Pengakuan Ulama Besar Nusantara Terhadap Status Habib Sebagai Dzuriyah Nabi
Nama kitab / buku: Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu: Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani terhadap Buku Hanif Alatas dkk
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: November 2024
Penerbit: Lakeisha, Yogyakarta
15,6 cm X 23 cm, 691 Halaman
ISBN : 978-623-119-469-5
Daftar Isi
- PASAL KE-4 PENGAKUAN ULAMA BESAR NUSANTARA TERHADAP STATUS BA‘ALWI SEBAGAI DZURIYAH NABI
- PASAL KE-5 PENETAPAN NASAB DENGAN CARA ISTIFADLAH
- PASAL KE-6 JEJAK PENINGGALAN TERDAHULU SADAH BA‘ALWI DI HADRAMAUT
- Kembali ke: Buku Ulama Nusantara Menggugat Nasab Palsu
PASAL KE-4 PENGAKUAN ULAMA BESAR NUSANTARA TERHADAP STATUS BA'ALWI
SEBAGAI DZURIYAH NABI
Demi membela nasab Ba'alwi, Hanif dkk. dalam buku Keabsahan Nasab
Ba'alwi mengklaim bahwa nasab Ba'alwi sudah diitsbat oleh para ulama Nusantara
. Benarkah klaim tersebut? Nama yang pertama yang ia sebut adalah ulama
besar asal Banten, Sayyid Ulama al-Hijaz Syaikh Nawawi al-Bantani, kemudian ia
menyebut beberapa ulama lainnya.
Syaikh Nawawi al-Bantani (w.1316 H.)
Menurut Hanif dkk. Syaikh Nawawi telah mengitsbat nasab Ba'alwi dalam
kitabnya Uqud al-Lujjain. Teks kitab Uqud al-Lujjain yang dimaksud sebagai
berikut:
Terjemah:
(Telah berkata Sayiduna), yakni orang
yang paling mulia di antara kami (al- Habib), yakni yang dicintai, dan seorang
Sayid (Abdullah al-Haddad), pemilik tarekat terkenal dan rahasia yang banyak .
'Istilah di sebagian negeri dalam menyebut dzurriyah Rasulullah Saw. untuk
laki-laki adalah habib, sementara yang perempuan disebut
hubabah . Adapun kebanyakan menyebut
keturunan
Nabi Saw, dengan sayid dan sayidah."93
Menurut Hanif dan kawan-kawan teks
di atas adalah istbat Syaikh Nawawi al-Bantani terhadap nasab Ba'alwi. padahal
sesuai dengan kaidah para ahli nasab sesuatu yang ditulis bukan untuk
maksud menetapkan nasab tidak bisa
dijadikan hujjah penetapan nasab, seperti sanad tarikat yang
diklaim merupakan sanad dari ayah ke anak terns ke cucu dst.
Pakar
nasab Syaikh Khalil bin Ibrahim mengatakan:
Terjemah:
"Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika
ditemukan dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu
petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang
mirip."94
Begitu juga para ahli nasab membuat kaidah bahwa tidak setiap
apa yang ditulis tentang nasab itu bisa dijadikan hujjah, termasuk teks dari
Syekh Nawawi tersebut.
Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat
.ft. 'Jim al Ansab mengatakan:
Terjemah:
"Tidak
semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang
ditulis sah untuk dijadikan hujjah"95
Ditambah kitab Uqud al-lujain itu
bukanlah kitab nasab, sedangkan sesuai kaidah para ahli nasab,
nasab hanya bisa diitsbat oleh kitab-kitab nasab.
Syaikh
Khalil bin Ibrahim berkata:
Terjemah:
"Ilmu ini
(penetapan nasab) tidak bisa diambil
kecuali dari sumber-sumber dan referensi-referensinya" 96
Dari
situ, apa yang ditulis oleh Hanif dkk. tentang Syekh Nawawi al-Bantani dan
ulama-ulama Nusantara lainnya yang diklaim mengakui nasab Ba'alwi itu
tidak bermakna apa-apa dalam membantu batalnya nasab Ba'alwi menurut
kaidah-kaidah baku yang dipegang oleh para pakar nasab.
Syaikh Hasyim Asy'ari (w. 1366 H.)
Ulama lain yang diklaim Hanif Alatas dkk. mengakui nasab Ba'alwi adalah
Syaikh Hasyim Asy'ari. Menurut Hanif dkk. Syaikh Hasyim Asy' ari pemah
mencatat nama seorang Ba' alwi dengan sebutan Sayyid.
Sedangkan sebutan Sayyid itu adalah untuk ciri keturunan Nabi, maka berarti
Syaikh Hasyim Asy' ari telah mengitsbat Ba'alwi sebagai keturunan Nabi.
Betulkah silogisme semacam itu dibenarkan oleh para ahli nasab? benarkah
ketika orang itu menyebut Sayyid maka ia telah mengitsbat orang itu sebagai
keturunan Nabi? Temyata para ahli nasab dan ahli fikih tidak
menganggap sah penetapan nasab dengan hanya berdasar panggilan Sayyid
atau Syarif.
Imam Al-Subki dalam kitab Fatawa al-Subki mengatakan:
Terjemah:
"Dan semacam jika kita mengatakan'Hai Syarif atau
'Telah datang seorang Syarif dan semacamnya sesuai dengan apa yang kami
sebutkan, maka jika kita melihat tertulis tulisan yang maksudnya bukan
mengitsbat nasab maka kita tidak boleh membawanya kepada itsbat nasab dan
tidak boleh kita bergantung kepadanya dalam menetapkan nasab ketika
maksud
tulisan itu bukan penetapan nasab."97
Imam Al-Subki juga
mengatakan:
Terjemah:
"Maka banyak dari orang yang
popular di antara manusia dengan ke-syarifan jika kita diminta untuk bersaksi
maka kita tidak memenuhinya padahal kita setiap malam dan siang menyebutnya
atau lainnya syarif. Begitupula semua nasab. yang demikian itu untuk
mengetahui bahwa kemutlakan dalam kebiasaan itu dibawa untuk pegangan itu saja
tanpa sampai kepada derajat kebolehan untuk bersaksi . Tidak diragukan lagi
bahwa yang demikian itu menghasilkan sangkaan yang lemah yang
cukup untuk kemutlakan memanggil dan
tidak cukup
untuk bersaksi."98
Jadi apa yang disajikan
oleh Hanif Alatas dkk. bahwa Syaikh Hasyim Asy'ari dan ulama Nusantara lain
diklaim telah mengitsbat nasab Ba'alwi itu tidak benar secara ilmu fikih
dan kaidah ilmu nasab, yang dilakukan oleh para ulama itu hanya "ithlaq
al-takhathub " (sekedar memanggil) saja.
Abdullah dan
Ubaidillah
Dalam fasal ini Hanif dkk. menyelipkan bahasan tentang
Abdullah dan Ubaidillah . Menurut Hanif, nama Abdullah yang ditulis oleh
Al-Janadi dalam kitab Al-Suluk itu sama dengan nama Ubaidillah yang ada
disilsilah mereka. Apa yang dikatakan hanif dkk. itu tidak sesuai dengan
kaidah ilmu nasab. para pakar ilmu nasab menyatakan bahwa sebuah kitab bisa
dijadikan rujukan jika nama yang ditulis sesuai dengan nama yang
dimaksud, bukan hanya sekedar kemiripan nama.
Pakar nasab Syaikh Khalil
bin Ibrahim mengatakan:
Terjemah:
"Maka
nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan dalam catatan atau kitab
dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat
nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip."99
Jadi terlepas dari tidak
sahihnya nasab Syarif Abul Jadid yang ditulis Al-Janadi sebagai cicit dari
Abdullah bin Ahmad bin Isa, selain itu, ketika Ba'alwi berhujjah dengan kitab
Al-Suluk ini tidak sah karena nama yang dikenal keluarga Ba'alwi adalah
Ubaidillah bukan Abdullah . Keduanya memang mirip, tetapi beda orang. Demikian
menurut kaidah ilmu nasab.
PASAL KE-5 PENETAPAN NASAB DENGAN CARA ISTIFADLAH (ISTIFADAH)
Pakar nasab Syaikh Husain bin haidar al-hasyimi
mengatakan dalam kitabnya Rasa'il fi 'Ilm al-Ansab:
Terjemah:
"metode
pertama adalah menyeluruhnya (informasi) nasab dan popularnya di kampungnya
dengan popular yang membuahkan keyakinan dan menyeluruh antara bilangan
manusia yang terjadi keyakinan dengan khabar mereka atau sangkaan yang kuat;
dan aman dari kesepakatan mereka berdusta disertai tidak adanya
dalil penentang. "100
Metode pertama untuk menetapkan nasab menurut Syekh
Al Husain adalah Istifadlatunnasab (menyebarnya nasab) dan "syuhratunnasab "
(popularnya nasab) di desanya. Kalimat istifadlah dan sy uhrah dalam Bahasa
Arab bermakna sama yaitu "intasyara wa dza 'a " (menyebar dan popular/viral) .
Jadi, jika seseorang, misalnya Samsul, telah dikenal luas sebagai anak
Bapak Samlawi di desanya atau di negaranya, maka ketika ada orang ditanya oleh
orang lain, baik dalam suasana formal atau informal, "Samsul anak siapa?
", Lalu orang itu menjawab, " Samsul anak bapak Samlawi, " maka ia
tidak dianggap berdusta walaupun ia tidak mengetahui kelahiran samsul ini,
atau ia tidak mengetahui akte kelahirannya, kenapa karena kabar itu telah
dibicarakan banyak orang: "syuhrah dan istifadlah. "
Tetapi syuhrah
istifadlah itu bisa diterapkan untuk meng-itsbat nasab, menurut Syekh Husain,
hanya ketika tidak ada bukti yang menentang ( 'adamul mu 'arid/ ) . Bukti yang
menentang itu bisa berupa pengingkaran dari ayah atau adanya Tha 'n
(celaan pengingkaran nasab) dari orang. Misal
begini: ada orang bersaksi bahwa Ubaid adalah
anak Ahmad berdasarkan Syuhrah (dengar-mendengar) . lalu ada orang
men-tha 'n (mengingkari) dengan mengatakan bahwa Ubaid bukan anak Ahmad dengan
membawa bukti, maka gugurlah Tasamu ' atau syuhrah istifadlah itu. yang
demikian itu namanya tha 'n (celaan pengingkaran nasab). Jika tha 'n ini
berdasar bukti maka dapat diterima, jika berdasar bukti tidak maka
diabaikan.
Jadi tidak bisa dikatakan ketika Ubaidillah hari ini sudah
syuhrah wal istifadlah sebagai anak Ahmad bin Isa, maka itu cukup untuk
dijadikan dalil itsbat selamanya . Tidak demikian . Jika ada dalil yang kuat
yang menyatakan sebaliknya maka syuhrah wal istifadlah itu gugur.
Perhatikan
apa yang dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj
juz
8 h. 319 karya Imam Ramli:
"Dan boleh baginya bersaksi
dengan tasamu ' ketika tidak ada penentang yang lebih kuat dari tasamu ',
seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha 'n (celaan) seseorang
dalam nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu' gugur dengan adanya inkar
dan tha 'n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha 'n itu
tidak disertai tanda-tanda kedustaan orang yang menyampaikannya"
Dari
ucapan Imam Ramli ini jelas, bahwa tasamu ' atau popularnya Samsul sebagai
anak Samlawi disyaratkan dua hal: pertama, jika Samlawi masih
hidup, maka ia tidak mengingkari bahwa Samsul adalah anaknya, jika ia
mengingkari maka batal-lah tasamu ' itu ; kedua, jika Samlawi telah meninggal
maka disyaratkan tidak adanya saksi yang mengatakan bahwa sebenarnya Samsul
bukan anak Samlawi, tetapi ia hanya anak angkat. Jika ada saksi yang
mengatakan bahwa sebenarnya Samsul hanya anak angkat dengan membawa bukti maka
gugurlah tasamu ' itu. terkait nasab Ubaid yang hari ini secara
tasamu' dikatakan sebagai anak Ahmad temyata datang saksi berupa kitab
Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad hanya
tiga Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada anak bemama Ubaid atau Abdullah
atau Ubaidillah, disertai tes DNA Ubaid yang berbeda dengan DNA
keturunan Ahmad, maka gugurlah tasamu ' itu.
Proposisi demikian pula
dikuatkan oelh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
"Sesunggunya nasab
adalah sebagian dari yang bisa ditetapkan dengan metode istifadloh
kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya."101
Teks senada banyak
terdapat dalam kitab-kitab fikih bahwa Syuhrah dan Istifadlah tidak mutlak
digunakan tanpa syarat, tetapi ia mempunyai syarat yaitu tidak adanya dalil
penentang sedangkan nasab Ba' alwi yang sekarang popular (Syuhrah) itu ada
dalil penentang yaitu kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke-6 H. yang
menyatakan nama anak-anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain.
Jadi munculnya nama Abdullah/ubaidillah di abad ke-9 H. itu tertolak
mentah-mentah .
Maksud Syuhrah Wa al-Istifadlah
adalah Min Adzhar al Bayyinat
Kalimat Syekh Al-Husain bahwa syuhrah wal istifadlah adalah "min adzhar
al Bayyinat ", bukan bermakan bahwa syuhrah itu dalil paling kuat. Bukan. Jika
yang diinginkan maksudnya adalah "paling kuat" maka kalimatnya adalah
"min aqwal bayyinat ". Adapun maksud "min adzhar al- bayyinat "
adalah yang "paling nampaknya bukti" atau "bukti paling mudah di akses".
Artinya bukti yang paling mudah dicapai oleh orang
untuk mengetahui nasab seseorang. Kita tidak perlu
sulit-sulit menanyakan akta kelahirannya, basil dengar mendengar saja
sudah cukup untuk mengatakan bahwa Samsul adalah anak Samlawi. Artinya jika
kita mengatakannya kita tidak dianggap berdusta atau tidak bisa dituntut di
pengadilan .
Hakikat kesaksian itu seharusnya adalah apa yang dapat
dilihat, tetapi ulama membolehkan beberapa hal untuk dikatakan sah
kesaksiannya hanya berdasar syuhrah atau dengar-mendengar, diantaranya adalah
nasab, pernikahan, jima, kematian dan pengangkatan
sebagai hakim. Karena masalah-masalah tersebut biasanya hanya diketahui oleh
orang-orang terdekat dengan seseorang. Jika tidak dibolehkan bersaksi dengan
syuhrah, maka akan membawa dampak negative yaitu banyak kekosongan hukum
karena tidak bisa mencari saksinya.102
Syuhrah wa al-Istifadlah
boleh dijadikan tools untuk bersaksi hanya karena darurat. Karena ada beberapa
hal yang sulit untuk disaksikan dengan mata secara langsung
diantaranya tentang nasab dan kematian . Tentang kebolehan
bersaksi dengan syuhrah ini dihikayatkan adanya ijma'. Ijma' yang dimaksud itu
adalah ijma tentang kebolehan penggunaan metode syuhrah, bukan ijma tentang
bahwa nasab harus diijma' dengan syuhrah. Orang yang menyatakan
demikian, seperti Idrus Ramli, menunjukan kebodohan yang nyata dalam Ilmu
Fikih.
Coba perhatikan yang
dinyatakan kitab Al-Najm al-Wahhaj
karya
Al- Damiri:
"Boleh baginya bersaksi dengan tasamu ' terhadap nasab
dengan ijma'. karena nasabnya tidak bisa dilihat dengan mata. Yang mungkin
bisa dilihat adalah kelahiran di ranjang, maka cukuplah dalam nasab itu
dengar-mendengar. Hal itu boleh walau orang itu tidak mengenal mansub
ilaih (seperti ayahnya). Keterangan itu diceritakan dalam kitab Al-Kifayah.
Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada keraguan . Apabila keraguan itu
ada, contohnya orang yang menjadi Al-Mansub ilaih itu masih hidup
lalu mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi . Maka jika
mansub ilaih itu gila, boleh ia bersaksi menurut qaul sahih. Ketika sebagian
orang mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi
tentang nasab itu menurut qaul asoh 103".
Dari ucapan Al-Damiri di atas
jelas bahwa ijma yang dimaksud adalah ijma tentang kebolehan bersaksi untuk
nasab dengan tasamu ', bukan ijma keharusan bersaksi dengan tasamu '.
Al-Damiri juga menyatakan kebolehan bersaksi dengan tasamu ' itu karena nasab
tidak bisa dilihat. Hal yang paling mungkin adalah melihat kelahiran di
ranjang, itupun yang mengetahui hanya bidan dan beberapa orang
saja. Untuk orang lain bagaimana cara bersaksi bahwa Samsul adalah anak
Samlawi? Ya cukup dengan mendengar dari orang lain bahwa Samsul itu anak
Samlawi. Bagaimana nanti jika bidan bersaksi bahwa sebenarnya anak yang asli
dibawa pergi lalu diganti bayi yang lain? Maka kesaksian bidan ini sangat kuat
jika diyakini ia tidak berdusta berdasar bukti-bukti lain yang kuat pula.
Dalam keadaan seperti itu tasamu ' gugur.
Al-Damiri
juga menyatakan, tasamu ' itu bisa digunakan sebagai tools bersaksi ketika
tidak ada keraguan: kullu hadza in lam takun ribatun (hukum bersaksi dengan
tasamu ' ini jika tidak ada keraguan). Jika ada keraguan, semisal
Samlawi mengingkari bahwa Samsul adalah anaknya, maka tasamu
' itu batal. Bagaimana jika Samlawi gila, sehingga ia tidak bisa membenarkan
atau mengingkari tasamu ' yang beredar di tengah masyarakat bahwa Samsul
adalah anaknya. Menurut qaul sahih boleh bersaksi dengan tasamu ' bahwa Samsul
adalah anak Samlawi yang gila itu. tetapi ketika ada saksi yang mengatakan
sebaliknya, menurut Al-Damiri, tidak boleh bersaksi dengan tasamu' bahwa
Samsul adalah anak Samlawi yang gila itu, ini menurut pendapat yang ashoh.
Istifadlah atau Tasamu' Wajib Terjadi di Kampung Asal Bukan di Tempat
Hijrah
Syekh Al-Husain bin Haidar al-Hasyimi mengatakan:
"Dan wajib
diingat bahwa sesungguhnya istifadlah itu wajib terjadi di desanya atau di
kabilahnya bukan (seperti) yang dikira (banyak orang) yaitu istifadlah di
tempat hijrahnya ."104
Maksudnya, syuhrah istifadlah itu harus di
Negara asal, bukan di daerah tempat ia berhijrah . Jika Ubaid ini
dikatakan hijrah dari Bashrah ke Yaman, maka syuhrah-nya ia sebagai anak
Ahmad itu harus di Bashrah bukan di Yaman. Sedangkan tidak ada bukti
apapun dari masa Ubaid yang kita bisa akses dari Bashrah bahwa
Ubaid adalah benar anak Ahmad . apalagi, di Yaman pun Ubaid tidak syuhrah
sebagai anak Ahmad sejak masa ia hidup sampai 550 kemudian . Tidak ada
kitab yang mengatakan ia anak Ahmad .
PASAL KE-6 JEJAK PENINGGALAN TERDAHULU SADAH BA'ALWI DI HADRAMAUT
Untuk membela nasabnya, Hanif Alatas dkk. berusaha menunjukan
berbagai bukti Ahmad bin Isa di Hadramaut. Hanif menunjukan makam
dan rumah Ahmad bin Isa, makam Ubaidillah, masjid yang di bangun Alwi bin
Ubaidillah tahun 360 H. Makam Alwi bin Ubaidillah, makam Jadid bin Abdullah,
Qubah Muhammad Sahib Mirbat, makam Ali Khali Qasam, makam Sahib Mirbat, Masjid
Ali Khali Qasam, Makam Faqih
Muqoddam, masjid Abdurrahman
Assegaf dan masjid
Al-muhdlar. 105
Ahmad bin Isa tidak disebut satu kitab pun sebelum abad
ke-9 H. berhijrah ke Hadramaut. Bagaimana bisa ada makam
Ahmad bin Isa di sana? Ubaidillah tidak terkonfirmasi kitab apapun
keberadaannya, baik di Hadramaut maupun di tempat lainnya bagaimana ada
makamnya? Alwi bagaimana ia bisa membangun sebuah masjid megah tahun 360
H. padahal namanya baru muncul pada abad ke-9 H.? begitupula nama-nama
Ba'alwi lainnya: Muhammad, Alwi, Ali Khali Qasam, Muhammad Sahib
Mirbath, namanya tidak pernah disebutkan ulama dalam kitab-kitab mereka
bagaimana ada makamnya?
Menelusuri sebuah situs memang adalah salah satu
metode melacak kesejarahan seorang tokoh, istana kerajaan, tempat pemujaan dan
lain sebagainya. Melacak sebuah situs, bisa dengan dua cam: Pertama, situs itu
disebut dalam sebuah sumber tertulis, lalu peneliti mencari keberadaan situs
itu dengan penelusuran sampai penggalian . Misalnya tentang situs Kraton
Majapahit di Trowulan, Kraton Pajajaran di Bogor dan Banten dan Kraton
Demak di Jawa Tengah. Kedua, situs itu ditemukan terlebih dahulu, lalu dicari
sumber-sumber yang berkaitan dengannya untuk diketahui nilai kesejarahannya
.
Makam Ubaidillah, Alawi, Sohib mirbat dan lainnya dari keluarga
Ba Alawi memang hari ini ada. Tetapi, itu saja belum cukup untuk
dijadikan dalil bahwa tokoh-tokoh itu memang
tokoh sejarah. makam itu mungkin bisa dijadikan bukti bahwa sosok
itu ada pada masa kesejarahannya . Tetapi juga, bisa saja ia barn
diciptakan pada masa kemudian . Dari itu, keberadaan sebuah situs
seperti makam harus didukung bukti lain yang menyertainya .
Makam Ahmad bin 'Isa
Para pembela nasab Ba'alwi ber-hujjah (alasan) tentang hijrahnya
Ahmad bin 'Isa ke Hadramaut dengan dalil adanya bukti arkeologis berupa makam
Ahmad bin 'Isa di Husaysah, Hadramaut. Pertanyaannya, apakah benar makam yang
diklaim sebagai makam Ahmad bin 'Isa itu asli? Apakah makam itu sudah dikenal
sejak wafatnya Ahmad bin 'Isa? Sumber sezaman apa yang bisa memberi kesaksian
bahwa benar Ahmad bin 'Isa dimakamkan di Husaysah? Sebuah makam di suatu
tempat, tidak bisa menjadi bukti historis akan eksistensi seorang tokoh yang
diklaim dimakamkan di tempat itu, tanpa ada bukti pendukung berupa
catatan tentang itu. Jika tidak demikian, maka, orang Banten di masa ini bisa
membuat makam yang indah dan megah kemudian ditulis dengan tulisan yang indah
pula, bahwa makam ini adalah makam Imam Syafi'i. Apakah dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa Imam Syafi'I hijrah ke Banten dan berketurunan di
Banten?
Syekh Ahmad bin Hasan al-Mu'allim mengatakan:
Terjemah:
"
Tidak ada dalam sejarah Yaman makam di agungkan yang diatasnya ada masyhad dan
masjid sampai separuh kedua abad lima kecuali yang disebut sebagai masjid
syahidain di San'a. yaitu yang disebut sebagai
makam Qatsam dan Abdurrahman yang keduanya anak dari
Ubaidillah bin Abbas yang dibunuh oleh Basar bin Arto'ah, pejabat yang
diangkat Muawiyah di Yaman". 106
Dari keterangan Syekh Ahmad bin Hasan
al-Mu'allim ini, disimpulkan makam yang sekarang ada di Husaysah itu, yang
disebut sebagai Ahmad bin 'Isa, belum dikenal di Yaman sampai tahun 450
H., padahal Ahmad bin 'Isa telah wafat 105 tahun sebelumnya (?). Al Janadi
(w.732 H.), sebagai sejarawan yang gemar merekam adanya makam tokoh yang
diziarahi orang, pun tidak mencatat di Husaysah ada makam Ahmad bin
'Isa. sedangkan, dua tokoh yang disebut oleh Syekh Ahmad bin Hasan Al-Muallim,
direkam pula keberadaannya oleh Al-Janadi dalam Al-Suluk Fi Tabaqat
al-Ulama wa-al-Muluk . Ia mengatakan:
Terjemah:
"Dan
makam dua anak masyhur di San'a disebuah masjid yang dikenal dengan nama
masjid Al-Syahidain di ziarahi dan dimintakan kepada Allah untuk dikabulkannya
hajat" 107
Selain dua makam itu, Al-Janadi pun rajin berziarah ke makam
para tokoh. Seperti ia merekam makam seorang dokter Irak yang dianggap
pahlawan di Qinan dan ia berziarah ke sana. Ia berkata:
Terjemah:
"Dan
makamnya (dokter dari Irak) di sana (Qinan), ia
sebuah masjid jami' yang memiliki menara,
diziarahi dan dianggap berkah, aku memasukinya di
bulan Muharram awal tahun 696
H." 10s
Al-Janadi
(w.732), tidak merekam adanya makam Ahmad bin 'Isa, padahal ia sejarawan
yang rajin mencatat nama-nama makam yang diziarahi dan dianggap
berkah . Artinya pada tahun 732 H>. itu, makam Ahmad bin 'Isa belum dikenal
(dibaca 'tidak ada') seperti saat ini. Telah berjarak 387 tahun sejak
wafatnya, makam Ahmad bin 'Isa belum dikenal orang. Lalu kapan mulai adanya
cerita bahwa Ahmad bin 'Isa dimakamkan di Husaysah? Berita awal
yang didapatkan adalah berita dari Bamakhramah (w.947 H.) dalam kitabnya
Qaladat al-Nahr Fi Wafayy at A 'yan al-Dahr. Dalam kitab tersebut disebutkan,
ada dua pendapat mengenai
makam Ahmad bin 'Isa:
Pendapat
pertama mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Husaysah; pendapat
kedua mengatakan ia wafat di Qarah Jasyib.109 Lalu berdasar apa makam Ahmad
bin 'Isa ini dipastikan ada di Husaisah seperti yang sekarang
masyhur sebagai makamnya? Bamakhromah menyebutkan
bahwa
makam itu diyakini sebagai makam Ahmad bin 'Isa karena ada Syekh Abdurrahman
menziarahinya dan ada cahaya yang dapat dilihat dari tempat yang diyakini
sebagai makam Ahmad bin 'Isa itu. Jadi bukan karena ada data dan sumber
sebelumnya. Bamakhramah mengatakan:
Terjemah:
"Dilihat
cahaya agung dari tempat yang diisyarahkan
bahwa tempat itu adalah qubumya (Ahmad bin 'Isa) yang mulia.
Dan guru kami, Al-Arif Billah Abdurrahman bin Syekh Muhammad bin 'Ali Alwi,
berziarah ditempat itu." 110
Seperti itulah makam Ahmad bin 'Isa
ditemukan, yaitu bukan berdasarkan naskah yang menyatakan bahwa ia
memang dimakmkan di Husaysah, dan bukan karena memang makam itu
telah ada sejak hari wafatnya yaitu tahun 345 H., tetapi diitsbat
berdasarkan ijtihad . Berarti makam Ahmad bin 'Isa barn ditemukan, bahkan
dibangun, di abad sembilan atau sepuluh Hijriah, yaitu
sekitar 602 tahun setelah hari wafatnya. Dari sana, keberadaan
makam Ahmad bin 'Isa di Husaysah ini, berdasar kesimpulan tidak adanya
peristiwa hijrah-nya ke Hadramaut, sangat meyakinkan untuk dikatakan
bahwa makam itu adalah makam palsu .
Muhammad Shahib Mirbat
Sosok Muhammad Sohib Mirbat Ba Alawi namanya tidak ditemukan dalam
kitab-kitab sejarah Yaman mulai dari masa hidupnya di abad ke enam hijriah
sampai abad sembilan.
Seharusnya, tokoh yang disebut dalam kitab Ba
Alawi sebagai ulama besar itu, terdeteksi ulama sejarah dan ditulis dalam
kitab mereka. Dalam tulisan sebelumnya, penulis menduga, bahwa Muhammad Sohib
Mirbat itu adalah Muhammad bin Ali al-Qola'i. ia ulama besar di Mirbat yang
sezaman dengan Muhamad bin Ali Ba Alawi "Sohib Mirbat". Hemat penulis awalnya,
yang lebih pantas menyandang gelar Sohib Mirbat adalah Imam al-Qola'i,
karena sosoknya masyhur sebagai ulama besar ahli fikih madzhab Syafi'i;
pendapatnya banyak dikutip oleh ulama fikih mu'tabarah semacam Imam Nawawi dan
Imam Ibnu Hajar; kitab karangannya banyak; namanya di catat dalam kitab-kitab
sejarah semacam kitab al-Suluk.
Kini, keraguan penulis itu terjawab.
Penulis telah menemukan sebuah kitab yang dengan tegas mengatakan siapa yang
bergelar Sohib Mirbat. ia bukan
Muhammad bin Ali Ba
Alawi, bukan pula Muhammad bin Ali al-Qola'i. Sohib
Mirbat, adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang
bernama Muhammad bin Ahmad al-Ak-hal al-Manjawi. ia adalah penguasa terakhir
Kota Mirbat dari Dinasti al-Manjawi. Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat disebut
al-Akhal karena memakai celak dimatanya atau karena matanya ada
tanda hitam sejak lahir.
Ibnul Atsir, pakar sejarah abad ke-7 dalam
kitabnya al-Kamil fi al-Tarikh menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah,
Muhammad al Akhal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan menterinya
yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari . (al-Kamil fi al-Tarikh: 10/
203).
Walau dalam kitabnya itu, Ibnul Atsir hanya menyebut gelar Sohib
Mirbat, tanpa menyebut namanya, namun nama itu dapat dikonfirmasi dalam
kitab sejarah yang lain seperti kitab Dzifar ibrattarikh bahwa nama
gelar Sohib Mirbat bukanlah untuk Muhammad bin Ali Ba Alawi tetapi
untuk penguasa Mirbat yang bernama Muhammad bin Ahmad al-Akhal al Manjawi .
Sementara Muhamad bin Ali Ba Alawi, namanya tidak tercatat sebagai apapun,
dengan gelar ataupun tanpa gelar. Dengan disebut ulama ataupun bukan . tidak
tercatat. gelap. jika ia sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat,
sampai ulama pengarang kitab sejarah tak mencatatnya,
padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah Mirbat?
Makam Muhammad Sohib Mirbat
Makam Habib Muhammad bin Ali Sohib mirbat di Kota Mirbat mempunyai batu
nisan dengan ukiran yang bagus . Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556
Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H?
Di yaman, abad
ke enam belum dikenal seni pahat batu . Hal tersebut difahami dari bahwa para
raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti
al-Manjawih dan dinasti al Habudi, makamnya tidak ada
yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi.
Bagaimana orang biasa nisannya berpahat
indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak.
Raja
pertama yang makamnya berbatu msan dengan pahatan indah adalah Raja al-Watsiq
Ibrahim dari dinasti Rasuli yang wafat pada tahun 711 H. batu nisan itupun
bukan produksi Yaman, tetapi di impor dari India.111 di bawah ini gambar batu
nisan raja Al-Watsiq Ibrahim:
Bayangkan abad ke-8 saja
batu nisan raja Yaman harus di impor dari India, bagaimana duaratus
tahun sebelumnya makam Sohib Mirbat sudah mempunyai batu
nisan yang sama indahnya. Pada akhir abad ke-8 Dinasti rasuli kemudian membawa
para pengarjin pahat dari India untuk membuat nisan.112 Dari situlah awal mula
banyak raja, ulama dan orang kaya, batu nisannya memiliki pahatan
dan ukiran . Hal itu bisa dibuktikan dengan bahan jenis batu yang
berbeda antara batu pahatan Raja al-Watsiq dan pahatan batu nisan selanjutnya.
Dimana, struktur dan jenis batu Raja al-Watsiq berasal dari daerah
India, sedangkan jenis batu dari nisan lainnya adalah batu lokal dari Yaman
.
Batu Nisan Sohib Mirbat, dapat di yakini barn dibuat pada abad
Sembilan atau sesudahnya, berbarengan dengan kontruksi nasab Ba Alawi yang
sudah final di ijtihadi oleh Habib Ali al-Sakran dan al Khatib.
Bagi
penulis, sosok Habib Sohib mirbat sendiri masih meragukan . apakah ia sosok
historis ataukah bukan . Penelusuran membawa kepada keyakinan bahwa sosok ini
adalah ahistoris. Tidak ada berita sezaman yang menyebut aksistensinya .
Kitab-kitab sejarah yang menyebut para ulama Mirbat dan Dzifar
tidak menyebut namanya, kecuali kitab-kitab setelah abad 9 Hijriah .
Yah, semuanya setelah abad Sembilan.
Anak Sohib Mirbat yang bernama
Abdullah, yang disebut mendapat ijajah dari Imam al-Qolai (ulama Mirbat yang
wafat tahun 630 H.)-pun disebut pertama kali oleh kitab al-Gurar abad 10 H.
anehnya nama Abdullah bin Sohib Mirbat Ba Alawi ini kemudian di sebut
"inqirod" ( tidak punya keturunan). Nasibnya sama dengan dua sosok ulama yang
disebut dalam kitab eksternal yang oleh Ba Alawi diakui sebagai bagian
keluarga Ba Alawi, yaitu Jadid dan Salim bin Basri. Keduanya disebut sebagai
saudara dari Alwi bin Ubaidillah, namun kemudian keduanya disebut inqirod
(keturunannya terputus) .
Penulis curiga, bahwa nama Abdullah yang
disebut dengan al Syarif itu, memang ada riwayat mendapat ijajah dari Imam
al-Qola'I, namun tidak disebutkan keturunannya ke atas. Lalu di abad Sembilan
keluarga Ba Alawi mengakuinya sebagai anak Sohib Mirbat, lalu karena di abad
Sembilan itu tidak ditemukan algoritma keturunannya pada keluarga Ba Alawi,
maka kemudian di sebutlah ia "inqirad". Algoritma seperti itu yang terjadi
pada Jadid dan Salim bin Bashri.
Penulis meyakini, Jadid yang disebut
al-Suluk itu, juga Bashri, bukan saudara Alwi. Ada kitab lain menyebut, bahwa
Alwi mempunyai saudara satu orang bernama Ismail. Tidak mempunyai saudara
bernama Jadid dan Bashri.
Makam Ubaidillah yang wafat 383 H
dan makam Alawi yang wafat tahun 400 H-pun, penulis yakin, barn di ijtihadi
pada abad sembilan itu. Karena Seorang peneliti Yaman yang bernama Syekh Ahmad
hasan Muallim menyatakan di Yaman tidak ada makam yang ada masyhad dan masjid
pada abad ke lima hijriah kecuali makam" asyahidain" di Shan' a.[]
CATATAN AKHIR
93 Syaikh Nawawi al-Bantai, Uqud al-Lujain, h. 11
94 Khalil bin
Ibrahim . . .h. 58
95 Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi 'Ilm al-Ansab, h.
83
97 Imam Subki, Fataiva Subki, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz-2 h.
461
98 Imam Subki, fatawa al-Subki, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz 2 h. 461
99 Khalil bin Ibrahim . . .h. 58
100 Husain bin
haidar. . .h.101
102 Lihat Wahbah al-Zuhali, Fiqhul Islam wa
adillatuhu, 8/282
103 Al-Damiri , Al-Najm al-Wahhaj, Juz 10 halaman 356
104 Husain Al-Hasyimi , Rasail fi 'Ilm al-Ansab, h.101
105
Lihat Hanif dkk. . .h. 122-127
106 Ahmad bin Hasan al-Muallim,
Al-Quburyi ah fi al Yaman (Dar ibn al jau zi, Al-Muk alla, 1425H) h.253
101
Al-janadi . . . ju z 1h.173
108 Al-j anadi . . .juz 1 h.212
109 Abu
Muhammad al-Tayyib Abdullah bin Ahmad Ba Makhramah, Qaladat al-Nahr Fi
Wefcryya t Ayan al-Dahr (par al-Minhaj,Jeddah, 1428 H.) ju z 2 h. 618.
110
Abu Muhammad . . Ba Makhramah . . . juz 2 h.618.
111 Ahmad bin Awadl
Alawi alu Ibarhim, Tarikhi Wafati Al-Imam al Qala'I baina Syawahid al-Tarikh
wa Baina Syawahid al-Qabr, h. 21 112 Ahmad bin Awadl . . .h. 21