Metode dan Kaidah Menetapkan dan Membatalkan Nasab

Metode dan Kaidah Menetapkan dan Membatalkan Nasab Metode Syuhroh wal Al Istifadlah Metode Kitab-kitab Nasab Metode Syahadah/Al-Bayyinah al-Syar‘iyyah

Metode dan Kaidah Menetapkan dan Membatalkan Nasab

 Nama kitab / buku: Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu: Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: November 2024
Penerbit:  Lakeisha, Yogyakarta
15,6 cm X 23 cm, 691 Halaman
ISBN : 978-623-119-469-5
 
Daftar Isi

  1. BAB II MENJAWAB TUDUHAN HANIF DKK TERHADAP TESIS PENULIS
  2. Siapa Yang Mengabaikan Metode dan kaidah Ahli Nasab?
  3. Metode Itsbat Nasab
  4. Metode Syuhroh wal Al Istifadlah
  5. Metode Kitab-kitab Nasab
  6. Metode Syahadah/Al-Bayyinah al-Syar‘iyyah
  7. Metode Ikrar
  8. Metode I‘tiraf
  9. Metode Qiyafah
  10. Metode DNA
  11. Metode Qur‘ah
  12. Klasifikasi Nasab Menurut Ahli Nasab  
  13. Kaidah-Kaidah Ulama Nasab Dalam Membatalkan Nasab Ba‘alwi
  14. Kaidah ke-1
  15. Kaidah ke-2
  16. Kaidah ke-3
  17. Kaidah ke-4
  18. Kaidah ke-5
  19. Kaidah ke-6
  20. Kaidah ke-7
  21. Kaidah ke-8
  22. Kaidah ke-9
  23. Kaidah ke-10
  24. Kaidah ke-11
  25. Kaidah ke-12
  26. Kaidah ke-13
  27. Kaidah ke-14
  28. Menjawab Framing Hanif Dkk Bahwa Penulis Menentang, Mengabaikan Dan Merendahkan Pengakuan Para Ulama Muktabar Tentang Nasab Ba‘alwi
  29. Ulama Yang Mengakui Versus Yang Menolak
  30. Pengakuan para Ulama Dijawab dengan Asumsi
  31. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
  32. Jika Nasab Ba‘alwi di-Bahtsul Masail-kan oleh NU
  33. Kembali ke: Buku Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu

BAB II MENJAWAB TUDUHAN HANIF DKK. TERHADAP TESIS PENULIS (KH IMADUDDIN UTSMAN AL-BANTANI)

Siapa Yang Mengabaikan Metode dan kaidah Ahli Nasab?
Hanif Alatas dkk. dalam buku tersebut mengatakan:
"Imaduddin secara terang-terangan mengabaikan kaidah-kaidah Ilmu Nasab yang telah lama dirumuskan para ulama nasab. Ilmu nasab yang mempelajari silsilah dan garis keturunan, memiliki metodologi dan kaidah yang ketat dan diakui para ahli sejak berabad-abad. "113
Benarkah penulis mengabaikan ilmu nasab atau malah Ba'alwi yang keukeuh ingin diakui sebagai keturunan Nabi  yang  menabrak Ilmu Nasab?
Mari kita uji metode dan kaidah ilmu nasab yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu nasab.
Metode Itsbat Nasab
Metode itsbat nasab yang terdapat dalam kitab ilmu nasab semacam Rasa'il fi 'Ilm al-Ansab ada  tujuh dari ketujuh metode itu semuanya menyatakan Ba'alwi batal.
Metode Syuhroh wal Al Istifadlah
Dengan menggunakan metode pertama ini nasab Ba' alwi batal karena Syuhrah (popular) mempunyai syarat yaitu "Adam  al­ Mu'aridl" (tidak ada dalil penentang), sedangkan kitab pengakuan Ba'alwi sebagai keturunan Nabi di abad ke-9 H. bertentangan dengan kitab nasab di abad ke-6 H. yaitu kitab  Al-Syajarah  al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad bin Isa hanya tiga:Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada anak Ahmad bin  Isa  bernama  Ubaid,  Ubaidullah atau Abdullah .
Pakar ilmu Nasab Syekh Husain bin haidar al-Hasimi dalam kitabnya Rasa 'iift. 'ilm al-Ansab mengatakan:


Terjemah:
"pertama, adalah dengan "istifadlotunnasab" (menyebarnya nasab) dan "syuhratunnasab" (popularnya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan berita mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan kesepakatan mereka untuk berdusta, dengan  disertai  tidak adanya dalil yang menentang." 114

Metode Kitab-kitab Nasab
Menggunakan metode kitab-kitab nasab nasab Ba' alwi batal karena kitab-kitab nasab bisa digunakan sebagai pengitsbat  nasab mempunyai syarat yaitu sebuah kitab nasab tidak boleh bertentangan dengan isi kitab nasab sebelumnya . Sedangkan kitab nasab yang mengitsbat Ba' alwi barn ada di abad ke- 9 dan 10 H.  yang bertentangan dengan kitab sebelumnya .
Perhatikan apa yang dikatakan dalam Kitab Nihayatul  Muhtaj
juz 8 h. 319 karya Imam Ramli:
  
"Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu ' ketika tidak ada penentang yang lebih kuat dari tasamu ', seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha 'n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum  demikian bahwa tasamu'  gugur dengan adanya inkar dan tha 'n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha 'n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan orang yang menyampaikannya"
Jelas metode para Nassabah (pakar nasab) dan pakar fikih membatalkan nasab Ba'alwi dengan metode Syuhrah wal-Istifadlah karena kesyuhra-an Ba'alwi ditolak oleh kitab nasab abad ke-6 H. Al­ Syajarah al-Mubarakah .
Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat fi 'Jim al Ansab:
J_rP;A.l    Jfa :1 JI . ' W)\ _,    \ Jo_,
"Syarat menjadikan kitab nasab sebagai pegangan adalah pertama ia tidak boleh berbeda dengan kitab-kitab asal" 115
Dalam  Kitab  Ushulu  'Ilmi al Nasab  wa al-Mufadlalah  Bain al-Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan:


"Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab barn dengan bersandar  kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja."116
Jadi jelas, kitab andalan Ba'alwi Al-Burqat al-Musyiqah, A/- Jauhar al-Syafaf, Al-Najhah al-Anbariyah yang semuanya ada di abad ke-9 H. tidak bisa digunakan sebagai itsbat nasab Ba'alwi karena bertentangan dengan kitab nasab yang lebih tua yaitu Al-Syajarah al­ Mubarakah di abad ke-6 H.


Metode Syahadah/Al-Bayyinah al-Syar'iyyah
Kesakisan dua orang saksi ini bisa dilakukan untuk kesaksian orang yang hidup hari ini. Tidak bisa untuk Ubaid yang hidup seribu tahun lalu. Syekh Khalil Ibrahim mengatakan tentang Al-Bayyinah al­ Syar'iyyah dalam kitabnya Muqaddimat fi   'ilmi al-Ansab:

"Aku  berkata  sesungguhnya  masalah  ini  (Al-Bayyinah  al­ Syar 'iyyah) bukan untuk menetapkan nasab qabilah-qabilah, tetapi digunakan untuk menetapkan  nasab  anak  kepada ayahnya." 117  (Muqaddimat,  62).
Jadi, metode dua orang saksi ini menurut  para  ahli nasab tidak bisa digunakan untuk mengitsbat Ubaid sebagai anak Ahmad .


Metode Ikrar
Menurut Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab  Muqaddimat, metode I 'tiraj dan iqrar ini pula tidak bisa mengitsbat nasab yang j auh seperti Ubaid . Ia digunakan hanya untuk nasab orang yang hari ini hidup:

 
"Aku berkata, sesungguhnya masalah  ini  tidak  menentukan nasab kabilah-kabilah tetapi ia menentukan nasab seseorang yang  diragukan  kesahihannya . Maka  ketika  seorang  ayah ber­ J 'tiraf dan ber-ikrar bahwa ia bapak dari anak ini maka anak ini di-itsbat kepadanya dan kepada nasabnya."


Metode I'tiraf

 
"Metode yang kelima adalah I 'tiraf atau iqrar seorang laki-laki yang berakal bahwa fulan adalah anaknya . Dan orang yang diaku haruslah orang yang  pantas diakui (sebagai  anak) untuk pengaku. Dan tidak ada penghalang (untuk pengakuan itu)." 118
Cara I 'tiraf dan ikrar seorang ayah kepada anak ini pula menurut syekh Khalil Ibrahim, digunakan untuk orang yang  masih hidup bukan untuk orang yang sudah ribuan tahun wafat  seperti Ubaid .


Metode Qiyafah
Metode inipun hanya bisa dilakukan untuk orang yang hari ini masih hidup untuk melihat keserupaan  antara keduanya. Bukan untuk mengitsbat nasab jauh karena kita tidak bisa  membandingkan antara Ubaid dan Ahmad bin Isa yang sudah wafat seribu tahun yang silam.


Metode DNA
Dalam kitab Muqaddimat .ft. 'Ilmi al-Ansab Syekh Khalil Ibrahim menyajikan tulisan pakar DNA Arab, Professor Ubaedillah. dalam tulisan tersebut, Prof . Ubaedillah menyatakan bahwa:
"Tes DNA telah mampu membongkar orang yang mengaku keturunan Ahlibait dengan palsu dan dusta. Hal itu ketika basil tes DNA mereka menunjukan bahwa mereka adalah dari keturunan Persia dan Kaukasus. Maka tidak aneh mereka memerangi ilmu tes DNA ini dalam situs-situs mereka. Berbeda dengan basil tes DNA para Asyraf  lain yang terkenal yang sama
dan dekat dengan DNA Adnan." 119
Profesor Ubaidillah berkata:
"Setelah meneliti dan melakukan banyak tes dan analisis laboratorium terhadap DNA untuk mengetahui keragaman ras manusia, para peneliti menemukan bahwa warisan genetik Arab termasuk dalam ras tersebut (Jl). Peneliti Profesor Ali bin Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat memberi nama pada jenis Jl dengan DNA suku Arab." 120
Setelah kita mengetahui DNA Arab itu J1 maka sekarang kita bertanya apakah hasil tes DNA Klan Ba'alwi? jawabannya hasil tes DNA mereka adalah G. basil itu menunjukan bukan saja mereka bukan keturunan Nabi tetapi mereka juga bukan orang Arab.

Metode Qur'ah
Al-Qur 'ah (diundi) digunakan sebagai itsbat nasab berdasarkan hadits Zaid bin Arqam ia berkata:

"Aku duduk di sisi Nabi SAW maka datanglah seorang laki-laki dari Yaman maka ia berkata bahwa tiga orang dari Yaman datang kepada Ali KW mengadukan sengketa hukum anak kepadanya, mereka telah menjima ' seorang wanita dalam satu masa suci. Maka Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak untuk orang ini, maka kemudian dua orang itu tidak mau dengan bergolak . Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau,

 
Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, maka Ali berkata, kalian bersama-sama orang yang bertengkar, aku akan mengundi di antara kalian, maka barang siapa keluar undianya anak ini miliknya, dan ia harus membayar 2/3 diyat bagi yang lain, maka kemudian Ali mengundi di antara mereka, maka ia menjadikan anak itu bagi yang keluar undian. Maka Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya."
Metode qur' ah ini pun tidak bisa dilakukan untuk nasab Ba' alwi karena metode ini dilakukan hanya ketika dalil-dalil pengitsbat dan penafi sama kuatnya. Sedangkan dalil yang mengitsbat nasab Ba'alwi sangat lemah dan termasuk nasab maudlu (palsu).
Dari ketujuh metode itsbat nasab yang digariskan oleh  para pakar nasab tersebut sudah nyata siapa yang menabrak metode dan kaidah nasab. yang hari ini masih mengitsbat Ba'alwi dengan begitu terangnya kebatalan mereka, maka merekalah yang telah menabrak metode dan kaidah nasab.


Klasifikasi Nasab Menurut Ahli Nasab
Dalam buku tersebut Hanif dkk. mengatakan:
"Imaduddin selalu berteriak lantang  bahwa  nasab  Ba'alawi adalah nasab batil dan mardud . Imaduddin tampaknya tidak memahami makna  "nasab mardud" dan "nasab batil" dalam terminologi ilmu nasab. Dalam ilmu nasab, nasab  seseorang atau sebuah keluarga terbagi menjadi  beberapa  tingkatan. Berikut kami tuangkan klasifikasinya dengan terjemahan secara global."121
Lalu Hanif dkk. mengutip pendapat pakar nasab Syaikh Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitab Rasail tentang klasifikasi nasab. setelah mengutip dan menterjemahkan lalu Hanif mengatakan:
 
"Berdasarkan klasifikasi di atas, Nasab Ba'alawi jelas masuk kategori nasab sahib sebab memiliki silsilah nasab  yang jelas dan disepakati keabsahannya oleh semua nassabah yang membahas nasab Ba'alawi. Tidak ada satu pun nassabah yang menafikan . Status Ba'alawi  sebagai nasab pun sahib dinyatakan oleh  banyak  ulama,  sebagaimana  telah  kami  uraikan  di  Bab
I."122

Pertanyaannya benarkah apa yang disamapaikan Hanif itu? apakah ia menjelaskan detail setiap kalimat yang ia kutip  dari kitab Rasail sehingga pembaca bisa juga memahami walau ia tidak memahami Bahasa Arab, atau ia hanya menterjemahkan lalu mengambil kesimpulan sendiri tidak sesuai apa yang dimaksud oleh pengarangn ya sendiri.
Untuk asas keterbukaan mari kita kutip utuh apa yang ada dalam kitab Rasail lalu penulis akan jelaskan  kata perkata  yang  penting untuk dijelaskan agar apa yang diinginkan oleh penulis kitab itu sesuai. Lalu pembaca bisa bandingkan dengan apa  yang ada dalam buku Hanif dkk. tersebut. Mari kita mulai.

Terjemah:



 
"bagian-bagian nasab: maka nasab itu bukan hanya ada satu tingkatan . Tetapi terbagi dalam istilah ulama nasab kepada empat bagian . Yang pertama nasab tsabit (yang tetap). Disebut juga nasab sahib. Yaitu nasab yang kuat dengan silsilah yang benar yang diijma kesahihannya dari para ahli nasab yang muhaqqiq (ahli meneliti) . Dan para ulama membuat istilah dari nasab ini dengan "nasab sahih tsabit". Atau mereka mencukupkan dengan salah satu lafadz (sahih/tsabit)." 123
Perhatikan: nasab yang sahib itu mempunyai  syarat dia silsilahnya harus benar diijma kebenarannya oleh para ahli nasab. sekarang kita Tanya mana ulama nasab pada  masa  Ahmad  bin  Isa yang mengitsbat Ubaid/ubaidillah sebagai anak Ahmad? tidak  ada. kitab nasab yang  pertama mengitsbat Abdulah sebagai anak Ahmad ada di tahun 880 H. yang mengitsbat Alwi baru ada pada tahun 996 H. wah itu sudah 651 tahun setelah wafatnya  Ahmad  bin  Isa. bahkan pada abad ke-enam kitab Al-syajarah al-Mubarakah  menegaskan anaknya Ahmad hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Maka pengakuan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaid/ubaidillah/ Abdullah ini batal, sesuai ilmu nasab. maka dari itu nasab Ba'alwi tidak bisa disebut nasab sahib.
 
Terjemah:
"Bagian kedua Nasab Masyhur: yaitu nasab yang masyhur dan terkenal antar mansuia, apalagi di antara kabilah itu sendiri. Tetapi mereka tidak diketahui darimana   ketersambungan nasabnya dalam kabilah itu. kabilah itu mengakui nasab mereka dan tidak ada jalan menafikan, walaupun tidak ada susunan silsilah yang menyatakan hubungan itu, dan tidak pula ada nama-nama yang mengarah kepada sebab-sebab. Bagian  kedua ini dan yang sebelumnya tidak bisa membedakan keduanya kecuali ulama nasab. kalau tidak dua bagian itu dianggap satu bagian menurut ulama lainnya. Dan perlu diketahui bahwa kemasyhuran suatu nasab terkadang tidak asli. Yaitu ketersambungan nasab itu terkadang karena ia sebagai mawla (mantan budak) suatu kaum. Bukan benar-benar keturunan mereka. Terkadang pula nasab itu karena adanya asimilasi dengan suatu kaum. Atau karena ia tetangga kaum itu. dan kepentingan para ahli nasab yang muhaqiq adalah menjelaskan dengan terang benderang semua itu dengan dalil. Bagian ini disebut  juga   dengan  nasab  sarih.  Seperti  ucapan  ahli  nasab
bahwa adnan sarih keturunan Ismail dan sesunggunya Nazar bin Ma' ad sarih anak Ma'ad." 124


Perhatikan, nasab masyhur itu adalah nasab seseorang yang dikenal di antara manusia  tersambung kepada suatu kabilah tetapi ia tidak mengetahui jalumya . Kabilah  tersebut  mengakui  bahwa  orang itu bagian darinya walau tidak diketahui silsilah atau  nama-nama nasab yang tersambung kepada kabilah  itu.  seperti  kemasyhuran Adnan sebagai keturunan Ismail, semua ahli nasab sepakat bahwa Adnan adalah keturunan Ismail, tetapi  mereka  tidak  mempunyai urutan nama-nama yang sahib yang menyambungkan Adnan kepada Ismail.
Apakah nasab Ba'alwi termasuk  kategori  nasab  masyhur? Tidak. Karena Ba'alwi mempunyai urutan nama-nama yang menyambungkan mereka kepada Ahmad bin Isa tetapi urutan itu tertolak kitab nasab abad ke-6 H. jadi, Ba'alwi itu tidak termasuk kategori nasab masyhur tetapi masuk ke dalam  kategori  nasab "mardud" (tertolak) yang nanti akan diterangkan.
 
Terjemah:
"bagian ketiga adalah nasab maqbul: yaitu nasab  yang ditetapkan oleh suatu kaum pemegang otoritas dari sebuah kabilah tetapi dinafikan oleh kaum yang lain dari kabilah itu. maka itsbat dan nafi kedudukannya sama. Keduanya dua arah yang berhadapan dan berlawanan . Maka nasab ini kemudian disebut nasab maqbul karena kesamaan (dalil) antara  kedua yang berlawanan . Dan karena pertentangan ini dari dalam kabilah yang memiliki otoritas itu sendiri bukan dari kaum lain. Jika tidak demikian (pertentangan yang terjadi antara pemegang otoritas disuatu kabilah dengan orang luar), maka pendapat yang diterima adalah kaum yang memiliki otoritas itu  bukan  orang lain. Baik dalam menetapkan atau menafikan . Maka pendapat yang diterima adalah pendapat pemegang otoritas di kaum itu. ulama menyebut nasab ini sebagai "nasab yang ada perbedaan pendapat". Mereka menyebut juga "nasab sahih dari ahli nasab anu". Ini adalah yakni bahwa nasab itu sahih menurut ahli nasab ini dan tidak sahib menurut ahli nasab yang  lain. Yakni yang ditemukan adanya khilaf antar ahli nasab. dan engkau melihat bahwa mayoritas ucapan ahli nasab dalam mengambil dan menolak nasab di antara mereka adalah dalam nasab yang seperti ini. seperti ucapan mereka" fulan fi aqibihi khilaf ' (fulan yang   tentang   ia   berketurunan   terjadi   perbedaan   pendapat);
"Fulan Fiji nadzar" (fulan yang didalamnya ada catatan)." 125
Perhatikan, nasab maqbul adalah nasab seseorang dari suatu kabilah yang pemegang otoritas  dikabilah  itu  berbeda  pendapat tentang dia. Sebagian menerima sebagaian menolak . Seperti seseorang yang mengaku keturuanan Sunan Gunung Jati (SGJ), lalu badan nasab SGJ di Banten menerima sedang badan nasab SGJ di  Cirebon menolak. Maka kedudukan nasab ini disebut "nasab  maqbul".  Jika yang menyatakan  perbedaan  pendapat  itu terjadi antara badan  nasab


 
SGJ dan  orang  lain  di luar keluarga  SGJ maka  yang  harus  diambil adalah pendapat keluarga SGJ.
Lalu apakah nasab Ba'alwi bisa disebut "nasab maqbul"? Tidak. Kenapa? Karena nasab Ba' alwi sama sekali  tidak  disebut  oleh para ahli nasab sejak masa Ahmad bin Isa. tidak ada yang menerima dan tidak ada yang menolak. Kenapa tidak ada yang menolak, karena memang tidak ada. Lalu di abad ke-enam kitab Al-Syajarah al­ Mubarakah menetapkan anaknya Cuma tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada nama Ubaid/Ubaidillah/ Abdullah . Jika di masa Al­ Syajarah al-Mubarakah ada ahli nasab yang menyebut nama Abdullah sebagai anak Ahmad maka baru bisa dikatakan itu "nasab maqbul" karena walaupun di kitab Al-Syajarah al-Mubarakah tidak ada nama Abdullah tetapi di kitab lain yang semasa ada.

Terjemah:
"Bagian keempat adalah nasab mardud.  Yaitu nasab  dusta, silsilah palsu, dan pohon nasab yang tidak punya asal. Ia adalah nasab yang diletakan oleh seorang pendusta, dan dicangkokan kepada sebuah kaum, akan tetapi kaum itu membatalkannya, mengingkarinya dan tidak mengenalnya  dan  menafikannya dalam syajarah mereka dan tidak  menetapkannya . Dan bagian yang akhir ini adalah makna risalah kami ini. maka nasab palsu tidak  terlepas  dari  tiga  rukun:  nisbat  yang  palsu  dan  dusta,
 
pemalsu nasab yang pendusta, yang dipalsukan untuknya (yang mencangkok) atau atasnya (yang dicangkok)." 126
Perhatikan: nasab mardud adalah nasab yang dusta, silsilah palsu, dan pohon nasab yang tidak punya asal. Inilah kedudukan nasab Ba' alwi. nasab mardud.  Kenapa? Karena nasabnya dusta. Dari mana dustanya? Karena tidak ada ulama mencatat nasabnya sejak masa Ahmad bin Isa sampai mereka mengaku di abad ke-9 H. setelah 550 tahun. Di sisi lain yang dicatat di abad ke-6 H. anak Ahmad bin Isa tiga: Muhammad, Ali dan Husain, sedang mereka mengaku keturunan anak Ahmad bin Isa yang bernama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah . Jelas itu nasab yang diciptakan tertolak oleh kitab nasab abad ke-6 H.
Jika Ba'alwi mengatakan: buktinya tidak ada keturunan Ahmad bin Isa sekarang  yang menafikan mereka  sebagai keturunan  Ahmad bin Isa. sedangkan definisi nasab mardud kan adanya kabilah itu yang menafikan penyusup itu. jawab: keturunan Ahmad bin  Isa yang ada sekarang tidak bisa diiktibar dalam menerima atau menolak nasab Ba'alwi, kenapa? karena jarak pengakuan Ba'alwi  dan  perpisahan nasab mereka terjadi di nama anak-anak Ahmad bin Isa yang sudah berjarak 1101 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa sampai sekarang. dengan jarak yang sepanjang itu, maka sudah berkembang menjadi puluhan kabilah-kabilah dari kakek bersama Ahmad bin Isa. maka masing-masing kabilah  hanya diiktibar ketika menafikan penyusp dalam kabilahnya masing-masing. Lalu yang diiktibar penafian siapa? Penafian berdasarkan kitab-kitab nasab masa Ahmad bin Isa atau masa yang paling dekat kitab itu dapat ditemukan . Kitab nasab yang paling dekat masanya dengan Ahmad bin Isa yang menyebut seluruh anaknya yang berketuruann adalah kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke-
6. Dan disitu leluhur Ba' alwi bernama Ubaid/Ubaidillah /Abdullah tidak disebutkan sebagai anak Ahmad bin Isa. maka nasab mereka adalah nasab mardud yang dapat diverifikasi kepalsuannya melalui kitab-kitab nasab kuno yang hari ini tersedia .


 
Kaidah-Kaidah    Ulama   Nasab   Dalam   Membatalkan    Nasab Ba'alwi
Hanif dkk. membuat framing bahwa tesis penulis menabrak kaidah-kaidah para ahli nasab. mari kita uji nasab Ba' alwi dengan menggunakan kaidah-kaidah nasab dari para ahli nasab dalam kitab­ kitab nasab mereka dengan kaidah-kaidah nasab berikut ini:
Kaidah ke-1

Terjemah:
"jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan  jika  bertentangan dengan kepentingannya . Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan . Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya kepentingan. "127
Dari kaidah ini kitab-kitab karya Ba' alwi seperti Al-Burqah al­ Musyiqah, Al-Jauhar al-Sy afaf dsb. atau para muridnya pendapatnya tidak layak dijadikan hujjah karena di sana ada kepentingan .

 

Kaidah ke-2
 
 "Dan ketika kita men-tahqiq  nasab, maka  sumber-sumber yang memungkinkan  kita  mengambil  darinya,  wajib  berupa  kitab-kitab nasab terdahulu  yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka" 128
Dari kaidah ini referensi yang hams digunakan oleh Ba'alwi dalam mempertahankan nasab adalah kitab-kitab nasab, bukan kitab sejarah atau tasawuf. sementara kitab nasab  yang  mencatat  mereka barn pada abad ke-10 H. yang bertentangan isinya dengan kitab-kitab sebelumnya .

Kaidah ke-3


"Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar  kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja."129
Dari  kaidah   m1   hujjah-hujjah   Ba' alwi   untuk ubaid/ubaidillah/ Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa dengan menggunakan kitab abad ke-10 sementara Ubaid hidup di abad ke 4 H. tertolak apalagi kitab itu bertentangan dengan kitab abad ke-6 H. Al-Syajarah  al-Mubarakah .


Kaidah ke-4

"Marji ' (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji ' berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya . Maka penulis marji ' membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya . Oleh karena itu, mashdar lebih laik diiktibar apabila terjadi pertentangan dengan marji ', kecuali jika marji ' tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan
primer lainnya". 130
Dari kaidah ini jelas, jika kitab nasab yang barn bertentangan isinya dengan kitab lama maka kitab lama yang diiktibar (dihitung sebagai hujjah).

 

Kaidah ke-5


Terjemah:
"Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang  ditulis sah untuk dijadikan hujjah"131
Dari kaidah ini, kitab-kitab ulama yang menyebut nasab Ba' alwi jika kitab itu bukan kitab nasab. karena kitab yang sah digunakan sebagai hujjah dalam istbat nasab hanyalah kitab nasab.

Terjemah:
"Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan  dengan logika dan referensi dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu yakni maudlu'. Informasi  yang  palsu  dan maudlu' tidak dapat dijadikan sebgai hujjah" 132
Dari kaidah ini nasab Ba' alwi batal total, ia nasab manhul (palsu), karena ia bertentangan dengan logika: suatu nasab yang tidak disebutkan selama 550 tahun tiba-tiba muncul mengaku sebagai keturunan Nabi tanpa ada referensi kitab nasab sebelumnya dan bertentangan dengan manqul (kitab-kitab nasab).

 
Terjemah:
"Dan seyogyanya bagi peneliti nasab  untuk  tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar." 133
Dengan kaidah ini maka setiap ucapan ulama yang mengutip tentang nasab Ba'alwi dalam kitabnya seperti Ibnu Hajar Al-Haitami boleh kita teliti istidlalnya jika  mereka menyampaikan dalil, atau jika tidak  menyampaikan   dalil  maka  kita  tinggalkan  jika   bertentangandengan kitab-kitab nasab. itulah cam ahli nasab meneliti nasab. bukan dengan memframing seseorang yang meneliti nasab sebagai  orang yang merendahkan ulama .

 
Kaidah ke-8
 

 
"Tidak ada seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau ditolak kecuali Rasulullah SAW."134
Dari kaidah ini penelitian  nasab yang menguji  istidlal kutipan ulama besarpun tidak bertentangan dengan syariat Islam bahkan dianjurkan .


Kaidah ke-9

 
Terjemah:
"Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hujjah jika diambil dari sumber yang satu."135
Dari kaidah ini, banyaknya Hanif Alatas dkk. mengutip kitab­ kitab yang mengitsbat Ba'alwi mulai dari abad ke-10 sampai sekarang tidak ada artinya jika semuanya mentok mengutip dari kitab Al­ burqah al-Musyiqah karya Ali al-Sakran di abad sembilan Hijriyah .


Kaidah ke-10
J'Jf.J.:wi'Jf \    \    _)L{-1 c-P}I lli.    f J c-Pl_,.11 0f bl
"Ketika sudah diketahui pemalsunya dan diketahui illat (alasan) pemalsuan yang mencela itu maka hilanglah istidlal (mencari dalil)." 136
 
Dari kaidah ini ketika penulis mengetahui bahwa yang meletakan nasab Ba'alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa adalah Ali al-Sakran dan mengetahui alasan dia meletakan itu yaitu karena ada kemiripan nama maka hilanglah kekuatan dalil dari nasab Ba' alwi itu. artinya nasab Ba'alwi itu ujug-ujug datang tanpa dalil sedikitpun.

Kaidah ke-11
lij y)I ly lS" JI Lp    L.JI    J    i ':13
L,    JI
"(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya  atau tempatnya ."137
Dari kaidah ini seluruh referensi Hanif dkk. yang seratus kitab itu tidak bisa digunakan sebagai dalil nasab Ba'alwi karena kitab-kitab itu hanya kitab sejarah, kitab tasawuf dan semacamnya . Kitab nasab yang bisa ditunjukan  Hanif hanya Al-Nafhah di abad sembilan yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya.

 

Kaidah ke-12
 

.;;1    !r4J o_)-'    if ':11 r-LJI    i>-    ':1
 
Terjemah:
"Ilmu  ini  (penetapan  nasab)  tidak  bisa  diambil  kecuali  dari sumber-sumber  dan referensi-referensinya" 138
Dari  kaisah  ini  sama  dengan  kaidah  sebelumnya  bahwa  kitab yang bisa dijadikan dalil hanyalah kitab-kitab nasab.

 
Kaidah ke-13


Terjemah:
 
 
"Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan  dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip." 139
Dari kaidah ini nama Abdullah yang  terdapat dalam Al-Suluk (732 H.) yang pada abad ke-9 H. diijtihadi oleh Ba'alwi sebagai sama dengan nama Ubaid adalah tidak bisa diterima. Karena  itsbat  nasab yang diambil dari satu kitab harus bersifat  qathiyy  memeiliki kesamaan nama bukan hanya mirip saja.


 
Terjemah:
"Dan semacam jika kita mengatakan'Hai Syarif atau 'Telah datang seorang Syarif dan semacamnya sesuai dengan apa yang kami sebutkan, maka jika kita melihat tertulis tulisan yang maksudnya bukan mengitsbat nasab maka kita tidak boleh membawanya    kepada    itsbat   nasab   dan   tidak   boleh   kita





 
bergantung kepadanya dalam menetapkan nasab ketika maksud tulisan itu bukan penetapan nasab." 140
Dari kaidah ini kita memahami bahwa sebutan sayyid atau syarif  dalam  suatu  kitab  tidak  termasuk  itsbat  nasab,  seperti  ketika
K.H.  hasyim  Asy' ari  menyebut  Sayyid  kepada  seorang  Ba' alwi  itu tidak bisa disebut ia telah mengitsbat Ba' alwi tersebut.


Menjawab Framing Hanif Dkk Bahwa Penulis Menentang, Mengabaikan Dan Merendahkan Pengakuan Para Ulama Muktabar Tentang Nasab Ba'alwi
"Keabsahan nasab Ba'alawi bukan hal baru (nawazil) yang tidak pernah dibahas para ulama sehingga membutuhkan ijtihad/penggalian hukum yang baru . Nasab Ba'alawi dan status mereka sebagai asyraf/sadah sudah sampai ke tangan para ulama yang kompeten dalam ilmu nasab, ilmu syariah, dan sejarah semenjak berabad-abad lalu, kemudian disetujui mereka. Di sisi lain, tha'nu yang membatalkan nasab Ba'alawi baru muncul beberapa tahun belakangan dari beberapa orang yang mengaku dirinya ulama." 141
Kata Hanif dkk. kabsahan nasab  Ba'alwi bukan hal baru. Darimana hanif bisa mengatakan nasab Ba'alwi absah beserta seluruh dalil yang telah nyata bahwa Abdullah baru disebut sebagai anak Ahmad bin Isa dalam kitab nasab setelah 535 tahun. Dan nama ubaid atu Ubaidillah bahkan hanya muncul dari pengakuan internal Ba'alwi sendiri yang kemudian mengasumsikannya sama  dengan  Abdullah. Lalu absahnya dari mana?


Ulama Yang Mengakui Versus Yang Menolak
Kata Hanif banyak ulama yang telah mengakui  nasab Ba'alwi, ia mengurut  beberapa  nama mulai abad ke-lima  sampai hari ini. kita akan buktikan bahwa yang Hanif sebut sebelum abad ke-9 H. itu sebagiannya adalah dusta dan sebagiannya lagi adalah merebut kesejarahan Jadid . Hanif dkk mengatakan:
"Berikut kami tuangkan nama-nama tersebut secara ringkas.
1.    Al-Nassabah Syaikh al-Syaraf al-'Ubaidili (w. 435 H)
2.    Al-Sayid Hasan bin Muhammad al-'Allal al-Husaini (w. 460 H)
3.    Al-Sayid Abul Qasim al-Naffath (w. 490 H)
4.    Al-Faqih Hasan bin Rasyid (w. 638. H)
5.    Musnad Syaikh Umar bin Sa'ad al-Dzhafari (w. 667 H)
6.    Muarrikh  al-Yaman  al-Imam  Bahauddin  al-Janadi al-Yamani  (w. 732 H)
7.    Imam   al-Muarrikh   Abu   Muhammad   Abdullah   bin   As'ad   bin Sulaiman al-Yafi'i al-Yamani al-Makki (w. 768 H)
8.    Al-Malik al-'Abbas bin Ali bin Dawud al-Rosuli (w. 778)
9.    Al-Imam al-Muarrikh Abil Hasan Ali bin al-Hasan al-Khazraji (w: 812 H)
10.    Imam Taqiu  al-Din Muhammad  bin Ahmad  al-Hasani al-Fasi al­ Maliki (w. 832 H)
11.    Imam Husein bin Abdurrahman al-Ahdal (w. 855 H)
12.    Al-Syaikh  Abdurrahman  bin  Muhammad  al-Khathib  al-Anshari al-Tarimi (w. 855 H)
13.    Al-Nassabah  Muhammad  Kazhim  bin  Abil Futuh  al-Yamani  al­ Musawi (w. 880 H). . ."142
Perhatikan, pertama ia menyebut Syaikh Al-Ubaidili yang wafat tahun 435 H. itu adalah klaim dusta dari Hanif dkk. Al-Ubaidili tidak pemah mengakui nasab Ba'alwi. ia memiliki sebuah kitab berjudul Tahdzib al-Ansab, dalam kitab tersebut ia menyebut Ahmad bin Isa; ia juga menyebut sebagaian anak Ahmad bin Isa, tetapi ia sama sekali menyebut Ahmad bin Isa  mempunyai  anak  bernama Ubaid/Ubaidillah/ Abdullah . Lalu dari mana Hanif dkk. berani menempatkan Al-Ubaidili sebagai salah seorang yang mengitsbat Ba'alwi?  di  dalam  footnotnya  Hanif  mengatakan  hal  itu  berdasar kutipan Murtadla al-Zabidi yang wafat tahun 1205 H. tentu maksudnya dalam kitab Al-Raudl al-jaly. Sedangkan kitab Al-Raudl al-Jaly sudah penulis bahas sebelumnya bahwa ia terbukti kitab palsu . Bukan kitab karya Murtadla al-Zabidi tetapi karya Hasan Muhammad Qasim (w. 1394 H. ) lalu dipalsukan nama pengarangnya seakan-akan sebagai karya Murtadla al-Zabidi. Keterangan lengkap tentang bahwa kitab ini bukan karya Murtadla al-Zabidi bisa dibaca dalam "mukaddimah" versi cetak kitab Al-Raudul Jali yang ditahqiq oleh Ba'dzib.
Lalu urutan dua Hanif dkk. menyebut nama Hasan al-Allal (460 H.) dan nomor tiga Abul Qasim al-Naffat (490 H.). dua nama yang disebut telah mengitsbat nasab Ba'alwi itu hanya dusta.  Ia berdasar sanad palsu yang dibuat oleh Salim bin Jindan (w.1969 H.). Penulis telah jelaskan hal itu sebelumnya . Lalu hanif  menyebut  urutan keempat nama Hasan bin Rasyid (638 H.), ini juga dusta. Hasan bin Rasyid hanya menyebut nama Jadid tidak menyebut Ba'alwi Abdurrahman Assegaf, itupun tidak menyambungkannya kepada Ahmad bin Isa sebagaimana juga telah penulis terangkan sebelumnya secara detail. Begitu juga urutan kelima Hanif menyebut nama Sa'aduddin al-Dzifari, itu juga kutipan dusta. Ia hanya bersandar kitab palsu yang terindikasi ditulis Salim bin Jindan.
Kemudian Hanif dkk. menyebut nama Al-Janadi (w. 732 H.) pengarang kitab Al-Suluk. Kitab ini sama sekali tidak menyebut silsilah nasab Ba'alwi-Abdurrahman Assegaf, tetapi menyebut silsilah Jadid, dan Jadid bukan adik Alwi. ia orang lain yang tidak sah berhujjah sejarah dengan kesejarahan orang lain. Penulis katakan kesejarahan orang lain, karena kitab ini kitab sejarah yang tidak bisa mengitsbat nasab. jadi kitab ini walau menyebut silsilah jadid bin Abdullah bin Isa, tetapi ia tidak bisa mengitsbat Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa karena ia bukan kitab nasab. ia hanya kitab sejarah yang isinya pula bertentangan dengan kitab nasab Al-Syajarah al-mubarakah .
 
Pada urutan ketujuh Hanif dkk. menyebut nama  Abdullah  al­ Yafi 'I (w.768 H.) pengarang kitab Mir'at al-jinan sebagai ulama pengitsbat Ba'alwi, padahal Al-yafi'I sama sekali tidak menyebut silsilah nasab Ba'alwi, ia hanya membuat syair tentang Abu Alwi, dan Abu Alwi yang dikenal di masa Al-Yafi'I itu bukan keluarga Abdurrahman Assegaf, tetapi keluarga Syarif Abul Jadid. Keluarga Abdurrahman Assegaf mengaku sebagai Abu Alwi di abad ke-9 H. (tahun 895 H.) lalu mengakuisisi kesejarahan Abu Alwi dan kemudian mulai memperkenalkan  diri mereka sebagai Ba'alwi.
Pada urutan kedelapan Hanif dkk. menyebut Malik  Abbas (w.778 H.) penulis kitab Al-Athaya al-Saniyah karya sebagai yang mengitsbat Ba'alwi. dan pemyataan itu tidak benar.  Kitab  itu menyebut nasab Syarif Abul Jadid bukan menyebut keluarga Abdurrahman Assegaf . Tidak bisa Ba'alwi berhujjah  untuk kesejarahan nasabnya dengan megutip kesejarahan nasab Syarif Abul jadid, karena tidak terbukti jadid mempunyai adik Alwi.
Kemudian urutan kesembilan Hanif dkk. menyebut Al-khozroji (w.812 H.) pengarang kitab Al-iqd al-fakhir. Kitab ini pula tidak bisa menjadi hujjah nasab Ba'alwi karena di dalamnya sama sekali tidak disebut silsilah Ba' alwi-Abdurrahman Assegaf, yang disebut adalah Abu Alwi-syarif Abul Jadid .
Inilah sembilan kitab yang diklaim Hanif dkk. sebagai kitab yang mengitsbat Ba' alwi yang ditulis sebelum abad ke-9 H. semuanya tidak menyebut nasab Ba'alwi-Abdurrahman Assegaf tetapi menyebut nama Syarif Abul Jadid; dan semuanya bukan kitab nasab yang menurut para ahli nasab, selain kitab nasab tidak sah dijadikan rujukan dalam pengitsbatan nasab. ketika kitab-kitab di atas tidak sah mengitsbat nasab Syarif Abul jadid, tentu untuk mengitsbat nasab Ba'alwi-Abdurrahman Assegaf lebih tidak sah lagi, karena tidak ada dalil yang menunjukan bahwa Jadid mempunyai adik bemama Alwi (leluhur Ba'alwi-Abdurrahman assegaf).
Dr. Abdurrahman bin Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-Kafi al- Muntakhob mengatakan:
 
lij y)I ly lS" JI Lp    L.JI    J    i ':JJ
L,    JI
"(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya  atau tempatnya ."143
Syaikh Khalil bin Ibrahim berkata:
.;;1    !r4J o_)-'    if ':11 r-LJI    i>-    ':1
Terjemah:
"Ilmu ini (penetapan nasab) tidak bisa diambil kecuali dari sumber-sumber  dan referensi-referensinya" 144
Pakar nasab Syaikh Khalil bin Ibrahim mengatakan:



Terjemah:
 
>-    ':11 "-.'
 
"Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan  dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip." 145
Setelah menyebutkan kitab-kitab abad ke-delapan, lalu  Hanif dkk. menyebut seratus lebih kitab mulai abad ke-sembilan  sampai masa kekinian . Tetapi ia tidak menyebut kitab Al-Burqah al-Musyiqah karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.), kenapa? Karena kitab inilah kitab yang pertama yang secara formal memuat silsilah Ba'alwi­ Abdurrahman Assegaf sampai kepada Ahmad bin Isa. ia adalah kitab internal  Ba' alwi  yang  di  dalamnya  memuat  kronologi   bagaimana nama Abdullah yang terdapat dalam Al-Suluk (732 H.) diasumsikan oleh Ali al-Sakran sebagai Ubaidillah lalu disebut Ubaid . Sebenarnya ada satu kitab lagi di abad sembilan yang patut dicurigai  sebagai creator nasab Ba' alwi, yaitu kitab karya seseorang yang disebut sebagai murid Abdurrahman Assegaf yang bernama Abdurahman bin Muhammad al-Khatib (w.855 H.?) . kitab itu berisi khurafat-khurafat bernama kitab Al-Jauhar al-Syafaf.  Tetapi  kitab  tersebut mencurigakan . Nama Abdurrahman bin Muhammad  yang mempunyai kitab Al-jauhar al-Syafaf tercatat dalam kitab Hadiyyat al-Arifin karya Ismail Basya al-Babani telah wafat tahun 724 H., begitu pula dalam kitab Mu'jam al-Mu'allifin karya Ridla Kahhalah. Lalu bagaimana seseorang yang telah wafat tahun 724 H. dapat hidup lagi di abad ke-9 H. lalu mengarang kitab yang berjudul sama: Al-Jauwhar al-Syafafdan kemudian wafat tahun 855 H.? oleh karena kemusykilan dan keanehan itu patut dicurigai kitab itu adalah kitab palsu yang diatribusikan karya Abdurrahman bin Muhammad al-Khatib. maka kita timpakan seluruh tanggung jawab kreasi nasab Ba'alwi ini kepada kitab Al-Burqat al­ Musyiqat.
Kitab-kitab yang memuat silsilah Ba' alwi setelah kitab Al­ Burqat al-Musyiqat yang disebutkan Hanif dkk itu, walaupun jumlahnya ratusan tidak dapat menjadi hujjah nasab Ba'alwi karena semuanya merujuk kepada kitab Al-burqat  al-Musyiqah .  Dalam kaidah para ahli nasab, banyaknya kitab tidak bisa dijadikan hujjah tersambungnya nasab jika semuanya berasal dari satu referensi yang sama.
Seorang pakar nasab Khalil bin Ibrahim mengatakan:
..l>- G j..PI if    lS" bl _)-'WI ;;    1
Terjemah:
"Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hujjah jika diambil dari sumber yang satu."146
Hanif Dkk. Membuat Framing Pembatal Nasab Ba'alwi

 Hanif Alatas dkk. membuat framing bahwa yang membatalkan nasab Ba'alwi di Indonesia ini hanya penulis dan Mama Gufran. Padahal hari ini hampir seluruh kabupaten di Pulau Jawa, Lampung, Bali, sebagian kalimantan sudah  terbentuk organisasi Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI), bahkan beberapa kabupaten sudah terbentuk PWI tingkat kecamatan . Sedangkan, satu kepengurusan tingkat kabupaten terdiri dari puluhan pengurus dan ratusan laskar, bayangkan jumlah pengurus dan laskar dari seluruh kabupaten dan provinsi yang ada di Pulau Jawa, Sumatra, Bali tersebut.
Sebagai contoh penulis akan sebutkan ulama-ulama Indonesia yang membatalkan Ba'alwi  sebagai  keturunan  Nabi  Muhammad SAW:
1.    K.H. M. Abas Bili Yahsyi-Pesantren Buntet Cirebon
2.    K.H. Faris Fuad-Pesantren Buntet Cirebon
3.    K.H. Muhammad-Pesantren  Balerante Cirebon
4.    K.H. Ahmad Hasan-Pesantren  Bendakerep Cierbon
5.    Gus Ali Zen-Pesantren  Bendakerep-Cirebon
6.    Gus Saefullah Noval-Pesantren  Bendakerep Cirebon
7.    K.H. Suryadi-Ketua PCNU Denpasar-Bali
8.    K.H. Toha-Denpasar  Bali
9.    Pangeran Abdullah-Kesultanan  Kanoman
10.    K.H. Wahib Mahfudz-Pesantren  Kebumen
11.    K.H. Abdurrazaq-Sumedang
12.    K.H. R. Muhammad  Amin-Garut
13.    K.H.R. Aceng Abdul Mujib-Cianjur
14.    K.H.R. Alawi Nurul Alam al-Bantani-Bandung
15.    K.H. Ihsan Al-Badawi-Bekasi
16.    Tengku Qori Oktiva-Bekasi
17.    K.H. R. Yusuf Al-Mubarak-Serang  Banten
18.    K.H.R. Maujud Astari-Kresek  Tangerang Banten
19.    K.H. R. Lutfi Fauji-Kresek Tangerang Banten
20.    K.H.R. Ali Taba-Legok tangerang Banten
21.    K.H.R. Taquyuddin-Lengkong  Tangerang Banten
22.    K.H. Utin Abdul Mu'thi-Cikokol tangerang Banten
 
23.    K.H. Ahmad Gahzali-Tangerang Banten
24.    K.H. Entis-Paku Haji Tangerang Banten
25.    K.H.R. Hamdan  Suhaimini-Serang Banten
26.    K. Nasrurazi-Balaraja  Tangerang Banten
27.    . K.H.R. Alwiyan Qasid-Citangkil  Cilegon Banten 28. Gus Aziz Jazuli-Serang Banten
29.    K.H. Jaelani-Pandeglang  Banten
30.    K.H. Zaenuddin-Pandeglang  Banten
31.    K.H. Ahmad Yuri-Petir Serang Banten
32.    Gus Sofyan-Kopo Serang Banten
33.    K.H. Syihab-Labuan  Banten
34.    K.H. Suparman Abdul Karim-Lampung
35.    Ki Ageng Fatahilah-fajar Baru Lampung
36.    K.H. Muhammad  Yasin-Palimbang
37.    Tuan Guru Ahmad Zein Al-Arsyad-Banjar kalimantan
38.    K.H. Mas Nurhasan-Pesantren  Sidogori
39.    K.H.R. Fathullah  Fudholi-jember
40.    K.H.R. Mubarak-Gersik
41.    K.H. Muhtadin-Depok
42.    K.H. Abdul Mujib-Depok
43.    K.H. Zen Syarafuddin-Surabaya
44.    K.H. Ahmad  Thoifur-papua
45.    K.H. R. Abdussalam Mujib-Jatim
46.    K.H.R Abdul Mughni Mujib-Jatim 47. K.H. Imam Bukhari-Jatim
48.    K.H. Abdul Hamid-Pasuruan
49.    K.H. Suadi Abu Ammar-Pasuruan
50.    KRT. Fakih  Wirahadiningrat-Pasuruan
51.    KRT. K.H. Nur Ihya Hadinegara-Surabaya
52.    K.H. Husnu Mufid-Surabaya
53.    K.H.R. zabidi-surabaya
54.    K.H.R. Ismail-Surabaya
55.    K.H. Ja'far Fauzi Damanhuri-Batu  Ampar Madura
56.    K.R. Abdul Gholib Sahuri-Madura
 
57.    K. R. Mun'im Saleh-Berruk Madura
58.    K. R. Minal Bukhari-Madura
59.    K. R. Damanhuri Fauzi-Madura
60.    Lora Ombul-Madura
61.    Lora Khalil Kawakib-Madura
62.    K.R. Thayib Kamil-Beruk Madura
63.    Lora Nawawi Abdul Gaolib-Ombul
64.    K.R. Abdul Halim Bahwi-Sember Anyar Madura
65.    Lora Abdul Hamid Rokeb-pakong
66.    K.H. R. Nurhadi Muhammad-Malang  Jatim
67.    K.H. R. Syaikhurrijal-Malang
68.    K.H.R. Imam Makruf-Malang
69.    K.H.R. Zainul Arifin-Malang
70.    K.H.R. Thariq bin Ziyad-Malang
71.    K.H. Marzuki  Mustamar-Malang
72.    K.H. Saifuddin Zuhri-Malang
73.    K.H. Mukhlis-Malang
74.    Lora makbul Sulaiman-Madura
75.    K.H.R.Muhammad  Amin-Garut
76.    K.H. Fuad-Pleret jogyakarta
77.    K.H. Riyad Mushofa-Sragen
78.    K.H. Mubarak-Womogiri
79.    K.H.R. Anshori-Tuban
80.    K.H.R. Fadil-Grobogan
81.    K.H.R. Mufid-Klaten
82.    K.H. Nawawi-Klaten
83.    K.H. Ja'far Shadiq-Majalengka
84.    K.H. Muharrar Demak
85.    Dan ribuan lainnya


Pengakuan para Ulama Dijawab dengan Asumsi
Hanif Alatas dkk. dalam bukunya mengatakan:
 
"Pengakuan tentang keabsahan nasab Ba'alawi atau Aalu Abi Alawi sebagai dzurriyah Rasulullah Saw. atau status mereka sebagai al-Husaini dari ulama yang begitu banyak di atas merupakan fakta yang tak terbantahkan . Segiat apa pun Imaduddin menulis dan berceramah mempropagandakan pembatalan nasab, Sadah Ba'alawi, hal itu sama sekali tidak mengubah fakta adanya pengakuan dari para ulama tersebut. Semua yang Imaduddin sampaikan hanya menunjukkan pendapatnya  pribadi ."147
Ucapan Hanif di atas hanyalah framing saja. Pengakuan ulama setelah abad sembilan itu tidak sah dijadikan dalil karena bertentangan dengan kitab-kitab nasab sebelum abad sembilan yang menyatakan bahwa Ubaid/Ubaidillah/ Abdullah bukanlah anak Ahmad bin Isa. dengan tidak sahnya Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa maka  tidak sahlah nasab Ba'alwi tersebut. Jika Hanif ingin membela nasabnya ia harus dapat menghadirkan satu saja kitab  nasab  sebelum  abad sembilan yang menyetakan Ubaid sebagai anak Ahmad, dan itu tidak mungkin, Karena algoritma pencangkokan nasab Ba' alwi sudah diketahui yaitu terjadi di abad ke-9 H. dalam kitab Ba'alwi sendiri Al­ Burqat al-Musyiqat. Jadi, banyak nya kitab yang disebutkan  oleh Hanif itu semuanya buntu bersumber dari Al-Burqat .
Seorang pakar nasab Khalil bin Ibrahim mengatakan:
..l:>- G J...o I if    l5" \.)I _).) L,a.l\ ;;    1
Terjemah:
"Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hujjah jika diambil dari sumber yang satu."148
Ia juga mengatakan:
J :l .J.:wi :l\    \    _)L{-1 c-P}I lli.    f'J c-Pl_,.ll 0f' bl




 
"Ketika sudah diketahui pemalsunya dan diketahui illat (alasan) pemalsuan yang mencela itu maka hilanglah istidlal (mencari dalil)."149
Hanif alatas dkk. mengatakan:
"I-Yang menyahihkan nasab Ba'alawi  adalah  mereka  yang punya hubungan perguruan dengan Ba'alawi, seperti al-Imam Murtadha al-Zabidi yang ber- guru kepada ulama Ba'alawi dari marga Alidrus; 2. Yang menyahihkan nasab Ba'alawi dilatarbelakangi faktor prasangka baik karena berinteraksi dengan tokoh Ba'alawi yang baik dan saleh, seperti yang terjadi pada al-Imam al-Nabhani. Apa yang Imaduddin utarakan merupakan asumsi yang tidak mengubah fakta pengakuan dari para ulama tersebut. Disadari atau tidak, Imaduddin seolah-olah menuduh para ulama itu berani mengesahkan nasab yang tidak sah hanya karena hubungan perguruan dan melihat akhlak yang baik. Seolah-olah ulama ulama besar itu mengabaikan ancaman Nabi Saw. tentang laknat Allah  atas penisbahan  seseorang bukan kepada ayahnya dan ancaman neraka bagi mereka yang berbohong atas nama Rasulullah Saw. Selain asumsi Imaduddin tidak terbukti, apa yang diutarakan juga mengandung  fitnah yang keji."150
Kenyataannya memang demikian. Nasab Ba' alwi pada awal kemunculannya di abad ke-9-10 H. hanya ditulis oleh internal Ba' alwi atau murid-murid Ba'alwi. mari kita urut kitab-kitab yang  menulis nasab Ba'alwi di abad ke-9-10 H.:
1.    Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.) penulis pertama nasab Ba' alwi adalah seorang Ba' alwi;
2.    Abdurrahman  al-Khatib  (w.?) penulis  Al-jauhar  al-Syafaf  (?) disebut murid Abdurrahman Assegaf Ba'alwi (w.819 H.);
3.    Abu  Bakar bin Abdullah  al-idrus (w. 914 H.) penulis Al-juz' al-latif; pengijajah kain tarikat kepada Ibnu hajar al-Haitami;


 
4.    Muhammad  Ali Khirid Ba'alwi (w. 960 H.) penulis Gurar al­ Baha  al-Dau'.
Perhatikan! Empat buah kitab karya Ba'alwi dan muridnya inilah yang memagari nasab Ba'alwi di abad ke-9-10 H. lalu kitab-kitab selanjutnya mengambil dari kitab-kitab tersebut kemudian mentok di kitab Al-Burqat tahun 895 H. tidak ada lagi sebelum kitab Al-Burqat yang menyebut nama keluarga Ba' alwi.
Dalam kaidah ilmu nasab, kitab-kitab yang ditulisa oleh orang berekepentingan tidak bisa dijadikan hujjah.
Abdul Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-kafi al-Muntkhab:

Terjemah:
"Yang kelima adanya al-maslahat (kepentingan). Maka j ika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan . Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan  kepentingannya . Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan . Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya kepentingan." 151

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
Hanif dkk. mengatakan:
"Yang menyahihkan nasab Ba'alawi hanya menukil dari orang sebelumnya, seperti yang dilakukan al-Imam Ibnu Hajar al­ Haitarni .   Lagi-lagi,    fakta    dijawab    dengan    asums1   yang dipaksakan . Entah karena tidak tahu atau berpura-pura  tidak tahu bahwa ilmu nasab memang dibangun di atas periwayatan 'amud al-nasab, sebagaimana yang telah kami jelaskan,  sehingga penukilan dalam meriwayatkan nasab  adalah  sebuah keniscayaan . Selain itu, dalam dunia penulisan, ada sebuah kaidah yang maklum dan populer, yaitu kutipan seorang muallif (pengarang/penulis) atas suatu sumber tanpa memberikan bantahan atau koreksi adalah bentuk persetujuannya terhadap substansi catatan tersebut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama:

Jadi, ulama yang mengutip dari orang lain dan memuat di bukunya tentang keabsahan nasab Sadah Ba'alawi merupakan bentuk pengakuan dari ulama tersebut. Jika mereka menganggap nasab tersebut tidak sah, mereka wajib memberikan catatan seperti yang dilakukan beberapa ulama terhadap beberapa nasab-nasab   bermasalah,   sebagaimana  telah  kami  contohkan
saat menjelaskan penyimpangan pertama di bab ini."152
Kenyataannya memang Ibnu Hajar al-Haitami hanya mengutip dari kitab Al-Juz' al-latif karya Abubakar al-Idrus. Silahkan baca dan perhatikan isi kitab Al-Tsabat Ibnu Hajar dari mulai halaman 195 sampai  halaman  213  lalu  bandingkan  dengan  kitab Al-juz ' al-lathif
dari  mulai  halaman  493153  dst.  Lihat  isi  keduanya  sangatlah  mirip
hanya sedikit kalimat yang dirubah.

Dalam kitab Tsabat-nya Ibnu Hajar Al Haitami menyebut sanad khirqoh sufiyah Syekh Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Bakar Al­ Idrus (w. 914). Benarkah dengan ia menyebut sanad itu, Ibnu Hajar mengitsbat nasab Ba Alawi?
Dalam kitab Tsabat itu, Ibnu Hajar menyebutkan sanad Abu Bakar bin Abdullah Al idrus. Tetapi Ibnu Hajar mengakui bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Syekh Abu Bakar tersebut. Ia mengatakan:
c!JJ  (r)    'Yu if "    f    f t Jb    J
.    G)I J jy.;    J
"Dan ia  (Abu Bakar al Idrus), walau aku tidak bertemu dengannya lagi, tetapi aku bertemu banyak dari  murid­ muridnya . Dan antara aku dan murid-muridnya itu   terjadi sesuatu   (kesepakatan)   yang   akhirnya   memperbolehkan   aku
untuk  meriwayatkannya ."154   (tsabat  Ibnu  Hajar  al  Haitami  h.
195).
Perhatikan kalimat Ibnu Hajar al Haitami ketika ia menyebutkan sanad itu. ia hanya mengutip kalimat Abu Bakar al Idrus dengan kalimat: Qola al qutub Abu Bakar al Idrus (telah berkata Abu Bakar al Idrus). Jadi yang terdapat dalam kitab Ibnu Hajar itu bukan kata-kata Ibnu Hajar al Haitami, tetapi kata-kata Abu Bakar al Idrus. Ibnu Hajar hanya mengutipnya saja. Kutipan Ibnu Hajar sebagai mana di bawah im:
Lalu jika kalimat tentang susunan sanad itu bukan ucapan Ibnu Hajar, tetapi ucapanan Abu Bakar al Idrus, dari mana Ibnu Hajar mendapatkannya?   Ternyata   Syekh   Abu   Bakar   Al-Idrus,   menulis
sebuah kitab yang berjudul "Al-Juz'ullatif fi Tahkimisyarif " . kalimat
itu terdapat dalam kitab tersebut.
Silahkan  baca  cetakan  kitab  Al-juz'ullatif  tersebut   (halaman
493) yang dicetak dalam  satu jilid bersama kitab  Syekh Abu Bakar Al-Idrus lainnya, "Diwanul Adni ". Dua Kitab itu di cetak oleh Ahmad Muhammad Barokat melalui maktabah Darussanabil Damasku s dan Al-hawi Beirut cetakan pertama tahun 1432 H/2011.
Perhatikan,   susunan  yang  disebutkan   Ibnu  Hajar  itu  nama­ namanya sama, hanya saja Ibnu Hajar banyak menghapus gelar-gelar yang tidak penting . Ia hanya menyebut  nama tanpa gelar. Perhatikan pula lafadz Ibnu Hajar: '-?fa    yL..u.il 4.l..    (.j:i.Ji ¥-    I    I 04 (dari bapaknya  yaitu  alfaqih  (al Muqoddam)  Muhammad  yang  bercabang darinya  nasab  Ba' alwi.  kalimat  tersebut  mirip  dengan  kalimat  Abu Bakar al Idrus dalam Al Juz'ullatif seperti berikut ini:            4.l...J y:ull  (darinya bercabang  nasab mereka  yang mulia). Mirip bukan?
Ini   menunjukan   kalimat-kalimat   yang   ditulis   Ibnu   hajar   dalam kitabnya itu hanya menukil dari kitab Abu Bakar al Idrus.
Dari sana kita melihat bahwa kesimpulan Ibnu Hajar mengitsbat nasab Ba Alawi itu tidak benar. Namun ia hanya mencantumkan susunan silsilah sanad itu sesuai dengan yang ia dapat dari kitab "Al Juz'ullatif '. Dan kalimat seperti itu tidak bisa mengisbat nasab, sesuai dengan  teori  ilmu  nasab. sebagai  contoh  mari  kita  baca  apa  yang disebutkan seorang pakar nasab Syekh Khalil Ibrahim dalam kitabnya
Muqaddimat fl Ilm al Ansab:

"Nasab itu bisa ditetapkan dengan empat cam: yang pertama adalah catatan (yang ditulis). Dan syarat catatan itu harus secara sahib "qat'iyyuddilalah" (dilalah yang qot'i). maka tidak setiap apa yang dicatat itu hukumnya sahib; dan tidak setiap apa yang tercatat itu diinginkan darinya tujuan (itsbat). Maka nasab itu bisa ditetapkan jika terdapat dalam catatan atau kitab dengan syarat  catatan itu  dilalahnya  qot'I untuk  tujuan  (isbat). Dan
catatan itu tidak termasuk ke dalam kategori nama yang mu'talif dan mutasyabih  (nama yang mirip)."155
Dari narasi pakar ilmu nasab Syekh Khalil Ibrahim di atas jelas bahwa tulisan Ibnu Hajar yang hanya menyebut sanad Abu Bakar al Idrus, yang terdapat di dalamnya nama Abdullah bin Ahmad bin Isa, secara ilmu nasab tidak bisa disebut mengitsbat. Ibnu hajar hanya mengutip apa adanya seperti yang terdapat dalam kitab milik  Abu Bakar al Idrus. Jadi sama sekali tidak dapat dikatakan  bahwa  Ibnu Hajar itu telah mengitsbat nasab Ba'alwi, ia hanya  mengutip tulisan dari seorang Ba'alwi.
Sebuah narasi dalam kitab bisa dikatakan mengitsbat nasab harus disyaratkan "qat'iyyuddilalah" (petunjuk yang jelas ), seperti jika Ibnu Hajar mengatakan:    :u..J....Ji o.J (dan silsilah nasab ini sahib), barn itu  namanya mengitsbat. Sedangkan dalam kitab tsabatnya itu Ibnu Hajar sama sekali tidak menyebutkan kalimat­ kalimat yang mengindikasikan ia mengitsbat nasab itu. kitabnya itu adalah kitab sanad keguruan bukan kitab nasab.  ia  hanya memberitakan bahwa sanad tarikat dari Abu Bakar al Idrus, katanya, susunannya seperti itu, sesuai yang ia tulis dalam kitabnya, Al Juz'ullatif '. Mengenai apakah benar atau tidak susunan itu, Ibnu Hajar tidak berkomentar . Jadi jelas, pendapat yang mengatakan bahwa Ibnu Hajar telah mengitsbat nasab Ba'alwi adalah tidak benar.
Hanif dkk. juga mengatakan:
"Khusus masalah Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imaduddin memang mengutip secara utuh redaksi beliau . Sayangnya, kebencian Imaduddin kepada Ba'alawi yang  begitu  la tampakkan membuat mata dan hatinya tertutup untuk melihat pernyataan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami-sebelum mengutip perkataan Sayidina Abu Bakar bin Abdullah Alidrus-bahwa semua nama yang ada dalam sanad tersebut adalah min "ali al­ bait", keluarga Rasulullah Saw. Ibnu Hajar berkata:      

Hal ini berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukkan Imad .  Meskipun pendapatnya bertentangan dengan ulama-ulama besar yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi dan pendapatnya syadz (menyelisihi semua ulama), bahkan munharif (menyimpang), Imaduddin dengan penuh percaya diri menyatakan  bahwa  pendapatnya  tentang pembatalan nasab Ba'alawi merupakan hal yang qath'i (memiliki kebenaran absolut). Bagi Imad, pendapat semua ulama yang menyatakan keabsahan nasab Ba'alawi sudah pasti salah."


Kenapa Ibnu Hajar menyatakan semua nama dalam sanad yang akan ia sebutkan  adalah keturunan Alu al Bait? Karena ia mengutip Abubakar al-Idrus yang menyebutkan demikian . Perhatikan ucapan Abubakar al-Idrus: 156

Perhatikan! Yang menyebut ahli bait itu adalah Abubakar al­ Idrus lalu kemudian Ibnu Hajar mengutipnya tanpa mencurigai pengakuan itu sahib atau tidak. Ditambah sebenarnya Ibnu Hajar tidak pernah bertemu dengan Abubakar al-Idrus  tersebut  sesuai pengakuannya yang telah penulis sebutkan.
Hanif Mengatakan:
"Konsekuensinya, mereka yang menyatakan nasab  Ba'alawi secara sahib seolah-olah tidak paham ilmu nasab, syariat, dan sejarah. Hanya dia sendiri yang paham.Tidak sampai di situ, dia juga menegaskan bahwa dirinya tidak akan percaya pada kesahihan nasab Ba'alawi meskipun ulama  dari  seluruh  dunia dan semua ahli fatwa telah mengeluarkan fatwa bahwa nasab tersebut sahib, "walau aftal muftun . Jika yang menyatakan dan mengakui keabsahan nasab Sadah Ba'alawi hanya satu atau dua ulama, mungkin saja keduanya salah. Namun, dalam hal ini pengakuan itu datang dari sangat banyak ulama, bahkan tembus angka ratusan . Apakah mereka semua salah berjamaah dan tidak mengerti ilmu nasab dan syariat secara berjamaah? Dan, apakah
hanya dia yang benar dan mengerti?" 157
Mengenai ucapan penulis: Walaw afta  al-muftun  (walau  para ahli berfatwa telah berfatwa), kalimat itu diambil dari sebuah hadits. Jadi penulis mengikuti Rasulullah SAW bahwa kebenaran  dan kebatilan itu ada ciri-cirinya dihati kita. Jika kita telah yakin akan sebuah kebenaran maka kita tidak boleh berubah darinya walau semua orang berf atwa.

Terjemah:
"Diriwayatkan dari Abi Tsa'labah al-Khasyani RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: kebaikan adalah apa yang  dirasa enak dalam jiwa dan tentram dalam hati; dosa itu apa yang tidak enak dalam jiwa dan tidak tentram dalam hati walau para ahli fatwa telah berfatwa."  (HR  Ahmad)
Dari hadits tersebut kita memahami bahwa tidak boleh nasab seperti Ba'alwi yang menyimpang dari kitab-kitab nasab  itu  kita terima kesahihannya walau banyak orang yang menyatakannya sahib. Adapun ucapan Hanif tentang banyaknya ulama yang mencatat setelah abad sembilan tentang nasab Ba'alwi itu tidak bisa menjadi hujjah karena semuanya mengambil dari kitab Ba' alwi sendiri di abad ke-9 H. yang bertentangan dengan kitab-kitab  ulama  nasab  abad sebelumnya .
Seorang pakar nasab Khalil bin Ibrahim mengatakan:
..l:>- G J...o l if    lS" bl _).,w1 ;;    1
Terjemah:
"Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hujjah jika diambil dari sumber yang satu."158

Jika Nasab Ba'alwi di-Bahtsul Masail-kan oleh NU
Menurut Hanif alatas dkk. diskursus nasab Ba'alwi jika di­ bahtsulmasa'il-kan akan menjadi sahib karena dalam metode Bahtsul Masa'il  (BM)  NU  apabila  masalah  yang  dibahas  sudah  disebutkan


 
dalam suatu kitab, maka itu sudah  bisa dijadikan hujjah. Ungkapan Hanif itu meremehkan kredibilitas para ulama NU. Tidak setiap yang ada di suatu kitab dapat diambil untuk dijadikan hujjah. Ia membutuhkan syarat-syarat apakah pendapat itu bertentangan dengan dalil hukum yang lebih tinggi atau tidak yaitu Al-Qur' an, Hadits dan Ijma'. Walau ada dalam suatu kitab, jika  bertentangan  dengan ketiganya maka tidak akan diambil. Yang kedua, apakah pendapat itu kuat atau tidak, jika ada yang lebih kuat maka pendapat yang terdapat dalam suatu kitab tidak akan dijadikan hujjah dalam BM-NU.
Kemudian akan dilihat apakah masalah itu adalah masalah pendapat ulama atau masalah sejarah. Jika pendapat ulama maka yang diperlukan adalah dalil dari Al-Qur'an, Hadits dan Ijma; jika pendapat itu adalah sejarah maka akan ditelusuri kitab-kitab yang lebih dekat masanya dengan peristiwa yang sedang dibahas. Kitab-kitab  yang lebih dekat masanya dengan peristiwa akan didahulukan daripada kitab-kitab yang baru . Jika masalah itu adalah masalah nasab, maka akan dilihat kitab-kitab nasab yang paling tua yang paling dekat masanya dengan nama yang dianalisa.
Jika masalah nasab Ba'alwi akan di-bahtsulmasa 'il-kan, maka kontruksi-nya akan seperti di bawah ini:
Draft Bahtsul Masail Nu Tentang Nasab Ba'alwi Deskripsi Masalah
Hampir dua tahun ini, media sosial diramaikan oleh diskursus tentang nasab para habib di Indonesia yang berasal dari Klan Ba'alwi. Diskursus itu dipicu oleh sebuah "tesis" seorang ulama asal Banten yang bernama K.H. Imaduddin Utsman al Bantani yang menyatakan bahwa nasab mereka kepada Nabi Muhammad SAW terbukti sebagai nasab yang "batilun", "maudu 'un" munqati 'un" (batal, palsu dan terputus) . Majalah berita mingguan TEMPO, dalam edisi  liputan khusus ';Idul Fitri 1445 H, mengangkat isu ini dalam salah satu judul bagian kontroversi "Penelitian Imaduddin  Utsman  mengungkap dugaan terputusnya nasab habib di Indonesia".
 
Klan  Ba'alwi  sendiri  berasal  dari  Tarim,  Hadramaut,  Yaman. Sebagian  dari  mereka  bermigrasi  secara  masiv  ke  Indonesia  pada sekitar tahun  1880 sampai tahun  1943 M (Jajat Burhanuddin,  2022). Dalam   hubungan   sosial  kemasyarakatan   dan  keagamaan,   mereka mengaku  sebagai keturunan  Nabi  Muhammad  SAW dengan  sebutan "habib". Dalam  literature kitab-kitab  karya ulama  mereka,  hubungan kekerabatan   nasab   mereka   dengan   Nabi   Muhammad    SAW   itu diperoleh melalui jalur Ahmad bin 'Isa (w. 345 H. ?) bin Muhammad al-Naqib  bin  'Ali  al-'Uraidi  bin  Ja'far  al-Sadiq  bin  Muhmmad  al­ Baqir  bin  'Ali  Zainal  'Abidin  bin  Husain  bin  Fatimah  binti  Nabi Muhammad  SAW. Ahmad  bin  Isa  sendiri telah  terkonfirmasi  dalam kitab-kitab nasab mu'tabar sebagai keturunan Nabi Muhammad  SAW.
Untuk klaimnya tersebut, setelah  550 tahun  wafatnya  Ahmad bin Isa, mereka menulis banyak kitab-kitab mulai dari abad sembilan sampai abad kelimabelas Hijriah tentang  historiografi  sejarah ketokohan dan nasab leluhur mereka. Ulama klan Ba' alwi  yang pertama menulis historiografi tersebut adalah Ali bin Abubakar al Sakran (w.895 H.) dalam kitabnya yang berjudul "Al Burqat al Musyiqat", dilanjutkan oleh Abubakar bin Abdullah  al Idrus (w.914 H.) dalam kitabnya "Al Juz' al Latif ' dan Muhammad Ali Khirid Ba'alwi (w.960 H.) dalam kitabnya "Al Gurar". Dalam kitab-kitab (sumber internal) tersebut mereka menyatakan bahwa Ahmad bin Isa "hijrah" (pindah) dari Bashrah ke Hadramaut tahun 317 H, sehingga ia dikenal dengan gelar "al-muhajir" (orang yang berpindah). Ahmad bin Isa, menurut mereka, adalah seorang "imam"  yang wafat dan dimakamkan di Hadramaut. Mereka juga menyatakan bahwa leluhur mereka yang bernama 'Ubaidillah (w. 383 H.) adalah seorang "imam" dan ulama yang merupakan salah satu dari anak Ahmad bin Isa.
Adapun silsilah lengkap nasab Ali bin Abubakar al Sakran sampai Ahmad bin Isa, sebagaimana yang ditulis oleh yang bersangkutan dalam "Al Burqat" adalah: Ali  (w.  895  H.)  bin Abubakar al Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi Al Gayyur bin Muhammad (Faqih Muqoddam)   bin   Ali   bin   Muhammad    (Sahib   Mirbat)   bin   Ali
 
Khaliqosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah (w. 383 H.) "bin" Ahmad bin Isa (w. 345 H.) (Al Burqat h. 148-149).
Menurut Kiai Imad, klaim-klaim yang dinyatakan ulama ulama Ba' alwi itu tidak berdasar referensi apapun. Ahmad bin Isa tidak terkonfirmasi dalam kitab- kitab abad empat sampai kedelapan Hijriah berhijrah ke Hadramaut; begitupula ia tidak terkonfirmasi dalam kitab-kitab abad keempat sampai delapan Hijriah bergelar  "al Muhajir" dan wafat serta dimakamkan di Hadramaut; seperti juga ia tidak terkonfirmasi kitab abad keempat sampai delapan Hijriah ia mempunyai anak bernama Ubaidillah .
Menurut Kiai Imad, pengakuan itu baru muncul pada abad kesembilan Hijriah diplopori oleh Ali bin Abubakar al Sakran yang wafat tahun 895 H. Menurut Kiai Imad, pengakuan keluarga Ba'alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW itu tertolak karena pengakuan itu tidak  terkonfirmasi  sumber-sumber  sejarah sebelumnya.
Diskursus itu semakin meluas ketika seorang ahli biologi yang bekerja di Badan Riset dan Inovasi Nasional yang bernama DR. Sugeng Pondang Sugiharto menyatakan bahwa dari 180 orang klan Ba'alwi yang telah melakukan uji tes DNA, hasil mereka menunjukan bahwa mereka tidak terkonfirmasi secara genetic  sebagai  keturunan Nabi Muhammad SAW. Menurut DR Sugeng, jangankan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, klan  Ba' alwi  m1  tidak terkonfirmasi sebagai keturunan Arab garis Nabi Ibrahim AS.
PERTANYAAN:
1.    Adakah kitab abad keempat sampai delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke Hadramaut?
2.    Adakah kitab abad keempat sampai abad ke delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al Muhajir?
3.    Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa wafat dan dimakamkan di Hadramaut?
 
4.    Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ubaidillah adalah salah satu anak dari Ahmad bin Isa?
5.    Benarkah hasil tes DNA Klan Ba'al wi (habib) terbukti bukan keturunan Nabi Muhammad SAW?
6.    Apa hukum penggunaan tes DNA dalam memvalidasi nasab menurut hukum Islam?

Draft Jawaban Bahtsul Masa'il Tentang Nasab Ba'alwi
1.    Adakah kitab abad keempat sampai delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke Hadramaut?
Tidak ada kitab-kitab nasab dan sejarah yang sezaman atau yang paling  dekat masanya dengan Ahmad bin  'Isa sampai abad ke delapan Hijriah yang mengkonfirmasi bahwa Ahmad bin 'Isa pernah ke Hadramaut, apalagi hijrah untuk menetap di sana. 'Ali bin Abu Bakar al-Sakran  (w.895  H.),  adalah  ulama  dari  klan Ba' alwi yang pertama secara formal menulis  bahwa  Ahmad  bin 'Isa hijrah dari Basrah ke Hadramaut (Al  Burqat h. 131) tanpa referensi .
Ahmad bin Isa tereportase berada di Madinah tahun 234 H di sebuah kampung bernama "Surya" oleh seorang ulama bernama Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 460  H.) dalam kitabnya  "Al-Gaybah ".

Terjemah: "165-Diriwayatkan darinya (Sa'ad bin Abdullah), dari Ahmad bin 'Isa al-Alwi, dari keturunan 'Ali bin Ja'far, ia berkata: 'Aku menemui  'Ali Abul Hasan, alaihissalam,  di Surya, maka
 
kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian  kami  bertemu Abi Ja'far dan Abi Muhammad, keduanya telah  masuk,  maka kami berdiri untuk Abi Ja'far untuk mengucapkan  salam kepadanya,  kemudian  Abul  Hasan,  alalihislam,  berkata:  'Bukan
dia sohibmu (pemimpinmu), perhatikanlah pemimpinmu, dan ia mengisaratkan kepada Abi Muhammad,  alaihissalam ."159
Dari riwayat di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal: pertama bahwa Ahmad bin 'Isa adalah seorang "syi'iy imamiy" (orang Syi'ah Imamiyah). Sulit  sekali untuk dimengerti  dan diterima logika, seorang Syi'ah Imamiyah seperti Ahmad bin 'Isa, kemudian ia hijrah ke Hadramaut yang ketika itu dikuasai  oleh kaum Ibadiyah yang anti terhadap Syi'ah. ; kedua, Ahmad bin 'Isa berada di Kota Madinah pada tahun 234 H sekitar umur 20 tahun. Dari situ, historiografi ulama Ba'alwi menghadapi kontradiksi dilihat dari urutan tahun yang mereka ciptakan. Misalnya, Ba' alwi mencatat, bahwa tahun hijrah Ahmad bin  'Isa ke  Hadramaut adalah tahun 317 Hijriah (Al Gurar h. 96),  dan tahun wafatnya adalah tahun 345 Hijriah (Al Masyra' al Rawi Juz 1 h. 249). Jika Ahmad bin 'Isa, pada tahun 234 H. berumur 20  tahun,  maka berarti ketika hijrah itu ia telah berumur 103 tahun, dan ketika wafat ia telah berumur 131 tahun. Sangat janggal, ada seseorang yang sudah tua renta yang berumur 103 tahun berpindah dari Basrah ke Hadramaut dengan jarak lebih dari  2000 km. seperti juga sangat kecil kemungkinan ada orang yang bisa mencapai usia 131 tahun.
Kesimpulan: Tidak ada kitab-kitab abad keempat sampai kedelapan yang menyatakan Ahmad bin Isa pindah ke Hadramaut.
Kronologi narasi Ba'alwi bahwa Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah ke Yaman:

Mengira bahwa Ahmad bin Isa bin Muhammad al Naqib ada di Basrah. Padahal yang di Basrah itu adalah Ahmad bin Isa bin Zaid bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al Naqib.
Mendompleng sejarah Bani Ahdal yang  disebut  Al  Janadi (w. 732 H.) dalam kitab Al Suluk bahwa leluhumya yang bernama Muhammad bin Sulaiman berhijrah dari Irak ke Yaman (Al Suluk juz 2 h. 360). lalu Ba'alwi menyatakan bahwa leluhur mereka Ahmad bin Isa ikut berhijrah ke Yaman bersama Muhammad bin Sulaiman itu.
Dalam kitab keluarga Ba'alwi Al Gurar (h. 98) karya Muhammad Ali Khirid (w. 960 H.) dan kitab keluarga Al Ahdal yaitu Tuhfat al Zaman (juz 2 h. 238) karya Husain Al Ahdal (w.855 H.) disebut antara Muhammad bin Sulaiman dan Ahmad bin Isa adalah saudara kandung atau saudara sepupu. Berarti ayah atau kakeknya harnsnya sama. Tetapi hari ini silsilah Ba'alwi dan Al Ahdal berbeda beda. Ba' alwi menulis Alwi bin Ubed bin Ahmad bin Isa terns sampai ke Ali Al Uraidi; sedangkan Al Ahdal menulis silsilahnya Muhammad bin Sulaiman bin Ubed bin Isa bin Alwi terns sampai ke Musa al Kadzim. Tidak ketemu satu kakek.bagaimana dua orang bersaudara garis laki tapi kakeknya tidak sama?
2.    Adakah kitab abad keempat sampai abad ke delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al Muhajir?
Tidak ada kitab abad ke-empat sampai kedelapan yang menyebut Ahmad bin Isa bergelar "Al Muhajir".  Gelar  yang ditulis oleh kitab-kitab nasab untuk Ahmad bin Isa adalah "Al Abah" dan "Al Naffat". penyebutan pertama dari keluarga Ba'alwi untuk Ahmad bin 'Isa dengan sebutan  "Al-muhajir"  dilakukan oleh Ahmad bin Zein al-Habsyi (w.1144 H.) ulama abad ke duabelas Hijriah dalam kitab "Syarh al 'Ainiyyah" (h.129).. Jadi, gelar itu disematkan kepadanya setelah 799 tahun, dihitung mulai dari wafatnya Ahmad bin 'Isa sampai wafatnya Ahmad bin Zein al-Habsy.
 
Perhatikan redaksi Al-Ubaidili (w.437 H.) dalam kitab "Tahdzib al Ansab" di bawah ini:
JoW1    _r.11 J>- J.    J.    1    J. ..1.rG
Terjemah: "Dan Ahmad bin 'Isa al-Naqib bin Muhammad bin 'Ali al-Uraidi, diberi gelar 'al-Naffat." 160
Perhatikan pula redaksi Al Umari  (w.490  H.) dalam kitab "Al Majdi" di bawah ini:
.

Terjemah: "Dan Ahmad Abul Qasim al-Abh yang dikenal dengan "al-naffat" karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad dari Al-Hasan Abu Muhammad al-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya (Al­ Hasan) wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia (Al-Hasan) anak dari Muhammad  bin  'Ali  bin  Muhammad  bin  Ahmad  bin  'Isa  bin
Muhammad  (al-Naqib) bin ('Ali) al-Uraidi." 161
3.    Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa wafat dan dimakamkan di Hadramaut?
Tidak ada kitab sejarah dan kitab nasab yang menyatakan Ahmad bin Isa wafat dan dimakamkan di Hadramaut. Al-Janadi (w.732) dalam kitab Al Suluk tidak merekam adanya makam Ahmad bin 'Isa, padahal ia sejarawan yang rajin mencatat nama­ nama makam yang diziarahi dan dianggap berkah . Artinya pada tahun 732 H. itu, makam Ahmad bin 'Isa belum dikenal (dibaca 'tidak ada') seperti saat ini.


 
berita makam Ahmad bin Isa terdapat di Hadramaut itu barn dicatat abad kesepuluh oleh Bamakhramah (w.947 H.) dalam kitabnya "Qiladat al Nahar". Bamakhramah pula menyebutkan bahwa makam itu diyakini ada di sana karena Abdurrahman Asegaf <lulu berziarah di tempat itu berdasar cahaya yang terlihat memancar. Jadi jelas makam yang sekarang dianggap makam Ahmad bin Isa itu adalah makam yang baru dibangun sekitar abad sembilan Hijriah .

Terjemah: "Dan Ahmad tersebut wafat di Husaisah yang telah disebut. Dan makamnya di Syi'b Husaisah. Dilihat cahaya agung dari tempat yang diisyarahkan bahwa tempat itu adalah quburnya (Ahmad bin 'Isa) yang mulia. Dan guru kami, Al-Arif Billah Abdurrahman bin Syekh Muhammad bin 'Ali Alwi, berziarah ditempat  itu."162
4.    Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ubaidillah adalah salah satu anak dari Ahmad bin Isa?
Ahmad bin 'Isa (w. 345 H.(?) dalam catatan kitab-kitab nasab yang paling dekat masanya dengannya, tidak  mempunyai anak bernama Ubaidillah. Adapun kitab-kitab yang mengkonfirmasi bahwa Ahmad bin 'Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah/ Abdullah adalah:

Pertama, Kitab Tahdib al- Ansab wa Nihayat al-Alqab yang dikarang Al-Ubaidili (w.437 H.). Ketika ia menyebut  keturunan 'Ali   al-  Uraidi,   Al-Ubaidili   tidak  menyebut   nama  Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin 'Isa. Ia hanya  menyebutkan  satu anak dari Ahmad bin 'Isa, yaitu  Muhammad.  Kutipan  dari  kitab tersebut seperti berikut ini:

Terjemah: "Dan Ahmad bin 'Isa al-Naqib bin Muhammad bin 'Ali al-Uraidi, diberikan gelar Al-Naffat, sebagian dari keturunannya adalah Abu Ja'far (al-A'ma: yang buta) Muhammad bin 'Ali bn Muhammad bin Ahmad, ia  buta di akhir hayatnya, ia pergi ke Basrah  menetap  dan  wafat  di  sana.  Dan  ia  mempunyai  anak.
Saudaranya di Al-Jabal  (gunung) juga mempunyai anak."163
Kedua, Kitab Al-Majdi Ji Ansab al-Talibiyin karya Sayyid Syarif Najmuddin 'Ali bin Muhammad al-Umari al-Nassabah ) (w.490 H.). dalam kitab itu ia menyebutkan, bahwa di antara keturunan Ahmad bin 'Isa ada di  Bagdad,  yaitu  dari  Al-Hasan Abu Muhammad al-Dallal Aladdauri bin Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad bin 'Isa. Sama seperti Al-Ubaidili, Al­ Umari hanya menyebutkan satu anak saja dari Ahmad bin 'Isa. Kutipan lengkapnya seperti di bawah ini:

Terjemah: "Dan Ahmad Abul Qasim al-Abah yang dikenal dengan "al-Naffat" karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah),  ia  mempunyai  keturunan  di  bagdad  dari  al-Hasan  Abu

Muhammad ad-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya wafat diakhir umumya di Bagdad, ia anak dari Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad bin 'Isa bin Muhammad (an-Naqib) bin ('Ali)  al-Uraidi." 164
Ketiga, Kitab Muntaqilat al- Talibiyah karya Abu Ismail Ibrahim bin Nasir ibnu Tobatoba (w.400 an H.), yaitu sebuah kitab yang menerangkan tentang daerah-daerah lokasi perpindahan para keturunan Abi Talib. Dalam kitab itu disebutkan, bahwa keturunan Abi Talib  yang ada di Roy adalah Muhammad bin Ahmad al­ Naffat.
 
Terjemah: "Di Kota Roy, (ada keturunan Abu Talib bemama) Muhammad bin Ahmad an-Naffat bin 'Isa bin Muhammad al­ Akbar bin 'Ali al-Uraidi. Keturunannya (Muhammad bin Ahmad) ada tiga: Muhammad,  'Ali dan Husain." 165
Kitab Al-Syajarah al-Mubarakah karya Imam Al-Fakhrurazi (w.606 H.), kitab itu selesai ditulis pada tahun 597 Hijriah, dalam kitab itu Imam Al-Fakhrurazi menyatakan dengan tegas bahwa Ahmad bin 'Isa tidak mempunyai anak  bemama  Ubaidillah. Kutipan dari kitab itu sebagai berikut:
·JY.    J ,U.)1,, t)>-J ''f)Y r y.I   :;t;')(; ,y      e:-:'lil ...Li"-( L.(
Terjemah: "Adapun Ahmad al-Abh, maka anaknya yang berketurunan ada tiga: Muhammad Abu ja'far yang berada di kota Roy, 'Ali yang berada di Ramallah,  dan Husain yang keturunanya ada di Na'Isaburi." 166
Dari kutipan di  atas,  Imam  Al-Fakhrurazi  tegas menyebutkan  bahwa Ahmad  al-Abh bin  'Isa keturunannya  hanya dari  tiga  anak,  yaitu:  Muhammad,  'Ali  dan  Husain.  Tidak  ada anak bernama  Ubaidilah  atau Abdullah,  baik yang berketurunan, maupun  tidak..  Ia menyebutkan  jumlah   anak  Ahmad  bin   'Isa dengan menggunakan  "jurnlah ismiyah"  (proposisi  dalam Bahasa Arab  yang  disusun  menggunakan  kalimat  isim  atau  kata  benda) yang  menunjukan  "hasr" (terbatas hanya  pada yang  disebutkan). Para  ahli  nasab  mempunyai  kaidah-kaidah  khusus  dalam  ilmu nasab,    diantaranya,   jika    menulis    dengan    "jumlah    fi'liyah" (proposisi   Bahasa   Arab   yang   disusun   dengan   menggunakan kalimat fi'il atau kata kerja) misalnya dengan lafadz 4..'.i 0-4    1 (ia berketurunan  dari  tiga  anak),  maka  maksudnya  jumlah  anak yang  dipunyai  tidak  terbatas  kepada  bilangan   yag  disebutkan, masih ada anak yang tidak disebutkan karena suatu hal. Tetapi jika menggunakan  "jumlah ismiyah" seperti kalimat kitab Al-Syajarah al-Mubarakah  itu,  maka  maksudnya   adalah  jumlah   anak  yang berketurunan  hanya  terbatas  kepada  bilangan  yang  disebutkan . Syekh Mahdi al-Raja'iy dalam kitabnya Al-Mu 'qibun mengatakan:

Terjemah: "Dan sebagian dari istilah para ahli nasab  adalah apabila mereka berkata "aqibuhu min fulan' (keturunannya dari si fulan) atau 'al-'al-aqbu min  fulan' (keturunan(nya) dari si fulan) maka itu menunjukan bahwa bahwa anaknya yang berketurunan terbatas kepada anak itu; dan ucapan ahli nasab 'a'qoba min fulan' maka itu menunjukan bahwa sesungguhnya anaknya yang berketurunan tidak terbatas pada anak (yang disebutkan) itu."167
Imam al-Fakhrurazi, penulis kitab  Al-Syajarah  al­ Mubarokah tinggal di Kota Roy, Iran, di mana di sana banyak keturunan Ahmad bin 'Isa dari jalur Muhammad  Abu Ja'far, tentunya informasi tentang berapa anak yang dimiliki oleh Ahmad bin 'Isa, ia dapatkan secara valid dari keturunan Ahmad yang tinggal di Kota Roy. Sampai pengarang kitab ini wafat tahun 606 Hijriah, sudah 261 tahun dihitung mulai dari wafatnya Ahmad bin 'Isa, tidak ada riwayat, tidak ada kisah, tidak ada kabar bahwa Ahmad bin 'Isa pemah punya anak yang bemama Ubaidillah dan cucu yang bemama Alwi.
Kitab Al-Fakhri fl Ansabitalibin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain al-Marwazi (w.614 H.) menyebutkan yang sama seperti kitab-kitab abad kelima, yaitu hanya  menyebutkan  satu jalur keturunan Ahmad bin 'Isa yaitu dari jalur Muhammad bin Ahmad bin 'Isa. Adapun kutipan lengkapnya adalah:

Terjemah: "Sebagian dari mereka (keturunan 'Isa al-Naqib) adalah Abu Ja'far al-a'ma (yang buta) Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad al-Abh, ia punya anak  di  Basrah,  dan  saudaranya  di  'Al  Jabal" di Kota  Qum,  ia
punya anak."168
Kitab Al-Asili fl Ansabittholibi y in karya Shofiyuddin Muhammad ibnu al-Toqtoqi al-Hasani (w.709 H.)  menyebutkan satu sampel jalur keturunan Ahmad bin 'Isa yaitu melalui anaknya yang bemama Muhammad bin Ahmad bin  'Isa.  Kutipan lengkapnya seperti berikut ini:

Terjemah: "Dan dari keturunan Ahmad bin 'Isa an-Naqib adalah al-Hasan bin Abi Sahal Ahmad bin 'Ali bin Abi Ja'far Muhammad bin Ahmad."169

Kitab Al-Sabat al-Musan karya Ibn al- A'raj al-Husaini (w.787 H.) ia mengatakan bahwa sebagian  anak Ahmad bin 'Isa adalah Muhammad. Ia tidak menyebut ada anak Ahmad bin 'Isa yang bernama Ubaidillah atau Abdullah . Lihat kutipan di bawah m1:

Terjemah:
"Dan adapun Ahmad, maka ia berketurunan  dan  dari keturunannya adalah Abu Muhammad al Hasan al-Dallal  di Bagdad, guruku al-Umari melihatnya di Bagdad, dan ia meninggal di Bagdad, ia adalah putra Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad bin 'Isa al-Rumi, dan ia mempunyai beberapa anak diantaranya Abul Qasim Ahmad al-Asyaj yang dikenal dengan al­ Naffath". 170
Kitab Umdat al-Talib karya Ibnu Inabah (w.828 H.), Ahmad bin 'Isa tidak disebut mempunyai anak bernama Ubaidillah atau Abdullah . Ibnu Inabah mengatakan:

Terjemah: "Sebagian dari keturunan Muhammad al-Naqib adalah Ahmad al-Ataj bin Abi Muhammad al-Hasan al-Dallal bin Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin Ahmad bin 'Isa al­ Akbar." 171
Kronologis mula-mula pengakuan leluhur habib sebagai keturunan rasul:


 
1)    Leluhur habib melihat sejarah keluarga Al Ahdal yang disebut dalam kitab "Al Suluk" karya Al Jandi (w.732 H.).
 
Terjemah: "Dan adapun Al-Ahdal, maka ia (dibaca) dengan "ha" yang sukun setelah "'Alif ', "lam" dan "ha". Setelah "ha" itu ada hump "dal" yang di"fatahkan" yang tanpa titik, kemudian ada "lam" yang sukun. Ia seorang yang berkedudukan tinggi yang popular . Disebutkan bahwa kakeknya datang dari lrak ke negeri Yaman, ia seorang "Syarif Husaini". Ia datang dengan tapak tasawuf, ia menempati "Ajwal al-Sauda' dari lembah Siham."172
Dalam kitab tersebut leluhur keluarga Al Ahdal yang bernama Muhammad (bin Sulaiman) disebut sebagai seorang "Syarif Husaini" yang berhijrah dari Irak. Lalu ulama Ba'alwi mengaku bahwa leluhurnya Ahmad bin Isa ikut berhijrah bersama Muhammad bin Sulaiman itu sebagai seorang sepupu (satu kakek). Pengakuan itu disambut oleh keturunan Muhammad Al Ahdal yang ada di abad sembilan yang bernama Husain al-Ahdal (w.855 H.) dalam kitabnya "Tuhfat al-Zaman " ia mengatakan:

Terjemah: "Diceritakan kepada kami dari sebagian orang, bahwa Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar (berhijrah) bersama saudara laki-laki dan saudara sepupunya. Kemudian saudara  laki-laki  dan  saudara  sepupunya  itu  menuju  timur.


Maka keturunan dari saudara sepupunya itu adalah keluarga Ba'alwi di Hadramaut." 173
Ketika keluarga Al Ahdal dan Ba' alwi ini satu kakek, berarti
silsilahnya harusnya bertemu di kakek pertama . Kita lihat silsilah keluarga Al Ahdal dalam kitab Al-Ahsab al- 'Aliyyah fi al-Ansab al­ Ahdaliyyah karya Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal (w.
1035 H.) ia mengatakan:

Terjemah: "Dan adapun nasabnya,  radiallahu  'anhu,  adalah: 'Ali al-Ahdal bin Umar bin Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin 'Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin 'Aon bin Musa al-kadim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad  al­ Baqir bin 'Ali Zainal 'Abidin bin al-Husain bin 'Ali bin Abi Talib, Ridwanallahu  'alaihim ajma'in". 174
Silsilah keduanya mirip, tetapi susunannya berbeda. Jika keluarga Ba'alwi adalah: Alwi bin Ubed bin Ahmad bin Isa, maka keluarga Al Ahdal adalah: Muhammad bin Sulaiman bin ubed bin Isa bin Alwi. jelas keduanya pada mulanya merasa satu keturunan, namun akhirnya mencari jalan sendiri-sendiri . Seharusnya, jika Ba'alwi ini tidak mencari jalan lain maka silsilahnya adalah: Ahmad bin Isa bin Ubed bin Alwi bin Muhammad bin Himham dst. Ini membuktikan bahwa  nasab Ba' alwi ini nasab "rakitan" yang kacau. Yang  aneh lagi, dua orang yang berhijrah itu (Ahmad bin Isa dan Muhammad bin Sulaiman) ternyata hidupnya tidak satu masa. Ahmad  bin Isa wafat tahun 345 H, sementara Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 H.175
Keluraga Al Ahdal sendiri tertolak sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW karena Musa al Kadzim tidak mempunyai anak bernama Aon.
2) Setelah gagal mencantol nasab Al Ahdal, keluarga habib Ba'alwi berpindah jalur ke nasab Syarif Abul Jadid yang mereka temukan juga di kitab Al Suluk. Dalam kitab Al Suluk
itu disebutkan:

Terjemah: "Dan aku ingin memberikan susulan nama-nama orang-orang yang datang ke Ta'iz dan belajar di sana. Mereka adalah jama'ah dari tingkatan pertama . sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, 'Ali, bin Muhammad bin Ahmad bin Hadid (Jadid, dua riwayat manuskrip) bin 'Ali bin bin Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin 'Isa bin Muhammad bin 'Ali bin Ja'far al-Sadiq bin Muhammad  al­ Baqir bin 'Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin 'Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif  Abul  Jadid  menurut  penduduk  Yaman . Asalnya  dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf . Termasuk didalamnya para ahli fikih yang akan datang penyebutan mereka yang aku ketahui dengan benar, insya Allah Ta'ala, bersama ahli negerinya." 176
Dari redaksi itu Ali al Sakran (w. 895 H.) mengatakan bahwa Jadid itu saudara leluhurnya yang bernama Alwi dan Abdullah itu adalah Ubed . Pengakuan itu tanpa ada satu sumber sejarahpun di masa Jadid itu yang mengatakan bahwa Jadid punya saudara bernama Alwi. Ali al Sakran mengatakan:

Terjemah: "Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Janadi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, 'Ali bin Muhammad bin Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu  adalah Abdullah bin Ahmad bin 'Isa."177
Jadi awalnya keluarga habib mengaku bersilsilah kepada Ahmad bin Isa itu adalah karena melihat silsilah Syarif abul Jadid yang ada dikitab Al Suluk lalu menyatakan bahwa leluhurnya adalah saudara dari Jadid tanpa referensi penguat apapun.
3)    Sayangnya pencangkokan silsilah ke Jadid bin Abdullah itu tidak sukses, karena ternyata dalam manuskrip Al Suluk yang lebih tua nama Abdullah itu tidak ada. silsilah Ba' alwi hari ini yang diambil dari silsilah Syarif Abil Jadid adalah merupakan versi kitab Al Suluk yang dicetak berdasarkan manuskrip Mesir tahun 877 H. Sedangkan dalam manuskrip Paris yang disalin 820 H. bahwa Jadid bukan anak Abdullah bin Ahmad, tetapi ia adalah anak langsung dari Ahmad. Teori 'Ali al­ Sakran bahwa Ubaid yang tercatat dalam versi Bani Ahdal adalah nama lain dari Abdullah, tertolak mentah-mentah .
4)    Para pembela Ba'alwi berusaha mendatangkan sanad  sanad yang katanya ditulis pada abad ke enam Hijriah, tetapi jelas sanad-sanad itu adalah sanad palsu . Nama-nama  keluarga habib sampai abad kedelapan tidak tercatat sebagai ulama apalagi ulama hadits, bagaimana bisa mereka meriwayatkan hadits?
5.    Benarkah  hasil  tes  DNA  Klan  Ba'alwi  (habib)  terbukti  bukan keturunan Nabi Muhammad SAW?
Menurut    https://www .familytreedna .com/groups/j- lel- 147/about/background disimpulkan bahwa:
Individu L859+ adalah keturunan suku Quraisy
Individu FGC8703+ adalah keturunan marga Banu Hashem Individu FGC10500+ adalah keturunan Imam Ali AS Individu FGC30416+ adalah keturunan Imam Hussein AS
Sedangkan para Habib Ba'alwi yang sudah tes DNA mayoritas mereka tidak memeiliki kode-kode di atas.
Menurut DR. Sugeng Sugiharto, keturunan Nabi Muhammad SAW jalur paternal  (laki-laki)  harus berhaplogroup J, karena Nabi Ibrahim AS berhaplogroup J. Sedangkan dari ratusan para habib Ba' Alwi yang telah melakukan tes DNA,  hasilnya  mayoritas  mereka berhaplogroup G. Berarti mereka bukan hanya tidak terkonfirmasi sebagai keturunan  Nabi  Muhammad  SAW, tetapi juga mereka tidak termasuk keturunan Nabi Ibrahim AS.
"Ba'alwi itu, nasabnya ke Nabi Ibrahim itu tertolak,  karena tidak  bisa  dikonfrontasi  dan  dikonfirmasi  dengan  keturunan
 
Nabi Ishak. Kalau  mereka mengaku sebagai keturunan Imam Ali, dengan sendirinya keturuna Nabi Ismail, maka haplotype mereka dari Nabi Ibrahim ke atas hams sama dengan  para kohen . . . logikanya, bagaimana mereka keturunan Imam Ali, wong bani Ibrahim aja bukan ..", tegas Doktor Sugeng dalam sebuah konten di chanel youtube yang di uplod tanggal 1 Januari 2024 dengan judul "Nasab G-Y32612 itu ke Ibrahim saja hil yang Mustahal, bagaimana jadi Alawiyyin ??".
Kita bisa ambil beberapa contoh keluarga Ba' alwi yang telah            melakukan        tes        DNA (https://www.familytreedna  .com/public/baalawi?iframe=ycolo rized), misalnya seorang bapak dari Al-Habsyi  yang yang tes DNA dengan nomor KIT: IN89146, ia tinggal di Saudi Arabia, hasilnya   ia   berhaplogroup   G-M201.   Gagal.   Contoh   lain, seorang bapak dari Bin Syekh Abubakar,  ia tes DNA dengan nomor    KIT:    M9523,    ia   tinggal    di   Indonesia,    hasilnya haplogroupnya   G-M201.  Gagal  juga .  Contoh  lain  seorang bapak dari Assegaf, ia tes DNA dengan nomor KIT: 88697, ia tinggal  di  Yaman,  hasilnya  haplogroupnya  G-M201.  Gagal lagi. Contoh lain, seorang bapak  bernama  Omar, ia tes DNA dengan nomor KIT: IN76599 , ia tinggal di Yaman, hasilnya, haplogroupnya  G-M201.  Gagal  maning. Dan  masih  banyak lagi  contoh-contoh  hasil  tes  DNA  dari  klan  Ba' alwi  yang dapat kita unduh dari berbagai macam situs penyedia jasa  tes DNA. Hasilnya mayoritas mereka berhaplogroup G-M201.
6.    Apa  hukum   penggunaan   tes  DNA   dalam  memvalidasi   nasab menurut hukum Islam?
Menurut basil keputusan Muktamar NU ke-31 tahun 2024 bahwa tes DNA bisa untuk menafikan ilhaq nasab, namun belum tentu bisa menentukan ilhaq nasab (Ahkamul Fuqoha, cet.2010 h. 509)
Kesimpulan   Akhir:   Klan   Ba'alwi   (para  habib)   terbukti secara ilmiyah bukan keturunan Nabi Muhammad SAW.

CATATAN AKHIR

 113 Hanif Alatas dkk. . .h.133
114 Husain bin Haidar. . .h.101
 
115  Khalil bin Ibrahim . . .78
116 Al-jaizani . . .77
1 17 Khalil bin Ibrahim . . h.62
1 18 Husain al-hasyimi . . h. l 05
1 19 Khalil bin Ibrahim . . h.178
120  Ibid . . .h.189
121 Hanif dkk. ..H.165
122  Hanif. . ..h.167
123  Husain bin Haidar. . .h. 98
124  Husain bin haidar. . .h. 99
125 Husain bin Haidar. . .h.99
126  Husain bin Haidar. . ..h.99-100
127  Abdul Majid  al-Qaraj a, Al-Kafi al-M untkhab, 49
128 Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al j aizani, Ushulu 1lmi al Nasab 1va al­ M ufadlalah Bain al-Ansab ,h. 76-77
129 Ibid, h. 77
130 Imad Muhammad al-Atiqi, Dalil Insya'I wa Tahqiqi Salasili al Ans ab h. 58.
131 Khalil bin Ibrahim, Muqaddim at fi 'Ilm al-Ans ab, h. 83
132 Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi 'Ilm al-Ansab, h. 88
133 Khalil bin Ibrahim, h. 85
134 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Al-Maktabah al-Syamilah, 1/ 78
135  Khalil Ibrahim . . .h.85
136  Khalil bin Ibrahim . . ..h. 85
137 Abdurrahman  Qaraja . . . h.71
138  Khalil Ibrahim . . . 86
139  Khalil bin Ibrahim . . .h. 58
140 Imam Subki, Fatawa Subki, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz-2 h. 461
141 Hanif dkk. . ..h.213
142 Hanif dkk. . .h.219
143  Abdurrahman  Qaraja . . . h.71
144 Khalil lbrahim . . . 86
145  Khalil bin Ibrahim . . .h. 58
146  Khalil  lbrahim . . .h. 85
141 Hanif dkk. . .h. 219
148  Khalil  lbrahim . . .h. 85
149  Khalil bin Ibrahim . . ..h. 85
150 Hanif dkk. . .h.220
151 Abdul Majid al-Qaraj a, Al-Kafi al-Muntkh ab, 49
152 Hanif dkk. . .h.221
153 Silahkan baca cetakan kitab Al-juz'ullatif tersebut (halaman 493) yang dicetak dalam satu jilid bersama kitab Syekh Abu Bakar Al-Idrus lainnya, "Diwanul Adni". Dua I<itab itu di cetak oleh Ahmad Muhammad Barakat melalui maktabah Darussanabil Damask-us dan Al-hawi Beirut cetakan pertama  tahun  1432 H/ 2011.
154 Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Tsabat, h. 195
155 Khalil bin Ibrahim . . h.58
156 Abubakar Al-Idrus, Al-Juz al-Latif, dalam Diwan al-Adni, h. 493
157 Hanif dkk. . .h.222-223
158 Khalil Ibrahim . . .h.85
159 Abu Ja 'far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi, Al-Gaybah, (Muassasah Al­ Ma 'arif al-Islamiyah, Qum, 1425 H.) h. 199
160 Al-Ubaidili , Tahdzib al-Ansab, h.176
161 Al-Umari, Al-Majdi , h.337
162 Bamakhramah, Qiladat al-Nahr, juz 2 h.681
163 Al-Ubaidili  .. h.176
164 Al-Umari . . . h. 377
165 Abu Ismail Thobathoba, Muntaqilat al-Thalibiyah, h.160
166 Al-Fakhrurazi,  Al-Syajarah al-Mubarakah, h. 111
167 Mahdi al-Rajai, Al-Mu 'qibun, h.14
168 Al-Marwazi, Al-Fakhri, h.30
169 Al-Thaqtaqi al-Hasani, Al-Ashili , h. 212
170 Al-A 'raj al-Husaini, Al Sabat al Mushan, h. 83-84
17 1 Ibnu Inabah, Umdat al-Thalib, h.225
172 Al-janadi . . juz 2 h.360
 
173 Husain al-Ahdal, Tuhfat al Zaman, juz 2 h. 238
174 Abubakar al-Ahdal, (Al Ahsab al Ahdaliyah, h. 4)
175 Lihat Zabarat al-Hasani, Nail al-Hasanain, 121
176 Al-janadi . . . Juz 2 h. 135-136
177 Ali al Sakran, Al-Burqat, h. 150

LihatTutupKomentar