentang demikian.
Apabila fi’il yang dibinakan bagi maf’ul berupa fi’il
yang muta’adi bagi dua maf’ul yang asal keduanya mubtada dan khabar, maka
terta’yin (tertentu/mesti) yang dijadikan sebagai naib fa’il adalah
maf’ul
yang pertama menurutَ pendapat ashah dan dinasabkan
maf’ul yang kedua,
seperti: قائِما زيد َن ْ َظ , atau asalnyaِ buْ kanَ dari
أع ِطى زيد
درهماseperti: ,أعطى ُbab َseperti ًkhabar, dan َmubtada
. ك ِس زيد ثوبا :
seperti , كس danبَاب ال ْ ُمبْ َت َدإِ َوا ْ َلخ َبِ
Bab Tentang Mubtada dan Khabar
Penamaan bab ini dengan nama mubtada dan khabar merupakan penamaan yang
masyhur, sedangkan Imam Sibawaihi menamakannya dengan al-mabni dan al-mabni
‘alaih, dan ulama mantiq menamainya dengan al-maudhu’ dan al-mahmul, dan ahli
balaghah menamainya dengan musnad dan musnad ilaih.
Mushannif
mengkhirkan pembahasannya dari bab fa’il dan naib fa’il, karena amil mubtada
dan khabar adalah ma’nawi sedangkan fa’il dan naib fa’il amilnya lafdzi, dan
karena berdasarkan
sebuah kaidah :.ما كن ع ِمله لف ِظيا أقوى ِمما ع ِمله
معنوِي.
“Sesuatu yang amilnya lafdzi lebih kuat daripada sesuatu yang
amilnya maknawi”.
A. Mubtada’
Definisi
mubadaَّ’
المبتدأ هو : الإسم المرفوع العارِي ع ِن
العوام ِل اللف ِظيةِ .
Mubtada adalah (isim) yang sharih atau muawwal
(yang marfu’) pada lafaz atau pada takdir atau pada mahal (yang terbebas/
sunyi
dari amil-amil lafdzi ).
كن وأخواتِها , إِن وأخواتِها , ظن
وأخواتِها: yaitu lafdzi Amil-amil .
Maka keluar
dengan qayid isim
ْ ْ
oleh fi’il dْ an
ُ huruf danْ jum
lah.
َ
َ َ
سواء علي ِهمdan تسمع
ِبالمعِي ِد خي ِمن أ ْنَ ْت َرا ْه َ: n َ ُucapa َAdapun ْ َ ُ ْ
tersebut
jumlah bahwa benar yang اِستغفرت لهم أم لم تستغفِر لهم
dipalingkan dengan
mashdar, bukanَ jumlah itu ُ yangَ dijadikan
sebagai mubtada,
maka takdirnya:
.سواء
Pembagian Mubtada’
ِسماعك
dan
إِستِغفارك
وعدمه
Mubtada terbagi atas dua macam :
1.
Mubtada berupa isim dhamir
Dzamir yang dimaksud disini bukanlah dzamir
muttashil, tetapi dzamir munfashil dengan ketentuan wajib muthabaqah (sesuai)
dengan khabar disegi mufrad, tasniyah, jamak, tazkir, dan
taknist.
ِه , هما , هن , انت , انتما , munfashil: Dzamir .انتم , انت , انتما ,
انت , انأ ,
هو , هما , هم ,
2.
Mubtada berupa isim dzahir Mubtada dzahir terbagi dua :
a.
Mubtada yangُ mُemilikُi khabar. َ
.الله ربنا , محمد رسول اللهِ :
Contoh
b. Mubtada yang tidak ada khabar, tetapi baginya
terdapat marfu’ (fa’il atau naib fa’il) yang bertempat pada tempat khabar.
Syarat marfu’ tersebut harus isim dzahir, atau dzamir munfashil.
Kalimat
yang merafa’kanَ bagi yang terpadai dari khabarَ
adalah isimْ ُ fai’l,
seperti: زيد أقائِم , dan isim maf’ul,ْ seperti: َما و
,ما حسن وجهه :
seperti َmusyabahah,ْ َsifat dan ,مضوب العمران
dan isim tafdhil, seperti:
أخوك منك أجمل ما , dan isim jamid yang
muaَwwalْ َ dengan musytaq seperti
al-mansub (nisbah), seperti:
أنت ِش قر ما.
Kalimat-kalimat tersebut menjadi amilnya dengan
ketentuan:
َم
َا ْقَ َائِ ٌم َالز ٌيْ َدانseperti: huruf, dengan ُnafi oleh َ didahului
Apabila •
ليس قائِم: seperti fi’il, atau ,ما مضوب العمران : seperti ُatau
,
.العمران
• Terdahuluَ hurufٌ istifhamَ ,
seperti: زَيْدٌ ٌم ََقائِ أ, atau isim istifham,
.هل مضؤب العمران
seperti:
Syarat-syarat mubtada
Tidak boleh membuat mubtada dari
kalimat nakirah, kecuali ada musawwigh (sebab yang menghendaki untuk ibtida’
dengannya karena sedikit ibham padanya ketika terdapat musawwigh sehingga sah
menghukumkan atasnya), karena tujuan dari meng_khabarkan adalah untuk memberi
faedah. Faedah tersebut ternafi apabila mubtadanya berupa isim nakirah.
Jumlah
musawwigh sangatlah banyak. Menurut abdullah bin Abdur Rahman bin ‘Aqil dalam
kitab syarah alfiah_nya, jumlahnya mencapai 24 buah, dan Ibnu ‘Ashfur dalam
kitabnya dikatakan hampir mencapai 30 buah, diantaranya :
•
Terdahulu nafi atau istifham atas nakirah yang akan dijadikan sebagai
mubtada.
Maka boleh meng_ibtida’ dengan nakirah ketika itu, karena
nakirah apabila jatuh pada siyaq nafi berfaedah umum afrad dan syumul afrad
sehingga terta’yin dan terkhususnya afrad dengan
demikian
syumulَ (melengkapi). ْ َ
َ
َ ُ ٌ َ ٌ
.ما رجل
قائِم , هل رجل جالِس , أإِله مع اللهِ : Contoh
•
Nakirah yang akan dijadikan sebagai mubtada disifatkan dengan satu sifat yang
dapat menghasilkan takhshish. Sifat tersebut baik
disebutkan
atau dibuangkan.
ْ
ٌ
َ ْ ُ
.ولعبد مؤ ِمن خي , السمن
ِمن ِوان بِ ِدره ٍم اي ِمنوان ِمنه : Contoh
Termasuk َ kedaْlamَ washafَ
nakْirahٌ ْadalah tashghirnya nakirah,
. رجيل ِعندك اي رجل حقِي ِعندك
seperti:
• Nakirah yang akan dijadikan sebagai mubtada
di_idhafahkan kepada nakirah yang lain, atau kepada ma’rifah, yang mana
mudhafnya merupakan kalimat yang tidak ma’rifah dengan
sebab
idhafah. َ
َي ْو ُد ,َ: ontohًC
ْلا
َ
َلا ْي ُب َخل َّ ُ, غَ ُّيكُ
ِمثلك
ٍت
كتبهن الله ,
خس صلوا
.ح ِس ْب ُنا اللهَ ,ْ
ُأيك َم ْزادته َه ُِّذهِ إِيمانا
Lafaz أي , حسب , غي , مثل
merupakan kalimat yang tidak
ma’rifah dengan sebab idhafah, karena
kalimat tersebut selalu dalam keadaan ibham.
•
Khabarnya berupa dzaraf atau jar dan majrur yang didahulukan atas nakirah,
dengan syarat keduanya merupakan kalimat
mukhtash.
ْ
َ
ِغشاوة: Contoh
.
ِف الدار إِمرأة , ولدينا
مزِيد , وعلى أبصارِهِم
ِعندك رجل ,
Tanbih
:
Al-fakihi mengutip dari sebagian ulama “bahwa perputaran pada sah jatuh
kalimat nakirah sebagai mubtada adalah atas
hasilnya
faedah. Maka apabila faedah telah hasil maka dapat dikhabarkan dengan serimana
nakirah tanpa terhenti atas wujudnya musawwigh”.
Kadang - kadang mubtada
pada bentuk yang dzahir bukan
isim tetapi mashdarَ yang ْ di_takwil
ْ(dipalingkan)ُ ْdari ْنْ َأَ َ beserta
.وأن تصوم خي لكم اي صومكم خي لكم
: Contohnya fi’il.
B. Khabar
Definisi
khabar
ّ
ْ
ُ
َّ َ
ا َلخ َ ُب ه
َو : الج ْز ُء الذ ِي تتِ ُّم بِهِ الفائِ َدة َم َع ُمبْ َتداء.
Khabar
adalah bagian yang dapat menyempurnakan faedah
kalam beserta mubtada yang
terdapat khabar.
Maka keluarlah sesuatu yang sempurna faedah kalam
beserta selain mubtada, seperti fa’il dan naib fa’il, dan marfu’ yang terpadai
dengan sesuatu yang menempati pada tempat khabar, seperti :
.ماقائِم
الزيدان
Pembagian khabar
Khabar terbagi atas dua macam :
1.
Khabar mufrad
Mufrad yang dimaksudkan disini adalah sesuatu yang
berlawanan dengan jumlah dan serupa jumlah. Sedangkan dalam bab i’rab yang
dimaksudkan dengan mufrad adalah isim yang berlawanan dengan tastniah dan
jamak. Dan dalam bab nida’ dan laa nafi jinsi maksud mufrad adalah sesuatu
yang berlawanan dengan mudhaf dan serupa mudhaf. Dan dalam bab’alam maksud
dengan mufrad adalah isim yang berlawanan dengan murakab. Khabar mufrad wajib
muthabaqah (sesuai) bagi mubtada disegi mufrad, tastniah, jamak, tazkir dan
taknist ketika memungkinkan.
.زيد قائِم : Contoh
Khabar mufrad
terbagi dua :
• Khabar berupa isim musytaq
Jika
khabar mufrad berupa isim musytaq maْkaَ mengaَndung
dzamir yang kembali
kepada mubtada, misalnya : أبوه قائِم زيد .
• Khabar
berupa isim jamid
Jika khabar mufradَ beْrupa isim jamid maka tidak
mengandung
dzamir, misalnya : ٌخوك أ َّد زُي, ْ kecuaَli ٌ apabila
dipalingkan kepada
.زيد أسد اي شجاع : seperti musytaq, isim
2.
Khabar ghairu mufrad
Khabar ghairu mufrad terbagi tiga :
a.
Jumlah (khabariyah dan insyaiyah)
Wajib menyertakan jumlah dengan rabith
yang mengikat jumlah dengan mubtada’. Dan jika tidak diperdapatkan rabith,
maka jumlah tersebut ajnabiyah (tidak ada keterkaitan dengan mubtada) sehingga
tidak sah untuk dikhabarkan dengan mubtada. Namun jika jumlah tersebut
merupakan ‘ain mubtada maka boleh terlepas dari rabith.
Pembagian
rabith
• Dzamir
Dْzamirَ merupakan asal dari
rabith, ُbaikَ disebutkanَ , seperti:ٌد َزيْ
.وك وعد الله اي وعده
seperti: dibuangkan, atau , قام أبوه
• Isim
isyarah.
َ َ
.و ِلاس التقوى ذلِك خي :
Misalnya
• Mengulangiَ mubtadaُ dengَan lafadz_nya.
:
seperti maknanya, dengan atau ,القارِعةْ ُماال َق َارِ َعُ ْة َ perti:ُSe
.الص
ِديق سبق أبو بكز الأمة
• Lafaz yang َ umumَ yang
ُmencakupi mubtada. ْ ُ َ َ ْ
ُ َ َ ْ َّ َّ
إِن
ا ِلذين آمنوا وع ِملوا الصا ِلحات أنا لا ن ِضيع أج َر َمَن أ َح ْ ُسن ْ:
َntohُCo
.عملا , زيد نِعم الرجل
Pembagian jumlah
Jumlah terbagi
atas dua macam :
• Jumlah ismiyah
Jumlah
ismiyah adalah jumlah yang dimulai dengan isim, seperti
. زيد جارِيته
ذاهِبة :
• Jumlah fi’liyah
Jumlahَ fi’liyahَ
adalahُ ْ ُjumَlahٌ ْ yang dimulai dengan fi’il. Seperti:
.زيد
قام أبوه , وربك يلق ما يشاء
Jumlah fi’liyah terbagi tiga :
ْ
ُ
.زيد إِ َ ْ ٌ ِضرب َه ا َّو َلا ُت ْ ِض َب َّه ُ seperti:
thalabiyah, Jumlah
زيد َو ْا ٌللهِ ْلت َكرِ َمنَه seperti: qasamiyah,
Jumlah
Jumlah syarthiyah, seperti: جآءك إِن زيد.
b.
Syibhu jumlah (serupa jumlah)
Serupa jumlah terbagi dua :
•
Dzaraf (zaman dan makan)
Syaratnya: Bukan dzaraf dari ghayah, seperti
lafaz: َق َفوْ
قَبْ ُل , بَ ْع ُد
َت
ْ َت apabila dibuangkan mudhaf ilaih dan diniatkan maknanya,
karena
ketika itu dzaraf tersebut dibinakan atas dhammah, sehingga tidak boleh
dijadikan sebagai khabar, dan shifat, dan
hal, dan shilat.
ْ
.زيد
ِعندك , السفر غدا , والركب أسفل ِمنكم : Contoh
• Jar
dan majrur
Syaratnya harus ٌtam, sehingْga bisa dikhabarkan untuk
mubtada.
.الحمد ِللهِ , زيد ِف الدارِ : Contoh
Dzaraf dan jar
beserta majrur apabila jatuh sebagai khabar atau shilah atau shifat, atau hal
maka dimuta’alaq_kan dengan kalimat
yang wajib dibuangkan. Kalimat yang
dibuangkanْ terْsebut
حصول , اِستِقرار , كو ٍن , ثبو ٍت
seperti: umum, harus ُkeadaannya
وقوع , ٍد وجو ,. IbnU Malik mengatakan
bahwa pendapat yang paling rajih bahwa muta’alaq yang ditakdirkan pada selain
shilat adalah shighat isim, maka oleh karena demikian muta’alaq yang
ditakdirkan
pada contoh diatas adalah مستقِر او كئِن .
Ketentuan lain
dari khabar
Dzaraf zaman tidak boleh dijadikan khabar untuk zat
(isim
zat). Maksud dengan zatْ adalahَ sesuatu yang berdiri sendiri.
Maka tidak
boleh dikatakan اليوم زيد karena tidak menghasilkan faedah disebabkan tidak
terkhususnya zat dengan satu zaman ketiadaan zaman yang lain. Namun apabila
menghasilkan faedah, yakni mubtada merupakan lafaz ‘am dan zaman merupakan
lafaz
khas maka boleh mengkhabarkan dengannya karenaَ َhasilَ faedahَ
dengan
َsebab ُter_takhsis_nya zaman, seperti : , رمضان شهرِ ِف نحن
.الناس ِف
زمان طيِ ٍب
Dzaraf zaman cuma boleh dijadikan khabar untuk makna
(isim
makna). Maksud dengan makna adalah َ seْsuatuَّ yang tidak
. الصوم اليوم
, السفر غدا: Contoh sendirinya. dengan berdiri
Boleh berbilang-bilang
khabar beserta mubtadanya satu, karena khabar sama seperti na’at, yang mana
sesuatu yang satu boleh di_na’at_kan dengan na’at yang berbilang-bilang, dan
dikarenakan khabar merupakan mahkum bih atas mubtada dan tidak tertegah
menghukumkan atas sasuatu yang satu dengan
ْ ٌ
َ ٌ َ
ٌ َ ُ َ ْ َ ُ
ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ ُ
ْberbilang-bilang. yang hukum َ
ُ ْ ُ
Conto
ِ
ِجيد
: hَ
ِعر , وهو الغفور الودود ذو العر ِش الم
زيد
كتِب شا
.فعال لما يرِيد
Mendahulukan Khabar
Pada
dasarnya khabar diakhirkan dari mubtada karena khabar didatangkan untuk
menyatakan keadaan mubtada, sedangkan yang menunjukkan atas keadaan suatu zat
terakhir dari padanya secara tabi’at.
Terkadang
ِ ْف
الدارِ زيد seperti:
boleh mendahulukan
khabar atas mubtada,
.
Terkadang wajib
mendahulukan khabar pada empat masalah,
yaitu :
•
Kalimat yang dijadikan sebagai khabar merupakan shadar kalam, seperti
isim-isim istifham.
.اين زيد : Contoh
•
Dihashar_kannya mubtada.
ْ
.إِن َما ِعن َد َك َزيْ ٌد : Contoh
•
Pada mubtada terdapat dzamir muttashil yang kembali kepada
khabar.
ْ
َ َ ُ ُ ْ َ ْ َ ُ َ َ
.أم
على قلو ٍب أقفالها : Contoh
• Mengakhirkan
khabar dapat menjatuhkan dalam talabbus
(kesalah
pahaman) yang dzahir.
Contoh: ٌل ُج
َر الدارِ ْف ِ .
Pada contoh tersebut diwajibُkan
mendahulukan khabar
karena seandainya dikatakanِف رجل
الدَّارِakan iltibas
khabar dengan shifat, karena ihtimal ketika itu bahwa jumlah jar dan majrur
sebagai khabar dan sebagai shifat bagi lafaz رجل .
Membuang mubtada dan
khabar
Terkadang boleh membuang tiap-tiap dari mubtada dan khabar ketika
wujud qarinah yang menunjukkan atas demikian
yang
dibuangkan.
ُ
سلام قوم من ِكرون َاَ ْيٌ َسلا ٌم عليكم أنتم قوم
َ َم ْن ِكرون: Contoh
danَ sepertiَ ucapan نعم pada jawaban قائِم أزيد
yang takdirnya :
.نعم زيد قائِم
Wajib membuang tiap-tiap dari mubtda
dan khabar pada empat masalah :
1. Apabila dikhabarkan
untuk mubtadaَ denُganَ na’atَ yangْ َmaqthu’
مررت َبِ َزيْ ِدُ ال َك
ِْريم ا َي ْه ُو ال َ ْكرِي ُم َ: seperti memuji, maksud karena
atau , َم
َر ْر ُت بِع ْم ٍرو ْ ال ْلثِي ْم ُ اَ ْي ُه َو اْللثِْيم ْ: ُ seperti
mencela, atau ,
.مررت ِبزي ِد ال ِمس ِكين اي هو ال ِمس ِكين : seperti
sayang, kasih
2. Apabila dikhabarkan untuk mubtada
dengan yang dikhususkan
dengan mْ emujiْ atasْ َ
salahَّ satu dari dua macam pada i’rabnya,
dengan dikhususkan yang ُatau
َ,نٌِع َم ْال ُر َج َل ز َي ٌد اي هو زيد seperti:
.بِئس الزجل بكر اي هو
بكر : seperti mencela,
3. Apabila dikhaَbarkanْ untukْ
ِ mubtadaْ denganْ qasamَ ْ yang َّsharih,
. ِف ذِم ِت لأفعلن اي ِف
ذِم ِت ي ِمين او ميثاق او عهد لأفعلن seperti:
4.
Apabila dikhabarkan untuk mubtada dengan mashdar yang
didatangkan
sebagaiْ badْalَ (ganti) dari mْ elafadzkan dengan fi’il
mashdar,
contoh:
Membuang khabar
.صب جمِيل اي ص ِبِي صب جمِي
ٍل
Wajib membuang khabar pada empat perkara:
1.
Sesudah lafaz َلوْلاَ yang menunjukkan atas tertegah sesuatu
karena
wujud lainnya.
ُ
ْ
َ
َلو ْلا ُ أنت َم ْ لكنا ُم ْؤ ِمنِ َ َينَ ْا ُي ل ْو َلا ْ َأ
َنتم َ َمو َج َدون , ْ َلو ْلا َقوَم ْك َ: ْontohُ ْC
اي لولا
أنتم صددتمون
ِد إِبراهِيم
قواع
على
الكعبة
لنيت
ِد
بِكف ٍر
ح ِديثو عه
2.
َKhabar yangُ jatuh sesudahَ
qasam sharih.
ُ ْ َّ
َ
القسم الصيح هو : ما يعلم بِمجردِ لف ِظهِ َّك ْون ا َلنا ُ ِْط َِق
ْبَِهِ ُ مق َّ ِسم ْا لِ َك َو ِن ذلِك
اللف ِظ لا يستعمل اِلا ِف القس ِم
.
Qasam sharih adalah: Barang yang dapat diketahui dengan semata-mata
melafadzkannya bahwa keadaan orang mengucapkannya telah bersumpah, karena
lafaz tersebut tidak
dipakai kecualiَ padaَ
sumpah.
َ
َ
ْ َ
.لعم ُرك أن ُه ْم ا ْي لعم ُرك قس ِ ْم Contoh:
3.
Khabar yang jatuh sesudah wawu yang meng_‘ataf bagi isim
yang
lain yang ْ berfaedah ma’iyaُh (menyertai).
ُ ُّ
.ك
َصانِ ٍع َو َما َصن َع تق ِدي ُرهُ ك َصانِ ٍع َو َصن َعت ُه َمق ُر ْونان :
Contoh
4. Khabar yang jatuh sebelum hal yang tidak sah
menjadi khabar
dari mubtada sebelumnya.
َ
ً ْ
ْ ْ
َ ْ ً َ
.ضر ِب زيدا قائِما اي حاصل إِذا كن قائِما : Contoh
بَاب
الْ َع َوام ِل ال ِت تَ ْد ُخ ُل َ َعلى ال ْ ُمبْ َت َدإ َوا ْ َلخبِ
Bab Tentang ‘Awamil Yang Masuk Atas Mubtada dan Khabar
‘Awamil yang masuk atas mubtada dan khabar dinamakan dengan nawasikh atau
nawasikh ibtidak (yakni amil yang mengubah kedudukan mubtada dan khabar).
Nawasikh
ibtida’a ada tiga macam :
1. Amil yang merafa’_kan
mubtada dan mensab_kan khabar, yaitu
lafazَ كن dan saudaranya dan
huruf-huruf yang serupa dengan
ليس, dan fi’il muqarabah.
2.
Amil yang nenasab_kan mubtada dan merafa’_kan khabar, yaitu
:
إِن dan saudaranya dan لا nafi jinsi.
َ َّ
3.
Amil yang menasab_kan mubtada dan khabar, yaitu saudaranya.
II
ظن dan
Fasal Tentang Kana َ(كا ن) Dan Saudaranya
Lafaz Kana َكا ن dan saudaranya berfaedah merafa’kan mubtada,
karena
menyerupakannya dengan fa’il dan dinamakan mubtada tersebut sebagai isimnya,
dan menasabkan khabar (yang bukan jumlah thalabiyah dan insyaiyah) karena
menyerupakannya dengan maf’ul, dan dinamakan khabar tersebut sebagai
khabarnya.
Pembagian َن َك dan saudaranya
Fi’il ini
terbagi atas tiga bagian:
A. Beramal marafa’_kan
mubtada dan menasabkan khabar dengan tanpa syarat.
Jumlahnya ada delapan,
yaitu :
َ
1. كن menunjukkan atas berwashaf isim
dengan khabarnyaَ
padaَ zaman ُ madhi, adakala secara istimrar, seperti:
ْكن َو
ل َمseperti: (terputus), inqitha’ beserta atau َ ,ا ُ ْلله َغ ْف
ًو َرا ْر ُ ِحْيًما
كن seperti: keduanya, bagi ihtimal atau ,يكن شي َأ ْ
ٌم ُذ ْكورًا
.زيد م َب ِصا
2. أمس menunjukkan
kepada sebut khabar bagi isimnya mulai
dari waktu sesudah tergelincir
matahari hingga pertengahan
malam.
3. َح َب أص
menunjukkan kepada sebut khabar bagi isimnya mulai
dari waktu tengah
malam hingga tergelincir matahari.
4. أضح menunjukkan
kepada sebut khabar bagi isimnya mulai dari terangkat matahari kadar segalah
hingga
tergelincir matahari.
5. ظل menunjukkan
kepada sebut khabar bagi isimnya mulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari.
6. بَات menunjukkan kepada sebut khabar bagi
isimnya pada
َ َ َ ْ
َ َ ْ َ
َ َ ْ
َ َ َّ. hari َmalam
datang
terkadang كن , أمس , أصبح , أضح , ظل , بات Lafaz
dengan makna َصارَ
sehingga lafaz tersebut tidak diwadha’_kan
bagi menyertakan jumlah dengan
waktu-waktunya, tetapi lafaz tersebut menunjukkan atas berwashaf isim
dengan
khabar secara mutlak.
7.
َصار menunjukkan kepada berpindahٌ isimnya dari satu
sifat
kepada sifat yang lain, seperti: فقِيها زيد صار , atau dari satu
hakikat kepada hakikat yang lain, seperti: خزفا الطين صار ,
dan
menunjukkan atas zaman wujud bukan zaman madhi.
Kalimat yaَ
ngَ semَ akna dُ engan َصار َ
adalah :
َ
َ َ
آض , َر َج َع , عد , اِ ْس َت َحال , ق َع َد , َحا
َر ي ْو ُر , اِ ْرتد , تح َّو َل َ, َبق , َآل
, غدا , َر ََو ْ َح .
8.
ليس menunjukkan atas nafi khabar atas isim diketika itu pada zaman hal secara
mutlak, dan pada zaman madhi dan
mustaqbal diketika wujud qarinahَ َ
yangً ْ menuْnjukkan atasَ
demikian
َ
َبِْنِ
ُع ْمتِهَِ : tohَCon .ْ
ًحتم
ْصب
ِحيما
, فأ
وكن الله غفورا ر
.إِخ َوانا , ليسوا س
َواء , ظل وجهه مسودا
B. Beramal me_rafa’_kan mubtada
dan menasabkan khabar dengan syarat terdahulu nafi atau nahi atau doa atau
istifham. Sehingga apabila tidak terdahulu yang demikian maka fi’ilnya menjadi
fi’il tam bukan fi’il naqish.
Jumlahnya ada empat, yaitu :
َ
ْ َ ُّ
. يست ِمر makna dengan ي َزال َya
ُari’_nْmudh yang زال 1.
Contoh : ُ ْين
َمخَتلِ
َفِ ُ
.ولا يزالون
َ َ َّ ُ َ
Adapun
يزول زال dengan makna يتحول maka tidak beramal
merafa’kan isim dan
menasabkan khabarَ tetapi sebagai fi’il
lazim. Begitu juga halnya dengan
يزِيل زال yang bermakna
يتمي tetapiَ sebagaَ i ْfi’ilُ َ yangٌ ْ
muta’adi bagi satu maf’ul,
.زال زيد ضأنه من معزِهِ اي
ميه seperti:
َفتِ َئ 2.
ْ َ ْ َ
َ َ ْ ْ
َ ْ َ
برِح 3. َ
َح عليهِ عكِفِين: Contoh
َ
َ لن ن َب
َ َ
ْ َ ُ
.زال إِنفاق makna dengan برِح dan فتِئ
seperti sama اِنفك 4.
Kalimat yang muradif (bersinonim) dengan اِنفك
adalah
.رام danونِئ
Dalam kitab syarah al-Kafiyah Ibnu Malik
menyebutkan
bahwasanya empat buah kalimat tersebut apabila dengan lafaz
madhi maka dinafikan dengan ما atau لا atau إِن , dan apabila dengan
lafaz
mudhari’ maka dinafikan dengan tiap-tiap nafi sehingga nafi dengan ليس .
C.
Beramal merafa’kan mubtada dan menasabkan khabar dengan syarat terdahulu ما
mashdariyah lagi dzarfiyah dan fi’il itu menjadi shilat baginya.
Jumlahnya
cuma satu, yaitu َدام yang faedahnya untuk
mewaktukan
satu urusan dengan masa sebut khabar bagi isimnya.
Dinamakan
َما tersebut sebagai mashdariyah karena َما
tersebut
ditakdirkan beserta fi’il sesudahnya (shilatnya) kepada mashdar yaitu الدوام,
dan dinamakan ما tersebut sebagai dzarfiyah karena menjadi pengganti beserta
shilatnya dari pada dzaraf, yaitu
.المدة :
.
وأوصان ِبالصلا ِت والزك ِت ما دمت حيا : Contoh
Hukum khabar dari fi’il
naqishah
1) Khabar dari fi’il-fi’il ini boleh berupa
mufrad dan jumlah yang mempunyai rabith, dan dzaraf dan jar beserta majrur
yang dimuta’alaq_kan keduanya dengan kalimat yang wajib dibuangkan.
2)
Boleh berbilang-bilang khabar.
3) Boleh tawassuth
khabar (diletakkan khabarnya) diantara fi’il dan isimnya selama tidak ada
penghalang yang mencegah terjadi tawassuth atau selama tidak datang sesuatu
yang mewajibkan
. وكن حقا علينا نص المؤمنِين : Contoh tawassuth.
4)
Khْabarnyaً ِ juga boleh didahulukan atas fi’il dan isimnya, seperti
: perkara dua pada kecualiَ ْ, َعلما كن زيد : َ
•
Khabar ليس, karena dikiaskan kepada khabar عس karena keduanya merupakan fi’il
jamid dan karena maknanya adalah nafi dan makmul nafi tertegah untuk
didahulukan atasnya.
Ibarat syaikh al-‘alawi dalam hasyiyah al-kasyaf:
“Ketahuilah bahwa ما nafi dan إِن nafi tidak boleh didahulukan makmul barang
sesudahnya atasnya, karena keduanya merupakan
shadar kalam”.
Tetapi
kebanyakan ulama mengutip dari ulama Basharriyun dan Sibawaihi dan as-Sairafi
dan al-Faarisi bahwa boleh
mendahulukan khabar ليس, karena ليس merupakan
fi’il
sedangkan makmul fi’il boleh didahulukan atasnya.
•
Khabar َدام , karena huruf mashdari tidak beramal barang
sesudahnya pada
barang sebelumnya, dan supaya tidak lazim
terjadi perpisahan diantara
maushul harfi dan shilatnya.
Catatan :
Amalan yang ada pada fi’il
madhi juga sebut bagi tashrif fi’il-
fi’il ini, yaituُ fi’ilَ mِudhari’,ُ
fi’il amar, mashdar, dan isim fa’il. Contoh
. حت يكونوا مؤمنِين , كونوا
ِحجارة:.
Pembagian fi’il naqishah
Fi’il–fi’il dari bab ini dengan
nisbah bagi tashrif dan tiadanya tashrif terbagi atas tiga macam :
1.
Tidak memiliki tashrif dengan satu hal pun, yaitu: َس ْي َل dengan
ittifaq,
dan دام menurut kebanyakan ulama mutaakhirin.
2.
Memiliki tashrif yang َّ naْqish, yakni tidakَ memiliki tashrif amar
َ
َ َ َ َ
ْ َ َ َ ْ. زال , فتِئ , برِح , إِنفك :
yaitu mashdar, dan
3. Memiliki tashrifَ yang sempurna,
yaitu : أمس , أصبح , صار , كن
.. أضح ,ظل , بات
Semua fi’il jenis ini
boleh digunakan dalam keadaan tam, yakni tidak membutuhkan khabar, sehingga
fi’il tersebut beserta marfu’_nya menjadi kalam yang sempurna. Apabila fi’il
tersebut dipakai menjadi fi’il tam maka bermakna fi’il lazim, dan
ditakdirkan
sesuatu yang dikehendaki oleh maqam (keadaan).
ُ
ْ
ْ َ َ ُ
َ
َُواِ ْن َ َك ُن ذ ْ ْوَ ُع ْ ُ َس
ٍْة َتقَ ِدي ْ ُر َهُ ُ َحْ َص ُل ْ ا َ
ْو َ ْح َض ْ َا ْو َ ْ َح ُ َد ُ ْث َ
:, Contoh َ ْ َ
فسبحانه ِحين
تمسون و ِحين تصبِحون اي ِحين تدخلو َن ْ ِفُ ُال ْ َِصباح ْ َو َِح ِين
.
تدخلون ِف المساء
Pemberitahuan
•
Apabila
ْ
lafazَ َح أَض dijadikanُّ sebagaْ i َfi’il ْ
tamَ ْ maka bermakna :
. أضحينا اي دخلنا ِف الضح : misalnya
,دخل ِف الضح
• Apabila lafaz بات dijadikan sebagai
fi’il tam maka bermakna
عرس:
َعليهِ َ
وسَل ْم : َSeperti
ق َوَ َل عمر ر ِض الله عنه : أما رسول
اللهِ صَ َل ْا َلله
bermakna kadang-kadang َdan ْ,َف ْقُدَ
بْا َ َت َبِ ِمنْ أَ ْي ًعرس بِها
,نزل
. بات
القوم اي نر َل بِ َِهم ليلا seperti:
• Apabila
lafazْ َصار َdijadikan sebagai fi’il tam maka bermaknاِنتقل
makna: dengan
terkadangَّ dan ,ْ ُصارُ ُا ْلأم َر ْاِ َلي ْك اُي اِنتق seperti َ ,
َ
. ألا اِلى اللهِ ت ِصي الأمورِ اي تر ِج َع: َّ : seperti ,رجع َ
•
Apabila lafaz ظل ُdijadikanَ sebagaiَ fi’il tam maka bermaknaدام
. ظل
اليوم اي دام ِظله َ: seperti ,, اِستمر
• Apabila lafaz
ُح َرِ ْب dijadikanَ sebagaiَ fi’il َ tamَ maka bermakna :
. وَإِذ قال
موس لِفتاه لا أبرح اي لا أذ ْه َ َّب : ,sepertiذهب
•
Apabila lafaz َنفك اِ َ dَijadikan َsebagaiْ fi’il tamَ َ maka bermakna :
.فككت
الخاتِم فانفك أي اِنفصلَ َ: ,sepertiاِنفصل
• Apabila
lafaz َدام dijadikan ُ sebagai fi’ilَّ tam َmaka bermakna :
. مادام
ِت السموات والأرض اي ما ب ٍق َي ْ َت : ,misalnyaب ِق
•
Lafaz فتِئ dan ليس selalu melazimi bagi naqish, namun menurut
Abu Hayyan
َlafaz فتِئ juga datang sebagai fi’il tam dengan
َ
َ .سكن makna:
Keistimewaan lafaz
كن َ
1. Boleh men_ziyadah lafaz كن
yang berfaedah bagi takkid, dengan syarat:
• Harus
dengan lafaz madhi
• Letaknya pada hasywi (pertengahan)
kalam, yakni letaknya diantara dua perkara yang saling melazimi seperti
mubtada
dan khabar, misalnya: ٌمْ
shilatnya,
dan ushulْma ُatauّ ,ُ زَيَْدٌ ْكَا َن َقَائِ
ِف المه ِد
صبِيا : misalnya
. كيف نكلِم من كن
•
Danْ َ banyakَ ziyadahnya diantara َما dan fi’il ta’ajjub, seperti
.ما كن
أحسن زيدا :
2. Boleh membuang كَان beserta isimnya
beserta dikekalkan
khabarnya dalam keَadaanْ manshub. Hal demikian
banyak
terjadi sesudah
ْ
lafaz
ْ
َ.
ُiyahْsyarthَ َإِ ْن َdan لو
ْ ُ َ َ
ْ َّ َ ُ
َ َّ َ
ِدي ٍد اي : Contoh
. ولو كن
خاتِما
Catatan :
ِمن ح
َ ْ
ِمس
ولو خاتِما
ْ
قول عليهِ الصلاة والسلام : إِلت
Syarat
dengan لو dan إِن mempunyai perbedaan, yaitu lafaz
لو adalah huruf syarat
yang didatangkan untuk sebab dan musabbab diantara jumlah syarat dan jazak
pada zaman madhi, sedangkan إِن adalah huruf syarat untuk mengikat antara
sebab dan musabbab pada zaman mustaqbal.
3. Boleh
membuang nun mudhari’_nya (lam mudhari’) yang dijazamkan jika tidak diiringi
oleh sukun dan oleh dzamir nasab
yang muttashil dengannya,
karena
ُ ْ
untuk
takhfif pَ ada lafaz.
. ولم أك بغِيا , ولا تك ِف ضي ٍق ,
وَإِن نك حسنة : Contoh
Maka tidak dibuangkan jikaُ َ bersamَّ bungُ
dengan sukunn yaitu
bertemu karena ,لم يك ِن الله ِليغفِر لهم : seperti
ma’rifah, lam alif
dua sukun. Begitu juga halnya jika fi’ilnya bertemuُ ْ
ُdengan
dzamir nasab yang bersambung dengannya, seperti : يكنه إِن .
Menurut
al-Azhari : Jumlah nun mudhari’ كن yang dibuangkan didalam al-qur’an ada 18
tempat.
Fasal Tentang Kalimat Yang Diserupakan Dengan Laisa (ليس) َ
Huruf-huruf yang diserupakan dengan َس لَيْ (merafa’_kan
isim dan
menasab_kan khabar) disegi nafi, dan jamid dan masuk
atas jumlah ismiyah
ada empat :
1. Huruf َما
nafi.
ْ
َ َ
Huruf ما nafi beramal seperti amalan ليس disisi ulama
Hijaz dan Tihamah dengan 4 syarat :
• Tidak menyertai
dengan ْن إِ ziyadah. َّ
• Tidak
menyertai khabarnya dengan lafaz اِلا .
• Tidak
terdahulu khabar atas isimnya.
• Tidak terdahulu ma’mul
khabar atas isimnya, kecuali apabila
ma’mulnya berupaَّ ُdzarafَ
atauَ َjar danَ majrur. َ ٌ ْ َ َ
َما
.
ما زيد ذاهِبا , ما هذا اِلا بشا , ما هن أمهاتِ ِهم Contoh:
Maka jika
menyertai dengan إِن ziyadah maka batal amalan menurut ulama Bashariyin,
karena lemah amalannya dengan
sebab diselangi diantara ما dan
ma’mulnya dَ engan selain dzaraf,
dan karena hilang keserupaannya dengan
َس لي disegi tidak pernah
.ما إِن زيد قائِم : Contoh .إِن
dengan mengiringi
Begitu juga jika menyertai khabarnya dengan
aَkaren
,اِ َّلا
amalan الا adalah untuk semata-mata nafi yang sama
dengan ليس,
dan dengan sebab datang َّ اِلا maka dapat membatalkan nafi
dan
berubah menjadi kalam sebut, sehinggaْ ُ tidak bَّeramal lagi
karena
telah hilang keserupaannya. Contoh : رسول اِلا محمد وما. Begitu
juga halnya jika terdahulu khabarnya atas isimnya, seperti : زيد قائِم ما.
Atau terdahulu ma’mul khabar (yang bukan dzaraf dan jar beserta majrur) atas
isimnya, seperti : آك زيد طعامك ما.
ً َ Mْ
aka jika ma’mul khabarnya berupa dzaraّf, seperti: َ َك َد
ِعنْ َما
maka , ما ِف الدارِ زيد جالِسا : seperti
majrur, dan jar atau ,زيد جالِسا
tidak batal amalannya, karena ulama
nahwu memperbolehkan pada dzaraf dan jar beserta majrur sesuatu yang tidak
diperbolehkan pada lainnya.
2. Huruf لا
nafi
ْ َ َ
Huruf لا nafi beramal
seperti amalan ليس dengan empat
syarat : ْ
•
Tidak menyertai khabarnya dengan إِن ziyadah.
• Tidak
terdahulu khabar atas isimnya.
• Tidak terdahulu ma’mul
khabar atas isimnya, kecuali apabila ma’mulnya berupa dzaraf atau jar dan
majrur.
• Isim dan khabarnya harus kalimat nakirah.
.
لا َر ُجل أف َضل ِمنْ َك َ : Contoh
Amalan لا banyak diperdapatkan pada
syair, bahkan kata
sebagian ulama tidak dipeliharakan amalannya pada
natsar (kalam
biasa). َ
ْ
َ َ
Lafaz لا berbeda dengan ليس pada tiga hal :
Beramalnya sedikit sehingga Imam al-Akhfasy dan Imam al- Mubarrid menegah
untuk mengamalkannya.
Sedikit disebutkan
khabarnya.
Beramalnya cuma pada nakirah.
ْ
َ
ليس Faedahnya untuk menafikan zaman hal, sedangkanلا untuk menafikan
zaman mustaqbal menurut kebanyakan ulama.
3.
Huruf ْن إِ nafi
ْ َ َ
Huruf إِن
beramal seperti amalan
‘Aliyah dengan syarat:
ليس pada
loghat ahli
• Tidak menyertai khabarnya
dengan ْن
إِ ziyadah.
•
Tidak terdahulu khabar atas isimnya.
• Tidak terdahulu
ma’mul khabar atas isimnya, kecuali apabila ma’mulnya berupa dzaraf atau jar
dan majrur.
Isimnya boleh
َ
nakirahَ
dan ma’rifah.َ ْ
َ ْ ٌ
َ ً ْ
. إِن زيد قائِما , إِن أحد خيا ِمن أح
ٍد إِلا بِالعافِيةِ : Contoh
َ َلات Huruf 4.
ْ
َ َ
Huruf لات beramal seperti amalan ليس dengan syarat :
•
Isim dan khabarnya berupa lafaz ِحين .
Maka tidak beramal pada lainnya
walaupun muradif
dengannya menurut pendapatْ
Sibawaihi dan jumhur ulama.
Sedangkan menurut pendapat
قِيل lafaz ُت َلاَ jugaُ َ beramal pada lafaz
yang muradif
dengannya, seperti lafaz: الأوان , الساعة. Dan tersebut didalam kitab syarah
‘Imrithi karangan Ibn ‘Anqa’ bahwa lafaz لات
beramal dengan syarat bahwa
isim dan khabarnya berupa zaman, maka seandainya masuk pada selain zaman maka
tidak diamalkan.
• Tidak berhimpun diantara isim dan
khabarnya karena tidak pernah didengar seperti demikian, (dengan bahwa
dibuangkan isimnya dan disebutkan khabarnya atau dibuangkan khabarnya dan
disebutkan isimnya), tetapi biasanya yang dibuangkan adalah isimnya, karena
keadaanya pada maudhu’ ta’ yang dijadikan seperti ‘iwadh dari salah satu dua
juzuk, atau karena
khabarnya adalah tempat meliputi ْ faedah, mَ akْa
tidakَ tidakَ
فندوا ولات ِحين منا ٍص اي ليس Contoh: dibuangkan. ْ
ْuntuk َusَbag
Fasal Tentang Hukum Fi’il Muqarabah
Definisi fi’il muqarabah
َ ُ
الأفعال المقاربة ِه الدالة على قر ِب حصو ِل الخبِ ودنوه .
Fi’il
muqarabah adalah fi’il yang menunjukkan atas dekat
hasilnya
khabar .
َ ُ َ
ْ ُ َ
ْ
َ ُ َ
الأفعال المقاربةadalah:َ uqarabahَm fi’il
َal-Hajib, ْIbnu ْMenurutً ْ .
. ِه ما و ِضع ِلدنوِ الخبِ رجاء او
حصولا او أخذا فِيهِ
Fi’il muqarabah adalah fi’il yang diwadha’ untuk
mendekatkan khabar, baik secara pengharapan atau menghasilkan atau memasuki
padanya.
Maka fi’il muqarabah yang menunjukkan atas raja’ adalah
yang
diwadha’_kan untuk mendekatkan khabar ْ
atasَّ jalan
pengharapanَّ dan kelobaanَ padaَ
tercapainya,َ seperti:ْ َن أ الله عس
.يش ِ َف مرِيضك اي قرب ِشفائِك مرج
ٌّو ِم َن ِعن ِد اللهِ مطموع فِيهِ
Dan fi’il muqarabah yang menunjukkan
atas muqaarabah
adalah yang diwadha’ bagi mendekatkan khabar atas jalan
wujudَ
hampir khabar dan hasilnya, bukan atas jalan raja’,
seperti:ِت
.الشمس تغرب
وكد
Dan fi’il
muqarabah yang menunjukkan atas syuru’ adalah
yang
diwadha’_kan bagi menghampirkan
. طفِق الثلج يذوب : seperti
padanya, memasuki
Pembagian fi’il muqarabah
khabar
atas jalan
Fi’il muqarabah terbagi atas tiga macam :
1.
Fi’il yang diwadha’_kan supaya menunjukkan atas dekat khabar,
yakni
atas hampir hasilnya khabar.
َ َ ْ
َ
ْ َ
َ َ َ
َ َ
Lafaz–lafaz nya sangat banyak, diantaranya :اي أوشك
, كرب , كد
2. Fi’il yang diwadha’kan
atas raja’ khabar, yakni atas raja’ simutakallim bagi hasil madhmun khabar,
baik raja’ hasil khabar
secara dekat atau jauh. Jumlahnya ada tiga
:إِخلولق , حرى , عس
3. Fi’il
yang diwadha’ untuk
menunjukkan kepada syuru’
(memasuki)
isim atas khabar.
Lafaz-lafaznya sangat banyak, bahkan َseْbagianَ
ulamaَ
mَengatakan sampai dua puluh fi’il, diantaranya:, أنشأ , علِق ,
طفِق
َ
َ
أخذ , جعل
Fi’il muqarabah baramal seperti كن, yaitu merafa’_kan
mubtada
dan menasab_kan khabar, tetapi khabarnya mempunyai
khususiyat yang tidak
diperdapatkan pada khabar كَان, yaitu :
• Khabarnya
tidak boleh didahulukan atasnya.
•
Khabarnya terkadang
ditawasuth_kan, dan terkadang
dibuangkan.
• Isimnya َ tidakْ َ teَّrlepasَ dari
khususiyat, adakala dima’rifah_kan,
عس سائِر: seperti diwashaf_kan, atau
, فعس الله أن يأ ِت seperti:
ٍة ذوحاج, dan terkadang berbentuk nakirah
mahdhah.
• Khabarnya mempunyai khususiyat, yaitu:
Dibuangkan.
Khabarnya wajib berupa jumlah (fi’il
mudhari’) yang diakhirkan dari padanya.
• Wajib pada
khabarnya merafa’_kan dzamir yang kembali kepada
isimnya.
ْ
•
Wajib menyeَrtai khabarnya dengan أن mashdariyah jika fi’ilnya
berupa
إِخلولق , حرى, karena fi’il yangَ diharapkan terjadi
terakhir hasilnya,
maka berhajatَّ kepadَ aْ َ ْن أ yanْ gُ memٌberitahu
حرى زيد أن يقوم ,
إِخلولق ِت السماء أن. Contoh: mustaqbal.َ iْbag
َ
ْ
. تمطر
• Wajib sunyi khabar dari أن mashdariyah sesudah
fi’il syuru’,
karena fi’il syuru’ menunjukkan bagi zaman hal,
sedangkan
ْن أَ mashdariyah menunjukkan bagi zaman mustaqbal,
maka
terjaَdilah َ pertentangan diantara keduanya. Contoh :َطفِقا َو
ِهما
.
ي ِصفان علي
َ
َ َ
َ ْ َ
adalah َّ أُو َش ْكَ ْ
َdan َ ْ ُعُس khabar pada banyak paling Yang
عس الله أن يأ ِت , قوله
Contoh:َ .َ ْmashdariyahَّ أ َن ُ anُdeng َmenyertai
َ
َ . عليهِ الصلاة
والسلام : يو ِشك أن يقع فِيهِ
َ َ َ
Dan
yangْ َpaling banyak pada khabar كد dan كرب sunyi/
terlepas dari أن
mashdariyah, karena keduanya menunjukkan
kepada sangat hampirnya
perbuatan dan berkekalannya perbuatan.
. وما كدوا يفعلون Contoh:
Fasal Tentang Inna إن Dan Saudaranya
Lafaz ِإنَّ dan saudaranya juga dinamakan dengan huruf yang
serupa
dengan fi’il, karena amalannya menasab_kan mubtada dan
merafa’_kan khabar
sebagaimana fi’il َّ muta’adi, karena ma’aninya
merupakan ma’ani fi’il,
karenaْ lafazَ ْ إِن dan َّ َن أَ maknanya ْadalah
ترجيتaknanya َm ْلعل
dan إِستد َر َك َّت maknanya ل ِكن dan ْأ َكدت
huruf Semua .شبهت َ
َّmaknanya كأن dan تمنيت maknanya ليت dan
tersebut merupakan shadar
kalam, kecuali أن menurut pendapat
yang shahih.
Lafaz َّن إِ dan
saudaranya beramal menasab_kan mubtada
dan merafa’_kan khabar .
Syarat
lafaz إِنَّ dan saudaranya menasabkan mubtada :
•
Mubtada_nya disebutkan.
• Tidak
dikhabarkan dengan mufrad yang thalabi.
• Tidak lazim
menjadi shadar kalam.
• Tidak lazim ibtida’.
Jumlah
kalimat yang menasab_kan mubtada dan merafa’_kan khabar ada enam huruf,
yaitu:
إَِ َّن 1.
2. أن
Keduanya berfaedah bagi :
•
Taukid nisbah diantara dua juzuk apabila simukhathab mengetahui dengan nisbah,
misalnya: ucapan engkau kepada
orang yang kepadaَ
orang
ِ
yang
mengetahui dengan berdirinya
.أن زيدا قائِم seperti:
sizaid,
• Taukid nafi syak (menghilangkan keraguan)
tentang nisbah diantara dua juzuk apabila simukhatab ragu tentang nisbah dan
tentang terjadinya nisbah, misalmnya: Ucapan engkau kepada
orang yang
mendengar sizaid berdiriَ dari orang yang tidak
dipercayai dengan
ucapannya “ قائِم زيدا أن ”.
• Taukid nafi
ingkar tentang nisbah apabila simukhathab
mengingkarinya,
misalnya ucapan engkauً ْ َkepada orang yang
mengingkari
dengan
َ
ُأ ْن ٌز َيدا ْ ٌقائِم َ“ َsizaid berdiri
َ
”. َّ
َ َّ
. فإِن الله غفور ر
ِحيم , ذلِك بِأن الله هو الحق : lain Contoh
Catatan :
Lafaz
إِن dan
َّن أَ yang berfaedah bagi syak
(ragu) apabila
terdapat pada kalam
Allah maka maknanya adalah tasykik
(menjatuhkan
dalam keraguan) dan bagi ibham (menjatuhkan
dalamَ َ waham), bukan karena
ragu_nya Allah ta’ala.
كأن 3.
Lafaz tersebut berfaedah bagi tasybih
muakkad. Tasybih ialah sesuatu yang menunjukkan atas bersyarikatnya suatu
urusan (musyabbah) bagi urusan lain (musyabbah bih) pada suatu
makna
yang َberhimpَun diantara keduanya.
Contoh :
َّ
َس
ٌد
َزي ًدا أ
.كأن
ل
ِكن 4.
Huruf ini berfaedah bagi istidrak.
الإ ْستِ ْد َراك ُه َو :
َت ْعقِيْ ُب الْ َ َك ِم بِ َرفْ ِع َما ُي َت َو َّه ُم ُث ُب ْوتُ ُه اَ ْو َن
ْف ُي ُه .
Istidrak ialah mengiringkan kalam dengan menghilangkan sesuatu
yang diwahamkan sebut atau nafi .
Coْ ntohَّ menghilangkan sesuatu yang
diwahamkan sebut:ٌد َزيْ
َ
.شجاع ل ِكنه بِيل
ٌ َ Contohً ِ
menْghilangkan sesuatu yang diwahamkan ternafi :ما
.زيد علما
ل ِكنه صالِح
َ َّ
Imam
Al-Azhari dan lainnya berkata: “Karena lafaz ِكن ل
berfaedah
bagi istidrak maka mesti terdahulu kalam atasnya,
kemudian kalam tersebut
adakalanyaَّ naqidhَ ُ(berlawَ anan) bagi
َdhid َatau َ
ٌ,ما َ ه َّذ ُا متحرِك ل ِكنه سا ِكن seperti: sesudahnya, barang
ما
َه َذا َأ ْ ٌسود ل ِكنه: seperti sesudahnya, barang bagi (berlawanan)
َم
َا قام زيد: seperti sesudahnya, barang
bagi khilafan َّ atauً ,أَبْي َ ُض
ماseperti: sesudahnya,
barang bagi semisal َ ْatau , ًل َ ِكن َّعم َرا ْي ً َشبٌ
ِكن
عمرا قائِم
.زيد قائِما ل
ْ
َ َ ْ َ ْ ٌ َ
َ
ِي ْئ
َّم
Dan
ِك َنه
ل
terkadangَ faedahnya bagi taukid, sepertiزيد جآئن لو ل
أكرمته, pada contoh tersebut di taukidkan dengan
lafaz
ِكن ل akan sesuatu yang difaedahkan oleh lafaz َلوْ
imtina’iyah,
yaitu ternafinyaَ
datang,
karena kaedah :
َ
َ َ
َ َ ْ
َ
َ َّ َ َ
ِلأن
ل ْو إِذا َد َخل ْت على ُمثبِ ٍت نفتْ ُه , وَإِن َد َخل ْت على َمن ِف أثبَ َت
ُه .
“Karena ْو لَ imtina’iyah apabila masuk atas kalam sebut maka
dinafikan
olehnya, dan apabila masuk atas kalam nafi maka di_
itsbatkan
olehnya”.
ليت 5.
Berfaedah bagi tamanni.
الت َم ِّ
ْن ُه َو : َطلَ ُب َما لا ُم ْط َم َع ِ ْف ُح ُص ْو ِلهِ اِ َّما ِلتَ َع
ُّسِهِ اَ ْو ِلتَ َع ُّذ ِرهِ لِ َع َد ِم إِ ْم َك ِن
ُح ُص ْو ِلهِ
.
Tamanni adalah menuntut sesuatu yang tidak diinginkan
tercapai,
adakalanya karena َsukar, ْ َseperti ucapan orang yang
ِلى
مالا فأحج berusaha: dari lemah
ٌليت
atauَ
karena
ozor sehingga
ْ
tidakَ mungkin untuk dicapai, seperti :
عئِد الشبب ليت .
لعل 6.
Faedahnya bagi tarajji dan
tawaqqu’.
ش الم ْح ُب ْو ِب .
ُه َؤ :
اِ ْرتِ َقاب ال َّ
ال َّت ِّج
Tarajji
adalah menantikan sesuatu yang disukai.
ْ
َزي ًدا قادِم
: Contoh
.ل َعل
َ ُّ
ُ َ ْ َ
ُ َّ ْ
َ ْ ُ ْ َّ
التوق ِع هو : اِرتِقاب الش
المكروهِ .
Tawaqqu’ adalah
ْ
ٌ
menantikan
َ
َ
sesuatu yang
َ
َ
dibenci.
َ
َ
َ َّ َ َ
. لعلك باخع نفسك نفسك
على آثارِهِم , لعل عمرا هالِ َك َ: َّContoh
Lafaz لعل yang terdapat dalam
firman Allah ta’ala tidak
berfaedah bagi tarajji dan tawaqqu’, karena
mustahil atas Allah SWT menantikan sesuatu yang tidak dipercayai dengan
hasilnya,
akan tetapi faedahnya adakala bagi :
ُ
َ ُ
َ َوافعلوا الخي لعلكم ترحمون اي لِتحموا: seperti Ta’lil, •
•
Tahqiq makna jumlah sesudahnya.
• Bagi istifhamَ َ
taubikh, seperti firman Allah :ف
َو َج َعلَ
َها َكِ َمةً بَاقِ َي ًة
.عقِبِهِ لعلهم ير
ِجعون
Terkadang faedahnyَa bagi َtahqiqَّ َ dan wَajib, seperti sabda
terkadang
َDan .َلْعًل ُا ْ َلله اٌطل َع ْ َ ْعلى أ ُه َ ِل َب َد ِ ٍر َSAW: Muhammad
Nabi
: .Catatan لعل زيدا منطلِ َق َ اَّي هل هو كذلك seperti: istifham,
bagi
Ketahuilah sesungguhnya lafaz لعل tidak didatangkan kecuali pada
sesuatu yang mungkin terjadi.
Hukum Khabar إن dan
saudaranya
• Tidak boleh didahulukan khabar atasnya,
walapun khabarnya berupa dzaraf dan jar beserta majrur, karena lemahnya dalam
beramal sebab hurufnya tidak memiliki tashrif, dan karena beramalnya huruf
tersebut dengan dikiyaskan kepada fi’il, sehingga kekuatannya tidak tangguh.
Begitu juga ma’mul khabar tidak boleh didahulukan atas huruf-huruf tersebut
.
• Tidak boleh di_tawasuth_kan kabar diantara isim dan
hurufnya, kecuali apabila khabarnya berupa dzaraf dan jar beserta majrur.
Karena
berdasarkan qaidah : َ َ
ْ
ْ ْ
َ َّ
ُ َّ ْ
َ
َّ
ِلأن ُهم ت َوسع ْوا ِ ْف الظ ْر ِف َوال َمج ُرورِ ما ل ْم
َيت َوسع ْوا ِ ْف غ ِيهِ َما
“Karena ulama nahwu membolehkan pada dzaraf
dan majrur
sesuatu yangَ tidak dibolehkan ْpada selain keduanya”.
.إِن
َلد ْي َنا أنكالا , إِن ِ ْف ذلِك لعِ ْ َبةً : Contoh
Tempat-tempat wajib
dibacakan ِإنَّ yang dikasrahkan
1. Apabila إِن beserta
ma’mْulnya jatuh pada permulaan kalam.
.إِنَّا أ ْع َطيْ َناك الك ْوث َر
, إِ َن َأن َزلنَاهُ Contoh:
2. Sesudah lafazَ ألاَ
yangَ dimulaiَ kalamَ dengannya .
َ ْ ُ . ألا إِن
أو ِلياء اللهِ لا خوف علي ِهم : Contoh
3.
Pada awal jumlah yang jatuh sesudah lafaz حيث dan seumpanya
daripada
kalimat-kalimat yang wajib di_idhafahَ kepadaَ ْ jumlah,
seperti إِذ dan
إِذا disisi jumhur ulama, dan بينا dan بينما disisi
kebanyakan
ulama.
. َجل ْس ُت َّ َحيْ ُث إِ َّن َزي ًدا َجالِ ٌس : Contoh
َ
ْ ُ
Alasan wajib dikasrahkan ِإن sesudah حيث dan
seumpanya
karena حيث dan seumpanya tidak di_idhafah_kan kecuali kepada
jumlah, maka seandainya dipatahkan أن sesudahnya maka
mufrad, karena أن
beserta ma’mulnya pada takwil mufrad.
4.
Sesudah qasam apabila jatuh pada awal jawab qasam, karena
jawab qasamَ ْ
mَ esti jumْ lah. َ ْ َ َ
حم
وال ِكتاب المبِ ِين إِنا نزلنَاه ز : Contoh
5. Sesudah
القول apabila pada awal jumlah yang dihikayahkan, karena mahkiyah qaul mesti
jumlah.
.قال إِ ِن عبد اللهِ : Contoh
َ َّ ُ
َ ْ َ ُ َّ َ َya. ْkhabarn
ْpada َّibtida’ ْlam َ َsukُma
Apabila 6.
والله يعلم إِنك لرسوله والله يشهد إِن
المنافِقِينَ ل َّكذِبون Contoh:
َّ
َّ ْ َ . َك َ َlafaz
Sesudah 7.
.كلا إِن الإنسان ليطغ : Contoh
8.
Sesudah lafaz َّت َح َ ibtidaiyah. ْ َ
.
َم َرض َزي ٌد َح َّت إِن ُه ْم لا يَ ْر ُج ْون ُه ْم : Contoh
9.
Pada awalٌ shilat.َّ َّ َ َ
.جاء
ا ِلذي إِنه فاضل : Contoh
َ َ َ
ُ ٌ َّ ُsifat. ٌawal Pada 10.
جاء ِن رجل
إِنه فاضل : Contoh
11. Pada awalٌ jumlahَّ yang dikhabarkan daripada isim
‘ain.
.زيد إِنه فاضل : Contoh
َ َ
ْ َ َ َ ُّ َ
ْ َ ْ َ ْ َ
ّ َّ َh. ْhaliya h ْjumla
َawal Pada 12. َ
Contohَ
13. Pada
awalَ jumَّ lah mustaْ ’nafahُ ,ْ َ َ َ
ولايزنك قولهم
إِن العِزة لِللهِ : Contoh
14. Pada awal ٌ jumlahَّ yang َmenَ gikuti
bagi mufrad.
.َّ زيد كرِيم وَإِنه فاضل : Contoh
Tempat-Tempat Wajib
Dibaca أن Yang difatahkan
Perlu diketahui bahwa lafaz أن beserta barang
sesudahnya ditakwilkan kepada mufrad. Oleh karena demikian, maka lafaz
َّن
أَ bertempat pada sesuatu yang wajib mufrad (yakni mufrad
muqabalah
jumlah).
1. Apabila meْnempَati tempatَ fa’il.
.أولم
يكفِ ِهم أن أنزلناه : Contoh
2. Apabila menempatiَ
َtemَpat ُnaibَّ َ fa’il.ْ ُ ْ ُ
.قل أوح إِلى أنه استمع نفر
من ا ِلج ِن : Contoh
3. Apabila menemْ pati
tempَatَ mُaf’ul. َ
ولا تافؤن أنكم أشركتم بِاللهِ: Contoh
4.
Apabila mَ enempatiَ tempat َmubtada. ِ َ
ومن آياتِهِ أنك ترى الأرض
خاشعة: Contoh
5. Apabila maْ sukَ ُ huَّ rufَّ jar
atasnya.
ذلك بِأن الله هو الحق: Contoh
6.
Apabila majrurَ dengan َidhْafahَ.َ
َّ ُ َ
أنه
لحَ ُق َّ مثل ما أنكم تن ِطقون: Contoh
7.
Apabila jatuhَ sesuَ daُhَ lafaz
. لابد
لابد
أنك جالس: Contoh
َ ُ َ َ َ
8.
Apabila jatuhَ sesudahَ ُlafazمحالة لا
لامحالة أنك ذاهِْ َب: Contoh
9.
Sesudah ْلاٌ َو ل imtina’iyahَ .ْ ُ
ْ
َ َ َّ َ َ
لولا أنك منطلِق ما خرج ز َيد:
Contoh
10. Sesudah لو syarthiyah.
َول ْو أن ُه
ْم َص َ ُب ْوا: Contoh
11. Apabila
jatuh
َ
sebagai khabar dari isim makna selain qaul.
َ
اِعتِقادِي
أنه ف ِضل : Contoh
12. Apabila jatuhُ sebagaiَ
َma’thufَ atasْ barangَّ yangْ telahُ terdahulu.
أذكروا نِعم ِت ال ِت
أنعمت عليكم وأ ِن فضلتكم : Contoh
13. Apabila jatuh
sebagai badal atas barang yang telah
terdahulu.
ُ
َّ
ْ َ َ َّ َ َ
ُ
َّ ُ ْ َ ُ
ْ َ ُ
وَإِذ
يعِدكم الله إِحدى الطائِفِين أنها لكم: Contoh
Tempat-tempat
yang diperbolehkan dua macam (dibaca fatah hamzah dan kasrah hamzah)
Tempat-tempat
yang diperbolehkan dua macam, yakni dibaca fatah hamzah dan kasrah hamzah akan
tetapi meng_kasrahkan hamzam lebih rajih. Hal demikian boleh dilakukan pada
tempat yang pantas bagi mufrad dan jumlah :
1. Apabila
jatuh sesudah fa’ jaza’ (fa’ yang menyertai dengan
jawab).
ْ
ٌ
َ ُ ْ ٌ َ
َ
َّ ُ
َ َ َ
ْ ُ
ْ ُ ْ ً
َ ْ
َ َ
.من ع ِمل ِمنكم سوء ِبهال ٍة .....فاِنه غفور
ر ِحيم : Contoh
2. Apabila jatuh sesudah إَذًا fujaiyah
yang tidak disertakan dengan
lam ibtida’.
. َخ َر ْج ُت فَاِ
ًذأ إِ َّن َزيْ ًدا قَائِ ٌم : Contoh
Adapun apabila menyertai dengan lam
ibtida’ maka wajib dibaca
َ َ ْ ُ
َ ً ّ َّ
ْ َ . َzah َham kasrah
. خرجت فاِذأ إِن الشمس
لطالِعة َ : Contoh
3. Apabila jatuh
َ
pada
َ َ
tem
َ. َّ ta’lil َّpat ْ َ
َّ
ْ ُ
َ ُّ ْ
ُ ُ َ
َّ
َ ْ ُ ْ ُ
. ندعوه إِنه
هو الب الر ِحيم , ليك إِن الحمد والنِعمة لك : Contoh
4.
Apabila jatuh sebagai khabar dari qaul dan dikhabarkan
untuknya
َ denganَ
qaul.
ْ َ
. قو ِل إِ ِن أحمد
الله : Contoh
5. Apabila jatuh sesudah fi’il qasam yang
tidak disesertakan dengan
lam.
َ َ ْ
ُ َّ ُ َ ْ ٌ
.حلفت إِنه كرِيم :
Contoh
6. Apabila jatuh sesudah barang yang boleh
di_idhafahkan kepada
jumlah.
َ
َ ُ ْ َ َ
َ ْ َ
َ َ ْ
َ َ َ
َ َ ْ
.آي
ٍة بِمعن علام ٍة , ح ِدي ٍث , خ َ ٍب َ, َ َلدن , لدى , ري ٍث : lafaz
Seperti
7. Apabila jatuh sesudahَ lafaz لاجرم.
لاجرم
إِنك قائِم َ: Contoh
Catatan :
َ
َ َ َ
Tentang lafaz لاجرم ulamaَ berselisih
pendapat :
ُ َّ َ
َ َ َ ُ َ Menْurut
al-Furak,ْ lafaz لاجرم padaْ dasarnya bermaknaلابد
dengan maka لا أقطع من
هذا artinya القطع adalah الجرم .ولامحالة
sebab banyaknya pemakaian
sehingga jadi ia dengan makna qasam
yang berfaedah bagi taukid maka
karena demikian dijawabkan
untuknya ٌdenganَّ sesuatu yang dipakai untuk
menjawab qasam,
dia ُ َّmaka ْ َh َfata membaca yang Orang َ َ.لاجرم إِنك
قائِم : seperti
memandang kepada asal لاجرم yang semakna denganتفعل أن بد
لا تفعل أن من اي, sedangkan orang yang membaca kasrah hamzah,
maka dia
memandang kepada makna qasam yang dikanduَngnya. َ
Al-Damaaminiy
mengatakan, tentang contoh:لهم ان جرم لا
َ
,النَّار
menurut Sibawaihi bahwa lafaz جرم adalah fi’il madhi dengan
makna
حق sedangkan لا adalah huruَf َnafi.
َك َس َب
Menurut
pendapat yang lain, جرم adalah fi’il dengan makna
, sedangkan لا adalah
huruf zaidah.
Menurut pendapat yang lain, لاجرم adalah dَua
kalimat yang
dimurakabkan dan jadi keduanya dengan makna حقا. Para
mufassir
sering membatasi atas makna ini.
َ
َ َ َ
ُ َّ َ
Menurut pendapat
yang lain جرم لا maknanya adalahلابد
dan barang yang jatuh sesudahnya
mansub dengan digugurkan huruf jar.
Tempat dimasukkan lam ibtida’ sesudah
lafaz َّن َّ إِ
Tujuan dimasukkan lam ibtida’ sesudah إِن adalah untuk
menambahkan
taukid suatu jumlah dan untuk memurnikan fi’il mudhari’ bagi zaman hal apabila
masuk lam ibtida’ padanya. Imam Sibawaihi mengatakan: “Hanyasanya lam ibtida’
masuk sesudah
lafaz إِن karena إِن serupa dengan qasam disegi
takkid”. َّ َ
Maka tidak boleh masuk lam ibtidak sesudah أن,
karena
wadha’ َlam ibtida’ adalah untuk men_taukidkan jumlah sedangkan
lafaz أن menjadikan jumlah sesudahnya pada takwil mufrad, sehingga jika
digabungkan lam ibtida’ bersamanya akan terjadi
pembalikan
wadَha’nyaَّ. َ Begituَ ْ juga tidak boleh masuk lam ibtida’
sesudah
lafaz كأن , لعل , ليت dengan ijma’ dan sesudah lafaz
ِكن
ل berdasarkan pendapat yang shahih. Adapun tempat-tempat
dimasukkan lam
ibtida’ sesudah lafaz إِن adalah sebagai berikut:
1.
Masuk atas khabarnya dengan syarat keadaan khabar diakhirkan
dari isim,
dْanَ khabarnya harus sebْt (bَukanَ nafi).
َّ َ َ ْ
َ َ ْ .إِ َن ربك ل ِسيع العِقاب , وَإِنه لغفور
ر ِحيم : Contoh
Maka jika khabarnya didahulukan,
seperti أنكالا لدينا إِن maka tidak boleh memasukkan lam ibtidak’ supaya tidak
mengiringi
dua buah huruf taukid.
Begitu juga tidak boleh memasukkan
lamْ ُ َibtidaً ’ْ َ jika khabar
yang diakhirkan berbentuk manfi, seperti
يقم لم زيدا إِن supaya tidak berhimpun dua kalimat yang bersamaan (yaitu dua
buah lam) pada seumpama :لما , لا , لن , لم .
2. Masuk
atas isimnya dengan syarat keadaan isim diakhirkan, adakalanya diakhirkan :
•
Dari khabar َyangْ berupa dzaraf َ atauَّ jar dan majrur.
إِن ِف ذلِك لعِ
ْ َبةً , إِن ِعن َد َك ل َزيْ ٌد : Contoh
• Atau dari
ma’muْl khabَar,َ apabila ma’mul khabar berupa
majrur, beserta jar atau ,
إِن ِعند َّك لزي َّدا م َقَِي ْمً i: َsepert dzaraf,
ِف
الدارِ لزيدا جالس:. seperti
3. Masuk atas dzamir
fasl
. إِن
َض ِم ْ ُي الْ َف ْص ِل ُه َ َو :
لَ ْف ٌظ بِ ِصيْ َغةِ ال َّض ِم ْيِ ال ْ َم ْرفُ ْو ِع ال ْ ُمنْ َف ِص ِل َي
َق ُع َب ْ َين ال ُمبْ َت َدا
َوالخ َبِ َو َب ْ َين َما أ ْصلُ ُه َما
َذلِ َك .
Dzamir fashl adalah lafaz berupa dzamir munfashil yang marfu’
yang jatuh diantara mubtada dan khabar dan diantara sesuatu yang asal keduanya
adalah dari mubtada dan khabar.
Al-akhfasy dan al-Madiniyun membolehkan
letak dzamir tersebut diantara hal dan shahibnya, sedangkan al-Fura’
membolehkan
letaknya pada permulaan kalam.
. إِن هذا لهو القصص الحق : Contoh
Dzamir
fasl tidak di_i’rabkan (tidak ada mahal bagi i’rab). Faedah dzamir fasl adalah
sebagai takkid.
Syarat-syarat dzamir fasl :
•
Dzamir yang marfu’.
• Dzamir_nya sesuai bagi barang
sebelumnya,baik disegi mufrad, tazkir, dan takallum.
•
Keadaan barang sebelumnya adalah sebagai mubtada atau asalnya sebagai
mubtada.
• Keadaan barang sebelunya adalah kalimat
ma’rifah.
• Keadaan barang sesudahnya adalah sebagai
khabar atau asalnya sebagai khabar.
• Keadaan khabar
berupa isim ma’rifah atau seperti isim ma’rifah dalam hal tidak menerima alif
dan lam. Dan sebagian jamaah membolehkan khabar berupa fi’il mudhari’. Dan
al-Suhailiy membolehkan khabar berupa fi’il madhi. Dan sebagian ulama kufiyun
membolehkan jatuh dzamir fasl diantara dua kalimat nakirah.
4.
Masuk atas ma’mul khabar dengan syarat terdahulu atas khabar. Syaratnya :
•
Ma’mul yang didahulukan berupa hal.
• Khabarnya
merupakan kalimat yang pantas masuk ali dan
lam.
َ ْ
ً َ َ ْ ً
َ ٌ َّ
إِن زيدا لعمرا َضارِب : Contoh
Menyambungkan
ما zaidah
Apabila bersambung ما zaidah dengan
َّن إِ dan
saudaranya
maka batal amalan huruf-huruf tersebut, karena
dengan sebab masuknya ما dapat menghilangkan ikhtishas_nya huruf tersebut
dengan
jumlah ismiyah, dan bersiap sedia untuk masuk atas jumlah fi’liyah. Maka
manakala masuk ما zaidah atasnya keluarlah huruf
tersebut
dari keserupaan
ُ
denganَ fi’il. ّ َ
ٌ
َ ٌ َّ
َ ُ ْ َ َ
ُ َّ
َّ َ
إِ
َن َما َ ا ْلله ُ إِْلهَ َّو َا ِح َد َ, ْإَِنما ُي ْو َح َإَِ َلى
, َأ َن َّم َا إِل َه ْ ٌك َك ٌم إِ َله َ َّوا َ ِح ُد َ: hُConto َ ْ
,
أفح ِسبتم أنما خلقناكم عبثا , كأنما زيَد َّقاَئِم َ, ْ ٌكأ َنما ٌي َساق َّوَن
َإِ ْلىٌ المو ٌ ِت
,ل ِكنما َز ْيدَ قائِم ,لعلما زيد قائِم .
Kecuali
lafaz ليت, maka boleh padanya untuk di_i’malkan dan
di_ihmalkan
(dibatalkanَ amalnya) ketika masuk َما zaidah atasnya.
ليْت َما َزي ًدا
قائِ ٌم ا ْو زي ٌد قائِ ٌم: Contoh
Sebagian ulama nahwu juga membolehkan
untuk diamalkan selain lafaz ليت, karena dikiaskan kepadanya.
Men_takhfif_kan
(tidak ditasydidkan) lafazإِن
Apabila di_takhfif_kan lafaz إِن maka
banyak yang di_ihmalkan,
yakni tidak diamalkan sebagaimana biasanya,
karena hilang
ikhtishas_nya dengan isim sehingga dirafa’kan barang
sesudahnya sebagai mubtada dan khabar.
Dan wajib dimasukkan lam ibtida’
pada khabar َّن إِ yang di_
takhfifkan apabila diamْ
alkanَ. ْ َ ُّ ُ ْ
ٍس
لما عليها حافِظ Contoh:
. إِن ك نف
ْ
ُ ًّ َ َ
ْم ُه َّن َي ّ َ Dَ an sedikit
yang di_i’mal_kan (diamalkan), seperti :لما ك وَإِن
ليوفِ
َ
َّ
Men_takhfif_kan (tidak ditasydidkan) lafazأن
Apabila
di_takhfif_kan lafaz أن maka wajib kekal amalannya dengan ketentuan sebagai
berikut :
• Isimnya wajib berupa dzamir sya an yang
dibuangkan.
َض ِم ْ ُي الشان ُه َو : َض ِم ْ ٌي ُم ْف َر ٌد َغئِ
ٌب َغ ْ ُي َمْ ُر ْو ٍر ُو ِض َع لِ َغ ْر ِض ا َّلت ْع ِظيْ ِم
وا
ِلإ ْجلا ِل .
Dzamir sya an adalah dzamir mufrad ghaib yang tidak majrur
yang dipakai untuk maksud mengagungkan dan memuliakan.
Dzamir
sya an ada yang berupa dzamir muttashil dan munfashَ il, dan mustatir dan
bariz tergantung amil-amil. Contoh :قال لما وأنه
.عبد اللهِ , هو زيد
قائِم
Apabila dzamir tersebut di_tazkir_kan maka dikatakan baginya dengan
dzamir amar, atau dzamir khabar, atau dzamir hadist, atau dzamir sya an. Dan
apabila dzamir tersebut di_taknist_kan maka dikatakan baginya dengan dzamir
qishas, atau dzamir hikayah, atau dzamir khithbah. Tetapi pendapat yang
shahih
dinamakan dzamir tersebut dengan
ُ
dzaَ
mir syaَ
an baik di_tazkirْ ُ_
kan atau
di_taknist_kan. Contoh :,
أحد ,
قل هو الله فإِنها لا تعم
الأبصار
• Khabarnya wajib berupa jumlah
(ismiyah atau fi’liyah). Alasannya supaya jumlah tersebut dapat menafsirkan
dzamir
sya an. Kemudian jumlah yang dijadikan
ِ
seb
َagai
khabarْ apabilaَ
berbentukّ َ jumlah ismiyah, seperti :لللهِ
الحمد ِن
وآ ِخر دعؤاهم أ
ِlahْjum atau , َر
َ ِب العال ِمين
fi’liyَahْ َyang dimulai dengan fi’il
jamid,
َnganَّde atau ,وأن ليس ل ِلإنسا ِن إِلا ماسع
seperti:
fi’il mutasharrif
وَال َام َس ُة أن
غ ِضب الله: seperti do’a, makna mengandung َ َyang
عليها maka tidak
berhajat kepada fashil (pemisah) diantaraْن أَ
dan jumlah, maka jika
difashal boleh juga.
Dan apabila jumlah yang dijadikan sebagai khabar
berupa jumlah fi’liyah yang dimulai dengan fi’il mutasharrifah yang
tidak
mengandung makna do’a maka wajib fashal (m
َ emisahkan)
وح
ِسبوا أن لا ت َ َك ْو َ ُن: َseperti afi, َn dengan lah َjum dan أن
diantara
dengan atau ,ونعلم أن قد صدقتنا َ: ْsepertiْ ُ قَدَ ْdengan atau
فِتن َة ْ
seperti tanfis, huruf dengan atau ,أ َن ل َو َن ْشا َء َأ ُص ْب
ُناهِ ْم : ُ rti َsepe ,لو
. علِم أن سيكون منكم مرض :
َ
َ َّ
Men_takhfif_kan (tidak ditasydidkan) lafaz كأن
Apabila
di_takhfif_kan lafaz كأن maka wajib kekal amalannya. Dan khabarnya boleh
mufrad atau jumlah, dan isimnya tidak wajib dzamir sya an bahkan boleh isim
dzahir, dan boleh membuang
tetapi menyebutkannya َ ْdan َكًأَ
َ ْن لَ ْم َت َْغ ِن ِباالأَ ْم ِسَ : seperti isimnya,
َ
.كأن ظ َب َية ت ْع ُط ْو إِلى َوارِ ِق السل ِم : seperti
sedikit,
Men_takhfif_kan (tidak ditasydidkan)َ lafazَّن
ِك ل
Apabila di_takhfif_kan lafaz ِكن
ل maka wajib di_ihmal_kan
(dibatalkan amalannya) karena hilang
ikhtishas_nya dengan isim dan karena ia lebih lemah dibandingkan كأن tentang
serupa dengan
fi’il. Dan apabila ditakhfif_kan maka bolehَّ memasukkan
wawu ‘ataf
padanya untuk membedakanَ diantara ِكن ل
yang di_takhfif_kan
ِكن dan
wawu.
ل
‘ataf, karena ِكن
ل ‘atad tidak boleh disertai dengan
Fasal Tentang La َلا Nafi Jinsi
Laa nafi jinsi juga dinamakan
dengan َلا tabarri ah, dan َلا
mahmulah.
لا nafi jinsi digunakan untuk menafikan semua jenis atas jalan tanshis
(pasti/tidak ada ihtimal), yakni tidak kekal satu
farad dari segala afrad
pun yang tidak dinafikan. َ
Makaْ َ oleh karena demikianَ keluarlah لا
yang beramal
seperti ليس atau disebut dengan لا nafi hijaz, karenaلا
tersebut walaupun menafikan jenis pada kebiasaan namun bukan atas jalan
tanshish tetapi atas jalan ihtimal dan secara dzahir. Dan juga keluar لا nahi,
karena لا tersebut terkhusus dengan fi’il mudhari’ dan menjazamkannya, dan
juga keluar لا zaidah maka tidak beramal pada sesuatupun karena tidak
terkhusus dengan isim.
Pembagian َلا
NAFI
Menurut ulama nahwu jumlah َلا
enam macam:
yang
berfaedah bagi nafi ada
1.
َلا nafi jinsi.
َلا 2.
nafi
hijaz.
َ ُ
ْ
َ ْ ً َ
َلا 3.
أع ِط زيدا لا َأخاه:
seperti ‘ataf,
َ َ ْ
4.
َلا yang jatuh sebagai huruf jawab bagi lafaz نعم
. َ َ ُ ْ
5.
لا ْ mu’taradhahَ diantara jar dan majrur, seperti :, ٍد زا بِلا ِجئت
ٍئ
شي لا من غضبت, sedangkan ulama Kufah memandang bahwa
لاَ tersebut
bermakna غي yang di_idhafahkan kepada barang sesudahnya dan mu’taradhah_nya
terjadi diantara wawu dan
. ما جاء زيد وأخوه : seperti ma’thuf_nya,
6.
لا yangَ jatuh pada selain tempat yang telah disebutkan.
:َ َ
َ َJikaْ َ ْلا ُtersebَutَّ diiringi oleh
mustaqbal pada makna, sepeَrti
لايقوم: seperti mudhari’, fi’il sesudah
atau ,واللهِ لأعذبتهم بعد ما َس ْق ٌر
زيد maka tidak wajib
mengulang-ulangkan لا. Dan jika diiringi oleh fi’il madhi atau jumlah ismiyah
yang shadar_nya nakirah yang
beramal َلا padanyaْ َ atauَ ma’rifahٌ ْ
makaْ wajib diulang-ulangkanَ
فلا صدق ولا صل , َّ ْلا ُفِيهَا ْ َغو َل َ
و َ ْلاه ُمْ عَنه ْا َ َي ُنِفَو َن , َ ْ ُلاseperti:َّ َ,لا
pula ٌbegitu
,الشمس ينب ِغ لها أن ت ِدرك القمر َولا الليل سابِق النهار َwajibَ
diulang-ulangkan
ٌلا ْapaَbilaٌ masuk atas khabar, seperti :ِعر شا لا زيد
hal َdan ’atَna
ْ َatasَ masuk atau ,ولاكاتِب , وبكر لا ِعندك ولا ِف الدارِ
من شجر ٍة
زيتون ٍة لا شرقي ٍة ولا غربِي ٍة :, contoh َkeduanya, mufradَ َyang
َّ
. جاء زيد لاضا َحك ولاباكِيا
Lafaz لا nafi jinsi beramal sama seperti إِن
yaitu menasab_kan mubtada (isim) dan merafa’_kan khabar dengan syarat
berhimpun
empat perkara :
1. Isim dan khabarnya
merupakan kalimat nakirah.
Dinakirahkan isim supaya menunjukkan dengan
jatuhnya pada siyaq nafi atas umum dan dinakirahkan khabar supaya
menunjukkan
kepada tidakَ dikhabarkan dengan ma’rifah untuk
nakirah. Maka seandainya
لا tersebut masuk atas ma’rifah maka
wajib
di_ihmalkan_nya. َ
2. Isimnya harus
bersambung dengan لا.
3. Isimnya harus didahulukan atas
khabar. َ
Karena lemahnya لا dalam beramal disebabkan
beramalnya لا
atas sebalik qiyas. Maka jika didahulukan khabar atas
isimnya maka wajib meng_ilghakan_nya.
4.
Tidak masuk huruf jar atas لا.
ْ
ُ َ َ
َ
َ َ . ِجئت بِلا
زاد : contoh pada dijar_kan ajibَw Maka
ٌ ْ ُ ْ Jika ْ isim لا
di_idhafah_kan kepada nakirah, seperti :لاصاحب
ممقوت ٌٍم َل ِع َ atauْ ِ
kepada ma’rifah yang tidak berfaedah ma’rifah,
seperti: أحد لامثلك, atau
isimnya serupa dengan mudhaf pada
berhubunganَ dengan ً sesuatu dari
penyempurna makna mudhaf,
seperti: ِضر حا جبلا ولاطالِعا maka isim
tersebut di_i’rab_kan dan
dinasabkan pada lafadz atau pada takdir, karena
idhafah kembali kepada pihak ismiyah sehingga jadilah isim dengan sebab
idhafah
kepada barang yang dimustahakkan
َ
pada
dasar yaitu i’rab.
َ
ال ُمش َّب ُه بِالمضاف ه َو : َما
ات َصل بِهِ شيْ ٌئ يَتِ ُّم بِهِ َمع َن المش َّبهِ بِالمضاف .
Musyabbah
bil mudhaf adalah sesuatu yang bersambung
dengan mudhaf yang dapatً
menyempurnakan makna mudhaf.
berhubungan َج َبلاَ lafaz , لا َطالِ
ًعا َج َبلا حا ِ ٌضر : Contohnya
denganً َا َع طالِ disegi tidak
sempurna makna طالِعا dengan ketiadaan
lafaz جبلا, sebagaimana mudhaf
berhubungan dengan mudhaf
ilaih disegi tidak
sempurnanya makna mudhaf tanpa mudhaf
ilaih. Sesuatu
yang bersambung َ َ kadang-kadang dinasabkan
dengan
musyabbah,ُ seperti: ُ َض ِ ح جبلا لاطالِعا dan kadang-kadang
dirafa’kan,
seperti: وجهه لاحسنا, dan terkadang dijar_kan, seperti:لا
. خيا من زي
ٍد
Dan jika isimnya mufrad maka isimnya dibinakan atas barang yang
dinasabkan mufrad tersebut seandainya di_i’rabkan, baik fatah atau kasrah atau
ya.
Maksud dengan mufrad pada bab َلا
nafi jinsi dan bab nida’
adalah kalimat yang bukan mudhaf dan serupa
mudhaf walaupun
berupa tasniyah dan jamak. Maka jika isimnyaَ mufradٌ
atau jamَak
taksir maka dibinakan atas fatah, seperti: لارِجال , ِضر حا
لارجل
ِضرون حا . Dan jika isimnya berupa tatsniyah atau jamak muzakar
yang
salim maka dibinakan atas ya.
ْ
َّ
ْ
َ ُ َ ْ َ
لارجل ِين ِف
الدارِ , لا قائِ ِمين ِف السثو ِق: Contoh
Dan jika isimnya berupa isimٌ
jamak muannast salim maka
dibinakan atas kasrah, misalnya : ِضرات حا
لامسلِمات dan kadang-
kadangَ dibinakan atas fatah.
Amal لا yang
berulang-ulangَ
Apabila berulang-ulang لا nafi jinsi beserta mufrad
nakirah
maka boleh dibaca fatah dan rafa’ pada nakirah yang pertama.
Maka
jika difatahkan nakirah yang pertama maka boleh pada nakirah yang kedua untuk
dibaca tiga macam, yaitu :
1. Fatah
Dengan
mengamalkan
َلا yang kedua sama seperti
َلا
yang
pertama dan ditakdirkan khabar bagi tiap-tiap, maka
kalam ketika itu adalah dua jumlah yang setiap satu jumlah atas
caranya
masing-m
ُ َّ
asing.
َ
لاحول ولا
قوة: Contoh
2. Nasab
َ َ
Dengan menjadikan لا yang kedua sebagai لا zaidah
bagiَ taukid nafi dan meng_’ataf barang sesudahnya atas mahal isim لا yang
pertama,
karena m
ْ َّ
َ
ahalnya nasab dengan لا.
لاحول ولاقوة: Contoh
3.
Rafa’ َ
Dengan mentakdirkan َلا
sebagai
zaidah dan meng_’ataf barang
sesudahnya atas mahal لا yang
pertama beserta isimnya, karena
mahal keduanya
dirafa’_kan dengan ibtida’.
لاحول ولا قوة: Contoh
Dan jika
di_rafa’_kan nakirah yang pertama maka boleh pada nakirah yang kedua dibaca
dua macam :
a) Rafa’ َ
ْ
َ َ
Dengan mengamalkan لا yang pertama seperti amalan ليس dan
mentakdirkan لا yang kedua sebagai لا zaidah dan meng_’atafkan barang sesudah
لا yang kedua atas barang sebelumnya, maka
kalam ketika itu adalahَ satu
jumlah. Dan boleh juga ditakdirkan
لا yang kedua sebagai لا nafi hijaz
yang beramal seperti amalan
ليس atau di_ilghakan beserta menjadikan
barang sesudahnya
sebagai mubtada, m
ْ
ّ
َ aka kalam ketika itu ada dua jumlah.
لاحول
ولا قوة: Contoh
b) Fatah َ
Dengan
mengamalkanلا yang pertama seperti َ amalan
لَيْ
َس
dan لا yang kedua seperti amalan اِن dan jumlah لا yang
kedua
beserta isim dan khabarnya di_’atafkan atas jumlah sebelumnya,
maka
kalam
ُ
َ diketika itu ada dua jumlah.
َ
َ
لاحول ولا قوة: Contoh
Dan jika di_’atafkan atas isimلا dan tidak
berulang-ulang لا maka wajib difatahkan nakirah yang pertama, dan boleh dibaca
rafa’ pada nakirah yang kedua dengan meng_’atafkan atas mahalَ لا yang pertama
beserta isimnya karena mahal keduanya rafa’ dengan ibtida’, dan juga boleh
dibaca nasab pada nakirah yang kedua
dengan meng_َ ’ataf atas mahal isim
لا atau atas lafaznya. Contoh
لا حول وقوة وقوة:
Ibnu al-‘Anqak
mengatakan:“Pendapat yang ashah bahwa
mem_fatahkan nakirah yang kedua
adalah lughah yang dhaif”.َ ُ َ
ُ َّ َ Danَ jika
ma’tuf_nya berupa isim ma’rifah, seperti : لك لاغلام
ولاالعباس maka wajib
dirafa’_kan ma’tuf, karena لا nafi apabila
berjumpa
dengan ma’rifah maka tidak boleh pada ma’rifah tersebut kecuali
di_rafa’kan.
Dan apabila dina’at_kan isim لاَ yang dibinakan atas fatah
dengan na’at mufrad dan tidak dipisah diantara na’at dan man’ut oleh satu
pemisah, yakni bersambung dengan isim maka boleh pada na’at oleh tiga cara
:
1. Fatah
Denganَ mentakdirkan na’at beserta
man’ut seperti murakab
lafaz عش خسة, kemudian dimasukkan لا atasnya
sehingga
menjadi seperti isim yang satu .
لارجل ظرِيف جالِس:
Contoh
2. Nasab
Dengan mentakdirkan bahwa na’at
tersebut dina’atkan bagi
mahal isimٌ لا,َ karena m
ahalnya
adalah nasab dengan laa nafi.
ُ
لارجل ظرِيفا جالِس :
Contoh
3. Rafa’
Denganَ mentakdirkan bahwa na’at
tersebut dina’atkan bagi
mahal لا beserta isimnya, karena mahal keduanya
adalah rafa’ dengan ibtida’ karena berubah keduanya dengan sebab murakab
seperti
sesuatu yang satu. َ
لارجل ظرِيف جالِس : Contoh
Maka jika
diselangi oleh pemisah yang dapat mencegah untuk dimurakabkan atau na’at_nya
bukan mufrad dalam artian na’at_nya berupa mudhaf atau serupa mudhaf atau
na’atnya mufrad tetapi man’ut_nya bukan mufrad maka boleh pada na’at dibaca
dua macam:
a) Rafa’
Karena mengikutkan
bagi m
َ ٌ
ahal
َلا beserta
ٌ
ْ ُ
isimn
ُyaَ.
Contoh
: ِضر
لارجل جالِس ظرِيف , لارجل طالِع جبلا حا
b)
Nasab َ
Karena mengikutkan bagi mahal isimً ْ َلا atau
lafaz nyَ a.
لا َر ُجل َجالِ ٌس ظرِيفا , , لا َر ُجل َطالِ ًعا َ َج َبلا
حا ِ ٌضر : Contoh
Apabila khabar ْلا َ telah dimaklumkanَ mَ akaَ
kebaَnyakannyaَ
ولو ترى اِذفزعوا فلا فوت اي لهم , لا ضي َا َيْ َ:
sepertiَ an,َdibuangk
َ
. َعلينا , لاحولا ولاقوة اي لنا
Dan apabila masuk لا atas ma’rifah atau
diselangi diantara لا
dan isimnya oleh pemisah maka wajib meng_ihmal_kan
لا, karena
لاَ tidak beramal pada ma’rifah, dan karena bertambah dhaifnya
dalam beramal karena terjadi perselangan diantara لا dan isim yang semestinya
dimurakabkan diantara keduanya. Dan juga wajib
َ َ ْ
ٌ ْ َّ
َ ّ َ ْ ٌ
َitu. ketikaُ ٌpadaَ لا ْ َn َdiulang-ulangka
.لازيد ِف
الدارِ ولا عمر , لا ِف الدارِ رجل ولا إِمرأة : Contoh
II
Fasal Tentang Zhonna Dan Saudaranya
Pada pasal ini akan dibicarakan tentang pembagian yang ketiga dari amil
nawasikh, yaitu fi’l-fi’il qulub dan yang dihubungkan kepadanya.
Adapun
َّن َظ dan saudarnya maka masuk ia atas mubtada dan
khabar sesudah
sempurna fa’ilnya. Amalannya adalah menasabkan mubtada dan khabar menjadi dua
buah maf’ul baginya.
Menurut Ibnu Hisyam dan lainnya “Bahwasanya fi’il
yang muta’adi kepada dua maf’ul terbagi atas beberapa pembagian :
1.
Fi’il yang kadang-kadang muta’adi bagi dua maf’ul dengan sendirinya dan
kadang-kadang tidak muta’adi bagi keduannya,
نقص , زاد yaitu:
َن
َق ْص ُت َزيْ ًدا دِ ْي َنا ًرا , َن َق َص ال ْ َمال , زِ ْد ُت َزيْ ًدا دِ ْي
َنارا , َزاد ال ْ َمال: Contoh
2. Fi’il yang selalu
muta’adi bagi dua maf’ul, akan tetapi kadang-
kadang muta’adi
bagi dua maf’ul dengan
َّ
sendirinya َdanَ
kadang-
أمر
, اِستغفر , زوج , سم , دعyaitu: jar, huruf denganَ َkadang
بِمعن
سم , كل , وزن
Contoh :
ْن َذنْ ٍب
, َز َّو ْج ُت َزيْ ًدا ِم
َذنْ
ًبا َو
َّ َلله
ُت ا
ْ
َلخ ْيِ , اِ ْس َت ْغ َف ْر
َوبِا
ْ
َلخ ْ َي
َزيْ ًدا ا
أَ ِم ْر
ُت
هِنْ ًدا اَ ْو بِ ِهنْ ٍد , َس َّميْ ُت
ال ْ َو َ َلد
ُ َمح َّم ًدا َوبِ ُم َح َّم ٍد , َد َع ْو ُت ال َّز ُج َل َزيْ ًدا َوبِ َزيْ
ٍد , ِكْ ُت َزيْ ًدا َط َعا ًما َولِ َزيْ ٍد
َط َعاما , َو َزنْ ُت َزيْ
ًدا دِ ْر َه ًما َولِ َزيْ ٍد دِ ْر َه ًما .
3. Fi’il
yang muta’adi bagi dua َmaf’ul ْdan yang pertamanya adalah
ْ
َ ْ ُ َ ْ ً . أ ْع ًطى , َ
َك ْ ُس : َyaitu ْmakna, pada fa’il َ
أعطيت زيدا دِرهما ,
كسوت زيدا ثوبا : Contoh
4. Fi’il yang muta’adi bagi dua
maf’ul dan keduanya merupakan
mubtada dan khabar pada dَasarnya, yaitu :
وأخواتِهِ ظن .
ظنن ُت َزي ًدا قائِ ًما : Contoh
Fi’il-fi’il bab ini
terbagi dua macam :
A. Fi’il Qulub
Dinamkan dengan
demikian karena ma’ani_nya terdiri dari ilmu atau dzan atau lainnya yang
berada dihati dan berhubungan dengannya disegi terjadi makna tersebut dari
hati bukan dari anggota yang lain.
Dan dinamakan juga dengan fi’il syak
dan yaqin karena sebagiannya ada yang ada yang berfaedah syak (mutlak
keraguan) dan ada yang berfaedah yakin dan ilmu.
Fi’il qulub terbagi atas
tiga macam :
• Fi’il yang tidak muta’adi dengan
sendirinya tetapi muta’adi
َفكَرَ , تَ َفكَّرَ: yaitu jar, huruf
dengan
َك َذا , َو َت َف َّك َر َزيْ ٌد فِيْهِ: Contoh
Biasanyaْ َ berfْaedah bagi rujhan wuqu’ (kuat terjadi), seperti
yakin,
bagi berfaedah ng-kadang ُّkada َّ ُdan ُ , َظ ُن ْن َ ّت زْيدا قائِما :
.
يظنون أنهم ملاقو ربِ ِهم : seperti
ح ِسبت 2.
Biasanya berfaedah bagi
rujhan wuqu’ (kuat terjadi), seperti
yakin, bagi berfaedah ng-kadang
ُkada danَ , َح ْ َ ِسب ِ َت َ زيدا علما :
seperti :
ِخلت
3.
. ح ِسبت التق والجود خي تار ٍة
Biasanya
berfaedah bagi rujhan wuqu’ (kuat terjadi), seperti :
َشاخَ
ًصا
رأيت 4.
َع ْمرًا
ِخلْ ُت
,
dan sedikit yang berfaedah bagi yakin.
Biasanya berfaedah
bagi yakin, dan kadang-kadang berfaedah
إِنهم يرونه بعِيدا وتراه قرِيب:
seperti wuqu’, rujhanَ bagi
علِمت 5.
ُ َّ
َ
َ َ
َّ ُ َ
َ ْ َ
ْ
فَا ْعلم أنه لا إِله الا اللهseperti: yakin, bagi berfaedah
Biasanya
dan kadang-kadang berfaedah bagi rujhan wuqu’, seperti :فاِن
.Bermakna
: ظننت , namun apabila bermakna ِسبت ح, maka
muta’adi bagi satu
maf’ul. َ ْ َ َ
َ
َك َك ِف الغِن: Contoh
10.
به
ِشريْ
فلا ت َع ُّد َد ال َم ْول
Dengan
shighat amar dan tidak dipakaiَ pada lainnya.
Faedahnya bagi rujhan
dengan makna : ِسب ح .
11.
وجدت
ْ
َ َ ُ ْ
َ َ ْ َ
َ
َ َّ
Berfaedَ ah pada khabar
bagi yakin,ُ َseperti :أكثهم وجدنا واِن
bagi muta’adi maka الإصاب ْة :
َbermakna apabila Dan .لفا ِسقِين
َbilaْapa dan ,اِن
ِتد ذا ِعف ٍة : seperti maf’ul, ْ َsatu
bermakna
ِ
,وجد
زيد من الوج ِد : seperti muta’adi, tiadaَ maka ,الإستِغناء :
على dengan
muata’adi aka َm ,ُح َق َد : َ ْatau َح َز ْن ُ: na َbermak atau
. حزنت
على زي ٍد , حقدت عليهِ : seperti ,
Tersebut dalam kitab Fathul Bari:
Bahwa maddah lafaz
وجد bersatu madhi dan mudhari’_nya dan berbeda
disegi
mashdar_nya denganٌ sebab berbeda ma’ani. Makaً ْ dikatakan
pada
marah denganَ: َدةْ ِج مو, dan pada mathlub : وجودا , pada
barang
tercecer : ٌوجدانا ,َ dan pada biji : وجدا, dan pada harta:
ِجدة
kaya: pada dan ,وجدا
. مولدة : َ ْyaitu
, dan pada yang
dituliskan :جادة
ألفيت 12.
َ َ
ْ ُ
Dengan makna : َت وَجَد yang muta’adi bagi
dua maf’ul. Adapun
yang bermaْknaَ َأصابَّ maka muta’adi bagi satu
maf’ul.
. ضاع ما ِلى ثم ألفيته : SepertiDengan makna علِمت, kebiasaan
yang diulangi dengan
ba’ berfaedah bagi muta’adi bagi satu maf’ul, dan
apabila masuk hamzah naqal maka muta’adi bagi satu maf’ul dengan
sendirinya
dan kepada dua m
ْ
af’ul dengan ba’.
ْ ْSeperti
َّبِ
ْمعن إِعلم 14.
تعل َم َ
ِ ْ َ
ْ
Shighat تعلم bermakna أعلم danَ cuma dipakai َuntuk
shighat
amar saja. Dan َ apabila lafaz َن َظ bermakna إَِتهم َ َ,dan
lafaz
حجاanَd َعرف bermakna علِم lafaz َdan , أب َص َbermakna
رأى
dan ,حقد atau حزن bermakna َ َوجد dan َ ,َقصد bermakna
زعم
bermakna كفل atau قال, maka muta’adi cuma bagi satu
maf’ul.
ْ Fi’il
Tashyir
Dinamakan dengan demikian karena fi’il tersebut menunjukkan atas
perpalingan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.
Fi’il-fi’il
tersebut adalah : Contoh
Fi’il fi’il bab ini memiliki empat hukum khusus,
yaitu :
1. I’mal
I’mal adalah menasabkan dua
juzuk, yakni dua maf’ul.
2. Ilgha
Ilgha
adalah membatalkan amal pada lafaz dan mahal, maka kekal i’rab kalimat
sesudahnya seperti sebelum masuknya fi’il.
Alasannya karena lemah amil
dari beramal dengan sebab tawassuth_nya diantara mubtada dan khabar atau
dengan sebab diakhirkan dari mubtada dan khabar.
Ilgha hukumnya boleh,
bukan wajib. Ilgha amil yang diakhirkan dari dua maf’ul lebih kuat daripada
diamalakan, sedangakan amil yang ditawasuth_kan diantara dua maf’ul
mengamalkannya lebih kuat dari pada meng_ilgha_kannya, karena amil lafdzi
lebih kuat dibandingkan ibtida’ karena ibtida’ adalah amil ma’nawi.
Dan
tidak dibolehkan meng_ilgha amil yang terdahulu atas dua maf’ul karena yang
menghendaki bagi beramal apabila terdahulu maka lebih kuat daripada yang
diakhirkan.
Contoh : ُت
3. Ta’liq
َظ
َننْ
َزيْ ٌد قَائِ ٌم
ُت قَائِ ٌم ,
َظ
َننْ
. َزيْ ُد
Ta’liq adalah membatalkan
amal pada lafaz (yakni tidak menampakkan nasab pada dua maf’ul tetapi keduanya
dirafa’_
kan) dan tidak dibatalkan pada makna, karena
ٌ
datangَ
َ
shadar
,ظننت َ لزيد قاَئَِم ْ : َsepertiَ
a’,َibtid َ ْlamُ ْyaitu sesudahnya, َkalam
nafi, ُلا ْatauٌ ل َقدٌ علِمت
ما هؤلآ ْء ين ِطقو َن ْ: ُpertiَse nafi, ما atau
علِمت إَِن ْز ُيد َق َا
ْئِ ٌم: َpertiَse nafi, اِن atau علِمت لا زيد قائِم : seperti
atau ,علِمت
أزيد قائِم َ أمْ ُعم َر َّ : ertiْsep ,َ ْistifham hamzah atau ,
dari
satu ْsalah ُatauْ َعلِمت واللهِ ليقومن زيد : seperti qasam, lam
maf’ulnya
terdapat isim istifham, seperti : أبوك أيهم علِمت . Ta’liq berlaku bagi fi’il
qalbi yang mempunyai tashrif, dan juga pada beberapa fi’il yang dihubungkan
kepadanya disegi ta’liq berdasarkan pendapat ashah, namun harus menyertai
dengan istifham.
Fi’il-fi’il yang dihubungkan kepada amil qalbi yang
terjadi ta’liq ialah:
َأبْ َ َص •
Contoh
فلينظر أيها أزك طعاما: Contoh
Ta’liq bagi amil hukumnya wajib apabila
diperdapatkan mu’allaqat yang telah disebutkan.
Fi’il-fi’il tashyir dan
fi’il qalbi yang jamid tidak boleh di_ilghakan, karena lemahnya dan tidak
memiliki tashrif. Fi’il qalbi yang jamid
ada dua, yaitu : تعلم , هب,
karena keduanya selalu melazimi
dengan shighat amar.
Fi’il qulub dan
tashyir semuanya memiliki tashrif yang lengkap, kecuali وهب yang selalu
melazimi bagi shighat madhi.
Kemudian hukum-hukum yang berlaku pada
fi’il-fi’il yang telah
disebutkan juga berlaku bagi
tashrif-tashrif_nya. ilgha’ Contoh
. َأنا ظان ما زيد قائِم , أعجب ِن ظنك
ما زيد قائِم : ta’liq Contoh
4. Boleh pada fi’il qalbi
yang memiliki tashrif, dan lafaz رأى yang bermakna mimpi dan melihat untuk
menjadikan fa’ilnya dua dzamir yang muttashil yang bersatu keduanya , yakni
marja’ dua
dzamir kepadaَ
sesuatu
َ
yang
satu.
ً
ُ ْ َ
ْ َ َ
َ
ُ ْ َ ً
ْ
ُ ْ َ
ِلإنسان ليطغ أن رآه : Contoh
.
استغن
علِمت ِن منطلِقا , علِمتك منطلِقا , إِن ا
Boleh
membuang dua maf’ul atau salah satunya karena ada dalil yang menunjukkan atas
yang dibuangkan, maka membuang maf’ul diketika itu faedahnya untuk ikhtishar
(ringkas), atau
tidak ada dalil dan
َ
dikatakan
َ
baginyaُ
ْ denganَّ
iqtishar. ْ َ
. أي َن
َشركئِ َى ا ِلذي َن كنت ْم ت ْزع ُم ْون ا ْي ت ْزع ُم ْون ُهم َشرك َء :
Contoh
Pengarang kitab jurumiyah mengkategorikan lafaz ُت ْع ِم َس
sebagai
amil yang menasabkan mubtada dan khabar, dengan syarat :
•
Apabila masuk atas barang yang tidak bisa didengar.
Adapun apabila lafaz
ُت ْع ِم َس masuk atas barang yang yang
didengarkanَ
maka َ muta’adَ i bagi ُ satu ْ maf’ul saja, seperti
. س ِمعت القرآن , س
ِمعت الح ِديث ,س ِمعت الكم :
• Maf’ul_nya yang kedua
mesti jumlah dari barang yang
didengarkan.
َ
َ
ْ ُ َ َ
ُ ْ ُ
َ َ َ
ْ ُ َ ْ ً
َ
. س ِمعت زيدا يقول كذا , س ِمعت فت يذكرهم : Contoh
َ
ْ ُ
Menurut jumhur ulama nahwu bahwa sanya lafaz ِمعت
س
merupakan fi’il yang muta’adi bagi satu maf’ul. Maka jika maf’ulnya
ma’rifah maka jumlah sesudahnya di_i’rab sebagai hal, karena jumlah apabila
jatuh sesudah isim ma’rifah maka
di_i’rab sebagai hal.
ْ ُ َ ْ ً َ ْ َ
س ِمعت
زيدا يقول كذا : Contoh
Dan jika maf’ul_nya nakirah maka jumlah sesudahnya
di_i’rab sebagai shifat, karena jumlah apabila jatuh sesudah isim nakirah
maka
di_i’rabُ sebagai ُ shifat.
س ِمعت فت يذكرهم : Contoh
II
َماءِ
ُص ْو َبات الأَ ْس
بَاب
ال ْ َمنْ
Bab Tentang Isim-isim Yang Dinashabkan
Isim-isim yang di_nashabkan menurut sebagian ulama ada dua puluh enam, namun
yang disebutkan disini ada lima belas bab, yaitu :
1. Bab maf’ul bih
Termasukْ َkedalam maf’ul bih yaituً ْ dua ْ maf’ul َّن
َظ dan segala
ضربت زيدا: Contoh munada. dan اعلم maf’ul
2.
Bab mashdar
Bab ini dinamakan juga dengan maf’ul mutlaq karena tidak
dikayitkan dengan huruf jar berbeda halnya dengan maf’ul- maf’ul yang lain
yang semuanya dikaitkan dengan huruf jar. Bab maf’ul ma’ah Bab bab tamَ nyizَ
ُ َ َ
طاب محمد نفسا: Contoh
9.
Bab mustastna
ُس ْوا َس َ َوا َء: Contoh Contoh
12.
Khabar fi’il-fi’il ُmuqaarabaُhَ ْ َ
َ
َ َ ُ
Contoh
َّ
وما
كدوا يفعلون , وعسيت صائِما:
13. Isim اِن
dan saudaranya 15. Tabi’ bagi manshub, yaitu : na’at, ‘ataf,
taukid,dan badal.
II
بَاب ال ْ َم ْف ُع ْو
ُل بِهِ
Bab Tentang Maf’ul Bih
َعلَيْه الْفِ ْع ُل .
ْي َي َق
ُع
الم ْف ُع ْول هو : الإ ْس ُم ا َّ ِلذ
Maf’ul
bih adalah isim yang menjadi sasaran jatuhnya
perbuatan
(objek). َ ْ
َ ْ ُ
ْ ً
َ
َ ْ ُ
ضربت زيدا , ركِبت الفرس
: Contoh
Jatuhnya perbuatan pada mْ af’ul bih terbagiْ dua :
َضرب
َّ َُت َزَي ًْداُ , َركِبَّ ُت َالف ْرس: seperti hissi, pada Jatuh •
َ
َّ ُ ْ
واتقوا الله , اقِيموا الصلاة : seperti maknawi,
pada Jatuh •
.
Maksud dengan jatuhnya perbuatan pada maf’ul
bih secara maknawi adalah berhubungannya perbuatan sifa’il (pelaku) dengan
sesuatu yang menjadi maf’ul bih dengan tiada perantaraan, yakni tidak dapat
dibayangkan suatu perbuatan tanpa adanya maf’ul bih, seperti memukul yang
tidak pasti adanya pukulan tanpa adanya sesuatu yang dipukulkan.
Tanda
maf’ul bih
ْMaf’ul bih adalah sesuatu yang sah dikhabarkan untuknya
dengan
isim maf’ul yang tam yang di_shighat_kan ٌdariْ lafaz َ fi’ilnya,
maka
bisa dikatakan pada contoh diatas dengan مضوب زيد,الفرس
. الصلاة مقامة
,الله متق ,مركوب
Fi’il dengan nisbah bagi maf’ul bih terbagi atas
beberapa macam:
1. Fi’il yang tidak muta’adi sama
sekali, seperti f’il yang menunjukkan kepada suatu kejadian.
Fi’il ini
dinamakan dengaْn ْfi’ilَ lazim dan fi’il qaashir.
َح َدث ال َمط ُر
, ن َب َت لنَا الز ْرع: Contoh
2. Fi’il
yang muta’adi bagi satu maf’ul dengan huruf jar.
Fi’il ini
jugaَ
dinam
َ
akan dengan fi’il lazim
dan fi’il qaashir.
َ ْ َ ْ
غضبت ِمن زي ٍد , مررت
عليهِ: Contoh
3. Fi’il yang muta’adi bagi satu maf’ul
dengan sendirinya, seperti
fi’il hawas yang lima (fi’il
yang
َ
menunjukkan atas panca indera).
شممته ,
ابصته , س ِمعته: Contoh
4. Fi’il yang kadang-kadang
muta’adi bagi satu maf’ul dengan sendirinya dan kadang-kadang dengan huruf
jar.
َش َك ْرتُ ُه اَ ْو َش َك ْر ُت َ ُله: Contoh
5.
Fi’il yang kadang-kadang lazim dan kadang-kadang muta’adi bagi dua maf’ul
dengan sendirinya.
زِ ْدتُ ُه دِ ْي َنارا َو َزاد ا ّلد ْي َنار , َن َق
ْص ُت ُه َشيْ ًئا َو َن َق َص ال ّش ُء: Contoh
6. Fi’il
yang muta’adi bagi satu maf’ul dengan sendirinya dan
kadang-kadang
muta’adi bagi dua maf’ul dengan sendirinya dan terkadang dengan huruf jar,
yaitu :, دع , سم , زوج , كل , وزن
كن
7. Fi’il yang
muta’adi bagi dua maf’ul dengan sendirinya, yang
mana maf’ul yangَ
pertama merupakan fa’il pada makna, yaitu
ْ َ ْ
ُ َ ْ ً ْ َ
ً َ َ . ْ ُكس َا ْdan ْا
ًعطى bab َ
اعطيت زيدا دِرهما , كسوت عمرا ثوبا: Contoh
8.
Fi’il yang muta’adi bagi dua maf’ul yang asal keduanya merupakan mubtada dan
khabar. Fi’il tersebut adalah bab ظن dan saudaranya.
َظ َننْ ُت زيْ ًدا
قَائِ ًما: Contoh
9. Fi’il yang muta’adi bagi tiga
maf’ul, yang asal dari dua maf’ul yang
terakhir merupakan mubtada dan
khabar, sedangkan maf’ul
yangَ pْertama adَalah ajnabi, yaitu fi’il yang
tergolong kedalam
. أرى dan َأعلم bab
Pembagian Maf’ul Bih
Maf’ul
bih terbagi atas dua macam :
1. Dzahir
Yaitu
kalimat yangَ dijadikan sebagai maf’ul bih berupa isim
ضربت
زيدا: seperti dzahir,
2. Mudzmar
Mudzmar terbagi
dua :
a. Muttashil
Yaitu dzamir yang bersambung
dengan ‘amil dan tidak terasing dengan sendirinya.
Munfashil
Yaitu dzamir yang terasing dengan sendirinya.
اِيَّاي ,
اِيّانَا , اِيَّاك , اِيَّاك , اِيَّ ُك َما , اِيَّ ُك ْم ,
اِيَّ ُك َّن , اِيَّاهُ , اِيّاها , اِ َّي ُه َما ,
Hukum-Hukum
Maf’ul Bih
اِيَّاه ْم , اِ َّي ُه َّن .
Pada dasarnya maf’ul bih diakhirkan daripada fa’il, yakni
disebutkan
sesudah fa’il,ُ َ karenaُ maf’ul bih berkedudukan
.وورِث سليمان داود
Seperti fudhlah. sebagai
Dan kadang-kadang dibolehkan
mendahulukan maf’ul bih atas
.ولقد جاء آل فِرعون النذر seperti: fa’il,
Dan Kadang-kadang diwajibkan mendahulukan maf’ul bih atas fa’il, dengan syarat
:
• Apabila maf’uَlَ bihُ beَrupaَ َ dzamir yang
muttashil dengan fi’il,
atau ,شغلتنا أموالنا وأهلونا : seperti
•
Dzamir yang kembali ُ kepadaَ ْ maf’ul bersambung dengan
َّ
َ ْ َ َّ وَإِذِ
ابتل إِ ْب ُراهِيم ربه بِكلِمات : seperti fa’il,
.إِن َمَّا َي َ ْش
َا َ َلله َ ْ ِم ٌ ْن َّ ِع َب َادِهِ العل َماء : seperti fa’il, Dihasharkan
•
Dan jika dihasharkan maf’ul, seperti :اِياك زيد أكرم اِنما, atau
fa’ilnya
berupa dzamir muttashil, seperti :ًدا زِيْ ُصرت بَ, atau
dikhawatirkan
terjadi talabbus (samar-samar) diantara fa’il dan maf’ul, seperti tidak nampak
harkat pada keduanya seperti keduanya berupa isim maqshur dan tidak
diperdapatkan qarinah, maka wajib mendahulukan fa’il.
Kadang-kadangَ dibolehkan mendahulukan maf’ul atas fi’il dan
.فرِيقا هدى
seperti: fa’il,
Kadang-kadang diwajibkan mendahulukan
maf’ul atas fi’il dan
. َأيَّاما تَ ْد ُعو : seperti
fa’il,
Al-Fakihi berkata :“Dibolehkِ anْ ُ memَّ asukkan ْlamَ atasْ mْ
af’ul
اِن كنتم للرؤيا تع ِبون و والذين هم لربِ ِهم: seperti didahulukan,
diketika
يرهِبون. Lam tersebut dinamakan dengan lam muqawwiyah, karena
fungsinya
untuk menguatkan amil sehingga sampai kepada maf’ul
bih yang didahulukan,
karena dengan sebab mendahulukannya atas amil akan terjadi lemah dari
sampainya amil kepadanya”.
Amil yang menasabkan maf’ul Bih
. َ َضر
َّبْ ُت َّ ََزيْ َ ًدا ُ: seperti muta’adi, Fi’il •
َ َ ْ َ.
اَن ُا َّلله بالِ َّغ اَمره : seperti Washaf,
•
. ولو َلا َ ْدف ُع ْا َ ْللهِ ُ الناس ْ: seperti Mashdar, •
.
عليكم انفسكم : seperti fi’il, Isim •
Amil yang menasabkan maf’ul pada
dasarnya disebutkan, dan kadang –kadang disembunyikan. Menyembunyikan amil
yang menasabkan maf’ul terkadang hukumnya dibolehkan dengan sebab berdiri
qarinah maqaliyah atau haliyah yang menunjukkan atas khushusiat fi’il yang
dibuangkan dan tidak berdiri satu lafaz
pada temَ patnَ ْya. Conْ toh ْ
qarinah ُّ maqَ aliyahَ sepَّ erti firmanَ Allah
dan ,وقِيل ل ِلين اتقوا
َماذ َا أنزل ربكم قالوا خيا اي أنزل حيا : swt
contoh qarinah haliyah
seperti ucapan : مكة kepadaَ orang yang
kita ketahui ingin berangkan ke
Mekah, takdirnya : مكة ترِيد .
Dan kadang-kadang diwajibkan
menyembunyikan amil dengan sebab berdiri qarinah yang menunjukkan atas
khushusiat fi’il yang dibuangkan dan pada tempat fi’il terdapat satu lafaz
yang berdiri pada tempatnya, seperti pada bab isytighal dan munada, atau
karena sering terjadi sehingga terkaya dari amil seperti pada tahzir dan
ighra’ apabila diulang-ulang.
Tempat-tempat yang wajib disembunyikan amil
:
1. Isytighal
2.
Munada
3. Manshuf atas ikhtishas
Yaitu
kalimat yang dinasabkan dengan lafaz
yang
أَ َخ ُّص
ditakdirkan sesudah dzamir mutakallim wahdah atau
ma’a
ghairih, yang kadang-kadang َ ْ disertakanْ َ
dengan alif dan
kala kadang dan نحن العرب أقرى الناس لِلض ٍعي
ِف: seperti lam,
diidhafah_kan sebagaiُ َidhafahَ
ma’nawiyah bukan idhafah
.معاشر الأنبِيآء لا نورِث : seperti
lafdhiyah,
4. Manshub atas ighra’
Yَakni kalimat
yang dinasabkan dengan mentakdirkanَ َ lafaz
اِلزم yang wajib dibuangkan
jika berulang-ulang, seperti :الصلاة الصلاة atau diataf_kan atasnya, seperti :
والرمح السيف, dan jika
tidak seperti demikian َmakَ aْ ُbolehَ
disebutkanَ َamَilnya, seperti
ُ ُ َ َ
ْ.وْ ُدون ْ ُك َ ز َيدا dan َ ْعلي َ ْكُ ْم أنفَ ْس َ َ ُكم
: swt Allah firman ْ َ
الإغراء هو تنبِيه المخاط ِب على أم ٍر محمو ٍد
ِليفعله .
Ighra’ adalah memberitahu simukhathab atas perkara yang terpuji
supaya dikerjakannya.
5. Manshub dengan tahdzir
Yakni
kalimat yang dinasabkan dengan mentakdirkan seumpama
lafaz َِق َت َاِ
yang wajib dibuangkan jika berulang-ulang, َ seperti :
atau ,ناقة َّا
َللهِ وِ َسقياه َا : seperti atasnya, diatafkan atau ,الأسد الأسد
karena
,اِياك من الأس ِد : seperti ْ,اِ َياْك َlafaz dengan keadaannya
asalnya
adalah ِد الأس من نفسك ِعد با, kemudian dibuangkan lafaz
باعدdan fa’ilnya
dan mudhaf yaitu lafaz نفس, maka terpisahlah
yang اِياك والأسد seperti
danْ ,َاِياك َjadilah َgaَsehing kaf dzamir
ا ْلأس ْد lafaz dinasabkan ,
اِح ِذر ت َلا َ ِق نفسك والأسد adalah asalnya
karena diataf_kanَ atas
lafaz تلاق, maka dibuangkan lafaz ِذر اِح
kemudian lafaz ِق تلا kemudian
lafaz َس ْف نَ, sehingga ternasablah
dzamir dan terpisah
ia.
َTahzir adalah memberitahu simukhathab atas perkara yang tercela
supaya dijauhinya.
6. Matsal (perumpamaan)ْ yang warid
denganَ َ buang fi’il.
dengan liar), (sapi بقر الوح ِش yakni ,ا َل ْ ِكَ
َب على القرِ Contoh:
menasabkaَn lafaz ِكب ال dengan fi’il yang
dibuangkan, takdirnya
.أر ِسل adalah
seperti ْdan َانَت ْه َوا
ًخَ ْيا ل َكَ ْم ا ُي َوْأت ًوا َ َخ َ ْيا ُ: swt ًAllah an ْ ًfirm ْSeperti
dan boleh juga lafaz tersebut ُdiْ i’rab_kanً sebagaiْ mَ af’ul
ْmutlaqَ,
Bab Tentang Isytighal
Hakikat isytighal adalah terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu fi’il
atau washaf yang disibukkan (berbimbang) dengan beramal nasab pada sebuah
dzamir yang kembali kepada isim yang didahulukan, atau disibukkan dengan
beramal nasab pada isim yang mulabis (berpakaian/ bersentuhan) dengan
dzamir,
isimُ tersebut ًadakalanya di_idhafah_kan kepada dzamir, seperti
:
dzamir, demikian amil dengan shaf_kan ْdi_waَ ْatau َزُيدًا ُ ُّضر ُبت
غلامه
dengan (bersambung) ْmaushul ُatau , زيدا ضربت رجلا يِبه :
seperti
amil demikian dzamir, seperti : يِبه ِلذي ا ضربت زيدا sehingga
jauh
dari beramal pada lafaz isim yang terdahulu, seperti : ضربته زيدا
atau pada mahal isim terdahulu seperti: ضربته هذا. Dan seandainya fi’il atau
washaf tidak beramal pada dzamir maka sungguh akan
beramal pada demikian
isim yang terdahulu.
Maka dari redaksi diatas dapat dipahami 16 surah
tentang
Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu fi’il yang berbimbang dengan
beramal nasab pada sebuah dzamir yang kembali kepada isim yang didahulukan
sehingga jauh dari
beramal pada lafaz isim yang terdahulu .
َ Contoh
.
2. Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu
fi’il yang disibukkan dengan beramal nasab pada sebuah dzamir yang kembali
kepada isim yang didahulukan sehingga jauh dari beramal pada mahal isim yang
terdahulu .
َ3. Terdahulu satu isim dan diakhirkan
darinya satu washaf yang disibukkan dengan beramal nasab pada sebuah dzamir
yang kembali kepada isim yang didahulukan sehingga jauh dari beramal pada
lafaz isim yang terdahulu .
َ4. Terdahulu satu isim dan
diakhirkan darinya satu washaf yang disibukkan dengan beramal nasab pada
sebuah dzamir yang kembali kepada isim yang didahulukan sehingga jauh dari
beramal
padaَ maَ halَ isim yang terdahulu .
َضارِبه َ : Contoh
5. Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu fi’il
yang disibukkan dengan beramal nasab pada isim yang berpakaian/ bersentuhan
dengan dzamir dengan jalan di_idhafah_kan kepada dzamir yang kembali kepada
isim yang didahulukan sehingga jauh dari beramal pada lafaz isim yang
terdahulu .
ْ
ُت غلام ُه : Contoh6.
Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu fi’il yang disibukkan dengan
beramal nasab pada isim yang berpakaian/ bersentuhan dengan dzamir dengan
jalan di_idhafah_kan kepada dzamir yang kembali kepada isim yang didahulukan
sehingga jauh dari beramal pada lafaz isim yang terdahulu .
. هذا ضربت
غلامه : Contoh7. Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya
satu washaf yang disibukkan dengan beramal nasab pada isim yang berpakaian/
bersentuhan dengan dzamir dengan jalan di_idhafah_kan kepada dzamir yang
kembali kepada isim yang didahulukan sehingga
jauh dari beramal padaَ َ
lafaz isim yang terdahulu .
غلام ُه : Contoh
َ
8.
Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu washaf yang disibukkan dengan
beramal nasab pada isim yang berpakaian/ bersentuhan dengan dzamir dengan
jalan di_idhafah_kan kepada dzamir yang kembali kepada isim yang didahulukan
sehingga
jauh dari ُberamal padaَ َmahal isim yang terdahulu .
br
/>9. Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu
fi’il yang disibukkan dengan beramal nasab pada isim yang berpakaian/
bersentuhan dengan dzamir dengan jalan di_diwashaf_kan dengan amil demikian
dzamir sehingga jauh dari beramal pada lafaz isim yang terdahulu .
ْ
Contoh10. Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu
fi’il yang disibukkan dengan beramal nasab pada isim yang berpakaian/
bersentuhan dengan dzamir dengan jalan di_diwashaf_kan dengan amil demikian
dzamir sehingga jauh dari beramal pada
mahal isim
ُّ
Contoh
11. Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya
satu washaf yang disibukkan dengan beramal nasab pada isim yang berpakaian/
bersentuhan dengan dzamir dengan jalan di_diwashaf_kan dengan amil demikian
dzamir sehingga jauh dari beramal pada
lafaz isim yang
terdah
ُ ُّ
ulu .
ْ زيدا ضرْبت رجلا يِ َبه:
Contoh
ا ْن َي َت َق ََّد َم ا ْس ٌم َو َي َتأ َّخ َر َعنْ ُه َو ْص ٌف ُم
ْش َتغِ ٌل ِبال َع َم ِل ِف ُملاب ِ ِسهِ ا ْي ِف
ِل ِف
َع
ِن ال َع َم
ِم ْيِ
َّض
َك
ال
َذلِ
ِم ِل
ُصوفًا
بِ َعا
َم ْو
ُك ْو ُن
َو
َي
محلِهِ.
ِم ْ َي ِف
اِ ْس ٍم يُلاب ِ
ُس ال َّض الإ ْس ِم السابِ ِق ا ْي
12.
Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu washaf yang disibukkan dengan
beramal nasab pada isim yang berpakaian/ bersentuhan dengan dzamir dengan
jalan di_diwashaf_kan dengan amil demikian dzamir sehingga jauh dari beramal
pada
mahal isim
ُّ
ُyangُ
َterdahuluَ
.َ
Contoh
ا ْن َي َت َق َّد َم ا ْس ٌم َو َي َتأ َّخ َر َعنْ ُه فِ ْع ٌل ُم
ْش َتغِ ٌل ِبال َع َم ِل ِف ُملاب ِ ِسهِ ا ْي ِف اِ ْس ٍم
ْي
ِف
َّسابِ ِق اَ
ِلإ ْس ِم ال
ِف
ا
َع ِن ال َع َم ِل
ًلا بِهِ
ُص
ْو
َم ْو
ُك ْو ُن
َو
َي
ِم ْ َي
َّض
َلاب ِ ُس ال
ِظهِ .
يَُ لف
13.
Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu fi’il yang disibukkan dengan
beramal nasab pada isim yang berpakaian/ bersentuhan dengan dzamir dengan
jalan maushul dengan amil demikian dzamir sehingga jauh dari beramal pada
lafaz isim
ْ ً َ َ ْ
ُ َّ terdahulu. yang َ
َ14. Terdahulu
satu isim dan diakhirkan darinya akan fi’il yang disibukkan dengan beramal
nasab pada isim yang berpakaian/ bersentuhan dengan dzamir dengan jalan
maushul dengan amil demikian dzamir sehingga jauh dari beramal pada mahal
isim
َ َ َ َ ْ
ُ َّ. terdahulu yang
ِلذي يِبه: Contoh
َ15.
Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya akan washaf yang disibukkan dengan
beramal nasab pada isim yang berpakaian/ bersentuhan dengan dzamir dengan
jalan maushul dengan amil demikian dzamir sehingga jauh dari beramal pada
lafaz
isim yang terdahulu.
َ16.
Terdahulu satu isim dan diakhirkan darinya satu washaf yang disibukkan dengan
beramal nasab pada isim yang berpakaian/bersentuhan dengan dzamir dengan jalan
maushul (bersambung) dengan amil demikian dzamir sehingga jauh
dari
beramal pada ُmahal َ isimَ
yang terdahulu.
َ
هذا
أنا ضارِب ا ِلذي يِبه: Contoh
Yang menasab_kan contoh-contoh tersebut
adalah amil yang wajib dibuangkan, baik berupa fi’il atau washaf. Dan
disyaratkan keadaan amil yang dibuangkan harus munasabat (sesuai) pada
makna
dengan yang disebutkan yangَ menafsirkan barang
bagi melazimiْ ُatau َ, ْ
ً َضرب َ ُتَ ْ ِفُ َزيُ ًدا َ َ ُ َضربت ُه : seperti sesudahnya,
amil
Maka .أهنت ِف زيدا ضربت غلامه : seperti disebutkan, yang
tersebut tidak
boleh didzahir_kan, karena sebagian dari adat mereka adalah tidak
menghimpunkan diantara mufassir (yang
menafsirkan) dan mufassar (yang
ditafsirkan).
hَconto pada dan اِ ْ ِضر ْب َزيْ ًدا اِ ْ ِضربْ َُه َ:
pertamaْ ًcontoh ada Takdir
َأ ْ َه ْن َت:ُ َّketiga contoh pada dan ,
أنا ضرب زيدا َأ ْن ًا َضا َرِ ْبهُ: duaَke
ألزمنا ك اِنسا ٍن: empat
ke contoh pada dan , ِف زيدا ضربت ْغَ ْ َلام ُه
.أضلزمناه
Perhatian
:
Hanya sanya diwajibkan nasab pada bab isytighal jika jatuh
isim
yang mansub sesudah adat (alat) ْ yang ُ terkhusus ْ dengan
atau ,اِن
زيدا لقِيته فأ َ َّكرِ َم ْه ً : َmisalnya syarat, adat seperti fi’il,
adat
tahdhidْhَ ,َ misalnyaَ : أكرمته زيدا هلا, atau adat istifham,
misalnya:
رأيته زيدا مت. dan jika tidak jatuh sesudah adat-adat tersebut maka tidak
wajib dinasab pada kalimat yang jatuh sebagai
isytighal.
Dan terkadang wajib dirafa’kan isytighal dengan dengan
ibtida’, apabila ً
digiringi oleh kalimat ْ yangْ ْterkhususَ dengan
خرجت
فاِذا زيد ي ِضبه عمروmisalnya: fujaiyah, اِذا seperti ibtida’,
,
atau barang sesuَdahnya ُّtidak patut untuk beramal padanya,
dengan
dinasabkan jikalau karena ,وك َ َ ُش ٍء ُف َّعل َوا ْه ِف الزبرِ : seperti
mentakdirkan
ٍئ شي ك فعلوا akan salah pengertian, karena mereka
tidak berbuat ُ
sesuatuَ punَ dُalam Zabur, karena takdirnya adalah
.وك شي ٍئ مفعو ٍل لهم
ثابِت ِف الزبرِ
II
بَاب ال ْ ُم َنادى
Bab Tentang Munada
Munada merupakan salah satu diantara kalimat manshub yang wajib
disembunyikan amilnya.
Pengertian munada
ّ
َ
المنادى هو : المطلوب اِقباله ِبر ٍف ِمن حرو ِف النِداءِ
الثمانِيةِ .
Munada7 adalah sesuatu yang dituntut menghadapkannya
dengan
salah satu daripada delapan huruf nida’.
7 Dalam kitab
al-Qawa’id al-ْ Asasiyَ ahُ
Munada’ adalah isim yang dzahir yang dituntut
hadapkannya dengan
salah satu dari huruf-huruf nida’.
Huruf-huruf
nida’ ُ ْ َ َ
1. Hamzah, seperti :زيد
أ
Huruf ini dipakai untuk munada yang qarib (dekat).
ْ
2.
أي dengan qashar (dipendekkan bacaan) dan sukun. Seperti sabda Nَ abi Muhammad
SAW bagi paman_Nya Abu Thalib :أي
. ع ِم قل لا اِله اِلا اللهُ
Huruf
ini dipakai untuk munada yang qarib.
3. يَا. Huruf ini
adalah ummul bab (induk dari bab munada).
Huruf ini dipakai untuk munada
yang ba’id (jauh) pada hakikat, atau pada hukum ba’id, seperti memangil orang
yang sedang tidur dan sedang lalai. Dan terkadang dipakai untuk munada
yang
qarib karena untuk taukid.
َ َ ْ ُ َ
4.
أيا. Huruf ini dipakai untuk munada yang ba’id. Seperti :زيد أيا
5.
هيا. Huruf ini dipakai untuk munada yang ba’id. Dan huruf ha’_ nya merupakan
ganti daripada hamzah yang ada pada اَيَا, dan menurut pendapat qil, ha’
tersebut adalah asal.
6. آي. Dibaca dengan dipanjangkan
hamzah dan disukunkan ya’. Seperti : زيد آي.
7. وا.
Huruf ini menurut jumhur ulama dipakai khusus untuk
nudbah, dan sedikitِ
dipakai padaَ selainَ nudbah, seperti ucapan
. واعجبا لك يا اِبن عباس :
r.a Umar saidina
8. آ. Dibaca dengan dipanjangkan
hamzah.
Munada wajib dinasabkaُ nَ jika َّjatuhْ
َ sebagai mudhaf
serupa atau ,يا عبد اللهِ , يَا َرس ًول َا َللهًِ
seperti: (diidhafahkan),
dengan mudhaf, seperti: جبلا طالِعا يا, atau
berupa nakirahً ghairu
يا غفِلا والموت يطلبه: nasehat pemberi ucapan
seperti maqshudah,
. Sedangkan pada selain demikian tidak dzahir nasabnya
dan
nasabnya cuma pada mahal saja, karena jatuh sebagai maf’ul bih
disegi
makna.
َ ْ َ
َّ َ
َ ْ ُ َ
ْ َ
ْ ُ ُ َ
ْ ُ َ
أدعو او أطلب
او أنادِي adalah يا عبد اللهِ : contoh dari Asal َ ْ َ َّ
اللهِ
عبد, maka dibuangkan fi’il dan digantikan huruf nida’ karena
untuk
takhfif dan supaya menunjukkan atas insya’. Alasan wajib dibuangkan amil
(أدعو) karena tertegah berhimpun diantara mu’awwidh (yang
mengganti) dan mu’awwadh ‘an (yang
digantikan).
Pembagian
munada
Munada terbagi atas lima macam :
1.
Mufrad ‹alam
َ ّ َ َ
ْ
ُ ُ َ ً
َ
َ َ ْ
ُ َ َ
َ
َ ُ ْ
ُ ْ َ ُ
المفرد
العلم هو ما كن تعرِيفه سابِقا على النِداءِ.
Mufrad ‹alam adalah suatu
isim yang makrifahnya lebih dulu
dari pada nida›.
Seperti : ُد
يَازيْ Lafaz ُد َزيْ masih kekal ma›rifahnya dengan alamiyah
sesudah
nida’, tetapi khithab lebih menampakkan bagian takhsis atas jihad takkid
sebagaimana di takhsis oleh sifat.
2.
Nakirah
َ َ
maqsh
َudahَ
ّ
َ ْ ْ ُ ُ
َ ً
َ َ
ُ َ
َ ُ ْ
َّ
َ ُ ْ َ ْ ُ
الن ِكرة المقصودة ِه ماع
ِرض تعرِيفه سابِقا بِالنِداءِ بِان ق ِصد بِها معين.
Nakirah maqshudah
adalah suatu isim yang ma’rifahnya telah terdahulu dengan nida’ dengan bahwa
dikasadkan yang tertentu dengannya. Seperti: رجل يا yang dimaksudkan laki-laki
yang tertentu.
3. Nakirah ghairu maqshudah
Yaitu
nakirah yang tidak dikasadkan dengan zat, danَ yangَ
dikasadkan adalah
salah seorang dari afradnya, seperti : اِنسان يا
.أنقِذ ِن
4.
Mudhaf kepada lainnya
َ
َ ُ َ
Yakni idhafah
lafdhiah, seperti :ِمهِ غلا يَاضارِب, atau idhafah
يا غلام زي ٍد seperti
maknawiyah
5. Musyabbah bil mudhaf
َ
ّ َ ٌ ُ
َ َ ُ ُ َ
ْ
َ ْ
ُ َ ُ ُّ
ُ
َ ْ
ْ ُ َ َّ ُ
المشبه بِالمضاف
هو ك اِسم ِين احدهما مرتِبط بِالاخرِ.
Musyabbah bil
mudhaf adalah tiap-tiap dua isim yang salahَ satunya mepunyai keterikatan
dengan yang lain. Contoh
. يا طالِعا جبلا :
Hukum-hukum munada
1.
Mufrad alam dan nakirah maqshudah dibinakan keduanya pada lafaz dan takdir
atas harkat yang dirafa›-kan keduanya dengan harkat tersebut diketika i›rab.
Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :
• Dibinakan
atas dhammah jika keduanya berupa isim mufrad, atau berupa isim jamak taksir,
atau jamak muannas salim,
atau murakab majzi.
ُ
َ
َ َ َ
َ ْ َ
ُ ْ َ َ
َ َ ُ ُ
َ ْ ُ َ
يا زيد , يا رجل , يا موس , يا من َ َلا اِ ْلهَ اِلاُ
ه َو , َ ْيا َ: mufrad Contoh
َ ُ. َهذَا
القائِم , يا انت, يا اِياك , يا هو
ُ ُ ْ ُ َ
Contoh
isim jamak taksir : ُصارى
َ يا ُزيو َد , ي ْا َأ
ُ ْ َ
Contoh jamak muannas salim
ْ َ
ُهِندات:
يا
مس َلِ ْمات , َيا
َ
يَا مع ِدى ك ِرب , يا ِسيبويهِ : majzi murakab
Contoh
• Dibinakan َkeduanya atas alif pada isim
tatsniah seperti : يا
يا زيدان ,رجلا ِن
• Dan
dibinakan atas wawu pada jamakْ muzakarْ saَlim, karena
يا زيدون , يا
مسلِمون: seperti dhammah, dari niyabah
Alasan dibinakan mufrad makrifah
(mufrad alam) dan
nakirah maqshudah, beserta pada dasarnya di
i›rabkُanُ,
karena serupa keduanya bagi kaf yg ada pada lafaz ادعوك
pada
ifrad dan ma’rifah dan mengandung maknaَ khithab,
dan kaf ini sama dengan
kaf yang ada pada lafaz ذاك disegi lafaz dan makna, maka jadilah keduanya
serupa bagi yang menyerupai huruf.
Apabilaْ disifatkan munada yang mufrad
dengan lafaz ٌن اِبْ
atauَ ُ اِْبَنَة yangَّ َdi idْhafah-kan keduanyaَ
bagi ُ‹alamَ , seperti
maka يا زيد بن سع ٍد او بن سع ٍد , يا فا ِطمة ابنة
محم ٍد او ابنة محم ٍد
boleh di_dhammah_kannya dan
di_fatah_kannya dan tidak
berbekas bagi washafُ dengan lafaz بِنت disisi
jumhur Arab.
sama dhammah, diwajibkan يا َ ٌّهِند بِنت عم ٍرو contoh:
Maka
seperti wَ ashaf dengan lafazُ ُعمَ َّ danُ َّ عَمة dan lain-lain.
Contoh
contoh pada Maka .يا صفِية عمة رسو ِل اللهِ صل الله عليهِ وسلم
:
tersebut diwajibkan dhammah dan tertegah fatah.
Apabila
diwashaf_kan nakirah maqshudah dengan mufrad maka dinasabkan, seperti :كرِيما
رجلا يا, dan didhammah_ kan, seperti: كريم رجل يا . Dan apabila
diwashafkannya
dengan jumlah atau serupa jumlah maka wajib dinasab_
kannyaّ
ُ menurut ulama Bashariyun, seperti hadits : ِظيما ع يا
.يرج لِ ِك
ع ِظيمٍ
2. Adapun mudhaf dan musyabbah bil mudhaf dan
nakirah ghairu maqshudah hukumnya manshub pada lafaz tidak boleh selainnya,
karena kurangnya munada tersebut dari mufrad ma’rifah pada keserupaan dengan
kaf ismiyah.
Contoh nakirah ghairu maqshudah seperti ucapan orang buta
atauَ
orْ ang yang tenggelam yang dikhawatirkan binasa :رجلا يا
ِدي
.خذ
بِي
ْ َ ْ
َ َ
َ َ
َ َ ْ
َ َّ
َعب ًد ا َللهِ , يا حسن الوجهِ :
mudhaf Contoh
.يا
َ
ً َ َ
َ ْ ُ ُ
َ
َ َ ً
يا حسنا وجهه , يا طالِعا جبلا , يا: mudhaf8
bil musyabbah ًntohَCo
ر ِحيما بِالعب ِد
Tanbih :
َ
َ ْ ُ
Lafaz غي لا pada kalam mushannif dibinakan atas dhammah
8
Serupanya dengan mudhaf adalah pada terhenti memahami maknanya atas barang
sesudahnya, seperti terhenti mudhaf kepada
mudhaf ilaih, makَ a dapatَّ
diamُ bil duaُ ْ definisi :
ُ َ َّ ُ
ْالم َشبه بِال َم َضا ِف َ هُّو َم ْا َاتُص َّل بِ ْهِ ش
َيئ َِم ْن تما َم م َعناه1.
المشبه بِالمضاف هو ما
لايتِم معناه اِلا بِان ِضمام شيئِ آخ َر اِليْهِ 2.
karena
menyerupakanَ dengan lafaz ُل َقبْ dan ُد ْع َب , sehingga takdirnya
.لا
غي ذلِك جائِزا adalah
Tanbih :
Pada pembagian munada tersebut boleh
di_tarkhim_kan,
yakniُ dibuang huruf akhirnya karena untukُ takhfif.
Seperti pada
lafaz َة عئِش maka boleh dikatakan denganَ َش عئِ يَا dan
pada َ lafazَ
صاحب maka boleh dikatakan denganَ صاح يا, dan pda lafaz
مروان
maka boleh dikatakan dengan مرو يا. I’rab_nya يا huruf nida’ dan
عئش sebagai munada yang ditarkhim_kan yang terbina atas dhammah dan
sebagainya.
Apabila munada berupa kalimat yang shahih akhirnya
diidhafah_kan kepada ya mutakallim sebagai idhafah mahdhah (idhafah
ma’nawiyah) maka boleh padanya enam loghat, karena banyak pemakaian sehingga
terjadi takhfif.
1. Dibuangkan ya dan mempadai dengan
kasrah yang menunjukkan kepadanya.
sebagai ِع َبادِ nida’ huruf
sebagai يَا i’rabnya: , َيا ِع َبادِ : Contoh
munada yang
diidhafah_kan, dan manshub, alamat nasabnya fatah yang ditaqdirkan atas barng
sebelum ya yang telah dibuangkan, ditegahkan dzahirnya karena berbimbang
tempat dengan harkat munasabah.
2. Menetapkan ya dalam
bentuk sakin.
يَا ِع َبادِ ْي: Contoh
3.
Menetapkُanْ yaَ dalamَ bentuk difatahkan.
يا ِعبادِي ا ِلذين أسفوا:
Contoh
4. Membalikkan kasrah yang mengirinya menjadi
fatah dan membalikkan ya menjadi alif.
َيا َح ْ َستَا: Contoh
5.
Dibuangkَan alif dan mempadai dengan fatah
يا غلام: Contoh
6.
Dibuangkan alif dan ya karena mempadai daripada idhafah dengan diniatkannya
dan didhammah_kan huruf yang pada dasarnya dikasrahkan. Loghat ini merupakan
loghat yang paling
dha’if diantara loghat yangَ telah disebutkan.
َيا
أم لا تفع ِل , َر ُّب ال ّسج ِن: Contoh
Dan apabila idhafah_nya berupa
idhafah ghairu mahdhah (idhafah lafdhiyah) maka tidak boleh padanya kecuali
dua loghat
saja, yaitu menetapkanْ َ ya dalamَ
bentuk
ُ
fatah
atau sakin.
َأبًا
.يا مكرِ ِم او مكرِ
ِم , يا ضارِ ِب او ضارِ ِب : Seperti
Apabila munada yang diidhafah_kan
kepada ya berupa lafaz atau أما, maka dibolehkan padanya enam loghat tersebut
dan
empat loghat yang lain, sehingga berjumlah sepuluh macam
loghat.
1. Menggantikan ya yang diidhafah_kan munada
kepadanya menjadi ta’ yang dikasrahkan yang berfaedah bagi taknits. Loghat ini
dibaca oleh para ahli qiraah tujuh selain Ibn ‘Amir
َ َ
َ . يا أَب ُ ِ َّت lafaz pada
يا أب ِت , يا أم ِت: Contoh
2.
Difatah_kan ta’, karena ta’ tersebut merupakan ganti dari ya yang harkatnya
fatah, maka diharkatkan dengan asalnya. Loghat tersebut dibacakan oleh Ibn
‘Amir.
. َيا أبَ َت , يا أم َت : Contoh
3.
Menghimpunkan diantara ta’ dan alif. Loghat ini merupakan
bacaan yangُ
syaz.
. َيا أ َب َتا , أ َّم َتا : Contoh
4.
Disebutkan ya.
َ
َ َّ
. يا أب
ِت , يا أمت : Contoh
Dan apabila munada
diidhafah_kan kepada kalimat yang
diidhafah_kan kepada
ya mutakallim maka tidak boleh padanya kecuali menetapَkan ya dalam bentuk
difatah_kan atau sakin.
Dan tidak boleh membuangkan yaّ
karena jauhnya dari munadْa
اِبنة ع ٍم atau ِابْ َن أ ٍم ‘atau اِبن ع ٍم
lafaz berupa munadanya apabila kecuali
‘atau ٍم أ اِبنة, maka boleh
padanya empat loghat.
1. Dibuangkan
ya karena mempadai
dengan kasrah yang menunjukkan atasnya
beserta dikasrahkan mim.
َن أ ٍم: Contoh
2.
Dibuangkُanَ
َن ع ٍّم , يَا اِب
ya beserta
َ
َ ْ
يَا اِب
fatah mim.
ْ
يا
اِبن عم , يا اِبن أم: Contoh
3. Menetapkan
ya.
َ ْ َ
َ ْ َ َ
ْ
َ َ
َ َ َ ْ
َ َ ْ
َ ْ َ ُ
ّ
يا اِبن أ ِم ويا شقِيق نفس ** أنت خلقت ِن ِلده ٍر ش ٍِدي
ٍد: Contoh
4. Membalikkan
ْ
ya
menjadi alif.
ْ َ
َ ْ َ َ
َ
ْ َ
َ ُ ْ َ
َ َّ
ْ َ َ َ
يا ابنة عما لا تلو ِم واهجع ** فليس يلو عن ِك
يوما مضجع: Contoh
Tanbih :
Dibolehkan membuangkan huruf nida’ yaitu
khusus huruf يَا
saja, kecuali pada beberapa masalah:
1.
Munada yang ba’id secara mutlak.
9 َ
مشقةٍ
Istighatsah adalah memanggil seseorang untuk membantu
orang lain supaya melepaskannya dari kesulitan atau membantunya atas mencegah
masyaqqah.
Mustaghatsah bih ada tiga cara :
•
Biasanya dijar_kan dengan lam yang difatahkan, seperti :
•
Disudahi dengan alif ziadah, seperti : للمظلوم قوما يا.
•
يَا لَ َق ْو ِم لِلْ َم ْظلُ ْو ِم
َ
Dikekalkan
.قوم
للمظلوم
atas halnya sama seperti munada yang mustaqil,
seperti :يا
Adapun mustaghatsah lah, maka jika disebutkan
pada kalam maka wajib jar_nya dengan lam yang dikasrahkan apabila berbentuk
isim dzahir
atau ya mَ uَtakallَ im,ُ َ dan jika tidak
seperti demikian maka difatahkan,
.يا لمحم ٍد لك او له :
seperti
Dan boleh jar_nya pula denganُّ
min apabila
berposisi sebagai
ِ
يا لقوم من الطغاة الجائرين: seperti
min, mustaghatsah
Sumber :Kitab al-Qawaid al-Asasiyyah hal 257-258.
الاِستِ
َغاثَ ُة ِ َه نِ َداء َم ْن َيْلِ ُص ِمن ِش َّد ٍة اَ ْو يُعِ ْ ُين ِم ْن َم
َش َّق ٍة .
Istighatsah adalah nida’ (memanggil) seseorang untuk
melepaskan daripada kepayahan atau membantu daripada masyaqqah (kesukaran).
Hukumnya:
•
Diajarkan mustaghats bih dengan lam yang difatahkan yang muta’allaq dengan
fi’il nida’ sesudah mengandungkannya makna iltija’ (perlindungan).
•
Dijarkan mustaghats li ajlih dengan lam yang dikasrahkan
beserta isimَ
dzahirْ yangَ muta’allaq dengan fi’il nida’.
يا لللهِ لِلمسلِ
ِمين: Contoh
َ َّ
I’rabnya: يَا
sebagai huruf nida’, لللهِ jar dan majrur, lam
sebagai huruf jar dan
lafaz jalalah sebagai mustaghats bih yang
dijarkan dengan
lam, tandaْ
jarnya kasrah ha karena alasan
ُ
taadduban.
Dan lafaz ِمين للمسلِ jar dan majrur, tanda jarnya adalah ya karena jamak
muzakar salim.
3. Nudbah10
الن ْدبَ ُة َِه نِ َداء
ال ْ ُم َت َف َّج ُع َعلِيْهِ اَ ْو ال ْ ُم َت َو َّج ُع ِمنْ ُه اَ ْو ال ْ َم
َت َو َّج ُع َُله 10
Nudbah adalah memanggil orang yang digundahkan
atasnya atau orang yang gundah atau orang yang digundahkan karenanya.
Tidak
adalah mandub kecuali berupa isim yang dii’rab_kan yang ma’rifah dengan
‘alamiyah atau diidhafah_kan sebagai idhafah yang menerangkan ‘alam.
Mandub_nya
ada tiga keadaan :
َ َ ْ َ
•
Disudahi dengan alif zaidah, seperti :كبدا وا
•
Disudahi denganَ aْlif َzaidah beserta ha’ saktah yang sukun ketika
َ .وا
يوسفاه : seperti waqaf,
• Dikekalkan atas halnya sama
seperti munada yang mustaqil, seperti :وا
.يوسف
Sumber :Kitab
al-Qawaid al-Asasiyyah hal 259-260.
النُّ ْدبَ ُة ِ َه نِ
َداء ال ْ ُم َت َف َّج ُع َعلِيْهِ بِاِ ْس ِمهِ بِ َياء أَ ْو َواو.
Nudbah
adalah nida’ mutafajja’ ‘alaih (orang yang gundah dengan namanya dengan
memakai يا atau وا.
Hukumnya pada i’rab dan bina adalah hukum munada jika
berbentuk ma’rifah mufrad, yaitu dibinakan atas dhammah. Dan jika berbentuk
mudhaf atau serupa mudhaf maka dinasabkan.
َزيْ ًدا:
Contoh
َضارِ ًبا
َوا
َّللهِ
,
َعبْ َد ا
َوا
َزيْ ُد
,
َوا
َ
َزيْ َدا
Dan
boleh diziadahkan alif pada akhir munada, seperti:وا
maka ketika itu
munadanya dibinakan atas dhammah yang
ditakdirkan atas
akhirnya.
4. Isim isyarah
Maka tidak boleh
membuang huruf nida’ padanya menurut ulama Bashariun.
II
بَاب ال ْ َم ْف ُع ْو ِل ال ْ ُم ْطلَ ِق
Bab Tentang Maf’ul Muthlaq
Maf’ul muthlaq adalah mashdar yang fudhlah yang berfaedah
menguatkan amilnya atau menyatakan bagi nok amil (macam amil) atau menyatakan
bilangan amil.
Penjelasan definisi
الْ ُف ْضلَ ُة َو ِ َه ال ِ
ْت َلا تَ ُك ْو ُن ُع ْم َدةً ِف الْ َ َك ِم َلا اَ
َّن َها ال ِ ْت َلا َيْ َتاج ا َليْ َها .
Maksud
dengan fudhlah ialah suatu kalimat yang bukan umdah pada kalam, dan bukanlah
artinya sesuatu yang tidak
dibutuhkan kepadanya.
ِجد
ِجده , ركوعك ركوع: contoh seumpama arlahْkelu َMaka َ ْ
tersebut contoh
pada mashdar karena ,حس ٍن , ضربك ضرب ش ِدي ٍد
adalah ‘umdah sehingga
tidak boleh dibuangkan.
ال ْ ُم َؤ َّك ُد لِ َعا ِملِهِ بِاَ ْن لَ ْم
يَزِ ْد َم ْدلُ ْو ُ ُله َ َعلى َم ْدلُ ْو ِل َع ِملِهِ اِ َذا َك َن َم ْدلُ
ْو ُ ُله َم ْص َد ًرا
َواِ َّلا فَال ْ َم ْص َد ُر ال ْ َم ْف ُه ْو ُم
ِمنْ ُه.
Maksud dengan menguatkan amilnya adalah tidak lebihnya madlul
mashdar atas madlul amilnya, apabila amilnya berupa kalimat mashdar dan jika
amilnya bukan mashdar maka amilnya
adalah mashdar yang
dipahami dari amilnya.
Contoh mashdar yang menguatkan
bagi amil ضربك اعجبن,
ِ ْ ًبا
ضر ٍد لزي lafaz ضربا merupakan maf’ul
mutlak yang menguatkan bagi amilnya yaitu lafaz ضرب sebelumnya.
Contoh
mashdar yang ُ menguatkan َ bagiْ ُ mَّashdَ ar yang
ت َ
َكلِيما , ضرب ْت ضرب َا : amilnya َdari dipahami
َّس
. وكم الله مو
ْ
َ ْ َ
ا ْو ال ُم َب ِّ ُين ِلنَ ْو ِعهِ ِبِان َدل على
َهيْئِةِ ُص ْو َرةِ الفِ ْع ِل ف ُيفِيْ ُد زِ َيادةً على الت ْوكِيْ ِد
.
Maksud dengan menyatakan bagi nok amil (macam amil) adalah mashdarnya
menunjukkan atas keadaan bentuk fi’il sehingga berfaedah bertambah atas
taukid. Menyatakan bagi nok
amil terbagi tiga, yaitu :
َ
فاخذناهم
اخذ عزِي ٍز مقت ِد ٍر , ضربت زيدا : seperti idhafah, َDengan 1.
.ضرب
الأ ِميِ
َّ ْ َ
َ َ
ْ ُ
2. Dengan lam ‘ahdi, seperti :
الضب ضربت .
َ َ ْ ُ
3.
Denganً ْ shifat beserta menyebutkan maushuf,
sepِ ertَ i :َتَ َسْ ْجل َ
ان اعمل صالحا: seperti
maushuf, buang beserta atauْ , َجلَو ًسا َحسِ ًنا
.اي عملا صالحا
اَ
ْو َع َددِهِ اَ ْي َع َددِ العام ِل بِاَ ْن َد َّل َم َّرات ُص ُد ْورِ الْفِ
ْع ِل .
Maksud dengan menyatakan bilangan amil adalah mashdarnya
menunjukkkan
atas beberapa
ْ
kali terjadinya
َ
perbuatan
.
َواح َدة , َضرب ُت َزي ًدا ْضر َبت ِين :
Contoh
ف ُدكتا دكة
Maf’ul mutlak terbagi dua
:
1. Lafdzi
Yaitu jika sesuai mashdar َdenganُ
lafazْ
fi’ilnya
(amilnya). Amilnya
: rtiْsepe ashaf,ْw ْatau َّ, ٌجلست
جلوسا حسنا : seperti fi’il, َadakala
. سيك السي الحثِيث متعِب : seperti
mashdar, ,atauوالصافات صفا
Maksud dengan sesuai adalah bersatunya maddah
mashdar dan
maddah amilnya.
2. Ma’nawi
Dengan
membinakan bahwa mashdar ma’nawi manshub dengan fi’il yang disebutkan yang
sesuai baginya pada makna walaupun berbeda pada lafaz sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Hajib dan Ibnu Malik karena mengikuti ulama Kufiyun. Sedangkan
menurut mazhab Sibawaihi dan Jumhur “bahwa mashdar ma’nawi
manshub dengan
aْmil yang ditakdirkan yang diambilkan dari
وُقُوْ ًفا lafaz asabkanَmen
ُyang maka ,قمت وقوفا seperti: lafaznya,
adalah fi’il yang ditakdirkan
yaitu : وقوفا ووقفت قمت .
Mashdar ma’nawi yaitu jika sesuai mashdar dan
amilnya pada makna, ketiadaan pada lafaz.
َجلس ُت ُق ُع ْو ًدا , ُق ْم ُت
ُوقُ ْوفًا : Contoh
Definisi Mashdar
)ال َم ْص َد ُر ُه َو اِ ْس ُم
ا ْ َلح ْد ِث) اَ ْي اِ ْس ٌم يَ ُد ُّل َ َعلى ا َلح ْد ِث )ا ْ َلجارِي
َ َعلى الفِ ْع ِل) اَي
ال ْ ُم ْش َت ِم ِل َ َعلى َجمِيْ ِع ُح ُر
ْو ِف الْفِ ْع ِل لَ ْف ًظا اَ ْو َت ْق ِديْ ًرا )الصادِرِ ِم َن الْ َفاع ِل
)
Mashdar adalah isim yang menunjuki atas makna yang berdiri dengan
lainnya yang melengkapi atas sekalian huruf-huruf
fi’il yang
terjadi makna tersebut dariً fa’il, َseperti : ًدا ْو ُع ُق ُت ْد َع َق ,
atau
berdiri dengan zat si_fa’il, ْseperti :موتا مات. Melengkapi tersebut
baik pada lafaz, seperti : اِكرام , ضرب atau pada takdir, seperti : قِتال .
Sedangkan
isim mashdar adalah isim yang menunjukkan atas hudust (makna yang berdiri
dengan lainnya) tetapi tidak
ِ
melengkapiُ ُ atas sekalian
huruf-huruf fi’il, seperti lafaz :العِطاء
ِل الغس , الوضوء ,. Tiap-tiap
lafaz tersebut dikatakan dengan isim
mashdar karena sunyi dari sebagian
huruf fi’il. Maka mashdar dari
adalah الوضوء lafaz dari mashdar dan
,اِغتِسال adalah الغسل lafaz
. إِعطاء adalah العِطاء lafaz dari mashdar
dan توضؤ
Definisi mashdar yang mudah dipahami oleh mubtadi (pemula)
adalah:
الم ْص َد ُر ُه َؤ : ا َّ ِلذي َ ِي ُئ ثَا ِلثًا ِف تَ ْ ِصيْ ِف
الْفِ ْع ِل .
Mashdar adalah kalimat yang datang pada tashrif fi’il yang
ke
tiga.
َ َضر َب يَ ْ ِض
ُب َ ْضر ًبا Contoh:
Dan terkadang dinasabkan beberapa
perkara atas maf’ul muthlaq walaupun bukan kalimat mashdar karena
menunjukkannya atas mashdar. Hal tersebut berlaku atas jalan niyabah (gantian)
dari mashdar. Menurut sebagian ulama: jumlahnya ada dua puluh satu, namun
mushannif disini cuma membatasi atas tiga saja, karena mengisyaratkan bahwa
kalimat yang menggantikan mashdar dan dinasabkan sebagai maf’ul muthlaq tidak
keluar dari tiga pembagian, yaitu: menguatkan amil, menyatakan bagi nok dan
menyatakan bagi bilangan .
1. Lafaz ك danْ َ
ْض ُعَّ ب yangَ di_idhafahkan kepada mashdar.
maf’ul
sebagai i’rabkan di ك lafaz ,فلا ت ِميلوا ك المي ِل : Contoh
mutlak yang
mُ enggantikanَ mashdar yang dibuangkan, asalnya
. فلا ت ِميلوا ميلا ك
المي ِل adalah
sebagai di_i’rabkan َب ْع َض lafaz َولَ ْو َت
َق َّو َل َعلَيْ َنا َب ْع َض ا َلأقَاوِيْ ِل Dan
maf’ul mutlak yang َ
menggantikanَ ْ mَ ashَّdarْ َyang dibuangkan,
. ولو تقول علينا اقاوِيل
قلِيل ٍة حقِي ٍة adalah asalnya
2. Lafaz bilangan
ْyangَ di_tamnyiz_kan dengan mashdar .
sebagai di_i’rabkan ث َمانِ َين
lafaz ,فاج ِ ُل ْوه ْم ث َمانِ َين َج َلةContoh:
maf’ul mutlak
yanْg mَ engْgantikanُ mashdar yang dibuangkan,
dibuangkan kemudian فاج
ِلوهم ِجلا ثمانِين adalah ْasalnya
lafaz ِجلا dan
dijadikan sebagai tamnyiz karena maksud ibham
kemudian menjadi tafsir
bagi bilangan.
3. Isim alat yang maklum
َ ً َ
bagi perbuatan.
ً
َ
ْ ً
سوطا lafaz dari tiap-tiap ,ضربته سوطا او ع َصْا اوَ ًمقر
َع ْة Contoh:
مقرعة او عصا او di_i’rabkan sebagai maf’ul mutlak yْang
menggantikanَ
mَ ashdarُ yْang dibuangkan, asalnya adalahضربا
dan mashdar dibuangkan
maka ضربته ب ِسو ٍط او عصا او مقرع ٍة
dipertempatkan mashdar pada
tempatnya.
Pembagian Mashdar (Maf’ul Mutlak)
1.
Mashdar mubham.
Yaitu mashdar yang tidak dipahamkan ziyadah (lebih) atas
makna amilnya, dalam artian cuma bagi semata-mata taukid saja. Mashdar ini
tidak dibolehkan membuang amilnya.
2. Mashdar mukhtash
.
Yakni mashdar yang dapat dipahamkan ziyadah (lebih) atas makna amilnya
yaitu mashdar yang yang menyatakan bagi bilangan atau bagi nok. Mashdar ini
dibolehkan membuangkan amilnya karena memiliki dalil seumpama khabar muqaddam
dan terkadang wajib membuangkan amilnya. Kejadian tersebut terdapat pada
mashdar yang jatuh sebagai badal dari fi’ilnya secara sima’i, seperti:
َحمْ
ًدا َو ُش ْك ًرا ِ َّللهِ َو َس َع ْف ًعلَ ُه , َو ُح ًبا َو َك َرا َم
ًة َو َ َّليْ َك َو َس ْع َديْ َك َو َح َنا َنيْ َك َو َم َعا َذا َّللهِ
َو
ُغ ْف َرانَ َك َو ُسبْ َحان ا َّللهِ َو َريْ َحانَ ُه
Dan secara qiyasi
pada beberapa tempat, yaitu :
a. Apabila
maf’ul m
ْ
utlak menjadi khabar dari mubtada .
ْ
ما
انت الأ ِسي: Contoh
b. Mashdar
yang bertempat sebagai
tafshil bagi
madhmun(kandungan) jumlah .
ْ
فَ َش ُّد ْوا ال َوثَاق فَا َّما َم َّنا َب ْع ُد َوا َّما فِ َداء :
Contoh
c. Mashdar yang bertempat sebagai taukid bagi
madhmun jumlah
yang tidakَ ihtimalْ bagi ْjumَlah tersebut selainnya.
لا
على ال ِف دِره ٍم اِع ِتافا: Contoh
II
بَاب
ال ْ َم ْف ُع ْو ِل فِيْهِ
Bab Tentang Maf’ul Fih
Maf’ul fih disisi ulama Bashariyin dinamakan dengan dzaraf
zaman
dan dzaraf makan karena terjadinya perbuatan padanya,
dengan pengertian
tidak boleh tidak bagi suatu perbuatan dari
zaman dan tempat. Sedangkan
ulama Kufiyun menamakannya dengan maf’ul fih, dan mahallan dan shifat.
A.
Dzaraf zaman
َظ ْر ُف الر َمان ُه َو : اِ ْس ُم الز َمان ال ْ َمنْ ُص ْو
ِب ِبالل ْف ِظ الدا ّل َ َعلى ال ْ َم ْع َن ال ْ َواقِ ِع فِيْهِ
بِ َت ْق
ِديْرِ ِف .
Dzaraf zaman adalah isim zaman yang manshub
dengan lafaz yang menunjuki diatas makna yang terjadi pada suatu masa dengan
ditakdirkan huruf ف yang menunjukkan diatas dzarfiyah.
Lafaz yang
menasabkan isim zaman ada tiga macam :
Contoh
2. Serupa fi’il
Kalimat yang
serupa fi’il yaitu: mashdar atau shifat
ُ Muawwal dengan serupa fi’il
َ
Contoh
Maka jika tidak diperdapatkan sesuatuَ yang telahْ َ disebutkan
.زيد
ِف الدارِ اي كئِن seperti dengannya, ditakdirkan maka
Wajib membuangkan
tempat muta’alaq dzaraf dan jar beserta majrur jika jatuh sebagai shifat atau
shilat atau hal atau khabar atau warid dengan tiada mua’alaq, seperti
basmallah, sedangkan pada selainnya hukum membuang muta’alaq pada dzaraf dan
jar beserta
majrur adalah bolehُ َّ bukanْ َ wajibَ karena ْada dalil
lafdzi atau dalil
. من ِلى بِكذا اي من يتكفل لى seperti: lainnya,
Pengertian
dzarfiyah
الظرْفِ َي ُة ُ َه : اِ ْستِ ْق َرار ال َّشءِ ِبال َّشءِ َحقِيْ
َق ًة اَ ْو َ َمازا .
Dzarfiyah adalah menetapkan َ sesuatu dengan
sesuatu baik
secaraْ hakikat, ْ seperti : الكوزِ ِف الماء atau secara
majaz, seperti
. نظرت ِف المصح ِف :
Tanbih :
“Maksud
dengan mentakdirkan
adalah mentakdirkan maknanya bukan
lafaznya, karena kadang-kadang tidak sah
ِ
ْس ُت َقبْلَ ُه َو َص َّليْ ُت َم َع ُه:
seperti dzaraf”, sebelum dzaraf mentakdikan
ْLafaz-lafaz dzaraf zaman
adalah sebagai berikut :
اليوم 1.
Yaitu masaْ mulai dari terbitَ
fajar hingga terbenam matahari.
Cَontoh :ِس
الليلة 2.
ِمي
َلخ
اليَ
ْو َم او يَ ْو ًما او يَ ْو َم ا ُت
ُص ْم
Yaitu
masa mulai dari terbenam matahari hingga terbit fajar
shadiq, sedangkanْ
َ mَ enuَrutَ pَendapal َqilْ hingga terbit matahari.
اِعتكفت الليلة او
ليلة او ليلة الج ُمعةِ: Contohَ
غ ْد َوةَ , بُك َرة 3.
Lafaz
tersebut merupakan alam jenis bagi waktu keduanya,yaitu waktu mulai dari
shalat subuh hingga terbit matahari, kalimat tersebut menegah sharaf karena
‘alamiyah jinsi dan ta taknist. Menurut pendapat yang lain lafaz tersebut
menegah sharaf apabila dimaksudkan dengan hari yang tertentu karena
‘alamiyah
syakhas dan taknits .
ْ
ُ َ
َ َ َ
َ
ْ ْ
ْ َ َ
ُ ْ َ َ
ْ
َ َ َ ْ ُ
َ ُ ْ ُ َ
ِجئتك
بكرة او بكرة: Contoh النهارِ
سحر 4.
ِس ,
ِمي
ازورك
غدوة او غدوة يوم الخ
Yaitu akhir malam sedikit sebelum fajar.
Lafaz tersebut menegah sharaf jika dimaksud dengan sahur yang tertentu, maka
menegah
sharafnya denganْ ‘alamiyah
ِجئتك يوم الجمعةِ
سحر: Contoh
غدا 5.
dan ‘adal.
Yaitu
hari besok.
ْ َ َ
ً
اكرمك غدا: ontohَ ًC
عتمة 6.
Yaitu seperْtigْa maْlamَ َ yaَ
ngَ pertama.
آتِيك عتمة او عتمة ليلةِ الخ ِمي ِس: Contoh
َص
َباحا 7.
Menurut fuqahak yaitu waktu mulai dari seperdua malam hingga
tergelincir matahari dan kadang-kadang dimaksudkan waktu
awal hari mulai
dari terbitَ fajar hinggaْ َtergelincir matahari.
ُلج ُم
َعةِ: Contoh
ً
ان ِظ ْر ِ ْن َص َباحا ا ْو ص َباح
يَ ْو ِم ا
مساء 8.
Yaitu waktu
َ
mulai
dari dzuhur hingga seperdua malam.
َ
ا ِجيئك مساء:
Contoh ابدا 9.
Yaitu masa yang akan datang yang tidak ada batasan bagi
penghabisannya, lafaz tersebut tidak ditatsniyahkan dan dijakamakkan tetapi
ada didengar dijamkkan diatas wazan .
ْ
َزي ًدا ابَ ًدا:
Contoh
ا َم ًدا 10.
لا اكلِ ُم
Yaitu
namaَ baَّ gi َmasaَ
yang akan
ُ
ً َ
ّ datang.
11.
Contoh
:ِن
ِحينا
Yaitu nam
لا اكلِم زيدا امدا او امد
الدهري
a bagi masa yang mubham.
ْ َ
َ َّ ْ ً
Contoh
:ًخ
عما 12.
ِحين اِذ جاء الشي
ِحينا
و
قرأت
َ َ ٌ
Lafaz
tersebut muradif (bersinonim) dengan lafaz maknanya adalah tahun. Tahun
terbagi tiga macam :
a. Tahun syamsiyah.
سنة
yang
Tahun tersebut memiliki bulan-bulan ‘ajam dari bang
Romawi dan Persia dan Qibthiy dan lainnya. Tahun tersebut merupakan
perhitungan hari haya orang-orang kafir ‘ajam seperti Naiwaraz dan Mihrajan.
Jumlah harinya ada 365 hari ditambah ¼ hari berdasarkan pendapat yang kuat
pada
selain bangsa Persia, sedangkan Persia tidak
ditambah ¼ hari. Dinamakan dengan tahun Syamsiyah karena merupakan ibarat dari
satu putaran dari perputaran matahari pada 12 buruj.
b.
Tahun qamariyah
Tahun tersebut dikatakan juga dengan tahun ‘Arabiyah yang
bulannya dimulai dengan muharram dan akhirnya dengan zulhijjah. Jumlahnya ada
354 hari ditambah 1/5 hari dan 1/6 hari. Selisih diantara tahun syamsiyah
dengan tahun qamariyah ada 11 hari yang dinamkan dengan ayyamul bain yaitu
hari selisih diantara dua tahun. Dinamakan dengan tahun qamariyah karena
bulan-bulannya dihitung dengan melihat bulan pada ‘uruf syara’, dan
perhitungan perjalanannya pada porosnya pada ‘uruf ahli falak.
c.
Tahun ‘adadiyah
Tahun ini memiliki bulan ‘adadiyah, jumlahnya ada 360
hari saja.
َش ْه ًرا 13.
Jamaknya adalahّ
ُْش
ُه ٌر
. اَ
ا َكلِ ُم َك ش ْه ًرا:
Contoh
ْ َ َ ْ ُ َ
ْ ُ ْ اسبوع 14.
اِعتكفت
اسبوع: ontoh ًC
ْ ُ َ َ
ً ساعة 15.
ِست ساعة: Contoh
Contoh-contoh
dari isim zaman yang telah disebutkan terbagi kepada beberapa macam:
ثَابِ
ُت الت َ ُّص ِف َوالإنِ ِ َصاف a)
yaitu sebut tasharruf (dipakai kepada
dzaraf dan lainnya),
dan menerima sharaf.
يوم , ليلة: Contoh
َما
ُه َو َمنْ ِف الت َ َّص ِف َوالإنْ ِ َصاف b)
Yaitu tidak dipakai kepada
selain dzaraf dan tidak menerima
sharaf.
Contoh : َر ُح ْ َس َ
apabila menjadi dzaraf bagi hari yang tertentu.
ما هو ثابِت التص ِف من ِف
الإن ِصاف c)
Yaitu dipakai kepada selain dzaraf dan tidak menerima
sharaf.
ُ
ْ َ َ
ُ ْ َ َ
َ
َ َ َ
Contoh: بكرة , غدوة yang di_’alamkan, dan
عتمة apabila
dimaksudkan dengan hari tertentu.
َما ُه َو ثَابِ ُت
الإنْ ِ َصاف َمنْ ِف الت َ ُص ِف d)
Yaitu menerima sharaf dan tidak
dipakai pada selain dzaraf.
َّ ْ ُ ْ
َ َص َْباحا َّ, َم َسا َء:َ َontoh َ ُC
الظرف المب ِن ا
ِلذي لا تصف له e)
Yaitu dzaraf yang dibina yang dipakai kepada
lainnya.
اِذ , اِذا : Contoh
Maksud dengan mutasharrif adalah lafaz
yang dipakai sebagi dzaraf dan lainnya ,seperti jatuh sebagai mubtada atau
fa’il atau
maf’ul atau mudhaf ilaih,seperti lafaz شهر , ٍم يو .Dan
maksud
dengan ghairu mutasharrif adalah barang yang melazimi dzarfiyah
atau yang serupa dengannya yaitu jar dengan من
B.
Dzaraf makan
َظ ْر ُف ال ْ َم َك ِن ُه َو : اِ ْس ُم ال ْ َم َك ِن ال ْ
َمنْ ُص ْو ِب ِبالل ْف ِظ الدا ّل َ َعلى َم ْع َن ال ْ َواقِ ِع فِيْهِ
بِ
َت ْق ِديْرِ ِف .
Dzaraf makan adalah isim makan yang manshub dengan
lafaz yang menunjukkan atas makna yang terjadi pada suatu tempat dengan
ditakdirkan huruf ف yang menunjukkan atas dzarfiyah.
Lafaz-lafaz dzaraf
makan adalah sebagai berikut:
اَ َمام 1.
Lafaz
ini semaknaَ
dengan
َ
didepan.
yaitu قُ َّدا َم
Contoh :ِخ
خلف 2.
جلست
امام الشي
Maknanyaَ adalahْ lawanَ depan yaitu belakang.
صليت
خلف المقام: Contoh
ق َّدا َم 3.
Maknanya
ْ
sama
dengan َمام اَ .
Contoh :ِمي
َو َراء 4.
ِشيْ
ُت ق َّدام الا َم
َ َ
َ ْ ْ
َ
َ ْ ُ
terkadang dan قعد َ َت َ و َر َاء َ
اُ ْلحِ َجرِ ٌseperti: belakang, Bermakna
. وكن وراءهم ملِك : seperti
didepan, bermakna
فوق 5.
Yaitu tempat yang tinggi.
َجلَ ْس ُت
فَ ٌو َق ال ْ ِمنْ َبِ: Contoh
تحْ َت 6.
yaitu bermaْknْ a dibawahَ
.َ
Contoh :ِب
ِعند 7.
ِميا
جلست
فوق ال
Yaitu nama tempat yang hadzir atau dekat.
Lafaz
tersebut tidak jatuh kecuali dalam keadaan manshub
diatas
dzarfiyah atau
ْ
َ dijarkan dengan min.
َزي
ٍد: Contoh
8. مع
ِعن َد
َجلس ُت
Yaitu
nama bagi tempat berhimpun.
َجلس ُت َم َع َزي ٍد: ontoh َC
اِزاء
9.
Yaitu bermakna bertentangan.
َ
َ َ
جلست اِزاء الحِجرِ: ontoh َC
ِحذاء 10.
Bermakan
ْ
bertentanَganَ
,ُ danَ
terkadang
ُ
َ
bermakna dekat,
زي ٍد اي مق ِابله او
قرِيبا ِمنه: ontoh َC ِحزاء
جلست
11.
تِلقاء
Dengan
makna
ْ َ َ
bertentanَganَ
.َ
ولما توضجه تِلقاء مدين: ontoh َّC
12.
مث
Yaitu isim isyarah bagi tempat yang jauh.
ُه َنا 13.
Yaitu
isim isyarah tempat tempat yang dekat.
Semua isim zaman menerima nasab
atas dzarfiyah dengan ditakdirkan ف ,dan tidak ada perbedaan tentang demikian
diantara yang mukhtash (dikhususkan dengan washaf atau idhafah atau ma’rifah
dengan alif dan lam) dan dengan mahdud (menunjuki diatas bilangan) dan dengan
mubham.
Isim zaman terbagi tiga :
1. Mukhtash
Maksud
dengan mukhtash adalah isimَ zaman yang jatuh sebagai
jawabanَ
bagi pertanyaan dengan مت istifham.
ِس , اليَ ْوم: Contoh
2.
Ma’dud
ِمي
َلخ
َي ْو َم
ا
Maksud dengan ma’dud adalah isimَ zaman
yang jatuh sebagai
jawaban bagi pertanyaan dengan كم istifham.
ٍ
3.
Mubham
Maksud dengan mubham adalah isim
zaman yang tidak
jatuh sebagai
jawaban bagi pertanyaan dengan َمت
dan ْم َك
istifhamiyah, dan menunjukkan atas kadar dari zaman
yang
tidak tertentu. ْ َ َ ْ
ِحين
, وق ٍت , ساعة: Contoh
Adapun isim makan maka tidak dibolehkan nasab
diatas dzarfiyah dengan ditakdirkan ف kecuali tiga macam :
•
Isim makan yang mubham.
Maksudnya ialah isim makan yang tidak terkhusus
dengan tempat tertentu dan tidak dapat diketahui hakikatnya kecuali dari
barang yang menyertai dengannya yaitu mudhaf ilaih
atau
isyarah atau lainnya.
َ َ
َ َ َ
َ
َ َ ْ َ
تحت , ي ِمين ,
ِشمال , امام :, yaitu enam, yang jihat isim erti ْSep
َف
َل خdanَ yangَ serupaْ dengannyaَ ْpada ibham, dan َ
sepertiْ :َ
ارض , مكن , ِعند , لدى , دون , ِسوى , وسط , ناحية , ِجهة ,
جانِب
• Isim maqadir (isim yang menunjukkan diatas
mushafah
(jarak) yang maklum).
. farsakh) (4 بَرِيْ ٌد , mil) (3 فَ
ْر َس ٌخ langkah), (4000 َميْ ٌل : Seperti
•
Isim yang dimusytaq dari mashdar amilnya.
َ ْ َ
ٌ
Isim makan dari bab tsulasi adalah diatas wazanمفعل (dengan
difatah mim dan ‘ain) selama bukan mu’tal fa dan
tidak dikasrahkan ٌ
‘ainَ mudhari’_nya, maka dikasrahkah
‘ain_nya, seperti
: ملِس , ِضع مو . Sedangkan dari bab selain
tsulasi mujarrad maka isim
makannya berwazan seperti isim
maf’ulnya.
َّ
ْ
َ َ َ َ
ْ
ُ ُ َ
َّ ُ
َ َّ
ْ
َ َ ْ َ
َ َ ْ
ُ
جلست ملِس زي ٍد , واِنا كنا نقعد ِمنها مقاعد للسم ِع:
Contoh
Isim makan yang selain dari yang telah disebutkan maka tidak
dibolehkan nasab diatas dzarfiyah tetapi hukumnya adalah
di_jar_kan
dengan ف dzarfiyahْ ُ beserta َ dishaَّrihkanَ
dengannya.
َ
جلست
اليت , صلي َت َ الْم ُس ِْج َد ْ , ق َمت َ: َatakanْdik boleh tidak َّMaka
dengan
dinasabkan دخلت المس ِجد , سكنت اليت Ucapan .الطرِيق
tawassu’
dengan digugurkan huruf khafadz.
ال َمنْ ُص ْو ُب بِ َ ْن ِع ا ْ َلخافِ
ِض ُه َو ا ِلإ ْس ُم ال ْ َمنْ ُص ْو ُب بِفِ ْع ٍل َح ُّق ُه أَ ْن َي َت
َع َّدى بِا ْ َلح ْر ِف
لَ ِك َّن ُه ُح ِذ َف ِعنْ َد َت َع ُّينِهِ
اِ ْستِ ْغ َناء َعنْ ُه ِس َماع اَ ْو قِ َياسا .
Mansub dengan
cabut hurut khafaz adalah isim yang manshub dengan fi’il yang semestinya
dimuta’adikan dengan huruf akan tetapi dibuangkan diketika tertentunya karena
tidak dihajatkan daripadanya ,baik secara sima’i atau qiyasi.
II
بَاب ال ْ َم ْف ُع ْو ِل ِم ْن أَ ْجلِهِ
Bab Tentang Maf’ul Min Ajlih
Maf’ul min ajlih mempunyai beberapa nama :
1.
Maf’ul min ajlih
2. Maf’ul li ajlih
3.
Maf’ul lah
4. Manshub atas ‘illat
5.
Mashdar yang meng_illat bagi barang sebelumnya.
ْجلِهِ ُه َو : ا ِلإ ْس
ُم ال ْ َمنْ ُص ْو ُب ا َّ ِلذي يُ ْذ َك ُر َب َيانًا لِ َس َب ِب ُوقُ ْو ِع
الْفِ ْع ِل .
َم ْف ُع ْو ُل
Maf’ul min
ajlih adalah isim yang manshub yang disebutkan sebagai illat dan menyatakan
bagi sebab terjadinya perbuatan dari sifa’il (pelaku). Maf’ul lah adalah sebab
yang mendorong sifa’il untuk melakukan suatu perbuatan.
Tanda
maf’ul min ajlih
Maf’ul min ajlih dapat dikenal dengan jatuhnya sebagai
jawab bagi “فعلت َم ل” (kenapa engkau kerjakan) dan sah ditakdirkan lam
yang
berfaedah ta’lil (lam ‘illat). َ َ
ُ ْ َ َ ْ
َ ْ َ ُ ْ َ
َوق
َصدتك اِبتِغآ َء َمع ُر ْوفِك , ي َعل ْون ا َصابِ َع ُه ْم ِ ْف آذانِ ِه ْم َّ
ِم ََن: Contoh ْ َ ْ
الصواع ِق حذر المو ِت
Dari contoh tersebut
dapat dipahami bahwa sanya maf’ul min ajlih boleh kalimat nakirah dan
makrifah.
Syarat menasabkan maf’ul min ajlih ada tiga :
1.
Keadaan maf’ul min ajlih merupakan mashdar.
Menurut pendapat yang kuat
bahwa disyaratkpkan keadaan mashdarnya harus
ِظيما ,اِجلالا : seperti
qalbi,
yakni perbuatan jiwa yang batin,
تع , رهبة , رغبة ,karena perbuatan
anggota
dzahir tidak mungkin berhimpun beserta fi’il yang
di_’illatkan dalam satu zaman.
Maksud dengan mashdar disini mencakupi
mashdar dan isim mashdar.
2. Bersatu zaman mashdar dan
zaman ‘amilnya. Yakni zaman ‘illat dan ma’lulnya sama.
3.
Bersatu fa’il keduanya (dengan bahwa fa’il mashdar dan fa’il
amilnya
adalah satu).
ولا تقتل اولادكم خشية اِملا ٍق , ينفِق اموالهم
ابتِغاء مرضا ِت: Contoh
. اللهِ
Tidak boleh dibacakan
الس
َف َر
dinasabkan (dengan تَاَ َّهبْ ُت
sebagai
maf’ul min ajlih) karena tidak bersatu zaman, karena zaman bersiap-siap
terdahulu atas zaman bermusafir walaupun fa’ilnya sama, dan juga tidakَ َّ
boleh dibacakan اِياي محبتك ِجئتك
(dengan dinasabkan lafaz محبتك sebagai
maf’ul min ajlih yang di_
idhafahkan kepada fa’il_nya dan lafaz اِياي
adalah sebagai maf’ul bih) karena tiadak bersatu fa’ilnya, karena fa’il dari
fi’il berupa mutakallim sedangkan fa’il mashdar berupa mukhatab, akan
tetapi
pada contoh tersebutَ wajibُ dَّijarkan masِ hdarnyaَ ِ denْ gan
. ِجئتك
لمحبتِك اياي dan تاهبت للسفرِ dikatakan maka ta’lil, lam
Boleh dijarkan
dengan tiap-tiap kalimat yang berfaedah ta’lil,
yaitu : Contoh
Ibnu
Malik dalam kitab ‘Umdah mengecualikan sebagian dari yang di_’illatkan yang
tidat diperdapatkan satu syarat yaitu mashdar
yang ditakwilkan dari ان
dan َن ا beserta shilat keduanya, maka
tidak wajib bersatu zaman dan
fa’il bahkan boleh menasabkannya walaupun berbeda fa’il mashdar dan amilnya
dan berbeda zaman
mashdar dan amilnya.
زرتك ان تكرِم ِن
او انك تكرِمن : Contoh
Perhatian :
Barang yang sempurna
syarat-syarat yang tiga tidak wajib dinasabkan, tetapi boleh dijarkan dengan
yang berfaedah ta’lil atau huruf yang menggantikan lam pada berfaedah ta’lil,
yaitu
huruf-huruf yang telah disebutkan, maka banyakْ َّ
yangُ ْ dijarkan
jika mashdarnya terdapat alif dan lam, seperti :ِب
لِلتأدِي ضربتك dan
sedikit dijarkan jika tidak terdapat alif dan lam dan
idhafah, dan
istiwakَ (samaَ tingkَ ataَn) ْjikaْ ُmashdarnya
ْdi_idhafahَkan,ِ seperti :
Bab tentang Maf’ul ma’ah
Maf’ul ma’ah ialah isim yang manshub yang disebutkan
sesudah
wawu yang bermakna ma’a untuk menyatakan dzat yang
menyertai perbuatan
pelakunya atas jalan mushahabah, yang mana
isim tersebut didahului oleh
jumlah yang padanya terdapat fi’il atau
jumlah yang padanya terdapat isim
yang mengandung makna fi’il
َhuruf-huruf_nya. dan َ
جاء الأ ِمي والجيش , واستوى الماء والخشبة , انا
سائِر: Contoh
َوالنِّيْ َل
Maksud dengan jihat mushahabah ialah
jihat yangً ْ mَenyertai
dengan fa’il pada terjadi perbuatan darinya,
seperti ; وزيدا ِست ,
atau beserta maf’ul paْda
terjadinya ْperbuatan atasnya pada zaman
. تركت الناقة وف ِصيلها :
seperti satu, yang
Tanbih :
Dari definisi dan
contoh-contoh yang telah disebutkan dapat
diketahui bahwa
maf’ul ma’ah keadaannya ;
1. Bukan fi’il,ْ َ makaَ tidak termasuk
kedaَlamnya contoh ِل
َلاتَأْ ُك
isim
bukan tersebut وتشِب lafaz karena السمك وت ِش ِب اللبان
tetapi
fi’il walaupun wawu_nya berfaedah ma’iyyah, dan wawu
tersebut sebagai
‘ataf.
sebagai َوالش ْم ُس lafaz , ِ ْس ُت َوالش ْم ُس َطَالِ َع َ ٌة ٌ:
seperti jumlah, Bukan 2.
mubtada dan lafaz
طالِعة sebagai khabar, jumlah mubtada
beserta khabar
sebagai hal dan wawu nya sebagai wawu hal.
3. Bukanَ
‘umdah, maka tidak boleh dinasabkan seumpama ; َك َت َ ْش اِ
.زيدوعمرو
4.
Tidak jatuh sesudah selain wawu, seperti; بِعتك , ٍد زي مع ِجئتك
.العبد
بِثِيابِهِ
5. Tidak jatuhُ َ ْsesudaْhَ ُwawَ uٌ ْ
yangَ tidak berfaedak ma’iyyah,
.جاء زيد واخوه قبله او بعده ;
seperti
6. Tidak jatuh sesudahَ َ َkalimَatَ yang
bermakna fi’il tidak pada
. هذا لك واباك seperti; hurufnya,
Kadang-kadang
wajib dinasabkan sebagai maf’ul ma’ah diketika terdapat mani’ dari ‘ataf,
karena jika di_’ataf akan merusak
َ َsudkan.ْdimak yang makna
ُ
ْ .
Contoh
َ َ
َّل ,ْ
لاتنه َ َع ْ ِن ُا ْلق َبِ ْي َِح ُ:
َانْا ٌسَائِرُ
ْوالنِي
َشبةَ ,
واستوى ال َماء َ وَا ُلخ
واِتيانه
, مات زيد وطلوع الشم ِس , فاجمِعوا امركم وشركءكم
Dan terkadang lebih kuat
dinasabkan sebagai maf’ul ma’ah dari pada di_’ataf, seperti : وزيدا قمت dengan
dinasabkan lafaz زيدا sebagai maf’ul ma’ah dari pada di ‘atafkan diatas dzamir
mutakallim,
karena ‘ataf diatas dzamir rafa’ yang muttashil tidak bagusُ
ْkecuali
mُ en_taukidْ_kannya dengan dzamir munfashil ,seperti:كنتم
لقد
وآباؤكم انتم, atau sesudahَ ُ di selanْgi َdiantara keduanya
dengan
. ما ا ِشرنا ولاآباؤنا : seperti saja, apa pemisah
Dan
terkadang lebihْ َ kuaْtَ di_’ataf darْ ipadْa dinasab sebagai
.حاء الأ
ِمي والجيش , جاء زيد وعمرو : seperti ma’ah, maf’ul
Fasal Tentang Musyabbah Dengan Maf’ul Bih
Musyabbah dengan maf’ul bih ialah isim yang manshub dengan dengan
shifat musyabbahab(diserupakan) dengan isim fa’il yang muta’addi bagi satu
maf’ul.
َزيْ ٌد َح َس ٌن َو ْج َه ُه: Contoh
II
بَاب ا ْ َلحال
Bab Tentang Hal
Definisi Hal
اَ ْ َلحا ُل ُه َو ا ْ ِلإ ْس ُم ال ْ َمنْ ُص ْو ُب
ال ْ ُم َف ِّ ُس لِ َماانْ َب َه َم ِم َن ال ْ َهيْ َئا ِت اِ َّما ِم َن الْ
َفا ِع ِل اَ ْو ِم َن
ال ْ َم ْف ُع ْو ِل اَ ْو ِمنْ ُه َما .
Hal
adalah isim yang manshub yang mentafsirkan bagi keadaan yang mubham (samar)
dari fa’il atau dari maf’ul atau dari keduanya.
Penjelasan
definisi
” الإ ْس ٌم ”
Maksud dengan isim ialah washaf .
ال َو
ْص ُف ُه َو َما َد َّل َ َعلى َح ْد ٍث َو َصا ِحبِهِ اَ ْي َ َعلى َم ْص
َد ٍر َو َذا ٍت قَا َم بِ َها ال ْ َم ْص َد ُر .
Yaitu kalimat yang
menunjukkan atas hadtsin (kejadian) dan shahibnya, artinya mashdarnya dan zat
yang berdiri mashdar
dengannya, seperti lafaz قائِم yang ٌ menunjukkan
atas zat yang
berwashaf dengan berdiri dan lafaz راكِب yang menunjukkan
atas
zat yang berwashaf dengan berkendaraan.
ٌب
”
ُص ْو
” المنْ
Manshubnya
adakala pada lafaz atau pada mahal dengan amil shahibnya saja, dan tidak
beramal padanya selain dari amil shahibnya berdasarkan pendapat yang kuat.
Karena alasan ini, maka hal tidak datang dari mubtada menurut pendapat yang
kuat, khilaf bagi Imam Sibawaihi, karena ibtida’ merupakan amil yang lemah
maka
tidak beramal pada dua perkaraَ yaituْ َ hal َ danَ َ shahibnya,
كن , كد
واخواتِها , ليت و لعل( nasikh amil masuk apabila َkecuali
واخواتِها كأن
,) atasnya maka beramal lah pada hal, berdasarkan
pendapat
yang kuat.
َ ْ َ ْ َ
ُ
َ ّ ُ َ ْ َ َ َ ْ
“المف
ِس لِماانبهم ِمن الهيئات”
Yaitu menafsirkan segala keadaan yang
mubham dan segala shifat yang ada padanya ketika terjadi perbuatan darinya
atau
terjadi perpuatan atasnya.
َ
ْ
َ ْ
Maksud dengan الهيئات menurut Ibnu Hisyam dalam
kitab Hawasyi Tashil adalah bentuk dan keadaan yang dapat diindrakan dan
disaksikan, baik keadaan tersebut muhaqqaqah (pasti), seperti:
ادخلوها:
seperti (ditakdirkan), uqaddarah ْm َatau َ , َّجاء َ ز ُي ُد ْ َراكُِباْ
.خا
ِ ِلدين اي مقدرِين خلودكم
َّ ِ
َ ْ َ
ِل”
“ اِما من
الفاع
Yaitu menyatakan keadaan fa’il. Dalam hal ini
fa’il terbagi
dua:
1. Fa’il pada lafaz
. َجاء
َزيْ ٌد َراكِ ًبا : Contoh
Yaitu menyatakan keadaan maf’ul.
“او
ِمن المفعولِ”
1. Maf’ul padaُ
lafaz.ْ ُ ْ َ
. ركِبت الفرس مسجا :
Contoh Yaitu menyatakan keadaan
ْ
fa’il beserta
maf’ul.
“او ِمنهما”
لقِيت عبد اللهِ
راكِب ِين: Contoh
Maksudٌ denganُ maf’ul adalah barang mengumumi
naib fa’il,
. ِضرب زيد قائِما : seperti
َ
َ ْ ُ ْ
Hal juga
datang dari majrur dengan huruf, seperti :ٍد ِهن بِ مررت
َ
ِ َ ً
جالسة, atauَ majrur dengan mudhaf yang merupakan amil
pada hal,
mudhafَ َjuzuk ْmerupakan mudhaf atau , اِليهِ مر ِجعكم جمِيعا
: seperti
ilaْihَ supayaْ َ sahُ digugurkan mudhaf, seperti :ان احدكم
آيِب
dhafَu َm juzuk َmisel َmerupakan mudhaf atau ,يأكل لحم ا ِخيهِ
ميتا
. ان اتبع ِملة اِبراهِيم حنِيفا: seperti menggugurkannya, sah pada
ilaih
Menurut al-Farisi dan sebagian ulama bashariyun “boleh datang
hal
dari mudhaf dengan tanpa syarat”.
Syarat-syarat hal
Hal mesti kalimat nakirah.
َ َ ْAlasannyaَ َ supaya
tidak sama dengan shifat pada contoh
: العاقِل زيد رأيت, dan karena asal
dari isim adalah nakirah, dan
maksud dengan hal adalah
mengkayitkan hukum musnad saja sehingga tidak ada faedah mema’rifahkannya
ketika itu. Sehingga jika dima’rifahkan maka jatuh ma’rifah tersebut dalam
keadaan sia- sia.
Dan jika jatuh dalam kalam sebagian orang Arab dengan
kalimat ma’rifah maka dipalingkan dengan kalimat nakirah, karena
memelihara
ketentuanُ yangَ telahٌ ْ َditetapkan bagi hal yaitu lazim
. جاء زيد وحده
اي منفرِدا : seperti nakirah,
Hal pada kebiasaan keadaannya muntaqilan
(washaf yang tidak lazim bagi shahibnya dalam artian kadang-kadang
diperdapatkan dan kadang kala tidak, seperti; راكِبا زيد جاء. Dan
kadang-kadang ada yang lazimah (washaf yang tetap bagi
shahibnya),
keadaan ini wajib jika hal_nya berupaَ isim jamid yang
atau , َ ْ َه ِذ
ُهِْ َ ِج ُئت َك ًّ خ َرَا َ: َّ seperti musytaq, dengan dipalingkan tidak
atauُ
ي َوم ْاب ْعَثُ َحيا ْ ًفتبسم ضاحك seperti; muakkadah, hal_nya jika
amilnya
menunjukkan atas tajaddud, seperti: ضعِيفا ِلإنسان ا خلِق .
Hal pada
kebiasaan keadaannya adalah kalimat yang di_ musytaq dari mashdar, karena
maksud dari hal adalah menujukkah atas keadaan, dan yang menunjukkan atas
keadaan lebih banyak
berbentuk musytaq dalam kalam orang Arab. Contoh
:راكِبا زيد جاء .
Dan kadang-kadang ada juga berupa
isim jamid yang
dipalingkanْ denganً ْ kalimaَ ْ t musytaq,َ seperti
menunjukkan atas
menunjukkan atau ,جاء زيد اسدا ,بد ِت الجارِيه قمرا اي م
ِضيئة : tasybih
atas mufaa’alah (saling berbuat) dari dua sisi, seperti
:ً ٍد ُي َبِ ُيدا ُه ْعت بُِ
َا َدخلوا رجلا: seperti tertib, atas
menunjukkan atau , ًا َي ْمتُقَابِ ّضْ َ ِين
هذا: seperti dipalingkan,
tidak yang juga ada anَd ًرج َ ْلا َ ا ُي ِمْ ُتتُِبَِ ًين
.بسا اطيب منه
رطبا
Hal adalah fudhlah.
Maka hal tidak jatuh
kecuali sesudah sempurna kalam, karena hal pada hakikatnya adalah khabar dari
shahibnya dan hak khabar diakhirkan.
Maksud dengan
sempurna kalam adalah jatuhnya hal sesudah jumlah yang sempurna yang
dimurakabkan dari mubtada dan khabar atau fi’il beserta fa’il, yakni hal
bukanlah salah satu juzuk jumlah walaupun terhenti hasil faedah atasnya.
Bukanlah
maksud dari sempurna kalam bahwa kalam terkaya dari hal (tidak membutuhkan
hal), karena faedah kadang-kadang
terhenti atas hal dengan dalil
: َ ْ َ َ
. َولا ت ْم ِش ِف الا
ْر ِض َم َر َحا : SWT Allah Firman
Perlu diketahui bahwa hal beserta
amilnya mempunyai tiga keadaan:
dan َجاء رَيْدٌ َ َراكِ ًبا
َerti:َsep amilnya, dari diakhirkan Boleh 1.
didahulukan dari amilnya,
seperti :زيد جاء راكِبا .hal tersebut
berlaku apabila amilnya berupa
fi’il yang bertashrif ٌ ataْuُ shifat
yangْ ُ serupa dengan fi’il yang
bertashrif, ً seperti :منطلِق زيد
. م ِسع زيد منطلِق : dengan
dikatakan atau م ِسع
2. Wajib didahulukan hal
atas amilnya.
Kejadian tersebut berlaku apabila kalimat yang jatuh
sebagai hal
ْmerupakan shadar kalam, seperti : زيد جاء كيف.
3.
Wajib diakhirkan hal
dari amilnya dan
tertegah mendahulukannya.
hal tersebut berlaku apabila :
•
Hal merupakan ُ jumlah yang menyertai dengan wawu, seperti : Halَ yang
muakkadah (menguatkan) bagi amilnya, seperti :ول
atau
,مدبِرأ
ْ ٌ َ
• Muakkadah
bagi kandungan jumlah sebelumnya, seperti :زيد
atau ,ابوك عطوفا
•
Amilnya menyertaiً denganُ َ َ lamَّ qasam yang
bersambung
واللهِ لأقومن طائِعاseperti: dengannya,
•
Amilnya berupa fi’il jamid yang tidak bertashrif, seperti fi’il
contoh:
fi’il, isim seperti fi’il, bukan Amilnya •
• Isim yang
menyerupai isim jamid karena tidak bertashrif,
seperti
isim
َّ
tafdhَil apabila melazimi mufrad dan tazkir,
seperti:
. هذا افصح الناس خ ِطيبا
•
Mashdar ًyangُ ditakdirkan dengan fi’il dan huruf
mashdari,
. يع ِن ركوبا الناس م ِسجا : seperti
•
Amilnya berupa lafaz yang mengandungً َ maknaَ ْfi’il ketiadaan
dan فتِلك
بيوتهم خاوِي َة ْ: َcontoh ,ُisyarahُ ْisim seperti hurufnya
: seperti
rajji, َtaُ ُdan ً لي َ َتٌ زيدا مح ِسنا اخوك : rti َsepe َanni, ُtam
nbih,َtaْ
dan كنه مسفِرا قمر : seperti tasybih, َdan ل َعلْه ً ا ِميا ابوك
فما لهم
ع َ ِن: َ seperti َmustaqir, dzaraf dan هذا بع ِل َّ ْشي َخا ِ : ُ pertiْse
isim
dan ُ يُاجارةً ماانت جارة : seperti istifham dan التذكِرة معرِ ِضين
jenis
yang dikasadkan untuk ta’dzim, seperti : ِعلما الرجل انت
.
Amil-amil tersebut dinamakan dengan amil ma’nawiyah karena mengandung
makna fi’il ketiadaan hurufnya.
Tempat-tempat yang wajib dibuangkan amil
hal
. َ ْضر ِ ْب َزيْ ًدا قَائِ ًما : seperti khabar, menggantikan yang
Hal 1.
2. Hal yang jatuh sebagai ًgantiْ daَ riْ
mengucapkanَ َ dengan fi’il
atau آقائِما وقد قع َد ا ًلناسَّ ا َي ْات َق
ُو ْم ُقا َئِما ً seperti: mencela, pada
. عئِذا بِاللهِ اي اعوذ عئِذا:
seperti lainnya, pada
3. Hal yang menyatakan bagi
ziyadَahْ atauً penguranْgan dengan
تصدق بِ ِدره ٍم فصاعدا , اِش ْ
َتيتهَ: َseperti َr,ْsur-angsuُberang
. بِ ِدره ٍم فسافِلا , اخذته بِ
ِدينار ثم رافِعا
Shahib hal kebiasaannya berupa isim
ma’rifah .
Karena shahib hal merupakan mahkum ‘alaih. Dan menghukum atas
sesuatu hanya terjadi sesudah mengenalnya sesuatu, dan supaya tidak tasyabbuh
(serupa) dengan shifat pada
. رايت رجلا راكِبا : seumpama
Atau
isim nakirah dengan ada musawwigh (nakirah yang mempunyai yang membolehkan
datang hal darinya), karena musawwigh tersebut mendekatkan nakirah kepada
ma’rifah sehingga hilanglah mubham yang banyak dari nakirah.
Diantara
musawwighat adalah :
. ِف الدارِ َجالِ ًسا َر ُج ٌل : seperti
shahibnya, atas hal Terdahulu •
• Shahibَّ hal_nَ ya
di_takhshis_kan dengan idhafah, seperti :ف
.اربعةِ ايام س
َواء
َ ْ ْ
َ
ْ َ
• Shahib
ِذرون
hal_nya
didahulukan dengan nafi, seperti :ِمن
.قري ٍة اِلا لها من
وَ
َما اهلكنا
َ َّ َ
• Shahibُ hal_nya
ditakhshisْ _kanَ dengan washaf, seperti :ولما
.جاءهم كِتاب من ِعن ِد
اللهِ مصدقا
Kadang-kadang
shahib
ِ
ْ
halnya adalah nakirah
tanpa
. عليهِ مائة بِيضا : seperti musawwigh,
َّ
َ
َ َ ْ َ َ
َ ْ
ُ ْ َ
رايت ال ِهلال بَ َين َال َس َحاَ ِب
َ: ْseperti f, ْdzara berupa hal Terkadang
.Keduanya فخرج ْعلى َ َق
َّومهِ ِف ُرِ ْي َنتِهٌِّ seperti: majrur, dan jar dan
dimuta’alaq_kan
dengan lafaz مستقِر atau اِستقر.
Hal harus berupa jumlah (ismiyah dan
fi’liyah) khabariyah, karena hal adalah nakirah ,dan jumlah jatuh pada tempat
nakirah
,dan apabila jumlah jatuh sebagai hal maka dihukumi mahal_nya
dengan nasab.
Maka tidak boleh datang jumlah insyaiyyah sebagai hal
menurut kesepakatan ulama, karena hal menyerupai na’at, yang mana na’at tidak
ada dengan jumlah insyaiyyah, dan karena hal merupakan kayid pada amil_nya,
dan segala kayid keadaannya tetap lagi kekal bersama barang yang dikayidkan
dengan hal, sedangkan insya’ tidak memiliki peranan bagi kayid tetapi dzahir
beserta lafaz dan hilang dengan hilangnya lafaz sehingga tidak pantas
dijadikan sebagai kayid, maka oleh karena demikian tidak jatuh insyak sebagai
syarat dan sebagai na’at.
Syarat jumlah yang jatuh
sebagai hal adalah :
• Sunyi dari dalil istiqbal
seperti sin dan saufa dan segala nawashib fi’il dan tamanni dan tarajji.
•
Sunyi dari fa dan dari wawu yang mengiringi mudhari’ yang sebut atau manfi
dengan lam.
• Sunyi dari makna ta’ajjub yang jatuh pada
tempat mufrad.
• Dan mempunyai rabith yang mengikat hal
dan shahibnya. Rabith pada hal ada tiga macam :
Wawu danٌ ْ dُ zamَ irْ
َ َ ُ
ْ ْ َ
َّ
ْ َ
َ َ َ
َ ْ َ
ِمن
دِيارِهِم وهم الوف: Contoh
Dzamir saja
ِلذين
خرجو
الم تر اِلى ا
َب ْع ُض ُك ْم ِلَ
ْع ٍض َع ُد ٌّو: Contoh
اِ ْهبِ ُطوا
Wawu saja
ْ ُ
َ َ ْ ُ
ّ
ْ ُ
َ َ ُ
َ
ْ َ
لئِن اكله الذئب ونحن عصبة: Contoh
Pembagian
hal
1. Hal muntaqilah.
Yakni hal yang tidak lazim
bagi shahibnya.
َراكِ ًبا: Contoh
2.
Hal lazimah.
َ
َزيْ ٌد
ُ
َجاء
ُ
َ ْ َ
خلِق الإنسان ضعِيفا:
Contoh
3. Hal maqshudah.
َجاء َزيْ ٌد َضاحك:
Contoh
4. Hal mauthi ah.
Yang dimaksud denَ gan
hal ini adalah barang sesudahnya.
فتمثل لها بشا سوِيا: Contoh
5.
Hal muqarana pada zaman.
هذا بع ِل شيخا: Contoh
6.
Hal muhakkiyah.
Yaitu hal madhiyaَ h (telah lalu).
َجاء َزي ٌد ام ِس
َراكِ ًبا: Contoh
7. Hal muqaddarah.
Yaitu hal
mustaqbal (mُ asa yang akan datang).
اد ُخل ْو َها َخا ِ ِلد ْي َنا:
Contoh
8. Hal mubayyinah (muassasah).
Yaitu hal
yang tidak dapat diambil faedah maknanya kecuali
َ َ ْ
ُ َّ َّ َ ْ
.ُdengannya
ضربت اللص مكتوفا: Contoh
9.
Hal muakkadah.
ِلنَّاس رسولا: Contoh
10. Hal
munfaridah .
َواَ ْر َسلْ َناك
َجاء َزيْ ٌد
َراكِ ًبا: Contoh
11. Hal muta’addidah.
Hal ini
terbagi atas dua macam :
• Mutaradifah.
dan َراكِ
ًبا lafaz menjadikan dengan جَاء َزيْ ٌد َراكِ ًبا ُم َتبَ ّ ِس ًما : ontoh
ًC
ِسما متب sebagai dua buah hal dari sahib yang satu yaitu lafaz zaid
dan
amilnya juga satu yaitu lafaz جاء.
• Mutadakhilah.
َراكِ
ًبا lafaz dijadikan apabila َجاء َزيْ ٌد َرا َكِ ًبٌا ُم َتبَ ّ ِس ًما:
Contoh
sebagaiّ hَal dari زيد dan amilnya adalah lafaz جاء, sedangkanَ
lafaz
ِسما متب sebagai hal dari zhamir mustatir didalam lafaz راكِبا
dan
amilnya adalah washaf yaitu lafaz راكِبا .
Bab Tentang Tamyiz
Pengertian tamnyiz
ُص ْو ُب ال ْ ُم َف ِّ ُس لِ َما انْ َب َه َم
ِم َن الذ َوات اَوِ الن َس ِب .
ُه َو الإ
ْس ُم ال ْ َمنْ
ْميِ ْ ُي
الت
Tamnyiz
adalah isim yang manshub yang menjelaskan bagi sesuatu yang mubham
(samar-samar) dari zat-zat atau nisbah yang terdapat pada jumlah atau serupa
jumlah.
Isim disini adalah isim yang sharih lagi jamid pada kebiasaannya
dan sedikit yang berbentuk musytaq.
Manshub_nya tamnyiz ada dua macam
:
1. Dengan zat yangْ mubham apabilaَ
beruْpaْ tamnyiz mufrad,
الرجلlafaz dan ت ِسعِين نعجة : contoh َpadaُ ُ ت
ِسعِْ ًين lafaz seperti
. انت الرجل ِعلما contoh: pada
2.
Dengan musnad dari fi’il atau serupa fi’il seperti mashdar dan
washaf
walaupun jamid yang muawwal dan isim fi’il َ apabila
keadaannyaَ beْrupa
َّ tamnyiz nisbah, seperti lafaz ٌب َصَّب ُ ت pada
طاب محمدcontoh pada
طاب lafaz dan تصبب زيد عرقا : contoh .نفسا
Zat yang mubham yang
dihilangkan ibhamnya oleh tamnyiz ada empat macam :
1.
‘Adad (bilangan).
Maksud dengan bilangan disini bukan semua bilangan
tetapi bilangan adalah mulai dari angka sebelas hingga sembilan puluh
sembilan.
Bilangan terbagi dua :
a.Contoh
b.
Kinayah
Bilangan kiْnayahْ adalah kam istifhamiyah.
ك ْم عب ًدا َملك
َت: Contoh
Al_Fakihi mengatakan :“terkadang tamnyiz wajib dijar_kan
dengan idhafah, seperti tamnyiz angka tiga dan seratus dan seribu dan kam
khabariyah”.
2. Miqdar
Yaitu barang yang dapat
dikenal ukuran sesuatu dengannya.
Miqdar terbagi tiga :
•
Kailu (sukُatan)َ ُ ْ َ َ ْ
اِشتيت
قفِيا برا: Contoh
• Mauzun (sesuatu yang diukur dengan
timbangan)
اِشتيت منا سمنا: Contoh
•
Misahah (sipatan)
ُ
اِشتيت ِشبا ارضا: Contoh
3.
Serupa miqdar
Yaitu
perbandingan-perbandingan yang
tidak masyhur pemakaian dan tidak diwadha’_kan bagi ukuran
yang pasti tetapi
secara hampir, seperti lafaz ِعية الاو dan seumpamanya,
dan:ْح ن
yaitu nama bagi penapung minyak
sapi, dan
َما ِف السماءِ مو ِضع راح ٍة: seperti sipatan dengan serupa
yang َDan
. ِسحابا
4. Sesuatu yang menjadiَ furu’
bagi tamnyiz.
. هذا خاتِ ٌم َح ِدي ًدا : Contoh
Pembagian ini
tidak wajib dinasabkan sebagai tamnyiz, akan tetapi boleh menasabkan_nya dan
boleh dijarkan dengan idhafah pada kebanyakannya dan juga boleh di_rafa’_kan
sebagai ‘ataf bayan (cara ini yang paling bagus) atau sebagai badal atau
sebagai na’at berdasarkan pendapat yang lemah karena bukan musytaq.
Tamnyiz
yang menyatakan bagi ibham nisbah terbagi dua :
1.
Muhawwal (dipalingkan) Muhawwal ada tiga keadaan :
•
Muhawwal
ْ
(dipalingkan) dari
َ َ
fa’il.
تصبب
زيد عرقا , تفكأ بكر شحما: Contoh
Faedah dipalingkan adalah untuk takkid
dan mubalaghah, “Karena menyebutkan sesuatu secara mujmal (global) kemudian
disebutkan secara mufasshal (terperinci) lebih meresab dalam jiwa daripada
disebutkan secara jelas pada permulaan”.
• Muhawwal
(dipalingkan) dari maf’ul.
َوفج ْرنا الارض ع ُيونا: Contoh
•
Muhawwal (dipalingkan) dari mubtada.
Yaitu tamnً yiz yang jatuhَ
sesudah isim tafdhil. َ ْ َ
”.
َما ِلى اك ُث ِمنْ َك “ Asalnya . انا اك ُث ِمنْ َك َمالا :
Contoh
Syarat dari tamnyiz ini yaitu pantas menjadi fa’il sesudah
menjadikan isim tafdhil sebagai fi’il.
2. Ketiadaan
muhawwal dari sesuatupun.
اِمتلأ الاِناء ماء: Contoh
Hukum-Hukum
Tamnyiz
• Tidak ada tamnyiz kecuali berupa isim
nakirah.
Karena tujuan dari tamnyiz adalah menafsirkan dan menghilangkan
ibham, yang mana hal tersebut bisa tercapai dengan nakirah, sehingga para
ulama Nahwu menetapkan nakirahnya tamnyiz supaya terpelihara dari main-main
daripada ziyadah yang tidak mempunyai tujuan sebagaimana pada bab hal.
Sedangkan ulama Kufiyun membolehkan ma’rifah tamnyiz dengan dalil ucapan
pensyair, yaitu:Contoh tersebut dipalingkan oleh ulama Bashariun atas ziadah
alif dan lam.
• Tidak ada tamnyiz kecuali sesudah
sempurna kalam, dengan bahwa jatuhnya tamnyiz sesudah jumlah yang sempurna,
baik terhenti tercapai faedahnya atas tamnyiz atau tidak. Dan
kadang-kadangً
tamnyizُ ْ tidak jatuh sesudah sempurna kalam,
ِعشون درهما ِعن ِدي:
seperti
• Amil yang menasabkanْ
tamnyiz
zat yang mubham
َ
adalah zat itu
ِع
ِشين درهما: contoh pada ِع ِشين lafaz seperti sendiri,
•
Amil yang menasabkan tamnyiz nisbahً ْ َadaْlah َ fi’il yang
disandarkan
kepadaً َ tamnَyiz, ّ seperti : نفسا زيد طاب atau
serupa
fi’il, seperti: عرقا زيد متصبِب. Menurut Ibn ‘Ashfur; Amil yang menasabkan
tamnyiz nisbah adalah jumlah secara lengkap,
bukan fi’il dan yang
menyerupainya.
• Tamnyiz (zat atau nisbah) tidak boleh
mendahului amilnya
secara mutlak (baik amilnya berupa isim atau fi’ilْ
yangَ jamid
atauَ ْfi’il َyangُ َbertashrif. Maka tidak dikatakan :, ِرطل
زيتا ِدي ِعن
.رجلا ما أحسنه
Uraian tersebut merupakan pendapat
jumhur. Alasannya:
Karena maksud daripada tamnyiz
pertama-tama adalah ibham, kemudian mentafsirkan. Sedangkan menghilangkan
ibham dan terdahulunya atas amil dapat menafikan maksud.
Karena tamnyiz sama seperti na’at dalam menjelaskan. Sedangkan na’at tidak
boleh terdahulu amil atasnya, begitu pula yang menyerupainya.
Al-Azhariy
berkata :“Telah sepakat sekalian ulama Nahwu
bahwa boleh terdahuluْ َ
tamً ْnyizَ atas mumayyiz apabila amilnya
. طاب نفسا زيد : Seperti
terdahulu».
بَاب ال ْ ُم ْستَثْن
Bab Tentang Mustastna
Ulama nahwu memiliki beberapa ibarat dalam mendefinisikan
pengertian istitsna, namun dari berbagai macam definisi yang di uraikan pada
hakikatnya merujuk kepada makna yang sama.
Berikut ini beberapa definisi
dari istitsna :
الاِ ْستِثْ َناء ُه َو : اِ ْخ َراج َما لَ ْو ّلاهُ َ َلد
َخ َل ِف الْ َ َك ِم السابِ ِق .
Ististna adalah mengeluarkan suatu
perkara yang seandainya tidak dikeluarkan maka perkara tersebut termasuk
kedalam pembicaraan sebelumnya.
ال ُم ْستَثْ َن ُه َو : ال ْ َم ْذ ُك ْو
ُر َب ْع َد اِ َّلا اَ ْو اِ ْح َدى اَ َخ َواتِ َها ُ َمخالِ ًفا لِ َما َقبْلَ
َها َن ْف ًيا َواِثْ َباتًا .
Mustatsna ialah kalimat yang disebutkan
sesudah lafaz َّلا اِ
atau salah satu saudaranya yang berbeda bagi barang
sebelumnya
disegi nafi atau istbat.
Mustatsna ialah sesuatu yang
dikeluarkan secara pasti atau secara takdir dari yang disebutkan atau yang
ditinggalkan dengan lafaz اِلا atau yang semakna dengannya dengan syarat
berfaedah.
Alat – alat istitsna (lafaz-lafaz yang dipakai untuk
mengeluarkan barang sesudahnya dari hukum sebelumnya baik disegi sebut atau
nafi ) ada delapan lafaz. Dari jumlah tersebut terbagi kepada empat macam,
yaitu :
1. Huruf َّ
Yaitu lafaz
اِلا
2. Isim
Yaitu
ٌlafaz ُِسوًى dan غي (dengan loghat yang empat yaitu, ِسوى
سوى ,سواء ,
ِسواء
3. Fi’il
لا
يكون dan ليس lafaz Yaitu
4. Mutaraddud (diragukan)
antara fi’il dan isim
dikatakan terkadang َحاشا lafaz pada
,خلا , ع َ َدا َ, َحاشا lafaz Yaitu
. حاش , حش dengan
Hukum-hukum
mustastsna
Mustastna dengan lafaz اِلا dinasabkan
apabilaَّ kalamnya tam
(artinya tidak berhajat bagi barang sesudah اِلا)
lagi mujab
(sebut), baik ististna_nya muttashil (mustastna_nya merupakan
bagian dari muststna min) atau munqathi’ (muststnanya bukan
bagian dari
mustastna min).
muttashil ististna Contoh َّ َ ْ ً
,.
خرج الناس اِلا عمرا
فسجد الملائِكة كهم اجمعون اِلا
munqathi’: ْististna َContoh َّ ِ َ ً
.اِبلِيس , قام القوم اِلا حمارا
َّلا
ا Isْtistna munqathi’ tidak diperdapatkan kecuali sesudah
lafaz
ِ dan غي. Menurut ulama nahwu pada ististna munqathi bahwa kalam
sebelum اِلا menjadi dal (penunjuk) bagi barang sesudahnya,
makaُ tidak
bagus dijadikan ististna munqathi’ pada contohالقوم قام
ثعبانا
اِلا(berdirilah kaum kecuali ular), karenaْ
ular tidak
berdiri.
َّ
َ
التام هو : ما ذكِر فِيهِ المستثن ِمنه .
Kalam tam
ialah kalam yang disebutkan mustastna min.
المو َج ُب ُه َو : اَ َّ ِلذي
لَ ْم َي َت َق َّد ْم َعلَيْهِ َن ْ ٌف َو ّلا ِشبْ ُه ُه .
Kalam mujab
adalah kalam yang tidak didahului oleh nafi dan serupa nafi seperti nahi dan
istifham.
Alasan wajib menasabkan mustastna sesudah
kalam tam lagi mujab karena tertegah menjadi badal ketika itu, karena
seandainya
dibadal akan membawaki kepada fasid makna,dikarenakanُ mَ
ubdal
minَ pada hukum yang terdahulu, maka jikaَ ِ dikataْkan َ“َلا اِ
القوم قام
dengan ” قام القوم اِلا حمار “ atau badaliyah atas rafa’ dengan
”زيد
rafa’ atas badaliyah pula, dan ditakdirkan mubdal min_nya ( القوم )
pada hukum gugur, sehingga takdir maknanya ketika itu adalah “قام حمار اِلا
قام , زيد اِلا” maka keadaan seperti demikian tidak memiliki faedah kecuali
dengan ditakdirkan “ اِلا ” sebagai kalimat ziyadah,
mentakdirkan seperti
demikian adalah sebalik dari asal, atau mentakdirkan ististna mufarrragh,
sedangkan ististna mufarragh tidak terjadi pada kalam itsbat, maka diketika
itu tertentulah menasabkan mustastna.
Amil yang menasabkan
mustastna َّ
Amil yang menasabkan mustastna muttashil
adalah lafaz اِلا
menurut Ibnu Malik dan pengikutnya bahkan pendapat
tersebut merupakan mazhab Sibawaihi, berdasarkan atas pendapat yang ashah
(kuat). Sedangkan menurut Al_Farisiy dan as_Sairafiy amil
yang
menasabkannya adalah barang sebelum lafaz َّاِلا berupa fi’il
atau yang
serupa dengannya dengan perantaraan اِلا. Adapun
amil yang menasabkan
mustastna munqathi’ menurut Sibawaihi adalah barang sebelum اِلا, sedangkan
menurut kebanyakan ulama mutaakhirin manakala melihat bahwa lafaz اِلا yang
nafiyah
bermakna ِكَّن ل maka mereka berkata: Yang
menasabkannya
adalah lafaz اِلا yang nasabnya sama seperti kalimat
ِكن ل yaitu
menasabkan isim dan merafa’_kan khabar akan
tetapi khabarnya
dibuangkِanَّ padaَ ْ kebiasaan, maka takdir pada contoh
tersebut
bahwa dipahami dapat ْini uraian dari Maka قام القوم اِلا حمارا
َّ ialah
lafaz اِلا pada ististna munqathi’ bermakna
ِكن ل istidrakiyah.
Dan jika kalam
sebelum اِلا merupakan kalam tam yang tiada mujab (kalam manfi), maka boleh
pada mustastna yang muttashil
dan munqathi’ dijadikan
sebagai badal ba’adh menurut ulama Bashariyun dan tidak disharihkan dengan
dzamir karena kekuatan ta’luq mustastna min terkaya dari dzamir pada kebiasaan
menurut yang dikemukakan oleh Al_Azhari, maka diketika itu mustastna tersebut
di_i’rab seperti i’rab mustastna
min, sedangkan menurut ulama Kufiyun َّ
mustastna tersebut
di_i”rab sebagai ‘ataf nasaq karena lafaz اِلا menurut
mereka
termasuk huruf ‘ataf khusus pada bab ististna, lafaz اِلا tersebut
menurut mereka dengan manzilah huruf لا ‘ataf disegi barang sesudahnya berbeda
bagi barang sebelumnya .
Dan boleh pada mustastna tersebut dibaca nasab
atas ististna, akan tetapi yang arjah (kuat) pada ististna muttashil
dijadikan
mustastna sebagai ُ ْ badal َ dari ُ mَustastna min yang
mengikuti
. ما فعلوه اِلا قلِيل منهم : Contoh i’rabnya.
Tanbih :
Al_Radhiy
dan jamaah berkata, diantara syarat badal yang terjadi pada bab ististna
adalah :
1. Jatuh sesudah اِلا
2.
Muttashil
3. Diakhirkan dari mustastna min
4.
Tidak ditolakkan kalam yang mengandung ististna
5.
Tidak diakhirkan dari mustastna min (artinya mustastna_nya langsung disebutkan
sesudah mustastna min.
Maksud dengan serupa nafi ialah sesuatu yang َ
menafikan
َالق ْو َم ْ ُغ ْي ق َائِ َِم َ ْين َ: seperti ُlafaz, ًpada
ْitَmutsb walaupun makna َّ a َpad
ومن يقنط, ولا يلتفِت منكم احدا اِلا
امرأتك : rti ِsepe ْnahi, danاِلا َّزيُ ْد َ
mahal pada majrur dan jar
merupakan ِ ْ ُ ْمن رحمةِ ربِهِ اِلا الضالون
I’rabnya : lafaz
منكم
nasab sebagai hal dari lafaz حدا
اَ, karena lafaz
ْم ُك
ِمنْ
pada dasarnya
di_i’rab
sebagai na’at bagi lafaz احدا maka tatkala didahulukan
atasnya
maka dinasabkan sebagai hal berdasarkan sebuah kaedah :
اَ َّن َن ْع َت
النَ ِك َرةِ اِ َذا َت َق َّد َم َعلَيْ َها نُ ِص َب َ َعلى ا ْ َلحال
“Na’at
nakirah apabila terdahulu atas nakirah maka dinasabkan sebagai hal”
Tanbih
:
• Apabila didahulukan mustastna atas mustastna min
maka wajib nasab pada muttashil dan munqathi’ yang mujab dan yang ketiadaan
mujab karena ozor dibadal.
• Nasab pada ististna
muttashil merupakan bahasa Arab yang bagus bahkan terdapat pada qiraah
tujuh.
• Dan jika ististnanya merupakan ististna
munqathi’ maka ulama
Hijaz mewajibkan nasab sebagai ististna.
Sedangkan
menurut ulama Tamin menguatkan nasab sebagai ististna dan membolehkan itba’
dengan menjadikan mustastna
sebagai badal dari mustsna
َ
min.
َ
َ َ َ ْ ُ
ِحمارا واِلا ِحمار :
Contoh
Penting :
. ما قام القوم اِلا
َ
ْ
Setiap ististna munqathi’ ditakdirkan ِكن
ل menurut ulama
Bashariyun, dan ditakdirkan ِسوى
menurut ulama Kufiyun, akan
tetapi takdir seperti ulama Bashariyun lebih
utama karena ististna mungqathi’ berfaedah bagi istidrak dan menghilangkan
waham
masuknya mustastna pada hukum kalam sebelumnya, sedangkan
ِس
َوى
tidak berfaedah
َ
bagi istidrak.
َ
ْ
ْ َ ُ
ْ ُ ْ َ
ُ
َ َ
ّ ّ َ َ
.
اِ ِن لا ياف لدى المرسلون ِالا من ظلم ا َّي ل ِكن من ظلم : Contoh
Dan jika kalam sebelum اِلا merupakan kalam naqish maka
ketentuan i’rab
mustastna sesuai dengan ‘awamil yang menuntut bagi beramal padanya, dan
kalimat اِلا istisnaiyyah tidak lagi
diamalkan pada
mustastna tetapi amalan pada mustastna diberikan kepada ‘awamil sebelumnya.
Maka
diberikan pada isim yang di_ististna_kan apa saja wajah i’rab yang dituntut
oleh amil seandainya tidak diperdapatkan lafaz
اِلا .
Uraiannya :
• Maka jika amil sebelum
َrafa’َ
َّenuntut ْm اِ َّلا
makَa َّ dirafa’_kan
.
ما قام اِلا زيد , وما محمد اِلا رسول : Seperti sesudahnya. barang
•
Dan jika amil sebelum اِلا menuntut nasab paْda َّ lafazْ َ maka
وما رايت
اِلا زيدا , ولا: Seperti sesudahnya. َ ُbarangَ asab_kan ْdin
َّ
.تقولوا على اللهِ اِلا الحق
• Dan jika amil sebelum
اِلا menuntut nasab pada mahal maka
dijar_kanَ barang sesudahnya َ
dengُanَ jarَ yang ta’luq dengannyَa.
Seperti :ِه
.احسن
ِب
اِلا بِال ِت
ِكتا
وما مررت اِلا بِزي
ٍد , ولا تادلوا اهل ال
Kalam naqish adalah kalam yang tidak
disebutkan mustastna
minhu beserta meniatkan_nya, dan dinamakan
ististnaَّ tersebut
dengan ististna mufarragh, karena amil sebelum lafaz
اِلا kosong bagi beramal pada barang sesudahnya.
Syarat ististna
mufarragh keadaan kalamnya bersifat ghairu mujab (yaitu kalam yang mengandung
nafi atau serupa nafi), karena tidak datang tafrigh pada ijab karena dapat
membawaki kepada membatalkan ististna.
Tanbih :
Ististna
mufarragh termasuk ُkedalamَ ististnaَ mَ uttashil, dan
pada dan َل ْم
ٌيلبسوا اِلا ع ِشية او ضحاح ْا seperti: ,َdzaraf pada terdapat
ما جائ ِن
زيد: seperti hal, pada dan اِن نظن اِلا ظنا : rti َّsepe ,ّmashdar
راكِب
وغلامه اِلا dan tidak datang pada maf’ul ma’ah karena barang
sesudah illa
munfashil dari barang sebelumnya disegi makna. Adapun pada tawabi’ ististna
mufarragh cuma terdapat pada badal
tidak terdapat pada
‘ataf bayan dan ‘ataf nasaq dan taukid dan pada
na’at .
Mustastna dengan lafaz غي dan ِسوى beserta seluruh dialegnya
adalah
majrur dengan cara idhafah, karena lafaz - lafaz tersebut
melazimi
bagi idhafah.
ْ
ُ َ ٌ
ْ
َ َ ْ Asalٌ dari lafaz غي adalah shifat dengan makna مغايِر, seperti
اِلاatas
tersebut lafaz hamalkan di tetapi akan ,جآء ِن رجل غي زيدٍ
dan dipakai
pada ististna sebagimana dihamalkan الا atas ْيرُ غَ dan dipakai sebagai
shifat disaat َّ اِلا tersebut datang sesudah jamak yang
dinakirahkan
yang tidak dihasarkanَ padaَ َkeَّbiasaanِ , karenaَ ozoَ r
لو كن فِي
ِهما آلهة اِلا الله لفسدتا اي لوَّ كن seperti itu, diketika َa ْististn
isim
sebagai adalah itu diketika اِلا lafaz maka ,فِي ِهما آلهة غي اللهِ
dengan
makna غي akan tetapi didhahirkan i’rab_nya pada barang
sesudahnya karena
kedaannya dengan bentuk huruf sama seperti
maushul.
Dan
di i’rabkan lafaz
ِس َوى dan َغ ْ ُي
sesuai
dengan i’rab
yang dituntut oleh mustastna dengan lafaz اِلا,
karena tatkala mustastnanya dijarkan dengan keduanya maka berpidahlah i’rab
mustastna
kepada keduanya. Oleh karena demikian maka wajib
dinasabkanْ َ keduanya
apabila ْterdapat pada kalam tam yang mujab,
. قاموا غي زي ٍد او ِسوى زي
ٍد : seperti
Apabila kalam tam lagi manfi maka boleh mengikutkan
mustastna bagi mustastna min dan boleh menasabkan mustastna
atas
ististna.
َ َ
َ ْ
َ ْ َ َ ْ
َ
َ ُ ْ
َ ْ ُ
غي merafa’_kan
َ(dengan ما قاموا غي زي ٍد و ِسوى زي ٍد : Contoh
dan
ِسوى sebagai badal dari wau pada lafaz قاموا, dan juga
boleh
dinasabkan keduanya sebagai ististna).
Akan tetapi pada
istisna muttashil lebih kuat di_itba’_kan, dan wajib dinasabkan pada ististna
munqathi’ menurut ulama Hijaz, dan membolehkan nasab menurut ulama
Basharah.
Lafaz ُي ْ َغ dan َوى
ِس di_i’rabkan sesuai dengan ‘awamil yang
masuk atasnya
sesudahَ kalamْ َ manfi َlagi ْ naqishَ paَdaُ ْ َististnaَ
ما قام غي زي
ٍد و ِسوى زي ٍد , ما رأيت غَ ْي زي ٍَد و َ ِسَو ْ ُى: ntoh َCo farragh.َmu
َّPerbedaan
diantara َي ْ غ dan َوى ِس dengan lafaz اِلا
•
Boleh melakukan ististna mufarragh secara mutlak pada kalam
mujab,
ْ
َ
ْ َ َ َ
َ
َ ْ ُ َ
قام غي زي ٍد و ِسوى زي ٍد: Contoh
•
Boleh keadaan keduanya manjadi tabi’ pada kalam tam lagi
mujab.
ْ
َ
ْ َ َ َ
َ
ْ ُ
َ ْ َ ْ ُ َ
قام
القوم غي زي ٍد و ِسوى زي ٍد: Contoh
• Tabi’ mustastna
dengan keduanya boleh dimura’ah_kan makna
dan lafaz .
ما قام
القوم غ َي زي ٍد وعم ٍرو او ِسوى زي ٍد وعم ٍرو: Contoh
Apabila
dipanjangkan bacaan lafaz ِسوى (dengan bahwa
dibaca
سواء atau ِسواء ) maka i’rabnya dzahir pada akhirnya, dan
apabila
dipendekkan bacaanَ
maka
ُ
i’rabnya
ditakdirkan atas alif.
َ لا ُي ْ ُكون dan
َليس lafaz dengan Ististna
Mustastna dengan lafaz لِيس dan يكون
لا manshub tidak boleh
lain, karena mustasna adalah khabar keduanya.
َ حاشا َdan َع َدا , خلا lafaz dengan Istisna
Mustastna
dengan lafaz خلا,عدا dan حاشا boleh dijarkan dan
boleh dinasabkan sebagai
maf’ul bih. Ketentuan boَlehَ duaُ ْmacamَ
ق َامَ الَق َو ْم خ َلا َ ز ْي
َد ْا:ُ ontohْmashdariyah.C َما ْ َterdapat َ ْtidak َabilaَap
وخلا زي ٍد
, قام القوم عدا زيدا وعدا زي ٍد , قام القوم حاشا زيدا وحاشا زي ٍد
Menurut
Abu Hayyan :“Ististna dengan fi’il-fi’il ini Cuma terdapat pada istisna
muttashil”.
Menurut Ibnu ‘Anqak :Fa’il dari fi’il tersebut adalah
dzamir
yang melazimi bagi ifrad dan tazkir, dan
ististnanya kembali diatas ba’at yang dipahami dari barang sebelumnya atau
kembali atas isim fa’il yang dipahamkan dari siyaq kalam.