Bab I'rab Rafa' Nasab Jar Jazam
Nama kitab: Terjemah Mutammimah
Judul kitab asal: Mutammimah al-Ajurrumiyah ( متممة الآجرومية)
Ejaan lain: Matan Mutamimah al-Ajurumiyah
Pengarang Kitab Mutammimah: Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdirrahman ar-Ra’iniy / Al-Ru'aini, yang terkenal dengan sebutan al-Hattab (العلامة شمس الدين محمد بن محمد الرعيني المالكي الشهير بالحطاب)
Kelahiran: Mekkah, pada tahun 902 H/1491 M,
Meninggal: Tripoli, Libya, tahun 945H/1547 M
Penerjemah: A. Fatih Syuhud
Bidang studi: Gramatika tata bahasa Arab, nahwu dan sharaf tingkat menengah.
Daftar isi
- Bab Isim-Isim Yang Marfu’ (Rafa')
- Bab Fa’il
- Bab Naibul Fa’il
- Bab Mubtada dan Khabar
- Bab ‘Awamil Yang Masuk atas Mubtada dan Khabar
- Fasal Kana [كَان] dan saudaranya
- Kata yang Diserupakan Dengan Laisa (لَيْس )
- Fasal Fi’il Muqaarabah
- Pasal Inna dan Saudaranya
- Pasal La [لا] Nafi Jinis yang Beramal seperti Amalnya Inna [إن]
- Zhonna dan Saudaranya
- Bab Isim-isim Yang Dinashabkan
- Bab Isim yang Jar (Mahfudhat)
- Bab Tentang I’rab Fi’il Mudharik
- Bab Na’at
- Bab ‘Athaf
- Bab Taukid
- Bab Badal
- Bab Isim-isim Yang Beramal Seperti Fi’il
- Bab Tanazu’ dalam Beramal
- Bab Ta’ajub
- Bab Adad (Angka)
- Bab Waqaf
- Penutup
- Kembali ke: Terjemah Mutammimah Ajurumiyah
باب المرفوعات
ISIM-ISIM YANG DIBACA RAFA’
Isim yang dibaca rafa’ itu ada sepuluh, yaitu:
المرفوعات عشرة وهي: الفاعل والمفعول الذي لم يسم فاعله والمبتدأ وخبره واسم كان أخواتها واسم أفعال المقاربة واسم الحروف المشبهة بليس وخبر إن وأخواتها وخبر لا التي لنفي الجنس والتابع للمرفوع وهو أربعة أشياء: النعت والعطف والتوكيد والبدل.
- Fail.
- Maf’ul bih yang tidak disebut failnya (Naibul Fail).
- Mubtada’.
- Khabar.
- Isim dan saudara-saudaranya.
- Isim Af’alul Muqarabah.
- Isim huruf yang serupa huruf .
- Khabar dan saudara-saudaranya.,
- Khabar huruf ” yang berfungsi menafikan jenis.
- Tabi’ (kata yang mengikuto) isim yang dibaca rafa', yang berjumlah empat, yaitu:
- Naat.
- Athaf.
- Taukid.
- Badal.
باب الفاعل
FAIL (SUBJEK)
هو الاسم المرفوع قبله فعل او ما في تأويل الفعل
Fail adalah isim yang dibaca rafa’,[1] yang jatuh sesudah fiil atau kata yang ditakwil sebagai fiil.
[1] Fa'il adalah subyek dari kalimat verbal (jumlah fi'liyah). Di mana fi'il (kata kerja) harus selalu berada di awal kalimat dan subyek harus jatuh setelah fi'il. Ini berbeda dengan bahasa Indonesia.
وهو على قسمين ظاهر ومضمر،
Fail itu ada dua, yaitu: Fail Isim Zhahir dan Fail Isim Dhamir.
Fail Isim Zhahir
فالظاهر نحو: {إِذْ قَالَ اللهُ} (55) سورة آل عمران؛ {قَالَ رَجُلاَنِ} (23) سورة المائدة؛ {وَجَاء الْمُعَذِّرُونَ} (90) سورة التوبة؛ {يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ} (6) سورة المطففين؛ {وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ} (4) سورة الروم؛ قال أبوهم؛
Fail isim zhahir[2] seperti dalam contoh:
- [إِذْ قَالَ اللهُ] Ketika Allah berfirman.
- [قَالَ رَجُلاَنِ] Dua laki-laki berkata.
- [وَجَاء الْمُعَذِّرُونَ] Orang-orang yang mengemukakan uzur datang
- [يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ] Hari ketika manusia berdiri
- [وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ] Pada hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman
- [قال أبوهم] Ayah mereka berkata
[2] Fail isim zhahir adalah subyek yang selain kata ganti. Seperti nama orang, nama binatang, dan kata benda yang lain.
Fail
Isim Dhamir
والمضمر نحو قولك ضربت وضربنا إلى آخره، كما تقدم في فصل المضمر.
Fail dhamir seperti dalam contoh: [ضربت] dan [ضربنا], dst sebagaimana sudah lalu dalam Pasal Isim Dhamir.
والذي في تأويل الفعل نحو: أقائم
الزيدان؛ ومختلف ألوانه؛
Adapun fail yang didahului oleh kata yang ditakwil sebagai fill, sebagaimana dalam contoh: [أقائم الزيدان] Apakah dua Zaid berdiri.dan [ومختلف ألوانه] Yang berbeda-beda warnanya.
وللفاعل أحكام منها أنه لا يجوز حذفه لأنه عمدة فإن ظهر في اللفظ نحو: قام زيد والزيدان قاما فذاك وإلا فهو مستتر نحو زيد قام.
Fail itu mempunyai beberapa hukum, antara lain:
Tidak boleh dibuang, sebab fail adalah salah satu unsur pokok dalam kalimat sempurna. Apabila fail itu tampak, seperti dalam contoh: [قام زيد] atau [الزيدان قاما ] maka itulah failnya . Apabila tidak tampak, maka fail berupa dhamir mustatir. Contoh: [ زيد قام]
ومنها
أنه تقدمه على الفعل فإن وجد ما ظاهره أنه فاعل مقدم وجب تقدير الفاعل ضميراً
مستتراً ويكون المقدم إما مبتدأً نحو زيد قام وإما فاعلا لفعلٍ محذوف نحو:
{وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ} (6) سورة التوبة؛
لأن أداة الشرط لا تدخل على المبتدأ.
ومنها أن فعله يوحد على تثنيته
وجمعه كما يوحد مع إفراده فتقول قام الزيدان وقام الزيدون كما تقول قام زيد؛ قال
الله تعالى: ل {قَالَ رَجُلاَنِ} ؛ {وَجَاء الْمُعَذِّرُونَ} (90) سورة التوبة؛
{وَقَالَ الظَّالِمُونَ} (8) سورة الفرقان؛ {وَقَالَ نِسْوَةٌ} (30) سورة
يوسف.
ومن العرب من يلحق الفعل علامة التثنية والجمع إذا كان الفاعل
مثنى أو مجموعاً فتقول: قاما الزيدان، وقاموا الزيدون، وقمن الهندات، وتسمى لغة
أكلوني البراغيث لأن هذا اللفظ سمع من بعضهم ومنه الحديث "يتعاقبون فيكم ملائكة
بالليل والنهار" والصحيح أن الألف والواو والنون أحرف دالة على التثنية والجمع
وأن الفاعل ما بعدها.
ومنها انه يجب تأنيث الفعل بتاء ساكنة في آخر
الماضي وبتاء المضارعة في أول المضارع إذا كان الفاعل مؤنثا حقيقي التأنيث نحو:
قامت هند وتقوم هند، ويجوز ترك التاء إذا كان الفاعل مجازي التأنيث نحو: طلع
الشمس،؛ {وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً}
(35) سورة الأنفال، وحكم المثنى والمجموع جمع تصحيح حكم المفرد فتقول: قام الزيان
وقام الزيدون وقامت المسلمتان وقامت المسلمات، وأما جمع التكسير فحكمه حكم
المجازي التأنيث تقول: قام الرجال وقامت الرجال وقام الهنود وقامت الهنود.
ومنها
أن الأصل فيه أن يلي فعله ثم يذكر المفعول نحو: {وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ}
(16) سورة النمل؛ قد يتأخر الفاعل ويتقدم المفعول على الفاعل جوازاً نحو:
{وَلَقَدْ جَاء آلَ فِرْعَوْنَ النُّذُرُ} (41) سورة القمر؛ ووجوبا نحو
{شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا} (11) سورة الفتح؛ {وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ
رَبُّهُ} (124) سورة البقرة؛ وقد يتقدم المفعول على الفعل والفاعل جوازاً نحو:
{فَرِيقًا كَذَّبُواْ وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ} (70) سورة المائدة؛ ووجوبا نحو:
{فَأَيَّ آيَاتِ اللَّهِ تُنكِرُونَ} (81) سورة غافر؛ لأن اسم الاستفهام له صدر
الكلام.
Tidak boleh mendahului fiilnya. Apabila
ada lafal yang zhahirnya menjadi fail yang mendahului fiilnya, maka harus
menakdirkan fail berupa dhamir mustatir. Sedangkan isim, yang mendahului fiil
tadi, mungkin berstatus sebagai mubrada’ atau fail yang fiiinya dibuang.
Contoh: Kata menjadi mubtada’, sedangkan menjadi khabar. Adapun
fail fiil , berupa dhamir mustatir.
Kata
adalah berstatus menjadi fail dari fiil yang dibuang, yang bentuknya seperti
fiil yang ada pada sesudahnya. Hal demikian ini disebabkan huruf syarat itu
tidak dapat masuk pada mubtada’.
Hukum Fiil Fail
Di
antara hukum yang berkaitan dengan fail adalah:
Fiil dari Fail itu harus tetap mufrad, meskipun failnya berupa tatsniyah atau
jamak. Contoh:
Sebagian masyarakat Arab ada yang memberi tanda
tatsniyah dan jamak. Apabila failnya berupa tatsniyah atau jamak, maka mereka
berkata:
— Dua (orang bernama) Zaid berdiri.
— Tiga
(orang bernama) Zaid berdiri.
— Wanita-wanita bernama Hindun
berdiri.
Kata diberi tanda tatsniyah berupa alif, karena
failnya tatsniyah.
Kata diberi tanda jamak berupa wawu,
karena failnya berupa jamak mudzakkar, dan kata diberi tanda
jamak mu’annats berupa nun, karena failnya terdiri dari jamak mu’annats.
Dialek
seperti di atas disebut dialek Akaluni Al-Baraghits, karena kalimat ini
populer di kalangan mereka. Dialek ini pernah pula dipakai dalam sebuah
hadis:
“Malaikat-malaikat yang bertugas di malam hari dan
malaikat-malaikat yang bertugas di siang hari, silih berganti menjaga
kalian.”
Sebenarnya alif, wawu dan nun adalah huruf-huruf yang
menunjukkan tatsniyah dan jamak. Sedangkan yang menjadi fail adalah kata-kata
yang jatuh sesudahnya.
Fil dari Fail itu harus
diberi tanda mu’annats, berupa ta’ mati pada akhir fiil madhi dan berupa ta’
mudhoro’ah pada awal fiil mudhari’, apabila fail berupa mu’annats hakiki.
Contoh:
– Hindun telah berdiri,
– Hindun sedang
berdiri.
Boleh tidak memasang tanda mu’annats pada fiil fail yang
mu’annats majazi, seperti:
– Matahari telah terbit.
Salat
mereka di sekitar Baitullah, hanyalah siulan belaka.
Kata dan
adalah Mu’annats Majazi, bukan Mu’annats Hakiki. Oleh sebab itu, fiilnya yang
berupa dan tidak perlu diberi ta’ tanda Mu’annats.
Adapun
hukum fail tatsniyah dan jamak mudzakkar salim atau jamak Mu’annats itu,
seperti hukum fail yang mufrad. Yakni, tidak perlu diberi tanda tatsniyah atau
jamak. Contoh:
– Dia Zaid telah berdiri.
– Zaid banyak
telah berdiri.
– Dua wanita muslimah telah berdiri.
–
Wanita-wanita muslimah telah berdiri.
Sedangkan Jamak Taksir,
hukumnya seperti kata yang Mu’annats Majazi, yakni fiilnya boleh diberi tanda
mu’annats dan boleh tidak. Contoh:
– Orang-orang laki-laki telah
berdiri.
– Orang-orang laki-laki telah berdiri.
–
Orang-orang yang bernama Hindun telah berdiri.
– Orang-orang yang
bernama Hindun telah berdiri.
Posisi Fail dalam Kalimat
Di
antara hukum yang berkaitan dengan fail adalah, bahwa yang asal fail itu
berada sesudah fiilnya, sebelum maf’ul. Contoh:
Dan Sulaiman telah
mewarisi Dawud.
Tetapi kadang-kadang fail itu jatuh sesudah maf’ul
secara jaiz. Contoh:
Dan sesungguhnya telah datang kepada kaum
Fir’aun ancaman-ancaman.
Kata dalam contoh di atas
berstatus sebagai fail, yang posisinya berada sesudah maf’ul, berupa kata .
Bahkan ada pula yang wajib jatuh sesudah maf’ul. Contoh:
Harta kami
telah merintangi kami.
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh
Tuhannya.
Kata dalam contoh pertama adalah fail yang
jatuh sesudah maf’ul, berupa dhamir pada kata
Kata
dalam contoh kedua adalah menjadi fail yang wajib jatuh sesudah maf’ul, berupa
kata:
Kadang-kadang fail dan fiilnya itu jatuh sesudah maf’ul.
Dalam kata lain, maf’ul itu kadang ada yang mendahului fiil dan fail secara
jawaz dan ada yang secara wajib. Contoh:
Sebagian rasul-rasul itu
mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.
Maka,
tanda-tanda kekuasaan Allah yang manakah yang kalian ingkari?
Kata
dalam ayat pertama di atas, berkedudukan sebagai maf’ul, yang mendahului fiil
dan failnya, berupa dan .
Sedangkan dalam
ayat kedua di atas berkedudukan sebagai maf’ul yang wajib mendahului fail dan
fiilnya, berupa kata . Sebab Isim Syarat dan Istifham itu berhak
berada pada permulaan kalimat.
باب نائب الفاعل
NAIBUL FA'IL ATAU MAF’UL YANG TIDAK DISEBUT FAILNYA
باب المفعول الذي لم يسم فاعله هو الاسم المرفوع الذي لم يذكر فاعله وأقيم هو
مقامه فصار مرفوعاً بعد أن كان منصوباً وعمدةً بعد أن كان فضلة فلا يجوز حذفه ولا
تقديمه على الفعل ويجب تأنيث الفعل إن كان مؤنثا نحو: {إِذَا زُلْزِلَتِ
الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا} (1) سورة الزلزلة؛ ويجب ألا يلحق الفعل علامة تثنية أو
جمع إن كان مثنى أو مجموعا نحو: ضُرِبَ الزيدان وضُرِبَ الزيدون، ويسمى أيضا
النائب عن الفعل وهذه العبارة أحسن أخصر؛ ويسمى فعله الفعل المبني للمفعول والفعل
المبني للمجهول والفعل الذي لم يسم فاعله؛ فإن كان الفعل ماضياً ضم أوله وكسر ما
قبل آخره، وإن كان مضارعاً ضُم أوله وفتح ما قبل آخره نحو: ُضِربَ زيدُ، ويُضَرب
زيد؛ فإن كان الماضي مبدوءا بتاء زائدة ضم أوله وثانيه نحو: تُعُلِمَ،
وتُضُورِبَ، وإن كان مبدوءاً بهمزة وصل ضم أوله ثالثه نحو: اُنْطُلِقَ
واُستُخرِجَ؛ وإن كان الماضي معتل العين فلك كسر فائه فتصير عينه ياءً نحو: قيل
وبيع، ولك إشمام الكسرة الضمة وهو خلط الكسرة بشيء من صوت الضمة، ولك ضم الفاء
فتصير عينه واواً ساكنة نحو: ُقول وُبوع.
والنائب عن الفاعل على
قسمين: ظاهر ومضمر؛ فالظاهر نحو: {وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرآنَ} (45) سورة
الإسراء؛ ضرب مثل؛ {وَقُضِيَ الأَمْرُ} (210) سورة البقرة؛ {قُتِلَ
الْخَرَّاصُونَ} (10) سورة الذاريات؛ {يُعْرَفُ الْمُجْرِمُونَ} (41) سورة
الرحمن؛
والمضمر نحو: ُضرِبْتُ، وضربنا وضُرَِبتْ إلى أخر ما تقدم؛
لكن يبنى الفعل للمفعول وينوب عن الفاعل واحد من أربعة، الأول: المفعول به كما
تقدم، الثاني: الظرف نحو: جُلس أمامك، وِصيم رمضان؛ والثالث: الجار والمجرور نحو:
{وَلَمَّا سُقِطَ فَي أَيْدِيهِمْ} (149) سورة الأعراف؛ والرابع: المصدر نحو:
فإذا نفخ في الصور نفخة واحدة، ولا ينوب غير المفعول به مع وجوده غالباً؛ وإذا
كان الفعل متعدياً لأثنين جعل أحدهما نائباً عن الفعل وينصب الثاني نحو: أُعْطِيَ
زيدٌ درهماً.
Maf’ul yang tidak disebut failnya adalah isim yang dibaca rafa’ ,
yang failnya tidak disebutkan dan isim tersebut menempati tempat fail. Karena
itu, ia berubah menjadi rafa’ yang semula nashab dan menjdai pokok kalimat,
yang semula hanya sebagai pelengkap, sehingga tidak boleh dibuang dan tidak
boleh mendahului fiilnya.
Ketentuan Fiil Maf’ul yang Tidak Disebut
Failnya
Maf’ul yang tidak disebutkan failnya,
apabila berupa mu’annats, maka fiilnya harus diberi tanda mu’annats.
Contoh:
-Hindun telah dipukul
– Apabila bumi
digoncangkan.
Kata dan di atas berkedudukan sebagai Maf’ul yang
failnya tidak disebutkan. Karena ia mu’annats, maka fiilnya wajib diberi tanda
mu’annats, berupa .
Maf’ul yang tidak disebutkan
failnya itu, apabila berupa tatsniyah atau jamak, maka fiil tidak boleh diberi
tanda tatsniyah atau jamak (harus tetap mufrad). Contoh:
– Dua
orany bernama Zaid telah dipukul.
– Orang-orang bernama Zaid telah
dipukul.
Nama Lain Maf’ul yang Tidak Disebut Failnya
Maf’ul yang tidak disebutkan failnya itu dinamakan juga Naibul Fail. Istilah
Naibul Fcil ini lebih baik dan lebih singkat.
Bentuk Fiil Naibul
Fail
Fiil Naibul Fail disebut Fiil Mabni Maf’ul, Fiil Mabni Majhul
dan Fiil Isim yang tidak disebutkan failnya.
Bentuk Fiil Naibul
Fail apabila berupa fiil madhi, maka huruf permulaannya harus didhammah dan
huruf sebelum akhir dikasrah, seperti: Apabila berupa fiil mudhari”,
maka huruf permulaannya didhammah dan huruf sebelum akhir difathah, seperti
Kata itu huruf pertamanya berupa yang didhammah,
dan huruf sebelum akhir berupa dikasrah.
Kata
itu huruf pertamanya berupa didhammah, dan huruf sebelum akhir
berupa difathah.
Apabila fiil madhi yang dimabnikan majhul
itu huruf pertamanya berupa ra’ tambahan, maka harus didhammah beserta huruf
yang kedua, seperti: Apabila huruf pertama fiil madhi tersebut
berupa hamzah washal, maka huruf pertama dan ketiga harus didhammah,
seperti:
Kata itu fiil madhi yang didahului oleh ta’. Oleh
karena itu, ketika dimabnikan majhul, maka hurufnya yang pertama, berupa £ dan
hurufnya yang kedua berupa ‘Ain harus didhammah, kemudian huruf sebelum akhir,
yaitu dikasrah.
Kata dan adalah fiil madhi yang
didahului oleh Hamzah Washal . Oleh karena itu, ketika dimabnikan majhul, maka
huruf.yang pertama, berupa hamzah dan hurufnya yang ketiga, berupa ,
atau harus didhammah. Kemudian huruf yang sebelum akhir berupa dan
, harus dikasrah.
Apabila fiil madhi yang dimabnikan majhul itu
ain flilnya berupa huruf illat, maka hurufnya yang pertama dikasrah dan ain
fiilnya diganti dengan ya’, seperti asalnya asalnya .
Bacaan
kasrah huruf pertama tersebut boleh dibaca Isymam, yaitu bacaan antara kasrah
dan dhammah. Boleh juga huruf yang pertama. didhammah dan “ain fiilnya
diganti dengan wawu, seperti: menjadi dan
menjadi
Pembagian Naibul Fail
Naibul Fail itu terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Zhahir dan Mudhmar. Naibul Fail Zhahir adalah Naibul
Fail yang terdiri dari Isim Zhahir. Contoh:
– Apabila dibacakan
Al-Our’an.
– Telah dibuat perumpamaan.
– Telah
diputuskan perkara.
– Terkutuklah orang-orang yang banyak
berdusta.
– Orang-orang yang telah berbuat dosa diketahui .
Sedangkan
Naibul Fail Mudhmar adalah Naibul Fail yang terdiri dari Isim dhamir.
Contoh:
Lafal-lafal yang Dapat Dijadikan Naibul Fail .
Ada
empat kata yang dapat dijadikan Naibul Fail, yaitu:
Maf’ul Bih. Contoh: menjadi
Zharaf. Contoh: menjadi
Jer Majrur. Contoh:
Mashdar. Contoh:
Dua
Maf’ul yang Hendak Dijadikan Naibul Fail
Apabila ada fiil yang
Mwa’addi pada dua maf’ul, dan hendak dijadikan Naibul fail, maka salah satunya
saja yang dijadikan Naibul Fail, sedangkan maf’ul yang satunya lagi tetap
dibaca nashab sebagai maf’ul. Contoh:
Tujuan Membuat Susunan Naibul
Fail
Sebab-sebab membuang fail dan menempatkan Naibul Fail sebagai
penggantinya, adalah sebagai berikut:
Failnya
telah diketahui. Contoh:
Failnya tidak diketahui.
Contoh:
Adanya rasa takut pada fail. Contoh:
Untuk merahasiakan. Contoh:
Tidak perlu menyebutkan.
Contoh:
باب المبتدأ والخبر
MUBTADA’ DAN KHABAR
المبتدأ هو: الاسم المرفوع العاري عن العوامل اللفظية وهو قسمان: ظاهر ومضمر؛
فالمضمر أنا وأخواته التي تقدمت في فصل المضمر؛ والظاهر قسمان: مبتدأ له خبر،
ومبتدأ له مرفوع سد مسد الخبر؛ فالأول: نحو: {اللَّهُ رَبُّنَا} (15) سورة
الشورى؛ و {مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ} (29) سورة الفتح؛ والثاني هو اسم الفاعل
واسم المفعول إذا تقدم عليهما نفي أو استفهام نحو: أقائم زيد؟ وما قائم الزيدان،
وهل مضروب العمران؟ وما مضروب العمران؛ ولا يكون المبتدأ نكرةً إلا بمسوغ،
والمسوغات كثيرة منها: أن يتقدم على النكرة نفي، أو استفهام نحو: ما رجل قائم،
وهل رجل جالس؟ {أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ} (60) سورة النمل؛ ومنها أن تكون موصوفة
نحو: {وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ} (221) سورة البقرة؛ ومنها أن
تكون مضافة نحو: "خمسُ صلواتٍ كتبهن الله" ؛ ومنها أن يكون الخبر ظرفاً أو جارا
ومجروراً مقدمين على النكرة نحو: عندك رجل، وفي الدار امرأة، ونحو: {وَلَدَيْنَا
مَزِيدٌ} (35) سورة ق؛ {عَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ} (7) سورة البقرة؛ وقد
يكون المبتدأ مصدراً مؤولا من أن والفعل نحو: {وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ}
(184) سورة البقرة؛ أي: صوموا خير لكم.
والخبر هو الجزء الذي يتمم به
الفائدة مع مبتدأ وهو قسمان: مفرد وغير مفرد؛ فالمفرد نحو زيد قائم، والزيدان
قائمان، والزيدون قائمون، وزيد أخوك؛ وغير المفرد: إما جملة فعلية نحو: زيد قام
أبوه؛ {وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاء وَيَخْتَارُ} (68) سورة القصص؛ {وَاللهُ
يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ} (245) سورة البقرة؛ {اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ} (42)
سورة الزمر؛ وأما شبه الجملة وهو الظرف والجار والمجرور؛ فالظرف نحو زيد عندك،
والسفر غداً؛ {وَالرَّكْبُ أَسْفَلَ مِنكُمْ} (42) سورة الأنفال؛ والجار والمجرور
نحو: زيد في الدار؛ {وَالْحَمْدُ لِلّهِ} (45) سورة الأنعام.
ويتعلق
الظرف والجار والمجرور إذا وقعا خبراً بمحذوف وجوباً تقديره كائن أو مستقر؛ ولا
يخبر بظرف الزمان عن الذات فلا يقال زيد اليوم؛ وإنما يخبر به عن المعاني نحو:
الصوم اليوم، والسفر غداً وقولهم الليلة الهلال مؤول.
ويجوز تعدد
الخبر نحو: زيد كاتب وشاعر؛ {وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ (14) ذُو الْعَرْشِ
الْمَجِيدُ (15) فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ (16) } سورة البروج.
وقد
يتقدم على المبتدأ جوازاً نحو: في الدار زيد ووجوباً نحو: أين زيد؟ وإنما عندك
زيد؛ {أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا} (24) سورة محمد؛ وفي الدار رجل؛ وقد يحذف
كل من المبتدأ والخبر جوازاً نحو: {سَلَامٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ} (25) سورة
الذاريات؛ أي: سلام عليكم أنم قوم منكرون؛ ويجب حذف الخبر بعد لولا نحو: {لَوْلَا
أَنتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ} (31) سورة سبأ؛ أي لولا أنتم موجودون؛ وبعد القسم
الصريح نحو: {لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ} (72) سورة
الحجر؛ أي لعمرك قسمي؛ وبعد واو المعية نحو: كل صانع وما صنع أي: مقرونان؛ وقبل
الحال التي لا تصلح أن تكون خبراً نحو: َضْربي زيداً قائماً أي إذا كان قائما.
Mubtada”
Mubtada’ adalah isim yang dibaca rafa’, yang sepi dari
amil-amil lafzhi.
Pembagian Mubtada’
Mubrada’ itu ada
dua bagian, yaitu: Zhahir dan Mudhmar. Mubtada ‘ Mudhmar adalah mubtada’ yang
terdiri dari isim dhamir munfashil, contoh:
– Dia (laki-laki satu)
adalah orang yang alim.
-Mereka berdua (laki-laki) adalah dua orang
yang alim.
– Mereka banyak (laki-laki) adalah orang-orang yang
alim.
– Dia (perempuan satu) adalah orang yang alim.
– Mereka berdua (perempuan) adalah dua orang yang alim.
-Mereka
banyak (perempuan) adalah orang-orang yang alim.
– Kamu (laki-laki
satu) adalah orang yang alim.
– Kamu berdua (laki-laki) adalah dua
orang yang alim.
– Kamu semua (laki-laki) adalah orang-orang yang
alim.
– Kamu (perempuan saru) adalah orang yang alim.
–
Kamu berdua (perempuan) adalah dua orang yang alim.
– Kamu semua
(perempuan) adalah orang-orang yang alim.
– Saya seorang
laki-laki’/perempuan adalah orang yang alim.
– Kami laki-laki
adalah orang-orang yang alim.
– Kami perempuan adalah orang-orang
yang alim.
Sedangkan mubrada’ isim zhahir itu ada dua bagian,
yaitu:
Mubtada’ yang mempunyai khabar.
Contoh:
Mubtada’ yang hanya mempunyai isim yang
dirafa’kan, yang menduduki tempat khabar. Mubtada’ yang demikian ini adalah
mubtada’ yang terdiri dari isim fail atau isim maf’ul, yang didahului oleh
istifham atau nafi. Contoh:
Kata dalam
kalimat , adalah mubtada”, sedangkan kata adalah fail yang
menempati tempat khabar.
Kata dalam kalimat
dalah mubtada’, sedangkan kata adalah naibul fail yang menempati
tempat khabar.
Syarat-Syarat Mubtada’
Mubtada’ itu tidak
boleh terdiri dari isim Nakirah, kecuali ada musawwigh (sebab). Musawwigh itu
banyak, di antaranya:
Mubtada’ Nakirah itu
didahului oleh naft atau istifham. Contoh:
Kata dan meskipun
isim nakirah, tapi boleh dijadikan mubtada” , sebab didahului oleh nafi berupa
dan istifham berupa
Mubtada’ Nakirah itu
disifati. Contoh:
Kata adalah nakirah, meskipun
demikian boleh dijadikan mubtada’, sebab disifati kata
Mubtada’ Nakirah itu dimudhafkan. Contoh:
Kata
adalah isim nakirah dan berkedudukan sebagai mubtada’, meskipun nakirah,
tetapi ia mudhaf pada
Mubtada’ Nakirah itu jatuh
sesudah khabar yang berupa zharaf atau jer majrur. Contoh:
Kata
dalam contoh pertama berkedudukan sebagai mubtada’, meskipun ia isim nakirah,
sebab jatuh sesudah khabarnya, yang terdiri dari zharaf, berupa
.
Kata dalam contoh kedua berkedudukan sebagai
Mubrada’, meskipun ia isim nakirah, sebab jatuh sesudah khabarnya, yang
terdiri dari jer majrur, berupa
Kadang-kadang Mubrada’ itu
berupa Masdar Muawwal, yakni dari dan , contoh:
Kata
yang terdiri dari dan fiil mudhari’ itu disebut Masdar
Muawwal, kedudukannya adalah menjadi Mubrada’. Kata itu bisa dijadikan Masdar
Shorih, yaitu:
Khabar
Khabar adalah bagian yang
menyempurnakan pengertian kalimat bersama mubrada’. Dengan kata lain, khabar
adalah bagian yang menyempurnakan arti mubtada’
Pembagian Khabar
Khabar
itu ada dua bagian, yaitu khabar mufrad dan khabar ghairu mufrad.
Khabar Mufrad. Khabar Mufrad adalah khabar yang tidak terdiri dari jumlah dan
tidak pula terdiri dari Syibhul Jumlah. Contoh:
– Zaid adalah
berdiri
– Dua Zaid adalah berdiri keduanya
– Beberapa
Zaid adalah berdiri semua.
– Zaid adalah saudaramu.
Kata
dalam contoh tersebut di atas adalah khabar mufrad.
Khabar Ghairu Mufrad.
Khabar ghairu mufrad adalah khabar yang
terdiri dari jumlah atau syibhul jumlah.
Khabar jumlah itu
adakalanya terdiri dari:
Jumlah (kalimat)
ismiyah. Contoh:
– Zaid itu hamba perempuannya hilang
–
Pakaian takwa, itulah yang lebih baik.
– Katakanlah Dia-lah, Allah
Yang Maha Esa .
Kata dalam contoh pertama adalah mubtada ‘.
Khabarnya berupa kalimat Kata menjadi mubtada’ yang
khabarnya . Susunan kalimat mubtada’ dan khabar ini menjadi khabar mubtada’
Gabungan kata (susunan mudhaf dan mudhaf ilaih) adalah menjadi
mubtada’. Khabarnya berupa kalimat . Kata menjadi mubtada’
yang khabarnya adalah . Susunan kalimat yang terdiri dari mubtada’ dan khabar
ini, menjadi khabar mubtada’ .
Kata dalam contoh ketiga
adalah menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat . Kata menjadi mubtada’ yang
khabarnya . Susunan mubtada” dan khabar ( ) ini menjadi kkabar dari
mubtada’
Jumlah (kalimat) fi’liyah. Contoh:
–
Zaid, telah berdiri ayahnya.
– Dan Tuhanmu menciptakan apa yang
–
Dia kehendaki.
– Dan Allah menyempitkan dan N melapangkan
rezeki.
– Allah itu mewafatkan jiwa.
Kata
dalam contoh ke-1 berkedudukan menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat yang
terdiri dari fiil dan fail, yaitu:
Kata dalam contoh ke-2
berkedudukan menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat yang terdiri dari fiil
dan fail, serta maf’ul, berupa kalimat:
Kata dalam contoh
ke-3 berkedudukan menjadi mubtada’. Khabarnya berupa kalimat yang terdiri dari
fiil dan fail, yaitu:
Kata dalam contoh ke-4
berkedudukan menjadi mubrtada’. Khabarnya berupa kalimat yang terdiri dari
fiil dan fail, yaitu:
Khabar itu harus mengandung dhamir yang
berhubungan dengan mubtada’.
Adapun Khabar Syibhul Jumlah itu ada
dua, yaitu:
Zharaf. Contoh:
– Zaid
berada di sampingmu.
– Pergi itu besok.
– Kafilah itu
berada di bawah kalian.
Kata dalam contoh ke-1 berkedudukan
sebagai mubrada’.
Khabarnya terdiri dari Zharaf Makan (keterangan
tempat), yaitu:
Kata dalam contoh ke-2 berkedudukan sebagai
mubtada’. Khabarnya terdiri dari Zharaf Zaman (keterangan waktu): yaitu:
Jar Majrur. Contoh:
– Zaid berada di rumah.
– Segala
puji milik Allah.
Zharaf dan Jar Majrur itu apabila berkedudukan
menjadi khabar, maka pasti berhubungan dengan kata yang dibuang, yang
perkiraannya berupa kata: atau
Syarat Khabar yang Terdiri
dari Zharaf Zaman
Zharaf zaman (keterangan waktu) itu tidak boleh
menjadi khabar dari mubtada’ yang terdiri dari isim dzar. Karena itu, tidak
boleh ada kalimat seperti:
Zharaf zaman itu hanya boleh menjadi
khabar dari mubtada’ yang berupa isim ma’ani, seperti:
– Puasa itu
pada hari ini.
– Berangkat itu pada esok hari.
Adapun
ungkapan para ahli nahwu yang berbunyi: , itu perlu ditakwil menjadi
Khabar dalam Kalimat
Khabar itu boleh lebih dari
satu, sedangkan mubrtada’nya tetap satu, contoh:
– Zaid adalah
seorang penulis dan penyair.
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih, yang mempunyai arasy, Maha Mulia lagi Maha Kuasa melakukan apa yang
dikehendakiNya.
Kata dalam contoh pertama adalah
menjadi mubtada’, yang khabarnya lebih dari satu, yaitu: dan .
Dhamir
dalam ayat di atas berkedudukan sebagai mubrada’, yang khabarnya terdiri dari
beberapa kata, yaitu:
Posisi Khabar dalam Kalimat .
Posisi
khabar itu aslinya berada setelah mubrada’, sebagaimana dalam contoh-contoh di
atas. Tetapi, kadang-kadang khabar itu boleh mendahului mubtada’. Contoh:
–
Di dalam rumah ada Zaid.
Kadang-kadang khabar itu wajib mendahului
mubtada’nya, contoh:
– Di mana Zaid?
– Di sisimu,
hanyalah Zaid.
– Ataukah pada hati mereka terdapat
kunci-kuncinya?
– Di rumah ada seorang laki-laki.
Kata
dalam contoh ke-1 berkedudukan sebagai khabar yang mendahului mubtada’nya,
yaitu: Tujuan mendahulukan khabar dalam kalimat ini adalah untuk
mentakhsis.
Kata dalam contoh ke-2 berkedudukan sebagai
khabar dari mubtada’ is . Khabar dalam susunan kalimat ini wajib mendahului
mubtada”, sebab ia terdiri dari kata yang wajib berada di permukaan, karena
terdiri dari istifham atau kata tanya.
Kata dalam contoh ke-3
berkedudukan menjadi khabar dari mubtada’ . Khabar dalam susunan kalimat ini
wajib mendahului mubtada’, karena mubtada’ mengandung dhamir yang kembali pada
khabar.
Kata yag dalam contoh ke-4 berkedudukan sebagai khabar dari
mubtada’ . Khabar dalam susunan kalimat seperti ini, harus mendahului
mubtada’, sebab dalam kalimat ini mubtada’ terdiri dari Isim Nakirah dan
khabar terdiri dari jar majrur.
Membuang Mubtada’ dan Khabar
Kadang-kadang
mubtada” itu dibuang. Begitu pula khabar, kadangkadang juga dibuang secara
jaiz. Contoh:
Kata di atas berkedudukan sebagai mubtada’,
yang khabarnya dibuang, berupa kata . Sedangkan kata berkedudukan sebagai
khabar yang mubtada’nya dibuang, berapa kata:
Adapun asal susunan
kalimat di atas adalah:
Khabar yang Wajib Dibuang
Khabar
itu wajib dibuang, apabila berada:
Sesudah kata
Contoh:
– Kalau tidak karena kalian, pasti kami menjadi orang-orang
yang beriman.
Kata dalam ayat di atas berkedudukan sebagai mubtada’
yang khabarnya wajib dibuang, sebab jatuh sesudah kata. Takdir susunan
kalimat tersebut adalah:
Sesudah Qosam (sumpah)
yang jelas.
Contoh:
– Demi umurmu, sesungguhnya
mereka adalah…
Kata berkedudukan sebagai mubtada’ yang
khabarnya wajib dibuang, sebab terdiri dari kata sumpah atau qosam.
Asal
susunan kalimat tersebut secara lengkap adalah:
Sesudah Wawu Maiyyah. Contoh: Setiap yang berprofesi serta profesinya.
Susunan
itu berkedudukan sebagai mubtada’ yang khabarnya wajib dibuang, berupa
kata , karena jatuh sesudah Wawu Maiyyah.
Sebelum Hal, yang tidak pantas dijadikan khabar. Contoh:
Pukulanku
pasti mengenai Zaid, apabila dia berdiri.
Susunan
berkedudukan sebagai mubtada’ yang khabarnya wajib dibuang, berupa
kata , Sebab jatuh sebelum kata yang berkedudukan sebagai Hal
(keterangan keadaan), yang apabila kata itu dijadikan khabar tidak pantas.
باب العوامل التي تدخل على المبتدأ والخبر
BAB AMIL YANG MASUK PADA MUBTADA’ DAN KHABAR
باب العوامل الداخلة على المبتدا والخبر وتسمى النواسخ؛ ونواسخ الإبتداء هي ثلاثة أنواع: الأول: مايرفع المبتدأ وينصب الخبر وهو كان وأخواتها والحروف المشبهة بليس، وأفعال المقاربة؛ والثاني: ما ينصب المبتدأ ويرفع الخبر وهو إن وأخواتها ولا التي تنفي الجنس؛ والثالث ما ينصب المبتدأ والخبر جميعاً وهو ظن وأخواتها.
Macam-macam Amil yang Masuk pada Mubtada’ dan Khabar
Amil yang
masuk pada mubtada’ dan khabar itu disebut Amil Nawasikh. Sedangkan Amil
Nawasikh yang masuk pada mubtada’ dan khabar itu ada tiga, yaitu:
Pertama,
amil yang merafa ‘kan mubtada’ dan menashabkan khabar, yaitu berupa dan
saudara-saudaranya, huruf-huruf yang disamakan dengan fiil-fiil
Muqarabah.
Kedua, amil yang menashabkan mubtada’ dan merafa’kan
khabar, yaitu berupa dan saudara-saudara serta Nafi
Jinsi.
Ketiga, amil yang menashabkan mubtada’ dan khabar sekaligus,
yaitu berupa dan saudara-saudaranya.
فصل كان وأخواتها
KANA DAN SAUDARANYA
فأما كان وأخواتها فإنها ترفع المبتدأ تشبيهاً بالفاعل ويسمى اسمها تنصب الخبر
تشبيها بالمفعول ويسمى خبرها؛ وهذه الأفعال على ثلاثة أقسام: أحدها ما يعمل هذا
العمل من غير شرط وهو: كان، أمسى، وأصبح، وظل، وبات، وصار، وليس، نحو: {وَكَانَ
اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا} (96) سورة النساء؛ {فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا} (103) سورة آل عمران؛ {لَيْسُواْ سَوَاء} (113) سورة آل عمران؛
{ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا} (58) سورة النحل؛ والثاني: ما يعمل هذا العمل بشرط
أن يتقدمه نفي أو نهي أو دعاء وهو أربعة: زال، وفتئ، وبرح، وانفك، نحو: {وَلاَ
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ} (118) سورة هود؛ {لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ}
(91) سورة طه؛ وقول الشاعر:
صاح َشِّمرْ ولا تزال ذاكراً الموت
فنسيانه ضلال مبين
وقوله:
[ألا يا اسلمى يا دار مي على
البلى] ولا زال منهلا بِجَرْعَاِئكِ القَطْرُ
والثالث: ما يعمل هذا
العمل بشرط أن تتقدمه ما المصدرية الظرفية وهو: دام نحو: ما دمت حياً؛ وسميت ما
هذه مصدرية لأنها تقدر بالمصدر وهو الدوام، وسميت ظرفية لنيابتها عن الظرف وهو
المدة.
ويجوز في خبر هذه الأفعال أن يتوسط بينها وبين اسمها، نحو:
{وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ} (47) سورة الروم؛ وقول
الشاعر:
[سلي إن جهلت الناس عنا وعنهم] فليس سواء عالم وجهول
ويجوز
أن يتقدم أخبارهن عليهن إلا ليس، ودام كقولك: عالماً كان زيد؛ ولتصاريف هذه
الفعال من المضارع والأمر والمصدر واسم الفاعل ما للماضي من العمل، نحو: {حَتَّى
يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ} (99) سورة يونس؛ وقل كونوا حجارةً؛ وتستعمل هذه الفعال
تامة أي مستغنية عن الخبر نحو: وإن كان ذو عسرة؛ أي وإن حصل؛ فسبحان الله حين
تمسون وحين تصبحون؛ أي: حين تدخلون في الصباح، وحين تدخلون في المساء؛ إلا زال
وفتئ وليس فإنها ملازمة للنقص؛ وتختص كان بجواز زيادتها بشرط أن تكون بلفظ الماضي
وأن تكون في حشو الكلام، نحو: ما كان أحسن زيداً؛ وتختص أيضاً بجواز حذفها مع
اسمها وإبقاء خبرها وذلك كثير بعد لو، وإن الشرطيتين كقوله صلى الله عليه وسلم
"التمس ولو خاتما من حديد" وقولهم "الناس مجزيون بأعمالهم إن خيراً فخير وإن شراً
فشر" ؛ وتختص أيضا بجواز حذف نون مضارعها المجزوم إن لم يلقها ساكن ولا ضمير نصب،
نحو: {وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا} (20) سورة مريم؛ {وَلاَ تَكُ فِي ضَيْقٍ} (127) سورة
النحل؛ {وَإِن تَكُ حَسَنَةً} (40) سورة النساء.
1. Kaana (. ) dan Saudara-saudaranya
Kaana (. ) dan saudara-saudaranya itu merafa’kan mubtada’, karena
serupa dengan fail. Selanjutnya, ia disebut sebagai isimnya dan menashabkan
khabar, karena serupa dengan Maf’ul. Selanjutnya, ia disebut sebagai
khabarnya. Contoh:
Kata. sebelum
dimasuki berkedudukan sebagai mubtada Setelah dimasuki
, berubah menjadi isim , tidak lagi disebut mubtada’. Sedangkan
kata sebelum dimasuki , berkedudukan sebagai khabar dan
dibaca rafa”. Tetapi setelah dimasuki ia berubah menjadi khabar
dan barus dibaca nashab. Bentuk susunan kalimat tersebut sebelum
dimasuki adalah:
Pembagian Kaana (. ) dan
Saudara-saudaranya dalam Beramal
Fiil-fiil ini (Kana dan saudara-saudaranya) dalam beramal terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
Beramal merafa’kan
mubtada’ dan menashabkan khabar tanpa syarat, yaitu: .
contoh:
, Contoh:
contoh:
contoh:
contoh:
contoh:
contoh:
contoh:
Beramal
dengan syarat didahului oleh nafi, nahi atau doa, yaitu:
, contoh:
– Dan mereka senantiasa berselisih.
“Hai,
temanku, bersiap-siaplah kamu, dan ingatlah selalu akan mati, karena lupa mati
itu merupakan kesesatan yang nyata.
– Semoga hujan selalu
menyiramimu.
contoh: Hasan selalu membaca
pelajaran-pelajarannya.
, contoh: Kami akan tetap
menyembah patung anak sapi ini.
contoh: Orang-orang
Islam selalu berpuasa pada bulan Ramadhan.
Beramal dengan syarat didahului oleh Ma ( ) Mashdariyyah ZharJiyyah, yaitu: ,
contoh: Selama akui masih hidup.
Ma (. ) yang menyertai
ini disebut Mashdariyah, karena ia . , ditakdirkan sebagai mashdar,
yaitu: . Kalau diperkirakan menjadi .Ma (. ) tersebut disebut
zharfiyyah, sebab menjadi ganti zharaf berupa kata . Jadi, ditakdirkan menjadi
Posisi Khabar Kaana ( ) dan Saudara-saudaranya dalam Kalimat
Khabar
Kana dan saudara-saudaranya itu boleh diletakkan di tengahtengah antara kana
dan isimnya, contoh: Adalah hak kami
menolong orang-orang yang beriman.
Kata adalah khabar Kana, yang
posisinya di antara dan isimnya, yaitu:
Bentuk asal susunan tersebut adalah:
“Bertanyalah kepada
orang-orang, jika engkau tidak mengetahui tentang saya dan mereka. Sebab,
tidaklah sama antara orang yang mengetahui”
dan orang yang tidak
mengetahui.”
Kata dalam separo syair di atas berkedudukan sebagian
Ia berada di antara lafal dan isimnya, yaitu kata Kalau menurut
bentuk asal susunan adalah:
Khabar Kana ( ) dan saudara-saudaranya
itu bahkan boleh mendahului Kana ( ) dan saudara-saudaranya itu sendiri,
kecuali Laisa ( ) dan Daama ( ). Contoh: . Orang yang
alim adalah Zaid.
Bentuk asli susunan kalimat di atas adalah:
Adalah Zaid orang yang alim.
Amal Tashrif Kana dan
Saudara-saudaranya
Tashrifan Kana ( ) dan
saudara-saudaranya, seperti bentuk mudhari ‘, amar, mashdar dan isim fail dari
Kana dan saudara-saudaranya Itu dapat beramal sebagaimana bentuk madhi-nya.
Contoh:
Dari fiil mudhari’ Kana: Supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman.
Dari ftil amar
Kana:
– Katakanlah, jadilah kalian batu atau besi.
Dari mashdar Kana:
– Telah menggembirakanku keberadaan Ali sebagai
siswa yang giat.
Dari isim fail Kana:
–
Dan tidaklah semua orang yang menampakkan manis mukanya itu adalah saudaranya,
jika dia tidak menolongmu.
Dari isim maf’ul
Kana:
– Muhammad itu dijadikan orang yang mulia.
Kana
dan Saudaranya yang Tidak Mempunyai Khabar
Kana ( ) dan
saudara-saudaranya itu bisa diberlakukan sebagai Fiil Tam, artinya tidak
mempunyai khabar, kecuali zaala ( ), faria dan laisa
( ). Ketiga saudara Kana ini selalu diberlakukan sebagai
fiil naqis (mempunyai isim dan khabar), contoh: .
“Dan jika
orang yang berutang itu dalam kesulitan, maka berilah tempo sampai dia dalam
keadaan lapang.”
“Maka bertasbihlah kepada Allah, ketika kalian
berada di waktu petang dan ketika kalian di waktu pagi.”
Kana
( ) dalam contoh pertama itu berfungsi sebagai fiil tam, karena itu ia
hanya mempunyai isim, yaitu kata , tidak memiliki khabar.
Kata
dan dalam contoh kedua itu berfungsi sebagai Jiil tam, karena itu
kata dan itu hanya mempunyai isim, berupa dhamir dan tidak
memiliki khabar.
Ketentuan yang Berlaku pada Kana secara Khusus
.
Kana (. ) itu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki
oleh saudara-saudaranya. Di antara keistimewaan kana adalah:
Boleh diberlakukan sebagai tambahan (tidak berarti apa-apa), dengan syarat
lafalnya berbentuk madhi dan berada di tengah kalimat. Contoh:
–
Betapa bagus si Zaid.
Kana ( ) dalam kalimat tersebut
adalah tambahan. Susunan kalimat tersebut sama dengan
Kana ( )dan isimnya boleh dibuang, sedangkan khabarnya masih tetap ada.
Biasanya berada sesudah dan Syarthiyyah. Contoh:
– Carilah,
walaupun berupa cincin dari besi.
Kata dalam kalimat di
atas dibaca nashab, karena berkedudukan sebagai khabar kana ( ) yang
telah dibuang bersama isimnya. Asal susunan kalimat tersebut adalah:
–
Apabila amalnya baik, maka balasannya baik, dan apabila amalnya buruk, maka
balasannya buruk.
Kata dalam kalimat di atas dibaca nashab,
karena berkedudukan sebagai khabar kana (. ) yang telah dibuang bersama
isimnya. Asal susunan kalimat tersebut adalah:
Nun lafal kana (. ), ketika mudhari” boleh dibuang, apabila beri’rab Jazem dan
tidak bertemu dengan huruf mati serta tidak bertemu dhamir muttashil yang
beri’rab nashab. Contoh:
– Dan aku bukanlah seorang pezina.
–
Dan janganlah engkau bersempit dada.
– Dan jika ada kebaikan
sebesar dzarrah.
Kata dalam contoh pertama berasal dari
kata . Kata dalam contoh kedua dan ketiga berasal dari kata:
Huruf yang Serupa dengan Laisa (. )
Adapun
huruf-huruf yang disamakan dengan laisa ada empat, yaitu: , Maa ,
Laa (. ), In ( ) dan Laata ( ).
فصل في الحروف المشبهة بليس
PASAL HURUF YANG MENYERUPAI LAISA [ليس]
وأما الحروف المشبهة بليس فأربعة: ما، ولا، وإن، ولات؛ فأما ما فتعمل عمل ليس عند
الحجازيين بشرط:
ألا تقترن بأن،
ولا يقترن خبرها بإلا،
وألا
يتقدم خبرها على اسمها،
ولا معمول خبرها على اسمها، إلا إذا كان
المعمول ظرفاً او جاراً ومجروراً.
فالمستوفية هذه الشروط نحو: مازيدٌ
ذاهباً؛ {مَا هَذَا بَشَرًا} (31) سورة يوسف؛ {مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ} (2)
سورة المجادلة؛ فإن اقترنت بان الزائدة بطل عملها نحو: ما إنَّ زيد قائم، وكذلك
إذا اقترن خبرها بإلا نحو: {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ} (144) سورة آل
عمران؛ وكذا إن تقدم خبرها على اسمها نحو: ما قائم زيد أو تقدم معمول الخبر وليس
ظرفاً نحو: ما طعامك زيد آكل؛ فإن كان ظرفاً نحو: ما عندك زيد جالساً، لم يبطل
عملها؛ وبنو تميم لا يعملونها وإن استوفت الشروط المذكورة.
وأما لا
فتعمل عمل ليس أيضاً عند الحجازيين فقط بالشروط المتقدمة، وتزيد بشرط آخر وهو أن
يكون اسمها وخبرها نكرتين نحو: لا رجلٌ أفضلَ منك؛ وأكثر عملها في الشعر.
وأما
إن فتعمل عمل ليس في لغة أهل العالية بالشروط المذكورة في ما سواء كان اسمها
معرفة أو نكرة نحو: إنْ زيد قائماً، وسمع من كلامهم إن أحد خيرا من أحد إلا
بالعافية.
وأما لات فتعمل عمل ليس بشرط ان يكون اسمها وخبرها بلفظ
الحين وبأن يحذف اسمها أو خبرها؛ والغالب حذف الاسم نحو: {فَنَادَوْا وَلَاتَ
حِينَ مَنَاصٍ} (3) سورة ص؛ أي: ليس الحين حين فرار وقرأ: "فنادوا ولات حينُ
مناص" على ان الخبر محذوف، أي: ليس حين فرار حينا لهم.
yarat Maa bisa beramal Laisa
Adapun huruf maa ( )
menurut orang Hijaz itu bisa beramal seperti laisa ( ) dengan
syarat: –
Tidak bersamaan dengan in ( ).
Khabar maa tidak didahului oleh huruf Illaa ( ).
Khabar maa tidak mendahului isim-nya.
Ma’mul khabar
maa tidak mendahului isimnya, kecuali jika ma tersebut terdiri dari zharaf
atau jar majrur.
Contoh maa (. ) yang memenuhi syarat-syarat
tersebut adalah:
– Tidaklah Zaid pergi.
– Bukanlah ini
seorang manusia.
– Bukanlah istri mereka itu, ibu mereka.
Maa
( ) yang Tidak Memenuhi Syarat .
Apabila maa () itu
disertai in ( ), maka tidak bisa beramal seperti laisa. Contoh:
–
Tidaklah Zaid berdiri.
Demikian juga apabila khabarnya didahului
huruf Illaa (. ). Contoh:
– Muhammad itu tidak lain, kecuali
seorang rasul.
Termasuk juga apabila khabar maa ( )
mendahului isimnya. Contoh:
– Tidaklah orang yang berdiri itu
Zaid.
Begitu pula maa (. ) tidak bisa beramal seperti laisa,
apabila ma’mul khabar tidak berupa zharaf dan mendahului isimnya. Contoh:
–
Zaid tidak memakan makanan.
Apabila ma ‘mul khabar terdiri dari
zharaf, maka maa ( ) tetap bisa beramal seperti laisa, contoh:
–
Zaid tidak duduk di sisimu.
Kata adalah menjadi isim
maa, dan khabarnya berupa kata Sedangkan kata adalah
ma’mul . Asal susunan kalimat di atas adalah:
Menurut
orang-orang Tamim, maa ( ) itu tidak bisa beramal seperti amal /aisa,
meskipun telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.
Syarat Laa ( ) Bisa Beramal Seperti. Laisa
Adapun Laa (
) menurut orang-orang Hijaz, itu bisa beramal seperti Laisa
( ) dengan syarat-syarat yang ada pada maa ( ) dan ditambah satu
syarat lagi, yaitu isim dan khabarnya harus berupa Isim Nakirah. Contoh:
–
Tidak ada laki-laki yang lebih mulia daripada kamu.
Amal laa
( ) ini umumnya.sering terdapat dalam syair. Contoh:
“Bersabarlah,
karena tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang kekal, dan tidak ada tempat
berlindung yang dapat menyelemarkan diri dari apa yang telah diputuskan
Allah.”
Kata dalam separo pertama syair di atas,
berkedudukan sebagai isim laa ( ), sedang khabarnya berupa kata
Kau Keduanya nakirah.
Kata dalam separo kedua syair tersebut,
berkedudukan sebagai isim laa ( ), sedang khabarnya berupa
kata . Keduanya adalah nakirah.
Syarat In
( ) Beramal seperti Laisa (“153 )
Adapun In ( ) nafi
itu bisa beramal seperti amal Jaisa, menurut penduduk Aliyah, dengan
syarat-syarat yang berlaku pada lafal maa ( ), baik isimnya terdiri dari
isim makrifat atau nakirah. Contoh:
– Tidaklah Zaid itu berdiri.
Ada
ungkapan yang populer di kalangan penduduk Aliyah, yang berbunyi:
“Tidaklah
seseorang itu lebih baik daripada orang lain, kecuali sebab kesehatannya.”
Syarat Laata ( ) Beramal seperti Laisa (. )
Adapun lafal Laata
( ) itu bisa beramal seperti amal Laisa, ( ) dengan
syarat isim dan khabarnya berupa lafal dan salah satu isim atau khabarnya
dibuang, tetapi umumnya yang dibuang adalah isimnya. Contoh:
-Kemudian
mereka meminta tolong, padahal waktu-waktu itu, bukanlah saat untuk melarikan
diri.
Kata dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai
khabar Laata (. ), sedangkan isimnya dibuang, yang berupa
kata Susunan aslinya adalah:
Kalimat di atas boleh juga
dibaca: Dengan merafa kan kata , karena berkedudukan
sebagai isim Laara ( ), sedangkan khabarnya dibuang. Susunan
aslinya adalah:
فصل في أفعال المقاربة
PASAL FI'IL MUQARABAH
وأما أفعال المقاربة فهي ثلاثة أقسام: ما وضع للدلالة على قرب الخبر وهو كاد
وكَرَبَ؛ وما وضع على رجاء الخبر وهو عسى وحرى واخلولق؛ وما وضع لدلالة على
الشروع وهو كثير نحو: طفق وعلق وأنشأ وأخذ وجعل، وهذه الأفعال تعمل عمل كان؛
فترفع المبتدأ وتنصب الخبر؛ إلا أن خبرها يجب ان يكون فعلا مضارعا مؤخراً عنها
رافعا لضمير اسمها غالباً؛ ويجب اقترانه بأن إن كان الفعل حرى واخلولق نحو: حرى
زيد أن يقوم؛ واخلولقت السماء أن تمطر؛ ويجب تجرده من أن بعد أفعال الشروع نحو:
{وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ} (22) سورة الأعراف؛
والأكثر في عسى وأوشك الاقتران بأن نحو: {فَعَسَى اللهُ أَن يَأْتِيَ
بِالْفَتْحِ} (52) سورة المائدة؛ وقله عليه الصلاة والسلام: "يوشك أن يقع فيه" ؛
والأكثر في كاد وكرب تجرده من أمره نحو: {فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُواْ
يَفْعَلُونَ} (71) سورة البقرة؛ وقول الشاعر:
كرب القلب من جواه يذوب
حين قال الوشاة هند غضوب
Al-Af’al Al-Muqarabah
Al-Af’al Al-Muqarabah itu ada tiga bagian,
yaitu:
Fiil yang digunakan untuk menunjukkan
dekatnya khabar. Lafalnya yaitu : dan
Fiil yang
digunakan untuk mengharapkan terjadi peristiwa yang terkandung dalam khabar.
Lafalnya yaitu: dan
Fiil yang digunakan untuk
menunjukkan pengertian memulai atau kesiapan. Fiil seperti ini jumlahnya
banyak, antara lain:
Amal Al-Af’alul Muqarabah
Al-Af’al
Al-Muqarabah tersebut bisa beramal seperti kaana ( ), yaitu
merafa’kan mubtada’ sebagai isimnya dan menashabkan khabar sebagai khabarnya.
Hanya saja khabar Al-Af’al Al-Muqarabah itu harus terdiri dari fiil mudhari’
yang jatuh sesudahnya, dan umumnya merafa’ kan isim dhamir yang merujuk pada
isimnya.
Hampir saja kemiskinan itu menjadi kekafiran.
Kata
dalam contoh pertama berkedudukan sebagai isim kaada, dan khabarnya
berupa fiil mudhari’ , yang mengandung dhamir yang merujuk pada kata
Kata dalam contoh kedua berkedudukan sebagai
isim (bentuk mudhari’ kata ), dan khabarnya berupa
fiil mudhari’ yang mengandung dhamir yang merujuk pada kata
Hukum Memasukkan An ( ) pada Khabar AI-Af’al
Al-Muqarabah
Khabar Al-Af’al Al-Muqarabah itu harus dimasuki kata
an apabila fiil. Muqarabah berupa
dan . Contoh:
-Pantas Zaid berdiri.
– Hampir saja langit
menurunkan hujan
Kata dalam contoh pertama berkedudukan
menjadi khabar Fiil muqarabah , Sedangkan isimnya adalah kata
Kata
dalam contoh kedua berkedudukan menjadi khabar Fiil muqarabah , Sedangkan
isimnya adalah kata Apa Apabila Af’alul Mugarabah berupa kata , maka
khabarnya tidak boleh dimasuki (. ). Contoh:
– Dan
mulailah keduanya menutupinya.
Kata , berkedudukan menjadi
khabar fiil mugarabah , sedangkan isimnya berupa Dhamir Mustatir.
Apabila
fiil mugarabah itu berupa kata dan maka umumnya khabarnya dimasuki An (
). Contoh:
– Mudah-mudahan Allah memberi kemenangan.
–
Hampir orang itu terjerumus pada perbuatan yang dilarang.
Sedangkan
fiil muqarabah dan khabarnya itu umumnya tidak dimasuki An (
) Contoh:
– Dan hampir saja mereka tidak melakukan perintah itu.
“Hampir
saja hati ini hancur, karena sedih, ketika para pengadu domba itu mengatakan,
bahwa Hindun sangat marah.”
النوع الثاني من النواسخ:
إن وأخواتها
Inna ( ) dan Saudara-saudaranya
وأما إن وأخواتها فتنصب المبتدأ ويسمى اسمها وترفع الخبر ويسمى خبرها وهي ستة
أحرف: إنَّ وأنَّ وهما لتوكيد النسبة ونفي الشك عنها نحو: فإن الله غفور رحيم؛
ذلك بأن الله هو الحق؛ وكأن للتشبيه المؤكد نحو: كأن زيدا أسد، لكن للاستدراك
نحو: زيد شجاع ولكنه بخيل، ليت للتمني نحو ليت الشباب عائد، لعل للترجي نحو لعل
زيداً قادم وللتوقع نحو لعل عمرَ هالك، ولا يتقدم خبر هذه الحرف عليها ولا يتوسط
بينها وبين اسمها إلا إذا كان ظرفاً أو جاراً ومجروراً نحو: {إِنَّ لَدَيْنَا
أَنكَالًا} (12) سورة المزمل؛ إن في ذلك لعبرة؛ وتتعين إن المكسورة في الابتداء
نحو إنا أنزلناه؛ وبعد ألا التي يستفتح بها الكلام نحو: ألا إن أولياء الله {أَلا
إِنَّ أَوْلِيَاء اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ} (62) سورة يونس؛ وبعد حيث نحو:
جلست حيث إن زيداً جالس؛ وبعد القسم نحو: {وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ (2) إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ (3) } سورة الدخان ؛ وبعد القول نحو: {قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ}
(30) سورة مريم؛ وإذا دخلت اللام في خبرها نحو: {وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ
لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ} (1) سورة
المنافقون؛ وتتعين أن المفتوحة إذا حلت محل الفاعل نحو: {أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ
أَنَّا أَنزَلْنَا} (51) سورة العنكبوت؛ أو محل المفعول نحو: {وَلاَ تَخَافُونَ
أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُم بِاللهِ} (81) سورة الأنعام؛ أو محل المبتدا نحو: {وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً} (39) سورة فصلت؛ أو دخل عليها حرف
الجر نحو: {ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ} (6) سورة الحج؛ ويجوز الأمران
بعد فاء الجزاء نحو: {مَن عَمِلَ مِنكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِن
بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ} (54) سورة الأنعام؛ وبعد إذا
الفجائية نحو: خرجت فإذا أَنَّ زيداً قائم؛ وكذلك إذا
وقعت موقع
التعليل نحو: {نَدْعُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ} (28) سورة الطور؛
ولبيك أن الحمد والنعمة لك.
وتدخل لام الابتداء بعد إن المكسورة على
أربعة أشياء: على خبرها بشرط كونه مؤخراً مثبتاً نحو: {إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ
الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ} (167) سورة الأعراف؛ وعلى اسمها بشرط
أن يتأخر عن الخبر نحو: {إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لَّأُوْلِي الأَبْصَارِ}
(13) سورة آل عمران؛ وعلى ضمير الفصل نحو: {إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ
الْحَقُّ} (62) سورة آل عمران؛ وعلى معمول الخبر بشرط تقدمه على الخبر نحو: إن
زيداً لعمر ضارب؛ وتنفصل ما الزائدة بهذه الأحرف فيبطل عملها نحو: {إِنَّمَا
اللهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ} (171) سورة النساء؛ {قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ
أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ} (108) سورة الأنبياء؛ كأنما زيد قائم؛
ولكنما، ولعلما زيد قائم؛ إلا ليت فيجوز فيها الإعمال والإهمال نحو: ليتما زيد
قائم بنصب زيد ورفعه.
وتخفف إن المكسورة فيكثر إهمالها نحو: {إِن
كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ} (4) سورة الطارق؛ ويقل إعمالها نحو:
{وَإِنَّ كُلاًّ لَّمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ} (111) سورة هود؛ في قراءة من خفف إن
ولما في الآيتين وتلزم واللام في خبرها إذا أهملت؛ وإن خففت المفتوحة بقي إعمالها
ولكن يجب ان يكون اسمها ضمير الشأن وان يكون محذوفاً؛ ويجب أن يكون خبرها جملة
نحو: {عَلِمَ أَن سَيَكُونُ ٌ} (20) سورة المزمل، وإذا خففت كأن بقي إعمالها
ويجوز حذف اسمها وذكره كقوله:
[ويوم توافينا بوجه مقسم] كأن ظبية تعطو
إلى وارق السلم
وإن خففت لكن وجب إهمالها.
Inna (. ) dan saudara-saudaranya itu beramal me-nashab-kan
mubrada’ menjadi isimnya dan merafa’kan khabar menjadi khabarnya.
Saudara-saudara
Inna dan Maknanya
Inna dan saudara-saudaranya itu ada enam,
yaitu:
Inna/Anna ( ), keduanya untuk mengukuhkan
(taukid) hubungan antara subjek dan predikat. Contoh:
–
Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
-Yang
demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Tuhan yang hak.
Ka-anna ( ) untuk menyerupakan pengertian yang dikukuhkan. Contoh:
–
Sepertinya Zaid itu singa.
Laakinna ( ) untuk
Istidrok (menyebutkan suatu kata sesudah kalimat yang mendahuluinya, untuk
meniadakan suatu pengertian yang diduga ada, atau menetapkan adanya suatu
pengertian yang diduga tidak ada). Contoh:
– Zaid itu pemberani,
tetapi kikir.
Laita ( ) untuk menunjukkan
pengertian famanni, yaitu mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Contoh:
– Andai masa muda itu kembali lagi.
La’alla ( ), untuk menunjukkan pengertian
tarajji, yaitu mengharapkan s-suatu yang diinginkan. Contoh:
–
Mudah-mudahan Zaid itu datang.
Selain itu La’alla juga menunjukkan
pengertian rawaqqu’, yaitu mengenai terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.
Contoh:
– Barangkali Amar celaka.
Posisi Khabar Inna dan
Saudara-saudaranya dalam Kalimat
Khabar Inna
( ) dan
saudara-saudaranya tidak boleh mendahului inna dan saudaranya serta tidak
boleh berada di tengah-tengah antara inna dan isimnya, kecuali jika khabarnya
berupa zharaf atau jar majrur.Contoh:
– Sesungguhnya di sisi kami
ada belenggu-belenggu.
Kata adalah menjadi khabar inna. Ia boleh
berada di tengah antara inna dan isimnya, yaitu kata , karena
adalah zharaf.
– Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat
pelajaran.
Kata adalah menjadi khabar inna. Ia boleh
berada di tengah antara inna dan isimnya, yaitu kata ,
karena adalah
Hamzah
harus dibaca kasrah
Hamzah lafal itu harus dikasrah,
apabila:
Inna (. ) berada di permukaan kalimat.
Contoh:
– Sesungguhnya Kami telah menurunkan Algur-an pada malam
Lailatul Qadar.
Inna (. ) jatuh sesudah lafal
yang menjadi pembuka kalimat. Contoh:
– Ingat, sesungguhnya
wali-wali Allah itu tidak pernah khawatir.
Inna
( ) jatuh sesudah lafal . Contoh:
– Saya duduk di tempat Zaid
benar-benar duduk.
Inna ( ) jatuh sesudah Qosam.
Contoh:
– Demi Kitab yang menjelaskan, sesungguhnya Kami telah
menurunkannya.
Inna ( ) jatuh sesudah kata
Qalla. Contoh: .
– Isa berkata: Sesungguhnya saya adalah hamba
Allah.
6: Khabar Inna ( ) dimasuki huruf Lam Ibtida’. Contoh:
–
Dan Allah mengetahui, bahwa sesungguhnya engkau benar-benar utusan-Nya.
–
Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya orang-orang munafik benar-benar
pendusta.
Hamzah Harus Dibaca Fathah
Hamzah
itu harus difathah, apabila:
Anna ( )
berkedudukan sebagai fail. Contoh: .
– Apakah belum cukup bagi
mereka, bahwa sesungguhnya Kami telah menurunkan …
Anna (. ) berkedudukan sebagai naibul fail. Contoh:
“Katakanlah:
Telah diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya sekumpulan jin telah
mendendengarkan Alqur-an.”
Anna ( ) berkedudukan
sebagai maf’ul. Contoh:
– Padahal kamu tidak takut, bahwa
sesungguhnya kamu , mempersekutukan Allah.
Anna
( ) berkedudukan sebagai mubtada’. Contoh:
“Di antara
tanda-tanda-Nya, bahwa sesungguhnya engkau melihat bumi kering tandus.”
Anna ( ) dimasuki huruf jar. Contoh:
– Yang demikian itu, karena
sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak.
Hamzah Boleh
Dibaca Fathah atau Kasrah
Hamzah boleh dikasrah atau difathah,
apabila:
Berada sesudah fa’ ( ) jawab.
Contoh:
“Barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran
kejahilan, kemudian dia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan
perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kata
dalam ayat tersebut boleh dibaca Artinya, hamzah boleh dibaca
fathah dan boleh dibaca kasrah.
Berada sesudah
Idzaa ( ) fujaiyyah. Contoh:
Hamzah dalam kalimat di atas, boleh
difathah dan boleh dikasrah, karena jatuh sesudah huruf
fujaiyyah.
Berada pada tempat yang memberi
pengertian ta’lil. Contoh:
– Kami menyembah-Nya, karena
sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.
–
Kupenuhi panggilan-Mu karena sesungguhnya segala puji dan nikmat itu
milik-Mu.
Hamzah dalam kalimat di atas. boleh dibaca kasrah
dan boleh dibaca fathah.
Memasukkan Lam Ibtida’ pada Kata Sesudah
Inna ( )
Lam Ibrida’ itu boleh masuk pada kata yang berada sesudah
huruf Inna (yang hamzahnya dibaca kasrah). Kata sesudah Inna yang
boleh uimasuki Lam Ibrida’ itu adalah:
Khabar
Inna yang diakhirkan dan mutsbar. Contoh:
– Sesungguhnya Tuhan
sangat cepat siksaan-Nya.
– Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Isun Inna yang jatuh sesudah
khabarnya. Contoh:
– Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat pelajaran.
Kata adalah isim inna, yang jatuh sesudah
khabarnya, yaitu kata
Dzamir Fashl.
Contoh:
– Sesungguhnya ini adalah kisah yang nyata.
Kata
dalam ayat di atas berkedudukan menjadi isim Kata adalah dhamir fashl
yang dimasuki lam ibrida’. Sedangkan kata berkedudukan sebagai khabar
inna.
Ma’mul khabar yang mendahului khabar inna
itu sendiri. Contoh:
– Sesungguhnya Zaid adalah orang yang memukul
Amar.
Kata , berkedudukan sebagai isim inna. Kata
adalah ma’mul (maf’ul) kata , yang berkedudukan sebagai khabar
inna. Asal susunan kalimat tersebut adalah:
Menambahkan Huruf
, pada Inna dan Saudaranya
Inna dan saudara-saudaranya itu boleh
ditambah maa ( ) zaidah dan amalnya menjadi batal. Artinya, Inna dan
saudaranya yang dimasuki maa (4 ) itu tidak bisa beramal, kecuali Laita ( ),
boleh beramal dan boleh tidak beramal. Contoh:
– Hanya Allah-lah,
Tuhan Yang Maha Esa.
– Seakan-akan Zaid berdiri.
–
Terapi Zaid berdiri.
– Barangkali Zaid berdiri.
Kata
, dan dalam contoh-contoh tersebut, berasal
dari dan Ia yang dimasuki maa ( ) zaidah. Karena itu, tidak
beramal menashabkan mubtada’ dan merafa” kan khabar.
Adapun Laita
( ), meskipun dimasuki maa (. ), maka ia tetap boleh beramal
menashabkan mubtada’ dan merafa’ kan khabar atau tidak beramal. Contoh:
–
Seandainya Zaid berdiri.
Kata dibaca nashab menjadi
isim , dan menjadi khabarnya. Kata : dalam contoh ini masih tetap beramal.
Boleh
juga tidak beramal, dan kata dibaca rafa”, sehingga susunannya
menjadi
Hukum Mentakhfif Nun Inna ( )
Inna (
) itu boleh ditakhfif nunnya. artinya nun inna itu disukun, tidak ditasydid.
Apabila inna itu di-takhftf, maka yang paling banyak tidak beramal dan sedikit
sekali yang masih beramal. Contoh yang di-takhfif, yang tidak beramal:
–
Sesungguhnya setiap orang yakin. ada penjaganya.
Huruf dalam ayat
di atas berasal dari yang di-takhfif. Ia tidak lagi beramal
menashabkan mubtada”. Karena itu, kata sesudahnya tetap dibaca rafa’.
Contoh
yang di-takhfif dan tetap beramal:
Kata dibaca nashab menjadi isim
in ( ) yang mukhaffa dari
Hal yang demikian itu menurut
qiraat orang yang mentakhfif dan , yang terdapat dalam dua ayat di atas.
Apabila
hal yang dimaksud di-muhmal-kan (meniadakan pengamalan in), maka khabarnya
wajib disertai lam ibrida’.
Hukum Mentakhfif Nun Anna ( )
Anna
( ) yang difathah hamzahnya itu, nun-nya boleh di-rakhfif menjadi An
( ) dan masih tetap beramal, dengan syarat:
Isimnya harus berupa dhamir sya-an yang dibuang.
Khabarnya berupa jumlah atau kalimat. Contoh:
Huruf dalam kalimat
di atas berasal dari , yang tetap beramal. Adapun isimnya berupa
dhamir sya-an yang telah dibuang, sedangkan khabarnya berupa jumlah atau
kalimat.
Hukum dan yang Di-takhfif Nun-nya
Ka-anna ( )
itu nun-nya boleh di-rakhfif dan masih tetap beramal. Dalam keadaan yang
demikian ini, isimnya boleh dibuang dan boleh disebutkan. Contoh:
“Seakan-akan
seekor kijang itu memanjat pohon berduri yang lebat daunnya.”
Kata
adalah dari , yang nun-nya di-takhfif dan ia masih . tetap
beramal. Kata adalah isim
Adapun Laakinna ( ) apabila
di-nun-nya di-takhftf, maka tidak bisa beramal.
فصل في الكلام على لا العاملة عمَل إن:
LA NAFI JINIS BERAMAL SEPERTI INNA
وأما لا التي لنفي الجنس فهي التي يراد بها نفي جميع الجنس على سبيل التنصيص
وتعمل عمل إن فتنصب الاسم وترفع الخبر بشرط أن يكون اسمها وخبرها نكرتين؛ فإن كان
اسمها مضافاً أو مشبهاً بالمضاف فهو معرب منصوب نحو: لا صاحب علم ممقوت؛ ولا
طالعا جبلا حاضر؛ والمشبه بالمضاف هو ما اتصل به شيء من تمام معناه؛ وإن كان
اسمها مفرداً بني على ما ينصب به لو كان معربا ونعني بالمفرد هنا وفي باب النداء
ما ليس مضافاً ولا شبيها بالمضاف؛ وإن كان مفرداً أو جمع تكسير بني على الفتح
نحو: لا رجل حاضر، وولا رجال حاضرون وغن كان مثنى أو جمع مذكر سالماً بني على
الياء نحو: لا رجلين في الدار، ولا قائمين في السوق، وإن كان جمع مؤنث سالما بني
على الكسرة نحو: لا مسلماتِ حاضرات وقد يبنى على الفتح؛ وإذا تكررت لا نحو: لا
حول ولا قوة جاز في النكرة الأولى الفتح والرفع فغن فتحتها جاز في الثانية ثلاثة
أوجه الفتح والنصب والرفع؛ وإن رفعت الأولى جاز لك في الثانية وجهان الرفع
والفتح؛ وإن عطفت ولم تكرر وجب فتح النكرة الأولى وجاز في الثانية الرفع والنصب
نحو: لا حول ولا قوة.
وإن نعت اسم لا مفرداً بنعت مفرد لم يفصل بين
النعت والمنعوت فاصل نحو: لا رجل ظريف جالس، جاز في النعت الفتح والنصب والرفع،
فإن فصل أو كان النعت غير مفرد جاز الرفع والنصب فقط نحو: لا رجل جالس ظريفٌ
وظريفاً، ولا رجل طالعا وطلع جبلا حاضر؛ وإذا جهل خبر لا وجب ذكره كما مثلنا
وكقوله عليه الصلاة السلام "لا أحدَ أغيرُ من الله" ؛ وإذا علم فالكثر حذفه نحو:
فلا فوت؛ أي: لهم، ولا ضير؛ أي: علينا؛ ونحو لا حول ولا قوة أي لنا؛ فإن دخلت لا
على معرفة أو فصل بينها وبين اسمها وجب إهمالها ورفع ما بعدها على أنه مبتدأ
وخبرن ووجب تكرارها نحو لا زيد في الدار ول عمرو، ولا في الدار رجل ولا امرأة
Laa ( ) Nafi Jinsi
Adapun Laa ( ) Nafi Jinsi yang dimaksud di
sini adalah meniadakan semua jenis secara pasti. Contoh:
– Tidak
seorang laki-laki pun di dalam rumah.
Amal Laa ( ) Nafi
Jinsi
Laa ( ) nafi jinsi itu bisa beramal seperti amal inna (
), yaitu menashabkan mubtada’ menjadi isimnya dan merafa’kan khabar menjadi
khabarnya, dengan syarat:
Isim dan khabarnya
terdiri dari isim nakirah.
Isimnya sambung langsung
dengannya.
Apabila isim laa ( ) berupa kata yang mudhaf atau serupa
dengan mudhaf, maka hukum isim Itu mu’rab dan dibaca nashab. Contoh:
–
Tidak ada seorang pun yang berilmu terkutuk.
– Tidak ada seorang
pendaki gunung pun hadir.
Pengertian Serupa Mudhaf
Pengertian
serupa mudhaf ialah isim yang berhubungan dengan isim lain yang menyempurnakan
maknanya. Apabila isim laa ( ) mufrad, maka dimabnikan menurut alamat
nashabnya ketika mu’rab.
Penpertian mufrad dalam bab ini sama
dengan pengertian mufrad dalam Bab Munada, yaitu kata yang tidak mudhaf dan
tidak serupa dengan mudhaf, meskipun berupa tatsniyah atau jamak.
Apabila
isim laa ( ) berupa isim mufrad atau jamak taksir, maka harus dimabnikan
fathah. Contoh:
– Tidak ada seorang laki-laki pun datang.
–
Tidak ada orang-orang laki-laki datang.
Apabila isim laa ( ) berupa
isim tatsniyah atau jamak mudzakkar salim, maka dimabnikan pada huruf ya”.
Contoh:
– Tidak ada dua laki-laki dalam rumah.
– Tidak
ada orang-orang laki-laki berdiri di pasar.
Apabila isim laa
( ) berupa jamak. mu’annats salim, maka dimabnikan kasrah.
Contoh:
– Tidak ada orang-orang perempuan Islam Io datang.
Boleh
juga dimabnikan fathah.
Apabila laa ( ) itu diulang atau
disebut dua kali dalam satu kalimat, seperti , maka isim Laa (. )
yang pertama boleh dibaca fathah atau rafa”.
Apabila isim laa
( ) yang pertama dibaca fathah, maka isim laa ( ) yang kedua
boleh dibaca fathah, nashab dan rafa”. Contoh:
Dibaca fathah keduanya:
Dibaca fathah dan
nashab:
Dibaca fathah dan rafa’:
Apabila
isim laa ( ) yang pertama dibaca rafa’, maka isim laa
( ) yang kedua boleh dibaca rafa’ dan fathah. Contoh:
Dibaca rafa’ keduanya:
Dibaca rafa’ dan fathah:
Hukum
Isim yang Di-athaf-kan pada Isim Laa ( )
Apabila ada isim
di-arhaf-kan pada isim laa ( ) tanpa mengulang laa ( ), maka isim
laa ( ) yang nakirah itu wajib difathah.
Sedangkan isim yang
di-athaf-kan padanya boleh dibaca rafa’ dan nashab. Contoh:
Dibaca rafa’:
Dibaca nashab:
Hukum
Na’at Isim Laa ( )
Apabila Isim Laa yang mufrad disifati
dengan isim yang mufrad dan antara sifat dan yang disifati tidak ada pemisah,
maka sifat atau na’al isim laa tersebut boleh dibaca fathah, nashab dan rafa’.
Contoh:
Contoh sifar isim laa yang dibaca
fathah:
Contoh sifat isim laa yang dibaca
nashab:
Contoh sifat isim laa yang dibaca
rafa’:
Apabila antara sifat dan isim yang disifati terdapat pemisah
atau isim yang menyifati itu ghairu mufrad, maka isim yang menyifati isim laa
ini boleh dibaca rafa’ dan nashab. Contoh sifat dan yang disifati terpisah:
Kata dalam contoh
di atas berkedudukan sebagai isim laa. Kata adalaah sifat dari
kata Sedangkan kata adalah khabar laa yang memisah antara isim laa dan isim
yang menyifatinya.
Contoh sifat yang ghairu mufrad.
Kata dalam contoh di
atas berkedudukan menjadi isim laa adalah sifat ghairu mufrad dari
(. ). Kata adalah sifat dari isim laa, sedangkan kata adalah
khabar laa. Hukum Khabar Laa ( )
Apabila khabar laa tidak
diketahui, maka harus disebutkan, sebagaimana dalam contoh-contoh yang telah
disebutkan dan seperti sabda Nabi saw.:
– Tidak ada seorang pun
yang lebih cemburu daripada Allah.
Apabila khabar laa itu telah
diketahui, maka biasanya dibuang. Contoh:
Kata adalah isim
laa. Khabarnya dibuang, karena telah diketahui, yaitu kata . Asalnya
Kata
adalah isim laa. Khabarnya dibuang, karena telah diketahui, yaitu .
Kalau disebutkan, maka menjadi:
Kata adalah isim laa,
khabarnya dibuang, karena telah diketahui, yaitu . Kalau disebutkan, maka
menjadi
Laa ( y ) yang Tidak Beramal
Apabila ada laa
( ) masuk pada isim makrifat atau antara laa ( ) dan isimnya
terdapat pemisah, maka Jaa tidak bisa beramal. Sedangkan kata yang jatuh
sesudahnya, harus dibaca rafa’ menjadi mubtada’ atau khabar dan laa harus
diulang. Contoh:
– Tidak ada Zaid di dalam rumah dan tidak ada pula
Amer.
Kata dalam contoh di atas adalah isim makrifat
yang jatuh sesudah /aa. Ia tidak boleh dibaca fathah menjadi isim laa, tetapi
ia harus dibaca rafa’ menjadi mubtada’ yang khabarnya berupa kata
– Di dalam rumah tidak ada seorang laki-laki pun-dan tidak ada
pula seorang perempuan.
Kata adalah kata yang berada di
antara laa dan isim-nya, yaitu kata . Karena itu, laa tidak beramal.
Adapun kata sesudahnya ye di-Irab menjadi khabar dan menjadi
mubtada’, sedangkan laa harus diulang.
النوع الثالث من النواسخ. ظن وأخواتها
DHONNA DAN SAUDARANYA
وأما ظن وأخواتها فإنها تدخل بعد استيفاء فاعلها على المبتدأ والخبر فتنصبهما على
أنهما مفعولان لها وهي نوعان: احدهما: أفعال القلوب وهي: ظننت وحسبت ووخلت ورأيت
وعلمت وزعمت ووجدت وحجوت وعددت وهبَّ ووجدت وألفيت ودريت وتعلم بمعنى أعلم نحو:
ظننت زداً قائماً؛ وقول الشاعر:
حسبت التقى والجود خير تجارة [رياحا
وإذا ما المرء أصبح ثاقلا]
وخلت عمراص شاخصاص؛ وقوله تعالى:
{إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا (6) وَنَرَاهُ قَرِيبًا (7) } سورة المعارج؛ وقول
الشاعر:
زعمتني شيخاً ولست بشيخ [إنما الشيخ من يدب دبيباً]
قوله
تعالى: {وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا}
(19) سورة الزخرف؛ وقول الشاعر:
وقد كنت أحجو أبا عمرو أخا ثقه [حتى
ألمت بنا يوم ملمات]
وقول الآخر:
فلا تعدد المولى شريكك في
الغنى [ولكنما المولى شريكك في العدم]
وقوله:
[فقلت أجرني
أبا خالد] وإلا فهبني امرأً هالكاَ
وقوله تعالى: {تَجِدُوهُ عِندَ
اللَّهِ هُوَ خَيْرًا} (20) سورة المزمل؛ {إِنَّهُمْ أَلْفَوْا آبَاءهُمْ
ضَالِّينَ} (69) سورة الصافات؛
وقولك: دريت زيداً قائماً؛ وقول
الشاعر
تعلم شفاء النفس قهر عدوها [فبالغ بلطف في التحيل والمكر]
وإذا
كنت ظن بمعنى اتهم، ورأى بمعنى أبصر، وعلم بمعنى عرف؛ لم تتعدد إلا إلى مفعول
واحد نحو: ظننت زيداً؛ بمعنى اتهمته؛ ورأيت زيداً بمعنى أبصرته؛ وعلمت المسألةَ
بمعنى عرفتها.
والنوع الثاني أفعال التصيير نحو: جعل ورد واتخذ ووصير
ووهب؛ قال الله تعالى: {فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا} (23) سورة الفرقان؛
{لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً} (109) سورة البقرة؛
{وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً} (125) سورة النساء؛ ونحو: صيرت الطين
خزفاً؛ وقالوا: وهبني الله فداك، واعلم أن لأفعال هذا الباب ثلاثة أحكام: الأول:
الإعمال وهو الأصل وهو واقع في الجميع؛ الثاني: الإلغاء وهو إبطال العمل لفظاً
ومحملاً لضعف العامل بتوسطه أو تأخره نحو: زيد ظننت قائم؛ وزيد قائم ظننت؛ وهو
جائز لا واجب، وإلغاء المتأخر أقوى من إعماله والمتوسط بالعكس؛ ولا يجوز إلغاء
العامل المتقدم نحو ظننت زيداً قائماً خلافاً للكوفيين؛ والثالث: التعليق وهو
إبطال العمل لفظاً لا محملا بمجيء ما له صدر الكلام بعده وهو لام الابتداء نحو:
ظننت لَزيد قائمٌ؛ وما النافية نحو: {لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاء يَنطِقُونَ}
(65) سورة الأنبياء؛ ولا النافية نحو: علمت لا زيد قائم ولا عمرو؛ وإن النافية
نحو: علمت والله إنْ زيدٌ قائمٌ؛ وهمزة الاستفهام نحو: علمت أزيد قائم أم عمرو؟
وكون أحد المفعولين اسم استفهام نحو: علمت أيهم أبوك؟ فالتعليق واجب إذا وجد شيء
من هذه ولا يدخل التعليق ولا الإلغاء في شيء من أفعال التصيير ولا في فعل قلبي
جامد وهو اثنان: هب وتعلم؛ فإنهما ملازمان صيغة المر وما عداهما من أفعال الباب
يتصرف يأتي منه المضارع والأمر وغيرهما إلا هبَّ من أفعال التصيير فإنه ملازم
لصيغة الماضي؛ ولتصارفهن ما لهن مما تقدم من الحكام؛ وتقدمت بعض أمثلة ذلك، ويجوز
حذف المفعولين أو أحدهما لدليل نحو: {أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنتُمْ
تَزْعُمُونَ} (62) سورة القصص؛ لأي: تزعمون شركائي؛ وإذا قيل لك من ظننت قائماً؟
فيقول: ظننت زيداً، أي: ظننت زيداً قائماً.
وعد صاحب الأجرومية من هذه
الأفعال؛ "سمعت" تبعاً للأخفش ومن وافقه، ولابد أن يكون مفعولها الثاني جملة مما
يسمع نحو: سمعت زيداً يقول كذا؛ وقوله تعالى: {سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ}
(60) سورة الأنبياء؛ ومذهب الجمهور أنها فعل متعد إلى واجد؛ فغن كان معرفة
فالجملة التي بعده حال؛ وإن كان نكرة كما في الآية فالجملة صفة والله أعلم.
III. ‘Zhanna ( ) dan Saudara-saudaranya
Amal Zhanna dan
Saudara-saudaranya
Zhanna dan saudara-saudaranya itu dapat masuk
pada mubtada’ dan khabar, setelah ia memiliki fail, sehingga dapat berfungsi
menashabkan mubtada dan khabar tersebut sebagai maf’ul-nya.
Saudara
Zhanna dan Macam-macamnya
Zhanna dan saudaranya itu ada dua macam,
yaitu:
Af’alul Qulub (fiil-fiil yang menunjukkan
arti pekerjaan yang dilakukan oleh hati), yaitu:
berasal dari Menyangka/mengira.
berasal dari
Menyangka/mengira/yakin.
berasal dari
Menyangka/yakin.
berasal dari Yakin/menyangka.
berasal dari Yakin/menyangka.
berasal dari
Menyangka.
berasal dari Yakin.
berasal dari Menduga.
berasal dari Menyangka.
(fiil yang ghairu mutasharrif).
berasal dari
Mendapati.
berasal dari Menyangka.
berasal dari Yakin
berasal
dari Mengetahui.
Contoh dalam kalimat sebagai berikut:
–
Saya menyangka Zaid berdiri.
Asal kalimat di atas sebelum dimasuki
adalah . Setelah dimasuki , adalah kata yang dibaca rafa’
sebagai mubtada’ dan kata yang juga dibaca rafa’ sebagai khabar, berubah
dibaca nashab menjadi maful
Asal kalimat di atas sebelum
dimasuki adalah . Setelah dimasuki . , maka kata yang
dibaca rafa’ sebagai mubtada’ dan kata yang juga dibaca rafa” sebagai
khabar, berubah dibaca nashab menjadi maf’ul yang dalam hal ini berarti
“yakin”. Contoh:
Saya kira Zaid orang yang berilmu.
Asal kalimat di atas
sebelum dimasuki adalah , setelah dimasuki ,
maka , yang dibaca rafa’ sebagai mubrada’ dan kata yang juga
dibaca rafa’ sebagai khabar, berubah dibaca nashab menjadi maf’ul kata yang
dalam hal ini berarti “mengira”.
— Saya menduga Amar menampakkan
diri.
Asal kalimat di atas sebelum dimasuki adalah : Setelah
dimasuki , maka yang dibaca rafa’ sebagai mubtada’ dan kata yang juga dibaca
rafa’ sebagai khabar, berubah dibaca nashab menjadi maf’ul , yang dalam
hal ini berarti “menyangka”.
Sesungguhnya mereka mengira siksaan
itu jauh (mustahil), dan kami yakin, itu adalah dekat.
Kata .
dalam kalimat bermakna “menyangka”. Sedangkan kata dalam
kalimat bermakna “yakin”.
– Maka jika kalian telah
mengetahui bahwa mereka beriman.
– Maka ketahuilah, bahwa
sesungguh| nya tidak ada Tuhan selain Allah.
– Engkau menduga aku
lanjut usia, padahal aku tidak lanjut usia.
Zhanna ( ), Ra’aa ( )
dan Alima ( ) yang Tidak Berarti Menyangka
Apabila
Zhanna ( ) bermakna “menuduh”, Ra’aa bermakna “melihat” dan Alima
( ) bermakna “mengetahui”, maka fiil-fiil tersebut hanya membutuhkan
pada satu maf’ul, sehingga tidak bisa beramal, sebagaimana yang telah
diterangkan di atas. Contoh:
– Saya telah menuduh Zaid.
–
Saya telah melihat Zaid.
– Saya telah mengetahui permasalahan.
Af’alut Tashyir, maksudnya adalah fiil-fiil yang menunjukkan arti mengubah
sesuatu dari satu sifat ke sifat yang lain, seperti:
.
Contoh: – Lalu Kami jadikaninya debu yang beterbangan.
Contoh: – Agar mereka dapat mengembalikan kalian pada kekafiran sesudah kalian
beriman.
. Contoh: – Dan Allah menjadikan Ibrahim
sebagai kesayangan-Nya.
. Contoh: – Saya jadikan tanah
itu keramik.
. Contoh: – Allah telah menjadikan aku
tebusanmu.
Hukum-hukum yang Berkaitan dengan dan
Saudaranya
Perlu dipahami, bahwa fiil-fiil bab ini, yaitu dan
saudara-saudaranya, mempunyai tiga hukum. Yaitu:
Bisa beramal, yaitu hukum yang asal dan berlaku untuk semua saudara
Tidak beramal secara lafzhi (lafal) dan mahal (makna), karena lemahnya amil,
disebabkan posisinya di tengah atau di akhir. Contoh:
Hukum tidak
mengamalkan zhanna ( ) di sini tidak wajib. Boleh juga ia beramal,
seperti:
Tetapi membatalkan amal zhanna dan saudaranya yang
posisinya dalam kalimat berada di akhir, itu lebih baik daripada menetapkan
amalnya. Sedangkan menetapkan amal zhanna dan saudaranya yang posisinya dalam
kalimat berada di tengah, itu lebih baik daripada membatalkan amalnya.
Contoh: dan
Apabila zhanna dan saudaranya itu berada di awal, artinya
mendahului mubtada’ dan khabar, maka tidak boleh dibatalkan amalnya. Tetapi
menurut orang-orang Kufah boleh, seperti:
tidak boleh
Tidak beramal secara lafzhi, tetapi beramal
secara makna, disebabkan ada huruf-huruf yang memiliki hak menjadi permulaan
kalimat sesudah zhanna dan saudara-saudaranya, seperti:
Lam ibrida’. Contoh:
– Saya menduga Zaid benar-benar berdiri.
Maa Nafi. Contoh:
– Sesungguhnya kamu mengetahui, berhala-berhala
itu ridak dapat berbicara.
Laa Nafi. Contoh:
–
Saya telah mengetahui, Zaid tidak berdiri dan tidak berdiri pula Amar.
In Nafi. Contoh:
– Saya telah mengetahui, demi Allah Zaid tidak
berdiri.
Hamzah Isrifham. Contoh:
–
Engkau mengetahui, apakah Zaid berdiri ataukah Amar?
Salah satu maf’ulnya berupa isim istifham. Contoh:
– Engkau telah
mengerti yang mana ayahmu di antara mereka.
Membatalkan amal zhanna
dan saudaranya secara lafzhi saja, tidak maknanya, hukumnya wajib, apabila
terdapat huruf-huruf yang berhak menjadi permulaan kalimat, seperti tersebut
di atas.
Saudara Zhanna yang Tidak Boleh Dibatalkan Amalnya
Saudara
zhanna dari Af’alut Tashvir dan Af’alul Qulub yang jamid itu tidak bisa
dibatalkan amalnya, Af’alul Qulub yang jamid itu ada dua, yaitu dan .
Keduanya dalam bentuk amar. Sedangkan yang lain, bisa berbentuk mudhari’, amar
dan lainnya, kecuali yang selalu menetapi bentuk madhi.
Tashrif
Zhanna dan Saudaranya Bisa Beramal seperti Madhinya
Tashrif zhanna
dan saudara-saudaranya itu mempunyai hukum seperti bentuk madhi-nya,
sebagaimana telah disebutkan di atas sebagian contoh-contohnya.
Hukum
Membuang Maf’ul Zhanna dan Saudaranya
Maf’ul zhanna dan
saudara-saudaranya itu, boleh dibuang keduanya atau salah satunya, karena ada
dalil. Contoh:
– Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dulu kalian
katakan?
Kata adalah bentuk mudhari” dari kata , Saudara zhanna
yang muta’addi pada dua maf’ul. Tetapi kedua maf’ulnya dalam ayat di atas
dibuang. Bentuk susunan lengkapnya adalah: Dhamir sebagai
maf’ul pertama dan kata sebagai maf’ul kedua yang dibuang.
Contoh
membuang satu maf’ul ialah:
– Saya kira Zaid
Kalimat di
atas diucapkan sebagai jawaban orang yang bertanya:
– Siapa orang
yang berdiri menurut perkiraanmu?
Asal jawaban di atas
adalah:
-Saya kira Zaid berdiri.
Kemudian kata KAS yang
berkedudukan sebagai maf’ul kedua dibuang, karena ada dalil (tanda) berupa
kata yang disebut dalam pertanyaan.
Kata Sami’a (
), Apakah Termasuk Saudara Zhanna “)
Penyusun kitab Al-Ajjurumiyyah
menganggap kata sami’a ( ) sebagai saudara zhanna ( ) mengikuti
pendapat Imam Al-Akhfasy , dan orang-orang yang sependapat dengannya. Maf’ul
kedua kata ini, harus berupa jumlah (kalimat) yang didengarnya. Contoh:
–
Saya mendengar Zaid berkata
– Kami mendengar seorang pemuda mencela
berhala-hala ini.
Adapun menurut mayoritas ulama ahli nahwu, bahwa
kata adalah fiil yang muta’addi (membutuhkan) pada satu maf’ul, apabila
satu maf’ul berupa isim makrifat, maka jumlah atau kalimat sesudahnya
berkedudukan sebagai Hal (keterangan keadaan) dan apabila berupa isim Nakirah
sebagaimana dalam ayat di atas, maka jumlah itu berkedudukan menjadi sifat. :
باب المنصوبات
ISIM-ISIM YANG DIBACA NASHAB
المنصوبات خمسة عشر وهي: المفعول به، ومنه، والمنادى كما سيأتي بيانه، ـ والمصدر
ويسمى المفعول المطلق، وظرف الزمان، وظرف المكان يسمى مفعولا فيه، والمفعول
لأجله، والمفعول معه، والمشبه بالمفعول به، والحال، والتمييز، وخبر كان وأخواتها،
وخبر الحروف المشبهة بليس، وخبر أفعال المقاربة، واسم إن وأخواتها، واسم لا التي
لنفي الجنس، والتابع للموصول وهو أربعة أشياءٍ كما تقدم.
Isim-isim yang dibaca nashab itu ada 15, yaitu:
Maf’ul Bih. Contoh:
– Saya telah membaca majalah.
Al-Munada. Contoh:
Hai, Abdullah.
Mashdar (Maf’ul Murlag). Contoh:
Dan Allah berbicara kepada Musa
secara langsung.
Zharaf Zaman. Contoh:
Saya
telah berpuasa pada bulan Ramadhan.
Zharaf
Makan. Contoh:
Saya relah duduk di depan rumah.
Maf’ul Liajlih. Contoh:
Saya telah berdiri karena menghormat.
Maful Ma’ah. Contoh:
Janganlah engkau mencegah kejelekan serta
melakukannya.
Al-Musyabbah bil Maf’ul. Contoh:
Hasan
adalah orang yang luhur akhlaknya.
Hal.
Contoh:
Pak guru datang dengan naik kendaraan.
Tamyiz. Contoh:
Saya memiliki sembilan puluh kambing.
Khabar Kaana. Contoh:
Manusia adalah umat yang satu.
Khabar huruf yang disamakan dengan Laisa. Contoh:
Tidaklah ini
manusia.
Isim Inna. Contoh:
Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Isim
Laa nafi jinsi. Contoh:
Tidak ada penuntut ilmu itu terkutuk.
Tabi’, yaitu kata yang mengikuti kata sebelumnya, yang dibaca nashab, yang
akan diterangkan pada bab berikutnya. Contoh:
Tunjukkanlah kami ke
jalan yang lurus.
باب المفعول به:
MAF’UL BIH (OBJEK PENDERITA)
المفعول به هو الاسم الذي يقع عليه الفعل نحو: ضربت زيداً، وركبت الفرس؛ واتقوا الله؛ يقيمون الصلاة؛ وهو على قسمين: ظاهر ومضمر، فالظاهر ما تقدم ذكره، والمضمر قسمان متصل نحو أكرمني وأخوته، ومنفصل نخو: إياي وإخوته، وقد تقدم ذلك في فصل المضمر، والأصل في أن يتأخر عن الفاعل نحو: وورث سليمان داوود، وقد يتقدم على الفاعل جوازاً نحو: ضرب سعدى موسى، ووجوباً نحو: زان الشجرة نوره، وقد يتقدم على الفعل والفاعل ومنه ما اضمر عامله جوازاً نحو: قالوا خيراً ووجوباً في مواضع منها
Definisi
Maf’ul Bih ialah isim yang menjadi sasaran pekerjaan
(objek penderita). Contoh:
– Saya telah memukul
Zaid.
– Saya telah menaiki kuda.
– Takutlah kamu semua kepada Allah.
– Mereka
menegakkan shalat.
Pembagian Maf’ul Bih
Maf’ul
Bih terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Zhahir dan Mudhmar. Maf’ul Bih Zhahir
adalah Maf’ul Bih yang terdiri dari Isim Zhahir, sebagaimana dalam contoh di
atas: Adapun Maf’ul Bih Mudhmar ada dua bagian, yaitu:
Terdiri dari Dhamir Murtashil, contoh:
– Ia
datang kepada dia (laki-laki). Sebagai fiil, fail-nya, berupa dhamir mustatir
(yang disimpan pada lafal) , sedang dhamir hu ( ) sebagai
maf’ul bih-nya.
– Ia datang kepada mereka
berdua. Dhamir tb adalah sebagai maf’ul bih-nya, sedang fiil dan fail-nya sama
dengan yang berada pada nomor satu.
– Ia datang
kepada mereka (laki-laki). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih-nya.
– ia datang kepada dia (perempuan). Dhamir 15 adalah sebagai maf’ul
bih-nya.
– Ia datang kepada mereka (perempuan).
Dhamir an adalah sebagai maf’ul bih-nya.
– Ia
datang kepada kamu (laki-laki), Dhamir ka ( ) adalah sebagai maf’ul
bih-nya.
– Ia datang kepada kamu berdua. Dhamir
adalah sebagai maf’ul bih-nya.
– Ia datang
kepada kamu sekalian (laki-laki) Dhamir ‘ adalah sebagai maf’ul bih-nya.
– Ia datang kepada kamu (perempuan). Dhamir ki ( ) adalah sebagai maf’ul
bih-nya.
– Ia datang kepada kamu sekalian
(perempuan). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih-nya.
– Ia datang kepada saya. Dhamir ya’ ( ) dalam lafal adalah sebagai
maf’ul bih-nya.
– Ia datang kepada kami/kita.
Dhamir naa (. ) adalah sebagai maf’ul bih-nya.
Terdiri dari Dhamir Munfashil, contoh:
(Kepada
dia (laki-laki) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih
mugoddam (yang didahulukan dari fiil dan failnya), lafal
adalah fiil, sedangkan lafal sebagai fail.
(Kepada mereka berdua, Muhammad menghormati). Dhamir (. ) adalah sebagai
maf’ul bih.
(Kepada mereka (laki-laki) Muhammad
menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.
(Kepada dia (perempuan) Muhammad menghormati), Dhamir adalah
sebagai maf’ul bih.
(Kepada mereka (perempuan)
Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai muf’ul bih.
(Kepada kamu (laki-laki) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul
bih.
(Kepada kamu berdua, Muhammad menghormati).
Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.
(Kepada kamu
sekalian (laki-laki) Muhammad menghormati). Dhamir sebagai maf’ul bih.
(Kepada kamu (perempuan) Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul
bih.
(Kepada kamu sekalian (perempuan) Muhammad
menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.
(Kepada saya Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.
BAGAN
(Kepada kami/kita Muhammad menghormati). Dhamir adalah sebagai maf’ul bih.
Posisi
Maf’ul Bih dalam Kalimat
Posisi maf’ul bih yang asal dalam kalimat
itu jatuh sesudah fail. Contoh:
– Dan Sulaiman telah mewarisi
Dawud.
Tetapi kadang-kadang dibolehkan mendahului fail. Contoh: )
–
Musa telah memukul Sa’da.
Kadang-kadang juga ada yang wajib
mendahului fail-nya. Contoh:
– Bunga itu telah menghiasi
pohonnya.
Kata dalam contoh di atas dibaca nashab, berkedudukan
sebagai maf’ul bih yang harus mendahului fail-nya, yaitu kata
Sebab,
fail dalam kalimat ini mengandung dhamir yang kembali pada maf’ul bih.
Kadang-kadang
maf’ul bih itu mendahului fiil dan fail. Contoh:
Sebagian
diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah nyata kesesatan bagi mereka.
Kata
dalam ayat di atas dibaca nashab, berkedudukan sebagai maf’ul bih yang
mendahului fiil dan fail-nya.
Nama-nama mana saja yang kamu seru,
Dia mempunyai nama-nama terbaik.
Kata dalam ayat di
atas dibaca nashab, berkedudukan menjadi maf’ul bih yang mendahului fiil dan
failnya. Fiil-nya berupa kata dan fail-nya berupa dhamir
mustatir.
Maf’ul Bih yang Dibuang Amilnya
Di antara
maf’ul bih itu ada yang amilnya boleh dibuang secara jawaz dan ada yang secara
wajib. Contoh maf’ul bih yang amilnya boleh dibuang adalah:
Dalam
firman Allah:
“Dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, apakah
yang diturunkan Tuhan kalian? Mereka menjawab: (Dia menurunkan) kebaikan.”
Kata
dalam ayat di atas dibaca nashab, berkedudukan sebagai maf’ul bih yang amilnya
dibuang. Asalnya adalah . Sedangkan Maf’ul bih yang amilnya wajib
dibuang itu terdapat pada tujuh tempat. Tetapi dalam bab ini hanya disebutkan
dua tempat saja, yaitu:
باب الاشتغال
BAB ISYTIGHAL
وحقيقته أن يتقدم اسم ويتأخر عنه فعل أو وصف مشتغل بالعمل في ضمير الاسم
السابق أو في ُملابسه عن العمل في الاسم السابق نحو: زيداً اضربه، وزيدا أنا
ضاربه الآن أو غداً، وزيداً ضربت غلامه، وقوله تعالى: {وَكُلَّ إِنسَانٍ
أَلْزَمْنَاهُ طَآئِرَهُ فِي عُنُقِهِ} (13) سورة الإسراء؛ فالنصب في ذلك كله
بمحذوف وجوباً يفسره ما بعده والتقدير: اضر زيداً اضربه؛ أنا ضارب زيداً أنا
ضاربه، أهنت زيداً ضربت غلامه، وألزمنا كل إنسان ألزمناه.
Pada Bab Isyrighal. Pada dasarnya isyrighal ialah mendahulukan isim dan
mengakhirkan amil (fiil atau sifat) yang disibukkan dengan beramal pada dhamir
isim yang mendahuluinya itu. Contoh:
Zaid, pukullah dia olehmu.
Zaid,
sayalah yang memukulnya, sekarang atau besok.
Zaid, telah saya
pukul pembantunya.
Dan tiap-tiap manusia, telah Kami tetapkan amal
perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya.
Semua
isim yang berada di permulaan dalam contoh-contoh di atas, dinashabkan oleh
fiil yang wajib dibuang, yang dijelaskan oleh fiil yang jatuh sesudahnya.
Bentuk susunan asli kalimat-kalimat di atas adalah sebagai berikut:
Pukullah
Zaid, pukullah dia.
Saya orang yang memukul Zaid, saya orang yang
memukulnya, sekarang atau besok.
Saya telah menghina Zaid, saya
telah memukul pelayannya.
Kami telah menetapkan tiap-tiap orang,
kami telah menetapkan amal perbuatannya pada lehernya.
Di antara
maf’ul bih yang amilnya wajib dibuang adalah munada’ Contoh:
– Hai,
Abdullah.
Bentuk susunan asli munada’ di atas adalah:
–
Saya memanggil Abdullah.
Fiil dan failnya, yaitu kata ,
dibuang dan diganti dengan huruf nida’ yaa ( ), sehingga menjadi
فصل في المنادى
PASAL AL-MUNADA (KALIMAT MEMANGGIL)
ومنها المنادى نحو: يا عبدَ الله، فإن أصله أدعو عبد الله، فحذف الفعل وأنيب "يا"
عنه، والمنادى خمسة أنواع: المفرد العلم، والنكرة المقصودة، والنكرة غير
المقصودة، والمضاف، والمشبه بالمضاف.
فأما المفرد العلم والنكرة
المقصودة فيبنيان على ما يرفعان به في حالة الإعراب، فيبنيان عللا الضم إن كانا
مفردين نحو: يا زيدُ، يا رجلُ، أجمع تكسير نحو: يا زيودُ يا رجالُ، أو جمع مؤنث
سالم نحو: يا مسلماتُ، أو مركبا مزجيا يا معدُ يكرب، ويبنيان على الألف في
التثنية نحو: يا زيدان، ويا رجلان، وعلى الواو في الجمع نحو: يا زيدون.
والثلاثة
الباقية منصوبة لا غير، وهي النكرة غير المقصودة، كقول الأعمى: يا رجلاً خذ بيدي،
والمضاف نحو يا عبدَ الله، والمشبه بالمضاف نحو: يا حسناً وجهه، ويا طالعاً
جبلاً، ورحيماً بالعباد، وتقدم في باب لا التي لنفي الجنس بيان المشبه بالمضاف،
وبيان المراد بالمفرد في هذا الباب والله أعلم.
Macam-macam Munada
Munada itu ada lima macam, yaitu:
Munada Mufrad “Alam.
Munada Nakirah Magshudah.
Munada Nakirah Ghairu Maqshudah.
4, Munada Mudhaf.
Munada Syibhul Mudhaf.
Hukum I’rab Munada
Hukum Munada
Mufrad “Alam dan Nakirah Magshudah itu dimabnikan menurut alamat rafa’nya.
Artinya, dimabnikan apabila terdiri dari isim mufrad, jamak taksir, jamak
mu’annats salim atau tarkib maqji.
Contoh Munada Mufrad “Alam
terdiri dari:
Isim Mufrad, ialah :
Jamak Taksir, ialah:
Jamak Mu’annats Salim, ialah:
Tarkib Mazji, ialah:
Contoh Munada Nakirah Maqshudah yang terdiri
dari:
Isim Mufrad, ialah:
Jamak Taksir, ialah:
Jamak Mu’annats Salim, ialah:
Apabila
munada mufrad “alam itu terdiri dari isim tatsniyah, maka harus dimabnikan
atas alif dan dimabnikan atas wawu, apabila terdiri dari jamak mudzakkar
salim.
Contoh Munada Mufrad “Alam yang terdiri dari:
Isim Tatsniyah, ialah:
Jamak Mudzakkar Salim,
ialah:
Contoh Munada Nakirah Magshudah yang terdiri dari:
Isim Tatsniyah, ialah:
Jamak Mudzakkar Salim,
ialah:
Adapun hukum tiga munada lainnya, yaitu: Munada Nakirah
ghairu Maqshudah, Munada Mudhaf dan Muriada Syibhul Mudhaf, harus dibaca
nashab. Contoh:
Munada Nakirah Ghairu Magshudah,
ialah:
– Hai, laki-laki, tuntunlah tanganku.
Munada Mudhaf, ialah:
– Hai, Abdullah.
Munada Syibhul Mudhaf, ialah:
– Hai, orang yang tampan.
–
Hai, orang yang mendaki gunung.
– Wahai, Yang Maha Penyayang kepada
. hamba.
Pengertian Syibhul Mudhaf dan Mufrad dalam Bab Munada
Pada
Bab Laa Nafi Jinsi telah diterangkan pengertian Mufrad yang dimaksud dalam Bab
Munada.
Yang dimaksud mufrad dalam Bab Munada, adalah kata yang
tidak mudhaf dan tidak serupa dengan mudhaf.
فصل في بيان المنادى المضاف إلى ياء المتكلم
Hukum Munada yang Mudhaf pada Ya’ Mutakallim
إذا كان المنادى مضافاً إلى ياء المتكلم جاز فيه ست لغات: إحداها: حذف الياء
والاجتزاء بالكسرة نحو: يا عبادِ، ويا قومِ وهي الأكثر، والثانية: إثبات الياء
ساكنة نحو: يا عبادي، والثالثة: إثبات الياء مفتوحة نحو: يا عباديَ الذين أسرفوا،
والرابعة: قلب الكسرة فتحة وقلب الياء ألفاً نحو: يا حسرتا على ما فرطت؛
والخامسة: حذف اللف والاجتزاء بالفتحة نحوك يا غلامَ؛ والسادسة: حذف اللف وضم
الحرف الذي كان مكسوراً كقول بعضهم يا أم لا تفعلي بضم الميم وقرئ: ربُ السجن؛
بضم الباء وهي ضعيفة، فإن كان المنادى مضاف أبا أو أما جاز فيه مع هذه اللغات أبع
لغات أخر إحداها: إبدال الياء تاء مكسورة، نحو يا أبت ويا أمت وبها قرأ السبعة
غير ابن عامر وفي: يا أبت، الثانية: فتح التاء وبها قرأ ابن عامر، والثالثة: يا
أبتا بالتاء والألف وبهما قرئ شاذاًن الرابعة: يا أبتي بالياء، وإذا كانت المنادى
مضافاً إلى مضاف إلى الياء مثل: يا غلام غلامي لم يجز فيه إلا إثبات الياء مفتوحة
ساكنة، إلا إذا كان ان عم أو ان أم فيجوز فيها أربع لغات: حذف الياء مع كسر
الميم، وفتحها وبها قرئ السبعة في قوله تعالى: {قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ} (94) سورة
طه؛ وإثبات الياء كقول الشاعر:
يا ابن أمي ويا شقيق نفسي [أنت خلفتني
لدهر شديد]
وقلب الياء ألفاً كقوله:
يا ابنة عما لا تلومي
واهجعي [فليس يخلو منك يوما مضجعي]
Apabila ada munada di mudhafkan pada Ya’ Mutakallim, maka boleh dibaca dengan
enam bacaan, yaitu:
Membuang ya’ mutakallim dan
cukup dengan harakat kasrah. Contoh:
– Hai, hamba-hamba-Ku.
Asalnya:
– Hai, kaumku. Asalnya:
Menetapkan ya’ mutakallim dalam keadaan sukun. Contoh:
– Hai,
hamba-hamba-Ku.
Menetapkan ya’ mutakallim dalam
keadaan fathah. Contoh:
– Hai, hamba-hamba-Ku yang telah
berlebihan.
Mengganti harakat kasrah dengan
harakat fathah dan mengganti ya’ mutakallim dengan alif. Contoh:
–
Betapa menyesal aku. Asalnya adalah:
Membuang
alif dan cukup dengan harakat fathah. Contoh:
– Hai, pembantuku.
Membuang alif dan huruf yang semula kasrah diganti dengan dhammah, seperu
dialek yang digunakan sebagian orang Arab. Contoh:
Mereka membaca
firman Allah: dengan bacaan:
Hukum Munada
yang Terdiri dari / yang Mudhaf pada Ya’ Mutakallim
Apabila
munada mudhaf itu mudhaf pada ya’ mutakallim, seperti
kalimat: maka ya’ mutakallim harus tetap ada dan diberi harakat
fathah atau sukun, kecuali jika kata tersebut berupa maka boleh dibaca
dengan empat bacaan, yaitu:
Ya’ mutakallim
dibuang dan huruf mim-nya di-kasrah. Contoh:
asalnya:
asalnya:
Ya’
mutakallim dibuang dan huruf mim-nya di-fathah. Contoh:
asalnya:
Dua bacaan di atas diikuti oleh para ahli Oiraah Sab’ah,
sebagaimana mereka membaca kalimat tersebut dalam firman Allah:
asalnya:
Ya” mutakallim tidak dibuang.
Contoh:
“Hai, anak ibuku, hai, saudara kandungku! Engkau telah
menggantikan aku untuk waktu yang lama (tak tertentu).”
4 Mengganti
ya’ mutakallim dengan alif. Contoh:
“Hai, putri pamanku! Janganlah
engkau mencelaku. Tidurlah, jangan kosongkan darimu tempat tidurku sehari pun.
“
(kata dalam syair di atas adalah: ).
باب المفعول المطلق
BAB MAF’UL MUTLAQ
المفعول المطلق وهو المصدر الفضلة المؤكدة لعامله أو المبين لنوعه أو عدده؛
فالمؤكد لعامله نحو: {وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا} (164) سورة النساء،
وقولك ضربت ضرباً، والمبين لنوع عامله نحو: {فَأَخَذْنَاهُمْ أَخْذَ عَزِيزٍ
مُّقْتَدِرٍ} (42) سورة القمر، وقولك ضربت زيداً ضربَ الأمير، والمبين لعدد عامله
نحو: {فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً} (14) سورة الحاقة؛ وقولك ضربت زيدا ضربتين،
وهو قسمان لفظي ومعنوي فإن وافق لفظ فعله فهو لفظي كما تقدم، وإن وافق معنى فعله
فهو معنوي نحو جلست قعوداً، وقمت وقوفاً، والمصدر هو اسم الحدث الصادر من الفعل
وتقريبه أن يقال هو الذي يجيء ثالثا في تصريف الفعل نحو: ضرب يضرب ضرباً، وقد
تنصب أشياء على المفعول المطلق وإن لم تكن مصدراً؛ وذلك على سبيل النيابة عن
المصدر نحو: كل وبعض مضافين إلى المصدر نحو: {فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ}
(129) سورة النساء؛ {وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ} (44) سورة
الحاقة؛ وكالعدد نحو: {فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً} (4) سورة النور؛
فثمانين مفعول مطلق وجلدة تمييز، وكأسماء الآلات نحو: ضربته سوطاً أو عصاً أو
مقرعةً.
Definisi Maf’ul Mutlaq
Maf’ul Muthlag adalah mashdar pelengkap yang
mengukuhkan amilnya, menjelaskan macam atau bilangannya. Contoh mashdar yang
mengukuhkan makna amil-nya adalah:
– Dan Allah telah berbicara
kepada Musa, dengan pembicaraan langsung.
Kata dalam ayat di atas
adalah mashdar yang disebutkan untuk . mengukuhkan makna amilnya, yaitu
kata:
– Saya memukul Zaid dengan pukulan yang sebenarnya.
Contoh
mashdar yang menjelaskan macam (jenis) makna amilnya adalah:
– Lalu
Kami azab mereka, seperti azab dari yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa.
Kata
dalam ayat di atas adalah mashdar, yang disebutkan untuk menjelaskan jenis
atau sifat siksaan.
– Saya telah memukul Zaid, seperti pukulan penguasa.
Kata
dalam contoh di atas adalah mashdar, yang disebutkan untuk menjelaskan jenis
atau sifat pukulan terhadap Zaid.
Contoh mashdar yang menjelaskan
bilangan makna amilnya adalah:
– Lalu mereka berdua dibenturkan
sekali bemuran.
Kata dalam ayat di atas adalah mashdar,
yang disebutkan untuk menjelaskan jumlah (bilangan) pekerjaan amil. ,
–
Saya memukul Zaid dengan dua kali . pukulan.
Pembagian Maf’ul
Muthlag
Maf’ul Muthlag itu ada dua, yaitu lafzhi dan maknawi.
Maf’ul
muthlag lafzhi adalah maf’ul muthlag yang lafalnya sama dengan lafal fiilnya,
seperti dalam contoh-contoh di atas.
Maf’ul muthlag maknawi adalah
maf ul muthlag yang terdiri dari kata yang maknanya sama dengan makna fiilnya.
Contoh:
-Saya telah duduk dengan duduk yang sebenarnya.
Kata
adalah kata mashdar yang berkedudukan sebagai maf’ul muthlag. Karena
kata maknanya sama dengan makna fiilnya, yaitu , maka
disebut maf’ul muthlag maknawi.
Pengertian Mashdar
Mashdar
adalah isim yang menunjukkan arti kejadian, yang berasal dari fail. Definisi
mashdar yang mudah dipahami adalah kata yang jatuh pada urutan ketiga dalam
tashrif, yaitu sesudah fiil madhi dan fiil mudhari’. Contoh:
(fill madhi)
(fiil mudhari)
(mashdar).
Kata-kata yang Boleh Dibaca Nashab Menjadi Maf’ul
Muthlag
Ada beberapa kata yang dibaca nashab menjadi maf’ul
muthlag, meskipun kata tersebut bukan mashdar. Kata tersebut hanya sebagai
pengganti mashdar, seperti kata dan yang dimudhafkan
pada mashdar, Adad (bilangan) dan nama-nama alat. Contoh:
–
Janganlah kalian terlalu cenderung.
Kata Kedalam ayat di atas
dibaca nashab, karena (menggantikan mashdar) sebagai maf’ul muthlag.
–
Seandainya dia mengada-adakan sebagian perkatan atas nama Kami ………
Kata
dalam ayat di atas dibaca nashab, karena (menggantikan mashdar) sebagai maf’ul
muthlag.
– Maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan.
Kata
dalam ayat di atas adalah termasuk adad (bilangan). Ia dibaca nashab, karena
(menggantikan mashdar) sebagai maf’ul muthlag. Sedangkan kata dibaca nashab
sebagai tamyiz.
– Saya telah memukulnya dengan cambuk (tongkat).
Kata
dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena mengganti kedudukan mashdar
sebagai maf’ul muthlag. Susunan aslinya adalah:
– Saya telah
memukulnya dengan pukulan cambuk atau tongkat.
Kemudian kata
dibuang dan digunakan kata yang berarti alat pemukul.
باب المفعول فيه (ظرف الزمان وظرف المكان)
MAF'UL FIH / ZHARAF ZAMAN ZHARAF MAKAN
MAF’UL FIH ( ZHARAF)
Definisi Maf’ul Fih (Zharaf)
Maf ul fih disebutkan
juga dengan Zharaf Zaman (keterangan waktu) dan Zharaf Makan (keterangan
tempat).
Zharaf Zaman
Zharaf Zaman (keterangan waktu)
adalah isim yang menunjukkan arti masa (waktu) yang dibaca nashab dengan
memperkirakan makna yang artinya pada atau dalam, seperti lafal:
–
Pada hari ini.
– Pada malam ini.
– Pagi hari.
–
Waktu pagi.
– Waktu sahur.
– Besok.
– Waktu Isyak.
–
Waktu subuh.
– Waktu sore.
– Selamanya.
–
Selamanya.
– Ketika.
– Dalam setahun.
– Dalam
sebulan.
– Dalam seminggu.
– Sesaat.
Zharaf
Makan
Zharaf Makan (keterangan tempat) adalah isim yang menunjukkan
arti tempat, yang dibaca nashab dengan memperkirakan makna lafal (. ),
seperti lafal:
– Di depan.
– Di belakang.
–
Di depan.
– Di belakang.
– Diatas.
– Di
bawah.
– Di sisi.
– Beserta,
– Di hadapan.
–
Di muka.
– Di hadapan.
– Disana.
– Di sini
Hukum
Zharaf Zaman
Semua isim yang menunjukkan arti waktu, maka boleh
dibaca nashab menjadi maf’ul fih secara mutlak, baik yang mukhtash, ma’dud
atau Pengertian Mukhtash, Ma’dud dan Mabham
Pengertian mukhtash
yang kami maksud di sini adalah semua lafal yang dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan, yang menggunakan kata tanya (kapan). Contoh:
—
Hari Kamis.
Dalam susunan kalimat: .
Saya puasa pada
hari Kamis. Sebagai jawaban dari pertanyaan:
– Kapan engkau
berpuasa?
Pengertian Ma’dud yang kami maksud di sini adalah setiap
lafal yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, yang menggunakan
kata tanya (berapa)”, seperti kata ” (seminggu)” dan
(sebulan)”, dalam kalimat:
– Saya beri’tikaf selama seminggu.
Sebagai
jawaban dari pertanyaan:
– Berapa lama engkau menetap/beri ‘tikaf?
“
Pengertian Mubham yang dimaksud di sini adalah semua lafal yang
tidak dapat digunakan sebagai jawaban dari pertanyaan. Contoh:
–
Saya telah duduk sesaat/seketika.
Huruf Zharaf Makan
Isim-isim
yang menunjukkan arti tempat itu, tidak semuanya bisa dibaca nashab menjadi
zharaf (maf’ul fih), kecuali tiga jenis saja, yaitu:
Mubham, sebagaimana nama-nama enam arah, yaitu:
– Di atas.
–
Di bawah.
– Di kanan.
– Dikiri. ‘
– Di
depan.
– Di belakang.
Menunjukkan
ukuran jarak, seperti:
– Mil.
– Farsakh (3 mil).
–
Satu pos.
Contoh dalam kalimat:
– Saya berjalan satu
mil.
Isim makan yang dikeluarkan dari mashdar
amilnya, seperti: , dan lain-lain. Contoh:
– Saya duduk di tempat
duduk Zaid.
Kata dalam kalimat di atas adalah “isim
makan (menunjukkan arti tempat)”, yang musyrag (dikeluarkan) dari mashdar
amilnya, yaitu .
Contoh lain adalah firman Allah swt.:
“Dan
sesungguhnya Kami dulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk
mendengar-dengarkan (berita-beritanya) …. “
Kata “ “
dalam ayat di atas adalah isim makan (menunjukkan arti tempat), yang berakar
dari kata “ “.
Hukum Isim Makan yang Tidak Menetapi
Syarat Menjadi Zharaf
Selain isim makan yang tiga di atas, tidak
boleh dibaca nashab menjadi zharaf (maf’ul fih). Karena itu, tidak boleh
membuat kalimat seperti berikut:
Isim yang menunjukkan arti tempat,
yang tidak memenuhi syarat dijadikan zharaf ini, harus dijarkan dengan huruf
jar “ “, sehingga susunan di atas menjadi:
atau
Adapun ucapan yang biasa diungkapkan oleh orang Arab,
seperti:
maka kata dan , yang dibaca nashab
itu bukan karena sebagai zharaf, tetapi nashab sebab naz’ul khafidh (membuang
huruf jar).
باب المفعول من أجله
MAF’UL MIN AJLIH
ويسمى المفعول لأجله والمفعول له وهو الاسم المنصوب الذي يذكر بياناً لسبب وقوع
الفعل نحو: قام زيد إجلالا لعمرو، وقصدتك ابتغاء معروفك، ويشترك كونه مصدرا
واتحاد زمنه وزمان عامله واتحاد فاعلهما كما تقدم في المثالين، وقوله تعالى:
{وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ} (31) سورة الإسراء؛ وقوله:
{الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ} (265) سورة البقرة؛
ولا يجوز: تأهب السفر، لعدم اتحاد الزمان، ولا جئتك محبتك إياي لعدم اتحاد الفاعل
بل يجب جره باللام تقول: تأهبت للسفر، وجئتك لمحبتك إياي.
Definisi Maf’ul Min Ajlih
Maf’ul Min Ajlih disebut juga
dengan Maf’ul Li-Ajlih dan Maf’ul Lah. Maf’ul Min Ajlih adalah isim yang
dibaca nashab, yang disebutkan untuk menjelaskan sebab atau alasan terjadinya
perbuatan. Contoh:
-Zaid berdiri karena menghormati amer.
Kata
“ “ dalam kalimat di atas dibaca nashab sebagai Maf’ul Min Ajlih,
yakni menerangkan sebab berdirinya Zaid.
-Saya ingin menjumpaimu,
karena mencari kebaikanmu.
Kata “ “ dalam kalimat di
atas adalah bentuk mashdar yang dibaca nashab, karena kedudukannya sebagai
Maf’ul Min Ajlih, yakni menjelaskan sebab fiil atau perbuatan ingin
menjumpai.
Syarat Maf’ul Min Ajlih
Maf’ul Min Ajlih itu
disyaratkan:
Terdiri dari Mashdar.
Tunggal waktu
(zaman)nya. Yakni, waktu pekerjaan yang terdapat pada fiil atau amil itu sama
dengan waktu pekerjaan yang terdapat pada Maf’ul Min Ajlih.
Tunggal pelakunya. Yakni, pelaku yang melakukan pekerjaan yang terdapat pada
fiil (amil) itu sama dengan pelaku yang melakukan pekerjaan pada Maf’ul Min
Ajlih.
Sebagaimana yang disebutkan pada dua contoh di atas,
dan seperti firman Allah:
“Dan janganlah kalian semua membunuh
anak-anak kalian, karena takut kemiskinan.”
“Mereka yang
menafkahkan hartanya karena mencari ridha Allah.”
Hukum Isim yang
Tidak Memenuhi Syarat Dijadikan Maf’ul Min Ajlih
Tidak
diperbolehkan membuat susunan kalimat seperti: , karena waktu yang ada pada
fiil (saya bersiap-siap) dan waktu pekerjaan yang ada pada Maf’ul
Min Ajlih, tidak sama.
Tidak diperbolehkan juga membuat susunan
kalimat karena pelaku yang ada ada pada fiil tidak sama dengan
pelaku yang ada pada Maf’ul Min Ajlih (. . )itu.
Oleh sebab itu,
maka kata yang dibaca nashab dalam contoh di atas, harus dijarkan dengan huruf
jar , sehingga menjadi:
– Saya telah bersiap-siap untuk
pergi.
– Saya datang kepadamu, karena cintamu kepadaku.
Contoh
yang dijarkan dengan
– Seorang perempuan neraka, sebab kucing.
Contoh
yang dijarkan dengan : .
– Janganlah kalian membunuh
anak-anakmu, karena takut miskin.
Contoh yang dijarkan dengan
“Maka
sebab kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka makanan-makanan
yang baik, yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka. ” .
باب المفعول معه:
MAF’UL MA’AH
المفعول معه: هو الاسم المنصوب الذي يذكر بعد واو بمعنى مع لبيان من فعل معه الفعل مسبوقاً بجملة فيها فعل أو اسم فيه معنى الفعل وحروفه نحو: جاء الأمير والجيش، واستوى الماء والخشبة، وأنا سائر والنيل، وقد يجب النصب على المفعولية نحو المثالين الأخيرين ونحو: لا تنه عن القبيح وإتيانَه، ومات زيد وطلوعَ الشمس، وقوله تعالى: {فَأَجْمِعُواْ أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءكُمْ} (71) سورة يونس؛ وقد يترجح على العطف نحو: قمت وزيداً، وقد يترجح العطف عليه نحو: المثال الأول ونحو: جاء زيد وعمرو فالعطف فيهما وفيما أشبههما أرجح، لأنه الأصل.
Definisi Maf’ul Ma’ah
Maf’ul Ma’ah adalah isim yang dibaca
nashab, yang disebutkan sesudah wawu yang bermakna ma’a (serta), untuk
menjelaskan bahwa “dilakukannya suatu pekerjaan adalah bersamaan dengan isim
tersebut, dan jatuh sesudah jumlah fi ‘liyah atau ismiyah yang mengandung
makna ful.
Contoh Maf’ul Ma’ah yang didahului oleh jumlah
fi’liyah:
– Pemimpin itu datang bersamaan dengan para prajurit.
–
Air itu telah merata bersama kayu.
Contoh Maf’ul Ma’ah yang
didahului oleh jumlah ismiyah, yang mengandung makna fiil:
– Saya
berjalan bersamaan Sungai Nil.
Penjelasan:
Contoh pertama ( ) menunjukkan, bahwa pekerjaan ”datang”
yang dilakukan oleh raja itu bersamaan dan beriringan dengan para prajurit.
Artinya, kedatangan raja itu diiringi para prajurit. Dalam arti yang datang
hanya raja, sedangkan para prajurit tidak ikut datang.
Contoh kedua (. ) menunjukkan, bahwa saya yang melakukan pekerjaan berjalan
adalah bersamaan dan beriringan dengan Sungai Nil, dalam arti bahwa yang
berjalan adalah saya. Sedangkan Sungai Nil tidak ikut berjalan, hanya saja
saya berjalan selalu beriringan dengan tepi Sungai Nil.
Hukum Isim
yang Jatuh Sesudah Wawu
Hukum isim yang jatuh sesudah wawu itu ada
tiga, yaitu:
Wajib dibaca nashab menjadi maf’ul
ma’ah, seperti dalam dua contoh terakhir di atas, yaitu: dan serta dalam
contoh lainnya:
– Janganlah engkau melarang berbuat jelek serta
melakukannya.
-Zaid meninggal dunia bersamaan dengan matahari
terbit.
-Maka bulatkanlah keputusan kalian, serta simpanlah
sekutu-sekutu kalian.
Lebih baik dibaca nashab
menjadi maf’ul ma’ah daripada di-arhafkan. Contoh:
– Aku telah
berdiri bersama Zaid.
Kata dalam contoh di atas adalah jatuh
sesudah wawu. Ia dibaca nashab menjadi maf’ul ma’ah itu lebih tepat daripada
dibaca rafa’, athaf pada dhamir. Sebab, arhaf pada dhamir muttasil tanpa
memisah dengan dhamir munfashil itu merupakan suatu cacat. Jadi, kalau
kata di-athaf-kan, maka susunan kalimatnya seharusnya
berbunyi: Oleh karena kalimat
di atas tidak ada pemisah dhamir munfashil, maka kata yang jatuh sesudah wawu,
yaitu kata dibaca nashab.
Lebih baik
di-athaf-kan pada kata sebelumnya daripada dibaca nashab sebagai maf’ul ma’ah.
Contoh:
– Pemimpin dan para prajurit telah datang.
–
Zaid dan Amer telah datang.
Kata yang jatuh sesudah wawu dalam dua
kalimat di atas, yaitu kata dan lebih tepat dibaca rafa’, athaf pada
kata sebelumnya, karena huruf wawu yang asal adalah untuk mengarthafkan.
Sifat-sifat
yang Menyerupai Isim Fail
فصل
وأما المشبه بالمفعول به فنحو زيد حسن وجهه بنصب الوجه وسيأتي
Lafal yang menyerupai maf’ul bih, adalah sifat-sifat yang menyerupai isim fail
yang muta’addi pada satu maf’ul. Contoh:
– Zaid orang yang
tampan wajahnya.
Yaitu dengan dimashabkan lafal wajhu-nya. Adapun
pembahasan : selengkapnya, akan diterangkan nanti.
باب الحال:
BAB HAL (KETERANGAN KEADAAN)
الحال هو الاسم المنصوب المفسر لما انبهم من الهيئات إما من الفاعل نحو: جاء زيد
راكباً، وقوله تعالى: {فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا} (21) سورة القصص؛ ومن المفعول
نحو: ركبت الفرس مسرجاًن وقوله تعالى: {وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً} (79)
سورة النساء، ومنها نحو: لقيت عبد الله راكبين؛ ولا يكون الحال إلا نكرةً فإن وقع
بلفظ المعرفة أُوِّل بنكرة نحو: جاء زيد وحَده، أي منفرداً، والغالب كونه مشتقاً،
وقد يقع جامداً مؤولا بمشتق نحو: بدت الجارية قمراً أي: مضيئة؛ بعته يدًا بيد أي
متقابضين؛ وادخلوا رجلاَ رجلاً، أي مترتبين ولا يكون إلا بعد تمام الكلام أي: بعد
جملة تامة بمعنى أنه ليس أحد جزأي الجملة وليس المراد أن يكون الكلام مستغنياً
عنها بدليل قوله تعالى: {وَلاَ تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا} (37) سورة الإسراء؛
ولا يكون صاحب الحال إلا معرفة كما تقدم في الأمثلة نحو: في الدار جالساً رجلان،
وقوله تعالى: {فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ} (10) سورة فصلت،
وقوله تعالى: {وَمَا أَهْلَكْنَا مِن قَرْيَةٍ إِلَّا لَهَا مُنذِرُونَ} (208)
سورة الشعراء؛ وقراءة بعضهم: {وَلَمَّا جَاءهُمْ كِتَابٌ مِّنْ عِندِ اللهِ
مُصَدِّقٌ} (89) سورة البقرة مصدقاً بالنصب؛ ويقع الحال ظرفاً نحو: رأيت الهلال
بين السحاب، وجار ومجرور نحو: {فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ} (79) سورة
القصص؛ ويتعلقان بمستقر أو استقر محذوفين وجوباً؛ ويقع جملة خبرية مرتبطة بالواو
والضمير نحو: {أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَارِهِمْ وَهُمْ
أُلُوفٌ} (243) سورة البقرة؛ {اهْبِطُواْ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ} (36) سورة
البقرة؛ أو بالواو نحو: {قَالُواْ لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ}
(14) سورة يوسف.
Definisi Hal
Hal (keterangan keadaan) adalah isim yang
dibaca nashab, yang menjelaskan keadaan fail atau maf’ul, atau keduanya yang
belum jelas. Contoh Haal yang menerangkan keadaan fail:
– Zaid
datang dengan naik kendaraan.
Kata “ “ dalam kalimat di
atas dibaca nashab, karena menjadi Haal atau menerangkan keadaan fail (Zaid)
ketika datang.
– Maka Musa keluar dari kota itu dengan rasa
takut.
Kata “ “« dalam ayat di atas dibaca nashab,
karena menjadi Haal atau menerangkan keadaan fail berupa dhamir mustatir
(Musa) ketika keluar dari kota Mesir.
Contoh Haal yang menerangkan
keadaan maf’ul:
– Saya menunggang kuda dengan berpelana.
Kata “ dalam kalimat di atas dibaca nashab, karena berkedudukan
menjadi Haal, yakni menerangkan keadaan maf’ul, yaitu . kata
– Kami
mengutusmu kepada segenap manusia dengan menjadi rasul.
Kata“
“ dalam ayat di atas dibaca nashab, karena menjadi Haal, yakni menerangkan
keadaan maf’ul yang berupa dhamir” “.
Contoh Haal yang
menerangkan keadaan fail dan maf’ul:
– Saya bertemu Abdullah dengan
naik kendaraan.
Kata “ “ dalam contoh di atas dibaca nashab,
menjadi Haal, menerangkan keadaan maf’ul dan fail.
Syarat-syarat
Haal
Haal itu disyaratkan:
Terdiri
dari Isim Nakirah. Apabila ada Haal terdiri dari Isim Makrifat, maka bars
di-takwil-kan nakirah. Contoh:
– Zaid datang dengan sendirian.
Kata
“ “ dalam kalimat di atas dibaca nashab menjadi haal. Karena ia
isim makrifat, maka harus di-takwil nakirah. Takwil-nya adalah:
–
Zaid datang dengan sendirian.
Terdiri dari Isim
Musytaq. Apabila ada haal terdiri dari Isim Jamid, maka harus di-takwil
musytag. Contoh:
– Gadis itu tampak dengan bulan (bagaikan
bulan).
Kata “ “ adalah isim jamid. Dalam kalimat di atas
dibaca nashab menjadi haal. Karena tidak memenuhi ketentuan, maka harus
di-takwil musytaq, sehingga susunannya menjadi:
Kata
di-takwil dengan
– Saya tidak menjualnya dengan timbang terima.
Kata
dalam contoh di atas dibaca nashab menjadi haal. Karena kata tersebut jamid,
sedangkan haal itu harus berupa kata musytaq, maka kata yang jamid tersebut
harus di-rakwil menjadi , musytaq. Takwil adalah
– Masuklah
kalian dengan seorang-seorang.
Kata “ “ dalam kalimat di atas
dibaca nashab menjadi haal. Karena kata “ “ itu jamid,
sedangkan haal itu harus musytaq, maka harus di-takwil menjadi musytag.
Takwil adalah .
Jatuh sesudah
kalimat yang sempurna. Artinya, haal itu tidak termasuk bagian pokok kalimat,
tetapi bukan berarti kalimat yang sempurna tadi tidak memerlukan haal, dengan
dalil firman Allah:
– Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong.
Syarat-syarat Shahibul Haal
Shahibul
Haal (kata yang diterangkan keadaannya) itu harus terdiri dari isim makrifat,
sebagaimana dalam contoh-contoh di atas. Tetapi ada juga Shahibul Haal terdiri
dari isim Nakirah, sebab ada Musawwigh (hal yang membolehkan). Di antara
perkara yang membolehkan Shahibul Haal berupa isim nakirah adalah:
Mendahulukan haal dan mengakhirkan shahibul haal. Contoh:
– Di
dalam rumah itu terdapat seorang laki-laki dalam keadaan duduk.
Kata
“ “ adalah shahibul haal (yang diterangkan keadaannya). Sedangkan
kata adalah haal (yang menerangkan keadaan Shahibul haal).
Kata
adalah nakirah, mestinya yang menjadi Shahibul haal itu harus makrifat. Tetapi
dalam susunan di atas boleh, sebab posisi haal mendahului shahibul haal-nya
yang nakirah.
Di-takhsish dengan cara
meng-idhafat-kan pada kata lain. Contoh:
– Dalam empat hari yang
genap.
Kata dalam ayat di atas menjadi shahibul haal,
yang haal-nya berupa kata . Shahibul haal tersebut ( ) adalah
nakirah, tetapi di-takhsish dengan cara mudhaf pada kata .
Didahului oleh Nafi. Contoh:
Dan Kami tidak membinasakan suatu
negeri pun, kecuali setelah ada baginya orang-orang yang memberi
peringatan.
Kata dalam ayat di atas adalah nakirah dan
menajdi shahibul haal yang haal-nya adalah kalimat
Kata meski-pun nakirah, boleh menjadi shahibul haal, sebab jatuh
sesudah huruf nafi ( ).
Di-takhsish dengan
sifat. Contoh:
“Dan setelah datang kepada mereka sebuah kitab dari
Allah (Alguran) yang membenarkan.”
Kata dalam ayat di
atas adalah nakirah dan menjadi Shahibul Haal yang haal-nya berupa
kata Kata tersebut meskipun nakirah, boleh menjadi
Shahibul Haal, sebab telah di , takhsish dengan sifat
Macam-macam
Haal
Haal itu ada yang mufrad, sebagaimana dalam contoh-contoh di
atas. Ada pula yang berupa zharaf, jer majrur dan jumlah.
Contoh
haal yang terdiri dari zharaf ialah: lihat bulan
–
Saya melihat bulan dalam keadaan di antara mendung.
Kata
adalah zharaf makan yang berkedudukan menjadi haal dari kata Contoh haal yang
terdiri dari jer majrur ialah:
– Maka Qarun keluar kepada kaumnya
dengan kemegahannya.
Kata dalam ayat di atas adalah jar
majrur yang berkedudukan sebagai haal dari dhamir mustatir pada lafal Contoh
haaL yang terdiri dari jumlah ialah:
Jumlah
Ismiyah:
Pak guru datang sedangkan para siswa tidak ada.
Jumlah Fi’liyah:
Seorang siswi datang dengan naik kendaraan.
Haal
yang berupa jumlah khabariyyah (kalimat berita) itu mengandung rabith
berupa:
Wawu ( ) dan dharnir. Contoh:
Mereka
pada keluar dari rumah-rumah mereka, sedang mereka itu, berjumlah ribuan.
Kalimat
adalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai haal dari shahibul haal berupa
dhamir mustatir pada kata Antara haal dan shahibul haal di sini
dihubungkan dengan rabirth berupa wawu ( ) dan dhamir yang kembali
(rujuk) pada shahibul haal.
Dhamir. Contoh:
Turunlah
kamu semua, sebagian kalian menjadi musuh sebagian yang in.
Wawu ( ). Contoh:
Jika ia sungguh dimakan serigala, sedang kami
golongan (yang kuat).
Kalimat dalam kalimat di atas adalah jumlah
ismiyah yang menjadi haal dari shahibul haal ( ). Haal dan shahibul haal
dalam klalimat dihubungkan dengan rabith berupa wawu ( )saja.
Sedangkan
dhamir dalam kalimat di atas tidak dapat dianggap sebagai rabirh, karena
tidak kembali pada shahibul haal.
باب التمييز
TAMYIZ
هو الاسم المنصوب المفسر لما انبهم من الذوات أو النسب؛ والذات المبهة أربعة
أنواع:
إحداها: العدد نحو: اشتريت عشرين غلاماً، وملكت تسعين نعجة؛
والثاني:
المقدار كقولك: اشتريت قفيزاً براً ومناً وسمناً وشبراً أرضا؛
والثالث:
شبه المقدار نحو مثقال ذرة خيراَ؛ فخيراً تمييز لمثقال ذرة؛
والرابع:
ما كان فرعاً للتمييز نحو: هذا خاتم حديداً، وباب ساجاً، وجبة خزاً.
والمبين
إبهام النسبة إما محول عن الفاعل نحو: تصبب زيد عرقاً، وتفقأ بكر شحماً، وطاب
محمد نفساً، {وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا} (4) سورة مريم. وإما محول عن
المفعول نحو: {وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا} (12) سورة القمر؛ أو من غيرهما
نحو: {أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا} (34) سورة الكهف؛ وزيد أكرم منك أباً؛ وأجمل
منك وجهاً، أو غير محول نحو: امتلأ الإناء ماءً؛ ولله ذره فارساً؛ ولا يكون
التمييز إلا نكرة؛ ولا يكون إلا بعد تمام الكلام بالمعنى المتقدم في الحال.
والناصب لتمييز الذات المبهمة تلك الذات ولتمييز النسبة الفعل المسند؛ ولا يتقدم
التمييز على عامله مطلقاً والله أعلم.
Definisi Tamyiz
Tamyiz ialah isim (nakirah) yang dibaca
nashab, yang menjelaskan dzat atau nisbat yang masih samar.
Tamyiz
Dzat
Dzat yang masih mubham (samar), yang perlu diberi tamyiz itu
ada empat, yaitu:
Adad (bilangan). Contoh: :
–
Saya telah membeli dua puluh pelayan.
– Saya memiliki sembilan
puluh kambing.
Kata dan dalam dua kalimat di atas adalah ‘adad
(bilangan), yang masih perlu penjelasan. Agar maksud ‘adad tersebut jelas,
maka didatangkan isim sesudahnya, yang disebut tamyiz. Kata yang menjadi
tamyiz dalam kalimat pertama adalah . Sedangkan dalam kalimat kedua adalah .
Tamyiz Dzat yang menjelaskan bilangan seperti ini disebut Tamyiz “Adad.
Takaran atau ukuran, Contoh:
-Saya telah membeli segenggam gandum.
– Saya telah membeli dua kati samin.
– Saya telah membeli sejengkal
tanah.
Kata . (segenggam), (dua kati)
dan (sejengkal), semuanya menunjukkan arti takaran dan ukuran yang
perlu penjelasan. Agar maksud kata-kata yang masih samar tersebut jelas, maka
perlu adanya kata yang menjelaskan, yang disebut Tamyiz.
Tamyiz
dalam kalimat pertama adalah , Tamyiz dalam kalimat kedua adalah
dan tamyiz dalam kalimat ketiga adalah
Serupa
takaran (timbangan). Contoh:
– Seberat dzarrah, berupa kebaikan.
Kata
(seberat dzarrah) menunjukkan arti serupa takaran (timbangan), yang juga perlu
penjelasan. Agar maksud kata tersebut jelas, maka diperlukan tamyiz. Tamyiz
dalam kalimat tersebut berupa kata: :
Cabang Tamyiz. Contoh:
– Ini adalah cincin besi.
– Ini
adalah pintu jati.
– Ini adalah jubah sutera.
Tamyiz
Nisbat
Tamyiz yang menjelaskan ketidakjelasan nisbat itu adakalanya
muhawwal (pindahan dari sesuatu) dan adakalanya ghairu muhawwal (tidak
pindahan dari apa pun).
Tamyiz nisbat yang muhawwal (pindahan) itu
adakalanya pindahan dari:
Fail. Contoh:
–
Zaid bercucuran keringatnya.
Kata dalam kalimat di atas asalnya
adalah dibaca rafa’, berkedudukan sebagai fail. Kemudian dipindah (diubah)
menjadi Tamyiz.
Asal kalimat di atas adalah
– (Tubuh)
Bakar penuh lemak.
Kata dalam kalimat di atas
asalnya adalah dibaca rafa’, berkedudukan sebagai fail, kemudian dipindah
(diubah) menjadi tamyiz.
Asal kalimat di atas adalah
–
Muhammad baik jiwanya.
Kata dalam kalimat di atas:
asalnya dibaca rafa’ menjadi fail, kemudian dipindah (diubah) menjadi Tamyiz.
Asal kalimat di atas adalah
– Dan kepalaku penuh
uban.
Maf’ul. Contoh:
Dan Kami
jadikan bumi memancarkan mataairnya.
Kata dalam contoh di atas
asalnya berkedudukan menjadi maf’ul bih, kemudian dipindah (diubah) menjadi
tamyiz. Kalimat itu asalnya
Selain fail dan
maf’ul. Contoh:
– Saya lebih banyak daripada kamu hartanya.
Kata
dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai tamnyiz, pindahan dari mubrada’.
Susunan asalnya adalah .
– Zaid lebih mulia daripada
ayahnya.
Asal kalimat di atas adalah:
– Ayah Zaid lebih
mulia daripadamu
– Zaid lebih tampan daripadamu wajahnya.
Asal
kalimat di atas adalah:
– Wajah Zaid lebih tampan daripadamu.
Contoh
tamyiz yang tidak berasal dari apa pun (bukan pindahan) dari suatu, ialah:
–
Bejana itu penuh airnya.
– Betapa baik dia menunggang kuda.
Syarat-syarat Tamyiz
Tamyiz itu harus terdiri dari Isim Nakirah dan harus jatuh
sesudah kalimat yang sempurna. Sebagaimana haal, seperti yang telah
diterangkan pada haal.
Amil yang Menashabkan Tamyiz
Amil yang menashabkan Tamyiz Dzat adalah dzat yang di-tamyizi itu
sendiri. Sedangkan yang menashabkan Tamyiz Nisbar ialah fiil yang disandari,
yang berada sebelumnya. Contoh:
Dalam contoh di atas, yang
menashabkan kata yang menjadi tamyiz ( ) adalah lafal
(yang berkedudukan sebagai dzar yang ditamyizi).
Dalam contoh di
atas, yang menashabkan kata yang menjadi tamyiz ( ) adalah
fiil .
Posisi Tamyiz dalam Kalimat
Tamyiz itu tidak boleh mendahului amil-nya secara mutlak, baik
amilnya berupa fiil mutasharrif atau jamid. Tidak boleh membuat susunan
sebagai berikut:
باب المستثنى
BAB MUSTASNA (PENGECUALIAN)
وأدوات الاستثناء ثمانية: حرف باتفاق وهو إلا واسمان باتفاق وهما غير وسوى
بلغاتها، فإنه يقال فيها سوى كرضى وسوى كهدى وسواء كسماء وسواء كبناء؛ وفعلان
باتفاق وهما ليس ولا يكون؛ ومتردد بين الفعلية والحرفية وه خلا عدا وحاشا، ويقال
فيها حاش، وحَشى.
فالمستثنى بإلا ينصب إذا كان الكلام تاماً موجباً،
والتام هو ما ذكر فيه المستثنى منه والموجب هو: الذي لم يتقدم عليه نفي ولا شبهه
نحو قوله تعالى: فشربوا منه إلا قليلاًن وكقولك قام القوم إلا زيداَ وخرج الناس
إلا عمراً، وسواء كان الاستثناء متصلا كما مثلنا، أو منقطعاً نحو: قام القوم إلا
حماراً وإن كان الكلام تاماً غير موجب جاز في المستثنى البدل والنصب على
الاستثناء، والأرجح في المتصل البدل، أي المستثنى بدلا من المستثنى منه فيتبعه في
إعرابه نحو قوله تعالى: {مَّا فَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلٌ مِّنْهُمْ} (66) سورة
النساء؛ والمراد بشبه النفي النهي نحو: {وَلاَ يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ إِلاَّ
امْرَأَتَكَ} (81) سورة هود، والاستفهام نحو: {قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن
رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّآلُّونَ} (56) سورة الحجر
والنصب في
المستثنى المتصل عربي جيد، وقرئ به في السبع في قليل وامرأتك؛ وإن كان الاستثناء
منقطعاً فالحجازيون يوجبون النصب نحو: {مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ
اتِّبَاعَ الظَّنِّ} (157) سورة النساء، وتميم يرجحونه ويجيزون الإتباع نحو ما
قام القوم إلا حماراً وإلا حمارٌ.
وإن كان الكلام ناقصاً وهو الذي لم
يذكر فيه المستثنى منه ويسمى استثناء مفرغاً، كان المستثنى على حسب العوامل،
فيعطى ما يستحقه لو لم توجد إلا، وشرطه كون الكلام غير إيجاب نحو: ما قام إلا
زيد، وما رأيت إلا زيداً، وما مررت إلا بزيد، وكقوله تعالى: {وَمَا مُحَمَّدٌ
إِلاَّ رَسُولٌ} (144) سورة آل عمران، {وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللهِ إِلاَّ
الْحَقِّ} (171) سورة النساء؛ {وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} (46) سورة العنكبوت؛ والمستثنى بغير وسوى بلغاتها مجرور
بالإضافة، ويعرب غير وسوى بما يستحقه المستثنى بإلا فيجب نصبها نحو: قاموا غيرّ
زيدٍ أو سوى زيدٍ، ويجوز الإتباع والنصب كما في نحو: ما قاموا غيرَُ َ زيدٍ أو
سوى زيدٍ؛ ويعربان بحسب العوامل في نحو: ما قام غيُر زيد وسوى زيد، وما رأيت غيرَ
زيدَ، وما مررت بغيرِ زيدٍ؛ وإذا مدت سوى كان إعرابها ظاهراً؛ فإذا قصرت كإعرابها
مقدراً على الألف؛ والمستثنى بليس ولا يكون منصوب لا غير نحو: قام القوم ليس
زيداً، والمستثنى بخلا وعدا وحاشا يجوز جره ونصبه بها نحو: قام القوم خلا زيداً
وخلا زيدٍ بالجر، وعدا زيداً وعدا زيدٍ وحاشا زيداً وحشا زيدٍ؛ وإن جررت فهي حروف
جر، وإن نصبت فهي أفعال؛ إلا أن سيبويه لم يسمع في المستثنى بحاشا إلا الجر؛
وتتصل ما بعدا وخلا فيتعين النصب ولا تتصل ما بحاشا تقول: قام القوم ما عدا زيداً
وقال لبيد:
ألا كل شيء ما خلا الله باطل وكل نعيم لا محالة زائل
باب
خبر كان واسم إن وخبر أفعال المقاربة
وأما خبر كان وأخواتها وخبر
الحروف المشبهة بليس وخبر أفعال المقاربة واسم إن وأخواتها واسم لا التي لنفي
الجنس فتقدم الكلام عليها في المرفوعات، وأما التوابع فسيأتي الكلام عليها إن شاء
الله.
Definisi Mustatsna
Istitsna’ (pengecualian)
ialah mengeluarkan kata yang jatuh sesudah illaa ( ) atau salah satu
dari saudara illaa, dari bukum kalimat sebelumnya, baik secara positif atau
negatif.
Kata Untuk Mengecualikan
Huruf Istirsna’
atau kata untuk mengecualikan itu ada delapan, yang terbagi menjadi empat
kelompok, yaitu:
Terdiri dari huruf, yaitu:
Terdiri dari isim, yaitu:
Terdiri dari fiil, yaitu:
Terdiri dari kata yang bisa disebut fiil dan bisa juga disebut huruf yaitu:
dan
Kata itu boleh dibaca atau
Hukum Mustatsna dengan
Illaa ( ) pada Kalimat Tam Mujab
Hukum mustarsna (kata yang
dikecualikan) yang jatuh sesudah huruf Isritsna “laa ( )itu wajib dibaca
nashab, apabila berada pada kalimat Tam Mujab, baik istitsna’ itu muttasil
atau munqathi ‘.
Kalimat Tam, artinya kalimat yang menyebutkan Mustatsna Minhu.
Kalimat
Mujab, artinya kalimat yang tidak didahului oleh naft atau yang menyerupai
nafi.
Kalimat Tam Mujab adalah kalimat yang menyebutkan Mustatsna
Minhu dan tidak didahului oleh nafi atau yang serupa dengan nafi.
Contoh:
Kemudian
Mereka meminumnya, kecuali beberapa orang ……
Kata dalam
ayat di atas berkedudukan sebagai Mustarsna (yang dikecualikan). Ia wajib
dibaca nashab, sebab berada pada kalimat Mujab, yaitu kalimat yang
menyebutkan Mustatsna Minhu, dalam hal ini, berupa dhamir wawu dan tidak ada
huruf nafi-nya.
Kaum itu telah berdiri, kecuali Zaid.
Kata dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna (yang
dikecualikan). Ia wajib dibaca nashab, sebab berada di kalimat Tam Mujab.
Kalimat yang menyebutkan Mustatsna Minhu, berupa kata dan tidak
didahului oleh nafi’.
– Orang-orang telah keluar, kecuali Amar.
Kata
dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna (yang dikecualikan). Ia
wajib dibaca nashab, sebab berada di kalimat Tam Mujab, yaitu kalimat yang
menyebutkan mustatsna minhu berupa kata dan tidak
didahului oleh nafi’.
Pengertian Istirsna’ Muttashil ialah apabila
mustatsna (kata yang dikecualikan) itu jenis daripada mustatsna minhu,
sebagaimana contoh di atas.
Pengertian Istitsna’ Mungathi’ ialah
apabila mustarsna (yang dikecualikan) itu di luar jenis mustatsna minhu,
seperti:
Kaum itu telah berdiri, kecuali seekor keledai.
Kata dalam kalimat tersebut berkedudukan sebagai
mustatsna ? “ dan disebut Istitsna’ munqathi ‘, sebab , (keledai), bukan
jenis mustatsna minhu (kaum).
Hukum Mustatsna
dengan pada Kalimat Tam Ghairu Mujab
Apabila Mustatsna
itu bertempat pada kalimat ram ghairu mujab, yaitu kalimat yang menyebutkan
mustatsna minhu, tetapi didahului oleh nafi atau yang serupa dengan nafi, maka
mustarsna itu boleh dibaca sama dengan mustatsna minhu sebagai badal, dan
boleh dibaca nashab. Contoh:
-Kaum itu tidak berdiri, kecuali
Zaid.
Kata dalam kalimat di atas berkedudukan sebagai
mustatsna. Ta boleh dibaca rafa’ sebagai badal mustatsna minhu, yaitu
kata yang juga dibaca rafa’. Boleh juga dibaca nashab, sebab
mustatsna ini berada pada kalimat tam ghairu mujab, yakni kalimat istitsna’
yang menyebutkan mustatsna minhu, yaitu kata tetapi didahului oleh
nafi, yaitu
– Janganlah kamu menjumpai kaum itu, kecuali Zaid.
..
Kata dalam kalimat di atas berkedudukan
sebagai mustatsna. Ta boleh dibaca sama dengan mustatsna minhu, yaitu
jer, boleh juga dibaca nashab, sebab ia berada pada kalimat tam ghairu mujab,
yakni kalimat istirsna’ yang menyebutkan mustatsna minhu, yaitu kata ,
tetapi didahului oleh lafal yang serupa dengan nafi, yaitu nahi.
Apabila
mustatsna yang bertempat pada kalimat tam ghairu mujab tersebut berupa
Muttashil, maka lebih baik dibaca sama dengan mustatsna minhu dengan status
sebagai badal. Contoh:
– Mereka tidak akan melakukannya, kecuali
sebagian kecil dari mereka.
Kata dalam ayat di atas
berkedudukan sebagai mustatsna yang bertempat pada kalimat tam ghairu mujab
dan berupa murtashil. Oleh sebab itu, yang lebih baik dibaca rafa’ sebagai
badal dari mustatsna minhu, yang berupa dhamir jamak dan dibaca rafa”.
Pengertian
syibhun naft (serupa dengan nafi) ialah Nahi dan Istifham. Contoh:
–
Dan janganlah seseorang di antara kalian yang tertinggal, kecuali istrimu.
Susunan
kalimat /stitsna’ tersebut disebut kalimat tam ghairu mujab, sebab mustatsna
minhu disebut dan didahului oleh kata yang serupa nafi, yaitu nahi
(larangan) berupa yang masuk pada kata
– Siapakah yang
berputus ada dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.
Susunan
kalimat /stirsna’ di atas disebut kalimat tam ghairu mujab, sebab mustatsna
minhu disebutkan dan didahului oleh lafal yang serupa nafi, yaitu istifham
Apabila
mustatsna yang berada di kalimat tam ghairu mujab itu berupa mungathi’, maka
wajib dibaca nashab, menurut orang-orang Hijaz. Contoh:
– Mereka
tidak memiliki keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali mengikuti
prasangka belaka.
Sedangkan menurut orang-orang Tamim, sebaiknya
dibaca nashab, tetapi boleh juga dibaca seperti mustatsna minhu-nya.
Contoh:
Kaum itu tidak berdiri, kecuali seekor keledai.
atau
Kaum
itu tidak berdiri, kecuali seekor keledai.
Hukum Mustatsna
dengan pada Kalimat Naqish
Mustatsna yang jatuh sesudah huruf
illaa, apabila bertempat pada kalimat Naqish, yaitu kalimat istitsna’ yang
tidak menyebutkan musiatsna minhu, maka wajib dibaca menurut kebutuhan amil,
seperti sebelum Si tidak ada. Isritsna yang demikian ini, disebut istitsna’
mufarraqh.
Syarat Istitsna’ mufarraqh ialah harus berada di kalam
yang ghairu mujab, yakni kalimat yang didahului oleh nafi. Contoh:
Tidak
berdiri kecuali Zaid.
Saya tidak melihat, kecuali Zaid. ra
Saya
tidak bertemu, kecuali dengan Zaid.
Kata dalam contoh
pertama berkedudukan sebagai mustatsna. Ia wajib dibaca rafa’, sesuai
kebutuhan amil yang membutuhkan fail.
Kata
dalam contoh kedua berkedudukan sebagai mustatsna. Ia wajib dibaca nashab,
sesuai kebutuhan amil yang membutuhkan maf’ul.
Kata
dalam contoh ketiga berkedudukan sebagai mustatsna. Ia dibaca jer, sesuai
dengan kebutuhan amil , yang mutaaddi dengan bantuan -huruf jer.
Contoh
lain, seperti tersebut dalam firman Allah swt.:
Muhammad itu tidak
lain hanyalah seorang rasul.
Janganlah kalian semua mengatakan
tentang Allah, kecuali yang benar.
Dan janganlah kalian mendebat
ahli kitab, kecuali dengan cara yang baik.
Kata dalam
ayat pertama berkedudukan sebagai mustatsna yang wajib dibaca rafa’ sebagai
khabar, sebab kalimat tersebut ada mubtada’-nya, yaitu yang perlu
khabar.
Kata dalam ayat kedua berkedudukan sebagai
mustatsna, yang wajib dibaca nashab sebagai maf’ul, sebab kalimat tersebut ada
fiil dan fail-nya, yaitu , yang membutuhkan maf’ul.
Kata
dalam contoh ketiga berkedudukan sebagai mustatsna, yang harus dibaca jer,
dijerkan huruf , sebab kata sebelumnya memang membutuhkannya.
Hukum
Mustatsna dengan dan
Hukum mustatsna yang jatuh
sesudah ghairu ( ) dan siwaa itu harus dibaca jer
menjadi mudhaf ilaih. Sedangkan kata dan itu sendiri harus dibaca sesuai
dengan i’rab mustatsna dengan illaa ( ). Kalau bertempat pada
kalimat tam mujab harus dibaca nashab, kalau berada di kalimat tam ghairu
mujab boleh nashab atau mengikuti i’rab mustatsna minhu dan jika berada pada
kalimat manfi nagish dibaca menurut kebutuhan amil.
Contoh:
pada kalam tam mujab:
Kaum telah berdiri, selain Zaid.
Kaum
telah berdiri, selain Zaid.
Kata dalam ada kalimat di
atas berkedudukan sebagai mustatsna yang wajib dibaca jer menjadi mudhaf ilaih
kata . Sedangkan kata dibaca nashab, karena berada
pada kalam tam mujab.
Contoh pada kalam tam ghairu
mujab:
Kaum tidak berdiri, selain Zaid.
Kaum tidak
berdiri, selain Zaid.
Kata pada kalimat di atas berkedudukan
sebagai mustatsna yang wajib dibaca jer menjadi mudhaf ilaih .
Sedangkan
dan sendiri boleh dibaca nashab dan boleh dibaca sama dengan
mustatsna minhu, sebagai badal-nya.
Contoh pada kalam manfi
nagish:
Tidak berdiri kecuali Zaid.
Saya tidak melihat,
selain Zaid.
Saya tidak bertemu selain dengan Zaid.
Kata
pada ketiga kalimat di atas berkedudukan sebagai mustatsna yang wajib dibaca
jer menjadi mudhaf ilaih
Sedangkan dan
,pada kalimat pertama dibaca rafa’, karena amil membutuhkan ma’mul
marfu’ (fail). Pada kalimat kedua dibaca nashab, karena amil
membutuhkan maf’ul dan pada kalimat ketiga dijerkan dengan
Hukum
Mustatsna dengan
Mustatsna yang jatuh sesudah huruf isritsna’
dan . wajib dibaca nashab menjadi khabarnya. Contoh:
Kaum itu
telah berdiri, bukan Zaid.
Kaum itu telah berdiri, bukan Zaid.
Kata
yang dalam dua kalimat di atas dibaca nashab menjadi khabar
Hukum
Mustatsna dengan dan
Mustatsna yang jatuh sesudah adat
Istisna’” dan itu, boleh dibaca jer dan nashab.
Contoh:
Kaum telah berdiri kecuali Zaid atau Kaum telah berdiri
kecuali Zaid.
Apabila kata yang jatuh sesudah
dibacajer, berarti dianggap sebagai huruf jer dan apabila kata
yang jatuh sesudah tiga kata tersebut dibaca nashab, maka dianggap
sebagai fiil. Hanya saja menurut Imam Syibawaih, semua kata yang jatuh
sesudah selalu dibaca jer.
Menambah Huruf Ma
( ) Sebelum dan
Kata
dan itu boleh dimasuki huruf ma , apabila
dan dimasuki huruf ma ( ), maka kata yang jatuh
sesudahnya wajib dibaca nashab. Contoh:
Kaum itu telah berdiri,
kecuali Zaid.
Ingatlah, segala sesuatu selain Allah, pasti
binasa.
Sedangkan lafal itu tidak boleh dimasuki huruf
ma ( ).
باب المخفوضات من الأسماء:
ISIM-ISIM YANG DIBACA JAR (KHAFAD)
المخفوضات ثلاثة: مخفوض بالحرف ومخفوض بالإضافة وتابع للمخفوض. فالمخفوض بالحرف
هو ما يخفض بمن وإلى عن وعلى وفي والباء والكاف واللام وحتى والواو والتاء ورب
ومذ ومنذ؛ فالسبعة الأولى تجر الظاهر والمضمر نحو: {وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ} (7)
سورة الأحزاب؛ و {إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ} (48) سورة المائدة؛ {إِلَيْهِ
مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا} (4) سورة يونس؛ {لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَن طَبَقٍ} (19)
سورة الإنشقاق؛ {رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ} (119) سورة المائدة؛
{وَعَلَيْهَا وَعَلَى الْفُلْكِ تُحْمَلُونَ} (22) سورة المؤمنون؛ {وَفِي
الْأَرْضِ آيَاتٌ َ} (20) سورة الذاريات؛ {وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ}
(71) سورة الزخرف؛ {فَآمِنُواْ بِاللهِ} (179) سورة آل عمران؛ {آمِنُواْ بِهِ}
(107) سورة الإسراء؛ {لِّلَّهِ ما فِي السَّمَاواتِ} (284) سورة البقرة؛ {لَّهُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ} (116) سورة البقرة؛
والسبعة الأخير؛ لا تدخل
على المضمر فمنها ما لا يختص بظاهر بعينه وهو الكاف وحتى والواو ونحو: {وَرْدَةً
كَالدِّهَانِ} (37) سورة الرحمن؛ زيد كالأسد؛ وقد تدخل على الضمير في ضرورة الشعر
ونحو: {حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ} (5) سورة القدر؛ وقولهم: أكلت السمكة حتى
رأسها بالجر ونحو: والله والرحمن؛ ومنها ما يختص بالله ورب مضافاً للكعبة أو لياء
المتكلم وهو التاء نحو تالله، وتَرَبِّ الكعبة تَرَبي، ونَدُرَ تالرحمن؛ وتحياتك؛
ومنها ما يختص بالزمان وهو: منذ ومذ نحو: ما رأيته منذ يوم الجمعةِ أو مذُ يومين،
ومنها ما يختص بالنكرات غالباً وهو ري نحو: رب رجل في الدار؛ تدخل على ضمير غائب
ملازم للإفراد والتذكير والتفسير وبتمييز بعده مطابق للمعنى نحو قوله: ُرَّبه
فتية، وقد تحذف رب ويبقى عملها بعد الواو كقوله:
وليل كموج البحر أرخى
سدولَه علي بأنواع الهموم ليبتلي
وبعد الفاء كثيراً كقوله:
فمثلك
حبلى قد طرقت ومرضع [فألهيتها عن ذي تمائم محول]
وبعد بل قليلا كقوله:
بل مَهِمَهِ قطعت بعد مهمه.
وبدونهن أقل كقوله:
رسم دار
وقفت في طلله كدت أقضي الحياة من جلله
وتزاد ما بعد من وعن والباء فلا
تكفهن عن عمل الجر نحوك مما خطئاتهم؛ عما قليل؛ فبما نقضهم؛ وتزاد بعد الكاف ورب،
والغالب أن تكفها عن العمل فيدخلان حينئذ على الجمل كقوله:
أخ ماجد لم
يحزني يوم مشهد ***كما سيف عمرو لم تخنه مضاربه
وٌقوله:
ربما
أوفيت في علم ***ترفعن ثوبي شمالات
وقد لا تكفهما كقوله:
ربما
ضربة بسف صقيل*** بين بصري وطعنة نجلاء
وقوله:
ننصر مولانا
ونعلم انه ***كما الناس مجروم عليه وجارم
Isim-isim yang dibaca jer itu ada tiga, yaitu:
Isim yang dijerkan dengan huruf.
Isim yang dijerkan
dengan idhafah.
Isim yang dibaca jer karena mengikuti
isim yang dibaca jer.
I Isim yang Dibaca Jer
Isim yang
dibaca jer karena huruf, adalah tiap-tiap isim yang dimasuki oleh huruf
jer: dan.
Pembagian Huruf Jer
Huruf
Jer yang Masuk pada Isim Zhahir dan Dhamir
Tujuh huruf jer yang
pertama, yaitu: dan bisa masuk pada isim zhahir dan isim
dhamir, seperti dalam contoh:
Darimu dan dari Nuh.
Hanya
kepada Allah kamu semua kembali.
Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.
Sesungguhnya
kalian melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).
Allah ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.
Dan di atas punggung
binatang-binatang ternak dan di atas perahu.
Dan di dalam surga
terdapat segala yang disukai hati.
– Dan di bumi ada tanda-tanda
kekuasaan Allah.
– Berimanlah kepada Allah.
– Berimanlah
kalian kepada-Nya.
– Milik Allah-lah segala yang ada di langit.
–
Milik-Nya-lah apa saja yang ada di langit.
Huruf Jer yang Masuk
pada Isim Zhahir Sedangkan tujuh huruf jer terakhir, yaitu:
dan khusus mengjerkan isim zhahir saja, tidak bisa masuk pada isim
dhamir. Huruf jer yang hanya bisa mengjerkan isim zhahir ini terbagi menjadi
empat, yaitu:
Mengjerkan isim zhahir secara
umum, yaitu: dan Contoh:
– Zaid seperti singa.
– Malam
itu malam kesejahteraan sampai fajar terbit.
– Saya makan ikan
hingga kepalanya.
– Demi Allah.
– Demi Yang Maha
Pengasih.
Khusus masuk isim zhahir yang berupa
lafal Allah dan Rabbi yang mudhaf pada kata atau ya’ mutakallim.
Huruf jer yang demikian adalah , contoh:
– Demi Allah.
–
Demi Tuhan Ka’bah.
– Demi Tuhanku.
Jika masuk pada
isim zhahir selain isim zhahir tersebut, dihukumi janggal. Contoh:
–
Demi Yang Maha Pengasih.
– Demi kehidupanmu.
Khusus masuk pada isim yang menunjukkan arti waktu, yaitu: dan . Contoh:
–
Saya tidak melihatnya sejak hari Jumat.
– Saya tidak melihatmu
sejak dua hari.
Khusus masuk pada isim nakirah,
yaitu . Contoh:
– Banyak laki-laki di rumah.
Kadang-kadang
masuk pada dhamir ghairu mufrad mudzakkar (kata ganti orang ketiga tunggal
laki-laki) disertai penjelasan berupa Tamyiz sesudahnya. Contoh:
–
Banyak sekali pemuda itu.
Membuang Huruf Jer dan Menetapkan
Amalnya
Huruf Jer itu kadang-kadang dibuang dan masih tetap
beramal (berpengaruh) pada kata sesudahnya. Biasanya sesudah:
Wawu ( ). Contoh:
Dalam syair tersebut ada , yang dibuang
sesudah huruf wawu , ( ) dan amalnya masih tetap. Asalnya:
Fa’ (9 ). Contoh:
Dalam syair tersebut ada yang dibuang
sesudah huruf fa’ ( ) dan amalnya masih tetap. Asalnya:
Bal ( ), tetapi jarang terjadi. Contoh:
Dalam syair tersebut ada
yang dibuang sesudah huruf Bal . ( ) dan amalnya masih tetap.
Asalnya:
Membuang dan menetapkan amalnya tanpa didahului oleh
huruf-huruf tersebut sangat jarang terjadinya. Seperti dalam syair:
“Banyak
(sering) sekali aku berhenti di bekas-bekas reruntuhan rumah kekasihku, hampir
saja usiaku kuhabiskan untuknya.”
Menambahkan Huruf Maa (. ) pada
Huruf Jer
Huruf Maa ( ) itu boleh ditambahkan pada huruf
jer: dan huruf-huruf tersebut tetap beramal mengjerkan kata yang .
dimasukinya. Contoh:
Huruf Maa ( ) itu juga boleh ditambahkan
pada huruf jer dan , dan menurut umumnya tidak bisa
beramal lagi. Biasanya, keduanya masuk pada kalimat. Contoh:
“Dia
saudara yang mulia, tidak pernah membuatku sedih, di kala peperangan, seperti
pedang Amer yang tidak pernah mengecewakannya tentang pukulan-pukulannya.”
“Banyak
sekali sudah aku selesaikan lugas keilmuan, sehingga dapat mengangkat bajuku
………”
Tetapi kadang-kadang masih tetap bisa beramal. Contoh:
“Banyak
sekali pukulan pedang yang berkilau dan tusukan tombak di sekitar kota Basra.”
“Kami membela tuan kami, sedangkan kami mengerti, bahwa dia sama
dengan manusia lain, yang kadang teraniaya dan kadang menganiaya.”
فصل المخفوض بالإضافة
PASAL ISIM YANG JAR KARENA IDAFAH
وأما المخفوض بالإضافة فنحو: غلام زيد؛ ويجب تجريد المضاف من التنوين كما في غلام
زيد، ومن نوني التثنية والجمع نحو: غلاما زيد؛ وكاتبو عمرو؛
والإضافة
على ثلاثة أقسام: منها ما يقدر باللام وهو الأكثر نحو غلام زيد، وثوب بكر، ومنها
ما يقدر بمن وذلك كثير نحو: ثوب خز، وباب ساج وخاتم حديد
ويجوز في هذا
النوع نصب المضاف إليه على التمييز كما تقدم في بابه، ويجوز رفعه على أنه تابع
للمضاف. ومنها ما يقدر بفي وهو قليل نحو: بل مكر الليل، وصاحبي السجن؛ والإضافة
نوعان لفظية ومعنوية فاللفظية ضابطها أمران: أن يكون المضاف إليه معمولا لتلك
الصفة، والمراد بالصفة اسم الفاعل نحو: ضارب زيد، واسم المفعول نحو مضروب العبد،
والصفة المشبهة نحو: حسن الوجه. والمعنوية ما انتفى فيها الأمران نحو: غلام زيد،
أو نحو: إكرام زيدٍ، أو الثاني فقط نحو كاتب القاضي؛ وتسمى هذه الإضافة: محضة،
وتفيد تعريف المضاف إن كان المضاف إليه معرفة نحو: علامُ زيدِ، وتخصيص المضاف إن
كا المضاف إليه نكرة نحو: غلامُ رجلٍ. وأما الإضافة اللفظية فلا تفيد تعريفاً ولا
تخصيصاً، وإنما تفيد التخفيف في اللفظ وتسمى: غير محضة.
والصحيح أن
المضاف إليه مجرور بالمضاف لا بالإضافة؛ وتابع المخفوض يأتي في التوابع إن شاء
الله.
II Al-Idhafah (Mudhaf dan Mudhaf Ilaih)
Isim yang dibaca jer
karena /dhafah, seperti dalam susunan kata:
– Pelayan Zaid.
Susunan
di atas disebut susunan Idhafah. Susunan Idhafah itu mesti terdiri dari
mudhaf ( ) dan mudhaf ilaih ( ).
Ketentuan-Ketentuan
Mudhaf
Mudhaf itu harus dibebaskan dari tanwin, Nun Tatsniyah, Nun
Jamak dan Al . Contoh:
– Pelayan Zaid.
– Dua pelayan
Zaid.
– Para sekretaris Amer.
Susunan pertama, berasal
dari dan . Setelah digabungkan, maka tanwin
kata harus dibuang.
Susunan kedua, berasal
dari dan . Setelah digabungkan, maka nun tatsniyah
pada kata harus dibuang.
Susunan ketiga, berasal
dari dan . Setelah digabungkan, maka nun jamak pada
kata harus dibuang.
Pembagian Idhafah dari Segi
Makna
Susunan /dhafah ditinjau dari segi maknanya, terbagi menjadi
tiga, yaitu:
Mengandung arti lam (. milik).
Contoh:
– Pelayan Zaid. Artinya: Pelayan milik Zaid.
–
Baju Bakar. Artinya: Baju milik Bakar.
Mengandung arti Min ( ). Contoh:
– Kain sutera. Artinya: Kain dari
bahan sutera.
– Pintu kayu. Artinya: Pintu terbuat dari bahan
kayu.
– Cincin besi. Artinya: Cincin terbuat dari bahan besi.
Mudhaf
ilaih dalam susunan kata di atas ( ) itu boleh dibaca nashab
menjadi tamyiz, sebagaimana telah diterangkan pada Bab Tamyiz. Boleh juga
dibaca rafa”, mengikuti mudhaf, sehingga Susunan tersebut menjadi:
Mengandung arti . Contoh:
– Tetapi tipu daya di waktu malam.
-Wahai,
kedua temanku di dalam penjara.
Pembagian Idhafah dari Segi
Pengaruh pada Mudhaf
Idhafah Lafihiyyah
Susunan
idhafah itu ada dua, yaitu Lafzhiyyah dan Maknawiyyah. Idhafah Lafzhiyyah itu
dibatasi dua perkara, yaitu:
Mudhaf berupa isim
sifat.
Mudhaf ilaih berupa ma’mul isim sifat yang
menjadi mudhaf.
Pengertian isim sifat di sini adalah isim fail,
isim maf’ul dan sifal musyabbahah.
Contoh yang mengandung isim
fail.
– Orang yang memukul Zaid.
Contoh yang mengandung
isim maf’ul:
– Orang yang pembantunya dipukul.
Contoh
yang mengandung isim sifat musyabbahah:
– Orang yang tampan
wajahnya.
Idhafah Lafzhiyyah itu tidak memberikan pengaruh pada
mudhaf dalam Ta’rifatau Takhsish. Idhafah lafazhiyyah ini hanya memberi faedah
Takhfif (meringankan bacaan). Idhafah lafazhiyyah disebut juga dengan idhafah
ghairu mahdhah.
Idhafah Maknawiyyah
Idhafah
Maknawiyyah ialah idhafah yang tidak mengandung dua perkara dalam idhafah
lafzhiyyah di atas (mudhaf tidak terdiri dari isim sifat dan mudhaf ilaih
tidak menjadi ma ‘mul mudhaf), atau salah satunya, artinya mudhaf
bukan isim sifat, meskipun mudhaf ilaih-nya menjadi ma ‘mul mudhaf,
seperti atau mudhaf terdiri dari isim sifat, tetapi mudhaf
ilaih-nya tidak menjadi ma’mul mudhaf, seperti:
Idhafah
Maknawiyyah disebut juga dengan idhafah mahdhah dan dapat mengubah status
mudhaf yang nakirah menjadi makrifat, apabila mudhaf Ilaih terdiri dari isim
makrifar, seperti dan mentakhsish mudhaf, jika mudhaf ilaih
terdiri dari isim nakirah,seperti Kata dalam
susunan adalah isim nakirah yang menjadi makrifat sebab mudhaf
pada isim makrifat, berupa kata:
Sedangkan kata dalam
susunan adalah isim nakirah, yang menjadi terbatas
pengertiannya karena mudhaf pada isim nakirah
I’rab
Mudhaf Ilaih
Prab mudhaf ilaih itu selalu jer, dijerkan oleh
mudhaf, bukan karena susunan idhafah. Adapun i’rab mudhaf itu tergantung
kedudukannya dalam kalimat.
Isim yang dibaca jer sebab
mengikuti kata sebelumnya, insya Allah akan dibahas dalam Bab Tawabi .
باب إعراب الأفعال
BAB I'RABNYA FI'IL MUDHARIK
تقدم أن الفعل ثلاثة أنواع: ماض وأمر ومضارع، وأن الماضي والأمر مبنيان، وأن المعرب من الأفعال هو المضارع إذا لم يتصل بنون الإناث ولا بنون التوكيد المباشرة له، وأن الفعل يدخله من أنواع الإعراب ثلاثة: الرفع والنصب والجزم إذا كان عُِلم ذلك فالإعراب خاص بالمضارع وهو مرفوع أبداً حتى يدخل عليه ناصب فينصبه أو جازم فيجزمه نحو: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} (5) سورة الفاتحة؛
نواصب المضارع
NASABNYA FI'IL MUDHARIK
والنواصب قسمان: قسم ينصب بأن مضمرة بعده. فالأول: أربعة: أحدها: أن وإن لم تسبق
بعلم ولا ظن نحو: {يُرِيدُ اللهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ} (28) سورة النساء؛
{وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ} (184) سورة البقرة؛ فإن سبقت بِعَلِم نحو {عَلِمَ أَن
سَيَكُونُ مِنكُم} (20) سورة المزمل؛ فهي مخففة من الثقيلة واسمها ضمير الشأن
محذوف، والفعل مرفوع وهو وفاعله كما تقدم في باب النواسخ، فإن سبقت بظن فوجهان
نحو: {وَحَسِبُواْ أَلاَّ تَكُونَ فِتْنَةٌ} (71) سورة المائدة وقرئ السبعة
بالنصب والرفع؛ والثاني لن نحو: {لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ} (91) سورة
طه؛ والثالث كي المصدرية المسبوقة باللام لفظاً نحو: {لِكَيْلَا تَأْسَوْا} (23)
سورة الحديد؛ أوتقديرا نحو: جئت كي تكرمني، فإن لم تقد اللام فكي جارة والفعل
منصوب بأن مضمرة بعدها وجوباً؛ والرابع: إذن إن صدرت في أول الكلام، وكان الفعل
بعدها مستقبلاً ومتصلاً بها أو منفصلاً عنها بالقسم أو بلا النافية نحو: إذن
أكرمك، وإذاً والله أكرمك، وإذاً لا أجيئك، جوابا لمن قال أنا آتيك وتسمى جواب
وجزاء.
والثاني ما ينصب المضارع بإضمار أن بعدها وهو قسمان: ما يضمر
أن بعده جوازاً، وما يضمر بعده وجوباً؛ فالأول خمسة وهي: لام كي نحو:
{وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ} (71) سورة الأنعام؛ والواو
والفاء وثم وأو العاطفات على اسم خاص، أي: ليس في تأويل الفعل نحو قوله:
ولبس
عباءة وتقر عيني *** [أحب إلي من لبس الشفوف]
وقوله:
لولا
توقع معتر فأرضيه *** [ما كنت أوثر أترباً على ترب
إني وقتلي سلكا ثم
أعقله *** [كالثور يُضرب لما عافت البقر]
وقوله تعالى: {أَوْ يُرْسِلَ
رَسُولًا} (51) سورة الشورى؛ والثاني وهو ما تضمر أن بعده وجوباً ستة: كي الجارة
كما تقدم لام الجحود نحو: {وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ} (33) سورة
الأنفال؛ وحتى إن كان الفعل بعدها مستقبلا نحو: {حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا
مُوسَى} (91) سورة طه؛ وأو بمعنى إلى أو بمعنى إلاَّ كقوله:
لأستسهلن
الصعب أو أدرك المنى ***فما انقادت الآمال إلا لصابر
وقوله:
وكنت
إذا غمزت قناة قوم ***كسرت كعوبها أو تستقيما
وفاء السببية وواو
المعية مسبوقين بنفي محض أو طلب بالفعل نحو: {لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ
فَيَمُوتُوا} (36) سورة فاطر؛ {وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ} (142) سورة آل عمران،
{وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي} (81) سورة طه؛
لا
تأكل السمك وتشربَ اللبن
I’RAB FIIL MUDHARI’
Pembagian Fiil dan Hukumnya
Dalam
pembahasan yang lalu telah diterangkan, bahwa fiil itu ada tiga macam, yaitu
Madhi, Amar dan Mudhari’. Fiil Madhi dan Amar, keduanya mabni. Sedangkan fiil
yang mu’rab hanya fiil mudhari’, apabila tidak bersambung dengan Nun ( ) Jamak
Muannats dan Nun Tauhid.
I’rab yang Masuk pada Fiil
Di
atas juga telah dijelaskan, bahwa i’rab telah , Di yang dapat masuk pada fii
Itu ada tiga, yaitu: i’rab Rafa’, I’rab Nashab dan I’rab Jazem.
I’rab Fiil Mudhari’
Apabila uraian di atas telah
dipahami, maka /’rab itu khusus masuk pada fiil mudhari ‘, artinya hanya fiil
mudhari -lah yang harakat akhirnya bisa berubah-ubah. Fiil mudhari ‘ itu tidak
lepas dari salah satu tiga i’rab, yaitu:
Rafa’,
apabila tidak dimasuki amil nashab dan amil jazem.
Nashab, apabila dimasuki amil nashab.
Jazem, apabila
dimasuki amil jazem.
Amil Nashab Pembagian Amil Nashab
Amil
yang bisa menashabkan fiil mudhari’ itu terbagi menjadi dua, yaitu: Amil yang
mampu menashabkan dengan sendirinya dan amil yang dapat menashabkan dengan
bantuan An ( ) yang disimpan sesudahnya:
Amil Nashab yang Menashabkan dengan Sendirinya
Amil Nashab
yang dapat menashabkan fiil mudhari’ dengan sendirinya itu ada empat,
yaitu:
An( ), apabila tidak didahului oleh kata
atau Contoh:
Apabila An ( ) didahului oleh kata , seperti
kalimat , maka huruf An ( ) berarti berasal dari huruf
Anna ( . ), yang di-takhfif dan isimnya berupa dhamir sya’n yang .
dibuang. Bentuk asalnya adalah:
Sedangkan fiil mudhari’
yang dimasukinya (. ) dan failnya berkedudukan sebagai khabar ,
sebagaimana telah diterangkan pada Bab Amil Nawasikh.
Apabila An (
) didahului oleh atau saudaranya, maka hukum An ( ) ada dua, boleh dihukumi
sebagai amil nashab dan boleh juga dihukumi sebagai yang berasal dari yang
ditakhfif. Contoh:
Lan ( ). Contoh:
Kay ( ) Mashdariyyah, yaitu Kay yang didahului oleh huruf , baik secara lafzhi
atau tagdiri (tampak atau tidak). Contoh:
– Supaya kalian tidak
berduka cita.
– Saya datang kepadamu, agar kamu memuliakanku.
Apabila
tidak memperkirakan adanya , maka Kay ( ) dikategorikan Kay
huruf jer, sedangkan fiil sesudahnya yang dibaca nashab, dinashabkan oleh
huruf An ( ) yang tersimpan secara wajib sesudahnya.
Contoh: takdirnya
Idzan ( ) dengan ketentuan sebagai berikut: Fiil yang jatuh sesudahnya
menunjukkan waktu akan datang. b. Antara /dzan dan fiil sesudahnya, bersambung
langsung, atau . terpisah oleh Qasam atau Laanafi.
Contoh yang
bersambung langsung:
– Kalau begitu saya akan memuliakanmu.
Contoh
yang terpisah oleh Uasam:
– Kalau begitu, demi Allah saya
akan memuliakanmu.
Contoh yang terpisah oleh Laa nafi:
–
Kalau begitu, saya tidak akan mengecewakanmu.
Amil Nashab yang
Beramal dengan Bantuan An ( )
Bagian kedua amil nashab adalah
amil nashab yang dapat menashabkan fiil mudhari’ dengan bantuan An ( )
secara tersimpan. Amil Nashab seperti ini terbagi menjadi dua, yaitu:
Menashabkan dengan bantuan An yang tersimpan secara jawaz dan ada yang secara
wajib.
Amil Nashab dengan Menyimpan An Secara
Jawaz
Bagian pertama, yaitu amil nashab yang menashabkan fil
mudhari’ dengan bantuan An ( ) yang tersimpan secara jawaz ada lima:
Lam Kay ( J). Contoh:
– Dan kita diperintah, agar menyerahkan diri
kepada Tuhan semesta alam.
Wawu ( ). Contoh:
–
Memakai baju yang tebal kumal dan hatiku senang.
Fa’ (@ ). Contoh:
– Seandainya tidak karena menanti orang yang
miskin, lalu aku menyenangkannya ……..
Tsumma (
). Contoh:
– Sesungguhnya saya dan kasus pembunuhan saya terhadap
Sulaika, yang kemudian saya bayar dendanya ….
Au
( ). Contoh:
“Dan tidak mungkin bagi manusia diajak bicara oleh
Allah, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di balik tabir, atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat).”
Amil Nashab
dengan Menyimpan An Secara Wajib
Bagian kedua dari amil nashab yang
beramal dengan bantuan huruf An yang tersimpan secara wajib itu ada enam,
yaitu:
Kay ( ) huruf jer. seperti vang pernah
diterangkan.
Lam ( ) Juhud. Contoh:
Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka.
Haraa ( ), apabila fiil yang dimasukinya mengandung arti akan datang.
Contoh:
Hingga Musa kembali kepada kami.
Au ( ) berarti sampai/kecuali. Contoh:
“Saya Ini apabila menekan
tombak mereka, maka saya mematahkan pepangannya, kecuali tombak mereka dalam
keadaan lurus.”
Fa’ ( ) Sababwwvah yang
didahului oleh nafi murni atau rhalab. Contoh:
– Mereka tidak
dibinasakan, sehingga mereka mati.
Dan janganlah kamu melampaui
batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu.
Wawu ( ) Ma’iyyah yang didahului oleh nafi murni atau thalab. Contoh:
“Padahal
belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kalian, serta belum
nyata orang-orang yang sabar.”
Janganlah kamu memakan ikan serta
minum susu.
جوازم المضارع
AMIL JAZAMNYA FI'IL MUDHARIK
والجوازم ثمانية عشرة، وهي نوعان: جازم لفعل واحد، وجازم لفعلين، فالأول سبعة
وهي: لم، نحو: {لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا
أَحَدٌ (4) } سورة الإخلاص؛ ولما، نحو: {كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ} (23)
سورة عبس، ألم، نحو: {أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ} (1) سورة الشرح، وألما،
كقوله:
على حين عاتبت المشيب على الصبا*** فقلت أما أصح والشيب
وازع
. . ولام الأمر والدعاء نحو: {لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن
سَعَتِهِ} (7) سورة الطلاق؛ {لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ} (77) سورة الزخرف؛ ولا
في النهي والدعاء نحو: {لاَ تَحْزَنْ} (40) سورة التوبة؛ {لاَ تُؤَاخِذْنَا}
(286) سورة البقرة؛ والطلب إذا سقطت الفاء من المضارع بعده وقصد به الجزاء نحو:
{قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ} (151) سورة الأنعام؛ وقوله:
قفا نبك من
ذكرى حبيب ومنزل ***بسقط اللوى بين الدخول فحومل
والثاني وهو ما يجزم
فعلين أحد عشر وهو إن نحو: {إِن يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ} (133) سورة النساء؛ وما
نحو: {وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ} (197) سورة البقرة؛ ومن
نحو: {مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} (123) سورة النساء؛ ومهما كقوله:
[أغرك
مني ان حبك قاتلي] وأنك مهما تأمري القلب يفعل
وإذما نحو: إذما تقم
أقم؛ وأي نحو: {أَيًّا مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى} (110) سورة
الإسراء؛ ومتى كقوله:
[أنا ابن جلا وطلاع الثنايا] ***متى أضع العمامة
تعرفوني
أيان كقوله:
[إذا النعجة الغراء كانت بقفرة]
***فأيان ما تعدل به الريح تنزل
وأين نحو: {أَيْنَمَا تَكُونُواْ
يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ} (78) سورة النساء؛ وأنى كقوله:
فأصبحت أنى
تأتها تستجر بها ***تجد حطبا جزلا وناراً تاججا
وحيثما كقوله:
حيثما
تستقم يقدر لك الله نجاحاً في غابر الأزمان
وهذه الأدوات الإحدى عشرة
كلها أسماء إلا إن وإذما فإنهما حرفان، ويسمى الأول شرطاً، ويسمى الثاني جواباً.
وإذا لم يصلح الجواب أن يجعل شرطاً وجب اقترانه بالفاء نحو: {وَإِن يَمْسَسْكَ
بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدُيرٌ} (17) سورة الأنعام؛ {قُلْ إِن
كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي} (31) سورة آل عمران؛ {وَمَا
يَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلَن يُكْفَرُوْهُ} (115) سورة آل عمران؛ أو بإذا
الفجائية نحو: {وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ إِذَا
هُمْ يَقْنَطُونَ} (36) سورة الروم؛ وذكر صاحب الأجرومية في الجوازم كيفما نحو:
كيفما تفعل أفعل؛ والجزم بها مذهب كوفي ولم نقف لها على شاهد من كلام العرب، وقد
يجزم بإذا في ضرورة الشعر كقوله:
[استغن ما أغناك ربك بالغنى] ***وإذا
تصبك خصاصة فتجمل
Amil jazem, yaitu amil yang menjazemkan fiil mudhari’ itu ada delapan belas
dan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menjazemkan satu fiil dan
bagian kedua menjazemkan dua fiil.
Amil Jazem yang Menjazemkan Satu
Fiil :
Bagian pertama dari amil jazem, yakni yang menjazemkan satu
fiil itu ada tujuh, yaitu:
Lam ( ), contoh:
Lammaa ( ), contoh:
Alam ( ), contoh:
Alammaa ( ), contoh:
Lam ( ) ‘Amar (lam yang
menunjukkan arti perintah dan doa), contoh:
Laat
| ) Nahi (Laa yang menunjukkan arti larangan) dan Laa doa, contoh:
Tholab (tuntutan), apabila fa’ ( ) yang ada pada fiil mudhari’ sesudahnya
gugur dan dimaksudkan sebagai jawaban tuntutan tersebut, contoh::
Kata
dalam kalimat di atas adalah fiil mudhari’ yang didahului oleh tholab,
yaitu ! . Fiil mudhari’ tersebut dii’rab jazem dengan alamat membuang
huruf ilat wawu. Yang menjazemkan adalah tholab tersebut.
Amil
Jazem yang Menjazemkan Dua Fiil
Bagian kedua dari amil jazem, yakni
amil jazem yang menjazemkan dua fiil itu ada sebelas, yaitu:
Int ( ), contoh:
Maa ( ), contoh:
Mant ( ), contoh:
Mahmaa ( ), contoh:
Idzmaa ( ), contoh:
Ayyun ( ), contoh:
Mataa ( ), contoh:
Ayyaana (. ), contoh:
Ainamaa (. ), contoh:
Annaa (. ). contoh:
Haitsumaa ( ), contoh:
Amil jazem yang berjumlah sebelas tersebut,
semuanya adalah isim, kecuali In ( ) dan Idzmaa (. ), keduanya adalah huruf,
Fiil Syarat dan Fiil Jawab
Fiil mudhari’ pertama yang dijazemkan
oleh amil jazem yang menjazemkan dua fiil itu disebut fiil syarat dan fiil
mudhari’ yang kedua disebut fiil jawab atau jaza’.
“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu ….”
Kata
dalam kalimat di atas adalah fiil mudhari’ pertama yang dijazemkan oleh In (
). Fiil ini disebut fiil syarat, sedangkan kata : adalah ftil mudhari’
kedua yang dijazemkan oleh Fill kedua ini disebut flil jawab.
Ketentuan
yang Berlaku untuk Jawab
Apabila jawab tidak sah jika dijadikan
syarat, maka jawab harus disertai fa’ ( ), contoh:
Dan jika
Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu.”
Kata dalam kalimat di atas adalah fiil syarat yang
mesti memerlukan jawab. Dalam kalimat di atas yang menjadi jawab ,
adalah kalimat ala jumlah arena kalimat jawab tidak bisa dijadikan
syarat, karena ia jumlah ismiyyah, maka harus disertai fa’ ( ),
sebagaimana dalam ayat:
“.. Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, maka ikutilah aku …..”
Kata dalam kalimat di atas adalah
fiil syarat yang memerlukan jawab. Dalam kalimat di atas yang
menjadi jawab adalah kalimat.” Karena kalimat jawab ini tidak bisa
dijadikan syarat, karena ia tholab, maka harus disertai fa’ ( ),
sebagaimana dalam ayat:
“Dan apa saja kebaikan yang mereka
kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya ….”
Kata
dalam kalimat di atas adalah fiil syarat yang memerlukan jawab. Dalam kalimat
di atas yang menjadi jawab adalah kalimat yang didahului oleh huruf . Oleh
karena itu, harus disertai fa” (), sebagaimana dalam ayat.
Atau
disertai idzaa fujaiyyah, seperti:
“Dan apabila mereka ditimpa
sesuatu musibah disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka
sendiri, ” Tiba-tiba mereka berputus asa.”
Huruf Jazem Selain yang
Tersebut di Atas
Pengarang kitab Al-Jurumiyah menerangkan,
bahwa Kaifamaa termasuk bagian amil jazem, contoh:
Bagaimanapun
kamu mengerjakan, maka saya pun mengerjakan.
Pendapat yang
mengatakan, bahwa Kaifamaa sebagai amil jazem adalah Mazhab Kufi, tetapi kami
tidak menjumpai bukti dalam kalam Amutsal Arab. Kadang-kadang lafal idzaa “ah
itu dapat menjazemkan, tetapi hanya dalam syair, seperti:
“Merasalah
cukup engkau, selama Tuhanmu menyerahkan kekayaan kepadamu, Apabila engkau
tertimpa musibah, maka bersabarlah.”
“Apabila engkau tertimpa
musibah, maka mohonlah kecukupan, Dan kepada yang memberi segala kenikmatan,
memohonlah.
باب النعت:
NAAT ATAU SIFAT
هو التابع المشتق أو المؤول به المباين للفظ متبوعة، والمراد بالمشتق اسم الفاعل
كضارب، واسم المفعول كمضروب، والصفة المشبهة كحسن، واسم التفضيل كأعلم، والمراد
بالمؤول بالمشتق اسم الإشارة نحو: مررت بزيد هذا، واسم الموصول نحو: مررت بزيد
الذي قام، وذو بمعنى صاحب نحو: مررت برجل ذي مال، وأسماء النسب نحو: مررت برجل
دمشقي، ومن ذلك الجملة وشرط المنعوت بها أن يكون نكرةً نحو: {وَاتَّقُواْ يَوْمًا
تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ} (281) سورة البقرة.
وكذلك المصدر
ويلزم إفراده وتذكيره ونقول: مررت برجل عدل، وبامرأة عدل، وبرجلين عدل ومررت
برجال عدل، والنعت يتبع المنعوت في رفعه ونصبه وخفضه وفي تعريفه وتنكيره، ثم إن
رفع ضمير المنعوت المستتر فيه تبعه أيضاً في تذكيره وتأنيثه وفي إفراده وتثنيته
وجمعه وتقول: قام زيد العاقل ورأيت زيدا العاقل ومررت بزيد العاقل وجاءت هند
العاقلة ورأيت هندا العاقلة ومررت بهند العاقلة وجاء رجل عاقل ورأيت رجلا عاقلا
ومررت برجل عاقل وجاء الزيدان العاقلان ورأيت الزيدين العاقلين ومررت بالزيدين
العاقلين، وجاء رجلان عاقلان ورأيت رجلين عاقلين، وجاء الزيدون العاقلون ورأيت
الزيدين العاقلين ومررت بالزيدين العاقلين، وجاءت الهندان العاقلتان ورأيت
الهندين العاقلتين ومررت بالهندين العاقلتين، وجاءت الهندات العاقلات ورأيت
الهندات العاقلات ومررت بالهندات العاقلات؛ وإن رفع النعت الاسم الظاهر أو الضمير
البارز لم يعتبر حال المنعوت في التذكير والتأنيث والإفراد والتثنية والجمع، بل
يعطى النعت حكم الفعل، فإن كان فتعله مؤنثاً أنث، وإن كان المنعوت به مذكراً وإن
كان فاعله مذكراً ذكِّر وإن كان المنعوت به مؤنثا.
ويستعمل بلفظ
الإفراد ولا يثنى ولا يجمع تقول: جاء زيد القائمة أمه، وجاءت هند القائم أبوها
وتقول: مررت برجل قائمة أمه بامرأة قائم أبوها، ومررت برجلين قائم أبوهما مررت
برجال قائم آباؤهم، إلا أن سيبويه قال قيما إذا كان الاسم المرفوع بالنعت جمعاً
كالمثال الأخير، فالأحسن في النعت أن يجمع جمع تكسير فيقال: مررت برجال قيام
آباؤهم ومررت برجل قعود غلمانه، فهو أفصح من قائم آباؤهم قاعد غلمانه
بالإفراد.
والإفراد كما تقدم أفصح من جمع التصحيح نحو: مررت برجال
قائمين آباؤهم ورجل قاعدين غلمانه؛ هذه أمثلة النعت بالرفع للاسم الظاهر.
ومثال
النعت الرافع للضمير البارز قولك: جاءني غلام امرأة ضاربته هي، وجاءتني أمة رجل
ضاربها هو، وجاءني غلام رجال ضاربه هم.
وفائدته تخصيص المنعوت إن كان
نكرة نحو: مررت برجل صالح، وتوضيحه إن كان معرفة نحو: جاء زيد العالم. وقد يكون
لمجرد المدح نحو: بسم الله الرحمن الرحيم، أو لمجرد الذم نحو: أعوذ بالله من
الشيطان الرجيم، أو الترحم نحو: اللهم ارحم عبدك المسكين، أو للتأكد نحو: {ْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ} (196) سورة البقرة؛ وإذا كان المنعوت معلوماً بدون
النعت جاز في النعت الإتباع والقطع، ومعنى القطع: أن يرفع النعت على أنه خبر
مبتدأ محذوف وينصب بفعل محذوف نحو: الحمد لله الحميدُ َ؛ وأجاز فيه سيبويه الجر
على الإتباع والرفع بتقدير هو والنصب بتقدير أمدح؛ وإذا تكررت النعوت لواحد فإن
كان المنعوت معلوما بدونها جاز إتباعها كلها وقطعها كلها وإتباع البعض وقطع البعض
بشرط تقديم المتبع وإن لم يعرف إلا بمجموعها بأن احتاج إليها وجب إتباعها كلها،
وإن تعين ببعضها جاز فيما عدا ذلك البعض الأوجه الثلاثة.
Definisi
Naat ialah kata yang musytag atau muawwal, yang menjelaskan kata yang
diikutinya. Naat disebut juga sifat.
Pengertian Musytaq dan
Muawwal
Yang dimaksud musytaq di sini adalah:
Isim Fail, seperti:
Isim Maf’ul, seperti:
Sifat Musyabbahah, seperti:
Isim Tafdhil, seperti:
Yang dimaksud muawwal di sini adalah:
Isim Isyarah, seperti:
Isim Mausul, seperti:
Dzul berarti yang empunya, seperti:
Isim-isim Nisbat, seperti:
Jumlah (kalimat), dengan syarat kata yang diikutinya berupa isim nakirah,
seperti:
‘Mashdar dengan bentuk Mufrad Mudzakkar, seperti:
Kata dalam
kalimat-kalimat di atas selalu menetapi bentuk Mufrad Mudzakkar, meskipun yang
disifati (diikuti) Mufrad Mudzakkar, seperti dalam contch pertama: Mufrad
Muannats, seperti: dalam contoh kedua, Tatsniyyah Mudzakkar, seperti dalam
contoh ketiga, ataupun Jamak Taksir, seperti: dalam contoh keempat
Hukum
Naat Hakiki
Naat Hakiki (naat yang merafa’kan dhamir mustatir) itu
mengikuti Man’ut (kata yang diikuti) dalam hal rafa’, nashab, jer, makrifat,
nakirah, mudzakkar, muannats, mufrad, tatsniyah dan jamak. Contoh:
– Telah berdiri Zaid yang berakal.
– Aku telah melihat Zaid yang
berakal.
– Aku relah bersua dengan Zaid yang berakal.
–
Telah datang Hindun yang berakal.
– Aku telah melihat Hindun yang
berakal.
– Aku telah bersua dengan Hindun yang berakal.
–
Telah datang seorang laki-laki yang berakal.
– Aku relah melihat
seorang laki-laki yang berakal.
– Aku telah bersua dengan seorang
lakilaki yang berakal.
– Telah datang dua Zaid, yang keduaduanya
berakal.
– Aku telah melihat dua Zaid, yang kedua-duanya
berakal.
-Aku telah bersua dengan dua Zaid, yang kedua-duanya
berakal.
– Telah datang para Zaid, yang Semuanya berakal.
-Aku
telah melihat para Zaid, yang Semuanya berakal.
– Aku telah bersua
dengan para Zaid, yang semuanya berakal.
– Telah datang dua Hindun,
yang kedua-duanya berakal.
– Aku telah melihat dua Hindun, yang
kedua-duanya berakal.
– Aku telah bersua dengan dua Hindun, yang
kedua-duanya berakal.
– Telah datang para Hindun, yang semuanya
berakal.
– Aku telah melihat para Hindun, yang semuanya berakal.
–
Aku telah bersua dengan para Hindun, yang semuanya berakal.
Hukum
Naat Sababi
Apabila Naat itu merafa’ kan isim zhahir atau dhamir
bariz (naat sababi), maka naat cukup mengikuti man’ut dalam hal i’rab,
makrifat dan nakirah, tidak mengikuti man’ut dalam hal mudzakkar, muannats
mufrad, tatsniyah dan jamak. Tetapi naat yang demikian diberi hukum seperti
fiil.
Apabila fail naat itu muannats, maka naat harus muannats,
meskipun man’ut (kata yang diikuti) mudzakkar, apabila fail mudzakkar, maka
naat harus di-mudzakkar-kan, meskipun man ‘ut (kata yang diikuti) muannats,
dan naat sababi ini harus menetapi bentuk mufrad, tidak boleh ditatsniyahkan
atau dijamakkan. Contoh:
-Zaid yang ibunya berdiri telah datang.
Kata
dalam kalimat di atas berkedudukan menjadi naat yang merafa’ kan isim
zhahir (naat sababi). Ia mengikuti
man’utnya ( ) dalam hal i’rab, makrifat dan nakirah-nya
Sedangkan
muannats dan mudzakkarnya menyesuaikan dengan isim yang dirafa’kan, jika isim
yang dirafa’kan naat itu muannats, maka naat ditandai muannats, seperti dalam
contoh di atas. Apabila isim yang dirafa’kan naat itu mudzakkar, maka naat
harus di-mudzakkarkan, seperti contoh di bawah ini:
– Hindun yang
ayahnya berdiri telah datang.
Kata dalam kalimat di
atas berkedudukan sebagai naat yang merafa’kan isim zhahir (naat sababi). Ia
mengikuti man ‘ut-nya ( ) dalam hal i’rab, makrifat dan nakirah-nya. Sedangkan
muannats dan mudzakkarnya menyesuaikan dengan isim yang dirafa’kan. Karena
dalam kalimat di atas, isim yang dirafa’kan naat berjenis mudzakkar, maka naat
harus mudzakkar.
Kata dalam dua kalimat yang terakhir
berkedudukan sebagai naat sababi. Ia tetap mufrad, meskipun man’ut dan
isim yang dirafa’ kannya berupa tatsniyah dan jamak.
Tetapi Imam
Syibawaih berpendapat: Apabila isim yang dirafa’kan naaf itu berupa jamak,
seperti dalam contoh terakhir, maka sebaiknya naaf dijamakkan taksir,
contoh:
Menjamakkan naat seperti dalam dua contoh di atas dengan
jamak faksir itu lebih baik daripada memufradkannya. Dan memufradkannya itu
lebih baik daripada menjamakkannya dengan jamak mudzakkar salim, contoh:
Demikian
contoh-contoh naat yang merafa’kan isim zhahir, sedangkan contoh-contoh yang
merafa’kan isim dhamir sebagai berikut:
Fungsi Naat dalam
Kalimat
Fungsi naat dalam kalimat ialah:
Mentakhsish kata yang diikuti (man’ut), jika man’ut berupa isim nakirah,
seperti:
Saya lewat bertemu dengan seorang laki-laki yang saleh.
Kata
dalam kalimat di atas adalah isim nakirah yang disifati oleh kata . Kata
ini menjadi sifat (naat) . Berarti tidak semua laki-laki masuk, tetapi
laki-laki yang saleh.
Menjelaskan kata yang
diikuti (man’ut), apabila man’ut berupa isim makrifat. Contoh: :
Zaid
yang alim telah datang. :
Memuji. Contoh:
Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Mencela. Contoh:
Saya berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk.
Memohon belas kasihan.
Contoh:
Ya, Allah, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini.
Mengukuhkan (taukid). Contoh:
Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna.
Hukum Naat Man’ut yang Sudah Diketahui Tanpa Naat ,
Apabila
man’ut itu telah diketahui dengan jelas tanpa naat maka kata yang menjadi
naat-nya boleh dibaca mengikuti man’ut atau memutus hubungan dengannya. Arti
memutus hubungan di sini adalah merafa’kan naat sebagai khabar dari mubtada’
yang dibuang atau menashabkannya dengan fiil-fiil yang dibuang, contoh:
Lafal
adalah sudah maklum dan jelas, meskipun tanpa naat. Sedangkan
kata dalam kalimat di atas menjadi naat lafal . Naat yang demikian
ini boleh dibaca menurut bacaan man’ut, boleh dibaca rafa’ menjadi khabar dari
mubtada’ yang dibuang atau dibaca nashab sebab fiil yang dibuang.
Menurut Imam Syibawaih, bahwa kata di atas boleh
dibaca jer mengikuti man’ut, yaitu lafal , boleh dibaca rafa’ menjadi khabar
dari mubtada’ yang dibuang dan boleh dibaca nashab dengan
menakdirkan fiil
Hukum Naat yang Lebih dari Satu
Apabila
naat lebih dari satu dan man’ut-nya sudah jelas tanpa naal-naat tersebut, maka
semua naat itu boleh dii’rab (dibaca) sama dengan i’rab man’ut, memutus
hubungan dengan man’ut sama sekali, sebagian naat mengikuti man’ut dan
sebagiannya tidak, dengan syarat naat yang mengikuti man’ut mendahului naat
yang tidak mengikutinya. Tetapi, apabila man’ut tidak bisa diketahui, kecuali
dengan menyebutkan naat-naat tersebut, maka semuanya wajib mengikuti man’ut.
Apabila man’ut bisa diketahui dengan sebagian naat, maka sebagian naat yang
lainnya boleh di-i’rab dengan salah satu dari tiga i’rab di atas.
باب العطف
BAB ATAF
العطف نوعان: عطف بيان وعطف نسق؛ فعطف البيان هو التابع المشبه للنعت في توضيح
متبوعه إن كان معرفة نحو أقسم بالله أبو حفص عمر، وتخصيص إن كان نكرة نحو هذا
خاتم حديد بالرفع؛ ويفارق النعت في كونه جامداً غير مؤول بمشتق، والنعت مشتق أو
مؤول بمشتق يوافق متبوعه في أربعة من عشرة في واحد من أوجه الإعراب الثلاثة وفي
واحد من التذكير والتأنيث، وفي واحد من التعريف والتنكير وفي واحد من الإفراد
والتثنية والجمع، ويصح في عطف البيان أن يعرب بدل كل من كل في الغالب.
أما
عطف النسق فهو التابع الذي يتوسط بينه وبين متبوعه حرف من هذه الحروف العشرة وهي:
الواو، والفاء، وثم، وحتى، وأم، وأما، وبل، ولا، ولكن، فالسبعة الأولى: تقتضي
التشريك في الإعراب والمعنى والثلاثة الباقية تقتضي التشريك في الإعراب فقط؛ فإن
عطفت بها على مرفوع رفعت، أو على منصوب نصبت، أو على مخفوض خفضت، أو على مجزوم
جزمت نحو: {وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ} (22) سورة الأحزاب؛ {وَمَن يُطِعِ
اللهَ وَرَسُولَهُ} (13) سورة النساء؛ {آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللهِ وَرَسُولِهِ}
(136) سورة النساء؛ {وَإِن تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا
يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ} (36) سورة محمد؛ والواو: لمطلق الجمع نحو: جاء زيد
وعمرو قبله، أو معه، أو بعده، والفاء: للترتيب والتعقيب نحو: {ثُمَّ أَمَاتَهُ
فَأَقْبَرَهُ} (21) سورة عبس، ثم: للترتيب والتراخي: {ثُمَّ إِذَا شَاء
أَنشَرَهُ} (22) سورة عبس، والعطف بحتى قليل ويشترط فيه ان يكون المعطوف بها اسما
ظاهراً وأن يكون بعضاً من المعطوف عليه، وغاية له نحو: أكلت السمكة حتى رأسها؛
بالنصب؛ ويجوز الجر على أن حتى جارة كما تقدم في المخفوضات؛ ويجوز الرفع على أن
حتى ابتدائية ورأسها مبتدأ والخبر محذوف، أي: حتى رأسها مأكول؛ وأم: لطلب التعيين
إن كانت بعد همزة داخلة على أحد المستويين؛ وأو: للتخيير أو الإباحة بعد الطلب
نحو: تزوج هنداً أو أختها، ونحو: جالس العلماء أو الزهاد، وللشك أو الإبهام أو
التفضيل بعد الخبر نحو: {قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ} (19) سورة
الكهف؛ {وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى} (24) سورة سبأ؛ {وَقَالُواْ
كُونُواْ هُودًا أَوْ نَصَارَى} (135) سورة البقرة؛ وإما بكسر الهمزة مثل أو بعد
الطلب والخبر نحو: تجوز إما هندا أو أختها؛ وبقية الأمثلة واضحة.
وقيل:
إن العطف إنما هو الواو، وأن أما حرف تفصيل كالأولى لأنه حرفها تفصيل؛ وبل:
للإضراب غالباً نحو: قام زيد بل عمرو؛ لكن: للاستدراك نحو: مررت رجل صالح لكن
طالح؛ ولا: لنفي الحكم عما بعدها نحو: قام زيد لا عمرو.
Macam-macam ‘Athaf
Athaf itu ada dua macam, yaitu:
‘Athaf Bayan.
‘ Athaf Nasaq.
‘Athaf
Bayan
‘Athaf Bayan ialah tabi’ (kata yang ikut) seperti halnya naat
berfungsi menjelaskan matbu’ (kata yang diikuti)nya, jika terdiri dari isim
makrifat dan untuk mentakhsish matbu’-nya, jika terdiri dari isim nakirah,
seperti contoh:
– Telah bersumpah kepada Allah, Abu Hafash alias
Umar.
Kata dalam kalimat di atas menjelaskan maksud dari
kata
-Ini cincin besi.
Kata dalam kalimat di
atas menjelaskan maksud kata yang nakirah (umum).
Perbedaan antara naat dan ‘athaf bayan ialah ‘athaf bayan terdiri dari isim
jamid yang tidak ditakwil musytaq, sedangkan naat terdiri dari isim musytaq
atau isim jamid yang ditakwil musytaq.
Hukum ‘Athaf
‘Athaf,
baik bayan maupun nasag itu harus sama dengan ma’thuf (yang di’athafi) dalam
empat perkara dari sepuluh perkara, yaitu:
Dalam
segi i’rab-nya (rafa’, nashab atau jer).
Dalam segi
mudzakkar atau muannats-nya.
Dalam segi makrifat atau
nakirah-nya.
Dalam segi mufrad, tatsniyah atau
jamak-nya.
‘Athaf Bayan itu pada umumnya boleh dii’rabi sebagai
badal kul min kulli.
‘Athaf Nasaq
‘Athaf Nasag ialah
tabi’ (kata yang ikut) pada matbu’-nya (kata yang diikuti) yang memakai
perantara salah satu dari sepuluh huruf sebagai berikut:
Wawu( )
Fa’ ( )
Tsumma( )
Hattaa ( )
Am ( )
Au ( )
Immaa ( )
Bal( )
Laa ( )
Laakin ( )
Fungsi Huruf-huruf ‘ Athaf
Tujuh huruf ‘athaf
yang pertama ( dan ) itu berfungsi untuk menggabungkan kata yang di’athafkan
(ma’thuf) dengan kata yang di’athafi (ma’thuf alaih) dalam segi i’rab dan
makna. Sedangkan tiga huruf ‘athaf lainnya ( dan ) berfungsi
untuk menggabungkan ma’thuf dan ma’thuf alaih dalam segi i’rabnya.
Apabila ma’thuf alaih dibaca rafa’, maka ma’thuf juga rafa’.
Apabila ma’thuf alaih nashab, maka ma’thuf juga nashab, apabila ma ‘thuf alaih
jer, maka ma’thuf juga jer, dan apabila ma’thuf alaih jazem, maka ma’thuf juga
jazem, contoh:
– Benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Kata ,
adalah ma’thuf (di’athafkan) pada kata karena kata
(ma’thuf alaih atau yang di’athafi) rafa’, maka kata , juga dirafa’kan.
,
Makna Tiap-tiap Huruf ‘Athaf
Arti huruf-huruf ‘athaf
tersebut ialah:
Wawu ( ) untuk muthlaqul jami’
(berkumpulnya ma’thuf dan ma’thuf alaih secara mutlak), contoh:
–
Zaid dan Amar telah datang.
Dalam kalimat di atas diterangkan,
bahwa Zaid dan Umar datang di suatu tempat, tanpa memperhatikan, apakah Zaid
dulu atau Amar, bersamaan atau tidak.
Fa’ ( )
untuk menunjukkan arti fartib (berurutan) dan ta’qib (susul-menyusul),
contoh:
– Dia mematikannya, lalu menguburkannya.
Kata
adalah fiil madhi berkedudukan menjadi ma’thuf (di’athafkan) pada
kata yang juga fiil madhi,dengan perantara huruf ‘athaf yang
menunjukkan arti tertib atau berurutan, yakni setelah mematikan, lalu
menguburkan.
Tsumma ( ) untuk menunjukkan arti
tertib (berurutan) dengan tenggang waktu beberapa lama. Contoh:
–
Kemudian bila Dia menghendaki, maka dia membangkitkannya kembali.
Hattaa ( ), huruf ‘athaf ini jarang dipakai, jika dipakai harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu:
Lafal yang di’athafkan berupa
isim zhahir.
Lafal yang di’athafkan bagian dari yang
di’athafi.
Lafal yang di’athafi menjadi sasaran atau
tujuan terakhir, contoh:
– Saya telah makan ikan hingga
kepalanya.
Kata dalam kalimat di atas dibaca nashab, ‘athaf
pada kata dengan perantara huruf ‘athaf ‘Athaf yang demikian ini
telah memenuhi syarat di atas. Kata boleh juga dibaca jer dengan
memfungsikan sebagai huruf jer, sebagaimana telah diuraikan pada Bab Isim-isim
yang Dibaca Jer. Selain itu, kata boleh dibaca rafa’
dengan memfungsikan sebagai ibtidaiyyah, sehingga kata sesudahnya
menjadi permulaan kalimat dan berkedudukan sebagai mubtada’, yang khabar-nya
dibuang, susunannya adalah:
Am ( ), untuk
menunjukkan arti mencari ketegasan, jika jatuh sesudah hamzah yang masuk pada
salah satu dua hal yang sama, contoh:
Au ( ),
untuk menunjukkan arti: – Takhyir (pilihan). Contoh:
– Kawinilah
Hindun atau saudaranya.
– Pergaulilah ulama atau orang-orang yang
zuhud.
Keraguan (ketidak jelasan) atau melebihkan, jika sesudah
kalimat berita. Contoh:
– Kami berada di sini sehari atau setengah
hari.
– Dan sesungguhnya kami atau kalian, pasti berada dalam
kebenaran.
-Hendaklah kalian menjadi penganut Yahudi atau
Nasrani.
Immaa ( ), bermakna seperti Au ( ),
baik sesudah kalimat perintah maupun kalimat berita. Contoh:
–
Kawinilah Hindun atau saudaranya.
– Belajarlah fikih atau nahwu.
–
Telah datang Zaid atau Amar.
Konon dalam
kalimat-kalimat di atas, bukan huruf yang – meng’athafkan kata sesudahnya pada
kata sebelumnya yang mengathafkan itu adalah huruf wawu ( ). Sedangkan
huruf adalah huruf tafshil, seperti dalam kalimat pertama.
Bal ( ) menunjukkan arti idhrab dari pokok bahasan (pembetulan), contoh:
–
Telah berdiri Zaid, bahkan Amer.
Laakin ( ),
untuk menunjukkan arti istidrak (pembetulan). Contoh:
– Saya tidak
bertemu seorang laki-laki saleh, tetapi seorang lakilaki yang jahat.
Laa ( ), untuk menunjukkan arti peniadaan hukum lafal sesudahnya, contoh:
–
Telah datang Zaid, bukan Amer.
باب التوكيد:
BAB TAUKID
والتوكيد ضربان: لفظي ومعنوي؛ فاللفظي إعادة اللفظ الأول بعينه سواء كان اسما
نحو: جاء زيد زيد أو فعلا نحو: أتاك أتاك اللاحقون، احبس احبس، أو حرفا نحو:
لا
لا أبوح بحب بثنة إنها أخذت علي مواثقا وعهودا
أو جملة نحو: ضربت زيدا
ضربت زيداً؛ والمعنوي ألفاظ معلومة وهي: النفس والعين وكل وجميع وعامة وكلا
وكلتا؛ ويجب اتصالها بضمير مطابق للمؤكد نحو: جاء الخليفة نفسه أو عينه، ويمكن أن
تجمع بينهما بشرط أن تقدم النفس؛ ويجب إفراد النفس والعين مع المفرد وجمعهما عللا
أفعل مع الجمع واجب؛ وكل وجمع وعامة يؤكد بها المفرد والجمع ولا يؤكد بها المثنى،
تقول: جاء الجيش كله أو جميعه أو عامته؛ وجاءت القبيلة كلها أو جميعها أو عامتها؛
وجاء الرجال كلهم أو جميعهم أو عامتهم، أو جاءت النساء كلهن أو جميعهن أو عامتهن؛
وكلا وكلتا يؤكد بهما المثنى نحو: جاء الزيدان كلاهما وجاءت الهندان كلتاهما.
إذا
أريد تقوية المعن فيجوز أن يؤتى بعد كله، بأجمع وبعد كلتا بجَمْعَاءَ، وبعد كلهم
بأجْمعين، وبعد كلهن بجُمع، قال الله تعالى: {فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ
أَجْمَعُونَ} (73) سورة ص؛ وتقول جاء الجيش كله أجمع؛ والقبيلة كلها جمعاء؛
والنساء كلهن جُمع؛ وقد يوكد بأجمع وجمعاء وأجمعين وجمع بدون كل، نحو:
{وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ} (39) سورة الحجر.
وقد يوتى بعد أجمع
بتوابعه وهي أكتع، وأبصع، وأبتع نحو: جاء القوم كلهم أجمعون وأكتعون وأبصعون
وأبتعون، وهي بمعنى واحد ولذلك لا يعطف على نفسه.
والتوكيد تابع
للمؤكد في رفعه ونصبه وخفضه وتعريفه ولا يجوز توكيد النكرة عند البصريين.
Definisi
Taukid adalah isim yang ikut pada isim sebelumnya, untuk
menegaskan maksud sebenarnya dari isim yang diikuti.
Pembagian
Taukid
Taukid itu ada dua macam, yaitu:
Taukid Lafzhi.
Taukid Maknawi
Taukid Lafzhi
Taukid Lafzhi adalah taukid dengan cara mengulangi kata pertama,
baik berupa:
Isim, seperti:
Fiil, seperti:
“Telah datang kepadamu telah datang kepadamu,
orang-orang yang telah menyusulmu, maka berhentilah, berhentilah.”
‘ Huruf, seperti:
“Tidak, aku tidak membuka percintaan
Bitsnah, sesungguhnya dia telah mengadakan perjanjian-perjanjian denganku.”
Kalimat, seperti:
Saya telah memukul Zaid,
saya telah memukul Zaid.
Taukid Maknawi
Taukid Maknawi
itu terdiri dari kata-kata yang telah dikenal, yaitu:
Nafsun ( )
‘Ainun ( )
Kullun (
)
Jamii’un ( )
‘Aammatun ( )
.
Kilaa ( )
Kiltaa ( )
Syarat-syarat
Taukid Maknawi
Taukid Maknawi itu harus mengandung dhamir yang
cocok dengan kata yang ditaukidi dalam hal mufrad, tatsniyah, jamak, mudzakkar
dan muannats. .
Taukid Maknawi dengan kata
dan itu boleh dirangkap atau digunakan keduanya untuk satu
muakkad, dengan . syarat kata didahulukan, seperti:
Penggunaan
Lafal-lafal Taukid Maknawi
Lafal (. ) dan (. ) itu harus digunakan
mentaukidi kata yang mufrad, contoh:
Ali berpidato sendiri.
Lafal
jamak dari dan jamak dari itu digunakan mentaukidi kata yang berbentuk
tatsniyah dan jamak. Contoh:
Telah datang dua Zaid, mereka berdua
sendiri.
Telah datang dua Zaid, mereka berdua sendiri.
Telah
datang orang-orang yang bernama Zaid diri mereka sendiri.
Telah
datang orang-orang yang bernama Zaid diri mereka sendiri.
Lafal
dan digunakan untuk mentaukidi kata yang berbentuk mufrad dan
jamak, tidak bisa digunakan untuk mentaukidi isim tatsniyah, contoh:
Mufrad Mudzakkar:
– Telah datang pasukan tentara seluruhnya.
–
Telah datang pasukan tentara seluruhnya.
– Telah datang pasukan
tentara seluruhnya.
Mufrad Muannats:
-Telah
datang kabilah, semuanya.
– Telah datang kabilah, semuanya.
–
Telah datang kabilah, semuanya.
Jamak
Mudzakkar:
– Telah datang para pejuang, seluruhnya.
–
Telah datang para pejuang, seluruhnya.
– Telah datang para pejuang,
seluruhnya.
Jamak Taksir:
– Telah
datang para lelaki, semuanya.
– Telah darang para lelaki,
semuanya.
– Telah darang para lelaki, semuanya.
Jamak Muannats:
-Telah datang para wanita, seluruhnya.
–
Telah datang para wanita, seluruhnya.
– Telah datang para wanita,
seluruhnya.
Lafal dan digunakan untuk mentaukidi
isim tatsniyah, contoh:
-Telah datang dua Zaid, keduanya.
-Telah
datang dua Zaid, keduanya.
Mentaukidi Kata yang Sudah Ditaukidi
Apabila
ada kata yang sudah ditaukidi hendak ditaukidi, maka boleh memakai kata-kata
sebagai berikut:
diletakkan sesudah . contoh:
, diletakkan sesudah , contoh:
, diletakkan
sesudah , contoh:
, diletakkan
sesudah , contoh:
Kadang-kadang lafal
taukid dan itu . digunakan tanpa didahului oleh lafal
, seperti:
– Dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Kadang-kadang
lafal taukid itu diikuti oleh lafal dan , contoh:
Lafal
dan itu berarti sama.
Hukum Taukid
Taukid itu harus
mengikuti muakkad (kata yang ditaukidi) dalam hal i’rab yang meliputi rafa’,
nashab dan jer serta dalam hal makrifatnya. Menurut ulama Bashrah, isim
nakirah itu tidak boleh ditaukidi dengan isim nakirah.
باب البدل
BAB BADAL
هو التابع المقصود بالحكم بلا واسطة، وإذا أبدل اسم من اسم أو فعل من فعل تبعه في
جميع إعرابه، والبدل على أربعة أقسام الأول: بد الشيء من الشيء، ويقال له بدل
الكل من الكل نحو: جاء زيد أخوك؛ قال الله تعالى: {اهدِنَا الصِّرَاطَ
المُستَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ (7) } سورة الفاتحة؛ وقال الله تعالى: {إِلَى
صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (1) الله (2) } سورة إبراهيم؛ في قراءة الجر؛
والثاني بدل البعض من الكل سواء كان ذلك البعض قليلا أو كثيراً نحو: أكلت الرغيف
ثلثه أو نصفه أو ثلثيه، ولا بد من اتصاله بضمير يرجع للمبدل منه، إما مذكور
كالأمثلة أو مقدر كقوله تعالى: ولله على الناس حج البيت من استطاع؛ أي منهم؛
الثالث بد الاشتمال نحو: أعجبني زيد علمه، ولا بد من اتصاله بضمير إما مذكور
كالمثال أو مقدر كقوله تعالى: {قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النار (5) }
سورة البروج؛ أي فيه؛ والرابع: البدل المباين، وهو ثلاثة أقسام، بدل الغلط، وبدل
النسيان، وإن أردت الإخبار أولا بأنك رأيت زيداً ثم بدا لك أن تخبر بأنك رأيت
الفرس فهذا بدل الإضراب.
تنبيه: ومثال إبدال الفعل من الفعل قوله
تعالى: {وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ
(69) } سورة الفرقان؛ ويجوز إبدال النكرة من المعرفة نحو: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ} (217) سورة البقرة.
Definisi
Badal ialah tabi’ (yang ikut) yang menjadi sasaran hukum
tanpa perantaraan. Apabila ada isim dijadikan badal isim atau fiil dijadikan
badal fiil, maka isim atau fiil yang menjadi badal itu harus mengikuti mubdal
minhu dalam semua i’rabnya.
Macam-macam Badal
Badal itu
ada empat macam, yaitu:
Badal Syai’ Min Syai’
atau Badal Kul Minal Kulli. Contoh:
– Telah datang Zaid,
saudaramu.
Kata dalam kalimat di atas adalah badal kul
minal kulli dari kata . Yang dimaksud Zaid, yaitu saudaramu, bukan Zaid selain
saudaramu.
“Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orangorang yang telah Engkau beri nikmat.” ,
Kata
adalah badal kul minal kulli dari kata Maksud jalan yang lurus
adalah jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.
Yaitu ke jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Dia-lah Allah.
Badal Ba’dhu Minal Kulli (sebagian dari keseluruhan), baik sebagian tadi
banyak atau sedikit. Contoh:
– Saya Makan roti, sepertiganya.
–
Saya makan roti, separonya.
– Saya makan roti, dua pertiganya.
Kata
dalam kalimat-kalimat atas menjadi badal ba’dhu minal kulli dari
kata . Sebab kata-kata tersebut menunjukkan bagian dari roti. Badal ba’dhu
minal kulli itu disyaratkan mengandung dhamir yang merujuk pada mubdal minhu,
baik secara tegas sebagaimana dalam contoh-contoh di atas, maupun
diperkirakan. Contoh:
“.. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah ……”
Kata dalam ayat di atas sebagai badal ba’dhu
minal kulli dari kata . Sebenarnya, dalam badal ini ada dhamir tersimpan yang
merujuk pada kata berupa
Badal Isytimal.
Contoh:
– Zaid telah mengagumkan aku, ilmunya.
Kata
dalam kalimat di atas menjadi badal isytimal dari mubdal minhu berupa
Badal Isytimal itu harus mengandung dharnir yang merujuk
pada mubdal minhu, baik dhamir itu disebutkan dengan jelas, seperti dalam
contoh di atas, atau disamarkan. Contoh:
– Telah dibinasakan
orang-orang yang membuat parit yang berapi.
Kata dalam ayat di atas
menjadi badal isytimal dari mubdal minhu, berupa kata . Dalam kalimat itu
sebenarnya ada dhamir yang dikira-kirakan, berupa dalam kata
Badal Mubayan. Badal ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Badal Ghalath.
Badal Nisyan.
Badal Idhrab.
Contoh:
– Saya telah melihat Zaid, eh
kuda.
Jika engkau hendak mengucapkan: lalu
keliru , kemudian menyebutkan kata , sehingga
menjadi: maka disebut badal ghalath. Apabila engkau
mengucapkan: – lalu engkau ketika mengucapkan teringat, bahwa yang kamu
lihat adalah kuda, kemudian cepat-cepat engkau sebutkan kata , sehingga
menjadi , maka disebut badal nisyan. Apabila pada mulanya kamu hendak
memberitakan, bahwa kamu telah melihat Zaid, kemudian timbul dalam pikiran
niat memberitakan, bahwa engkau melihat kuda, maka yang demikian ini disebut
badal idhrab.
Badal dan Mubdal Minhu dari Fiil
(Fiil itu
juga bisa dijadikan badal dari mubdal minhu yang berupa fiil juga), contoh:
Badal Kullu Minal Kulli
“… Barangsiapa yang melakukan demikian itu,
niscaya dia mendapat (balasan atas) dosa-dosa(nya), (yakni) akan
dilipatgandakan azab untuknya ….”
Kata dalam kalimat di
atas menjadi badal kullu minal kulli dari mubdal minhu
Badal Ba’dhu Min Kulli
“Jika kamu salat, sujud kepada Allah, maka
Dia akan memberi rahmat kepadamu.”
Kata dalam
kalimat di atas menjadi badal ba’dhu min kulli dari mubdal minhu
Badal Isytimal
Kata dalam kalimat di atas menjadi badal
isytimal dari mubdal minhu
Badal Ghalat
Yang
menjadi badal ghalat berupa fiil dalam kalimat di atas adalah .
Hukum
Badal Isim Nakirah Untuk Isim Makrifat
Membuat badal dari isim
nakirah, sedangkan mubdal minhu terdiri dari isim makrifat itu boleh, seperti
dalam firman Allah: ”
“Mereka bertanya kepadamu tentang
berperang pada bulan Haram.”
Kata dalam ayat di atas
adalah nakirah dan menjadi badal dari mubdal minhu yang terdiri
dari isim makrifat, yaitu kata
باب الأسماء العاملة عمل الفعل
BAB ISIM YANG BERAMAL SEPERTI FI'IL
اعلم ان أصل العمل للأفعال؛ فيعمل عمل الفعل من الأسماء سبعة:
الأول:
المصدر بشرط أن يحل محله فعل مع أن أو مع ما نحو: يعجبني َضْرُبكَ زيداً؛ أي أن
تضرب زيداً، ونحو: يعجبني ضربك زيداً أي ما تضربه به.
وهو ثلاثة
أقسام: مضاف ومنون ومقرون؛ فإعماله مضافاً أكثر من إعمال القسمين كالمثالين،
وكقوله تعالى: {وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ} (251) سورة البقرة؛ وعمله
منوناً أقيس نحو: {أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) يتيماً (15) }
سورة البلد؛ وعمله مقروناً بأل شاذ كقوله: ضعيف النكاية أعداءه.
الثاني:
اسم الفاعل كضارب ومُكرم؛ فإن كان بأل عمل مطلقا ًنحو: هذا الضارب زيداً أمس أو
الآن أو غداً، وإن كان مجرداً من أل عمل بشرطين: كونه للحال أو الاستقبال
واعتماده على نفي أو استفهام أو مخبراً عنه أو موصوف نحو: ما ضارب زيد عمراص،
وأضارب زيد عمراً؟ وزيد ضارب عمراً؛ ومررت برجل ضارب عمراً.
والثالث
أمثلة المبالغة وهي: ما كان على وزن أفعل ووزن مفعول أو مفعال أو فعيل أو فعل وهي
كاسم الفال، فما كان صلة لأل عمل مطلقا نحو: جاء الضراب زيداً؛ وإن كان مجردا
منها عمل بشرطين، نحو: ما ضَّراب زيد عمراً.
الرابع: اسم المفعول،
نحو: مضروب ومكرم؛ ويعمل عمل الفعل المني للمفعول وشرط عمله كاسم الفاعل نحو: جاء
المضروب عبده؛ وزيد مضروب عبدُه، فعبده نائب الفاعل في المثالين.
الخامس:
الصفة المشبهة باسم الفاعل المتعدي إلى واحد كحسن وظريف، ولمعمولها ثلاث حالات:
الرفع على الفاعلية نحو: مررت برجل حسن وجهُه وظرف لفظه؛ والنصب على التشبيه
بالمفعول إن كان معرفة نحو: مررت برجل حسنُ الوجهً أو حسن وجهَه، وعلى التمييز إن
كان نكرة نحو: مررت برجل حسن وجهاً؛ والجر على الإضافة نحو: مررت برجل حسن
الوجهِ؛ ولا يتقدم معمول الصفة عليها؛ ولا بد من اتصاله بضمير الموصوف إما لفظاً
كما في زيد حسن وجهه، أو معنى نحو: مررت برجل حسن الوجه.
السادس: اسم
التفضيل نحو: أكرم وأفضل ولا ينصب المفعول به اتفاقا ولا يرفع الظاهر إلا في
مسألة الكحل؛ وضابطها أن يكون في الكلام نفي وبعده اسم جنس موصوف باسم التفضيل
وبعده اسم مفضل على نفسه باعتبارين نحو: ما رأيت رجلا أحسن في عينه الكحلَ منه في
عين زيد. ويعمل في التمييز نحو: {أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا}
(34) سورة الكهف؛ وفي الجار والمجرور والظرف نحو: زيد أفضل منك اليوم.
السابع:
اسم الفعل وهو ثلاثة أنواع: ما هو بمعنى الأمر وهو الغالب: كصه بمعنى اسكت ومهٍ
بمعنى انكفف، وآمين بمعنى استجب وعلك زيداً بمعنى ألزمه ودونك بمعنى خذه وما هو
بمعنى الماضي كهيهات بمعنى بعد وشتان بمعنى افترق؛ والمضارع نحو أوَّه بمعنى
أتوجع، وأف بمعنى أتضجر، ويعمل اسم الفعل عمل الفعل الذي هو بمعناه ولا يضاف، ولا
يتقدم معموله عليه، وما نون منه فنكرة، وما لم ينون فمعرفة.
Ketahuilah, bahwa pada dasarnya kata yang dapat beramal itu hanya fiil.
Tetapi ada tujuh isim yang bisa beramal seperti amal fiil, yaitu: Mashdar,
isim fail, shighat mubalaghah, isim maf’ul, sifat musyabbahah, isim tafdhil
dan isim fiil.
Amal Mashdar dan
Syarat-syaratnya
Pertama adalah mashdar, dengan syarat tempatnya
bisa ditempati oleh fiil bersama atau , Contoh:
–
Mengagumkan padaku pukulanmu pada Zaid.
Kata dalam kalimat di
atas dibaca nashab, karena menjadi maf’ul dari mashdar, yaitu kata . Kata itu
bisa .. ditempati oleh fiil bersama ( ) atau ,
Sehingga menjadi:
atau Mashdar dalam beramal itu
terbagi menjadi tiga, yaitu:
Di-mudhaf-kan pada
salah satu ma’mul-nya, contoh:
– Seandainya Allah tidak menolak
manusia.
Dalam kalimat di atas mashdar ( ) di-mudhaf-kan pada ,
ma’mul marfu’-nya, yaitu kata sedangkan kata menjadi
maf’ul-nya.
Dalam kaliamt di atas mashdar ( ) di-mudhaf-kan pada
ma’mul manshub (maf’ul), yaitu kata .
Di-tanwin. Contoh:
Dalam kalimat di
atas, mashdar ( ) memakai tanwin dan beramal seperti fiil, mempunyai fail dan
maf’ul. Failnya dibuang, berupa dhamir yang ada pada kata “abi,
fakdir-nya adalah , sedangkan maf’ul-nya adalah kata
Diberi Al ( ). Contoh:
Dalam kalimat di atas, mashdar
bersamaan Al ( ) dan beramal menashabkan kata menjadi
maf’ul-nya. Amal mashdar yang disertai Al itu hukumnya syadz.
Amal Isim Fail
Kedua, adalah isim fail, seperti: dan
lain-lainnya.
Syarat Amal Isim Fail
Apabila isim fail
bersamaan dengan Al ( ), maka bisa beramal secara mutlak, tanpa Syarat,
contoh:
– Ini orang yang memukul Zaid kemarin.
– Ini
orang yang memukul Zaid sekarang.
– Ini orang yang memukul Zaid
besok.
Apabila isim fail tidak bersamaan dengan Al ( ), maka harus
memenuhi dua syarat:
Mengandung makna sekarang
atau akan datang.
Didahului oleh nafi, istifham,
dijadikan khabar atau menjadi sifat, contoh:
Didahului
oleh nafi:
Zaid bukanlah orang yang memukul Amar.
Didahului oleh istifham:
Apakah Zaid orang yang memukul Amar.
Dijadikan khabar: :
Zaid adalah orang yang memukul Amar.
Menjadi sifat:
Saya bertemu dengan laki-laki yang memukul Amar.
III.
Amal Sighat Mubalaghah
Ketiga, adalah sighat mubalaghah, yaitu
tiap-tiap kata yang mengikuti wazan.
4. Sighat mubalaghah ini
seperti isim fail, apabila bersamaan dengan Al ( ), maka bisa beramal
secara mutlak, tanpa syarat, contoh:
– Telah datang orang yang
banyak memukul Zaid.
Tapi apabila tidak bersamaan dengan Al ( ),
maka harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku pada isim fail, yang antara
lain didahului oleh nafi, contoh:
-Zaid bukanlah orang yang banyak
memukul Amar.
Amal Isim Maf’ul
Keempat,
adalah isim maf’ul, seperti . Isim maf’ul ini beramal seperti fiil mabni
majhul. Syarat-syarat amalnya, seperti syarat-syarat yang berlaku pada amal
isim fail, contoh:
– Telah datang orang yang hambanya dipukul.
–
Zaid adalah orang yang hambanya dipukul.
Kata dalam dua kalimat di
atas menjadi naibul fail dari isim maf’ul
Amal
Isim Sifat Musyabbahah
Kelima, adalah Isim Sifat Musyabbahah
(diserupakan) dengan isim fail yang butuh pada satu maf’ul,
seperti Ma’mul (kata yang menjadi ‘sasaran amal) isim sifat
musyabbahah itu mengalami tiga keadaan, yaitu:
Rafa’, menjadi fail. Contoh:
Kata dibaca rafa’ menjadi
fail isim sifat musyabbahah
Kata dibaca rafa’ menjadi fail isim
sifat musyabbahah
Nashab, diserupakan maf’ul
bih, apabila terdiri dari isim makrifat, contoh:
Kata adalah
isim makrifat, dibaca nashab — disamakan dengan maf’ul bih dari isim sifat
musyabbahah
Nashab, menjadi tarnyiz, apabila
terdiri dari isim nakirah, contoh:
Kata dalam kalimat
di atas adalah isim nakirah yang dibaca nashab menjadi tamyiz dari isim sifat
musyabbahah
Jer, menjadi mudhaf ilaih.
Contoh:
Syarat Ma’mul Isim Sifat Musyabbahah
Ma’mul
(kata yang menjadi sasaran amal) isim sifat musyabbahah itu tidak boleh
mendahului isim sifat musyabbahah dan harus mengandung dhamir yang kembali
pada kata yang disifati oleh isim sifat musyabbahah, baik secara lafzhi atau
maknawi, seperti:
Amal Isim Tafdhil
Keenam,
adalah isim tafdhil, seperti . Isim tafdhil itu tidak bisa menashabkan
kata menjadi maf’ul dan tidak boleh merafa’ kan isim zhahir, kecuali dalam
masalah Al-Kuhlu (celak).
Batasan masalah Al-Kuhlu ialah susunan
kata yang di dalamnya terdapat nafi yang sesudahnya terdapat isim jenis yang
disifati dengan isim tafdhil, dan sesudahnya terdapat isim yang diungguli
dengan dua sudut pandangan yang berbeda, seperti:
“Saya tidak
pernah melihat seorang laki-laki yang di matanya terdapat celak yang lebih
bagus (sedap dipandang) daripada celak yang ada di mata Zaid.”
Kata
dalam kalimat di atas adalah isim jenis yang jatuh sesudah nafi ( ) yang
disifati dengan isim tafdhil dan sesudahnya terdapat isim yang
dibaca rafa’, yaitu . Kata dalam kalimat tersebut
termasuk asing, karena tidak mengandung dhamir. Isim tafdhil ini bisa beramal
pada tamyiz, seperti dalam firman Allah:
Aku lebih banyak daripada
kamu dalam hal harta. Juga pada jer majrur dan zharaf, contoh:
–
Zaid lebih mulia daripada kamu pada hari ini.
VII. Amal Isim
Fiil
Ketujuh, adalah isim fiil.
Macam-macam Isim Fiil
Isim fiil itu ada tiga macam, yaitu:
Isim yang
bermakna ffil amar, seperti:
bermakna (diamlah)
bermakna (tahanlah)
bermakna (kabulkanlah)
bermakna (retapilah Zaid)
bermakna (ambillah)
Isim yang
bermakna fiil madhi, seperti:
bermakna (jauh)
bermakna (berpisah)
Isim yang bermakna fiil
mudhari’, seperti:
bermakna (sedang sakit)
bermakna (berkata “hus”)
Amal Isim Fiil
Iism fiil itu
beramal seperti fiil yang semakna dengannya, jika bermakna fiil madhi, maka
isim fiil beramal seperti fiil madhi, jika bermakna fiil amar, maka isim fiil
beramal seperti fiil amar dan jika bermakna fiil mudhari’, maka beramal
seperti amal fiil mudhari’. Ma’mul (kata yang menjadi sasaran amal) isim fiil
itu tidak boleh mendahului isim fiil. Isim fiil yang di-tanwin itu dihukumi
nakirah. Sedang yang tidak di-tanwin dihukumi makrifat.
باب التنازع في العمل
BAB TANAZU' DALAM AMAL
وحقيقته أن يتقدم عاملان أو أكثر ويتأخر معمول فأثر ويكون كل واحد من العوامل
المتقدمة يطلب ذلك المتأخر نحو قوله تعالى: {آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا}
(96) سورة الكهف؛ وقولك: ضربني وأكرمت زيداً؛ ونحو: اللهم صل وسلم وبارك على
محمد، ولا خلاف في جواز إعمال أي العاملين من العوامل شئت وإنما الخلاف في الأولى
فاختار البصريون إعمال الثاني لقربه، واختار الكوفيون إعمال الأول لسبقه، فإن
أعملت الأول أملت الثاني في ضمير ذلك الاسم المتنازع فيه فتقول: قام وقعدا أخواك؛
وضربن وأكرمته زيد؛ وضربتني وأكرمتهما أخواك؛ ومر بي مررت بهما أخواك؛ اللهم صل
وسم عليه وبارك عليه على محمد؛ وإن أعملت الثاني فإن احتاج الأول إلى مرفوع
أضمرته؛ تقول قاما وقعد أخواك، وإن احتاج إلى منصوب أو مجرور حذفته كالآية؛
وكقولك: ضربت وضربني أخواك، ومررت ومر بي أخواك.
PEREBUTAN DALAM BERAMAL
Definisi
Tanazu’ ialah adanya
dua amil atau lebih di permulaan kalimat dan sesudahnya terdapat ma’mul (kata
yang menjadi sasaran amal) satu atau lebih, yang diperlukan oleh amil-amil
tadi, seperti firman Allah swt.:
“Berilah aku tembaga (yang
mendidih), agar kutuangkan ke atas besi panas itu.”
Dalam kalimat
di atas terdapat kata ( ), yang membutuhkan kata untuk
dijadikan maf’ul-nya yang kedua, sementara itu kata juga
membutuhkannya untuk dijadikan maf’ul bih-nya. Inilah tanazu’ (rebutan kata)
untuk menjadi objek amalnya. Dalam kalimat di atas, amil kedua, yaitu
kata yang beramal, . sedangkan amil pertama, yaitu
kata , Cukup beramal pada dhamir yang dibuang. Asalnya
ialah ,
Dalam kalimat di atas terdapat dua amil. Pertama
adalah membutuhkan kata . untuk dijadikan fail-nya
yang , dan kedua adalah yang juga membutuhkan
kata untuk dijadikan maf’ul-nya.
Dalam kalimat ini kata . beramal menashabkan menjadi maf’ul bih-nya.
Dalam
kalimat doa shalawat di atas terdapat tiga amil, berupa
fiil dan , yang masing-masing membutuhkan
ma’mul . Jadi, menjadi rebutan tiga fiil tersebut.
Amil
yang Berhak Beramal dalam Tanazu’
Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan para ulama ahli nahwu, tentang beramalnya amil mana saja di antara
amil-amil yang ada dalam suatu kalimat yang kamu kehendaki, yang diperdebatkan
di kalangan . mereka hanyalah ami! mana yang lebih berhak beramal.
Para pakar ilmu nahwu di daerah Bashrah memilih mengamalkan amil kedua, karena
kedekatannya dengan ma’mul.
Para pakar ilmu nahwu di daerah Kufah
memilih mengamalkan amil yang paling awal, karena ia lebih dulu.
Apabila
kamu mengamalkan amil yang pertama, maka kamu harus mengamalkan amil kedua
pada dhamir yang merujuk pada isim yang diperebutkan. Contoh:
– Dua
saudaramu telah berdiri dan mereka telah duduk.
Dalam kalimat di
atas terdapat dua amil, yaitu fiil dan yang sama-sama
membutuhkan ma’mul . Tetapi amil yang pertama, yaitu
ps diprioritaskan beramal, yaitu merafa’ kan sebagai
failnya. Karena itu, amil kedua diberi kesempatan beramal merafa’kan
dhamir yang merujuk pada kata yang diperebutkan.
– Zaid
memukul dan aku memuliakannya.
Dalam kalimat di atas
terdapat dua amil, yaitu fiil yang membutuhkan kata
untuk dijadikan failnya dan fiil yang juga membutuhkan kata
untuk dijadikan maf’ul bih. Tetapi amil yang pertama, yaitu fiil
lebih diprioritaskan, sehingga kata , adalah menjadi fail dari amil ,
tersebut. Oleh sebab itu, amil yang kedua, yaitu diberi kesempatan
beramal pada dhamir yang merujuk pada kata ,
berupa
dhamir sebagai maf’ul bih-nya. ‘
-Dua saudaramu memukulku dan
aku memuliakan keduanya.
– Dua saudaramu bertemu aku dan bertemu
dengan keduanya.
– Ya, Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi
Muhammad, salam-Mu kepadanya dan berkah-Mu kepadanya.
Apabila yang
kamu amalkan itu amil kedua, maka apabila amil yang pertama itu membutuhkan
fail, maka harus disimpan. Contoh:
– Dua saudaramu telah berdiri
dan telah duduk.
Apabila amil pertama tadi membutuhkan maf’ul atau
kata yang dijerkan, maka dhamir yang diamalkannya harus dibuang. Seperti:
Asalnya
Asalnya
باب التعجب
BAB TA'AJUB (UNGKAPAN KEHERANAN)
له صيغتان: إحداهما ما افعل زيداً نحو: ما أحسن زيداً وما أفضله وما أعمله؛ فما
مبتدأ بمعنى شيء عظيم؛ وأفعل فعل ماض وفاعله ضمير مستتر وجوباً يعود إلى ما ولاسم
المنصوب المتعجب منه مفعول به الجملة خبر ما، والصيغة الثانية: أفعل بزيد نحو:
أحسن بزيد وأكرم به؛ فأفعل فعل لفظه الأمر ومعناه التعجب وليس فيه ضمير، وبزيد
فاعله وأصل قولك أحسن بزيد؛ أحْسَنَ زيدُ أي صار ذا حسن، نحو: أورق الشجر ثم غيرت
صيغته إلى الأمر فقبح إسنادها إلى الظاهر فزيدت الباء في الفاعل.
Definisi
Ta’ajjub (keheranan) ialah mengagungkan kelebihan sifat
yang ada pada fail yang sebabnya tidak jelas.
Sighat (Bentuk Kata)
Ta’ajjub Dalam Ilmu Nahwu
Ta ‘ajjub dalam ilmu nahwu itu memiliki
dua sighat atau bentuk kata, yaitu:
Contoh: “
–
Alangkah baik si Zaid.
– Alangkah mulia si Zaid.
–
Alangkah alim si Zaid.
Huruf dalam kalimat-kalimat di atas bermakna
sesuatu yang besar (alangkah, betapa), kedudukannya dalam kalimat menjadi
mubtada’. Fiil yang jatuh sesudahnya, yaitu adalah fiil madhi yang
mempunyai fail berupa dhamir yang wajib tersimpan, yang merujuk pada .
Sedangkan isim sesudahnya adalah muta’ajjub minhu, dibaca nashab menjadi
maf’ul bih. Jumlah fiil, fail dan maf’ul, berkedudukan sebagai khabar dari
mubtada’
Contoh:
– Alangkah baik si Zaid. Pa
–
Alangkah mulia si Zaid.
Kata dalam kalimat di atas
adalah ikut wazan , yaitu fiil yang bentuknya amar, tetapi maknanya
adalah ta’ajjub dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan
berkedudukan sebagai fail.
Susunan asal adalah .
sebanding dengan kalimat . Kemudian bentuknya diubah menjadi bentuk
amar, sehingga menjadi Bentuk kata seperti itu jika di-isnad-kan
pada isim zhamir tampak jelek, maka ditambahkanlah huruf ba’ ( ) pada
fail dan menjadi
باب العدد:
BAB ANGKA
اعلم ان العدد على ثلاثة أقسام:
الأول: ما يجري على القياس فيذكر مع
المذكر ويؤنث مع المؤنث، وهو الواحد والاثنان وما كان على صيغة فاعل، تقول في
لمذكر: واحد واثنان وثن وثالث إلى عاشر، وفي المؤنث ك: واحدة واثنتان أو ثنتان
وثانية وثالثة إلى عاشرة، وكذا إذا ركبت مع العشرة أو غيرها إلا أنك تأتي بأحد
وإحدى وحادي وحادية فتقول في المذكر: أحد عشر واثنا عشر وحادي عشر وثاني عشر
وثالث عشر إلى تاسع عشر؛ وفي المؤنث: إحدى عشرة واثنتا عشرة وحادية عشرة وثانية
عشرة وثالثة عشرة إلى تاسعة عشرة، وتقول أحد وعشرون واثنان وعشرون والحادي
والعشرون والثاني والعشرون إلى التاسع والتسعين، وإحدى وعشرون واثنتان وعشرون
والحادية والعشرون والثانية والعشرون إلى التاسعة والتسعين.
والثاني:
ما يجري على عكس القياس فيؤنث مع المذكر ويذكر مع المؤنث وهو: الثلاثة والتسعة
وما بينهما سواء أفردت نحو: ثلاثة رجال، ثلاث نسوة وقوله تعالى: {سَبْعَ لَيَالٍ
وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ} (7) سورة الحاقة؛ أور كبت مع العشرة نحو ثلاثة عشر
وأربعة عشر إلى تسعة عشر رجلاً وثلاث عشرة إلى تسع عشرة امرأة أو ركبت مع العشرين
وما بعده نحو ثلاثة وعشرون إلى تسعة وتسعين.
الثالث: ما له حالتان:
وهو العشرة إن ركبت جرت على القياس نحو: أحد عشر رجلا واثنا عشر وثلاثة عشر إلى
تسعة عشر، وإحدى عشرة واثنتا عشرة وثلاث عشرة إلى تسع عشرة، وإن أفردت جرت بخلاف
القياس نحو: عشرة رجالٍ وعشر نسوةٍ.
Pembagian Lafal-lafal Bilangan
Ketahuilah, bahwa lafal-lafal
bilangan itu ada tiga bagian.
Lafal Bilangan
yang Beraturan
Bagian pertama ialah lafal bilangan yang mengikuti
kias (beraturan), artinya di-mudzakkar-kan jika ma’dud-nya mudzakkar dan
di-muannats-kan jika ma’dud-nya muannats, yaitu bilangan: (satu)
dan (dua) dan bilangan ikut wazan Untuk mudzakkar harus dengan lafal
mudzakkar, dan jika untuk muannats, juga dengan lafal muannats.
Contoh
bilangan ikut wazan untuk mudzakkar:
kesatu
kedua
ketiga
keempat
kelima
keenam
ketujuh
kedelapan
kesembilan
kesepuluh
Contoh
bilangan ikut wazan untuk muannats:
kesatu
kedua
ketiga
keempat
kelima
keenam
ketujuh
kedelapan
kesembilan
kesepuluh
Lafal-lafal
bilangan tersebut, apabila dirangkai dengan lafal
bilangan (puluhan) dan lainnya, maka tetap mengikuti kias, artinya
harus mudzakkar bila ma’dud mudzakkar dan harus muannats bila ma’dud
muannats.
Contoh lafal bilangan satuan yang dirangkai dengan
puluhan untuk mudzakkar:
sebelas
dua
belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
Contoh lafal
bilangan satuan yang dirangkai dengan puluhan untuk mu’annats:
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan
belas
Contoh lafal bilangan yang ikut wazan yang
dirangkai dengan puluhan untuk mudzakkar:
kesebelas
kedua belas
ketiga belas
keempat belas
kelima belas
keenam belas
ketujuh belas
kedelapan belas
kesembilan belas
Contoh
lafal bilangan yang ikut wazan yang dirangkai dengan puluhan untuk
muannats:
kesebelas
kedua
belas
ketiga belas
keempat
belas
kelima belas
keenam
belas
ketujuh belas
kedelapan
belas
kesembilan belas
Demikian pula
apabila dirangkai dengan sampai , contoh:
dua puluh satu dua puluh dua = untuk mudzakkar
sampai
bilangan (sembilan puluh sembilan)
dua puluh satu dua
puluh dua = untuk muannats ‘
sampai bilangan (sembilan
puluh sembilan).
yang kedua puluh satu untuk yang kedua
puluh dua = untuk mudzakkar
sampai bilangan
(kesembilan puluh sembilan) :
yang kedua puluh satu. yang
kedua puluh dua = untuk muannats
sampai bilangan (yang
kesembilan puluh sembilan).
Lafal Bilangan yang
Tidak Beraturan
Bagian kedua ialah bilangan yang tidak beraturan,
artinya lafal bilangan harus di-muannats-kan, apabila ma’dud (yang dibilang)
mudzakkar dan di-mudzakkar-kan apabila ma’dud muannats, baik ketika dalam
bentuk satuan atau dirangkai dengan bilangan
sampai .
Lafal bilangan bagian ini adalah:
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
Contoh
ketika dalam keadaan sendirian (satuan):
– tiga laki-laki
Lafal
di-muannats-kan, sebab ma’dud (yang dihitung), kata yaitu
kata (mudzakkar).
– tiga perempuan
Lafal
di-mudzakkar-kan, sebab ma’dud (yang dihitung), yaitu kata
(muannats). Dalam firman Allah disebutkan:
– Tujuh malam dan
delapan hari.
Lafal dalam ayat di atas di-mudzakkar-kan sebab
ma’dud-nya, yaitu kata jamak dari (muannats). Sedangkan lafal di-muannats-kan,
karena ma’dud-nya, yaitu kata jamak dari adalah
mudzakkar.
Contoh ketika dirangkai dengan lafal
– tiga
belas orang laki-laki
– empat belas orang laki-laki
–
lima belas orang laki-laki
– enam belas orang laki-laki
–
tujuh belas orang laki-laki
– delapan belas orang laki-laki
–
sembilan belas orang laki-laki
– tiga belas orang perempuan
–
empat belas orang perempuan
– lima belas orang perempuan
–
enam belas orang perempuan
– tujuh belas orang perempuan
–
delapan belas orang perempuan
– sembilan belas orang perempuan
Contoh
ketika dirangkai dengan lafal dan:
sampai
sampai
Lafal Bilangan yang Dua Keadaan
Bagian ketiga adalah lafal adad
(bilangan) yang mempunyai . “ dua keadaan, yaitu lafal . Apabila
dirangkai dengan lafal adad lain, maka ia harus beraturan, artinya
di-mudzakkkar-kan jika ma’dud mudzakkar dan di-muannats-kan, jika ma’dud
muannats. Contoh:
sampai .
Apabila lafal
adad sendirian, tidak dirangkai dengan lafal adad lain, maka
menjadi tidak mengikuti kias, artinya harus dimuannafs-kan jika ma’dud-nya
mudzakkar dan di-mudzakkar-kan Jika ma’dud-nya muannats, contoh:
–
sepuluh orang laki-laki.
– sepuluh orang perempuan.
باب الوقف
BAB WAQAF
يوقف على المنون المرفوع والمجرور بحذف الحركة والتنوين نحو: جاء زيدُ ومررت
بزيدِ وعلى المنون المنصوب بإبدال التنوين ألفاً نحو: رأيت زيدا، وكذلك تبدل نون
إذن ألفا في الوقف، وكذلك نون التوكيد الخفيفة نحو: لنسفعاً يكتبا كذلك، ويوقف
على المنقوص المنون في الرفع والجر بحذف يائه نحو: جاء قاضِ، ومررت بقاضِ؛ ويجوز
إثباتها.
يوقف في النصب بإبدال التنوين ألفاً نحو رأيت قاضيا، وإن كان
غير منون فالأفصح في الرفع والجر الوقف عليه بإثبات الياء نحو جاء القاضي، ومررت
بالقاضي؛ ويجوز حذفها وإن كان منصوبا، إذا وقف على ما فيه تاء التأنيث فإن كانت
ساكنة لم تغير نحو: قامت، وإن كانت متحركة فإن كانت في جمع نحو: المسلمات،
فالأفصح الوقف بالتاء وبعضهم يقف بالهاء. وإن كانت في مفرد فالأفصح الوقف بالهاء
نحو: رحمة وشجرة، وبعضهم يقف بالتاء، وقد قرأ بعض السبعة في قوله تعالى: {إِنَّ
رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ} (56) سورة الأعراف.
Definisi
Waqaf ialah menghentikan pengucapan pada akhir lafal.
Cara-cara
Waqaf
Cara wagaf pada kata yang ber-tanwin rafa’ dan jer adalah
dengan membuang tanwin itu sendiri, seperti:
menjadi
Menjadi
Sedangkan
cara wagaf pada kata yang ber-tanwin nashab adalah dengan mengganti tanwin
tersebut dengan alif, seperti:
menjadi
Huruf yang harus diganti dengan alif ketika wagaf adalah nun ( )
huruf dan nun taukid khafifah, seperti:
menjadi
menjadi
menjadi
Adapun cara wagaf pada isim mangush yang ber-tanwin rafa’ dan jer,
ialah dengan membuang ya’, seperti:
menjadi
menjadi
Tetapi
ada pula yang memperbolehkan menetapkan ya’.
Sedangkan cara wagaf
pada isim manqush yang ber-tanwin nashab, maka tanwin harus diganti dengan
alif, seperti:
, menjadi
Apabila isim mangush tidak
bertanwin, maka menurut pendapat yang tepat dalam keadaan rafa’ dan jer
diwagafkan dengan menetapkan ya’ seperti:
Atau dengan
membuang ya’, seperti:
Apabila isim mangush yang tidak ber-tanwin,
tersebut berkedudukan nashab, maka waqaf-nya harus menetapkan ya’, seperti:
menjadi
Cara Wagaf pada Kata yang Terdapat Ta’ Ta’nits
Apabila
wagaf pada kata yang terdapat ta’ ta’nits, maka jika ta’ Itu mati, maka tidak
ada perubahan, artinya wagaf-nya seperti pada ta’ yang mati itu, seperti
. Tetapi apabila ta’ hidup dan berada pada jamak,
seperti , maka yang lebih tepat wagaf pada ta’ itu sendiri. Tetapi
menurut sebagian ahli wagaf pada ha’ pengganti ta’. Apabila ta’ hidup dan
bertempat pada isim mufrad, maka wagaf-nya pada huruf ha’, seperti:
menjadi
menjadi
menjadi
Tapi
ada juga salah seorang ahli Qiraah Sab’ah yang wagaf pada ta’, dalam firman
Allah:
“Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat sekali kepada orang
orang yang berbuat baik.”
ثم مسك هذا الكتاب يوم السبت 23جمادى الثانية 1426 الموافق 30/07/05
والله أسأل أن يجعله خالصا لوجه الكريم أسأل من كل من انتفع بهذا الكتاب دعوة خير بظهر الغيب والسلام عليك ورحمة الله وبركاته ميلود بن عبد الرحمن.
[alkhoirot.org]