Menanggapi Kata Pengantar Ulama Pro Habib di Buku Keabsahan Nasab Baalwi

Menanggapi Kata Pengantar Buku Keabsahan Nasab Baalawi Ahmad Sa‘Dullah Abdul Alim Sidogiri Najih Sarang Syukron Makmun Abdul Shomad Kurtubi UAS

Menanggapi Kata Pengantar Buku Keabsahan Nasabi Baalawi

Nama kitab / buku: Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu: Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: November 2024
Penerbit:  Lakeisha
15,6 cm X 23 cm, 691 Halaman
ISBN : 978-623-119-469-5
Kitab terkait sebelumnya: 

  1. Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
  2. Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw

Bidang studi: Sejarah Baalawi, sejarah Nabi, ilmu nasab, sejarah Islam, genealogi, filologi/manuskrip, Tes DNA

Daftar Isi  

  1. Menanggapi Kata Pengantar Ahmad Sa‘Dullah Abdul Alim Dari Pasuruan    
  2. Menanggapi Kata Pengantar Muhammad Najih Sarang    
  3. Menanggapi Kata Pengantar Abdullah Mukhtar Sukabumi    
  4. Menanggapi Kata Pengantar KH Syukron Makmun    
  5. Menanggapi Kata Pengantar Kurtubi Lebak    
  6. Menanggapi Kata Pengantar Abdul Shomad Riau
  7. Kembali ke:  Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu

MENANGGAPI KATA PENGANTAR AHMAD SA’DULLAH ABDUL ALIM DARI SIDOGIRI PASURUAN 

Di antara yang dikatakan saudara Ahmad Sa‘dullah Abdul Alim
dalam kata pengantarnya adalah sebagai berikut:
―Itulah sebabnya ketika beberapa tahun belakangan ini muncul
syubhat (opini sesat) yang membatalkan keabsahan nasab Ba
'Alawi, kebanyakan orang tergilas oleh gelombang opini itu,
sehingga sebagian dari mereka kebingungan tanpa mengetahui
arah yang benar, sebagian lagi terseret pada kubu-kubu yang
berbeda bukan karena mengetahui ilmunya, namun lebih karena
mengikuti tokoh panutannya. Tidak hanya itu, sebagian tokoh
yang dianggap alim sekalipun ada yang terbawa arus ikut
menyangsikan atau bahkan membatalkan nasab Ba 'Alawi,
kendati mereka bertopeng di balik retorika ilmiah, semisal
meminta bukti tes DNA, atau menuntut adanya catatan pada
kitab sezaman, tanpa mau peduli jika DNA tidak bisa dijadikan
sebagai standar nasab, dan keberadaan kitab sezaman bukan
satu-satunya standar penetapan nasab. Hal demikian sama sekali
tidak aneh, karena orang yang alim di sejumlah disiplin ilmu
keislaman sekalipun belum tentu memahami standar-standar
ilmu nasab. Karena itu, setelah melihat isi dari buku ini yang
begitu lengkap; membahas standar-standar penetapan nasab
secara umum, dan menolak syubhat-syubhat Saudara Imaduddin
Banten secara khusus, saya sangat bersyukur dan gembira
sekali, karena ulasan tentang nasab pada buku ini didasarkan
pada data-data ilmiah yang kredibel, sesuai dengan standar-
standar ilmu nasab yang diakui oleh semua Naqabah Ansab di
seluruh dunia, dan ditulis oleh para pakar nasab dunia, baik di
masa lalu maupun pada masa kini.‖
Dari ungkapan di atas ada beberapa yang perlu ditanggapi di
antaranya ia mengatakan bahwa penelitian ilmiyah yang membatalkan
dengan meyakinkan nasab Ba‘alwi adalah sebuah opini sesat. Dari sini
kita mengetahui bahwa Abdul Alim tidak membaca dengan benar tesis
12 K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantani
yang penulis tuangkan dalam berbagai kitab dan buku serta artikel-
artikel penulis.
Opini itu, apalagi disebut opini sesat, adalah pikiran untuk
menerangkan preferensi atau kecenderungan perspektif yang memiliki
sifat tidak objektif serta tidak didukung oleh fakta atau pengetahuan
positif. Sedangkan semua rangkaian tesis penulis tentang batalnya
nasab Ba‘alwi terbingkai oleh susunan-susunan dalil yang kuat. Ia
berdasarkan literature kitab nasab mulai abad ke-4 sampai ke-13. Di
mana Ba‘alwi yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad
SAW itu mengklaim mereka keturunan Nabi melalui jalur Ubaid bin
Ahmad bin Isa yang hidup di abad ke-4 Hijriyah. sedangkan seluruh
kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9 Hijriyah tidak ada yang
mengkonfirmasi Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaid.
Pengakuan klan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi mulai muncul
di abad ke-9 H. pengakuan sepihak itu bertentangan dengan kitab-
kitab nasab sebelumnya. Mampukah saudara Abdul Alim
mendatangkan dalil kitab nasab sebelum abad ke-9 H. yang menyebut
Ubaid sebagai anak Ahmad? jika tidak mampu maka apa alasan
saudara menyambungkan nasab Ba‘alwi tersebut? Apakah saudara
tidak menyadari bahwa memasukan orang yang bukan keturunan Nabi
Muhammad SAW ke dalam keturunannya adalah perbuatan yang
berdosa dan mendegradasi kemulian Nabi dan keturunannya yang
asli?
Bagaimana jika para penyusup ini berbuat dzalim terhadap umat
Nabi dengan membawa nama Nabi? Fakta telah berbicara banyaknya
orang-orang fasik di antara mereka dari mulai peminum khamar,
pembegal motor, pezina, pen-sodomi, penipu, pembunuh, perampas
harta manusia dengan batil, pemalsu kuburan, perubah sejarah NU,
sejarah Indonesia, apakah saudara mau bertanggung jawab? Apakah
seperti itu adalah cerminan dari keturunan Nabi? Tidak, sekali-kali
tidak.

ika anda mengatakan bahwa keturunan Nabi sebagai seorang
manusia biasa tidak terbebas dari maksiat itu betul. Tetapi pernyataan
demikian hanya sebagai ibrah (pelajaran) bukan sebagai kebiasaan
yang banyak terjadi berulang. Jika hal demikian terjadi berulang,
bahkan kemudian telah menjadi pola, apakah kekuatan
ketersambungan nasab dengan Baginda Nabi itu tidak ada manfaatnya
untuk membuat para keturunannya menjadi manusia-manusia yang
patut ditauladani? Sungguh para dzuriyat Nabi yang asli akan
memiliki ―cahaya nabawiyah‖ yang akan mengarahkannya cenderung
dalam kesucian.
َفَعَت ِ الذِّكْرَى فَذَكِّر ْ إِن ْ ن
Imaduddin Utsman Al-Bantani

MENANGGAPI KATA PENGANTAR MUHAMMAD NAJIH SARANG 

Sebagian dari yang disampaikan Muhmamad Najih  Sarang (MNS) dalam kata pengantar itu adalah sebagai berikut:
―Selanjutnya, buku ini secara tegas membuktikan bahwa klaim yang se- ring diembuskan oleh pihak-pihak pembatal nasab mengenai syarat kitab se- zaman sebagai prasyarat keabsahan nasab adalah omong kosong. Tidak ada referensi ilmiah yang mendukung klaim tersebut, dan buku ini dengan cermat membuktikan kekeliruan tersebut. Semua penulis dari kitab yang dijadikan rujukan oleh kalangan ini (seperti Mufti Yaman, Ibrahim bin Manshur dan ad-Dailami) justru berbalik menetapkan Bani 'Alawi dan menentang mereka. Alhamdulillah.‖14
MNS tidak memahami bab ― Thara‘iq Itsbat al-Nasab‖ (metode- metode menetapkan nasab). ia tampak kurang literasi. Sudah penulis sampaikan dalam berbagai kesempatan, bahwa karena ilmu nasab terutama nasab jauh seperti nasab kepada Nabi Muhammad SAW adalah termasuk dalam lingkup ilmu sejarah, maka untuk memvalidasi kesahihan klaim suatu silsilah nasab yang jauh ia memerlukan sumber-sumber rujukan baik sumber primer maupun sekunder. Dan yang demikian itu adalah sesuatu yang sudah mafhum tidak mesti ditanyakan lagi referensinya.
Tetapi baiklah, jika memang yang penulis hadapai adalah orang yang memang belum memahami permasalahan seperti MNS ini, penulis akan sampaikan pendapat-pendapat ulama tentang kitab sezaman atau yang mendekati berikut ini:
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al- Ansab karya pakar ilmu nasab Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani halaman 76-77 dikatakan:

وعندما نحقق النسب فان المصادر التى يمكن ان نستقي منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديمة التي كتبت فيما قبل العصر الحديث حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصولهم

―Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitab- kitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka‖15
Ia juga mengatakan dikatakan:

ولا يمكننا الحديث عن النسب القديم بناء على ما ورد في الكتب الحديثة المستندة إلى كلام غير منطقى أو على الذاكرة الشعبية فقط

―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja‖16
Dalam  Kitab  “Dalil  Insya‟I  wa  Tahqiqi  Salasili  al  Ansab”
karya Dr. Imad Muhammad al-Atiqi dikatakan:

ويختلف المرجع عن المصدر في ان المصدر اقرب زمان ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما المرجع فهو مختلف عن المصدر في بعض او كل العناصر السابقة فيحتاج مؤلف المرجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لانجاز بحثه ويترتب على ذلك ان المصدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع المرجع مالم يحتو المرجع على تحليل دقيق يفند اوجه التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى

―Marji‟ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji‟ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji‟, kecuali jika marji‟ tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya‖.17
MNS juga mengatakan:
―Sebagai bagian dari Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, kita seharusnya memelihara i'tiqâd baik dan percaya penuh terhadap nasab para Habaib Bani 'Alawi. Menolak nasab mereka berarti telah terjerumus dalam keharaman tha'nu finnasab (menuduh nasab orang) yang dalam hadis dijelaskan sebagai kekufuran.‖18
Kalimat di atas aneh. Apa kaitan ajaran Ahlussunnah Waljama‘ah dengan nasab klan Ba‘alwi. jangan-jangan MNS belum faham makna Ba‘alwi. jangan-jangan ia memahaminya bahwa kalimat Ba‘alwi itu bernisbat kepada nama Ali bin Abi Thalib sehingga bermakna keturunan Sayyidina Ali. Wahai MNS, Ba‘alwi itu bukan bernisbat kepada nama Ali bin Abi Thalib, tetapi kepada Alwi bin Ubaid atau Alwi bin Himham. Jadi Ba‘alwi itu maknanya adalah anak keturunan Alwi bin Ubaid atau anak keturunan Alwi bin Himham, bukan anak keturunan Ali.
Sepanjang yang penulis tahu sebagaian dari ajaran Ahlussunah Waljamaah itu adalah tentang mencintai Ahli Bait Nabi, bukan tentang klan Ba‘alwi. sedangkan Ba‘alwi bukan Ahli Bait Nabi. Bagaimana Klan Ba‘alwi menjadi Ahli Bait Nabi, sedangkan mereka keturunan Nabi saja bukan. Lalu apa alasan MNS mengharuskan umat Islam percaya penuh terhadap pengakuan Klan Ba‘alwi. apa alasannya. Mana dalilnya?
 
Memasukan orang yang bukan keturunan Nabi seperti Klan Ba‘alwi menjadi bagian keturunan Nabi, dosanya sama dengan menafikan orang yang benar-benar keturunan Nabi menjadi bukan keturunan Nabi dan masuk dalam kategori kekufuran. Orang yang tidak percaya kepada Klan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi hukumnya adalah men-tha‘n Klan Ba‘alwi, tetapi orang yang memasukan Klan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi dengan banyaknya dalil bahwa mereka bukan keturunan Nabi hukumnya dia telah men-tha‘n nasab Nabi. Bandingkan wahai MNS bandingan antara penulis yang telah men-tha‘n Klan Ba‘alwi dan anda yang telah men-tha‘n nasabnya Baginda Nabi.

Memasukan orang yang bukan keturunan Nabi sebagai keturunan Nabi telah merendahkan harkat martabat Nabi dan dzuriyah Nabi yang asli. Karena genetic kenabian memiliki sifat ―iradat al- tathir minallah‖ (diinginkan kesuciannya dari Allah)  yang  diwarisi dari Ahli Bait Nabi. Kemungkinan mereka menjadi orang yang shalih dzahir dan batin itu sangatlah tinggi. Hal demikian itu tidak dimiliki oleh genetic selainnya. Maka ketika anda memasukan orang yang bukan keturunan Nabi seperti Alwi bin Ubaid sebagai keturunannya, maka anda akan bertanggung jawab jika dikemudian hari banyak keturunan Alwi bin Ubaid berbuat dosa dan kerendahan, lalu manusia menyematkan hubungan mereka dengan Baginda Nabi. Wahai MNS, sesungguhnya khathar yang engkau miliki dengan  memasukan Ba‘alwi kepada bagian keturunan Nabi lebih besar daripada yang penulis miliki.

MNS juga mengatakan:
―Selain itu juga, menolak nasab para Habaib Bani 'Alawi sama artinya dengan sû'ul adab atau menolak kredibilitas para kiai dan guru-guru kita yang telah mengakui dan menerima nasab tersebut. Kita tahu guru-guru kita menunjukkan sikap ta'dzim pada para Habaib, seperti; Sayid al-Zabidi, Sayid Bakri Syatha, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikhana Khalil Madura, Syaikh Shaleh Darat dalam kitabnya Minhaj al-Atqiya' fi Syarhi Ma'rifat al-Adzkiya' (dalam kitab itu beliau mengimbau para masyarakat umum Indonesia: agar mengamalkan Thariqah Ba 'Alawi dengan membaca Ratib al- Haddad setiap hari), Hadhratussyaikh Hasyim Asy'ari, Masyayikh Pondok Sidogiri, Lirboyo, Ploso, Sarang, Langitan, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, Tuan Guru Sekumpul, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hasan Genggong, Kiai Maemoen Zubair, dan masih banyak lagi.‖19

Banyak sekali nama-nama yang disebutkan yang katanya mengakui nasab Klan Ba‘alwi. satu nama yang MNS lupakan, yaitu penulis. Penulis tahun 2018 telah menulis kitab Al-Fikrat al- Nahdliyyat yang di dalam kitab tersebut penulis mengitsbat Ba‘alwi. tetapi pengitsbatan itu bukan hasil penelitian dari kitab-kitab nasab dan beri‘timad (bersandar) kepada Al-Syuhrah wa al-Istifadlah saja. Ketika penulis tahun 2022 meneliti secara dalam dari berbagai macam sumber-sumber, baik kitab-kitab nasab maupun kitab-kitab sejarah, maka penulis berkesimpulan bahwa pengakuan Klan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi itu batal. Penulis yakin, nama-nama ulama yang disebutkan oleh MNS itu, jika telah sampai datang kepada mereka kitab-kitab nasab abad ke-4 sampai abad ke-9 maka mereka juga akan membatalkan nasab Ba‘alwi.

Sebagai seorang ulama MNS harusnya mengajarkan  kepada para santrinya bagaimana menggunakan ―nalar kritis ilmiyah‖ dalam setiap menghadapi  masalah  keagamaan,  bukan  malah mengajarkan
―taklid buta‖. MNS pandai mengkritik pengurus PBNU, mengkritik Presiden dan pejabat-pejabat Negara, tetapi mengapa dalam ilmu pengetahuan ―nalar kritis‖-nya tumpul.

MNS harus ingat ucapan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din:

ما من أحد إلا يؤخذ من علمه ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم

―Tidak ada seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau ditolak kecuali Rasulullah SAW.‖20
MNS juga, jika ia sudah mengaji kitab Ihya Ulum a-din dengan pemahaman yang benar, maka akan menemukan keterangan bahwa para ulama zaman dahulu biasa berbeda dengan gurunya dan itu tidak dianggap sebagai ―su‘ul adab‖. Bagaimana Imam Syafi belajar kepada Imam Malik lalu ia berbeda pendapatnya dengan Imam Malik bahkan membuat Madzhab Fikih sendiri; bagaimana Imam Ahmad belajar kepada Imam Syafi‘I lalu ia berbeda pendapat dengan Imam Syafi‘I bahkan ia pula membuat Madzhab Fikih sendiri. Imam Al-Ghazali meriwayatkan, Ibnu Abbas belajar ilmu fikih kepada Zaid bin Tsabit lalu ia berbeda dengannya dalam masalah fikih; Ibnu Abbas belajar Ilmu Qiraat kepada Ubay bin Ka‘ab lalu ia berbeda dengannya dalam Ilmu Qiraat.
Imam Al-Ghazali berkata‖

وقد كان تعلم من زيد بن ثابت الفقه وقرأ على أبي بن كعب ثم خالفهما في الفقه

Terjemah:
―Dan dulu Ibnu Abbas belajar fikih kepada Zaid bin Tsabit dan belajar qira‘at kepada Ubay bin Ka‘ab lalu ia berbeda pendapat dengan keduanya‖21
Jadi berbeda dengan guru dalam ilmu pengetahuan itu adalah hal yang dicontohkan oleh para ulama-ulama Ahlussunah wa al- jamaah. tidak seperti MNS yang mendoktrin muridnya harus sama pandangannya tentang nasab Ba‘alwi bahkan mengancam jika muridnya tidak mengakui Ba‘alwi seperti dirinya maka ilmunya tidak barakah. Sungguh itu bukan adab para ulama tuntunan Ahlussunah wa al-Jama‘ah. Itu mungkin ajaran sekte Ba‘alwi. madzhab doktrin dan khurafat.  Bukan  ajaran  NU  dan  Ahlussunah  wa  al-Jama‘ah  yang ilmiyah.

Dalam tradisi ulama-ulama Ahlussunnah wa al-Jama‘ah, murid itu didik untuk menjadi manusia merdeka dan berilmu pengetahuan. Bukan untuk menjadi budak gurunya selamanya. Sebagian pondok pesantren yang membuat selebaran untuk alumninya untuk mengikuti pendapat gurunya tentang pendapat keagamaan atau hanya sekedar politik electoral pemilu adalah tidak patut dicontoh, itu menunjukan seorang guru tidak ikhlas dalam mendidik sehingga ia mengemis balas jasa kepada muridnya berupa taklid buta seumur hidup. Sungguh kasihan seorang murid yang ditakdirkan mendapat guru seperti itu dalam hidupnya.

Kembali kepada pembahasan nasab. wahai MNS, apakah anda memiliki dalil ketika mengatakan bahwa jika Murtadla al-Zabidi telah mengitsbat nasab Ba‘alwi lalu kita yang hidup sekarang wajib bertaklid kepadanya? Mana dalilnya? Kitab apa? Halaman berapa?
Kalau penulis punya dalil ketika mengatakan bahwa jika seorang ulama, seperti Murtadla al-Zabidi, mengitsbat nasab yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya maka itsbat itu tidak dapat diterima. Penulis juga punya dalil bahwa kita sebagai seorang peneliti nasab ketika menemukan itsbat ulama tentang suatu nasab dalam suatu kitab, maka kita harus memverifikasi itsbat itu untuk mengetahui apakah itsbat itu betul atau tidak.
Ini dalilnya, wahai MNS, pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:

وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل نص عدا كلام الله وحديث رسوله صلى الله عليه واله، فهو يخضع للتحقيق والتدقيق وهو معرض للخطأ والصواب

 Terjemah:
―Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar.‖22
MNS juga mengatakan:
―Gus Dur, langsung turun tangan untuk membela kehormatan para Habaib. Dalam se- buah pertemuan di Pondok Pesantren al- Fachriyah, Gus Dur dengan tegas menyatakan, "Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu korul dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil, mereka para cucunya Rasulullah Saw, datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar dan hanya orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.‖23
Pertama, penulis merasa aneh ketika seorang MNS mengutip pendapat Waliyullah Gusdur. Bukankah MNS ketika Gusdur hidup mengatakan Gus Dur makan uang haram;24 Gus Dur liberal; Gusdur perusak NU.25 Lah kok sekarang mengutip pendapat Gus Dur untuk dijadikan hujjah. Mungkin ini adalah salah satu ―karomah‖ dari seorang wali seperti Gus Dur: seorang pembenci seperti MNS pun ketika Gus Dur hidup, akan berubah menjadi pengagum ketika ia telah wafat. Inilah keramat kiai-kiai NU.
Kedua tentang ucapan Gus Dur yang dikutip itu di sana tidak ada satupun kata ―habib‖ atau ―Ba‘alwi‖ disebutkan Gus Dur. Maksud dari yang Gus Dur katakan adalah bahwa kita tidak boleh menyamakan  keturunan  Rasulullah  dengan  yang  bukan  keturunan Rasulullah. Itu pernyataan sangat betul sekali. Tetapi Gus Dur tidak mengatakan Klan Ba‘alwi itu cucu Rasulullah. Pernyataan Gus Dur itu respon terhadap ungkapan seorang tokoh bahwa Rasulullah tidak punya keturunan, jelas itu keliru. Jadi konteksnya Gus Dur sedang membela Rasulullah yang dikatakan tidak mempunyai keturunan bukan sedang membela Ba‘alwi. 

MNS juga mengatakan:
―Dalil ilmiah saya dalam masalah ini adalah kenyataannya tidak ada satu pun dari ahli nasab pada masa lalu yang menafikan keterhubungan nasab keluarga Bani 'Alawi dengan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, konsep dasar yang digunakan dalam fikih madzahib al-arba'ah adalah mempertahankan sesuatu berdasarkan apa yang telah ada

استصحاب الأصل وهو بقاء ما كان على ما كان

yaitu keadaan yang riil (yaqin). Keyakinan ini tidak bisa dihapus dengan keraguan atau dengan upaya mempertanyakan, termasuk oleh penelitian Imaduddin dan (اليقين لايزال بالشك) lainnya‖26
Untuk tetap meyakini nasab Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi,
MNS menggunakan dalil sebuah kaidah Ushul Fikih: 

بقاء ما كان على ما كان و الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ


Terjemah:
  
―Tetapnya sesuatu sebagaimana adanya dan keyakinan tidak
bisa dirubah oleh keraguan‖
MNS  lupa  bahwa  dua  kaidah  itu  berasal  dari  hadist  Nabi  yang berbunyi:

 إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِد حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Terjemah:
―Jika salah seorang di antara kamu menemukan dari perutnya sesuatu yang menyulitkannya: apakah telah keluar dari perut sesuatu (kentut) atau tidak, maka jangan keluar dari masjid (sholat) sampai ia mendengar suara atau bau.‖ (H.R. Muslim)
Maksud hadits itu adalah keyakinan kita belum kentut itu gugur jika kita mendengar suara kentut dari kita. Jika orang yang mendengar dan merasa dirinya kentut lalu ia masih meyakini bahwa dia belum kentut maka itu bukan keyakinan tetapi kebodohan. Begitu juga keyakinan seseorang bahwa nasab Ba‘alwi itu sahih tidak ada artinya ketika dalil yang membatalkan itu telah datang. Dalinya sudah datang kitab-kitab nasab abad ke-4 sampai ke-9 yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunya anak bernama Ubaid. Siki endi dalilmu?
 

MNS juga mengatakan:
―Adapun tidak adanya penyebutan silsilah nasab mereka dalam buku- buku sebelum al-Burqah al-Musyiqah bukanlah bukti putusnya nasab mereka, karena sudah adanya dokumen silsilah mereka yang dimiliki dan disebutkannya Ubaidullah dalam dokumen tersebut. Kemudian, ketika al-Janadi dalam kitabnya, al-Sulûk fi Thabaqat al-Mulük menyebutkan nasab keturunan Ali bin Jadid dan menyebutkan nama Abdullah setelah nama Jadid di antara nama- nama leluhurnya, penulis al-Burqah (Habib Ali al-Sakran) memahami bahwa Abdullah dalam kitab ini adalah Ubaidullah yang disebutkan dalam dokumen nasab mereka yang ada di tangan mereka. Allah lebih mengetahui kebenarannya.‖
Bagaimana MNS bisa memahami kebenaran itu secara terbalik. Harusnya MNS curiga kenapa setelah 550 tahun baru muncul pengakuan dari Ali al Sakran bahwa mereka keturunan Ahmad bin Isa? kenapa sebelumnya tidak ada ulama nasab yang mencatat Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa? kenapa Imam Al-Fakhrurazi di abad ke-6 H. hanya menyebut anak Ahmad bin Isa tiga: Muhammad, Ali dan Husain? Kenapa tiba-tba muncul di abad ke-9 H. bahwa Ubaid adalah anak Ahmad bin Isa?
Harusnya begitu cara berfikir seorang yang mencari kebenaran. Bukan dengan: karena di abad sembilan sudah dicatat ada nama Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa berarti sebelumnya juga dicatat. Bagaimana kalau Ali al-Sakran berdusta? Kira-kira mungkin tidak dia berdusta? Kalau dia malaikat mustahil dia berdusta; kalau dia Nabi mustahil dia berdusta karena Nabi itu maksum. Tapi Ali al-Sakran bukan malaikat juga bukan Nabi, maka kemungkinan dia berdusta atau minimal mendapat informasi yang salah itu mungkin. Begitu dong cara meneliti sebuah kesahihan. Kemudian tanpa menganggapnya berdusta kita bisa meneliti kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9 H. apakah yang disebutkan oleh Ali al-Sakran itu terkonfirmasi atau tidak. Setelah diteliti tidak ada kitab nasab yang menyebut nama Ubaid/ Ubaidillah/Abdullah sebagai naka Ahmad. maka, pengakuan di abad sembilan itu bahasa halusnya ―tidak terkonfirmasi‖, bahasa kasarnya ―dusta‖. Begitu.
MNS juga mengatakan:
―Tidak dapat dimungkiri bahwa bisa dipastikan, argumen apa pun yang membela nasab Bani 'Alawi akan mendapat kecaman dari mereka yang mem- batalkan nasab-di mana penolakan itu terkesan sangat masif dan terorganisasi- baik dengan gaya yang sok ilmiah maupun dengan narasi caci-maki. Sikap ini menunjukkan keangkuhan dan ketidakmauan untuk menerima kebenaran. Ini seperti Iblis, yang angkuh dan selalu mencari celah untuk menolak kebenaran.‖
Loh loh, apa tidak terbalik ini. Siapa yang tidak menerima kebenaran. Anda yang tidak mau menerima kebenaran. Penulis sampaikan dalil: ini kitab Al-Syajarah al-Mubarakah abad ke-6 anak Ahmad Cuma tiga Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada Ubaid. Anda tidak mau menerima dalil itu dan mengabaikannya. Bahkan menuduh itu kitab Syi‘ah hanya karena kitab itu menjadi dalil batalnya  nasab  Ba‘alwi.  sikap  angkuh  tidak  mau  menerima  dalil seperti itulah yang seperti Iblis. Bukan penulis. Dalil yang anda sampaikan semuanya telah terbantah. Bukan penulis tidak menerimadalil anda, tetapi dalil anda salah. Bagaimana anda berdalil untuk kesahihan nasab Ba‘alwi hanya berdasar catatn Ba‘alwi. seorang hakim tidak mungkin menerima kesaksian dari tertuduh mencuri bahwa ia tidak mencuri. Pengakuan tertuduh itu diabaikan: hakim mencari bukti dari keterangan orang lain. Kan begitu? Kalau mencari dalil batalnya nasab Ba‘alwi jangan dari Ba‘alwi, tentu mereka maunya nasab mereka tersambung, tetapi carilah dari kesaksian para ulama dalam kitab-kitab nasab. kitabnya harus bertitimangsa sebelum pengakuan mereka. Begitu. Kitabnya kan sudah ada Al-Syajarah al-Mubarakah, kenapa anda tidak mau menerima?
 

MNS juga mengatakan:
―Keangkuhan yang tergambar begitu nyata saat Imaduddin melontarkan pernyataan, "Meskipun ulama sedunia menetapkan Ba 'Alawi, saya, Imaduddin Utsman akan tetap menolaknya. Saya siap bertanggung jawab dunia-akhirat". Yang dilakukan justru hanya membela orang-orang yang membelanya, hingga menukil bahwa seorang awam/fasik seperti pemusik  bisa menjadi wali. Sosok yang menulis Ë÷ģğĖÄ ÊåēċĖÄ sebuah buku yang hanya hasil menukil dari situs- situs Wahabi.‖
Kalimat itu tidak lengkap, saudara. Yang lengkap adalah: "Meskipun ulama sedunia menetapkan Ba 'Alwi karena suatu hal‖.
―karena suatu hal‖. Apa itu ―suatu hal‖? hal yang selain kebenaran. Missal karena dia pendukung FPI, dan pemimpin FPI itu dari Klan Ba‘alwi, maka ia membelanya karena itu tanpa ada dalil yang benar, maka penulis wajib menolaknya agar nasab Rasululah terjaga dari para dukhala (penyusup) dan lusaqa (pencangkok).
Lalu tentang bahwa penulis menukil bahwa seorang pemusik adalah seorang wali itu sah-sah saja. Tidak ada orang yang tahu siapa orang yang dicintai Allah, semuanya hanya meraba-raba saja. Seorang pemusik yang siap berdiri membela kebenaran seperti Rhoma Irama lebih pantas dihusnudzoni sebagai seorang wali, daripa orang yang seperti ulama tapi berdiri membela pemalsu nasab dzuriyah Nabi. Lalu jika dikatakan pemusik adalah seorang fasik, bukankah Ba‘alwi juga banyak para pemusik seperti Ahmad Albar, Fahmi Sahab, Muksin Alatas, Husain Mutahar, Lutfi bin Yahya dll. Bahkan mayoritas mereka suka berjoged yang dalam fikih adalah termasuk  ciri kefasikan? Jika demikian, ketika anda membela Ba‘alwi berarti anda sedang membela orang-orang yang fasik.
 

MNS juga mengatakan:
―Saya merasa prihatin dan heran melihat kelompok-kelompok ini begitu sigap menolak argumen tentang nasab Bani 'Alawi, namun acuh tak acuh pada kemungkaran yang lebih nyata di sekitar kita. Kasus-kasus seperti judi online, riba, kejahatan- kejahatan pemerintah, yang terbaru pelarangan jilbab bagi Paskibraka tahun 2024, dan manipulasi hukum terkait usia pencalonan pemilu, seharusnya menjadi fokus utama, bukan sekadar perdebatan tentang nasab. Ke mana mereka, padahal itu nyata-nyata mungkar? Ke mana mereka saat diterbitkannya PP kesehatan yang memfasilitasi kondom untuk remaja, melegalkan aborsi, melarang sunat bagi wanita, dan melarang penjualan rokok eceran yang jadi penghidupan rakyat-rakyat kecil dan justru menguntungkan toko-toko besar saja? Ke mana meraka saat seorang Mama Ghufron mengaku- ngaku bisa berbicara dengan Malaikat Jibril merasa bisa memprotes malaikat, dan keanehan-keanehan lainnya yang ia munculkan? Ke mana mereka saat rezim ini justru mendatangkan ratusan ribu pekerja dari Cina, serta Komunis Cina menguras ekonomi dan kekayaan alam kita? Kita perlu mencurigai adanya agenda tersembunyi di balik penolakan nasab tersebut.‖
Judi online memang haram tetapi itu penangannannya serahkan kepada pihak yang berwenang; bisa dilakukan oleh polisi dan penegak hukum lainnya. Tetapi tentang nasab Ba‘alwi ini polisi tidak mengerti, Pak.  Kasus-kasus  lain,  seperti  riba,  usia  calon  wapres,  Pelarangan untuk Paskibraka, PP kesehatan, aborsi, pelarangan sunat bagi wanita, pelarangan jual rokok eceran itu hal-hal sudah banyak yang memperhatikan. Tetapi, nasab Ba‘alwi yang batal ini, kiai-kianya aja banyak yang malah membela nasab batal, Pak, termasuk Anda. Sedangkan bahayanya dalam beberapa kasus sosial lebih bahaya dari hanya sekedar pelarangan jilbab bagi seorang Paskibraka untuk alasan keseragaman.

Di mana Anda ketika ada Ba‘alwi yang merubah sejarah NU? Di mana Anda, ketika kiai-kiai keturunan Walisongo ditampar oleh oknum Ba‘alwi hanya karena memakai gelar ―habib‖? ke mana Anda ketika oknum Ba‘alwi mengatakan bahwa Indonesia ini ―Bintu Tarim‖? ke mana Anda ketika oknum-oknum Ba‘alwi meminta uang secara paksa kepada kiai-kiai? Ke mana Anda ketika makam-makam palsu didirikan atas nama tokoh Ba‘alwi? ke mana Anda ketika Faisal Assegaf menghina Mbah Hasyim Asy‘ari dan menyamakan sejarahnya dengan karya-karya fiksi Ko Ping Hoo? Ke mana Anda ketika Rizieq Syihab mengatakan Waliyullah Gus Dur Radiyallah anhu sebagai buta mata buta hati? Ke mana Anda ketika oknum Ba‘alwi mengharamkan anak-anak muda masuk Ansor? Ke mana Anda ketika oknum Ba‘alwi mengatakan seorang habib yang bodoh lebih mulia dari 70 kiai yang alim? ke mana Anda ketika ada oknum Ba‘alwi menjadi begal motor di Kalimantan? Ke mana Anda Ketika ada oknum Ba‘alwi yang mencuri motor seorang Kades di Bekasi? Ke mana Anda ketika ada anak Taufiq Assegaf mengatakan bahwa Ba‘alwi yang mabok jangan dibenci tapi dikasih beras? Ke mana Anda ketika ada dua orang Ba‘alwi mabok lalu ketika ditegur masyarakat salah seorang di antara mereka mengatakan ―saya habib‖? di mana Anda ketika ada oknum mengatakan telapak kaki habib yang narkoba, yang maksiat, yang nakal dan kotor, dibandingkan dengan kepala kiai yang pakai sorban lebih mulia telapak kaki yang maksiat?

Anda bertanya ke mana penulis ketika Mama Gufron bicara dengan semut. Penulis jawab: Mama Gufron mau bicara dengan semut, dengan tawon, dengan kwangwung, urusannya dengan umat apa? Gak ada, Pak. Kata Anda Mama Gufron memprotes Malaikat, memang apa kaitannya dengan umat jika Mama Gufron memprotes malaikat. Itu urusan Mama Gufron; bukan urusan umat. Kalau mau menasihati boleh saja. Wong, kadang manusia banyak juga yang memprotes Tuhan: ―Ya Allah kenapa anakku mati; kenapa bukan saya saja yang mati, ya Allah‖. Itu kan memperotes Tuhan. Mama Gufron tidak merugikan umat, Pak: dia tidak dawir; tidak memeras umat dsb. Apa yang dikatakan Mama Gufron itu tidak lebih waw daripada yang ditulis para Ba‘alwi dalam kitab-kitab mereka. Ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi yang menulis bahwa tahi Ba‘alwi bisa jadi emas; ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi menulis bahwa Nabi Muhammad SAW belajar ilmu nahwu kepada Ba‘alwi; ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi menulis bahwa Faqih Muqoddam mi‘raj 70 kali ke langit mengalahkan Nabi; ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi mengatakan bahwa laki-laki ―dari Sarang‖ jika menikah dengan perempuan Ba‘alwi sama dengan zina wajib bercerai dan mengembalikan keperawanan; ke mana Anda ketika penyanyi solawat bernama Syeh bin Abdul Qadir Solo mengatakan di Tarim ada Raudhoh. Semua itu lebih parah dari Mama Gufron, Pak.
Anda bertanya: ke mana kami ketika rezim mendatangkan ratusan ribu pekerja China. Narasi-narasi khas Ormas terlarang FPI. Data dari mana, Pak? Hoak itu. justru TKI kita di China lebih banyak dari pada tenaga kerja China di Indonesia. Menurut data dari BRIN jumlah pekerja China di Indonesia hanya 59 ribu orang. Bandingkan dengan TKI kita yang di China mencapai 200 ribu orang; bandingkan dengan TKI di Malaysia yang mencapai 1,7 juta; bandingkan dengan TKI kita di Arab Saudi yang mencapai 833 ribu orang. Jadi jangan mudah menerima dan menyebarkan berita hoaks lah.
Anda mengatakan komunis China mengeruk kekayaan Indonesia. Dan Anda mengatakan bahwa kajian nasab harus dicurigai adanya agenda tersembunyi. Data, mana data? Jangan asal ngomong. Kebanyakan denger orasi Riziq Syihab jadi begini. Otak Anda dipenuhi teori-teori konspirasi yang miskin data; kebanyakan Su‘udzon pada pemerintah sendiri; suudzon pada ulama NU, sementara bahaya doktrin Ba‘alwi terhadap umat Anda abaikan.

 MNS juga mengatakan:
―Sudah dua tahun lamanya (hingga tulisan ini dibuat) polemik ini dipelihara terus-menerus. Kita layak bertanya, apa jangan- jangan ada pendanaan di balik polemik yang subur dan bertahan lama ini? Atau memang ada pihak yang menikmati polemik ini sebagai pengalihan isu atas banyak hal penting lain seperti utang negara yang sudah tembus 8.000 triliun yang pengalokasiannya sangat terkesan menguntungkan asing dan aseng?‖
Heran ya, isu nasab ini tetap bertahan selama dua tahun. Mau tahu jawabannya? Anda bertanya jangan-jangan ada pendanaan di baliknya. Mau tahu, atau mau tahu banget? Akan penulis jelaskan. Begini: umat Islam Indonesia sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. mereka adalah umat Islam hasil didikan para Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam penuh kasih-sayang rahmatan lil alamin. Salah satu ajarannya adalah mencinta Nabi, ahli bait Nabi dan keturunannya. Selama ini, untuk menterjemahkan cinta mereka kepada Nabi, mereka menghormati keturunannya. Kebetulan  di  sekitar mereka ada klan yang selalu mengaku bahwa  mereka  adalah keturunan Nabi, yaitu Klan Ba‘alwi.
Selama ini mereka husnudzon bahwa Klan Ba‘alwi adalah benar dzuriyat Nabi. Seiring berjalannya waktu mereka mulai curiga jangan- jangan Klan Ba‘alwi ini bukan keturunan Nabi. Kecurigaan itu karena melihat akhlak mereka yang jauh panggang daripada api. Sering terkait kasus zina, sodomi, penganiyayaan, pembunuhan, minum khamar, dsb. Oknum-oknum Ba‘alwi juga banyak yang berbuat seenaknya kepada para kiai dan umat Islam; sering datang meminta- minta ke rumah-rumah para kiai dan orang-orang kaya. Tidak seperti pengemis lainnya, mereka membawa-bawa nama Nabi dalam mengemis. Tentu lama-kelamaan ini membuat para kiai resah. Ketika kebenaran datang memancar bahwa sebenarnya mereka bukan dzuriyat Nabi, mereka mulai sadar; mereka berusaha merangkai puzzle-puzle kecurigaan itu dengan kesimpulan ilmiyah  bahwa Ba‘alwi  bukan  dzuriyat  Nabi.  Akhirnya,  mereka  merasa  bahagia, bahwa kecurigaan dan suudzon mereka selama ini beralasan, ternyata memang benar sesuai kecurigaan mereka bahwa Ba‘alwi ini memang bukan dzuriyat Nabi. Akhirnya, mereka bukan hanya menerima kesimpulan ilmiyah itu dan membenarkannya, bahkan mereka bertekad untuk menyadarkan saudara-saudara mereka yang lain yang masih menjadi mukibin.
Bukan hanya tenaga yang mereka rela korbankan, secara ikhlas dan yakin demi membela nasab Rasulullah ini, dan demi menyelamatkan saudara-saudara mereka umat Islam, mereka rela mensisihkan sebagaian harta mereka untuk perjuangan ini. perlu Anda ketahui, untuk sebuah acara pelantikan Perjuangan Walisongo Indonesia tingkat kabupaten, memerlukan biaya ratusan juta rupiah. Dari mana para pejuang itu mendapatkan dana, dari iuran Umat Islam. Yang punya sepuluh ribu menyumbang sepuluh ribu; yang punya seratus ribu menyumbang seratus ribu dst. Yang sedang tidak punya uang mereka andil dengan diri mereka untuk menunjukan ―Aku bersama kalian‖. Yang lain banyak yang hanya bisa menangis di malam hari mendoakan para pejuang tabah dalam cacian dan makian para Ba‘alwi dan mukibinnya. Hati mereka bersedih ingin lebih mengabdi namun keadaan tidak mengizinkan.
Apa Anda mengira ratusan para Youtuber itu ada yang membiayai dan menggerakan? Yang membiayai tidak ada, tetapi yang menggerakan ada: mereka digerakan oleh panggilan jiwa dan sanubari yang dalam; keikhlasan dan ketulusan; jiwa-jiwa perjuangan yang diwarisi dari leluhur mereka yang juga para pejuang. Sejarah selalu berulang hanya waktu dan sosok pemerannya yang berbeda. Nuthfahnya tetap sama: nuthfah pejuang. Zaman penjajahan Belanda yang gelisah hanya pejuang. Yang lain hidup normal, bahkan banyak yang malah menikmati penjajahan itu karena dengannya ia mendapatkan posisi penting sebagai antek Belanda yang bisa hidup sejahtera. Tapi tidak bagi pejuang. Kehormatan sebagai bangsa jauh lebih penting dari hanya sekedar hidup aman dan mapan. Manusia diciptakan sama terhormat, tidak boleh ada suatu bangsa menjajah bangsa  lain;  mengambil  dan  menguasi  tanah  yang  sudah  didiami bangsa lain; menguasai sumberdayanya dan mengahncurkan kehormatannya sebagai suatu bangsa. Hari ini, jiwa-jiwa itu yang mengalir di dalam jiwa para pejuang PWI LS, Pak. Ini yang sedang dirasakan Umat Islam Indonesia hari ini. lalu Anda ada di mana?

MNS juga mengatakan:
―Maka sangat benar jika buku ini tidak perlu diniatkan untuk membungkam pihak-pihak yang tidak akan pernah menerima kebenaran, meskipun sejelas apa pun fakta yang disajikan.‖
Yang tidak menerima kebenaran itu Anda, Pak. Nih kebenarannya lihat dalam kitab Al-Sayajarah al-Mubarakah: Ubed bukan anak Ahmad bin Isa. mana dalil Anda? Mana kitab anda? Halaman berapa? Jangan ikin framing. Nih kebenarannya haplogroup mereka G; bukan turunan Arab. Bagaimana bukan turunan Arab bisa menjadi cucu Nabi?
MNS juga mengatakan:
―Apa pun yang kita sampaikan pasti akan dibantahnya dengan segala cara.‖
Yang anda sampaikan itu bukan dibantah tapi terbantah, Pak. Kenapa? Karena yang Anda bawa bukan dalil, bukan kitab nasab. Ayo bawa mana kitab nasab yang mengatakan Ubed anak Ahmad?
MNS juga mengatakan:
―Sebaliknya, buku ini hadir sebagai media untuk menyelamatkan umat dari fitnah besar yang sedang berkembang, yaitu tha'nu finnasab (tuduhan terhadap nasab) dan bughdhu wa sabbu ahlil bait (membenci dan mencaci Ahlul Bait)…‖
Menyelamatkan umat dari mana, Pak? Justru buku itu akan menjerumuskan umat untuk mengakui pemalsu nasab Nabi. Bukan cucu Nabi ingin diakui cucu Nabi, itu haram, Pak. Yang ngaku-ngaku haram, yang membelanya pun seperti Anda haram, Pak. Terkait narasi anda bahwa polemic nasab ini mengakibatkan ―Bughdu wa sabbi ahlil bait‖ (membenci dan mencaci ahlil bait), tidak ada, Pak. Yang ada menjaga  kesucian  Ahli  Bait  Nabi  dari  para  pemalsu  nasab  yang mengaku-ngaku keturunan Ahlu Bait Nabi.
MNS juga mengatakan:
―Sebagaimana nasab Bani 'Alawi yang sah, melalui isu ini akhirnya kita juga menemukan bahwa nasab Wali Songo juga sah. Jika menurut catatan manuskrip kerajaan-kerajaan, para pakar nasab dan fikih seperti Habib Dhiya'uddin Syahab, pakar sejarah seperti, Habib Ahmad Assegaaf, Sayid Naquib al-Attas dan Buya Hamka serta ahli kasyf dan ahli fikih seperti Habib Alwi bin Thohir Mufti Johor, nasab ini tersambung melalui Adzamatkhan yang artinya mereka juga bagian dari Bani 'Alawi melalui 'Ammul Faqih. Kalaupun bukan melalui jalur itu, mungkin saja Wali Songo tersambung nasabnya melalui Bani Qudaim ataupun Bani Ahdal yang juga turut serta hijrah ke Yaman bersama Ahmad al-Muhajir. Sebagaimana dijelaskan oleh al-walid K.H. Maimoen Zubair bahwa "mayoritas Wali Songo itu habaib yang tidak dihabibkan (disamarkan)". Wallahu a'lam.‖
Kalimat Anda rancu, Pak. Katanya kalau nasab Ba‘alwi sah maka nasab Walisongo juga sah, tetapi Anda katakana kalaupun tidak dari Ba‘alwi bisa jadi nasab Walisongo dari bani Qudaim dan Bani Ahdal. Perlu Anda ketahui tiga marga yang Anda sebutkan: Ba‘alwi, Bani Ahdal dan Bani Qudaimi itu semuanya pemalsu nasab. tidak ada dari ketiganya yang terbukti sebagai keturuna Nabi berdasar kitab- kitab nasab. semuanya tertolak. Mengenai Walisongo, pembelokan sejarah dan nasab Walisongo jelas dilakukan Ba‘alwi di satu sisi, dan oleh Belandadi sisi lain. Semuanya sedang diadakan penelitian komprehenship berdasar sumber sezaman atau yang mendekati, yang jelas Walisongo itu bukan Ba‘alwi.
MNS juga mengatakan:
―…semua madzhab sepakat bahwa kepopuleran dapat dijadikan dasar bukti dalam penetapan nasab¹. Dan nasab para Habaib, sebagaimana  dijelaskan  dalam  buku  ini,   memenuhi   unsur syuhrah dan istifadhah yang merupakan kriteria sah dalam perspektif fikih. Ini sejatinya sudah sangat cukup untuk membantah berbagai tuduhan yang meragukan keabsahan nasab mereka.‖27 

Betul, Pak. Semua madzhab sepakat bahwa syuhrah dan istifadalah bisa digunakan sebagai dasar penetapan nasab, tetapi ada syaratnya yaitu tidak boleh ada bukti penentang. Sedangkan pengakuan nasab Ba‘alwi dan ke-syuhrah-nya ditentang oleh kitab- kitab nasab yang menyatakan mereka bukan keturunan Ahmad bin Isa. kalau Anda ingin mengetahui dalilnya berikut ini beberapa sampel ibarat dari kitab-kitab fikih yang menyatakan bahwa syhurah dan istifadlah itu ada syaratnya:
Syekh Al-Husain bin Haidar Al-Hasyimi dalam kitab Rasa‘il fi ilm al-Ansab mengatakan:

Terjemah:
―Ulama nasab menghitung ada lima metode dalam menetapkan nasab: pertama, adalah dengan “istifadlotunnasab” (menyebarnya nasab) dan “syuhratunnasab” (popularnya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan berita mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan kesepakatan mereka untuk berdusta, dengan disertai tidak adanya dalil yang menentang. Dan Istifadlah yaitu Al-Tasamu‟ (saling dengar-mendengar) ia termasuk hal-hal yang paling nampaknya bukti, dan ada alasan untuk memberitakannya. Ulama memilih istifadlatunnasab dengan tasamu‟, karena nasab itu adalah sesuatu yang tidak ada jalan masuk untuk melihat langsung‖
Perhatikan dengan seksama kalimat: ma‘a ‗adamil mu‘arid (disertai tidak ada dalil penentang). Jika ada dalil penentang maka syuhro atau tasamu‘ itu gugur, Pak. Ini adalah lagi satu dalil:
Dalam  Kitab  Nihayatul  Muhtaj  juz  8  h.  319  karya  Imam Ramli:

―Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ ketika tidak ada
penentang yang lebih kuat dari tasamu‟, seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha‟n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu‘ gugur dengan adanya inkar dan tha‟n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha‟n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan orang yang menyampaikannya‖
Perhatikan kalimat: Haetsu lam yu‟aridhu aqwa minhu (ketika tidak ditentang oleh dalil yang kuat daripada kepopularan itu). kalau ada penentang maka syuhrah itu gugur, Pak.
Mau  tambah  lagi  dalilnya?  Ini  satu  lagi:  Ibnu  Hajar  Al- Asqalani berkata:

ان النسب ٦تا ّثبت ۴ٙستفاضة اٙ ان ّثبت ما خيالفو

―Sesunggunya nasab adalah sebagian dari yang bisa ditetapkan dengan metode istifadloh kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya‖28


Perhatikan kalimat: Illa an yasbuta ma yukhalifuhu (kecuali ada yang menentangnya). Mau tambah dalil lagi? Ini tambah lagi:
Coba perhatikan yang dinyatakan kitab Al-Najm al-Wahhaj
karya Al- Damiri: 

الناس ىف ذلك النسب .. امتنعت الشيادة علَ إصح.

―Boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ terhadap nasab dengan ijma‘. karena nasabnya tidak bisa dilihat dengan mata. Yang mungkin bisa dilihat adalah kelahiran di ranjang,  maka cukuplah dalam nasab itu dengar-mendengar. Hal itu boleh walau orang itu tidak mengenal mansub ilaih (seperti ayahnya). Keterangan itu diceritakan dalam kitab Al-Kifayah. Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada keraguan. Apabila keraguan itu ada, contohnya orang yang menjadi Al-Mansub ilaih itu masih hidup lalu mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi. Maka jika mansub ilaih itu gila, boleh ia bersaksi menurut qaul sahih. Ketika sebagian orang mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi tentang nasab itu menurut qaul asoh 29”.
Perhatikan kalimat: kullu hadza in lam takun ribatun (hukum popular ini ketika tidak ada keraguan). Masih mau dalil lagi? Cari sendiri saja, semua kitab fikih ketika berbicara syuhrah dan istifadlah atau tasamu‘ semuanya mensyaratkan adanya satu point yaitu: tidak ada dalil penentang. Dalilnya sudah ada: kitab-kitab nasab abad 4-9 H.
yang tidak mencatat nama Ubaid sebagai anak Ahmad, dan kitab Al- Syajarah al-Mubarakah di abad ke-6 telah tegas menyebut Ahmad bin Isa hanya mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Lalu dalilmu endi, Pak?

 
MENANGGAPI KATA PENGANTAR ABDULLAH MUKHTAR SUKABUMI
Di antara yang di katakan oleh Abdullah Mukhtar (AMS) adalah:
―Dan sungguh sangat ironis sekali ada seseorang yang ia telah dimabukkan oleh pujian dan ketenaran yang memiliki otak yang sinting berkata bahwa di Indonesia tidak ada sedikit pun jasa Ahlul Bait bahkan dia berkata bahwa Ahlul Bait (Ba 'Alawi) adalah antek-antek penjajah Belanda. Orang tersebut semakin berani memperlihatkan kebencian yang di luar batas. Terlebih lagi dia menghilangkan jasa-jasa Ahlul Bait yang menyebarluaskan agama datuknya Rasulullah Saw., baik itu dengan mengarang kitab atau mengajarkan aurad dan dzikir juga hizib yang tentu saja sangat perlu untuk diamalkan oleh umat Rasul demi terciptanya kebahagiaan dunia dan akhirat.‖30
Kita perhatikan kalimat-kalimat AMS begitu tendensius. Penulis bingung untuk menaggapinya secara ilmiyah, karena istilah-istilahnya rancu dan nampak belum memahami persoalan. Terminology Ahlul Bait yang disebutkan asosiasinya tidak tepat. Ia nampak belum dapat membedakan mana Ahlul Bait dan mana Dzuriyyah. Ia juga belum memahami definisi ‗Alwi dari Ba‘alwi, sehingga menyatakan bahwa Alwi itu bernisbah kepada Sayyidina Ali, padahal keluarga Ba‘alwi sendiri mengakui bahwa kata Ba‘alwi adalah nisbah kepada Alwi bin ubaid.
Ia juga menganggap orang yang membongkar nasab palsu sebagai ―memiliki otak yang sinting‖, bahasa-bahasa yang tidak pantas keluar dari seorang ulama. Alih-alih menyampaikan dalil malah memvonis orang yang berbeda dengannya sebagai orang yang berotak sinting.
Dari sana kita mengetahui bahwa harus ada pembaharuan pola fikir generasi Islam masa depan, yaitu pola fikir ilmiyah. pendekatan tasawuf Al-Ghazali dan Al-Bagdadi yang selama ini kita kembangkantelah terbukti mampu membuat akhlak yang mulia bagi para santri kita, tetapi frekwensi ilmiyah yang tergeser kepada lebih sufi daripada fakih ternyata harus pula diperhatikan.

 
MENANGGAPI KATA PENGANTAR K.H. SYUKRON MAKMUN
Di antara yang dikatakan oleh K.H.Syukron Makmun (SM) adalah:
―Masalah keabsahan Bani 'Alawiyah sebagai Ahli Bait Rasulullah Saw. sudah selesai. Karena Ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah secara ijmak dengan thariqah Syuhrah wal- Istifâdhah telah mengakui keabsahan Bani 'Alawiyah sebagai Ahli Bait Rasulullah Saw, dan tidak ada yang menyangkal. Seperti panasnya matahari tidak perlu itsbat, karena panasnya matahari sudah syuhrah wal-istifadhah.‖31
Ucapan SM yang menyatakan bahwa nasab Ba‘alwi sudah diijma ulama Ahlussunnah wa al-Jamaah itu hoaks. Klaim ijma‘ itu pertama kali dilontarkan oleh Ali al-Sakran Ba‘alwi (w.895 H.) dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqah tanpa dalil. Lalu dihikayatkan oleh beberapa circle Ba‘alwi seperti syekh Yusuf al-Nabhani (w.1250 H.).
Ijma menurut para ulama adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‘ akan suatu kejadian. Sebagaimana definisi tersebut diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya Ushul al-Fiqh:.
 
Terjemah:
―Ijma‘ di dalam istilah para ahli ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara‘ dalam suatu masalah.‖32
Dari definisi ijma itu, kita mengetahui bahwa suatu hukum bisa disebut ijma jika hukum itu disepakati oleh seluruh para ulama ahli ijtihad. Sedangkan nasab Ba‘alwi ini sejak awal kemunculannya di abad sembilan muncul hanya dari klaim mereka sendiri tidak disebut para ulama nasab dalam kitab-kitab nasab. Bahkan di Tarim sendiri banyak orang yang tidak percaya terhadap nasab mereka sebagaimana dihikayatkan sendiri oleh kitab-kitab Ba‘alwi semacam Al-Burqat al- Musyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.) dan Gurar Baha al-Dlau‘ karya Khirid (w.960 H.). Bagaimana suatu nasab yang sejak awal kemunculannya saja hanya dari klaim pribadi. dan orang- orang yang ada di Tarim saja tidak mempercayainya bisa dikatakan telah diijma‘?
Salah satu rukun ijma‘ adalah kesepakatan itu harus terjadi sejak awal kemunculannya, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Wahhab Khalaf:

الثاين: أن ّتفق علَ اٟتكم الشرعِ يف الٌاقعة ٚتْع اجملتيدّن من

ا١تسلمُت يف وقت وقٌعيا

Terjemah:
―(Rukun) yang kedua adalah terjadinya kesepakatan ulama mujtahid dari kaum muslimin atas hukum syara‘ dalam suatu masalah saat terjadinya masalah itu‖33
Sedangkan waktu kejadian nasab Ba‘alwi adalah masa Ahmad bin Isa. karena yang menjadi permasalahan adalah pengakuan mereka bahwa mereka adalah keturunan Nabi melalui Ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa. sedangkan kitab-kitab nasab sejak masa Ubaid itu tidak ada yang mencatat ia sebagai anak Ahmad bin Isa apalagi terjadi ijma‘. Dari mana Ali al-sakran mengetahui adanya ijma‘ jika nasab mereka sama sekalai tidak disebutkan oleh para ahli nasab, padahal  kitab-kitab nasab yang mencatat anak Ahmad bin Isa banyak ditulis. Bahkan kitab nasab abad ke-6 yaitu Al-Syajarah al-Mubarakah telah menetapkan anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid.
 
Ibnu Hazm dalam kitab Maratibul Ijma mengatakan:
 
Terjemah:
 ―Para ulama berkata: Ijma‘ setiap masa bisa dikatakan ijma‘ yang shahih jika tidak didahului oleh perbedaan pendapat dalam masalah itu. ini adalah pendapat yang sahih‖.34
Dari situ kita mengetahui bahwa klaim ijma baik dari Ali al- Sakran maupun dari yang mengutipnya di waktu belakangan seperti Al-Nabhani dan Al-Muhibi tidak dapat diterima. Bahkan menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal bisa disebut pendusta.

Terjemah:
―Dan telah dikutip dari Ibnu Hazm dalam kitab-nya Al-Ahkam dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ucapan: Aku mendengar ayahku berkata: Apa yang diklaim seseorang tentang terjadinya ijma‘ adalah dusta. Siapa orang yang mengklaim ijma‘ adalah dusta. Bisa jadi manusia telah berbeda pendapat ia tidak tahu dan tidak sampai kepadanya. Maka hendaklah ia berkata: kami tidak mengetahu perbedaan pendapat manusia‖.35
SM juga mengatakan:
―Masalah sejarah atau nasab yang sudah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun termasuk (ÇīćĖÄ äÅÉÞº ) berita yang kita tidak menyaksikan dengan mata kita. Kita hanya mendapat berita dari dongeng, katanya. Sejarah manuskrip yang tidak mungkin kita sampai pada haqqul yaqin atau 'ainul yaqin, kecuali kalau riwayat itu mutawatir syuhrah wal-istifadhah. Penulis sejarah hanya menulis apa yang ia tahu, apa yang ia tidak tahu bukan berarti tidak ada. Bisa saja, informasinya belum sampai kepadanya. Maka, sejarah yang lebih sempurna adalah sejarah yang datang kemudian sebab informasinya lebih lengkap.‖36
Kejadian masa lalu memang tidak semuanya dicatat, betul sekali yang dikatakan SM. Bahwa pula penulis sejarah hanya menulis apa yang ia tahu. Itu juga betul. Tetapi jika penulis sejarah sudah menulis di abad ke-6 H. apa yang ia tahu, misalnya bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain, maka setiap klaim di abad ke-9 H. akan adanya anak ke-4 bagi Ahmad bin Isa seperti Ubaid/Ubaidillah/Abdullah jelas tertolak. Jika SM mengatakan bahwa sejarah itu tidak qath‟iy, ya itu betul, tetapi jika sebuah penulisan yang dekat dengan kejadian saja tidak qath‟iy maka kitab Ali al-Sakran di abad ke-9 H. tentu lebih tidak qathiy lagi. Lalu apa alasan SM mempercayai yang lebih jauh masanya dengan kejadian lalu mengabaikan informasi dari orang yang lebih dekat masanya dengan kejadian?
Jika SM menulis buku bahwa kakeknya yang bernama Kiai Nawawi punya anak 5, lalu cucu SM menulis buku pula mencatat bahwa Kiai Nawawi punya anak 6. Menurut SM siapa kira-kira yang layak untuk dipercaya? SM apa cucunya? Dua-duanya tentu tidak qath‘i. tetapi tentu yang lebih mendekati kebenaran adalah tulisan SM karena jarak waktunya lebih dekat dengan kakeknya. Begitulah ilmu sejarah difahami. Ali al-Sakran mencatat Ubaid sebagai anak Ahmad itu setelah 550 tahun wafatnya Ahmad. sedangkan kitab-kitab sebelumnya hanya mencatat anak Ahmad hanya tiga dan tidak ada yang namanya Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Lalu menurut SM yang layak dipercaya yang mana?
MS juga mengatakan:

 
―Untuk menerima (ÇīćĖÄ äÅÉÞÄ) berita yang kita tidak menyaksikan dan sudah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun kita harus hati-hati siapa pembawa cerita itu. Kita hanya menerima berita dari para ulama, para auliyâullah, dan para habaib yang tidak diragukan keilmuannya, akhlaqul karimah- nya, zuhud-nya, wara', dan bersifat dhabit dan adil: Mereka itu, seperti: Syaikh Murtadha az-Zabidi pensyarah kitab Ihya' 'Ulumuddin, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami seorang ulama fikih mazhab Syafi'I, Syaikh Ali Jum'ah mufti di Mesir, Syaikh Ramadhan al-Buthi seorang ulama besar di Syiria, Sayid Muhammad bin Alwy al-Maliki di Makkah al-Mukarramah, Syaikh Maulana al-Sya'rani Mesir, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh K.H. Cholil Bangkalan, Syaikh K.H. Cholil Bangkalan,
K.H. Hasyim Asy'ari Jombang, H. Sholeh Darat Semarang, Syaikh Yasin Padani Makkah, Syaikh Moh. Chotib al- Minangkabawi, Syaikh Moh. Mahfudz al-Turmusi. Dan banyak lagi yang tidak kami sebutkan. Barang siapa yang membatalkan nasab Ba'alawi berarti sudah tidak percaya kepada para ulama dan auliyaullah yang saya sebutkan di atas‖.
Yang mengatakan anak Ahmad bin Isa hanya tiga dan tidak ada yang bernama Ubaid itu adalah ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah, seorang ahli tafsir, ahli ushul fiqih, ahli filsafat, ahli sejarah, ahli nasab, yaitu Al Imam Fakhruddin al-Razi (w.606 H.). karangannya mencapai 200 kitab diberbagai cabang ilmu. Satu kitab saja seperti kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib mencapai 17 jilid. Jika SM percaya bahwa ada tambahan anak Ahmad bin Isa selain Muhammad, Ali dan Husain, maka berarti SM tidak percaya lagi kepada ulama besar sekelas Imam Fakhruddin al-Razi.


MENANGGAPI KATA PENGANTAR KURTUBI LEBAK
Di antara yang di katakana Kurtubi Lebak (KL) adalah:
―Keabsahan Nasab Sådah Ba 'Alawi semenjak berabad-abad yang lalu sudah diakui oleh para Ulama Besar Ahli Syariat, Ahli Nasab, dan Ahli Sejarah. Jika dirunut, tidak kurang dari 100 kitab karya ulama non-Ba 'Alawi yang di dalamnya terdapat pengakuan terhadap keabsahan nasab Ba 'Alawi atau status Ba 'Alawi sebagai al-Husaini (Keturunan Sayidina Husain) atau Asyraf atau Sadah. Ulama- ulama tersebut berasal dari berbagai negara dan berbagai mazhab Ahlus- Sunnah wal-Jama'ah (Aswaja), bahkan di luar Aswaja. Sehingga tidak heran jika sebagian ulama seperti al-Imam al-Muhibbi, al-Imam an- Nabhani dan al- 'Allamah Syaikh Ali Jum'ah-sampai berani menyatakan bahwa kesahihan Nasab Ba 'Alawi diakui secara ijmak (konsensus).‖37
Kata KL keabsahan nasab Ba‘alwi sudah diakui berabad-abad oleh para ulama besar. Siapa ulama besar dalam ilmu nasab yang mengakui nasab Ba‘alwi? seorang ahli nasab yang hidup sezaman dengan Ba‘alwi yaitu Ibnu Inabah (w.828 H.) tidak mengakui nasab Ba‘alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa. apa bukti ia tidak mengakui nasab Ba‘alwi padahal ia hidup di masa Abdurrahman Assegaf yang katanya ulama besar; Umar al-Muhdlar katanya juga ulama besar; Abu Bakar al-Sakran katanya juga ulama besar. jika mereka ulama besar, tentu mereka dikenal, jika mereka dikenal maka jika diyakini mereka keturunan Ahmad bin Isa akan dicatat oleh Ibnu Inabah sebagai keturunan Ahmad bin Isa, nyatanya tidak.  Kenapa tidak dicatat karena memang mereka diyakini oleh Ibnu Inabah bukan sebagai keturunan Ahmad bin Isa.
Penulis kitab nasab dari Yaman abad ke-9 H. saja Muhammad Kadzim al-Yamani (w.880 H.) tidak mencatat keluarga Abdurrahman Assegaf sebagai keturunan Ahmad bin Isa. abad sembilan itu wahai KL, nasab Ba‘alwi baru dipabrikasi; Baru diijtihadi. Ia baru dicatat secara formal oleh Ali al-Sakran (w.895 H.) dalam kitabnya Al-Burqat al-Musyiqah. Lalu ulama-ulama setelahnya yang ada kaitan dengan Ba‘alwi mencatatnya sesuai pengakuan Ba‘alwi itu tanpa memverifikasi dalam kitab-kitab nasab muktabar. Nasab keuarga Abdurrahman Assegaf baru masuk kitab nasab tahun 996 H. abad kesepuluh Hijriyah setelah 651 tahun wafatnya Ahmad bin Isa. sebelum masuk kitab nasab hal itu didahului pengakuan mereka sendiri di tahun 895 H. jadi mereka mengaku sebagai keturunan Ahmad bin Isa itu setelah 550 tahun, lalu setelah 101 tahun dari pengakuan itu baru nasab mereka masuk kitab nasab yaitu Tuhfat al- Thalib. Itupun dengan pengakuan penulisnya bahwa nasab Alwi ini masuk bukan berdasarkan kitab nasab tetapi hanya berdasarkan ta‘liq (tulisan di secarik kertas) yang ia temukan saja.
Kita sebagai guru tidak boleh mengajarkan taklid buta kepada para murid kita agar murid kita menjadi ulama mumpuni. Ulama yang memiliki nalar kritik seperti Imam Syafi‘I, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Ahmad dsb. Bukan malah menjadikan murid kita bodoh hanya menerima apa yang telah difikirkan dan ditetapkan ulama masa lalu.
Bagi ulama, taklid itu seperti syetan. Ia menjauhkan manusia untuk dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Al-Qur‘an dengan segala makna dan rahasianya yang menakjubkan, inti ajarannya, tidak akan dapat diraih oleh orang yang terhalang fanatisme suatu pemahaman sebelumnya, padahal pemahaman itu tanpa ada dalil sedikitpun. Sebuah konklusi yang ditaklidi seorang ulama secara buta, menunjukan bahwa hatinya telah tersegel oleh fanatisme dari apa yang telah ia dengar dan ia baca padahal ia tidak mengetahui apakah yang ia dengar dan i abaca itu bersumber dari dalail atau tidak. Lehernya telah terikat oleh tali taklid yang kuat yang ditautkan di tiang pemahaman sebelumnya, sehingga ia tidak bisa berjalan jauh untuk mencapai ―bashirah‖ dan ―musyahadah‖ dari hakikat suatu kebenaran.

Jika berkemilau cahaya kebenaran yang hakiki dari kejauhan, lalu hampir saja hatinya menerima kebenaran itu, maka tali syetan taklid itu akan langsung menariknya dan berkata ―Bagaimana sampai terlintas dihatimu kesimpulan yang berbeda dengan gurumu atau leluhurmu?‖ Itulah cara kerja syetan dalam mempermainkan ulama dan menjerumuskannya untuk tetap berada dalam kubangan taklid dan menghalanginya untuk menaiki tangga-tangga hakikat.
Ulama itu ada tiga: Pertama, ulama yang diberikan kemampuan ilmu yang interdisiplin dari berbagai sisi pengetahuan yang dengannya ia dapat berijtihad secara mutlak, langsung dari al-Qur‘an dan Hadits. Bagi ulama semacam ini haram bertaklid kepada ulama lainnya.
Yang kedua, adalah ulama yang mengetahui pendapat ulama mujtahid beserta dalil-dalilnya, maka ia men-―tarjih‖ mana di antara para mujtahid itu yang pendapatnya didukung oleh dalil yang kuat, lalu ia mengikuti pendapat yang didukung oleh dalil yang kuat itu. Walau pendapat itu berbeda dengan madzhabnya sendiri.
Yang ketiga adalah ulama yang mengetahui pendapat-pendapat para mujtahid, ia mengetahui bahwa pendapat para ulama ini masing- masing mempunyai dalil, namun ia tidak mempunyai kemampuan mentarjihnya, atau ia mampu, namun ia tidak mempunyai  waktu, maka ia boleh bertaklid kepada para mujtahid itu. Dalam masalah inipun, sebenarnya terjadi perbedaan pendapat para ulama: ada yang membolehkan baginya taklid ada yang mengharamkannya. Namun, jika ulama  mengetahui  bahwa pendapat itu tidak mempunyai dalil apapaun, baik dari al-Qur‘an, ijma‘ dan Qiyas, maka haram baginya mengikuti pendapat itu.
 
ُBanyak  sekali  Al-Qur‘an menyindir  orang-orang yang selalu
mengatakan kita ikuti orang tua-tua kita saja, padahal orang tua kita tidak maksum. Walaupun orang tua kita ulama belum tentu ia selalu benar. Ia manusia yang bisa salah bisa juga benar. Kewajiban kita
memverifikasi setiap apa yang diucapkan oleh orang-orang tua kita. Jika itu benar maka kita perkuat jika itu salah kita luruskan. Di bawah ini contoh ayat-ayat Al-Quran yang mencela orang yang mengikuti tanpa dalil dan selalu berkata kami mengikuti ayah-ayah kami, tanpa mau berfikir:
ِ    ِ Ulama itu tidak maksum. Itu yang harus difahami secara mendalam.
―Anehnya, setelah lebih dari 1.000 tahun, barulah muncul Imaduddin bin Sarman mengatakan bahwa Ubaidillah kakek Ba Alawi bukanlah anak dari Ahmad bin Isa, sehingga nasab Ba 'Alawi batal sebagai dzurriyah Nabi Muhammad Saw.!? Lebih dashyatnya lagi, orang tersebut merasa hanya dirinya Indonesia: yang benar dan semua ulama besar yang mengakui nasab Ba 'Alawi adalah salah! Belum lagi ditambah dengan narasi-narasi kebencian dan diskriminasi rasis yang diembuskan oleh Imaduddin dan kroninya! Lâ haula wala quwwata illa billah.‖
KL perlu tahu, dan itulah mengapa kita perlu terus belajar, bahwa penulis bukanlah orang yang pertama mengatakan Ubaid bukan anak Ahmad bin Isa tetapi itu adalah ucapan seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah yaitu Imam al-Fakhrurazi dalam kitabnya Al-syajarah al-Mubarakah. Ia mengatakan:

أما أٛتد اٙبح فعقبو من ثٚثة بنُت: ڱ ابٌ جعفر ۴لري، وعلِ

۴لرملة، وحسُت عقبو بنْسابٌر

“Adapun Ahmad al-Abh maka anaknya yang berketurunan ada tiga: Muhammad Abu ja‘far yang berada di kota Roy, Ali yang berada di Ramallah, dan Husain yang keturunanya ada di Naisaburi.‖38
Dari kutipan di atas Imam Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa Ahmad al-Abh bin Isa hanya mempunyai anak tiga yaitu Muhammad, Ali dan Husain. Ahmad al-Abh tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah. Dari ketiga anaknya itu, semuanya, menurut Imam al-fakhrurazi, tidak ada yang tinggal di Yaman.dari situ berita selanjutnya dari abad ke-9 bahwa anaknya tambah satu yaitu Ubaid/Ubaidillah/Abdullah tertolak.
Wassalam.


MENANGGAPI KATA PENGANTAR ABDUL SHOMAD RIAU

Sebagian dari apa yang disampaikan oleh Abdul Shomad Riau (ASR) adalah:
―Isu nasab yang bergulir lebih dua tahun ini hanya cara Allah Swt. untuk memperlihatkan kekuatan nasab Sadah al-Ba'alawi dalam menghadapi pukulan ombak dan terjangan gelombang, sekaligus membungkam dan menyingkap kajahilan para pembenci Sadah al-Ba'alawi. ―39
ASR mengatakan bahwa isu nasab ini memperlihatkan kekuatan nasab Ba‘alwi. untuk kalimat itu ASR tidak melihat kenyataan bahwa Klan Ba‘alwi sampai saat ini tidak mampu membawa dalil tentang kesahihan nasabnya kecuali buntu di pengakuan pribadi Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w.895 H.) dalam kitabnya Al-Burqat al-Musyiqah. apakah ASR mempunyai dalil selain taklid untuk membela  nasab palsu Ba‘alwi ini? ketika kita sudah mengetahui adanya pemalsuan nasab dan kita telah mengetahui pula siapa tokoh pemalsunya maka penggunaan dalil-dalil setelahnya tidak berarti.
Seorang pakar nasab Syekh Khalil bin Ibrahim mengatakan:

اذا عرف الٌاضع وعرفت علة الٌضع اٞتارحة انتفَ اٙستدٙل

―Ketika sudah diketahui pemalsunya dan diketahui illat (alasan) pemalsuan yang mencela itu maka hilanglah istidlal (mencari dalil).‖40
ASR juga mengatakan:
―Dalam buku ini diungkap kesaksian lebih dari 100 ulama dunia dan lebih dari 100 referensi klasik dan kontemporer dari kalangan non-Ba 'Alawi yang mengakui validitas dan otentisitas nasab Sadah al-Ba'alawi.‖
 
Ratusan kitab setelah abad sembilan itu tidak ada artinya dalam membela nasab Ba‘alwi karena semuanya akan mentok mengambil dari Ali bin Abu Bakar al-Sakran tersebut. Para ahli nasab menyatakan bahwa banyaknya kitab yang hari ini menyebut suatu nasab tidak bisa dijadikan hujjah jika semuanya berujung kepada satu referensi.
Seorang pakar nasab Khalil bin Ibrahim mengatakan:

ٙ حيتج بكثرة ا١تصادر اذاكانت تنقل من اصل واحد

Terjemah:
―Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hujjah jika
diambil dari sumber yang satu.‖41
ASR juga mengatakan:
―Buku ini seperti pisau bermata dua, tidak hanya membuktikan kesahihan nasab Sådah al-Ba'alawi, tapi juga menyingkap kedustaan, fitnah, plagiat, pengkhianatan ilmiah dan tipu muslihat yang direkayasa oleh Haddam al-Din.‖
ASR betul, buku itu pisau bermata dua:mata pertama berusaha untuk menjawab tesis penulis namun tidak sanggup. Mata kedua akan menusuk nasab Ba‘alwi sendiri karena dalil-dalil yang disampaikan terutama dalam pasal Al-Syuhrah wa-al-istifadlah semuanya menghantam nasab Ba‘alwi sendiri. Di mana dalam semua kutipan dalil Al-Syuhrah yang dibawakan Hanif dkk. itu dikatakan signifikansi Al-Syuhrah tidak berguna jika ada Mu‘aridl (dalil penolak). Dan dalilnya sudah ada yaitu kitab Al-Syajarah al- Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad bin Isa hanya tiga dan tidak ada Ubaid/Ubaidillah/Abdullah.
ASR sebagai seorang Professor mungkin demi membela nasab Ba‘alwi bersedia untuk meluangkan waktu menulis dalil-dalil yang akan membela nasab Ba‘alwi. penulis menunggu apa dalil yang akan ASR sajikan. Buku yang berjumlah 500 halaman ini sudah penulis lihat tidak ada dalil yang bisa menyambungkan nasab Ba‘alwi ini, kecuali mentok di abad ke-9.
Wassalam.

CATATAN KAKI

 14 Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii
15 Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani, Ushulu „Ilmi al Nasab wa al- Mufadlalah Bain al-Ansab, 76-77
16 Ibid h. 77
17 Imad Muhammad al-„Atiqi, Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h.
58
18 Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii
19Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii
20 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Al-Maktabah al-Syamilah, 1/78
21 Ibid
 
22 Khalil bin Ibrahim, h. 85
23 Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii
24 https://www.hops.id/trending/pr-2942773554/gus-najih-sebut-kader- nu-banyak-makan-uang-haram-mulai-dari-zaman-gus- dur#google_vignette
25 https://www.faktakini.info/2019/03/tanggapan-gus-najih-maimoen- zubair-soal.html

26 Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xx

27 Hanif dkk…h. xviii

28 Ibnu Hajar al-Asyqolani, Al-Jawab al-Jalil, h.47

29 Al-Damiri, Al-Najm al-Wahhaj, Juz 10 halaman 356.

30 Hanif Alatas dkk…h. xxvi

 31 Hanif dkk…h.xxxiii
32 Abdul Wahhab Khalaf, Ushul al-Fiqh, H. 45
33 Abdul Wahhab Khalaf…h.46
34 Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma, h. 11
35 Abdul Wahhab Khallaf…49
36 Hanif dkk…ibid

37 Hanif dkk…h. xxxvi
39 Hanif dkk…h.xiiii
40 Khalil bin Ibrahim….h. 85
41 Khalil Ibrahim…h.85

LihatTutupKomentar