Kesaksian Ulama atas Keabsahan Nasab Habib dan Bantahannya
Nama kitab / buku: Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu: Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: November 2024
Penerbit: Lakeisha, Yogyakarta
15,6 cm X 23 cm, 691 Halaman
ISBN : 978-623-119-469-5
Daftar Isi
- PASAL KE-2 KITAB-KITAB YANG MENYEBUT BA‘ALWI BUNTU DI ABAD-9
- PASAL KE-3 MENJAWAB KLAIM PENGAKUAN DAN KESAKSIAN PARA ULAMA TERHADAP KEABSAHAN NASAB SADAH BA‘ALWI
- Manuskrip Hasan al-‗Allal (460 H)
- Sanad Abul Qasim al-Naffath (490 H)
- Manuskrip Hasan bin Rasyid (638 H)
- Manuskrip Umar bin Sa‘ad al-Din al-Dzifari
- Manuskrip Ijazah Kitab Sunan Turmudzi Tahun 589 H
- Kitab Tuhfat al-Murid Wa Uns al-Mustafid
- Manuskrip Abul Qasim al-Naffath
- Sanad Muhammad Aqilah dan Manuskrip Assegaf
- Manuskrip Kitab Musnad Ubadillah al-Tamimi al-Iraqi
- Manuskrip Sanad Abdul Haq al-Isybili Ibnu al-Kharrath
- Manuskrip Sanad Ali al-Syanini
- Manuskrip Al-Thurfat al-Gharibat
- Kembali ke: Buku Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu
PASAL KE-2 KITAB-KITAB YANG MENYEBUT BA'ALWI BUNTU DI ABAD-9
Dalam buku tersebut, Hanif dkk membuat sub judul di pasal II dengan judul:
Itsbat Nasab Para Nassabah Non Ba 'alwi Terhadap Keabsahan Nasab Sadat Ba
'alwi. Judulnya memang mantap, tetapi benarkah ulama-ulama yang nanti dikutip
oleh Hanif dkk itu bisa disebut sah mengitsbat Ba'alwi?
Mari
kita perhatikan . Sebelum mengurut
kitab-kitab Non Ba' alwi yang ia katakan telah mengitsbat nasab
Ba' alwi, Hanif dkk. membuat sebuah discleamer:
"Jika sebuah nasab
tercantumnya dalam kitab-kitab nasab yang ditulis oleh nassabah yang kredibel
dan tsiqah (meskipun nassabah itu tidak sezaman), hal itu menjadi salah satu
tolak ukur keabsahan sebuah nasab menurut perspektif ilmu nasab."61
Jadi,
menurut Hanif, jika abad ke-9 H. seorang ahli nasab telah menulis susunan
nama-nama orang dalam sebuah silsilah sampai Nabi Muhammad SAW, maka itu harus
diterima untuk mengitsbat nasab walau bertentangan dengan kitab-kitab nasab
sebelum abad ke-9.
Kenapa discleamer semacam itu perlu untuk didahulukan?
Jawabannya karena kitab yang akan ia sebutkan hanya mentok di abad ke-9 .
Kitab nasab pertama yang mencatat Ba'alwi yang akan mereka sebutkan adalah
kitab Al-Nafhah al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al-Yamani
(w.880 H.). tidak ada lagi dalil dari kitab nasab yang mampu mereka bawa.
Sedangkan kitab Al-Nafhah itu isinya bertentangan dengan kitab nasab
sebelumnya yaitu kitab Al Syajarah al-Mubarakah karya Al-Imam al-Nassabah
Fakhruddin al Razi (w.606 H.).
Benarkah ucapan Hanif yang mengatakan
bahw menurut ahli nasab sebuah kitab nasab dapat dijadikan pegangan
walau bertentangan dengan kitab-kitab nasab sebelumnya? Tentu itu hanya jurus
sebuah klan yang nasabnya palsu .
Dalam Dalam Kitab Ushulu 'Ilmi al
Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya Al-Nassabah Fuad bin Abduh bin Abil
Gaits al jaizani dikatakan:
"Dan tidak mungkin kita berbicara
nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan
bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa
saja"62
Perhatikan ucapan Al-Nassabah Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al
jaizani tersebut, bahwa kita tidak mungkin menerima sebuah nasab terdahulu
hanya berdasar tulisan masa kini; tidak boleh kita berpatokan kepada kitab
Al-Nafhah yang ada di abad ke-9 untuk memverifikasi Anak Ahmad bin Isa yang
ada di abad ke-4 dalam keadaan telah nyata kitab Al-Nafhah ini bertentangan
dengan kitab sebelumnya .
Dari sana kita mengetahui dalil dari pakar
nasab bahwa sebuah nasab masa lalu tidak bisa diverifikasi oleh hanya sekedar
kitab nasab masa kini, ia hams diverfikasi kitab-kitab nasab sezaman atau yang
mendekati sebagaimana dalilnya telah penulis sampaikan .
Sebelum kita
lihat kitab-kitab nasab apa yang dapat Hanaif dkk bawa untuk membela nasabnya,
mari kita lihat terlebih dahulu deretan kitab-kitab nasab yang telah ada
berjejer dari mulai abad ke-3 sampai ke-13 Hiriyah . Dari sana kita mengetahui
bahwa munculnya nama Ubaid/Ubaidillah/ Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa
baru di abad sembilan Hijriyah setelah 651 tahun wafatnya Ahmad bin Isa.
Kitab-Kitab Nasab Abad Ke-3 Sampai 13 Hijriyah
(1) Kitab Nasabu Quraisy
Nama kitab ini bernama Kitabu
Nasabi Quraisy karya Mush 'ab bin Abdullah al-Zubairi (w. 236 H.). Versi cetak
kitab ini di-tahqiq (edit) oleh sejarawan Perancis
Evariste Levi-Provern;al ( .Jl..9]
JL....u.i9...iY.) [w.1959 M]; diterbitkan oleh Penerbit "Daar al-Ma'arif '
tanpa tahun.
Dalam kitab ini keturunan Al-Husain dari jalur
Ali al-Uraidli bin Ja'far al-Shadiq belum disebutkan. Keturunan
Al-Husain dari Muhammad al-Baqir bin Ali al-Sajjad yang disebutkan hanya
sampai Ja'far. Keturunan Husain dari Zaid bin Ali al-Sajjad yang disebutkan
hanya sampai Ahmad bin Isa bin Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib.
Adapun apa yang disebut oleh kitab palsu
Al-Raudl al-Jaliy yang dinisbahkan kepada Murtadla al-Zabidi
bahwa Mush'ab bin Abdullah al-Zubairi menyebut Ahmad bin Isa al-Naqib
mempunyai anak dua: Abdullah dan Muhammad (Al-Raud al--aliy, Daar al-Fath,
1444 H. h. 120), adalah kutipan palsu tidak ada dalam Kitab Nasab Quraisy.
(2)
Kitab Sirri Silsilat al-Alawiyyah
Kitab ini berjudul lengkap: Sirri
Silsilat al-Alawiyyah Fi Ansab Sadat al- 'Alawiyyah karya Syekh Abu Nashr Sahl
bin Abdullah al Bukhari (w.341 H.). Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh
Muhammad Shadiq Bahrul Ulum; diterbitkan oleh Penerbit "Al-Haidariyah", Najaf
tahun 1962 M.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa Muhammad
bin Ali al-Uraidi bin ja'far al-Shadiq mempunyai anak bernama Isa al-Arntt (h.
49). Dalam kitab ini nama Ahmad bin Isa belum muncul. Nama anak Isa yang
disebut hanya satu orang yaitu Al-Husain . Namun Al-Bukhari tidak membatasi
anak Isa al-Arntt hanya Al-Husain . Maka kemungkinan ada anak lain yang belum
disebut terbuka .
Dalam kitab palsu Al-Raudl al-Jaliy yang dinisbahkan kepada
Murtadla al-Zabidi disebutkan bahwa Syekh Abu Nashr al-Bukhari menyebut Ahmad
bin Isa al-Naqib mempunyai anak dua: Muhammad dan Abdullah (Al-Raud al--aliy,
Daar al-Fath, 1444 H. h. 120), adalah kutipan palsu tidak ada dalam kitab
Sirri Silsilat al-Alawiyyah.
(3) Tahdzib
al-Ansab
Kitab ini berjudul Tahdzib al-Ansab Wa Nihayat al-Alqab karya
Abul hasan Muhammad bin Abi Ja'far Syaikh al-Syaraf al-'Ubaidili (w.435 H.).
Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Muhammad kadzim al-Mahmudi, tanpa
penerbit tahun 1410 H.
Dalam kitab ini
Al-Ubaidili hanya menyebutkan satu anak dari Ahmad al-Abah bin Isa yaitu
Muhammad . Dalam kitab palsu Al-Raudl al-Jaliy yang dinisbahkan kepada
Murtadla al-Zabidi disebutkan bahwa: Syaikh Syaraf Al-Ubaidili
mengatakan bahwa Ahmad bin Isa al-Naqib berhijrah dari Madinah ke Bashrah (h.
121), kutipan tersebut kutipan palsu tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib
al-Ansab ini.
(4) Kitab Al-Majdi
Kitab ini
bernama Al-Majdi Fi Ansab al-Thalibiyyin, karya Ali bin Muhammad
bin Ali bin Muhammad al-Alawi al-Umari (w.490 H.). Versi cetakan kedua kitab
ini di-tahqiq oleh Ahmad al Mahdawi al-Damigani, diterbitkan oleh "Maktabah
Ayatullah al 'Udzma al-Mar'asyi al-Najafi al 'Aammah" di Kota Najaf tahun
1422 H.
Dalam kitab ini Al-Umari menjelaskan
tentang keturunan Isa bin Muhammad al-Naqib ia menyebutkan bahwa
keturunan dari Ahmad al-Abah bin Isa ada di Bagdad yaitu dari Al-Hasan
Abu Muhammad al-Dallal Aladdauri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad
bin Isa (h. 337). Sama seperti Al-Ubaidili, Al Umari hanya menyebutkan satu
anak saja dari Ahmad al-Abah.
(5)
Al-Muntaqilat al-Thalibiyyah
Kitab ini berjudul Muntaqilat
al-Thalibiyyah, karya Abu Ismail Ibrahim bin Nashir bin Thabathaba (w.>479
H.). cetakan pertama kitab ini ditahqiq oleh Muhammad Mahdi Hasan
al-Khurasan, dterbitkan oleh Mathba'ah Al-Haidariyah tahun 1968
H.
Muntaqilah al-Thalibiyyin adalah sebuah kitab yang
menerangkan tentang daerah-daerah lokasi perpindahan
para keturunan Abi Thalib. Dalam kitab ini disebutkan bahwa keturunan
Abi Thalib yang ada di Ramalah adalah Ali bin Ahmad al-Naffath (h.146).
Seperti diketahui bahwa keturunan Nabi juga sekaligus adalah keturunan Abi
Talib karena Siti Fatimah putri Nabi menikah dengan Ali bin Abi Thalib .
Kemudian
kitab ini menyebutkan pula bahwa keturunan Abi Thalib di Kota Ray adalah
Muhammad bin Ahmad al-Naffat (h.160). Jadi, kitab ini menyebutkan dua anak
dari Ahmad bin Isa: Muhammad dan Ali. Keduanya tinggal di Ray dan Ramalah .
Tidak disebut diantara keturunan Ahmad bin Isa yang tinggal di Yaman.
(6)
Abna' al-Imam Fi Mishra Wa al-Syam
Kitab ini bernama Abna ' al-Imam Fi
Mishra Wa al-Syam a/ Hasan Wa al-Husain. Kitab ini adalah kitab palsu yang
dinisbahkan kepada Abu al-Mu 'ammar Yahya bin Thabathaba (w. 478 H.). kitab
versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Yusuf Jamalullail Ba'alwi; diterbitkan
oleh "Maktabah Jull al-Ma'rifah" dan "Maktabah Al Taubat" tahun 2004 M.
Kitab ini palsu dan tidak bisa dijadikan pegangan karena di karang oleh
pengarang yang berasal dari keluarga Thabathaba yang wafat tahun 199 H. Tetapi
menyebut nama Abdullah atau Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa yang wafat
tahun 383 H.. Bagaimana seseorang yang telah wafat di tahun 199 H. bisa
mencatat Ubaidillah yang wafat tahun 383 H.? untuk menjawab
pertanyaan itulah kemudian kitab itu diatribusikan kepada
keluarga Thabathaba yang lain yaitu Abul Mu'ammar Yahya yang wafat
tahun 478 H. seperti yang ditulis dalam jilid kitab tersebut.
Tetapi
perhatikan ibarat kitab Abna ' al-Imam dalam mukaddimah, ia masih
mencantumkan tahun 199 H. sebagai tahun wafat pengarang kitab tersebut, lihat
tangkapan layar di bawah ini:
Keluarga Thabathaba yang wafat
di tahun 199 H. adalah Muhammad bin Ibrahim Thabathaba [ Al-Kamil fl al-Tarikh
51464] bukan Abul Mu' ammar Yahya bin Thabathaba, karena ia wafat
tahun
478 H. Yusuf Jamalullail Ba'alwi juga mengakui bahwa kitab ini
tidak murni tulisan Abul Mu'ammar, tetapi isinya telah ditambahi oleh tiga
ulama di abad 12 dan 13 Hijriyah, mereka adalah: Abi Shadaqah al Halabi (w.
1180 H.), Abul Aun Muhammad al-Safarini (w.1188 H.) dan Muhammad bin
Nashar Ibrahim Al-Maqdisi (w.1350 H.). Jadi, kitab ini adalah kitab yang
sangat problematis dan tidak konsisten . Ia tidak bisa disebut tulisan ulama
abad ke-2 atau abad ke-5 karena isinya telah ditambahi oleh para
ulama abad ke-12 dan ke-14 Hijriyah, bahkan patut diduga yang menyebut nama
Abdullah atau Ubaidillah itu adalah Yusuf Jamalullail sendiri.
(7)
Al-Syajarah al-Mubarakah
Kitab ini bernama Al-syajarah al-Mubarakah
Fi Ansab al Thalibiyah, karya Imam Fakhruddin al-Razi (w.606 H.). Kitab
cetakan kedua di-tahqiq oleh Mahdi al- Raja'I; diterbitkan oleh "Maktabah
Ayatullah Udzma al-Mar'asyi al-Najafi" tahun 1419 H.
Imam
Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa Ahmad al-Abh bin Isa hanya mempunyai
keturunan dari tiga anak yaitu Muhammad di Kota Ray, Ali di Ramalah dan Husain
di Naisabur. Ahmad al-Abh tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah (h.127).
Dari ketiga anaknya itu, semuanya, menurut Imam al-fakhrurazi, tidak ada
yang tinggal di Yaman. Disebutkan pula bahwa keturunan Ahmad bin Isa sebagian
berpindah dari Kota Qum ke Kota Ray.
Ketika menyebut keturunan
Ahmad bin Isa berasal hanya dari tiga anak, Imam al-Razi menggunakan kalimat
dengan "Jumlah Ismiyyah". Dalam kaidah ilmu nasab, jika seorang penulis kitab
menggunakan "Jumlah Ismiyah" maka itu menunjukan makna hashr (terbatas hanya)
[lihat Umdat al-Thalib, h. 340].
Manuskrip kitab Al-Sayajarah
al-Mubarakah terdapat di Perpustakaan Masjid Sultan Ahmad al-Tsalits di
Istanbul dengan nomor 2677 . Naskah ini ditulis oleh Wahid bin
Syamsuddin tahun 825 H. berdasarkan naskah asli yang
ditandatangani oleh Imam Fakhruddin al-Razi yang selesai menulis
tahun 597 H. Nama kitab dan Penisbatan kitab ini jelas tercatat rapih di akhir
kitab: bahwa kitab ini bernama kitab Al-Syajarah al-Mubarakah salinannya
disahkan oleh Muhammad bin Umar
bin Husain al-Razi
(pengarang kitab), kemudian Imam Al-Razi menulis bahwa ia
telah membacakan kitab ini dihadapan Ali bin Syaraf Syah bin Abil Ma'
ali dan ia memberikan ijajah untuknya .
Di bawah ini bentuk manuskrip
tulisan tangan kitab Al Syajarah al-Mubarakah salinan Wahid bin Syamsuddin
dan halaman terakhir versi cetakan kedua:
(8)
Kitab al-Fakhri Fi Ansab al-Thalibiyyin
Kitab ini bernama Al-Fakhri Fi
Ansab al-Thalibiyyin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain bin Ahmad
al-Marwazi al Azwarqani (w. 614). Cetakan pertama di-tahqiq oleh Mahdi
al-Raja'I; diterbitkan oleh Penerbit "Maktabah Ayatullah al-Udzma al-Mar'asyi
al-Najafi" di Kota Najaf, Iran tahun 1409 H. Menyebutkan yang sama seperti
kitab Al-Majdi, yaitu hanya menyebutkan satu jalur keturunan Ahmad bin Isa
yaitu dari jalur Muhammad bin Ahmad bin Isa. dilihat dari redaksinya yang
rnirip, agaknya kitab ini hanya mengutip dari kitab Al-Majdi.
(9) Kitab Al-Ashili Fi Ansab al-Thalibiyyin
Kitab
ini bemama Al-Ashili fl Ansab al-Thalibiyyin karya Shofiyuddin Muhammad Ibn
al-Thaqtaqi al-Hasani (w. 709 H). kitab versi cetakan pertama di-tahqiq oleh
Mahdi al-raja'I; diterbitkan oleh penerbit "Makatabah Ayatullah al-Udzma
al-Mar'asyi al-Najafi" tahun 1417. Dalam kitab ini disebutkan satu sampel
jalur keturunan Ahmad bin Isa yaitu melalui anaknya yang bernama Muhammad bin
Isa.
(10) Kitab Al-Tsabat al Mushan
Kitab
ini bernama Al-Tsabat al-Mushan al-Musrif Bi Dzikr Sulalat Walad Adnan, karya
Ibnul A'raj al-Husaini (w.787 H.). Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Khalil
bin Ibrahim bin Khalaf al-Dailami al-Zabidi; diterbitkan oleh "Maktabah Ulum
al-Nasab", Bagdad London tahun 1988 M.
Disebutkan
dalam kitab ini bahwa sebagian dari keturunan Ahmad al-Abah adalah Abu
Muhammad Al-Hasan al-Dallal di Bagdad yang dilihat oleh Al-Umari pengarang
kitab Al-Majdi. Ia adalah putra dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad
bin Isa (h.83). Jadi, kitab ini hanya menyebut satu anak dari tiga anak Ahmad
bin Isa yang disebut oleh Al-Syajarah al-Mubarakah. Nampaknya kitab ini
menjadikan Al-Majdi sebegai referensinya .
(11)
Kitab Umdat al Thalib al-Shugra
Kitab ini bernama Umdat al-Thalib
al-Shugra Fi Nasab Al Abi Thalib, karya Jamaluddin Ahmad bin Ali al-Hasani
al-Dawudi yang popular dengan nama Ibnu Inabah
(w.828 H.). Versi cetak kitab ini ditahqiq oleh Mahdi al-Raja'I;
diterbitkan oleh "Maktabah Ayatullah al-Udzma al-Mar'asyi", Kota Najaf tahun
1430 H. dalam kitab ini disebut Ahmad Al-Abah bin Isa mempunyai keturunan
tetapi tidak disebutkan nama-nama keturunannya (h.135-136).
(12)
Umdat al-Thalib Fi Ansab Al-Abi Thalib
Kitab ini bernama Umdat al-Thalib
Fi Ansab Al-Abi Thalib karya Jamaluddin Ahmad bin Ali
al-Hasani al-Dawudi yang popular dengan nama Ibnu Inabah (w.828 H.).
kemungkinan besar kitab sebelumnya, Umdat al-Thalib Shugra, merupakan
mukhtashar (ringkasan) dari kitab ini. kitab ini sering disebut juga Umdat al
Thalib Wushtha atau Kubra .
Versi cetak kitab ini ditahqiq oleh Muhammad
Hasan Alu al Thalifani, diterbitkan oleh "Maktabah Al-Haidarah", Kota
Najaf; cetakan kedua tahun 1961 M. Dalam kitab ini disebutkan keturunan Ahmad
bin Isa yaitu Ahmad al-Ataj bin Abi Muhammad al-Hasan al Dallal bin Muhammad
bin Ali bin Muhmmad bin Ahmad bin Isa (h.245).
Kemudian versi
cetak tahun 1961 m1 dicetak ulang oleh "Markaz Tahqiqat al-Kombuter Ulum
al-Islami" tanpa tahun dengan isi yang sama dan j umlah halaman
berbeda dengan tampilan sebagai berikut:
(13) Kitab Al-Nathah
al-Anbariyyah
Kitab ini bernama Al-Najhah al-Anbariyah Fi Ansab Khair al
bariyyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh bin Sulaiman al Yamani
al-Musawi (w. 880). Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Mahdi al-Raja'I;
diterbitkan oleh "Maktabah Ayatullah al-Udzma al Mar'asyi" di Kota Najaf
tahun 1411 H.
Kitab inilah kitab nasab yang pertama kali
menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib mempunyai anak bernama
Abdullah dan bahwa ia berhijrah ke Hadramaut (h. 52-53). Sejak kematian Ahmad
bin Isa di tahun 345 Hijriyah telah berjalan 535 tahun sampai
kitab ini ditulis barn ada berita dari kitab nasab bahwa Ahmad bin Isa
mempunyai anak bernama Abdullah dan bahwa ia berhijrah dari Bashrah ke
Hadramaut. Kitab ini menyebutkan bahwa Sayyid Abil Jadid (w.620 H.) adalah
keturunan Abdullah tersebut.
Kitab ini sama sekali tidak mengaitkan
keluarga Abdurrahman Assegaf sebagai bagian keluarga Abul Jadid. Kendati
demikian, kliam kitab ini bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abdullah
tidak mempunyai referensi dari satu pun kitab nasab sebelumnya . Dan klaim itu
tertolak oleh kitab nasab yang lebih tua yaitu Al-Syajarah al Mubarakah (597
H.) yang menyatakan bahwa keturunan Ahmad bin Isa hanya dari tiga anak
laki-lakinya yaitu: Muhammad, Ali dan Husain. Kutipan dari kitab Al-Najhah
tersebut seperti di bawah ini:
Nampaknya kitab Al-Najhah ini
mengambil referensi dari kitab sejarah di abad ke-8 yaitu kitab Al-Suluk Fi
Thabaqat al-Ulama Wa al-Muluk karya Al-Janadi (732 H.). di mana dalam kitab
itu disebut sejarah hidup seseorang yang bernama Syarif Abul Jadid yang
mempunyai silsilah dari Abd ullah bin Ahmad bin Isa (Juz 2 h. 135)..
Menurut
para ahli nasab, kitab sejarah jika bertentangan dengan kitab nasab, maka yang
harus dijadikan patokan adalah kitab nasab. Dr. Abdurrahman bin Majid
al-Qaraja dalam kitabnya Al-Kafi al Muntakhob mengatakan:
"(Sejarawan)
tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab
itu lebih dekat masanya atau tempatnya" (Al-Kafi al- Muntakhab, h. 71).
Dalam
kitab Al- '!bar karya Ibnu Khaldun dikatakan:
"Dan banyak para
sejarawan, ahli tafsir dan para imam-imam perawi terjadi kesalahan dalam
hikayat-hikayat dan kejadian kejadian karena mereka berpatokan dengan
hanya mengutip tidak peduli yang rusak atau yang baik. Mereka tidak
memverifikasinya kepada sumbernya dan tidak mengukurnya dengan serupanya dan
tidak menelitinya dengan standar ilmu dan berdiri terhadap
kebiasaan alam semesta dan menguatkan pemikiran dan bashirah dalam
berita-berita maka mereka tersesat dari kebenaran dan bingung
dalam lapangan dugaan dan kesalahan" (Al-Ibar, Al-Maktabah al Syamilah
juz 1 h. 13).
Oleh karena itu Abul Jadid tertolak bernasab kepada
Ahmad bin Isa karena ia tersambung melalui Abdullah yang namanya
tidak dicatat sebagai anak Ahmad bin Isa dalam kitab Al-Syajarah Al
Mubarakah dan kitab-kitab nasab lainnya. Dimana dengan
tegas Al-
Syajarah al-Mubarakah menyatakan bahwa keturunan
Ahmad bin Isa hanya dari tiga anak: Muhammad, Ali dan Husain.
(14)
Kitab Shihah al-Akhbar
Kitab ini bernama Shihah al-Akhbar Fi Nasab
al-Sadat al Fathimiyah al-Akhyar karya Abdullah Muhammad Sirajuddin bin
Abdullah al-Rifa'I al-Makhzumi al-Washithi (w.885 H.). Versi cetak kitab ini
di-tahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Ghani; diterbitkan oleh "Daar al-Arab" dan
"Daar Noor Hauran" Kota Damaskus tahun 2014 M.
Dalam kitab ini disebutkan
bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abul Qasim al-Abah al-Naffath dan
Muhammad Abil Hasan. Menurut kitab ini, Abul Qasim al-Abah al-Naffath
mempunyai keturunan di Bagdad . Selain di Bagdad ia juga, menurut informasi
lemah ( 'ala ma yuqaalu: berdasar yang dikatakan orang), mempunyai keturunan
di Yaman (h.122).
Kitab ini memasukan nama barn untuk anak
Ahmad bin Isa, yaitu Abul Qasim al-Abah. Agaknya penulis kitab ini
mendapat informasi yang salah tentang nama Abul Qasim Al-Abah
al-Naffath, di mana nama itu adalah tiga gelar milik Ahmad bin Isa bukan nama
anaknya sesuai kitab Al-Majdi (h.337). kemungkinan besar ia
membaca manuskrip kitab Al-Majdi yang sudah terdistorsi karena usia kertas
atau kesalahan penyalin . Perhatikan kemiripan kitab ini dengan ibarat kitab
Al-Majdi berikut ini:
.
Kita juga akan lihat, kitab palsu Al-Raudl
al-Jaliy ibaratnya mirip dengan kitab Shihah ini. kemungkinan besar kitab
palsu Al Raudl al-Jaliy mengkloning ibarat lalu memasukan
nama Abdullah dan Ubaidillah .
(15) Bahr
al-Ansab atau Al-Musyajjar al-Kasyaf
Kitab ini bernama Bahr al-Ansab atau
disebut juga Musyajjar al-Kasyaf, karya Muhammad bin Ahmad bin Amididin
al-Najafi (w.<900 H.). salah satu versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Anas
al Kutbi al-Hasani; diterbitkan oleh "Al-Khazanah al-Kutbiyyah al Hasaniyyah
al-Khashah" tahun 1419 H. di Kota Madinah.
Di dalam kitab ini, nama-nama
anak Ahmad bin Isa ada lima yaitu: Muhammad, Ali, Al-Hasan/Al-Husain (tidak
jelas) Uraid, Ahmad dan Al-Ridlo .
Kitab ini mengkonfirmasi
kitab-kitab yang sebelumnya yaitu Al Syajarah al-Mubarakah yang menyebut
nama-nama anak yang berketurunan ada tiga orang yaitu: Muhammad, Ali dan
Husain . Sedangkan dua nama lainnya yaitu Ahmad dan Al-Ridlo tidak dicatat
oleh Al-Syajarah al-Mubarakah karena tidak berketurunan . Muhammad
dan Ali ditulis keturunannya oleh kitab Muntaqilat al Thalibiyah, tetapi
untuk Husain tidak dicatat karena "ikhtilath " (tercampur riwayat dengan
keluarga Husain bin Ahmad al-Sya'rani (Al-Syajarah al-Mubarakah h. 127). Dalam
kitab Bahr al-Ansab ini pun, walau ditulis anaknya lima
tetapi yang ditulis berketurunan ada dua yaitu Muhammad dan Ali.
Yang
menarik, dalam kitab ini pun ada tambahan keterangan bahwa dalam sebuah
salinan kitab Bahr al-Ansab yang disalin oleh Murtadla al-Zabidi
ditambahkan satu anak untuk Ahmad bin Isa yaitu Ubaidillah . Manuskrip salinan
Murtadla al-Zabidi tersebut terdapat di "Daar al-Kutub al-Mishriyyah".
Jadi, nama Ubadillah walaupun ada dalam kitab Bahr al-Ansab ini, tetapi
itu hanya susupan yang dimasukan oleh Murtadla al-Zabidi pada
salinan kitab yang ditulis awal abad 13 H.
Perhatikan
musyajjar kitab Bahr al-
Untuk lebih menguatkan bahwa nama
Ubaidillah yang terdapat dalam kitab Bahr al-Ansab adalah susupan abad ke-13
awal, berikut ini manuskrip tahun 1214 H. yang membedakan antara
warna tulisan
pengarang dan warna tulisan susupan. Untuk tulisan asli
pengarang Bahr al-Ansab ditulis dengan tinta hitam, sedangkan tulisan susupan
ditulis dengan tinta merah. Nama Ubaidillah yang terdapat dalam mansukrip ini
dicatat dengan tinta merah sebagai tanda bahwa nama Ubaidillah itu hanya
tulisan susupan dan penyalinnya tidak menetapkan
kesahihannya (lihat Tuhfat al-Azhar h.34), dan diberikan keterangan dibawahnya
"Min khathi Muhammad Murtadla" (dari tulisan Muhammad Murtadla
(al-Zabidi). Perhatikan manuskrip di bawah ini:
(16) Kitab Tuhfat al-Thalib
Kitab ini bernama Tuhfat al-Thalib Bima
'rifati Man Yantasibu Ila Abdillah Wa Abi Thalib karya Muhammad bin
Husain bin Abdullah al-Husaini al-Samarqandi al-Madani (w.996 H.). Kitab
versi cetak ditahqiq oleh Anis al-Kutbi al-Hasani; diterbitkan oleh "Al
Khazanah al-Kutubiyyah al-Hasaniyyah al-Khashah" tahun 1418 H. di Kota Madinah
.
Manuskrip kitab ini ditulis tahun 1895 M/1316 H. atau
129 tahun yang lalu oleh Muhammad Sa'id bin Muhammad bin Sulaiman tanpa
menyebutkan dari sumber mana ia menyalin kitab yang diatribusikan kepada ulama
abad 10 H. itu. Kemungkinan besar ia menyalin dari tulisan orang Tarim Yaman .
Manuskrip Tuhfat al Thalib ditemukan di Tarim tepatnya
di "Maktabah Al-Husaini" dengan 77 halaman . Menurut Muhaqqiq
kitab ini, penulis kitab ini mengambil referensi dari dua kitab yaitu dari
kitab Umdat al-Thalib dan Bahrul Ansab karya Ibnu Amididdin al-Najafi. Yang
menarik, Muhaqqiq menyatakan selain dari dua kitab ini, penulisnya
berpegangan pada "Ta 'liqat Lathifah Gaer Muhaqqaqah "
(ta'liq ta'liq kecil yang tidak bisa diverifikasi) [h.8].
Penulis
kitab ini memasukan keluarga Abdurrahman Assegaf (Ba' alwi)
sebagai keturunan Ahmad bin Isa berdasarkan sebuah ta 'liq yang ia temukan .
Inilah kitab nasab pertama yang memasukan nama nama keluarga Abdurrahman
Assegaf sebagai keturunan Ahmad bin Isa. Ia mengaku memasukan keluarga
Ba'alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa hanya dari sebuah ta 'liq yang
ia temukan.
Yang demikian itu menjelaskan betapa lemahnya nasab Ba'alwi
untuk pertama kali masuk ke dalam kitab nasab, yaitu hanya berdasarkan
catatan kecil bukan berasal dari kitab nasab sebelumnya. Untuk kemudian
kitab-kitab nasab masa selanjutnya mengutip dari kitab
Tuhfah ini tanpa memberi catatan
kelemahan itu. Dari situ mulailah mashur ( Syuhrah wa
al-Istifadlah) marga Ba Alawi sebagai keturunan Ahmad bin Isa walau dimulai
dari penyambungan yang sangat lemah. Kelemahan itu dapat ditinjau dari dua
sisi: pertama kelemahan atribusi kepada Al-Samarqandi (w.996 H.). walau
diatribusikan kepada non Ba'alwi tetapi sumber mansukrip ini berasal dari
Tarim; yang kedua kelemahan ia ditulis tanpa referensi kitab nasab
sebelumnya.
Imam Nawawi dalam kitab Raudlat al-Thalibin mengatakan:
"Al-Istifadlah
dan Al-Syuhrah (popular) di kalangan"' awam
tidak
dapat dipercaya karena terkadang sumbernya adalah 'talbis'
(Menutupi dan memutarbalikkan kebenaran). Adapaun Tawatur maka ia tidak bisa
melahirkan keyakinan jika tidak bersandar kepada sumber yang diyakini yang
dapat diindera" .63
Perhatikan ibarat kitab Tuhfat al-Thalib di bawah
ini:... "
Kitab Tuhfat al-Thalib adalah kitab
nasab pertama yang menyebut nama-nama keluarga Ba' alwi sebagai keturunan
Ahmad bin Isa setelah 651 tahun dari mulai wafatnya Ahmad bin Isa. penyebutan
ini tanpa referensi sedikitpun, ia di ambil oleh Al-Samarqandi dari sebuah
ta'liq (catatan kecil) kemudian ia msukan ke dalam kitab ini. tidak bisa juga
dikatakan bahwa kitab ini mengambil dari referensi kitab Al-nafhah
al-Anbariyah, karena yang disebutkan oleh kitab Al Nafhah adalah rangkaian
keluarga Jadid yang juga menyusup kepada keluarga Ahmad bin Isa.
satu-satunya kitab nasab yang mencantumkan Jadid keturunan
Ahmad bin Isa hanya kitab Al-Nafhah tanpa referensi dari kitab nasab.
Yang
paling menarik adalah, kedua nasab ini mereka sama sama
mencangkok tetapi tidak saling koordinasi . Kitab Al-Najhah ketika
mencangkokan Jadid, ia hanya menceritakan Jadid bin Abdullah "bin" Ahmad
bin Isa; sementara kitab Tuhfat al-Thalib hanya menceritakan
keluarga Alwi bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa. padahal kedua keluarga ini
sama sama mencangkokan diri kepada Ahmad bin Isa dari "putra" nya yang
bemama Abdullah. Seharusnya mereka berdua saling menguatkan bahwa
Jadid punya kakak Alwi atau sebaliknya. Tetapi yang demikian
itu tidak dilakukan. Hal itu adalah sebuah ciri signifikan bahwa kedua nasab
itu hanya mencangkok dari nasab Ahmad bin Isa. koordinasi sejarah itu
akan berlangsung pada waktu-waktu selanjutnya dalam kitab-kitab sejarah
dan nasab karya ulama Ba'alwi dan circle-nya di masa belakangan .
(17)
Kitab Tuhfat al-Azhar
Kitab ini bemama Tuhfat al-Azhar wa Zilal al-Anhar
Fi Nasab Abna 'I al-A 'immati al-Athhar, karya Dlamin bin Syadqam Al-Husaini
al-Madani (w. <1090 H.). Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Kamil Salman
al-Jamburi; diterbitkan oleh "Markaz Nasyr Turats al Makhtut" Teheran
Iran tahun 1420 H. kitab ini terdiri dari jilid satu dan jilid dua; jilid dua
terdiri dari: jilid dua bagian satu dan jilid dua bagian dua.
Dalam
jilid dua bagian dua, terdapat nama Alwi bin Abdullah di sebutkan sebagai
keturunan Ahmad bin Isa. kitab ini adalah kitab nasab yang kedua yang memuat
nama Alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa setelah kitab Tuhfat al-Thalib (996
H.). Jadi, setelah 94 tahun, ada pengarang kitab yang memasukan nama Alwi
sebagai keturunan Ahmad bin Isa. Agaknya ia menjadikan kitab Tuhfat al-Thalib
sebagai referensi.
Ia tidak tahu bahwa kitab Tuhfat
al-Thalib ketika memasukan nama Alwi itu tidak berdasar refernsi
sebelumnya . Dalam kitab ini juga terbongkar penyusup ketiga
kepada keluarga Ahmad bin Isa. Penyusup itu adalah keluarga Ismail yang
mencangkok sebagai anak Abdullah . Perhatikan kitab Tuhfat al-Azhar di bawah
ini:
Dalam kitab Tuhfat al-Azhar ini dikatakan bahwa Abdullah
mempunyai anak tiga: Abdullah, Muhammad dan Ali. Yang aneh adalah dikatakan
bahwa Abdullah mempunyai anak Alwi dan Ismail.
Dalam catatan Ba'alwi
Abdullah mempunyai anak tiga: Alwi, Bashri dan Jadid, tidak ada nama Ismail.
Dan tidak bisa dikatakan bahwa Ismail ini adalah nama lain dari Bashri,
seperti dikatakan buku buku Ba'alwi modem, karena nama keturunan Bashri yang
dicatat dalam literature Ba' alwi awal seperti Al-Burqat dan Al-Gurar,
hanya Salim bin Bashri, sementara dalam kitab Tuhfat al-Azhar ini banyak
ditulis keturunan Ismail dan tidak ada yang bemama Salim.
Dalam kitab
Tuhfat al-Azhar ini dikatakan Ismail mempunyai anak tiga: Tahir, Ahmad
al-Murahhaj dan Hasan al-Barak. Tahir mempunyai anak Barkat, Barkat mempunyai
anak Husain, Husain mempunyai anak Musa, Musa mempunyai anak Husain. Tidak ada
nama Salim disebutkan.
Ini menunjukan bahwa Ismail yang disebut kitab
Tuhfat al Azhar ini bukanlah Bashri. Ia adalah pecangkok lain kepada keluarga
Ahmad bin Isa melalui Abdullah . Perhatikan kitab Gurar al-Baha al Dlaui
karya Khirid Ba'alwi (w.960 H.) di bawah ini yang menyebut bahwa keturunan
Bashri hanya bemama Salim:
Jelas sekali tidak ada nama Ismail
disebut kitab Al-Gurar sebagai alias dari Bashri. Dan disebutkan bahwa
keturunan Bashri yang dikenal hanya Salim, sedangkan nama Salim ini
tidak disebut kitab Tuhfat al-Azhar. Demikian pula kitab Ba' alwi yang lain
yaitu Al-Burqat al-Musyiqah (890 H.) tidak memberikan alias bagi Bashri
sebagai Ismail (h. 135).
Nama Jadid sama sekali tidak disebut dalam kitab
Tuhfat al Azhar ini sebagai anak Abdullah . Hal itu menunjukan bahwa
pengarang kitab ini sama sekali tidak membaca kitab Al-Nafhah al Anbariyah
(880 H.) dan kitab Al-Suluk (732 H.), di mana keluarga Abdurrahman Assegaf
pertama kali mencantolkan diri kepada Ahmad bin Isa karena melihat nasab Jadid
di kitab Al-Suluk yang dicatat melalui Jadid bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa.
Begitu pula kitab Al nafhah al-Anbariyah mencatat nama Jadid sebagai
anak Abdullah "bin" Ahmad bin Isa itu kemungkinan besar karena melihat
kitab Al Suluk tersebut.
Kesimpulan dari semua itu adalah kitab Tuhfat
al-Azhar ini makin membongkar betapa tidak konsistennya sebuah
nasab cangkokan seperti nasab Ba'alwi yang sengaja dipabrikasi. Lihat
perbedaannya dengan nama Muhammad dan Ali bin Ahmad bin Isa
yang tetap konsisten disebut sejak abad ke-5 sampai kitab Tuhfat al
Azhar ini.
(18) Kitab Al-Raudl al Jaliy
Kitab ini kitab
palsu bernama Al-Raudl al-Jaliy Fi Nasab Bani 'Alwi dinisbahkan kepada
Imam Muhammad Murtadla al-Zabidi (w.1205 H.). kitab ini ada dua versi cetak:
pertama ditahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Ghani yang kedua oleh DR. Muhammad
Abubakar Abdullah Badzib. Versi cetak yang ditahqiq oleh Arif Ahmad
Abdul Ghani berjudul Al-Raudl al-Jaliy Fi Ansab Ali Ba 'alwi; diterbitkan oleh
Penerbit "Daar Sa'd al-Din" dan Penerbit "Daar Kinan" tahun 2010.
Sedangkan yang di-tahqiq oleh Badzib berjudul Al Raudl al Jaliy
Fi Nasab Bani Alwi, diterbitkan oleh "Daar al-Fath" tahun 2022.
Kitab
ini disebut palsu karena, Badzib, pen-tahqiq kitab Al raudul Jaliy dari
Hadramaut, mengatakan bahwa kemunculan kitab Al Raudul Jaliy ini mencurigakan
. Manuskrip kitab tersebut muncul berdasar kronologi riwayat yang berakhir
kepada sosok yang terbukti telah memalsukan sebuah kitab. Sosok yang
dimaksud adalah seseorang yang bernama Hasan Muhammad Qasim (w.
1394 H.) yang berasal dari Mesir yang barn wafat 50 tahun yang lalu. Menurut
Badzib, Hasan Muhammad Qasim adalah tokoh pertama yang memunculkan kitab Al
Raud al Jaliy . Sebelumnya tidak ada berita bahwa Syekh Murtada al Zabidi
mempunyai sebuah kitab bernama Al Raud al Jaliy (lihat Mukaddimah Kitab Al
Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 47).
Kronologi munculnya manuskrip
kitab Al-Raudl al-Jaliy tersebut, menurut Badzib dalam mukaddimah
cetakan kitab tersebut, berdasarkan pengakuan Alwi bin Tahir al-Haddad (w.1962
M) yang memegang naskah itu: Hasan Muhammad Qasim berteman dengan
para Ba'alwi yang tinggal di Mesir. Salah satu Ba'alwi bernama Ali bin
Muhammad bin Yahya . Ali bin Yahya ini adalah murid dari Alwi bin Tahir.
Menurut Alwi bin Tahir, Ali bin Yahya tersebut kemudian mengirimkan kepadanya
sebuah salinan kitab Al-Raudul Jaliy tulisan Hasan Muhammad Qasim bertanggal
25 Sya'ban 1352 H., menurutnya lagi, naskah itu disalin dari
salinan tahun 1196 H. tulisan Abdul Mu'ti al Wafa'i. katanya lagi, Abdul Mu'ti
ini manyalin dari tulisan asli Syekh Murtada al Zabidi. Katanya lagi,
manuskrip karya Abdul Mu'ti itu tersimpan di "Maktabah Sadat Al
Wafaiyyah" di Mesir (lihat Al- Raudl al- Jali h. 7).
Pertanyaannya:
Benarkah salinan asli tulisan Abdul Mu'ti itu ada di
"Maktabah Sadat Al Wafaiyyah"? Tidak ada. silahkan di eek di perpustakaan "Al-
Wafaiyyah". Tidak ada manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy salinan abdul Mu'ti.
Kitab Itu Jelas Palsu. Manuskripnya Palsu . Kitab Al-Raudlal-Jaliyi
bukan tulisan Syekh Murtada Al Zabidi. Manuskrip yang
beredar sekarang berasal dari dua penyalin: pertama salinan Hasan Muhammad
Qasim tahun 1352 H; kedua salinan Tahir bin Alwi bin Tahir yang menyalin
dari Hasan Muhammad Qasim tersebut.
Lalu siapa Hasan Muhammad Qasim? Ia
adalah sosok yang telah terbukti menulis kitab "Akhbar al Zainabat
" lalu disebut sebagai karya Al Ubadili al 'Aqiqi (w. 277 H.) (lihat Al Raudl
al-Jaliy h. 48). Artinya ia menulis naskah palsu di
zaman sekarang lalu naskah itu diasosiasikan sebagai
karangan ulama abad ke-3 H. Ba' dzib mencurigai, bahwa munculnya
kitab Al-Raudl al- Jaliy itu pun sama kejadiannya seperti kitab palsu "Akhbar
al Zainabat " (lihat Al-Raudl al-Jaliy cetakan Darul Fatah h. 48).
Hasan
tinggal di Mesir berteman dengan para Ba'alwi yang tinggal di sana seperti
Abdullah bin Ahmad bin Yahya (w. 1414 H.) dan Ali bin Muhammad bin Yahya (w.
1409 H.) (lihat kitab Al Raudl al-Jali h. 8). Jadi jelas, bahwa Hasan ini
mempunyai benang merah ketika menulis kitab Al-Raudl al- Jaliy itu, yaitu
adanya interaksi antara dia dengan para Ba' alwi di Mesir. Menurut
penulis sangat patut diduga bahwa kitab itu ditulis oleh Hasan Muhammad Qasim
berdasarkan pesanan .
Lalu kenapa Ba'dzib tetap mencetak dan menerbitkan
kitab itu, walaupun ia tahu bahwa kitab itu kemungkinan besar adalah
palsu? Badzib beralasan bahwa manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy dalam bentuk
microfilm telah beredar di masyarakat, bahkan telah ada yang mencetak pula
tanpa ada penjelasan kesalahan-kesalahan dan perkara perkara yang tidak layak
dinisbahkan kepada Syekh Murtada al Zabidi (Al-Raudl al-Jaliy h. 49). Dengan
dicetak ulangnya kitab Al Raud al Jaliy dengan disertai penjelasan kronologi
kemunculan manuskrip itu, Badzib mengharapkan masyarakat menyadari bahwa kitab
Al-Raud al Jaliy ini penisbatannya kepada Syekh
Murtada al Zabidi adalah gairu maqtu " (tidak
dapat diputuskan final) ia bersifat "muhtamilah"
(kemungkinan) saja (Al-Raud al-Jali h. 49).
Penulis memahami
kenapa Ba' dzib berbasa-basi bahwa masih ada kemungkinan kitab itu
dinisbahkan kepada Syekh Murtada al Zabidi beserta banyaknya "qarinah "
(tanda-tanda kuat) yang menyimpulkan bahwa kitab itu bukan tulisan Syekh
Murtada al Zabidi, mengingat kedekatan
Badzib dengan para tokoh-tokoh Ba' alwi.
Bagi penulis, kitab itu jelas palsu dan bukan karya Murtada al Zabidi,
ia adalah tulisan Hasan bin Muhamad Qasim sendiri. Sepertilulu ia
mengarang kitab "Akhbar al-Zainabat " lalu dikatakan
kitab
itu karya Al Ubaidili al Aqiqi, kitab Al-Raud
al-Jali ini pun sama, ia mengarangnya lalu dikatakan ia karya Syekh Murtada al
Zabidi.
Untuk membuktikan kesimpulan penulis itu benar atau salah sangat
mudah: datangkan mansukrip yang katanya ditulis oleh Abdul Mu'ti tahun 1196 H.
yang dikatakan oleh Hasan Muhammad Qasim terdapat di Maktabah "Al Wafaiyyah"
dan bahwa ia menyalinnya dari salinan itu. Penulis yakin seyakin yakinnya
bahwa salinan itu tidak pernah ada.
KESIMPULAN
Dari 18 buah
kitab nasab yang berjejer dari abad ke 3-13 Hijriyah awal, hanya kitab Tuhfat
al-Thalib (996 H.) dan kitab Tuhfat al-Azhar (1090 H.) yang
menyebut nasab keluarga Ba'alwi tersambung kepada Ahmad bin
Isa. Itupun bukan berdasar referensi yang valid tetapi hanya
berdasar catatan "Ta 'liqMajhul " (cataan yang tidak jelas di ambil dari
mana). Sedangkan kitab Abna al-Imam dan kitab Al-Raudl al-jaliy kita abaikan
karena keduanya terindikasi kuat sebagai kitab palsu .
Jadi, nasab
Ba'alwi barn tercatat dalam kitab nasab setelah 651 tahun sejak wafatnya
Ahmad bin Isa. Nanti kita akan mengetahui bahwa kitab pertama dari selain
kitab nasab yang menyebut nama Alwi bin Ubaid/Ubaidillah/
Abdullah sebagai keturunan Ahmad bin Isa atau
keturunan Rasullulah adalah kitab tasawuf yang dikarang oleh Ba' alwi
sendiri yaitu kitab Al-Burqat al-Musyiqat tahun 895 H. jadi, mereka sekarang
dikenal sebagai keturunan Nabi bukan berasal dari kesaksian para ahli nasab,
tetapi dimulai dari pengakuan mereka sendiri, kemudian ada pengarang kitab
nasab yang sembrono, yaitu penulis kitab Tuhfat al-Thalib, yang memasukan ke
dalam kitabnya . Walaupun ketika ia memasukan itu diberikan keterangan bahwa
nasab Ba' alwi ini bukan diambil dari kitab nasab tetapi hanya dari sebuah
catatan ta'liq.
Dari sini benarlah ucapan Imam Nawawi
dalam kitab Raudat al Thalibin bahwa Syuhrah wa al-Istifadlah yang terjadi
diantara orang awam tidak dapat dipercaya karena sering terjadi
bahwa permulaan dari istifadlah itu adalah penipuan . Berita mutawatir
pun tidak berfaidah terhadap ilmu jika tidak bersandar kepada
sumber pengetahuan yang dapat diindera .
"Al-Istifadlah
dan Al-Syuhrah (popular) di kalangan"' awam
tidak
dapat dipercaya karena terkadang sumbernya adalah 'talbis'
(Menutupi dan memutarbalikkan kebenaran). Adapaun Tawatur maka ia tidak bisa
melahirkan keyakinan jika tidak bersandar kepada sumber yang diyakini yang
dapat diindera ."64
Kitab-Kitab Yang Mampu Didapatkan Ba'alwi
Perhatikan tulisan Hanif dkk dalam buku Keabsahan
Nasab Ba' alwi itu, mereka hanya mampu mendapatkan kitab nasab yang menyebut
nama Abdullah pada abad ke-9 H. sebelumnya tidak ada. karena memang nasab
Ba'alwi ini dipabrikasi abad ke-9 tersebut.
Kitab-kitab nasab itu adalah:
Al- Najhah al-Anbariyah (880 H.), Tuhfat al-Thalib (996 H.), Tuhfat al-Azhar
(1090 H.), Raudlat al-Al Albab bi Ma 'rifat al-Ansab (abad 11 H.), Al-Raudl
al-Jaly (1205 H.), Al-Isyraf ala Ba 'di Man bifaas Min Masyahir al-Anfas (1273
H.), Al Mu 'qibun (masa kini).
Lihat bagaimana setelah dua tahun
mencari, kaum Ba'alwi hanya mendapatkan kitab yang mentok di kitab
Al-Nafhah al Anbariyah abad ke-9 . Bagaimana nasab Ahmad bin Isa yang wafat
di tahun 345 H. diitsbat oleh kitab yang ditulis 543 tahun setelah wafatnya .
Para ahli nasab menolak hal seperti itu sebagaimana dalam Kitab
Ushulu 'Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya
Al-Nassabah Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan:
"Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang
terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak
logis atau berdasar memori bangsa saja"65
Karena ketiadaan para ahli
nasab yang memverfikasi kebenaran sosok Ubaid/Ubaidillah/ Abdullah sebagai
anak Ahmad bin Isa maka nasab Ba'alwi jelas nasab palsu yang diciptakan pada
abad ke-9 H. Begitu pula nasab Syarif Abil Jadid, nasab itu batal karena
diciptakan pada abad ke-8 H. kedua nasab ini mencangkokan diri kepada nasab
Ahmad bin Isa; yang pertama mencangkok adalah Syarif Abul Jadid kemudian
keluarga Abdurrahman Assegaf Ba'alwi mencangkok nasab Syarif Abul Jadid ini di
abad ke-9 H.
Untuk lebih mengenal kitab-kitab nasab yang dikutip Hanif
Alatas, agar para pembaca memahami isi dan kronologi pencangkokan ini, berikut
penulis akan jelaskan satu per satu.
(1) Al-Nathah
Al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim al Yamani (w.880 H.)
Inilah kitab
nasab yang paling tua yang mampu didapatkan Ba'alwi, yaitu kitab Al-Nafhah
al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim al-yamani yang wafat 880 H.
Nama
Ubaid atau Ubaidillah (nama leluhur Ba'alwi yang dicatat internal) belum
muncul di akhir abad Sembilan, tetapi ada nama baru yang disebutkan oleh
kitab Al-Nafhah al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh
al-Yamani al-Musawi (w. 880) nama itu adalah Abdullah bin Ahmad .
Dari situ kita melihat bahwa nama Abdullah ada keterputusan selama 543 tahun
dihitung dari wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. nama Abdullah ini kemudian
di cangkok oleh keluarga Abdurrahman assegaf pada abad ke-9 dan
resmi dicantumkan dalam kitab nasab Tuhfat al-Thalib (996 H.) Kutipan lengkap
dari kita Al-Najhah adalah sebagai berikut:
"Maka Muhammad an-Naqib
berhijrah ke Kota Ros, maka ia mempunyai anak Isa, dan sebagian dari anak Isa
adalah Ahmad yang pindah ke Hadramaut. Maka dari keturunannya di sana adalah
Sayid Abul Jadid (dengan fatah jim, kasrah dal yang tanpa titik, sukun ya yang
bertitik dua di bawah, setelahnya hurup dal) yang datang di Kota Aden di
masa pemerintahan al Mas'ud bin Togtokin (dengan fatah hurup tho yang tanpa
titik, sukun ghain yang bertitik satu, fatah ta yang bertitik dua di atas, nun
setelah ya yang bertitik dua di bawah dan kaf yang dikasrah) bin Ayub
bin Syadi (dengan fatah syin, kasrah zdal yang bertitik keduanya )
tahun 611, maka al-mas'ud kemudian melakukan tindakan kasar
kepada al-Jadid karena suatu hal, maka ia menangkapnya dan menyiapkan
pemindahannya ke bumi India, kemudian ia kembali ke Hadramaut
setelah wafatnya al-Mas'ud. Maka dari keturunan al-Jadid ini adalah Bani
Abu Alawi, yaitu Abu Alawi bin Abul Jadid bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin
Jadid bin Abdullah
bin Ahmad bin Isa yang telah disebutkan sebelumnya .66 "
Dari kutipan di
atas, penulis kitab Al--Nafhah al-Anbariyah, Syekh Muhammad Kadzim, ia
sendirian tanpa referensi dari kitab nasab yang telah disebutkan:
pertama ia sendirian tentang pindahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut, tidak ada
ahli nasab bahkan ahli sejarah dalam kitabnya menyebutkan seperti itu. Kedua
ia sendirian tentang nama Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa, baru muncul
setelah 543 tahun setelah kematian ayahnya yaitu Ahmad bin Isa. Ketiga ia
sendirian tentang urutan nasab yang menyebut Bani Abi Alawi, urutan nasab itu
sama sekali tidak tercatat dalam kitab-kitab nasab sebelumnya.
Sedangkan,
sebagaimana telah penulis sebutkan bahwa menurut pakar ilmu nasab, kitab-kitab
nasab masa kini tidak bisa dijadikan pegangan untuk nasab masa lalu jika
kitab-kitab nasab itu bertentangan dengan kitab sebelumnya . Jadi,
kitab Al-Nafhah ini tidak bisa menjadi dalil dari nasab Abdullah sebagai anak
Ahmad, karena kitab ini bertentangan dengan kitab nasab abad ke-6 H. yaitu
kitab Al Syajarah al-Mubarakah yang menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa
hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Abdullah .
Hal
lain yang perlu diperhatikan dari kitab Al-Nafhah adalah pendapat-pendapat
para pakar tentang bahwa kitab ini adalah kitab yang tidak
bisa dijadikan rujukan. Dilihat dari segi isi yang banyak ditulis tidak
berdasar referensi, juga dari segi penulisnya yang bukan ahli nasab.
mari kita perhatikan para pakar nasab mengomentari kitab Al-nafhah
ini:
Pakar nasab Dr. Abdurrahman bin Majid al-Qaraja mengatakan:
Terjemah:
"Adapun
penulis kitab Al-Nafhah al-Anbariyah maka Al Mar'asyi al-najafi mempunyai
Risalah tentangnya . Ia terdapat di mukaddimah kitab Al-Nafhah . Aku bersandar
darinya tentang apa isi kitab Al-Nafhah . Selanjutnya kitab Al-nafhah
bukanlah hujjah yang kuat walaupun masih bisa diambil manfaat. Kebanyakan
isinya diambil dari ahli Yaman . dan aku telah
meneliti sekemampuanku
maka aku tidak
menemukan
sesuatupun tentangnya . Ini adalah bahan bagi kalian dan
saudara-saudara di Yaman untuk meneliti." 67
Terjemah:
"Nampaknya,
pengarang kitab ini (Al-Nafhah
al-Anbariyah) tidak merujuk kitab-kitab nasab,
ia hanya menulis informasi-informasi yang
ada dalam benaknya dan hatinya . Ia
tidak merujuk sumber-sumber yang muktabar."68
Abu Muawiyah al-Bairuti
mengatakan:
Terjemah:
"Saya bersaksi bahwa penulis "Al-Nafhah"
bukanlah salah satu dari tokoh-tokoh di forum ini (ilmu nasab), atau dari para
ksatria golongan ini (Ahli nasab). Telah diketahui bahwa orang yang
berujar di luar bahasanya adalah sumbang, dan orang
yang di
luar kredensinya akan dipermalukan oleh ujian."69
(2)
Kitab Tuhfat al-thalib Karya Ak-Samarqandi (w.996 H.) Dalam
kitab Tuhfatutholib Bima'rifati man Yantasibu Ila
Abdillah
wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as
Samarqondi (w. 996) disebutkan seperti berikut:
"Adapaun Ahmad bin
Isa bin Muhammad bin (Ali) al Uraidi maka Ibnu Anbah berkata: Abu Muhammad
al-Hasan al-Dallal bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa ar
Rumi adalah dari keturunan Ahmad bin Isa, ia (Ibnu Anbah) diam tentang
selain Abu Muhammad . Aku berkata (penulis kitab Tuhafatutolib): Aku
melihat dalam sebagian ta 'liq (catatan pinggir sebuah kitab ditulis oleh
santri dipinggir kitab ketika mendengar keterangan guru) tulisan yang
bunyinya "Telah berkata al-muhaqqiqun dari cabang ilmu ini (nasab) dari
ahli Yaman dan Hadramaut, seperti Imam Ibnu Samrah, al-Imam al Jundi, al-Imam
al-Futuhi yang mempunyai kitab at-Talkhis, al Imam Husain bin Abdurrahman
al-Ahdal, al-Imam Abil Hubbi al-Bur'I, al-Imam Fadhol bin Muhammad al-Bur'I,
al-Imam Muhammad bin Abi Bakar bin Ibad as-syami, Syekh Fadlullah bin Abdullah
as-Syajari, dan al-Imam Abdurrahman bin Hisan bahwa Sayid Syarif Ahmad
bin Isa pergi bersama anaknya, Abdullah, dalam rombongan para anak, kerabat,
teman-teman, para pembantu dari Bashrah dan Iraq menuju Hadramaut setelah
berpindah dari berbagai daerah dan bersembunyi dari berbagai Negara,
sebagai hikmah Tuhan raja yang maha
memberikan
anugrah. Maka kemudian Abdullah mempunyai anak
bernama Alwi, dan Alwi mempunyai anak bernama Muhammad, Muhammad mempunyai
anak Alwi (lagi), Alwi mempunyai anak Ali Khali' Qosam, Ali Kholi' Qosam
mempunyai anak bemama Muhammad Shohib Mirbath, dan Muhammad Shohib Mirbath
mempunyai anak bemama Alwi dan Ali. Maka adapun Alwi maka mempunyai empat
anak: Ahmad dan ia berketurunan, Abdullah ia tidak berketurunan, Abdul Malik
keturunannya di India, dan Abdurrahman dan ia berketurunan . Dan adapun Ali
maka ia mempunyai anak al-Faqih al-Muqoddam Muhammad dan ia
mempunyai banyak keturunan ."70
Dimunculkan pertama kali oleh Syekh
Muhammad kadzim dalam kitabnya an-Najhah al-Anbariyah di akhir abad
kesembilan, nama Abdullah muncul kembali pada abad ke sepuluh dalam kitab
Tuhfatuttolib setelah 116 tahun kitab an-Najhah di tulis.
Untuk
menyebutkan keturunan Ahmad bin Isa, pertama penulis kitab Tuhfatuttolib
mengutip pendapat Ibnu Anbah dalam kitab Umdatuttolib, dalam kitab umdah itu
ditulis bahwa Ahmad bin Isa mempunyai keturunan dari anaknya yang bemama
Muhammad . Penulis tuhfatuttolib memberi tambahan "wa sakata an gairihi "
artinya "Dan Ibnu Anbah diam dari keturunan lainnya". Dari kalimat itu penulis
Tuhfah ingin mengatakan bahwa ada nama lain yang tidak disebutkan oleh Ibnu
Anbah karena Ibnu Anbah tidak tegas menyebutkan berapa jumlah anak Ahmad bin
Isa. Lalu ia berkata "bahwa aku menemukan sebuah ta 'liq" yaitu catatan santri
pada sebuah kitab ketika mengaji dihadapan guru, dalam ta 'liq itu terdapat
susunan garis keturunan Ba alawi, lalu tanpa di kroscek kitab sebelumnya
ta 'liq itu dimasukan dalam kitabnya. Dari situlah mulai mashurnya marga Ba
Alawi sebagai keturunan Ahmad bin Isa.
Penulis menduga bahwa penulis
Tuhfah belum membaca atau tidak mempunyai kitab as-Syajarah al-Mubarakah yang
ditulis Ar-razi abad ke enam yang menyebutkan bahwa anak
Ahmad bin Isa hanya
tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Apabila ia
mempunyai kitab itu maka mungkin ia tidak akan memasukan ta 'liq itu ke
dalam kitabnya, karena akan terasa ganjil apabila sebuah catatan sepotong
kertas kemudian berbeda dengan sebuah kitab nasab yang telah ditulis 390 tahun
sebelumnya.
Tidak bisa juga dikatakan bahwa kitab ini mengambil dari
referensi kitab Al-nafhah al-Anbariyah, karena yang disebutkan oleh kitab
Al-Nafhah adalah rangkaian keluarga Jadid yang juga menyusup kepada keluarga
Ahmad bin Isa. satu-satunya kitab nasab yang mencantumkan Jadid keturunan
Ahmad bin Isa hanya kitab Al-Nafhah tanpa referensi dari kitab nasab.
Yang
paling menarik adalah, kedua nasab ini mereka sama-sama mencangkok tetapi
tidak saling koordinasi. Kitab Al-Najhah ketika mencangkokan Jadid, ia hanya
menceritakan Jadid bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa; sementara kitab Tuhfat
al-Thalib hanya menceritakan keluarga Alwi bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa.
padahal kedua keluarga ini sama sama mencangkokan diri kepada Ahmad bin Isa
dari "putra" nya yang bemama Abdullah. Seharusnya mereka berdua saling
menguatkan bahwa Jadid punya kakak Alwi atau sebaliknya. Tetapi yang
demikian itu tidak dilakukan. Hal itu adalah sebuah ciri signifikan bahwa
kedua nasab itu hanya mencangkok dari nasab Ahmad bin Isa. koordinasi sejarah
itu akan berlangsung pada waktu-waktu selanjutnya dalam kitab-kitab sejarah
dan nasab karya ulama Ba' alwi dan circle-nya di masa belakangan .
Hanif
Alatas dkk juga menyajikan kitab Tufat al-Azhar yang membongkar kesemrawutan
nasab internal Ba'alwi terutama tentang sosok Bashri yang disebut nama lain
Ismail dan Jadid yang tidak disebut kitab Tuhfat al-Azhar seperti yang sudah
penulis sampaikan sebelumnya. Hanif juga menyajikan kitab Raudlat al-Albab
karya Abu Allamah (abad ke-11 H.) dan kitab palsu Al-Raudl al Jaliy yang
dikatakan sebagai karya Imam Murtadla al-Zabidi (w.1205 H.) padahal kitab ini
tulisan Hasan Muhammad Qasim pada abad ke 14 Hijriyah . Kemudian Hanif dkk
juga menyebut di nomor enam bahwa Imam Al-
Ubaidili (w. 435
H.) telah menyebut hijrahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut, itu adalah kesaksian
palsu, Imam Al-Ubaidili tidak pernah menyebutkan hal demikian. Lihat dalam
kitab Imam Al-Ubaidili yaitu Tahdzib al-Ansab tidak ada keterangan bahwa Ahmad
bin Isa hijrah ke Hadramaut. Kemudian kitab Al-Isyraf karya Abu Abdillah
Muhammad al-Thalib al-Maradisi al-Fasi (w.1273 H.) dan terakhir kitab Al
Mu'qibun karya Syekh Mahdi Raja'I (masih hidup).
Kita lihat betapa
lemahnya nasab Abul jadid yang baru dicatat kitab nasab yang lemah yaitu
Al-Nafhah yang ditulis bukan oleh seorang ahli nasab muktabar yaitu Muhammad
Kadzim (w.880 H.); dan nasab Ba'alwi yang baru dicatat di abad ke-10 Hijriyah
oleh kitab Tuhfat al-Thalib (996 H.) yang penulisnya mengakui bahwa ia
mencatatnya bukan berdasar referensi kitab nasab tetapi hanya berdasarkan
ta'liq (catatan kecil). Dari sana kita simpulkan bahwa nasab Ba'alwi
terputus selama 651 tahun.
Hanif Alatas dkk. juga menampilkan sepucuk
surat itsbat dari Mahdi al-Raja'I yang menyatakan nasab mereka sahib. Surat
itsbat semacam itu, menurut para ahli nasab tidak bermakna apa-apa jika nasab
itu terbukti batal dalam kitab-kitab nasab terdahulu . Sebagaimana yang
demikian itu diungkapkan oleh pakar nasab Khalil bin Ibrahim dalam kitab
Muqaddimat fi 'Ilm al-Ansab:
Terjemah:
"Tidak dinilai
banyaknya tandatangan jika nasab itu tidak sahih. Maka banyaknya tandatangan
tidak mensahihkan yang salah; tandatangan itu hujjah bagi yang menandatangani
bukan hujjah untuk yang lainnya."71
PASAL KE-3 MENJAWAB KLAIM PENGAKUAN DAN KESAKSIAN PARA ULAMA TERHADAP
KEABSAHAN NASAB SADAH BA'ALWI
Dalam buku Keabsahan Nasab Ba'alwi, Hanif Alatas dkk menampilkan beberapa
manuskrip yang katanya menjadi dalil bagi nasab Ba'alwi sebagai berikut:
Manuskrip Hasan al-'Allal (460 H.) 72
Inilah penampakan manuskrip
yangditampilkan Hanif dkk. Sanad itu menyebut nama Abdullah "bin"
Ahmad bin Isa (ayah Alwi) yang katanya mendapat hadits dari Al-Husain bin
Muhammad bin Ubaid bin al-Askari. Manuskrip ini jelas "manuskrip
lucu-lucuan"; ia manuskrip "bodong" tanpa identitas. Dalam footnot-nya
Hanif dkk. menyatakan rangkaian sanad ini berasal dari kitab Musnad Hasan bin
Muhammad al-Allal yang masih manuskrip . Siapa orang yang bisa membawa kitab
Musnad Hasan bin Muhammad al-'Allal? Tidak ada. ia kitab yang dihikayatkan
oleh Syekh yasin Padang dari sebuah kutipan, lalu orang-orang masa kini
melakukan cocokologi dengan keturunan Ahmad bin Isa yang bernama Hasan
al-Dallal yang dicatat dalam kitab Al-Majdi.
Maksudnya begini: dalam
kitab nasab Al-Majdi (abad ke5 H.) dicatat Ahmad bin Isa dan seorang anaknya
bernama Muhammad . Muhammad ini mempunyai cicit
bernama Hasan al-Dallal. Lalu Ba' alwi menemukan
sebuah nama Muhaddits yang namanya mirip yaitu Hasan al-allal (nama ini
dikutip di antaranya oleh Syekh Yasin Padang) . Lalu disebutlah bahwa nama
sebenarnya dari Hasan al-Dallal adalah Hasan al-Allal yang seorang
muhaddits, lalu dibuatlah khayalan bahwa ia mempunyai sanad
yang menyebut Abdullah bin Ahmad bin Isa sebagai pamannya . padahal semua itu
hanya khayalan belaka.
Menurut penulis kitab Musnad Hasan al-Allal adalah
kitab palsu yang ditulis tahun 1960-an Masehi oleh Salim bin Jindan. Mengenai
alasan tuduhan kepada Salim bin Jindan akan penulis jelaskan
sebentar lagi.
Kepalsuan sebuah rangkaian sanad mudah dibuktikan dengan
meneliti nama-nama perawi yang ada dalam rangkaian sanad itu. para perawi
hadits telah dicatat rapih oleh para ahli hadits. Setelah diteliti rangkaian
sanad itu adalah sanad cangkokan dari sanad asli yang terdapat dalam kitab
Tarikh Bagdad . Perhatikan sanad asli di bawah im:
Sanad ini sanad
asli terdapat dalam kitab yang menjadi rujukan ahli hadits yaitu Tarikh Bagdad
(Juz III h. 18). Lalu perhatikan sanad cangkokan Gus Rumail di bawah ini:
Dalam
sanad asli yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad , Ibnu al-Askari mempunyai
murid Ali bin Muhammad bin Hasan al Maliki; dalam manuskrip Rumail, Ibnu
al-Askari mempunyai murid Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad "bin" Isa. Mari kita
uji secara Ittisal al-Riwayat (ketersambungan riwayat), yaitu dengan melihat
kitab kitab Tarikh al-Ruwat (sejarah perawi) yang menyebut seorang tokoh
perawi berikut guru dan muridnya . Apakah Ali bin Muhammad bin Hasan al-Maliki
dan Abdullah (Ubaidillah) "bin" Ahmad bin Isa terbukti keduanya sebagai murid
Ibnu al-Askari?
Mari kita lihat kitab Tarikh
Bagdad tentang sosok Al-Husan bin Muhammad bin al-Askari.
Dalam
kitab Tarikh Bagdad karya al-Khatib al-Bagdadi itu, disebutkan bahwa
murid-murib Ibnul Askari adalah: Abul Qosim al Azhari, Abu Muhammad
al-Jauhari, Al-Hasan bin Muhammad al Khollal, Ahmad bin Muhammad al-Atiqi,
Abul faraj bin Burhan, Al Qodi Abul Ala al-Wasiti, Abdul Aziz bin Ali
al-Azji, Ali bin Muhammad bin al-hasan al-Maliki, Al-Qodi Abu Abdillah
al Baidowi, Ahmad bin Umar al-Nahrawani, dan Abul Qosim al
Tanukhi.73
Setelah kita verifikasi maka Ali bin Muhammad bin
al-Hasan al-Maliki terbukti sebagai murid Ibnu al-Askari, sedangkan Abdullah
tidak terbukti . Maka rangkaian sanad Rumail itu terbukti sanad cangkokan atau
sanad palsu .
Jelas sekali rangkaian sanad itu sengaja diciptakan bukan
untuk kepentingan periwayatan sebuah hadits, tetapi lebih untuk kepentingan
disebutnya nama Abdullah, untuk dijadikan bukti palsu bahwa sosoknya
betul-betul ada, bahkan meriwayatkan sebuah hadits. Sayangnya creator sanad
itu lupa, bahwa Ilmu Hadits lebih ketat dari ilmu nasab, nama-nama perawi
sudah terkodifikasi rapih ditulis dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat (Sejarah Para
Perawi) . Untuk mengkonfirmasi seorang perawi, apakah ia merupakan sosok
historis atau bukan Uangan-jangan ia sekedar nama yang sengaja disematkan
tanpa ada sosoknya) bisa dilihat dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat yang sudah
ditulis sejak abad ke tiga Hijriah.
Perhatikan wafat Abdullah, ia disebut
wafat tahun 383 Hijriah, jika ia benar-benar seorang perawi, maka
namanya akan dikenal oleh para ahli ilmu di masanya, tempatnya akan
banyak didatangi para pencari hadits dari berbagai penjuru dunia, dengan itu
seharusnya namanya telah dicatat oleh kitab yang mencatat para perawi yang
semasa dengannya atau yang mendekatinya, semacam lbnu Syahin yang wafat
tahun 385 Hijriah, dua tahun setelah wafatnya Abdullah, atau kitab Al-Dzahabi
yang wafat tahun 748 Hijriah . Dan tentu namanya pula akan dicatat oleh kitab
nasab pada masanya seperti Al Ubaidili (w. 437 H.), tapi, nama Abdullah ini
tidak dicatat dimanapun: tidak di kitab nasab, tidak pula di kitab para perawi
.
Sanad Abul Qasim al-Naffath (490 H.)
Hanif dkk. pula menampilkan sebuah rangkaian sanad hadits palsu
yang diatribusikan kepada Abul Qasim al-Naffath seperti berikut ini:
Kali
ini Hanif dkk. tidak berani menyebut nama kitab di mana rangkaian sanad ini
diambil. Rangkaian sanad bodong ini jelas rangkaian sanad palsu .
Bagaimana Ali bin Ja'far al-Asyqar bisa mendapatkan hadits dari Al-Naffat
tahun 461 H. sedangkan ia telah wafat tahun 327 H.
Di bawah ini manuskrip
milik keluarga Ali al-Asyqar yang menunjukan ia wafat tahun 327 H.75
Jelas
sanad yang ditampilkan oleh Hanif dkk. itu diciptakan bukan untuk kepentingan
Ilmu Hadits tetapi untuk kepentingan disebutnya nama-nama keluarga Ba'alwi.
modusnya sama yaitu dengan berpatokan kepada telah disebutkannya
nama Abul Qasim al Naffat oleh Syekh yasin Padang bahwa ia mempunyai kitab
Musnad, lalu kitabnya ini diciptakan hari ini dan kemudian dibuat khayalan
bahwa Abul Qasim al-Naffath menyebut nama ubaidllah yang disebut sebagai anak
Ahmad bin Isa.
Pertanyaanya, mengapa demi
mempertahankan nasab, berani berdusta begitu detail? Sayangnya, sedetail
apapun kedustaan, kebenaran akan mampu untuk membongkarnya, karena
sedetail apapun sebuah kedustaan ia tidak akan pernah sempurna. Abraham
Lincoln berkata: "You can fool all the people some of the time, and some of
the people all the time, but you cannot fool all the people all the time"
(Kamu bisa membohongi semua orang beberapa waktu dan beberapa orang setiap
waktu, tetapi kamu tidak bisa membohongi semua orang sepanjang waktu).
Manuskrip Hasan bin Rasyid (638 H.)
Hanif Alatas dkk. menampilkan sebuah sanad milik Hasan bin Rasyid
sebagai berikut: 76
Sampai di sini apa yang disajikan Hanif dkk.
masih benar. ljajah kitab Turmudzi dari Hasan bin Rasyid kepada Muhammad bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid itu memang ada, penulis pun mempunyai
microfilm manuskripnya . Tapi di sana sama sekali tidak disebut Ubaidillah bin
Ahmad bin Isa. kedustaan mulai dilakukan ketika Hanif dkk. menampilkan sebuah
sanad Umar bin Ali al-Tiba'I yang di sana menyebut silsilah Syarif Abul Jadid
sampa1 nama Ubaidillah, di sini mulai berdusta, silahkan perhatikan:
Katanya,
sanad ini diambil dari kitab tsabat (sanad) kitab Al Arba'un karya
Syarif Abul Hasan Ali bin Jadid yang ditulis oleh Umar bin
Ali al-Tiba'i. Katanya silsilah nasab Ali bin Jadid itu sampai Ubaidillah bin
Ahmad bin Isa itu ditulis oleh Abul Jadid sendiri, dari sini mulai dusta.
Kitab Al-Arbaun milik Syarif Abul Jadid itu sudah mafqud (hilang). Jika
kemudian hari ditemukan ada dengan tambahan silsilah nasabnya sampai
Ubaidillah bin Ahmad bin Isa maka jelas itu manuskrip yang sengaja diciptakan.
Ubaidillah atau Abdulah bukan anak Ahmad bin Isa. itu sudah jelas disebut
dalam Al-Syajarah al Mubarakah (597 H.) bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga:
Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada nama Ubaidillah atau Abdullah apalagi
Ubaid .
Perhatikan buku Hanif dkk. itu, dari mana ia mendapatkan
sanad Abul Jadid itu, dikatakan dalam footnotnya itu koleksi pribadi . Dalam
ilmu nasab sebuah kitab yang ditulis atau dimiliki oleh seseorang yang
punya kepentingan tidak bisa dijadikan hujjah.
Abdul Majid al-Qaraja
dalam kitabnya Al-kafi al-Muntkhab:
Terjemah:
"Yang
kelima adanya al-maslahat (kepentingan). Maka j ika dari seorang yang
meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya
pendapatnya ditinggalkan . Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat
digunakan jika bertentangan dengan kepentingannya. Dan tidak dapat diambil
pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan.
Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya kepentingan."
77
Para peneliti Yaman sudah menyatakan kitab-kitab sanad hadits yang
menyebut keluarga Ba'alwi seperti Alwi dan Bashri itu hanya khayalan .
Manuskrip Umar bin Sa'ad al-Din al-Dzifari
Kata Hanif dkk. ini adalah manuskrip Umar ibn Sa'd Al-Din Al
Dzafari (w. 667 H.), katanya ia menulis kitab berjudul: Al-Arba'un, yang
memuat 40 hadits yang ia terima dari Faqih Muqoddam . Mantap sekali Faqih
Muqoddam yang namanya tidak pernah disebut ulama bisa meriwayatkan
40 hadits . Faqih Muqoddam, sejak ia wafat tahun 653 H.
namanya tidak pernah disebutkan ulama
sebagai seorang ulama apalagi sebagai muhaddits . Pertama kali
disebutkan oleh kitab kitab keluarga Ba'alwi di abad sembilan terutama
Al-Burqat al Musyiqat karya Ali al-Sakran.
Dari secarik kertas yang
katanya manuskrip bodong kitab Al Arba'un di atas kita masih sulit
menganalisa. Tetapi dalam diskusi di Rabitah Alwiyah (7/9/2024) Rumail Abbas
menampilkan salah satu dari lembaran manuskrip Al-dzifari tersebut, dari
sana penulis mengetahui bahwa manuskrip itu adalah karya Salim bin Jindan
Jakarta (w.1969 M.)
Di bawah ini salah satu manuskrip Rumail yang
ditayangkan dalam presentasi diskusi di Rabitah Alwiyah
Jakarta (7/9/2024), naskah itu memuat sanad hadits Umar ibn Sa'd al-din
al-Dzifari yang, menurut Rumail, ia dapatkan dari Muhammad Faqih Muqoddam, dan
Faqih Muqoddam mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid .
Dalam
manuskrip itu disebut bahwa Umar bin Sa'd mendapatkan hadits dari
Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam, dan Faqih Muqoddam mendapatkannya dari Abul
Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid. Sanad ini jelas sanad palsu, karena Abul
Hasan
Ali bin Jadid tidak mempunyai murid bernama Muhammad
bin Ali Faqih Muqoddam . Dalam kitab Al-Suluk fi Thabaqat al-Ulama Wa al
Muluk, Al-janadi (w.732 H.) menyebut nama murid-murid Abul Hasan Ali bin
Muhammad bin Jadid, tetapi tidak ada yang bernama Muhammad bin Ali Faqih
Muqoddam. Adapun nama-nama murid Ali bin Jadid yang disebut Al-Suluk adalah:
Muhammad bin Mas'ud al Sufali, Ibnu Nashir al-Himyari, Ahmad bin Muhammad
al-Junaid, Hasan bin Rasyid, Muhammad bin Ibrahim al-Fasyali, Umar bin Ali
Sahibu Baiti Husain . (Al-Suluk, juz 2, h. 136). Dalam kitab Banu al Mu
'allim al-jaba 'iyyun wa Banu al-Jadid al-Alawiyyun, Abu Umar menyebutkan
sembilan nama dari murid Ali bin Jadid, namun tidak juga disebutkan ia
mempunyai murid yang bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam (lihat h. 6).
Jelas sekali manuskrip yang memuat sanad-sanad Faqih Muqoddam di atas adalah
sanad palsu .
Rumail menyebutkan bahwa
tahun penulisan manuskrip itu tahun 667 Hijriyah .
Dilihat dari bentuk manuskripnya, ia sangat tidak meyakinkan . Tinta
biru seperti itu tidak lazim digunakan pada abad ke-7
Hijriah; kertas yang bergaris-garis
semacam itu diproduksi sekitar tahun 1960
M. Selain dilihat dari isinya, dilihat
dari media yang digunakan pun, manuskrip ini
jelas manuskrip palsu . Bentuk tulisan manuskrip
ini sangat identic dengan manuskrip kitab
hadits tulisan Salim bin Jindan (w. 1969 H.). Perhatikan potongan manuskrip
yang terdapat dalam
media online "Jaringan
Santri" (https://jaringansantri.com/manuskrip-ilmu-hadis-habib-salim-bin
jindan/) yang memuat sebuah manuskrip kitab hadits karya Salim bin
Jindan yang diberi judul Riwayah bi al-Fi 'Ii di bawah ini:
Dilihat
dari bentuk tulisan dan jenis kertas yang bergaris-garis yang biasa digunakan
oleh Salim bin Jindan, antara naskah Rumail dan naskah
Salim bin Jindan identic. Naskah Rumail itu 99% adalah tulisan tangan Salim
bin Jindan yang wafat di Jakarta tahun 1969 M.
Lalu bagaimana pendapat
ulama Yaman tentang Salim bin Jindan? Doktor Muhammad Badzib dalam Akun Media
Sosial Saluran Telegram nya yang diposkan tanggal 16 Mei 2024
menyebutkan bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin
Jindan "la yuhtajju biha wala yu 'tamadu alaiha
" (tidak dapat dijadikan
dalil dan tidak dapat dijadikan pegangan)
. Doktor Badzib mengutip pendapat Abdullah Alhabsyi dalam kitabnya "Mashadir
al fikri al Islami fi al Yaman " bahwa kitab-kitab Salim bin Jindan adalah
kitab yang diambil dari "ruang hampa".
Abdullah Muhammad Al-Habsyi
menyebut bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan tidak baerfaidah dan dalam
kitab-kitab itu ada "Mujazafah" (ucapan kacau dan tanpa
referensi); didalamnya pula ada "al-khaltu " (ucapan rusak dan
igauan orang yang tidak sadar) (h. 558).
Selain Abdullah Al-Habsyi,
menurut Badzib, Sagaf Ali al-Kaf pun berpendapat yang sama, bahwa
kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan dalam ilmu nasab penuh dengan
"akadzibu la yu 'tamadu alaiha " (kedustaan dan tidak dapat dijadikan
pegangan) .
Selain kedua ulama itu, masih banyak ulama lain yang menilai
kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan dalam nasab sebagai kitab-kitab yang tidak
bermutu . Badzib menyebut juga seorang ulama yang bernama Masyhur bin Hafidz
yang menyatakan bahwa Syekh Salim bin Jindan adalah seorang "hatibu
lailin " (orang yang berbicara dengan semua yang terlintas dalam benaknya) .
Dan seorang peneliti bernama Ziyad al-Taklah dan Doktor Sa'id
Tulah keduanya mempunyai tulisan tentang Salim bin Jindan dan
khyalan-khayalannya dalam menciptakan sanad-sanad hadis yang tidak
berdasar.
Menurut Badzib, seorang professor dan pengacara, Fu 'ad
Tarabulsi, menceritakan kepadanya, bahwa nama-nama yang disebut oleh
Ibnu jindan dalam kitabnya-kitabnya banyak nama-nama fiktif
"la wujuda /aha " (tidak ada wujudnya) . Badzib menyebutkan contoh: Syekh
Salim bin Jindan menyebut bahwa sebagian dari guru-gurunya adalah
seseorang yang disebut sebagai anak Al-Allamah Jamaluddin al-Qasimi
al-Dimisyqi. Orang ini sama sekali tidak pernah ada yang tahu sebagai bagian
dari keluarga Al-Qasimi . Keluarga Al Qasimi sendiri tidak mengenalnya.
Syekh
Salim bin Jindan pula, menurut Badzib, memperlihatkan adanya kitab-kitab
musnad keluarga Ba'alwi dan mengatakan bahwa kitab musnad itu
manuskripnya terdapat di perpustakaan "Arif Hikmat ".
Kitab-kitab musnad itu, menurut Ba'dzib adalah kitab musnad palsu dan
tanpa dasar. Di perpustakaan "Arif Hikmat " yang ia sebutkan itupun tidak ada.
Bahkan, di seluruh perpustakaan yang ada di atas muka bumi ini pun tidak ada,
kecuali di rumah Salim bin Jindan, Kata Badzib. Sepertinya, yang
dimaksud oleh Badzib itu adalah kitab Musnad Faqih Muqoddam yang katanya
ditulis Umar bin Sa'd al-Dzifari tersebut, yang manuskripnya
ditampilkan Rumail Abbas di Rabitah Alwiyah itu.
Yang dilakukan
Syekh Salim bin Jindan Itu, menurut Badzib, dijelaskan oleh teks langka yang
terdapat dalam surat pribadi Alwi bin Taber al-Haddad kepada muridnya Profesor
Ali Ba'bud yang menyatakan, bahwa Ibnu Jindan mengidap penyakit Malecholia: ia
membayangkan hal-hal yang tidak ada, lalu menduga keberadaannya, kemudian
menulis imajinasi itu. Masyarakat yang tidak mengetahui kondisi kesehatannya
menerimanya begitu saja sebagai informasi yang dapat dipercaya.
Sayangnya,
menurut Badzib, orang-orang yang mengutipnya tidak berusaha untuk
mengkonfirmasi dari mana sumber-sumber Syekh Salim bin
Jindan ketika menulis kitabnya itu. Jika mereka melihat lebih dekat, mereka
akan menemukan bahwa dia mengutip dari dokumen-dokumen
palsu yang baru ditulis, yang ditulis orang orang fiktif.
Dalam akun
Telegramnya itu pula, Badzib memperlihatkan tulisan Aiman Al Habsyi tentang
Salim Bin Jindan dengan judul: Attahdir Min Ansab Ibni Jindan (peringatan
tenang nasab-nasab Ibni Jindan). Dalam tulisannya itu, Aiman diantaranya
menyatakan bahwa ia bertanya kepada pamannya, Abu Bakar bin Ali al-Masyhur,
tentang kitab-kitab Ibnu Jindan, lalu pamannya menyatakan bahwa ia bertanya
kepada Abdul Qadir Ahmad al-Saqaf, maka ia
berkata: "Salim bin
Jindan orang baik, tetapi
pendapatnya dalam nasab dan sejarah tidak boleh menjadi pegangan".
Aiman
al-Habsyi pada mulanya hendak men-tahqiq kitab karya Syekh Salim bin
Jindan yang berjudul "Al-Dur al-Yaqut ", ketika melihat di dalamnya penuh
dengan "musibah besar", maka ia mengurungkan niyatnya. Bahkan, menurut Aiman,
dalam kitabnya tersebut nasab-nasab Ba'alwi pun banyak "musibah besar".
Berikut
ini screenshot dari pernyataan Badzib:
Dua sanad hadits
lainnya yang ditampilkan dalam buku Hanif dkk. juga adalah sanad palsu yang
didapat dari kitab Salim bin Jindan tersebut. Dua sanad itu adalah:
Usaha-usaha
Klan Ba'alwi untuk bisa mensejarahkan nama nama keluarganya yang ahistoris
dengan membuat sanad-sanad palsu itu bukan hanya apa yang ada dalam buku Hanif
dkk. sebelumnya Rumail Abbas telah berusaha mencari kitab-kitab sebelum abad
ke-9 H. yang memuat nama-nama keluarga Ba'alwi. namun, usahanya gagal. Ada
manuskrip asli Syarif Abul Jadid dari abad ke-7 tetapi
tidak memuat informasi apapun tentang nasab keluarga Abdurrahman Assegaf, lalu
ia menampilkan sanad-sanad dari mansukrip bodong seperti dalam buku hanif
dkk.
Berikut ini usaha-usaha Rumail dalam melacak
nama-nama Klan Ba'alwi yang ahistoris.
Manuskrip ljazah Kitab Sunan Turmudzi Tahun 589 H.
Rumail menampilkan sebuah manuskrip ijazah kitab Sunan Turmudzi, mungkin
maksud Rumail dengan adanya bukti manuskrip tersebut, tokoh-tokoh Ba'alwi
sudah terbukti sebagai sosok historis karena telah tereportase secara
ontologis eksistensinya pada abad ke-6 Hijriah . Pernyataan ini mengada-ada,
karena tidak ada hubungannya antara keluarga Jadid dan keluarga Abdurrahman
Assegaf (kemudian mengatribusikan diri menjadi Ba'alwi). Keduanya adalah dua
keluarga yang berbeda . Pengakuan bahwa Jadid adalah kakak dari Alwi bin Ubaid
itu baru ada sejak abad sembilan, sebelumnya nihil. Tidak ada satu kitab pun
di masa di mana Jadid itu diasumsikan hidup yang menyatakan ia bersaudara
dengan Alwi.
Syarif Abul Hasan Ali, yang merupakan
keturunan dari Jadid yang wafat tahun 620 Hijriah, tereportase oleh kitab
Al-Suluk sebagai ulama hadits. Ia mempunyai istri anak dari Syekh Mudafi'.
Berbagai macam kota tempat perpindahan Ali diceritakan oleh Al-Suluk, tetapi
tidak pernah ia disebut pernah datang ke Tarim. Seperti juga ia tidak
disebutkan dilahirkan di Tarim atau mempunyai adik bernama Alwi di sana.
Rumail tidak bisa berhujjah dengan kesejarahan Abul Hasan Ali untuk
kesejarahan keluarga Abdurrahman Assegaf karena keduanya tidak ada kaitan
apapun.
Walau demikian ada baiknya kita telaah manuskrip yang memuat
ijazah kitab Sunan Turmudzi dari keluarga Jadid ini:
Menurut Abu
Umar Mazin bin 'Amir al-Ma'syani al-Dzifari al 'Ummani yang merestorasi
manuskrip ini pada 2 Dzulqo'dah 1444 H., manuskrip ini adalah manuskrip Jami '
Imam turmudzi yang terdapat di "Maktabah Ra'is al-Kitab" di Turki nomor
154. Penyalinnya memulai dari bab La yaqbalullah Sholatan Bighairi Thuhurin "
dari bab Thaharah sampai akhir kitab Al-Thibb dalam 15 juz, ditulis
tahun 589 H. oleh penyalin Qasim bin Ahmad bin Abdullah al-Mu'allim al
Juba'I. kemudian ada catatan tambahan ijazah dari Abu Muhammad Hasan bin
Rasyid bin Salim bin Rasyid bin Hasan al-Hadrami al Sakuni al-Umani
(w.638 H.) kepada Syarif Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid
(anak Abul Hasan Ali bin Jadid [w. 620 H.] dengan tulisan yang lemah hampir
tidak terbaca (h.3). Tulisan tambahan itu tanpa titimangsa kemungkinan besar
ditulis setelah tahun 620 H. setelah direstorasi kemudian dapat dibaca seperti
berikut:
Manuskrip itu ditulis oleh Qosim bin Ahmad bin Abdullah
dengan titimangsa 589 H. jadi titimangsa itu bukan titimangsa 'catatan
tambahan' berupa ijazah yang menyebut nama Muhammad bin Ali. Angka tahun itu
merupakan angka tahun selesainya penulisan naskah, bukan pengijajahan kitab
kepada Muhammad bin Ali. Lihat perbedaan cara penulisan antara isi kitab dan
ijazah tersebut.
Perlu diperhatikan pula, antara waktu selesainya
penulisan dengan waktu pengkajian bisa saja berbeda . Namun jika kita merujuk
pada Al-Janadi, di mana ayah Muhammad, yaitu Ali wafat pada tahun 620 H (abad
ke tujuh), dalam Syamsu al-Dzahirah tahun 630 H, maka dengan metode Ibnu
Khaldun, di mana dalam setiap satu abad terdapat tiga generasi, maka dapat
diperkirakan wafatnya Muhammad bin Ali adalah pada tahun 653 H, dari situ kita
bisa perkirakan juga Muhammad ini mendapat ijazah kitab Sunan Tirmidzi antara
rentang tahun 620-653 H. Bila dibagi dua diperkirakan mendapat ijazah pada
tahun 636 H, tentu ini lebih muda dari Al-Syajarah al-Mubarokah
yang ditulis tahun 597 H.
Catatan tambahan ' tersebut bisa menjadi dalil
untuk keluarga Jadid, bahwa mereka dalam tahun 636 H itu adalah tokoh
historis, dari mulai nama Muhammad (w. 653 H) dan ayahnya, yaitu Ali (w.
620 H), namun tidak bisa menjadi dalil nasab mereka terhadap Abdullah, karena
yang disebutkan hanya 5 generasi. Mujiz (pemberi ijazah) itu hanya
menyambungkan sampai ke Jadid Tsani, butuh 4 generasi lagi untuk sampai ke
Abdullah seperti yang disebut oleh Al-Janadi. Setelah itu, perlu pula sumber
yang menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad . Sementara ini, Al-Janadi (732 H)
-lah orang yang pertama menyambungkan nasab Bani Jadid kepada Ahmad bin
Isa yang bertentangan dengan kitab yang lebih tua yaitu
Al-Syajarah al Mubarokah (597 H). diperlukan pula sumber yang menyebut bahwa
Jadid betul-betul saudara dari Alwi bin Ubaid .
Catatan tambahan'
tersebut, ketika begitu lemah menjadi saksi nasab Jadid kepada Ahmad bin Isa,
tentu akan lebih lemah lagi menjadi saksi untuk keluarga Abdurrahman
Assegaf atau Ba Alawi Ubaidillah .
Kitab Tuhfat al-Murid Wa Uns al-Mustafid
Kata Rumail, Muhammad ibn Ali Bathahan (w. 630 H.) memproduksi kitab
berjudul Tuhfat Al-Murid wa Uns Al-Mustafid fl Manaqib Al-Syaikh Sa'd Al-Din
ibn Ali Al-Dzafari . Kata Rumail lagi, Kitab ini mengonfirmasi jaringan
intelektual antara Sa'd Al-Din Al
Dzafari dengan Muhammad ibn Ali
Al-Alawi yang kelak, pada deklarasi anaknya (Umar Al-'Abid ibn Sa'd Al-Din
Al-Dzafari), ditulis sebagai "Al-Faqih Al- Muqoddam".
Mungkin maksud
Rumail dengan kalimat "jaringan intelektual" itu, di dalam kitab itu
disebutkan bahwa Faqih Muqoddam menulis surat kepada Syaikh Sa'd al-Din
al-dzifari dan kemudian ia membalasnya, sebagaimana informasi yang disebut
literasi Ba'alwi. Pertanyaannya: benarkah Bathahan menulis kitab tersebut? Di
mana kitabnya? Jika ada benarkah di dalamnya ada surat menyurat antara Faqih
Muqoddam dan Syaikh Sa'd? berita tentang kitab itu hanya berasal dari
pengakuan penulis-penulis Ba' alwi seperti dalam kitab Al Burqat
al-Musyiqat (h.99).
Salih al-Hamid Ba'alwi (w.1386 H.)
mengaku pemah melihat manuskrip kitab itu (lihat Tarikh Hadrmaut
juz II h. 824). Menurut DR. Muhammad Yaslam Abd al-Nur, Salih al-Hamid
mengaku pemah melihatnya di Perpustakaan Rusen bin Abdurrahman Bin Sahl,
kemudian di bawa ke Perpustakaan Al-Ahqaf Tarim, ditulis tahun 978 H. oleh
Umar bin Ibrahim Al-Hubani . Benarkah berita itu? DR. Muhamad Yaslam
mengatakan, sekarang kitab itu sudah hilang (lihat Footnote Tarikh wa
al-Muarrikhun al-Hadlarimah h.50).
Semua manuskrip penting ekstemal yang
sezaman yang diklaim menyebut keluarga Ba'alwi setelah dikutip kemudian
dinyatakan hilang. Bagi seorang peneliti ini adalah suatu pola yang
mencurigakan . Dan bagi penulis, kitab itu kemungkinan besar, jika pun pemah
ada, tidak pemah menyebut Faqih Muqaddam, itulah alasan kenapa manuskrip kitab
itu harus "dilenyapkan".
Manuskrip Abul Qasim al-Naffath
Kata Rumail, Abu Al-Qasim An-Naffath (w. <581 H.) memproduksi kitab
yang mengompilasi 40 macam hadis dalam musnad yang ia beri
judul: Al-Arba'un . Dalam beberapa riwayat, keduanya melewati Imam Ahmad
Al-Muhajir yang disebut sebagai Nazil Al-Yaman (pendatang Yaman yang menetap)
dan gelar Al Abah."
Benarkah klaim Rumail itu? perhatikan manuskrip
Rumail yang telah penulis tampilakan sebelumnya:
Ini adalah
rangkaian sanad yang diduga kuat ditulis oleh Salim bin Jindan. Di dalamnya
disebut pula bahwa Ahmad al-Abah adalah "Nazi/ al Yaman " (yang datang menetap
di Yaman). Agaknya, klaim Rumail tentang ditemukannya manuskrip Abul
Qasim al-Naffat juga berasal dari tulisan Salim bin Jindan. Dan
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ulama-ulama Yaman menganggap apa yang
ditulis oleh Salim bin Jindan tentang nasab dan sanad "La yuhtajju biha wa la
yu 'tamadu alaiha " (tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan
pegangan) .
Sanad Muhammad Aqilah dan Manuskrip Assegaf
Kata Rumail, dalam kitab Al-Silk al- Durar fi A 'yan al-Qam al Tsani
Asyar karya Muhammad Khalil al-Muradi bin Ali al-Muradi (w.1206 H.) juz ke-4
halaman 30, terdapat biografi seorang ulama bernama Muhammad Aqilah (w.1150
H.). dalam kitab tersebut disebutkan bahwa ia mendapatkan talqin dzikir dari
Abdullah bin Ali Bahusain al-Saqqaf . Selain talqin dzikir, Abdullah al-Saqqaf
juga mengijazahkan kitab karya Ali bin Abdullah al-Idrus yang tinggal di Surat
India.
Kata Rumail, karena Muhammad Aqilah ini orang
yang tsiqah (bisa dipercaya), maka gurunya juga yaitu Abdullah bin Ali
Bahusain adalah orang tsiqah, oleh karena itu ketika dalam kitab yang lain,
Abdullah bin Ali al-Saqqaf ini menulis sebuah riwayat maka riwayatnya
terhitung tsiqah. Contohnya, ketika Abdullah bin Ali dalam sebuah
sanad hadits musalsal menyebut bahwa ia menerima hadits dari ayahnya Ali, dari
Ayahnya Abdullah, dari ayahnya Ahmad, dari ayahnya Ali al Naqi, terns sampai
Faqih Muqoddam, maka ini membuktikan sisi factual dan historis dari Faqih
Muqoddam.
Bagi Rumail, disebutnya nama Faqih Muqodaam di tahun 1150
Hijriyah setelah 500 tahun dari kematiannya dalam rangkaian sebuah sanad,
dapat diterima dan menunjukan ia sosok historis walau tanpa menggunakan
metodologi kritik hadits . Rumail belum memahami bagaimana metode para ahli
hadits dalam meneliti sebuah rangkaian sanad untuk menentukan apakah sebuah
sanad itu muttasil atau tidak; ada individu perawi yang pendusta, fasik,
fiktif, atau tidak.
Berikut ini manuskrip hadist musalsal yang
ditampilkan Rumail yang di dalamnya menyebut nama Faqih Muqoddam:
Pertanyaan
yang menggelitik penulis adalah: Rumail belajar Ilmu Hadits dari mana,
sehingga ia menyatakan jika muridnya tsiqah maka gurunya juga harus dihukumi
tsiqah? Ini does not make sense (tidak masuk akal). Dalam Ilmu Hadits ada yang
disebut Ilmu Al-Jarh wa al-Ta 'dil, yaitu ilmu yang mempelajari tentang apakah
para perawi ini laik dipercaya atau tidak. Setiap perawi dari sebuah
sanad itu diteliti satu persatu dari mulai awal sampai akhir. Jika ada
salah seorang diantara mereka yang terbukti dalam sejarah sebagai pendusta
maka hadits itu menjadi dla 'if bahkan divonis maudlu (palsu). Ketika Muhammad
Aqilah divonis tsiqah (terpercaya), maka tidak serta merta gurunya yang
bernama Abdullah bin Ali al-Saqqaf langsung dinyatakan tsiqah, ia perlu
penelitian tersendiri begitu pula susunan perawi selanjutnya.
Ketika
diadakan penelitian sanad dari mulai Abdullah bin Ali al-Saqqaf, kita
mengetahui bahwa susunan sanad itu sama dengan susunan nasab mereka . Seperti
pernah penulis nyatakan dalam kitab I 'anat al-Akhyar, bahwa
riwayat dari ulama Ba' alwi terkait nasab dan sejarah mereka kedudukannya
"muttaham bi al-kadzib " (patut diduga berdusta), tidak dapat dipercaya,
karena kontradiksi dengan kitab kitab sejarah dan kitab-kitab nasab
yang muktabar . Maka susunan sanad Abdullah bin Ali al-Saqqaf sampai Faqih
Muqoddam, berdasarkan susunan nasab mereka itu pun tidak dapat dipercaya.
Rumail
menyebut nama Muhammad Aqilah itu hanya sebagai tangga untuk menyebut nama
Abdullah bin Ali al-Saqqaf . Sebenarnya Muhammad Aqilah tidak menyebut nama
Faqih Muqoddam, yang menyebut Faqih Muqoddam adalah Abdullah bin Ali al-Saqqaf
. Nama Muhammad Aqilah sebagai ulama yang terkenal disebut Rumail, agar nama
Abdullah bin Ali al-Saqqaf itu ikut terangkat.
Manuskrip Kitab Musnad Ubadillah al-Tamimi al-Iraqi
Kata Rumail, Ubaidillah ibn Thahir Al-Tamimi (w. 488 H.) memproduksi
kitab yang mengompilasi puluhan hadis dengan judul Musnad Ubaidillah Al-Tamimi
Al-Iraqi . Kata Rumail lagi, di dalamnya terdapat sanad Hasan ibn
Muhammad Al-Allal. Hasan ibn Muhammad Al-Allal (w. <490 H.)
memproduksi kitab musnad berjudul Al-Arba'in yang berisi 40
macam hadis dari beragam isnad, dan di antaranya
disebutkan kekerabatan musnid dengan
kabilah Baalawi sebagai 'amm (paman), ibn 'amm (sepupu), dan
setamsilnya.
Pernyataan Rumail ini pun sama dengan sebelumnya, ingin
mengaitkan sebuah nama terkenal dengan keluarga Ba'alwi.
Ubaidillah al-Tamimi sama sekali tidak menyebut nama-nama keluarga
Ba'alwi, yang ia sebut adalah Hasan bin Muhammad al Allal, cucu
asli Ahmad bin Isa. kemudian dibuatlah cerita bahwa Hasan al-Allal ini
menyebut nama-nama Ba'alwi sebagai paman, sepupu atau semacamnya, agar
nampak benar ada kekerabatan antara Hasan al-Allal dengan keluarga Ba'alwi.
Pertanyaannya: mana manuskrip kitab Hasan al-Allal itu? benarkah ia ditulis
oleh Hasan al Allal? Atau ia hanya manuskrip palsu yang dibuat hari ini lalu
diatribusikan sebagai karya Hasan al-Allal? Jawabannya: ia adalah rangkaian
sanad yang diduga kuat ditulis oleh Salim bin Jindan bukan Hasan al-Allal.
Manuskrip Sanad Abdul Haq al-Isybili Ibnu al-Kharrath
Dalam komunitas youtube-nya Rumail memuat beberapa
sanad hadits yang menyebut nama Ubaidillah yang katanya mendapat hadits dari
bapaknya Ahmad al-Abah. Rangkaian sanad itu sebagai berikut:
Rangkaian
sanad ini ditampilkan Rumail hanya sepotong tanpa menyebut dari kitab apa ia
mendapatkannya . Sepertinya, Rumail kali ini tidak ingin seperti sebelumnya,
di mana rangkaian sanadnya dapat dilacak melalui nama-nama perawi
popular. Perawi-perawi dalam sanad ini tidak ada yang dikenal dan
tidak disambungkan sampai sahabat Nabi, ia berhenti kepada Ubaidillah bin
Ahmad bin Muhammad al-Azraq. Jelas sanad ini sanad "jadi-jadian" yang tidak
valid . Jika disambungkan sampai sahabat Nabi, ia dapat terdeteksi
ketersambungan atau tidaknya, karena nama para perawi hadits sejak zaman
sahabat sudah terkodifikasi dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat.
Nampaknya, ia rangkaian sanad yang didapatkan dari sumber yang sama dengan
sanad palsu sebelumnya, yaitu dari tulisan Salim bin Jindan. Dalam
rangkaian sanad itu ada kalimat yang nampak memaksakan yaitu disebutnya nama
Ubaidillah sebagai paman dari Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Isa
al-Abah. Sebagaimana diketahui bahwa nama Ali terkonfirmasi dalam kitab
Al-Syajarah al Mubarakah sebagai anak Ahmad bin Isa, nampaknya creator sanad
itu ingin nama Ubaidillah numpang tenar kepada Muhammad bin Ali.
Manuskrip Sanad Ali al-Syanini
Dalam sanad ini terdapat nama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam
yang katanya mendapat hadits dari Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Jadid . Jelas sanad ini palsu karena Ali bin Jadid
dicatat para ulama tidak mempunyai murid bernama
Faqih Muqoddam. Selain ia rangkaian sanad bodong yang tidak
disebutkan dari manuskrip kitab apa, dari sisi ilmu riwayat sudah
terbukti ia palsu . Nampaknya seperti yang lain ia diambil dari tulisan Salim
bin Jindan.
Manuskrip Al-Thurfat al-Gharibat
Rumail menampilkan sebuah manuskrip karya Abul Abbas Taqiyyuddin Ahmad
bin Ali Al-Maqrizi (w.845 H.) berjudul Al Thuifat al-Gharibat Fi Akhbar Wadi
Hadramaut al-Ajibat . Menurut Rumail, naskah ini sebagai bukti bahwa nama
keluarga Ba'alwi dikenal oleh ulama eksternal pada pertengahan abad ke-9 H.
sebagai keturunan Nabi.
Sayang Rumail tidak teliti, justru naskah ini
malah memperkuat bahwa bahwa keluarga Ba'alwi pada sekitar tahun 845 H. itu
masih dikenal sebagai "Arab Hadramaut" bukan sebagai sadat . Perhatikan salah
satau ibarat dalam naskah ini:
J. ur)1
¥ 1 J. 1
..li;.J.i
1 ?G
. . .oy Y/' if y l
Lb J if _,LJI
"Telah menceritakan
kepadaku Al-Faqir al-Mu'taqid Ibrahim bin Syekh Abdurrahman bin
Muhammad al-Alawi dari kabilah yang disebut Aba Alwi dari Arab Hadramaut. .
."
Al-Maqrizi sebagai seorang sejarawan, ketika mendapat pengakuan
dari Ibrahim bin Abdurrahman Assegaf bahwa ia
adalah
dari keluarga Aba Alwi, langsung mengetahui bahwa
keluarga ini adalah keluarga Arab Hadramaut, karena memang sejak abad ke-4
Hijriah telah dicatat dalam kitab-kitab sejarah nama Bani Alwi sebagai
keturunan Qahtan. Yang demikian itu sebagaimana di tulis oleh Al Hamadani
(w.344 H.) dalam kitabnya Al-Iklil Ji Akhbaril Yaman wa Ansabi Himyar (kitab
Al-Iklil memuat kisah-kisah Negara Yaman dan nasab Himyar) (h.36).
Penulis
telah jelaskan dalam beberapa tulisan bahwa pengakuan keluarga Abdurrahman
Assegaf sebagaia bagian Aba Alwi pun barn pada abad ke-9 H. Jelas sekali,
keluarga Abdurrahman Assegaf bukanlah keluarga Aba Alwi yang ditulis oleh
kitab Al-Suluk (732 H.) ketika menjelaskan silsilah seorang ulama bernama
Syarif Abul Hasan Ali bin Jadid . Pada abad ke-9 Hijriah keluarga Abdurrahman
Assegaf mengokulasi diri ke dalam bagian keluarga Aba Alwi. hal demikian
diperkuat oleh hasil tes Y DNA keturunan Abdurrahman Assegaf hari ini yang
dikenal dengan nama keluarga Ba'alwi bahwa haplogroup mereka adalah "G" yang
menunjukan mereka bukan berasal dari Arab. Orang-orang Arab hari ini hasil tes
Y DNA mereka terkonfirmasi berhaplogroup J.
Demikianlah
manuskrip-manuskrip yang diklaim oleh Rumail sebagai jawaban
atas tesis penulis bahwa
nama-nama keluarga Ba' alwi tidak tercatat sebagai keturunan Nabi
Muhammad SAW dari mulai abad ke-4 Hijriyah sampai ke-9 Hijriah, baik dalam
kitab nasab maupun sejarah. Sayang apa yang Rumail dapatkan ternyata hanya
rangkaian sanad yang terbukti palsu, baik dari sisi isi maupun media. Menurut
penulis, melihat algoritma historiografi yang tersebar di abad ke-8 dan ke-9
Hijriah, baik di Yaman maupun wilayah lain yang terkait dengan
Ahmad bin Isa, maka akan sangat sulit menemukan bukti-bukti keterkaitan
keluarga Ba'alwi sebagai keturunan Nabi dari jalur Ahmad bin Isa. kenapa?
Karena memang keluarga Ba'alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Kita
kembali kepada kitab-kitab yang menjadi dalil dari buku Hanif Alatas dkk.
dalam buku tersebut disebutkan bahwa dalil nasab Ba' alwi Abdurrahman
Assegaf adalah:
Al-Suluk Fi Thabaqat al-Ulama wa al-Muluk karya Bahauddin
al-janadi (w.732 H.)
Dalam diskursus nasab Ba'alwi nama Jadid
sering muncul dalam pembahasan . Pasalnya, Ali al-Sakran (w.895 H.)
mengklaim bahwa Jadid merupakan saudara dari Alwi bin Ubaid
(leluhur Ba'alwi). menurut Ali al-Sakran, Alwi mempunyai dua
saudara laki laki: Jadid dan Bashri. Walau nama Alwi tidak disebut Al-Suluk,
dengan disebutnya saudaranya berarti kesejarahannya
nyaris terdeteksi . Benarkah klaim tersebut? Tulisan sederhana ini akan
mengulasnya .
Syarif Abul Jadid bernama asli Ali. Kunyahnya adalah Abul
Hasan. Ia lebih dikenal dalam kitab-kitab Tabaqat dengan nama Al Syarif Abul
Jadid . Ia seorang ulama yang cukup terkenal di Yaman terutama dalam
bidang Hadits yang wafat tahun 620 H., Al-Janadi (w.732 H.) adalah sejarawan
pertama yang terdeteksi menyebut ketokohannya dalam kitabnya Al-Suluk fi
Thabaqat al-Ulama wa al Muluk. Sebelum Al-Janadi tidak ada ulama yang
mengangkat ketokohannya . Seluruh kitab-kitab yang
menulis nama Syarif Abul
Jadid merujuk
sumber utama dan pertama dari Al Janadi tersebut. Al Janadi pulalah sejarawan
yang mula-mula menyebut silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad
SAW melalui jalur Ahmad bin Isa.
Adapun teks lengkap sejarah Syarif Abul
Jadid yang ditulis Al-Janadi adalah: 80
Dari teks kitab
Al-Suluk di atas dapat disimpulkan beberapa point:
1.
Nama dan silsilah Syarif Abul Jadid adalah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin Jadid bin Abdullah "bin" Ahmad bin
Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidi bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir
bin Ali bin Husain bin
Ali bin Abi Thalib KW. Popular di Yaman dengan
nama Syarif Abul Jadid .
2. Berasal dari Hadramaut dari
keluarga "Asyraf ' (para Syarif) yang popular dengan keluarga Abu Alwi.
3.
Ia mempunyai adik bernama Abdul Malik.
4. Kota-kota
yang ia tempati adalah: Adn, Wahiz, India, Dzifar, Daynul, Tuhamah, Zabid,
Mahjam, Marjaf, dan Makkah .
5. Ia mempunyai murid:
Muhammad bin Mas'ud al-Sufali, Ibnu Nashir al-Himyari, Ahmad bin
Muhammad al-Junaid, Hasan bin Rasyid, Muhammad bin Ibrahim
al-Fasyali, Umar bin Ali Sahibi Baitu Husain.
6. Ia
wafat di Makkah tahun 620 H.
Dari 6 point di atas kita bisa ulas satu
persatu sebagai berikut:
1. Silsilah Syarif Abul Jadid
yang melalui Abdullah bin Ahmad bin Isa itu batal dan tertolak, karena Ahmad
bin Isa tidak mempunyai anak bernama Abdullah . Anaknya yang berketurunan
hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain (Al Syajarah al-Mubarakah, Imam
Fakhruddin al-Razi, tahun 597 H.)
2. Syarif Abul Jadid
berasal dari keluarga Abi 'Alwi dari "Asyraf Hadramaut" (para syarif
Hadramaut). Tetapi dalam Al-Suluk tidak disebut ia berasal dari Tarim
(tempat keluarga Abdurrahman Assegaf) . Yang pertama menyebut ia
berasal dari Tarim adalah Ali al-Sakran di akhir abad ke-9 H (895 H.).
Hadramaut itu luas di antara kota-kota Hadramaut adalah: Tarim, Syibam, Dau
'an, Barum Mifa', Tsamud, Hijir, Huraidlah, Al-Dais, Rakhiyah, Rimah,
Siwun, Syihir, Al Dali'ah, Al-Ibir, Al-mukalla dan lain-lain. Jadi ketika
disebut dari Hadramaut maka tidak bisa diasosiasikan kepada Tarim.
3.
Al-Suluk menyebut Syarif Abul Jadid (w. 620 H.) mempunyai adik bernama Abdul
Malik. Tidak ada nama lain dari saudara Syarif Abul Jadid yang
disebutkan . Tetapi Ali al-Sakran menyebut bahwa Syarif Abul Jadid
mempunyai satu saudara yang tinggal dan wafat di
Tarim namanya Abdullah (Al-
Burqat, h. 81).
Berita dari Ali al-Sakran ini tidak dapat diterima karena tidak berdasar
sumber apapun. Berita itu diciptakan sebagai penguat klaim bahwa Syarif Abul
Jadid merupakan bagian dari keluarga Abdurrahman Assegaf di Tarim. Sebelumnya,
Kakek Syarif Abul Jadid yang bernama Jadid (sekitar 400 H.) diklaim oleh Ali
al-Sakran juga mempunyai dua adik di Tarim bernama Alwi dan Bashri (lihat
Al-Burqat h. 78). Semua klaim Ali al-Sakran itu tidak terbukti . Apakah Ali al
Sakran sanggup mendatangkan bukti dari abad ke tujuh dan delapan yang
menyatakan bahwa Syarif Abdul jadid adalah orang Tarim. Mana dalilnya? Mana
kitabnya? Yang kedua mana bukti bahwa Syarif Abul Jadid mempunyai adik bernama
Abdullah di Tarim? Mana dalilnya? Mana kitabnya? Ali al-Sakran juga tidak akan
mampu membawa bukti mana dalil yang menyatakan bahwa Jadid bin Abdullah
adalah saudara dari Alwi dan Bashri. Mana dalilnya? mana kitabnya dari abad ke
5-9 H. ? semua hanya klaim semata untuk mengaitkan keluarganya
dengan Jadid yang disebut dalam Al-Suluk (732 H.).
4.
Kota-kota yang pernah ditinggali oleh Syarif Abul jadid yang disebutkan oleh
Al-Suluk tidak ada yang bernama Tarim. Dan dari panjangnya kisah tentang
Syarif Abul Jadid, Al-Suluk tidak menyebut sekalipun tentang sebuah Kota
bernama Tarim yang terkait dengannya. Ini menunjukan bahwa Syarif Abul
Jadid sama sekali tidak ada kaitan dengan keluarga Abdurrahman Assegaf
dan Tarim.
5. Al-Suluk menyebut nama
murid-murid dari Syarif Abdul jadid . Tetapi dari nama-nama
itu tidak disebutkan ada muridnya yang bernama Faqih Muqoddam
seperti yang disebut oleh literature Ba' alwi.
Kitab-kitab abad
kedelapan dan sembilan yang menyebut Syarif Abul Jadid pun tidak ada yang
mengaitkan Syarif Abul jadid dengan keluarga Abdurrahman Assegaf seperti
berikut ini:
Kitab Al-Athoya al-Saniyah karya Al-Malik
al-Abbas (w.778 H.)
Sama sekali dalam kitab ini tidak disebutkan kaitan
Syarif Abul jadid dengan keluarga Abdurrahman Assegaf dan Kota Tarim. Berikut
redaksi kitab Al-Athoya al-Saniyyah hal. 460.:
Kitab Al-'Iqd al-Fakhir
karya Al-Khozroji (w.812 H.)
Begitu pula, sama sekali
dalam kitab ini tidak disebutkan kaitan Syarif Abul jadid dengan keluarga
Abdurrahman Assegaf dan Tarim. Perhatikan redaksi kitab ini h. 1486-1488:
Kitab
Al-'Iqd al-Tsamin karya Muhammad bin Ahmad al-Fasi al Maki (w.832 H.)
Begitu
pula, sama sekali dalam kitab ini tidak disebutkan kaitan Syarif Abul jadid
dengan keluarga Abdurrahman Assegaf dan Tarim. Perhatikan redaksi kitab ini
juz 5 hal. 304:
Kitab Al-Nafhah al-Anbariyah karya Muhammad
kadzim (w. 880 H.)
Begitu pula, sama sekali dalam kitab ini tidak
disebutkan kaitan Syarif Abul jadid dengan keluarga Abdurrahman Assegaf dan
Tarim. Perhatikan redaksi kitab ini hal. 52.
Kesimpulan:
Keluarga
Abdurahman Assegaf (w.818 H.) merampas nama Al Abu Alwi milik keluarga Syarif
Abul Jadid . Perampasan itu secara formal ditulis oleh Ali bin Abubakar
al-Sakran (w. 895 H.) dalam kitabnya Al-Burqat al-Musyiqat. Cara yang ditempuh
adalah: pertama mengklaim bahwa Jadid bin Abdullah (sekitar 400 H.) yang
ditulis kitab Al-Suluk (732 H.) mempunyai adik bernama Alwi dan Bashri; yang
kedua mengklaim bahwa Syarif Abul Jadid (keturunan Jadid bin Abdullah, w.620
H.) mempunyai adik yang wafat di Tarim bernama Abdullah . Semua klaim Ali
al-Sakran itu tidak berdasar sumber apapun yang bisa dijadikan sebagai rujukan
ilmiyah dari sumber sebelumnya .
Nama-Nama Keluarga
Jadid Yang Disebut Al-Suluk Di Akui Keluarga
Abdurrahman Assegaf.
Dalam kitab Al-Suluk karya Al-Janadi (w.732 H.)
disebut nama-nama ulama dari keluarga Alu Abi Alwi yaitu keluarga dari
Syarif Abul Jadid (w.620 H.). nama-nama ini kemudian diklaim oleh Ali
al-Sakran sebagai nama-nama keluarga Abdurrahman
Assegaf
Ba'alwi. adapaun
teks lengkap dari
Al-Suluk U. 2 h. 463)
sebagaimana
berikut ini:
Dari redaksi
itu kita dapatkan kesimpulan bahwa yang
termasuk keluarga Jadid atau Alu Abi Alwi adalah:
1.
Abu Marwan Ali bin Ahmad bin Salim bin Muhammad bin Ali. Ia adalah orang
pertama yang bertasawuf dari keluarga Aba Alwi. murid-murid Abu Marwan
diantaranya: Abu Zakariya yang pergi ke Magdisyu .
2.
Hasan bin Muhammad bin Ali Ba'alwi
3. Abdurrahman bin
Ali Ba'alwi (paman dari hasan bin Muhammad bin Ali Ba'alwi)
4.
Ali bin Ba' alwi; jika sholat ia selalu
mengulang kalimat "Assalamualaika ayyuhannabiy . . ."
5.
Muhammad bin Ali (putra Ali bin Ba'alwi point 4)
6. Ali
bin Ba' alwi (sepupu Muhammad bin Ali point 5)
7. Ahmad
bin Muhammad yang wafat 724 H.
8. Abdullah bin Alwi
(masih hidup di tahun penulisan Al-Suluk sebelum tahun 732 H).
Tragedi Abu Marwan
Sebelum dilanjut, pembaca harus mengingat bahwa
Ba'alwi berbeda dengan Abu Alwi. Ba' alwi adalah keluarga Abdurrahman Assegaf
yang mengakui berita Al-Suluk tahun 732 H. itu yang dimaksud adalah keluarga
mereka . Sedangkan keluarga Abu Alwi adalah keluarga Jadid yang disebut kitab
Al-Suluk. Dari delapan nama di atas, yang diklaim sebagai berasal dari
keluarga Ba'alwi Abdurrahman Assegaf ada 7, yaitu selain nomor satu: Abu
Marwan. Walaupun begitu tegas dikatakan Al-Suluk bahwa Abu Marwan merupakan
orang pertama yang bertasawuf dari keluarga Abu Alwi, namun menurut literature
keluarga Ba'alwi, Abu Marwan bukanlah keluarga Aba Alwi, di sana ada kesalahan
penyalin Al-Suluk, yaitu adanya kalimat yang kurang dalam ibarat Al-Suluk itu.
kita akan melihat bahwa upaya singkronisasi sejarah keluarga Abdurrahman
Assegaf yang terdapat dalam Al-Suluk itu akan kacau balau. Abu Marwan yang
tegas disebut oleh Al-Suluk sebagai keluarga Abu Alwi harus dieleminir dari
daftar karena tidak ada dalam daftar kitab nasab keluarga Abdurrahman Assegaf
(Ba'alwi) hari ini yaitu Syams al Dzahirah . Jika, tidak dieleminir maka
pengakuan mereka sebagai Abu Alwi yang kemudian menjadi Ba'alwi akan
terbongkar.
Perhatikan kalimat asli kitab Al-Suluk:
"Sebagian
dari mereka adalah orang yang ber-laqab (gelar) Abu Marwan, namanya Ali
bin Ahmad bin Salim bin Muhammad bin Ali. Ia adalah
seorang "faqih" (ahli fiqih), orang yang besar kebaikannya . Darinya ilmu
menyebar luas di Hadramaut karena kecakapan dan keberkahan dalam pengajarannya
. Ia mempunyai karangan yang banyak. ia adalah orang yang pertama
bertasawwuf dari keluarga Abu Alwi. karena sebelumnya mereka hanya
dikenal dengan ilmu fikih. Dan ketika sampai kepada Al-Faqih (Abu Marwan)
tentang tasawuf dan bahwa inilah yang disebut tasawuf maka ia meninggalkan
fikih (Al Suluk, Juz 2, h. 463)".
Lalu bagaimana Ba'alwi mengakali teks
Al-Suluk tersebut agar nama Abu Marwan hilang dari keluarga Abu Alwi.
perhatikan teks kitab Tuhfat al-Zaman karya Husain al-Ahdal
(w.855 H.) yang ditahqiq oleh Abdullah Muhammad Al-Habsyi . Kitab
ini katanya adalah mukhtasar (ringkasan dari kitab Al-Suluk):
"Sebagian
dari mereka adalah Abu Marwan Ali bin Ahmad bin Salim. Ia adalah seorang
"faqih" (ahli fiqih) yang besar. Darinya ilmu menyebar luas di Hadramaut
karena kecakapan dan keberkahan dalam pengajarannya. Ia mempunyai karangan
yang banyak . Muhammad bin Ali belajar ilmu fikih kepadanya . ia adalah orang
yang pertama bertasawwuf dari keluarga Abu Alwi. karena sebelumnya
mereka hanya dikenal dengan ilmu fikih dan syaraf
(keturunan Nabi) . Dan ketika sampai kepada Al-Faqih (Abu Marwan) bahwa
Muhmamad bin Ali bertasawuf maka ia meninggalkannya." 81
Kalimat yang
bergarisbawah itu adalah tambahan yang tidak ada dari naskah asli kitab
Al-Suluk. Dalam tambahan itu memasukan nama Muhammad bin Ali (Faqih
Muqaddam) sebagai murid Abu Marwan dan menjadikan Abu Marwan bukan sebagai
bagian dari keluarga Abu Alwi. siapakah yang memberi kalimat tambahan itu?
apakah Husain al-Ahdal di abad ke-9 H. atau pentahqiq Abdullah Muhammad
Al-Habsy . Kedua-duanya mungkin . Husain al-Ahdal walaupun bukan dari keluarga
Ba'alwi tetapi ia rupanya dekat dengan keluarga Ba'alwi bahkan dalam kitabnya
ia menyatakan antara keluarga Ba'alwi dan Al-Ahdal adalah saudara
sepupu. Tetapi penulis lebih cenderung menuduh pentahqiq (Abdullah
Muhammad Al Habsyi) sebagai pelakunya mengingat beberapa tahqiqan dia
banyak interpolasi dari naskah aslinya seperti ketika ia mentahqiq kitab Al
Baha fi Tarikh Hadramaut karya Ibnu Hisan (w.818 H.).
Hasan Bin Muhammad
Bin Ali Ba'alwi
Nama ini jelas bukan keluarga Ba'alwi Abdurrahman
Assegaf. Tidak ada nama Muhammad bin Ali dari keluarga Abdurrahman Assegaf
yang hidup di masa Al-Suluk atau sebelumnya yang mempunyai nama Hasan. Ada dua
nama Muhammad bin Ali dari keluarga Abdurrahman Assegaf yang hidup sebelum
masa Al-Suluk yaitu Muhammad bin Ali Sahib Mirbat (w.556 H.) dan
Muhammad bin Ali Faqih Muqaddam (w.653 H.), kedua-duanya tidak mempunyai anak
bernama Hasan .82
Abdurrahman Bin Ali Ba'alwi (d.)
Nama ini pula
bukan keluarga Ba'alwi Abdurrahman Assegaf. Tidak ada nama Ali dari keluarga
Ba'alwi Abdurrahman Assegaf yang hidup sebelum Al-Suluk yang
mempunyai anak bernama Abdurrahman .83
Ali Bin Ba'alwi
Pemberi Salam Kepada Rasulullah
Ali bin Ba'alwi yang disebut Al-Suluk
sebagai bagian keluarga Abu Alwi yang selalu mengulang salam kepada Rasulullah
di dalam sholat. Keluarga Abu Alwi ini diklaim oleh Ali bin Abubakar al
Sakran sebagai Ali Khali Qasam.84 Dalam Al-Suluk disebutkan bahwa Ali bin
Ba'alwi ini mempunyai anak paman (sepupu) bemama
Ali juga . Jelas ia bukan Ali Khali Qasam, karena Ali Khali Qasam tidak
punya paman. Kakeknya Ali Khali Qasam
hanya mempunyai satu
anak yaitu Alwi (ayah dari Ali Khali
Qasam) [lihat Al-Burqat h.70). Bagaimana orang yang tidak punya paman bisa
mempunyai sepupu (anak paman)? Jelas klaim bahwa Ali yang disebut Al suluk ini
sebagai Ali Khali Qasam adalah mengada-ada .
Ketika telah nyata bahwa Ali
bin Ba'alwi ini tertolak untuk diasosiasikan kepada Ali Khali Qasam maka dalam
buku yang dikeluarkan Rabitah Alwiyah yang ditulis Hanif
Alatas dkk. Dikatakan bahwa Ali bin Ba'alwi ini bukan Ali
Khali Qasam tetapi Ali bin Alwi bin faqih Muqaddam yang
wafat tahun 699 H. (lihat buku Keabsahan Nasab Ba'alwi h. 38-37).
Tafsir putar arah ini pun tertolak karena Ali bin Alwi bin Faqih Muqaddam
tidak mempunyai anak paman bernama Ali juga . Paman-paman nya adalah
Abdurrahman, Abdullah, Ali, dan Ahmad semuanya tidak punya anak bernama Ali
(lihat syams al-Dzahirat dan Al-ustadz al-A'dzam al Faqih al-Muqoddam
karya Abubakar al-Adni bin Ali al-Masyhur h. 110).
Tafsir putar
arah ini juga melawan tafsir dari kitab-kitab Ba'alwi
di abad sembilan dan sepuluh Hijriah seperti Ali al-Sakran dalam Al-Burqat
(h.137), Al-khirid dalam Al-Gurar (h.169). kedua kitab ini dengan tegas
menafsiri Ali bin Ba'alwi dalam Al-Suluk yang mengulang salam kepada
Rasulillah ini adalah Ali Khali Qosam. Lalu mana yang benar antara kedua
tafsir itu? jawabannya: keduanya tidak benar. Hanya klaim saja dan cocokologi
semata yang tertolak oleh data mereka sendiri.
Setelah
kita mengetahui bahwa apa yang terdapat dalam Al Suluk tidak
ada kaitan dengan keluarga
Abdurrahman Assegaf (Ba' alwi) lalu apakah nasab Syarif Abul
Jadid sendiri sebagai keturunan Ahmad bin Isa ini sahib? Mari kita
ulas bersama .
Syarif Abul Jadid Bukan Keturunan Ahmad Bin Isa
Kitab
Al-Suluk fi Tabaqat al-Ulama wa al-Muluk adalah kitab sejarah yang memuat
tentang nama-nama ulama dan penguasa Yaman . ia ditulis oleh sejarawan dari
kota Janad yang bernama Bahauddin al Janadi (w.732 H.). kitab ini mereportase
seorang ulama yang bernama Syarif Abul Jadid dari keluarga Abu Alwi dan
adiknya yang bernama Abdul Malik. Dari sinilah nanti di abad ke-9
H. keluarga Abdurrahman Assegaf mengklaim Syarif Abul Jadid
ini sebagai bagian keluarga mereka.
Ketika mengurut silsilah nasab
Syarif Abul Jadid , Al-Janadi menyambungkannya sampai Ahmad bin Isa tanpa
menyebutkan dasar dan sumber otoritatif dari kitab-kitab nasab. silsilah
lengkap Syarif Abul Jadid yang terdapat dalam tiga versi manuskrip kitab
Al Suluk adalah: Abul Hasan Ali (Syarif Abul Jadid) bin Muhammad bin Ahmad bin
Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa dst.
Silsilah tersebut tertolak oleh
kitab-kitab nasab yang menulis anak keturunan Ahmad bin Isa. di mana
dalam kitab-kitab nasab "al qadimah" (terdahulu) tidak pernah
menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama
Abdullah . Kitab Al-Syajarah al Mubarakah (597 H.) menyebutkan bahwa anak
Ahmad bin Isa yang berketurunan adalah tiga orang: Muhammad, Ali dan
Husain. Tidak ada anak Ahmad bernama Abdullah .
Para ahli nasab
menetapkan bahwa kitab sejarah seperti kitab Al-Suluk ini, tidak bisa
dijadikan tools untuk mengitsbat nasab apalagi kitab sejarah itu bertentangan
dengan kitab-kitab nasab.
Dalam Kitab Ushulu 'Ilmi al-Nasab
wa al-Mufadlalah Bain al Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al Jaizani
halaman 76-77 dikatakan:
JI fa I
_)-'WI Jl.9 I _,
JI
\ yL.i':JI if Jfa JI 0 \
y.o\ djr4 JI
y)I vU\ JlS" ..ld-1 \
"Dan ketika
kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil
darinya, wajib berupa kitab kitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa
modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka"
Perhatikan
kalimat "wajib berupa kitab-kitab nasab terdahulu". Sedangkan Al-Suluk
bukanlah kitab nasab, maka Al-Suluk tidak memenuhi syarat para ahli nasab
untuk menetapkan nasab.
Syekh Al-Nassabah
Khalil bin Ibrahim
dalam kitabnya
Muqaddimat fi 'Jim al-Ansab
berkata:
; \ ) O_J ) if :JI r-LJI ..u
i>- :J
"Ilmu ini (penetapan nasab) tidak bisa
diambil kecuali dari referensi ilmu nasab dan rujukan-rujukannya ."85
Perhatikan
kalimat ucapan ahli nasab ini, bahwa penetapan nasab tidak bisa diambil dari
kitab-kitab selain rujukan penetapan nasab. sedangkan Al-Suluk adalah rujukan
sejarawan bukan rujukan ahli nasab.
Dr. Abdurrahman bin Majid
al-Qaraja dalam kitabnya Al-Kafi al- Muntakhob mengatakan:
"(Sejarawan)
tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli
nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya" 86
Perhatikan ucapan
seorang doktor dan seorang nassabah (ahli nasab) ini, bahwa sejarawan tidak
boleh didahulukan sama sekali dari apa yang telah ditetapkan ahli nasab.
Al-Janadi adalah seorang sejarawan, ia mencatat nama Abdullah sebagai anak
Ahmad bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan ahli nasab abad
sebelumnya, maka apa yang telah ditulis Al-Janadi itu sama
sekali tidak bermakna apa-apa dalam penetapan nasab. apalagi
kebiasaan para sejarawan tentang pengakuan nasab itu hanya menulis informasi
yang ia terima tanpa memverifikasinya, karena bagi sejarawan pengakuan itupun
merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. Mengenai
benar atau tidaknya pengakuan nasab itu hal lain yang akan dibuktikan
kebenaran dan kedustaanya oleh ahli nasab.
Dalam kitab Al- '!bar karya
Ibnu Khaldun dikatakan:
"Dan banyak para sejarawan, ahli tafsir dan
para imam-imam perawi terjadi kesalahan dalam hikayat-hikayat dan kejadian
kejadian karena mereka berpatokan dengan hanya mengutip tidak peduli yang
rusak atau yang baik. Mereka tidak memverifikasinya kepada sumbernya dan tidak
mengukurnya dengan serupanya dan tidak menelitinya dengan
standar ilmu dan berdiri terhadap kebiasaan alam semesta dan
menguatkan pemikiran dan bashirah
dalam berita-berita maka mereka
tersesat
dari kebenaran dan bingung dalam lapangan dugaan dan kesalahan ."87
Jadi,
kitab-kitab selain kitab nasab, semacam kitab sejarah, tabaqat, sanad,
tasawuf, semacam Al-Suluk, Al-Athoya, Al-Iqd al Fakhir, Tuhfat al-Zaman,
Al-Jauhar al-Syafaf, Al-Burqat, dan sebagainya tidak dapat digunakan sebagai
pengitsbatan nasab. kitab semacam itu bisa untuk menguji apakah nama-nama
dalam objek kajian itu merupakan sosok historis atau tidak tetapi tidak bisa
digunakan untuk mengitsbat nasab. pengitsbatan nasab hanya bisa dilakukan oleh
kitab nasab yang ditulis memang untuk mengitsbat nasab semacam kitab
Al-Syajarah al-Mubarakah .
Kitab nasab pertama yang mengitsbat Syarif
Abul Jadid adalah kitab Al-Nafhah al-Anbariyah tahun 880 H. tetapi
sayang kitab itu bertentangan dengan kitab-kitab nasab sebelumnya .
Menurut para ahli nasab, sebuah kitab nasab bisa dijadikan tools untuk
mengitsbat nasab hanya jika isinya tidak bertentangan dengan kitab nasab
sebelumnya. Sedangkan, kitab Al-Nafhah m1 bertentangan
dengan kitab sebelumnya yang menyatakan bahwa Ahmad bin
Isa hanya mempunyai keturunan dari tiga anak yaitu: Muhammad, Ali dan
Husain tidak ada nama Abdullah atau Ubaidillah seperti yang disebut oleh
Al-Nafhah .
Nama Syarif Abul Jadid tidak pernah sekalipun disebut dalam
kitab-kitab nasab sebelum abad sembilan sebagai keturunan
Ahmad bin Isa. Dengan sangat lemahnya nasab Syarif Abul Jadid ini, keluarga
Abdurrahman Assegaf mencangkoknya untuk menautkan diri dengan Ahmad bin Isa.
jika yang dicangkoknya saja tidak sah, maka yang mencangkoknya lebih
tidak sah lagi.
Tuhfat al-Zaman karya Husain al-Ahdal (w.855 H.)
Kitab
sejarah ini, Tuhfat al-Zaman, adalah kitab ringkasan dari Al-Suluk. Kitab ini
disebutkan Hanif dkk. dalam bukunya itu sebagai
dalil nasab Ba' alwi. sebagaimana telah penulis
sebutkan dalil-dalil para ulama nasab bahwa kitab sejarah tidak bisa
dijadikan tools dalam itsbat nasab. tetapi ada baiknya juga kita bahas
kredibilitas kitab ini apakah ia pantas menjadi referensi atau tidak. Kitab
versi cetak yang diterbitkan oleh Abdullah Muhammad Al-Habsyi ini patut diduga
banyak diinterpolasi, minimal bisa kita katakan kitab ini berusaha menggiring
pembaca untuk memahami kitab Al-Suluk untuk menuju pemahaman tertentu terutama
menyangkut keluarga Ba'alwi. menurut ahli nasab, sebuah kitab yang ditulis,
ditahqiq, atau dimiliki oleh orang yang berkepentingan nilai
hujjahnya hilang.
Abdul Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-kafi
al-Muntkhab:
Terjemah:
"Yang kelima adanya al-maslahat
(kepentingan). Maka j ika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab)
jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan . Kadang dalam
hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan
kepentingannya . Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan
oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan . Para ulama
nasab tidak mengutip dari orang
yang punya
kepentingan. "88
Kitab ini sebagaimana telah penulis sampaikan sebelumnya
di tahqiq oleh keluarga Ba'alwi yaitu Abdullah Muhammad Al-Habsyi . Dan
isinya telah banyak mengalami perubahan dari kitab asalnya yaitu Al-Suluk.
Contohnya ketika menyebut tentang Abu Marwan:
"Sebagian
dari mereka adalah Abu Marwan Ali bin Ahmad bin Salim. Ia adalah seorang
"faqih" (ahli fiqih) yang besar. Darinya ilmu menyebar luas di Hadramaut
karena kecakapan dan keberkahan dalam pengajarannya . Ia mempunyai karangan
yang banyak . Muhammad bin Ali belajar ilmu fikih kepadanya . ia adalah orang
yang pertama bertasawwuf dari keluarga Abu Alwi. karena sebelumnya
mereka hanya dikenal dengan ilmu fikih dan syaraf (keturunan Nabi) . Dan
ketika sampai kepada Al-Faqih (Abu Marwan) bahwa Muhmamad bin Ali
bertasawuf
maka ia meninggalkannya." 89
Teks di atas adalah teks
kitab Tuhfat al-Zaman yang diambil dari kitab Al-Suluk.
Dalam teks itu ada tambahan yang memasukan nama Muhammad bin Ali (Faqih
Muqoddam). Perhatikan teks kitab asli Al-Suluk di bawah ini:
Kalimat
yang bergarisbawah itu adalah tambahan yang tidak ada dari naskah asli kitab
Al-Suluk. Dalam tambahan itu memasukan nama Muhammad
bin Ali (Faqih Muqaddam) sebagai murid Abu
Marwan dan menjadikan Abu Marwan bukan
sebagai bagian dari keluarga Abu Alwi tetapi hanya sebagai guru
Faqih Muqoddam.
Siapakah yang memberi kalimat tambahan itu? apakah Husain
al-Ahdal di abad ke-9 H. atau pentahqiq Abdullah Muhammad Al Habsy .
Kedua-duanya mungkin . Husain al-Ahdal walaupun bukan dari
keluarga Ba' alwi tetapi ia rupanya dekat dengan keluarga Ba' alwi bahkan
dalam kitabnya ia menyatakan antara keluarga Ba'alwi dan Al-Ahdal adalah
saudara sepupu. Tetapi penulis lebih cenderung menuduh pentahqiq (Abdullah
Muhammad Al-Habsyi) sebagai pelakunya mengingat beberapa tahqiqan dia banyak
interpolasi dari naskah aslinya seperti ketika ia mentahqiq kitab Al-Baba fi
Tarikh Hadramaut karya Ibnu Hisan (w.818 H.).
Tabaqat al-Khawash
al-Syarji al-Zabidi (w.893 H.)
Salah satu kitab yang ditampilkan Hanif
Alatas dkk. adalah kitab Thabaqat al-Khawash . Kitab versi cetak ini
ditahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi. Kitab versi cetak itu juga
telah mengalami interpolasi atau penambahan-penambahan
yang mencederai kehujjahan kitab itu.
Perhatikan salah satu contoh yang
akan penulis sampaikan mengenai interpolasi kitab versi cetak ini.
Dalam
versi cetak dikatakan bahwa kesepupuan antara Ba'alwi dan Al-Ahdal bukan
sepupu dekat (satu kakek), tetapi sepupu jauh bertemu di Ja'far al-Shadiq .
Perhatikan redaksi kitab Tabaqat al khawas versi cetak (h.195) tersebut di
bawah ini:
Perhatikan kalimat yang yang bergaris bawah itu tidak
terdapat dalam versi manuskrip tahun 1070 H. seperti di bawah ini:
Di
bawah ini halaman terakhir dari manuskrip
Tabaqat al khawas yang menunjukan tahun 1070 H.
Di
bawah m1 halaman pertama manuskrip kitab Tabaqat al Khawas:
Halaman
tersebut menunjukan bahwa manuskrip tersebut disalin oleh Abdul Hadi bin
Abdullah bin Dawud al-Zabidi tahun 1070 H. terdapat di King Saud University
dapat diakses melalui: https://makhtota .ksu .edu.sa/makhtota/2992/4
.
Dari perbedaan versi cetak dan versi manuskrip itu kita
bisa jelaskan bahwa dalam versi manuskrip antara Ba'alwi dan Al-Ahdal hanya
disebutkan sama-sama keturunan Husain. Sedangkan dalam versi cetak
yang diterbitkan oleh Al-Dar al-Yamaniyah tahun 1986 M. ditambahi keterangan
bahwa keduanya bertemu di kakek bersama yaitu Ja'far al-Shadiq .
Penambahan atau interpolasi bahwa keduanya bertemu di kakek bersama Ja'far ini
adalah upaya mensinkronkan jalur silsilah Ba'alwi yang berubah dari Musa
al-kadzim bin Ja'far al Shadiq kepada Ali al-Uraidi bin
Ja'far al-Shadiq . Karena jika tidak ada penambahan itu, maka
perubahan jalur silsilah itu terlihat lucu. Di mana, dua saudara sepupu (satu
kakek) kemudian silsilahnya berbeda . Dengan penambahan itu, maka dikesankan
bahwa kalimat "ibnu al 'am" (sepupu) itu, maksudnya bukan
sepupu dekat (satu kakek) tetapi sepupu jauh . Lalu siapa yang menambahi
manuskrip itu? tentu ia yang berkepentingan .
Klaim bahwa "ibnu
'am" (sepupu) yang dimaksud adalah sepupu jauh
tertolak oleh adanya ibarat Rusen al-Ahdal (w.855 H.) sebagaimana di bawah
ini:
Terjemah:
"Diceritakan kepada kami dari sebagian orang,
bahwa Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar (berhijrah) bersama saudara
laki-laki dan saudara sepupunya. Kemudian saudara laki-laki dan saudara
sepupunya itu menuju timur. Maka keturunan dari saudara sepupunya
itu adalah keluarga Ba'alwi di Hadramaut"90
Kalimat
"Akhun lahu wabnu 'ammin" (saudara laki-laki miliknya dan anak
paman) terdapat kalimat yang menghalangi "ibnu 'am" dimaknai sepupu jauh,
yaitu kalimat "akhun lahu" (saudara laki laki miliknya). Lafad "lahu"
(miliknya) walau tidak diulang pada kalimat "ibnu 'am", tetapi dianggap
diulang karena adanya huruf athaf (penyambung) sebelum lafad "ibnu 'am".
Apalagi jika kita melihat adanya nama-nama yang sama antara keluarga Ba'alwi
dan Al-Ahdal yaitu nama-nama: Ubaid, Isa, Muhammad dan Alwi, nama-nama itu
walau kemudian susunan urutannya berubah, tetapi mengindikasikan bahwa susunan
yang ada hari ini berasal dari sumber yang sama. Betapapun usaha yang rumit
seperti di atas telah dilakukan tetapi kedua keluarga ini tidak
bisa untuk menyambungkan nasab mereka kepada Nabi Muhammad SAW, karena
ketiadaan sumber-sumber kitab-kitab nasab yang mengkonfirmasi kesahihan nasab
mereka . Kitab-kitab nasab yang berjejer dari abad ke empat sampai
sembilan tidak mengkonfirmasi nasab mereka. Susunan nasab kedua
keluarga ini hanya bisa mulai dikonfirmasi pada abad ke-9 dengan berbagai
ketidaksinkronan yang sulit untuk diterima.
Kitab lain yang
ditampilkan Hanif dkk. dalam buku Keabsahan Nasab Ba'alwi tersebut adalah
kitab Mir'atul Jinan. Kitab tersebut sama sekali tidak menyebut
nama-nama Abdurrahman Assegaf seperti Faqih Muqoddam, Sahib Mirbath dlsb. Ia
hanya menyebut nama Aba Alwi. sebagaimana dijelaskan bahwa Aba Alwi adalah
nama keluarga milik Syarif Abul Jadid yang tidak ada kaitannya dengan keluarga
Abdurrahman Assegaf .
Kitab lainnya adalah kitab Al-Athaya al-Saniyah
karya Malik al-Abbas (W. 778 H.), kitab al-Iqd al-fakhir karya Al-khazraji (w.
812 H.), kedua kitab ini menyebut Syarif Abul Jadid tetapi sama sekali
tidak mengaitkannya dengan keluarga Abdurrahman Assegaf . Ini menguatkan bahwa
sebenarnya Syarif Abul Jadid dari keluarga Alu Abi Alwi ini tidak
ada kaitannya dengan keluarga Abdurrahman Assegaf yang nanti di abad ke-9
mengaku sebagai Ba'alwi.
Kitab lain nya yang banyak disebot
oleh Hanif dalam boko tersebot adalah kitab-kitab sejarah molai abad 10 H.
sampai hari ini. semoanya tidak bisa dijadikan referensi dalam penetapan
nasab. sesoai yang dikatakan oleh para pakar nasab:
Dr. Abdurrahman bin
Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-Kafi al- Muntakhob
mengatakan:
lij y)I ly lS" JI l,o LJI
J i ':13
L, JI
"(Sejarawan)
tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khososnya jika ahli nasab
ito lebih dekat masanya atao tempatnya."91
Banyak sekali nama kitab-kitab
yang disajikan Hanif dkk. ontok membuktikan keabsahan nasab Ba' alwi, tetapi
sayang semua kitab itu di atas abad ke 9 H. dan semoanya akan bermoara kepada
sato kitab Ba'alwi di abad ke-9 H. yaito Al-Burqat al-Mosyiqah . Maka, menorut
pakar nasab, ratosan boko tersebot dihitong hanya satu somber saja karena
hanya berasal dari sato somber referensi .
Seorang pakar nasab Khalil bin
Ibrahim mengatakan:
..l:>- G J...o I if l5" \.)I
_).) L,a.ll ;; ':}
Terjemah:
"Banyaknya
kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hojjah jika diambil dari satu
sumber."92
CATATAN AKHIR
61
Hanif dkk. . .h. 11
62 Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jai zani,
Ushulu 'Ilmi al Nasab wa al Mufadlalah Bain al-Ansab, h. 77
63 Imam
Nawawi, Raudlat al-Thalibin, Al-Maktabah al-Syamilah, juz 11 h. 103.
64 Imam Nawawi, Raudlat al-Thalibin, Al-Maktabah al-Syamilah, juz
11 h. 103
65 Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al j aizani, Ushulu 1lmi al
Nasab 1va al M ufadlalah Bain al-Ansab, h. 77
66 Muhammad Kadzim
bin Abil Futuh al-Yamani, Al-Nafhah al Anbariyah, h. 52-53
67 Abdurrahman al-Qaraja . . .h. 128
68 Mahdi al-Raja'I,
Fotnoot kitab Al-Nafhah al-Anbariyah h. 124
69 Abu Muawiyah al-Bairuti,
Naqd I<itab al-Nafhah al-Anbariyah dalam Arsip Multaqa Ahl Hadits-3,
150/419
70 Al-Samarqandi, Tuhfatuttolib, Sayid Muhammad bin
al-Husain, h. 76-77
71 Khalil bin Ibrahim . . .h. 125
72 Hanif dkk. . .h.27
73 lihat Al-Khatib al-Baghdadi , Tarikh
Bagdad juz delapan halaman 569.
74 Hanif dkk. . .h.28
75
https:// alsada-alashraaf-samarah.blogspot.com /2016/ 05/blog post.html
76 Hanif Alatas dkk. . ..h.30
77 Abdul Majid al-Qaraja,
Al-Kafi al-Muntkhab, 49
79 Ibid h. 37
80 Al-Janadi, ju z 2 h.135-140
81 Husain al-Ahdal, Tuhfat al-Zaman , juz 2 h.428
82 Lihat
Abdurrahman Al-Masyhur , kitab Syam al-Dzahirat h.78
83 Lihat
Ibid
84 lihat Al-Burqa t h. 137. Dan Al-Anmudaj al-Lathif, h. 209
[dicetak bersama Al Burqat] ).
85 Khalil bin Ibrahim . . h.
86
86 Abdurrahman Qaraja . . . h.71
87 Ibnu Khaldun, Al-Ibar .. juz 1 h. 13
89 Husain Al-Ahdal, Tuhfat
al-Zaman, juz 2, h.428.
90 Al-Husain bin Abdurr ahman bin Muhammad
al-Ahdal, Tuhfat al-Zaman
fi Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad,
San'a, 1433 H.) juz 2 h. 238
9 1 Abdurrahman Qaraja . . . h.71
92
Khalil lbrahim . . .h. 85